Budaya Pop

10
Budaya Pop (Pop Culture) I. Pendahuluan A. Latar Belakang Semakin derasnya fenomena tren kapitalisme dan hedonisme akhir-akhir ini menuntut sebuah pembacaan yang mendalam. Secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang ini dan jelas kita rasakan kehadirannya. Hal ini semisal tentang fenomena banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Dan fenomena yang mungkin terjadi beberapa bulan terakhir; yaitu tentang fenomena tokoh Idol baru yang bernama Justin bieber, banyak remaja rela mengorbankan segala-galanya hanya untuk bertemu dan melihat aksi sang bintang yang merupakan produk industrialisasi dalam bidang musik tersebut. Bahkan sampai ada beberapa remaja yang menangis histeris, hanya karena tidak dapat menemui sang Idol di bandara, sungguh aneh bagi penulis melihat kejadian tersebut, dimana seorang yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan diri mereka, lha kok sampai dibela- belain menangis seperti itu. Pergeseran budaya seperti inilah yang mulai menjangkiti kaum muda dewasa ini. Mereka tidak menyadari bahwasanya mereka telah terkungkung oleh sebuah kesadaran palsu, yang selalu dihegemonikan oleh media massa demi menopang dan menkokohkan kapitalisme. Dan ini merupakan salah satu ciri dari kebudayaan pop, dimana Ridho bukan Rhoma menyatakan bahwa budaya pop bercirikan : cepat, dangkal, dan massal (Ridho bukan Rhoma: 2009). Memang gaya hidup berikut symbol-simbolnya saat ini tengah mengguncang struktur kesadaran manusia. Masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan budaya pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup telah menjadi komoditas. Dalam menapaki kehidupannya kebayakan orang tampak lebih mementingkan “kulit” ketimbang “ isi”(Ibrahim, 2004). Fenomena di atas secara jelas telah menggambarkan bagaimana budaya pop telah merasuk ke segala lini kehidupan. Penampilan dan gaya menjadi lebih penting dari pada moralitas sehingga

description

Mempelajari Budaya Pop

Transcript of Budaya Pop

Page 1: Budaya Pop

Budaya Pop (Pop Culture)

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Semakin derasnya fenomena tren kapitalisme dan hedonisme akhir-akhir ini menuntut sebuah pembacaan yang mendalam. Secara langsung maupun tidak langsung, hal tersebut mempengaruhi budaya dan pola hidup kaum muda remaja sekarang ini dan jelas kita rasakan kehadirannya. Hal ini semisal tentang fenomena banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Dan  fenomena yang mungkin terjadi beberapa bulan terakhir; yaitu tentang fenomena tokoh Idol baru yang bernama Justin bieber, banyak remaja rela mengorbankan segala-galanya hanya untuk bertemu dan melihat aksi sang bintang yang merupakan produk industrialisasi dalam bidang musik tersebut. Bahkan sampai ada beberapa remaja yang menangis histeris, hanya karena tidak dapat menemui sang Idol di bandara, sungguh aneh bagi penulis melihat kejadian tersebut, dimana seorang yang tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan diri mereka, lha kok sampai dibela-belain menangis seperti itu. Pergeseran budaya seperti inilah yang mulai menjangkiti kaum muda dewasa ini. Mereka tidak menyadari bahwasanya mereka telah terkungkung oleh sebuah kesadaran palsu, yang selalu dihegemonikan oleh media massa demi menopang dan menkokohkan kapitalisme. Dan ini merupakan salah satu ciri dari kebudayaan pop, dimana Ridho bukan Rhoma menyatakan bahwa budaya pop bercirikan : cepat, dangkal, dan massal (Ridho bukan Rhoma: 2009).

Memang gaya hidup berikut symbol-simbolnya saat ini tengah mengguncang struktur kesadaran manusia. Masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan budaya pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup telah menjadi komoditas. Dalam menapaki kehidupannya kebayakan orang tampak lebih mementingkan “kulit” ketimbang “ isi”(Ibrahim, 2004).

Fenomena di atas secara jelas telah menggambarkan bagaimana budaya pop telah merasuk ke segala lini kehidupan. Penampilan dan gaya menjadi lebih penting dari pada moralitas sehingga nilai-nilai tentang baik atau buruk telah lebur dan dijungkirbalikan. Budaya populer merupakan suatu pola tingkah laku yang disukai sebagian besar masyarakat. Tanda-tanda pesatnya pengaruh budaya populer ini dapat kita lihat pada masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif. Membeli barang bukan didasarkan pada fungsi guna dan kebutuhan tetapi lebih didasarkan pada maknanya atau prestise. Semakin maraknya dan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan seperti mall, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri gosip, dan real estate menjadi pendukung semakin kuatnya pengaruh budaya pop ini. Dan tentu fakta-fakta demikian tidak telepas dari peran media massa, yang dewasa ini memiliki pengaruh yang besar dalam ruang kehidupan manusia. Apalagi beberapa decade terakhir media mengalami perkembangan yang begitu cepat, hingga membuat batas ruang dan waktu semakin absurd.

Melihat realitas yang demikian, maka menjadi penting kemudian, jika hal tersebut dikaji secara mendalam dalam sebuah makalah yang kemudian dapat dijadikan

Page 2: Budaya Pop

sebagai bahan diskusi  dalam mata kuliah sosiologi komunikasi saat ini. Namun tentu saja kelompok kami sangat menyadari akan berbagai kekurangan yang terdapat dalam makalah kami, oleh karena itu sebuah kritikan, sanggahan, dan tambahan sangat dibuthkan dalam proses dialektika kedepannya.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka kelompok kami dalam pembahasannya akan terfokus pada masalah:

1. Bagaimanakah hubungan antara Budaya Pop dan Media Massa?

2. Apakah Budaya Pop memberikan dampak positif bagi kehidupan sosial masyarakat?

C. Tujuan

Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah;

1. Untuk mengetahui hubungan antara media massa dan budaya pop

2. untuk mengetahui dampak budaya pop bagi kehidupam sosial masyarakat.

 

II. Pembahasan

A. Pengertian Budaya Pop

                Sebelum terlalu jauh berbicara tentang budaya pop, alangkah baiknya kita mesti memberikan sebuah frame terlebih dahulu perihal pengertian dari budaya dan pop itu secara terpisah. Ada tiga pemahaman tentang budaya sebagaimana yang ditawarkan oleh Raymond Williams. Pertama, budaya merupakan suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis. Misal, kita berbicara tentang budaya orang Indonesia dengan merujuk pada faktor-faktor kaum cendekiawannya, spiritualis para agamawannya, senimannya, serta penyair-penyair besarnya. Kedua,budaya bisa berarti pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu. Pemahaman seperti ini mencakup perkembangan sastra, hiburan olahraga, dan upacara ritual agama tertentu. Ketiga, budaya bisa merujuk pada karya dan praktik-praktik intelektual, terutama aktivitas artistic, teks-teks semacam itu menciptakan makna tertentu. Misal, puisi, ballet, opera, dan lukisan.[1]

Sedangkan istilah pop sendiri, singkatan dari kata “Popular” yang arti sederhananya disukai oleh banyak orang. Sehingga makna sederhana dari budaya pop adalah budaya yang disukai oleh banyak orang, dan menyenangkan.[2] Kadang ada ambiguitas antara budaya pop dan budaya tinggi, namun Storey membedakan keduanya, yaitu budaya pop merupakan budaya komersil sebagai dampak dari produksi massal, sedangkan budaya tinggi adalah kreasi hasil kreativitas individu.[3]

Page 3: Budaya Pop

Istilah lain dari budaya pop adalah budaya massa, yaitu budaya yang diproduksi oleh massa untuk konsumsi massa. Budaya massa adalah budaya yang dianggap sebagai dunia impian secara kolektif. Misalnya, meryakan Valentine’s Day. Budaya seperti ini seolah memberikan impian bagi anak muda akan dunia yang serba menyenangkan. Mereka hanya terbawa arus, dan hal-hal seperti perayaan Valentine’s Day dianggap menyenangkan.[4] Sedangkan berdasarkan dari sumber Wikipedia, budaya pop adalah budaya indah dan menakjubkan yang dilakukan oleh masyarakat modern. Dan kebanyakan isi budaya ini ditentukan industri-industri yang melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan seperti film, televisi dan industri penerbitan.[5]

Bagi Idi Subandy Ibrahim, budaya pop merupakan kebudayaan massa yang popular dan ditopang oleh industri kebudayaan, serta mengkonstruksi masyarakat berbasis konsumsi. Budaya massa yang terjadi disebabkan masifikasi, yaitu industrialisasi dan komersialisasi yang menuntut standarisasi produk budaya dan homogenisasi cita rasa. Dengan komersialisasi, produk budaya massa berubah, sejalan percepatan tuntutan pasar.[6]

Dalam beberapa pengertian diatas, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai budaya pop, yang merupakan suatu budaya yang menyenangkan yang lebih bertujuan kepada profit melaui komersialisasi, yang sengaja dibentuk oleh industri-industri secara massa untuk konsumsi massa, dan prosesnya cepat berubah sesuai dengan tuntutan pasar.

Karakteristik budaya pop

Ev. Junedy Lee, VDM, M.Div, dalam makalahnya mengkarakteristikkan budaya pop sebagai berikut;

Kontemporer

Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman). Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu pop yang beredar, termasuk lagu-lagu pop rohani yang terus berubah dan berganti.

 

Budaya Hiburan

Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah edutainment. Olah raga harus menghibur, maka muncullah sportainment. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment, agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan agama dan budaya populer.

Hedonisme

Page 4: Budaya Pop

Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu.

Hal seperti ini menyebabkan munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Para artis dengan mudah mempertontonkan auratnya sebagai bahan tontonan. Seks yang kudus dan hanya boleh dilakukan dalam konteks pernikahan dipertontonkan secara ‘murahan’ dalam film-film dengan tujuan untuk menghibur.

Budaya Konsumerisme

Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah masyarakat konsumtif dan konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, tidak keinginan, bahkan gengsi.

Hal tersebut juga disebabkan oleh iklan yang semakin berkembang di zaman ini dengan tujuan menciptakan rasa ingin (want), walaupun sesuatu yang diiklankan itu mungkin tidak dibutuhkan (need). Misalnya: banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari maraknya penggunaan facebook di kalangan remaja dan orang muda saat ini.

Budaya Instan

Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan, makanan cepat saji, sampai pendeta instan dan membuat makalah atau skripsi secara instan.

B. Media Massa dan Budaya Pop dan dampaknya bagi Masyarakat

Ketika berbicara budaya Pop dan budaya massa tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dengan peran media massa. Bagaimana kita mengetahui tentang Street dance, hip-hop, musik, fashion yang lagi ngetrend , kalau bukan dari media massa. Media massa seperti yang ada dalam teori difusi dan Inovasi, yaitu sebagai mediator antara penemu hal baru dengan seseorang yang menginginkan informasi baru. George Gerbner menyimpulkan pentingnya media massa sebagai berikut: ”kemampuan untuk menciptakan masyarakat, menjelaskan masalah, memberikan referensi umum, dan memindahkan perhatian dan kekuasaan.”[7] Jadi media massa secara tidak langsung memberikan sebuah rujukan tentang suatu pola atau gaya hidup yang sedang dijalani oleh suatu masyarakat tertentu. Kemudian refensi yang diberikan oleh media massa tersebut dijadikan sebuah acuan dalam melakukan tindakan-tindakan sosial. Selain itu, media ikut serta dalam penciptaan sebuah budaya yang ada dalam masyarakat, media tersebut digunakan oleh beberapa golongan sebagai instrument bagi penyebaran ideologi dan hegemoni.[8] Memang budaya pop yang hadir dalam masyarakat kebanyakan akibat dari dampak negatif media massa. Media massa saat ini, khususnya yang ada di Indonesia kontennya lebih banyak hiburan dari pada pendidikan. Tayangan-tayangan tentang gaya hidup yang hedonis dan konsumtif terus dijejalkan kedalam diri audiens melalui proses

Page 5: Budaya Pop

signifikansi, dengan harapan audiens meniru apa yang ada dalam media tersebut. Tentang  bagaimana hidup gaul ala anak muda, sering mendapat porsi lebih dalam tayangan televisi, anak muda yang dalam proses pencarian jati diri, dikasih sebuah referensi mengenai bagaimana seharusnya dia menghabiskan hidup. Didalam sinetron atau film-film yang ditayangkan. Misal, mahasiswa hanya direpresentasikan tentang bagaimana cara untuk menghabiskan waktunya untuk memadu kasih, bersenang-senang. Sangat jarang penulis menemukan sebuah representasi mahasiswa yang tekun dan sibuk mengerjakan tugas-tugas, belum lagi aksesoris yang digunakan mulai dari kamera dlsr, hp Blackberry, sepeda Fixi. Tayangan demikian lebih mengajak remaja untuk menghabiskan waktu bersenang-senang dan mengajak pola hidup yang konsumtif, daripada harus susah-susah memikirkan persoalan sosial yang ada dalam masyarakat.

Akhirnya sampai perkembangan terakhir, budaya pop sudah mewabah pada urusan gaya bergaya, hingga istilah dari Idi Subandy Ibrahim “aku bergaya maka aku ada”. Segala sesuatu lebih dilakukan demi makna yang ingin didapat, kalau dulu kita mengkonsumsi sesuatu lebih kepada nilai guna, namun sekarang lebih kepada makna, kalau tidak mengikuti tren, kita takut dicap tidak gaul, kolot, kuper dan udik. Belum lagi anak-anak muda sekarang gandrung akan merk-merk asing, makanan serba instan (fast-food), hp, dan tentunya serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan televisi yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi, dan bahkan sampai ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam. (Idi Subandi Ibrahim, 2004). Dan juga serbuan majalah-majalah mode dan gaya hidup dalam edisi bahasa Indonesia di kalangan anak muda baik pria ataupun wanita yang berselera kelas menengah atas. Majalah-majalah itu menawarkan cita rasa dan gaya yang tinggi dan terlihat jelas dari kemasan, rubric, kolom dan slogan yang ditawarkannya “Be smarter, richer & sexier” atau “Get fun!”. Marak juga penerbitan majalah islam (khususnya Muslimah) yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan majalah umum lainnya, bedanya hanya atas nama agama. Yang ditawarkan pun sama, mode, shopping, soal gaul, dan pacaran yang dianggap pengelolanya. Sedang slogan yang ditawarkannya pun tetap sama”jadilah muslimah yang gaul dan smart; jadilah muslimah yang cerdas, dinamis, dan trendi; jadilah cewek muslimah yang proaktif dan ngerti fashion!” (Idi Subandi Ibrahim, 2004) kini agamapun diperjualbelikan. Realitas memang menunjukkan bahwa anak-anak muda sekarang sudah benar-benar sudah menjadi sasaran empuk bagi para pemodal industri tersebut. Merka disajikan menu variatif dari ujung rambut sampai ujung kuku. Identitas mereka yang seharusnya rajin belajar, dan hemat pangkal kaya mulai sirna dengan kehadiran produk-produk yang mengikis kepribadian mereka. Mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dijajah oleh dunia pasar yang tidak terlihat oleh mereka.[9]

 

III. Penutup Dan Kesimpulan

            Budaya populer yang pada akhirnya disebut sebagai budaya komoditas ini diproduksi secara besar  besaran hanya didasarkan  pada keuntungan ekonomi semata sehingga hal ini memberikan pengaruh buruk bagi masyarakat karena penilaian baik atau buruk bukan lagi didasarkan pada ajaran moral tetapi lebih pada kemampuan ekonomi untuk mendapatkan prestise. Selain itu, produk  produk budaya populer akan merusak budaya elite dan sistem tata krama alam kehidupan

Page 6: Budaya Pop

bermasyarakat. Budaya populer ini akan menciptakan khalayak-khalayak pasif karena semua kebutuhan hidup sudah disediakan. Penilaian baik buruk dan pedoman  pedoman dalam hidup sudah ditentukan dan diatur oleh industri budaya. Keragaman budaya indonesia yang menjadi kekayaan negeri ini sedikit demi sedikit telah luluh dan menghilang digantikan oleh budaya-budaya modern yang dianggap lebih maju. Budaya-budaya yang menggiring manusia pada pendangkalan makna. Industri budaya memproduksi budaya yang bersifat homogen dengan standar karakterkarakter yang dianggap ideal. Karakter  karakter manusia yang unik menjadi homogen sesuai standar  standar yang di kontruksi oleh industri budaya. Manusia tidak lagi dapat memahami secara mendalam apa yang menimpa mereka saat ini, terutama pengaruh televisi yang dirasa membuat manusia sangat dangkal dalam memahami fenomena kehidupan. Televisi telah menjadi narkoba bagi manusia, bagaimana tidak, setiap hari masyarakat Indonesia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melihat televisi. Berbagai suguhan acara diperlihatkan, dari mulai sinetron percintaan yang penuh fitnah dan air mata sampai berbagai bentuk kekerasan  dan kejahatan yang menampilkan darah. Suguhan acaraacara tersebut menjadikan manusia tidak lagi dapat membedakan antara ranah simbolik dan realita sebenarnya. Bahkan bagi pecandu berat televisi, menjadikan televisi sebagai pedoman atau sumber kebenaran dari realita. Resapan budaya pop sepertinya tidak berhenti begitu saja menciptakan manusia yang pasif dan konsumtif. Lebih jauh budaya pop mencoba menjadi ideologi baru. Ranah agama yang dianggap suci dan merupakan sumber dari ajaran-ajaran moral tidak luput dari resapan budaya populer. Banyak ustadz gaul bermunculan. Begitu pula dengan fashion-fashion muslim seksi yang seolah terlihat menutup aurat tetapi tetap saja mengumbar aurat.Nilai-nilai luhur yang bersumber dari agama lebih banyak dijadikan “lipstik” demi melancarkan kepentingan industri budaya. Tak pelak lagi kita jumpai perdebatan mengenai masalah agama tanpa pemahaman yang mendalam dan disesuaikan dengan konteks. Kita bisa berkaca pada masalah poligami. Siapa yang mempunyai kepentingan maka akan mencari-cari dasar-dasar yang mendukung tanpa konteks dan situasi memperhatikan keterkaitan dengan hal lain.Nilai  nilai agama yang ideal dijadikan sebagai komoditas untuk memenuhi keinginan bukan sebagai pedoman atau pandangan hidup. Akibatnya, pesan-pesan yang disampaikan hanya mengambang pada level simbolik. Sebagai contoh dengan maraknya wisata religius untuk kepentingan ekonomi yang hanya menghargai keindahan mata tanpa memahami makna yang terkandung didalamnya.[10]

 

 

 

 

Daftar Pustaka

1. Ridho Bukan Rhoma, Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Yogyakarta, Leutika, 2009.

Page 7: Budaya Pop

2. Stephen W. Littlejohn, dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi; Theories of Human Communication. Jakarta, Salemba Humanika, 2009

3. Ev. Junedy Lee, makalah:  BUDAYA POPULER: BUDAYA DIMANA KITA HIDUP SAAT INI.

4. http://Budaya Pop  Antara Simbol, Gaya Hidup, dan Fungsi « Majalah OPINI.htm.

[1] Ridho Bukan Rhoma, Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Yogyakarta, Leutika, 2009, hal. 1

[2] Ibid, hal. 2

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid, hal. 3

[6] ibid

[7] Baca selengkapnya Stephen W. Littlejohn, dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi; Theories of Human Communication. Jakarta, Salemba Humanika, 2009, hal. 405

6 Stephen W. Littlejohn, dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi; Theories of Human Communication. Jakarta, Salemba Humanika, 2009,Hal. 437

[9] Ridho Bukan Rhoma, Berhala Itu Bernama Budaya Pop. Yogyakarta, Leutika, 2009, hal. 5-6

[10] http://Budaya Pop  Antara Simbol, Gaya Hidup, dan Fungsi « Majalah OPINI.htm, diakses tanggal 30 Mei 2011, Jam 16.30 wib.