blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../files/2012/01/Rencana-Proposal1.docx · Web viewRencana Proposal...

73
Rencana Proposal Disertasi Tugas Mata Kuliah : Perencanaan Lingkungan dan Pengembangan Wilayah : Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS. UPAYA PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KELAPA SAWIT BERBASIS MODAL SOSIAL DAN PENGETAHUAN LINGKUNGAN OLEH : FADLI MULYADI NIM : 117040100111005 PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN PROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN

Transcript of blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../files/2012/01/Rencana-Proposal1.docx · Web viewRencana Proposal...

Rencana Proposal Disertasi

Tugas Mata Kuliah : Perencanaan Lingkungan dan Pengembangan Wilayah : Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS.

UPAYA PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KELAPA SAWIT BERBASIS MODAL SOSIAL DAN

PENGETAHUAN LINGKUNGAN

OLEH : FADLI MULYADINIM : 117040100111005

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGANPROGRAM DOKTOR ILMU PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA2012

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 3

LATAR BELAKANG ........................................................................... 3

RUMUSAN MASALAH ........................................................................... 8

TUJUAN PENELITIAN ........................................................................... 12

MANFAAT PENELITIAN ........................................................................... 13

BATASAN PENELITIAN ........................................................................... 13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 14

PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA ..................... 14

MODAL SOSIAL, EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN .......................................... 24

MODAL SOSIAL DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT .......... 32

PENGETAHUAN LINGKUNGAN ………………………………………………………………….. 35

BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 37

KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................................... 37

HIPOTESIS ................................................................................................. 39

METODE PENENTUAN DAERAH PENELITIAN ...................................................... 39

METODE PENGUMPULAN DAN PENGUKURAN DATA ................................ 40

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 46

2

BAB I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Pemerintah Republik Indonesia berusaha menggalakkan pembangunan di segala

sektor karena pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad suatu

masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin untuk mencapai kehidupan yang serba lebih

baik melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional (Todaro dan

Stephen, 2004). Oleh karena itu Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumberdaya

alam selalu berusaha untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatannya untuk

kesejahteraan rakyatnya termasuk sektor perkebunan, sebagaimana yang tercantum

dalam UU No.18 Tahun 2004 tentang perkebunan bahwa bahwa bumi, air, dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya, sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan potensi yang sangat besar dalam

pembangunan perekonomian nasional termasuk di dalamnya pembangunan perkebunan

dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Secara umum diyakini bahwa agro-industrialisasi berkontribusi terhadap

pembangunan ekonomi dan sosial pedesaan. Dampak pembangunan ekonomi bersumber

dari nilai tambah aktivitas pasca panen, dan multiplier effects dalam komunitas pedesaan.

Kontribusi sosialnya kurang banyak diidentifikasikan tetapi nampak berhubungan dengan

peningkatan pendapatan dan meningkatnya integrasi individu dan kelompok baik dalam

perusahaan agro-industrial dan sepanjang rantai pasokannya (supply chains) (Johnson et al,

2002)

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari

sektor perkebunan. Kaimuddin (2008) dan Purwanto (2009) menyatakan bahwa

pengembangan usaha perkebunan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman VOC, dengan

menetapkan tanam paksa budidaya tanaman ekspor untuk kepentingan Belanda. Sejalan

dengan itu, maka pengembangan perkebunan di Indonesia terus digalakkan, terutama di

pulau Sumatera dan Kalimantan karena perkebunan kelapa sawit di Indonesia dianggap

mempunyai peran yang sangat strategis dari sisi ekonomi antara lain sebagai komoditas

untuk peningkatan ekspor, penyerapan kesempatan kerja, menekan jumlah penduduk

3

miskin, mendorong pusat pertumbuhan wilayah, mencukupi kebutuhan konsumsi dalam

negeri, dan lain-lain (Badrun, 2010).

Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Provinsi dan Status Pengusahaan Tahun 2009

No Provinsi PR (Ha) PBN (Ha) PBS (ha) Jumlah (Ha)

1 NAD 105.169 41.356 135.807 282.332

2 Sumatera Utara 408.699 269.039 343.954 1.021.692

3 Sumatera Barat 164.925 7.936 166.814 339.675

4 Riau 865.231 795.28 748.810 1.693.569

5 Kep. Riau 529 0 5.601 6.130

6 Jambi 318.479 18.620 149.037 486.136

7 Sumatera Selatan 312.404 34.228 361.424 708.056

8 Bangka Belitung 21.402 0 160.959 182.361

9 Bengkulu 165.476 5.425 56.134 227.035

10 Lampung 78.068 11.379 63.771 153.218

11 Jawa Barat 0 6.548 3.289 9.837

12 Banten 6.866 8.028 0 14.894

13 Kalimantan Barat 197.830 41.966 258.975 498.771

14 Kalimantan Tengah 92.734 0 778.486 871.220

15 Kalimantan Selatan 50.166 4.865 236.703 291.734

16 Kalimantan Timur 98.050 13.551 311.207 422.808

17 Sulawesi Tengah 6.064 5.090 36.207 47.361

18 Sulawesi Selatan 8.401 8.348 601 17.350

19 Sulawesi Barat 67.636 0 53.979 121.615

20 Sulawesi Tenggara 20.067 2.966 0 23.033

21 Papua 9.838 10.000 8.139 27.977

22 Papua Barat 15.939 12.707 5.300 33.946

Jumlah

3.013.97

3 581.580 3.885.197 7.480.750

Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, 2009.

4

Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak kelapa sawit (CPO- crude palm oil)

dan inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang

menjadi sumber penghasil devisa non-migas bagi Indonesia. Apalagi permintaan domestik

terhadap komoditas minyak sawit terus meningkat dari tahun ke tahun, (Bangun, 2003;

Mulyadi, 2005). Disamping itu, menguatnya permintaan CPO sebagai bahan baku bahan

bakar nabati (biodiesel) maka semakin menambah kuatnya permintaan terhadap hasil

produksi kelapa sawit. Konsumsi minyak nabati dunia dalam beberapa tahun terakhir

mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun

(Manggabarani, 2007). Melihat peluang tersebut, maka Indonesia telah mengumumkan

rencananya untuk melipatgandakan produksi minyak kelapa mentahnya pada tahun 2025,

(Buetler, 2007).

Era pengembangan kelapa sawit di Kalimantan Timur dimulai pada tahun 1982 yang

dirintis melalui Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikelola oleh PTP VI. Sampai tahun

2007 luas areal kelapa sawit telah mencapai 339.292,00 Ha yang terdiri dari 72.908,50 Ha

sebagai tanaman plasma / rakyat, 13.551 Ha milik BUMN sebagai inti dan 251.553,50 Ha

milik Perkebunan Besar Swasta . Produksi TBS (Tandan Buah Segar) sebesar 2.039.461,00

ton. Dalam berbagai kesempatan Pemprov Kaltim bahkan menyatakan bahwa perkebunan

besar kelapa sawit akan terus ditambah hingga luasan 3,5 -" 5 juta ha di wilayah Kaltim

(Disbun Kaltim, 2007 ; Timpakul, 2007). Namun perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang

menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan

finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain

perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi

masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang

menimbulkan kemiskinan struktural (Purwanto, 2009). Selain itu Supriyono (2009), juga

mengatakan bahwa dalam bisnis kelapa sawit terdapat banyak sekali kepentingan, seperti

investor yang berkepentingan dengan sustainability bisnisnya, pemerintah yang dengan

kepentingan daerahnya, masyarakat dengan kepentingan kesejahteraan, NGO dengan

kepentingan lingkungan dan sosial kemasyarakatan, serta kepentingan lainnya seperti RSPO

(Roundtable Sustainability Palm Oil).

5

Gambar 1. Berbagai kepentingan dalam bisnis kelapa sawit (Supriyono, 2009)

Adanya berbagai kepentingan tersebut telah menjadi potensi konflik dalam

pengelolaan SDA untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, baik berupa konflik

Vertikal (perusahaan versus masyarakat) dan konflik horisontal (masyarakat versus

masyarakat). Karena unsur-unsur yang ada di dalam konflik adalah persepsi, aspirasi dan

aktor yang terlibat di dalamnya, hingga persepsi mengenai perbedaan kepentingan juga

dapat berarti suatu konflik (Rahmawati, 2008 dan Susan, 2009).

Berbagai konflik tersebut dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan pembangunan

karena keberlanjutan berarti menjamin kemampuan orang untuk memenuhi kebutuhannya

saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang menenuhi kebutuhannya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Thin (2002) bahwa dalam paradigm 'pembangunan

berkelanjutan', terdapat beberapa aspek, yaitu : pembangunan sosial, pembangunan

manusia, pembangunan lingkungan dan pembangunan fisik / ekonomi.

Dimana pembangunan sosial telah dikaitkan dengan konsep lainnya, yaitu modal

sosial. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas,

altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar

terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa

tanggungjawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses

demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan

kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997; Suharto, 2005a; Suharto 2005b).

6

BISNIS BISNIS KELAPA KELAPA SAWITSAWIT

LSM / NGO

CU

STO

ME

R /

INV

ES

TOR

PEMERINTAH

UU No 32 / 2009 : PengelolaanLingkungan Hidup

UU No 18/2004 : Perkebunan

UU No 41/1999 : Kehutanan

Keppres 32/1990 : Kawasan Lindung

Dll.

SPO

Lingkungan Sosial Masyarakat

RSPO HCVF ISO

Tuntutan Plasma Tuntutan Lahan / Ganti Rugi

TUNTUTAN LI NGKUNGAN

Membicarakan lingkungan berarti membicarakan dampak dan resiko penggunaan

sumberdaya alam (Notohadiprawiro, 2006). Undang-undang No.4 Tahun 1982 Pasal 9

tentang ketentuan-ketentuan pokok pengolahan lingkungan, menegaskan bahwa

pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan

tanggungjawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui pengolahan, bimbingan,

dan penelitian lingkungan hidup. Pendidikan untuk menumbuhkan dan mengembangkan

kesadaran masyarakat dilaksanakan baik melalui jalur pendidikan formal mulai dari taman

kanak-kanak/pendidikan dasar sembilan tahun sampai dengan perguruan tinggi, maupun

jalur pendidikan non formal.

Sulaeman (2001) menyatakan bahwa masalah lingkungan hidup memiliki

pemahaman, sikap dan perilaku sangat subjektif sifatnya, karena masing-masing orang

mempunyai tingkat pengetahuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu persepsinya akan

berbeda pula sesuai dengan kesadaran dan kepribadian masing-masing. Namun demikian

landasan berpijaknya sama yang dapat dijabarkan dari tujuan usaha pemahaman

lingkungan.

Propinsi Kalimantan Timur dipilih menjadi daerah penelitian dengan pertimbangan

bahwa terjadi peningkatan areal perkebunan kelapa sawit secara signigfikan dalam kurun

waktu 5 tahun. Pada tahun 2002 luas areal perkebunan kelapa sawit adalah 132.173 Ha

meningkat menjadi 339.292 Ha pada tahun 2007.

Sebagaimana yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Kaltim tahun 2002-2007.

Tahun

Luas Areal (Ha)Jumlah

(Ha)

Produksi

(Ton)

Rata -

Rata

Produksi

(Kg/Ha)

Tenaga

Kerja

Perkebunan

TBM TM TT/TR

2007 203.434,50 132.867,00 2.990,50 339.292,00 2.041.163,00 15.362,45 126.570,00

2006 110.007,00 113..108,00 2.222,00 225.337,00 1.268.600,00 11.215,83 88.014,00

2005 90.414,00 108.567,00 2.106,00 201.087,00 1.012.788,50 9.328,70 77.757,00

2004 72.203,50 99.142,00 235,00 171.580,50 957.058,00 9.653,41 72.250,00

2003 63.648,50 95.130,50 300,00 159.079,00 791.064,00 8.315,57 64.339,00

2002 62.950,50 68.994,00 229,00 132.173,50 760.292,50 11.019,69 51.737,00

Sumber : Data Statistik Dinas Perkebunan Kalimantan Timur tahun 2007

7

RUMUSAN MASALAH

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mempunyai peran yang sangat strategis dari

sisi ekonomi antara lain sebagai komoditas untuk peningkatan ekspor, penyerapan

kesempatan kerja, menekan jumlah penduduk miskin, mendorong pusat pertumbuhan

wilayah, mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, dan lain-lain. Disamping itu,

menguatnya permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) maka

semakin menambah kuatnya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit. Konsumsi

minyak nabati dunia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju

pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun (Manggabarani, 2007). Saat ini Indonesia

adalah produsen kelapa sawit terbesar didunia dengan luas areal 7, 48 juta ha dan produksi

minyak sawit yang mencapai 19,1 juta ton dengan nilai ekspor $ 107.607 juta (Dirjen

Perkebunan, 2009).

PTPN XIII yang beroperasi di wilayah Kalimantan termasuk Kalimantan Timur juga

mengklaim bahwa di Kalimantan Timur PT. Perkebunan Nusantara XIII (Persero) telah

membangun kebun kelapa sawit seluas 37.312 ha, yaitu kebun sendiri/inti 13.440 ha dan

kebun mitra binaan/kebun plasma diantaranya PIR-BUN 17.000 ha, KKPA 6.872 ha.

Keberadaan PT. Perkebunan Nusantara XIII (Persero) di Kalimantan Timur, khususnya di

Kabupaten Pasir telah menyerap tenaga kerja (karyawan) 2.667 jiwa, dan petani plasma

11.936 KK. Penyerapan tenaga kerja, baik karyawan maupun petani yang apabila

dijumlahkan mencapai 14.603 KK, dan jumlah itu setara dengan 58.412 jiwa dengan

muliplier effect sekitar 292.060 jiwa. Jumlah multiplier effect tersebut setara dengan 169 %

dari total penduduk di Kabupaten Pasir 172.608 jiwa pada tahun 2003 (Hartoyo, 2005).

Namun selain dampak positif, perkebunan kelapa sawit juga ditengarai menimbulkan

berbagai dampak negatif. Pada aspek lingkungan hidup, kegiatan konversi hutan untuk

pembangunan areal perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pengrusakan

(deforestasi) hutan alam Indonesia. Beberapa tahun terakhir, banyak area hutan alami yang

dibuka di seantero Asia untuk perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini telah menurunkan

keanekaragaman hayati, meningkatkan kerentanan pada bahaya kebakaran, dan berdampak

pada ketergantungan masyarakat sekitar akan produk dan jasa yang telah disediakan oleh

ekosistem hutan (Buttler, 2007). Hilangnya keaneka ragaman hayati ini akan memicu

kerentanan kondisi alam berupa menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama dan

penyakit. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa

8

sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor

(Manurung, 2001). Belum lagi akibat terhadap kenaikan temperatur suhu dunia yang

memanas (global warming) (Sari dan Candra, 2008 dan Ant, 2010).

Tanaman kelapa sawit dibedakan menjadi dua fase, yaitu tanaman belum menghasilkan

(TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Pada masa TBM merupakan masa pemeliharaan

yang banyak memerlukan tenaga dan biaya, karena pada dasarnya merupakan

penyempurnaan dari pembukaan lahan dan persiapan tanaman, selain itu pada masa ini

sangat menentukan keberhasilan pada masa TM. Pekerjaan-pekerjaan dalam pemeliharaan

tanaman TBM antara lain adalah sebagai berikut:

1) Konsolidasi,

2) Pemeliharaan jalan, benteng, teras, parit dan lain-lain,

3) Penyulaman,

4) Pengendalian gulma,

5) Pemupukan

6) Pemeliharaan tanaman penutup tanah,

7) Kastrasi/ablasi

8) Penyerbukan (polinasi),

9) Pengelolaan hama dan penyakit.

Pemeliharaan kelapa sawit pada TM pada dasarnya hampir sama dengan pemeliharaan

TBM. Kegiatan pada TM meliputi pemeliharaan jalan, teras tanggul, pemangkasan pelepah

daun, konsolidasi dan inventarisasi, pengendalian gulma, pengelolaan hama dan penyakit

serta pemupukan.

Perkebunan Kelapa Sawit tidak bisa lepas dari penggunaan bahan-bahan kimia untuk

peningkatan produksi. Menurut Suwanto (1994), kondisi pertanian di Indonesia di masa

mendatang banyak yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah satu

bentuknya akan mengarah pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada

pertanian darat maupun akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai jenis penyakit

yang tidak dikenal atau menjadi masalah sebelumnya, akan menjadi kendala bagi

peningkatan hasil berbagai komoditi agroindustri. Sarana-sarana yang mendukung

peningkatan hasil di bidang pertanian ini adalah alat-alat pertanian, pupuk, bahan-bahan

kimia yang termasuk di dalamnya adalah pestisida.

9

Pembangunan pertanian secara nyata dan tepat telah berubah dengan hadirnya

Revolusi Hijau, terutama terlihat di negara-negara berkembang. Mereka yang dahulu

bergantung kepada bantuan pangan negara lain, kini mulai ekspor. Revolusi Hijau dianggap

berhasil mengurangi kelaparan di Dunia, namun semakin lama diketahui bahwa teknologi

Revolusi Hijau banyak menimbulkan dampak negative seperti meluasnya hama tanaman,

kerusakan tanah, hilangnya beberapa varietas tanaman dan menurunnya pendapatan

petani. Tata (2000), menyampaikan bahwa dampak negatif nyata dari Revolusi Hijau adalah

kerusakan tanah yang disebabkan oleh penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara

berlebihan, serta mengakibatkan berkurangnya unsure hara mikro seperti zinc dan bronz.

Selain itu juga dilaporkan lenyapnya 16 sentimeter lapisan tanah subur dan hilangnya

kemampuan tanah menyerap air dibandingkan dengan perlakuan tanah secara organik.

Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh

penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa

bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan

membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada

lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan

dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada perairan.

Adanya potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan

kimia dalam budidaya tanaman kelapa sawit, tentu bukanlah sesuatu yang kita harapkan

namun sulit untuk dhindari mengingat tujuan dari budidaya tanaman kelap sawit adalah

peningkatan produksi. Oleh karena itu selain aspek teknis, kiranya perlu adanya aspek yang

lain dalam upaya pengelolaan hama dan penyakit pada tanaman kelapa sawit.

Aspek sosial budaya umumnya kurang tersentuh dalam sistem budidaya tanaman,

khususnya dalam upaya pengelolaan hama dan penyakt tanaman. Konsep PHT muncul dan

berkembang sebagai koreksi terhadap kebijakan pengelolaan hama secara konvensional,

yang sangat utama dalam manggunakan pestisida. Kebijakan ini mengakibatkan penggunaan

pestisida oleh petani yang tidak tepat dan berlebihan, dengan cara ini dapat meningkatkan

biaya produksi dan mengakibatkan dampak samping yang merugikan terhadap lingkungan

dan kesehatan petani itu sendiri maupun masyarakat secara luas.

Namun sebagai inovasi dalam upaya pengelolaan hama dan penyakt tanaman, PHT

dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain (1) adanya resistensi atau kekuatan menolak dari

10

masyarakat sasaran, (2) terbatasnya sarana dan prasarana yang diperlukan, (3) intensitas

penyuluhan yang masih rendah.

Adapun ide dasar dari modal sosial adalah bahwa keluarga seseorang, sahabat dan

rekan kerjanya adalah aset penting, seseorang yang dapat diminta bantuannya saat krisis..

Apa yang benar bagi individu, juga berlaku bagi grupnya. Masyarakat yang memiliki

beragam stok network sosial dan asosiasi sipil adalah berada dalam posisi luar untuk

berhadalam dengan kemiskinan dan kerentanan, penyelesaian masalah, dan memanfaatkan

peluang baru. Sebaliknya, tidak adanya ikatan sosial juga dapat memiliki dampak yang tidak

kalah pentingnya. Apa yang dikatakan miskin adalah sesuatu yang tidak masuk dalam

anggota dari atau secara aktif dikeluarkan dari - network dan institusi sosial tertentu yang

dapat dipergunakan untuk mengamankan pekerjaanya dan rumahnya (Vipriyanti, 2007).

Pada komunitas petambak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur,

Lenggono (2004) menemukan bahwa rendahnya tingkat modal sosial yang dimiliki

komunitas petambak, meningkatkan biaya operasional dan tidak efisiennya pengelolaan

tambak-tambak mereka. Kondisi ini memicu perilaku agresif komunitas petambak dalam

mengkonversi hutan mangrove untuk memperluas hamparan tambak yang dimiliki seluas-

luasnya, dengan harapan dapat meningkatkan produktifitas. Gejala tersebut dapat menjurus

pada perilaku kolektif yang destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan

sosial.

Insting manusia untuk berkumpul dan berinteraksi secara intensif (face-to-face

relationship) akan membangun modal sosial yang dapat memberi pengaruh positif dan

negatif terhadap pembangunan. Pengaruh positif akan terjadi apabila interaksi yang

terbangun mampu menekan perilaku negatif (rent-seeking dan oportunistik) dan

memperkuat sistem kontrol sehingga mengurangi biaya transaksi. Sebaliknya pengaruh

negatif disebabkan oleh adanya trade-off sumber daya untuk aktivitas ekonomi dan sosial

(Vipriyanti, 2007).

Dalam upaya pengelolaan hama dan penyakit pada tanaman kelapa sawit yang

ramah lingkungan juga diperlukan pemahaman mengenai lingkungan hidup, dimana

menurut Soemarwoto (2004), bahwa inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan

makhluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Adapun ilmu tentang

hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi.

11

Oleh karena itu, penelitian ini dipandang perlu untuk mencari upaya pengelolaan

hama dan penyakit tanaman Kelapa Sawit yang berbasis pada modal sosial dan

pengetahuan lingkungan, sehingga potensi kerusakan lingkungan yang timbul, dapat

diminimalkan.

Berdasarkan berbagai fakta yang telah dipaparkan, maka memunculkan pertanyaan

penelitian tentang upaya pengelolaan hama dan penyakit tanaman kelapa sawit yang

berbasis modal sosial dan lingkungan, yaitu:

1. Bagaimana Kondisi Modal Sosial Masyarakat Saat Ini dan apa faktor-faktor yang

dapat berpengaruh?

2. Bagaimana sistem pengendalian Hama dan Penyakit pada perkebunan Sawit

3. Bagaimana Kondisi Pengetahuan Lingkungan Masy. dan apa saja Faktor-faktor yang

berpengaruh?

4. Bagaimana Pola Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit?

5. Bagaimana Keterkaitan antara Modal Sosial. Pengetahuan Lingkungan dan

Pengelolaan HPT Perkebunan Kelapa Sawit?

TUJUAN PENELITIAN

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mencari model pengelolaan hama dan

penyakit tanaman kelapa sawit yang berbasis modal sosial dan lingkungan. Secara terinci,

tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi Kondisi Modal Sosial Masyarakat Saat Ini dan faktor-faktor yang

berpengaruh.

2. Mengidentifikasi Kondisi Pengetahuan Lingkungan Masy. Dan Faktor-faktor yang

berpengaruh.

3. Mengidentifikasi Pola Pengelolaan hpt Perkebunan Kelapa Sawit.

4. Menganalisis Keterkaitan antara Modal Sosial. Pengetahuan Lingkungan dan

Pengelolaan HPT Perkebunan Kelapa Sawit

12

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi pemecahan masalah dalam

upaya merevitalisasi pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur, dimana

tujuan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan serta

menekan kemiskinan masyarakat dapat tercapai.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penentuan kebijakan

dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat di Provinsi

Kalimantan Timur, menyediakan data-data sosial ekonomi seperti kondisi sosial ekonomi

masyarakat, kondisi modal sosial dan kontribusi pengembangan perkebunan kelapa sawit di

Kalimantan Timur.

BATASAN PENELITIAN

Analisis modal sosial dalam disertasi ini terdiri atas analisis kondisi sosial ekonomi

masyarakat dan analisis kondisi modal sosial di Kalimantan Timur terutama di areal sekitar

perkebunan kelapa sawit, identifikasi dampak baik positif maupun negatif, analisis

keterkaitan antar sektor dan sistem pemanfaatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Hal

tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengingat banyaknya

terjadi pro dan kontra dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit khususnya di

Kalimantan Timur. Penelitian ini dibatasi hanya di Kabupaten Kutai Timur yang dianggap

mewakili Propinsi Kalimantan Timur.

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

PERKEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari

sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan

dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di

Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang

menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan

finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain

perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai kendala bagi diversifikasi ekonomi

masyarakat yang lebih luas, sumber penindasan, serta salah satu faktor penting yang

menimbulkan kemiskinan struktural (Purwanto, 2009).

Menurut Pahang (2008), Sejarah pembukaan perkebunan di Indonesia dapat

dikelompokkan dalam 5 periode, dimana pengembangan pengusahaannya memiliki dasar

hukum yang berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi pada masa tesebut. Adapaun

penegelompokannya adalah sebagai berikut :

1. Periode penjajahan Belanda (1600-1942).

2. Periode pendudukan Jepang (1942-1945).

3. Periode Revolusi fisik beberapa tahun setelah Inodnesia merdeka dan pemulihan

perkebunan (1945-1955).

4. Periode pengalihan/nasionalisasi perkebunan dari swasta asing ke PNP/PTP dan

perkembangan pada pemerintahan orde baru (1956-1990 an).

5. Periode pembangunan perkebunan 2000-2004 dan awal pelaksanaan UU

Perkebunan No. 18 tahun 2004.

Saat ini, kelapa sawit sangat penting peranannya bagi perekonomian Indonesia.

Sebagai komoditas strategis dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri dan

penghasil devisa terbesar diluar migas. Sungguhpun tanaman ini sangat cocok tumbuh dan

berkembang di hampir seluruh wilayah Indonesia, tapi kelapa sawit bukanlah tanaman asli

berasal dari Indonesia. Pohon asal Afrika Selatan itu dibawa ke Kebun Raya Bogor tahun

1848. Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun

1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di

tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat

14

yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri

pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit

berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".

Pohon palma itu di kemudian dikenal luas dengan nama kelapa sawit (Elaeis guineensis).

Dari biji buah tanaman sawit itu kemudian pada tahun 1911 di pantai timur Sumatera Utara

dikembangkan kebun sawit pertama di Sumatera. (Agro-lestari, 2009; Chehafudin, 2007;

Wikipedia, 2009)

Kebun kelapa sawit pertama dibuka pada tahun 1911 di Tanah Itam Ulu oleh

Maskapai Oliepalmen Cultuur dan di Pulau Raja oleh Maskapai Huilleries de Sumatera-

RCMA, Sumatera Utara. Kemudian oleh Seumadam Cultuur Mij, Sungai Liput Cultuur Mij,

Mapoli, Tanjung Genteng oleh Palmbomen Cultuur Mij, Madang Ara Cultuur Mij, Deli Muda

oleh Huilleries de Deli, dan lain-lain. Semua perkebunan tersebut berlokasi di Sumatera

Utara . Pada tahun 1915 pengusaha asal Inggris telah mengusahakan perkebunan-

perkebunan sawit berskala kecil di kawasan tersebut, mereka membuka sebuah perkebunan

sawit pertama kali seluas 2.715 hektar yang ditanam bersamaan dengan tanaman lainnya

seperti kopi, karet, kelapa dan tembakau. (Agro Lestari, 2009 ; Chehafudin, 2007)

Pada tahun 1916 sudah ada 16 perusahaan di Sumatera Utara dan 3 perusahaan di

Jawa. Kemudian pada tahun 1920, sudah ada sebanyak 25 perusahaan yang menanam

kelapa sawit di Sumatera Timur, 8 di Aceh dan 1 di Sumatera Selatan yaitu Taba Pingin dekat

Lubuk Linggau (Agro Lestari, 2009). Perkebunan ini kemudian makin berkembang menjadi

lebih dari 100.000 hektar pada tahun 1939. Pada era tahun tersebut, kehebatan sawit

Sumatera Utara telah mulai terdengar hingga ke manca negara, hingga banyak pengusaha

asal Inggris yang datang ke Sumatera dan tertarik untuk membudidayakan sawit

(Chehafudin, 2007).

Pada tahun 1939 telah tercatat sekitar 66 perkebunan dengan luas areal sekitar

100.000 ha. Maskapai utama yang tercatat adalah HVA, RCMA, Socfindo, Asahan Cultuur

Mij, LCB Mayang, Deli Mij dan Sungai Liput Cultuur Mij. Masa penjajahan Jepang merupakan

masa suram bagi perkembangan perkebunan di Indonesia, dimana ekspor terhenti. Dan

banyak kebun kelapa sawit diganti dengan tanaman pangan dan pabrik-pabrik tidak

berjalan. Pada tahun 1947 kebun-kebun tersebut dikembalikan kepada pemiliknya semula.

Setelah diinventarisir hanya 47 kebun saja yang dapat dibangun kembali dari 66 kebun

sebelumnya. Beberapa kebun mengalami kehancuran total seperti Taba Pingin dan Oud

15

Wassenar di Sumatera Selatan.Ophir di Sumatera Barat, Karang Inou di Aceh dan beberapa

kebun di Riau. Karena berbagai gangguan keamanan dan pergolakan politik waktu itu, maka

upaya merehabilitasi oleh pemiliknya tidak banyak membawa hasil. Hal ini terlihat dari luas

areal yang tidak bertambah. Sampai tahun 1957, luas areal kelapa sawit hanya 103.000 ha

dengan produksi 160.000 ton minyak sawit. Berarti produktivitas per ha yang sangat rendah,

hanya 1,9 ton, padahal sebelum perang, produktivitas sudah mencapai 3 ton (Agro lestari,

2009).

Periode berikutnya adalah periode pengalihan/nasionalisasi perkebunan dari swasta

asing ke PNP/PTP dan perkembangan pada pemerintahan orde baru. Dimulai pada tahun

1957-1968 menjadi era baru dalam perkembangan usaha perkebunan. Dalam periode ini

terjadi beberapa kejadian penting antara lain, 1) ambil alih atau nasionalisasi perusahaan

perkebunan Belanda oleh pemerintah pada 10 Desember 1957. Hal ini dilaksanakan

berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No.229/UM/1957. Kemudian diikuti

ambil alih perusahaan milik pengusaha Inggris, Perancis, Belgia, Amerika, dll. Namun

kemudian dikembalikan lagi pada tanggal 19 Desember 1967. 2) Reorganisasi perusahaan

perkebunan negara (PNP/PTP) yaitu pada tahun 1957 – 1960 dengan pembentukan PPN

Baru disamping PPN Lama yang sudah ada sebelumnya. Keduanya digabung pada tahun

1961-1962. Selanjutnya dibentuk organisasi baru berdasarkan komoditas seperti karet,

aneka tanaman, tembakau, gula, dan serat. Hal ini berjalan sejak tahun 1963 sampai dengan

1968 Agro lestari, 2009 ; Pahang, 2008).

Masa ini adalah masa sulit, karena kultur teknis dan manajemen perkebunan kurang

terkendali sebagai akibat suramnya perekonomian nasional dan pergolakan politik. Dan

dengan pulihnya masalah keamanan dan politik setelah penumpasan G-30-S PKI serta

munculnya kembali semangat membangun dari para pelaksana di lapangan (planters)

banyak mengundan perhatian investor asing seperti Bank Dunia, ADB dan lain-lain untuk

membantu pembangunan dan pengembangan kebun.

Program Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dimulai tahun 1968 telah banyak

membawa kemajuan. Pembukaan areal baru diluar areal tradisionil (Sumut, Aceh da

Lampung) terus terjadi. Upaya pengembangan perkebunan besar swasta yang banyak

terlantar terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Dengan menyediakan

fasilitas kredit dari Bank, mulai dilancarkan Program Pengembangan Pada tahun 1968 luasan

kebun kelapa sawit semakin bertambah besar 119.600 hektar. Pada tahun 1978 luasan itu

16

berkembang menjadi 250.116 hektar. Kemudian, sejak tahun 1979 hingga tahun 1997 laju

pertambahan areal kelapa sawit mencapai rata-rata 150.000 hektar pertahun. Saat ini, total

luas areal sawit di Indonesia telah jauh berkembang hingga lebih dari empat juta hektar.

(Agro lestari, 2009 ; Chehafudin, 2007)

Hal itu, tentu saja mempengaruhi tingkat produksi yang juga terus berkembang.

Pada periode tahun 1979 hingga tahun 1991 laju produksi rata-rata per tahun mencapai

sekitar 230.000 ton. Sementara itu, laju pertumbuhan pada periode tahun 1992 hingga 1997

meningkat hingga 420.000 ton per tahun. Pada masa itu produksi sawit Indonesia mencapai

lebih dari 5 juta ton per tahun. Berdasarkan data dari sebuah simposium, diketahui bahwa

kualitas dan perdagangan produksi minyak sawit mentah yang diadakan di Kuala Lumpur

tahun 1968, tercatat produksi minyak sawit mentah Indonesia baru mencapai 190.000 ton,

sedangkan Malaysia telah mampu memproduksi sekitar 370.000 ton minyak sawit mentah.

Lalu 33 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2001, produksi minyak sawit Malaysia

melonjak drastis menjadi 11 juta ton, sedangkan Indonesia juga meningkat menjadi 8 juta

ton lebih. Sekitar 5 juta ton dari produksi CPO Indonesia itu di lepar ke pasar ekspor, yakni

ke India, Cina, dan Thailand. Dari total produksi nasional yang mencapai 8 juta ton CPO

tersebut, Sumatera memiliki kontribusi produksi lebih dari 6,9 juta ton CPO per tahun.

Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu penghasil utama komoditi kelapa sawit

dengan areal perkebunan di Sumatera Utara tahun 2002, seluas lebih dari 650 ribu hektar,

total produksi mencapai 2,6 juta ton (Chehafudin, 2007).

Perkebunan Kelapa Sawit Di Kalimantan Timur

Kalimantan Timur merupakan salah satu Propinsi terluas di Indonesia yang kaya akan

potensi sumber daya alamnya, dimana sebagian dari potensi tersebut belum dimanfaatkan

secara optimal. Sumber daya alam dan hasilnya sebagian besar di ekspor ke luar negeri,

sehingga propinsi ini merupakan propinsi penghasil devisa terbesar di Indonesia, khususnya

dari sektor Pertambangan, Kehutanan dan hasil lainnya.

Propinsi Kalimantan Timur memiliki luas 208.657 km2 dengan jumlah penduduk

tahun 2005 sebanyak 2.957.465 jiwa dengan kepadatan penduduk 12,06 jiwa/km2.

Perekonomian Kalimantan Timur secara umum menunjukkan adanya peningkatan, jika

dilihat dari peningkatan hasil produksi Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan,

Industri, Perdagangan dan Jasa, disamping itu berkembangnya usaha sektor riil dan usaha

17

ekonomi lemah kebawah. Di sektor pertanian jika dilihat dari sisi produksi untuk berbagai

komoditas tanaman pangan dan hortikultura pada periode 2003 – 2005 mengalami

pertumbuhan yang cukup berarti. Sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang sangat

penting baik dalam pengembangan wilayah, ekonomi, sosial maupun lingkungan. Peranan

tersebut semakin penting karena perkebunan merupakan sub sektor yang berbasis sumber

daya alam yang tidak tergantung pada komponen impor, sehingga mampu menghadapi

situasi krisis ekonomi yang berkepanjangan seperti saat ini. Jenis-jenis tanaman perkebunan

yang dikembangkan di Kalimantan Timur antara lain : karet, kopi, sawit, kakao, lada, vanili,

tebu, cengkeh, kelapa dan industri pengolahan hasil perkebunan lainnya. Usaha tanaman

perkebunan ini terbagi menjadi perkebunan besar pemerintah, perkebunan besar swasta

dan perkebunan rakyat.

Kalimantan Timur memiliki sejumlah sektor harapan lain yang berpotensi besar di

pasar internasional. Sektor-sektor harapan itu adalah sektor perikanan dan kelautan,

perkebunan khususnya produk crude palm oil (CPO), karet dan coklat. Khusus untuk produk

CPO tahun 2002 Kalimantan Timur bahkan sudah mampu mengekspor ke luar negeri antara

lain Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Jika dilihat dari jumlah produksi kelapa sawit

pada tahun 2004 sebesar 962.536 ton dan tahun 2003 sebesar 791.064 ton terdapat

kenaikan sebesar 17,2% dan diperkirakan pada tahun 2005 akan meningkat menjadi

1.174.864 ton.

Diharapkan sektor-sektor inilah yang akan berkembang di masa yang akan datang

untuk menutupi penghasilan dari sektor perkayuan yang terus menurun. Apalagi saat ini

pemerintah sudah mulai menganggap program sawit 1.000.000 (satu juta) hektar. Ini sejalan

dengan program pembangunan pertanian dalam arti luas. Program penanaman sawit satu

juta hektar dimulai tahun 2004, maka prospek kedepan industri hilir sawit akan semakin

berkembang. Sehingga produknya bukan hanya CPO saja, tetapi diharapkan pihak investor

dapat membangun pabrik minyak goreng mini di Kalimantan Timur, yang dapat

memproduksi atau menghasilkan 5-10 ton minyak curah per jam.

Era pengembangan kelapa sawit di Kalimantan Timur dimulai pada tahun 1982 yang

dirintis melalui Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikelola oleh PTP VI. Sampai saat

ini (Posisi Desember 2006) luas areal kelapa sawit baru mencapai 210.553,50 Ha yang terdiri

dari 51.389,50 Ha sebagai tanaman plasma / rakyat, 13.551 Ha milik BUMN sebagai inti dan

145.613 Ha milik Perkebunan Besar Swasta . Produksi TBS (Tandan Buah Segar) sebesar

18

1.273.167,50 ton. Dari sejumlah perusahaan perkebunan besar swasta yang telah

memperoleh izin pencadangan (ijin lokasi) sementara ini yang telah beroperasi membangun

kebun dalam skala yang luas baru sebanyak 42 perusahaan. Perkembangan data statistik,

produksi, produktivitas dan tenaga kerja perkebunan Kalimantan Timur komoditi kelapa

sawit tahun 2002 - 2007 dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Jumlah Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Kabupaten - Kota Tahun 2007

Kabupaten/

Kota

Luas Areal (Ha) Jumlah

(Ha)

Produksi

(Ton)

Rata - Rata

Produksi

(Kg/Ha)

Tenaga

Kerja

Prkebunan

TM

TBM

TT/TR

Samarinda 331,50 - - 331,50 - - 135,00

Balikpapan - - - - - - -

Kukar 35.741,00 23.998,50 952,00 60.691,50 256.865,00 10.703,38 23.693,00

Kubar - 5.371,00 - 5.371,00 6.124,00 1.140,20 1.987,00

Kutim 65.166,50 26.681,00 2.135,50 93.983,50 288.929,50 10.828,83 17.336,00

Bontang - - - - - - -

Paser 17.509,00 47.268,50 1.342,00 66.119,00 653.738,50 13.830,47 30.110,00

PPU 11.948,00 12.127,50 - 24.075,50 197.228,00 16.262,87 4.876,00

Berau 20.570,00 3.625,00 - 24.195,00 - - 3.687,00

Bulungan 13.351,00 - - 13.351,00 - - 3.179,00

Malinau - - - - - - -

Nunukan 36.607,50 13.287,50 - 49.895,00 636.576,00 47.907,88 19.172,00

Tarakan - - - - - - -

Jumlah 201.224,5

0

25.910,00 4.429,50 338.013,0

0

2.039.461,0

0

15.408,56 104.172,00

Sumber Data : Statistik Dinas Perkebunan Kaltim Tahun 2007

Dari Tabel 3 terlihat bahwa areal pertanaman kelapa sawit di Kalimantan Timur saat

ini terpusat di Kabupaten Pasir yang meliputi Kecamatan Kuaro, Long Ikis, Long Kali, Pasir

Belengkong dan Tanah Grogot, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kecamatan Waru dan

Penajam), Kabupaten Kutai Kartanegara (Kecamatan Kembang Janggut, Kenohan dan Kota

Bangun), Kabupaten Kutai Timur (Kecamatan Muara Wahau, Kaliorang, Kongbeng),

Kabupaten Kutai Barat (Kecamatan Tanjung Isuy, Bongan), Kabupaten Berau (Kecamatan

19

Tanjung Redeb, Talisayan, Lempake, Batu Putih), Kabupaten Nunukan (Kecamatan Nunukan,

Lumbis dan Sebuku) sedangkan beberapa kecamatan lainnya masih dalam luasan terbatas.

Aspek Sosial Budaya

Sejarah perjalanan perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur memiliki citra

buruk dengan banyaknya konflik yang terjadi, baik berupa konflik Vertical (perusahaan

versus masyarakat) dan konflik horisontal (masyarakat versus masyarakat) akibat dari

dampak langsung dan tidak langsung perkebunan sawit skala besar. Pembangunan yang

menjadi jargon republik dengan berbagai macam program-program, sampai detik-detik

terakhir masih mengalami ketimpangan termasuk didalamnya program perkebunan dengan

menggalakkan kelapa sawit di berbagai daerah di Indonesia tidak terkecuali Provinsi

Kalimantan Timur. (Rahmawati, 2008)

Adapun dampak sosialnya yang banyak dilaporkan antara lain adalah : pembangunan

areal perkebunan kelapa sawit skala besar telah menyebabkan dipindahkannya masyarakat

lokal yang tinggal di dalam wilayah pengembangan perkebunan kelapa sawit. Ganti rugi

tanah pada areal pengembangan kelapa sawit tersebut seringkali menimbulkan

permasalahan karena tidak dibayar dengan harga yang ‘adil’ dan ‘pantas’. Di samping itu,

sering terjadi penyerobotan (pencaplokan) lahan masyarakat adat oleh perusahaan

perkebunan kelapa sawit, padahal di atas tanah tersebut masih terdapat tanaman pertanian

dan tanaman perkebunan milik masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dampak sosial

dari pembangunan perkebunan kelapa sawit ini adalah menimbulkan berbagai konflik sosial.

Baik itu konflik lahan antara masyarakat adat/lokal dengan perusahaan, namun juga

dikhawatirkan terjadinya kemerosotan budaya dan pengetahuan masyarakat adat dan

hilangnya akses terhadap SDA. Dampak lainnya adalah meningkatnya persoalan kemiskinan,

pelanggaran hak-hak buruh perkebunan serta ketidak-seimbangan kemitraan antara petani

kebun sawit dan perusahaan inti (Manurung, 2001 ; Lumuru, 2007)

Kelangkaan dari kayu di beberapa bagian Borneo, membuat para penduduknya saat

ini hanya memiliki beberapa pilihan untuk mengatasi perekonomian. Kelapa sawit

sepertinya menjadi alternatif terbaik bagi masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari

menanam karet, menanam padi, dan menanam buah-buahan.

Kini sudah jutaan hektar hutan dan tanah masyarakat Dayak di Kalimantan telah

dirubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit demi melaksanakan tuntutan dunia akan

20

minyak kelapa sawit. Kebutuhan tersebut sangat meningkat di pasar dunia. Banyak

perusahaan berlomba untuk menanam kelapa sawit di berbagai daerah di Indonesia yang

dianggap berpotensi, baik dari kalangan pemerintah maupun swasta. Tidak sedikit pula

diantaranya yang meminjam uang dari negara-negara di Eropa dan Bank Dunia untuk

memodali usaha tersebut karena dianggap menjanjikan (Montass, 2007).

Saat sebuah perusahaan pertanian besar masuk ke suatu daerah, beberapa anggota

masyarakat kebanyakan sangat tertarik untuk menjadi bagian dari perkebunan kelapa sawit.

Karena mereka tak memiliki kepemilikan legal atas tanah mereka, kesepakatan biasanya

dibuat sehingga mereka memiliki 2-3 hektar (508 are) lahan untuk perkebunan kelapa sawit.

Mereka biasanya meminjam 3.000-6.000 USD (dengan bunga 30 persen per tahun) dari

perusahaan induknya untuk biaya bibit, pupuk, dan kelengkapan lain. Karena kelapa sawit

membutuhkan sekitar 7 tahun untuk berbuah, mereka bekerja seperti buruh dengan

bayaran 2,5 USD per hari di perkebunan besar. Sementara lahan mereka belum

menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan

kelapa sawit.

Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2

hektar adalah 682-900 USD per bulan. Di masa lalu, karet dan kayu menghasilkan 350-1.000

USD per bulan. Rendahnya pendapatan digabung dengan tingginya modal yang dibutuhkan

dan tingginya bunga pinjaman tampaknya akan membuat para pemilik kecil ini tetap terus-

menerus berhutang pada perusahaan kelapa sawit. Hutang ini, ditambah dengan total

ketergantungan pada perusahaan yang tak bisa mereka percaya, mempunyai dampak

psikologis pada masyarakat. Karena tak ada jalan untuk melawan tindakan perusahaan,

konflik pun muncul di dalam masyarakat, terutama bila sebagian besar masyarakat melawan

perusahaan tersebut (Dayak sering melawan rencana perusahaan kelapa sawit). Sering kali

maksud-maksud rahasia digunakan untuk menguasai suatu masyarakat. Sebagai contoh,

sebuah hadiah sepeda motor bisa memenangkan pengaruh atas pemimpin-pemimpin

masyarakat. Ketika telah mendapatkan persetujuan, perusahaan kelapa sawit akan

bernegosiasi satu per satu dengan tiap kepala rumah tangga, untuk menghilangkan

kekuatan menawar yang lebih tinggi dari masyarakat lain (Butler, 2008).

Selain itu, Montass (2007) juga menyatakan bahwa tidak ada penyerapan tenaga

lokal di perusahaan perkebunan apalagi jabatan taktis. Banyak tenaga pendatang yang

bekerja dibagian strategis perusahaan dan di kantor-kantor. Pola perkebunan yang

21

ditawarkan kepada rakyat adalah 80% dipegang perusahaan dan hanya 20% saja dipegang

masyarakat artinya kebun tersebut dibagi dengan porsi 80:20. Pembagian ini tentu tidak

mensejahterakan. Dulu tahun 1990 -1998 penghasilan kelapa sawit masyarakat mampu

menghasilkan Rp 1.000.000,- rupiah per bulan, kini hanya Rp 250.000,- rupiah perbulan dan

itupun kalau buahnya ada. Kini tidak semua pohon menghasilkan buah sawit karena sudah

tua dan tidak produktif lagi. Penanaman kembali atau replanting hanya dilakukan pada

kebun inti atau kebun milik perusahaan bukan pada kebun rakyat atau plasma.

Benturan sosial demi benturan sosial berlangsung dengan mengambil bentuk aneka-

rupa serta menyentuh hampir di segala aspek (“frame of conflict”) kehidupan masyarakat

(konflik agraria, sumberdaya alam, nafkah, ideologi, identitas-kelompok, batas teritorial, dan

semacamnya). Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa apapun bentuk benturan sosial

yang berlangsung akibat dari konflik sosial, maka akibatnya akan selalu sama yaitu stress

sosial, kepedihan (bitterness), disintegrasi sosial yang seringkali juga disertai oleh

musnahnya aneka aset-aset material dan non-material. Kehancuran assetasset non-material

yang paling kentara ditemukan dalam wujud “dekapitalisasi” modal sosial yang ditandai oleh

hilangnya trust di antara para-pihak yang bertikai, rusaknya networking, dan hilangnya

compliance pada tata aturan norma dan tatanan sosial yang selama ini disepakati bersama-

sama). Seolah semua yang telah dengan susah payah dibangun dan ditegakkan oleh masing-

masing warga yang bertikai, dengan mudah diakhiri begitu saja karena konflik sosial. Dari

perspektif politik ketatanegaraan, kebijakan otonomi daerah (OTDA), hingga taraf tertentu

juga ikut menyumbang memperburuk situasi konflik sosial di atas (Dharmawan, 2007).

Dengan demikian wajar apabila banyak pihak yang mempertanyakan konsep

pemberdayaan dan kesejahteraan pada perkebunan kelapa sawit. Sebaiknya kebun sawit

meneyertakan masyarakat sebagai pemilik modal dan pemegang saham perusahaan karena

mereka punya tanah untuk land clearing. Sehingga kesejahteraan untuk semua pihak

sebagai tujuan pembangunan bangsa melalui perkebunan kelapa sawit dapat tercapai.

Aspek Ekonomi

Secara umum diyakini bahwa agro-industrialisasi berkontribusi terhadap

pembangunan ekonomi dan sosial pedesaan. Dampak pembangunan ekonomi bersumber

dari nilai tambah aktivitas pasca panen, dan multiplier effects dalam komunitas pedesaan.

Kontribusi sosialnya kurang banyak diidentifikasikan tetapi nampak berhubungan dengan

22

peningkatan pendapatan dan meningkatnya integrasi individu dan kelompok baik dalam

perusahaan agro-industrial dan sepanjang rantai pasokannya (supply chains) (Johnson et al,

2002)

Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mempunyai peran yang sangat strategis dari

sisi ekonomi antara lain sebagai komoditas untuk peningkatan ekspor, penyerapan

kesempatan kerja, menekan jumlah penduduk miskin, mendorong pusat pertumbuhan

wilayah, mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri, dan lain-lain. Chehafudin, (2007),

menyatakan bahwa konsumsi minyak nabati dunia pada tahun 1995 masih sekitar 92,4 juta

ton, tahun 1997 mencapai 100,3 juta ton, dan pada tahun 2000 telah mencapai 113,8 juta

ton. Di tahun 2002 konsumsi dunia ini bahkan telah menginjak angka 121,3 juta ton. Dari 17

jenis minyak nabati yang tercatat, ternyata hanya 4 jenis yang mendominasi yaiti; minyak

kedelai, minyak sawit, minyak lobak dan minyak bunga matahari. Disamping itu,

menguatnya permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (biodiesel) maka

semakin menambah kuatnya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit. Konsumsi

minyak nabati dunia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan dengan laju

pertumbuhan rata-rata 4.6 persen per tahun (Manggabarani, 2007).

Hasil penelitian Asniansyah (2006) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit

yang terletak di desa Lombok, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur,

merupakan suatu usaha tani yang sangat potensial untuk meningkat taraf hidup petani.

Perkebunan yang berada di desa Lombok merupakan perkebunan milik petani dengan

bantuan modal dan kerja sama dengan UPP (Unit Pelaksanaan Proyek) PIR Swadaya murni

Kuaro. Sebelum mengenal tanaman kelapa sawit, masyarakat desa hanya menanam

tanaman pertanian tradisional seperti Pisang, Rotan, Enau, buah-buahan dan petani juga

berusaha menanam padi ladang yang dilakukan secara berpindah-pindah dengan membabat

hutan sebagai tempat berladang.

Aspek Lingkungan Hidup

Selain kendala kebijakan, pembangunan perkebunan kelap sawit juga telah menuai

berbagai macam kontroversi karena dianggap telah menimbulkan berbagai dampak baik

dampak sosial maupun dampak lingkungans. Pada pemanfaatan lahan untuk perkebunan

kelapa sawit, Sari dan Chandra (2008) menyatakan bahwa para investor ditengarai lebih

suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena

23

mereka mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal

hutan alam yang dikonversi menjadi areal perkebunan kelapa sawit. Sebagaimana diketahui

bahwa kayu IPK sangat dibutuhkan oleh industri perkayuan di Indonesia, terutama industri

pulp dan kertas, khususnya setelah produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam

produksi. Melihat kenyataan yang demikian agaknya kegiatan konversi hutan untuk

pembangunan areal perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu sumber pengrusakan

(deforestasi) hutan alam Indonesia, dan sekaligus menjadi ancaman terhadap hilangnya

kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan tropis

Indonesia, serta menyebabkan berkurang/hilangnya habitat satwa liar. Belum lagi akibat

terhadap kenaikan temperatur suhu dunia yang memanas (global warming).

Manurung (2001) juga mengatakan bahwa kegiatan konversi hutan telah menjadi

salah satu sumber perusakan hutan alam Indonesia, bahkan menjadi ancaman terhadap

hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem hutan hujan tropis Indonesia. Selain

itu, pelaksanaan konversi hutan alam untuk pengembangan areal perkebunan kelapa sawit

juga telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan konversi berubah menjadi lahan

terlantar berupa semak belukar dan/atau lahan kritis baru sedangkan di lain pihak realisasi

pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak sesuai dengan yang direncanakan

Fakta negatif lainnya dari pembangunan perkebunan kelapa sawit, adalah terjadinya

konversi lahan basah dimana emisi di Indonesia mencapai 516 Mt/tahun di luar kebakaran

hutan. Selain itu, konsesi perkebunan kelapa sawit, baik existing maupun rencana

pembukaan di Indonesia, 27% terdapat pada lahan basah (Lumuru, 2007), serta dampak

lingkungans lainnya seperti bertambahnya luasan kawasan banjir.

MODAL SOSIAL, EKONOMI DAN KESEJAHTERAAN

Secara intuitif, ide dasar dari modal sosial adalah bahwa keluarga seseorang, sahabat

dan rekan kerjanya adalah aset penting, seseorang yang dapat diminta bantuannya saat

krisis.. Apa yang benar bagi individu, juga berlaku bagi grupnya. Masyarakat yang memiliki

beragam stok network sosial dan asosiasi sipil adalah berada dalam posisi luar untuk

berhadalam dengan kemiskinan dan kerentanan, penyelesaian masalah, dan memanfaatkan

peluang baru. Sebaliknya, tidak adanya ikatan sosial juga dapat memiliki dampak yang tidak

kalah pentingnya. Apa yang dikatakan miskin adalah sesuatu yang tidak masuk dalam

24

anggota dari atau secara aktif dikeluarkan dari - network dan institusi sosial tertentu yang

dapat dipergunakan untuk mengamankan pekerjaanya dan rumahnya (Vipriyanti, 2007).

Pada konteks demokrasi, Modal sosial adalah basis yang inheren dalam demokrasi,

baik dalam konteks hubungan vertikal (rakyat dan pemerintah atau pemimpin dengan yang

dipimpin) serta hubungan horizontal (antar warga atau antar komunitas dalam masyarakat).

Pada Tabel 4, Eko (2003) mencoba menjelaskan tipologi modal sosial yang paralel dengan

prinsip demokrasi

Tabel 4. Tipologi modal sosial dalam konteks demokrasi.

Sumber : Eko. 2003.

Bagan di atas bisa dijabarkan menjadi dua pemahaman besar tentang relevansi

antara modal sosial dan demokrasi lokal. Secara horizontal, berbagai organisasi dan jaringan

sosial merupakan arena bagi masyarakat sipil untuk membangun solidaritas, toleransi,

kepercayaan dan kerjasama, atau yang sering disebut pluralisme. Apa yang mungkin disebut

aliran pemikiran ‘kepercayaan dan jaringan kerja sosial’ mempunyai sejarah intelektual yang

berbeda dan sangat panjang sebagai sebuah upaya untuk memecahkan salah satu persoalan

klasik ilmu sosial: yaitu, bagaimana dan mengapa beberapa masyarakat, khususnya

masyarakat skala besar modern, memelihara tingkat kesatuan sosial dan stabilitas politik

ketika konflik sosial dan ketidakpuasan politik yang serius mungkin mudah mengancam

mereka (Eko, 2003).

Secara singkat Putnam menegaskan bahwa modal sosial terkait dengan organisasi

sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma dan kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi

dan kerjasama untuk kuntungan bersama.

25

1. Konsep Modal Sosial

Persoalan ekonomi telah berusia sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri.

Namun bukti konkretnya baru mulai terlihat pada zaman yunani kuno dengan adanya teori

dan pemikiran tentang uang, bunga, jasa tenaga kerja pada perbudakan dan perdagangan.

Hal ini terlihat dari buku ”republika” yang ditulis oleh plato (427-347 SM) sekitar 400 tahun

sebelum masehi.

Konsep modal ekonomi atau finansial relatif lebih mudah dipahami oleh orang awam

sekalipun, karena membelanjakan atau menginvestasikan uang merupakan bagian dari

kehidupan sehari-hari manusia dan melibatkan pemikiran serta indikator-indikator yang

jelas. Modal finansial juga mudah diukur. Rupiah atau dollar dapat dihitung secara

kuantitatif dan absolut, karena jumlah uang yang dibelanjakan dapat diidentifikasi sesuai

jumlah barang yang dibelinya. Pemikiran tentang konsep modal terus berkembang hingga

memunculkan konsep tentang modal manusia dimana Schultz pada tahun 1961

manyampaikan bahwa nilai potensial dari kontribusi buruh dapat bertambah dengan

memberikan penanaman modal yang tepat. Lalu kemudian ahli ekonomi neoklasik Gary

Becker pada memunculkan pemikiran tentang modal manusia diubah menjadi suatu alat

untuk menilai efektivitas jenis-jenis investasi yang berbeda (Field, 2005 ; Deliarnov, 2007)

Konsep modal umumnya langsung terkait dengan istilah-istilah ekonomi, nilai yang

terukur, hubungan antara pemasukan dan pengeluaran serta perubahan harga dan nilai

yang dapat dihitung dengan suatu mata uang. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, Bourdieu

mengembangkan konsep modal sosial yang selanjutnya dikembangkan oleh James Coleman

yang coba menggabungkan ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi di bawah bendera teori aksi

rasional. Namun karya Putnam lebih menarik perhatian yang mengembangkan ide asosiasi

dan aktivitas sipil sebagai suatu basis dan kesejahteraan sosial. Modal sosial dapat

didiskusikan dalam konteks komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang

kokoh, maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial, termasuk

elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan,

dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi

melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap

kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian

masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Field, 2005 ; Blakeley dan

Suggate, 1997; Suharto, 2005a; Suharto 2005b).

26

Dua tokoh utama yang mengembangkan konsep modal sosial, Putnam dan

Fukuyama, memberikan definisi modal sosial yang penting. Meskipun berbeda, definisi

keduanya memiliki kaitan yang erat (Spellerberg, 1997), terutama menyangkut konsep

kepercayaan (trust). Putnam mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial

seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan

kerjasama bagi keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan

yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas.

Secara intuitif, ide dasar dari modal sosial adalah bahwa keluarga seseorang, sahabat

dan rekan kerjanya adalah aset penting, seseorang yang dapat diminta bantuannya saat

krisis.. Apa yang benar bagi individu, juga berlaku bagi grupnya. Masyarakat yang memiliki

beragam stok network sosial dan asosiasi sipil adalah berada dalam posisi luar untuk

berhadalam dengan kemiskinan dan kerentanan, penyelesaian masalah, dan memanfaatkan

peluang baru. Sebaliknya, tidak adanya ikatan sosial juga dapat memiliki dampak yang tidak

kalah pentingnya (Vipriyanti, 2007). Oleh karena itu, masyarakat yang memiliki modal sosial

tinggi cenderung bekerja secara gotong-royong, merasa aman untuk berbicara dan mampu

mengatasi perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, pada masyarakat yang memiliki modal sosial

rendah akan tampak adanya kecurigaan satu sama lain, merebaknya ‘kelompok kita’ dan

‘kelompok mereka’, tiadanya kepastian hukum dan keteraturan sosial, serta seringnya

muncul ‘kambing hitam’.

2. Parameter Dan Indikator Modal Sosial

Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat

produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain,

khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjukpada jaringan, norma dan

kepercayaan yang berpotensi pada produktivitasmasyarakat. Namun demikian, modal sosial

berbeda dengan modal finansial,karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah

dengan sendirinya(self-reinforcing) (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial tidak akan

habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering

disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan

modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi

dengan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama,

asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki

27

nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995).). Ada tiga parameter modal sosial,

yaitu kepercayaan (trust), norma-norma (norms) dan jaringan-jaringan (networks).

a. Kepercayaan

Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1995), kepercayaan adalah harapan yang

tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur,

dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial

merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa

dalam masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung

bersifat positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya ‘We expect

others to manifest good will, we trust our fellow human beings. We tend to work

cooperatively, to collaborate with others in collegial relationships (Cox, 1995: 5).

Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik. Adanya

modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang kokoh; modal

sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial

akan menimbulkan anomie dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

b. Norma

Norma-norma terdiri dari pemahaman-pemahaman, nilai-nilai, harapan-harapan dan

tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma

dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti

halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah

kerjasama di masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993;

Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupaka pra-kondisi maupun produk dari

kepercayaan sosial.

c. Jaringan

Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar

manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan

interaksi, memungkinkan tumbuhnya kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat

yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringansosial yang kokoh. Orang mengetahui dan

bertemu dengan orang lain. Mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik

28

bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen bahwa jaringan-

jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta

manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Bersandar pada parameter di atas, beberapa indikator kunci yang dapat dijadikan

ukuran modal sosial antara lain (Spellerber, 1997; Suharto, 2005b):

Perasaan identitas

Perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi

Sistem kepercayaan dan ideologi

Nilai-nilai dan tujuan-tujuan

Ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan yang ingin dicapai

Sikap-sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat

Persepsi mengenai akses terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya

pekerjaan, pendapatan, pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan

sosial)

Opini mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu

Keyakinan dalam lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya

Tingkat kepercayaan

Kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya

Beberapa peneliti telah menuliskan modal sosial. Secara kolektif, mereka

mengidentifikasikan lima elemen yang menyusun modal sosial dalam suatu masyarakat:

Hubungan sosial (misalnya bagaimana orang berhubungan?);

Jejaring sosial (misalnya apakah orang mudah berhubungan dengan orang lain?)

Norma-norma dan nilai-nilai sosial (misalnya apakah orang saling menghormati satu

sama lain?)

Trust (misalnya apakah orang saling mempercayai satu sama lain?);

Sumberdaya (misalnya apakah orang cenderung menggunakan sumberdaya

bersama?).

Untuk menangkap elemen-elemen dan menciptakan kerangka kerja untuk modal social,

konsep ini terbagi menjadi tiga dimensi :

1. Bonding menunjukkan hubungan di dalam masyarakat (Intra komunitas);

2. Bridging menunjukkan ikatan dengan masyarakat lain (antar komunitas);

29

3. Linkage menunjukkan koneksi antara masyarakat dengan institusi (misalnya departemen

pemerintah federal/provinsi, atau korporasi publik/privat seperti power utilities atau

bank).

Arti penting dalam membedakan dimensi ini adalah dapat menangkap realitas

bahwa masyarakat tidak berada dalam isolasi, tetapi dalam hubungannya dengan

masyarakat lain, dan dengan institusi. Ini juga dapat mengidentifikasikan masyarakat apakah

kuat atau lemah dalam hubungan internal (bonding), hubungannya dengan masyarakat luar

(bridging) atau hubungannya dengan institusi (linkage) (Mignone, 2003 ; Dharmawan, 2009)

Mignone (2003) kemudian menyatakan bahwa ketiga dimensi modal sosial (bonding,

bridging, and linkage) dapat dipandang memiliki tiga komponen yaitu:

1. Socially Invested resources (SIR) menunjukkan sumberdaya yang digunakan untuk

manfaat masyarakat secara keseluruhan.

2. Kultur (budaya) menunjukkan hubungan di dalam masyarakat—dan antara

masyarakat dan institusi—yang dicirikan oleh norma-norma timbal balik, level trust,

tindakan kolektif, dan partisipasi.

3. Jejaring (networks) menunjukkan derajad dimana jejaring di dalam masyarakat, dan

antara masyarakat dan institusi, adalah inklusif, fleksibel, dan beragam.

Tabel 5: Kerangka kerja Modal sosial

Dimensi: Bonding atau Bridging atau Linkage

Komponen SIR Kultur Network

Fisik

Simbolik

Finansial

Natural (alamiah)

Manusia

Trust

Norma timbal

balik

Tindakan kolektif

Partisipasi

inklusif,

fleksibel,

beragam

a. Sosially Invested Resources (SIR)

Kerangka kerja modal sosial mencakup lima deskriptor untuk SIR:

1. Fisik (misalnya membangun pusat rekreasi atau mengaspal jalan masyarakat);

2. Simbolik (misalnya sumberdaya yang memperkuat identitas kultural, seperti kamp

budaya atau program bahasa Aborigin);

30

3. Finansial (misalnya akses ke kredit untuk membantu orang membuka bisnis kecil);

4. Natural (misalnya lahan atau air yang diproteksi dari polutan atau degradasi); dan

5. Manusia (misalnya skill, talenta, pengalaman, pendidikan, sikap, dan kekuatan yang

dibawa orang dalam masyarakat).

Sumberdaya yang diinvestasikan secara sosial (SIR) dipandang sebagai aspek dari

modal sosial karena merupakan sumberdaya yang diinvestasikan untuk kebaikan seluruh

masyarakat, bukan hanya untuk segelintir individu. Jadi, SIR harus dinilai menurut jumlah

yang diinvestasikan dan derajad dimana investasi tersebut untuk manfaat semua anggota

masyarakat.

b. Kultur (budaya)

Kerangka kerja modal sosial mencakup empat deskriptor untuk budaya :

1. Trust (misalnya Chief dan Council, umumnya berpikir positif tentang keluarganya);

2. Norma-norma timbal balik (misalnya individu dan keluarga cenderung saling timbal

balik);

3. Tindakan kolektif (anggota masyarakat mau bekerja sama untuk tujuan bersama);

dan

4. Partisipasi (kemauan secara sukarela untuk dan berpartisipadi salam aktivitas

masyarakat).

Masyarakat dengan level trust lebih tinggi, norma timbal balik lebih kuat, potensial

untuk tindakan kolektif, dan yang anggotanya mau berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat

dipandang memiliki level modal sosial tinggi.

c. Jejaring

Dapat dicirikan melalui seberapa inklusif, beragam, dan fleksibel masyarakat. Lebih

tingginya derajad ketiga ciri ini berimplikasi lebih tingginya level modal sosial.

1. Inklusivitas (setara baik sambutannya terhadap pendatang baru dan derajad

pertukaran informasi dengan pendatang baru)

2. Keberagaman (keberadaan bersama-sama beberapa jejaring yang dapat saling

berinteraksi)

3. Fleksibilitas (derajad dimana jejaring dapat beradaptasi dengan hal baru, berbeda

atau berubahnya kebutuhan)

31

Inklusivitas, keberagaman, dan fleksibilitas adalah aspek yang berbeda dari fenomena yang

sama. Riset menunjukkan bahwa kualitas jejaring sosial dapat berdampak pada kesehatan.

Contohnya:

• perasaan dikeluarkan atau isolasi sosial dapat berdampak pada kepercayaan diri.

• terbatasnya akses ke informasi mengenai sumberdaya atau peluang akan

mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan.

Masyarakat dengan jejaring yang fleksibel, inklusif dan beragam cenderung

membangun lingkungan sosial yang lebih kondusif bagi kesehatan karena lebih banyak

orang memiliki akses ke peluang, informasi, dan sumberdaya.

MODAL SOSIAL DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Kelapa sawit adalah komponen dari beragam produk yang digunakan sehari-hari

yang tidak dibatasi oleh batas sosial, ekonomi, kultural dan politik. Terjadi peningkaan

permintaan global terhadap kelapa sawit dan lonjakan sensasional ke posisi minyak kedua

yang paling banyak dikonsumsi setelah minyak kedelai. Saat ini, kelapa sawit dan produk

terkait adalah bisnis besar yang diperdagangan secara international sebagai komoditas dam

kritikal bagi keberlanjutan ekonomi sejumlah negara dan penduduknya. Pemikiran logisnya

menunjukkan bahwa setap masyarakat yang memiliki sumberdaya ini seharusnya tidak terus

berenang di lautan kemiskinan (Oladipo, 2008).

Pertanian dipandang sebagai kunci dalam menurunkan tingkat kemiskinan yang

sangat parah di wilayah pedesaan. Kebijakan pemerintah Indonesia saat ini menekankan

pentingnya peran sektor perkebunan dalam pembangunan daerah. Sampai dengan krisis

finansial yang sedang terjadi saat ini, gelombang permintaan global terhadap kelapa sawit

telah menyebabkan peningkatan yang luar biasa pada perkebunan kelapa sawit. Pemerintah

Indonesia telah memfasilitasi perluasan lebih dari tujuh juta hektar perkebunan kelapa

sawit. Meskipun pemerintah menganggap kelapa sawit ekspor sebagai sumber berharga

untuk nilai tukar dan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi

kemiskinan pedesaan, akan tetapi masih terdapat kendala kebijakan yang cukup besar (Zen

et al, 2008).

Perkebunan kelapa sawit memiliki keungggulan komparatif dibandingkan dengan

sektor pertanian lainnya. Demikian juga tenaga kerja yang diserap pada kegiatan

transportasi, pengolahan, dan pemasaran berdampak positif terhadap kehidupan sosial

32

ekonomi masyarakat sekitar perkebunan. Dari jumlah luasan dan produksi, perkebunan

kelapa sawit memiliki potensi yang besar, namun dalam pengembangannya dihadapkan

dengan berbagai masalah teknis dan non teknis termasuk konflik masyarakat dengan

perusahaan. (Purba, 2003 dan Hidayat, 2006)

Meskipun begitu, penelitian yang dilakukan pada agribisnis pedesaan di Kolombia

mendokumentasikan bagaimana modal sosial memiliki beragam fungsi pada perusahaan,

termasuk menyediakan akses informasi melalui jejaring kontak, mereduksi biaya transaksi

dalam kontrak melalui trust (kepercayaan), dan keberlanjutan kapasitas untuk tindakan

kolektif. Untuk mengestimasikan kontribusi modal sosial terhadap struktur dan kinerja

perusahaan, indikator kuantitatif penggunaan modal sosial level perusahaan dibangun

berdasarkan jumlah dan kekuatan hubungan yang dipertahankan perusahaan. Analisi

ekonometrika menemukan bahwa return level perusahaan untuk hubungan ini adalah

tinggi, lebih tinggi dibandingkan modal fisik atau manusia. Hasil ini menunjukkan bahwa

meski perusahaan dapat meningkatkan kinerja ekonominya dengan berinvestasi pada modal

sosial, inovasi kelembagaan dan teknologis yang memperbaiki pengaruh kegagalan pasar

yang menyebabkan dapat digunakannya hubungan sosial untuk tujuan bisnis juga dapat

meningkatkan keadilan dan efisiensi keberadaan pengusaha penting dalam memfasilitasi

pembentukan faktor produksi baru yaitu modal sosial, yang sekali lagi sangat penting untuk

memahami tindakan kolektif dan gerakan koperasi sukarela (Johnson et al, 2002 dan

Svendsen dan Svendsen, 2004).

Hansford et al (2003) juga menyatakan bahwa Forum agribisnis dapat memberikan

arah strategis untuk aktivitas yang berkontribusi untuk pembangunan ekonomi dan kreasi

kekayaan, dan meningkatkan infrastruktur sosial dan komunitas untuk komunitas yang

tergantung pada industri pangan, serat dan kehutanan, dimana forum agribisnis dapat :

1. membawa pemimpin bisnis pangan lokal bersama-sama untuk membantu

membangun pandangan bersama akan tantangan agribisnis di dalam komunitas.

2. membangun hubungan dan jaringan antara bisnis yang synergistik dan saling

bersaing : meningkatkan base pengetahuan operator bisnis mengenai barang dan

jasa apa yang tersedia secara lokal; mendorong bisnis lokal untuk mengeksplorasi

peluang ekspor dan membuka mereka terhadap bisnis ekspor yang berhasil.

3. mendorong wilayah sebagai tempat yang menarik untuk hidup, bekerja dan

berinvestasi: membantu otoritas lokal dan regional untuk merealisasikan potensi

33

pembagunan ekonomi yang terpendam; mengidentifikasikan kelemahan

infrastruktur strategik yan ada dan di masa datang dan membangun rencana

tindakan untuk mengatasinya; mendorong pemanfaatan tabungan intra-regional

untuk mendanai program pembangunan pasar regional sebagi tempat melakukan

bisnis dan beinvestasi.

4. Mendorong partisipasi dalam edukasi dan training.

Beragam issu yang diselesaikan dalam forum agribisnis mencakup pembangunan

jaringan agribisnis, pembangunan pasar, edukasi dan training, identifikasi dan positioning

regional, pelanggaran batas urban - pedesaan, manajemen sumberdaya alam, koordinasi

dan kerjasama, fasiitasi infrastruktur, jaminan kualitas, dan sistem manajemen lingkungan.

Forum ini juga penting dalam berkontribusi untuk pembangunan manusia dan modal sosial.

Bila mempertimbangkan faktor produksi yang lebih tradisional seperti kapital

fisik, finansial dan manusia, maka faktor produksi yang dilupakan ini adalah “ social

capital”.

Perbedaan penting yang ditarik di sini adalah antara bridging social capital

dan bonding social capital. Bridging social capital didefinisikan sebagai eksternalitas

positif yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan bonding social capital

didefinisikan sebagai eksternalitas negatif yang merugikan pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, kita mendefinisikan penciptaan social capital sama seperti penciptaan

bridging social capital, yang digambarkan sebagai tipe inklusif dari network

kooperatif yang menggabungkan kelompok yang terpecah, dan “melubrikasi”

hubungan kooperatif dalam kehidupan sipil, sehingga bisa meningkatkan

pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, kita bisa melihat kerusakan social capital

sebagai perubahan bridging social capital dan yang menguntungkan menjadi

bonding social capital dan yang merugikan, yang menimbulkan strategi eksklusi,

ketidakpercayaan antar kelompok dan – kekakuan masyarakat – yang menimbulkan

kemerosotan ekonomi. Dengan kata lain, maslah ekonomi bisa muncul di model jika

keseimbangan optimal antar stok bridging social capital dan bonding social capital

di dalam sebuah masyarakat dihancurkan oleh bonding social capital yang terlalu

banyak (Svendsen dan svendsen, 2004).

34

PENGETAHUAN LINGKUNGAN

Jujun S.S. ( 1999 : 53 ) mengemukakan bahwa pengetahuan yang diperoleh bisa

melalui akal pikiran yang disebut ilmu pengetahuan, bisa juga melalui wahyu, intuisi

ataupun pancaindera ( pemerolehan pengetahuan bukan berdasarkan rasionalisme dan

empirisme). Manusia mampu mengembangkan pengetahuan disebabkan oleh dua hal

utama yakni :

a. Manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan

pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.

b. Manusia mampu berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu.

Pengetahuan lingkungan adalah pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal

atau segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia sebagai pribadi atau di dalam proses

pergaulan hidupnya, baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Agar lingkungan tersebut

dapat mempertahankan hidupnya secara serasi, maka manusia melakukan penyesuaian diri

dengan lingkungan tersebut (Sulaeman, 2001).Pengetahuan lingkungan ini mendapat perhatian dari berbagai pihak karena

hubungan antara berbagai organisme hidup di dalam lingkungan pada hakikatnya

merupakan kebutuhan primer, yang kadang-kadang terjadi secara sadar atau kurang sadar.

(Sulaeman, 2001). Soemartono dan Gatot (1996) mendefinisikan tentang lingkungan sebagai

berikut : “ Lingkungan adalah hal-hal atau segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia

sebagai pribadi atau dalam proses pergaulan hidup.”

Pendidikan lingkungan merupakan suatu proses terpadu yang berkenaan dengan

saling nasabah manusia dengan keadaan alam dan buatannya sekelilingnya, termasuk

nasabah pertumbuhan penduduk, pencemaran, peruntukan dan pengurasan sumberdaya,

pengawetan, teknologi, dan perencanaan perkotaan serta pedesaan, dengan lingkungan

manusia secara keseluruhan. Pendidikan ini merupakan suatu kajian mengenai factor-faktor

yang berpengaruh atas ekosistem, kesehatan jiwa dan badan, keadaan untuk hidup dan

bekerja, kota-kota yang meruntuh, dan tekanan penduduk Dengan pengelolaan sumberdaya

alam sebagai tema inti, ada dua hampiran yang dapat ditempuh dalam pendidikan

lingkungan. Kedua hampiran itu secara asasi berbeda, yaitu yang satu mengaji pengelolaan

sumberdaya alam dari gatra sumberdayanya, sedang yang lain mengajinya dari arah

tuntutan manusia terhadap sumberdaya tersebut (Emmelin, 1977).

35

Notohadiprawiro (2006) menyatakan bahwa sadar lingkungan hanya dapat dibentuk

dan dikembangkan dalam diri orang masing-masing dengan jalan :

1. Menghadapkan seseorang pada persoalan lingkungan sehari hari secara terus-menerus

berupa kenyataan yang mudah masuk akal dan mudah dialami sendiri. Macam

kenyataan yang ilustratif ini bergantung pada lingkungan hidup dan lingkungan kerja

yang biasa dihadapi seseorang. Penduduk kota yang pegawai kantoran akan lain dengan

penduduk kota yang bekerja pabrik, lain lagi dengan orang kaya yang bertempat tinggal

dirumah besar berhalaman luas dipinggiran kota, dan lain pula dengan petani di

pedesaan.

2. Menumbuhkan peradapan malu, dimana akan merasa malu jika:

a) Mengotori tempat-tempat umum dan tempat orang lain.

b) Menyusahkan orang lain dan mengganggu orang lain memanfaatkan fasilitas umum.

c) Melangggar peraturan umum dan kaidah sosial

d) Menilai diri sendiri istimewa sehingga pantas didahulukan dalam segala urusan atau

pantas dikebalkan dari segala peraturan dan ketentuan

e) Bersembunyi dibelakang orang lain dan melemparkan kesalahan kepada orang lain.

Maka dari itu pendidikan menjadi jalur penyadaran secara mutlak. Tanpa kesadaran

yang merata yang semua anggota masyarakat, mustahil program pembenahan lingkungan

apapun akan dapat mencapai sasarannya. Orang harus yakin dulu bahwa lingkungan adalah

bagian dari hidupnya, baik lingkungan fisik, hayati, maupun sosial budaya. Jalan pertama

tersebut di atas menumbuhkan kesadaran mengenai lingkungan fisik dan hayati, sedang

yang kedua menumbuhkan kesadaran mengenai lingkungan dan budaya. Kesadaran

mengenai kedua gatra lingkungan itu harus tumbuh seiring, karena kedua saling

mempengaruhi. Sikap asosial dapat menjurus kearah perusakan lingkungan fisik dan hayati,

dan demikian pula sebaliknya. Misalnya, seseorang yang merasa kebal hokum kemudian

melanggar tata guna lahan untuk memperoleh kepuasan pribadi, yang akhirnya merusak

keseimbangan fisik dan hayati lingkungan. Orang yang memompa air tanah akhirnya

menyusahkan tetangga- tetangganya karena persediaan air menyusut. (Notohadiprawiro,

2006). Dengan akal pikirannya maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang

ada dibenaknya. Selain akal pikiran yang memampukan manusia berpikir menurut suatu alur

kerangka perpikir tertentu, adalah bahasa bisa berbentuk lisan, bisa pula tulisan. Bentuk

tulisan untuk mempersiapkan sesuatu yang langgeng dari bahasa lisan. (Sulaeman, 2001).

36

BAB III. METODE PENELITIAN

KERANGKA PEMIKIRAN

Pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak bisa terlepas dari berbagai aspek,

baik aspek sosial budaya, aspek ekonomi mapun aspek lingkungan hidup. Hasil penelitian

Asniansyah (2006) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit yang terletak di desa

Lombok, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, merupakan suatu usaha

tani yang sangat potensial untuk meningkat taraf hidup petani. Perkebunan yang berada di

desa Lombok merupakan perkebunan milik petani dengan bantuan modal dan kerja sama

dengan UPP (Unit Pelaksanaan Proyek) PIR Swadaya murni Kuaro. Sebelum mengenal

tanaman kelapa sawit, masyarakat desa hanya menanam tanaman pertanian tradisional

seperti Pisang, Rotan, Enau, buah-buahan dan petani juga berusaha menanam padi ladang

yang dilakukan secara berpindah-pindah dengan membabat hutan sebagai tempat

berladang.

Oladipo (2008), menyatakan bahwa studi pada zone pengolahan kelapa sawit yang

berlokasi di hutan hujan Nigeria menunjukkan bahwa return produksi kelapa sawit adalah

substansial, ditunjukkan dengan angka NPV dan IRR sangat tinggi. Hasilnya juga

menunjukkan pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari

indeks sosial, ekonomi dan infrastruktural. Riset ini memberikan bukti mengenai pengaruh

yang kuat dari kelapa sawit terhadap kesejahteraan pada level personal dan komunitas

namun juga ada negativisme yang berhubungan dengan pembangunan kelapa sawit

terutama dampaknya terhadap keanekaragaman hayati, pencurian lahan, polusi dan

deforestasi, yang kesemuanya merugikan masyarakat, lingkungan dan budayanya.

Perlindungan tanaman merupakan bagian dari sistem budidaya tanaman yang

bertujuan untuk membatasi kehilangan hasil akibat serangan organisme pengganggu

tanaman (OPT) menjadi seminimal mungkin, sehingga diperoleh kwalitas dan kwantitas

produksi yang baik, sebagaiman yang tertuang dalam UU No 12 tahun 1992 tentang Sistem

Budidaya Tanaman. Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk mencegah kerugian

pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tumbuhan.

Menurut Suwanto (1994), kondisi pertanian di Indonesia di masa mendatang banyak

yang akan diarahkan untuk kepentingan agroindustri. Salah satu bentuknya akan mengarah

pada pola pertanian yang makin monokultur, baik itu pada pertanian darat maupun

37

akuakultur. Dengan kondisi tersebut, maka berbagai jenis penyakit yang tidak dikenal atau

menjadi masalah sebelumnya, akan menjadi kendala bagi peningkatan hasil berbagai

komoditi agroindustri. Sarana-sarana yang mendukung peningkatan hasil di bidang

pertanian ini adalah alat-alat pertanian, pupuk, bahan-bahan kimia yang termasuk di

dalamnya adalah pestisida.

Pencemaran lingkungan terutama lingkungan pertanian disebabkan oleh

penggunaan bahan-bahan kimia pertanian. Telah dapat dibuktikan secara nyata bahwa

bahan-bahan kimia pertanian dalam hal ini pestisida, meningkatkan produksi pertanian dan

membuat pertanian lebih efisien dan ekonomi. Pencemaran oleh pestisida tidak saja pada

lingkungan pertanian tapi juga dapat membahayakan kehidupan manusia dan hewan

dimana residu pestisida terakumulasi pada produk-produk pertanian dan pada perairan.

Kerugian ekonomis dan kerusakan lingkungan dapat menjadi potensi konflik dalam

pengelolaan SDA yang dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan pembangunan.

Sebagaimana disampaikan oleh Thin (2002) bahwa dalam paradigm pembangunan

berkelanjutan, terdapat beberapa aspek, yaitu : pembangunan sosial, pembangunan

manusia, pembangunan lingkungan dan pembangunan fisik / ekonomi. Dimana

pembangunan sosial telah dikaitkan dengan konsep lainnya, yaitu modal sosial.

Penelitian Vipriyanti (2007) juga menunjukkan bahwa modal sosial memiliki

keterkaitan yang nyata dengan tingkat kesejahteraan rumah tangga dan pembangunan

ekonomi wilayah. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Suandi (2007) bahwa modal sosial

mempunyai peranan dalam memfasilitasi berbagai akses di masyarakat, seperti: suplai air

dan irigasi, kredit, dan akses dalam mendapatkan input pertanian/teknologi. Oleh karena

itu, penguatan modal sosial sangat tepat dalam pemberdayaan masyarakat perdesaan untuk

meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga.

Dalam upaya pengelolaan hama dan penyakit pada tanaman kelapa sawit yang

ramah lingkungan juga diperlukan pemahaman mengenai lingkungan hidup, dimana

menurut Soemarwoto (2004), bahwa inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan

makhluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Adapun ilmu tentang

hubungan timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi.

Sehingga dengan adanya perpaduan antara modal sosial dengan pengetahuan

lingkungan, maka diharapkan potensi kerusakan lingkungan dalam upaya pengelolaan hama

38

dan penyakit pada tanaman Kelapa Sawit, dapat diminimalkan dan pembangunan

perkebunan Kelapa Sawit yang menjadi kepentingan berbagai pihak juga dapat tercapai.

HIPOTESIS

Model pengelolaan hama dan penyakit tanaman Kelapa Sawit yang berbasis Modal Sosial

dan Pengetahuan Lingkungan dapat membantu meminimalkan kerusakan lingkungan dalam

rangka mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.

METODE PENENTUAN DAERAH PENELITIAN

Penentuan Provinsi Kalimantan Timur sebagai daerah penelitian dilakukan secara

sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan indikator pertumbuhan maupun

pembangunan ekonomi wilayah dan indikator kultural. Indikator-indikator yang menjadi

pertimbangan tersebut antara lain tingkat PDRB per-kapita, PAD per-kapita, indeks

pembangunan manusia, indeks kemiskinan serta keunikan budaya. Saat ini, Kalimantan

Timur menghadapi dilema yang mengarah pada konflik kepentingan antara pelestarian

budaya (kelompok inward looking) dan peningkatan keterbukaan (kelompok outward

looking) dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui sektor Perkebunan.

Penentuan kabupaten juga dilakukan secara sengaja (purposive) melalui beberapa

pertimbangan indikator sosial dan ekonomi wilayah seperti: (1) kinerja perekonomian

wilayah dan (2) kinerja sosial seperti jumlah konflik yang diselesaikan melalui lembaga

formal. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka ditentukan Kabupaten Kutai Timur,

Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Paser sebagai daerah penelitian. Dua

kecamatan di masing-masing kabupaten dipilih melalui stratifikasi berdasarkan lokasi

kecamatan terhadap ibukota kabupaten yaitu kecamatan yang memiliki lokasi terdekat dan

terjauh. Penentuan lokasi desa juga didasarkan pada lokasi terdekat dan terjauh dari

ibukota kecamatan.

Faktor jarak terhadap pusat pemerintahan kabupaten dan kecamatan dipertimbangkan

sesuai dengan tujuan untuk memperoleh gambaran modal sosial dalam masyarakat yang

belum berkembang dan masyarakat maju. Selain itu, pendekatan ini juga dilakukan untuk

memberikan gambaran modal sosial dalam kelompok masyarakat seperti masyarakat yang

memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dan Perkebunan sebagai sektor dominan di

Kalimantan Timur.

39

METODE PENGUMPULAN DAN PENGUKURAN DATA

Data penelitian ini berasal dari tiga sumber yaitu melalui pengamatan visual di

lapangan, wawancara, dan dokumen tertulis berupa data, peristiwa, maupun catatan-

catatan lainnya. Data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam penelitian ini mencakup data

primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan selama bulan Februari hingga April

2012. Selain itu, dikumpulkan pula informasi dari responden kunci yang ditentukan secara

purposive sesuai dengan informasi yang ingin diperoleh.

Untuk membantu kelancaran pelaksanaan pengumpulan data, peneliti dibantu oleh

beberapa orang petugas lapangan yang sebelumnya telah mendapat latihan dan arahan

secukupnya mengenai teknis pengisian quisioner

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data primer adalah kuisioner yang

terbagi atas 6 kelompok pertanyaan yaitu (1) pendapatan rumah tangga; (2) rasa percaya

dan solidaritas; (3) kegiatan bersama dan kerjasama; (4) informasi dan komunikasi; (5).

pertanyaan mengenai kelompok dan jaringan kerja dan (6) persepsi masyarakat tentang

keberadaan perkebunan kelapa sawit

Data penelitian ini berasal dari tiga sumber yaitu melalui pengamatan visual di

lapangan, wawancara, dan dokumen tertulis berupa data, peristiwa, maupun catatan-

catatan lainnya. Jenis data dapat berupa data statistik wilayah maupun angka-angka

kuantitatif dan pernyataan-pernyataan kualitatif yang berasal dari catatan di lapangan.

Pengolahan data akan dilakukan baik secara analisa statistik sederhana maupun analisa data

kuantitatif.

RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian “ex post facto” yaitu bentuk penelitian

menilai peristiwa yang telah terjadi atau penilaian kondisi faktual di lapangan. Peubah-

peubah penelitian terdiri dari peubah bebas (X) dan peubah terikat (Y). Untuk mengetahui

pengaruh peubah bebas pada peubah terikat dan menguji hipotesis penelitian, maka dibuat

kerangka hipotetik, yang kemudian dioperasionalisasikan untuk merumuskan model

persamaan pengukuran dan model persamaan struktural sesuai dengan kaidah SEM

(Structural Equation Modelling).

40

TABEL. RANCANGAN PENELITIAN :

NO RUMUSAN MASALAH TUJUAN PENELITIAN VARIABEL DATA YANG DIPERLUKAN

METODE PENGUMPULAN

DATA

METODE ANALISIS DATA

HASIL YG DIHARAPKAN

1. Bagaimana Kondisi Modal Sosial Masyarakat Saat Ini dan apa faktor-faktor yang dapat berpengaruh.

Mengidentifikasi Kondisi Modal Sosial Masyarakat Saat Ini dan faktor-faktor yang berpengaruh.

1. Rasa Percaya General Trust

Thin Trust Thick Trust Kepercayaan

thp inst. Formal/informal

WawancaraData Sekunder

Analisis Kuantitatif kualitatif

Analisis SEM

2. Norma Indeks Kerapatan organisasi

Indeks Partisipasi

Jumlah Teman

WawancaraData Sekunder

Analisis Kuantitatif kualitatif

Analisis SEM

3. Pertemanan Bantuan Uang dan Fisik

Perilaku Free Rider

WawancaraData Sekunder

Analisis Kuantitatif kualitatif

Analisis SEM

2. Bagaimana Kondisi Pengetahuan Lingkungan Masy. dan apa saja Faktor-faktor

Mengidentifikasi Kondisi Pengetahuan Lingkungan Masy. Dan Faktor-faktor yang

1. Pendidikan2. Pengalaman

1. Persepsi terhadap LH

2. Sikap terhadap LH

WawancaraData Sekunder

41

yang berpengaruh. berpengaruh. 3. Minat terhadap LH

3. Bagaimana Pola Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Mengidentifikasi Pola Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit.

1. Persiapan Lahan

2. Penanaman3. Pemeliharaan4. Pemanenan

1. Cara yang digunakan

2. Jumlah, jenis dan cara pemakaian pupuk dan pestisida atau bahan kimia lainnya

3. Alat yang digunakan

WawancaraObservasi Lapangan

4. Bagaimana Keterkaitan antara Modal Sosial. Pengetahuan Lingkungan dan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Menganalisis Keterkaitan antara Modal Sosial. Pengetahuan Lingkungan dan Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit

42

43

Model Konseptual

JaringanNorma

Percaya

Pengetahuan

Lingkungan

Model Perkebunan Kelapa

Sawit Lestari

Pendidikan

Pengalaman

Modal Sosial

Penge. HPT

Perkebunan Kelapa

SawitProfitabili

tas

Perkebunan

Kelapa Sawit

Norma

Pngetahuan

LingkunganMinat

Lingkungan

Persepsi Lingkun

gan

Rasa Percaya

Sikap Lingkun

gan

KERANGKA KONSEP

Jaringan

Modal Sosial

Pengelolaan PKS

Model PKS

Lestari

Ketenangan

Masyarakat

Keterpeliharaan Lingk.

44

Kerangka Analisis

Rasa percaya

(X11)

Pengetahuan

Lingkungan (X2)

Pengel. HPT

Perkebunan Kelapa

Sawit(Y3)

Persepsi LH(X21)

Modal Sosial(X1)

Jaringan

(X13)

Norma(X12)

Sikap LH

(X22)

Minat LH

(X23)

Ker. Lingk(Y2)

Juml. Konflik

(Y1)

Model PKS

Lestari(Y)

Modal Sosial (Y1)

General TrustThin TrustThick TrustKepercayaan thp inst. Formal/informal

Indeks Kerapatan organisasiIndeks PartisipasiJumlah Teman

Bantuan Uang dan FisikPerilaku Free Rider

TRUST

NETWORK

NORM

Gambar 2. Diagram alir hubungan antar peubah penelitian

45

Upaya Pengelolaan HPT

Lingkungan Petani (Y2)

Y21 Pengetahuan OPT

Y22 Pengetahuan Musuh Alami

Y23 Pengetahuan Pestisida

Y24 Keterampilan Identifikasi gejala

Y25 Keterampilan Pengend. Serangan

Y26 Pengamatan ekosistem

Y27 Analisis Hasil Ekosistem

Y28 Partisipasi dalam SLPHT

Y29 Partisipasi dalam Pertemuan

Karakteristik Pribadi (X1)

X11 Umur

X12 Pendidikan Formal

X13 Pengalaman Berusahatani

X14 Tingkat Penghasilan

Kompetensi PHPT (X2)

X21 Pengenalan OPT

X22 Pengenalan Musuh Alami

X23 Pengenalan serangan OPT

X24 Pengendalian Serangan OPT

X25 Pendugaan intensitas hama

X26 Pendugaan intensitas peny.

X27 Pengembangan PHPT

X28 Kepemimpinan Kelompok

Motivasi Kerja (X3)

X31 Peningkatan Hub. Sosial

X32 Memperoleh Penghargaan

X33 Keinginan Berprestasi

X34 Memperoleh kekuasaan

Karakteristik Lingkungan (X4)

X41 Kondisi Serangan OPT

X42 Sarana dan Prasarana

X43 Dukungan Pemimpin

X44 Pengaruh Promosi Pestisida

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA

SAWIT BERKELANJUTAN

DAFTAR PUSTAKA

Agro lestari. 2009. Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia. www.peperonity.com

Asniansyah. 2006. Pola kepemilikan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit dan Kehidupan Sosial Ekonomi

Masyarakat Petani Kelapa Sawit Desa Lombok, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Pasir, Kalimantan

Timur. Skripsi. Fakultas Sastra UM. Malang.

Badrun, M. 2010. Lintasan 30 Tahun Pengembangan Kelapa Sawit. Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian,

Republik Indonesia.

Bangun, D. 2003. Kelapa Sawit Memang Tak Sekedar CPO. Harian Umum Kompas. Jakarta.

Blakelley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development” dalam David Robinson (ed), Social

Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies, halaman 80-100

Butler,R.A. 2008. Dampak Sosial dari Kelapa Sawit di Borneo. Indonesia Mongabay.com

Cox, E (1995), Background Material and Boyer Lecture (http://www.leta. edu.au/coxp.htm).

Deliarnov.2007. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Dharmawan, A.H. 2007. Konflik Sosial dan Resolusi Konflik : Analisis Sosio- Budaya (Dengan Fokus Perhatian

Kalimantan Barat). Makalah pada Seminar PERAGI. Pontianak.

Dharmawan, A.H. 2009. Modal Sosial dan Pembangunan : Catatan Diskusi. Institut Pertanian Bogor.

Eko, S. 2003. Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal. Draft makalah disajikan dalam Seminar

Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, yang digelar oleh

Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003.

Emmelin, lars. 1977. Environmental education at university level. AMBIO 6(4) ; 201- 209

Field, J. 2005. Modal Sosial. Bina Media Perintis. Medan.

Fukuyama, Francis (1995), Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity, New York: the Free Press.

Hidayat, D. 2006. Analisis Peranan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau dalam Era Otonomi Daerah. Tesis.

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Johnson. N, Ruth Suarez and Mark Lundy.2002. The Importance Of Social Capital In Colombian Rural Agro-

Enterprises. paper was presented at the CAPRi workshop on Methods for Studying Collective Action,

February 25 . March 1, 2002, Nyeri Kenya.

46

Kaimuddin, A.A. Peranan Subsektor Perkebunan Rakyat dalam Pembangunan Wilayah dan Penanggulangan

Kemiskinan di Kabupaten Halmahera Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor.

Lenggono, PS. 2004. Modal Sosial Dalam Pengelolaan Tambak (Studi Kasus Pada Komunitas Petambak di Desa

Muara Pantuan Kecamatan Anggana Kabupaten Kutai Kartanegara). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Lumur, R. 2007. Peran Sosial NGO dalam mendukung Produksi Sustainable Palm Oil. Makalah pada RSPO

Public Forum. Jakarta.

Manggabarani, A. 2007. Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Sangat Signifikan dan Fantastis.

Artikel. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Manurung, E.G.T., 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Natural

Resources Management Program. Jakarta.

Mignone, J. 2003. Measuring Social Capital : A Guide for First Nations Communities. Canadian Institute for

Health Information. Ottawa.

Montass. 2007. Kelapa Sawit dan Orang Dayak. www.shvoong.com.

Notohadiprawiro, T. 2006. Pendidikan Lingkungan. Repro : Ilmu Tanah UGM. Yogyakarta.

Oladipo, J.A. 2008. Agro-Industry as Strategy for Rural Development: An Impact

Assessment of Nigeria Oil-Palm Industry. European Journal of Social Sciences – Volume 7, Number 1

(2008)

Purba, B. 2003. Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Pembangunan Perekonomian di Kabupaten Siak

Provinsi Riau. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Purwanto, B. 2009. Menelusuri Akar Ketimpangan dan Kesempatan Baru : Catatan Tentang Sejarah

Perkebunan Indonesia. Artikel. Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Yigyakarta.

Putnam, RD (1993), “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life, dalam The American Prospect,

Vol.13, halaman 35-42

Putnam, RD (1995), “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam Journal of Democracy, Vol.6,

No.1, halaman 65-78.

Rahmawati, S. 2008. Perkebunan Sawit Skala Besar = Kapitalis yang Monolistik. Walhi Kaltim. Samarinda.

Sari, E.T. dan Chandra Wijaya. 2008.Pembukaan Lahan Kelapa Sawit untuk Perbaikan Taraf Hidup Rakyat dan

Isu Pemanasan Global : Pendekatan Utilitarian pada Agribisnis. Makalah pada The 2nd National

Conference UKWMS. Surabaya,

Soemarwoto, O. 2004. Lingkungan Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambata. Jakarta.

47

Soemartono, R.M. Gatot P., (1996), Hukum Lingkungan Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.Spellerberg, Anne (1997), “Towards a Framework for the Measurement of Social Capital” dalam David

Robinson (ed), Social Capital dan Policy Development, Wellington: The Institute of Policy Studies,

halaman 42-52

Suharto, Edi (2005a), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial,

Bandung: Alfabeta

Suharto, Edi (2005b), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan

Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama.

Sulaeman, P. 2001. Perilaku Pemeliharaan Kebersihan Lingkungan Siswa Sekolah Dasar. Usulan Penelitian

Program Pascasarjana KPLH, Universitas Siliwangi. Tasikmalaya.

Supriyono, J. 2009. Aspek Lingkungan dalam Pengembangan Kelapa Sawit. Makalah pada Seminar Nasional

“Soil dan Palm Oil” Oleh HMIT. Institut Pertanian Bogor.

Susan, N. 2009. Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer. Kencana. Jakarta.

Suwanto, A., 1994. Mikroorganisme Untuk Biokontrol : Strategi Penelitian dan Penerapannya Dalam

Bioteknologi Pertanian. Agrotek, Vol. 2(1). IPB, Bogor

Svendsen, G.L.H., dan Gert Tinggaard Svendsen. 2004. The Creation and Destruction of Social Capital. Edward

Elgar Publishing Limited. Cheltenham. United Kingdom.

Tata, I. 2000. Menggugat Revolusi Hijau, Generasi Pertama. Yayasan Tirta Karangsari, Pesticide Action Network

(PAN-Indonesia) dan Yayasan Kehati

Thin. N. 2002. Social Progress and Sustainable Development. Kumarian Press. Bloomfield.

Timpakul. 2007. Tata Ruang Kaltim Harus Berperspektif Lingkungans. Timpakul Blogspot.com.

Vipriyanti, N.U. 2007. Analisis Keterkaitan Antara Modal Sosial dan Pembangunan Ekonomi Wilayah, Studi

Kasus di Empat Kabupaten di Provinsi Bali. Disertasi. Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor.

www.wikipedia.com. 2009. Kelapa Sawit

Zen. Zahari. John. F. Mc.Carthy. Piers. Gillespie. 2008. Menghubungkan Kebijakan Pro Masyarakat Miskin

dengan Pengelolaan Kelapa Sawit. Crawford School of Economics and Government, The Australian

National University. Australia.

48