BOKS Penelitian Dampak Kelebihan 0% · PDF filekewenangan di bidang pengendalian muatan...
Transcript of BOKS Penelitian Dampak Kelebihan 0% · PDF filekewenangan di bidang pengendalian muatan...
BOKSBOKSBOKSBOKS
R IN G KA SA N E KSE KU T IF R IN G KA SA N E KSE KU T IF R IN G KA SA N E KSE KU T IF R IN G KA SA N E KSE KU T IF
P E N E L IT IA N D A M P A K P E N E R A P A N KE BIJA KA N 0 % KE L E BIH A N P E N E L IT IA N D A M P A K P E N E R A P A N KE BIJA KA N 0 % KE L E BIH A N P E N E L IT IA N D A M P A K P E N E R A P A N KE BIJA KA N 0 % KE L E BIH A N P E N E L IT IA N D A M P A K P E N E R A P A N KE BIJA KA N 0 % KE L E BIH A N
M U A T A N T E R H A D A P P E R E KON OM IA N JA W A T E N G A HM U A T A N T E R H A D A P P E R E KON OM IA N JA W A T E N G A HM U A T A N T E R H A D A P P E R E KON OM IA N JA W A T E N G A HM U A T A N T E R H A D A P P E R E KON OM IA N JA W A T E N G A H
Sektor transportasi merupakan sektor vital dalam perekonomian kaitannya
dengan arus distribusi barang. Gangguan di sektor transportasi akan berdampak pada
kelancaran arus distribusi barang, yang ujungnya akan menyebabkan kenaikan harga-
harga barang karena dorongan biaya (cost push inflation).
Di sisi lain persoalan di sektor transportasi dengan segala kompleksitasnya
adalah fenomena yang nampak dan telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat.
Jalan yang rusak, pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas oleh pengguna jalan,
muatan barang yang melebihi batas dan persoalan-persoalan lainnya adalah wajah
sehari-hari sektor transportasi kita. Belum lagi pungutan-pungutan tidak resmi jalan
yang banyak dikeluhkan oleh sebagian kalangan, telah menjadi sebab ekonomi biaya
tinggi (high-cost economy) yang ujungnya adalah inefisiensi ekonomi.
Di sinilah arti pentingnya penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia
Semarang tentang “Dampak Penerapan Kebijakan 0% kelebihan Muatan terhadap
Perekonomian Jawa Tengah”. Penelitian ini dilaksanakan secara berkolaborasi dengan
Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) Fakultas Ekonomi UNDIP.
1. LATAR BELAKANG MASALAH Rencana penerapan kebijakan 0% kelebihan muatan di Jawa Tengah
menimbulkan perdebatan di antara pelaku di sektor transportasi. Dari satu sisi kebijakan
ini bertujuan untuk menata lalu lintas khususnya muatan barang dan aspek yang terkait
dengannya sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Namun di sisi lain kebijakan ini
ditentang, karena muatan lebih selama ini telah menjadi bagian dalam berlalu lintas
dengan mempertimbangkan aspek biaya. Oleh karena itu kebijakan 0% kelebihan
muatan ditentang karena kekhawatiran dampak ekonomi yang ditimbulkannya, baik
dampak biaya maupun kesejahteraan bagi kelompok rumah tangga.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom berkaitan dengan
kewenangan di bidang pengendalian muatan angkutan barang di Jembatan Timbang,
maka Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2001 menindaklanjuti dengan
menerbitkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2001 tentang Tertib Pemanfaatan Jalan
dan Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang. Penerbitan Perda ini atas dasar
pertimbangan bahwa pada saat itu pelanggatan kelebihan muatan tidak dapat
dikendalikan secara terarah dan diindikasikan sebagai penyebab kerusakan jalan.
Dalam perjalanannya, pelaksanaan Perda No. 4/2001 tersebut tidak dapat
berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pada tahun 2006 Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat memfasilitasi untuk melakukan rapat teknis Pengendalian
Kelebihan Muatan Angkutan Barang di Jalan pada tanggal 26 April 2006 di Bandung
dan tanggal 19 Maret 2008 di Solo, yang diikuti oleh Dinas Perhubungan/LLAJ se
Lampung, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Rapat teknis itu menghasilkan pentahapan
pengendalian kelebihan muatan hingga 0%, dengan disertai sosialisasi dan evaluasi
pelaksanaannya dalam setiap kurun waktu tertentu.
Proses pelaksanaan pentahapan telah dilakukan mulai tanggal 1 Agustus-30
September 2008, berupa tahap penindakan pelanggatan >30% dengan penilangan,
pembongkaran dan pengembalian ke tempat asal. Selanjutnya mulai 1 Oktober-31
Desember 2008 akan dilaksanakan penindakan pelanggaran >20%, dan mulai 1
Januari 2009 akan dilaksanakan penindakan >0% dengan toleransi deviasi kelebihan
muatan maksimal 5%.
Berdasarkan evaluasi terhadap hasil pentahapan yang telah dilaksanakan,
muncullah beberapa hal yang mengemuka, antara lain:
1. Secara normatif, sesuai dengan amanat UU bahwa kelebihan muatan
angkutan barang adalah melanggar UU No. 14 /1992 tentang LLAJ Pasal 7
ayat (2), dan PP No. 43/1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Pasal 11.
Ketentuan tersebu bertujuan untuk melindungi pengguna jalan dari risiko
kecelakaan, serta melindungi dan menjaga jalan agar umur efektif tercapai,
sehingga pelanggaran kelebihan muatan harus dilakukan penindakan secara
tegas.
2. Secara ekonomi dalam skala mikro, kelebihan muatan angkutan barang oleh
pelaku bisnis angkutan barang dianggap sebagai suatu efisiensi dalam
manajemen mata rantai distribusi barang (supply chain management),
karena dapat menghemat biaya operasional kendaraan meski dengan
konsekuensi mempercepat kerusakan kendaraan dan juga jalan raya.
3. Pelaksanaan kebijakan o% kelebihan muatan akan membawa dampak yang
memungkinkan dapat merugikan banyak pihak, antara lain:
a. Operator angkutan barang, karena peningkatan biaya operasional
kendaraan.
b. Pemerintah, karena terjadi peningkatan volume penggunaan BBM.
c. Masyarakat, karena dapat menyebabkan peningkatan harga barang
secara agregat sehingga memicu terjadinya inflasi, peningkatan volume
lalu lintas angkutan barang di jalan, dan peningkatan waktu perjalanan
karena peningkatan kepadatan lalu lintas.
Berdasarkan sudut pandang tersebut, banyak pihak yang berpandangan
mengenai faktor penyebab utama kerusakan jalan, apakah karena kelebihan muatan
kendaraan angkutan barang, konstruksi jalan yang tidak sesuai dengan seharusnya,
ataukah desain jalan yang tidak memperhatikan drainase mengingat Indonesia
merupakan daerah tropis yang memiliki tingkat kelembaban tanah tinggi.
2. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan lata belakang masalah di atas, maka penelitian ini memiliku tujuan
sebagai berikut:
1. Mengetahui dampak ekonomi dalam skala makro dan mikro, baik bagi pemerintah,
operator angkutan barang, dan masyarakat luas, yang mungkin timbul apabila
kebijakan 0% kelebihan muatan dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2009;
2. Menghasilkan alternatif solusi yang dapat memberikan manfaat bagi pemerintah,
operator angkutan barang, dan masyarakat luas.
Namun demikian, mengingat kompleksitas persoalan di sektor transportasi maka
persoalan penerapan kebijakan di sektor transportasi ini tidak menutup pula untuk
ditinjau dari berbagai sudut tinjauan. Oleh karena itu, meskipun penelitian ini bertujuan
untuk melihat dampak ekonomi, tetapi analisisnya tidak bisa dipisahkan dari aspek
hukum, teknis maupun kelembagaan.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan secara langsung
melalui wawancara dengan responden terpilih dan data sekunder yang diperoleh dari
instansi terkait.
− Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara secara langsung kepada
responden terpilih. Responden terpilih dalam hal ini meliputi; pelaku usaha
transportasi (sopir dan pengusaha), jembatan timbang, Dishubkominfo dan
masyarakat umum (YLKI, LSM dan lainnya). Lokasi wawancara meliputi 5
Kabupaten/Kota, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Demak,
Kabupaten Kendal dan Kabupaten Batang dengan jumlah sampel yang telah
ditetapkan sebelumnya (quoted sampling). Sedangkan informasi dari pihak lain
diperoleh dengan melakukan focus group discussion (FGD)
− Untuk menunjang data primer, data sekunder juga dikumpulkan dari instansi-
instansi terkait, antra lain Dishubkominfo, Dinas Bina Marga, Dinas PSDA,
Disperindag, dan Biro Perekonomian Provinsi Jawa Tengah.
3.2 Metode Analisis Hasil yang diperoleh dari wawancara kepada responden selanjutnya dilakukan
Analisis Deskriptif dan Cluster Analysis. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
gambaran penyesuaian dan perubahan perilaku yang menonjol/bermakna dari setiap
kelompok pelaku ekonomi seandainya kebijakan 0% kelebihan muatan diterapkan.
Cluster Analysis adalah salah satu teknik multivariate yang tujuan utamanya
adalah untuk mengelompokkan objek berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Dalam
cluster analysis, data dikelompokkan dengan cara menempatkan observasi-observasi
yang mirip ke dalam satu kelompok. Kemiripan (similarity) ini diukur dengan dasar
“jarak” objek (distance). Ini berbeda dengan Principal Componen Anaysis yang
mengukur kemiripan dengan dasar korelasi antar variabel.
Selanjutnya dilakukan analisis dampak, yaitu dengan cara mengkombinaskan
hasil dari analisis deskriptif dan cluster analysis dengan informasi lain yang diperoleh,
baik melalui wawancara maupun data sekunder dari instansi maupun ahli, untuk
mengidentifikasi dampak terhadap variabel ekonomi.
4. TEMUAN HASIL PENELITIAN
Berdasarkan survey di lapangan dan kajian yang dilakukan, terdapat beberapa
temuan penting yang diperoleh dari penelitian ini, yaitu antara lain:
1. Sebagian besar responden (76 persen) berkerja pada perusahaan (baik sebagai
karyawan tetap maupun lainnya, seperti mitra dsb), sedangkan sisanya bekerja
secara mandiri (24 persen). Kebanyakan dari kelompok mandiri ini adalah sopir
truk kecil dengan JBI (Jumlah Berat yang Diizinkan) rata-rata 7.500 kg.
2. Sopir yang bekerja pada perusahaan tunduk pada kebijakan perusahaan
sehingga tidak akan melakukan penyesuaian secara independen ketika
kebijakan ini dijalankan. Sementara itu, sopir yang bekerja mandiri akan
melakukan penyesuaian antara lain dengan merubah frekuensi perjalanan.
3. Kecenderungan yang akan dilakukan pengusaha adalah menaikkan tarif, atau
dengan tarif nominal yang sama tapi tarif riil naik (dengan harga sama
mengangkut jumlah barang yang lebih sedikit). Artinya, ada kenaikan beban
ongkos transportasi per satuan barang dibandingkan sebelumnya. Beban ini
akan digeser oleh pengusaha ke konsumen dengan menaikkan harga barang.
Dengan kata lain konsumen yang akan menanggung beban naiknya biaya.
4. Pengusaha kecil atau sopir mandiri cenderung tidak memiliki kekuatan untuk
menggeser kenaikan beban ongkos kepada konsumen. Pada akhirnya, sopir
mandiri ini yang akan menanggung dampak dari kebijakan ini. Meskipun jumlah
sopir mandiri lebih sedikit dibandingkan sopir yang bekerja pada perusahaan,
namun fakta bahwa mereka akan menanggung beban akibat kebijakan nol
persen kelebihan muatan harus menjadi perhatian pemerintah.
5. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan ini, sebagian besar sopir dan
pengusaha mengetahui rencana pelaksanaan kebijakan ini. Pada dasarnya
sebagian besar sopir dan pengusaha menilai bahwa kebijakan ini baik untuk
meningkatkan kelancaran berlalu lintas. Lebih dari itu, kebijakan ini dinilai akan
mempermudah sopir untuk melakukan pekerjaannya dan memperlama umur
kendaraan (mobil lebih awet).
6. Berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan nol persen kelebihan muatan, temuan
focused group discussion dengan pengusaha dan sopir menunjukkan mereka
cenderung pesimistik dengan efektivitas pelaksanaan kebijakan ini.
7. Pesimisme ini antara lain karena selama ini peraturan pemerintah tidak
dijalankan dengan tegas. Hal ini bisa dilihat dari hasil survei dimana 43,69
persen responden menilai bahwa pembayaran retribusi di jembatan timbang
bisa dinegosiasikan. Di samping itu 51,65 persen responden menilai bahwa
mereka masih harus membayar pungutan lain di luar jembatan timbang untuk
kelebihan muatan yang dibawa.
5. KESIMPULAN
Dampak hilangnya pendapatan asli daerah dari retribusi izin dispensasi
kelebihan muatan tidak menjadi faktor penting untuk dipertimbangkan. Ini karena
bukan saja ketidaksesuaian retribusi izin dispensasi kelebihan muatan dengan prinsip
retribusi perizinan sebagaimana diatur dalam PP No. 66/2001 tetapi lebih mendasar lagi
adalah kesalahan filosofis dalam penetapan target retribusi izin dispensasi kelebihan
muatan.
Dampak ekonomi yaitu naiknya harga barang yang ditimbulkan dari kebijakan
ini adalah “harga” yang harus dibayar. Pihak yang akan menanggung harga dari
kebijakan ini pada akhirnya adalah rumah tangga konsumen. Oleh karena itu,
penerapan kebijakan ini harus juga diikuti dengan kebijakan lain untuk untuk
mengantisipasi dampak kenaikan harga. Misalnya; peningkatan infrastruktur jalan
untuk meningkatkan kelancaran arus transportasi barang. Di samping itu, pungutan-
pungutan tidak resmi di jalan harus dihilangkan untuk memangkas high-cost economy
(ekonomi biaya tinggi).
Berdasarkan tinjauan dari berbagai aspek, kesimpulan penelitian ini adalah
bahwa kebijakan nol persen kelebihan muatan tidak ditolak oleh stakeholders karena
kebijakan ini; menurut mereka akan menciptakan kondisi berlalu lintas yang lebih baik.
Namun, efektifitas kebijakan ini dalam implementasinya tergantung kesiapan faktor –
faktor pendukungnya baik dari sisi hukum, teknis, maupun petugas pelaksananya.
Sepanjang faktor-faktor tersebut belum dibenahi seperti yang ada saat ini, efektivitas
kebijakan ini diragukan.
Langkah-langkah yang telah dicanangkan dalam Road Map to Zero overloading
yang diluncurkan oleh Menteri Perhubungan RI harus dituangkan dalam rencana
strategis yang di dalamnya memuat indikator capaian dan time frame yang jelas dan
terukur. Dalam implementasinya, sosialisasi dan koordinasi harus dilakukan melibatkan
pihak-pihak terkait bukan saja instansi, tetapi juga stakeholders seperti asosiasi sopir
dan organisasi angkutan darat serta asosiasi-asosiasi pengusaha lainnya sebagai
pengguna jasa transportasi.
SK.2752/AJ.402/DRJD/2006 tentang buku uji, tanda uji berkala, dan tanda
samping kendaraan bermotor harus dijalankan dulu dengan memberikan smart card
dengan bar code untuk kendaraan yang lolos uji. Oleh karena itu, penerapan sistem
informasi yang on-line di jembatan timbang menjadi sangat penting untuk aplikasi
smart-card ini.
Perda-perda kabupaten/kota yang mengatur tentang uji kendaraan bermotor
perlu untuk direvisi menyesuaikan SK tersebut agar pelaksanaannya seragam. Begitu
juga dengan perda-perda provinsi yang menjadi dasar pelaksanaan pengawasan dan
pengendalian kelebihan muatan perlu diseragamkan, sehingga tidak ada perlakuan
yang berbeda atas kelebihan muatan di setiap provinsi yang dilalui oleh kendaraan,
dengan mengakomodasi ketentuan teknis yang diatur dalam surat edaran dirjen
perhubungan darat No. SE.01.AJ.307.DRJD/2004 tentang pengawasan dan
pengendalian muatan lebih.
(Penelitian dilakukan oleh Kantor Bank Indonesia Semarang, bekerjasama dengan Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang, Oktober-Desember 2008)
♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣♣
�