Bidang Ilmu Sosial LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING … · LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN...
Transcript of Bidang Ilmu Sosial LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING … · LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN...
LAPORAN PENELITIAN
HIBAH BERSAING TAHUN KEDUA
MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI
MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN
TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT
Dra. Djudiyah, M.Si
M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi.
Bibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depertemen
Pendidikan Nasional sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan
Penelitian Nomor:E.5.c/111/DPPM-UMM/IV/2010, Tanggal
12April 2010
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
NOVEMBER 2011
Bidang Ilmu Sosial
LEMBAR IDENTITAS DAN PENGESAHAN
LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING
1. Judul Penelitian : Model Pengembangan Konsep Diri dan Daya
Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya
Meminimalkan Trauma Psikis Remaja dari
Keluarga Single Parent.
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Djudiyah, M. Si.
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIP-UMM : 109.9109.0240
d. Jabatan Fungsional : Lektor
e. Jabatan Struktural : Dosen
f. Bidang Keahlian : Psikologi
g. Fakultas/Jurusan : Psikologi
h. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
3. Tim Peneliti :
No Nama dan Gelar
Akademik
Bidang
Keahlian
Fakultas Perguruan
Tinggi
1.
M. Salis Yuniardi, M.Psi
Psikologi
Klinis
Psikologi
UMM
4. Pendanaan dan Jangka Waktu Penelitian
a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 2 Tahun ( 2 Tahap)
b. Biaya total yang diusulkan : Rp. 99.725.000,-
c. Biaya yang disetujui tahap II tahun 2011 : Rp. .000,-
Malang, 10 November 2011
Mengetahui
Dekan Fak. Psikologi Ketua Peneliti,
Drs. H. Tulus Winarsunu, M. Si Dra. Djudiyah, M. Si
NIP UMM.109.8802.0064 NIP UMM.109.9109.0240
Menyetujui
Direktur DPPM-UMM,
Dr. H. Bambang Widagdo, MM.
NIP. 195905201985111001
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN
MODEL PENGEMBANGAN KONSEP DIRI DAN DAYA RESILIENSI
MELALUI SUPPORT GROUP THERAPY: UPAYA MEMINIMALKAN
TRAUMA PSIKIS REMAJA DARI KELUARGA SINGLE PARENT
Penelitian yang dilakukan pada tahun kedua ini bertujuan untuk
melakukan validasi atas model support group therapy guna mengembangkan
Konsep diri dan Daya Resiliensi remaja dari keluarga single parent yang telah
dihasilkan di tahun pertama.
Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam
pengasuhan remaja karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan
dengan orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat
perhatian dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan
konsep diri dalam keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga
berkecenderungan melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap
orang tua, frustasi, mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika
dan obat-obatan terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya.
Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena
konsep diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri
bukan merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil
belajar atau pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang
disekitarnya. Karena orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat
dikatakan bahwa dari keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua
berperan menjadi model dan sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran
anak. Hal-hal yang dirasakan oleh anak dari keluarga bercerai adalah perasaan
tidak aman (insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih,
kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri.
Sebagai akibatnya remaja menjadi pendiam, tidak ceria, suka menyendiri,
suka melamun, agresif, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah.
Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara
pandang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized
(perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak
terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang
cukup tentang dirinya sendiri, apa kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa
yang berharga dari hidupnya. Selain itu remaja juga memiliki self-image yang
tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan dari apa yang sudah
ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan, sehingga individu merasa
cemas, yaitu suatu perasaan terancam.
Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak
berharga pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada
perkembangan daya resiliensinya atau daya kemampuan untuk mengatasi dan
bangkit dari masalahnya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini kejam,
hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya menghadapinya
maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang atau cenderung
rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta berusaha
menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan dapat
berkembang.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan
antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dapat
diartikan sebagai penelitian yang lebih menekankan pada analisis data-data
numerikal (angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika.
Penelitian ini juga menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan
desain one group pre test and post test design. Desain one group pre test and
post test design merupakan desain eksperimen yang hanya menggunakan satu
kelompok subyek (kasus tunggal) serta melakukan pengukuran sebelum dan
sesudah pemberian perlakuan pada subyek, namun sampel ditetapkan dengan
tidak random. Subyek penelitian ini adalah 32 siswa Sekolah Menengah Umum
(SMAN), siswa Sekolah Menengah Kejuruan (STM) serta siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMEA) yang berasal dari keluarga single parent di
Malang Raya, meliputi : MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK
Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan
SMK Muhammadiyah 3 Singosari. Metode pengumpul data Skala,
Wawancara dan Self Report. Sedangkan metode analisis data yang digunakan
ada 2 yaitu uji beda paired sample t-test dan analisa deskriptif. Uji beda paired
sample t-test digunakan untuk menguji dua sampel yang berpasangan, apakah
mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda ataukah tidak (Winarsunu,
2002). Sedangkan metode analisis diskriptif kualitatif digunakan untuk
mengetahui efektivitas support group therapy terhadap pengembangan daya
resiliensi remaja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa support group therapy terbukti
mampu meningkatkan konsep diri siswa dari keluarga single parent. Hasil uji
antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat
signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05
sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan
antara hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi
support group therapy.
Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa
dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subyek yang
awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I
am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I have), serta tidak
memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can), namun
setelah proses support group therapy keseluruhan subyek dapat menyadari
adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki dan menjadi
kekuatannya disamping menerima hal-hal yang menjadi kekurangan diri, dapat
melihat bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya terutama keluarga yang
sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi yang mungkin berbeda dari
yang para subyek harapkan, serta mereka mampu melihat kedua hal tersebut
sebagai modal mereka untuk optimis melihat masa depan. Perlu pengembangan
lebih lanjut dari modul support group therapy sehingga dapat dihasilkan modul
yang lebih lengkap dengan berbagai modifikasi saat berhadapan dengan variasi
subyek.
Berdasarkan temuan tersebut maka disampaikan saran-saran sebagai
berikut : 1)Bagi sekolah, dapat menjalankan program support group therapy
secara berkala dalam menangani permasalahan yang dialami siswanya, tidak
hanya siswa yang berstatus single parent tetapi juga dapat dilakukan untuk
permasalahan-permasalahan lainnya. Selain itu juga dapat lebih memberikan
dukungan dengan cara menyediakan kesempatan lebih luas pada setiap siswa
untuk mengembangkan potensinya sehingga dengan demikian resiliensi siswa
dapat berkembang sebagaimana konsep diri menjadi lebih positif seiring
optimisme dan prestasi yang diraih siswa. 2) Bagi orang tua, untuk lebih
memberikan perhatian dan dukungan pada anak-anaknya dalam proses
pengasuhan sehingga anak mampu mengembangkan resiliensi yang dimiliki
karena adanya dukungan dari keluarga akan sangat membantu dalam
penanganan masalah-masalah remaja terkait statusnya sebagai single parent. 3)
Bagi peneliti selanjutnya, dapat menyempurnakan modul dengan menerapkan
pada subyek yang bervariasi sehingga diperoleh modul yang lengkap dengan
berbagai variasi modifikasi saat berhadapan dengan berbagai variasi subyek.
SUMMARY
THE DEVELOPMENT MODEL OF SELF CONCEPT AND
RESILIENCE THROUGH SUPPORT GROUP THERAPY: EFFORTS
TO MINIMIZE TRAUMA OF ADOLESCENT FROM SINGLE
PARENT FAMILY
The research carried out in the second year aims to validate the model that
has been formulated in the first year.
Families with single parent have a tendency to less optimal parenting
teenagers because they have a heavier burden when compared with intact
parents. This resulted in adolescents receive less attention and tend to have
negative behavior because of the formation of self concept in the family less
able to run optimally, so tend to perform deviant behavior such as: resentment
toward parents, frustrated, experiencing shock people, involved the use of
narcotics and illicit drugs and other forms of juvenile delinquency. Self-
concept is important in the lives of teenagers since the self concept will
determine how one behaves. The self concept is not an innate factor (genetic)
but is formed from the results of individual study or experience in interacting
with the people around him. Because people who are known individuals are
family, it can be said that from family child's self concept is formed. Parents
become role models and sources of affirmation for the child's feelings and
thoughts. Things that felt by children of divorced families are feeling insecure
(insecurity), unwanted, or rejected by parents, sad, lonely, angry, lost, and
guilty, and blame themselves. As a result teenagers become quiet, not cheerful,
likes to be alone, starry-eyed, aggressive, hard to concentrate and not interested
in school.
Adolescents who have a negative self-concept typically have the
perspective of herself as someone who is disorganized (disorganized feeling),
feeling unstable and self are not integrated. The individual does not have
enough knowledge about himself, what his strengths and weaknesses or what is
valuable from his life. In addition, teenagers also have self-images that do not
allow the slightest deviation from what is already established within the
individual in question, so that individuals feel anxious, a feeling threatened.
How to view themselves negatively on themselves and their feelings of self
worthlessness adolescents from single parent families will have an impact on
the development of resilience is recognized power or power the ability to cope
with and recover from the problem. If adolescents think that life is cruel, just
make her suffer and feel helpless to deal with it will cause the resilience not
grow or tend to be low. But when the teenager tried to overcome the problems
it faces and trying to rise from their buried and trying to accept what he has
now the power will be able to develop resilience are recognized.
The approach used in this study is a combination of quantitative and
qualitative approaches. The quantitative approach can be interpreted as a
further research with emphasis on analysis of numerical data (numbers) are
processed using statistical methods. This study also uses an experimental
method using the design of one group pre test and post test design. Design a
one group pre test and post test experimental design is a design that uses only
one group of subjects (single case) and take measurements before and after the
treatment on the subject, but not determined by random sample. The subjects of
this research are 32 students coming from MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang,
SMK Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4
Malang, and SMK Muhammadiyah 3 Singosari. The data collection methods
are interview and self report. While the data analysis methods used there are
paired t-test and qualitative descriptive analysis. T-test methods used to
determine the effectiveness of support group therapy to increase adolescent
self-concept of a single parent. While the qualitative descriptive analysis
method used to determine the effectiveness of support group therapy on the
development of adolescent resilience.
The results showed that the support group therapy proven to improve
students' self-concept of single parent families. This can be seen from the
results of data analysis where there is increased self-concepts in the subject
group. This is shown in the results of different test non parametric pre-test and
post test with Z score -4,410 and it has significance level of 0.001 which is
smaller than 0.05 thus being significant (H1 accepted) that there are significant
differences between the pre test and post test on the subject after being given
support group therapy. Support group therapy and modification requires a
different approach when applied to homogeneous male participant rapport
which allegedly require longer so comfortable to open up it can be ascertained
when entering the treatment sessions.
Support group therapy proved able to develop the resilience of students
from single parent families. This can be seen from the subjects who initially
many feel do not have the potential to be proud (I am), less its main support
from family (I have), and have no future plans, even pessimistic view (I cans),
but after the support group therapy to the whole subject is aware of the positive
potential that he actually had and became its strength as well accept things
which become self shortage, can see that there are still people around him,
especially families who actually support them with an expression that may
differ from that of the subjects expected, and they were able to see both of
these as their capital for the optimistic view of the future.
Based on these findings will be submitted the following suggestions: 1)
To school, to use a support group therapy program on a regular basis in dealing
with problems experienced by students, not only the student who is a single
parent but can also be done for other problems. It also can further provide
support by providing wider opportunities to each student to develop their
potential so that students can develop resilience as a more positive self-concept
as optimism and student achievement. 2) For parents, to give more attention
and support to children in the care process so that children can develop
resilience owned because of support from family will be very helpful in
handling issues related to its status as a teenage single parent. 3) For further
research, to improve the module by applying a variety of subjects in order to
obtain a complete module with a variety of modifications when dealing with a
variety of subjects.
PRAKATA
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, hanya karena rahmat
dan karunia-Nya maka penelitian yang berjudul : Model Pengembangan Konsep
Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya Meminimalkan
Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent di Malang, akhirnya dapat
terselesaikan.
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengembangan konsep
diri dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku
panduan dan compact disk (CD) tentang cara mengatasi trauma psikis remaja
akibat kondisi keluarga single parent, buku saku tentang pengembangan konsep
diri yang positif bagi remaja dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis
yang dihadapi remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat
meminimalkan perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama
ini cenderung melemahkan eksistensi remaja dalam keluarga. Sedangkan secara
khusus bertujuan mengembangkan konsep diri remaja yang lebih positif dan daya
resiliens-nya sehingga memiliki mental yang tangguh dalam menghadapi
tantangan kehidupan dimasa yang akan datang.
Terselesaikannya penelitian ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ucapan terima kasih dan
penghargaan peneliti sampaikan kepada yang terhormat :
1. Direktorat pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada masyarakat, Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah
memberi kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
2. Rektor Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan bantuan
moril dan materiil dalam pelaksanaan penelitian ini.
3. Direktur Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Muhammadiyah Malang yang telah memberikan dorongan,
bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian ini.
4. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malng yang telah
memberikan dukungan hingga terselesaikannya penelitian ini.
5. Kepala Sekolah MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah
Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK
Muhammadiyah 3 Singosari yang telah memberikan persetujuan sebagai
tempat penelitian.
6. Bapak dan Ibu Guru BK MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK
Muhammadiyah Galunggung, SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang,
dan SMK Muhammadiyah 3 Singosari Malang yang telah banyak
memberikan bantuan dan fasilitas selama pelaksanaan penelitian
7. Para asisten : Laksmi Inayati, Iratanti Linda, Tyas Tunjung Pinasti, Ramdhani
Tri K.W., Karina Prameswari, Trisinar Budi M., Putri Dewi M. (NIM :
07810227) yang telah banyak membantu dalam pengambilan data penelitian.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
Semoga budi baik bapak/ibu mendapat balasan yang setimpal dari Allah
SWT, amin. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan
penelitian ini boleh dikata perlu adanya penyempurnaan. Oleh sebab itu peneliti
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari berbagai pihak demi
perbaikan dan kebaikan dimasa mendatang. Penulis berharap semoga apa yang
telah dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, amin.
Malang, 10 November 2011
Peneliti
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir anak membutuhkan bantuan dari
orang dewasa disekitarnya terutama orang tua. Peran orang tua dalam
perkembangan anak sangatlah penting karena orang tua dan keluarga merupakan
lingkungan sosial pertama yang dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai
pendidik utama bagi anak dalam perkembangan kepribadiannya. Orang tua dan
keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan pertama yang bertanggung
jawab ditengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian
biologis anak (Kartono, 1992:7).
Namun tak dapat dipungkiri sekarang ini keluarga single parent jumlahnya
semakin meningkat. Hal ini selain dikarenakan faktor alamiah yaitu karena salah
satu orang tua meninggal dunia juga disebabkan oleh perceraian, dimana angka
perceraian sendiri dari hari ke hari jumlahnya semakin meningkat.
Kota Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa Timur yang rentan
terhadap perceraian dan bahkan menduduki peringkat pertama dalam kasus ini.
Berdasarkan data Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007
hingga tahun 2008 terdapat 2306 kasus perceraian (Jawa Pos, Selasa 19 Pebruari
2009).
Berbeda dengan kondisi remaja yang memiliki keluarga ayah dan ibu, maka
kondisi remaja dari keluarga single parent secara umum mengalami ketimpangan
dalam menjalani kehidupannya. Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban
psikologis yang cukup berat, mereka juga harus menanggung perlakuan dari
masyarakat yang kurang mendukung eksistensi single parent di masyarakat.
Single parent memiliki kecenderungan kurang optimal dalam pengasuhan
remaja juga karena memiliki beban yang lebih berat bila dibandingkan dengan
orang tua yang utuh. Hal ini mengakibatkan remaja kurang mendapat perhatian
dan cenderung memiliki perilaku negatif karena pembentukan konsep diri dalam
keluarga kurang dapat berjalan secara optimal, sehingga berkecenderungan
melakukan perilaku menyimpang seperti: dendam terhadap orang tua, frustasi,
mengalami goncangan jiwa, terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan
terlarang dan bentuk kenakalan remaja lainnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2007: 67) tentang emosi
pada ibu single parent menemukan bahwa ibu single parent cenderung memiliki
emosi yang kurang stabil dibanding dengan ibu yang tidak single parent. Emosi
ibu yang sangat menonjol adalah rasa takut atau cemas, sedih, marah serta
kecewa. Penyebab utama rasa takut adalah karena tidak mampu mendidik dan
membesarkan anaknya dengan baik, khawatir akan masa depan anaknya, takut
anaknya salah pergaulan dan masalah ekonomi. Perasaan sedih muncul karena
teringat oleh almarhum atau mantan suaminya serta ketika anak tidak
mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Penyebab emosi marah karena
kurangnya keuangan untuk kebutuhan sehari hari, anak tidak mau dinasehati ,
nakal atau melawan. Sedangkan munculnya emosi kecewa disebabkan karena
kegagalan dalam perkawinannya serta tidak mampu memenuhi kebutuhan
anaknya secara layak.
Kondisi psikologis semacam ini akan berdampak pada perlakuan orang tua
sigle parent terhadap anak remajanya, karena remaja juga memiliki emosi yang
masih labil sebagai akibat dari pertumbuhan fisik dan hormon yang sangat pesat
(Monks, dkk. 2001: 265). Disatu sisi, remaja membutuhkan bimbingan dan arahan
dari orang tua, sementara dipihak lain orang tua tidak mampu berperan secara
optimal. Hal ini akan mengakibatkan frustrasi pada diri remaja sehingga mereka
cenderung melamun, menekuni hobi secara berlebihan dan suka menyendiri
(Balson, 1995:96).
Pada keluarga single parent, orang tua berperan ganda dalam menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua. Hal ini dapat menghambat hubungan antara anak
dan orang tua. Baik orang tua maupun anak biasanya kurang mampu beradaptasi
dan menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus dijalani. Keadaan
seperti ini dapat menimbulkan konflik antar anggota keluarga, sehingga
memunculkan masalah baik dari pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993: 95).
Hubungan orang tua dengan anak yang tidak harmonis akan berdampak pada
pembentukan konsep diri anak (dalam Calhoun, 1990:66).
Konsep diri merupakan hal penting dalam kehidupan remaja karena konsep
diri akan menentukan bagaimana seseorang berperilaku. Konsep diri bukan
merupakan faktor bawaan (genetik) melainkan terbentuk dari hasil belajar atau
pengalaman individu dalam berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Karena
orang yang dikenal individu adalah keluarga, maka dapat dikatakan bahwa dari
keluargalah konsep diri anak terbentuk . Orang tua berperan menjadi model dan
sumber pengukuhan bagi perasaan dan pikiran anak. Hal-hal yang dirasakan oleh
anak dari keluarga bercerai adalah perasaan tidak aman (insecurity), tidak
diinginkan atau ditolak oleh orang tua, sedih, kesepian, marah, kehilangan, merasa
bersalah dan menyalahkan diri sendiri. Sebagai akibatnya remaja menjadi
pendiam, tidak ceria, suka menyendiri, suka melamun, agresif, sulit
berkonsentrasi dan tidak berminat untuk sekolah.
Riset yang dilakukan oleh Hervinna (2007:38) tentang konsep diri remaja
yang memiliki orang tua bercerai di SMU Widya Gama Malang menemukan
bahwa konsep diri remaja yang orang tuanya bercerai cenderung negatif. Mereka
cenderung memiliki ego yang tinggi seperti: keras kepala, pembangkang, egois,
gampang emosi bila mendapatkan kritik dari orang lain. Mereka juga kurang
memiliki harapan terhadap dirinya sendiri dan mereka menganggap bahwa dirinya
tidak mampu melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Hal ini sangat
berpengaruh pada hubungan interpersonal maupun fungsi emosional lainnya.
Mereka juga cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Remaja yang memiliki konsep diri negatif biasanya memiliki cara pandang
terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang disorganized (perasaan tidak
terorganisasi), perasaan tidak stabil dan diri yang tidak terintegrasi. Individu yang
bersangkutan tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa
kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari hidupnya. Selain itu
remaja juga memiliki self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya
penyimpangan dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang
bersangkutan, sehingga individu merasa cemas, yaitu suatu perasaan terancam.
Individu yang disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang
mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang bermasalah
untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau menolak informasi-
informasi tersebut dalam bentuk defens-defens (dalam Calhoun, 1990:66).
Cara pandang diri negatif terhadap diri sendiri serta perasaan tidak berharga
pada diri remaja dari keluarga single parent ini akan berdampak pada
perkembangan daya resiliensinya. Apabila remaja menganggap bahwa hidup ini
kejam, hanya membuat dirinya menderita dan merasa tidak berdaya
menghadapinya maka akan menyebabkan daya resilensinya tidak berkembang
atau cenderung rendah. Namun bila remaja berusaha mengatasi persoalan-
persoalan yang dihadapinya dan berusaha bangkit dari keterpurukannya serta
berusaha menerima apa yang dimilikinya saat ini maka daya resiliensinya akan
dapat berkembang ( dalam American Psychological association, 2003: 36).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa remaja yang hidup
dalam keluarga single parent akan memiliki konsep diri yang negatif serta daya
resiliensi yang rendah. Hal ini disebabkan karena orang tua kurang mampu
berperan secara optimal karena harus berperan ganda dalam keluarga.
Berdasarkan hasil tahun pertama ditemukan bahwa 86,67% subyek memiliki
konsep diri yang negatif dan belum mampu menemukenali serta mengembangkan
daya resiliensinya. Sebagai dampaknya mereka cenderung memandang diri dan
lingkungan dengan negatif, mengalami masalah dalam hubungan sosial, serta
pesimis melihat masa depan. Beberapa diantara subyek juga ditemukan indikasi-
indikasi represi agresi seperti bunuh diri maupun membunuh orang tua yang
dianggap kejam ataupun mengakibatkan terjadinya perceraian.
Selain itu berdasarkan hasil tahun pertama pula ditemukan bahwa model
support group therapy yang telah dirumuskan terbukti mampu meningkatkan
konsep diri dan mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga single parent.
Namun demikian model ini perlu diuji coba lebih luas sehingga model yang
dihasilkan lebih efektif dan valid, selain karena ditemukan saat diterapkan pada
kelompok siswa homogen laki-laki ternyata masih kurang mampu membuat
perubahan yang positif.
Untuk itulah perlu dilanjutkan penelitian tentang “Model Pengembangan
Konsep Diri dan Daya Resiliensi Melalui Support Group Therapy: Upaya
Mengatasi Trauma Psikis Remaja dari Keluarga Single Parent”, khususnya di
Kota Malang agar dapat menumbuhkan konsep diri positif sekaligus daya
resiliensi-nya sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
B. Hasil yang Diharapkan.
Penelitian ini diharapkan dapat menyusun model pengembangan konsep diri
dan daya resiliensi remaja melalui support group therapy dalam bentuk buku
panduan tentang cara mengatasi trauma psikis remaja akibat kondisi keluarga
single parent dan leaflet tentang cara-cara mengatasi trauma psikis yang dihadapi
remaja akibat kondisi keluarga single parent, sehingga dapat meminimalkan
perilaku menyimpang remaja dan perlakuan orang tua yang selama ini cenderung
melemahkan eksistensi.
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “self concep”. Istilah
self di dalam psikologi memiliki dua arti yaitu sikap dan perasan seseorang
terhadap dirinya sendiri, dan suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai
tingkah laku dan penyesuaian diri. Arti yang pertama dapat disebut pengertian
self sebagai objek karena pengertian ini menunjukkan sikap, perasan dan
pengamatan serta penelitian seseorang. Sedangkan pengertian self sebagai proses,
dalam hal ini self adalah suatu kesatuan yang terdiri dari proses aktif seperti
berfikir, mengingat dan mengamati (Suryabrata. 1993: 70).
Menurut Cooley (dalam Rakhmat, 1985: 111-112) pengertian self sebagai
objek dan sebagai proses dapat terjadi karena seseorang melakukannya dengan
melakukannya dengan membayangkan dirinya sebagai orang lain. Lebih lanjut
Cooley menyebut gejala ini sebagai “Looking Glass Self” (cermin diri), yaitu
seakan-akan seseorang menaruh cermin di depannya. Pertama, seseorang
membayangkan bagaimana dirinya tampak pada orang lain, melihat sekilas
dirinya seperti dalam cermin. Kedua, seseorang membayangkan bagaimana orang
lain menilai penampilannya, individu berfikir, orang lain menganggap dirinya
menarik atau tidak menarik.
Menurut Hurlock (1992: 58-59) konsep diri merupakan gambaran yang
dimiliki oleh seorang individu tentang dirinya yang meliputi kondisi fisik,
psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan prestasi. Konsep diri mencakup
citra fisik dan psikologis diri. Citra fisik diri biasanya terbentuk pertama-tama dan
berkaitan dengan penampilan fisik, daya tariknya, dan kesesuaian atau
ketidaksesuaian dengan jenis kelamin serta pentingnya berbagai bagian tubuh
untuk perilaku dan harga dirinya di mata orang lain. Sedangkan citra psikologis
diri sendiri didasarkan atas pikiran, perasaan dan emosi. Citra ini terdiri ats
kualitas dan kemampuan yang mempengaruhi penyesuaian pada kehidupan, sifat-
sifat seperti keberanian, kejujuran, kemandirian dan kepercayaan diri serta
berbagai jenis aspirasi dan kemampuan.
Pietrofesa (dalam Hurlock, 1992: 71-74) menyatakan bahwa konsep diri
merupakan konsepsi hipotesis yang menyangkut semua nilai, sikap dan
kepercayaan terhadap diri seseorang dalam hubungannya dengan lingkungan.
Konsep diri ini terdiri dari berbagai persepsi diri yang dalam tingkat yang luas
mempengaruhi dan menentukan tingkah laku. Lukisan gamblang tentang konsep
diri menurut Pietrofesa terdiri dari tiga dimensi, yaitu:
a. Diri yang dilihat oleh diri sendiri
b. Diri yang dilihat oleh orang lain atau “beginilah saya kira orang lain
memandang saya”
c. Diri idaman, mengacu pada “tipe orang yang saya kehendaki tentang diri
saya”.
Konsep diri merupakan suatu konstruk yang mempengaruhi setiap aspek
dari pengalaman hidup manusia seperti cara berfikir, emosi, persepsi dan perilaku
individu (Calhoun, 1990:60).
Menurut Turner (dalam Calhoun, 1984:145) konsep diri didefinisikan
sebagai “one self-conception is the more overriding view of oneself, a sense of self
through time “The real me”, or I my self as I really am”, artinya konsep diri
sebagai pandangan seseorang atas dirinya sendiri secara riil yang relative stabil
dari waktu ke waktu.
Chaplin (2001:450) self concept (konsep diri ) merupakan evaluasi individu
mengenai diri sendiri, penialain/penaksiran mengenai diri sendiri oleh individu
yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan konsep diri (self concept) adalah pandangan seseorang atas
dirinya sendiri secara riil yang relative stabil dari waktu ke waktu.
2. Dimensi Konsep Diri
Konsep diri memiliki beberapa dimensi dimana tepat tidaknya seseorang
dalam mempersepsi dimensi yang dimiliki akan menentukan positif atau tidaknya
konsep diri orang tersebut (Calhoun-Acocella, 1990:90):
a. Knowledge
Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri,
yakni sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang
menggambarkan orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin,
kewarganegaraan termasuk juga label-label social seperti: democrat,
miskin, golongan menengah kebawah, anggota senat dan lain-lain.
Label lain yang menjadi komponen dari knowledge seseorang adalah
label-label psikologis yang bersifat kualitatif, karena bersifat relative
tergantung pada kelompok pembandingnya, seperti: baik hati, spontan,
mandiri, cerdik, dan lain-lain.
b. Expectations
Ekspektasi atau harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan
terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang
diidealkan (I should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan
kemampuan seseorang dalam memenuhi ekspektasinya.
c. Evaluation
Evaluation yaitu penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni
menilai antara “I-could-be” dan “I-Should-be” (Epstein dalam
Calhoun, 1990:65), atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara
“saya yang seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”. Hasil dari
pengukuran ini akan menghasilkan apa yang disebut self-esteem.
Semakin besar jarak antara keduanya maka self-esteemnya akan
semakin rendah (Rogers, Hingging, et al, dalam Calhoun, 1990:65).
Zanden (1984:147) mengatakan dengan bahas lain yaitu sebagai
perbedaan antara ekspektasi dan performa akan menghasilkan konsep
diri yang rendah.
Evaluasi ini merupakan komponen kekuatan yang cukup ekstrim dari
konsep diri (Marsh, 1987), karena evaluasi ini akan muncul berbagai jenis konsep
diri sebagai gambaran dari derajat nilai konsep diri seseorang. Namun deskripsi
tentang cirri konsep diri positif ataupun negatif disini adalah bersifat ekstrim,
dimana seseorang bisa saja berada diantaranya atau bersifat moderat, yaitu :
1. Konsep diri positif.
Wicklund dan Frey (dalam Calhoun, 1990:67) menyatakan bahwa
seseorang yang memiliki konsep diri positif adalah memiliki cukup
pengetahuan akan dirinya sendiri. Chodorkoff (dalam Calhoun, 1990)
menyatakan bahwa cirri konsep diri positif adalah seseorang yang
mampu menerima semua informasi tentang dirinya baik yang negatif
maupun yang positif karena mampu melihat kenyataan seperti apa
adanya, tetapi bukan berarti tidak merasa terganggu dengan hal yang
bersifat negatif. Penerimaan diri seperti ini membuat seseorang juga
bisa menerima orang lain apa adanya sebagaimana Erich Fromm (
dalam Calhoun, 1990): “The Love of one self is a prerequisite for
loving others”, sehingga mampu membentuk beberapa persahabatan
yang sifatnyan intim. Seseorang dengan konsep diri positif
menetapkan tujuan hidup secara realistis, walaupun mungkin
berfantasai sekali waktu. Harapan dan pemikiran individu tentang
kehidupan, yaitu apa yang dianggap bisa ditawarkan oleh kehidupan
dan bagaimana cara mencapainya diasimilasikan dengan seluruh
pengalaman pribadinya. Hal ini membuatnya tidak merasa terancam
dengan informasi baru dan juga tidak cemas terhadapnya. Individu
dengan konsep diri negatif hidup dengan berbagai defens sementara
itu individu dengan konsep diri positif menghadapi hidupnya dengan
bebas. Hidup baginya adalah proses menemukan, karenanya individu
tersebut bereaksi dengan penuh semangat, spontan dan simple, dengan
begitu seseorang mampu memperlakukan orang lain dengan hangat
dan rasa hormat tanpa ada rasa curiga yang tidak semestinya seperti
adanya prasangka-prasangka social. Hal tersebut juga dikarenakan
adanya apresiasi yang baik terhadap hal-hal yang menyangkut
kemanusiaan, dan membuatnya tidak terlalu terikat pada hal-hal yang
bersifat konvensional. Cara menghadapi hidup yang demikian itu
membuat seseorang merasa hidup adalah menarik dan berharga.
Memiliki inner-strength yang membantunya untuk terus survive dari
tekanan dan menjadikannya kukuh dalam bersikap bahkan ketika
orang lain tidak setuju dengannya. Punya misis dalam hidup dan
mampu membuat keputusan sesuai dengan tujuan tersebut meskipun
berarti berkorban dan frustrasi sementara. Memiliki ide yang jelas
tentang benar dan salah.
2. Konsep diri negatif.
Ada dua tipe konsep diri negatif, yang pertama adalah cara pandang
seseorang terhadap dirinya sendiri sebagai seseorang yang
disorganized (perasaan tidak terorganisasi), perasaan tidak stabil dan
diri yang tidak terintegrasi. Individu yang bersangkutan tidak
memiliki pengetahuan yang cukup tentang dirinya sendiri, apa
kekuatan dan kelemahan dirinya atau apa yang berharga dari
hidupnya. Terutama bagi orang dewasa hal ini merupakan tanda dari
pribadi yang tidak adaptif (maladjustment). Tanda kedua hampir
merupakan kebalikan dari yang pertama yaitu konsep diri yang terlalu
stabil dan terlalu terorganisir (rigid). Individu ini menciptakan suatu
self-image yang tidak mengijinkan sedikitpun adanya penyimpangan
dari apa yang sudah ditetapkan dalam diri individu yang bersangkutan.
Dua jenis konsep diri negatif ini, sama melahirkan kecemasan, yaitu
suatu perasaan terancam. Individu dengan konsep diri yang
disorganized dan sempit tidak memiliki bagian-bagian mental yang
mampu saling menghubung-hubungkan informasi-informasi yang
bermasalah untuk diuraikan, tetapi justru mereka mendistrorsi atau
menolak informasi-informasi tersebut dalam bentuk defens-defens.
Dobson dan Shaw (dalam Calhoun, 1990:66) menyatakan bahwa
konsep diri negatif seseorang berhubungan dengan depresi klinis.
Individu dengan konsep diri negatif berharap terlalu sedikit atau
bahkan terlalu besar terhadap dirinya (Rotter, 1954. Artinya seorang
individu dengan konsep diri negatif adalah seseorang yang mungkin
terlalu keras (rigid) pada diri sendiri karena menganggap dirinya
terlalu berharga, sehingga tidak bisa menerima kelamahan yang
dimiliki dan biasanya hal ini diproyeksikan dengan cara merendahkan
orang lain. Bisa juga sebaliknya, yaitu justru menganggap dirinya
tidak cukup berharga sehingga melahirkan perasaan rendah diri secara
terbuka.
Menurut Symond (dalam Suryabrata, 1982: 300) konsep diri memiliki
beberapa aspek yaitu:
a. Bagaimana orang mengamati dirinya sendiri
b. Bagaimana orang berfikir tentang dirinya sendiri
c. Bagaimana orang menilai dirinya sendiri
d. Bagaimana orang berusaha dengan berbagai cara untuk
menyempurnakan dan mempertahankan diri.
Pembagian yang lebih rinci dikemukakan oleh Robinson ( dalam Calhoun,
1990: 68) yang menjabarkan konsep diri ke dalam lima kategori yaitu:
a. Diri fisik, pandangan seseorang terhadap fisik, kesehatan, penampilan
diri dan gerak motoriknya.
b. Diri keluarga, pandangan dan penilaian seseorang sebagai anggota
keluarga serta harga dirinya sebagai anggota keluarga.
c. Diri pribadi, bagaimana seseorang menggambarkan identitas dirinya
dan bagaimana ia menilai dirinya sendiri.
d. Diri moral etik, bagimana pandangan dan penilaian seseorang
terhadap hubungan pribadi dengan Tuhan YME.
e. Diri sosial, bagaimana nilai diri seseorang dalam melakukan interaksi
sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri mencakup
keseluruhan aspek pribadi individu yang didasari atas pandangan, pendapat,
perasaan dan penilaian terhadap dirinya sendiri yang sekaligus melahirkan
penghargaan bagi dirinya. Aspek yang dimaksud terdiri dari diri fisik, diri pribadi,
diri keluarga, diri keimanan dan diri sosial.
3. Pembentukan dan Perkembangan Konsep Diri.
Konsep diri bukan faktor yang dibawa sejak lahir melainkan faktor yang
dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan
individu lain. Konsep diri terbentuk dari proses umpan balik dari individu lain.
Orang yang pertama kali dikenal adalah orang tua atau anggota keluarga yang
lain. Ini berarti inidividu akan menerima tanggapan (umpan balik) pertama dari
keluarga. Barulah selanjutnya setelah mampu melepaskan ketergantungannya
individu akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas (Pudjijogyanti
(1999:12).
Pola kepribadian yang dasarnya telah diletakkan pada masa bayi, mulai
terbentuk pada awal masa kanak. Orang tua, saudara kandung dan sanak saudara
yang lain merupakan dunia sosial bagi anak, sehingga bagaimana perasaan mereka
terhadap anak dan bagaimana perlakuan mereka merupakan faktor penting dalam
pembentukan konsep diri dan sebagai inti pola kepribadian. Ini sebabnya
dikatakan bahwa konsep diri anak terbentuk dalam hubungan keluarga (Hurlock,
1992: 132). Keluarga yang mampu memberikan rasa aman pada anak, yaitu
mampu menerima anak, menghargai dan memberikan patokan yang jelas kepada
anaklah yang mampu mengembangkan konsep diri yang positif (Pudjijogyanti,
1999: 36).
Menurut Papalia (1990:459) dasar konsep diri adalah pengetahuan kita
tentang apa yang kita punya dan apa yang akan kita lakukan. Hal ini akan
berfungsi sebagai pemandu kita untuk memutuskan apa yang akan kita lakukan.
Adanya kesadaran diri terhadap kenyataan akan dimulai pada masa muda, terpisah
dari orang lain dan biasanya diikuti oleh refleksi kegiatan kita pada standar
hubungan sosial. Pada usia 3 tahun seseorang akan berfikir bahwa ia lebih banyak
mendapat aturan dari dalam, namun pada usia 6 atau 7 tahun seseorang akan
mulai membagi dirinya dalam aturan psikologis yang kemudian akan berkembang
terus hingga ia meningktakan konsep “Siapa Dia” (konsep diri yang nyata) dan
juga bagaimana ia seharusnya “bertindak seperti apa” (konsep diri yang ideal).
B. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Higgins (dalam Henderson dan Milstein, 2003:7) mendeskripsikan bahwa
resiliensi merupakan proses pertumbuhan dan pembenahan diri. Sedangkan Luthar
(2000:6) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses dinamis dengan jalan
dimana individu-individu menunjukkan fungsi adaptif dalam menghadapi
kesengsaraaan yang signifikan.
Menurut Grotberg (1999: 6) resiliensi adalah kapasitas manusia untuk
menghadapi, menanggulangi, belajar atau bahkan ditransformasikan oleh
kesengsaraan.
Wollin (dalam Henderson dan Milatein, 2003: 7) mendefinisikan resiliensi
sebagai kapasitas untuk dapat pulih kembali, bertahan menghadapi penderitaan
dan memperbaiki diri.
Menurut Mar’at (2005:228) resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan
atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok, masyarakat yang
memungkinkan untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan
menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi- kondisi yang tidak
menyenangkan, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan
menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi.
Henderson dan Milstein (2003 :8) mendefinisikan resiliensi sebagai
kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari tekanan hidup, belajar dan
mencari elemen positif dari lingkungannya untuk membantu mencapai kesuksesan
melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dan mengembangkan seluruh
kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal
maupun internal.
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari
tekanan hidup, belajar dan mencari elemen posistif dari lingkungannya, untuk
membantu mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan
dan mengembangkan seluruh kemampuannya, meski berada dalam kondisi hidup
tertekan, baik secara eksternal maupun internal.
2. Sumber Pembentukan Resiliensi
Menurut Grotberg (1999 : 12) resiliensi berasal dari 3 sumber, yaitu :
1. Saya Memiliki (I Have)
I Have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan
individu terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan sosisl
terhadap dirinya. Beberapa kualitas I have yang memberikan sumbangan
bagi pembentukan resiliensi, yaitu :
i. Satu atau lebih orang di dalam keluarga saya yang dapat saya percaya
dan yang mencintai saya tanpa syarat. Satu atau lebih orang di luar
keluarga saya yang dapat saya percaya tanpa syarat.
ii. Batas-batas terhadap perilaku saya.
iii. Orang-orang yang mendorong saya untuk bersikap independen.
iv. Model peran yang bagus.
v. Akses kesehatan, pendidikan dan layanan sosial dan rasa aman yang
saya perlukan.
vi. Keluarga dan komunitas yang stabil.
2. Saya (I Am)
I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan pribadi
yang dimilki oleh banyak individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan
keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang dimiliki I am adalah :
i. Seseorang yang paling disukai oleh kebanyakan orang
ii. Pada umunya bersifat tenang dan baik.
iii. Pencapaian yang memiliki rencana ke depan
iv. Seseorang yang menghormati diri saya dan orang lain.
v. Bersikap empati dan peduli kepada orang lain.
vi. Bertanggungjawab terhadap perilaku saya sendiri dan menerima
akibat-akibatnya.
vii. Percaya diri, optimistik, penuh harapan dengan kepercayaan.
3. Aku dapat (I Can)
I can merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja yang
dapat dilakukan individu sehubungan dengan keterampilan-keterampilan
sosial dan interpersonal. Keterampilan-keterampilan ini meliputi :
i. Berkomunikasi
ii. Memecahkan masalah
iii. Mengelola perasaan dan impuls-impuls.
iv. Mengukur temperamen sendiri dan orang lain.
v. Menjalin hubungan hubungan yang saling mempercayai.
3. Faktor-Faktor Pendukung Resiliensi
Faktor-faktor penunjang resiliensi menurut Newman dan Sarah (2002)
dibagi menjadi tiga dimensi :
a. Individu
Individu memiliki kemampuan sosial yang baik, empatis, rasa humor,
intelegensi baik dan aktif, serta mampu membimbing atau mengontrol
diri.
b. Keluarga
Resiliensi bisa ditingkatkan dengan dukungan orang tua yang hangat,
hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis dan menghargai
tugas-tugas sosial.
c. Lingkungan
Lingkungan yang dapat mengembangkan resiliensi yaitu lingkungan
yang di dalamnya antar keluarga saling memberi dukungan dan
sekolah yang juga mendorong penghargaan terhadap tugas-tugas
sosial.
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Milstein dan Henderson (2003) melihat dua faktor yang mempengaruhi
resiliensi, yaitu faktor internal (individu) dan eksternal. Kedua faktor ini menjadi
sumber sekaligus menjadi ciri dari individu dan lingkungan (termasuk keluarga)
yang resilien.
a) Faktor internal
i. Memberikan kesempatan pada diri untuk melayani orang lain
ii. Menggunakan kesempatan hidup dengan membuat keputusan yang
baik, sikap tegas, mengontrol impuls, dan menyelesaikan masalah.
iii. Suka bergaul dan mampu menjadi teman dalam hubungan yang positif
iv. Memiliki rasa humor
v. Percaya pada kemampuan diri mengatasi pengaruh lingkungan di
sekitarnya.
vi. Mandiri dan bebas.
vii. Memiliki pandangan positif tentang masa yang akan datang
viii. Fleksibel.
ix. Kapasitas untuk mengerti dalam proses belajar
x. Memiliki motivasi hidup
xi. Memiliki pandangan baik terhadap kompetensi seseorang
xii. Memiliki perasaan berharga dan percaya terhadap dirinya
b) Faktor eksternal
i. Mendorong ikatan persahabatan
ii. Penghargaan dan dorongan akan pendidikan
iii. Menekankan pada kehangatan yang tinggi dan rendahnya gaya
mengkritisi dalam berinteraksi.
iv. Menetapkan dan menjalankan batas yang jelas (aturan, norma, hukum)
v. Membina hubungan yang mendukung dengan memberi banyak
perhatian
vi. Mengembangkan tanggung jawab, pelayanan untuk orang lain,
“memberikan pertolongan”.
vii. Menyediakan jalan (sarana) sebagai sumber daya untuk melakukan
pertemuan-pertemuan terkait kebutuhan dasar, kesehatan dan rekereasi.
viii. Memberi kesemaptan ekspresi harapan yang tinggi dan realistis untuk
sukses.
ix. Dorongan untuk menentukan dan meraih cita-cita.
x. Mendorong pertumbuhan nilai prososial (seperti altruisme) dan
ketrampilan kerjasama.
xi. Adanya kepemimpinan yang membuat keputusan dan kesempatan yang
lain untuk ikut dalam peran serta yang bermakna.
xii. Menghargai bakat atau kemampuan yang unik pada setiap individu.
5. Upaya Untuk Membangun Resiliensi Pada Individu
Menurut American Psychological association (2003 : 37) Ada 13 langkah
yang dapat dipakai untuk membangun resiliensi:
1. Menjalin Hubungan.
Hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga lain atau orang lain
adalah penting. Akan memperkuat resiliensi pada diri individu
2. Menghindari melihat krisis sebagai masalah yang tidak dapat diatasi.
Selama individu tidak dapat mengubah fakta bahwa kejadian-kejadian
yang menekan benar-benar terjadi, individu dapat mengubah bagaimana
menginterpretasikan dan merespon kejadian-kejadian tersebut.
3. Menerima bahwa perubahan adalah bagian dari kehidupan.
Tujuan-tujuan khusus mungkin tidak lagi dapat dicapai sebagai akibat dari
situasi yang merugikan. Penerimaan keadaan yang tidak dapat diubah
dapat membantu individu memfokuskan pada keadaan yang dapat individu
ubah.
4. Bergerak ke arah tujuan-tujuan individu.
Kembangkan beberapa tujuan realistis dan lakukan sesuatu secara reguler
yang memudahkan individu untuk bergerak ke arah tujuan individu yang
ingin dicapai, meskipun ini nampak seperti pencapaian kecil belaka.
5. Mengambil tindakan tegas.
Mengambil tindakan tegas dalam situasi yang merugikan sebanyak
mungkin. Mengambil tindakan tegas, bukan mengharapkan masalah dan
stres serta keinginan itu jauh dari dhadapan individu. Tindakan yang tegas
akan mampu menanggulangi hal-hal yang bermasalah.
6. Mencari peluang untuk menemukan diri sendiri.
Kebanyakan orang yang mengalami tragedi dan kesulitan, melaporkan
hubungan yang lebih baik, pemahaman yang lebih besar tentang kekuatan
personal, bahkan selama perasaannya merasa rentan, pemahaman yang
meningkat tentang kebergunaan diri, spiritualitas yang berkembang dan
apresiasi yang tinggi terhadap kehidupan.
7. Memelihara pandangan positif terhadap diri individu.
Pengembangan kepercayaan dan kemampuan individu dalam memacahkan
masalah dan percaya terhadap insting individu akan membantu ketabahan.
8. Menjaga sesuatu dalam perspektifnya.
Ketika menghadapi kejadian-kejadian yang menyakitkan, mencobalah
untuk mempertimbangkan situasi yang menekan dalam konteks luas dan
menjaga perspektif jangka panjang. Menghindari kejadian yang ada diluar
proporsinya.
9. Mempertahankan pengamatan yang cermat.
Pengamatan yang cermat akan memudahkan individu untuk mengharapkan
bahwa sesuatu yang baik akan terjadi dalam kehidupan individu. Mencoba
untuk menvisualisasikan apa yang individu inginkan, bukan menakutkan
apa yang individu takutkan.
10. Menjaga diri sendiri.
Mencurahkan perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan dan perasaan-
perasaan individu. Melibatkan diri individu dalam aktivitas-aktivitas yang
dapat individu nikmati dan individu temukan dapat memberikan
ketenangan.
11. Belajarlah dari pengalaman.
Pemfokusan pengalaman-pengalaman masa lalu dan sumber-sumber
kekuatan personal dapat membantu individu mempelajari tentang apa
strategi-strategi untuk membangun ketabahan individu.
12. Tetaplah bersikap fleksibel.
Resiliensi meliputi perawatan fleksibilitas dan keseimbangan dalam
kehidupan individu selama individu menghadapi kedaan yang menekan
dan kejadian-kejadian traumatik.
13. Menyempurnakan perjalanan diri sendiri.
Pengembangan resiliensi adalah sama dengan pengambilan rakit untuk
menyusuri sungai. Ketekunan dan kepercayaan terhdapa kemampuan diri
sendiri untuk bekerja dengan cara yang baik dan menangani rintangan-
rintangan lain adalah penting. Individu dapat memperoleh keberanian dan
pengetahuan dengan menavigasi diri sendiri melalui air yang jernih.
B. Support Group Therapy
1. Pengertian Support Group Therapy
Support Group Therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing
informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan
sekaligus proses saling belajar dan menguatkan (Yalom, 1985). Tujuan utama dari
Support Group Therapy adalah tercapainya kemampuan coping yang efektif
terhadap masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda, 1989).
Support group therapy adalah suatu proses terapi pada suatu kelompok yang
memiliki permasalahan yang sama untuk mengkondisikan dan memberi
penguatan pada kelompok maupun perorangan dalam kelompok sesuai dengan
permasalahnnya (Seligman and Laura, 1990).
Menurut Yalom (1985) adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing
informasi tentang permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan
sekaligus proses saling belajar dan menguatkan.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa support group
therapy adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan kelompok sebaya
yang memiliki problem yang relatif sama dengan cara sharing informasi tentang
permasalahan yang dialami serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses
saling belajar dan menguatkan dimana tujuan utamanya adalah tercapainya
kemampuan coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami
2. Karakteristik Support Group Therapy sebagai Terapi Kelompok
Workshop Konseling Trauma NAD (2003) menjelaskan bahwa Support
Group Therapy memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan Self Help
Groups dan konseling kelompok dalam struktur dan tujuannya, diantaranya :
a. Sama-sama menekankan pada interaksi tatap muka antar sesama anggota.
b. Sama-sama memiliki tujuan umum dalam perubahan pribadi.
Menurut Lakin (1985) :
a. keduanya sama-sama menekankan pada ekspresi emosi dan katarsis.
b. Kedunya sama-sama menerapkan perubahan perilaku dan mengajarkan
coping strategies yang lebih efektif.
Selain memiliki beberapa persamaan dengan group therapy lainnya, support
group therapy juga memiliki beberapa karakteristik penting, antara lain :
a. Anggota dari support group therapy saling sharing masalah yang sama.
b. Masalah yang dihadapi diterima sebagai “stigmatized attribution” atau
masalah yang telah mendapat atribusi stigma dari masyarakat.
c. Tujuan dasar dari support group adalah meningkatkan kemampuan coping
anggotanya.
d. Support group juga mengevaluasi setiap aspek terkecil dalam masalah
sebagai fungsi grup.
Adapun perbedaan karakteristik antara self help groups dengan support
group therapy adalah :
a. Pemimpin dari Self Help Group adalah orang yang juga mengalami
pengalaman yang sama dengan masalah yang dihadapi klien. Sedangkan
pemimpin support group adalah selain orang yang profesional yang mana
memiliki pengetahuan, memiliki pengalaman yang sama, dan
bertanggung jawab pada proses dalam group (Seligman & Marshak,
1990).
b. Support group lebih diperuntukkan pada populasi yang belum mampu
mengorganisir dirinya sendiri. Seperti halnya anak-anak yang belum
mampu membentuk self help group sendiri melainkan lebih cocok
berinteraksi dan sharing dengan teman sebaya yang memiliki
permasalahan yang sama. Oleh karenanya, support group lebih banyak
diperuntukkan untuk anak-anak yang kehilangan harapan, serta anak-
anak yang mengalami pelecehan seksual (Gitterman & Shulman, 2003).
3. Faktor – faktor Terapeutik dalam Terapi Kelompok
Yalom (1985), mengidentifikasikan 10 faktor terapeutik dalam terapi
kelompok, meliputi:
1. Membangkitkan harapan (instillation of hope)
Membangkitkan dan memelihara harapan itu sangat penting dalam semua
jenis psikoterapi. Harapan tidak hanya dibutuhkan agar pasien tetap
mengikuti terapi sehingga faktor-faktor terapeutik lainnya efektif, tetapi
keyakinan terhadap kemanjuran bentuk treatment dapat merupakan faktor
terapeutik yang efektif.
2. Universalitas (universality)
Dalam terapi kelompok, terutama pada tahapan awal dikonfirmasi
perasaan unik pasien merupakan sumber yang kuat dalam menciptakan
perasaan lega. Setelah mendengar pengungkapan diri pasien/klien lain,
pasien akan lebih merasa lebih dekat dengan dunia dan akan merasa
senasib sepenanggungan, seperti yang diumpamakan oleh Yalom “berada
dalam kapal yang sama”.
Dalam support group therapy, konsep utama yang ditekankan adalah
saling memberikan dukungan antar teman sebaya. Sebelum konsep utama
ini ditegakkan, setiap klien juga harus mampu mengungkapkan diri
dalam kelompok. Selanjutnya terapis memfasilitasi agar apa yang dialami
dan dirasakan oleh seorang klien dapat dirasakan juga oleh klien yang
lain. Sehingga, terciptalah rasa senasib dan sepenanggungan di kalangan
anggota kelompok.
3. Penyampaian informasi (imparting of information)
Dalam proses terapi kelompok, pasien/klien akan banyak belajar tentang
psikis, arti bermacam-macam gejala, dinamika interpersonal dan
kelompok, dan proses psikoterapi, yang diberikan terapis secara implisit.
Namun, ada juga pendekatan terapi kelompok yang memberikannya
melalui pengajaran formal, yang mana bertujuan sebagai faktor pengikat
hingga faktor-faktor terapeutik lain terbentuk.
3. Altruism
Dalam kelompok terapi, pasien juga menerima melalui memberi, tidak
hanya bagian dari sekuen saling memberi dan menerima tetapi juga dari
tindakan intrinsik untuk memberi. Pasien atau klien yang baru mengikuti
terapi, kadangkala merasa bahwa keberadaan dirinya adalah beban,
sehingga ketika pengalaman dirinya memiliki arti penting bagi orang
lain, akan menyegarkan jiwa dan meningkatkan harga dirinya.
4. Rekapitulasi korektif kelompok keluarga primer
Dalam berbagai aspek, terapi kelompok dapat menyerupai keluarga.
Dalam sebuah kelompok terdiri dari laki-laki dan perempuan, sengaja
agar konfigurasinya sedapat mungkin mirip dengan keluarga. Pasien atau
klien diharapkan dapat berinteraksi dengan semua anggota kelompok
terapi seperti halnya berinteraksi dengan orang tua dan saudara mereka di
rumah.
5. Pengembangan teknik sosialisasi (development of socializing techniques)
Social learning – pengembangan keterampilan sosial dasar – merupakan
satu faktor terapeutik yang beroperasi dalam semua kelompok terapi.
6. Perilaku imitatif (imitative behavior)
Dalam terapi kelompok yang dinamis dengan aturan-aturan dasar untuk
mendorong umpan balik yang terbuka, pasien dapat memperoleh banyak
informasi tentang perilaku sosial maladaptif. Misalnya, pasien dapat
belajar tentang kecenderungan yang membingungkan untuk menghindari
menatap temannya, bercakap-cakap, atau tentang kesan orang lain
mengenai sikap angkuhnya, atau tentang berbagai macam kebiasaan
sosial lainnya yang tanpa disadari olehnya merupakan penyebab
buruknya hubungan sosialnya. Bagi individu yang tidak memiliki
hubungan intim, kelompok sering merupakan kesempatan pertama untuk
mendapatkan umpan balik interpersonal yang akurat.
7. Belajar interpersonal (interpersonal learning),
Mekanisme interpersonal learning sebagai satu faktor terapeutik adalah:
a. Tugas psikoterapi adalah membantu pasien belajar cara
mengembangkan hubungan interpersonal yang bebas distorsi dan
memuaskan.
b. Kelompok psikoterapi, asalkan perkembangannya tidak terganggu
oleh keterbatasan struktural yang parah, berkembang menjadi satu
mikrokosme sosial, sebuah penjelmaan mini dari dunia sosial
pasien.
c. Anggota kelompok, melalui validasi konsensus dan observasi diri,
menjadi sadar akan aspek-aspek penting dari perilaku
interpersonalnya: kekuatannya, keterbatasannya, distorsi, dan
perilaku maladaptifnya yang menimbulkan respon yang tak
diharapkan dari orang lain. Pasien belum pernah belajar
membedakan antara aspek-aspek baik dan buruk dari perilakunya.
Kelompok terapi, dengan dorongan umpan balik yang tepat, dapat
membuat pasien memahami perbedaan itu.
8. Kohesivitas kelompok (group cohesiveness)
Yalom (1985) menjelaskan bahwa kohesivitas kelompok dalam terapi
kelompok merupakan model utama dalam membantu pasien. Semakin
tinggi kohesivitas kelompok, semakin tinggi pula hasil yang didapat.
Individu dengan hasil yang positif menunjukkan kepuasan dalam
hubungan interpersonal satu sama lain. Dalam kohesivitas kelompok
yang tinggi menunjukkan tingginya tingkat pengungkapan diri (self
disclosure).
Seperti halnya dalam support group therapy, salah satu titik yang
ditekankan dalam proses terapi adalah peserta dapat saling memberikan
support satu sama lain. Oleh karenanya, salah satu teknik mengawalinya
yang digunakan untuk menjalin keakraban antar peserta dan antar terapis
adalah dengan menggunakan metode ice breaking. Hasil berbagai
penelitian sangat mendukung kesimpulan bahwa keberhasilan terapi
didukung oleh hubungan antara terapis dan pasien, hubungan yang
ditandai dengan kepercayaan, kehangatan, pemahaman empatik, dan
penerimaan.
9. Perasaan lega atau katarsis
Katarsis adalah mengungkapkan perasaan, baik positif maupun negatif.
Katarsis erat kaitannya dengan kohesivitas kelompok. Dengan
melakukan katarsis seseorang akan merasakan kelegaan karena merasa
bebannya berkurang.
10. Faktor-faktor eksistensial (existential factors)
Pendekatan existential factor therapeutic mengacu pada kesadaran akan
kematian, kebebasan, isolasi, dan tujuan hidup.
4. Pembentukan Kelompok dalam Terapi Kelompok
Pertimbangan-pertimbangan persiapan sebelum sebuah kelompok
mengawali pertemuan, terdapat hal-hal tertentu yang harus diputuskan. Terapis
harus menetapkan tempat pertemuan yang tepat dan menetapkan kebijakan
mengenai penerimaan anggota baru, frekuensi pertemuan, durasi setiap sesi, dan
jumlah anggota kelompok.
a. Setting fisik
Pertemuan dapat diadakan dalam sembarang setting fisik ruangan
asalkan ruangan itu menjamin privasi dan terbebas dari gangguan
perhatian.
b. Waktu
Terapis kelompok pada umumnya sepakat bahwa sekurang-kurangnya
60 menit dibutuhkan untuk pemanasan dan untuk pemaparan dan
pembahasan tema utama dalam satu sesi. Juga terdapat konsensus di
kalangan para terapis bahwa titik jenuh dicapai sesudah sekitar dua jam
: kelompok menjadi letih, bolak-balik, dan tidak efisien. Di samping itu,
banyak terapis tampaknya berfungsi terbaik dalam segmen 80 hingga
90 menit; sesi yang lebih lama sering mengakibatkan keletihan, yang
membuat terapis kurang efektif dalam sesi-sesi berikutnya pada hari
yang sama. Frekuensi pertemuan bervariasi dari satu hingga lima kali
seminggu. Yalom lebih menyukai dua kali seminggu.
c. Jumlah Anggota Kelompok
Jumlah anggota kelompok dapat berkisar antara 5 hingga 10 orang,
tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7
atau 8 orang.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau “ tumbuh
menjadi dewasa (Hurlock, 1980). Masa Remaja merupakan masa transisi antara
masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik
fisik, kognitif, maupun sosial. Masa remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12
tahun hingga sekitar usia 20an (Erickson dalam Sprinthall & Collins, 1995;
Papalia, Old, & Feldman, 2001).
Masa remaja adalah masa transisi dalam periode masa kanak-kanak ke
periode masa dewasa, yang mana periode ini dianggap sebagai masa yang sanagt
penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian
individu. Para ahli membagi masa remaja dalam dua periode, yaitu masa remaja
awal (early adolesence) dengan batasan umur antara 13 sampai 17 tahun dan
periode remaja akhir dengan batasan umur sekitar 17 sampai 18 tahun (Hurlock,
1992:47).
Menurut Monks (2001:219) remaja adalah suatu masa peralihan antara masa
remaja dan masa dewasa. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu masa adolesensi
berkisar antara usia 12-18 tahun dan masa pemuda berkisar antara usia 19 – 24
tahun.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan remaja adalah transisi antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang
disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif, maupun sosial, dimana masa
remaja dimulai pada sekitar usia 11 atau 12 tahun hingga sekitar usia 20an.
2. Ciri-ciri remaja.
Menurut Hurlock (1992:207-209) ciri-ciri remaja sebagai berikut :
1. Pertumbuhan fisik
Remaja akan mengalami perubahan fisik dengan cepat, lebih cepat
dibandingkan dengan perubahan masa kanak-kanak dan dewasa.
2. Perkembangan Seksual.
Pada remaja sudah timbul ciri-ciri seks primer dan seks skunder
3. Cara berpikir kausalitas.
Menyangkut hubungan sebab akibat, remaja sudah mulai mampu
berpikir kritis.
4. Emosi yang meluap-luap
Remaja masih memiliki emosi yang labil dan emosinya lebih menguasai
dirinya dibanding berpikir realita.
5. Mulai tertarik dengan lawan jenis
Remaja mulai tertarik dengan lawan jenisnya dan mulai berpacaran.
6. Menarik perhatian lingkungan
Remaja mulai menarik perhatian dari lingkungan mereka dan berusaha
mendapatkan status dan peran.
7. Terikat dengan kelompok.
Remaja lebih tertarik pada kehidupan peer group sehingga seringkali
orang tua dinomor duakan dan kelompok harus dinomor satukan.
3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja.
Sepanjang rentang kehidupan, manusia berkembang melewati 13 Fase
(Hurlock, 1992: 10) yang dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri tugas
perkembangan masing-masing. Setiap fase memiliki tugas-tugas tertentu sebagai
fungsi dari peran yang harus dijalani. Tugas-tugas perkembangan remaja adalah
sebagai berikut :
a. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik
pria maupun wanita.
b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
c. Menerima kedaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang
dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karir ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinandan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideologi.
D. Single Parent (Orang Tua Tunggal)
1. Pengertian Orang Tua Tunggal (Single Parent)
Undang Undang Republik Indonesia No: 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dalam pasal 1 menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa.
Orang tua tunggal adalah orang tua yang didalam membina rumah
tangganya hanya seorang diri tanpa adanya pasangan. Orang tua yang demikian
ini menjalankan dua peran, yaitu peran sebagai ayah dan sebagai ibu bagi anak-
anaknya dan lingkungan sosialnya (Balson, 1993:90).
Menjadi orang Tua tunggal bisa dikarenakan terjadi perceraian atau
kematian salah satu pasangan dalam keluarganya. Menurut Makhfudz (1989:40)
perceraian adalah suatu keadaan dimana kedua pasangan yang tadinya bergabung
dalam suatu keluarga dimana salah satu anggota keluarga meninggal (terutama
orang tua).
Keluarga yang berorangtua tunggal faktor keutuhan keluarganya sudah tidak
terpenuhi. Yang dimaksudkan keutuhan keluarga ialah keutuhan dalam struktur
keluarga yaitu; ayah, ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayah atau ibu,
maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi (Gerungan, 1988:190).
Berdasarkan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan orang tunggal (single parent) adalah orang tua yang didalam membina
rumah tangganya hanya seorang diri tanpa pasangan.
2. Faktor Penyebab Terjadinya Orang Tua Tunggal
Menurut Makhfudz (1989:43) ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
terjadinya orang tua tunggal, yaitu :
a. Perceraian.
Ciri ciri keluarga yang cerai adalah :
1. Salah satu dari orang tua sudah tidak tinggal serumah atau pisah
ranjang.
2. Salah satu dari kedua orang tua pergi jauh tanpa kabar berita
sehingga tidak jelas statusnya cerai atau tidak
3. Kedua orang tua jelas berpisah/bercerai secara sah.
b. Kematian salah satu pasangan.
Kematian orang tua secara tiba-tiba membuat anggota keluarga
terguncang hebat. Musibah itu sering menimbulkan kesedihan, rasa
berdosa, dan lain sebagainya. Perasaan duka adalah suatu emosi yang
wajar, sehingga disini peran orang tua untuk meyakinkan anak dengan
sikap empati sambil mengarahkan pikiran anak agar dapat menyesuaikan
diri dengan kenyataan sangat diperlukan, sehingga irama kehidupan
keluarga kembali normal dalam waktu yang tidak terlalu lama.
3. Pengaruh Orangtua Tunggal terhadap Keluarga
Seperti telah diketahui bersama bahwa perkawinan adalah langkah pertama
dalam pembentukan suatu keluarga dan perkawinan akan serasi apabila terdapat
kesesuaian antara kedua belah pihak. Kesesuaian ini merupakan syarat yang bila
tidak terpenuhi maka suatu keluarga akan mengalami kegagalan.
Fungsi utama keluarga disini adalah mendidik dan membimbing anak-
anaknya. Dapat dikatakan bahwa wanita merupakan benteng yang kuat bagi
kehidupan keluarga karena seorang ibu lebih dekat dengan anak-anaknya. Apabila
dalam suatu keluarga terjadi perceraian atau kematian salah satu orang tua, maka
akan terjadi ketimpangan dalam keluarga tersebut. Anak akan menjadi kehilangan
rasa aman, kasih sayang, perhatian dan peran figur dalam keluarganya.
Perpisahan anak dengan orang karena perceraian berbeda dengan
perpisahan karena salah satu orang tua meninggal dunia. Perceraian biasanya
didahului oleh konflik, yang tentunya suasananya berbeda dengan suasana duka
karena ayah atau ibu meninggal. Anak yang orang tuanya meninggal cenderung
mengalami depresi dan kesedihan yang mendalam, sementara anak yang orang
tuanya bercerai cenderung mengalami ketegangan atau rasa takut atau merasa
tidak aman. Anak-anak yang berasal dari keluarga yang berorang tua tunggal
kemungkinan menjadi anak nakal dari pada keluarga yang utuh. Kegagalan peran
dalam rumah tangga berakibat merusak. Penelitian yang dilakukan Goode
(1991:205) menemukan bahwa banyak remaja yang memiliki persoalan
penyesuaian pribadi lebih banyak berasal dari keluarga dengan konflik
perkawinan yang terus menerus atau perpisahan dari keluarga yang terpecah
karena perceraian atau kematian.
4. Problema Orangtua Tunggal
Menurut Hoerjan (dalam Sanusi, 1996:150) problema orang tua tunggal
sangat bervariasi meskipun kasusnya berbeda-beda, tetapi tetap ada beberapa
kesamaan. Hampir semua orang tua tunggal mula-mula menghayati semacam
depresi yang ditandai berkurangnya gairah hidup, kecemasan yang dihayati
sebagai rasa takut, khawatir, was-was, gelisah yang tidak tentu dan kebingungan.
Berbagai keadaan ini semacam keadaan darurat (krisis) yang perlu dicari jalan
keluarnya.
Pada pola pengasuhan, secara kultural orang tua tunggal menanggung beban
yang tidak ringan, karena pengasuhan anak merupakan tanggungjawab dan cermin
keberhasilan dari seorang ibu. Bagi para ibu, hubungan dengan keluarga dan
pergaulan dengan masyarakat tidak bisa dianggap sepele dan memerlukan
penyesuaian yang baik.
Menurut Sadikun (dalam Sanusi, 1996:216) mengatakan bahwa orang tua
tunggal akan mengalami dilema antara lain:
1. Kepentingan anak (lahir dan batin) dengan tuntutan di masa modern
seperti sekarang ini lebih banyak termasuk kepentingan perkembangan
jiwanya.
2. Trauma perkawinan (rasa tercekam dengan pengalaman lalu).
3. Ekonomi
4. Pertimbangan untuk menikah lagi (karena cinta, rasa sepi, kepentingan
ststus, dan lain-lain).
E. Pengembangan Konsep Diri Dan Resiliensi Remaja dari Keluarga
Single Parent melalui Support Group Therapy.
Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh
seorang anak dalam proses perkembangannya. Menurut Ali dan Asrori (2004) ada
beberapa hal yang dibutuhkan anak, yaitu: kebutuhan akan rasa aman, dihargai,
disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman meliputi
perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara material berarti
pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan, dan sarana yang diperlukan sejauh tidak
berlebihan dan tidak berada diluar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara
mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional,
menjauhkan ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga memiliki
pengaruh penting dan kuat terhadap perkembangan perilaku remaja karena
sebagian besar kehidupannya ada dalam keluarga. Apalagi remaja juga masih
berada dalam fase krisis identitas mereka memerlukan teladan dan dukungan dari
keluarga terutama orang tua. Oleh sebab itu, Jay Kesler (dalam Ali dan Asrori,
2004) menyatakan remaja sangat memerlukan keteladanan dan dukungan dari
orang tua dan orang dewasa lainnya.
Hal tersebut tidak didukung oleh fenomena yang ada sekarang ini dengan
semakin meningkatnya angka perceraian dan kematian menjadikan ikut
meningkatnya komunitas single parent. Menurut Spock (1981) menjadi orang tua
tunggal merupakan suatu tanggung jawab yang berat seperti membuat keputusan
penting diambil sendiri, menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah,
yang terpenting adalah mengasuh dan memberikan pengawasan kepada anak
dilakukan seorang diri, karena setiap anak tetap membutuhkan figur ayah dan ibu
bagaimanapun keadaannya.
Ada beberapa dampak yang akan dialami remaja yang hidup bersama
dengan single parent, mereka memiliki permasalahan yang lebih berat
dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh yaitu memiliki ayah dan ibu. Pada
fase ini remaja sedang mencari – cari pedoman hidup, mencari nasehat, atau
bimbingan, relatif emosi belum stabil, mereka memiliki tugas perkembangan yang
sama dengan remaja lainnya. Disisi lain, kenyataannya orang tua tunggal tidak
dapat memberikan pola pengasuhan yang optimal karena harus berperan ganda.
Orang tua tunggal harus bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehingga
dalam memberikan pengawasan dan pemenuhan kebutuhan kasih sayang terhadap
keluarga kurang maksimal.
Dampak kehilangan ayah atau ibu tidak akan menenggelamkan anak
berlarut – larut, ketika hubungan keluarga tersebut didasarkan atas penghormatan
persamaan, dorongan semangat, dan kepercayaan satu sama lain. Tetapi tidak
semua keluarga memahaminya, sehingga berdampak pada hubungan interpersonal
remaja, dan minat sosialnya (Balson, 1993). Pola hubungan antara orang tua
dengan remaja yang kurang harmonis dapat disebabkan karena kesenjangan umur,
remaja yang pada masanya ingin untuk dimengerti tetapi orang tua memiliki
aturan – aturan yang harus dipatuhi, sehingga remaja menganggap orang tua tidak
dapat mengerti akan kebutuhannya, terlebih ketika orang tua sibuk bekerja,
mereka akan merasa diabaikan (Hurlock, 1992).
Kurang optimalnya peran orang tua single parent dalam pengasuhan anak
karena harus berperan ganda ini dapat berpengaruh pada perkembangan remaja.
Namun hal ini juga sangat tergantung tergantung pada bagaimana remaja
mempersepsikan keadaannya tersebut. Apabila remaja mampu menemukan hal-
hal positif dari dirinya disamping kekurangan-kekurangannya, maka remaja akan
memiliki pandangan proporsional tentang dirinya dan akan memiliki daya
resiliensi yang tinggi ketika dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang
dihadapinya. Namun apabila remaja lebih terpaku pada kekurangan-kekurangan
yang dimilikinya maka remaja akan memiliki konsep diri negatif dan akan
berpengaruh pada hubungan interpersonal dengan orang lain. Hal ini juga akan
berdampak pada perkembangan daya resiliensinya yang juga akan cenderung
rendah apabila remaja dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup.
Proses adaptasi menurut Schneiders (dalam Desmita, 2008) dipengaruhi
oleh bagaimana cara individu bereaksi terhadap manusia disekitarnya termasuk
keluarga, benda – benda dan hubungan yang membentuk realitas dan motivasi
yang diberikan terhadap individu. Beberapa perilaku seperti sikap bermusuhan,
kenakalan, dan semaunya sendiri, semua itu sangat mengganggu hubungan antara
penyesuaian diri dengan realitas, selain itu akan mempengaruhi bagaimana remaja
memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Hal ini diakibatkan karena
adanya ketidak seimbangan antara keharmonisan internal dengan ketegangan jiwa
dan kepuasan dari pemenuhan kebutuhan dan motivasi (Ali dan Asrori, 2004).
Meski peran orang tua cukup besar pada perkembangan remaja, namun
peran kelompok sebaya juga cukup berperan. Salah satu aspek yang berkembang
pada remaja adalah perkembangan sosial, disamping perkembangan fisik dan
emosi. Remaja mulai mengikatkan diri dengan kelompok dan mulai banyak
berinteraksi dengan teman-teman sebayanya. Apabila remaja mampu dan mau
melakukan hubungan interpersonal yang harmonis dengan teman sebayanya,
maka remaja akan merasa aman untuk bereksplorasi terhadap hal-hal atau potensi
yang dimilikinya disamping penerimaan terhadap kekurangan-kekurangannya
(Hurlock, 1992 ). Oleh karena itulah support group therapy dianggap cara yang
dapat meningkatkan konsep diri positif dan berkembangnya daya resiliensi
remaja.
Support group therapy dapat membantu remaja dalam rangka memahami
potensi yang dimiliki, remaja dibantu untuk memiliki harapan, tujuan, standar,
rencana, dan strategi pencapaian tujuan hidup dimasa yang akan datang. Remaja
mampu mengenali cita-cita masa depan berdasar kekuatan positif yang
dimilikinya, mampu membuat rencana-rencana nyata atau konsep untuk
mewujudkan impian masa depannya. Selain itu, remaja juga dibantu menemukan
gambaran diri dan penghargaan diri yang positif agar memiliki optimisme dalam
menghadapi masa depan. Remaja dari kelurga single parent juga dibantu untuk
menemukan konsep dirinya yang real (Real Self) serta pengakuan atas kondisi
nyata yang telah terjadi pada dirinya, karena pada proses support group therapy
setiap anggota kelompok akan berbagi permasalahan dengan teman-temannya,
menemukan solusi secara bersama – sama sehingga dapat meningkatkan self
support.
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Tahun Kedua.
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengembangkan konsep diri
positif sekaligus daya resiliensi remaja dari keluarga single parent melalui
Support Group Therapy, sehingga tersusun alternatif model yang dapat
meminimalkan trauma psikis yang dialami remaja
Melanjutkan penelitian tahun pertama yang bertujuan untuk merumuskan
model support group therapy guna pengembangan konsep diri sekaligus
pengembangan daya resiliensi dari remaja yang berasal dari keluarga single
parent, maka pada tahun kedua ini bertujuan untuk melakukan validasi atas model
yang telah terumuskan.
B. Manfaat Penelitian Tahun Kedua
Tersusunnya model pengembangan konsep diri dan daya resiliensi remaja
berbasis support group therapy akan sangat bermanfaat bagi:
1. Pengembangan Institusi, khususnya lembaga pendidikan (sekolah) dalam
melaksanakan otonomi pendidikan, agar secara terus-menerus
mengoptimalkan upaya-upaya pemikiran yang mengarah pada
pengembangan kelembagaan bagi remaja yang mengalami trauma, agar
memiliki citra diri dan harga diri dalam menjalani kehidupan.
2. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam
menyikapi trauma psikis yang dihadapi remaja dari keluarga single parent
dalam kehidupan bermasyarakat dengan menyusun model pengembangan
konsep diri dan daya resiliensi melalui support group therapy dan panduan
operasional yang berupa buku panduan sehingga luaran dari penelitian ini
sangat berpotensi untuk mendapatkan HaKI. Selain itu hasil penelitian ini
juga berpotensi untuk diterbitkan dalan jurnal terakreditasi nasional
maupun internasional, serta memperkaya bahan ajar.
3. Pengembangan sosial budaya, khususnya dalam mendorong terjadinya
perubahan sosial budaya yang memihak pada remaja dari keluarga single
parent yang mengalami trauma psikis, sehingga terjadi pola relasi yang
harmonis dalam kehidupan di keluarga.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabungan
antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dapat diartikan
sebagai penelitian yang lebih menekankan pada analisis data-data numerikal
(angka) yang diolah dengan menggunakan metode statistika. Pada dasarnya
pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian inferensial (dalam rangka
pengujian hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu
probabilitas kesalahan penolakan hipotesis (Azwar, 2000: 5).
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode
eksperimental, yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan memberikan
manipulasi yang bertujuan untuk mengetahui akibat manipulasi terhadap perilaku
yang diamati (Latipun, 2004: 15).
Penelitian ini menggunakan rancangan eksperimen kuasi, yaitu desain
eksperimen dimana tidak diberlakukannya randomisasi dalam meneliti hubungan
sebab akibat. Dalam penelitian ini, digunakan jenis desain one group pre test and
post test design. Desain one group pre test and post test design merupakan desain
eksperimen yang hanya menggunakan satu kelompok subyek (kasus tunggal) serta
melakukan pengukuran sebelum dan sesudah pemberian perlakuan pada subyek,
namun sampel ditetapkan dengan tidak random (Latipun, 2004: 82). Adapun
desain experimennya dapat digambarkan sebagai berikut :
Non R O1 -- (X) -- O2
Keterangan :
O1 : Pretest ( Konsep Diri & Resiliensi)
X : Perlakuan (Support Group Therapy)
O2 : Postest ( Konsep Diri & Resiliensi)
Pada saat Pre test semua subyek penelitian diminta mengisi skala Konsep
Diri dan di berikan sejumlah pertanyaaan tentang resiliensi melalui teknik
wawancara. Setelah skala konsep diri serta gambaran resiliensi telah didapatkan
maka subyek penelitian diberi perlakuan Support Group Therapy. Setelah
serangkaian Support Group Therapy diberikan maka akan dilakukan pengambilan
data ke dua (post test) baik tentang konsep diri maupun resiliensi serta dilakukan
follow up untuk mengetahui perkembangan terapi yang diberikan tanpa adanya
intervensi yang diberikan oleh peneliti.
Pengukuran konsep diri dilakukan dengan skala sehingga hasil yang didapat
berwujud angka, sehingga model pengambilan datanya dilakukan dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif. Akan tetapi Daya resilensi diukur dengan
menggunakan metode wawancara dimana hasilnya berupa kata-kata dan kalimat
dan tidak dapat diangkakan mengingat sifatnya yang subyektif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, selain menggunakan
pendekatan kuantitatif, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif dapat diartikan sebagai prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2009).
Metode penelitian kualitatif bertujuan menerangkan gejala tingkah laku
manusia menurut penghayatan dan sudut pandang pelaku sendiri (Bogdan &
Taylor, 1995). Selain itu, penelitian kualitatif memberikan data yang kaya dan
menyeluruh dengan potensi kuat untuk menangkap kompleksitas sehingga sangat
cocok untuk menemukan makna pada suatu peristiwa, proses, atau struktur dalam
kehidupan seseorang, tentang persepsi mereka, asumsi, penilaian, serta dugaan
(Miles & Huberman, dalam Sugiyono, 2009).
B. Batasan Istilah
Agar penelitian ini terarah dan tidak terjadi penyalah artian konsep, maka
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini diberi penjelasan dan batasan-
batasan biar jelas ruang lingkupnya. Adapun konsep-konsep tersebut :
1) Konsep Diri
Konsep diri adalah gambaran atau pandangan seseorang tentang dirinya
sendiri berdasarkan identitas atau atribut atau label (karakteristik atau
kualitas yang menjelaskan atau menggambarkan diri seseorang) yang
menyertai. Dimensi konsep diri meliputi : pengetahuan diri, harapan diri
serta bagaimana seseorang menilai dirinya sendiri. Pada aspek
pengetahuan diri dapat diuraikan dalam komponen fisik, psikologi dan
sosial. Skor tinggi pada skala konsep diri akan menunjuk pada konsep diri
yang positif dan skor rendah menunjuk pada konsep diri yang negatif.
2) Resiliensi
Resiliensi adalah kemampuan untuk bangkit kembali dari tekanan hidup,
belajar dan mencari elemen positif dari lingkungannya, agar tercapai
kesuksesan melalui proses adaptasi dengan segala keadaan dengan
mengembangkan seluruh kemampuan, meski dalam kondisi tertekan baik
internal maupun aksternal.
3) Support Group Therapy
Support group therapy adalah terapi yang dilakukan dengan
menggunakan kelompok sebaya yang memiliki problem yang relatif sama
dengan cara sharing informasi tentang permasalahan yang dialami serta
solusi yang perlu dilakukan sekaligus proses saling belajar dan
menguatkan dengan tujuan utamanya adalah tercapainya kemampuan
coping yang efektif terhadap masalah ataupun trauma yang dialami.
4) Remaja dari keluarga single parent ( Orang Tua Tunggal).
Remaja dari kelurga single parent atau orang tua tunggal adalah
remaja yang berasal dari atau hidup bersama orang tua orang tua yang
didalam membina rumah tangganya hanya seorang diri tanpa pasangan.
C. Subyek Penelitian.
Subyek penelitian ini adalah 32 siswa Sekolah Menengah Umum (SMAN),
siswa Sekolah Menengah Kejuruan (STM) serta siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMEA) yang berasal dari keluarga single parent di Malang Raya,
meliputi : MAN 1 Malang, SMAN 9 Malang, SMK Muhammadiyah Galunggung,
SMK Sholahuddin, SMK Negeri 4 Malang, dan SMK Muhammadiyah 3
Singosari.
Dasar pertimbangan dipilihnya siswa-siswa yang berasal dari enam (6)
sekolah yang memiliki karakteristik yang berbeda ini dapat mewakili keseluruhan
remaja yang berada di Malang Raya, sehingga hasil yang didapatkan dari
penelitian ini dapat mendekati kesempurnaan. Adapun rincian subyek penelitian
adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Rincian Subyek Penelitian
NO INISIAL JENIS
KELAMIN SEKOLAH ASAL
1. HA L SMKN 4 MALANG
2. AL P SMKN 4 MALANG
3. SUR L SMKN 4 MALANG
4. AIS P SMKN 4 MALANG
5. AR L SMKN 4 MALANG
6. ST P SMKN 4 MALANG
7. END P SMKM 3 SINGOSASRI
8. RIN P SMKM 3 SINGOSASRI
9. AM P SMKM 3 SINGOSASRI
10. RN P SMKM 3 SINGOSASRI
11. FAQ L SMKM 3 SINGOSASRI
12. NUR P SMKM 3 SINGOSASRI
13. REN P SMAN 9 MALANG
14. BRY L SMAN 9 MALANG
15. RYN L SMAN 9 MALANG
16. BAG L SMAN 9 MALANG
17. DIL P SMAN 9 MALANG
18. ZN P SMAN 9 MALANG
19. RND L SMK SALAHUDDIN
20. RDY L SMK SALAHUDDIN
21. RON L SMK SALAHUDDIN
22. AGN L SMK SALAHUDDIN
23. DYC L SMK SALAHUDDIN
24. SUN P SMKM GALUNGGUNG MALANG
25. AN P SMKM GALUNGGUNG MALANG
26. CIN P SMKM GALUNGGUNG MALANG
27. FH L SMKM GALUNGGUNG MALANG
28. KHOD P MAN 1 MALANG
29. DW P MAN 1 MALANG
30. RIZ P MAN 1 MALANG
31. HAB L MAN 1 MALANG
32. FEN P MAN 1 MALANG
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di kota Malang. Pemilihan lokasi tersebut
dilakukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa di lokasi ini terdapat angka
perceraian yang tinggi sehingga banyak anak remaja yang tumbuh dalam keluarga
single parent dan mengalami berbagai masalah psikologis maupun sosial
karenanya. Waktu penelitian yaitu mulai tanggal 7 Mei sampai dengan 12
Oktober 2011.
E. Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan penelitian
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti sebelum melaksanakan
penelitian, tahap persiapan penelitian ini berlangsung pada tanggal 8 April – 30
April 2010. Hal – hal tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
a. Persiapan Penelitian
Pada tahap persiapan penelitian, ada beberapa hal yang dilakukan
oleh peneliti antara lain:
a. Mengurus izin pada sekolah yang bersangkutan
b. Meminta data siswa dari keluarga single parent.
c. Mengumpulkan siswa yang telah didata sekolah sebagai anak dari
keluarga single parent dan memberikan informed consent.
b. Tahap Pelaksanaan Penelitian.
Ada beberapa hal yang dilakukan peneliti pada tahap ini yaitu :
1. Melakukan pre test meliputi memberikan skala konsep diri yang
sudah diuji validitas dan reliabilitasnya pada subyek penelitian dan
sekaligus wawancara untuk mengungkap gambaran resiliensi
subyek.
2. Melakukan support group therapy. Adapun tahapan-tahapan
support group therapy adalah sebagaimana dalam modul
(terlampir). Support Group Therapy diberikan dalam 3 sesi
sebagaimana hasil evaluasi penelitian tahun pertama dimana
rancangan awalnya tersusun atas 5 sesi.
3. Melakukan post test meliputi memberikan skala konsep diri yang
sudah diuji validitas dan reliabilitasnya pada subyek penelitian dan
sekaligus wawancara untuk mengungkap gambaran resiliensi
subyek.
F. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer meliputi
Konsep Diri dan Daya Resiliensi remaja dari keluarga single parent.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah :
1. Skala Konsep Diri
Skala adalah sejumlah daftar pertanyaan yang berisi sejumlah item tentang
suatu hal yang akan diteliti dengan tipe respon yang sudah ditentukan. Skala
mengandung sejumlah soal dan sejumlah pilihan yang ditentukan dan responden
diminta unutk memberikan respon (Azwar, 1999:5).
Adapun pertimbangan digunakannya skala sebagai metode pengumpul data
dalam penelitian ini adalah :
a. Data yang diungkap oleh skala psikologi berupa konstruk atau konsep
psikologi yang menggambarkan aspek kepribadian individu.
b. Pada skala psikologi, pertanyaan sebagai stimulus tertuju pada
indikator perilaku guna memancing jawaban yang merupakan refleksi
dari keadaan diiri subyek yang biasanya tidak disadari oleh responden
yang bersangkutan sehingga memungkinkan untuk mengumpulkan
sebanyak mungkin indikasi dari aspek kepribadian yang lebih abstrak.
c. Pada skala psikologi, meskipun responden memahami isi pertanyaan,
biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan
kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh pertanyaan
tersebut.
d. Pada skala psikologi respon subyek akan diberi skor melalui proses
penskalaan.
e. Satu skala psikologi hanya digunakan untuk mengungkap atau
mengukur satu atribut tunggal.
f. Hasil pengukuran skala psikologi harus teruji reliabilitasnya secara
psikometri karena relevansi isi dan konteks kalimat sebagai stimulus
pada skala psikologi lebih terbuka terhadap eror.
g. Validitas skala psikologi lebih ditentukan oleh kejelasan konsep
psikologi yang hendak diukur dan operasionalnya.
Skala yang hendak digunakan dalam penelitian ini adalah skala konsep
diri. Skala konsep diri disusun berdasarkan teori Calhoun-Acocella
(1990). Ada 3 komponen konsep diri yaitu :
a. Knowledge (Pengetahuan Diri)
Knowledge adalah pengetahuan seseorang tentang dirinya sendiri, yakni
sejumlah label yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan
orang tersebut seperti: usia, jenis kelamin, kewarganegaraan termasuk juga
label-label social seperti: democrat, miskin, golongan menengah kebawah,
anggota senat dan lain-lain. Label lain yang menjadi komponen dari
knowledge seseorang adalah label-label psikologis yang bersifat kualitatif,
karena bersifat relative tergantung pada kelompok pembandingnya,
seperti: baik hati, spontan, mandiri, cerdik, dan lain-lain.
b. Expectations ( Harapan Diri)
Ekspektasi atau harapan ini mengacu pada ideal self, yaitu harapan
terhadap diri sendiri tentang bagaimana diri seharusnya yang diidealkan (I
should-be). Konsep diri selalu berkaitan dengan kemampuan seseorang
dalam memenuhi ekspektasinya.
c. Evaluation ( Penilaian Diri)
Evaluation yaitu penilaian seseorang atas dirinya sendiri, yakni menilai
antara “I-could-be” dan “I-Should-be” (Epstein dalam Calhoun,
1990:65), atau dengan kata lain yaitu pengukuran antara “saya yang
seharusnya” dan “saya yang kenyataannya”.
Skala konsep diri ini disusun sebanyak 32 item, yang terdiri dari 16 item
favourable dan 16 item unfavourable. Adapun rinciannya sebagai berikut :
Tabel 2. Blue Print Skala Konsep Diri
No. Indikator Konsep
Diri
Nomor Item Jumlah
Item Favourable Unfavourable
1. Pengetahuan Diri
a. Fisik
b. Psikologis
c. Sosial
1,17
3,19
5,21
9,25
11,27
13,29
12
2 Harapan Diri 2,6,8,18,23 10,14,16,26,31 10
3 Penilaian Diri 4,7,20,22,24 12,15,28,30,32 10
TOTAL 16 16 32
Skala yang digunkan dalam penelitian ini adalah Skala Likert. Skala Likert
adalah suatu himpunan butir pertanyaan sikap yang kesemuanya dipandang kira-
kira sama dengan “nilai sikap”. Subyek menanggapi setiap item dengan
mengungkapkan taraf kesetujuan atau ketidaksetujuan (Kerlinger, 2000:795).
Penilaian skala ini bergerak dari angka satu sampai empat. Jawaban
terhadap item Favuorable; Sangat Setuju (SS) akan diberi skor 4, Setuju (S) akan
diberi skor 3, Tidak Setuju (TS) akan diberi skor 2 dan Sangat Tidak Setuju (STS)
akan diberi skor 1. Namun sebaliknya, pada item unfavourable jawaban Sangat
Setuju (SS) akan diberi skor 1, Setuju (S) diberi skor 2, Tidak setuju (TS) akan
diberi skor 3 dan Sangat Tidak Setuju (STS) akan diberi skor 3. Adapun
rinciannya sebagaimana tabel berikut :
Tabel 3. Skoring Skala Konsep Diri
Favourable Unfavourable
Sangat Setuju (SS) 4 1
Setuju (S) 3 2
Tidak Setuju (TS) 2 3
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
Skala Konsep Diri ini selanjutnya diukur validitas dan reliabilitasnya, yang
hasilnya adalah :
a) Validitas
Validitas berasal dari kata ”validity” yang mempunyai arti sejauhmana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya
(Azwar, 2007). Suatu alat tes atau instrumen pengukur dapat mempunyai nilai
validitas yang tinggi apabbila mampu menjalankan fungsi ukurnya atau
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pengukuran.
Dalam penelitian ini, validitas diperoleh dari hasil try out skala kepada sejumlah
responden yang mana uji validitas dilakukan dengan korelasi product moment
dengan bantuan program SPSS 13.0 for windows. Hasil analisis menunjukkan
bahwa dari 32 item yang disusun ada 30 item yang dinyatakan valid dan ada 2
item yang dinyatakan tidak valid. Adapun rinciannya sebagaimana tabel berikut :
Tabel 4. Validitas Skala Konsep Diri
Faktor Item Valid Item Tidak
Valid
Jumlah Item
yang Valid
Pengetahuan Diri
a. Fisik
b. Psikologis
c. Sosial
1,17,3,19,5,21
9,25,11,27,13,29
17
12
Harapan Diri
2,6,8,18,23
10,14,16,26,31
- 10
Penilaian Diri 7, 12,15,20,22,24,
28,30,32
4 9
Pengukuran dilakukan dengan memberikan skala konsep diri pada subyek
sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan yang mana skala yang digunakan
adalah model skala Likert. Sebelum diberikan pada subyek penelitian, dilakukan
try out skala kepada sejumlah responden. Berdasarkan hasil try out yang telah
dilakukan, hasil yang diperoleh digunakan untuk pengkategorian tingkat. Adapun
penghitungannya adalah sebagai berikut :
Jenjang = skor tertinggi – skor terendah
5
Berdasarkan hasil try out yang telah dilakukan diperoleh hasil :
Jenjang = 120 – 30
5
= 18
Dengan hasil tersebut, maka kategori konsep diri dapat dibuat menjadi 5
kategori. Adapun kategori tersebut adalah sebagai berikut :
105 - 120 : Sangat Tinggi
86 - 104 : Tinggi
68 - 86 : Sedang
49 - 67 : Rendah
30 - 48 : Sangat Rendah
b) Reliabilitas
Konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya (Azwar, 2007). Hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila
dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek
yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama aspek yang diukur
dalam diri subyek memang belum berubah yang mana dalam penelitian ini
menggunakan alpha dari Cronbach. Dari hasil pengolahan data, diperoleh
nilai sebagai berikut :
Tabel 5. Uji Reliabilitas Skala Konsep Diri
Indikator Alpha Tabel Keterangan
1 0,799 0,30 Reliabel
2 0,847 0,30 Reliabel
3 0,859 0,30 Reliabel
c). Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan uji
kredibilitas atau biasa disebut dengan validitas internal. Dalam uji
kredibilitas ini menggunakan teknik triangulasi sumber, yaitu untuk
menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah
diperoleh melalui berbagai sumber (Sugiyono, 2009). Dalam penelitian ini
dilakukan pengecekan kepada orang tua subyek, teman – teman, dan guru.
Data yang didapat dari sumber dideskripsikan dan dikategorikan mana
pandangan yang sama atau berbeda dan mana yang spesifik diantara
sumber yang lain. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan
(member check) dengan sumber data tersebut. Selain itu, triangulasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi metode. Hasil penelitian
juga dilakukan pengecekan antar metode yang digunakan.
2. Wawancara.
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)dan yang diwawancarai (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2002:135).
Adapun teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara tidak terstruktur. Hal ini untuk menciptakan suasana akrab dan bebas
antara peneliti dengan pihak-pihak yang diwawancarai. Tujuan dari wawancara
pada penelitian ini adalah untuk menemukan permasalahan lebih terbuka, dimana
pihak yang diwawancara dimintai pendapat serta ide – idenya bahkan
menggunakan alat bantu bila diperlukan.
Adapun hal-hal yang diungkap dengan teknik wawancara adalah :
a. Gambaran subyek tentang dirinya sendiri
b. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga pada subyek.
c. Dukungan sosial yang diberikan oleh teman pada subyek
d. Dukungan sosial yang diberikan oleh sekolah pada subyek
e. Dukungan sosial masyarakat sekitar terhadap subyek
f. Hal-hal positif yang dimiliki subyek.
g. Impian atau harapan subyek dimasa mendatang
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dua sessi yaitu pada saat pra
terapi dan pasca terapi. Wawancara pada saat pra terapi, bertujuan untuk
mengetahui keadaan subyek lebih dalam, mengetahui latar belakang keluarga
serta penilaian subyek terhadap dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan
sekitarnya, serta pandangan tentang masa depan. Dari hasil wawancara ini akan di
gunakan peneliti sebagai pembanding dengan wawancara pasca terapi untuk
mengetahui berkembangnya resiliensi yang dimiliki subyek. Wawancara saat
pasca terapi dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi setelah terapi
diberikan dibandingkan dengan keadaan subyek sebelum terapi, dan untuk
mengetahui faktor – faktor yang banyak berperan pada terjadinya perubahan.
Wawancara ini dilakukan setelah proses terapi secara keseluruhan selesai
dijalankan. Setiap kali melakukan wawancara, probing (menanyakan lebih lanjut
jawaban subyek) juga selalu dilakukan.
3. Self Report.
Barker (2001) menyatakan bahwa self report adalah suatu metode yang
meminta klien mengobservasi tingkah laku atau reaksi emosional dirinya sendiri
dalam situasi yang ditargetkan. Sebagian besar metode ini digunakan dalam
penelitian sosial secara umum, psikologi klinis, dan psikologi konseling untuk
mengungkap fakta – fakta dan keterangan. Self report merupakan pelaporan
individu tentang keadaan diri sendiri dalam kurun waktu tertentu.
Menurut Martin & Pear (dalam Barker, 2001) self report dilakukan karena
peneliti tidak mungkin mengobservasi subyek terus menerus dalam situasi yang
senyatanya. Namun meski demikian, bukan berarti bahwa data dari self report
tidak valid, hanya saja data – data tersebut tidak dapat dipercaya pada semua
kasus. Masing – masing metode pengukuran memiliki keterbatasan, dan potensi
dari keterbatasan tersebut harus disesuaikan dengan latar analisis dan interpretasi
dari kasus yang ada.
Self report dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan
daya resiliensi subyek setelah dilakukannya Support Group Therapy. Self report
dilakukan subyek setelah dilakukannya Support Group Therapy hingga hari ke
tujuh. Self report ini nantinya akan dianalisis secara kualitatif dan berbentuk
deskriptif.
G. Informan dan Pengumpulan Data
Informan dalam penelitian ini adalah para subyek dan yang menjadi key
informant adalah para guru BK dan orang tua atau wali dari para subyek.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan observasi, indepth interview,
serta skala sebagaimana tersebeut diatas. Data yang diperlukan meliputi data
kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif terutama digunakan untuk mengetahui
kelayakan pengembangan konsep diri dan daya resiliensi apabila menggunakan
konsep yang ditawarkan, sementara data kuantitatif digunakan untuk mengetahui
seberapa besar keberhasilan penggunaan model yang dikembangkan.
Pada saat pengumpulan data penelitian, peneliti dibantu oleh 7 orang
mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang yang beberapa
diantaranya juga menjadikannya sebagai bagian dari penelitian skripsi yang
sedang mereka kerjakan (penelitian payung). Adapun nama keenam mahasiswa
yang terlibat tersebut yaitu :
1. Laksmi Inayati (NIM : 05810109)
2. Iratanti Linda (NIM : 06810055)
3. Tyas Tunjung Pinasti (NIM : 06810004)
4. Ramdhani Tri K.W. (NIM : 06810139)
5. Karina Prameswari (NIM : 07810149)
6. Trisinar Budi M. (NIM : 07810151)
7. Putri Dewi M. (NIM : 07810227)
H. Analisis Data
Ada 2 metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu t-test
dan analisis diskriptif kualitatif. Metode t-tes digunakan untuk mengetahui
efektivitas pemberian support group therapy terhadap peningkatan konsep diri
remaja dari single parent. Analisis dilakukan dengan menggunakan uji beda
paired sample t-test. Uji beda paired sample t-test digunakan untuk menguji dua
sampel yang berpasangan, apakah mempunyai rata-rata yang secara nyata berbeda
ataukah tidak (Winarsunu, 2002).
Adapun metode analisis data kedua yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode diskriptif kualitatif model Miles dan Huberman (dalam Sugiyono,
2009), yaitu :
1. Menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan. Penelaahan dilakukan
dengan cara menganalisa, mensintesa, memaknai, menerangkan, dan
menyimpulkan. Kegiatan penelaahan pada prinsipnya dilaksanakan sejak
awal data dikumpulkan.
2. Data Reduction (reduksi data)
Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal – hal yang pokok,
memfokuskan pada hal – hal yang penting yang diperoleh dari lapangan,
dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang direduksi akan
memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk
melakukan pengumpulan data selanjutnya.
3. Data Display (penyajian data)
Dengan mendisplaykan data, maka akan mudah memahami, apa yang
terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah
dipahami. Selanjutnya akan dijelaskan selin menggunakan teks yang
naratif juga berupa, tabel, grafik, matrik, dan jejaring kerja.
4. Conclusion Drawing / Verification
Menyimpulkan dan menverifikasi. Dari kegiatan reduksi selanjutnya
dilakukan penyimpulan akhir yang selanjutnya diikuti dengan kegiatan
verifikasi atau pengujian terhadap temuan penelitian.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Model Support group therapy
Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama, dapat dirumuskan model
support group therapy untuk meningkatkan konsep diri dan resiliensi siswa dari
keluarga single parent yang terdiri dari tiga sesi di luar pre dan post test. Adapun
sesi-sesi tersebut adalah :
Tabel. 6. Model Support Group Therapy
SESI TUJUAN METODE ALAT
1 1. Pembukaan
2. Mengenali kekuatan
diri (I am)
1. Perkenalan
2. Sharing tujuan program
3. Ice breaking : hunting friends
4. Johary Windows
5. Diskusi : Kekuatanku
(kepribadian, minat, bakat)
1. Lembar hunting
friens
2. Lembar Johary
Windows
2 1. Mengenali
Kekuatan
Lingkungan (I
Have)
1. Ice breaking : Alam Rimba atau
Pemburu Gila(dapat diganti)
2. Kartu Sahabat
3. Diskusi : Cinta dan dukungan
dari lingkunganku
1. Lembar Kartu
Sahabat
3 1. Perencanaan Masa
Depan (I Can)
2. Penutup
1. Ice breaking : Titanic
2. My Dreams
3. Diskusi: rencana pengembangan
diri untuk masa depan
1. Lembar Impianku
2. Beberapa lembar
kertas kosong
2. Konsep Diri
a. Hasil Pre Test dan Post Test Para Subyek Pada Setiap Sekolah
Deskripsi data diperoleh dari hasil pengukuran skala konsep diri dan
wawancara serta self report resiliensi yang ditunjukkan masing-masing subyek,
yaitu pada saat pre-test, post test, dan follow up. Pretest dilakukan sebelum terapi,
post test dilakukan setelah terapi dilakukan, dan pengukuran follow up dilakukan
satu bulan setelah post test untuk mengetahui seberapa kuat dampak positif terapi
melekat pada subyek penelitian. Analisis skala konsep diri didasarkan total skor
yang diperoleh dari skala yang memiliki aspek : pengetahuan diri, penerimaan
diri, dan penghargaan diri. Sedangkan analisis resiliensi diperoleh dari wawancara
dan self report yang menemukenali aspek I am (hal positif dari diri/internal), I
have (hal positif dari diri eksternal), serta I can (rencana ke depan untuk
pengembangan diri). Berikut adalah data dari setiap sekolah :
a.1. SMK Negeri 4 Malang
Berdasarkan hasil perhitungan pada skala konsep diri diperoleh total skor
masing-masing subyek pada saat pretest dan posttest sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Kelompok Subyek
SMK Negeri 4 Malang
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
HA 105 Sangat Tinggi 115 Sangat Tinggi
AL 84 Sedang 110 Sangat Tinggi
SUR 79 Sedang 96 Sedang
AIS 110 Sangat Tinggi 111 Sangat Tinggi
AR 69 Sedang 105 Sangat Tinggi
ST 91 Tinggi 101 Tinggi
Dari tabel diatas, menunjukkan bahwa semua subyek mengalami
peningkatan pada saat post test, jika dibandingkan dengan hasil pretest. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada peningkatan konsep diri pada kelompok subyek
SMK Negeri 4 Malang.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut:
Tabel 8. Perbedaan Skor Pre test dan Post Test SMK Negeri 4 Malang
Untuk mengetahui efektivitas support group therapy pada pretest, post test,
dan follow up pada kelompok subyek SMK Negeri 4 Malang digunakan uji
statistik non parametrik diperoleh hasil sebagai berikut :
Hasil uji pretest dan post test pada subyek SMK Negeri 4 Malang diperoleh
nilai Z score -2,207 dengan tingkat signifikansi 0,027 yang berarti tingkat
signifikansi kurang dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H0 diterima) yang
bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok terapi SMK Negeri 4
Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif dalam
meningkatkan konsep diri remaja single parent pada siswa SMK Negeri 4
Malang.
a.2. SMK Muhammadiyah 3 Singosari
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek
pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMK Muhammadiyah 3
Singosari adalah sebagai berikut :
Test Statisticsb
-2.207a
.027
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Tabel 9. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek
SMK Muhammadiyah 3 Singosari
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
END 81 Sedang 110 Sangat Tinggi
RIN 75 Sedang 100 Tinggi
AM 88 Tinggi 107 Sangat Tinggi
RN 90 Tinggi 108 Sangat Tinggi
FAQ 89 Tinggi 101 Tinggi
NUR 90 Tinggi 105 Sangat Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan
skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep
diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 10. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah 3 Singosari
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -2,301 dengan tingkat signifikansi 0,028 yang berarti tingkat signifikansi
lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang
bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek
SMK Muhammadiyah 3 Singosari.
Test Statisticsb
-2.201a
.028
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK
Muhammadiyah 3 Singosari. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif
diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMK Muhammadiyah 3 Singosari.
a.3. SMAN 9 Malang
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek
pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMAN 9 Malang adalah
sebagai berikut :
Tabel 11. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek
SMAN 9 Malang
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
REN 82 Sedang 88 Tinggi
BRY 85 Sedang 95 Tinggi
RYN 89 Tinggi 89 Tinggi
BAG 83 Sedang 88 Tinggi
DIL 84 Sedang 100 Tinggi
ZN 87 Tinggi 94 Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan
skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep
diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 12. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Kelompok Subyek SMAN 9 Malang
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi
lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan (H1 diterima) yang bermakna
ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek SMAN 9
Malang.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMAN 9
Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada
subyek dengan latar belakang SMAN 9 Malang.
a.4. SMK Salahuddin Malang
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek
di SMK Salahuddin pada saat pretest dan posttest sebagai berikut :
Tabel 13. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek
SMK Salahuddin Malang
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
RND 78 Sedang 94 Sedang
RDY 91 Sedang 93 Sedang
RON 81 Rendah 94 Sedang
AGN 88 Rendah 96 Sedang
DYC 114 Sangat Tinggi 94 Sedang
Test Statisticsb
-2.023a
.043
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan
skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep
diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 14. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Kelompok Subyek SMK Salahuddin Malang
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi
lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang
bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek
SMK Salahuddin Malang.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK
Salahuddin Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif
diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMK Salahuddin Malang.
a.5. SMK Muhammadiyah Galunggung Malang
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek
pada saat pretest dan posttest untuk kelompok subyek SMK Muhammadiyah
Galunggung Malang adalah sebagai berikut :
Test Statisticsb
-2.023a
.043
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Tabel 15. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek
SMK Muhammadiyah Galunggung Malang
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
SUN 29 Sangat Rendah 116 Sangat Tinggi
AN 30 Sangat Rendah 115 Sangat Tinggi
CIN 31 Sangat Rendah 115 Sangat Tinggi
FH 30 Sangat Rendah 115 Sangat Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan
skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep
diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 16. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Kelompok Subyek SMK Muhammadiyah Galunggung Malang
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -2,000 dengan tingkat signifikansi 0,046 yang berarti tingkat signifikansi
lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang
bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek
SMK Muhammadiyah Galunggung Malang.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek SMK
Test Statisticsb
-2.000a
.046
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Muhammadiyah Galunggung Malang. Hal ini juga bermakna support group
therapy efektif diterapkan pada subyek dengan latar belakang SMK
Muhammadiyah Galunggung Malang.
a.6. MAN 1 Malang
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh total skor masing-masing subyek
pada saat pretest dan posttest di MAN 1 Malang adalah sebagai berikut :
Tabel 17. Hasil Pre test dan Post test Konsep Diri Pada Kelompok Subyek
MAN 1 Malang
Nama
Subyek
Pretest Post Test
Total Skor Kategori Total Skor Kategori
KHOD 84 Sedang 96 Tinggi
DW 81 Sedang 95 Tinggi
RIZ 88 Tinggi 95 Tinggi
HAB 103 Tinggi 111 Sangat Tinggi
FEN 79 Sedang 92 Tinggi
Dalam hal ini dapat diketahui bahwa semua subyek mengalami peningkatan
skor konsep diri sehingga dapat dikatakan bahwa ada peningkatan skor konsep
diri setelah diberikan perlakuan berupa support group therapy.
Selanjutnya, untuk mengetahui seberapa efektif terapi yang diberikan,
dilakukan uji statistik non parametrik yaitu two related sample test. Sehingga
dihasilkan data sebagai berikut :
Tabel 18. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Kelompok Subyek MAN 1 Malang
Test Statisticsb
-2.023a
.043
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
Hasil uji pretest antara kelompok pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -2,023 dengan tingkat signifikansi 0,043 yang berarti tingkat signifikansi
lebih rendah dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang
bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test pada kelompok subyek
MAN 1 Malang.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek MAN 1
Malang. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif diterapkan pada
subyek dengan latar belakang MAN 1 Malang.
b. Analisa Keseluruhan Subyek
Untuk mengetahui efektivitas support group therapy pada pretest, post test,
dan follow up pada kelompok subyek digunakan uji statistik non parametrik
diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 19. Perbedaan Skor Pretest dan Post Test
Seluruh Subyek
Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan
tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05
sehingga dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara
hasil pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support
group therapy.
Berdasarkan hasil pengujian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perbedaan antara hasil pre-test dan post test pada kelompok subyek yang diberi
Test Statisticsb
-4.410a
.000
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
support group therapy. Hal ini juga bermakna support group therapy efektif
diterapkan pada para subyek.
2. Resiliensi
Hasil analisis data pada saat post test menemukan adanya perubahan yang
cukup signifikan pada para subyek. Berdasarkan hasil wawancara dan self report
saat pre test dapat diketahui bahwa hampir semua subyek merasakan tidak
bahagia dengan diri dan keluarganya. Pada saat pre test ada subyek yang merasa
kurang diperhatikan oleh orang tuanya, ada yang orang tuanya otoriter dalam
memperlakukan dirinya, ada yang orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaannya
sehingga anaknya dititipkan pada orang lain, ada orang tua yang melakukan
kekerasan fisik pada keluarganya karena ayahnya sedang stres, ada yang merasa
ada perubahan secara materi sehingga membuat subyek perlu waktu lama untuk
bisa menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Beberapa diantaranya bahkan
mengalami trauma masa lalu yang menyedihkan, terutama konflik dan kekerasan
dalam keluarga dan perceraian, yang hingga saat pengambilan data para subyek
mengaku masih sangat sulit untuk memaafkan. Semua trauma tersebut ditambah
dengan pengabaian orang tua yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga ataupun sebab lain semisal sibuk dengan “pacar” barunya membuat
banyak dari para subyek merasa dirinya tidak cukup berharga sebagai seorang
anak yang berasal dari keluarga single parent. Hal ini membuat mereka
membangun konsep diri yang cenderung negatif, merasa tidak cukup memiliki
potensi ataupun kekuatan positif, menjadi pribadi yang tertutup, dan cenderung
tidak percaya diri di lingkungan sosial. Namun pada saat post test para subyek
mulai memahami mengapa peristiwa itu terjadi dan tidak perlu ada yang
disalahkan. Para subyek berusaha melihat peristiwa yang terjadi sebagai
pengalaman pahit yang bukan untuk disesali, bukan untuk diratapi, bukan harus
dipikirkan terus menerus, bukan sesuatu yang memalukan namun harus diterima
dengan ikhlas, diambil hikmahnya dan dijadikan pelajaran yang berharga dimasa
mendatang.
Para subyek merasa bahwa masih ada nenek, kakek, om dan tante, bude,
ibu, ayah dan saudara kandung, ibu panti asuhan, ibu asrama yang memberikan
perhatian, memberikan materi, perlindungan, nasehat, informasi, kasih sayang,
tempat mengadu, menjadi pengganti ibu atau ayah serta contoh yang patut ditiru
oleh subyek. Kepedulian mereka terhadap para subyek sangat membantunya
dalam proses penerimaan diri, menerima peristiwa yang terjadi dengan lapang
dada, mencari sisi positif dari peristiwa yang dihadapi dan lebih mendekatkan
dirinya pada Allah.
Selain itu para subyek merasa bahwa, melalui support group therapy,
mereka menemukan adanya teman yang senasib atau sama dengan dirinya,
sehingga ia merasa bebas mengutarakan apapun pada temannya, tidak perlu malu,
tidak perlu sungkan. Hal ini membuat para subyek terlatih untuk mampu
mengutarakan atau mengekspresikan keluar kemarahan-kemarahan, kekesalan-
kekesalan, ketidaksukaan, kebencian-kebencian, kecemburuan, kegembiraan-
kegembiraan yang sedang dialami pada temannya. Hal ini dapat membuat mereka
merasa lega karena biasanya para subyek hanya memendamnya sendiri. Para
subyek sekarang menjadi lebih mengerti bahwa ada teman yang dapat menerima
dirinya dengan baik atau apa adanya dan ada teman yang kurang suka kalau
dirinya mengeluhkan keadaannya. Para subyek menyadari bahwa tidak setiap
orang dapat mendukung dirinya, namun demikian akan selalu ada orang yang
perduli dengan mereka dan terpenting lagi adalah bagaimana mereka bisa
bermakna untuk diri dan lingkungan mereka.
Selanjutnya, para subyek juga mulai menemukan sifat-sifat positif yang
dimilikinya. Ada yang mengatakan bahwa ia lebih mandiri, lebih sabar, lebih
toleran, lebih percaya diri, lebih mampu menyatakan keluar apa yang dipikirkan
atau dirasakan (asertif), mudah bergaul dengan orang lain dan orang yang baru
ditemuinya, memandang peristiwa hidup dari sisi positif, lebih luwes dalam
penyesuaian diri dan tahan banting, mampu memotivasi diri sendiri, optimis
dalam menghadapi peristiwa hidup, respect pada orang yang lebih tua, lebih bisa
mengontrol emosinya. Banyak subyek baru menyadari sifat-sifat positifnya ini
ketika ia mau membuka dirinya dengan teman-temannya serta mau menerima
kritik dan saran dari teman-temannya.
Melalui proses dalam support group therapy, para subyek juga sudah
mulai memikirkan rencana ke depan untuk mengubah diri dan nasibnya sekarang
berdasarkan kemampuan yang dimilikinya, bakatnya, minatnya atau model dari
orang sekitarnya, materi yang dimiliki serta support dari orang sekitarnya. Ada
yang ingin berwirausaha, meneruskan kuliah ke luar negeri, meneruskan kuliah di
FISIPOL jurusan Hubungan Internasional, fakultas kedokteran, FKIP, kuliah di
fakultas ekonomi, Akademi Kepolisian, Desain, Akademi Musik, teknik
informatika dan mencari kerja karena tidak memiliki biaya. Rencana jangka
pendek maupun rencana jangka panjang yang disusun terkadang masih kurang
operasional atau kemungkinan kecil dapat terealisasi atau masih terlalu ideal.
Meski demikian, hal ini dapat membuatnya memiliki semangat atau motivasi yang
sangat tinggi untuk mencapai cita-citanya.
Terakhir, para subyek juga ingin membahagiakan ayah, ibu, saudara
kandung dengan cara menjadi anak yang dapat dibanggakan dan dapat
mengangkat derajat keluarganya. Sejak sekarang mereka akan belajar sungguh-
sungguh, memiliki disiplin diri yang tinggi serta pantang menyerah bila ada
halangan dalam pencapaian citacitanya. Membahagiakan keluarga akan dijadikan
motivator bagi subyek bila motivasi mereka sedang turun karena mereka
beranggapan bahwa orang tua atau saudara kandungnya sudah banyak menderita
serta berkorban karena peristiwa di masa lalunya. Kalau memungkinkan mereka
mau menyatukan kembali keluarganya yang saat ini bercerai berai dan mereka
dapat hidup rukun kembali.
Hasil diatas dapat dirangkum dalam tabel berikut :
Tabel 20. Rangkuman Gambaran Resilien Para Subyek
Pre-Test Post-Test
I am Merasa tidak memiliki
kemampuan ataupun hal yang
positif dalam diri
Mampu menemukenali hal
positif, meliputi sikap, minat,
bakat, ataupun kemampuan
Tertutup dan tidak percaya diri
dalam kehidupan sosial
dalam diri
Mampu memahami bahwa
setiap manusia pasti memiliki
kelebihan dan kekurangan
sehingga tidak perlu menjadi
sombong ataupun sebaliknya
rendah diri
Menjadi lebih percaya diri dan
yakin akan kemampuan diri
sendiri
I Have Merasa sebagai anak yang tidak
berharga, terbuang, diabaikan
Merasa tidak memiliki keluarga
yang mendukung dirinya
Memiliki teman namun terbatas
dan tidak terlalu dekat dalam arti
banyak hal yang masih
disembunyikan
Bisa memahami atas masalah
ataupun masa lalu yang terjadi
dan memahami pentingnya
untuk lebih fokus masa depan
dan memaafkan masa lalu
Bisa memahami bahwa
bagaimanapun juga orang tua
masih menyayangi dirinya dan
bersyukur masih memiliki
orang tua
Bisa memahami pentingnya
teman dan arti dari berbagi
sehingga tidak lagi tertutup
dalam pergaulan
I can Beberapa memiliki cita-cita masa
depan sekalipun masih abstrak,
sedang beberapa yang lain sama
Mampu merumuskan cita-cita
masa depan berdasarkan atas
bakat dan minat yang mereka
sekali tidak memiliki gambaran
cita-cita dan bahkan cenderung
pesimis
Tidak memiliki rencana bagaimana
langkah yang akan ditempuh untuk
mewujudkan cita-cita,
mengembangkan potensi dan bakat
minat, ataupun membuat suasana
keluarga dan lingkungan lebih baik
miliki
Mampu menyusun dan
menjaankan rencana-rencana
dan langkah-langkah untuk
mewujudkan cita-cita tersebut
Mampu melakukan perubahan
perilaku yang bisa membuat
keluarga dan lingkungan
menjadi lebih baik dan lebih
mendukung diri para subyek
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil deskripsi data dan analisa data, dapat diketahui : pertama,
nilai perubahan signifikan diperoleh dari hasil pengujian pada keseluruhan subyek
antara pre test – post test, pre – test – follow up, maupun post test – follow up.
Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z score -4,410 dengan tingkat
signifikansi 0,000 yang berarti tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga
dikatakan signifikan ( H1 diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil
pretest dan post test konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group
therapy. Hasil ini menunjukkan bahwa support group therapy efektif untuk
meningkatkan konsep diri para siswa dari keluarga single parent.
Konsep diri terdiri atas 3 komponen yaitu pengetahuan diri, penilaian diri,
dan harapan diri. Remaja dari keluarga single parent yang menjadi subyek dari
penelitian cenderung belum mampu mengembangkan ketiga komponen dari
konsep diri tersebut. Oleh karenanya, support group therapy dirancang agar
subyek mampu untuk terbuka satu sama lain, mengenali dirinya, memahami dan
menerima segenap kelebihan dan kekurangan terkait dengan status keluarga
sebagai single parent, dan menggali potensi-potensi dalam diri.
Melalui support group therapy, pada sesi I, para subyek diajak untuk
mengenali kelebihan dan kekurangan diri baik melalui refleksi diri ataupun
feedback dari subyek yang lain. Melalui kegiatan ini pada akhirnya para subyek
mampu menemukenali dirinya lebih baik termasuk, bakat, minat, dan potensi
diriya. Lebih dari itu, para subyek jadi memahami bahwa setiap orang pada
dasarnya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga tidak perlu menjadi
sombong karena kelebihan yang dimiliki ataupun menjadi rendah diri karena
kelemahan yang dimiliki, termasuk status sebagai anak dari keluarga single
parent.
Para subyek yang awalnya merasa tidak berharga dan menilai negatif
mengenai keluarga dan lingkungannya sehingga memendam banyak emosi negatif
seperti kekecewaan dan kemarahan, pada sesi II diajak untuk menemukenali sisi-
sisi positif dari keluarga dan lingkungan sehingga pada akhir sesi mampu
memahami lebih positif atas segala permasalahan di keluarganya. Pada akhir sesi
para subyek menjadi memahami bahwa terlepas dari apapun yang terjadi di
keluarganya, ternyata keluarganya masih memiliki kepedulian pada mereka dan
mereka lebih beruntung daripada yang tidak memiliki keluarga. Pemahaman
tersebut menimbulkan bangkitnya perasaan positif terkait keluarga dan pada
akhirnya subyek menjadi lebih menerima diri dan keluarga mereka.
Pada sesi terakhir, mereka dipandu untuk menetapkan cita-cita masa depan
sekaligus membangun rencana secara terinci dan konkret langkah-langkah untuk
mengembangkan diri dan mewujudkan masa depan. Hal ini menjadikan para
subyek mampu lebih menghargai diri dan membangun harapan diri.
Beberapa indikasi yang mengarah pada individu dengan konsep diri positif
menurut Calhoun (1990) antara lain memahami dan menerima sejumlah fakta
yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, penerimaan diri yang
mengarah ke kerendahan hati dan kedermawanan daripada ke keangkuhan dan ke
egoisan, dan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dan realistis. Oleh karenanya,
support group therapy yang mana menitikberatkan pada ketiga komponen konsep
diri dan dukungan teman sebaya dalam kelompok mampu meningkatkan konsep
diri remaja dari keluarga single parent.
Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui pula bahwa support
group therapy dapat digunakan untuk mengembangkan resiliensi remaja dari
keluarga single parent. Keseluruhan subyek penelitian mampu mengembangkan
resiliensi yang dimiliki, hal ini dapat dibuktikan dengan berkembangnya faktor I
am, I have, dan I can yang dapat dilihat dari perubahan hasil wawancara pada pre
test, post test dan self report pada follow up. Keseluruh subyek penelitian selama
proses terapi rata – rata mampu menjalankan serangkaian prosedur yang telah
ditetapkan bersama secara bertahap baik dari proses pra terapi hingga masa follow
up selesai sehingga mereka dapat bangkit kembali dalam berbagai kesulitan yang
sedang dialami.
Pengembangan faktor I am terlihat pada semua subyek, mereka dapat
mengetahui kelebihan dan kekurangan dirinya, meyakini bahwa setiap orang juga
memiliki kelebihan dan kekurangan. Support gruop therapy yang diberikan
membuat peserta mampu mengenali dirinya, memahami bahwa setiap orang
memiliki kelebihan kekurangan dan juga sejarah masing-masing, serta bisa
menerima dirinya. Erikson (dalam Dahlan, 2009) mengatakan bahwa remaja
berkaitan erat dengan perkembangan sense of identity vs role confusion, yaitu
perasaan atau kesadaran dirinya, apabila remaja berhasil memahami dirinya dan
makna hidup beragama, maka remaja akan menemukan jati dirinya, sebaliknya
apabila gagal, maka akan mengalami kebingungan yang akan berdampak pada
kesulitan menyesuaikan diri. Dengan lebih memahami tentang kelebihan dan
kekurangan dirinya, membuat semua subyek lebih percaya diri baik ketika
berhubungan dengan orang lain maupun pada kemampuan yang dimiliki, suatu hal
yang belum dipahami subyek sebelumnya.
Selain itu keyakinan dan kepasrahan tiap-tiap subyek terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan perwujudan dari I am yang ada didalam diri masing-masing
subyek, sehingga membuat mereka kuat dan tabah menjalani cobaan. Sebagai
contoh keyakinan ini awalnya tidak ada dalam diri beberapa subyek, namun
berubah setelah proses treatment. Menurut Hurlock (1980), bagi remaja keraguan
religius ini dapat membuat mereka kurang taat pada agama, sedangkan remaja lain
berusaha untuk mencari kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi kebutuhan
daripada kepercayaan yang dianut oleh keluarganya. Beberapa subyek awalnya
cenderung menyalahkan Tuhan atas apa yang telah menimpa keluarganya,
sehingga subyek berfikir bahwa tidak ada gunanya beribadah karena Tuhan tidak
adil terhadap diri dan keluarganya. Tetapi setelah diberikan perlakuan yang
membuatnya lebih bersyukur dengan apa yang dimilikinya sekarang, keyakinan
mereka kepada Tuhan berubah, meyakini bahwa Tuhan tidak akan memberikan
cobaan melebihi kemampuan hambanya, selain itu subyek yakin bahwa cobaan
yang ada, membawa banyak hikmah melatih dirinya untuk bersyukur dan lebih
tegar.
Hal yang sama terjadi terkait pandangan mereka mengenai diri dan juga
keluarga. Mereka awalnya merasa minder dan tidak percaya diri, serta merasa
tidak memiliki kelebihan. Selain itu mereka juga merasa kurang mendapat
dukungan dari orang tua, dimana orang tua yang tersisa, baik itu ayah ataupun ibu,
sering diterima sebagai figur yang selalu hanya memarahi serta jarang memberi
mereka pujian ataupun dukungan. Namun demikian melalui proses support group
therapy para subyek diajak untuk melihat dan fokus pada sisi sebaliknya,
menemukenali hikmah dibalik kemalangan, sehingga memunculkan sikap
penerimaan diri, kebanggaan, dan optimisme.
Hal ini sesuai dengan diungkap Henderson (2002) bahwa bahwa selalu ada
hikmah dibalik suatu kejadian dan klien memiliki potensi untuk menemukan
hikmah tersebut dan menggunakannya untuk bangkit kembali dari
keterpurukannya, potensi inilah yang disebut Resiliensi. Tidak ada definisi yang
universal mengenai resiliensi, namun demikian secara umum pengertian yang
mudah dimengerti adalah apa yang diungkap Wolin (1993, dalam Henderson,
2002) : “kemampuan untuk bangkit kembali”. Lebih lengkap diungkap pada
makalah yang disusun International Resiliency Projecets, bahwa resiliensi adalah
kemampuan setiap orang, kelompok, atau komunitas, untuk mencegah,
meminimalkan, atau mengatasi dampak buruk suatu kemalangan atau masalah
(dalam Henderson, 2002). Sebuah kapasitas mental untuk bangkit kembali dari
sebuah kesengsaraan dan untuk terus melanjutkan kehidupan yang fungsional
dengan sejahtera (Vaillant & Mills, 1995).
Resiliensi menawarkan dua pesan penting : 1) kemalangan atau masalah
tidak selalu membawa pada disfungsi melainkan dapat memberi variasi hasil pada
individu yang mengalaminya (lihat bagan 2). 2) sekalipun ada reaksi awal yang
disfungsi sekalipun, setiap orang tetap memiliki kemungkinan membalikkannya.
Resiliensi ini sangat penting karena orang yang resilien mengetahui
bagaimana mengembalikan mental dari suatu kemalangan atau kesengsaraan dan
membaliknya menjadi sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan keadaan
sebelum kemalangan itu sendiri. Mereka maju dengan cepat dalam perubahan
yang berlangsung terus menerus karena mereka fleksibel, cerdas, kreatif, secara
cepat menyesuaikan diri, sinergik, dan belajar dari pengalaman. Mereka dapat
mengendalikan kesulitan – kesulitan besar, dengan lebih baik meski ketika
dipukul oleh kemunduran besar, mereka tetap tidak mengeluh dengan
kehidupannya yang tidak wajar (Siebert, 2000).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Support group therapy terbukti mampu meningkatkan konsep diri siswa dari
keluarga single parent. Hasil uji antara pretest dan post test diperoleh nilai Z
score -4,410 dengan tingkat signifikansi 0,000 yang berarti tingkat
signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga dikatakan signifikan ( H1
diterima) yang bermakna ada perbedaan antara hasil pretest dan post test
konsep diri pada kelompok subyek yang diberi support group therapy. Hasil
ini menunjukkan bahwa support group therapy efektif untuk meningkatkan
konsep diri para siswa dari keluarga single parent.
2. Support group therapy terbukti mampu mengembangkan resiliensi siswa
dari keluarga single parent. Hal ini dapat terlihat dari para subyek yang
awalnya banyak yang merasa tidak memiliki potensi yang dapat
dibanggakan (I am), kurang mendapat dukungan utamanya dari keluarga (I
have), serta tidak memiliki rencana masa depan, bahkan pesimis melihatnya
(I can), namun setelah proses support group therapy keseluruhan subyek
dapat menyadari adanya potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia miliki
dan menjadi kekuatannya disamping menerima hal-hal yang menjadi
kekurangan diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya
terutama keluarga yang sesungguhnya mendukung mereka dengan ekspresi
yang mungkin berbeda dari yang para subyek harapkan, serta mereka
mampu melihat kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk optimis
melihat masa depan.
B. SARAN
1. Bagi sekolah
Dapat menjalankan program support group therapy secara berkala dalam
menangani permasalahan yang dialami siswanya, tidak hanya siswa yang
berstatus single parent tetapi juga dapat dilakukan untuk permasalahan-
permasalahan lainnya. Selain itu juga dapat lebih memberikan dukungan
dengan cara menyediakan kesempatan lebih luas pada setiap siswa untuk
mengembangkan potensinya sehingga dengan demikian resiliensi siswa
dapat berkembang sebagaimana konsep diri menjadi lebih positif seiring
optimisme dan prestasi yang diraih siswa.
2. Bagi orang tua
Untuk lebih memberikan perhatian dan dukungan pada anak-anaknya
dalam proses pengasuhan sehingga anak mampu mengembangkan
resiliensi yang dimiliki karena adanya dukungan dari keluarga akan sangat
membantu dalam penanganan masalah-masalah remaja terkait statusnya
sebagai single parent.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat menyempurnakan modul dengan menerapkan pada subyek yang
bervariasi sehingga diperoleh modul yang lengkap dengan berbagai variasi
modifikasi saat berhadapan dengan berbagai variasi subyek.
DAFTAR PUSTAKA
Agger, B., 2003. Critical social theories : an introduction. Diterjemahkan
oleh Nurhadi. Kritik, Penerapan dan Implikasi. Yogyakarta : Kreasi
Wacana
Anggraini, N. 2007. Emosi pada ibu single parent. Skripsi. Malang: Fakultas
psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Association Psychological America. 2003. Ten (10) way to build resilience.
Clinic @u.Washington.edu.
Azwar, S. 2000. Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset.
Balson. 1993. Psychology of family. New york : Mac Garw-Hill, Co.
Barker, C., 2004. Cultural studies, theory and practice. Diterjemahkan oleh
Nurhadi. Yogyakarta.: Kreasi Wacana.
Barker, C. 1994. Research method in clinical and counseling psychology.
USA : Wiley.
Beilharz, P., 2003. Social theory : a guide to central thinkers. Diterjemahkan
oleh Sigit Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Calhoun, James F & Acocella, Joan Ross . 1990. Psychology of adjustment
and human relationships. United State of America : McGraw-Hill, Inc.
Dahlan. 2009. Psikologi perkembangan. Jakarta : Arcan.
Erikson, E. H., 1968. Identity, youth, and crisis. New York: International
University Press.
Gazda, G. M., 1989. Group counselling : a developmental approach 4rd
ed.
Boston : Allyn and Bacon.
Gerungan. 1988. Psikologi sosial. Bandung : Eresco
Goode. 1991. Social psychology. New York : Mc Graw-Hill, Co.
Grotberg. 2002. Origins of resilience. [email protected].
Handayani, T., Sugiarti, 2002. Konsep dan teknik analisis gender. Malang :
UMM Press.
Henderson, N. dan Milstein, M. M., 2003. Resiliency in schools. California :
Corwin Press, Inc.
Hervinna. 2007. Konsep diri remaja yang memiliki orang tua bercerai di
SMU widya gama malang. Skripsi. Malang: Fakultas Psikologi UMM.
Hurlock, E. B., 1980. Developmental psychology : a life span approach, 5th
ed. Boston: Mc Graw-Hill
Kartono, K. 1992. Psikologi Keluarga. Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada.
Kerlinger. 2000. Azas azas penelitian behavioral. Yogyakarta : Gadha Mada
University Press.
Latipun. 2004. Psikologi eksperimen. Malang : UMM Press.
Laurent, A., 1997. Keys to culture change. Government Executive Magazine.
Longwe, S., 1991. Gender awareness : the missing element in a development
project. in Candida March and Tina Wallace (Eds), Changing
Perception : New Writing on Gender and Development, Oxfam.
Luthar, dkk. 2000. Risk and resiliency adaptation in change time.
www.resiliency.com
Makhfudz. 1989. Problem-problem dalam perkawinan. Bandung : Pt. Remaja
Rosdakarya.
Mar’at, S. 2005. Psikologi perkembangan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Miles, M. & Huberman, M., 1994. Analisis data kualitatif. Terjemahan Tjejep
Rohendi Rohidi. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Mikkelsen, B., 2003. Metode penelitian partisipatoris dan upaya-upaya
pemberdayaan. Sebuah buku Pegangan bagi Para Praktisi Lapangan.
Diterjemahkan oleh Matheos Nalle. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Moleong, J. 2009. Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P. Dan Haditono, S.R. 2001. Psikologi
perkembangan. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.
Papalia. 1990. Psikologi perkembangan. Jakarta: Arcan.
Pudjijogyanti, C. R. 1999. Konsep diri dalam pendidikan. Jakarta : Arcan.
Rakhmat, J. 1998. Psikologi komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sanusi. 1996. Problem-problem dalam perkawinan. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Siebert, A. 2000. The five levels of resiliency. www.resiliencecenter.com
Sudikan, S.Y., 2001. Metode penelitian kebudayaan. Surabaya :Citra
Wacana.
Sugiono. 2009. Memahami penelitian kualitatif. Bandung:Alfabeta
Sukesi, K., Sugiyanto, 2002. Paradigma baru pemberdayaan perempuan di
era globalisasi. Malang : Pusat Penelitian Peranan Wanita, Lembaga
Penelitian Universitas Brawijaya.
Suryabrata, S. 1999. Pengembangan alat ukur psikologi. Jakarta: Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen pendidikan dan Kebudayaan.
Vaillant dan Mills. 1995. Resilience and social work practice : three case
study. www.americaassociation.scholl.html.
Winarsunu, T. 2002. Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan.
Malang: UMM Press.
Wolins. 1993. Resiliency and factor difined. California : Corwin Press.
Women Workers and the islamic patriarchy, buletin of Concerned Asian
Scholars, 15(2): April-June. 2000.
Yalom, I., 1985. The Theory and practice of group psychotherapy 3rd
. New
York : Basic Books.
Zanden, James W. Vander 1984. Social psychology. New York : Random
House, Inc.
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Jl. Raya Tlogomas No: 246 Malang Telp. (0341) 464318 ext:233
IDENTITAS :
N a m a : …………………………………..
Jenis Kelamin : …………………………………..
Usia : …………………………………..
Tinggal bersama : …………………………………..
Anak ke/ dari berapa : ……………/……………Saudara
Pekerjaan Ibu/Ayah : …………………………………..
Lama hidup dengan keluarga Single parent : ……………..
Petunjuk Pengisian
Dibawah ini terdapat beberapa pernyataan – pernyataan tentang diri anda.
Anda diminta untuk membaca dengan teliti dan mengisi pernyataan tersebut yang
paling sesuai dengan kondisi anda saat ini, dengan cara memberikan tanda silang (
X ) pada kolom jawaban yang telah tersedia.
SS : Sangat setuju dimana pernyataan sangat sesuai dengan kondisi anda.
S : Setuju dimana pernyataan sesuai dengan kondisi anda.
TS : Tidak setuju dimana pernyataan tidak sesuai dengan kondisi anda
STS : Sangat tidak setuju dimana pernyataan sangat tidak sesuai dengan kondisi
anda
Dalam mengisi pernyataan ini tidak ada jawaban yang salah, semua
jawaban anda adalah benar. Kerahasiaan jawaban anda akan kami jaga
sepenuhnya. Atas kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
No. Pernyataan SS S TS STS
1. Wajah saya menarik terlepas dari adanya kekurangan.
2 Saya memiliki beberapa potensi yang bisa saya
kembangkan untuk masa depan saya
3 Saya memiliki beberapa sifat positif yang membuat
saya percaya diri
4*) Saya memiliki prinsip – prinsip pribadi yang teguh
saya pegang
5 Saya adalah orang yang menyenangkan dalam
pergaulan
6 Saya adalah orang yang selalu optimis terhadap masa
depan saya.
7 Saya percaya diri dengan keyakinan – keyakinan saya
8 Saya lebih focus mengembangkan kelebihan sebagai
modal masa depan yang lebih baik
9
Saya tidak cukup tampan atau cantik karena adanya
beberapa bagian muka yang kurang pas atau jelek
10 Saya tidak memiliki potensi yang bisa saya
kembangkan
11 Saya sering minder dengan beberapa sifat jelek saya
12 Saya sering tidak punya pendirian dan mudah
terpengaruh apa kata teman
13 Saya sering kesulitan untuk bergaul dengan kalangan
luas
14 Saya pesimis dengan masa depan saya
15 Saya sering tidak percaya diri dengan apa yang saya
yakini
16 Saya terlalu banyak memiliki kekurangan hingga
membuat saya tidak yakin dengan masa depan saya
17*) Tubuh saya sempurna dengan segala kelebihan dan
Keterangan : *) = item gugur (tidak valid)
kekurangannya
18 Saya yakin dengan kemampuan saya untuk
mewujudkan impian – impian saya untuk masa depan
saya
19 Saya menyadari dan berusaha memperbaiki sifat jelek
saya
20 Saya yakin dengan keputusan yang saya ambil
21 Teman – teman merasa kehilangan saat saya tidak ada
ditengah – tengah mereka.
22 Saya merasa orang cukup menghormati
pemikiran/usulan/pandangan saya
23 Saya tahu apa yang harus saya lakukan untuk masa
depan saya
24 Saya merasa dihargai saat bergaul
25 Saya sering tidak percaya diri dengan bentuk tubuh
ataupun wajah saya
26 Saya tidak yakin dengan kemampuan saya untuk
mewujudkan impian – impian saya
27 Saya lebih banyak memiliki sifat jelek daripada yang
positif
28 Saya sering bingung untuk mengambil keputusan
menyangkut diri saya sendiri.
29 Kehadiran saya tidak memberi arti bagi teman – teman
saya
30 Saya merasa tidak cukup mampu membuat orang
menghargai pendapat saya
31 Saya bingung dengan apa yang harus saya lakukan
untuk masa depan saya
32 Saya merasa tidak cukup dihargai dalam pergaulan.
GUIDE INTERVIEW RESILIENSI
IDENTITAS :
N a m a : …………………………………..
Jenis Kelamin : …………………………………..
Usia : …………………………………..
Tinggal bersama : …………………………………..
Anak ke/ dari berapa : ……………/……………Saudara
Pekerjaan Ibu/Ayah : …………………………………..
Lama hidup dengan keluarga Single parent: ……………..
I HAVE (dukungan sosial yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap
dirinya).
Keluarga
1. Bagaimana hubungan Anda dengan keluarga anda?
2. Bagaimana keluarga memperlakukan dan menerima anda?
3. Seperti apa bentuk-bentuk dukungan yang anda dapatkan dari keluarga?
4. Bagaimana anda melihat dan menerima itu semua?
5. Adakah perubahan hubungan keluarga yang terjadi antara ketika keluarga
masih utuh dengan sekarang?
6. Bagaimana anda memandang perubahan tersebut?
7. Adakah hikmah yang anda rasakan terkait perubahan tersebut?
8. Dengan demikian hal-hal positif apa yang anda lihat ada pada keluarga
anda sekarang?
9. Adakah sesuatu hal yang positif lainnya yang malah anda rasakan dari
keluarga setelah ortu pisah/meninggal?
Lingkungan (teman-sekolah-masyarakat)
1. Selain keluarga, adakah yang lain yang menurut anda sangat mendukung
anda? Ceritakan!
2. Adakah perubahan bentuk penerimaan dan dukungan mereka (teman-
sekolah-masyarakat) antara sebelum keluarga anda pisah dengan kondisi
sekarang?
3. Adakah hal positif/hikmah anda lihat dari perubahan tersebut?
4. Adakah sesuatu hal yang positif lainnya yang malah anda rasakan dari
lingkungan (teman-sekolah-masyarakat) setelah ortu pisah/meninggal?
I AM
1. Sifat-sifat positif apa yang ada pada anda?
2. Bagaimana anda melihat diri anda sekarang, dalam hal yang positif?
3. Kemampuan/ketrampilan/bakat apa yang anda punya dan itu
membanggakan anda?
4. Hal-hal apa yang pada diri anda yang membuat anda bahagia
memilikinya?
5. Sejauh mana anda sekarang merasa bahagia?
6. Hal-hal apa yang telah anda lakukan dan membuat anda merasa
bangga mengingatnya?
7. Menyangkut masa lalu, hal-hal positif apa saja yang menurut anda
telah terjadi pada anda?
8. Hal-hal positif apa yang anda punya yang membuat anda merasa cukup
mampu memaafkan hal-hal buruk yang telah terjadi pada anda?
9. Sejauh mana anda dapat memaafkan hal-hal buruk yang terjadi pada
masa lalu?
10. Bagaimana anda memandang masa depan anda? Sejauh mana anda
optimis memandang masa depan?
11. Hal-hal apa yang ada pada diri anda dan membuat anda merasa optimis
terhadap masa depan anda karena memilikinya?
I CAN
1. Apa yang anda impikan untuk masa depan anda? Apa yang anda ingin
lakukan di masa depan anda?
2. Apa yang akan anda lakukan untuk mewujudkannya?
3. Apa yang anda rencanakan untuk mengembangkan
kemampuan/ketrampilan/bakat yang anda punya?
4. Sejauh mana semua rencana tersebut sudah anda lakukan?
5. Apa yang anda rencanakan untuk mengatasi hal-hal yang barangkali akan
menghalangi anda mewujudkan impian anda?
6. Apa yang anda lakukan untuk terus memelihara optimisme yang anda
punya?
7. Apa yang akan anda lakukan untuk dapat memaafkan masa lalu anda?
8. Apa yang anda rencanakan untuk membuat keluarga anda lebih baik?
9. Jikalau rencana anda untuk membuat keluarga lebih baik ternyata
mengalami hambatan, apa rencana anda selanjutnya?
10. Apa yang anda rencanakan untuk membuat lingkungan anda lebih baik?
SELF REPORT RESILIENSI
Nama : .............................................. Sekolah : .................................
Tgl Pengisian : ...............................................
Ceritakan hal-
hal positif yang
anda dapatkan
dari keluarga,
teman, sekolah,
ataupun
masyarakat
sekitar anda
AKU
PUNYA...
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
......................................................................................
Ceritakan hal-
hal positif
(sifat,
kelebihan,
kemampuan,
ketrampilan)
dalam diri
anda
AKU
ADALAH
...
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
Ceritakan
rencana-
rencana yang
AKU
AKAN....
.....................................................................................
.....................................................................................
akan anda
lakukan untuk
mengembangk
an hal-hal
positif yang
anda miliki
(dari diri
sendiri maupun
keluarga dan
lingkungan)
guna
mengoptimalka
n diri dan masa
depan lebih
cerah
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
.....................................................................................
VALIDITAS DAN RELIABILITAS SKALA KONSEP DIRI
1. Aspek Pengetahuan Diri
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.782 12
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
2.58 .794 43
2.58 .698 43
3.00 .655 43
3.28 .734 43
3.02 .636 43
2.86 .710 43
2.23 .611 43
2.49 .736 43
2.49 .798 43
2.60 .877 43
2.49 .856 43
2.98 .707 43
y1
y17
y3
y19
y5
y21
y9
y25
y11
y27
y13
y29
Mean Std. Dev iation N
Reliability
Item-Total Statistics
30.02 19.690 .402 .770
30.02 22.118 .083 .799
29.60 19.054 .642 .747
29.33 19.558 .470 .762
29.58 19.916 .499 .761
29.74 19.862 .440 .765
30.37 20.811 .353 .774
30.12 19.629 .457 .764
30.12 19.629 .408 .769
30.00 19.000 .442 .766
30.12 19.677 .361 .775
29.63 19.096 .575 .752
y1
y17
y3
y19
y5
y21
y9
y25
y11
y27
y13
y29
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.799 11
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
2.58 .794 43
3.00 .655 43
3.28 .734 43
3.02 .636 43
2.86 .710 43
2.23 .611 43
2.49 .736 43
2.49 .798 43
2.60 .877 43
2.49 .856 43
2.98 .707 43
y1
y3
y19
y5
y21
y9
y25
y11
y27
y13
y29
Mean Std. Dev iation N
Item-Total Statistics
27.44 19.062 .350 .795
27.02 18.214 .622 .768
26.74 18.671 .458 .783
27.00 19.000 .490 .781
27.16 18.949 .431 .785
27.79 19.646 .388 .790
27.53 18.588 .471 .781
27.53 18.493 .436 .785
27.42 17.821 .477 .781
27.53 18.588 .379 .793
27.05 18.093 .586 .770
y1
y3
y19
y5
y21
y9
y25
y11
y27
y13
y29
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
2. Aspek Harapan Diri
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.837 10
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
3.33 .644 43
3.23 .611 43
3.16 .721 43
3.21 .742 43
1.91 .718 43
3.28 .549 43
3.14 .833 43
2.98 .771 43
3.21 .804 43
2.84 .843 43
y2
y6
y8
y18
y23
y10
y14
y16
y26
y31
Mean Std. Dev iation N
Reliability
Item-Total Statistics
26.95 18.093 .562 .820
27.05 18.188 .581 .819
27.12 17.391 .611 .814
27.07 18.400 .414 .833
28.37 19.811 .197 .852
27.00 18.714 .542 .823
27.14 17.647 .464 .830
27.30 16.406 .734 .801
27.07 17.114 .576 .818
27.44 16.252 .680 .806
y2
y6
y8
y18
y23
y10
y14
y16
y26
y31
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.852 9
Cronbach's
Alpha N of Items
3. Aspek Penilaian Diri
Item Statistics
3.33 .644 43
3.23 .611 43
3.16 .721 43
3.21 .742 43
3.28 .549 43
3.14 .833 43
2.98 .771 43
3.21 .804 43
2.84 .843 43
y2
y6
y8
y18
y10
y14
y16
y26
y31
Mean Std. Dev iation N
Item-Total Statistics
25.05 16.474 .558 .838
25.14 16.599 .570 .838
25.21 16.027 .565 .837
25.16 16.759 .412 .853
25.09 17.039 .545 .841
25.23 15.945 .477 .848
25.40 14.769 .750 .817
25.16 15.282 .618 .832
25.53 14.588 .700 .822
y2
y6
y8
y18
y10
y14
y16
y26
y31
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.847 10
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
3.19 .627 43
3.16 .652 43
3.21 .638 43
2.74 .727 43
3.05 .615 43
2.91 .811 43
3.00 .787 43
2.40 .695 43
2.84 .754 43
3.16 .754 43
y4
y7
y20
y22
y24
y12
y15
y28
y30
y32
Mean Std. Dev iation N
Item-Total Statistics
26.47 19.588 .208 .859
26.49 17.161 .657 .823
26.44 16.824 .746 .816
26.91 18.372 .359 .849
26.60 17.483 .637 .826
26.74 16.576 .591 .828
26.65 17.328 .487 .839
27.26 17.623 .520 .835
26.81 16.869 .598 .828
26.49 16.303 .701 .817
y4
y7
y20
y22
y24
y12
y15
y28
y30
y32
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Reliability
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.859 9
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
3.16 .652 43
3.21 .638 43
2.74 .727 43
3.05 .615 43
2.91 .811 43
3.00 .787 43
2.40 .695 43
2.84 .754 43
3.16 .754 43
y7
y20
y22
y24
y12
y15
y28
y30
y32
Mean Std. Dev iation N
Reliability (Keseluruhan Aspek)
Item-Total Statistics
23.30 16.121 .581 .844
23.26 15.528 .726 .832
23.72 16.730 .392 .862
23.42 16.011 .649 .839
23.56 15.110 .606 .842
23.47 15.921 .485 .855
24.07 16.162 .527 .849
23.63 15.430 .606 .842
23.30 14.740 .740 .827
y7
y20
y22
y24
y12
y15
y28
y30
y32
Scale Mean if
Item Deleted
Scale
Variance if
Item Deleted
Corrected
Item-Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
Warnings
The space saver method is used. That is, the cov ariance matrix is not calculated or
used in the analysis.
Case Processing Summary
43 100.0
0 .0
43 100.0
Valid
Excludeda
Total
Cases
N %
Listwise deletion based on all
variables in the procedure.
a.
Reliability Statistics
.898 29
Cronbach's
Alpha N of Items
Item Statistics
2.58 .794 43
3.33 .644 43
3.00 .655 43
3.02 .636 43
3.23 .611 43
3.16 .652 43
3.16 .721 43
2.23 .611 43
3.28 .549 43
2.49 .798 43
2.91 .811 43
2.49 .856 43
3.14 .833 43
3.00 .787 43
2.98 .771 43
3.21 .742 43
3.28 .734 43
3.21 .638 43
2.86 .710 43
2.74 .727 43
3.05 .615 43
2.49 .736 43
3.21 .804 43
2.60 .877 43
2.40 .695 43
2.98 .707 43
2.84 .754 43
2.84 .843 43
3.16 .754 43
y1
y2
y3
y5
y6
y7
y8
y9
y10
y11
y12
y13
y14
y15
y16
y18
y19
y20
y21
y22
y24
y25
y26
y27
y28
y29
y30
y31
y32
Mean Std. Dev iation N
ANALISIS 32 SUBYEK
NPar Tests
Wilcoxon Signed Ranks Test
Descriptive Statistics
32 80.25 21.475 29 114 79.00 84.00 89.75
32 101.38 8.965 88 116 94.00 100.00 110.00
pretest
posttest
N Mean Std. Dev iat ion Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
Percentiles
Ranks
1a 23.00 23.00
30b 15.77 473.00
1c
32
Negativ e Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
posttest - pretest
N Mean Rank Sum of Ranks
posttest < pretesta.
posttest > pretestb.
posttest = pretestc.
Test Statisticsb
-4.410a
.000
Z
Asy mp. Sig. (2-tailed)
posttest -
pretest
Based on negat iv e ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
CURRICULUM VITAE
A. DENTITAS PRIBADI
1. Nama : Dra. Djudiyah, M.Si
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tempat dan Tanggal Lahir : Jombang, 10 Desember 1965
4. Agama : Islam
5. NIPUM/Golongan : 109910240 / 3c
6. Jabatan Fungsional : Lektor
7. Jabatan Struktural : Pembantu Dekan II
8. Fakultas : Psikologi
9. Bidang Keahlian : Psikologi Kepribadian
10. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
No Jenjang
Pendidikan
Lembaga
Pendidikan
Lulus Spesialisasi
1.
2.
Sarjana
Magister
UGM Yogjakarta
UGM Yogyakarta
1990
2003
Psikologi
Psikologi
C. PENGALAMAN PENELITIAN
1. Pengaruh Sensitivitas Gender Keluarga Terhadap Perilaku Remaja Dalam
Pengambilan Keputusan, 2001, dana UMM.
2. Remaja dan Kesehatan Reproduksi (Studi Aspek Psikologis Masa Pubertas
Anak Jalanan di Kota Malang), 2002, dana UMM.
3. Motivasi Remaja Membaca Komik Jepang (Studi pada Siswa SLTP
Muhamaddiyah 6 Malang) , 2003, Dana UMM.
4. Lingkungan dan Kepuasan Konsumen Hotel, 2004, Dana UMM
5. Pengaruh Tayangan Sinetron Mistik di Televisi Terhadap Perkembangan
Psikologis Remaja, 2005, Dana UMM
D. PENULISAN BUKU
1. Psikologi Kepribadian, 2001, Dana UMM
2. Psikologi Konsumen, 2003, Dana UMM
3. Psikologi Perkembangan, 2005, Dana UMM
E. PELATIHAN/SEMINAR/LOKAKARYA
1. Trainer pada Guru-Guru di Aceh Pasca Konflik, 2004.
2. Trainer Service Excellent pada Karyawan UMM, 2005.
3. Trainer Smart and Sensitivity pada Security di UMM, 2005
4. Volunteer di Aceh Pasca Bencana Alam Tsunami, 2005
5. Volunteer di Jember Pasca Banjir Bandang, 2006.
F. PENGABDIAN MASYARAKAT
1. Pendampingan Konseling Trauma di Nangro Aceh Darussalam. 2003
2. Pendampingan Konseling Trauma di Maluku dan Pulau Buru, 2004
3. Pendampingan Konseling Trauma di Jember, Jawa Timur, 2005
4. Pendampingan Konseling Trauma di Yogyakarta, 2006
5. Pendampingan Konseling Trauma di Sidoarjo, Jawa Timur, 2007
Malang, 10 Nopember 2011
Dra. Djudiyah, M.Si
CURRICULUM VITAE
A. DENTITAS PRIBADI
1. Nama : M. Salis Yuniardi, M. Psi
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Tempat dan Tanggal Lahir : Magetan, 05 Juni 1977
4. Agama : Islam
5. NIPUM/Golongan : 109 0203 0368 / 3b
6. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
7. Jabatan Struktural : Kepala UPT. Bimbingan Konseling UMM
8. Fakultas : Psikologi
9. Bidang Keahlian : Psikologi Klinis
10. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang
B. RIWAYAT PENDIDIKAN
No Jenjang
Pendidikan
Lembaga
Pendidikan
Lulus Spesialisasi
1.
2.
Sarjana
Magister
UNAIR Surabaya
UI Jakarta
2001
2006
Psikologi
Psikologi
C. PENGALAMAN PENELITIAN
1. Alcohol Expectations Pada Remaja Alkoholik, 2003, dana UMM.
2. Analisis Potensi Resiliensi Pengungsi Korban Lumpur Panas Sidoarjo,
2007, dana UMM.
3. Peran Ayah Dalam Keluarga Dari Remaja Laki-Laki Dengan Perilaku
Antisosial, 2008, Dana UMM
4. Identitas Diri Para Slanker, 2009, Dana UMM
5. Model Support Group Therapy untuk meningkatkan konsep diri dan
resiliensi remaja dari keluarga single parent, 2009-1011, Hibah DIKTI.
D. PENULISAN BUKU/KARYA TULIS ILMIAH
1. Daily Interpersonal Experiences, Context, and Alcohol Consumption:
Crying in Your Beer and Toasting Good Times. Jurnal Psikodinamik. 2002
2. Psikologi Lintas Budaya, 2004, Dana UMM
3. Mengembangkan Potensi Diri Membangun Masyarakat Madani, UMM
Press (tahun 2006)
4. Membangun Kompetensi Insani Mengembangkan Kepemimpinan
Madani, UMM Press (tahun 2007)
5. Identifikasi Gangguan Pada Anak, UMM Press (tahun 2008).
E. PELATIHAN/SEMINAR/LOKAKARYA ILMIAH
1. Peserta pada Lokakarya Manajemen Penelitian oleh DIKTI dan Lemlit
UMM, 2003.
2. Peserta pada Lokakarya Hubungan Terapis – Klien oleh UGM, 2003
3. Peserta pada Semiloka International Workshop Management oleh UMM,
2004
4. Peserta pada Penataran Dan Lokakarya Metodologi Penelitian oleh DIKTI
dan Lemlit UMM, 2004
5. Peserta pada Congress of The Asian Council of Psychology di Jakarta,
2005
6. Peserta pada Konferensi dan Workshop Neurodevelopmental II di Jakarta,
2005.
7. Pemakalah pada Kongres Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan
Indonesia (IPPI) di Malang, 2006.
8. Peserta pada Seminar Cross Cultural Psychology oleh UMM dan Cross
Cultural Psychologist Association, 2007
9. Pemakalah pada Workshop dan Lokakarya Anak Berkebutuhan Khusus
diselenggarakan oleh PSLB dan UMM di Malang, 2009
10. Pemakalah pada Seminar Nasional Pendidikan Inklusi diselenggarakan
oleh PSLB dan UMM di Malang, 2009.
11. Narasumber pada Workshop Penjara Anak Ramah Anak oleh Lembaga
Perlindungan Anak Jawa Timur di Surabaya, 2009.
12. Pemakalah pada Kongres Psikoterapi Indonesia III, Jakarta, 2010.
13. Pemakalah pada International Conference of Resiliency, Jakarta, 2011.
F. PENGABDIAN MASYARAKAT
1. Trainer pada Achievement Motivation Training karyawan Pembangkit Jawa
Bali (PJB) di Pandaan, 2002
2. Anggota Team Monitoring dan Evaluasi Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi BBM, 2003
3. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Nangro Aceh Darussalam,
2003
4. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Makasar, 2004
5. Trainer dan Pendampingan Konseling Trauma di Ternate, 2004
6. Pendampingan Konseling Trauma di Sidoarjo, Jawa Timur, 2007
7. Trainer Konseling Focus on Resiliency Pada Guru Bimbingan dan Konseling
SMU/SMK Muhammadiyah se-kota Malang. 2007.
8. Narasumber pada Pelatihan Penyuluh Narkoba Badan Narkotika Nasional di
Malang, 2007
9. Pemakalah pada Workshop Pencegahan Peredaran Narkoba di Malang, 2008
10. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling
SMP/SMU/SMK se-kota Malang. 2008.
11. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling
SMP/SMU/SMK se-kabupaten Malang. 2008.
12. Trainer pada pelatihan Konseling Pada Guru Bimbingan dan Konseling
TK/SD se-kabupaten Lumajang. 2008.
13. Pendampingan Program Akselerasi di Kota dan Kabupaten Malang, 2008
14. Trainer pada Pelatihan Quantum Teaching guru-guru SD Probolinggo, 2008
15. Pendampingan Program Inklusi di Kota dan Kabupaten Malang, 2008
16. Penerapan Base On Resiliency Pada Lembaga Bimbingan Konseling Sebagai
Bagian Penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, DIKTI,
2009
Malang, 10 Oktober 2011
M. Salis Yuniardi, S. Psi, M. Psi
JADWAL KERJA PENELITIAN
Penelitian tahun kedua yang dilaksanakan tahun anggaran 2011,
dilaksanakan selama 8 bulan, dengan rancangan jadwal kerja sebagai berikut :
No
Jenis Kegiatan
Bulan ke
1 2 3 4 5 6 7 8
1. Persiapan/Perijinan x
2. Pengambilan data x x x x x
3. Analisis Data x
4. Pelaporan x