Biografi wahid hasyim

9

Click here to load reader

Transcript of Biografi wahid hasyim

Page 1: Biografi wahid hasyim

BIOGRAFI WAHID HASYIM

Laporan ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Pendidikan Kebudayaan Daerah

Dosen pengampu: Ervina Wahyuningsih S.Pd.

Disusun Oleh:

Faisal Azmi Bakhtiar

A510100256

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2012

Page 2: Biografi wahid hasyim

A. Wahid hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah pahlawan nasional, salah seorang

anggota BPUPKI dan perumus Pancasila dan merupakan Menteri Agama tiga

kabinet (Kabinet Hatta, Kabinet Natsir, dan Kabinet Sukiman).Mantan Ketua

Tanfidiyyah PBNU (1948) dan Pemimpin dan pengasuh kedua Pesantren

Tebuireng (1947 – 1950) ini, merupakan reformis dunia pendidikan pesantren

dan pendidikan Islam Indonesia. Ia dikenal juga sebagai pendiri IAIN (sekarang

UIN).

B. Kelahiran Wahid Hasyim

KH. Abdul Wahid Hasyim adalah putra dari pasangan KH. M. Hasyim

Asy’ari-Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas (Madiun) yang di lahirkan pada Jum’at

legi, 5 Rabi’ul Awal 1333 H./1 Juni 1914 M. Ayahandanya semula memberinya

nama Muhammad Asy’ari, diambil dari nama kakeknya. Namun, namanya

kemudian diganti menjadi Abdul Wahid, diambil dari nama datuknya. Dia anak

kelima dan anak laki-laki pertama dari 10 bersaudara.

C. Menuntut Ilmu

Sejak kecil Abdul Wahid sudah masuk Madrasah Tebuireng dan sudah

lulus pada usia yang sangat belia, 12 tahun. Selama bersekolah, ia giat

mempelajari ilmu-ilmu kesustraan dan budaya Arab secara outodidak. Dia juga

mempunyai hobi membaca yang sangat kuat. Dalam sehari, dia membaca

minimal lima jam. Dia juga hafal banyak syair Arab yang kemudian disusun

menjadi sebuah buku.

Ketika berusia 13 tahun, Abdul Wahid mulai melakukan pengembaraan

mencari ilmu. Awalnya ia belajar di Pondok Siwalan, Panji, Sidoarjo. Di sana ia

mondok mulai awal Ramadhan hingga tanggal 25 Ramadhan (hanya 25 hari).

Setelah itu pindah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, sebuah pesantren yang didirikan

oleh KH. Abdul Karim, teman dan sekaligus murid ayahnya. Antara umur 13 dan

15 tahun, pemuda Wahid menjadi Santri Kelana, pindah dari satu pesantren ke

pesantren lainnya. Tahun 1929 dia kembali ke pesantren Tebuireng.

Ketika kembali ke Tebuireng, umurnya baru mencapai 15 tahun dan baru

mengenal huruf latin. Dengan mengenal huruf latin, semangat belajarnya semakin

Page 3: Biografi wahid hasyim

bertambah. Ia belajar ilmu bumi, bahasa asing, matematika, dll. Dia juga

berlangganan koran dan majalah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Arab.

Pemuda Abdul Wahid mulai belajar Bahasa Belanda ketika berlangganan

majalah tiga bahasa, ”Sumber Pengetahuan” Bandung. Tetapi dia hanya

mengambil dua bahasa saja, yaitu Bahasa Arab dan Belanda. Setelah itu dia mulai

belajar Bahasa Inggris.

Pada tahun 1932, ketika umurnya baru 18 tahun, Abdul Wahid pergi ke

tanah suci Mekkah bersama sepupunya, Muhammad Ilyas. Selain menjalankan

ibadah haji, mereka berdua juga memperdalam ilmu pengetahuan seperti nahwu,

shorof, fiqh, tafsir, dan hadis. Abdul Wahid menetap di tanah suci selama 2

tahun.

D. Memimpin Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci, KH. Abdul Wahid (biasa dipanggil KH. Wahid

Hasyim) bukan hanya membantu ayahnya mengajar di pesantren, tapi juga terjun

ke tengah-tengah masyarakat. Ketika usianya menginjak 20-an tahun, Kiai Wahid

mulai membantu ayahnya menyusun kurikulum pesantren, menulis surat balasan

dari para ulama atas nama ayahnya dalam Bahasa Arab, mewakili sang ayah

dalam berbagai pertemuan dengan para tokoh.

Bahkan ketika ayahnya sakit, ia menggantikan membaca kitab Shahih

Bukhari, yakni pengajian tahunan yang diikuti oleh para ulama dari berbagai

penjuru tanah Jawa dan Madura.

Dengan bekal keilmuan yang cukup, pengalaman yang luas serta wawasan

global yang dimilikinya, Kiai Wahid mulai melakukan terobosan-terobosan besar

di Tebuireng. Awalnya dia mengusulkan untuk merubah sistem klasikal dengan

sistem tutorial, serta memasukkan materi pelajaran umum ke pesantren.

Usul ini ditolak oleh ayahnya, karena khawatir akan menimbulkan

masalah antar sesama pimpinan pesantren. Namun pada tahun 1935, usulan Kiai

Wahid tentang pendirian Madrasah Nidzamiyah, dimana 70% kurikulumnya

berisi materi pelajaran umum, diterima oleh sang ayah.

Madrasah Nidzamiyah bertempat di serambi masjid Tebuireng. Siswa

pertamanya berjumlah 29 orang, termasuk adiknya sendiri, Abdul Karim Hasyim.

Page 4: Biografi wahid hasyim

Dalam bidang bahasa, selain materi pelajaran Bahasa Arab, di Madrasah

Nidzamiyah juga diberi pelajaran Bahasa Inggris dan Belanda.

Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, Kiai

Wahid mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian

taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.

Perpustakaan Tebuireng juga berlangganan majalah seperti Panji Islam,

Dewan Islam, Berita Nahdlatul Ulama, Adil, Nurul Iman, Penyebar Semangat,

Panji Pustaka, Pujangga Baru, dan lain sebagainya. Langkah ini merupakan

terobosan besar yang—saat itu—belum pernah dilakukan pesantren manapun di

Indonesia.

Pada tahun 1947, ketika sang ayah meningal dunia, Kiai Wahid terpilih

secara aklamasi sebagai pengasuh Tebuireng. Pilihan ini berdasarkan kesepakatan

musyawarah keluarga Bani Hasyim dan Ulama NU Kabupaten Jombang.

Terpilihnya Kiai Wahid sebenarnya sekadar ”formalisasi”, karena kenyataannya

beliau sudah lama ikut membantu sang ayah mengelola Tebuireng.

Pada tahun 1950, Kiai Wahid diangkat menjadi Menteri Agama dan

pindah ke Jakarta. Keluarga Kiai Wahid tinggal di Jl. Jawa (kini Jl. HOS

Cokroaminoto) No. 112, dan selanjutnya pada tahun 1952 pindah ke Taman

Matraman Barat no. 8, di dekat Masjid Jami’ Matraman.

E. Pernikahan KH. Abdul Wahid Hasyim

Pada hari Jumat, 10 Syawal 1356 H./1936 M., Kiai Wahid menikah

dengan Munawaroh (lebih dikenal dengan nama Sholichah), putri KH. Bisyri

Sansuri (Denanyar Jombang). Ada peristiwa menarik dalam prosesi pernikahan

ini. Mempelai lelaki hanya berangkat seorang diri ke Denanyar. Kiai Wahid

datang hanya memakai baju lengan pendek dan bersarung. Tidak ada yang

mengiringinya. Bukan tidak ada yang mau mengantar, akan tetapi Kiai Wahid

sendiri yang meninggalkan para pengiringnya di belakang.

Dari pernikahan itu, pasangan Wahid-Sholichah dikaruniai enam orang

putra-putri, yaitu Abdurrahman, Aisyah, Salahuddin, Umar, Lily Khodijah, dan

Muhammad Hasyim.

F. Masuk NU

Page 5: Biografi wahid hasyim

Di tengah-tengah kesibukannya mengelola Tebuireng, Kiai Wahid aktif

menjadi pengurus NU (1938). Karier di NU dimulai dari bawah. Mula-mula

menjadi Sekertaris NU Ranting Cukir, kemudian tahun 1938 terpilih sebagai

Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang.

Lalu tahun 1940 masuk kepengurusan PBNU bagian ma’arif

(pendidikan). Di tubuh Ma’arif NU, Kiai Wahid mengembangkan dan melakukan

reorganisasi terhadap madrasah-madrasah NU di seluruh Indonesia. Kiai Wahid

juga giat mengembangkan tradisi tulis-menulis di kalangan NU, dengan

menerbitkan Majalah Suluh Nahdlatul Ulama. Beliau juga aktif menulis di Suara

NU dan Berita NU. Tahun 1946 Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Tanfidiyyah

PBNU menggantikan Kiai Achmad Shiddiq yang meninggal dunia.

G. Mendirikan Masyumi

Pada bulan November 1947, Wahid Hasyim bersama M. Natsir menjadi

pelopor pelaksanaan Kongres Umat Islam Indonesia yang diselenggarakan di

Jogjakarta. Dalam kongres itu diputuskan pendirian Majelis Syuro Muslimin

Indonesia (Masyumi), sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia.

Ketua umumnya adalah ayahnya sendiri, Kiai Hasyim Asy’ari. Namun Kiai

Hasyim melimpahkan semua tugasnya kepada Wahid Hasyim.

Dia dalam Masyumi tergabung tokoh-tokoh Islam nasional, seperti KH.

Wahab Hasbullah, KH. Bagus Hadikusumo, KH. Abdul Halim, KH. Ahmad

Sanusi, KH. Zainul Arifin, Mohammad Roem, dr. Sukiman, H. Agus Salim,

Prawoto Mangkusasmito, Anwar Cokroaminoto, Mohammad Natsir, dan lain-

lain.

Sejak awal tahun 1950-an, NU keluar dari Masyumi dan mendirikan

partai sendiri. Kiai Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Partai NU. Keputusan ini

diambil dalam Kongres ke-19 NU di Palembang (26-April-1 Mei 1952). Secara

pribadi, Kiai Wahid tidak setuju NU keluar dari Masyumi. Akan tetapi karena

sudah menjadi keputusan bersama, maka Kiai Wahid menghormatinya.

Hubungan Kiai Wahid dengan tokoh-tokoh Masyumi tetap terjalin baik.

H. Pahlawan Nasional

Pada tahun 1939, NU masuk menjadi anggota Majelis Islam A'la

Indonesia (MIAI), sebuah federasi partai dan ormas Islam di Indonesia. Setelah

Page 6: Biografi wahid hasyim

masuknya NU, dilakukan reorganisasi dan saat itulah Kiai Wahid terpilih menjadi

ketua MIAI, dalam Kongres tanggal 14-15 September 1940 di Surabaya.

Di bawah kepemimpinan Kiai Wahid, MIAI melakukan tuntutan kepada

pemerintah Kolonial Belanda untuk mencabut status Guru Ordonantie tahun 1925

yang sangat membatasi aktivitas guru-guru agama. Bersama GAPI (Gabungan

Partai Politik Indonesia) dan PVPN (Asosiasi Pegawai Pemerintah), MIAI juga

membentuk Kongres Rakyat Indonesia sebagai komite Nsional yang menuntut

Indonesia berparlemen.

Menjelang pecahnya Perang Dunia ke-II, pemerintah Belanda

mewajibkan donor darah serta berencana membentuk milisi sipil Indonesia

sebagai persiapan menghadapi Perang Dunia. Sebagai ketua MIAI, Wahid

Hasyim menolak keputusan itu.

Ketika pemerintah Jepang membentuk Chuuo Sangi In, semacam DPR ala

Jepang, Kiai Wahid dipercaya menjadi anggotanya bersama tokoh-tokoh

pergerakan nasional lainnya, seperti Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Mr.

Sartono, M. Yamin, Ki Hajat Dewantara, Iskandar Dinata, Dr. Soepomo, dan

lain-lain. Melalui jabatan ini, Kiai Wahid berhasil meyakinkan Jepang untuk

membentuk sebuah Badan Jawatan Agama guna menghimpun para ulama.

Pada tahun 1942, Pemerintah Jepang menangkap Hadratusy Sayeikh Kiai

Hasyim Asy'ari dan menahannya di Surabaya. Wahid Hasyim berupaya

membebaskannya dengan melakukan lobi-lobi politik. Hasilnya, pada bulan

Agustus 1944, Kiai Hasyim Asy'ari dibebaskan. Sebagai kompensasinya,

Pemerintah Jepang menawarinya menjadi ketua Shumubucho, Kepala Jawatan

Agama Pusat. Kiai Hasyim menerima tawaran itu, tetapi karena alasan usia dan

tidak ingin meninggalkan Tebuireng, maka tugasnya dilimpahkan kepada Kiai

Wahid.

Bersama para pemimpin pergerakan nasional (seperti Soekarno dan

Hatta), Wahid Hasyim memanfaatkan jabatannya untuk persiapan kemerdekaan

RI. Dia membentuk Kementerian Agama, lalu membujuk Jepang untuk

memberikan latihan militer khusus kepada para santri, serta mendirikan barisan

pertahanan rakyat secara mandiri. Inilah cikal-bakal terbentuknya laskar

Page 7: Biografi wahid hasyim

Hizbullah dan Sabilillah yang, bersama PETA, menjadi embrio lahirnya Tentara

Nasional Indonesia (TNI).

Pada tanggal 29 April 1945, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu

Zyunbi Tyooisakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI), dan Wahid Hasyim menjadi salah satu anggotanya. Dia

merupakan tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang menandatangani

Piagam Jakarta, sebuah piagam yang melahirkan proklamasi dan konstitusi

negara. Dia berhasil menjembatani perdebatan sengit antara kubu nasionalis yang

menginginkan bentuk Negara Kesatuan, dan kubu Islam yang menginginkan

bentuk negara berdasarkan syariat Islam. Saat itu ia juga menjadi penasihat

Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Di dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Sukarno (September

1945), Kiai Wahid ditunjuk menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam

Kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika KNIP dibentuk, Wahid Hasyim menjadi salah

seorang anggotanya mewakili Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP

tahun 1946.

Setelah terjadi penyerahan kedaulatan RI dan berdirinya RIS, dalam

Kabinet Hatta tahun 1950 dia diangkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri

Agama terus dipercayakan kepadanya selama tiga kali kabinet, yakni Kabinet

Hatta, Natsir, dan Kabinet Sukiman.

Selama menjabat sebagai Menteri Agama RI, Kiai Wahid mengeluarkan

tiga keputusan yang sangat mepengaruhi sistem pendidikan Indonesia di masa

kini, yaitu :

1. Mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang

mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum,

baik negeri maupun swasta.

2. Mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh,

Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta.

3. Mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di Tanjungpinang,

Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung,

Pamekasan, dan Salatiga.

Page 8: Biografi wahid hasyim

Jasa lainnya ialah pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta (tahun 1944),

yang pengasuhannya ditangani oleh KH. Kahar Muzakkir. Lalu pada tahun 1950

memutuskan pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang

kini menjadi IAIN/UIN/STAIN, serta mendirikan wadah Panitia Haji Indonesia

(PHI). Kiai Wahid juga memberikan ide kepada Presiden Soekarno untuk

mendirikan masjid Istiqlal sebagai masjid negara.

I. Musibah di Cimindi

Hari itu, Sabtu 18 April 1953, Kiai Wahid bermaksud pergi ke Sumedang

untuk menghadiri rapat NU. Kiai Wahid ditemani tiga orang, yakni sopirnya dari

harian Pemandangan, rekannya Argo Sutjipto, dan putera sulungnya

Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kiai Wahid duduk di jok belakang bersama

Argo Sutjipto. Daerah di sekitar Cimahi waktu itu diguyur hujan lebat sehingga

jalan menjadi licin. Lalu lintas cukup ramai.

Sekitar pukul 13.00, ketika memasuki Cimindi, sebuah daerah antara

Cimahi-Bandung, mobil yang ditumpangi Kiai Wahid selip dan sopirnya tidak

bisa menguasai kendaraan. Di belakangnya banyak iringan-iringan mobil.

Sedangkan dari arah depan, sebuah truk yang melaju kencang terpaksa berhenti

begitu melihat ada mobil zig-zag. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup

kencang, bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika

terjadi benturan, Kiai Wahid dan Argo Sutjipto terlempar ke bawah truk yang

sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. Kiai Wahid terluka bagian kening,

mata, pipi, dan bagian lehernya. Sedangkan sang sopir dan Gus Dur tidak cedera

sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan

seperti semula.

Kiai Hasyim dan Argo Sutjipto kemudian dibawa ke Rumah Sakit

Boromeus Bandung. Sejak mengalami kecelakaan, keduanya tidak sadarkan diri.

Keesokan harinya, Ahad, 19 April 1953 pukul 10.30, KH. Abdul Wahid Hasyim

dipanggil ke hadirat Allah Swt. dalam usia 39 tahun. Beberapa jam kemudian,

tepatnya pukul 18.00 Argo Sutjipto menyusul menghadap Sang Khalik. Inna

liLlahi wa Inna ilayhi Raji’un.

Page 9: Biografi wahid hasyim

Jenazah Kiai Wahid kemudian dibawa ke Jakarta, lalu diterbangkan ke

Surabaya, dan selanjutnya dibawa ke Jombang untuk disemayamkan di

pemakaman keluarga Pesantren Tebuireng. Atas jasa-jasanya beliau juga

dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.