Bilingualisme dan diglosia

download Bilingualisme dan diglosia

of 11

Transcript of Bilingualisme dan diglosia

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    1/11

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang tidak mungkin hidup menyendiri

    tanpa kehadiran orang lain atau tanpa bergaul dengan orang lain. Hal ini membuktikan

    bahwa pada hakekatnya manusia memang merupakan makhluk sosial. Manusia secara

    naluriah terdorong untuk bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan

    keberadaan dirinya, mengekspresikan kepentingannya, menyatakan pendapatnya,

    maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingan sendiri, kepentingan

    kelompok, kepentingan bersama. Berkenaan dengan hal tersebut bahasa memegang

    peranan yang sangat penting.Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain,

    entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan

    dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur itu akan tetap menjadi masyarakat

    tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya,

    masyarakat tutur yang terbuka artinya yang mempunyai hubungan dengan masyarakat

    tutur lain, tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala

    peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang

    mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa itu adalah apa yang di dalam

    sosiolinguistik disebut bilingualisme, diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, dll.

    Namun, pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas tentang bilingualisme dan

    diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa pengertian dari bilingualisme dan multilingualisme?

    2. Apa yang dimaksud dengan diglosia?

    3. Bagaimana hubungan antara bilingualisme dan diglosia?

    C. Tujuan Pembahasan

    1. Untuk mengetahui pengertian bilingualisme dan multilingualisme.

    2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan diglosia.

    3. Untuk mengetahui hubungan antara bilingualisme dan diglosia.

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    2/11

    BAB II

    PEMBAHASAN

    1. Bilingualisme (kedwibahasaan)

    Secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh

    seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Untuk dapat

    menggunakan dua bahasa, tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu.

    Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B 1), dan yang kedua

    adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B 2). Orang yang dapat

    menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia

    disebut dwibahasaan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut

    bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasawanan).1

    Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif.

    Kerelativitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat

    arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme

    diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh

    seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria

    untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama

    baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat

    dilakukan.2

    Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau

    bilingualisme. Weinreich (1968: 1) menjelaskan, the practice of alternately using two

    languages will be called bilingualisme, and the person involved, bilingual3 yaitu

    kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan

    dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinreich, penutur tidak

    diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya

    bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa

    1Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, hlm 84.2Suwito.1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema.Surakarta: Henary Offset, hlm 40.3Uriel Weinreich. 1974.Languages in Contact. Paris: The Hague, hlm 1.

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    3/11

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    4/11

    b. Pengertian bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam

    pengertian langue, seperti bahasa Jawa dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau

    ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek

    Banyumas.

    c. Waktu yang tepat untuk menggunakan B1 dan harus menggunakan B2

    bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi,

    penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas.

    d. B1 seorang bilingualis bisa mempengaruhi B2-nya atau juga sebaliknya.

    Masalah ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan bahasa itu dan kesempatan

    untuk menggunakannya.

    e. Bilingualisme bisa terjadi pada individu dan juga pada kelompok.

    2. Multilingualisme

    Istilah bilingualisme (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah

    multilingualisme (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk

    menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok,

    atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara). Multilingualisme lebih

    merujuk pada penggambaran seorang penutur yang menguasai lebih dari dua bahasa,

    bisa tiga bahasa, atau empat, bahkan lima bahasa sekaligus. Penggunaanya hampir sama

    dengan bilingualisme, yakni tahu kapan dan di mana suatu bahasa akan digunakan.

    Misalnya saja orang Jawa, selain mampu berbahasa Jawa (sebagai bahasa ibunya), juga

    mampu berbahasa Indonesia sebagai B2, dan bahasa Inggris sebagai B3, bahkan ada

    beberapa yang bisa bahasa Jepang, Belanda, dan sebagainya.

    3. Diglosia

    Selain kedwibahasaan, terdapat pula peristiwa yang menyangkut pemakaian dua

    bahasa atau lebih yang dipergunakan oleh seseorang atau sekelompok orang di dalam

    suatu masyarakat, yakni yang disebut dengan istilah diglosia. Istilah diglosia mengacu

    kepada keadaan yang relatif stabil di mana sebuah bahasa atau salah satu ragam bahasa

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    5/11

    yang bergengsi tinggi tumbuh berdampingan dengan bahasa lain, masing-masing dengan

    fungsinya yang khusus dalam komunikasi.5

    Istilah diglosia pertama kali dikemukakan oleh seorang guru besar bahasa

    Inggris di Texas, sekitar tahun 30-an. Kemudian pada tahun 1958 seorang sarjana

    Stanford C.A Fergusson mengutarakan ke dalam sebuah simposium. Fergusson dalam

    artikelnya yang berjudul Diglossia mendefinisikan diglosia sebagai berikut:

    Diglossia is a relatively stable language situation in which, in addition to the

    primary dialects of the language (which may include a standard or regional

    standards), there is very divergent highly condifeid (often gramatically more

    complex) superposed variety, the vehicle of a large and respected body of written

    literature, either of an earlier period or in another speech community, which is

    learned largely by formal education and is used for must written and formal spoken

    purposes but is not used by any sector of the community for ordinary conversation

    Definisi Ferguson tersebut memberi pengertian:

    1)

    Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain

    terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu

    bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.

    2) Dialek-dialek utama itu, di antaranya bisa berupa sebuah dialek standar, atau

    sebuah standar regional.

    3) Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:

    Sudah (sangat) terkodifikasi

    Gramatikalnya lebih kompleks

    Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati

    Dipelajari melalui pendidikan formal

    Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal

    Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan

    sehari-hari.6

    5Robins R.H. 1992.Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, hlm 497.

    6Abdul Chaer & Leonie Agustina, op. cit, hlm 92.

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    6/11

    Ferguson menjelaskan Diglosia dengan sembilan kriteria/ topik, sebagai

    berikut:

    1) Fungsi

    Fungsi merupakan kriteria yang sangat penting. Ferguson mengatakan bahwa

    dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dialek/ ragam dari satu bahasa: pertama,

    dialek tinggi (disingkat dialek T/ ragam T), dan kedua, dialek rendah (disingkat dialek

    R/ ragam R). Contoh: dalam bahasa arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik, bahasa

    Al-Quran (al-Fusha), dialek R-nya berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh

    bangsa Arab (addarij). Bahasa Yunani dialek T-nya adalah bahasa Yunani murni dengan

    ciri-ciri klasik (katharevusa), dialek R-nya adalah bahasa Yunani lisan (dhimotika).

    Bahasa Jerman-Swis dialek T-nya adalah Jerman standar, dan dialek R-nya adalah

    berbagai dialek bahasa Jerman. Di Haiti, dialek T-nya adalah bahasa Prancis, dan dialek

    R-nya adalah Kreol-Haiti.

    Dialek T dan R dalam penggunaannya mempunyai fungsi masing-masing;

    dialek T digunakan pada situasi resmi atau formal, seperti Kebaktian di Gereja,

    pembicaraan di parlemen, perkuliahan di Universitas, Siaran berita, puisi dan lain-lain.

    Sedangkan dialek R digunakan pada situasi informal atau santai, seperti surat pribadi,

    sandiwara radio, komentar kartun politik dan lain-lain.

    2)

    Prestise

    Prestise dalam masyarakat diglosis para penutur menganggap dialek T lebih

    bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis.

    Sedangkan dialek R dianggap sebagai inferior; malah ada yang menolak keberadaannya

    seperti apa yang dikatakan Ferguson bahwa banyak pelajar Arab dan Haiti menyarankan

    agar dialek R tidak perlu digunakan meski digunakan dalam percakapan sehari-hari,

    tentunya hal tersebut ditolak karena merupakan kekeliruan, sebab dialek T dan R

    mempunyai fungsi masing-masing.

    3) Warisan Kesusastran

    Warisan kesusastraan dalam hal ini terdapat kesustraan yang mana dalam

    penggunaannya ragam tersebut dihormati oleh masyarakat sebagaimana bahasa yang

    terdapat dalam keempat negara di atas yaitu, negara-negara berbahasa Arab, bahasa

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    7/11

    Yunani di Yunani, bahasa Prancis di Haiti dan bahasa Jerman di Swis yang berbahasa

    Jerman.

    4) Pemerolehan

    Ragam T diperoleh melalui pendidikan formal dan memiliki kaidah dan aturan

    tata bahasa. Sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan sehari-hari dengan keluarga

    dan teman-teman sepergaulan dan tidak memiliki kaidah atau aturan tata bahasa.

    5) Standarisasi

    Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi dan dihormati sehingga

    standardisasi dilakukan dalam ragam tersebut melalui kodifikasi formal. Ragam R tidak

    pernah diurus sehingga jarang ada kajian tentang ragam tersebut, meskipun ada biasanya

    dilakukan oleh peneliti bahasa lain dan ditulis dengan bahasa lain pula.

    6) Stabilitas

    Kestabilan ragam T dan R berlangsung lama dan terdapat variasi bahasa yang

    dipertahankan eksistensinya. Pengguanaan unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R

    bersifat biasa, tapi sebaliknya penggunaan ragam unsur leksikal ragam R ke dalam

    ragam T dianggap kurang biasa karena hanya digunakan ketika sangat terpaksa.

    7) Gramatika

    Gramatika dalam ragam T adanya kalimat-kalimat komplek dengan jumlah

    konstruksi subordinasi merupakan hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap

    artifisial. Contoh, Nomina bahasa Prancis disebut agreemant dalam jumlah dan jenis

    (gender), sedangkan nomina Kreol-Haiti tidak memiliki hal itu.

    8) Leksikon

    Besar kosa kata dalam ragam T dan R sama, namun ada ragam T yang tidak

    memiliki pasangan pada ragam R, begitu juga sebaliknya. Contoh, dalam bahasa Yunani

    rumah ragam T-nya disebut Ikos dan ragam R-nya yaitu Spiti.

    9)

    Fonologi

    Ragam T merupakan sistem dasar yakni lebih dekat dengan bentuk umum yang

    mendasari dalam bahasa secara keseluruhan, ragam R beragam-ragam yakni jauh dari

    bentuk-bentuk dasar.

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    8/11

    Konsep Ferguson mengenai diglosia ini kemudian dimodifikasi dan diperluas

    oleh Fishman. Menurut Fishman diglosia tidak hanya berlaku pada adanya perbedaan

    ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga berlaku pada bahasa

    yang sama sekalipun tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan. Jadi, yang

    menjadi tekanan bagi Fishman adalah adanya pembedaan fungsi kedua bahasa atau

    variasi bahasa yang bersangkutan.

    Secara garis besar dapat dikemukakan ciri-ciri dari diglosia yang merupakan

    refleksi dari pengertian-pengertian di atas sebagai berikut: Pertama,digunakannya dua

    variasi dari satu bahasa atau dua bahasa yang hidup berdampingan dalam suatu

    masyarakat. Ciri ini menunjukkan, bahwa dua variasi atau lebih hidup berdampingan

    yang digunakan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kedua, kedua variasi atau

    bahasa itu mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakainya. Ciri ini

    menunjukkan bahwa pemakaian variasi atau bahasa ini tidak dapat secara sembarangan

    dalam penggunaannya. Dengan kata lain, penggunaan variasi bahasa ini sangat

    tergantung pada tempat, lawan bicara, situasi, dan keperluannya. Bahasa yang satu

    digunakan dalam situasi yang bersifat resmi, sedang yang lainnya biasa digunakan

    dalam situasi yang tak resmi.

    4. Hubungan sinergis bilingualisme dan diglosia

    Kedwibahasaan dan diglosia pada hakekatnya adalah peristiwa yang

    menyangkut pemakaian dua bahasa yang dipergunakan oleh sekelompok orang di dalam

    suatu masyarakat tertentu. Oleh karena itu, antara kedua peristiwa tersebut nampak

    adanya hubungan yang sinergis yang mewarnai sifat masyarakat tuturnya. Dalam

    hubungan ini Fishman menyebutkan bahwa terdapat empat jenis masyarakat tutur yang

    menunjukkan hubungan timbal balik seperti itu, yaitu:

    Pertama, Masyarakat yang diglosik dan dwibahasawan (diglossia and

    Bilingualism), masyarakat tutur yang diglosik dan dwibahasawan merupakan masyarakat

    tutur yang secara keseluruhan menggunakan dua bahasa sebagai alat berkomunikasi,

    tetapi di dalam masyarakat itu kedua bahasa tersebut dipergunakan sesuai dengan

    fungsinya masing-masing. Contohnya bangsa Paraguay (yang menggunakan dua bahasa

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    9/11

    yaitu bahasa Guarani sebagai bahasa asli dan bahasa Spanyol sebagai bahasa

    peninggalan penjajahan), Amerika Serikat, India, dan Switzerland.

    Kedua, masyarakat yang diglosik tetapi tidak dwibahasawan (Diglossia

    Without Bilingualism) adalah masyarakat tutur yang ditandai dengan adanya dua atau

    lebih masyarakat tutur yang secara politis, ekonomis, dan religius dipersatukan kedalam

    satu kesatuan namun perbedaan sosiokultural tetapi memisahkannya. Gejala semacam

    ini tampak di Eropa sebelum perang dunia pertama, pada waktu sebelum perang dunia

    pertama di Eropa terdapat dua masyarakat tutur yaitu masyarakat orang-orang elit Eropa

    yang biasanya menggunakan bahasa tinggi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam

    hubungan intra kelompoknya dan masyarakat kebanyakan yang tidak mempunyai

    kebiasaan demikian menggunakan bahasa lain dalam hubungan intra kelompoknya.

    Karena sebagian besar kaum elit tidak pernah berinteraksi langsung dengan sebagian

    besar msyarakat orang kebanyakan, maka kedua kelompok masyarakat tersebut tidak

    pernah membentuk satu masyarakat tutur tersendiri. Kedua kelompok tersebut tetap

    merupakan dua masyarakat tutur yang terpisah. Komunikasi yang dilakukan di antara

    mereka selalu menggunakan penerjemahan sebagai pertanda adanya ekabahasawan intra

    kelompok. Dalam masyarakat yang demikian ini tidak terdapat adanya kedwibahasaan

    dan dwibahasawan.

    Ketiga, masyarakat yang dwibahasawan tetapi tidak diglosik (Bilingualism

    without Diglossia), keadaan masyarakat tutur yang dwibahasawan dan tidak diglosik

    terdapat dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa sebagai alat berkomunikasi.

    Kedua bahasa tersebut tidak menunjukkan adanya pembagian fungsi dan

    penggunaannya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua bahasa tersebut dapat dipakai untuk

    keperluan apapun, kepada siapapun, dimanapun, serta dalam situasi bagaimanapun.

    Contohnya adalah masyarakat tutur di Montreal (Kanada) yang mempergunakan bahasa

    Inggris dan Perancis secara bersama-sama.

    Keempat, masyarakat yang tidak diglosik dan tidak dwibahasawan (Neither

    Diglossia nor Bilingualism). Keadaan masyarakat yang demikian ini agak langka dan

    tidak begitu jelas. Lebih jelasnya tentang hubungan antara bilingualisme dan diglosia

    seperti tabel 1 di bawah ini:

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    10/11

    Tabel 1

    Hubungan antara bilingualisme dan diglosia

    BILINGUALISM

    + _

    DIGLOSIA

    + 1. Diglosia and

    Bilingualisme

    2. Diglossia without

    bilingualism

    _ 3. Bilingualism without

    diglossia

    4. Neither diglossia nor

    bilingualism

  • 8/10/2019 Bilingualisme dan diglosia

    11/11

    BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Chaer & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.

    Robins R.H. 1992.Linguistik Umum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius.

    Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik, Teori dan Problema.Surakarta: Henary

    Offset.

    Weinreich, Uriel. 1974.Languages in Contact. Paris: The Hague.