Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

8
BIROKRASI UNDER COVER Antara Medical Quackery dan Spiritual Power Oleh: BAEHAQI* Sejarah dan budaya bangsa Indonesia sejak zaman Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa, yang konon dengan kesaktiannya dapat mempersatukan pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo (pulau Jawa), zaman kerajaan Mataram, hingga era modern dengan format globalisasi nya, memiliki kepercayaan kuat akan hal-hal yang bersifat klenik, mistis, supranatural, dan perdukunan (medical quackery). Idris Nawawi (2011) menyebutkan; semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Kepercayaan seperti ini dapat ditemukan di seluruh dunia, mereka terbagi dalam berbagai macam aliran dan ilmu, Dukun Pawang Hujan, Dukun Pawang Hewan, Dukun Santet, Dukun Pelet, Dukun Pijat, Dukun Bayi (Bidan Desa), Dukun Ramal, dan lain sebagainya. Dukun adalah sebutan untuk mereka dalam bahasa Indonesia. Menurut sumber wikipedia, di luar negeri mereka disebut dengan macam macam nama: Lamia (sihir kaum Gypsy di Eropa), Clairvoyant (Inggris), Macumba, Xango (Brazil), Obeah, Santeria (Jamaica), Voodoo, Na Munda (sirih masyarakat pedalaman Amerika yang berkembang di Haiti dan Kepulauan Karibia), Bulgarian Mystery , Malka Moma(Bulgaria), Kiyuku (di Afrika), Teoltec Maya (di Mexico

description

Sejatinya ruh kebenaran dalam agama Islam mampu memberikan berbagai solusi dalam kehidupan manusia. Namun realita berkata lain, masih banyak pemeluk agama Islam yang mengandalkan kekuatan lainnya dalam mencarii solusi hidup.

Transcript of Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

Page 1: Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

BIROKRASI UNDER COVERAntara Medical Quackery dan Spiritual Power

Oleh: BAEHAQI*

Sejarah dan budaya bangsa Indonesia sejak zaman Brahmana Agung bernama Shang

Hyang Dewa, yang konon dengan kesaktiannya dapat mempersatukan pulau terbesar dan

dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo (pulau Jawa), zaman kerajaan Mataram, hingga era modern

dengan format globalisasi nya, memiliki kepercayaan kuat akan hal-hal yang bersifat klenik,

mistis, supranatural, dan perdukunan (medical quackery). Idris Nawawi (2011) menyebutkan;

semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog

telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya.

Kepercayaan seperti ini dapat ditemukan di seluruh dunia, mereka terbagi dalam berbagai

macam aliran dan ilmu, Dukun Pawang Hujan, Dukun Pawang Hewan, Dukun Santet, Dukun

Pelet, Dukun Pijat, Dukun Bayi (Bidan Desa), Dukun Ramal, dan lain sebagainya. Dukun adalah

sebutan untuk mereka dalam bahasa Indonesia. Menurut sumber wikipedia, di luar negeri mereka

disebut dengan macam macam nama: Lamia (sihir kaum Gypsy di Eropa), Clairvoyant (Inggris),

Macumba, Xango (Brazil), Obeah, Santeria (Jamaica), Voodoo, Na Munda (sirih masyarakat

pedalaman Amerika yang berkembang di Haiti dan Kepulauan Karibia), Bulgarian Mystery ,

Malka Moma(Bulgaria), Kiyuku (di Afrika), Teoltec Maya (di Mexico dan Guetemala), Enkai

(sihir Massai dari Kenya) dan Kejawen (Jawa).

Untuk masyarakat Indonesia, berkunjung ke dukun dianggap hal biasa serta dianggap

memiliki pengaruh luar biasa bagi kepentingan hidupnya. Tujuan berkunjung ke dukun sangat

beragam, sekedar mengobati penyakit, memperlancar rezeki (ekonomi), mencari barang hilang,

urusan rumah tangga, sampai pemuasan hasrat politik. Solusi instan seperti ini menjadi trade

merk sepanjang sejarah bangsa, selain praktis dan murah, perdukunan (medical quackery) juga

dianggap sebagai seni pengobatan (the art of healling) yang menjanjikan. Random House

Dictionary menjelaskan "dukun" sebagai pura-pura "curang atau keterampilan medis yang

bodoh" atau "orang yang berpura-pura profesional tanpa memiliki keterampilan, pengetahuan,

atau kualifikasi".

Page 2: Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

Alam modernisme seharusnya mengelaborasi kekuatan nalar dalam kehidupan sosial

politik, bukan malah melibatkan unsur ‘subjektifitas rasa’ yang bersifat mitologi. Faktor utama

yang membuat birokrat membentuk relasi kekuasaan adalah karena unsur kepentingan dalam

menopang karier nya, dan kemudian banyak diantaranya yang bersandar kepada subyektifitas

rasa melalui jalan perdukunan (medical quackery). Pada posisi ini agama tidak lagi menjadi

sistem nilai absolut, normativisme agama yang begitu sakral tidak lagi menjadi motif nalar

birokrat dalam menjalankan kekuasan, memanifestasian pemikiran dan tindakannya, serta

mengelola otoritas kekuasaannya. Mungkin ini yang dimaksud oleh Koentjaraningrat (1983);

“bahwa kebudayaan tidak terbatas hanya pada sistem pengetahuan, tetapi juga terhadap tindakan

dan hasil tindakan tersebut”.

Dalam perspektif budaya, perdukunan (medical quackery) merupakan bentuk

pengkultusan terhadap benda-benda keramat dan penghormatan terhadap tradisi nenek moyang.

Namun dalam konsepsi agama, khususnya Islam, pengkultusan atau penghormatan yang

berlebihan terhadap individu, apalagi terhadap benda-benda, adalah setara dengan bentuk

musyrik. Maraknya perdukunan dalam dunia birokrasi (tidak hanya di pemerintahan dan

parlemen), tetapi juga telah merasuki ajang tertentu sebelum menjadi birokrat, seperti ajang

Pemilu Capres, Pemilu-Kada, Pemilu Legislatif, CPNS, bahkan calon peserta ujian nasional

untuk pelajar, nota bene telah melemahkan hakekat keimanan sebagai cerminan makhluk yang

ber-Tuhan. Padahal aspek-aspek kearifan ruhaniyah terhadap diri sendiri dan orang lain secara

praktis dapat membawa nilai universal dalam membentuk nilai kejujuran, ketulusan, keadilan,

dan pengembangan potensi diri.

Sejatinya, sumber kekuatan manusia ditentukan oleh kekuatan nalar dan kekuatan iman,

dan masing-masing tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Nalar (akal) dan daya empati pada diri

manusia bersumber pada kekuatan Illahiah (keimanan), untuk membangun berbagai informasi

yang diterima akal. Tetapi di balik dua kekuatan tersebut, ada kekuatan lain yang dikenal dengan

nama supra natural, yang diyakini oleh sebagian birokrat sebagai solusi praktis dalam

memecahkan persoalan.

Kekuatan supra natural dapat diraih melalui meditasi, upacara ritual, dan perantara-

perantara (mediasi) berbagai benda material. Kekuatan tersebut kemudian menjelma menjadi

mitos yang bercampur dengan unsur-unsur budaya lokal, sehingga mitos setiap daerah berbeda

Page 3: Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

identitasnya. Mitos itu sendiri adalah kepercayaan yang tidak terdapat dalam agama, bahkan

tidak dibenarkan berdasarkan ajaran agama Islam. Tetapi entah mengapa, perdukunan (medical

quackery) seolah-olah menjadi simbol sukses atau tidaknya seseorang dalam berkarir.

DI masa lalu dukun banyak digandrungi oleh masyarakat pedesaan, dukun identik dengan

dunia kampung/desa, orang kuno yang bersikap nyentrik, tetapi sekarang dukun/perdukunan

telah berevolusi dengan kebudayaan modern. Sehingga benda-benda material ajimat seperti

“wafak” bertuliskan Arab/Jawa, Jangjawokan, Keris, Batu Cincin, Tali Pocong Perawan, Tanah

Kuburan, Minyak-minyakan dan sebagainya, juga ikut berevolusi ke dalam gedung-gedung

perkantoran. Pola perdukunan memang sulit dideteksi, sifatnya yang sangat rahasia dan sangat

misterius membuat nilai-nilai ideal kebenaran dan visi keagamaan terkalahkan oleh lemahnya

kultur rasionalisme, lemahnya identitas politik etnik, lemahnya aturan main dan mencuatnya

kultur pragmatisme jangka pendek.

Sementara itu, kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai puncak

dari proses Islamisasi birokrasi dan relasi antara politik dan agama, juga belum mampu

mengalahkan kekuatan supra natural. Nur Syam (2010) menyatakan Islam yang sesungguhnya

menjadi ciri khas Islam Indonesia adalah coraknya yang ramah terhadap budaya lokal. Bukan

ajaran ritual yang diadopsi ke dalam Islam, namun aspek budaya yang elementer.

Lagi-lagi, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat tradisional yang masih

mempertahankan warisan nenek moyangnya secara turun temurun. Ritual dan adat-istiadat

seakan memproteksi pengaruh modernitas, walau sesungguhnya kemoderenan tidak selamanya

membawa polusi negatif. Memang tidak semua dari masyarakat Indonesia yang bergantung

kepada kekuatan supra natural, tetapi sebagiannya lagi berharap pada kekuatan tersebut. Antara

kekuatan supra natural dan kekuatan iman adalah pilihan yang bersifat inklusif, siapapun bebas

memilih sesuai kapasitas pengetahun masing-masing.

Eksistensi fenomena sosial dengan konsep mistis nya yang tinggi vis a vis dengan upaya

penanaman nilai-nilai spiritual kaum agamawan, tidak dapat dihindari apalagi ditolak. Sudah

menjadi common sense dalam kultur budaya Indonesia, kebiasaan-kebiasaan ritual mencari

syariat (dalam versi Islam) ke ulama/kiai dan meminta bantuan perdukunan (dalam versi tradisi

Jawa-Indonesia), dianggap sebagai media efektif untuk melancaran tujuan masing-masing.

Antara “nyareat” ke ulama/kiai dan bantuan perdukunan pastinya memiliki muatan yang

Page 4: Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

berbeda, namun fungsi keduanya sudah sedemikian lekat dengan tradisi lokal. Antara yang

spiritual dan yang mistis seakan dua sisi mata uang. Tepat apa yang dikatakan Geertz (1981),

kelompok kolot cenderung untuk membenarkan praktek dan kurang menaruh perhatian terhadap

kemurnian Islam dan lebih memiliki kelonggaran untuk membolehkan upacara-upacara non-

Islam.

Sebenarnya perilaku birokrat - walau tidak semua birokrat berperilaku a-rasional - -

harus diletakkan dalam bingka kerja budaya yang profesional, bukan kerja instan yang diperoleh

melalui mantera-mantera atau ajimat dukun. Perilaku seperti ini merupakan cerminan dari nilai-

nilai dan cara pandang yang bukan knowing that tetapi knowing how, sehingga secara kolektif

birokrat (kaum borjuis) dapat memberikan konstribusi maksimal bagi kesejahteraan, keadilan

dan keteladanan.

Seorang birokrat, dituntut memberikan pelayanan yang berkualitas. Hudges (1992)

mengatakan bahwa: ”government organization are created by the public, for the public, and

need to be accountable to it.” Oleh karenanya, kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide

stakeholders), harus akuntabel di mata publik. Reformasi dalam service delivery, increase

efficiency dan improve governance, tidak dapat terlaksana jika bertumpu pada kekuatan supra

natural (medical quackery), tetapi harus bertumpu pada pendekatan efektif dalam menjalin

hubungan dengan masyarakat.

Menarik apa yang dikatakan Taliziduhu Ndraha (2003) tentang reinverting people

(masyarakat madani dan civil society), bahwa proses menemukan kembali (peran) kerakyatan

(Indonesia) sebagai sovereign (pemilik kedaulatan) dan konsumer (pelanggan yang mesti

dilayani) harus dikuti dengan strategi rego secara seimbang. Dengan demikian, kunci sukses

birokrat (birokrasi) terletak pada keteladanan. Dengan keteladanan, semua bentuk pengajaran,

teori, perintah dan perilaku birokrat akan membekas dan menjadi uswatun hasanah bagi

masyarakat.

Keteladanan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, tetapi juga menjadi

portofolio karir dalam birokrasi. Saya sepakat dengan konsep keteladan dalam Pedoman Hidup

Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), bahwa seperangkat nilai dan norma tingkah laku

tercermin dari kepribadian seseorang. Untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi,

keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan

Page 5: Birokrasi Under Cover Sebuah Renungan

profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku

uswah hasanah (teladan yang baik).

Pandangan di atas mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya pokok hukum dalam

masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya, sebuah worldview yang merepresentasikan hidupnya

ruh Islam di alam modernisme, dan secara teologis serta historis kaya dengan tradisi intelektual.

Peran strategis birokrat dalam jalinan struktur perilaku manusia pada level pribadi, yang oleh

Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma, atau cultur lag menurut Ougburn - -

agar tidak kehilangan keseimbangan, adalah menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan yang

bersifat spiritual serta mengangkat derajat masyarakat dari keterbelakangan dan kebodohan

massif dengan terus melaju dalam arus globalisasi.

Komentar follow; twitter@baehaqihaq

081289000710

Penulis;*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta