Buku

29
ABSTRAK Bab ini membahas rhinosinusitis akut secara mendalam, dimulai dengan definisi rhinosinusitis dan epidemiologi serta efek ekonomisnya. Patofisiologi dari virus rhinosinusitis akut dan bacteria rhinosinusitis akut juga ditinjau. Selanjutnya, dilakukan pembahasan mengenai komponen sejarah pasien dan pemeriksaan fisik serta petunjuk pengambilan gambar radilogis terhadap rhinosinusitis akut. Kesimpulannya, modalitas perawatan dan komplikasi rhinosinusitis menjadi pokok bahasan. Sinusitis diartikan sebagai peradangan sinus paranasal, dan rhinitis diartikan sebagai peradangan pada rongga hidung. Pada tahun 1996, Task Force on Rhinosinusitis, sponsored by the American Academy of Otolaryngology- Mead and Neck Surgery, the American Rhinologic Society, and the American Academy of Otolaryngologic Allergy mengusulkan pergantian istilah sinusitis menjadi rhinosinusitis. Usulan ini didasari pada rhinitis yang umumnya mendahului sinusitis, serta fakta bahwa sangat jarang terjadi sinusitis tanpa adanya rhinitis (1).

description

acute rhinosinusitis

Transcript of Buku

Page 1: Buku

ABSTRAK

Bab ini membahas rhinosinusitis akut secara mendalam, dimulai

dengan definisi rhinosinusitis dan epidemiologi serta efek

ekonomisnya. Patofisiologi dari virus rhinosinusitis akut dan

bacteria rhinosinusitis akut juga ditinjau. Selanjutnya, dilakukan

pembahasan mengenai komponen sejarah pasien dan pemeriksaan

fisik serta petunjuk pengambilan gambar radilogis terhadap

rhinosinusitis akut. Kesimpulannya, modalitas perawatan dan

komplikasi rhinosinusitis menjadi pokok bahasan.

Sinusitis diartikan sebagai peradangan sinus paranasal, dan rhinitis

diartikan sebagai peradangan pada rongga hidung. Pada tahun

1996, Task Force on Rhinosinusitis, sponsored by the American

Academy of Otolaryngology-Mead and Neck Surgery, the

American Rhinologic Society, and the American Academy of

Otolaryngologic Allergy mengusulkan pergantian istilah sinusitis

menjadi rhinosinusitis. Usulan ini didasari pada rhinitis yang

umumnya mendahului sinusitis, serta fakta bahwa sangat jarang

terjadi sinusitis tanpa adanya rhinitis (1).

Ada banyak faktor penyebab berkembangnya rhinosinusitis,

termasuk inang dan faktor lingkungan (Tabel 33.1). Contoh sifat

inang yang mungkin terjangkit rhinosinusitis mencakup kondisi

bawaan, seperti fibrosa cystic atau sindrom immotile cilia,

perubahan alergi atau fungsi imunitas yang berubah, anatomi yang

tidak normal, penyakit sistemik, dan mekanisme syaraf. Beberapa

faktor eksternal yang dapat menyebabkan rhinosinusitis adalah

agen infeksi, trauma, paparan bahan kimia atau obat-obatan

berbahaya, dan perubahan pembedahan.

Pada pasien rhinosinusitis tertentu, banyak inang dan faktor

lingkungan yang timbul secara bersamaan. Sebagai contoh, pasien

dengan fibrosa cystic yang telah mengalami perubahan anatomi

Page 2: Buku

dari pembedahan sebelumnya dapat terkena infeksi bakteri akut

rongga sinonasal. Maka, mengartikan rhinosinusitis berdasarkan

istilah etiologi menjadi sangat rumit. Karena alasan ini, Task Force

on Rhinosinusitis memilih untuk mengelompokkan kelainan ini

berdasarkan faktor sementara (1) (Tabel 33.2). Rhinosinusitis akut

didefinisikan dengan adanya kondisi tertentu selama 4 minggu (1).

Rhinosinusitis kronis dapat didiagnosa setelah kondisi tersebut

terjadi sekurang-kurangnya selama 3 bulan (1). Istilah

rhinosinusitis sub-akut digunakan saat kejadian terlihat antara 4

dan 12 minggu. Ketika terdapat empat atau lebih kejadian acute

bacterial rhinosinusitis (ABRS) dalam satu tahun dengan resolusi

gejala disela-sela kejadian, diagnose yang tepat adalah recurrent

avute rhinosinusitis (2).

Task Force on Rhinosinusitis meneliti definisi, diagnose,

penanganan, dan hasil analisa rhinosinusitis untuk memudahkan

perawatan pasien dan penelitian (1,3). Usaha ini telah didukung

oleh panel tambahan pada tahun 2004 (disponsori oleh American

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, the

American Rhinologic Society, the American Academy of

Otolaryngologic Allergy, the American Academy of Allergy,

Asthma, and Immunology, and the College of Allergy, Asthma,

and Immunology) dan pada tahun 2007 (disponsori oleh the

Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation)

(2-4). Tujuan bab ini adalah mempergunakan sumber-sumber

kajian terkini untuk meninjau rhinosinusitis akut, mencakup

epidemiologi, patofisiologi, tampilan klinis, fungsi pengambilan

gambar, rekomendasi perawatan terbaru, dan komplikasi.

EPIDEMIOLOGI

Page 3: Buku

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang serius, diyakini

semakin meningkat jumlah kejadian dan kemerataannya (1).

Berdasarkan Summary Health Statistics for U.S. Adults National

Health Interview Survey pada tahun 2009, lebih dari 29,3 juta

orang dewasa di United States yang telah didiagnosa terkena

rhinosinusitis oleh dokter (5). Diperkirakan angka ini meliputi

12,6% populasi di United States. Sebelumya telah dilaporkan

bahwa tingkat kejadian rhinosinusitis dua lipat lebih sering terjadi

pada wanita (20,9%) dibandingkan pada pria (11,6%). Faktor

demografis lainnya, seperti letak geografis dan ras, juga

mempengaruhi kemungkinan terjadinya rhinosinusitis. Jumlah

rhinosinusitis umumnya lebih rendah di bagian barat United States

(12,1%) dibandingkan dengan wilayah bagian selatan (19,5%) (5).

Orang-orang kulit putih Hispanik (17,5) dan orang-orang non-

hispanik (15,7%) memeliki kemungkinan dua kali lebih besar

terkena rhinosinusitis untuk di daerah Hispanik (8,6%) (5,6).

Namun, data survei sebelumnya tidak menunjukkan bahwa status

kemiskinan berkaitan dengan jumlah kejadian rhinosinusitis,

variasi regional jumlah kejadian rhinosinusitis mungkin saja

dikaitkan dengan perbedaan kualitas udara, termasuk adanya

polutan dan allergen (5,6).

BEBAN EKONOMI dari RHINOSINUSITIS AKUT

Pengaruh ekonomis rhinosinusitis cukup mencengangkan.

Walaupun hanya terdapat sedikit referensi mengenai masalah ini,

investigasi mendalam telah dipublikasikan pada tahun 1999 dan

tahun 2004, berdasarkan National Heatlh Interview Surveys tahun

1996 dan 1998, berturut-turut (6,7). Biaya perawatan kesehatan

langsung dalam setahun diperkirakan mencapai 5,8 juta pada tahun

1998, 30% digunakan untuk merawat pasien anak-anak berumur

12 atau lebih muda (5,7). Hampir 90% pengeluaran dikaitkan

Page 4: Buku

dengan kunjungan darurat (5,7). Pada tahun 1996, terdapat 16,7

juta pasien dokter, rumah sakit, dan pertemuan bagian darurat yang

dikaitkan dengan perawatan utama sinusitis (7). Mayoritas

perawatan pasien dokter kantoran untuk sinusitis dilakukan oleh

dokter perawat utama (64,9% oleh obat-obatan keluarga dan dokter

obat-obatan dalam, dan 15,4% oleh dokter anak) (7). Secara

keseluruhan, kunjungan pasien dengan sinusitis sebagai diagnosa

utama dihitung sebagai 36% total pengeluaran medis pada tahun

1996, dan obat-obatan untuk merawat kondisi ini menambah 17%

perhitungan (7). Pada tahun 1992, penduduk Amerika

menghabiskan 200 juta dolar Amerika untuk resep obat-obatan dan

lebih dari 2 juta dollar Amerika untuk obat-obatan tambahan dalam

usaha menyembuhkan sinusitis (8). Intergrated Health Review

Series selama tahun 1997 sampai 2006 menunjukkan bahwa 55,8%

pasien dengan sinusitis menghabiskan lebih dari 500 dolar

Amerika setiap tahunnya untuk perawatan kesehatan, lebih besar

dibandingkan dengan jumlah pengeluaran orang-orang yang

menderita penyakit kronis seperti bronchitis kronis, demam hay,

sakit maag, dan asma (9).

Biaya tidak langsung yang berkaitan dengan rhinosinusitis, yang

dapat diperkirakan, tergolong tidak signifikan dan juga meningkat.

Jumlah total kegiatan harian yang dilarang karena rhinosinusitis

meningkat dari sekitar 50 juta per tahun pada periode antara 1986

sampai 1988 menjadi 61,2 juta per tahun antara tahun 1997 dan

2006 (5, 9, 10). Berdasarkan perkiraan produktivitas kerja harian

tahun 2007, masalah ini menyebabkan kerugian biaya peluang

sebesar 18, 3 juta dolar Amerika (9). Berdasarkan data survey

tahun 2006, pasien dengan sinusitis rata-rata kehilangan 5,67 hari

karena penyakitnya setiap tahunnya, berkebalikan dengan mereka

yang tidak mengalam sinusitis yang hanya kehilangan 3,74 hari

kerja (9). Yang lebih sulit untuk dihitung, namun sangat relevan

Page 5: Buku

dengan masalah biaya tidaklangsung, adalah efek rhinosinusitis

yang mengganggu kualitas hidup dan menyebabkan kerusakan

fungsi harian karena gejala fisik terjadi ketika seseorang terkena

rhinosinusitis (4).

PATOFISIOLOGI DAN MIKROBIOLOGI

Untuk mengerti lebih jauh tentang patofisiologi rhinosinusitis,

diharuskan untuk mengikut-sertakan konsep peradangan dan

infeksi. Peradangan adalah alut proses dan sinyal dimana mediator,

seperti leukosit, mampu memusnahkan komponen/agen asing dan

memperbaiki jaringan yang rusak (4, 11). Peradangan akut

diartikan dengan adanya aliran cairan dan plasma protein dari

pembuluh darah dengan perpindahan leukosit, utamanya neuropil,

sehingga sel-sel ini bersatu untuk melawan zat atau komponen

yang tidak baik (4, 11). Hal ini dapat diidentifikasi dalam beberapa

menit hingga beberapa jam dari kejadian pemicu. Peradangan

kronis berkembang sehingga kondisi tersebut terus terjadi selama

berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Tanda-tanda

peradangan kronis adalah adanya limfosit (sel darah putih),

makrofage, eosinofil, dan basofil, bersamaan dengan adanya

peningkatan vaskularitas, fibrosis, dan kematian jaringan (4, 11).

Peradangan sub-akut diartikan sebagai periode interval ketika pola

kekambuhan peradangan teramati (4). Infeksi umumnya

didiagnosa ketika terdapat mikroorgnisme pada inang, berinteraksi

secara langsung dengan jaringan inang dan berkembang biak. Hal

ini menyebabkan timbulnya penyakit pada organisme inang (4).

Infeksi bacterial diartikan dengan adanya satu bakteri atau lebih di

setiap bidang dengan kepadatan tinggi, yang berhubungan dengan

paling sedikit 1.000 koloni yang terbentuk per milimeter (4).

Page 6: Buku

Secara histopatologi, rhinosinusitis akut umumnya adalah sebuah

proses eksudatif (1, 12). Penelitian terhadap spesimen jaringan

menujukkan sel peradangan gabungan merembes yang mana

neutrofil dominan didalamnya. Pendarahan, nanah/pemborokan,

dan adanya bakteri atau jamur juga mungkin dapat terjadi (1, 4,

12).

RHINOSINUSITIS AKUT KARENA VIRUS (VIRAL)

Mayoritas rhinosinusitis akut secara etimologi dikatakan menular

(4) (Tabel 33.3). Patogen penyebabnya adalah virus. Penelitian

sinus pada pasien dengan rhinosinusitis akut community-acquired

menunjukkan organisme virus yang umumnya teridentifikasi

dalam penurungan kejadian adalah rhinovirus 15%, virus influenza

5%, virus parainfluenza 3%, dan adenovirus 2% (4, 13).

Patogenesis infeksi oleh virus yang paling umum, rhinovirus,

digambarkan dengan sangat baik di akhir abad ke-20 oleh grup

milik Gwalney di Universitas Virginia. Rhinovirus memasuki

tubuh melalui hidung, bisa dikarenakan vaksinasi secara langsung

atau melalui partikel udara yang besa (4, 14). Partikel virus

berjalan di dalam aliran lender atau mucus menuju daerah adenoid

dimana virus tersebut menempel pada reseptor khusus (reseptor

rhinovirus interseluler adhesi molekul 1) pada sel limpoepitelial

diantara folikel limfoid (4, 15-17). Suatu reaksi peradangan

kemudian terjadi, dan gejala rhinosinusitis akut karena virus (acute

viral rhinosinusitis), termasuk sakit tenggorokan, obstruksi nasal,

dan rhinorrhea berkembang dalam beberapa jam pemaparan (4,

18).

Walaupun secara historis virus diduga menyebabkan rhinitis,

keikutsertaan sinus paranasal dalam lingkungan klinis terhadap

AVRS didokumentasikan dengan baik secara radiologis pada

orang dewasa dan anak-anak (19, 20). Penelitian-penelitian ini

Page 7: Buku

utamanya dilakukan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an disaat

orang-orang sedang membandingkan secara relative modalias baru

dari computed tomography (CT) dan magnetic resonance imaging

(MRI) terhadap standard modalitas pengambilan gambar untuk

rhinosinusitis, film radiografi sederhana. Abnormalitas, termasuk

tingkat aliran udara, sekresi aerosol, dan mukosa yang menebal

lebih sering terlihat pada sinus rahang atas sebesar 87%, tetapi juga

terdapat di sinus etmoid sebesar 65%, sinus frontal sebesar 32%,

dan sinus sphenoid sebesar 39% (4, 21). Penemuan-penemuan ini

dikaitkan dengan eksositosis sejumlah besar mucin oleh sel goblet

di sinus paranasal epithelium setelah mereka telah dirangsang oleh

mediator peradangan dalam kejadian infeksi viral akut (4).

RHINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT

Acute bacterial rhinosinusitis (ABRS) terjadi ketika pasien dengan

AVRS mengalami perkembangan infeksi bakteri superimposed

atau sekunder (2). Hanya sekitar 0,5% hingga 2% AVRS yang

dikomplikasikan dengan adanya infeksi bakteri (2, 13). Namun,

masih terdapat sekitar 20 juta kasus ABRS per tahun di US (2, 22).

AVRS dapat menyebabkan perkembangan BRS dengan beberapa

mekanisme. Mukosa edematous yang dapat meradang dapat

mengganggu sinus ostia dan merusak pengeringan lender (2, 23,

24). Fungsi mukosiliaris dan pembersihan juga terpengaruh secara

langsung oleh peradangan; kerusakan ini diperbesar jika terjadi

peningkatan produksi lender (24). Infeksi oleh pathogen bakteri

yang menjangkiti hidung dan nasofaring didukung dengan adanya

lender statis dan mempermudah terjadinya kejadian karena bakteri

mengendap dalam sinus paranasal karena bersin (2, 13, 25).

Konsep transisi dari AVRS menjadi ABRS ini penting untuk

diperhatikan karena kami membahas kondisi pasien dan evaluasi

Page 8: Buku

akurat terhadap kemajuan gejala untuk kepentingan diagnose.

Suatu kejadian AVRS dapat dipersulit dengan adanya infeksi

bakteri, tetapi tampilan perbedaan klinis awalan diantara keduanya

tidak mungkin terjadi. Kriteria diagnosa yang lebih spesifik yang

berhubungan dengan jangka waktu infeksi akan dibahas dibagian

selanjutna dalam bab ini, dan secara langsung berkaitan dengan

perawatan yang dianjurkan untuk rhinosinusitis akkut.

MIKROBIOLOGI RHINOSINUSITIS BAKTERIAL AKUT

Informasi mengenai mikrobiologis acute community-acquired

bacterial rhinosinusitis pada orang dewasa telah digambarkan

secara umum dari jaringan lender sinus maksiliaris, karena ini

adalah sinus paranasal yang paling mudah diakses (4). Mayoritas

infeksi ABRS dikarenakan terisolasinya bakteri tunggal, tetapi

terdapat infeksi polimikrobakterial di sekitar satu per empat kasus

(4, 26). Spesies bakteri yang paling sering terisolaso dari sinus

maksiliaris pasien dengan ABRS yang tidak parah adalah

Streptococcus penumoniae, Haemophilus influenza, dan Moraxella

catarrhalis (2, 27) (Tabel 33.3). Frekuensi relative bakteri yang

terisolasi dalam ABRS terbukti mempunyai hubungan perkembang

biakan; S. pneumonia diidentifikasi pada 20% hingga 43% kasus,

H. influenzae pda 22% hingga 35% kasus, dan M. catarrhalis pada

2% hingga 10% kasus (2,26-31). H. influenzae yang teridentifikasi

umumnya adalah organisme nontypeable (4). Pada beberapa

dekade terakhir abad ke-20, terdapat peningkatan timbulnya -

laktamase yang memproduksi H. influenzae sebesar lebih dari

50%; bagaimanapun juga, di abad ke-21, hal ini menjadi stabil

dengan kisaran 40% yang terisolasi (4, 13, 32, 33). Macrolide-

resistant S. pneumonia adalah masalah yang meningkat, dan

dikaitkan dengan naiknya resiko kegagalan dalam perawatan (34-

Page 9: Buku

36). Bakteri anaerob hanya berpengaruh sebesar 2% hingga 6%

terhadap ABRS, beberapa diantaranya timbul dari patologi dental

primer (4). Staphylococcus aureus dan S. pyogenes memiliki

pengaruh tertentu terhadap ABRS. Secara keseluruhan, mereka

hanya berpengaruh kurang dari 5% dalam kasus, walauun S.

aureus sering terlalu tinggi diperkirakan berdasarkan jaringan swab

nasal, berkebalikan dengan jaringan sinus endoscupically-directed

atau direct sinus aspirates (4). Sebagai catatan, S. aureus dan S.

pyogenes memliki kecenderungan lebih tinggi untuk menyebabkan

komplikasi rhinosinusitis akut, seperti intracranial atau

perpanjangan orbital penyakit (4).

CARA KHUSUS – MIKROBIOLOGI dari NOSOCOMIAL

ACUTE BACRTERIAL RHINOSINUSITIS

Rhinosinusitis nosocomial cenderung menunjukkan adanya

organisme gram-negatif yang lebih tinggi dibandingkan

community-acquired ABRS. Contoh organisme yang ditemukan

pada infeksi nosocomial meliputi Psedumonas aeruginosa,

Klebsiella pneumoniae, Enterobacter species, Proteus mirabilis,

Serratia marcescens, dan cocci gram-positif, seprti streptococci dan

staphylococci (4). Selama bertahun-tahun kita mengetahui bahwa

pasien yang beresiko tinggi terhadap rhinosinusitis nosocomial

adalah mereka yang membutuhkan periode perawatan internsif

tambahan dengan intubasi Nasotracheal yang atau pipa nasogastriv

berlangsung lama (4, 37). Intubasi nasotracheal beresiko lebih

tinggi terhadap sinusitis nosocomial daripada intubasi orotracheal

(4, 38). Sinusitis nosocomial berkembangan pada 25% pasien yang

membutuhkan intubasi nasotracheal lebih dari 5 hari (4, 39).

Page 10: Buku

CARA KHUSUS – ACUTE FULMINANT INVASIVE FUNGAL

SINUSITIS

Acute fulminant invasive fungal sinusitis adalah penyakit berbahya

yang dikaitkan dengan adanya penyebaran jamur yang sangat cepat

dari mukosa sinonasal menuju orbit, jaringan lunak, dan

parenchyma otak melalui invasi langsung dan vascular (40).

Kondisi klinis pasien yang terkena umumnya diasosiasikan dengn

fungsi neutrofil yang terganggu, seperti hematologic malignancies,

aplastic anemia, diabetes, acquired immunodeficiency syndrome,

transplant organ, atau iatrogenic immunosuppression karena

kemoterapi (40). Organisme etiologis yang paling umum adalah

spesies Aspergillus dan Mucormycosis. Pada populasi pasien

khusus dengan menurunnya kemampuan memaksimalkan respon

imunitas terhadap organisme penginfeksi ini, tanda-tanda dan

gejala penyakit bisa jadi tidak terlihat. Temuan bersifat fisik yang

paling umum dijumpai pada endoskopi sinonasal adalah adanya

perbedaan mukosa hidung dan sinus yang menunjukkan adanya

angioinvasion oleh organisme jamur, dengan hypoperfusion utama

jaringan. Sedangakn perubahan warna menunjukkan adanya

ischemia jaringan, sedangkan perubahan warna hitam adalah

temuan akhir dari jaringan yang mati (40). Penurunan pendarahan

mucosal dan sensai mati-rasa (bius) lokal di daerha wajah atau

rongga mulut bisa menjadi tanda dari proses penyebaran tersebut

(40). Lokasi abnormalitas mukosal yang paling umum adalah di

bagian turbinate tengah atau depan, septum nasal, dan langit-langit

(41). Standar utama untuk memberikan diagnosa terhadap penyakit

ini adalah bidang permanen dengan noda perak Gomori methamine

yang menunjukkan “bentuk hyphal dalam submukosa dengan atau

tanpa serangan angiocentric dan jaringan mati dengan rembesan

Page 11: Buku

peradangan inang yang minimal” (40) (Gambar 33.1A-C). Karena

diagnosa yang tepat sangat penting untuk dilakukan terhadap

kondisi seperti ini, bidang yang membeku dengan pemeriksaan

histopatologis terhadap luka yang mencurigakan sangat dibutuhkan

untuk memudahkan pembedahan resection dan inisiasi terapi anti-

jamur tanpa adanya penundaan. Metode kalium hidroksida-

calcoflour putih adalah alternative teknik diagnosa yang cepat

dimana kalium hidroksida digunakan untuk melarutkan material

hidup, dan calcoflour putih digunakan untuk pencerah optikal yang

berikatan dengan dinding sel hyphae dan bercahaya ketika dilihat

dengan mikroskop fluorescent (40).

GAMBARAN KLINIS DAN EVALUASI

Gejala-gejala yang berkaitan dengan rhinosinusitis sudah banyak

diketahui. Gejala-gejalan yang umum terjadia mencakup obstruksi

nasal, pemberhentian nasal, nasal purulence, tetesan postnasal,

tekanan dan nyeri wajah, terganggunya indra penciuman, batuk,

demam, bau mulut/halitosis, kelelahan, sakit gigi, sakit

tenggorokan, aural fullness, otalgia, dan sakit kepala.

SEJARAH PASIEN

Ketika pasien menunjukkan beberapa gejala yang berhubungan

dengan rhinosinusitis akut, penyedia layanan perawatan kesehatan

harus mencatat semua gejala yang relevan. Kejelasan tingkat

keseriusan gejalan dan waktu timbulnya sangat penting dalam

usaha memberikan dignosa yang tepat dan dalam pembuatan

rencana penanganan yang sesuai. Peninjauan nyeri pada pasien

pada evaluasi ini sangat dianjurkan. Nyeri adalah satu dari tiga

gejala cardinal yang diartikan sebagai kriteria diagnostic untuk

Page 12: Buku

ABRS, dan nyeri adalah alasan utama kenapa pasien

membutuhkan perawatan media (4, 42).

Laporan konsesus awal yang diterbitkan oleh Task Force of

Rhinosinusitis pada tahun 1996 menggaris-bawahi

pengklasifikasian gejala mayor dan minor untuok mempermudah

pembuatan diagnosa yang sesuai untuk ABRS dan membantu

memperjelas perbedaannya dengan AVRS (1). Laporan berikutnya

menggantikan model ini dengan konsep baru, membahas tentang

tiga gejala kardinal: purulent nasal discharge, obstruksi nasal,

dan/atau nyeri, tekanan, atau fullness pada wajah (2, 42) (Tabel

33.4). pemikiran dibalik pandangan baru tentang interpretasi

gejala-gejala untuk mendiagnosa ABRS didasarkan kepada

sensitivitas tinggi dan spesifikasi yang cenderung tinggi dari

indikator ABRS ini, khusunya ketika gejala tersebut timbul selama

10 hati atau lebih (2, 42-44). Munculnya kekeringan purulent

nasal, apakah itu dialporkan oleh pasien atau terlihat saat

pemeriksaan fisik terhadap faring posterior atau intranasal yang

berdekatan dengan ostia sinus, berhubungan dengan adanya bakteri

pada aspirasi antral (2, 45, 46). Penemuan tentang purulence juga

berhubungan dengan bukti radiografis ABRS (2, 48). Nyeri wajah

dan nyeri pada gigi juga diprediksi berkaitan dengan ABRS

berdasarakan hasil kultur dan temuan radiografis, tetapi lokasi

tidak berkaitan dengan sinus tertentu (2, 44, 45, 49).

Setelah riwayat simptomatologi yang mendalam telah didapat,

dokter dapat membedakan ABRS dari AVRS atau dari

rhinosinusitis akut yang disebabkan oleh etiologi yang tidak

menular (2). Berdasarkan petunjuk tahun 2007, “ABRS didiagnosa

ketika ketiga gejala kardinal muncul selama 10 hari atau lebih

diluar serangan gejala pernafasan atas, atau ketika gejala atau tanda

rhinosinusitis akut memburuk dalam 10 hari setelah periode

Page 13: Buku

perbaikan awal (pemburukan-ganda)” (2). Dalam 3 sampai 4 hari

timbulnya penyakit, AVRS ridak dapat dibedakan dari transisi

awal ABRS (2). Pemberhentian purulent tidak mengindikasikan

adanya bakteri pada lender, tetapi menunjukkan adanya neutrofil,

yang dikaitkan dengan peradangan akut tanpa menghiraukan

etiologi. Rhinorrhea yang jelas bisa menjadi tanda adanya AVRS,

rhinosinusitis alergi, atau penyebab rhinosinusitis non-alergi

lainnya, seperti rhinitis vasomotor. Pada hari ke-10 atau lebih,

peradangan dan edema AVRS mungkin masih muncul;

bagaimanapun juga, kondisi seharusnya sudah membaik. Jika

gejala masih berkembang pada hari ke-10, dianjurkan melakukan

diagnosa ABRS (2, 42).

Demam tidak termasuk sebagai tanda kardinal ABRS karena

demam hanya mempunyai sensitivitas dan kekhususan sebesar

50% untuk diagnosa (2, 42-44). Pasien dengan AVRS mungkin

saja mengalami demam selama beberapa hari diawal munculnya

penyakit, yang tidak perlu dikaitkan dengan infeksi bakteri

sekunder. Bagaimanapun juga, jika seorang pasien menunjukkan

adanya tiga gejala kardinal, yang terlihat serius atau demam tinggi

pada 3 atau 4 hari pertama serangan penyakit, diagnosa terhadap

ABRS dipertimbangkan lebih awal (2, 4, 42). Selain itu, jika ada

gejala yang menunjukkan perkembangan melampaui ABRS yang

tidak serius, terlepas dari jangka waktu munculnya gejala,

perawatan harus dilakukan lebih dini.

Selain riwayat penyakit yang diterangkan diatas, penyedia layanan

perawatan kesehatan untuk pasien dengan gejala rhinosinusitis

akut harus melaksanakan pengecekan rekam medis dan sosial.

Timbulnya kondisi comorbis yang signifikan, seperti diabetes

melitus, immunocompromised statusi, penyakit pulmonia, atau

kondisi congenital sangat penting untuk diperhatikan ketika

Page 14: Buku

merancang rencan perawatan. Riwayat rhinitis alergi atopy atau

perennial juga berkaitan dengan rencana perawatan. Trauma pada

wajah atau hidung yang terdahulu, pembedahan wajah, atau

pembedahan sinonasal dapat mempengaruhi munculnya gejala dan

penyakit pada pasien. Tinjauan mendalam terhadap obat-obatan

pasien dan obat-obatan alergiharus didapatkan sebelumnya untuk

dapat menggunakan decongestant atau bius lkal untuk

mempermudah pemeriksaan di klinik, dan untuk memberikan resep

obat-obatan. Mengetahui riwayat sosial pasien, termasuk

pemaparan tembakau dan kondisi rumah dan kantor sangat penting

untuk merawat pasien dengan mendalam. Faktor-faktor ini

menunjukkan kondisi yang menyebabkan timbulnya gejala

rhinosinusitis dan perkembangan ABRS pada pasien.

PEMERIKSAAN FISIK

Walaupun diagnosa AVRS atau ABRS dapat dibuat dengan akurat

dengan menggunakan riwayat pasien, pemeriksaan fisik secara

mendalam sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Tanda-tanda

vital harus dicatat. Pemeriksaan kepala dan leher harus dimulai

dengan pemeriksaan wajah. Pembengkakan, erythema, atau edema

yang terletak disekitar pipi yang terkena atau edema periorbital

bisa menunjukkan adanya ABRS yang serius dengan pelebaran ke

jaringan lunak. Palpation dan percussion disekitar wajah dan

dentition maksila dapat membantu menentukan letak nyeri.

Pemeriksaan mata mencakup pemeriksaan tampilan konjungtiva,

tes status visual, evaluasi fungsi otot ekstraokular, inspeksi

terhadap timbuknya proptosis, dan funduscopic atau pemeriksaan

Tonopen jika terindikasi secara klinis. Pemeriksaan otoscopic bisa

menunjukkan serous otitis media atau acute otitis media.

Rhinoscopy anterior adalah alat dasar dalam pemeriksaan fisik

Page 15: Buku

yang sangat berkaitan dengan pendeteksian patologi pada saluran

sinonasal (4). Umumnya, hidung diperiksa sebelum dan sesudah

topical decongestant. Pemakain decongestant terlebih dahulu,

seperti oxymetazoline atau neosynephrine, saluran nasal anterior

dan turbinates inferior juga diperiksa. Setelah hidung diberi

decongestant, seseorang biasanya mampu memvisualisasi turbinate

bagian tengah dan memeriksa nanah pada bagian meatus tengah

seperti halnya hyperaemia, edema, atau crusting. Turbinate yang

membesar, timbulnya polip atau masses, dan nasal septal

deviations dapat membatasi luasnya pemeriksaan. Visualisasi

kekeringaa purulent postnasal pada pemeriksaan oropharyngeal

cenderung sensitive terhadap ABRS (1). Analisa vocal dapat

menunjukkan kualitas hyponasal, sesuai dengan resonansi yang

menurun karena aerasi yang menurun dari sinus paranasal (2).

Auskulasi dada sangat penting pada pasien dengan riwayat

disfungsi pulmonary dalam menyebabkan potensi peradangan

saluran pernafasan bawah yang tidak disengaja dengan infeksi

saluran pernafasan atas. Evaluasi neurologis sempurna mencakup

pemeriksaan syaraf cranial diindikasikan jika ada masalah ABRS

serius dengan penyebaran intrakranial.

EVALUASI ENDOSCOPIC

Jaringan endoscopically-directed middle meatus dikaitkan dengan

jaringan yang didapat dari aspirasi sinus maksilaris (2, 50).

Jaringan sekresi dari hidung atau nasofaring, bagaimanapun,

adalah contoh yang buruk dari jaringan sinus maksilaris (2, 50).

Blind swab pada rongga nasal tidak dianjurkan karena cenderung

dikontaminasi oleh bakteri normal yang berkelompok (51).

Jaringan langsung tidak dibutuhkan dalam mendiagnosa atau

menangani ABRS yang tidak serius (2). Pemeriksaan awal pada

Page 16: Buku

pasien dengan ABRS sering dilaksanakan oleh penyedian layanan

kesehatan urama tidak terlatih dalam teknik endoscopic sinonasal,

yang harusnya tidak mengganggi perawatan yang semestinya.

Peran paling penting dari endoscopy adalah peninjauan dan

perawatan pasien dengan gejala yang kronis atau susah

disembuhkan dan pada pasien yang memiliki komplikasi

rhinosinusitis (4). Indikasi untuk melakukan konsultasi dengan

seorang otolaryngologist untuk endoscopy adalah pasien dengan

gejala yang tidak memperoleh perbaikan dalam terai empiris,

pasien dengan penyakit unilateral, pasien dengan gejala serius atau

merusak, pasien yang diperkirakan mengalami komplikasi, pasien

yang baru saja melakukan pembedahan sinonasal, atau individu

dengan immunocompromised (4) (Tabel 33.5). Endoscopy

sinonasal dapat dilakukan dengan ruang lingkup yang fleksibel

atau kaku. Endoscopy fiberoptikal yang fleksibel lebih sesuai

untuk pasien dan mempermudah dalam mengakses sinus pada

pasien nonoperated. Endoscopy sinonasal yang kaku dapat

memberikan kualitas gambar yang sangat baik, mempermudah

pengambilan kultur dan contoh jaringan jika diperlukan, dan

mempunyai kemampuan untuk mengkontrol epitaxis jika

ditemukan. Kultur dapat diperoleh dengan swab steril atau

menggunakan penyedot kedalam alat penangkap steril (sterile

trap).

PENGGAMBARAN

Modalitas penggambaran dilakukan untuk memeriksa hidung dan

sinus paranasal dengan menggunakan radiografi film sederhana,

CT, dan MRI (Tabel 33.6). Ultrasound digunakan untuk

pemeriksaan penyakit sinus maksiliaris, tetapi sensitivitasnya

buruk (9, 52). Ultrasound mempunyai kapasitas yang terbatas

Page 17: Buku

dalam menggambarkan sinus paranasal dengan baik seolah-olah

mereka dikelilingi oleh tulang dan mengansung udara. Sangat

penting untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap teknik

pengambilan gambar untuk dapat menggunakannya dalam praktik

yang efektif dalam hal biaya dan dengan cara berdasarkan

alogaritma. Informasi yang diperoleh dari tes harus memberikan

data yang relevan sehingga dapat digunakan dalam pengambilan

keputusan klinis.

X-RAY

Rangkain film radiografi sederhana terdiri atas tiga bagian; bagian

lateral, bagian Caldwell atau posterior-anterior (sudut pusat sinar

sebesar 15 derajat), dan bagian Waters atau occipitomental (garis

sudut orbitomeatal sebesar 37 derajat terhadap garis horizontal)

(2). Gambar radiograi harus didapatkan dari pasien dengan posisi

tegak, karena kepentingan utama pelaksanaanya adalah untuk

mendiagnosa ABRS dengan menggunakan film sederhana adalah

mendapatkan gambaran adanya tingkatan aliran-udara. Temuan

penggambaran yang lainnya yang berkaitan dengan diagnosa

ABRS dalam radiografi film sederhana adalah opasifikasi sinus

dan penebalan mukosa (2). Keuntungan dari penggunaan film

sederhana untuk sinus adalah hargannya yang terjangkau,

jangkauan radiasi yang rendah (1,4 cGy per film), dan

kemungkinan pemeriksaan portable dalam perawatan intensif (53).

Penelitian lanjutan menggunakan hasil antral puncture sebagai

standard utama untuk diagnosa ABRS menunjukkan bahwa

opasifikasi sempurna, tingkat aliran-udara, atau keduanya dalam

radiografi film sederhana terhadap sinus maksiliaris mempunyai

sensitivitas dignostik sebesar 73% dan spesifikasi sebesar 80%

(2,53-55). Penelitian serupa yang meneliti radiografi sederhana dan

Page 18: Buku

menggunakan CT sebagai standard utama untuk mendiagnosa

sinusitis maksiliaris akut melaoprkan bahwa sensitivitas radiografis

sebesar 67% dan spesifikasinys sebesar 87% (53, 55). Nilai positif

dan negative diperkirakan sebesar 82,5% dan 76,9%, secara

berturut-turut. Sensitivitas radiografis film sederhana untuk

mendiagnoda sinusitis etmoid, frontal, dan sphenoid yang lebih

buruk berkisar antara kisaran 0% hingga 58,9%, 1,9% hingga

54,0%, dan 0% hingga 38%, secara berturut-turut (53,55). Film

sederhana negative tidak mencegah timbulnya sinusitis. Sekarang,

banyak yang menyetujui bahwa adiografi sederhana mempunyai

nilai yang terbatas terhadap rhinosinusitis akut (1, 56).