Buku Ajar Materi Kuliah2.Doc

download Buku Ajar Materi Kuliah2.Doc

If you can't read please download the document

description

Make it easier for other people to find your content by providing more information about it.

Transcript of Buku Ajar Materi Kuliah2.Doc

I. PENDAHULUAN Untuk dapat dipahami oleh para mahasiswa bahwa mata kuliah Pendidikan Agama Islam, hanya diberikan atau didapat dalam satu semester dengan bobot 2 sks, dengan menggunakan empat belas kali tatap muka. Setelah itu, hingga selesai kuliah tidak akan ada lagi, kecuali belajar sendiri. Oleh karena itu, suatu yang sangat sulit bagi pengajar untuk menentukan materi apa yang tepat harus diberikan, dengan asumsi bahwa para mahasiswa telah mempunyai pengetahuan tentang ajaran Islam. Buku ini hanya memuat atau membahas materi pokok yang ada dalam ajaran Islam. Pernyataan yang dikemukakan oleh Dr. Kamaruddin Hidayat di bawah ini sangat membantu para mahasiswa untuk memahami bagaimana caranya mempelajari dan memahami ajaran Islam di Perguruan Tinggi. Membicarakan problem studi Islam di perguruan tinggi, setidaknya terdapat sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan bersama: adakah Islam dikaji sebagai obyek keilmuan sebagaimana disiplin ilmu yang lain, ataukah Islam dijadikan rujukan pandangan hidup ataupun akidah untuk mempelajari dan menjalani kehidupan? yang ideal mestinya kedua aspek itu terintegrasikan menjadi satu pendekatan yang utuh sekalipun pada prakteknya banyak kendala yang harus diselesaikan karena setiap pilihan yang diambil akan berimplikasi pada metodelogi serta target akhir yang hendak dicapainya. Jika lembaga perguruan tinggi didefenisikan sebagai lembaga riset keilmuan, maka pilihan pertama akan lebih dahulu dikedepankan. Dan ini yang biasa dilakukan diperguruan tinggi Barat. Hampir semua universitas bergensi di wilayah Amerika Utara dan Eropa Barat semuanya mulai memperkenalkan Islamic Studies sekalipun diantara mereka ada yang lebih senang memperggunakan istilah Middle Eastern Studies, yang di dalamnya terdapat studi keislaman. 1

Alasan mereka adalah bahwa Islam dipandang sebagai fenomena budaya dan fenomena sejarah sehingga sebagai obyek kajian ilmiah siapa saja bisa melakukan studi Islam sekalipun bukan orang muslim. Oleh karenanya banyak buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh para ilmuwan Barat yang secara akademis memiliki bobot yang tinggi. Lalu, bagaimana sebaiknya kebijakan dan strategi pendidikan Islam di perguruan tinggi? Di sini terdapat dua kata yang memiliki konotasi berbeda. Pertama, kata pendidikan dan kedua, perguruan tinggi. Selama ini wacana keilmuan di perguruan tinggi lebih ditekankan pada pendekatan pengajaran ilmiah, sedangkan istilah pendidikan lebih ditekankan pada jenjang sekolah di tingkat bawah. Tentu saja aspek pendidikan dan pendidikan agama tidak bisa dipisah- pisahkan, sekalipun dari sisi metode penyampaian dan berbagai asumsinya yang berkait memang berbeda. Dengan demikian, pengajar agama Islam di perguruan tinggi dituntut berijtihad menemukan metode yang tepat, bagaimana Islam diajarkan sebagai obyek kajian ilmiah namun sekaligus mata kuliah Islam juga memiliki tugas pendidikan untuk membantu mahasiswa tumbuh menjadi yang berakhlak mulia, relijius dan memahami dasar-dasar ajaran Islam. Mempertemukan dua tuntutan ini sangat penting mengingat hampir di setiap diskusi dan pengajian selalu saja ada pertanyaan tentang kenapa terjadi kesenjangan yang begitu lebar antara idealitas ajaran agama yang diyakini benar, hebat dan tinggi, dan di sisi lain realitas perilaku para pemeluknya yang seringkali bertentangan dengan ajaran agamanya. Bahkan sekarang ini klaim yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang relijius kehilangan validitasnya karena ternyata banyak sekali tragedi sosialpolitik yang sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang menyerukan pada perdamaian, pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, kejujuran, amanah dan lain sebagainya dari nilai luhur keagamaan. Kenyataan ini bagaimanapun juga harus menjadi

perhatian dan agenda pemikiran pengajar agama di perguruan tinggi karena mahasiswa adalah calon sarjana yang memiliki peluang untuk mendudduki lapisan menengah ke atas dalam masyarakat. Kesenjangan antara retorika dan ajaran agama yang begitu ideal dan realitas sosial yang menyimpang akhir-akhir ini menjadi sorotan kritik dan keluhan masyarakat sehingga citra dan wibawa agama yang tampilkan oleh ulama dan lembaganya menjadi turun. Sekedar contoh, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: Islam itu sangat tinggi, dan karenanya tidak ada yang lebih tinggi darinya. Pernyataan ini seringkali dikemukankan oleh para penceramah untuk menegaskan bahwa Islam itu hebat dan tinggi sehingga bila terjadi penyelewengan dan kezaliman yang dipersalahkan adalah para penganutnya, karena dianggap tidak memahami sekaligus tidak mempraktekkan ajaran agamanya secara benar. Sekilas argumen tersebut memang mudah diterima. Tetapi bila dikritik dan direnungkan, maka akan timbul pertanyaan: jika ajaran Islam itu memang benar, hebat dan tinggi, tetapi ternyata tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lalu di mana pembuktian kebenaran, kehebatan dan ketinggian ajarannya itu? Dan lagi di mana relevansi kebenaran dan kehebatan ajaran Islam, jika tidak mampu mempengaruhi perilaku pemeluknya? Inilah kira-kira salah satu problem dan tantangan yang perlu oleh pengajar agama terutama di lingkungan perguruan tinggi. Dan tampaknya problem tersebut diakibatkan antara lain oleh adanya oreientasi pendidikan agama yang kurang tepat untuk tidak menyebut keliru. Tiga hal yang bisa dikemukankan sebagai indikator kekeliruan dimaksud ialah: Pertama, pendidikan agama saat ini lebih berorientasi pada belajar tentang ilmu agama. Karena itu tidak aneh kalau di negeri ini sering kita saksikan seseorang yang banyak mengetahui nilai-nilai ajaran 1

agama, tapi perilakunya tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran agama yang diketahuinya. Kedua, tidak memiliki strategi penyusunan dan pemilihan materimateri pendidikan agama sehingga sering tidak ditemukan hal-hal yang prinsipil yang seharusnya dipelajari lebih awal, malah terlewatkan. Kekacauan materi pendidikan agama ini terlebih jelas lagi terlihat pada pemilihan disiplin ilmu fikih yang dianggap sebagai puncak atau inti agama itu sendiri. Disebabkan oleh oreintasi pendidikan agama semacam itu, maka Islam seakan diidentikan dengan paham fikih. Dan beragama yang benar adalah bermazhab fikih yang benar dan yang diakui oleh mayoritas, sehingga siapa saja yang sedikit berbeda dengan mazhab fikih yang dianut mayoritas, maka dituduh menyimpang dari Islam. Alam pikiran semacam ini masih terasa kuat di kalangan para mahasiswa perguruan tinggi Islam, apalagi di perguruan tinggi umum. Ketiga, kurangnya penjelasan yang luas dan mendalam serta kurangnya penguasaan semantic dan generik atas istilah-istilah kunci dan pokok dalam ajaran agama sehingga sering ditemukan penjelasan yang sudah sangat jauh dan berbeda dari makna, spirit dan konteknya. Disiplim keilmuan dalam Islam sesungguhnya sudah sangat kuat dan kaya. Dengan begitu, kalau saja pihak pengajar mampu menemukan metode pengajaran yang tepat dengan ditopang oleh penguasaan materi keislaman, maka sesungguhnya pengajaran dan pendidikan Islam menjadi kuliah yang menarik, aktual dan hidup. Kontektualisasi dan reinterpretasi ajaran Islam adalah agenda pemikiran Islam yang selalu diperlukan pada setiap zaman. Pendekatan terhadap Islam yang selama ini lebih bersifat normative deduktif perlu dilengkapi dengan pendekatan induktif histories sehingga mahasiswa bisa mebedakan mana ajaran Islam yang berupa produk sejarah dan hasil ijtihad dan mana yang bersifat normative-doktrinal.

1

Setidaknya terdapat dua pendekatan yang menonjol dalam mempelajari Islam. Pertama, mempelajari Islam untuk kepentingan mengetahui bagaimana cara beragama yang benar. Disini aspek religiusitas dan spiritualitas menjadi sangat penting, sehingga esensi ajaran agama bisa menginternalisasi ke dalam diri pribadi-pribadi dalam aktivitas kesehariannya. Oreinta ini mengasumsikan mahasiswa sebagai subyek yang aktif sehinggailmu agama disini mirip dengan ilmu beladiri, ilmu olah raga, atau ilmu kesenian, bahwa belajar berarti memahami, menghayati, dan mempraktekan. Dengan kata lain, ilmu agama itu bukanlah ilmu yang hanya menitikberatkan pada teori tanpa aksi, tapi justru teori dan aksi itu adalah hal yang tak terpisahkan. Untuk apa seseorang diajari teori berenang dengan sangat luas dan mendalam, misalnya, sementara dia tidak mencintai dan tidak bisa berenang? Orang yang demikian tetap akan dikatakan sebagai orang tidak bisa berenang, meskipun semua teori tentang berenang sudah dikuasinya. Demikian juga orang yang mempelajari ilmu dan teori-teori keberagamaan secara luas dan mendalam, tapi dalam aksinya tidak menunjukkan relevansi dengan pengetahuannya tersebut, maka orang itu akan dikatakan sebagai orang yang belum bisa beragama. Dalam rangka belajar beragama ini, konon diceritakan bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berbulan-bulan lamanya hanya mengajarkan Surat al-Maun (surat 107) kepada para muridnya. Padahal surat itu hanya terdiri dari tujuh ayat pendekpendek. Ketika muridnya sudah nyaris bosan karena setiap belajar surat itu diulang-ulang, maka Kiai Ahmad Dahlan mengatakan, kita belum bisa pindah ke ayat lain karena kita belum bisa mengamalkan isi surat ini. Kita mengafal keutamaan menolong anak yatim tetapi kita belum pernah melaksanakan, sama halnya kita paham akan ayat itu, Demikianlah, di sini terlihat bahwa Kiai Ahmad Dahlan mengajarkan para muridnya untuk belajar beragama, bukan belajar tentang agama. 1

Kedua, mempelajari Islam sebagai sebuah pengetahuan. Pendekatan kedua ini berkembang sangat pesat di Barat. Para peneliti dan pemikir yang memandang bahwa Islam sebagai pengetahuan memang berbeda samangat dan metodologinya dari mereka yang mendekati Islam sebagai keyakinan yang telah dianutnya secara militan. Dari sudut pandang akademis mungkin saja mereka lebih jauh menguasai Islam dari pada para kaia yang mengajarkan dan mengamalkannya dari lingkungan pasanteren. Dalam hal orientasi pendidikan, kedua pendekatan di atas tampaknya perlu terus mendapat perhatian yang serius, sehingga tidak saja terjadi peningkatan pengamalan religiusitas di kalangan para penganut Islam, melainkan juga terjadi peningkatan keilmuan Islam. Dua pendekatan di atas karenanya mesti menjadi orientasi pendidikan Islam terutama di perguruan tinggi. Dalam hal orientasi pendidikan ini, perlu ditambahkan orientasi lainnya, yaitu upaya gerakan kembali pada Alquran dengan pendekatan yang lebih ilmiah dan multidisipliner. Karena itu perlu dipertimbangkan tiga aspek berikut ini. Pertama, membebaskan diri kita dari hegomoni makna atas sejarah masa lalu kaum muslim. Ini tidak berarti aspek sejarah Islam ditolak, tetapi bagaimana mensikapi sejarah secara kritis dan apresiatif karena sejarah tetap merupakan salah satu sumber pengetahuan yang harus dikuasai dan terus digali. Namun begitu sejarah jangan sampai memenjarakan kebebasan dan kedinamisan serta kreatifitas kaum muslim. Kedua, membaca dan memahami ayat-ayat Alquran serta menggali konteks social histories yang melatar belakanginya dengan mempertimbangkan berbagai macam gejala cultural, politis dan antropologis. Dengan pendekatan ini diharapkan kita lebih bisa menangkap pesan dasar Alquran dan mengartikulasikan kembali dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda.

Ketiga, menganalisa setiap ayat Alquran yang hendak dijadikan pedoman dalam bertindak dengan menangkap dimensi etisnya, jangan hanya aspek legal-formalnya. Kembali pada Alquran dan al Sunnah pada giliranya kembali pada etika sebagai rujukan hidup kita bermasyarakat dan bernegara. Sebab itu, meskipun di antara kita telah bersama-sama berpegang pada Alquran, tetapi kita masih menemukan perbedaan pendapat soal hukum, maka seseorang yang berpegang pada etika akan tetap menjaga persaudaraan, kehormatan masing-masing dan akan mengutamakan tujuan yang lebih pokok demi kepentingan-kepentingan banyak orang. Sebab, kembali pada Alquran tidak berarti meniadakan perbedaan di antara umat karena perbedaan merupakan dinamika sejarah yang tidak mungkin bisa dihapuskan. Kenyataan adanya sekian banyak mazhab dalam pemikiran Islam, baik dalam bidang fikih, filsafat, ilmu kalam dan tasawuf kesemuanya itu anak kandung peradaban Islam yang memiliki landasan pemahaman atas Alquran. Catatan akhir, yaitu perlunya menyusun dan memilih kembali materi-materi pendidikan agama yang disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa/mahasiswa. Misalnya, pada semester ke berapa pendidikan Islam diajarkan di perguruan tinggi? Memperhatikan yang terjadi saat ini, pelajaran agama dari mulai tingkat dasar, menengah hingga atas bahkan perguruan tinggi selalu saja masih banyak didominasi oleh materi pelajaran fikih. Padahal semestinya di perguruan tinggi itu para mahasiswa mulai berbicara pada tingkat wawasan yang bertujuan pada peningkatan penalaran yang analitis, komporatif, dan bila perlu melahirkan keputusan-keputusan baru yang bersifat preskriptif bagi tindakan kaum muslim di zaman kini. Kalau tidak, maka aspek ini akan banyak diambil alih oleh kelompok-kelompok studi, remaja masjid, dan organisasi-organisasi kemahasiswaan. Pembinaan intelektualitas dan spiritualitas Islam bagi para mahasiswa yang terjadi di luar kampus tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak mahasiswa memperoleh kematangan berpikir, 1

wawasan keislaman dan ketrampilan berorganisasi justru dari kegiatan-kegiatan ekstra di luar kampus. Peran organisasi remaja masjid, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan organisasi lainnya terbukti sangat kontributif dalam menciptakan iklim intelektualitas di kalangan mahasiswa. Tidak aneh karenanya jika terdapat sebagian perguruan tinggi yang memilih calon-calon tenaga pengajar dan pegawai administrasinya yang membawa surat rekomendasi dari lembaga atau organisasi ekstra dan kelompok-kelompok belajar mahasiswa. Alasannya karena mereka dinilai lebih matang kepribadiannya, lebih terampil kerjanya, dan lebih dedikatif menjalankan tugasnya. Melalui kelompok-kelompok studi intensif yang digelar dan dikerjakan oleh para aktivis mahasiswa telah mendorong munculnya iklim intelektualitas Islam di kampus-kampus. Belum lagi lembagalembaga swadaya masyarakat yang kini bermunculan sangat banyak. Tentu saja, semua ini perlu diteliti secara ilmiah tentang kebenarannya. Tapi hipotesa sementara demikianlah adanya.

1

KONSEPSI MANUSIA DALAM ISLAM A. Perbedaan manusia dengan hewan Dalam sejarah pemikiran manusia berbicara tentang masalah manusia suatu hal sangat menarik dan unik. Ketika manusia berusaha untuk mencoba menjawab perbedaan dirinya dengan hewan, maka jawaban sudah dapat dipastikan berbeda-beda sesuai dari sudut pandang cara memahaminya. Namun suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan apakah yang membedakan manusia dengan hewan secara mendasar? Dalam buku Pengantar ke Filsafat Sains, Andi hakim Nasution menyatakan bahwa perbedaan manusia dengan hewan terletak pada kemampuan manusia untuk berpikir dan bernalar, sedangkan kemampuan berpikir dan benalar itu memungkinkan pada manusia, karena itu ia memiliki susunan otak yang paling sempurna dibandingkan dengan otak berbagai jenis mahkluk hidup lainnya, termasuk hewan-hewan yang bentuk tubuhnya sangat dekat dengan manusia, yaitu primata yang primi . Dalam buku Agama dan Manusia, menurut Murtadha Muntahhari menyatakan bahwa perbedaan keduannya terletak pada dimensi pengetahuan, kesadaran dan tingkat tujuan mereka. Inilah yang memberikan kelebihan, keunggulan serta membedakannya dirinya dari semua hewan yang lain. Perbedaan yang dinyatakan dari kedua pendapat di atas belum menunjukkan kepada perbedaan yang mendasar, karena aspek bepikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran, bukan sesuatu yang sangat vital bagi manusia apabila ditinjau dari sudut pandang agama. Bukan berati bahwa semua hal yang disebut itu tidak penting, namun dalam ajaran Islam berpikir dan benalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran merupakan alat bagi manusia untuk memahami eksistensi dirinya, alam dan Tuhan. 1

Berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran sebagaimana yang dinyatakan kedua pendapat tersebut adalah merupakan produk dari essensi yang membedakan manusia secara mendasar dengan hewan. Oleh karena itu, suatu pertanyaan yang perlu dikemukakan apakah berpikir dan bernalar serta dimensi pengetahuan, kesadaran tersebut dapat mempertanggungjawab kan semua perbuatan yang pernah dilakukan manusia di atas dunia ini? Dalam ajaran Islam, berpikir, nalar dan aspek dimensi pengetahuan serta kesadaran yang dikemukakan oleh kedua pendapat di atas, bukanlah sesuatu yang dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatan manusia di akhirat nanti. Karena semua alat-alat tersebut tidak akan berfungsi bersamaan dengan wafatnya seseorang. Jika demikian, apa yang membuat manusia itu dapat berpikir, bernalar dan mempunyai aspek pengetahuan serta mempunyai kesadaran. Dalam Alquran surat 32: 7-9, dinyatakan bahwa Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknuya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah,- kenudaian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (sperma) kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya roh (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan afhida (fuad); tetapi mereka sedikit sekali bersyukur. Selain dari ayat tersebut di atas dapat dilihat dalam surat 15: 29, 21 : 91, 38: 72, 58: 22, 66:12. 17: 85. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kunci dasar kehidupan dan keberadaan manusia itu adalah ruh, karena ruh yang membuat manusia mempunyai pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad). Jika dipahami secara filosofis bahwa apa yang dinyatakan oleh Allah ini merupakan sumber memperoleh ilmu, karena ilmu itu diperoleh melalui pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) manusia. Produk dari hasil pendengaran, pengelihatan dan al-afhida

(fuad) manusia ini sebagaimana yang disebut pengetahuan bagi manusia. Al-Quran membedakan secara mendasar pengrtian qalbu dengan al-afhida (fuad) dalam surat tersebut di atas. Karena pengertian qalbu yang digunakan dalam Al-Quran banyak hal berbicara tentang persoalan fisik, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut hati dalam bentuk fisik, sementara pengertian alafhida (fuad) dalam Al-Quran tidak berbicara dalam bentuk fisik, namun dalam hal yang bersifat non fisik, dan tidak tepat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut hati. Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan. Oleh karena itu, ruh yang ada dalam diri manusia ini yang membedakan manusia dengan hewan. Karena ruh tidak akan pernah wafat ketika manusia itu meninggalkan dunia, karena ruh itu akan kembali kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan semua hasil perbuatan yang dilakukan di atas dunia. Sedangkan yang wafat di dalam diri manusia adalah jiwa, sebagaimana diungkap dalam surat 21:35. tiap-tiap yang berjiwa akan menemukan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada kamilah kamu akan dikembalikan. Al-Quran membedakan secara tegas antara ruh dan jiwa, hal ini dapat dilihat di dalam pengertian-pengertian yang dikemukakan dibawah ini :

1

1. Pengertian Ruh Persoalan ruh adalah persoalan yang amat pelik, sehingga banyak orang beranggapan bahwa soal ruh itu tidak perlu dibicarakan, karena dapat membinggungkan. Sesungguhpun demikian, pada umumnya diakui bahwa ruh adalah sesuatu yang amat penting bagi kehidupan manusia. Dalam kaitan ini, timbul persoalan, jika ruh itu amat penting bagi manusia, bukankah ia harus mengetahuinya? Jika manusia tidak dapat mengetahui sesuatu yang amat penting baginya, bukankah itu berarti bahwa ia gagal memahami dirinya?, dan dalam kondisi manusia gagal memahami dirinya, apakah ia layak diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatannya? Di pihak lain, ternyata Tuhan seperti yang diajarkan oleh agama meminta pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Kenyataan ini mau tidak mau mengharuskan adanya pengetahuan manusia memahami dirinya, memahami sesuatu yang amat penting bagi dirinya, yaitu ruh. Jika tidak, maka ketentuan Tuhan meminta pertanggungjawaban kepada manusia, menjadi sia-sia dan kehilangan makna. Dilihat dari jurusan ini, maka ketentuan Tuhan untuk minta pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, tentu disertai dan didasarkan kemampuan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk memahami dirinya, memahami segala akibat-akibat perbuatannya, memahami sesuatu yang amat penting baginya, yaitu ruh. Pengetahuan tentang ruh, tentu saja berbeda dengan pengetahuan manusia tentang jasadnya, yang bisa diraba, diukur, ditimbang bahkan difoto. Pengetahuan tentang ruh bersifat spiritual, karena berkaitan dengan medan yang immaterial. Kesulitan memahami ruh ini terlihat dari betapa banyaknya pendapat yang mencoba untuk memberikan penjelasan tentang ruh. Ruh sering dipahami sebagai pusat kehidupan, maka kehidupan ada jika ada ruh, kematian adalah tiadanya ruh. 1

Kata ruh adalah ar-rih yaitu angin. Oleh karena ituar ruh disebut annafas yaitu nafas atau nyawa. Di samping itu, kata ruh sering juga disebut an-nafs yaitu jiwa. Menurut Abu Bakar al-Anbari kata arruh dan an-nafs adalah searti. Bagi orang Arab, ar-ruh menunjukkan arti laki-laki, sedangkan an-nafs menunjukkan arti perempuan. Menurut Abu Haitham, ruh adalah nafas yang berjalan di seluruh jasad. Jika ruh itu keluar maka manusia tidak akan bernafas. Menurut Ibn Atsir ruh itu dipakai dalam berbagai arti tetapi yang penting umum ialah sesuatu yang dijadikan sandaran bagi jasad dan dengan ruh itu tercipta kehidupan. Bagi Ibnal-Arabi kata ar-ruh mempunyai banyak arti yaitu (1) al-farh, kegembiraan, (2) Alquran (3) al-amr, perintah atau arahdan (4) an-nafs, jiwa atau keakuan. Di samping itu, ar-ruh juga diartikan sebagai hakikat berpikir atau kecerdasan yaitu kemampuan manusia untuk siap memperoleh ilmu. Dalam kaitan ini, ruh adalah kekuatan berpikir, yang memungkinkan seseorang menyusun pengetahuan dan berhubungan dengan kebenaran. Al-Gazali menjelaskan sebagai yang halus yang ada dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk mengetahui sesuatu dan dapat menangkap pengertian, serta bersifat ketuhanan. Dengan demikian, pengertian ruh menjadi sulit diberikan defenisinya secara tepat, ruh sering disamakan dengan jiwa, dapat juga menunjukkan suatu instansi atau fungsi lebih tinggi dalam fisik manusia, yang tidak jarang dianggap Ilahi, ia juga merupakan orientasi manusia di dalam masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin berbicara tentang ruh dalam arti konkrit, maka istilah ini harus dikaitkan dengan seluruh praksis manusiawi yang berlangsung secara sadar atau tidak sadar dalam kebudayaan. 2. Kata Ruh dalam Alquran Dalam Alquran terdapat 21 kata ar ruh, yang tersebut dalam 20 ayat. Kata ar-ruh dalam Alquran dipakai dalam berbagai arti dan 1

konteks. Yang pertama kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-quds seperti yang tersebut dalam surat 2 : 87 dan dilihat juga pada surat 2: 254, 5: 110, 16: 102. Tentang ar-ru al-quds ini ada beberapa pendapat, yang pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ar-ruh al-quds itu adalah malikat Jibril. Yang kedua adalah Kitab Injil, yang ketiga adalah ruh yang dapat menghidupakan orang mati dan yang empat adalah ruh Tuhan yang dianugrahkan kepada Nabi Isa as., sebagai penghormatan kepadanya. Pada ayat lain, kata ar-ruh dikaitkan dengan kata al-amin seperti yang disebut pada surat 26: 193. Yang dimaksud dengan ar ruh alamin adalah malaikat Jibril yang terpercaya untuk menyampaikan wahyu kepada rasul-rasul Allah. Selanjutnya Alquran juga menyebutkan kata ruh sebagai sesuatu yang dibawa malaikat dari Allah untuk disampaikan kepada hamba-hamba-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 16: 2 dapat dilihat juga dalam surat 40: 15. Kata ruh sebagai sesuatu dari perintah Allah yang disampaikan malaikat kepada hamba-hamba Tuhan itu adalah mempunyai pengertian wahyu Allah. Lebih jelas lagi adalah keterangan Alquran dalam surat 42: 52. Di smping itu, kata ruh juga dipakai untuk menyatakan sesuatu yang dihembuskan dari Allah ke dalam diri manusia, dan menjadi bagian dari diri manusia dan selanjutnya Allah juga menjadikan untuknya pendengaran, penglihatan dan hati Alquran menyatakan dalam surat 32: 9, lihat juga dalam surat 38: 72, 15: 29, 66: 12, 21: 91, 58: 22. Dalam Alquran kata ruh, baik dalam pengertian wahyu, Alquran ataupun sesuatu yang dihembuskan Allah ke dalam diri manusia, selalu diberikan keterangan sebagai amr dari Allah. Secara jelas Alquran memberikan jawaban pertanyaan tentang ruh ialah amr Robb, seperti yang dinyatakan dalam surat 17: 85. Jadi, ruh dalam Alquran diartikan secara tegas dan jelas sebagai amr dari Allah. Oleh karena itu, kata kunci untuk memahami ruh itu adalah terletak pada kata amr. Dalam kaitan ini maka penjelasan-

penjelasan Alquran tentang amr menjadi sangat penting untuk menyingkap dan memahami ruh itu. Tanpa pemahaman yang lengkap tentang amr ini, maka ruh akan sulit dipahami pengertian nya. Kata amr dalam Alquran dipakai untuk berbagai arti. Yang pertama kata amr diartikan sebagai perintah. Alquran menyatakan dalam surat 65: 5, dapat dilihat juga dalam surat 7: 77 dan 11: 59. Yang kedua amr diartikan sebagai arah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran surat 54: 12. Yang ketiga amr diartikan sebagai perkara atau urusan, Alquran menyatakan dalam surat 3: 159. Yang empat amr diartikan sebagai hukum, atau aturan Allah pada ciptaan-Nya. Alquran menyatakan dalam surat 7: 54. Dari ayat-ayat tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa ruh adalah amr dari Allah. Kata kunci dalam Alquran dipakai dalam arti perintah (65: 5), arah (54: 12), perkara, urusan (3: 159) dan hukum atau ketentuan (7: 54). Kata kunci amr berasal dari kata kerja amara yang artinya perintah untuk mengerjakan. Dalam bentuk imarah artinya adalah kepemimpinan. Dengan demikian, maka kata amr artinya adalah pimpinan, perintah, perkara dan urusan. Jadi, kata ruh yang dalam Alquran diberi penjelasan sebagai amr min Allah mempunyai pengertian pimpinan, perintah, perkara dan urusan dari Allah. Fungsinya tidak lain adalah merupakan bimbingan dan petunjuk bagi manusia. Dalam pengertian sebagai pembimbing atau pemberi petunjuk itulah, maka dalam Alquran ruh juga dipakai untuk menyebut nama malaikat, dengan sebutan ar-ruh al-amin, yaitu malaikat Jibril yang bertugas membimbing para rasul menurunkan dan mengajarkan wahyu. Ruh juga diartikan sebagai wahyu yang terkumpul dalam kitab suci sebagai pedoman hidup bagi manusia (42: 52) Lalu, apakah ruh dari Allah yang dihembuskan ke dalam diri manusia itu? Jika direnungkan surat 32: 9 yang mengaitkan ruh ke dalam diri manusia dengan dijadikannya pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad), maka dapatlah ditarik pengertian bahwa ruh itu adalah pimpinan yang ada dalam diri manusia, yang membimbing 1

pendengaran, pengelihatan dan qalbunya untuk memahami kebenaran. Pendengaran, pengelihatan dan al-afhida (fuad) merupakan instrumentasi rohani yang memungkinkan manusia memahamai pimpinan Allah, sehingga ia dapat mendengar, melihat dan memahami kebenaran sejati (22: 46). Alquran secara tegas menjawab dan menerangkan pertanyaan tentang ruh manusia sebagai amr min Robb dan manusia diberikan pengetahuan sedikit tentangnya dalam surat 17: 85. Jadi, ruh dalam diri manusia adalah bimbingan dan pimpinan dari Allah dalam diri manusia. Pernyataan Alquran bahwa manusia mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang ruh, bukan berarti tidak bisa mengetahui sama sekali tentang ruh. Pengetahuan manusia tentang ruh sedikit sekali tentunya jika dibandingkan dengan pengetahuan Allah. Pengetahuan manusia tentang ruh adalah sangat penting karena dengan mengetahuinya, maka manusia dapat mengenali dirinya dan memahami kebenaran, sehingga ia dapat menjauhi perbuatan yang dapat merusak dan merugikan diri sendiri dan menjalani hidupnya sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Pengetahuan tentang ruh tentunya berbeda dengan pengetahuan manusia mengenai bendabenda yang dapat disusun secara ilmiah, berdasarkan data-data yang terkumpul yang dapat diukur, diamati dan dianalisa. Dengan memahami, menyadari dan memasuki diri sendiri, manusia berhubungan dengan eksistensi ruhnya yang ada dalam dirinya sendiri. Jadi, hakekat ruh adalah bimbingan dan pimpinan Allah yang hanya diberikan kepada manusia, yang membedakan manusia dari mahkluk Allah lainnya. Ruh tidak lain adalah daya yang bekerja secara spiritual untuk memahami kebenaran, suatu kemampuan mencipta yang bersifat konseptual yang menjadi pusat lahirnya kebudayaan. 1

Hakekat ruh tidak dapat diketahui secara material karena ruh bersifat gaib sehingga tidak dapat ditunjuk subtansinya secara fisik dalam dimensi ruang dan waktu. Kesulitan memahami hakekat ruh oleh karena sifatnya yang gaib membuka perbedaan pemahaman terhadapnya, dan seringkali antara pengertian yang satu dengan yang lainnya menjadi kabur. Dalam studi Filsafat Islam, seperti Ibn Sina menegaskan bahwa ruh dijumbuhkan dengan nafs, sehingga menyulitkan usaha memahami hakekat ruh itu sendiri, mengingat nafs dapat juga berarti diri, atau keakuan. Dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan, peranan ruh sebagai pimpinan dan bimbingan Allah dalam diri manusia itu sangat besar, karena dengan ruh sebagai daya yang bekerja secara spiritual untuk berhubungan dengan prinsip-prinsip kebenaran melalui berpikir terhadap alam sekitar dan selalu ingat kepada kekuasaan Allah, maka arah pembentukan kebudayaan yang rasionalistik materialis seperti yang tampak gejalanya dalam kehidupan modern, akan bergeser ke arah kehidupan kebudayaan yang berdimensi transenden. 3. Pengertian Nafs Menurut Ibn Ishak kata an-nafs dalam bahasa Arab digunakan dalam dua pengertian. Pengertian pertama seperti dalam ungkapan telah keluar nafas seseorang atau nyawanya, sedangkan pengertian kedua seperti dalam ungkapan yaitu seseorang telah membunuh dirinya, artinya ia telah menghncurkan seluruh dirinya atau hakikatnya. Bentuk jamak dari kata nafs adalah anfus dan nufus. Menurut Ibn al-Bari, an-nafs bisa bermakna ruh, dan bisa bermakna hal yang membedakan sesuatu dari yang lain. Menurut Ibn Abbas, dalam setiap diri manusia terdapat dua unsur nafs, yaitu nafs akal yang bisa membedakan sesuatu, dan nafs ruh yang menjadi unsur kehidupan.

1

Kata an-nafs dan ar-ruh yang berasal dari Alquran telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dengan pengertian nafsu, nafas dan ruh, Kata an-nafs yang seringkali dipergunakan Alquran dan diterjemahkan menjadi jiwa sesungguhnya berarti pribadi atau kekakuan. Ucapan-ucapan seperti an-nafs al-mutmainnah dan an-nafs al-lawawamah dan an-nafs al-ammarah (yang bisa diterjemahkan menjadi jiwa yang merasa puas dan jiwa yang mengutuk), sebaiknya dapat dipahami sebagai keadaan-keadaan, aspek-aspek, watak-watak, atau kecenderungan-kecenderungan dari pribadi manusia. Semua ini dapat dipandang sebagai sifat mental (yang berbeda dari yang fisikal) asalkan akal pikiran tidak dipahami sebagai subtansi yang terpisah. An-nafs dalam pengertian keakuan atau pribadi adalah totalitas diri manusia, Pernyataan aku adalah pernyataan total tentang diri seseorang. Jika seseorang mengatakan aku makan, maka pernyataan aku menunjukkan pada totalitas diri, meskipun yang melakukan makan adalah mulutnya. Oleh karena itu, ia tidak akan mengatakan mulutku makan. Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan pemilikan. Jika seseorang mengatakan aku punya pensil, maka pernyatan aku menyatakan pada totalitas diri, meskipun yang memegang dan menggunakan pensil itu tangannya, dan ia pun tidak akan mengatakan tanganku punya pensil. Jadi pernyataan aku baik dalam kaitan dengan perbuatan atau pemilikan, tidaklah semata-mata menyangkut hal-hal yang fisik saja, tetapi lebih dalam lagi berkaitan dengan hal-hal yang non-fisik. Dalam keakuan (ego) terdapat kesatuan transenden, kesatuan dari keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan, kesatuan dari kualitaskualitas. Kenyataan menunjukkan bahwa keakuan muncul ketika kesadaran manusia tentang dirinya terbentuk, dan terbentuknya kesadaran tentang diri ini bermula sejak bentuk manusia yang sempurna lahir. Kesadaran tentang diri itu dibentuk oleh berbagai factor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kapasitas berpikir yang terbawa

oleh kodranya sebagai ciptaan dan factor eksternal yaitu lingkungan hidup dan kebudayaan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan. Munculnya kesadaran tentang diri, menempatkan manusia pada posisi obyek dan subyek. Manusia sebagai kesadaran adalah subyek menghadapi dirinya sebagai obyek. Kesadaran muncul sebagai buah dari perenungan terhadap diri sendiri. Dalam kaitan ini, maka nafs yang menjadi pokok pembahasan di sini adalah nafs dalam pengertian diri, keakuan, bukan dalam pengertian nafsu, nafas dan ruh. Nafs dalam pengertian diri, keakuan, muncul setelah tahapan jasad, hayat terlampaui, menjadi sebuah eksistensi. 4. Nafs dalam Alquran Dalam Alquran kata nafs terdapat 140 ayat, Sedangkan bentuk jamaknya nufus terdapat dalam 2 ayat, dan dalam bentuk jamak lainnya an-fus terdapat dalam 154 ayat. Alquran menggunakan kata nafs dalam empat pengertian yaitu 1) dalam pengertian nafsu, 2) nafas, 3) jiwa dan 4) diri, keakuan. Nafs dalam pengertian nafsu dinyatakan dalam surat 12:53. Nafs dalam pengertian nafas atau nyawa terdapat dalam surat 3:185. 21:25. 39:42.

Tentang arti nafs dalam ayat di atas ini, terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyebutnya dalam arti jiwa dan ada pula yang mengartikannya nyawa, nafas, yang menjadi tanda adanya kehidupan pada tubuh manusia. Sayyid Quthb menyatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan nafs yang mengalami hidup dan mati, setiap nafs akan mati. Sedangkan ar-Razi menjelaskan bahwa kematian itu berkaitan dengan tubuh, karena jiwa atau roh tidak mengalami kematian, dan oleh karena pernyataan nafs berkaitan dengan kematian, maka nafs ini berkaitan dengan tubuh. Sedangkan nafs yang berkaitan dengan kematian tubuh, seperti tersebut dalam ayat ini dapat diartikan dengan nafas, nyawa, karena nyawa 1

merupakan tanda adanya kehidupan, al-hayat. Kematian ditandai dengan lenyapnya nafas, nyawa, kemudian diikuti hilangnya unsur panas, air dan tanah yang berkumpul kembali dengan alam asal kejadian. Nafs dalam pengertian jiwa terdapat daplam surat 89:27-30

Dalam hubungan ini, maka kesungguhan diri manusia mempunyai arti yang sangat penting. Allah menjanjikan kepada siapa yang

Sehubungan dengan nafs dalam ayat di atas ini, yang diartikan jiwa, ar-Razi menjelaskan bahwa pengertian jiwa ini diperoleh karena nafs di sini berkaitan dengan keterangan, dan seperti disebutkan dalam ayat Alquran maka tentu yang dimaksudkan adalah jiwa, ruh, yaitu al-qaib yang memperoleh keterangan dengan memahmi tentang Allah sebagai wajib al-wujud. Sedangkan Zamakhsyari menyatakan nafs dalam ayat ini diartikan jiwa, ruh, yang dimasukan ke dalam diri hamba-hamba Allah. Nafs dalam pengertian diri, keakuan, pribadi dinyatakan dalam surat 6:164.

Realitas manusia adalah realitas pribadi, yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan, dan setiap pribadi mempunyai pendapat dan keinginan yang berbeda-beda. Setiap pribadi bertanggungjawab sepenuhnya atas segala apa yang dilakukannya, ia tidak akan bertanggungjawab atas perbuatan orang lain. Menurut Alquran, setiap pribadi hanya akan memperoleh bagian dari apa yang dilakukannya dinyatakan dalam surat 53:38-41. Oleh karena itu, perbuatan baik pada dasarnya untuk kepentingan dirinya sendiri, demikian pula perbuatan jelek, pada dasarnya akan merugikan dirinya sendiri, Alquran menyatakan dalam surat 41:46. 45:15. Selanjutnya Alquran menegaskan bahwa perbaikan nasib seseorang ditentukan oleh kemampuannya merubah apa yang ada dalam diri pribadinya dinyatakan dalam surat 8:53. 13:11.

1

bersungguh-sungguh dalam jalan Allah, akan memperoleh bimbingan Allah, karena Allah selalu bersama-sama dengan orangorang yang berbuat kebaikan, dinyatakan dalam surat 29:6. Sebagian besar kata nafs dalam Alquran dipakai untuk menunjukkan arti diri, keakuan, Keakuan itu bertanggungjawab atas setiap apa yang diperbuatnya sendiri. Alquran menyatakan dalam surat 53:38-41, akan menanggung akibat yang timbul dari apa yang diperbuatnya itu (Alquran 41:46) dan perubahan keadaan hidupnya akan terjadi jika keakauan itu merubah dirinya (Alquran 8:53) Oleh karena itu, melalui kerja yang sungguh-sungguh, keakuan akan mendapatkan hasil apa yang dikerjakannya (Alquran 29:6). Keakuan atau nafs adalah kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang tercermin dalam aktivitas hisupnya. B. Akal dan Fungsinya dalam Alquran Akal adalah al-hijr atau an-nuha artinya adalah kecerdasan. Sedangkan kata kerja aqala artinya adalah habasa yaitu mengikat atau menawan. Karena itu, seorang yang menggunakan akalnya, al-aqil adalah orang yang menawan atau mengikat hawa nafsunya. Orang yang menggunakan akalnya pada dasarnya adalah orang yang mampu mengikat hawa nafsunya, sehingga hawa nafsu tidak dapat menguasai dirinya, ia mampu mengendalikan diri dan akan dapat memahami kebenaran, karena seseorang yang dikuasai hawa nafsu akan mengakibatkan terhalang untuk memahami kebenaran. Dengan Demikian, akal dapat juga diartikan sebagai suatu potensi rohaniah untuk membedakan mana yang hak dan mana yang batal, mana yang benar dan mana yang salah. Akal adalah penahan hawa nafsu untuk mengetahui amanat dan beban kewajibannya, ia adalah pemahaman dan pemikiran yang selalu berubah sesuai dengan masalah yang dihadapi, ia merupakan petunjuk yang membedakan 1

hidayah dan kesesatan, ia adalah kesadaran batin dan penglihatan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Akal, dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi merupakan daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya yang dalam Alquran digambarkan memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal adalah potensi gaib yang tidak dipunyai oleh mahkluk lain yang mampu menuntut kepada pemahaman diri dalam alam. Ia juga mampu melawan hawa nafsu. Akal sesungguhnya mempunyai bermacam-macam arti, yang pertama, akal adalah sifat yang membedakan manusia dari pada hewan. Dengan akal manusia bersedia menerima berbagai macam ilmu yang memerlukan pikiran. Yang kedua hakikat akal ialah ilmu pengetahuan yang timbul dari alam wujud. Yang ketiga ialah ilmu yang diperoleh dari pengalaman, dan yang keempat adalah pengetahuan tentang akibat segala sesuatu, dan pencegah hawa nafsu. Akal dengan demikian merupakan daya kekuatan untuk memperoleh segala ilmu. Ilmu akal meliputi ilmu yang duniawi dan yang ukhrowi. Oleh karena itulah, dalam sebuah hadist dikatakan :Tidak dijadikan oleh Allah suatu mahkluk yang terlebih mulia padanya dari pada akal. Dalam hadist yang lain dikatakan : Apabila manusia itu mendekati Tuhan dengan pintu-pintu kebajikan dan amal sholeh, maka engkau dekatilah Tuhan dengan akalmu. Oleh karena itu, dalam Alquran dijelaskan bahwa akal mempunyai fungsi untuk memahami kebenaran yang fisik maupun yang metafisik. Dalam Alquran terdapat 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, yaitu aqalu 1 ayat, taqilun 24 ayat, naqiln 1 ayat, yaqilu 1 ayat, dan yaqilun 22 ayat. Penggunaan akal itu antara lain : 1. terdapat 14 ayat dipakai dalam kaitannya dengan keimanan. Dalam surat 2: 76, 75. 11: 51. 21: 67. 28:60. 36:62. 2: 170, 171. 5: 103. 10: 100. 25: 44. 39: 43. 49: 4. 59: 14.

2. terdapat 5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam surat 12: 2. 2: 44. 3: 65. 21: 10. 43: 3 3. terdapat 6 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam surat 2: 73, 242. 6: 32. 29: 35. 30: 28. 26: 28. 4. terdapat 3 ayat berkaitan dengan kehidupan akhirat. Dalam surat 67: 10. 2: 32. 10:16. 5. terdapat 7 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami proses dinamika kehidupan manusia. Dalam surat 22: 46. 12: 109. 11: 51. 8: 22. 36: 68. 10: 10. 24: 61. 6. terdapat 12 ayat dipakai dalam kaitannya untuk memahami alam semesta seisinya. Dalam surat 2: 164. 23: 70. 28: 60. 37: 138. 67: 10. 26: 28. 57: 170. 13: 4. 16: 12, 67. 29: 63. 30: 24. 7. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan hukum moral. Dalam surat 6: 151. 8. terdapat 1 ayat dipakai dalam kaitannya dengan Sholat. Dalam surat 5: 58. Dari 49 ayat yang menjelaskan tentang penggunaan akal, maka dapatlah ditarik pengertian bahwa akal dalam Alquran dipakai untuk memahami realitas yang konkrit seperti proses kelahiran manusia dan alam semesta, dan juga realitas gaib, seperti kehidupan neraka, nilai-nilai moral dan untuk memahami tanda-tanda Tuhan, baik yang tersurat dalam Kitab Suci maupun yang tersirat dalam alam dan manusia, serta kaitannya dengan al-qalb yang mempunyai kemampuan memahami realitas. Menggunakan akal artinya adalah menggunakan kemampuan pemahaman baik dalam kaitannya dengan realitas yang konkrit, maupun realitas spiritual. Realitas konkrit dipahami oleh pikiran dan realitas spiritual oleh qalbu. Keduanya pikiran dan qalbu merupakan instrumen akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran. Dengan demikian kegiatan akal adalah kesatuan pemikiran dan 1

qalbu dalam usaha memahami kebenaran. Alquran menyatakan dalam surat 3: 190-191. Memikirankan penciptaan alam adalah kegiatan yang berpusat di kepala, sedangkan mengingat Allah, adalah kegiatan yang berpusat di qalbu yang ada dalam dada. Keduanya merupakan kesatuan daya rohani untuk dapat memahami kebenaran, sehingga manusia mapu memasuki dunia kesadaran tertinggi, bersatu dengan kebenaran Ilahi. Kesatuan antara berpikir tentang alam sekitarnya yang berpusat di kepala dan menghayati serta mengingat Allah yang berpusat di qalbu yang ada di dada, dapatlah kiranya disebut sebagai suatu aktivitas kesatuan akal. Jadi, Konsep Tauhid dalam kebudayaan pada tahap pengertian sebagai proses seperti yang digambarkan dalam Alquran surat 3: 190-191 di atas adalah kesatuan zikir kepada Allah dan pemikiran tentang ciptaan Allah yang berada di antara bumi dan langit. Kesatuan zikir dan pikir ini, sebagai penjelmaan dari aktivitas orang-orang yang berakal. Kesatuan aktivitas itu dapat digambarkan sebagai berikut : Berzikir ----------------------------- Allah Orang Berakal

Aktualitas berpikir ----------------------------- Ciptaan Allah

Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran bekerja dengan menggunakan pikiran dan qalbu, yang keduanya berhubungan secara organis. Pikiran bekerja untuk memahami dimensi fisik, bersifat material, sedangkan qalbu bekerja untuk 1

memahami dimensi metafisik, besrsifat spiritual. Keduanya dalam pandangan tauhid merupakan kesatuan fungsional bagi kebudayaan. Pengembangan pikiran yang terlepas dari kaitannya dengan qalbu, mengakibatkan manusia hanya memperoleh pengetahuan lahiriahnya saja dari realitas yang ditangkap dan manusia dapat dikuasai hawa nafsunya, singga pikirannya bekerja untuk kepentingan pemuasan hawa nafsu. Sebaliknya qalbu yang berkerja terlepas dari pikiran, membuat seseorang hanya menagkap dimensi spiritual dari realitas yang ada, secara moral ia mempunyai kesadaran yang baik, tetapi penguasaan teknik dan cara menyelesaikan masalahnya seringkali mengalami kemacetan, karena dimensi fisiknya tak kuasa. Hubungan organis pikiran dan qalbu sebagai instrumen akal dapat digambarkan sebagai berikut :

Pikiran

Qalbu

1. Pikiran Berpikir sebagai proses budaya adalah memhami realitas dan melakukan penilaian kritis terhadap pemahaman itu. Di sini terdapat dua hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu pemahaman terhadap realitas dan penilai kritis terhadap pemahaman itu. Meskipun realitasnya sama seringkali terjadi perbedaan pemahaman terhadap realitas itu. Seperti pemahaman terdahap realitas 1

kemiskinan. Dalam melihat kemiskinan terjadi benyak perbedaan dalam memahaminya. Kemiskinan jika dipandang sebagi takdir ketentuan Allah yang mutlak tentunya tidak ada satupun kekuatan dari manusia yang dapat merubahnya kecuali Allah sendiri. Sebaliknya jika kemiskinan itu dipandang sebagai akibat dari adanya sitem kehidupan sosial ekonomi yang timpang maka tentunya dengan upaya keras manusia dapat merubahnya. Sedangkan penilaian kritis atas pemahaman manusia terhadap realitas adalah upaya menggugat keabsahan pemahaman itu, dengan harapan upaya realitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penilaian kritis ini diperlukan kejujuran intelektual, karena seringkali terjadi pemahaman manusia terhadap realitas merupakan opini yang dipengharuhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Opini adalah bukan fakta., bahkan seringkali terjadi opini tentang fakta yang nyata berbeda dengan faktanya sendiri, dan orang menjadi tertarik karena opini bukan faktanya sehingga tidak terjadi perubahan apaapa terhadap faktanya itu sendiri, meskipun fakta itu memerlukan perubahan. Berpikir adalah kegiatan yang sepenuhnya bebas. Barangkali tidak ada kebebasan yang penuh bagi manusia kecuali berpikir. Karena itu tidak ada satu kekuatan pun yang dapat secara effektif melarang atau menghentikan pikiran bekerja. Meskipun fisik manusia disiksa, pikirannya tetap dapat bekerja paling tidak untuk mencari jalan bagaimana cara menghindari siksaan itu, atau bagaimana agar siksaan itu tidak terasa sakit. Pikiran hanya dapat berhenti jika hidup manusia berhenti atau kehilangan kesadaran dirinya. Berpikir dapat dilakukan manusia, dimana pun dan kapan pun. Di samping itu manusia juga bebas untuk memikirkan apa saja, tidak ada yang haram untuk dipikirkan. Kotak-kotak pemikiran

terjadi, karena kotak-kotak budaya, terutama yang terjadi dalam proses pendidikan. Pendidikan yang terkotak-kotak akan melahirkan pemikiran yang terkotak-kotak pula dan akibatnya pemahaman terhadap realitas menjadi terkotak-kotak, sehingga realitas tidak dapat sepenuhnya dipandang secara utuh. Kegiatan berpikir adalah kegiatan yang otonom, bahkan berada di luar penilaian etik. Oleh karena itu, orang yang berpikir tentang perampokan tetapi tidak pernah melakukan perbuatan merampok, tidak dapat dituntut secara hukum di muka pengadilan. Demikian juga berpikir tentang kebebasan, bukan berarti pembebasan manusia dari segala ikatan atau norma-norma hukum tertentu. Jika ada yang mengikat berpikir, mungkin itu adalah hukum berpikir dalam pengertian metodologi serta obyek yang dipikirkan. Tidak ada satupun ayat Alquran yang melarang berpikir, bahkan sebaliknya Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berpikir, dinyatakan dalam surat 34: 46. Dalam Tafsir al-Takhr ar-Razi diterangkan bahwa ada dua hal yang penting dalam ayat ini, yaitu 1) kata wahidah yang mempunyai pengertian tauhid dan 2) kata tatafakaru yang arti berpikirlah. Tauhid adalah salah satu prinsip ajaran Alquran, sedangkan berpikir merupakan sarana untuk memahami dan mengembangkan prinsip ajaran tauhid dalam kehidupan. Prinsip ajaran tauhid ialah bahwa Tuhan adalah Esa, dan Yang Esa itu merupakan sumber semua kehidupan yang ada. Prinsip Tauhid ini bukanlah sekedar suatu keyakinan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang senantiasa harus diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim. Oleh karena itu, berpikir menjadi anjuran yang melekat dalam prinsip tauhid, karena tanpa berpikir ajaran tauhid itu tidak bisa dimengerti, apalagi diterapkan dalam kehidupan.

1

2. Qalbu Qalbu berasal dari kata qalaba yang bermakna berubah, berpindah atau berbalik. Qalaba mengalami beberapa perubahan bentuk seperti inqalaba dan qallaba namun artinya masih sama. Menurut Ibn Sayyidah, qalb jamaknya qulub, artinya hati. Al-Qalb mempunyai dua pengertian, yang pertama dalam pengertian kasar, atau fisik, yaitu segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri, di dalamnya terdapat rongga-rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber kehidupan dan seringkali dinamakan jantung. Sedangkan arti yang kedua adalah pengertian yang halus yang bersifat ketuhanan dan rohaniah yaitu hakekat manusia yang dapat menangkap segala pengertian, berpengetahuan dan arif. Qalbu memiliki kemampuan untuk mengetahui essensi segala sesuatu. Al Qalb dalam Alquran menurut Amir al-muminin Ali juga disebut sadr, fuad, lubb dan syagaf. Disebutkan dalam sebagai berikut: disebut sadr karena ia tempat terbitnya nurul Islam, dinyatakan dalam surat 39: 22. disebut fuad karena menjadi tempat terbitnya makrifat Allah, dinyatakan dalam surat 53: 11. disebut lubb karena menjadi terbitnya tauhid, dinyatakan dalam surat 65: 10. Disebut syagaf karena temapat terbitnya kecintaan makhluk kepada sesamanya, dinyatakan dalam surat 12: 30.

Dalam Alquran terdapat kurang lebih 101 ayat yang memjelaskan tentang kata benda al-qalb atau jamaknya al-qulub. Terbagi dalam beberapa persoalan sebagai berikut: 43 ayat dipakai dalam kaitannya dengan soal-soal keimanan, termasuk di dalam hal ini adalah ketidak berimanan, antara lain kufur, perbuatan dosa, dalam surat 49: 14,7. 9: 117,8,45,64,77,110. 22:32. 7:100,101. 15:12. 1

-

2:204,97,7,10,93. 8:24. 33:5. 45:23. 64:11. 26:194. 42:24. 4:155,63. 41:5. 59:10. 3:8,167. 5:41. 6: 46. 83:14. 10:88. 18:14. 16:22. 21:3. 61:5. 22:54. 23:63. 24:50. 58:22. 24 ayat dipakai dalam kaitannya dengan perasaan, baik ketakutan, kegelisaan, kegoncangan, harapan, ketenangan, dinyatakan dalam surat 33:26,5,26,51. 39:45. 79:7,9. 3:15, 159,126,103. 57:27. 24:37. 40:18. 16:106. 5:113. 8:2,10, 11,63. 9:15,60. 23:60. 33:5,26,51. 48:10. 59:14. 20 ayat dipakai dalam kaitan untuk menjelaskan sifat, seperti keteguhan, kesucian, kasar dan keras, serta kesombongan, dinyatakan dalam surat 22:53. 37:84. 40:35. 50:33. 3:159,154. 18:28. 28:10. 2:74,225,118. 6:43. 8:70. 33:54,53,4. 48:12,26. 49:3. 5 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk zikir, mengingat kekuasaan Allah, dinyakatan dalam surat 13:28. 50:37. 39:22,23. 57:16. 7 ayat dipakai dalam kaitannya dengan kemampuan al-qalb untuk memahami kebenaran dan kekuasaan Allah yang tersembunyi dibalik peristiwa-peristiwakemanusiaan, maupun dalam ayat-ayatNya (tanda-tanda), dinyatakan dalam surat 22:46. 7:179. 47:24. 6:25. 9:8,93,127. 3 ayat dipakai dalam kaitannya dengan akhirat, kehidupan sesudah mati, baik di sorga maupun di neraka, dinyatakan dalam surat 26:88,89. 34:23. 33:10.

-

-

-

-

-

Jadi, al-qalb dalam pengertian fisik adalah sesuatu yang ada di dalam dada (22: 46) yang sering disebut jantung. Akan tetapi di dalam pengertian non fisik, al-qalb adalah suatu kemampuan untuk memahami kebenaran-kebenaran yang bersifat metafisik, tanda1

tanda kekuasan Allah, makna dibalik kejadian kemanusiaan, dalam kehidupan di akhirat nanti. Al-qalb bukan pikiran, karena itu kata al-qalb dalam Alquran tidak pernah dipakai dalam kaitannya dengan pemikiran. Al-qalb sebagai kekuatan yang dapat memahami kebenaran metafisik, ia dalah bagian dari akal, karena itu dala Alquran al-qalb dalam aktivitasnya menggunakan kata kerja yaqiluna biha (22:46). Keduanya (pikiran dan qalbu) tumbuh dari akar yang sama dan masing-masing saling melengkapi. Yang satu menangkap kebenaran sepotong-potong dan yang lain menangkap keseluruhan. Yang satu memusatkan perhatiannya pada kebenaran sementara, dan yang lain dalam aspek kebenaran kekal. C. Kebebasan Akal Akal adalah daya rohani untuk memahami kebenaran, baik kebenaran yang bersifat mutlak maupun kebenaran yang bersifat relatif. Kebenaran mutlak adalah kebenaran Tuhan, yang bercermin melalui tanda-tanda-Nya, yang tersimpan dalam alam ciptaan-Nya dan tersurat dalam firman-firman-Nya, dalam kitab suci. Kebenaran reasltif adalah kebenaran sebagai hasil pemahaman manusia terhadap realitas sekitarnya yang berupa ilmu pengetahuan. Akal sebagai daya rohani pada dasarnya bebas, kebebasannya hampir mutlak, karena tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menghalangi akal bekerja. Akal sebagai daya rohani bersifat ketuhanan, karena pembicaraan tentang akal selalu berhubungan dengan dimensi pikir dan zikir. Akal adalah anugerah Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, akal harus digunakan agar ia tidak kehilangan kemanusiaannya. Akal yang tidak berfungsi mengakibatkan manusia jatuh pada kekuasaan hawa nafsu dan berarti kejatuhan

manusia, yang digambarkan Alquran lebih sesat dari pada binatang dinyatakan dalam surat 25: 43-44. Akal yang tidak berfungsi menjadikan qalbu manusia tertutup, sehingga manusia kehilangan kemampuan untuk memahami kebenaran sejati. Alquran menyatakan dalam surat 45: 23. Seseorang yang menggunkan akal adalah sesorang yang mampu menawan dan mengikat hawa nafsunya, dan hawa nafsu bisa diikat jika qalbu manusia selalu ingat pada kekuasaan Tuhan dinyatakan dalam surat 13: 28. Kebebasan akal merupakan prasyarat bagi kebudayaan, dan kebebasan akal ini dijamin penuh oleh Alquran. Hal ini terbukti tidak ada satu pun ayat dalam Alquran yang melarang manusia untuk menggunakan akalnya, sebaliknya banyak sekali ayat Alquran yang mengajurkan manusia menggunakan akalnya. Sesungguhnya tidak perlu ditakuti adanya kebebasan akal, sebaliknya harus ditakuti adanya ketidakbebasan akal, karena akal yang tidak bebas bekerja, dapat membawa seseorang dikuasai hawa nafsu,karena qalbunya melemah, sehingga ia dapat melupakan adanya kekuasaaan dan kebesaran Allah. Seorang yang dikuasai hawa nafsunya, akan melahirkan perbuatan yang dapat merusak kehidupan. 1. Mekanisme Akal. Akal sebagai daya rohani untuk memahami kebenaran, baik yang fisik maupun yang metafisik, yang mutlak dan yang relatif, bekerja melalui pikiran dan qalbu manusia. Pikiran untuk memahami yang baik dan yang relatif, sedangkan qalbu untuk memahami yang metafisik dan mutlak. Pikiran dan qalbu berhubungan secara organis dan keduanya bekerja pada batas-batas obyeknya dan pada tahapan dari pertumbuhannya. Batas-batas obyek dibawa oleh kodratnya, sedangkan batas-batas pertumbuhan dipengaruhi oleh proses belajar dan pengalaman 1

hidup. Batas-batas kodrat bersifat tetap, sedangkan batas-batas pertumbuhan bersifat dinamis dan oleh karena proses belajar terus menerus maka batas-batas pertumbuhan itu bergerak dan berkembang, sampai akhirnya pada waktu yang pasti, pada saat kematian tiba, batas pertumbuhan itupun berhenti. 2.. Obyek Pikiran Dalam Alquran terdapat enam belas (16) ayat tentang berpikir, dan dalam ayat-ayat tersebut terlihat bahwa yang menjadi obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Dari enam belas (16) ayat itu terbagai sebagai berikut: - Sembilan (9) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan manusia, dinyatakan dalam surat 30: 8. 2: 219, 266. 3: 191. 7: 176, 184. 39: 42. 34: 46. 6: 50. - Enam (6) ayat di antaranya dipakai untuk memikirkan alam ciptaan Tuhan, dinyatakan dalam surat 13: 3. 10:24. 45:13. 16: 11, 69. 3: 191. - Satu (1) ayat menjelaskan tentang pemikiran yang salah, dinyatakan dalam surat 74: 18-26. Secara jelas Alquran menerangkan bahwa abyek pemikiran adalah alam dan manusia serta yang berkaitan dengan kehidupan keduanya. Jika seseorang mencoba memikirkan di luar batas obyeknya, maka bisa mengakibatkan celaka. Contoh kesalahan itu seperti kesimpulan berpikir bahwa Alquran itu adalah sihir dan perkataan manusia pada umumnya dalam surat 74: 18-26. Dalam hubungan dengan pemikiran tentang alam, Alquran mengajurakan kepada manusia untuk memperhatikan proses penciptaan dalam alam, dinyatakan dalam surat 88:17-20. Dalam hubungan ini, Alquran menjelaskan tentang adanya prinsip-prinsip kebenaran di dalamnya, dinyatakan dalam surat 19: 5, 14: 19. 6:73.

Di samping itu, Alquran juga menandaskan adanya ukuran tertentu di dalamnya, dinyatakan dalam surat 25: 2. 54: 49.

1

Pemikiran tentang alam artinya adalah memperhatikan proses penciptaan dalam alam semesta, proses pertumbuhan, perkembangan dan juga kehancuran. Perhatian terhadap prosesproses penciptaan ini sangat penting bagi manusia sebagai khalifah di muka bumi, karena melalui pemikiran terhadap proses-proses penciptaan itu, ia dapat pula mempraktekkan dalam proses penciptaan alam kebudayaan. Sudah barang tentu kemampuan manusia menciptakan tidak sama dengan Tuhan, bahkan tidak selayaknya dibandingkan dengan Tuhan., karena memang derajat manusia dengan ciptaan Tuhan jauh lebih rendah dari Penciptanya. Akan tetapi pemahaman terdahap proses penciptaan alam semesta ini, mempunyai andil yang besar bagi penciptaan alam kebudayaan, karena penciptaan alam kebudayaan pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari alam semesta. Penciptaan Alam semesta akan selalu melibatkan dan tergantung pada alam semesta, paling tidak pada bahan yang dipakainya, serta ruang dan waktu, yang memungkinkan proses penciptaan itu berlangsung. Pemikiran terhadapa proses penciptaan dalam alam semesta, dimaksudkan agar manusia memahami prinsip-prinsip kebenaran yang ada di dalamnya. Melalui pemahaman terhadap prinsip-prinsip kebenaran yang ada dalam alam semesta ini, manusia dapat mengembangkan lebih jauh untuk penyusunan teori-teori dan untuk melakukan percobaan-percobaan. Melalui penyusunan teori dan percobaan-percobaan itu, proses penciptaan kebudayaan dapat dilaksanakan. Sedang pemikiran tentang manusia, Alquran mengajurkan kepada manusia untuk memperhatiakan proses penciptaan dirinya, dinyatakan dalam surat 86: 5-7. Dalam kaitan ini, manusia juga 1

dianjurkan untuk memperhatikan makanannya, dinyatakan dalam surat 80: 24-28. Setelah memperhatikan proses penciptaan dirinya, dan makanannya, maka manusia pun dinjurkan untuk memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu beserta akibat-akibatnya, dinyataka dalam surat 30: 9. Ajuran untuk memperhatikan proses kelahiran manusia, makanan serta sejarah merupakan anjuran yang sangat besar artinya bagi kelangsungan hidup generasi manusia. Memperhatikan proses penciptaan manusia memberikan pengetahuan yang bermanfaat untuk memahami susunan dirinya, sehingga manusia dapat memahami kekuatan-kekuatan yang dimilikinya serta kelemahankelemahannya sekaligus untuk merancang kehidupan selanjutnya., dengan program-program untuk meningkankan kualitas hidup manusia serta merencanakan untuk menciptakan hidup yang lebih baik. Dengan memperhatikan makanannya, manusia dapat memahami proses kelangsungan hidupnya serta mengatasi problema yang ditimbulkan oleh makanannya, baik yang sudah terserap dalam tubuhnya yang seringkali menimbulkan problem bagi kesehatannya, maupun untuk merencanakan penyediaan makanan yang harus mengikuti jumlah penduduk yang bertambah, sehingga kelangsungan hidup generasi manusia dapat dipertahankan. Selanjutnya pemikiran tentang sejarah, jatuh bangunya suatu bangsa merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan karena melalui pemikiran itu akan diketahui hukum-hukum perkembangan suatu masyarakat yang mengatur dan mempengaruhi proses perubahan masyarakat. Pemikiran terhadap manusia, baik sejak proses penciptaannya, makanannya dan sejarah perjalanan hidupnya, merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan, karena kebudayaan pada akhirnya akan ditentukan sepenuhnya oleh kualitas manusianya. Melalui pemahaman

histories, akan diperoleh kesadaran tentang perlunya strategi kebudayaan, sehingga kebudayaan sebagai suatu proses dapat diarahkan lebih manusiawi. Obyek pemikiran menurut Alquran adalah alam dan manusia dengan segala aspeknya. Dari pemikiran tentang alam dan manusia pada dasarnya diharapkan dapat diperoleh pengetahuan mengenai prinsip-prinsip kebenaran, untuk menyusun teori-teori dan percobaan-percobaan, yang kemudian berkembang dalam dunia ilmu alam dan humaniora. Dari dua kubu ilmu itu berkembang menjadi lebih banyak, dengan menekankan pada kajian aspekaspek tertentu yang lebih terbatas. Kesemuanya itu pada dasarnya mempunyai andil sangat besar bagi pertumbuhan dan kelangsungan kebudayaan suatu bangsa. Prinsip-prinsip kebenaran itu, pada akhirnya berkembang menjadi teori-teori dan perubahan yang terjadi dalam klehidupan alam dan manusia, pada gilirannya akan mengakibatkan adanya perubahan teori-teori. Tidak ada yang mutlak dalam teori-teori, dan teori apapun sebagai hasil pemikiran manusia sepenuhnya bersifat relatif, karena pikiran hanya berkerja dengan memecah realitas dalam fragmen-fragmen yang statis. Padahal realitas kehidupan alam dan manusia selalu berubah terus, yang mengharuskan adanya perubahan yang terus menerus. 3. Obyek Qalbu Dalam Alquran dijelaskan bahwa qalbu (al-qalb) mempunyai kemampuan untuk memahami atau menangkap makna-makna (22: 46 7:179. 47: 24). Selanjutnya Aqlquran menjelaskan bahwa obyek pemahaman qalbu adalah prinsip-prinsip yang mengatur jatuh bangunnya suatu bangsa atau hukum sejarah dan makna-makana yang tersurat dalam Alquran.dinyatakan dalam surat 22: 45-46. 1

-

Selanjutnya mengenai Alquran sebagai obyek pemahaman qalbu, dijelaskan dalam surat 47: 24. Alquran bagi qalbu tidak hanya sebagai obyek yang dipahami, tetapi juga menjadi obat bagi qalbu yang sakit. Dinyatakan dalam surat 10: 57. Alquran menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr. Dijelaskan dalam surat 38: 1 Alqurqn adalah menjadi obat bagi qalbu yang sakit, karena Alquran adalah zikr dan menurut Alquran qalbu akan tenang hanya dengan zikr. Dijelaskan dalam surat 13: 28.

hasil yang hendak dicapainya, sedangkan qalbu bekerja untuk memberikan wawasan batin, sehingga realitas kebudayaan itu tetap

Yang menjadi obyek qalbu adalah sejarah dan Alquran. Dalam sejarah terkandung peristiwa jatuh bangunnya bsuatu bangsa dan peristiwa-peristiwa tentang perubahan-perubahan yang mendasar, yang merubah wajah kehidupan manusia secara drastis. Sesungguhnya dibalik peristiwa-peristiwa sejarah itu, terkandung suatu hukum yang mengatur proses perubahan masyarakat. Hukumhukum itu berlaku pasti dan tidak berubah., dijelaskan dalam surat 35: 43. Sedangkan dalam memahami Alquran, seseorang kan memperoleh wawasan batin yang akan menuntunya ke jalan yang benar dan lurus. Alquran memberikan pedoman dan tuntunan moral bagi kehidupan manusia. Dijelaskan dalam surat 17: 9 Pikiran dan qalbu dalam pandangan tauhid adalah merupakan kesatuan mekanisme akal, keduanya merupakan sarana untuk memahami kebenaran. Sebagai kesatuan antara keduanya sesungguhnya tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi mata uang, pemisahan keduanya akan mengakibatkan seseorang tidak dapat memahami realitas secara utuh. Strategi pembentukan kebudayaan adalah didasarkan pada kesatuan pikiran dan qalbu dalam perbuatan. Pikiran bekerja untuk menyusun konsep, membuat rencana kerja dan merumuskan tujuan-tujuan atau 1

berada dalam kerangka moral dan untuk tujuan-tujuan moral, sebagai manifestasi dari perpanjangan kuasa Ilahi. D. Hakekat Manusia Berbicara tentang hakekat manusia pada dasarnya membicarakan tentang pokok soal yang bersifat radikal, yaitu berusaha menemukan akar pengertian tentang manusia, yang mungkin saja melewati batas-batas pengertian yang hanya menekankan pada salah satu aspek kehidupannya, seperti yang terdapat dalam kajian berbagai disiplin ilmu, umpamanya antropologi, sosiologi, dan psikologi. Hakekat manusia adalah sesuatu yang amat vital yang menentukan kehidupannya di tengah kancah perubahan masyarakat. Dengan demikian, pencarian tentang hakekat manusia tidak bisa hanya terpaku pada pemikiran tentang sesuatu yang menjadi unsur pokok yang menentukan dirinya, seperti dalam pandang serba materi (materialisme) yang menetapkan materi sebagai unsur pokok yang menentukan kehuidupan manusia. Sebaliknya dalam pandangan serba ruh (spiritualisme) menetapkan rohaniah sebagai unsur pokok yang menentukan kehidupan manusia. Pandangan yang melacak unsur pokok pada asal mula adanya manusia dapat mengakibatkan terbaikan aspek dinamik dalam realitas kehidupan. Di samping itu, pencarian tentanh hakekat manusia tidaklah cukup hanya berhenti pada pandangan untuk menjelaskan tentang unsur pokok yang secara internal ada dalam dirinya ataupun pada apa yang dimilikinya yang sesungguhnya bersifat eksternal. Hakekat manusia tidak tergantung oleh keadaan-keadaan dari luar, hal itu semata-mata tergantung pada nilai yang diberikannya pada dirinya sendiri. Kekayaan, pangkat, perbedaan sosial, bahkan kesehatan atau kepandaian semuanya tidak pokok. Satu-satunya persoalan 1

adalah kecenderungan sikap yang terdalam pada jiwa, dan prinsip yang terdalam ini tidak dapat dihancurkan. Untuk itu diperlukan suatu sandaran pemikiran yang lebih mendasar, guna memahami dan menentukan hakekat manusia itu, suatu sandaran yang dapat membawa ke arah pemahaman yang lebih mendasar, suatu sandaran yang berada pada tingkat lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia. Sandaran yang lebih kuat dan jauh lebih tinggi dari hasil pemikiran manusia itu, tidak lain adalah firman-firman Tuhan (wahyu Ilahi). Sandaran wahyu ini kiranya sangat diperlukan, karena keterbatasan pemikiran manusia untuk memahami hakekat dirinya, mengingatkan manusia secara individual tidak pernah terlibat sedikitpun dalam proses penciptaan dirinya, ia lahir dari suatu proses yang berada di luar kekuasaan dirinya, ia adalah sebuah ciptaan belaka. Dengan sandaran kepada wahyu Ilahi yang tersurat dalam kitab suci dalam hal ini adalah Alquran, maka manusia diharapkan dapat memahami hakikat dirinya melalui petunjuk Tuhan yang menciptakannya. Pengetahuan yang paling lengkap dan benar tentang sebuah ciptaan adalah yang datang dari Penciptanya, karena dialah yang paling tahu tentang makna-makna dan keberadaan sebuah ciptaan. Alquran tentang Hakikat Manusia Alquran menegaskan bahwa yang dilihat pada manusia tidak lain hanyalah amal perbuatannya, atau pekerjaannya, dinyatakan dalam surat 9: 195. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa apa yang dikerjakan manusia adalah yang menentukan eksistensinya, baik dihadapan Tuhan, Rasul-Nya maupun bagi orang-orang yang beriman. Pekerjaan atau tindakan manusia merupakan perwujudan sepenuhnya dari dirinya, mewakili citra dirinya dan menjadi ukuran untuk menilai dirinya. Alquran menyatakan dalam surat 39: 39-40. Ayat ini menjelaskan tentang perbuatan dalam kaitannya dengan realitas sosial, dimana dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat

perbedaan tingkat kehidupan, yang tercermin dalam berbagai kedudukan sosial sesorang yang satu berbeda dengan yang lainnya. Dalam kaitan ini, Alquran menganjurkan kepada manusia untuk berbuat sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, ini berarti Alquran di samping mengakui adanya perbedaan tingkat kedudukan sosial seseorang, juga menyatakan bahwa setiap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat itu menuntut suatu kualitas perbuatan yang sesuai dengan kedudukannya. Pada ayat lain Alquran menyatakan dalam surat 17: 84. Ayat ini menjelaskan kaitannya perbuatan manusia dengan kemampuan yang dimilikinya. Dalam kehidupan masyarakat terdapat perbedaan kemampuan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan kemampuan perempuan untuk melahirkan anak, atau oleh perbedaan tingkat pendidikan dalam lingkungan kebudayaan, seperti seorang arsitek yang dapat merancang suatu konstruksi bangunan yang berbeda dengan seorang ekonom yang hanya mampu merancang suatu bidang kegiatan ekonomi. Anjuran Alquran untuk berbuat sesuai dengan kemampuan pada dasarnya dapat dianggap sebagai anjuran yang bermakna etik, karena seseorang yang berbuat tidak sesuai dengan kemampuannya, seringkali berakibat mencelakakan diri sendiri. Seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat, bahwa seseorang menderita oleh pekerjaannya, bahkan nyaris jatuh total, dan hal ini sering disebabkan oleh ketidaktahuan atas kemampuannya atau memaksakan diri untuk berbuat di luar kemampuannya. Selanjut nya Alquran mengatakan dalam surat 11:7. 18:17,30. 67: 2. Ayat ini sekali lagi menegaskan betapa pentingnya arti amal bagi kehidupan manusia di dunia ini, karena kehidupan ini sesungguhnya menjadi kancah manusia diuji amal perbuatannya. Lulus tidaknya dalam ujian ini, sepenuhnya ditentukan oleh kualitas amal perbuatannya. Selanjutnya Alquran menyatakan dalam surat 41: 40. 1

Dalam hubungan dengan ujian terhadap amal perbuatan manusia, Alquran menegaskan adanya kebebasan untuk berbuat. Tanpa adanya kebebasan tentunya ujian terhadap amal perbuatan itu menjadi tidak bermakna. Oleh karena itu, amal perbuatan manusia pada hakikatnya manusia sendiri yang sepenuhnya menentukan, dan tidak ada campur tangan Tuhan sedikitpun di dalamnya, karena jika ada campur tangan Tuhan dalam amal perbuatan manusia, maka tentunya amal perbuatan itu tidak hanya menjadi ujian bagi manusia itu sendiri. Di atas kebebasan itu, diletakkan tanggung jawab agar kebebasan itu tidak berarti kesewenang-wenangan atas amal perbuatan manusia, Alquran menyatakan dalam surat 24: 23-25. Bentuk pertanggung jawaban itu adalah balasan yang setimpal dan adil sesuai dengan kualitas amal perbuatan manusia, yang akan diberikan Tuhan kepada manusia yang diuji amal perbuatannya. Kebebasan itu tidaklah dapat dipisahkan dengan tanggung jawab, dengan kata lain kebebasan amal perbuatan manusia itu tidak dapat dipisahkan dengan nilai moral yang memberikan penghargaan tinggi terhadap adanya tanggung jawab, dinyatakan dalam surat 18: 110. Ayat ini menegaskan posisi Alquran yang berpihak untuk menegakkan hukum moral, sehingga Tuhan hanya dapat ditemui dengan sarana amal perbuatan yang baik. Dengan demikian, pertemuan dengan Tuhan hanya dapat dilakukan dengan amal perbuatan nyata yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Amal ialah al-fi-il artinya pekerjaan atau al-mihnah artinya pengabdian. Kadang-kadang dibedakan antara amal dan Itimal, amal dikatakan sebagai aktivitas yang tidak terkait dengan kepentingan diri sendiri, sedangkan itimal adalah aktifitas yang terkait dengan kepentingan diri sendiri. Menurut Ibn Atsir jika kata amal yang berkedudukan sebagai fiil dibaca ammala maka bermakna walla artinya menguasai atau menjadikan sesuatu. Dalam Tafsir al-Fakhr ar-Razi dikatakan bahwa apa yang disebut amal mempunyai dua bagian, yaitu 1) amal al-qalb yaitu

pekerjaan qalbu, seperti berpikir, berkehendak dan membenci, dan 2) amal al-jawarih, yaitu pekerjaan dari anggota tubuh manusia

1

yang nampak dalam gerak atau diam. Jadi, amal pada dasarnya dapat dipandang dari dua tahap yaitu tahap gagasan (pemikiran dan kesadaran) dan tahap gerak tubuh yang melahirkan tindakan konkrit dalam realitas kehidupan. Kesatuan dari gagasan dan tindakan dalam realitas kehidupan dapat dipandang sebagai proses pembentukan suatu kebudayaan. Pada tahap kesatuan gagasan dan aktualitasnya terdapat kaitaan dengan nilai etik. Oleh karena itu, tindakan yang tidak didasarkan pada kesadaran berpikir sesungguhnya tidak dapat dinilai secara etik. Dari ayat-ayat tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam pandangan Alquran, amal perbuatanlah yang menentukan arti hidup manusia, baik di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Pada amal perbuatan manusia inilah terletak hakikat manusia, bukan pada unsur pokok yang membentuk dirinya yaitu jasadnya hayat, ruh. Amal dalam pandangan Alquran mempunyai arti yang amat luas, yang menyakut berbagai aspek kehidupan manusia di dunia ini dan bukan semata-mata kegiatan peribadatan formal seperti yang diatur dalam kehidupan keagamaan. Amal dalam hubungan ini adalah merupakan wujud penjelmaan kesatuan diri (nafs) kesatuan jasad, hayat ruh, yang menjelma menjadi perbuatan nyata, yaitu perbuatan nyata dari manusia yang menjadi hamba Allah (abd Allah) yang bertugas membentuk kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fil al-ardhi). Pandangan tauhid Alquran dalam konsep antropologi adalah terletak dalam pandangannya atas kesatuan manusia dalam diri yang disebut Alquran dengan kata nafs, kesatuan diri dari unsur-unsur jasad, hayat, ruh. Kesatuan diri itu terjelma dalam amal perbuatan, amal perbuatan nyata yang merupakan wujud dari kesatuan kedudukan manusia sebagai hamba Allah (abd Allah) yang bertugas 1

menciptakan kebudayaan di muka bumi (khalifah Allah fil alardhi). Manifestasi amal perbuatan seorang hamba Allah (abd Allah) adalah ketaatan dan kepatuhannya yang ikhlas atas perintah-perintah Allah, kepada hukum-hukum Allah yang mengatur semua ciptaanNya, yang menjadi sunnah Allah, dan ketulusannya beribadah kepada-Nya, yang secara formal diatur dalam kehidupan keagamaan. Sedangkan manifestasi amal perbuatan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi adalah ketekunannya mengembangkan konsep-konsep dalam realitas kebudayaan dalam kehidupan masyarakat. Amal dalam kaitannya dengan kebudayaan adalah merupakan lapangan kegiatan yang amat luas. Hakikat manusia adalah amalnya, karyanya, dan dalam karyanya terjelam nilai-nilai kemanusiaannya. Manusia menampakkan dirinya secara nyata dalam karyanya, dalam wujud kebudayaan. Kebudayaan sebagai penjelmaan kesatuan eksistensi diri manusia hamba Allah (abd Allah) adalah karya nyata dari manusia sebagai kalifah Allah di muka bumi. Dalam karyanya, totalitas diri (jasad, hayat, dan ruh) manusia menyatu secara nyata dan dinamis. Melalui karyanya, kualitas kemanusiaan akan dilihat oleh Allah dan utusan-Nya serta orang-orang yang beriman dalam surat 9: 105. Hanya melalui karyanya yang baik, diri manusia akan dapat menemui Tuhannya dalam surat 18: 110.

KONSEPSI TUHAN DALAM ISLAM Ketika seseorang mulai menyadari eksistensi dirinya, maka timbullah tanda tanya dalam hatinya sendiri tentang banyak hal, di dalam lubuk hati yang terdalam, memancar kecenderungan untuk ingin tahu berbagai rahasia yang masih merupakan misteri yang terselubung. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain, dari mana saya ini, mengapa saya tiba-tiba ada, hendak kemana saya. Dari arus pertanyaan yang mengalir dalam bisikan lubuk yang terdalam, terdapat suatu cetusan yang mempertanyakan tentang Penguasa tertinggi alam raya ini yang harus dijawab. Ketika pandangan diarahkan ke lazuardi biru, maka hatipun bergetar, siapa yang menata langit dan membangunnya sedemikian kekar dan indah. Ketika malam kelam, langit dihiasi dengan cahaya bintang, mengalirlah perasaan romantis mengagumkan. Tetapi di balik kekaguman akan romantika itu, hati mencoba menelusuri siapa Dia yang menempatkan letak-letak bintang yang begitu permai, serasi dan memukau. Tatkala seseorang beranjak lebih dewasa dan mengenyam lebih banyak pengalaman, maka kecenderungan untuk ingin tahu itu lebih keras lagi. Nampak kian banyak misteri yang terselubung di balik kehidupan ini. Banyak keinginan tidak selamanya terpenuhi. Sebaliknya banyak kejadian yang mendadak tak diduga sebelumnya, maka siapakah penguasa di balik iradah dan kemampuan insan yang terbatas ini. Pada tahap ini, bukan saja naluri yang bergolak tetapi otak dan logika mulai main untuk membentuk pengertian dan mengambil kesimpulan tentang adanya Tuhan. Demikianlah fitrah manusia bergolak mencari dan merindukan Tuhan, mulai dari bentuk yang dangkal dan bersahaja berupa perasaan sampai ke tingkat yang lebih tinggi berupa penggunaan akal. 1

Boleh jadi fitrah ini sekali-kali tertutup kabut kegelapan sehingga nampak manusia tidak mau tahu siapa penciptanya, namun kekuatan fitrah ini tidak dapat dihapuskan samasekali. Dia sewaktu-waktu muncul kepermukaan lautan kesadaran memanifestasikan kecenderungannya merindukan Tuhannya yang begitu lembut. Pengertian dan pemahaman manusia tentang Tuhan akan memberikan corak kepada perilaku dalam hidup beragama dan berbangsa. Kedangkalan dan kekeliruan dalam memahami konsep ketuhanan akan membawa akibat pula kepada kehidupan beragama dan bernegara. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengertian yang lebih mendasar, agar dapat dibedakan secara filosofis. Dalam ajaran Islam, pemahaman tentang Tuhan ini berawal dari pernyataan umat Islam tentang dua kalimah syahadat, yang pernah diungkap ketika seseorang menyatakan dirinya Islam. Karena itu, setiap umat Islam sangat perlu memahami dua kalimah syahadat secara filosofis, karena semua persoalan aktivitas kehidupan umat Islam tidak dapat dilepaskan dari dua kalimah Syahadat ini.. A. Makna Dua Kalimah Syahadat Dua kalimah syahadat merupakan pernyataan dasar seseorang untuk masuk ke dalam Islam. Dalam ajaran Islam, pernyataan ini diucapkan ketika seseorang sudah sampai masa baliq (kedewasaan) dengan tanda, bagi laki-laki apabila telah mengalami mimpi mengeluarkan sperma (mani) dari kemaluannya, sedangkan bagi wanita apabila telah mengalami haid (cairan darah) dari kemaluannya. Menurut medis kedewasaan seseorang secara biologis diperkirakan, bagi laki-laki pada umur + antara 12 15 tahun dan bagi wanita + antara 9 13 tahun apabila dalam pertumbuhan biologis yang sehat.

Ketika seseorang telah mengalami kedewasaan sebagaimana diungkap di atas, maka peran orang tua untuk mengajarkan dua

1

kalimah syhadat tersebut, sebagai suatu pernyataan untuk menyatakan bahwa seseorang telah berada (masuk) dalam Islam. Ini bukan berarti bahwa sebelum seseorang itu dewasa tidak diajarkan dua kalimah syahadat tersebut, jika seseorang berasal dari keluarga Islam. Dua kalimah syahadat ini perlu dipahami oleh siapapun yang telah masuk dalam Islam, karena kalimah syahadat ini merupakan titik tolak awal dalam memahami Allah. Dalam memahami dua kalimah syahadat ini, tidak cukup hanya mengetahui arti dari kalimah tersebut tanpa menganalisanya lebih lanjut, ada beberapa pertanyaan yang perlu dikemukakan untuk memperjelas dasar keyakinan seseorang. Pertama, mengapa kata illah dinyatakan di dalam kalimah syahadat tersebut? Kedua, mengapa kalimah syahadat itu tidak langsung saja menyatakan kata Allah? Ketiga Mengapa hanaya nama Rasul Muhammmad Saw saja yang dinyatakan dalam kalimah syahadat? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu diuraikan terlebih dahulu tentang pengertian illah dalam dua kalimah syahadat ini, yang sering kata illah diterjemahakan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata Tuhan. 1. Pengertian Tentang Tuhan Dalam bahasa Inggris kata Tuhan disebut God, antara lain diartikan dengan the creator and ruller of the univers (pencipta dan penguasa alam semesta) atau any being regarded as or worshipped as happing power over nature and control over human affairs (sesuatu yang dipuja atau di sembah karena melebihi kekuatan alam dan menguasai aktivitas manusia) Dalam bahasa Arab, kata Tuhan dinyatakan dengan kata rabbun yang artinya pembimbing atau ilaahun yang artinya gerakan atau dorongan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata Tuhan diartikan sesuatu yang diyakini dipuja disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. 1

Kata Tuhan merupakan bahasa yang digunakan oleh bangsa Indonesia untuk mengungkapkan sesuatu yang diyakini dipuja dan disembah oleh manusia sebagai Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa. Asal usul kata Tuhan ini, hingga saat ini belum dapat diketahui dengan pasti, dari mana kata tersebut berasal. Namun setiap bangsa Indonesia sudah dapat memahami apa yang dimaksud kata Tuhan tersebut. Menurut Ibnu Taimiyah memberikan pengertian Tuhan (Al Ilah) ialah yang dipuja dengan penuh kecintaan hati; tunduk kepadanya, merendahkan diri dihadapannya, takun dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah kita berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan dari padanya, menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa Tuhan itu dapat berbentuk apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Ini berarti bahwa sesuatu yang diyakini oleh manusia apapun bentuknya, jika menjadi suatu yang dipentingkan, maka telah menjadikan sesuatu itu Tuhan. Oleh karena itu, jika diambil suatu kesimpulan, maka tidak ada manusia di atas dunia ini yang tidak mempunyai Tuhan. Namun persepsi setiap manusia memungkin kan terjadinya tanggapan dan pandangan tentang Tuhan yang berbedabeda sesuai dengan tahap pemikirannya. 2. Prosees Pemahaman Tentang Tuhan Dalam literature sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yang berarti suatu teori yang menyatakan adanya sebuah proses dari suatu keyakinan yang amat sederhana hingga meningkat menjadi lebih sempurna. Menurut teori Evolusionisme dalam proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan ini adalah sebagai berikut:

1. Dinamisme Kata dinamisme berasal dari kata dinamo, yang berarti bergerak atau bangkit. Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif, telah mengakui adanya suatu kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda itu mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang berpengaruh positif dan apa pula berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada benda-benda itu disebut dengan nama yang berbeda -beda pada setiap tempat, seperti mana dari yang lainnya, dianggap mempunyai Mana yang hebat. Contohnya, pohon-pohon yang besarnya melebihi pohon yang besar lainnya, maka pohon itu mempunyai Mana yang hebat pula. Orang yang usia, kekuatan dan keberaniannya luar biasa juga dianggap mempunyai Mana yang luar biasa. Benda-benda yang mempunyai Mana yang lebih dan yang lainnya disebut fetesy atau jimat (melanesia), Tuah (melayu), Syakti (India) dan Kami dalam bahasa Jepang.. Mana adalah kekuatan yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan pancaindera dan oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun Mana itu tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya. Sesuatu yang mempunyai kekuatan dari yang lainnya, dianggap mempunyai Mana yang hebat. Contohnya, pohon-pohon yang besarnya melebihi pohon yang besar lainnya, maka pohon itu mempunyai Mana yang hebat pula. Orang yang usia, kekuatan dan keberaniannya luar biasa juga dianggap mempunyai Mana yang luar biasa. Benda-benda yang mempunyai Mana yang lebih dan yang lainnya disebut fetesy atau jimat. Untuk memperoleh ketenangan hidup dan agar terhindar dari gangguan Mana yang lain yang membahayakan, manusia harus .berusaha mengumpulkan Mana sebanyak-banyaknya. Orng yang 1

memliki Mana yang lebih dari orang lain, biasanya dijadikan tokoh, Dukun-dukun, tukang sihir dan sejenis dengannya, akan menjadi sanjungan dalam masyarakat rimitif. Dia akan dikunjungi oleh orang-orang untuk berobat, meminta advis dan minta bendabenda tertentu sebagai jimat. 2. Animisme Animisme berasal dari kata yang berarti jiwa dan roh. Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, apakah benda itu mati atau hidup, mempunyai roh (roh dalam uraian ini tidak sama dengan pengertian roh dalam Islam). Oleh masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang akatif sekalipun bendanya hidup, mempunyai rasa senang dan rasa tidk senang serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh itu akan senang apabila keutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan nya ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut haruslah diusahakan untuk memenuhi atau menyediakan kebutuhankebutuhannya. Saji-sajian yang sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh itu. Benda-benda yang ditakuti rohnya ialah benda yang dianggap mempunyai kekuatan atau Mana yang hebat. Jika menurut nasehat dukun, suatu roh harus mendapatkan perlakuan tertentu, kemudian seseorang tidak melaksanakannya, maka ia akan dihantui oleh perasaan was-was dan takut. Jika menurut dukun, roh A pada hari Jumat Kliwon, misalnya memerlukan sajian nasi kuning, maka seseorang tidak dapat membantah kecuali menurutinya. Jika dukun menasehati cukup dengan air putih, maka cukuplah dengan air putih saja. Pada masyarakat primitif, roh nenek moyang, benda-benda, binatang-binatang dan pohon-pohon yang dipandang mempunyai

roh, akan disanjung, dihormati dan disembah agar dapat menolong dan membantunya. Ikatan manusia dengan hal-hal tersebut di atas

1

baik lahir maupun batinnya amat kuat. Itulah sebabnya pada masayarakat ini terjadi penyembahan-penyembahan terhadap patung, pohon besar, binatang tertentu, laut apai dan lain-lain. 3. Politteisme Kepercayaan yang disebut dinamisme yang sebenarnya bersamaan dengan kepercayaan animisme, lama-lama dinyatakan tidak memberi kepuasan, mengingat terlalu banyaknya yang menjadi sanjungan dan pujaan mereka. Roh yang lebih dari yang lain itu kemudian disebut dewa. Dewa itu mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya. Nama atau sebutan dewadewa tersebut berbeda-beda pada masing-masing bangsa. Dewa cahaya, di Babilonia disebut Syam, di Mesir disebut Ra dan di dalam agama Weda disebut dewa Indra, sementara di Jerman disebut Thor atau Donnar. Dalam kepercayaan semula antara satu dewa dengan dewa yang lain mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat. Lambat laun, dianggap hanya ada satu dewa yang mempunyai kelebihan dari dewa yang lain, meskipun dewa-dewa yang ada dibawahnya tetap mempunyai pengaruh. Pada agama weda misalnya, ada tiga, dewa Indra, dewa Mitra dan dewa Worouna yang masing-masing membidangi alam, cahaya dan ketertiban alam. Ketiga dewa tersebut membawahi dewa lainnya seperti Ani (api), Soma ( minuman), Pertiwi (bumi) dan lain sebagainya. Kepercayaan terhadap tiga dewa senior tersebut dikenal dengan istilah trimurti (tiga sembahan). Sedangkan dalam agama Hindu trimurti adalah Brhama, Syiwa, dan Wisnu. Di samping trimurti, dikenal pula adanya konsep tritunggal (trinitas) pada agama kristen yang diartikan Tuhan itu ialah Allah 1

Bapak, Yesus dan Roh Kudus. Ketiga Tuhan itu adalah satu jua adanya. 4. Henoteisme Perkembangan dari politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendikiawan dari satu masyarakat. Oleh karena itu, dari dewa-dewa yang diakui, diadakan seleksi karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Mesti ada satu yang melebihi yang lainnya. Di dalam agama Yunani kuno misalnya, dewa Zeus sudah tentu lebih dimuliakan dari dewa-dewa dibahwanya. Dalam proses waktu, kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih defenitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui ada satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun masih mengakui Tuhan (ilah) dari bangsa lain. Bangsa Yahudi yang ada di Mesi, meskipun telah mengakui Elohim sebagai Tuhannya, namun masih mengakui Ra sebagai Dewa bangsa Mesir. Kepercayaan semacam ini yaitu satu Tuhan untuk satu Bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional). 5. Monoteisme Mernurut teori evolusi perkembangan terakhir dari proses pemahaman ketuhanan ini adalah monoteisme. Kata mono dalam bahasa Yunani diartikan satu, dan teisme dalam bahasaYunani disebut Theus diartikan Tuhan. Jadi monoteisme dapat diberi pengertian keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Ada bermacam-macam bentuk keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai berikut : Monoteisme Praktis adalah suatu keyakinan yang tidak mengingkari dewa-dewa lain, tapi hanya satu Tuhan saja yang diarah dan dipuja.

-

Monoteisme Spekulatif adalah suastu keyakinan yang terbentuk karena bermacam-macam gambaran Dewa-dewa lebur menjadi satu gambaran, yang akhirnya dianggap sebagai satu-satunya Dewa. Monoteisme Teoritis adalah suatu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tapi dalam prakteknya lebih dari satu Tuhan Monoteisme Murni adalah suatu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa baik dalam jumlah, sifat dan perbuatan. Tuhan memiliki sifat satu-satunya, tidak ada duanya. Tiap sifat yang ditemukan pada alam, bukan sifat Tuhan. Tiap bentuk dan rupa yang ditemukandalam alam (termasuk dalam alamimajinasi pikiran manusia), bukan bentuk dan rupa Tuhan

-

-

Monoteisme murni jika di-Indonesiakan dapat disebut dengan Keesaan Tuhan. Islam mengistilahakannya dengan Tauhid (mengesakan). Tuhan Yang Maha Esa itu tidak mungkin ditemukan oleh pikiran manusia, hanya mungkin dihayati dengan hati. Satusatunya yang menganut monoteisme murni diantara filsafat dan agama-agama di dunia sekarang, hanyalah Islam. Islam menyakini Monoteisme murni bukan produk pikiran atau hasil perkembangan pikiran, tapi adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Esa sendiri melalui Utusan-Nya. Dengan demikian ujud keyakinan seperti ini sangant berlawanan dengan teori ilmu. 3. Tuhan dalam Al Quran Menurut Fazlur Rahman dalam bukunya Tema-tema Pokok Alquran menyatakan bahwa Alquran adalah sebuah dokumen untuk ummat manusia. Bahkan kitab ini sendiri menamakan dirinya petunjuk bagi manusia (huddal lin-nas) dalam surat 2: 185 dan berbagai julukan lain yang senanda di dalam ayat-ayat yang lain. Perkataan Allah adalah nama Tuhan yang sesungguhnya, lebih dari 2500 1

kali disebutkan di dalam Alquran (Tidak terhitung dengan kata arRabb, ar-Rahman). Dalam bahasa Alquran kata Tuhan disebut ilah, kata ilah diungkap dalam Alquran sebanyak 113 kali dalam bentuk tunggal (ilaahun), dalm bentuk ganda (munthanna, ilaahaini) dan dalam bentuk banyak atau jamak (aalihatun). dengan rincian: 80 kali disebutilaha, ilahin, ilahun dalam surat 2:133,163,255. 3:2,6,18,18. 4:87. 6: 102,106. 7:158. 9:31,129. 10:90. 11:14. 13:30. 16:2. 20:8, 14, 98. 21:25,87. 23:116. 27:26. 28:70,88. 35:3 37:35. 39:6. 40:3,62. 59:22,23. 64:13. 73:9. 3:62. 5:73. 7:59,65,73,85. 11:50,61,84. 23:23,32, 91,91. 28:38,38. 38:65. 40:37. 114:3. 2:163. 4:171. 5:73. 6:19,46. 14:52. 16: 22,51. 18:110. 20:88. 21:29, 108 22:34. 27:60,61 , 62,63, 64. 28:71,72. 41:6. 43:84,84, 52:43. 2 kali dinyatakan ilahahu, dalam surat 25:43. 45:23 2 kali disebut ilahaka,ilahikadalam surat 2:133. 20:97 10 kali diungkap ilahakum, ilahukum dalam surat 37:4. 2:163. 16:22. 18:110. 20:88,98. 21:108. 22:43 29:46. 41: 16 kali disebut ilahan dalam surat 2:133. 7:138, 140. 9:31. 15:96. 17:22,39. 18:14. 23:117. 25:68. 26:29,