Bukti Neolib

download Bukti Neolib

of 39

Transcript of Bukti Neolib

Gerakan Anti SBY Bukti SBY Neoliberal; Zona Perdagangan Bebas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Diberlakukan Oleh: Salamuddin Daeng

BERDIKARI ONLINE, Jakarta: Setelah disahkannya undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang merupakan landasan bagi penyerahan bulat-bulat kekayaan alam Indonesia kepada investasi asing, ternyata dalam lima tahun masa pemerintahan SBY tidak terjadi arus investasi yang berarti yang masuk ke Indonesia seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Padahal, lahirnya UUPM tersebut telah memicu kontroversi dan reaksi banyak pihak baik dari kalangan DPR maupun masyarakat sipil, dikarenakan watak undangundang yang sangat liberal dan pro pada modal asing. Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan salah satu pasal tentang hak pengusasaan atas tanah selama 95 tahun karena dinilai melanggar UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Belum pernah sepanjang sejarah tanah di Negara ini dapat dikuasasi asing dalam tempo yang begitu lama, bahkan di jaman Hindia Belanda sekalipun. Bahkan usia Negara ini pun baru 63 tahun, ini tentu kemerdekaan yang lain yang diserahkan oleh konstitusi kita kepada modal besar asing. Rendahnya arus investasi memang disebabkan oleh kondisi ekonomi dunia yang tengah dilanda kemelut. Krisis ekonomi yang melanda dunia sejak tahun 2007, dan mencapai puncak pada tahun 2008, adalah sesuatu yang berkontribusi terhadap semakin melamahnya foreign direct investmen (FDI) di banyak negara di dunia. Pada umumnya, negara yang menjadi sumber FDI adalah negara maju, tetapi kini lebih memfokuskan pada masalah internal mereka, bahkan anggaran negara, cadangan devisa diarahkan untuk menginjeksi perbankan yang mengalami kebangkrutan dan bursa-bursa saham yang ambruk akibat krisis keuangan. Tampaknya pada masa mendatang, negara-negara maju AS, Jepang, EU akan lebih memfokuskan pemulihan ekonominya pada upaya untuk memperbaiki kondisi internal dengan berbagai cara, termasuk mengurangi investasi luar negeri. Dengan investasi yang sudah ada, khususnya di Indonesia, Negara-negara tersebut telah memperoleh sebagian besar dari sumber daya alam yang mereka butuhkan. Selain itu, kebijakan perlindungan dan proteksi ekonomi akan mewarnai kebijakan nasional negara-negara maju untuk menyelamatkan industri dan produk mereka dari pesaing global. Akan tetapi, Pemerintah Indonesia tampaknya kurang menyadari hal ini, sehingga sangat terkesan ngotot merangsang FDI dengan berbagai instrument liberalisasi dan pembukaan ekonomi dalam negeri untuk penanaman modal. Namun, berbagai fasilitas dan insentif terus disediakan bagi penananam modal agar terangsang menginvestasikan capital mereka di Indonesia. Fasilitas tesebut disertai dengan aturan-aturan perdagangan yang memudahkan arus masuk dan keluar uang, barang dan tenaga kerja dari Indonesia. Indonesia tampaknya menjadi pendukung utama liberalisasi ekonomi melalui WTO. Setelah WTO gagal dan mengalami kebuntuan dikarenakan penolakan negaranegara seperti India, China, dll. Indonesia malah bergerak lebih maju menjalin kesepakatan perdagangan bebas melalui Free Trade Agreement (FTA). Saat ini, Indoesia sangat aktif dalam mengkonsolidasikan ASEAN dalam rangka menjalin FTA dengan negara-negara maju seperti Jepang, Uni Eropa, China, Korea, Australia, New Zeland, AS dll. Pemerintah tidak mau membuka mata untuk melihat bagaimana perdagangan dan FDI di Indonesia yang menguras sumber-sumber strategis yang dimiliki negara ini mulai dari hasil hutan, perkebunan, minyak, gas, mineral dan bahan tambang lainnya termasuk tanah, pasir dan bahkan air. Hingga saat ini luas wilayah Indonesia yang diserakan untuk kegiatan FDI mencapai 175 juta hektar atau setara dengan 91 % luas daratan Indonesia untuk investasi sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Belum termasuk wilayah-wilayah laut kita yang telah diserahkan untuk FDI di bidang perikanan. Fasilitas Lebih Luas dari WTO dan FTA Setelah sebelumnya memberikan fasilitas dan insentif yang sangat luas dalam bidang penanaman modal sebagaimana diatur dalam UUPM, pemerintah kembali mencoba menciptakan berbagai aturan hukum sebagi insentif plus melalui berbagai peraturan tentang kawasan ekonomi khusus (KEK). Rancangan UU tentang KEK telah diajukan pemerintah sejak desember 2008 dan diharapkan rampung pada tahun 2009. Jika membaca seluruh isi RUU tersebut maka tergambar bahwa aturan ini pada intinya adalah fasilitas tambahan untuk penanaman modal di kawasan tertentu yang dinilai memiliki potensi ekonomi yang cukup besar baik dalam soal kedudukan secara teritorial, ketersediaan sumber daya alam, dan tenaga murah. Menurut ketarangan pemerintah, di dalam KEK, investor yang masuk akan mendapatkan fasilitas kepabeanan, pajak, perizinan, imigrasi, dan tenaga kerja. Seperti di bidang keringanan perpajakan, misalnya, mereka tidak perlu menggunakan prosedur restitusi. "Bahkan untuk izin-izin cukup dilengkapi dibelakang, sehingga tidak menempuh banyak meja (one stop services). Semua perijinan dapat diselesaikan dalam waktu 78 hari, tiga hari diregulasi dan 75 harinya pengesahan badan hukum. Syarat utama suatu daerah atau Kawasan Industri bisa menjadi KEK adalah harus memiliki lahan di atas 500 hektar. Selain itu juga harus didukung infrastruktur yang memadai seperti jalan, dan pelabuhan laut yang bertaraf internasional untuk bongkar muat barang. Masing-masing KEK nantinya akan ditangani Badan Otorita Khusus seperti halnya dengan di Batam. Praktek coba-coba terhadap model kawasan semacam ini telah dilakukan pemerintah sebelumnya dengan menciptakan kawasan free trade zone (FTZ) Batam Bintan Karimun. KEK pada dasarnya adalah perluasan dari FTZ baik berkitan dengan luas kawasan maupun fasilitas dan insentif fiskalnya. Pemerintah sama sekali tidak mau belajar dari kegagalan Batam yang dijadikan sebagai zona persadangan bebas. Dalam mewujudkan Batam sebagai kawasan perdagangan bebas, hingga tahun 2006, pemerintah telah mengeluarkan angaran US $ 2,43 miliar untuk membangun infrastuktur Batam, meyambungkan pulau-pulau dengan jembatan raksasa, membangun jalan-jalan megah. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan manfaat yang dapat diterima oleh negara dan rakyat Indonesia. Pulau-pulau yang disambung dengan jembatan-jembatan megah, dilalui jalan-jalan-jalan mewah hingga saat ini tak berpenghuni. Minat investasi di batam tak kunjung bertabah sebagaimana harapan pemerintah. Investasi asing masuk ke wilayah tersebut. Sampai dengan tahun 2006, jumlah investasi asing yang masuk ke batam hanya sebesar US $ 4,25 miliar atau hanya sebesar 34,98 % dari total investasi di wilayah tersebut yaitu sebesar US $ 12,15 miliar. Selebihnya, adalah investasi pemerintah dan investasi swasta nasional pada proyek pembangunan mal dan rukoruko yang sebagian besar tidak berpenghuni. Singapura sebagai salah satu negara yang paling berkepentingan dalam merelokasi industri bernilai tambah rendah dan kurang ramah lingkungan adalah pihak yang menerima manfaat paling besar dari batam. Meski investasinya tidak seberapa besar akan tetapi dari total investasi yang terjadi di batam, investasi Singapura mencapai 60 % - 70 % dari total investasi di kawasan tersebut. Investasi luar negeri khususnya dari Singapura tersebut tidak lebih dari praktek pemindahan pabrik dengan menumpang lahan, menanfaatkan tenaga kerja murah dan fasilitas pajak rendah. Industry-industri tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan sumber-sumber input (bahan baku) yang berasal dari wilayah perekonomian Indonesia khsusnya batam. Baik bahan baku, barang modal dan bahkan barang-barang konsumsi di batam bersumber dari impor. Secara ekonomi tipikal kawasan semacam ini tidak akan memberikan dampak multiplier (multiplier effect) yang significant terhadap perekonomian Nasional.Tidak hanya itu, fasilitas pengurangan dan penghilangan bea masuk ke Batam telah berkontribusi terhadap de-industrialisasi nasional. Secara obyektif, saat ini ekonomi nasional sangat bergantung pada pasokan bahan baku impor. Dalam periode 2005-2006, impor bahan baku rata-rata mencapai 77,42 persen, sedangkan barang modal 14,61 persen dan barang konsumsi 7,96 persen. Selama Januari-Nopember 2007, impor bahan baku sebesar 76,03 persen, barang modal 14,94 persen, dan barang konsumsi 8,99 persen dari nilai impor 83,53 miliar dolar AS.

Inilah yang menjadi sumber mengapa industry nasional sangat sulit untuk berkembang dikarenakan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk membiayai impor yang menyebabkan multiplier effek dari industry justru terjadi di luar negeri bukan di dalam negeri. Sementara sector ekonomi di dalam negeri adalah usahausaha yang satu sama lainya terpisah dan tidak memiliki keterkaitan (direct and indirect economic linked). Belum lagi impor barang modal dan barang-barang konsumsi yang juga sangat besar. Atas dasar hal tersebut diatas, mak rencana pemerintah untuk membuat UU KEK tidak lain dari sebuah rencana yang akan semakin mengukuhkan dominasi modal asing atas perekonomian Indonesia dan sekaligus meningkatnya kemampuan ekploitasi atas sumber daya alam dan tenaga murah. Dan, hal ini makin jelas ketika membaca draft RUU tersebut, maka tampak dalam pasar-pasalnya memberikan insentif pajak yang luas (pasal ; pasal 29, 30, 31, 34), kelonggaran dalam biang pertanahan, perijinan, keimigrasian dan investasi (pasal ; 35,36), kelonggaran dalam mempekerjakan tenaga kerja murah, membatasi berkembangnya organisasi buruh (pasal ; 39,42,43,44), seperti hanya diperbolehkan berdiri satu serikat buruh dalam satu pabrik dll. Secara mendasar, seluruh fasilitas dan kemudahan tersebut adalah bersifat fasilitas plus yang lebih luas dari fasilitas yang diberikan pada para pemilik modal besar melalui WTO atau fasilitas yang diberikan melalui Free Trade Agreement (FTA) yang juga marak dilakukan pemerintah. Luasnya fasilitas menunjukkan minat yang besar pemerintah saat ini terhadap liberalisasi ekonomi secara luas dan menyerahkan perekonomian kepada sistem pasar. Perangkat perundang-undangan semacam ini, jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini, maka dapat disimpulkan sebagai kebijakan yang tidak relevan dikarenakan berpotensi menyerang sumber pendapatan negara dari pajak dan menggsur industri nasional akibat penurunan tariff dan meningkatkan ekploitasi terhadap sumber daya Indonesia melalui fasilitas tenaga kerja murah dan ekspor bahan mentah. Oleh karenanya, RUU KEK yang pro liberalisasi investasi dan perdagangan harus ditolak. Jalan yang harus ditempuh oleh Indonesia yang sepenuhnya harus konsisten dengan amanat pasal 33 dan 34 UUD 1945, yaitu perekonomian yang non-kapitalistik, menolak neo-liberalisme dan berazaskan demokrasi ekonomi dan kegotong-royongan. Selain itu, dibutuhkan undang-undang dan kebijakan yang melapangkan jalan bagi pembangunan ekonomi nasional melalui perlindungan (subsidi dan proteksi) yang memadai terhadap industri nasional dan perekonomian rakyat. over a year ago

BENARKAH PEREKONOMIAN INDONESIA DIBAWA KE ARAH NEOLIBERALISME?Bagi kalangan akademisi istilah neoliberalisme merupakan momok yang cukup hangat untuk dijadikan bahan pembicaraan, apalagi menyangkut masa depan sebuah bangsa. Dengan kebijakan ekonomi suatu bangsa saat ini jelas akan mempengaruhi arah perkembangan bangsa di masa depan. Indonesia merupakan bangsa yang tidak luput dari penerapan kebijakan ekonomi ini, sekiranya Indonesia masuk sebagai bangsa yang besar secara kuantitas penduduknya, sangat manis untuk dijadikan pasar berikutnya. Sesuai dengan namanya, Neoliberalisme adalah bentuk baru dari paham ekonomi liberal atau penyempurnaan dari paham ekonomi liberal. Merupakan salah satu varian dalam naungan kapitalisme, yaitu yang terdiri dari merkantilisme, liberalisme, keynessianisme, neoliberalisme, neokeynessianisme, dan neomerkantilisme, neoliberalisme adalah sebuah upaya untuk mengoreksi pelbagai kelemahan liberalisme. Perlu diketahui pula bahwa paham ini memfokuskan pada penerapan pasar bebas dan perdagangan bebas, merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua Negara bisa meningkatkan pendapatan dan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah Negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi. Kekalahan yang dialami Liberalisme hingga tahun 1970-an (dikenal dengan Depresi Hebat atau Great Depression). Pada era ini wacana industri maju masih dikuasai wacana politik social democrat dengan argument kesejahteraan. Salah satunya dengan memberikan fasilitas-fasilitas publik kepada rakyat meliputi tempat tinggal layak, pendidikan, kesehatan dan fasilitas social lainnya, intinya kewenangan Negara tidak hanya dibatasi pada pembuat peraturan. Diperluas hingga kewenangan untuk melakukan intervensi fiscal, khususnya untuk menggerakkan sector riil dan menciptakan lapangan kerja. Kebijakan ini ditentang keras Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kemudian disebut pencetus Neoliberalismedengan melakukan pertemuan di salah satu tempat Spa di Swedia yang disebut Mont Pelerin Society dan menghasilkan sebuah rumusan yang menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan karena dinilai janggal. Tanpa alasan yang jelas Hayek menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberalisme (baca: kebebasan individu). Mungkin karena spirit yang dipakai liberalisme tidak pure untuk kepentingan dan keuntungan pribadi yang mendorong masyakarakat bergerak dinamis karena institusi negera masih banyak terlibat. Penting kiranya melihat persoalan ini secara lebih mendalam terkait motif dibalik penerapan kebijakan yang secara de facto lebih revolusioner dibandingkan sosialisme. Jika tujuan utama dari Neoliberalisme adalah kepentingan pribadi, kita bisa melihat salah satu butir Protokol Zion yang pertama, berikut: "Kemenangan kita diperoleh dengan lebih mudah berdasarkan kenyataan bahwa dalam hubungan dengan mereka yang kita inginkan, kita selalu bekerja pada simpul-simpul yang paling peka pada pikiran manusia, pada rekening tunai, pada nafsu manusia, pada ketidak-puasan manusia akan kebutuhan materiel; pada setiap kelemahan manusiawi ini, ia sudah cukup untuk melumpuhkan prakarsa, karena ia menyerahkan kemauan manusia kepada disposisi dia yang telah membeli kegiatan kegiatannya". Adalah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada tahun 1944. Konferensi tersebut menghasilkan Washington Consensus yang kemudian lahirlah lembaga keuangan internasional macam IMF, World Bank dan WTO. Langkah pertama adalah program' Privatisasi' , yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program 'Penyuapan'. Pada program ini

perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada tahapan ini menurut Stiglitz, "Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek 'pemberian' 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari harga penjualan aset nasional mereka tadi". Sesudah program "penyuapan" itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana "satu-ukuran-(yang) pas - untuk menyelamatkan ekonomi anda" ('all size - economic solution '), yaitu "Liberalisasi Pasar Modal". Dalam teorinya deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMF. Malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak pernah balik. Stiglitz menyebut program "privatisasi" ini sebagai daur "uang panas". Dana tunai dari luar masuk untuk spekulasi di bidang real-estate dan valuta, kemudian hengkang bila ada tanda-tanda akan ada kerusuhan. Akibat dari yang pertama di atas dan kedua ini, cadangan devisa negara bisa habis menguap dalam ukuran hari, bahkan jam. Dan bilamana hal itu sampai terjadi, maka untuk merayu kaum spekulan untuk mau mengembalikan dana modal nasional, IMF menuntut negara-negara debetor ini menaikkan suku-bunga banknya menjadi 30%, 50%, hahkan 80%. Ketetapan itu diikuti dengan persyaratan kebijakan deregulasi peraturan perbankan, diberlakukannya kebijakan uang ketat ('austerity policies'), dihentikannya subsidi pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Pada negara-negara yang sedang berkembang, dimana program pcmbangunan bagian terbesar masih menjadi tanggung-jawab negara, pemberlakuan politik uang ketat berdampak buruk terhadap kehidupan sektor riel. Penghentian subsidi terhadap sektor strategis seperti pangan, bahan bakar, transportasi, pendidikan, dan sebagainya selalu berakhir dengan krisis politik di negara-negara yang bersangkutan. "Hasilnya bisa diprediksi", kata Stiglitz mengomentari tentang gelombang pasang uang panas di Asia dan Amerika Latin. "Suku bunga yang tinggi menghancurkan nilai properti, memangsa produksi industri, dan mengeringkan dana nasional". Pemasukan modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan, karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002 yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial. Pada tahapan ini IMF menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu "Pricing - Penentuan Harga Sesuai Pasar", sebuah istilah yang muluk untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih, dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, "Kerusuhan IMF". Dan memang begitu. Apa yang tidak diketahui Stiglitz, bahwa BBC dan koran the Observer, London, berhasil memperoleh beberapa dokumen dari kalangan dalam Bank Dunia, yang diberi cap 'Confidential', 'Restricted', dan 'Not to be Disclosed'. Salah satu di antara dokumen-dokumen itu adalah apa yang disebut 'Interim Country Assistance Strategy' ('Strategi Bantuan Sementara') untuk Ekuador. Di dalam dokumen itu Bank Dunia beberapa kali menjelaskan - dengan ketepatan yang mendirikan bulu roma - bahwa mereka mengharapkan rencana mereka akan menyalakan "kerusuhan sosial", begitu istilah birokrasi terhadap negara yang terbakar. Hal itu tidak perlu membuat kaget. Laporan rahasia itu mencatat, rencana itu dimaksudkan agar nilai mata-uang Ekuador dengan dolar Amerika akan mendorong 51 % dari penduduk Ekuador agar berada di bawah garis kemiskinan. Rencana "Bantuan" Bank Dunia di dalam laporan itu semata-mata menyeru untuk "meredakan tuntutan dan penderitaan rakyat" dengan "penyelesaian politik" -tanpa menyinggung aspek ekonomi dan harga-harga yang kian melambung "Kerusuhan IMF" (yang dimaksudkan dengan 'kerusuhan' disini ialah demonstrasi damai yang dibubarkan dengan gas air-mata, peluru, dan tank), menyebabkan panik baru yang berakibat dengan pelarian modal ('capital flight') dan kebangkrutan pemerintah setempat. Kebakaran ekonomi ini mempunyai sisi terangnya - untuk perusahaan perusahaan asing, yang yang mendapatkan kesempatan menyabet sisa aset negara yang sedang kacau-balau itu, seperti konsesi pertambangan, perbankan, perkebunan, dan lain sebagainya dengan harga obral-besar-besaran. Contoh ini terlihat pada kepanikan pemerintah Indonesia yang melakukan "divestasi" degan harga obral-obralan pada BCA ('Bank Central Asia'), bank paling berhasil di Indonesia, pabrik semen, perkebunan kelapa sawlt, bisnis telekomunikasi, dan sebagainya, yang kesemuanya sebenamya merupakan "tambang emas" ('money-machines') bagi Indonesia. Stiglitz mencatat bahwa IMF dan Bank Dunia bukanlah penganut yang tidak punya perasaan terhadap ekonomi pasar. Pada waktu yang sama IMF menghentikan Indonesia untuk memberi subsidi pangan. Menurut IMF, "ketika bank-bank membutuhkan bail-out, intervensi (terhadap pasar) dapat diterima". IMF menumpahkan berpuluh milyar dolar untuk menyelamatkan para finansier Indonesia dengan tambahan pinjaman dana dari bank-bank Amenka dan Eropa. Suatu pola muncul. Dalam sistem ini banyak yang rugi, tetapi ada satu pemenang : yaitu, bank-bank Barat dan departemen keuangan Amerika Serikat, yang menghasilkan keuntungan besar dari celengan modal internasional ini. Stiglitz menceriterakan pengalaman pertemuan pertamanya, ketika baru menjabat di Bank Dunia, dengan presiden baru Etiopia dalam rangka pemilihan umum demokratis yang pertama di negeri itu. Bank Dunia dan IMF menginstruksikan Etiopia untuk mengalihkan uang bantuan ke rekening cadangannya di departemen keuangan Amerika Serikat, yang akan memberikan bunga 4%, sementara Etiopia meminjam kepada Amerika Serikat dengan bunga 12% untuk memberi makan rakyatnya. Presiden Etiopia yang baru memohon kepada Stiglitz agar uang bantuan itu dapat digunakan sendiri untuk membangun negerinya. Tetapi tidak, uang hasil rampokan itu langsung masuk ke kas departemen keuangan Amerika Serikat di Washington. Kini kita sampai ke tahap keempat yang oleh IMF dan Bank Dunia diberi nama "Strategi Pengentasan Kemiskinan": yaitu, Pasar Bebas. Yang dimaksud ialah 'pasar bebas' berdasarkan aturan dari WTO ('World Trade Organization' - Organisasi Perdagangan Dunia') dan Bank Dunia. Stiglitz, orang dalam Bank Dunia itu menyamakan 'pasar bebas' dengan 'perang candu'. "Konsep itu bertujuan membuka pasar", katanya. "Persis seperti

halnya pada abad ke-19, negara-negara Barat dan Amerika Serikat menghancurkan rintangan yang ada bagi perdagangan di Cina. Sekarang hal yang sama dilakukan untuk membuka pasar agar mereka dapat berdagang di Asia, Amerika Latin dan Afrika, sementara negara-negara Barat itu memasang tembok yang tinggi terhadap impor hasil pertanian dan produk manufaktur dari Dunia Ketiga". Sebagai akibat program' pasar-bebas'. Para pengusaha kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku-bunga sampai 60 % dari bank lokal dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari Amerika Serikat atau Eropa, dimana suku-bunga berkisar tidak lebih dari antara 6 - 7 %. Program semacam ini berakibat mematikan kaum kapitalis lokal Dalam 'Perang Candu', negara-negara Barat mengerahkan blokade militer untuk memaksa Cina membuka pasamya bagi perdagangan mereka yang tidak seimbang. Sekarang Bank Dunia dapat memerintahkan blokade keuangan, yang sama efektifnya seperti pada 'Perang Candu' - dan sama mematikannya. Masih ada 6 kebijakan lainnya yang merupakan rekomendasi Washington Consensus, secara utuh memang ada 10 kebijakan yang akan diterapkan Negara mangsa berikutnya, antara lain: 1. Nilai tukar mengambang 2. Deregulasi pasar 3. Fokus ketat dalam pengeluaran publik pada pelbagai target pembangunan social. 4. Anggaran berimbang 5. Reformasi Pajak. 6. Perlindungan atas Hak Milik dan Hak Cipta. Walaupun telah menjadi sebuah kebijakan besar, Neoliberalisme pada awalnya juga tidak diterima begitu saja, melewati serangkaian peristiwa yang membuat bulu kuduk berdiri, terutama terkait kekuasaan dalam sebuah Negara. Pada awal decade 80-an, hanya ada dua yang memulai menerapkan Neoliberalisme yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Margareth Thatcher (Perdana Menteri Inggris) dan Ronald Reagan (Presiden AS) menerapkan apa yang disebut Thatcherisme dan Reaganomics mendapat reaksi keras dari serikat buruh pada saat itu, yang dinilai sangat tidak menguntungkan para pekerja. Bayangkan, penentu standar hidup tidak dilakukan oleh negara tetapi oleh pasar. Kebijakan yang dibuat memang tidak menyentuh pada wilayah batas minimal upah (baca: UMR) tetapi pada sejauh mana kepemilikan saham pekerja di perusahaan tempat ia bekerja. Thatcherisme atau kebijakan ekonomi Margareth Thatcher, membagi kebijakan Neoliberalnya menjadi beberapa sektor: 1. Terkait dengan serikat buruh 2. Terkait pajak 3. Privatisasi Perusahaan Negara Bagi Thatcher, serikat buruh menjadi salah satu penghalang terciptanya masyarakat yang pro terhadap pasar. Secara kebetulan dia terpilih pada saat ada sentiment yang popular terhadap serikat pekerja dan pengebirian pengaruh serikat buruh menjadi salah satu tujuan dari gerakan politiknya. Anggapan bahwa para pekerja akan siap dirumahkan apabila majikan mengalami kebangkrutan semakin banyak mendapatkan dukungan, karena apabila ada pemogokan yang paling dirugikan adalah majikan (baca: pemilik modal). Dengan merujuk pada kepentingan personal dari anggota serikat buruh, para pekerja lebih peduli dengan mempertahankan pekerjaan mereka daripada terlibat dalam konfrontasi politik dan industri. Meskipun tidak secara langsung campur tangan terhadap urusan serikat buruh, tetapi secara konstitusi Thatcher kemudian membentuk UU yang bertujuan membatasi kekuasaan serikat buruh atas anggota-anggotanya dalam rangka melawan manajemen perusahaan. Pada tahun 1979, Ia mengklaim bahwa jutaan anggota serikat buruh tunduk kepada serikat buruh. Jajak pendapat membuktikan benar; lebih dari 80% pekerja di sector perusahaan pemerintah (baca: BUMN) mengusulkan dibatasinya ruang gerak serikat buruh. Setahun kemudian, UU yang mengatur serikat buruh atau UU Ketenagakerjaan disahkan. Lebih jauh UU tersebut juga mengatur tentang bagaimana simpati pemogokan, artinya akan melakukan pemogokan yang sama jika di perusahaan lain juga terjadi pemogokan. Hanya boleh melakukan pemogokan di satu tempat saja, sudah sangat terlihat jelas langkah awal yang dilakukan Thatcher dalam melumpuhkan Gerakan Sosial di kalangan buruh. Memang masih cukup fleksibel dengan memperbolehkan melakukan aksi pemogokan. Kondisi lebih parah pada tahun 1982, amandemen UU Ketenagakerjaan yang semakin membatas gerak serikat buruh dengan mengatakan bahwa gerakan simpatik terhadap serikat buruh lainnya sebagai gerakan makar. Pada tahun 1980 dan 1982 Undang Ketenagakerjaan juga telah membuat peraturan mengenai hubungan serikat buruh yang bertanggung jawab terhadap hokum perdata, lebih parah dibanding awal yang hanya membuat stigma makar. Kemudian 1986, Ruper Murdoch sang pemilik Times, The Sunday Times, The Sun, dan News Of The World menggunakan UU ini ketika para karyawannya mogok dan dia menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah ini. Campur tangan pemerintah hanya ketika perusahaan tersebut akan ditutup, dengan dalih yang bijaksana Thatcher mengatakan bahwa masalah pemogokan hanya masalah komunikasi antara buruh dengan manajemen. UU Ketenagakerjaan tahun 1982 ini diikuti oleh UU yang sama tahun 1984 yang mengakhiri kekuasaan serikat buruh ketika Undang-undang ketenagakerjaan pada tahun 1980 dan 1982 memberikan hukuman yang setara dengan yang berlaku pada hukum perdata yang berimbas pada penjatuhan vonis yang dimungkinkan dilakukan penyelesaian melalui jalur meja hijau. Pada konteks ini memiliki hubungan politik antara pemerintah dengan pihak perusahaan dan pemerintah baru akan ikut campur ketika pemogokan benar-benar terjadi. Kenyataannya terjadi pada tahun 1986, Rupert Murdoch, pengusaha Yahudi pemiliki Times, The Sunday Times, The Sun, dan The News of The World menggunakan

pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan pemogokan buruh di perusahaannya. Sampai pada titik ini pemerintah belum campur tangan hingga perusahaan akan ditutup baru pemerintah turun tangan, dan secara elegan Thatcher mengatakan bahwa masalah pemogokan hanya masalah antara pihak manajemen dengan buruh. Setelah UU tahun 1982 yang membatasi gerak serikat buruh, diikuti UU yang sama dan dikeluarkan tahun 1984. UU ini benar-benar telah mengakhiri pengaruh serikat buruh terhadap proses politik antara lain pada pemilihan Perdana Menteri yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Alasan ini jelas karena kemudian setiap individu yang tergabung dalam serikat buruh menemukan kebebesannya dan tidak merasa terikat dengan serikat buruh. Kebijakan ini memang merugikan serikat buruh secara keseluruhan tetapi pada tingkat individu para pekerja sudah kebal dari tuntutan atas kerugian yang dialami perusahaan jika terjadi pemogokan. Pada implementasinya, Thatcher mulai memerangi serikat buruh pada industry yang dinasionalisasi yaitu industry mobil British Leyland (BL). Hasilnya, ia berhasil menggagalkan pemogokan yang terjadi pada tahun 1979 yang disebabkan penurunan pangsa pasar dari 33% pada tahun 74 menjadi 20% pada tahun 79. Kondisi demikian mempengaruhi stabilitas keuangan perusahaan yang berakibat keterlambatan pemberian upah bagi buruh, sehingga pemogokan muncul kembali dan berakhir ricuh sehingga pemerintah terpaksa menyerah pada tuntutan mereka. Setelah tuntutan dipenuhi, tahun 1980 buruh melakukan aksi lagi kali ini tuntutan berubah menjadi penaikan upah. Sebaliknya, perusahaan mengancam balik dengan ancaman PHK, semua buruh pun sepakat menerima tawaran BL yang hanya akan melunasi tunggakan gaji dan dengan terpaksa buruh menerima tawaran tersebut. Kegigihan Thatcher dalam memerangi serika buruh sebetulnya dimulai pada tahun 1984, yaitu ketika akan terjadi pemogokan di Pertambangan Batu Bara. Berawal dari keinginan Thatcher menutup tambang yang tidak efisien untuk beberapa waktu, dan ia tahu bahwa tindakannya memancing pemogokan. Hal yang sama terjadi pada tahun 1973, perdana menteri sebelumnya Sir Edwar heath yang berakhir buruk ketika menghadapi serikat buruh di pertambangan batubara, tetapi Thatcher telah bertekad bahwa kegagalan sebelumnya tidak akan terulang. Tekad itupun dimulai dengan mengangkat Ian McGregor sebagai ketua Dewan Batubara. McGregor membuat rencana menutup tambang yang tidak menguntungkan. Hasil produksi secara diam-diam disimpan di pabrik Baja sebagai penggunaa utama batu bara. Sedangkan pengguna lainnya disarankan untuk membuat alat penyimpan batubara. Truk tangki minyak disewa dan digunakan bila diperlukan. Kemudian Thatcher mambangun satu badan polisi yang khusus bertugas memobilisasi seluruh britania untuk menghentikan kegiatan illegal seperti penyerangan terhadap pertambangan dan kekerasan lainnya. Para pekerja di tambang yang tidak menguntungkan ditawari untuk pindah tempat kerja dan ada tempat lain yang siap menampung mereka. Pada maret 1984, Arthur Scargill, pemimpin Serikat Pekerja Pertambangan melakukan pemogokan. Anggota Geng Striker menghalangi masuknya batubara ke powerplants, dan beberapa pergi ke operasi tambang untuk melakukan kekerasan. Ini mengharuskan intervensi polisi dan pendapat public mendukung polisi. Scargill kesulitan mendapat simpati dari serikat buruh lainnya karena tingginya pengangguran. Scargill terus menolak penutupan tambang apapun, tetapi pemogokan berakhir dengan kekalahan pada bulan Maret 1985. Jumlah penambang dipotong hingga 40% tetapi produksi hanya turun 15%. Selama Thatcher berkuasa, serikat buruh yang menolak kepemimpinan dia terus mengalami penurunan. Tahun 1979, 13,5 juta pekerja atau 57% dari tenaga kerja adalah anggota serikat buruh. Tahun 1986 menjadi 43% tahun 1995 menjadi hanya 35%. Walaupun salah satu penyebab penurunan anggota serikat buruh adalah penurunan jumlah pekerja manufaktur (lebih mungkin dibandingkan rata-rata untuk menjadi anggota serikat buruh). Keanggotaan pada sector manufaktur sendiri juga jatuh nilainya. Pada tahun 1980, 65% pekerja adalah anggota serikat pekerja kemudian tahun 1990 hanya 44%. 2. Kebijakan Pajak Margareth Thatcher percaya bahwa pajak langsung akan mengurangi kinerja, sehingga salah satu tujuan utama dari kebijakan ini adalah memotong pajak langsung terutama pajak penghasilan. Dia tidak memiliki sikap yang sama terhadap pajak tidak langsung; alasannya adalah bahwa kebanyakan orang membayar pajak tidak langsung tidak menyadari kalau dia sudah membayar pajak. Selain itu tingkat pajak tidak langsung sifatnya tidak naik sesuai dengan pendapatan. Bahkan banyak pajak konsumsi tidak langsung seperti PPN dan pajak bensin orang miskin biasanya menghabiskan porsi lebih besar dari pendapatan mereka membeli barang dan jasa dibandingkan orang kaya--, oleh karena orang miskin merasa keberatan jika dikenai pajak langsung. Filosofi penerapan pajaknya jelas yang tertera pada anggaran pertama, bahwa untuk tahun 1979. Howe, kanselir keuangan britania raya, menyatakan bahwa itu dimaksudkan untuk meningkatkan insentif pribadi dengan mengurangi pajak langsung. Mengurangi pajak langsung, manurut Howe, Akan memberikan ruang bagi perdagangan dan industry untuk mencapai kesejahteraan. Tingkat teratas dari pajak penghasilan turun dari 83% menjadi 60%; tingkat terbawah turun dari 33% menjadi 30%. Di sisi lain, PPN itu meningkat dari 8% sampai 15%. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor juga mengalami peningkatan dan kontibusi nasional pajak juga ditingkatkan. Pada tahun itu juga anggaran pajak menggeser beban pajak dari orang kaya ke orang miskin dan kelas menengah.

Gerakan Aksi Bersama Mahasiswa Indonesia: Tunjukkan Bukti SBY-Boediono Pengkhianat Pancasila!Selasa, 31 May 2011 12:00 WIB

JAKARTA, RIMANEWS ---- Rezim SBY-Boediono dinilai mahasiswa, benar-benar telah mengkhianati Pancasila. Karena itu, mahasiswa ingin, momentum hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 1945, saat yang tepat untuk menggulingkan rezim pengkhianat Pancasila dan UUD 1945. Demikian disampaikan Ketua Umum PB HMI MPO Chozin Amarullah dan Ketua LMND Lamen Hendra Saputra kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Selasa, 31/5). Karena itu, kata mereka, Gerakan Aksi Bersama Mahasiswa Indonesia yang terdiri dari LMND, HMI MPO, BEM se-Jakarta, HAMAS, UNAS, FAM UMT dan KM-UBK akan menggelar aksi di beberapa daerah. Sementara aksi digelar di Palembang, Bandar Lampung, Yogyakarta, Makasar, Majene, Mataram, Bima, Kupang, Ende, Kendari, Palopo, Pare-pare, Palu, Manado, dan Ternate. "Lusa (Kamis, 2/6), baru di Jakarta," kata Lamen. Dan, inilah bukti-bukti pengkhianatan SBY-Boediono kepada Pancasila, menurut Gerakan Aksi Bersama Mahasiswa Indonesia. SBY-Boediono mengkhianati sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia tidak melindungi kebebasan beragama. Pemerintah malam membiarkan aksi kekerasan-kekerasan terhadap pemeluk agama dan keyakinan lain, dan ini jelas-jelas melanggar hak asasi warganegara untuk beribadah yang dijamin konstitusi. SBY-Boediono juga mengkhianati Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. SBY-Boediono tidak berniat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM. Di sisi lain, semakin banyak korban dari praktek penegakkan hukum tebang pilih. SBY-Boediono juga menerapkan ekonomi neoliberal yang berakibat menyingkirkan masyarakat menengah bawah sehingga jumlah masyarakat miskin mencapai 100 juta orang. SBY-Boediono mengkhianati Sila Persatuan Indonesia. Kebijakan neoliberal SBY-Boediono mengakibatkan dominasi asing dalam perekonomian Indonesia. Sementara mayoritas rakyat hanya bisa bertahan hidup dengan kondisi di bawah garis kemiskinan. Hal ini menumbuhkan benih-benih perseteruan atau konflik perebutan kue ekonomi yang mengancam persatuan Indonesia. Akibat kemiskinan kronis yang terjadi akhir-akhir ini juga telah menimbulkan konflik SARA. Belum lagi ditambah penggusuran-penggusuran, hukum yang pilih kasih, kasus Century dan mafia pajak dan kasus Antasari yang direkayasa SBY-Boediono juga mengkhianati sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Setgab yang dipimpin SBY menguasai lebih dari 70 persen kursi DPR dan terus menerus hanya melakukan demokrasi prosedural dan demokrasi kriminal, yang jelas-jelas manipulasi kedaulatan rakyat. SBY-Boediono juga mengkhianati Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hingga saat ini, SBY tidak bersedia melaksanakan UU SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional. Bahkan UU BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial) yang sekarang sedang dibahas diplintir agar menjadi BUMN yang nantinya bisa menjadi sapi perah kekuasaan. Garis ekonomi neoliberal yang mempertajam kesenjangan kaya dan miskin juga tidak adil bagi seluruh Rakyat Indonesia. Ditambah lagi dengan diajukannya RUU Tanah Untuk Pembangunan oleh pemerintah yang melegalisasir perampasan tanah rakyat oleh swasta. (Juf/RM)

Hidayat DoeLahir di Buton,jadi Alumni Ilmu Hubungan Internasional Unhas, Makassar pada Maret 2011. Pernah aktif jadi wartawan kampus di Penerbitan Kampus Identitas Unhas,sebuah Pers Kampus yang dikelola oleh mahasiswa dan terbit rutin dua kali sebulan. Sempat bermimpi ingin jadi wartawan Kompas.

Kritik Atas Politik Luar Negeri SBY-Boediono

OPINI | 06 July 2011 | 09:53

97

0

Nihil

Kisah pemancungan Ruyati, pekerja migran Indonesia yang dihukum mati oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi beberapa hari lalu telah menimbulkan kontroversi. Bagi sebuah bangsa, tindakan pemancungan itu cukup memalukan. Warga negara Indonesia (WNI) yang seyogianya mendapat perlindungan serta pembelaan dari pemerintah harus mati dipenggal. Kasus Ruyati yang mirip seperti penyikasaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) oleh majikan juga belum lama terjadi di Arab Saudi. Sebut saja misalnya, Armayeh Binti Sayuri (2011), Sumiyati (2010) dan ribuan korban lain menimpa WNI. Malah menurut data LSM Migrant Care, hingga oktober 2010 telah terjadi 5.336 kasus kekerasan terhadap TKI asal Indonesia di Arab Saudi. Belum lagi kasus yang terjadi di Malaysia dan negara lain. Hanya saja, pemerintah tak pernah mengambil sikap yang tegas atas persoalan tersebut. Pemerintah lebih memilih berdamai memaafkan semua kasus-kasus penyiksaan, penindasan serta pembunuhan WNI yang dilakukan oleh para majikan maupun atas pemberlakuan hukum pancung di Arab Saudi. Sikap tegas seperti gertakan diplomatik memutus hubungan kerjasama tidak pernah dilakukan. Yang terjadi hanya berhenti pada pengiriman nota protes diplomatik. Pertanggung jawaban yang ada dari pemerintah setempat nyaris hanya permohonan maaf. Selanjutnya, kasus penyiksaan serta pembunuhan WNI kerap berulang bagai kejadian tahunan yang mengiris-ngiris rasa kemanusiaan warga di nusantara. Padahal, salah satu kepentingan nasional negara di negara luar adalah memberikan perlindungan, pembelaan dan jaminan keselamatan warganya di negara asing. Lalu apa yang membuat kepentinganini terabaikan di negara kita? Persoalan tersebut tidak lepas dari karakter politik luar negeri rezim SBY-Boediono yang berprinsip amillion friends, zero enemy. Prinsip ini cukup problematik bagi eksistensi kepentingan Indonesia dalam hubungan luar negeri. Kepentingan nasional bisa saja dikorbankan lantaran prinsip itu. Sementara dalam hubungan internasional, kepentingan nasional adalah hal yang utama dan pertama dari kerjasama luar negeri. Prinsip luar negeri dalam arti sejuta sahabat, tidak ada musuh, telah mengabaikan logika politik yang mengandaikan ketegangan dan konflik antar negara. Logika politik ini sangat nyata dalam hubungan luar negeri negara-bangsa. Malah, sebuah negara seringkali rela dan siap berperang untuk mempertahankan kepentingan nasiona dan harga dirinya di fora internasional. Prinsip ribuan teman tidak ada musah jadinya tidak masuk akal dalam politik internasional. Para penganut mazhab realis dalam politik internasional telah mengiritik keras sikap politik seperti yang dicanangkan pemerintahan SBY-Boediono. Bagi seorang pemikir realis semacam Hans Morgenthau, politik luar negeri bukan didasarkan pada alasan moral, hukum dan kepentingan kebersamaan tetapi kepentingan nasional. Pemancungan Ruyati adalah salah satu

kepentingan bangsa yang harus diperjuangkan secara tegas karena menyangkut harga diri dan martabat bangsa. Prinsip a million friends, zero enemy juga telah menimbulkan sikap lembek dan tingginya kompromi pemerintah atas sikap negara tetangga yang kerap merendahkan warnga negara dan menghina nama baik bangsa. Sepanjang sejarah tidak ada negara yang rela dihina dan diinjakinjak harga dirinya di level internasional. Kasus Ruyati dan masalah serupa bukan masalah kecil yang begitu saja ditolerir karena berkaitan dengan harga diri bangsa di mata internasional. Negara luar akan seenaknya memperlakukan warga negara kita jika tidak disikapi secara tegas. Sikap politik dengan prinsip a million friends, zero enemy dalam hubungan internasional juga telah mengabaikan karakter politik luar negeri yang pragmatis. Dalam kamus politik internasional negara-bangsa, pragmatisme adalah sikap dasar untuk memaksimalkan kepentingan nasional. Politik luar negeri Indonesia yang cenderung idealis jadinya dipertanyakan dalam forum internasional. Andai saja sebuah negara diperhadapkan pada satu masalah antara memilih mengutamakan kepentingan bersama negara-negara dengan kepentingan nasional, tentu yang dipilih adalah kepentingan nasional tanpa harus terlalu jauh mempertimbangkan kepentingan bersama seperti apa.. Sikap negara-negara tetangga yang kerapkali mencederai rasa kebersamaan negara kita dengan mereka adalah bukti betapa kebersamaan bukan menjadi alasan dasar dalam berpolitik di panggung internasional. Pemerintah kita bersusah-susah menjaga kebersamaan dan kerjasama itu dengan Malaysia misalnya, mereka malah mengklaim sejumlah kekayaan budaya bangsa. Kenyataan ini menjadi bukti nyata bahwa apa yang menggerakan sebuah negara-bangsa dalam berhubungan atau bekerjasama bukanlah kepentingan bersama atau internasional yang terkesan utopis tetapi kepentingan pragmatis nasional. Kepentingan nasional adalah dasar dari sebuah negara dalam bersikap apapun dengan negara lain. Sikap pemerintah yang terlalu idelias karenanya tidak relevan dalam politik luar negeri Indonesia yang cenderung hanya merugikan kepentingan bangsa. Prinsip a million friends, zero enemy sejatinya ditinggalkan dalam logika politik internasional bangsa. Hal itu untuk mempertegas posisi serta kedudukan kepentingan nasional. Tindakan ini menjadi cara tersendiri untuk menghindari jadinya korban atas tindakan pragmatis negara lain. Realis dan Merkantilis Adanya prinsip a million friend, zero enemy dalam politik luar negeri Indonesia tidak lepas dari perspektif liberal yang terlalu kental diadopsi oleh pemerintahan SBY-Boediono. Perspektif liberal dalam politik internasional selalu mengutamakan kerjasama dan integrasi negara dalam sistem internasional. Pandangan liberal mengabaikan kenyataan politik yang kerap diwarnai konflik dan perpecahan antar negara. Anehnya, negara yang seliberal semacam Amerika Serikat ternyata mengabaikan prinsip kerjasama tersebut dengan menempatkan kepentingan nasionalnya di atas kepentingan global.

Kasus invasi AS terhadap Afganistan dan Irak adalah contoh nyata bagaimana kepentingan ekonomi politik nasional Amerika dominan atas kepentingan kerjasama keamanan dan perdamaian internasional. Amerika pun sebenarnya tidak total berpandangan liberal, malah ia bersikap sangat realis yakni mengejar kepentingan nasional dan kekuasaan serta mengabaikan kebersamaan dan kepentingan dunia. Sikap realis tersebut sejalan dengan perspektif merkantilis dalam konteks ekonomi politik internasional yang berusaha memaksimalkan kepentingan nasional dan pembangunan ekonomi nasional. Meskipun pandangan realis dan merkantilis negara selalu dikecam dalam hubungan internasional tetapi praktek sehari-hari negara dunia demikian adanya. Negara yang bersifat ekonomi liberal seperti Amerika tidak utuh menerapkan pasar bebas. Proteksionis (merkantilis) Amerika atas industri dalam negeri masih saja terjadi. Industri pertanian yang di Amerika masih dilindungi oleh pemerintah Amerika dari arus impor pasar bebas. Sementara di sisi lain negaranegara berkembang semacam Indonesia dituntut untuk membuka diri selebar-lebarnya dalam kerjasama ekonomi internasional untuk memberlakukan pasar bebas sebagaimana yang terkonstruk dalam pandangan ekonomi liberal atau yang saat ini dikenal itilah neoliberal. Masalah tersebut tentu menimbulkan ketidakdilan. Ketidakadilan negara maju atas negara berkembang yang selalu terjadi tidak cukup disikapi dengan tuntutan balik menerapkan hal yang sama pada mereka. Malah akan lebih adil sesungguhnya kalau negara seperti Indonesia bersikap proteksionis atas beberapa industri dalam negerinya. Sebab, kekuatan nasional bangsa serta industri lokal belum sekuat atau sebesar Amerika dan negara maju lainnya. Pasar bebas yang berlaku hanya akan merugikan kepentingan nasional Indonesia. Pemerintah terlalu kebablasan menerapkan gagasan-gagasan ideologis neoliberal. Gagasan neoliberal hanya memungkinkan dan menguntungkan ekonomi negara maju. Pemerintah China yang misalnya sekarang menerapkan ekonomi pasar karena menganggap diri sudah kuat dan mampu bersaing. China sebelum memasuki era keterbukaannya pada awal tahun 2000-an, pemerintah mereka cukup proteksionis terhadap pembangunan ekonominya. Pemerintah China sejak era 80-an betul-betul menggenjot industri lokalnya sampai kuat lalu memberlakukan ekonomi neoliberal kapitalis dengan pasar bebasnya. Jika tidak, pasar bebas tidak akan berani dipraktekkan oleh China. Indonesia sebaliknya, berpandangan sangat neolib tetapi daya saing dan pembangunan ekonomi dalam negerinya masih lemah. Indonesia hanya akan jadi korban atas pasar bebas yang didominasi oleh negara maju atau negara yang sedang maju melancarkan produk industrialisasinya. Sikap realis dan merkantilis ini yang harus dipraktekkan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Kalau saja politik luar negeri pemerintahan SBY-Boediono sedikit realis barangkali prinsip a million friends, zero enemy tidak akan pernah ada dalam praktek politik luar negeri bangsa. Begitu pun jika masih sedikit berpandangan merkantilis, ekonomi pasar bebas tidak akan begitu saja diterima dan dipraktekkan pemerintah. Sistem politik liberal dan ekonomi liberal harus sekali lagi dipertimbangkan dalam praktek hubungan internasional Indonesia. Kalau tidak, bangsa ini akan terus jadi korban dalam kerjasama ekonomi dan politik internasional.

APA NEOLIB ITU? Share Dengan dipilihnya Boediono sebagai cawapres-nya SBY, diskusi tentang neolib menjadi marak. Namun diskusinya tidak memberikan gambaran yang jelas. Liberalisme adalah faham yang sangat jelas digambarkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terbit di tahun 1776 dengan judul An inquiry into the nature and the causes of the wealth of nations. Buku ini sangat terkenal dengan singkatannya The wealth of nations dan luar biasa pengaruhnya. Dia menggambarkan pengenalannya tentang kenyataan hidup. Intinya sebagai berikut. Manusia adalah homo economicus yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Kalau karakter manusia yang egosentris dan individualistik seperti ini dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi dan kreasi berkembang sepenuhnya. Prosesnya sebagai berikut. Kalau ada barang dan jasa yang harganya tinggi sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba super normal) kepada para produsennya, banyak orang akan tertarik memproduksi barang yang sama. Akibatnya supply meningkat dan ceteris paribus harga turun. Kalau harga turun sampai di bawah harga pokok, ceteris paribus supply menyusut dengan akibat harga meningkat lagi. Harga akan berfluktuasi tipis dengan kisaran yang memberikan laba yang sepantasnya saja (laba normal) bagi para produsen. Hal yang sama berlaku buat jasa distribusi. Buku ini terbit di tahun 1776 ketika hampir semua barang adalah komoditi yang homogeen (stapel producten) seperti gandum, gula, garam, katoen dan sejenisnya. Lambat laun daya inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja di antara para produsen barang sejenis yang lebih pandai, sehingga mampu melakukan diferensiasi produk. Sebagai contoh, garam dikemas ke dalam botol kecil praktis yang siap pakai di meja makan. Di dalamnya ditambahi beberapa vitamin, diberi merk yang dipatenkan. Dia mempromosikan garamnya sebagai sangat berlainan dengan garam biasa. Konsumen percaya, dan bersedia membayar lebih mahal dibandingkan dengan harga garam biasa. Produsen yang bersangkutan bisa memperoleh laba tinggi tanpa ada saingan untuk jangka waktu yang cukup lama. Selama itu dia menumpuk laba tinggi (laba super normal) yang menjadikannya kaya. Karena semuanya dibolehkan tanpa pengaturan oleh pemerintah, dia mulai melakukan persaingan yang mematikan para pesaingnya dengan cara kotor, yang ditopang oleh kekayaannya. Sebagai contoh, produknya dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga pokoknya. Dia merugi. Kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Dengan harga ini semua pesaingnya akan merugi dan bangkrut. Dia tidak, karena modalnya yang paling kuat. Setelah para pesaingnya bangkrut, dengan kedudukan monopolinya dia menaikkan harga produknya sangat tinggi. Contoh lain : ada kasus paberik rokok yang membeli rokok pesaingnya, disuntik sangat halus dengan cairan sabun. Lantas dijual lagi ke pasar. Beberapa hari lagi, rokoknya rusak, sehingga merknya tidak laku sama sekali, paberiknya bangkrut. Yang digambarkan oleh Adam Smith mulai tidak berlaku lagi. Karena apa saja boleh, pengusaha majikan mulai mengerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar prikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan bahwa anak-anak dan

wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Wanita melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia juga mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh. Dalam kondisi seperti ini lahir pikiran-pikiran Karl Marx. Banyak karyanya, tetapi yang paling terkenal menentang Adam Smith adalah Das Kapital yang terbit di tahun 1848. Marx menggugat semua ketimpangan yang diakibatkan oleh mekanisme pasar yang tidak boleh dicampuri oleh pemerintah. Marx berkesimpulan bahwa untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia, tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk berproduksi dan berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semuanya harus dipegang oleh negara/pemerintah, dan setiap orang adalah pegawai negeri. Dunia terbelah dua. Sovyet Uni, Eropa Timur, China, dan beberapa negara menerapkannya. Dunia Barat mengakui sepenuhnya gugatan Marx, tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan kapitalisme. Eksesnya diperkecil dengan berbagai peratutan dan pengaturan. Setelah dua sistem ini bersaing selama sekitar 40 tahun, persaingan dimenangkan oleh Barat. Maka tidak ada lagi negara yang menganut sistem komunisme a la Marx-Lenin-Mao. Semuanya mengadopsi mekanisme pasar dan mengadopsi kaptalisme dalam arti sempit, yaitu dibolehkannya orang per orang memiliki kapital yang dipakai untuk berproduki dan berdistribusi dengan motif mencari laba. Tetapi kapital yang dimilikinya harus berfungsi sosial. Apa artinya dan bagaimana perwujudannya ? Sangat beragam. Keragaman ini berarti juga bahwa kadar campur tangannya pemerintah juga sangat bervariasi dari yang sangat minimal sampai yang banyak sekali. Neolib Orang-orang yang menganut faham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum neolib; mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangannya pemerintah, sehingga tidak bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total, tetapi toh harus militan mengkerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi. Jadi walaupun yang liberal mutlak, yang total, yang laissez fair laissez aller dan laissez fair laissez passer, yang cut throat competition dan yang survival of the fittest mutlak sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kaum neolib masih bisa membiarkan kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF. Tim ekonomi dalam pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1967 adalah kaum neolib yang lebih ekstrem dari rekan-rekannya di negara-negara barat. Perkecualiannya hanya sebentar sekali, yaitu selama kabinet Gus Dur.

Share KEBIJAKAN NEOLIB DI INDONESIA Jalan Tol Orang-orang neolib di Indonesia lebih ekstrem dari rekan-rekan sepahamnya di negara-negara barat. Kaum neolib Indonesia tidak percaya perlunya barang dan jasa publik cuma-cuma buat rakyatnya. Maka

dalam infrastruktur summit I dan II dikumandangkan ke seluruh dunia bahwa RI adalah lahan terbuka buat investor dari mana saja untuk mencari laba dari pembangunan infrastruktur. Itulah sebabnya hanya Indonesia saja yang mengenal satu kata untuk jalan raya bebas hambatan yang mulus, yaitu jalan tol, yang berarti bahwa semua orang di Indonesia yang menggunakan jalan raya seperti ini harus membayar tarif tol yang besarnya bisa memberi keuntungan yang memuaskan kepada investor swasta yang membuat jalannya. Tidak demikian di negara-negara barat di seluruh dunia. Jalan raya yang di sini disebut jalan tol, di sana disebut high way, free way, auto bahn atau snelweg tanpa kata tol. Semuanya dipakai oleh siapa saja tanpa dipungut bayaran. Pembiayaan pembuatan dan pemeliharaannya ditanggung secara gotong royong oleh seluruh rakyat melalui pengenaan pajak BUMN Neolib sangat alergi terhadap BUMN. Yang bukan neolib bersikap bahwa BUMN (terutama yang persero) adalah perusahaan yang tunduk pada mekanisme pasar, yang harus bisa bersaing dengan perusahaan swasta. Mengapa harus dimusuhi, sehingga harus dijuali? Lebih hebat lagi, BUMN yang merugi dibenahi oleh pemerintah sampai menguntungkan. Setelah menguntungkan dijual dengan harga murah. Katanya, kalau merugi tidak laku dijual. Saya bertanya dalam sidang kabinet ketika itu, bukankah BUMN yang dari rugi menjadi untung itu sebuah bukti bahwa BUMN bisa bagus dan menguntungkan asalkan tidak a priorimemusuhinya atas dasar dogma dan doktrin? Toh Indosat dan banyak BUMN lainnya dijual. Ada beberapa negara barat yang beranggapan bahwa semua sumber daya mineral harus dieksploitasi oleh negara. Produknya yang berupa bahan mentah untuk berbagai industri hilir dijual kepada swasta sesuai dengan harga dunia. Hasilnya dipakai untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Saya tanya kepada sang menteri negara itu, bukankah itu etatis? Tidak katanya, karena sumber daya mineral itu pemberian Tuhan,God given, harus dibagi secara merata kepada seluruh rakyat. Nilai tambah dari barang yangman made seperti yang dilakukan oleh Bill Gates boleh dimilikinya secara mutlak. Itupun dipajaki agar labanya yang besar berfungsi sosial. Ini ucapannya seorang menteri negara barat! Minyak Indonesia telah 64 tahun merdeka. Namun 90% dari minyaknya dieksploitasi oleh perusahaan asing. Demikian juga dengan bagian terbesar dari sumber daya mineral yang sangat mahal harganya.Tanpa malu dikatakan bahwa kita tidak mampu menggarapnya sendiri. Contoh paling konkret dan paling akhir adalah blok Cepu yang habis masa kontraknya di tahun 2010 diperpanjang sampai 2030. Direksi Pertamina di bawah pimpinan Baihaki Hakim yang mempunyai pengalaman 13 tahun mengelola Caltex Indonesia sebagai direktur utama dianggap tidak mampu, padahal dalam rapat gabungan Direksi dan Dewan Komisaris seluruh direksi Pertamina menyatakan terang-terangan sanggup menggarapnya sendiri. Tak lama lagi Baihaki Hakim dipecat. Penerusnya, Widya Purnama dipecat lagi karena berani tidak setuju atas perpanjangan kontrak blok Cepu kepada Exxon Mobil. Utang Sejak tahun 1967 Tim Ekonomi yang selalu dari mashab pikiran yang sama sampai sekarang berutang terus menerus dari negara-negara asing secara sangat sistematis. Para pemberi utang dilembagakan dalam IGGI/CGI. Dalam APBN utang yang harus dibayar kembali beserta pembayaran bunganya tidak disebut utang, tetapi disebut pemasukan pembangunan, sehingga anggaran negara yang defisit selalu disebut berimbang. Ada kesan rakyat Indonesia dimasukkan ke dalam jebakan utang, yang prosesnya harus disembunyikan.

Berkaitan dengan ini, ukuran tentang besarnya utang luar negeri yang sudah dianggap terlampau tinggi adalah debt service ratio (DER) yang tidak boleh melampaui 20%. Ketika sudah dilampaui, ukurannya diubah. Utang luar negeri dan utang dalam negeri pemerintah dianggap aman kalau di bawah 30% dari PDB. Dengan demikian, jumlah utang lantas menjadi aman kembali. Namun diukur dengan APBN, jumlah cicilan pokok utang ditambah dengan bunganya sudah mengambil porsi 25% dari seluruh APBN yang oleh siapapun dianggap sangat besar. Jadi salah satu ciri kebijakan neolib bukan saja menghendaki campur tangan pemerintah yang sekecil mungkin, tetapi juga kebijakan yang tunduk saja pada apa kata lembaga-lembaga keuangan internasional. Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) Ketika kita terkena krisis di tahun 1998, bank-bank yang rusak harus disehatkan oleh pemerintah dengan suntikan likuiditas berupa OR. Hal yang sama terjadi dengan AS dan negara-negara Eropa Barat sekarang ini. Tetapi di AS dan Eropa Barat bank yang diamankan seraya diambil alih oleh pemerintah tidak akan dijual kembali kepada swasta dengan harga murah. Begitu mengambil alih kepemilikan (nasionalisasi), mereka langsung saja menyatakan hanya akan menjual bank-bank itu dengan laba. Yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia ketika itu sangat berbeda. Tim Ekonomi neolib menjual bank dengan harga sangat murah, sedangkan di dalamnya terdapat OR yang adalah tagihan kepada pemerintah dalam jumlah sangat besar. Yang paling mencolok penjualan BCA yang 97% dimiliki oleh pemerintah, diinjeksi dengan OR sebesar Rp. 60 trilyun, tetapi dijual dengan ekuivalen Rp. 10 trilyun saja. Alasannya karena harus menuruti perintah IMF tentang kapan harus dijual. Ruginya Rp. 50 trilyun, belum lagi assets-nya yang bernilai Rp. 53 trilyun dijual dengan harga Rp. 20 trilyun. Kebijakan yang sangat tidak dapat dipahami olah akal sehat ini didasarkan atas paham bahwa campur tangan pemerintah harus seminimal mungkin, yaitu pemerintah tidak boleh memiliki bank terlalu lama. Menunggu sampai kondisi ekonomi membaik agar harganya lebih tinggi saja tidak boleh. Faktor lain ialah harus nurut IMF 100%. Di AS dan Eropa dalam krisis sekarang IMF tidak dianggap sama sekali. AS mencetak uang. Subsidi BBM Fanatiknya pada mekanisme pasar membuat pemerintah yang neolib merasa rugi kalau menjual minyak yang milik rakyat kepada rakyatnya dengan harga yang lebih rendah dari harga yang dibentuk di New York Mercantile Exchange (NYMEX) New York. Perbedaannya disebut subsidi yang sebetulnya hanyalah opportunity loss. Tetapi mereka lantas merasa bahwa opportunity loss itu sama dengan uang yang harus dikeluarkan. Maka dinaikkanlah harga BBM yang milik rakyat kepada rakyatnya sendiri, karena rakyat Indonesia harus patuh pada mekanisme pasar di NYMEX dalam membeli barang yang miliknya sendiri, tidak peduli mereka akan jatuh miskin atau tidak. Oleh Kwik Kian Gie

Barangkali formulasi paling berpengaruh mengenai liberalisme klasik muncul dalam justifikasi yang diberikan Herbert Spencer pada dominasi kapitalisme laissez faire

diseluruh dunia. Justifikasi itu diberikannya dengan didasarkan pada teori Darwin tentang evolusi melalui seleksi alam. Bagi Spencer ekonomi pasar bebas merupakan bentuk paling beradab dari persaingan antar manusia yang secara alamiah menempatkan pihak terkuat sebagai pemenang Spencer membatasi tugas Negara hanya untuk melindungi individu dari agresi internal dan eksternal. Setiap intervensi terhadap kinerja swasta justru melahirkan stagnasi sosial, korupsi politik dan terciptanya birokrasi yang gemuk dan tidak efesien. Pujian Spencer terhadap kompetisi pasar bebas sebagai sumber alamiah kebebasan dan kemakmuran umat terbukti berkaitan erat dengan kepentingan Inggris masa Victoria. Diakhir hayatnya, ia mengatakan total penjualan bukunya nyaris mencapai 400.000 eksemplar. Tak Pelak, teori spencer menjadi pilar hegemoni doktrin ekonomi pasar bebas di Inggris abad 19. Spencer menempatkan sosialisme dan serikat buruh dan bahkan bentuk sosial dasar seperti peraturan keselamatan kerja sebagai contoh dari over regulasi yang tidak mendukung kemajuan rasional dan kebebasan imdividu. Globalisme layak mendapat label ideologi pasar yang baru, karena pendukungnya telah mampu membuat hubungan yang inovatif antara gagasan pasar bebas yang usang dengan perbincvangan global mutakhir. Tentu dengan menyebut kerangka ideologis dewasa ini sebagai ekonomi baru kelompok globalis ini ingin mengisyaratkan otentisitas paradigma mereka. Metode favorit globalisme adalah dengan menerapkan tatanan dominant dan makna hegemoniknya sebagai martil pemukul untuk menghantam berbagai rintangan yang menghadang jalan menuju capital global. Negara negara berkembang dirayu agar mengikuti perintah lembaga ekonomi internasional dengan memakai apa yang disebut oleh koresponden new York times, Thomas Friedman, sebagai pengekang utama (golden Stright jacket) neoliberalisme. Jadi klaim-klaim globalisme dan maneuver-mauver politik tetap berkaitan secara konseptual dengan narasi Spencerian abad sembilan belas mengenai modernisasi dan pemeradaban yang menghadirkan negara-negara barat khususnya Amerika serikat dan Inggris Raya sebagai Vanguard istimewa dari proses evolusioner yang terjadi pada semua bangsa. Namun hal yang membedakan globalisme dengan ideology pasar sebelumnya adalah usaha inovatif dari para pemeluknya untuk mengisi kosep globalisasi dengan pengertian-pengertian neoliberal. Karena itu buku ini membedakan antara globalisme sebagai ideologi pasar neoliberal yang mengurapi globalisasi dengan norma, makna, nilai-nilai tertentu dan globalisasiproses sosial yang dijelaskan dan didefinisikan dan dijelaskan oleh berbagai komentar yang berbeda-beda malah acapkali bertolak belakang.

Amerika Serikat adalah Negara berandal (rogoue state) terbesar di muka bumi sebagaimana nyatanya AS telah melumpuhkan struktur kemanusiaan di muka bumi ini yang menjadi penindasan di segala penjuru dunia dengan melakukan ekspansi dan melempar isu global seperti terorisme dan kekuatan system kapitalis. Begitu juga pada masa masa setelah kemerdekaan Indonesia Amerika Serikat telah merencanakan bahkan mencoba mensponsori kudeta A.1. di Indonesia pada tahun 1965 dengan dukungan mendapat dukungan dari lembaga pemodal yang di milikinya seperti IMF, IDB, WB, yang selama ini telah menimbulkan devaluasi kejam diantara

asset-asset di Asia Timur Tenggara termasuk kawasan Indonesia pada tahun 1997. Akibat dari devaluasi yang di sebabkan oleh kebijakan AS untuk melakukan pemberontakan di setiap Negara berkembang di kawasan Asia Timur Tenggara khususnya Indonesia mengalami penganggurang yang sangat luar biasa dan melumpuhkan system pembangunan yang telah di bangun selama ini. Selain itu juga AS telah menimbulkan kekacauan di seluruh sector kehidupan yang menyebabkan lahirnya pemahaman yang bersifat provokatif dan kejam terhadap nilai-nilai kemanusian, kataskan saja terorisnya yang memang semuanya di setting oleh Amerika Serikat melalui system demokrasi yang prematur. Terlebih kejam lagi Amerika Serikat telah menihilkan kemajuan dari setiap pembangunan yang selama ini di bangun di Indonesia. Kalau kita menelusuri kekayaan Indonesia sangatlah jauh dari kemiskinan, bagaimana pun Amerika Serikat dengan kekuatan kapitalnya dengan menyebarkan seluruh perusahaan multinasionalnya, toh sebenarnya Indonesia tidak akan menjadi Negara miskin dan menciptakan banyak pengangguran. Kita saksikan saja Indonesia merupakan sebuah Negara yang tidak kurang potensi sumber daya alam dan mineralnya sebenarnya, bayangkan saja Indonesia sala satu Negara yang melakukan ekspor terbesar kelapa sawit di seluruh dunia. Namun hal ini tak kalah menyedihkan bahwa ternyata semua perusahaan kelapa sawit yang melakukan ekspor terbesar di dunia melalui Indonesia itu adalah saham perusahaan milik Malaysia. Mereka mengekspor mentah sawit ke beberapa Negara tapi pabrik untuk mengolah sawit itu berada di Negara Malaysia dan Singapura. Padahal kalau di hitung secara cermat akan keuntungan sawit buat Indonesia sangatlah besar, namun produk sawit yang ada di Indonesia sendiri di pegang oleh 38 keturunan keluarga dari Malaysia dan itu bersifat turun temurun. Indonesia sendiri menjadi penonton di negaranya sendiri ketika perusahaan multinasional milik Malaysia mengolah sawit di Indonesia dan tidak mendapat keuntungan apapun dari hasil sawit tersebut. Justru yang terjadi juga dalam proses pengolahan dan menjadi pengusaha sawit sangat paradoks dan mengalami ketimpangan yang sangat besar, ketika para pekerja di upah di bawah PDRB dan masyarakat di lingkungan sekitar tidak di perhatikan, padahal tempat mereka menanam sawit itu adalah lahan milik petani yang di sita oleh perusahaan yang bersangkutan melalui konspirasi para elit politik. Selain itu juga begitu banyak kasus yang terjadi di Malaysia seperti para TKI di perkosa setelah di jadikan budaknya, di bakar, di siram air panas dan menyusupi gembong terorisme di Indonesia, 50 ribu anak Indonesia di Malaysia tidak mendapat sekolah, dan bahkan di Indonesia sendiri menjadi kuli orang Malaysia. Sukarno pernah mengatakan kepada rakyat dan pemuda serta mahasiswa Indonesia yang mengatakan bahwa Indonesia akan siap mengugat dan revolusi apabila Negara kita di sita dan dikuras oleh pihak asing yang tidak kunjung memberikan kesejahteraan kepada rakyat Indonesia. Kita harus siap melawan musuh kita bersama, siapapun yang menguras sumber daya alam dan mineral Indonesia. Indonesia sangat kaya sebenarnya, tetapi dari fakta dan data yang ada bahwa frekuensi kekayaan alam Indonesia sudah dio miliki oleh asing seluas 1.1167 hektar tanah di seluruh Indonesia termasuk daratan dan zona laut. Di berbagai pulau di Indonesia ini tersebar tambang

yang di kelolah oleh perusahaan multinasional tidak pernah memikirkan bagaimana agar bisa merealisasikan kesejahteraan rakyat. Belum lagi perusahaan multinasional lainnya milik Malaysia yang di tanam sahamnya di Indonesia seperti XL, CIMK Bank, Bank Niaga, Bank Lippo dan lain sebagainya. Semua hal itu tidak pernah memberikan sebuah bentuk legitimasi kepada rakyat untuk mendapatkan kesejahteraannya. Hal ini merupakan pelaksanaan agenda agenda ekonomi neoliberalisme secara intens. Ruang lingkup gerakan neoliberalisme sudah mencapai posisi teratas dalam menempatkan seluruh asset dan alat eksploitasinya yang tentunya untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka inginkan. Sesungguhnya tujuan-tujuan neoliberalisme adalah untuk melumpuhkan peran Negara dalam mengurus segala kebutuhan Negara yang kemudian di serahkan dan mengoptimalkan peran swasta yang di namakan swastanisasi seluruh asset Negara. Melalui tindakan ini mereka menyusun strategi pembohongan dengan menciptakan wacana peningkatan perekonomian Negara melalui peran swasta tadi yang tentunya di harapakan secara penuh Negara menjadi rezim kapitalistik. Selain itu juga neoliberalisme senantiasa menyediakan lahan subur bagi dominasi rezim Negara Negara kapitalistik dan menyebarkan seluruh perusahaan multinasional ke berbagai Negara berkembang, maka bisa di katakan bahwa gerakan ekonomi neoliberalisme kapitalistik ingin membangun imperium global yang tentunya pasti terjadi penindasan. Dalam system perekonomian dunia yang bercorak kapitalistik penuh seperti yang di impikan oleh rezim neoliberalisme melalui berbagai agendanya senantiasa tetap melahirkan kelompok tertindas dan kelompok berkuasa semakin mencengkram rakyat tertindas, ini merupakan sebuah bentuk pelanggaran nilai kemanusiaan. Dapat di saksikan juga bahwa pelaksanaan ekonomi neoliberalisme merupakan sebuah proyek besar yang galakkan oleh Negara-negara maju dengan berkeinginan untuk menciptakan sebuah imperium penindasan baru yakni Negara kapitalistik penuh. Negara-negara kapitalis sudah bergabung mem, bentuk wadah yang besar seperti G-8, Asian Free, National Scurity Agency (Lembaga Keamanan Nasional), IMF, WB, IDB dan lain sebagainya. Dalam konteks Indonesia pun tidak terlepas dari jeratan utang dari lelmbaga-lembaga donor ini yang kemudian banyak melahirkan inflasi dan terjadinya pengangguran missal. Kita buktikan saja bahwa pembayaran hutang pemerintah pada tahun 2010 sebesar 73,3 triliun, sementara pemerintah juga memberikan fiskal ekonomi kepada Negara debitur sebesar 60 Triliun, belum lagi rencana Presiden SBY Boediono pada tahun 2011 akan memberikan fiscal lagi ke lembaga-lembaga donor yang selama ini menjadi hutang bagi Indonesia adalah IMF, Free Trade Asian, World Bank, Letter Of Intens, IDB dan lain sebagainya.Dari Wacana Menuju Kenyataan : Neoliberalisme Menggurita dan Menghancurkan Tatanan UUD 1945, Ekonomi Dan Masyarakat Indonesia

Wacana globalisasi yang berbaju dan bertangan neoliberalisme telah menciptakan sebuah peradaban dunia yang penuh eksploitatif, hal ini terbukti berbagai para peneliti dari segala bidang dan ruang lingkup keilmuan telah menyatakan bahayanya neoliberalisme kapitalistik. Sebagai gejala dan proses yang tak pernah terukur bahwa globalisasi memang menjadi sangat layak untuk senantiasa di bicarakan di manapun kita berada, karena gerakan globalisasi yang berbaju dan berkaki tangan neoliberal ini telah menggurita tanpa meninjau kembali aspek kemanusiaan baik dalam aspek

ekonomi maupun politik dan hokum. Wacana globalisasi dan neoliberal ini telah menciptakan sebuah mesin yang setiap saat menggeliat dalam kerentanan kehidupan dan sekaligus menjadi ancaman yang sangat efektif dalam menghancurkan tatanan dunia. Globalisasi yang berbaju neoliberal ini juga akan terus secara intens menciptakan kemiskinan structural dan ketidakstabilan ekonomi di Negara-negara dunia ketiga (Negara berkembang). Aktivitas ekonomi neoliberalisme dan gerakan globalisasinya melahirkan rasa ketakutan yang amat sangat bagi masyarakat di dunia ketiga saat ini. Kita lihat saja berbagai aktivitas MNCs yang berskala besar dan dominan dalam masyarakat telah berhasil memiskinkan masyarakat dan menciptakan putaran ekonomi masyarakat yang serba malas, liberalisasi di tingkat Negara berkembang, merubah infrastruktur ekonomi nasional, melakukan swastanisasi dan membuat deregulasi kebijakan politik serta ekonomi, kemudian di tambah dengan cengkraman lembaga-lembaga donor seperti IMF, IDB< LoI dan WTO. Semua paradigm,a yang mereka tawarkan merupakan sebuah teror ekonomi pasar terhadap pola ekonomi pasar masyarakat miskin. Lahan dan kekayaan miliki bangsa maupun petani telah menjadi komoditi mereka untuk di eksploitasi dan menyediakan tenaga kerja atau buruh murah, sehingga akumulasi ekonomi pun tidak terhenti dan berjalan mulus seperti yang mereka inginkan. Sejak tahun 1998 sampai dengan 2009 para politisi yang nota bene duduk di DPR RI telah berkomplotan dengan para penganut paham neoliberalisme dan pasar bebas, buktinya dari tahun ke tahun dalam membuat UU selalu di campuri oleh tangan asing yang tidak bertangungjawab. Nyatanya jumlah UU yang teridentifikasi yang melibatkan pihak asing adalah 474 UU telah di syahkan. Yang menyedihkan adalah Undang Undang yang mengatur ekonomi dan Sumber Daya Alam. Ciri umum Undangundang yang telah di campuri oleh tangan asing adalah : Hilangnya campur tangan Negara dalam proses penetapan kebijakan ekonomi dan lebih di kuasai oleh pihak asing serta kontruksi konstitusi yang di buat selama ini lebih mengedepankan pada kebijakan liberalisasi pasar. Penyerahan modal ekonomi dan keuangan pada pihak asing dengan tidak memperhitungkan aspek keuntungan ekonomi sehingga seluruh infrastruktur Sumber Daya Alam telah dirauf oleh asing dengan ekspansi dan eksploitasinya. Perlakuan diskriminatif terhadap usaha-usaha ekonomi rakyat sehingga iklim ekonomi yang sebelumnya kondusif menjadi tidak berdaya guna sehingga menyebabkan kemiskinan structural dan lumpuh total usaha perekonomian rakyat, maka kerentanan dan ketimpangan pun terjadi serta hilangnya lapangan kerja bagi rakayat. Dari beberapa indikasi diatas, tidaklah heran apabila para politisi dan pemimpin bangsa ini menjadi kaki tangan pemodal karena memang tawaran kapitalis dapat menggiurkan para politisi bangsa ini dan mereka pula merasa berkuasa dengan melahirkan kebijakan yang berkepentingan dengan jabatan mereka sendiri. Tidak terhindari bahwa biaya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 NKRI dan pembuatan Undang-Undang itu sendiri telah banyak di biayai oleh UNDP, IMF, WB, NATO, USAID, NDI, Bank Dunia, ADB, total yang mereka keluarkan untuk membiayai pembuatan undang-Undang adalah sebesar 740 Dollar AS. Ini sudah jelas sekali bahwa neoliberalisme dan neokolonialisme telah melapangkan jalan yang sangat terjal dan

merumitkan kebijakan ekonomi bagi Negara Negara berkembang, khususnya bagi kaum miskin. Belum lama ini juga telah ada dan hadir dalam pergulatan ekonomi dunia yakni pembentukan AFTA yang telah di bentuk dari hasil pertemuan ASEAN CARTER dan KTT ASEAN yang di laksanakan pada bulan januari 1992 di Singapura, hasil dari pertemuan tersebut adalah perdagangan bebas dan liberalisasi aspek pertambangan dengan membiayai segala bentuk kebijakan perundang-undangan. Akibat dari AFTA tersebut, tentu mengalami kelumpuhan pada aspek ekonomi dan pengusaha lokal yang merupakan tumpuan harapan bagi mereka. Akibat dari perjanjian AFTA tersebut telah membuka lahan investasi capital yang sangat besar dalam bidang pertambangan sehingga menyebabkan terdongkraknya produksi CPO INDONESIA sebesar 17.200 M Kg yang menghasilkan nilai transaksi sebesar 173.496.400.000.000 Triliun dengan mengacu pada harga jual domistik CPO local sebesar 10.087. Yang lebih parah lagi akibat dari perjanjian AFTA tersebut sudah banyak melahirkan berbagai macam bentuk penindasan yakni dari kekuarangan makanan,mahalnya harga BBM dan bahan pokok, meningkatnya peledakan elpiji yang sebelumnya sangat mahal di beli oleh orang miskin, terbukanya pertambangan rakyat dengan model galian manual sehingga menyebabkan banyak manusia yang meninggal di dalam galian tambang tersebut dan masih banyak masalah lainnya. Belum lama ini di kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat telah memakan korban sekitar ratusan orang tertimbul oleh tanah galian tambang rakyat, para masyarakat yang ribuan orang yang menggali emas di areal tersebut merupakan akibat dari kebijakan pasar bebas yang menghilangkan bentuk penghasilan mereka yang sebelumnya membaik, namun pada akhirnya terjadi bangkrut akibat dari sikap egoisme kekuasaan pemerintah yang eksploitatif dan tidak memperhatikan nasib kaum miskin pinggirin. Akibat tambang rakyat yang ada selama ini di daerah sekotong Lombok Barat dan Sumbawa Besar telah memakan korban sekitar 1.701 orang dari tahun 2006 sampai 2010. Belum lagi tambang multinasional seperti NNT dan freport Papua yang telah mengeruk sumber daya alam selama bertahun-tahun belum memberikan sebuah kesejahteraan yang maksimal untuk rakyat Indonesia, bahkan yang ada adalah mencemarkan racun tambang melalui pembuangan tailingnya beberapa ribu Ton kedasar laut dan aliran sungai. Belum lagi Lumpur Lapindo berantas yang sampai sekarang ini belum bias di tutup lubang gas bumi yang keluar menyembur panas bercampur lumpur yang sudah terjadi beberapa tahun silam sampai sekarang. Di tengah himpitan persoalan kesejahteraan, globalisasi berbaju neoliberal pun tambah mencekik kondisi kemiskinan menjadi ketertindasan yang sudah terstruktur adanya. Kondisi yang sudah sangat memiskinkan bahkan menyebabkan kemusryikan atas bangsa ini sepertinya bagi mereka berbahagia diatas penderitaan orang lain, belum lagi hutang yang terlampau banyak sampai kalau di hitung perkepala pada tahun 2004 mencapai 5,8 juta, sementara pada tahun 2009 hutang perkepala bagi rakyat Indonesia sudah meningkat sebesar 7,7 Juta pada pemerintahan SBY-BOEDIONO KIB II. Jadi kalau di hitung porsentase kenaikan hutang Indonesia yang harus di bayar adalah sebesar 31 % per 5 tahun. Cicilan pokok plus bunga yang harus di bayar oleh pemerintahan SBY-BOEDIONO pada 6 tahun terakhir adalah 877, 633 triliun. Tentu

angka yang sangat pantastis tersebut lebih besar dari APBN yang telah di anggarkan dan kalau di hitung juga lebih besar daripada jumlah pajak yang terkumpul. Inilah realitas bangsa kita selalu menggali lubang tutup lubang. Melihat berbagai masalah yang ada di Indonesia, bukan saja masalah kemanusiaan dan kesejahteraan akan tetapi problem keamanan dalam negeri juga menjadi prioritas utama dalam mengemban misi penegakan kedaulatan dan martabat bangsa. Ada sebuah pernyataan yang sangat menarik nalar dan sendi otak kita untuk selalu berfikir bahwa Roberg (2002) dalam bukunya pernah mengatakan bahwa Indonesia akan benar-benar menjadi Negara gagal dalam membangun dunia baru karena di tengah demokratisasi dan revolusi structural politik masyarakatnya ternyata tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya yang banyak melahirkan kebijakan yang melumpuhkan perkembangan Negara bangsa untuk menjadi Negara nebat. Ciri Negara gagal yang di sebut oleh Roberg dalam bukunya adalah : Keamanan rakyat tak bisa di jaga, Konflik agama dan etnis tak pernah selesai, KKN menggurita dan menjadi alat kekuasaan sehingga membuat Negara ini di ambang kehancurannya. Legitimasi Negara sangat menipis dan tidak lagi banyak campur tangan Negara dalam system perekonomian. Pemerintah pusat tak berdaya menghadapi persoalan dalam negeri dan tidak memiliki jaringan kerja yang luas untuk membangun kekuatan baru dalam menyelsaikan persoalan yang ada sehingga yang terjadi adalah Negara bodoh dan lebih bodoh dari kerbau yang di cocok hidungnya. Rawan terhadap tekanan luar negeri yang di sebabkan oleh tidak konsistennya pemerintah dalam menegasikan tentang sebuah kedaulatan dan keharusan mandiri. Senada dengan Roberg, seorang ilmuan pun yakni Prof. Jared Diamond tahun 2005 (UCLA) telah meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi Negara gagal seperti Somalia, Riwanda, Etiopia dan lain sebagainya. Para pendukung paradigma ekonomi baru memproklamirkan kejayaan pasar bebas di berbagai belahan dunia. Namun demikian, kejayaan seperti itu tidak mempunyai dasar ilmiah. Para perwakilan modal (kapital) yang serius mencermati prospek ekonomi dunia dengan keprihatinan yang terus meningkat. Kapitalisme berkembang sebagai pasar dunia. Tentu ramalan brilyan ini sekarang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Namun ini tidak berarti bahwa ketimpangan kapitalisme dihapuskan atau kenaikan atau kemerosotan yang terjadi secara simultan di seluruh ekonomi dunia. Kapitalisme tidak berkembang dalam waktu bersamaan dan dengan cara yang sama di semua bagian dunia. Siklus ekonomi juga tidak terjadi dengan mulus dan lancar di semua bagian ekonomi dunia. Malah sebaliknya, ciri kapitalisme yang paling menonjol adalah anarki kekuatan produktif. Ini tetap benar walaupun ada dominasi monopoli-monopoli besar, intervensi IMF dan Bank Sentral dan fenomena globalisasi yang banyak disebut. Bahkan di masa transaksi finansial dan ekonomi terjadi dengan kompurisasi teknologi tinggi, proses-proses ini memerlukan waktu untuk melapangkan jalannya lewat ekonomi dunia internasional. Memakan waktu satu tahun bagi devaluasi mata uang Thai untuk mencapai Rusia. Sementara Rusia sendiri telah gagal membayar utangnya bulan Agustus 1998. Kemudian, devaluasi di Brazil terjadi Januari 1999, di Asia sendiri berefek langsung sehingga terjadinya kolaps yang satu menyusul yang lain, dan menimbulkan pergolakan kelas di Korea Selatan, krisis politik serius di Malaysia, dan lebih dari semua itu mulainya revolusi di Indonesia.

Proses mendalam yang mempengaruhi ekonomi dunia butuh waktu untuk muncul. Efek kemerosotan di America di tahun 1929 butuh waktu untuk mencapai Eropa. Ekonomi Prancis, yang relatif terbelakang, mulai mengalami kemerosotan tiga atau empat tahun kemudian, ketika Amerika sudah mulai bangun dari krisis. Ketidakseimbangan tersebut terlihat dalam setiap krisis kapitalis, dan krisis yang sekarang ini terjadi bukanlah pengecualian. Fenomena pembangunan tak seimbang, yang dulu sudah dijelaskan Marx dan Lenin, juga dipahami oleh beberapa ahli ekonomi borjuis. Dengan demikian, Stratfor dengan tepat menunjukkan bahwa adalah keliru untuk berbicara tentang "Asia" seakan-akan sebagai entitas ekonomi homogen yang tunggal: "Fenomena kedua yang kita saksikan di Asia adalah diferensiasi antar negara. Tidak lagi masuk akal untuk berpikir tentang Asia sebagai entitas tunggal ketika membicarakan ekonomi. Sebelumnya mungkin bisa dimengerti, paling tidak dalam pengertian bahwa hampir semua bangsa Asia menuju arah naik yang sama. Kini, mereka bahkan tidak mempunyai satu arah umum yang sama. Beberapa kelihatannya benar-benar membaik, seperti Korea Selatan. Yang lain bergerak ke pinggir. Beberapa yang lain masih terbenam. Namun, dalam pandangan saya, yang paling penting adalah dua mesin Asia, yaitu Jepang dan Cina, kendati adanya peningkatan pasar modal akhir-akhir ini dan angka-angka ekonomi yang menjanjikan, tidak akan bergerak maju tanpa restrukturisasi internal besar-besaran, yang belum terlaksana. Mereka masih terjebak dalam masalah-masalah struktural yang pada mulanya menyebabkan masalah (kemerosotan) tersebut dan, karena mereka adalah pusat tenaga Asia, trend umum akan mengikuti kesuanya walaupun terdapat perbedaan masing-masing negara. Dalam pandangan kami, trend tersebut masih menurun. Dengan demikian, tuntutan Asia akan meningkat, namun tidak jelas bahwa tuntutan ini akan meningkat secara dramatis atau akan meningkat secara permanen." Krisis di Asia terutama Indonesia adalah krisis klasik yang selalu di alami selama ini yakni terjadinya overproduksi. Berbagai ketidakpastian prospek Asia ditangkap oleh para komentator borjuis yang paling serius. Pandangan pesimistik ini juga dimiliki oleh para ahli strategi Kapital yang lain. Dalam ramalannya kuartal ketiga bahwa Stratformenggarisbawahi hal ini: "Dalam beberapa minggu terakhir, media-media besar telah mengumumkan akhir dari melelehnya ekonomi Asia. Secara keseluruhan masalahnya bukan ini. Pandangan ini benar hanya dalam dua pengertian. Pertama, Asia sudah lumpuh. Karenanya kelumpuhan ini sudah berakhir. Ini jauh dari mengatakan bahwa ada pemulihan nyata di Asia. Mari kita lihat secara lain,krisis Asia sudah selesai, dalam pengertian bahwa ini bukan lagi krisis, namun malaise jangka panjang. Kedua, memang ada pemulihan di beberapa negara, namun bukan pemulihan Asia secara keseluruhan. Pada kenyataannya, pandangan kami malah berlanjut bahwa dua kekuatan ekonomi paling besar di Asia, Jepang dan Cina, sedang menuju pada depresi dalam yang tak bisa diperbaiki." Ini adalah pemikiran-pemikiran tentang perpektif bagi Asia dari para analis kapitalis yang punya pandangan paling jauh. Jika depresi tidak bisa diterima, maka Indonesia tidak memiliki kebijakan yang masuk akal. Indonesia saat ini berusaha mempertahankan tingkat bunga mendekati nol. Jika Indonesia melakukan perbaikan dan menaikkan tingkat suku bunga, yang diperlukan untuk mendorong pembentukan modal dan investasi asing, ini akan memicu

gelombang kebangkrutan sambil mendongkrak nilai rupiah. Ini, pada gilirannya, akan memotong ekspor, memangkas aliran tunai dan menganggu stabilitas perekonomian. Jika Indonesia juga mempertahankan bunga rendah, maka ini akan menghambat pembentukan modal dan mendorong inefisiensi ekonomi juga. Cukup menggelikan mengikuti tikungan dan putaran para ahli kebijakan ekonomi Indonesia dalam situasi seperti ini. Ancaman kemerosotan ekonomi besar-besaran pada skala dunia memaksa Indonesia untuk terlibat dalam berbagai macam akrobat dan jungkir balik di mana posisi yang sebelumnya mereka pegang erat-erat. Maka Paul Krugman, ahli ekonomi terkemuka dari MIT mendesak untuk selalu memperluas ekonomi dengan cara mencetak uang. Indonesia dalam hal ini butuh kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab. Indonesia yang ditasbihkan sebagai pakar ekonomi dunia sebelumnya tetap dalam upaya gila-gilaan untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Di masa lampau Gereja Katolik Roma mengatakan bahwa "semua jalan menuju Roma". Kini para ahli ekonomi Indonesia bisa menarik kesimpulan bahwa semua jalan menuju ke kehancuran. Tidak bisa diabaikan bahwa kehancuran ekonomi di Indonesia lebih di sebabkan oleh keteledoran para politisi dalam melahirkan kebijakan ekonomi negara. Pada tahun 1984 ekspor Indonesia 4 miliyar Dollar AS, China hanya 3 Miliyar Dollar AS, melihat struktur kekuatan ekonomi dan perkembangan modal besar yang di pasok oleh perusahaan asing, tanpa menguranggi rasa bangga yang awalnya Indonesia unggul, namun dalam kurun waktu 20 tahun dari pemerintahan orde baru sampai di era Gusdur bangsa Indonesia tertinggal dengan tingkat ekspor hanya 70 Miliyar Dolar AS sementara China sudah melebihi target dengan 10 kali lipat dari Indonesia dengan tingkat 700 Miliyar Dollar AS. Kemudian kalau kita bandingkan juga dengan perkembangan Malaysia, posisi Indonesia paling menyedihkan. Padahal Indonesia dalam pembangunan jalan kereta api dan transfortasi nasionalnya lebih dahulu 10 tahun dari Malaysia dan 12 tahun dari china. Namun perkembangan Malaysia dan China melebihi perkembangan Indonesia, panjang jalan tol Malaysia sekitar 6.000 KM dan china 60.000 KM, sementara Indonesia panjang jalan tolnya cuma 630 KM. Kalau kita melihat perkembangan tersebut rasa bangsa Indonesia sangat susah untuk bergerak maju, karena memang karakter rakyat Indonesia dari generasinya sampai pemimpinnya masih menerima bayaran dari semua kepentingan untuk melanggengkan kekuasaannya, buktinya dana pemilu pilpres dan pemilukada tahun 2009 di perkirakan sekitar 50 Triliun yang berarti mencapai 5 % dari APBN. Pelaksanaan pesta demokrasi Indonesia sudah kategori sangat mahal, ketika segala sesuatu di laksanakan sangat mahal, maka konsekwensi yang terjadi adalah demokrasi criminal. Dalam pengertian Rizal Ramli bahwa pemilu Indonesia di laksanakan diatas kecurangan yang sangat tidak masuk akal, mengapa ?, karena pemilu Indonesia menghasilkan pemimpin oportunis, semua bentuk dan proses pemilu di rekayasa, beli suara, KKN, manipulasi suara, beli suara, Daftar Pemilih Tidak Tetap, sekandal bank century, Penghitungan suara dengan IT, pembelian nomor urut caleg. Sedangkan criminal output pemilu yakni banyaknya anggota dewan yang lolos dalam pemilu tersebut kalau menyusun anggaran seringkali ada persengkokolan, misalnya 19,5 Triliun. Out put lain dari demokrasi criminal adalah kader bangsa terbaik yang

memiliki tracrecord baik, cerdas dan berintegrasi tergusur dan tereliminasi dari proses rekrutmen politik dan birokrasi, sehingga tidak dapat tampil menjadi pemimpin bangsa. Hanya karena tidak punya cukup uang dan sponsor, namun yang lolos dari rekrutmen adalah yang banyak uang dan mampu bermain dalam system demokrasi criminal. Maka oleh karena itu tidak heran jika lembaga politik dan birokrasi di penuhi oleh bukan kader bangsa terbaik dank arena itu tak punya visi dan komitmen untuk membangun bangsa dengan sungguh-sungguh dan benar-benar. System demokrasi yang sehat sebaiknya melahirkan kader bangsa yang terbaik dan itu menjadi prasyarat lahir sebuah bangsa yang jaya dan bermartabat. Sangat naif Indonesia akan menjadi Negara yang bermartabat kalau saja para pemimpin dan calon pemimpin bangsa ini menjadi bagian dari manusia yang oportunis. Seharusnya bangsa ini sudah selayaknya menjadi Negara yang penuh dengan moralitas dan martabatnya. Demikian juga dengan system partai di Indonesia harus di rubah dan anggarannya harus berasal dari APBN supaya semua politisi kita tidak menjadi politisi yang liar dan bisa accountable serta tidak di bajak oleh kapitalis/corporatokrasi. Dan yang paling penting juga UU pemilu harus di buka supaya melahirkan demokrasi yang sehat. Di tengah prilaku politik seperti ini, di wilayah karawang Jawa Barat sebagai daerah yang selama ini pemasok beras, pangan dan lumbung kesejahteraan bagi kota Jakarta. Luas lahan petani di kerawang tersebut 0,33 Ha dengan nilai pendapatan rata-rata perbulan 700.000 Rupiah (23.000 perhari), sedangkan angka pendapatan hidup layak di Karawang sebesar 1,2 juta perbulan, sementara upah minimum 2010 adalah 1,1 juta perbulan, kalau kita menghitung berapa besar pengeluaran untuk kehidupan sehari-hari rakyat Karawang sangatlah prihatinkan karena tingginya pengeluaran daripada pemasukan. Pengeluaran masyarakat karawang perbulan mencapai 3 Juta lebih perkeluarga, sementara pendapatan mereka hanya 1,1 1,2 Juta perbulan. Ini menunjukkan sebuah bentuk penindasan terhadap hak-hak petani karawang. Karena memang Karawang sebagai penghasil beras yang merupakan penopang para elit-elit di DKI Jakarta tidak berusaha di perhatikan sebagaimana mestinya. Selain dari itu juga, ada 30 Juta rakyat Indonesia yang tidak memiliki rumah, lebih besar dari penduduk Malaysia. Pada zaman orde baru ada rumus yang mengatakan bahwa system pembangunan rumah di Indonesia 1:3:6 artinya setiap kapitalis membangun apartemen atau perusahaan maka mereka di tuntut untuk membangun rumah menengah sejumlah 3 unit dan rumah sederhana 6 Unit, namun rumus ini tidak bertahan lama ketika soeharto lengser pada Mei 1998, rumus ini di mentahkan oleh loby-loby para kapitalis yang bertujuan meliberalisasikan segala bentuk unsure dan komponen BUMN serta milik Negara maupun hak milik rakyat. Sekarang ini pun di tahun 2010 yang muncul di layar TV Lokal maupun Nasional justru wanita cantik yang seksi dan mengundang bafsu birahi mempromosikan segala bentuk dan ukuran serta model apartemen yang di bangun oleh kapitalis. Para wanita cantik tersebut berceloteh tanpa melihat bagaimana di wilayah sekitar apartemen tersebut yang tidak pernah merasakan manisnya kesejahteraan yang di berikan oleh Negara kepada mereka sebagai rakyat kecil di sekitar apartemen tersebut. Jutaan rakyat kecil dan tertindas di gang-gang menyaksikan kemolekan apartemen tersebut, sembari

merenung tentang sebuah harga apartemen 1,4 Miliyar Rupiah. Sementara para rakyat kecil dan berbagai jumlah purnawirawan (pensiunan TNI) terlantar akibat rumahnya di ambil oleh Negara untuk kepentingan kapitalis. Di tengah perkembangan perekonomian Indonesia dalam status waspa