Budaya Jawa

278
PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki lingkungan geografis yang sangat kompleks, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau-pulau besar kecil, yang semua satu sama lainnya dipisahkan oleh selat-selat dan lautan yang sangat luas. Lingkungan geografis ini akan semakin kompleks lagi apabila kita lihat pada pulau-pulau yang besar, adanya danau yang luas, sungai yang lebar, pegunungan yang tinggi, hutan yang lebat, dan lain sebagainya. Lingkungan geografis semacam itulah yang menjadi salah satu faktor utama terbentuknya aneka macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Bahkan berdasarkan keanekaragaman bahasa ini, para ahli antropologi memperkirakan bahwa di Indonesia terdapat hampir 250 suku bangsa yang lainnya. Suku bangsa Jawa adalah suku bangsa yang mendiami pulau Jawa bagian tengah dan timur, serta daerah-daerah yang disebut kejawen sebelum terjadi perubahan seperti sekarang ini. Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, 1

description

budaya jawa

Transcript of Budaya Jawa

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki

lingkungan geografis yang sangat kompleks, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau-

pulau besar kecil, yang semua satu sama lainnya dipisahkan oleh selat-selat dan

lautan yang sangat luas. Lingkungan geografis ini akan semakin kompleks lagi

apabila kita lihat pada pulau-pulau yang besar, adanya danau yang luas, sungai

yang lebar, pegunungan yang tinggi, hutan yang lebat, dan lain sebagainya.

Lingkungan geografis semacam itulah yang menjadi salah satu faktor

utama terbentuknya aneka macam suku bangsa, budaya, dan bahasa. Bahkan

berdasarkan keanekaragaman bahasa ini, para ahli antropologi memperkirakan

bahwa di Indonesia terdapat hampir 250 suku bangsa yang lainnya.

Suku bangsa Jawa adalah suku bangsa yang mendiami pulau Jawa bagian

tengah dan timur, serta daerah-daerah yang disebut kejawen sebelum terjadi

perubahan seperti sekarang ini. Daerah itu ialah Banyumas, Kedu, Yogyakarta,

Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri, sedang daerah di luar ini dinamakan

pesisir dan ujung timur. Daerah yang merupakan pusat kebudayaan Jawa adalah

2 daerah yang luas bekas Kerajaan Mataram, yaitu Yogyakarta dan Surakarta

yang terpecah pada tahun 1755. Sekian banyak daerah tempat kediaman orang

Jawa ini terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal

dalam beberapa unsur kebudayaannya seperti perbedaan mengenai berbagai

istilah teknis, dialek bahasa, dan lain-lain. Namun tidak menunjukkan perbedaan

yang besar, sebab masih menunjukkan satu pola atau satu sistem kebudayaan

Jawa.

1

KEBUDAYAAN JAWA

IDENTIFIKASI

Daerah Kebudayaan Jawa bukanlah meliputi seluruh Pulau Jawa. Namun

hanya meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa. Dua daerah

pecahan Kerajaan Mataram yaitu Surakarta dan Yogyakarta merupakan pusat

dari Kebudayaan Jawa. Dalam hal bahasa yang digunakan, berdasarkan kriteria

tingkatannya orang Jawa mengenal dua macam bahasa Jawa. Yaitu bahasa Jawa

Ngoko dan Krama.

Jumlah penduduk Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura menurut angka

sensus 1930 adalah 30.321.000 jiwa dengan padat penduduk rata-rata 402 per

km², sedangkan lebih dari 30 tahun kemudian, ialah menurut angka sensus tahun

1961, penduduk ketiga daerah tersebut adalah 42.471.000 jiwa, dengan padat

penduduk rata-rata 567 per km².

JAWA TENGAH

Jawa Tengah adalah sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

tengah Pulau Jawa. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah

barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan,

Provinsi Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas

wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04% dari luas pulau Jawa. Provinsi Jawa

Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di sebelah selatan (dekat dengan

perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun Jawa di Laut Jawa.

Pengertian Jawa Tengah secara geografis dan budaya kadang juga

mencakup wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penduduk asli Jawa Tengah

2

adalah Suku Jawa, dan provinsi ini dikenal sebagai jantung budaya Jawa. Bahasa

Jawa dituturkan sekitar 97% penduduk provinsi ini.

Sejarah

Jawa Tengah sebagai provinsi telah ada sejak jaman Hindia Belanda. Hingga

tahun 1905, Jawa Tengah terdiri atas 5 wilayah (gewesten) yakni Semarang,

Rembang, Kedu, Banyumas, dan Pekalongan; serta Surakarta sebagai daerah

swapraja (vorstenland) Kasunanan dan Mangkunegaran. Masing-masing gewest

terdiri atas kabupaten-kabupaten. Waktu itu Rembang Gewest juga meliputi

Regentschap Tuban dan Bojonegoro.

Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, gewesten diberi hak

otonomi dan dibentuk Dewan Daerah. Selain itu juga dibentuk gemeente

(kotapraja) yang otonom, yaitu Pekalongan, Tegal, Semarang, Salatiga, dan

Magelang.

Sejak tahun 1930, provinsi ditetapkan sebagai daerah otonom yang juga

memiliki Dewan Provinsi (Provinciale Raad). Provinsi terdiri atas beberapa

karesidenan (residentie), yang meliputi beberapa kabupaten (regentschap), dan

dibagi lagi dalam beberapa kawedanan (district). Provinsi Jawa Tengah terdiri

3

atas 5 karesidenan, yaitu: Pekalongan, Jepara-Rembang, Semarang, Banyumas,

dan Kedu.

Menyusul kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1946 Pemerintah

membentuk daerah swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran; dan dijadikan

karesidenan. Pada tahun 1950 melalui Undang-undang ditetapkan pembentukan

kabupaten dan kotamadya di Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6

kotamadya. Penetapan Undang-undang tersebut hingga kini diperingati sebagai

Hari Jadi Provinsi Jawa Tengah, yakni tanggal 15 Agustus 1950.

Pemerintahan

Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6

kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545

kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan. Sebelum diberlakukannya Undang-undang

Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, Jawa Tengah juga terdiri atas 3

kota administratif, yaitu Purwokerto, Purbalingga, dan Klaten. Namun sejak

diberlakukannya Otonomi Daerah tahun 2001 kota-kota administratif tersebut

dihapus dan menjadi bagian dalam wilayah kabupaten.

Menyusul otonomi daerah, 3 kabupaten memindahkan pusat pemerintahan ke

wilayahnya sendiri, yaitu Kabupaten Magelang (dari Kota Magelang ke Mungkid),

Kabupaten Tegal (dari Kota Tegal ke Slawi), serta Kabupaten Pekalongan (dari

Kota Pekalongan ke Kajen).

4

Daftar kabupaten dan kota

1. Kabupaten Banjarnegara

2. Kabupaten Banyumas

3. Kabupaten Batang

4. Kabupaten Blora

5. Kabupaten Boyolali

6. Kabupaten Brebes

7. Kabupaten Cilacap

8. Kabupaten Demak

9. Kabupaten Grobogan

10. Kabupaten Jepara

11. Kabupaten Karanganyar

12. Kabupaten Kebumen

13. Kabupaten Kendal

14. Kabupaten Klaten

15. Kabupaten Kudus

16. Kabupaten Magelang

17. Kabupaten Pati

18. Kabupaten Pekalongan

19. Kabupaten Pemalang

20. Kabupaten Purbalingga

21. Kabupaten Purworejo

22. Kabupaten Rembang

23. Kabupaten Semarang

24. Kabupaten Sragen

25. Kabupaten Sukoharjo

26. Kabupaten Tegal

27. Kabupaten Temanggung

28. Kabupaten Wonogiri

29. Kabupaten Wonosobo

30. Kota Magelang

31. Kota Surakarta

32. Kota Salatiga

33. Kota Semarang

34. Kota Pekalongan

35. Kota Tegal

Bentuk Desa

Desa diartikan sebagai suatu wilayah hukum yang sekaligus menjadi pusat

pemerintahan tingkat daerah paling rendah. Di beberapa tempat di Jawa istilah

desa sering diganti dengan dusun. Untuk tempat tinggal, berdasarkan bahan yang

digunakan, terdapat beberapa macam rumah. Ada rumah yang dibangun

meamakai kerangka dari bambu, glugu (batang pohon nyiur) atau kayu jati,

kemudian dinding-dindingnya dibuat dari gedek, papan ataupun tembok, dan

5

untuk atapnya berupa anyaman daun kelapa kering atau dari genting.Adapun

untuk bentuknya ada bermacam variasi seperti rumah limasan, rumah serotong,

rumah joglo, rumah panggangepe, rumah daragepek, rumah macan njerum,

rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.

Relief

Menurut tingkat kemiringan lahan di Jawa Tengah, 38% lahan memiliki

kemiringan 0-2%, 31% lahan memiliki kemiringan 2-15%, 19% lahan memiliki

kemiringan 15-40%, dan sisanya 12% lahan memiliki kemiringan lebih dari 40%.

Kawasan pantai utara Jawa Tengah memiliki dataran rendah yang sempit. Di

kawasan Brebes selebar 40 km dari pantai, dan di Semarang hanya selebar 4 km.

Dataran ini bersambung dengan depresi Semarang-Rembang di timur. Gunung

Muria pada Jaman Holosen merupakan pulau terpisah dari Jawa, yang akhirnya

menyatu karena terjadi endapan aluvial dari sungai-sungai yang mengalir. Di

selatan kawasan tersebut terdapat Pegunungan Kapur Utara dan Pegunungan

Kendeng, yakni pegunungan kapur yang membentang dari sebelah timur

Semarang hingga Lamongan (Jawa Timur).

Rangkaian utama pegunungan di Jawa Tengah adalah Pegunungan Serayu

Utara dan Serayu Selatan. Rangkaian Pegunungan Serayu Utara membentuk

rantai pegunungan yang menghubungkan rangkaian Bogor di Jawa Barat dengan

Pegunungan Kendeng di timur. Lebar rangkaian pegunungan ini sekitar 30-50 km;

di ujung baratnya terdapat Gunung Slamet dan bagian timur merupakan Dataran

Tinggi Dieng dengan puncak-puncaknya Gunung Prahu dan Gunung Ungaran.

Antara rangkaian Pegunungan Serayu Utara dan Pegunungan Serayu Selatan

dipisahkan oleh depresi Serayu yang membentang dari Majenang (Kabupaten

Cilacap), Purwokerto, hingga Wonosobo. Sebelah timur depresi ini terdapat

gunung berapi Sindoro dan Sumbing, dan sebelah timurnya lagi (kawasan

6

Temanggung dan Magelang) merupakan lanjutan depresi yang membatasi

Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Pegunungan Serayu Selatan merupakan

pengangkatan zone Depresi Bandung.

Kawasan pantai selatan Jawa Tengah juga memiliki dataran rendah yang

sempit, dengan lebar 10-25 km. Perbukitan yang landai membentang sejajar

dengan pantai, dari Yogyakarta hingga Cilacap. Sebelah timur Yogyakarta

merupakan daerah pegunungan kapur yang membentang hingga pantai selatan

Jawa Timur.

Hidrologi

Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa (572 km);

memiliki mata air di Pegunungan Sewu (Kabupaten Wonogiri), sungai ini mengalir

ke utara, melintasi Kota Surakarta, dan akhirnya menuju ke Jawa Timur dan

bermuara di daerah Gresik (dekat Surabaya). Sungai-sungai yang bermuara di

Laut Jawa diantaranya adalah Kali Pemali, Kali Comal, dan Kali Bodri. Sedang

sungai-sungai yang bermuara di Samudra Hindia diantaranya adaah Kali Serayu

dan Kali Progo. Diantara waduk-waduk yang utama di Jawa Tengah adalah

Waduk Gajahmungkur (Kabupaten Wonogiri), Waduk Kedungombo (Kabupaten

Boyolali dan Sragen), Rawa Pening (Kabupaten Semarang), Waduk Cacaban

(Kabupaten Tegal), Waduk Malahayu (Kabupaten Brebes), dan Waduk Sempor

(Kabupaten Kebumen).

Gunung berapi

Terdapat 6 gunung berapi yang aktif di Jawa Tengah, yaitu: Gunung Merapi

(di Boyolali), Gunung Slamet (di Pemalang), Gunung Sindoro (di Temanggung -

Wonosobo), Gunung Sumbing ( di Temanggung - Wonosobo), dan Gunung Dieng

(di Banjarnegara).

7

Keadaan tanah

Menurut Lembaga Penelitian Tanah Bogor tahun 1969, jenis tanah wilayah

Jawa Tengah didominasi oleh tanah latosol, aluvial, dan gromosol; sehingga

hamparan tanah di provinsi ini termasuk tanah yang mempunyai tingkat

kesuburan yang relatif subur.

Iklim

Jawa Tengah memiliki iklim tropis, dengan curah hujan tahunan rata-rata

2.000 meter, dan suhu rata-rata 21-32oC. Daerah dengan curah hujan tinggi

terutama terdapat di Nusakambangan bagian barat, dan sepanjang Pegunungan

Serayu Utara. Daerah dengan curah hujan rendah dan sering terjadi kekeringan di

musim kemarau berada di daerah Blora dan sekitarnya serta di bagian selatan

Kabupaten Wonogiri.

Penduduk (Demografi)

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah adalah 30.775.846 jiwa.

Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kabupaten Brebes

(1,767 juta jiwa), Kabupaten Cilacap (1,644 juta jiwa), dan Kabupaten Banyumas

(1,603 juta jiwa).

Sebaran penduduk umumnya terkonsentrasi di pusat-pusat kota, baik

kabupaten ataupun kota. Kawasan permukiman yang cukup padat berada di

daerah Semarang Raya (termasuk Ungaran dan sebagian wilayah Kabupaten

Demak dan Kendal), Solo Raya (termasuk sebagian wilayah Kabupaten

Karanganyar, Sukoharjo, dan Boyolali), serta Tegal-Brebes-Slawi.

Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Tengah sebesar 0,67% per tahun.

Pertumbuhan penduduk tertinggi berada di Kabupaten Demak (1,5% per tahun),

sedang yang terendah adalah Kota Pekalongan (0,09% per tahun).

8

Dari jumlah penduduk ini, 47% diantaranya merupakan angkatan kerja.

Mata pencaharian paling banyak adalah di sektor pertanian (42,34%), diikuti

dengan perdagangan (20,91%), industri (15,71%), dan jasa (10,98%).

Suku

Mayoritas penduduk Jawa Tengah adalah Suku Jawa. Jawa Tengah dikenal

sebagai pusat budaya Jawa, di mana di kota Surakarta dan Yogyakarta terdapat

pusat istana kerajaan Jawa yang masih berdiri hingga kini.

Suku minoritas yang cukup signifikan adalah Tionghoa, terutama di kawasan

perkotaan meskipun di daerah pedesaan juga ditemukan. Pada umumnya mereka

bergerak di bidang perdagangan dan jasa. Komunitas Tionghoa sudah berbaur

dengan Suku Jawa, dan banyak diantara mereka yang menggunakan Bahasa Jawa

dengan logat yang kental sehari-harinya.

Selain itu di beberapa kota-kota besar di Jawa Tengah ditemukan pula

komunitas Arab-Indonesia. Mirip dengan komunitas Tionghoa, mereka biasanya

bergerak di bidang perdagangan dan jasa.

Daerah perbatasan dengan Jawa Barat terdapat pula Suku Sunda yang sarat

akan budaya Sunda, yakni di Kabupaten Cilacap dan Brebes. Daerah pedalaman

Blora (perbatasan dengan provinsi Jawa Timur terdapat komunitas Samin yang

terisolir, yang kasusnya hampir sama dengan suku Badui di Jawa Barat.

Bahasa

Meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar

menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-

Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.

Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; namun secara umum

terdiri dari dua, yakni kulonan dan timuran. Kulonan dituturkan di bagian barat

9

Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki

pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timuran

dituturkan di bagian timur Jawa Tengah, diantaranya terdiri atas Dialek Solo,

Dialek Semarang. Diantara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa

Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut diantaranya adalah

Pekalongan dan Kedu.

Agama

Sebagian besar penduduk Jawa Tengah beragama Islam dan mayoritas tetap

mempertahankan tradisi Kejawen yang dikenal dengan istilah abangan.

Agama lain yang dianut adalah Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu

Cu, dan puluhan aliran kepercayaan. Penduduk Jawa Tengah dikenal dengan

sikap tolerannya. Sebagai contoh di daerah Muntilan, Kabupaten Magelang

banyak dijumpai penganut agama Katolik, dan dulunya daerah ini merupakan

salah satu pusat pengembangan agama Katolik di Jawa.

Perekonomian

Pertanian merupakan sektor utama perekonomian Jawa Tengah, dimana

mata pencaharian di bidang ini digeluti hampir separuh dari angkatan kerja

terserap.

Kawasan hutan meliputi 20% wilayah provinsi, terutama di bagian utara dan

selatan. Daerah Blora-Grobogan merupakan penghasil kayu jati. Jawa Tengah

juga terdapat sejumlah industri besar dan menengah. Daerah Semarang-

Ungaran-Demak-Kudus merupakan kawasan industri utama di Jawa Tengah.

Kudus dikenal sebagai pusat industri rokok. Cilacap terdapat industri semen.

10

Blok Cepu di pinggiran Kabupaten Blora (perbatasan Jawa Timur dan Jawa

Tengah) terdapat cadangan minyak bumi yang cukup signifikan, dan kawasan ini

sejak jaman Hindia Belanda telah lama dikenal sebagai daerah tambang minyak.

Transportasi

Jawa Tengah dilalui beberapa ruas jalan nasional, yang meliputi jalur

pantura (menghubungkan Jakarta-Semarang-Surabaya-Banyuwangi), jalur Tegal-

Purwokerto, jalur lintas selatan (menghubungkan Bandung-Yogyakarta-Surakarta-

Madiun-Surabaya]], serta jalur Semarang-Solo. Losari, pintu gerbang Jawa

Tengah sebelah barat dapat ditempuh 3,5 - 4 jam perjalanan dari Jakarta. Saat ini

telah dibangun ruas jalan tol yang menghubungkan Semarang dan Solo, sehingga

mempersingkat waktu tempuh dan memperlancar kegiatan perekonomian.

Jawa Tengah merupakan provinsi yang pertama kali mengoperasikan jalur

kereta api, yakni pada tahun 1862 dengan rute Semarang-Yogyakarta, namun

jalur ini sekarang tidak lagi dipakai. Saat ini jalur kereta api yang melintasi Jawa

Tengah adalah lintas utara (Jakarta-Semarang-Surabaya), lintas selatan (Bandung-

Yogyakarta-Surabaya), jalur Kroya-Cirebon, dan jalur Solo-Gundih-Semarang.

Jalur kereta Solo-Wonogiri yang telah lama mati dihidupkan kembali pada tahun

2005.

Untuk transportasi udara, Bandara Ahmad Yani di Semarang dan Bandara

Adi Sumarmo di Surakarta merupakan bandara komersial yang paling penting di

Jawa Tengah. Selain itu juga terdapat Bandara Tunggulwulung di Cilacap dan

Bandara Wirasaba di Purbalingga. Penerbangan Jakarta-Semarang atau Jakarta-

Surakarta dapat ditempuh dalam waktu 45-50 menit.

11

Komunikasi dan Media Massa

Semarang, Surakarta, Purwokerto, dan Tegal merupakan kota-kota di mana

biasanya terdapat stasiun relay televisi swasta nasional. Beberapa stasiun televisi

lokal di Jawa Tengah adalah TV Borobudur, Pro-TV, dan TVKU (di Semarang);

TATV (di Surakarta); TaTV (di Tegal); Kebumen TV (di Kebumen); dan Banyumas

TV (di Banyumas).

Suara Merdeka, harian yang terbit dari Semarang, adalah surat kabar

dengan sirkulasi tertinggi di Jawa Tengah; harian ini juga memiliki edisi lokal

Suara Pantura dan Suara Solo. Di samping itu terdapat koran jaringan Jawa Pos

Group, baik yang terbit bersama induknya Jawa Pos (Radar Solo, Radar Jogja,

Radar Semarang, dan Radar Kudus) maupun yang terbit sendiri (Meteor, Solo

Pos, Radar Tegal, Radar Banyumas).

Selain itu, di Semarang masih ada beberapa radio yang merupakan jaringan

radio news dan hiburan nasional Jakarta, diantaranya 89,8 Trijaya FM; 91,00

Elsinta FM; 93,4 Smart FM; 106,0 PAS FM, Female FM, dan beberapa radio news

maupun hiburan lokal lain seperti Rasika FM, Gajahmada FM, Suara Sakti FM,

Idola FM, Imelda FM, CFM, dan lain-lain.

Pendidikan

Jawa Tengah memiliki sejumlah perguruan tinggi terkemuka, terutama di

kota Semarang dan Surakarta. Perguruan tinggi negeri meliputi: Universitas

Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), dan Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri (STAIN) Walisongo di Semarang; Universitas Negeri

Surakarta (UNS) di Solo, serta Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di

Purwokerto

Sedangkan universitas swasta terkemuka adalah Universitas Kristen Satya

Wacana (UKSW) di Salatiga, Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) dan Unika

12

Soegijapranata di Semarang, Universitas Muhammadiyah Surakarta, serta

Universitas Panca Sakti di Tegal. Selain itu juga terdapat Akademi Angkatan Darat

(AAD) dan SMA Taruna Nusantara di Magelang serta Akademi Kepolisian di

Semarang.

Pariwisata

Jawa Tengah banyak terdapat obyek wisata yang sangat menarik. Kota

Semarang memiliki sejumlah bangunan kuno. Obyek wisata lain di kota ini

termasuk Puri Maerokoco (Taman Mini Jawa Tengah) dan Museum Rekor

Indonesia (MURI).

Salah satu kebanggaan provinsi ini adalah Candi Borobudur, yakni monumen

Budha terbesar di dunia yang dibangun pada abad ke-9, terdapat di Kabupaten

Magelang. Candi Mendut dan Pawon juga terletak satu kompleks dengan

Borobudur.

Candi Prambanan di perbatasan Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa

Yogyakarta merupakan kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia. Di kawasan

Dieng terdapat kelompok candi-candi Hindu, yang diduga dibangun sebelum era

Mataram Kuno. Kompleks candi Gedong Songo terletak di lereng Gunung

Ungaran, Kabupaten Semarang.

Surakarta dipandang sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa, dimana di

kota ini terdapat Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Obyek wisata

menarik di luar kota ini adalah Air Terjun Grojogan Sewu dan candi-candi

peninggalan Majapahit di Kabupaten Karanganyar; serta Museum Fosil Sangiran

yang terletak di jalur Solo-Purwodadi.

Bagian selatan Jawa Tengah juga menyimpan sejumlah obyek wisata alam

menarik, diantaranya Goa Jatijajar dan Pantai Karangbolong di Kabupaten

Kebumen, serta Baturraden di Kabupaten Banyumas. Di bagian utara terdapat

13

Obyek Wisata Guci di lereng Gunung Slamet, Kabupaten Tegal; serta Kota

Pekalongan yang dikenal dengan julukan 'kota batik'.

Kawasan pantura barat banyak menyimpan wisata religius. Masjid Agung

Demak yang didirikan pada abad ke-16 merupakan bangunan artistik dengan

paduan arsitektur Islam dan Hindu. Demak adalah kerajaan Islam pertama di

Pulau Jawa. Kawasan pantura barat terdapat 3 makam wali sanga, yakni Sunan

Kalijaga di Demak, Sunan Kudus di kota Kudus, dan Sunan Muria di Kabupaten

Kudus. Kudus juga dikenal sebagai 'kota kretek', dan kota ini juga terdapat

museum kretek.

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY)

Sejarah

Dibawah bayangan gunung setinggi 2.914 meter, yang disebut Gunung

Merapi, berdiri Ngayogyakarto Hadiningrat, salah satu kerajaan Mataram di Jawa.

Kini disebut sebagai Yogyakarta (Jogja) mulai tahun 1755, ketika wilayah Kerajaan

Mataram dibagi menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta (Solo).

Daerah Istimewa Yogyakarta atau biasa disingkat dengan DIY adalah salah

satu daerah otonom setingkat propinsi yang ada di Indonesia. Propinsi ini

beribukota di Yogyakarta. Dari nama daerah ini yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta

sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status sebagai Daerah Istimewa

berkenaan dengan runutan sejarah berdirinya propinsi ini, baik sebelum maupun

sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Keraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi pada saat itu,

dan beliau menggunakan keraton sebagai pusat daerah paling berpengaruh di

Jawa sejak abad ke-17. Keraton tetap menjadi pusat kehidupan tradisional dan

14

meskipun ada modernisasi di abad ke-20, keraton tetap memancarkan semangat

kemurnian, yang ditandai dengan kebudayaannya selama berabad-abad.

Yogyakarta merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Musik gamelan

merupakan pandangan dari masa lalu, klasik dan sejaman, pertunjukan tari-tarian

Jawa yang sangat indah dan memabukkan, pertunjukkan wayang kulit dan

ratusan kesenian tradisional yang membuat para pengunjung terpesona.

Semangat kehidupan yang luar biasa dan kehangatan kota ini sendiri yang

hampir tidak pernah pudar. Seni kontemporer juga tumbuh dalam suburnya

kebudayaan dan masyarakat Yogyakarta. ASRI, Akademi Seni Rupa, sebagai

contoh, merupakan pusat kesenian di sini, dan Yogyakarta telah mencatatkan

namanya sebagai sebuah sekolah seni lukis modern penting di Indonesia, yang

mungkin bisa dicontohkan dalam sosok pelukis impresionis, Affandi.

Propinsi ini merupakan salah satu daerah padat di Indonesia dan merupakan

pintu gerbang utama menuju pusat Jawa dimana secara geografis tempat ini

berada. Membentang dari Gunung Merapi di sebelah utara menuju Samudera

Hindia di sebelah selatan. Penerbangan harian menghubungkan Yogyakarta

dengan Jakarta, Surabaya, dan Bali, juga kereta api dan angkutan bis

menawarkan perjalanan darat dengan rute sama.

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (disingkat dengan Jogja), merupakan

salah satu dari 34 propinsi di Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah

tingkat II, Kotamadia Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman,

Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunung Kidul. Luas Yogyakarta sekitar

3.186 km persegi, dengan total penduduk 3.226.443 (Statistik Desember 1997).

Propinsi ini terkenal sebagai kota kebudayaan dan pendidikan dan merupakan

daerah tujuan wisata. Berdasarkan sejarah, sebelum 1755 Surakarta merupakan

ibukota Kerajaan Mataram. Setelah perjanjian Gianti (Palihan Nagar) pada 1755,

mataram dibagi menjadi 2 kerajaan: Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan

15

Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat. Mengikuti kebiasaan, Pangeran

Mangkubumi, adik Susuhunan Pakubuwono II, dimahkotai sebagai Raja

Ngayogyakarto Hadiningrat. Kemudian beliau disebut sebagai Sultan Hamengku

Buwono I. Pada tahun 1813, dibawah penjajahan Inggris, pemisahan kerajaan

Mataram terjadi untuk ketiga-kalinya. Pangeran Notokusumo, putra dari

Hamengku Buwono I, dimahkotai sebagai Pangeran Paku Alam I. Kerajaannya

terpisah dari Kasultanan Yogyakarta.

Ketika Republik Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, yang dilambangkan

dengan penandatanganan Proklamasi Kemerdekaan, Ngayogyakarto Hadiningrat

dan Pakualaman menyatu sebagai salah salah satu propinsi di Indonesia dimana

Sri Sultan Hamengku Buwono IX ditunjuk sebagai gubernur dan Sri Paku Alam VIII

sebagai wakil gubernurnya. Meskipun propinsi DIY mempunyai wilayah yang

relatif kecil, namun kaya akan daya tarik wisata. Pengunjung dapat menemukan

berbagai macam hasil seni dan pertunjukan kesenian yang sangat menarik dan

menakjubkan.

Sebagai pusat seni dan budaya di Jawa, terdapat beberapa macam daya

tarik wisata di Yogyakarta. Hal ini menjadi alasan mengapa orang mereferensikan

Yogyakarta sebagai tempat lahirnya kebudayaan Jawa. Dan untuk pecinta

gunung, pantai atau pemandangan indah, Yogyakarta juga menyediakan

beberapa tempat untuk itu. Propinsi ini juga diakui sebagai tempat menarik untuk

para periset, ahli geologi, ahli speleogi dan vulkanologi merujuk pada adanya gua-

gua di daerah batuan kapur dan gunung berapi yang aktif. Di selatan kabupaten

Gunung Kidul merupakan ujung laut, dimana terdapat beberapa fosil biota laut

dalam batuan kapur sebagai buktinya. Untuk para arkeolog, Yogyakarta sangat

menarik sebab setidaknya ada 36 candi / situs-situs sejarah disini. Ada beberapa

peninggalan peradaban dari abad ke-9. Salah satunya, candi Prambanan adalah

candi Hindu terbesar dan paling terkenal di Indonesia. Borobudur, candi Budha

16

terbesar, tercatat sebagai salah satu “tujuh keajaiban di dunia”. Borobudur dapat

dicapai selama 1 jam dari kota, hanya 42 km sebelah barat laut Yogyakarta.

Dalam perjalanan ke Borobudur, dapat mengunjungi Candi Mendut dan Candi

Pawon. Candi Mendut merupakan tempat untuk pemujaan, dengan adanya arca

Budha Gautama didalamnya. Beberapa upacara ritual juga masih berlangsung di

Yogyakarta, dan masih dilaksanakan sampai sekarang.

Lingkungan yang indah, arsitektur tradisional, kehidupan sosial, dan

upacara-upacara ritual membuat Yogyakarta menjadi tempat paling menarik

untuk dikunjungi. Seni dan budaya tradisional seperti musik gamelan dan tari-

tarian tradisional akan selalu mengingatkan penonton akan kehidupan

Yogyakarta beberapa abad yang lalu. Pembangunan teknologi modern

berkembang di Indonesia dan di Yogyakarta, ini berkembang secara harmoni

dengan adat dan upacara tradisional. Sesuai namanya, Propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta memang benar-benar istimewa. Orang-orangnya sangat ramah. Hal

ini membentuk kehidupan dan kelakuan mereka. Mereka menyukai olahraga

tradisional, panahan sebagai hobi dan juga sangat menyukai permainan burung

perkutut. Mereka juga percaya bahwa orang dapat menikmati hidup dengan

mendengarkan kicauan burung. Kompetisi panahan tradisional selalu

diselenggarakan untuk memperingati kelahiran raja, yang disebut dengan

“Wiyosan Dalem”. Dan pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono X lahir, tradisi ini

juga dilaksanakan.

Dengan adanya berbagai macam kesenian adat dan upacara tradisional yang

masih berlangsung, Yogyakarta juga dikenal sebagai “museum hidup Jawa”, yang

dicerminkan dalam segala bentuk hal-hal tradisional berupa kendaraan,

arsitektur, pasar, pusat cindera mata, museum, dan banyak pilihan atraksi wisata

di Yogyakarta.

17

Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa)

adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727)

sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Yogyakarta berarti Yogya

yang kerta, Yogya yang makmur, sedangkan Ngayogyakarta Hadiningrat berarti

Yogya yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama

Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana.

Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau

Ngayogyakarta (bahasa Jawa).

Sebelum Indonesia merdeka, Yogyakarta sudah mempunyai tradisi

pemerintahan karena Yogyakarta adalah Kasultanan, termasuk di dalamnya

terdapat juga Kadipaten Pakualaman. Daerah yang mempunyai asal-usul dengan

pemerintahannya sendiri, di jaman penjajahan Hindia Belanda disebut

Zelfbesturende Landschappen. Di jaman kemerdekaan disebut dengan nama

Daerah Swapraja.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh

Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I.

Kadipaten Pakualaman, berdiri sejak 1813, didirikan oleh Pangeran Notokusumo,

(saudara Sultan Hamengku Buwono II ) kemudian bergelar Adipati Paku Alam I.

Baik Kasultanan maupun Pakualaman, diakui oleh Pemerintah Hindia

Belanda sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu

dinyatakan di dalam kontrak politik. Terakhir kontrak politik Kasultanan

tercantum dalam Staatsblad 1941 No. 47 dan kontrak politik Pakualaman dalam

Staatsblaad 1941 No. 577.

Pada saat Proklamasi Kemerdekaan RI, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan

Sri Paku Alam VIII mengetok kawat kepada Presiden RI, menyatakan bahwa

Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman menjadi bagian wilayah

18

Negara Republik Indonesia, serta bergabung menjadi satu mewujudkan satu

kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri sultan Hamengku Buwono IX dan Sri

Paku Alam VIII sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bertanggung

jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Pegangan hukumnya

adalah:

Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII

tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden Republik Indonesia.

Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Amanat Sri Paku Alam VIII

tertanggal 5 September 1945 ( yang dibuat sendiri-sendiri secara terpisah)

Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30

Oktober 1945 ( yang dibuat bersama dalam satu naskah ).

Dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Ibukota

Negara Republik Indonesia, justru dimasa perjuangan bahkan mengalami saat-

saat yang sangat mendebarkan, hampir-hampir saja Negara Republik Indonesia

tamat riwayatnya. Oleh karena itu pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia yang

berkumpul dan berjuang di Yogyakarta mempunyai kenangan tersendiri tentang

wilayah ini. Apalagi pemuda-pemudanya yang setelah perang selesai,

melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada, sebuah Universitas Negeri yang

pertama didirikan oleh Presiden Republik Indonesia, sekaligus menjadi monumen

hidup untuk memperingati perjuangan Yogyakarta.

Pada saat ini Kraton Yogyakarta dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono

X dan Puro Pakualaman oleh Sri Paduka Paku Alam IX. Keduanya memainkan

peranan yang sangat menentukan di dalam memelihara nilai-nilai budaya dan

adat-istiadat Jawa dan merupakan pemersatu masyarakat Yogyakarta.

Dengan dasar pasal 18 Undang-undang 1945, Dewan Perwakilan Rakyat

Propisni Daerah Istimewa Yogyakarta menghendaki agar kedudukan sebagai

Daerah Istimewa untuk Daerah Tingkat I, tetap lestari dengan mengingat sejarah

19

pembentukan dan perkembangan Pemerintahan Daerahnya yang sepatutnya

dihormati.

Pasal 18 undang-undang dasar 1945 itu menyatakan bahwa “ pembagian

Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan

mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara dan hak-

hak asal-usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa “.

Sebagai Daerah Otonom setingkat Propinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta

dibentuk dengan Undang-undang No.3 tahun 1950, sesuai dengan maksud pasal

18 UUD 1945 tersebut. Disebutkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah

meliputi bekas Daerah/Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman.

Sebagai ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kota Yogyakarta kaya

predikat, baik berasal dari sejarah maupun potensi yang ada, seperti sebagai kota

perjuangan, kota kebudayaan, kota pelajar, dan kota pariwisata.

Sebutan kota perjuangan untuk kota ini berkenaan dengan peran Yogyakarta

dalam konstelasi perjuangan bangsa Indonesia pada jaman kolonial Belanda,

jaman penjajahan Jepang, maupun pada jaman perjuangan mempertahankan

kemerdekaan. Yogyakarta pernah menjadi pusat kerajaan, baik Kerajaan

Mataram (Islam), Kesultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman.

Sebutan kota kebudayaan untuk kota ini berkaitan erat dengan peninggalan-

peninggalan budaya bernilai tinggi semasa kerajaan-kerajaan tersebut yang

sampai kini masih tetap lestari. Sebutan ini juga berkaitan dengan banyaknya

pusat-pusat seni dan budaya. Sebutan kata Mataram yang banyak digunakan

sekarang ini, tidak lain adalah sebuah kebanggaan atas kejayaan Kerajaan

Mataram.

Predikat sebagai kota pelajar berkaitan dengan sejarah dan peran kota ini

dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di samping adanya berbagai pendidikan di

20

setiap jenjang pendidikan tersedia di propinsi ini, di Yogyakarta terdapat banyak

mahasiswa dan pelajar dari seluruh daerah di Indonesia. Tidak berlebihan bila

Yogyakarta disebut sebagai miniatur Indonesia.

Sebutan Yogyakarta sebagai kota pariwisata menggambarkan potensi propinsi ini

dalam kacamata kepariwisataan. Yogyakarta adalah daerah tujuan wisata

terbesar kedua setelah Bali. Berbagai jenis obyek wisata dikembangkan di wilayah

ini, seperti wisata alam, wisata sejarah, wisata budaya, wisata pendidikan,

bahkan, yang terbaru, wisata malam.

Disamping predikat-predikat di atas, sejarah dan status Yogyakarta

merupakan hal menarik untuk disimak. Nama daerahnya memakai sebutan DIY

sekaligus statusnya sebagai Daerah Istimewa. Status Yogyakarta sebagai Daerah

Istimewa berkenaan dengan runutan sejarah Yogyakarta, baik sebelum maupun

sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Geografi

Yogyakarta berstatus Daerah Istimewa, sejarah terjadinya Propinsi ini pada

tahun 1945, wilayah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten

Pakualaman, menggabungkan diri dengan wilayah Republik Indonesia yang

diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, oleh Bung Karno dan Bung Hatta.

Luas Propinsi DIY , lebih kurang 3.186 Km2 berpenduduk 3.278.599 jiwa (data

Desember 1995).

Wilayah DIY ini berada di bagian tengah Pulau Jawa, termasuk zone tengah

bagian selatan dari formasi geologi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara

astronomi, daerah ini terletak di antara 7033'LS - 8012'LS, yang mencakup

wilayah bekas Swapraja Kasultanan Yogyakarta, wilayah bekas Swapraja

Kadipaten Pakualaman dan tiga daerah yang semula termasuk wilayah Jawa

21

Tengah, yakni bekas daerah enclave Kapanewon di Gunungkidul, daerah enclave

Kawedanan Imogiri dan daerah enclave Kapanewon di Bantul.

Secara administratif, keseluruhan wilayah tersebut berbatasan dengan

Kabupaten Magelang (di sebelah barat laut), Kabupaten Klaten (di sebelah timur),

Kabupaten Wonogiri (di sebelah tenggara), Samodra Indonesia (di sebelah

selatan), dan Kabupaten Purworejo (di sebelah barat).

Wilayah DIY terbagi dalam lima wilayah administratif daerah Tingkat II, yaitu :

Kotamadia Yogyakarta dengan luas 32,5 km2

Kabupaten Bantul dengan luas 506,85 km2

Kabupaten Kulonprogo dengan luas 586,27 km2

Kabupaten Gunungkidul dengan luas 1.485,36 km2

Kabupaten Sleman dengan luas 574,82 km2

Secara geografis, wilayah DIY tersusun atas empat satuan, yaitu Pegunungan

Selatan, Gunung api Merapi, dataran rendah antara Pegunungan Selatan dan

Pegunungan Kulonprogo, dan Pegunungan Kulonprogo dan dataran rendah

selatan.

Penduduk

Berdasarkan pendataan penduduk Propinsi DIY hasil P4B tahun 2003 yang

dilakukan bersama antara BPS dan KPU, jumlah penduduk tercatat 3.209.405

jiwa. Pertumbuhan penduduk pada tahun 2003 tercatat 1% dengan jumlah

rumah tangga sebanyak 769.265 sehingga rata-rata dalam satu rumah tangga

terdapat 4-5 jiwa. Prosentase jumlah penduduk laki-laki sebesar 48,6%

sedangkan penduduk perempuan 52,4%.

22

Number and Growth Rate of Population by Regency/Municipality in D.I. Yogyakarta

Province, 1980, 1990 and 2000

Regency/

Municipality

Number of Population (000) Growth Rate (%)

1980 1990 2000 1980-1990 1990-2000

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Kulonprogo 380.7 372.3 371.0 -0.22 -0.04

Bantul 634.4 696.9 781.0 0.94 1.19

Gunungkidul 659.5 651.0 670.4 -0.13 0.30

Sleman 677.3 780.3 901.4 1.43 1.50

Yogyakarta 398.2 412.1 396.7 0.34 -0.39

D.I Yogyakarta 2 750.1 2 912.6 3 120.5 0.58 0.72

Source : Population Cencus 1980, 1990, and 2000

Keadaan Alam

Secara umum keadaan geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari

daerah dataran yang berada pada kaki gunung Merapi ( pada ketinggian 900

meter diatas permukaan air laut ) dan miring kearah Selatan sampai di daerah

pantai Samudra Indonesia , yang lazim disebut pula sebagai pantai Laut Selatan

(bhs. Jawa : segoro Kidul). Selanjutnya daerah yang terdiri dari

gunung/pegunungan Selatan (gunung Kidul) di bagian sebelah Tenggara yang

disebut pegunungan Seribu. Di daerah Gunung Kidul banyak hasil-hasil usaha

penghijauan , pengawetan dan pelestarian sumber-sumber air. Sedangkan di

bagian Utara di daerah Nglanggeran, bisa kita jumpai kenampakam singkapan

batuan intrusin yang nampak sangat besar dan indah yang kini disebut funung

Kelir. Di daerah lereng gunung Merapi, disekitar daerah rekreasi Kaliurang

didapati hutan hujan tropis (tropical rain forest) dan banyak dihuni satwa langka.

23

Didaerah pegunungan Menoreh dijumpai daerah wisata Goa Kiskendo, Suralaya

dan Gua Sumitro, disebelah Tenggara pegunungan Menoreh didapati daerah

perbukitan Sentolo yang meluas sampai wilayah Bantul. Wilayah lain adalah

dataran pantai yang kebanyakan berpasir dan memiliki bukit-bukit pasir(dune).

Pantai-pantai banyak yang memiki pasir putih seperti yang bisa dilihat di pantai

Kukup, Krakal dll. Pasir ini berasal dari pecahan batu karang dan pecahan

binatang laut jenis kerang-kerangan. Diperairan pantai Krakal terdpat subuah

gugusan pulau kecil yang ditumbuhi oleh sejenis perdu yang disebut pohon

"Drini". Jenis semacam ini sukar didapat di daerah lain, konon memiliki tuah

sebagai sarana pengusir ular dan jenis serengga berbisa. Keadaan lautan diujung

timur yang merupakan bagian dari Samudra Indonesia banyak dihuni oleh

berjenis-jenisikan dan binatang laut serta biota-biota lain yang kini telah langka

antara lain penyu jijau yang kini perlu tetap dijaga kelestariannya.

UPACARA TRADISIONAL :

Pasar Malam Sekaten

Upacara Kupatan Jolosutro

Garebeg Mulud

Upacara Adat Saparan-Pondok Wonolelo

Tumplak Wajik

Upacara Jamasan Pusoko

Upacara Labuhan Keraton

Upacara Mengisi Air Enceh

Upacara Melasti dan Tawur Agung

Upacara Cing-Cing-Goling

Upacara Waicak

Upacara Ki Ageng Tunggul Wulung

24

Saparan Ambarketawang Gamping

Upacara Ritual Malam 1 Suro

Tradisi Suran - Mbah Demang

Upacara Grebeg Maulud

Puncak peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. diperingati

dengan penyelenggaraanupacara Grebeg Maulud yang diselenggarakan pada

tanggal 12 Maulud, atau pagi hari esoknya, setelah kedua perangkat gamelan

Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur madu dibawa masuk kembali ke dalam Kraton

oleh masyarakat Yogyakarta, kejadian ini lazim disebut dengan istilah “Bendhol

Songsong”.Pada pagi hari, pukul 08.00, upacara dimulai dengan parade kesatuan

prajurit Kraton yang mengenakan pakaian kebesarannya masing-masing. Puncak

dari upacara ini adalah iringan gunungan yang dibawa ke Masdjid Agung. Setelah

di Masdjid diselenggarakan doa dan upacara persembahan kehadirat Tuhan Yang

Maha Kuasa, sebagian gunungan dibagi-bagikan pada masyarakat umum dengan

jalan diperebutkan, bagian-bagian dari gunungan ini umumnya dianggap akan

memperkuat tekad dan memiliki daya tuah terutama bagi kaum petani, mereka

menanamnya dilahan persawahan mereka, untuk memperkuat doanya agar

lahannya menjadi subur dan terhindar dari berbagai hama perusak

tanaman.Selain upacara Grebeg Maulud, didalam satu kurun tahun Jawa

terdapat upacara-upacara Grebeg yang lain, yakni Grebeg Syawal yang

diselenggarakan pada tanggal 1 bulan Syawal sebagai ungkapan terima kasih

masyarakat kepada Tuhan dengan telah berhasil diselesaikannya ibadah puasa

selama satu bulan penuh dibulan Suci Ramadhan, dan Grebeg Besar yang

diselenggarakan pada tanggal 10 bulan Besar, berkaitan dengan peringatan hari

Raya Qurban – Idhul Adha.

25

Upacara Adat Sekaten

Nabi Besar Muhammad S.AW. lahir pada tanggal 12 bulan Maulud, bulan

ketiga dari tahun jawa. Di Yogyakarta, biasanya kelahiran Nabi diperingati dengan

upacara Grebeg Maulud.Sekaten merupakan upacara pendahuluan dari

peringatan hari kelahiran Nabi Besar Muhammad. Diselenggarakan pada tanggal

5 hingga tanggal 12 dari bulan yang sama.Pada masa-masa permulaan

perkembangan agama Islam di Jawa, salah seorang dari Wali Songo, yaitu Sunan

Kalijogo,mempergunakan instrumen musik Jawa Gamelan, sebagai sarana untuk

memikat masyarakat luas agar datang untuk menikmati pergelaran

karawitannya.Untuk tujuan itu dipergunakan 2 perangkat gamelan, yang memiliki

laras swara yang merdu. Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Disela- sela

pergelaran, kemudian dilakukan kotbah dan pembacaan ayat-ayat suci dari Kitab

Alquran. Bagi mereka yang bertekad untuk memeluk agama Islam, diwajibkan

mengucapkan kalimat Syahadat,sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama

Islam. Istilah Syahadat ; yang diucapkan sebagai Syahadatain; ini kemudian

berangsur- angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi ; Syakatain;

dan pada akhirnya menjadi istilah ; Sekaten ;hingga sekarang. Pada tanggal 5

bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Guntur

madu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya dibangsal Sri Manganti, ke

Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore

harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 ke

dua perangkat gamelan tersebut dipindahkan kehalaman Masjid Agung

Yogyakarta, dalam suatu iring-iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit

Kraton berseragam lengkap.Pada umumnya , masyarakat Yogyakarta dan

sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari

26

kelahiran Nabi Muhammad S.AW.ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan

pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai “ Srono “

(Syarat) nya, mereka harus mengunyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama

pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Oleh karenanya, selama

diselenggarakan perayaan sekaten itu, banyak orang berjualan sirih dengan

ramuannya, nasi gurih bersama lauk-pauknya di halaman Kemandungan,di Alun-

alun Utara maupun di depan Masjid Agung Yogyakarta. Bagi para petani, dalam

kesempatan ini memohon pula agar panenannya yang akan datang berhasil.

Untuk memperkuat tekatnya ini, mereka memberi cambuk (bhs. Jawa ;pecut)

yang dibawanya pulang. Selama lebih kurang satu bulan sebelum upacara

Sekaten dimulai, Pemerintah Daerah Kotamadya, memerintahkan perayaan ini

dengan pasar malam, yang diselenggarakan di Alun-alun Utara Yogyakarta.

TEMPAT WISATA

Malioboro

Keramaian dan semaraknya Malioboro juga tidak terlepas dari banyaknya

pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang jalan Malioboro menjajakan

dagangannya, hampir semuanya yang ditawarkan adalah barang/benda khas

Jogja sebagai souvenir/oleh-oleh bagi para wisatawan. Mereka berdagang

kerajinan rakyat khas Jogjakarta, antara lain kerajinan ayaman rotan, kulit, batik,

perak, bambu dan lainnya, dalam bentuk pakaian batik, tas kulit, sepatu kulit,

hiasan rotan, wayang kulit, gantungan kunci bambu, sendok/garpu perak,

blangkon batik [semacan topi khas Jogja/Jawa], kaos dengan berbagai

model/tulisan dan masih banyak yang lainnya. Para pedagang kaki lima ini ada

yang menggelar dagangannya diatas meja, gerobak adapula yang hanya

menggelar plastik di lantai. Sehingga saat pengunjung Malioboro cukup ramai

27

saja antar pengunjung akan saling berdesakan karena sempitnya jalan bagi para

pejalan kaki karena cukup padat dan banyaknya pedagang di sisi kanan dan kiri.

Ujung jalan Malioboro yang satu terhubung dengan jalan Mangkubumi dan

dibatasi oleh stasiun kereta api Tugu dan ujung satunya lagi terhubung dengan

jalan A.Yani. Dalam areal kawasan Malioboro dan sekitarnya banyak lokasi lain

yang dapat dikunjungi misalnya Siti Inggil Keraton Jogjakarta, pasar Beringhardjo,

benteng Vredeburg, Gedong Senisono, Museum Sono Budoyo dan lainnya. Saat

ini Malioboro bisa dikatakan sebagai jantung keramaian kota Jogja, karena

banyaknya pedagang dan pengunjung yang berlalu lalang. Kawasan yang sangat

ramai baik di dua sisi jalan yang berkoridor maupun pada jalan kendaraan walau

satu arah dari jalan Mangkubumi akan tetapi berbagai jenis kendaraan melaju

dan memenuhi di jalan tersebut dan tidak heran kalau terjadi kemacetan. Dari

kendaraan tradisional seperti becak, dokar/andong/delman, sepeda, gerobak

maupun kendaraan bermesin seperti mobil, taxi, bis kota, angkutan umum,

sepeda motor dan lainnya.

Kawasan Malioboro sebagai salah satu kawasan wisata belanja andalan kota

Jogja, ini didukung oleh adanya pertokoan, rumah makan, pusat perbelanjaan,

dan tak ketinggalan para pedagang kaki limanya. Untuk pertokoan, pusat

perbelanjaan dan rumah makan yang ada sebenarnya sama seperti pusat bisnis

dan belanja di kota-kota besar lainnya, yang disemarakan dengan nama-merk

besar dan ada juga nama-nama lokal. Barang yang diperdagangkan dari barang

import maupun lokal, dari kebutuhan sehari-hari sampai dengan barang

elektronika, mebel dan lain sebagainya. Juga menyediakan aneka kerajinan, misal

batik, wayang, ayaman, tas dan lain sebagainya. Terdapat pula tempat penukaran

mata uang asing, bank, hotel bintang lima hingga tipe melati.

Namun jangan ketinggalan untuk menelusuri jalan Malioboro yang sudah

sangat terkenal tersebut. Bisa dengan berjalan kaki dari ujung ke ujung pada dua

28

sisi jalan, atau dengan ‘dokar’ [delman/andong] dan becak khas Jogja. Di siang

hari kawasan Malioboro sangat ramai pengunjung baik warga maupun

wisatawan, terlebih lagi bila musim liburan sekolah tiba atau ada hari libur

nasional yang cukup panjang. Sebenarnya jalan Malioboro dari ujung ke ujung

hanya berjarak lebih dari satu kilometer saja, dan pada dua sisinya banyak sekali

toko, kantor, rumah makan dan mall serta pusat perbelanjaan, menariknya lagi

banyak sekali pedagang kaki lima yang berjajar dibawah koridor jalan yang

memayungi dari terik panas matahari maupun hujan. Keramian ini dimulai sejak

pagi hingga sembilan malam saat pusat perbelanjaan pada tutup, namun denyut

kehidupan kawasan Malioboro tidak pernah berhenti karena sudah siap warung-

warung lesehan menggelar dagangannya.

Untuk bermalam di sekitar Malioboro juga mudah didapat penginapan dari

tipe melati hingga hotel bintang lima. Para wisatawan tidak akan kuatir untuk

dapat menikmati pula hari-hari liburannya di kota Jogja hingga larut malam

sekalipun. Mereka dapat menikmati hidangan-hidangan di warung lesehan di

sepanjang jalan Malioboro, makanan yang disediakan dan ditawarkan dari jenis

makanan khas Jogja yaitu nasi gudeg dan ayam goreng dan juga makanan

Padang, ChinesseFood dan lain sebagainya. Saat menikmati hidangan yang

disajikan akan dihibur oleh musik dari pedagang dan pengamen jalanan yang

cukup banyak dari yang hanya sekedar bawa gitar adapula yang membawa

peralatan musik lengkap.

Ada sebuah perhatian khusus bagi wisatawan yang hendak menikmati

warung lesehan yaitu menanyakan dulu harga makanan yang hendak dipesan

sebelum ada sebuah tagihan yang kurang berkenan dihati, sampai-sampai hal ini

menjadi perhatian khusus dari pemerintah daerah yaitu dengan menggantung

papan di kawasan Malioboro dengan tulisan “Mintalah daftar harga sebelum

anda memesan”. Carilah warung makan yang dianggap wajar dalam memberi

29

harga dari sebuah hidangan makan dan minuman yang disajikan, memang

perbuatan menaikan tarif yang tidak wajar ini sangat menurunkan citra warung

lesehan yang ada di kawasan Malioboro. Sangat disayangkan kalau para

wisatawan berkunjung ke Jogjakarta dan sekitarnya serta khususnya kawasan

Malioboro ini hanya satu hari berkunjung. Inilah menyebabkan banyak wisatawan

domestik maupun asing menghabiskan semua waktu liburnya yang cukup

panjang hanya untuk kunjungan wisata ke Jogja dan sekitarnya.

Pantai Parangtritis

Parangtritis, selain dikenal keindahan alam pantainya, juga terkenal sebagai

tempat yang memikili berbagai peninggalan sejarah. Komplek Parangtritis terdiri

dari Pantai Parangtritis, Parangkusumo, dan Dataran Tinggi Gembirowati. Di

Parangkusumo terdapat kolam permandian air panas ( belerang ) yang diyakini

dapat menyembuhkan berbagai penyakit dalam. Kolam ini diketemukan dan

dipelihara oleh Sultan Hamengku Buwono VII. Adanya komplek kerajinan kerang,

hotel bertaraf Internasional ( Queen of South ), serta dokar wisata di Parangtritis

ikut menyemarakkan pariwisata di wilayah ini. Komplek wisata ini dapat dicapai

melalui dua jalur, Jalur pertama lewat jembatan Kretek, yang kedua lewat Imogiri

dan Siluk . Lokasi di Desa Parangtritis, Kec.Kretek kurang lebih 27 Km dari

Yogyakarta ke arah Selatan. Termasuk kawasan ini : Petilasan Parangkusumo,

Pemandian Parangwedang, Makam Syeh Maulana; Magribi, Makam Syeh Bela

Belu, Makam Ki Ageng Selohening, Tempat Pelelangan Ikan ( TPI ) Depok, Gumuk

Pasir ( Barchan ) Atraksi / Event Wisata Upacara Pisungsung Jaladri Bekti Pertiwi,

Uparaca Labuhan Alit Kraton Ngayogyakarta,; Labuhan Hondodento, Perayaan

Peh Cun, Ziarah Malam Selasa Kliwon dan Jum'at Kliwon, Gelar Seni Malam 1

Suro, Pentas Seni Budaya ( Liburan dan Lebaran ), Festival Layang-layang, Volley

Pantai.

30

Pantai Samas

Pantai Sama ini dikenal memiliki ombak yang besar dan terdapat delta-delta

sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Telaga-telaga tersebut

digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu, dan udang galah serta

berbagai lokasi pemancingan. Disebelah Barat terdapat Pantai Patehan dengan

panorama yang indah Lokasi : di Desa Srigading, Kec. Sanden kurang lebih 24 Km

dari yogyakarta ke arah Selatan. Atraksi/Event Wisata : Upacara Kirab

Tumuruning Maheso Suro, Labuhan Sedekah Laut, Pentas Seni Budaya (liburan

dan lebaran).Fasilitas Terminal. Tempat Parkir, MCK, Penginapan, Rumah Makan,

SAR, Jaringan Listrik, Mushola dan Sarana Transportasi. dengan Tiket masuk :Rp.

1.100,- / pengunjung (termasuk Asuransi Rp. 100,-) Angkutan Umum : Rute jalur

Bis ; : Yogyakarta (Terminal Bis Umbulharjo) - Pantai Samas Rp. 2.000,0/orang.

Pantai Baron

Pantai Baron pantai yang terletak 65 kilometer dari kota Yogyakarta

(melewati kota Wonosari) ini sering dipergunakan oleh para remaja untuk

berlintas alam dan berkemah. .Pantai Baron merupakan teluk yang diapit oleh

dinding bukit hijau dipenuhi oleh pohon kelapa. Tidak jauh dari tempat ini

terdapat pasar ikan yang menjual masakan ikan segar berbagai jenis yang lezat.

Berwisata ke pantai Baron bisa singgah ke pantai; Kukup, karena pantai Baron

dan pantai Kukup merupakan satu mata rantai. Jarak pantai Baron dan pantai

Kukup kuranglebih 1 ilometer.

Pantai Kukup

Pantai Kukup, yang terletak tidak jauh dari pantai Baron, memiliki pemandangan

alam pantai dan pegunungan yang sangat elok. Pantai yang berpasir putih

kekuning-kuningan ini juga memiliki goa - goa karang yang teduh, serta ikan hias

31

airlautyang sangat memikat yang sangat mempesona, wisawatan bisa naikke

bukit karang dioinggir pantai antara Baron dan Kukup, melalui jalan setapak.

Pantai Krakal

Pantai Krakal dapat dicapai melalui jalan sepanjang 6 kilometer dari

kawasan pantai Kukup, Perjalanan menuju pantai Krakal ini juga melintasi bukit-

bukit kapur,diselingi dengan teras-teras batu karang. Hal ini merupakan ciri dari

daerah karst yang dikelola penduduk. Berdasarkan penelitian geologis, pada

zaman yang silam daerah ini merupakan dasar dari lautan yang oleh proses

pengangkatan yang terjadi pada kerak bumi, dasar laut ini semakin lama semakin

meninggi dan akhirnya muncul sebagai dataran tinggi yangberupa batu-batuan.

Pantai Glagah

Pantai Glagah yang terletak 40 km dari kota Yogyakarta termasuk wilayah

Kabupaten Kulonprogo . Di kawasan pantai ini telah dibangun berbagai sarana

dan fasilitas antara lain kolam pemancingan, taman rekreasi, camping ground dan

gardu pandang.Bagi pengunjung yang mempunyai hoby olah raga dayung bisa

menyalurkan bakatnya /hobynya di pantai ini dengan menggunakan perahu

Kano.

JAWA TIMUR

Jawa Timur adalah sebuah provinsi di ujung timur Pulau Jawa dengan

wilayah yang juga meliputi Pulau Madura dan Bawean. Ibu kotanya adalah

Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.

Provinsi Jawa Timur terletak di ujung timur Pulau Jawa dibatasi perairan di 3

sisi dan daratan di 1 sisi. Selat Bali adalah batas timurnya yang memisahkan Jawa

32

Timur dengan Bali, Laut Jawa di utara, dan Samudra Hindia di selatan. Batas

daratannya adalah di barat dengan Jawa Tengah. Wilayah Jawa Timur juga

mencakup Pulau Madura. Di Jawa Timur, terdapat beberapa gunung di antaranya

adalah Gunung Bromo, Gunung Batok, Gunung Semeru, Gunung Kawi, Gunung

Arjuno, Gunung Penanggungan, Gunung Argopuro, Gunung Raung, Gunung Ijen

dan Gunung Anjasmoro. Kota-kota pentingnya antara lain Surabaya, Malang,

Madiun, Pasuruan, Probolinggo, Mojokerto, Kediri, Blitar, Jember, Lumajang, dan

Banyuwangi.

Penduduk (Demografi)

Jawa Timur memiliki penduduk berjumlah sekitar 30-40 juta jiwa. Suku-suku

yang mendiami Jawa Timur antara lain Jawa, Madura, Tengger, Osing, dan

Tionghoa. Bahasa yang digunakan antara lain Bahasa Indonesia, bahasa Jawa,

bahasa Madura, dan bahasa Osing, di sebagian pesantren di Jawa Timur juga

sering digunakan bahasa arab sebagai bahasa sehari-hari.

Suku Osing kebanyakan bermukim di Banyuwangi dan memiliki kebudayaan

yang merupakan perpaduan budaya Jawa, Madura, dan Bali sedangkan orang

suku Tengger merupakan peninggalan dari kerajaan Majapahit.

33

Agama yang dianut penduduk Jawa Timur adalah Islam, Hindu, Protestan,

Katolik, dan Buddha. Agama Islam dibawa ke Jawa Timur oleh para pedagang dari

Gujarat, India, Cina di masa lampau.

Suku

Sebenarnya masyarakat Jawa Timur sendiri juga mempunyai

pengelompokan lain, selain kelompok utama yakni Jawa dan Madura (dengan

Jawa sekitar 75-78%). Dalam masyarakat Madura sendiri juga masih terbagi atas

dua kelompok, yakni masyarakat pulau Madura dan masyarakat Pendhalungan.

Pendhalungan sendiri artinya adalah campuran dimana mereka tinggal

utamanya dikawasan tapal kuda mulai Pasuruan sampai Banyuwangi, dan

mayoritas di Probolinggo, Situbondo, Bondowoso dan Jember.

Masyarakat Pendhalungan sendiri, yakni :

a. Pendatang asli dari Pulau Madura yang berpindah ke ujung timur Jawa mulai

berabad-abad silam. di bagian timur Jawa, khususnya Situbondo dan

Bondowoso, mereka berasal dari Pamekasan dan Sumenep.

b. Masyarakat Jawa yang akhirnya 'termadurakan' karena hidup dikelilingi

pendatang Madura. Mereka ini umumnya dibesarkan dan hidup ditengah

masyarakat Madura serta akhirnya berbudaya campuran.

c. Hasil perkawinan campuran antara orang Jawa dan Madura, demikian pula

sebaliknya.

Dari segi watak, sebagian besar memiliki sifat khas Madura, yakni keras,

mudah naik darah, tangguh, pekerja keras, namun juga setia. Sifat-sifat Jawa juga

masuk dalam diri masyarakat pendhalungan yang merupakan campuran Jawa

dan Madura namun budaya dan bahasanya tetap Madura.

34

Masyarakat Pendhalungan di Pasuruan, Probolinggo, Lumajang dan Jember

umumnya bisa dua bahasa, yakni bahasa Madura dan Jawa (yang kadang berlogat

Madura). Namun masyarakat Pendhalungan di Situbondo dan Bondowoso hanya

bisa bahasa Madura, bahkan dipedalaman-pedalaman mereka malah sama sekali

tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun Jawa.

Penguasaan sedikit bahasa Madura juga sangat membantu dalam

berinteraksi dengan masyarakat Pendhalungan. Bahasa Jawa kasar lazim dipakai

di Pasuruan, Probolinggo kota , Lumajang dan Jember.

Sekali lagi, bahasa utama masyarakat Pendhalungan adalah Madura dengan

kadang bahasa Jawa kasar (khususnya di Pasuruan, Probolinggo barat, Lumajang

utara dan Jember). Dan uniknya, banyak diantara mereka yang tidak suka disebut

Madura, padahal bahasa mereka jelas-jelas bahasa Madura. Mereka lebih suka

disebut pendhalungan saja.

Hasil perpaduan budaya Jawa dan Madura ini antara lain ludruk berbahasa

Madura yang masih hidup di Lumajang dan Jember; Wayang Orang berbahasa

Madura di Situbondo yang di Madura sendiri hanya ada di Sumenep, dan lain

sebagainya. Rumah-rumah bergaya Jawa-Madura juga masih dapat dijumpai di

Situbondo dan utamanya Bondowoso, khususnya ukiran warna-warni bagian

teras rumah yang di Madura sendiri sudah nyaris hilang.

Pariwisata

Dataran Tinggi Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, cagar alam Meru Betiri,

Taman Safari Prigen, Gunung Bromo, Watu Ulo, Tanjung Papuma, Pasir Putih

Situbondo, Kebun Binatang Wonokromo (Surabaya), Pantai Kenjeran, Tempat

sembayang Buddha Joko Dolok, Makam Raden Supratman, Tugu Pahlawan,Hotel

Mojopahit/Orange, Tempat belanja seperti Pasar Atom , Daerah Tunjungan.

35

Makanan

Makanan khas Jawa Timur seperti Rujak cingur, Gado-Gado, Semangi

Suroboyo, Nasi pecel kampung, Lontong capgomeh Surabaya, Es Campur

Surabaya, Tamie goreng, cap jai goreng, Pangsit Mie/Cwie Mie Malang, Soto

ayam Lamongan, Soto Daging Sapi Madura, Sate Madura, Tape Bondowoso,

Suwar-Suwir Jember, Tahu Kediri, dan lain sebagainya.

Pemerintahan

Ibu kota Surabaya

Luas 47.922 km2

Penduduk 40.000.000 (+/-)

Kepadatan 834/km2

Kabupaten 29

Kodya/Kota 9

Kecamatan 637

Kelurahan/Desa 8.418

Suku Suku Jawa, Suku Madura 22%,

Suku Tengger, Suku Osing,

Tionghoa

Agama Islam 96,3%, Protestan 1,6%,

Katholik 1%, Buddha 0,4%,

Hindu 0,6%

Bahasa Bahasa Jawa, Bahasa Madura,

Bahasa Osing, Bahasa Indonesia

Zona waktu WIB

Daftar kabupaten dan kota

36

1. 1. Kabupaten Bangkalan

2. 2. Kabupaten Banyuwangi

3. 3. Kabupaten Blitar

4. Kabupaten Bojonegoro

5. Kabupaten Bondowoso

6. Kabupaten Gresik

7. Kabupaten Jember

8. Kabupaten Jombang

9. Kabupaten Kediri

10. Kabupaten Lamongan

11. Kabupaten Lumajang

12. Kabupaten Madiun

13. Kabupaten Magetan

14. Kabupaten Malang

15. Kabupaten Mojokerto

16. Kabupaten Nganjuk

17. Kabupaten Ngawi

18. Kabupaten Pacitan

19. Kabupaten Pamekasan

20. Kabupaten Pasuruan

21. Kabupaten Ponorogo

22. Kabupaten Probolinggo

23. Kabupaten Sampang

24. Kabupaten Sidoarjo

25. Kabupaten Situbondo

26. Kabupaten Sumenep

27. Kabupaten Trenggalek

28. Kabupaten Tuban

29. Kabupaten Tulungagung

30. Kota Batu

31. Kota Blitar

32. Kota Kediri

33. Kota Madiun

34. Kota Malang

35. Kota Mojokerto

36. Kota Pasuruan

37. Kota Probolinggo

38. Kota Surabaya

37

SISTEM RELIGI MASYARAKAT JAWA

Kegiatan religius orang Jawa Kejawen

Menurut kamus bahasa Inggris istilah kejawen adalah Javanism,

Javaneseness; yang merupakan suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan

Jawa yang dianggap sebagai hakikat Jawa dan yang mendefinisikannya sebagai

suatu kategori khas. Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang.

Javanisme yaitu agama besarta pandangan hidup orang Jawa yang menekankan

ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, sikap nrima terhadap segala

peristiwa yang terjadi sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan

masyarakat dibawah semesta alam.

Niels Mulder memperkirakan unsur-unsur ini berasal dari masa Hindu-

Budha dalam sejarah Jawa yang berbaur dalam suatu filsafat, yaitu sistem khusus

dari dasar bagi perilaku kehidupan. Sistem pemikiran Javanisme adalah lengkap

pada dirinya, yang berisikan kosmologi, mitologi, seperangkat konsepsi yang pada

hakikatnya bersifat mistik dan sebagainya yang anthropologi Jawa tersendiri,

yaitu suatu sistem gagasan mengenai sifat dasar manusia dan masyarakat yang

pada gilirannya menerangkan etika, tradisi, dan gaya Jawa. Singkatnya Javanisme

memberikan suatu alam pemikiran secara umum sebagai suatu badan

pengetahuan yang menyeluruh, yang dipergunakan untuk menafsirkan

kehidupan sebagimana adanya dan rupanya. Jadi kejawen bukanlah suatu

kategori keagamaan, tetapi menunjukkan kepada suatu etika dan gaya hidup

yang diilhami oleh cara berpikir Javanisme.

Agama Islam merupakan agama yang dianut oleh sebagian besar

masyarakat suku bangsa Jawa, yang tampak nyata pada bangunan-bangunan

tempat ibadah orang Islam. Di samping agama Islam terdapat juga agama besar

38

lain, yaitu agma Nasrani, Hindu dan Budha. Orang-orang Jawa pemeluk Islam,

tidak semuanya melakukan ibadahnya sesuai kriteria Islam, sehingga di dalamnya

terdapat :

1. Golongan Islam Santri, yaitu golongan yang menjalankan ibadahnya sesuai

ajaran Islam dengan melaksanakan lima ajaran Islam dengan syariat-

syariatnya.

2. Golongan Islam Kejawen, yaitu golongan yang percaya pada ajaran Islam

tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun Islam.

Sebagian besar dari masyarakat Jawa adalah Jawa Kejawen atau Islam

abangan, dalam hal ini mereka tidak menjalani kewajiban-kewajiban agama Islam

secara utuh misalnya tidak melakukan sembayang lima waktu, tidak ke mesjid

dan ada juga yang tidak berpuasa di saat bulan Ramadhan. Dasar pandangan

mereka adalah pendapat bahwa tatanan alam dan masyarakat sudah ditentukan

dalam segala seginya. Mereka menganggap bahwa pokok kehidupan dan status

dirinya sudah ditetapkan, nasibnya sudah ditentukan sebelumnya jadi mereka

harus menaggung kesulitanhidupnya dengan sabar. Anggapan-anggapan mereka

itu berhubungan erat dengan kepercayaan mereka pada bimbingan adikodrati

dan bantuan dari roh nenek moyang yang seperti Tuhan sehingga menimbulkan

perasaan keagamaan dan rasa aman

Kejawen dapat diungkapkan dengan baik oleh mereka yang mengerti

tentang rahasia kebudayaan Jawa, dan bahwa kejawen ini sering sekali diwakili

yang paling baik oleh golongan elite priyayi lama dan keturunan-keturunannya

yang menegaskan adalah bahwa kesadaran akan budaya sendiri merupakan

gejala yang tersebar luas dikalangan orang Jawa. Kesadaran akan budaya ini

sering kali menjadi sumber kebanggaan dan identitas kultural. Orang-orang inilah

yang memelihara warisan budaya Jawa sevara mendalam sebagai kejawen.

39

Pemahan orang Jawa Kejawen ditentukan oleh kepercayaan mereka pada

pelbagai macam roh-roh yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan bahaya

seperti kecelakaan atau penyakit apabila mereka dibuat marah atau penganutnya

tidak hati-hati. Untuk melindungi semuanya itu, orang Jawa kejawen memberi

sesajen atau caos dahar yang dipercaya dapat mengelakkan kejadian-kejadian

yang tidak diinginkan dan mempertahankan batin dalam keadaan tenang. Sesajen

yang digunakan biasanya terdiri dari nasi dan aneka makanan lain, daun-daun

bunga serta kemenyan.

Contoh kegiatan religius dalam masyarakat Jawa, khususnya orang Jawa

Kejawen adalah puasa atau siam. Orang Jawa Kejawen mempunyai kebiasaan

berpuasa pada hari-hari tertentu misalnya Senin-Kamis atau pada hari lahir,

semuanya itu merupakan asal mula dari tirakat. Dengan tirakat orang dapat

menjadi lebih kuat rohaninya dan kelak akan mendapat manfaat. Orang Jawa

kejawen menganggap bertapa adalah suatu hal yang cukup penting. Dalam

kesusastraan kuno orang Jawa, orang yang berabad-abad bertapa dianggap

sebagai orang keramat karena dengan bertapa orang dapat menjalankan

kehidupan yang ketat ini dengan disiplin tinggi serta mampu manahan hawa

nafsu sehingga tujuan-tujuan yang penting dapat tercapai. Kegiatan orang Jawa

kejawen yang lainnya adalah meditasi atau semedi. Menurut Koentjaraningrat,

meditasi atau semedi biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata

(bertapa) dan dilakukan pada tempat-tempat yang dianggap keramat misalnya di

gunung, makam keramat, ruang yang dikeramatkan dan sebagainya. Pada

umumnya orang melakukan meditasi adalah untuk mendekatkan atau

menyatukan diri dengan Tuhan.

Sejak jaman awal kehidupan Jawa (masa pra Hindu-Buddha), masyarakat

Jawa telah memiliki sikap spiritual tersendiri. Telah disepakati di kalangan

sejarawan bahwa, pada jaman jawa kuno, masyarakat Jawa menganut

40

kepercayaan animisme-dinamisme. Yang terjadi sebenarnya adalah: masyarakat

Jawa saat itu telah memiliki kepercayaan akan adanya kekuatan yang bersifat: tak

terlihat (gaib), besar, dan menakjubkan. Mereka menaruh harapan agar

mendapat perlindungan, dan juga berharap agar tidak diganggu kekuatan gaib

lain yang jahat (roh-roh jahat) (Alisyahbana, 1977).

Hindu dan Buddha masuk ke pulau Jawa dengan membawa konsep baru

tentang kekuatan-kekuatan gaib. Kerajaan-kerajaan yang berdiri memunculkan

figur raja-raja yang dipercaya sebagai dewa atau titisan dewa. Maka

berkembanglah budaya untuk patuh pada raja, karena raja diposisikan sebagai

‘imam’ yang berperan sebagai pembawa esensi kedewataan di dunia (Simuh,

1999). Selain itu berkembang pula sarana komunikasi langsung dengan Tuhan

(Sang Pemilik Kekuatan), yaitu dengan laku spiritual khusus seperti semedi, tapa,

dan pasa (berpuasa).

Jaman kerajaan Jawa-Islam membawa pengaruh besar pada masyarakat,

dengan dimulainya proses peralihan keyakinan dari Hindu-Buddha ke Islam.

Anggapan bahwa raja adalah ‘Imam’ dan agama ageming aji-lah yang turut

menyebabkan beralihnya agama masyarakat karena beralihnya agama raja,

disamping peran aktif para ulama masa itu. Para penyebar Islam –para wali dan

guru-guru tarekat- memperkenalkan Islam yang bercorak tasawuf. Pandangan

hidup masyarakat Jawa sebelumnya yang bersifat mistik (mysticism) dapat

sejalan, untuk kemudian mengakui Islam-tasawuf sebagai keyakinan mereka.

Spiritual Islam Jawa, yaitu dengan warna tasawuf (Islam sufi), berkembang

juga karena peran sastrawan Jawa yang telah beragama Islam. Ciri pelaksanaan

tasawuf yang menekankan pada berbagai latihan spiritual, seperti dzikir dan

puasa, berulang kali disampaikan dalam karya-karya sastra. Petikan serat

Wedhatama karya K.G.A.A. Mangku Negara IV:

41

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. Lekase lawan kas, tegese kas nyamkosani.

Setya budya pangekese dur angkara (Pupuh Pucung, bait I)

Artinya:

Ngelmu (ilmu) itu hanya dapat dicapai dengan laku (mujahadah), dimulai

dengan niat yang teguh, arti kas menjadikan sentosa. Iman yang teguh untuk

mengatasi segala godaan rintangan dan kejahatan.(Mengadeg, 1975).

Di sini ngelmu lebih dekat dengan ajaran tasawuf, yaitu ilmu hakikat / ilmu

batin, karena dijalani dengan mujahadah / laku spiritual yang berat (Simuh,

1999). Dalam masyarakat Jawa, laku spiritual yang sering dilakukan adalah

dengan tapa, yang hampir selalu dibarengi dengan pasa (berpuasa).

Puasa dalam Masyarakat Jawa

Pada saat ini terdapat bermacam-macam jenis puasa dalam masyarakat

Jawa. Ada yang sejalan dengan fiqih Islam, namun banyak juga yang merupakan

ajaran guru-guru kebatinan ataupun warisan jaman Hindu-Buddha. Kata pasa

(puasa) hampir dapat dipertukarkan dengan kata tapa (bertapa), karena

pelaksanaan tapa (hampir) selalu dibarengi pasa.

Di antara macam-macam tapa / pasa, beberapa dituliskan di bawah ini:

Jenis: Metode:

pasa di bulan

pasa

(ramadhan)

sama dengan puasa wajib dalam bulan ramadhan.

Sebelumnya, akhir bulan ruwah (sya’ban ) dilakukan

mandi suci dengan mencuci rambut

tapa mutih (a) hanya makan nasi selama 7 hari berturut-turut

tapa mutih (b) berpantang makan garam, selama 3 hari atau 7 hari

tapa ngrawat hanya makan sayur selama 7 hari 7 malam

tapa pati geni berpantang makan makanan yang dimasak memakai api

(geni) selama sehari-semalam

42

tapa ngebleng tidak makan dan tidak tidur selama 3 hari 3 malam

tapa ngrame siap berkorban /menolong siapa saja dan kapan saja

tapa ngéli menghanyutkan diri di air (éli = hanyut)

tapa mendem menyembunyikan diri (mendem)

tapa kungkum menenggelamkan diri dalam air

tapa nggantung menggantung di pohon

dan masih banyak lagi jenis lainnya seperti tapa ngidang, tapa brata, dll.

(Diadaptasi dari wawancara dengan Dr. Purwadi)

Untuk memahami makna puasa menurut budaya Jawa, perlu diingat

beberapa hal. Pertama, dalam menjalani laku spiritual puasa, tata caranya

berdasarkan panduan guru-guru kebatinan, ataupun lahir dari hasil penemuan

sendiri para pelakunya. Sedangkan untuk mengetahui sumber panduan guru-guru

kebatinan, kita harus melacak tata cara keyakinan pra Islam-Jawa. Kedua, ritual

puasa ini sendiri bernuansa tasawuf / mistik. Sehingga penjelasannya pun

memakai sudut pandang mistis dengan mengutamakan rasa dan

mengesampingkan akal / nalar. Ketiga, dalam budaya mistik Jawa terdapat etika

guruisme, di mana murid melakukan taklid buta pada Sang Guru tanpa

menonjolkan kebebasan untuk bertanya. Oleh karena itu, interpretasi laku

spiritual puasa dalam budaya Jawa tidak dilakukan secara khusus terhadap satu

jenis puasa, melainkan secara umum.

Sebagai penutup, dapatlah kiranya dituliskan interpretasi laku spiritual

puasa dalam budaya Jawa yaitu:

1. Puasa sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik.

Ciri laku spiritual tapa dan pasa adalah menikmati yang tidak enak dan tidak

menikmati yang enak, gembira dalam keprihatinan. Diharapkan setelah

menjalani laku ini, tidak akan mudah tergoda dengan daya tarik dunia dan

43

terbentuk pandangan spiritual yang transenden. Sehingga dapat juga

dikatakan bahwa pasa bertujuan untuk penyucian batin dan mencapai

kesempurnaan ruh.

2. Puasa sebagai sarana penguatan batin

Dalam hal ini pasa dan tapa merupakan bentuk latihan untuk menguatkan

batin. Batin akan menjadi kuat setelah adanya pengekangan nafsu dunia

secara konsisten dan terarah. Tujuannya adalah untuk mendapat kesaktian,

mampu berkomunikasi dengan yang gaib-gaib: Tuhan ataupun makhluk halus.

Interperetasi pertama dan kedua di atas acapkali berada dalam satu

pemaknaan saja. Hal ini karena pandangan mistik yang menjiwainya, dan

berlaku umum dalam dunia tasawuf. Dikatakan oleh Sayyid Husein Nasr,

”Jalan mistik sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf adalah salah satu jalan

di mana manusia berusaha mematikan hawa nafsunya di dalam rangka

supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanya mengalami persatuan

dengan Yang Benar” (Nasr, 2000)

3. Puasa sebagai ibadah.

Bagi orang Jawa yang menjalankan syariat Islam. puasa seperti ini dijalankan

dalam hukum-hukum fiqihnya. Islam yang disadari adalah Islam dalam bentuk

syariat, dan kebanyakan hidup di daerah santri dan kauman.

44

SISTEM KEKERABATAN

Prinsip kekerabatan orang Jawa adalah prinsip keturunan bilateral. Pada

masyarakat Jawa terdapat perkawinan yang dilarang yaitu :

1. Saudara sekandung

2. Saudara sepupu

3. Laki-laki yang lebih muda dari wanitanya

Perkawinan lain yang di bolehkan yaitu :

1. Ngarang Wulu

2. Wayuh / Poligami

Sistem kekerabatan suku bangsa Jawa berdasarkan prinsip keturunan

bilateral atau parental, sedangkan sistem istilah kekerabatnnya menunjukkan

sistem klasifikasi menurut angkatan-angkatan. Semua kakak laki-laki serta kakak

perempuan beserta semua suami dan istrinya dari ayah dan ibu diklasifikasikan

menjadi satu dengan satu sebutan/istilah siwa atau uwa. Adapun adik-adik dari

ayah dan ibu yang laki-laki disebut paman dan yang perempuan disebut bibi.

Pada masyarakat suku bangsa Jawa dilarang adanya perkawinan antara

saudara sekandung, antara saudara misan yang ayahnya adalah saudara

sekandung, atau perkawinan antara saudara misan yang ibunya sekandung, juga

perkawinan antara saudara misan yang laki-laki menurut ibunya lebih muda dari

pihak perempuannya, sedangkan perkawinan yang termasuk nggenteni karang

wulu atau perkawinan sororat, yaitu perkawinan seorang duda dengan adik atau

kakak mendiang istrinya diperbolehkan. Selain tersebut di atas pada masyarakat

Jawa terdapat juga perkawinan poligini/wayuh yaitu seorang pria memiliki istri

45

lebih dari seorang. Sebelum upacara peresmian perkawinan terlebih dahulu

diselenggarakan serangkaian upacara-upacara.

Pada masyarakat suku bangsa Jawa selain terdapat perkawinan dengan

sistem pelamaran terdapat juga sistem perkawinan yang lain yaitu:

1. Sistem perkawinan magang atau ngenger, yaitu perkawinan yang terjadi

antara perjaka yang telah mengabdikan diri kepada keluarga atau orang

tua si gadis.

2. Sistem perkawinan triman, yaitu sistem perkwinan dengan sistem

mendapatkan istri karena pemberian atau penghadiahan dari salah satu

lingkungan keluarga tertentu, misalnya keluarga keraton atau keluarga

priayi.

3. Sistem perkawinan ngunggah-unggahi, yaitu sistem perkawinan yang

melakukan pelamaran adalah pihak si gadis pada perjaka. Hal ini terjadi

misalnya pada masyarakat Lamongan, Bojonegoro.

4. Sistem perkawinan paksa, yaitu sistem perkawinan yang terjadi antara

seorang perjaka dan gadis atas kemauan kedua orang tua tersebut. Pada

umumnya perkawinan ini banyak terjadi pada perkawinan anak-anak

atau perkawinan masa lampau.

Hasil dari perkawinan tadi akan membentuk keluarga batih/keluarga inti/keluarga

somah yaitu suatu keluarga yang merupakan kelompok sosial yang berdiri sendiri,

dan memegang peranan dalam proses sosialisasi anak-anak yang menjadi

anggotanya. Setiap kepala keluarga juga disebut kepala somah yang disandang

oleh seorang pria ataupun wanita apabila suaminya meninggal dunia. Apabila

dalam keluarga tersebut ayah dan ibunya sudah meninggal maka yang dianggap

atau diangkat sebagai kepala somah adalah anak pertama, yang lebih diutamakan

adalah anak laki-laki. Bentuk keluarga inti atau keluarga somah atau keluarga

batih yang lengkap terdiri atas suami, istri, dan anak-anaknya yang belum

46

menikah, baik anak kandung, anak tiri ataupun anak angkat, sedang keluarga

yang tidak terdiri atas anggota-anggota seperti di atas merupakan keluarga yang

tidak lengkap.

Selain sistem keluarga inti, pada suku bangsa Jawa juga terdapat sistem

keluarga luas atau extended family, yaitu apabila dalam satu rumah, tinggal dua

atau tiga keluarga inti. Meskipun mereka tinggal dalam satu rumah, masing-

masing kelompok berdiri sendiri-sendiri baik dalam anggaran belanja rumah

tangga maupun dapurnya. Walaupun demikian tidak semua keluarga somah yang

terhimpun dalam keluarga luas tersebut mempunyai dapur sendiri-sendiri, ada

kalanya mereka memasak bersama. Namun suatu keluarga luas tetap dikepalai

oleh seorang kepala somah yang terdahulu. Apabila kepala somah yang

bertanggung jawab tadi meninggal dunia, sebagai penggantinya adalah salah satu

anggota dari keluarga somah pertama yang ditunjuk. Apabila anggota keluarga

somah pertama tadi sudah tidak ada, barulah diganti oleh kepala keluarga somah

yang kedua dan seterusnya.

Bentuk kekerabatan yang lain adalah nak-dulur atau sanak-sadulur,

kelompok kekerabatan ini terdiri atas kerabat keturunan dari seorang nenek

moyang sampai derajat ketiga. Kelompok kekerabatan ini mempunyai tradisi

saling tolong-menolong kalau ada peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan

keluarga, seperti pernikahan, sedekahan, kematian, mulai dari saat pemakaman

sampai keseribu harinya, khitanan, ulang tahun, dan sebagainya. Mereka juga

akan berkumpul pada hari lebaran, suran, dan sebagainya. Selain itu terdapat

juga kelompok kekerabatan yang disebut alurwaris, yaitu semua kerabat sampai

tujuh keturunan sejauh masih dikenal tempat tinggalnya. Tugas alurwaris adalah

memelihara makam leluhur. Biasanya salah satu alurwaris yang tinggal di desa

tempat makam leluhur, akan ditunjuk untuk menghubungi anggota alurwaris

47

yang tersebar ke mana-mana untuk ikut merawat atau memberikan sumbangan

perawatan makam leluhur atau nenek moyang itu.

Pada umumnya suku bangsa Jawa tidak mempersoalkan tempat menetap

setelah pernikahan. Mereka bebas memilih apakah menetap di sekitar tempat

mempelai wanita atau mempelai laki-laki. Hal tersebut dinamakan utrolokal.

Umumnya seseorang akan merasa bangga apabila setelah pernikahan mempelai

bertempat tinggal di tempat yang baru, terlepas dari tempat tinggal mempelai

wanita maupun mempelai pria. Sistem tempat tinggal semacam itu disebut

neolokal. Namun pada kenyataannya banyak terjadi setelah pernikahan kedua

mempelai tersebut bertempat tinggal di sekeliling kerabat istri/mempelai wanita,

hal ini disebut uxorilokal.

48

BAHASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku

bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah &

Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan

Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-

bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus (campuran ngoko dan kromo).

Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil

(Krama Halus). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang

dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa.

Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang

dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.

Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau

Jawa. Bahasa jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf

Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubahsuai dari huruf Arab.

Penduduk Jawa yang berhijrah ke Malaysia turut membawa bahasa dan

kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehinggakan terdapat kawasan penempatan

mereka dikenali sebagai kampung Jawa, padang Jawa.

Loghat

Loghat dalam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua kategori:

1. Loghat Sosial

2. Logat Daerah

Loghat dalam Bahasa Jawa menurut kelas sosial:

1. Ngoko

2. Ngoko Andhap

49

3. Madhya

4. Madhyantara

5. Kromo

6. Kromo Inggil

7. Bagongan

8. Kedhaton

Kedua loghat terakhir digunakan di kalangan keluarga Kraton dan sulit dipahami

oleh orang Jawa kebanyakan. Perbedaan perkataan menurut loghat sosial dalam

Bahasa Jawa boleh difahami melalui contoh berikut:

* Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”

1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’

2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”

3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi,

nèng ndi?”

4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng

pundi?”

5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng

pundi?”

6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas

Budi punika, wonten pundi?”

7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika,

wonten pundi?”

8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi

punika, wonten pundi?”

50

Berdasarkan daerah, loghat dari Bahasa Jawa adalah sebagai berikut:

a. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :

1. Loghat Banten

2. Loghat Indramayu-Cirebon

3. Loghat Tegal

4. Loghat Banyumasan

5. Loghat Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.

b. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :

1. Loghat Pekalongan

2. Loghat Kedu

3. Loghat Bagelen

4. Loghat Semarang

5. Loghat Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)

6. Loghat Blora

7. Loghat Surakarta

8. Loghat Yogyakarta

Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya

Loghat Surakarta dan Yogyakarta.

c. Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :

1. Loghat Madiun

2. Loghat Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)

3. Loghat Surabaya

4. Loghat Malang

5. Loghat Tengger

6. Loghat Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

51

KRONIK ORANG JAWA

Orang Jawa yang tradisional tidak dapat memisahkan mitos dalam

kehidupan mereka ,oleh sebab itu, kita telaah dan akan coba menguraikan

tentang orang jawa dan latar belakang yang ikut mewarnai pemikiran mereka

dalam menafsirkan kehidupan ini.

Orang Jawa

Yang dimaksud orang Jawa oleh Magnis-Suseno adalah orang yang bahasa ibunya

bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah da timur pulau Jawa.

Berdasarkan golongan sosial, menurut sosiolog Koentjaraningrat, orang Jawa

diklasifikasi menjadi 2 (dua) yaitu:

1. Wong cilik (orang kecil) terdiri dari petani dan mereka yang berpendapatan

rendah.

2. Kaum Priyayi terdiri dari pegawai dan orang-orang intelektual

3. Kaum Ningrat gaya hidupnya tidak jauh dari kaum priyayi

Selain dibedakan golongan sosial, orang Jawa juga dibedakan atas dasar

keagamaan dalam dua kelompok yaitu:

1. Jawa Kejawen yang sering disebut abangan yang dalam kesadaran dan cara

hidupnya ditentukan oleh tradisi Jawa pra-Islam. Kaum priyayi tradisional

hampir seluruhnya dianggap Jawa Kejawen, walaupun mereka secara resmi

mengaku Islam

2. Santri yang memahami dirinya sebagai Islam atau orientasinya yang kuat

terhadap agama Islam dan berusaha untuk hidup menurut ajaran Islam.

52

Alam Pikiran dan Pandangan Hidup Orang Jawa

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat

segala kehidupan karena sebelumnya semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah

yang pertama kali ada. Pusat yang dimakusd disini dalam pengertian ini adalah

yang dapat memebrikan penghidupan, kesimbangan, dan kestabilan, yang dapat

juga memberi kehidupan dan penghubung dengan dunia atas. Pandangan orang

Jawa yang demikian biasa disebut Kawula lan Gusti, yaitu pandangan yang

beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan

kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir itulah manusia menyerahkan diri

secara total selaku kawula (hamba)terhadap Gustinya(SangPencipta).

Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan bukan muslim santri

yaitu yang mencampurkan beberapa konsep dan cara berpikir Islam dengan

pandangan asli mengenai alam kodrati dan alam adikodrati.

Niels Mulder mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu

abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan

mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu

sikap terhadap hidup.

Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada

pembentukan kesatuan numinus antara alam nyata, masyarakat, dan alam

adikodrati yang dianggap keramat. Orang Jawa bahwa kehidupan mereka telah

ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.

Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala

sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu atau merupakan

kesatuan hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat

dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu

perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.

53

Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam

dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam

pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta

yang mengandung kekuatan supranatural da penuh dengan hal-hal yang bersifat

misterius. Sedangkan mikrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan

pandangan hidup terhadap dunia nyata. Tujuan utama dalam hidup adalah

mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan

makrokosmos dan mikrokosmos.

Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta

memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan orang

Jawa dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas-dunia

manusia-dunia bawah). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah

satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.

Sikap dan pandangan tehadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin

pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam

masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak

oleh mata. Dalam mengahdapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia

ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.

Bagi orang Jawa, pusat di dunia ada pada raja dan karaton, Tuhan adalah

pusat makrokosmos sedangkan raja adalah perwujudan Tuhan di dunia sehingga

dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. Jadi raja adalah

pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari Tuhan

dengan karaton sebagai kediaman raja, karaton merupakan pusat keramat

kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja merupakan sumber kekuatan-

kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketentraman, keadilan

dan kesuburan.

54

ADAT ISTIADAT JAWA

(manusia Jawa sejak dalam kandungan sampai wafat)

1. Sebelum Kelahiran

1. Ngupat

Ngupat/ngupati adalah salah satu upacara adat yang diselenggarakan pada

waktu calon ibu hamil 4 bulan. Kata ngupat berasal dari kata papat (4) atau

kupat. Kata kupat ini sendiri dalam konteks Hari Raya Idul Fitri orang Jawa

diartikan ngaku lepat (mengakui kesalahan). Tujuan upacara adat ini adalah

untuk mendoakan keselamatan calon bayi dan ibunya atau untuk sesuatu

yang bersifat menolak kesialan. Jadi esensi acara ini tidak jauh berbeda

dengan upacara mitoni atau tingkepan. Perbedaan antara acara ngupat ini

dengan upacara sebelum kelahiran lainnya adalah adanya selamatan dengan

hidangan utama berupa ketupat yang diletakkan di besek, dan untuk

selanjutnya dibawa pulang ke rumah masing-masing.

2. Ngliman

Merupakan salah satu upacara kehamilan calon ibu yang diselenggarakan

ketika berusia 5 bulan. Kata ngliman berasal dari kata lima (5). Sifat upacara

ini sama seperti upacara ngupat, yaitu untuk mendoakan keselamatan calon

bayi dan ibunya atau untuk sesuatu yang bersifat menolak kesialan. Upacara

adat ini kurang dikenal di beberapa daerah Jawa. Berbeda dengan upacara

mitoni yang sudah dikenal di seluruh masyarakat Jawa, bahkan nusantara.

3. Mitoni

Saat kehamilan berusia 7 (tujuh) bulan, diadakan hajatan nujuhbulan atau

mitoni. Disiapkanlah sebuah kelapa gading yang digambari wayang dewa

Kamajaya dan dewi Kamaratih (supaya si bayi seperti Kamajaya jika laki-laki

55

dan seperti Kamaratih jika perempuan), kluban/gudangan /uraban (taoge,

kacang panjang, bayem, wortel, kelapa parut yang dibumbui, dan lauk

tambahan lainnya untuk makan nasi), dan rujak buah.

Di saat para Ibu makan rujak, jika pedas maka dipastikan bayinya nanti

laki-laki. Sedangkan saat di cek perut si Ibu ternyata si bayi senang nendang-

nendang, maka itu tanda bayi laki-laki.

Lalu para Ibu mulai memandikan yang mitoni disebut tingkeban, didahului

Ibu tertua, dengan air kembang setaman (air yang ditaburi mawar, melati,

kenanga dan kantil), dimana yang mitoni berganti kain sampai 7 (tujuh) kali.

Setelah selesai baru makan nasi urab, yang jika terasa pedas maka si bayi

diperkirakan laki-laki. Kata tingkeban berasal berasal dari kata tingkeb yang

artinya tutup. Jadi upacara mitoni/tingkeban ini merupakan upacara terakhir

yang diselenggarakan sebelum lahirnya jabang bayi.

2. Kelahiran Anak

1. Mendhem Ari-Ari

Mendhem ari-ari adalah salah satu upacara kelahiran yang umum

diselenggarakan bahkan juga dilaksanakan di suku-suku atau daerah lain. Ari-

ari adalah bagian yang menghubungkan antara ibu dengan bayi dalam istilah

ilmiah disebut plasenta. Istilah lain ari-ari dalam bahasa Jawa adalah

aruman/embing-embing. Orang Jawa percaya bahwa ari-ari sebenarnya

adalah salah satu dari empat (4) bersaudara atau saudara kembar si bayi pada

asalnya. Ari-ari harus dirawat dan dijaga, misalnya tempat untuk mengubur

ari-ari diberi lampu atau penerangan lainnya sebagai simbol penerangan bagi

si bayi. Penerangan ini biasanya dinyalakan sampai 35 hari (selapan).

Tata cara upacara ini adalah ari-ari dicuci sampai bersih/dimasukkan

kendhi atau tempurung kelapa. Sebelum ari-ari dimasukkan, alas kendhi diberi

56

daun senthe, lalu kendhi itu ditutup lemper yang masih baru yang dibungkus

kain kafan. Kendhi lalu digendong, dipayungi, lalu dibawa ke lokasi

penguburan. Lokasi penguburan kendhi harus di sisi kanan pintu utama

rumah. Prosesi penguburan ini harus dilakukan oleh bapak si bayi.

2. Brokohan

Slametan pertama berhubung lahirnya bayi dinamakan brokohan, yang

terdiri dari nasi tumpeng dikitari uraban berbumbu pedas (tanda si bayi laki-

laki) dan ikan asin goreng tepung, jajanan pasar berupa ubi rebus, singkong,

jagung, kacang dan lain-lain, bubur merah-putih, sayur lodeh kluwih/timbul

agar linuwih (kalau sudah besar terpandang).

Kepercayaan orang Jawa bahwa anak pertama sebaiknya laki-laki, agar

bisa mendem jero lan mikul duwur (menjunjung derajat orang tuanya jika ia

memiliki kedudukan baik di dalam masyarakat). Dan untuk memperkuat

keinginan itu, biasanya si calon Bapak selalu berdo’a memohon kepada

Tuhan.

Asal kata brokohan dari bahasa Arab, “barokah” yang artinya

mengharapkan berkah.

3. Sepasaran

Ketika bayi berusia 5 (lima) hari dilakukan slametan sepasaran, dengan

jenis makanan sama dengan brokohan dan ditambah dengan wedhang

(minuman hangat). Bedanya dalam sepasaran rambut si bayi dipotong sedikit

dengan gunting dan bayi diberi nama. Acara ini biasa dilaksanakan dengan

agak meriah.

4. Aqeqah

Aqeqah dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama Islam berupa

penyembelihan kambing sejumlah 2 ekor untuk laki-laki, dan 1 ekor untuk

57

perempuan. Upacara ini bisa dilakukan berbarengan dengan sepasaran atau

selapanan.

5. Selapanan

Slametan selapanan yaitu saat bayi berusia 35 (tiga puluh lima) hari, yang

pada pokoknya sama dengan acara sepasaran. Hanya saja disini rambut bayi

dipotong habis, maksudnya agar rambut tumbuh lebat. Setelah ini, setiap 35

(tiga puluh lima) hari berikutnya diadakan acara peringatan yang sama saja

dengan acara selapanan sebelumnya, termasuk nasi tumpeng dengan irisan

telur ayam rebus dan bubur merah-putih.

3. Upacara Ketika Anak-Anak

1. Tedhak Siten

Peringatan tedak-siten/tujuhlapanan atau 245 (dua ratus empat puluh

lima) hari sedikit istimewa, karena untuk pertama kali kaki si bayi diinjakkan

ke atas tanah. Untuk itu diperlukan kurungan ayam yang dihiasi sesuai selera.

Jika bayinya laki-laki, maka di dalam kurungan juga diberi mainan anak-anak

dan alat tulis menulis serta lain-lainnya (jika si bayi ambil pensil maka ia akan

menjadi pengarang, jika ambil buku berarti suka membaca, jika ambil kalung

emas maka ia akan kaya raya, dan sebagainya) dan tangga dari batang pohon

tebu untuk dinaiki si bayi tapi dengan pertolongan orang tuanya. Kemudian

setelah itu si Ibu melakukan sawuran duwit (menebar uang receh) yang

diperebutkan para tamu dan anak-anak yang hadir agar memperoleh berkah

dari upacara tedak siten.

2. Nyapih

Sebuah proses yang dilaksanakan untuk memisahkan bayi dari susuan

ibunya, karena dianggap sudah waktunya, biasanya setelah bayi berumur 2

tahun.

58

3. Mupu

Artinya mungut anak, yang secara magis diharapkan dapat menyebabkan

hamilnya si Ibu yang memungut anak, jika setelah sekian waktu dirasa belum

mempunyai anak juga atau akhirnya tidak mempunyai anak. Orang Jawa

cenderung memungut anak dari sentono (masih ada hubungan keluarga), agar

diketahui keturunan dari siapa dan dapat diprediksi perangainya kelak yang

tidak banyak menyimpang dari orang tuanya.

Syarat sebelum mengambil keputusan mupu anak, diusahakan agar

mencari pisang raja sesisir yang buahnya hanya satu, sebab menurut gugon

tuhon (takhayul yang berlaku) jika pisang ini dimakan akan nuwuhaken

(menyebabkan) jadinya anak pada wanita yang memakannya. Sehingga, bisa

dimungkinkan hamil, dan tidak harus memungut anak. Pada saat si Ibu hamil,

jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik biasanya, disimpulkan bahwa

anaknya adalah laki-laki, dan demikian sebaliknya jika anaknya perempuan.

4. Upacara Ketika Lajang

1. Khitanan

Saat menjelang remaja, tiba waktunya ditetaki/khitan/sunat. Setibanya di

tempat sunat (dokter atau dukun/bong), sang Ibu menggendong si anak ke

dalam ruangan seraya mengucapkan kalimat : laramu tak sandang kabeh

(sakitmu saya tanggung semua).

2. Pangur

Prosesi yang bertujuan untuk meratakan gigi yang pertumbuhannya tidak

bagus.

59

Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya

dalam satuan windu, yaitu setiap 8 (delapan) tahun. Peristiwa ini dinamakan

windon, dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan

mengadakan slametan bubur merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8

(delapan) telur ayam rebus sebagai lambang usia. Tapi peringatan harus

dilakukan sehari atau 2 (dua) hari setelah hari kelahiran, yang diyakini agar

usia lebih panjang. Kemudian saat peringatan 2 (dua) windu, si anak sudah

dianggap remaja/perjaka atau jaka,suaranya ngagor-agori (memberat). Saat

berusia 32 (tiga puluh dua ) tahun yang biasanya sudah kawin dan mempunyai

anak, hari lahirnya dirayakan karena ia sudah hidup selama 4 (empat) windu,

maka acaranya dinamakan tumbuk alit (ulang tahun kecil). Sedangkan ulang

tahun yang ke 62 (enam puluh dua) tahun disebut tumbuk ageng.

5. Upacara Untuk Perjaka Dan Perawan

Pengantenan

Perkawinan adat sangat bermacam-macam. Sekarang yang akan kita bahas

di sini adalah perkawinan dengan adat Jawa. Perkawinan adat Jawa

melambangkan pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dan

pengantin pria yang gagah dalam suatu suasana yang khusus sehingga

pengantin pria dan pengantin wanita seperti menjadi raja dan ratu sehari.

Biasanya perkawinan ini diadakan di rumah orang tua pengantin wanita,

orang tua dari pengantin wanita lah yang menyelenggarakan upacara

pernikahan ini. Pihak pengantin laki-laki membantu agar upacara pernikahan

ini bisa berlangsung dengan baik. Adapun berbagai, macam acara serta

upacara yang harus dilakukan menurut perkawinan adat Jawa.

Saat dewasa, banyak congkok atau kasarnya disebut calo calon isteri, yang

membawa cerita dan foto gadis. Tapi si anak dan orang tuanya mempunyai

60

banyak pertimbangan yang antara lain: jangan mbokongi (menulang-

punggungi sebab keluarga si gadis lebih kaya) walau ayu dan luwes karena

perlu mikir praja (gengsi), jangan kawin dengan sanak-famili walau untuk

nggatuake balung apisah (menghubungkan kembali tulang-tulang

terpisah/mempererat persaudaraan) dan bergaya priyayi karena seandainya

cerai bisa terjadi pula perpecahan keluarga, kalaupun seorang ndoro

(bangsawan) tapi jangan terlalu tinggi jenjang kebangsawanannya atau setara

dengan si anak serta sederhana dan menarik hati. Lagi pula si laki-laki

sebaiknya harus gandrung kapirangu (tergila-gila/cinta).

1. Lamaran

Bapak dari anak laki-laki membuat surat lamaran, yang jika disetujui maka

biasanya keluarga perempuan membalas surat sekaligus mengundang

kedatangan keluarga laki-laki guna mematangkan pembicaraan mengenai

lamaran dan jika perlu sekaligus merancang segala sesuatu tentang

perkawinan. Biasanya orangtua perempuan yang akan mengurus dan

mempersiapkan pesta perkawinan. Mereka yang memilih perangkat dan

bentuk pernikahan.

Setelah ditentukan hari kedatangan, keluarga laki-laki berkunjung ke

keluarga perempuan dengan sekedar membawa peningset, tanda pengikat

guna meresmikan adanya lamaran dimaksud. Sedangkan peningsetnya yaitu 6

(enam) kain batik halus bermotif lereng yang mana tiga buah berlatar hitam

dan tiga buah sisanya berlatar putih, 6 (enam) potong bahan kebaya

zijdelinnen dan voal berwarna dasar aneka, serta 6 (enam) selendang pelangi

berbagai warna dan 2 (dua) cincin emas berinisial huruf depan panggilan

calon pengantin berukuran jari pelamar dan yang dilamar (kelak dipakai pada

hari perkawinan). Peningset diletakkan di atas nampan dengan barang-barang

tersebut dalam kondisi tertutup. Setiap model pernikahan itu berbeda

61

dandanan dan pakaian untuk pengantin laki-laki dan pengantin perempuan.

Kedua mempelai harus mengikuti segala rencana dan susunan pesta

pernikahan, seperti Peningsetan, Siraman, Midodareni, Panggih.

Orang yang pertama kali mengawinkan anak perempuannya dinamakan

mantu sapisanan atau mbuka kawah, sedang mantu anak bungsu dinamakan

mantu regil atau tumplak punjen.

2. Persiapan Perkawinan

Segala persiapan tentu harus dilakukan. Dalam pernikahan jawa yang

paling dominan mengatur jalannya upacara pernikahan adalah Pemaes yaitu

dukun pengantin wanita yang menjadi pemimpin dari acara pernikahan, Dia

mengurus dandanan dan pakaian pengantin laki-laki dan pengantin

perempuan yang bentuknya berbeda selama pesta pernikahan. Karena

upacara pernikahan adalah pertunjukan yang besar, maka selain Pemaes yang

memimpin acara pernikahan, dibentuk pula panitia kecil terdiri dari teman

dekat, keluarga dari kedua mempelai.

3. Pemasangan dekorasi

Biasanya sehari sebelum pesta pernikahan, pintu gerbang dari rumah

orangtua wanita dihias dengan Tarub (dekorasi tumbuhan), yang terdiri dari

pohon pisang, buah pisang, tebu, buah kelapa dan daun beringin yang

memiliki arti agar pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia di mana

saja. Pasangan pengantin saling cinta satu sama lain dan akan merawat

keluarga mereka. Dekorasi yang lain yang disiapkan adalah kembang mayang,

yaitu suatu karangan bunga yang terdiri dari sebatang pohon pisang dan daun

pohon kelapa.

4. Perkawinan

Orang Jawa khususnya Solo, yang repot dalam perkawinan adalah pada

pihak wanitanya, sedangkan pihak laki-laki biasanya cukup memberikan

62

sejumlah uang guna membantu pengeluaran yang dikeluarkan pihak

perempuan, di luar terkadang ada pemberian sejumlah perhiasan, perabot

rumah maupun rumahnya sendiri. Selain itu saat acara ngunduh (acara

setelah perkawinan dimana yang membuat acara pihak laki-laki untuk

memboyong isteri ke rumahnya), biaya dan pelaksana adalah pihak laki-laki,

walau biasanya sederhana.

Dalam perkawinan harus dicari “hari baik”, maka perlu dimintakan

pertimbangan dari ahli hitungan “hari baik” berdasarkan patokan Primbon

Jawa. Setelah diketemukan hari baiknya, maka sebulan sebelum akad nikah,

secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup

perkawinan, dengan diurut dan diberi jamu oleh ahlinya. Ini dikenal dengan

istilah diulik, yaitu mulai dengan pengurutan perut untuk menempatkan rahim

dalam posisi tepat agar dalam persetubuhan pertama dapat diperoleh

keturunan, sampai dengan minum jamu Jawa yang akan membikin tubuh

ideal dan singset.

Selanjutnya dilakukan upacara pasang tarub (erat hubungannya dengan

takhayul) dan biasanya di rumah sendiri (kebiasaan di gedung baru mulai

tahun 50-an), dari bahan bambu serta gedek/bilik dan atap rumbia yang di

masa sekarang diganti tiang kayu atau besi dan kain terpal. Dahulu pasang

tarub dikerjakan secara gotong-royong, tidak seperti sekarang. Dan lagi pula

karena perkawinan ada di gedung, maka pasang tarub hanya sebagai simbolis

berupa anyaman daun kelapa yang disisipkan di bawah genting. Dalam

upacara pasang tarub yang terpenting adalah sesaji. Sebelum pasang tarub

harus diadakan kenduri untuk sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 - 9

orang). Do’a oleh Pak Kaum dimaksudkan agar hajat di rumah ini selamat,

yang bersamaan dengan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai

di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan

63

(tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat

dengan rumah. Diletakkan pula sesaji satu ekor ayam panggang di atas

genting rumah. Bersamaan itu pula rumah dihiasi janur, di depan pintu masuk

di pasang batang-batang tebu, daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin

dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara

berlangsung. Di kiri kanan pintu digantungkan buah kelapa dan disandarkan

pohon pisang raja lengkap dengan tandannya, perlambang status raja.

5. Siraman (pemandian)

Biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum akad nikah. Siraman

diadakan di rumah orangtua pengantin masing-masing, biasanya dilakukan di

kamar mandi atau di taman, dilakukan oleh ibu-ibu yang sudah berumur serta

sudah mantu dan/atau lebih bagus lagi jika sudah sukses dalam hidup.

Disiramkan dari atas kepala si calon pengantin dengan air bunga seraya

ucapan “semoga selamat di dalam hidupnya”. Makna dari pesta Siraman

adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Seusai upacara siraman, makan

bersama berupa nasi dengan sayur tumpang (rebusan sayur taoge serta irisan

kol dan kacang panjang yang disiram bumbu terbuat dari tempe dan tempe

busuk yang dihancurkan hingga jadi saus serta diberi santan, salam, laos serta

daun jeruk purut yang dicampuri irisan pete dan krupuk kulit), dengan

pelengkap sosis dan krupuk udang.

6. Midodareni

Midodareni adalah malam sebelum akad nikah, yang terkadang saat ini

dijadikan satu dengan upacara temu. Pada malam midodareni sanak saudara

dan para tetangga dekat datang sambil bercakap-cakap dan main kartu

sampai hampir tengah malam, dengan sajian nasi liwet (nasi gurih karena

campuran santan, opor ayam, sambel goreng, lalap timun dan kerupuk).

Biasanya pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore sampai

64

tengah malam dan ditemani oleh keluarga atau kerabat dekat perempuannya.

Biasanya mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat

dari pengantin wanita akan datang berkunjung, dan semuanya harus wanita.

7. Srah Srahan

Kedua keluarga menyetujui pernikahan. Mereka akan menjadi besan.

Keluarga dari pengantin laki-laki berkunjung ke keluarga dari pengantin

perempuan sambil membawa hadiah. Dalam kesempatan ini, kedua keluarga

beramah tamah.

8. Akad Nikah

Upacara akad nikah/upacara Ijab, harus sesuai sangat (waktu/saat yang

baik yang telah dihitung berdasarkan Primbon Jawa) dan Ibu-Ibu kedua calon

pengantin tidak memakai subang/giwang (untuk memperlihatkan

keprihatinan mereka sehubungan dengan peristiwa ngentasake

/mengawinkan anak, yang sekarang jarang diindahkan yang mungkin karena

malu). Upacara Ijab merupakan syarat yang paling penting dalam

mengesahkan pernikahan. Pelaksanaan dari Ijab sesuai dengan agama dari

pasangan pengantin. Pada saat ijab orang tua pengantin perempuan

menikahkan anaknya kepada pengantin pria. Dan pengantin pria menerima

nikahnya pengantin wanita yang disertai dengan penyerahan mas kawin bagi

pengantin wanita. Pada saat ijab ini akan disaksikan oleh Penghulu atau

pejabat pemerintah yang akan mencatat pernikahan mereka.

Biasanya acara di pagi hari, sehingga harus disediakan kopi susu dan

sepotong kue serta nasi lodopindang (nasi lodeh dengan potongan kol,

wortel, buncis, seledri dan kapri bercampur brongkos berupa bumbu rawon

tapi pakai santan) yang dilengkapi krupuk kulit dan sosis. Disaat sedang

sarapan, Penghulu beserta stafnya datang, ikut sarapan dan setelah selesai

langsung dilakukan upacara akad nikah.

65

9. Upacara panggih

Pertemuan antara pengantin wanita yang cantik dengan pengantin laki-laki

yang tampan di depan rumah yang di hias dengan tanaman Tarub. Pengantin

laki-laki di antar oleh keluarganya, tiba di rumah dari orangtua pengantin

wanita dan berhenti di depan pintu gerbang. Pengantin wanita, di antar oleh

dua wanita yang dituakan, berjalan keluar dari kamar pengantin. Orangtuanya

dan keluarga dekat berjalan di belakangnya.

Walau akad nikah adalah sah secara hukum, tetapi dalam kenyataannya

masih banyak perhatian orang terpusat pada upacara panggih/temu, yang

terkadang menganggap sebagai bagian terpenting dari perayaan perkawinan.

Padahal sebetulnya peristiwa terpenting bagi calon pengantin adalah saat

pemasangan cincin kawin, yang setelah itu Penghulu menyatakan bahwa

mereka sah sebagai suami-isteri. Temu adalah upacara adat dan bisa berbeda

walau tak seberapa besar untuk setiap daerah tertentu, misalnya gaya Solo

dan gaya Yogya.

Misalnya dalam gaya Solo, di hari "H"nya, di sore hari. Tamu yang datang

paling awal biasanya sanak-saudara dekat, agar jika tuan rumah kerepotan

bisa dibantu. Lalu tamu-tamu lainnya, yang putri langsung duduk bersila di

krobongan, dengan lantai permadani dan tumpukan bantal-bantal (biasanya

bagi keluarga mampu), sedang yang laki-laki duduk di kursi yang tersusun

berjajar di Pendopo (sekarang ini laki-laki dan perempuan bercampur di

Pendopo semuanya). Para penabuh gamelan tanpa berhenti memainkan

gending Kebogiro, yang sekitar 15 (lima belas) menit menjelang kedatangan

pengantin laki-laki dimainkan gending Monggang. Tapi saat pengantin beserta

pengiring sudah memasuki halaman rumah/gedung, gending berhenti, dan

para tamu biasanya tahu bahwa pengantin datang. Lalu tiba di pendopo, ia

66

disambut dan dituntun/digandeng dan diiringi para orang-tua masih sejawat

orang tuanya yang terpilih.

Sementara itu, pengantin perempuan yang sebelumnya sudah dirias dukun

nganten (rambut digelung dengan gelungan pasangan, dahi dan alis di kerik

rambutnya, dsb.nya) untuk akad nikah, dirias selengkapnya lagi di dalam

kamar rias. Lalu setelah siap, ia dituntun/digandeng ke pendopo oleh dua

orang Ibu yang sudah punya anak dan pernah mantu, ditemukan dengan

pengantin laki-laki (waktu diatur yaitu saat pengantin pria tiba di

rumah/gedung, pengantin perempuan pun juga sudah siap keluar dari kamar

rias), dengan iringan gending Kodokngorek. Sedangkan pengantin laki-laki

dituntun ke arah krobongan.

10. Upacara balangan suruh

Ketika mereka sudah berjarak sekitar 2 (dua) meter, mereka saling

melempar dengan daun sirih yang dilipat dan diikat dengan benang, yang

siapa saja melempar lebih kena ke tubuh diartikan bahwa dalam hidup

perkawinannya akan menang selalu. Mereka melakukannya dengan keinginan

besar dan kebahagian, semua orang tersenyum bahagia. Menurut

kepercayaan kuno, daun betel mempunyai kekuatan untuk menolak dari

gangguan buruk. Dengan melempar daun betel satu sama lain, itu akan

mencoba bahwa mereka benar-benar orang yang sejati, bukan setan atau

orang lain yang menganggap dirinya sebagai pengantin laki-laki atau

perempuan.

11. Upacara wiji dadi

Pengantin laki-laki menginjak telur dengan kaki kanannya. Pengantin

perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki dengan menggunakan air

dicampur dengan bermacam-macam bunga dan setelah itu kakinya dibasuh

dengan air bunga oleh si wanita sambil berjongkok.. Itu mengartikan, bahwa

67

pengantin laki-laki siap untuk menjadi ayah serta suami yang bertangung

jawab dan pengantin perempuan akan melayani setia suaminya.

12. Kacar-Kucur

Kemudian mereka berjajar, segera Ibu si wanita menyelimutkan

slindur/selendang yang dibawanya ke pundak kedua pengantin sambil

berucap: Anakku siji saiki dadi loro (anakku satu sekarang menjadi dua).

Selanjutnya mereka dituntun ke krobongan, dimana ayah dari pengantin

perempuan menanti sambil duduk bersila, duduk di pangkuan sang ayah

sambil ditanya isterinya: Abot endi Pak ? (berat mana Pak ?), yang dijawab

sang suami: Pada dene (sama saja). Selesai tanya jawab, mereka berdiri, si

laki-laki duduk sebelah kanan dan si perempuan sebelah kiri, dimana si dukun

pengantin membawa masuk sehelai tikar kecil berisi harta (emas, intan,

berlian) dan uang pemberian pengantin laki-laki yang dituangkan ke tangan

pengantin perempuan yang telah memegang saputangan terbuka, dan

disaksikan oleh para tamu secara terbuka.

13. Upacara dahar kembul

Guna lambang kerukunan di dalam hidup, dilakukan suap-menyuap

makanan antara pengantin. Pasangan pengantin makan bersama dan

menyuapi satu sama lain. Pertama, pengantin laki-laki membuat tiga bulatan

kecil dari nasi dengan tangan kanannya dan di berinya ke pengantin wanita.

Setelah pengantin wanita memakannya, dia melakukan sama untuk suaminya.

Setelah mereka selesai, mereka minum teh manis. Upacara itu melukiskan

bahwa pasangan akan menggunakan dan menikmati hidup bahagia satu sama

lain. Bersamaan dengan ini, makanan untuk tamu diedarkan (sekarang dengan

cara prasmanan) berurutan satu persatu oleh pelayan.

68

14. Upacara sungkeman/ngabekten

Kedua mempelai bersujut kepada kedua orangtua untuk mohon doa restu

dari orangtua mereka masing-masing. Pertama ke orang tua pengantin

wanita, kemudian ke orangtua pengantin laki-laki. Selama Sungkeman sedang

berlangsung, Pemaes mengambil keris dari pengantin laki-laki. Setelah

Sungkeman, pengantin laki-laki memakai kembali kerisnya.

Setelah itu, dilakukan tilik nganten (kehadiran orang tua laki-laki ke

rumah/gedung setelah acara temu selesai yang langsung duduk dikrobongan

dan disembah kedua pengantin).

Lalu setelah itu dilakukan kata sambutan ucapan terima kasih kepada para

tamu dan mohon do’a restu, yang kemudian dilanjutkan dengan acara

hiburan berupa suara gending-gending dari gamelan, misalnya gending

ladrang wahana, lalu tayuban bagi jamannya yang senang acara itu, dan

sebagainya.

15. Pesta pernikahan

Setelah upacara pernikahan selesai, selanjutnya diakhiri dengan pesta

pernikahan. Menerima ucapan selamat dari para tamu dan undangan.

Mungkin ini bagian dari kebahagiaan ke dua mempelai dengan para tamu,

keluarga serta para undangan.

6. Upacara Kematian

Bagi orang Jawa yang masih tebal kejawaannya, orang meninggal selalu

didandani berpakaian lengkap dengan kerisnya (ini sulit diterima bagi orang

yang mendalam keislamannya), juga bandosa (alat pemikul mayat dari kayu)

yang digunakan secara permanen, lalu terbela (peti mayat yang dikubur

bersama-sama dengan mayatnya).

69

Sebelum mayat diberangkatkan ke alat pengangkut (mobil misalnya),

terlebih dahulu dilakukan brobosan (jalan sambil jongkok melewati bawah

mayat) dari keluarga tertua sampai dengan termuda.

1. Surtanah/Bedah Bumi

Upacara yang diselenggarakan setelah penguburan jenazah, bertujuan

untuk mendoakan keselamatan arwah, dihadiri oleh keluarga, saudara dekat,

tetangga, dan juga para ulama. Selain doa bersama biasanya juga disertai

ngaji bersama atau tahlilan. Tidak ada undangan khusus untuk acara ini, tapi

pada umumnya tetangga-tetangga yang hadir membawa bahan-bahan

makanan seperti beras, telur, sayuran, gula, kopi, atau uang, dan lain-lain;

yang bertujuan untuk meringankan beban keluarga yang berduka. Inti acara

ini hanya untuk mendoakan. Jadi tidak ada acara kenduri, kalau pun ada yang

disajikan adalah hidangan yang seadanya. Bisa juga keluarga yang sedang

kesusahan tetap menyiapkan besek berisi makanan untuk dibawa pulang

sebagai sodaqoh, meskipun hal ini tidak wajib.

2. Nelung Dina

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 3 hari kematian.

3. Mitung Dina

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 7 hari kematian.

4. Matang puluh Dina

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 40 hari kematian.

5. Nyatus

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 100 hari kematian.

70

6. Pendak Pisan

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 1 tahun kematian.

7. Pendak Loro

Acara selamatan yang dilaksanakan untuk mendoakan orang yang sudah

meninggal dunia setelah 2 tahun kematian.

8. Nyewu

Saat nyewu biasanya ditambah dengan memotong kambing untuk disate

dan gule. Nyewu dianggap slametan terakhir dengan nyawa/roh seseorang

yang wafat sejauh-jauhnya dan menurut kepercayaan, nyawa itu hanya akan

datang menjenguk keluarga pada setiap malam takbiran, dan rumah

dibersihkan agar nyawa nenek moyang atau orang tuanya yang telah

mendahului ke alam baka akan merasa senang melihat kehidupan

keturunannya bahagia dan teratur rapi. Itulah, mengapa orang Jawa begitu

giat memperbaiki dan membersihkan rumah menjelang hari Idul fitri yang

dalam bahasa Jawanya Bakdan atau Lebaran dari kata pokok bubar yang

berarti selesai berpuasanya.

UPACARA ADAT LAINNYA

Nyadran

Suatu prosesi yang berupa pemberian sesaji yang disediakan untuk tempat-

tempat tertentu yang dianggap keramat, bisa berupa pohon besar yang berusia

ratusan tahun, batu besar, sendhang (pusat mata air), dan makam sesepuh desa

di masa lampau. Biasanya prosesi ini melibatkan seluruh penduduk kampung

dengan membawa sesaji berupa makanan/jajanan tradisional dan diakhiri dengan

makan bersama. Pada malam harinya diadakan kesenian tradisional untuk

memeriahkan suasana seperti wayang kulit, tayub, atau reog. Tujuan upacara ini

71

adalah untuk meminta berkah/kesejahteraan masyarakat kampung tersebut

pada suatu tahun.

Munggah Wuwungan

Merupakan salah satu upacara adat yang diselenggarakan setelah kuda-

kuda selesai didirikan pada pembangunan suatu rumah. Upacara ini kadang-

kadang disebut juga mungah gendeng (menaikkan genting). Upacara ini

diselenggarakan pada waktu rangka atap rumah sudah jadi (genting belum

dipasang). Upacara ini sebenarnya adalah acara syukuran, karena pemilik merasa

senang rumah yang dibangun sudah mempunyai kerangka dan kuda-kuda yang

lengkap. Jadi sebentar lagi sudah bisa ditempati, dan tidak akan terkena hujan

dan panas. Puncak acaranya adalah kenduri, terutama untuk tukang-tukang yang

ikut membangun rumah dan tetangga-tetangga dekat rumah yang sedang

dibangun. Acara ditutup dengan doa yang dipimipin ulama. Biasanya kenduri

munggah wuwungan diselenggarakan setelah shalat dhuhur, jadi, selain untuk

makan siang tukang-tukang juga jama’ah dan ulama’ yang keluar dari musholla

atau masjid bisa langsung ikut dan pulangnya membawa tentengan besek.

Sesajen untuk wuwungan digantung pada salah satu kayu kuda-kuda. Yang

tidak digantung hanya bendera merah putih yang dipasang menggunakan galah

ukuran sedang, yang dapat kelihatan dari rumah tetangga-tetangganya. Adapun

sesajen yang harus disiapkan adalah setandan pisang, satu pohon tebu hitam,

padi secukupnya, kelapa satu buah, dan bendera.

Ruwatan

Ruwatan merupakan upacara adat yang bertujuan membebaskan

seseorang, komunitas, atau wilayah dari ancaman bahaya. Inti upacara ini

sebenarnya adalah do’a, memohon perlindungan kepada tuhan dari ancaman

72

bahaya seperti bencana alam, juga do’a memohon pengampunan, dosa-dosa dan

kesalahan yang telah dilakukan yang dapat menyebabkan bencana. Upacara ini

berasal dari ajaran budaya jawa kuno yang bersifat sinkretis yang sekarang

diadaptasikan dengan ajaran agama.

Ruwatan bermakna mengembalikan ke keadaan sebelumnya, maksudnya

keadaan sekarang yang kurang baik dikembalikan ke keadaan sebelumnya yang

baik. Makna lain ruwatan adalah membebaskan orang atau barang atau desa dari

ancaman bencana yang kemungkinan akan terjadi, jadi bisa dianggap upacara ini

sebenarnya untuk tolak bala’.

Upacara ini berasal dari cerita bathara kala, yaitu raksasa yang suka makan

manusia. Bathara kala adalah putra bathara guru atau cucu para dewa.jenis

manusia yang disukai bathara kala yaitu :

Orang yang akan mengalami penderitaan atau sukerta

Anak lahir tunggal yang dalam istilah jawa disebut ontang anting

Kembar sepasang

Urutan anak laki-laki, perempuan, laki-laki atau yang dalam istilah jawa

disebut sendang kapit pancuran

Dua anak laki laki seluruhnya yang dalam istilah jawa disebut uger uger

lawang

Lima orang anak laki-laki yang dalam istilah jawa disebut pondowo limo

Adapun sesaji yang disiapakan yaitu kain tujuh warna, beras kuning, jarum

kuning, dan bunga tujuh rupa. Untuk tolak bala’ bagi orang yang mengalami sial

harus menjalani siaman air suci dan menggunting rambut, rambut tersebut

dihanyutkan ke sungai untuk menuju laut.

73

KESENIAN TRADISIONAL JAWA

1. Seni Suara

a. Lagu Daerah

suwe ora jamu

gek kepiye

pitik tukung

padang bulan

suku-suku bathok

b. campursari

Campursari sebenarnya merupakan hasil perpaduan musik antara music Jawa

dan musik modern. Campursari mulai dikenal di akhir tahun ‘90-an.

c. Tembang

Seni budaya Nembang Macapat dan Kidungan merupakan laku budaya asli

masyarakat Jawa, jauh sebelum adanya pengaruh budaya dari India, Cina dan

Arab masuk ke Indonesia.

Waosan Macapat dan Kidungan biasanya dilaksanakan untuk mengiringi

kegiatan "tuguran" atau melekan wanci wengi pada saat warga sedang ada

suatu kegiatan antara lain : sepasaran atau selapanan bayi lahir, mendirikan

bangunan rumah.

Selain dapat digunakan juga untuk "njapani" anak-anak yang sedang

sakit, sebagai mantra ketika menghadapi berbagai situasi yang mengganggu

"kahanan" dan ketenteraman bebrayan, digunakan pula sebagai sarana

komunikasi untuk menyampaikan atau "medharake" berbagai "ngelmu".

74

Laku budaya nembang macapat dan kidungan terkandung filosofi bahwa

"Sejatinging Swara" itu milik Kang Murbeng Dumadi dan dimaksudkan untuk

"Memayu Hayuning Bawana".

Tembang Jawa bisa dianggap sebagai salah satu "karya budaya luhur",

sebab seluruh tembang Jawa mempunyai "Daya Pangaribawa" kepada para

pendengarnya. Dengan demikian kidungan dan waosan macapat bisa

dianggap sebagai ritual laku budaya secara lahiriah dan batiniah.

Suara dan irama tembang macapat mempunyai daya magis disesuaikan

dengan "watak dan pasemon" serta kegunaannya. Ada yang hanya digunakan

untuk "rengeng-rengeng" sebagai penenang hati, tetapi ada yang digunakan

untuk persembahan keindahan melalui suara kepada seluruh khalayak /

bebrayan, tidak hanya itu saja keindahan, suara dan irama Tembang Macapat

juga menciptakan suasana Religius yang ber-Ketuhanan dan Humanis yang

berkemanusiaan.

Jika dilihat dari segi tata bahasa macapat berarti “maca papat-papat”,

maksudnya membaca empat-empat. Untuk membacanya memang tersusun

atas tiap-tiap 4 suku kata. Tembang ini mulai ada pada akhir zaman Majapahit

dan masa permulaan Wali Sanga. Namun pendapat tersebut juga belum pasti,

karena belum ada tulisan otentik yang bisa memastikan.

Seperti halnya karya sastra lain, tembang macapat juga mempunyai

pedoman atau aturan-aturan, yaitu

Guru Gatra : jumlah baris pada setiap bait

Guru Wilangan : jumlah suku kata pada setiap baris

Guru Lagu : huruf vokal terakhir pada setiap barisnya

Sedangkan tembang macapat sendiri itu ada banyak macamnya. Tetapi

secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu :

75

1. Sekar Macapat / Sekar Alit

Sekar alit ini juga disebut tembang macapat asli yang umumnya digunakan

di banyak tempat. Urut-urutan sekar alit adalah

a. Mijil

Mijil artinya lair/metu (lahir/keluar). Dalam jajaran tembang macapat, mijil

umumnya diletakkan di depan. Setiap pada (bait), tembang ini memiliki 6

gatra (larik). Dengan guru wilangan dan guru lagu :

10 – i (10 suku kata, dengan vocal pada suku kata terakhir I dalam 1

baris)

6 – o

10 – e

10 – i

6 – i

6 – u

Contoh mijil :

Mijil ing donya siniwi ratri

Kabeh durung katon

Amung anjali soca ing tembé

Lelaku alon siniji-siji

Nunggu mring wartaning

Sesotya satuhu

b. Sinom

Sinom adalah nama daun pohon asam yang masih muda. Dalam macapat,

sinom memiliki sifat yang masih muda seperti halnya anak kecil yang baru

mengerti dunia. Tembang ini memiliki 9 (Sembilan) baris dengan guru

wilangan dan guru lagu :

8 – a

76

8 – i

8 – a

8 – i

7 – i

8 – u

7 – a

8 – i

12 – a

Contoh sinom :

Ing pojok wetan sang surya

Nyungging sinom dadi peni

Kagubet embun rumeksa

Dening Hyang Murbeng Dumadi

Raga jiniret ati

Seka perbawaning esuk

Manuksma suluk angga

Kang wang-sinawang mranani

Tibane prana sarwa sulih prasaja

Amenangi jaman édan

Éwuh aya ing pambudi

Milu édan nora tahan

Yèn tan milu anglakoni

Boya kaduman melik

Kaliren wekasanipun

Ndilalah karsa Allah

Begja-begjané kang lali

Luwih begja kang éling lawan waspada

77

c.Dhandhanggula

Dhandhanggula berisi pengharapan sesuatu yang baik. Dhandhang itu

berarti pengharapan, maka dari itu tembang yang menggunakan gaya

dhandhanggula juga berisi sesuatu yang manis seperti gula. Ada banyak

nasehat jawa kuno yang menggunakan jenis ini. Setiap bait ada sepuluh

gatra dengan atura guru wilangan dan guru lagu :

10 – i

10 – a

8 – e

7 – u

9 – i

7 – a

6 – u

8 – a

12 – i

7 – a

Contoh dhandhanggula :

Yogyanira kang para prajurit,

lamun bisa sira anuladha,

duk ing uni caritane,

andelira sang prabu,

Sasrabahu ing Maespati,

aran patih Suwanda,

lelabuhanipun,

kang ginelung tri prakara,

guna kaya purun ingkang den antepi,

nuhoni trah utama

78

d. Kinanthi

Kinanthi pada umumnya digunakan untuk menggambarkan rasa senang,

kecintaan, dan kebijaksanaan. Kinanthi dapat berarti bergandengan tangan

dan bisa juga nama salah satu jenis bunga. Ada juga yang menghubungkan

kinanthi dengan maskumambang. Jika maskumambang untuk laki-laki

dewasa, kinanthi untuk wanita dewasa. Setiap bait ada enam gatra dengan

atura guru wilangan dan guru lagu :

8 – u

8 – i

8 – a

8 – i

8 – a

8 - i

Contoh kinanthi :

Anoman mlumpat sampun

praptêng witing nagasari

mulat mangandhap katingal

wanodyâju kuru aking

gelung rusak awor kisma

ingkang iga-iga kêksi

e. Asmarandana

Tembang asmaradana umumnya dipakai untuk orang yang sedang jatuh

cinta. Jika dilihat dari sisi bahasa asmarandana diambila dari kata asmara

yang artinya cinta, dan dahana yang artinya api. Oleh karena itu isinya

menggambarka gelora cinta yang membara. Guru gatra tembang ini adalah

tujuh. Sedang aturan guru wilangan dan guru lagu adalah :

8 – a

79

8 – i

8 – e

8 – a

7 – a

8 – u

8 – a

Contoh asmarandana:

Gegaraning wong akrami

Dudu bandha dudu rupa

Amung ati pawitané

Luput pisan kena pisan

Lamun gampang luwih gampang

Lamun angèl, angèl kalangkung

Tan kena tinumbas arta

Aja turu soré kaki

Ana Déwa nganglang jagad

Nyangking bokor kencanané

Isine donga tetulak

Sandhang kelawan pangan

Yaiku bagéyanipun

wong welek sabar narima

f. Durma

Durma adalah salah satu tembang macapat yang mempunyai watak galak.

Ada kalanya juga tembang durma melukiskan keadaan seram yang

menakutkan. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru

wilangan dan guru lagu adalah :

12 – a

80

7 – i

6 – a

7 – a

8 – i

5 – a

7 – i

Contoh durma :

Kae manungsa golek upa angkara

Sesingidan mawuni

ngGawa bandha donya

mBuwang rasa agama

Nyingkiri sesanti ati

Tan wedi dosa

Tan eling bakal mati

g. Pangkur

Pangkur adalah salah satu tembang macapat yang mempunyai watak naik

ke tingkatan tinggi. Seumpama pelajaran maka pangkur merupakan ajaran

tingkat tinggi. Misalnya cinta merupakan cinta yang dalam. Dari tembang

ini maka kemudian banyak tembang yang menggunakan kata pangkur,

antara lain : pangkur janggleng, pangkur palaran, pangkur lombok, dan lain-

lain. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru wilangan dan

guru lagu adalah:

8 - a

11- i

8 - u

7 - a

12 - u

81

8 - a

8 - i

Contoh pangkur :

Sekar Pangkur kang winarna

lelabuhan kang kanggo wong aurip

ala lan becik puniku

prayoga kawruhana

adat waton puniku dipun kadulu

miwa ingkang tatakrama

den keesthi siyang ratri

h. Maskumambang

Maskumambang adalah tembang macapat yang menjadi perlambang

seorang laki-laki yang beranjak dewasa, diwaktu ketika seorang anak

menuju menjadi manusia seutuhnya di tengah kehidupan masyarakat. Kata

maskumambang secara bahasa berasal dari kata emas dan kumambang.

Ada yang menganggap bahwa maskumambang adalah tembang untuk

seorang laki-laki, dan untuk perempuan adalah kinanthi. Watak tembang ini

umumnya berisi tentang seorang yang sakit hati, sengsara dan terlantar.

Guru gatra tembang ini adalah empat. Sedang aturan guru wilangan dan

guru lagu adalah:

12-i

6 -a

8 -i

8 -a

Contoh maskumambang :

Gereng-gereng Gathotkaca sru anangis

Sambaté mlas arsa

82

Luhnya marawayan mili

Gung tinamêng astanira

i. Pucung

Pucung (kadang–kadang ditulis pocung) adalah tembang macapat yang

mengingatkan tentang kematian. Kata pucung disamakan dengan pocong.

Seperti perlambang kafan yang membungkus mayat, pucung dipakai untuk

mengingatkan manusia bahwa kehidupan dunia ini ada akhirnya.

Selain itu pucung juga mempunyai perwatakan lain. Pucung itu merupakan

nama salah satu biji buah – buahan. Kata cung juga menggambarkan rasa

segar yang mengingatkan tentang hal yang lucu seperti halnya pada waktu

zaman dikuncung. Tembang ini sering juga dipakai untuk melukiskan

kejenakaan seperti pantun atau tebak – tebakan.

Guru gatra tembang ini adalah empat. Sedang aturan guru wilangan dan

guru lagu adalah:

12 - u

6 - a

8 - i

12-a

Contoh pucung :

Ngelmu iku kelakone kanthi laku

Lekase lawan kas

Tegese kas nyantosani

setya budya pangekesing dur angkara

83

2. Sekar Madya / Sekar Tengahan

a. Jurudemung

Jurudemung termasuk salah satu tembang sekar madya. Watak tembang ini

biasanya centil dan biasanya dipakai untuk tembang awalan atau yang agak

erotis. Guru gatra tembang ini adalah tujuh. Sedang aturan guru wilangan

dan guru lagu adalah:

8 - a

8 - u

8 - u

8- a

8 - u

8 - a

8 – u

Contoh jurudemung :

ni ajeng mring gandhok wétan

wus panggih lan Rara Mendut

alon wijilé kang wuwus

hèh Mendut pamintanira

adhedhasar adol bungkus

wus katur sarta kalilan

déning jeng kyai Tumenggung

b. Wirangrong

Wirangrong termasuk tembang sekar madya. Wataknya adalah berwibawa.

Tembang ini biasanya dipakai untuk menembangkan hal-hal yang sifatnya

gagah. Guru gatra tembang ini adalah enam. Sedang aturan guru wilangan

dan guru lagu adalah:

8 - i

84

8 - o

10 - u

6 - i

7 – a

8 – a

Contoh wirangrong :

dèn samya marsudêng budi

wiwéka dipunwaspaos

aja-dumèh-dumèh bisa muwus

yèn tan pantes ugi

sanadyan mung sakecap

yèn tan pantes prenahira

c. Balabak

Balabak termasuk ke dalam tembang sekar madya yang memiliki watak

seenaknya dan asal jadi. Guru gatra tembang ini adalah enam. Sedang

aturan guru wilangan dan guru lagu adalah:

12 - i

3 - e

12 - a

3 - e

12 – a

3 – e

Contoh balabak :

byar rahina Kèn Rara wus maring sendhang

mamèt wé

turut marga nyambi reramban janganan

antuké

85

praptêng wisma wusing nyapu atetebah

jogané

d. Gambuh

Gambuh merupakan salah satu sekar madya yang penuh dengan nasehat.

Nasehat itu mengingatkan manusia supaya ingat dengan semua perbuatan

yang dilakukannya. Manusiadiingatkan bahwa setiap perbuatan yang

dilakukan mengandung suatu akibat. Guru gatra tembang ini adalah enam.

Sedang aturan guru wilangan dan guru lagu adalah :

7 - u

4 - u

6 - u

12 - i

8 – u

8 – o

Contoh gambuh :

Sekar gambuh ping catur

Kang cinatur

Polah kang kalantur

Tanpo tutur katulo-tulo katali

Kadaluwarso katutur

Katutuh pan dadi awon

e. Megatruh

Megatruh atau dudukwuluh termasuk salah satu tembang sekar madya,

mempunyai watak yang menggambarkan seseorang yang sakit hati karena

rindu. Guru gatra tembang ini adalah lima. Sedang aturan guru wilangan

dan guru lagu adalah:

12 - u

86

8 - i

8 – u

8 – i

8 – o

Contoh megatruh :

sigra milir kang gèthèk sinangga bajul

kawan dasa kang njagèni

ing ngarsa miwah ing pungkur

tanapi ing kanan kéring

kang gèthèk lampahnya alon

3. Sekar Ageng

Hanya terdapat satu tembang, yaitu Girisa. Girisa merupakan salah satu

tembang yang termasuk ke dalam sekar ageng. Wataknya sangat hati-hati.

Guru gatra tembang ini adalah lima. Sedang aturan guru wilangan dan guru

lagu adalah :

8 - a

8 - a

8 – a

8 – a

8 – a

8 – a

8 - a

8 – a

Contoh tembang ini adalah :

déné utamaning nata

bèr budi bawa leksana

87

liré bèr budi mangkana

lila legawa ing driya

agung dènya paring dana

anggeganjar saben dina

liré kang bawa leksana

anetepi pangandika.

2. Seni Pertunjukan

Jenis-jenis seni tradisional di Jawa umumnya dipengaruhi budaya Hindu,

Budha, Islam, Kejawen, dan lain-lain. Selain itu juga berkembang jenis-jenis

kesenian yang agak modern yang umumnya tebentuk dari kesenian

tradisional misalnya campursari, kenthongan, keroncong, kethoprak, dan lain-

lain.

Seni Tradhsional Jawa Tengah dan Yogyakarta

- Wayang

- Gamelan Jawa

- Jathilan

- Barongan

- Tayuban

- Tari Jawa

- Kethek Ogleng

Seni Tradisional Banyumas

- Wayang Kulit Gagrak Banyumasan

- Calung Banyumasan

- Lengger

- Ebeg

- Aksimuda

88

- Angguk

- Aplang/Daeng

- Begalan

- Bongkel

- Buncis

- Sintren

- Barzanji

Seni Tradisional Jawa Timur dan Madura

- Ludruk

- Reog

- Sandur

- Tandha'

- Pencak Sondah

- Pencak Tlangoh

- Barzanji

- Tunél

- Jaran Kepang

1. Tarian Jawa

Tarian merupakan bagian yang menyertai perkembangan pusat baru ini.

Ternyata pada masa kerajaan dulu tari mencapai tingkat estetis yang tinggi.

Jika dalam lingkungan rakyat tarian bersifat spontan dan sederhana, maka

dalam lingkungan istana tarian mempunyai standar, rumit, halus, dan

simbolis. Jika ditinjau dari aspek gerak, maka pengaruh tari India yang

terdapat pada tari-tarian istana Jawa terletak pada posisi tangan, dan di Bali

ditambah dengan gerak mata.

89

Tarian yang terkenal ciptaan para raja, khususnya di Jawa, adalah bentuk

teater tari seperti wayang wong dan bedhaya ketawang. Dua tarian ini

merupakan pusaka raja Jawa. Bedhaya Ketawang adalah tarian yang dicipta

oleh raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1646) dengan berlatarbelakang

mitos percintaan antara raja Mataram pertama (Panembahan Senopati)

dengan Kangjeng Ratu Kidul (penguasa laut selatan/Samudra Indonesia)

(Soedarsono, 1990). Tarian ini ditampilkan oleh sembilan penari wanita.

2. Ketoprak

Ketoprak termasuk salah satu jenis kesenian rakyat Jawa Tengah, begitu

juga bisa ditemukan di Jawa Timur. Ketoprak telah menyatu menjadi budaya

masyarakat Jawa Tengah dan dapat menyisihkan kesenian lainnya, seperti

Srandul, emprak, dan sejenisnya. Ketoprak mulanya dikenal dalam bentuk

permainan pria di desa yang sedang mengadakan lelipur sambil menabuh

lesung hingga irama pada waktu bulan pernama, disebut Gejog.

Selanjutnya ada tambahan gendang, terbang dan seruling, maka sejak iu

disebut ketoprak Lesung. Kira-kira terjadi pada tahun 1887. Selanjutnya pada

tahun 1909 mulanya diadakan pagelaran ketoprak sampai selesai dan

lengkap.

Pagelaran ketoprak yang resmi pada mulanya di masyarakat adalah

ketoprak wreksotomo yang diprakarsai oleh Ki Wisangkoro. Cerita yang

ditampilkan adalah : Warso-Warsi, Kendono-Gendini, Darmo - Darmi dan lain

sebagainya.

setelah itu pagelaran ketoprak yang maki lama semakin bagus dan menjadi

kegemarannya masyarakat terutama di Yogyakarta. Setelah itu meluas ke

berbagai daerah yang dilengkapi dengan gamelan dan cerita-cerita yang baru..

90

3. WAYANG

Wayang adalah pertunjukan dengan menggunakan boneka yang umumnya

terlihat indah dan dikendalikan oleh dhalang dengan iringan gamelan. Boneka

tersebut bisa berwujud 2 dimensi atau 3 dimensi. Umumnya yang berwujud 2

dimensi terbuat dari kulit sapi atau kambing. Dan yang berwujud 3 dimensi

biasanya dibuat dari kayu yang dipakaikan baju dari kain beraneka warna

sesuai dengan karate dasar wayang tersebut. Tetapi di daerah-daerah

tertentu juga ada yan membuat wayang dari rumput dan kardus tapi wayang

jenis ini tidak begitu banyak ditemukan. Cerita yang dikisahkan diambil dari

epos Mahabarata dan Ramayana yang juga disebut wayang Purwa. Ada juga

yang meggambarkan cerita-cerita 1001 malam dari tanah Arab. Wayang

seperti ini disebut wayang Menak. Pertunjuka ini terkenal di tanah jawa.

Dalam pertunjukan itu, wayang ditancapkan pada pelepah pohon pisang di

sebelah kiri dan kanan dhalang. Sedangkan pertunjukannya sendiri dilakukan

di bagian tengah. Pertunjukan digelar sehari-semalam.

Wayang merupakan bentuk konsep berkesenian yang kaya akan cerita

falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat jawa hinggga

kini. Disaat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo

(sekarang Surakarta) membawa perkembangan juga dalam seni pewayangan.

Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh

utamanya Ki Dalang yang berceritera, adalah suatu bentuk seni gabungan

antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh

wayangnya yang diiringi dengan gending/irama gamelan, diwarnai dialog

(antawacana), menyajikan lakon dan pitutur/petunjuk hidup manusia dalam

falsafah.

Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang

Kulit Purwa, dilatar-belakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya

91

dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga

pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran

Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri

manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam

suntuk.

Semasa Sri Susuhunan X di Solo seni Pakeliran berkembang medianya

setelah didirikan tempat pementasan Wayang Orang, yaitu di Sriwedari yang

merupakan bentuk pewayangan panggung dengan pemainnya terdiri dari

orang-orang yang memerankan tokoh-tokoh wayang. Baik cerita maupun

dialognya dilakukan oleh masing-masing pemain itu sendiri. Pagelaran ini

diselenggarakan rutin setiap malam. Bentuk variasi wayang lainnya yaitu

wayang Golek yang wayangnya terdiri dari boneka kayu.

Seniman keturunan Cina yang berada di Solo juga kadang menggelar

wayang golek cina yang disebut Wayang Potehi. Dengan cerita dari negeri

Cina serta iringan musiknya khas cina.

Ada juga Wayang Beber yang dalam bentuknya merupakan lembaran kain

yang dilukis dan diceritakan oleh sang Dalang, yang ceritanya berkisar

mengenai Keraton Kediri, Ngurawan, Singasari (lakon Panji).

Wayang Klitik adalah jenis pewayangan yang media tokohnya terbuat dari

kayu, ceritanya diambil dari babat Majapahit akhir (cerita Dhamarwulan).

Dulu terkadang "wong Solo" memanfaatkan waktu senggangnya membuat

wayang dari rumput, disebut Wayang Rumput

Orang jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa hidup dan

berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari dan

menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Selain sebagai alat komunikasi

yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang jawa

92

merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang jawa mengenai

hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dilaog dialur cerita yang ditampilkan.

Dalam wayang seolah-olah orang jawa tidak hanya berhadapan dengan

teori-teori umum tentang manusia, melainkan model-model hidup dan

kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni

pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman

sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tetentu.

Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang

tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap

pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan

manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta

hubungan manusia dengan manusia lain.

Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan

upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah,

sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai

hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil

"Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita

Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa Kala/Ruwatan"

Wayang itu tidak hanya tersebar di Jawa saja, tetapi juga di daerah lain di

Nusantara. Pertunjukan wayang sudah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7

November 2003 sebagai karya kebudayaan yang merupakan karya

kebudayaan yang bernilai tinggi dalam hal cerita dongeng dan warisan yang

sangat berharga.

Sejarah Wayang

Para ahli belum ada yang dapat memastikan kapan wayang pertama kali

mulai ada di Indonesia. Namun apabila melihat dari bukti prasasti dan

93

peninggalan jaman dahulu, wayang kira-kira telah ada sebelum masuknya

agama Hindu. Ketika itu cerita wayang belum menggunakan cerita-cerita yang

diambil dari India. Pergelaran ini dulu dipakai sebagai sarana untuk

menyembah/menghormati arwah leluhur. Sementara tulisan sastra jaman

Mataram Baru banyak yang menulis tentang sejarah wayang. Namun para ahli

sejarah tidak setuju terhadap apa yang ditulis dalam karya sastra tersebut

karena tidak cocok dengan catatan dan peninggalan sejarah yang telah ada.

Prasasti paling kuno dari abad ke-4 masehi. Dalam prasasti tersebut

tertulis kata “mawayang” untuk pergelaran pahargyan sima atau bumi

perdhikan. Keterangan yang lebih jelas terdapat pada prasasti Balitung, kira-

kira tahun 907 masehi. Di situ tertulis “si galigi mawayang bwat Hyang

macarita bimma ya kumara." Yang artinya kira-kira : “si Galigi ndhalang untuk

Hyang dengan jalan cerita Bimma Sang Kumara.”

Agama Hindu yang masuk ke Nusantara membuat sendiri cerita wayang

yang berbeda dari aslinya. Cerita Ramayana dan Mahabarata mulai dipakai

untuk dakwah agama. Pada kekuasaan Raja Dharmawangsa Teguh (991 –

1016), banyak cerita dari India dan dibuat cerita/gagrag Jawanya. Wayang

mulai menyebar kemana-mana ketika masa pemerintahan kerajaan majapahit

menguasai nusantara.

Cerita-cerita yang aslinya dari India tersebut akhir ceritanya sudah

berbeda dari aslinya. Para Sastrawan jawa membuat cerita sendiri untuk

melengkapi cerita yang sudah ada. Dalam istilah Pedhalangan, cerita ini

disebut lakon carangan.

Ketika jaman Islam masuk ke indonesia, Walisanga juga menggunakan

wayang sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. Pada jaman ini,

mulai ada Wayang Menak. Semakin banyak gagrak-gagrak baru untuk

menggoncang kedudukan kerajaan Mataram Baru. Belanda yang berkuasa

94

kala itu membuat keraton Surakarta menciptakan banyak cerita wayang untuk

menenangkan hati. Indonesia merdeka juga menyumbang banyak gagrak

wayang yang beraneka warna. Beraneka warna wayang tadi ada yang masih

tetap hidup hingga jaman sekarang, namun ada juga yang hanya hidup pada

jamannya.wayang yang paling banyak dipakai adalah wayang kulit purwa.

Sebutan Wayang

Wayang berasal dari kata pewayangan, karena pertunjukannya dilakukan

pada malam hari dan menggunakan lampu. Namun keterangan ini sudah tidak

tepat lagi. Wayang jaman sekarang tidak harus berarti boneka yang ada

bayangannya. Wayag golek yang dibuat dari kayu tidak menunjukan

bayangan. Kata wayang jaman sekarang berarti pertunjukan boneka yang

digelar oleh dhalang. Pada umumnya sebutan wayang ditujukan untuk

Wayang Kulit Purwa. Wayang ini dibuat dari kulit hewan yang dipahatsesuai

dengan lakon cerita dari Mahabarata dan Ramayana.

Aneka Jenis Wayang

Wayang di Jawa

Wayang Beber

Wayang Kulit

Wayang Klithik

Wayang Golek

Wayang Gedhog

Wayang Menak

Wayang Kancil

Wayang Wahyu

Wayang Pancasila

Wayang Sejati

95

Wayang Jemblung

Wayang Wong

Wayang Sandosa

Wayang Ukur

Wayang Jawa

Wayang Topeng

Wayang Potehi

Wayang Revolusi

Wayang di daerah lain

Wayang Betawi

Wayang Sundha

Wayang Palembang

Wayang Banjar

Wayang Bali

Wayang Sasak

Mahabarata, cerita ini dianggap memiliki nilai religius di negeri asalnya.

India. Kisah kemanusiaan yang disajikan sedemikian luar biasa sehingga

kadangkala sulit membayangkan bahwa karya sehebat ini adalah hasil karya

manusia. Tokoh India Modern Mahatma Gandhi mengatakan bahwa

ramayana sudah merupakan bekal yang cukup bagi para pemuda India untuk

menjalani kehidupan. Karena didalamnya terkandung ajaran yang lengkap

mulai dari estetika, sosiologi, politik hingga seksualitas.

Pandawa, Tokoh protagonis kebaikan pada Mahabarata, mereka terdiri

dari saudara kandung Yudistira, Arjuna, Bima, Nakula dan Sadewa. Mereka

putra dari Raja Pandu, Hastinapura.

96

Kurawa, Tokoh Antagonis. Kejahatan sangat terlihat pada jiwa para

kurawa. Mereka terlahir dari rahim Ratu Gandari dan Raja Destarata. Kurawa

terdiri dari 100 anak. Yang mana anak tertuanya bernama Duryudana.

Asal Usul kisah MAHABARATA Prabu Pandu Dewanata mempunyai dua

orang isteri yaitu Dewi Kuntitalibrata dengan Dewi Madrim. Prabu Pandu

adalah putra Raden Abiyasa raja dari Astina, sedangkan Dewi Kuntitalibrata

adalah putri dari Prabu Kuntibojo raja Mandura, dan Dewi Madrim adalah

putri dari Prabu Mandrapati raja Mandraka. Dari perkawinan Pandu dengan

Kunti menghasilkan 3 putra yaitu: Puntadewa, Bratasena dan Arjuna,

sedangkan dari perkawinannya dengan Madrim menghasilkan 2 putra, yaitu:

Nakula dan Sadewa, yang dilahirkan kembar. Tetapi kedua anak kembar ini

mulai kecil diasuh oleh ibu Kunti karena ditinggal mati ayah dan ibunya

(Madrim). Ketika mengasuh anak Kunti tidak pernah membedakan antara satu

dengan lainnya, atau antara anak tiri dengan anak kandung yang dididik

dengan cinta kasih seorang ibu sampai menjadi dewasa. Kunti adalah

pencerminan seorang IBU yang patut diteladani.

Kelima anak Prabu Pandu itulah yang disebut dengan PANDAWA

PUNTADEWA. adalah raja negara Amarta atau Indrapasta. Setelah perang

Baratayuda Puntadewa menjadi raja Astina yang bergelar Prabu Kalimataya.

Nama lain yang dipakai adalah: Darmawangsa, Darmakusuma, Kantakapura,

Gunatalikrama, Yudistira, Sami Aji (sebutan dari Prabu Kresna). Sifatnya: jujur,

sabar, hatinya suci, berbudi luhur, suka menolong sesama, mencintai orang

tua serta melindungi saudara-saudaranya. Pusakanya bernama: Jamus

Kalimasada, yang mempunyai kekuatan sebagai perlindungan dan petunjuk

pada kebenaran serta kesejahteraan. Mempunyai dua isteri yaitu: Dewi

Drupadi dan Dwi Kuntulwilaten. BRATASENA. Setelah dewasa bernama

Werkudara. adalah ksatria Jodipati dan Tunggulpamenang. Pernah menjadi

97

raja di Gilingwesi, dengan gelar Prabu Tuguwasesa. Nama lain yang dipakai

adalah: Bima, Bayuseta, Dandun Wacana, Kusuma Waligita. Sifatnya: jujur,

tidak sombong, jiwanya suci, sangat patuh kepada guru-gurunya (terutama

dengan Dewa Ruci), mencintai ibunya serta menjaga saudara-saudaranya. Bila

berperang semboyannya adalah menang, bila kalah berarti mati. Bratasena

adalah merupakan suri tauladan kehidupan dengan sifat yang jujur dan

jiwanya suci. Pusakanya adalah: Kuku Pancanaka di tangan kanan dan kiri

sangat ampuh, sangat kuat dan tajam. Selain kuku pancanaka Werkudara juga

mempunyai kekuatan angin (lima kekuatan angin), serta dapat membongkar

gunung. Mempunyai tiga permaisuri yaitu: Arimbi, Urangayu dan Nagagini.

Dengan Arimbi mendapatkan putra bernama Gatotkaca, yang dapat terbang

tanpa sayap. Dari perkawinannya dengan Urangayu memperoleh putera

bernama Antareja yang bisa menguasai samudera sedangkan dari Nagagini

memperoleh putra bernama Antasena yang dapat masuk ke dalam bumi.

Bratasena pada waktu lahir dalam keadaan bungkus. Yang menyobek bungkus

tersebut adalah Gajah Situ Seno. Pada waktu itu Gajah Situ Seno masuk ke

dalam tubuh Bratasena, sehingga mempunyai kekuatan luar biasa dan bisa

menyobek bungkus tersebut. ARJUNA. adalah ksatria Madukara, juga menjadi

raja di Tinjomoya. Nama lain yang dipakai sangat banyak, antara lain: Janaka,

Parta, Panduputra, Kumbawali, Margana, Kuntadi, Indratanaya, Prabu Kariti,

Palgunadi, Dananjaya. Sifatnya: Suka menolong sesama, gemar bertapa,

cerdik dan pandai, ahli dibidang kebudayaan dan kesenian. Arjuna adalah

ksatria yang sakti mandraguna, kekasih para Dewa, ia adalah titisan Dewa

Wisnu. Istri Arjuna banyak sekali, ia dijuluki lelananging jagad, parasnya

sangat tampan dan tidak ada tandingannya. Permaisurinya di arcapada adalah

Wara Sumbadra dan Wara Srikandi. Selain itu masih banyak lagi istri-istrinya

antara lain: Rarasati, Sulastri, Gandawati, Ulupi, Maeswara, dll. Permaisuri di

98

kahyangan antara lain Dewi Supraba, Dewi Dersanala pada bidadari di

Tinjomaya. Arjuna berjiwa ksatria, berjiwa luhur, suka menolong, serta

kesayangan para Dewa. Tetapi ada kelemahan yang tidak boleh diteladani dan

ditrapkan pada jaman sekarang yaitu beristri banyak. Namun ada penafsiran

lain yang mengatakan bahwa tindakan poligami ini merupakan simbol bahwa

Arjuna telah berhasil dalam menuntut suatu ilmu (simbol penyatuan ilmu ke

dalam diri). NAKULA. adalah anak ke empat Prabu Pandu Dewanata dengan

Dewi Madrim yang lahir kembar dengan Sadewa. Ayah dan ibunya (Madrim)

meninggal pada waktu si kembar masih kecil, oleh karena itu sejak kecil

mereka diasuh oleh ibu Kunti dengan tidak membedakan antara satu dengan

lainnya. Setelah perang Bratajuda Nakula dan Sadewa menjadi raja di

Mandraka dengan Sadewa. Nama lain adalah Raden Pinten. Nakula adalah

ahli dalam bidang Pertanian. Pada waktu perang Baratayuda, Nakula dan

Sadewa yang bisa meluluhkan hati Prabu Salya (dari pi- hak Kurawa). Sebab

Prabu Salya adalah saudara Dewi Madrim, selain itu sebenarnya dalam

hatinya memihak pada kebenaran yaitu Pandawa. Akhirnya Prabu Salya

memberitahukan kepada Nakula dan Sadewa bahwa yang bisa

mengalahkannya hanyalah Puntadewa, karena Puntadewa berdarah putih.

SADEWA. adalah anak kelima Prabu Pandu dengan Madrim, dilahirkan

kembar dengan Nakula. Setelah perang Baratayuda Sadewa menjadi raja

dengan Nakula di Mandraka. Nama kecil Sadewa adalah Raden Tangsen.

Sadewa adalah ahli dalam bidang peternakan. Ia kawin dengan Endang

Sadarmi, anak Bagawan Tembangpetra dari Pertapaan Parangalas, dan

mempunyai putra bernama Sabekti.

Dengan adanya sifat-sifat Pandawa yang seperti tersebut diatas maka

dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Pandawa, kerajaan Amarta menjadi

kerajaan yang kuat, aman, adil dan makmur. Hal ini dapat dibuktikan selain

99

dengan sifat-sifat mereka yang jujur, membela kebenaran dan sebagainya,

juga berkat kemampuan disegala bidang. Puntadewa adalah ahli dalam bidang

kerohanian, ahli dalam hal bertapa, ia berdarah putih, tokoh ini

mementingkan perdamaian, persatuan, kesejahteraan bersama. Werkudara

adalah tokoh yang menguasai keamanan, kekuatannya tidak tertanding,

apalagi dengan kehadiran ketiga putranya dimana mereka menguasai

keamanan samodra (laut), udara dan darat. Arjuna adalah tokoh yang sakti,

pemanah yang ulung, suka menolong sesama, rasa kemanusiaannya tinggi,

tutur katanya lembut, ahli dalam bidang kebudayaan dan kesenian, ahli dalam

bidang bertapa. Si Kembar Nakula dan Sadewa adalah tokoh yang

mencerminkan tingkah laku untuk mencapai kesejahteraan/kemakmuran

hidup, karena Nakula adalah ahli dan tekun dalam bidang pertanian,

sedangkan Sadewa ahli dan tekun dalam bidang peternakan. Sebenarnya

Pandawa masih mempunyai saudara tua yang bernama Adipati Karna, semasa

kecil dinamakan Suryatmaja. Suryatmaja adalah putra Dewi Kunti dengan

Dewa Surya sebelum menikah dengan Pandu. Ini disebabkan adanya

perbuatan serong Dewa Surya yang mengakibatkan Kunti menjadi hamil.

Akhirnya Dewa Surya bertanggung jawab atas perbuatannya itu dengan cara,

pada waktu melahirkan, bayi tersebut keluar lewat telinga (karna = telinga),

dengan demikian maka Kunti dianggap masih suci/perawan. Bayi yang diberi

nama Suryatmaja kemudian dilarung (dihanyutkan) disungai Yamuna yang

kemudian diketemukan oleh Prabu Radeya di Petapralaya (dibawah

kekuasaan Astina). Karena merasa dibesarkan dan mukti wibawa di Astina,

maka pada waktu perang Baratayuda Adipati Karna berjuang dengan gagah

berani untuk membela negaranya. Ia menjadi senapati perang di pihak Astina,

tetapi akhirnya Karna gugur oleh adiknya sendiri yaitu Arjuna. Adipati Karna

adalah suri tauladan sebagai pahlawan yang gigih membela negara, meskipun

100

rajanya (Astina) dipihak yang salah tetapi bagaimanapun juga negaranya

harus dibela dari kehancuran, yang dibuktikan sampai titik darah

penghabisan.

Sejarah Kurawa dan Pandawa secara lengkap, yang kemudian dilanjutkan

terjadinya perang Baratayudha antara kedua pihak, sampai perang itu usai

dan muncul Parikesit, raja baru. Parikesit merupakan putera dari Raden

Abimanyu, sang putera Arjuna.

Lakon Wayang

Wayang Purwa

Crita Menak

Crita Panji

Babad Tanah Jawa

Gagrag di tanah Jawa

Pertunjukan wayang yang tersebar di tanah Jawa terdapat variasi yang

beraneka warna. Variasi/jenis itu yang sering disebut Gagrag. Gagrag wayang

di tanah Jawa antara lain :

Wayang Kulit Gagrag Ngayogjakarta

Wayang Kulit Gagrag Surakarta

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Wayang Kulit Gagrag Cirebon

Wayang Kulit Gagrag Jawa Wetan

Wayang Kulit Gagrag Madura

Khusus Wayang Purwa

Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya

wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang

wahono dan sebagainya. Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun

101

yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara

menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang

dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk

wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang

tetapi bayangan dari wayangan tersebut.

Perkembangan jaman dan budaya manusia selalu berkembang wayang

ikut pula dipengaruhi bentuk wayangpun berubah, misalnya, bentuk mata

wayang seperti bentuk mata manusia, tangan berkabung menjadi satu dengan

badannya. Hal ini dipandang kurang enak maka tangan wayang dipisah, untuk

selanjutnya diberi pewarna.

Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan

Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga

menjadi lebih indah bentuknya. Langkah penyempurnaan di jaman Sultan

Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman

Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga

tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang

dirasa pas dihati pemiliknya.

Pengaturan wayang

Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama trgantung kepada pemiliknya.

Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya

hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang

yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang

diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan.

Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.

102

SIMPINGAN KIRI

1.Buto raton (Kumbakarno)

2.Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra)

3.Rahwana dengan beberapa wanda

4.Wayang Bapang (ratu sabrang)

5.Wayang Boma (Bomanarakasura)

6.Indarajit

7. Trisirah

8.Trinetra dan sejenisnya

9.Prabu Baladewa dengan beberapa wanda

9.Raden Kakrasana

10.Prabu Salya

11.Prabu Matswapati

12.Prabu Duryudana

13.Prabu Salya

14.Prabu Salya

15.Prabu Matswapati

16.Prabu Duryudana

17.Raden Setyaki

18.Raden Samba

20.Raden Narayana

Keterangan :

Pada contoh diatas hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama

tokoh yang tidak kami cantumkan.

* Wayang Eblekan : Yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak

ikut disimping. Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan

(hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-

lain.

* Wayang dudahan : Yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang.

Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang

yang akan digunakan didalam pakeliran.

SIMPINGAN KANAN

Dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang

yang disimping adalah sebagai berikut :

1. Prabu Tuguwasesa (Tuhuwasesa)

103

2. Werkudara dari beberapa macam wanda

3. Bratasena dari beberapa macam wanda

4. Rama Parasu

5. Gatotkaca dari beberapa macam wanda

6. Ontareja

7. Anoman dari beberapa macam wanda

8. Kresna dari beberapa macam wanda

9. Prabu Rama

10. Prabu Arjuna Sasra

11. Pandhu

12. Arjuna

13. Abimanyu

14. Palasara

15. Sekutrem

16. Wayang Putran

17. Bati

Keterangan :

Wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas.

Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang

putren.

Simpingan sebelah kiri terdiri atas:

1.Buta raton

2.Wayang buta enom (raksasa muda)

3.Wayang boma

4.Wayang Sasra

5.Wayang Satria

104

Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut

dibawah ini :

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya,

Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira,

Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang

Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun

Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala

Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun

Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu,

Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,

Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang

Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba

Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra

Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi

Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak,

Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana

Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra

Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).

Pakem Ringgit Wacucal:

Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah,

Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa,

Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma

Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel

Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang

105

Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar,

Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,

Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,

Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu

Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak,

Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang

Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa:

Lakon-lakon: Angruna-Angruni, Mikukuhan, Begawan Respati, Watugunung,

Wisnupati, Prabu Namintaya, Nagatatmala, Sri Sadana, Parikenan, Bambang

Sakutrem, Bambang Sakri, Bagawan Palasara, Kilatbuwana, Narasoma,

Basudewa Rabi, Gandamana Sakit, Rabinipun Harya Prabu Kaliyan Ugrasena,

Bima Bungkus, Rabinipun Ramawidura, Lisah Tala, Obong-obongan

Pasanggrahan Balesegala, Bambang Kumbayana, Jagal Bilawa, Babad

Wanamarta, Kangsa Pragat, Semar Jantur, Jaladara Rabi, Alap-alapan

Surtikanthi, Clakutana, Suyudana Rabi, Jayadrata Rabi, Pandhawa Dulit,

Gandamana, Kresna Sekar, Alap-alapan Secaboma, Kuntul Wilanten,

Partakrama, Gathutkaca Lair, Setija, Bangun Taman Maerakaca dan Wader

Bang (43 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Sembadra Edan, Sembadra Larung, Arjuna Besus, Sukma

Ngembaraning Sembadra, Peksi Gadarata, Wrekudara Dados Gajah, Cekel

Endralaya, Manonbawa, Surga Bandhang, Bangbang Kembar, Bangbang

Danuasmara, Palgunadi, Bimasuci, Loncongan, Wrekudara Dipun Lamar,

Yuyutsuh, Samba Rajah, Sunggen Wilmuka, Lobaningrat, Anggamaya,

Brajadenta Balik, Tapel Sewu, Dewakusuma, Sunggen Gathutkaca, Sugata,

Tuguwasesa, Lambangkara, Semar Minta Bagus, Retna Sengaja, Prabu

106

Pathakol, Jayamurcita, Karna Wiguna, Bangbang Supena, Pandhawa Gupak,

Gugahan Kresna, Srikandhi Manguru Manah, Kresna Malang Dewa, Bangbang

Sinom Prajangga Murca Lalana dan Pandha Widada (42 wayang lakon).

Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:

Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya,

Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira,

Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang

Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun

Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala

Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun

Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu,

Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem,

Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang

Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba

Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra

Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi

Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak,

Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana

Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra

Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).

Pakem Ringgit Wacucal:

Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah,

Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa,

Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).

Pakem Wayang Purwa I:

Lakon-lakon: Angruna Angruni, Bambang Srigati, Bathara Sambodana Rabi,

Hendrasena, Ramaparasu, Setyaki Rabi, Bagawan Sumong, Doradresana

107

Makingkin, Tuhuwisesa, Sridenta, Bratadewa, Jayawisesa, Janaka Kembar,

Jayasuparta, Endhang Madyasari, Sekar Widabrata, Samba Rabi, Partajumena

Rabi, Calunthang dan Carapang.

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan, adalah pertunjukan wayang dengan nafas

Banyumasan. Di Negara ini ada 2 gagrag, yaitu gagrag kidul gunung dan

gagrag lor gunung. Wayang kulit gagrak Banyumasan tersebut sangat kental

dengan suasana kerakyatan dalam pertunjukannya. Umumnya ceritanya tidak

jauh berbeda dengan daerah lain di Jawa. Perbedaan yang paling mencolok

yaitu pada peraga Bawor. Bawor itu seperti Bagong, badannya gendut,

pendek, dan lucu. Kalau Bagong itu putra bungsu Semar, maka Bawor itu

adalah anak sulungnya. Dhalang-dhalang yang mempertunjukkan gagrag ini

antara lain adalah Ki Sugito Purbacarita, Ki Sugino Siswacarita, dan Ki

Suwarjana.

4. Aksimuda adalah kesenian bernafas Islam yang tersaji dalam bentuk atraksi

Pencak Silat yang digabung dengan tari-tarian.

5. Angguk yaitu kesenian bernafaskan Islam yang tersaji dalam bentuk tari-

tarian. Dilakukan oleh delapan orang pemain, & pada bagian akhir

pertunjukkan para pemain Intrance / Mendem.

6. Buncis, yaitu perpaduan antara seni musik & seni tari yang disajikan oleh

delapan orang pemain. Dalam pertunjukkannya diiringi dengan perangkat

musik Angklung. Para pemain buncis selain menjadi penari juga menjadi

108

pemusik & vokalis. Pada bagian akhir sajian para pemain Buncis Intrance atau

mendem.

7. Begalan, adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai yang

digunakan sebagai sarana upacara pernikahan, propertinya berupa alat-alat

dapur yang masing-masing memiliki makna-makna simbolis yang berisi

falsafah jawa & berguna bagi kedua mempelai dalam mengarungi hidup

berumah tangga.

8. Calung Banyumasan, termasuk kesenian tradisional asli Banyumas. Selain

menggunakan alat pukul yang terbuat dari bamboo biasanya ditambah suara

mulut yang menabuhnya.

9. Ebeg merupakan salah satu tari tradisional khas Banyumas yang

menggunakan ebeg' atau jaran kepang. Kesenian ini menggambarkan

kegagahan prajurit pasukan berkuda hingga semua atraksinya. Pada

umumnya, dalam pergelaran ebeg terdapat atraksi barongan, penthul, dan

cepet. Pergelaran ebeg diiringi dengan gamelan yang disebut bendhe.

10. Kesenian Lengger sebenarnya masih kerabat dengan tayub dan gandrung,

namun kesenian ini lebih terkenal di wilayah Banyumas. Tarian ini biasanya

digelar dalam acara-acara seperti pernikahan, tujuhbelasan, dan acara-acara

masal lainnya. Namun bedanya dengan seni sarupa, lengger diiringi dengan

Calung Banyumasan yang terbuat dari bambu. Kesenian ini umunya disajikan

oleh dua orang wanita atau lebih. Pada pertengahan pertunjukkan hadir

seorang penari pria yang lazim disebut badhud, Lengger disajikan diatas

109

panggung pada malam hari atau siang hari , dan diiringi olah perangkat musik

calung.

11. Ludruk merupakan seni pertunjukan tang berasal dari Jawa Timur. Pada

mulanya, ludruk muncul dari kesenian rakyat bernama besutan, seni besutan

tersebut dipentaskan di rattan ditonton oleh banyak orang. Ludruk tersebar di

wilayah Jawa Timur, yang merupakan budaya arekan, dari Jombang hingga

Jember.

Isi cerita

Ludruk berbeda dengan kethoprak, karena Ludruk cerita tentang perkara

kehidupan sehari-hari dan terkadang juga menceritakan tentang keadaan

terbaru yang terjadi di msyarakat. Biasanya ludruk dibuka dengan tandhakan

seperti tari ngremo , atau beskalan putri untuk ludruk gaya Malangan.

Pembukaan ludruk biasanya dalam bentuk parikan (menyanyi/ngidung) yang

isinya terdapat perkara kehidupan sehari-hari dan keadaan terbaru yang

terjadi.

Basa ludruk

Dialog dalam ludruk biasanya menggunakan dialek Surabaya, sedangkan

ludruk di wailayah Prabalingga, Lumajang dan Jember menggunakan bahasa

Madura. Salah satu protagonis ludruk yang terkenal yaitu pak Sakera, jagoan

orang Madura.

12. Réyog adalah salah satu kesenian rakyat yang berasal dari jawa timur

bagian barat-selatan yaitu sekitar Kab. Ponorogo. Di daerah ini banyak

masyarakatnya yang masih pecaya dengan hal-hal yang mistis dan aliran

kejawen masih sangat kuat. Reyog masih ada hubungannya dengan hal-hal

yang magis warisan para leluhur.

110

Pamentasan seni réyog

Réyog modern biasanya dipentaskan pada saat perisiwa-peristiwa penting

seperti ritus-ritus passage, contohnya pada saat upacara perkawinan,

khitanan dan hari-hai besar nasional

Seni reyog Ponorogo disusun dari dua sampai tiga tarian pembuka. Tarian

pertama dipentaskan oleh 6 sampai 8 pria yang gagah dan berani yang

berbaju hitam dan wajahnya diolesi warna merah. Para pria tersebut

melambangkan singa yang pemberani. Setelah itu ada tarian yang

dipentaskan oleh wanita 6 sampai 8 yang naik kuda (kuda lumping). Pada

reyog tradisional, para penari diperankan oleh pria-pria yang memakai

pakaian wanita. Tarian tersebut dinamakan tayuban jaran képangan. Tarian

pembuka lainnya ada juga yang diperankan oleh anak-anak yang beradegan

lucu. Setelah tarian pembuka selesai selanjutnya akn ditampilkan adegan inti

yang isinya tergantung dengan orang yang mementaskan seni reyog tersebut.

Kalau perkawinan menggunakan adegan asmara, kalau khitanan

mementaskan adegan laga. Adegan reyog tidak menggunakan scenario yang

rapi. Yang paling utama dalam pertunjukan reyog adalah membuat penonton

merasa puas.

Adegan yang terakhir adalah tarian singo barong. Para penari

menggunakan topeng kepala singa yang dihiasi oleh bulu-bulu merak. Topeng

tersebut beratnya bisa mencapai 60 kg. yang membawa topeng ini harus pria

yang kuat dan dipercaya. Biasanya pria tersebut latihan spiritual seperti puasa

dan bertapa.

111

PRODUK FISIK BUDAYA

1. GAMELAN

Gamelan merupakan salah satu seni musik tradisional khas jawa yang hidup di

daerah jawa tengah, yogyakarta, dan sebagian jawa timur. Musik gamelan jawa

ini berbeda dengan musik gamelan dari daerah lainnya, musik gamelan jawa

umumnya mempunyai nada yang lebih lembut dan tempo yang lebih lambat,

berbeda dengan gamelan bali yang mempunyai tempo cepat dan gamelan sunda

yang iramanya mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.

Notasi

Gamelan jawa itu mempunyai nada-nada pentatonis. Satu perangkat gamelan

yang lengkap itu mempunyai dua laras yaitu :

Gamelan selendro

Merupakan salah satu laras dalam gamelan, dalam bahasa sunda biasanya

disebut salendro. Dalam laras ini tidak ada nada 4 dan nada 7, jadi laras

selendro hanya memiliki lima nada dalam setiap oktafnya, yaitu 1 2 3 5 6 atau

nada C-D-E-G-A dan masing-masing mempunyai beda interval suara yang

kecil.

Belum ada ahli yang bisa menjelaskan dengan pasti asal-usul kata slendro

ini. Tetapi ada pendapat yang mengatakan kata slendro berasal dari wangsa

syailendra dan ada juga yang mengatakan kata ini berasal dari bahasa india

atau cina.

Di bali slendro digunakan untuk melukiskan keadaan yang sedih, karena

sering dipakai bersama angklung untuk acara penguburan mayat. Dalam

masyarakat jawa notasi ini dbedakan menjadi tiga golongan yaitu : ”nem,

sanga, dan mayura”. Urutan ini umumnya dipakai untuk pagelaran wayang.

112

Gamelan pelog

Adalah salah satu laras dalam gamelan yang memiliki nada yang lengkap,

yaitu tujuh nada dalam setiap oktafnya.

Aturan permainan

Gamelan jawa memiliki aturan yang sudah pakem diantaranya tersusun

dari berapa putaran atau berapa dalam atau dangkalnya suara, juga ada

aturan sampak atau cepat lambatnya nada. Juga ada batasan gongan dan

melodi juga sudah diatur dalam bagian masing-masing yang tertata atas

empat nada.

Masing-masing alat memiliki fungsinya sendiri, yang menuntun suara

adalah rebab, yang menuntun sepat lambatnya nada adalah kendang. Pemain

gamelan biasanya disebut nayaga atau panjak, sedangkan yang nembang

disebut sinden.

Jenis gamelan

Berdasarkan jenisnya gamelan jawa dibagi atas

Kodokngorek

Munggang

Gamelan sekaten

Gamelan klasik

Gandhon

Siteran

Gamelan mangkunegaran

Gamelan pakualaman

Gamelan surakarta

Gamelan yogyakarta

Gamelan banyumasan

113

Piranti / perangkat gamelan jawa

Perangkat gamelan jawa pada umumnya atau sebagian besar terbuat dari

logam seperti : besi, tembaga yang dicampur nikel, perunggu, terutama

batangannya. Bahan tambahan lainnya adalah bambu, kulit (untuk kendhang)

dan lain-lain. Perangkat gamelan yang tidak ada kondungan logam

didalamnya adalah kendang, gambang, rebab, suling, siter, dan alat

penabuhnya.

Perangkat gamelan jawa secara garis besar dikelompokkan menjadi empat

yaitu :

1. Gongan

Gongan adalah selang waktu bunyi antara antar gong atau kelompok gong.

Selang waktu ini berbeda, bisa selisih detik sampai menit menurut irama juga

tempo tembang yang dinyanyikan. Gongan yang paling panjang selang

waktunya adalah bunyi gong ageng.

Perangkat gamelan yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

Gong

Gong merupakan sala satu alat mesik tabuh dalam perangkat gamelan

jawa, berbahan logam dan berukuran paling besar. Alat ini biasanya

diletakkan paling belakang, digantung di sebuah palang yang terbuat dari

batan kayu yang besar. Gong ini dibagi menjadi dua, yaitu gong ageng dan

gong suwuk. Gong ageng biasanya paling besar dan diletakkan paling

samping (kiri dan kanan), sedang gong suwuk diletakkan di antara dua

gong ageng atau ditengah, jumlah gong ageng dalam perangkat gamelan

jawa biasanya 2 buah, sedang gong suwuk ada 8-10 buah.

Wujud gong ini bulat rata dan ada tonjolan di tengah-tengah. Gong

memiliki suara yang paling besar dan nadanya paling rendah diantar

perangkat gamelan jawa lainnya. Gong biasanya diabuh untuk memberi

114

penekanan pada bagian tertentu (pada umumnya akhir ) iringan musik

gamelan, jadi jarang sekali ditabuh secara terus-menerus tetapi hanya

pada selang waktu tertentu. Perangkat ini juga biasa digunakan untuk

tanda peresmian atau pembukaan acara.

Gambar gong :

Kempyang

Kempyang merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang

ditabuh. Kempyang biasanya diletakkan di temat yang bentuknya seperti

ayunan. Wujud kempyang ini hampir sama dengan kethuk.

Gambar kempyang :

Kethuk

Kethuk merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.

Berbeda dengan gong yang letaknya digantung, kenong ini diletakkan di

tempat yang mirip ayunan. Cirinya hampir sama dengan kempyang.

115

Gambar kethuk

Kempul

Kempul merupaka salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.

Perangkat ini umumnya digantung seperti gong. Jumlah kempul dalam

perangkat gamelan jawa tidak pasti, tergantung jenis pagelarannya.

Wujudnya mirip gong tetapi ukurannya lebih kecil denga diameter sekitar

45 cm, jadi nada yang dihasilkan lebih tinggi.

Gambar kempul :

Kenong

Kenong merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.

Tempat kenong ini diletakkan di tempat yang mirip ayunan jadi cara

memainkannya hampir sama dengan kempyang dan kethuk,

perbedaannya kenong mempunyai ukuran yang paling besar diantara yang

lain. Dalam perangkat gamelan jawa suara kenong yang besar nadanya

kecil. Suara yang dihasilkan unuk karena memiliki timbre yang unik.

116

Gambar kenong :

2. Balungan

Balungan adalah rangkaian melodi dalam gamelan. Merupakan jenis musik

gamelan yang inti melodinya ada di rangkaian suara balungan tersebut.

Perangkat gamelan yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

Saron panerus

Saron panerus merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang

ditabuh. Saron panerus itu ditempatkan langsung diatas bilah-bilah kayudi

sisi bawahnya. Dalam laras slendro saron panerus juga disebut peking.

Wujud saron ini yang paling kecil. Ada dua jenis saron panerus, yaitu

pelog panerus dan slendro panerus. Kedua jenis ini mempunyai laras yan

berbeda, alat tabuhnya lebih kecil dan lebih bagus dika bahannya dibuat

dari tanduk kerbau. Ukuran bilah besi alat musik ini paling kecil diantara

saron lainnya tetapi lebih tebal. Bilahnya berjumlah 7 dan bilah terkecil

memiliki panjang 18 cm dan lebar 4 cm. Suara yang dihasilkan oleh saron

ini paling tinggi diantara saron lain.

Gambar saron panerus :

117

Saron barung

Saron barung merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang

ditabuh dan termasuk ke dalam perangkat saron. Ukuran saron ini ada di

tengah-tengah, maksudnya lebih besar dari saron panerus tetapi lebih

kecil daripada saron demung. Bilah yang tinggi suaranya ukurannya lebih

kecil. Jumlah bilahnya ada 7 buah. Sedangkan suara yang dihasilkan lebih

tinggi satu okaf dibandingkan saron demung.

Gambar saron barung :

Saron demung

Saron panerus merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang

ditabuh. Saron panerus itu ditempatkan langsung diatas bilah-bilah kayu di

sisi bawahnya. Nada yang dihasilkan paling rendah diantara saron lainnya

dan ukurannya paling besar diantara yang lain.

Slenthem

Slenthem merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang ditabuh.

Slenthem itu diletakkan di tempat yang fungsinya seperti ayunan dan

dibawahnya ada tabung/silinder yang membunyikan gema suara yang

dihasilkan. Wujud slenthem ini mirip dengan genjer.

118

Gambar slenthem :

Slentho

Slentho merupakan seperangkat gamelan jawa yang ditabuh. Piranti

gamelan ini hampir sama dengan saron. Tetap nada yang dihasilkan paling

rendah, bahkan lebih sendah dari demung. Alat ini kebanyakan sudah

jarang dipakai, kalaupun masih diperlukan hanya pada acara tertentu saja,

seperti upacara sekaten.

Wujud slentho ini seperti sron pada umumnya, memilki 7 bilah,

bedanya dengan saron hanya di tengahnya ada semacam tonjolan

sehingga mirip bonang.

3. Panerusan

Panerusan merupakan salah satu pengelompokan perangkat gamelan jawa

yang terdiri atas :

Bonang

Bonang merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. Bonang

diletakkan langsung di bilah kayu da diayun di kedua sisi bawahnya. Ada

dua jenis bonang, yaitu bonang barung dan bonang panerus, tetapi di jenis

gamelan tertentu juga ada bonang panembung.

Bonang bentuknya hampr sama dengan kempyang, tetapi ada tonjolan di

tengahnya lebih tinggi. Alat tabung untuk bonang sebaiknua dari bahan

119

yang agak lunak dan berbentuk palu. Jumlah bilahnya biasanya 14 tapi

kadang bisa 12 buah bilah saja.

Gambar bonang :

Gender

Gender merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. gender

diletakkan di tempat yang fungsinya seperti ayunan dan dibawahnya ada

tabung/silinder yang membunyikan gema suara yang dihasilkan. Tabung

silinder itu biasanya terbuat dari bambu. Wujud gender mirip dengan

slenthem.

Gambar gender :

Gambang

Gambang merupakan perangkat gamelan jawa yang ditabuh. Gambang

diletakkan di bilah kayu di kedua sisi bawahnya. Wujud gambang ini

hampir sama dengan saron tetapi memiliki bilah yang lebih besar dan

dibuat dari kayu yang sangat keras. Bahkan jaman dahulu ada gambang

yang dibuat dari logam, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ukuran bilah

gambang antara 29 cm sampai 58cm. Yang berukuran lebih besar memiliki

suara yang lebih rendah, jumlah bilahnya sendiri ada 19 atau 20 bilah dan

tabuhnya lebih panjang, yaitu sekitar 35 cm.

120

Siter

Siter merupakan sebuah piranti gamelan yang dipetik seperti gitar.

Jumlah senarnya ada sebelas atau duabelas pasang. Siter ini fungsinya

sama dengan celempung.

Gambar siter :

Celempung

Celempung merupakan salah satu alat musik petik yang terdapat dalam

piranti gamelan jawa. Perangkat ini bersama siter diistilahkan gamelan

siteran. Dalam pagelaran gamelan , perangkat ini termasuk ke dalam

kelompok panerusan dan mempunyai tempo yan cepat seperti pada

gambang. Ukuran celempung kira-kira 90 cm., memiliki 4 penyangga, jadi

dibanding siter celempung memiliki panjang 3 kali lipat.

Gambar celempung :

Suling

121

Sulin merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang berbentuk

alat musik tiup, fungsinya untuk menambah suara pada melodi. Suling

terbuat dari bambu dengan memiliki panjang kira-kira setengah meter.

Frekuensi suara yang dihasilkan tergantung dari panjang rongga dan angin

yang digetarkan.

Rebab

Rebab merupakan salah satu perangkat gamelan jawa yang dimainkan

dengan cara digesek.

4. Kendhang

Kendhang merupakan salah satu piranti gamelan jawa yang ditabuh

dengankombinasi telapak dan jari tangan, jadi tidak menggunakan alat tabuh.

Dalam musik modern, piranti ini digolongkan ke dalam perangkat perkusi.

Kendang diletakkan di sebuah tempat penyangga yang berbentuk huruf Y.

Wujud kendang hampir silinder, simetris, dan sisi satu lebih lebas dari sisi

lainnya. Bagian yang lebar biasanya diletakkan di sebelah kanan. Fungsi

kendhang adalah untuk mengatur irama utamanya untuk mempercepat nada,

juga biasanya sebagai penutup tembang.

Gamba kendhang :

Kendang ini mempunyai empat jenis, yaitu :

a. kendhang gending

122

Merupakan kendang yang mempunyai ukuran paling besar, tetapi suaranya

paling rendah diantara yang lain

b. kendhang wayangan

c. kendhang batangan/cibon

Merupakan kendhang yang memiliki ukuran sedang, memiliki ukuran sedikit

lebih kecil dibandingkan dengan kendhang gending. Pada umumnya dipakai

untuk mengiringi tarian.

d. kendang ketipung

Adalah jenis kendang dengan ukuran oaling kecil, tetapi nada yang

dihasilkan paling besar.

Bedhug

Bedhug di masyarakat jawa biasanya dipakai di masjid atau mushola bisa

juga untuk alat msik, misalnya pada gamelan sekatenan. Bedug ini pada

alat musik modrn termasuk dalam kelompok alat musik perkusi.

Masing-masing keempat unsur diatas memiliki fungsi masing-masing untuk

membuat bunyi yang harmonis. Selain alat musik diatas pagelaran gamelan

biasanya juga diiringi dengan suara lain selain dari alat musik, biasanya suara

tersebut diucapkan para pemain gamelan yang dapat berupa tepukan, kata-kata,

dan lain lain.

2. KERIS

Keris merupakan salah satu produk budaya Jawa yang berfungsi sebagai

senjata tradisional masyarakat Jawa. Keris oleh masyarakat Jawa dianggap

sebagai salah satu lambang kesempurnaan seorang laki-laki selain turangga

(kendaraan), wisma (rumah/tempat tinggal), wanita (istri), dan pekerjaan. Keris

memiliki makna jantan, keperkasaan, dan kedewasaan. Atau dengan kata lain

123

semua laki-laki Jawa itu harus tangguh, sanggup melindungi diri, keluarga, dan

negara.

Belum ada penelitian yang dapat memastikan kapan orang Jawa pertama kali

membuat keris, tetapi keris sudah memiliki wujud yang sempurna sejak zaman

majapahit. Pada zaman dahulu keris dianggap

lambang kepangkatan dan bisa menjadi hadiah

istimewa, terutama jika keris tersebut adalah keris

pemberian seorang raja.

Pada zaman sekarang fungsi keris sudah berkurang.

Pada umumnya hanya menjadi barang koleksi atau

menjadi perlengkapan upacara adat. Padahal pada

zaman dahulu fungsi keris tidak hanya sebagai

senjata, tetapi juga tanda status sosial dan

kepangkatan. Keris juga menjadi simbol persaudaraan

dengan adanya upacara menukar keris yang pada

waktu itu menjadi simbol persaudaraan yang paling

tinggi.

Sebilah keris memiliki tiga bagian utama, sama

dengan keris jawa. Tiap bagian memiliki bagian lagi

yang lebih detail yang mewujudkan ukiran. Ukiran-

ukiran itu sendiri memiliki memiliki karakter yang

berlainan. Bagian-bagian itu adalah :

Wilah

Wilah merupakan bagian keris yang berupa pegangan untuk memegang

keris.

Warangka

124

Warangka adalah sarung/tempat keris, jenis warangka ada dua yaitu

warangka gayaman dan warangka ladrang. Diantara dua jenis warangka itu

ada dua gaya warangka, yaitu gaya ngayogyakarta dan surakarta.

Gaman

Merupakan bilah senjata tajam pada keris.

Selain bagian diatas dalam keris dikenal juga istilah pamor yang berarti kesan

yang timbul pada ukiran pada sebilah keris. Gambaran ini muncul dari hasil

tempaan logam yang menjadi bahan dasar pembuatan keris. Ilmu pamor ini

hanya dimiliki oleh para empu pembuat keris.

3. PAKAIAN ADAT

Pakaian adat jawa biasa disebut pakaian kejawen sudah ada sejak dahulu dan

sudah dikenal sejak zaman kerajaan demak. Selain pakaian kejawen juga dikenal

pakaian surjan, pakaian mesiran, , pakaian basahan, dan pakaian gedhog.

Masing-masing jenis pakaian ini mempunyai makna perumpamaan atau

perlambang sesuai nilai luhur filosofi jawa. Pada umumnya pakaian jawa dibagi

empat bagian, yaitu :

Bagian atas

a. iket atau blangkon

b. udheng

Bagian tengah

a. Pakaian, atau baju,dan kancing

b. Jarik dan wiron/wiru

c. Sabuk

d. Timang

Bagian belakang

keris dan rangka

125

Bagian bawah

a. selop/sandal

b. bebed

4. BATIK

Sedemikian uniknya tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan tata

sopan santun orang jawa dulu, demikianpun dalam pemakaian kain batik sebagai

busana kebesaran harus mentaati segala peraturaan yang berlaku. Misalnya

pemakaian kain batik untuk kalangan wanita harus menutupi mata kaki. Kalau

memakai kain batik jauh lebih tinggi dari mata kaki, hal itu bisa diartikan wanita

tersebut tidak paham adat, serta kurang paham kesopanan. Pakaian lembaran

kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri pinggang pemakainya, dan

ujung kain batik lainnya melingkari tubuh ke arah kanan. Sehingga ujung kain

batik yang (diwiru-profil lipat) berada paling atas dan ke arah kanan pinggang

pemakainya.

Ini berbeda dengan cara pemakaian kain batik bagi kaum pria. Dimulai dengan

memasukkan ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi kain batik

yang melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri. Sehingga ujung kain

batik yang dilipat-lipat (diwiru) berada di tengah menghadap ke kiri. Bagian atas

kain batik (bagian pinggang) diikat dengan ikat pinggang (epek) serta kain

pengikat pinggang yang panjang. Bagian ini tertutup oleh kain benting (ikat

pinggang panjang) yang terbuat dari kain beludru bermotif kembang-kernbang.

Kemudian tertutup oleh baju kebaya (untuk kaum wanita), atau beskap (untuk

kaum pria). Dengan mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris

yang terselip di lipatan ikat pinggang, dengan kepala ditutup blangkon (kuluk)

untuk kaum pria, terasalah kebesaran jiwa.

126

Sementara kaum wanitanya dalam panutan busana batik dengan kain

kebayanya yang membentuk potongan tubuh yang indah, terasakan

keagungannya. Di luar upacara tradisional, misalnya pada suatu pasta

perkawinan di luar keraton, kemeja batik atau gaun batik dengan pelbagai corak

motif dan warnanya sudah merupakan busana resmi. Keanggunan seni batik tidak

saja struktur warnanya yang serasi, juga corak lukisan batiknya yang penuh berisi

filosofi dan penuh ragam sekaligus memberi ciri khas nilai seni budaya Jawa serta

kebanggaan nasional

Seni Batik

Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan bahan: kain, canthing

dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk

kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong

satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau

cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh)

dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.

Masih bertahannya seni batik sampai jaman moderen ini, tidak dapat

dilepaskan adanya kebanggaan, adat tradisi, sifat religius dari ragam hias batik,

serta usaha untuk melestarikan pemakai batik tradisional dan tata warna

tradisional. Dilihat dari proses pembuatannya ada batik tulis dan batik cap.

Dengan semakin berkembangnya motif dan ragam hias batik cap, mengakibatkan

batik tulis tradisional mengalami kemunduran. Hal ini dapat dimengerti sebab

batik tulis secara ekonomis harga relatif mahal dan jumlah pengrajin batik tulis

semakin berkurang.

Sekarang ini ada beberapa daerah yang masih dapat dikatakan sebagai daerah

pembatikan tradisional. Daerah yang dimaksud antara lain: Surakarta,

127

Yogyakarta, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura, Jambi,

Sumatera Barat, Bali dan lain-lain.

Surakarta atau Surakarta Hadiningrat juga dikenal dengan nama Solo

merupakan ibukota kerajaan dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakarta

merupakan pusat pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Sebagai pusat

kebudayaan Surakarta tidak dapat dilepaskan sebagai sumber seni dan ragam

hias batiknya. Ragam hias batik umumnya bersifat simbolos yang erat

hubungannya dengan filsafat Jawa-Hindu, misalnya :

a. Sawat atau hase ‘sayap’ melambangkan mahkota atau perguruan tinggi.

b. Meru ‘gunung’ melambangkan gunung atau tanah

c. Naga ‘ular’ melambangkan air (tula atau banyu)

d. Burung melambangkan angin atau dunia atas

e. Lidah api melambangkan nyala api atau geni

Penciptaan ragam hias batik tidak hanya memburu keindahannya saja, tetapi

juga memperhitungkan nilai filsafat hidup yang terkandung dalam motifnya. Yang

dalam filsafat hidup tersebut terkandung harapan yang luhur dari penciptanya

yang tulus agar dapat membawa kebaikan dan kebahagiaaan pemakainya.

Beberapa contoh :

a. Ragam hias slobong, yang berarti agak besar atau longgar atau lancar yang

dipakai untuk melayat dengan harapan agar arwah yang meninggal dunia

tidak mendapat kesukaran dan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha

Esa.

b. Ragam hias sida mukti, yang berarti ‘jadi bahagia’, dipakai oleh pengantin

pria dan wanita, dengan harapan agar pengantin terus-menerus hidup

dalam kebahagiaan.

Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa ragam hias dalam seni batik

aturan dan tata cara pemakainya menyangkut harapan pemakainya. Disamping

128

itu, khusus di Karaton Surakarta, ragam hias batik (terutama kain batik) dapat

menyatakan kedudukan sosial pemakainya, misalnya ragam hias batik parang

rusak barong atau motif lereng hanya boleh dipakai oleh raja dan putra sentana.

Bagi abdi dalem tidak diperkenankan memakai ragam hias tersebut.

Seni batik bagi Karaton Surakarta merupakan suatu hal yang penting dalam

pelaksanaan tata adat busana tradisional Jawa, dan dalam busana tradisional ini

kain batik memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian dan

pengembangan seni budaya jawa kedepan

Kain Batik Tertentu Dipercaya Daya Gaib Kepada Pemakainya.

Jangan sembarang memakai batik, motif batik tertentu dipercaya memberikan

kekuatan pada pemakainya. Maka si pemakai juga bukan orang sembarangan,

batik jenis itu disebut batik larangan.

Batik larangan banyak tersebar di Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon. Di tiga

daerah itu ada karaton yang dihuni oleh para Sultan. Disana batik berperan

penting dalam upacara tradisional karaton. Pelbagai motif khusus masih diakui

menjadi milik karaton antara lain : Kawung Parang, Cemukiran, Udan Liris dan

Alas-Alasan.

Kawung

Corak ini bermotif bulatan mirip buah kawung ( sejening kepala ) yang ditata

rapi secara geomatris. Palang hitam-hitam dalam bulatan diibaratkan biji kawung

untuk orang Jawa, biji itu lambang kesuburan.

Motif kawung juga bisa diinterprestasikan sebagai gambar lotus ( teratai )

dengan empat lembar daun bunga yang merekah. Lotus melambangkan umur

panning dan kesucian.

129

Beberapa variasi kawung adalah ceplok , truntum dan sidomukti. Salah satu

variasi lain tumbal, diperuntukkan kaum brahmana dan cendekiawan.

Parang

Corang itu berpola pedang yang menunjukkan kekuatan atau kekuasaan,

karenanya batik bercorak parang diperuntukkan para ksatya dan penguasa.

Menurut kepercayaan, corak parang harus dibatik tanpa salah agar tak

menghilangkan kekuatan gaibnya.

Kalau berpola pisau belati atau keris , batik bercorak parang boleh dipakai

oleh tiap orang dan dipercaya membawa rezeki dan menjauhkan dari penyakit.

Variasinya : Parang Rusak, Parang Barong dan Parang Klitik.

Komposisi miring pada parang menandakan kekuatan dan gerak cepat, yang

dipercaya memberi kekuatan magis pada batik bercorak parang itu adalah

mlinjon, pemisah komposisi miring berbentuk seperti ketupat.

Sawat

Corak ini ditandai dengan lukisan sayap atau lar, baik yang berpasangan

maupun yang tunggal. Sayap itu mengibaratkan garuda, menurut mitologi Hindu-

Jawa, garuda adalah burung yang bertubuh dan berkaki seperti manusia, namun

bersayap dan berkepala seperti burung. Corak parang yang diberi tambahan lar

garuda hanya boleh digunakan oleh raja dan putranya.

Falsafah Agraris Batik

Erat sekali hubungan antara motif (gambar) batik dengan lingkungan alam

sekitarnya. Bentuk dan warna biji dan bungan menjadi inspirasi dari motif

(gambar) batik yang dibuat sedemikian indah oleh seniman tradisional yang

kreatif menghasilkan pelbagai gambar/ motif dengan makna filosofisnya yayangh

130

dalam. Motif/ gambar dari rambut disela-sela pelepah daun pohon kolang kaling,

melahirkan motif batik kawung. Dari bungan kenikir lahir motif batik ceplok

kembang kenikir, dari bunga asam lahir motif batik semen kembang asem, dari

buah manggis lahir motif batik ceplok manggis, dari merekahnya bunga kecil

lahirlah motif batik truntum, dari mata parang yang rusak lahirlah motif parang .

Dan untuk pengisi ruang kosongnya diberi motif/ gambar bunga sirih, rembyang,

cengkehan, bunga delima dan lain-lain. Warna batik yang merah putih itu asalnya

darti warna gula kelapa, hijau putih dari gadung mlati , merah ibarat hutan

terbakar.

Ketika industrialisasi makin merebak, penggusuran hutan atau daerah

pertanian dengan hayati dan nabatinya, juga perubahan cara berpikir masyarakat

pendukung nilai-nilai filosofi batik, maka semakin jelas tergesernya filosofi agraris

yang menjadi isi utama filosofi motif batik.

Produk teknologi proses pembuatan batik printing dengan motif/gambar batik

hasil rancangan komputer dengan variasi gambar dan kecerahan warna yang

semarak ataupun yang norak pada dua decade terakhir ini telah menciptakan

tekstil bermotif batik gaya baru.Meski pun mungkin isi filosofinya tak lagi agraris.

Atau tanpa filosofi, sekedar keceriaan. Ada juga motif-motif batik dengan karya

kreatif yang tidak terikat dengan filosofi agraris pada batik tradisional, seperti

motif batik Wahyu tumurun, wirasat, sri kuncoro, Bokor kencana dan lain-lain.

Setiap daerah memiliki ciri warna khas dan motif batiknya. Kal;au di daerah

Surakarta di pedalaman warna batik dikuasai sogan coklat, latar hitam/kelenga

atau biru.

131

5. RUMAH ADAT

Rumah adat jawa yang umum dikenal yaitu rumah yang bearsitektur joglo,

selain itu juga ada rumah yang dibangun dengan arsitektur lain seperti: limas,

dara gepak, joglo trajumas, juga bangunan lainnya seperti sasono suko.

Rumah adat Jawa yang masih lengkap dan mengandung niali-nilai budaya

Jawa yaitu yang mempunyai 3 bagian bangunan, dari depan ada pendhapa yang

diapit dua bangunan lain yang agak kecil dan posisinya agak ke depan dari

bangunan pendhapa. Bagian tengah ada pringgitan dan bagian belakang sendiri

ada dalem.

Rumah di desa-desa dan penduduk biasa umumnya bangunannya tunggal dan

dibangun dengan gaya arsitektur dara gepak.

Bagian-bagian:

1. Pendhapa: diapit pengrawit apitan dan tajuk mengkurat.

2. Pringgitan di tengah-tengah.

3. Dalem: yang dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: Sentong kiwo (kamar kiri),

sentong tengah (kamar tengah) dan sentong tengen (kamar kanan).

Gaya arsitektur:

Limasan

Joglo

Gambar rumah adat (joglo)

132

6. CANDI

Peninggalan bangunan kuna yang terbuat dari susunan batu berbentuk

Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam, yaitu: ragam Jawa Tengah dan

ragam Jawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa Tengah ialah: bentuk bangunannya

tambun, atasnya berundak-undak, puncak berbentuk ratna atau stupa, gawang

pintu dan relug berhias Kalamakara, reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan

naturalis, letak candi di tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari

batu andesit.

Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk bangunan ramping, atapnya

merupakan perpaduan tingkatan, puncak berbentuk kubus, makara tidak ada,

relief timbul sedikit dengan lukisan simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi

di belakang halaman, menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.

Candi Borobudur

Berdasarkan atas tulisan yang terdapat pada “kaki” tertutup dari Candi

Borobudur yang berbentuk huruf Jawa kuno yang berasal dari huruf pallawa,

maka dapat diperkirakan tahun berdirinya Candi tersebut, yaitu pada tahun 850

Masehi, pada waktu pulau Jawa dikuasai oleh keluarga raja-raja Sailendra antara

tahun 832-900. Jadi umurnya sudah lebih dari 1.000 tahun.Candi itu terdiri dari 2

juta bongkah batu, sebagian merupakan dinding-dinding berupa relief yang

mengisahkan ajaran Mahayana. Candi tersebut berukuran sisi-sisinya 123 meter,

sedang tingginya termasuk puncak stupa yang sudah tidak ada karena disambar

petir 42 m. Yang ada sekarang tingginya 31,5 m. Pada hakekatnya Borobudur itu

berbentuk stupa, yaitu bangunan suci agama Buddha yang dalam bentuk aslinya

merupakan kubah (separoh bola) yang berdiri atas alas dasar dan diberi payung

di atasnya.

133

Candi itu mempunyai 9 tingkat, yaitu : 6 tingkat di bawah,: "tiap sisinya agak

menonjol berliku-liku, sehingga memberi kesan bersudut banyak. 3 tingkat

diatasnya:'' berbentuk lingkaran. Dan yang paling atas yang disebut sebagai

tingkat ke-10 adalah stupa besar ukuran diametrnya 9,90 m, tinggi 7 m.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang yang dulunya dipakai sebagai tempat

memuja seperti candi-candi lainnya. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang

merupakan jalan sempit, kedua tepinya dibatasi oleh dinding candi, mengelilingi

candi tingkat demi tingkat.

Dari satu tingkat lainnya di empat penjuru terdapat pintu gerbang masuk ke

tingkat lainnya melalui tangga. Di lorong-lorong inilah para umat Buddha

diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan.

Upacara itu disebut pradaksima

Tingkat-10

Sejarawan Belanda Dr. J.G. Casparis dalam desertasinya untuk mendapat

gelar doctor pada tahun. 1950 mengemukakan, bahwa Borobudur yang

bertingkat 10 menggambarkan secara jelas terlihat filsafat agama Buddha

Mahayana yang disebut “Dasabodhisatwabhumi”.

134

Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin mencapai tingkat

kedudukan sebagai Buddha harus melampaui 10 tingkatan Bodhisatwa. Apabila

telah melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai kesempurnaan dan

menjadi seorang Buddha.

Perlu diketahui, bahwa menurut ajaran Buddha Mahaya, diamping Buddha

Gautama yang kita kenal dalam sejarah, ada pula tokoh-tokoh Buddha lain-

lainnya, masing-masing menurut jamannya, baik di jaman lampau maupun di

jaman yang akan datang. Buddha di masa datang kini masih berada di dalam

sorga dan masih bertingkat Bodhisatwa adalah calon Buddha di masa datang.

Dr. J. G. Casparis berpendapat, bahwa sebenarnya Borobudur merupakan

tempat pemujaan nenek moyang raja-raja Sailendra, agar nenek moyang

mencapai ke-Buddhaan.

Sepuluh tingkat Borobudur itu juga melambangkan, bahwa nenek moyang

raja Sailendra yang mendirikan Borobudur itu berjumlah 10 orang. Berdasarkan

prasasti Karangtengah bertahun 824 M dan prasati Kahulunan bertahun 824 M.

Dr. J.G. Casparis berpendapat bahwa pendiri Borobudur adalah raja Sailendra

bernama Samaratungga, kira-kira disekitar tahun 824. Bangunan raksasa itu

kiranya baru dapat diselesaikan oleh puterinya yaitu Ratu Pramodawardhani.

Dalam hal tersebut para ahli belum terdapat kata sepakat.

Tingkatan –Tingkatan Borobudur

Pada tahun 1929 Prof. Dr. W.F. Stutterheim telah mengemukakan teorinya,

bahwa Candi Borobudur itu hakekatnya merupakan “tiruan” dari alam semsta

yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 bagian besar, yaitu: (1). Kamadhatu;

(2). Rupadhatu; dan (3). Arupadhatu.

135

Bagian “kaki” melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai

oleh kama atau nafsu (keinginan) yang rendah, yaitu dunia manusia biasa seperti

dunia kita ini.

Rupadhatu, yaitu dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan

nafsu, tetapi maish terikat oleh rupa dan bentuk, yaitu dunianya orang suci dan

merupakan “alam antara” yang memisahkan “alam bawah” (kamadhatu) dengan

“alam atas” (arupadhatu).

Arupadhatu, yaitu “alam atas” atau nirwana, tempat para Buddha

bersemayam, dimana kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan

bebas dari ikatan bentuk dan rupa. Karena itu bagian Arupadhatu itu

digambarkan polos, tidak ber-relief.

Patung-patung Dhayani Buddha

Pada bagian Rupadhatu patung Dhayani Buddha digambarkan terbuka,

ditempatka di lubang dinding seperti di jendela terbuka. Tetapi dibagian

Arupadhatu patung-patung itu ditempatkan di dalam stupa yang ditutup

berlubang-lubang seperti didalam kurungan. Dari luar masih tampak patung-

patung itu samar-samar.

Cara penempatan patung seperti tersebut rupanya dimaksudkan oelh

penciptanya untuk melukiskan wujud samar-samar “antara ada dan tiada”

sebagai suatu peralihan makna antra Rupadhatu dan Arupadhatu.

Arupa yang artinya tidak berupa atau tidak berwujud sepenuhnya baru

tercapai pada puncak dan pusat candi itu yaitu stupa terbesar dan tertinggi yang

digambarkan polos (tanpa lubang-lubang), sehingga patung didalamnya sama

sekali tidak tampak.

Stupa-stupa kurungan patung-patung di bagian Arupadhatu yang bawah

bergaris miring, sedang lubang-lubang seperti yang diatasnya bergaris tegak.

136

Menurut almarhum Prof. Dr. Sucipta Wirjosaputro lubang-lubang seperti

tersebut merupakan lambang tentang proses tingkat-tingkat lenyapnya sisa nafsu

yang terakhir.

Lubang-lubang yang bergaris miring (lebih rendah dari lainnya)

menggambarkan, bahwa di tingkat itu masih ada sisa-sisa dari nafsu, sedang pada

tingkat di atasnya yang bergaris tegak menggambarkan nafsu itu telah terkikis

habis, dan hati pun telah lurus.

Reliefnya panjang 3 km; arcanya 505 buah .Relief pada dinding-dinding candi

Borobudur itu menurut Drs. Moehkardi dalam intisari jumlahnya ada 1460

adegan, sedang relief yang dekoratief (hiasan) ada 1212 buah. Panjang relief itu

kalau disambung-sambung seluruhnya dapat mencapai 2.900 m, jadi hampir 3

km.

Jumlah arcanya ada 505 buah, terdiri dari :

-Tingkat ke-1 Rupadhatu ditempat arca-arca

Manushi Budha sebanyak 92 buah; -Tiga

tingkat selebihnya masing-masing mempunyai

92 buah arca Dhyani Buddha; -Tingkat di

atasnya mempunyai 64 arca Dhyani Buddha.

Selanjutnya di tingkat Arupadhatu

terdapat pula arca-arca Dhyani Buddha yang

dikurung dalam stupa, masing-masing tingkat

sebanyak : 32, 24 dan 16 jumlah 72 buah.

Akhirnya di stupa induk paling atas, dahulunya terdapat pula sebuah patung

Sang Adhi Buddha, yaitu Buddha tertinggi dalam agama Buddha Mahaya. Maka

julah seluruhnya adalah 3 x 92 buah jumlah 432 + 64 + 1 = 505 buah.

137

Permainan Angka yang Mengagumkan.

Drs. Moehkardi mengemukakan adanya permainan angka dalam Candi

Borobudur yang amat mengagumkan, sebagai berikut :

Jumlah stupa di tingkat Arupadhatu (stupa puncak tidak di hitung) adalah: 32,

24, 26 yang memiliki perbandingan yang teratur, yaitu 4:3:2, dan semuanya habis

dibagi 8.

Ukuran tinggi stupa di tiga tingkat tsb. Adalah: 1,9m; 1,8m; masing-masing

bebeda 10 cm. Begitu juga diameter dari stupa-stupa tersebut, mempunyai

ukuran tepat sama pula dengan tingginya : 1,9m; 1,8m; 1,7m.

Beberapa bilangan di borobudur, bila dijumlahkan angka-angkanya akan

berakhir menjadi angka 1 kembali. Diduga bahwa itu memang dibuat demikian

yang dapat ditafsirkan : angka 1 melambangkan ke-Esaan Sang Adhi Buddha.

Perhatikan bukti-buktinya dibawah ini :

Jumlah tingkatan Borobudur adalah 10, angka-angka dalam 10 bila

dijumlahkan hasilnya : 1 + 0 = 1. Jumlah stupa di Arupadhatu yang didalamnya

ada patung-patungnya ada : 32 + 24 + 16 + 1 = 73, angka 73 bila dijumlahkan

hasilnya: 10 dan seperti diatas 1 + 0 = 10.

Jumlah patung-patung di Borobudur seluruhnya ada 505 buah. Bila angka-

angka didalamnya dijumlahkan, hasilnya 5 + 0 + 5 = 10 dan juga seperti diatas 1 +

0 = 1.

Sang Adhi Buddha dalam agama Buddha Mahaya tidak saja dianggap sebagai

Buddha tertinggi, tetapi juga dianggap sebagai Asal dari segala Asal, dan juga asal

dari keenam Dhyani Buddha, karenanya ia disebut sebagai “Yang Maha Esa”.

Demikianlah keindahan Borobudur sebagai yang terlihat dan yang terasakan,

mengandung filsafat tinggi seperti yang tersimpan dalam sanubari bangsa Timur,

khususnya bangsa kita.

138

Penemuan Borubudur

Tidak pernah terlintas oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa suatu ketika

Nusantara ini akan dikuasai oleh Inggris. Gubernur Jenderal yang mengurusi

masalah tanah jajahan di Timur, Lord Minto harus mendelegasikan kekuasaan di

Nusantara ini kepada Letnan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles.

Raffles mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap budaya timur, sehingga

ketika pada tahun 1814 mendapat laporan tentang ditemukannya reruntuhan

yang diperkirakan candi, segera mengutus perwira zeni HC Cornelius untuk ke

Bumi Segoro. Itulah awal diketemukannya Borobudur yang terpendam entah

sejak kapan dan apa penyebabnya. Misteri yang sampai kini belum terungkap.

Sayang, tahun 1815 Inggris harus angkat kaki dan mengembalikan tanah

jajahan kepada Belanda. Bagi Belanda, peninggalan sejarah juga tidak kurang

menariknya. Pada 1834 Residen Kedu bernama Hartman yang baru dua tahun

menduduki jabatan mengusahakan pembersihan Borobudur. Stupa yang ternyata

puncak candi diketahui sudah menganga sejak ditangani Cornelius 20 tahun

sebelumnya..

Selama kurun waktu 20 tahun itu tidak ada yang bertanggung jawab

terhadap kawasan penemuan. Pada tahun 1842 Hartman melakukan penelitian

pada stupa induk. Dalam budaya agama Buddha, stupa didirikan untuk

menyimpan relik Buddha atau relik para siswa Buddha yang telah mencapai

kesucian. Dalam bahasa agama, relik disebut saririka dhatu, diambil dari sisa

jasmani yang berupa kristal selesai dilaksanakan kremasi. Bila belum mencapai

kesucian, sisa jasmani tidak berbentuk kristal dan tidak diambil. Bila berupa

kristal akan diambil dan ditempatkan di dalam stupa. Diyakini bahwa relik ini

mempunyai getaran suci yang mengarahkan pada perbuatan baik. Pada setiap

upacara Waisak, relik ini juga dibawa dalam prosesi dari Mendut ke Borobudur

untuk ditempatkan pada altar utama di Pelataran Barat. Relik yang seharusnya

139

berada di dalam stupa induk Borobudur hingga kini tidak diketahui siapa yang

mengambil dan di mana disimpan.

Demikianlah, Borobudur yang ditemukan pada tahun 1814 mulai ditangani di

bawah perintah Hartman antara lain dengan mendatangkan fotografer, pada

tahun 1845 bernama Schaefer, namun hasilnya tidak memuaskan. Itulah

sebabnya pada tahun 1849 diambil keputusan untuk menggambar saja bangunan

Borobudur. Tugas mana dipercayakan pada FC Wilsen yang berhasilkan

menyelesaikan 476 gambar dalam waktu 4 tahun. Ada seorang lagi yang

ditugaskan untuk membuat uraian tentang Borobudur yang masih berupa duga-

duga, yaitu Brumund. Hasil Wilson maupun Brumund diserahkan oleh

Pemerintah Hindia Belanda kepada Leemans pada 1853 yang baru berhasil

menyelesaikannya pada 1873 . Selama penggarapan gambar yang duga-duga itu,

oleh Hartman Borobudur dijadikan tempat rekreasi. Pada puncaknya didirikan

bangunan untuk melihat keindahan alam sambil minum teh. Pembersihan batu-

batuan terus berlangsung, ditempel-tempel asal jadi menurut dugaan asal-asalan

saja.

Anugerah untuk Raja

Borobudur dibersihkan dari hari ke hari, hingga makin menarik. Sungguh

fantastis bagi para penguasa Belanda menikmati pemandangan indah di atas

bangunan kuno yang sedemikian besar.

Pada tahun 1896, Raja Thai, Chulalongkorn datang ke Hindia Belanda.

Sebagai penganut agama Buddha tentu tidak akan melewatkan untuk

menyaksikan bangunan stupa yang didengung-dengungkan oleh para pejabat

pemerintah kolonial. Entah bagaimana ceriteranya, Pemerintah Belanda

menawarkan Raja untuk membawa bagian dari batu-batuan Borobudur. Menurut

catatan tidak kurang dari 8 gerobak melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.

140

Diantara yang diangkut ke Negara Gajah Putih tersebut ada 30 lempeng relief

dinding candi, 5 buah patung Buddha, 2 patung singa dan 1 pancuran makara.

Bilamana kita berada di istana Raja Bhumibol Adulyagej kita dapat saksikan

batu-batuan Borobudur yang terawat baik hingga kini. Sebagai negara yang

sebagian besar menganut Buddha, rakyat menyampaikan hormat dihadapan

patung Buddha asal Borobudur sebagai lambang kebesaran Gurunya.

Jadi, jauh sebelum batu-batuan Borobudur ditempatkan sebagaimana

mestinya, bagian dari batu-batuan yang berada dalam istana dynasti Cakri telah

diperlakukan dengan baik, karena keluarga raja di sana mengerti simbol-simbol

yang terkandung dalam bagian kecil peninggalan agama yang dianutnya.

Pemugaran

Pada tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh batu-batuan

Borobudur untuk ditempatkan dalam suatu museum. Usul ini tidak disetujui,

bahkan mendorong usaha untuk membangun kembali reruntuhan hingga

berbentuk candi. Dorongan lain untuk lebih membuka tabir misteri dalah

diketemukannya satu lantai lagi dibawah lantai pertama candi oleh Vzerman

pada 1885.

Pada tahun 1900 dibentuklah Panitia Khusus perencanaan pemugaran Candi

Borobudur. Setelah bekerja dua tahun, maka Panitia menyimpulkan bahwa tiga

hal yang perlu diperhatikan dalam pemugaran yaitu:

Pertama : segera diusahakan penaggulangan bahaya runtuh yang sudah

mendesak dengan cara memperkokoh sudut-sudut bangunan, menegakkan

kembali dinding-dinding yang miring pada tingkat pertama, memperbaiki gapura-

gapura, relung serta stupa, termasuk stupa induk.

141

Kedua : mengekalkan keadaan yang sudah diperbaiki dengan cara

mengadakan pengawasan yang ketat dan tepat, menyempurnakan saluran air

dengan jalan memperbaiki lantai-lantai serta lorong-lorong.

Ketiga : menampilkan candi dalam keadaan bersih dan utuh dengan jalan

menyingkirkan semua batu-batuan yang lepas untuk dipasang kembali serta

menyingkirkan semua bangunan tambahan.

Pada tahun 1905 keluarlah Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda yang

menyetujui usul Panitia dengan penyediaan dana sebesar 48.800 gulden untuk

menunjuk Insinyur zeni T.van Erp.

Pemugaran dimulai pada Agustus 1907 yang berhasil diselesaikan pada tahun

1911. Dengan demikian, Borobudur dapat dinikmati keindahannya secara utuh.

Setelah proklamasi kemerdekaan, pada tahun 1948 Pemerintah RI yang

masih dalam penataan negara memperhatikan kerusakan Borobudur yang sudah

diketahui sejak 1929 dengan mendatangkan dua orang ahli purbakala dari India.

Sayang usaha ini tidak ada kelanjutannya. Pada tahun 1955 pemerintah RI

mengajukan permintaan bantuan kepada Unesco untuk menyelamatkan berbagai

candi di Jawa, tidak terkecuali Borobudur . Usaha lebih mantap baru dimulai pada

tahun 1960 yang terhenti karena pemberontakan G.30.S/PKI ketika bangsa dan

negara mengkonsentrasikan diri menyelematkan masa depan yang hampir saja

dikoyak komunis.

Pemugaran candi secara serius baru terlaksana pada masa Orde Baru, melalui

SK Presiden RI No.217 tahun 1968 tanggal 4 Juli 1968 dibentuk Panitia Nasional

yang bertugas mengumpulkan dana dan melaksanakan pemugaran. Tahun

berikutnya Presiden membubarkan Panitia tersebut dan membebankan tugas

pemugaran kepada Menteri Perhubungan.

142

Tahun 1973 diresmikan permulaan pemugaran yang selesai pada tanggal 23

Februari 1983. Usaha penyelamatan ini adalah yang paling mantap dalam sejarah

perawatan Borobudur .

Tiga Serangkai

Kapan Borobudur didirikan secara pasti belum ditemukan datanya. Dari

Prasasti Karangtengah bertahun 824 M maupun Prasasti Sri Kahulungan bertahun

842 menyebutkan bahwa ada tiga buah candi yang didirikan untuk

mengagungkan kebesaran Buddha, yaitu Mendut, Pawon dan Borobudur.

Bangunan yang dimaksud adalah Candi Mendut yang didirikan oleh

Pramudyawardani, Candi Pawon yang didirikan oleh oleh Indra dan Borobudur

yang didirikan oleh raja kondang dynasti Syailendra bernama Smaratungga.

Enatah yang mana lebih dahulu didirikan, yang jelas ketiganya mempunyai makna

tersendiri dan mempunyai keterikatan yang satu dengan yang lainnya.

Dari relief yang ada, Candi Mendhut didirikan untuk memperingati khotbah

pertama Sang Buddha. Pada dinding itu jelas ditawarkan alternatif yang boleh

dipilih oleh pengikut Sang Buddha, yaitu hidup meninggalkan keduniawian

sebagai bhikkhu (pertapa) atau hidup dalam keduniawian demi kesejahteraan

sesama menampilkan kemakmuran bagi bangsa dan negara. Buddha

mengajarkan pemilihan termaksud dengan konsekwensi yang pasti dan jelas.

Untuk mengetahui lebih mendalam tentang kehidupan hingga tercapainya

Nibbana (Nirvana), maka di Borobudur dijelaskan secara rinci, dari kehidupan

penuh nafsu, melalui kelahiran demi kelahiran baik dalam alam binatang, alam

dewa atau pun alam manusia hingga akhirnya tidak ada kelahiran lagi yang

dinamakan Nibbana itu.

143

Tetapi untuk mengetahui lebih mendalam akan makna yang tercantum pada

dinding Borobudur, batin kita hendaknya dimatangkan dulu di Candi Pawon.

Demikianlah makna perjalan ziarah agama Buddha menuju Borobudur.

Dari Mendhut, menyinggahi Pawon menuju Borobudur, bukannya sebaliknya

dari yang termegah menuju awal mencari dharma. Ini juga dapat digambarkan

kehidupan kita, mula-mula mencari pegangan hidup, memilih diantara alternatif

yang tersedia kemudian melalui pendadaran yang penuh sepi dan keprihatinan

untuk mencapai kejayaan. Ketiganya terletak pada satu garis lurus dari timur

menuju barat.

Relief Borobudur

Bilamana kita ingin “membaca” semua relief yang ada pada dinding Candi

Borobudur, kita harus mulai dari Gapura Timur. Pada lantai pertama, segera

membelok ke kiri berjalan searah jarum jam yang disebut “pradaksina”. Sebagai

relief pertama dilukiskan ketika Sang Bodhisatta (Bodhisatva) berada di sorga

Tusita, dihantar oleh dewa ketika akan lahir sebagai manusia. Barulah pada

dinding ke 13 dilukiskan ketika Permaisuri Maya bermimpi seekor gajah masuk ke

dalam rahimnya sebagai pertanda akan melahirkan putra mahkota pada usia

lanjut.

Mengelilingi dinding pertama hingga pada ujung Gapura Timur lagi dilukiskan

ketika Sang Buddha membabarkan dhamma (dharma) untuk pertama kali

dihadapan lima orang pertapa di Taman Isipatana. Kisah kehidupan ini disebut

Lilitavistatara.

Membaca relief lantai kedua sampai dengan lantai keempat secara

pradaksina dapat disaksikan penggambaran ketiga Sang Bodhisatta tumimbal

lahir sebelum kelahirannya yang teakhir sebagai manusia Siddhattha

(Siddhartha). Himpunan cerita ini ada yang melukiskan ketika hidup sebagai

144

kelinci, gajah, manusia bahkan dewa. Cerita ini diambil dari kitab kelima dari

Sutta Pitaka, bagian dari Khudaka Nikaya yang disebut Jataka. Cerita dari Jataka

ini sangat disukai oleh anak-anak beragama Buddha, dan menjadikannya

berkeyakinan akan adanya tumimbal lahir sebelum tercapainya Nibbana.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Kalau empat

lantai sebelumnya berbentuk bujursangkar, tiga lantai tanpa relief yang disebut

Arupa-Datu berbentuk lingkaran. Bagian kesembilan adalah stupa induk.

Masih ada lagi satu lantai basement (bawah tanah) yang hanya dibuka

sedikit, disebut Kama-Datu, menggambarkan memenuhan nafsu. Empat lantai

berrelief oleh ahli sejarah disebut Rupa-Datu. Itulah sebabnya Borobudur disebut

juga “ bangunan suci sepuluh tingkat”. Bagi penggemar sejarah, Borobudur tidak

mungkin disaksikan sekali, dua kali bahkan sepuluh kali. Ditelusuri seribu kalipun

Borobudur tidak habis-habisnya bercerita. Pancaran Borobudur menembus batas

waktu yang mengarungi abad demi abad memancarkan misi yang mengagungkan

kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Borobudur bagaikan mutiara yang

memancarkan sinar keagungannya sepanjang masa.

Candi Prambanan

Peninggalan Hindhu terbesar di Jawa Tengah dan Daerah IstimewaYogyakarta

ini terletak lebihkurang 17 kilometer disebelah timur laut Yogyakarta. Candi

Prambanan merupakan komplek percandian dengan candi induk menghadap ke

arah timur, dengan bentuk secara keseluruhan menyerupai gunungan pada

wayang Kulit setinggi 47 meter. Agama Hindhu mengenal Tri Murti yang terdiri

dari Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa Whisnu sebagai Sang

Pemelihara, Dewa Shiwa sebagai Sang Perusak. Bilik utama dari candi induk

ditempati Dewa Shiwa sebagai Maha Dewa sehingga dapat disimpulkan bahwa

candi Prambanan merupakan candi Shiwa.

145

Candi Pramabanan atau Candi Shiwa ini juga sering disebut sebagai candi Roro

Jonggrang berkaitan dengan Legenda yang menceriterakan tentang seorang dara

yang Jonggrang (jangkung) Putri Prabu Boko, Raja ini membangun kerajaannya di

atas bukit sebelah selatan komplek candi Prambanan, bagian tepi candi dibatasi

dengan pagar langkan yang dihiasi dengan relief cerita Ramayana yang dapat

dinikmati dengan berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat candi

selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu, ceritera berlanjut pada pagar

langkan candi Brahma yang terletak kiri (sebelah selatan) candi induk. Sedang

pada pagar langkan candi Whisnu yang terletak disebelah kanan (sebelah utara)

candi induk, terdapat relief ceritera Kresna Dwipayana yang menggambarkan

tentang kisah masa kecil Prabu Khrisna sebagai penjilmaan (titisan) Dewa Whisnu

dalam membasmi keangkara murkaan yang hendak melanda dunia.

Bilik candi induk yang menghadap ke arah utara berisi patung Durga,

permaisuri Dewa Shiwa. tetapi umumnya masyarakat menyebut sebagai patung

Roro Jonggrang, yang sebelumnya tubuh hidup dari putri cantik itu yang dikutuk

oleh Ksatria Bandung Bondowoso, untuk melengkapi kesanggupannya

menciptakan seribu buah patung dalam waktu satu malam. Candi Brahma dan

candi Whisnu masing-masing hanya memiliki satu buah bilik, yang ditempati oleh

patung dewa-dewa yang bersangkutan. Dihadapan ketiga candi dari Dewa

Trimurti itu terdapat tiga buah candi yang berisi wahana atau kendaraan ketiga

dewa tersebut, Ketiga dewa itu kini dalam keadaan rusak dan hanya candi yang

ditengah (di depan candi Shiwa) yang masih berisi patung seekor lembuyang

bernama Nandi (kendaraan dewa Shiwa). Patung Angsa sebagai kendaraan

Brahma dan patung Garuda sebagai kendaraan dewa Wishnu yang diperkirakan

dulu mengisi bilik - bilik candi yang terletak dihadapan candi kedua Dewa itu, kini

telah hilang.

146

Keenam candi itu merupakan kelompok yang saling berhadap-hadapan,

terletak pada sebuah halaman berbentuk bujur sangkar, dengan sisi panjang 110

meter. Di dalam halaman masih berdiri candi-candi lain, yaitu 2 buah candi

pengapit dengan ketinggian 16 meter yang saling berhadapan, yang sebuah

berdiri di sebelah Utara dan yang lain berdiri di sebelah selatan, 4 buah candi

kelir dan 4 buah candi sudut. Halaman dalam yang dianggap masyarakat Hindhu

sebagai halaman paling sakral ini, terletak di tengah halaman tengah yang

mempunyai sisi 222 meter, dan pada mulanya berisi candi-candi perwara

sebanyak 224 buah berderet - deret mengelilingi halaman dalam tiga baris.

Di luar halaman tengah ini masih terdapat halaman luar yang berbentuk segi

empat dengan sisi sepanjang 390 meter, Komplek candi Prambanan dibangun

oleh Raja - raja Wamca (Dinasty) Sanjaya pada abad ke 9 dan kini merupakan

obyek wisata yang dapat dikunjungi setiap hari antara pukul 06.00 - 17.30.

Komplek candi Prambanan terletak hanya beberapa ratus meter dari jalan Raya

Yogya - Solo yang ramai dilintasi kendaraan umum.

Candi-candi lainnya di Jawa:

Candi Brahma

Nama candi di kompleks Candi Prambanan, terletak di sebelah selatan Candi

Siwa. Didalamnya terdapat patung Brahma yang berkepala empat sebagai dewa

pencipta alam. Dibawah patung Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap

dinding kamar candi terdapat batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat

meletakkan lampu.

Candi Asu

Nama candi yang terletak di Desa Candi Pos, kelurahan Sengi, kecamatan

Dukun, kabupaten Magelang, propinsi Jawa Tengah. Di dekatnya juga terdapat 2

147

buah candi Hindu lainnya, yaitu candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi

tersebut merupakan nama baru yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya.

Disebut Candi Asu karena didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana

dewa Siwa yang diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi

Lumbung karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan

padi. Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat

Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan Sungai

Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk bujur sangkar

dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter, tinggi tubuh candi 3,35

meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui karena telah runtuh dan sebagian

besar batu hilang. Melihat ketiga candi tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-

candi itu termasuk bangunan kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua

buah prasati batu berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M )

dan Sri Manggala II ( 874 M ).

Candi Mendut

Candi Mendut merupakan candi kedua terbesar di daerah Kudu setelah

Barabudur. Candi ini terletak di desa Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak

sekitar 38 km ke arah barat laut kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur.

Candi mendut bersifat Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta

Candi Pawon. Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan

berada dalam satu garis lurus.

Candi Mendut juga tidak diketahui secara pasti tahun pembangunannya dan

raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G. de Casparis dalam disertasinya

menghubungkan Candi Mendut dengan raja Indra, salah seorang raja keturunan

Sailendra. Sebuah prasasti yang ditemukan di desa karangtengah berangka tahun

824 M yang dikeluarkan raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga,

148

menyebutkan bahwa raja Indra ayah Samarattungga telah membangun sebuah

bangunan suci bernama Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini

benar, maka Candi Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang

dapat digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya

tulisan pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas

pintu masuk. Dari segi paleografis tulisan tersebut ada persamaan dengan

tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga di Candi Barabudur sehingga

diduga Candi Mendut sezaman dengan Barabudur dan mungkin lebih tua.

Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai mendapat perhatian meskipun

mengalami nasib yang sama dengan candi-candi lainnya, yaitu dalam kondisi

runtuh dan hancur. Hartman, seorang residen Kedu saat itu mulai

memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897 dilakukan persiapan-persiapan

untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907 J.L.A. Brandes melangkah lebih maju

dan berusaha merestorasi Candi Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan

oleh Van Erp meskipun tidak berhasil merekonstruksi secara lengkap.

J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi Mendutdibangun untuk

memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik utama candi ini terdapat 3 buah

arca yang menurut para ahli arca-arca tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni

yang diapit oleh Bodhisatwa, Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang

Kamahayanikan disebutkan bahwa realitas yang tertinggi (advaya)

memanifestasikan dirinya dalam 3 dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan

Bajrapani. Sebagai candi yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut

juga berisi cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang

yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain adalah

seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di bawahnya

dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek kura-kura tersebut.

Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam menanggapi ejekan, maka

149

terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang dipegang sehingga terjatuh dan

mati. Inti ceritanya adalah ajaran tentang sifat kesombongan yang akan

mencelakakan diri sendiri.

Arah candi Mendut tidak tepat ke arah barat, tetapi sedikit bergeser ke arah

barat laut. Luas bengunan keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi

sampai sebagian atapnya sekitar 26,5 meter.

Candi Nandhi

Salah satu candi di kompleks Candi Prambanan terletak di deretan sebelah

timur. Candi ini hanya mempunyai satu tangga masuk yang menghadap ke barat,

tepat di depan jalan masuk ke Candi Siwa. Didalam candi ini terdapat patung

seekor lembu jantan besar berbaring menghadap ke Candi Siwa. Lembu jantan ini

disebut Nandi, yaitu kendaraan Siwa. Pada bagian lain dalam Candi Nandi

terdapat pula dua patung, yaitu Dewa Surya, berdiri di atas kereta yang ditarik

oleh tujuh ekor kuda dan Dewa Candra, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh

sepuluh ekor kuda.

Candi Pawon

Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama Candi Pawon tidak dapat diketahui

secara pasti asal-usulnya. J.G. de Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari

bahasa Jawa Awu(=abu) mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan

suatu tempat. Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur., akan

tetapi casparismengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan

candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata

Sansekerta Vajra (=halilintar) dan anala (=api). Dengan mitologi India, Dewa Indra

digambarkan bersenjatakan vajranala, sehingga apakah ada hubungannya

dengan raja Indra seperti yang disebutkan dalam prasasti Karangtengah.

150

Di dalam bilik candi ini sudah ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk

mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu hal yang menarik dari Candi Pawon ini

adalah ragam hiasnya. Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon

hayati (=kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah

manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).Letak Candi

Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Barabudur, tepat berjarak

1750 m dari candi Barabudur dan 1150 m dari Candi Mendut.

Candi Watu Gudhig

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya

Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah

barat jalan raya Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga

merupakan nama baru yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu

candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik sperti penyakit

kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.

Candi Sukuh

Sebuah candi yang dibangun pada sekitar abad XV terletak di lereng gunung

Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah . Dari permukaan air laut,

ketinggiannya sekitar 910 M. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah.

Kompleks Situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan

bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 Km dari kota

Karanganyar. Situs purbakala Candhi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta

“Yohson” ketika masa penjajahan Inggris.

Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candhi Sukuh

antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun

1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk

151

mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat

pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi

Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap.

Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat

berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa

lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu dipadu

dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni

kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.

Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga.

Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring

seperti trapesium, layaknya pylon di Mesir (Pylon : gapura pintu masuk ke tempat

suci). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa”

yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong

“(gapura raksasa memakan mansuia). Gapura dengan karakter 9, buta

karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra

sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai

selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat

relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini

juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut

“(gapura raksasa menggigit ekor ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun

pada sisi utara gapura.

Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang cukup vulgar.

terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan

vagina. Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si

pembuat. Sebab tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat

peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung

makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang

152

melambangkan Dewa Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan

lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk

dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran

yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.

Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”,

yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam

bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan

bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara

Wiyasa Anahut Jalu”. Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa

diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok)

dengan karakter 3, Jalu (laki-laki) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun

1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk

candhi.

Trap Kedua Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran

yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan

wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di

Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok

dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah

selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas besi,

kedua tangannya memegang tangkai “ububan”( peralatan mngisi udara pada

pande besi). Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini

menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat

pembangunan candhi sukuh ini.Pada bagian tengah terdapat relief yang

menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor.

Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku

Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau

tahun 1496 M. Relief pada sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki

153

sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam

seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga Trap ketiga ini trap tertinggi yang

merupakan trap paling suci. Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap semakin

ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi di di Jawa

Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku arsitektur Hindu Wastu

Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk candhi harus bujur sangkar

dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan yang ditengah itulah tempat yang

paling suci.

Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu,

hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh

dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut,

sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu

kebudayaan prahistori jaman Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya

asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi

Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak

petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga

dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu di tengah

pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan

seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic.

Di sebelah selatan jalan batu, di pada pelataran terdapat fragmen batu yang

melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau

yang dikenal dengan Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil

“ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena

perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula

adalah raksasa betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke

wajahnya yang semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari

Uma Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau

154

yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku Kidung

Sudamala. Sejumlah lima adegan yaitu : 1. Relief pertama menggambarkan ketika

Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun

Sadewa menolak. 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat

raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku

“Pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa

diikat kedua tangannya diatas pohoh randu alas karena menolak keinginan

“ngruwat” sang Bethari Durga. Dan sang Durga mengancam Sadewa dengan

sebuah pedang besar di tangnnya untuk memaksa sadewa.. 4. Relief keempat

menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian

diperintahkan pergi kepertapaan Prangalas.

Di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa 5. Relief kelima

menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat Sadewa) berdiri di atas

Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada sang Dewi

Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm,

luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita

ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut :

Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang

madunya yang bernama dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena

kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam

bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular

naga yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara

sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang

Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para dewa.

Demikianlah keterangan menurut kisah adhiparwa.. Pada sebelah selatan

jalan batu ada terdapat candi kecil, yang di dalamnya terdapat arca dengan

ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan

155

kediaman Kyai Sukuh penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi

kecil terdapat arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai

lambang dari dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan

kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu

menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain

mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri

dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai

tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh

dalam candi untuk pengruwatan, yakni prasasti yang diukir di punggung relief

sapi.

Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan

kandungan sengkalan rumit : Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379

Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada

di punggung sapi yang artinya kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika

hendak bersujud di kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di

pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata

yang sama dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian

suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam

pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya

kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk Pengruwatan , seperti yang sudah

diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-

prasasti, maka dapat di pastikan Candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci

untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan. Tetapi dengan

melihat adanya relief lingga-yoni di gapura terdepan dan pada bagian atas candhi

induk, tentulah candhi Sukuh juga sebagai lambang ucapan sukur masyarakat

setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan.yang mereka peroleh

156

Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak”

tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur.

Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara

pengruwatan yakni : a. Relief lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi

sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi.

b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” sang Durga. c. Relief

Garudeya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi

Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “babajang maramati setra

hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka di punggung lembu yakni kata

“pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat”

yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan

pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang

sering di sebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.

Dan ada anak yang diruwat pun mempunyai “sukerta” karena posisinya

dalam keluarga misalnya: anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang

sepasang,kedhana kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang

dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari

misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari

jendela,berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan

sejak lahir misalnya gondang-kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu

kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak

yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran

Bethara Kala. Yang dimaksud ruwat di candi Sukuh jelaskah berbeda dengan

ruwatan anak-anak sukerta. tersebut diatas, tetapi ruwatan yang melingkupi

sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.

Namun di sini perlu kita cermati keberadaan candhi Sukuh ini yang

merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas keta`atan

157

sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-

nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada

ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada

niatan dalam hati kita untuk turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan

kandungan yang tersimpan di dalamnya.

7. MAKANAN TRADISIONAL

Makanan tradisional suku Jawa antara lain:

- Soto Tegal

- Soto Sokaraja

- Tahu Bletok Bumiayu

- Bumbu Tahu Bumiayu

- Getuk Goreng Sokaraja

- Sega Kucing

- Mendoan Purwokerto

- Kripik Tempe Purwokerto

- Soto Kudus

- Lumpia Semarang

- Gudeg Yogya

- Bakpia Pathok

- Kripik Welut

- Ledre Bojonegoro

- Soto Lamongan

- Tahu Campur Lamongan

- Kupang Lontong

- Rujak Soto Banyuwangi

158

SASTRA JAWA

1. Aksara JAWA Ha Na Ca Ra Ka

HURUF BACA MAKNA HURUF

HaHana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang

Maha Suci

NaNur candra,gaib candra,warsitaning candara-pengharapan

manusia hanya selalu ke sinar Illahi

CaCipta wening, cipta mandulu, cipta dadi-satu arah dan tujuan

pada Yang Maha Tunggal

RaRasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih

nurani

KaKarsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk

kesajetraan alam

DaDumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa

adanya

TaTatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar ,totalitas,satu visi,

ketelitian dalam memandang hidup

SaSifat ingsun handulu sifatullah- membentuk kasih sayang seperti

kasih Tuhan

WaWujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun

implikasinya bisa tanpa batas

LaLir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada

tuntunan Illahi

159

Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah

DhaDhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu

dimulai dari dasar

JaJumbuhing kawula lan Gusti -selalu berusaha menyatu -

memahami kehendak Nya

YaYakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas

titah /kodrat Illahi

NyaNyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat

kehidupan

MaMadep mantep manembah mring Ilahi - yakin - mantap dalam

menyembah Ilahi

Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani

Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam

Tha Thukul saka niat - sesuatu harus dimulai - tumbuh dari niatan

NgaNgracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi -

manusia

Hanacaraka atau Carakan adalah aksara yang digunakan untuk menulis

Bahasa Jawa di masa yang lampau. Aksara ini masih diajarkan di sekolah-sekolah

di pulau Jawa. Seperti aksara Asia Tenggara lainnya, aksara ini juga mengambil

model dari Aksara Pallava/Vatteluttu.

160

Contoh tulisan Vatteluttu oleh Rajaraja Chola I.

Meskipun begitu, masing-masing aksara telah memiliki bentuk yang berbeda

sehingga masing-masing pengguna tidak mampu membaca aksara lain meskipun

berada di dalam satu keluarga.

Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka Paku Buwana IX

Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh

Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang

dibawakan Yasadipura adalah "Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara

Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX

Hing Karaton Surakarta Hadiningrat". Dalam makalah itu dikemukakan oleh

Yasadipura (1992 : 9 - 10) bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran (filsafat

hidup) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan

tembang kinanthi, sebagai berikut.

Nora kurang wulang wuruk tak kurang piwulang dan ajaran

Tumrape wong tanah Jawi bagi orang tanah Jawa

Laku-lakune ngagesang perilaku dalam kehidupan

Lamun gelem anglakoni jika mau menjalaninya

Tegese aksara Jawa maknanya aksara Jawa

Iku guru kang sejati itu guru yang sejati

161

Ajaran filsafat hidup berdasarkan aksara Jawa itu sebagai berikut :

Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas

yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang

mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja.

Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia (sebagai ciptaan)

Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data "

saatnya (dipanggil) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia (dengan segala

atributnya) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak

Tuhan

Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup (Khalik) dengan

yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh,

cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran

dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan

menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.

Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang

dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah,

sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat,

berusaha untuk menanggulanginya.

Mengungkap Makna Kehidupan di Balik Huruf Jawa

Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat: Hana

Caraka (Terdapat Pengawal); Data Sawala (Berbeda Pendapat); Padha Jayanya

(Sama kuat/hebatnya); Maga Bathanga (Keduanya mati). Ada begitu banyak

makna secara filosofis dari huruf Jawa tersebut dan makna filososfis tersebut

bersifat cukup general alias tidak hanya untuk orang Jawa saja. Ada beberapa

versi makna huruf Jawa.

162

Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mencetuskan konsep petuah tentang

kepemimpinan yang sangat terkenal, beliau juga berhasil memberi penafsiran

mengenai ajaran budi pekerti serta filosofi kehidupan yang sangat tinggi dan

luhur yang terkandung dalam huruf Jawa. Adapun makna yang dimaksud adalah

sebagai berikut :

(1) HA NA CA RA KA :

Ha: Hurip = hidup

Na: Legeno = telanjang

Ca: Cipta = pemikiran, ide ataupun kreatifitas

Ra: Rasa = perasaan, qalbu, suara hati atau hati nurani

Ka: Karya = bekerja atau pekerjaan.

Ketelanjangan = kejujuran

Bukankah secara fisik manusia lahir dalam keadaan telanjang? Tapi

sebenarnya ketelanjangan itu tidak hanya sekedar fisik saja. Bayi yang baru

lahir juga memiliki jiwa yang “telanjang”, masih suci…polos lepas dari segala

dosa. Seorang bayi juga “telanjang” karena dia masih jujur…lepas dari

perbuatan bohong. Sedangkan CA-RA-KA mempunyai makna cipta-rasa-

karya. Sehingga HA NA CA RA KA akan memiliki makna dalam mewujudkan

dan mengembangkan cipta, rasa dan karya kita harus tetap menjunjung tinggi

kejujuran. Marilah kita “telanjang” dalam bercipta, berrasa dan berkarya.

163

Pengembangan potensi

Jadi HA NA CA RA KA bisa ditafsirkan bahwa manusia “dihidupkan” atau

dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan “telanjang”. Telanjang di sini dalam

artian tidak mempunyai apa-apa selain potensi. Oleh karena itulah manusia

harus dapat mengembangkan potensi bawaan tersebut dengan cipta-rasa-

karsa. Cipta-rasa-karsa merupakan suatu konsep segitiga (segitiga merupakan

bentuk paling kuat dan seimbang) antara otak yang mengkreasi cipta,

hati/kalbu yang melakukan fungsi kontrol atau pengawasan dan filter (dalam

bentuk rasa) atas segala ide-pemikiran dan kreatifitas yang dicetuskan otak,

serta terakhir adalah raga/tubuh/badan yang bertindak sebagai pelaksana

semua kreatifitas tersebut (setelah dinyatakan lulus sensor oleh rasa sebagai

badan sensor manusia).

Secara ideal memang semua perbuatan (karya) yang dilakukan oleh

manusia tidak hanya semata hasil kerja otak tetapi juga “kelayakannya” sudah

diuji oleh rasa. Rasa idealnya hanya meloloskan ide-kreatifitas yang sesuai

dengan norma. Norma di sini memiliki arti yang cukup luas, yaitu meliputi

norma internal (perasaan manusia itu sendiri atau istilah kerennya kata hati

atau suara hati) atau bisa juga merupakan norma eksternal (dari Tuhan yang

berupa agama dan aturannya atau juga norma dari masyarakat yang berupa

aturan hukum dan lain-lain).

(2) DA TA SA WA LA

DA TA SA WA LA (versi pertama)

Da: Dodo = dada

Ta: Toto = atur

164

Sa: Saka = tiang penyangga

Wa: Weruh = melihat

La: lakuning Urip = (makna) kehidupan.

DA TA SA WA LA berarti dadane ditoto men iso ngadeg jejeg (koyo soko)

lan iso weruh (mangerteni) lakuning urip. Dengarkanlah suara hati (nurani)

yang ada di dalam dada, agar kamu bisa berdiri tegak seperti halnya tiang

penyangga dan kamu juga akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.

Kata “atur” bisa berarti manage dan juga evaluate sedangkan dada

sebenarnya melambangkan hati (yang terkandung di dalam dada). Jadi

dadanya diatur mengandung arti bahwa kita harus senantiasa me-manage

(menjaga-mengatur) hati kita untuk melakukan suatu langkah evaluatif dalam

menjalani kehidupan supaya kita dapat senantiasa berdiri tegak dan tegar

dalam memandang dan memaknai kehidupan. Kita harus senantiasa memiliki

motivasi dan optimisme dalam berusaha tanpa melupakan kodrat kita sebagai

makhluk Alloh yang dalam konsep Islam dikenal dengan ikhtiar-tawakal,

ikhtiar adalah berusaha semaksimal mungkin sedangkan tawakal adalah

memasrahkan segala hasil usaha tersebut kepada Alloh.

DA TA SA WA LA (versi kedua):

Da-Ta (digabung): dzat = dzat

Sa: Satunggal = satu, Esa

Wa: Wigati = baik

La: Ala = buruk

DA TA SA WA LA bisa ditafsirkan bahwa hanya Dzat Yang Esa-lah (yaitu

Tuhan) yang benar-benar mengerti akan baik dan buruk. Secara kasar dan

ngawur saya mencoba menganggap bahwa kata “baik” di sini ekuivalen

dengan kata “benar” sedangkan kata “buruk” ekuivalen dengan “salah”. Jadi

165

alangkah baiknya kalau kita tidak dengan semena-mena menyalahkan orang

(kelompok) lain dan menganggap bahwa kita (kelompok kita) sebagai pihak

yang paling benar.

(3) PA DHA JA YA NYA:

PA DHA JA YA NYA = Sama kuatnya (tidak diartikan per huruf).

Pada dasarnya/awalnya semua manusia mempunyai dua potensi yang

sama (kuat), yaitu potensi untuk melakukan kebaikan dan potensi untuk

melakukan keburukan. Mungkin memang benar ungkapan bahwa manusia itu

bisa menjadi sebaik malaikat tetapi bisa juga buruk seperti setan dan juga

binatang. Mengingat adanya dua potensi yang sama kuat tersebut maka

selanjutnya tugas manusialah untuk memilih potensi mana yang akan

dikembangkan. Sangat manusiawi dan lumrah jika manusia melakukan

kesalahan, tetapi apakah dia akan terus memelihara dan mengembangkan

kesalahannya tersebut? Potensi keburukan dalam diri manusia adalah hawa

nafsu, sehingga tidak salah ketika Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa

musuh terbesar kita adalah hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita

masing-masing.

(4) MA GA BA THA NGA :

Ma: Sukma = sukma, ruh, nyawa

Ga: Raga = badan, jasmani

166

Ba-Tha: bathang = mayat

Nga: Lungo = pergi

Secara singkat MA GA BA THA NGA saya artikan bahwa pada akhirnya

manusia akan menjadi mayat ketika sukma atau ruh kita meninggalkan

raga/jasmani kita. Sesungguhnya kita tidak akan hidup selamanya dan pada

akhirnya akan kembali juga kepada Alloh. Oleh karena itu kita harus

senantiasa mempersiapkan bekal untuk menghadap Alloh.

Sejarah Aksara Jawa

Tidak dapat dipungkiri bahwa legenda Aji Saka hingga beberapa generasi

mengilhami dan bahkan mengakar dalam alam pikiran masyarakat Jawa.

Dikatakan oleh Suryadi (1995 : 74-75) bahwa mitologi Aji Saka masih mengisi

alam pikiran abstraksi generasi muda etnik Jawa yang kini berusia tiga puluh

tahun keatas. Fakta pemikiran tersebut menjadi bagian dari kerangka refleksi

ketika mereka menjawab perihal asal-usul huruf Jawa yang berjumlah dua puluh.

Selain Aji Saka sebagai tokoh fiktif, nama kerajaannya yakni Medangkulan

masih merupakan misteri karena secara historik sulit dibuktikan. Ketidakterikatan

itu sering menimbulkan praduga dan persepsi yang bermacam-macam. Misalnya

praduga yang muncul dari Daldjoeni (1984 : 147-148) yang kemudian diacu oleh

Suryadi (1995 : 79) bahwa kerajaan Medangkamulan berlokasi di Blora, sezaman

dengan kerajaan Prabu Baka di (sebelah selatan) Prambanan, yakni sekitar abad

IX. Berdasarkan praduga itu, aksara Jawa (ha-na-ca-ra-ka) diciptakan pada sekitar

abad tersebut.

Praduga Daldjoeni tentang lokasi Medangkamulan memang sesuai dengan

keterangan dalam sebuah teks lontar (Brandes, 1889a : 382-383) bahwa

Medangkamulan terletak di sebelah timur Demak, seperti berikut :

167

“Mangka wonten ratu saking bumi tulen, arane Prabu Kacihawas. Punika

wiwitaning ratu tulen mangka jumeneng ing lurah Medangkamulan, sawetaning

Demak, sakiduling warung.”

Demikianlah ada raja dari tanah tulen, namanya Prabu Kacihawas. Itulah

permulaan raja tulen ketika bertahta di lembah Medangkamulan, sebelah timur

Demak sebelah selatan warung.

Akan tetapi, penanda tahun kelahiran ha-na-ca-ra-ka diatas berbeda

dengan yang terdapat dalam Serat Momana. Dalam Serat Momana disebutkan

bahwa ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Aji Saka yang bergelar Prabu Girimurti pada

tahun (saka) 1003 (Subalidata 1994 : 3) atau tahun 1081 Masehi. Tahun 1003 itu

dekat dengan tahun bertahtanya Aji Saka di Medangkamulan, yakni tahun 1002

yang disebutkan dalam The History of Java jilid II (Raffles 1982 : 80) pada halaman

yang sama dalam The History of Java itu disebutkan pula bahwa Prabu Baka

bertahta di Brambanan antara tahun 900 dan 902, yakni seratus tahun sebelum

Aji saka bertahta.

Sementara itu, dalam Manikmaya (salinan Panambangan, 1981 : 295)

disebutkan bahwa Aji Saka - dengan sebutan Abu Saka mengembara ke tanah

Arab. Di negeri itu ia bersahabat dengan Nabi Muhammad (yang hidup pada akhir

abad VI - pertengahan abad VII). Setelah pergi ke pulau Jawa, dengan sebutan Aji

Saka akbibat berselisih paham dengan Nabi Muhammad (Graff 1989 : 9) ia

menciptakan aksara ha-na-ca-ra-ka. Penciptaan aksara itu diperkirakan pada

sekitar abad VII (sesuai dengan masa kehidupan Nabi Muhammad) karena di

dalam teks tidak disebutkan secara eksplisit.

Warsito (dalam Ciptoprawiro, 1991 : 46) dalam telaah Serat Sastra

Gendhing berpendanpat bahwa syair ha-na-ca-ra-ka diciptakan oleh Jnanbhadra

atau Semar. Dengan demkian, saat kelahiran ha-na-ca-ra-ka sulit ditentukan

karena Semar merupakan tokoh fiktif dalam pewayangan.

168

Pendapat lain dikemukan oleh Hadi Soetrisno (1941). Dalam bukunya yang

berjudul Serat Sastra Hendra Prawata dikemukan bahwa aksara Jawa diciptakan

oleh Sang Hyang Nur Cahya yang bertahta di negeri Dewani, wilayah jajahan Arab

yang juga menguasai tanah Jawa. Sang Hyang Nur Cahya adalah putra Sang

Hyang Sita atau Kanjeng Nabi Sis (Hadi Soetrisno, 1941 : 6). Disamping aksara

Jawa, Sang Hyang Nur Cahya juga menciptakan aksara Latin, Arab, Cina dan

aksara-aksara yang lain. Seluruh aksara itu disebut Sastra Hendra Prawata (Hadi

Soetrisno, 1941 : 3 - 6).

Di kemukakan pula bahwa berdasarkan bentuknya, aksara Jawa

merupakan tiruan dari aksara Arab, mula-mula aksara itu berupa goresan-

goresan yang mendekati bentuk persegi atau lonjong, lalu makin lama makin

berkembang hingga terbentuklah aksara yang ada sekarang (Hadi Soetrisno

1941 : 10). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Aji Saka yang dianggap sebagai pencipta

aksara Jawa itu sebenarnya bukan penciptanya, melainkan sebagai pembangun

dan penyempurna aksara tersebut sehingga terciptalah bentuk aksara dan

susunan atau carakan (ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya) seperti sekarang ini (Hadi

Soetrisno, 1941 : 7). Terciptanya bentuk aksara dan carakan itu melibatkan kedua

abdinya, Dora dan Sembada yang menemui ajalnya secara tragis.

Selian yang telah diuraikan di atas, ada dugaan bahwa kisah tragis Dora dan

Sembada dalam legenda Aji Saka merupakan simbol perang saudara untuk

memperebutkan tahta Majapahit. Perebutan ia mengakibatkan hancurnya kedua

belah pihak, menjadi bangkai dengan ungkapan ma-ga-ba-tha-nga. Tentu saja

kisah simbolik yang melahirkan aksara ha-na-ca-ra-ka itu muncul setelah

hancurnya kerajaan Majapahit, antara abad XVI dan XVII (Atmodjo, 1994 : 26).

Dugaan lain adalah bahwa peristiwa tragis yang menimpa Dora dan

Sembada merupakan simbol gerakan milenarianisme, yakni gerakan yang

mengharapkan datangnya pembebasan atau ratu adil, dengan ungkapan ha-na-

169

ca-ra-ka (Atmojo, 1994 : 26). Namun kapan datangnya pembebasan dan siapa

yang dimaksud dengan ratu adil, apakah Raden Patah yang berhasil naik tahta

setelah Majapahit runtuh atau Sutawijaya yang mampu menyelamatkan negeri

(Pajang) dari rongrongan Arya Penangsang ataukah tokoh lain, masih merupakan

tanda tanya yang sulit untuk memperoleh jawaban secara ilmiah atau nalar.

Praduga-praduga di atas mencerminkan keragaman pendapat, keragaman

itu sulit dapat timbul dari persepsi yang berbeda-beda sehingga sulit untuk

menentukan persamaan waktu atas kelahiran ha-na-ca-ra-ka. Kesulitan itu dapat

disebabkan oleh sifat legenda yang fiktif sehingga memungkinkan terjadinya

perbedaan antara sumber yang satu dan sumber yang lain, sesuai dengan

kehendak pengarang atau penulis masing-masing. Perbedaan praduga pertama

(Daldjoeni) dengan praduga kedua (dalam Serat Momana) dan praduga ketiga

(dalam The History of Java) misalnya terletakpada selisih waktu dua abad,

sedangkan praduga kedua dengan praduga ketiga hanya mempunyai selisih satu

tahun. Perbedaaan ketiga praduga tersebut akan lebih beragam jika menyertakan

perkiraan hidup Aji Saka dalam Manikmaya, pendapat Warsito dan Hadi

Soetrisno serta kisah-kisah simbolik di atas. Selain itu masih terbuka

kemungkinan yang dapat menimbulkan perbedaan yang berasal dari teks-teks

lain yang belum sempat diungkapkan di sini, termasuk misteri pencipta aksara

tersebut.

Konsepsi secara Ilmiah Kelahiran pada perkembangan aksara Jawa erat

hubungannya dengan kelahiran dan perkembangan bahasa Jawa. Secara alami,

mula-mula bahasa Jawa lahir sebagai alat komunikasi lisan pemakainya. Bahasa

Jawa yang dilisankan itu, seperti bahasa ragam lisan pada umumnya, terikat oleh

waktu dan tempat (lihat Molen, 1985 : 3) untuk melepaskan diri dari

keterikatannya, sesuai dengan pola pikir pemakainya dan sejalan dengan

tantangan zaman akibat pengaruh lingkungan serta perkembangan ilmu dan

170

teknologi, sarana yang nyata dan kekal, berupa aksara diciptakan. Aksara yang

dipakai etnik Jawa muncul pertama kali setelah orang-orang India datang ke

pulau Jawa. Diperkirakan bahwa sebelum itu etnik Jawa belum mempunyai

aksara (Poerbatjaraka, 1952 : vii) sehingga masih berlaku tradisi kelisanan.

Dengan munculnya aksara, mulailah tradisi keberaksaraan untuk menciptakan

bahasa ragam tulis, meskipun tradisi kelisanan tetap berlangsung.

Hasil teknologi baru yang berupa tulisan memang memainkan peranan

yangamat penting dalam sejarah manusia, dalam kehidupan sehari-hari di bidang

ilmu pengetahuan, politik dan sebagainya. Ada perbedaan mendasar antara

peradaban yang tanpa tulisan dan peradaban yang mempunyai tulisan (Molen,

1985 : 3) peradaban yang mempunyai tulisan setidaknya mempunyai kelebihan

setingkat lebih maju.

171

172

173

174

175

176

177

2. Kesusastraan Jawa

Awal ditemukannya Sastra Jawa itu terdapat pada satu prasasti yang

ditemukan di daerah Sukabumi, Pare, Kedhiri, Jawa Timur. Prasasti yang biasanya

disebut Prasasti Sukabumi ini ditulis pada tanggal 25 Maret tahun 804 M. Isinya

ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Setelah Prasasti Sukabumi, terdapat prasasti lainnya dari tahun 856 M yang

isinya terdapat tembang kakawin. Kakawin yang isinya sudah tidak lengkap lagi

ini, merupakan tembang berbahasa Jawa Kuno yang tertua.

Biasanya sejarah sastra Jawa terbagi menjadi 4 jaman:

Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Tengahan

Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Modern

Selain itu juga terdapat kategori khusus lagi, yaitu Sastra Jawa-Bali. Sastra ini

merupakan lanjutan dari Sastra Jawa Tengahan. Setelahnya terdapat juga Sastra

Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-

Palembang.

Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling ungul

dan paling banyak tersimpan karyta sastranya. Adapun setelah Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945 sastra Jawa agak dianggap sebagai

anak tiri di NKRI. Karena yang diutamakan adalah rasa kesatuan bangsa

Indonesia.

Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno kurang lebih ditulis kira-kira awal abad ke-9 M sampai abad

ke-14 M, diawali dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis berbentuk

gancara atau tembang (kakawin).

178

Daftar sastra Jawa Kuno yang berwujud gancaran adalah:

1. Candakarana

2. Sang Hyang Kamahayanikan

3. Brahmandapurana

4. Agastyaparwa

5. Uttarakanda

6. Adiparwa

7. Sabhaparwa

8. Wirataparwa

9. Udyogaparwa

10. Bhismaparwa

11. Asramawasanaparwa

12. Mosalaparwa

13. Prasthanikaparwa

14. Swargarohanaparwa

15. Kunjarakarna

Daftar karya sastra Jawa Kuno yang berwujub tembang (kakawin) adalah:

1. Kakawin Tanpa Nama (Prasasti Siwagṛha), 856 Masehi.

2. Kakawin Ramayana ~ 870 Masehi.

3. Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030 Masehi.

4. Kakawin Kresnayana

5. Kakawin Sumanasantaka

6. Kakawin Smaradahana

7. Kakawin Bhomântaka (Bhomakāwya)

8. Kakawin Bhāratayuddha, mpu Sedah lan mpu Panuluh, 1057 Masehi.

9. Kakawin Hariwangsa

179

10. Kakawin Gathotkacasraya

11. Kakawin Wretasañcaya

12. Kakawin Brahmandapurana

13. Kakawin Kunjarakarna, mpu "Dhusun"

14. Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca 1365 Masehi.

15. Kakawin Arjunawijaya, mpu Tantular

16. Kakawin Sutasoma, mpu Tantular

17. Kakawin Pārthayajña

18. Kakawin Nitisastra

19. Kakawin Nirarthaprakreta

20. Kakawin Dharmasunya

21. Kakawin Harisraya

Sastra Jawa Baru

Sasta Jawa Baru kurang lebih lahir setelah masuknya agama Islam di pulau

Jawa khususnya Demak antara abad ke-15 sampai ke-16 M. Hingga masuknya

agama Islam, orang Jawa mendapat ilham baru dalam menulis karya sastranya.

Awalnya di permulaan waktu, jaman Sastra Jawa Baru, banyak dikarang karya-

karya sastra tentang agama Islam. Suluk Malang Sumirang itu salah satu yang

paling penting.

Gaya bahasa di waktu-waktu dulu masih mirip Bahasa Jawa Tengahan.

Sesudah tahun 1650 M, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi lebih dominan.

Sesudah masa ini, ada juga renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitab-kitab kuno yang

dipengaruhi agama Hindu-Budha segera dipelajari dan ditulis dengan bahasa

yang baru.

Salah satu jenis karya yang khusus yaitu karya sastra yang dinamakan babad.

Karya ini menceritakan sejarah. Jenis ini juga ditemukan di Sastra Jawa-Bali.

180

Karya Sastra Jawa Baru (Jaman Islam)

1. Kitab Sunan Bonang

2. Primbon Islam

3. Suluk Sukarsa

4. Serat Koja Jajahan

5. Suluk Wujil

6. Suluk Malang Sumirang

7. Serat Nitisruti

8. Serat Nitipraja

9. Serat Sewaka

10. Serat Menak

11. Serat Yusup

12. Serat Rengganis

13. Serat Manik Maya

14. Serat Ambiya

15. Serat Kanda

Jaman Pembangunan dan Setelahnya

1. Serat Rama Kawi

2. Serat Bratayuda, Kyai Yasadipura

3. Serat Panitisastra

4. Serat Arjunasasra

5. Serat Mintaraga, Ingkang Sinuwun Pakubuwana III

6. Serat Darmasunya

7. Serat Dewaruci

8. Serat Ambiya Yasadipuran, Kyai Yasadipura

9. Serat Tajusalatin

181

10. Serat Cebolek

11. Serat Sasanasunu

12. Serat Wicara Keras

13. Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsita

14. Serat Paramayoga, Raden Ngabehi Ranggawarsita

15. Serat Jitapsara

16. Serat Pustaka Raja

17. Serat Cemporet

18. Serat Damar Wulan, Raden Panji Jayasubrata, 1871

Babad-Babad

1. Babad Giyanti

2. Babad Prayut

3. Babad Pakepung

4. Babad Tanah Jawi

182

SISTEM KEMASYARAKATAN DAN POLITIK

Di dalam kenyataannya, masyarakat suku bangsa Jawa masih

membedakan antara orang-orang golongan priayi yang terdiri atas pegawai

negeri dan kaum terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik,

seperti orang tani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga

keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam kerangka

susunan masyarakat ini, secara bertingkat dan berdasarkan atas gengsi-gengsi itu.

Susunan masyarakat Jawa yaitu terdiri atas :

1. Wong cilik

2. Priyayi

3. Bendara

Priayi dan bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan

bawah.

Dari lapisan wong cilik tadi ada pembagian lain.

1. Golongan lapisan yang tertinggi di pedesaan disebut sebagai wong baku,

yaitu lapisan yang terdiri atas keturunan orang-orang yang pertama

datang menetap di desa. Mereka memiliki sawah-sawah, rumah dengan

tanah pekarangannya.

2. Golongan lapisan yang kedua dalam sistem pelapisan sosial di desa disebut

lapisan kuli gandok atau lindung, mereka adalah sekelompok laki-laki yang

telah kawin, tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri sehingga

terpaksa menetap di rumah mertuanya. Namun, tidaklah berarti mereka

itu tidak mempunyai tanah-tanah pertanian, yang didapat dari tanah

warisan atau tanah pembelian.

183

3. Lapisan golongan ketiga adalah lapisan joko, sinoman atau bujangan,

mereka semua belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya

sendiri atau ngenger di rumah orang lain. Golongan ini akan dapat

memiliki tanah-tanah pertanian, rumah-rumah dan pekarangan dari

warisan atau membeli.

Sistem golongan tersebut di atas selanjutnya menimbulkan hak dan

kewajiban yang berbeda-beda dari keluarga-keluarga atau anggota tiap-tiap

lapisan tersebut. Secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut

kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Daerah lain menyebut lurah dengan

istilah berbeda-beda misalnya, petinggi, bekel, glondong, dan sebagainya. Satu

kesatuan desa yang terdiri atas 15-25 desa merupakan satu kesatuan

administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang camat. Di

dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari seorang kepala desa dengan semua

pembantu-pembantunya disebut pamong desa yang mempunyai dua tugas

pokok yaitu tugas kesejahteraan desa dan tugas kepolisian untuk keamanan dan

ketertiban desa.

Organisasi pemerintahan masyarakat Jawa di desa dikepalai oleh seorang

lurah. Lurah dibantu oleh seorang carik yang bertugas sebagai pembantu umum

dan penulis desa, sosial yang memelihara kesejahteraan penduduk, kemakmuran

yang bertugas memperbesar produksi panen, keamanan yang bertanggung jawab

atas ketentraman, dan kaum yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk.

Lurah dipilih oleh dan dari penduduk desa sendiri dengan ketentuan-

ketentuan yang berlaku bagi calon yang dipilih atau yang memilih. Desa

merupakan wilayah yang terdiri atas pedukuhan dan dikepalai oleh kepala dukuh.

Dalam menjalankan usaha dan memelihara serta membangun masyarakat

desanya, pamong desa harus sering mengerahkan bantuan penduduk desa

184

(gugur gunung atau kerik desa), yaitu kerja sama membuat, memperbaiki, serta

memelihara jalan-jalan desa, jembatan-jembatan, bangunan sekolah, balai desa,

saluran air, dan sebagainya.

185

EKONOMI

Bertani merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat jawa.

Selain bertani, sumber penghidupan masyarakat jawa berasal dari pekerjaan-

pekerjaan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan Selain itu, ada pula

beberapa sumber pendapatan lain yang diperoleh dari usaha-usaha kerja

sambilan.

Sumber penghidupan masyarakat suku bangsa Jawa sebagian besar adalah

petani, dan tinggal di pedesaan. Dalam melakukan pekerjaan pertanian ini, ada

yang menggarap tanah pertaniannya untuk kebun kering (pategalan), dan juga

sawah. Selain mengusahakan tanaman padi, biasanya juga mengusahakan

tanaman palawija, baik di pategalan sebagai tanaman utama maupun tanaman

penyela di sawah, misalnya tanaman ketela pohon, jagung, ubi jalar, kedelai,

kacang tanah, kacang tunggak, dan lain-lain.

Sumber penghidupan lain yaitu bekerja sebagai buruh tani, misalnya

sebagai buruh dalam mencangkul, membajak, nggaru, matun, dengan sistem

angkatan (satu angkatan 4 jam). Ada pula cara memperoleh penghasilan dengan

jalan meminjamkan uangnya kepada pemilik sawah yang memerlukan biaya,

misalnya satu masa panen disebut adol oyodan atau denga cara maro

artinyamemperoleh separo bagian hasil panenan antara yang punya modal dan

yang punya lahan. Kalau hanya memperoleh sepertiganya disebut mertelu. Selain

berpenghasilan dari mengolah tanah, sumber penghasilan lain adalah sebagai

pegawai, pedagang, tukang, dan sebagainya.

186

BUDAYA JAWA DITENGAH ARUS MODERNISASI

Eksistensi budaya Jawa telah mengalami pengikisan, dan bisa dikatakan

hampir punah. Kemusnahannya itu, tentu menjadi sesuatu yang ironis, terutama

bagi orang Jawa yang telah kehilangan perilaku dan pola pikir yang sebenarnya

memiliki nilai yang luhur.

Keterasingan atau kepunahan budaya Jawa, adalah kesalahan pelakunya

yang mudah terjebak pada transformasi budaya asing yang kuat berinteraksi

dalam tataran psikis orang Jawa yang haus pembaruan dan perubahan. Dalam

konteks itu, mereka tidak sadar kalau dalam dirinya ada sesuatu yang hilang dan

tak bisa ditebus dengan harta benda.

Realitas keterpurukan budaya Jawa itu, berakibat pada perilaku dan pola

pikir yang berubah. Kalau kita cermati, budaya Jawa memiliki esensi ke ''rasa'';

dan kalau didiskripsikan secara luas dalam berkomunikasi, silaturahmi, maupun

dalam bersikap, budaya itu selalu mengedepankan rasa pangrasa atau egoh

pakewuh. Untuk menjaga perasaan di antara sesama, selalu diusahakan untuk

tidak ada yang tersinggung. Dengan paradigma itulah, kita bisa melihat sebuah

kebersamaan yang selama ini dimiliki orang Jawa.

Budaya Jawa itu sangat halus, tak ubahnya kain sutra membalut jiwa. Dan

jiwa itu bisa hangat dan tentram. Maka, wajar kalau ada tudingan bahwa

kelembuatan budaya Jawa itu menyebabkan eksistensinya mudah ''ditipu''

sehingga mengalami keterpurukan.

Kondisi seperti itu, bisa dirasakan sekarang. Budaya yang adiluhung

tersebut kini hampir tinggal sejarah, akibat transformasi dan intervensi budaya

asing yang begitu gencar merasuki generasi muda kita. Bahkan pada kenyataan,

bahasa jawa sebagai tali cinta dalam pengembangan budaya, juga makin tak

187

terpedulikan di sekolah maupun dalam dialog masyarakat. Dalam kondisi itu, rasa

memiliki atas bahasa atau budaya lambat laun pun menjadi hilang dengan

sendirinya.

Mungkin akan lebih pas bila kondisi Budaya Jawa dewasa ini ibaratnya kali

tempuran, maksudnya pertemuan banyak anak sungai menjadi sungai yang lebih

besar. Arus air pada kali tempuran bila arus anak-anak sungai yang bertemu sama

kuatnya, maka akan membentuk pusaran-pusaran ganas yang bisa

menenggelamkan apa saja yang mengapung padanya. Meskipun demikian

setelah menyatu menjadi satu sungai besar dengan arus kuat, yang terjadi adalah

sungai tenang dengan arus kuat menghanyutkan.

Demikian pulalah perumpamaan Budaya Jawa dalam menempuh alur

sejarahnya. Pada mulanya adalah Jawa asli yang kemudian kedatangan agama-

agama Asia Selatan- Hindu dan Budha - kemudian ketika seusainya perang salib

dan jatuhnya Baghdad oleh bangsa Mongol, agama Islam juga masuk ke Jawa.

Sebagai agama-agama besar Hindu, Budha dan Islam sudah barang tentu juga

membawa budaya bangsa pemeluknya. Sebagai agama besar, maka budaya-

budaya yang menyertainya itu adalah "arus besar" pada masanya. Walaupun

demikian – ibaratnya anak sungai - budaya jawa tidak hilang sepenuhnya. Akan

tepi budaya-budaya 'asing' itu masuk, diterima dan berasimilasi dengan budaya

Jawa, membentuk budaya Jawa yang terbarukan. Bahkan hasil asimilasi budaya

ini telah membangun budaya Jawa yang lebih 'luhur' dan lebih cocok diterima

oleh suku-bangsa Jawa sebagai pelaku kebudayannya.

Pada waktu agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa, maka kedua agama

itu justru seolah bercampur dan memperkaya rona budaya Jawa. Asimilasi

budaya ini diantaranya menghasilkan bangunan megah yang terkenal di dunia,

Candi Prambanan dan Candi Borobudur dan candi-candi sejamannya yang sangat

berdekatan letaknya. Bagaimana ketika agama Islam masuk?

188

Ketika agama Islam masuk, yang terjadi justru memperkaya kebudayaan

dan kesenian Jawa, seperti seni gamelan dan wayang yang sama sekali tidak

hilang, meskipun sebenarnya agama Islam kurang cocok dengan seni-budaya ini.

Memang boleh dikatakan suku Jawa ini tergolong jenius dalam mengelola konflik

budaya. Apalagi yang bersangkut paut dengan keagamaan.

Dalam agama Islam seharusnya hari raya keagamaan yang besar adalah

Idul Adha. Tetapi mengapa di Jawa yang dirayakan secara besar-besaran justru

Idul Fithri? Bahkan perayaan hari raya ini diistilahkan dengan Lebaran, dari kata

asal lebar yang bermakna selesai, lepas dan bebas. Maksudnya orang Jawa Islam

menganggap bahwa hari itu mereka memasuki masa kehidupan dengan awal

kebebasan dari dosa. Bebas dosa setelah ditebus sebulan penuh dengan puasa

Ramelan (Ramadhan).

Pada waktu lebaranlah orang Jawa merayakannya dengan berbagai

tindakan yang berupa ‘peningkatan diri’. Baikdalam berpakaian maupun

menyantap makanan. Dalam merayakannya mereka perlu memakai pakaian

baru, setidaknya lebih bagus dan bersih dari keseharian mereka. Dengan

berpakaian ‘istimewa’ itu mereka berziarah ke makam para leluhur. Mereka juga

membuat masakan khas lebaran, ketupat dan opor ayam, menyambut para

tetamu dalam pesta rakyat yang tulus dalam bermaaf-maafan.

Jaman sekarang kebiasaan berlebaran ini terus dibawa oleh orang-orang

Jawa di perantauan. Jutaan orang tergerak untuk merayakannya di bumi

Nusantara ini. Ribuan armada angkutan umum, ratusan rangkaian kereta api,

ratusan armada laut bahkan angkutan udara sibuk melayani arus manusia Jawa

ini dalam berlebaran yang diistilahkan dengan mudik. Aparat keamanan dan

ketertiban menggelar berbagai gelar pengamanan di sepanjang perjalanan

mudik. Bisa dibayangkan berapa besar arus finansial dalam kegiatan mudik

lebaran ini mengalir ke pulau Jawa. Dan semua peristiwa ini tidak terdapat di

189

negeri-negeri Timur Tengah sebagai asal agama Islam. Negara jiran – Malaysia –

konon tertular gejala mudik ini lewat para TKI.

Seorang ahli budaya menyatakan bahwa Jawa sekarang telah ikut keli

(hanyut) dan tergerus oleh arus besar nilai-nilai yang diusung modernisasi.

Mungkin saja pernyataan itu ada benarnya, namun sebenarnya budaya Jawa itu

tidak hanyut dan tergerus hilang sama sekali. Kembali lagi bila menengok

kejeniusan orang Jawa dalam mengelola konflik dan potensi konflik dalam

budayanya, pasti akan bertahan. Siapa tahu nanti akan terbangun kembali

budaya Jawa modern dengan kepiawaian khas mengelola konflik. Bisa jadi akan

menjadi penyebab menyebarnya nilai-nilai humanisme Jawa (Indonesia). Siapa

tahu denganpengalaman sejarahnya dalam mengelola konflik budaya itu budaya

Jawa modern dapat menjadi tauladan masyarakat dunia dalam menghadapi arus

radikalisme, terorisme dan lain sebagainya.

190

SOLUSI

- Demi membendung pengaruh-pengaruh budaya asing yang berasal dari media

cetak atau elektronik kemunculan berbagai stasiun TV Lokal dapat menjadi

satu angin segar. Hendaknya stasiun TV semacam ini didukung oleh pemda

setempat dan masyarakat Jawa agar tetap eksis dan mampu mempromosikan

budaya Jawa.

- Sebaiknya produk-produk budaya Jawa dipatenkan agar tidak dicaplok oleh

suku bangsa asing.

- Penggalakan pelajaran Muatan Lokal di sekolah-sekolah berupa pelajaran

Bahasa Daerah Jawa, Kesenian seperti menari, karawitan (gamelan).

- Diadakannya festival kebudayaan Jawa oleh pemerintah daerah secara rutin

untuk melestarikan dan mempromosikan kebudayaan Jawa kepada generasi

muda dan juga masyarakat umum.

- Intinya kita sebagai suku Jawa harus memiliki kesadaran dari diri sendiri untuk

berusaha melestarikan kebudayaan Jawa agar tidak terus-menerus terkikis

oleh budaya asing.

191