Budaya Sbg Modal PPK

26
BUDAYA LOKAL SEBAGAI MODAL DALAM PENGEMBANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Nawari Ismail 1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. I. LATAR BELAKANG MASALAH Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat dipilah ke dalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antar komunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya. Pada era reformasi konflik horizontal sangat menggejala di Indonesia. Kompas (20 Desember 2000) misalnya berdasarkan pooling yang dilakukan pada hampir 1500 responden mencatat bahwa ada 3 jenis konflik horizontal yang mencemaskan yaitu konflik antar umat beragama mencapai 73%, antar suku mencapai 81%, dan konflik antar wilayah sebesar 90%. Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, khususnya konflik antar umat beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi, pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah. Maraknya konflik antarumat beragama tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstribusi penguasa Orde Baru. Sebab melalui politik SARA-nya penguasa telah menekan semua perbedaan yang berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antargolongan. Semuanya dimasukkan dalam bingkai kesatuan, dan stabilitas politik dan keamanan demi pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan seperti ini menjadikan konflik, baik laten maupun manifes, harus ditekan dan celakanya tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Pendekatan tersebut dari luar nampak berhasil, di mana kerukunan hidup beragama terlihat ‘ayem-tentrem’, namun di dalam mengandung potensi konflik besar. Kalaupun ada penyelesaian, masyarakat dan kelompok yang berkonflik hanya dijadikan sebagai 1 Alamat korespondensi: 0818 027 053 07

Transcript of Budaya Sbg Modal PPK

Page 1: Budaya Sbg Modal PPK

BUDAYA LOKAL SEBAGAI MODAL DALAM PENGEMBANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Nawari Ismail1

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat

dipilah ke dalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan horizontal. Konflik vertikal

merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada

penguasa. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antar komunitas dalam

masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengamcam

kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya.

Pada era reformasi konflik horizontal sangat menggejala di Indonesia. Kompas (20

Desember 2000) misalnya berdasarkan pooling yang dilakukan pada hampir 1500

responden mencatat bahwa ada 3 jenis konflik horizontal yang mencemaskan yaitu

konflik antar umat beragama mencapai 73%, antar suku mencapai 81%, dan konflik

antar wilayah sebesar 90%. Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat,

khususnya konflik antar umat beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan

berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah,

kesukuan, ekonomi, pendidikan, dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya

otonomi daerah.

Maraknya konflik antarumat beragama tersebut tidak dapat dilepaskan dari

konstribusi penguasa Orde Baru. Sebab melalui politik SARA-nya penguasa telah

menekan semua perbedaan yang berbau kesukuan, keagamaan, ras, dan antargolongan.

Semuanya dimasukkan dalam bingkai kesatuan, dan stabilitas politik dan keamanan demi

pertumbuhan ekonomi. Melalui kebijakan seperti ini menjadikan konflik, baik laten

maupun manifes, harus ditekan dan celakanya tidak pernah diselesaikan secara tuntas.

Pendekatan tersebut dari luar nampak berhasil, di mana kerukunan hidup beragama

terlihat ‘ayem-tentrem’, namun di dalam mengandung potensi konflik besar. Kalaupun

ada penyelesaian, masyarakat dan kelompok yang berkonflik hanya dijadikan sebagai

1Alamat korespondensi: 0818 027 053 07

Page 2: Budaya Sbg Modal PPK

obyek bukan subyek penyelesai konflik. Level akar-rumput hanya menjadi penonton

dalam setiap pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama.

Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan pokok untuk

mengetahui dan merumuskan model pengendalian dan penyelesaian konflik dengan

menjadikan budaya lokal sebagai modal dasarnya.

II. PERUMUSAN MASALAH

Penelitian ini berusaha menemukan dan menyusun model pengendalian dan

penyelesaian konflik antarumat beragama (KAUB) berbasis budaya lokal. Dari

penyusunan tersebut akan ditemukan juga prinsip kebijakan tentang pembinaan

kerukunan antarumat beragama dengan memperhatikan budaya lokal yang ada.

III. TINJAUAN PUSTAKA1. Model Pengendalian Potensi Konflik

Secara umum konsep model setidaknya bermakna dalam 2 hal yaitu model

dalam makna contoh sesuatu yang perlu ditiru, dan model dalam pengertian bentuk, pola

atau rancangan. Dari sudut pandang keilmuan model dapat diartikan sebagai tiruan

(representasi) dari kenyataan yang sebenarnya (realitas, gejala, dunia emperik). Hal ini

sebagaimana ditegaskan oleh Murdick & Rossi bahwa model adalah abstraksi dari

realitas, suatu penghampiran terhadap kenyataan. Karena itu suatu model tidak mampu

menggambarkan rincian dari kenyataan, namun hanya mampu memerikan dan

mengonstruksi bagian-bagian tertentu yang dianggap penting dari sebuah gejala. Selain

itu Pelto & Peltoii menyatakan bahwa model terkait erat dengan teori. Teori merupakan

sebuah sistem dari berbagai konsep dan preposisi yang saling terkait, sedangkan model

menurutnya merupakan ‘sistem teori’ yang ditemukan dalam kenyataan.

Pengendalian potensi konflik berarti proses mengajak atau memaksa anggota

masyarakat supaya mematuhi kaidah-kaidah, nilai-nilai sosial, dan menjaga supaya

potensi konflik yang ada tidak menjadi kasus konflik, sehingga stabilitas dan integrasi

Page 3: Budaya Sbg Modal PPK

dalam masyarakat terus dapat dipertahankan. Dengan demikian pengendalian potensi

konflik memiliki dua tujuan yaitu (1) supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik,

dan (2) untuk menumbuhkan dan keberlangsungan integrasi dalam kehidupan

masyarakat. Kedua tujuan merupakan satu kesatuan.

Cara pengendalian potensi konflik supaya potensi konflik tidak menjadi kasus konflik

bentuknya beragam tergantung kepada kesepakatan dan tradisi yang ada dalam

masyarakat. Misalnya Gatut Murniatmoiii dalam konteks interakasi etnik Cina-Arab-Jawa

menemukan bahwa pengendalian potensi konflik berupa pembauran etnik minoritas

(Cina dan Arab) ke dalam budaya etnik mayoritas (Jawa), yaitu orang Cina dan Arab

diharuskan membaur dengan masyarakat Jawa dan supaya aktif dalam lembaga

pembauran yang dibentuk oleh pemerintah Kota Surakarta secara top-down. Cara

pengendalian potensi konflik yang lain yaitu mengembangkan nilai-nilai yang disepakati

sebagai instrumen agar potensi konflik tidak tumbuh dan integrasi berkembang. Satu di

antara nilai-nilai yang perlu dikembangkan tersebut berupa tradisi yang berkembang

seperti tradisi gotong-royong, tolong-menolong, merealisasikan filosofi-lokal, dan

pemaknaan simbol-simbol lokal yang menjadi pemersatu umat beragama. Contohnya

dalam masyarakat Sunda ada ‘ugeran’ (pepatah) ‘akur jeng batur sakasur, batur

sadapur, batur sasumur, terus batur salembur’, Artinya, hidup rukun dengan suami-

isteri, dalam keluarga, tetangga, dam teman satu kampung atau masyarakat.iv Sementara

dalam masyarakat Jawa mengenal tradisi rewang, tetulung, juga ‘trah’ yang berfungsi

sebagai kelompok sosial pemersatu karena tanpa membedakan agama anggotanya.v

Sementara itu Isyantivi menemukan bahwa kelompok sosial ‘trah’ dan asosiasi

berdasarkan kesukuan dapat berfungsi sebagai pemersatu dari suku yang berbeda

agama, juga berfungsi sebagai pengendali sosial dari orang yang beda agama terutama

pada asosiasi kesukuan Sumatera (62,50%), dan Sulawesi (16,70%).

Selain itu perlu dikembangkan juga pemanfaatan aktor lokal sesuai dengan tradisi

yang ada untuk mengembangkan integrasi, misalnya dalam masyarakat Madura,

termasuk masyarakat yang banyak dipengaruhi budaya Madura, mengenal pepatah,

‘buppa’ babu’ guruh ratoh’ , maksudnya orang harus menghormati dan patuh secara

berurutan kepada ‘bapak-ibu, guru-kyai, dan pemerintah’. Salamun dkkvii menemukan

bahwa masyarakat Sarang Meduro Rembang dalam mengendalikan konflik yang berasal

Page 4: Budaya Sbg Modal PPK

dari ‘bank tithil’ menjadikan pejabat pemerintah dan kyai sebagai aktor lokal yang

berfungsi sebagai pengendali, mereka berperan melakukan sosialisasi tentang kelemahan

dari bank tersebut.

Cara lain yang dapat dilakukan untuk pengendalian konflik ini adalah

menumbuhkembangkan konsensus nilai-nilai sosial yang bersifat fundamental,

memanfaatkan banyaknya masyarakat yang menjadi anggota dalam berbagai unit sosial

sekaligus (cross-cutting affiliation) sehingga potensi konflik dapat dikendalikan dan

diredam karena adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities), dan adanya

interdependensi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi.viii Dari temuan Geertzix dan

Saifuddin,x dalam koteks hubungan internumat beragama, juga dapat ditarik ke dalam

konteks cara pengendalian potensi konflik agar integrasi terus berkembang, yaitu:

mengembangkan adanya rasa satu kebudayaan nasional, kesadaran akan adanya kesatuan

budaya tradisional. Sementara Geertzxi menemukan bahwa varian abangan sangat

memperlihatkan ciri-ciri seperti masyarakat moderen yaitu adanya toleransi yang tinggi

terhadap umat agama lain. Hal yang sama terjadi dalam kasus perkawinan beda agama,

pranata perkawinan telah menjadi intitusi mediasi integrasi antarumat beragama. Hal ini

karena adanya pandangan keagamaan yang bersifat sinkritik dari masyarakat Jawa,

nilai-nilai abangan, dan pandangan yang bernuansa sekularistik yaitu memposisikan

agama sebagai hal yang bersifat pribadi.xii Karena itu untuk pengendalian potensi

konflik, termasuk penyelesaian konflik, dapat juga dikembangkan nilai-nilai toleransi

dalam kehidupan antarumat beragama.

2. Model Penyelesaian Konflik

Dalam sebuah model penyelesaian konflik terdapat beberapa komponen yang

harus diperhatikan yaitu pendekatan, penggunaan instrumen atau sarana tertentu, dan

memperhatikan dan memanfaatkan unsur-unsur budaya lokal yang ada di suatu

masyarakat.

Pendekatan dalam upaya penyelesaian konflik, termasuk konflik antarumat

beragama, beragam yaitu (a) integrasi atau kolaborasi, (b) kompromi, (c) dominasi atau

kompetisi, (d) akomodasi (obliging), (e) menghindar (avoiding).xiii Integrasi atau

Page 5: Budaya Sbg Modal PPK

kolaborasi merupakan bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan secara bersama-sama

di antara pihak yang berkonflik dengan pendekatan menang-menang (win-win

approach). Kepentingan kedua belah pihak diperhatikan, ketidaksesuaian dibahas secara

dirinci. Model ini sangat berguna ketika kepentingan kedua belah pihak sama-sama

penting yang sulit dikompromikan. Adapun dalam kompromi pihak-pihak yang

berkonflik bersepakat untuk berbagi sumber yang terbatas, kedua belah pihak setuju

damai, namun persetujuan itu bukan pilihan pertama tiap pihak. Dalam bentuk kompetisi

pendekatannya bersifat menang-kalah, pihak yang kuat akan menang dan mendominasi

situasi konflik. Model ini berguna terutama dalam situasi keterbatasan sumber daya yang

tersedia, juga ketika masa kritis yang menghendaki keputusan cepat harus diambil.

Dalam bentuk akomodasi satu pihak berlapang dada menampung kebutuhan pihak lain

dan mengorbankan kepentingannya sendiri, sedangkan bentuk menghindari (avoiding)

berarti salah satu dan atau kedua belah pihak menghindar dari topik atau situasi konflik.

Selain itu ada cara-cara lain seperti dikemukakan oleh Maarifxiv yaitu negosiasi,

fasilitasi, mediasi, rekonsialisasi, arbitrase, ligitasi, dan represif. Negosiasi merupakan

penyelesaian konflik melalui kesepakatan kepentingan antarpihak yang terlibat konflik.

Bentuk pendekatan ini cenderung hanya mengakomodasi kepentingan, dan karenanya

cenderung tidak menyelesaikan akar masalah dan karenanya tidak bertahan lama. Dalam

pendekatan fasilitasi melibatkan pihak ketiga yang dianggap netral. Fasilitator berfungsi

mengakomodasi akar masalah, sehingga kedua belah pihak menemukan alternative

pemecahan masalah, pemecahan itu berasal dari, oleh dan untuk pihak yang berkonflik.

Adapun dalam bentuk mediasi, mediator yang berasal dari pihak ketiga dan netral

berusaha melakukan lobi-lobi terhadap pihak yang terlibat secara terpisah untuk mencari

mencari jalan keluar yang disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Jika dalam

proses mediasi pihak-pihak yang berkonflik sepakat bertemu untuk membahas secara

langsung di antara mereka mengenai keluhan, keinginan dan kepentingan masing-masing

serta telah menghasilkan beberapa kesepakatan, maka dapat ditindaklanjuti dengan

rekonsialiasi. Apabila dalam penyelesaian konflik dilakukan melalui pendekatan

kekuasaan/ pemerintah, maka disebut arbitrase, dalam hal ini pemerintah melakukan

tindakan tegas terhadap pihak yang berkonflik dengan mengabaikan aspirasinya. Jika

pemerintah melakukan pendekatan pemaksaan melalui militer disebut represi. Sementara

Page 6: Budaya Sbg Modal PPK

ligitasi dilakukan dengan cara penegakan peraturan perundangan dengan dasar untuk

ketertiban dan keamanan masyarakat, dan tanpa memperdulikan kepentingan dan

aspirasi pihak berkonflik.

Contoh Model Aktual: Berbagai contoh model penyelesaian konflik sudah banyak

dilakukan dalam berbagai konflik seperti di Afrika Selatan, Poso dan Maluku yang

berbasis budaya lokal. Model penyelesaian konflik melalui rekonsiliasi di Poso dan

Maluku misalnya menggunakan sembilan komponen penting, 6 komponen diambil dari

pengalaman di Afrika Selatan dan 3 komponen dari Gerakan Baku Bae Maluku.

Kesembilan komponen tersebut yaituxv: adanya visi yang kuat untuk masa depan;

membangun sistem hukum reskonsialisasi; partisipasi kelompok masyarakat sipil;

pemanfaatan atribut dan nilai lokal; aktor lokal; media kampanye; berfokus kepada

korban; workshop kritis yang berupaya mengkaji akar masalah dan kesepakatan bersama

dan melibatkan semua pihak yang berkonflik baik dari kalangan pemuda, wanita, tokoh

agama, masyarakat dan adat; dan penggunaan fasilitator yang sekaligus berperan sebagai

mediator, dan negoisator.

Dalam proses pemanfaatan budaya lokal ketika penyelesaian konflik di Maluku dan

Ambon tersebut setidaknya ada lima hal yang dilakukan yaituxvi: memberdayakan aktor

lokal yang memegang teguh budaya lokal; melakukan gotong-royong secara adat dalam

memperbaiki tempat ibadah dan tempat lainnya yang rusak dan kemudian diresmikan

secara adat; silaturrahmi antarkomunitas yang dipimpin tokoh agama masing-masing;

mengembangkan nilai-nilai budaya lokal, pela gandung; dan disertai dengan tindakan

hukum secara tegas dan adil.

Terlepas dari contoh model tersebut, apapun model penyelesaian konflik yang akan

dilakukan, terutama dalam penyusunan model, maka dua hal penting yang harus

dilakukan yaitu: mencermati teori-teori konflik universal, namun juga yang lebih

penting adalah menggunakan paradigma nasional dan tentu komunitas dan budaya lokal

tempat konflik berada.

Page 7: Budaya Sbg Modal PPK

3. Budaya Lokal

Makna dan Komponen: Kata budaya lokal atau kebudayaan lokal sering

mengandung banyak tafsir, seiring dengan ratusan batasan yang tidak disepakati oleh

antropolog sendiri. Karena itu perlu penjelasan dalam konteks penelitian ini. Mengikuti

C. Kluckhohn dan A.L Kroeber yang dimaksud kebudayaan adalah seperangkat pola

perilaku dan bertingkah laku secara eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan

diturunkan melalui simbol, yang membentuk sesuatu yang khas dari kelompok manusia,

termasuk manifestasinya dalam benda-benda materi.xvii Berdasarkan pengertian

tersebut maka Koentjarangingratxviii mengemukakan tiga rangkai kesatuan dari

kebudayaan yaitu perangkat ide atau nilai-nilai, perangkat aktivitas atau perilaku, dan

hasil aktivitas.

Perangkat Nilai : Tiga rangkai kebudayaan tersebut jika dikaitkan dengan

kebudayaan lokal berarti setiap ide (nilai-nilai, norma-norma, gagasan), aktivitas, dan

hasil aktivitas dari kelompok manusia di suatu tempat atau daerah. Perangkat nilai-nilai

atau sistem nilai dari suatu kelompok masyarakat lokal tidak dapat diketahui karena ia

berada dan berupa peta kognitif pendukung kebudayaan. Ia hanya dapat diketahui dalam

wujud pepatah atau ugeran, atau kalau sudah mewujud dalam aktivitas manusia atau

hasil dari aktivitas dalam bentuk benda-benda budaya. Nilai-nilai lokal ini, yang sering

disebut dengan kearifan lokal, terdapat di setiap suku yang ada di Indonesia, khususnya

yang berkaitan dengan hidup rukun antarmanusia. Misalnya di Maluku ada ‘pela

gandong’ sebagai nilai lokal yang mengajarkan agar masyarakat hidup berdampingan

dan bertoleransi antaragama dan suku. Dalam kaitannya ini nilai-nilai budaya lokal tidak

hanya berarti berorientasi kepada nilai-nilai warisan nenek moyang masa lalu yang

cenderung dianggap ‘kuno’, tapi juga dapat berupa nilai-nilai yang sedang tumbuh di

tengah kehidupan masyarakat saat ini. Yang terpenting nilai-nilai itu dijadikan rujukan

dan kesepakatan bersama dari anggota masyarakat setempat.

Perangkat Aktivitas-Kelembagaan-Upacara : Adapun perangkat aktivitas

manusia muncul sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Proses pemenuhan

kebutuhan tersebut kemudian melahirkan berbagai pranata. Di antaranya pranata

keluarga dan kekerabatan, kebutuhan berkelompok ini juga melahirkan organisasi dalam

kehidupan masyarakat. Kelompok dapat berupa satuan manusia akibat terjadinya

Page 8: Budaya Sbg Modal PPK

perkawinan yang disebut juga dengan orgnisasi primer seperti keluarga dan

kekerabatan. Selain itu ada kelompok yang merupakan organisasi dibuat atau biasa

disebut dengan organisasi sekunder atau formal seperti RT/RW, organisasi desa, atau

dusun. Di antara kedua bentuk kelompok tersebut ada kelompok yang didasarkan atas

kekerabatan tapi dibuat secara resmi seperti trah.

Dalam setiap kelompok atau organisasi, baik primer maupun sekunder,

melahirkan sistem kepemimpinan. Setiap organisasi ada orang yang dijadikan panutan

dan anggota. Di setiap budaya hal ini berbeda-beda.

Selain itu, upaya pemenuhan kebutuhan spiritual-emosional, baik dalam

hubungannya dengan sesuatu yang dianggap transenden atau bukan, melahirkan berbagai

ritus dan upacara. Dari segi kepentingannya upacara dapat dibagi ke dalam 2 tipe yaitu

upacara yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kepentingan kelompok atau umum,

misalnya untuk menjaga kelompok dari bencana, upacara yang berkaitan dengan

kesuburan tanah dan panen. Tipe upacara yang lain yaitu upacara yang berkaitan dengan

siklus kehidupan manusia atau disebut dengan upacara lingkaran hidup seperti

kehamilan, kelahiran, pubertas, perkawinan, dan kematian. Di antara upacara tersebut

dalam suatu budaya dapat menjadi pemersatu antarkelompok seperti slametan,

sambatan, sinoman, tahlilan, dibaan, dan bersih desa.

Fungsi Budaya Lokal: Setiap budaya lokal mempunyai fungsi. Setidaknya ada

4 fungsixix yaitu: (a) sebagai wadah cross-cutting , (b) seagai acuan moral bersama, (c),

sebagai kontrol sosial, dan (d) sebagai garansi dan asuransi sosial. Pertama, fungsi

sebagai wadah titik temu anggota masyarakat dari berbagai latar belakang seperti status

sosial, suku, dan agama, ideologi, dan politik. Hal ini dapat dibuktikan dari berbagai

upacara seperti slametan yang terus berkembang di tengah deru modernisasi. Kedua,

budaya lokal seperti lembaga adat, tradisi dapat juga berfungsi sebagai norma-norma

sosial yang memiliki pengaruh signifikan dalam mengatur sikap dan perilaku

masyarakat. Ketiga, budaya ini juga memiliki fungsi sebagai pengontrol sosial dari setiap

anggota masyarakat . Misalnya tradisi bersih desa bukan sekedar sebagai kegiatan yang

bersifat gotong royong dan lingkungan tetapi juga memiliki makna bersih dosa setiap

anggota masyarakat. Keempat, budaya dapat berfungsi sebagai penjamin anggota

Page 9: Budaya Sbg Modal PPK

pendukung budaya, sinoman dan sambatan misalnya memiliki nilai sosial-ekonomis

bagi anggotanya.

IV. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melakukan pengendalian dan

penyelesaian konflik yang bersifat botton-up dengan memanfaatkan budaya lokal yang

ada dalam masyarakat. Hal ini seiring dengan proses demokratisasi dan tumbuhnya

kesadaran terhadap makna pentingnya keragaman dan budaya lokal dalam bingkai

kesatuan budaya nasional. Dengan demikian hasil penelitian ini bermanfaat dalam

pengambilan kebijakan oleh pemerintah dalam mengembangkan kerukunan antarumat

beragama ke depan seperti dalam penyusunan sistem perundangan yang terkait dengan

kerukunan beragama di Indonesia. Secara teoritik hasil penelitian bermanfaat untuk

melengkapi literatur di bidang sosial-budaya agama dan sebagai usaha mengembangkan

penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak.

V. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus.

Lokasinya meliputi Kulonprogo, Solo, Mataram, Pasuruan, dan Tasikmalaya. Informan

diambil secara purposive atau seleksi yang didasarkan atas kriteria, meliputi: pejabat

Depag, Kesbang, pejabat/tokoh yang memahami kebudayaan lokal, pimpinan forum

umat beragama Islam dan Kristiani, dan atau tokoh lokal dan ormas keagamaan.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, dan focus group discussion

(FGD). Data diklasifikasi berdasar tema bahasan, kemudian dianalisis secara deskripsi-

tebal (thick-description)

Page 10: Budaya Sbg Modal PPK

VI. HASIL PENELITIAN

A. Model Pengendalian Konflik Berbasis Budaya Lokal

Kelayakan komponen budaya lokal untuk difungsikan sebagai instrumen

pengendalian dan penyelesaian konflik didasarkan pada evaluasi dan seleksi

terhadapnya. Langkah pertama adalah mengidentifikasi status tiap komponen, dan kedua

menetapkan fungsinya, dan terakhir memilih mekanisme pelaksanaannya. Dari aspek

statusnya, ada 3 kemungkinan yaitu: potensial, aktual, dan impotensial. Komponen

budaya lokal dianggap potensial jika ia sangat mungkin diperankan dan diberdayakan

sebagai instrumen atau media dalam pengendalian konflik antarumat beragama. Dapat-

tidaknya pemberdayaan ini didasarkan atas alasan rasional sesuai dengan situasi dan

kondisi masyarakat saat ini dan ke depan. Alasan-alasan tersebut misalnya didasarkan

atas tujuan dan orientasi, kuantitas dan frequensi kegiatna, serta pelaksanaannya

dalam masyarakat. Komponen budaya lokal dianggap impotensial atau tidak potensial

jika ia secara rasional kurang, bahkan tidak mungkin dapat diperankan sebagai instrumen

pengendali konflik. Di sisi lain ia dianggap aktual kalau sudah diperankan oleh

masyarakat sebagai pengendali dan penyelesai konflik antarumat beragama.

Dilihat dari fungsi komponen budaya tersebut dalam pengendalian konflik dipilah

ke dalam tiga hal yaitu: sebagai pedoman bersama, instrumen sosialisasi hidup rukun dan

damai, dan wadah interaksi antarorang yang berbeda agama. Dari keempat komponen

budaya terdapat perbedaan status dan fungsi masing-masing pada tiap daerah. Di tiap

daerah meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen

pengendalian dan penyelesaian konflik, namun tingkatan jenis statusnya berbeda, ada

yang potensial, impotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang terlacak

dapat difungsikan sebagai instrumen, namun hanya ada satu atau lebih dalam sebuah

komponen budaya yang sudah aktual atau impotensial karena beberapa alasan.. Misalnya

budaya yang dianggap tidak potensial meliputi: alon-alon waton klakon (terdapat di

Kulonprogo dan Solo), kasunanan (Solo), sesajen (Pasuruan), pondok pesantren,

pangusung-keliang-banjar dan semua upacara adat seperti pujowali, ngentunin, bau-

nyele, dan sadran (Mataram). Sementara budaya yang sudah aktual berlaku di

masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian konflik antarumat beragama meliputi

Page 11: Budaya Sbg Modal PPK

gotong royong yang menjadi wadah interaksi, kyai dan pamong serta baritan (di

Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), gotong royong juga sudah dijalankan di Solo.

Jika dilihat dari sumber kebudayaan diketahui kebudayaan yang lebih dominan

berfungsi pada setiap komponen, apakah berdasarkan kepada suku, agama atau

perpaduan di antara keduanya. Peninjauan terhadap sumber kebudayaan ini menunjukkan

ada kesamaan dan sekaligus perbedaan pada setiap daerah. Sebagaimana terlihat dalam

tabel di bawah pada tiap daerah menunjukkan bahwa sumber dari komponen budaya

lokal yang ada didasarkan atas kebudayaan mayoritas, baik agama mayoritas (Islam)

maupun suku mayoritas atau paduan antara keduanya (agama dan suku mayoritas),

meskipun ada juga yang bersumber dari suku mayoritas-agama-agama global, baik

mayoritas maupun minoritas seperti dalam upacara lingkaran hidup.

Perbedaan dan persamaan di tiap daerah ini nampak juga dalam mekanisme yang

harus dilaksanakan dalam pemeranan komponen budaya tersebut dalam pengendalian

konflik, ada daerah yang memilih menerapkan mekanisme integrasi (Kulonprogo dan

Solo), juga ada yang memilih untuk menerapkan mekanisme integrasi dan mandiri

(Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Mekanisme mandiri yaitu komponen-komponen

budaya lokal saja yang dijadikan instrumen dalam pengendalian konflik. Adapun

mekanisme integrasi yaitu satu atau lebih komponen budaya lokal diintegrasikan ke

dalam proses pengendalian konflik

Adapun rincian dari perbandingan mengenai status, fungsi, sumber kebudayaan pada

setiap komponen budaya, dan mekanismenya di tiap daerah dapat dilihat dalam tabel 1-

5:

Page 12: Budaya Sbg Modal PPK

Tabel 1: Model Pengendalian Konflik: Kulonprogo

Komponen BudayaPotensial Aktual Impotensial Sumber

Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter

Nilai-nilai:1. Tayub2. Leliru saka liyan3. Teposeliro4. Sambatan dan gotong royong5. alon-alon asal klakon

++++-

+ +

Suku mayoritas

Integratif

Kelompok sosial1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. Gotong royong

++

++

+

Suku mayoritas

Aktor lokal:1. Priyayi2. Kyai3. Pamong

+++

Suku mayoritasAgama mayosritas

Upacara Adat:1. Baritan (UA Tipe 3)2. Jamasan pusaka (Tipe 3)3. Bersih desa (Tipe 3)4. Saparan (Tipe 2)5. Nyekar (Tipe 2)6. Sadranan (Tipe 2)Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian

++++++

+++

+

+Suku mayoritas

Suku mayoritas–agama global

Keter.: Sos.=Sosialisasi Int.= (Wadah) Interakasi PB=Pedoman Bersama• = menunjuk pada adanya subkomponen budaya pada kolom tertentu.•

Page 13: Budaya Sbg Modal PPK

Tabel 2: Model Pengendalian Konflik: Pasuruan Komponen Budaya

Potensial Aktual Inpotensial Sumber Kebudyaan Mekanisme

PB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos InterNilai-nilai:1.Mbiodo2. Bowo3. Gotong royong

+++

Pendhalungan

Mandiri

Kelompok sosial1. Trah 2. Pesantren3. Komunitas Madura4. Gotong royong

+++

+

Agama dan suku mayoritas (pendahlungan)

dan Integratif

Aktor lokal:1. Kyai 2. Tokoh Madura

++

Agama dan suku mayoritas (pendhalungan)

Upacara Adat:Sesajen

Upacara lingk.hidup: Kelahiran- kematian +

+ + Agama-suku mayoritas

Agama-suku mayoritas

Tabel 3: Model Pengendalian Konflik: Tasikmalaya

Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber

Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter

Nilai-nilai: Batur Sasumur-Salembur

+ Suku mayoritasMandiri

Kelompok sosial1. Majelis taklim2. Pondok pesantren3. MUI kecam/desa

+++

Agama mayoritas dan

Integratif

Aktor lokal: Ajengan + Agama mayoritas

Upacara Adat:1. Bersih desa2. Sadran3. Hajat laut

Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian

++

+

+

+

+

Suku mayoritasAgma mayoritasSuku mayoritas

Suku-agama mayoritas

Page 14: Budaya Sbg Modal PPK

Tabel 4: Model Pengendalian Konflik: Mataram

Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber

Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter

Nilai-nilai:1. Ngejot2. Blangan3. Bebagar4. Dimana Bumi dipijak di situ langit dijunjung/Merang

++++

Suku mayoritas

Mandiri

Kelompok sosial1. Pengusung-keliang-banjar

2. Org.agama:Nahdatul Wathan3. Pondok pesantren

+ adatasi fungsi

++ +

Suku mayoritas

Agama mayoritas

dan Integratif

Aktor lokal:1. Tuan guru2. Lalu3. Pengusung-keliang-banjar

++

+

+ +

Agama dan suku

mayoritas

Upacara Adat:1. Pujawali2. Ngentunin3. Bau Nyele4. SadranUpacara lingk.hidup: Kelahiran- nyongkol, kematian

+

++++

++++

Suku-agama

Page 15: Budaya Sbg Modal PPK

Tabel 5: Model Pengendalian Konflik: Solo

Komponen BudayaPotensial Aktual Inpotensial Sumber

Kebudyaan MekanismePB/Sos Inter. PB/Sos Inter PB/Sos Inter

Nilai-nilai:1.Tepaselira2. Sambatan3. Gotong royong4. Alon-alon waton klakon

+++- +

Suku mayoritas

Kelompok sosial1. Trah 2. PKK/Dasa Wisma 3. RT-RW4. Gotong royong

+++-

+++- - +

Suku mayoritasNasionalNasional

Suku mayoritas

Integratif

Aktor lokal:1. Tokoh Parpol2. Kyai3. Kasunanan

++- +

NasionalAgmamayoritas

Upacara Adat:1. Dilaksanakan kraton/Pemkot1. Dilaksanakan

masyarakat

Upacara lingk.hidup: 1. Kelahiran- kematian

+

+

+

-

+

Suku mayoritas

Suku ayoritas-agama global

Suku mayoritas–agama global

B. Model Penyelesaian Konflik Berbasi Budaya Lokal

Dalam penyusunan model penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3

aspek yaitu: (a) memperhatikan karakter konflik, (b) pengalaman penyelesaian konflik

masa lalu sebagai dasar, (c) pemanfaatan budaya lokal. Ketiga aspek tersebut sama-

sama dijadikan bahan pertimbangan dalam penyelesaian konflik, meskipun dengan

tingkatan yang berbeda-beda.

Pertama, aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemanfaatan budaya lokal dalam

proses penyelesaian konflik yang terkait dengan karakteristik konflik meliputi: paham

agama dari subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang

berkonflik. Paham agama subyek berkonflik (sangat) dijadikan dipertimbangkan

karena terkait dengan pandangan mereka terhadap nilai-nilai dan upacara adat yang ada

di suatu daerah. Misalnya di Mataram, hampir semua upacara adat dianggap tidak sesuai

dengan pandangan keagamaan dari subyek dan aktor-aktor yang terlibat konflik

terutama dari kalangan muslim. Begitu juga posisi mayoritas sangat menentukan

Page 16: Budaya Sbg Modal PPK

komponen budaya lokal mana saja yang dapat dijadikan sebagai insterumen, baik dalam

penyelesaian maupunpengendalian konflik. Misalnya ajengan, tuan guru, dan kyai

dipilih sebagai aktor lokal yang berasal dari kelompok agama mayoritas (Islam) yang

dianggap representatif. Juga dipertimbangkan kebudayaan dari suku mayoritas dari

kelompok/subyek yang berkonflik atau lokasi di mana kelompok-kelompok agama

yang berkonflik berada.

Unsur-unsur dari karakterisitk konflik yang lain tidak begitu menjadi pertimbangan

misalnya, jenis konflik, penyebab dan sumber konflik. Hal ini sekaligus menunjukkan

bahwa tiap unsur yang ada dalam komponen-komponen budaya lokal yang diseleksi

dapat diterapkan untuk semua jenis, penyebab dan sumber konflik antarumat beragama

di suatu daerah.

Kedua, aspek lain yang dijadikan pertimbangan dalam upaya penyusunan model

penyelesaian konflik ialah upaya penyelesaian yang pernah dilakukan di suatu daerah.

Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah dilakukan, maka

hal itu menjadi penting untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Misalnya gotong royong

(di Solo dan Kulonprogo) selama ini pernah dijadikan sebagai instrumen untuk

mengembangkan budaya damai, meskipun di kedua daerah ini gotong royong

diterapkan bukan dalam konteks penyelesaian konflik antarumat beragama yang jadi

focus penelitian ini. Demikian juga kyai dan pamong (di Kulonprogo), ajengan

(Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram) yang sudah dilibatkan dalam penyelesaian

konflik antarumat beragama, tapi masih terbatas karena mereka masih menjadi unsur

sekunder sedangkan unsur primernya masih ada di tangan pemerintah. Mereka juga

masih dijadikan sebagai pihak penyelesaian konflik dengan pendekatan secara tidak

langsung.

Ketiga, sementara faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan

model penyelesaian konflik antarumat beragama lainnya tentu yang terkait dengan

karaktersitik budaya lokal di tiap daerah. Faktor ini justru menjadi intinya, gambaran

perbandingan tiap daerah secara lebih sederhana dapat dilihat dalam tabel tentang model

penyelesaian konflik.

Di semua daerah ada keinginan untuk menerapkan pendekatan langsung (proses

dialog, negosiasi, atau rekonsialisasi kalau perlu) dalam penyelesaian konflik antarumat

Page 17: Budaya Sbg Modal PPK

beragama (KAUB). Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa selama ini, kecuali di

Kulonprogo, pendekatan ini belum pernah dilakukan, dan selama ini hanya dilakukan

pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi), dan pemerintah secara top-down yang

banyak berperan. Hal ini akibat dari kontrol yang terlalu kuat dari pemerintah era

sebelumnya dalam setiap penyelesaian konflik SARA, sedangkan aktor-aktor lokal

hanya dijadikan obyek. Keinginan ini harus dijadikan modal utama dalam setiap

penyelesaian KAUB di setiap daerah, sebab ini menunjukkan tekad yang kuat dari

masyarakat untuk menyelesaikan konfliknya sesuai dengan modal sosial-budaya yang

dimilikinya.

Seiring dengan adanya keinginan untuk menerapkan pendekatan langsung, selain

tidak langsung, di semua daerah juga berupaya untuk (lebih) menguatkan peran aktor

lokal sesuai dengan sumber kebudayaan masing-masing daerah. Hal yang sama

terdapat dalam unsur nilai-nilai lokal, dan kelompok sosial. Upaya penguatan peran

aktor lokal tersebut misalnya di Kulonprogo berupaya menjadikan sesepuh trah dan

priyayi, sedangkan di Pasuruan ada kyai dan tokoh komunitas Madura, di Tasikmalaya

ada ajengan dalam berbagai level, sementara di Mataram ada tuan guru dan lalu, serta

(kemungkinan) tokoh dari lembaga tradisional /pemangku (Mataram); Di Solo ada tokoh

parpol Islam/berbasis massa Islam, tokoh Islam konsisten, dan tokoh trah heterogen.

Memang ada nuansa perbedaan kemungkinan pemeranan masing-masing aktor lokal di

setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan tanpa persyaratan, namun ada juga yang

perlu prasyarat tertentu. Misalnya, di Kyai di Pasuruan dalam kasus konflik yang

melibatkan kyai sendiri, maka kyai dapat menjadi aktor penyelesai konflik (secara

langsung maupun tidak langsung) tapi dengan syarat harus memperhatikan tingkat

kepemimpinan sang kyai, kedekatan secara emosional dengan kyai yang terlibat konflik.

Hal yang sama terdapat dalam pemeranan ajengan, dan tuan guru, tokoh Islam konsisten.

Selain itu ada alternatif lain dalam pemeranan aktor lokal tersebut. Misalnya dalam

kasus tokoh (sesepuh dan atau pimpinan) trah heterogen (Solo dan Kulonprogo). Jika

mereka mau diperankan maka ada 2 kemungkinan modelnya yaitu: jika ada anggota

trah yang berbeda agama terlibat KAUB, maka tokoh trah dapat menjadi fasilitator yang

dapat dimulai dari internal trah, untuk kemudian diperluas di luar trah; atau

kemungkinan kedua yaitu tokoh trah mendorong anggota trah yang berbeda agama yang

Page 18: Budaya Sbg Modal PPK

berposisi cross cutting affiliation di kelompok sosial, parpol, dan lainnya, untuk aktif

menjadi peredam, fasilitator atau, mediator dalam KAUB.

Sementara dalam penguatan kelompok sosial juga terdapat di semua daerah, hanya

saja berbeda wadahnya, hal ini tentu sesuai dengan dominasi sumber kebudayaan yang

berkembang di setiap daerah. Misalnya di Kulonprogo dan Solo ada trah heterogen, trah

homogen, dan komunitas Madura (Pasuruan). Sementara di Solo dan Mataram ada

upaya mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik

yang dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri. Khusus di

Mataram dimungkinkan pemeranan atau revitalisasi lembaga tradisional yang pernah

ada seperti pemangku (mangku), hal ini sejalan dengan tekad untuk memerankan awig-

awig dalam proses konflik SARA khususnya KAUB. Adapun peran kelompok sosial

tersebut dalam penyelesaian KAUB di setiap daerah terutama berfungsi pada

pascakonflik yaitu sebagai wadah sosialisasi hasil-hasil (kesepakatan) atau solusi

KAUB yang dilakukan aktor-aktor dari kelompok yang berkonflik.

Nilai-nilai lokal, sesuai dengan khas kebudayaan masing-masing daerah, dapat

diperankan dalam penyelesaian KAUB. Ia dijadikan sebagai pedoman bersama ketika

dalam proses penyelesaian, dan menjadi pengukuh hasil kesepakatan pasca konflik.

Hanya kelihatannya di tiap daerah berbeda keluasan pemeranan nilai-nilai lokal ini. Di

Mataram dapat diperankan ketika tahap proses konflik maupun pascakonflik, sedangkan

di daerah yang lain hanya diperankan pada pascakonflik.

Dari segi mekanisme pelaksanaan atau pemeranan budaya lokal dalam model

penyelesaian konflik agak berbeda. Ada daerah yang memilih model mandiri/otonom

dan integratif sekaligus seperti Kulonptogo dan Solo, sedangkan di daerah lainnya

(Tasikmalaya, Mataram dan Pasuruan) memilih model integratif. Sebenarnya mekanisme

penerapan budaya lokal ini tidak menjadi masalah pokok, apakah menggunakan kedua

model atau hanya satu model saja, sebab yang terpenting adalah disesuaikan dengan

kesepakatan yang diambil oleh aktor-aktor ketika dalam proses penyelesaian konflik.

Page 19: Budaya Sbg Modal PPK

Tabel 6: Model Penyelesaian Konflik

Daerah Karakter Konflik Upya Penyl

KonflikPemfungsian Budaya Lokal

Kulonpr

ogo

Jenis: konflik ide dan gerakan massa, Tak ada konflik sebelumnya.

Subyek: elit- massa Islam dan elit Kristen

Penyebab/ pemicu: kebijakan pemerintah di bidang pendidikan

Sumber: salah paham antarbudaya (prasangka negatif), misiologi di sekolah, penggunaan simbol agama tertentu oleh umat agama lain.

Cara StrukturalPendekatan langsung

1. Sesepuh trah dan priyayi dijadikan sebagai aktor PK pendekatan langsung (dialog), maupun tidak langsung (mediator/fasilitator). Trah yang ada dilibatkan

2. Nilai difungsikan perkokoh /jadi pedoman hasil kesepatakan pasca konflik

3. Upacara adat dan ULH dijadikan sebagai wadah sosialiasasi hasil PK

4. Mekanisme: mandiri/otonom dan integral.

Pasurua

n

Jenis: amuk massa (sosial) dan kekerasan dari kelompok mayoritas

Subyek: massa Islam.

Penyebab/pemicu: imbas konflik elite politik di tingkat nasional.

Sumber: salah paham antarbudaya/ prasangka negative kelompok mayoritas, misiologi agama minoritas, sisa konflik, karakter keras dari masyarakat pendalungan.

Cara structural-kekuasaandengan pendekatan tidak langsung (mediasi dan fasilitasi dari pemerintah

1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).

2. Kyai dan tokoh komunitas Madura jadi subyek penyelesai konflik antarumat beragama (KAUB), melalui pendekatan langsung atau tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan antartokoh agama. Untuk itu harus dipertimbangkan: (a) tingkat keberpengaruhan kyai yaitu disesuaikan dengan tingkatan konflik dan sosok massanya, (b) kedekatan secara emosional kyai dengan sosok massa berkonflik. (c) butuh kegiatan prakonsepsi

3. Kelompok sosial lokal (trah homogen, komunitas Madura, pesantren, dan kelompok Kristiani, secara terbatas dapat diperankan pascakonflik. Fungsinya: sebagai media/wadah sosialisasi, Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri.

4. Nilai-nilai lokal dapat memperkokoh dalam sosialisasi hasil kesepakatan.

5. Mekanisme: integratifTasikma

laya

Jenis: kekerasan fisik bangunan. Terkait dengan sejarah konflik sebelumnya.

Subyek: elit agama Islam (ajengan) dan Kristen.

cara-cara structural-kekuasaandengan pendekatan tidak langsung

1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).

2. Ajengan menjadi subyek penyelesai KAUB, pendekatan langsung/tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa-umat beragama, dan tidak melibatkan ajengan dan elit agama lain.

3. Tapi jika ajengan yang terlibat konflik dengan

Page 20: Budaya Sbg Modal PPK

Sumber: pembangunan tempat ibadah minoritas, dan agresifitas penyiaran agama minoritas, Islam konsisten, penerapan syariat Islam, dan sisa-sisa konflik sebelumnya.

(mediasi dan fasilitasi dari pemerintah

elit/umat agama lain, ajengan masih dapat jadi penyelesai konflik, langsung/tidak langsung, tapi gunakan pola lain yaitu (1) memanfaatkan ajengan yang punya pengaruh kewilayahan atau kepemimpinan yang levelnya lebih tinggi atau ajengan lain yang selevel, dan (2) ajengan tsb punya kedekatan secara ideologis dan paham agama dengan ajengan yang berkonflik.

4. Upacara adat diperankan pascakonflik. Fungsi: sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Nilai-nilai lokal seperti batur salembur dan nilai-nilai kerukunan sebagai pedoman bersama untuk memperkuat hasil kesepakatan

5. Mekanisme penerapan: integratif Mataram

Jenis: kekerasan fisik bangunan Tidak ada sejarah konflik sebelumnya

Subyek: massa Islam dan elit/massa Kristiani, Islam-Sasak dan Kristiani-nonSasak

Sumber pembangunan tempat ibadah dan agresifitas penyiaran agama minoritas, Islam konsisten

Pemicu: solidaritas ingroup mayoritas.

Pendekatan tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah.

Penegakan hukum (positif) tidak menjadi perhatian pokok

1. Dikembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).

2. Tuan guru karena dihormati tokoh agama lain dan sudah aktual terus dikuatkan sebagai penyelesai konflik, baik pendekatan langsung/ tidak langsung, terutama jika konflik terbatas antarmassa umat beragama, dan tidak melibatkan tuan guru.

3. Jika tuan guru yang terlibat konflik dengan elit/umat agama lain, gunakan model: (a) manfaatkan tuan guru dengan kepemimpinan lebih tinggi, atau tuan guru lain yang selevel, (b) dan punya kedekatan secara ideologis/paham agama dengan tuan guru yang berkonflik.

4. lalu dapat difungsikan karena citranya di hadapan muslim (taat) kian positif dan banyak berperan dalam lembaga pemerintahan, serta pihak kelompok agama (Kristiani) merasa lebih ‘sreg’. Hanya harus dikomunikasikan dengan tuan guru yang terlibat konflik dan pihak agama lain.

5. upacara adat tidak dapat dijadikan sebagai instrumen. Nilai lokal berfungsi dalam 2 tahap: Tahap proses penyelesaian sebagai sumber pendorong dan pedoman bersama dalam proses pengambilan keputusan bersama. Tahap pascakonflik sebagai pemerkokoh (sosialisasi) hasil-hasil kesepakatan antarpihak yang terlibat konflik. Dilakukan oleh pihak mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri. Ada dukungan kuat dari pemerintah dan masyarakat merevitalisasi awig-awig sebagai bagian dari penerapan hokum dalam penyelesaian konflik. Ada 2 opsi untuk memerankannya yaitu: (a) mengintegrasikan pelaksanaan awig-awig dalam peran-peran pemerintahan desa-RT/RW, (2)

Page 21: Budaya Sbg Modal PPK

merevitalisasi awig-awig berarti merevitalisasi juga lembaga adat (mangku)

6. Kelompok sosial diperankan dengan 2 alternatif yaitu: (a) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Seperti FKUB. (b) mengembangkan lembaga yang keanggotaannya lintas agama yang tumbuh dalam masyarakat.

7. Mekanisme penerapan: integratif Solo Jenis: konflik ide

dan gerakan massa. Tidak ada konflik yang signifikan sebelumnya (dalam era reformasi).

Subyek: elit dan massa umat Islam dan elit agama Kristen

Penyebab/pemicu: pelecehan (tokoh) agama oleh elit agama minoritas.

Sumber: salah paham antarbudaya/prasangka negatif, agresiditas misiologi agama minoritas, Islam konsisten

Pendekatan tidak langsung berupa mediasi dan fasilitasi yang dilakukan pemerintah

1. Mengembangkan pendekatan langsung (dialog, negosiasi, rekonsiliasi).

2. Melanjutkan peran tokoh parpol Islam/ berbasis massa muslim sebagai peredam dan penyalur aspirasi dari kelompok yang seideologis, bukan sebagai fasilitator dan mediator.

3. Tokoh Islam konsisten. dapat diperankan dengan syarat/alternatif: (a) menjadikannya sebagai negoisator dengan tokoh agama Kristen, sehingga lahirkan kesepakatan mengeacu pada sumber konflik/akar akar masalah. (b) jika tidak mungkin, maka perankan tokoh Islam lain yang seideologis/sepaham agamanya dengan kelompok Islam yang berkonflik, atau tokoh Islam lain yang paham keislamannya berbeda dengan kelompok Islam yang berkonflik dengan persetujuan dari kelompok terakhir tersebut.

4.Tokoh trah heterogen sebagai mediator atau fasilitator. Ada 2 alternatif pola pemeranannya: (a) jika ada anggotanya yang berbeda agama ikut terlibat KAUB, maka tokoh trah menjadi fasilitator. (b) tokoh trah sebagai pendorong anggota trah yang berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation ( di kelompok sosial, parpol, FKUB).

5. Upacara adat diperankan pasca konflik sebagai media memperkuat dan sosialisasi hasil kesepakatan. Tapi dengan catatan dari kelompok Islam konsisten: upacara adat itu tidak bertentangan dengan paham agama mereka. Dilakukan kelompok mayoritas dan minoritas secara bersama atau sendiri-sendiri.

Niilai-nilai lokal yang ada untuk memperkukuh hasil kesepakatan.

6. Wadahnya tak perlu lembaga baru, cukup optimalkan dan peran kelompok sosial yang sudah ada. Ada 2 alternatif yaitu: (a) kembangkan lembaga dengan anggotaan lintas-agama bentukan pemerintah seperti FKUB. (b) kembangkan lembaga lintas-agama yang tumbuh di masyarakat seperti trah heterogen.

7. Mekanisme: mandiri dan integrasi

Page 22: Budaya Sbg Modal PPK

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, di tiap daerah

meskipun komponen budaya lokal dapat difungsikan sebagai instrumen pengendalian

dan penyelesaian konflik, namun tingkatan statusnya berbeda yaitu ada yang potensial,

impotensial, dan aktual. Sebagian besar komponen budaya yang teridentifikasi dapat

difungsikan sebagai instrumen, hanya sedikit dalam sebuah komponen budaya yang

impotensial karena beberapa alasan. Selain itu ada komponen budaya yang aktual

(sudah diperankan) oleh masyarakat dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB

seperti gotong royong (Solo dan Kulonprogo), kyai dan pamong serta baritan (di

Kulonprogo), ajengan (Tasikmalaya), dan tuan guru (Mataram). Sumber kebudayaan

budaya lokal berasal dari kebudayaan mayoritas (suku dan agama). Mekanisme

penerapan budaya lokal bersifat integratif (Kulonprogo dan Solo), integrasi dan

mandiri/otonom (Pasuruan, Tasikmalaya, Mataram). Kedua, penyusunan model

penyelesaian konflik di setiap daerah memperhatikan 3 aspek yaitu: karakter konflik,

pengalaman penyelesaian konflik masa lalu sebagai dasar, karakter budaya lokal. Aspek

karakteristik konflik yang dipertimbangkan di beberapa daerah yaitu paham agama dari

subyek berkonflik dan posisi mayoritas dan minoritas dari kelompok yang berkonflik.

Kalau di sebuah daerah sebuah komponen budaya lokal tertentu pernah diperankan

dalam penyelesaian konflik, maka penting dilanjutkan. Dalam pemeranan budaya lokal,

di semua daerah berusaha menggunakan pendekatan langsung dalam penyelesaian

KAUB, selain pendekatan tidak langsung. Di semua daerah juga berupaya (lebih)

menguatkan peran aktor lokal. Hal yang sama terdapat dalam nilai-nilai lokal, dan

kelompok sosial. Ada nuansa perbedaan alternatif pemeranan masing-masing aktor lokal

di setiap daerah, ada yang mungkin dilakukan tanpa syarat, juga dengan prasyarat.

Prasyaratnya adalah tingkat kepemimpinan, dan kedekatan secara emosional dan

ideologis/paham agama dengan tokoh agama yang terlibat konflik. Untuk kasus tokoh

trah heterogen (kasus Solo dan Kulonprogo) ada 2 alternatif model dalam pemeranannya

yaitu: menjadikan tokoh trah sebagai fasilitator atau pemeranan anggota trah yang

berbeda agama yang berposisi cross cutting affiliation. Pemeranan kelompok sosial

juga terdapat di semua daerah, hanya saja berbeda wadahnya. Ada upaya

Page 23: Budaya Sbg Modal PPK

mengoptimalkan lembaga-lembaga yang keanggotaannya lintas agama, baik yang

dibentuk pemerintah maupun yang berkembang di masyarakat sendiri (Solo dan

Mataram). Juga ada upaya revitalisasi lembaga tradisional yang pernah ada seperti

pemangku (Mataram). Perannya berfungsi pada pascakonflik. Nilai-nilai lokal ada yang

diperankan pada tahap proses konflik dan pascakonflik (Mataram), dan di daerah lain

diperankan pada pascakonflik. Mekanismenya ada yang model mandiri/otonom dan

integratif (Kulonptogo dan Solo), dan model integratif (Tasikmalaya, Mataram dan

Pasuruan).

Saran-saran untuk pengembangan kerukunan umat beragama: (1) Pemerintah

perlu terus meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah sendiri tentang

makna penting revitalisasi budaya lokal dalam pengendalian dan penyelesaian KAUB. Ini

dapat dimulai dari level atas dan bawah secara simultan. Pemerintah pusat/daerah

memberi kebijakan yang memungkinkan budaya lokal di setiap daerah berkembang

dalam proses pengendalian dan penyelesaian konflik. Pada level masyarakat harus ada

upaya peningkatan kesadaran dari tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok sosial lokal.

(2) pemerintah dapat memulai dari memberdayakan peran aktor lokal sebagai subyek

langsung untuk merevitalisasi dan memberdayakan komponen budaya lokal.

Pemberdayaan itu berprinsip pada ’untuk semua aktor lokal dan kemandirian’. (3) Dalam

upaya pengendalian dan penyelesaian KAUB, peran aktor lokal diusahakan bersifat

primer, dan pemerintah (pusat dan daerah) bersifat sekunder, baik sebagai penyelesai

langsung maupun tidak langsung.

------------------ Ucapa Terima Kasih: Terima kasih saya sampaikan kepada Proyek Pengkajian dan Penelitian Ilmu

Pengetahuan Terapan Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, yang telah mensponsori dana sehingga penelitian ini (Hibah bersaing XIII) dapat dilaksanakan dengan baik

Page 24: Budaya Sbg Modal PPK

iEND NOTE

E

Robert G Murdick, dan Joel E. Ross, Information Systems for Modern Management (New Delhi: Prentice Hallof India, 1982), hal. 500.

iiPertti J Pelto & Gretel H. Pelto, Anthropological Research The Structure of Inquiry (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), hal. 10-11.

iiiGatut Murniatmo, ‘Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon,” Jarahnitra. No. 007/P/1996-1997, hal. 185

iv Haidar Nashir, “Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY, Edisi 1 Tahun 1993.

vNawari Ismail, “Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY. Edisi 1, Tahun 1993.

viIsyanti, “Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman

Daerah Istimewa Yogyakarta,“ Jarahnitra. No. 17/P/1999, hal. 119-44.

viiSalamun dkk., “Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang

Rembang,” Jarahnitra. No. 005/P/1993, hal. 137-193

viiiSunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar

, 1996), hal. 80-81.ix Lihat dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin

(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hal. 488-499

x Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam ( Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 70-95

xi

x

Clifford Geertz, Op.cit., , hal. 3-4xii

x

Nawari Ismail, “Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman,” Millah, Vol IV, No1, (2004), 8.

xiiiLihat Rahim dalam Gudykunst, Yun Kim, Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication ( McGraw Hill., 1997), hal. 282.

xiv Jamuin Maarif, “ Pemberdayaan Untuk Rekonsiliasi Etnik dan Agama,” Handout Pelatihan (Surakarta: CISCORE, 2002)

xvMalik dalam tempointeraktif, 6 Mei 2004

xvi Dinuth dalam Sinar Harapan, 30 September 2002xvii

x

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi ( Jakarta: Aksara Baru, 1989), hal. 203xviii Ibid., 204-9xix

x

Suyanto dalam Kompas 26 Desember 2001

Page 25: Budaya Sbg Modal PPK

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986).

Anonimus, Pedoman Penyiaran Agama, Dakwah, Pendirian Tempat Ibadah, Peringatan Hari Besar Keagamaan (Yogyakarta: Proyek Bimbingan dan Kerukunan Hidup Umat Beragama DIY, 2000).

Budhy Munawar Rahman, Mengembalikan Kerukunan Umat Beragama, http://media.isnet.org/islam/Etc/Plural.htm, diakses 15 Desember 2000

Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hal. 488-499

David Jary & Julia, Collins Dictionary of Sociology (Galsgow: HarperCollins. 1991).

Deddy Mulyana, Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi AntarBudaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990).

Departemen Agama, ”Draf Rancangan Undang-Undang tentang Kerukunan Umat Beragama” (Jakarta: Balitbang Departemen Agama RI, 2003).

El Fatih Abdel Salam, Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik (Malaysia: IIU, 2004.).

Gatut Murniatmo, ‘Interaksi Sosial AntarGolongan Etnik dalam Suatu Kebudayaan Umum Lokal di Surakarta Kasus Pasar Kliwon,” Jarahnitra. No. 007/P/1996-1997, hal. 185.

Gudykunst,Yun Kim, Communicating with Stranger An Approach to Interpersonal Communication ( McGraw Hill. 1997).

Haidar Nashir, “Proses Integrasi dan Konflik dalam Hubungan Antar Pemeluk Agama, Studi Kasus Babakan Ciparay Kodya Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY, Edisi 1 Tahun 1993.

Hugh Miall, et. al., Resolusi Damai Konflik Kontemporer Menyelesaikan, Mencegah, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Terjamahan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

Irwan Abdullah, “Metodologi Penelitian Kualitatif: Suatu Pengantar Umum,” Makalah Pelatihan Metopen Bidang Sosial Keagamaan Angkatan V (Jakarta: Ditbinlitabmas Dirjen Dikti Depdiknas, 2003).

Isyanti, “Fungsi Kelompok Sosial Pada Masyarakat Majemuk di Desa Catur Tunggal Kecamatan Depok Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta,“ Jarahnitra. No. 17/P/1999, hal. 119-44.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1989).Kompas, 20 Desember 2000

Masnun dkk., H.Harun Al-Rasyid Meningkatkan Kesejahteraan Merajut Perdamaian (Jakarta: Cahaya Putra Utama, 2003).

Nasikun, Sistem Sosial Indonesia ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).Nawari Ismail, “Pola-pola Hubungan Sosial Antara Tokoh Yang Berbeda Agama Studi Kasus di Cigugur Tengah, Cimahi

Bandung,” Jurnal Hasil Penelitian Dosen UMY. Edisi 1, (1993).

--------------, “Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman,” Millah, Vol IV, No1, (2004), 8.

Parsudi Suparlan, ”Pengantar Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif,” Makalah Pelatihan Peneliti Agama (Jakarta: Balitbang Depag RI, 1991)

Richard A Krueger, Focus Groups: A Practical Guide for Applied Research (New Delhi: SAGE Publications, 1988).

Robert W Hefner, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Pertikaian Politik (Yogyakarta: LkiS, 1999).

Salamun dkk., “Kehidupan dan Interaksi Sosial-Budaya Masyarakat Sarang Meduro Kecamatan Sarang Rembang,” Jarahnitra. No. 005/P/1993, hal. 137-193

Page 26: Budaya Sbg Modal PPK

Sarlito Wirawan Sarwono, Religious Attitude in Indonesia (Jakarta: Faculty of Psychology, Indonesia University, 2000).

Selo Soemardjan, Soelaiman S, Soemardjan, Setangkai Bunga Soiologi ( Jakarta: FE UI, 1964).

Sunyoto Usman, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

BIODATA

Nawari Ismail lahir di Desa Labuhan Sreseh Sampang Madura. Kini tinggal di Wonocatur RT 18/28 no. 733 Banguntapan Bantul. Setamat dari Pendidikan Guru Agama Negeri VI Tahun di Bangkalan (1980) kemudian melanjutkan ke Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga (selesai 1987). Gelar Magister diperoleh dar PMSI UMS di bidang Sosiologi Agama. Sekarang (mulai 2005) sebagai mahasiswa Doktoral pada Departemen Antropologi Universitas Indonesia Jakarta. Menjadi dosen tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sejak tahun 1990-sekarang, dosen Luar Biasa di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, tahun 2001-2003, dosen Lua Biasa Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak tahun 2002.

Semasa di SLTA menjadi ketua PII Komisariat Bangkalan Utara (1980), sedangkan ketika mahasiswa aktif di HMI Komisariat Fakultas Dakwah IAIN (Sekum, 1983-1984), HMI Korkom IAIN (Ketua,1984-1985), HMI Cabang Yogyakarta (Kordinator Aparat, 1985-1986). Pengurus Labda Sahalahuddin (1993/1994), Anggota Majelis Dikdasmenbud Pimpinan Muhammadiyah Wilayah, 1995-2000 dan 2000-2005. Pengurus Yayasan al-Muthi'in (Sekretaris Umum, 2000-2004),Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI-UMY ( 1994-1997; 1999-2003)

Pelatihan yang pernah diikuti di antaranya: Pelatihan Peneliti Agama (Kualitatif) oleh Balitbang Departemen Agama RI di Jakarta (1992/1993). Pelatihan Penelitian Sosial Keagamaan oleh Departemen Diknas RI di Jakarta (2003), Pelatihan Pengembangan Penelitian Interdispliner di Perguruan Tinggi (2003). Juga pernah mengikuti Pelatihan Applied Approach di Yogyakarta (2001).

Karya ilmiyah yang pernah disusun antara lain; Jurnal/Makalah: Merambah Paradigma Ilmu Sintetik Pendekatan Landasan Filsafat Ilmu. Jurnal ‘Orientasi’,

Edisi 2, Tahun II, Mei 2000; Islam and The Cultural Accomodation of Sosial Change. Book Review dalam Jurnal Mukaddimah, No.10 Th. VII/2001; Rekonstruksi Sosial Budaya Islam, Upaya Merajut Sukma Yang Hilang. Jurnal Studi Islam ‘Mukaddimah’, No. 12 Th.VIII/2002; Model Gerakan Teologi Pembebasan dari Girli Sudut Pandang Outsider: Refleksi Kritis Terhadap Buku Menuju Kampung Pemerdekaan Membangun Masyarakat Sipil dari Akar-akarnya Belajar dari Romo Mangun di Pinggir Kali Code Oleh Darwis Khudori, Makalah pada Bedah Buku yang dilaksanakan oleh LPPI UMY pada hari Sabtu, 23 Nopember 2002; Islam dan Perkembangan Politik Kontemporer : Sebuah Repolitisasi Islam Antara Harapan dan Realitas. Makalah Diskusi yang oleh Pusat Studi Perubahan Sosial dan Politik UMY, 22 April 2003; ‘ Kritik NonNeomarxisme atas Sosialisme-Marxisme, Refleksi Terhadap Buku ‘Kritik Atas Sosialisme Marxisme’ Karangan Ghanim Abduh, Terjamahan Maghfur Wahid. Bangil: Al-Izzah, 2003, 165), Makalah dipersentasikan dalam Bedah Buku yang diselenggarakan oleh BEM FAI UMY-Forum Mahasiswa Pembebasan UMY, tanggal 20 Pebruari 2004; Komunikasi Dakwah dan Jender Persepektif Sosial-Budaya, dalam Jurnal ‘Nabila’, No. /2004.

Buku: Peradilan Agama antara Kesatuan dan Kebhinnekaan , sebagai editor bersama Dr. Abdul Ghafur Anshari, SH, MH, Yogyakarta: Bumi Nusantara, 1990, 2002; Filsafat Dakwah Ilmu Dakwah dan Penerapannya, sebagai editor dan penyempurna atas buku lama Ki Moesa Mahfoedl, Jakarta: Bulan Bintang, 2004; Buku

Penelitian yang pernah dilakukan di antaranya: (1) Model Pengendalian dan Penyelesaian Konflik AntarUmat Beragama Berbasis Pada Karakteristik Budaya Lokal Dalam Menunjang Kerukunan Umat Beragama (Studi Kasus di 5 Daerah), Penelitian Hibah Bersaing ke-XIII, Departemen Pendidikan Nasional RI, 2005-2007. (2) Profil Orang Hakka: Studi Kasus Kehidupan Keluarga Orang Hakka di di Singkawang Program Penelitian Sosial-Keagamaan Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, 2004; (3) Penelitian Evaluasi Proyek Koalisi Antikorupsi Melalui Pendidikan. Kerja sama Antara Partnership dan LP3 UMY. 2004. (4) Kebijakan Pemerintah di Bidang Pendidikan dalam Perspektif Kerukunan Beragama, Ketua Peneliti, Kerja sama Antara Majelis Dikti-Litbang PP Muhammadiyah dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik, 2003; (5) Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perkotaan Studi Kasus di Sinduadi Sleman, Program Penelitian Dosen Muda Ditbinlitabnas-Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI, 2002, (dimuat dalam Jurnal Millah, Vol IV, No1 Agustus 2004, MSI UII); (6) Keluarga Beda Agama dalam Masyarakat Jawa Perdesaan, Studi Kasus di Kecamatan Berbah Sleman, Program Kompetisi Penelitian Dosen Departemen Agama RI, 1999; (7) Pola Hubungan Sosial Tokoh-tokoh Agama dalam Kerangka Kerukunan AntarUmat Beragama Studi Kasus di Cimahi Bandung, Sponsor dari Balitbang Depag RI, (dalam Jurnal Hasil penelitian Dosen UMY. Inovasi, Edisi 1/1993);