Biofuel vs Ketahanan Pangan

12
Biofuel vs Ketahanan Pangan Oleh csrreview-online.com 17 Juni 2008 “Sejarah ekonomi pertanian memasuki era baru. Permintaan terhadap hasil panen ikut dipengaruhi kebutuhan untuk bahan bakar” (John Carey dan Adrienne Carter, BusinessWeek, 2007) Belum lagi selesai perdebatan soal ketahanan pangan di Indonesia, sektor pertanian kini menghadapi tantangan baru dari persoalan krisis energi global. Menjulangnya harga minyak global mendorong pencarian sumber energi alternative pengganti minyak bumi yang notabene adalah sumber energi terbesar yang digunakan oleh banyak negara. Saat ini, harga minyak bumi sudah mencapai US$ 59,26 per barel . Dibanding bulan Januari lalu yang hanya US$ 54,57 per barel . Diperkirakan angka-angka tersebut masih akan terus naik hingga menembus US$ 70 per barel. Di tengah situasi pelik ini, tren biofuel, sumber energi alternative yang berasal dari tumbuhan, muncul ke kepermukaan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menghasilkan biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian, seperti jagung, singkong, tebu, kedelai, gandum, sorgum, dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman ini ada yang diubah menjadi etanol dan biodiesel yang bisa digunakan sebagai sumber energi pengganti minyak bumi. Jika demikian keadaannya, krisis pangan bisa jadi akan terus berlangsung, karena terjadi perebutan komoditas untuk kepentingan produksi bahan bakar dan kepentingan pangan. Dilemma krisis energi ini amat terasa bagi negara-negara berkembang dan negara yang memiliki populasi penduduk padat. Seperti di Indonesia, jumlah penduduk yang besar dan kemiskinan yang meraja rela menjadi faktor pendorong utama rentannya persoalan ketahanan pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kecepatan pertambahan produksi pangan masih tertinggal jauh di belakang laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang rata-rata mencapai 1,3% per tahun . Contohnya laju pertumbuhan produksi padi periode 2000-2005 masih relatif rendah, yakni 0,82% . Selain itu, masalah kemiskinan juga memicu kerawanan pangan. Dari laporan BPS, hingga Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75% dari total penduduk sebesar 220 juta jiwa . Angka itu meningkat sebesar sebesar 3,95 juta orang dari tahun sebelumnya, dan 63,4% dari jumlah warga miskin tersebut ada di pedesaan . Sayangnya, wacana yang berkembang di Tanah Air hanya berkutat pada apakah Indonesia perlu

Transcript of Biofuel vs Ketahanan Pangan

Page 1: Biofuel vs Ketahanan Pangan

Biofuel vs Ketahanan Pangan

Oleh csrreview-online.com

17 Juni 2008

“Sejarah ekonomi pertanian memasuki era baru. Permintaan terhadap hasil panen ikut dipengaruhi kebutuhan

untuk bahan bakar” (John Carey dan Adrienne Carter, BusinessWeek, 2007)

Belum lagi selesai perdebatan soal ketahanan pangan di Indonesia, sektor pertanian kini menghadapi tantangan baru dari

persoalan krisis energi global. Menjulangnya harga minyak global mendorong pencarian sumber energi alternative

pengganti minyak bumi yang notabene adalah sumber energi terbesar yang digunakan oleh banyak negara. Saat ini, harga

minyak bumi sudah mencapai US$ 59,26 per barel . Dibanding bulan Januari lalu yang hanya US$ 54,57 per barel .

Diperkirakan angka-angka tersebut masih akan terus naik hingga menembus US$ 70 per barel. Di tengah situasi pelik ini,

tren biofuel, sumber energi alternative yang berasal dari tumbuhan, muncul ke kepermukaan. Berbagai penelitian

menyebutkan bahwa tanaman yang berpotensi menghasilkan biofuel kebanyakan berasal dari tanaman pertanian, seperti

jagung, singkong, tebu, kedelai, gandum, sorgum, dan kacang-kacangan. Tanaman-tanaman ini ada yang diubah menjadi

etanol dan biodiesel yang bisa digunakan sebagai sumber energi pengganti minyak bumi.

Jika demikian keadaannya, krisis pangan bisa jadi akan terus berlangsung, karena terjadi perebutan komoditas untuk

kepentingan produksi  bahan bakar dan kepentingan pangan. Dilemma krisis energi ini amat terasa bagi negara-negara

berkembang dan negara yang memiliki populasi penduduk padat. Seperti di Indonesia, jumlah penduduk yang besar dan

kemiskinan yang meraja rela menjadi faktor pendorong utama rentannya persoalan ketahanan pangan. Badan Pusat

Statistik (BPS) menunjukkan bahwa kecepatan pertambahan produksi pangan masih tertinggal jauh di belakang laju

pertumbuhan penduduk Indonesia yang rata-rata mencapai 1,3% per tahun . Contohnya laju pertumbuhan produksi padi

periode 2000-2005 masih relatif rendah, yakni 0,82% . Selain itu, masalah kemiskinan juga memicu kerawanan pangan.

Dari laporan BPS, hingga Maret 2006 jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75%  dari

total penduduk sebesar 220 juta jiwa . Angka itu meningkat sebesar sebesar 3,95 juta orang dari tahun sebelumnya, dan

63,4% dari jumlah warga miskin tersebut ada di pedesaan .

Sayangnya, wacana yang berkembang di Tanah Air hanya berkutat pada apakah Indonesia perlu impor atau tidak.

Kenyataannya, kebijakan impor pangan justru menimbulkan kerugian bagi petani. Akibat impor pangan ini, harga di pasar

domestik perlahan-lahan hancur, sehingga pendapatan petani semakin berkurang. Sekedar diketahui, Indonesia mengimpor

rata-rata 1,5 juta ton beras per tahunnya . Fenomena ini berlangsung hingga tahun 2004. Untuk gula, jumlah yang diimpor

sebesar 1,5 juta ton (kedua terbesar di dunia) atau 40% dari konsumsi nasional. Lalu Indonesia juga mengimpor kedelai

sebesar 1,3 juta ton (terbesar di dunia) yang menutup 45% konsumsi kedelai nasional. Sedangkan volume impor untuk

jagung berjumlah tidak kurang dari 1 juta ton. Indonesia juga mengimpor buah-buahan dan sayur, seperti apel, jeruk, pir,

kentang, bawang, dan lain-lain . Tampak ironis ketika situasi ini membuat Negara yang pernah mengklaim diri sebagai

Page 2: Biofuel vs Ketahanan Pangan

Negara agraris, justru masuk menjadi Negara pengimpor bahan pangan terbesar di dunia.

Di sisi lain, ketahanan energi Indonesia juga bukan tanpa masalah. Berdasarkan laporan Bappenas , pemenuhan energi di

dalam negeri masih menemui kendala. Selama ini, terjadi ketergantungan yang tinggi terhadap penggunaan energi primer,

seperti minyak bumi (54,4 persen), gas bumi (26,5 persen), batubara (14,1 persen); sedangkan sumber-sumber energi

lainnya hanya sekitar 4,8 persen. Pemanfaatan energi akhir juga masih bertumpu pada beberapa jenis, yaitu BBM (63

persen), gas bumi (17 persen), dan listrik (10 persen). Konsumsi energi ini juga dinilai relatif lebih boros dibandingkan

negara-negara lainnya. Data ASEAN Energy Review  menunjukkan bahwa pada tahun 1993 rumah tangga dan sektor

komersial Indonesia mengkonsumsi energi sebesar 52 % dari konsumsi energi total yang dikonsumsi oleh rumah tangga

dan sektor komersial di ASEAN. Sementara konsumsi energi negara lainnya seperti Thailand sebesar 20.9%, Malaysia 11.

2 %, Philipina 10.6%, Singapura 4.7%, dan Brunei hanya 0.8%. Konsumsi energi ini akan semakin besar bila ditambah

dengan konsumsi dari sektor industri dan transportasi.

Sehubungan dengan hal itu, pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dihadapkan pada tiga tantangan sebagai berikut :

pertama, mempercepat pencarian sumber energi sebagai upaya peningkatan cadangan sumber daya energi nasional.

Kedua, meningkatkan proses produksi dan penciptaan nilai tambah produksi, dan ketiga, menyediakan energi kepada

masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga yang terjangkau. Di samping itu, demi mengurangi ketergantungan

yang tinggi terhadap BBM, maka pemerintah mulai menggalakkan pemanfaatan energi alternatif, khususnya biofuel.

Persaingan Kepentingan Energi dan Pangan

Suatu pandangan yang dangkal dan prematur bila gencarnya peningkatan produksi minyak berbahan baku nabati (BBN),

dipandang sebagai kebijakan yang bijaksana. Tidak menafikan pula bahwa BBN bersifat renewable. Beberapa pihak yang

berpandangan optimis berpendapat bahwa strategi peningkatan produksi BBN tersebut mempunyai banyak dampak posistif,

seperti ramah lingkungan, bahan baku berasal dari sumber daya domestik, membuka lapangan kerja baru di pedesaan,

sampai dengan argumen ketahanan energi untuk negara. Jika harga minyak global tetap tinggi, diperkirakan produk biofuel

ini memang akan tetap kompetitif; dan beberapa negara telah lebih dulu memproduksi biofuel dalam jumlah besar.

Diantaranya, Brazil memproduksi bioetanol dengan bahan baku jagung dan tebu, Amerika menggunakan kedele dan

jagung, Filipina menggunakan kelapa, dan Cina menggunakan jagung dan gandum.

Disadari atau tidak, kondisi ini berpotensi memperburuk proses penyediaan komoditas pangan. Terutama bagi negara-

negara yang melakukan impor bahan pangan dan negara-negara dengan jumlah penduduk yang relatif banyak, termasuk

Indonesia. Dampak awal yang terjadi adalah kenaikan harga gula. Harga gula di Bursa Berjangka London yang semula

sekitar 300 dollar AS melonjak menjadi hampir 490 dollar AS per ton. Kenaikan ini terjadi karena produsen gula seperti

Brasil memilih mengonversi komoditas itu menjadi etanol untuk menggantikan atau menyubstitusi bahan bakar minyak .

Page 3: Biofuel vs Ketahanan Pangan

Lain halnya dengan Amerika. Sejak Amerika Serikat (AS) mengumumkan hasil risetnya yang menyebutkan komoditas

jagung lebih ekonomis dibanding gula dalam produksi etanol, kontan harga gula langsung anjlok ke harga 400 dollar AS.

Sebaliknya harga jagung melonjak dari sekitar 135 dollar AS per ton pada bulan Agustus menjadi 210 dollar AS per ton

sampai di pelabuhan Indonesia pada bulan Oktober 2006. 

AS telah memutuskan memproduksi etanol dengan menggunakan jagung, bukan gula. Selama setahun, yakni dari Oktober

2005 hingga Oktober 2006, AS mulai membangun 54 pabrik etanol. Direktur Earth Policy Institute Lester R Brown

memperkirakan, dengan lama konstruksi satu pabrik sekitar 14 bulan, semua pabrik akan berproduksi pada akhir 2007. Jika

semuanya beroperasi akan dihasilkan empat miliar galon etanol. Produksi ini akan membutuhkan 39 ton komoditas biji-

bijian yang dipastikan hampir semuanya dari jagung . 

Antara Kepentingan Makan dan Energi

Situasi sedang sulit bagi peternak babi di Amerika. Sejak akhir musim panas lalu, harga rata-rata jagung melonjak hingga

mendekati US$ 0,11 per liter. Hal ini cukup menyusahkan seorang peternak babi, Greg Boerboom, di Marshall, Minneapolis,

AS. Greg Boerboom memelihara 37.000 babi setiap tahun, dan mengkonsumsi banyak jagung–masing-masing 352 liter.

Selama sepuluh tahun terakhir, harga  pakan ternak masih seharga US$ 0,06 per liter. Kini, ia harus menjual babi-babinya

sebelum mencapai berat ideal – 125 kilogram untuk mengurangi biaya pakan ternak, dan menjaga kehangatan suhu tubuh

mereka agar tidak banyak makan. Melonjaknya haga jagung di AS bukan disebabkan anjloknya pasokan secara

keseluruhan. Tahun lalu, panen jagung mencapai 370 miliar liter, panen terbesar ketiga yang pernah terjadi. Tetapi alih-alih

masuk ke mulut babi, sapi perah, manusia; kini semakin besar dari persediaan itu diproses menjadi bahan bakar mobil.

Kuran lebih 19 miliar liter etanol yang diproduksi pada 2006 oleh 112 pabrik AS memanfaatkan hampir seperlima hasil

panen jagung. Jika semua pabrik yang kini sedang dibangun atau dalam tahap perencanaan sudah beroperasi, kebutuhan

bahan bakar akan menghabiskan sedikitnya setengah dari hasil panen jagung pada 2008. Di AS, penggunaan bahan bakar

nabati secara besar-besaran adalah satu-satunya kebijakan yang didukung anggota Partai Demokrat maupun Republik.

Dalam pidato kenegaraan pada 23 Januari lalu, Presiden George W. Bush memerintahkan diproduksinya 133 miliar liter

bahan bakar yang dapat diperbaharui dalam kurun waktu 10 tahun–setara dengan 15% bahan bakar yang dikonsumsi mobil

di Amerika. Anggota Kongres bahkan sedang mempertimbangkan kebijakan untuk meningkatkannya menjadi 227 miliar liter

pada 2030. Menurut orang-orang yang amat optimis–yang mendukung peralihan ke bahan bakar nabati –mengalihkan

konsumsi bensin ke biofuel setidaknya butuh tambahan 20 juta hektare lahan pertanian di AS, bahkan mungkin lebih.

Memenuhi mandat Bush hanya dengan jagung mustahil dilakukan, karena berarti perlu tambahan 33 juta hektare lahan

jagung. Perkiraan lain mengungkapkan bahwa meniadakan penggunaan bensin secara keseluruhan akan membutuhkan

dua kali lipat luas lahan pertanian yang kini sudah mencapai 174 juta hektare. Permintaan yang semakin meningkat atas

bahan bakar nabati sudah mengakibatkan ekspansi lahan pertanian secara besar-besaran dan mengancam fungsi

pertanian sebagai sumber makanan, pakan ternak, dan kegunaan yang lain.

Page 4: Biofuel vs Ketahanan Pangan

Sumber : Majalah BusinessWeek, Februari 2007

Meningkatnya harga pangan seperti jagung, tebu, singkong dan sawit akibat tingginya permintaan untuk biofuel, tak urung

berdampak pula pada penduduk miskin yang jumlahnya mencapai 39,30 juta jiwa (tahun 2006, BPS) – yang jelas-jelas

sangat sulit mengakses kebutuhan bahan pangan.

Seolah berada di persimpangan, produk pertanian kini melayani dua permintaan, yaitu dari industri makanan, pakan,

sandang dan industri biofuel. CPO bisa dijual ke industri minyak goreng yang berakhir di supermarket atau ke industri

biofuel yang berakhir di SPBU. Tebu bisa berakhir di pasar dalam bentuk gula atau berakhir di SPBU dalam bentuk

bioethanol. Lester R. Brown dari Earth Policy Institute —yang berbasis di Amerika, mengungkapkan bahwa produksi biji-

bijian tingkat global pada 2006 mencapai 1,9 miliar ton. Namun, konsumsi mencapai lebih dari 2 miliar ton. Di sisi lain, akhir

2007, ada 800 juta orang yang menggunakan komoditas biji-bijian tersebut untuk biofuel—yakni para pengendara mobil,

motor, maupun industri. Jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terjadi persaingan antara para konsumen biofuel

dengan penduduk miskin atau penduduk yang membutuhkan suplai bahan pangan. Dengan menggunakan analogi yang

sama, bagi Indonesia kondisi ini berarti menimbulkan persaingan antara 39 juta penduduk miskin dengan jutaan pengguna

kendaraan atau industri di Indonesia.

Biofuel vs Ketahanan Pangan di Cina

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak 1990-an, membuat konsumsi energi di Cina sangat besar. Negara dengan jumlah

populasi 1,3 miliar ini merupakan konsumen energi terbesar kedua di dunia. Keperluan energi Cina diperkirakan akan terus

meningkat dari 3 juta per barel per hari menjadi 11 juta per barel per hari (www.voanews.com). Tidak mengherankan jika

booming industri biofuel juga terjadi di Cina, guna menyokong denyut nadi perekonomian mereka. Disamping itu, energi

yang ramah lingkungan ini dapat membantu mereka mengatasi polusi yang dihasilkan dari bahan baker fosil. Perencana

ekonomi Cina telah membuat desain pembangunan energi hijau, seperti etanol dan biodisel. Pada tahun 2020, mereka

menargetkan penggunaan 15% energi hijau untuk bahan bakar seluruh transportasi dalam negeri (www.usdachina.org).

Hingga tahun 2020 itu, Cina akan memproduksi biofuel 20 ton—terdiri dari 15 ton etanol dan 5 ton biodisel

(www.ecoworld.com). Oleh karenanya, Pemerintah Cina sangat kuat dalam mempromosikan Program Nasional Bahan

Bakar Etanol ini. Pada Juni 2002, pemerintah Cina mulai membuat peraturan tentang penggunaan bio-etanol yang dicampur

dengan bensin. Tahun 2004, pemerintah Cina mulai memperkenalkan penggunaan E10 (10% etanol dicampur dengan

bensin) di seluruh wilayah Heilongjiang, Jilin, Liaoning, Henan, dan Anhui (www.usda.gov). Pengembangan etanol di

beberapa wilayah di Cina ini lebih banyak dihasilkan dari tanaman pangan, antara lain di wilayah Heilongjiang, Jilin, dan

Anhui banyak menggunakan tanaman jagung. Sedangkan di Henan, etanol banyak dihasilkan dari gandum. Pada Oktober

2007, Pemerintah Cina juga merencanakan penggunaan singkong sebagai penghasil etanol. Tanaman ini akan

dikembangkan di daerah otonom, Guangxi Xhuang. Penggunaan kentang, sorgum, padi, dan lignocelluloses untuk produksi

Page 5: Biofuel vs Ketahanan Pangan

etanol juga sedang dalam penelitian (www.usda.gov). Hal ini menimbulkan dilema bagi Cina. Pengembangan industri

biofuel dari tanaman pangan, membuat harga bahan pangan di Cina mengalami fluktuasi peningkatan yang tajam. Situasi

ini membawa mereka pada persoalan ketahanan pangan. Peningkatan harga ini terjadi pada jagung. Meski hasil panen

jagung membaik, harga komoditas ini terus mengalami peningkatan. Harga 50 MT (metric tones) jagung 2006 mencapai

59.28 Yuan (US$7.706), naik 6,8% dari tahun 2005 (55.25 Yuan). Dalam beberapa tahun terakhir, produksi jagung Cina

meningkat dari 107 juta MT (2000) menjadi 140 juta MT (2005). Meskipun begitu, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh

China Business menunjukkan bahwa ekspansi jagung sebagai bahan biofuel lebih cepat dibandingkan dengan produksi

jagung itu sendiri. Pada tahun 2005, 23 juta MT jagung diproses menjadi biofuel, naik sebesar 84% dari tahun 2001 yang

hanya 12,5 juta MT. Sedangkan produksi jagung hanya naik 21,9% selama periode tersebut (www.ap-foodtechnology.com,

www.atimes.com). Peningkatan ini juga terjadi pada gandum dan bahan pangan lainnya. Untuk mengendalikan lonjakan

harga bahan pangan tersebut, pada Desember 2006,  pemerintah Cina kemudian melakukan pengawasan ketat terhadap

penggunaan jagung sebagai bahan biofuel. Pengawasan itu dilakukan demi menjaga kestabilan harga jagung dan

melindungi pertumbuhan industri pangan. Menurut laporan Shanghai Youth Daily, pemerintah mulai menggalakkan

penggunaan tanaman ekonomis lainnya di luar tanaman pangan, seperti singkong, sorgum, tebu, dan ketela rambat untuk

biofuel. 

Butuh Kebijakan Pendukung yang Berjangka Panjang

Melihat fenomena ini, pengembangan biofuel/biodiesel di Indonesia seharusnya diarahkan pada pemanfaatan bahan non

pangan dan usaha recycle. Pengembangan biofuel dengan melakukan konversi tanaman pangan tidak akan memberikan

manfaat ekonomi dan mengurangi pengangguran. Yang terjadi justru zero sum game . Untuk itu diperlukan kebijakan

pendukung yang tidak bersifat parsial, reaktif, dan jangka pendek atau hanya bersifat ad-hoc dalam pengembangan biofuel

di Indonesia. Jika tidak, niscaya kita tetap hanya akan selalu menjadi negara ‘pengekor’ dan konsumen saja. Ketika negara

lain berhasil keluar dari jerat persoalan krisis energi, dan bahkan mungkin bisa mengekspor produk biofuelnya, kita pasti

sudah tertinggal jauh. Menyinggung soal ketahanan pangan dan energi, perlu kiranya kita bersama kembali menyadari dan

menyelami kearifan lokal yang sebenarnya telah ada di tengah masyarakat. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam

seharusnya mampu menjadi lumbung pangan dan renewable energi dunia. Sehingga pemenuhan kebutuhan energi tidak

perlu dibenturkan pada kepentingan pemenuhan bahan pangan. Bahkan jika mungkin harus menjadi yang saling

membangun dan melengkapi. Semoga!

Krisis Energi Vs Krisis Pangan

Diam – diam saat ini sedang berkecamuk perang dahsyat antara enegi dan pangan. Ibarat lingkaran setan tak

berujung, krisis enegi dan pangan terus menghantui dunia. Bagaimana tidak, banyak orang pintar yang dengan

Page 6: Biofuel vs Ketahanan Pangan

kreatifnya mengatasi krisis energi dengan membuat sumber – sumber energi alternative yang berbahan baku dari

produk pangan. Seperti energi dari kedelai, ubi, singkong, gandum dll.

Sumber pangan pokok manusia di seantero jagad itu dialih fungsikan menjadi sumber energi alternative.

Dampaknya, tentu saja rawan krisis pangan. Harga pangan melambung akibat kelangkaan.

Kedelai misalnya, tembus hingga Rp. 7.500/kg dari Rp. 3.450/kg. Maka jangan heran kalau bangsa ini justru bangga

disebut “Bangsa tempe” atau dijuluki “bermental tempe”. Karena, toh, tempe saat ini termasuk barang mewah.

Apalagi bahan bakunya pun impor dari negeri Paman Sam. Dan usut punya usut, mahalnya harga kedelai terjadi

akibat pengalihan minyak mentah dengan biofuel oleh AS.

Di sisi lain, krisis energi memicu kelangkaan bahan bakar yang banyak dibutuhkan oleh industri pangan. Petani

butuh solar untuk traktornya, Nelayan butuh bahan bakar untuk melaut. Pabrik pengolahan makanan butuh

“pelicin” agar mesinnya bekerja. Nah…kalau BBM kemudian langka dan mahal, maka produksi pangan pun terseok

– seok hingga mengancam kelangsungan hidup umat manusia.

Organisasi Kerja Sama Ekonomi Pembangunan (OECD) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksikan, 1

dasawarsa ke depan (2007 - 2016), bakal terjadi perubahan struktur dasar perdagangan komoditas pertanian

secara permanent. Perubahan struktur ini akan mengimbas pada pergeseran pola konsumsi produk pertanian

dunia.

Perubahan pola konsumsi produk serealia akibat terus meningkatnya permintaan kebutuhan bahan bakar

alternative dalam bentuk etanol dan biodiesel, mau tidak mau berpengaruh terhadap komoditas pertanian, seperti

beras, jagung, gandum, dan kedelai, baik produksi maupun harganya.

Kondisi ini tak dapat dilepaskan dari situasi perpolitikan dan perekonomian dunia, terutama AS. AS yang

menyumbang sekitar 30 % dari produk domestic bruto dunia harus diakui masih merupakan perekonomian

terbesar, sekaligus juga pusat keuangan dunia. Dengan demikian, analogi “AS bersin, seluruh dunia ikut demam”

masih berlaku.

AS berusaha “menyelamatkan” diri dari kebangkrutan, dengan merekayasa harga minyak dunia. Selama ini, AS

menguasai minyak dari hulu sampai hilir. Mulai dari perdagangan, teknologi eksplorasi, produk derivate bahkan

modal. Walhasil kenaikan harga minyak dunia mampu menggelembungkan anggaran belanja AS yang sedang

sekarat.

Page 7: Biofuel vs Ketahanan Pangan

Di sisi lain, dunia pun sedang gencar merekayasa program pengembangan bahan bakar nabati (BBN), yang

bersumber dari bahan pangan. Brazil misalnya telah mengkonversi 50 % tebunya untuk menghasilkan etanol. AS

memproduksi besar – besaran etanol sekitar 23 % dari produksi jagung. Eropa memperkirakan produksi etanol

sebanyak 15 miliar liter pada 2016.

Tingginya kebutuhan jagung, gandum, minyak nabati, tebu dan kedelai, menyebabkan berlakunya hokum ekonomi

bagi petani. Komoditas yang paling banyak memberikan keuntungan akan diserbu, sedangkan komonitas lain

kurang diminati. Akibatnya akan terjadi tarik menarik antaraFood for food or Food for fuel. Lantas bagaimana

seharusnya????

Krisis Pangan vs Krisis Energi November 23, 2008

Krisis energi yang terjadi dewasa ini disebabkan oleh tidak seimbangnya permintaan akan energi yang terus meningkat dengan pasokan energi yang memiliki ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang tak dapat diperbaharui (seperti minyak bumi, batubara dan gas alam). Ketergantungan ini merupakan ancaman yang serius bagi dunia karena cadangan minyak bumi yang diketahui telah menipis, ketidakstabilan harga minyak, serta polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil. Efek buruk CO2 terhadap pemanasan global telah disepakati hampir oleh semua kalangan di dunia karena dapat menimbulkan ancaman serius bagi kehidupan makhluk hidup di muka bumi ini. Oleh karena itu, pengembangan dan implementasi bahan bakar terbarukan yang ramah lingkungan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai negara.

Namun, penyebab krisis energi yang lainnya adalah kurangnya insentif untuk menggunakan energi alternatif dan permasalahan-permasalahan reformasi yang menghambat pengembangan energi. Contoh konkretnya adalah rendahnya harga energi di Indonesia, terutama harga BBM dan listrik karena keduanya disubsidi oleh pemerintah. Subsidi ini mengakibatkan energi terbarukan lainnya sulit berkembang, terutama apabila harus dijual dengan harga yang disubsidi. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa harga energi harus rendah adalah menyesatkan. Adil tidak harus harga rendah karena apabila harga BBM rendah tersebut meningkatkan insentif untuk pemakaian BBM dan menyebabkan energi alternatif tidak bisa dikembangkan justru menjadi tidak adil.

Krisis energi tentunya berdampak buruk, dimana keberadaan dan ketersediaan energi merupakan hal yang krusial dan menjadi suatu keharusan. Hal ini disebabkan karena energi merupakan motor penggerak roda kehidupan suatu bangsa dan krisis energi ini dapat menghambat bahkan menghentikan aktivitas masyarakat terutama dunia usaha seperti yang dialami masyarakat Indonesia khususnya di pulau Jawa beberapa waktu yang lalu akibat pemadaman listrik secara berkala dan bergilir. Krisis listrik tersebut mengakibatkan kerugian, baik secara materiil (money loss) maupun imateriil seperti hilangnya kepercayaan investor, konsumen, terhambatnya kreativitas, inefisiensi, resiko gejolak sosial, dll.

Solusi yang biasa ditawarkan untuk mengatasi krisis energi yang terjadi adalah pengembangan dan penggunaan sumber energi alternatif, salah satunya bahan bakar nabati atau biofuel. Namun, secara tidak kita sadari penanganan krisis energi dengan membuat sumber energi alternatif nabati dapat memicu terjadinya masalah baru, yaitu krisis pangan. Hal ini disebabkan karena bahan bakar dalam bentuk etanol dan biodiesel ini berbahan baku produk pangan seperti kedelai, singkong, jagung, tebu, gandum, dll. Ketika sumber pangan pokok manusia tersebut dialihfungsikan menjadi sumber energi alternatif, tentunya akan berdampak pada kelangkaan pangan dan melambungnya harga pangan. Salah satu contoh kenaikan harga pangan yang juga dirasakan Indonesia adalah melambungnya harga kedelai yang diimpor dari AS dan hal ini diakibatkan oleh adanya pengalihan sumber energi AS dari minyak mentah menjadi biofuel. Tak hanya AS, negara lain pun sedang gencar mengembangkan program pengembangan biofuelyang bersumber dari bahan pangan seperti Brasil

Page 8: Biofuel vs Ketahanan Pangan

yang telah mengkonversi 50% tebunya untuk menghasilkan etanol dan Eropa memperkirakan produksi etanol sebanyak 15 miliar liter pada tahun 2016. Harga bahan pangan untuk produksi biofuel yang membumbung tinggi di pasar internasional dapat menyebabkan perusahaan lokal memilih untuk mengekspor daripada menjualnya ke pasar domestik demi kepentingan rakyat. Tingginya permintaan pangan menyebabkan berlaku hukum ekonomi bagi petani. Komoditas yang paling memberikan keuntungan akan diserbu sedangkan komoditas lainnya kurang diminati sehingga terjadi tarik-menarik antara food for food dan food for fuel. Tentunya hal ini dapat mengancam kestabilan pangan dunia.

Jadi, dapat dilihat bahwa solusi yang sepertinya superior sekalipun ternyata bisa menimbulkanpotential problem yang bahkan membawa kepada krisis lainnya. Pencarian energi alternatif yang benar-benar cocok memang rumit dan memakan waktu serta biaya yang tak sedikit. Oleh karena itu, menurut saya solusi yang dapat dilakukan dalam scope yang lebih kecil (untuk Indonesia) maupun jangka waktu relatif singkat antara lain:

Usaha peningkatan produksi minyak dalam jangka pendek dapat dilakukan dengan memanfaatkan kilang-kilang

minyak yang terlantar dan dioperasikan oleh perusahaan terpilih yang bersedia memproduksinya. Untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan dapat menggunakan energi terbarukan setempat seperti biomass,

biogas (dari kotoran hewan)dan microhydro, pemerintah pun turut andil dengan memberikan insentif pengembangannya melalui Lembaga Swadaya Masyarakat dengan pinjaman berbunga rendah.

Penghapusan subsidi pemerintah terhadap harga energi secara bertahap sehingga dapat mengurangi insentif

masyarakat untuk mengkonsumsi BBM dan beralih pada energi alternatif terbarukan. Penetapan kebijakan pajak yang tinggi untuk BBM yang digunakan untuk membuat infrastruktur transportasi dan

mensubsidi transportasi umum agar sebagian besar masyarakat menggunakan transportasi umum sehingga menghemat energi dan mengurangi polusi.

Konsumen membiasakan diri untuk berhemat dan tidak konsumtif dalam menggunakan energi.

Akhir kata, tidak selamanya kita harus memandang krisis dari sisi yang negatif. Seperti ada kutipan “Crisis is the mother of invention” dimana krisis (cobaan) dapat menyebabkan kita semua berpikir untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Mandiri Energi dan   Pangan

“Indonesia bukannya kekurangan pangan dan energi.

Tapi, tak mampu mengelola sumberdaya yang ada.”

Dr. Pudjo Semedi, Dosen Antropologi UGM

Menjelang kepulangan ke Bogor usai memfasilitasi pertemuan Rembug Nasional ASKARLO, tim Penalahati

(Doni, Dicky, Aan, Ari) diundang Pudjo main ke rumahnya di bilangan Kaliurang, Yogyakarta. Ini tentu saja

peluang yang sangat berharga. Pudjo selama ini kami kenal sebagai guru yang kerap menyuntikkan

semangat baru lewat informasi dan pengetahuan yang disampaikannya. Hampir lima tahun kami tidak

bertemu, jelas tak hendak disia-siakan.

Benar saja, begitu usai sesi beramah tamah dan saling cerita masa lalu, Pudjo mengemukakan

kegelisahannya atas situasi krisis pangan dan energi yang dihadapi bangsa ini. Seperti yang dikutip di awal

tulisan, Pudjo melihat kita gagal mengelola sumberdaya pangan dan energi yang ada di sekitar kita.

Padahal, ada banyak yang bisa kita lakukan untuk menangkal krisis tersebut.

Tidak sekadar gelisah. Bersama mahasiswa Antropologi UGM, ayah dua anak ini berniat untuk membangun

10 sumber energi biogas di dua desa di Kecamatan Petungkriono, Pekalongan. “Di sana banyak sapi. Tapi,

Page 9: Biofuel vs Ketahanan Pangan

teletongnya terbuang percuma. Itu bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi,” katanya bersemangat. Paling

tidak, keberadaan biogas dapat bermanfaat untuk mengurangi tekanan penduduk atas hutan — untuk kayu

bakar — hingga 40%. “Memang sulit kalau sampai 100% karena penduduk memanfaatkan kayu bakar untuk

berdiang. Petungkriono dingin.” Biogas akan membantu penduduk yang sekarang ini kesulitan mendapatkan

bahan bakar minyak yang hilang dari pasaran atau harganya melambung tinggi.

Kami kemudian berdiskusi. Cerita tentang perubahan yang terjadi di Pengalengan, Jawa Barat, kami sharing.

Kami sepakat, desa harus diselamatkan, harus dipikirkan, karena itu adalah sumber nilai-nilai kehidupan

manusia Nusantara selama berabad-abad. Membiarkan desa hancur sama artinya dengan menghancurkan

sumber kehidupan kita, akan membuat hidup kita kering tak bermakna.

Satu cara untuk keluar dari krisis ini adalah sikap mengurangi ketergantungan pada pasar. Dengan biogas,

masyarakat dapat mengelola energinya untuk kepentingan sendiri. Bila berlebih, bukan tidak mungkin

menjual surplus ke desa tetangga atau PLN. Pun begitu, upaya untuk mendorong perubahan desa harus

dilakukan secara sistemik. Tidak berhenti pada satu dua kegiatan sporadis. Energi dan pangan adalah

kuncinya. Dengan biogas, masyarakat mendapatkan manfaat turunan: pupuk organik, media pelihara

cacing, pangan ikan, pangan ternak, dll. Bahkan, bisa menghasilkan listrik dengan pengubahan teknologi

sederhana. Jika itu terjadi, maka satu desa dapat mandiri energi dan pangan.

Tren green century membuat bahan pangan tersedot menjadi bahan baku bio-fuel atau bio-energy yang

diproduksi dan dipasarkan secara besar-besaran. Ketergantungan pada pasar membuat banyak masyarakat

yang terseok-seok memenuhi harga yang diminta. Memanfaatkan pekarangan dan kebun dengan menanam

tanaman-tanaman pangan adalah kuncinya.Paling tidak, kita tak perlu beli empon-empon, sayur mayur,

buah-buahan, obat-obatan, vitamin, dll. Pangan alternatif kita siapkan. Dari biji-bijian sampai umbi-umbian.

Jangan biarkan sejengkal tanah pun kosong. Memang tidak semuanya bisa lepas, tapi kita sudah mengurangi

pengeluaran kita.

Dan, Pudjo sudah melakukannya. Ia memperlihatkan tanaman markisa, buah-buahan, sayuran, obat-obatan

Page 10: Biofuel vs Ketahanan Pangan

yang ditanam di pekarangan rumahnya. “Kami sekeluarga sekarang tidak perlu lagi beli vitamin C,” ujarnya

sambil mengantarkan kami ke mobil yang akan membawa kami pulang ke Bogor.

Sayang memang, kami tak punya cukup waktu untuk berbincang-bincang. Tapi, kami sepakat untuk

bergabung dengan gerakan mandiri energi dan pangan yang sedang digagas Pudjo dan teman-teman

mahasiswa antropologi UGM. Untuk tahap awal, dalam hitungan kasar, 10 terminal biogas yang akan

dibangun itu membutuhkan biaya Rp50juta. Satu terminal, Rp5 juta. Itu sudah tidak memperhitungkan

tenaga kerja karena menjadi kontribusi masyarakat. Kami berpikir, hitungan ini tidak akan menjadi angka

yang terlampau mahal jika banyak orang mau berkontribusi. Jika banyak orang bersedia untuk menjadi

sahabat-sahabat kampung dan menyelamatkan sumber nilai-nilai kehidupan kita itu.

Sepanjang perjalanan ke Bogor kami banyak berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikiran masing-

masing. Satu hal yang pasti, Mas Pudjo berhasil membagi kegelisahannya pada kami untuk terus mencari

siapa saja yang bersedia bergabung membuat semacam asosiasi para sahabat kampung, yang bekerja

dengan kemampuan terbaiknya masing-masing untuk menyelamatkan kampung-kampung di negeri ini yang

semakin hari semakin terkikis. Siapa bersedia menjadi sahabat kampung? Andakah orangnya?

(diq)

Perut Vs Energi ( Oleh Difa Kusumadiani )Posted on March 1, 2008 by sayapbarat| 1 Comment

Diperkirakan di masa yang akan datang akan terjadi perebutan kepentingan antara perut dan energi. Lahan yang digunakan untuk konsumsi akan digantikan oleh lahan yang digunakan untuk kebutuhan energi, khususnya bioetanol. Kecenderungan itu sudah dapat kita lihat sekarang ketika kedelai “collaps” karena Indonesia mengambil kebijakan impor kedelai. Permasalahan yang terjadi hingga menyebabkan kelangkaan kedelai ini adalah karena negara pengekspor kedelai ke Indonesia telah mengganti lahan untuk penanaman kedelainya dengan lahan untuk bahan baku bioetanol.

Sebagai contoh, Amerika Serikat merupakan produsen kedelai utama di dunia. Selain itu, Amerika juga produsen jagung utama. Brasil dan Cina juga tidak ketinggalan. Brasil merupakan produsen utama gula berbasis tebu, dan Cina memiliki produksi jagung yang besar sekaligus konsumen utama jagung dunia yang juga digunakan untuk pakan unggas.

Sejak tahun 2005, ketiga negara tersebut mengganti struktur konsumsi komoditas pangan berbasis biji-bijian karena dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia. Ketiga negara tersebut membuat kebijakan tentang pengembangan bahan bakar nabati berbasis biji-bijian seperti jagung. Pengalihan itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan pengalihan konsumsi energi bahan bakar minyak ke

Page 11: Biofuel vs Ketahanan Pangan

bahan bakar nabati dalam bentuk etanol. Begitu juga dengan Cina yang meningkatkan produksi jagung mereka untuk keperluah bahan bakar minyak dan Brasil yang mengutamakan pasokan tebu untuk mengembangkan etanol daripada untuk produksi gula

Akibatnya produksi kedelai Amerika mengalami penurun yang mengakibatkan turunnya pasokan kedelai. Dampaknya langusng dpat dirasakan oleh negara yang tidak mempersiapkan penurunan ini, seperti Indonesia. Tidak seperti negara-negara lain yang sudah mempersiapkan perubahan struktur pangan Amerika ini. Di Indonesia, kedelai banyak digunakan sebagai bahan pokok pembuatan tahu dan tempe yang merupakan salah satu menu yang banyak dikonsumsi masyarakat.

Ketika negara-negara dunia sibuk mempersiapkan pengembangan energi alternatif dan mengamankan produk pangan berbasis biji-bijian, Indonesia malah terjebak dalam kebijakan energi saja. Indonesia gagal menangkap sinyal di balik kenaikan harga BBM bagi ketahan pangan Indonesia. Tidak seperti negara lain yang mulai mempersiapkan kebutuhan energi alternatif dan memenuhi kebutuhan konsumsi, Indonesia lebih mementingkan kepentingan energi daripada perut rakyatnya sendiri. Sungguh ironi bagi sebuah negara agraris yang seharusnya tidak kekurangan untuk pengembangan keduanya