Seri Buku BRR - Buku a - Foto

download Seri Buku BRR - Buku a - Foto

of 313

description

FOTOSentuhan Muhibah Selepas MusibahBADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NAD–NIAS (BRR NAD–NIAS) 16 April 2005 - 16 April 2009Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62-651-636666 Fax. +62-651-637777 www.e-aceh-nias.org know.brr.go.idKantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +62-639-22848 Fax. +62-639-22035Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakart

Transcript of Seri Buku BRR - Buku a - Foto

FOTOSentuhan Muhibah Selepas Musibah

BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI NADNIAS (BRR NADNIAS) 16 April 2005 - 16 April 2009

Kantor Pusat Jl. Ir. Muhammad Thaher No. 20 Lueng Bata, Banda Aceh Indonesia, 23247 Telp. +62-651-636666 Fax. +62-651-637777 www.e-aceh-nias.org know.brr.go.id

Kantor Perwakilan Nias Jl. Pelud Binaka KM. 6,6 Ds. Fodo, Kec. Gunungsitoli Nias, Indonesia, 22815 Telp. +62-639-22848 Fax. +62-639-22035

Kantor Perwakilan Jakarta Jl. Galuh ll No. 4, Kabayoran Baru Jakarta Selatan Indonesia, 12110 Telp. +62-21-7254750 Fax. +62-21-7221570

Pengarah Penggagas Editor Editor Bahasa Penulis

: Kuntoro Mangkusubroto : Arif Ariadi : Cendrawati Suhartono (Koordinator) Margaret Agusta (Kepala) : Suhardi Soedjono : M Agus Susanto

Fotografi Desain Grafis

: Arif Ariadi Bodi Chandra : Bobby Haryanto (Kepala) Priscilla Astrini

Penyelaras Akhir : Ricky Sugiarto (Kepala) Maggy Horhoruw

Alih bahasa ke Inggris Editor Penerjemah : Margaret Agusta : Aichida Ul-Aflaha John Paterson Margaret Agusta

Penyusunan Seri Buku BRR ini didukung oleh Multi Donor Fund (MDF) melalui United Nations Development Programme (UNDP) Technical Assistance to BRR Project

ISBN 978-602-8199-44-5

Melalui Seri Buku BRR ini, Pemerintah beserta seluruh rakyat Indonesia dan BRR hendak menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam atas uluran tangan yang datang dari seluruh dunia sesaat setelah gempa bertsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 serta gempa yang melanda Kepulauan Nias pada 28 Maret 2005. Empat tahun berlalu, tanah yang dulu porakporanda kini ramai kembali seiring dengan bergolaknya ritme kehidupan masyarakat. Capaian ini merupakan buah komitmen yang teguh dari segenap masyarakat lokal serta komunitas nasional dan internasional yang menyatu dengan ketangguhan dan semangat para penyintas yang selamat meski telah kehilangan hampir segalanya. Berbagai dinamika dan tantangan yang dilalui dalam upaya keras membangun kembali permukiman, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur lain, seraya memberdayakan para penyintas untuk menyusun kembali masa depan dan mengembangkan penghidupan mereka, akan memberikan pemahaman penting terhadap proses pemulihan di Aceh dan Nias. Berdasarkan hal tersebut, melalui halamanhalaman yang ada di dalam buku ini, BRR ingin berbagi pengalaman dan hikmah-ajar yang telah diperoleh sebagai sebuah sumbangan kecil dalam mengembalikan budi baik dunia yang telah memberikan dukungan sangat berharga dalam membangun kembali Aceh dan Nias secara lebih baik dan lebih sentosa; sebagai catatan sejarah tentang sebuah perjalanan kemanusiaan yang menyatukan dunia.

Saya bangga, kita dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan pelajaran dengan negara-negara sahabat. Semoga apa yang telah kita lakukan dapat menjadi sebuah standar dan benchmark bagi upaya-upaya serupa, baik di dalam maupun di luar negeri.Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Upacara Pembubaran BRR di Istana Negara, 17 April 2009 tentang keberangkatan tim BRR untuk Konferensi Tsunami Global Lessons Learned di Markas Besar PBB di New York, 24 April 2009

Hampir seluruh bangunan di daerah pesisir Ulee-Lheue, Banda Aceh, rata tanah akibat gelombang tsunami yang melandanya, 14 Mei 2005. Tidak hanya hancur akibat bencana tsunami di penghujung 2004, sebelumnya Aceh sudah mengalami situasi sulit akibat bencana konflik bersenjata selama tiga dekade. Foto: BRR/Arif Ariadi

Daftar IsiPendahuluan Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami... Bagian 2. Kumandangan Satu Syair Bagian 3. Menantang Kemasygulan Bagian 4. Tak Semudah di Kertas Bagian 5. Tungku Pembelajaran Bagian 6. Kini Becermin Lampau Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia viii 1 43 55 81 213 221 245 275

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

viii

PendahuluanSELAMA tiga kali dua puluh empat jam, terhitung sejak 27 Desember 2004, SangSaka Merah Putih berkibar setengah tiang: bencana nasional dimaklumatkan. Aceh dan sekitarnya diguncang gempa bertsunami dahsyat. Seluruh Indonesia berkabung. Warga dunia tercengang, pilu. Tsunami menghantam bagian barat Indonesia dan menyebabkan kehilangan berupa jiwa dan sarana-prasarana dalam jumlah yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Bagi yang selamat (penyintas), rumah, kehidupan, dan masa depan mereka pun turut raib terseret ombak. Besaran 9,1 skala Richter menjadikan gempa tersebut sebagai salah satu yang terkuat sepanjang sejarah modern. Peristiwa alam itu terjadi akibat tumbukan dua lempeng tektonik di dasar laut yang sebelumnya telah jinak selama lebih dari seribu tahun. Namun, dengan adanya tambahan tekanan sebanyak 50 milimeter per tahun secara perlahan, dua lempeng tersebut akhirnya mengentakkan 1.600-an kilometer patahan dengan keras. Patahan itu dikenal sebagai patahan megathrust Sunda. t Episentrumnya terletak di 250 kilometer barat daya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Retakan yang terjadi, yakni berupa longsoran sepanjang 10 meter, telah melentingkan dasar laut dan kemudian mengambrukkannya. Ambrukan ini mendorong dan mengguncang kolom air ke atas dan ke bawah. Inilah yang mengakibatkan serangkaian ombak dahsyat.

Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam setelah gempa, tsunami langsung menyusul, menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan. Sebanyak 126.741 jiwa melayang dan, setelah tragedi tersebut, 93.285 orang dinyatakan hilang. Sekitar 500.000 orang kehilangan hunian, sementara 750.000-an orang mendadak berstatus tunakarya. Pada sektor privat, yang mengalami 78 persen dari keseluruhan kerusakan, 139.195 rumah hancur atau rusak parah, serta 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya. Sebanyak 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecil-menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan, serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah. Kerusakan dan kehilangan tak berhenti di situ. Pada 28 Maret 2005, gempa 8,7 skala Richter mengguncang Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara. Sebanyak 979 jiwa melayang dan 47.055 penyintas kehilangan hunian. Dekatnya episentrum gempa yang sebenarnya merupakan susulan dari gempa 26 Desember 2004 itu semakin meningkatkan derajat kerusakan bagi Kepulauan Nias dan Pulau Simeulue. Dunia semakin tercengang. Tangan-tangan dari segala penjuru dunia terulur untuk membantu operasi penyelamatan. Manusia dari pelbagai suku, agama, budaya, afiliasi politik, benua, pemerintahan, swasta, lembaga swadaya masyarakat, serta badan nasional dan internasional mengucurkan perhatian dan empati kemanusiaan yang luar biasa besar. Dari skala kerusakan yang diakibatkan kedua bencana tersebut, tampak bahwa sekadar membangun kembali permukiman, sekolah, rumah sakit, dan prasarana lainnya belumlah cukup. Program pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) harus mencakup pula upaya membangun kembali struktur sosial di Aceh dan Nias. Trauma kehilangan handai-taulan dan cara untuk menghidupi keluarga yang selamat mengandung arti bahwa program pemulihan yang ditempuh tidak boleh hanya berfokus pada aspek fisik, tapi juga nonfisik. Pembangunan ekonomi pun harus bisa menjadi fondasi bagi perkembangan dan pertumbuhan daerah pada masa depan. Pada 16 April 2005, Pemerintah Republik Indonesia, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005, mendirikan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara (BRR). BRR diamanahi tugas untuk mengoordinasi dan menjalankan program pemulihan Aceh-Nias yang dilandaskan pada

ix

Pendahuluan

partisipasi aktif masyarakat setempat. Dalam rangka membangun Aceh-Nias secara lebih baik dan lebih aman, BRR merancang kebijakan dan strategi dengan semangat transparansi, untuk kemudian mengimplementasikannya dengan pola kepemimpinan dan koordinasi efektif melalui kerja sama lokal dan internasional. Pemulihan Aceh-Nias telah memberikan tantangan bukan hanya bagi Pemerintah dan rakyat Indonesia, melainkan juga bagi masyarakat internasional. Kenyataan bahwa tantangan tersebut telah dihadapi secara baik tecermin dalam berbagai evaluasi terhadap program pemulihan. Pada awal 2009, Bank Dunia, di antara beberapa lembaga lain yang mengungkapkan hal serupa, menyatakan bahwa program tersebut merupakan kisah sukses yang belum pernah terjadi sebelumnya dan teladan bagi kerja sama internasional. Bank Dunia juga menyatakan bahwa kedua hasil tersebut dicapai berkat kepemimpinan efektif dari Pemerintah. Upaya pengelolaan yang ditempuh Indonesia, tak terkecuali dalam hal kebijakan dan mekanisme antikorupsi yang diterapkan BRR, telah menggugah kepercayaan para donor, baik individu maupun lembaga, serta komunitas internasional. Tanpa kerja sama masyarakat internasional, kondisi Aceh dan Nias yang porak-poranda itu mustahil berbalik menjadi lebih baik seperti saat ini. Guna mengabadikan capaian kerja kemanusiaan tersebut, BRR menyusun Seri Buku BRR. Kelimabelas buku yang terkandung di dalamnya memerikan proses, tantangan, kendala, solusi, keberhasilan, dan pelajaran yang dituai pada sepanjang pelaksanaan program pemulihan Aceh-Nias. Upaya menerbitkannya diikhtiarkan untuk menangkap dan melestarikan inti pengalaman yang ada serta mengajukan diri sebagai salah satu referensi bagi program penanganan alih-alih penanggulangan bencana di seluruh dunia. Salah satu upaya pengabadian itu ditempuh dengan cara mengompilasi citraan-citraan visual dwimatra dan kemudian menyajikannya sebagai sebuah esai foto Sentuhan Muhibah Selepas Musibah. Buku ini sekali-kali bukan sejenis kegenitan mematut-matutkan diri tentang idealisasi kesempurnaan. Sebaliknya, ini justru merupakan semacam muhibah visual tentang apa dan bagaimana pekerjaan pemulihan diselenggarakan hingga empat tahun durasinya. Melalui cerapan pengalaman indrawi pada gambar demi gambar yang disajikan, pemirsa diajak untuk merunuti kembali peristiwa alam terhebat dalam kurun seabad terakhir beserta penanganan pemulihannya.

Capaian 4 TahunRehabilitasi dan Rekonstruksi635.384orang kehilangan tempat tinggal

127.720orang meninggal dan 93.285 orang hilang

104.500 155.182usaha kecil menengah (UKM) lumpuh tenaga kerja dilatih

195.726UKM menerima bantuan

139.195 140.304rumah rusak atau hancur hektare lahan pertanian hancur guru meninggal kapal nelayan hancur sarana ibadah rusak kilometer jalan rusak sekolah rusak sarana kesehatan rusak bangunan pemerintah rusak jembatan rusak pelabuhan rusak bandara atau airstrip rusak rumah permanen dibangun hektare lahan pertanian direhabilitasi guru dilatih kapal nelayan dibangun atau dibagikan sarana ibadah dibangun atau diperbaiki kilometer jalan dibangun sekolah dibangun sarana kesehatan dibangun bangunan pemerintah dibangun jembatan dibangun pelabuhan dibangun bandara atau airstrip dibangun

73.869 69.979 1.927 39.663 13.828 7.109 1.089 3.781 2.618 3.696 3.415 1.759 517 1.115 669 996 119 363 22 23 8 13

Sebermula adalah Tsunami...... dan akhirnya, berangsur tersegel menjadi legenda itu sendiri.sekali ini saja tsunami Samudra Indonesia menikam ujung barat Sumatera, pun pada 1768, 1816, 1869, dan 1907. Geulumbang raya atau ie beuna (air bah) hasil picuan gempa 9,1 dan 9,3 skala Richterterhebat kedua yang pernah dicatat seismografitu telah merenggut 150.000-an nyawa. Ribuan lainnya mendadak berstatus tunawisma. Sedemikian kuat sentakan yang ditimbulkan, sampai-sampai periode rotasi bumi pada asnya bergerak lebih cepat 3 mikrodetik. As itu sekarang miring permanen sekitar 2,5 sentimeter! Kosakata verba yang paling banyak mengisi otak pada saat itu adalah menghantam, menggulung, memorakporandakan, mengguncang, menghanyutkan, mencabik-cabik, meremukkan, menghajar, meluluhlantakkan, mencincang, mengoyak-moyak, merenggut, merobohkan, menggerus, menerjang, dan... ...suami raib dari istri. Istri raib dari suami. Anak hilang bapak. Ibu hilang anak. Keluarga kehilangan rumah, tanah-ladang, perahu, toko, kendaraan, tambak, atau modal usaha. Masyarakat kehilangan sekolah, masjid, jalan, pelabuhan, pasar, dan jembatan. Hanya dalam hitungan detik, tumpah-ruah pemandangan terpampang kontras: dari berpunya, sekonyong-konyong tiada berpunya. Maka, manusia mana yang tak sujud pada kepiluan cobaan sedahsyat ini? Ya, sebermula adalah tsunami.

1

BUKAN

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

3

Air dan lumpur tsunami merangsek dan menggenangi hingga tengah Kota Banda Aceh, 26 Desember 2004. Foto: Serambi Indonesia/Bedu Saini

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

4

Halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, dibersihkan menggunakan alat-alat berat, 30 Desember 2004. Foto: Koleksi Mabes TNI

5

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

Seorang warga melintas di antara onggokan sampah tsunami, 4 Januari 2005. Kini hampir semua sampah tersebut telah didaur ulang di kawasan Banda Aceh dan sekitarnya. Foto: Koleksi Mabes TNI

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

6

Gajah terlatih dari Sekolah Gajah di Saree turut bekerja membantu membersihkan sampah tsunami, Banda Aceh, 4 Januari 2005. Foto: AFP/Philippe Desmazes

Warga terlibat langsung dalam program padat karya (cash for work) dari LSM atau lembaga donor seperti USAID untuk membersihkan lahan yang akan digunakan kembali di Lampuuk, 12 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

7

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

9

Warga mengangkuti barang dagangannya yang masih bisa diselamatkan, Banda Aceh, 29 Desember 2004. Foto: Donang Wahyu

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

10FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

11

Seorang bocah ditemani ayahnya saat mendapat perawatan di RS darurat di Blang Pageu, Banda Aceh, 7 Januari 2005. Foto: Yusnirsyah Sirin

Seorang penyintas dalam masa perawatan di RS Kesdam, Banda Aceh, 1 Januari 2005. Foto: Donang Wahyu

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

13

Permukiman beserta prasarana jalan yang hancur di Lamno, Aceh Jaya, 12 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

14

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Seorang warga berusaha mencari tahu keberadaan sanak-familinya melalui papan informasi di kantor sebuah LSM di Banda Aceh, 8 Januari 2005. Foto: AFP/Choo Youn-Kong

15

Grafiti di dinding rumah yang hancur oleh tsunami. Foto: Dokumentasi Mabes TNI

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

16

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Onggokan sampah yang menggunung oleh tsunami di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, 28 Desember 2004. Foto: M. Ilham Anas

17

Zaini sesenggukan di atas rumahnya di Lhok Nga, Aceh Besar, yang hanya tersisa lantai, seusai menunaikan salat Idul Qurban, 21 Januari 2005. Foto: Edy Purnomo

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

18FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

19

Ruas jalan di Meulaboh yang porak-poranda akibat gempa, 4 Januari 2005. Foto: AFP

Seorang bapak dan anaknya yang selamat dari tsunami duduk di tepi jalan sentra perdagangan Peunayong, Banda Aceh, 31 Desember 2004. Foto: Imam Sukamto

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

20

Kapal induk USS Abraham Lincoln (CVN 72) dan rumah sakit apung USNS Mercy (T-AH 19) berperan penting dalam upaya penyelamatan penyintas tsunami di Aceh, 3 Februari 2005. Foto: AFP/US Navy/Gabriel R. Piper

Sejumlah paramedis militer asing mengevakuasi seorang penyintas di Banda Aceh untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut, 7 Januari 2005. Foto: AFP/Bay Ismoyo

Sekelompok warga menanti kedatangan hovercraft militer Jepang yang sedianya mendistribusikan logistik dan obat-obatan di pesisir pantai Aceh Besar, 27 Januari 2005. Foto: AFP/Adek Berry

21

Pilot militer helikopter Seahawk milik AS membawa penyintas anak-anak untuk mendapat perawatan lanjutan di RS Kesdam, Banda Aceh, 6 Januari 2005. Foto: AFP/Philippe Desmazes

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

22FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

23Prajurit TNI-AU menjatuhkan bantuan logistik dari helikopter di Lamno, Aceh Jaya, 13 April 2005. Foto: Jefri Aries

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

Sejumlah anggota militer dari berbagai negara bahu-membahu mendistribusikan bantuan ke berbagai wilayah landaan tsunami di Aceh, 3 Januari 2005. Foto: AFP/US Navy/HO/Jordon R. Beesley

24Warga setempat sedang antre minyak tanah, Banda Aceh, 29 Desember 2004. Foto: Donang Wahyu

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Para anggota militer dari Amerika Serikat dan Australia saling imbal dalam mendistribusikan bantuan di Banda Aceh, 14 Januari 2005. Foto: AFP/Jewel Samad

25

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

27

Rumah sakit darurat melayani para penyintas yang terluka, 19 Januari 2005. Foto: Edy Purnomo

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Ratusan perempuan tumpah-ruah melakukan padat karya membersihkan lahan produktif yang akan segera difungsikan kembali, 20 Agustus 2005. Kegiatan ini didukung penuh oleh IFRC. Foto: BRR/Arif Ariadi

28

Kegiatan padat karya pembersihan lahan di Krueng Raya, Aceh Besar, ini mendapat dukungan dari USAID, 8 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

29

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Relawan membersihkan jalanan di Banda Aceh yang sebelumnya dipenuhi puing-puing tsunami, 18 Januari 2005. Foto: AFP/Jewel Samad

30

Kegiatan pembersihan lahan di sekitar area terdamparnya PLTD Apung, Punge Blang Cut, Banda Aceh, 23 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Krueng (Sungai) Aceh di Banda Aceh pun tak luput dari kegiatan pembersihan melalui mekanisme padat karya, 1 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

31

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

32Petugas PMI mendata barang bantuan yang akan dikirim ke Aceh, Jakarta, 4 Januari 2005. Foto: AFP/Arif Ariadi

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Karyawan Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) mengumpulkan donasi untuk Aceh, 3 Januari 2005. Foto: AFP/Adek Berry

33

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

35

Warga Calang, Aceh Jaya, memilih-milih pakaian layak pakai hasil donasi masyarakat dari segenap penjuru dunia, 1 Februari 2005. Foto: AFP/Adek Berry

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

36FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Dua bocah pengungsi memilih pakaian layak pakai yang telah disumbangkan, Banda Aceh, 3 Januari 2005. Foto: Edy Purnomo Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

37Petugas mengumpulkan barang bantuan di Landasan Udara Medan, 30 Desember 2004. Foto: Donang Wahyu

Barang bantuan dikumpulkan di salah satu hanggar di Landasan Udara Medan, 7 Januari 2005. Foto: Imam Sukamto

Warga Jakarta, 2 Januari 2005, secara spontan mengumpulkan uang sebagai wujud simpati bagi para saudara Acehnya yang sedang dirundung duka. Foto: AFP/Arif Ariadi

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab mengunjungi RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh. Foto: Dokumentasi Alwi Shihab

38

Prajurit TNI mengevakuasi jenazah yang masih terlewatkan di bawah puing-puing tsunami di Banda Aceh, 9 Januari 2005. Foto: Dok. Puspen TNI/Ali Reza

Prajurit TNI mengevakuasi jenazah di tengah Kota Banda Aceh. 9 Januari 2005. Foto: Dok. Puspen TNI/Ali Reza

39

Wakil Presiden Jusuf Kalla (kiri) tekun menyimak penjelasan tentang area landaan tsunami oleh Menteri Dalam Negeri M. Maruf dan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, 28 Desember 2004. Foto: Antara/Ali Anwar

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

40FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

41Sekjen PBB Kofi Annan menjabat tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Peristiwa ini terjadi pada Pertemuan Khusus Para Pemimpin ASEAN mengenai Penanganan Pascagempa dan Tsunami, Balai Sidang Jakarta, 6 Januari 2005. Foto: AFP/UN/Evan Schneider

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua dari kanan) dan Sekjen PBB Kofi Annan (kiri) tengah bertukar pikiran pada Pertemuan Khusus Para Pemimpin ASEAN mengenai Penanganan Pascagempa dan Tsunami, Balai Sidang Jakarta, 6 Januari 2005. Foto: AFP/Inoong

Bagian 1. Sebermula adalah Tsunami

Kumandangan Satu SyairDI

43

tengah kepiluan dan simpati yang mewabah, Pemerintah Indonesia yang baru seusia jagung bergerak dengan sigap. Bencana nasional langsung dimaklumatkan. Manusia dari mana pun yang telah tumpah-ruah di sana, termasuk bantuan dan dukungannya, dikoordinasi. Segenap mata dan silang-simpati sedunia tercurah ke episentrumnya: Aceh. Ribuan orang antre untuk menjadi relawan. Para pekerja kemanusiaan yang terpilih, tiada mengenal lelah, bekerja siang-malam. Jutaan meter kubik barang bantuan memenuhi gudang-gudang penampungan. Helikopter meraung-raung mengangkuti dan menjatuhkannya. Perahu dan kapal laut, bahkan kapal induk, menyorongkan logistik dari bibir pantai yang baru saja meradangkan trauma. Yang sudah wafat disemayamkan. Yang masih hidup diselamatkan. Sampah dan lumpur asin yang menggenang dikeruk-ratakan. Onggokan yang menggunung dibersihkan. Jajaran tenda dan barak dibangun. Trauma dipulihkan. Hilangnya sumber penghidupan ditalangi dengan pekerjaan padat karya. Sungguh, oleh tsunami, dengan serta-merta, pintu Aceh, yang selama berpuluh-puluh tahun terkunci oleh gembok konflik, jebol sudah. Para warga dunia yang bertaruh waktu dan tenaga saat itu bekerja dengan mengumandangkan gendewa dan syair yang sama: kemanusiaan.

Bagian 2. Kumandangan Satu Syair

44

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sejumlah warga mengungsi ke kawasan perbukitan Saree, Aceh Besar, yang dianggap aman karena tak tersentuh tsunami, 2 Januari 2005. Foto: Imam Sukamto

46

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Tenda pengungsian di kawasan Lampaseh Kota, Banda Aceh, 20 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Keluarga pengungsi di tenda-tenda penampungan Lampaseh Kota, Banda Aceh, 9 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Bagian 2. Kumandangan Satu Syair Keluarga pengungsi di kawasan Leupung, Aceh Besar, 27 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

47

Bermain genangan air laut pasang di halaman tenda pengungsian di Desa Lamseuniya, Leupung, Aceh Besar, 29 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Warga tetap berjualan walau tinggal di tenda pengungsian, Leupung, Aceh Besar, 27 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

48

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Seorang bocah yang tinggal di tenda pengungsian Krueng Raya, Aceh Besar, bersiap-siap berangkat ke sekolah, 21 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Seorang bocah yang tinggal di tenda pengungsian Krueng Raya, Aceh Besar, sarapan disuapi ibunya sebelum berangkat ke sekolah, 21 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

49

Seorang siswi sekolah dasar berpose di depan tenda pengungsiannya di Krueng Raya, Aceh Besar, sebelum berangkat ke sekolah, 21 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Menyelesaikan pekerjaan rumah bersama ibu di lokasi tenda pengungsian Krueng Raya, Aceh Besar, 21 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Kumandangan Satu Syair

50FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Seorang penghuni barak sedang membersihkan halaman belakang baraknya di Lhoong, Aceh Besar, 31 Januari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

51

Warga memunguti peralatan dapur di hunian sementara Krueng Raya, Aceh Besar, yang atapnya rusak terempas angin kencang, 8 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Sekelompok bocah bermain di sepetak tanah lapang di depan barak Neuheun, Aceh Besar, 1 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 2. Kumandangan Satu Syair

52

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sejumlah warga penyintas turut memeriahkan peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-60 di pelataran kompleks barak Lhok Nga, Aceh Besar, 17 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Menantang Kemasygulanselisih dua hari setelah akhir fase tanggap darurat diketok, tak jauh dari Aceh, tatkala jarum kalender menunjuk 28 Maret 2005, tragedi lain menyusul. Kepulauan Nias dan sekitarnya diguncang gempa. Meski tanpa tsunami, tak kurang dari 900 jiwa melayang, 6.000 orang terluka, dan 40.000 lainnya kehilangan tempat tinggal. Duhai, belum lunas luka di satu tangan, tangan yang lain tergores pula. Belum lagi di Aceh, luka akibat konflik masih melebam. Ini tantangan tersendiri bagi Pemerintah dan masyarakat setempat: apakah aspek itu akan memengaruhi orang yang akan membantunya dari luka tsunami? Di lapangan, pertanyaan besar itu terjawab: bisa! Satu aspek sudah teratasi. Aspek lain yang masih menjadi pertanyaan juga: apakah Indonesia, yang masuk daftar negara korup, cukup berintegritas dalam mengelola triliunan bantuan amanah masyarakat dunia itu? Belum lagi menjawab isu tentang pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. Satu yang mengemuka: bagaimana kiat Indonesia untuk menjaga hutan Aceh agar kayunya tidak habis-habisan dimanfaatkan untuk pemulihan pascatsunami? Semua tantangan itu antre menunggu dijawab. Bukan hanya dijawab, melainkan dibuktikan dengan tindakan. Pada tarik-ulur antara kutub keinginan untuk sungguh-sungguh bekerja dan kutub kemasygulan pihak luar itulah Indonesia seperti dihadapkan pada tembok tantangan. Tapi tak ada lagi waktu untuk meladeni dengan kata-kata. Kini saatnya untuk meladeni dengan tindakan yang membuktikan. Dengan kata lain, tantangan itu dijawab dengan kerja!

55

HANYA

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

57

Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, seminggu pascagempa, 5 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

58FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Ekskavator membersihkan puing-puing gempa di Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 6 Mei 2005. Foto: Dokumentasi BRR

59

Para warga membersihkan puing-puing rumah akibat gempa di Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 Mei 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Rumah yang hancur akibat gempa di Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 Mei 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

60

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Rumah yang rusak dan ditinggalkan penghuninya di salah satu sudut Kepulauan Nias, 20 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Para warga Desa Idanoi, Kecamatan Gid, Kabupaten Nias, memanfaatkan air sungai yang meluap di sekitar tempat tinggal mereka untuk mandi, mencuci, atau bermain, 21 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

62

Seorang relawan pengajar mempersiapkan bahan ajar untuk para murid yang mendapat tambahan pelajaran di rumahnya, Desa Hilimbosi, Kecamatan Sitolu Ori, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

63

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Sungai Idano Gawo di Kecamatan Idano Gawo, Kabupaten Nias, sangat penting bagi kehidupan sehari-hari, terutama mencuci, 22 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

64

Kakak-adik ini bercengkerama di depan rumah mereka di pinggiran Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 13 Desember 2005. Foto: BRR/Bodi CH

65

Sebuah hunian sementara di Desa Olora, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

66

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Prajurit TNI merazia setiap warga dalam operasi militer terkait status darurat sipil di Aceh pascabencana, 20 Februari 2005. Foto: AFP/Bay Ismoyo

67

Masyarakat mengajukan tuntutan agar Aceh tetap damai dalam sebuah pawai di Banda Aceh, 7 Agustus 2005. Foto: AFP/Muhammad Marwan

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

69

Penghancuran senjata milik GAM dipusatkan di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, 15 September 2005, sebagai konsekuensi dari penandatanganan MoU Helsinki. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

70FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Area hutan yang masih perawan di kaki Gunung Leuser, Aceh Tengah, 21 Oktober 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

71

Pembukaan hutan untuk lahan perkebunan di Kabupaten Aceh Tengah. Gambar diambil pada 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

72

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Penggalian pasir marak dilakukan di Krueng Sabee, Teunom, Kabupaten Aceh Jaya. Gambar diambil pada 3 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

73

Kayu-kayu gelondongan yang ditinggalkan pemiliknya di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 3 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kayu gelondongan yang sudah dimuat di dalam truk, setelah diketahui akan dirazia, ditinggalkan pemiliknya di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, 3 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

74FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Banjir menggenangi Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, 24 Desember 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Banjir bandang terjadi di Seruway, Kabupaten Aceh Tamiang, 24 Desember 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

75

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

Kayu gelondongan terbawa arus banjir bandang di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, 22 Oktober 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

76

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kayu-kayu bantuan dari luar negeri untuk pembangunan perumahan pascatsunami dari kapal laut diturunkan di Calang, Kabupaten Aceh Jaya, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

77

Kayu impor dari Selandia Baru yang diperuntukkan bagi pembangunan perumahan di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, 2 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 3. Menantang Kemasygulan

78

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Penanaman kembali mangrove di pesisir pantai Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 30 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Tak Semudah di Kertasbahwa akhirnya pemulihan pascagempa Nias dijadikan sepaket dengan pemulihan pascatsunami Aceh. Sebagai koordinatornya, Pemerintah membentuk BRR NAD-Nias, atau lazim disingkat BRR, pada 16 April 2005. Wacana yang segera menyeruak kemudian adalah bukan lagi membersihkan, melainkan membangun kembali. Satu tekadnya, aspek kewilayahan dan kehidupan yang rumpak-rumpil bukan hanya disatukan kembali, melainkan dibikin menjadi lebih baik ketimbang semula. Building back better! Itulah yang mendasari Pemerintah untuk menempatkan pekerjaan rekonstruksi pascatsunami dalam satu rel dengan pekerjaan reintegrasi pascakonflik. Terlebih-lebih, reintegrasi ibarat baru saja terisi tabung amunisinya, yakni oleh penandatanganan MoU damai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005sebuah gencatan senjata abadi yang telah dinanti-nanti berbilang tahun. Kali pertama kaki-kaki awak BRR menjejak medan yang sebenarnya, mata dan otak mereka tergegar cukup lama. Tak perlulah dikatakan lagi betapa masifnya kerusakan. Yang pasti, mereka baru tahu bahwa membangun sisa-sisa kehancuran, yang semula begitu cepat dipetakan di atas kertas kerja, ternyata tak semudah itu. Tanpa buang-buang waktu, para mitra pemulihan, yang telah dan akan eksis, digalang; pun dengan pemerintah daerah yang telah kehilangan banyak putra-putri terbaiknya. Kepada masyarakat, peran mereka dipancangkan sebagai ujung tombak keberhasilan ke depan. Hal itulah yang kelak melandasi kebijakan beberapa bulan berselang untuk menerapkan pendekatan desentralisasi ketimbang sentralisasi. Bukankah BRR lahir dari, oleh, dan untuk mereka?

81

DIPUTUSKANLAH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

82

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Pelantikan awak ketiga organ BRR oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, 30 April 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

84

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Segera setelah diambil sumpahnya sebagai Kabapel BRR oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kuntoro memimpin rombongan pertama BRR bertolak ke Aceh. Kuntoro Mangkusubroto, beserta istri dan rombongan, menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, pada Selasa, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

85

Kabapel BRR berkunjung ke salah seorang penyintas tsunami di Lampaseh Kota, Banda Aceh, 3 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

86FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

87

Kabapel BRR beserta karyawan BRR memperingati komemorasi setengah tahun tsunami di depan Masjid Ulee Lheue, Banda Aceh, 26 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

89

Pelepasan burung merpati, sebagai simbol dimulainya pekerjaan pemulihan Aceh-Nias, diselenggarakan di Banda Aceh, 6 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

90

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Properti privat yang tersisa dari bencana, 2 September 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Warga yang selamat membangun kembali rumahnya di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, 29 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

91

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

92FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

93

Jeriken-jeriken dipersiapkan untuk menampung air bersih di halaman barak Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 13 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Seorang ibu menidurkan anaknya di barak Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 26 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

94FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Hunian sementara bagi pengungsi dari barak dibangun oleh IFRC di Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

95

Perumahan relokasi pertama oleh LSM yang dibangun di Blangpidie, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Permukiman hunian sementara dibangun di Desa Olora, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

96FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

97

Keseharian warga yang tinggal di hunian sementara Kepulauan Nias, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Salah satu hunian sementara yang dibangun di Kepulauan Nias, 25 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

98FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Keluarga penghuni hunian sementara Desa Olora, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 1 Februari 2007. Foto: BRR/Bodi CH Bagian 4. Tak Semudah di Kertas Satu kamar hunian sementara Desa Olora, Kecamatan Gunungsitoli, Kabupaten Nias, terkadang harus ditempati satu keluarga besar, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

99

100

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Diskusi warga dalam sebuah rembuk desa diselenggarakan di Kabupaten Nagan Raya, 31 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

101

Kaum perempuan tak diabaikan suaranya dalam sebuah rapat gampong di Merduati, Banda Aceh, 13 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

103

Peta desa yang telah disepakati warga Lamjabat, Banda Aceh, 14 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

104FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Pertapakan rumah relokasi yang akan dibangun di Panga, Kabupaten Aceh Jaya, 2 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

105Pertapakan rumah yang akan dibangun kembali di Keudah, Banda Aceh, 3 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

107

Pembangunan rumah peruntukan bagi penyintas di Aceh, 23 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

108FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

109

Traktor mainan di kompleks perumahan relokasi di Ujung Batee, Kabupaten Aceh Besar, 13 Desember 2005.

Permukiman Persahabatan Indonesia-Cina di Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 30 Maret 2007, ini diperuntukkan sebagai perumahan relokasi penyintas yang sebelum tsunami berstatus penyewa. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

111

Deretan kunci rumah yang siap diserahterimakan kepada para penerima manfaat bantuan rumah di Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, 20 Juni 2007. Foto: Ricky Sugiarto

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

112FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

113Seorang perempuan penerima manfaat memamerkan kunci rumah bantuan yang telah siap untuk dihuni Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kunci beserta lembaran surat pernyataan kepemilikan rumah bagi para penerima manfaat bantuan perumahan di Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

114

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Abdullah dan istrinya, penerima manfaat bantuan rumah di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, 11 Januari 2007, adalah salah satu pemilik sertifikat Joint Land Titling (JLT). Foto: BRR/Arif Ariadi

115

Nasir, seorang yatim-piatu menunjukkan sertifikat tanah berikut dengan berlatar belakang rumahnya di Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, 14 Desember 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

117

Bapak-anak di Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007 ini, sedang membersihkan rumah bantuan yang baru mereka terima. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

118

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Rumah-rumah baru di perbukitan Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 11 September 2007, ini bergegas dihuni oleh para penerima manfaatnya. Foto: BRR/Arif Ariadi

Keseharian warga penerima manfaat rumah baru bantuan Buddha Tzu Chi di Neuhuen, Kabupaten Aceh Besar, 30 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

119

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

120

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Rumah yang sudah terbangun dengan berlatar belakang sebuah bukit di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, 2 Maret 2006, tampak dari kejauhan. Foto: BRR/Arif Ariadi

122

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kehangatan sebuah keluarga penghuni rumah baru tampak di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, 25 Februari 2007. Foto: BRR/Oni Imelva

123

Fatimah beserta kedua anaknya berpose di depan pintu rumah barunya di Kabupaten Aceh Besar, 25 Januari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

125

Lanskap ini dulunya adalah segunduk bukit yang terpikir untuk ditinggali pun tidak. Tapi kini, 3 April 2009, bukit itu kini telah disulap menjadi Kota Baru Beuramoe, Kabupaten Aceh Besar. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

126

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Jalan darurat di pesisir Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, 29 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

127

Genangan air tak jarang masih menggenangi ruas Jalan Tuhemberua, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Pengukuran yang dilakukan pada 14 Desember 2005, merupakan tahap permulaan pembangunan jalan ruas Banda Aceh-Calang. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

128FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

129

Ruas jalan di Blang Pidie, Kabupaten Nagan Raya, 7 Maret 2008, sedang dalam fase pembangunan. Foto: BRR/Arif Ariadi

Ruas jalan baru Teunom, Kabupaten Aceh Jaya, 7 Juni 2006, ini merupakan bagian dari jalan Calang-Meulaboh yang pembangunannya didanai JICS. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

131

Salah satu tikungan di ruas jalan Banda Aceh-Calang, 12 Juni 2008, telah rampung dibangun USAID. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

132

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Jembatan kayu di kawasan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 5 November 2006, ini adalah jalan darurat yang disediakan sembari menunggu jalan permanen jadi. Foto: BRR/Arif Ariadi

133

Akibat gempa 28 Maret 2005, sisi penopang sebuah jembatan di Mandrehe, Kabupaten Nias, ini tergerus. Foto diambil pada 20 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

Pekerjaan pemeliharaan jembatan di Leupung, Kabupaten Aceh Jaya, 4 Agustus 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

134FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

135

Sebuah jembatan permanen di Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, 4 Maret 2008, ini dibangun dengan bantuan USAID. Foto: BRR/Arif Ariadi Jembatan kayu di Kecamatan Tuhemberua, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 13 November 2007, ini merupakan jembatan darurat. Foto: BRR/Bodi CH Sebuah jembatan darurat di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, tampak dari udara, 29 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

136

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Jembatan di Lamjabat, Ulee Lheue, Banda Aceh, 13 Juli 2008, adalah salah satu bukti keberhasilan pemulihan pascatsunami pada sektor infrastuktur. Foto: BRR/Arif Ariadi

137

Ruas jalan provinsi di Tuhemberua, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 Februari 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

138

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Gempa 28 Maret 2005 telah membuat sebuah Dermaga Sirombu di Kecamatan Sirombu, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, ini rusak parah, 12 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

139

Tsunami telah pula mendangkalkan sebuah dermaga di Aceh Singkil, 22 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

140

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Berkat bantuan Pemerintah Singapura, Pelabuhan Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, kini telah dapat difungsikan kembali. Gambar diambil pada 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Panorama Pelabuhan Feri Gunungsitoli, Kabupaten Nias, setelah direkonstruksi, 15 November 2008. Foto: BRR/Bodi CH

141

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

143

Landasan pacu bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, ini sedang dalam fase pengerjaan pemanjangan, 23 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

144

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Instalasi jaringan listrik tegangan menengah sedang dipasang untuk memenuhi kebutuhan penerangan di Permukiman Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, 4 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi Sebuah pembangkit listrik tenaga surya dipasang untuk menerangi jalan di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, 28 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Jalur instalasi listrik di Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, 5 Juli 2007, yang terlihat berderet rapi, menandakan bahwa kawasan tersebut telah dilengkapi dengan prasarana listrik. Foto: BRR/Arif Ariadi

145

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

146

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Beton heksagonal pemecah ombak dipasang di sepanjang garis pantai di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Proyek pengurukan untuk kepentingan jalur tanggul pantai sedang dikerjakan di Banda Aceh, 17 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

147

Beton berjenjang sebagi penahan ombak di Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 28 Februari 2008, tampak telah terpasang rapi dan kokoh. Foto: BRR/Bodi CH

Pelabuhan Aceh Singkil, 9 Maret 2008, dermaganya juga dilengkapi parasarana tanggul pemecah ombak. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

149

Kawasan permukiman warga di kawasan sekitar pasar Yaahowu, Kabupaten Nias, 14 November 2007, juga dilengkapi dengan prasarana tanggul pemecah ombak. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

150Sentra pembuatan boat nelayan di Kabupaten Bireuen, 25 Maret 2006, sedang kejatuhan rezeki untuk menyelesaikan pesanan dari segenap penjuru Aceh. Foto: BRR/Arif Ariadi

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Aktivitas salah seorang perajin boat nelayan di Kabupaten Bireuen, 25 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

151

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

152

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Menjemur gurita hasil tangkapan di laut Lhok Seudue, Kabupaten Aceh Besar, 4 November 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Menyiapkan jaring yang akan digunakan untuk melaut, Alue Naga, Banda Aceh, 16 Juli 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Ikan hasil tangkapan nelayan di Lampulo, Banda Aceh, 6 September 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

153

Lanskap pesisir Kabupaten Aceh Singkil, 21 Desember 2008, tampak menawan pada senjakala. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

154

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Pasar Ikan Lampulo, Banda Aceh, 25 Juli 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pelelangan ikan di Lampulo, Banda Aceh, 2 November 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

155

Seorang tauke ikan mencatat berat ikan asin yang akan dijual, Krueng Raya, 1 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

156FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

157

Lahan tambak di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, yang sedang direhabilitasi, 22 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Lahan tambak di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, setelah direhabilitasi, 14 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Lahan tambak di Sigli, Pidie, setelah direhabilitasi, 10 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Penjemuran ikan laut di Sigli, Pidie, 26 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

158

Tambak yang sudah beroperasi setelah dicetak kembali, Bireuen, 9 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kolam pembesaran bibit ikan di tambak Matang Lada, Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, 26 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Bagian 4. Tak Semudah di Kertas Seorang petani tambak di Bireuen sedang memamerkan ikan bandeng hasil budi dayanya, 25 Oktober 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

159

Bagan bantuan LSM untuk membesarkan benih ikan kerapu di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 5 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Melepas induk udang di lokasi tambak yang telah direhabilitasi, Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 14 Februari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

160FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

161

Bibit ikan kerapu untuk peneneran di Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara, 26 Oktober 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Udang laut hasil nelayan di sekitar pesisir pantai Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

162

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Bordir merupakan salah kerajinan tangan unggulan di Krueng Sabee, Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kerajinan tangan bordir pakaian hasil pelatihan oleh LSM di Banda Aceh, 9 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

163

Kegiatan perajutan tenun songket hasil dari pelatihan di Desa Siem, Darussalam, Kabupaten Aceh Besar, 24 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Kopiah dengan bordir khas Gayo dipajang di sebuah etalase toko, Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, 15 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Usaha menjahit pakaian di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, kini bergeliat kembali, terutama setelah mendapat kucuran modal usaha berupa mesin jahit, 19 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

164

165

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

166FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Rencong sebagai cendera mata sedang ditempa oleh pandai besi terlatih, 9 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

167

Kerajinan tas bordir bermotif khas Aceh di sentra kerajinan Samahani, Kabupaten Aceh Besar, kini semakin dikenal, 30 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

semakin dilirik berbagai kalangan sebagai usaha alternatif, 9 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

169

Sawah di Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, 26 Oktober 2008, tampak sudah siap panen. Komoditas padi sawah atau padi ladang menjadi subsektor utama pertanian yang banyak menyerap tenaga kerja. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

170FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

171

Tanaman padi di lahan hasil rehabilitasi di Naga Umbang, Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, siap dipanen perdana pascatsunami, 30 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi Panen padi perdana pascatsunami di Naga Umbang, Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, 30 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi Tampak dari ketinggian, sawah-sawah di Sigli laksana hamparan beludru hijau, 6 Juli 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Kacang tanah di Pidie Jaya tengah memasuki masa panen, 25 Oktober 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

172

Ladang cabai hasil binaan sebuah LSM di Desa Rumpiet, Lamno, Kabupaten Aceh Jaya, 14 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Ladang jagung di perbukitan Leuser, Blangkejeren, 13 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

173

Panen raya jagung berlangsung pada 22 Desember 2008 di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

174

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Panen kelapa sawit di Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, 7 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

175

Merawat tanaman kakao hasil bantuan di Pidie. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

176

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kelompok usaha budi daya lebah madu hasil binaan LSM di Gampong Meunasah Rayeuk, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, 1 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi Kelompok usaha tani jamur hasil binaan sebuah LSM di Gampong Meunasah Rayeuk, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, 1 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi Para perempuan pada sebuah kelompok usaha tani di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, sedang memilih biji kopi, 15 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

177

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

178

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Toko hasil binaan Usaha Kecil Menengah (UKM) di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, 7 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kedai penerima bantuan kredit usaha dari program UKM di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, 7 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

179

Pedagang di pasar Kota Calang, Kabupaten Aceh Jaya, 19 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pasar sementara di Pasar Keudah, Banda Aceh, 8 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

180FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Usaha makanan khas dari para penerima bantuan kredit usaha, 31 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

181

Pedagang kelontong di pasar sementara Kota Calang, ibu kota Aceh Jaya, 19 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pedagang rujak dan buah di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 21 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

182FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Kegiatan belajar-mengajar sedang berlangsung di gedung sekolah yang rusak, 31 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH

183Kegiatan belajar-mengajar di sekolah darurat, 3 Maret 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Sebuah sekolah dengan fasilitas yang minim, 3 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Sekolah darurat di Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 18 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi Sekolah darurat di Kabupaten Nias, 21 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Anak-anak melintas di sebuah jembatan di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, 24 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

184

Membaca buku dari perpustakaan keliling yang disediakan sebuah LSM, Banda Aceh, 23 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Belajar-mengajar dilangsungkan di halaman gedung sekolah yang sedang dibangun kembali, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 21 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

185

Perpustakaan sekolah di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 23 Februari 2007. Foto: Oni Imelva

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

186

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Bermain di halaman sekolah semipermanen di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 21 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

187

Kegiatan belajar-mengajar di sekolah yang telah selesai dibangun kembali, 25 Juli 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

188FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

189

Sekolah unggulan bilingual dengan fasilitas lengkap bantuan negara donor, Banda Aceh, 29 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Kegiatan laboratorium bahasa di Dayah Malikussaleh, Kabupaten Aceh Utara, 26 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Para siswa SDN 074056 Dahana Humene, Kabupaten Nias, bersemangat mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah baru yang merupakan bantuan UNICEF, November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

190FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

191

Murid-murid sekolah dasar di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, bersukacita pada saat merasakan upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI ke-62 di halaman sekolah mereka, 17 Agustus 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

192FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

193

Pasien di ruang rawat inap RSU Gunungsitoli sebelum direkonstruksi, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 23 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Kelompok difabel yang mengikuti pelatihan pembuatan kaki prostetik di Solo, Jawa Tengah, sedang berkunjung ke Kantor Pusat BRR, Banda Aceh, 31 Januari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Seorang penderita difabel sedang berlatih berjalan dengan menggunakan kaki prostetik bantuan sebuah LSM, Banda Aceh, 24 Mei 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

194

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Bangunan megah Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan yang telah diserahkan kepada Kementrian Negara/Lembaga terkait, 22 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Rumah Sakit Gunungsitoli setelah direkonstruksi, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

195

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

196

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sarana pelayanan kesehatan di Puskesmas Calang, Kabupaten Aceh Jaya, 5 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

197

Sarana pelayanan kesehatan di RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh, 2 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

199

Seorang warga sedang berkonsultasi tentang rumah yang akan dibangun IFRC untuknya, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, 13 Juli 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

200

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Pertemuan warga untuk menjaring aspirasi di Genting Timur, Sigli, Pidie, 28 September 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi Pelatihan mekanisme pelibatan perempuan dalam implementasi cetak biru pembangunan Aceh, Banda Aceh, 6 Januari 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

201

Pelatihan pemberdayaan perempuan mengenai pola hidup sehat, Banda Aceh, 9 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Diskusi peran perempuan di Kantor Pusat BRR, Banda Aceh, 22 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

202

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Salat sunah berjemaah di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, dilangsungkan sebagai wujud syukur atas ditandatanganinya MoU Helsinki, 15 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bangunan masjid di Rumah Sakit Kota Sinabang, Kepulauan Simeulue, 2 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

203

Terminal luar kota yang baru selesai dibangun, Kota Lhokseumawe, 28 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Masjid Ulee Lheue, Banda Aceh, sedang direhabilitasi, 1 Oktober 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

205

Kegiatan sebuah dayah di Kota Lhokseumawe, 29 November 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

206FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

207

Kesederhanaan masyarakat di imbasan bencana di perbukitan Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, 18 Juni 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Keceriaan warga dalam sebuah pesta rakyat di Desa Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, 17 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Rumah yang masih rusak akibat gempa di Bireuen, 16 Juni 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

208

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Tarian Rapai Geleng di sebuah pementasan di Banda Aceh, 24 Februari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Ismail Sarong, seniman tradisi Aceh, mempertunjukkan kebolehannya meniup serunai kalee dalam sebuah perhelatan di Jakarta, 23 Februari 2006. Foto: BRR/Bodi CH

209

Tradisi lompat batu, Nias, 28 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Tarian perang dalam pesta rakyat di Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 28 Maret 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

210

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kostum penari perang adat rakyat Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, 31 Januari 2007. Foto: BRR/Bodi CH

211

Ranup Lampuan ditampilkan sebagai tari sambutan atau selamat datang, 11 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 4. Tak Semudah di Kertas

Tungku Pembelajaran(pra)sarana terbangun, secara simultan, program pemulihan juga telah mempersiapkan manusia-manusia pemeliharanya. Dukungan pemulihan telah diberikan demi menggugah dan memperkuat kemampuan mereka agar (pra)sarana yang ada termanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dasar-dasar yang kokoh untuk meningkatkan mutu hidup dan integritas diletakkan. Alhasil, kemandirian dan kesiapan dalam melanjutkan pembangunan-kembali kian termantapkan. Pengetahuan tradisional beserta sumber daya manusia (SDM) dan tata kelolanya, tak sedikit yang terenggut gempa, tsunami, bahkan konflik. Pekerjaan raksasa bernama pemulihan Aceh-Nias, secara tak langsung, adalah juga merupakan pekerjaan mempercepat pengembalian sumberdaya yang hilang itu. Sumberdaya tersebut, terlebih yang nonfisik, kendati mustahil kembali seperti sediakala, raihan capaiannya amat membanggakan. Putra-putri terbaik direkrut dan digladi, baik melalui kawah instansi pemerintah, swasta, maupun lembaga-lembaga nasional atau internasional. Berkatnya, kekhawatiran akan hilangnya SDM yang signifikan jumlahnya itu kini tak lagi beralasan. Sebaliknya, mereka justru dimatangkan oleh keadaan. Pengetahuan dan kelembagaan tradisional, yang sebelumnya menjadi penyangga bagi berlangsungnya aspek kehidupan masyarakat, semakin terkuatkan barisannya. Pemulihan Aceh-Nias, kalau boleh diibaratkan, adalah semacam tungku pelatihan dan pembelajaran tempat segala kecakapan dimagangkan alih-alih dimatangkan. Pemasaknya adalah manusia-manusia Aceh-Nias. Oleh mereka, kendala dan tantangan bukan dianggap sebagai duri dalam daging, melainkan justru menjadi bumbu penyedapnya.

213

SETELAH

Bagian 5. Tungku Pembelajaran

215

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Kabapel BRR Kuntoro Mangkusubroto sedang menandatangani dokumen serah-terima aset dari BRR ke Pemda, Banda Aceh, 6 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Tungku Pembelajaran

216

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Menteri Perhubungan Hatta Rajasa dan Kabapel BRR sama-sama menandatangani berkas serah-terima aset dari BRR ke Departemen Perhubungan, Jakarta, 19 April 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal dan Kabapel BRR bertemu pada saat penandatanganan MoU pembuatan kapal motor feri BRR di Jakarta, 17 April 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Disaksikan Gubernur Sumatera Utara Rudolf M. Pardede, Bupati Nias Selatan Fahuwusa Laia dan Bupati Nias Binahati B. Baeha disalami Kabapel BRR dalam acara serah-terima aset hasil pemulihan Nias, 16 Mei 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd melakukan serah-terima bangunan sekolah dasar di Banda Aceh, 14 Juni 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

217

Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal dan Kabapel BRR Kuntoro Mangkusubroto melakukan serah-terima aset Departemen Perhubungan dari BRR, di Jakarta, 18 November 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Perwakilan LSM Islamic Relief menyerahterimakan sistem pengelolaan air bersih di Neuheun, Kabupaten Aceh Besar, langsung kepada Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar, yang dalam hal ini menjadi pihak penerima manfaat, 22 Februari 2007. Foto: Ira Damayanti Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy Rey, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu seusai meresmikan penggunaan PDAM Lambaro, 10 Februari 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Kabapel BRR menyerahterimakan aset milik Pemerintah Kabupaten Pidie kepada Bupati Pidie Jaya, Gade Salam, di Sigli, 21 Oktober 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Tungku Pembelajaran

218

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Serah-terima aset milik Pemerintah Kabupaten Nias dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 28 Februari 2008. Foto: BRR/Bodi CH Serah-terima aset milik Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Provinsi Aceh, 6 April 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

219

Kabapel BRR menyerahterimakan aset Kantor RRI Gunungsitoli kepada Direktur RRI Parni Hadi, 28 Februari 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Kabapel BRR, Menteri Luar Negeri Singapura George Yeo, dan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa muncul bersama saat peresmian penggunaan Pelabuhan Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, 3 April 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 5. Tungku Pembelajaran

Kini Becermin Lampaubambu emas, sebatang bambu perak. Kita ambil yang lurus, kita sisihkan yang bengkok. Demikianlah gambaran keadaan yang ada setelah fase pemulihan Aceh-Nias mendekati masa pengujungnya. Diakui, memang terdapat beberapa pekerjaan-rumah penting yang masih harus segera diselesaikan. Namun semua telah sama menyadari, berbekal bambu yang lurus, perspektif menjangkau ke depan jauh lebih bermarwah ketimbang bergeming menyoal yang bengkok, yang terkadang jumlahnya tak sebanding dengan yang lurus. Marilah memutar kembali tapak demi tapak pekerjaan yang telah dilewati. Semula adalah keterpinggiran, kekejaman konflik, kemiskinan, atau segala rupa ketertinggalan lainnya. Kemudian bencana alam. Bala bantuan dan dukungan nyata lalu datang berduyunan. Selama berbulan-bulan, puluhan ribu pekerjaan membangun digenapkan. Inilah wajahnya sekarang: semua yang antidot terhadap ketertinggalan. Merupakan hal yang sudah sepatutnya disyukuri bahwa centang-perenang kemanusiaan kini telah terajut kembali. Ketidakpercayaan terhadap saudara sebangsa kini telah menjadi cerita usang. Sarana dan prasarana, yang dulu tercukupi pun belum, kini telah tersedia di mana-mana. Capaian yang ada kini dimanfaatkan untuk memandang yang lampau: hal itulah yang dalam setiap komemorasi tsunami menjadi tolok ukur capaian dan rasa bersyukur. Semua seakan melantunkan kabar yang sama, Keadaan sudah berubah, saudaraku! Ya, keadaan sudah berubah, berubah menjadi lebih baik.

221

SEBATANG

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

222

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kondisi ruas jalan di dalam Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, tiga minggu pascagempa, 19 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR Kondisi ruas jalan di dalam Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, tiga setengah tahun pascagempa, 17 September 2008. Foto: BRR/Bodi CH

223Salah satu sudut jalan di Gunungsitoli, Kabupaten Nias, tiga pekan pascagempa, 19 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR

Salah satu sudut jalan di Gunungsitoli, Kabupaten Nias, tiga setengah tahun pascagempa, 17 September 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

224

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Jalan dan bangunan di sebuah sudut Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, sekitar dua pekan pascagempa, 15 April 2005. Foto: Dokumentasi BRR Jalan dan bangunan di sebuah sudut Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, tiga setengah tahun pascagempa, 17 September 2008. Foto: BRR/Bodi CH

225

Kondisi ruas jalan utama Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, setahun pascagempa, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Kondisi ruas jalan utama Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, setelah 19 bulan direhabilitasi, 12 Desember 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

226

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sebuah ruas jalan dan permukiman di Dahana, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, setahun pascagempa, 20 Maret 2006. Foto: BRR/Bodi CH

227

Sebuah ruas jalan dan permukiman di Dahana, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 21 bulan pascagempa, 12 Desember 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

228

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kondisi ruas jembatan Nou di Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, sembilan bulan pascagempa, 19 November 2005. Foto: BRR/Bodi CH

Kondisi ruas jembatan Nou di Kota Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 20 bulan pascagempa, 13 Desember 2006. Foto: BRR/Bodi CH

229

Hasil pekerjaan empat bulan rehabilitasi pada ruas jalan di Kecamatan Afulu, Kabupaten Nias, 6 Agustus 2006. Foto: BRR/Bodi CH

Hasil Pekerjaan 18 bulan rehabilitasi pada ruas jalan di Kecamatan Afulu, Kabupaten Nias, 14 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

230

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Berurut dari kiri atas searah jarum jam. Progres pembangunan salah satu sudut Pasar Yahowu, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, pada masa rehabilitasi, foto diambil tanggal 9 November 2005, 13 Desember 2006, dan 12 November 2008. Foto: BRR/Bodi CH

231

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

232

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Ruas jalan di Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, kondisinya pada hampir dua tahun pascagempa, 1 Februari 2007. Foto: BRR/Bodi CH

233

Ruas jalan di Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, kondisinya pada sekitar 2,5 tahun pascagempa, 14 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

234FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

235

Dari kiri ke kanan. Progres pembangunan Jembatan Afulu di Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, Foto diambil tanggal 19 November 2005, 6 Agustus 2006, 13 Desember 2006 dan13 Desember 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

236

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Kondisi ruas jalan di Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, 1 Februari 2007. Foto: BRR/Bodi CH

237

Kondisi ruas jalan di Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, 14 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

238

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Pemandangan simpang empat Masjid Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar, setahun pascatsunami, 20 Desember 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

239

Pemandangan simpang empat Masjid Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar, dua setengah tahun pascatsunami, 27 Juni 2007. Foto: Oni Imelva

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

240

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Wajah muka bumi Teluk Calang, Kabupaten Aceh Jaya, tujuh bulan pascatsunami, 2 Agustus 2005. Foto: BRR/Arif Ariadi

241

Wajah muka bumi Teluk Calang, Kabupaten Aceh Jaya, dua setengah tahun pascatsunami, 23 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

242

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Kemajuan pembangunan jalan yang persis merapat di bibir Pantai Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, foto diambil tanggal 28 Agustus 2005. Foto: BRR/Bodi CH, 4 November 2006 dan 6 September 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

243

Bagian 6. Kini Becermin Lampau

Kesaksian Penumpang Bidukparadigma memasak kami pinjam sebagai tamsil. Pada garis start, t para pemasak luar perlu diberi tahu perihal macam apa citarasa masyarakat setempat. Itulah yang dinamakan komunikasi dan pelibatan masyarakat. Hal itu penting agar pipa komunikasi dua arahnya tidak mampet. Menginjak lini paruh-waktu, satu demi satu pemasak luar undur tugas. Bukan undur semua, mengingat, ada pula yang beringsut. Undur tugas yang tidak secara serta-merta ditempuh agar proses penyinambungan tugas menjadi lebih mulus alih-alih terjaga mutu masakannya. Atas dasar itulah maka, disadari, masa yang paling genting adalah masa transisi: dari masyarakat-selaku-obyek ke masyarakat-selaku-subyek. Sejarah atau hikayat baru yang sedang dimasak manusia Aceh-Nias, oleh karenanya, adalah sebentuk keniscayaan. Hikayat hari ini bukan lagi dibangun oleh, dan untuk, para pahlawan, ulama, atau raja. Hikayat hari ini, pada hakekatnya, adalah hikayat perjuangan hidup manusia-manusia biasa. Perjuangan untuk rela bertahan di barak, bersabar mendapatkan rumah, hingga rela membantu yang papa di tengah belitan kesusahannya sendiri. Aceh-Nias baru, ini hari, tengah dan telah mengalami proses demikian. Diolah dari rahim perdamaian yang kian kondusif, dermaga dan tanah harapan baru tengah menanti biduk raksasa yang ditumpangi masyarakat Aceh-Nias. Diharapkan, proses pemulihan apa pun yang diikhtiarkan, tak teronggok menjadi sebongkah solusi yang sekadar menyambung apa yang (pernah) retak. Sebaliknya, proses itu senantiasa dimaknai sebagai momentum historis, tempat hikayat kehidupan baru sedang dimasak dan digubah. Itulah bekal untuk muhibah di sepanjang laku hijrah yang bermarwah. Setelah bermuhibah dalam kekhusyukan empat tahun pemulihan dan pengharapan, inilah kesaksian para penumpang biduk itu: Manusia-Manusia Aceh-Nias.

245

IZINKANLAH

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

246FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

247

M. Azis bersama anak-istrinya, berpose di depan rumahnya di Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat, 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

248FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

249

Musliadi bersama keluarga di Kecamatan Arongan Lambalek, Kabupaten Aceh Barat, 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

250

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Islamil dan warga Pertapakan, Kabupaten Aceh Singkil, 20 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

251

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

252

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Burhanuddin, warga Kabupaten Nagan Raya, 7 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

253

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

254

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Nurdin Chaniago, warga Desa Arongan, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, 6 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

255

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

256

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Rusliman, warga Desa Gosong Telaga Selatan, Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil, penerima manfaat infrastruktur jety, 21 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

257

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

258FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

259

Syamsuddin, warga Desa Kutambaru Bencawan, Kecamatan Lawe Bulan, Kabupaten Aceh Tenggara, 22 Desember 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

260FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

261

Marlius Telaumbanua bersama keluarga, warga Dahana Tabaloha, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

262

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Yaredi Zebua bersama keluarga, warga Perumnas Dahana, Gunungsitoli, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

263

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

264

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Gatizaro Zai bersama keluarga, warga Botolakha, Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

265

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

266

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Daneda Mendrofa bersama keluarga, warga Dahadano, Hiliserangkai, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

267

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

268FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

269

Angerago Daely bersama keluarga, warga Togi Deu, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

270

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Bazesekhi Gea bersama keluarga, warga Banua Gea, Kecamatan Tuhemberua, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

271

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

272

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Belokha Hia dan keluarga, warga Tugala, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, 13 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

273

Bagian 7. Kesaksian Penumpang Biduk

Taman Sari Kemitraan Duniaraksasa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh-Nias, tak ayal, telah menciptakan ribuan rekam jejak yang tersebar. Hasil-hasilnya adalah monumen hidup yang bisa secara langsung bercerita, bukan hanya tentang dirinya sendiri, melainkan juga kisah-kisah di sebalik pembangunannya. Dengan kata lain, ia menjadi semacam tapal batas yang konkret bagi masa lalu, masa kini, dan masa datang. Apabila Anda melayang di ketinggian, akan tampaklah seringai monumen-monumen baru pada sehamparan muka bumi Aceh dan Nias. Lihat saja, misalnya, muka bumi kawasan Ulee Lheue di sisi barat Banda Aceh atau Permukiman Dayah Baro. Gedung pemerintahan atau kementerian/lembaga banyak yang baru. Contohnya Kantor Bupati dan Kantor DPRD Kabupaten Nias, Gedung Keuangan Negara, Gedung RRI, Gedung TDMRC, atau Politeknik Aceh. Prasarana umum siap dioperasikan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Contohnya Bandara Binaka beserta jalan dari dan menuju ke sana, Bandara Sultan Iskandar Muda, pelabuhan laut dan jembatan di Gunungsitoli, Jalan Lintas-Tengah Aceh, terminal bus, Pelabuhan Feri Ulee Lheue, tanggul pantai, rambu-rambu lalu lintas, kapal motor penyeberangan BRR, atau bangunan penyelamatan. Ruang terbuka kota pun tak ketinggalan. Lihat saja Taman Internasional Aceh Thanks The World di Blang Padang, Banda Aceh, taman bermain, taman budaya, taman edukasi tsunami, museum tsunami, pantai Lhok Nga dan Ceureumen, atau wisata air lainnya.

275

PEKERJAAN

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

Jelaslah, Aceh dan Nias pascatsunami sontak menjelma sebagai Taman Sari Kemitraan Dunia, tempat segenap warga dunia berkontribusi atas nama kemanusiaan, yang ditanam, ditumbuhsuburkan, dan kemudian diabadikan.FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Di sana, tangan-tangan telah bertaut. Dukungan dari para mitra pemulihan telah termanifestasikan. Dan tekad-tekad untuk menyinambungkan kehidupan yang lebih bermarwah telah ternyatakan. Tanpa itu semua, sebuah hikayat baru bagi Aceh dan Nias, tempat Tuhan memilihnya sebagai Taman Sari Kemitraan Dunia, mustahil tergubah hingga seperti ini hari.

276

Bangunan baru Museum Tsunami, Banda Aceh, 3 April 2008, yang tampak menyerupai kapal, telah siap dioperasikan. Foto: BRR/Arif Ariadi

277

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

279

Wajah bangunan baru Kantor Bupati dan Kantor DPRD Kabupaten Nias, Sumatera Utara, 14 November 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

280

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sebuah pesawat perintis diparkir di sudut landasan Bandara Binaka, Gunungsitoli Idanoi, Kabupaten Nias, 11 November 2007. Foto: BRR/Bodi CH

281

Pelabuhan Laut Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 16 April 2008, semakin ramai dengan aktivitas berlabuh dan bongkar-muat barang. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

282FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

Ruas jalan dari dan menuju ke Bandara Binaka, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 Februari 2008, semakin lebar dan bagus. Foto: BRR/Arif Ariadi Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

283Gedung baru Kantor RRI Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 28 Februari 2008. Foto: BRR/Bodi CH

Los-los baru Pasar Yahowu, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 14 April 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Jembatan Nou, Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 17 April 2008, kini telah mulus dan lebar. Foto: BRR/Arif Ariadi

285

Wajah muka bumi kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh, dari ketinggian, 3 April 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

286

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Taman bermain sebagai salah satu ruang terbuka kota di Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, 7 Maret 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Taman olahraga sebagai salah satu ruang terbuka kota di Banda Aceh, 12 Juli 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

287

Sejumlah remaja putri berlatih tari tradisional di Taman Budaya Aceh, Banda Aceh, 7 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Sekelompok anak muda berlatih tari modern di Taman Budaya Aceh, Banda Aceh, 7 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

288

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Gairah menerapkan pola hidup sehat dengan bersepeda kini mewabah sebagai bagian dari gaya hidup sebagian warga Kota Banda Aceh, 7 September 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

289

Beberapa remaja putri sedang mengisi waktu luang dengan bermain boling di ruang terbuka kota, Banda Aceh, 25 Juni 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

290FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah

291

Taman Internasional Aceh Thanks The World di Blang Padang, Banda Aceh, sesekali diramaikan dengan kehadiran badut untuk menghibur para pengunjung, terutama pada saat musim liburan sekolah, 18 Agustus 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi Taman kota di sepanjang sempadan Krueng Aceh, Banda Aceh, kini telah selesai dibangun oleh RANTF-BRR. Gambar dibidik pada 9 September 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bermain sambil belajar adalah tema yang ditawarkan oleh Taman Edukasi Tsunami, PLTD Apung, Banda Aceh, 19 Februari 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

292

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Sebuah bangunan penyelamatan di Banda Aceh dibangun sebagai upaya mitigasi atau kesiagaan menghadapi bencana, 1 November 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi Gedung Pusat Riset Mitigasi Bencana dan Tsunami (TDMRC) Aceh berdiri megah di Ulee Lheue, Banda Aceh, 20 Februari 2009. TDMRC adalah pusat data, informasi, riset, pelatihan, dan konsultasi yang terkait dengan masyarakat Aceh siaga bencana. Foto: BRR/Arif Ariadi

293

Bantuan BRR bernama kapal motor penyeberangan BRR ini dibangun untuk melengkapi armada penyeberangan rute Ulee Lheue (Banda Aceh)Balohan (Sabang),19 Februari 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Mahasiswa Politeknik Aceh kini telah menikmati gedungnya yang baru, persis di tepi Krueng Raya, Desa Pango Raya, Banda Aceh, 20 Februari 2009. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

294

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Pantai Ceureumen, Banda Aceh, adalah salah satu lokasi wisata warga masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya, 15 Juni 2008. Foto: BRR/Arif Ariadi

Pantai Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar, karena ombaknya yang bagus, kerap digunakan sebagai ajang berlatih bagi para peselancar, baik dari dalam maupun luar negeri, 10 Desember 2006. Foto: BRR/Arif Ariadi

295

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

297

Taman Internasional Aceh Thanks The World di Blang Padang, Banda Aceh, pada malam hari, diisi para pedagang dan jajanan, 5 Juli 2007. Foto: BRR/Arif Ariadi

Bagian 8. Taman Sari Kemitraan Dunia

298

FOTO: Sentuhan Muhibah Selepas Musibah Di sepanjang jalur lari Taman Internasional Aceh Thanks the World di Blang Padang, Banda Aceh, dipancangkan 53 plakat negara-negara mitra pemulihan berbentuk ujung perahu sebagai simbol kemitraan abadi dalam kemanusiaan, 20 Februari 2009 Foto: BRR/Arif Ariadi