Buku Banten

96

description

Buku Banten

Transcript of Buku Banten

Page 1: Buku Banten
Page 2: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI

Indonesia.Kementerian Kesehatan RI. DirektoratJenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan AnakAssessment GAVI - HSS 2010-2011 DirektoratJenderal Bina Gizi dan KIA : Laporan akhir Provinsi Banten,--Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.2011

1. Judul I. VACCINES II. IMUNIZATIONIII. SOCIAL CONDITION IV. PROGRAM DEVELOPMENT

614.47Inda

Page 3: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

i

DIREKTUR JENDERAL BINA GIZI DAN KIA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

SAMBUTAN

Kegiatan imunisasi merupakan upaya yang paling cost effective dalam menu-

runkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I) yang diharapkan akan berdampak pada penurunan angka

kematian bayi dan balita. Universal Child Immunization (UCI) Desa/Kelurahan

secara nasional setiap tahunnya selalu tidak mencapai target.

Dalam upaya mengatasi permasalahan mengenai terjadinya kemerosotan cakupan

pelayanan kesehatan dalam berbagai program termasuk program imunisasi, Pemerintah Indo-

nesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan melakukan berbagai langkah untuk menganalisa

kondisi yang terjadi di masyarakat. Beberapa permasalahan telah diidentifikasi dan diantaranya

perlu mendapat perhatian dan penanganan secepatnya, yaitu: dukungan masyarakat yang

lemah dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), termasuk imunisasi, kapasitas petugas

kesehatan yang menurun, khususnya petugas di bidang KIA dan imunisasi, kemitraan yang

belum dikembangkan dengan institusi swasta dan non pemerintah/masyarakat, dan keterbatasan

jumlah tenaga dan motivasi petugas kesehatan menurun di beberapa lokasi tertentu.

GAVI (Global Alliance for Vaccines and Immunization), suatu organisasi kesehatan

internasional yang berkedudukan di Geneva, telah memberikan bantuan hibah kepada Peme-

rintah Republik Indonesia melalui 3 (tiga) komponen yaitu ISS (Immunization Service Support),

HSS (Health System Strengthening), dan CSO (Civil Society Organization) dalam rangka

pelaksanaan program pembangunan kesehatan terkait dengan upaya mengatasi masalah tersebut.

Beberapa alasan yang melatarbelakangi pemberian bantuan GAVI pada 3 (tiga)

komponen tersebut antara lain bahwa penguatan program imunisasi sendiri saja tidak cukup

untuk meningkatkan dan mempertahankan cakupan imunisasi. Kelemahan dalam sistem

kesehatan dapat menghambat pencapaian cakupan imunisasi, dan penguatan sistem kesehatan

tidak hanya dapat meningkat cakupan imunisasi, cakupan pelayanan, kesehatan ibu dan anak,

tetapi juga berdampak pada kesehatan lain.

Sejalan dengan maksud diatas, kegiatan Healths System Strengthening (HSS) difokuskan

pada pencapaian 4 (empat) tujuan, yaitu Mobilisasi masyarakat untuk mendukung Program KIA

dan Imunisasi, Peningkatan kemampuan manajemen petugas kesehatan, Kemitraan dengan

Organisasi Non Pemerintah/ CSO (LSM), Pilot Project tentang mekanisme insentif dan kontraktual

tenaga KIA.

Untuk mendukung tujuan tersebut telah dilakukan penilaian dan pemetaan kegiatan

pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Village Mapping) dan ketersediaan pelayanan

kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI,

Page 4: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

ii

yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Papua dan Papua Barat, yang mencakup

62 Kabupaten/Kota, 1.715 Puskesmas, 11.060 Desa. Kegiatan ini melibatkan Universitas terdekat

dengan daerah GAVI –HSS, yang terdiri dari : Universitas Indonesia untuk daerah Banten,

Universitas Pajajaran untuk daerah Jawa Barat, Universitas Hasanudin untuk daerah Sulawesi

Selatan, dan Universitas Cendrawasih untuk daerah Papua dan Papua Barat, dengan koordinasi

oleh Universitas Gajah Mada.

Hasil penilaian dan pemetaan kegiatan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa (Vil-

lage Mapping) dan ketersediaan pelayanan kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit (Service

Availlability Mapping) di 5 Provinsi GAVI yang telah dilakukan, disusun dan disajikan pada buku

laporan hasil akhir VM dan SAM GAVI-HSS untuk masing-masing daerah provinsi GAVI.

Saya mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan atas kerjasama dan

segala dukungan yang telah diberikan oleh seluruh mitra dari Universitas dan semua pihak

yang telah berkonstribusi dalam penyusunan buku Laporan Assesment GAVI-HSS ini.

Semoga data dan informasi yang tersedia pada buku laporan ini bermanfaat untuk menjadi

bahan masukan dalam menelaah keadaan yang ada di Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang

bersangkutan dan juga sebagai dasar untuk menyusun kebijakan, perencanaan, implementasi

dan evaluasi program sehingga pencapaian pelayanan kesehatan yang maksimal menuju Indo-

nesia Sehat dapat terwujud.

Disadari bahwa data dan informasi yang tersaji dalam buku ini belum dapat memenuhi

keseluruhan kebutuhan data dan informasi, sehingga masukan berupa saran dan kritik yang

membangun untuk perbaikan kedepan sangat kami harapkan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta

memberi petunjuk kepada kita sekalian dalam melaksanakan pembangunan kesehatan hingga

terwujudnya masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan.

Jakarta, November 2011

Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA

Dr. dr. Slamet Riyadi Yuwono, DTM&H,MARS

Page 5: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala

Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga pelaksanaan penelitian hingga penulisan laporan dapat

dilakukan dengan baik.

Kegiatan penelitian Global Alliance for Vaccines and Immunization Health System

Strengthening (GAVI-HSS). Laporan ini menyajikan data Hasil Survei GAVI-HSS berupa

Village Mapping (VM) dan Service Availability Mapping (SAM) di Provinsi Jawa Barat.

Kegiatan ini terselenggara berkat dukungan dari GAVI-HSS, Kementerian Kesehatan RI,

Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Pemerintah Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para responden dan informan yang mau menyi-

sihkan waktunya di sela-sela kesibukannya dan kepada semua pihak yang turut terlibat dalam

penelitian ini.

Kami menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan

kritik membangun senantiasa kami harapkan dari semua pembaca. Semoga Allah Subhanahu

wa Ta’ala memberi Ridho atas semua niat dan amal baik kita.

Jakarta, 18 Oktober 2011

Tim Penyusun

Page 6: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

iv

DAFTAR ISI

SAMBUTAN .......................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ................................................................................................... vi

DAFTAR GRAFIK ................................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ix

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ................................................................... x

I. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN ................................................ 1

B. LATAR BELAKANG ............................................................................ 2

C. TUJUAN ............................................................................................. 6

II. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 7

A. RANCANGAN PENELITIAN............................................................... 7

B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN .................................................. 7

C. SAMPEL ............................................................................................. 7

D. PENGUMPULAN DATA ...................................................................... 8

E. PENGOLAHAN DATA ......................................................................... 9

F. TAHAPAN ANALISA DATA ................................................................. 9

III. HASIL PENELITIAN .................................................................................... 11

A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT............................................ 11

1. Pelaku Pelayanan Kesehatan ................................................... 11

2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi ............................................. 16

3. Desa Siaga................................................................................ 21

a. Poskesdes dan Polindes .................................................. 22

b. Kelompok Donor Darah .................................................... 24

c. Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita .............................. 24

d. Ambulans Desa ................................................................ 27

4. Posyandu .................................................................................. 28

5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat............................... 30

a. Musrembang Desa ........................................................... 30

b. Operasional Posyandu dan Rujukan ................................ 32

B. ISU MANAJEMEN PUSKESMAS ....................................................... 34

1. Sumber Daya Manusia (SDM) .................................................. 35

a. Pelatihan Bidan ................................................................. 35

b. Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak .................... 35

c. Pelatihan Petugas Puskesmas ......................................... 39

2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan ............................ 44

3. Wilayah Puskesmas .................................................................. 46

Page 7: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

4. Logistik Puskesmas .................................................................. 47

5. Sarana dan Prasarana Puskesmas .......................................... 47

6. KIA dan Pelayanan Puskesmas ................................................ 52

7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi .................................... 54

8. Lingkungan Geografis ............................................................... 66

9. Kejadian Luar Biasa .................................................................. 70

C. ISSUE MANAJEMEN RUMAH SAKIT DAN DINAS KESEHATAN ..... 71

1. Sumber Daya Manusia .............................................................. 73

2. Logistik ...................................................................................... 74

D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO) .......................................... 76

A. Peranan Makro .......................................................................... 77

B. Peran Mikro ............................................................................... 78

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 81

A. KESIMPULAN..................................................................................... 81

B. SARAN ............................................................................................... 81

KEPUSTAKAAN .................................................................................................. 83

v

Page 8: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006 4

2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi 18

3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi 18

4. Jumlah Desa Siaga 21

5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA 22

6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten 29

7. Pelatihan Bidan 35

8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006 36

9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak 37

10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter) 40

11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat) 41

12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan) 42

13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidan yang dilatih 43

14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki Alokasi

Anggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA 45

15. Karakteristik Puskesmas 48

16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas 49

17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas 49

18. Sarana dan Prasarana Puskesmas 49

19. Sarana Imunisasi Puskesmas 51

20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas 52

21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas 54

22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh 69

23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) 69

24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLB PD3

di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir 70

25. Karakteristik Rumah Sakit 72

26. Karakteristik Rumah Sakit 73

27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit 73

28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator 74

29. Sarana Freezer Rumah Sakit 75

Page 9: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK Halaman

1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota 13

di Provinsi Banten, 2010

2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkan 13

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009 14

4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15

5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 15

6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 16

7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009 17

8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan Dukun 19

Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan Dukun 20

Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada Dukun Berdasarkan 20

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 21

12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23

13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010 23

14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah Berfungsi 24

Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 25

Kota di Provinsi Banten, 2010

16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota 25

di Provinsi Banten, 2010

17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan Berdasarkan 26

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan ke Puskesmas 26

per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27

20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 27

21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di Musrenbang Berdasarkan Kabupaten/ 30

Kota di Provinsi Banten, 2010

22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang Berdasarkan 31

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/ 31

Kota di Provinsi Banten, 2010

vii

Page 10: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

viii

24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota 32

di Provinsi Banten, 2010

26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota 45

di Provinsi Banten, 2010

27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010 46

28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas berdasarkan 54

di Provinsi Banten, 2010

29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 55

30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56

31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 56

32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 57

33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 58

34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59

35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 59

36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60

37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 60

38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 61

39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 62

40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 63

41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 64

42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65

43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 65

44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 66

45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010 67

46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010 67

47. Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten, 2010 68

Page 11: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR Halaman

1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten, 2010 1

2. Peta Wilayah Provinsi Banten 2

3. Keberadaan Bidan Desa 12

4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten 53

5. Peta Cakupan DPT3 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 67

6. Peta Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 68

7. Peta Cakupan Campak Berdasarkan Kab/Kota di Prov. Banten, 2010 69

8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKab/Kota di Prov. Banten, 2010 70

9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatan-

non perawatan di Banten, 2010 75

10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten 77

11. Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten 79

ix

Page 12: Buku Banten

Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

x

ADD : Anggaran Dana Daerah

AFP non Polio : Accute Flaccid Paralysis non Polio

AMP : Audit Maternal Perinatal

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BCG : Bacillus Calmette Guerin

CSO : Civil Society Organization

D1 : Diploma satu

D2 : Diploma Dua

D3 : Diploma Tiga

D4 : Diploma Empat

Dinkes : Dinas Kesehatan

Dll : Dan Lain lain

DPT : Difteri Pertusis Tetanus

GAVI : Global Alliance for Vaccines and Immunization

HB 0 : Hepatitis B 0 (nol)

HSS : Health System Strengthening

Kab. : Kabupaten

Kepmenkes : Keputusan Menteri Kesehatan

KIA : Kesehatan Ibu dan Anak

KLB : Kejadian Luar Biasa

Kt. : Kota

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

MMD : Musyawarah Masyarakat Desa

Monev : Monitoring dan Evaluasi

MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

Musrenbang : Musyawarah Perencanaan Pembangunan

Otsus : Otonomi Khusus

P4K : Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi

PD3I : Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

Pemkab : Pemerintah Kabupaten

Pemkot : Pemerintah Kota

Perda : Peraturan Daerah

PNPM : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Polindes : Pondok Bersalin Desa

PONED : Pelayanan Obstetri, Neonatologi, dan Emergensi Dasar

Poskesdes : Pos Kesehatan Desa

Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat

Pustu : Puskesmas Pembantu

RR : Reporting and Recording

RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah

S1 : Strata Satu

S2 : Strata Dua

SAM : Service Availabillity Mapping

TT : Tetanus Toxoid

UKBM : Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat

VM : Village Mapping

Page 13: Buku Banten

1Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

BAB I

PENDAHULUAN

A. GAMBARAN WILAYAH PENELITIAN

Provinsi Banten yang menjadi lokasi pada penelitian ini mempunyai luas wilayah 8.800,83

km2, dengan jumlah penduduk Provinsi Banten pada tahun 2009 sebanyak 10.295.519 jiwa.

Banten terletak di bagian Barat Pulau Jawa. Sebelumnya, Banten masuk ke dalam wilayah

Provinsi Jawa Barat. Di Provinsi Banten ada berbagai kelompok etnis. Sejak tahun 2000, Banten

terpisah dari Jawa Barat dan berdiri sendiri sebagai Provinsi 30 Indonesia. Dengan lebar 8867,96

km2, Banten memiliki empat kabupaten dan empat kota yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten

Serang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon

dan Kota Tangerang Selatan. Secara geografis, Banten di batasi oleh Laut Jawa di sebelah

Utara, Samudra Hindia di sebelah Selatan, Selat Sunda di sebelah Barat, DKI Jakarta dan

Provinsi Jawa Barat di sebelah Timur.

Gambar 1. Peta Wilayah Indonesia dan Provinsi Banten

Banten terdiri dari dataran tinggi (pegunungan), dataran rendah (lembah) dan rawa. Di

daerah ini beberapa sungai mengalir dan berfungsi sebagai irigasi persawahan. Bahasa yang

umum digunakan adalah Sunda Banten. Bahasa ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan

bahasa Sunda lainnya, terutama dalam pengucapan. Bahasa lain yang populer adalah Banten

Jawa yang dituturkan oleh penduduk Banten Utara. Daerah Banten memiliki sejarah latar

belakang yang kuat. Hal ini memotivasi peneliti domestik dan asing banyak untuk meneliti

reruntuhan artefak dari zaman pra-sejarah. Banten terkenal sebagai salah satu Kerajaan Islam

besar selama abad ke-16. Banten memiliki banyak situs, gunung, sungai dengan berbagai

Page 14: Buku Banten

2 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

latar belakang sejarah dan keyakinan dari masyarakatnya. Mata pencaharian masyarakat

umumnya dibidang pertanian persawahan. Selain itu, mereka juga memproduksi kopi, cengkeh,

jengkol, pisang, durian dan makanan pokok lainnya.

Gambar 2. Peta Wilayah Provinsi Banten

B. LATAR BELAKANG

Pembangunan kesehatan di Indonesia sudah mulai dirancang pada tahun 50-an, namun

baru dilaksanakan secara sistematik mulai tahun 1968/1969 dengan disusunnya Rencana

Pembangunan Lima Tahun Pertama (Repelita I) dengan mengacu pada Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN). Dalam jangka waktu tiga dekade (1968-1998), pembangunan

kesehatan di Indonesia telah berhasil meningkatkan ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan

dasar secara lebih merata di seluruh wilayah Republik Indonesia, sehingga dapat menurunkan

angka kematian bayi dan balita, meningkatkan kesehatan ibu dan anak, meningkatkan keadaan

gizi masyarakat dan memperpanjang harapan hidup rata-rata penduduk.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan kesehatan menghadapi tantangan

yang cukup besar dalam mempertahankan laju peningkatan status kesehatan masyarakat.

Indikasi ini terlihat dari melambatnya penurunan kematian ibu, kematian bayi dan meningkatnya

tingkat kekurangan gizi pada balita.

Dalam Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009, permasalahan

utama yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan adalah disparitas status kesehatan, baik

antar wilayah geografis, antar golongan pendapatan dan perkotaan-perdesaan, beban ganda

penyakit, kinerja pelayanan kesehatan yang rendah, dan perilaku masyarakat yang kurang

mendukung perilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya pemberdayaan masyarakat itu sendiri.

Page 15: Buku Banten

3Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Permasalahan kesehatan lainnya adalah rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; rendahnya

kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; terbatasnya jumlah dan distribusi

yang tidak merata tenaga kesehatan; serta rendahnya status kesehatan penduduk miskin.

Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajatkesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.Sasaran dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya Umur Harapan Hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun;2. Menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran

hidup;3. Menurunnya Angka Kematian Ibu (AKI) dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran

hidup;4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita dari 25,8 menjadi 20,0 %.

Dampak pembangunan kesehatan di Indonesia dari waktu ke waktu sesungguhnyamenunjukkan adanya perbaikan status kesehatan masyarakat. Namun, pencapaian tersebutdisertai dengan semakin melebarnya disparitas status kesehatan serta masih kalah cepat denganperbaikan status kesehatan di regional Asia Timur. Secara umum peningkatan Umur HarapanHidup berjalan stabil dan mengarah pada tercapainya target Rencana Pembangunan KesehatanJangka Menengah 2004-2009 yaitu 70,2 tahun.

Pada 1967, Angka Kematian Bayi per 1.000 kelahiran hidup masih sangat tinggi yaitu142 (Sensus Penduduk, 1971). Dalam waktu sekitar 25 tahun, angka ini menurun dengancepat menjadi 46 pada 1997. Sejak itu, Angka Kematian Bayi menurun relatif lambat. Dalamwaktu sekitar 5 tahun, Angka Kematian Bayi hanya menurun menjadi 35 (Survei Demografidan Kesehatan Indonesia, 2002-2003). Selajutnya, selama lima tahun berikutnya penurunanAngka Kematian Bayi semakin melambat, yaitu hanya menurun satu per 1.000 kelahiran hidupmenjadi 34 (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007).

Angka Kematian Ibu cenderung mengalami penurunan yang sangat lambat. AngkaKematian Ibu menurun dari 390 selama periode 1990-1994 menjadi 334 selama periode 1993-1997 dan akhirnya menjadi 307 selama periode 1998-2003 (BPS dan OCR Macro, 2003).Laporan Sementara Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007) menunjukkan penurunanAngka Kematian Ibu menjadi 248.

Dengan kecenderungan seperti ini, selama jangka waktu 25 tahun (dalam hal ini selamaperiode waktu 1990-2015), diperkirakan Angka Kematian Ibu akan mengalami penurunansebesar 52 %. Secara umum status gizi anak balita membaik pada periode 1990-2000. Dalamkurun waktu ini, kekurangan gizi menurun dari 37,5 % menjadi 24,7 %. Pada periode 2000hingga 2005, terjadi peningkatan prevalensi kekurangan gizi pada balita menjadi 28,0 % (2005).

Pada periode ini kenaikan terutama disebabkan oleh meningkatkan prevalensi gizi burukyang meningkat dari 6,3 % menjadi 8,8 % pada tahun 2005. Dengan angka ini, maka padatahun 2005 diperkirakan terdapat 5,7 juta anak balita yang mengalami kekurangan gizi dan 1,8

juta di antaranya mengalami gizi buruk.

Page 16: Buku Banten

4 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Data kinerja pembangunan kesehatan di atas menunjukkan bahwa sejak 2004 secara

umum status kesehatan mengalami peningkatan. Namun peningkatan yang lebih besar

diperlukan agar sasaran Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009

dapat tercapai. Perlu diperhatikan bahwa pencapaian target status kesehatan dalam Rencana

Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah 2004-2009 bukanlah hanya ditentukan oleh sektor

kesehatan semata.

Tingkat kematian bayi, kematian ibu dan kekurangan gizi juga sangat ditentukan oleh

ketersediaan dan akses prasarana umum seperti air bersih dan sanitasi lingkungan, ketersediaan

bahan makanan dan bahan bakar, tingkat pendidikan orang tua, penghasilan keluarga,

transportasi, serta iklim/musim.

Dalam konteks regional Asia, status dan pelayanan kesehatan Indonesia masih tergolong

relatif rendah. Ketertinggalan Indonesia misalnya dapat dilihat dari angka kematian bayi, kematian

ibu serta berbagai indikator pelayanan kesehatan seperti cakupan imunisasi dan persalinan

oleh tenaga kesehatan lebih buruk dibandingkan dengan negara-negara lain.

Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia memberikan kontribusi yang sangat

besar pada beban penyakit dan kematian baik di tingkat regional, maupun di tingkat dunia,

seperti misalnya beban penyakit akibat Tuberkulosis, campak dan beberapa penyakit lain yang

sebenarnya bisa dicegah dengan upaya imunisasi dan pencegahan lain.

Tabel 1. Indikator Kesehatan Berbagai Negara di Regional Asia, 2006

Sumber: World Bank, 2006

Persalinan

Negara PDB/ UHH AKK AKB AKBA Imunisasi Imunisasi AKI Oleh

kapita DPT Campak Nakes

1. Indonesia 1.260 67,8 7,3 28,0 36,0 70 72 420 69

2. Kamboja 430 57,0 10,4 68,0 87,3 82 79 540 43,8

3. Malaysia 4.970 73,7 4,7 10,0 12,0 90 90 62 100

4. Vietnam 620 70,7 6,0 16,0 19,0 95 95 150 90

5. Thailand 2.720 70,9 7,2 18,0 21,0 98 96 110 t.a.d.

6. Filipina 1.290 71,0 4,9 25,0 33,0 79 80 230 59,8

7. India 730 63,5 7,6 56,0 64,0 59 58 450 48

8. Cina 1.740 71,8 6,5 23,0 27,0 87 86 45 97,3

Regional Asia 1.628 70,7 6,7 26,4 32,7 83,7 83,4 t.a.d. 86,9

Page 17: Buku Banten

5Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Depkes RI menetapkan visi “Masyarakat yang Mandiri untuk Hidup Sehat” (Depkes RI,

2006). Orientasi visi Depkes RI untuk memandirikan masyarakat hidup sehat, salah satunya

didasari atas isu strategis bahwa selama ini pembangunan kesehatan masih menempatkan

masyarakat sebagai objek, belum sebagai subjek. Berbagai masalah kesehatan dewasa ini

tidak perlu terjadi, bila kemandirian dan peran aktif masyarakat telah meningkat serta dapat

dipertahankan di masa lalu (Depkes RI, 2006).

Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, turut menyebabkan menurunnya

kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan. Krisis ekonomi telah meningkatkan jumlah

masyarakat miskin, dari 11,3% atau 22,4 juta penduduk pada tahun 1996, menjadi 24,2% atau

49,5 juta penduduk pada tahun 1998 (Depkes RI, 2003:p.1).

Masyarakat miskin lebih rentan untuk terjangkit dan tertular penyakit. Hal ini disebabkan

kondisi lingkungan dan pemukiman yang buruk, pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan

sehat yang masih kurang, serta kesulitan terhadap akses pelayanan kesehatan. Dampak

selanjutnya adalah meningkatnya kerentanan masyarakat miskin terhadap pemenuhan

kebutuhan dasar, seperti termasuk kesehatan (Depkes RI, 2008).

Sebagai upaya menanggulangi dampak krisis tersebut, mulai tahun 1999 pemerintah

menjalankan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas

bagi masyarakatnya. Kebijakan tersebut ditujukan terutama kepada cakupan pelayanan

kesehatan dasar, seperti cakupan KIA maupun Vaksin dan Imunisasi. Diharapkan agar seluruh

wilayah Indonesia dapat memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang telah ditetapkan.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan dan Badan

Pusat Statistik, cakupan imunisasi lengkap di Indonesia anak dibawah dua tahun hanya mencapai

46,2 %. Secara nasional, cakupan imunisasi campak dalam Riskesdas 2010 sebesar 74,5 %,

menurun 6,1 % dibanding Riskesdas 2007 (81,6%). Cakupan imunisasi terendah di Provinsi

Papua (47,4%) dan tertinggi di DI Yogyakarta (96,4%). Terdapat 19 Provinsi cakupan imunisasi

campak di bawah rata-rata nasional. Salah satunya adalah Provinsi Banten yang cakupan

imunisasinya hanya mencapai 69,3%.

Selain program imunisasi, program kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan salah

satu prioritas utama pembangunan kesehatan di Indonesia, program ini bertanggung jawab

terhadap pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu melahirkan, bayi, dan anak. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan program KIA dan imunisasi yang ada di

Provinsi Banten. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan evaluasi untuk mencari jalan guna

mengatasi masalah kesehatan masyarakat, khususnya imunisasi dan KIA.

Page 18: Buku Banten

6 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari kegiatan ini adalah menilai dan mendapatkan gambaran dasar: (1) Kegiatan

gerakan/mobilisasi masyarakat; (2) pengelolaan program KIA dan Imunisasi di Puskesmas

terpilih; (3) ketersediaan sarana yang berkaitan dengan KIA dan imunisasi di 5 provinsi termasuk

Provinsi Banten.

Page 19: Buku Banten

7Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini merupakan operasional studi yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Studi

kuantitatif dengan desain survei melalui pengumpulan data primer dan sekunder (data dan

laporan kegiatan Puskesmas yang terkait, profil Kesehatan Kabupaten/ Kota serta data-data

yang menunjang lainnya).

1. Metode Kuantitatif

Metode kuantitatif digunakan untuk memperoleh informasi kegiatan masyarakat

dalam program KIA dan imunisasi dengan menggunakan kuesioner dan untuk

memperoleh informasi pemetaan pelayanan kesehatan atau Service Availability

Mapping (SAM) dengan menggunakan instrumen survei.

2. Metode Kualitatif

Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh informasi secara mendalam melalui

wawancara (indepth interview) dalam rangka mendukung data-data kuantitatif.

B. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan yaitu bulan November sampai Desember 2011

di seluruh wilayah kerja Provinsi Banten.

C. SAMPEL

Sampel dalam penelitian ini di ambil untuk kuantitatif dan kualitatif. Berikut adalah

penjelasan sampel kuantitatif dan kuantitatif.

1. Sampel Kuantitatif

Sampel kuantitatif dalam penelitian ini adalah seluruh desa (village mapping),

puskesmas utama (Service Availability Mapping Puskesmas) dan rumah sakit

(Service Availability Mapping Hospital) di Provinsi Banten. Pengumpulannya

dilakukan dengan wawancara ke seluruh desa perangkat desa (Kades atau Sekdes),

puskesmas utama (Kepala puskesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi)

dan rumah sakit (Dirut RS/Dir. Pelayanan, Unit/bagian Obgyn dan Anak dan

Imunisasi) se-provinsi Banten.

Page 20: Buku Banten

8 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

2. Sampel Kualitatif

Sampel kualitatif diambil di level desa, kecamatan dan kabupaten. Responden di

level desa diambil dari perangkat desa (Kades atau Sekdes), Koordinator kader

desa/ PKK, dan Bidan desa. Responden di level Puskesmas adalah Kepala pus-

kesmas, Bidan Koordinator, dan petugas imunisasi. Responden di level kabupaten

adalah Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Bidang Kesehatan dan Keluarga,dan

Kepala bidang P2.

Berikut adalah penjelasan kriteria inklusi sampel di level desa:

1. Mempunyai bidan desa

2. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan)

3. Ada desa siaga

Kriteria inklusi di level Kecamatan/Puskesmas:

1. Puskesmas ibukota kecamatan

2. Mempunyai bidan desa

3. Ada kemitraan bidan dan dukun (didukung adanya kesepakatan)

4. Ada desa siaga

D. PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data diseluruh desa (village mapping) untuk assesment masyarakat dalam

program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Enumerator.

1. Pengumpulan Data Kualitatif Di Desa

Pengumpulan data kualitatif disalah satu desa pada kecamatan yang sama dan

kabupaten yang sama dengan wawancara mendalam untuk assessment

masyarakat dalam program KIA dan Imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan

(Korlap). Penentuan desa/kelurahan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan

dengan mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kecamatan.

2. Pengumpulan Data Di Kecamatan

Pengumpulan data kualitatif di kecamatan (Puskesmas) untuk kegiatan masyarakat

dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan (Korlap).

Penentuan kecamatan untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan

mempertimbangkan unsur keterwakilan karakteristik kabupaten.

3. Pengumpulan Data Kualitatif di Dinkes Kabupaten

Pengumpulan data kualitatif ditingkat kabupaten dalam hal kegiatan masyarakat

dalam program KIA dan imunisasi dilakukan oleh Koordinator lapangan dengan

Informan Kadinkes dan atau staf yang paling mengetahui data dan kondisi yang

ada.

Page 21: Buku Banten

9Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

E. PENGOLAHAN DATA

Setelah dilakukan pengumpulan data, maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

- Coding data, pada tahap ini dilakukan pemberian kode pada setiap informasi yang

telah terkumpul pada setiap pertanyaan kuesioner pada kotak yang tersedia

disebelah kanan daftar pertanyaan.

- Editing data, tahap ini dilakukan kegiatan mengedit/menyunting data yang telah

terkumpul, misalnya kelengkapan pengisian jawaban dari kuesioner.

- Entry data, memasukkan seluruh data ke dalam perangkat lunak yang telah diplilih.

- Cleaning data, sebelum dilakukan analisis data maka dilakukan cleaning/

pembersihan data terlebih dahulu, untuk mengkoreksi kesalahan saat dilakukan

entry.

F. TAHAPAN ANALISA DATA

Analisa data digunakan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang mudah

dibaca dan dilakukan interpretasi. Adapun tahapan dalam analisis menggunakan ukuran

frekuensi, bertujuan untuk menjelaskan berapa kerap suatu peristiwa terjadi di populasi.

Page 22: Buku Banten

10 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Page 23: Buku Banten

11Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. KEGIATAN MOBILISASI MASYARAKAT

Data atau informasi mengenai kegiatan mobilisasi pelayanan kesehatan masyarakat

di sini mencakup penjelasan tentang Pelaku Pelayanan Kesehatan meliputi Bidan Desa, Desa

Siaga, Pemberi Layanan KIA, Kemitraan Bidan dan Dukun, dan Karakteristik kader. Selanjutnya

mengenai Dukungan Materil dan Non-materil Pelayanan Kesehatan meliputi Dukungan

Pelayanan KIA, Dukungan Pelayanan Kesehatan di Polindes, Dukungan Transportasi Rujukan,

Dukungan Pelayanan Kesehatan di Posyandu, dan Dukungan Aktivitas Desa Siaga.

1. Pelaku Pelayanan Kesehatan

Peningkatan akses pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak dibutuhkan oleh ibu

khususnya saat dan segera setelah persalinan. Selain meningkatkan pelayanan kesehatan,

perubahan perilaku masyarakat yang paling rentan terhadap kematian ibu juga harus dilakukan,

termasuk peningkatan pengetahuan keluarga tentang status kesehatan dan gizi, serta

pemberitahuan tentang jangkauan dan jenis layanan yang dapat mereka gunakan. Pemerintah

juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai MDG 5.

Peningkatan sistem pengumpulan data, terutama aspek manajemen dan aliran informasi,

data kesehatan dasar khususnya infrastruktur, dan koordinasi antar instansi terkait dengan

masyarakat donor juga perlu ditingkatkan untuk menghindari tumpang tindih dan kegiatan yang

tidak perlu, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien.

Salah satu aktor dalam pelayanan kesehatan yang utama di desa adalah bidan desa.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1997), bidan di desa adalah bidan yang

ditempatkan, diwajibkan tinggal serta bertugas melayani masyarakat di wilayah kerjanya, yang

meliputi 1 sampai 2 desa. Fungsi Bidan di desa adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan

khususnya pelayanan KIA termasuk KB, di wilayah desa tempat tugasnya. Dalam menjalankan

fungsinya, bidan desa diwajibkan tinggal di desa tempat tugasnya dan melakukan pelayanan

secara aktif sehingga tidak selalu menetap atau menunggu di suatu tempat pelayanan namun

juga melakukan kegiatan atau pelayanan keliling dan kunjungan rumah sesuai dengan

kebutuhan.

Untuk menunjang seluruh upaya pembangunan kesehatan diperlukan tenaga yang

mempunyai sikap nasional, profesional, semangat pengabdian yang tinggi, berilmu dan terampil.

Kemampuan serta persebarannya dapat mendukung penyelenggaraan pembangunan

Page 24: Buku Banten

12 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

kesehatan disetiap tingkatan khususnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Di

Provinsi Banten dari jumlah 1532 desa, tercatat 1414 (92,3%) memiliki bidan desa, dan bidan

yang menetap didesa tersebut sebanyak 80,8 % atau 1143 orang.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tidak 100 % desa yang terdapat di Provinsi Banten

memiliki bidan desa, sehingga masih ada sekitar 118 desa yang tidak memiliki tenaga yang

kompeten didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Gambar 3. Keberadaan Bidan Desa

Berdasarkan data yang ada, berkisar 43,8 % Bidan desa yang terdapat di Provinsi Banten

berstatus PNS. Sedangkan untuk tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan D3 yaitu sebanyak

85,8% atau 1306 orang, sehingga bisa dikatakan dari segi pendidikan formal sebagian besar

sudah cukup memadai. Meskipun pendidikan tetap harus ditingkatkan sebagai upaya

peningkatan kompetensi didalam memberikan pelayanan/pertolongan persalinan.

Peran ibu sangat besar dalam pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan

kesehatan yang dialami seorang ibu yang sedang hamil dapat mempengaruhi kesehatan janin

dalam kandungannya hingga kelahiran dan masa pertumbuhan anaknya. Resiko kematian ibu

paling banyak terjadi pada periode kelahiran/persalinan. Periode persalinan merupakan periode

yang berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu di Indonesia, kematian saat bersalin

dan 1 minggu pertama diperkirakan 60% dari seluruh kematian ibu (lancet ,2006). Pertolongan

persalinan aman dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan.

Berdasarkan survey sosial ekonomi nasional (susenas)2009, sebesar 77,34% kelahiran pada

balita ditolong oleh tenaga kesehatan, Presentase penolong kelahiran tertinggi oleh bidan

61,24%, dukun 21,29%, dan dokter 15,28%.

Page 25: Buku Banten

13Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 1. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kotadi Provinsi Banten, 2010

Dari Grafik di atas dapat terlihat bahwa Kota Tangerang memiliki persentase terendah

jumlah bidan desa (9,60). Sedangkan secara rata – rata Provinsi jumlah proporsinya relative

baik (92,3%). Dengan angka ini sebetulnya Banten cukup baik dalam hal keberadaan bidan

desa, namun jika dibandingkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jumlah ini masih

kurang. Menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota

(Kepmenkes, 2008) seharusnya setiap desa memiliki minimal satu bidan desa.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 2. Desa/Kelurahan yang Memiliki Bidan Desa yang menetap berdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 26: Buku Banten

14 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Dalam meningkatkan kelangsungan hidup ibu, terdapat tiga komponen yang menjadi

sasaran, yaitu peningkatan penggunaan tenaga kesehatan terampil di fasilitas, peningkatan

kualitas pelayanan, dan mengimplementasi rujukan yang tepat (dan efektif). Komponen tersebut

saling terkait satu sama lain, dimana membuat ibu melahirkan dengan persalinan tenaga

kesehatan terampil di fasilitas harus disertai dengan rujukan yang tepat (dan efektif), ketika

rujukan diperlukan.

Dalam kaitannya dengan kebijakan penempatan bidan desa, menempatkan bidan desa

juga harus disertai dengan kompetensi bidan yang cukup. Sehingga, pemempatan bidan di setiap

desa yang belum memiliki bidan desa sesuai dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang

merata dapat terwujud.

Dari data yang ada meskipun proporsi rata – rata penempatan bidan desa sudah tinggi,

namun persoalan kematian ibu di Banten dari waktu kewaktu belum menunjukkan penurunan

yang signifikan.

Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten

Grafik 3. Jumlah Kematian Ibu di Provinsi Banten dari tahun 2005 hingga 2009

Persoalan lain yang sering muncul adalah masalah bidan menetap di desa. Bidan desa

yang tidak menetap di wilayah kerjanya diharapkan dapat tinggal menetap di wilayah kerjanya

agar dapat mendeteksi secara dini apabila ada masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Tentunya

hal ini harus didukung oleh ketersediaan fasilitas yang memadai.

Page 27: Buku Banten

15Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 4. Bidan menetap berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 5. Pendidikan Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 28: Buku Banten

16 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Berdasarkan Grafik diatas sebagian besar bidan desa yang berada di wilayah kabupaten/

kota di Provinsi Banten berpendidikan D3.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 6. Status Kepegawaian Bidan Desa berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Status kepegawaian bidan desa yang berada di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten

sebagian besar berstatus PNS.

2. KEMITRAAN BIDAN DAN DUKUN

Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu sebanyak 208/100.000

kelahiran hidup pada tahun 2007 melatarbelakangi beragamnya program pemerintah untuk

mengatasi masalah tersebut. Salah satu diantaranya ialah kemitraan bidan dan dukun. Kemitraan

ini didasari pada kenyataan bahwa masih banyaknya masyarakat yang memilih dukun paraji

sebagai penolong pertama persalinan disebabkan potensi yang dimilikinya seperti kedekatannya

dengan masyarakat; memiliki ilmu praktek persalinan yang menghargai nilai-nilai sosial dan

budaya; pelayanan yang lebih lengkap (termasuk mengurut dan mencuci); kedudukannya

sebagai orang yang di-tua-kan sehingga memiliki pengaruh yang besar dan sangat dipercaya

di masyarakat; dan dianggap lebih sabar dan telaten dalam pelayanan persalinan.

Potensi ini melahirkan persepsi rasa nyaman dan aman di kalangan ibu hamil dan

masyarakat. Potensi ini juga yang tampaknya memberikan kewenangan pada dukun paraji

sebagai pihak yang memutuskan apakah seorang ibu perlu dirujuk ke tenaga kesehatan atau

tidak. Di lain pihak, tidak bisa dipungkiri, ada banyak kematian ibu dan bayi disebabkan oleh

dukun paraji, termasuk didalamnya karena terlambat mengambil keputusan dan merujuk ke

fasilitas kesehatan.

Page 29: Buku Banten

17Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Di beberapa daerah seperti di Kabupaten Takalar, Subang dan Trenggalek keberhasilan

pelaksanaan kemitraan bidan-dukun sudah terlihat signifikasinya dalam meningkatkan persalinan

dengan tenaga kesehatan dan menurunkan angka kematian ibu. Bahkan di Kabupaten Takalar

dalam waktu 6 bulan semenjak diberlakukannya kemitraan bidan dan dukun pada pertengahan

tahun 2007 di 2 kecamatan percontohan, cakupan persalinan dengan tenaga kesehatan sudah

mencapai 100% dan tidak ada kejadian kematian ibu sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa

kerjasama dengan dukun paraji memegang peranan yang sangat penting dalam penurunan

angka kematian ibu secara drastis dan dalam waktu singkat.

Definisi Kemitraan Bidan dan Dukun sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan

dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan

dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong

persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat

ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara

bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.

Kerjasama antara dukun bayi dengan bidan telah ada di beberapa tempat di Banten. Ada

pula peraturan yang mendukung, namun kurang berjalan dengan baik. Seperti yang dikatakan

oleh informan (bidan desa) berikut ini,

“Surat tertulis, dari puskesmas ada....ada berbentuk,...ada tanda tangan.”

Dengan kemitraan tersebut dukun mendapatkan insentif dari bidan,

“Ada... kalau misalnya di dampingi sama dukun, kita bidan ngasih fee 100 ribu”

Jika melihat data dari Dinkes Provinsi Banten, tidak terlihat penurunan jumlah absolut

dukun bayi di Provinsi Banten, bahkan terlihat trend peningkatan jumlah dukun dari waktu ke

waktu. Tabel di bawah ini memperlihatkan kondisi jumlah dukun di Provinsi Banten dari tahun

2005 hingga tahun 2009.

Sumber: Dinkes Provinsi Banten 2010

Grafik 7. Jumlah Dukun di Provinsi Banten tahun 2005-2009

Page 30: Buku Banten

18 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

No Kemitraan Jumlah Persentase

1 Jumlah desa yang memiliki kemitraan bidan dan dukun bayi 1343 88,3%

2 Bentuk kemitraan bidan dan dukun bayi :

a. Formal 1132 84,3%

b. Tidak formal 211 15,7%

3 Bentuk kemitraan formal yang sudah didukung dengan 845 62,9%

peraturan

4 Jumlah dukun bayi yang mendapat insentif dari bidan yang telah bermitra1325 87,2%

Berdasarkan pengumpulan data di lapangan, dukun bayi yang terdapat di Provinsi Banten

sebanyak 88,3% atau 1343 orang, dan dukun bayi tersebut sudah melakukan kemitraan dengan

bidan baik itu secara formal ataupun tidak formal.

Tabel 2. Kemitraan Bidan dan Dukun Bayi

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Jumlah dukun bayi yang sudah melakukan kemitraan secara formal dan didukung oleh

peraturan sebanyak 62,9% dan yang melakukan kemitraan secara tidak formal sebanyak 15,7%

sedangkan sisanya melakukan kemitraan secara formal hanya saja belum didukung oleh

peraturan.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah desa di Banten yang memiliki kemitraan bidan

desa dengan dukun sudah mencapai 88,3%, berarti masih ada sekitar 11,7% desa/kelurahan

yang belum memiliki kemitraan bidan dan dukun. Hal ini bisa jadi karena masih tingginya tingkat

kepercayaan masyarakat untuk menggunakan dukun.

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Dukun bayi per desa dan Besaran Insentif untuk dukun bayi

No Dukun Bayi Minimum Maksimum Mean

1 Jumlah Dukun bayi per desa/kelurahan 0 24 3,51

2 Besaran insentif yang diterima dukun bayi 0 600.000 60.500

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Jika dilihat dari nilai rata – rata, maka di setiap desa di Provinsi Banten terdapat paling

kurang 3 dukun di setiap desanya. Angka ini cukup menggambarkan bahwa bidan di desa

paling tidak dikelilingi 3 orang dukun. Dari insentif yang diberikan ke dukun, rata – rata insentif

yang di terima adalah Rp. 60.000,- dengan median Rp. 50.000,-.

Page 31: Buku Banten

19Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 8. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kemitraan antara Bidan Desa dengan DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Jika dilihat dari Grafik di atas, terlihat bahwa mayoritas kabupaten/kota sudah melakukan

kemitraan dan sebagian besar adalah kemitraan dukun yang formal. Hanya Kota Tangerang

dan Kota Cilegon yang jumlah kemitraannya dibawah 60%. Sekilas terlihat bahwa kemitraan

sudah berjalan dengan baik. Namun jika ditelusuri lebih jauh, kemitraan bidan – dukun yang

ada yang ada yang ada tidak sepenuhnya berjalan. Kemitraan hanya akan berjalan dengan

optimal jika menggunakan prinsip – prinsip keterbukaan, kesetaraan dan lain sebagainya. Harus

di bangun sebuah pemahaman akan peran sosial dan hubungan yang saling menguntungkan

antara bidan dan dukun.

Pengaturan, jasa dukun dihargai sebesar lima puluh ribu rupiah hingga seratus ribu

rupiah per kelahiran dari pihak Puskesmas. Merasakan kesetaraan peran dan manfaat ekonomi

yang layak, para dukun mulai bersemangat mengidentifikasi ibu hamil, membawa mereka ke

bidan, dan mengajak ibu hamil menjalan insentif dan penghargaan terhadap dukun adalah

kunci yang mesti diaplikasikann. Bidan pun diharapkan dapat mengambil kepercayaan dari

masyarakat dan pengguna kesehatan. Tanpa hal tersebut di atas, kemitraan yang ada hanya

berjalan semu.

Page 32: Buku Banten

20 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 9. Desa/Kelurahan yang Memiliki Aturan Kemitraan Bidan Desa dengan DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa bentuk kemitraan formal di Banten yang didukung

dengan adanya peraturan sebanyak 74,6%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 10. Persentase Bidan Desa yang Memberikan Insentif kepada DukunBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik 10 menunjukkan bahwa di Banten sekitar 87,2% dukun yang memperoleh insentif

dari bidan. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada sekitar 12,8% dukun yang bermitra tidak

mendapatkan intensif dari bidan. Kondisi ini disebabkan karena setelah persalinan biasanya

pasien/ ibu bersalin langsung memberikan uang/insetif kepada dukun jadi bidan merasa tidak

perlu lagi memberikan insetif.

Page 33: Buku Banten

21Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Proporsi pemberian insentif di wilayah Kabupaten umumnya lebih tinggi daripada yang

ada di Kota. Dibeberapa desa insentif kemitraan bidan dan dukun desanya tidak hanya dalam

bentuk uang saja tapi juga dalam bentuk jasa pelayanan kesehatan dengan cara memberikan

pelayanan khusus kepada dukun jika ada keperluan di sarana kesehatan, seperti berobat gratis,

mendapatkan prioritas dan fasilitas khusus.

3. Desa Siaga

Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemam-

puan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana

dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri (DEPKES 2007). Dalam bidang kesehatan

ibu dan anak (KIA) pemberdayaan masyarakat ini diharapkan mampu membangun sebuah

sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat terkait kehamilan

dan persalinan.

Tabel 4. Jumlah Desa Siaga

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah Desa Siaga 1092 71,4%

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Di wilayah Provinsi Banten terdapat 1092 (71,4%) desa siaga, sehingga masih ada

25,6% desa yang belum terbentuk menjadi desa siaga. Hal ini perlu didorong mengingat desa

siaga sebagai komunitas kesehatan yang berbasis masyarakat akan mampu meningkatkan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 11. Desa/Kelurahan Siaga Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010

Page 34: Buku Banten

22 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Salah satu kriteria dari desa siaga adalah adanya pelayanan kesehatan dasar bagi

masyarakat desa adalah pondok persalinan desa (Polindes), dan pos kesehatan desa

(Poskesdes). Adapun kriteria lain desa siaga adalah adanya forum masyarakat desa, adanya

pelayanan kesehatan dasar, adanya UKBM Mandiri yang dibutuhkan masyarakat, dibina

puskesmas PONED, memiliki sistem surveilans (faktor risiko dan penyakit) berbasis masyarakat,

memiliki sistem kewaspadaan dan kegawatdaruratan bencana berbasis masyarakat, memiliki

sistem pembiayaan kesehatan berbasis masyarakat, memiliki lingkungan yang sehat, dan

masyarakatnya berperilaku hidup bersih dan sehat.

Tabel 5. Desa dengan Poskesdes, Polindes, Donor Darah dan Pemantauan KIA

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah Desa yang telah memiliki poskesdes 371 34,0%

2 Jumlah Desa yang masih mempunyai polindes 204 13,3%

4 Jumlah poskesdes yang berfungsi sebagai polindes 107 52,5%

5 Jumlah Desa yang memiliki kelompok donor darah 530 34,7%

6 Jumlah Desa yang memilki kelompok donor darah yang 231 43,6%sudah berfungsi

7 Jumlah desa yang melakukan koordinasi danmusyawarah terhadap hasil kegiatan pemantauan KIA 1256 82,1%

8 Jumlah desa yang menggunakan hasil kegiatanpemantauan KIA untuk pengambilan keputusan di 1125 73,6%

tingkat desa

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 11 diatas menunjukkan bahwa diantara 8 Kabupaten/Kota di Banten, Kabupaten

Pandeglang, Lebak, Serang dan Kota Cilegon memiliki proporsi desa siaga diatas angka Provinsi

Banten yaitu 71,4%. Sedangkan di Kab. Tangerang, Kota Tangerang, Kota Serang, dan Kota

Tangerang Selatan proporsi desa siaganya lebih rendah dari proporsi desa siaga Provinsi Banten.

Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan tahun 2008 menargetkan pada tahun 2015 jumlah

desa siaga aktif mencapai 80%.

a) Poskesdes dan Polindes

Menurut konsep yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan, Poskesdes adalah Upaya

Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dibentuk di desa dalam rangka

mendekatkan/menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa. Hal ini menjadi

syarat dalam pembentukan desa siaga. Sebagai salah satu kriteria desa siaga, Pos kesehatan

desa (Poskesdes) memiliki fungsi pelayanan kesehatan dasar ditingkat masyarakat desa.

Kepala desa/Lurah: ....Poskesdes itu manfaatnya kalo ada masyarakat yang sakit sedikit

apa segala berobat sudah kumpulnya itu seminggu 3 kali, seminggu 3 kali itu standby

Page 35: Buku Banten

23Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

bidannya kader-kader itu kumpul disitu jadi masyarakat kumpul disitu menanyakan ato

segala macam. Poskesdes sudah ada (Transkrip wawancara).

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 12. Jumlah Poskesdes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010

Sedangkan Polindes adalah bangunan yang dibangun dengan bantuan dana pemerintah

dan partisipasi masyarakat desa untuk tempat pertolongan persalinan dan pemondokan ibu

bersalin, sekaligus tempat tinggal Bidan di desa. Di samping pertolongan persalinan juga

dilakukan pelayanan antenatal dan pelayanan kesehatan lain sesuai kebutuhan masyarakat

dan kompetensi teknis bidan tersebut.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 13. Jumlah Polindes Berdasarkan Kabupaten/Kota Provinsi Banten, 2010

Page 36: Buku Banten

24 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

b) Kelompok Donor Darah

Dalam konsep Desa Siaga, desa diharapkan memiliki kelompok pendonor darah sebagai

penyedia darah bagi PMI yang dapat digunakan oleh ibu bersalin yang memerlukan darah.

Dari data dilapangan, Kota Serang memiliki proporsi kelompok donor darah tertinggi.

Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah kota/ kabupaten dengan

proporsi kelompok donor darah yang paling rendah. Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang,

Kota Cilegon dan Kota Tangerang Selatan merupakan kabupaten/kota dengan proporsi desa

yang kelompok donor darah di bawah proporsi Provinsi Banten yang angkanya 34,7%. Demikian

pula jika dilihat dari proporsi kelompok donor darah yang berfungsi, daerah – daerah tersebut

angkanya di bawah proporsi Provinsi Banten yang berjumlah 43,6%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 14. Desa/Kelurahan yang Memiliki Kelompok Donor Darah dan telah BerfungsiBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari data diatas, terlihat bahwa kelompok donor darah lebih banyak di wilayah rural

seperti Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Berbeda dengan wilayah perkotaan,

kelompok donor ini justru tidak terlalu banyak. Hal ini bisa jadi membuktikan bahwa masyarakat

mencoba mengatasi kesulitannya sendiri dengan melakukan pemberdayaan dari diri sendiri.

Pada data ini, angka Provinsi Banten sendiri hanya sejumlah 34,7%.

c) Pendataan Ibu Hamil, Bayi dan Balita

Data adalah hal yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan program kesehatan ibu

dan anak. Pendataan ibu hamil, bayi maupun balita dimaksudkan untuk mempermudah

mengontrol faktor-fakktor resiko yang mungkin bisa terjadi, sehingga bila kasus yang beresiko

petugas kesehatan cepat bergerak.

Page 37: Buku Banten

25Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 15. Pelaksanaan Pendataan Ibu Hamil di Desa/Kelurahan Berdasarkan

Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 16. Pelaksanaan Pendataan Bayi di Desa/Kelurahan Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 38: Buku Banten

26 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 17. Pelaksanaan Pendataan Anak Balita di Desa/Kelurahan BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Banyak kabupaten memiliki angka pendataan bumil, bayi, dan balita oleh kader didesa

yang sudah mencapai 100%. Di Banten pendataan bumil mencapai 98,7%. Angka ini cukup baik

dan diharapkan kedepannya, pendataan tetap dapat dilakukan sehinggamencapai angka optimal.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 18. Hasil Kegiatan Surveilans KIA Desa/Kelurahan yang Dilaporkan kePuskesmas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang,

Kabupaten Lebak dan Kabupaten Tangerang adalah kabupaten yang proporsi pelaporan

surveilans KIAnya di bawah angka Provinsi Banten (95,7%).

Page 39: Buku Banten

27Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

d) Ambulans Desa

Berdasarkan Grafik di bawah ini bahwa kepemilikan ambulans desa sangat bervariasi

antar kabupaten kota. Terlihat bahwa Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kabupaten

Lebak adalah wilayah yang memiliki proporsi ambulans desa terbanyak. Hal sebaliknya, proporsi

ambulans desa justru rendah di wilayah perkotaan, kecuali Kabupaten Tangerang. Hal ini

memperlihatkan bahwa masyarakat di wilayah selatan (remote) umumnya lebih berperan dalam

mencari solusi yang terkait dengan persoalan kesehatannya.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 19. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kotadi Provinsi Banten, 2010

Grafik berikut ini memperlihatkan proporsi ambulan desa yang masih berfungsi di semua

kabupaten/kota di Provinsi Banten.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 20. Proporsi Ambulans Desa yang berfungsi per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 40: Buku Banten

28 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Hal yang sama dengan Grafik sebelumnya memperlihatkan bahwa ambulans desa yang

berfungsi lebih banyak di wilayah kabupaten (Pandeglang, Lebak, dan Serang). Hal sebaliknya,

proporsi ambulans desa berfungsi rendah di wilayah perkotaan. Kondisi masyarakat di wilayah

sulit memaksa penggunaan ambulans desa lebih berfungsi.

4. Posyandu

Pos pelayanan terpadu (Posyandu) yang merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan

bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan

bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan

masyarakat dan memberikan kemudahan kepada msayarakat dalam memperoleh pelayanan

kesehatan dasar (Depkes 2006).

Kegiatan Posyandu dilapangan meliputi beberapa kegiatan seperti imunisasi, penimbangan

balita, penyuluhan, dan yang lainnya. Kegiatan tersebut dilaksanakan oleh kader Posyandu.

Kepala desa/Lurah: Posyandu sepanjang kegiatan belum lama ini, ada kegiatan imunisasi

campak dan polio, penimbangan balita, ibu hamil, pemberian gizi, tapi rata-rata, posyandu itu

perpanjangan tangan dari puskesmas. Jadi nanti ada bidan pembina yang turun langsung ke

posyandu, ada kegiatan namanya BKB (bina keluarga balita), pendidikan anak usia dini, itu

sudah berjalan sejak 2006 sejak saya kemari, sudah tahun lebih itu, kalau penyuluhan yang

keterkaitan gizi balita dengan ada asi eksklusif ya, kemudian ada lagi KDRT ya? Juga diberikan

sosialisasi, reproduksi, disini juga ada digalakkan tentang DBD. Keterkaitan bagaimana kita

bisa meminimalisir sedapat mungkin demam berdarah, bahkan khusus di kota tangerang kita

punya yang namanya jumantik, itu mewujud agar setiap RT peduli terhadap sarang-sarang

nyamuk. (Transkrip wawancara)

Kader: Selain imunisasi juga ada penimbangan, penyuluhan, PMT, itu tiap bulan rutin,

kita punya donatur dari dokter gigi, dulu kan jadi pembina kelurahan karena skrg di tugaskan ke

dinas jadi kita dapat PMT, pembagiannya waktu lokmin disini. (Transkrip wawancara)

Permasalahan Posyandu yang terdapat di Provinsi Banten khususnya di wilayah

perkotaan adalah kurangnya tingkat kehadiran ibu dan anak pada saat kegiatan Posyandu.

Seperti yang diungkapkan oleh informan pada saat wawancara.

Petugas Puskesmas: Ya kurangnya cakupan..kalau saya ya. Kalau sudah ditaksir segini,

ternyata didesa kok lebih susah. Apalagi… kalau dulu…desa yang terbelakang gitu ya. Kalau

sekarang masalahnya bukan ini, malah kita..rumahnya. Rumah elit tuh kita mau masuk susah.

Itu caranya gimana…walaupun ada posyandu tapi kok ga datang. Padahal posyandunya sudah

bagus-bagus, tapi kok yang datang juga sedikit. (Transkrip wawancara)

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya kehadiran pada saat kegiatan

Posyandu, untuk daerah perkotaan salah satunya adalah faktor kemampuan keluarga untuk

melakukan imunisasi kepada dokter swasta. Sehingga mengakibatkan mereka enggan datang

pada saat kegiatan posyandu.

Page 41: Buku Banten

29Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Petugas Puskesmas: Karena sudah ke dokter, mungkin gengsi ya ke posyandu gitu kali

ya. Kalau menurut saya sih, gengsi ke posyandu, mendingan ke dokter. Padahal kan ke dokter

kan mahal. Kadang-kadang malah ada yang kaya gitu, dikira murahanlah, inilah… (Transkrip

wawancara).

Persoalan Posyandu lainnya adalah masih banyaknya Posyandu yang tidak memiliki

tempat pelayanan yang layak, sehingga kegiatan diselenggarakan dirumah penduduk.

Kepala desa/Lurah: Posyandu ini kan sementara di kelurahan ciwedus itu masih

menumpang di rumah warga memang ada sebagian yang sudah tetap dibangun oleh swadaya

masyarakat jadi kita minta bantu ke pemerintah cilegon pada tahun 2009 untuk alokasi di 2011.

(Transkrip wawancara)

Kepala desa/Lurah: Kita punya posyandu 9 buah, 2 udah pemerintah (terbangun dengan

dana APBD), 7 masih ke RW, nah yang bergerak di posyandu itu para PKK. (Transkrip

wawancara)

Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 orang kepala desa/lurah terlihat bahwa masih

banyaknya kegiatan Posyandu yang dilakukan di rumah warga, ini artinya sebagian besar

Posyandu belum memiliki tempat pelayanan yang layak.

Dibawah ini tabel mengenai Pos pelayanan terpadu (Posyandu) diwilayah Provinsi

Banten.

Tabel 6. Posyandu di Wilayah Provinsi Banten

No Variabel Posyandu Minimum Maksimum Mean Median

1 Jumlah posyandu per desa 0 35 6,49 5

2 Jumlah posyandu aktif per desa 0 35 6,47 5

3 Rata-rata jumlah kader per posyandu 1 30 4,86 5

4 Rata-rata jumlah kader aktif per posyandu 10 100 90,63 100

5 Jumlah kader yang sudah dilatih

program KIA per posyandu 0 30 2,4 2

6 Jumlah posyandu

a. Pratama 0 70 2,02 0

b. Madya 0 25 3,04 3

c. Purnama 0 32 1,16 0

d. Mandiri 0 37 0,33 0

7 Jumlah ibu hamil per desa 0 3000 78,01 38

8 Jumlah bayi (< 1 tahun) yang ada di desa 0 1765 122,50 80

9 Jumlah anak balita (1 - < 5 tahun) yang ada di Desa ini 0 4227 476,52 316

10 Responden yang menyatakan pernah merujuk bayi/balita ke puskesmas978 63,9%

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Page 42: Buku Banten

30 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

5. Pembiayaan Dalam Mobilisasi Masyarakat

a) Musrenbang Desa

Melalui Musrenbang Desa diharapkan agar masyarakat memiliki kemampuan dalam

menemukan permasalahan yang ada, kemudian merencanakan dan melakukan pemecahannya

sesuai dengan potensi yang dimiliki. Penekanan ini sangat jelas dalam program yang canangkan

oleh Departemen Kesehatan.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 21. Pemantauan KIA yang di Musyawarahkan di MusrenbangBerdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan variabel pembahasan KIA dalam musrenbang desa dan penggunaan hasil

Musrenbang dalam keputusan desa terlihat bahwa Kab. Lebak, Kab. Pandeglang dan Kota

Serang umumnya rendah dan berada dibawah proporsi Provinsi Banten. Hal yang menarik

terlihat di Kota Cilegon, dimana pembahasan KIA dalam Musrenbang desa proporsinya 93%

namun hasil pembahasan KIA digunakan dalam keputusan desa hanya sebesar 67,4%.

Hasil pemantauan KIA di Banten relatif belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh seluruh

perangkat desa dalam pengambilan keputusan ataupun kebijakan di tingkat desa. Dari data

Provinsi Banten, pembahasan KIA di musrenbang sebanyak 82,1%, sedangkan penggunaan

hasil pembahasan KIA sebagai keputusan desa hanya sejumlah 73,6%. Diskusi dalam

musrembang lebih didominasi oleh diskusi hal lain seperti pembangunan fisik, dan infrastuktur

lainnya. Pelaksanaan musrenbang desa juga tidak akan berjalan secara maksimal jika

pemerintahan desa juga tidak terlalu berperan aktif membantu masyarakatnya.

Page 43: Buku Banten

31Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 22. Desa/Kelurahan yang Membahas Anggaran KIA di Musrenbang BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa proporsi tertinggi desa yang membahas anggaran

KIA dalam musrenbang desa adalah Kota Tangerang Selatan dan yang terendah adalah Kota

Serang dan Kabupaten Lebak. Jumlah proporsi dilevel proporsi sendiri sebanyak 49,7%.

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 23. Keberadaan Alokasi Anggaran KIA Desa/Kelurahan BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 44: Buku Banten

32 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Grafik di atas menunjukkan bahwa di Kabupaten Lebak hanya 13,8% desa yang

memiliki anggaran KIA. Sedangkan Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan adalah

wilayah dengan proporsi desa tertinggi. Proporsi di level Provinsi Banten sejumlah 31,75.

Angka ini terbilang rendah mengingat angkanya yang ada dibawah 50%. Variasi antar

kabupaten kota juga sangat tinggi.

b) Operasional Posyandu dan rujukan

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Grafik 24. Ketersediaan Dana Operasional Posyandu Berdasarkan Kabupaten/Kota diProvinsi Banten, 2010

Grafik di atas menunjukkan bahwa posyandu di Provinsi Banten hanya 42,6% yang

memiliki dana operasional. Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang

angkanya masing – masing 9,1%, 24,4% dan 35%. Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan

adalah dua wilayah yang memiliki proporsi tertinggi dalam hal posyandu yang memiliki dana

operasional.

Anggaran kegiatan kesehatan ibu dan anak (KIA) ditingkat desa sebagian besar

menggunakan dana APBD (62,9%), yang diajukan setelah melalui proses musrenbang desa

lalu kecamatan dan terakhir musrenbang kota/kabupaten.

Bidan desa: tapi memang kan ..waktu itukan kita pernah kita musrenbang, tapi

musrenbangnya bukan desa siaga sih . Tapi biasanya eee...apa...Ada dana untuk kegiatan di

posyandu, ee..apa namanya...kegiatan untuk bikin gedung posyandu juga Ada ..kita minta gitukan

.. untuk anggaran ke situ..gitu kan..

Page 45: Buku Banten

33Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Kepala Desa/Lurah: Kalo kita disini itu Musrenbang kalo kita kan musyawarah

pembangunan kelurahan jadi kita kumpulkan RT, RW, tokoh masyarakat, tokoh agama termasuk

ketua pemuda dan karang taruna itu kita kumpulkan kita membicarakan apa kendala atau

masalah yang ada di kelurahan kemudian kedepan untuk kemajuan kelurahan apa aja, contoh

kalo untuk bidang kesehatan itu kita minta seperti foging karena disini kan banyak DBD kita

ajukan disitu foging per triwulan itu salah satunya kemudian untuk fisiknya kita banyak.. (Transkrip

wawancara)

Penggunaan dana APBD ini sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang pada

dasarnya merupakan pemberian wewenang yang lebih besar pada suatu daerah dalam

pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut. Sayangnya,

saat ini perhatian pemerintah daerah terhadap persoalan kesehatan ibu dan anak (KIA) atau

kesehatan pada umumnya masih kecil. Anggaran APBD cenderung lebih banyak digunakan

untuk administrasi dan pembangunan fisik, sementara program-program kesehatan pada

umumnya dipandang sebagai program nonfisik yang tidak menarik perhatian pemerintah daerah.

Sedangkan Pendanaan untuk kegiatan Posyandu berasal dari dana APBD, selain dana

APBD ada juga dana bantuan dari pihak swasta/perusahaan dalam kerangka coorporate so-

cial responsibility (CSR), dana ini merupakan bentuk pertanggung jawaban sosial perusahaan

terhadap masyarakat dimana perusahaan tersebut beroperasi. Potensi dana CSR ini merupakan

salah satu aset penting didalam membantu keterbatasan pemerintah daerah didalam mendanai

pelayanan kesehatan. Sehingga tidak ada pungutan biaya pelayanan kesehatan bagi bayi/

balita.

Pewawancara: Kalau yang posyandu itu jadi dari APBD ya?

Petugas Puskesmas: Dari APBD. (Transkrip wawancara)

Lurah: Sejauh ini, tidak dipungut, bahkan setiap pemeriksaan mendapatkan PMT, bahkan

kita dapat dari kemitraan perusahaan, mereka bisa bantu biskuit buat balita, telur dan

kacang hijau, diolah oleh para kader, bantuan rutin dari perusahaan yang peduli.

(Transkrip wawancara)

Kalau pun terdapat pungutan lebih bersifat sukarela, yang dananya digunakan untuk

operasional kader dan bidan dilapangan. Hal ini dikatakan salah seorang kader yang menjadi

informan.

Kader: Jadi mungkin bu, mengenai posyandu kita lanjutkan jadi begini secara resmi

diwajibkan biaya memang tidak ada,, Cuma kegiatan posyandu itu artinya supaya berjalan

sehingga kader itu semacam kensceng lah, tetapi tidak diwajibkan atau tidak dipaksa misalnya

harus Rp. 1000 atau harus Rp. 5000 tidak begitu, sehingga berapa aja si ibu itu seikhlasnya

untuk memberi ke posyandu. Apalagi yang jamkesmas bu, itu 100% kami melarang untuk

memungut. . Jadi ke kader itu beberapa kali sudah diumumkan baik dipertemuan kader kan

kami melaksanakan pertemuan kader bu, setiap 1 bulan sekali di minggu kedua setiap hari

Page 46: Buku Banten

34 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

rabu, Itu dihimbau semacau himbauan baik juga dibahas dalam pertemuan lintas program,

pelayanan yang mempunyai atau keluarga jamkesmas pelayanan dilarang menarik, baik di

posyandu di pusling di pustu, di puskesmas termasuk persalinan sehingga pelayanan di

posyandu sudah begitu tetapi bagi yang tidak memiliki jamkesma, sifatnya menyumbang saja

ke posyandu kan ada kencleng seikhlasnya, ada yang ngasih sebesar 500 atau yang ngasih

1000 nah uangnya kemana? Ya.. Disimpan di posyandu ya.. Jadi begitu bu kami hanya

seikhlasnya saja. (transkrip wawancara)

Kader: Jadi begitu aja, keuangannya untuk apa bu, ya itu di situ..di.posyandu saja ada

bendahara kader dicatet, kadang kadang mungkin saya mungkin…bukan membela teman.teman

bidan desa kadang kadang si bidan desanya dengan loyal u. teman2 posyandu tiu ee…kader

itu…mengeluarkan sendiri ini bu kader ini untuk baso . Ya mungkin walaupun tidak besar

(bercanda membahas bidan yang memberikan dana untuk kader membeli baso) Karena memang

betul betul darimana kader itu, (oke.. Gpp bu). Jadi untuk pendanaan di posyandu, kami tidak

sengaja menarik, harus sekian tidak…termasuk imunisasi atau ANC…Tetapi hanya itu saja,

untuk operasional, itupun ke kader semua…itu nantinya…malahan…tetapi terkadang si bidan

desanya yang memberi untuk beli baso setiap posyandu itu. Tapi mudah2an rejekinya lebih

dari yang dikasih (hehehe…) amiin…itu saja yang saya tahu begitu… (Transkrip wawancara).

Apabila kader memberikan rujukan ke puskesmas, itu tidak dikenakan biaya. Untuk

transport kader itu sendiri tergantung dari kesadaran pasien yang meminta rujukan. Akan tetapi

biasanya nanti kader diganti dari jamkesmas, karena di jamkesmas ada dana rujukan.

Kader: Nah kebetulan setau saya tidak. Kebanyakan kalo dirujuk rujuk saja, ya paling

tidak mungkin ya..mereka hanya untuk biaya ongkosnya mereka saja ke sini... (Transkrip

wawancara)

Kader: Ya tidak mengikat tidak, kesadaran dari pengunjung aja, iya begitu, Jadi kalo

merujuk minta tolong kader, (Transkrip wawancara)

Kader: Tapi bu biasanya begini kalo jamkesmas kan ada dana rujukan jadi nanti digantinya

dari situ si kadernya, apalagi yang punya jamkesmas, tidak sama sekali.. (Transkrip wawancara)

B. ISU MANAGEMEN PUSKESMAS

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional pembangunan

kesehatan. Pembangunan puskesmas di tiap kecamatan memiliki peran yang sangat penting

dalam memelihara kesehatan masyarakat.

Organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pembangunan kesehatan

masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan

kesehatan secara menyeluruh dan terpadu pada masyarakat di suatu wilayah kerja tertentu

dalam bentuk usaha kesehatan pokok.

Page 47: Buku Banten

35Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

1. SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)

a) Pelatihan Bidan

Program pelatihan bidan desa pernah berubah beberapa kali dalam hal materi dan

metodenya. Semuanya dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan keterampilan bagi bidan

sehingga mempunya kompetensi yang cukup. Membimbing dan melaksanakan gerakan

pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan, Membimbing dan melaksanakan pelayanan

kegawat daruratan kesehatan sehari-hari dan berencana, Membimbing dan melaksanakan

tanggap darurat bencana (safe community), Melaksanakan pelayanan medis dasar sesuai

dengan kompetensi dan kewenangan yang dimiliki oleh bida itu sendiri.

Ada beberapa pelatihan bidan yang dilakukan untuk menunjang program kesehatan ibu

dan anak yaitu pelatihan MTBS, pelatihan imunisasi, pelatihan P4K. Jumlah bidan desa diProvinsi

banten yang sudah mendapatkan pelatihan tersebut adalah: 18,2% MTBS, 52,4% imunisasi,

dan 62,1% P4K. Seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.

Tabel 7. Pelatihan Bidan

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan MTBS 278 18,2%

2 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan imunisasi 798 52,4%

3 Jumlah bidan desa yang sudah mendapatkan pelatihan P4K 947 62,1%

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

b) Tenaga Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia terus bertambah dengan pesat selama tiga dekade

terakhir. Pada 2006, diperkirakan terdapat 70.000 dokter (terdiri dari 55.000 dokter umum dan

15.000 dokter spesialis), 300.000 perawat dan 80.000 bidan. Dengan jumlah tenaga kesehatan

seperti ini, maka rasio tenaga kesehatan untuk dokter, spesialis, perawat, dan bidan secara

berturut-turut adalah sekitar 20; 5,5; 138; dan 35 per 100.000 penduduk. Jumlah dan rasio

jumlah tenaga kesehatan-penduduk ini meningkat dari periode sebelumnya. Dalam hal mutu

tenaga kesehatan, penilaian tentang mutu tenaga kesehatan sulit dilakukan karena tidak ada

data tentang hal tersebut. Namun berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, misalnya

pengembangan kurikulum berbasis kompetensi untuk dokter, pengembangan standar

kompetensi untuk 10 jenis tenaga kesehatan, penyelenggaraan berbagai training, pembenahan

regulasi, lisensi dan sertifikasi tenaga kesehatan.

Page 48: Buku Banten

36 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Tabel 8. Distribusi Dokter, Bidan, Perawat Menurut Provinsi, 1996-2006

Provinsi

Dokter Bidan Perawat

1996 2006 1996 2006 1996 2006

1. Nangroe Aceh Darussalam 564 820 3.248 4.475 3.248 2.158

2. Sumatera Utara 2.042 2.761 7.939 7.142 7.939 3.314

3. Sumatera Barat 903 1.013 3.212 2.723 3.212 779

4. Riau 558 903 2.130 1.616 2.130 1.046

5. Jambi 345 537 1.576 1.270 1.576 853

6. Sumatera Selatan 1.093 1.002 3.638 3.048 3.638 1.388

7. Bengkulu 217 311 1.243 1.287 1.243 587

8. Lampung 486 710 2.119 2.302 2.119 1.437

9. Bangka Belitung - 187 - 346 - 321

10. Kepulauan Riau - 287 - 436 - 360

11. DKI Jakarta 3.591 2.893 1.826 907 1.826 130

12. Jawa Barat 5.090 5.531 11.710 8.615 11.710 6.101

13. Jawa Tengah 4.181 5.356 10.048 9.973 10.048 5.899

14. D.I. Yogyakarta 1.006 1.307 1.786 792 1.786 747

15. Jawa Timur 4.763 6.410 11.236 10.294 11.236 5.786

16. Banten - 1.069 - 2.018 - 1.088

17. Bali 1.004 1.378 2.147 1.156 2.147 1.072

18. Nusa Tenggara Barat 248 502 1.659 1.096 1.659 1.428

19. Nusa Tenggara Timur 249 494 2.555 3.077 2.555 2.168

20. Kalimantan Barat 350 445 2.064 1.367 2.064 1.415

21. Kalimantan Tengah 219 317 1.821 1.125 1.821 1.353

22. Kalimantan Selatan 418 520 2.109 1.778 2.109 1.224

23. Kalimatan Timur 511 711 2.032 1.152 2.032 1.305

24. Sulawesi Utara 770 937 3.290 1.273 3.290 1.913

25. Sulawesi Tengah 325 360 2.258 1.541 2.258 988

26. Sulawesi Selatan 1.374 1.659 5.275 3.242 5.275 2.340

27. Gorontalo - 173 - 374 - 429

28. Maluku 269 176 2.323 1.009 2.323 937

29. Maluku Utara 324 146 3.604 712 3.604 531

30. Papua - 463 - 2.084 - 2.926

Sumber data: Survei PODES (BPS, 2006)

Page 49: Buku Banten

37Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Dengan mengacu pada jumlah dan rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk yang di-

harapkan pada 2010, maka sebenarnya telah terjadi kekurangan pada semua jenis tenaga ke-

sehatan yang ada. Jika dibandingkan dengan dengan negara-negara lain di regional Asia Tenggara,

jumlah dan rasio tenaga kesehatan Indonesia relatif rendah. Dibandingkan dengan negara-negara

yang mempunyai tingkat pendapatan yang sama, rasio dokter per 100.000 penduduk di Indone-

sia jauh lebih rendah dibandingkan dengan Filipina (58) dan Malaysia (70), bahkan dibandingkan

dengan negara dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah seperti Vietnam dan Kamboja,

rasio jumlah tenaga kesehatan-penduduk di Indonesia masih lebih rendah. Walaupun demikian,

untuk jumlah dan rasio bidan dan perawat, di Indonesia lebih baik dari rata-rata di wilayah Asia

Tenggara yaitu perawat 62 dan bidan 50 per 100.000 penduduk. Tenaga kesehatan yang paling

dibutuhkan saat ini adalah dokter spesialis, perawat, bidan dan tenaga gizi.

Berdasarkan pengumpulan data di Banten, dari jumlah total puskesmas yang ada, tenaga

yang melakukan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) 46,6% dokter, 24,76% perawat, dan

76.7% bidan. Untuk imunisasi jumlah tenaga yang tersedia adalah: 24,27 % dokter, 45,63 %

perawat, 72,3 % bidan, dan 0,97 % puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,

perawat, dan bidan dalam pelayanan imunisasi. Sedangkan tenaga untuk pelayanan keluarga

berencana (KB) adalah 20,38 % dokter, 24,76 % perawat, 72,3 % bidan. Dari data tersebut

bisa dilihat bahwa selain masih rendahnya proporsi tenaga kesehatan yang ada, juga masih

ada puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga yang melayani imunisasi, meskipun jumlah

sangat kecil.

Tabel 9. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1 Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam 96 46.6%

pelayanan KIA

1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam 51 24.76%

pelayanan KIA

1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam 158 76.7%

pelayanan KIA

1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,

perawatan, dan bidan dalam pelayanan KIA 0 0%

2 Imunisasi

2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam

pelayanan imunisasi 50 24.27%

2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam

pelayanan imunisasi 94 45.63%

2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam

pelayanan imunisasi 149 72.3%

Page 50: Buku Banten

38 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga dokter,

perawat, dan bidan untuk pelayanan KIA. Dari data tenaga bidan di puskesmas, masih 25%

puskesmas yang tidak memiliki tenaga bidan dan berkisar 50% yang tidak memiliki dokter.

Penyebaran tenaga kesehatan adalah satu hal yang seringkali menjadi kendala dalam

memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan di banyak wilayah. Konsentrasi tenaga kesehatan

yang ada disetiap unit pelayanan cenderung berada dititik – titik tertentu.

Kewenangan daerah untuk merekrut tenaga kesehatan di tingkat daerah belum dapat

dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai

kewenangan untuk mengangkat pegawai tidak banyak merekrut tenaga kesehatan karena

berbagai kendala. Penelitian Bappenas (2005) menunjukkan bahwa masalah utama yang

dihadapi oleh kabupaten/kota dalam pengangkatan pegawai baru adalah keterbatasan formasi

dan keterbatasan dana kemudian disusul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang

terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain.

Tenaga kesehatan juga seringkali harus merangkap kegiatan lain, yang bisa jadi

berhubungan atau malah kurang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang

dimiliki. Kebijakan tentang pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan sangat

dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan sektor lain, seperti: kebijakan sektor pendidikan, kebijakan

sektor ketenagakerjaan, sektor keuangan dan peraturan kepegawaian. Kebijakan sektor kesehatan

yang berpengaruh terhadap pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan antara lain:

kebijakan tentang arah dan strategi pembangunan kesehatan, kebijakan tentang pelayanan

kesehatan, kebijakan tentang pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, dan kebijakan tentang

pembiayaan kesehatan. Selain dari pada itu, beberapa faktor makro yang berpengaruh terhadap

pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan, yaitu: desentralisasi, globalisasi,

menguatnya komersialisasi pelayanan kesehatan, teknologi kesehatan dan informasi. Oleh karena

itu, kebijakan pengembangan dan pemberdayaan tenaga kesehatan harus memperhatikan semua

faktor di atas.

2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga dokter,

perawatan, dan bidan dalam pelayanan imunisasi 2 0.97%

3 Keluarga Berencana (KB)

3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dalam 42 20.38%

pelayanan KB

3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dalam 51 24.76%

pelayanan KB

3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dalam 149 72.3%

pelayanan KB

3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga

dokter, perawat,dan bidan dalam pelayanan KB 1 0.46%

Page 51: Buku Banten

39Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

c) Pelatihan Petugas Puskesmas

Pelatihan petugas puskesmas merupakan upaya didalam meningkatkan mutu pelayanan

kesehatan. Menurut Solter (2002) pelatihan diprogramkan untuk menjaga pengetahuan dan

ketrampilan mereka dalam mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja masing-masing.

Akan tetapi program pelatihan yang bersifat sentral tidak banyak membantu menyelesaikan

masalah ketrampilan SDM didaerah. Ini terjadi karena kurangnya informasi mengenai kebutuhan

pelatihan di daerah.

Kepala Dinas Kesehatan: Ya jangan banyak-banyak pelatihanlah..jangan. Saya polanya

bukan ditarik tapi justru dilihat dari sini ke sana, on job. Saya ga terlalu mengizinkan staf saya

mengikuti banyak pelatihan karena banyak waktu yang ditinggalkan. Karena setiap tahun itu

staf saya yang KIA itu seminggu itu kadang-kadang terus-menerus dia pertemuan kesana-

kesini. Jadi saya engga terlalu setuju terlalu banyak pelatihan. Ini minggu ini saja KIA itu ada 4

yang harus dia hadiri. Kapan dia bekerjanya?! Makanya saya tidak terlalu setuju kecuali yang

urgent. (Transkrip wawancara)

Kepala Dinas Kesehatan: misalnya Kementerian Kesehatan mengundang dari daerah,

dari kita. Provinsi mengundang dari kita, kita sendiri menyelenggarakan. Jadi dana pelatihan

itu luar bisa dan itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Sebab perilaku petugas begitu pelatihan

sama aja begitu-begitu saja. (Transkrip wawancara)

Pada era desentralisasi yang terjadi pada saat ini telah memberikan kesempatan kepada

daerah untuk melakukan training need assessment secara mandiri sebagai dasar membuat

program pelatihan, yang tepat sasaran, tepat tujuan dan tepat metode. Seperti yang dilakukan

oleh salah satu dinas kesehatan yang ada diwilayah Provinsi banten.

Kepala Dinas Kesehatan: Jadi nanti kalau memang dia itu tidak mampu baru dilatih.

Tapi pelatihannya itu tidak usah ditarik, dimagangkan. Kemudian lebih baik di on job. Untuk itu

kenapa pelatihannya ga usah dilapangan, ditempat dia kerja itu lebih bagus hasilnya (Transkrip

wawancara).

Kepala Dinas Kesehatan: Kalau on job itu…misalnya, permasalahan dia diketahui

dilapangan dia. Contoh misalnya, “Bu saya tidak bisa, sterilitasnya kurang.”, “kenapa?” “saya

tidak punya, (misalnya) seterilisator”. Ada juga yang ini. Langsung dion jobkan kan. “oh, ya

udah nanti saya catat”. Berikutnya kita nanti diadakan, diberikan. Jadi langsung apa yang jadi

kebutuhan di lapangan. Langsung tercatat, dan nanti bagaimana penggunaan dilapangan. Misal

buku KIA,Nah, “ayo kita cari Ibu hamil”. “ayo cara ngisinya”(Transkrip wawancara).

Dengan pola desentralisasi yang memberikan kemandirian kepada daerah maka pela-

tihan tersebut akan berdasarkan kepada kebutuhan petugas dilapangan. Sehingga diharapkan

mampu mengefektifkan kinerja petugas kesehatan di daerah.

Page 52: Buku Banten

40 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Berikut ini jumlah petugas puskesmas di Provinsi banten yang sudah mengikuti pelatihan

kesehatan ibu dan anak (KIA).

Tabel 10. Pelatihan Petugas Puskesmas (Dokter)

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga dokter yang diberikan pelatihan

umumnya hanya di bawah 15%, kecuali pada pelatihan PONED, fasilitator desa siaga, MTBS,

manajemen puskesmas dan P4K/ pelatihan penggunaan buku KIA. Tenaga dokter yang dilatih

hal – hal yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola

imunisasi sangat rendah.

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 22 10.68%

APN

2.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 25 12.1%

manajemen asfiksia bayi baru lahir

3.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 19 9.2%

manajemen bayi berat lahir rendah

4.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 49 23.8%

PONED

5.1. Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 47 22.8%

fasilitator Desa Siaga

6.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 59 28.6%

MTBS

7.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 23 11.1%

AMP

8.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 57 27.67%

manajemen puskesmas

9.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 68 33%

Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku

KIA

10.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 11 5.34%

Cold Chain

11.1. Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 10 4.85%

safe injection/vaksinator

12.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 7 3.4%

pengelola imunisasi

13.1 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga dokter dilatih 20 9.7%

SDITK

Page 53: Buku Banten

41Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Tabel 11. Pelatihan Petugas Puskesmas (Perawat)

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 9 4.36%

APN

2.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 8 3.88%

manajemen asfiksia bayi baru lahir

3.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 5 2.4%

manajemen bayi berat lahir rendah

4.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 28 13.6%

PONED

5.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 40 19.4%

fasilitator Desa Siaga

6.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 80 38.8%

MTBS

7.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 6 2.9%

AMP

8.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 40 19.4%

manajemen puskesmas

9.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 47 22.8%

Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku

KIA

10.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 83 40.3%

Cold Chain

11.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 75 36.4%

safe injection/vaksinator

12.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 88 42.7%

pengelola imunisasi

13.2 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga perawat dilatih 23 11.2%

SDITK

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Berdasarkan tabel 10 di atas ditemukan proporsi tenaga perawat yang diberikan pelatihan

yang berkaitan dengan imunisasi seperti Cold Chain, safe injection dan pengelola cukup baik.

Namun angka ini tidak terlalu tinggi (40%, 36.4%, da 42,7%), proporsinya tidak lebih dari 50%.

Page 54: Buku Banten

42 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Tabel 12. Pelatihan Petugas Puskesmas (Bidan)

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 193 93.69%

APN

2.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 175 84.95%

manajemen asfiksia bayi baru lahir

3.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 127 61.65%

manajemen bayi berat lahir rendah

4.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 84 40.8%

PONED

5.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 133 64.6%

fasilitator Desa Siaga

6.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 128 62.14%

MTBS

7.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 100 48.5%

AMP

8.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 45 21.8%

manajemen puskesmas

9.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 175 84.95%

Orientasi P4K (Program Perencanaan Persalinan dan

Pencegahan Komplikasi) / Pelatihan Penggunaan Buku

KIA

10.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 131 63.6%

Cold Chain

11.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 98 47.6%

safe injection/vaksinator

12.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 113 54.85%

pengelola imunisasi

13.3 Jumlah puskesmas yang memiliki tenaga bidan dilatih 100 48.5%

SDITK

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Berdasarkan tabel 10 di atas terlihat bahwa tenaga bidan mendapatkan pelatihan rela-

tive lebih banyak, khususnya dengan pelatihan KIA maupun imunisasi. Namun untuk angka

pelatihan imunisasi, proporsinya juga belum mencapai angka yang optimal. Gambaran ini bisa

jadi memperlihatkan tingginya beban dan tanggung jawab bidan dilapangan. Hal lain, table di

atas juga memperlihatkan bahwa bidan dianggap membutuhkan banyak bekal dilapangan.

Page 55: Buku Banten

43Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 0 0%

dokter, perawatan, dan bidan dilatih APN

2.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4%

dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen asfiksia

bayi baru lahir

3.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 10 4.85%

dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen bayi berat

lahir rendah

4.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%

dokter, perawat, dan bidan dilatih PONED

5.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 7 3.4%

dokter, perawat, dan bidan dilatih fasilitator Desa Siaga

6.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 6 2.9%

dokter, perawat, dan bidan dilatih MTBS

7.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 18 8.7%

dokter, perawatan, dan bidan dilatih AMP

8.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%

dokter, perawat, dan bidan dilatih manajemen puskesmas

9.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 4 1.94%

dokter, perawat, dan bidan dilatih Orientasi P4K

(Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan

Komplikas) / Pelatihan Penggunaan Buku KIA

10.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 3 1.46%

dokter, perawat, dan bidan dilatih Cold Chain

11.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 10 4.85%

dokter, perawat, dan bidan dilatih safe injection/vaksinator

12.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 5 2.4%

dokter, perawat, dan bidan dilatih pengelola imunisasi

13.4 Jumlah puskesmas yang tidak memiliki satupun tenaga 17 8.25%

dokter, perawat, dan bidan dilatih SDITK

Tabel 13. Puskesmas yang tidak memiliki satupun dokter, perawat maupun bidanyang dilatih

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Berdasarkan tabel di atas ditemukan masih ada puskesmas yang tidak memiliki tenaga

dokter, perawat, ataupun bidan yang pernah mengikuti pelatihan manajemen asfiksia bayi baru

lahir (3,4%), manajemen BBLR (4,85%), PONED (8,25%), fasilitator desa siaga (3,4%), MTBS

(2,9%), AMP (8,7%), manajemen puskesmas (8,25%), P4K/pelatihan penggunaan buku KIA

(1,94%), cold chain (1,46%), safe injection/vaccinator (4,85%), pengelola imunisasi (2,4), dan

SDIDTK (8,25%).

Page 56: Buku Banten

44 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

2. Sumber Pembiayaan Pelayanan Kesehatan

Kementerian Kesehatan secara umum bertanggung jawab pada kebijakan kesehatan

nasional, mengoperasikan beberapa rumah sakit vertikal, rumah sakit khusus dan rumah sakit

pendidikan, rekrutmen dan alokasi tenaga kesehatan secara terbatas serta operasionalisasi

beberapa program vertikal seperti untuk pengendalian penyakit menular. Kementerian Kesehatan

juga masih memegang fungsi penyediaan dan pembiayaan pelayanan kesehatan. Pangalo-

kasian dana di Kementerian Kesehatan (dan Kementerian dan lembaga lainnya) oleh Kemen-

terian Keuangan masih berdasarkan pada anggaran tahun-tahun sebelumnya, dan belum sepe-

nuhnya didasarkan pada kebutuhan. Kementerian Kesehatan juga mempunyai alokasi untuk

membayar klaim rumah sakit dan pemberian dana berdasarkan kapitasi untuk puksemas melalui

skema jamkesmas.

Pemerintah kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab utama dalam penyelenggaraan

pelayanan kesehatan dan pengalokasian dana untuk membayai pelayanan kesehatan. Peme-

rintah kabupaten/kota merupakan penanggung jawab bagi ketersediaan fasilitas pelayanan

kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan di tingkat daerah termasuk pemenuhan

kebutuhan tenaga kesehatan. Peran Provinsi hanya terbatas pada capacity building dan

koordinasi. Dengan setting seperti ini, hubungan antara pusat, Provinsi dan kabupaten/kota

menjadisering terhambat, misalnya dalam sistem informasi, yang tidak dapat mengalir dengan

mulus dari kedua arah.

Sejak era desentralisasi (mulai dari 2000), pembagian peran antar pemerintah pusat,

Provinsi dan kabupaten/kota dalam pembangunan kesehatan masih belum jelas. Dengan

terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, sebenarnya telah dirumuskan secara

lebih rinci mengenai pembagian urusan dalam bidang kesehatan ini. Namun aturan ini masih

belum secara tegas dan eksplisit mengatur pembagian kewenangan tersebut, misalnya intervensi

apa yang seharusnya dilakukan setiap tingkat pemerintahan, dan bagaimana pembagian

tanggung jawab untuk pembiayaannya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, sebenarnya telah ditetapkan perlunya

Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah termasuk

pembiayannya. Kementerian Kesehatan telah menetapkan SPM bidang kesehatan melalui

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 yang menetapkan 18 indikator kesehatan

yang dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu (i) pelayanan kesehehatan dasar; (ii) pelayanan

kesehatan rujukan; (iii) surveilans epidemiologi, serta (iv) promosi kesehatan dan pemberdayaan

masyarakat. Dengan adanya SPM ini, maka pemerintah kabupaten/kota wajib mengalokasikan

anggaran untuk pencapaian SPM sesuai dengan target waktunya. Apabila daerah tidak

melaksanakan SPM ini maka pemerintah pusat dapat mengambil alih pelaksanaannya dengan

biaya dari daerah itu sendiri dan memberi sanksi kepada daerah yang bersangkutan.

Alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berasal dari

Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapat Asli Daerah (PAD) atau Dana Bagi Hasil (DBH) untuk

membiayai pembangunan kesehatan cukup kecil. Berbagi studi menunjukkan bahwa rata-rata

proporsi anggaran kesehatan terhadap total APBD adalah sebesar 6 % (Bappenas, 2008).

Page 57: Buku Banten

45Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Walaupun puskesmas dan rumah sakit milik daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,

dalam pelaksanaannya, anggaran daerah sangat terbatas, sehingga sebagain besar akan

mengandalkan pada ketersediaan subsidi dari pemerintah pusat, misalnya melalui Program

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).

Dalam kesehatan, Pembiayaan memegang peranan yang sangat penting untuk

memastikan penyelenggaraan akan pelayanan kesehatan itu sendiri. Dengan hal ini, diharapkan

agar pemerintah mencapai berbagai tujuan, termasuk merencanakan dan mengatur pembiayaan

kesehatan yang memadai (health care financing)

Tabel 14. Persentase Desa yang melakukan Pembahasan Anggaran, memiliki AlokasiAnggaran dan Sumber Anggaran Kegiatan KIA

Sumber : Survey GAVI HSS, 2010

Tabel diatas menunjukkan besarnya biaya transportasi bayi/balita ke puskesmas rata-

rata sebesar Rp.17.884,66 dengan sumber biaya 87,3% berasal dari orang tua/keluarga bayi

atau balita.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 26. Sumber Biaya bila Bidan Desa Merujuk ke PKM Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

No Variabel Jumlah Persentase

1 Jumlah desa yang melakukan pembahasan anggaran 760 49,7%

untuk kegiatan KIA di dalam musrenbang Desa

2 Jumlah Desa yang memiliki alokasi anggaran untuk 485 31,7%

kegiatan KIA di tingkat desa

3 Sumber anggaran kegiatan KIA di tingkat Desa

a. ADD 58 12,0%

b. APBD 305 62,9%

c. PNPM 23 4,7%

d. Otsus 8 1,6%

e. Lain-lain 91 18,8%

Page 58: Buku Banten

46 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

3. Wilayah Puskesmas

Berikut mapping wilayah Puskesmas di seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Banten.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 3. Peta Puskesmas di Provinsi Banten Tahun 2010

Berdasarkan peta sebaran puskesmas di Provinsi Banten, di Kabupaten Lebak dan

Pandeglang masih ada wilayah yang jumlah puskesmasnya sangat kurang.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 27. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas di setiap Kabupaten/Kota di ProvinsiBanten,2010

Page 59: Buku Banten

47Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Berdasarkan Grafik sebagian besar puskesmas di kabupaten/kota di wilayah Provinsi

Banten telah memiliki fasilitas listrik, air bersih dan komputer.

4. Logistik Puskesmas

Sarana dan prasarana di puskesmas sangat diperlukan agar dapat tercapai pelayanan

kesehatan yang optimal.

5. Sarana dan prasarana Puskesmas

Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) adalah sarana unit fungsional kesehatan

yang memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Puskes-

mas mempunyai fungsi utama menjalankan pelayanan kesehatan untuk menanggulangi masalah

kesehatan masyarakat, terutama menggerakkan pogram promosi kesehatan, penanggulangan

dan pencegahan penyakit menular (P2M). Dengan fungsinya yang strategis sebagai penggerak

pembangunan kesehatan ditengah masyarakat, maka diperlukan dukungan sarana dan

prasarana yang cukup memadai sehingga pelayanan puskesmas dapat berjalan secara

maksimal.

Secara nasional jumlah Puskesmas dan jaringannya terus meningkat. Pada 2004, jumlah

Puskesmas mencapai 7.550 unit, sedangkan pada 2006 meningkat menjadi 8.015 unit.

Peningkatan jumlah puskesmas ini diperkirakan telah mampu mengikuti pertambahan penduduk.

Rasio puskesmas terhadap penduduk juga meningkat dari 3,5 pada 2004, menjadi 3,6

puskesmas per 100.000 penduduk 2007. Peningkatan jumlah puskesmas ini diikuti dengan

peningkatan fasilitas jejaring Puskesmas yaitu Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling.

Secara nasional jumlah puskesmas sudah cukup baik dibandingkan dengan penduduk

yang dilayani. Namun jika dilihat menurut provinsi, maka terdapat disparitas rasio jumlah

puskesmas-penduduk yang cukup besar. Rasio jumlah puskemas-penduduk tertinggi adalah

di Provinsi Maluku yaitu 8,7 per 100.000 penduduk, sedangkan yang terrendah adalah di Provinsi

Banten, yaitu 1,92 per 100.000 penduduk. Pada provinsi dengan jumlah penduduk besar, maka

rasio jumlah puskesmas-penduduk menjadi relatif kecil. Namun demikian, peningkatan jumlah

puskemas, seharusnya tidak hanya dilihat dari rasio per penduduk, namun lebih pada cakupan

luas wilayah yang ditangani oleh puskesmas. Rasio jumlah puskemas-penduduk sebenarnya

tidak dapat menggambarkan tingkat aksesibilitas penduduk terhadap fasilitas kesehatan,

terutama pada daerah-daerah dengan wilayah geografi yang luas, daerah terpencil dan daerah

perbatasan. Pada wilayah-wilayah dengan cakupan wilayah kerja yang luas, akses penduduk

terhadap pelayanan kesehatan masih terbatas. Pembangunan puskesmas dan jejaringnya pada

periode 2004-2009 diutamakan pada daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan daerah

kepulauan.

Page 60: Buku Banten

48 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 4. Peta Sebaran Puskesmas di Provinsi Banten

Saat survei dilakukan, kondisi fisik gedung puskesmas yang ada di provinsi Banten

76,2% kondisinya baik. Dari jumlah tersebut, 13,1% rusak ringan, 5,8% rusak sedang, adapun

kondisi gedung puskesmas yang rusak berat dan sedang dalam perbaikan masing – masing

berjumlah 2,4%. Dengan masih adanya kondisi fisik gedung puskesmas yang rusak berat,

berakibat pada tidak maksimalnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Tabel 15. Karakteristik Puskesmas

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

No Karakteristik Puskesmas Jumlah Persentase

1 Jumlah puskesmas 206 1002 Tipe puskesmas2.1 Perawatan 49 24.52.2 Non Perawatan 151 75.53 Letak puskesmas3.1 Biasa 188 91.33.2 Daerah terpencil 18 8.73.3 Sangat terpencil- -4 Kondisi fisik gedung puskesmas4.1 Baik 157 76.24.2 Rusak ringan 27 13.14.3 Rusak sedang 12 5.84.4 Rusak Berat 5 2.44.5 Sedang dalam perbaikan 5 2.4

Page 61: Buku Banten

49Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Untuk sarana penunjang pelayanan kesehatan, dapat dilihat pada tabel dibawah ini,

Tabel 16. Sarana Yang Dimiliki Puskesmas

No Sarana Puskesmas Minimum Maksimum Mean Median

1 Jumlah puskesmas keliling roda 4 0 12 1.04 1.00

2 Jumlah puskesmas keliling air 0 8 0.06 0.001

3 Jumlah puskesmas pembantu 0 5 1.30 1.00

4 Jumlah polindes di wilayah kerja 0 6 0.60 0.001

5 Jumlah posyandu 0 99 43.53 43.00

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Tabel 17. Fasilitas yang Dimiliki Puskesmas

No Sarana Puskesmas Jumlah Persentase

1 Memiliki fasilitas listrik PLN 205 99.5

2 Memiliki fasilitas telepon 134 65

3 Memiliki fasilitas air bersih 195 94.7

4 Memiliki fasilitas komputer dengan kondisi bagus 198 96.1

5 Memiliki fasilitas internet 54 26.2

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Untuk fasilitas listrik, air bersih, dan komputer sebagian besar puskesmas diprovinsi

Banten memiliki fasilitas tersebut.

Sedangkan untuk sarana dan prasarana penunjang kegiatan kesehatan ibu dan anak

(KIA) baik itu medik ataupun non medik bisa dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 18. Sarana dan Prasarana Puskesmas

No Sarana Jumlah

Jumlah puskesmasdengan kondisi sarana

baik dan tidak baik

Baik/berfungsiTidak

baik/tidakberfungsi

n % n % n %

1 Jumlah puskesmas yang memiliki 200 97.1 187 93.5 13 6.5bidan kit

2 Jumlah puskesmas yang memiliki 140 68 130 92.85 10 7.1resusitasi kit

3 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 193 94.6 11 5.4alat pengukur tekanan darah

4 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 200 97.6 5 2.4stetoskop

5 Jumlah puskesmas yang memiliki 187 90.8 183 97.9 4 2.1stetoskop laenec

Page 62: Buku Banten

50 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

6 Jumlah puskesmas yang memiliki 195 94.7 190 97.4 5 2.6

termometer

7 Jumlah puskesmas yang memiliki 171 83 159 93 12 7

ARI Timer/Timer ISPA

8 Jumlah puskesmas yang memiliki 76 36.9 63 82.9 13 17.1

tensimeter dengan manset anak

9 Jumlah puskesmas yang memiliki 180 87.4 175 97.2 5 2.8

meja alat

10 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 202 99.5 1 0.5

tempat tidur periksa

11 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 196 96.1 8 3.9

timbangan dewasa

12 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 193 94.1 12 5.9

timbangan bayi

13 Jumlah puskesmas yang memiliki 198 96.1 193 98 5 2.5

pengukur tinggi badan

14 Jumlah puskesmas yang memiliki 199 96.6 197 99 2 1

stok buku KIA

15 Jumlah puskesmas yang memiliki 175 85 172 99.4 1 0.6

stok Buku KMS

16 Jumlah puskesmas yang memiliki 165 80.1 153 92.7 12 7.3

wastafel

17 Jumlah puskesmas yang memiliki 196 95.1 191 97.4 5 2.6

poster/iklan layanan masyarakat

18 Jumlah puskesmas yang memiliki 80 38.8 77 96.2 3 3.8

PONED kit

19 Jumlah puskesmas yang memiliki 134 65 133 96.4 1 0.75

stok buku bagan MTBS

20 Jumlah puskesmas yang memiliki 130 63.1 126 98.4 2 1.6

stok formulir MTBS bayi < 2 bulan

21 Jumlah puskesmas yang memiliki 128 62.1 125 98.4 2 1.6

stok formulir MTBS bayi 2 – 59 bulan

22 Jumlah puskesmas yang memiliki 174 84.5 168 98.2 3 1.8

stok register kohort bayi

23 Jumlah puskesmas yang memiliki 147 71.4 143 97.9 3 2.1

stok register kohort balita

24 Jumlah puskesmas yang memiliki 59.7 118 99.2 1 0.8

stok pedoman teknis Vitamin K1 123

25 Jumlah puskesmas yang memiliki 192 93.2 186 98.4 3 1.6

stok obat terkait KIA (oksitosin, Fe,

Vit. A, Vit K1 ampul, oralit, zinc,

antibiotik oral, antibiotik injeksi,

cairan infus)

26 Jumlah puskesmas yang memiliki 118 57.3 112 96.6 4 3.4

ruang persalinan

27 Jumlah puskesmas yang memiliki 181 87.9 170 95 9 5

tempat tidur kebidanan

Page 63: Buku Banten

51Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Data berikut ini adalah tentang sarana imunisasi puskesmas yang ada di Provinsi Banten.

Tabel 19. Sarana Imunisasi Puskesmas

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

No Sarana Jumlah

Jumlah puskesmasdengan kondisi sarana

baik dan tidak baik

Baik/berfungsiTidak

baik/tidakberfungsi

n % n % n %

1 Jumlah puskesmas yang memiliki 206 100 202 98.5 3 1.5

cool pack

3 Jumlah puskesmas yang memiliki 206 100 203 99 2 1

alat suntik

4 Jumlah puskesmas yang memiliki 185 89.8 179 95.7 8 4.3

refrigerator

5 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 201 98 4 2

vaccine carrier/termos

6 Jumlah puskesmas yang memiliki 201 97.6 198 98.5 3 1.5

safety box

7 Jumlah puskesmas yang memiliki 132 64.1 126 95.45 6 4.5

wastafel

8 Jumlah puskesmas yang memiliki 63 30.6 60 95.2 3 4.8

genset

9 Jumlah puskesmas yang memiliki 195 94.7 187 95.9 8 4

poster/iklan layanan masyarakat

10 Jumlah puskesmas yang memiliki 177 85 174 98.3 3 1.7

termostat

11 Jumlah puskesmas yang memiliki 204 99 200 98.5 3 1.5

lembar pemantauan suhu

12 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 201 98.5 2 0.98

stok vaksin HbO

13 Jumlah puskesmas yang memiliki 203 98.5 202 99.5 1 0.5

stok vaksin DPT

14 Jumlah puskesmas yang memiliki 201 97.6 199 99 2 1

stok vaksin polio

15 Jumlah puskesmas yang memiliki 205 99.5 204 99.5 1 0.5

stok vaksin campak

16 Jumlah puskesmas yang memiliki 200 97.1 198 99 2 1

stok vaksin BCG

17 Jumlah puskesmas yang memiliki 187 90.8 185 98.9 2 1.1

stok format RR

Page 64: Buku Banten

52 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Dari data tabel diatas bisa dilihat bahwa hanya 30.6% saja puskesmas yang memiliki

genset, ini berakibat pada tidak akan berjalannya pelayanan kesehatan yang membutuhkan

aliran listrik apabila terjadi gangguan listrik PLN.

Masih terdapat puskesmas dengan sarana imunisasi belum lengkap. Ada sekitar 4%

puskesmas yang tidak memiliki refrigerator. Puskesmas dengan kepemilikan wastafel hanya

64% dari jumlah keseluruhan puskesmas.

6. KIA dan Pelayanan Puskesmas

Pelayanan kesehatan dasar antara lain meliputi kesehatan ibu dan anak, imunisasi,

keluarga berencana, manajemen terpadu balita sakit, perbaikan gizi, penanganan penyakit

infeksi dan penghentian merokok. Dalam Sistem Kesehatan Nasional terdapat 15 jenis pelayanan

kesehatan dasar yang harus diselenggarakan melalui puskesmas dan jejaringnya. Pada tahun

1970-an hingga 1990-an terjadi ekspansi yang cukup besar dalam penyediaan infrastruktur

puskesmas dan puskesmas pembantu. Dengan ekspansi ini, maka puskesmas tersedia mini-

mal disetiap kecamatan, sehingga memudahkan akses masyarakat terhadap pelayanan

kesehatan dasar. Setelah 2000, puskesmas dan puskesmas pembantu masih terus bertambah

walaupun tidak secepat dua dekade sebelumnya. Pada 2006, terdapat lebih dari 8.000

puskesmas kecamatan, dimana 27 % di antaranya merupakan puskesmas dengan tempat

perawatan. Rasio puskesmas per 100.000 penduduk juga terus meningkat hingga mencapai

3,6 pada 2006. Selain itu kegiatan outreach juga semakin meningkat dengan semakin

bertambahnya Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada 2005, terdapat 316.000 posyandu

yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Profil Kesehatan Indonesia, 2006).

Puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan yang bergerak diwilayah kerjanya,

dituntut meningkatkan mutu pelayanannya. Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang

bermutu dan memuaskan di Puskesmas dalam rangka terwujudnya peningkatan kesadaran,

kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat

kesehatan yang setinggi-tingginya.

Dibawah ini adalah jenis pelayanan terkait kesehatan ibu dan anak (KIA) di puskesmas

di wilayah Provinsi Banten.

Tabel 20. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 205 99.5

penyuluhan/promosi kesehatan

2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 202 98

kesehatan lingkungan

3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 205 99.5

penyuluhan/promosi kesehatan

Page 65: Buku Banten

53Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Dari tabel di atas diketahui bahwa semua jenis pelayanan terkait KIA, belum mencapai

100% bahkan jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan persalinan normal hanya

73,8%.

4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan

Kesehatan Ibu dan Anak

4.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 152 73.8

persalinan normal

4.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 200 97

imunisasi HbO bayi baru lahir ( < 7 hari)

4.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 176 85.4

MTBS pada bayi – balita

4.4 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan Audit 172 83.5

Maternal Perinatal

4.5 Jumlah puskesmas yang melakukan otopsi verbal pada 169 82

kematian maternal/neonatal

4.6 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan 203 98.54

neonatus

4.7 Jumlah puskesmas yang melakukan kunjungan bayi 203 98.54

4.8 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 199 96.6

tumbuh kembang bayi - balita

4.9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 199 96.6

KIA di luar gedung

5 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99

Keluarga Berencana

6 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan - -

gizi

7 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99

perbaikan gizi

8 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan

imunisasi

8.1 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99

imunisasi dasar lengkap pada bayi

8.2 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 203 98.5

imunisasi anak sekolah

8.3 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 203 98.5

imunisasi TT pada WUS/ibu hamil

9 Jumlah puskesmas yang menyelenggarakan pelayanan 204 99

pengobatan

Page 66: Buku Banten

54 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 28. Jenis Pelayanan Terkait Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmasberdasarkan Kabupaten dan Kota

7. Cakupan Pelayanan KIA dan Imunisasi

Pelayanan KIA dan Imunisasi adalah indikitor – indikator penting yang dipakai dalam

menentukan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). IPKM diharapkan dapat

menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan di kabupaten/kota.

IPKM sendiri dibentuk oleh kombinasi 4 variabel input (Proporsi Akses Air Bersih, Proporsi

Akses Sanitasi, Rasio Dokter dan Rasio Bidan), 2 variabel process (Proporsi Cuci Tangan,

Proporsi Merokok Tiap Hari), 4 variabel output (Cakupan Persalinan Oleh Nakes, Cakupan

Pemeriksaan Neonatal 1, Cakupan Imunisasi Lengkap, dan Cakupan Penimbangan Balita), 6

variabel effect (Prevalensi Balita Gizi Buruk dan Kurang, Prevalensi Balita Sangat Pendek dan

Pendek, Prevalensi Sangat Kurus dan Kurus, Prevalensi Balita Gemuk), serta 6 variabel im-

pact (Prevalensi Diare, Prevalensi Pneumonia, Prevalensi Hipertensi, Prevalensi Gangguan

Mental, Prevalensi Asma, dan Prevalensi Penyakit Gigi dan Mulut).

Tabel 21. Cakupan Program KIA dan Imunisasi Puskesmas

No Indikator Cakupan

Minimum Maksimum Mean Median

1 Kunjungan antenatal ke-1 (K1 akses) 2 141 91.40 95.00

2 Kunjungan antenatal ke-4 (K-4) 2 112 75.85 80.00

3 Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn) 10 116 74.10 76.50

4 Kunjungan nifas lengkap (KF) 7 119 78.61 83.00

5 Deteksi faktor risiko/komplikasi oleh masyarakat 1 118 25.67 14.00

6 Penanganan komplikasi obstetrik (PK) 1 102 34.80 20.00

7 Kunjungan neonatal Pertama (KN1) 7 149 84.06 87.00

8 Kunjungan Neonatal Lengkap (KNL) 1 136 78.77 84.00

Page 67: Buku Banten

55Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Di Provinsi Banten terlihat bahwa rata - rata cakupan K1-nya adalah 91,40%. Untuk rata

– rata cakupan K4 Provinsi Banten sejumlah 75,85%. Dari beberapa indikator cakupan KIA dan

Imunisasi, hanya cakupan pelayanan KB yang relatif rendah, sedangkan cakupan lain meskipun

tidak berada di angka nasional, namun angkanya secara provinsi relatif baik.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 29. Cakupan K1 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

9 Neonatus dengan komplikasi yang ditangani (NK) 1 200 43.15 37.00

10 Kunjungan bayi (Kby) 11 213 83.82 87.00

11 Pelayanan anak balita (Kbal) 1 257 71.28 73.50

12 Pelayanan KB (PUS Aktif ber KB) 1 259 57.83 61.00

13 TT WUS 1 188 59.98 63.00

14 TT ibu hamil 1 172 76.21 81.5

15 HbO 13 126 72.03 73.00

16 BCG 16 134 89.39 91.00

17 DPT 3 16 129 88.16 90.00

18 Polio 4 15 134 88.05 90.00

19 Campak 15 127 87.77 90.00

20 DT Kelas 1 SD (BIAS) 9 100 90.82 95.50

21 TT Kelas 2 SD (BIAS) 9 100 91.60 96.00

22 TT Kelas 3 SD (BIAS) 9 100 91.18 96.00

23 Campak 35 100 92.46 96.00

Page 68: Buku Banten

56 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Berikut adalah Grafik berdasarkan gambaran Cakupan K4 perkabupaten kota di Banten:

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 30. Cakupan K4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang

angkanya lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi. Angka ini juga jauh di bawah

target SPM. Cakupan kunjungan ibu hamil K4 adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh

pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit 4 kali di satu wilayah kerja pada

kurun waktu tertentu. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki

kompetensi kebidanan adalah ibu bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh oleh

tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi kebidanan di satu wilayah kerja pada kurun waktu

tertentu. Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga

kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan

persalinan sesuai standar.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 31. Cakupan Persalinan Nakes Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 69: Buku Banten

57Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sebagian besar persalinan berjalan normal, namun sekitar 15% diperkirakan akan mengalami

komplikasi. Pencegahan komplikasi kebidanan, identifikasi dini, dan penanganan persalinan dengan

komplikasi yang tepat dan adekuat merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai

kelangsungan hidup ibu. Dalam konteks Indonesia dan banyak Negara berkembang lainnya, jalan

pertama adalah dimulai di tingkat masyarakat, dimana ibu pertama kali mencari pelayanan persalinan

terkait dengan prognosis dari keluaran persalinan. Banyak komplikasi kebidanan tidak dapat

diprediksi, akan tetapi dapat dicegah. Pencegahan dan identifikasi dini komplikasi akan mengarah

kepada rujukan yang efektif, menentukan rujukan yang tepat dan tindakan stabilisasi yang diberikan

akan adekuat. Probabilitas kelangsungan ibu tinggi ketika langkah-langkah tersebut disertai dengan

pelayanan kedaruratan kebidanan yang tepat dan berkualitas di rumah sakit

“Persalinan oleh Tenaga Kesehatan” adalah peraturan yang pernah digaungkan oleh

Pemerintah Indonesia untuk menurunkan angka kematian ibu dan neonatal. Demi tercapainya

hal tersebut, Pemerintah mencanangkan Program Penempatan Bidan di Desa yang sampai

saat ini baru 40% desa memiliki Bidan Desa.

Tetapi faktanya angka kematian ibu dan neonatal tidak mengalami penurunan yang

signifikan, disebabkan oleh berbagai faktor seperti luasnya jangkauan wilayah dan banyaknya

populasi yang menjadi tanggung jawab Bidan Desa; masih tingginya persalinan yang terjadi di

rumah masyarakat; masih banyaknya persalinan yang ditolong oleh bukan tenaga kesehatan;

tidak ada fasilitas persalinan yang terstandar di desa; terbatasnya alat dan obat emergency

dasar yang dimiliki oleh Poskesdes, Polindes dan BPS; geografis dan transportasi yang sulit

sehingga akses kepada pelayanan rujukan menjadi kendala tersendiri.

Grafik di atas menunjukkan bahwa cakupan persalinan di Provinsi Banten oleh tenaga

kesehatan yang angkanya 74,1 % belum mencapai target. Cakupan persalinan terendah ada

di Kabupaten Lebak dan Pandeglang, sedangkan cakupan persalinan oleh nakes tertinggi ada

di Kab. Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Persoalan akses di wilayah rural menjadi

salah satu masalah yang mendasar.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 32. Cakupan Kunjungan Nifas per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Page 70: Buku Banten

58 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Penyebab kematian kasus-kasus kebidanan (maternal) terbanyak adalah perdarahan,

dimana perdarahan pasca persalinan merupakan penyebab terbanyak dari kematian tersebut.

Akan tetapi, sebagian besar dari perdarahan pasca persalinan ini dapat dicegah bila pengelolaan

aktif kala tiga dilakukan dengan baik. Penyebab kematian lain yang tidak kalah penting adalah

preeklampsia dan eklampsia. Akan tetapi, pencegahan terhadap preeklampsia dan eklampsia

tidaklah sederhana. Selain perdarahan pasca persalinan, hal yang perlu dicermati untuk

perbaikan pelayanan kebidanan di Rumah Sakit.

Cakupan Kunjungan Nifas di Banten hanya berada pada angka 78,61%, hal ini belum

dapat dikatakan mencapai target. Beberapa kabupaten angka cakupannya sebetulnya sudah

mencapai 80%, namun ini lebih banyak pada wilayah urban.

Cakupan deteksi faktor risiko dan komplikasi oleh masyarakat adalah cakupan ibu hamil

dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi atau

masyarakat serta dirujuk ke tenaga kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Masyarakat disini, bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu sendiri. Indikator ini

menggambarkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan

kesehatan ibu hamil, bersalin dan nifas.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 33. Cakupan Deteksi Faktor risiko per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Dari Grafik hasil survei GAVI untuk variabel cakupan deteksi risiko di atas, terlihat bahwa

cakupan deteksi risiko di Banten sejumlah 78,6%. Angka ini masih perlu ditingkatkan agar

resiko komplikasi dapat dicegah. Komplikasi kebidanan yang ditangani adalah ibu hamil, ibu

bersalin, dan ibu nifas dengan komplikasi yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada

tingkat pelayanan dasar dan rujukan (Polindes, Puskesmas, Puskesmas PONED, Rumah

Bersalin, RSIA/RSB, RSU, dan RSU PONEK).

Page 71: Buku Banten

59Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 34. Cakupan TT WUS Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang, Tangerang, Serang dan Lebak

adalah kabupaten yang cakupannya rendah. Untuk Kabupaten pandeglang, Tangerang, dan

Kabupaten Serang, angkanya bahkan jauh dibawah angka cakupan Provinsi.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 35. Cakupan TT Bumil per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah

dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 76,21%.

Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan cakupannya diatas 90% dan berada diatas angka

cakupan Provinsi Banten.

Page 72: Buku Banten

60 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 36. Cakupan HB0 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten pandeglang, dan Lebak cakupannya rendah

dan jauh di bawah angka Provinsi Banten. Cakupan TT Bumil Provinsi Banten sebanyak 72,03%.

Sedangkan daerah urban seperti Kota Serang, Cilegon, Tangerang dan Kota Tangerang Selatan

cakupannya berada diatas angka cakupan Provinsi Banten.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 37. Cakupan BCG Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas terlihat bahwa tidak seluruh kabupaten di Banten telah

memenuhi standar UCI untuk imunisasi HB0. Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang

juga menjadi kabupaten dengan cakupan paling rendah.

Page 73: Buku Banten

61Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sebaran cakupan BCG Provinsi Banten berdasarkan hasil pemetaan yang telah

dilakukan, titik-titik yang berwarna merah menunjukkan bahwa cakupan BCG pada daerah

tersebut telah mencapai 99%, sehingga berdasarkan hasil berikut dapat diketahui bahwa

sebagian besar di kabupaten/kota di Provinsi Banten target cakupan imunisasi BCG belum

mencapai standar.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 5. Peta Cakupan DPT 3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 38. Cakupan DPT3 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Pandeglang dan Lebak adalah kabupaten yang

cakupannya rendah. Untuk Kabupaten/kota yang lain, cakupannya angkanya diatas angka

Page 74: Buku Banten

62 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

cakupan Provinsi. Angka cakupan Provinsi Banten sendiri adalah 88,16%, adapun hasil

pemetaan yang telah dilakukan dapat diketahui sebaran cakupan imunisasi tersebut.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 6. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 39. Cakupan Polio 4 Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan Grafik di atas, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Tangerang, Kota

Tangsel adalah kabupaten yang cakupannya diatas 90%. Untuk kabupaten Lebak dan kabupaten

Pandeglang angka cakupan dibawah angka cakupan Provinsi.

Page 75: Buku Banten

63Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 7. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 40. Cakupan Campak Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Cakupan imunisasi campak Banten adalah 87,77%. Kabupaten Lebak dan Pandeglang

memiliki proporsi yang paling rendah (78.68% dan 80.18%) dibandingkan dengan kabupaten/

kota yang lain .

Page 76: Buku Banten

64 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 8. Cakupan BIAS Kelas 1 SD BerdasarkanKabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010

Bulan Imunisasi Anak sekolah atau yang dikenal dengan istilah BIAS adalah suatu pro-

gram pelayanan imunisasi dengan sasaran seluruh siswa SD/MI kelas 1,2 dan 3 termasuk pula

institusi lain setara SD. BIAS dilakukan pada bulan November setiap tahunnya. Jenis imunisasi

yang diberikan adalah imunisasi DT dan Campak untuk kelas 1 serta imunisasi TT untuk kelas

2 dan 3 dengan dosis masing-masing 0,5 cc.

Berdasarkan hasil pemetaan yang telah dilakukan, imunisasi campak sudah dilakukan

di semua daerah.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 41. Cakupan BIAS Kelas 1 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010

Page 77: Buku Banten

65Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Untuk imunisasi DT kelas 1 SD (BIAS 1 SD), cakupan imunisasi kota Tangerang lebih

rendah dibandingkan angka Provinsi Banten begitu pula dengan kabupaten Tangerang.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 42. Cakupan BIAS Kelas 2 SD per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan grafik diatas, cakupan imunisasi TT kelas 2 SD (BIAS) menunjukkan bahwa

cakupan kabupaten dan kota Tangerang lebih rendah dibandingkan dengan angka Provinsi

Banten dan kabupaten/kota lainnya yang ada di Provinsi Banten.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 43. Cakupan Bias Kelas 3 SD Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten,2010

Data untuk cakupan imunisasi TT BIAS kelas 3 SD menunjukkan hasil tidak jauh berbeda

dengan hasil cakupan imunisasi TT kelas 2 SD, yaitu bahwa proporsi cakupan imunisasi

kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan dengan cakupan imunisasi kabupaten/kota lainnya.

Page 78: Buku Banten

66 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 44. Cakupan Bias Campak per Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Berdasarkan grafik diatas, rata-rata cakupan BIAS Provinsi Banten diatas 90%, kecuali

untuk kota Tangerang dan Tangerang Selatan (73.38% dan 88.4%).

8. Lingkungan Geografis

Aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dapat dilihat antara lain dari

jarak dan waktu tempuh dari rumah ke sarana kesehatan. Secara nasional, akses masyarakat

dalam mencapai sarana pelayanan kesehatan cukup baik, yaitu 94% masyarakat dapat

mengakses sarana kesehatan kurang dari 5 kilometer (km) dan 97,3% dapat mencapai sarana

kesehatan kurang dari 60 menit. Sebanyak 47,6% masyarakat bertempat tinggal kurang dari 1

km, sebanyak 46,4% masyarakat bertempat tinggal antara 1-5 km, dan sebanyak 6,0% yang

bertempat tinggal lebih dari 5 km dari sarana pelayanan kesehatan.

Riskesdas (2007) menunjukkan bahwa sebanyak 67,2% masyarakat memerlukan waktu

tempuh kurang dari 15 menit, sebanyak 23,6 antara 16 – 30 menit, sebanyak 9,3% memerlukan

waktu tempuh lebih dari 30 menit. Walaupun secara nasional angkanya seperti ini, namun

distribusinya tetap tidak merata. Terlebih bahwa aksesibiltas yang tinggi belum menjamin

pelayanan yang baik, jika tidak diikuti dengan kualitas sarana yang memadai. Misalnya pelayanan

yang lengkap untuk penanganan komplikasi kelahiran merupakan bagian dari pelayanan obstetri

esensial yang disebut dengan pelayanan obstetri emergensi yang terdiri dari Pelayanan Obstetrik

dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan Pelayanan Obstetrik dan Neonatal Emergensi

Komprehensif (PONEK).

Menurut standar internasional, untuk mampu menangani persalinan komplikasi,

setidaknya terdapat 1 fasilitas PONEK dan 4 fasilitas PONED untuk setiap 500.000 penduduk.

Page 79: Buku Banten

67Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Untuk mencapai manfaat yang maksimal bagi penduduk, pelayanan ini seyogyanya tersedia

24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu. Di Indonesia, ditetapkan bahwa dalam setiap kabupaten/

kota, paling sedikit terdapat 4 Puskesmas Perawatan yang mampu melakukan PONED

(selanjutnya disebut Puskesmas PONED) dan seluruh rumah sakit harus mampu melakukan

PONEK (selanjutnya disebut RS PONEK) selama 24 jam penuh dalam sehari.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 45. Tipe Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten, 2010

Data Provinsi Banten menunjukkan bahwa Puskesmas perawatan yang seharusnya

tersedia terutama untuk wilayah rural/kabupaten dengan akses sulit justru memperlihatkan

hasil sebaliknya. Proporsi puskesmas dengan perawatan di Kabupaten Lebak dan Kabupaten

masih belum sesuai dengan kondisi dan akses diwilayah tersebut. Kota Tangerang dan kota –

kota lainnnya meskipun jumlah puskesmas sedikit namun aksesnya tidak terlalu sulit dan

banyak tersedia fasilitas swasta dan rumah sakit.

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 46. Kategori letak puskesmas se-Banten, 2010

Page 80: Buku Banten

68 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Grafik di atas menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak

memiliki banyak puskesmas di daerah terpencil. Jumlah di Pandeglang kurang lebih 25% dan

di Lebak 15 %. Kedua kabupaten ini penyumbang signifikan di angka Provinsi Banten yang

memiliki 8,7% puskesmas terpencil. Berdasarkan hasil pemetaan dapat dilihat sebaran letak

puskesmas sebagai berikut :

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 9. Sebaran Puskesmas berdasarkan Kriteria Terpencil-Biasa, dan Perawatan-non perawatan di Banten, 2010

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Grafik 47. Kondisi Fisik Puskesmas Berdasarkan Kabupaten/Kota di Banten, 2010

Page 81: Buku Banten

69Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Dari Grafik di atas dapat dilihat bahwa hampir di semua kabupaten ada yang rusak.

Yang menarik bahwa meskipun Kota Tangerang Selatan berada di daerah urban, namun terdapat

banyak puskesmas yang kondisinya kurang baik atau rusak.

Aksesibilitas puskesmas ke desa terjauh sebagian besar menggunakan alat transportasi

sepeda motor (87,4%), dengan waktu tempuh dari mulai 10 menit sampai dengan 5 jam

perjalanan. Dan secara keseluruhan waktu yang ditempuh dari puskesmas ke desa terjauh

diprovinsi Banten rata – rata memiliki waktu tempuh 52,35 menit. Untuk jarak tempuh puskesmas

ke desa terjauh memiliki jarak 2 km sampai dengan 100 km, sedangkan jarak tempuh secara

keseluruhan memiliki jarak tempuh rata – rata 11,69 km. Dari sini bisa dilihat bahwa lamanya

waktu tempuh dan jarak yang harus ditempuh dari puskesmas menuju desa terjauh bisa menjadi

faktor penghambat masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan.

Tabel 22. Alat Transportasi Yang Digunakan Dari Puskesmas Ke Desa Terjauh

No Jumlah Persentase

1 Jalan kaki 4 1.9

2 Sepeda 4 1.9

3 Sepeda motor 180 87.4

4 Kendaraan roda 4 15 7.3

5 Perahu 2 1

6 Lainnya 1 0.5

Tabel 23. Akses ke Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Hasil pemetaan yang telah dilakukan menunjukkan sebaran waktu tempuh ke pelayanan

kesehatan.

No Minimum Maksimum Mean Median

1 Waktu tempuh dari

puskesmas ke desa 10 menit 5 jam 52.35 menit 30 menit

terjauh

2 Jarak tempuh dari

puskesmas ke desa 2 km 100 km 11.69 km 10 km

terjauh

3 Biaya transport dari

puskesmas ke desa Rp 0,00 Rp 350.000,00 Rp 33.470,87 Rp 20.000,00

terjauh (PP)

Page 82: Buku Banten

70 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 10. Peta Waktu Tempuh ke Puskesmas di Provinsi Banten

Akses menjadi permasalahan yang sangat krusial di wilayah Banten. Waktu tempuh

dari puskesmas ke desa/kelurahan terjauh dalam wilayah puskesmas rata-ratanya hampir satu

jam. Bahkan ada wilayah yang harus di tempuh selama 5 jam. Radius jarak Puskesmas ke

desa terjauh juga ada yang mencapai 100 km.Dari segi biaya, ongkos transportasi ke ke desa/

kelurahan terjauh sejumlah Rp. 300.000,-. Kondisi geografi banten yang terdiri dari pegunungan,

hutan dan sungai menjadi kendala tersendiri bagi petugas kesehatan. Berikut adalah buffer

puskesmas ke wilayah sekitarnya berdasarkan kabupaten/kota.

9. Kejadian Luar Biasa

Lingkungan ini meliputi aksesibilitas puskesmas dan kejadian luar biasa yang terjadi

dan dapat dicegah dengan imunisasi dipuskesmas dalam satu tahun terakhir. Diwilayah provinsi

Banten, kejadian luar biasa yang paling banyak terjadi adalah campak dengan persentase

88,3%, seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 24. Kejadian Luar Biasa Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (KLBPD3I) di Puskesmas dalam 1 tahun Terakhir

No Penyakit Jumlah Persentase

1 Campak 265 88,3%

2 Difteri 2 0.67%

3 Pertusis 0 0%

4 Tetanus 2 0.67%

5 Hepatitis B 4 1.3%

6 Polio Non AFP 28 9.3%

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Page 83: Buku Banten

71Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Dalam kurun waktu satu tahun terakhir juga pernah terjadi KLB difteri, tetanus, hepatitis

B, dan polio/Non AFP (Acute Flaccid Paralysis). Adapun kasus yang terbanyak adalah campak

(1,9%). KLB pertusis tidak pernah terjadi dalam waktu 1 tahun terakhir.

C. Issue Managemen Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan

Berbagai isu terkait dengan Rumah sakit sudah lama diketahui. Pengelolaan unit usaha

rumah sakit memiliki keunikan tersendiri karena selain sebagai unit bisnis , usaha rumah sakit

juga nemiliki misi sosial, disamping pengelolaan rumah sakit juga sangat tergantung pada

status kepemilikan rumah sakit. Jika tidak disikapi dengan hati – hati maka peran dan misi

sebuah rumah sakit bisa berubah.

Jumlah rumah sakit juga terus meningkat walaupun dalam pertumbuhan yang relatif

lambat dibandingkan dengan peningkatan jumlah penduduk. Pada 2005, terdapat 452 rumah

sakit pemerintah (Kementerian Kesehatan dan Pemda) dengan 59.000 tempat tidur. Di sektor

swasta jumlah rumah sakit dan tempat tidur meningkat lebih cepat dibanding milik pemerintah.

Pada tahun 1990 terdapat 352 rumah sakit swasta dengan 31.000 tempat tidur, kemudian

meningkat menjadi 626 rumah sakit dengan 52.300 tempat tidur pada tahun 2005.

Pada 2006, seluruh rumah sakit di Indonesia berjumlah 1.292 unit dengan jumlah tempat

tidur sebanyak 138.451 unit. Dari jumlah rumah sakit tersebut, sebanyak 49,4% adalah milik

swasta, dengan jumlah tempat tidur sebanyak 37,2% dari total tempat tidur yang ada se Indone-

sia. Hal ini terjadi karena pada umumnya kapasitas RS swasta lebih kecil (rata-rata mempunyai

99 tempat tidur) dibandingkan dengan kapasitas RS pemerintah (rata-rata mempunyai 146 tempat

tidur).

Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional pada tahun 2006

adalah 1 tempat tidur per 1.590 penduduk. Sasaran pada 2010 adalah satu tempat tidur untuk

1.333 penduduk (Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2005-2009). Jika dibandingkan

dengan negara lain, rasio jumlah tempat tidur per jumlah penduduk di Indonesia juga masih

kecil. Pada 2001, rasio jumlah tempat tidur per 100.000 penduduk adalah 330, sedangkan di

Indonesia rasio dimaksud baru mencapai 63,8 (Kosen, 2008). Dengan terjadinya transisi

demografi dan transisi epidemiologi, ke depan jumlah tempat tidur yang diperlukan akan semakin

tinggi.

Berdasarkan mapping yang dilakukan, berikut adalah gambaran distribusi Rumah sakit

dan puskesmas di wilayah Banten.

Page 84: Buku Banten

72 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Gambar 11. Peta Sebaran Puskesmas dan RS di Provinsi Banten

Gambar diatas menunjukkan bahwa setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten memiliki

satu Rumah Sakit Daerah kecuali untuk kabupaten Lebak memiliki dua buah rumah sakit,

sedangkan untuk kabupaten Tangerang rumah sakit daerah yang digunakan sama dengan

kota Tangerang yaitu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tangerang.

Tabel 25. Karakteristik Rumah Sakit

No Jenis Pelayanan Jumlah Persentase

1 Tipe Rumah Sakit

1.1 Jumlah RS Kelas A - -

1.2 Jumlah RS Kelas B 2 57.1%

1.3 Jumlah RS Kelas C 3 42.9%

1.4 Jumlah RS Kelas D - -

2 Kondisi Fisik Gedung RS

2.1 Baik 5 71.4%

2.2 Rusak Ringan - -

2.3 Rusak Sedang 1 14.3%

2.4 Rusak Berat 1 14.3%

2.5 Sedang dalam Perbaikan - -

3 Jumlah RS yang memiliki fasilitas telepon 7 100%

4 Jumlah RS yang memiliki fasilitas faksimile 6 85.7%

5 Jumlah RS yang memiliki fasilitas komputer 7 100%

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Page 85: Buku Banten

73Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Tabel 26. Karakteristik Rumah Sakit

No Indikator Cakupan

Minimum Maksimum Mean Median

1 Luas gedung rumah sakit 400 m2 38.000 m2 14162.29 m2 11608 m2

2 Jumlah ambulans 1 7 4.29 4

3 Tahun perbakan terakhir 2001 2010 9tahun 2009

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Dari data yang didapat, hanya berkisar 70% Rumah sakit di Provinsi Banten kondisinya

baik, sisanya dalam kondisi rusak sedang dan berat. Kondisi geografi dan akses yang sulit

membutuhkan solusi terkait dengan penyediaan rumah sakit yang optimal. Dalam hal peralatan,

hanya 15% rumah sakit yang tidak memiliki faksimili.Untuk sarana transportasi, jumlah rata-

rata setiap rumah sakit sudah memiliki empat ambulans.

1. Sumber Daya Manusia

Tabel 27. Ketenagaan RS Terkait Pelayanan KIA di Rumah Sakit

No Pelatihan Jumlah Persentase

1 Kebidanan Rawat Inap

1.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 4 57.1%

kebidanan rawat inap

1.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 3 42.9%

kebidanan rawat inap

1.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan kebidanan 4 57.1%

rawat inap

1.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan kebidanan 7 100%

rawat inap

2 Kebidanan Rawat Jalan

2.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 4 57.1%

kebidanan rawat jalan

2.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 4 57.1%

kebidanan rawat jalan

2.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan 2 28.57%

kebidanan rawat jalan

2.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan 7 100%

kebidanan rawat jalan

3 Anak Rawat Inap

3.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 5 71.4%

anak rawat inap

Page 86: Buku Banten

74 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

3.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 5 71.4%

anak rawat inap

3.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan anak 5 71.4%

rawat inap

3.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan anak 3 42.9%

rawat inap

4 Anak Rawat Jalan

4.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan 5 71.4%

anak rawat jalan

4.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan 6 85.7%

anak rawat jalan

4.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan anak 3 42.9%

rawat jalan

4.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan anak 3 42.9%

rawat inap

5 Keluarga Berencana (KB)

4.1 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter spesialis di pelayanan KB 2 28.57%

4.2 Jumlah RS yang memiliki tenaga dokter umum di pelayanan KB 4 57.1%

4.3 Jumlah RS yang memiliki tenaga perawat di pelayanan KB 2 28.57%

4.4 Jumlah RS yang memiliki tenaga bidan di pelayanan KB 3 42.9%

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

2. Logistik

Sarana rumah sakit dalam hal ini adalah refrigerator dan freezer dapat dilihat dari table

dibawah ini :

Tabel 28. Jumlah RS dengan Kondisi Refrigerator

No Merk Refrigerator Jumlah

Jumlah RS dengan kondisi

refrigerator baik dan tidak baik

Baik/berfungsiTidak

baik/tidakberfungsi

n % n % n %

1 Jumlah RCW 42 EK/EG 1 14.3 1 100 - -

2 Jumlah RCW 50 EK/EG - - - - - -

3 Jumlah MK 204 - - - - - -

4 Jumlah Sansio 1 14.3 1 100 1 1

5 Jumlah Vesfrost - - - - - -

6 Jumlah Decby Unic - - - - - -

Page 87: Buku Banten

75Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Tabel 29. Sarana Freezer Rumah Sakit

No Merk Refrigerator Jumlah Refrigerator Per Tahun Pengadaan

2004 2005 2006 2007

1 RCW 42 EK/EG - 1 - -

2 RCW 50 EK/EG - - - -

3 MK 204 - - - -

4 Sansio - - 1 -

5 Vesfrost - - - -

6 Decby Unic - - - -

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

No Merk Refrigerator Jumlah

Jumlah RS dengan kondisi

refrigerator baik dan tidak baik

Baik/berfungsiTidak

baik/tidakberfungsi

n % n % n %

1 Sanyo 1 14.3 1 100 - -

2 Electrolux FCW 300 1 14.3 1 100 - -

No Merk Refrigerator Jumlah Refrigerator Per Tahun Pengadaan

2004 2005 2006 2007

1 Sanyo - - - 1

2 Electrolux FCW 300 - - - 1

Sumber : Survey GAVI-HSS, 2010

Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa refrigerator dan freezer yang ada 100% dapat

berfungsi dengan baik.

Dinas Kesehatan dalam era disentralisasi tetap melakukan berbagai upaya agar dapat

meningkatkan kinerja manajemen dijajaran maupun wilayah kerjanyanya. Beberapa kegiatan

tetap dilakukan seperti pelatihan terkait dengan manajemen KIA dan Imunisasi seperti pelatihan

penerapan buku KIA, dan pelatihan AMP dan monitoring serta evaluasi. Namun, ada pula manajer

dari Dinkes yang beranggapan bahwa frekuensi pelatihan yang terlalu sering akan mengganggu

kinerja manajemen.

“Ya sebenarnya misalnya Kementerian Kesehatan mengundang dari daerah, dari kita.

Provinsi mengundang dari kita, kita sendiri menyelenggarakan. Jadi dana pelatihan itu luar

bisa dan itu tidak dirasakan oleh masyarakat. Sebab perilaku petugas begitu pelatihan belum

signifikan berubah”..

Page 88: Buku Banten

76 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

“Ya jangan banyak-banyak pelatihanlah..jangan. Saya polanya bukan ditarik tapi justru

dilihat dari sini ke sana, ton job. Saya ga terlalu mengizinkan staf saya mengikuti banyak pelatihan

karena banyak waktu yang ditinggalkan. Karena setiap tahun itu staf saya yang KIA itu seminggu

itu kadang-kadang terus-menerus dia pertemuan kesana-kesini. Jadi saya engga terlalu setuju

terlalu banyak pelatihan. Ini minggu ini saja KIA itu ada 4 yang harus dia hadiri. Kapan dia

bekerjanya?! Makanya saya tidak terlalu setuju kecuali yang urgent”

Berbagai rutin tetap dilaksanakan di Dinas Kesehatan dalam rangka evaluasi manajemen

dan kinerja. Kegiatan tersebut dilakukan dalam mingguan maupun bulanan.

“Yang pertama kita ada rapat rutin dengan kepala puskesmas itu satu bulan satu kali,

dan dihadiri oleh seluruh bidang. Kalau tadi kan lingkup dinas kesehatan. Kemudian ada juga

kegiatan rutin yaitu rapat mingguan. Rapat mingguan itu mengevaluasi setiap minggu.”

Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap beberapa indikator penting dalam KIA,

misalnya cakupan kunjungan pertama ibu hamil, kedua cakupan kunjungan keempat ibu hamil,

berapa cakupan Risti ibu hamil, cakupan persalinan nakes dan cakupan kunjungan neonatus

terus diupayakan oleh Dinas Kesehatan.

“Yang pertama harus menyelesaikan penurunan angka kematian Ibu dan angka kematian

bayi. Melalui peningkatan cakupan, K1-K4. Kemudian KN1-KN3. Kemudian Linakes.”

D. CIVIL SOCIETY ORGANIZATION (CSO)

Pembangunan Kesehatan yang dilaksanakan telah berhasil meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat Indonesia. Namun belum mencapai hasil yang optimal. Peran serta

aktif masyarakat termasuk CSO (Civil Society Organization) sangat diperlukan. Masih banyak

permasalahan kesehatan yang belum dapat diatasi.

Angka kematian ibu, penyakit menular masih menjadi permasalahan kesehatan

masyarakat Indonesia, sementara penyakit tidak menular meningkat ditambah adanya penyakit

baru. Mengingat besarnya masalah kesehatan masyarakat yang dihadapi, maka CSO hendaknya

dapat memberikan kontribusi nyata dalam menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi

bangsa ini, sesuai potensi setiap CSO. Civil Society Organization (CSO) dapat diartikan sebagai

lembaga swadaya masyarakat dan atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki basis

keanggotaan, profesi, keagamaan, sasaran perempuan, kaum muda, tenaga kerja dll.

CSO/LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) merupakan lembaga sukarela yang memberi

bantuan sosial. Menurut Muhasin (2000) peran dan fungsi LSM mengalami perubahan dan

perkembangan. Pada generasi awal memang lebih banyak memberi bantuan dan santuan

sosial. Pada generasi kedua mulai memperkenalkan pengembangan usaha swadaya, lewat

kelompok-kelompok kecil dari masyarakat rentan. Generasi ketiga mulai berinteraksi dengan

pembuat kebijakan dan berperan sebagai konsultan untuk berbagai program yang memerlukan

Page 89: Buku Banten

77Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

dukungan swadaya masyarakat. Sedang generasi keempat adalah menggerakkan keprihatinan

publik dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup, hak-hak konsumen dan hak-

hak azasi manusia.

Bentuk CSO/LSM

Berdasarkan pengumpulan data yang ada di lapangan, bentuk CSO/ LSM yang ada di

Provinsi Banten umumnya berupa:

1. Bentuk CSO yang berbasis profesi kesehatan: IDI, IAKMI, IDAI, PDGI, IBI, PERSAGI,

POGI, dsb

2. Organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiah, Aisiyah, dll.

3. Berbasis anggota seperti PKK dan gerakan pramuka

4. Organisasi kepemudaan seperti Pendekar Banten, Pemuda Pancasila dan lain sebagainya.

5. Organisasi nirlaba yang bergerak dalan pengembangan masyarakat seperti Unicef,

Immpact, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), USAID,

6. CSO yang focus kegiatan kesehatan seperti GAVI.

7. Lembaga Sosial seperti CSR Perusahaan seperti PT. Multi Bintang dan PLN serta rumah

dunia.

“Oh iya, sama yang klinik swasta, praktek klinik swasta juga ngasih. Jadi kalau tahun-

tahun sebelumnya itu langsung kader yang minta ya kan?! Tahun 2010 kita mau coba

mengumpulkan dana itu dikita, nanti kita bagikan. Kan karena 3 kelurahan ini ga semuanya

punya PP, jadi rencananya mau kita kumpulkan terus kita bagi rata. Ternyata itu agak ricuh,

pusing. Akhirnya baru sebulan dua bulan, ah sudahlah kembalikan aja. Hehehe. Pusing karena di

Poris Gaga banyak klinik dan ada PT Multi Bintang, di Poris Jaya tidak ada, kliniknya sedikit, tidak

ada PT. kadernya, “dok, kok bisa begitu?” katanya gitu. Akhirnya antara kader kan “keenakan

Poris Jaya dong, ga ambil uang tapi tetep ini..”. Akhirnya ya sudahlah kembalikan masing-masing.

Pokonya posyandu miliknya masyarakat, tanggungjawabnya ibu PKK dan yang mau bantu”

Peran Serta CSO/LSM

Secara teori, CSO/ LSM memiliki dua peran penting, yaitu peran makro dan peran mikro.

A. Peranan Makro

Dalam rangka aktualisasi peran sosial CSO/LSM yang dapat dimainkan adalah berusaha

menjaga indepedensi dan mengembangkan kemandirian organisasi meliputi antara lain:

1. Menghidupkan atau melahirkan kembali lembaga-lembaga independen di berbagai

level daerah untuk mengimbangi inkorporasi negara yang selama ini masuk ke-

dalam hampir semua sektor kehidupan masyarakat. Mempersatukan kembali

Page 90: Buku Banten

78 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

berbagai ide dari msayarakat yang pluralis kedalam suatu wadah yang relatif

terlepas dari kekuatan dan campur tangan pemerintah.

2. Melalui wadah independen yang sudah dibentuk dicoba dikembangkan mekanisme

kerja yang mengarah pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah seperti

yang berkaitan dengan proses penganggaran.

3. Menyebarluaskan berbagai informasi yang menjadi masalah dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara melalaui berbagai cara agar masyarakat menjadi tahu

dan secara suka rela mau terlibat dan berpartisipasi.

B. Peranan Mikro

1. Memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat miskin dan lemah dalam

mengembangkan kemampuan, memecahkan masalah dan mengelola sumber daya

di sekelilingnya untuk menuju kemandirian.

2. Pusat kajian dan advokasi kebijakan

3. Pusat informasi bagi masyarakat

4. Menjadi pendamping dan pendukung pemberdayaan msayarakat

5. Menjadi pusat pendidikan dan pelatihan untuk masyarakat

6. Menjadi mitra pemerintah Memberikan pelayanan kepada masyarakat

7. Sebagai konsultan

8. Perpanjangan Pemerintah (melakukan tugas Pemerintah yang diborongkan)

9. Sebagai pendamping kelompok swadaya masyarakat (KSM)

10. Pelaku advokasi

11. Pelaku kontrol sosial

Dukungan CSO/LSM mempunyai dampak yang cukup signifikan terhadap program KIA

dan imunisasi. Misalnya peran perusahaan dalam memberikan bantuan untuk pelayanan dan

kontribusi mobilisasi masyarakat. Masyarakat setempat diharapkan untuk lebih aktif dalam

berbagai kegiatan kesehatan termasuk posyandu dan promosi kesehatan.

Ada wilayah – wilayah yang medapatkan dukungan dari CSO dalam bidang kesehatan

khususnya KIA dan imunisasi. Dukungan ini oleh beberapa informan dianggap berkontribusi

meskipun tidak signifikan. Berikut beberapa petikan wawancara dengan informan mengenai

CSO dan dampak bantuannya.

“kalo imunisasi ada ..ada forum komunikasinya, biasanya dari aisyiyah, pramuka, bahkan

IBI, PPNI juga..) ya..dari organisasi profesi. Kita ada CSO, baru – baru ini mereka kita

undang..kalo mereka sendiri, saya harus gini-gini..kayaknya jarang..memang, aaah jarang lah!

.. menurut saya mah..hanya diatas kertas saja..kecuali di pusat mungkin ya..kalo ini..kalo di

tingkat daerah mah..mereka bergerak atas inisiatif kita..biasanya mah..yang saya lihat..ya..”.

“Ya, tapi saya pikir mungkin kalau dilihat dari kecamatan sich LSM yang mendukung,

soalnya kemarin waktu crash program campak ada yang ngomong kapala puskesmas...pak

Page 91: Buku Banten

79Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

mau hadir gak dikecamatan ini....emang ada apa...kebetulan ada LSM ini yang mau..bergerak

katanya gitu...malahan ada dukungan dari Alfa Mart, Indo Mart...”

“Biasanya mereka memberikan satu lokasi yang sudah di tata kemudian mereka juga

membrikan souvenir buat anak2 kecil yang ditimbang.... Kalau secara MOU tidak ada....!!”

Kemudian dukungan LSM mempunyai dampak tidak pak yang cukup signifikan terhadap

program.

“Ya,...kelihatan peningkatan cakupannya akan nampak walaupun ada peningkatan sedikit.

Tapi biasanya beda bila dibandingkan tidak ada dukungan...”

Page 92: Buku Banten

80 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

Page 93: Buku Banten

81Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan:

1. Cakupan pelayanan kesehatan dalam berbagai program di Banten masih banyak

yang belum memenuhi standar, terutama angka cakupan persalinan oleh nakes

dan cakupan imunisasi campak yang menjadi indicator MDGs.

2. Rendahnya cakupan bukan hanya semata persoalan logistic dan tenaga, namun

juga dipengaruhi oleh akses yang sulit.

3. Kecenderungan rendahnya cakupan beberapa indikator ada di wilayah kabupaten

terutama Kabupaten Lebak, Pandeglang dan Serang.

4. Penempatan bidan desa mesti di sertai dengan bekal kompetensi yang cukup,

jika tidak, maka peningkatan jumlah bidan desa tidak akan berbanding terbalik

dengan AKI yang menjadi target MDGs.

5. Peran CSO sangat diperlukan dalam peningkatan kesehatan masyarakat, namun

kontribusi CSO yang ada di Banten belum merata di semua wilayah kabupaten

kota.

6. Aksesibilitas ke Pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan dasar menjadi

persoalan yang mendasar terutama di wilayah Banten Selatan (Kabupaten

Pandeglang dan Lebak).

7. Sumber anggaran KIA sangat tinggi variasinya antar kabupaten kota. Angkanya

cenderung rendah di kabupaten dan tinggi di kota.

8. Masyarakat yang tinggal didaerah sulit cenderung melakukan mekanisme solusi

melalui peran sendiri seperti pembentukan kelompok donor darah dan lain

sebagainya.

9. Pendataan dan analisa secara sederhana cenderung rendah di kabupaten wilayah

selatan dan tinggi di kota yang dekat dengan ibu kota.

10. Pembenahan prasarana dan tenaga perlu diiringi dengan perbaikan manajemen

dan tenaga.

B. SARAN:

1. Perlu dipikirkan satu terobosan kebijakan untuk mengatasi persoalan di wilayah

rural seperti Banten Selatan.

2. Mendorong peningkatan peran serta masyarakat juga harus disertai dengan

peningkatan manajemen dan kinerja perangkat pemerintahan di tingkat desa.

3. Pelatihan manajemen yang ada harus di iringi dengan monitoring dan evaluasi

yang bekesinambungan.

Page 94: Buku Banten

82 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

4. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan terutama skill bidan yang akan

ditempatkan di desa.

5. Perlu peningkatan dukungan keuangan di daerah untuk program imunisasi dan

KIA.

Page 95: Buku Banten

83Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI

DAFTAR PUSTAKA

Kabupaten Banten Dalam Angka 2009, Badan Pusat Statistik, Banten, 2009

Laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta, 2008

Profil Dinas Kesehatan Provinsi Banten 2009, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, Serang, 2009

Page 96: Buku Banten

84 Laporan Survei GAVI-HSS, Provinsi Banten

Survei GAVI-HSSDitjen Bina Gizi KIA, Kementrian Kesehatan RI