Buku Pedoman PPRG.doc

79
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki dan perempuan, merupakan salah satu sasaran tujuan pembangunan nasional. Dalam mengukur peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat diukur antara lain dengan tiga indeks yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Humam Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Gender Related Development Index (GDI) dan Indeks Pemberdayaan Gender atau Gender Empowerment Measurement (GEM). Bali sebagai daerah yang sangat kental dengan budaya patriarkhi, secara normative memang tidak terjadi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam semua lini pembangunan. Namun dalam kehidupan ditengah-tengah masyarakat masih saja terjadi pandangan bahwa perempuan lebih tepat bekerja 1

Transcript of Buku Pedoman PPRG.doc

BAB I

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan kualitas sumber daya manusia, baik laki-laki dan perempuan, merupakan salah satu sasaran tujuan pembangunan nasional. Dalam mengukur peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat diukur antara lain dengan tiga indeks yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Humam Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Gender Related Development Index (GDI) dan Indeks Pemberdayaan Gender atau Gender Empowerment Measurement (GEM).

Bali sebagai daerah yang sangat kental dengan budaya patriarkhi, secara normative memang tidak terjadi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam semua lini pembangunan. Namun dalam kehidupan ditengah-tengah masyarakat masih saja terjadi pandangan bahwa perempuan lebih tepat bekerja disektor non-formal seperti menyelesaikan pekerjaan Rumah Tangga dengan segala aktivitas yang ada didalamnya, sedangkan laki-laki menganggap dan menempatkan dirinya sebagai Kepala Keluarga maka pekerjaan yang cocok dilakukan adalah pekerjaan disektor formal.

Perbedaan peran gender seperti itu, akhirnya menimbulkan terjadinya ketidakadilan gender dalam pembangunan, kenyataan dapat dilihat dari Kebijakan, Program dan kegiatan Pembangunan yang belum memberikan porsi yang semestinya kepada perempuan dalam akses, partisipasi, kontrol dam manfaat dalam pembangunan disegala bidang.

Lapangan pekerjaan di sektor primer, sekunder maupun tersier masih didominasi oleh tenaga kerja laki-laki. Dalam bidang ekonomi, hasil pembangunan ternyata belum termanfaat Sebagai contoh yang nyata, terbatasnya akses dan control perempuan di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih kecil (45,06%) dibandingkan laki-laki (45,94%), angka pengangguran perempuan (12,49%) lebih besar dibandingkan laki-laki (3,66%), daya beli perempuan lebih rendah dari laki-laki.

Isu gender dalam pembangunan muncul karena adanya kebijakan, program, kegiatan pembangunan yang kurang memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat sebagai target pembangunan terdiri dari segmen-segmen yang berbeda khususnya perempuan dan laki-laki. Mereka mempunyai kebutuhan, kepedulian, kesulitan dan pengalaman yang berbeda dalam mengakses, peran serta dan memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Hasil pengabaian itu akan memunculkan adanya kesenjangan gender, kesenjangan terhadap perempuan dan bisa juga kesenjangan terhadap laki-laki.

Berbagai masalah yang masih dihadapi dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak antara lain :

1. Belum melembaganya pelaksanaan pengarusutamaan gender khususnya dalam kebijakan, perencanaan dan penganggaran di Provinsi, Kabupaten dan Kota se- Bali;

2. Belum optimalnya perlindungan terhadap perempuan dari berbagai tindak kekerasan;

3. Rendahnya akses, manfaat, partisipasi, dan control perempuan dalam pembangunan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, serta sosial budaya;

4. Adanya peraturan perundang-undangan yang bias gender dan diskriminatif terhadap perempuan.

5.Belum seefektifnya pelaksanaan penguatan pengarusutamaan gender tingkat pusat dan daerah;

6.Terjadinya perempuan dan laki-laki yang menspesialisasikan diri pada tugas yang berbeda, pada setting yang terpisah, mempunyai perbedaan dalam akses terhadap posisi tawar dalam perekonomian informasi; dan7. Terdapatnya perempuan yang lebih banyak terlihat di perekonomian informal, karena berbagai alasan antara lain : (1) sesuai dengan peran gendernya, sehingga mudah masuk dan keluar; (2) kelangkaan akses terhadap perekonomian formal, karena adanya gender stereotyping; (3) mayoritas tidak memiliki persyaratan yang justru tidak dipunyai oleh perempuan.

Selama ini pengetahuan mengenai gender dalam pembangunan dan upaya mewujudkan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan belum begitu menunjukkan hasil yang segnifikan. Oleh sebab itu selain dukungan serta kemauan politik dari mereka yang berkepentingan terkait dengan semua apek permasalahan semua bidang pembangunan, juga diperlukan knowledge base, pemuktahiran data dan informasi, analisis gender untuk dipakai sebagai dasar policy response dan advokasi.

Oleh karena itu untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis gender yang hasilnya dijadikan bahan acuan nasi Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD ) dalam penyusunan perencanaan dan Penganggaran. Berbagai permasalahan harus dilaksanakan secara komprehensif dan seksama, untuk itu perencanaan dan pengangguran harus sesuai dengan prioritas masalah, tepat sasaran dan dapat memberikan manfaat dan dampak positif baik bagi laki-laki maupun perempuan / anak perempuan maupun anak laki-laki yang memiliki kebutuhan yang berbeda.B. Maksud, Tujuan dan Sasaran.

a. Maksud.

Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Penganggaran Responsif gender (PPRG) merupakan acuan pada saat penyusunan perencanaan dan penganggran yang responsif gender melalui pengintegrasian isu gender ke dalam Sistem perencanaan dan Penganggaran pada semua bidang pembangunan agar kegiatan yang dibiayai dari APBD lebih efisien dan efektif, dan terjamin berkeadilan bagi perempuan, laki-laki dan anak perempuan, anak laki-laki.

b. Tujuan

Tujuan Penyusunan Pedoman PPRG ini adalah :

1. menyamakan persepsi para penentu kebijakan, program dan kegiatan mulai dari penyusunan perencanaan dan penganggaran supaya responsif gender.

2. Memberikan arahan dan batasan tentang ruang lingkup perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program dan kegiatan semua SKPD.

3. Memberikan pengarahan tentang tata cara pengintegrasian isu gender kedalam system perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan supaya responsive gender,

4. Memberikan panduan teknis cara menyusun RKA SKPD dan GBS dengan menggunakan indikator kinerja yang responsif gender.

c. SasaranSasaran yang diharapkan dari penerapan PPRG ini adalah :

1. Tersusunnya perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan yang responsif gender di semua SKPD sebagai penanggung-jawab masing-masing bidang pembangunan;

2. Diterapkan anggaran responsif gender dalam semua program dan kegiatan pembangunan;

3. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas pelaksanaan program dan kegiatan semua bidang pembangunan;

4. Menurunnya isu gender dalam semua bidang pembangunan sehingga seluruh SKPD melaksanakan anggaran berbasis kinerja;

d. Ruang Lingkup Ruang lingkup buku panduan ini adalah upaya-upaya terkait dengan pengintegrasian isu gender mulai dari perencanaan dan penganggaran sampai penyusunan gender budget statement (GBS).e. Landasan Hukum.1. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menetapkan adanya audit kinerja disamping audit kinerja disamping audit keuangan lainnya yang kemudian memberikan peluang untuk mengintegrasikan audit gender kedalam audit kinerja.2. UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menetapkan system perencanaan multi tahunan nasional yang berbasis prioritas, serta menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.

3. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

4. UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menetapkan bahwa penganggaran di daerah harus disusun dengan pendekatan berbasis kinerja yyang selanjutnya memberikan peluang bagi pengintegrasian gender ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah.5. Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004 2009.

6. PP No. 58 tahun 2005 tentang Keuangan Daerah, menetapkan bahwa penganggaran di daerah harus disusun dengan pendekatan berbasis kinerja yang kemudian memberi peluang bagi pengintegrasian gender ke dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah.

7. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah.

9. Peraturan Menteri Keuangan No. 104/ PMK 02/ 2010 tertanggal 19 Mei 2010 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2011. BAB II

PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. Didalamnya terkandung program-program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran. Dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, maka dibutuhkan penyusunan anggaran yang lebih transparan dan akuntabel dalam sistem ABK (Anggaran Berbasis Kinerja) untuk menggantikan sistim anggaran yang tradisional. Hal ini sudah terwujud nyata dengan diberlakukannya UU RI No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menerapkan sistem Anggaran Berbasis Kinerja.

Undang-undang RI No. 17 Tahun 2003 menetapkan bahwa anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) disusun berdasarkan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai. Untuk mendukung kebijakan ini perlu dibangun suatu sistem yang dapat menyediakan data dan informasi untuk menyusun APBD dengan pendekatan kinerja. APBD berbasis kinerja yang disusun oleh Pemda harus didasarkan pada Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk dapat membuat APBD yang berbasis kinerja pemerintah daerah harus memiliki perencanaan stratejik (Renstra). Renstra disusun secara obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada didalam pemerintahan. Dengan adanya sistem tersebut pemerintah daerah akan dapat mengukur kinerja keuangannya yang tercermin dalam APBD. Agar sistim dapat berjalan.

Pemberlakuan sistim ABK juga telah menciptakan momentum bagi implementasi pengarusutamaan gender disetiap program-program pembangunan. Hal ini sangat penting diberlakukan dalam kegiatan penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA - SKPD). Upaya ini sebagai wujud nyata anggaran responsif gender. Dokumen RKA - SKPD merupakan dokumen yang berisi suatu program/kegiatan yang dilengkapi dengan anggaran. A. Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender.

Pentingnya Anggaran Berbasis KinerjaKenyataan yang ada sekarang ini adalah kedudukan dan peran perempuan Indonesia walaupun telah diupayakan selama tiga dasawarsa hasilnya belum memadai dan menggembirakan, hal ini disebabkan selama ini pendekatan pembangunan belum secara merata mempertimbangkan manfaat pembangunan secara adil bagi perempuan dan laki-laki sehingga hal tersebut turut memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan gender dikenal dengan kesenjangan gender (gender gap) yang pada gilirannya menimbulkan permasalahan gender. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kesenjangan tersebut adalah Gender Emprowerment Measurament (GEM) dan Gender Related Development Index (GDI) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Human Development Index (HDI).

Berdasarkan Human Development Report tahun 2007 GDI Indonesia menempati peringkat 91 dari 173, sedangkan HDI berada pada peringkat 110 dari 173 negara, inipun masih tertinggal dibanding dengan Negara-negara di ASEAN, misalnya Malaysia, Thailand, Philipina yang masing-masing berada pada peringkat 59, 70 dan 77. Untuk GDI pada peringkat 54, 60, dan 63. Sedangkan IPM, IPG, IDG pada tahun 2008 telah menunjukan peningkatan masing-masing, IPM adalah 71,17 sedangkan IPG adalah 66,38 dan IDG adalah 62,27. Untuk memperkecil kesenjangan tersebut maka kebijakan dan program yang dikembangkan saat ini dan mendatang harus mengintegrasikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pada seluruh kebijakan dan program pembangunan nasional, disamping meningkatkan kualitas hidup perempuan itu sendiri. Untuk mendorong, mengefektifkan serta mengoptimalkan upaya pangarusutamaan gender dalam pembangunan nasional maka dipandang perlu mengeluarkan instruksi Presiden (INPRES) RI No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dalam rangka meningkatkan kedudukan, peran dan kualitas perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Undang-undang RI No. 17 tahun 2003 merupakan peraturan yang menandai perubahan sistem anggaran dari anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Undang-undang ini kemudian diturunkan dalam peraturan di bawahnya, yaitu PP RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan revisinya, yaitu Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Perubahan anggaran tradisional ke anggaran berbasis kinerja dikarenakan :1. Lebih berorientasi pada masukan (input) daripada keluaran (output)

Kinerja dinilai dari tingkat penyerapan penggunaan dana, bukan dari tingkat efisiensi dan efektifitas penggunaan dana. Kelemahan ini mengakibatkan adanya fenomena menghabiskan anggaran menjelang akhir tahun. Hal ini dimaksudkan agar unit kerja dipandang memiliki kinerja yang baik telah menyerap (menghabiskan) seluruh anggaran yang ada.2. Menggunakan pendekatan inkremental

Penentuan jumlah anggaran ditentukan dengan cara menaikkan sebesar n% dari total anggaran tahun lalu. Namun penentuan persentase kenaikan ini jelas dasarnya. Yang pokok adalah anggaran tahun ini lebih besar dari anggaran tahun lalu.

3. Terputusnya hubungan antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan

Acuan penyusunan anggaran pada era Orde Baru adalah Repelita yang sifatnya nasional sehingga isinya sangat umum sebagai konsekuensi dari sistem sentralisasi. Akibatnya tidak tersedia uang yang cukup bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kreativitas dalam rangka mengatasi permasalahan yang timbul di daerah masing-masing.Kelemahan-kelemahan dalam anggaran tradisional dapat diatasi oleh anggaran kinerja yang berorientasi pada capaian kinerja yang dihasilkan sebagai wujud akuntabilitas pemakaian sumber daya (APBD), dimana Pemerintah Daerah berhak dan bertanggungjawab untuk mengelola rumah tangganya sendiri, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing.B. Elemen-elemen Utama Anggaran Berbasis KinerjaAnggaran Berbasis Kinerja adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja. Merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem pengangaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk guna pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik. Jika anggaran tradisional hanya melaporkan jumlah dana yang dialokasikan dan dibelanjakan, maka anggaran kinerja melaporkan apa yang telah dilakukan dengan dana yang ada. Oleh karena itu dalam ukuran keberhasilan tidak ditentukan oleh habis/tidaknya anggaran. Dengan demikian indikator kinerja merupakan elemen utama yang perlu diperhatikan.

Secara umum ada tiga indikator kinerja yang biasa digunakan yaitu: Masukan (Input)Kebutuhan untuk menghasilkan keluaran, berisi tingkat atau besarnya sumber daya ekonomi atau besaran sumber-sumber : dana, sumber daya manusia, material, waktu, teknologi dan sebagainya yang digunakan untuk melaksanakan program dan atau kegiatan/sub-kegiatan.

Keluaran (Output)

Barang dan jasa yang dihasilkan baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan berdasarkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program dan atau kegiatan/sub-kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan. Produksi atau pencapaian output adalah tahapan antara tujuan yang dimiliki pemerintah dan outcome yang dicapai.

Tolak ukur kinerja dikembangkan dengan menggunakan berbagai klasifikasi output yang sering digunakan adalah :

a. Kuantitas (jumlah), mengacu pada volume layanan

b. Kualitas, mengacu pada standar pelayanan

c. Ketepatan waktu, mengacu pada waktu tanggapan

d. Biaya-biaya, mengacu pada biaya untuk menghasilkan output.

Hasil (Outcome)Yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat keberhasilan yang dapat dicapai berdasarkan keluaran program dan atau kegiatan/sub-kegiatan yang sudah dilaksanakan. Fokus outcome adalah perubahan dan akibat yang timbul dari dampak yang diharapkan oleh input dan output pemerintah. Jenis indikator dapat berupa :

a. Jumlah, mengacu pada cakupan yang ingin dicapai oleh pelayanan atau kebijakan pemerintah.

b. Kualitas, mengacu pada kesesuaian kebijakan atau layanan dengan tujuannya.

c. Akses dan keadilan, mengacu perwakilan berbagai kelompok dan dasar ketepatan waktu dan biaya untuk berbagai kelompok yang dilayani akses.

d. Kelayakan, mengacu pada sebaik penyampaian layanan langsung memenuhi kebutuhan klien.

Tidak semua outcome dibawah kendali departemen atau pemerintah, output dan income penganggaran berorientasi kinerja juga dipengaruhi oleh faktor luar. Oleh katena itu dalam prakteknya, Negara-negara lebih mengandalkan output daripada outcome.

Ekonimis (Econimic)

Ekonomis adalah hubungan antara pasar dan masukan (codt of input). Suatu alokasi disebut ekonomis jika barang/jasa input dengan kualitas tertentu dibeli dengan harga terbaik yang dimungkinkan. Yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat dirasakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat dan pemerintah.

Efisien (Efficient)

Pengertian efisiensi berhubungan erat dengan produktifitas. Yaitu tolok ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro yang ingin dicapai dari manfaat. Dilakukan dengan membandingkan antara output yang dihasilkan dengan input yang digunakan (cost of output). Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa penilaian efisiensi harus dilakukan dengan membandingkan antara input dengan output. Efektif (Effective)

Berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kebijakan (hasil guna), efektifitas merupakan hubungan antara keluaran (output) dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai.C. Mengintegrasikan Gender dalam Anggaran Berbasis Kinerja

Ada tiga metode yang dapat dilakukan untuk mengintegrasikan gender dalam anggaran berbasis kinerja, yaitu :

1. Menyertakan komponen gender dalam input, output dan outcome.Metode ini dilakukan dengan menyusun pernyataan anggaran yang responsive gender, terutama pada output maupun outcome.

2. Menambahkan equity (keadilan) sebagai indikator kinerja

Hal ini dilakukan dengan mengeksplisitkan equity (keadilan) sebagai E yang keempat setelah ekonomis, efisiensi dan efektifitas. Riset pada gender juga menunjukan bahwa ketidakadilan menambah biaya dan oleh karenanya efisiensi terabaikan (Elson 2002a ; Himmelweit 2002). Terlebih lagi, penekanan yang diberikan pada efisiensi oleh penysuaian struktural dan kebijakan anggaran neoliberal lainnya beresiko mengorbankan keadilan.

3. Menilai kembali makna ekonomis, efisien dan efektif dari perspektif anggaran responsif gender.

Penganggaran berorientasi kinerja berdasar pada asumsi bahwa kegiatan merawat/melayani yang tanpa bayaran tidak relevan dengan pengukuran kinerja. Pada pendekatan konvesional, hanya kegiatan yang dibayar yang diperhatikan, sehingga secara sistematis tidak menganggap kegiatan merawat yang tanpa bayar dan tidak memasukkannya sebagai sektor ekonomi. Kegagalan penganggaran kinerja untuk memadukan kegiatan perawatan tidak dibayar dengan kualitas kegiatan perawatan yang dibayar menimbulkan pertanyaan apakah hasil anggaran pemerintah telah dinilai dengan selayaknya menurut kinerja ekonomi, efisiensi dan efektifitas yng komprehensif karena adanya aspek problematik dari kinerja kinerja tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini :

Ukuran Ekonomis

Ukuran ekonomis anggaran berorientasi kinerja dapat menyesatkan karena hanya mengukur ongkos moneter, bukan ongkos total. Jika ongkos input jatuh, maka kinerja menurut konteks ekonomis, akan dianggap baik. Namun jika ongkos total berupa ongkos uang dan non-uang dipertimbangkan, maka hasilnya pada besar ukuran ekonomis berbeda.

Ukuran Efisien

Ukuran efisiensi penganggaran berorientasi kinerja dapat menjerumuskan karena tidak memperhatikan multi aspek dan kompleknya dimensi kualitas dari kegiatan perawatan yang dapat dikorbankan untuk mengejar output maksimal relatif terhadap input. Syarat minimum untuk menghindari langkah efisiensi yang salah, bahwa peningkatan efisiensi perlu memelihara standar kualitas.

Ukuran Efektif

Ukuran efektif bisa menyesatkan karena ketika menilai sebaik apa output mencapai outcome yang diinginkan tidak memperhtikan semua output. Khususnya tidak kontribusi tak dibayar dari kegiatan pelayanan terhadap outcome yang dihitung. Dari perspektif anggaran responsif memberi dasar yang meragukan bagi pembuatan keputusan anggaran dan alokasi sumber daya.

D. Peluang Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender

Undang-undang RI No. 17 Tahun 2003 dan peraturan turunannya Permendagri No. 58 Tahun 2005, Permendagri No. 13 Tahun 2006 dan revisinya Permendagri No. 59 Tahun 2007, menegaskan komitmen untuk menerapkan anggaran dengan pendekatan prestasi kerja (anggaran berbasis kinerja) dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah (Medium Term Expenditure Framework/MTEF) dan penganggaran terpadu (unified budget). Dalam aturan-aturan ini disebutkan bahwa :

1. Pendekatan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

Pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dimana pengambilan keputusan terhadap kebijakan dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang tadi pada tahun berikutnya, dituangkan dalam prakiraan maju (forward estimate).

2. Prakiraan Maju (Forward estimate)

Perkiraan kebutuhan anggaran untuk program dan kegiatan yang direncanakan dalam tahun anggaran berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan.3. Penganggaran Terpadu (Unified Budgeting)Dilakukan dengan memadukan seluruh proses perencanaan dan penganggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan di lingkungan SKPD untuk menghasilkan dokumen rencana kerja dan anggaran.

4. Pendekatan Penganggaran Berdasarkan Prestasi Kerja

Dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan keluaran yang diharapkan dari kegiatan dan hasil serta manfaat yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.

Contoh operasional dari pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah dapat dilihat dari RKA SKPD form 2.2.1, dimana terdapat kolom yang berisi anggaran program/kegiatan tahun n-1, tahun n, dan tahun n+1, selain itu, pasal 93 ayat (1). Permendagri No 13 tahun 2006 menyebutkan penyusunan RKA SKPD didasarkan pada 5 hal, yaitu :

1. Indikator kerja

2. Capaian atau target kinerja

3. Analisis standar belanja

4. Standar satuan harga

5. Standar pelayanan minimal (SPM)

Berdasarkan aturan diatas, peluang untuk mengintegrasikan gender sangat besar, terutama dengan melaksanakan cara pertama (memasukkan equity sebagai indikator kinerja).

Panduan Menyusun Renja SKPD dan RKA SKPD Responsif Gender

Setiap tahun, masing-masing SKPD menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran. Dokumen perencanaan berupa Rencana Kerja (Renja) SKPD dan dokumen penganggaran berupa Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) SKPD. Upaya mewujudkan anggaran responsif gender oleh SKPD dilakukan dengan menyusun Renja SKPD dan RKA SKPD Responsif Gender.

I. Panduan menyusun Renja SKPD Responsif Gender

Renja SKPD merupakan dokumen komplikasi dari usulan kegiatan responsive gender SKPD. Dengan kata lain, usulan kegiatan responsive gender merupakan bahan utama penyusunan Renja SKPD responsif gender.

A. Dokumen yang diperlukan :

1. RPJMD

2. Renstra SKPD

3. Renja SKPD tahun sebelumnya

4. Standar pelayanan minimal

5. Data-data pendukung, sebagaimana yang dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Sektor/BidangData yang diperlukanSumber data

Pendidikan Jumlah laki-laki dan perempuan yang tidak dapat mengakses pendidikan.

Jumlah siswa putus sekolah laki-laki dan perempuan di jenjang SD, SMP dan SMA

Jumlah bayi yang meninggal

Jumlah bayi dan balita yang kurang mendapatkan gizi baik

Jumlah bidan yang ditempatkan di desa

Jumlah Puskesmas dan Pustu yang mudah diakses masyarakat

Jumlah ketersediaan obat dengan jumlah kunjungan setiap Puskesmas

Jumlah sebaran dokter di Puskesmas

Jumlah kematian ibu yang melahirkan

BPS

BPS, Puskesmas

Sumber : Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender, Pattiro,2008

B. Langkah-langkah Menyusun Kegiatan Responsif Gender

Berikut ini langkah-langkah dalam kegiatan responsif gender :

1. Lihat data terakhir dari sector terkait, misalnya pendidikan dan kesehatan. Data ini berupa data kuantitatif terpilah dan data sensitive gender. Data berupa sensus penduduk, system informasi manajemen kesehatan, hasil penelitian dan lain-lain

2. Dari data tersebut, buatlah rumusan permasalahan isu gender atau buatlah situasi yang berbeda antara perempuan, laki-laki, dewasa dan anak-anak (termasuk sub-sub kelompoknya, misalnya desa/kota, berdasarkan umur, dan sebagainya) di sektor ini

3. Buatlah analisa penyebab terjadinya kesenjangan gender berdasarkan rumusan permasalahan gender pada langkah kedua, baik faktor sosial, ekonomi, budaya dan kebijakan

4. Cek apakah telah ada kegiatan di APBD untuk menyelesaikan permasalahan kesenjangan gender yang telah digambarkan pada langkah kedua dan ketiga, termasuk masalah dan capaian kegiatan pada tahun sebelumnya.

5. Buatlah kegiatan yang akan dilakukan berdasarkan data dan hasil analisa gender pada langkah kedua, ketiga dan keempat. Kegiatan yang bisa dibuat berupa kegiatan baru maupun kegiatan lama (lanjutan).

Kriteria yang dapat digunakan dalam menyusun kegiatan responsif gender adalah sebagai berikut :

Sesuai dengan visi, misi, tujuan dan kebijakan yang ada dalam RPJMD dan RKPD serta dokumen perencanaan lainnya.

Relevan dengan kebutuhan dan permasalahan yang ada di masyarakat.

Berdasarkan pada kebijakan umum APBD

Menggunakan data terpilah gender

Visi, misi dan sasaran kebijakan daerah bertujuan untuk mengurangi ketidakadilan gender.

6. Buatlan indikator dari kegiatan tersebut dengan menggunakan empat indikator anggaran berbasis kinerja yaitu : input, proses, output dan income. Hal ini untuk memudahkan pengisian RKA SKPD pada form 2.2.1 Permendagri No. 13 Tahun 2006.

7. Menyusun TOR Kegiatan Responsif Gender.

Hasil dari langkah-langkah selanjutnya diformulasikan dalam bentuk TOR kegiatan yang nantinya akan sangat berguna bagi SKPD sebagai bentuk argumentasi bahwa satu usulan kegiatan penting dan prioritas, sehingga usulan tersebut disetujuai dan tidak dicoret/dihapus oleh Bappeda, TAPD maupun DPRD.Salah satu contoh format TOR adalah sebagai berikut :

TOR Kegiatan Responsif Gender

Nama SKPDNama SKPD yang mengusulkan kegiatan

ProgramNama program (tulis nama salah satu program yang sesuai yang ada dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006

KegiatanNama kegiatan yang akan diusulkan (boleh di luar nama kegiatan yang terdapat dalam menu Permendagri No. 13 Tahun 2006

Kode RekeningNama kode rekening program dan kegiatan

LokasiTempat pelaksanaan kegiatan

Waktu pelaksanaan kegiatanPerkiraan bulan pelaksanaan kegiatan

Dasar hokum/kebijakanDasar hokum yang mendukung kegiatan, seperti : UU, RPJMD, Renstra SKPD, Permen, Perda

TujuanTujuan harus focus pada kebutuhan untuk menyelasaikan masalah berdasarkan capaian dampak dan harus diarahkan pada penyelesaian problem ketidakadilan gender.

Analisis Kebutuhan DasarTuliskan hasil analisa situasi/analisa gender yang telah dilakukan

Kelompok SasaranTuliskan penerima manfaat yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan

InputTuliskan jumla dana yang dibutuhkan

OutputOutput akhit minimal harus memuat informasi tentang :

a. Output kuantitas, mengacu pada volume atau level output

b. Output kualitas, mengacu pada standar pelayanan

OutcomeTuliskan hasil dari bekerjanya outputsecara langsung

ProsesInformasi mengenai bentuk kegiatan

Capaian tahun sebelumInformasi kegiatan serupa tahun lalu dan capaiannya

Sumber : Modul pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender, Pattiro, 2008C. Catatan Kritis Penyusunan Renja SKPD Responsif Gender

Menyusun TOR kegiatan di awal, yaitu pada saat SKPD mengusulkan kegiatan belum menjadi praktik yang biasa dilakukan oleh para perencana di SKPD. TOR biasanya dibuat jika usulan kegiatan telah disetujui di APBD. Padahal, menyusun TOR ketika mengusulkan kegiatan di awal tahun banyak memberikan manfaat.

II. Panduan menyusun RKA SKPD yang Responsif Gender

Dokumen RKA SKPD merupakan dokumen penganggaran yang memuat tentang kegiatan yang akan dilaksanakan beserta rincian anggarannya. Penyusunan dokumen RKA SKPD merupakan proses teknokratis di masing-masing SKPD yang dilakukan setelah KUA dan PPAS disepakati oleh DPRD.

Keterkaitan antara dokumen Renja dan RKA dapat dijelaskan dalam bagan ini :

Alur Dokumen Renja dan RKA SKPD

Keterangan :

1. Renja SKPD menjadi salah satu bahan untuk memutakhirkan dokumen RKPD.

2. KUA dan PPAS disusun berpedoman pada RKPD. Setelah disepakati oleh DPRD, Kepala Daerah menyusun Surat Edaran Penyusunan RKA SKPD.

3. Masing-masing SKPD menyusun RKA SKPD berdasarkan SE penyusunan RKA SKPD

Informasi yang dalam TOR kegiatan akan digunakan kembali ketika menyusun RKA SKPD, terutama form 2.2.1 dan TOR akan kembali menjadi lampiran dari dokumen RKA SKPD agar tersedia informasi rinci dari setiap kegiatan untuk pihak-pihak yang membutuhkan.

A. Dokumen yang diperlukan :

1. Surat Edaran Kepala Daerah tentang penyusunan RKA SKPD

2. Form pengisian RKA SKPD

3. SK Kepala Daerah tentang standarisasi indeks harga, jasa, kegiatan dan honorarium pada tahun bersangkutan

4. Renja SKPD untuk tahun bersangkutan

5. Nota kesepakatan Kepala Daerah dan DPRD tentang KUA dan PPAS

6. Data pendukung sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Panduan Menyusun Renja SKPD Responsif Gender

7. Standar Pelayanan Minimal (SPM) sesuai dengan urusan wajib yang menjadi tugas dan fungsi masing-masing SKPD.

B. Aturan mengenai Penyusunan RKA SKPDPasal 93 ayat (1), Permendagri No. 13 Tahun 2006, menyebutkan penyusunan RKA SKPD berdasarkan pada 5 hal yaitu :1. Indikator Kinerja

Adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari program dan kegiatan yang direncanakan2. Capaian atau target kinerja

Capaian atau target kinerja adalah ukuran prestasi kerja yang akan dicapai yang berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap program dan kegiatan

3. Analisis standar belanja

Analisis standar belanja adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan4. Standar satuan harga

Standar satuan harga adalah harga satuan setiap unit barang/jasa yang berlaku di suatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah.5. Standar pelayanan minimal (SPM)

SPM adalah tolok ukur kinerja dalam menetukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM terkait dengan pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sesuai dengan asas desentralisasi, yaitu adanya urusan wajib dan urusan pilihan yang dilaksanakan daerah.

C. Langkah-langkah teknis

1. Siapkan form RKA SKPD yang menjadi format resmi pemerintah daerah 2. Pelajari isi dari SE Kepala Daerah tentang penyusunan RKA SKPD

3. Pengisian form 2.2.1

BAB IIIPERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER(PPRG)Perencanaan dan Penganggaran Responsif gender merupakan instrument untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat dalam pelaksanaan pembangunan antara perempuan dan laki-laki yang selama ini masih ada, akibat dari konstruksi sosial dan budaya dengan tujuan mewujudkan anggaran yang lebih berkeadilan. Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender, bukanlah sebuah proses yang terpisah dari sistem yang sudah ada, dan bukan pula penyusunan rencana dan anggaran khusus untuk perempuan yang terpisah dari laki-laki. Penyusunan perencanaan dan penganggaran responsif gender bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan sebuah kerangka kerja atau alat analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan.

Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender merupakan proses yang saling terkait dan terintegrasi. Berikut beberapa konsep tentang perencanaan dan penganggaran responsive gender : 1. Perencanaan responsive gender merupakan suatu proses pengambilan keputusan untuk menyusun program ataupun kegiatan yang akan dilaksanakan dimasa mendatang untuk menjawab isu-isu atau permasalahan gender di masing-masing sektor, 2. Perencanaan responsif gender adalah perencanaan yang dilakukan dengan memasukan perbedaan-perbedaan pengalaman aspirasi kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki dalam proses penyusunannya, 3. Penganggaran responsif gender : (1). Dalam proses perencanaan anggaran yang responsif gender pada setiap lingkup pemerintah, perlu keterlibatan (partisipasi) perempuan dan laki-laki secara aktif, dan secara bersama-sama mereka menetapkan prioritas program dan kegiatan pembangunan, (2) anggaran responsive gender penggunanannya diarahkan untuk membiayai program/kegiatan pembangunan yang dapat memberikan manfaat secara adil bagi perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan; dan (3) anggaran responsive gender dilokasikan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan praktis gender dan atau kebutuhan strategis gender yang dapat diakses oleh perempuan dan laki-laki.

PENGINTEGRASIAN ISU GENDER

Mulai dari tahap perencanaan sampai dengan penganggaran, akan

MENGHASILKAN ANGGARAN RESPONSIF GENDER

Anggaran Responsif Gender (ARG) dibagi atas 3 kategori, yaitu :

1. Anggaran khusus target gender, adalah alokasi anggaran yang diperuntukan guna memenuhi kebutuhan dasar khusus perempuan atau kebutuhan dasar khusus laki-laki berdasarkan hasil analisis gender;

2. Anggaran kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk mengatasi masalah kesenjangan gender. Berdasarkan analisis gender dapat diketahui adanya kesenjangan dalam relasi antara laki-laki dan perempuan dalam akses, partisipasi, manfaat dan kontrol terhadap sumber daya;

3. Anggaran kelembagaan kesetaraan gender, adalah alokasi anggaran untuk penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender, baik dalam hal pendataan maupun peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

Anggaran Responsif Gender bertujuan melahirkan kebijakan anggaran yang lebih berpihak kepada masyarakat, terutama yang lemah, terpinggirkan dan tidak terperhatikan. Pada akhirnya ini akan memberikan solusi bagaimana anggaran bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat secara adil. Keberhasilan advokasi anggaran responsif gender menggunakan indikator berupa perubahan APBD menjadi lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat dan mengakomodasikan kebutuhan yang berbeda antara berbagai kelompok masyarakat, yang tercermin pada program dan besaran anggaran.

Berdasarkan pada situasi yang ada, advokasi anggaran yang responsif gender difokuskan agar strategi pembangunan lebih berorientasi pada pembangunan manusia dan adanya alokasi sumber daya yang adil untuk berbagai kelompok masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara mempengaruhi proses perencanaan dan penganggaran agar partisipatif dan mengakomodasikan kepentingan praktis dan strategis dari kelompok marjinal, terutama perempuan, laki-laki miskin, dan remaja. Konsep yang dikembangkan bukanlah menginginkan adanya anggaran yang terpisah untuk kelompok-kelompok diatas, namun lebih pada upaya mengintegrasikan distribusi sumber daya yang adil dalam setiap tahapan proses penganggaran.

A. Menyusun Anggaran Responsif Gender.

Hal-hal yang perlu diketahui sebelum menyusun Anggaran Responsif Gender.

Untuk dapat menyusun anggaran yang responsif gender, ada 3 hal utama yang harus diketahui :

1. GAP (Gender Analisys Pathway)Definisi Analisis Gender

Analisis Gender adalah langkah strategis dalam menyusun perencanaan atau kebijakan yang responsive gender. Dalam melakukan analisa gender diperlukan pemahaman dan ketrampilan menggunakan teknik dan metode analisis gender.Tujuan Analisis Gender

Analisis kebijakan responsive gender bertujuan untuk menganalisa kebijakan pembangunan yang ada dengan menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah menurut jenis kelamin (lelaki dan perempuan) dan data gender mengidentifikasi adanya kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender issues).

Metode dan analisa Perencanaan

Teknis untuk analisa gender dari suatu kebijakan atau program kegiatan dapat menggunakan beberapa model teknik analisa gender yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah Teknik Harvard, Teknik Moser, Teknik SWOT, teknik PROBA dan Teknik GAP.

1. Teknik Harvard dikembangkan oleh Harvard Institute for Intenational Development bekerja sama dengan Kantor Women In Development (WID)-USAID. Teknik Harvard didasarkan pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan kerangka analisa gender dan perencanaan gender paling awal. Teknik analisa Harvard lebih sesuai digunakan untuk perencanaan proyek, menyimpulkan data basis atau data dasar

2. Teknik Moser didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis; kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu debat. Terdapat kelemahan dalam teknik ini yang tidak memperhitungkan kebutuhan strategis laki-laki.

3. Teknik SWOT dengan analisa manajemen dengan cara mengidentifikasi secara internal mengenai kekuatan dan kelemahan dan secara ekstrnal mengenai peluang dan ancaman.4. Teknik PROBA (Problem Base Approach) yang dikembangkan atas kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN dan UNFPA (United Nations Population Fund) di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kots, teknik ini sedikit berbeda dengan Gender Analysis Pathway.5. Teknik GAP (Gender Analysis Pathway), metode GAP adalah alat analisa gender yang dikembangkan oleh BAPPNAS yang dapat digunakan untuk membantu paea perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek dan atau kegiatan pembangunan.

Fungsi GAP

Dengan menggunakan GAP para perencana kebijakan program, proyek kegiatan dapat mengidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender sekaligus menyusun rencana kebijakan/program/proyek/kegiatan yang ditujukan untuk memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut.

Tahapan Penyusunan GAP

Teknik analisa gender yang saat ini sering digunakan adalah Gender Analysis Pathway (GAP). Melaui GAP maka akan diketahui dan diidentifikasi bahwa program atau kegiatan sudah responsif gender atau belum.

Langkah Penyusunan GAP

GAP dibuat dengan menggunakan metodelogi sederhana dengan 8 (delapan) langkah yang harus dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu Tahap I Analisis Kebijakan Responsif Gender; Tahap II Formulasi Kebijakan yang Responsif Gender; Tahap III Rencana Aksi yang Responsif Gender.

Sumber : Bappenas dan KPP & PA Analisis kebijakan responsif gender bertujuan untuk menganalisa kebijakan pembangunan yang ada dengan menggunakan data pembuka wawasan yang dipilah menurut jenis kelamin (lelaki dan perempuan) dan data gender digunakan untuk mengindentifikasi adanya kesenjangan gender (gender gap) dan permasalahan gender (gender isuues).

GENDER ANALYSIS PATHWAY (GAP)

Langkah 1Langkah 2Langkah 3Langkah 4Langkah 5Langkah 6Langkah 7Langkah 8Langkah 9

Pilih Kebijakan/

Program/

Kegiatan

yang akan

Dianalisi

identifikasi

dan

tuliskan

tujuan dari

Kebijakan/

Program/

Kegiatan

Data Pembuka wawasan

Isu GenderKebijakan dan Rencana ke DepanPengukuran Hasil

Faktor KesenjanganSebab Kesenjangan internalSebab Kesenjangan eksternalReformasi TujuanRencana AksiData Dasar (Base line)Indikator Gender

Sajikan

data

pembuka

wawasan,

yang

terpilah

menurut

jenis

kelamin :

-kuantitatif

-kualitatifTemukenali

Isu gender

di proses

Perencanaan

dengan

memperhati

kan 4

(empat)

faktor

kesenjangan

yaitu :

akses,

partisipasi,

kontrol dan

manfaatTemukenali

Isu gender

di internal

lembaga

dan/atau

budaya

organisasi

yang dapat

menyebabkan

terjadinya

isu genderTemukenali

Isu gender

di eksternal

lembaga

pada

proses

pelaksanaanRumuskan

kembali

tujuan

kebijakan/

program

kegiatan

sehingga

menjadi

responsive

genderTetapkan

rencana

aksi yang

responsive

genderTetapkan

baselineTetapkan

Indikator

gender

TAHAP 1 ANALISIS GENDER (KOLOM 1 5)

KOLOM 1 : PILIH KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN

1. Pilih kebijakan atau program atau kegiatan yang akan dianalisa, Integrasi gender dapat dilakukan pada kebijakan atau program atau kegiatan baru (yang akan atau sedang dirancang) maupun yang sudah berjalan2. Identifikasi dan rumuskan tujuan dari kebijakan atau program atau kebijakan yang akan dianalisa pada kolom 1. Periksa rumusan formulasi tujuannya, apabila terdapat beberapa tujuan, tuliskan seluruhnya. Apabila yang dianalisa adalah kebijakan, maka tuliskan tujuan atas kebijakan saja, demikian pula apabila yang dipilih untuk dianalisa adalah program atau kegiatan.

KOLOM 2 : DATA PEMBUKA WAWASAN

1. Sajikan data pembuka wawasan berupa data dan informasi relevan yang terpilah berdasarkan jenis kelamin untuk mendeteksi apakah kondisi yang ada menunjukan adanya kesenjangan gender.

2. Data pembuka wawasan dapat berupa :

a. Hasil baseline study atau hasil kajian/assesment.

b. Hasil intervensi kebijakan atau program atau kegiatan yang sedang atau telah dilakukan

3. Jenis data :

a. Data kuantitatif seperti : hasil kajian, hasil intervensi, data sekunder

(data BPS, data sektoral, telaah pustaka, dll).

b. data kualitatif seperti : hasil kajian, hasil intervensi, hasil focus group discussions, interview mendalam, observasi dan kearifan lokal.

4. Semua data dan informasi yang disajikan harus mampu menunjukan adanya kesenjangan gender yang akan dijadikan sebagai dasar penyusunan kebijakan atau program atau kegiatan yang perlu dilakukan (intervensi).

KOLOM 3 : ISU DAN FAKTOR KESENJANGAN GENDER

Identifikasi isu gender pada proses perencanaan kebijakan atau program atau kegiatan dengan menganalisa data pembuka wawasan dari empat aspek yang berpotensi menjadi penyebab kesejnagnan yaitu : Akses, Partisipasi, Kontrol dan manfaat dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Akses, identifikasi apakah kebijakan atau program atau kegiatan intervensi pembangunan yang ada atau yang sedang dirancang telah atau dapat memberikan akses yang adil terhadap perempuan dan laki-laki (kesamaan kesempatan).2. Partisipasi (peran), identifikasi apakah kebijakan atau program atau kegiatan intervensi pembangunan yang ada atau yang sedang dirancang telah atau dapat memberikan kesempatan untuk berpartisipasi kepada perempuan dan laki-laki secara adil dan proporsional dalam menyuarakan kebutuhan, kendala dalam berbagai tahapan pembangunan termasuk dalam pengambilan keputusan.

3. Kontrol, identifikasi apakah kebijakan atau program atau kegiatan intervensi pembangunan yang ada atau yang sedang dirancang telah atau dapat memberikan kesempatan penguasaan (control) yang sama kepada perempuan dan laki-laki untuk mengontrol sumber daya pembangunan seperti : informasi, pendanaan, kredit, dll.

4. Manfaat, identifikasi apakah kebijakan atau program atau kegiatan intervensi pembangunan yang ada atau yang sedang dirancang telah atau dapat memberikan manfaat yang adil dan proporsional bagi perempuan dan laki-laki.

KOLOM 4 : PENYEBAB INTERNAL KESENJANGAN GENDER

Identifikasi isu gender pada internal organisasi yang dapat menyebabkan adanya kesenjangan gender. Semua hal yang tidak/kurang mendukung terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender di lingkungan internal organisasi dapat disajikan misalnya : 1. kurangnya komitmen organisasi, 2. belum tersosialisasikannya konsep, issu, dan analisa gender secara memadai, 3. belum tersedianya data pilah gender, dll.

KOLOM 5 : PENYEBAB EKSTERNAL KESENJANGAN GENDER

Identifikasi isu gender dari eksternal organisasi pada proses pelaksanaan yang dapat menyebabkan adanya kesenjangan gender. Semua hal yang tidak/kurang mendukung terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dilingkungan eksternal organisasi dapat disajikan misalnya : 1. masih kentalnya budaya patriakhi (laki-laki lebih dominant diunggulkan dalam segala hal), 2. masih adanya gender stereotype (laki-laki sebagai kepala keluarga laki-laki bekerja mancari nafkah, perempuan melakukan pekerjaan domestic atau rumah tangga), 3. perempuan bekerja atau keluar rumah pada waktu malam hari dianggap tabu, dll.

TAHAP 2 INTEGRASI GENDER (KOLOM 6-9)

KOLOM 6 : REFORMULASI KEBIJAKAN/PROGRAM/KEGIATAN

Rumuskan kembali kebijakan atau program atau kegiatan pada kolom 1 menjadi kebijakan atau program atau kegiatan yang responsive gender. Reformulasi kebijakan atau program atau kegiatan tersebut berupa penajaman konsep gender.

KOLOM 7 : SUSUN RENCANA AKSI YANG RESPONSIF GENDER

Dengan merujuk pada issu kesenjangan gender serta factor penyebab internal dan eksternal (kolom 3-5) dan sesuai dengan reformulasi kebijakan atau program atau kegiatan pada kolom 6, susunlah rencana aksi yang responsive gender yang tujuan akhirnya adalah mencapai keadilan dan kesetaraan gender sesuai issue yang dianalisa.

KOLOM 8 : TETAPKAN BASELINE

Baseline adalah data dasar yang dipilih untuk mengukur suatu kemajuan (progress) pelaksanaan kebijakan atau program atau kegiatan. Data dasar tersebut dapat diambil dari data pembuka wawasan (data pilih gender) dari kolom 2 yang relevan dan strategis untuk menjadi ukuran.

KOLOM 9 : TETAPKAN INDIKATOR GENDER

Indikatir gender merupakan ukuran kuantiatif maupun kualitatif untuk :

1. Memperlihatkan apakah kesenjangan gender telah hilang dan atau berkurang sebagai hasil dan manfaat dari pelaksanaan kebijakan atau program atau kegiatan yang dilakukan (intervensi).

2. Memperlihatkan apakah telah terjadi perubahan budaya organisasi internal dan perubahan perilaku pada perencana kebijakan atau program atau kebijakan dengan melakukan analisa gender sebagai salah satu alat analisa dalam proses perencanaan pembangunan.

3. Memperlihatkan apakah terjadi perubahan pola pikir dilingkungan eksternal organisasi (masyarakat) tentang kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam hal akses, partisipasi, control dan perolehan manfaat dalam pembangunan.

Hasil Analisis gender/analisis situasi yang nantinya akan dituangkan dalam TOR dan GBS, mengandung muatan sebagai berikut:

a. gambaran kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara perempuan dan laki-laki dalam semua kegiatan pembangunan;

b. gambaran adanya faktor penghambat di internal lembaga (organisasi pemerintah) dan atau eksternal lembaga masyarakat;

c. indikator outcome yang dapat dihubungkan dengan tujuan kegiatan/sub-kegiatan;

2. GBS (Gender Budget Statement)Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 119/PMK.02/2009 dan PMK No. 104/PMK.02/2010, bahwa dalam tahapan penyusunan RKA-KL/ SKPD maka K/L/SKPD perlu menyiapkan Gender Budget Statement (GBS) untuk masing-masing kegiatan/sub-kegiatan yaitu pernyataan yang memuat upaya perwujudan kesetaraan gender. GBS adalah dokumen yang menginformasikan suatu kegiatan telah responsif terhadap isu gender yang ada melalui suatu analisa situasi/analisa gender, dan apakah telah dialokasikan dana pada kegiatan bersangkutan untuk menangani permasalahan gender tersebut. Penyusunan dokumen GBS telah melalui analisa gender dengan menggunakan alat antara lain Gender Analisys Pathway (GAP). Untuk kegiatan yang responsif gender, GBS merupakan bagian dan terakomodasikan dalam kerangka acuan kegiatan (terms of reference), yang selanjutnya disebut TOR.

GBS adalah dokumen akuntabilitas spesifik gender dari pemerintah yang memperlihatkan perhatian dan komitmen SKPD, untuk melakukan langkah-langkah menuju KKG dan menunjukkan SKPD telah mengalokasikan dana untuk pencapaian KKG.

Komponen dalam GBS :

Tujuan output kegiatan;

Analisis situasi;

Rencana aksi yang terdiri atas komponen input dan indicator inputnya;

Besar alokasi anggarannya;

Dampak/hasil output kegiatan.

Penyusunan ARG melaui GBS

1. Pilih Program/Kegiatan/Output dengan criteria : Sangat Prioritas, Service Delivery, Berhubungan dengan capaian MDGS;

2. Analisis gender dengan menggunakan GAP

3. Hasil analisa GAP tuangkan dalam GBS;

4. Atas dasar GBS menyusun/merevisi Term of Reference (TOR) untuk kegiatan atau output.

Pada analisis situasi berisikan kondisi riil yang terjadi dalam masyarakat yaitu yang berkenaan dengan adanya kesenjangan atau ketidakadilan/ketidaksetaraan gender, faktor kesenjangan dan penyebab adanya faktor kesenjangan, solusi/cara mengeliminir kesenjangan atau ketidakadilan/ketidaksetaraan gender.

Langkah-langkah Penyusunan Gender Budget Statement (GBS)

Dalam melakukan pengisian gender budget statement diperlukan langkah-langkah mulai dari penetapan kegiatan, penentuan tujuan, membuat analisa situasi, menguraikan indikator input dan output dalam kerangka menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam analisa situasi.

Analisa Situasi Memuat :

Data pembukaan wawasan data terpilah by sex;

Lihat apakah ada kesenjangan ? ;

Kenapa terjadi kesenjangan : akses, partisipasi, control dan manfaat ?;

Apa faktor-faktor penghambat baik internal dan eksternal ;

Upaya apa untuk mengurangi kesenjangan dan hambatan-hambatan diatas ?

Untuk jelasnya, bentuk dan susunan serta cara pengisiannya GBS dapat dijelaskan sebagai berikut.

GENDER BUDGET STATEMENT

(Pernyataan Anggaran Gender)

Nama SKPD:(Badan, Dinas, Biro)Bidang/Bagian:(Nama Bidang/Badan ..)ProgramNama Program hasil restrukturisasi

KegiatanNama Kegiatan hasil restrukturisasi

Indikator Kinerja KegiatanNama Indikator Kinerja Kegiatan hasil restrukturisasi atau diciptakan indikator kinerja kegiatan yang mengandung isu gender

Output KegiatanJenis,volume, dan satuan dari suatu output kegiatan hasil restrukturisasi

Analisa Situasi

Uraian ringkas yang menggambarkan persoalan yang akan ditangani/dilaksanakan oleh kegiatan yang menghasilkan output. Uraian tersebut meliputi: data pembuka wawasan, faktor kesenjangan, dan penyebab permasalahan kesenjangan gender.

Dalam hal data pembuka wawasan (berupa data terpilah) untuk kelompok sasaran baik laki-laki maupun perempuan tidak tersedia (data kuantatif) maka, dapat menggunakan data kualitatif berupa rumusan hasil dari focus group discussion (FGD) Output/suboutput kegiatan yang akan dihasilkan mempunyai pengaruh kepada kelompok sasaran tertentuIsu gender pada suboutput 1 / komponen 1

......................................................................

Isu gender pada suboutput 2 / komponen 2

Rencana Aksi

(Dipilih hanya suboutput/Komponen yang secara langsung mengubah kondisi kearah kesetaraan gender. Tidak Semua suboutput/Komponen dicantumkan)

Suboutput 1

Bagian dari suatu Output. Suboutput ini harus relevan dengan Output Kegiatan yang dihasilkan. Dan diharapkan dapat menangani/mengurangi permasalahan kesenjangan gender yang telah diidentifikasi dalam analisa situasi

Tujuan Sub Output 1 Uraian mengenai tujuan adanya suboutput setelah dilaksanakan analisis gender. Jika penyusun GBS menggunakan analisis Gender Analisis Pathway (GAP) maka, dapat menggunakan hasil jawaban kolom 6 (enam) pada Format GAP.

Komponen 1Uraian mengenai tahapan pelaksanaan suboutput

Komponen 2Uraian mengenai tahapan pelaksanaan suboutput

Komponen 3Uraian mengenai tahapan pelaksanaan suboutput

Anggaran Suboutput 1

Rp. ...............................

Suboutput 2............

Tujuan Sub-Output 3........

Komponen 1........

Komponen 2......

Komponen 3......

3. TOR (Term Of Reference)

Materi dalam GBS harus sejalan dengan TOR dan kedua-duanya dokumen dimaksud (GBS dan TOR) harus menjadi satuan dokumen dalam penyusunan RKA - SKPD.

Isu Gender dalam Term of Reference (TOR)

Latar belakang menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi oleh kelompok sasaran, baik laki-laki maupun perempuan dengan melihat isu gender baik dalam hal akses, pertisipasi, control maupun manfaat terhadap sumberdaya (pada bagian ini dapat diambil dari hasil analisa situasi/analisa gender dalam GBS);

Tujuan kegiatan secara jelas memberikan informasi tentang manfaat yang akan diterima kelompok sasaran, baik laki-laki maupun perempuan;

Pelaksanaan kegiatan menjelaskan upaya keterlibatan atau konsultasi dengan kelompok sasaran laki-laki dan perempuan;

Kelompok sasaran, output kegiatan, alokasi kegiatan serta identifikasi output harus sesuai dengan tujuan kegiatannya.

Fungsi TOR :

Informasi yang disajikan dalam TOR dapat berfungsi sebagai :

Alat bagi pimpinan untuk melakukan pengendalian kegiatan yang dilakukan oleh bawahannya.

Alat bagi para Perencana Anggaran untuk menilai urgensi pelaksanaan kegiatan tersebut dari sudut pandang keterkaitan dengan Tupoksi.

Alat bagi pihap-pihak pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan realisasi kegiatan tersebut.

KOMPONEN TOR

a. Latar Belakang.

Menguraikan :

Dasar hukum yang terkait dan kebijakan SKPD yang merupakan dasar keberadaan aktifitas berkenaan berupa Peraturan Perundangan yang berlaku, Renstra SKPD, tugas dan fungsi SKPD.

Gambaran umum merupakan penjelasan secara singkat (why) aktifitas tersebut dilaksanakan dan alasan penting aktifitas tersebut dilaksanakan serta keterkaitan aktifitas yang dipilih dengan output.

b. Penerima Manfaat.

Menjelaskan penerima manfaat baik internal dan/atau eksternal Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).c. Strategi Pencapaian Output.

Menjelaskan :

Metode pelaksanaan

Cara pelaksanaannya, berupa kontraktual atau swakelola

Tahapan dan waktu pelaksanaan

Tahapan/komponen masukan yang digunakan dalam pencapaian keluaran kegiatan, termasuk jadwal waktu (time table) pelaksanaan dan keterangan kelanjutan pelaksanaan tahapan/komponen masukan pada tahun berikutnya.

d. Waktu Pencapaian Output.

Menerangkan waktu pencapaian output

e. Biaya.

Berisikan total biaya aktifitas sebesar nilai nominal tertentu yang dirinci dalam RAB sebagai lampiran TOR.

TOR yang Responsif GenderUntuk menilai TOR telah responsive gender, isu gender dapat dilihat pada bagian :

Latar belakang, telah menjelaskan tentang permasalahan yang dihadapi oleh kelompok sasaran, baik laki-laki maupun perempuan;

Dalam strategi pencapaian keluaran kegiatannya, menyatakan telah melibatkan berkonsultasi atau berdasarkan informasi dari masyarakat atau kelompok sasaran, laki-laki dan perempuan;

Penerima manfaat, secara jelas memberikan informasi tentang manfaat yang akan diterima kelompok sasaran, baik laki-laki maupun perempuan;

Kelompok sasaran, output kegiatan, lokasi kegiatan serta identifikasi output harus sesuai dengan tujuan kegiatannya yang dikelaskan pada bagian latar belakang.

BAB IVPENUTUPA. KESIMPULAN

Dalam rangka percepatan pelaksanaan pengarusutamaan gender maka perencana SKPD mampu menerapkan Perencanaan Penganggaran Yang Responsif gender dengan memahami langkah-langkah penyusunan Anggaran Responsif Gender (ARG) dalam penyusunan RKA SKPD diantaranya mampu menganalisis isu gender, menyusun pernyataan gender dan membuat kerangka acuan kegiatan yang disebut TOR serta memahami antara lain :Pengertian Pengarusutamaan Gender yang merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. PUG bertujuan untuk meniadakan kesenjangan gender dan diharapkan terciptanya tranparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam pembangunan yang berperspektif gender terhadap rakyat meningkat, dimana sasaran utamanya adalah lembaga pemerintah yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan dari pusat hingga daerah.

Analisis gender merupakan suatu penelaahan untuk mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dengan melakukan tahapan GAP

Anggaran responsif gender adalah anggaran yang responsif terhadap kebutuhan, permasalahan, aspirasi, pengalaman laki-laki dan perempuan serta memberi manfaat yang adil kepada laki-laki dan perempuan, serta komponennya yang terdiri dari GAP, GBS, TOR.

GAP adalah suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para perencanan dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan.

Gender Budget Statement (GBS) adalah dokumen yang menginformasikan suatu kegiatan telah responsif terhadap isu gender. Kerangka Acuan Kerja/Term of Referrence (TOR) merupakan dokumen yang menerangkan segala sesuatu tentang rencana pelaksanaan suatu kegiatan. B. IMPLIKASI

Diharapkan seluruh SKPD dapat menyusun Anggaran Yang Responsif Gender (ARG) sebagai rencana kerja tindak lanjut pada masing-masing unit organisasinya.

C. TINDAK LANJUT

Berbekal Buku Pedoman Perencanaan Penganggaran yang responsif gender, diharapkan mampu mengidentifikasi Program/kegiatan untuk ditindak lanjuti sebagai kegiatan yang responsif Gender.

RENJA SKPD

RKPD

KUA DAN PPAS

RKA SKPD

PAGE 49