Buku Referensi Bencana Tanah Longsor Penyebab dan Potensi...
Transcript of Buku Referensi Bencana Tanah Longsor Penyebab dan Potensi...
BUKU REFERENSI
BENCANA TANAH LONGSOR
Penyebab dan Potensi Longsor
UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan
peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian
ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,
kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan
iv. Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).
2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
BUKU REFERENSI
BENCANA TANAH LONGSOR
Penyebab dan Potensi Longsor
Dr. Muzani, M.Si.
BUKU REFERENSI BENCANA TANAH LONGSOR PENYEBAB DAN POTENSI LONGSOR
Muzani
Desain Cover : Rulie Gunadi
Sumber :
www.shutterstock.com
Tata Letak : Titis Yuliyanti
Proofreader :
Avinda Yuda Wati
Ukuran : xii, 77 hlm, Uk: 15.5x23 cm
ISBN :
978-623-02-2174-3
Cetakan Pertama : Januari 2021
Hak Cipta 2021, Pada Penulis
Isi diluar tanggung jawab percetakan
Copyright © 2021 by Deepublish Publisher All Right Reserved
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)
Anggota IKAPI (076/DIY/2012)
Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581
Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., Tuhan
Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan buku referensi yang
berjudul Bencana Tanah Longsor, Penyebab dan Potensi Longsor.
Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas terjadinya bencana
gerakan tanah di Indonesia semakin meningkat, dengan sebaran
wilayah bencana semakin luas. Wilayah kota Sukabumi salah satu
yang sering dilanda bencana longsor. Curah hujan yang cukup
tinggi setiap tahunnya, berkisar antara 2. 415 mm–3. 982 mm
dengan hari hujan sejumlah 173 hingga 212 hari dalam setahun
(Statistik daerah Kota Sukabumi, 2018) memicu mudahnya terjadi
bencana longsor di daerah-daerah yang bertopografi berbukit
seperti Kota Sukabumi. Upaya penanggulangan bencana sangat
diperlukan untuk mengurangi dampak bencana. Untuk itu perlu
masyarakat mengetahui seputar tanah longsor, baik penyebab
maupun sebaran wilayah longsor serta wilayah yang rentan
terhadap longsor. Penulisan buku ini adalah hasil penelitian
tentang bencana longsor di Sukabumi Provinsi Jawa Barat. Buku ini
diharapkan dapat memberi tambahan referensi buat bidang
kebencanaan khususnya dan geografi pada umumnya. Pada bagian
pembahasan buku ini mengambil contoh penelitian yang dilakukan
di wilayah Sukabumi, Jawa Barat. Pada penentuan penyebab utama
dari longsor, digunakan metode AHP. Untuk penentuan wilayah
rentan longsor digunakan pendekatan spasial. Sehingga hasil
penelitiannya dilengkapi dengan peta rawan longsor di wilayah
penelitian. Penulis berharap buku ini bermanfaat baik pada dunia
vi
kampus, dan masyarakat luas umumnya. Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam penulisan buku ini, oleh karena itu kritik dan
saran dari para pembaca sangat kami harapkan. Akhir kata, semoga
Allah Swt. senantiasa memberkahi kita semua. Wallahualam.
Tangerang Selatan
Penulis
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. ix
DAFTAR TABEL .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 10
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................... 11
BAB II METODOLOGI ................................................................ 12
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................... 12
2.2. Metode Penelitian .............................................................. 13
2.3. Teknik Analisis Data ......................................................... 14
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 18
3.1. Tanah Longsor ................................................................... 19
3.2. Faktor Penyebab Longsor ................................................. 20
3.3. Kerentanan (Vulnerability) ................................................. 21
3.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ..................................... 23
3.5. Analytical Hierarchy Process (AHP) ................................... 23
3.6. AHP dalam Kajian Kerentanan Tanah Longsor .............. 27
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................ 33
4.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Sukabumi ................... 33
4.2. Kondisi Fisik Kota Sukabumi ........................................... 35
viii
4.3. Perhitungan Metode AHP (Analytical Hierarchy
Process) ................................................................................ 50
4.4. Analisis Hasil Pembobotan Faktor Penyebab
Longsor ............................................................................... 66
4.5. Membuat Peta Potensi Bencana Longsor ......................... 67
BAB V SIMPULAN........................................................................ 73
BAB VI DAFTAR PUSTAKA ........................................................ 74
PROFIL PENULIS ............................................................................... 77
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Grafik Kejadian Bencana 5 Tahun Terakhir
di Provinsi Jawa Barat .................................................. 4
Gambar 1.2. Peta Lokasi Penelitian Kota Sukabumi, Jawa
Barat .............................................................................. 5
Gambar 1.3. Grafik Kejadian Bencana 10 Tahun Terakhir
di Kota Sukabumi ......................................................... 6
Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian Kota Sukabumi Jawa
Barat ............................................................................ 12
Gambar 3.1. Diagram alur kerangka pemikiran ........................... 32
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Sukabumi Provinsi
Jawa Barat ................................................................... 34
Gambar 1. Peta Topografi Kota Sukabumi Provinsi
Jawa Barat ................................................................... 36
Gambar 2. Peta Keberadaan Sesar Kota Sukabumi
Provinsi Jawa Barat .................................................... 37
Gambar 3. Peta Geologi Kota Sukabumi Provinsi Jawa
Barat ............................................................................ 40
Gambar 4. Peta Jenis Tanah Kota Sukabumi Provinsi
Jawa Barat ................................................................... 44
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Sukabumi
Provinsi Jawa Barat .................................................... 47
x
Gambar 6. Peta Penggunaan Lahan Kota Sukabumi
Provinsi Jawa Barat .................................................... 49
Gambar 4.2. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 1 ................ 52
Gambar 4.3. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 1 ........................................................... 52
Gambar 4.4. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 2 ................ 54
Gambar 4.5. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 2 ........................................................... 55
Gambar 4.6. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 3 ................ 57
Gambar 4.7. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 3 ........................................................... 57
Gambar 4.8. Matriks Keputusan Ternormalisasi ahli 4 ................. 60
Gambar 4.9. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 4 ........................................................... 60
Gambar 4.10. Struktur Hierarki ........................................................ 62
Gambar 4.11. Matriks Keputusan Ternormalisasi ........................... 63
Gambar 4.12. Grafik Hasil Pembobotan Faktor Penyebab
Longsor ........................................................................ 64
Gambar 4.13. Peta Potensi Bencana Tanah Longsor Kota
Sukabumi Jawa Barat ................................................. 72
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah
Longsor 2003-2005 ............................................................ 3
Tabel 1.2. Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah
Longsor 5 Tahun Terakhir di Kota Sukabumi ............... 7
Tabel 1.3. Rekapitulasi Kejadian Tanah Longsor di Kota
Sukabumi Berdasarkan Catatan Media Massa ............... 8
Tabel 2.1. Matriks Perbandingan Berpasangan (Saaty,
1991) ................................................................................. 16
Tabel 2.2. Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 1991) .......................... 16
Tabel 3.1. Faktor-Faktor Pemicu Terjadinya Tanah
Longsor ............................................................................ 21
Tabel 3.2. Matriks Perbandingan Berpasangan (Pairwise
Comparison Matrix) (Saaty, 1991) .................................... 25
Tabel 3.3. Skala Perbandingan Berpasangan.................................. 25
Tabel 4.1. Luas Wilayah per Kecamatan di Kota
Sukabumi tahun 2017..................................................... 33
Tabel 4.2. Komposisi Formasi Geologi Kota Sukabumi ................ 38
Tabel 4.3. Kemiringan Lereng Kota Sukabumi .............................. 41
Tabel 4.4. Jenis Tanah di Kota Sukabumi ....................................... 42
Tabel 4.5. Penggunaan Lahan Kota Sukabumi .............................. 45
Tabel 4.6. Curah Hujan Kota Sukabumi ......................................... 48
xii
Tabel 4.7. Kriteria-kriteria penyebab longsor ................................ 61
Tabel 4.8. Persentase Bobot Parameter Penyebab Longsor ........... 65
Tabel 4.9. Bobot Parameter Penyebab Longsor Kota
Sukabumi ......................................................................... 69
Tabel 4.10. Klasifikasi Potensi Longsor Kota Sukabumi ................. 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang sering
mengalami bencana hidrometeorologi, yaitu bencana gerakan tanah
yang disebabkan karena perubahan iklim dan cuaca, salah satunya
adalah bencana gerakan tanah. Bencana gerakan tanah atau dikenal
sebagai tanah longsor merupakan fenomena alam yang dikontrol
oleh kondisi geologi, curah hujan dan pemanfaatan lahan pada
lereng. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas terjadinya
bencana gerakan tanah di Indonesia semakin meningkat, dengan
sebaran wilayah bencana semakin luas. Hal ini disebabkan oleh
makin meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak berwawasan
lingkungan pada daerah rentan gerakan tanah, serta intensitas
hujan yang tinggi dengan durasi yang panjang, ataupun akibat
meningkatnya frekuensi kejadian gempa bumi (Risiko Bencana
Indonesia, 2016).
Secara umum, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi (2015) menyampaikan bahwa tanah longsor memiliki
beberapa gejala yang dapat diamati secara visual di antaranya:
terjadi setelah hujan, timbul retakan-retakan pada lereng yang
sejajar dengan arah tebing, bangunan yang mulai retak, pohon atau
tiang listrik yang miring, serta muncul mata air baru. Meskipun
indikasi kerentanan longsor dapat diamati, namun jarang dapat
diantisipasi dengan tepat, sehingga korban jiwa masih terjadi.
Penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi
2
permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi,
curah hujan dan kegempaan. Selain faktor alamiah, longsor juga
disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi
bentang alam seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng,
pemotongan lereng dan penambangan (Somantri, 2008).
Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan
Umum dalam Peraturan Menteri No. 22 tahun 2007 dalam
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor
menjelaskan; “Secara geografis sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana
alam, dan salah satu bencana alam yang sering terjadi adalah
bencana longsor. Sejalan dengan proses pembangunan
berkelanjutan perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan
terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan prioritas utama
pada penciptaan keseimbangan lingkungan. Salah satu upaya yang
diambil adalah melalui pelaksanaan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan keselamatan dan
kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat terutama di
kawasan rawan bencana longsor. ”
Upaya penanggulangan bencana dengan menganalisis
kerentanan bencana penting untuk dilakukan. Analisis kerentanan
berkembang dan digunakan dalam berbagai sektor. Pada bencana
alam, analisis kerentanan merupakan komponen dari analisis risiko
bencana, dengan salah satu tujuannya untuk perencanaan sebagai
dasar penetapan prioritas kegiatan. Penetapan indikator kerentanan
memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kerentanan, di tingkat individu, masyarakat, wilayah dan institusi
(Djuaridah, 2009).
3
Tabel 1.1. Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor
2003-2005
No Propinsi Jumlah
kejadian
Korban jiwa RH RR RT
LPR (ha)
JL (m)
MD LL
1 Jawa Barat
77 166 108 198 1751 2290 140 705
2 Jawa Tengah
15 17 9 31 22 200 1 75
3 Jawa Timur
1 3 - - 27 - 70 -
4 Sumatera Barat
5 63 25 16 14 - 540 60
5 Sumatera Utara
3 126 - 1 40 8 - 80
6 Sulawesi Selatan
1 33 2 10 - - - -
7 Papua 1 3 5 - - - - -
Jumlah 103 411 149 256 1854 2498 751 920
Sumber: https://www.esdm.go.id/
Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa kejadian bencana dan
jumlah korban tanah longsor di Provinsi Jawa Barat lebih besar
dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Hal demikian disebabkan
oleh faktor geologi, morfologi, curah hujan dan jumlah penduduk
serta kegiatannya.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016) mencatat
sebanyak 2. 425 kejadian bencana gerakan tanah sepanjang tahun
2011 hingga 2015, dengan lokasi kejadian terbesar di berbagai
wilayah Indonesia. Kejadian tanah longsor terbanyak dijumpai di
Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan
Kalimantan Timur. Bencana tanah longsor tersebut telah
mengakibatkan 1. 163 jiwa meninggal, 112 orang hilang, 973 orang
4
terluka dan sekitar 48. 191 orang mengungsi (Risiko Bencana
Indonesia, 2016).
Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang
memiliki potensi tinggi untuk terjadinya bencana, dari 26
kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, 19 di antaranya berada
dalam kelas risiko tinggi (Indeks Risiko Bencana Indonesia, 2013).
Berikut bencana yang sering terjadi di Provinsi Jawa Barat 5 tahun
terakhir ini:
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/
Gambar 1.1. Grafik Kejadian Bencana 5 Tahun Terakhir di Provinsi
Jawa Barat
Berdasarkan grafik di atas bencana yang sering terjadi 5
tahun terakhir ini yaitu tanah longsor, Hal ini disebabkan oleh
topografi wilayahnya yang berbukit dan bergunung, juga tingginya
kepadatan penduduk mencapai 1. 140 jiwa per km persegi yang
menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Indeks risiko bencana
5
tanah longsor Provinsi Jawa Barat dengan kelas risiko tinggi antara
lain Sukabumi, Bogor, Garut, Bandung, Cianjur, Tasikmalaya,
Ciamis, Subang, Majalengka, Sumedang, Kuningan, Purwakarta.
Dilihat dari aspek demografinya, daerah tersebut merupakan
kawasan padat penduduk (Indeks Risiko Bencana Indonesia, 2013).
Daerah kajian penelitian ini adalah Kota Sukabumi. Berikut
merupakan peta lokasi penelitian:
Sumber: INA Geospasial
Gambar 1.2. Peta Lokasi Penelitian Kota Sukabumi, Jawa Barat
Wilayah Kota Sukabumi merupakan lereng selatan dari
Gunung Gede dan Gunung Pangrango, yang berada pada
ketinggian 584 meter di atas permukaan laut pada bagian selatan
770 meter di atas permukaan laut bagian utara. Sedangkan di
6
bagian tengah mempunyai ketinggian rata-rata 650 meter dari
permukaan laut. Bentuk bentangan alam Kota Sukabumi berupa
perbukitan bergelombang dengan sudut lereng beragam (Statistik
daerah Kota Sukabumi, 2018).
Wilayah Kota Sukabumi didominasi oleh kemiringan lereng
0-2% dan 2-15%. Luas daerah dengan kemiringan lereng 0-
2%mencapai 2228,795 ha atau sekitar 45,59% dari total luas kota
dan kemiringan lereng 2-15% mencapai 2553. 219 ha atau sekitar
52,22% dari total luas kota (Statistik daerah Kota Sukabumi, 2018).
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/
Gambar 1.3. Grafik Kejadian Bencana 10 Tahun Terakhir
di Kota Sukabumi
Berdasarkan grafik tersebut terdapat beberapa bencana yang
berpotensi terjadi di Kota Sukabumi, yaitu tanah longsor, puting
beliung, banjir, kekeringan, gelombang pasang, kebakaran hutan
dan gempa bumi. Tanah longsor merupakan jenis bencana terbesar
7
ke 3 (Tiga) setelah bencana banjir dan puting beliung
(http://dibi.bnpb.go.id/).
Kota Sukabumi memiliki curah hujan yang cukup tinggi
setiap tahunnya, jumlah curah hujan yang turun berkisar antara 2.
415 mm–3. 982 mm dengan hari hujan sejumlah 173 hingga 212 hari
dalam setahun (Statistik daerah Kota Sukabumi, 2018) hal tersebut
memicu mudahnya terjadi bencana longsor di daerah-daerah yang
bertopografi berbukit seperti Kota Sukabumi. Upaya
penanggulangan bencana sangat diperlukan untuk mengurangi
dampak bencana. Berikut Daftar kejadian dan korban bencana
tanah longsor 5 tahun terakhir di Kota Sukabumi:
Tabel 1.2. Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor
5 Tahun Terakhir di Kota Sukabumi
No Tahun Terdampak Korban
jiwa RRB RRS RRR PD KS PI MD LL
1 2019 134 1 3 5 7 3 1 0 0
2 2018 106 19 3 31 1 0 0 0 0
3 2017 428 0 3 25 22 38 1 0 0
4 2016 2,286 1 0 495 306 187 4 4 15
5 2015 272 15 0 130 63 15 3 0 20
Jumlah 3,226 36 9 686 399 243 9 4 35
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id/
Keterangan: MD : Meninggal dunia LL : Luka-luka RRB : Rumah rusak berat RRS : Rumah rusak sedang RRR : Rumah rusak ringan PD : Pendidikan KS : Kesehatan PI : Peribadatan
8
Dua kecamatan di Kota Sukabumi yang sering mengalami
bencana longsor adalah Kecamatan Cikole dan Kecamatan Baros
dibandingkan dengan 5 Kecamatan lainnya. Hal tersebut
berdasarkan hasil pemantauan langsung di lapangan dan
perhitungan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika) serta unsur lainnya (Pasukan Reaksi Cepat
Penanggulangan Bencana, 2018).
Wilayah Kecamatan Cikole, Kota Sukabumi, Jawa Barat
Paling Rentan diterjang berbagai bencana. Data Badan
Penanggulangan Bencana Daerah merinci puluhan bencana yang
menerjang Kecamatan Cikole terdiri dari 11 kali kebakaran, 6 kali
banjir, 20 kali tanah longsor, sekali angin topan dan 8 kali cuaca
ekstrem. Total kerugian akibat terjangan bencana itu mencapai Rp.
990. 650. 000. Dari 20 kali kejadian bencana tanah longsor di
Wilayah Kecamatan Cikole pada tahun 2017, kerugian mencapai
Rp. 302 juta, kalau ditotalkan mencapai Rp. 990 juta lebih (Kepala
Unsur Pelaksana BPBD). Bencana di Kecamatan Cikole lebih
dititikberatkan pada retakan tanah yang dapat berakibat longsor.
Karena wilayah kecamatan ini memiliki titik longsor dengan
kecuraman yang tinggi di sekitar pemukiman warga masyarakat.
Tabel 1.3. Rekapitulasi Kejadian Tanah Longsor di Kota Sukabumi
Berdasarkan Catatan Media Massa
Tanggal Keterangan
tanah longsor
Tempat kejadian
Dampak Sumber
Kerugian material
Korban jiwa
Media Massa Tanggal
terbit Tanggal
akses
06/12/2018
meluapnya air sungai
sehingga merendam sejumlah
rumah, tebing
longsor yang
Kel. Subang-
jaya
Beberapa di
antaranya rusak karena
tertimpa material
tanah
- Mediaindonesia. com
07/12/ 2018
04/4/ 2019
9
Tanggal Keterangan
tanah longsor
Tempat kejadian
Dampak Sumber
Kerugian material
Korban jiwa
Media Massa Tanggal
terbit Tanggal
akses
materialnya
menimpa rumah warga
serta menutup akses jalan,
tanah ambles dan jalan
ambles di sejumlah
titik.
longsor
21/2/
2019
Longsor
lahan terjadi setelah hujan
deras dari siang sampe
sore
Kaban-
dungan, Kelurahan
Selabatu, Kecamatan
Cikole, Kota Sukabumi
2 unit
rumah rusak
sedang
- REPUBLIKA.
CO. ID
22/2/
2019
04/4/
2019
13/1/
2019
Sungai
Cileles meluap yang
merendam permukiman hingga
ketinggian 50 sentimeter
Kelurahan
Kebonjati, Kecamatan
Cikole, Kota Sukabumi
- - Kompas. com 14/1/
2019
04/4/
2019
Sumber: Akses Internet (2019)
Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini memiliki wilayah
yang rentan terhadap bencana tanah longsor. Berangkat dari
masalah kerentanan tanah longsor yang dihadapi masyarakat Kota
Sukabumi, maka penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi tingkat kerentanan masyarkat terhadap tanah
longsor dan menentukan tingkat kerentanan tanah longsor di Kota
Sukabumi. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam
meminimalkan risiko bencana akibat tanah longsor
10
Kerentanan tanah longsor dapat dikaji dengan metode
heuristis (analisis pembobotan faktor penyebab tanah longsor),
statistis (analisis data tanah longsor secara statistik), deterministis
(analisis stabilitas lereng dengan pemodelan), ataupun dengan
kombinasi beberapa metode tersebut (Van Wasten, 1993). Salah satu
metode untuk mengkaji kerentanan tanah longsor yang banyak
digunakan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Pembobotan
faktor yang terbaik menurut BNPB (2012) yaitu menggunakan
AHP. Metode AHP merupakan metode pengambilan keputusan
dengan menguraikan masalah multi faktor dan multi kriteria yang
kompleks menjadi suatu hierarki. Dengan hierarki, permasalahan
yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompok
permasalahan yang lebih kecil sehingga permasalahan akan tampak
lebih terstruktur dan sistematis.
Dengan menggunakan metode ini, parameter penentu
kerentanan tanah longsor dapat diolah secara sistematis untuk
menentukan tingkat kerentanan tanah longsor di daerah penelitian.
Dengan perhitungan perbandingan matriks berpasangan, maka
bobot masing-masing parameter penentu kerentanan tanah longsor
dapat dengan mudah diperoleh. Selain itu, penilaian subjektif dapat
dikontrol dengan adanya syarat perbandingan nilai konsistensi
(consitency ratio). Dapat mempengaruhi tingkat kerentanan tanah
longsor di Kota Sukabumi.
Dengan mempertimbangkan latar belakang tersebut, maka
penulis melakukan penelitian “Analisis Kerentanan Bencana Tanah Longsor di Kota Sukabumi”.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana tingkat potensi bencana tanah longsor di Kota Sukabumi, Jawa
Barat?”.
11
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dibuatnya penelitian ini adalah menentukan faktor-
faktor penyebab longsor di Kota Sukabumi dan menentukan
tingkat potensi tanah longsor di Kota Sukabumi berdasarkan
analisis spasial.
12
BAB II
METODOLOGI
2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “Analisis Kerentanan Bencana
Tanah Longsor di Kota Sukabumi Menggunakan Metode AHP
(Analytical Hierarchy Process)” ini dilaksanakan pada bulan Juni
2019 di Kota Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 2.1. Peta Lokasi Penelitian Kota Sukabumi Jawa Barat
13
2.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif dengan pendekatan survei. Populasi dalam penelitian ini
adalah Kota Sukabumi. Sampel dalam penelitian ini seluruh
kecamatan yang berada di Kota Sukabumi yaitu sejumlah 7
kecamatan. Pada dasarnya penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari instansi
terkait, yaitu sebagai berikut:
2.1. Jenis dan Sumber Data yang Dibutuhkan
No. Nama Data Jenis Data Sumber
1 Data Curah Hujan
Sekunder Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
2 Data Jenis Tanah
Sekunder Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
3 Data Tutupan Lahan
Sekunder Dinas Tata Ruang Kota Sukabumi
4 Data Penggunaan Lahan
Sekunder Dinas Tata Ruang Kota Sukabumi
5 Data Kemiringan Lereng
Sekunder Badan Informasi Geospasial (BIG)
6 Data geologi Sekunder Badan Informasi Geospasial (BIG)
7 Data kepadatan penduduk
Sekunder Badan Pusat Statistik (BPS)
Sedangkan data primer diperoleh dari hasil observasi
langsung ke lokasi penelitian guna mengamati objek secara
langsung di lapangan, selain melakukan observasi juga dilakukan
wawancara (wawancara stakeholders) dengan melakukan pengisian
kuesioner. Kemudian dilakukan perhitungan bobot setiap
14
parameter penyebab longsor menggunakan Metode AHP dan besar
pengaruh dari setiap parameter terhadap kejadian longsor.
Sehingga diperoleh bobot dari masing-masing parameter atau
kriteria yang digunakan dalam penelitian.
Kuesioner yang digunakan mengandung beberapa parameter
kerawanan longsor. Parameter tersebut akan dibuat suatu
klasifikasi berdasarkan referensi atau sesuai dengan atribut peta.
Perbandingan berpasangan dibuat dengan membandingkan
klasifikasi yang telah ditentukan, lalu penentuan bobot dilakukan
oleh responden dengan kriteria yaitu pihak-pihak yang dianggap
mengetahui dan memahami karakteristik wilayah penelitian,
khususnya yang berhubungan dengan tanah longsor di Kota
Sukabumi.
2.3. Teknik Analisis Data
Proses analisis data dibagi menjadi 2 yaitu analisis atribut dan
analisis keruangan. Atribut adalah proses pemberian atribut atau
informasi pada suatu peta
1. Klasifikasi
Klasifikasi yang dimaksud adalah pembagian kelas dari
masing-masing peta digital. Penskoran adalah pemberian skor pada
peta digital masing-masing parameter yang berpengaruh terhadap
longsor, dengan didasarkan atas pertimbangan pengaruh masing-
masing parameter terhadap kerentanan longsor. Penentuan Skor
untuk masing-masing parameter didasarkan atas pertimbangan,
seberapa besar pengaruh suatu parameter dibandingkan dengan
parameter yang lainnya terhadap kejadian longsor di Kota
Sukabumi.
15
2. Menentukan Faktor Bencana Longsor Berdasarkan Metode
Analytical Hierarchy Process (AHP)
Dalam pemberian harkat untuk masing-masing parameter
dikelompokkan berdasarkan pengaruhnya terhadap kejadian
longsor. Harkat yang paling tinggi adalah yang paling besar
pengaruhnya terhadap terjadinya longsor. Harkat yang paling
rendah adalah yang paling kecil pengaruhnya terhadap terjadinya
longsor.
a. Mendefinisikan masalah dan menetapkan tujuan.
b. Menyusun masalah dalam struktur hierarki. Menyusun
prioritas untuk tiap elemen masalah pada tingkat hierarki.
Proses ini menghasilkan bobot elemen terhadap pencapaian
tujuan, sehingga elemen dengan bobot tertinggi memiliki
prioritas penanganan. Langkah pertama pada tahap ini
adalah menyusun perbandingan berpasangan yang
ditransformasikan dalam bentuk matriks, sehingga matriks
ini disebut matriks perbandingan berpasangan
c. Melakukan pengujian konsistensi terhadap perbandingan
antar elemen yang didapatkan pada tiap tingkat hierarki.
Konsistensi perbandingan ditinjau dari perbandingan matriks
dan keseluruhan hierarki untuk memastikan bahwa urutan
prioritas yang dihasilkan didapatkan dari suatu rangkaian
perbandingan yang masih berada dalam batas-batas
preferensi yang logis. Setelah melakukan perhitungan bobot
elemen, selanjutnya adalah melakukan pengujian konsistensi
matriks. Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan
bantuan tabel Random Index (RI) yang nilainya untuk
matriks dapat dilihat pada Tabel 2. 1 Dengan tetap
menggunakan matriks pada Tabel 2. 2.
16
Tabel 2.1. Matriks Perbandingan Berpasangan (Saaty, 1991)
C 𝐴1 𝐴 2 ... 𝐴𝑛 𝐴1 𝑎11 𝑎12 ... 𝑎1𝑛 𝐴 2 𝑎21 𝑎22 ... 𝑎2𝑛
: : : ... : 𝐴𝑚 𝑎𝑚1 𝑎𝑚2 ... 𝑎𝑚𝑛
Tabel 2.2. Indeks Konsistensi Acak (Saaty, 1991)
N 1 2 3 4 5 6
RI 0 0 0. 58 0. 9 1. 12 1. 24
Pendekatan yang digunakan dalam pengujian konsistensi
matriks perbandingan adalah:
1) Menghitung nilai bobot prioritas tiap parameter dengan
membagi nilai awal matriks dengan jumlah kolomnya dan
Selanjutnya menjumlahkan barisnya.
2) Menghitung nilai Eigen (dengan melakukan pembagian
antara bobot prioritas tiap parameter dengan jumlah
parameter yang digunakan).
3) Mencari nilai Eigen maksimal menjumlahkan seluruh
perkalian jumlah baris pada matriks awal dengan bobot atau
nilai Eigen setiap parameter.
4) Mencari nilai Consistency Index (CI)
CI =–N/(N-1).................... (1)
dengan N adalah jumlah parameter dalam matriks
5) Mencari nilai Consistency Ratio (CR)
CR= CI/R.......................... (2)
Suatu matriks perbandingan disebut konsisten jika nilai CR < 0,10.
17
3. Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan
peta-peta digital setelah diperoleh bobot masing-masing parameter
terhadap kerentanan longsor melalui AHP. Analisis spasial akan
dilakukan untuk menghasilkan zonasi tingkat kerentanan bencana
tanah longsor. Peta-peta digital yang akan ditumpang susunkan
dengan memasukkan setiap bobotnya adalah peta curah hujan, peta
kemiringan lereng, peta jenis tanah, kepadatan penduduk, peta
penggunaan dan tutupan lahan.
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2013,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan/atau faktor non
alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan
dampak psikologis. Sementara bencana alam sendiri didefinisikan
sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa
bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan
dan tanah longsor. Beberapa hal yang berkaitan dengan bencana
(IRBI, 2013):
Bahaya/ancaman (hazard) adalah satu situasi atau kejadian
atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan
kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan
lingkungan.
Risiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang
dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya
rasa aman, jumlah orang mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta dan infrastruktur, dan gangguan kegiatan
masyarakat secara sosial dan ekonomi.
Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang
ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial,
19
ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya
kemampuan dalam menghadapi bahaya (hazard).
Kemampuan/kapasitas (capacity) adalah penguasaan
terhadap sumber daya, teknologi, cara, dan kekuatan yang
dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk
mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan,
menanggulangi, mempertahankan diri dalam menghadapi
ancaman bencana, serta dengan cepat memulihkan diri dari
akibat bencana.
3.1. Tanah Longsor
Skempton dan Hutchinson (1969), tanah longsor atau gerakan
tanah didefinisikan sebagai gerakan menuruni lereng oleh massa
tanah dan atau batuan penyusun lereng tersebut. Menurut Arsyad
(1989: 31) Longsor terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu
volume di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Dalam
hal ini lapisan terdiri dari tanah liat atau mengandung kadar tanah
liat tinggi dan juga dapat berupa lapisan batuan seperti napal liat
(clay shale) setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur.
Cruden dan Varnes (1996) mengklasifikasikan pergerakan
lereng berdasarkan materialnya yang dibagi menjadi batuan, tanah,
dan debris. Batuan adalah material kasar yang terikat dan berada
pada lapisan bawah. Tanah adalah material yang lebih dari 80%-
nya berukuran kurang dari 2mm, sedangkan debris mengandung
material kasar yang 20-80% dari partikelnya berukuran lebih dari
2mm.
Tanah longsor dapat menimbulkan kerusakan yang cukup
besar. Namun bahaya dan risiko terhadap longsor dapat
diminimalisir dengan adanya manajemen risiko yang baik,
berkelanjutan, dan informasi yang akurat tentang kejadian longsor.
Penggunaan pemetaan tingkat kerentanan longsor merupakan
20
salah satu kunci penting untuk mengurangi risiko tersebut, baik
untuk pribadi, umum, pemerintah, sampai peneliti (Shahabi dan
Hashim, 2015).
3.2. Faktor Penyebab Longsor
Cruden dan Varnes (1996) menyebutkan bahwa faktor
penyebab longsor dibagi menjadi 2 kelompok yaitu faktor
penyebab dan faktor pemicu. Faktor penyebab antara lain
kemiringan lereng, jenis batuan dan jenis tanah. Hujan deras,
aktivitas seismik seperti erupsi gunung api dan gempa bumi
termasuk kedalam faktor pemicu.
Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya
longsor dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat
tetap (statis), dan faktor yang bersifat mudah berubah (dinamis).
Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini mempunyai pengaruh
yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh
adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang
bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu
dinamis ini adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada
kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis sebenarnya ada
faktor kegempaan. Namun karena daerah penelitian tidak terlalu
luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap mempunyai
tingkat faktor kegempaan yang sama. Selanjutnya, faktor pemicu
terjadinya tanah longsor yang bersifat statis dibagi lagi ke dalam
dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun dan
struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci,
faktor-faktor tersebut di atas disajikan dalam tabel 3. 1di bawah ini:
21
Tabel 3.1. Faktor-Faktor Pemicu Terjadinya Tanah Longsor
No Faktor Penyebab Parameter
1 Faktor Pemicu Dinamis
Kemiringan Lereng
Curah Hujan
Penggunaan Lahan (Aktivitas Manusia)
2 Faktor Pemicu Statis Jenis Batuan dan Struktur Geologi
Kedalaman Solum Tanah
Permeabilitas Tanah
Tekstur Tanah
Sumber: Goenadi et al. (2003)
3.3. Kerentanan (Vulnerability)
Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang
ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya
kemampuan dalam menghadapi bahaya (hazards) (IRBI, 2013).
Berdasarkan BAKORNAS PB (2007) bahwa kerentanan
(vulnerability) adalah sekumpulan kondisi atau suatu akibat
keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan) yang
berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana. Kerentanan ditujukan pada upaya
mengidentifikasi dampak terjadinya bencana berupa jatuhnya
korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek,
terdiri dari hancurnya pemukiman infrastruktur, sarana dan
prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi
jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat
trauma maupun kerusakan sumber daya alam lainnya.
Penentuan tingkat kerentanan longsor didasarkan atas
perhitungan indikator dan parameter yang mempengaruhi
kerentanan longsor. Adapun indikator dan parameter tersebut
dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
22
(Perka BNPB) No. 2 Tahun 2012, masing-masing indikator tersebut
adalah:
- Kerentanan sosial, parameternya meliputi: kepadatan
penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio
penyandang disabilitas, dan rasio kelompok umur rentan
(lanjut usia dan balita).
- Kerentanan ekonomi, parameternya meliputi: lahan produktif
dan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB).
- Kerentanan fisik, parameternya meliputi: hutan lindung,
hutan alam, dan hutan bakau/mangrove
Selain itu, Paimin et al. (2009) juga menambahkan terdapat 2
variabel/ faktor penentu kerentanan longsor, yaitu: faktor alami
dan faktor manajemen. Faktor alami di antaranya: 1) curah hujan
harian kumulatif 3 hari berturutan, 2) kemiringan lahan, 3) geologi/
batuan, 4) keberadaan sesar/ patahan/ gawir, 5) kedalaman tanah
sampai lapisan kedap; sedangkan dari faktor manajemen di
antaranya: 1) penggunaan lahan, 2) infrastruktur, 3) kepadatan
permukiman.
Soeters dan Van Westen (1996) mengatakan bahwa ada 5
kelompok dataset yang umum digunakan untuk menilai kerentanan
longsor sebagai berikut:
1. Geomorfologi, misalnya data sub-unit geomorfologi dan
bentuk lahan.
2. Topografi dan morfologi, misalnya data lapangan seperti
kemiringan, aspek, dan kelengkungan lereng.
3. Geologi, misalnya data litologi dan batuan penyusun.
4. Penggunaan lahan.
5. Hidrologi, misalnya data drainase, daerah tangkapan air, dan
curah hujan.
23
3.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Menurut Murayama dan Estoque (2010), definisi SIG dibagi
menjadi dua, yaitu definisi secara fungsional dan definisi
berdasarkan komponennya. Berdasarkan fungsinya, sistem
informasi geografis (SIG) adalah sistem yang digunakan untuk
melakukan input, menyimpan, memanipulasi, menganalisis dan
menampilkan data, sedangkan berdasarkan komponennya, SIG
didefinisikan sebagai kumpulan dari perangkat keras, lunak, data
geografis, dan prosedur yang terorganisir untuk melakukan
pengambilan, penyimpanan, analisis, tampilan, serta output dari
data geografis. Dalam analisis rawan longsor penerapan SIG sangat
penting, selain mempermudah dalam memperoleh data, SIG dapat
bekerja pada skala dan wilayah yang luas.
3.5. Analytical Hierarchy Process (AHP)
Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) pertama kali
dikenalkan oleh Thomas L. Saaty pada periode 1971-1975 (Latifah,
2005). Metode ini dipandang dapat membantu menyelesaikan
masalah rumitnya pengambilan keputusan akibat beragamnya
kriteria. Metode ini mengurai masalah multi faktor dan multi
kriteria yang kompleks kedalam suatu hierarki. Menurut Saaty
(1993), hierarki merupakan representasi dari sebuah permasalahan
yang kompleks dalam suatu struktur multi level di mana level
pertama adalah tujuan, yang diikuti level: faktor, kriteria,
subkriteria, dan seterusnya hingga level terkecil dan alternatif yang
dipandang sebagai solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
Dengan hierarki masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam
kelompok-kelompok kemudian diatur menjadi suatu bentuk
hierarki sehingga permasalahan tampak lebih terstruktur dan
sistematis (Syaifullah, 2010). Metode ini banyak digunakan untuk
memecahkan masalah karena menggunakan struktur hierarki,
24
sehingga masalah dapat dipilah-pilah lagi kedalam kriteria dan
sub-subkriteria tertentu, sampai batas tidak dapat dipecah lagi.
Selain itu metode ini memperhitungkan validitas sampai batas
toleransi inkonsistensi berbagai macam kriteria dan alternatif yang
dipilih oleh pengambil keputusan.
Secara umum terdapat tiga prinsip dalam menyelesaikan
persoalan menggunakan metode AHP yaitu decomposition,
comparative judgement, dan synthesis of priority (Hafiyusholeh, 2009).
a. Decomposition (dekomposisi)
Setelah mendefinisikan persoalan, maka dilakukan
decomposition, yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi
unsur-unsur yang lebih sederhana. Dengan kata lain, permasalahan
tersebut dibuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan
umum, dilanjutkan dengan kriteria-kriteria, kemudian subkriteria
dengan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria
yang paling bawah. Untuk mendapatkan hasil yang akurat,
pemecahan juga dapat dilakukan terhadap unsur-unsur sampai
tidak mungkin dilakukan pemecahan lagi.
b. Comparative judgement (penilaian melalui perbandingan)
Prinsip ini mengandung arti bahwa penilaian tentang
kepentingan relatif dua unsur pada suatu tingkat tertentu dalam
kaitannya dengan tingkat atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari
AHP karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas unsur-unsur.
Agar tampak lebih terstruktur, hasil dan penilaian ini disajikan
dalam bentuk matriks perbandingan berpasangan (Pairwise
Comparison Matrix) (Saleh dan Tatang Tiryana, 2007). Contoh
matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel.
25
Tabel 3.2. Matriks Perbandingan Berpasangan
(Pairwise Comparison Matrix) (Saaty, 1991)
C 𝐴1 𝐴2 ... 𝐴𝑛 𝐴1 𝑎11 𝑎12 ... 𝑎1𝑛 𝐴2 𝑎21 𝑎22 ... 𝑎2𝑛
: : : ... : 𝐴𝑚 𝑎𝑚1 𝑎𝑚2 ... 𝑎𝑚𝑛
Sumber: Saleh dan Tatang Tiryana (2007)
Agar diperoleh skala yang baik ketika pembandingan dua
unsur, pemecah masalah harus memiliki pemahaman yang baik
tentang unsur-unsur yang dibandingkan dan relevansinya terhadap
kriteria atau tujuan yang akan dicapai. Adapun skala dasar yang
digunakan untuk membandingkan unsur-unsur yang ada oleh
Saaty (1991) dirangkum dalam Tabel 2. 3.
Tabel 3.3. Skala Perbandingan Berpasangan
Skala Unsur yang dibandingkan
1 3 5 7 9 2,4,6,8
Equally important (sama penting) Moderately more important (sedikit lebih penting) Strongly more important (lebih penting) Very strongly more important (sangat penting) Extremely more important (mutlak lebih penting) Intermediate values (nilai yang berdekatan)
Sumber: (BNPB, 2012)
c. Synthesis of priority (sintesis prioritas)
Dari setiap matriks perbandingan berpasangan (PC) yang
telah dibuat, kemudian dicari Eigen Vektornya untuk mendapatkan
bobot prioritas. Bobot prioritas tersebut menggambarkan besar
bobot masing-masing unsur matriks, semakin besar bobot prioritas
26
yang diperoleh, maka semakin dipandang layak unsur matriks
tersebut untuk dijadikan solusi dari masalah yang ingin
dipecahkan. Bobot tersebut tentunya perlu di teliti kembali apakah
sudah konsisten dan dapat digunakan sebagai suatu pemecahan
masalah dengan melakukan perhitungan rasio konsistensi
(consistency ratio).
Tahapan proses pengambilan keputusan dengan metode
AHP (Hafiyusholeh, 2009) adalah sebagai berikut:
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang
diinginkan
Pertama kali yang perlu dilakukan adalah menentukan
masalah yang ingin dipecahkan, memahami secara jelas dan
mendetail. Dari masalah tersebut kemudian ditentukan solusi yang
mungkin cocok bagi masalah tersebut. Solusi dari masalah
mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut nantinya yang
akan diproses pada tahapan selanjutnya.
2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan
umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan
kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria.
Setelah ditentukan solusi-solusi untuk masalah yang ingin
dipecahkan, kemudian solusi-solusi tersebut dipecah-pecah sampai
batas terkecil sampai tidak mungkin lagi dilakukan pembagian.
Kemudian semua solusi, kriteria, dan sub-sub kriteria disusun
secara sistematis kedalam suatu hierarki.
3. Membuat matriks PC yang menggambarkan kontribusi
relatif setiap unsur terhadap masing-masing tujuan atau
kriteria yang setingkat di atasnya.
Matriks yang digunakan merupakan matriks sederhana.
Perbandingan dilakukan berdasarkan penilaian dan pengambilan
keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
27
dibandingkan dengan elemen lain. Untuk mengawali proses
perbandingan berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling
atas hierarki misalnya A dan kemudian dari level di bawahnya
diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya A1, A2, A3, dan
seterusnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh
ketetapan seluruhnya sebanyak n x [(n–1)/2] buah, dengan
banyaknya unsur yang dibandingkan.
Hasil dari perbandingan masing-masing elemen akan berupa
angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat
kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks
dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan
diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan dapat
membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut
disisikan pada sel yang kolom yang bersesuaian dengan elemen
yang akan dibandingkan.
5. Menghitung bobot prioritas dengan menguji
konsistensinya.
Untuk memperoleh bobot prioritas maka dilakukan
perhitungan Eigenvector masing-masing matriks yang telah dibuat.
Bobot prioritas tersebut menggambarkan bobot dari masing-masing
solusi yang telah ditentukan sebelumnya. Solusi dengan bobot
prioritas terbesar merupakan solusi terbaik di antara solusi-solusi
lain yang telah dirumuskan. Meskipun demikian, tidak selamanya
perhitungan bobot prioritas tersebut konsisten, sehingga perlu
dilakukan evaluasi konsistensi, solusi tersebut dianggap konsisten
apabila hasil perhitungan rasio konsistensi (CR) adalah < 0,1.
3.6. AHP dalam Kajian Kerentanan Tanah Longsor
AHP merupakan salah satu metode pembobotan dalam kajian
kerentanan tanah longsor. Dalam penelitian ini, metode AHP
28
digunakan untuk menghitung bobot setiap parameter penentu
kerentanan tanah longsor yang digunakan. Bobot prioritas masing-
masing variabel dan parameter kerentanan tanah longsor
menggambarkan bobot variabel dan parameter tersebut terhadap
kerentanan tanah longsor di daerah yang dikaji.
Penggunaan metode AHP pada kajian kerentanan telah
banyak digunakan sebelumnya. Komac (2005) mengatakan bahwa
metode ini digunakan untuk menguraikan faktor-faktor penyebab
tanah longsor, dan dapat mengalkulasi bobot masing-masing faktor
dengan lebih transparan, artinya nilai bobot pada masing-masing
faktor diperoleh melalui perhitungan matematis yang jelas.
Penghitungan nilai bobot secara matematis dan diakhiri dengan
pengujian konsistensi membuat metode AHP dipandang lebih
efektif dibanding dengan metode –metode penentuan kerentanan
tanah longsor sebelumnya.
Nilai bobot yang diperoleh dari perhitungan menggunakan
AHP kemudian digunakan untuk menghitung indeks kerentanan
tanah longsor. Indeks ini merupakan hasil jumlah total dari
perkalian antara setiap variabel dengan bobot parameter penentu
kerentanan tanah longsor.
A. Penelitian Relevan
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian
Agustina, Emiliya (2015) Universitas
Negeri Yogyakarta
Penentuan Tingkat
Kerentanan Tanah
Longsor (Landslide) di
Kecamatan Loano
Kabupaten
Deskriptif Kuantitatif
Hasil penelitian: 1) Tingkat kerentanan tanah longsor di Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo terdiri dari dua kelas, yaitu sedang dan tinggi, 2) (a) Daerah dengan tingkat kerentanan sedang memiliki luas 2. 454,3677 Ha dan Desa Sedayu memiliki
29
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian
Purworejo Menggunakan
Sistem Informasi Geografi
tingkat kerentanan sedang yang paling luas yaitu 392,5890 Ha, (b) Daerah dengan tingkat kerentanan tinggi memiliki luas 2. 663,9428 Ha dan Desa Loano memiliki tingkat kerentanan tinggi yang paling luas yaitu 271,3004 Ha. 3) Mitigasi untuk mencegah bahaya longsor dapat dilakukan sebelum dan sesudah terjadi tanah longsor. Mitigasi sebelum terjadi tanah longsor antara lain sosialisasi berupa peringatan kepada masyarakat. Mitigasi sesudah terjadi longsor antara lain membangun batu sender atau dinding batu pada tebing sungai, pembangunan batu sender pada tebing yang rentan atau pernah terjadi longsor, pembuatan terasering untuk melandaikan lereng, penanaman tumbuhan dengan larikan-larikan dan pemanfaatan jerami untuk menutup tanah.
Faridah, Wida (2015)
Universitas Pendidikan Indonesia
Tingkat Kerentanan
Bencana Longsor di Kecamatan Sukahening Kabupaten
Tasikmalaya
Eksploratif Hasil Penelitian: 1) Potensi longsor di Kecamatan Sukahening terbagi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu daerah potensi longsor rendah seluas 12%, daerah potensi longsor sedang seluas 32%, dan daerah potensi longsor tinggi seluas 56%. 2) Tingkat kerentanan bencana longsor di Kecamatan Sukahening diklasifikasikan menjadi dua zonasi, yaitu daerah dengan
30
Nama Peneliti Judul Metode Hasil Penelitian
tingkat kerentanan sedang seluas 14% dan daerah dengan tingkat kerentanan tinggi seluas 86% yang tersebar di seluruh desa yang ada di Kecamatan Sukahening.
Hidayah, A. et al.
(2017) Universitas Hasanuddin
Makassar
Analisis Rawan
Bencana Longsor
menggunakan Metode AHP (Analitycal Hierarchy Process)
Kuantitatif: Survei
Hasil penelitian menunjukkan pengetahuan tentang lingkungan hidup pada masyarakat di permukiman kelurahan Salembaran Jaya tergolong pada penilaian cukup baik dengan rentang skor sebesar 68,36%, serta penilaian akan perilaku hidup bersih di kalangan masyarakat menunjukkan skor sebesar 55,10% tergolong cukup baik. Perilaku masyarakat dalam menjaga kebersihan permukiman dengan skor tertinggi pada indikator “pelibatan tokoh masyarakat” yakni sebesar 27,55%.
Wiki Indra Kurniawan (2018)
Universitas Negeri Jakarta
Analisis Kerentanan
Bencana Tsunami di Kecamatan
Ambal Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah
Deskriptif Tingkat kerentanan tsunami di Kecamatan Amdal, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah
Sumber: Penelitian (2019)
31
B. Kerangka Berpikir
Kerentanan terhadap tanah longsor tentunya perlu diketahui
untuk mengurangi adanya kerugian-kerugian yang ditimbulkan
oleh bencana tanah longsor tersebut. Kerentanan tanah longsor
dapat diprediksi dengan berbagai metode salah satunya adalah
Analytical Hierarchy Process (AHP). Dalam aplikasinya untuk
analisis kerentanan tanah longsor, metode AHP digunakan sebagai
alat untuk menentukan bobot pada masing-masing indikator
penentu kerentanan tanah longsor. Hal ini dikarenakan masing-
masing indikator memiliki tingkat kepentingan atau kontribusi
yang berbeda-beda dalam penilaian kerentanan longsor. Penentuan
bobot tersebut dinilai lebih efektif karena nilai bobot diperoleh
berdasarkan perhitungan matematis. Bobot yang diperoleh
kemudian dihitung untuk mendapatkan indeks kerentanan tanah
longsor. Hasil dari perhitungan tersebut masih berupa angka-
angka, oleh karena itu untuk memperoleh hasil maksimal maka
perlu bantuan SIG untuk menyajikan data tersebut secara spasial.
Dengan menggunakan bantuan SIG, maka distribusi keruangan
daerah rawan longsor dapat disajikan, sehingga penanganan dan
antisipasi terhadap bencana tanah longsor dapat dilakukan secara
tepat sasaran.
Untuk mengetahui tingkat kerentanan bencana tanah longsor,
dibutuhkan parameter yang menjadi dasar penelitian. Parameter
tersebut di antaranya adalah: curah hujan, kemiringan lereng, jenis
tanah dan penggunaan lahan, tutupan lahan dan faktor geologi.
Perhitungan parameter akan di-overlay agar diketahui tingkat
kerentanan tanah longsor pada setiap wilayah. Setelah dilakukan
penyesuaian dengan teknik overlay maka akan menghasilkan peta
tingkat kerentanan tanah longsor di Kota Sukabumi, Jawa Barat.
Secara skematis kerangka penelitian ini disajikan dalam
Gambar 2.1.
32
Gambar 3.1. Diagram alur kerangka pemikiran
Tutupan lahan
Kota Sukabumi, Jawa Barat
Curah hujan
Jenis
tanah
Kemiringan lereng
Tingkat kerentanan tanah longsor
Overlay
Faktor Kerentanan Longsor
Scoring menggunakan AHP
Penggunaan lahan
Geologi
33
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Wilayah Kota Sukabumi
Kota Sukabumi terletak di bagian selatan tengah Jawa Barat
pada koordinat 106°45’50” Bujur Timur dan 106°45’10” Bujur Barat, 6°49’29” Lintang Utara dan 6°50’44” Lintang Selatan, terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya
584 meter di atas permukaan laut. Kota Sukabumi mempunyai
batas-batas wilayah administratif sebagai berikut:
a. Sebelah Utara: Kecamatan Sukabumi (Kabupaten Sukabumi)
b. Sebelah Selatan: Kecamatan Nyalindung (Kabupaten
Sukabumi)
c. Sebelah Barat: Kecamatan Cisaat (Kabupaten Sukabumi)
d. Sebelah Timur: Kecamatan Sukaraja (Kabupaten Sukabumi)
Secara administrasi Kota Sukabumi dibagi menjadi 7 (tujuh)
kecamatan, terdiri dari 33 (tiga puluh tiga) Kelurahan. Adapun
kecamatan–kecamatan yang dimaksud dapat dilihat pada tabel 4. 1
Tabel 4.1. Luas Wilayah per Kecamatan di Kota Sukabumi
tahun 2017
No Kecamatan Luas (km2) Persentase (%) 1 Baros 6,11389 12,74
2 Lembursitu 8,89763 18,54
3 Cibeureum 8,7739 18,28
4 Citamiang 4,040 8,42
5 Warudoyong 7,5983 15,83
34
No Kecamatan Luas (km2) Persentase (%) 6 Gunungpuyuh 5,49579 11,45
7 Cikole 7,0828 14,76
Jumlah 48,00231 100
Sumber: Monografi Kecamatan
Gambar 4.1. Peta Administrasi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
35
4.2. Kondisi Fisik Kota Sukabumi
Kondisi fisik Kota Sukabumi itu sendiri terdiri dari Topografi,
geologi, kemiringan lereng, jenis tanah, penggunaan lahan, curah
hujan dan keberadaan sesar, penjelasannya sebagai berikut:
1. Topografi
Topografi lokasi penelitian diperoleh dari data sekunder
digital elevation model (DEM)/SRTM USGS dengan resolusi 90
meteran. Data sekunder tersebut diolah dengan menggunakan
software Arc GIS 10. 3.
Gambar 1 menunjukkan bahwa telah menghasilkan Kontur
topografi setiap 85,75 meter. Topografi tertinggi di lokasi penelitian
ini adalah 619–702 meter, wilayah ini berada pada lereng Gunung
Gede dan Gunung Pangrango dan wilayah ini meliputi Kecamatan
Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cibeureum.
Topografi 456– 507 meter terdapat di wilayah Kecamatan
Citamiang, Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Baros dan
Kecamatan Warudoyong. Topografi 561–619 meter terdapat juga di
wilayah Kecamatan Cikole, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan
Warudoyong, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Citamiang.
Sedangkan kontur topografi terendah yaitu sekitar 359–456 meter
dan hanya terdapat di wilayah Kecamatan Lembursitu. Adapun
peta topografi Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 1.
36
Gambar 1. Peta Topografi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
2. Keberadaan Sesar
Sesar Cimandiri ini merupakan sesar geser aktif yang terletak
di bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Sebagai sesar aktif, sesar
Cimandiri ini bergerak dengan kecepatan geser 4-6 mm per tahun.
Di Kabupaten Sukabumi, sesar ini terbagi menjadi 5 segmen, yaitu
37
segmen Cimandiri Pelabuhanratu-Citarik, Citarik-Cadasmalang,
Ciceureum-Cirampo, Cirampo-Pegleseran, dan Pegleseran-
Gandasoli. Adapun peta keberadaan sesar Kota Sukabumi dapat
dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Peta Keberadaan Sesar Kota Sukabumi
Provinsi Jawa Barat
38
3. Geologi
Berdasarkan struktur geologinya, Kota Sukabumi didasari
oleh sejumlah formasi seperti tampak pada Tabel 4. 2.
Tabel 4.2. Komposisi Formasi Geologi Kota Sukabumi
NO SIMBOL FORMASI KETERANGAN
1 Tomr Formasi Rajamandala
Napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan lensa-lensa batu
gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica, globigerina
praebullaides, orbulina, lapidocyclina, dan spiroclypeus
2 Tom1 Anggota Batugamping
FormasiRajamandala
Batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil
lithothamnium, lapidocyclina sumatrensis dan
lapidocyclina(eulepidina) ephippioides
3 Qvg Batuan gunungapi gunung gede
Breksi tufan dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen
dan banyak sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya
lapuk sekali
4 Qa Aluvium Lempung, lanau, kerikil dan kerakal; terutama endapan sungai
termasuk pasir dan kerikil endapan pantai sepanjang Teluk
Pelabuhan Ratu.
5 Tmjt Anggota Tuf dan Breksi Formasi
Jampang
Batupasir tuf dasitan, tuf andesit, tuf batu apung, dan breksi
andesit/dasit tufan gampingan dan batu lempung napalan.
Sumber: Pengolahan data 2019
39
Tabel menunjukkan bahwa litologi di Kota Sukabumi ini
sangat beragam, terutama tersusun oleh Formasi Rajamandala
(Tomr), anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1),
Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg), Aluvium (Qa), Anggota
Tuf dan Breksi Formasi Jampang (Tmjt). Formasi Rajamandala
(Tomr) merupakan napal tufan, lempung napalan, batu pasir dan
lensa-lensa batu gamping mengandung fosil globigerina oligocaenica,
globigerina praebullaides, orbulina, lapidocyclina, dan spiroclypeus.
Anggota Batugamping Formasi Rajamandala (Tom1) merupakan
batu gamping terumbu koral dengan sejumlah fosil lithothamnium,
lapidocyclina sumatrensis dan lapidocyclina(eulepidina) ephippioides.
Batuan Gunung Api Gunung Gede (Qvg) merupakan breksi tufan
dan lahar, andesit dengan oligoklas-andesit, piroksen dan banyak
sekali horenblenda, tekstur seperti trakhit, umumnya lapuk sekali.
Aluvium (Qa) merupakan lempung, lanau, kerikil dan kerakal;
terutama endapan sungai termasuk pasir dan kerikil endapan
pantai sepanjang Teluk Pelabuhan Ratu. Anggota Tuf dan Breksi
Formasi Jampang (Tmjt) merupakan batu pasir tuf dasitan, tuf
andesit, tuf batu apung, dan breksi andesit/dasit tufan gampingan
dan batu lempung napalan. Adapun peta geologi Kota Sukabumi
dapat dilihat pada gambar 3.
40
Gambar 3. Peta Geologi Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
41
4. Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng di dalam penelitian merupakan data
sekunder yang diperoleh dari hasil pengolahan data topografi.
Kemiringan lereng yang dimiliki wilayah penelitian ini cukup
bervariasi sehingga mempengaruhi terjadinya bencana longsor.
Lokasi yang berbukit-bukit memiliki tingkat kemiringan lereng
yang tinggi. Data kemiringan lereng ini diklasifikasikan menjadi 5
kelas berdasarkan tingkat kemiringan lereng yaitu, datar, landai,
agak curam, curam dan sangat curam seperti pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Kemiringan Lereng Kota Sukabumi
NO KEMIRINGAN LERENG LUAS
% Keterangan (Ha) Persentase %
1 0-8% Datar 419,95 9%
2 8-15% Landai 626,13 13%
3 15-25% Agak Curam 873,21 18%
4 25-45% Curam 1. 235,42 25%
5 >45% Sangat Curam 1. 732,11 35%
JUMLAH 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa wilayah kemiringan lereng
dengan kondisi topografi (datar) 0–8 % terdapat di Kota Sukabumi
bagian tengah dengan luas wilayah mencapai 419,95 ha dan
dimanfaatkan untuk lahan pemukiman. Untuk kemiringan lereng
8–15 % (landai) juga terdapat di Kota Sukabumi bagian tengah
dengan luas wilayah 626,13ha.
Untuk kemiringan lereng 15-25 % (agak curam) terdapat di
Kota Sukabumi bagian barat dengan luas wilayah 873,21 ha. Untuk
kemiringan lereng 25-45% (curam) terdapat di Kota Sukabumi
bagian barat dan timur dengan luas wilayah keseluruhan mencapai
42
1. 235,42 ha. Secara umum daerah Kota Sukabumi didominasi oleh
kelas kemiringan lereng dengan kondisi topografi sangat curam (>
40 %) dengan luasan mencapai 35% dengan luas wilayah
keseluruhan mencapai 1. 732,11 ha dari luas Kota Sukabumi.
Adapun peta kemiringan lereng Kota Sukabumi dapat dilihat pada
gambar...
5. Jenis Tanah
Klasifikasi parameter jenis tanah di Kota Sukabumi yang
digunakan untuk menjadi data sekunder diperoleh dari peta jenis
tanah dengan skala 1:250. 000 sumber data dari Kementerian
Pertanian tahun 2018. Skala peta jenis tanah ini sangat kecil
sehingga tingkat akurasi data dan informasi tentang jenis tanah ini
masih sangat umum. Berdasarkan pada gambar peta jenis tanah
Kota Sukabumi, maka jenis tanah di daerah tersebut terdiri dari 4
jenis tanah dan luas masing-masing jenis tanahnya dinyatakan
dalam Tabel 4. 4.
Tabel 4.4. Jenis Tanah di Kota Sukabumi
Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase %
Latosol 1. 054,62 22%
Andosol 830,01 17%
Grumusol 2. 906,74 59%
Padzolik 95,45 2%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa variasi jenis tanah di Kota
Sukabumi ini sangat beragam, Jenis tanah yang mendominasi Kota
Sukabumi yaitu jenis tanah grumusol dengan persentase terbesar
yaitu 59% yang meliputi seluruh wilayah Kota Sukabumi yang
43
terdapat diwilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan
Warudoyong, Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunung Puyuh,
Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Baros dengan luas
keseluruhan mencapai 2. 906,74 ha. Untuk jenis tanah andosol
sebanyak 17% terdapat di wilayah Kota Sukabumi yang meliputi
wilayah Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Warudoyong,
Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cikole dan juga sedikit
terdapat di Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Baros dengan
luas keseluruhan mencapai 830,01 ha. Untuk Jenis tanah latosol
sebanyak 22% yang meliputi wilayah Kecamatan Cibeureum,
Kecamatan Warudoyong, Kecamatan Gunung Puyuh dan
Kecamatan Cikole dengan luas keseluruhan mencapai 1. 054,62 ha,
yang paling banyak terdapat jenis tanah ini yaitu di Kecamatan
Cibeureum dan jenis tanah yang terakhir dengan persentase
terendah 2% yaitu jenis tanah Padzolik yang meliputi wilayah
Kecamatan Citamiang dan Kecamatan Cibeureum dengan luas
95,45 ha. Adapun peta tanah Kota Sukabumi dapat dilihat pada
gambar 4.
44
Gambar 4. Peta Jenis Tanah Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
45
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan yang terjadi di Kota Sukabumi
dipengaruhi oleh faktor alami maupun faktor non alami. Secara
alami faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan Kota
Sukabumi antara lain kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan,
kandungan air tanah dan sebagainya, sedangkan faktor non alami
yang mempengaruhi penggunaan lahan yaitu aktivitas yang terjadi
di masyarakat, mata pencaharian, jumlah penduduk dan sebaran
penduduk.
Pemanfaatan lahan saat ini di wilayah Kota Sukabumi secara
garis besar dapat dikelompokkan menjadi lahan terbangun dan
lahan non terbangun. Lahan non terbangun meliputi lahan sawah,
ladang, semak belukar, hutan kering, tanah kosong dan kebun.
Lahan sawah menempati urutan pertama terbesar pemanfaatan
lahan non terbangun di wilayah Kota Sukabumi. Lahan terbangun
meliputi lahan pemukiman, sarana dan prasarana perkotaan,
bangunan-bangunan dan gedung-gedung. Lahan pemukiman
menempati urutan pertama terbesar lahan terbangun Kota
Sukabumi.
Tabel 4.5. Penggunaan Lahan Kota Sukabumi
Penggunaan lahan Luas (Ha) Persentase %
Tanah Kosong 35,78 1%
Hutan Kering 159,84 3%
Semak Belukar 517,36 11%
Pemukiman 1. 917,34 39%
Empang 48,49 1%
Gedung/Bangunan 69,69 1%
Kebun 150,57 3%
Ladang 90,76 2%
Sawah 1. 896,99 39%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
46
Tabel menunjukkan hasil analisis terhadap data penggunaan
lahan di lokasi penelitian maka diketahui bahwa penggunaan lahan
untuk fungsi budidaya lebih besar dibandingkan dengan
penggunaan lahan untuk fungsi lindung. Penggunaan lahan untuk
kawasan budidaya yang meliputi penggunaan lahan pemukiman,
sawah, gedung-gedung, ladang, kebun, semak belukar, tanah
kosong dan empang teridentifikasi dengan persentase keseluruhan
mencapai 97% yang didominasi oleh penggunaan lahan untuk
pemukiman dan sawah, sehingga untuk luas penggunaan lahan
kawasan budidaya ini total keseluruhan mencapai 4. 726,98 ha dari
total luas Kota Sukabumi, dengan total masing-masing luas
penggunaan lahan yaitu untuk penggunaan lahan pemukiman
sebesar 39% dengan luas 1. 917,34 ha, penggunaan lahan sawah
sebesar 39% dengan luas 1. 896,99 ha, penggunaan lahan
gedung/bangunan sebesar 1% dengan luas 69,69 ha, penggunaan
lahan ladang sebesar 2% dengan luasan 90,76 ha, penggunaan lahan
kebun sebesar 3% dengan luas 150,57 ha, penggunaan lahan semak
belukar sebesar 11% dengan luas 517,36 ha, penggunaan lahan
tanah kosong sebesar 1% dengan luas 35,78 ha dan untuk
penggunaan lahan empang sebesar 1% dengan luas 48,49ha.
Sementara penggunaan lahan untuk fungsi lindung sebagian
besar masih berupa hutan yang terbagi berdasarkan fungsi dan
pemanfaatannya sebanyak 3% dengan luas keseluruhan 159,84 ha
dari total luas Kota Sukabumi. Adapun peta penggunaan lahan
Kota Sukabumi dapat dilihat pada gambar 5.
47
Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kota Sukabumi
Provinsi Jawa Barat
48
7. Curah Hujan
Nilai curah hujan rata-rata tahunan di Kota Sukabumi
dominan berada di antara 2. 500 mm–3. 000 mm. Beberapa di
daerah Kota Sukabumi yang memiliki intensitas curah hujan
tertinggi yaitu terdapat di Kecamatan Gunung Puyuh dan
Kecamatan Cikole yaitu sekitar 3000–3500 mm. Sementara tingkat
intensitas curah hujan tahunan dengan intensitas curah hujan 2500–3000 mm berada di sebagian besar daerah Kecamatan Warudoyong,
Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Lembursitu
dan Kecamatan Citamiang.
Tabel 4.6. Curah Hujan Kota Sukabumi
Intensitas Curah Hujan (mm)
Luas (Ha)
Persentase %
2500 - 3000 mm 3. 981,18 81%
3000 - 3500 mm 905,64 19%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan data 2019
Tabel menunjukkan bahwa intensitas curah hujan di Kota
Sukabumi sebesar 81% berada di antara 2. 500–3. 000 mm per tahun
yang mendominasi seluruh kecamatan di Kota Sukabumi ini
dengan luas keseluruhan mencapai 3. 981,18 ha. Sedangkan curah
hujan dengan intensitas 3. 000–3. 500 mm per tahun sebesar 19%
dari luas keseluruhan dengan luas 905,64 ha terdapat di wilayah
Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole yang merupakan
wilayah kecamatan dengan intensitas curah hujan tertinggi di
daerah Kota Sukabumi. Adapun peta Curah Hujan Kota Sukabumi
dapat dilihat pada gambar 6.
49
Gambar 6. Peta Curah Hujan Kota Sukabumi Provinsi Jawa Barat
50
4.3. Perhitungan Metode AHP (Analytical Hierarchy Process)
Pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
longsor dilakukan dengan analisis AHP (Analytical Hierarchy
Process). Analisis ini dilakukan dengan mengelompokkan beberapa
parameter seperti kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi. Prinsip kerja
AHP adalah menyederhanakan suatu masalah kompleks menjadi
bagian-bagiannya dan menatanya dalam suatu hierarki atau
peringkat. Input awal untuk matriks perbandingan dalam metode
ini digunakan dengan menentukan skor masing-masing faktor
yang digunakan. Proses skoring ini diberikan berdasarkan
pengaruh terhadap longsor, semakin tinggi skornya maka semakin
tinggi pengaruh faktor tersebut terhadap bahaya longsor.
Dari permasalahan yang ada dalam menentukan faktor-faktor
penyebab terjadinya bencana tanah longsor di Kota Sukabumi,
berdasarkan tingkat kepentingan parameter atau kriteria-kriteria
yang ditentukan oleh tenaga ahli guna menentukan faktor utama
penyebab longsor Kota Sukabumi.
Menurut ahli 1, dalam membandingkan keenam parameter
penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat
bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 5
yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting
daripada parameter kemiringan lereng yang berpengaruh terhadap
terjadinya longsor di Kota Sukabumi.
Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 3
yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih
penting daripada parameter jenis tanah. Parameter kemiringan
lereng dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa
parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter
penggunaan lahan. Parameter kemiringan lereng dan keberadaan
51
sesar diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter keberadaan
sesar sedikit lebih penting daripada parameter kemiringan lereng.
Parameter kemiringan lereng dan geologi diberi skala 1 yang
dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan
mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya
bencana longsor.
Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 9 yang
dianggap bahwa parameter curah hujan mutlak penting daripada
parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan
lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan
lebih penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter
curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang dianggap
bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting daripada
parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan geologi
diberi skala 1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut
sama pentingnya dan mempunyai pengaruh yang sama besar
terhadap terjadinya bencana longsor.
Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 3
yang dianggap bahwa parameter penggunaan lahan sedikit lebih
penting dari pada parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan
keberadaan sesar diberi skala 3 juga yang dianggap bahwa
parameter keberadaan sesar sedikit lebih penting daripada
parameter jenis tanah. Parameter jenis tanah dan geologi diberi
skala 7 yang dianggap bahwa parameter geologi sangat penting
atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter jenis tanah.
Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi
skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih
penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter
penggunaan lahan dan geologi diberi skala 5 yang dianggap bahwa
parameter geologi lebih penting daripada parameter penggunaan
lahan.
52
Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 2 yang
dianggap bahwa kedua parameter ini memiliki kepentingan yang
sama. Adapun matriks keputusan kriteria- kriteria penyebab
bencana longsor tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 2 dan hasil
pembobotannya dapat dilihat pada Gambar 4. 3.
Gambar 4.2. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 1
Gambar 4.3. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 1
Gambar 4. 3 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil skor
dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai
inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.
10 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot
yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena
memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang
dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari
ahli 1 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam
penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki
prioritas.
53
Hasil perhitungan bobot dari ahli 1 diperoleh bobot dari
setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter
curah hujan dengan nilai bobot 367, parameter keberadaan sesar
bobot 223, geologi bobot 197, kemiringan lereng bobot 126,
penggunaan lahan bobot 51 dan jenis tanah dengan bobot 36.
Kriteria yang memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 1
adalah parameter curah hujan. Parameter curah hujan ini
merupakan parameter dengan nilai peranan paling besar dalam
mempengaruhi terjadinya longsor dengan nilai bobot sebesar 367.
Menurut ahli 2, dalam membandingkan keenam parameter
penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat
bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 5
yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting
daripada parameter kemiringan lereng yang berpengaruh terhadap
terjadinya longsor di Kota Sukabumi.
Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 3
yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sedikit lebih
penting daripada parameter jenis tanah. Parameter kemiringan
lereng dan penggunaan lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa
parameter kemiringan lereng lebih penting daripada parameter
penggunaan lahan. Parameter kemiringan lereng dan keberadaan
sesar diberi skala 2 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut
memiliki kepentingan yang sama. Parameter kemiringan lereng
dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter
kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter
geologi.
Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 5 yang
dianggap bahwa parameter curah hujan lebih penting daripada
parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan penggunaan
lahan diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter curah hujan
54
sedikit lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.
Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 3 yang
dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting
daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan
geologi diberi skala 3 juga yang dianggap parameter curah hujan
sedikit lebih penting daripada parameter geologi.
Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 2
yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut memiliki
kepentingan yang sama. Parameter jenis tanah dan keberadaan
sesar diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan
sesar lebih penting daripada parameter jenis tanah. Parameter jenis
tanah dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter
geologi sedikit lebih penting daripada parameter jenis tanah.
Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi
skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih
penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter
penggunaan lahan dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa
parameter geologi sedikit lebih penting daripada parameter
penggunaan lahan.
Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 2 yang
dianggap bahwa kedua parameter ini memiliki kepentingan yang
sama. Adapun matriks keputusan tingkat kepentingan kriteria-
kriteria tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 4.
Gambar 4.4. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 2
55
Gambar 4.5. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 2
Gambar 4. 5 menunjukkan bahwa dapat diketahui hasil skor
dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai
inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.
09 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot
yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena
memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang
dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari
ahli 2 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam
penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki
prioritas.
Hasil perhitungan bobot dari ahli 2 diperoleh bobot dari
setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter
curah hujan dengan nilai bobot 401, parameter keberadaan sesar
bobot 217, kemiringan lereng bobot 167, geologi bobot 110, jenis
tanah bobot 56 dan penggunaan lahan dengan bobot 49. Kriteria
yang memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 2 adalah
parameter curah hujan. Parameter curah hujan ini merupakan
parameter dengan nilai peranan paling besar dalam mempengaruhi
terjadinya longsor dengan nilai bobot sebesar 401.
Menurut ahli 3, dalam membandingkan keenam parameter
penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat
bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 2
56
yang dianggap bahwa parameter curah hujan dan parameter
kemiringan lereng memiliki kepentingan yang sama dalam
mempengaruhi terjadinya bencana longsor di Kota Sukabumi.
Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah diberi skala 1
yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya
dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya
bencana longsor. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan
lahan diberi skala 6 yang dianggap bahwa parameter kemiringan
lereng sedikit penting daripada parameter penggunaan lahan.
Parameter kemiringan lereng dan keberadaan sesar diberi skala 5
yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng lebih penting
daripada parameter keberadaan sesar. Parameter kemiringan
lereng dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa parameter
kemiringan lereng sedikit lebih penting daripada parameter
geologi.
Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 3 yang
dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit lebih penting
daripada parameter jenis tanah. Parameter curah hujan dan
penggunaan lahan diberi skala 6 yang dianggap bahwa parameter
curah hujan sedikit penting daripada parameter penggunaan lahan.
Parameter curah hujan dan keberadaan sesar diberi skala 6 juga
yang dianggap bahwa parameter curah hujan sedikit penting
daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah hujan dan
geologi diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan
lebih penting daripada parameter geologi.
Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 5
yang dianggap bahwa parameter jenis tanah lebih penting daripada
parameter penggunaan lahan. Parameter jenis tanah dan
keberadaan sesar diberi skala 5 juga yang dianggap bahwa
parameter jenis tanah lebih penting daripada parameter keberadaan
57
sesar. Parameter jenis tanah dan geologi diberi skala 3 yang
dianggap bahwa parameter jenis tanah sedikit lebih penting
daripada parameter geologi.
Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi
skala 3 yang dianggap bahwa parameter penggunaan lahan sedikit
lebih penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter
penggunaan lahan dan geologi diberi skala 6 yang dianggap bahwa
parameter geologi sedikit penting daripada parameter penggunaan
lahan.
Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 3 yang
dianggap bahwa parameter geologi sedikit lebih penting daripada
parameter keberadaan sesar. Adapun matriks keputusan tingkat
kepentingan kriteria-kriteria tersebut dapat dilihat pada gambar 21.
Gambar 4.6. Matriks Keputusan Ternormalisasi Ahli 3
Gambar 4.7. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 3
Gambar 4. 7 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil skor
dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai
58
inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.
10 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot
yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena
memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang
dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari
ahli 3 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam
penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki
prioritas.
Hasil perhitungan bobot dari ahli 3 diperoleh bobot dari
setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter
curah hujan dengan nilai bobot 318, kemiringan lereng bobot 288,
jenis tanah bobot 201, geologi bobot 109, penggunaan lahan bobot
47 dan parameter keberadaan sesar memiliki bobot 36. Kriteria
yang memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 3 adalah
parameter curah hujan. Parameter curah hujan ini merupakan
parameter dengan nilai peranan paling besar dalam mempengaruhi
terjadinya longsor dengan nilai bobot sebesar 318.
Menurut ahli 4, dalam membandingkan keenam parameter
penyebab longsor yaitu kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah,
penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi, berpendapat
bahwa parameter kemiringan lereng dan curah hujan diberi skala 1
yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya
dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya
bencana longsor di Kota Sukabumi.
Parameter kemiringan lereng dan jenis tanah juga diberi skala
1 yang dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya
dan mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya
bencana longsor. Parameter kemiringan lereng dan penggunaan
lahan diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter kemiringan
lereng lebih penting daripada parameter penggunaan lahan.
59
Parameter kemiringan lereng dan keberadaan sesar diberi skala 7
yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sangat penting
atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter keberadaan
sesar. Parameter kemiringan lereng dan geologi juga diberi skala 7
yang dianggap bahwa parameter kemiringan lereng sangat penting
atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter geologi.
Parameter curah hujan dan jenis tanah diberi skala 1 yang
dianggap bahwa kedua parameter tersebut sama pentingnya dan
mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya
bencana longsor. Parameter curah hujan dan penggunaan lahan
diberi skala 5 yang dianggap bahwa parameter curah hujan lebih
penting daripada parameter penggunaan lahan. Parameter curah
hujan dan keberadaan sesar diberi skala 7 yang dianggap bahwa
parameter curah hujan sangat penting atau jelas lebih mutlak
penting daripada parameter keberadaan sesar. Parameter curah
hujan dan geologi juga diberi skala 7 yang dianggap bahwa
parameter curah hujan sangat penting atau jelas lebih mutlak
penting daripada parameter geologi.
Parameter jenis tanah dan penggunaan lahan diberi skala 5
yang dianggap bahwa parameter jenis tanah lebih penting daripada
parameter penggunaan lahan. Parameter jenis tanah dan
keberadaan sesar diberi skala 7 yang dianggap bahwa parameter
jenis tanah sangat penting atau jelas lebih mutlak penting daripada
parameter keberadaan sesar. Parameter jenis tanah dan geologi juga
diberi skala 7 yang dianggap bahwa parameter jenis tanah sangat
penting atau jelas lebih mutlak penting daripada parameter geologi.
Parameter penggunaan lahan dan keberadaan sesar diberi
skala 5 yang dianggap bahwa parameter keberadaan sesar lebih
penting dari pada parameter penggunaan lahan. Parameter
penggunaan lahan dan geologi diberi skala 3 yang dianggap bahwa
60
parameter geologi sedikit lebih penting daripada parameter
penggunaan lahan.
Parameter keberadaan sesar dan geologi diberi skala 2 yang
dianggap bahwa kedua parameter ini memiliki kepentingan yang
sama. Adapun matriks keputusan tingkat kepentingan kriteria-
kriteria tersebut dapat dilihat pada gambar 4. 8.
Gambar 4.8. Matriks Keputusan Ternormalisasi ahli 4
Gambar 4.9. Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Menurut Ahli 4
Gambar 4. 9 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil skor
dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai
inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.
09 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot
yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena
memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang
dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari
ahli 4 konsisten. Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam
61
penelitian ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki
prioritas.
Hasil perhitungan bobot dari ahli 4 diperoleh bobot dari
setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter
curah hujan dengan nilai bobot 282, kemiringan lereng bobot 282,
jenis tanah bobot 282, parameter keberadaan sesar memiliki bobot
71, geologi bobot 47, dan penggunaan lahan bobot 36. Kriteria yang
memiliki kepentingan paling tinggi menurut ahli 4 adalah
parameter kemiringan lereng, curah hujan dan jenis tanah. Ketiga
parameter tersebut merupakan parameter dengan nilai peranan
paling besar dalam mempengaruhi terjadinya longsor dengan nilai
bobot yang sama yaitu sebesar 282.
Dari permasalahan yang ada dalam menentukan faktor-faktor
penyebab terjadinya bencana tanah longsor di Kota Sukabumi,
berdasarkan tingkat kepentingan parameter atau kriteria-kriteria
yang ditentukan oleh keempat tenaga ahli guna menentukan faktor
utama penyebab longsor Kota Sukabumi dapat dilihat pada
tabel 17.
Tabel 4.7. Kriteria-kriteria penyebab longsor
Kriteria Keterangan
Curah Hujan Parameter curah hujan lebih berpengaruh dari parameter yang lainnya
Kemiringan Lereng Parameter kemiringan lereng berpengaruh terhadap longsor sama dengan parameter curah hujan tetapi lebih penting daripada jenis tanah, penggunaan lahan, keberadaan sesar dan geologi
Penggunaan Lahan Parameter penggunaan lahan sedikit lebih penting daripada parameter geologi
Keberadaan Sesar Parameter keberadaan sesar memiliki pengaruh sama dengan geologi tetapi lebih penting daripada jenis tanah
62
Kriteria Keterangan
Jenis Tanah Parameter jenis tanah mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap terjadinya bencana longsor dengan penggunaan lahan
Geologi Parameter geologi dengan keberadaan sesar sama-sama memiliki pengaruh terhadap terjadinya longsor
1. Hierarki
Gambar 4.10. Struktur Hierarki
2. Penentuan Prioritas
Dalam menggantikan asumsi, penilaian kriteria dilakukan
melalui perbandingan berpasangan. Skala yang digunakan adalah
skala 1 sampai 9. Hasil perbandingan dari masing - masing
parameter pada matriks perbandingkan berupa angka dari 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8 dan 9 yang merupakan perbandingan tingkat kepentingan
suatu parameter. Ketika suatu parameter dalam matriks
dibandingkan dengan parameter itu sendiri maka hasil
perbandingannya adalah 1. Sedangkan nilai 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Penentuan faktor utama
penyebab longsor
Penentuan potensi bencana
tanah longsor Kota Sukabumi
Geologi Penggunaan
lahan Kemiringan
lereng Jenis tanah
Curah hujan
Keberadaan Sesar
63
bergantung pada seberapa berpengaruh parameter tersebut
terhadap bahaya longsor. Semakin besar nilai matriks
perbandingannya maka dianggap semakin berpengaruh terhadap
tingkat bahaya longsor.
3. Menghitung bobot tiap kriteria
Pada perhitungan untuk memperoleh bobot kriteria-kriteria
yaitu dengan cara menjumlahkan hasil dari perhitungan matriks
ternormalisasi. Kemudian hasil tersebut dibagi dengan jumlah
kriteria-kriteria yang ada.
4. Perkalian tiap nilai perbandingan kriteria dengan bobot
Setelah mendapatkan nilai bobot, perkalian tiap nilai
perbandingan kriteria dengan bobot dilakukan untuk memperoleh
nilai total dari kriteria-kriteria.
5. Uji konsistensi
Hasil perkalian tiap nilai perbandingan dengan bobot
dijumlahkan. Setelah selesai melakukan penjumlahan, pembagian
dengan bobot dilakukan guna mendapatkan nilai inkonsistensi.
Hasil penentuan prioritas, perhitungan bobot tiap kriteria,
perkalian tiap nilai perbandingan kriteria dengan bobot dan hasil
uji konsistensi dapat dilihat pada gambar4. 11.
Gambar 4.11. Matriks Keputusan Ternormalisasi
64
Gambar 26 menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan bobot
didapat nilai 0. 08 dari CR<= 0. 1, maka prioritas di atas sudah
konsisten. Karena memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi
rasio harus kurang dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan
bahwa masukan dari para ahli konsisten.
Gambar 4.12. Grafik Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Gambar 4. 12 menunjukkan bahwa telah didapatkan hasil
skor dari masing-masing parameter penyebab longsor dengan nilai
inkonsistensi yang dihasilkan pada daerah Kota Sukabumi yaitu 0.
08 yang kurang dari 0,1. Nilai ini menunjukkan bahwa nilai bobot
yang didapatkan dalam metode ini dianggap konsisten karena
memenuhi prinsip AHP di mana konsistensi rasio harus kurang
dari 10% atau 0,1. Sehingga dapat dikatakan bahwa masukan dari
para ahli konsisten.
Hasil perhitungan bobot dari para ahli diperoleh bobot dari
setiap parameter penyebab bencana tanah longsor yaitu parameter
curah hujan dengan nilai bobot 330 persentase sebesar 35%,
kemiringan lereng bobot 294 dengan persentase sebesar 25%,
penggunaan lahan bobot 128 dengan persentase sebesar 14%,
parameter keberadaan sesar memiliki bobot 94 dengan persentase
sebesar 10%, geologi bobot 87 dengan persentase sebesar 9%, dan
jenis tanah dengan bobot 67 dengan persentase sebesar 7%.
65
Berdasarkan keenam faktor yang digunakan dalam penelitian
ini, masing-masing memiliki parameter yang memiliki prioritas.
Parameter yang paling berpengaruh adalah parameter curah hujan
merupakan parameter dengan nilai peranan paling besar dalam
mempengaruhi terjadinya longsor dengan nilai bobot 330 dengan
persentase sebesar 35%.
Tabel 4.8. Persentase Bobot Parameter Penyebab Longsor
Parameter Penyebab Longsor
Bobot Parameter Persentase %
Curah Hujan 330 35%
Kemiringan Lereng 234 25%
Penggunaan lahan 128 14%
Keberadaan Sesar 94 10%
Geologi 87 9%
Jenis Tanah 67 7% Jumlah 940 100%
Sumber: Hasil Penelitian 2019
Tabel 4. 8 menunjukkan bahwa hasil pengolahan data dengan
menggunakan masukan para ahli, diperoleh bobot dari setiap
parameter penyebab terjadinya longsor. Parameter curah hujan
memiliki peranan paling besar dibandingkan dengan parameter
kemiringan lereng, penggunaan lahan, keberadaan sesar, geologi,
dan jenis tanah dalam mempengaruhi penyebab terjadinya bencana
longsor dengan persentase 35%. Parameter kemiringan lereng
memiliki persentase sebesar 25% dalam mempengaruhi terjadinya
longsor yang merupakan parameter terpenting kedua setelah
parameter curah hujan.
Parameter penggunaan lahan memiliki persentase sebesar
14% dalam mempengaruhi terjadinya longsor yang merupakan
66
parameter terpenting ketiga setelah parameter kemiringan lereng.
Parameter keberadaan sesar memiliki persentase sebesar 10%
dalam mempengaruhi terjadinya bencana longsor yang merupakan
parameter terpenting keempat setelah penggunaan lahan.
Parameter yang memiliki kepentingan paling akhir yaitu keadaan
geologi dan jenis tanah dengan persentase sebesar 9% untuk
parameter geologi dan 7% untuk parameter jenis tanah.
4.4. Analisis Hasil Pembobotan Faktor Penyebab Longsor
Berdasarkan pembobotan yang dilakukan, terjadinya bencana
longsor di Kota Sukabumi banyak disebabkan oleh bertambahnya
berat beban pada lereng yang dapat berasal dari alam itu sendiri
yaitu faktor curah hujan, antara lain air hujan yang berinfiltrasi ke
dalam tanah di bagian lereng yang terbuka (tanpa penutup
vegetasi) menyebabkan kandungan air dalam tanah meningkat,
tanah menjadi jenuh, sehingga berat volume tanah bertambah dan
beban pada lereng semakin berat. Selain itu pekerjaan timbunan di
bagian lereng tanpa memperhitungkan beban lereng dapat
menyebabkan lereng menjadi bahaya longsor.
Pengaruh hujan dapat terjadi di bagian lereng-lereng yang
terbuka akibat aktivitas mahluk hidup terutama berkaitan dengan
budaya masyarakat saat ini dalam memanfaatkan alam berkaitan
dengan pemanfaatan lahan (tata guna lahan) kurang
memperhatikan pola- pola yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Penebangan hutan yang seharusnya tidak diperbolehkan tetap saja
dilakukan sehingga lahan-lahan pada kondisi lereng dengan
geomorfologi yang sangat miring, menjadi terbuka dan lereng
menjadi penyebab terjadinya longsor.
Kebiasaan masyarakat dalam mengembangkan pertanian/
perkebunan tidak memperhatikan kemiringan lereng, pembukaan
67
lahan-lahan baru di lereng-lereng bukit menyebabkan permukaan
lereng terbuka tanpa pengaturan sistem tata air (drainase) yang
seharusnya dan bentuk-bentuk teras bangku pada lereng tersebut
perlu dilakukan untuk mengerem laju erosi. Bertambahnya
penduduk menyebabkan perkembangan perumahan ke arah
daerah perbukitan (lereng-lereng bukit) yang tidak sesuai dengan
peruntukan lahan (tata guna lahan), menimbulkan beban pada
lereng semakin bertambah berat. Faktor lain yang berpengaruh
adalah disebabkan oleh faktor kemiringan lereng yang sangat terjal
yang memiliki keterkaitan kuat dengan kondisi geologi antara lain
jenis tanah, tekstur (komposisi) dari pada tanah pembentuk lereng
sangat berpengaruh terjadinya longsor.
4.5. Membuat Peta Potensi Bencana Longsor
Data sekunder yang telah didapatkan dari berbagai instansi
berupa data parameter penyebab longsor di antaranya yaitu data
kemiringan lereng, curah hujan, penggunaan lahan, keberadaan
sesar, jenis tanah dan keadaan geologi. Dari data tersebut kemudian
dibuat peta masing-masing tiap parameter penyebab longsor,
kemudian dilakukan skoring pada masing-masing data atribut
parameter. Proses pengisian skor seperti pada tabel yang telah
ditentukan berdasarkan pengaruh terhadap penyebab longsor, di
mana skor 4 diberikan kepada data atribut parameter yang
memiliki pengaruh besar terhadap bencana longsor di Kota
Sukabumi. Selanjutnya, setelah proses skoring dan pembobotan
dilakukan dalam perangkat lunak ArcGIS.
a. Skoring
1. Pemberian Skor Parameter Jenis Tanah
Data Atribut Jenis Tanah Skor
Latosol 4
Andosol 3
68
Data Atribut Jenis Tanah Skor
Grumusol 3
Padzolik 3
Sumber: Pengolahan Data 2019
2. Pemberian Skor Parameter Penggunaan Lahan
Data Atribut Penggunaan Lahan Skor
Tanah Kosong 1
Hutan Kering 1
Semak Belukar 3
Pemukiman 4
Empang 4
Gedung/Bangunan 4
Kebun 2
Ladang 2
Sawah 4
Sumber: Pengolahan Data 2019
3. Pemberian Skor Parameter Geologi
Data Atribut Geologi Kota Sukabumi Skor
Formasi Rajamandala 3
Anggota Batugamping Formasi Rajamandala 2
Batuan gunungapi gunung gede 4
Aluvium 3
Anggota Tuf dan Breksi Formasi Jampang 3
Sumber: Pengolahan Data 2019
4. Pemberian Skor Parameter Curah Hujan
Data Atribut Curah Hujan Kota Sukabumi Skor
2500 - 3000 mm 4
3000 - 3500 mm 4
Sumber: Pengolahan Data 2019
69
5. Pemberian Skor Parameter Kemiringan Lereng
Data Atribut Kemiringan Lereng Skor
0-8% 1
8-15% 1
15-25% 2
25-45% 3
>45% 4
Sumber: Pengolahan Data 2019
b. Pembobotan
Pembobotan adalah pemberian bobot pada masing-masing
parameter yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana longsor.
Pembobotan di sini berdasarkan perhitungan menggunakan
metode AHP.
Tabel 4.9. Bobot Parameter Penyebab Longsor Kota Sukabumi
Kriteria Bobot
Curah Hujan 0,330
Kemiringan Lereng 0,234
Penggunaan Lahan 0,128
Keberadaan Sesar 0,94
Geologi 0,87
Jenis Tanah 0,67
Sumber: Pengolahan Data 2019
Perkalian Skor dengan Bobot
Untuk menentukan nilai dari parameter yang baru, maka
diperlukan persamaan matematis dengan cara menggabungkan
antara skoring dan pembobotan.
Persamaannya yaitu:
X= Wi * Vi
70
Keterangan:
X = Nilai Potensi Longsor W = Bobot Parameter-i
V = Skor tiap data atribut parameter ke-i
Sehingga nilai tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkatannya dengan menganalisis menggunakan teknik overlay
(tumpang susun) peta.
Analisis Spasial
Analisis spasial dilakukan dengan melakukan overlay
(tumpang susun) dari setiap faktor penyebab terjadinya longsor
menggunakan perangkat komputer GIS. Berdasarkan hasil analisis
spasial, maka daerah yang berpotensi longsor tersebar hampir di
seluruh daerah Kota Sukabumi. Umumnya hampir seluruh
kejadian longsor ini terjadi di kawasan pemukiman masyarakat
yang derajat kemiringannya sangat tinggi. Tentunya selain derajat
kemiringannya yang tinggi, daerah longsor ini umumnya memiliki
batuan dan jenis tanah yang labil terutama pada saat hujan.
Tabel 4.10. Klasifikasi Potensi Longsor Kota Sukabumi
Kelas Potensi Longsor Luas Ha Persentase %
Rendah 320,00 7%
Sedang 1. 689,83 35%
Tinggi 2. 876,99 59%
Jumlah 4. 886,82 100%
Sumber: Pengolahan Data 2019
Tabel tersebut dihitung berdasarkan luas area Kota Sukabumi
dalam ArcGIS. Dengan memasukkan koordinat dan geometri,
didapatkan luas area Kota Sukabumi dan luas area daerah longsor
dengan perhitungan metode AHP.
71
Berdasarkan tabel di atas, dapat dikatakan bahwa daerah
Kota Sukabumi ini memiliki potensi tinggi untuk terjadinya
bencana longsor. Untuk potensi longsor dengan kelas tinggi
memiliki nilai 59% dengan total luas keseluruhan mencapai 2.
876,99 ha. Untuk potensi longsor dengan kelas sedang sebesar 35%
dengan luas 1. 689,83 ha dan untuk potensi longsor dengan kelas
terendah memiliki nilai paling kecil yaitu sebesar 7% dengan luas
320,00 ha.
Perbedaan luas daerah yang berpotensi longsor di Kota
Sukabumi dipengaruhi oleh beberapa parameter yang digunakan
yaitu parameter curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah,
geologi, penggunaan lahan dan keberadaan sesar. Di setiap
kawasan di Kota Sukabumi, pengaruh setiap parameter ini
berbeda-beda. Akan tetapi umumnya kejadian longsor di Kota
Sukabumi sangat dipengaruhi oleh tingkat intensitas curah hujan
yang sangat tinggi pada keadaan lahan yang sudah dibuka oleh
masyarakat pada daerah dengan keadaan derajat kemiringan lereng
yang cukup tinggi.
72
Gambar 4.13. Peta Potensi Bencana Tanah Longsor Kota Sukabumi
Jawa Barat
73
BAB V
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor utama
penyebab terjadinya bencana longsor di Kota Sukabumi dengan
menggunakan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dan
penentuan daerah berpotensi longsor di Kota Sukabumi dengan
analisis spasial, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan persepsi para ahli terhadap 6 (enam) faktor yang
mempengaruhi penyebab longsor di Kota Sukabumi faktor
curah hujan mendapatkan bobot tertinggi yaitu 0,330 dan
parameter yang memperoleh skor terkecil adalah parameter
jenis tanah dengan bobot 0,067.
2. Hasil analisis berdasarkan pembobotan menggunakan
metode AHP mengenai kejadian bencana longsor di Kota
Sukabumi menunjukkan bahwa pengaruh parameter curah
hujan sebesar 35%, parameter kemiringan lereng 25%,
penggunaan lahan 14%, keberadaan sesar 10%, keadaan
geologi 9% dan jenis tanah 7%.
3. Luas tingkat potensi bencana longsor di Kota Sukabumi yaitu,
untuk potensi longsor dengan kelas tinggi memiliki nilai 59%
dengan total luas keseluruhan mencapai 2. 876,99 ha. Untuk
potensi longsor dengan kelas sedang sebesar 35% dengan luas
1. 689,83 ha dan untuk potensi longsor dengan kelas terendah
memiliki nilai paling kecil yaitu sebesar 7% dengan luas
320,00 ha.
74
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Kabupaten Sukabumi Dalam Angka
2018, Sukabumi: BPS.
Bakornas Penanggulangan Bencana. 2007. Pengenalan Karakteristik
Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. Direktorat
Mitigasi Lahar BAKORNAS PB: Jakarta.
BNPB, 2008. Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008.
______, 2012. Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02
Tahun 2012.
Cruden DM, Varnes DJ. 1996. Landslide Type and Processes. Landslide:
Investigation and Mitigation. 247: 36-7.
Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 22/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Penataan
Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Jakarta: Dinas PU RI.
Djuaridah, Anik. 2009. Indeks Kerentanan Sosial Ekonomi untuk
Bencana Alam di Wilayah Indonesia. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta
Goenadi. 2003. Konservasi lahan terpadu daerah rawan bencana
longsoran di Kabupaten Kulonprogo. Daerah Istimewa
Yogyakarta.
75
Hafiyussholeh, M. 2009. Pengaruh Gangguan Pada Matriks Pairwise
Comparison Terhadap Rasio Konsistensi dan Pembalikan
Dominasi dalam Analytical Hierarchy Process. Thesis. Bandung:
ITB
IRBI, 2013. Indeks Risiko Bencana Indonesia. 2013.
Komac, M. 2005. A Landslide Susceptibility Model Using the Analytical
Hierarchy Process Method and Multivariate Statistics in
Perialpine Slovenia. Journal of Geomorphology (2006) 74 Page 17-
28.
Latifah, S. 2005. Prinsip-Prinsip Dasar Analytical Hierarchy proces.
SumateraUtara: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara.
Murayama Y, Estoque RC. 2010. Foundamentals of Geographic
Information System Japan (JP): University of Tsukuba.
Paimin, Sukresno dan Pramono, I. B. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan
Tanah Longsor. Balikpapan: Tropenbos International
Indonesia Programme.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2015. Prakiraan
Wilayah Potensi Terjadi Gerakan Tanah/Tanah Longsor dan
Banjir Bandang di Seluruh Indonesia. Bandung: ESDM,
Kementrerian.
Saaty, T. L. 1988, Decision Making for Leader, The Analytical Hierarchy
Process for Decisionsin Complex World, RWS Publikations 4922
Ellsworth Avenue Pittsburgh, USA.
Saleh, M. B dan Tatang Tiryana. 2007. Technique Pengambilan
Keputusan dengan Metode AHP. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.
Shabibi H, Hashim. 2015. Landslide Susceptibility Mapping Using GIS-
based Statistical Models and Remote Sensing Data in Tropical
Environment. Scientific Reports. Malaysia (MY): Universiti
Teknologi Malaysia.
76
Skempton, A. W., and Hutchinson. 1969. Stability of Natural Slope
and Embankment Foundations. In Slope Stability and
Stabilization Methods, 1996, Abramson, et. al. New York.
Soeters R, Van Westen CJ. 1996. Slope Stability Recognition, Analysis,
and Zonation Application of Geographical Information System to
Landslide Hazard Zonation. Di dalam: Landslides: Investigation
and Mitigation. Washington DC (US): National Academy
Press. 129-177.
Somantri, L. 2008. Kajian Mitigasi Bencana Longsor Lahan dengan
Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh. Padang, 22–23
Nopember 2008, 10 hlm.
Syaifullah. 2010. Pengenalan Metode Analytical Hierarchy Process.
http://Syaifullah08. wordpress. com/.
Van Westen, C. J. 1993. Aplication of Geographic Information System to
Landslide Hazard Zonation. The Netherlands, Enschede: ITC
Publication.
http://bpbd. sukabumikota.go.id/, diakses pada 26 November
2018
http://dibi. bnpb. go.id/dibi/, diakses pada 26 November 2018
http://inarisk. bnpb.go.id/pdf/Buku%20RBI_Final_low.pdf, Risiko
Bencana Indonesia, 2016 diakses pada 26 November 2018.
http://investasi. sukabumikab.go.id/investasi. html, diakses pada
26 November 2018.
https://www.bnpb. go. id/uploads/24/buku-rbi.pdf, diakses pada
November 2018
https://www.esdm. go.id/, diakses pada 15 Mei 2019
77
PROFIL PENULIS
Dr. Muzani, M.Si.
Penulis dilahirkan di Kota Solok, Provinsi Sumatera Barat. Pendidikan sekolah dasar sampai sekolah menengah atas ditempuh di Kota Solok. Penulis merupakan dosen di Program Studi Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada Fachbereich Geowissenschaft (Geologie) di Technische Universitaet, Berlin, Jerman. Pendidikan S-2 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di IPB dan S-3 pada program studi yang sama di IPB. Saat ini, selain sebagai dosen tetap di Program Studi Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, penulis juga mengajar di Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta. Selain mengajar, penulis juga melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat serta publikasi ilmiah pada bidang geografi kebencanaan, geologi, dan pengelolaan sumberdaya. Latar belakang pendidikan di bidang kebumian membuat penulis sering menjadi narasumber pada berbagai pelatihan yang diadakan oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta dalam pembinaan siswa Kontingen DKI Jakarta pada ajang Olimpiade Sains tingkat Nasional bidang Geografi dan Kebumian. Sebagai dosen pada bidang Pendidikan Geografi membawa penulis juga aktif menjadi instruktur nasional pada sertifikasi guru-guru bidang geografi. Karya penulis dalam bentuk buku ajar yang sudah ber-ISBN telah diterbitkan, antara lain (1) Geologi, (2) Mineralogi, (3) Gunung Sinabung, dan (4) Mitigasi Bencana. Selain itu, penulis juga sudah membuat lebih dari 10 hak cipta pada bidang kebencanaan.