Budaya Jawa
-
Upload
namaku-wahyu -
Category
Documents
-
view
1.509 -
download
3
description
Transcript of Budaya Jawa
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki
lingkungan geografis yang sangat kompleks, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau-
pulau besar kecil, yang semua satu sama lainnya dipisahkan oleh selat-selat dan
lautan yang sangat luas. Lingkungan geografis ini akan semakin kompleks lagi
apabila kita lihat pada pulau-pulau yang besar, adanya danau yang luas, sungai
yang lebar, pegunungan yang tinggi, hutan yang lebat, dan lain sebagainya.
Lingkungan geografis semacam itulah yang menjadi salah satu faktor
utama terbentuknya aneka macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Bahkan
berdasarkan keanekaragaman bahasa ini, para ahli antropologi memperkirakan
bahwa di Indonesia terdapat hampir 250 suku bangsa yang lainnya.
Suku bangsa Jawa adalah suku bangsa yang mendiami pulau Jawa bagian
tengah dan timur, serta daerah-daerah yang disebut kejawen sebelum terjadi
perubahan seperti sekarang ini. Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta,
Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri, sedang daerah di luar ini dinamakan
pesisir dan ujung timur. Daerah yang merupakan pusat kebudayaan Jawa adalah
2 daerah yang luas bekas Kerajaan Mataram, yaitu Yogyakarta dan Surakarta
yang terpecah pada tahun 1755. Sekian banyak daerah tempat kediaman orang
Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal
dalam beberapa unsur kebudayaannya seperti perbedaan mengenai berbagai
istilah teknis, dialek bahasa, dan lain-lain. Namun tidak menunjukkan perbedaan
yang besar, sebab masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan
Jawa.
1
KEBUDAYAAN JAWA
IDENTIFIKASI
Daerah Kebudayaan Jawa bukanlah meliputi seluruh Pulau Jawa. Namun
hanya meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa. Dua daerah
pecahan Kerajaan Mataram yaitu Surakarta dan Yogyakarta merupakan pusat
dari Kebudayaan Jawa. Dalam hal bahasa yang digunakan, berdasarkan kriteria
tingkatannya orang Jawa mengenal dua macam bahasa Jawa. Yaitu bahasa Jawa
Ngoko dan Krama.
Jumlah penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura menurut angka
sensus 1930 adalah 30.321.000 jiwa dengan padat penduduk rata-rata 402 per
km², sedangkan lebih dari 30 tahun kemudian, ialah menurut angka sensus tahun
1961, penduduk ketiga daerah tersebut adalah 42.471.000 jiwa, dengan padat
penduduk rata-rata 567 per km².
JAWA TENGAH
Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian
tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah
barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan,
Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas
wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa
Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan
perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.
Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga
mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penduduk asli Jawa Tengah
2
adalah Suku Jawa, dan provinsi ini dikenal sebagai jantung budaya Jawa. Bahasa
Jawa dituturkan sekitar 97% penduduk provinsi ini.
Sejarah
Jawa Tengah sebagai provinsi telah ada sejak jaman Hindia Belanda. Hingga
tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang,
Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan; serta Surakarta sebagai daerah
swapraja (vorstenland) Kasunanan dan Mangkunegaran. Masing-masing gewest
terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi
Regentschap Tuban dan Bojonegoro.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi hak
otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente
(kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan
Magelang.
Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga
memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa
karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan
dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri
3
atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas,
dan Kedu.
Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah
membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan
karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan
kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6
kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai
Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.
Pemerintahan
Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6
kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545
kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan. Sebelum diberlakukannya Undang-undang
Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jawa Tengah juga terdiri atas 3
kota administratif, yaitu Purwokerto, Purbalingga, dan Klaten. Namun sejak
diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 2001 kota-kota administratif tersebut
dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten.
Menyusul otonomi daerah, 3 kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke
wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid),
Kabupaten Tegal (dari Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari
Kota Pekalongan ke Kajen).
4
Daftar kabupaten dan kota
1. Kabupaten Banjarnegara
2. Kabupaten Banyumas
3. Kabupaten Batang
4. Kabupaten Blora
5. Kabupaten Boyolali
6. Kabupaten Brebes
7. Kabupaten Cilacap
8. Kabupaten Demak
9. Kabupaten Grobogan
10. Kabupaten Jepara
11. Kabupaten Karanganyar
12. Kabupaten Kebumen
13. Kabupaten Kendal
14. Kabupaten Klaten
15. Kabupaten Kudus
16. Kabupaten Magelang
17. Kabupaten Pati
18. Kabupaten Pekalongan
19. Kabupaten Pemalang
20. Kabupaten Purbalingga
21. Kabupaten Purworejo
22. Kabupaten Rembang
23. Kabupaten Semarang
24. Kabupaten Sragen
25. Kabupaten Sukoharjo
26. Kabupaten Tegal
27. Kabupaten Temanggung
28. Kabupaten Wonogiri
29. Kabupaten Wonosobo
30. Kota Magelang
31. Kota Surakarta
32. Kota Salatiga
33. Kota Semarang
34. Kota Pekalongan
35. Kota Tegal
Bentuk Desa
Desa diartikan sebagai suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat
pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Di beberapa tempat di Jawa istilah
desa sering diganti dengan dusun. Untuk tempat tinggal, berdasarkan bahan yang
digunakan, terdapat beberapa macam rumah. Ada rumah yang dibangun
meamakai kerangka dari bambu, glugu (batang pohon nyiur) atau kayu jati,
kemudian dinding-dindingnya dibuat dari gedek, papan ataupun tembok, dan
5
untuk atapnya berupa anyaman daun kelapa kering atau dari genting.Adapun
untuk bentuknya ada bermacam variasi seperti rumah limasan, rumah serotong,
rumah joglo, rumah panggangepe, rumah daragepek, rumah macan njerum,
rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.
Relief
Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah, 38% lahan memiliki
kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki
kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%.
Kawasan pantai utara Jawa Tengah memiliki dataran rendah yang sempit. Di
kawasan Brebes selebar 40 km dari pantai, dan di Semarang hanya selebar 4 km.
Dataran ini bersambung dengan depresi Semarang-Rembang di timur. Gunung
Muria pada Jaman Holosen merupakan pulau terpisah dari Jawa, yang akhirnya
menyatu karena terjadi endapan aluvial dari sungai-sungai yang mengalir. Di
selatan kawasan tersebut terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan
Kendeng, yakni pegunungan kapur yang membentang dari sebelah timur
Semarang hingga Lamongan (Jawa Timur).
Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu
Utara dan Serayu Selatan. Rangkaian Pegunungan Serayu Utara membentuk
rantai pegunungan yang menghubungkan rangkaian Bogor di Jawa Barat dengan
Pegunungan Kendeng di timur. Lebar rangkaian pegunungan ini sekitar 30-50 km;
di ujung baratnya terdapat Gunung Slamet dan bagian timur merupakan Dataran
Tinggi Dieng dengan puncak-puncaknya Gunung Prahu dan Gunung Ungaran.
Antara rangkaian Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan
dipisahkan oleh depresi Serayu yang membentang dari Majenang (Kabupaten
Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Sebelah timur depresi ini terdapat
gunung berapi Sindoro dan Sumbing, dan sebelah timurnya lagi (kawasan
6
Temanggung dan Magelang) merupakan lanjutan depresi yang membatasi
Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pegunungan Serayu Selatan merupakan
pengangkatan zone Depresi Bandung.
Kawasan pantai selatan Jawa Tengah juga memiliki dataran rendah yang
sempit, dengan lebar 10-25 km. Perbukitan yang landai membentang sejajar
dengan pantai, dari Yogyakarta hingga Cilacap. Sebelah timur Yogyakarta
merupakan daerah pegunungan kapur yang membentang hingga pantai selatan
Jawa Timur.
Hidrologi
Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa (572 km);
memiliki mata air di Pegunungan Sewu (Kabupaten Wonogiri), sungai ini mengalir
ke utara, melintasi Kota Surakarta, dan akhirnya menuju ke Jawa Timur dan
bermuara di daerah Gresik (dekat Surabaya). Sungai-sungai yang bermuara di
Laut Jawa diantaranya adalah Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri. Sedang
sungai-sungai yang bermuara di Samudra Hindia diantaranya adaah Kali Serayu
dan Kali Progo. Diantara waduk-waduk yang utama di Jawa Tengah adalah
Waduk Gajahmungkur (Kabupaten Wonogiri), Waduk Kedungombo (Kabupaten
Boyolali dan Sragen), Rawa Pening (Kabupaten Semarang), Waduk Cacaban
(Kabupaten Tegal), Waduk Malahayu (Kabupaten Brebes), dan Waduk Sempor
(Kabupaten Kebumen).
Gunung berapi
Terdapat 6 gunung berapi yang aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi
(di Boyolali), Gunung Slamet (di Pemalang), Gunung Sindoro (di Temanggung -
Wonosobo), Gunung Sumbing ( di Temanggung - Wonosobo), dan Gunung Dieng
(di Banjarnegara).
7
Keadaan tanah
Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah
Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan gromosol; sehingga
hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang mempunyai tingkat
kesuburan yang relatif subur.
Iklim
Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata
2.000 meter, dan suhu rata-rata 21-32oC. Daerah dengan curah hujan tinggi
terutama terdapat di Nusakambangan bagian barat, dan sepanjang Pegunungan
Serayu Utara. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di
musim kemarau berada di daerah Blora dan sekitarnya serta di bagian selatan
Kabupaten Wonogiri.
Penduduk (Demografi)
Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 30.775.846 jiwa.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Brebes
(1,767 juta jiwa), Kabupaten Cilacap (1,644 juta jiwa), dan Kabupaten Banyumas
(1,603 juta jiwa).
Sebaran penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik
kabupaten ataupun kota. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di
daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten
Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten
Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi.
Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67% per tahun.
Pertumbuhan penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5% per tahun),
sedang yang terendah adalah Kota Pekalongan (0,09% per tahun).
8
Dari jumlah penduduk ini, 47% diantaranya merupakan angkatan kerja.
Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42,34%), diikuti
dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%).
Suku
Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal
sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat
pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.
Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan
perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka
bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur
dengan Suku Jawa, dan banyak diantara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa
dengan logat yang kental sehari-harinya.
Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula
komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya
bergerak di bidang perdagangan dan jasa.
Daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula Suku Sunda yang sarat
akan budaya Sunda, yakni di Kabupaten Cilacap dan Brebes. Daerah pedalaman
Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur terdapat komunitas Samin yang
terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan suku Badui di Jawa Barat.
Bahasa
Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar
menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-
Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.
Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum
terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan di bagian barat
9
Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki
pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran
dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, diantaranya terdiri atas Dialek Solo,
Dialek Semarang. Diantara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa
Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut diantaranya adalah
Pekalongan dan Kedu.
Agama
Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap
mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan.
Agama lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu
Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan
sikap tolerannya. Sebagai contoh di daerah Muntilan, Kabupaten Magelang
banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan
salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa.
Perekonomian
Pertanian merupakan sektor utama perekonomian Jawa Tengah, dimana
mata pencaharian di bidang ini digeluti hampir separuh dari angkatan kerja
terserap.
Kawasan hutan meliputi 20% wilayah provinsi, terutama di bagian utara dan
selatan. Daerah Blora-Grobogan merupakan penghasil kayu jati. Jawa Tengah
juga terdapat sejumlah industri besar dan menengah. Daerah Semarang-
Ungaran-Demak-Kudus merupakan kawasan industri utama di Jawa Tengah.
Kudus dikenal sebagai pusat industri rokok. Cilacap terdapat industri semen.
10
Blok Cepu di pinggiran Kabupaten Blora (perbatasan Jawa Timur dan Jawa
Tengah) terdapat cadangan minyak bumi yang cukup signifikan, dan kawasan ini
sejak jaman Hindia Belanda telah lama dikenal sebagai daerah tambang minyak.
Transportasi
Jawa Tengah dilalui beberapa ruas jalan nasional, yang meliputi jalur
pantura (menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi), jalur Tegal-
Purwokerto, jalur lintas selatan (menghubungkan Bandung-Yogyakarta-Surakarta-
Madiun-Surabaya]], serta jalur Semarang-Solo. Losari, pintu gerbang Jawa
Tengah sebelah barat dapat ditempuh 3,5 - 4 jam perjalanan dari Jakarta. Saat ini
telah dibangun ruas jalan tol yang menghubungkan Semarang dan Solo, sehingga
mempersingkat waktu tempuh dan memperlancar kegiatan perekonomian.
Jawa Tengah merupakan provinsi yang pertama kali mengoperasikan jalur
kereta api, yakni pada tahun 1862 dengan rute Semarang-Yogyakarta, namun
jalur ini sekarang tidak lagi dipakai. Saat ini jalur kereta api yang melintasi Jawa
Tengah adalah lintas utara (Jakarta-Semarang-Surabaya), lintas selatan (Bandung-
Yogyakarta-Surabaya), jalur Kroya-Cirebon, dan jalur Solo-Gundih-Semarang.
Jalur kereta Solo-Wonogiri yang telah lama mati dihidupkan kembali pada tahun
2005.
Untuk transportasi udara, Bandara Ahmad Yani di Semarang dan Bandara
Adi Sumarmo di Surakarta merupakan bandara komersial yang paling penting di
Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat Bandara Tunggulwulung di Cilacap dan
Bandara Wirasaba di Purbalingga. Penerbangan Jakarta-Semarang atau Jakarta-
Surakarta dapat ditempuh dalam waktu 45-50 menit.
11
Komunikasi dan Media Massa
Semarang, Surakarta, Purwokerto, dan Tegal merupakan kota-kota di mana
biasanya terdapat stasiun relay televisi swasta nasional. Beberapa stasiun televisi
lokal di Jawa Tengah adalah TV Borobudur, Pro-TV, dan TVKU (di Semarang);
TATV (di Surakarta); TaTV (di Tegal); Kebumen TV (di Kebumen); dan Banyumas
TV (di Banyumas).
Suara Merdeka, harian yang terbit dari Semarang, adalah surat kabar
dengan sirkulasi tertinggi di Jawa Tengah; harian ini juga memiliki edisi lokal
Suara Pantura dan Suara Solo. Di samping itu terdapat koran jaringan Jawa Pos
Group, baik yang terbit bersama induknya Jawa Pos (Radar Solo, Radar Jogja,
Radar Semarang, dan Radar Kudus) maupun yang terbit sendiri (Meteor, Solo
Pos, Radar Tegal, Radar Banyumas).
Selain itu, di Semarang masih ada beberapa radio yang merupakan jaringan
radio news dan hiburan nasional Jakarta, diantaranya 89,8 Trijaya FM; 91,00
Elsinta FM; 93,4 Smart FM; 106,0 PAS FM, Female FM, dan beberapa radio news
maupun hiburan lokal lain seperti Rasika FM, Gajahmada FM, Suara Sakti FM,
Idola FM, Imelda FM, CFM, dan lain-lain.
Pendidikan
Jawa Tengah memiliki sejumlah perguruan tinggi terkemuka, terutama di
kota Semarang dan Surakarta. Perguruan tinggi negeri meliputi: Universitas
Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Walisongo di Semarang; Universitas Negeri
Surakarta (UNS) di Solo, serta Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di
Purwokerto
Sedangkan universitas swasta terkemuka adalah Universitas Kristen Satya
Wacana (UKSW) di Salatiga, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) dan Unika
12
Soegijapranata di Semarang, Universitas Muhammadiyah Surakarta, serta
Universitas Panca Sakti di Tegal. Selain itu juga terdapat Akademi Angkatan Darat
(AAD) dan SMA Taruna Nusantara di Magelang serta Akademi Kepolisian di
Semarang.
Pariwisata
Jawa Tengah banyak terdapat obyek wisata yang sangat menarik. Kota
Semarang memiliki sejumlah bangunan kuno. Obyek wisata lain di kota ini
termasuk Puri Maerokoco (Taman Mini Jawa Tengah) dan Museum Rekor
Indonesia (MURI).
Salah satu kebanggaan provinsi ini adalah Candi Borobudur, yakni monumen
Budha terbesar di dunia yang dibangun pada abad ke-9, terdapat di Kabupaten
Magelang. Candi Mendut dan Pawon juga terletak satu kompleks dengan
Borobudur.
Candi Prambanan di perbatasan Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa
Yogyakarta merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Di kawasan
Dieng terdapat kelompok candi-candi Hindu, yang diduga dibangun sebelum era
Mataram Kuno. Kompleks candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung
Ungaran, Kabupaten Semarang.
Surakarta dipandang sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, dimana di
kota ini terdapat Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Obyek wisata
menarik di luar kota ini adalah Air Terjun Grojogan Sewu dan candi-candi
peninggalan Majapahit di Kabupaten Karanganyar; serta Museum Fosil Sangiran
yang terletak di jalur Solo-Purwodadi.
Bagian selatan Jawa Tengah juga menyimpan sejumlah obyek wisata alam
menarik, diantaranya Goa Jatijajar dan Pantai Karangbolong di Kabupaten
Kebumen, serta Baturraden di Kabupaten Banyumas. Di bagian utara terdapat
13
Obyek Wisata Guci di lereng Gunung Slamet, Kabupaten Tegal; serta Kota
Pekalongan yang dikenal dengan julukan 'kota batik'.
Kawasan pantura barat banyak menyimpan wisata religius. Masjid Agung
Demak yang didirikan pada abad ke-16 merupakan bangunan artistik dengan
paduan arsitektur Islam dan Hindu. Demak adalah kerajaan Islam pertama di
Pulau Jawa. Kawasan pantura barat terdapat 3 makam wali sanga, yakni Sunan
Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di kota Kudus, dan Sunan Muria di Kabupaten
Kudus. Kudus juga dikenal sebagai 'kota kretek', dan kota ini juga terdapat
museum kretek.
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)
Sejarah
Dibawah bayangan gunung setinggi 2.914 meter, yang disebut Gunung
Merapi, berdiri Ngayogyakarto Hadiningrat, salah satu kerajaan Mataram di Jawa.
Kini disebut sebagai Yogyakarta (Jogja) mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan
Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo).
Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah
satu daerah otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini
beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta
sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa
berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun
sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu,
dan beliau menggunakan keraton sebagai pusat daerah paling berpengaruh di
Jawa sejak abad ke-17. Keraton tetap menjadi pusat kehidupan tradisional dan
14
meskipun ada modernisasi di abad ke-20, keraton tetap memancarkan semangat
kemurnian, yang ditandai dengan kebudayaannya selama berabad-abad.
Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Musik gamelan
merupakan pandangan dari masa lalu, klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian
Jawa yang sangat indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan
ratusan kesenian tradisional yang membuat para pengunjung terpesona.
Semangat kehidupan yang luar biasa dan kehangatan kota ini sendiri yang
hampir tidak pernah pudar. Seni kontemporer juga tumbuh dalam suburnya
kebudayaan dan masyarakat Yogyakarta. ASRI, Akademi Seni Rupa, sebagai
contoh, merupakan pusat kesenian di sini, dan Yogyakarta telah mencatatkan
namanya sebagai sebuah sekolah seni lukis modern penting di Indonesia, yang
mungkin bisa dicontohkan dalam sosok pelukis impresionis, Affandi.
Propinsi ini merupakan salah satu daerah padat di Indonesia dan merupakan
pintu gerbang utama menuju pusat Jawa dimana secara geografis tempat ini
berada. Membentang dari Gunung Merapi di sebelah utara menuju Samudera
Hindia di sebelah selatan. Penerbangan harian menghubungkan Yogyakarta
dengan Jakarta, Surabaya, dan Bali, juga kereta api dan angkutan bis
menawarkan perjalanan darat dengan rute sama.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (disingkat dengan Jogja), merupakan
salah satu dari 34 propinsi di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah
tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman,
Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Luas Yogyakarta sekitar
3.186 km persegi, dengan total penduduk 3.226.443 (Statistik Desember 1997).
Propinsi ini terkenal sebagai kota kebudayaan dan pendidikan dan merupakan
daerah tujuan wisata. Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan
ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Gianti (Palihan Nagar) pada 1755,
mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan
15
Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran
Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja
Ngayogyakarto Hadiningrat. Kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku
Buwono I. Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan
Mataram terjadi untuk ketiga-kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari
Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya
terpisah dari Kasultanan Yogyakarta.
Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan
dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat
dan Pakualaman menyatu sebagai salah salah satu propinsi di Indonesia dimana
Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai gubernur dan Sri Paku Alam VIII
sebagai wakil gubernurnya. Meskipun propinsi DIY mempunyai wilayah yang
relatif kecil, namun kaya akan daya tarik wisata. Pengunjung dapat menemukan
berbagai macam hasil seni dan pertunjukan kesenian yang sangat menarik dan
menakjubkan.
Sebagai pusat seni dan budaya di Jawa, terdapat beberapa macam daya
tarik wisata di Yogyakarta. Hal ini menjadi alasan mengapa orang mereferensikan
Yogyakarta sebagai tempat lahirnya kebudayaan Jawa. Dan untuk pecinta
gunung, pantai atau pemandangan indah, Yogyakarta juga menyediakan
beberapa tempat untuk itu. Propinsi ini juga diakui sebagai tempat menarik untuk
para periset, ahli geologi, ahli speleogi dan vulkanologi merujuk pada adanya gua-
gua di daerah batuan kapur dan gunung berapi yang aktif. Di selatan kabupaten
Gunung Kidul merupakan ujung laut, dimana terdapat beberapa fosil biota laut
dalam batuan kapur sebagai buktinya. Untuk para arkeolog, Yogyakarta sangat
menarik sebab setidaknya ada 36 candi / situs-situs sejarah disini. Ada beberapa
peninggalan peradaban dari abad ke-9. Salah satunya, candi Prambanan adalah
candi Hindu terbesar dan paling terkenal di Indonesia. Borobudur, candi Budha
16
terbesar, tercatat sebagai salah satu “tujuh keajaiban di dunia”. Borobudur dapat
dicapai selama 1 jam dari kota, hanya 42 km sebelah barat laut Yogyakarta.
Dalam perjalanan ke Borobudur, dapat mengunjungi Candi Mendut dan Candi
Pawon. Candi Mendut merupakan tempat untuk pemujaan, dengan adanya arca
Budha Gautama didalamnya. Beberapa upacara ritual juga masih berlangsung di
Yogyakarta, dan masih dilaksanakan sampai sekarang.
Lingkungan yang indah, arsitektur tradisional, kehidupan sosial, dan
upacara-upacara ritual membuat Yogyakarta menjadi tempat paling menarik
untuk dikunjungi. Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan tari-
tarian tradisional akan selalu mengingatkan penonton akan kehidupan
Yogyakarta beberapa abad yang lalu. Pembangunan teknologi modern
berkembang di Indonesia dan di Yogyakarta, ini berkembang secara harmoni
dengan adat dan upacara tradisional. Sesuai namanya, Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memang benar-benar istimewa. Orang-orangnya sangat ramah. Hal
ini membentuk kehidupan dan kelakuan mereka. Mereka menyukai olahraga
tradisional, panahan sebagai hobi dan juga sangat menyukai permainan burung
perkutut. Mereka juga percaya bahwa orang dapat menikmati hidup dengan
mendengarkan kicauan burung. Kompetisi panahan tradisional selalu
diselenggarakan untuk memperingati kelahiran raja, yang disebut dengan
“Wiyosan Dalem”. Dan pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono X lahir, tradisi ini
juga dilaksanakan.
Dengan adanya berbagai macam kesenian adat dan upacara tradisional yang
masih berlangsung, Yogyakarta juga dikenal sebagai “museum hidup Jawa”, yang
dicerminkan dalam segala bentuk hal-hal tradisional berupa kendaraan,
arsitektur, pasar, pusat cindera mata, museum, dan banyak pilihan atraksi wisata
di Yogyakarta.
17
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa)
adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727)
sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya
yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti
Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama
Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.
Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau
Ngayogyakarta (bahasa Jawa).
Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi
pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya
terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan
pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut
Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama
Daerah Swapraja.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh
Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo,
(saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.
Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia
Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu
dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan
tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam
Staatsblaad 1941 No. 577.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa
Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah
18
Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu
kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung
jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya
adalah:
Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII
tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII
tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)
Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30
Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).
Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota
Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-
saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia
tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang
berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang
wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai,
melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang
pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen
hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.
Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
X dan Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan
peranan yang sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan
adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.
Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat
Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai
Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah
19
pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya
dihormati.
Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian
Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-
hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.
Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta
dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal
18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah
meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.
Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya
predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota
perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.
Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta
dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda,
jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan
kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan
Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.
Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-
peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang
sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya
pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan
sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan
Mataram.
Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di
20
setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak
mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila
Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia.
Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini
dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata
terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah
ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan,
bahkan, yang terbaru, wisata malam.
Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta
merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY
sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun
sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Geografi
Yogyakarta berstatus Daerah Istimewa, sejarah terjadinya Propinsi ini pada
tahun 1945, wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman, menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Luas Propinsi DIY , lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.278.599 jiwa (data
Desember 1995).
Wilayah DIY ini berada di bagian tengah Pulau Jawa, termasuk zone tengah
bagian selatan dari formasi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara
astronomi, daerah ini terletak di antara 7033'LS - 8012'LS, yang mencakup
wilayah bekas Swapraja Kasultanan Yogyakarta, wilayah bekas Swapraja
Kadipaten Pakualaman dan tiga daerah yang semula termasuk wilayah Jawa
21
Tengah, yakni bekas daerah enclave Kapanewon di Gunungkidul, daerah enclave
Kawedanan Imogiri dan daerah enclave Kapanewon di Bantul.
Secara administratif, keseluruhan wilayah tersebut berbatasan dengan
Kabupaten Magelang (di sebelah barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah timur),
Kabupaten Wonogiri (di sebelah tenggara), Samodra Indonesia (di sebelah
selatan), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah barat).
Wilayah DIY terbagi dalam lima wilayah administratif daerah Tingkat II, yaitu :
Kotamadia Yogyakarta dengan luas 32,5 km2
Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2
Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2
Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2
Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2
Secara geografis, wilayah DIY tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan
Selatan, Gunung api Merapi, dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan
Pegunungan Kulonprogo, dan Pegunungan Kulonprogo dan dataran rendah
selatan.
Penduduk
Berdasarkan pendataan penduduk Propinsi DIY hasil P4B tahun 2003 yang
dilakukan bersama antara BPS dan KPU, jumlah penduduk tercatat 3.209.405
jiwa. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2003 tercatat 1% dengan jumlah
rumah tangga sebanyak 769.265 sehingga rata-rata dalam satu rumah tangga
terdapat 4-5 jiwa. Prosentase jumlah penduduk laki-laki sebesar 48,6%
sedangkan penduduk perempuan 52,4%.
22
Number and Growth Rate of Population by Regency/Municipality in D.I. Yogyakarta
Province, 1980, 1990 and 2000
Regency/
Municipality
Number of Population (000) Growth Rate (%)
1980 1990 2000 1980-1990 1990-2000
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kulonprogo 380.7 372.3 371.0 -0.22 -0.04
Bantul 634.4 696.9 781.0 0.94 1.19
Gunungkidul 659.5 651.0 670.4 -0.13 0.30
Sleman 677.3 780.3 901.4 1.43 1.50
Yogyakarta 398.2 412.1 396.7 0.34 -0.39
D.I Yogyakarta 2 750.1 2 912.6 3 120.5 0.58 0.72
Source : Population Cencus 1980, 1990, and 2000
Keadaan Alam
Secara umum keadaan geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari
daerah dataran yang berada pada kaki gunung Merapi ( pada ketinggian 900
meter diatas permukaan air laut ) dan miring kearah Selatan sampai di daerah
pantai Samudra Indonesia , yang lazim disebut pula sebagai pantai Laut Selatan
(bhs. Jawa : segoro Kidul). Selanjutnya daerah yang terdiri dari
gunung/pegunungan Selatan (gunung Kidul) di bagian sebelah Tenggara yang
disebut pegunungan Seribu. Di daerah Gunung Kidul banyak hasil-hasil usaha
penghijauan , pengawetan dan pelestarian sumber-sumber air. Sedangkan di
bagian Utara di daerah Nglanggeran, bisa kita jumpai kenampakam singkapan
batuan intrusin yang nampak sangat besar dan indah yang kini disebut funung
Kelir. Di daerah lereng gunung Merapi, disekitar daerah rekreasi Kaliurang
didapati hutan hujan tropis (tropical rain forest) dan banyak dihuni satwa langka.
23
Didaerah pegunungan Menoreh dijumpai daerah wisata Goa Kiskendo, Suralaya
dan Gua Sumitro, disebelah Tenggara pegunungan Menoreh didapati daerah
perbukitan Sentolo yang meluas sampai wilayah Bantul. Wilayah lain adalah
dataran pantai yang kebanyakan berpasir dan memiliki bukit-bukit pasir(dune).
Pantai-pantai banyak yang memiki pasir putih seperti yang bisa dilihat di pantai
Kukup, Krakal dll. Pasir ini berasal dari pecahan batu karang dan pecahan
binatang laut jenis kerang-kerangan. Diperairan pantai Krakal terdpat subuah
gugusan pulau kecil yang ditumbuhi oleh sejenis perdu yang disebut pohon
"Drini". Jenis semacam ini sukar didapat di daerah lain, konon memiliki tuah
sebagai sarana pengusir ular dan jenis serengga berbisa. Keadaan lautan diujung
timur yang merupakan bagian dari Samudra Indonesia banyak dihuni oleh
berjenis-jenisikan dan binatang laut serta biota-biota lain yang kini telah langka
antara lain penyu jijau yang kini perlu tetap dijaga kelestariannya.
UPACARA TRADISIONAL :
Pasar Malam Sekaten
Upacara Kupatan Jolosutro
Garebeg Mulud
Upacara Adat Saparan-Pondok Wonolelo
Tumplak Wajik
Upacara Jamasan Pusoko
Upacara Labuhan Keraton
Upacara Mengisi Air Enceh
Upacara Melasti dan Tawur Agung
Upacara Cing-Cing-Goling
Upacara Waicak
Upacara Ki Ageng Tunggul Wulung
24
Saparan Ambarketawang Gamping
Upacara Ritual Malam 1 Suro
Tradisi Suran - Mbah Demang
Upacara Grebeg Maulud
Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diperingati
dengan penyelenggaraanupacara Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada
tanggal 12 Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah kedua perangkat gamelan
Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu dibawa masuk kembali ke dalam Kraton
oleh masyarakat Yogyakarta, kejadian ini lazim disebut dengan istilah “Bendhol
Songsong”.Pada pagi hari, pukul 08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan
prajurit Kraton yang mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak
dari upacara ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masdjid Agung. Setelah
di Masdjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kehadirat Tuhan Yang
Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan pada masyarakat umum dengan
jalan diperebutkan, bagian-bagian dari gunungan ini umumnya dianggap akan
memperkuat tekad dan memiliki daya tuah terutama bagi kaum petani, mereka
menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar
lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak
tanaman.Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa
terdapat upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang
diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih
masyarakat kepada Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa
selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang
diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan hari
Raya Qurban – Idhul Adha.
25
Upacara Adat Sekaten
Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan
ketiga dari tahun jawa. Di Yogyakarta, biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan
upacara Grebeg Maulud.Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari
peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal
5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.Pada masa-masa permulaan
perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan
Kalijogo,mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk
memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran
karawitannya.Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki
laras swara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Disela- sela
pergelaran, kemudian dilakukan kotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab
Alquran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan
mengucapkan kalimat Syahadat,sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama
Islam. Istilah Syahadat ; yang diucapkan sebagai Syahadatain; ini kemudian
berangsur- angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi ; Syakatain;
dan pada akhirnya menjadi istilah ; Sekaten ;hingga sekarang. Pada tanggal 5
bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur
madu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke
Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore
harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke
dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung
Yogyakarta, dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit
Kraton berseragam lengkap.Pada umumnya , masyarakat Yogyakarta dan
sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari
26
kelahiran Nabi Muhammad S.AW.ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan
pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “ Srono “
(Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama
pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama
diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan
ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-
alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam
kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil.
Untuk memperkuat tekatnya ini, mereka memberi cambuk (bhs. Jawa ;pecut)
yang dibawanya pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara
Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memerintahkan perayaan ini
dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.
TEMPAT WISATA
Malioboro
Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya
pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan
dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas
Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang
kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik,
perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit,
hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak,
blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai
model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada
yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya
menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai
27
saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para
pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.
Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan jalan Mangkubumi dan
dibatasi oleh stasiun kereta api Tugu dan ujung satunya lagi terhubung dengan
jalan A.Yani. Dalam areal kawasan Malioboro dan sekitarnya banyak lokasi lain
yang dapat dikunjungi misalnya Siti Inggil Keraton Jogjakarta, pasar Beringhardjo,
benteng Vredeburg, Gedong Senisono, Museum Sono Budoyo dan lainnya. Saat
ini Malioboro bisa dikatakan sebagai jantung keramaian kota Jogja, karena
banyaknya pedagang dan pengunjung yang berlalu lalang. Kawasan yang sangat
ramai baik di dua sisi jalan yang berkoridor maupun pada jalan kendaraan walau
satu arah dari jalan Mangkubumi akan tetapi berbagai jenis kendaraan melaju
dan memenuhi di jalan tersebut dan tidak heran kalau terjadi kemacetan. Dari
kendaraan tradisional seperti becak, dokar/andong/delman, sepeda, gerobak
maupun kendaraan bermesin seperti mobil, taxi, bis kota, angkutan umum,
sepeda motor dan lainnya.
Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota
Jogja, ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan,
dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat
perbelanjaan dan rumah makan yang ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis
dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang disemarakan dengan nama-merk
besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang diperdagangkan dari barang
import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang
elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal
batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran
mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.
Namun jangan ketinggalan untuk menelusuri jalan Malioboro yang sudah
sangat terkenal tersebut. Bisa dengan berjalan kaki dari ujung ke ujung pada dua
28
sisi jalan, atau dengan ‘dokar’ [delman/andong] dan becak khas Jogja. Di siang
hari kawasan Malioboro sangat ramai pengunjung baik warga maupun
wisatawan, terlebih lagi bila musim liburan sekolah tiba atau ada hari libur
nasional yang cukup panjang. Sebenarnya jalan Malioboro dari ujung ke ujung
hanya berjarak lebih dari satu kilometer saja, dan pada dua sisinya banyak sekali
toko, kantor, rumah makan dan mall serta pusat perbelanjaan, menariknya lagi
banyak sekali pedagang kaki lima yang berjajar dibawah koridor jalan yang
memayungi dari terik panas matahari maupun hujan. Keramian ini dimulai sejak
pagi hingga sembilan malam saat pusat perbelanjaan pada tutup, namun denyut
kehidupan kawasan Malioboro tidak pernah berhenti karena sudah siap warung-
warung lesehan menggelar dagangannya.
Untuk bermalam di sekitar Malioboro juga mudah didapat penginapan dari
tipe melati hingga hotel bintang lima. Para wisatawan tidak akan kuatir untuk
dapat menikmati pula hari-hari liburannya di kota Jogja hingga larut malam
sekalipun. Mereka dapat menikmati hidangan-hidangan di warung lesehan di
sepanjang jalan Malioboro, makanan yang disediakan dan ditawarkan dari jenis
makanan khas Jogja yaitu nasi gudeg dan ayam goreng dan juga makanan
Padang, ChinesseFood dan lain sebagainya. Saat menikmati hidangan yang
disajikan akan dihibur oleh musik dari pedagang dan pengamen jalanan yang
cukup banyak dari yang hanya sekedar bawa gitar adapula yang membawa
peralatan musik lengkap.
Ada sebuah perhatian khusus bagi wisatawan yang hendak menikmati
warung lesehan yaitu menanyakan dulu harga makanan yang hendak dipesan
sebelum ada sebuah tagihan yang kurang berkenan dihati, sampai-sampai hal ini
menjadi perhatian khusus dari pemerintah daerah yaitu dengan menggantung
papan di kawasan Malioboro dengan tulisan “Mintalah daftar harga sebelum
anda memesan”. Carilah warung makan yang dianggap wajar dalam memberi
29
harga dari sebuah hidangan makan dan minuman yang disajikan, memang
perbuatan menaikan tarif yang tidak wajar ini sangat menurunkan citra warung
lesehan yang ada di kawasan Malioboro. Sangat disayangkan kalau para
wisatawan berkunjung ke Jogjakarta dan sekitarnya serta khususnya kawasan
Malioboro ini hanya satu hari berkunjung. Inilah menyebabkan banyak wisatawan
domestik maupun asing menghabiskan semua waktu liburnya yang cukup
panjang hanya untuk kunjungan wisata ke Jogja dan sekitarnya.
Pantai Parangtritis
Parangtritis, selain dikenal keindahan alam pantainya, juga terkenal sebagai
tempat yang memikili berbagai peninggalan sejarah. Komplek Parangtritis terdiri
dari Pantai Parangtritis, Parangkusumo, dan Dataran Tinggi Gembirowati. Di
Parangkusumo terdapat kolam permandian air panas ( belerang ) yang diyakini
dapat menyembuhkan berbagai penyakit dalam. Kolam ini diketemukan dan
dipelihara oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Adanya komplek kerajinan kerang,
hotel bertaraf Internasional ( Queen of South ), serta dokar wisata di Parangtritis
ikut menyemarakkan pariwisata di wilayah ini. Komplek wisata ini dapat dicapai
melalui dua jalur, Jalur pertama lewat jembatan Kretek, yang kedua lewat Imogiri
dan Siluk . Lokasi di Desa Parangtritis, Kec.Kretek kurang lebih 27 Km dari
Yogyakarta ke arah Selatan. Termasuk kawasan ini : Petilasan Parangkusumo,
Pemandian Parangwedang, Makam Syeh Maulana; Magribi, Makam Syeh Bela
Belu, Makam Ki Ageng Selohening, Tempat Pelelangan Ikan ( TPI ) Depok, Gumuk
Pasir ( Barchan ) Atraksi / Event Wisata Upacara Pisungsung Jaladri Bekti Pertiwi,
Uparaca Labuhan Alit Kraton Ngayogyakarta,; Labuhan Hondodento, Perayaan
Peh Cun, Ziarah Malam Selasa Kliwon dan Jum'at Kliwon, Gelar Seni Malam 1
Suro, Pentas Seni Budaya ( Liburan dan Lebaran ), Festival Layang-layang, Volley
Pantai.
30
Pantai Samas
Pantai Sama ini dikenal memiliki ombak yang besar dan terdapat delta-delta
sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Telaga-telaga tersebut
digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu, dan udang galah serta
berbagai lokasi pemancingan. Disebelah Barat terdapat Pantai Patehan dengan
panorama yang indah Lokasi : di Desa Srigading, Kec. Sanden kurang lebih 24 Km
dari yogyakarta ke arah Selatan. Atraksi/Event Wisata : Upacara Kirab
Tumuruning Maheso Suro, Labuhan Sedekah Laut, Pentas Seni Budaya (liburan
dan lebaran).Fasilitas Terminal. Tempat Parkir, MCK, Penginapan, Rumah Makan,
SAR, Jaringan Listrik, Mushola dan Sarana Transportasi. dengan Tiket masuk :Rp.
1.100,- / pengunjung (termasuk Asuransi Rp. 100,-) Angkutan Umum : Rute jalur
Bis ; : Yogyakarta (Terminal Bis Umbulharjo) - Pantai Samas Rp. 2.000,0/orang.
Pantai Baron
Pantai Baron pantai yang terletak 65 kilometer dari kota Yogyakarta
(melewati kota Wonosari) ini sering dipergunakan oleh para remaja untuk
berlintas alam dan berkemah. .Pantai Baron merupakan teluk yang diapit oleh
dinding bukit hijau dipenuhi oleh pohon kelapa. Tidak jauh dari tempat ini
terdapat pasar ikan yang menjual masakan ikan segar berbagai jenis yang lezat.
Berwisata ke pantai Baron bisa singgah ke pantai; Kukup, karena pantai Baron
dan pantai Kukup merupakan satu mata rantai. Jarak pantai Baron dan pantai
Kukup kuranglebih 1 ilometer.
Pantai Kukup
Pantai Kukup, yang terletak tidak jauh dari pantai Baron, memiliki pemandangan
alam pantai dan pegunungan yang sangat elok. Pantai yang berpasir putih
kekuning-kuningan ini juga memiliki goa - goa karang yang teduh, serta ikan hias
31
airlautyang sangat memikat yang sangat mempesona, wisawatan bisa naikke
bukit karang dioinggir pantai antara Baron dan Kukup, melalui jalan setapak.
Pantai Krakal
Pantai Krakal dapat dicapai melalui jalan sepanjang 6 kilometer dari
kawasan pantai Kukup, Perjalanan menuju pantai Krakal ini juga melintasi bukit-
bukit kapur,diselingi dengan teras-teras batu karang. Hal ini merupakan ciri dari
daerah karst yang dikelola penduduk. Berdasarkan penelitian geologis, pada
zaman yang silam daerah ini merupakan dasar dari lautan yang oleh proses
pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin
meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi yangberupa batu-batuan.
Pantai Glagah
Pantai Glagah yang terletak 40 km dari kota Yogyakarta termasuk wilayah
Kabupaten Kulonprogo . Di kawasan pantai ini telah dibangun berbagai sarana
dan fasilitas antara lain kolam pemancingan, taman rekreasi, camping ground dan
gardu pandang.Bagi pengunjung yang mempunyai hoby olah raga dayung bisa
menyalurkan bakatnya /hobynya di pantai ini dengan menggunakan perahu
Kano.
JAWA TIMUR
Jawa Timur adalah sebuah provinsi di ujung timur Pulau Jawa dengan
wilayah yang juga meliputi Pulau Madura dan Bawean. Ibu kotanya adalah
Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.
Provinsi Jawa Timur terletak di ujung timur Pulau Jawa dibatasi perairan di 3
sisi dan daratan di 1 sisi. Selat Bali adalah batas timurnya yang memisahkan Jawa
32
Timur dengan Bali, Laut Jawa di utara, dan Samudra Hindia di selatan. Batas
daratannya adalah di barat dengan Jawa Tengah. Wilayah Jawa Timur juga
mencakup Pulau Madura. Di Jawa Timur, terdapat beberapa gunung di antaranya
adalah Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Semeru, Gunung Kawi, Gunung
Arjuno, Gunung Penanggungan, Gunung Argopuro, Gunung Raung, Gunung Ijen
dan Gunung Anjasmoro. Kota-kota pentingnya antara lain Surabaya, Malang,
Madiun, Pasuruan, Probolinggo, Mojokerto, Kediri, Blitar, Jember, Lumajang, dan
Banyuwangi.
Penduduk (Demografi)
Jawa Timur memiliki penduduk berjumlah sekitar 30-40 juta jiwa. Suku-suku
yang mendiami Jawa Timur antara lain Jawa, Madura, Tengger, Osing, dan
Tionghoa. Bahasa yang digunakan antara lain Bahasa Indonesia, bahasa Jawa,
bahasa Madura, dan bahasa Osing, di sebagian pesantren di Jawa Timur juga
sering digunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-hari.
Suku Osing kebanyakan bermukim di Banyuwangi dan memiliki kebudayaan
yang merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali sedangkan orang
suku Tengger merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit.
33
Agama yang dianut penduduk Jawa Timur adalah Islam, Hindu, Protestan,
Katolik, dan Buddha. Agama Islam dibawa ke Jawa Timur oleh para pedagang dari
Gujarat, India, Cina di masa lampau.
Suku
Sebenarnya masyarakat Jawa Timur sendiri juga mempunyai
pengelompokan lain, selain kelompok utama yakni Jawa dan Madura (dengan
Jawa sekitar 75-78%). Dalam masyarakat Madura sendiri juga masih terbagi atas
dua kelompok, yakni masyarakat pulau Madura dan masyarakat Pendhalungan.
Pendhalungan sendiri artinya adalah campuran dimana mereka tinggal
utamanya dikawasan tapal kuda mulai Pasuruan sampai Banyuwangi, dan
mayoritas di Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan Jember.
Masyarakat Pendhalungan sendiri, yakni :
a. Pendatang asli dari Pulau Madura yang berpindah ke ujung timur Jawa mulai
berabad-abad silam. di bagian timur Jawa, khususnya Situbondo dan
Bondowoso, mereka berasal dari Pamekasan dan Sumenep.
b. Masyarakat Jawa yang akhirnya 'termadurakan' karena hidup dikelilingi
pendatang Madura. Mereka ini umumnya dibesarkan dan hidup ditengah
masyarakat Madura serta akhirnya berbudaya campuran.
c. Hasil perkawinan campuran antara orang Jawa dan Madura, demikian pula
sebaliknya.
Dari segi watak, sebagian besar memiliki sifat khas Madura, yakni keras,
mudah naik darah, tangguh, pekerja keras, namun juga setia. Sifat-sifat Jawa juga
masuk dalam diri masyarakat pendhalungan yang merupakan campuran Jawa
dan Madura namun budaya dan bahasanya tetap Madura.
34
Masyarakat Pendhalungan di Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Jember
umumnya bisa dua bahasa, yakni bahasa Madura dan Jawa (yang kadang berlogat
Madura). Namun masyarakat Pendhalungan di Situbondo dan Bondowoso hanya
bisa bahasa Madura, bahkan dipedalaman-pedalaman mereka malah sama sekali
tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun Jawa.
Penguasaan sedikit bahasa Madura juga sangat membantu dalam
berinteraksi dengan masyarakat Pendhalungan. Bahasa Jawa kasar lazim dipakai
di Pasuruan, Probolinggo kota , Lumajang dan Jember.
Sekali lagi, bahasa utama masyarakat Pendhalungan adalah Madura dengan
kadang bahasa Jawa kasar (khususnya di Pasuruan, Probolinggo barat, Lumajang
utara dan Jember). Dan uniknya, banyak diantara mereka yang tidak suka disebut
Madura, padahal bahasa mereka jelas-jelas bahasa Madura. Mereka lebih suka
disebut pendhalungan saja.
Hasil perpaduan budaya Jawa dan Madura ini antara lain ludruk berbahasa
Madura yang masih hidup di Lumajang dan Jember; Wayang Orang berbahasa
Madura di Situbondo yang di Madura sendiri hanya ada di Sumenep, dan lain
sebagainya. Rumah-rumah bergaya Jawa-Madura juga masih dapat dijumpai di
Situbondo dan utamanya Bondowoso, khususnya ukiran warna-warni bagian
teras rumah yang di Madura sendiri sudah nyaris hilang.
Pariwisata
Dataran Tinggi Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, cagar alam Meru Betiri,
Taman Safari Prigen, Gunung Bromo, Watu Ulo, Tanjung Papuma, Pasir Putih
Situbondo, Kebun Binatang Wonokromo (Surabaya), Pantai Kenjeran, Tempat
sembayang Buddha Joko Dolok, Makam Raden Supratman, Tugu Pahlawan,Hotel
Mojopahit/Orange, Tempat belanja seperti Pasar Atom , Daerah Tunjungan.
35
Makanan
Makanan khas Jawa Timur seperti Rujak cingur, Gado-Gado, Semangi
Suroboyo, Nasi pecel kampung, Lontong capgomeh Surabaya, Es Campur
Surabaya, Tamie goreng, cap jai goreng, Pangsit Mie/Cwie Mie Malang, Soto
ayam Lamongan, Soto Daging Sapi Madura, Sate Madura, Tape Bondowoso,
Suwar-Suwir Jember, Tahu Kediri, dan lain sebagainya.
Pemerintahan
Ibu kota Surabaya
Luas 47.922 km2
Penduduk 40.000.000 (+/-)
Kepadatan 834/km2
Kabupaten 29
Kodya/Kota 9
Kecamatan 637
Kelurahan/Desa 8.418
Suku Suku Jawa, Suku Madura 22%,
Suku Tengger, Suku Osing,
Tionghoa
Agama Islam 96,3%, Protestan 1,6%,
Katholik 1%, Buddha 0,4%,
Hindu 0,6%
Bahasa Bahasa Jawa, Bahasa Madura,
Bahasa Osing, Bahasa Indonesia
Zona waktu WIB
Daftar kabupaten dan kota
36
1. 1. Kabupaten Bangkalan
2. 2. Kabupaten Banyuwangi
3. 3. Kabupaten Blitar
4. Kabupaten Bojonegoro
5. Kabupaten Bondowoso
6. Kabupaten Gresik
7. Kabupaten Jember
8. Kabupaten Jombang
9. Kabupaten Kediri
10. Kabupaten Lamongan
11. Kabupaten Lumajang
12. Kabupaten Madiun
13. Kabupaten Magetan
14. Kabupaten Malang
15. Kabupaten Mojokerto
16. Kabupaten Nganjuk
17. Kabupaten Ngawi
18. Kabupaten Pacitan
19. Kabupaten Pamekasan
20. Kabupaten Pasuruan
21. Kabupaten Ponorogo
22. Kabupaten Probolinggo
23. Kabupaten Sampang
24. Kabupaten Sidoarjo
25. Kabupaten Situbondo
26. Kabupaten Sumenep
27. Kabupaten Trenggalek
28. Kabupaten Tuban
29. Kabupaten Tulungagung
30. Kota Batu
31. Kota Blitar
32. Kota Kediri
33. Kota Madiun
34. Kota Malang
35. Kota Mojokerto
36. Kota Pasuruan
37. Kota Probolinggo
38. Kota Surabaya
37
SISTEM RELIGI MASYARAKAT JAWA
Kegiatan religius orang Jawa Kejawen
Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen adalah Javanism,
Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan
Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai
suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang.
Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala
peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan
masyarakat dibawah semesta alam.
Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-
Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus
dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap
pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada
hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa tersendiri,
yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang
pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme
memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan
pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan
kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu
kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup
yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.
Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar
masyarakat suku bangsa Jawa, yang tampak nyata pada bangunan-bangunan
tempat ibadah orang Islam. Di samping agama Islam terdapat juga agama besar
38
lain, yaitu agma Nasrani, Hindu dan Budha. Orang-orang Jawa pemeluk Islam,
tidak semuanya melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam, sehingga di dalamnya
terdapat :
1. Golongan Islam Santri, yaitu golongan yang menjalankan ibadahnya sesuai
ajaran Islam dengan melaksanakan lima ajaran Islam dengan syariat-
syariatnya.
2. Golongan Islam Kejawen, yaitu golongan yang percaya pada ajaran Islam
tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun Islam.
Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam
abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam
secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid
dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan
mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan
dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status
dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka
harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka
itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati
dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan
perasaan keagamaan dan rasa aman
Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti
tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili
yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan-keturunannya
yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan
gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini
sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah
yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai kejawen.
39
Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada
pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya
seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya
tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi
sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen
yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun
bunga serta kemenyan.
Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa
Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan
berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir,
semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat
menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Orang Jawa
kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam
kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap
sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan
kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa
nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa
kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat,
meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata
(bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di
gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada
umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau
menyatukan diri dengan Tuhan.
Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat
Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan
sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut
40
kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat
Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak
terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar
mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib
lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).
Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru
tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan
figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka
berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai
‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh,
1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan
(Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa,
dan pasa (berpuasa).
Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat,
dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam.
Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut
menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja,
disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan
guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan
hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat
sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.
Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang
juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan
tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan
puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat
Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:
41
Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani.
Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)
Artinya:
Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai
dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk
mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).
Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu
batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh,
1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah
dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).
Puasa dalam Masyarakat Jawa
Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat
Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan
ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa
(puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena
pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.
Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:
Jenis: Metode:
pasa di bulan
pasa
(ramadhan)
sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan.
Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan
mandi suci dengan mencuci rambut
tapa mutih (a) hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut
tapa mutih (b) berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari
tapa ngrawat hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam
tapa pati geni berpantang makan makanan yang dimasak memakai api
(geni) selama sehari-semalam
42
tapa ngebleng tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam
tapa ngrame siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja
tapa ngéli menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)
tapa mendem menyembunyikan diri (mendem)
tapa kungkum menenggelamkan diri dalam air
tapa nggantung menggantung di pohon
dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dll.
(Diadaptasi dari wawancara dengan Dr. Purwadi)
Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat
beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya
berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan
sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru
kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual
puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun
memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan
mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika
guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa
menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku
spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu
jenis puasa, melainkan secara umum.
Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual
puasa dalam budaya Jawa yaitu:
1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.
Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak
menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah
menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan
43
terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga
dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai
kesempurnaan ruh.
2. Puasa sebagai sarana penguatan batin
Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan
batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia
secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian,
mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.
Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu
pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan
berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr,
”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan
di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka
supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan
dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)
3. Puasa sebagai ibadah.
Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan
dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk
syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.
44
SISTEM KEKERABATAN
Prinsip kekerabatan orang Jawa adalah prinsip keturunan bilateral. Pada
masyarakat Jawa terdapat perkawinan yang dilarang yaitu :
1. Saudara sekandung
2. Saudara sepupu
3. Laki-laki yang lebih muda dari wanitanya
Perkawinan lain yang di bolehkan yaitu :
1. Ngarang Wulu
2. Wayuh / Poligami
Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa berdasarkan prinsip keturunan
bilateral atau parental, sedangkan sistem istilah kekerabatnnya menunjukkan
sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak
perempuan beserta semua suami dan istrinya dari ayah dan ibu diklasifikasikan
menjadi satu dengan satu sebutan/istilah siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari
ayah dan ibu yang laki-laki disebut paman dan yang perempuan disebut bibi.
Pada masyarakat suku bangsa Jawa dilarang adanya perkawinan antara
saudara sekandung, antara saudara misan yang ayahnya adalah saudara
sekandung, atau perkawinan antara saudara misan yang ibunya sekandung, juga
perkawinan antara saudara misan yang laki-laki menurut ibunya lebih muda dari
pihak perempuannya, sedangkan perkawinan yang termasuk nggenteni karang
wulu atau perkawinan sororat, yaitu perkawinan seorang duda dengan adik atau
kakak mendiang istrinya diperbolehkan. Selain tersebut di atas pada masyarakat
Jawa terdapat juga perkawinan poligini/wayuh yaitu seorang pria memiliki istri
45
lebih dari seorang. Sebelum upacara peresmian perkawinan terlebih dahulu
diselenggarakan serangkaian upacara-upacara.
Pada masyarakat suku bangsa Jawa selain terdapat perkawinan dengan
sistem pelamaran terdapat juga sistem perkawinan yang lain yaitu:
1. Sistem perkawinan magang atau ngenger, yaitu perkawinan yang terjadi
antara perjaka yang telah mengabdikan diri kepada keluarga atau orang
tua si gadis.
2. Sistem perkawinan triman, yaitu sistem perkwinan dengan sistem
mendapatkan istri karena pemberian atau penghadiahan dari salah satu
lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga
priayi.
3. Sistem perkawinan ngunggah-unggahi, yaitu sistem perkawinan yang
melakukan pelamaran adalah pihak si gadis pada perjaka. Hal ini terjadi
misalnya pada masyarakat Lamongan, Bojonegoro.
4. Sistem perkawinan paksa, yaitu sistem perkawinan yang terjadi antara
seorang perjaka dan gadis atas kemauan kedua orang tua tersebut. Pada
umumnya perkawinan ini banyak terjadi pada perkawinan anak-anak
atau perkawinan masa lampau.
Hasil dari perkawinan tadi akan membentuk keluarga batih/keluarga inti/keluarga
somah yaitu suatu keluarga yang merupakan kelompok sosial yang berdiri sendiri,
dan memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi
anggotanya. Setiap kepala keluarga juga disebut kepala somah yang disandang
oleh seorang pria ataupun wanita apabila suaminya meninggal dunia. Apabila
dalam keluarga tersebut ayah dan ibunya sudah meninggal maka yang dianggap
atau diangkat sebagai kepala somah adalah anak pertama, yang lebih diutamakan
adalah anak laki-laki. Bentuk keluarga inti atau keluarga somah atau keluarga
batih yang lengkap terdiri atas suami, istri, dan anak-anaknya yang belum
46
menikah, baik anak kandung, anak tiri ataupun anak angkat, sedang keluarga
yang tidak terdiri atas anggota-anggota seperti di atas merupakan keluarga yang
tidak lengkap.
Selain sistem keluarga inti, pada suku bangsa Jawa juga terdapat sistem
keluarga luas atau extended family, yaitu apabila dalam satu rumah, tinggal dua
atau tiga keluarga inti. Meskipun mereka tinggal dalam satu rumah, masing-
masing kelompok berdiri sendiri-sendiri baik dalam anggaran belanja rumah
tangga maupun dapurnya. Walaupun demikian tidak semua keluarga somah yang
terhimpun dalam keluarga luas tersebut mempunyai dapur sendiri-sendiri, ada
kalanya mereka memasak bersama. Namun suatu keluarga luas tetap dikepalai
oleh seorang kepala somah yang terdahulu. Apabila kepala somah yang
bertanggung jawab tadi meninggal dunia, sebagai penggantinya adalah salah satu
anggota dari keluarga somah pertama yang ditunjuk. Apabila anggota keluarga
somah pertama tadi sudah tidak ada, barulah diganti oleh kepala keluarga somah
yang kedua dan seterusnya.
Bentuk kekerabatan yang lain adalah nak-dulur atau sanak-sadulur,
kelompok kekerabatan ini terdiri atas kerabat keturunan dari seorang nenek
moyang sampai derajat ketiga. Kelompok kekerabatan ini mempunyai tradisi
saling tolong-menolong kalau ada peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
keluarga, seperti pernikahan, sedekahan, kematian, mulai dari saat pemakaman
sampai keseribu harinya, khitanan, ulang tahun, dan sebagainya. Mereka juga
akan berkumpul pada hari lebaran, suran, dan sebagainya. Selain itu terdapat
juga kelompok kekerabatan yang disebut alurwaris, yaitu semua kerabat sampai
tujuh keturunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Tugas alurwaris adalah
memelihara makam leluhur. Biasanya salah satu alurwaris yang tinggal di desa
tempat makam leluhur, akan ditunjuk untuk menghubungi anggota alurwaris
47
yang tersebar ke mana-mana untuk ikut merawat atau memberikan sumbangan
perawatan makam leluhur atau nenek moyang itu.
Pada umumnya suku bangsa Jawa tidak mempersoalkan tempat menetap
setelah pernikahan. Mereka bebas memilih apakah menetap di sekitar tempat
mempelai wanita atau mempelai laki-laki. Hal tersebut dinamakan utrolokal.
Umumnya seseorang akan merasa bangga apabila setelah pernikahan mempelai
bertempat tinggal di tempat yang baru, terlepas dari tempat tinggal mempelai
wanita maupun mempelai pria. Sistem tempat tinggal semacam itu disebut
neolokal. Namun pada kenyataannya banyak terjadi setelah pernikahan kedua
mempelai tersebut bertempat tinggal di sekeliling kerabat istri/mempelai wanita,
hal ini disebut uxorilokal.
48
BAHASA JAWA
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku
bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah &
Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan
Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-
bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus (campuran ngoko dan kromo).
Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil
(Krama Halus). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang
dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa.
Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang
dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau
Jawa. Bahasa jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf
Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubahsuai dari huruf Arab.
Penduduk Jawa yang berhijrah ke Malaysia turut membawa bahasa dan
kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehinggakan terdapat kawasan penempatan
mereka dikenali sebagai kampung Jawa, padang Jawa.
Loghat
Loghat dalam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua kategori:
1. Loghat Sosial
2. Logat Daerah
Loghat dalam Bahasa Jawa menurut kelas sosial:
1. Ngoko
2. Ngoko Andhap
49
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Kromo
6. Kromo Inggil
7. Bagongan
8. Kedhaton
Kedua loghat terakhir digunakan di kalangan keluarga Kraton dan sulit dipahami
oleh orang Jawa kebanyakan. Perbedaan perkataan menurut loghat sosial dalam
Bahasa Jawa boleh difahami melalui contoh berikut:
* Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi,
nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng
pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng
pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas
Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika,
wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi
punika, wonten pundi?”
50
Berdasarkan daerah, loghat dari Bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
a. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
1. Loghat Banten
2. Loghat Indramayu-Cirebon
3. Loghat Tegal
4. Loghat Banyumasan
5. Loghat Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
b. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
1. Loghat Pekalongan
2. Loghat Kedu
3. Loghat Bagelen
4. Loghat Semarang
5. Loghat Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Loghat Blora
7. Loghat Surakarta
8. Loghat Yogyakarta
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya
Loghat Surakarta dan Yogyakarta.
c. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
1. Loghat Madiun
2. Loghat Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
3. Loghat Surabaya
4. Loghat Malang
5. Loghat Tengger
6. Loghat Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
51
KRONIK ORANG JAWA
Orang Jawa yang tradisional tidak dapat memisahkan mitos dalam
kehidupan mereka ,oleh sebab itu, kita telaah dan akan coba menguraikan
tentang orang jawa dan latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka
dalam menafsirkan kehidupan ini.
Orang Jawa
Yang dimaksud orang Jawa oleh Magnis-Suseno adalah orang yang bahasa ibunya
bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah da timur pulau Jawa.
Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog Koentjaraningrat, orang Jawa
diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan
rendah.
2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual
3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi
Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar
keagamaan dalam dua kelompok yaitu:
1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara
hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum priyayi tradisional
hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi
mengaku Islam
2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat
terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam.
52
Alam Pikiran dan Pandangan Hidup Orang Jawa
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat
segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah
yang pertama kali ada. Pusat yang dimakusd disini dalam pengertian ini adalah
yang dapat memebrikan penghidupan, kesimbangan, dan kestabilan, yang dapat
juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang
Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang
beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan
kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri
secara total selaku kawula (hamba)terhadap Gustinya(SangPencipta).
Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan bukan muslim santri
yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan
pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati.
Niels Mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu
abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan
mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu
sikap terhadap hidup.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada
pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam
adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa bahwa kehidupan mereka telah
ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.
Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala
sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan
kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat
dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu
perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.
53
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam
dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam
pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta
yang mengandung kekuatan supranatural da penuh dengan hal-hal yang bersifat
misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan
pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah
mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan
makrokosmos dan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta
memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang
Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia
manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah
satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.
Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin
pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam
masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak
oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia
ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah
pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga
dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah
pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan
dengan karaton sebagai kediaman raja, karaton merupakan pusat keramat
kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-
kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan
dan kesuburan.
54
ADAT ISTIADAT JAWA
(manusia Jawa sejak dalam kandungan sampai wafat)
1. Sebelum Kelahiran
1. Ngupat
Ngupat/ngupati adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan pada
waktu calon ibu hamil 4 bulan. Kata ngupat berasal dari kata papat (4) atau
kupat. Kata kupat ini sendiri dalam konteks Hari Raya Idul Fitri orang Jawa
diartikan ngaku lepat (mengakui kesalahan). Tujuan upacara adat ini adalah
untuk mendoakan keselamatan calon bayi dan ibunya atau untuk sesuatu
yang bersifat menolak kesialan. Jadi esensi acara ini tidak jauh berbeda
dengan upacara mitoni atau tingkepan. Perbedaan antara acara ngupat ini
dengan upacara sebelum kelahiran lainnya adalah adanya selamatan dengan
hidangan utama berupa ketupat yang diletakkan di besek, dan untuk
selanjutnya dibawa pulang ke rumah masing-masing.
2. Ngliman
Merupakan salah satu upacara kehamilan calon ibu yang diselenggarakan
ketika berusia 5 bulan. Kata ngliman berasal dari kata lima (5). Sifat upacara
ini sama seperti upacara ngupat, yaitu untuk mendoakan keselamatan calon
bayi dan ibunya atau untuk sesuatu yang bersifat menolak kesialan. Upacara
adat ini kurang dikenal di beberapa daerah Jawa. Berbeda dengan upacara
mitoni yang sudah dikenal di seluruh masyarakat Jawa, bahkan nusantara.
3. Mitoni
Saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan atau
mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa
Kamajaya dan dewi Kamaratih (supaya si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki
55
dan seperti Kamaratih jika perempuan), kluban/gudangan /uraban (taoge,
kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk
tambahan lainnya untuk makan nasi), dan rujak buah.
Di saat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti
laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-
nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.
Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului
Ibu tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati,
kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali.
Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi
diperkirakan laki-laki. Kata tingkeban berasal berasal dari kata tingkeb yang
artinya tutup. Jadi upacara mitoni/tingkeban ini merupakan upacara terakhir
yang diselenggarakan sebelum lahirnya jabang bayi.
2. Kelahiran Anak
1. Mendhem Ari-Ari
Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum
diselenggarakan bahkan juga dilaksanakan di suku-suku atau daerah lain. Ari-
ari adalah bagian yang menghubungkan antara ibu dengan bayi dalam istilah
ilmiah disebut plasenta. Istilah lain ari-ari dalam bahasa Jawa adalah
aruman/embing-embing. Orang Jawa percaya bahwa ari-ari sebenarnya
adalah salah satu dari empat (4) bersaudara atau saudara kembar si bayi pada
asalnya. Ari-ari harus dirawat dan dijaga, misalnya tempat untuk mengubur
ari-ari diberi lampu atau penerangan lainnya sebagai simbol penerangan bagi
si bayi. Penerangan ini biasanya dinyalakan sampai 35 hari (selapan).
Tata cara upacara ini adalah ari-ari dicuci sampai bersih/dimasukkan
kendhi atau tempurung kelapa. Sebelum ari-ari dimasukkan, alas kendhi diberi
56
daun senthe, lalu kendhi itu ditutup lemper yang masih baru yang dibungkus
kain kafan. Kendhi lalu digendong, dipayungi, lalu dibawa ke lokasi
penguburan. Lokasi penguburan kendhi harus di sisi kanan pintu utama
rumah. Prosesi penguburan ini harus dilakukan oleh bapak si bayi.
2. Brokohan
Slametan pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang
terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas (tanda si bayi laki-
laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong,
jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh kluwih/timbul
agar linuwih (kalau sudah besar terpandang).
Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar
bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia
memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat
keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada
Tuhan.
Asal kata brokohan dari bahasa Arab, “barokah” yang artinya
mengharapkan berkah.
3. Sepasaran
Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan sepasaran, dengan
jenis makanan sama dengan brokohan dan ditambah dengan wedhang
(minuman hangat). Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi dipotong sedikit
dengan gunting dan bayi diberi nama. Acara ini biasa dilaksanakan dengan
agak meriah.
4. Aqeqah
Aqeqah dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Islam berupa
penyembelihan kambing sejumlah 2 ekor untuk laki-laki, dan 1 ekor untuk
57
perempuan. Upacara ini bisa dilakukan berbarengan dengan sepasaran atau
selapanan.
5. Selapanan
Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang
pada pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi
dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35
(tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja
dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan
telur ayam rebus dan bubur merah-putih.
3. Upacara Ketika Anak-Anak
1. Tedhak Siten
Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh
lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan
ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera.
Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak
dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan
menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung
emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon
tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian
setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang
diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah
dari upacara tedak siten.
2. Nyapih
Sebuah proses yang dilaksanakan untuk memisahkan bayi dari susuan
ibunya, karena dianggap sudah waktunya, biasanya setelah bayi berumur 2
tahun.
58
3. Mupu
Artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan
hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum
mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa
cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar
diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang
tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.
Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar
mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut gugon
tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken
(menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya. Sehingga, bisa
dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak. Pada saat si Ibu hamil,
jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa
anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.
4. Upacara Ketika Lajang
1. Khitanan
Saat menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di
tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke
dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh
(sakitmu saya tanggung semua).
2. Pangur
Prosesi yang bertujuan untuk meratakan gigi yang pertumbuhannya tidak
bagus.
59
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya
dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan
windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan
mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8
(delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus
dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar
usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah
dianggap remaja/perjaka atau jaka,suaranya ngagor-agori (memberat). Saat
berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai
anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu,
maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang
tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.
5. Upacara Untuk Perjaka Dan Perawan
Pengantenan
Perkawinan adat sangat bermacam-macam. Sekarang yang akan kita bahas
di sini adalah perkawinan dengan adat Jawa. Perkawinan adat Jawa
melambangkan pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dan
pengantin pria yang gagah dalam suatu suasana yang khusus sehingga
pengantin pria dan pengantin wanita seperti menjadi raja dan ratu sehari.
Biasanya perkawinan ini diadakan di rumah orang tua pengantin wanita,
orang tua dari pengantin wanita lah yang menyelenggarakan upacara
pernikahan ini. Pihak pengantin laki-laki membantu agar upacara pernikahan
ini bisa berlangsung dengan baik. Adapun berbagai, macam acara serta
upacara yang harus dilakukan menurut perkawinan adat Jawa.
Saat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang
membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai
60
banyak pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-
punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena
perlu mikir praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk
nggatuake balung apisah (menghubungkan kembali tulang-tulang
terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya
cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro
(bangsawan) tapi jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara
dengan si anak serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki
sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).
1. Lamaran
Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka
biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang
kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai
lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang
perkawinan. Biasanya orangtua perempuan yang akan mengurus dan
mempersiapkan pesta perkawinan. Mereka yang memilih perangkat dan
bentuk pernikahan.
Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke
keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat
guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6
(enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam
dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya
zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi
berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan
calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada
hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang
tersebut dalam kondisi tertutup. Setiap model pernikahan itu berbeda
61
dandanan dan pakaian untuk pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.
Kedua mempelai harus mengikuti segala rencana dan susunan pesta
pernikahan, seperti Peningsetan, Siraman, Midodareni, Panggih.
Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan
mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan
mantu regil atau tumplak punjen.
2. Persiapan Perkawinan
Segala persiapan tentu harus dilakukan. Dalam pernikahan jawa yang
paling dominan mengatur jalannya upacara pernikahan adalah Pemaes yaitu
dukun pengantin wanita yang menjadi pemimpin dari acara pernikahan, Dia
mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin
perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Karena
upacara pernikahan adalah pertunjukan yang besar, maka selain Pemaes yang
memimpin acara pernikahan, dibentuk pula panitia kecil terdiri dari teman
dekat, keluarga dari kedua mempelai.
3. Pemasangan dekorasi
Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah
orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), yang terdiri dari
pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa dan daun beringin yang
memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia di mana
saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat
keluarga mereka. Dekorasi yang lain yang disiapkan adalah kembang mayang,
yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohon pisang dan daun
pohon kelapa.
4. Perkawinan
Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada
pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan
62
sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak
perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot
rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara
setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk
memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki,
walau biasanya sederhana.
Dalam perkawinan harus dicari “hari baik”, maka perlu dimintakan
pertimbangan dari ahli hitungan “hari baik” berdasarkan patokan Primbon
Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah,
secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup
perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan
istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim
dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh
keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh
ideal dan singset.
Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan
takhayul) dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai
tahun 50-an), dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di
masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang
tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula
karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis
berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan di bawah genting. Dalam
upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang tarub
harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 - 9
orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat,
yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai
di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan
63
(tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat
dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas
genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk
di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin
dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara
berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan
pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.
5. Siraman (pemandian)
Biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum akad nikah. Siraman
diadakan di rumah orangtua pengantin masing-masing, biasanya dilakukan di
kamar mandi atau di taman, dilakukan oleh ibu-ibu yang sudah berumur serta
sudah mantu dan/atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup.
Disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya
ucapan “semoga selamat di dalam hidupnya”. Makna dari pesta Siraman
adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Seusai upacara siraman, makan
bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan
kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe
busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta
daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan
pelengkap sosis dan krupuk udang.
6. Midodareni
Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini
dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara
dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu
sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena
campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalap timun dan kerupuk).
Biasanya pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai
64
tengah malam dan ditemani oleh keluarga atau kerabat dekat perempuannya.
Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat
dari pengantin wanita akan datang berkunjung, dan semuanya harus wanita.
7. Srah Srahan
Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan.
Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin
perempuan sambil membawa hadiah. Dalam kesempatan ini, kedua keluarga
beramah tamah.
8. Akad Nikah
Upacara akad nikah/upacara Ijab, harus sesuai sangat (waktu/saat yang
baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon
pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan
keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake
/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena
malu). Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam
mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari
pasangan pengantin. Pada saat ijab orang tua pengantin perempuan
menikahkan anaknya kepada pengantin pria. Dan pengantin pria menerima
nikahnya pengantin wanita yang disertai dengan penyerahan mas kawin bagi
pengantin wanita. Pada saat ijab ini akan disaksikan oleh Penghulu atau
pejabat pemerintah yang akan mencatat pernikahan mereka.
Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan
sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol,
wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon
tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang
sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai
langsung dilakukan upacara akad nikah.
65
9. Upacara panggih
Pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki
yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin
laki-laki di antar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua pengantin
wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh
dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya
dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.
Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya
masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara panggih/temu, yang
terkadang menganggap sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan.
Padahal sebetulnya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat
pemasangan cincin kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa
mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda
walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo
dan gaya Yogya.
Misalnya dalam gaya Solo, di hari "H"nya, di sore hari. Tamu yang datang
paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan
bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di
krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya
bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun
berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di
Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan
gending Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan
pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin beserta
pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti, dan
para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia
66
disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat
orang tuanya yang terpilih.
Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun
nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik
rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam
kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua
orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan
pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di
rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar
rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki
dituntun ke arah krobongan.
10. Upacara balangan suruh
Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling
melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang
siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup
perkawinannya akan menang selalu. Mereka melakukannya dengan keinginan
besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut
kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari
gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan
mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau
orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau
perempuan.
11. Upacara wiji dadi
Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin
perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air
dicampur dengan bermacam-macam bunga dan setelah itu kakinya dibasuh
dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok.. Itu mengartikan, bahwa
67
pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah serta suami yang bertangung
jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya.
12. Kacar-Kucur
Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan
slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil
berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua).
Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin
perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah
sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak ? (berat mana Pak ?), yang dijawab
sang suami: Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si
laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun
pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan,
berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan
pengantin perempuan yang telah memegang saputangan terbuka, dan
disaksikan oleh para tamu secara terbuka.
13. Upacara dahar kembul
Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap
makanan antara pengantin. Pasangan pengantin makan bersama dan
menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan
kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita.
Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya.
Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan
bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama
lain. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan
cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan.
68
14. Upacara sungkeman/ngabekten
Kedua mempelai bersujut kepada kedua orangtua untuk mohon doa restu
dari orangtua mereka masing-masing. Pertama ke orang tua pengantin
wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman sedang
berlangsung, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah
Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya.
Setelah itu, dilakukan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke
rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan
dan disembah kedua pengantin).
Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para
tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara
hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending
ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dan
sebagainya.
15. Pesta pernikahan
Setelah upacara pernikahan selesai, selanjutnya diakhiri dengan pesta
pernikahan. Menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan.
Mungkin ini bagian dari kebahagiaan ke dua mempelai dengan para tamu,
keluarga serta para undangan.
6. Upacara Kematian
Bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu
didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang
yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu)
yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur
bersama-sama dengan mayatnya).
69
Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya),
terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah
mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda.
1. Surtanah/Bedah Bumi
Upacara yang diselenggarakan setelah penguburan jenazah, bertujuan
untuk mendoakan keselamatan arwah, dihadiri oleh keluarga, saudara dekat,
tetangga, dan juga para ulama. Selain doa bersama biasanya juga disertai
ngaji bersama atau tahlilan. Tidak ada undangan khusus untuk acara ini, tapi
pada umumnya tetangga-tetangga yang hadir membawa bahan-bahan
makanan seperti beras, telur, sayuran, gula, kopi, atau uang, dan lain-lain;
yang bertujuan untuk meringankan beban keluarga yang berduka. Inti acara
ini hanya untuk mendoakan. Jadi tidak ada acara kenduri, kalau pun ada yang
disajikan adalah hidangan yang seadanya. Bisa juga keluarga yang sedang
kesusahan tetap menyiapkan besek berisi makanan untuk dibawa pulang
sebagai sodaqoh, meskipun hal ini tidak wajib.
2. Nelung Dina
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 3 hari kematian.
3. Mitung Dina
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 7 hari kematian.
4. Matang puluh Dina
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 40 hari kematian.
5. Nyatus
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 100 hari kematian.
70
6. Pendak Pisan
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 1 tahun kematian.
7. Pendak Loro
Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah
meninggal dunia setelah 2 tahun kematian.
8. Nyewu
Saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate
dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang
yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan
datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah
dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah
mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan
keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu
giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang
dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang
berarti selesai berpuasanya.
UPACARA ADAT LAINNYA
Nyadran
Suatu prosesi yang berupa pemberian sesaji yang disediakan untuk tempat-
tempat tertentu yang dianggap keramat, bisa berupa pohon besar yang berusia
ratusan tahun, batu besar, sendhang (pusat mata air), dan makam sesepuh desa
di masa lampau. Biasanya prosesi ini melibatkan seluruh penduduk kampung
dengan membawa sesaji berupa makanan/jajanan tradisional dan diakhiri dengan
makan bersama. Pada malam harinya diadakan kesenian tradisional untuk
memeriahkan suasana seperti wayang kulit, tayub, atau reog. Tujuan upacara ini
71
adalah untuk meminta berkah/kesejahteraan masyarakat kampung tersebut
pada suatu tahun.
Munggah Wuwungan
Merupakan salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah kuda-
kuda selesai didirikan pada pembangunan suatu rumah. Upacara ini kadang-
kadang disebut juga mungah gendeng (menaikkan genting). Upacara ini
diselenggarakan pada waktu rangka atap rumah sudah jadi (genting belum
dipasang). Upacara ini sebenarnya adalah acara syukuran, karena pemilik merasa
senang rumah yang dibangun sudah mempunyai kerangka dan kuda-kuda yang
lengkap. Jadi sebentar lagi sudah bisa ditempati, dan tidak akan terkena hujan
dan panas. Puncak acaranya adalah kenduri, terutama untuk tukang-tukang yang
ikut membangun rumah dan tetangga-tetangga dekat rumah yang sedang
dibangun. Acara ditutup dengan doa yang dipimipin ulama. Biasanya kenduri
munggah wuwungan diselenggarakan setelah shalat dhuhur, jadi, selain untuk
makan siang tukang-tukang juga jama’ah dan ulama’ yang keluar dari musholla
atau masjid bisa langsung ikut dan pulangnya membawa tentengan besek.
Sesajen untuk wuwungan digantung pada salah satu kayu kuda-kuda. Yang
tidak digantung hanya bendera merah putih yang dipasang menggunakan galah
ukuran sedang, yang dapat kelihatan dari rumah tetangga-tetangganya. Adapun
sesajen yang harus disiapkan adalah setandan pisang, satu pohon tebu hitam,
padi secukupnya, kelapa satu buah, dan bendera.
Ruwatan
Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan
seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini
sebenarnya adalah do’a, memohon perlindungan kepada tuhan dari ancaman
72
bahaya seperti bencana alam, juga do’a memohon pengampunan, dosa-dosa dan
kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini
berasal dari ajaran budaya jawa kuno yang bersifat sinkretis yang sekarang
diadaptasikan dengan ajaran agama.
Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya
keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang
baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau desa dari
ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini
sebenarnya untuk tolak bala’.
Upacara ini berasal dari cerita bathara kala, yaitu raksasa yang suka makan
manusia. Bathara kala adalah putra bathara guru atau cucu para dewa.jenis
manusia yang disukai bathara kala yaitu :
Orang yang akan mengalami penderitaan atau sukerta
Anak lahir tunggal yang dalam istilah jawa disebut ontang anting
Kembar sepasang
Urutan anak laki-laki, perempuan, laki-laki atau yang dalam istilah jawa
disebut sendang kapit pancuran
Dua anak laki laki seluruhnya yang dalam istilah jawa disebut uger uger
lawang
Lima orang anak laki-laki yang dalam istilah jawa disebut pondowo limo
Adapun sesaji yang disiapakan yaitu kain tujuh warna, beras kuning, jarum
kuning, dan bunga tujuh rupa. Untuk tolak bala’ bagi orang yang mengalami sial
harus menjalani siaman air suci dan menggunting rambut, rambut tersebut
dihanyutkan ke sungai untuk menuju laut.
73
KESENIAN TRADISIONAL JAWA
1. Seni Suara
a. Lagu Daerah
suwe ora jamu
gek kepiye
pitik tukung
padang bulan
suku-suku bathok
b. campursari
Campursari sebenarnya merupakan hasil perpaduan musik antara music Jawa
dan musik modern. Campursari mulai dikenal di akhir tahun ‘90-an.
c. Tembang
Seni budaya Nembang Macapat dan Kidungan merupakan laku budaya asli
masyarakat Jawa, jauh sebelum adanya pengaruh budaya dari India, Cina dan
Arab masuk ke Indonesia.
Waosan Macapat dan Kidungan biasanya dilaksanakan untuk mengiringi
kegiatan "tuguran" atau melekan wanci wengi pada saat warga sedang ada
suatu kegiatan antara lain : sepasaran atau selapanan bayi lahir, mendirikan
bangunan rumah.
Selain dapat digunakan juga untuk "njapani" anak-anak yang sedang
sakit, sebagai mantra ketika menghadapi berbagai situasi yang mengganggu
"kahanan" dan ketenteraman bebrayan, digunakan pula sebagai sarana
komunikasi untuk menyampaikan atau "medharake" berbagai "ngelmu".
74
Laku budaya nembang macapat dan kidungan terkandung filosofi bahwa
"Sejatinging Swara" itu milik Kang Murbeng Dumadi dan dimaksudkan untuk
"Memayu Hayuning Bawana".
Tembang Jawa bisa dianggap sebagai salah satu "karya budaya luhur",
sebab seluruh tembang Jawa mempunyai "Daya Pangaribawa" kepada para
pendengarnya. Dengan demikian kidungan dan waosan macapat bisa
dianggap sebagai ritual laku budaya secara lahiriah dan batiniah.
Suara dan irama tembang macapat mempunyai daya magis disesuaikan
dengan "watak dan pasemon" serta kegunaannya. Ada yang hanya digunakan
untuk "rengeng-rengeng" sebagai penenang hati, tetapi ada yang digunakan
untuk persembahan keindahan melalui suara kepada seluruh khalayak /
bebrayan, tidak hanya itu saja keindahan, suara dan irama Tembang Macapat
juga menciptakan suasana Religius yang ber-Ketuhanan dan Humanis yang
berkemanusiaan.
Jika dilihat dari segi tata bahasa macapat berarti “maca papat-papat”,
maksudnya membaca empat-empat. Untuk membacanya memang tersusun
atas tiap-tiap 4 suku kata. Tembang ini mulai ada pada akhir zaman Majapahit
dan masa permulaan Wali Sanga. Namun pendapat tersebut juga belum pasti,
karena belum ada tulisan otentik yang bisa memastikan.
Seperti halnya karya sastra lain, tembang macapat juga mempunyai
pedoman atau aturan-aturan, yaitu
Guru Gatra : jumlah baris pada setiap bait
Guru Wilangan : jumlah suku kata pada setiap baris
Guru Lagu : huruf vokal terakhir pada setiap barisnya
Sedangkan tembang macapat sendiri itu ada banyak macamnya. Tetapi
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
75
1. Sekar Macapat / Sekar Alit
Sekar alit ini juga disebut tembang macapat asli yang umumnya digunakan
di banyak tempat. Urut-urutan sekar alit adalah
a. Mijil
Mijil artinya lair/metu (lahir/keluar). Dalam jajaran tembang macapat, mijil
umumnya diletakkan di depan. Setiap pada (bait), tembang ini memiliki 6
gatra (larik). Dengan guru wilangan dan guru lagu :
10 – i (10 suku kata, dengan vocal pada suku kata terakhir I dalam 1
baris)
6 – o
10 – e
10 – i
6 – i
6 – u
Contoh mijil :
Mijil ing donya siniwi ratri
Kabeh durung katon
Amung anjali soca ing tembé
Lelaku alon siniji-siji
Nunggu mring wartaning
Sesotya satuhu
b. Sinom
Sinom adalah nama daun pohon asam yang masih muda. Dalam macapat,
sinom memiliki sifat yang masih muda seperti halnya anak kecil yang baru
mengerti dunia. Tembang ini memiliki 9 (Sembilan) baris dengan guru
wilangan dan guru lagu :
8 – a
76
8 – i
8 – a
8 – i
7 – i
8 – u
7 – a
8 – i
12 – a
Contoh sinom :
Ing pojok wetan sang surya
Nyungging sinom dadi peni
Kagubet embun rumeksa
Dening Hyang Murbeng Dumadi
Raga jiniret ati
Seka perbawaning esuk
Manuksma suluk angga
Kang wang-sinawang mranani
Tibane prana sarwa sulih prasaja
Amenangi jaman édan
Éwuh aya ing pambudi
Milu édan nora tahan
Yèn tan milu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjané kang lali
Luwih begja kang éling lawan waspada
77
c.Dhandhanggula
Dhandhanggula berisi pengharapan sesuatu yang baik. Dhandhang itu
berarti pengharapan, maka dari itu tembang yang menggunakan gaya
dhandhanggula juga berisi sesuatu yang manis seperti gula. Ada banyak
nasehat jawa kuno yang menggunakan jenis ini. Setiap bait ada sepuluh
gatra dengan atura guru wilangan dan guru lagu :
10 – i
10 – a
8 – e
7 – u
9 – i
7 – a
6 – u
8 – a
12 – i
7 – a
Contoh dhandhanggula :
Yogyanira kang para prajurit,
lamun bisa sira anuladha,
duk ing uni caritane,
andelira sang prabu,
Sasrabahu ing Maespati,
aran patih Suwanda,
lelabuhanipun,
kang ginelung tri prakara,
guna kaya purun ingkang den antepi,
nuhoni trah utama
78
d. Kinanthi
Kinanthi pada umumnya digunakan untuk menggambarkan rasa senang,
kecintaan, dan kebijaksanaan. Kinanthi dapat berarti bergandengan tangan
dan bisa juga nama salah satu jenis bunga. Ada juga yang menghubungkan
kinanthi dengan maskumambang. Jika maskumambang untuk laki-laki
dewasa, kinanthi untuk wanita dewasa. Setiap bait ada enam gatra dengan
atura guru wilangan dan guru lagu :
8 – u
8 – i
8 – a
8 – i
8 – a
8 - i
Contoh kinanthi :
Anoman mlumpat sampun
praptêng witing nagasari
mulat mangandhap katingal
wanodyâju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga kêksi
e. Asmarandana
Tembang asmaradana umumnya dipakai untuk orang yang sedang jatuh
cinta. Jika dilihat dari sisi bahasa asmarandana diambila dari kata asmara
yang artinya cinta, dan dahana yang artinya api. Oleh karena itu isinya
menggambarka gelora cinta yang membara. Guru gatra tembang ini adalah
tujuh. Sedang aturan guru wilangan dan guru lagu adalah :
8 – a
79
8 – i
8 – e
8 – a
7 – a
8 – u
8 – a
Contoh asmarandana:
Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitané
Luput pisan kena pisan
Lamun gampang luwih gampang
Lamun angèl, angèl kalangkung
Tan kena tinumbas arta
Aja turu soré kaki
Ana Déwa nganglang jagad
Nyangking bokor kencanané
Isine donga tetulak
Sandhang kelawan pangan
Yaiku bagéyanipun
wong welek sabar narima
f. Durma
Durma adalah salah satu tembang macapat yang mempunyai watak galak.
Ada kalanya juga tembang durma melukiskan keadaan seram yang
menakutkan. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru
wilangan dan guru lagu adalah :
12 – a
80
7 – i
6 – a
7 – a
8 – i
5 – a
7 – i
Contoh durma :
Kae manungsa golek upa angkara
Sesingidan mawuni
ngGawa bandha donya
mBuwang rasa agama
Nyingkiri sesanti ati
Tan wedi dosa
Tan eling bakal mati
g. Pangkur
Pangkur adalah salah satu tembang macapat yang mempunyai watak naik
ke tingkatan tinggi. Seumpama pelajaran maka pangkur merupakan ajaran
tingkat tinggi. Misalnya cinta merupakan cinta yang dalam. Dari tembang
ini maka kemudian banyak tembang yang menggunakan kata pangkur,
antara lain : pangkur janggleng, pangkur palaran, pangkur lombok, dan lain-
lain. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru wilangan dan
guru lagu adalah:
8 - a
11- i
8 - u
7 - a
12 - u
81
8 - a
8 - i
Contoh pangkur :
Sekar Pangkur kang winarna
lelabuhan kang kanggo wong aurip
ala lan becik puniku
prayoga kawruhana
adat waton puniku dipun kadulu
miwa ingkang tatakrama
den keesthi siyang ratri
h. Maskumambang
Maskumambang adalah tembang macapat yang menjadi perlambang
seorang laki-laki yang beranjak dewasa, diwaktu ketika seorang anak
menuju menjadi manusia seutuhnya di tengah kehidupan masyarakat. Kata
maskumambang secara bahasa berasal dari kata emas dan kumambang.
Ada yang menganggap bahwa maskumambang adalah tembang untuk
seorang laki-laki, dan untuk perempuan adalah kinanthi. Watak tembang ini
umumnya berisi tentang seorang yang sakit hati, sengsara dan terlantar.
Guru gatra tembang ini adalah empat. Sedang aturan guru wilangan dan
guru lagu adalah:
12-i
6 -a
8 -i
8 -a
Contoh maskumambang :
Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis
Sambaté mlas arsa
82
Luhnya marawayan mili
Gung tinamêng astanira
i. Pucung
Pucung (kadang–kadang ditulis pocung) adalah tembang macapat yang
mengingatkan tentang kematian. Kata pucung disamakan dengan pocong.
Seperti perlambang kafan yang membungkus mayat, pucung dipakai untuk
mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia ini ada akhirnya.
Selain itu pucung juga mempunyai perwatakan lain. Pucung itu merupakan
nama salah satu biji buah – buahan. Kata cung juga menggambarkan rasa
segar yang mengingatkan tentang hal yang lucu seperti halnya pada waktu
zaman dikuncung. Tembang ini sering juga dipakai untuk melukiskan
kejenakaan seperti pantun atau tebak – tebakan.
Guru gatra tembang ini adalah empat. Sedang aturan guru wilangan dan
guru lagu adalah:
12 - u
6 - a
8 - i
12-a
Contoh pucung :
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
Lekase lawan kas
Tegese kas nyantosani
setya budya pangekesing dur angkara
83
2. Sekar Madya / Sekar Tengahan
a. Jurudemung
Jurudemung termasuk salah satu tembang sekar madya. Watak tembang ini
biasanya centil dan biasanya dipakai untuk tembang awalan atau yang agak
erotis. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru wilangan
dan guru lagu adalah:
8 - a
8 - u
8 - u
8- a
8 - u
8 - a
8 – u
Contoh jurudemung :
ni ajeng mring gandhok wétan
wus panggih lan Rara Mendut
alon wijilé kang wuwus
hèh Mendut pamintanira
adhedhasar adol bungkus
wus katur sarta kalilan
déning jeng kyai Tumenggung
b. Wirangrong
Wirangrong termasuk tembang sekar madya. Wataknya adalah berwibawa.
Tembang ini biasanya dipakai untuk menembangkan hal-hal yang sifatnya
gagah. Guru gatra tembang ini adalah enam. Sedang aturan guru wilangan
dan guru lagu adalah:
8 - i
84
8 - o
10 - u
6 - i
7 – a
8 – a
Contoh wirangrong :
dèn samya marsudêng budi
wiwéka dipunwaspaos
aja-dumèh-dumèh bisa muwus
yèn tan pantes ugi
sanadyan mung sakecap
yèn tan pantes prenahira
c. Balabak
Balabak termasuk ke dalam tembang sekar madya yang memiliki watak
seenaknya dan asal jadi. Guru gatra tembang ini adalah enam. Sedang
aturan guru wilangan dan guru lagu adalah:
12 - i
3 - e
12 - a
3 - e
12 – a
3 – e
Contoh balabak :
byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang
mamèt wé
turut marga nyambi reramban janganan
antuké
85
praptêng wisma wusing nyapu atetebah
jogané
d. Gambuh
Gambuh merupakan salah satu sekar madya yang penuh dengan nasehat.
Nasehat itu mengingatkan manusia supaya ingat dengan semua perbuatan
yang dilakukannya. Manusiadiingatkan bahwa setiap perbuatan yang
dilakukan mengandung suatu akibat. Guru gatra tembang ini adalah enam.
Sedang aturan guru wilangan dan guru lagu adalah :
7 - u
4 - u
6 - u
12 - i
8 – u
8 – o
Contoh gambuh :
Sekar gambuh ping catur
Kang cinatur
Polah kang kalantur
Tanpo tutur katulo-tulo katali
Kadaluwarso katutur
Katutuh pan dadi awon
e. Megatruh
Megatruh atau dudukwuluh termasuk salah satu tembang sekar madya,
mempunyai watak yang menggambarkan seseorang yang sakit hati karena
rindu. Guru gatra tembang ini adalah lima. Sedang aturan guru wilangan
dan guru lagu adalah:
12 - u
86
8 - i
8 – u
8 – i
8 – o
Contoh megatruh :
sigra milir kang gèthèk sinangga bajul
kawan dasa kang njagèni
ing ngarsa miwah ing pungkur
tanapi ing kanan kéring
kang gèthèk lampahnya alon
3. Sekar Ageng
Hanya terdapat satu tembang, yaitu Girisa. Girisa merupakan salah satu
tembang yang termasuk ke dalam sekar ageng. Wataknya sangat hati-hati.
Guru gatra tembang ini adalah lima. Sedang aturan guru wilangan dan guru
lagu adalah :
8 - a
8 - a
8 – a
8 – a
8 – a
8 – a
8 - a
8 – a
Contoh tembang ini adalah :
déné utamaning nata
bèr budi bawa leksana
87
liré bèr budi mangkana
lila legawa ing driya
agung dènya paring dana
anggeganjar saben dina
liré kang bawa leksana
anetepi pangandika.
2. Seni Pertunjukan
Jenis-jenis seni tradisional di Jawa umumnya dipengaruhi budaya Hindu,
Budha, Islam, Kejawen, dan lain-lain. Selain itu juga berkembang jenis-jenis
kesenian yang agak modern yang umumnya tebentuk dari kesenian
tradisional misalnya campursari, kenthongan, keroncong, kethoprak, dan lain-
lain.
Seni Tradhsional Jawa Tengah dan Yogyakarta
- Wayang
- Gamelan Jawa
- Jathilan
- Barongan
- Tayuban
- Tari Jawa
- Kethek Ogleng
Seni Tradisional Banyumas
- Wayang Kulit Gagrak Banyumasan
- Calung Banyumasan
- Lengger
- Ebeg
- Aksimuda
88
- Angguk
- Aplang/Daeng
- Begalan
- Bongkel
- Buncis
- Sintren
- Barzanji
Seni Tradisional Jawa Timur dan Madura
- Ludruk
- Reog
- Sandur
- Tandha'
- Pencak Sondah
- Pencak Tlangoh
- Barzanji
- Tunél
- Jaran Kepang
1. Tarian Jawa
Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini.
Ternyata pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi.
Jika dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka
dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan
simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang
terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali
ditambah dengan gerak mata.
89
Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk
teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini
merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta
oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang
mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati)
dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia)
(Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.
2. Ketoprak
Ketoprak termasuk salah satu jenis kesenian rakyat Jawa Tengah, begitu
juga bisa ditemukan di Jawa Timur. Ketoprak telah menyatu menjadi budaya
masyarakat Jawa Tengah dan dapat menyisihkan kesenian lainnya, seperti
Srandul, emprak, dan sejenisnya. Ketoprak mulanya dikenal dalam bentuk
permainan pria di desa yang sedang mengadakan lelipur sambil menabuh
lesung hingga irama pada waktu bulan pernama, disebut Gejog.
Selanjutnya ada tambahan gendang, terbang dan seruling, maka sejak iu
disebut ketoprak Lesung. Kira-kira terjadi pada tahun 1887. Selanjutnya pada
tahun 1909 mulanya diadakan pagelaran ketoprak sampai selesai dan
lengkap.
Pagelaran ketoprak yang resmi pada mulanya di masyarakat adalah
ketoprak wreksotomo yang diprakarsai oleh Ki Wisangkoro. Cerita yang
ditampilkan adalah : Warso-Warsi, Kendono-Gendini, Darmo - Darmi dan lain
sebagainya.
setelah itu pagelaran ketoprak yang maki lama semakin bagus dan menjadi
kegemarannya masyarakat terutama di Yogyakarta. Setelah itu meluas ke
berbagai daerah yang dilengkapi dengan gamelan dan cerita-cerita yang baru..
90
3. WAYANG
Wayang adalah pertunjukan dengan menggunakan boneka yang umumnya
terlihat indah dan dikendalikan oleh dhalang dengan iringan gamelan. Boneka
tersebut bisa berwujud 2 dimensi atau 3 dimensi. Umumnya yang berwujud 2
dimensi terbuat dari kulit sapi atau kambing. Dan yang berwujud 3 dimensi
biasanya dibuat dari kayu yang dipakaikan baju dari kain beraneka warna
sesuai dengan karate dasar wayang tersebut. Tetapi di daerah-daerah
tertentu juga ada yan membuat wayang dari rumput dan kardus tapi wayang
jenis ini tidak begitu banyak ditemukan. Cerita yang dikisahkan diambil dari
epos Mahabarata dan Ramayana yang juga disebut wayang Purwa. Ada juga
yang meggambarkan cerita-cerita 1001 malam dari tanah Arab. Wayang
seperti ini disebut wayang Menak. Pertunjuka ini terkenal di tanah jawa.
Dalam pertunjukan itu, wayang ditancapkan pada pelepah pohon pisang di
sebelah kiri dan kanan dhalang. Sedangkan pertunjukannya sendiri dilakukan
di bagian tengah. Pertunjukan digelar sehari-semalam.
Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita
falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga
kini. Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo
(sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan.
Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh
utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan
antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh
wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog
(antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam
falsafah.
Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang
Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya
91
dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga
pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran
Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri
manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam
suntuk.
Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya
setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang
merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari
orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun
dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini
diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu
wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.
Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar
wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri
Cina serta iringan musiknya khas cina.
Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain
yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar
mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).
Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari
kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).
Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat
wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput
Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan
berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan
menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi
yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa
92
merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai
hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.
Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan
teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan
kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni
pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman
sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang
tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap
pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta
hubungan manusia dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan
upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah,
sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai
hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil
"Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita
Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"
Wayang itu tidak hanya tersebar di Jawa saja, tetapi juga di daerah lain di
Nusantara. Pertunjukan wayang sudah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7
November 2003 sebagai karya kebudayaan yang merupakan karya
kebudayaan yang bernilai tinggi dalam hal cerita dongeng dan warisan yang
sangat berharga.
Sejarah Wayang
Para ahli belum ada yang dapat memastikan kapan wayang pertama kali
mulai ada di Indonesia. Namun apabila melihat dari bukti prasasti dan
93
peninggalan jaman dahulu, wayang kira-kira telah ada sebelum masuknya
agama Hindu. Ketika itu cerita wayang belum menggunakan cerita-cerita yang
diambil dari India. Pergelaran ini dulu dipakai sebagai sarana untuk
menyembah/menghormati arwah leluhur. Sementara tulisan sastra jaman
Mataram Baru banyak yang menulis tentang sejarah wayang. Namun para ahli
sejarah tidak setuju terhadap apa yang ditulis dalam karya sastra tersebut
karena tidak cocok dengan catatan dan peninggalan sejarah yang telah ada.
Prasasti paling kuno dari abad ke-4 masehi. Dalam prasasti tersebut
tertulis kata “mawayang” untuk pergelaran pahargyan sima atau bumi
perdhikan. Keterangan yang lebih jelas terdapat pada prasasti Balitung, kira-
kira tahun 907 masehi. Di situ tertulis “si galigi mawayang bwat Hyang
macarita bimma ya kumara." Yang artinya kira-kira : “si Galigi ndhalang untuk
Hyang dengan jalan cerita Bimma Sang Kumara.”
Agama Hindu yang masuk ke Nusantara membuat sendiri cerita wayang
yang berbeda dari aslinya. Cerita Ramayana dan Mahabarata mulai dipakai
untuk dakwah agama. Pada kekuasaan Raja Dharmawangsa Teguh (991 –
1016), banyak cerita dari India dan dibuat cerita/gagrag Jawanya. Wayang
mulai menyebar kemana-mana ketika masa pemerintahan kerajaan majapahit
menguasai nusantara.
Cerita-cerita yang aslinya dari India tersebut akhir ceritanya sudah
berbeda dari aslinya. Para Sastrawan jawa membuat cerita sendiri untuk
melengkapi cerita yang sudah ada. Dalam istilah Pedhalangan, cerita ini
disebut lakon carangan.
Ketika jaman Islam masuk ke indonesia, Walisanga juga menggunakan
wayang sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. Pada jaman ini,
mulai ada Wayang Menak. Semakin banyak gagrak-gagrak baru untuk
menggoncang kedudukan kerajaan Mataram Baru. Belanda yang berkuasa
94
kala itu membuat keraton Surakarta menciptakan banyak cerita wayang untuk
menenangkan hati. Indonesia merdeka juga menyumbang banyak gagrak
wayang yang beraneka warna. Beraneka warna wayang tadi ada yang masih
tetap hidup hingga jaman sekarang, namun ada juga yang hanya hidup pada
jamannya.wayang yang paling banyak dipakai adalah wayang kulit purwa.
Sebutan Wayang
Wayang berasal dari kata pewayangan, karena pertunjukannya dilakukan
pada malam hari dan menggunakan lampu. Namun keterangan ini sudah tidak
tepat lagi. Wayang jaman sekarang tidak harus berarti boneka yang ada
bayangannya. Wayag golek yang dibuat dari kayu tidak menunjukan
bayangan. Kata wayang jaman sekarang berarti pertunjukan boneka yang
digelar oleh dhalang. Pada umumnya sebutan wayang ditujukan untuk
Wayang Kulit Purwa. Wayang ini dibuat dari kulit hewan yang dipahatsesuai
dengan lakon cerita dari Mahabarata dan Ramayana.
Aneka Jenis Wayang
Wayang di Jawa
Wayang Beber
Wayang Kulit
Wayang Klithik
Wayang Golek
Wayang Gedhog
Wayang Menak
Wayang Kancil
Wayang Wahyu
Wayang Pancasila
Wayang Sejati
95
Wayang Jemblung
Wayang Wong
Wayang Sandosa
Wayang Ukur
Wayang Jawa
Wayang Topeng
Wayang Potehi
Wayang Revolusi
Wayang di daerah lain
Wayang Betawi
Wayang Sundha
Wayang Palembang
Wayang Banjar
Wayang Bali
Wayang Sasak
Mahabarata, cerita ini dianggap memiliki nilai religius di negeri asalnya.
India. Kisah kemanusiaan yang disajikan sedemikian luar biasa sehingga
kadangkala sulit membayangkan bahwa karya sehebat ini adalah hasil karya
manusia. Tokoh India Modern Mahatma Gandhi mengatakan bahwa
ramayana sudah merupakan bekal yang cukup bagi para pemuda India untuk
menjalani kehidupan. Karena didalamnya terkandung ajaran yang lengkap
mulai dari estetika, sosiologi, politik hingga seksualitas.
Pandawa, Tokoh protagonis kebaikan pada Mahabarata, mereka terdiri
dari saudara kandung Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa. Mereka
putra dari Raja Pandu, Hastinapura.
96
Kurawa, Tokoh Antagonis. Kejahatan sangat terlihat pada jiwa para
kurawa. Mereka terlahir dari rahim Ratu Gandari dan Raja Destarata. Kurawa
terdiri dari 100 anak. Yang mana anak tertuanya bernama Duryudana.
Asal Usul kisah MAHABARATA Prabu Pandu Dewanata mempunyai dua
orang isteri yaitu Dewi Kuntitalibrata dengan Dewi Madrim. Prabu Pandu
adalah putra Raden Abiyasa raja dari Astina, sedangkan Dewi Kuntitalibrata
adalah putri dari Prabu Kuntibojo raja Mandura, dan Dewi Madrim adalah
putri dari Prabu Mandrapati raja Mandraka. Dari perkawinan Pandu dengan
Kunti menghasilkan 3 putra yaitu: Puntadewa, Bratasena dan Arjuna,
sedangkan dari perkawinannya dengan Madrim menghasilkan 2 putra, yaitu:
Nakula dan Sadewa, yang dilahirkan kembar. Tetapi kedua anak kembar ini
mulai kecil diasuh oleh ibu Kunti karena ditinggal mati ayah dan ibunya
(Madrim). Ketika mengasuh anak Kunti tidak pernah membedakan antara satu
dengan lainnya, atau antara anak tiri dengan anak kandung yang dididik
dengan cinta kasih seorang ibu sampai menjadi dewasa. Kunti adalah
pencerminan seorang IBU yang patut diteladani.
Kelima anak Prabu Pandu itulah yang disebut dengan PANDAWA
PUNTADEWA. adalah raja negara Amarta atau Indrapasta. Setelah perang
Baratayuda Puntadewa menjadi raja Astina yang bergelar Prabu Kalimataya.
Nama lain yang dipakai adalah: Darmawangsa, Darmakusuma, Kantakapura,
Gunatalikrama, Yudistira, Sami Aji (sebutan dari Prabu Kresna). Sifatnya: jujur,
sabar, hatinya suci, berbudi luhur, suka menolong sesama, mencintai orang
tua serta melindungi saudara-saudaranya. Pusakanya bernama: Jamus
Kalimasada, yang mempunyai kekuatan sebagai perlindungan dan petunjuk
pada kebenaran serta kesejahteraan. Mempunyai dua isteri yaitu: Dewi
Drupadi dan Dwi Kuntulwilaten. BRATASENA. Setelah dewasa bernama
Werkudara. adalah ksatria Jodipati dan Tunggulpamenang. Pernah menjadi
97
raja di Gilingwesi, dengan gelar Prabu Tuguwasesa. Nama lain yang dipakai
adalah: Bima, Bayuseta, Dandun Wacana, Kusuma Waligita. Sifatnya: jujur,
tidak sombong, jiwanya suci, sangat patuh kepada guru-gurunya (terutama
dengan Dewa Ruci), mencintai ibunya serta menjaga saudara-saudaranya. Bila
berperang semboyannya adalah menang, bila kalah berarti mati. Bratasena
adalah merupakan suri tauladan kehidupan dengan sifat yang jujur dan
jiwanya suci. Pusakanya adalah: Kuku Pancanaka di tangan kanan dan kiri
sangat ampuh, sangat kuat dan tajam. Selain kuku pancanaka Werkudara juga
mempunyai kekuatan angin (lima kekuatan angin), serta dapat membongkar
gunung. Mempunyai tiga permaisuri yaitu: Arimbi, Urangayu dan Nagagini.
Dengan Arimbi mendapatkan putra bernama Gatotkaca, yang dapat terbang
tanpa sayap. Dari perkawinannya dengan Urangayu memperoleh putera
bernama Antareja yang bisa menguasai samudera sedangkan dari Nagagini
memperoleh putra bernama Antasena yang dapat masuk ke dalam bumi.
Bratasena pada waktu lahir dalam keadaan bungkus. Yang menyobek bungkus
tersebut adalah Gajah Situ Seno. Pada waktu itu Gajah Situ Seno masuk ke
dalam tubuh Bratasena, sehingga mempunyai kekuatan luar biasa dan bisa
menyobek bungkus tersebut. ARJUNA. adalah ksatria Madukara, juga menjadi
raja di Tinjomoya. Nama lain yang dipakai sangat banyak, antara lain: Janaka,
Parta, Panduputra, Kumbawali, Margana, Kuntadi, Indratanaya, Prabu Kariti,
Palgunadi, Dananjaya. Sifatnya: Suka menolong sesama, gemar bertapa,
cerdik dan pandai, ahli dibidang kebudayaan dan kesenian. Arjuna adalah
ksatria yang sakti mandraguna, kekasih para Dewa, ia adalah titisan Dewa
Wisnu. Istri Arjuna banyak sekali, ia dijuluki lelananging jagad, parasnya
sangat tampan dan tidak ada tandingannya. Permaisurinya di arcapada adalah
Wara Sumbadra dan Wara Srikandi. Selain itu masih banyak lagi istri-istrinya
antara lain: Rarasati, Sulastri, Gandawati, Ulupi, Maeswara, dll. Permaisuri di
98
kahyangan antara lain Dewi Supraba, Dewi Dersanala pada bidadari di
Tinjomaya. Arjuna berjiwa ksatria, berjiwa luhur, suka menolong, serta
kesayangan para Dewa. Tetapi ada kelemahan yang tidak boleh diteladani dan
ditrapkan pada jaman sekarang yaitu beristri banyak. Namun ada penafsiran
lain yang mengatakan bahwa tindakan poligami ini merupakan simbol bahwa
Arjuna telah berhasil dalam menuntut suatu ilmu (simbol penyatuan ilmu ke
dalam diri). NAKULA. adalah anak ke empat Prabu Pandu Dewanata dengan
Dewi Madrim yang lahir kembar dengan Sadewa. Ayah dan ibunya (Madrim)
meninggal pada waktu si kembar masih kecil, oleh karena itu sejak kecil
mereka diasuh oleh ibu Kunti dengan tidak membedakan antara satu dengan
lainnya. Setelah perang Bratajuda Nakula dan Sadewa menjadi raja di
Mandraka dengan Sadewa. Nama lain adalah Raden Pinten. Nakula adalah
ahli dalam bidang Pertanian. Pada waktu perang Baratayuda, Nakula dan
Sadewa yang bisa meluluhkan hati Prabu Salya (dari pi- hak Kurawa). Sebab
Prabu Salya adalah saudara Dewi Madrim, selain itu sebenarnya dalam
hatinya memihak pada kebenaran yaitu Pandawa. Akhirnya Prabu Salya
memberitahukan kepada Nakula dan Sadewa bahwa yang bisa
mengalahkannya hanyalah Puntadewa, karena Puntadewa berdarah putih.
SADEWA. adalah anak kelima Prabu Pandu dengan Madrim, dilahirkan
kembar dengan Nakula. Setelah perang Baratayuda Sadewa menjadi raja
dengan Nakula di Mandraka. Nama kecil Sadewa adalah Raden Tangsen.
Sadewa adalah ahli dalam bidang peternakan. Ia kawin dengan Endang
Sadarmi, anak Bagawan Tembangpetra dari Pertapaan Parangalas, dan
mempunyai putra bernama Sabekti.
Dengan adanya sifat-sifat Pandawa yang seperti tersebut diatas maka
dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Pandawa, kerajaan Amarta menjadi
kerajaan yang kuat, aman, adil dan makmur. Hal ini dapat dibuktikan selain
99
dengan sifat-sifat mereka yang jujur, membela kebenaran dan sebagainya,
juga berkat kemampuan disegala bidang. Puntadewa adalah ahli dalam bidang
kerohanian, ahli dalam hal bertapa, ia berdarah putih, tokoh ini
mementingkan perdamaian, persatuan, kesejahteraan bersama. Werkudara
adalah tokoh yang menguasai keamanan, kekuatannya tidak tertanding,
apalagi dengan kehadiran ketiga putranya dimana mereka menguasai
keamanan samodra (laut), udara dan darat. Arjuna adalah tokoh yang sakti,
pemanah yang ulung, suka menolong sesama, rasa kemanusiaannya tinggi,
tutur katanya lembut, ahli dalam bidang kebudayaan dan kesenian, ahli dalam
bidang bertapa. Si Kembar Nakula dan Sadewa adalah tokoh yang
mencerminkan tingkah laku untuk mencapai kesejahteraan/kemakmuran
hidup, karena Nakula adalah ahli dan tekun dalam bidang pertanian,
sedangkan Sadewa ahli dan tekun dalam bidang peternakan. Sebenarnya
Pandawa masih mempunyai saudara tua yang bernama Adipati Karna, semasa
kecil dinamakan Suryatmaja. Suryatmaja adalah putra Dewi Kunti dengan
Dewa Surya sebelum menikah dengan Pandu. Ini disebabkan adanya
perbuatan serong Dewa Surya yang mengakibatkan Kunti menjadi hamil.
Akhirnya Dewa Surya bertanggung jawab atas perbuatannya itu dengan cara,
pada waktu melahirkan, bayi tersebut keluar lewat telinga (karna = telinga),
dengan demikian maka Kunti dianggap masih suci/perawan. Bayi yang diberi
nama Suryatmaja kemudian dilarung (dihanyutkan) disungai Yamuna yang
kemudian diketemukan oleh Prabu Radeya di Petapralaya (dibawah
kekuasaan Astina). Karena merasa dibesarkan dan mukti wibawa di Astina,
maka pada waktu perang Baratayuda Adipati Karna berjuang dengan gagah
berani untuk membela negaranya. Ia menjadi senapati perang di pihak Astina,
tetapi akhirnya Karna gugur oleh adiknya sendiri yaitu Arjuna. Adipati Karna
adalah suri tauladan sebagai pahlawan yang gigih membela negara, meskipun
100
rajanya (Astina) dipihak yang salah tetapi bagaimanapun juga negaranya
harus dibela dari kehancuran, yang dibuktikan sampai titik darah
penghabisan.
Sejarah Kurawa dan Pandawa secara lengkap, yang kemudian dilanjutkan
terjadinya perang Baratayudha antara kedua pihak, sampai perang itu usai
dan muncul Parikesit, raja baru. Parikesit merupakan putera dari Raden
Abimanyu, sang putera Arjuna.
Lakon Wayang
Wayang Purwa
Crita Menak
Crita Panji
Babad Tanah Jawa
Gagrag di tanah Jawa
Pertunjukan wayang yang tersebar di tanah Jawa terdapat variasi yang
beraneka warna. Variasi/jenis itu yang sering disebut Gagrag. Gagrag wayang
di tanah Jawa antara lain :
Wayang Kulit Gagrag Ngayogjakarta
Wayang Kulit Gagrag Surakarta
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Cirebon
Wayang Kulit Gagrag Jawa Wetan
Wayang Kulit Gagrag Madura
Khusus Wayang Purwa
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya
wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang
wahono dan sebagainya. Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun
101
yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara
menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang
dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk
wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang
tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang
ikut pula dipengaruhi bentuk wayangpun berubah, misalnya, bentuk mata
wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan
badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk
selanjutnya diberi pewarna.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan
Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga
menjadi lebih indah bentuknya. Langkah penyempurnaan di jaman Sultan
Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman
Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga
tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang
dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya.
Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya
hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang
yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang
diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan.
Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
102
SIMPINGAN KIRI
1.Buto raton (Kumbakarno)
2.Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)
3.Rahwana dengan beberapa wanda
4.Wayang Bapang (ratu sabrang)
5.Wayang Boma (Bomanarakasura)
6.Indarajit
7. Trisirah
8.Trinetra dan sejenisnya
9.Prabu Baladewa dengan beberapa wanda
9.Raden Kakrasana
10.Prabu Salya
11.Prabu Matswapati
12.Prabu Duryudana
13.Prabu Salya
14.Prabu Salya
15.Prabu Matswapati
16.Prabu Duryudana
17.Raden Setyaki
18.Raden Samba
20.Raden Narayana
Keterangan :
Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama
tokoh yang tidak kami cantumkan.
* Wayang Eblekan : Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak
ikut disimping. Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan
(hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-
lain.
* Wayang dudahan : Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.
Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang
yang akan digunakan didalam pakeliran.
SIMPINGAN KANAN
Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang
yang disimping adalah sebagai berikut :
1. Prabu Tuguwasesa (Tuhuwasesa)
103
2. Werkudara dari beberapa macam wanda
3. Bratasena dari beberapa macam wanda
4. Rama Parasu
5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda
6. Ontareja
7. Anoman dari beberapa macam wanda
8. Kresna dari beberapa macam wanda
9. Prabu Rama
10. Prabu Arjuna Sasra
11. Pandhu
12. Arjuna
13. Abimanyu
14. Palasara
15. Sekutrem
16. Wayang Putran
17. Bati
Keterangan :
Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas.
Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang
putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas:
1.Buta raton
2.Wayang buta enom (raksasa muda)
3.Wayang boma
4.Wayang Sasra
5.Wayang Satria
104
Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut
dibawah ini :
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya,
Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira,
Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang
Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun
Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala
Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun
Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu,
Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,
Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang
Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba
Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra
Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi
Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak,
Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana
Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra
Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah,
Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa,
Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma
Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel
Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang
105
Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar,
Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,
Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,
Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu
Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak,
Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang
Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa:
Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung,
Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang
Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma,
Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena,
Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan
Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad
Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan
Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit,
Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten,
Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader
Bang (43 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma
Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel
Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang
Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar,
Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,
Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,
Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu
106
Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak,
Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang
Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya,
Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira,
Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang
Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun
Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala
Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun
Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu,
Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,
Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang
Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba
Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra
Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi
Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak,
Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana
Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra
Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah,
Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa,
Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
Pakem Wayang Purwa I:
Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi,
Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana
107
Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar,
Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena
Rabi, Calunthang dan Carapang.
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, adalah pertunjukan wayang dengan nafas
Banyumasan. Di Negara ini ada 2 gagrag, yaitu gagrag kidul gunung dan
gagrag lor gunung. Wayang kulit gagrak Banyumasan tersebut sangat kental
dengan suasana kerakyatan dalam pertunjukannya. Umumnya ceritanya tidak
jauh berbeda dengan daerah lain di Jawa. Perbedaan yang paling mencolok
yaitu pada peraga Bawor. Bawor itu seperti Bagong, badannya gendut,
pendek, dan lucu. Kalau Bagong itu putra bungsu Semar, maka Bawor itu
adalah anak sulungnya. Dhalang-dhalang yang mempertunjukkan gagrag ini
antara lain adalah Ki Sugito Purbacarita, Ki Sugino Siswacarita, dan Ki
Suwarjana.
4. Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi
Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.
5. Angguk yaitu kesenian bernafaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-
tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir
pertunjukkan para pemain Intrance / Mendem.
6. Buncis, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh
delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat
musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi
108
pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau
mendem.
7. Begalan, adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang
digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat
dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi
falsafah jawa & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup
berumah tangga.
8. Calung Banyumasan, termasuk kesenian tradisional asli Banyumas. Selain
menggunakan alat pukul yang terbuat dari bamboo biasanya ditambah suara
mulut yang menabuhnya.
9. Ebeg merupakan salah satu tari tradisional khas Banyumas yang
menggunakan ebeg' atau jaran kepang. Kesenian ini menggambarkan
kegagahan prajurit pasukan berkuda hingga semua atraksinya. Pada
umumnya, dalam pergelaran ebeg terdapat atraksi barongan, penthul, dan
cepet. Pergelaran ebeg diiringi dengan gamelan yang disebut bendhe.
10. Kesenian Lengger sebenarnya masih kerabat dengan tayub dan gandrung,
namun kesenian ini lebih terkenal di wilayah Banyumas. Tarian ini biasanya
digelar dalam acara-acara seperti pernikahan, tujuhbelasan, dan acara-acara
masal lainnya. Namun bedanya dengan seni sarupa, lengger diiringi dengan
Calung Banyumasan yang terbuat dari bambu. Kesenian ini umunya disajikan
oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir
seorang penari pria yang lazim disebut badhud, Lengger disajikan diatas
109
panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi olah perangkat musik
calung.
11. Ludruk merupakan seni pertunjukan tang berasal dari Jawa Timur. Pada
mulanya, ludruk muncul dari kesenian rakyat bernama besutan, seni besutan
tersebut dipentaskan di rattan ditonton oleh banyak orang. Ludruk tersebar di
wilayah Jawa Timur, yang merupakan budaya arekan, dari Jombang hingga
Jember.
Isi cerita
Ludruk berbeda dengan kethoprak, karena Ludruk cerita tentang perkara
kehidupan sehari-hari dan terkadang juga menceritakan tentang keadaan
terbaru yang terjadi di msyarakat. Biasanya ludruk dibuka dengan tandhakan
seperti tari ngremo , atau beskalan putri untuk ludruk gaya Malangan.
Pembukaan ludruk biasanya dalam bentuk parikan (menyanyi/ngidung) yang
isinya terdapat perkara kehidupan sehari-hari dan keadaan terbaru yang
terjadi.
Basa ludruk
Dialog dalam ludruk biasanya menggunakan dialek Surabaya, sedangkan
ludruk di wailayah Prabalingga, Lumajang dan Jember menggunakan bahasa
Madura. Salah satu protagonis ludruk yang terkenal yaitu pak Sakera, jagoan
orang Madura.
12. Réyog adalah salah satu kesenian rakyat yang berasal dari jawa timur
bagian barat-selatan yaitu sekitar Kab. Ponorogo. Di daerah ini banyak
masyarakatnya yang masih pecaya dengan hal-hal yang mistis dan aliran
kejawen masih sangat kuat. Reyog masih ada hubungannya dengan hal-hal
yang magis warisan para leluhur.
110
Pamentasan seni réyog
Réyog modern biasanya dipentaskan pada saat perisiwa-peristiwa penting
seperti ritus-ritus passage, contohnya pada saat upacara perkawinan,
khitanan dan hari-hai besar nasional
Seni reyog Ponorogo disusun dari dua sampai tiga tarian pembuka. Tarian
pertama dipentaskan oleh 6 sampai 8 pria yang gagah dan berani yang
berbaju hitam dan wajahnya diolesi warna merah. Para pria tersebut
melambangkan singa yang pemberani. Setelah itu ada tarian yang
dipentaskan oleh wanita 6 sampai 8 yang naik kuda (kuda lumping). Pada
reyog tradisional, para penari diperankan oleh pria-pria yang memakai
pakaian wanita. Tarian tersebut dinamakan tayuban jaran képangan. Tarian
pembuka lainnya ada juga yang diperankan oleh anak-anak yang beradegan
lucu. Setelah tarian pembuka selesai selanjutnya akn ditampilkan adegan inti
yang isinya tergantung dengan orang yang mementaskan seni reyog tersebut.
Kalau perkawinan menggunakan adegan asmara, kalau khitanan
mementaskan adegan laga. Adegan reyog tidak menggunakan scenario yang
rapi. Yang paling utama dalam pertunjukan reyog adalah membuat penonton
merasa puas.
Adegan yang terakhir adalah tarian singo barong. Para penari
menggunakan topeng kepala singa yang dihiasi oleh bulu-bulu merak. Topeng
tersebut beratnya bisa mencapai 60 kg. yang membawa topeng ini harus pria
yang kuat dan dipercaya. Biasanya pria tersebut latihan spiritual seperti puasa
dan bertapa.
111
PRODUK FISIK BUDAYA
1. GAMELAN
Gamelan merupakan salah satu seni musik tradisional khas jawa yang hidup di
daerah jawa tengah, yogyakarta, dan sebagian jawa timur. Musik gamelan jawa
ini berbeda dengan musik gamelan dari daerah lainnya, musik gamelan jawa
umumnya mempunyai nada yang lebih lembut dan tempo yang lebih lambat,
berbeda dengan gamelan bali yang mempunyai tempo cepat dan gamelan sunda
yang iramanya mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.
Notasi
Gamelan jawa itu mempunyai nada-nada pentatonis. Satu perangkat gamelan
yang lengkap itu mempunyai dua laras yaitu :
Gamelan selendro
Merupakan salah satu laras dalam gamelan, dalam bahasa sunda biasanya
disebut salendro. Dalam laras ini tidak ada nada 4 dan nada 7, jadi laras
selendro hanya memiliki lima nada dalam setiap oktafnya, yaitu 1 2 3 5 6 atau
nada C-D-E-G-A dan masing-masing mempunyai beda interval suara yang
kecil.
Belum ada ahli yang bisa menjelaskan dengan pasti asal-usul kata slendro
ini. Tetapi ada pendapat yang mengatakan kata slendro berasal dari wangsa
syailendra dan ada juga yang mengatakan kata ini berasal dari bahasa india
atau cina.
Di bali slendro digunakan untuk melukiskan keadaan yang sedih, karena
sering dipakai bersama angklung untuk acara penguburan mayat. Dalam
masyarakat jawa notasi ini dbedakan menjadi tiga golongan yaitu : ”nem,
sanga, dan mayura”. Urutan ini umumnya dipakai untuk pagelaran wayang.
112
Gamelan pelog
Adalah salah satu laras dalam gamelan yang memiliki nada yang lengkap,
yaitu tujuh nada dalam setiap oktafnya.
Aturan permainan
Gamelan jawa memiliki aturan yang sudah pakem diantaranya tersusun
dari berapa putaran atau berapa dalam atau dangkalnya suara, juga ada
aturan sampak atau cepat lambatnya nada. Juga ada batasan gongan dan
melodi juga sudah diatur dalam bagian masing-masing yang tertata atas
empat nada.
Masing-masing alat memiliki fungsinya sendiri, yang menuntun suara
adalah rebab, yang menuntun sepat lambatnya nada adalah kendang. Pemain
gamelan biasanya disebut nayaga atau panjak, sedangkan yang nembang
disebut sinden.
Jenis gamelan
Berdasarkan jenisnya gamelan jawa dibagi atas
Kodokngorek
Munggang
Gamelan sekaten
Gamelan klasik
Gandhon
Siteran
Gamelan mangkunegaran
Gamelan pakualaman
Gamelan surakarta
Gamelan yogyakarta
Gamelan banyumasan
113
Piranti / perangkat gamelan jawa
Perangkat gamelan jawa pada umumnya atau sebagian besar terbuat dari
logam seperti : besi, tembaga yang dicampur nikel, perunggu, terutama
batangannya. Bahan tambahan lainnya adalah bambu, kulit (untuk kendhang)
dan lain-lain. Perangkat gamelan yang tidak ada kondungan logam
didalamnya adalah kendang, gambang, rebab, suling, siter, dan alat
penabuhnya.
Perangkat gamelan jawa secara garis besar dikelompokkan menjadi empat
yaitu :
1. Gongan
Gongan adalah selang waktu bunyi antara antar gong atau kelompok gong.
Selang waktu ini berbeda, bisa selisih detik sampai menit menurut irama juga
tempo tembang yang dinyanyikan. Gongan yang paling panjang selang
waktunya adalah bunyi gong ageng.
Perangkat gamelan yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
Gong
Gong merupakan sala satu alat mesik tabuh dalam perangkat gamelan
jawa, berbahan logam dan berukuran paling besar. Alat ini biasanya
diletakkan paling belakang, digantung di sebuah palang yang terbuat dari
batan kayu yang besar. Gong ini dibagi menjadi dua, yaitu gong ageng dan
gong suwuk. Gong ageng biasanya paling besar dan diletakkan paling
samping (kiri dan kanan), sedang gong suwuk diletakkan di antara dua
gong ageng atau ditengah, jumlah gong ageng dalam perangkat gamelan
jawa biasanya 2 buah, sedang gong suwuk ada 8-10 buah.
Wujud gong ini bulat rata dan ada tonjolan di tengah-tengah. Gong
memiliki suara yang paling besar dan nadanya paling rendah diantar
perangkat gamelan jawa lainnya. Gong biasanya diabuh untuk memberi
114
penekanan pada bagian tertentu (pada umumnya akhir ) iringan musik
gamelan, jadi jarang sekali ditabuh secara terus-menerus tetapi hanya
pada selang waktu tertentu. Perangkat ini juga biasa digunakan untuk
tanda peresmian atau pembukaan acara.
Gambar gong :
Kempyang
Kempyang merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang
ditabuh. Kempyang biasanya diletakkan di temat yang bentuknya seperti
ayunan. Wujud kempyang ini hampir sama dengan kethuk.
Gambar kempyang :
Kethuk
Kethuk merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.
Berbeda dengan gong yang letaknya digantung, kenong ini diletakkan di
tempat yang mirip ayunan. Cirinya hampir sama dengan kempyang.
115
Gambar kethuk
Kempul
Kempul merupaka salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.
Perangkat ini umumnya digantung seperti gong. Jumlah kempul dalam
perangkat gamelan jawa tidak pasti, tergantung jenis pagelarannya.
Wujudnya mirip gong tetapi ukurannya lebih kecil denga diameter sekitar
45 cm, jadi nada yang dihasilkan lebih tinggi.
Gambar kempul :
Kenong
Kenong merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.
Tempat kenong ini diletakkan di tempat yang mirip ayunan jadi cara
memainkannya hampir sama dengan kempyang dan kethuk,
perbedaannya kenong mempunyai ukuran yang paling besar diantara yang
lain. Dalam perangkat gamelan jawa suara kenong yang besar nadanya
kecil. Suara yang dihasilkan unuk karena memiliki timbre yang unik.
116
Gambar kenong :
2. Balungan
Balungan adalah rangkaian melodi dalam gamelan. Merupakan jenis musik
gamelan yang inti melodinya ada di rangkaian suara balungan tersebut.
Perangkat gamelan yang termasuk dalam kelompok ini adalah :
Saron panerus
Saron panerus merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang
ditabuh. Saron panerus itu ditempatkan langsung diatas bilah-bilah kayudi
sisi bawahnya. Dalam laras slendro saron panerus juga disebut peking.
Wujud saron ini yang paling kecil. Ada dua jenis saron panerus, yaitu
pelog panerus dan slendro panerus. Kedua jenis ini mempunyai laras yan
berbeda, alat tabuhnya lebih kecil dan lebih bagus dika bahannya dibuat
dari tanduk kerbau. Ukuran bilah besi alat musik ini paling kecil diantara
saron lainnya tetapi lebih tebal. Bilahnya berjumlah 7 dan bilah terkecil
memiliki panjang 18 cm dan lebar 4 cm. Suara yang dihasilkan oleh saron
ini paling tinggi diantara saron lain.
Gambar saron panerus :
117
Saron barung
Saron barung merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang
ditabuh dan termasuk ke dalam perangkat saron. Ukuran saron ini ada di
tengah-tengah, maksudnya lebih besar dari saron panerus tetapi lebih
kecil daripada saron demung. Bilah yang tinggi suaranya ukurannya lebih
kecil. Jumlah bilahnya ada 7 buah. Sedangkan suara yang dihasilkan lebih
tinggi satu okaf dibandingkan saron demung.
Gambar saron barung :
Saron demung
Saron panerus merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang
ditabuh. Saron panerus itu ditempatkan langsung diatas bilah-bilah kayu di
sisi bawahnya. Nada yang dihasilkan paling rendah diantara saron lainnya
dan ukurannya paling besar diantara yang lain.
Slenthem
Slenthem merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.
Slenthem itu diletakkan di tempat yang fungsinya seperti ayunan dan
dibawahnya ada tabung/silinder yang membunyikan gema suara yang
dihasilkan. Wujud slenthem ini mirip dengan genjer.
118
Gambar slenthem :
Slentho
Slentho merupakan seperangkat gamelan jawa yang ditabuh. Piranti
gamelan ini hampir sama dengan saron. Tetap nada yang dihasilkan paling
rendah, bahkan lebih sendah dari demung. Alat ini kebanyakan sudah
jarang dipakai, kalaupun masih diperlukan hanya pada acara tertentu saja,
seperti upacara sekaten.
Wujud slentho ini seperti sron pada umumnya, memilki 7 bilah,
bedanya dengan saron hanya di tengahnya ada semacam tonjolan
sehingga mirip bonang.
3. Panerusan
Panerusan merupakan salah satu pengelompokan perangkat gamelan jawa
yang terdiri atas :
Bonang
Bonang merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. Bonang
diletakkan langsung di bilah kayu da diayun di kedua sisi bawahnya. Ada
dua jenis bonang, yaitu bonang barung dan bonang panerus, tetapi di jenis
gamelan tertentu juga ada bonang panembung.
Bonang bentuknya hampr sama dengan kempyang, tetapi ada tonjolan di
tengahnya lebih tinggi. Alat tabung untuk bonang sebaiknua dari bahan
119
yang agak lunak dan berbentuk palu. Jumlah bilahnya biasanya 14 tapi
kadang bisa 12 buah bilah saja.
Gambar bonang :
Gender
Gender merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. gender
diletakkan di tempat yang fungsinya seperti ayunan dan dibawahnya ada
tabung/silinder yang membunyikan gema suara yang dihasilkan. Tabung
silinder itu biasanya terbuat dari bambu. Wujud gender mirip dengan
slenthem.
Gambar gender :
Gambang
Gambang merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. Gambang
diletakkan di bilah kayu di kedua sisi bawahnya. Wujud gambang ini
hampir sama dengan saron tetapi memiliki bilah yang lebih besar dan
dibuat dari kayu yang sangat keras. Bahkan jaman dahulu ada gambang
yang dibuat dari logam, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ukuran bilah
gambang antara 29 cm sampai 58cm. Yang berukuran lebih besar memiliki
suara yang lebih rendah, jumlah bilahnya sendiri ada 19 atau 20 bilah dan
tabuhnya lebih panjang, yaitu sekitar 35 cm.
120
Siter
Siter merupakan sebuah piranti gamelan yang dipetik seperti gitar.
Jumlah senarnya ada sebelas atau duabelas pasang. Siter ini fungsinya
sama dengan celempung.
Gambar siter :
Celempung
Celempung merupakan salah satu alat musik petik yang terdapat dalam
piranti gamelan jawa. Perangkat ini bersama siter diistilahkan gamelan
siteran. Dalam pagelaran gamelan , perangkat ini termasuk ke dalam
kelompok panerusan dan mempunyai tempo yan cepat seperti pada
gambang. Ukuran celempung kira-kira 90 cm., memiliki 4 penyangga, jadi
dibanding siter celempung memiliki panjang 3 kali lipat.
Gambar celempung :
Suling
121
Sulin merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang berbentuk
alat musik tiup, fungsinya untuk menambah suara pada melodi. Suling
terbuat dari bambu dengan memiliki panjang kira-kira setengah meter.
Frekuensi suara yang dihasilkan tergantung dari panjang rongga dan angin
yang digetarkan.
Rebab
Rebab merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang dimainkan
dengan cara digesek.
4. Kendhang
Kendhang merupakan salah satu piranti gamelan jawa yang ditabuh
dengankombinasi telapak dan jari tangan, jadi tidak menggunakan alat tabuh.
Dalam musik modern, piranti ini digolongkan ke dalam perangkat perkusi.
Kendang diletakkan di sebuah tempat penyangga yang berbentuk huruf Y.
Wujud kendang hampir silinder, simetris, dan sisi satu lebih lebas dari sisi
lainnya. Bagian yang lebar biasanya diletakkan di sebelah kanan. Fungsi
kendhang adalah untuk mengatur irama utamanya untuk mempercepat nada,
juga biasanya sebagai penutup tembang.
Gamba kendhang :
Kendang ini mempunyai empat jenis, yaitu :
a. kendhang gending
122
Merupakan kendang yang mempunyai ukuran paling besar, tetapi suaranya
paling rendah diantara yang lain
b. kendhang wayangan
c. kendhang batangan/cibon
Merupakan kendhang yang memiliki ukuran sedang, memiliki ukuran sedikit
lebih kecil dibandingkan dengan kendhang gending. Pada umumnya dipakai
untuk mengiringi tarian.
d. kendang ketipung
Adalah jenis kendang dengan ukuran oaling kecil, tetapi nada yang
dihasilkan paling besar.
Bedhug
Bedhug di masyarakat jawa biasanya dipakai di masjid atau mushola bisa
juga untuk alat msik, misalnya pada gamelan sekatenan. Bedug ini pada
alat musik modrn termasuk dalam kelompok alat musik perkusi.
Masing-masing keempat unsur diatas memiliki fungsi masing-masing untuk
membuat bunyi yang harmonis. Selain alat musik diatas pagelaran gamelan
biasanya juga diiringi dengan suara lain selain dari alat musik, biasanya suara
tersebut diucapkan para pemain gamelan yang dapat berupa tepukan, kata-kata,
dan lain lain.
2. KERIS
Keris merupakan salah satu produk budaya Jawa yang berfungsi sebagai
senjata tradisional masyarakat Jawa. Keris oleh masyarakat Jawa dianggap
sebagai salah satu lambang kesempurnaan seorang laki-laki selain turangga
(kendaraan), wisma (rumah/tempat tinggal), wanita (istri), dan pekerjaan. Keris
memiliki makna jantan, keperkasaan, dan kedewasaan. Atau dengan kata lain
123
semua laki-laki Jawa itu harus tangguh, sanggup melindungi diri, keluarga, dan
negara.
Belum ada penelitian yang dapat memastikan kapan orang Jawa pertama kali
membuat keris, tetapi keris sudah memiliki wujud yang sempurna sejak zaman
majapahit. Pada zaman dahulu keris dianggap
lambang kepangkatan dan bisa menjadi hadiah
istimewa, terutama jika keris tersebut adalah keris
pemberian seorang raja.
Pada zaman sekarang fungsi keris sudah berkurang.
Pada umumnya hanya menjadi barang koleksi atau
menjadi perlengkapan upacara adat. Padahal pada
zaman dahulu fungsi keris tidak hanya sebagai
senjata, tetapi juga tanda status sosial dan
kepangkatan. Keris juga menjadi simbol persaudaraan
dengan adanya upacara menukar keris yang pada
waktu itu menjadi simbol persaudaraan yang paling
tinggi.
Sebilah keris memiliki tiga bagian utama, sama
dengan keris jawa. Tiap bagian memiliki bagian lagi
yang lebih detail yang mewujudkan ukiran. Ukiran-
ukiran itu sendiri memiliki memiliki karakter yang
berlainan. Bagian-bagian itu adalah :
Wilah
Wilah merupakan bagian keris yang berupa pegangan untuk memegang
keris.
Warangka
124
Warangka adalah sarung/tempat keris, jenis warangka ada dua yaitu
warangka gayaman dan warangka ladrang. Diantara dua jenis warangka itu
ada dua gaya warangka, yaitu gaya ngayogyakarta dan surakarta.
Gaman
Merupakan bilah senjata tajam pada keris.
Selain bagian diatas dalam keris dikenal juga istilah pamor yang berarti kesan
yang timbul pada ukiran pada sebilah keris. Gambaran ini muncul dari hasil
tempaan logam yang menjadi bahan dasar pembuatan keris. Ilmu pamor ini
hanya dimiliki oleh para empu pembuat keris.
3. PAKAIAN ADAT
Pakaian adat jawa biasa disebut pakaian kejawen sudah ada sejak dahulu dan
sudah dikenal sejak zaman kerajaan demak. Selain pakaian kejawen juga dikenal
pakaian surjan, pakaian mesiran, , pakaian basahan, dan pakaian gedhog.
Masing-masing jenis pakaian ini mempunyai makna perumpamaan atau
perlambang sesuai nilai luhur filosofi jawa. Pada umumnya pakaian jawa dibagi
empat bagian, yaitu :
Bagian atas
a. iket atau blangkon
b. udheng
Bagian tengah
a. Pakaian, atau baju,dan kancing
b. Jarik dan wiron/wiru
c. Sabuk
d. Timang
Bagian belakang
keris dan rangka
125
Bagian bawah
a. selop/sandal
b. bebed
4. BATIK
Sedemikian uniknya tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan tata
sopan santun orang jawa dulu, demikianpun dalam pemakaian kain batik sebagai
busana kebesaran harus mentaati segala peraturaan yang berlaku. Misalnya
pemakaian kain batik untuk kalangan wanita harus menutupi mata kaki. Kalau
memakai kain batik jauh lebih tinggi dari mata kaki, hal itu bisa diartikan wanita
tersebut tidak paham adat, serta kurang paham kesopanan. Pakaian lembaran
kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri pinggang pemakainya, dan
ujung kain batik lainnya melingkari tubuh ke arah kanan. Sehingga ujung kain
batik yang (diwiru-profil lipat) berada paling atas dan ke arah kanan pinggang
pemakainya.
Ini berbeda dengan cara pemakaian kain batik bagi kaum pria. Dimulai dengan
memasukkan ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi kain batik
yang melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri. Sehingga ujung kain
batik yang dilipat-lipat (diwiru) berada di tengah menghadap ke kiri. Bagian atas
kain batik (bagian pinggang) diikat dengan ikat pinggang (epek) serta kain
pengikat pinggang yang panjang. Bagian ini tertutup oleh kain benting (ikat
pinggang panjang) yang terbuat dari kain beludru bermotif kembang-kernbang.
Kemudian tertutup oleh baju kebaya (untuk kaum wanita), atau beskap (untuk
kaum pria). Dengan mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris
yang terselip di lipatan ikat pinggang, dengan kepala ditutup blangkon (kuluk)
untuk kaum pria, terasalah kebesaran jiwa.
126
Sementara kaum wanitanya dalam panutan busana batik dengan kain
kebayanya yang membentuk potongan tubuh yang indah, terasakan
keagungannya. Di luar upacara tradisional, misalnya pada suatu pasta
perkawinan di luar keraton, kemeja batik atau gaun batik dengan pelbagai corak
motif dan warnanya sudah merupakan busana resmi. Keanggunan seni batik tidak
saja struktur warnanya yang serasi, juga corak lukisan batiknya yang penuh berisi
filosofi dan penuh ragam sekaligus memberi ciri khas nilai seni budaya Jawa serta
kebanggaan nasional
Seni Batik
Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain, canthing
dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk
kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong
satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau
cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh)
dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.
Masih bertahannya seni batik sampai jaman moderen ini, tidak dapat
dilepaskan adanya kebanggaan, adat tradisi, sifat religius dari ragam hias batik,
serta usaha untuk melestarikan pemakai batik tradisional dan tata warna
tradisional. Dilihat dari proses pembuatannya ada batik tulis dan batik cap.
Dengan semakin berkembangnya motif dan ragam hias batik cap, mengakibatkan
batik tulis tradisional mengalami kemunduran. Hal ini dapat dimengerti sebab
batik tulis secara ekonomis harga relatif mahal dan jumlah pengrajin batik tulis
semakin berkurang.
Sekarang ini ada beberapa daerah yang masih dapat dikatakan sebagai daerah
pembatikan tradisional. Daerah yang dimaksud antara lain: Surakarta,
127
Yogyakarta, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura, Jambi,
Sumatera Barat, Bali dan lain-lain.
Surakarta atau Surakarta Hadiningrat juga dikenal dengan nama Solo
merupakan ibukota kerajaan dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta
merupakan pusat pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Sebagai pusat
kebudayaan Surakarta tidak dapat dilepaskan sebagai sumber seni dan ragam
hias batiknya. Ragam hias batik umumnya bersifat simbolos yang erat
hubungannya dengan filsafat Jawa-Hindu, misalnya :
a. Sawat atau hase ‘sayap’ melambangkan mahkota atau perguruan tinggi.
b. Meru ‘gunung’ melambangkan gunung atau tanah
c. Naga ‘ular’ melambangkan air (tula atau banyu)
d. Burung melambangkan angin atau dunia atas
e. Lidah api melambangkan nyala api atau geni
Penciptaan ragam hias batik tidak hanya memburu keindahannya saja, tetapi
juga memperhitungkan nilai filsafat hidup yang terkandung dalam motifnya. Yang
dalam filsafat hidup tersebut terkandung harapan yang luhur dari penciptanya
yang tulus agar dapat membawa kebaikan dan kebahagiaaan pemakainya.
Beberapa contoh :
a. Ragam hias slobong, yang berarti agak besar atau longgar atau lancar yang
dipakai untuk melayat dengan harapan agar arwah yang meninggal dunia
tidak mendapat kesukaran dan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha
Esa.
b. Ragam hias sida mukti, yang berarti ‘jadi bahagia’, dipakai oleh pengantin
pria dan wanita, dengan harapan agar pengantin terus-menerus hidup
dalam kebahagiaan.
Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa ragam hias dalam seni batik
aturan dan tata cara pemakainya menyangkut harapan pemakainya. Disamping
128
itu, khusus di Karaton Surakarta, ragam hias batik (terutama kain batik) dapat
menyatakan kedudukan sosial pemakainya, misalnya ragam hias batik parang
rusak barong atau motif lereng hanya boleh dipakai oleh raja dan putra sentana.
Bagi abdi dalem tidak diperkenankan memakai ragam hias tersebut.
Seni batik bagi Karaton Surakarta merupakan suatu hal yang penting dalam
pelaksanaan tata adat busana tradisional Jawa, dan dalam busana tradisional ini
kain batik memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian dan
pengembangan seni budaya jawa kedepan
Kain Batik Tertentu Dipercaya Daya Gaib Kepada Pemakainya.
Jangan sembarang memakai batik, motif batik tertentu dipercaya memberikan
kekuatan pada pemakainya. Maka si pemakai juga bukan orang sembarangan,
batik jenis itu disebut batik larangan.
Batik larangan banyak tersebar di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon. Di tiga
daerah itu ada karaton yang dihuni oleh para Sultan. Disana batik berperan
penting dalam upacara tradisional karaton. Pelbagai motif khusus masih diakui
menjadi milik karaton antara lain : Kawung Parang, Cemukiran, Udan Liris dan
Alas-Alasan.
Kawung
Corak ini bermotif bulatan mirip buah kawung ( sejening kepala ) yang ditata
rapi secara geomatris. Palang hitam-hitam dalam bulatan diibaratkan biji kawung
untuk orang Jawa, biji itu lambang kesuburan.
Motif kawung juga bisa diinterprestasikan sebagai gambar lotus ( teratai )
dengan empat lembar daun bunga yang merekah. Lotus melambangkan umur
panning dan kesucian.
129
Beberapa variasi kawung adalah ceplok , truntum dan sidomukti. Salah satu
variasi lain tumbal, diperuntukkan kaum brahmana dan cendekiawan.
Parang
Corang itu berpola pedang yang menunjukkan kekuatan atau kekuasaan,
karenanya batik bercorak parang diperuntukkan para ksatya dan penguasa.
Menurut kepercayaan, corak parang harus dibatik tanpa salah agar tak
menghilangkan kekuatan gaibnya.
Kalau berpola pisau belati atau keris , batik bercorak parang boleh dipakai
oleh tiap orang dan dipercaya membawa rezeki dan menjauhkan dari penyakit.
Variasinya : Parang Rusak, Parang Barong dan Parang Klitik.
Komposisi miring pada parang menandakan kekuatan dan gerak cepat, yang
dipercaya memberi kekuatan magis pada batik bercorak parang itu adalah
mlinjon, pemisah komposisi miring berbentuk seperti ketupat.
Sawat
Corak ini ditandai dengan lukisan sayap atau lar, baik yang berpasangan
maupun yang tunggal. Sayap itu mengibaratkan garuda, menurut mitologi Hindu-
Jawa, garuda adalah burung yang bertubuh dan berkaki seperti manusia, namun
bersayap dan berkepala seperti burung. Corak parang yang diberi tambahan lar
garuda hanya boleh digunakan oleh raja dan putranya.
Falsafah Agraris Batik
Erat sekali hubungan antara motif (gambar) batik dengan lingkungan alam
sekitarnya. Bentuk dan warna biji dan bungan menjadi inspirasi dari motif
(gambar) batik yang dibuat sedemikian indah oleh seniman tradisional yang
kreatif menghasilkan pelbagai gambar/ motif dengan makna filosofisnya yayangh
130
dalam. Motif/ gambar dari rambut disela-sela pelepah daun pohon kolang kaling,
melahirkan motif batik kawung. Dari bungan kenikir lahir motif batik ceplok
kembang kenikir, dari bunga asam lahir motif batik semen kembang asem, dari
buah manggis lahir motif batik ceplok manggis, dari merekahnya bunga kecil
lahirlah motif batik truntum, dari mata parang yang rusak lahirlah motif parang .
Dan untuk pengisi ruang kosongnya diberi motif/ gambar bunga sirih, rembyang,
cengkehan, bunga delima dan lain-lain. Warna batik yang merah putih itu asalnya
darti warna gula kelapa, hijau putih dari gadung mlati , merah ibarat hutan
terbakar.
Ketika industrialisasi makin merebak, penggusuran hutan atau daerah
pertanian dengan hayati dan nabatinya, juga perubahan cara berpikir masyarakat
pendukung nilai-nilai filosofi batik, maka semakin jelas tergesernya filosofi agraris
yang menjadi isi utama filosofi motif batik.
Produk teknologi proses pembuatan batik printing dengan motif/gambar batik
hasil rancangan komputer dengan variasi gambar dan kecerahan warna yang
semarak ataupun yang norak pada dua decade terakhir ini telah menciptakan
tekstil bermotif batik gaya baru.Meski pun mungkin isi filosofinya tak lagi agraris.
Atau tanpa filosofi, sekedar keceriaan. Ada juga motif-motif batik dengan karya
kreatif yang tidak terikat dengan filosofi agraris pada batik tradisional, seperti
motif batik Wahyu tumurun, wirasat, sri kuncoro, Bokor kencana dan lain-lain.
Setiap daerah memiliki ciri warna khas dan motif batiknya. Kal;au di daerah
Surakarta di pedalaman warna batik dikuasai sogan coklat, latar hitam/kelenga
atau biru.
131
5. RUMAH ADAT
Rumah adat jawa yang umum dikenal yaitu rumah yang bearsitektur joglo,
selain itu juga ada rumah yang dibangun dengan arsitektur lain seperti: limas,
dara gepak, joglo trajumas, juga bangunan lainnya seperti sasono suko.
Rumah adat Jawa yang masih lengkap dan mengandung niali-nilai budaya
Jawa yaitu yang mempunyai 3 bagian bangunan, dari depan ada pendhapa yang
diapit dua bangunan lain yang agak kecil dan posisinya agak ke depan dari
bangunan pendhapa. Bagian tengah ada pringgitan dan bagian belakang sendiri
ada dalem.
Rumah di desa-desa dan penduduk biasa umumnya bangunannya tunggal dan
dibangun dengan gaya arsitektur dara gepak.
Bagian-bagian:
1. Pendhapa: diapit pengrawit apitan dan tajuk mengkurat.
2. Pringgitan di tengah-tengah.
3. Dalem: yang dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: Sentong kiwo (kamar kiri),
sentong tengah (kamar tengah) dan sentong tengen (kamar kanan).
Gaya arsitektur:
Limasan
Joglo
Gambar rumah adat (joglo)
132
6. CANDI
Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk
Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan
ragam Jawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah: bentuk bangunannya
tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang
pintu dan relug berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan
naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari
batu andesit.
Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya
merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada,
relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi
di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.
Candi Borobudur
Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi
Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa,
maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850
Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara
tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.Candi itu terdiri dari 2
juta bongkah batu, sebagian merupakan dinding-dinding berupa relief yang
mengisahkan ajaran Mahayana. Candi tersebut berukuran sisi-sisinya 123 meter,
sedang tingginya termasuk puncak stupa yang sudah tidak ada karena disambar
petir 42 m. Yang ada sekarang tingginya 31,5 m. Pada hakekatnya Borobudur itu
berbentuk stupa, yaitu bangunan suci agama Buddha yang dalam bentuk aslinya
merupakan kubah (separoh bola) yang berdiri atas alas dasar dan diberi payung
di atasnya.
133
Candi itu mempunyai 9 tingkat, yaitu : 6 tingkat di bawah,: "tiap sisinya agak
menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak. 3 tingkat
diatasnya:'' berbentuk lingkaran. Dan yang paling atas yang disebut sebagai
tingkat ke-10 adalah stupa besar ukuran diametrnya 9,90 m, tinggi 7 m.
Borobudur tidak memiliki ruang-ruang yang dulunya dipakai sebagai tempat
memuja seperti candi-candi lainnya. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang
merupakan jalan sempit, kedua tepinya dibatasi oleh dinding candi, mengelilingi
candi tingkat demi tingkat.
Dari satu tingkat lainnya di empat penjuru terdapat pintu gerbang masuk ke
tingkat lainnya melalui tangga. Di lorong-lorong inilah para umat Buddha
diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.
Upacara itu disebut pradaksima
Tingkat-10
Sejarawan Belanda Dr. J.G. Casparis dalam desertasinya untuk mendapat
gelar doctor pada tahun. 1950 mengemukakan, bahwa Borobudur yang
bertingkat 10 menggambarkan secara jelas terlihat filsafat agama Buddha
Mahayana yang disebut “Dasabodhisatwabhumi”.
134
Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat
kedudukan sebagai Buddha harus melampaui 10 tingkatan Bodhisatwa. Apabila
telah melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai kesempurnaan dan
menjadi seorang Buddha.
Perlu diketahui, bahwa menurut ajaran Buddha Mahaya, diamping Buddha
Gautama yang kita kenal dalam sejarah, ada pula tokoh-tokoh Buddha lain-
lainnya, masing-masing menurut jamannya, baik di jaman lampau maupun di
jaman yang akan datang. Buddha di masa datang kini masih berada di dalam
sorga dan masih bertingkat Bodhisatwa adalah calon Buddha di masa datang.
Dr. J. G. Casparis berpendapat, bahwa sebenarnya Borobudur merupakan
tempat pemujaan nenek moyang raja-raja Sailendra, agar nenek moyang
mencapai ke-Buddhaan.
Sepuluh tingkat Borobudur itu juga melambangkan, bahwa nenek moyang
raja Sailendra yang mendirikan Borobudur itu berjumlah 10 orang. Berdasarkan
prasasti Karangtengah bertahun 824 M dan prasati Kahulunan bertahun 824 M.
Dr. J.G. Casparis berpendapat bahwa pendiri Borobudur adalah raja Sailendra
bernama Samaratungga, kira-kira disekitar tahun 824. Bangunan raksasa itu
kiranya baru dapat diselesaikan oleh puterinya yaitu Ratu Pramodawardhani.
Dalam hal tersebut para ahli belum terdapat kata sepakat.
Tingkatan –Tingkatan Borobudur
Pada tahun 1929 Prof. Dr. W.F. Stutterheim telah mengemukakan teorinya,
bahwa Candi Borobudur itu hakekatnya merupakan “tiruan” dari alam semsta
yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu: (1). Kamadhatu;
(2). Rupadhatu; dan (3). Arupadhatu.
135
Bagian “kaki” melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti
dunia kita ini.
Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan
nafsu, tetapi maish terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan
merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan
“alam atas” (arupadhatu).
Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, tempat para Buddha
bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan
bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu
digambarkan polos, tidak ber-relief.
Patung-patung Dhayani Buddha
Pada bagian Rupadhatu patung Dhayani Buddha digambarkan terbuka,
ditempatka di lubang dinding seperti di jendela terbuka. Tetapi dibagian
Arupadhatu patung-patung itu ditempatkan di dalam stupa yang ditutup
berlubang-lubang seperti didalam kurungan. Dari luar masih tampak patung-
patung itu samar-samar.
Cara penempatan patung seperti tersebut rupanya dimaksudkan oelh
penciptanya untuk melukiskan wujud samar-samar “antara ada dan tiada”
sebagai suatu peralihan makna antra Rupadhatu dan Arupadhatu.
Arupa yang artinya tidak berupa atau tidak berwujud sepenuhnya baru
tercapai pada puncak dan pusat candi itu yaitu stupa terbesar dan tertinggi yang
digambarkan polos (tanpa lubang-lubang), sehingga patung didalamnya sama
sekali tidak tampak.
Stupa-stupa kurungan patung-patung di bagian Arupadhatu yang bawah
bergaris miring, sedang lubang-lubang seperti yang diatasnya bergaris tegak.
136
Menurut almarhum Prof. Dr. Sucipta Wirjosaputro lubang-lubang seperti
tersebut merupakan lambang tentang proses tingkat-tingkat lenyapnya sisa nafsu
yang terakhir.
Lubang-lubang yang bergaris miring (lebih rendah dari lainnya)
menggambarkan, bahwa di tingkat itu masih ada sisa-sisa dari nafsu, sedang pada
tingkat di atasnya yang bergaris tegak menggambarkan nafsu itu telah terkikis
habis, dan hati pun telah lurus.
Reliefnya panjang 3 km; arcanya 505 buah .Relief pada dinding-dinding candi
Borobudur itu menurut Drs. Moehkardi dalam intisari jumlahnya ada 1460
adegan, sedang relief yang dekoratief (hiasan) ada 1212 buah. Panjang relief itu
kalau disambung-sambung seluruhnya dapat mencapai 2.900 m, jadi hampir 3
km.
Jumlah arcanya ada 505 buah, terdiri dari :
-Tingkat ke-1 Rupadhatu ditempat arca-arca
Manushi Budha sebanyak 92 buah; -Tiga
tingkat selebihnya masing-masing mempunyai
92 buah arca Dhyani Buddha; -Tingkat di
atasnya mempunyai 64 arca Dhyani Buddha.
Selanjutnya di tingkat Arupadhatu
terdapat pula arca-arca Dhyani Buddha yang
dikurung dalam stupa, masing-masing tingkat
sebanyak : 32, 24 dan 16 jumlah 72 buah.
Akhirnya di stupa induk paling atas, dahulunya terdapat pula sebuah patung
Sang Adhi Buddha, yaitu Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahaya. Maka
julah seluruhnya adalah 3 x 92 buah jumlah 432 + 64 + 1 = 505 buah.
137
Permainan Angka yang Mengagumkan.
Drs. Moehkardi mengemukakan adanya permainan angka dalam Candi
Borobudur yang amat mengagumkan, sebagai berikut :
Jumlah stupa di tingkat Arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32,
24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:3:2, dan semuanya habis
dibagi 8.
Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing
bebeda 10 cm. Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai
ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m.
Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan
berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian
yang dapat ditafsirkan : angka 1 melambangkan ke-Esaan Sang Adhi Buddha.
Perhatikan bukti-buktinya dibawah ini :
Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila
dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya
ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan
hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10.
Jumlah patung-patung di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-
angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 +
0 = 1.
Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha Mahaya tidak saja dianggap sebagai
Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal
dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai “Yang Maha Esa”.
Demikianlah keindahan Borobudur sebagai yang terlihat dan yang terasakan,
mengandung filsafat tinggi seperti yang tersimpan dalam sanubari bangsa Timur,
khususnya bangsa kita.
138
Penemuan Borubudur
Tidak pernah terlintas oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa suatu ketika
Nusantara ini akan dikuasai oleh Inggris. Gubernur Jenderal yang mengurusi
masalah tanah jajahan di Timur, Lord Minto harus mendelegasikan kekuasaan di
Nusantara ini kepada Letnan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles.
Raffles mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap budaya timur, sehingga
ketika pada tahun 1814 mendapat laporan tentang ditemukannya reruntuhan
yang diperkirakan candi, segera mengutus perwira zeni HC Cornelius untuk ke
Bumi Segoro. Itulah awal diketemukannya Borobudur yang terpendam entah
sejak kapan dan apa penyebabnya. Misteri yang sampai kini belum terungkap.
Sayang, tahun 1815 Inggris harus angkat kaki dan mengembalikan tanah
jajahan kepada Belanda. Bagi Belanda, peninggalan sejarah juga tidak kurang
menariknya. Pada 1834 Residen Kedu bernama Hartman yang baru dua tahun
menduduki jabatan mengusahakan pembersihan Borobudur. Stupa yang ternyata
puncak candi diketahui sudah menganga sejak ditangani Cornelius 20 tahun
sebelumnya..
Selama kurun waktu 20 tahun itu tidak ada yang bertanggung jawab
terhadap kawasan penemuan. Pada tahun 1842 Hartman melakukan penelitian
pada stupa induk. Dalam budaya agama Buddha, stupa didirikan untuk
menyimpan relik Buddha atau relik para siswa Buddha yang telah mencapai
kesucian. Dalam bahasa agama, relik disebut saririka dhatu, diambil dari sisa
jasmani yang berupa kristal selesai dilaksanakan kremasi. Bila belum mencapai
kesucian, sisa jasmani tidak berbentuk kristal dan tidak diambil. Bila berupa
kristal akan diambil dan ditempatkan di dalam stupa. Diyakini bahwa relik ini
mempunyai getaran suci yang mengarahkan pada perbuatan baik. Pada setiap
upacara Waisak, relik ini juga dibawa dalam prosesi dari Mendut ke Borobudur
untuk ditempatkan pada altar utama di Pelataran Barat. Relik yang seharusnya
139
berada di dalam stupa induk Borobudur hingga kini tidak diketahui siapa yang
mengambil dan di mana disimpan.
Demikianlah, Borobudur yang ditemukan pada tahun 1814 mulai ditangani di
bawah perintah Hartman antara lain dengan mendatangkan fotografer, pada
tahun 1845 bernama Schaefer, namun hasilnya tidak memuaskan. Itulah
sebabnya pada tahun 1849 diambil keputusan untuk menggambar saja bangunan
Borobudur. Tugas mana dipercayakan pada FC Wilsen yang berhasilkan
menyelesaikan 476 gambar dalam waktu 4 tahun. Ada seorang lagi yang
ditugaskan untuk membuat uraian tentang Borobudur yang masih berupa duga-
duga, yaitu Brumund. Hasil Wilson maupun Brumund diserahkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda kepada Leemans pada 1853 yang baru berhasil
menyelesaikannya pada 1873 . Selama penggarapan gambar yang duga-duga itu,
oleh Hartman Borobudur dijadikan tempat rekreasi. Pada puncaknya didirikan
bangunan untuk melihat keindahan alam sambil minum teh. Pembersihan batu-
batuan terus berlangsung, ditempel-tempel asal jadi menurut dugaan asal-asalan
saja.
Anugerah untuk Raja
Borobudur dibersihkan dari hari ke hari, hingga makin menarik. Sungguh
fantastis bagi para penguasa Belanda menikmati pemandangan indah di atas
bangunan kuno yang sedemikian besar.
Pada tahun 1896, Raja Thai, Chulalongkorn datang ke Hindia Belanda.
Sebagai penganut agama Buddha tentu tidak akan melewatkan untuk
menyaksikan bangunan stupa yang didengung-dengungkan oleh para pejabat
pemerintah kolonial. Entah bagaimana ceriteranya, Pemerintah Belanda
menawarkan Raja untuk membawa bagian dari batu-batuan Borobudur. Menurut
catatan tidak kurang dari 8 gerobak melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
140
Diantara yang diangkut ke Negara Gajah Putih tersebut ada 30 lempeng relief
dinding candi, 5 buah patung Buddha, 2 patung singa dan 1 pancuran makara.
Bilamana kita berada di istana Raja Bhumibol Adulyagej kita dapat saksikan
batu-batuan Borobudur yang terawat baik hingga kini. Sebagai negara yang
sebagian besar menganut Buddha, rakyat menyampaikan hormat dihadapan
patung Buddha asal Borobudur sebagai lambang kebesaran Gurunya.
Jadi, jauh sebelum batu-batuan Borobudur ditempatkan sebagaimana
mestinya, bagian dari batu-batuan yang berada dalam istana dynasti Cakri telah
diperlakukan dengan baik, karena keluarga raja di sana mengerti simbol-simbol
yang terkandung dalam bagian kecil peninggalan agama yang dianutnya.
Pemugaran
Pada tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh batu-batuan
Borobudur untuk ditempatkan dalam suatu museum. Usul ini tidak disetujui,
bahkan mendorong usaha untuk membangun kembali reruntuhan hingga
berbentuk candi. Dorongan lain untuk lebih membuka tabir misteri dalah
diketemukannya satu lantai lagi dibawah lantai pertama candi oleh Vzerman
pada 1885.
Pada tahun 1900 dibentuklah Panitia Khusus perencanaan pemugaran Candi
Borobudur. Setelah bekerja dua tahun, maka Panitia menyimpulkan bahwa tiga
hal yang perlu diperhatikan dalam pemugaran yaitu:
Pertama : segera diusahakan penaggulangan bahaya runtuh yang sudah
mendesak dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunan, menegakkan
kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, memperbaiki gapura-
gapura, relung serta stupa, termasuk stupa induk.
141
Kedua : mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki dengan cara
mengadakan pengawasan yang ketat dan tepat, menyempurnakan saluran air
dengan jalan memperbaiki lantai-lantai serta lorong-lorong.
Ketiga : menampilkan candi dalam keadaan bersih dan utuh dengan jalan
menyingkirkan semua batu-batuan yang lepas untuk dipasang kembali serta
menyingkirkan semua bangunan tambahan.
Pada tahun 1905 keluarlah Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda yang
menyetujui usul Panitia dengan penyediaan dana sebesar 48.800 gulden untuk
menunjuk Insinyur zeni T.van Erp.
Pemugaran dimulai pada Agustus 1907 yang berhasil diselesaikan pada tahun
1911. Dengan demikian, Borobudur dapat dinikmati keindahannya secara utuh.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1948 Pemerintah RI yang
masih dalam penataan negara memperhatikan kerusakan Borobudur yang sudah
diketahui sejak 1929 dengan mendatangkan dua orang ahli purbakala dari India.
Sayang usaha ini tidak ada kelanjutannya. Pada tahun 1955 pemerintah RI
mengajukan permintaan bantuan kepada Unesco untuk menyelamatkan berbagai
candi di Jawa, tidak terkecuali Borobudur . Usaha lebih mantap baru dimulai pada
tahun 1960 yang terhenti karena pemberontakan G.30.S/PKI ketika bangsa dan
negara mengkonsentrasikan diri menyelematkan masa depan yang hampir saja
dikoyak komunis.
Pemugaran candi secara serius baru terlaksana pada masa Orde Baru, melalui
SK Presiden RI No.217 tahun 1968 tanggal 4 Juli 1968 dibentuk Panitia Nasional
yang bertugas mengumpulkan dana dan melaksanakan pemugaran. Tahun
berikutnya Presiden membubarkan Panitia tersebut dan membebankan tugas
pemugaran kepada Menteri Perhubungan.
142
Tahun 1973 diresmikan permulaan pemugaran yang selesai pada tanggal 23
Februari 1983. Usaha penyelamatan ini adalah yang paling mantap dalam sejarah
perawatan Borobudur .
Tiga Serangkai
Kapan Borobudur didirikan secara pasti belum ditemukan datanya. Dari
Prasasti Karangtengah bertahun 824 M maupun Prasasti Sri Kahulungan bertahun
842 menyebutkan bahwa ada tiga buah candi yang didirikan untuk
mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Mendut, Pawon dan Borobudur.
Bangunan yang dimaksud adalah Candi Mendut yang didirikan oleh
Pramudyawardani, Candi Pawon yang didirikan oleh oleh Indra dan Borobudur
yang didirikan oleh raja kondang dynasti Syailendra bernama Smaratungga.
Enatah yang mana lebih dahulu didirikan, yang jelas ketiganya mempunyai makna
tersendiri dan mempunyai keterikatan yang satu dengan yang lainnya.
Dari relief yang ada, Candi Mendhut didirikan untuk memperingati khotbah
pertama Sang Buddha. Pada dinding itu jelas ditawarkan alternatif yang boleh
dipilih oleh pengikut Sang Buddha, yaitu hidup meninggalkan keduniawian
sebagai bhikkhu (pertapa) atau hidup dalam keduniawian demi kesejahteraan
sesama menampilkan kemakmuran bagi bangsa dan negara. Buddha
mengajarkan pemilihan termaksud dengan konsekwensi yang pasti dan jelas.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan hingga tercapainya
Nibbana (Nirvana), maka di Borobudur dijelaskan secara rinci, dari kehidupan
penuh nafsu, melalui kelahiran demi kelahiran baik dalam alam binatang, alam
dewa atau pun alam manusia hingga akhirnya tidak ada kelahiran lagi yang
dinamakan Nibbana itu.
143
Tetapi untuk mengetahui lebih mendalam akan makna yang tercantum pada
dinding Borobudur, batin kita hendaknya dimatangkan dulu di Candi Pawon.
Demikianlah makna perjalan ziarah agama Buddha menuju Borobudur.
Dari Mendhut, menyinggahi Pawon menuju Borobudur, bukannya sebaliknya
dari yang termegah menuju awal mencari dharma. Ini juga dapat digambarkan
kehidupan kita, mula-mula mencari pegangan hidup, memilih diantara alternatif
yang tersedia kemudian melalui pendadaran yang penuh sepi dan keprihatinan
untuk mencapai kejayaan. Ketiganya terletak pada satu garis lurus dari timur
menuju barat.
Relief Borobudur
Bilamana kita ingin “membaca” semua relief yang ada pada dinding Candi
Borobudur, kita harus mulai dari Gapura Timur. Pada lantai pertama, segera
membelok ke kiri berjalan searah jarum jam yang disebut “pradaksina”. Sebagai
relief pertama dilukiskan ketika Sang Bodhisatta (Bodhisatva) berada di sorga
Tusita, dihantar oleh dewa ketika akan lahir sebagai manusia. Barulah pada
dinding ke 13 dilukiskan ketika Permaisuri Maya bermimpi seekor gajah masuk ke
dalam rahimnya sebagai pertanda akan melahirkan putra mahkota pada usia
lanjut.
Mengelilingi dinding pertama hingga pada ujung Gapura Timur lagi dilukiskan
ketika Sang Buddha membabarkan dhamma (dharma) untuk pertama kali
dihadapan lima orang pertapa di Taman Isipatana. Kisah kehidupan ini disebut
Lilitavistatara.
Membaca relief lantai kedua sampai dengan lantai keempat secara
pradaksina dapat disaksikan penggambaran ketiga Sang Bodhisatta tumimbal
lahir sebelum kelahirannya yang teakhir sebagai manusia Siddhattha
(Siddhartha). Himpunan cerita ini ada yang melukiskan ketika hidup sebagai
144
kelinci, gajah, manusia bahkan dewa. Cerita ini diambil dari kitab kelima dari
Sutta Pitaka, bagian dari Khudaka Nikaya yang disebut Jataka. Cerita dari Jataka
ini sangat disukai oleh anak-anak beragama Buddha, dan menjadikannya
berkeyakinan akan adanya tumimbal lahir sebelum tercapainya Nibbana.
Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Kalau empat
lantai sebelumnya berbentuk bujursangkar, tiga lantai tanpa relief yang disebut
Arupa-Datu berbentuk lingkaran. Bagian kesembilan adalah stupa induk.
Masih ada lagi satu lantai basement (bawah tanah) yang hanya dibuka
sedikit, disebut Kama-Datu, menggambarkan memenuhan nafsu. Empat lantai
berrelief oleh ahli sejarah disebut Rupa-Datu. Itulah sebabnya Borobudur disebut
juga “ bangunan suci sepuluh tingkat”. Bagi penggemar sejarah, Borobudur tidak
mungkin disaksikan sekali, dua kali bahkan sepuluh kali. Ditelusuri seribu kalipun
Borobudur tidak habis-habisnya bercerita. Pancaran Borobudur menembus batas
waktu yang mengarungi abad demi abad memancarkan misi yang mengagungkan
kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Borobudur bagaikan mutiara yang
memancarkan sinar keagungannya sepanjang masa.
Candi Prambanan
Peninggalan Hindhu terbesar di Jawa Tengah dan Daerah IstimewaYogyakarta
ini terletak lebihkurang 17 kilometer disebelah timur laut Yogyakarta. Candi
Prambanan merupakan komplek percandian dengan candi induk menghadap ke
arah timur, dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada
wayang Kulit setinggi 47 meter. Agama Hindhu mengenal Tri Murti yang terdiri
dari Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa Whisnu sebagai Sang
Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik utama dari candi induk
ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat disimpulkan bahwa
candi Prambanan merupakan candi Shiwa.
145
Candi Pramabanan atau Candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai candi Roro
Jonggrang berkaitan dengan Legenda yang menceriterakan tentang seorang dara
yang Jonggrang (jangkung) Putri Prabu Boko, Raja ini membangun kerajaannya di
atas bukit sebelah selatan komplek candi Prambanan, bagian tepi candi dibatasi
dengan pagar langkan yang dihiasi dengan relief cerita Ramayana yang dapat
dinikmati dengan berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat candi
selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu, ceritera berlanjut pada pagar
langkan candi Brahma yang terletak kiri (sebelah selatan) candi induk. Sedang
pada pagar langkan candi Whisnu yang terletak disebelah kanan (sebelah utara)
candi induk, terdapat relief ceritera Kresna Dwipayana yang menggambarkan
tentang kisah masa kecil Prabu Khrisna sebagai penjilmaan (titisan) Dewa Whisnu
dalam membasmi keangkara murkaan yang hendak melanda dunia.
Bilik candi induk yang menghadap ke arah utara berisi patung Durga,
permaisuri Dewa Shiwa. tetapi umumnya masyarakat menyebut sebagai patung
Roro Jonggrang, yang sebelumnya tubuh hidup dari putri cantik itu yang dikutuk
oleh Ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya
menciptakan seribu buah patung dalam waktu satu malam. Candi Brahma dan
candi Whisnu masing-masing hanya memiliki satu buah bilik, yang ditempati oleh
patung dewa-dewa yang bersangkutan. Dihadapan ketiga candi dari Dewa
Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana atau kendaraan ketiga
dewa tersebut, Ketiga dewa itu kini dalam keadaan rusak dan hanya candi yang
ditengah (di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembuyang
bernama Nandi (kendaraan dewa Shiwa). Patung Angsa sebagai kendaraan
Brahma dan patung Garuda sebagai kendaraan dewa Wishnu yang diperkirakan
dulu mengisi bilik - bilik candi yang terletak dihadapan candi kedua Dewa itu, kini
telah hilang.
146
Keenam candi itu merupakan kelompok yang saling berhadap-hadapan,
terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar, dengan sisi panjang 110
meter. Di dalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi
pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah
berdiri di sebelah Utara dan yang lain berdiri di sebelah selatan, 4 buah candi
kelir dan 4 buah candi sudut. Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindhu
sebagai halaman paling sakral ini, terletak di tengah halaman tengah yang
mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi perwara
sebanyak 224 buah berderet - deret mengelilingi halaman dalam tiga baris.
Di luar halaman tengah ini masih terdapat halaman luar yang berbentuk segi
empat dengan sisi sepanjang 390 meter, Komplek candi Prambanan dibangun
oleh Raja - raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke 9 dan kini merupakan
obyek wisata yang dapat dikunjungi setiap hari antara pukul 06.00 - 17.30.
Komplek candi Prambanan terletak hanya beberapa ratus meter dari jalan Raya
Yogya - Solo yang ramai dilintasi kendaraan umum.
Candi-candi lainnya di Jawa:
Candi Brahma
Nama candi di kompleks Candi Prambanan, terletak di sebelah selatan Candi
Siwa. Didalamnya terdapat patung Brahma yang berkepala empat sebagai dewa
pencipta alam. Dibawah patung Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap
dinding kamar candi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat
meletakkan lampu.
Candi Asu
Nama candi yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan
Dukun, kabupaten Magelang, propinsi Jawa Tengah. Di dekatnya juga terdapat 2
147
buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi
tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.
Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana
dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi
Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan
padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat
Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai
Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar
dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35
meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian
besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-
candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua
buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M )
dan Sri Manggala II ( 874 M ).
Candi Mendut
Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kudu setelah
Barabudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak
sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur.
Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta
Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan
berada dalam satu garis lurus.
Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan
raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya
menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan
Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa karangtengah berangka tahun
824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga,
148
menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah
bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini
benar, maka Candi Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang
dapat digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya
tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas
pintu masuk. Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan
tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga di Candi Barabudur sehingga
diduga Candi Mendut sezaman dengan Barabudur dan mungkin lebih tua.
Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun
mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi
runtuh dan hancur. Hartman, seorang residen Kedu saat itu mulai
memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan
untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju
dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan
oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.
J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk
memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah
arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni
yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang
Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya)
memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan
Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut
juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang
yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah
seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya
dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut.
Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka
149
terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan
mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan
mencelakakan diri sendiri.
Arah candi Mendut tidak tepat ke arah barat, tetapi sedikit bergeser ke arah
barat laut. Luas bengunan keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi
sampai sebagian atapnya sekitar 26,5 meter.
Candi Nandhi
Salah satu candi di kompleks Candi Prambanan terletak di deretan sebelah
timur. Candi ini hanya mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat,
tepat di depan jalan masuk ke Candi Siwa. Didalam candi ini terdapat patung
seekor lembu jantan besar berbaring menghadap ke Candi Siwa. Lembu jantan ini
disebut Nandi, yaitu kendaraan Siwa. Pada bagian lain dalam Candi Nandi
terdapat pula dua patung, yaitu Dewa Surya, berdiri di atas kereta yang ditarik
oleh tujuh ekor kuda dan Dewa Candra, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh
sepuluh ekor kuda.
Candi Pawon
Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui
secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari
bahasa Jawa Awu(=abu) mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan
suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur., akan
tetapi casparismengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan
candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata
Sansekerta Vajra (=halilintar) dan anala (=api). Dengan mitologi India, Dewa Indra
digambarkan bersenjatakan vajranala, sehingga apakah ada hubungannya
dengan raja Indra seperti yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah.
150
Di dalam bilik candi ini sudah ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk
mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini
adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon
hayati (=kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah
manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).Letak Candi
Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Barabudur, tepat berjarak
1750 m dari candi Barabudur dan 1150 m dari Candi Mendut.
Candi Watu Gudhig
Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya
Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah
barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga
merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu
candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik sperti penyakit
kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.
Candi Sukuh
Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung
Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah . Dari permukaan air laut,
ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah.
Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan
bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota
Karanganyar. Situs purbakala Candhi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta
“Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.
Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candhi Sukuh
antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun
1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk
151
mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat
pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi
Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap.
Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat
berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa
lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu
dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni
kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.
Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga.
Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring
seperti trapesium, layaknya pylon di Mesir (Pylon : gapura pintu masuk ke tempat
suci). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa”
yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong
“(gapura raksasa memakan mansuia). Gapura dengan karakter 9, buta
karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra
sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai
selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat
relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini
juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut
“(gapura raksasa menggigit ekor ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun
pada sisi utara gapura.
Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang cukup vulgar.
terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan
vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si
pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat
peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung
makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang
152
melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan
lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk
dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran
yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”,
yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam
bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan
bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara
Wiyasa Anahut Jalu”. Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa
diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok)
dengan karakter 3, Jalu (laki-laki) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun
1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk
candhi.
Trap Kedua Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran
yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan
wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di
Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok
dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah
selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi,
kedua tangannya memegang tangkai “ububan”( peralatan mngisi udara pada
pande besi). Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini
menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat
pembangunan candhi sukuh ini.Pada bagian tengah terdapat relief yang
menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor.
Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku
Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau
tahun 1496 M. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki
153
sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam
seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga Trap ketiga ini trap tertinggi yang
merupakan trap paling suci. Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap semakin
ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi di di Jawa
Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu
Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar
dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang
paling suci.
Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu,
hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh
dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut,
sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu
kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya
asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi
Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak
petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga
dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah
pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan
seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang
melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau
yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil
“ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena
perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula
adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke
wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari
Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau
154
yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung
Sudamala. Sejumlah lima adegan yaitu : 1. Relief pertama menggambarkan ketika
Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun
Sadewa menolak. 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat
raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku
“Pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa
diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan
“ngruwat” sang Bethari Durga. Dan sang Durga mengancam Sadewa dengan
sebuah pedang besar di tangnnya untuk memaksa sadewa.. 4. Relief keempat
menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian
diperintahkan pergi kepertapaan Prangalas.
Di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa 5. Relief kelima
menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas
Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi
Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm,
luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita
ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut :
Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang
madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena
kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam
bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular
naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara
sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang
Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.
Demikianlah keterangan menurut kisah adhiparwa.. Pada sebelah selatan
jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan
ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan
155
kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi
kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai
lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan
kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu
menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain
mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri
dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai
tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh
dalam candi untuk pengruwatan, yakni prasasti yang diukir di punggung relief
sapi.
Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan
kandungan sengkalan rumit : Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379
Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada
di punggung sapi yang artinya kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika
hendak bersujud di kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di
pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata
yang sama dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian
suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam
pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya
kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk Pengruwatan , seperti yang sudah
diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-
prasasti, maka dapat di pastikan Candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci
untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Tetapi dengan
melihat adanya relief lingga-yoni di gapura terdepan dan pada bagian atas candhi
induk, tentulah candhi Sukuh juga sebagai lambang ucapan sukur masyarakat
setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan.yang mereka peroleh
156
Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”
tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur.
Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara
pengruwatan yakni : a. Relief lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi
sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi.
b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga. c. Relief
Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi
Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “babajang maramati setra
hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka di punggung lembu yakni kata
“pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat”
yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan
pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang
sering di sebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.
Dan ada anak yang diruwat pun mempunyai “sukerta” karena posisinya
dalam keluarga misalnya: anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang
sepasang,kedhana kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang
dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari
misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari
jendela,berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan
sejak lahir misalnya gondang-kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu
kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak
yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran
Bethara Kala. Yang dimaksud ruwat di candi Sukuh jelaskah berbeda dengan
ruwatan anak-anak sukerta. tersebut diatas, tetapi ruwatan yang melingkupi
sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.
Namun di sini perlu kita cermati keberadaan candhi Sukuh ini yang
merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas keta`atan
157
sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-
nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada
ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada
niatan dalam hati kita untuk turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan
kandungan yang tersimpan di dalamnya.
7. MAKANAN TRADISIONAL
Makanan tradisional suku Jawa antara lain:
- Soto Tegal
- Soto Sokaraja
- Tahu Bletok Bumiayu
- Bumbu Tahu Bumiayu
- Getuk Goreng Sokaraja
- Sega Kucing
- Mendoan Purwokerto
- Kripik Tempe Purwokerto
- Soto Kudus
- Lumpia Semarang
- Gudeg Yogya
- Bakpia Pathok
- Kripik Welut
- Ledre Bojonegoro
- Soto Lamongan
- Tahu Campur Lamongan
- Kupang Lontong
- Rujak Soto Banyuwangi
158
SASTRA JAWA
1. Aksara JAWA Ha Na Ca Ra Ka
HURUF BACA MAKNA HURUF
HaHana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang
Maha Suci
NaNur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan
manusia hanya selalu ke sinar Illahi
CaCipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan
pada Yang Maha Tunggal
RaRasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih
nurani
KaKarsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk
kesajetraan alam
DaDumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa
adanya
TaTatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar ,totalitas,satu visi,
ketelitian dalam memandang hidup
SaSifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti
kasih Tuhan
WaWujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun
implikasinya bisa tanpa batas
LaLir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada
tuntunan Illahi
159
Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah
DhaDhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu
dimulai dari dasar
JaJumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -
memahami kehendak Nya
YaYakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas
titah /kodrat Illahi
NyaNyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat
kehidupan
MaMadep mantep manembah mring Ilahi - yakin - mantap dalam
menyembah Ilahi
Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani
Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam
Tha Thukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan
NgaNgracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi -
manusia
Hanacaraka atau Carakan adalah aksara yang digunakan untuk menulis
Bahasa Jawa di masa yang lampau. Aksara ini masih diajarkan di sekolah-sekolah
di pulau Jawa. Seperti aksara Asia Tenggara lainnya, aksara ini juga mengambil
model dari Aksara Pallava/Vatteluttu.
160
Contoh tulisan Vatteluttu oleh Rajaraja Chola I.
Meskipun begitu, masing-masing aksara telah memiliki bentuk yang berbeda
sehingga masing-masing pengguna tidak mampu membaca aksara lain meskipun
berada di dalam satu keluarga.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX
Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh
Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang
dibawakan Yasadipura adalah "Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara
Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX
Hing Karaton Surakarta Hadiningrat". Dalam makalah itu dikemukakan oleh
Yasadipura (1992 : 9 - 10) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran (filsafat
hidup) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan
tembang kinanthi, sebagai berikut.
Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran
Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa
Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan
Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya
Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa
Iku guru kang sejati itu guru yang sejati
161
Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :
Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas
yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang
mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja.
Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan)
Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data "
saatnya (dipanggil) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia (dengan segala
atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak
Tuhan
Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup (Khalik) dengan
yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh,
cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran
dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan
menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang
dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah,
sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat,
berusaha untuk menanggulanginya.
Mengungkap Makna Kehidupan di Balik Huruf Jawa
Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat: Hana
Caraka (Terdapat Pengawal); Data Sawala (Berbeda Pendapat); Padha Jayanya
(Sama kuat/hebatnya); Maga Bathanga (Keduanya mati). Ada begitu banyak
makna secara filosofis dari huruf Jawa tersebut dan makna filososfis tersebut
bersifat cukup general alias tidak hanya untuk orang Jawa saja. Ada beberapa
versi makna huruf Jawa.
162
Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mencetuskan konsep petuah tentang
kepemimpinan yang sangat terkenal, beliau juga berhasil memberi penafsiran
mengenai ajaran budi pekerti serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan
luhur yang terkandung dalam huruf Jawa. Adapun makna yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
(1) HA NA CA RA KA :
Ha: Hurip = hidup
Na: Legeno = telanjang
Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas
Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani
Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.
Ketelanjangan = kejujuran
Bukankah secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi
sebenarnya ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru
lahir juga memiliki jiwa yang “telanjang”, masih suci…polos lepas dari segala
dosa. Seorang bayi juga “telanjang” karena dia masih jujur…lepas dari
perbuatan bohong. Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-
karya. Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan
dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi
kejujuran. Marilah kita “telanjang” dalam bercipta, berrasa dan berkarya.
163
Pengembangan potensi
Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia “dihidupkan” atau
dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan “telanjang”. Telanjang di sini dalam
artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia
harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-
karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan
bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta,
hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam
bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak,
serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana
semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai
badan sensor manusia).
Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh
manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga “kelayakannya” sudah
diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai
dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi
norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati
atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang
berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa
aturan hukum dan lain-lain).
(2) DA TA SA WA LA
DA TA SA WA LA (versi pertama)
Da: Dodo = dada
Ta: Toto = atur
164
Sa: Saka = tiang penyangga
Wa: Weruh = melihat
La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.
DA TA SA WA LA berarti dadane ditoto men iso ngadeg jejeg (koyo soko)
lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara hati (nurani)
yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang
penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
Kata “atur” bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada
sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi
dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage
(menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam
menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar
dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki
motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai
makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal,
ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah
memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.
DA TA SA WA LA (versi kedua):
Da-Ta (digabung): dzat = dzat
Sa: Satunggal = satu, Esa
Wa: Wigati = baik
La: Ala = buruk
DA TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu
Tuhan) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan
ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata “baik” di sini ekuivalen
dengan kata “benar” sedangkan kata “buruk” ekuivalen dengan “salah”. Jadi
165
alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan orang
(kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai pihak
yang paling benar.
(3) PA DHA JA YA NYA:
PA DHA JA YA NYA = Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).
Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang
sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk
melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu
bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga
binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka
selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan
dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan
kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan
kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa
nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa
musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita
masing-masing.
(4) MA GA BA THA NGA :
Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa
Ga: Raga = badan, jasmani
166
Ba-Tha: bathang = mayat
Nga: Lungo = pergi
Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya
manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan
raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada
akhirnya akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus
senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Alloh.
Sejarah Aksara Jawa
Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi
mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa.
Dikatakan oleh Suryadi (1995 : 74-75) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi
alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh
tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi
ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.
Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan
masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan
itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya
praduga yang muncul dari Daldjoeni (1984 : 147-148) yang kemudian diacu oleh
Suryadi (1995 : 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman
dengan kerajaan Prabu Baka di (sebelah selatan) Prambanan, yakni sekitar abad
IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa (ha-na-ca-ra-ka) diciptakan pada sekitar
abad tersebut.
Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan
keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a : 382-383) bahwa
Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :
167
“Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika
wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning
Demak, sakiduling warung.”
Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah
permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur
Demak sebelah selatan warung.
Akan tetapi, penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda
dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan
bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada
tahun (saka) 1003 (Subalidata 1994 : 3) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu
dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002
yang disebutkan dalam The History of Java jilid II (Raffles 1982 : 80) pada halaman
yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka
bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum
Aji saka bertahta.
Sementara itu, dalam Manikmaya (salinan Panambangan, 1981 : 295)
disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah
Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (yang hidup pada akhir
abad VI - pertengahan abad VII). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji
Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad (Graff 1989 : 9) ia
menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada
sekitar abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena di
dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.
Warsito (dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46) dalam telaah Serat Sastra
Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra
atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan
karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.
168
Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno (1941). Dalam bukunya yang
berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan
oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab
yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang
Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis (Hadi Soetrisno, 1941 : 6). Disamping aksara
Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan
aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata (Hadi
Soetrisno, 1941 : 3 - 6).
Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa
merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-
goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin
berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang (Hadi Soetrisno
1941 : 10). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta
aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun
dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan
susunan atau carakan (ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya) seperti sekarang ini (Hadi
Soetrisno, 1941 : 7). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua
abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.
Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan
Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk
memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua
belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja
kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah
hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII (Atmodjo, 1994 : 26).
Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan
Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang
mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-
169
ca-ra-ka (Atmojo, 1994 : 26). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa
yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta
setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri
(Pajang) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan
tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.
Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman
itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk
menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat
disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya
perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan
kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama
(Daldjoeni) dengan praduga kedua (dalam Serat Momana) dan praduga ketiga
(dalam The History of Java) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad,
sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu
tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan
perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi
Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka
kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks
lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara
tersebut.
Konsepsi secara Ilmiah Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat
hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami,
mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa
Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh
waktu dan tempat (lihat Molen, 1985 : 3) untuk melepaskan diri dari
keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan
tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan
170
teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang
dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke
pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai
aksara (Poerbatjaraka, 1952 : vii) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan.
Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan
bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.
Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan
yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang
ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara
peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan (Molen,
1985 : 3) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan
setingkat lebih maju.
171
2. Kesusastraan Jawa
Awal ditemukannya Sastra Jawa itu terdapat pada satu prasasti yang
ditemukan di daerah Sukabumi, Pare, Kedhiri, Jawa Timur. Prasasti yang biasanya
disebut Prasasti Sukabumi ini ditulis pada tanggal 25 Maret tahun 804 M. Isinya
ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Setelah Prasasti Sukabumi, terdapat prasasti lainnya dari tahun 856 M yang
isinya terdapat tembang kakawin. Kakawin yang isinya sudah tidak lengkap lagi
ini, merupakan tembang berbahasa Jawa Kuno yang tertua.
Biasanya sejarah sastra Jawa terbagi menjadi 4 jaman:
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Modern
Selain itu juga terdapat kategori khusus lagi, yaitu Sastra Jawa-Bali. Sastra ini
merupakan lanjutan dari Sastra Jawa Tengahan. Setelahnya terdapat juga Sastra
Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-
Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling ungul
dan paling banyak tersimpan karyta sastranya. Adapun setelah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945 sastra Jawa agak dianggap sebagai
anak tiri di NKRI. Karena yang diutamakan adalah rasa kesatuan bangsa
Indonesia.
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno kurang lebih ditulis kira-kira awal abad ke-9 M sampai abad
ke-14 M, diawali dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis berbentuk
gancara atau tembang (kakawin).
178
Daftar sastra Jawa Kuno yang berwujud gancaran adalah:
1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
Daftar karya sastra Jawa Kuno yang berwujub tembang (kakawin) adalah:
1. Kakawin Tanpa Nama (Prasasti Siwagṛha), 856 Masehi.
2. Kakawin Ramayana ~ 870 Masehi.
3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030 Masehi.
4. Kakawin Kresnayana
5. Kakawin Sumanasantaka
6. Kakawin Smaradahana
7. Kakawin Bhomântaka (Bhomakāwya)
8. Kakawin Bhāratayuddha, mpu Sedah lan mpu Panuluh, 1057 Masehi.
9. Kakawin Hariwangsa
179
10. Kakawin Gathotkacasraya
11. Kakawin Wretasañcaya
12. Kakawin Brahmandapurana
13. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dhusun"
14. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca 1365 Masehi.
15. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular
16. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular
17. Kakawin Pārthayajña
18. Kakawin Nitisastra
19. Kakawin Nirarthaprakreta
20. Kakawin Dharmasunya
21. Kakawin Harisraya
Sastra Jawa Baru
Sasta Jawa Baru kurang lebih lahir setelah masuknya agama Islam di pulau
Jawa khususnya Demak antara abad ke-15 sampai ke-16 M. Hingga masuknya
agama Islam, orang Jawa mendapat ilham baru dalam menulis karya sastranya.
Awalnya di permulaan waktu, jaman Sastra Jawa Baru, banyak dikarang karya-
karya sastra tentang agama Islam. Suluk Malang Sumirang itu salah satu yang
paling penting.
Gaya bahasa di waktu-waktu dulu masih mirip Bahasa Jawa Tengahan.
Sesudah tahun 1650 M, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi lebih dominan.
Sesudah masa ini, ada juga renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitab-kitab kuno yang
dipengaruhi agama Hindu-Budha segera dipelajari dan ditulis dengan bahasa
yang baru.
Salah satu jenis karya yang khusus yaitu karya sastra yang dinamakan babad.
Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga ditemukan di Sastra Jawa-Bali.
180
Karya Sastra Jawa Baru (Jaman Islam)
1. Kitab Sunan Bonang
2. Primbon Islam
3. Suluk Sukarsa
4. Serat Koja Jajahan
5. Suluk Wujil
6. Suluk Malang Sumirang
7. Serat Nitisruti
8. Serat Nitipraja
9. Serat Sewaka
10. Serat Menak
11. Serat Yusup
12. Serat Rengganis
13. Serat Manik Maya
14. Serat Ambiya
15. Serat Kanda
Jaman Pembangunan dan Setelahnya
1. Serat Rama Kawi
2. Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura
3. Serat Panitisastra
4. Serat Arjunasasra
5. Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III
6. Serat Darmasunya
7. Serat Dewaruci
8. Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura
9. Serat Tajusalatin
181
10. Serat Cebolek
11. Serat Sasanasunu
12. Serat Wicara Keras
13. Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita
14. Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita
15. Serat Jitapsara
16. Serat Pustaka Raja
17. Serat Cemporet
18. Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871
Babad-Babad
1. Babad Giyanti
2. Babad Prayut
3. Babad Pakepung
4. Babad Tanah Jawi
182
SISTEM KEMASYARAKATAN DAN POLITIK
Di dalam kenyataannya, masyarakat suku bangsa Jawa masih
membedakan antara orang-orang golongan priayi yang terdiri atas pegawai
negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik,
seperti orang tani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga
keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam kerangka
susunan masyarakat ini, secara bertingkat dan berdasarkan atas gengsi-gengsi itu.
Susunan masyarakat Jawa yaitu terdiri atas :
1. Wong cilik
2. Priyayi
3. Bendara
Priayi dan bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan
bawah.
Dari lapisan wong cilik tadi ada pembagian lain.
1. Golongan lapisan yang tertinggi di pedesaan disebut sebagai wong baku,
yaitu lapisan yang terdiri atas keturunan orang-orang yang pertama
datang menetap di desa. Mereka memiliki sawah-sawah, rumah dengan
tanah pekarangannya.
2. Golongan lapisan yang kedua dalam sistem pelapisan sosial di desa disebut
lapisan kuli gandok atau lindung, mereka adalah sekelompok laki-laki yang
telah kawin, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri sehingga
terpaksa menetap di rumah mertuanya. Namun, tidaklah berarti mereka
itu tidak mempunyai tanah-tanah pertanian, yang didapat dari tanah
warisan atau tanah pembelian.
183
3. Lapisan golongan ketiga adalah lapisan joko, sinoman atau bujangan,
mereka semua belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya
sendiri atau ngenger di rumah orang lain. Golongan ini akan dapat
memiliki tanah-tanah pertanian, rumah-rumah dan pekarangan dari
warisan atau membeli.
Sistem golongan tersebut di atas selanjutnya menimbulkan hak dan
kewajiban yang berbeda-beda dari keluarga-keluarga atau anggota tiap-tiap
lapisan tersebut. Secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut
kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Daerah lain menyebut lurah dengan
istilah berbeda-beda misalnya, petinggi, bekel, glondong, dan sebagainya. Satu
kesatuan desa yang terdiri atas 15-25 desa merupakan satu kesatuan
administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang camat. Di
dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari seorang kepala desa dengan semua
pembantu-pembantunya disebut pamong desa yang mempunyai dua tugas
pokok yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisian untuk keamanan dan
ketertiban desa.
Organisasi pemerintahan masyarakat Jawa di desa dikepalai oleh seorang
lurah. Lurah dibantu oleh seorang carik yang bertugas sebagai pembantu umum
dan penulis desa, sosial yang memelihara kesejahteraan penduduk, kemakmuran
yang bertugas memperbesar produksi panen, keamanan yang bertanggung jawab
atas ketentraman, dan kaum yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk.
Lurah dipilih oleh dan dari penduduk desa sendiri dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku bagi calon yang dipilih atau yang memilih. Desa
merupakan wilayah yang terdiri atas pedukuhan dan dikepalai oleh kepala dukuh.
Dalam menjalankan usaha dan memelihara serta membangun masyarakat
desanya, pamong desa harus sering mengerahkan bantuan penduduk desa
184
(gugur gunung atau kerik desa), yaitu kerja sama membuat, memperbaiki, serta
memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa,
saluran air, dan sebagainya.
185
EKONOMI
Bertani merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat jawa.
Selain bertani, sumber penghidupan masyarakat jawa berasal dari pekerjaan-
pekerjaan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan Selain itu, ada pula
beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja
sambilan.
Sumber penghidupan masyarakat suku bangsa Jawa sebagian besar adalah
petani, dan tinggal di pedesaan. Dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, ada
yang menggarap tanah pertaniannya untuk kebun kering (pategalan), dan juga
sawah. Selain mengusahakan tanaman padi, biasanya juga mengusahakan
tanaman palawija, baik di pategalan sebagai tanaman utama maupun tanaman
penyela di sawah, misalnya tanaman ketela pohon, jagung, ubi jalar, kedelai,
kacang tanah, kacang tunggak, dan lain-lain.
Sumber penghidupan lain yaitu bekerja sebagai buruh tani, misalnya
sebagai buruh dalam mencangkul, membajak, nggaru, matun, dengan sistem
angkatan (satu angkatan 4 jam). Ada pula cara memperoleh penghasilan dengan
jalan meminjamkan uangnya kepada pemilik sawah yang memerlukan biaya,
misalnya satu masa panen disebut adol oyodan atau denga cara maro
artinyamemperoleh separo bagian hasil panenan antara yang punya modal dan
yang punya lahan. Kalau hanya memperoleh sepertiganya disebut mertelu. Selain
berpenghasilan dari mengolah tanah, sumber penghasilan lain adalah sebagai
pegawai, pedagang, tukang, dan sebagainya.
186
BUDAYA JAWA DITENGAH ARUS MODERNISASI
Eksistensi budaya Jawa telah mengalami pengikisan, dan bisa dikatakan
hampir punah. Kemusnahannya itu, tentu menjadi sesuatu yang ironis, terutama
bagi orang Jawa yang telah kehilangan perilaku dan pola pikir yang sebenarnya
memiliki nilai yang luhur.
Keterasingan atau kepunahan budaya Jawa, adalah kesalahan pelakunya
yang mudah terjebak pada transformasi budaya asing yang kuat berinteraksi
dalam tataran psikis orang Jawa yang haus pembaruan dan perubahan. Dalam
konteks itu, mereka tidak sadar kalau dalam dirinya ada sesuatu yang hilang dan
tak bisa ditebus dengan harta benda.
Realitas keterpurukan budaya Jawa itu, berakibat pada perilaku dan pola
pikir yang berubah. Kalau kita cermati, budaya Jawa memiliki esensi ke ''rasa'';
dan kalau didiskripsikan secara luas dalam berkomunikasi, silaturahmi, maupun
dalam bersikap, budaya itu selalu mengedepankan rasa pangrasa atau egoh
pakewuh. Untuk menjaga perasaan di antara sesama, selalu diusahakan untuk
tidak ada yang tersinggung. Dengan paradigma itulah, kita bisa melihat sebuah
kebersamaan yang selama ini dimiliki orang Jawa.
Budaya Jawa itu sangat halus, tak ubahnya kain sutra membalut jiwa. Dan
jiwa itu bisa hangat dan tentram. Maka, wajar kalau ada tudingan bahwa
kelembuatan budaya Jawa itu menyebabkan eksistensinya mudah ''ditipu''
sehingga mengalami keterpurukan.
Kondisi seperti itu, bisa dirasakan sekarang. Budaya yang adiluhung
tersebut kini hampir tinggal sejarah, akibat transformasi dan intervensi budaya
asing yang begitu gencar merasuki generasi muda kita. Bahkan pada kenyataan,
bahasa jawa sebagai tali cinta dalam pengembangan budaya, juga makin tak
187
terpedulikan di sekolah maupun dalam dialog masyarakat. Dalam kondisi itu, rasa
memiliki atas bahasa atau budaya lambat laun pun menjadi hilang dengan
sendirinya.
Mungkin akan lebih pas bila kondisi Budaya Jawa dewasa ini ibaratnya kali
tempuran, maksudnya pertemuan banyak anak sungai menjadi sungai yang lebih
besar. Arus air pada kali tempuran bila arus anak-anak sungai yang bertemu sama
kuatnya, maka akan membentuk pusaran-pusaran ganas yang bisa
menenggelamkan apa saja yang mengapung padanya. Meskipun demikian
setelah menyatu menjadi satu sungai besar dengan arus kuat, yang terjadi adalah
sungai tenang dengan arus kuat menghanyutkan.
Demikian pulalah perumpamaan Budaya Jawa dalam menempuh alur
sejarahnya. Pada mulanya adalah Jawa asli yang kemudian kedatangan agama-
agama Asia Selatan- Hindu dan Budha - kemudian ketika seusainya perang salib
dan jatuhnya Baghdad oleh bangsa Mongol, agama Islam juga masuk ke Jawa.
Sebagai agama-agama besar Hindu, Budha dan Islam sudah barang tentu juga
membawa budaya bangsa pemeluknya. Sebagai agama besar, maka budaya-
budaya yang menyertainya itu adalah "arus besar" pada masanya. Walaupun
demikian – ibaratnya anak sungai - budaya jawa tidak hilang sepenuhnya. Akan
tepi budaya-budaya 'asing' itu masuk, diterima dan berasimilasi dengan budaya
Jawa, membentuk budaya Jawa yang terbarukan. Bahkan hasil asimilasi budaya
ini telah membangun budaya Jawa yang lebih 'luhur' dan lebih cocok diterima
oleh suku-bangsa Jawa sebagai pelaku kebudayannya.
Pada waktu agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa, maka kedua agama
itu justru seolah bercampur dan memperkaya rona budaya Jawa. Asimilasi
budaya ini diantaranya menghasilkan bangunan megah yang terkenal di dunia,
Candi Prambanan dan Candi Borobudur dan candi-candi sejamannya yang sangat
berdekatan letaknya. Bagaimana ketika agama Islam masuk?
188
Ketika agama Islam masuk, yang terjadi justru memperkaya kebudayaan
dan kesenian Jawa, seperti seni gamelan dan wayang yang sama sekali tidak
hilang, meskipun sebenarnya agama Islam kurang cocok dengan seni-budaya ini.
Memang boleh dikatakan suku Jawa ini tergolong jenius dalam mengelola konflik
budaya. Apalagi yang bersangkut paut dengan keagamaan.
Dalam agama Islam seharusnya hari raya keagamaan yang besar adalah
Idul Adha. Tetapi mengapa di Jawa yang dirayakan secara besar-besaran justru
Idul Fithri? Bahkan perayaan hari raya ini diistilahkan dengan Lebaran, dari kata
asal lebar yang bermakna selesai, lepas dan bebas. Maksudnya orang Jawa Islam
menganggap bahwa hari itu mereka memasuki masa kehidupan dengan awal
kebebasan dari dosa. Bebas dosa setelah ditebus sebulan penuh dengan puasa
Ramelan (Ramadhan).
Pada waktu lebaranlah orang Jawa merayakannya dengan berbagai
tindakan yang berupa ‘peningkatan diri’. Baikdalam berpakaian maupun
menyantap makanan. Dalam merayakannya mereka perlu memakai pakaian
baru, setidaknya lebih bagus dan bersih dari keseharian mereka. Dengan
berpakaian ‘istimewa’ itu mereka berziarah ke makam para leluhur. Mereka juga
membuat masakan khas lebaran, ketupat dan opor ayam, menyambut para
tetamu dalam pesta rakyat yang tulus dalam bermaaf-maafan.
Jaman sekarang kebiasaan berlebaran ini terus dibawa oleh orang-orang
Jawa di perantauan. Jutaan orang tergerak untuk merayakannya di bumi
Nusantara ini. Ribuan armada angkutan umum, ratusan rangkaian kereta api,
ratusan armada laut bahkan angkutan udara sibuk melayani arus manusia Jawa
ini dalam berlebaran yang diistilahkan dengan mudik. Aparat keamanan dan
ketertiban menggelar berbagai gelar pengamanan di sepanjang perjalanan
mudik. Bisa dibayangkan berapa besar arus finansial dalam kegiatan mudik
lebaran ini mengalir ke pulau Jawa. Dan semua peristiwa ini tidak terdapat di
189
negeri-negeri Timur Tengah sebagai asal agama Islam. Negara jiran – Malaysia –
konon tertular gejala mudik ini lewat para TKI.
Seorang ahli budaya menyatakan bahwa Jawa sekarang telah ikut keli
(hanyut) dan tergerus oleh arus besar nilai-nilai yang diusung modernisasi.
Mungkin saja pernyataan itu ada benarnya, namun sebenarnya budaya Jawa itu
tidak hanyut dan tergerus hilang sama sekali. Kembali lagi bila menengok
kejeniusan orang Jawa dalam mengelola konflik dan potensi konflik dalam
budayanya, pasti akan bertahan. Siapa tahu nanti akan terbangun kembali
budaya Jawa modern dengan kepiawaian khas mengelola konflik. Bisa jadi akan
menjadi penyebab menyebarnya nilai-nilai humanisme Jawa (Indonesia). Siapa
tahu denganpengalaman sejarahnya dalam mengelola konflik budaya itu budaya
Jawa modern dapat menjadi tauladan masyarakat dunia dalam menghadapi arus
radikalisme, terorisme dan lain sebagainya.
190
SOLUSI
- Demi membendung pengaruh-pengaruh budaya asing yang berasal dari media
cetak atau elektronik kemunculan berbagai stasiun TV Lokal dapat menjadi
satu angin segar. Hendaknya stasiun TV semacam ini didukung oleh pemda
setempat dan masyarakat Jawa agar tetap eksis dan mampu mempromosikan
budaya Jawa.
- Sebaiknya produk-produk budaya Jawa dipatenkan agar tidak dicaplok oleh
suku bangsa asing.
- Penggalakan pelajaran Muatan Lokal di sekolah-sekolah berupa pelajaran
Bahasa Daerah Jawa, Kesenian seperti menari, karawitan (gamelan).
- Diadakannya festival kebudayaan Jawa oleh pemerintah daerah secara rutin
untuk melestarikan dan mempromosikan kebudayaan Jawa kepada generasi
muda dan juga masyarakat umum.
- Intinya kita sebagai suku Jawa harus memiliki kesadaran dari diri sendiri untuk
berusaha melestarikan kebudayaan Jawa agar tidak terus-menerus terkikis
oleh budaya asing.
191