Buku Ketik 2003 BAB I

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian tulisan tentang Permesta telah banyak ditulis oleh para ahli baik dalam bentuk artikel, makalah karya ilmiah dengan berbagai wawasan teoritis. Pada kenyataannya studi tentang Permesta bukanlah studi sejarah masa lalu yang telah mati, meskipun mengkaji masa yang telah lewat, tetapi memberikan kepada kita pengetahuan dan wawasan tentang suatu konflik kenegaraan yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai peristiwa politik di tanah air pada pasca revolusi kemerdekaan, pengetahuan dan wawasan ini kemudian diharapkan dapat menjadi landasan kepada kita untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai diskursus persoalan kekinian. Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaan-pertanyaan tentang Permesta. Ini tidaklah

Transcript of Buku Ketik 2003 BAB I

Page 1: Buku Ketik 2003 BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rangkaian tulisan tentang Permesta telah banyak ditulis oleh para

ahli baik dalam bentuk artikel, makalah karya ilmiah dengan berbagai

wawasan teoritis. Pada kenyataannya studi tentang Permesta bukanlah studi

sejarah masa lalu yang telah mati, meskipun mengkaji masa yang telah

lewat, tetapi memberikan kepada kita pengetahuan dan wawasan tentang

suatu konflik kenegaraan yang tidak kurang lebih pentingnya dari berbagai

peristiwa politik di tanah air pada pasca revolusi kemerdekaan, pengetahuan

dan wawasan ini kemudian diharapkan dapat menjadi landasan kepada kita

untuk memahami konteks berikutnya, termasuk memahami berbagai

diskursus persoalan kekinian.

Memang, sudah banyak jawaban yang diberikan atas pertanyaan-

pertanyaan tentang Permesta. Ini tidaklah berarti bahwa pengkajian tentang

Permesta telah berada pada posisi final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.

Sebaliknya pengkajian tentang Permesta harus dirangsang nilai

akademiknya dengan berbagai instrument agar tetap pada wilayah

perdebatan akademis, sehingga pemahaman kitapun tentang Permesta lebih

komprehensif. Dan salah satu instrument yang dianggap relevan adalah

Page 2: Buku Ketik 2003 BAB I

mengubah nalar sejarah kita dengan melihat Permesta ke sudut pandang

yang lebih netral.

Dalam materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah, penguraian

tentang Permesta sangat singkat dan tidak secara komprehensif. Ini

berakibat pemahaman kita pun sering keliru. Demikian ula jawaban tentang

Permesta dapat kita temui pada tulisan-tulisan lain, seperti Memoar A. H.

Nasution (Memenuhi Panggilan Tugas) yang melihatnya dari sudut

pandangan penulisnya. Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNI-AD) misalnya

hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI dalam

penumpasan Permesta, Nugroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia)

juga melihat Permesta jelas sebagai bagian dari gerakan separatis-

pemberontak, serta beragam lagi tulisan-tulisan lain yang kesemua itu

kemudian membentuk opini kita bahwa Permesta adalah gerakan separatis-

pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemahaman

sejarah kita ini pun kemudian berlanjut kepada sebuah asumsi bahwa

apapun yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat adalah

gerakan separatis-pemberontak. Ini dikarenakan banyak tulisan yang secara

apriori mengecam Permesta tanpa dukungan fakta-fakta dan celakanya

anomali ini kemudian mengendemik ke wilayah garapan sejarah akademis.

Informasi tentang Permesta pun dapat kita lihat dari hasil penelitian

yang lebih komprehensif. Dalam kajian sejarah akademis, paling tidak ada

dua tulisan tentang Permesta yang telah diterbitkan. Diantaranya karangan

Page 3: Buku Ketik 2003 BAB I

Barbara Sillars Harevey (1989) yang berjudul “Permesta : Pemberontak

Setengah Hati”. Karya ini merupakan kajian politik tentang Permesta dari

sudut pandang pengamat luar. Barbara mencoba menelusuri peristiwa

Permesta dengan memakai teori “Center Periphery”. Teori ini berusaha

melihat factor lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis yang merupakan

warisan dari kondisi umum zaman penjajahan, menjadi unsure pokok yang

menimbulkan ketegangan pusat dengan daerah. Dari tulisan ini setidaknya

dapat menggeser pemahaman kita pada tulisan-tulisan sebelumnya bahwa

ada factor yang sangat situasional sehingga Permesta itu lahir dan klaim

sejarah atas Permesta sebagai gerakan separatis-Pemberontak, total masih

perlu dipertanyakan secara akademis, ini bisa dipahami atas kehati-hatian

Barbara dengan penyebut Permesta sebagai pemberontak setengah hati.

Kemudian wacana Sejarah Nasional kembali dirangsang nilai

akademiknya ketika diterbitkan informasi terbaru tentang Permesta. Hasil

penelitian R.Z. LErissa yang kemudian diterbitkan dengan judul

“PRRI/Permesta”: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis” member

persepsi lain dari tuliansebelumnya. Dengan menggunakan “Oral History”

mencoba menemukan factor-faktor utama balik tersebut. Nampaknya

permasalahan atau konflik militer (kesenjangan dalam kubu Angkatan Darat0

dan bahaya komunisme, serta bagaimana persepsi para eksponen PRRI-

Permesta mengenai tanah airnya pada tahun 1950-an, apa yang mereka

lakukan, serta bagaimana upaya menyusun strategi pembangunan berskala

Page 4: Buku Ketik 2003 BAB I

nasional tanpa keterlibatan PKI dalam kegiatan politik nasional merupakan

pokok-pokok pening dalam tulisan ini. Dan satu temua yang dapat

memancing nalar kita adalah klaim sejarah atas Permesta sebagai gerakan

Separatis-Pemberontak tidak lagi disebutkan dalam tulisan ini dan bahkan

sedikitnya mendapat pembelaan secara argumentative.

Kedua sejarah akademis diatas pada dasarnya telah menguraikan

secara detail tentang berbagai kemelut yang melanda bangsa Indonesia, di

antaranya berbagai perbedaan-perbedaan pandangan tentang tatanan

kenegaraan, format pembangunan dari perbedaan-perbedaan pandangan ini

kemudian melahirkan berbagai konflik di antaranya konflik ideology,

keguncangan dalam kubu Angkatan Darat serta ketegangan antara pusat

dan daerah sebagai akibat lemahnya integrasi birokratis dan ekonomis.

Anomali-anomali diatas mengendemik sampai ke daerah-daerah

dan terakumulasi menjadi bentuk kekecewaan pemerintah daerah terhadap

kebijakan politik, ekonomi pemerintah pusat, ini berakibat munculnya

berbagai pergolakan di daerah dengan berbagai pula tuntutan, diantaranya

tuntutan kepada pemerintah pusat agar pemerintah daerah dapat mengatur

wilayah kerjanya sendiri, tuntutan ini dikenal dengan tuntutan otonomi

daerah. Ini didasari atas asumsi bahwa dalam situasi seperti itu diperlukan

format pemerintah yang efektif dan efisien.

Seperti yang dikemukakan oleh Barbara (1989 : 18) bahwa:

Page 5: Buku Ketik 2003 BAB I

“Tuntutan-tuntutan untuk otonomi daerah yang lebih besar bias

dilihat sebagai saran-saran untuk membikin pemerintahan yang

lebih efektif dari segi pandangan daerah-daerah. Tuntutan itu

bukanlah suatu serangan terhadap system demokrasi parlementer

itu sendiri, sekalipun ada rasa benci yang meluas di seluruh negeri

terhadap politikus yang cekcok di Jakarta”.

Demikian pula tuntutan otonomi daerah tersugesti oleh munculnya

berbagai masalah-masalah social, ekonomi, politik yang dialami pemerintah

daerah, ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh karena system

pemerintahan sentralistik yang tidak memperhatikan pembangunan local.

Untuk menyelesaikan masalah-masalah social politik, ekonomi

tersebut kemudian mengharuskan pemerintah daerah mengatur dan

menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi di wilayah kerjanya. Adalah

sangat tidak efektif apabila masalah-masalah yang segera ditangani

meniscayakan kemampuan pemerintah daerah atau kemudian harus

menunggu restu dari pusat dengan rantai birokrasi yang demikian panjang.

Maka implikasinya di sini termasuk di bidang politik pemerintah daerah harus

mengambil keputusan politik dan kebijaksanaan public bersifat segera agar

secepatnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Salah satu masalah nasional dan daerah yang dihadapi adalah

kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah tampaknya masalah ini

Page 6: Buku Ketik 2003 BAB I

kemudian menjadi isu yang sangat menarik dalam tuntutan daerah. Seperti

ditegaskan lebih lanjut oleh R. Z. Lerissa (1997:76) bahwa :

“Tidak lancarnya pembangunan daerah merupakan salah satu isu

yang paling kuat dirasakan masyarakat di Sulawesi. Partai-artai

politik dan berbagai kelompok social lainnya berlomba mengajukan

jalan keluar. Salah satu yang paling popular ketika itu adalah

otonomi daerah, dari masalah otonomi propinsi sampai ke taraf

kabupaten…..

Dengan demikian otonomi daerah merupakan isu menarik untuk

dikelola secara formal dan bahkan isu tentang otonomi daerah ini menjadi

produk yang diperebutkan oleh partai politik serta berbagai kelompok-

kelompok social, sehingga boleh dikatakan otonomi daerah dalam fenomena

historis bukanlah suatu fenomena yang mengejutkan. Karena wacana

tentang otonomi telah ada sejak bangsa Indonesia merdeka, bahkan telah

menjadi diskursus politik-ekonomi. Sebagaimana yang telah dikemukakan

baik pada tulisan Barbara maupun Lerissa.

Akan tetapi, masalah yang kemudian mengemukakan adalah kedua

tulisan sejarah akademis diatas baik oleh Barbara maupun Lerissa tidak

menyebut dan menguraikan secara jelas tentang bagaimana bentuk otonomi

daerah yang dimaksud dan bagaimana konsep serta implementasinya, dan

pikiran apa yang melatarinya ataukah ini berawal dari konflik elit yang

Page 7: Buku Ketik 2003 BAB I

kemudian ditarik dan diisukan ke bawah, hal ini tidak diulas secara memadai

pada tulisan sebelumnya.

Dengan demikian jelas masih banyak hal seputar Permesta untuk

dikaji, khususnya bagaimana tuntutan Permesta dalam mewujudkan otonomi

daerah dan seperti apa otonomi daerah yang diperjuangkan, serta

bagaimana latar pemikiran yang mendasari perjuangan mewujudkan otonomi

daerah tersebut. Ke semua itu tidak diungkap secara memadai pada tulisan-

tulisan sebelumnya.

B. Rumusan masalah

Permesta jelas tidak lahir serta merta tanpa ada pertimbangan

rasional dan situasional secara matang, tentu saja gerakan ini muncul

didasari oleh pemahaman realitas kebangsaan yang berkembang serta

pembacaan situasi (ruang-waktu) tentang kondisi daerah yang dilanda

berbagai masalah social, politik dan ekonomi. Dan salah satu “ideas” para

tokoh penggerak Permesta adalah penemuan gagasan-ide tentang format

pembangunan yang berskala nasional, diantaranya pemberian otonomi

kepada pemerintah daerah.

Berdasarkan hal itu, maka penelitian ini akan memfokuskan pada

lima permasalahan pokok, yaitu :

1. Bagaimana situasi Indonesia menjelang Permesta?

2. Bagaimana hubungan pusat dan daerah?

Page 8: Buku Ketik 2003 BAB I

3. Bagaimana pokok-pokok pikiran Permesta khususnya tentang otonomi

daerah?

4. Bagaimana perjuangan Permesta dalam mewujudkan otonomi daerah?

C. Batasan Masalah

Sesuai judul dan rumusan masalah, maka focus kajian dalam

penelitian ini adalah bagaimana perjuangan Permesta dalam mewujudkan

otonomi daerah, pembahasan masalah ini dimulai dari “situasi Indonesia

menjelang Permesta, yaitu berbagai persoalan-persoalan politik, ekonomi,

social, militer, hubungan pusat dan daerah. Dari situasi ini muncullah

pemahaman para tokoh-tokoh Permesta (sebagai kelompok memiliki

otoritas) dengan berbagai gagasan-ide yang di antaranya otonomi daerah.

Bagaimana bentuk otonomi yang dimaksud menjadi unsure penting dalam

penelitian ini, kemudian pada akhir penelitian akan membahas tentang

implementasi ide otonomi daerah tersebut.

Kemudian secara temporal penelitian ini dibatasi antara tahun

1957, saat dikumandangkannya Piagam Permesta, ini didasari bahwa

disinilah perjuangan Permesta dimulai. Dan hingga tahun 1961 dengan

berbagai pertimbangan situasional para tokoh-tokoh Permesta menyerahkan

diri kepada pemerintah sehingga secara organisator Permesta pun berakhir.

D. Metode dan Pendekatan

Page 9: Buku Ketik 2003 BAB I

Sesuai judul, penelitian ini menggunakan metode historis yang

menurut Nogroho Notosusanto (1971:17) “mencakup empat tahapan kerja

(1) Heuristik, yaitu kegiatan menghimpun sumber. (2) Kritik, yaitu penilaian

terhadap kredibilitas sumber. (3) Penafsiran fakta, dan (4) Sintesa, yang

dituangkan dalam bentuk tulisan”.

Adapun permasalahan pokok yang tercantum dalam rumusan

masalah akan dianalisis dengan pendekatan metodologi strukturis. Model

strukturis memandang masyarakat sebagai suatu struktur yang nyata dari

aturan, peran-peran, relasi-relasi dan makna-makna yang dihasilkan dan

berubah oleh individu yang merupakan kondisi sebab akibat dari tindakan,

keyakinan dan keinginan-keinginannya. Metodologi ini berusaha

mengkonseptualisasi dan mengkaji proses pembentukan struktur dalam

jangka waktu tertentu dengan memeriksa interaksi sebab akibat dari para

individu, kelompok-kelompok, kelas-kelas dan pengstrukturan kondisi-kondisi

social keyakinan-keyakinan dan keinginan-keinginan mereka.

Menurut Lioyd (1993:139) mengatakan :

…..If we are to explain the history and effectiveness of structures

we must allude to the roles of meanings, intentions, understandings

and practices in producing them. Structures cannot produce or

reproduce themselves. Socially productive and reproductive

behavior is always performed in context the induces understanding

about society and people.

Page 10: Buku Ketik 2003 BAB I

Untuk menjelaskan sejaran dan struktur-struktur yang efektif maka

harus mengungkapkan peran-peran terhadap arti, tujuan-tujuan,

pemahaman-pemahaman dan praktek-praktek dalam

menghasilkannya. Struktur-struktur tersebut tidak bisa

memproduksi atau mereproduksi sendiri. Perilaku yang secara

social produktif dan reproduktif biasanya diungkapkan dalam suatu

konteks yang meliputi pemahaman tentang masyarakat dan orang-

orang.

Metodologi strukturis berisi sejumlah konsep yaitu Agency, struktur

social, mentality dan causal factors. Agency secara umum dihubungkan

dengan dua pengertian, (1) Kekuatan otonom yang sungguh-sungguh ada

atau bagian dari system untuk mendatangkan akibat; (2) Kekuatan dari

seseorang untuk melakukan tindakan yang mendatangkan keberhasilan.

Agency tidak mampu berdiri sendiri tanpa struktur social. Struktur social

terdiri dari komponen-komponen : rules, roles, dan interaction yang tidak bisa

dipahami secara hermeneutika karena merupakan unobservakes dan tidak

dapat ditangkap oleh panca indera, kecuali bila diteorikan. Sebaliknya

Agency sifatnya konkrit dan dapat ditangkap oleh panca indera. Mentality

diartikan : bagaimana mereka memahami diri mereka sendiri, dunia mereka

dan bagaimana mereka mengekspresikan diri melalui agara, ritus, busana,

music dan lain sebagainya. Mentality adalah kemampuan yang dimiliki

Page 11: Buku Ketik 2003 BAB I

manusia sehingga dapat berperan sebagai Agency dalam reproduksi dan

transformasi social. Sedangkan Casual factors merupakan hasil interaksi

antara Agency dengan structure social. Disinilah letak aspek analitis dari

metodologi strukturis. Interaksi ini mengakibatkan reproduksi dan

transformasi social.

Interaksi antara Agency dan Structure Social di satu pihak dan teori

di pihak lain dihubungkan oleh expressed intention. Expressed Intention ialah

maksud yang diekspresikan melalui bahasa dan atau tulisan dari perilaku

sejarah dan merupakan landasan bagi pelaku sejarah untuk melakukan

sesuatu. Dengan demikian expressed intention dapat juga dikatakan sebagai

mentality. Expressed Intention dapat diketahui melalui sumber-sumber

sejarah yang digunakan dalam penelitian. Kemampuan mereka ditelusuri dari

latar belakang social, ekonomi, politik serta perjalanan karirnya.

E. Penelitian Terdahulu

Tulisan tentang Permesta telah banyak dilakukan oleh para ahli

dengan berbagai warna dan persepsi. Tulisan-tulisan ini kemudian diolah

dan dianalisa dengan sendirinya mempengaruhi alur pemikiran sejarah kita

sehingga pemahaman kita pun tentang Permesta amat variatif.

Setidaknya ada tiga varian tulisan yang mewarnai pemahaman kita

tentang Permesta. Ketiga varian yang dimaksud adalah pertama, tulisan

yang secara tegas mengklaim Permesta sebagai gerakan separatis-

Page 12: Buku Ketik 2003 BAB I

pemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua tulisan

yang melihat Permesta sebagai fenomena tarik menarik dari berbagai

kepentingan dengan sejumlah masalah yang sangat komplek. Dilain sisi

Permesta dipandang sebagai gerakan pembangunan daerah dan tidak

berniat untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI sebagaimana diakhiri

dengan konflik bersenjata (perlawanan terhadap pemerintah yang sah).

Sehingga sebahagian orang memahami bahwa ia tetap berada sebagai

status pemberontak dan ketiga tulisan yang tidak lagi mengklaim Permesta

sebagai gerakan separatis-pemberontak, tetapi ia menempatkan Permesta

sebagai bagian dari strategi perjuangan terutama dalam membendung

pengaruh komunisme. Vaian yang ketiga ini tampaknya masih bersifat

paradoksal.

Klaim bahwa Permesta sebagai pemberontak dapat dilihat pada

berbagai tulisan-tulisan verse resmi (penafsiran sejarah menurut

pemerintah). Seperti buku materi pelajaran sejarah untuk anak sekolah,

walaupun diuraikan sangat singkat, tetapi jelas disebutkan bahwa Permesta

merupakan gerakan separates-pemberontak

Menyusul tulisan-tulisan lain seperti G. Mudjianto (Indonesia

bab .20), Nogroho Notosusanto (Sejarah Nasional Indonesia), Memoar A.H.

Nasution (memenuhi panggilan tugas) yang hanya melihat dare sudut

pandang penulisnya,. Demikian pula Dinas Sejarah Militer Indonesia (TNI-

AD), juga hanya menempatkan Permesta ke dalam kerangka peranan TNI

Page 13: Buku Ketik 2003 BAB I

dalam penumpasan pemberontakan. Ke semua itu tidak memberi warna lain

tentang Permesta, bahkan ada penguatan asumsi bahwa Permesta memang

benar-benar gerakan separates-pemberontak,

Pemahaman kita tentang Permesta sedikit lebih longgar ketika

diterbitkan buku. karang Barbara Sellars Harvey (1986) dengan judul

"Permesta: Pemberontakan Setengah Hati. Melalui tulisan ini Barbara

melukiskan kembali atau membuat rekonstruksi tentang, Permesta. la mulai

dengan latar belakang Nasional dan latar belakang wilayah Indonesia Timur,

terutama Sulawesi, lalu diteruskan dengan kejadian-kejadian disekitar

kelahiran Permesta di Makassar, dan bagian terbesar dalam tulisan ini,

diceritakan bagaimana Permesta akhirnya berpusat di Sulawesi Utara,

terutama di Minahasa yang menjadi kancah pemberontakan.

Dari hasil rekonstruksi Barbara tentang Permesta paling tidak ada

dua hal penting yang terlukis didalamnya . Pertama, betapa rumitnya

peristiwa itu untuk diteliti, ditelaah, dipahami secara obyektif, terutama

karena ia mengandung berbagai corak kompleksitas di dalam dirinya. Kedua

bagaimana peristiwa itu berkembang dari semacam gerakan kepada yang

berkuasa di Jakarta menjadi pemberontakan setengah hati.

Dari tulisan ini, sedikitnya telah memberi informasi temuan baru

tentang Permesta bahwa betapa rumitnya fenomena kebangsaan saat itu,

serta bagaimana posisi pemerintah daerah yang bergolak. Berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan ini, pemahaman kita pun sedikit lunak dalam

Page 14: Buku Ketik 2003 BAB I

memandang Permesta, bahwa pada dasarnya pemberontakan ini adalah

pemberontakan setengah hati.

Berikutnya, tulisan terbaru tentang Permesta yang dikarang oleh

R.Z Leirissa (1997) dengan judul “PRRI/Permesta : Strategi Membangun

Indonesia Tanpa Komunis". Menurut Leirissa, meski tulisan-tulisan yang ada

mencoba memahami masalah PRRI/ Permesta secara sungguh-sungguh,

namun ada pula secara apriori mengecam Permesta tanpa ada dukungan

fakta-fakta yang memadai. Sebahagian mereka mengecam itu, umumnya

kurang memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh yang ada di

daerah bergolak, sehingga menarik kesimpulan sering kali berat sebelah dan

tidak professional.

Atas dasar kenyataan itu Leirissa mencoba melihat dan memahami

PRPI/Permesta ke sudut pandang yang lebih netral dengan berusaha

memperhatikan persepsi dan argumentasi tokoh-tokoh penggerak

pergolakan. Berkat dukungan data dan hasil wawancara (di samping data

arsip), ia berhasil menemukan suatu kesimpulan tentang PRRI/ Permesta

yang jauh dipahami umum selama ini dan tidak sesuai dengan tafsir sejarah

resmi.

Dalam tulisan ini, Leirissa mencoba menganalisa dan menjawab

sebuah pertanyaan kunci "bagaimana terjadi PRRI/ Permesta. Mula-mula

Leirissa menjelaskan perkembangan situasi berkisar pada masalah-masalah

militer, namun perkembangan selanjutnya mengendemik ke masalah lain

Page 15: Buku Ketik 2003 BAB I

dalam jangkauan lebih luas, yang kemudian melahirkan Dewan Banton di

Padang, Dewan Gajah di Medan, Dean Garuda, di Palembang, dan

Permesta di Sulawesi.

Leirissa berusaha menjelaskan PRRI/Permesta lebih dari apa yang

dipahami umum selama ini. Disini ia mencoba memberi kesan bahwa

masalah PRRI/Permesta sebenarnya bukan sekedar ketegangan antar pusat

dan daerah karena hal itu sudah ada sejak zaman Majapahit, menurutnya,

kesenjangan antara pusat dan daerah dipertengahan tahun 1950-an terjadi

karena adanya pendapat bahwa perkembangan politik dipusat ketika itu tidak

memungkinkan terselenggaranya pembangunan nasional.

Dengan demikian, sampai sekarang belum ada penelitian secara

khusus mengkaji Permesta dari sudut perjuangan mewujudkan otonomi

daerah, padahal, rencana pembangunan yang ditawarkan Permesta, yaitu

"Otonomi Daerah".

F. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1. Untuk menguraikan situasi Indonesia menjelang Permesta.

2. Untuk menjelaskan pokok-pokok pikiran Permesta yang meliputi;

Konsolidasi Nasional, Rencana pembangunan, dan Otonomi Daerah.

Page 16: Buku Ketik 2003 BAB I

3. Untuk menjelaskan tahap-tahap perjuangan Permesta dalam

mewujudkan pokokpokok pikirannya tersebut, terutama perjuangan dalam

mewujudkan Otonomi Daerah

G. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan kepada kita wawasan dan pengetahuan tentang situasi

bangsa Indonesia menjelang Permesta, yang meliputi munculnya

berbagai konflik politik dan ideology.

2. Menjadi referensi bagi kita tentang beberapa pokok-pokok pikiran

Permesta yang diharapkan dapat menjadi landasan untuk memahami

esensi konflik kenegaraan.

3. Diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengembangan sejarah

Nasional pada umumnya dan sejarah local pada khususnya.