blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang...

71
PRINSIP DASAR TEKNOLOGI KLONING PADA TANAMAN TUJUAN INSTRUKSIONAL Setelah membaca bab I mahasiswa diharapkan dapat : 1. Mengetahui tentang prinsip dasar teknologi kloning tanaman 2. Mengetahui macam tipe kultur 3. Mengetahui tentang regenerasi tanaman Prinsip Dasar Kloning Pada Tanaman Kloning adalah suatu istilah yang berarti memperbanyak suatu jaringan hidup menjadi suatu tanaman lengkap yang secara genetik serupa dengan induknya. Teknik perbanyakan vegetatif secara konvensional atau (klonal) pada kondisi in vivo menghasilkan kelompok tanaman yang disebut klon. Sedangkan teknik perbanyakan vegetatif secara inkonvensional pada kondisi in vitro disebut dengan kultur jaringan atau lebih spesifik mikropropagasi. Dalam pembahasan selanjutnya digunakan istilah kultur jaringan. Teknologi kloning pada tanaman identik dengan teknologi kultur jaringan atau perbanyakan secara mikro (micropropagation). Saat ini kultur jaringan sudah merupakan teknologi baku bagi banyak jenis

Transcript of blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang...

Page 1: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

PRINSIP DASAR TEKNOLOGI KLONING PADA

TANAMAN

TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah membaca bab I mahasiswa diharapkan dapat :

1. Mengetahui tentang prinsip dasar teknologi kloning tanaman

2. Mengetahui macam tipe kultur

3. Mengetahui tentang regenerasi tanaman

Prinsip Dasar Kloning Pada Tanaman

Kloning adalah suatu istilah yang berarti memperbanyak suatu jaringan

hidup menjadi suatu tanaman lengkap yang secara genetik serupa dengan

induknya. Teknik perbanyakan vegetatif secara konvensional atau (klonal) pada kondisi

in vivo menghasilkan kelompok tanaman yang disebut klon. Sedangkan teknik

perbanyakan vegetatif secara inkonvensional pada kondisi in vitro disebut dengan kultur

jaringan atau lebih spesifik mikropropagasi. Dalam pembahasan selanjutnya digunakan

istilah kultur jaringan. Teknologi kloning pada tanaman identik dengan teknologi kultur

jaringan atau perbanyakan secara mikro (micropropagation). Saat ini kultur jaringan

sudah merupakan teknologi baku bagi banyak jenis tanaman, tidak terkecuali pada

tanaman anggrek. Teknologi kultur jaringan mampu memperbanyak tanaman secara

vegetatif dalam jumlah banyak. Susunan genetik tanaman hasil kultur jaringan akan

serupa dengan tanaman induknya. Sehingga pada tanaman anggrek teknologi ini

digunakan untuk perbanyakan pada hibrida unggul atau spesies yang dilindungi dan

langka.

Prinsip dasar pertumbuhan dan perkembangan kultur jaringan secara in vitro

dimulai ketika Schwann dan Schleiden (1838, dalam Zulkarnain, 2009) mengemukakan

teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel bersifat otonom, dan pada prinsipnya

mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap.

Page 2: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Kultur jaringan adalah istilah umum yang ditujukan pada budidaya secara in vitro

terhadap berbagai bagian tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel,

protoplas dan embrio. Bagian-bagian yang diistilahkan sebagai eksplan, diisolasi dari

kondisi in vivo dan dikultur pada medium buatan yang steril sehingga dapat beregenerasi

dan berdiferensiasi menjadi tanaman yang lengkap (Street, 1973).

Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik isolasi bagian-bagian

tanaman, seperti jaringan, organ, ataupun embrio, kemudian dikultur pada

medium buatan yang steril sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu

beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987).

Dua konsep, yang merupakan hal utama untuk dapat memahami tentang kultur sel

dan regenerasi yaitu plastisitas dan totipotensi (Adrian Slater et.al., 2003). Banyak dari

proses yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman telah beradaptasi

dengan kondisi lingkungan. Plastisitas ini memungkinkan tanaman untuk dapat merubah

metabolisme, pertumbuhan dan perkembangannya agar bisa cocok dengan lingkungan

dimana ia tumbuh. Aspek penting dari adaptasi ini, dalam kaitannya dengan kultur

jaringan dan regenerasi, adalah kemampuan untuk inisiasi pembelahan seldari

hampir semua jaringan tanaman dan meregenerasi organ hilang atau melakukan

alur perkembangan yang berbeda dalam responnya terhadap stimulus

tertentu.Pada saat sel-sel dan jaringan tanaman di kultur secara in vitro umumnya

mereka memperlihatkan suatu plastisitas dengan tingkat sangat tinggi, yang

memungkinkan satu tipe dari jaringan atau organ di inisiasi dari tipe lainnya. Dengan cara

ini, suatu tanaman lengkap akhirnya dapat diregenerasi. Regenerasi dari suatu organisme

lengkap, tergantung pada konsep bahwa semua sel-sel tanaman dapat, apabila diberikan

stimulus yang tepat, akan dapat mengekrpresikan total potensi genetik dari tanaman

induknya. Pemeliharaan dari potensi genetik disebut sebagai ‘totipotensi’ (Adrian Slater

et.al., 2003). Kultur sel tanaman dan regenerasi, pada kenyataannya, menghasilkan bukti

yang paling nyata tentang totipotensi. Meskipun secara praktek masih terdapat banyak

kendala dalam hal mengidentifikasi kondisi kultur dan stimulus yang dibutuhkan untuk

memanifestasikan totipotensi tersebut.

Regenerasi in vitro telah merubah skenario pertanian terutama dalam

pengendalian pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam hal pertumbuhan

Page 3: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

vegetatif, perkembangan generatif dan perbanyakan klonal (Altman, 2002). Pengendalian

tersebut sebagian besar disebabkan oleh beberapa penemuan utama seperti antara lain :

totipotensi dan kemampuan regenerasi dari sel dan jaringan tanaman, sebagaimana

terungkap pada kultur sel dan mikropropagasi (Altman, 2002)

Kultur jaringan mendasarkan atas konsep totipotency dari sel. Secara teoritis

artinya tiap-tiap sel dari tanaman memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi suatu

tanaman yang lengkap kalau ditumbuhkan pada lingkungan yang sesuai. Hasil kultur

jaringan disebut ‘mericlone’ Sukses kultur jaringan terletak dalam perbanyakan vegetatif

secara massal terhadap tanaman unggul.

Kultur jaringan tanaman adalah suatu metode atau teknik mengisolasi

bagian tanaman (protoplasma, sel, jaringan dan organ) dan menumbuhkannya

pada media buatan dalam kondisi aseptik di dalam ruang yang terkontrol sehingga

bagian-bagian tanaman tersebut dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman

lengkap.

Menurut Street (1977), metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu

memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara

generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan,

antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam

jumlah yang besar sehingga tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu

menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu

bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan

perbanyakan konvensional. Seiring dengan perkembangan pemahaman dan kemajuan

kultur jaringan, maka dewasa ini teknik-teknik kultur jaringan telah digunakan untuk

berbagai tujuan tidak hanya untuk industri bibit tanaman tetapi juga untuk pemuliaan

berbagai tanaman yang memiliki nilai ekonomi (Zulkarnain, 2009).

Kultur pada umumnya diinisiasi dari potongan steril dari suatu tanaman lengkap.

Potongan ini disebut sebagai ‘eksplan’, dapat terdiri dari potongan organ seperti : daun,

akar, polen, endosperm. Berdasarkan macam bahan yang digunakan, dikenal sejumlah

tipe kultur seperti kultur organ (termasuk biji, meristem, nodus tunggal, potongan daun,

akar, serta tunas), kultur kalus, kultur sel, dan kultur protoplas. Pada dasarnya semakin

Page 4: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

muda jaringan akan berkembang lebih cepat sehingga jaringan pada stadium awal

perkembangan adalah yang paling efektif.

Macam tipe kultur (Adrian Slater et.al., 2003) :

Kalus

Eksplan, bila dikulturkan pada medium yang sesuai. Biasanaya dengan auksin dan

sitokinin, dapat tumbuh dan membelah menjadi suatu massa sel yang tidak

terorganisasi.Diduga bahwa setiap jarinagan tanaman dapat digunakan sebagai eksplan,

jika ditemukan suatu kondisi yang tepat.

Kultur kalus seringkali dilakukan pada kondisi gelap, karena cahaya dapat

menimbulkan diferensiasi pada kalus.

Kultur suspensi-sel

Kultur kalus ada dua kategori : kompak atau friable. Pada kalus kompak sel-sel

beragregasi memadat, sedangkan pada kalus friable sel-sel tidak terlalu terikat satu

dengan lainnya dan kalus nya lunak sehingga dapat sangat mudah terpisah antara satu dan

lainnya. Kalus friable merupakan inokulum untuk membentuk kultur suspensi sel.

Protoplas

Protoplas adalah sel tanaman yang dinding sel nya telah dibuang. Umumnya

protoplas diisolasi dari sel-sel mesofil daun atau suspensi sel, walaupun sumber-sumber

lainnya juga dapat digunakan. Cara untuk membuang dinding sel tanpa merusak

protoplas ada dua yaitu : isolasi secara mekanik atau isolasi secara ensimatik.

Isolasi secara mekanis, meskipun mungkin dilaksanakan, seringkali hasilnya

sendikit, kualitas jelek dan penampilan pada kultur tidak baik. Hal mana disebabkan oleh

bahan-bahan yang keluar dari sel-sel yang rusak.

Isolasi secara ensimatik, biasanya dilakukan dalam larutan garam sederhana yang

memiliki osmotikum tinggi, ditambah dengan ensim-ensim penghancur dinding

sel.Biasanya digunakan campuran dari ensim selulase dan pektinase yang berkualitas

tinggi dan kadar kemurnian tinggi. Protoplas sangat mudah rusak, oleh karena itu harus di

kultur secara hati-hati.

Page 5: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Kultur akar

Kultur akar bisa dilakukan secara in vitro dari eksplanberasal dari ujung akar atau

dari akar primer atau akar lateraldan bisa dikulturkan pada media sederhana.

Pertumbuhan akar secara in vitro potensial tidak terbatas, karena akar merupakan organ

indeterminate.

Kultur Pucuk Tunas dan Meristem

Ujung-ujung tunas (yang mengandung meristem apikal tunas) bisa dikultur secara

in vitro, menghasilkan sekelompok tunas-tunas baik berasal dari kuncup aksiler atau

adventif.

Metoda ini dapat digunakan untuk perbanyakan secara klonal.

Kultur meristem tunas merupakan alternatif potensial terutama untuk tanaman

serealia, karena tidak terlalu tergantung pada genotipa dan lebih efisien (kecambah dapat

dipakai sebagai bahan donor).

Kultur embrio

Embrio bisa dipakai sebagai eksplan untuk meregenerasi kultur kalus atau embrio

somatik. Baik embrio ‘immature’ atau’ mature’ dapat dipakai sebagai eksplan. Immature,

embryo-derived embryonic callus merupakan metoda paling populer untuk regenerasi

tanaman monokotil.

Kultur Mikrospora

Jaringan haploid dapat dikultur secara in vitro dengan menggunakan polen atau

anterasebagai eksplan. Polen mengandung gametofit jantan, yang disebut ‘mikrospora’

Baik kalus dan embrio dapat dihasilkan dari polen. Terdapat dua pendekatan untuk

menghasilkan kultur in vitro dari jaringan haploid.

Metoda pertama, tergantung pada penggunaan antera sebagai eksplan. Antera

( jaringan somatik yang mengelilingi dan mengandung polen) dapat dikulturkan pada

medium padat (tidak perlu menggunakan ‘agar’ untuk memadatkan medium karena

mengandung bahan inhibitor).

Regenerasi Tanaman

Page 6: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Setelah mengetahui tipe-tipe utama dari kultur tanaman yang dapat dilakukan

secara in vitro, maka berikutnya adalah mengetahui bagaimana suatu tanaman lengkap

dapat diregenerasi dari kultur tersebut.

Pada umumnya, terdapat dua metoda yang sering digunakan yaitu embriogenesis

somatik dan organogenesis.

Embriogenesis Somatik

Pada embriogenesis somatik (aseksual), struktur embryo-like, yang dapat

berkembang menjadi suatu tanaman lengkap analog dengan embrio sigotik, terbentuk

dari jaringan somatik. Melalui tahapan berikut : single cell – group of cells – globular

embrio – heart shape embrio – torpedo-stage embrio.

Embrio somatik dapat berkembang dari sel-sel tunggal atau dari suatu kelompok

kecil sel-sel. Pembelahan sel yang berulang akan menuju produksi suatu kelompok sel-sel

yang akan berkembang menjadi struktur terorganisir disebut ‘embrio taha—globular’.

Perkembangan selanjutnya menghasilkan embrio tahap hati dan torpedo, darimana

tanaman akan berregenerasi. Embrio sigotik juga melalui perkembangan fundamental

yang sama lewat tahap globular (yang terbentuk setelah tahap sel-16), hati dan torpedo.

Polaritas terbentuk pada awal perkembangan embrio. Sinyal diferensiasi jaringan akan

tampak pada tahap globular dan meristem apikal akan tampak pada embrio tahap-hati.

Organogenesis

Embriogenesis somatik mengandalkan regenerasi tanaman melalui proses analog

dengan perkecambahan embrio sigotik. Sedangkan organogenesis mengandalkan pada

produksi dari organ-organ, baik langsung dari eksplan atau dari suatu kultur kalus

Terdapat tiga metoda regenerasi tanaman melalui organogenesis (Adrian Slater

et.al., 2003) : Dua metoda pertama tergantung pada organ adventif yang muncul dari

kultur kalus atau langsung dari eksplan. Sebagai alternatif, pembentukan dan

pertumbuhan tunas aksiler juga dapat digunakan untuk meregenerasi keseluruhan

tanaman dari beberapa tipe kultur jaringan.

Organogenesis tergantung pada plastisitas ‘inherent’ dari jaringan tanaman, dan

diregulasi dengan merubah komponen medium. Secara khusus, perbandingan antara

auksin dan sitokinin pada medium yang menentukan jalur perkembanagan mana yang

akan diambil oleh jaringan yang berregenerasi tersebut. Untuk menginduksi pembentukan

Page 7: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

tunas biasanya dengan meningkatkan ratio sitokinin terhadap auksin pada medium kultur.

Kemudian tunas tersebut akan dapat diakarkan secara relatif mudah.

Kultur suspensi protoplas

Kalus Somatik embriogenesis

Organogenesis

eksplan

Organogenesis langsung

Somatik embriogenesis

Gambar 1.1. Skema sederhana regenerasi eksplan secara embriogenesis atau

organogenesis (Diolah dari Adrian Slater, et.al, 2003).

Suatu eksplan dapat berasal dari berbagai jaringan, tergantung pada spesies

tanaman tertentu yang dikulturkan. Eksplan dapat digunakan untuk menginisiasi berbagai

tipe kultur, tergantung pada eksplan yang digunakan.Regenerasi secara organogenesis

atau embriogenesisakan menghasilkan suatu tanaman lengkap (Adrian Slater et.al.,

2003).

Page 8: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Dalam metode perbanyakan kultur in vitro, pertumbuhan dan perkembangan

eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media dasar dan zat pengatur tumbuh. Media

Murashige and Skoog (MS) ialah media dasar yang umumnya digunakan untuk

perbanyakan maupun berbagai penelitian tanaman anggrek dalam skala laboratorium.

Media dasar tersebut kaya akan mineral dan memberikan hasil yang baik. Walaupun

demikian, pada beberapa spesies tanaman pemakaian media dengan kandungan garam

mineral yang kaya dapat menghambat pertumbuhan kultur. Modifikasi kadar makro dan

mikro dapat lebih menguntungkan (Hutami dan Purnamaningsih, 2003). Dengan

demikian, banyak media dasar yang mempunyai kandungan hara total yang lebih rendah

daripada media MS, misalnya media Vacint and Went (VW) yang mengandung NH4+

lebih rendah. Selain itu, media Vacint and Went (VW) adalah media dasar yang

umumnya dipakai oleh para praktisi dalam perbanyakan anggrek karena lebih efisien.

Page 9: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

FAKTOR-FATOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN KULTUR JARINGAN

ANGGREK

TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah membaca bab III mahasiswa diharapkan dapat :

1. Mengetahui faktor-faktor yang mempengeruhi keberhasilan kultur jaringan

anggrek Dendrobium

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengeruhi keberhasilan kultur jaringan

anggrek Phalaenopsis

Terdapat beberapa faktor yang menentukan keberhasilan awal dalam kultur

jaringan anggrek. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan tersebut antara lain :

keterampilan teknisi, genotipa eksplant, tipe eksplant, kesesuaian medium kultur,

lingkungan tumbuh. Apabila kendala-kendala tersebut dapat diatasi maka perbanyakan

tanaman anggrek secara massal dalam skala komersial dapat tercapai.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Kultur Jaringan Anggrek

Dendrobium

1. Genotip Tanaman

Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis

eksplan dalam kultur in-vitro ialah genotip tanaman asal eksplan diisolasi. Pengaruh

genotip ini umumnya berhubungan erat dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi

pertumbuhan eksplan, seperti kebutuhan nutrisi, zat pengatur tumbuh, lingkungan kultur,

dan lain-lain. Perbedaan respon genotip tanaman tersebut dapat diamati pada perbedaan

eksplan masing-masing varietas untuk tumbuh dan beregenerasi. Masing-masing varietas

Page 10: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

tanaman berbeda kemampuannya dalam merangsang pertumbuhan tunas aksilar, baik

jumlah tunas maupun kecepatan pertumbuhan tunas aksilarnya. Hal serupa juga terjadi

pada pembentukan kalus, laju pertumbuhan kalus serta regenerasi kalus menjadi tanaman

lengkap baik melalui pembentukan organ-organ adventif maupun embrio somatik.

Regenerasi dan perkembangan organ adventif dan somatic embrio juga sangat ditentukan

oleh varietas tanaman induk. Perbedaan pengaruh genetik ini disebabkan karena

perbedaan kontrol genetik dari masing-masing varietas serta jenis kelamin tanaman induk

(Anon, 2008b).

2. Media Kultur

Menurut Gunawan (1990), perbedaan komposisi media, komposisi zat pengatur

tumbuh dan jenis media yang digunakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan

regenerasi eksplan yang dikulturkan

a. Komposisi media

Perbedaan komposisi media, seperti jenis dan komposisi garam-garam anorganik,

senyawa organik sangat mempengaruhi respon eksplan saat dikulturkan. Nitrogen, fosfor,

kalium, kalsium, magnesium dan sulfur merupakan komponen makro garam mineral

yang dibutuhkan dalam media kultur jaringan. Di samping unsur-unsur mikro, sel-sel

tanaman juga membutuhkan unsur-unsur mikro tertentu. Unsur hara mikro yang biasa

ditambahkan antara lain iodium, asam borat, mangan, seng, molibdenum, tembaga,

kobalt dan besi. Media juga mengandung sumber karbon dan energi yang umumnya

bersumber dari sukrosa atau glukosa sebanyak 2-3% atau 20-30 g/l media (Nayak et al.,

1997; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Puchooa, 2004, Utami et.al., 2007).

Suplemen organik biasa ditambahkan ke dalam media untuk memacu pertumbuhan

eksplan, seperti air kelapa, bubur pisang, jus tomat, madu, ekstrak daging (Aktar et al.,

2008).

b. Komposisi hormon pertumbuhan

Hormon pertumbuhan atau zat pengatur tumbuh (ZPT) berperan merangsang dan

meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman menuju

arah diferensiasi tertentu. ZPT yang sering digunakan dalam kultur in-vitro ialah

golongan auksin dan sitokinin. Auksin yang umum dipakai ialah IAA (Indole Acetic

Page 11: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Acid), IBA (Indole Butyric Acid), NAA (Naphtalena Acetic Acid) dan 2,4-D (2,4-

dichlorophenoxy Acetic Acid). Sitokinin yang paling banyak digunakan ialah kinetin BA

(Benzil Adenin), BAP (Benzil Adenin Phosphat) dan zeatin (Zulkarnain, 2009). Hasil

penelitian pada Dendrobium candidum menunjukkan bahwa BA paling efektif dalam

menginduksi kalus dari eksplan dibandingkan NAA, kinetin dan 2,4-D. Induksi kalus

mengalami kenaikan pada konsentrasi 0-8,8μM dan menurun pada konsentrasi di atas

8,8-22,2 μM (Zhao et al., 2008).

c. Keadaan fisik media

Dalam kultur jaringan, media yang digunakan dapat berupa media padat, media

semi padat dan media cair. Media yang umum digunakan ialah media padat dan media

cair. Pada anggrek, media cair biasa digunakan untuk induksi PLB, di mana botol-botol

berisi media cair dan eksplan digojog dengan shaker atau penggojog dengan putaran 60-

120 rpm (Soeryowinoto dan Soeryowinoto, 1984). Media padat, selain untuk induksi akar

dan tunas (Soeryowinoto dan Soeryowinoto, 1984), juga dapat digunakan untuk induksi

kalus dan PLB pada anggrek (Aktar et al., 2008; Utami, 2007; Meesawat dan

Kanchanapoom, 2002; Zhao et al, 2008), Nayak et al., 1997).

3. Lingkungan tumbuh

Lingkungan kultur merupakan hasil interaksi antara bahan tanaman, wadah kultur

dan lingkungan eksternal ruang kultur yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu

sistem kultur jaringan.

a. Suhu

Peranan suhu lebih kritis pada kultur in vitro disbandingkan kultur in vivo. Hal itu

dikarenakan sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap

jaringan tersebut (Zulkarnain, 2009). Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang

digunakan ialah konstan, yaitu 25°C (kisaran suhu 17 - 32°C). Tanaman tropis umumnya

dikulturkan pada suhu yang sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C

(kisaran suhu 24 - 32°C). Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran

suhu tersebut, namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya

berbeda-beda. Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu

ruang kultur dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu

diatas optimum pertumbuhan tanaman juga terhambat abibat tingginya laju respirasi

Page 12: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

eksplan. Untuk anggrek suhu optimum yang biasa digunakan pada kultur in vitro ialah 25

(Untari et al., 2006; Ishii et al., 1998), 25±1°C (Aktar et al., 2008; Nayak et al., 1997),

25±2°C (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Zhao et al., 2008), dan 26±2°C (Puchooa,

2004).

b. Kelembaban relatif

Kelembaban merupakan factor penting yang sangat menentukan keberhasilan

kultur in vitro. Kelembaban relatif dalam ruang kultur sekitar 70% (Anon, 2008b;

Zulkarnain, 2009), namun kebutuhan kelembaban di dalam wadah kultur mendekati 90%.

George dan Sherrington (1984) menyatakan bahwa embrioid Daucus carota tumbuh

sangat baik pada kelembaban 80-90% dan akan mati bila kelembaban di bawah 60%.

Kelembaban relative yang biasa digunakan pada kultur in vitro anggrek ialah 55-60%

(Nayak et al., 1997), 70% (Untari et al., 2006).

c. Cahaya

Pada perbanyakan tanaman secara in-vitro, kultur umumnya diinkubasikan pada

ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang

pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali

dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya ialah lampu

flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya warna putih,

selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara drastis (hanya

meningkat sedikit). Lama penyinaran umumnya diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman

sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode terang dan gelap umumnya diatur pada

kisaran 8 - 16 jam terang dan 16 - 8 jam gelap tergantung varietas tanaman dan eksplan

yang dikulturkan (Rahardja, 1994). Kultur in vitro anggrek menggunakan iluminasi

bervariasi sebesar 2000-3000 lux (Aktar et al., 2008), 3000 lux (Utami et.al., 2007),

20μmol/m2/s (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002), 30-34 μmol/m2/s (Zhao et al, 2008),

Nayak et al., 1997) dan 50 μmol/m2/s (Puchooa, 2004) dengan periode terang 16 jam

(Aktar et al., 2008; Nayak et al., 1997; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002; Puchooa,

2004).

4. Kondisi eksplan

Page 13: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Semakin tua organ tanaman eksplan yang diambil, proses pembelahan dan

regenerasi sel cenderung untuk turun. Umumnya eksplan yang berasal dari jaringan

tanaman yang masih muda (juvenil) lebih mudah tumbuh dan beregenerasi dibandingkan

dengan jaringan yang telah terdiferensiasi lanjut. Ukuran eksplan juga mempengaruhi

laju keberhasilan kultur jaringan. Eksplan dengan ukuran kecil lebih mudah disterilisasi

dan kemungkinan terjadinya kontaminasi kecil, namun kemampuannya untuk

beregenerasi juga lebih kecil sehingga dibutuhkan media yang lebih kompleks untuk

pertumbuhan dan regenerasinya (Zulkarnain, 2009).

5. Alat

Laboratorium yang digunakan untuk proses kultur jaringan harus memenuhi

standar kelengkapan laboratorium seperti ruangan rak yang digunakan untuk proses

pembuatan media dan penyimpanan gelas kimia yang steril. Laboratorium kultur jaringan

membutuhkan gelas kimia, tabung Erlenmeyer, gelas medium, test tube, petri dishes,

gelas ukur, beckerglass, pippet yang benar-benar terpilih dan disterilkan.

6. Sterilisasi peralatan, media dan bahan tanam

Media kultur jaringan umumnya membutuhkan media dan nutrisi yang cocok bagi

pertumbuhan sel tanaman, juga bebas dari bakteri dan jamur. Karena itu perlu adanya

sterilisasi media, seperti cawan kultur, peralatan dan bahan yang tidak terkontaminasi.

Peralatan dan media yang akan digunakan disterilkan dalam autoclave bersuhu

121°C selama 15-20 menit (Aktar et al., 2008; Meesawat dan Kanchanapoom, 2002;

Zhao et al, 2008; Nayak et al., 1997; Puchooa, 2004). Sterilisasi bahan tanam

dilakukan melalui pencucian dengan deterjen dan perendaman dalam bahan sterilisasi

seperti natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, alkohol, betadine dan benlate. Kepekatan

bahan sterilan dan lamanya perendaman menentukan keberhasilan strerilisasi. Bahan

strerilan pun dapat meracuni jaringan, karena itu tingkat konsentrasi dan lama

perendaman harus benar-benar diperhatikan (Zulkarnain, 2009).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan anggrek

Phalaenopsis

1. Media tanam

Page 14: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Media tanam dalam kultur jaringan ialah tempat untuk tumbuh eksplan. Menurut

Wetter dan Constabel (1991), keberhasilan dalam teknologi serta penggunaan metode in

vitro terutama disebabkan oleh pengetahuan yang baik tentang kebutuhan hara sel dan

jaringan yang dikulturkan. Hara terdiri dari komponen utama dan komponen tambahan.

Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan pengatur

tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam organik,

metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan ketahanan sel

dan perbanyakannya.

Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin

pertumbuhan eksplan (Hendaryono dan Wijayani, 2002). Campuran media yang satu

mungkin cocok untuk jenis-jenis tanaman tertentu, tetapi tidak cocok untuk jenis-jenis

tanaman yang lainnya. Menurut Zulkarnain (2009), kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan

kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan,

jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan

nutrisinya. Media dasar yang sering digunakan untuk kultur jaringan anggrek

Phalaenopsis ialah media Vacint and Went (Lin, 1986; Lin, 1987; Ishi et al., 1998),

Murashige and Skoog (Park, Murthy dan Paek, 2002; Wang et al., 2004; Nhut et al.,

2006), ½ Murashige and Skoog (Chen dan Chang, 2004; Kuo et al., 2005), New

Phalaenopsis (Islam dan Ichihashi, 1999; Utami et al., 2007) dan New Dogashima

Medium (Tokuhara dan Mii, 2001).

Dalam metode perbanyakan melalui kultur in vitro pertumbuhan dan

perkembangan eksplan sangat dipengaruhi oleh jenis media dasar dan zat pengatur

tumbuh. Media MS merupakan media dasar yang umumnya digunakan untuk

perbanyakan sejumlah besar spesies tanaman. Media dasar tersebut kaya akan mineral

yang merangsang terjadinya organogenesis. Walaupun demikian, pada beberapa spesies

tanaman pemakaian media dengan kandungan garam mineral yang kaya dapat

menghambat pertumbuhan kultur. Modifikasi kadar makro dan mikro dapat lebih

menguntungkan (Hutami dan Purnamaningsih, 2003). Dengan demikian, banyak media

dasar yang mempunyai kandungan hara total yang lebih rendah dari pada media MS lebih

Page 15: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

efektif dalam memacu proses diferensiasi, misalnya media Vacint and Went yang

mengandung NH4+ lebih rendah.

2. Seleksi bahan eksplan

Seleksi bahan eksplan yang cocok ialah faktor penting yang menentukan

keberhasilan program kultur jaringan (Zulkarnain, 2009). Pierik (1997) mengemukakan

tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan tanam eksplan, yaitu

genotip, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut. Kemampuan regenerasi setiap

genotip juga sangat berbeda. Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi

keberhasilan teknik kultur jaringan (Zulkarnain, 2009). Penggunaan eksplan yang bersifat

meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang

lebih tinggi (Purnamaningsih, 2002).

Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan, namun bukan

merupakan faktor utama ialah ukuran eksplan yang digunakan (Zulkarnain, 2009).

George dan Sherington (1984) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran eksplan, akan

semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi, baik secara internal maupun

eksternal, namun laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya, semakin besar ukuran

eksplan, akan semakin besar pula kemungkinan untuk berhasilnya proliferasi, namun

kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan semakin besar.

Pierik (1987) menyatakan bahwa bagian tangkai bunga dapat digunakan sebagai

eksplan pada anggrek Phalaenopsis yaitu pada pucuk yang dorman. Sebab tunas

terbentuk dari calon tunas bunga yang muda atau tunas yang merupakan dasar bagian

vegetatif yang belum aktif. Selain tangkai bunga, eksplan yang bisa digunakan dalam

kultur jaringan anggrek Phalaenopsis ialah protocorm like bodies (plb) yang berasal dari

biji (Chen dan Chang, 2004), plb dari potongan daun in vitro yang berasal dari biji (Ishi

et al., 1998; Utami et al., 2007) dan daun yang berasal dari kultur in vitro tangkai bunga

(Park et al., 2002; Kuo et al., 2005).

3. Sterilisasi bahan eksplan

Page 16: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Zulkarnain (2009) mengemukakan beberapa sumber kontaminasi mikroorganisme

pada sistem kultur jaringan sebagai berikut:

1. Medium sebagai akibat proses sterilisasi yang tidak sempurna.

2. Lingkungan kerja dan pelaksanaan penanaman yang kurang hati-hati dan kurang

teliti.

3. Eksplan. Kontaminasi eksplan dapat terjadi secara internal (kontaminan terbawa

dalam jaringan) maupun secara eksternal (kontaminan berada di permukaan eks-

plan) akibat prosedur sterilisasi yang kurang sempurna.

4. Dari serangga atau hewan kecil yang berhasil masuk kedalam botol kultur setelah

diletakkan di dalam ruang kultur ataupun ruang stok.

Menurut Zulkarnain (2009), dari semua sumber kontaminasi, yang paling sulit

diatasi ialah yang berasal dari eksplan. Oleh karena itu, dalam memilih suatu metode

sterilisasi haruslah selektif, kita hanya mengeliminasi jamur atau bakteri yang tidak

diinginkan dengan gangguan seminimal mungkin terhadap bahan eksplan.

4. Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh ialah salah satu faktor yang menentukan keberhasilan kultur

in vitro, seperti auksin (Tokuhara dan Mii, 2001) dan sitokinin (Kuo et al., 2005; Park et

al., 2003). Penambahan zat pengatur tumbuh tanaman pada media kultur jaringan

dimaksudkan untuk pembelahan sel (Wetter dan Constabel, 1991). Apabila ZPT tidak

ditambahkan kedalam medium maka pertumbuhan eksplan atau plantlet akan terhambat

bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali (Hendaryono dan Wijayani, 2002).

a. Auksin

Auksin ialah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan sel-

sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid)

(Zulkarnain, 2009). Pengaruh rangsangan auksin terhadap jaringan berbeda-beda. Pada

kadar yang tinggi, auksin lebih bersifat menghambat daripada merangsang pertumbuhan

Page 17: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

(Hendaryono dan Wijayani, 2002). Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya

auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif.

Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pertumbuhan tunas adventif dan tunas

aksilar, namun kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan

embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel.

Auksin yang paling banyak digunakan dalam kultur in vitro anggrek Phalaenopsis

ialah α-naphtaleneacetic acid (NAA) (Tokuhara and Mii, 2001; Park et al., 2002; Wang et

al., 2004; Utami et al., 2007) dan 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) (Ishii et al.,

1998). Berdasarkan penelitian Utami et al. (2007), konsentrasi NAA yang optimal untuk

induksi pembentukan kalus embriogenik dan inisiasi embrio somatik pada anggrek bulan

adalah 2 mg/l.

b. Sitokinin

Sitokinin ialah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan

tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Zulkarnain, 2009).

Pengaruh sitokinin didalam kultur jaringan antara lain berhubungan dengan proses

pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambat pertumbuhan akar. Pada kultur

jaringan tanaman jika eksplan merupakan tunas pucuk atau stek maka sitokinin dapat

mendorong proliferasi tunas.

Baik auksin maupun sitokinin, keduanya seringkali diberikan secara bersamaan

pada medium kultur untuk menginduksi pola morfogenesis tertentu, walupun rasio yang

dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun pucuk tidak selalu sama (Zulkarnain, 2009).

Berdasarkan penelitian Tokuhara and Mii (2001), pemberian 0,5 µM NAA, 4,4 µM BA

dan 29,2 mM sukrosa pada media New Dogashima Medium (NDM) dapat menginduksi

kalus embriogenik sebesar 73% pada eksplan tangkai bunga Phalaenopsis. Sedangkan

pada penelitian Wang et al. (2004), penambahan 3 mg/l BA yang dikombinasikan dengan

0,1 mg/l NAA pada media MS menghasilkan 80% protocorm like bodies tanpa

penambahan bahan organik. Park et al. (2002) menggunakan 88,8 µM BA dan 5,4 µM

NAA pada media MS untuk menghasilkan rata-rata 10-13 protocorm like bodies setelah

12 minggu.

Page 18: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

5. Lingkungan tumbuh kultur jaringan anggrek Phalaenopsis

a. Suhu

Read (1990) menyatakan bahwa faktor suhu berpengaruh secara langsung

terhadap perkembangan sel dan jaringan, pembentukan organ tanaman dan berkaitan erat

dengan siklus perkembangan tanaman yang berada di bawah pengaruh enzim. Peranan

suhu lebih kritis pada kultur in vitro dibandingkan kultur in vivo. Hal itu dikarenakan

sifat jaringan yang peka dan kurangnya mekanisme perlindungan terhadap jaringan

tersebut.

Suhu optimum untuk terjadinya morfogenesis tidak selalu sama untuk setiap

spesies tanaman (Zulkarnain, 2009). Menurut George dan Sherrington (1984), rata-rata

suhu yang dibutuhkan pada kultur jaringan adalah 3-40C lebih tinggi daripada kultur in

vivo. Karena suhu di dalam wadah kultur biasanya 3-40C lebih tinggi daripada suhu

ruang kultur maka suhu di dalam ruang kultur dapat diatur, mengacu pada suhu optimum

pertumbuhan tanaman secara in vivo. Suhu yang dibutuhkan untuk dapat terjadi

pertumbuhan yang optimum umumnya berkisar antara 20-300C (Hendaryono dan

Wijayani, 2002). Kisaran suhu yang sering digunakan dalam kultur jaringan anggrek

Phalaenopsis ialah 23±10C (Tokuhara dan Mii, 2001; Utami et al., 2007), 24±10C (Kosir

et al., 2004), 250C (Ishii et al., 1998), 25±10C (Park et al., 2003), 25±20C (Wang et al.,

2004; Nhut et al., 2006) dan 26±10C (Chen dan Chang, 2004; Kuo et al., 2005).

b. Cahaya

Menurut Hendaryono dan Wijayani (2002), intensitas cahaya yang rendah

mempertinggi embriogenesis dan organogenesis. Cahaya ultraviolet dapat mendorong

pertumbuhan dan pembentukan tunas dari kalus tembakau pada intensitas yang rendah.

Sebaliknya, pada intensitas yang tinggi proses ini akan terhambat. Pembentukan kalus

maksimum sering terjadi di tempat yang lebih gelap. Menurut George dan Sherrington

(1984), pertumbuhan in vitro jaringan tanaman yang telah terorganisasi pada umumnya

Page 19: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

tidak mengalami hambatan karena cahaya, bahkan cahaya seringkali dibutuhkan untuk

mendapatkan hasil yang optimal. Sebaliknya, inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan

pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang mengalami hambatan dengan adanya cahaya.

Dalam hal ini, terdapat perbedaan yang jelas antarjaringan berbagai spesies tanaman

dalam kaitannya dengan respon jaringan tersebut terhadap cahaya.

Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau fotoperiodisitas juga

mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya

diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman yaitu sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode

terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap

tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan (Wardiyati, 1998).

c. Kelembaban

Kelembaban ialah faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan kultur in

vitro berbagai spesies tanaman (Zulkarnain, 2009). Kelembaban relatif didalam ruang

kultur sekitar 70%, namun kebutuhan kelembaban didalam wadah kultur mendekati 90%.

Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup umumnya cukup

tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup agak longgar maka

kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%.

Page 20: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

METODA KULTUR IN VITRO

TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah membaca bab V mahasiswa diharapkan dapat :

1. Mengerti tentang tahapan kultur jaringan

2. Pelaksanaan kultur jaringan pada anggrek Dendrobium

3. Pelaksanaan kultur jaringan pada anggrek Phalaenopsis

Tahapan Kultur Jaringan

Menurut Street (1977), tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman

dengan teknik kultur jaringan ialah:

1. Pembuatan media

Media merupakan salah satu faktor penentu penting dalam perbanyakan dengan

kultur jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang

akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin,

dan hormon. Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.

Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun

jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan. Media yang

sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol gelas. Media yang digunakan

juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dalam autoklaf.

Unsur-unsur penting dalam media kultur in vitro dapat dibagi dalam tiga kategori

berikut :

1. Unsur makro (nutrisi makro)

2. Unsur mikro (nutrisi mikro

Page 21: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

3. Sumber ‘iron’

Medium kultur sel tanaman biasanya dibuat dengan cara mengkombinasikan beberepa

komponen yang berbeda, seperti tersaji dalam tabel berikut.

Tabel 5.1. Beberapa unsur penting untuk nutrisi tanaman pada penanaman secara in

vitro dan fungsi fisiologi nya (Adrian Slater, et.al., 2003)

Unsur Fungsi

Nitrogen Komponene protein, asam nukleat dan beberapa koensim. Unsur

ini dibutuhkan dalam jumlah banyak

Potassium Regulasi potensial osmotik, sebagai kation anorganik utama

Calcium Sintesa dinding sel, fungsi membran, signal untuk sel

Magnesium Kofaktor ensim, komponen kloropil

Phosphorus Komponen asam nukleat, transfer energi, komponen intermediate

pada respirasi dan fotosintesis

Sulphur Komponen dari beberapa asam-asam amino ( metionin, sistin)

dan beberapa kofaktor

Chlorine Diperlukan untuk fotosintesis

Iron Transfer elektron sebagai komponen dari sitokrom

Manganese Kofaktor ensim

Cobalt Komponen dari beberapa vitamin

Copper Kofaktor ensim, reaksi transfer-eleketron

Zinc Kofaktor ensim, biosintesis kloropil

Molybdenum Kofaktor ensim, komponen dari nitrat reduktase

Tabel 5.2. Komposisi Media Murashige and Skoog (MS)

Senyawa mg/l

Page 22: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

NH4NO3 1650,000KNO3 1900,000CaCl2.2H2O 440,000MgSO4.7H2O 370,000KH2PO4 170,000KI 0,830H3BO3 6,200MnSO4.4H2O 22,300ZnSO4.7H2O 8,600Na2MoO4.2H2O 0,250CuSO4.5H2O 0,025CoCl2.6H2O 0,025Na2EDTA 37,300FeSO4.7H2O 27,800Sukrosa 30.000,000Agar 7.000,000pH 5,6-5,8

Sumber : (Adrian Slater, et.al., 2003)

Tabel 5.3. Komposisi Media Vacint and Went (VW)

Senyawa mg/lNH4NO3 500,000KNO3 525,000KH2PO4 250,000KI 0,830H3BO3 6,200MgSO4.7H2O 250,000MnSO4.4H2O 7,000(Ca2)3PO4 250,000Na2EDTA 37,300FeSO4.7H2O 27,800Sukrosa 20.000,000Agar 7.000,000pH 5,3Air kelapa 150 ml

Sumber : (Piluek dan Bunchai, 2008)

2. Inisiasi

Inisiasi ialah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan.

Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan ialah tunas.

Page 23: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

3. Sterilisasi

Semua kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril yaitu

di laminar flow atau enkas dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga

dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara

merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan dan

eksplan yang akan digunakan juga harus steril.

4. Multiplikasi

Multiplikasi ialah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam

eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya

kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan. Tabung reaksi yang

telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril

dengan suhu kamar.

5. Pengakaran

Pengakaran ialah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan

akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan

baik. Pengamatan harus dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan

perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur.

Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih kuning,

hijau ataupun biru. Kontaminasi umumnya diakibatkan oleh mikroorganisme cendawan

atau bakteri yang mengakibatkan eksplan busuk dan akhirnya mati.

6. Aklimatisasi

Aklimatisasi ialah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke

bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan

Page 24: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama

penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit

dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara

bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama

dengan pemeliharaan bibit generatif.

5.1. Dendrobium

Induksi Mata Tunas dan Kalus dengan Eksplan Tunas

1. Pembuatan larutan stok media

Masing-masing senyawa untuk tiap media serta BA dan NAA dibuat larutan

stoknya. Pembuatan larutan stok bertujuan untuk menghemat waktu dan memudahkan

pekerjaan menimbang berulang-ulang untuk setiap kali pembuatan media.

Untuk senyawa makro, BA, dan NAA, dibuat larutan stok dengan kepekatan 10

kali. Untuk senyawa mikro dan stok Fe-EDTA, masing-masing dibuat dengan kepekatan

100 kali.

Untuk menghitung jumlah senyawa yang diperlukan digunakan rumus sebagai

berikut : Kepekatan larutan stok x berat senyawa per liter media

1 liter /volume larutan stok

Senyawa yang telah ditimbang, dilarutkan dengan aquades sampai volume yang

diinginkan. Kemudian wadah larutan stok diberi label, ditutup rapat dan disimpan dalam

lemari pendingin.

2. Pembuatan media tanam

Langkah pertama dalam pembuatan media ialah mempersiapkan peralatan yang

akan digunakan, larutan stok senyawa makro, stok senyawa mikro, stok Fe-EDTA, stok

BA, dan stok NAA, air kelapa, agar-agar, sukrosa (gula pasir) dan aquades (air steril).

Page 25: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Larutan stok memiliki kepekatan yang lebih besar dari kepekatan media, jadi untuk

mendapatkan media dengan konsentrasi yang yang sesuai harus dilakukan pengenceran

larutan stok. Volume larutan stok yang harus diambil untuk dilarutkan dihitung

menggunakan rumus :

Konsentrasi media yang ingin dibuat x volume media yang ingin dibuat

Kepekatan larutan stok x volume larutan stok

Masing-masing larutan stok yang sudah diukur, dicampur menjadi satu dengan

sukrosa (gula pasir), ditambahkan aquades sampai volume yang diinginkan. Untuk media

VW, ditambah 150 ml air kelapa muda sebelum ditambah aquades. Kemudian larutan

tersebut diaduk dan diukur pH-nya. pH untuk media ½ MS sebesar 5,8 dan untuk VW

sebesar 5,3. Jika pH terlalu rendah maka ditambah larutan NaOH dan jika pH terlalu

tinggi ditambah HCl. Kemudian ditambahkan agar dan dipanaskan sampai mendidih.

Larutan media dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilisasi sebanyak 25 ml

per botol dan ditutup dengan penyumbat karet. Media dan alat-alat untuk inisiasi eksplan

disterilisasi dengan autoklaf. Media yang telah steril dimasukkan ke dalam ruang kultur.

3. Inisiasi, Sterilisasi Alat dan Bahan

Untuk bahan tanam berupa tunas adventif, dipilih tunas yang masih muda dan

sehat dengan panjang ±10 cm. Tunas dipisahkan dari induknya kemudian dicuci dengan

perlahan dengan air mengalir, kemudian digojog dalam larutan deterjen cair (Teepol).

Setelah tunas bersih, dilakukan sterilisasi permukaan. Sterilisasi dilakukan dua kali,

sterilisasi luar dan sterilisasi di dalam enkas. Sterilisasi pertama, dengan mengocok tunas

dalam cairan Clorox 12 % + 1 tetes Teepol selama 15 menit. Kemudian bagian pucuk dan

pangkal tunas dipotong sedikit, disemprot dengan alcohol 70 % dan dimasukkan ke

dalam enkas. Sterilisasi kedua dengan mengocok eksplan pada larutan Clorox 6 % + 1

tetes Teepol selama 10 menit kemudian dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali.

Setelah 40 hari, mata tunas dipotong-potong (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002) dan

disubkultur pada media VW, VW + BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l, ½ MS dan ½ MS+ BA

1mg/l + NAA 0,1mg/l untuk induksi kalus.

Page 26: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Gambar 5.1. Tunas Dendrobium spectabile

4. Inokulasi eksplan

Inokulasi eksplan dilakukan dalam entkas yang steril. Alat-alat yang akan

digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi sebagai

berikut :

Setelah alat-alat disterilkan dengan membakar diatas api Bunsen, seludang yang

menutup tunas dibuka satu per satu mulai dari bagian bawah sampai terlihat mata tunas.

Seludang harus dibuka dengan hati-hati tanpa melukai mata tunas. Tunas dipotong sekitar

3 mm diatas dan dibawah mata tunas. Masing-masing eksplan memiliki satu mata tunas.

Eksplan ditanam pada botol kultur dan dimasukkan ke dalam ruang kultur. Kebutuhan

cahaya dipenuhi dengan menggunakan lampu TL 40 watt dengan periode terang selama

16 jam dan periode gelap selama 8 jam dan suhu 25±2°C.

Induksi Kalus, PLB, dan Tunas dengan Eksplan PLB

Setelah 40 hari, mata tunas dipotong-potong (Meesawat dan Kanchanapoom, 2002)

dan disubkultur pada media VW, VW + BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l, ½ MS dan ½ MS+

BA 1mg/l + NAA 0,1mg/l untuk induksi kalus. Eksplan ditanam pada botol kultur dan

Page 27: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

dimasukkan ke dalam ruang kultur. Kebutuhan cahaya dipenuhi dengan menggunakan

lampu TL 40 watt dengan periode terang selama 16 jam dan periode gelap selama 8 jam

dan suhu 25±2°C.

Gambar 5.2. Plb Dendrobium spectabile pada 1/2MS+BA

Untuk bahan tanam berupa PLBs tidak diperlukan sterilisasi eksplan, akan tetapi

botol yang berisi PLBs harus dibersihkan dan disemprot dengan alcohol 70% terlebih

dahulu sebelum dimasukkan ke dalam enkas. PLB diambil dari dalam botol, dicuci

dengan air steril untuk menghilangkan sisa-sisa agar. Eksplan dipotong menjadi dua

secara membujur kemudian ditanam dalam botol kultur. Masing-masing botol berisi

sepuluh eksplan. Botol-botol kultur kemudian dikulturkan dalam keadan gelap (Zhao et

al., 2008) selama 40 hari. Keadaan gelap dilakukan dengan memasukkan botol kultur ke

dalam kardus yang sudah disterilkan terlebih dahulu.

Setelah 40 hari, eksplan yang berasal dari percobaan 2 tahap 1 dikeluarkan dari

botol sebelumnya menggunakan pipet panjang, kemudian disubkultur pada media VW,

VW + BA 8,8µM, ½ MS dan ½ MS+BA 8,8µM selama 40 hari. Eksplan dikulturkan

pada media yang berkesesuaian dengan media pada tahap 1. Eksplan yang sebelumnya

ditanam pada media tanpa tambahan BA dikulturkan kembali pada media tanpa BA dan

eksplan yang sebelumnya ditanam pada media dengan tambahan BA dikulturkan kembali

pada media dengan BA. Konsentrasi BA lebih tinggi, yaitu sebesar 8,8 mM.L-1 atau

setara dengan 2 mg.L-1 BA.

5.2. Phalaenopsis

Page 28: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Interaksi eksplan tangkai bunga dengan media kultur dalam menginduksi tunas

1. Pembuatan larutan stok media

Pembuatan larutan stok bertujuan untuk menghemat waktu dan memudahkan

pekerjaan menimbang bahan yang berulang-ulang untuk setiap kali pembuatan media,

karena bahan yang ditimbang jumlahnya sangat kecil. Media yang digunakan ada dua

macam, yaitu media MS dan VW. Cara pembuatan larutan stok MS sebagai berikut:

- Senyawa makro dan mikro (lampiran) masing-masing dipekatkan 10 kali dan 100

kali kemudian ditimbang.

- Tiap-tiap senyawa makro dilarutkan dengan aquadest kemudian dicampur dan

ditambahkan aquadest hingga volume 500 ml. Begitu juga dengan senyawa mikro

dan Fe-EDTA, namun volume stok yang dibuat masing-masing 100 ml.

Sedangkan cara pembuatan larutan stok VW sebagai berikut:

- Masing-masing senyawa ditimbang dengan kepekatan 100 kali untuk 500 ml

larutan stok.

- Tiap-tiap senyawa dilarutkan dengan aquadest hingga 500 ml dan disimpan dalam

botol.

2. Pembuatan media

a. Media ½ MS

Langkah pertama pembuatan media tanam ialah mempersiapkan larutan stok

dan peralatan yang digunakan. Larutan stok makro, mikro, Fe-EDTA dan zat

pengatur tumbuh. Dari masing-masing larutan stok diambil sesuai dengan volume

yang dibutuhkan dengan rumus pengenceran:

Larutan yang akan diambil (ml) =

Page 29: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Untuk menghitung kebutuhan larutan ZPT pada media biakan dengan rumus:

Larutan yang akan diambil=

Larutan stok yang telah diambil dicampur menjadi satu kemudian

ditambahkan aquadest hingga volume media yang diinginkan. Setelah itu

ditambahkan sukrosa 30 g dan agar 7 g kemudian dipanaskan hingga larut. Larutan

tersebut diukur pHnya hingga 5,8. Apabila pH terlalu rendah ditambahkan NaOH 1 N

untuk meningkatkan pH dan apabila pH terlalu tinggi maka diturunkan dengan

menambahkan HCl 1 N. Dalam keadaan panas, media dimasukkan kedalam botol

kultur sebanyak 25 ml dan ditutup dengan penutup karet. Botol dan media disterilisasi

menggunakan autoklaf pada suhu 1210C, tekanan 1,5 atm selama 20 menit. Setelah

keluar dari autoklaf botol media disimpan dalam rak kultur dan diberi label.

b. Media VW

Larutan stok yang diambil menggunakan rumus yang sama dengan media ½

MS ditambah dengan air kelapa 150 ml/l. Sukrosa yang ditambahkan 20 g dan agar 7

g. Cara pembuatan sama dengan media ½ MS, namun pH yang digunakan ialah 5,3.

3. Sterilisasi eksplan

Bahan yang akan digunakan sebagai eksplan (tangkai bunga) dicuci dengan air

mengalir selama 5 menit. Tangkai bunga disemprot dengan alkohol 70%. Setelah itu

tangkai bunga dipotong kurang lebih 2-3 cm di atas dan di bawah mata tunas. Sterilisasi

luar dilakukan dengan memasukkan eksplan ke dalam larutan Clorox 12% yang ditambah

dengan 1-2 tetes Teepol kemudian digojog selama 15 menit, dengan interval 2 menit

digojog 3 menit berhenti. Setelah itu eksplan dimasukkan dalam entkas. Sebelum

dilakukan sterilisasi dalam, eksplan dipotong hingga 1-2 cm di atas dan di bawah mata

tunas. Sterilisasi dalam entkas dilakukan dengan memasukkan eksplan kedalam Clorox

Page 30: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

5% yang ditambah dengan 1-2 tetes Teepol dan digojog selama 10 menit. Eksplan

kemudian dibilas dengan aquadest 3 kali. Sedangkan untuk eksplan plb, cukup dibilas

dengan air steril hingga bersih dari sisa-sisa agar pada media sebelumnya.

4. Inokulasi eksplan

Inokulasi eksplan dilakukan dalam entkas yang steril. Alat-alat yang akan

digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi sebagai

berikut:

Bahan tanam diletakkan di atas petri dish kemudian seludang pembungkus mata

tunas (bract) dihilangkan. Setelah itu eksplan dipotong 3-5 mm di atas dan dibawah mata

tunas. Eksplan ditanam kedalam media kemudian ditutup dengan penutup karet. Setelah

itu diletakkan pada ruang inkubasi dengan cahaya 35-40 mmol.m-2s-1 dan fotoperiode

terang/gelap 16/8 dengan suhu 22±10C selama 60 hari.

Gambar 5.3. Bahan eksplan Phalaenopsis

Page 31: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Gambar 5.4. Persiapan eksplan tunas Gambar 5.5. Eksplan tunas dimasukkan

dalam botol kultur

Setelah dua bulan, tunas yang tumbuh dari eksplan tangkai bunga dipisahkan

kemudian dipotong 0,5-1 cm dan diinokulasikan dalam media. Eksplan diletakkan pada

ruang inkubasi dengan cahaya 35-40 mmol.m-2.s-1 dan fotoperiode terang/gelap 16/8

dengan suhu 22±10C selama 30 hari.

Interaksi eksplan tunas tangkai bunga dengan media kultur pada multiplikasi tunas

Eksplan (plb) yang berumur 3-6 bulan diambil dari botol dan diletakkan di atas

petri dish. Setelah itu eksplan dibilas dengan aquadest untuk menghilangkan sisa-sisa

agar. Eksplan dibelah menjadi dua bagian yang sama dengan scalpel kemudian

diinokulasi kedalam media. Satu botol diisi 10 potongan plb. Botol kemudian ditutup

dengan penutup karet. Botol diletakkan dalam ruang inkubasi tanpa cahaya (dimasukkan

dalam kardus) selama 40 hari pada suhu 22±10C.

Eksplan yang berasal dari percobaan sebelumnya dikeluarkan dari botol

menggunakan pipet panjang. Eksplan tersebut diinokulasi pada media yang ditambah

dengan 2 mg/l BA (8,8 µM BA). Setelah itu disimpan dalam ruang inkubasi dan diberi

cahaya dengan fotoperiode terang/gelap 12/12 pada suhu 22±10C selama 40 hari.

5. Sub kultur

Page 32: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Kegiatan sub kultur dilakukan untuk menghindari terjadinya browning. Untuk

eksplan tangkai bunga subkultur dilakukan tiap 1 bulan dengan media yang sama.

Gambar 5.6. Plb Phalaenopsis pada media 1/2MS

Gambar 5.7. Botol kultur disusun pada rak

Page 33: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

KULTUR JARINGAN DAN PELESTARIAN TANAMAN ANGGREK

TUJUAN INSTRUKSIONAL

Setelah membaca bab VI mahasiswa diharapkan :

1. Mengetahui peran kultur jaringan dalam pelestarian tanaman anggrek

2. Mengetahui bagaiamana menghadapi kendala-kendala teknik kloning dan

pelestarian eks situ pada berbagai jenis anggrek

Kultur jaringan in vitro dan pelestarian tanaman anggrek eks situ

Kultur jaringan in vitro penting digunakan untuk mendukung program pelestarian

eks situ tanaman anggrek yang berada pada status dilindungi terutama bagi yang hampir

punah. Karena dengan perbanyakan secara kultur jaringan in vitro memungkinkan untuk

dapat menghasilkan benih dalam jumlah besar dan berkualitas. Penelitian ini

membuktikan bahwa berbagai macam eksplan dan media diperlukan secara spesifik

untuk jenis anggrek tertentu.

Tanaman hasil kultur jaringan in vitro, nantinya dapat digunakan untuk

reintroduksi ke habitat asalnya atau untuk pelestarian tanaman anggrek secara eks situ.

Dendrobium

6.1. Induksi Mata Tunas dan Kalus dengan Eksplan Tunas

Pada percobaan ini, digunakan eksplan tunas aksilar untuk menginduksi mata

tunas. Kemudian mata tunas ini dipotong-potong dan dikulturkan kembali untuk

menginduksi kalus. Pada tahap awal, tidak semua mata tunas dapat tumbuh dan

berkembang. Sebagian eksplan mengalami perubahan warna dari hijau pada awal

inokulasi, menjadi berwarna kuning atau coklat dan akhirnya menjadi putih atau coklat

kehitaman. Eksplan yang demikian dapat dikatakan mengalami mati fisiologis (Rosita et

al., 2008). Menurut Rosita et al. (2008), pencokelatan disebabkan oleh dua faktor, yaitu

Page 34: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

eksplan yang mengeluarkan senyawa fenol atau faktor teknis saat penanaman, yaitu

scalpel dan pinset yang masih panas. Sedangkan menurut Santoso dan Nursandi (2004),

mati fisiologis dapat disebabkan oleh bahan tanaman yang tidak meristematik atau

jaringan dewasa, tindakan sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau

lingkungan yang tidak mendukung.

Pertumbuhan dan perkembangan mata tunas pun berbeda-beda. Sampai akhir

pengamatan, sebagian mata tunas hanya membengkak, sebagian telah menonjol keluar,

dan seagian lagi mulai berdiferensiasi menjadi tunas vegetatif, yang ditandai dengan

bentukan menyerupai calon daun. Seperti yang dinyatakan oleh Arditti dan Ernst (1992),

bahwa tunas lateral (aksilar) yang dikulturkan akan membentuk pola pertumbuhan yang

berbeda, yaitu tumbuh secara vegetatif, tumbuh secara generative, dan tunas yang tetap

dorman.

Eksplan yang mengalami mati fisiologis merupakan salah satu permasalahan yang

menghambat keberhasilan kultur jaringan. Eksplan pada tahap kedua pun banyak yang

mengalami mati fisiologis yang diawali dengan pencokelatan (browning). Browning

merupakan suatu karakter munculnya warna cokelat atau hitam yang seringkali membuat

pertumbuhan dan perkembangan eksplan terhambat dan mengakibatkan kematian pada

jaringan.

Pada tahap II, eksplan yang dikulturkan pada media VW + BA 1 mg.L-1 + NAA

0,5 mg.L-1 dapat membentuk PLB atau tunas, sedangkan pada media lainnya tidak

terbentuk apapun. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya auksin (NAA) dan sitokinin

(BA) di dalam media tersebut. Auksin ialah salah satu hormon tanaman yang dapat

meregulasi banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel

serta sintesis protein (Miryam et al., 2008). Menurut Abidin (1993), auksin berperan

dalam menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan permiabilitas sel terhadap air,

menyebabkan pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein serta

meningkatkan plastisitas dan pengembangan dinding sel sehingga membantu dalam

proses penyerapan nutrisi yang berada dalam media kultur in vitro. Peran fisiologis dan

sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, pembentukan morfogenesis tanaman,

pembentukan tunas serta menghambat senescence dan absisi (Wattimena, 1987;

Page 35: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Gunawan, 1988). Ditambahkan pula oleh Wiendi et al. (1991) bahwa proliferasi tunas

dapat terdorong jika diberikan konsentrasi sitokinin dalam jumlah yang tinggi.

Selain itu, pada media VW ditambahkan air kelapa yang juga berfungsi sebagai

ZPT alami, sehingga eksplan dapat membentuk tunas baru. Menurut Hendaryono dan

Wijayani (1994), dalam air kelapa terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas

seperti sitokinin. Penambahan air kelapa kedalam media kultur diharapkan dapat

menggantikan ZPT sintetik golongan sitokinin sehingga biaya untuk perbanyakan

tanaman secara kultur jaringan akan lebih ekonomis. Disamping itu, kandungan unsur

hara dalam air kelapa dapat meningkatkan kandungan hara dalam media untuk

mendukung pertumbuhan eksplan.

Pertumbuhan dan perkembangan eksplan pada percobaan 1 yang paling baik ialah

D. strebloceras, baik pada induksi mata tunas maupun induksi kalus. Spesies lainnya

tidak menunjukkan perkembangan sebaik D. strebloceras. Perbedaan tersebut

memberikan gambaran bahwa masing-masing spesies yang diuji memiliki variasi

karakter genotipe. Variasi genotipe tersebut akan mempengaruhi kandungan hormon

endogen sehingga respon terhadap perlakuan media akan bervariasi pula dalam inisiasi

tunas maupun panjang tunas. Alasan ini dilandasi oleh pendapat Pierik (1987) yang

menyatakan bahwa setiap genotipe tanaman akan memberikan tanggapan pertumbuhan in

vitro yang berbeda.

Menurut Gunawan (1988), interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh

yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen akan

menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen,

mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel. Interaksi antara masing-masing zat

pengatur tumbuh (auksin dan sitokinin) tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi

kultur serta jenis auksin dan sitokinin yang digunakan (Wiendi et al., 1991). Banyaknya

auksin yang terdapat dalam berbagai jaringan dan organ berbeda-beda. Perbedaan

konsentrasi auksin menimbulkan respon fisiologis yang berbeda, disamping itu terdapat

pula kandungan sitokinin dan zat lain dalam tumbuhan, sehingga tumbuhan akan

memberikan respon yang berbeda pula dalam proses fisiologisnya (Heddy, 1996).

Page 36: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

6.2. Induksi Kalus, PLB, dan Tunas dengan Eksplan PLB

Tujuan awal percobaan ini ialah untuk menginduksi kalus di ruang kultur yang

gelap (tanpa cahaya) sesuai dengan penelitian Zhao et al. (2008). Kalus ialah sekelompok

sel yang berproliferasi dan tidak terorganisir, berkembang dan memperbanyak diri secara

terus-menerus. Kalus yang terbentuk ditandai dengan pembesaran eksplan dari ukuran

semula. Hal ini terjadi akibat proses penyerapan air dan hara kedalam sel. Menurut

Santoso dan Nursandi (2004), terjadinya kalus disebabkan karena sel-sel yang kontak

dengan media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan

pembelahan seperti jaringan penutup luka.

Metode ruang gelap ini telah digunakan untuk menginduksi kalus pada eksplan

kopi arabika (Riyadi dan Tirtoboma, 2004), kentang (Zulkarnain et al., 2005) dan

Dendrobium candidum (Zhao et al., 2008). Menurut George dan Sherrington (1984),

inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang

mengalami hambatan dengan adanya cahaya. Ditambahkan pula oleh Hendaryono dan

Wijayani (1994) bahwa pembentukan kalus maksimum sering terjadi di tempat yang

lebih gelap. Pentingnya periode gelap pada masa inisiasi kultur diperkirakan sebagai

manifestasi dari modus kerja zat pengatur tumbuh, terutama auksin, yang aktif dalam

keadaan tanpa cahaya (Salisbury dan Ross, 1992). Selain itu, dalam keadaan tanpa

cahaya, aktivitas senyawa fenol yang dikeluarkan oleh permukaan jaringan yang luka

mengalami hambatan, sehingga mengurangi atau bahkan mengeliminir pengaruh

meracuni. Dengan demikian, inkubasi kultur dalam keadaan gelap pada tahap iniasi akan

memberikan kesempatan kepada jaringan untuk tumbuh dan berkembang secara lebih

baik (Zulkarnain et al., 2005).

Setelah 40 hari dalam ruang gelap, eksplan dikulturkan kembali dengan tambahan

cahaya. Dari pengamatan terlihat bahwa eksplan yang dapat membentuk kalus hanya D.

spectabile yang ditanam pada media VW, ½ MS dan ½ MS + BA 0,5 mg.L -1. Eksplan

yang dapat membentuk kalus pun sangat sedikit, tidak sampai 5%. Berdasarkan hasil

analisis ragam, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan

pada persentase eksplan membentuk kalus. Hasil ini lebih rendah dibandingkan hasil

yang didapat oleh Zhao et al. (2008), di mana eksplan PLB Dendrobium candidum yang

diinokuiasi pada media ½ MS yang ditambah dengan 2,2 mM BA atau setara dengan 0,5

Page 37: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

mg.L-1 BA menghasilkan kalus hingga 20%, sedangkan eksplan yang diinokulasi pada

media ½ MS tanpa tambahan BA, hanya menghasilkan kalus kurang dari 5%.

Pada perkembangannya terdapat eksplan berwarna putih dengan struktur agak

kasar, awalny eksplan sedikit menggembung namun tidak mengalami pertambahan

volume sampai akhir pengamatan. Kalus yang demikian menurut Devy et al. (2007)

merupakan kalus yang sudah berkembang namun tidak dapat berkembang menjadi kalus

embriogenik dan mati. Kalus yang berkembang dengan normal ditunjukkan dengan

bertambahnya volume maupun bentuk fisik kalus.

Hasil percobaan 2, menunjukkan bahwa perlakuan spesies berbeda nyata, di mana

D. spectabile tumbuh lebih baik dibanding D. ascipilanense. Menurut Damayanti et al.

(2007), setiap genotipe tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun

ditumbuhkan pada media kultur yang sama. Anggraini et al. (2007) menambahkan bahwa

hasil kultur yang didapat sangat beragam karena eksplan yang digunakan memiliki

tingkat kepekaan sel yang berbeda terhadap rangsangan zat pengatur tumbuh dan

mekanisme kerja zat pengatur tumbuh tidak konstan didalam jaringan eksplan sehingga

menghasilkan respon yang tidak pasti pada eksplan. Bahkan, menurut Utami et al.

(2007), sel yang identik dapat memberikan respon yang berbeda terhadap rangsang yang

sama.

Eksplan tidak hanya membentuk kalus atau PLB, namun ada pula yang langsung

membentuk tunas. Ini menunjukkan bahwa pada tahap ini juga terjadi proses

organogenesis dengan terbentuknya tunas (daun). Organogenesis dari eksplan diawali

dengan terbentuknya kelompok sel-sel meristem yang bereaksi terhadap faktor didalam

jaringan sel membentuk primordia dan faktor yang mempengaruhi terbentuknya akar atau

tunas. Faktor yang mempengaruhi terbentuknya tunas diantaranya ialah spesies tanaman

dan zat pengatur tumbuh dalam media yang akan menentukan apakah eksplan akan

membentuk tunas atau akar (George dan Sherington, 1984).

Phalaenopsis

6.3. Interaksi eksplan tangkai bunga dengan media kultur dalam menginduksi

tunas

Page 38: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

Tunas lateral yang terdapat pada nodus tangkai bunga yang diinokulasikan pada

media menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda. Menurut Arditti dan Ernst (1992),

tunas lateral yang dikulturkan akan membentuk pola pertumbuhan yang berbeda, yaitu

tumbuh secara vegetatif, tumbuh secara generatif dan tunas yang tetap dorman. Dari hasil

penelitian didapatkan bahwa beberapa tunas tumbuh secara vegetatif dan sebagian lagi

tumbuh secara generatif dalam waktu 2 minggu. Tunas dikatakan tumbuh secara vegetatif

apabila tunas yang tumbuh membentuk organ daun. Sedangkan tunas yang tumbuh secara

generatif membentuk tangkai bunga sekunder. Hal ini juga sesuai dengan metode yang

dikemukakan Piluek dan Bunchai (2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan saat inisiasi tunas dan

panjang tunas pada Phalaenopsis spesies dan hibrida. P. amabilis, P. amboinensis, dan P.

tetraspis memiliki saat inisiasi lebih awal dibandingkan P. Taisuco Kochdian dan P.

Sogo Smith. Perbedaan juga terdapat antar Phalaenopsis spesies maupun antar hibrida. P.

amabilis memiliki saat inisiasi lebih lama dibandingkan Phalaenopsis spesies lainnya.

Begitu pula saat inisiasi P. Taisuco Kochdian lebih awal dibandingkan P. Sogo Smith.

Perbedaan tersebut memberikan gambaran bahwa masing-masing spesies yang diuji

memiliki variasi karakter genotipe. Variasi genotipe tersebut akan mempengaruhi

kandungan hormon endogen sehingga respon terhadap perlakuan media akan bervariasi

pula dalam inisiasi tunas maupun panjang tunas. Alasan ini dilandasi oleh pendapat

Pierik (1987) yang menyatakan bahwa setiap genotipe tanaman akan memberikan

tanggapan pertumbuhan in vitro yang berbeda.

Panjang tunas Phalaenopsis spesies lebih pendek dibandingkan Phalaenopsis

hibrida. Namun diantara Phalaenopsis spesies, P. amabilis memiliki panjang tunas yang

lebih panjang dibandingkan spesies lainnya. Hal ini diduga karena kemampuan setiap

genotipe tidak sama dalam pembentukan tunas. Apabila dilihat dari morfologi

tanamannya secara in vivo, Phalaenopsis spesies memiliki ukuran tanaman yang lebih

kecil dibandingkan Phalaenopsis hibrida, sehingga dalam kultur in vitro pun morfologi

tunas Phalaenopsis hibrida lebih panjang dibandingkan Phalaenopsis spesies.

Saat inisiasi tunas maupun panjang tunas pada percobaan ini tidak dipengaruhi

oleh media. Semua media dapat digunakan untuk induksi tunas. Penambahan zat

pengatur tumbuh sitokinin (BA) yang digunakan pada percobaan ini juga tidak

Page 39: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

memberikan pengaruh yang nyata pada saat inisiasi maupun panjang tunas. Tunas dapat

tumbuh walaupun pada media yang tidak ditambah dengan BA. Hal ini diduga

kandungan hormon endogen yang ada dalam jaringan tanaman cukup untuk membentuk

tunas, sehingga tidak diperlukan lagi tambahan hormon eksogen. Selain itu, kemungkinan

penambahan 0,5 mg.L-1 BA pada media belum mampu memberikan saat inisiasi tunas

yang lebih cepat serta tunas yang lebih panjang dibandingkan media tanpa ZPT. Hal ini

diduga penambahan BA dengan dosis 0,5 mg.L-1 tergolong rendah sehingga respon

eksplan terhadap saat inisiasi tunas maupun panjang tunas kurang terlihat. Pendapat ini

sejalan dengan Marveldani et al. (2007) yang menyatakan bila eksplan mengandung

sitokinin endogen yang cukup, maka tidak ada respon terhadap pemberian sitokinin.

Apabila konsentrasi BA lebih tinggi kemungkinan inisiasi tunas terjadi lebih awal dan

tunas yang terbentuk lebih panjang. Hoesen (1998) menyatakan bahwa inisiasi tunas

dapat terjadi lebih awal terutama pada kultur yang diberi tambahan sitokinin.

Pada beberapa eksplan terutama P. amboinensis, P. tetraspis dan P. Sogo Smith,

tunas tidak dapat tumbuh pada beberapa media hingga akhir pengamatan tahap induksi

tunas. Eksplan tersebut awalnya berwarna hijau ketika diinokulasi, namun beberapa hari

sejak inokulasi eksplan berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan mati.

Menurut Rosita et al. (2008), eksplan yang demikian mengalami mati fisiologis.

Eksplan yang mengalami mati fisiologis merupakan salah satu permasalahan yang

menghambat keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang mengalami mati fisiologis

diawali dengan pencokelatan (browning). Browning merupakan suatu karakter

munculnya warna cokelat atau hitam yang seringkali membuat pertumbuhan dan

perkembangan eksplan terhambat dan mengakibatkan kematian pada jaringan. Pada

percobaan induksi tunas ini persentase eksplan yang mengalami mati fisiologis mencapai

32,14%. Hal ini terjadi diduga karena faktor teknis pada saat penanaman, yaitu scalpel

dan pinset yang digunakan masih panas, sehingga melukai jaringan eksplan dan

menyebabkan eksplan mati sebelum bisa beradaptasi di lingkungan kultur. Menurut

Rosita et al. (2008), pencokelatan disebabkan oleh dua faktor, yaitu dari eksplan yang

mengeluarkan senyawa fenol dan dari faktor teknis saat penanaman, yaitu scalpel dan

pinset yang masih panas. Sedangkan menurut Santoso dan Nursandi (2004), mati

fisiologis dapat disebabkan oleh bahan tanaman yang tidak meristematik atau jaringan

Page 40: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

dewasa, tindakan sterilisasi yang berlebihan, media yang tidak cocok atau lingkungan

yang tidak mendukung.

Selain karena mati fisiologis, beberapa eksplan tidak tumbuh tunas karena

terkontaminasi. Teknik sterilisasi permukaan yang digunakan belum mampu menghindari

kontaminasi hingga 100%. Pada percobaan 1 tahap 1, persentase eksplan yang mati

karena kontaminasi sebesar 21,42%. Kontaminasi terjadi karena beberapa faktor, antara

lain eksplan. Kontaminasi tersebut disebabkan oleh jamur dan bakteri. Pada P.

amboinensis dan P. tetraspis misalnya, kontaminasi disebabkan oleh jamur yang awalnya

terlihat pada eksplan kemudian menjalar pada media. Eksplan dan media diselimuti oleh

spora berbentuk kapas berwarna putih. Kontaminasi jamur pada P. amboinensis dan P.

tetraspis berasal dari eksplan, kemungkinan jamur sudah masuk kedalam jaringan

tanaman dan ketika dikulturkan dalam media, jamur tersebut dengan mudah berkembang

biak. Hal ini diduga karena tanaman induk yang digunakan sebagai eksplan berasal

langsung dari hutan yang kemungkinan lingkungannya lebih rentan terhadap jamur

dibandingkan pada lingkungan budidaya anggrek. Sedangkan pada P. Sogo Smith

kontaminasi juga disebabkan oleh jamur dan bakteri yang berasal dari eksplan. Pada

media dan eksplan terdapat lendir berwarna kuning. Jamur dan bakteri ini diduga sudah

masuk kedalam jaringan tanaman sehingga jamur dan bakteri tidak mati walaupun sudah

dilakukan sterilisasi permukaan menggunakan Clorox dan Teepol. Menurut Zulkarnain

(2009), dari semua sumber kontaminasi, yang paling sulit diatasi adalah yang berasal dari

eksplan. Dari penelitian ini diketahui bahwa eksplan tunas lebih besar peluangnya untuk

terjadinya kontaminasi. Eksplan dari anggrek Phalaenopsis spesies juga ternyata lebih

sulit beregenerasi dibandingkan hibrida.

6.4. Interaksi eksplan tunas tangkai bunga dengan media kultur pada multiplikasi

tunas

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa P. amabilis dapat membentuk tunas baru

pada semua media kecuali media ½ MS. Hal ini karena tunas yang tumbuh pada tahap

Page 41: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

sebelumnya berukuran sangat kecil (0,2 cm) dan mengalami nekrosis pada ujung

tunasnya. Nekrosis merupakan salah satu masalah utama pada kultur in vitro (Zulkarnain,

2009). Salisbury dan Ross (1992) menyatakan bahwa nekrosis dicirikan oleh matinya

jaringan pada tepi daun dan pucuk. Pada penelitian ini nekrosis menyebabkan tunas

berwarna hitam dan mati.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa media tidak memberikan pengaruh yang

nyata pada saat inisiasi tunas P. amabilis, walaupun dari rerata didapatkan bahwa media

VW + 2 mg.L-1 BAP + 0,5 mg.L-1 NAA memberikan saat inisiasi lebih cepat

dibandingkan media lainnya. Namun setelah pengamatan terakhir, media VW dan VW +

2 mg.L-1 BAP + 0,5 mg.L-1 NAA memberikan jumlah tunas yang lebih banyak

dibandingkan media ½ MS+2 mg.L BAP. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa media

VW merupakan media yang lebih efisien dibandingkan media VW + 2 mg.L -1 BAP + 0,5

mg.L-1 NAA karena pada media tersebut tunas dapat tumbuh lebih cepat dan jumlah tunas

yang sama banyaknya (tidak berbeda nyata) dengan VW+2 mg.L BAP. Tunas dapat

tumbuh dan bermultiplikasi walaupun diinokulasi pada media tanpa auksin dan sitokinin.

Diduga, kandungan hormon sitokinin dan auksin endogen yang ada dalam jaringan

tanaman cukup untuk menginduksi dan multiplikasi tunas, sehingga tidak diperlukan lagi

tambahan hormon eksogen.

Eksplan P. amboinensis yang dikultur dalam media ½ MS tidak dapat membentuk

tunas. Begitu juga dengan P. tetraspis yang dikultur pada media ½ MS dan media ½

MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA. Eksplan tersebut belum memberikan respon apapun

dan tetap berwarna hijau muda hingga akhir pengamatan. Hal ini diduga disebabkan oleh

lambatnya pertumbuhan tunas pada tahap sebelumnya. Hal ini bisa terlihat dari bentuk

tunas yang tumbuh pada eksplan nodus tangkai bunga, dalam waktu 2 bulan tunas belum

berdiferensiasi membentuk pola pertumbuhan vegetatif atau generatif. Tunas yang

tumbuh belum membentuk nodus seperti spesies lainnya, sehingga ketika tunas tersebut

dipotong kemudian diinokulasikan lagi ke media yang baru, tidak dapat tumbuh tunas

karena kemungkinan tidak ada mata tunas.

Eksplan P. Taisuco Kochdian dapat menghasilkan tunas pada semua media,

kecuali pada media ½ MS. Hal ini karena tunas yang digunakan sebagai eksplan belum

membentuk tunas vegetatif maupun generatif. Selain itu, tunasnya kecil dan berwarna

Page 42: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

kecokelatan, sehingga tidak menunjukkan respon hingga akhir pengamatan. Hasil

pengamatan menunjukkan bahwa media ½ MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA

merupakan media yang paling sesuai untuk multiplikasi tunas, meskipun pada media

tersebut tunas yang tumbuh lebih lambat dibandingkan media lainnya. Hal ini diduga

pada media ½ MS+2 mg.L-1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA mengandung unsur hara yang lebih

banyak dibandingkan media VW, terutama kandungan nitrogennya. Hal ini disebabkan

nitrogen merupakan komponen protein, asam nukleat dan substansi lainnya yang

diperlukan untuk pembentukan protoplasma dan berfungsi memperbaiki pertumbuhan

vegetatif (Widiastoety dan Kartikaningrum, 2003). Disamping itu, pada media tersebut

ditambah dengan zat pengatut tumbuh sitokinin (BAP) dan auksin (NAA), sehingga

interaksi antara kedua hormon tersebut memacu pertumbuhan dan perkembangan sel.

Pendapat ini didukung oleh Wattimena (1992) yang menyatakan bahwa zat pengatur

tumbuh umumnya digunakan secara kombinasi dan morfogenesis dari eksplan selalu

tergantung dari interaksi antara auksin dan sitokinin yang seimbang.

Auksin ialah salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi banyak proses

fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel serta sintesis protein

(Miryam et al., 2008). Menurut Abidin (1993), auksin berperan dalam menaikkan

tekanan osmotik, meningkatkan permiabilitas sel terhadap air, menyebabkan

pengurangan tekanan pada dinding sel, meningkatkan sintesis protein serta meningkatkan

plastisitas dan pengembangan dinding sel sehingga membantu dalam proses penyerapan

nutrisi yang berada dalam media kultur in vitro. Banyaknya auksin yang terdapat dalam

berbagai jaringan dan organ berbeda-beda. Perbedaan konsentrasi auksin menimbulkan

respon fisiologis yang berbeda, disamping itu terdapat pula kandungan sitokinin dan zat

lain dalam tumbuhan, sehingga tumbuhan akan memberikan respon yang berbeda pula

dalam proses fisiologisnya (Heddy, 1996). Peran fisiologis dari sitokinin adalah

mendorong pembelahan sel, pembentukan morfogenesis tanaman, pembentukan tunas

serta menghambat senescence dan absisi (Wattimena, 1987; Gunawan, 1988).

Ditambahkan pula oleh Wiendi et al. (1991) bahwa proliferasi tunas dapat terdorong jika

diberikan konsentrasi sitokinin dalam jumlah yang tinggi.

Dalam kultur jaringan tanaman, morfogenesis tanaman sangat ditentukan oleh

kombinasi zat pengatur tumbuh. Dengan adanya penambahan auksin dan sitokinin

Page 43: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

kedalam media ½ MS, maka tingkat multiplikasi tunas dapat ditingkatkan. Menurut

Gunawan (1988), interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan

dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen akan menentukan arah

perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen, mengubah level

zat pengatur tumbuh endogen sel. Interaksi antara masing-masing zat pengatur tumbuh

(auksin dan sitokinin) tergantung dari jenis eksplan, genotipe, kondisi kultur serta jenis

auksin dan sitokinin yang digunakan (Wiendi et al., 1991).

Multiplikasi tunas dapat ditingkatkan pada penelitian tahap ini, dengan jumlah

tunas 2,80 per eksplan yang didapat dari P. Taisuco Kochdian pada media ½ MS+2 mg.L-

1 BAP+0,5 mg.L-1 NAA. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan penelitian Talukder et al.

(2003) yang menggunakan eksplan tunas Dendrobium, dimana proliferasi tunas

terbanyak diperoleh pada perlakuan media MS yang ditambah 2,5 mg.L -1 BAP dan 0,5

mg.L-1 NAA, dengan jumlah tunas 1,90 per eksplan. Namun, jumlah tunas yang diperoleh

pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada penelitian Kosir at al. (2004) yang

juga menggunakan 2 mg.L-1 BAP dan 0,5 mg.L-1 NAA pada media P6793, dimana pada

media tersebut tiap eksplan nodus tangkai bunga Phalaenopsis hibrida membentuk 8,35

tunas. Hal ini diduga karena genotipe dan media yang digunakan berbeda, sehingga hasil

yang diperoleh juga berbeda.

Tunas P. Sogo Smith hanya ditanam pada media VW. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa potongan tunas P. Sogo Smith dapat membentuk tunas baru

walaupun diinokulasi pada media VW tanpa penambahan BAP mapun NAA. Dari 3

potongan tunas yang ditanam, terdapat 2 potongan tunas yang membentuk tunas baru

dengan rerata jumlah tunas 1,00. Meskipun media VW tidak diberi ZPT sintetik, namun

pada media VW ditambahkan air kelapa yang juga berfungsi sebagai ZPT alami,

sehingga eksplan dapat membentuk tunas baru. Menurut Hendaryono dan Wijayani

(1994), dalam air kelapa terkandung dhipenil urea yang mempunyai aktivitas seperti

sitokinin. Penambahan air kelapa kedalam media kultur diharapkan dapat menggantikan

ZPT sintetik golongan sitokinin sehingga biaya untuk perbanyakan tanaman secara kultur

jaringan akan lebih ekonomis. Disamping itu, kandungan unsur hara dalam air kelapa

dapat meningkatkan kandungan hara dalam media untuk mendukung pertumbuhan

eksplan.

Page 44: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

6.5. Interaksi eksplan PLB dengan media kultur dalam induksi kalus

Pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu

genotipe tanaman, media tanam, lingkungan tumbuh dan kondisi eksplan. Perbedaan

komposisi media, komposisi zat pengatur tumbuh dan jenis media yang digunakan akan

sangat mempengaruhi pertumbuhan dan regenerasi eksplan yang dikulturkan. Tujuan

awal percobaan ini ialah untuk menginduksi kalus sesuai dengan penelitian Zhao et al.

(2008). Kalus ialah sekelompok sel yang berproliferasi dan tidak terorganisir,

berkembang dan memperbanyak diri secara terus-menerus. Kalus yang terbentuk ditandai

dengan pembesaran eksplan dari ukuran semula. Hal ini terjadi akibat proses penyerapan

air dan hara kedalam sel. Menurut Santoso dan Nursandi (2004), terjadinya kalus

disebabkan karena sel-sel yang kontak dengan media terdorong menjadi meristematik dan

selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan penutup luka.

Dalam penelitian ini, botol kultur diletakkan dalam keadaan gelap yang bertujuan

untuk menginduksi kalus. Metode ini telah digunakan untuk menginduksi kalus pada

eksplan kopi arabika (Riyadi dan Tirtoboma, 2004), kentang (Zulkarnain et al., 2005)

dan Dendrobium candidum (Zhao et al, 2008). Menurut George dan Sherrington (1984),

inisiasi pembelahan sel pada eksplan dan pertumbuhan jaringan kalus kadang-kadang

mengalami hambatan dengan adanya cahaya. Ditambahkan pula oleh Menurut

Hendaryono dan Wijayani (1994) bahwa pembentukan kalus maksimum sering terjadi di

tempat yang lebih gelap. Pentingnya periode gelap pada masa inisiasi kultur diperkirakan

sebagai manifestasi dari modus kerja zat pengatur tumbuh, terutama auksin, yang aktif

dalam keadaan tanpa cahaya (Salisburry dan Ross, 1992). Selain itu, dalam keadaan

tanpa cahaya, aktivitas senyawa fenol yang dikeluarkan oleh permukaan jaringan yang

luka mengalami hambatan, sehingga mengurangi atau bahkan mengeliminir pengaruh

meracuni. Dengan demikian, inkubasi kultur dalam keadaan gelap pada tahap iniasi akan

memberikan kesempatan kepada jaringan untuk tumbuh dan berkembang secara lebih

baik (Zulkarnain et al., 2005).

Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa selama masa kultur, terjadi

embriogenesis somatik baik secara langsung maupun tidak langsung. Embriogenesis

somatik ialah proses dimana sel somatik berkembang membentuk tanaman baru melalui

Page 45: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

tahap perkembangan embrio tanpa melalui fusi gamet. Sel somatik yang digunakan dalam

penelitian ini ialah PLB yang berasal dari biji. Eksplan PLB yang dikultur langsung

membentuk embrio (PLB) tanpa pembentukan kalus, kemudian embrio tersebut

berkembang menjadi planlet, sehingga disebut dengan embryogenesis somatik langsung

(Sutanto dan Aziz, 2006; George et al., 2008). Sedangkan eksplan PLB yang mengalami

embriogenesis somatik secara tidak langsung dicirikan dengan terbentuknya kalus

terlebih dahulu (Vasil et al., 1984; Franz, 1998; Sutanto dan Azis, 2006; Utami et al.,

2007; George et al., 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel saat inisiasi kalus dan persentase

eksplan membentuk kalus dipengaruhi oleh spesies, sedangkan perlakuan media maupun

interaksi antara keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hasil uji lanjutan

menunjukkan bahwa saat inisiasi dan persentase eksplan membentuk kalus antara P.

hieroglypicha dan kedua Phalaenopsis hibrida berbeda nyata. Hal ini karena kalus hanya

terbentuk pada P. Taisuco Kochdian dan P. Sogo Smith, sedangkan P. hieroglypicha

tidak terbentuk kalus. Saat inisiasi kalus P. Sogo Smith lebih cepat 5 hari dibandingkan

P. Taisuco Kochdian, namun antara keduanya tidak ada perbedaan yang nyata. Penelitian

ini menunjukkan bahwa kemampuan eksplan dalam membentuk kalus berbeda antara

spesies liar dan spesies hibrida. Menurut Damayanti et al. (2007), setiap genotipe

tanaman memiliki respon pertumbuhan yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media

kultur yang sama.

Warna kalus yang terbentuk pada awalnya rata-rata sama, yaitu berwarna hijau

kekuningan. Namun pada akhir pengamatan warnanya menjadi lebih pucat. Kisaran

warna kalus menurut kartu standar warna (RHS colour chart) rata-rata masih

menunjukkan warna hijau kekuningan. Warna kalus ini hampir sama dengan warna kalus

pada penelitian Zhao et al. (2008) pada kondisi gelap. Tekstur kalus yang terbentuk pada

awalnya halus, namun berangsur-angsur menjadi kasar, kompak dan mengkilat, terutama

pada kalus P. Sogo Smith yang diinokulasi pada media VW + 0,5 mg.L-1 BA. Kalus yang

demikian berpotensi untuk berkembang menjadi kalus embriogenik. Hal ini sesuai

dengan pendapat Quiroz-Figueroa et al. (2002) dan Devy et al. (2007) bahwa kalus

embriogenik umumnya ditandai dengan perkembangan kalus yang halus menjadi kompak

Page 46: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/tabetafridieta/files/2012/11/ALL-MATERI.doc · Web viewAlat-alat yang akan digunakan disterilkan dengan cara dibakar di atas api bunsen. Cara inokulasi

dan berbentuk nodular. Sedangkan kalus yang terbentuk dari eksplan P. Taisuco

Kochdian rata-rata bertekstur halus dan remah.

Persentase eksplan membentuk PLB dan jumlah PLB per eksplan dipengaruhi

oleh perlakuan spesies. P. hieroglypicha memiliki persentase dan jumlah PLB yang lebih

kecil dibandingkan Phalaenopsis hibrida. Sedangkan persentase eksplan membentuk

PLB pada P. Taisuco Kochdian lebih tinggi dibandingkan P. Sogo Smith. Meskipun

persentase eksplan membentuk PLB pada P. Taisuco Kochdian lebih tinggi, namun

jumlah PLB per eksplannya lebih sedikit bila dibandingkan dengan P. Sogo Smith.

Perbedaan ini diduga karena kemampuan genetik antara keduanya dalam membentuk

PLB per eksplan berbeda.

Persentase eksplan membentuk tunas pada tahap 2 mengalami peningkatan

dibandingkan tahap 1, kecuali pada media VW + 2 mg.L-1BA. Hal ini karena PLB yang

telah tumbuh pada kondisi gelap berkecambah membentuk tunas pada kondisi terang.

Hasil uji orthogonal kontras menunjukkan bahwa perbedaan persentase eksplan

membentuk tunas disebabkan oleh perbedaan genetik antara ketiga spesies yang diuji.

Perbedaan persentase yang disebabkan perbedaan media juga terlihat pada P. Taisuco

Kochdian. Media ½ MS tanpa BA justru memacu eksplan membentuk tunas. Dari hasil

pengamatan juga diketahui bahwa media tanpa BA memberikan persentase eksplan

bertunas lebih banyak dibandingkan media yang diberi BA, meskipun tidak berbeda

nyata dengan media lainnya.

Interaksi antara perlakuan spesies dan media terdapat pada variabel jumlah tunas

per eksplan. Perbedaan jumlah tunas tunas per eksplan disebabkan oleh perbedaan

genetik diantara ketiga spesies. Selain itu, perbedaan jumlah tunas per eksplan juga

disebabkan oleh perbedaan jenis media. Hal ini terlihat pada P. Taisuco Kochdian. Media

jenis VW menghasilkan jumlah tunas lebih banyak dibandingkan media jenis MS.