BID’AH DALAM IBADAH SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH · PDF fileBID’AH DALAM IBADAH...
Transcript of BID’AH DALAM IBADAH SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH · PDF fileBID’AH DALAM IBADAH...
BIDAH DALAM IBADAH
SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH
BIDAH DALAM IBADAH
SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH
Ditulis oleh: Abu Jafar Al
www.ashhabulhadits.wordpress.com
BIDAH DALAM IBADAH
SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH
Ditulis oleh: Abu Jafar Al-Harits Al-Minangkabawy
ww.ashhabulhadits.wordpress.com 2
SUSAH PAYAH TAPI TAK BERKAH
Minangkabawy
www.ashhabulhadits.wordpress.com 3
! #" ! :
Pembahasan yang akan dilalui dalam tulisan ini merupakan perkara
yang mesti diketahui seorang muslim, karena jalan yang mesti
ditempuh dalam menjalankan tuntutan kalimat:Asyhadu Anna
Muhammadan Rosululloh, adalah dengan mengamalkan sunnahnya
dan menghindari pengibadatan di luar petunjuknya.
Rosululloh Sholallohu Alaihi wa Sallambersabda:
0/- - #% "!! ( %
Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bidah
adalah kesesatan. (HR Muslim dari Jabir bin Abdillah Rodhiyallohu
Anhu)
Dalam riwayat An-Nasai dan Al-Baihaqy Rahimahumalloh, terdapat
tambahan:
! 12 0/- #
Dan setiap kesesatan di neraka (Dishohihkan Syaikh Al-
Albany Rahimahulloh)
Juga hadits tentang Haji Wada dimana Rosululloh Sholallohu Alaihi
wa Sallam bersabda:
0/- - # - "- # 52 ( "! !#
Waspadailah sesuatu yang diada-adakan pada perkara-perkara.
Setiap yang diada-adakan adalah bidah, sementara setiap bidah
adalah kesesatan. (HR Ath-Thobrony dari Irbadh bin
Sariyah Rodhiyallohu Anhu. Hadits ini dishohihkan para ulama.
Imam Al-AlbanyRahimahulloh di As-Silsilatush Shohihah berkata:
Para huffadz (ulama-ulama yang mengumpulkan riwayat-riwayat
www.ashhabulhadits.wordpress.com 4
hadits, mempelajari dan menghapalnya) dari dulu sampai sekarang
sepakat akan keshohihannya)
Dari kata seluruh pada hadits-hadits tersebut dapat dipahami
bahwa setiap perkara yang baru dalam agama ini maka hukumnya
bidah tanpa terkecuali.Abdulloh bin
Umar Rodhiyallohu mengatakan: Setiap bidah adalah kesesatan
walau orang-orang melihatnya sebagai sebuah kebaikan. (Atsar ini
shohih, diriwayatkan Al-Baihaqy di Al-Madkhol ilas Sunan, dan Al-
Lalikaiy)
Bidah ada termasuk dosa besar bahkan ada yang sampai ke derajat
kekafiran.
PENGERTIAN BIDAH
Secara bahasa, kata ini diartikan sebagai sesuatu yang baru tanpa
contoh sebelumnya, sebagaimana dalam firman Alloh Taala:
! # ! 6 %
Katakanlah (wahai Muhammad): Aku bukanlah yang pertama dari
para rosul. (QS Al-Ahqof 9)
Adapun pengertiannya dari segi istilah syari, berbeda pendapat para
ulama dalam mengibaratkannya, namun sepertinya pengertian yang
terlengkap adalah yang dijelaskan Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh.
Para ulama setelahnya banyak memakai ibarat dan
menyandarkannya pada penjelasan beliau.
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh dalam kitabnya Al-
Itishom mengatakan: Bidah adalah ibarat sebuah thoriqoh dalam
agama yang dibuat-buat menyerupai syariat. Dimaksudkan dengan
berjalan diatasnya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada
Alloh Subhanah. Selesai
Kemudian beliau Rahimahulloh menerangkan: Maka thoriqoh adalah
jalan, sabil dan sunansemuanya bermakna sama yaitu sesuatu yang
diperintahkan untuk berjalan diatasnya. Hanya saja (dalam definisi
ini) saya mengaitkannya dengan agama, karena
www.ashhabulhadits.wordpress.com 5
padanyalahthoriqoh tersebut dibuat-buat, dan kepadanyalah
pembuat thoriqoh menyandarkan thoriqohtersebut. Demikian juga
apabila thoriqoh tersebut dibuat-buat dalam masalah dunia secara
khusus, tidak dinamakan bidah
menyerupai syariat maksudnya, bahwasanya thoriqoh tersebut
menyerupai thoriqoh syariyyah namun pada hakikatnya tidak
demikian, malahan dia melawan thoriqoh syariyyahdari berbagai sisi
seandainya thoriqoh tersebut tidak menyerupai perkara-perkara
yang disyariatkan, maka dia bukanlah bidah, dikarenakan dia
tergolong amal-amal kebiasaan. Hanya saja pelaku bidah membuat-
buatnya untuk menyerupai sunnah sehingga menimbulkan
kesamaran bagi yang lain, atau thoriqoh tersebut menjadi samar
dengan sunnah. Karena seseorang tidak akan mengikuti Rosululloh
dengan sesuatu yang tidak menyerupai perkara yang disyariatkan,
karena pada saat itu (ketika bidah tidak menyerupai sunnah pent)
perkara bidah tersebut tidak akan mendatangkan manfaat dan tidak
akan menolak bahaya, serta orang lain tidak akan menyambutnya
dimaksudkan dengan berjalan diatasnya untuk berlebih-lebihan
dalam beribadah kepada Alloh Taala, merupakan makna bidah
secara sempurna karena itulah tujuan dari pensyariatannya. Hal itu
terjadi karena prinsip masuknya (orang tersebut) ke dalam bidah,
mendorongnya dan menganjurkan untuk berakhir kepada ibadah,
karena Alloh Taalaberfirman:
> : 98 !
Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepadaku
Maka seakan-akan mubtadi (orang yang membuat atau melakukan
bidah) tersebut berpandangan bahwa yang diinginkan (dari ayat
tersebut) adalah makna ini (berlebih-lebihan dalam beribadah
kepada Alloh), tidak jelas baginya bahwa apa-apa yang ditetapkan
pemilik syariat berupa aturan-aturan dan batasan-batasan telah
cukup. Dia menyangka -dari diri sendiri- bahwa ketika perkara
www.ashhabulhadits.wordpress.com 6
(ibadah) disebutkan secara mutlak (tidak ada aturan dan ketentuan
yang mengikat), mengharuskan (dia membuat) aturan-aturan yang
baku, dan kondisi-kondisi yang mengikat, bersamaan adanya apa-apa
yang merasuk kejiwanya berupa cinta ketenaran, atau tidak
memperhitungkan kemungkinan, maka masuklah ke dalam aturan
baku (buatannya) ini unsur kebidahan. Selesai
PEMBAGIAN BIDAH BERDASARKAN BENTUK
ASALNYA
Dalil pokok yang menjelaskan masalah dan pembagian bidah ini
adalah sabda NabiSholallohu Alaihi wa Sallam sebagaimana di
Bukhory-Muslim, dari hadits AisyahRodhiyallohu Anha, bahwasanya
beliau Sholallohu Alaihi wa Sallam berkata:
2 ! ! 12
Barangsiapa yang mengada-adakan (suatu amalan atau keyakinan)
dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka perkara itu
tertolak.
Dalam riwayat Muslim:
/ 2 !
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada
padanya perintah kami, maka perkara itu tertolak.
Dari perkataan beliau Sholallohu Alaihi wa Sallam: dalam perkara
kami diambil faidah bahwa masalah perkara-perkara yang dibuat-
buat adalah apa-apa yang dikaitkan dengan agama yang dahulu Nabi
dan para shohabatnya Ridhwanullohu Alaihim berada di atasnya.
Maka perkara-perkara yang secara murni tidak terkait dengan agama
tidak dinamakan bidah.
Perkataannya beliau Sholallohu Alaihi wa Sallam: tidak ada padanya
perintah kami, masuk kedalamnya seluruh amalan yang tidak datang
perintah padanya seperti perkara-perkara yang dilarang dan
www.ashhabulhadits.wordpress.com 7
perkara-perkara mubah (boleh), yang coba-coba dimasukkan ke
ibadah.
Dari kedua hadits ini diambil faidah, bahwasanya bidah bisa terjadi
dalam bentuk maksiat-maksiat atau perkara-perkara yang mubah,
dengan syarat pelakunya bertujuan dengannya untuk mendekatkan
diri kepada Alloh. Karena pada keadaan ini berarti pelakunya dalam
keyakinannya- telah memasukkannya ke dalam perkara kami.
Karena itulah anda akan mendapatkan ulama menghukumi sebagian
amalan atau pelaku maksiat dan kabair (dosa-dosa besar) dengan
kebidahan, dan para ulama tidak menghukumi sebagian yang lain
dengan perbuatan yang sama.
Kesimpulannya, bahwa bentuk masuknya bidah ada dua bentuk:
Perkara yang pada asalnya memang bukan ibadah, bisa jadi
munculnya dari perkara-perkara yang dilarang ataupun perkara-
perkara yang mubah. Misal yang pertama seperti mendekatkan diri
kepada Alloh dengan musik atau tarian[1]. Adapun yang kedua
seperti orang yang mencukur kepala selain haji dan umroh- dengan
keyakinan bahwa orang yang mencukur lebih utama dari yang tidak
mencukur, meyakininya sebagai kesempurnaan zuhud, atau
menyuruh orang yang taubat untuk mencukur rambutnya[2]. Jenis
bidah yang semacam ini dinamakan ulama sebagai Al-Bidatul
Haqiqiyyah. Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh mengatakan:
Sesungguhnya Al-Bidatul Haqiqiyyah adalah perkara yang tidak ada
dalil syarinya, baik dari kitab, sunnah, ijma, atau sisi pendalilan yang
diakui oleh para ulama, baik secara umum maupun secara terperinci.
Oleh karena itu dia dinamakan bidah -sebagaimana telah lewat
penyebutannya- karena dia adalah suatu perkara yang diada-adakan
tanpa adanya contoh yang terdahulu. Meskipun seorang mubtadi
tidak mau dikatakan bahwa amalan tersebut telah keluar dari
syariat, karena dia menganggap bahwa perbuatannya tersebut
masuk ke dalam konsekwensi yang terkandung di dalam dalil. Tapi
pengakuan tersebut tidaklah benar, baik dilihat dari rincian
perbuatan itu sendiri maupun dari yang tampak secara zhohir.
Adapun dari sisi rincian perbuatan tersebut, maka dinilai dari tujuan
www.ashhabulhadits.wordpress.com 8
perbuatan tersebut. Adapun secara zhohir, sebenarnya dalil-dalil
yang digunakan hanyalah sekedar syubhat, bukan dalil. Itu kalau
memang benar si mubtadi menggu