Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

8
Budaya Aceh Pasca Konflik dan Tsunami Berbicara tentang budaya Aceh takkan pernah habis dan tak pernah selesai sampai kapan pun. Topik yang satu ini menarik dibicarakan, terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama manusia itu ada, selama itu pula persoalan budaya akan terus dibicarakan. Demikian pula halnya dengan budaya Aceh. Kehilangan demi kehilangan yang menimpa orang Aceh sebenarnya telah membuat banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Perubahan itu ada yang bersifat positif, tentu pula tidak sedikit yang bersifat negatif. Perubahan positif akan kita catat dalam sejarah peradaban Aceh sebagai suatu prestasi atau perkembangan, sedangkan yang bersifat negatif marilah sama-sama kita cegah jauh-jauh hari sebelum terlambat. Baik positif maupun negatif, pembicaraan budaya di Aceh ini dibatasi pascakonflik dan tsunami. Perubahan positif antara lain, lahirnya penulis-penulis baru dan munculnya penyanyi-penyanyi baru di Aceh. Hal ini terbukti dari banyaknya buku yang ditulis oleh orang Aceh mengisahkan konflik dan tsunami. Begitu pula nyanyi Aceh, sangat beragam nyanyi Aceh yang beredar di toko-toko kaset saat ini. Intinya, jika kita ingin mendengar

Transcript of Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

Page 1: Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

Budaya Aceh Pasca Konflik dan Tsunami

Berbicara tentang budaya Aceh takkan pernah habis dan tak pernah

selesai sampai kapan pun. Topik yang satu ini menarik dibicarakan,

terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal

yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama

manusia itu ada, selama itu pula persoalan budaya akan terus

dibicarakan. Demikian pula halnya dengan budaya Aceh.

Kehilangan demi kehilangan yang menimpa orang Aceh sebenarnya telah

membuat banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya.

Perubahan itu ada yang bersifat positif, tentu pula tidak sedikit yang

bersifat negatif. Perubahan positif akan kita catat dalam sejarah

peradaban Aceh sebagai suatu prestasi atau perkembangan, sedangkan yang

bersifat negatif marilah sama-sama kita cegah jauh-jauh hari sebelum

terlambat. Baik positif maupun negatif, pembicaraan budaya di Aceh ini

dibatasi pascakonflik dan tsunami.

Perubahan positif antara lain, lahirnya penulis-penulis baru dan

munculnya penyanyi-penyanyi baru di Aceh. Hal ini terbukti dari

banyaknya buku yang ditulis oleh orang Aceh mengisahkan konflik dan

tsunami. Begitu pula nyanyi Aceh, sangat beragam nyanyi Aceh yang

beredar di toko-toko kaset saat ini. Intinya, jika kita ingin mendengar

lagu Aceh, kita sudah dapat memilih beberapa kaset atau CD yang beredar

di pasaran dan tidak susah mencarinya. Andai tidak cukup duit untuk

membeli CD-CD itu, kita dapat memutar beberapa gelombang radio yang

dengan rutin pula memutar lagu-lagu Aceh.

Fenomena ini menunjukkan bahwa konflik dan tsunami telah membawa banyak

ilham pada generasi muda Aceh untuk mengimplementasikan kebudayaannya.

Dengan demikian, budaya Aceh saat ini dapat dilihat, ditemukan, atau

dinikmati oleh siapa pun yang berminat di berbagai tempat dan media.

Page 2: Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

Mencermati permasalahan di atas, ada beberapa perubahan dalam

masyarakat kita saat ini. Perubahan tersebut terdapat pada pandangan

masyarakat Aceh terhadap petuah atau kebiasaan-kebiasaan yang telah

turun-temurun berlaku dalam masyarakat. Petuah atau kebiasaan yang

dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai dikesampingkan oleh

generasi muda kita dalam karya-karyanya. Masalah yang kedua ini penulis

namakan perubahan negatif yang terjadi pascakonflik dan tsunami.

Sehubungan dengan itu marilah kita cermati bagaimana ssungguhnya budaya

Aceh. Budaya yang dijalani oleh masyarakat Aceh adalah budaya yang

islami. Artinya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh

tidak bertentangan dengan ajaran islam. Budaya yang islami ini kita

harapkan dapat tercermin dalam semua laku dan kehidupan orang Aceh,

tidak terkecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh generasi muda Aceh

terkini dan CD-CD Aceh yang sedang marak-maraknya dijual di pasaran.

Dengan demikian, jika anak cucu kita kelak atau orang lain membaca atau

menonton VCD-VCD Aceh, mereka sekaligus dapat menatap, menikmati, dan

melestarikan kebudayaan itu dalam kehidupannya. Artinya, dalam menulis

apa saja yang berlatar belakang keacehan, penulis itu haruslah

mengedepankan persoalan yang satu ini. Begitu pula bagi yang terlibat

dalam pembuatan VCD-VCD Aceh, baik penyanyi, maupun model-model

(bintang) yang dipertontonkan dalam VCD itu, hendaknya memperhatian

nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Hal ini perlu

kita ingatkan bersama oleh karena media ini (VCD) merupakan salah satu

media yang sangat ampuh dalam menyampaikan pesan-pesan kebudayaan.

Pesan budaya yang ada dalam VCD tidak hanya dapat didengar, tetapi

dapat pula disaksikan dengan mata kepala seseorang baik yang berasal

dari Nanggroe Aceh Darussalam, maupun yang berasal dari luar. Dengan

menonton VCD yang bernuansa keacehan, secara tidak langsung orang itu

sudah melihat kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Singkatnya, VCD aceh

dapat menjadi cerminan kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena VCD-VCD

itu sesungguhnya merupakan miniatur kehidupan sosial masyarakat Aceh.

Page 3: Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

Sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat Aceh, VCD Aceh hendaknya

dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh yang alamiah dan islami.

Kalau kita tidak memperhatikan kedua hal itu (alamiah dan islami) orang

yang menonton VCD aceh akan mengira orang Aceh itu munafik. Munafik

yang dimaksud adalah lain yang dielu-elukan di mulut, lain pula yang

dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.

Kenyataan ini tertera hampir pada semua sampul VCD aceh saat ini,

perempuan yang menjadi model pada sampul CD tersebut sangat banyak yang

tidak memakai jilbab. Ironisnya lagi dara-dara Aceh yang cantik, mulus,

dan berhidung mancung itu memakai celana jeans dan bertopi. Busana yang

mereka pakai lagaknya busana bintang-bintang film luar negeri saja.

Belum lagi dalam VCD aceh itu ditayangkan pula laki-laki yang memakai

anting. Sungguh suatu hal yang tidak dapat ditolerir dan tak dapat

dibiarkan oleh pihak-pihak pemangku adat di Aceh jika kita tidak ingin

adat Aceh itu menjadi hancur.

Dua permasalahan berpakaian di Aceh yang tercermin dalam sampul CD dan

VCD aceh itu, jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada badan atau pihak

yang mengontrol, penulis yakin suatu ketika adat Aceh yang selama ini

kita anuti akan hilang bersamaan dengan melajunya globalisasi di Aceh.

Permasalahan ini tidak besar memang jika dipandang oleh orang lain yang

tak memahami palsafah hidup orang Aceh. Namun, tidak demikian halnya

bagi orang-orang yang mengetahui dalam dirinya mengalir darah para

syuhada Aceh. Permasalahan berbusana ini merupakan suatu persoalan adat

tak tertulis yang sudah diatur jauh sebelum diterapkannya syariat Islam

di Aceh dan bagi yang melanggar sesungguhnya akan mendapat hukuman tak

tertulis pula dari masyarakat.

Masalah adat berbusana di Aceh merupakan pembicaraan sangat urgen dalam

deretan khasanah kebudayaan lainnya. Sebab, di NAD jauh sebelum

berlakunya syariat Islam sebenarnya kebiasaan-kebiasaan berpakaian itu

Page 4: Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

sudah ada ketentuannya, yakni sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini

terjadi karena adat-istiadat di NAD tidak bertentangan dengan agama,

bahkan disebutkan adat dan agama itu tak ubahnya seperti zat dan sifat,

tidak dapat dipisahkan.

Lalu bagaimanakah idealnya busana aceh? Busana aceh itu definisinya

sangat sederhana, yakni busana/ pakaian yang menutup aurat. Di Aceh,

pakaian laki-laki dan perempuan jelas ada perbedaannya. Perempuan

mengenakan rok, baju agak longgar, dan memakai tutup kepala “kini

dikenal dengan jilbab’, sedangkan asesorisnya biasanya perempuan Aceh

memakai cincin emas, gelang tangan emas, kalung emas, anting emas, dan

jam tangan. Adapun laki-laki, mengenakan celana panjang, baju kemeja,

baju kaos oblong, kopiah/ topi dengan asesoris paling-paling jam tangan.

Pengelompokan busana Aceh yang telah penulis deskripsikan di atas

memperlihatkan pada kita betapa mudah dan indahnya aturan berbusana di

Aceh, sehingga kecil sekali kemungkinannya orang Aceh akan salah

memilih busana. Jika ada orang yang keliru memilih busana, misalnya

topi/ kopiah dipakai oleh anak perempuan, atau anting dipakai oleh anak

laki-laki, orang itu disebut tidak waras. Sebab hanya orang yang sudah

tidak waras yang mau memakai pakaian yang bukan pakaiannya. Misalnya

anting atau keurabu bahasa Aceh, asesoris itu siapa pun yang mengakui

dirinya orang Aceh, dari zaman dahulu hingga sebelum tsunami

menghancurkan NAD tidak pernah menempel pada telinga seorang laki-laki

‘aneuk agam’. Kalau juga hal itu terdapat pada seorang anak Aceh yang

lahir, hidup, dan tinggal di Aceh, anak laki-laki yang memakai anting

itu disebut pungoe. Seandainya anak tersebut masih memiliki orang tua,

orang tuanyalah yang dikatakan tidak tahu mengajar anak, atau anak yang

demikian dikatakan tak tahu adat dan dia serta seluruh keluarganya akan

dikucilkan dalam masyarakat.

Namun, apa yang sedang berlaku saat ini, dara-dara Aceh yang ceudah

jeulita ‘cantik menawan’ menari-nari tanpa busana muslim. Mereka tidak

Page 5: Budaya Aceh Pasca Konflik Dan Tsunami

memakai rok layaknya perempuan-perempuan Aceh. Mereka juga tidak

memakai baju longgar, melainkan sebaliknya, dan mereka juga tidak

menutup kepalanya dengan jilbab atau ija top ulee, tetapi menutupnya

dengan topi ala Eropa. Di dalam tayangan VCD itu kita juga dapat

melihat ureung agam memakai anting dengan rambut model bintang film

luar negeri. Inikah kebudayaan Aceh pascakonflik dan tsunami?

Masyaallah!

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetuk pintu hati

petinggi-petinggi NAD yang berwenang mengayomi dan melindungi

adat-istidat Aceh. Sebaiknya dapat dimanfaatkan badan yang salama ini

mengurus adat-istiadat atau paling tidak ditunjuk sebuah tim yang

khusus menyensor VCD aceh. Tim sensor ini yang akan menilai apakah

tanyangan VCD itu bertentangan dengan adat-istiadat Aceh atau tidak.

Seterusnya tim ini pula yang akan merekom dapat atau tidaknya VCD

tersebut dijual. Matee aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita?

From Zulfah Unimal