Blok 16 Up 3 Bella
-
Upload
anabella-purnama-firdausyia -
Category
Documents
-
view
47 -
download
1
description
Transcript of Blok 16 Up 3 Bella
TUGAS INDIVIDU
BLOK 16
UNIT PEMBELAJARAN 3
Sapi Mengeluarkan Darah dari Berbagai Lubang
Alami
ANABELLA PURNAMA FIRDAUSYIA
10/296818/KH/6476
KELOMPOK 15
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
SAPI MENGELUARKAN DARAH DARI BERBAGAI LUBANG ALAMI
I. LEARNING OBJECTIVE
1) Mengetahui tentang etiologi, pathogenesis, gejala klinis, diagnosa,
pencegahan dan pengobatan dari antraks, IBR, SE, MCF, BVD
II. PEMBAHASAN
1) ANTRAKS
Etiologi
Antraks adalah penyakit bakterial yang berasal dari tanah yang
utamanya menginfeksi herbivora. Ruminan sangatlah rentan, babi dan
kuda sedang, sedangkan karnivora resisten Penyakit ini paling sering
terjadi sebagai sebuah septisemia akut dengan mortalitas tinggi. Hewan
lain termasuk manusia juga dapat terinfeksi. Antraks terjadi di seluruh
dunia dan bersifat zoonotik (Quinn, 2011; Smith, 2009).
Bacillus anthracis adalah bakteri gram positif, non-motil, bentuk
basil persegi panjang (sekitar 1 µm x 3-5 µm). Spora berada di dalam sel
tidak menyebabkan pembengkakan sel bakteri. Kapsul terbentuk secara
in vivo (Hirsch, 1999).
Pathogenesis
Infeksi spora anthrax dapat melalui ingesti, inhalasi dan penetrasi
cutaneus. Namun lebih banyak pada ingsti dimana ruminansia yang
memakan rerumputan akan menyebabkan spora menyebarpada mukosa
mulut. Bakteri ini mempunyai 2 faktor virulensi: a poly diglutamic acid
capsul,yang melindungi bakteri dari fagosit dan lisis dari antibody. Toxin
yang terdiri dari edeme factor(EF). Protektif antigen (PA), dan lethal
factor (LF). Jika toxin ini berdiri sendiri tidak berbahaya namun jika ada
kombinasi dari PA dan LF yang merupaka zinc metalloprotease
menyababkan dapat menstilasi makrofak untuk mengeluarkan cytokine
yang khususnya TNF alpha dan interleukin 1 beta, dan efek lokal
menuebabkan sel menjadi lembek dan hitam karena nekrosis dan edema
sehingga menyebabkan kematian di berbagai spesies. Dihasilkan juga lesi
karena terjadi kerusakan syst\em endothelial dan vaskuler. Kematian
merupakan hasil dari perubahan kedua, termasuk edema yang menyebar,
kerusakan fungsi ginjal, anoxia dan shock(Smith, 2002). Oedema factor
merupakan calmodulin dependent adenylate cyclase berikatan dengan
protektif factor menyebabkan peningkatan level cyclic AMP, merusak
homeostatis cairan dan menyebabkan akumulasi cairan, netrophil
merupakan target utama dari oedema factor(Quinn et all, 2002).
Gejala Klinis
Sapi Kambing& domba Babi & kuda
a. Demam 42@ C
b. Menanduk benda-
benda keras
c. Paha gemetar, nyeri
pada pinggang dan
perut
d. Puncak penyakit
keluar darah dari
lubang-lubang alami
e. Mati mendadak
a. Biasanya perakut,
apopleksi serebral
b. Hewan tiba-tiba
berputar-putar
c. Gigi gemeretak,
respirasi berat
d. Mati mendadak
a. Demam, pharingitis
b. Bengkak dari leher
ke muka, dada,
sehingga sulit
makan dan nafas
c. Diare, muntah
d. Mati lemas
Diagnosa
1. Klinis
Diagnosa terhadap penyakit Antraks dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
yang muncul sesuai dengan tipe-tipe penyakit antraks tersebut diatas
2. Laboratorium
Diagnosis secara laboratorium dilakukan dengan berbagai metode/uji :
a. Mikroskopis, dengan pewarnaan metilen blue polichromatic, gram atau
wright
b. Kultural bakteriologik pada media agar darah dan kaldu protein
c. Uji ascoli
d. Identifikasi B.antracis dengan media gula-gula
e. Uji biologik menggunakan hewan percobaan
f. Uji serologi dengan PCR (Polymerasi Chain Reaction) dan ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay)
Sampel yang diambil untuk pemeriksaan aboratorium tersebut diatas
adalah serum darah vena, swab darah vena, usap ulcus swab, dahak dan
tanah tempat hewan mati dikubur.
Pencegahan
Usaha pencegahan terhadap penyakit Antraks dapat dilakukan
dengan berbagai cara terutama dalam menjaga kebersihan individu dan
lingkungan, yaitu :
a. Lapor ke dinas peternakan setempat kalau ada hewan yang sakit
dengan gejala antraks
b. tidak dibolehkan menyembelih hewan sakit antraks
c. hewan hanya boleh disembelih di rumah potong
d. jika hewan dipotong diluar rumah potong harus mendapat izin
lebih dulu dari dinas peternakan setempat.
e. tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging yang berasal dari
hewan yang sakit antraks
f. laporkan ke dinas kesehatan apabila menjumpai penderita atau
tersangka antraks
g. bila ada penderita dengan gejala-gejala antraks segera berobat ke
puskesmas atau rumah sakit terdekat
h. hewan yang peka terhadap antraks seperti sapi, kerbau, domba,
kambing, kuda, secara rutin harus divaksinasi Antraks
i. dianjurkan untuk tidak memandikan tubuh orang yang meninggal
karena Antraks
j. Dilarang membuat atau memproduksi barang-barang yang
berasal dari hewan seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang
berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit Antraks.
SE (SEPTICAEMIA EPIZOOTIKA)
Etiologi
Pasteurella multocida yang berbentuk cocobacillus yang
mempunyai ukuran yang sangat halus dan bersifat bipoler. Secara
serologik dikenal beberapa tipe dan penyebab SE di Indonesia, antara
lain adalah Pasteurella multocida tipe 6B. Bakteri yang bersifat gram
negatif ini tidak membentuk spora, bersifat non motil dan berselubung
yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama
Pathogenesis
Faktor-faktor predisposisi , seperti : kelelahan, kedinginan,
pengangkutan, anemia dan sebagainya mempermudah timbulnya
penyakit. Penyakit ngorok biasanya menyerang sapi umur 6 – 24 bulan
dan sering terjadi pada musim hujan yang dingin. Sapi yang belum
divaksinasi SE lebih banyak terserang. Kondisi stress dalam
pengangkutan merupakan penyebab utama terjadinya penyakit ini,
sehingga penyakit ini disebut pula shipping fever
Diduga pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh penderita adalah
daerah tenggorokan. Ternak sehat akan tertular oleh ternak sakit atau
pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat-alat
yang tercemar. Ekskreta ternak penderita (ludah, kemih, dan tinja) juga
mengandung bakteri.
Bakteri yang jatuh di tanah apabila keadaan serasi untuk
pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh), maka akan tahan kurang
lebih satu minggu dan dapat menulari ternak-ternak yang digembalakan
di tempat tersebut.
Gejala Klinis
Salivasi serta demam yang mencapai sekitar 40-41oC, malas bergerak
dan sukar bernafas, busung yang meluas ke daerah leher bagian ventral
sampai ke gelambir dan kadang-kadang juga ke satu atau dua kaki muka.
Pada penderita yang sepenuhnya rentan, busung bersifa difus. Fibrinogen
darah meningkat. Hewan yang sangat rentan, misalnya kerbau, biasanya
mengalami kematian dalam waktu 24 jam setelah terjadinya infeksi.
Dalam seksi terlihat adanya busung pada glottis dan jaringan-jaringan
perilaringeal maupun peritracheal. Perdarahan titik mungkin terlihat pada
selaput lendir organ-organ tubuh, sedangkan cairan busung tidak
tercampur darah. Kelenjar limfe yang terdapat di dalam rongga dada dan
perut nampak mengalami bendungan. Bendungan yang bervariasi
terdapat pada saluran pencernaan, mulai dari abomasum sampai usus
besar. Diare berat berdarah dijumpai setelah injeksi lipopolisakarida
kuman serotipe B:2 yang dimurnikan.
Diagnosa
Berdasarkan gejala klinis. Kuman dapat dilihat dengan jelas, dengan
pengecatan Romanowsky sedangkan di laboratorium yang paling banyak
digunakan adalah pengecatan Leishman yang diencerkan. Uji presipitasi
secara agar gel double difussion dan teknik fluoresen antibodi telah
digunakan dalam penentuan diagnosis.
Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan penyakit SE dapat diberikan antibiotika sebagai berikut :
1. Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB (sapi, kerbau), 50
mg/Kg BB (kambing, domba).
2. Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB (sapi, kerbau), 50 –
100 mg/Kg BB (kambing, domba}.
3. Sulphadimidine (Sulphamezathine): 2 gram/30 Kg
BB(Mashur,2001)
BVD (Bovine Viral Diarrhea)
Etiologi
BVD merupakan penyakit viral yang dapat menginfeksi sapi di semua
umur. Sapi yang terinfeksi mungkin menunjukan gejala khusus seperti
gangguan respirasi, enteritis akut (inflamasi intestinal), kegegelan
reproduksi, abnormalitas congenital dan penyakit pada mukosa. Bovine
Viral Diarrhea adalah penyakit viral yang disebabkan oleh Bovine Viral
Diarrhea virus (BVDV) dengan genus: Pestivirus dan family: togaviride
(RNA Virus). BVDV memiliki sifat termostabil dan peka terhadap asam
chloroform serta tripsin (APHIS, 2007 dan Subronto, 2004)
Pathogenesis
Viremia berlangsung selama 15-60 hari setelah terjadinya infeksi.
Perubahan yang sangat tampak berupa jejas terbatas pada saluran digesti,
respirasi, mata, dan pada permukaan epitel organ lain maupun epidermis.
Virus yang bersifat imunosupresif mengakibatkan penurunan fungsi
limfosit T. Supresi juga terjadi pada pusat hemopoetik hingga penderita
mengalami leucopenia, terutama neutropenia. Pada hewan bunting, virus
dapat menembus barier plasenta, hingga janin dapat menjadi sero positif
pada waktu berumur 7 bulan di dalam kandungan. Jika infeksi terjadi
pada awal kebuntingan, karena terjadinya toleransi imunologik, pedet
yang dilahirkan akan menjadi seronegatif. Sebagian penderita dapat
mengalami abortus. Sebagai akibat imunosupresi oleh virus, hewan
mudah menderita infeksi sekunder hingga terjadi pneumonia dan radang-
radang infeksi yang lain. Tergantung dari virulensi virus, derajat
kekebalan penderita dan bagian tubuh yang paling menderita, BVD
dibedakan ke dalam bentuk subklinis, akut, subakut, atau kronik, dan
neonatal.
Gejala Klinis
a. Bentuk subklinis
Gejalanya meliputi demam yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare
ringan dan secara serologis ditemukan titer antibodi yang tidak tinggi.
(Subronto, 2004)
b. Bentuk akut
Gejala bentuk ini paling banyak dijumapai, mencapai 5-25% dari
kejadian BVD. Penyakit berlangsung 1-30 hari dengan rata-rata 2-3
minggu. Dengan suhu mencapai ± 42º C pada puncak yang akhir. Hewan
tampak lesu, dengan gerakan rumen menurun dan nafsu makan menurun.
Terjadi demam yang tinggi, dehidrasi yang akan menyebabkan asidosis,
hipokloremia dan hipokalemia.
c. Bentuk subakut atau kronik
Ditandai dengan diare intermiten, kekurusan, kembung rumen yang
kronik serta erosi mukosa mulut dan kulit yang kronik pula. Anemia dan
lekopenia akan ditemuka secara mencolok.
d. Bentuk neonatatal
Bentuk ini terjadi pada pedet dengan umur kurang dari 1 bulan,
dengan ditandai suhu tubuh yang tinggi, diare serta ganguan pernafasan.
Pedet yang menderita biasanya berasal dari induk pedet yang daya tahan
tubuhya rendah atau dari induk yang sedang sakit.
Diagnosa
Umumnya pemeriksaan titerbodi dilakukan dengan uji serum netralisasi
terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 3-4 minggu. Kenaikan 4
kali atau lebih dari titer dipakai sebagai patokan penentuan diagnosis. Cara
lain juga dilakukan dengan inokulasi virus pada biakan sel atau dengan uji
flouresen antibodi. Hasil dari pemeriksaan darah juga sangat penting
dalam menentukan hasil diagnosis. Rendahnya jumlah sel darah putih dan
adanya demam pada daerah wabah juga harus dicurigai terhadab BVD.
Pencegahan dan Pengobatan
Pengobatan berupa pengobatan suportif, terutama cairan elektrolit.
Pemberian antibiotika dengan spektrum luas, untuk infeksi sekunder, dan
aspirin sebagai analgesika dan antipireutika dianjurkan. Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara vaksinasi dengan vaksin inaktif dan vaksin MLV.
MCF ( Malignant Catarrhal Fever )
Etiologi
Disebabkan oleh herpesvirus yang bersifat cell associated. Bisa
menyerang sapi pada semua umur, terutama yang berumur lebih dari 2
tahun.
Patogenesis
Virus ini tidak dapat bertahan lama dalam lingkungan yang terbuka.
Penyakit ini mempunyai berbagai bentuk, yaitu bentuk perakut, intestinal,
kepala dan mata, serta bentuk yang ringan. Perbedaannya terutama terletak
atas beratnya penyakit.
Gejala klinis
Terjadinya penyakit biasanya sangat tiba tiba. Penderita menunjukkan
suhu tubuh yang tinggi, kekakuan, bulu yang kasar, anoreksia, produksi
susu terhenti, dispnoe karena bengkaknya selaput lendir hidung, pulsus
dan pernafasan cepat. Gejala selanjutnya tergantung bentuk penyakit.
Pada bentuk kepala dan mata yang umum akan terdapat leleran hidung
yang profus, mula mula bersifat serous dan jernih, lalu berubah menjadi
kental dan mukopoluren. Kornea menjadi keruh pada tepi tepinya, yang
kemudian meluas ke semua bagian kornea. Konjungtivitis juga ditemukan
dengan kelopak mata yang mengalami pembengkakan oedem dan bersifat
sianotik. Selaput lendir mengalami hiperemi yang mungkin diikuti dengan
nekrosis yang meluas pada bibir sebelah dalam dan pada gusinya. Diare
juga terjadi.
Pada bentuk perakut yang tidak begitu banyak ditemukan, tidak disertai
gejala klinis yang menciri. Demam, gangguan pernafasan, radang
gastrointestinal disertai perdarahan dan kematian dalam waktu 1- 3 hari
merupakan gejala yang mungkin ditemukan. Proses penyakit bentuk
kepala dan mata berlangsung 1- 3 minggu. Kematian sering didahului
dengan kekejangan dan koma. Proses kesembuhan, bila terjadi
berlangsung sangat lambat serta biasa diikuti dengan kebutaan.
Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan seksi dan histologi. Perubahan
yang ditemukan biasanya cukup tersifat, meskipun ada beberapa kemiripan
dengan penyakit lain.
Dalam pemeriksaan histologik menunjukkan lesi utama, yaitu
adanya vasculitis yang mengenai jaringan yang luas. Kapiler maupun arteri
kecil pada kebanyakan organ tubuh mengalami perivascular cuffing. Sel sel
endotil terlihat membengkakan disertai desintegrasi dari inti intinya, radang
otak difus yang bersifat nonsupuratif juga diamati dengan pembuluh darah
otak yang menunjukkan proses vasculitis. Tes PCR untuk mendeteksi virus
DNA. Jaringan yang digunakan adalah darang dengan antikoagulan, ginjal,
dinding usus, limfo nodus dan otak. Uji ELISA untuk mendeteksi secara
spesifik antibody dari MCF group virus (Aiello, 1998).
Terapi dan Pencegahan
Tidak ada cara pengobatan yang khusus untuk penyakit ini.
Pengendalian bisa dilakukan dengan menjauhkan hewan sehat dari hewan
terinfeksi.
IBR ( Infectious Bovine Rhinotraceitis )
Etiologi
Disebabkan oleh Bovine Herpes virus tipe 1 yang termasuk dalam
keluarga Herpetoviridae yang memiliki double stranded DNA. Virus
bersifat termostabil, peka terhadap pelarut lemak terutama khloroform,
sinar ultraviolet dan tidak tahan terhadap pH kurang dari 5.
Patogenesis
Infeksi virus menyebabkan viraemia. Selanjutnya virus akan bersarang
dalam berbagai organ tubuh. Tergantung pada organ yang paling berat
menderita, manifetasi klinisnya berupa sebagai bentuk bentuk respiratorik,
konjungtival genital dan keluron, ensefalik ( syarafi) dan neonatal.
Gejala gejala
a. bentuk respiratorik
Bentuk ini adalah yang terpenting dari segi lokalisasi virus. Masa
tunasnya adalah 3-7 hari. Gejala gejala pernafasan bervariasi dari yang
ringan sampai bronchopneumonia, terutama bila ada infeksi sekunder.
Peningkatan frekuensi respirasi. Kemudian diikuti dengan kenaikan suhu
tubuh sampai dengan 42C atau lebih, penderita lesu, hipersalivasi,
lakrimasi dan adanya busung pada konjungtiva. Produksi susu turun atau
terhenti sama sekali. Perubahan pada saluran pernafasan bagian atas
berupa radang pada hidung, sinus, tenggorokan, dan batang tenggorokan.
Dalam keadaan lebih berat ingus yang keluar bersifat fibrinomukoid atau
purulen kental dan mukosa di bawahnya sering mengalami nekrosis.
Dengan banyaknya timbunan ingus kental di dalam saluran, pernafasan
menjadi sukarpemeriksaan auskultasi menghasilkan suara trakeal yang
kasar dan basah. Suara abnormal dalam auskultasi yang berupa suara
vesikuler meninggi sering ditemukan pada penderita IBR dengan
bronchopneumonia yang kebanyakan terjadi sebagai akibat infeksi
sekunder oleh kuman.
b. Bentuk konjungtival
Timbul oedema kornea dan konjuntiva menghasilkan eksudat yang
bersifat serous sampai mukopuluren. Bentuk radang difterik pada
konjungtiva dapat dijumpai pada yang parah.
c. Bentuk ensefalik ( syarafi )
Biasanya pada penderita yang berumur 2-3 bulan. Karena virus
berkembang dalam otak, maka akan terjadi meningoensafalitis, dengan
tanda tanda hiperestesi, eksitasi dan inkoordinasi.
d. Bentuk Genital dan keluron
Pada hewan betina yang peka keluron terjadi pada trimester terakhir. Virus
banyak ditemukan di dalam hati dan ginjal janin yang digugurkan.
e. Bentuk neonatal
Gejala meliputi demam, anoreksia, depresi, dispnoe, keluarnya eksudat
serous dari matanya serta diare yang persisten. Infeksi yang berlangsung
semenjak pedet masih berada dalam kandungan selalu diakhiri dengan
kematian.
Diagnosis
Didasarkan pada anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan pasca mati dan
pengenalan virus (teknik antibodi fluoresen).
Pada IBR bentuk respiratorik ditemukan lesi yang dimulai dari mulut,
tekak, tenggorok, batang tenggorok, dan mungkin bronchus primer. Hati
janin pada bentuk genital dan keluron menampakkan tanda tanda radang
nekrotik yang bersifat lokal. Jaringan fetus mengalami autolisis. Pada
bentuk neonatal ditemukan jejas jejas nekrosis pada kerongkongan dan
lambung lambung muka.
Untuk mengenal virus IBR dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Pengenalan secara serologis yang dilakukan dengan cara uji netralisasi
serum terhadap sepasang sera yang diambil dengan sela 2-3 minggu.
Serum pertama diambil pada saat penyakit sedang akut, atau pada bentuk
vaginal dan keluron sebelum terjadinya keluron.
b. Pengenalan secara uji aglutinasi tidak langsung. Hasil baik akan tercapai
bila sel darah merah domba sebelumnya dipersiapkan dengan asam tannat
c. Isolasi virus dari preparat sapuan ( swab ) dari mukosa hidung atau
konjungtiva dan selanjutnya dibiakkan pada biakan sel yang mengandung
serum janin sapi.
d. Secara teknik antibodi fluoresen. Cara ini paling sering digunakan di
laboratorium dengan preparat kerokan dari mukosa hidung, konjungtiva
atau janin.
Terapi dan Pencegahan
Penderita sedapat mungkin diisolasi. Selanjutnya pemberian antibiotika
berspektrum luas untuk melawan kuman penyebab infeksi sekunder.
Pengobatan suportif misalnya cairan elektrolit, vitamin perlu pula
dipertimbangkan. Secara simtomatik preparat aspirin dapat diberikan.
Sapi yang pernah mengalami infeksi akan jadi pengidap virus ( carrier ).
Oleh adanya stres virus mungkin akan memperbanyak diri. Dalam keadaan
demikian mungkin gejala gejala klinis belum dapat diamati. Virus tersebut
siap untuk ditularkan ke hewan hewan sehat disekitarnya. Program
vaksinasi dapat dilakukan dengan vaksin inaktif dengan menggunakan
virus yang dimatikan
III. DAFTAR PUSTAKA
Hirsh, Dwight C dan Zee, Yuan Chung. 1999. Veterinary Microbiology.
Blackwell Science. USA
Putro, Prabowo Purnomo. 2009. Brucellosis dan Infectious Bovine
Rhinotracheitis (IBR) Terhadap Daya Reproduktivitas Sapi Potong.
Kalimantan Selatan : Dinas Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan
Banjarbaru
Quinn, P. J., Markey, B. K., Carter, M. E., Donnelly, W. J. C., and Leonard,
F. C. 2011. Veterinary Microbiology and Microbial Disease Second Edition.
Iowa : Blackwell Science
Smith, Bradford P., 2009. Large Animal Internal Medicine Fourth Edition.
Mosby Elsevier. USA
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mammalia) I. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.