Birokrasi under cover sebuah renungan byhq
description
Transcript of Birokrasi under cover sebuah renungan byhq
BIROKRASI UNDER COVERAntara Medical Quackery dan Spiritual Power
Oleh: BAEHAQI*
Sejarah dan budaya bangsa Indonesia sejak zaman Brahmana Agung bernama Shang
Hyang Dewa, yang konon dengan kesaktiannya dapat mempersatukan pulau terbesar dan
dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo (pulau Jawa), zaman kerajaan Mataram, hingga era modern
dengan format globalisasi nya, memiliki kepercayaan kuat akan hal-hal yang bersifat klenik,
mistis, supranatural, dan perdukunan (medical quackery). Idris Nawawi (2011) menyebutkan;
semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog
telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya.
Kepercayaan seperti ini dapat ditemukan di seluruh dunia, mereka terbagi dalam berbagai
macam aliran dan ilmu, Dukun Pawang Hujan, Dukun Pawang Hewan, Dukun Santet, Dukun
Pelet, Dukun Pijat, Dukun Bayi (Bidan Desa), Dukun Ramal, dan lain sebagainya. Dukun adalah
sebutan untuk mereka dalam bahasa Indonesia. Menurut sumber wikipedia, di luar negeri mereka
disebut dengan macam macam nama: Lamia (sihir kaum Gypsy di Eropa), Clairvoyant (Inggris),
Macumba, Xango (Brazil), Obeah, Santeria (Jamaica), Voodoo, Na Munda (sirih masyarakat
pedalaman Amerika yang berkembang di Haiti dan Kepulauan Karibia), Bulgarian Mystery ,
Malka Moma(Bulgaria), Kiyuku (di Afrika), Teoltec Maya (di Mexico dan Guetemala), Enkai
(sihir Massai dari Kenya) dan Kejawen (Jawa).
Untuk masyarakat Indonesia, berkunjung ke dukun dianggap hal biasa serta dianggap
memiliki pengaruh luar biasa bagi kepentingan hidupnya. Tujuan berkunjung ke dukun sangat
beragam, sekedar mengobati penyakit, memperlancar rezeki (ekonomi), mencari barang hilang,
urusan rumah tangga, sampai pemuasan hasrat politik. Solusi instan seperti ini menjadi trade
merk sepanjang sejarah bangsa, selain praktis dan murah, perdukunan (medical quackery) juga
dianggap sebagai seni pengobatan (the art of healling) yang menjanjikan. Random House
Dictionary menjelaskan "dukun" sebagai pura-pura "curang atau keterampilan medis yang
bodoh" atau "orang yang berpura-pura profesional tanpa memiliki keterampilan, pengetahuan,
atau kualifikasi".
Alam modernisme seharusnya mengelaborasi kekuatan nalar dalam kehidupan sosial
politik, bukan malah melibatkan unsur ‘subjektifitas rasa’ yang bersifat mitologi. Faktor utama
yang membuat birokrat membentuk relasi kekuasaan adalah karena unsur kepentingan dalam
menopang karier nya, dan kemudian banyak diantaranya yang bersandar kepada subyektifitas
rasa melalui jalan perdukunan (medical quackery). Pada posisi ini agama tidak lagi menjadi
sistem nilai absolut, normativisme agama yang begitu sakral tidak lagi menjadi motif nalar
birokrat dalam menjalankan kekuasan, memanifestasian pemikiran dan tindakannya, serta
mengelola otoritas kekuasaannya. Mungkin ini yang dimaksud oleh Koentjaraningrat (1983);
“bahwa kebudayaan tidak terbatas hanya pada sistem pengetahuan, tetapi juga terhadap tindakan
dan hasil tindakan tersebut”.
Dalam perspektif budaya, perdukunan (medical quackery) merupakan bentuk
pengkultusan terhadap benda-benda keramat dan penghormatan terhadap tradisi nenek moyang.
Namun dalam konsepsi agama, khususnya Islam, pengkultusan atau penghormatan yang
berlebihan terhadap individu, apalagi terhadap benda-benda, adalah setara dengan bentuk
musyrik. Maraknya perdukunan dalam dunia birokrasi (tidak hanya di pemerintahan dan
parlemen), tetapi juga telah merasuki ajang tertentu sebelum menjadi birokrat, seperti ajang
Pemilu Capres, Pemilu-Kada, Pemilu Legislatif, CPNS, bahkan calon peserta ujian nasional
untuk pelajar, nota bene telah melemahkan hakekat keimanan sebagai cerminan makhluk yang
ber-Tuhan. Padahal aspek-aspek kearifan ruhaniyah terhadap diri sendiri dan orang lain secara
praktis dapat membawa nilai universal dalam membentuk nilai kejujuran, ketulusan, keadilan,
dan pengembangan potensi diri.
Sejatinya, sumber kekuatan manusia ditentukan oleh kekuatan nalar dan kekuatan iman,
dan masing-masing tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Nalar (akal) dan daya empati pada diri
manusia bersumber pada kekuatan Illahiah (keimanan), untuk membangun berbagai informasi
yang diterima akal. Tetapi di balik dua kekuatan tersebut, ada kekuatan lain yang dikenal dengan
nama supra natural, yang diyakini oleh sebagian birokrat sebagai solusi praktis dalam
memecahkan persoalan.
Kekuatan supra natural dapat diraih melalui meditasi, upacara ritual, dan perantara-
perantara (mediasi) berbagai benda material. Kekuatan tersebut kemudian menjelma menjadi
mitos yang bercampur dengan unsur-unsur budaya lokal, sehingga mitos setiap daerah berbeda
identitasnya. Mitos itu sendiri adalah kepercayaan yang tidak terdapat dalam agama, bahkan
tidak dibenarkan berdasarkan ajaran agama Islam. Tetapi entah mengapa, perdukunan (medical
quackery) seolah-olah menjadi simbol sukses atau tidaknya seseorang dalam berkarir.
DI masa lalu dukun banyak digandrungi oleh masyarakat pedesaan, dukun identik dengan
dunia kampung/desa, orang kuno yang bersikap nyentrik, tetapi sekarang dukun/perdukunan
telah berevolusi dengan kebudayaan modern. Sehingga benda-benda material ajimat seperti
“wafak” bertuliskan Arab/Jawa, Jangjawokan, Keris, Batu Cincin, Tali Pocong Perawan, Tanah
Kuburan, Minyak-minyakan dan sebagainya, juga ikut berevolusi ke dalam gedung-gedung
perkantoran. Pola perdukunan memang sulit dideteksi, sifatnya yang sangat rahasia dan sangat
misterius membuat nilai-nilai ideal kebenaran dan visi keagamaan terkalahkan oleh lemahnya
kultur rasionalisme, lemahnya identitas politik etnik, lemahnya aturan main dan mencuatnya
kultur pragmatisme jangka pendek.
Sementara itu, kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai puncak
dari proses Islamisasi birokrasi dan relasi antara politik dan agama, juga belum mampu
mengalahkan kekuatan supra natural. Nur Syam (2010) menyatakan Islam yang sesungguhnya
menjadi ciri khas Islam Indonesia adalah coraknya yang ramah terhadap budaya lokal. Bukan
ajaran ritual yang diadopsi ke dalam Islam, namun aspek budaya yang elementer.
Lagi-lagi, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat tradisional yang masih
mempertahankan warisan nenek moyangnya secara turun temurun. Ritual dan adat-istiadat
seakan memproteksi pengaruh modernitas, walau sesungguhnya kemoderenan tidak selamanya
membawa polusi negatif. Memang tidak semua dari masyarakat Indonesia yang bergantung
kepada kekuatan supra natural, tetapi sebagiannya lagi berharap pada kekuatan tersebut. Antara
kekuatan supra natural dan kekuatan iman adalah pilihan yang bersifat inklusif, siapapun bebas
memilih sesuai kapasitas pengetahun masing-masing.
Eksistensi fenomena sosial dengan konsep mistis nya yang tinggi vis a vis dengan upaya
penanaman nilai-nilai spiritual kaum agamawan, tidak dapat dihindari apalagi ditolak. Sudah
menjadi common sense dalam kultur budaya Indonesia, kebiasaan-kebiasaan ritual mencari
syariat (dalam versi Islam) ke ulama/kiai dan meminta bantuan perdukunan (dalam versi tradisi
Jawa-Indonesia), dianggap sebagai media efektif untuk melancaran tujuan masing-masing.
Antara “nyareat” ke ulama/kiai dan bantuan perdukunan pastinya memiliki muatan yang
berbeda, namun fungsi keduanya sudah sedemikian lekat dengan tradisi lokal. Antara yang
spiritual dan yang mistis seakan dua sisi mata uang. Tepat apa yang dikatakan Geertz (1981),
kelompok kolot cenderung untuk membenarkan praktek dan kurang menaruh perhatian terhadap
kemurnian Islam dan lebih memiliki kelonggaran untuk membolehkan upacara-upacara non-
Islam.
Sebenarnya perilaku birokrat - walau tidak semua birokrat berperilaku a-rasional - -
harus diletakkan dalam bingka kerja budaya yang profesional, bukan kerja instan yang diperoleh
melalui mantera-mantera atau ajimat dukun. Perilaku seperti ini merupakan cerminan dari nilai-
nilai dan cara pandang yang bukan knowing that tetapi knowing how, sehingga secara kolektif
birokrat (kaum borjuis) dapat memberikan konstribusi maksimal bagi kesejahteraan, keadilan
dan keteladanan.
Seorang birokrat, dituntut memberikan pelayanan yang berkualitas. Hudges (1992)
mengatakan bahwa: ”government organization are created by the public, for the public, and
need to be accountable to it.” Oleh karenanya, kelompok sasaran yang ingin dilayani (wide
stakeholders), harus akuntabel di mata publik. Reformasi dalam service delivery, increase
efficiency dan improve governance, tidak dapat terlaksana jika bertumpu pada kekuatan supra
natural (medical quackery), tetapi harus bertumpu pada pendekatan efektif dalam menjalin
hubungan dengan masyarakat.
Menarik apa yang dikatakan Taliziduhu Ndraha (2003) tentang reinverting people
(masyarakat madani dan civil society), bahwa proses menemukan kembali (peran) kerakyatan
(Indonesia) sebagai sovereign (pemilik kedaulatan) dan konsumer (pelanggan yang mesti
dilayani) harus dikuti dengan strategi rego secara seimbang. Dengan demikian, kunci sukses
birokrat (birokrasi) terletak pada keteladanan. Dengan keteladanan, semua bentuk pengajaran,
teori, perintah dan perilaku birokrat akan membekas dan menjadi uswatun hasanah bagi
masyarakat.
Keteladanan tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, tetapi juga menjadi
portofolio karir dalam birokrasi. Saya sepakat dengan konsep keteladan dalam Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM), bahwa seperangkat nilai dan norma tingkah laku
tercermin dari kepribadian seseorang. Untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi,
keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan
profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku
uswah hasanah (teladan yang baik).
Pandangan di atas mengajarkan bahwa Islam adalah satu-satunya pokok hukum dalam
masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya, sebuah worldview yang merepresentasikan hidupnya
ruh Islam di alam modernisme, dan secara teologis serta historis kaya dengan tradisi intelektual.
Peran strategis birokrat dalam jalinan struktur perilaku manusia pada level pribadi, yang oleh
Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma, atau cultur lag menurut Ougburn - -
agar tidak kehilangan keseimbangan, adalah menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan yang
bersifat spiritual serta mengangkat derajat masyarakat dari keterbelakangan dan kebodohan
massif dengan terus melaju dalam arus globalisasi.
Komentar follow; twitter@baehaqihaq
081289000710
Penulis;*Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Tangerang Mahasiswa Program Doktoral Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta