Biotek_Niken

download Biotek_Niken

If you can't read please download the document

description

Biotechnology

Transcript of Biotek_Niken

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kerapu merupakan ikan-ikan yang hidup di terumbu karang, yang dalam dunia internasional dikenal dengan nama groupers atau coral reef fishes. Ikanikan ini memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Ikan kerapu diperdagangkan dalam keadaan hidup, dengan harga jual yang relatif tinggi. Harga ikan kerapu tikus di tingkat nelayan dapat mencapai US$ 20 (Rp 200.000,-) untuk setiap kilogramnya. Ikan tersebut diekspor terutama ke Hongkong dengan harga jual yang berlipat kali. Pada tahun 2000, Hongkong mengimpor 9.827 ton ikan kerapu hidup, dengan pemasok utama China, Thailand, Philipina, Indonesia, Australia dan Malaysia. Pangsa Indonesia hanya sekitar 9,39% dari semua pemasok ikan kerapu ke Hongkong. Tingginya harga jual telah mendorong kegiatan eksploitasi sumberdaya kerapu secara tidak terkendali dan lebih jauh lagi membahayakan ekosistem perairan khususnya terumbu karang. Banyak nelayan yang menggunakan bahan peledak atau racun sianida untuk menangkap kerapu, sehingga menghancurkan terumbu karang dan berakibat menurunnya jumlah populasi ikan kerapu yang pada akhirnya dapat menyebabkan kepunahan secara permanen. WWF melaporkan bahwa kondisi terumbu karang Indonesia hanya 6% yang masih dalam kondisi baik, 24% dalam kondisi normal, 28% dalam kondisi rusak dan 42% kondisi rusak parah. Meskipun di beberapa daerah kegiatan eksploitasi seperti di atas telah berkurang/dapat dicegah, akan tetapi dampak dari kerusakan terumbu karang yang ditimbulkan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk

memulihkannya. Untuk menghindarkan terjadinya kepunahan terhadap populasi ikan kerapu di alam dan mempertahankan terumbu karang serta tetap dapat mengisi permintaan pasar yang terus meningkat, maka upaya mengalihkan usaha penangkapan ke usaha budidaya merupakan langkah strategis yang perlu dilakukan. Kegiatan budidaya kerapu di Indonesia belum banyak berkembang. Dewasa ini di Indonesia baru terdapat pembenihan kerapu milik pemerintah (Lampung, Situbondo, Takalar dan Gondol), dan satu pembenihan milik swasta di Lampung. Kalaupun ada maka lebih bersifat penangkaran atau penggemukan ikan hasil tangkapan alam yang masih berukuran kecil hingga ukuran konsumsi. Hingga saat ini, usaha pembenihan masih menghadapi sejumlah masalah, terutama rendahnya tingkat hidup (survival rate) sehingga diperlukan dukungan iptek. Salah satu iptek yang mampu menopang kemajuan budidaya kerapu yaitu penerapan atau aplikasi genetik marker untuk identifikasi induk unggul kerapu.

1.2. Tujuan Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu: a. Untuk mengetahui pengertian genetik marker b. Untuk mengetahui aplikasi genetik marker untuk identifikasi induk unggul kerapu.

II. PEMBAHASAN

2. 1. Biologi Ikan Kerapu 2.1.1. Taksonomi Ikan kerapu memiliki 15 genera yang terdiri atas 159 spesis. Satu diantaranya adalah Cromileoptes altivelis yang selain sebagai ikan konsumsi juga juvenilnya juga sebagai ikan hias. Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, Subfamili Epinephelinea, yang umumnya di kenal dengan nama groupers, rockcods, hinds, dan seabasses. Ikan kerapu ditemukan diperairan pantai IndoPasifik sebanyak 110 spesies dan diperairan Filipina dan Indonesia sebanyak 46 spesies yang tercakup ke dalam 7 genera Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola

(Marsambuana dan Utojo, 2001). Ikan Kerapu diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Devisi Famili Sub famili Genus Spesies : Pisces : Teleostei : Percomorphi : Percoidea : Perciformis : Serranidea : Epinephelinea : Epinephelus : Epinephelus sp.

2.2.1. Ciri-Ciri Morfologi Ikan Kerapu

Ciri-ciri morfologi ikan kerapu adalah sebagai berikut (Wardana, 1994): Bentuk tubuh pipih, yaitu lebar tubuh lebih kecil dari pada panjang dan tinggi tubuh. Rahang atas dan bawah dilengkapi dengan gigi yang lancip dan kuat Mulut lebar, serong ke atas dengan bibir bawah yang sedikit menonjol melebihi bibir atas. Sirip ekor berbentuk bundar, sirip punggung tunggal dan memanjang dimana bagian yang berjari-jari keras kurang lebih sama dengan yang berjari-jari lunak Posisi sirip perut berada dibawah sirip dada. Badan ditutupi sirip kecil yang bersisik stenoid. Pada ikan kerapu genus Aethaloperca merupakan monotipik, tediri atas satu spesies, warna coklat gelap, tubuh melebar, sirip dada tidak simetris, sirip punggung terdiri atas 9 jari-jari keras, sirip ekor tegak. ikan kerapu genus Anyperodon merupakan monotipik, warna abu-abu sampai abu-abu kecoklatan, bintik coklat pada kepala, tidak ada gigi pada langit-langit, kepala dan tubuh panjang, tebal badan 11-15 % dari panjang standard, dan 3-4 kali dari panjang kepala serta sirip bundar. Ikan kerapu genus Cephalopholis terdiri atas: warna gelap, yaitu cokelat kemerahan sampai cokelat tua dan warna terang, yaitu merah kecokelatan sampai merah atau kuning atau jingga, panjang standard 2,2 3,1 kali dari panjng kepala, rahang pada ikan dewasa dilengkapi dengan bonggol, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu genus Epinephelus tubuh ditutupi oleh bintik-bintik berwarna cokelat atau kuning, merah atau putih, tinggi badan pada sirip punggung pertama biasanya

lebih tinggi dari pada sirip dubur, sirip ekor berbentuk bundar. Ikan kerapu genus Plectropomus warna gelap bergaris (menyerupai pita) dan yang tidak bergaris, warna tubuh agak putihan, sirip berwarna kuning, tulang sirip dubur lemah, panjang standard 2,8 3,1 kali dari panjang kepala, sirip ekor umumnya tegak. dan yang terakhir ikan kerapu dari genus Variola warna tubuh ditutupi oleh bintik merah, sirip ekor berwarna putih tipis pada bagian pinggir, panjang standard 2,5 2,8 kali dari panjang kepala, sirip ekor berbentuk sabit. 2.3.1. Siklus Hidup, Reproduksi dan Kematangan Gonad Effendi (2002) menyatakan bahwa ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit protogini, dimana proses diferensiasi gonadnya berjalan dari fase betima ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Fenomena perubahan jenis kelamin pada ikan kerapu sangat erat hubungannya dengan aktivitas pemijahan, umur, indeks kelamin dan ukuran (Anonim, 1999 dalam Turangan 2000). Pada ikan kerapu jenis Epinephelus diacantus kecendrungan perubahan kelamin terjadi selama tidak bereproduksi yaitu antara umur 2-6 tahun, tetapi perubahan terbaik terjadi antara 2-3 tahun (Anonim, 1999 dalam Turangan 2000). Pada ikan kerapu merah Epinephelus akaara untuk jenis ikan betina ukuran berat 500 gram, panjang 26 cm dan jenis kerapu jantan ukuran berat 1000 gram dan ukuran panjang 34 cm. Sedangkan untuk ikan kerapu Lumpur Epinephelus tauvina jenis kelamin betina berat 3-4 kg panjang 45 cm dan jenis kerapu jantan ukuran panjang 65 cm. Mayunar et al., (1995), Menyatakan bahwa pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) panjang minimum betina yang matang adalah 45-50 cm

(sebagian besar 50-70 cm) dan transisi gonadnya terjadi pada panjang total (TL) 66-72 cm dan testis mulai matang pada TL 74 cm atau bobot berat tubuh 10-11 kg. Slamet et al., (2001) menyatakan bahwa pengamatan aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu telah dilakukan terhadap ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis), Kerapu Macan ( Epinephelus fuscoguttatus), Kerapu Lumpur (Epinephelus coioides), Kerapu Batik (Epinephelus microdon), dan Kerapu Karet (Epinephelus ongus). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada ikan kerapu bebek induk betina mulai matang gonad pada ukuran panjang total 36 cm atau bobot 1,0 kg, sedangkan jatan mulai matang ukuran panjang total 48 cm atau bobot 2,5 kg. Pada ikan kerapu macan betina mulai matang pada ukuran panjang total 51 cm atau bobot 3,0 kg sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 60 cm atau bobot 7,0 kg. Pada kerapu lumpur betina mulai matang pada panjang total 55 cm atau bobot 4,0 kg, sedangkan jantan mulai matang pada ukuran panjang 72 cm atau bobot 10,0 kg. Pada kerapu batik betina mulai matang pada ukuran panjang total 38 cm atau bobot 1.1 kg dan jantan mulai matang panjang total 42 cm atau bobot 2,0 kg. Pada kerapu karet betina matang pada ukuran panjang total 26 cm atau bobot 0,3 kg dan jantan mulai matang pada ukuran panjang total 35 cm atau bobot 0,8 kg.

2.4.1. Fekunditas dan Musim Pemijahan

Fekunditas ikan kerapu spesies Epinephelus akaara yang berukuran panjang standard 23-24 cm dapat mengandung telur sebanyak 75.000- 530 000 butir. Epinephelus morio ukuran panjang 45-65 cm mengandung telur sebanyak 1.500.000 butir, Epinephelus guttatus ukuran panjang 35 cm mengandung telur sebanyak 233.237 butir, dan Epinephelus diacanthus berukuran panjang 12.618.8 cm mengandung telur sebanyak 64.00-233.000 butir. Pada induk kerapu macan yang diimplantasi pelet hormon LHRHa dosis 150ug (1 ekor)dan dosis 240ug (2 ekor) serta 1 ekor dari kontrol. Jumlah telur yang dihasilkan dari induk kontrol adalah 7.500.000 butir dengan frekwensi pemijahan 3 kali. Sedangkan derajat pembuahan (FR) 93.7 96.5 %. Dan derajat penetasan (HR) 70.5 78.5 %. Selanjutnya dari induk yang diimplantasi dihasilkan telur sebanyak 14.650.000 butir atau 4.883.000 butir/ekor dengan frekwensi pemijahan 4 kali derajat pembuahan 95.6-98.5 % derajat penetasan 21,7-89.5 % (Mayunar et al., 1995). Di perairan tropis musim pemijahan dapat terjadi pada setiap tahun atau sepanjang tahun, akan tetapi ada puncak musim pemijahan. Dimana musim benih kerapu di alam ditentukan oleh angin musim ( musim barat dan musim timur), kedua musim ini mempengaruhi kondisi arus, salinitas, suhu, dan nutrien yang terkandung. Musim pemijahan umumnya pada ikan kerapu terjadi atau berlangsung dari bulan april sampai juni dan antara bulan januari sampai september. Pendugaan puncak musim pemijahan dapat dilakukan dengan cara membuka dan meneliti perkembangan gonad sampel induk betina secara periodik selama 1 tahun. Dugaan pemijahan dapat diperoleh sebagai dasar untuk

menentukan pendugaan musim benih alam. Untuk benih ikan kerapu lumpur yang diperoleh dari alam dengan ukuran 2-5 cm dengan umur 2-3 bulan, menyukai perairan pantai ditandai dengan banyaknya jumlah populasi jenis crustacea di perairan.

2.2. Genetik Marker Genetik marker adalah gen atau sekuens DNA yang dikenal dengan lokasi pada kromosom dan dikaitkan dengan suatu gen atau sifat. Hal ini dapat digambarkan sebagai variasi, yang mungkin timbul karena mutasi atau perubahan dalam lokus genomik, yang dapat diamati. Sebuah genetik marker mungkin menjadi urutan DNA pendek, seperti urutan yang mengelilingi satu perubahan pasangan basa (nukleotida polimorfisme tunggal, SNP), atau yang panjang, seperti minisatelit (Anonim, 2006). Teknik-teknik yang digunakan dalam genetika modern banyak

menggunakan genetik marker sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu atau sampel yang diambil darinya. Genetik marker, biasa juga disebut dengan 'penanda', marker, 'marka', atau 'markah', merupakan ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata atau terdeteksi dengan alat tertentu, yang menunjukkan dengan pasti genotipe suatu individu. Genetik marker dapat diketahui lokasinya pada kromosom maupun tidak. Penanda yang lokasinya dapat diketahui pada kromosom lebih karena memberikan informasi bagi sekuensing dan perbandingan antargenotipe, meskipun seringkali tidak praktis dalam aplikasinya.

2.2.1. Prinsip pemanfaatan genetik marker Genetik marker hanya berguna apabila ia

polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan genetik marker lain. Syarat polimorfik diperlukan karena genetik marker harus bisa

membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu genetik marker paling tidak harus bisa mengelompokkan individu dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda, gen atau sifat lain diperlukan karena fungsi genetik marker adalah sebagai "tanda pengenal" yang harus melekat pada sifat yang diteliti. Genetik marker juga mengikuti Hukum Pewarisan Mendel dalam suatu analisis genetik. Terdapat dua kelas genetik marker dalam kaitan dengan hal ini:

Penanda bersifat kodominan, artinya dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot);

Penanda bersifat dominan, yang tidak bisa memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot.

2.2.2. Macam-macam penanda genetik Penanda genetik bermacam-macam, namun selalu merupakan ekspresi yang jelas kategorinya (kualitatif). Penanda genetik yang terpilih untuk diamati adalah penanda yang terpaut dengan sifat/karakter yang menjadi sasaran penelitian.

a. Penanda morfologi b. Penanda biokimia c. Penanda molekul Penanda molekul yang dikenal hingga saat ini:

RFLP minisatelit atau VNTR RAPD mikrosatelit atau SSR inter-SSR AFLP STS SCAR SNP

Terdapat juga kelas penanda molekular yang berbasis RNA (melalui penggunaan cDNA) seperti microarray dan SAGE. 2.2.3. Penggunaan penanda genetik Penanda genetik digunakan untuk berbagai macam kepentingan yang biasanya bersifat diagnostik serta forensik. Selain itu, penanda genetik bisa dipakai sebagai alat bantu seleksi dan pengukur keanekaragaman genetik. Contohcontoh aplikasi penanda genetik:

Sidik jari DNA pada pembuktian forensik. Uji serologi untuk mengetahui kehadiran penyakit tertentu. Pembuatan peta genetik. Seleksi berbantuan marker (marker-assisted selection, MAS).

Deskripsi keanekaragaman genetik. Analisis hubungan kekerabatan etnis manusia. Analisis kekerabatan/taksonomi. Analisis kualitas lingkungan. Analisis kandungan bahan pangan/pakan.

2.3. Aplikasi Genetik Marker untuk Identifikasi Induk Kerapu Unggul Genetik marker merupakan alat bantu seleksi. Dengan adanya genetik marker, maka kita bisa menyeleksi induk ikan yang unggul, khususnya kerapu. Seperti yang kita ketahui, kerapu merupakan komoditas ekspor yang cukup penting. Oleh karena itu, kita memerlukan pengelolaan dan memanfaatkan kemajuan IPTEK agar mampu menghasilkan produksi ikan kerapu yang baik. Sebagai contoh, berikut ini aplikasi genetik marker untuk identifikasi kerapu unggul: 2.3.1 Aplikasi analisis RAPD Karena teknik RAPD yang sederhana dan biaya yang diperlukan lebih murah maka terdapat aplikasi yang sangat luas dari RAPD pada berbagai area biologi. Beberapa area tersebut antara lain: 1. Kemampuan RAPD mendeteksi variasi intra-specifik dapat

digunakan untuk melakukan screening untuk tingkat inbreeding pada induk kerapu untuk mencegah peningkatan frekuensi alel resesif yang merugikan dalam populasi. 2. Marker species-specific digunakan dalam inter-specific gene flow dan identifikasi hybrid. Sama halnya dengan marker population-

specific akan bermanfaat dalam identifikasi populasi hibrid. Marker RAPD lebih cocok untuk organisme klonal dibandingkan organisme yang bereproduksi secara seksual. Karena bereproduksi secara aseksual, maka fragmen polimorfik antar individual dapat digunakan untuk menentukan identitas klonal. Walaupun metode RAPD relatif cepat, murah dan gampang dilaksanakan dibandingkan metode marker DNA lain, isu konsistensi/reproducibility menjadi perhatian sejak dipublikasikannya teknik ini. RAPD sangat sensitif terhadap perubahan kondisi reaksi PCR. Problem reproducibility/konsistensi biasanya terjadi pada band dengan intensitas yang rendah. Hal ini mungkin terjadi karena primer tidak cocok secara sempurna pada sekuen priming site, amplifikasi pada beberapa siklus mungkin tidak terjadi sehingga band tetap samar. 2.3.2. Aplikasi analisis RFLP RFLP merupakan metode yang digunakan oleh molecular biologists mengikuti urutan tertentu DNA seperti yang disampaikan ke sel lain. RFLPs dapat digunakan dalam berbagai macam pengaturan yang berbeda untuk mencapai tujuan. RFLP, sebagai tanda molekular, adalah khusus untuk tunggal clone / pembatasan enzim kombinasi. RFLP tanda yang paling dominan (baik alleles dalam sampel heterozygous akan terdeteksi) dan sangat-tempat tertentu. RFLPs dapat digunakan menentukan status penyakit individu. RFLPs dapat digunakan untuk mengukur tingkat recombination yang dapat

mengakibatkan genetik peta dengan jarak antara RFLP loci diukur centiMorgans. Perbedaan dalam ukuran fragmen batasan antara individu dapat dideteksi oleh Southern blotting dengan pemeriksaan khusus untuk wilayah DNA diketahui

mengandung RFLP. Dan pemisahan yang meiotic recombination seperti DNA polymorphisms dapat diikuti seperti biasa genetik markers. RFLP analisis ikan dapat mendeteksi pemisahan yang RFLP yang dapat digunakan untuk menguji statistik signifikan untuk linkage ke allele untuk warisan penyakit ikan. RFLP merupakan sebuah penyelidikan yang berlabel urutan DNA yang hybridizes dengan satu atau lebih dari fragmen dicerna sampel DNA setelah mereka dipisahkan oleh gel electrophoresis, sehingga menyatakan unik blotting pola karakteristik tertentu genotip di tempat tertentu. Pendek, satu atau rendah menyalin genomic DNA atau cDNA clones biasanya digunakan sebagai RFLP probes. RFLP probes yang sering digunakan dalam genome pemetaan dan analisis variasi (genotyping, forensics, hal tes, turun temurun diagnosa penyakit, dll). Dengan adanya RFLP, kita dapat mengetahui asal usul keturunan induk kerapu, karena dengan mengetahui asal usul keturunan induk kerapu, kita dapat mengetahui seberapa unggul kerapu tersebut. 2.3.3. Aplikasi analisis mikrosatelit Sebagai penanda genetik, mikrosatelit sangat berlimpah. Suatu gen dapat memiliki lebih dari dua mikrosatelit. Mikrosatelit bersifat kodominan dan dapat diketahui letak lokasi pada DNA. Dengan demikian, pada SSR sesuai berfungsi untuk mendeteksi heterozigositas. Pemanfaatannya tidak memerlukan waktu lama (dua hari). Mikrosatelit merupakan penanda berbasis PCR, sehingga memerlukan primer. Karena kelebihan-kelebihan ini, mikrosatelit disukai sebagai penanda. Kelemahan mikrosatelit adalah pembuatan primernya memerlukan investasi yang besar karena ikan harus melakukan sekuensing dan primer mikrosatelit bersifat spesifik spesies (sukar dipertukarkan antarspesies).

Bentuk pengulangan sekuen DNA sederhana yang berulang-ulang menjadikan marka mikrosatelit sering disebut simple sequence repeat (SSR), short tandem repeats (STRs) atau simple sequence length polymorphisms (SSLPs) yang sekarang menjadi salah satu marka paling banyak digunakan secara luas untuk pemetaan genetik, analisis keragaman genetik, dan studi evolusi. Marka ini muncul sebagai marka yang sangat variatif dan mudah diulang, menjadikan sangat ideal untuk pemetaan genom. Mikrosatelit kloroplas (cpSSRs) sama dengan mikrosatelit di dalam inti sel, tetapi ulangan hanya bisa 1 pasang basa (misal (T)n). Setiap spesies biasanya memiliki ciri khas dalam pengulangan sekuen sederhana ini. Repetitive DNA atau segmen DNA yang berulang adalah salah satu aspek dari genome yang tidak dapat diuji secara mendetail. Salah satu tipe dari repetitive DNA adalah Tandemly Repeated DNA (TR DNA) yang sangat umum terdapat pada genome eukariotik dan terdapat pula pada genome prokariotik dengan frekuensi yang lebih sedikit. TR DNA disebut juga satelit DNA karena pada saat dilakukan fraksinasi genome DNA dengan uji gradien kerapatan, fragmenfragmen DNA yang banyak mengandung sekuen berulang secara berurut berada pada daerah pita satelit (daerah di luar pita utama). Minisatelit dan mikrosatelit adalah tipe lain dari TR DNA. Meskipun tidak tampak pada daerah pita satelit ketika dilakukan pengujian, namun minisateli dan mikrosatelit juga dimasukkan dalam DNA satelit. Kemungkinan yang

menyebabkan tidak tampaknya minisatelit dan mikrosatelit pada pita satelit adalah jumlah repeat DNA yang sedikit. Minisatelit mempunyai unit ulangan mencapai 25 pb sedangkan mikrosatelit berkisar 13 pb ke bawah. Oleh karena itu,

mikrosatelit disebut jugqa Short Tandem Repeat. Minisatelit mempunyai asosiasi yang penting pada struktur kromosom. Telomer DNA ikan mengandung minisatelit dengan motif 5-TTAGGG-3. Sedangkan contoh dari mikrosatelit ditemukan pada lokus reseptor sel-T ikan. Mikrosatelit mempunyai tingkat keragaman yang rendah. Oleh karena itu, banyak yang menganggap minisatelit dan mikrosatelit tidak fungsional (junk DNA). Namun, hasil sekuen terbaru terhadap beberapa genome menunjukkan bahwa repeat-DNA tidak hanya terdapat pada daerah intron tapi ditemukan juga pada promoter dan daerah coding. Dari sini, timbul suatu analisis apabila repeat-DNA banyak pada daerah exons (>30%) memungkinkan terjadinya fenomene dimana variasi genetic antar organisme dapat dipengaruhi oleh repeat-DNA selain Single Nucleotide Polymorphism (NSP) yang selama ini diketahui. Hal ini juga didukuing oleh suatu bukti bahwa tidak ada satu organisme pun yang mempunyai kandungan mikrosatelit yang sama dengan organisme yang lain. DNA Satelit ditemukan dalam sentromer dan juga di tempat lain dalam kromosom eukaryot. Sebuah genom dapat berisi beberapa tipe DNA Satelit yabg berbeda-beda, setiap Satelit dengan sebuah perbedaan unit yang berulang-ulang, unit tersebut berkisar antara 5-200 bp. Tiga kelompok Satelit dalam DNA manusia meliputi 4 perbedaan dari tipe berulang. Salah satu tipe DNA Satelit yang ditemukan dalam ikan adalah alphoid DNA yang berulang, terdapat di bagian sentromer dalam kromosom.

Jenis-jenis genetik marker tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan

masing-masing. Namun, tetap memiliki satu tujuan yang sama. Yaitu menghasilkan komoditas kerapu yang unggul untuk memenuhi kualitas ekspor. Genetik marker diterapkan untuk mengetahui induk unggul kerapu. Sebab, dengan mengetahui induk unggul kerapu, maka kita dapat menghasilkan benih-benih yang unggul pula. Benih unggul inilah yang akan dibudidayakan untuk memenuhi kualitas ekspor.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu: a. Genetik marker adalah gen atau sekuens DNA yang dikenal dengan lokasi pada kromosom dan dikaitkan dengan suatu gen atau sifat. b. Aplikasi genetik marker unduk identifikasi indul unggul kerapu bertujuan untuk menghasilkan benih yang unggul untuk memenuhi komoditas ekspor .

3.2. Saran Adapun saran yang dapat diberikan antara lain: Kemajuan IPTEK yang ada pada saat ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Sebab dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK, diharapkan teknologi dalam budidaya ikan, khususnya ikan kerapu akan semakin maju pula.

DAFTAR PUSTAKA

Aslianti,1996.Pemeliharaan ikan kerapu bebek dengan padat penebaran berbeda. Jurnal penelitian perikanan Indonesia Deptan Jakarta 2 (7-12). Cook B., 1990. Hormon-hormon reproduksi, fisiologi reproduksi pada mamalia Universitas Indonesia Press Jakarta. Effendie I.M., 2002. Biologi perikanan. Yayasan pustaka nusantara.163 hal. Kumagai S, Matsuda H, Hutapea J, dan Aslianti, 1998. Morphological and behavioral development in larva Humpback C. altivalis. Kumpulan makalah seminar teknologi perikanan pantai. Loka penelitian perikanan pantai Gondol Deptan. 38 hal. Marsambuan A.P.dan Utojo, 2001. Identifikasi spesie ikan kerapu hasil tangkapan yang didaratkan diperairan laut sekitar Sulawesi Selatan. Teknologi budidaya laut dan pengembangan sea farming di Indonesia. DKP kerjasama JICA. Mayunar, Purba R, Waspada, dan Slamet, 1995. Aplikasi pellet hormone LHRH dalam Pematangan gonad dan pemijahan ikan kerapu macan E. fuscoguttatus. PSPPBP. Perikanan budidaya pantai Serang. Mcgilvery, Robert W, dan Gerald W. Golstein 1996. Biokimia; suatu pendekatan fungsional, edisi ke-3 Airlangga Universitas Press Jakarta. Satyani,1998. Aplikasi hormone sebagai perangsang dalam pemijahan ikan untuk peningkatkan produksi dalam pembenihan ikan budidaya. Warta penelitian Perikanan Indonesia Jakarta 2-5 hal. Setiadi E. dan Tridjoko, 2001. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan sintasan dan laju pemangsaan larva ikan kerapu bebek C. altivelis. Teknologi budidaya laut dan pengembangan sea farming di Indonesia. DKP bekerjasama dengan JICA 235-245 hal. Slamet B, Tridjoko, Nyoman A, Giri, Agus P, dan Setiadharma T, 2001. Pengamatan Aspek biologi reproduksi beberapa jenis ikan kerapu. Teknologi budidaya Laut dan pengembangan sea farming di Indonesia DKP kerjasama dengan JICA 246-251. Sorensen A., 1979. Animal reproduction. Principle and practices New York. Sugama K., 1999. Iventarisasi dan identifikasi budidaya laut dan pantai yang telah di kuasai untuk diseminasi. Seminar nasional penelitian dan diseminasi teknologi budidaya laut. 61-72 hal. Turangan H.F., 2000. Manipulasi reproduksi pada ikan kerapu Epinephelus sp. dengan hormonal. FPIK Unsrat Manado. 27 hal.

Wardana I.P., 1994. Pembesaran kerapu dengan keramba jarring apung. Penebar Swadaya Jakarta. 65 hal.