Bias Nuansa JIngga

235
BIAS NUANSA JINGGA -biaz- 1

Transcript of Bias Nuansa JIngga

Page 1: Bias Nuansa JIngga

BIAS NUANSA JINGGA

-biaz-

1

Page 2: Bias Nuansa JIngga

“Fainna ma’al ‘usri yusraan-Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

-Sepenggal surat cinta dari ALLAHku, Al-Insyirah : 5-

“Jika kamu bisa memimpikan sesuatu, maka kamu pasti bisa mencapai sesuatu itu!”

-Ayahku tercinta, Joko Istanto Indriawan-

“Bahagiakanlah orangtua dengan kepuasan menjadi yang terbaik!”

-Ibundaku, Elly Rasyanti-

“Buatlah kami bangga memiliki kakak sepertimu!”

-Adik-adikku, Isfan Azhabil & Isfi Afiannisa-

“Jangan pernah membiaskan cinta, jika tak tahu makna nuansa, karena itu akan membunuh bayangan jingga yang

kau agungkan!”

-Biaz-

2

Page 3: Bias Nuansa JIngga

Ku persembahkan untuk…

ALLAH, RASULULLAH, dan JIHAD

Ibu Elly Rasyanti dan Bapak Istanto, yang sangat berharga dihatiku,

Isfan Azhabil dan Isfi Afiannisa, yang menjadi harapan masa depan…

Dan untuk para pencari cintaNYA

3

Page 4: Bias Nuansa JIngga

DAFTAR ISI

1. PROLOG……………………………………………………………………………………………………..5

2. KETIKA SEMUA HARUS BERLALU …………………………………………………………………..9

3. HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN ………………………………………………………………...25

4. GREEN BOX………………………………………………………………………………………………..36

5. PERGILAH UNTUK KEMBALI ………………………………………………………………………..43

6. CINCIN DARI VEMAS …………………………………………………………………………………..56

7. FAITHFUL OF LOVE…………………………………………………………………………………….62

8. ARYAZA……………………………………………………………………………………………………..71

9. PUSARA CINTA…………………………………………………………………………………………..83

10. AKU PERGI DENGAN SYAHADAH………………………………………………………………….99

11. DIA KEMBALI UNTUK PERGI……………………………………………………………………….115

12. SECERCAH CAHAYA MERCUSUAR ……………………………………………………………….131

13. BIAS NUANSA JINGGA………………………………………………………………………………..147

14. TAK HANYA SEKEDAR IMPIAN……………………………………………………………………..160

Kekurangan FILE :

- Pengantar

- Testimonial yang udah baca(Lagi dikumpulin)

- Profil Penulis (Minta tolong Pak Editor bikinin ya? Hehehe, pengantar kalo mau nulisin juga ga’ pa-pa)

4

Page 5: Bias Nuansa JIngga

NUANSA DALAM BIAS JINGGA

(Prolog)

“Aku tak yakin dengan apa yang telah aku raih saat ini, apakah itu kemudahan atau sebaliknya, yang

jelas saat ini hanya satu yang terpikir olehku ‘Akankah bias cinta itu menciptakan bayangan yang bernuansa

jingga yang pernah ayah ceritakan dulu padaku?’ Entahlah, hanya waktu dan jinggalah yang akan

menjawabnya!”

Seakan jerat itu melulukan setiap keangkuhan yang bersarang dalam diriku sejak lama. Semua telah

terkalahkan olehnya, oleh jerat cinta yang membuatku bingung dengan perjalanan hidup ini. Aku seperti sebuah

tokoh yang dipermainkan, yang diatur sedemikian rumit oleh empu-nya cerita. Tapi, aku bukanlah sebuah tokoh,

aku nyata, aku ada, dan aku merasakan setiap detik yang telah tertuliskan.

Cinta, aku ingin enyah dari kata itu, kata yang membuatku semakin jauh semakin lelah. Aku teringat

dengan cerita ayah saat diatas bukit Langkisau bukit yang sangat ternama di daerah Pesisir Selatan, Sumatera

Barat.

“Ayah, mengapa warna langit seperti ini? Tadi, aku belajar macam-macam warna, tapi aku bingung, ini

warna apa ya?” aku kecil berceloteh sambil menghadapkan tubuhku dihadapan langit.

“Jingga! Warna ini jingga namanya, nak!”

“Jingga? Apa itu?”

“Jingga adalah cinta!”

“Nak, jika kau besar nanti, kau akan merasakannya, cinta adalah fitrah, dan cinta adalah jingga. Karena cinta

adalah langit yang bernuansa jingga, luas dan indah. Andaikan rasa itu telah tiba tepat pada waktunya,

keluarlah di sore hari dan hadapkan tubuhmu pada langit, maka seketika jingga akan merasuk dalam aura suci

pada setiap cinta yang kau rasa.”

Airmataku tak tertahan ketika benakku memaksa untuk mengingat memori itu, hal yang tak pernah aku

lupa. Hal yang aku dengar dari laki-laki luarbiasa yang aku punya. Ayah yang selalu mengajariku untuk

menggapai langit, mencerca lembah, dan menampar lautan. Dan kini, semua terpulas dalam rangkaian beberapa

kata yang membuatku tetap yakin bahwa semua ini ada ujungnya “Bias nuansa jingga” kata yang ayah berikan

untukku saat aku berulangtahun yang ke-tujuh. Kalimat kecil yang terselip dibalik sebuah foto langit berwarna

jingga, yang membuatku yakin bahwa nuansa jingga itu akan datang untukku.

***

Aku lelah menghadapi klimaks dalam hidupku, semuanya terasa menuntutku untuk jadi yang sempurna.

Perlahan aku mampu membunuh ke-idealisanku selama ini. Aku percaya takakan ada hidup yang ideal seperti apa

5

Page 6: Bias Nuansa JIngga

yang aku pikirkan dan orang lain dambakan. Kehidupan yang terbaik itu akan termiliki jika kita telah berhasil

mencampakan jauh angan-angan yang terkunci dibalik kata “Ideal”.

Menjadi orang hebat itu memang baik, tapi lebih hebat menjadi orang baik. Hidup itu memang bukan

untuk ditebak. Hidup adalah sebuah alur, kadang maju kadang mundur. Dia akan mengalir sesuai skenario

dariNya. Apa yang baik bagi kita, belum tentu yang terbaik dariNya. Hidup adalah sebuah rahasia yang takkan

pernah tersingkap. Seperti kehidupanku.

Semua yang telah aku jalani, sedikitpun tak pernah aku rencanakan. Kadang aku bertanya, untuk apa ada

sebuah pengharapan? Jika harap itu nantinya takkan sesuai dengan yang diinginkan. Hanya akan menyakitkan

bukan?

Sepertinya aku telah berada di sebuah ujung yang membingungkan. Aku tersesat di lembah

ketidakpahaman. Akhir memang tidak selalu indah, tapi akhir adalah jawaban atas harapan diawal. Terwujud atau

tidak?

Hari ini aku akan terbang bersama kebingungan itu. Aku hadapkan wajahku pada sebuah cermin. Jilbab

bukan khimar. Hari ini aku menggunakan jilbab yang melilit indah ditubuhku yang mulai rapuh. Dengan sedikit

hiasan yang membuatku tampak lebih muda. Setidaknya, lebih pantas disebut sebagai calon mempelai wanita.

Kamar ini masih sepi, embun masih jelas membasahi jendela-jendela yang menghadap ke taman. Sesekali

aku mendengar desahan kedinginan orang yang lalu lalang di depan kamar.

Kaliurang, akhir sebuah penantian...

“Bagaimana Om? Siap?”

“InsyaAllah, wah aku gugup sekali!”

“Woalah, aku belum pengalaman, jadi ndak bisa kasih saran! Hehehe!”

“Ah, kamu ini!”

“Biruza!” laki-laki tampan itu menoleh ke belakang.

“Tante?”

“Wah, kamu udah besar yah!” wanita setengah baya itu memeluk erat.

“Mana saudara yang lainnya?”

“Ada di luar, kita baru sampai kemaren disini.”

“Lho, kok aku ndak tahu?”

“Kamu terlalu sibuk, jadi kita ndak mau ganggu. Oh ya, Om Galih punya proyek buat kamu!”

“Oh ya? Sekarang beliau dimana?”

“Lagi di ruang tamu, ngobrol ama Om Jauzi, biasalah reunian!”

“Aku kesana ya! Oh ya, Om aku tinggal ndak apa kan?” pria itu mengangguk sambil memegangi

lengannya. Wajahnya tampak gugup sekali.

“Mell!” Wanita tadi memperkenalkan dirinya.

“Nuri! Ini dia ternyata wanita super yang selalu dibanggakan Velia?”

6

Page 7: Bias Nuansa JIngga

“Ah, kamu bisa saja, Nur!”

“Mbak Sara juga disini kan ya?”

“Semuanya kesini kok, nanti akan aku perkenalkan padamu.”

Pembicaraan itu terputus, saat seseorang memanggil keduanya untuk segera ke ruang tamu. Ruangan itu

padat sekali, terlalu banyak manusia di dalamnya. Yah, seperti reunian saja. Ribut! Barulah terasa kegaduhan

ditelingaku. Aku masih duduk di depan cermin. Masih melihat dengan jelas sosok yang tengah menjadi

bayanganku itu. Seakan aku ingin mengulang sebuah perjalanan yang telah aku lalui. Perjalanan yang takkan

pernah aku lupakan. Dimana aku mengenal arti persahabatan yang sesungguhnya. Hanya persahabatan yang

takkan mati dimakan masa. Dia akan tetap ada jika hati juga menginginkannya. Dan juga dari sinilah aku dapat

mengungkap kesetiaan yang selama ini aku cari. Kesetiaan yang membuatku merasakan pahit dan manisnya

sebuah kisah.

“Ummi!”

“Kenapa sayang?”

“Ini udah jam berapa coba? Ummi belum siap-siap ya?”

“Lha, ini udah dipakai kostumnya!”

“Iya, tapi wajahnya? Mau keluar dengan wajah yang lembab seperti itu?” aku baru sadar, wajahku

telah basah dengan air mata.

“Ummi, foto-foto ini cukuplah jadi kenangan di masa lalu, tak untuk ditangisi kan?” gadis manis

itu merengkuh tubuhku hangat, aku tak sanggup menahan tangis ini. Rasanya aku ingin

tenggelam kembali di masa lalu.

Masa lalu yang telah terbiaskan dalam bayangan yang hari ini akan aku pandangi. Akankah nuansa itu

benar-benar terkuak keberadaannya? Keberadaan yang selama ini membuatku selalu bertanya-tanya “Adakah bias

nuansa jingga itu?”

***

7

Page 8: Bias Nuansa JIngga

TAMPARAN SEBUAH MEMORI

Pergi…

Semua telah pergi menjamuri hampaku

Memori senja tak lagi menepis helaian kepingku

Dekapan tawa hangat, kini mengosongkan setiap rongga ingatanku

Semua berubah menjadi debu yang berlalu

Usai…

Semua telah usai

Kisahku telah menutup lembarnya

Arahan rasa yang berkilau itu telah menamparkan nyatanya

Akhir…

Ini adalah sebuah akhir

Penutup dari semua harapan dan rindu

Akan sentuhan penegak nafsu

Cukup…

Aku ingin cukup sampai disini

Sudah letih aku mengingatnya lagi

Kepingan rintih yang tiada pasti

Hancur…

Aku yakin akan terjadi

Akan menyengat sanubari

Merendam sejuta gerigi hari

Lalu…

Semua berlalu…

8

Page 9: Bias Nuansa JIngga

*1*

KETIKA SEMUA HARUS BERLALU

Sore itu begitu dingin. Sweater yang tergantung lunglai di balik pintu kamarku, memerintahkan tanganku

untuk meraihnya dan membalutkannya ke tubuh yang menggigil.

“Vel, jangan ngelamun aja, bentar lagi Maghrib lho! Siap-siap gih!” suara lembut bunda

menenggelamkan lamunanku di tepi jendela. Tubuh yang membesarkanku itu mengayunkan langkahnya. Dia

berusaha mengajakku yang dari tadi muram untuk tersenyum. Tapi sungguh, aku tak sanggup melebarkan senyum

ini. Hanya ada dua pilihan. Tersenyum atau menangis.

“Vel, ada apa nak?” sekali lagi suara itu membuatku menyentakkan mata dan aku merangkul tubuhnya.

Tangisku begitu deras, aliran sungai dalam hatiku meluap. Ingin rasanya aku berteriak untuk memberitahunya

risau dalam hatiku. Tapi, percuma. Ini tidak akan merubah keputusan itu. Dia akan pergi, meninggalkanku

selamanya. Entah kapan dia akan kembali. Kenapa pertemuan itu menjadi yang pertama dan yang terakhir?

Kadang aku berfikir, Tuhan tidak adil padaku. Haruskah gundah ini aku tenggelamkan? Sungguh sulit, saat aku

harus melupakan sesuatu yang indah yang telah menoreh lukisan di hatiku.

Aku melamun lagi. Hingga tak kusadari Bunda telah beranjak perlahan keluar, setelah aku melepaskan

rangkulannya. Bunda, andaikan kau tahu, betapa sedihnya hati anakmu ini. Ku yakinkan kau akan renyuh.

Lima tahun penantian. Aku setia menanti orang yang tidak mengenalku, apalagi memikirkanku. Aku

hijrah, karenanya. Karena dia motivatorku. Kini, saat aku mulai dekat dengannya. Mengapa dia harus pergi?

Ku raih buku diari di atas pembaringan. Ku jatuhkan tubuh ini ke atasnya. Mulailah ku buka lembar demi

lembar.

***

Kamis, 14 oktober 2004 (21:16)

Aduh… diary, aku rasanya senang banget. Tadi itu, dia lumayan memberi respon. Pokoknya aku bahagia

sekali. Besok gimana ya? Udah ah, aku capek nih! Besok kita curhat lagi yaa…

Kamis, 21 oktober 2004 (22:21)

Aku ga’ ngerti, kenapa getaran itu rasanya kuat sekali. Apalagi saat aku menatap matanya. Rasanya aku

ngin melayang ke udara. Saat ia menatapku dengan matanya yang menyimpan 1001 teka-teki yang tak terjawab

olehku. Benarkah aku jatuh cinta padanya? Kenapa harus dia? Dia terlalu sempurna untukku. Apa dia juga

merasakan hal yang sama? Mungkin ga’ sih kalau dia juga mencintaiku? Kata horoskop sih kita cocok banget.

9

Page 10: Bias Nuansa JIngga

Aku akan berjanji akan tetap setia menantinya. Tak terasa, 4 tahun telah ku lalui dengan perasaan

khusus padanya. Berapa tahun lagi aku harus menunggu? Akankah aku mendapatkan respon langsung darinya?

Kututup lembaran itu saat Allah memanggilku untuk segera menghadap padaNya. Kuusap air yang dari

tadi terus membanjir di wajahku. Kadang aku merasa, aku ini seorang jilbaber. Kenapa aku begitu merasa senang

saat harus menceritakan kepada semua orang tentang dia. Cintaku.

***

Hari ini, aku akan kembali ke Sekolah. Tempat dimana masalah sudah menantiku. Tapi, aku merasa

senang. Apalagi saat bertemu sahabatku, Neru. Aku akan bercerita padanya tentang secret admireku. Meskipun

aku merasa inilah musim terakhir aku bercerita tentangnya. Pagi yang mendung. Memaksaku untuk mengenakan

sweater penuh sejuta kenangan itu.

Ayah menyambut murungku dengan senyum. Dua pasang mata di wajah yang enggan berkerut itu,

membuatku tersenyum dengan paksa. Sepotong roti yang layu, terkulai menanti selai. Mata itu masih

memandangku, memaksa untuk aku mengucapkan sesuatu.

“Vel, dari kemarin, Ayah perhatikan kamu kok sedih sekali? Ada apa?”

“Yah, Vel ga’ apa-apa kok. Cuma lagi ga’ mood aja untuk banyak ngomong.”

“Anakku, bukannya kami ingin ikut campur. Tapi, kami resah melihatmu seperti ini. Ayah percaya suatu

saat nanti kamu akan cerita. Habiskan sarapannya, setelah itu Ayah tunggu di depan.” ujar sosok Ayahku yang

menjadi semangat hidupku. Tapi, untuk kali ini dia tak berhasil memberikan ruh senyum dibibirku. Entah kenapa?

Setelah berpamitan dengan Bunda, aku pun melesat bersama kendaraan roda dua Ayah. Aku masih

muram. Duduk dengan manis, terdiam. Tiba-tiba mataku tersentak saat Ayah berhenti. Dan menyapa seseorang.

“Assalamua’laikum… Kahfi?”

“Waa’laikumussalam Pak! Velia? Gimana kakinya, Vel? Udah sehat?”

Aku tak percaya, dia begitu dekat denganku. Aku mengangguk, hanya bisa tertegun. Kenapa dia masih

disini? Bukannya dia akan pergi ke Singapura?

Aku membawa bingung dalam benakku bersama roda yang membawaku meninggalkan tubuhnya.

Sesuatu bergetar di dalam saku rokku. Ada pesan.

Ass. Vel, ashma Vemas kambuh lagi, skrg dy lagi d rmh sakit biasa. Pulang, seklh aku tunggu. Guntur.

***

Langkahku percepat menuju gerbang Sekolah. Ini sudah pukul satu siang. Apakah jam besuk masih ada?

Aku ragu hal itu.

“Vel!” teriak sebuah suara yang tak asing lagi di telingaku. Si Jauzi yang nyebelin.

“Kita rapat, jangan pulang dulu!” dia berjalan mendekatiku yang hanya menoleh kesal padanya.

10

Page 11: Bias Nuansa JIngga

“Afwan, aku ga’ bisa. Assalamua’laikum!” jelasku menutup pembicaraan dan langsung pergi tapi

tertahan tubuh Galih didepanku. Aku bingung harus bagaimana. Aku seorang jilbaber, apa kata orang nanti? Aku

berusaha menerobos tubuhnya. Tapi, dia terus menghalangi. Dan berhenti saat Jauzi berkata “Lepaskan!”

Langkahku terus mengalir, tapi hati ini tertahan saat melihat mata sayu Jauzi. Aku tahu dia lelah. Aku

terlalu egois, karena memikirkan kepentinganku saja.

”Tapi, apa pantas aku meninggalkan sahabatku dalam keadaan sepeti ini? Disaat dia sendiri dan orang

tuanya tak bersamanya. Apa pantas?” pikirku berulang kali.

Gemulai daun menemaniku melangkah. Rumah sakit yang tak begitu jauh dari Sekolahku terlihat

beberapa jengkal lagi.

Dari kejauhan dengan jelas aku melihat lambaian tangan sahabatku Guntur. Ku percepat langkahku

dengan gaya yang lucu. Tas pink yang melekat dipunggungku bergeser kadang ke kiri, kadang kekanan. Aku,

Neru, Vemas, dan Guntur adalah empat sekawan yang terkenal kompak sekali. Padahal kami berasal dari latar

belakang yang berbeda-beda. Aku anak Rohis, Neru anak Seni, Vemas anak Komputer, dan Guntur anak Paski.

Sungguh berbeda, tapi bagi kami, perbedaanlah yang akan menyatukan hati. Karena semakin beragam, kita tak

kan cepat merasa jenuh. Itulah kata-kata yang kami ucapkan ketika aku memulai cekcok dengan Vemas.

“Assalamua’laikum… lama banget sih?”

“Hhhhh…Waa’laikumussalam, ini juga udah pake kecepatan yang paling tinggi.” dia berjalan dan

memegang tanganku.

“Don’t touch me!!!” ujarku menarik tangan dari genggaman orang yang hanya tersenyum geli dan senang,

sekali lagi aku berteriak dalam hatiku. Aku seorang jilbaber, apa pantas???

***

“Assalamua’laikum, Vem! Udah mendingan?”

“Wa’alaikumussalam, lumayanlah Vel, thanks ya udah mau datang.”

“Neru mana?”

“Dia…,”

Kami gugup, entah kenapa? Saat itu tatapan kami beradu. Hatiku berdegub, aku tak sempat Istighfar.

Ya… Tuhan, mungkinkah ini? Aku terdiam, begitu pun dia. Aku berusaha mencari kegiatan lain, tapi masih saja

kelihatan salah tingkah di depannya. Tiba-tiba Neru datang bersama Guntur, yang tadi meninggalkanku di

persimpangan bangsal. Mereka berkedip, seperti ingin mengatakan sesuatu. Memang diantara kami berempat, aku

paling dekat dengan Vemas. Setiap hari minimal kita sms-an dua kali. Untuk sekedar nanya PR ato keadaan. Aku

tak mengerti, kenapa aku bisa bertindak seperti orang yang tak tahu tentang hijab. Aku merasa tidak jadi masalah

jika harus berteman dengan laki-laki, apalagi sedekat dengan mereka. Padahal, aku cukup dipandang dan disegani

laki-laki di Rohis.

11

Page 12: Bias Nuansa JIngga

”Velia, kamu masih seperti yang dulu, hanya berubah penampilan saja. Kamu masih terus tersenyum

untuk semua lelaki yang didekatmu. Kamu masih tulus menyayangi siapapun yang memberikan perhatian

padamu. Kamu masih yang dulu.”

Itu salah satu pernyataan sahabat laki-lakiku dulu. Dia sepertinya sangat mengerti aku. Walaupun kami

sudah tak dekat, tapi dia terus memantau dan mengikuti perkembangan sikapku. Kadang, aku berfikir. Bagaimana

caranya menjaga hijab itu? Mereka sahabatku, tak kan sanggup aku melepaskan mereka.

Aku duduk tersudut dibalik meja yang berada dalam ruangan ber-AC itu. Aku membolak-balik sebuah

majalah yang tergeletak tanpa peminat diatas kursi.

“Vel, udah sore nih! Ga’ pulang?”

“Gun, trus Vemas ama siapa?”

“Cieeee… tenang deh, dia aman ditanganku, kamu ga’ usah khawatir gitu.” aku menggaruk kepala dan

menyikut bahu Neru yang tertidur pulas disampingku.

“WATCCYYYA!!!” dia bergaya lucu a la Jacky Chan, entah mimpi apa dia? Aku memberi isyarat

padanya untuk segera pulang. Dia beranjak sambil mengucek matanya, meraih tas, dan ngeloyor entah kemana.

Takutnya, nanti dia nyasar ke kamar mayat. Akupun mengambil langkah seribu. Tapi, tertahan ketika Vemas

berkata lembut “Makasih, ya Vel!”

Jilbabku tersibak, aku merasakan sesuatu nyawa dan nafas yang berbeda.

Vemas, andaikan kamu tahu, sedih ku. Rasanya aku ingin sekali menceritakan semua ini padamu.

Gundahku. Vem, kamu yang paling ngerti aku. Meskipun kamu selalu berusaha mengangguku, aku tahu itu

perhatianmu. Dan aku tahu, dalam hatimu tersimpan sesuatu yang tak bisa diduga oleh orang. Cinta. Cintamu

tulus untuk menyayangi orang-orang di dekatmu. Andaikan aku bisa mencintaimu. Dari pada aku mencintai orang

yang entah pernah atau tidak, memikirkanku.

***

Ass. Vel, pa kabar? Gimana masalah pelantikannya? Jadi? Jauzi bilang besok kalian mau survey tempat

ya?

Survey??? Kenapa Kak Hani duluan tahu dari aku, tujuan informasinya. Apa sih maunya Jauzi???

Ponselku berdering, getarnya membahana. Dari layar jelas sekali itu panggilan dari sang ketua Rohis.

Setelah membaca salam, aku langsung saja menanyakan maksudnya. Tanpa basa-basi aku menutup panggilannya.

Ketika sudah jelas apa yang harus aku perbuat. Jauzi, idola semua orang. Terkecuali aku. Dia terlihat begitu

menyebalkan. Rambutnya yang ikal membuatku ingin sekali menjambaknya.

Malam begitu larut, aku mendapat panggilan lagi. Kini dari Vemas.

“Assalamua’laikum…,” salamku pun disambut lengkap olehnya.

“Sibuk? Aku boleh tahu gundahmu, sobat?”

“Vem…,” tanpa basa-basi aku awali cerita ini dengan berbaring santai diatas kasur.

12

Page 13: Bias Nuansa JIngga

Tiga hari yang panjang untukku, saat dimana aku merasakan sesuatu yang luar biasa. Dan tak pernah

terbayang olehku. Meskipun aku seorang ratu khayal.

***

Awal tanggal kelahiranku…

“Vel, ada yang datang tuh, nyari kamu!” aku memandang wajah Zahra yang duduk tepat disampingku.

Dia adalah akhwat, sahabatku.

“Siapa Bun?”

“Nak Kanan dan,”

“Kahfi?”

Bundaku mengangguk saat Zahra menyebutkan nama itu. Aku tersentak. Ada apa ini? Aku beranjak jalan

keluar dengan semangat. Diikuti langkah Zahra yang tampak juga bersemangat.

Aku perlahan menuruni tangga. Aku melihat wajahnya. Itu Kahfi, yang aku nanti sejak lima tahun yang

lalu. Hatiku bergetar, keras sekali. Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, Kak Kanan menanyakan

kesediaan kami untuk datang.

“Besok ya kak?”

“Iya Vel, bisa kan?”

Aku menatap sahabatku itu, dan dia mengangguk. Dalam hatiku, begitu senang. Berada akan sedekat itu

dengan orang yang aku cintai. Padang Panjang, kota yang cukup indah untuk menghabiskan masa liburanku di

dekatnya.

“Ya udah, besok pagi dijemput Kahfi ya?” aku membelalakkan mataku seketika, tak percaya.

“Vel langsung kesana aja, bareng Zahra!”

“Ya udah, ndak apa-apa juga! Permisi ya… Assalamua’laikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Dia hanya diam, dan tertunduk. Tidak berkata apa-apa. Cuma ada sedikit kerut dikeningnya saat aku

merespon tidak bersedia dijemput olehnya. Mungkinkah dia kecewa?

Malam itu aku merasa bahagia sekali, besok adalah hari yang begitu indah. Tiga hari didekatnya. Semua

persiapan telah ku kemas. Restu Ayah dan Bunda sudah ku raih. Kutunggu esok dengan senyum sebelum

memejamkan mata.

Ba’da Subuh, aku sudah berada di depan Rumah Ibu Sarah, Ibunda Kak Kanan. Semua sudah siap, kami

tinggal berangkat. Kahfi tampak tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditelinganya terpasang dua

tali yang membuat nada-nada itu tersambung ke telinganya.

Villa yang indah, semua sudah menanti, ternyata lebih ramai seperti yang aku sangka. Banyak akhwat

disana. Mereka semua merangkul tubuhku dalam indahnya ukhuwah.

13

Page 14: Bias Nuansa JIngga

Malangnya waktu itu lampu mati. Barbekiunya batal. Di taman belakang aku duduk di sebuah bangku,

yang mendengar desahan kedinginanku. Sebuah tangan menutupi tubuhku dengan sebuah sweater yang seketika

menghentikan desahanku. Tubuh itu pun berlalu. Aku merasakan sebuah elahan nafas yang hangat.

Hangatnya malam itu, meleburkan inginku untuk menghadap-Nya. Aku berjalan ke dalam menuju kamar

mandi. Saat aku melangkah ke dalam, cahaya pun menemaniku. Lampu yang padam kini kembali benderang. Aku

memasuki kamar mandi dan tersentak saat aku melihat di tepi sweater berwarna hijau muda itu terdapat nama,

Kahfi. Ini miliknya? Diakah tadi yang menghapuskan gemetarku? Aku merogoh saku benda itu. Ada sepucuk

surat. Aku merebahkan badanku di dinding pintu. Perlahan aku buka, aku tak peduli ini dosa atau tidak. Sungguh

aku ingin tahu, mungkin ini untukku.

Assalamua’laikum wr.wb.

To : Kak Kahfi

Makasih ya kak, udah mau nerima pemberianku. Aku minta kakak menjaganya dengan baik-baik. Ini

adalah hatiku. Semoga ia selalu dekat dengan hatimu. Kak, sudah lama aku merasakan hal ini padamu. Memang

tak pantas, aku seorang akhwat dan kau ikhwan. Balas suratku Ini dengan senyummu dan kutunggu kau di

halaman belakang, besok.

Wassalamua’laikum wr.wb.

Zahra

Aku meremuk surat itu dan membantingnya keras ke lantai yang basah. Aku tak mengira, Zahra setega itu

padaku. Padahal ia tahu bagaimana perasaanku pada Kahfi. Ternyata dia musuh dalam selimut. Kenapa dia ga’

bilang dari awal??? Aku akan mencoba untuk mengikhlasannya setengah mati. Tapi, kenapa dia harus sembunyi.

Apa aku tak dianggapnya sahabat?

Aku tergesa-gesa keluar kamar mandi itu, karena waktu adzan sudah memanggil.

GEDUBRRRAAAAK!!!

Tubuhku terjatuh, sakit sekali. Saat aku berdiri, aku berusaha menatap wajah orang yang menabrakku

tadi. Ya… Allah, dia Kahfi! Aku menundukkan wajahku dan bergegas meninggalkannya.

Sekali lagi, malam itu adalah malam terindah dalam hidupku. Aku bertahajud kepada Allah. Aku

meminta padanya, sesuatu yang terus aku harapkan. Aku menangis, bersujud kepadaNya. Diantara gelap malam

aku mengais-ngais ridho Allah dalam tangis.

14

Page 15: Bias Nuansa JIngga

Pagi itu tak begitu cerah, subuh yang gelap. Kami semua berkumpul di Ruang tamu Villa untuk

melaksanakan keutuhan kami. Zahra tanpa rasa bersalah menepuk pundakku dan berkata “Vel, ngelamun aja!

Masih pagi tau!” aku tak berusaha membalas senyumnya. Dia pun terdiam, masih tanpa ada rasa bersalah. Zahra,

andaikan kamu tahu apa yang aku rasakan, mungkin kau takkan berani berdiri dihadapan ku lagi.

Siang yang panas dan membawa hatiku menjadi panas. Ketika melihat Zahra membantu Kahfi

membereskan gelas di atas meja makan. Aku bergegas kesitu mengambil sesuatu yang tak begitu penting.

Tanganku menyenggol sesuatu yang membuat tubuh benda itu hancur.

PRAAAAANG!!!

Salah satu beling kacanya menerobos kulit dagingku. Semua bersatu dengan aliran darahku yang deras

keluar. Sesosok tubuh memegang punggungku yang tergolek tak berdaya, dan tangannya menarik beling yang

menancap itu. Aku tak sanggup menatap, rasanya pedih sekali. Tiba-tiba, terasa olehku peralihan tangan pada

punggungku. Kurasakan helaian jilbab mereka. Aku tahu mereka akhwat. Mereka memapahku kedalam kamar.

Tubuhku terasa lemah seketika. Aku tak berdaya dan kuasa. Semua acara yang kami rencanakan tertunda. Semua

karena keegoisanku.

Ku tatap langit-langit, aku melihat bayangan yang suram. Perban yang melekat dikakiku mulai meregang.

Rasanya sakit.

“Vel, bentar lagi Maghrib. Mau shalat di kamar atau di luar, sayang?” tawar Bu Sarah padaku. Raut

keriput wajahnya, membuatku seringkali teringat dengan Nenek.

“Bukannya, shalat berjama’ah lebih banyak pahalanya dari pada shalat sendirian, Bu?”

“Baiklah, Ibu akan membantu kamu meraih pahala itu, tunggu ya sayang.”

“Bu, bisa minta tolong manggilin Zahra ga’?” mohonku yang dibalas dengan senyum hangatnya.

Seketika, Zahra muncul dari balik pintu. Dia tersenyum padaku dan Bu Sarah. “Pucuk dicinta ulam tiba!”

ujarnya.

Aku menatap tajam wajah sahabatku itu. Sepertinya dia mengerti ada sesuatu yang harus kami bicarakan

nanti. Dia berusaha memapahku untuk berjalan keluar. Kami pun bersiap-siap menuju tempat yang sudah

disediakan ikhwan untuk segera shalat.

***

Malam yang gelap, aku hanya duduk berdua dengan sahabatku, di teras belakang. ”Ukhti, haruskah aku

menanyakan hal yang menggundahkan hatiku ini? Aku tak ingin hanya gara-gara ini, hubungan silahturahim kita

terputus.” aku berujar dalam hati.

“Ukhti, kakinya masih sakit? Sayang ya, padahal besok kita mau out-bond. Lagian besok hari terakhir,

setelah itu kita pulang.”

“Alhamdullilah, ini masih mending, untung tak parah. Oh ya, aku boleh nanya sesuatu?”

“Asalkan bukan rumus fisika atau matematika aja!” ujarnya sambil mengembangkan senyum.

15

Page 16: Bias Nuansa JIngga

“Seandainya,” aku terputus bicara, tak sanggup rasanya harus melakukan semua ini. Sungguh berat.

“Ukhti, jika ada masalah, bicarakanlah, jangan kau pendam dalam hati. Nanti akan menjadi beban dan

dendam.”

“Mmm, ingat Jauzi kan?” dia terdiam berfikir dan mengangguk.

“Kamu tahu, dia kan lulus seleksi pertukaran pelajar ke Inggris!”

“Subhanallah!”

Aku mengalihkan topik pembicaraan. Ini bukan waktu yang tepat.

Kami melanjutkan cerita hingga waktu Isya memanggil. Aku pun bergegas di papahnya menuju ruangan

yang tadi.

Ba’da Isya, duduk melingkar. Kira-kira empat meter di depanku, dia duduk. Aku bersimpuh menahan

kaki yang sudah berkurang rasa sakitnya. Acara dibuka, sama seperti biasa dengan acara di forumku.

“Oh ya, Ibu belum kenalin ya?” ujar Ibu Sarah menatap kepadaku dan Zahra.

“Yang pake jilbab Ungu itu, Vel. Nama lengkapnya Velia Andyra. Sekolah di SMA terfavorit di Kota

Padang. Kelas dua IPA.” Ibu Sarah menatap ke arahku dan tersenyum. Sesekali aku menatap kearah Kahfi yang

mengangguk-angguk. Ada sesuatu yang tersirat dalam anggukannya.

“Nah, disampingnya, Zahra. Zahra Annisa, dia bersekolah di Sekolah Islam yang sangat terkenal di

Padang, kelas dua IPA juga.” kini beralih kepada Zahra, beliau tersenyum.

Setelah selesai ta’aruf, selanjutnya acara dilanjutkan dengan siraman rohani oleh Kak Kanan. Aku mulai

menangkap sesuatu yang aneh dari raut wajah Kahfi. Sesekali dia menatapku, tatapan pun beradu. Sesekali dia

menunduk dan melafadzkan sesuatu.

***

Tiga hari yang mengisi rongga alveolusku. Aku merasa bahagia. Meskipun, ada pedih yang kurasa. Aku

menatap keluar. Melihat hamparan sawah menghijau di perjalanan antara Padang Panjang dan Padang. Lantunan

Raihan sesekali samar terdengar.

Demi masa sesungguhnya manusia kerugian

Melainkan yang beriman dan beramal shaleh

Gunakan kesempatan yang masih diberi

Semoga kita takkan menyesal

Masa usia kita jangan disiakan

Karena dia takkan kembali

Ingat lima perkara sebelum lima perkara

Sehat sebelum sakit,

muda sebelum tua,

kaya sebelum miskin,

16

Page 17: Bias Nuansa JIngga

lapang sebelum sempit,

hidup sebelum mati…

Suara yang jelas terngiang olehku. Suara merdu Kahfi yang mendesirkan hati. Aku menangkap

senyumnya yang terlempar begitu saja. Perjalanan yang panjang. Takkan lelah rasanya, pikirku. Asalkan selalu

dekat dengannya. Saat itu aku terlalu berfikir picik.

Sampailah disuatu ketika dimana sebuah pernyataan Bu Sarah yang membuat seluruh rongga-rongga itu

luluh dan lantak.

“Sayang ini kesempatan terakhir ya! Bulan besok kan Kahfi udah ke Nhanyang Technology University di

Singapura.”

Aku terperangah. Petir dan kilat menyambar silih berganti dalam hatiku. Ya Allah, Engkau ciptakan

bahagia sesaat ini sebagai penghibur duka sepanjang hayatku. Aku melihat wajah sahabatku. Aku tahu bahwa tak

hanya aku yang merasakan kesedihan itu. Aku kembali menerawang ke luar. Tak sanggup membendung air mata.

Aku pun menangis.

“Vel, jangan nangis!” aku tersentak mendengar suara serak Vemas yang setia mendengarkan seluruh

gundahku.

“Aku harus gimana Vem?”

“Kamu harus belajar untuk mengikhlaskan sesuatu. Jika dia memang untukmu, dia akan kembali. Hapus

air matamu. Tahajudlah, esok masih ada hari yang menanti senyummu. Assalamua’laikum. Selamat malam sobat,

mimpikanlah apa-apa yang indah milik Allah.”

Aku menjawab salamnya. Seketika pembicaraan malam itu terhenti tepat pada pukul 12 malam. Perlahan

aku beranjak ke kamar mandi dan menyekakan air wudhu.

***

Pelantikan dua minggu lagi, aku akan sibuk sekali. Kemanapun aku pergi nantinya, akan diikuti tanya sini

dan tanya sana.

Hari yang melelahkan. Sepulang Sekolah aku les, setelah itu rapat. Malamnya ditutup dengan les lagi.

Subuhnya aku harus belajar ilmu Tajwid Al-Qur’an. Aku harus sadari, bahwa aku tak bisa baca Al-Qur’an dengan

baik dan benar. Aku malu, sebagai seorang anak Rohis yang cukup dikenal.

“Woi… pagi-pagi udah ngelamun! Whats wrong? Jadi kemarin pergi surveynya bareng Jauzi?” tanya

Neru menyelidiki. Dia begitu mengidolakan Jauzi. Si bintang Sekolah. Nasyid bisa, dakwah ok, teater keren, dan

pergaulan luas. Kadang, banyak adik kelas yang memanggilnya Iga (Ikhwan Gaul). Apa sih yang ga’ dia tahu.

Seputar Jepang, tahu. Seputar India, paham. Seputar Indonesia, koran kali!

“Ga’ jadi, karena because selalu always, mobil ayahnya Jauzi rusak. Jadi, sebagai anak yang sholeh dia

memilih menunda surveynya.”

17

Page 18: Bias Nuansa JIngga

“Oooo bulat, Vel… ingat Galih?” aku mengangguk.

“Dia kemaren nembak seseorang!”

“Mati?”

“Nggak, karena orangnya kabur ke rumah sakit.”

“JIWA?”

“Bukan, si target pergi jenguk sahabatnya. Udah ngerasa?”

“Aku?”

“Bukan, Velia Andyra nama lengkap perempuan itu.” jawabnya tegas mencampurkan antara resah dan

ge-erku.

Tiba-tiba dari balik kaca, terlihat wajah pria yang kami sebut tengah berdiri memelas. Neru

meninggalkanku. Hari masih terlalu pagi. Tak begitu banyak orang yang datang.

“Assalamua’laikum!”

“Waa’laikumussalam, ada apa Lih?”

“Vel, baca ya! Tolong kasih jawabnya hari ini juga.”

Sodoran tangannya membuatku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya menoleh punggungnya yang

berlalu dan meraih amplop hijau muda di daun jendela.

Pagi-pagi sudah dapat surat cinta. Apalagi yang akan terjadi siang dan malam nanti ya???

Surat itu ku simpan dalam sakuku. Tak sempat aku membaca. Aku tak merasa penting untuk

membacanya. Jam pertama yang menegangkan. Pembagian nilai ulangan Fisika. Mungkin ini adalah ulangan

terburuk disepanjang hidupku. Aku genggam surat tadi di dalam saku. Ingin rasanya ku buka. Tapi, apadaya

setiap tatapan mata guru itu mengarah padaku. Aku jadi jiper alias ketakutan, karenanya.

Vemas lagi-lagi mendapat nilai tertinggi. Sejak aku menghentikan kebiasaan menyontekku, bagus atau

jeleknya nilai tak ada pengaruh pada diriku. Sekarang, aku bisa melihat betapa bodohnya aku. Telah larut dalam

kebiasaan yang akan merugikanku nanti.

”Vemas, 100.”

”Guntur, 95.”

”Dan... Neru, 80.”

Setelah guru terkiler itu membacakan urutan tiga besarnya. Dia keluar untuk memberikan kesempatan

kami refreshing. Karena sudah tak ada materi lagi yang harus diburu.

Kesempatan untuk membuka surat itu. Amplop hijau yang indah, warna kesukaanku. Aduh, hatiku

rasanya bergemuruh. Karena, pengalaman pertama menerima surat cinta.

Assalamu’alaikum, Ukhti...

Kuharap situasi hatimu sedang bahagia saat membaca surat ini.

18

Page 19: Bias Nuansa JIngga

Ukhti, perasaan itu tumbuh tanpa aku sadari. Saat celah-celah itu mulai mengeluarkan cahaya untuk menyinari

hatiku, aku sadar inilah yang dinamakan cinta. Jika hati telah diliputi rasa putus asa dan hati yang lapang telah

menjadi sesak. Kala ujian dan cobaan telah menjalar dan di dalam hati telah terdiam sebuah bencana. Engkau

tahu harus kemana mengusir kesulitan dan tidak pula bermanfaat usaha orang-orang pintar. Saat itulah datang

bantuan untuk putus asamu, dari Rabb Yang Maha Pemberi dan Maha Dekat.

Semua peristiwa walaupun telah memuncak, akan bersambung dan akan ada jalan keluar dalam waktu

dekat. Ukhti, aku tak tahu, ini masalah atau bukan. Memang aku hampir putus asa, tapi karena senyummu lah

hati ini tetap merasa lapang. Cinta yang aku rasakan tulus padamu semata-mata karena Allah. Aku tahu pula,

memang tak pantas. Tapi, untuk apa aku berlama-lama dalam kegundahan yang selalu mendesak ini. Aku hanya

ingin mengutarakan maksud baik ini untukmu Ukhti. Tapi, jika nanti dirimu menanggapi berbeda dengan

perkiraanku. Maafkanlah, segala kelancanganku. Jangan jadikan hal ini jurang pemisah antara kita. Jadikanlah

ini tali mempererat hati kita, sebagai sesama muslim.

Wassalam.

Galih Fathiril

Gemetar tanganku setelah membaca surat itu. Apa-apaan ini, teriak dalam hatiku. Seorang ikhwan,

melakukan hal yang sebodoh ini. Aku tak pernah menyangka. Mengapa dia begitu nekat. Kadang aku berfikir, apa

lebihnya aku? Semua biasa, tak ada yang istimewa. Tapi, aku tetap bersyukur, masih ada yang menganggapku

istimewa. Bukan berarti, aku harus sombong. Tiba-tiba aku teringat ucap sahabatku, Andrew.

Velia, kamu itu orangnya kadang dewasa banget, kadang anak-anak banget. Kamu orangnya pengertian.

Meskipun ga’ sabaran, tapi kamu lebih suka menanti sesuatu yang belum pasti kamu dapatkan. Kamu, tipe cewek

yang setia, tapi kamu juga punya prinsip. Suka tetap suka, tapi tak harus memberi seluruh kehidupan kita

padanya. Kamu orangnya pelit kepada semua orang, tanpa membedakan mereka. Meskipun, dia sahabat kamu

sendiri, kamu tetap pelit. Ataupun dengan yang kamu suka sekalipun, kamu tetap pelit. Lia, cuma aku yang

manggil kamu dengan sebutan itu. Kamu, selalu tersenyum untukku, kamu memberi semangat hidup untukku.

Mengajarkanku bagaimana cara mencintai orang dengan tulus. Tapi, maaf aku sampai saat ini, belum bisa

merubah sifatku. Sebagai Playboy terkenal di SMP, aku tetap sadar bahwa kehadiranmu sebagai sahabatku begitu

berarti. Kamu sedikit egois, tapi ujung-ujungnya akan mengalah juga. Kamu jaim, seringkali membuat orang

penasaran dengan mau kamu. Aku senang, setiap malam saat aku menghubungi kamu, kamu menanyakan kondisi

kesehatanku. Memang paru-paru basah inilah yang menjadikan kita nantinya akan berpisah. Saat aku berkata

seperti itu, pasti kamu menjawab. ”Makin cepat mati, makin baik Ndrew!” dan membuat tanganku melesat ke

kepalamu. Lia, katanya kamu udah pake jilbab ya? Cieeee... ternyata beneran ya. Aku kira waktu SMP dulu kamu

cuma main-main bicara soal itu ke aku. Kabarnya lagi kamu udah menjadi seorang akhwat ya? Waktu memang

19

Page 20: Bias Nuansa JIngga

cepat berlalu. Baru saja kemarin kita bersama, bertengkar bersama, pukul-pukulan bersama. Eh... sekarang kita

udah beda, kamu di timur aku di barat. Begitu jauh. Oh ya, jangan lupa selalu balas emailku. Aku tunggu loh!

By : Sahabatmu yang paling cool ; Andrew Aidhzan

Bandung, 21 November 2003

Andrew, meskipun kini nafasmu sudah terbang jauh, tapi aku yakin sobat, aku akan dengar semua apa

yang kamu pesankan. Karena doaku selalu menyertaimu. Tiba-tiba air mataku tertetes membasahi surat Galih.

Aku tertunduk dan melihat keluar. Rumput yang begitu hijau yang berembun disetiap paginya, andai kau tahu

rasa pedih dalam hatiku. Sibakkanlah tetesan embun itu ke wajahku. Lalu, buatlah matahari tersenyum untukku.

***

”Vemas, udah sehat?”

”Udah, mana Vel?”

”Yeeee, pagi-pagi udah nanya si Vel. Gantian, dia yang sakit.”

”Kenapa Ner, Gun?”

”Tenang, si Vel ga’ pa-pa kok, cuma flu biasa.”

”Gun, pulang sekolah anterin ke rumahnya ya!”

”Vem ” ujarku membuat kerut wajahnya melukiskan senyum yang indah dibibir.

”Vel, kamu ga’ apa-apa kan?”

”Tadinya sih mau bolos. Tapi, karena ada kamu, ga’ jadi deh.”

Vemas mengangkat krah bajunya. Tanda narsisnya kumat lagi.

Sore ini, Vemas mengajak kita-kita ke Pattimura. Tempat yang biasa. Tapi, berhubung aku suka cendol,

jadi tempat yang paling istimewa deh!

Vemas, Guntur, dan Neru adalah obat gundahku. Mereka yang selalu membuatku tersenyum. Disaat

pedih yang membara. Aku sadar aku seorang jilbaber. Tapi, apa salah aku punya sahabat lain jenis? Kadang saat

jalan bersama mereka, tak sedikit mata yang memandang heran padaku. Apakah aku sudah bisa disebut Akhwat

sejati? Aku pun tak mengerti, apa yang terjadi padaku?

Kahfi, akan pergi seminggu lagi. Akankah aku sanggup membiarkan semua ini berlalu? Banyak tanya

dalam hatiku sungguh menyesakkan dada.

Akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Semua kegiatan menggrogoti tubuhku. Dari mengikuti Olimpiade Biologi,

lomba teater, aktif di Assalam Sumbar, di Rohis, apalagi sekarang adalah masa-masa sibuknya pengurus. Karena,

Sekolah mempercayai kami dari bidang 1 untuk menghandle semua lomba-lomba antar sekolah yang bernuansa

Islami. Ada lomba Nasyid, MTQ, lomba Da’i, Bazar, dan semua yang pastinya akan sangat melelahkan. Belum

lagi aku harus bikin lima proposal sekaligus, laporan pertanggung jawaban dan mengatur jalannya kegiatan rutin

An-Nisa.Dengan begitu banyak kegiatan aku mesti tetap les matematika, fisika, kimia, bahasa inggris, mengaji,

20

Page 21: Bias Nuansa JIngga

dan pelatihan IBO (International Biology Olimpiade). Apalagi dalam minggu-minggu ini, semua siswa

disibukkan dengan adannya Pagelaran Seni. Aku juga dipercayai untuk menghandle kegiatan mereka oleh Ibu

Rasdi. Sungguh melelahkan. Upsss... ada yang lupa. Aku juga mesti menghandle jalannya kegiatan wirid remaja

di Masjid. Setiap malam kamis aku harus standby untuk mereka. Sorenya sebelum itu, aku harus ke rumah bu

Sarah untuk minta sedikit masukan tentang pembuatan makalah Biologiku. Karena beliau adalah guru Biologi

terbaik se-Sumatera Barat. Belum pula, aku harus menyelesaikan naskah teater untuk 5 pesanan sekaligus. Inilah

caraku menambah uang saku. Seringkali aku mendapat teguran dari Ayah. ”Jangan terlalu sibuk, nanti kamu

sakit.”

Dengan sejubel kegiatan aku masih rajin pergi halaqah bersama kak Airin di Rumahnya yang tak begitu

jauh dari daerahku. Disana aku bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbeda sekolah. Itulah aku, Velia

Andyra si penyiksa tubuh.

Oh ya, setiap minggu aku harus membalas surat curhat adik junior. Mereka cukup banyak. Dalam satu

minggu aku harus membalas 7 surat. Semua curhat padaku dengan berbagai masalah. Dari masalah cinta,

pelajaran, keluarga, dan lingkungan. Semua membuatku lelah. Tapi, hidup akan terus aku jalani, bagaimanapun

nanti jadinya harus tetap aku jalani.

Pagi ini, kelima proposal sudah selesai. Alhamdullilah. Aku memperbaiki jilbabku di depan kaca kelas.

Memang tak pantas, tapi jilbabku cukup membuatku tak PD. Jadi, apa boleh buat. Selagi belum, ada yang datang.

”Assalamu’alaikum.” suara serak itu menepuk bahuku.

”Wa’alaikmussalam, Ukhti.”

”Gimana? Selesaikan?”

”Alhamdullilah.”

Gading Asthanisa adalah ketua An-Nisa kami. Dia sangat dihormati oleh seluruh anggota. Dia tegas dan

terkadang terlalu tegas. Dia yang paling dekat denganku. Dan aku tahu persis tentang dirinya.

”Vel, ada alumni yang nyari kamu kemarin. Ini masalah kamu dengan Galih, sepupuku itu.”

”Masalah? Apalagi, sih... aku capek, ding.”

”Aku ngerti, tapi nanti mereka mau bicara sama kamu ba’da dhuha. Gimana?”

”Yo wiss, asalkan kamu di dekat aku, aku mau ketua.”

”Ih... manja, padahal kamu kan berani. Oh ya, gimana kabar si Fulan?”

”Udah ah, jangan di bahas. Aku lagi sedih nih.”

”Oke deh!!!”

”Gading.” suara yang ku kenal. Jauzi!

”Udah, gih sana! Kekasihmu nunggu.” aku menggodanya.

”Velia!!!” mukanya memerah diikuti dengan tawa yang menggelikan.

***

21

Page 22: Bias Nuansa JIngga

”Pagi, sayang?”

”Guntur, apa-apaan sih!”

”Ga’ boleh, adikku tercinta?”

”Tuh, Neru datang!”

”Halo Neru sayang?” dia tersipu malu, tapi tetap jaim.

”Vemas mana?”

”Ke laut kaleeeee!!!”

”Neru, kok bicara gitu?”

”Cie marah ni yeee... Setahu aku tadi, dia masih di kamar.”

Neru dan Vemas adalah saudara sepupu. Vemas tinggal di Rumah Neru. Papa Neru adalah kakak dari

Papi Vemas. Karena, keluarga Vemas di Jakarta. Jadi, karena dia ngotot ga’ mau ikut pindah, jadi ya... gitu deh!

”Tuh dia, kusut amat! Tadi pagi nyokap aku ngasih minum apa ya?”

”Jangan-jangan ngasih susu cap kuda liar kali.” Neru dan Guntur tertawa terbahak-bahak, untung nggak

berdahak.

”Kenapa Vemas?” aku mengikuti langkah matanya yang rumit. Dia masih diam. Membisu.

Aku terdiam, mengingat tanggal. Ya ampun... it’s My birthday. Kok bisa lupa ya? Aku raih handphone

dalam saku tasku. 10 pesan di terima. Wow!!! Aku mainkan tombol-tombol mungil itu.

Dari : Bunda

Ass. Anakku tercinta. Selamat Ulang Tahun yang ke- 16 ya, nanti pulang sklh, kmi tgg di tempat biasa.

Ok!!!

Pukul 24.05.

Dari : Gading

Ass. Ukhti, met ultah ya, aku tunggu traktirannya. Hehehehehe.

Pukul 01.56.

Dari : Ibu Sarah

Ass. Anakku termanis. Semoga di hari nan bahagia ini, km bisa menjadi yang terbaik ntukNya.

Pukul 03.09.

Dari : 081363654321

Assalamua’laikum... Happy birthday, semoga kamu makin semangat berjihad di jalanNya. Aku tetap

akan mengingatmu, Velia Andyra. Sebagai seorang wanita muslimah yang tegar dan bijaksana. Wass. AK.

Pukul 03.15

AK??? Siapa? Airin Kansha kali ya... Syukron Kak Airin.

Dari : Vemas

Cieeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee... yang ngulang taon. Met ya ceria... tetap ceria, ntar malam aku tgg di cafe

biasa. Jam 19. 30. I will wait you.

Pukul 04.12.

22

Page 23: Bias Nuansa JIngga

Dari : Jauzi

Ass. Happy Milad ya ukhti.Semoga panjang umur.Wass.

Pukul 05.00.

Dari : Galih

Ass. Aku harap kau tak membenciku setelah semua itu terjadi. Afwan... tls dari hatiku. Selamat di hari

bahagia ini. Aku menyayangimu karena Allah.

Pukul 05.30.

Gombal !!!

Dari : Mell

Pagi... met b’ day ya, dek... moga2 tambah caem en baek hati. Kita keluarga di sini mendoakan kan agar

tambah dewasa dan jadi Ustadzah yang bijaksana.

Pukul 07.00.

Dari : Yudha

Ass. Vel, kakak doain semoga kamu ttp jadi Velia yg keq dlu. Slalu tersenyum ntuk semua. Kadonya

ditunggu ya.

Pukul 07.08.

Dari : Kak Vahriz

Ass. Kalo telat, sorry dek. Happy b’day ya. Kakak doain kamu tetap manis n jadi adk terbaik selurh dnia.

I miss you.

Pukul 07.15.

Wow! Luar biasa. Tiba-tiba...

Satu persatu pesan masuk, padahal ini terlalu pagi. Salah satunya kubuka.

Dari : Guntur

WOI... HAPPY B’DAY YEEEEEEE... WE LOVE U! NERU and GUNTUR.

Pukul 07.30.

Aku menoleh pada mereka. Mereka pun tersenyum dan tertawa bersama. Aku masih melihat mendung di

wajah Vemas.

”Thanks.” aku lirih bicara padanya.

***

Ketika semua harus berlalu, mengapa dia pergi saat aku harusnya bahagia? Kenapa rasaku harus berubah

saat ini. Kenapa?

Setiap bayangannya muncul dihadapanku, aku terus menangis dan berusaha mencari penyejuk untuk luka

yang makin lama mengoyak ini. Sungguh!!! Aku ingin melupakannya, aku ingin mengenyahkan bayangannya

23

Page 24: Bias Nuansa JIngga

dihadapanku. Tapi? Apa hasilnya? Dia selalu membuntutiku kemana aku melangkah. Dia selalu hadir dalam

jemuku. Aku tak pernah berharap akan menjadi siapa-siapa dalam hidupnya. Aku hanya ingin semua tampak

jelas. Aku ingin tahu apa rasanya sama denganku? Atau sebaliknya. Dia sama sekali tidak memiliki rasa padaku.

Aku ingin tahu segera, memang ini konyol dan tak ada hasil yang maksimal jika dilakukan secara instant.

Aku Velia Andyra, gadis yang belum mengenal arti kesetiaan. Aku masih terus mencari sebuah misteri

cinta. Aku bukan siapa-siapa, aku tak seperti gadis Jawa. Aku gadis Minang. Sedangkan keluarganya keturunan

Jawa. Mana pantas aku nantinya mendampingi laki-laki sukses seperti dia? Laki-laki yang memiliki sejuta

prestasi. Laki-laki yang digemari kaum wanita. Aku? Aku siapa? Hanya gadis yang baru mengenal indahnya

Islam. Gadis yang masih belajar untuk masuk ke dalam Islam secara utuh. Tak begitu hebat baca Al-Quran, Juz

Amma pun aku tak hapal. Jangankan itu, aku hanya dapat menghapal 10 surat dalam Juz terakhir itu. Bayangkan

saja, apa aku pantas? Aku yang tak terlalu beprestasi dalam sekolah, aku yang masih suka berbaur dengan lawan

jenis dan aku yang masih menguasai berbagai penyakit spesialis hati. Seharusnya aku tahu diri, tak pantas untuk

dekat dengannya. Masih banyak gadis Jawa yang baik budi, hafal Al-Quran dan anak Kiai lagi. Mungkin mereka

lebih pantas untuknya. Harapku kini mulai ku kubur dalam-dalam. Aku harus relakan dia masuk dan pergi dari

hadapku sesukanya. Biarkan dia berjalan dan berlari semaunya.

Biarkan memori ini ku sayat dan ku hancurkan agar tak menjadi bayang yang menghantuiku. Semua ingin

ku kubur jauh dan dalam.

Ingat Velia! Kehidupanmu bukan hanya untuknya, masih banyak yang harus kamu hadapi. Masih banyak

rintangan hiup yang harus dijalani. Teruslah menghembuskah semangat hidupmu. Jangan berhenti sampai disini.

Jalanmu masih panjang.

24

Page 25: Bias Nuansa JIngga

*2*

HIDUP ADALAH SEBUAH PILIHAN

Kupejamkan mataku terhadap semua kotoran

Dan kukenakan pakaian sabar yang putih bersih

Kala masalah menghimpitku, aku berdoa kepada Allah

Sejurus kemudian masalah itupun terbuka

Jalan-jalan itu tersumbat, tapi dengan berdoa ia terbuka dengan sendirinya.

”Innalillahiwainnallilahiraji’un.” suara serak Ayah membuat mataku dan Bunda harap-harap cemas. Kami

saling menggenggam tangan dan berusaha memberi isyarat pada Ayah, siapa yang meninggal? Setelah Ayah

menutup ganggang telepon, segera diserang Bunda dengan sebuah pertanyaan yang masih sama, siapa yang

meninggal?

”Pacarnya Mell, Yudha.” serentak kami membaca hal yang sama yang dibacakan Ayah sebelumnya.

Kak Yudha? Aku bejalan lesu menuju kamar. Aku melihat buku berwarna oranye yang tersusun rapi

diantara buku lainnya. Ku ambil buku itu, La Tahzan, jangan bersedih! Kubuka lembaran pertama.

Untuk adikku tercinta, Velia Andyra.

Memang kado ini tak seberharga berlian yang berkilau. Tapi, kakak harap ini adalah kado yang paling

membahagiakan hatimu. Jadikanlah, pemberianku ini penawar sedihmu. Ok!

Yudha Diaz Prasetya

Tulisan itu ku tetesi dengan air mata. Kenapa dia harus pergi secepat ini. Padahal baru enam bulan yang

lalu kami bertemu. Bermain bersama, tertawa bersama.

***

Liburan pertamaku, pergi sendiri. Tidak ditemani Ayah ataupun Bunda. 16 tahun, umur yang tak begitu

cukup untuk berpergian sendiri ke luar Kota. Pekanbaru, kota nenas yang hendak kukunjungi. Akan menyibak

sebuah tabir. Pertanyaan yang belum kutemukan jawabnya. Tentang arti kesetiaan cinta. Disinilah, aku

mengetahui bahwa cinta yang begitu suci itu adalah cinta yang rela mengorbankan segenap jiwanya untuk orang

yang dicintainya.

Mell, cewek hitam manis ini adalah wanita yang begitu beruntung. Dicintai oleh orang-orang yang

memiliki sesuatu yang didambakan cewek-cewek sejagad. Tapi, dengan keegoisannya, dia mudah sekali

mempermainkan perasaan mereka. Aku juga tak mengerti. Masih ada juga orang yang keterlaluan seperti dirinya.

25

Page 26: Bias Nuansa JIngga

Meskipun dia sepupuku, tapi sungguh, aku kecewa. Mengapa dia melakukannya. Untuk apa? Apa dia tidak punya

rasa kepuasan? Apa dia termasuk golongan orang-orang yang kufur nikmat?

”Cuma SATU MINGGU???” suara Mell menderu tepat di wajahku.

”Ga’ pa-pa, yang jelas kan, kita masih bisa ketemu.” kelembutan Kak Sara masih sama seperti dulu, dia

tidak berubah sedikit pun. Jilbabnya yang terurai indah, membuatku lega sesaat. Karena, dari sekian banyak cucu

nenek, hanya kami berdua yang mengenakan jilbab. Subhanallah.

”Oh ya... kamu belum kenal sama pacar Mell kan?”

Pacar? Mell pacaran? Setahuku kan dalam Islam ga’ ada yang namanya pacaran! Kok bisa?

”Halooo, mau kenalan ga’?” aku mengangguk. Segera diraihnya ponsel untuk memanggil si tamu yang

diundang.

”Vel, ada SMS.” Kak Sara mengantarkan benda itu ke hadapanku.

Aku tersenyum dan mulai mengotak-atik benda mahal itu.

Kak Gerry?

Ass. Vel, gimana kabarnya? Btw, liburan kemana nih?

Kutekan tombol ”reply”.

W3. Alhamdullilah baik2 aja. Gi lbran di Pku. Kakak gimana dan dimana serta lg apa?

Sending the message...

Sesaat kemudian, tanganku diraih seseorang. Lalu, terjadilah jabatan tangan yang tak kuinginkan.

”Yudha.”

”Velia.” aku segera melepaskan jabatan yang tak wajar itu.

”Ini yang sering diceritakan Mell, Kak?” tanya pria itu pada Kak Sara.

”Mell cerita apa?”

”Kalau kamu itu adalah sepupunya yang paling ceroboh, cerewet, bawel...,”

”Kok, ga’ ada yang baiknya?”

”Ada, katanya kamu... pintar dan baik hati.” ia berusaha meraih kepalaku untuk diusap mungkin. Tapi,

sorry, aku mengelakkanya.

”Hi...Yudha, pa kabar? Udah kenalan?”

”Udah Mell, kirain sama sama kamu, tapi kayaknya beda banget deh, dari yang kamu ceritakan tentang

dia.”

”Beda apanya?” tanya Mell mendesak mulut kekasihnya bicara.

”Katanya, dia tomboy, tapi senang pake rok. Katanya jutek, lumayan sih, trus katanya dia suka ceroboh,

dikit sih... tadi, aja dia nyangka aku pelanggan Cafe ini, kasihan, tadi dia udah capek nerangin ini itu, padahal

salah orang.” dia melihat penuh sindiran padaku. Menyebalkan!

Semua tertawa. Menertawakanku yang lebih memilih mesem-mesem sok cuek. Padahal dalam hati, bete

banget.

26

Page 27: Bias Nuansa JIngga

”Capuci datang!” wajah garang pamanku yang berhati lembut datang membawa minuman spesial Cafe

Break miliknya.

***

”Dek, hari ini mau kemana?”

”Kak Sara, ga’ sibuk?”

”Ga’, lagian kamu kesini mau liburan kan? Bukan diam-diam di Rumah, di Padang mah juga bisa!”

”Iya... ya.”

Cukup lama aku berfikir, mau kemana dan ngapain. Beberapa kali Kakakku itu menatap bertanya, tapi

tetap dapat gelengan yang ga’ berarti untuknya.

”Mmmm... ga’ ngajak Mell, Kak?”

”Boleh, tapi dia belum pulang sekolah.”

”Nah, kita ke Sekolahnya aja, after that kita ke Mall ato kemana gitu?”

”Ya udah deh, sekarang mau ngapain? Kalo mau jemput Mell sekitar dua jam lagi.”

Tiba-tiba handphoneku berdering, segera lantunan Nasyid pagi yang cerah diperdendangkan benda pintar

itu.

”Assalamua’laikum,”

”Waa’laikumsalam, Vel, bete nih... ke sekolahan aku donk!”

”Bukannya Mell Sekolah?”

”Sekarang itu hari sabtu, neng... lagian disini ga’ belajar. Because kita lagi pensi. Jadi, nongkrong-

nongkrong aja nih, sekalian aku kenalin ama temen-temenku, mau nggak?”

”Ya udah, tunggu ya!”

”Oke deh, Assalamua’laikum.”

”Waalaikumussalam.”

”Mell?”

”Yup, dia minta kita kesana, katanya lagi ada pensi, jadi orang luar boleh masuk. So...,”

”Lets!” segera kunci yang dari tadi bengong dipandangi dua pasang mata yang kebingungan, diraih

tangan sang kakak.

Mobil melesat keluar Rumah, meninggalkan plank berwarna coklat muda ”CAFE BREAK” dan mulai

berjalan mengelilingi kota Pekanbaru. Lantunan GIGI menemani putaran roda. Sekolah Mell cukup dekat dengan

Rumahnya. Jadi, sebentar saja kami sudah tiba. Dan memasuki perkarangan sekolahnya. Dari kejauhan saja sudah

tampak. Cewek hitam manis dengan rambut hitam, panjang, ikal yang juga di beri warna blackblue. Katanya sih,

kalau kena sinar, bakal kelihatan deh birunya.

”Mell, siapa?”

”Sepupu aku!”

27

Page 28: Bias Nuansa JIngga

”Vel, kenalin ini temen aku!” aku meletakkan satuan tanganku ke dada. Tapi, dia menjulurkan tangannya.

”Aduh, kasihan deh!” ujar wanita yang meraih tanganku, dan sun kiri kanan.

”Kamu akhwat?!”

”Eh-eh.”

”Hey bung, kamu tahu kan, gimana cara ngadepin cewek Rohis?”

”Tau, mesti nunuduk-nunduk kalau bicara, and ga’ boleh nyentuh tangan saat salaman.”

”Nah, itu tahu...Vel ini akhwat, sama ama anak Rohis. Jadi...,”

”Oh... I see!”

”Ya udah, ke dalam yuk!” ajak Kak Sara yang udah mulai gerah ngelihat pemandangan seribu mobil yang

menggumpalkan asap.

Ramai sekali, banyak manusia yang berjingkrak ria, ada juga yang nge-gosip, atau nontonin cowok-

cowok keren yang lagi jual tampang di lapangan basket. Satu pemandangan yang membuatku terkenang Sekolah

tercinta. Masjid yang di dalamnya berkumpul kader-kader dakwah yang terikat dalam indahnya ukhuwah.

Subhanallah!

Aku melihat Yudha diantara mereka, dia duduk di samping ikhwan yang sepertinya sedang memberikan

tausiyah. Rasanya ingin sekali aku kesana. Duduk bersama majelis zikir yang di ridhoi Allah itu. Salah satu

pandangan tiba-tiba mengarah padaku yang masih berdiri di depan toilet menanti Kak Sara yang tak kunjung

keluar. Seorang Akhwat bejalan ke arahku, dia tersenyum manis. Aku pun begitu. Setelah berjabat dan cipika-

cipiki dia menanyakan namaku. Begitu sebaliknya.

” Afwan ya, aku ga’ bisa ikutan, padahal mau banget, tapi,”

”Ikut aja Vel, Kakak kayaknya juga tertarik nih.”

”Kak Sara,” kami bertiga melangkah bersama menuju Rumah Allah yang megah itu. Seketika tubuh-

tubuh yang dibalut dengan sempurna berjalan satu persatu merangkul kami. Kak Sara terlihat tidak biasa

melakukan hal yang telah menjadi rutinitasku itu.

Hari ini kami menikmati tausiyah yang segar. Lelucon yang hangat sesekali dilemparkan para pendakwah

sekolah itu. Sehingga kami lupa pada Mell. Kuraih benda mungil ajaib dari saku. Sepuluh missed call. Dua

message.

Woi, dimana?

Pesan kedua ku kira dari Mell. Tapi, bukan. SMS ini dari nomer aneh yang nyasar!

Ass. Vel, tadi Mell nelpon. Dy nyari km n K Sara. Yudha ^_^

Aku melihat sosok ikhwan yang barusan nge-smsku. Tampangnya nggak mencurigakan sama sekali. Aku

berjalan membungkukkan badan ke arah luar Masjid. Di luar Mell sudah menunggu dengan tampang yang kusut,

bete, dan tak karuan.

”Dari mana aja? Kak Sara mana?”

”Dia masih di dalam, lagi enak dengerin tausiyah, Mell.”

28

Page 29: Bias Nuansa JIngga

”Kita pulang, Bapak udah nyariin dari tadi, keterlaluan!” istighfar dalam hatiku berujar. Sebegitukah

antinya dia dengan kami? Padahal pacarnya, IKHWAN???

Ya Rabb... dia, Yudha? Ikhwan? Pacaran?

***

Di perjalanan pulang, aku tak sanggup menatap mata Mell, yang sepertinya masih tetap bad mood karena

kejadian tadi. Wajahnya yang angkuh terlihat jelas saat dia mulai memaki-maki pengendara motor yang hampir

menyenggol mobil kesayangannya. Aku memberanikan diri untuk berbicara langsung padanya.

”Mell, sejak kapan kamu pacaran ama Yudha?”

”Sejak... enam bulan yang lalu. Emang kenapa?”

”Nggak apa-apa sih, mmmm... Dia masuk Rohis, sejak kapan?”

”Kelas satu SMA! Kenapa? Kamu kayaknya ga’ rela aku pacaran ama dia? Karena dia terlalu alim

untukku?”

”Yeee. Jangan sewot dulu dong. Aku kan cuma pengen nanya!” tiba-tiba, ponselku berdering!

”Assalamu’alaikum. Vel? Pa kabar dek?”

”Baik, Kakak gimana? Kapan ke Pekanbarunya? Kita-kita udah pada nungguin lho!”

”Dek, kakak udah disini kali! Kakak tunggu ya, kalian kesini. Ok?”

”Ok, Assalamu’alaikum. Dadaaaaadada!” kami saling menatap setelah itu arah mobilpun berputar ke arah

yang berlawanan.

***

”Jadi gitu, kak. Mell emang keterlaluan, kan?”

”Mell, benar apa yang dibilang Velia?” tanya Kak Sara dengan nada kecewa bercampur sedih.

Dia mengangguk dan tersenyum. Memang Mell ga’ punya hati. Dia telah menyakiti perasaan orang yang

sangat mencintainya. Orang yang telah mengorbankan imannya. Apa tidak pantas, kalo dia dihargai sedikit saja?

Kenapa kenyataan pahit ini yang harus ditelannya?

Yudha, aku kadang merasa kamu terlalu baik untuk Mellifsha. Dia begitu kejam padanya. Dia

merajammu dengan cinta yang palsu, cinta yang hina. Sedangkan kau mengartikan cinta adalah kesetiaan. Kau

pernah bilang pada Kak Sarafsha, bahwa Mell adalah wanita pertama dan terakhir dihatimu. Kau menyukainya

sejak kecil. Kau begitu memujanya. Tapi dia? Apa yang dia berikan kepadamu? Hanya kekecewaan, bukan?

Sudah jelas dia menyakitimu, dia menyakitimu di depan matamu sendiri. Apakah kamu ga’ sadar?

***

”Gimana, Vel? Bajunya bagus kan?”

29

Page 30: Bias Nuansa JIngga

”Kamu seperti cinderella, Mell!”

”Ah... kamu bisa aja!” senyum angkuhnya terkembang kembali. Mell... Mell...

Malam ini adalah hari bahagia Mell, dia terlihat begitu manis dengan pakaian yang lumayan tertutup.

Teman-temannya sudah berada di halaman belakang rumah yang sederhana ini, namun unik. Tapi, Yudha, dia

belum datang. Aku berjalan ke arah luar. Semua mata tertuju padaku. Memang pakaiankulah yang paling lain dari

semua orang. Dengan baju gamis pink dibaut kain bercorak sama, membuat semua mata tak lepas menatap model

pakaianku yang ga’ kuno-kuno banget.

Sesuatu bergetar dalam saku bajuku. Sepertinya ada sms.

Ass. Vel, afwan... aku telat, tlg blg ke Mell ya, dari td ak mau ngubungin tapi mailbox terus. Syukron.

Yudha.

Ku kembalikan benda itu ketempatnya semula, aku berbalik arah berjalan mencari Mell. Gadis bergaun

hitam minimalis itu membuatku sedikit cemas. Apa reaksinya nanti?

Malam itu mendung, baru saja hujan turun lebat sekali. Air yang tergenang di sudut taman membuat

hatiku sedikit galau memikirkan hidup. Aku berjalan perlahan ke tengah kerumun maniak pesta. Para tamu

menatapku dari jauh seakan bertanya ”Kapan nih di mulai?”

”Vel, dari mana aja?” suara serak Kak Sara menyapu kabut di hatiku.

”Keliling-keliling.”

”Kalo mau patroli jangan disini donk, noh di kampung sebelah, lagi banyak malingnya. Sana gih!” Kak

Sara ternyata bisa bercanda juga. Tertawa yang renyah pun pecah bersatu bersama mendungnya kelam.

”Vel!” aku menoleh ke belakang. Ku lihat Mell berjalan menghampiriku.

”Vel! Ngelamun aja! Mmmm... acaranya mulai aja!”

”MC nya masih disini, gimana mau mulai?” giliran Kak Sara menyindirku.

”OK deh... sorry, aku mulai ya?”

”Silahkan!”

Acara telah ku mulai dengan cukup baik. Disepertiga acara aku melihat sosok pria yang tak ku kenal

mengantarkan sebuah paket atas nama Mell. Setelah acara resmi selesai. Aku berusaha mengorek apa yang terjadi

pada Mell? Karena dia tak keluar dari kamar hingga saat acara hampir usai.

Aku melangkah perlahan menuju kamarnya.

”Assalamu’alaikum.”

”Mell? Ada apa?”

Diam. Hening. Aku melihat sebuah boneka terbuat dari kristal yang tergeletak begitu saja diatas kasur.

Boneka seorang gadis yang memakai kerudung dengan rambut yang sedikit terurai. Indah sekali.

”Wah, bagus sekali. Hadiah dari siapa?”

”Aghhh... Aku lagi bete nih! Apa sih maksudnya ngirimin ini? Terus kenapa dia ga’ datang? Aku ga’

butuh cowok lemah kayak dia. Ga’ butuh!” dia marah, mukanya merah.

30

Page 31: Bias Nuansa JIngga

Aku tak mengerti, Mell kenapa? Apa dia tidak puas mendapat pria yang begitu tulus mencintainya apa

adanya. Apalagi maunya?

”Mell, ini dari Yudha kan?”

”Itu? Aku ga’ butuh! Kamu tahu Vel, aku dari dulu pengen mutusin dia! Aku muak sama dia!”

”Mell... Kamu keterlaluan! Yudha begitu tulus menyayangi kamu, dia mencintai kamu karena ingin

merubah kamu. Dia ingin membawa kamu ke dalam dunianya. Dia hanya ingin kamu bahagia. Apa dia salah?”

”Vel, kamu tahu apa tentang cinta?”

”Cinta bagiku bukan seperti cinta bagimu. Cintamu nafsu.”

”Terserah... kamu baca ini!” dia menyodorkan sebuah kertas putih yang ditulis tangan oleh seseorang.

Apakah kau percaya aku sepenuhnya saat aku jauh darimu

Sudikah kau menghapus air mata tertumpah saat aku tergelak lemah.

Mungkinkah ku mendengar jawabmu dari hati yang terdalam

Yakinkanku jangan buatku meragu

Cintamu bisa membunuhku,

Bila tiada percaya dalam hatimu

Cintamu bisa tegarkanku

bila kau percayakan hatimu padaku selamanya.

Sanggupkan kau redamkan api cemburunya saat aku tak bersamamu.

Mungkinkah ku dengar jawabmu dari hati yang terdalam

Yakinkan ku jangan

Buatku meragu...

Yudha Prasetya Diaz

”Apa tujuannya membuat seperti ini?” Mell menyambarku dengan sigapnya saat aku selesai membaca

kata-kata itu.

”Mell, apapun yang terjadi, aku mohon jangan lukai dia. Dia begitu baik untukmu.”

”Apa hakmu Vel? Sudahlah aku bosan!” dia keluar membanting pintu kamarnya.

Aku menatap patung itu dalam sekali. Aku teringat saat pergi ke Mall SKA, aku melihat toko perhiasan

yang menyediakan ukiran patung dari kristal campuran. Saat itu seorang gadis mengukir bentuk hati sebesar

kepalan tangan. Kalo tak salah dengar harganya mencapai setengah juta. Apalagi ini? Patung yang lebih rumit.

Aku penasaran sekali. Saat itu aku menemani Kak Sara membeli perhiasan. Aku masih ingat dimana aku

menyimpan kantong belanjaan di toko itu. Aku meraihnya segera, dan melihat nomor teleponnya. Segera kuraih

mobilephone yang kubiarkan menyendiri diatas meja dari tadi pagi.

”Selamat malam, ada yang bisa kami bantu?” suara seorang perempuan mengawali sambungan udaraku.

31

Page 32: Bias Nuansa JIngga

”Malam, saya mau nanya Mbak? Barusan, ada ga’ pegawai toko Mbak yang nganterin pesanan patung

kristal ke jalan Arifin Ahmad?”

”Ga’ ada tuh mbak, coba hubungi toko kami yang di Ciputra.”

”Ya udah, makasih ya Mbak... Oh ya, di kota ini ada berapa toko yang punya pelayanan khusus seperti

pembuatan patung kristal?”

”Cuma Toko kami, itu hanya ada dua di kota ini.”

”Makasih ya Mbak.”

”Kembali.” aku langsung menghubungi nomor kedua.

”Ada Mbak.” hatiku bahagia sekali, akhirnya kutemukan.

”Boleh nanya Mbak, harganya berapa?”

”Oh itu, bentar ya Mbak.” aku menunggu cukup lama.

”Dua juta lima ratus ribu, Mbak.”

”Apa? Oh ya udah, makasih ya Mbak.”

”Kembali.”

DUA JUTA LIMA RATUS RIBU !!!!

Duit dari mana? Yudha kan masih anak sekolahan, darimana duit sebanyak itu?

Aku berfikir keras sekali.

Aku berusaha menghubunginya, tapi handphonenya ga’ aktif. Ada apa?

***

Pesta telah usai, semua keluarga sudah berkumpul di ruang keluarga, tertawa dan bahagia. Sedangkan aku

merasa resah sendiri. Tiba-tiba aku mendengar teriakan dari bawah. Aku segera turun. Sendiri.

Aku melihat Yudha datang basah kuyup, karena hari itu hujan semakin hebat menghantam bumi. Aku

melihat dari kaca, Mell memaki-makinya. Aku tak berhak ikut campur. Itu urusan mereka. Aku hanya bisa

menggelengkan kepalaku. Begitu sulitkah hidup ini?

Pagi yang cerah, tapi tak secerah hatiku. Apalagi saat aku melihat patahan kristal mahal itu di tong

sampah. Aku terkejut, sungguh semua ini menghentakkan jantungku. Aku menatap penuh benci pada tubuh yang

masih tergeletak di atas kasur. Ingin rasanya aku berteriak dan membentaknya. Tapi, apa hakku? Aku hanya

saudara sepupunya. Siang itu, aku memutuskan untuk pulang ke Padang. Liburanku berakhir sendu. Tapi, aku

bahagia karena bisa mengambil sebongkah pengalaman yang tak terkira mulianya.

***

Malam ini, aku mengurungkan niat pergi ke Rumah Bu Sarah. Aku menghubungi Zahra, memberitahukan

padanya bahwa besok aku akan ke Pekanbaru untuk melihat jasad Kak Yudha yang telah pergi meninggalkan

tawa dunia karena kecelakaan lalu lintas. Malam ini juga aku memesan tiket travel ke Pekanbaru, aku memang

32

Page 33: Bias Nuansa JIngga

harus kesana. Kak Yudha begitu baik padaku, dia menggantikan Vahriz untuk sementara. Dan selain itu aku ingin

menenangkan perasaan Mell yang galau.

Pagi menjelangku, tubuh yang lemah ini masih bisa kupaksa untuk berdiri dan berjalan menuju motor

kesayangan ayah. Setelah pamit pada Bunda tercinta, aku meraih ransel yang tak begitu berat, dan

menyandangnya ke pundak yang letih.

Aku tinggalkan kota Padang. Ini adalah pilihanku.

Tiba-tiba sebuah sms dari Zahra mengusik lamunku saat berada di atas mobil yang melaju ke kawasan

Ketaping.

Ass.Ukhti, afwan ana lupa ngsh tau, hr ini Kak Kahfi ke Sngpur, kt dmnta nganterin dy. Ana sdh di

bandara... 5 mnt lagi Kak Kahfi mo pergi. Ada pesan?

Apa? Kahfi mau pergi? Dan Zahra baru kasih tahu? Apa maksudnya? Keterlaluan, padahal dia tahu aku

mau pergi. Apa salahnya dia bilang lebih awal, dan aku bisa membatalkan keberangkatan ini. Keterlaluan!

Apa yang harus aku lakukan? Hari ini adalah yang paling aku nantikan untuk mengakhiri cerita cinta ini.

Jika aku tak mengantar kepergiannya berarti cerita ini belum usai. Aku tak mau semua ini tergantung.

Sebenarnya, jika aku mau ku bisa berhenti disini, karena daerah ini dekat dengan Bandara Internasional

Minangkabau. Tapi, apa bisa?

Aku berfikir keras kembali. Memang hidup adalah sebuah pilihan. Aku harus memilih antara dua.

Menemui Kahfi atau segera menemui jasad Kak Yudha. Ya Rabb... sungguh aku bingung dibuatnya.

Aku ragu harus memilih yang mana?

Mobil kijang Taruna ini terus melaju, beberapa menit lagi melewati jalan menuju Bandara. Haruskah aku

berhenti dan mengakhiri cintaku? Atau aku harus tetap disini menghargai saudaraku, dan membiarkan cerita ini

mengambang untuk selamanya. Sungguh aku ragu dalam bimbang yang berkelanjutan. Aku panik sekali, jaraknya

semakin dekat. Apa yang harus aku perbuat untuk mempertahankan waktu yang singkat ini.

”BERHENTI!”

Seketika rem mobil menghentakkan pejalnya. Seiisi mobil menatap padaku, kesal dan cemas. Aku

menatap mereka satu-persatu, rasanya tak tega jika aku,

”Ada apa, dek?” tanya supirnya.

”Saya, mau turun disini, boleh? Masih tetap bayar ya?”

”Memangnya ada apa? Ada barang yang ketinggalan?”

”Tidak, saya ingin ke bandara, saudara saya mau berangkat hari ini, saya merasa ga’ enak hati jika tidak

melepasnya.” semua mantap memandangku iba.

”Baiklah, kita ke bandara dulu, tak apalah!” supir itu memutar badan mobilnya ke arah bandara. Tak ada

suara protes ku dengar dari penumpangnya.

Setiba di bandara, dengan sigap aku berlari. Aku mencari dimana dia? Aku bingung, saat aku menemukan

sesosok tubuh yang tak beda denganku, aku tersentak seketika. Tubuh itu berjalan berbalik arah. Zahra. Di

belakangnya diikuti Kak Kanan, Kak Kiriena, dan Bu Sarah. Dia telah pergi. Apa gunanya lagi aku disini. Aku

33

Page 34: Bias Nuansa JIngga

kembali ke dalam mobil itu. Semua bertanya padaku. ”Ketemu?” aku menggeleng lemas dan mengucapkan terima

kasih yang tulus. Kahfi, mungkin memang benar, semua ini belum berakhir. Jalanku masih panjang. Bukan hanya

untukmu. Dan aku harus menentukan pilihanku, menghadap jasad sang Pangeran cinta, Yudha.

***

Pekanbaru mendung, aku sampai ketujuan ba’da Maghrib. Seusai Shalat aku diajak Kak Sara makan di

Cafe bawah. Setelah makan dan Shalat Isya di kamar, Kak Sara menceritakan semua yang terjadi pada diri

Yudha.

”Yudha yang malang. Awalnya hubungan mereka setelah kamu pergi, kurang baik. Yudha jarang kesini.

Dia menghilang beberapa hari. Ternyata setelah Kakak cari tahu dia bekerja di sebuah Restoran Padang. Dia

menjadi tukang cuci piring. Tabungannya habis untuk membeli kado Mell. Dia hanya anak yang sederhana, bulan

lalu dia menjual handphonenya untuk biaya sekolah adiknya. Profesi yang dipilihnya itu, hanya untuk memenuhi

keinginan sang kekasih hati, Mell. Tapi, tak ku sangka Mell berlaku tak adil padanya. Mell pacaran sama Jodie,

tanpa sepengetahuan Yudha. Mereka pacaran sampai lima bulan. Mell, memang tak berperasaan. Aku tak

menceritakan perihal kerja Yudha, aku menyembunyikannya, karena takut nanti menjadi masalah. Yudha masih

terlihat ceria.

Seminggu setelah itu, hubungan mereka membaik, setelah Yudha mengisi pulsa Mell. Mell memang

matre. Dia selalu membandingkan Jodie dengan Yudha, ketika laki-laki itu menolak salah satu keinginannya.

Siapa yang tak sakit diperlakukan seperti itu? Yudha pernah cerita padaku, dia ingin melihat Mell mengenakan

jilbab seperti dirimu dan aku. Dia ingin orang yang dicintainya seperti dia. Segolongan dengannya. Kadang, aku

bingung kenapa dia bisa buta karena cinta? Masih banyak gadis berjilbab yang bisa menjadi pasangan nya kelak.

Kenapa harus Mell? Begitu banyak penderitaan yang dialami Yudha. Penyiksaan batin selama ini sudah kebal

untuknya. Dia selalu sabar dan mengalah untuk Mell. Dia merasa kesetiaan cintanya takkan pernah pudar dan

mati. Kesetiaan adalah hal yang dia pegang teguh sejak mengenal Mell. Dia berjanji akan setia mencintai Mell,

meskipun dia melukainya. Mell tetap yang tercinta. Tapi, apa yang terjadi? Kesetiaan yang dia banggakan hanya

menjadi lumuran darah dosa.

Dia meninggal dunia kemarin malam karena kecelakaan naas itu. Kau tahu Vel? Kenapa? Dia kecelakaan

saat Mell menyuruhnya untuk datang ke Rumah, hanya untuk memperlihatkan Handphone barunya. Padahal

Yudha baru saja sampai di Rumah. Malam yang kelam dengan mata yang terkantuk. Tapi tetap bertahan terjaga

untuk yang tercinta. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan sebuah truk menghantam tubuhnya. Kemudian semua

remuk, kecuali jasadnya yang terlempar ke rumput. Setelah mendapat pertolongan, dia di bawa ke Rumah sakit

Awal Bros. Rumah sakit terdekat. Memang mahal, bahkan sangat. Tapi, apa boleh buat, ini darurat. Setelah diberi

tahu, kami segera menuju ke sana. Dia masih sadar saat itu, dan memohon kepada dokternya untuk menghubungi

Mell, dia memberikan nomor tersebut. Maka dari itu, kami langsung tahu. Dan dalam perjalanan Mell

menghubungi keluarganya. Setiba di Rumah sakit, aku melihat wajah Mell untuk pertama kalinya cemas pada

34

Page 35: Bias Nuansa JIngga

Yudha. Beberapa saat kemudian keluar dokter yang hanya pasrah menggelengkan kepala. Mell menangis sejadi-

jadinya.” suara Kak Sara serak sekali, tangisnya sudah habis mungkin.

Tak kusadari air mataku meleleh deras sekali. Aku menatap ke arah benda yang dulu patah dua, dan kini

telah bersatu kembali yang tergeletak di pinggir lemari. Aku menatap ke arah jendela, Cafe yang teduh, tempat

dimana dulu kami berempat bersuka cita. Di pinggir taman, aku melihat Mell dengan baju tidurnya, masih

termenung dan menangis. Kak Sara mengajakku untuk membujuknya kedalam.

***

Wajah yang mendung, raut yang kusam aku melihat ke arah gadis belia yang dulunya ceria. Hari ini hari

kedua ku di Pekanbaru. Aku diantar Kak Sara menuju peristirahatan Yudha. Setelan putih membalut tubuh kami

berdua. Aku memberikan salam dan doaku untuknya, doa untuk kakakku. Aku tak bisa melupakan nasehatnya

untukku, untuk menjadi jilbaber sejati. Kak Yudha... engkau tokoh dalam perjalanan hidupku, engkau menjadi

cerita bagiku, tentang mengenal arti cinta dan mengais makna kesetiaannya.

Terbanglah kau bersama kesetiaanmu untukNya.

35

Page 36: Bias Nuansa JIngga

*3*

GREEN BOX

“Assalamua’laikum,” salam pun berbalas. Aku berdiri di depan pintu rumahnya yang telah pergi

meninggalkanku. Rumah yang cukup menyimpan kenangan terindah dalam hatiku.

”Vel? Masuk, sayang!” suara Ibu Sarah yang lembut membuat kerutan senyum dibibirku.

Setelah dipersilahkan duduk, beliau berjalan ke arah sebuah kamar dan kembali membawa sebuah kotak

hijau.

”Sebelum pergi, Kahfi menitip ini buat Velia.”

Kahfi? Memberikan benda itu padaku? Ohhh... aku nggak percaya!!!

Aku menerimanya tanpa komentar apa-apa. Tanganku bergetar, rasanya aku ingin segera lari dan pulang.

”Vel, nanti datang ya, kita ada rapat di Masjid.” suara Kak Kanan menyentakkan diamku. Aku

mengangguk.

”Vel, Ibu mau nitip sesuatu boleh?” aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk.

Beliau melangkah ke belakang. Dan membawa sesuatu yang dikemas di dalam tempat plastik.

”Titip ke Bunda, ini brownies kesukaanmu bukan? Di bawahnya, ibu selipkan resepnya. Jadi, kamu bisa

memakannya tiap hari.” senyum yang dihadiahkannya padaku begitu manis. Mungkin lebih manis daripada kue

itu.

Aku mengais kembali bahagiaku. Aku berjalan dengan senyum dipipi yang tak berhenti mengembang.

Sungguh, ini adalah sesuatu yang diluar khayalku. Sebuah kotak hijau yang dihadiahkannya untukku.

Kamar yang rapi dan bersih menjadi saksi bahagia ini. Aku baringkan tubuhku dan perlahan membuka

kotak yang indah itu. Astaga!!! penuh dengan surat. Perlahan kuambil salah satu dari surat itu. Amplop biru muda

yang manis.

To : Gadis berkerudung

Sejak pertama, aku melihat kamu, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Andaikan kamu tahu apa yang

kurasakan saat kita satu pesantren di Masjid. Debar itu begitu kuat. Meskipun kini aku masih kelas 2 SMP,

mungkinkah ini yang dinamakan cinta monyet? Aku tak mengerti. Kamu ingat, waktu kamu melantunkan Nasyid

di depanku. Mataku tak lepas dari senyummu yang ceria. Masih ingatkah kamu, ketika kita hampir tabrakan. Aku

melihat tatapan kebencian dari matamu. Entah kenapa? Dan apa salahku? Kadang aku berfikir konyol, mungkin

kamu terlihat kesal, karena cemburu, hehehehe. Oh ya, aku ingin sekali tahu siapa namamu. Rumahmu aku sudah

tahu lho... Karena seringkali aku melihatmu masuk ke rumah sederhana tapi asri itu. Entah kapan, aku bisa

memasukinya. Aduh... andaikan jarak kita dekat, pasti hal ini tak kan kulakukan. Sayang sekali, kita jauh...

36

Page 37: Bias Nuansa JIngga

Aku masih ingat, saat kamu mendengarkan aku berdakwah. Kamu tenang, tidak seperti perempuan yang

lain. Tapi, aku tangkap dari tenangmu itu, kebencian yang mendalam. Andai kamu ingat, waktu salah seorang

temanmu meminjam catatanku. Kamu juga melihat bukan? Saat itu aku senang sekali, karena kamu mau

menyentuh dan membaca bukuku. Setiap lembarnya aku isi dengan kata-kata mutiara, kamu masih ingat?Itu

semua semata hanya kuperuntukkan untuk menunjukan perasaanku padamu. Hai gadis? Aku tak mengenalmu...

mungkin lain kali dan waktu aku bisa mengenalmu. Mungkin saat kamu baca ini, kita sudah begitu dekat, iya

kan???

Kahfi

21 Mei 2000

Kahfi, menulis semua ini??? Hatiku berasa batu. Aku tak percaya, semua ini untukku. Kisah yang

diceritakannya, serupa dengan hal yang kurasakan. Baru aku sadari, kini bahwa dia juga merasakan hal yang sama

denganku. Cinta.

Ya Rabb... Engkau begitu mencintaiku. Tapi, aku? Apa yang aku berikan kepadaMu? Hanya dosa, dosa,

dan dosa. Kadang aku berfikir, begitu banyak anugerah yang engkau berikan kepadaku. Anugerah yang indah,

tapi apa yang bisa aku perbuat untuk semua ini. Cintaku padaMu mungkin tak akan bisa membalas semua yang

telah Engkau beri padaku. Apa cintaku ini saja cukup Ya Rabb?

Aku menatap langit kelam penuh bintang. Aku genggam erat kotak itu dalam pelukanku. Aku kembali

mengingat masa-masa dimana aku bersama orang yang aku cintai karena cintanya kepada Dzat yang paling dan

sangat aku cintai, Allah.

”Vel, udah lama ga’ kelihatan nih? Lagi sibuk ya?” suara syahdu Bu Sarah membuat hatiku bagaikan

tersiram madu, begitu sejuk, manis.

”Iya nih bu, akhir-akhir ini banyak kegiatan di Sekolah. Ibu sendiri, kok baru kelihatan?”

”Ibu juga sibuk, banyak acara juga. Oh ya, untuk acara minggu besok di Masjid, ada ide? Bikin acara

yang menarik misalnya?”

”Mmm... acara apa ya? Coba tanya ke Mbak Kiriena, Bu?” aku menunjuk gadis yang sedang berjalan

menuju tempat duduk kami.

”Ada apa Bu?” dia mendekap tangan Bu Sarah ke keningnya.

”Na, ada ide ga’ untuk acara penyambutan Ramadhan, tahun ini?”

”Gimana kalo kita bikan acara tabligh akbar aja, Bu? Nanti, mungkin bisa kami bicarakan kepada

Pengurus Masjid.”

”Boleh, ide bagus! Nanti biar Ibu bilang ke Kahfi dan Kanan.”

”Kahfi, masih di Padang Panjang, Bu?”

37

Page 38: Bias Nuansa JIngga

”Masih, bentar lagi juga mau tamat, rencananya dia mau ngambil tes beasiswa ke NTU, doain aja lulus.”

”Amin. Biasanya anak-anak jebolan SMA 1 Padang Panjang mudah kalo mau sekolah ke luar negeri.”

”Nah, Vel! Rencana besok mau kuliah dimana?” tanya Ibu guru tercintaku itu, menghamparkan

lamunanku tentangnya.

”Apa Bu? Rencana? Kayaknya kuliah disini aja deh, kasihan Ayah sama Bunda, ntar mereka kesepian

pula.” jawabku sedikit merajuk kepada Ibu yang lebih pantas ku panggil nenek itu.

Kami duduk bersimpuh melingkar di dalam Masjid. Membicarakan tentang acara yang akan diadakan

beberapa hari lagi. Ramadhan menyapaku kembali, saat-saat inilah biasanya aku lalui dengan menjadi secret ad

mire. Aku hanya bisa menatap dan berkhayal tentang dirinya. Kadang aku tak berniat untuk bisa berkenalan

dengannya. Bagiku itu mustahil. Yang aku mau hanya dia bisa mengenal namaku. Dan untuk lebih dari itu aku tak

terlalu berharap.

Tiba-tiba sejuta ide hinggap di benakku. Aku bisa memanfaatkan acara ini untuk bisa dekat dengannya.

Tapi, aku malu. Aku tak ingin dikatakan wanita yang agresif. Aku harus jaga imej di depan semua orang. Salah

satu ide brilianku itu ku beritahu kepada Kak Kiriena. Dia seorang akhwat yang manis, dia pernah curhat padaku,

bahwa dia mengagumi Kak Kanan. Mereka memang cocok. Sepertinya pria tinggi dan berpostur tubuh bagus itu

juga merasakan hal sama dengan Kak Kiriena.

***

”Wah, ide bagus, tuh Kak!” seru gadis-gadis ABG di dekat Rumahku. Mereka semua rata-rata fans berat

sama yang namanya Ashabul Kahfi. Orang yang mengisi hari-hariku dengan tawa. Karena hanya dengan

menceritakan tentang dirinya lah aku bisa senang, bahagia, dan tertawa. Dialah yang memberikanku motivasi

untukku. Aku selalu meniru tingkahnya yang begitu menunjukan bahwa dia begitu mencintai ALLAH dan

RasulNya. Bagiku dia begitu sempurna. Betapa tak bangganya hati Ibu Sarah Al-Qarni, yang memilki tiga anak

yang semuanya Sholeh. Ahmad Kanan, Ashabul Kahfi, dan Aidha Kiyaza. Aidha adalah adik Kahfi yang berumur

sebaya denganku. Dia sekolah di Malaysia. Aku, Zahra, dan Aidha adalah tiga serangkai yang sempat ada di

daerah ini. Itu dulu, saat kami masih kecil. Saat aku belum tau tentang kedua kakak laki-lakinya yang kini

menjadi idaman banyak wanita. Karena, waktu itu Aidha tinggal dengan neneknya. Ibu Sarah, Kak Kanan, dan

Kahfi tinggal di Bandung. Mereka baru pindah enam tahun yang lalu.

”Kita akan bikin acara pementasan drama Islami.” jelas Kak Kiriena kepada gadis-gadis belia itu.

”Aku bersedia menulis ceritanya.” tawarku kepada mereka. Semuanya bersorak senang, begitupun hatiku.

Hari-hari itu kulalui, sangat melelahkan. Setiap hari paling cepat aku pulang pukul 11 malam.

Selesai. Skenarionya selesai.

Aku segera print sebanyak 2 rangkap, lanjutnya akan ku fotokopi. Malam ini, kami akan ke rumah bu

Sarah. Kami ingin meminta guru manis itu untuk memberi pendapat. Jilbab yang teruntai indah hingga dadanya,

38

Page 39: Bias Nuansa JIngga

sangat menyejukan hati. Beliau merespon positif rencana ini. Waktunya sebentar lagi, kami berlatih serius sekali.

Aku sebagai pengarah yang baik, selalu tertawa melihat adegan yang unik dan lucu.

Malam pementasan, aku tak melihat satu orang pun dari anggota keluarga bu Sarah. Beliau pun sulit

kutemukan. Mungkinkah?

Tiba-tiba dari balik tundukku terlihat langkah Kak Kanan yang tergopoh-gopoh. Aku mendongakkan

kepala. Dia berjalan menuju tempat kepanikan Kak Kiriena. Sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang

penting sekali. Saat itu aku tak peduli lagi. Kahfi akan datang atau tidak? Lelaki yang tua dua tahun dariku itu,

membuatku resah. Setelah kepulangannya tahun lalu dari Swedia, aku sedikit lega. Karena secara tidak langsung,

masih ada satu tahun lagi dia di lingkungan hati ini. Dia memang cerdas, sangat. Kelulusannya mengikuti AFS

waktu itu, kini membawanya lebih lama di dekat kami. Memang aku tak terlalu berharap dia mencintaiku atau

lebih dari itu. Suatu saat dia mengenaliku, hanya itu yang aku inginkan! Just it!

Perasaan apa ini? Konyol!

Aku seorang muslimah, anak Rohis, jilbaber pula. Kenapa mudah sekali tersengat virus cinta ini? Aku

ingin melupakannya dan masa lalu, tapi? Sulit. Wajahnya selalu membayangi langkahku. Senyumnya dan

candanya membuat aku sering hanyut dalam kenistaan. Bantu aku untuk menyembuhkan sakit karena virus ini Ya

Rabb?

Lapangan di depan Masjid ku ramai sekali. Panggung itu terpasang kokoh sekali. Anak-anak teater telah

bersiap-siap untuk berlaga. Aku tersenyum bangga dari jauh. Mereka memandangiku dengan tatapan mata dan

senyum yang hangat. Seorang gadis yang muda setahun denganku menghampiri. Dia bintang utama.

”Kak, kenapa? Ada yang ditunggu? Kak Kanan kan dah datang tuh!” dia menunjuk ke arah pria yang

asyik bercanda dengan Kak Kiriena.

”Nunggu bu Sarah, dek. Gimana persiapannya? OK!”

”Aku nervous. Oh ya, Kak Kahfi ga’ datang? Kok ga’ kelihatan?”

”Mungkin, dia ada halangan jadi ga’ bisa deh.” aku merintih dalam hati. Gelisah menyelimutiku.

”Yaaaah..!” dia kecewa, dan kembali pada tempat dia duduk semula. Aku masih terus menanti di depan

pagar. Lucu!!! Seorang jilbaber menunggu ikhwan di pagar. Konyol!

Tiba-tiba, terdengar suara Kak Kiriena sang sutradara.

”Bagus itu, nanti akhirnya kita tambah dengan figuran,” dia melirik ke arahku yang masih melotot

mendengar teriakannya.

”Velia dan,” kini matanya beralih pada Kak Kanan.

”Kahfi.” suara Kak Kanan membuatku tersentak. Aku terkejut, dan,

”Assalamu’alaikum.” suara itu? Kahfi?

Aku menoleh ke belakang. Dia dibelakangku, jalan menunduk. Dia melewati badanku begitu saja. Tiba-

tiba berhenti.

”Maaf, ibu ga’ bisa datang, katanya.” aku mengangguk. Dia berlalu. Ya ampun... Dia bicara padaku!

”Bagaimana Kahfi? Kamu bisa akting kan?” tanya Kak Kanan sedikit menggoda.

39

Page 40: Bias Nuansa JIngga

Dia tersenyum. Aku berjalan ke dalam dan mencoba mencari kesibukan yang lain. Dari jauh aku melihat

wajah Kak Kiriena yang tersenyum lebar. Apa maksudnya?

”Kak Vel, boleh ga’ aku bicara ama Kak Kahfi?”

”Apa? Bicara? Kok mesti izin sih? Emangnya aku ini siapanya? Kalo mau ngomong, yah silahkan aja.”

”Ups... Aku lupa, Kak Vel kan masih calon istri... Hehehehe.” mereka menggodaku terlalu. Rasanya aku

ingin terbang. Dasar! ABG genit.

Malam itu indah sekali, di tambah dengan hangatnya pementasan drama. Karyaku!

Kahfi tersenyum pada Kak Kiriena, ketika wanita aktif itu menawarkannya peran figuran bersamaku.

Hanya menjadi sepasang Ustadz dan Ustadzah yang pergi ke pernikahan si bintang utama. Mereka hanya

memberi sedikit saran untuk menjalani rumah tangga yang sakinah. Wah!!! Pernikahan? Terlalu dini untuk

dibicarakan. Itu menurut pendapat orang. Menurutku, itu adalah topik yang standar, malah menarik. Jika nanti ada

yang mau menikah sama aku selepas SMA. Why not? Nikah dini? Siapa takut! Toh, dari kegiatan ini melahirkan

sebuah keluarga. Setahun setelah pementasan, Kak Kanan dan Kak Kiriena menikah. Dan kini mereka sedang

menimang anak kembarnya. Nina dan Nino.

Aku kembali menatap kotak hijau lembut itu. Sudah cukup jauh aku menerawang. Aku kembalikan

ingatanku. Sebelum aku beranjak meninggalkan kamar. Aku ambil satu helai surat terakhir. Isinya panjang sekali.

Dear : Velia Andyra (aku udah tau lho, namamu!!!)

Hai? Apa kabar? Aku kira waktu kita liburan ke Padang Panjang itu, adalah pertemuan ku yang pertama

dan terakhir denganmu. Pertemuan yang begitu dekat. Ternyata, Allah masih sayang padaku. Kita dipertemukan

sebelum itu. Aku menangkap gundah di hatimu. Ada apa? Beberapa hari lagi aku akan ke Singapura. Aku tak

tahu kapan akan kembali? Maunya secepatnya. Kamu pasti menantikan? Kamu masih ingat? Saat kita

berpapasan dijalan dan hampir tabrakan? Aku sungguh terkejut. Sangat. Kau tiba-tiba hadir setelah tundukku.

Kau memancarkan sinar hatimu. Sepertinya kau pun terkejut? Ada apa? Apakah kau masih membenciku? Aku

melihat kau begitu cuek saat bicara denganku. Kau acuh. Aku senang tapi sedikit kecewa. Maaf, jika waktu itu

kamu tersinggung. Masih ingat ga’? Waktu aku menawarkan makanan dan minuman di depanmu dan Kak

Kiriena, waktu malam perpisahan itu. Aku hanya menawarkan pada Kak Kiriena saja. Habis, aku grogi bicara

sama kamu. Maaf ya.

Velia, semua terasa indah bagiku, hari-hari yang aku lewati jika ada kamu, akan menjadi kenangan

paling terindah dalam hidupku. Aku bangga padamu, kamu hijrah memakai hijabmu. Luar biasa!!! Aku tak

pernah mengira gadis tomboy nan cuek bisa berubah menjadi gadis feminin yang anggun. Akhwat pula!

Vel, aku tahu ini salah, tak seharusnya aku begini. Virus ini sudah menyerangku, aku sulit untuk

melupakan rasa yang konyol ini. Malam ini, kamu ga’ datang... Zahra bilang kamu lagi sibuk berurusan dengan

Yudha. Siapa dia? Zahra bilang, kalian begitu dekat, sehingga kamu lebih memilih mengurus tentang dia

daripada kesini. Mukaku memanas saat itu. Aku sudah titip pesan ke Zahra, besok kamu harus datang melepasku.

Aku berharap detik-detik terakhir ini kamu datang, dan kotak ini akan aku berikan padamu.

40

Page 41: Bias Nuansa JIngga

Velia, aku ragu atas jawabanmu nanti untukku. Tapi, aku tak peduli, yang pasti semua sudah ku ungkap

padamu. Kalau kamu memiliki perasaan yang sama denganku, apakah kamu mau menungguku? Kamu tahu,

malam ini jika kamu hadir dihadapanku, aku akan bilang langsung padamu. Kamu tahu, keinginanku sebelum

pergi adalah menikahimu. Gila!!! Memang. Tapi, ini keinginan terbesar dalam hidupku. Namun, waktu mencekik

inginku. Velia Andyra, maafkan aku mencintaimu, terlalu. Maafkan aku telah menambah bebanmu, maafkan aku

menyita waktumu, maafkan aku merenggut asamu, maafkan aku melucuti perasaanmu. Maaf...

Aku menangis deras sekali, dia begitu mencintaiku. Aku genggam surat yang tak terbaca penuh itu, aku

berjalan ke balkon atas kamarku. Ku tatap bintang-bintang yang berkedipan ditemani bulan yang melengkungkan

senyuman.

Aku resah...

Entah perasaan apa ini?

Bahagia? Sedih? Luka? Kecewa? Atau hampa?

Saat mentari mendekatiku,

Aku semakin gundah dalam tawa yang terpaksa.

Akankah ada yang mengerti?

Aku sendiri...

Tersiksa dengan perasaan ini,

Kenapa? Semakin aku ingin melupakannya

Semakin aku dibayangi dengan perpisahan pahit itu

Dia telah pergi...

Dia telah lenyap dari tawaku,

Dan berlalu melebur dalam tangisku.

Entahlah...

Aku bingung,

Virus ini telah merusak rasaku,

Mereka telah menyebar dan menyatu dalam banyu.

Mataku galau, saat mencoba untuk menerima keputusan pahit itu.

Dia pergi tak kembali,

Perpisahan untuk selamanya,

Aku sendiri...

Menahan isak yang tak tertahan.

Biarlah terus begini,

Terus menjadi bintang sendiri.

Jalanku terasa takkan pernah terputus,

41

Page 42: Bias Nuansa JIngga

Jalan yang panjang...

Aku tak boleh sedih seperti ini.

Aku harus tersenyum pada mentari.

Padang, akhir bulan kepahitan untukku...

Kahfi, teruslah kau jadi memori terindah dalam hidupku. Aku akan menantimu...

Begitu indahnya saat-saat itu kurasakan, saat rasaku berbalas, saat dayung bersambut, hatiku terasa terisi

penuh oleh cinta dan bahagia. Tetapi, dalam batinku tersiksa, kenapa harus aku jatuh cinta saat ini, saat aku baru

mengenal bahaya virus akibat cinta itu. Kenapa tidak nanti saja, saat aku halal untuknya.

Tapi... Ini adalah perasaan, semua harus dipikirkan pakai hati, bukan logika. Aku harus bisa meredam

rasaku, dan tetap berusaha menomorsatukanNya dihatiku. InsyaAllah!

42

Page 43: Bias Nuansa JIngga

*4*

PERGILAH UNTUK KEMBALI

Selamat datang dunia baruku. Hari ini aku akan melangkah sebagai Mahasiswa. Kampus baru, teman

baru, dan kehidupan yang baru. Upss... Masih ada yang lama sih, tas buntut kecil yang sering aku bawa kemana-

mana. Nah, hari ini tas kecil itu untuk pertama kalinya aku pakai dan pamerin ke teman-teman baruku. Dasar,

Velia tak pernah mau berubah. Masih sama seperti yang dulu.

”Pagi sayang, udah siap nih?”

”Pagi Bun, aku kok jadi nervous ya,”

”Nervous, kenapa?”

”Ga’ tau juga tuh, Bun.”

”Ya udah, buruan gih!!! Ayah udah nungguin.”

”Bunda?” air matanya mengalir.

***

Ayah, engkau pergi begitu cepat, meninggalkan kami dalam sedih. Mengapa Ayah? Kecelakaan malam

itu masing terngiang di telingaku.

”Assalamua’laikum... Benar ini Rumah Bapak Mahatma?”

”Waa’laikumussalam, benar, ada apa ya Pak?” dialog yang masih ku ingat saat menerima kabar yang

meluluhkan hati Bunda.

”Dek, Bapak Mahatma... Kecelakaan, dan meninggal,” petir itu menyambar di relung kalbuku. Jantungku

seakan berhenti berdetak.

Ayah... Dimana engkau kini?

Aku turut mengantar kepergian Ayah, aku kasihan melihat Bunda. Dia begitu nelangsa. Karena

kehilangan cinta yang selalu dia jaga dengan kesetiaan. Inikah arti kesetiaan yang terus aku cari? Apakah

keikhlasanlah yang menjadikan kesetiaan itu abadi dalam naungan cinta? Entahlah, sampai saat ini aku terus

mencoba untuk mengikhlaskan kepergian Ayah dan dia, Kahfi.

***

Bunda akan pergi ke Australia, besok. Beliau akan mengurus kepindahan Paman Akbar. Beliau adalah

adik kesayangan Bunda, baru selesai mengerjakan S2-nya menjadi pengacara. Ini akan sangat membantu kami.

43

Page 44: Bias Nuansa JIngga

Jikalau tidak karena perebutan paksa Rumah waktu itu. Keadaanku saat ini ga’ bakal seperti ini. Mesti nebeng

sana, nebeng sini. Kasihan Bunda jadi repot.

Hari ini Bunda akan membawaku ke Rumah sahabat lamanya. Katanya sih, orangnya baik banget. Tapi,

aku jadi ga’ enak karena pastinya nanti akan ngerepotin beliau.

”Vel, kamu ga’ keberatankan Bunda titipkan ke Tante Hanny?”

”Sebenarnya, ga’ pa pa sih, tapi... yang penting Bunda cepat pulang ya.”

”Vel... Semua ini salah Bunda. Kamu jadi terlantar kayak gini.”

”Bunda,”

Aku merangkul hangat tubuh wanita yang begitu menyayangiku. Gerbang yang tinggi menyambut kami.

Wajah sahabat Bundaku itu tengah tersenyum di depan pintu yang akan kumasuki dan menjadi sebuah kenangan,

apakah itu kenangan yang buruk, ataupun sebaliknya.

”Denisha?” dia merangkul tubuh Bundaku, erat sekali.

”Hanny, aku ga’ tahu bagaimana cara berterima kasih, kamu,”

”Sudahlah, ini kewajibanku membantumu, ini?”

”Velia, Tante.” ujarku meraih tangannya dan kudekapkan di kepalaku.

”Ya ampun, udah gede aja ya... Kuliah dimana sayang?”

”Di Fakultas Kedokteran, jurusan pendidikan kedokteran.”

”Lha, kok bisa sama dengan anakku ya, Denish,” ujarnya membuat kelopak mataku bertanya, Siapa?

”Oh ya?”

”Dia baru masuk tahun kemarin.”

”Berarti sama dong, Vel juga di angkatan yang sama dengan,” klakson Taxi memutuskan pembicaraan

hangat itu. Bunda harus segera pergi. Kami pun berpelukan, mengurai tangis. Dari kejauhan kulihat Bunda yang

masih berusaha melambaikan tangannya. Sosok orang tua baru telah kutemukan kini. Aku percaya akan adanya

sebuah kehidupan yang indah. Dari rangkulan hangat Tante Hanny, aku yakin, hari akan berjalan begitu cepat

dengan tawa dan canda.

”Vel, ini kamar kamu.” Tante Hanny menunjukan padaku sebuah kamar yang luar biasa, aku tak pernah

mengkhayal bisa berada di kamar yang seindah ini.

”Kamar ini... untuk, Vel, tante?”

”Iya, kenapa? Ga’ suka ya?”

”Ya Allah, ini bagus banget tante, Alhamdullilah.”

”Ya udah, baiknya kamu istirahat dulu ya, sepertinya kamu lelah sekali.”

”Makasih ya Tante.” aku menatap hangat wanita cantik itu.

”Sayang, panggil Mami aja ya?”

Mami? Aku pun mengangguk, meskipun dalam hatiku masih merasa aneh untuk memanggil Tante

Hanny, MAMI?

44

Page 45: Bias Nuansa JIngga

***

Sesusai Shalat Maghrib, aku memberanikan untuk keluar kamar. Tak enak rasanya, karena aku tamu,

baiknya seisi Rumah ini, tahu tentang keberadaanku. Perlahan aku langkahkan kaki ku, berusaha menutup lambat

pintu, agar tak ada yang merasa terganggu. Tiba-tiba, aku terkejut. Sesosok tubuh laki-laki yang berada di depan

pintu yang berada bersebrangan dengan kamarku. Aku berfikir keras, dia siapa? Tubuhku masih belum barbalik

ke arahnya. Dalam benakku terus bertanya, siapa? Siapa?

Kejadian itu, membuatku mengurungkan niat untuk turun ke bawah. Sayup-sayup terdengar olehku

langkah laki-laki itu menurun tangga.

”Vel, ini Mami, sayang... Kita makan malam bareng, yuk!” suara itu mengoyak lamunan kecilku. Segera

tubuhku beranjak dan membukakan pintu. Dia tersenyum, dan mengajakku untuk mengikuti langkahnya.

Di Ruang makan, sudah tampak berkumpul seluruh anggota keluarga rumah ini, kecuali laki-laki tadi,

kemana dia? Seorang lelaki tua, sepertinya itu sang kepala keluarga. Tubuhnya yang beribawa dan sedikit gendut,

menatap kearahku sambil tersenyum. Aku pun membalasnya dengan salim yang aku rindukan dari Ayah.

”Pi, ini Velia, anaknya Denisha.”

”Denisha? Mantan ketua OSIS teman satu gank papi, bukan?”

”Iya, Mbak Denisha yang menjadi idola satu sekolahan.”

”Ini anaknya? Kok beda ya sama Denisha. Terlihat lebih ayu.” aku tersenyum kege-eran. Aku duduk

disamping gadis berumur 14 tahun yang manis, sepertinya dia adalah putri kesayangan keluarga ini.

”Halo, aku Vezha, kakak namanya siapa?”

”Velia.”

”Kalo aku, Venyo, orang-orang manggil aku binyo, mungkin karena aku gendut kali ya...hehehee.” tawa

si bungsu, yang memang gendut itu, merenyuhkan suasana. Tiba-tiba...

”Nah, ini dia, ini anak tante yang paling tua, sayang.” aku tak berani menatapnya yang melangkah ke arah

kursi di depanku.

”Vemas, ayo kenalan dulu, sama saudara barunya.”

Vemas??? Bukan, pasti ini orang lain yang namanya sama dengan exfriendku.

”Aku Vemas Ferhigi, aku,” dia berhenti bicara saat melihat wajahku yang baru terangkat.

Dari awal aku, sudah merasakan sesuatu yang berbeda. Dia adalah Vemas. Orang yang telah

meninggalkan kenangan yang indah dihatiku. Tapi, sejak kejadian yang telah merenggut persahabatan itu, dia tak

pernah lagi bicara denganku. Oh Velia, kenapa kamu sesial ini? Satu rumah dengan orang yang ga’ pernah peduli

lagi padamu. Orang yang telah, membuat kesalahpahaman yang masih berlanjut hingga detik ini. Sulit untuk aku

lupakan. Semua masih membekas. Naia, gadis manis yang mencintai Vemas dengan tulus, meninggal. Saat dia

tahu, bahwa Vemas tak mencintainya, malah membencinya dengan amat sangat.

45

Page 46: Bias Nuansa JIngga

Waktu itu, hujan deras sekali. Keadaan Sekolah mulai sepi, tampak dari balik kaca olehku Vemas yang

duduk disamping Naia. Sepertinya ada yang serius. Dan aku berusaha menebak teka-teki itu. Tiba-tiba petir

menyambar, Naia berlari keluar dan menangis. Vemas tidak mengejarnya. Tapi aku, yang mengejarnya. Aku

menemani langkah kaki yang menerobos hujan itu. Aku, Guntur, dan Neru tahu bahwa mereka baru jadian

minggu kemaren. Mereka memang cocok, cantik, dan tampan. Sempat aku merasa cemburu, saat Vemas lebih

memilih bersamanya daripada denganku. Dan sejak itu aku harus mengurangi curhat dengannya. Karena ada

gadis lain yang lebih membutuhkan kasih sayangnya. Adik kelas yang manis.

”Ada apa, Nai?” tanyaku pada gadis yang tengah menangis tersedu didaam deras hujan. Dia menatapku.

”Kenapa? Kenapa harus kamu, kenapa tidak aku?”

”Nai, ada apa? Kamu kenapa?”

”Dia lebih mencintaimu daripada aku! Dia pacaran sama aku itu semua karena kamu!”

”Maksudnya?” dia berlari meninggalkanku dengan seribu tanda tanya.

Malamnya, aku berusaha menghubungi Vemas. Tapi, gagal karena tak ada jawaban dari panggilanku.

Aku menelfon Neru dan mencoba menanyakan sesuatu yang mungkin bisa menjadi jawaban yang pasti.

”Vel, Vemas itu, suka sama kamu!” kata-kata itu masih terngiang olehku sampai detik ini. Aku kembali

menatap wajahnya. Aku melihat aura yang berbeda. Dia begitu tenang, cuek.

”Vel, kaliankan satu fakultas, satu jurusan, satu kelas lagi. Nah, besok berangkat bareng Vemas ya?”

”Makasih Tante, eh Mami, tapi,”

”Dia ga’ bakalan mau, mi. Dia kan aktifis, nanti apa kata orang kalau dia jalan bareng cowok yang bukan

saudaranya.”

Aku menatapnya tajam dengan kebencian yang amat sangat. Kadang saat aku menatapnya, terlihat wajah

Naia yang tersenyum.

”Mi, Vemas ke atas dulu ya,”

Dia berlalu, menyudahi makan malam yang menjadi awal dari mimpi burukku.

***

Pagi itu hujan lebat sekali. Padang diguyur hujan. Banjir bandang dimana-mana. Termasuk daerah

disekitar Kampungku. Banyak korban yang tak terselamatkan. Tapi, syukurnya, tidak terjadi apa-apa pada

Kampungku.

Hujan yang deras membuat langkahku tak tertahan untuk menuju Kampus tercinta. Aku merasa waktu

adalah uang. Hari ini adalah jadwal kuliah dosen kesukaanku. Bukan berarti aku milih-milih mata kuliah. Tapi,

aku selalu merasa penuh dengan semangat belajar bersamanya, dia ku panggil Ummi. Sosok yang alim dan

46

Page 47: Bias Nuansa JIngga

keibuan. Tempat curhatku setelah Allah, Bunda, barulah dia. Pernah aku bertanya padanya. Tentang bagaimana

perasaanku ini. Apakah ini dosa, ataukah tidak?

Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku yang sedikit berani itu. Aku memang begini, aku terlalu

terbuka. Pernah waktu itu aku di sidang oleh alumni Rohis SMA-ku dulu. Waktu itu adalah saat-saat dimana aku

sudah tidak percaya lagi dengan anak-anak di Forum An-Nisa itu. Mereka tidak menjaga amanahku. Mereka

mengadukan perihal kesukaanku pada Kahfi. Padahal, menurutku, itu hanya hal biasa. Aku wanita normal.

Memang aku terlalu berlebihan, tapi aku melakukan ini hanya untuk membahagiakan diriku dan membuat mereka

tersenyum. Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa zaman tidak selamanya kelabu. Masih ada orang-orang yang

hampir sempurna diluar sana. Tapi, aku mencoba untuk mengerti maksud mereka. Mungkin, mereka tidak ingin

melihatku terjebak oleh virus merah jambu. Tapi, sungguh aku tidak ingin dikatakan seperti apa yang mereka

duga padaku. Aku hanya merasakan cinta padanya, cinta tingkat terendah, dia bagiku adalah cinta kelima. Allah,

Rasulullah, Jihad, Orang tua, dan dia. Begitu berharganya dia dalam hatiku. Meskipun disuatu hari nanti ku

takkan mendapatkan cintanya. Tapi, aku akan tetap bangga karena, pernah mencintainya yang memang pantas

dicinta, karena aku mencintainya semata-mata disebabkan begitu besar cintanya pada Dzat yang paling pantas

dicinta.

***

Hujan masih lebat, aku memaksakan diri untuk pergi. Dengan bekal payung aku melangkah dengan

Basmalah. Badainya menerpa tubuhku. Jilbabku basah dibuatnya. Semua basah, tapi tiba-tiba...

TEEEEEETTTT... Bunyi klakson mobil yang membuatku terkejut bukan kepalang. Sebuah mobil

mencegat langkahku. Dari balik kaca yang dibuka aku melihat orang yang berkata.

”Masuk!”

”Ga’ makasih.” aku mempercepat langkah yang masih diikuti dengan cegatan mobil itu.

”Vel, masuk!”

”Makasih.” tiba-tiba tubuh tinggi kurus itu keluar dari mobilnya dan membawa payung. Dia berjalan ke

arahku dan menyerahkan payung. Yah... Mau bagaimana lagi, menolak pun takkan bisa.

”Kamu ga’ lihat apa? Hujan selebat ini? Masih nekat mau pergi kuliah sendiri.” aku diam sambil berusaha

mengeringkan jilbabku yang sudah kuyup sekali.

”Wah, kamu basah kuyup sekali. Kita pulang ya?Ganti baju dulu, ntar baru pergi lagi. Gimana?” aku

menatapnya dalam. Perhatiannya dulu kembali menghujani hatiku.

”Halo! Gimana?” aku mengangguk. Dia pun memutar secara lembut setirnya.

Hujan masih lebat. Bahkan tambah lebat. Aku berlari ke dalam Rumah yang megah itu. Didalam aku

disambut dengan handuk yang membuat tubuhku hangat. Aku berjalan cepat ke arah kamar. Segera aku

mengganti apa yang pantas diganti. Beberapa menit, aku sudah siap dengan penampilan baruku. Aku berjalan ke

bawah. Vemas meneguk teh hangatnya sekali lagi dan berjalan menuju luar. Di luar tangan sang Mami sudah siap

47

Page 48: Bias Nuansa JIngga

memberi doa restu untuk anak tercinta. Langkahku berdetak, aku berjalan menuju luar. Pengganti Bunda telah

memeluk erat tubuhku sebelum aku benar-benar tenggelam dari tatapannya.

Mobil itu pun melaju kencang melawan badai yang tak bersahabat ini. Tangan kekar nan halus Vemas

menekan tombol-tombol keci ke arah tape mobil.

Hening.

Lantunan nadapun terayun.

Mungkin takdir ini terlalu menuntut.

Seketika aku merinding mendengar lirik lagu itu. Aku hapal sekali lagi itu. Lagu yang dulu sering aku

putar berulang kali. Lagu yang membuatku semakin jauh dengan pria yang kini disampingku. Dia terlihat santai

memukul-mukul setir mobilnya.

Duhai cinta...

Tataplah aku disini tetap menatapmu.

Walau perih, terus kau sakiti aku tetap mengharapmu...

Aku tak sanggup membendung perasaan ini. Tangisku terurai jelas.

”Vel, aku akan tetap menunggu kamu. Menunggu kamu memaafkanku.”

Suara lirih itu membuat mataku basah. Semua mengalir deras. Aku merasakan kembali tragedi beberapa tahun

yang lalu. Di saat Naia, telah pergi.

Meninggalkan sisa-sisa senyumnya untuk kami. Dan ini semua karenaku. Karena aku terlalu egois.

Hingga aku tak memikirkan perasaan Vemas yang telah aku hancurkan.

”Vemas, kamu tahu ini apa?” aku menunjukan kotak surat hijau.

”Apa?”

”Ini hati Kahfi, untukku.” dia meraih secara kasar kotak itu.

”Ini hatinya.”

”Iya.”

PRANGGGG...

Benda itu jatuh kelantai. Kotaknya patah. Semua surat bertebaran. Seketika tamparan hangat pun

melayang ke pipinya.

”Dengan kamu menamparku kamu puas? Dengan menamparku kamu akan melupakan Kahfi mu itu?!

Ayo tampar lagi?!” aku masih memunguti surat yang aku dapat karena setiaku.

”Sampai kapanpun. Aku takkan melupakan dia. Meskipun nanti dia bukan milikku.” aku berdiri menatap

matanya.

Aku sudah lupa diri. Aku jilbaber, sekretaris Rohis. Dan kini, aku hanya menjadi seorang gadis yang tak

mengenal batasan. Semua lepas.

”Vemas. Aku benci kamu. Naia pergi, karena kamu. Dia,”

”Stop!!!” aku terdiam saat tangannya menyentuh bibirku. Segera aku menghindar dan menjauh dari

tempat dia berdiri.

48

Page 49: Bias Nuansa JIngga

”Kenapa Tuhan? Aku harus mencintainya? Kenapa? Naia gadis yang sempurna itu aku sia-siakan karena

dia? Kenapa?”

Aku tertunduk. Tetap berusaha memahami maksud ocehan Vemas.

”Aku begitu mencintainya. Hingga cintaku harus membunuh. Vel, kamu ga’ tahu, betapa sakitnya hatiku

ini. Kamu ga’ henti-hentinya menoreh hatiku dengan cintamu. Aku, sahabatmu. Aku yang tahu tentang cintamu.

Setiap kau cerita tentangnya. Setiap itu juga kau menoreh kembali lukaku. Apalagi disaat kau memintaku untuk

mencintai Naia. Aku lakukan semua itu untukmu. Apa yang pernah aku tolak apa yang kamu inginkan? Kapan?

Aku hanya seorang yang baru mengenal arti cinta. Saat aku tahu pun aku harus terluka. Pedih, Vel!”

”Vemas. Jadi selama ini,”

”Aku mencintaimu.”

”Vemas?”

”Aku mencintaimu.” aku mendekatkan diri padanya yang masih tertunduk dengan mata yang basah.

”Vemas.”

”Aku mencintaimu.” dia meraih tubuhku. Dan jatuhlah aku dalam pelukannya.

Ya Allah... Apa yang terjadi? Dia semakin erat memelukku. Aku bukan mahramnya. Aku tak tega untuk

melepaskannya. Kerinduan yang mendalam kurasakan dari setiap tangisnya.

”Vemas. Aku mohon, lepaskan. Aku tak ingin menjadi penzina.”

Dia melepaskan dekapannya. Dia tertunduk. Aku menjaga jarak. Dan perlahan berlalu.

Keesokan harinya, aku tak melihat wajahnya lagi. Ternyata dia pindah ke Jakarta. Aku merasa. Ini semua

karenaku. Aku memang seorang pengacau. Mengapa aku tak bisa mengerti perasaan Vemas sesungguhnya. Dia

kan sahabatku, dekat denganku, mengapa aku sebodoh ini?

***

Lamunanku terkoyak, saat aku melihat plang nama Universitasku terpampang gagah dari balik parit yang

besar. Hujan masih lebat, sebenarnya aku ingin sekali diturunkannya di luar saja, tapi... dia tak mau berhenti, dia

dan mobilnya bagaikan menyeretku ke halaman Kampus. Untunglah hari hujan, tak banyak mahasiswa yang

gentayangan di pelataran parkir.

”Payung!” dia menawarkan benda itu dengan nada sedikit memaksa.

”Aku,”

”Jangan menolak.” dia turun dari mobilnya menggenggam payung biru laut itu, payung merah hati yang

dikembangkannya membuatku terkejut. Katanya mau memberi payung, tapi kenapa dibawa?

Tiba-tiba, dia membuka pintuku, dan dia menawarkan secara lembut padaku untuk turun. Aku berasa

bagaikan putri raja yang dikawal oleh seorang pangeran. Hatiku berdesir, upsss... apakah aku jatuh cinta?

Aku berjalan menuju Masjid, sepertinya semua telah lama berkumpul. Tiba-tiba aku mendengar suara

Ummi memanggilku. Beliau sedang di kantin. Aku langsung memutar arah menuju tempatnya.

49

Page 50: Bias Nuansa JIngga

”Assalamu’alaikum, Ummi.” sapaku manja.

”Waa’laikumussalam, bidadariku.” sapanya lebih menggoda.

”Ah Ummi, bisa aja. Ada apa Ummi?”

”Gini, Ummi ada keperluan mendadak, anak Ummi yang paling kecil mau ikut olimpiade Fisika tingkat

propinsi, Alhamdullilah kemarin itu dia lolos ke babak ini. Ummi mau memberikan support secara total, tapi...

hari ini kan Ummi ada kuliah. Vel, mau ga’ gantiin Ummi, sekali ini aja.”

”Apa Ummi? Vel gantiin Ummi?”

”Yah, sekaligus mengangkatmu sebagai Asdos, gimana?”

”Tapi Mi, aku kan masih tingkat satu. Mana mungkin?”

”Lah, kamu kan udah menguasai banyak materi. Ummi yakin kamu pasti bisa.”

”Alhamdullilah, makasih ya Mi... Ini adalah dambaanku setelah masuk dunia Universitas, yaitu jadi

Asdos.”

”Alhamdullilah, Ummi harap Velia menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.” aku

mengenggam erat tangan wanita manis itu. Ya Allah, syukurku atas segala karunia yang telah Engkau limpahkan

padaku. Aku melangkah bahagia ke arah Masjid. Aku mengajar satu jam lagi.

***

Aku sedikit nervous saat harus berdiri di depan kelas dan mengajar mahasiswa tingkat satu yang rata-rata

adalah teman-temanku. Tapi, aku yakin ini adalah langkah awal bagiku untuk meraih kesuksesan yang aku

impikan sejak kecil.

Kehidupan yang aku lalui tak lepas dari sebuah tragedi yang membuatku bisa menjadi seperti ini. Menjadi

seorang Velia dengan pakaian yang islami.

Jika aku mengingat ke arah itu, rasanya tangisku akan habis untuk terurai. Saat dimana aku mengukuhkan

hatiku untuk kembali kejalanNya.

Kini, aku telah berada dipuncak kebahagiaanku. Aku mendapatkan apa yang selama ini aku khayalkan.

Prestasi, cinta, dan persahabatan.

Vemas kini telah berubah, dia kembali menjadi sahabatku. Dia lebih dewasa dan mudah mengerti

inginku. Entah nantinya aku bisa mencintai dia sepenuh hatiku. Aku tahu begitu besar cintanya padaku. Tapi,

cinta tidak berfikir, tapi merasa. Dan tidak akan pernah memaksa, apalagi berbelas kasihan.

Aku menatap sudut-sudut matanya yang tak akan pernah merasakan sejuk lagi. Aku telah mengubur

semua angan dan cintanya. Aku tahu dia. Dia tidak mudah jatuh cinta, apalagi jatuh untuk kedua kalinya. Dia

pernah berkata padaku, orang yang pertama kali dia cintai adalah orang yang nantinya akan menemaninya hingga

tutup usia.

50

Page 51: Bias Nuansa JIngga

Vemas, andaikan kau diposisiku, pastinya kau lelah, semua terasa berat bagiku. Aku hanya biasa, tak ada

yang istimewa dariku. Hanya seorang gadis yang sibuk mencari arti yang tak kunjung kembali. Gadis yang

seringkali menyayat hatinya dengan sembilu. Menanti dan menanti hingga tak ditemukan keletihan yang berarti.

***

Yogyakarta, awal studi lanjutanku...

Tak terasa sudah, umurku sudah cukup menggrogoti nyawa. Hari ini aku merayakan hari dukaku. Hari ini

umurku 22 tahun. Tidak terasa lima tahun sudah meninggalkanku. Kini aku sedang mengurus kuliah spesialisku.

Rencananya aku ingin ke Yogyakarta, aku ingin bersekolah disana, selama dua tahun, insyaAllah cukup.

Bunda mendukungku, disana aku akan bisa memyempurnakan cita-citaku. Dan setelah tu menikah.

Menikah? Kadang aku tertawa sendiri mendengarnya. Akankah yang kucari akan kutemukan? Akankah yang aku

nantikan akan kembali. Sudah lima tahun dia pergi meninggalkanku, waktu yang cukup lama. Aku tak sabar

menunggu kapan bisa bertemu dengannya.

Setelah semua urusan sekolahku selesai, aku berangkat ke Yogyakarta. Aku tinggal di rumah teman

Bunda, kebetulan disana ada tempat kosnya.

Tante Miranda, nama wanita manis itu. Dia memiliki seorang anak laki-laki dua tahun dibawahku,

namanya Maulana. Anaknya sekolah di universitas dan fakultas yang sama denganku. Dia sangat membantuku

saat harus registrasi.

Disamping rumah Tante Mira ada warung internet. Aku teringat sesuatu, sudah empat tahun ini aku tidak

memperhatikan masalah chatting atau friendster. Aku hanya sibuk mencari literatur untuk bahan kulah. Lagi pula

aku lupa password friendsterku.

Setiap sore, biasanya aku mencari bahan untuk studiku. Dan aku sempatkan membuka email dan

friendster. Aku meraih ponselku, sambil mengingat password yang terlupakan itu. Aku teringat Vemas, aku

menghubunginya. Dia kini di Jakarta, dia mengambil pascasarjana disana.

”Assalammua’laikum, Vemas?”

”Wa’alaikumussalam, ada pa Vel? Tumben mau nelpon aku nih?”

”Yee, udah untung aku ingat kamu, nggak kok, bercanda. Kamu ingat passwordku ga’?”

”Password apa?”

”Friendster,”

”Wah, udah berlumut kali foto kamu, hehehehe. Ingat kok, [email protected]. Passwordnya

azzahra.”

”Oh iya, aku ingat. Thanks ya. See u.” aku segera kembali kearah layar komputer dan siap menyelami

dunia cyber.

Wah, ternyata aku menerima banyak teman, lebih dari dua puluh orang, dan ada lima testimonial dan

enam pesan. Aku membuka satu persatu dengan sabar. Aku teringat, sebelum Kahfi pergi aku sempat berteman

51

Page 52: Bias Nuansa JIngga

dengannya di friendster. Aku melihat pesan dari dia, semuanya dari Kahfi. Dan testimonial beberapa dari dirinya.

Aku membacanya penuh sesak dengan rasa yang tak sabar.

Ternyata dia berusaha mencariku selama empat tahun ini. Dia meninggalkan nomor ponselnya dan

alamatnya. Aku segera mencatatnya penuh dengan kebahagiaan. Orang yang aku cari kini aku temukan. Aku

membalas testimonialnya dan memberitahukan keberadaanku sekarang, serta nomor ponselku yang baru.

Ya Rabb, pertanda apakah ini?

Sehabis shalat maghrib, aku meraih ponselku, dan mencoba menghubungi dia.

Ass. Bgmn kbrnya kak? Skrg lg dmn nh? Maaf ya, kk jd sulit ngubungin ak, mslhny, ak lp psswrd fsku.

Velia.

Satu menit kemudian.

W3. Akhrny aq menemuknmu, Alhmdullilah aq baek2 ja, ak skrg lg di jkt, ak nguruz beasswa S2. jd untuk

2 bln ini, bkln sbk di jkt. Qm sndiri gimana?

Segera aku mainkan tanganku diatas tombol ponsel.

Aku bercerita tentang semuanya. Tentang kehidupanku, studiku, dan dakwahku. Tak terasa sudah, dalam

gelap malam aku menemukan secercah cahaya yang mengembangkan senyumku.

***

Kebahagiaanku entah seluas apa kini. Hampir seratus sms yang aku terima darinya. Kami begitu akrab.

Diluar dugaanku. Padahal baru satu bulan dia mendekatkan diri padaku. Aku merasa kesempatan itu semakin

terbuka lebar. Aku sudah cukup umur untuk menikah. Sedangkan dia apalagi. Sebentar lagi aku akan selesai

spesialis. Dan dia pun begitu. Kebahagiaanku bertambah, disaat aku tahu kalau dia mengambil S2 di Jakarta.

Universitas mana yang tak mau menerimanya, lulusan luar negeri yang IP nya jauh diatas standart. Jarak Yogya

dan Jakarta tak menjadi masalah bagiku. Ini sudah cukup membesarkan harapanku. Kadang, aku berfikir, adakah

sebuah teka-teki yang harus aku pecahkan dalam hati ini. Aku merasa semua telah disusun rapi oleh Sang

pencipta. Aku berharap dialah yang aku cari selama ini, orang yang nantinya akan membimbingku menjadi

sesuatu yang berguna.

Yogyakarta, kota yang ku damba. Ingin rasanya membangun kehidupan disini. Kehidupan yang aman dan

damai pastinya.

Tak terasa sudah waktu berlalu. Sudah hampir satu tahun aku disini. Aku mengambil spesialisasi anak.

Kebanyakan pratikumnya langsung ke lembaga perlindungan anak. Waktu itu aku menemukan seorang anak yang

menderita autis. Tatapan hangatnya membuat hatiku menangis. Kasihan sekali dia, harus terisolasi didalam

kehidupan yang dia pun tak tahu itu kehidupan apa. Aku mencoba mulai menulis tesis tentang hal tersebut. Kini

aku lebih sering duduk di depan komputer. Menulis dan menulis.

”Udah malam nih Mbak, ga’ tidur?” suara Maulana menghentakkan kantukku.

52

Page 53: Bias Nuansa JIngga

”Kamu sendiri?” aku melihat wajah tampannya yang sibuk membolak balik Kamus Kedokteran yang

tebalnya sampai duapuluh sentimeter.

”Belum ngantuk sih, kebetulan juga lagi ada tugas nih!” aku mematikan komputer. Aku berusaha

mencairkan suasana malam ini.

”Mbak Vel, kalo kuliahnya udah selesai, mau balik ke Padang ya?”

”Iya, kenapa?”

”Yah, aku jadi kehilangan Mbak dong!”

”Apa? Kehilangan?” aku tertawa, aku memang tak memiliki adik. Dia sudah menjelma menjadi adik

impianku.

”Maulana, Mbak juga bakal kehilangan sosok adik kayak kamu. Mbak Vel pasti rindu sekali nanti. Tapi,

pastinya, Mbak bakal main kesini.” aku berusaha mendekap tatapan matanya yang penuh dengan kasih sayang.

***

Pagi datang menyapa nafasku, Yogyakarta pagi itu cerah sekali, burung-burung tertawa, embun tertetes

segan, dan langit berlembayung terang. Perlahan kulangkahkan kaki ke halaman Rumah, hari ini adalah

penyerahan tesisku. Sudah 7 tahun aku menjalani semua ini. Kini akhir dari semua perjuangangku. Perjuanganku

yang kutujukan hanya untuk almarhum Ayah dan Bunda.

Kampus Biru menyambut senyumku, segenggam harapan akan terpancar diantara pohon-pohon teduh

Fakultas Kedokteran.

”Vel, Pak Sugeng nyari kamu tuh?” sapa sahabatku dari kejauhan.

Aku melangkahkan kakiku segera, Alhamdullilah Dosen yang mengurus tesisku adalah suami Tante

Miranda. Jadi, kekhawatiranku sedikit berkurang.

Aku memeluk sahabatku erat sekali. Aku ayunkan langkahku ke Ruangan pak Sugeng.

”Assalammua’laikum.”

”Wa’alaikumussalam. Eh, ini dia sudah datang. Masuk Velia.” suara Pak Sugeng cerah sekali. Seorang

wanita asing berpakaian rapi menatapku ramah, dan yang laki-lakinya menyapaku lembut.

”Velia, Mr. Cleef dan Mrs. Georgia ini dari UNICEF, mereka sedang mencari seorang dokter spesialis

anak untuk mengurus cabang yayasan mereka. Nama Yayasannya, CHILDI COUNCIL. Berada diseluruh

Indonesia. Termasuk Sumatera Barat, kebetulan baru dibentuk beberapa hari yang lalu. Kalau kamu tidak

keberatan, setelah tesis kamu selesai, mereka pekerjakan disana. Bagaimana?” aku menatap haru, hatiku berteriak

bahagia. Ya Allah, begitu besar cintaMu padaku.

Aku mengangguk dan menandatangani kontraknya. Setelah itu barulah tesisku diurus. Entah kenapa

semuanya berjalan lancar. Tidak ada sedikitpun halanganya. Ya Allah asyurakka katsiron jiddan.

53

Page 54: Bias Nuansa JIngga

Beberapa hari lagi aku akan diwisuda dan dinobatkan sebagai Dokter Spesialis Anak termuda. Aku

menggenggam cintaku untuk anak Indonesia. Akan aku abdikan jiwaku untuk kesejahteraan mereka. Bergetar

bibirku saatku beritahu pada Bunda. Menangis deras airmataku. Akhirnya, hari kebahagiaan itu datang juga.

***

Bulan telah berganti. Namaku terpampang gagah di Baliho yayasan UNICEF itu. Selain beprofesi

menjadi dokter spesialis anak, aku juga aktif dalam organisasi PBB itu. Oh, Indahnya hidupku kini. ”dr. VELIA

ANDYRA, Sp.A”

Kesibukanku menyadarkan aku, bahwa umurku akan menjemput masanya. Umur 25 tahun, waktu yang

sudah pantas untuk menikah.

Aku telah lama putus hubungan dan komunikasi dengan Kahfi. Mungkin, dia sudah pergi ke California

untuk melanjutkan S2-nya. Aku akan tetap menantinya.

Malam ini, pertemuan keluarga bahagia. Kak Vahriz dan Istrinya, Bunda, dan Vemas dengan

keluarganya. Sudah lama aku kehilangan sosok sahabat. Vemas, kini dia masih kuliah spesialis di Jakarta.

Sebentar lagi Lebaran. Bulan-bulan suci sudah kulalui dengan amalan yang belum begitu maksimal. Tapi, aku

akan berusaha lagi memperbaikinya, Alhamdullilah aku mash rutin halaqah dengan Ustadzah Nailah.

”Gimana rasanya Vel, nama dipampang di baliho?” Papi Vemas memulai pembicaraan.

”Alhamdullilah, sedikit terkesima, Pi.”

”Wah, seru yah kalo udah jadi dokter spesialis, duh... kapan nih aku selesainya yah?” Vemas mulai

angkat bicara.

”Yang serius aja belajarnya, jangan sibuk pacaran aja.” aku tesenyum dan semua tertawa meledek Vemas.

”Gimana, Denisha? Jadikan rencana kita?” wajah Mami Vemas membuat seluruh mata menatapnya.

”Yah, kita serahkan aja ke yang bersangkutan.”

”Gimana Velia, mau kan jadi anak Mami?”

”Lho, bukannya Velia udah jadi anaknya Mami.”

”Yang resminya dong sayang.”

”Maksudnya?” aku mulai gelisah.

Semua hening, aku bingung sekali. Tiba-tiba...

”WILL YOU MARRIE WITH ME?” suara Vemas menghentakkan nafasku. Aku menatap penuh

gemuruh. Jadi selama ini ada niat perjodohan? Aku bertanya keras dalam hati. Aku hanya diam menatap lantai

marmer yang menyapu bayanganku. Aku berjalan gontai ke kamarku.

”Vel, mau kemana sayang?” suara lembut Bunda tak kuacuhkan.

***

Semua masih membekas dihatiku. Perjodohan itu sangat menyiksa batinku. Apakah aku harus jujur

dengan pilihanku? Kahfi. Apakah aku sanggup mengatakannya pada Bunda?

54

Page 55: Bias Nuansa JIngga

Hatiku galau, aku benar-benar bingung harus bagaimana? Haruskah aku memenuhi egoku. Tapi apakah

aku tega menyakiti perasaan orang yang aku cintai dan mencintaiku???

Kali ini aku benar-benar kesulitan melawan batinku. Konsentrasiku kini terpecah menjadi kepingan

gundah. Entahlah, aku rasa dengan shalatlah aku bisa menemukan obat gundah ini. Malam yang mendung aku

rapatkan jariku bersujud keharibaan-Nya. Tangisku meleleh menyapu pori-pori wajahku yang makin hari makin

tua. Sebagai seorang wanita, memang sepantasnya aku menikah. Tapi apadayaku, yang kucari belum kembali,

yang kutunggu belum juga hadir.

Pagi ini aku tak punya kegiatan apa-apa, kebetulan hari ini adalah hari ahad, dimana semua orang

menghabiskan waktu dengan tawanya, tapi aku menghabiskannya dengan bimbang.

”Assalammua’laikum... Bu dokter.” suara Bunda menyeka lamunku.

”Wa’laikummussalam, Bun. Oh ya, aku mau minta maaf atas tindakanku yang tak sepantasnya. Aku

hanya shock.” aku menatap kedua mata idolaku itu, tangannya menyeka pipiku.

”Apa gerangan yang membuatmu seperti itu, tidak cintahkah kamu pada laki-laki yang sangat

mencintaimu itu? Atau memang Vel sudah punya pilihan sendiri, ayolah... ceritakan pada Ibumu ini nak!”

”Aku menganggap Vemas sudah seperti saudaraku, tidak lebih. Sudah ada yang memintaku untuk

menunggu.”

”Siapa dia?” aku berjalan ke dalam kamar dan mengambil green box, aku hadapkan semua bukti cinta

Kahfi padaku. Aku menatap mata Bunda yang sedang meneliti helai demi helai surat itu.

”Vel...,” air mata Bunda mengalir deras sekali.

”Ada apa Bun?”

”Kamu menanti dia?”

”Ya, dia yang aku nanti.”

”Kamu yakin dia menantimu?”

”Bunda, ada apa sebenarnya, apa yang Bunda sembunyikan dibalik air mata ini?” kini giliran Bunda

berjalan menuju bofet depan, wanita anggun itu berjalan sambil mengenggam sebuah kertas yang dibungkus

plastik, warnanya merah jambu. Tangan lembutnya menyodorkan benda itu padaku sambil memalingkan

wajahnya yang terus dialiri air mata.

Aku buka mata zhahirku dan mata hatiku, aku tatap perlahan dan aku mulai mengerti, aku buka dan aku

tahu. Aku terpana tak bisa berucap apa-apa. Aku menangis sejadinya, aku menutup mukaku. Takut aku melihat

kenyataan ini.

”Velia, maafkan Bunda tidak memberi tahu kamu, undangan itu diantarkan langsung oleh Zahra, tapi saat

itu kamu sedang mempersiapkan wisudamu. Sedangkan tanggal pernikahannya bertepatan dengan hari wisudamu.

Jadi,”

”Bunda, jadi,” sulit aku berkata. Mulutku dibungkam kecewa.

”Kamu menanti dia, dia yang kini berada di Rumah sahabatmu, berada dalam bahagia.”

55

Page 56: Bias Nuansa JIngga

”Aku ga’ percaya, Bunda tampar aku! Aku yakin aku sedang bermimpi, benarkan?” aku menarik tangan

Ibuku dan menamparkan pada wajahku ini.

Aku berlari menuju lantai bawah, aku menggenggam kesedihanku, aku ingin berlari sejauh-jauhya.

Hingga nafasku terputus.

56

Page 57: Bias Nuansa JIngga

*5*

CINCIN DARI VEMAS

Mataku mulai bisa melebarkan sinarnya. Semua hijau, aku tidak bisa melihat dengan jelas. Mata ini masih

sangat berat.

“Vel, Alhamdullilah, kamu sadar, nak?” aku melihat wajah Bunda yang berkaca-kaca. Aku tidak mengerti

apa yang terjadi. Nyata atau rekayasakah semua ini. Aku terbaring lemah, karena dia. Lelaki yang tak setia

menanti, dia bisa melepaskan cintaku. Mungkin dia rasa ini main-main. Sakit rasanya, saat kita harus menghadapi

kenyataan orang yang kita cintai meninggalkan kita begitu saja. Paling menyakitkan lagi, dia meninggalkanku

untuk Zahra.

“Vel, kamu masih ingat Bunda, kan?”

“Bu… nda?”

“Vel, Alhamdullilah Ya Allah.”

“Vel, kalo aku, kamu masih ingat?”

“Ve… maas?”

“Iya, ini aku, syukurlah, kamu masih ingat!”

“Mell?”

“Vel, aku ga’ nyangka kamu masih ingat, aku kan,”

“Alhamdullilah, Mell aku senang sekali.” Ujarku lemah.

“Vel.”

“Galih?”

Semuanya, mereka didekatku. Bunda, Vemas, Mell, dan Galih. Ya Allah, nikmat yang manakah yang

harus aku dustai lagi?

Pagi yang cerah, untuk pertama kali aku melihat dunia kembali. Ternyata aku telah dihidupkan Allah

setelah matiku. Aku koma hampir satu tahun. Ceritanya berawal dari sewaktu aku mengetahui bahwa Kahfi telah

menikah dengan Zahra. Aku terjatuh dari tangga rumahku. Begitu banyak beban masalah yang telah terjadi, aku

lelah, dan terjatuh.

***

“Apa yang terjadi pada anak saya, Dokter?” tangis wanita nomor satu dihatiku.

“Velia kehilangan keseimbangan pada organ sarafnya, kemungkinan hanya ada dua, dia koma atau,”

“Atau apa?”

“Meninggal.”

“Apa? Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk putriku.”

57

Page 58: Bias Nuansa JIngga

“Dokter, apakah tidak ada jalan lain untuk menghilangkan kedua kemungkinan itu?” tanya serak Kak

Vahriz.

Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya. Dan berlalu, dia hanya berkata “Hanya Allah yang dapat

merubah semua kemungkinan ini, berdoalah padaNya.”

Setiap hari bergantian orang melihatku. Semua datang. Nenek, Kakek, saudara-saudara Bunda, saudara-

saudara Ayah, sepupuku tercinta dan juga yang lainnya. Andaikan aku tahu begitu besar cinta mereka padaku.

Semangat demi semangat mereka teriakan setiap hari kepadaku. Doa, doa, dan doa tak henti menghujani

tubuhku.

***

Aku kembali mengingat kejadian satu tahun yang silam. Semua berawal dari permohonan Bunda padaku.

Bunda dan Tante Hanny, berencana menjalin hubungan keluarga, alias besanan. Dengan cara menjodohkanku

dengan Vemas. Laki-laki yang selalu membuat mataku berbinar dan tawaku menggelegar, sahabat sekaligus adik

bagiku. Sejak aku tahu kebenaran perasaannya, aku seakan tersihir. Dia menjelma menjadi pria yang dewasa,

pengertian, dan setia.

Sejak kepergianku dari rumahnya, kami semakin akrab dan rasa yang dulu tak lagi kami kenang. Kami

seperti baru, mulai dari awal persahabatan ini. Aku mulai belajar mengenal sosoknya yang baru. Dia berubah

sekali, tapi sayangnya dia belum sanggup menjadi seorang ikhwan. Tapi, aku terus menyemangatinya untuk itu.

Dia pasti bisa!

Tapi, apa aku bisa menikah dengan Vemas, sedangkan aku sedang dinanti oleh seseorang yang jauh

disana. Tapi, mengapa aku harus menunggunya? Dia tidak nyata bagiku, dia tak memberi kejelasan arti penantian

ini. Tapi, aku bukan pengkhianat cinta. Aku tidak bisa menerima permohonan itu, semua terlalu menyakitan. Tak

banyak yang bisa aku ucapkan pada Bunda sebagai wujud penolakanku. Kotak Hijau itu kuberikan padanya. Aku

berharap dia mengerti semuanya.

“Vel, kamu menanti dia?” aku mengangguk, perlahan kutatap wajah Bunda yang beranjak meraih sesuatu

di dalam laci meja. Beliau menyodorkan sebuah undangan pernikahan. Kubuka dan kubaca.

Ya Allah, aku benar-benar terkejut, darahku terasa berhenti. Saat aku melihat nama yang terpampang

jelas di Undangan itu. KAHFI & ZAHRA. Aku kalut, aku bingung harus bagaimana. Inikah jawaban atas segala

penantianku? Inikah artinya?

Aku berjalan tergesa-gesa menuju hampa, semua telah berlalu. Aku harus bisa melihat kenyataannya.

Kahfi, cukuplah engkau menjadi salah seorang penghias hatiku. Kini kau telah pergi bersamanya. Tapi, kau tak

akan pernah pergi dari hatiku. Cukuplah perpisahan waktu itu membuatku hancur. Janganlah kau tambah duka ini.

Luka itu sudah sembuh, kenapa harus kembali luka.

Aku kalut sekali, aku berlari menuju lantai bawah rumahku. Dan, semua terasa samar ditutupi air mata.

Aku terus menangis, menangis, dan menangis. Aku tak peduli air mata ini akan habis. Perasaanku serasa hancur.

58

Page 59: Bias Nuansa JIngga

Harapan yang aku tunggu semuanya musnah. Dia yang aku nanti kini tak akan pernah kembali menyambut

hatiku. Dan aku takkan bisa belajar mencintai yang lain. Dia yang telah membuatku mengerti arti cinta yang

sesungguhnya. Dia yang membuatku paham tentang permainan hidup ini. Tiba-tiba badanku melayang. Semua

gelap.

***

Satu tahun sudah, aku bingung apa maksudnya semua ini? Tubuhku terbaring tak berdaya selama satu

tahun? Semua orang berada didekatku, mereka memberikanku semangat unuk hidup lagi, terutama Vemas, dia

adalah orang yang menemaniku dengan setia dan sabar, hingga nyawanya pun dipertaruhkannya untukku. Apakah

hati seorang Velia Andyra tidak akan tergugah? Jawabnya tidak!

Aku tak semudah itu untuk melupakan semuanya, seribu luka ini masih menggores hatiku. Entah ini

mimpi atau nyata.

Mana? Mana Velia yang selalu tegar? Kenapa kau begitu lemah? Velia! Kamu harus bangkit dari mati

sementaramu itu. Kamu harus melupakan dirinya yang telah melupakan cinta itu.

Kata-kata itu selalu menggema ditelingaku. Teriakan itu membuatku sadar bahwa tak ada cinta yang

abadi di dunia ini. Semuanya hanya omongan semata. Hari ini kumulai bangun kembali, aku ingin membuka

lembaran baru hidupku dan melupakannya. Melupakan orang yang telah jauh lebih dulu melupakan cintanya. Aku

harus bagaimana? Sulit untukku mengubur semua kenangan itu. Semakin hari semua kenangan semakin jelas,

semakin menghantui tidurku. Wajahnya selalu membayang, jelas sekali.

Ya Allah, apa yang harus aku perbuat? Menangiskah? Tertawakah? Atau apa?

Aku semakin rintih dalam hati ini, apa saja yang kulakukan tidak membuatku semangat lagi. Aku seperti

bangkai hidup yang memaksakan diri untuk tersenyum. Bagiku tak ada lagi arti hidup ini, semua sudah musnah.

Tapi, akankah ada sesuatu yang lain akan membawaku tertawa tulus? Entahlah!

***

Januari yang kelabu…

“Vel, ini aku bawa brownies kesukaan kamu, mami yang bikin.” aku menatap wajahnya yang lembut itu,

Vemas sahabatku. Dia berdiri dibelakangku mendorong kursi rodaku. Tubuhku masih lemah, hingga tak sanggup

untuk berdiri. Dia membawaku ke tepi kolam dekat taman. Disinilah dia selalu berusaha menghiburku.

Membuatku tertawa dengan leluconnya yang garing.

“Haloooow, aku masih disini!” dia menghentakkan lamunanku tentang dirinya.

“Makasih Vemas, kamu,”

“Begitu baik… baik… baik?”

“Yeee, Ge-er banget sih!”

59

Page 60: Bias Nuansa JIngga

“Eh, minggu depan kamu udah bisa jalan normal kan? Gimana kalau kita pergi keluar, kita ke

Bukittinggi! Gimana?”

“Mmm… idenya bagus banget tuh, ntar kita perginya rame-rame, terus kita belanja… dan,”

“Iya… iya, simpan dulu lamunannya, sekarang udah siang, kita makan yuk.” aku menatap wajahnya yang

lembut dan tulus. Ternyata memang benar, dialah yang bisa membuatku bahagia. Tapi, sayang aku tidak mampu

menggeser posisi Kahfi yang sudah lama terpatri dalam hatiku.

Duniaku mulai muncul kembali. Aku selamat dari maut, Allah membangkitkan aku setelah matiku selama

satu tahun lebih. Kini umurku 26 tahun, aku semakin tua. Haruskah aku tetap berbalut sedih? Haruskah aku tetap

menanti dia yang telah bersama orang lain? Haruskah?

“Bintang… tolong jawab aku?!” aku menatap bintang yang menatapku haru. Sudah lelah aku bercerita

padanya. Aku dorong singgasanaku ke dalam istanaku dan akupun terlelap dalam air mata.

***

Satu minggu sudah berlalu mengawali hidupku yang baru. Tubuhku sudah begitu kokoh untuk berjalan.

Semua sudah dipersiapkan Bunda, keluargaku, dan keluarga Vemas. Siap berangkat!

Vezha, adik Vemas membimbing langkahku menuju mobilnya. Di dalam mobil itu telah menunggu

Vemas dan si gendut Venyo. Aku serasa kembali ke masa lalu, saat kami menjadi satu dalam tawa dan cinta.

Mobilpun melaju kencang mencari arah tujuan penumpangnya. Aku bergembira hari ini, semua aku lupakan.

Duka akanku kubur jauh dalam sukmaku, memang sudah saatnya aku bangkit kembali.

Perjalanan ini aku nikmati setiap detiknya, tawa Venyo, senyum Vezha membuat hatiku menumbuhkan

bunga-bunga bahagia.

“Kak, hidupin musiknya dong!”

“Vezha!?”

“Hidupin aja Vem, aku ga apa-apa kok!”

“Tapi, lagu di mobilku ga’ ada nasyidnya. Gimana dong?”

Aku memajukan sebahagian tubuhku ke arah tape. Aku tekan tombol yang membuat benda mungil itu

melantunkan nadanya.

Resah jiwaku menanti, mengingat semua yang terlewati

Saat kau masih ada disisi

mendekapku dalam hangatnya cintamu

Lambat sang waktu berganti

endapkan laraku disini

Coba tuk lupakan bayangan dirimu

yang slalu saja memaksaku untuk merindukanmu

sekian lama aku mencoba

60

Page 61: Bias Nuansa JIngga

menepikan diriku diredupnya hatiku

letih menahan perih yang ku rasakan

walau kutahu ku masih mendambamu

Terendapkan sudah laraku, seperti apa yang diceritakan Naff dalam lagunya. Aku menatap jauh ke atas

langit, melempar sejuta harapku ke awan. Aku terus berdoa di dalam hatiku, semoga Allah memberikanku

kemampuan untuk melupakannya yang telah melupakanku. Ku palingkan wajahku kepada laki-laki yang selalu

setia menjagaku. Setia menemaniku, mendengarkan keluhku, dan yang paling mengerti aku. Aku sangat ingin

menumbuhkan rasa cintaku untuknya, tapi sungguh, aku tak mampu.

***

Bukittinggi, menjadi saksi kehidupanku dimulai kembali. Aku tutup masa laluku serapat mungkin,

meskipun aku tak bisa memungkiri, masih ada celah yang terbuka untuknya.

“Wah, bagus banget… kesana yuk Kak!” Vezha menarik tanganku ke arah pemandangan yang

Subhanallah, indah sekali. Aku memeluk tubuhku dengan kedua tanganku, karena udaranya sangat dingin.

“AAAAAAA…!” Vezha berteriak keras sekali, dan gemanya pun terdengar.

“Ayo Kak, teriaklah sekeras-kerasnya, lupakan gundah dan resah kakak, lepaskan semua duka. Ayo!”

Aku menatap mata gadis manis itu, aku arahkan pandanganku ke lembah-lembah yang siap menampung

dukaku.

“AAAAAAAAAAAAAAAAA !!!” aku berteriak sekuat-kuatnya, terasa lepas semua sendi-sendi hatiku.

Aku berteriak berulang-ulang kali, sampai nafasku lelah.

“Keluarkan semuanya, keluarkan hingga tak ada sisa.” suara lembut itu menampar lembut nadiku.

“Vemas, maafkan aku… aku ga’ pernah bisa bikin kamu bahagia.”

“Sttt… aku sudah sangat bahagia, aku bahagia kamu disampingku, aku bahagia kamu sudah mau

memulai hidupmu yang baru, sungguh… aku bahagia.”

“Vemas, aku rasa cuma kamu yang bisa mengerti aku, aku rasa cuma kamu,”

“Velia, jangan kamu buat air matamu itu sia-sia, seharusnya kamu menghiasi senyummu dengan tawa.

Ok, mulai hari ini aku ga’ mau lihat kamu bersedih lagi.”

Aku menghapus airmataku dan mulai mengembangkan senyumku untuknya, untuk sahabatku. Aku

teringat apa yang diceritakan oleh Kak Sara padaku.

“Vel, Vemas itu bagaikan mutiara yang terus bersinar dihati gadis yang dia cintai dengan tulus. Tiada

letih dia mencintaimu, meskipun dia tahu kamu mencintai yang lain. Dia menjagamu siang dan malam,

mengorbankan waktunya. Dia berdoa tiada henti untuk kesembuhanmu, bahkan dia sempat koma beberapa hari,

karena kelelahan. Dia siap mengorbankan nyawanya untukmu. Dia menjelma menjadi seorang ikhwan, seperti

yang kamu harapkan. Walaupun tak seperti orang yang kamu cintai. Tapi, dia berusaha menjadi seperti apa yang

61

Page 62: Bias Nuansa JIngga

kamu inginkan. Kurang apa lagi dia untukmu, Vel? Jangan kamu sia-siakan pria sebaik dia. Terimalah dia

dihatimu.”

“Kak, aku ga’ bisa membuang begitu saja cintaku untuk Kahfi. Dia tetap yang pertama, dan takkan

mungkin bisa aku melupakannya, aku juga mencintai Vemas, tapi apakah dia rela kujadikan yang kedua? Aku

takut, jika aku memutuskan menerima cintanya, aku ga’ bisa memberikan yang terbaik untuknya, karena hatiku

sudah terpaut dalam pada Kahfi. Sulit untuk aku cabut lagi, sungguh sulit.”

***

“Velia, pertanyaanku masih sama.” kotak itu disodorkannya dihadapanku, sebuah cincin yang indah

menanti jari manisku.

“Vemas, aku sudah memutuskan suatu keputusan yang aku rasa kamu,”

“Apapun keputusannya, aku akan terima.”

“Kamu tahu, aku mencintai siapa kan? Dia tidak bisa aku geser kedudukannya walaupun 1 inci, jadi…

jika memang kamu menginginkanku, bersediakah kamu menjadi yang kedua?” dia terdiam, aku memang

keterlaluan. Mana ada laki-laki yang ingin menjadi yang kedua. Tapi, aku melihat tangisnya perlahan mengiris

hatiku. Dipalingkannya wajahnya ke arah kabut dipuncak bumi ini. Udara dingin membelai helaian jilbabku yang

terulur hingga punggung. Aku menanti jawabannya.

“Velia, aku mencintaimu bukan karena nafsu, tapi karena Allah. Aku bisa mengenal Allah karena

sebelumnya aku mengenalmu, wanita yang membuatku sadar akan adanya dua kehidupan. Dunia dan akhirat. Aku

menerimamu apa adanya.”

“Vemas, kamu,”

“Aku ikhlas menjadi yang kedua, asalkan kamu mau menjadi pendamping hidupku.”

“Ya Rabb, hanya padaMu aku bersyukur, terimakasih Ya Rahmaan, karena telah memberikan aku laki-

laki berhati suci ini.” tiba-tiba tubuh gagahnya mencium tanah, dia tersungkur bersujud bersyukur kepada Allah.

Pemandangan indah ini menjadi saksi telah terikatnya dua hati yang suci.

Keputusanku ini telah terpatri diantara permata cincin dari Vemas.

62

Page 63: Bias Nuansa JIngga

*6*

FAITHFUL OF LOVE

Waktunya tinggal satu minggu lagi. Aku akan menjadi milik orang lain. Sahabatku, Vemas. Apakah aku

yakin akan bahagia hidup dengannya? Entahlah, semua seakan membuatku ragu. Aku bimbang, sungguh!

Aku berjalan keluar menatap awan yang kemerah-merahan. Kutatap ke belakang, rumah yang sudah

terhias indah sesuai dengan adat Minang. Pelaminan sudah dipasang baru saja. Aku rasa semakin dekat waktunya

aku semakin ragu. Aku melihat banyak senyum di bibir keluargaku. Aku tak sanggup jika harus meredamnya.

Tapi, aku berfikir, untuk apa aku ragu? Tak ada lagi yang kunanti. Semua sudah sirna, sekejap musnah. Impianku,

berlalu dengan angan yang mustahil.

“Hei, ngelamun ya?”

“Kakak, Mbak Asiyah mana?”

“Dia lagi dibelakang bareng Mell.”

“Kak, kalo aku ntar jadi nikah. Trus Bunda sama siapa?”

“Dek, Bunda kan bisa tinggal bareng Kakak.”

“Kak Vahriz jaga Bunda baik-baik ya!”

“Dek, lihat Kakak. Kamu pasti akan bahagia, karena Vemas begitu mencintaimu dengan tulus.” aku

meraih tubuh Kakak tercintaku. Aku menangis sejadi-jadinya. Ternyata cintalah yang telah menguatkan

keraguanku. Meskipun bukan cintaku, tapi aku akan selalu menghargai orang yang akan hidup bersamaku nanti,

selamanya.

“Assalamu’alaikum,”

Suara itu menyentakkan lamunanku, setelah ditinggal Kak Vahriz. Aku melihat ke luar. Kak Kanan dan…

Kahfi?

“Wa’alaikumussalam,”

“Wah, udah berapa persen nih persiapannya Vel?”

“Alhamdullilah udah 75 % Kak!” dia hanya mengangguk, memberikan penghormatannya pada wanita

yang telah dia sakiti.

“Zahra, mana Kak?”

“Zahra? Oh… jadi, Vel belum tahu cerita sebenarnya. Maklumlah kita kehilangan informasi hampir tiga

tahun.”

“Jadi?”

“Gini aja, kakak ajak kamu dengan calon suami untuk datang bekunjung makan malam ke Rumah,

gimana?” aku mengangguk dan mereka pun berlalu.

***

63

Page 64: Bias Nuansa JIngga

Malam yang gelap, ba’da Maghrib kulangkahkan kakiku menuju Rumah yang telah lama ku rindu.

Tawaku, senyumku, dan candaku bersatu meresapi dinding-dinding Rumah itu.

“Assalamu’alaikum,”

“Wa’alakumussalamwarahmatullahiwabarakatuh.”

“Ukhti Velia?”

“Aidha?” kami saling merengkuh satu sama lainnya. Aidha, sahabat kecilku, dia kini kembali.

“Udah selesai kuliahnya?”

“Belum, kesininya dalam rangka walimahnya Ukhti, lho!”

“Masa sih?” aku menggodanya, dia terus menarik tubuhku untuk masuk ke dalam.

Di dalam kulihat, Ibu Sarah yang sibuk di dapur, Kahfi yang mengotak-atik remote TV, Kak Kanan yang

main kuda-kudaa dengan Nina dan Nino, anak kembarnya. Sedangkan Kak Kiriena tampak sedang menyusun

kembali ruang tengah setelah Shalat selesai.

“Kahfi! Matiin dulu TV-nya. Udah selesai Tilawah, belum?”

“Udah, Ummi.” lalu dia mematikan TVnya dengan segera. Memang anak yang berbakti.

“Abi, aku mau susu!”

“Nino, kan tadi barusan Ummi kasih!” suasana yang damai, tenang, dan bahagia. Andaikan aku menjadi

bagian dari keluarga ini. Alangkah senangnya.

Tiba-tiba, mataku tertuju pada lukisan yang tergantung didinding. Gambar seorang laki-laki gagah. Aku

baru melihat lukisan itu. Padahal dulu aku sering kesini. Aku berjalan perlahan ke arah benda itu dan ingin sekali

menyentuhnya.

“Itu, Kahfi yang bikin. Bagus kan?” aku melihat ke arah sumber suara, Kak Kiriena. Aku hanya

tersenyum kepadanya, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kalau tidak tersenyum, ya menangis.

“Eh… Velia, sudah dari tadi? Maaf ya, dicuekin ama tuan Rumahnya.”

“Ah, ibu, jangan gitu dong, kelihatannya aku asing sekali di Rumah ini.”

“Ya, kamu asing untukku, karena kamu bukan cintaku yang dulu.” suara itu aku kenal. Suara yang

dikeluarkan perlahan, pelan itu adalah suara Kahfi. Apa maksudnya?

“Vel, sini deh,”

“Ada apa Aidha?”

“Aku punya oleh-oleh buat kamu.”

“Apa ini?”

“Ini adalah rancangan gaun pernikahan Muslimah. Kamu pilih aja, nanti akan aku pesankan pada

Desainernya, mau ya?”

“Aidha… ga’ usah repot-repot lah!”

“Vel, kamu sahabatku. Aku mau melihatmu bahagia.”

64

Page 65: Bias Nuansa JIngga

Aku memeluk tubuhnya. Mereka seperti nyawa bagi jasadku. Aku hidup jika di dekat mereka. Dan

mungkin aku akan mati bila jauh dari mereka.

***

“Kahfi ini, orangnya diam-diam menghanyutkan. Ibu tak menyangka kalau dia akan melakukan semua ini

untuk menghargai seorang gadis yang setia menantinya. Pernah Ibu bertanya padanya. Sebenarnya apa arti cinta

itu? Dia hanya menjawab dengan satu kata. Kesetiaan.”

Aku memicingkan mataku, aku ingin menangis sejadi-jadinya. Dia menantiku, dia setia untukku. Bahkan

nama keluarganya dipertaruhkan hanya untukku. Aku malu pada diri ini. Aku harus bagaimana? Masih bisakah

aku memilih? Antara ketulusan cinta Vemas atau kesetiaan cinta Kahfi? Ya Rabb... haruskah aku memilih?

Dia melihatku, aku tahu itu. Tapi aku tetap menunduk. Aku mencoba menegarkan diri. Tapi, tak berhasil.

Aku berlari ke arah kamar mandi yang berada bersebrangan dengan ruang makan ini. Aku sadar, semua

memperhatikanku. Tapi, tangis ini tak bisa aku bendung. Terlalu menyakitkan. Aku memasuki tempat yang

terawat itu. Aku terisak-isak. Aku berasa beku. Aku bingung, harus bagaimana? Kalau ditanya isi hatiku,

sesungguhnya aku ingin sekali jatuh ke dalam dekapan Kahfi, lelaki yang aku nanti tanpa kepastian itu. Lelaki

idaman yang membuatku tak membuka hati untuk lelaki manapun. Dia yang terbaik untukku, selamanya. Allah,

berikan aku petunjukmu? Hikmah apa yang terselip dari semua ini?

Sudah cukup lama aku beku dalam tangis. Entah bagaimana nanti aku menjawab pertanyaan Bu Sarah

dan yang lain. Bagaimana aku menyembunyikan merah dimata ini?

“Vel, ada apa, nak?” suara lembut itu menyapu tangisku.

Aku harus tegar, apapun yang terjadi. Aku harus tunjukan bahwa aku bisa menghadapi takdir ini. Aku

pasti bisa!!!

Perlahan aku membuka pintu kayu yang berukiran khas Minang itu. Aku menunduk. Tubuhku

direngkuhnya. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak kuat.

“Vel, ibu sudah tahu semuanya. Kamu harus bijaksana ya?” aku menatap mata tua yang ayu itu. Aku

menangis kembali.

Tangan itu mengulurkan penyapu sedihku. Kahfi, itu tangannya. Aku meraihnya. Dan tersentuh. Segera

nadiku bergetar sampai ke sukma hati. Semua bergetar. Aku mendengar lafadz istighfarnya terucap. Bu Sarah

mengelus kepala putranya. Dia sepertinya sangat mengerti dengan apa yang terjadi. Tangan kirinya meraih

daguku.

“Dari awal, ibu memang menyukaimu, nak. Kau sangat pantas untuk lelaki ini. Banyak rencana kami

untuk menjodohkan kalian. Tapi, saat tekad keluarga sudah bulat untuk meminangmu. Ayahmu pergi. Kami

merasa tak pantas mengatakannya. Lalu, kami menunda. Hingga kami tidak menemukanmu lagi. Sulit. Putusnya

hubungan itu membuat kami melemahkan tekad. Dan sampailah lamaran dari orang tua Zahra. Ibu tak tega

menolaknya. Saat itu ibu tidak tahu kalau Kahfi menantimu dan sebaliknya. Ibu memutuskan menerima lamaran

65

Page 66: Bias Nuansa JIngga

itu. Ibu sudah hubungi Kahfi, sayang dia tak di tempat. Karena keluarga Zahra terdesak, karena adiknya ingin

menikah juga. Dalam adat mereka, adik tidak boleh mendahulukan kakak. Jadi, ibu menitip pesan pada teman

sekamar Kahfi.”

“Zayid, kecelakaan saat pulang dari halaqah. Dia meninggal dunia dan aku tak berada di dekatnya saat dia

pergi. Aku pergi tour ke Malaka. Jadi, semua diluar dugaanku. Saat aku balik. Aku melihat undangan pernikahan

atas namaku. Aku berharap wanita pendampingku adalah kamu. Tapi, semua kabur. Saat aku melihat nama yang

tercantum bukan namamu. Tapi, Zahra. Betapa shock nya aku saat itu. Seketika aku memanggil Kakak. Aku

menanyakannya serius dan,” matanya merah, tiba-tiba dari balik pintu datang suara yang menyambung

kalimatnya.

“Semua sudah terlambat. Tiga hari lagi, pernikahan itu tiba. Aku tak tahu harus bagaimana? Haruskah

aku memaksa Kahfi untuk menikahi Zahra, sedangkan aku tahu kalau dia menantimu. Andai saja saat ibu

memberi keputusan itu aku disini. Sayangnya, aku sedang Umrah bersama Kiriena. Dan ibu tak ingin menganggu.

Semua berlalu begitu cepat. Aku minta maaf Velia.” aku menangis. Kembali memeluk ibu Sarah. Beliau

membawa tubuhku yang lemah tak berdaya ke atas sofa. Aku tak mungkin pulang. Akhirnya beliau memberitahu

Bunda. Malam ini aku menginap disana.

Tangisku terurai deras. Susu coklat panas yang dibawa Kak Kiriena tak terjamah olehku. Mungkin sudah

dingin. Kamar yang sederhana tapi bersih. Aku bersandar ke dinding, aku mencoba mengingat kenangan

terindahku bersama Kahfi sebelum aku benar-benar masuk dalam hidupnya.

“Ih, serakah banget sih? Kasih kesempatan untuk yang lain dong? Kamu jelas tahulah, dasar santri kikir!”

ejeken yang terperih yang pernah aku hadiahkan untuknya. Saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia duduk

di kelas satu SMP. Dia awalnya anak pesantren terbaik di Sumatera. Setelah dia mendapat beasiswa ke SMANSA

Padang Panjang. Dia pun lepas dari sebutan santri. Awal aku mengenalnya. Begitu benci, sangat!

Pernah suatu saat aku bertemu dengannya di dekat Sekolahku, dia lagi jalan-jalan bersama ibunya. Saat

itu aku belum memakai hijab. Aku masih dengan rambut potongan biasa. Rambut yang aku ikat tinggi

keatas,membuatku lebih rapi. Kak Vahriz saat itu kelas satu SMA, aku kelas satu SMP. SMA Kak Vahriz tak jauh

dari SMPku, cuma berjarak dua gedung. Waktu itu siang hari. Kebetulan SMA Kakakku ada bazar amal, jadi

kebetulan banget. Aku mau minta Es Kelapa Muda plus Lapek Bugih kesukaanku. Ketika aku kesitu, teman-

teman Kak Vahriz menyerbuku. Memainkan rambutku yang rapi ini. Uh sebel!!!

Aku mencari kakakku. Saat aku menemukannya, aku melihat Kahfi dan Ibunya sedang asyik berbincang

dengan kakakku yang alim itu. Dia dulu adalah mantan santri di Pesantren yang sama dengannya. Ya… ibarat dia

ketemu dengan kakak kelas. Karena saat dia baru masuk, kakakku yang jadi senior dia. Aku berjalan macho

mendekatinya. Anak SMP yang sok cool itu harus aku hadapi. So… awas ya!!! Bentakku dalam hati.

Kak Vahriz dan dia begitu akrab. Maklum beda satu tahun. Tiba-tiba, saat bu Sarah sibuk dengan baju

koko yang ditawarnya. Aku mendekati dua lelaki itu. Mereka berdiri di stand buku.

“Kak, Laper!” rengekku manja pada kakakku.

Dia menyibak kerut dikeningnya. Seakan dia mau berkata “Kayaknya kita pernah kenal deh, dimana ya?”

66

Page 67: Bias Nuansa JIngga

“Adek… mau makan apa?” kakakku menanggapi manja pula. Aku menarik tangannya yang besar. Dia

terpaksa mengikuti tarikanku. Terpaksa dia pamit pada si Mr. Nyebelin itu. YES!? Berhasil.

Dia berjalan gontai menuju ibunya. Dari jauh aku masih melihat kesalnya. Hehehehe… emang enak

dicuekin???

***

Tiba-tiba lamunanku kembali. Aku tersentak mendengar suara diluar. Pukul 11 malam. Cukup lama aku

menangis. Aku berjalan keluar. Gelap dan kosong. Aku berjalan ke arah belakang. Aku melihat seseorang yang

sedang menunduk di kursi, siapa?

Aku mendekatinya perlahan. Isak tangisnya deras, aku rasakan itu. Kahfi? Mungkinkah itu dia? Dia

menangisiku? Mungkinkah?

“Malam begitu dingin.” aku membuka pembicaraan ini. Dia menoleh padaku. Benar! Dia Kahfi. Aku

berdiri jauh darinya, menatap taman yang penuh dengan mawar.

“Benar. Tapi, tak sedingin hatimu kan?”

Aghh… hatiku berdesir. Istighfarku terlantun tiga kali.

“Memang ini salahku, Vel. Aku terlalu picik. Memintamu menunggu tanpa memberikan kepastian. Aku

merasa bersalah sekali. Satu tahun dari hidupmu hilang, karena ku bukan? Kenapa Vel, kamu menunggu? Aku

kan tidak memberimu kepastian. Kenapa?” dia menangis dan memegang kepalanya. Dia tertunduk.

“Kenapa? Kenapa kamu membatalkan pernikahanmu dengannya? Kenapa?” dia terdiam. Hening sekali.

Angin malam menerpa helai jilbabku.

“Kita hanya dua orang yang bodoh. Menanti untuk yang tak pasti. Dan hasilnya? Harus ada yang tersakiti.

Pernikahanku tinggal satu minggu lagi. Kahfi, seandainya aku mengambil keputusan ini dengan hati, aku akan

membalas pengorbananmu. Tapi, aku harus berfikir pakai logika. Bagaimana pengorbanan jiwa dan raga Vemas

untukku. Jangan sampai aku menyakitinya, cukup waktu itu saja. Andaikan,”

Hening.

“Aku yang mendampingimu, apakah kau akan bahagia?” pertanyaannya membuatku membalikkan

tubuhku ke arahnya.

“Tentu, mungkin sangat.”

“Kenapa kita tidak menikah?” mataku tersentak. Hatiku terasa di banting kerasnya. Menikah?

“Konyol.”

“Aku serius.”

“Aku tak tega untuk menyayat hati calon suamiku.”

“Kamu kira aku tega dan sanggup?”

“Tidak. Kau lelaki terbaik bagiku.”

67

Page 68: Bias Nuansa JIngga

“Vel, percayalah… jika memang kita jodoh. Allah akan menolong kita dengan berbagai cara. Aku sangat

berharap itu.”

“Semoga.” dia berjalan ke arahku. Dekat.

“Maukah kau menjadi makmumku? Kita tahajud bersama? Ya?” aku menunduk dan menganggukkan

maunya. Dia berjalan dulu di depanku.

Kami tersungkur diantara cahaya bulan. Kami memohon yang terbaik. Aku merasa menjadi istrinya.

Meskipun kurasa hanya satu jam. Tapi, aku bahagia. Sangat.

***

Sebuah kenangan, di awal januari…

“Velia?” Kak Kiriena mencari tubuhku.

“Ada apa?” tanya Kak Kanan.

“Mana Velia? Kahfi, tadikan dia jalan di belakang. Kamu ga’ lihat?” dia bingung. Matanya mencariku.

“Zahra, ada Velia disitu?” Kak Kiriena berteriak ke arah rombongan akhwat. Zahra menggeleng.

“Jangan-jangan dia tersesat. Kahfi, Kakak ga’ tahu daerah sini.”

“Kakak jalan aja dulu. Aku tunggu dia disini.”

“Terus?”

“Baiklah, Rin. Kita tunggu dia sampai rombongan terakhir lewat. Ok!” mereka menunggu.

“Ada apa?” tanya bu Sarah bersama ibu-ibu yang lain.

Tiba-tiba…

“Aku akan cari. Kakak tunggu disini.” dia berlari ke belakang. Dia panik sekali.

Dari jauh aku melihatnya, memang tak jelas. Kacamataku sengaja tak ku pakai. Aku berjalan pelan. Aku

hampir menangis. Aku tak tahu daerah disini. Handphoneku baterainya habis. Aduh!

Tubuh itu mendekat. Ngos-ngosan.

“Velia? Syukurlah.” dia berkeringat. Aku tersenyum dan terus berjalan di belakangnya.

Diam. Dalam berjalan berdua aku dan dia hanya diam.

ULAR???

Seketika tubuhku terperanjat aku mendekap tangannnya yang diselimuti koko berwarna biru laut.

“Ya Rabb!” dia menatapku saat tubuhku dan tubuhnya dekat sekali. Dia berusaha menjauhkan hewan itu

dariku.

Aku tahu ini salah dan tak seharusnya aku lakukan sebagai seorang akhwat. Tapi, cinta memalsukan

semuanya, virus itu telah merayapi hatiku.

Didaun yang ikut mengalir lembut

Terbawa sungai ke ujung mata

68

Page 69: Bias Nuansa JIngga

Dan aku mulai takut terbawa cinta

Menghirup rindu yang sesakkan dada

Jalanku hampa dan ku sentuh dia

Terasa hangat di dalam hati

Kupegang erat dan ku halangi waktu

Tak urung jua ku lihatnya pergi

Tak pernah ku ragu dan slalu kuingat kerlingan matamu dan sentuhan hangat

Disaat itu takut mencari makna

Tumbuhkan rasa yang sesakkan dada

Kau datang dan pergi oh..begitu saja

Semua kuterima apa adanya

Mata terpejam dan hati menggumam

Di ruang rindu kita bertemu

Lirik lagu itu milikku, apa yang dilantunkan Letto memang benar, semua nyata bagiku, dia akan pergi

meninggalkanku. Ini adalah salah satu kisahku, kisah yang ku kemas dalam sebuah kenangan yang indah.

Kenangan bersamanya, Kahfi.

***

Pagi itu begitu suram untukku, setelah shalat Subuh di Masjid aku kembali ke rumah yang menjadi penuh

siksaan bagiku. Waktunya sekejap lagi, aku akan menghapus semua impianku bersama Kahfi. Aku harus berlabuh

di hati Vemas. Semua sulit bagiku, air mata ini mungkin sudah jatuh ke dalam. Itu lebih menyakitkan dari apapun,

haruskah aku munafik di depan semua orang???

Kak Vahriz dan Istrinya datang terlalu pagi, dia mengantarkan sup buntut untuk sarapan. Aku masih di

kamar diam dan diam.

“Assalammua’laikum… ngapain calon pengantin? Kok di kamar aja?” aku tak sanggup menatap

wajahnya, aku menangis. Dia menutup rapat pintu dan berjalan ke arahku.

“Vel, ada apa?” dia meraih kotak hijau yang masih ku genggam.

“Dia kembali kak, dia tak bersalah.” aku terisak memberitahunya.

“Cinta kadang harus memilih, kamu berhak untuk memilihnya Vel, memilih mana yang terbaik

untukmu.”

“Aku harus bagaimana Kak? Mengorbankan kesetiaan cinta Kahfi atau kekuatan cinta Vemas?”

“Ikuti apa kata hatimu.”

“Aku tentu akan memilih Kahfi, dia cintaku Kak… Tapi, bagaimana dengan Vemas? Begitu banyak

pengorbanannya untukku. Aku ga’ boleh egois Kak!”

69

Page 70: Bias Nuansa JIngga

“Jika kamu memilih Vemas, berarti kamu memilih menghancurkan hidupmu, Vel!”

Aku memang tidak pantas untuk memilih dan dipilih. Velia andyra, kehidupanmu begitu kompleks,

hatimu kini entah dimana???

Akankah aku bisa menghancurkan arti kesetiaan cinta ini???

Aku masih terus berjalan menapaki risalah cinta dan mencari jawabannya. Mengais makna dari kesetiaan

cinta.

***

Beberapa hari lagi pernikahanku akan digelar. Aku diburu perasaan ragu. Tapi, ini sudah menjadi

pilihanku untuk menikah dengan Vemas. Aku tak mungkin tega membuat dia terluka. Keikhlasannya telah

menguatkan hatiku. Aku tetap akan menikah dengannya. Meskipun aku tahu Kahfi akan sangat terluka. Tapi, aku

percaya cinta tak harus memiliki.

“Vel, Aidha nyariin kamu tuh!”

“Bentar Mbak, aku lagi nanggung nih.”

“Assalammua’laikum,”

“Waa’laikummussalam, Aidha? Masuk aja!”

“Hey, rancangannya udah selesai nih! Bagus ga’?”

“Wah, keren banget! Terus pakaiannya udah?”

“Udah selesai, kebetulan aku emang udah rancang dasarnya sejak lama, tinggal ngasih ornamen aja.”

“Waw, its great!”

“Sekarang, aku butuh bantuan kamu, mau nyobain udah pas atau belum, jadi kita harus ke Butiknya.”

“Sekarang?”

“Ya iyalah, masa ya iya dong, yuk mariii!”

Aku dan Aidha melambungkan tujuan ke Butik terkenal di Kota ini. Sesampai disana, aku disibukkan

dengan berbagai aksesoris, aku bagaikan seorang putri yang dilayani banyak pelayan.

“Ah, akhirnya selesai juga.”

“Langsung pulang kan Ai?”

“Iya nih, hujannya deras banget.” roda mobilpun melaju menuju taman kota.

“Aidha, aku kebelet nih, berhenti dulu dong.”

“Dimana?”

“Di Toilet Taman Kota aja.”

“Oke deh.” mobil pun berhenti di tempat yang ku maksud. Perlahan aku berjalan menuju Toilet bersama

payung yang menyelamatkan tubuhku dari derasnya hujan.

“Hey, siapa di dalam!”

70

Page 71: Bias Nuansa JIngga

Suara itu mengejutkanku, rasanya aku tak salah masuk toilet, ini toilet wanita. Tapi, mengapa ada suara

laki-laki yang mengganas mengetuk pintu. Aku beranikan diri keluar. Tubuh besar dan wajah tampan itu

menubruk tubuhku, mendorongku ke dalam Toilet. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, teriakanku takkan

terdengar, hujan begitu deras.

Laki-laki itu mengganas, tubuhnya menghimpit tubuhku, Ya Rabb… aku tidak bisa berbuat apa-apa

selain beristighfar padaMu.

Semua telah terjadi, laki-laki peminum khamar itu telah mengoyak harapanku. Aku telah kehilangan

semuanya. Aku kehilangan permataku.

Ya Rabb… ampuni aku.

Aku berlari menuju mobil, Aidha masih menungguku.

“Velia, lama banget.” aku terdiam, tangisku terus meleleh.

“Velia, ada apa?” aku masih membungkam mulutku, aku berusaha meyakinkan sahabatku, bahwa tidak

terjadi apa-apa.

Sulit aku mengingat kejadian beberapa jam lalu, semuanya telah menelan harapanku. Aku mengurung

diri di dalam kamar, aku telah bernoda. Aku tak pantas menikahi Vemas.

***

Pernikahanku dua hari lagi, aku tetap bungkam. Keluargaku bertanya terus padaku, apa yang terjadi?

Aku tetap bungkam dan akhirnya aku memutuskan tidak menikah dengan Vemas, dalam artian aku

membatalkannya.

Semua orang menatapku yang berbicara dengan penuh keangkuhan, untuk menyembunyikan pedihku.

Suasanapun memanas, aku sangat terkatung-katung, jiwaku telah terbang bersama kehormatanku

***

71

Page 72: Bias Nuansa JIngga

*7*

ARYAZA

Aryaza, pria berpostur tubuh bagus yang gagah itu adalah mantan preman di daerahnya. Laki-laki yang

akrab di panggil Arya inilah yang telah mengisi lembaran kehidupanku yang kelam.

Malam yang kelabu itu, beberapa hari sebelum pernikahanku. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus

aku perbuat dengan keadaan seperti ini.

Aku merasa putus asa dengan kehidupan ini. Aku bingung harus bagaimana dengan keadaan seperti ini?

Semua orang bertanya padaku dan keluarga. Apa yang terjadi sehingga aku membatalkan pernikahanku dengan

Vemas. Ada apa?

Aku terus berjalan menuju tempat resahku. Aku ingin bertemu dengan Ummi, dosen tercintaku. Aku

ingin beritahu semua ini. Tentang petaka yang menimpaku ini. Aku ingin cerita padanya.

“Assalamu’alaikum Ustadz, Ummi nya ada?”

“Wa’alaikumussalam, Velia? Udah lama ga’ ketemu? Ummi ada di rumah. Langsung aja.” aku berjalan

ke arah luar masih membayang punggung laki-laki yang tadi sedang berdiskusi dengan Ustadz.

“Ustadz, dia siapa?”

“Dia Velia, mahasiswi istriku. Emang kenapa?”

“Ga’ kenapa-napa kok, cuma rasanya aku pernah melihatnya.”

“Nak, Arya. Bagaimana? Sudah ketemu?”

“Belum, Ustadz. Saya juga bingung. Mungkinkah akan saya temukan?”

“Memang sulit. Ditambah lagi kamu tidak terlalu mengenalnya. Hanya hidayah Allah yang mungkin akan

menemukan ibu malang itu.”

***

Hari-hari kulalui tanpa ada semangat lagi. Satu bulan yang lalu, Jauzi melamarku pada Bunda. Dia

mengaku palsu. Dia mengatakan bahwa, dia ayah dari anak yang ku kandung selama dua bulan ini. Konyol,

memang.

Tak ada sedikit niat pun, aku untuk mencari manusia laknat itu. Sudah tiga bulan lebih mungkin, aku

menahan tangis yang tak kunjung berhenti terurai ini. Berjuta tanggapan masuk bertubi-tubi dalam kalbuku.

Saudara-saudara Ayah, tak bisa menerima kenyataan ini. Kini, semua tinggal kenangan. Aku hanya sampah. Tak

ada lagi yang bisa aku banggakan. Hanya tangis yang tersisa di sudut mataku. Sungguh kenyataan ini begitu pahit,

sakit.

Tak hanya itu, berbagai komentar dari para aktifis yang aku kira merekalah yang akan menyejukkan

hatiku yang lara ini. Tapi? Mereka pun tak memandangku lagi seperti dulu. Di depannya saja mereka berlaku

72

Page 73: Bias Nuansa JIngga

manis dan baik. Tapi, mereka berusaha untuk jauh dariku. Begitu rendahkah aku dihadapan mereka? Sehingga

tangis ini tak tersapu.

Jauzi, aku masih ingat senyuman terakhir yang kau berikan kepadaku, saat kau harus pergi meninggalkan

kota ini. Kau begitu peduli denganku. Sebagai seorang Mahasiswa Cambridge University yang tak pernah absen

cumlaude dengan IP nyaris empat. Kau menyempatkan pulang ke Tanah Air hanya untuk berbohong. Aku tidak

ingin dikasihani oleh siapapun. Walaupun nanti aku harus menghidupi nyawa di dalam perut ini sendiri, aku siap.

Aku tak ingin menjadi wanita yang lemah. Aku harus tegar dan tetap tersenyum walau senyumku lebih pahit dari

buah quldi.

Perdebatan yang terjadi antara Jauzi dan Vemas, malam itu begitu sengit. Aku hanya bisa menangkap

cerita yang sempurna dari Mell.

Malam itu, ruang tamu yang sederhana tapi unik. Jauzi duduk disamping kedua orang tuanya. Vemas dan

keluarganya berhadapan dengan mereka. Bunda dan Kak Vahriz duduk diantara mereka.

“Saya tidak pecaya. Mana mungkin kamu yang menghamili Velia!” suara Vemas menggema dan

membahana.

“Dari dulu aku sudah menyukainya. Dari dia menjadi sekretarisku dan aku melakukan itu karena, aku tak

mau dia jatuh dalam pelukanmu. Aku iri padamu Vemas Ferhigi!”

“Alasan! Aku tetap tak percaya, kau setega itu. Mana mungkin? Kalau kau suka dengannya, kau tak

mungkin tega menodainya.”

“Aku melakukan itu untuk,”

“Apa?”

“Sejujurnya, aku ingin sekali menikahinya. Walaupun yang dikandungnya bukan anakku. Tapi, aku

bersedia bertanggung jawab.”

“Tidak hanya kau, Bung! Aku dan Kahfi pun menginginkan hal yang sama denganmu. Tapi,”

“Tapi, aku tak ingin dikasihani!” sambungku sambil keluar dari kamar. Diikuti langkah Mell yang

menemaniku dan setia menceritakan seluruh kejadian itu.

“Vel!!!”

“Bunda, aku tahu. Semua pasti kecewa. Aku tak berhak diperebutkan pria-pria mulia seperti kalian. Jadi,

tolong mengertilah.”

“Vel, kamu tidak boleh terlalu egois. Bagaimana kelanjutan kehidupanmu nanti. Apakah kau tega

membiarkan anakmu tak mengenali bapaknya?”

“Tapi… aku,”

“Saya, saya bapak dari anak itu.” semua mata tertuju padanya, dia Kahfi. Dia datang bersama Kak Kanan

dan istrinya

“Maaf kan saya, Bu… ini kesalahan saya, saya khilaf, izinkan saya memperbaiki kesalahan ini.”

“Kiriena juga tidak menyangka, tante. Malam waktu Velia menginap di rumah kami, semuanya terjadi.

Memang Velia saat itu tidur dengan Bu Sarah, tapi paginya dia tidur di kamar Kahfi. Aku mendengar suara

73

Page 74: Bias Nuansa JIngga

pembicaraan malam itu yang tenggelam di larut malam.” aku terkejut, semua memang benar, tapi aku pindah tidur

ke kamar Kahfi, karena aku takut mengganggu Bu Sarah. Saat itu Kahfi tidur di sofa ruang keluarga.

“Bu, izinkanlah saya menikahinya. Semua gelap bagi saya, cinta telah membunuh kami.”

“Saya terkejut, sangat terkejut, tapi saya harus mengambil sikap untuk berbuat yang terbaik untuk putri

saya.”

“Bunda,”

“Velia, menikahlah dengannya, Bunda ikhlas.” semua orang disana terdiam, Vemas menangis. Aku bisa

merasakan sedihnya.

***

Rahasia ini tertutup rapat, kamipun menikah di Masjid yang dulu menjadi saksi ketulusan cinta kami.

Semua orang sempat bertanya, mengapa pengantin prianya Kahfi. Untunglah, aku tak harus menjelaskannya,

karena kakakku yang akan menjelaskannya pada mereka.

Hari yang terasa indah bagiku, kini dia disampingku, di dekatku, mendekap hatiku. Kini dia suamiku,

orang yang harus aku hormati dan aku cintai sepenuh jiwaku.

Perutku semakin hari semakin membesar, hari kelahiran itu sebentar lagi. Aku menghabiskan masa-masa

kehamilanku dengan tawa dan bahagia.

“Duh, akhirnya sampai juga.”

“Iyah nih, aku jadi ingat Ica.”

“Ica? Ica siapa?”

“I… cape deh.”

“Ah, awas yah! Tunggu pembalasanku.”

Begitulah hari-hariku terisi dengan tawa dan cinta. sampai pada waktunya aku melahirkan anak

pertamaku, seorang laki-laki yang gagah dan sehat, Biruza Hudzaifah. Tawanya menggelegar ke seluruh

cakrawala. Kutatap lembut tubuh mungil itu, Ya Allah begitu beruntungnya aku menjadi Ibu dan Istri seperti saat

ini. Tak sedikitpun terbesit olehku kebencian pada anak yang sampai detik ini aku tidak tahu siapa ayahnya.

Kahfi mengadzankannya penuh dengan ketulusan dan khidmat, hatinya tulus melafazkan asmaNya. Aku

menangis haru melihat ketulusannya. Semua keluarga berbahagia dengan kelahiran Biru. Si Kecil disambut

dengan antusias oleh keluargaku, semua perlengkapan yang ia perlukan disediakan. Dari hal yang terkecil hingga

yang terbesar.

***

74

Page 75: Bias Nuansa JIngga

Umurnya sudah 6 bulan…

Gang kecil ini pernah aku lalui beberapa bulan yang lalu. Masjid itu masih sepeti yang dulu. Aku

mengunjungi Ummi, guru kesayanganku.

“Vel, apakah kamu ga’ mau tahu siapa ayah dari anakmu?”

“Ummi, aku ingin sekali, tapi apa dayaku? Aku ga’ tahu siapa dia!”

“Vel, sebenarnya Ummi ingin memberi tahu kamu sejak lama, tapi,”

“Memberi tahu apa Ummi?!”

“Suamiku beberapa bulan yang lalu betemu dengan seorang pria yang menyesali perbuatan asusilanya.

Dia memohon pada suamiku untuk diajari tentang islam. Yah, dia mau bertobat. Dia sangat menyesali

perbuatannya. Dia menceritakan kronologis yang sama denganmu. Ummi ambil kesimpulan, kalau dia adalah

ayah dari anakmu. Namanya Aryaza!”

“Alhamdullilah Ya Allah, dunia ini sempit atas kehendakMu, akhirnya aku menemukan dia. Aku telah

mengikhlaskan semua yang terjadi, aku telah memaafkannya. Aku akan mengizinkannya untuk melihat Biruza,

aku yakin Kak Kahfi tidak akan keberatan.”

“Vel, dia sudah lama meninggal, dia meninggal saat bertemu dengan Allah, dia meninggal saat shalat

tahajjud. Dia khusnul khatimah!”

“Innalillahi wa inna illahi ra ji’ uun. Semoga dia tenang menanti disana sampai harinya tiba. Amin.”

“Vel, Allah telah menentukan jalan hidup hambaNya. Apa yang kamu rasakan? Beratkah ujiannya ini

atau?”

“Aku bersyukur pada Allah, karena telah menuntunku ke jalan ini. Banyak Ibu di luar sana tega

membunuh anaknya. Banyak gadis yang aborsi karena diperkosa, banyak wanita yang terjebak dalam rumah

tangga yang dia tak menginginkannya. Tapi, aku diberi ketabahan dan suami yang aku cintai, serta anak yang

sehat, tanpa cacat sedikitpun. Haruskah aku kufur terhadapNya?”

“Subhanallah, semoga kamu tidak akan menyesal jalan hidupmu, dan senantiasa bertawakal padaNya.”

Wanita paruh baya itu memeluku erat tubuhku. Aku menangis bahagia. Ya Rabb… terima kasih untuk

semuanya.

***

Aku berjalan menatap bunga-bunga kamboja yang berguguran. Walaupun sebenarnya aku sangat

membenci pria itu, tapi dia tetap ayah dari anakku, Biru tetap berasal dari sulbinya. Aku peluk erat tubuh putraku,

aku cium keningnya berkali-kali. Kahfi mendekap tubuhku, menggandengku, dan berusaha menguatkan aku.

Karena, sejujurnya aku tidak sanggup menatap nisan itu.

Aryaza bin Darmansyah, nama itu menguras air mataku. Kahfi membersihkan makamnya dengan wajah

yang mendung, dia berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga air matanya menggetarkan bumi. Biruza masih

dalam dekapanku, Kahfi meraihnya dan dengan bahasa tubuh dia memerintahkanku untuk berdoa. Aku meraih

75

Page 76: Bias Nuansa JIngga

keranjang penuh bunga, aku taburi bunga bersama air mataku. Aku belai nisannya, tiba-tiba aku terkenang saat

itu, tangisku terurai sudah. Aku berdoa bersama lukaku, aku memohon ampun kepada Allah. Setelah itu, aku

palingkan wajahku ke arah lelaki kecilku, dia belum mengerti apa-apa, wajahnya yang polos dan suci membuatku

tetap tegar. Aku berdiri dan melangkah ke arah Kahfi, dia mendekapku, sebelum kami pergi, sempat aku tatap

sekejap nisan itu. Dan kembali, aku menangis.

“Velia, semua telah tertulis untukku, untukmu, dan untuknya, jadi jangan sekali-kali kamu menyesalinya.

Ya?”

“Kak, betapa baiknya hatimu, semoga saja aku bisa mengikhlaskan semua ini.” kembali di peluk eratnya

tubuhku.

Ya… Rabb, betapa beruntungnya aku memiliki dia.

***

“Vel, ga’ rencanain mau honey moon nih?” suara Kak Vahriz menggodaku, dia berhasil memerahkan

wajah ini.

“Mana mau dia Kak, dia kan sibuk banget. Maklumlah, Bu Dokter.”

“Kak… jangan nyindir gitu dong!” aku memukul pelan lengan suamiku tercinta, Kahfi.

Siang itu terasa panas sekali, hawanya menerpa tirai korneaku, sungguh pedih. Kami menghabiskan akhir

pekan berkumpul di Rumah Bunda. Kak Vahriz dan istrinya telah dikarunia seorang anak. Kak Asiyah melahirkan

tiga bulan yang lalu. Selisih umur anak kami hanya satu tahun. Gifran, anak laki-laki yang gagah seperti

bapaknya. Bunda memancarkan tatapan bahagianya ketika dia mengendong cucu-cucu tersayangnya.

Biru dan Gifran nantinya akan tumbuh bersama, menjadi kakak dan adik yang saling mendukung

pastinya. Yah, aku harap begitu, mereka nantinya akan menjadi tali pengerat silaturrahiimku dengan Kak Vahriz

dan Kak Asiyah.

“Vel, menurut kamu tawaran Kak Vahriz tadi gimana?”

“Tawaran yang mana?”

“Ituloh, Honey Moon.”

“Dasar ganjen!” aku memukul halus pipinya, pipi orang yang mengenalkan aku betapa indahnya Islam.

Tiba-tiba, lantunan nasyid merdu menggetarkan meja. Yah, itu ponselku.

“Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam, Vel apa kabar?”

“Jangan bilang ini, Ayu?”

“Iya, ini aku.”

“Kamu masih di Yogya? Dapat kerja dimana?”

“Aku kerja di Denpasar, kebetulan Bapak dan Ibu baru pindah kesana, yah sekalian aja.”

“Denpasar? Wah, enak dong ya?”

76

Page 77: Bias Nuansa JIngga

“Iya, kamu kesini yah? Sekalian bulan madu gitu, hehehehe.”

“Woalah, ada-ada saja kamu ini, rencananya sih gitu. Kak Vahriz nawarin tiket gratis kesana, tapi,”

“Tapi opo? Gimana kalo aku tawarin penginapan gratis? Mau ndak?”

“Bercanda kamu Yu.”

“Aku serius, sekalian ada yang mau aku tanya ke kamu, masalah seputar profesi kita.”

“Ya udah, kalo memang kamu butuh aku, aku kesana.”

“Alhamdullilah, kapan kesini?”

“InsyaAllah minggu depan, minggu ini aku mau ke Rumah mertuaku.”

“Oh, ya udah. Tak tunggu yo re’! Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Aku menatap senyum lebar suamiku, dia mengedipkan matanya sambil berkata “YES!”

***

Hari ini aku ke Bandung. Aku menemui Bu Sarah, mertuaku. Sekalian aku akan diperkenalkan dengan

keluarga besar Kahfi yang sedang ngumpul di Bandung. Karena, sabtu ini Aidha akan menikah dengan orang

Bandung. Aku bahagia sekali, akan bertemu mereka. Apalagi Kak Kanan dan Kak Kiriena serta dua anak

kembarnya.

“Vel, tiketnya udah kan?”

“Aman. Nih, udah di dalam tas.”

“Biru, mau digendong sama Ummi ato Abi.” Kahfi, berbicara lembut pada anakku.

“Bi… bi!” dia menggapai bahu Kahfi. Kahfi menggendongnya dengan penuh cinta. Walaupun dia tahu

itu bukan anak kandungnya. Aku menatap dalam wajah pria gagah itu, ketulusaannya mengalir dalam setiap gurat

senyumnya.

Pesawat Padang-Jakarta menjemput kami disebuah bandara yang megah. Yah, Bandara Internasional

Minangkabau. Tempat dimana dulu aku pernah ditinggalkan oleh orang yang kini berada disampingku. Aku

menghela nafas panjangku, aku tatap satu persatu penumpang yang duduk disekitarku. Aku heningkan jiwaku,

aku tak berhenti bertasbih dan bertahmid. Tak lupa aku ingatkan putraku untuk memulai perjalanan ini dengan

membaca basmallah. Meskipun belum begitu fasih, tapi dia melantunkannya dengan tulus dan polos sekali. Kahfi

membimbing setiap gerak bibirnya. Ya Allah, betapa beruntungnya aku.

“ Mbak Velia, kamu Mbak Velia kan?” suara itu menyentakkan kekhusu’kanku.

“Ah, kamu… Maulana?” aku benar-benar terkejut.

“Mbak, gimana kabarnya? Sejak Mbak menikah kita kehilangan kontak, padahal banyak yang mau aku

bicarakan.”

“Alhamdullilah dek, kamu gimana? Ngapain ke Padang?”

77

Page 78: Bias Nuansa JIngga

“Oh ya, kenalin Mbak, ini calon istriku.” aku menatap gadis berjilbab yang manis sekali, dia duduk tepat

didepanku. Kahfi menganggukkan kepalanya dan memukul pelan bahu Maulana, menandakan pilihannya luar

biasa.

“Shinta.”

“Velia.”

“Tepatnya, dr.Velia Andyra, SpA.”

“Maulana, kamu ini!”

“Shinta lagi sibuk ngapain?”

“Mau lanjutin pascasarjana di Jakarta, Mbak!”

“Dokter juga?”

Dia mengangguk malu. Maulana telah menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Kini dia dan Shinta

berencana melanjutkan S2 mereka di Universitas terkenal di Jakarta. Shinta ternyata juniorku. Karena, kami lahir

dari Universitas yang sama. Yah, di Fakultas Kedokteran yang terbaik di negeri ini.

***

Soekarno Hatta, menyambut tawa riang Biruza. Perjalanan yang cukup melelahkan ini tidak membuat

Biruza terlihat capai. Dia malah bersemangat saat melihat travel tujuan Bandung siap membawa kami. Aku

mengelus kepala anakku. Aku hantarkan dia duduk diposisi paling tepi. Biar dia bisa melihat betapa indahnya

alam ini.

Aku teringat pada masa yang lalu, saat aku menemani Neru mengikuti tes di Bandung. Dia membiayai

perjalananku. Yah, dia memang mengidamkan salah satu Universitas terbaik di Indonesia itu. Saat itu, aku

memutuskan untuk tes SPMB di Bandung. Sekalian menemani sahabat terbaikku itu. Kami juga menaiki travel

yang sama. Dia begitu lekat dengan kota ini. Setiap seluk-beluknya dia tahu. Wajar, dia sering melancong ke

negeri kembang ini.

Dago, awal Juni

“Vel, seminggu sebelum ujian. Bagusnya jalan-jalan yuk!”

“Kemana? Aku ikut aja deh, aku tak begitu kenal dengan negeri ini. It’s the first time to me!”

“Ke Paris Van Java aja yuk! Shopping gitu. Hehehe!”

“Yee, aku mana ada duit neng!” dia mengedipkan matanya. Aku tersenyum. Paris Van Java, pertama di

Asia Tenggara yang menggunakan konsep main street dan alfresco dining ini membuatku takjub. Kawasan

sukajadi ini memang selalu ramai. Aku tak henti-hentinya bertahmid ketika melihat gaya arsitektur yang luar

biasa. Pantas saja mojang Bandung selalu jadi trendcentre. Mereka memiliki fasilitas untuk memuaskan hasrat

berbelanja mereka. Berbeda dengan di Padang, jangankan tempat seperti ini. Mall aja ga’ ada. Tapi, kalo soal adat

dan budaya, disini centrenya, akhlak yang baik dan sesuai syariat adalah ciri khas orang Padang. Itulah yang

menjadi kebanggan kami jika melangkah keluar.

78

Page 79: Bias Nuansa JIngga

“Bandung keren kan? Makanya kuliah aja disini. Ngapain juga masih bertahan di Padang. Ngaak cool

man!”

“Yah, Neru… Andai aja Ayah masih hidup. Jangankan ke Bandung, Harvard juga akan aku taklukan.

Hahahaha.”

“Dasar, PD banget! Ya udah, met jadi penjaga kota Padang yah, aku mah ogah di Padang. Ga’ update and

berkembang jadinya.”

“Eitss, kualat ngina negeri sendiri! Gitu-gitu juga kamu lahir disana.”

“Ya, ga’ usah berdebat deh. Vel, kota di Indonesia yang sangat kamu idamkan untuk tempat hidup,

dimana?”

“Yogyakarta. Yah, aku ingin sekali kesana. Tapi, entah kapan.”

“Huks, ga’ usah sedih gitu sobat, kamu ambil spesialis disana aja. Gampang kan?”

“Upss, kayak yakin aja aku bakal diterima di kedokteran.”

“Yah, aku yakinlah sama sobatku yang cerdas ini.”

“Ah, pandai muji kamu!”

***

“Ummi, kita masih lama?” suara mungil Biruza menyadarkanku. Aku menatap matanya yang bening,

kupalingkan tubuhku pada Kahfi. Yah, dia masih tertidur. Perjalanan dekat atau jauh itu hanya dia yang tahu. Ini

kali kedua aku ke Bandung. Jadi, jujur saja aku ga’ tahu. Aku membangunkannya perlahan.

“Kak, bangun!” dia terkejut dan mendekap wajahnya. Dia melihat jam dan berusaha mengingat jalan.

“Kita masih jauhkah?”

“Ga’ sepertinya, ini sudah mau nyampe.”

“Abi, rumah mimi masih jauh ya?”

“Ga’ sayang, bentar lagi nyampe. Biru udah laper yah?” dia mengangguk lucu. Aku mempersiapkan

barang-barang.

“Pak, disini aja!” mobilpun berhenti seketika disebuah persimpangan. Aku menurunkan Biru dan Kahfi

mengangkat barang-barang kami. Cukup banyak.

“Kita kemana lagi? Disinikah?”

“Iya, rumah besar itu adalah rumah calon suaminya Aidha. Kalo rumahku masih jauh, di Dago. Dekat

ITB itu loh!”

“Oh, jadi kita nginap disini?”

“Sepertinya begitu. Tapi, kita lihat saja. Ibu bilang kita kesini aja dulu.” kami menyebrang jalan. Rumah

itu memang tampak ramai sekali. Aku yakin Aidha pasti bahagia dengan pria itu.

“Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam. Kahfi, Velia!”

“Aidha, apa kabar?”

79

Page 80: Bias Nuansa JIngga

“Alhamdullilah.” aku memeluk erat tubuh sahabatku itu. Dia tampak cantik sekali. Ibu Sarah keluar

bersama calon besannya. Mereka menyambut kami hangat.

“Mana suamimu Dha?”

“Ups, masih calon.”

“Maaf.”

“Aku belum pernah melihatnya.”

“Apa?”

“Dia mengkhitbahku lewat yahoo messenger. Dia kuliah di Al-Azhar, MESIR.”

“Subhanallah. Sekarang dia dimana?”

“Sedang perjalanan kesini.”

“Tapi, akad nikahnya kan besok?”

“Yah, InsyaAllah. Subuh besok dia datang.”

“Allahuakbar. Berarti kamu akan melihat dia pertama kali saat akad nikah? Subhanallah. Semoga

berkah.”

“Jazakillah ukhti, aku juga ga’ nyangka akan se-sakral ini jadinya.”

“Yah, kita punya jalan masing-masing. Mungkin, jalanmu dipermudah olehNya. Kau harus bersyukur

akan itu.”

“Alhamdullilah.”

“Lebih baik, malam ini kau tidur denganku.”

“Lalu, Kak Kahfi gimana?”

“Bisa diatur, aku ingin memberikanmu ilmu yang penting.”

“Ok Bu Dokter!”

***

Subuh yang indah, karena dia akan menjelang hari bahagia sepasang kekasih yang dipertemukan oleh

penciptanya, ALLAH SWT. Aku membereskan segala tugasku sebagai seorang istri dan ibu. Ba’da subuh semua

pakaian telah aku rapikan. Aku perlahan membangunkan putra kecilku, dan mengajaknya pergi membersihkan

diri. Yah, aku bisa merasakan betapa bahagianya Aidha hari ini. Apalagi, aku diberi kabar bahwa calon suaminya

sampai sebelum subuh dengan selamat. Setelah, aku dan Biruza siap. Aku menggendongnya menuju kamar

Aidha. Subhanallah, dia tampak cantik sekali. Aku terbayang beberapa waktu silam. Aku berada di depan cermin

itu, menatap wajahku yang berhias tipis. Menggunakan gamis putih yang dibalut khimar yang serasi. Semua,

pengantin akan terlihat cantik saat menanti masa barunya.

“Biru, biar Mimi yang gendong ya?” aku mengalihkan pelukan kedinginan Biru ke tubuh sang mertua.

“Aidha, kamu benar-benar cantik.”

“Ah, bu dokter. Aku jadi malu.”

80

Page 81: Bias Nuansa JIngga

“Ingat yah, apa yang telah aku beri tadi malam. Jangan lupa diterapkan yah. Kamu pasti bisa!”

“Ah, aku jadi grogi nih. Jadi, deg-degan gitu rasanya.”

“Yah, itu wajar.” waktupun serasa cepat bagi Aidha. Kini dia telah berada diantara banyak tamu dan siap

disbanding dengan seorang pria yang dia belum mengenalnya. Tapi, sungguh laki-laki itu tampan sekali.

Tubuhnya yang tegap membuat semua tamu wanita tak berkedip melihatnya. Aidha hanya menunduk, ia tak

henti-hentinya bersyukur diberi suami seperti laki-laki yang kini berdiri tepat disampingnya.

Aku peluk bintang kecilku erat. Sepertinya dia mulai merasa kelelahan. Wajahnya begitu sayu tak

bersemangat.

“Sepertinya dia ngantuk, tuh.”

“Iya nih Kak, aku bawa ke kamar dulu ya.”

Aku berjalan santai ke kamar tamu. Tapi, tiba-tiba aku mendengar tangis seseorang. Aku beranikan diri

melihatnya. Ternyata disana Ibu Sarah dan besannya. Mereka menangis setelah seorang pria berjenggot memakai

jubah putih menyampaikan sesuatu hal, yang mungkin membuat mereka sedih atau kecewa. Sungguh, aku ingin

tahu apa yang terjadi. Tapi, laki-laki kecilku telah tertidur dipangkuanku. Aku memilih meneruskan langkahku

dan menitipkan Biruza kepada yang berada di dalam kamar. Langkahku bergegas menuju tempat dimana aku

melihat adanya badai tangis tadi. Mereka hendak berjalan keluar. Dengan mata yang sembab mereka berusaha

tetap tersenyum. Laki-laki berjubah itu ternyata masih muda. Yah, mungkin seumuran dengan calon suami Aidha.

Anehnya, laki-laki itu kini telah berganti pakaian seperti layaknya mempelai pria. Astaghfirullah, ada apa ini?

Aku melangkah penuh dengan kebingungan. Semua sudah siap untuk diselenggarakan. Laki-laki itu

duduk disamping calon suami Aidha yang bernama Rahman. Entah apa yang dia lakukan disana. Aidha hanya

menunduk dan menunduk. Dia benar-benar gugup. Apalagi aku, selain gugup juga bingung. Aku tak sabar

menanti apa yang akan terjadi.

“Baiklah bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, kita mulai akad nikah yang terdiri dari ijab dan qabul,” Pak

Penghulu meneruskan pembicaraannya. Hatiku semakin tak karuan. Aku takut acara ini akan kacau karena

ketidakpahamanku. Ya Rabb, bimbinglah hati hambaMu ini.

Kak Kanan sebagai kakak pertama dari Aidha telah berada tepat dihadapan Rahman. Dia secara fasih

telah mengucapkan. Tapi, tiba-tiba laki-laki disebelah Rahman menjawab ijab itu. Dan,

“Saya wakilkan sahabat saya Abdurrahman Auf bin Muhammad Ghani untuk menerima nikahnya Aidha

Annisa binti Ashraf Nafis dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan mushaf Al-quran terbitan dibayar

tunai.” semua tercengang dan berselimut ketidakpahaman. Apa yang terjadi? Kak Kanan pun bingung, dia hanya

menatap Pak Penghulu penuh tanya. Apalagi Aidha yang tiba-tiba secara spontan mengangkat wajahnya.

“Maaf, sebelumnya. Nama saya Hafiz. Saya sahabat Rahman, kami sama-sama di Mesir. Memang

kejanggalan ini harus kita luruskan sebelum pernikahan ini disahkan. Sebenarnya, Rahman adalah seorang

tunawicara. Dia kehilangan suaranya ketika usai berjihad ke Palestina. Saat itu memang dia tidak memberi tahu

siapapun tentang kepergiannya. Hanya saya yang tahu, sebagai teman satu flatnya. Disana dia melakukan apa

yang seharusnya dilakukan. Luka ditubuhnya pun hanya luka ringan. Tapi, dia selalu bertakbir dan berzikir

81

Page 82: Bias Nuansa JIngga

sekeras-kerasnya sebagai wujud rasa pertahanan saat Al’Aqsa hendak dihancurkan oleh para zionis.

Keteguhannya dan para sahabat, Alhamdullilah dapat mempertahankan kejayaan Islam tersebut. Sesampai di

Mesir, ba’da shalat jumat, dia diminta khusus bercerita tentang pengalaman di Palestina. Namun, saat dia berdiri

di podium dan hendak mengucapkan salam. Suaranya tak juga mengeluarkan nada. Dia panik dan saat itu dia

shaum, jadi tak bisa menjernihkan suaranya dengan air putih. Akhirnya, dia digantikan oleh sahabat yang lain.

Setelah berbuka, dia berusaha mengajak saya berbicara. Tapi, tetap saja dia tak mampu berucap sepatahpun. Saya

memutuskan membawanya ke Rumah sakit. Ternyata, disana aku dan Rahman mendapatkan kenyataan yang

buruk. Ternyata pita suara rahman rusak. Sehingga dia dinyatakan bisu.” hatiku luruh mendengarnya, semua mata

mengalirkan air mata sangat deras. Semua diluar dugaan kami. Laki-laki yang gagah, ternyata hanya seorang bisu.

Dan dia bisu karena berjihad. Beruntunglah Aidha mendapatkan suami yang telah memiliki saham di Surga. Suara

Rahman telah didepositokan di Surga. Subhanallah.

“Dan, ketika dia mengenal Aidha. Dia sangat takut jika nanti dia meminangnya dan ditolak karena dia

bisu. Tapi, takkala dia tahu bahwa Aidha adalah seorang aktifis lembaga tunawicara. Semangatnya membucah.

Dia yakin, Aidha akan menerimanya apa adanya. Diapun memberanikan diri untuk mengkhitbah Aidha melewati

saya. Saya juga yang mengabarkan kepada keluarga Rahman disini. Entah saya telah berdusta atau tidak. Saya

hanya membantu Rahman, saat itu dia tak ingin keluarganya bersedih jika tahu bahwa dia tak dapat lagi berbicara.

Jikalau ini memang kedzaliman yang tak termaafkan. Rahman ikhlas jika pernikahan ini dibatalkan. Sekian saja

penjelasan dari saya dan ini semua merupakan amanah dari sahabat saya ini.” Aidha menangis deras, dia benar-

benar diantara resah. Aku berusaha merangkulnya dan spontan aku berbicara.

“Bersyukurlah duhai adikku, Aidha. Allah telah menjodohkanmu dengan seorang laki-laki yang mulia.

Yang telah mengorbankan hidupnya untuk Islam. Ketahuilah, Surga telah ada padanya. Jadilah dirimu istri yang

sholehah untuknya. Agar kau juga dapat merasakan indahnya Surga. Subhanallah.” semua mata tergerak

menatapku. Rahman tersenyum padaku, sebagai ucapan terima kasih. Penghulupun bertanya, apakah akad ini

akan dilanjutkan atau sebaliknya? Semua menjawab tegas, bahwa pernikahan ini harus tetap berjalan.

Kalimatullahpun membanjiri ruangan sakral ini. Hari ini, banyak hal yang bisaku dapat. Keajaiban apa

lagi yang nanti akan kulahap. Subhanallah Allah dengan segala hal yang Ia jadikan indah.

***

Tak terasa satu minggu telah berlalu. Aku sudah cukup kenal dengan keluarga baruku di negeri ini. Kini,

saatnya aku memenuhi undangan sahabatku di Denpasar. Aku harus membantunya. Setelah aku menitipkan Biru

pada mertuaku. Akupun melangkah tanpa ragu menuju pesawat Jakarta-Denpasar. Kebahagianku akan terjemput.

Semua aku mulai dengan Bismillah. Aku teringat pada Aryaza. Dia telah memberikan aku cerita berharga tentang

hidup ini. Memang Allah telah memberi jalan untukku. Jalan bersama dia, Aryaza yang kini telah mengawang di

negeri bahagia. Surga.

***

82

Page 83: Bias Nuansa JIngga

*8*

PUSARA CINTA

“Wah, aku jadi ga’ sabaran nih.”

“Ga’ sabaran ngapain?”

“Ada deh, mau tau aja!”

“Ih, Kakak nyebelin deh.”

“Iya, maaf deh istriku.”

“Sunsetnya indah banget yah.”

“Yah, tapi lebih indah senyummu.”

“Yee... gombal banget sih!”

“Biarin aja, kan ga’ dosa.” aku mencubit pinggangnya lembut, dia mengaduh dan aku tertawa renyah. Dia

ingin membalas dan akupun berlari.

“Awas yah, kalau tertangkap!”

“Coba aja kalau bisa!” kami saling teriak meneriaki, hingga matahari pergi kami terus berlari, hingga

terasa waktu Maghrib telah tiba. Kami pun shalat Maghrib berjamaah.

Candle light dinner, sangat romantis sekali. Kuta indah di malam hari. Banyak tamu yang berdatangan

dan menduduki kursi-kursi di tepi kolam berenang. Kami mengambil bagian yang paling dekat dengan pantai.

Menatap rembulan yang sinarnya membayang ke air laut.

“Hmm… kenal dengan Ima ga’?”

“I made sutha kan?”

“Bukan, Ih… manis deh kamu!”

“Ah, udah deh… jadi, ga’ enak body nih.”

“Dasar, cepat banget Ge-ernya!”

“Ih, tadi itu ikhlas ga’ sih?”

“Iya, maaf deh, aku sangat senang sekali. Akhirnya wanita yang aku cintai bisa aku miliki, kini dia hadir

dihadapanku, memberikan seluruh yang ia miliki padaku. Ya Allah, tiada henti syukurku untuk rahmat dan

cintaMu.”

Aku terdiam, aku rasanya ingin menangis, aku bahagia memiliki dia.

***

Bali menjadi saksi bahagiaku. Rencananya satu minggu ini kami akan berlibur disini. Banyak objek

wisata yang akan kami kunjungi, selain berbulan madu, kami juga akan belajar tentang kebudayaan Bali.

83

Page 84: Bias Nuansa JIngga

Kebetulan kami menginap di rumah sahabatku, Ayu Rahma. Dia sahabatku dari kuliah di Yogya. Rumahnya yang

megah dan bagus terletak di jantung kota, Ayahnya juga membuka usaha Galeri dan Butik di rumahnya. Di lantai

bawahnya Galeri, di lantai atas barulah kediamannya yang menyenangkan. Keluarga Islam ini sangat ramah

sekali, bahkan bersedia menyediakan tempat untuk kami, karena memang aku dan Ayu sangat dekat sekali. Dia

tinggal satu kontrakan denganku. Dia anak yang baik dan lugu. Tapi, kecerdasan dalam auranya tak dapat aku

pungkiri.

Aku merasa nyaman berada didekat keluarganya. Sudah aku anggap seperti keluargaku sendiri. Ayu

mengantarkanku ke tempat-tempat terbaik di Pulau Dewata. Aku benar-benar menikmati perjalanan ini.

“Ayu, kamu mau tanya apa sih ke aku? Ada masalah apa?”

“Gini Vel, aku bingung dengan pekerjaanku ini. Sebagai spesialis anak. Aku bisa apa? Andai kamu tahu

tentang wabah itu.”

“Wabah apa?”

“Daerah Banyuwetan, desa ini dekat dengan gunung Merbuk terserang wabah Chikungunya.”

“Astaghfirullah al’adzim. Lalu bagaimana?”

“Aku terlambat mengetahuinya dan aku juga kesulitan dalam penyuluhannya. Beberapa minggu ini aku

sibuk seminar di Fakultas Kedokteran. Aku tahu tentang wabah ini seminggu yang lalu. Aku kesulitan

menanganinya karena aku belum pengalaman. Kamu kan sering ikut bakti sosial atau apalah itu kegiatan ke

masyarakatan, kalau aku kan jarang. Jadi, yah gini jadinya aku panik.”

“Aku mengerti maksudmu, yah lain kali sikap panikmu itu dikurangi dong! Sekarang PEMDA sudah tahu

tentang wabah ini?”

“Sudah, sejak seminggu yang lalu dinas kesehatan telah bertindak. Tapi, hasilnya hingga saat ini nihil.

Malah korban bertambah banyak. Piye?”

“Kamu yakin itu chikungunya?”

“Maksudmu?”

“Sekarang sudah ada korban meninggal?”

“Sudah ada seorang balita yang meninggal.”

“Setahuku chikungunya ga’ sampe meninggal. Kita cuma butuh waktu inkubasi 10 hari. Dan penyakit ini

kan tergolong bersifat self limiting disease dan bisa sembuh sendiri. Aku takutnya itu wabah meningitis. Melihat

data ini, aku jadi ragu, jangan-jangan diagnosamu salah.”

“Aku salah?”

“Kurasa begitu. Memangnya kamu ga’ ada partner?”

“Ada, tapi semuanya sibuk.”

“Kok bisa?”

“Mana ada hari gini Dokter spesialis mau ke Pedalaman?”

“Iya juga sih. Aku akan membantumu. Kapan kita kesana?”

84

Page 85: Bias Nuansa JIngga

“InsyaAllah besok.” aku membereskan kertas-kertas yang dari tadi kugenggam. Setelah semuanya rapi,

aku mohon izin untuk istirahat. Sepertinya liburan kali ini takkan menyenangkan bagi Kahfi. Semoga dia

mengerti.

***

“Apa? Kamu mau ke pelosok?”

“Iya, hari ini kita akan berangkat. Boleh?”

“Puifff, kok baru bilang sekarang adekku? Kenapa ga’ dari semalam?”

“Yah, aku takut ganggu acara aja. Ga’ boleh ya? Ya udah, ga’ papa kok.”

“Ga’ mungkin aku se-egois itu. Pergilah untuk menyelamatkan nyawa mereka. Aku bangga padamu. Aku

tunggu disini aja deh!”

“Alhamdullilah, ga’ rugi aku nikah sama kamu Kak. Hehehehe.”

“Dasar kamu!” aku mempersiapkan semua hal yang mungkin nanti akan aku butuhkan disana. Ayu

membantuku mengemas barang-barang. Kami kesana menggunakan minibus milik PEMDA. Rencananya kami

disana sampai wabah ini usai. Yah, semoga tidak terlalu lama aku disana.

Perjalananpun aku tempuh. Cukup jauh juga kesana. Yah, maklumlah daerah pelosok. Tapi,

pemandangan pantainya indah sekali. Sayang, kami bukan disana. Lebih pelosok dari itu. Aku harus bisa menjadi

dokter yang tangguh.

Malam menyambut kedatangan kami. Desa ini sepi sekali. Kami harus berjalan sejauh satu kilometer ke

dalam. Melewati rimba yang cukup mengerikan. Tapi, aku menikmati semuanya. Setelah sampai di desa itu, kami

langsung ke Balai kampung. Disana ternyata banyak anak-anak yang telah terserang wabah ini. Aku segera

mendekati mereka. Usai berbasa-basi dengan empunya desa, aku langsung mewawancarai beberapa penduduk

tentang penyakit anak mereka.

“Permisi Bu, anaknya umur berapa?”

“Masih dua tahun, Bu Dokter.”

“Kalo mandi dimana?”

“Di Sungai.”

“Semuanya dilakukan di Sungai?”

“Maksudnya?”

“Misalnya, mencuci, berak, dan lain-lainnya.”

“Iya.”

“Anak ibu sering mandi disana?”

“Yah, setiap hari saya mandikan disana.”

“Boleh tau gejala awal anak ibu sakit?”

“Demam, sakit kepala, juga sering muntah.”

85

Page 86: Bias Nuansa JIngga

“Sudah berapa lama seperti itu?”

“Hampir satu tahun.”

“Apa?! Jadi,selama ini dibawa kemana?”

“Puskesmas.”

“Dikasih obat gitu?”

“Iya.”

“Pernah kejang-kejang?”

“Pernah.”

“Kalo nangis suaranya aneh?”

“Iya, dia nangis bikin telinga saya sakit.”

“Saya periksa anak ibu ya?”

Aku mengukur tekanan darahnya. Tekanannya sangat rendah. Aku semakin yakin kalau dia terserang

meningitis bakterialis akibat bakteri Escherichia coli (dalam keadaan normal ditemukan di dalam usus dan tinja).

Diakibatkan karena mereka menggunakan sungai sebagai tempat mandi, buang air besar dan kecil, jangan-jangan

juga untuk konsumsi air minum. Dugaanku semakin kuat ketika aku melihat ubun-ubun anak ini. Astaghfirullah.

Mereka telah merasakannya bertahun-tahun. Tapi, tidak ada dokter yang mau menjangkau mereka.

Malam ini aku berfikir keras. Aku menyarankan kepada Ayu untuk balik ke Denpasar untuk uji

laboratorium. Aku telah mengambil beberapa sampel. Aku harus melakukan fungsi lumpal. Sebagai tindakan jitu

untuk mendiagnosa penyakit ini. Dengan cara jarum kecil dimasukkan diantara 2 tulang pada kolumna spinalis

bagian bawah dan diambil contoh cairan serebrospinal. Lalu cairan diperiksa dibawah mikroskop dan dibiakkan,

untuk membantu menentukan jenis infeksi, juga dilakukan pemeriksaan kadar gula, protein serta jumlah dan jenis

sel darah putih di dalam cairan serebrospinal. Yah, cukup ribet, tapi aku hanya takut terjadi salah diagnosa untuk

kedua kalinya. Untuk memperkuat diagnosis, aku juga melakukan pembiakan dari contoh darah, air kemih, lendir

hidung dan tenggorokan serta nanah dari infeksi kulit.

Besok pagi Ayu kembali ke Denpasar. Untuk sementara waktu aku dan beberapa perawat stand by disini.

Untuk sementara waktu aku memberikan mereka antibiotik intravena dan kortikosteroid intravena untuk menekan

peradangan. Yah, setidaknya akan sangat membantu mereka. Setelah memindahkan mereka ke tempat yang lebih

layak, aku dan beberapa perawat melakukan pembiakan. Setelah itu aku kembali mengunjungi beberapa rumah

untuk bertanya-tanya lagi. Semoga dapat informasi baru.

“Permisi Pak.”

“Oh ya, Bu Dokter Velia ya? Mari masuk! Sudah lama kami tak melihat Dokter datang ke desa ini.

Memang tempat ini sulit dijangkau. Tapi, apa kami patut diperlakukan seperti ini. Kami juga butuh ilmu

kesehatan. Setidaknya untuk lingkungan kami.”

“Saya rasa bapak adalah warga yang cerdas. Saya sedang butuh beberapa warga yang bisa diajak untuk

partisipasi. Mungkin bapak bisa membantu saya untuk menemui yang lain.”

“Kira-kira saya bisa bantu apa Dok?”

86

Page 87: Bias Nuansa JIngga

“Saya akan memberikan training kilat tentang lingkungan ini. Dan bagaimana pencegahan sementara

menurut diagnosa saya. Bagaimana pak?”

“Baiklah. Saya akan datang bersama rekan-rekan saya nanti malam ke tempat Bu Dokter.”

***

Rumah yang cukup nyaman untuk aku tinggali. Aku sibuk menulis di laptopku tentang apa yang hendak

aku terangkan pada mereka. Aku harus mentranslate slide yang pernah aku buat. Karena memang menggunakan

bahasa inggris. Kemungkinan besar mereka tidak akan mengerti jika slide ini tidak aku edit.

“Permisi Bu Dokter.”

“Oh ya, silahkan Pak.”

“Saya membawa tiga orang teman.”

“Saya Made Nugraha, ini teman saya Made Iman, dan yang gendut ini Made Galuh, kalau yang paling

gagah itu Ahmad Husain saudara se-agama dengan Dokter.”

“Oh, salam kenal.”

“Kami berempat pernah bersekolah di Perguruan Tinggi. Tapi, ga’ ada yang selesai. Setidaknya kami

masih punya ilmu.”

“Baiklah. Sebelum saya memakai slide ini. Saya ingin bertanya-tanya dulu. Boleh?”

“Silahkan.”

“Di desa ini, semua penduduk sudah memiliki kamar mandi?”

“Yah, paling hanya rumah-rumah yang jauh dari sungai yang punya kamar mandi dan juga rumah-rumah

masyarakat yang mampu.” jawab pria yang paling gendut sambil memakan ubi goreng yang tersaji dimeja.

“Sekarang korbannya sudah berapa orang?”

“Setahu saya, yang meninggal sudah dua orang. Dan yang sakit sebanyak tiga puluh orang.” kini si

muslim yang menjawab.

“Mereka tinggal dimana?”

“75% orang tak mampu dan berada di dekat sungai. Selebihnya orang-orang yang bercocok tanam di

seberang sungai.”

“Begitu yah, kira-kira di daerah jauh dari sungai ada korban?”

“Ada, hanya beberapa. Semuanya anak-anak. Karena mereka sering bermain di Sungai sehabis pulang

sekolah yang terletak di seberang sungai.”

“Jadi, semua anak lewat sungai jika pulang sekolah?”

“Tidak semua. Yang mampu biasanya lewat jembatan menggunakan kendaraan. Jembatannya agak jauh

dari sekolah. Lebih dekat kalau lewat sungai. Pada umumnya yang sekolah anak yang mampu.”

“Yang tidak mampu bagaimana?”

“Membantu orang tuanya berladang.”

87

Page 88: Bias Nuansa JIngga

“Baiklah. Mungkin cukup dulu pertanyaannya. Saya akan mulai menerangkan tentang diagnosa saya.”

“Saya mendiagnosa, Desa ini terserang wabah meningitis meningokokus yang berasal dari Meningitis

Bakterialis yang merupakan peradangan pada meningen (selaput otak) yang disebabkan oleh bakteri. Meningitis,

paling sering menyerang anak-anak usia satu bulan hingga dua tahun. Lebih jarang terjadi pada dewasa, kecuali

mereka yang memiliki faktor resiko khusus. Wabah ini bisa terjadi dalam suatu lingkungan. Oh ya, berapa orang

dewasa yang menjadi korban?”

“Hanya tiga orang. Selebihnya anak balita dan anak sekolah dasar. Tapi, memang lebih banyak

menyerang anak bayi.”

“Bakteri yang saya duga penyebab meningitis ini adalah Escherichia coli dan Klebsiella. Infeksi karena

bakteri ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala, pembedahan otak atau medula spinalis, infeksi darah atau

infeksi yang didapat di rumah sakit, infeksi ini lebih sering terjadi pada orang yang memiliki kelainan sistem

kekebalan. Nah, saya simpulkan bahwa kekebalan tubuh orang di desa ini sangat rendah.”

“Gejala utamanya adalah demam, sakit kepala, kaku kuduk, sakit tenggorokan dan muntah (yang

seringkali terjadi setelah kelainan sistem pernafasan), kaku kuduk bukan hanya terasa sakit, tetapi penderita tidak

dapat atau merasakan nyeri ketika dagunya ditekuk atau disentuhkan ke dadanya. Penderita dewasa menjadi

sangat sakit dalam waktu 24 jam, sedangkan anak-anak lebih cepat. Anak yang lebih tua dan dewasa dapat

menjadi mudah tersinggung, linglung, dan sangat mengantuk. Bisa berkembang menjadi stupro, koma dan

akhirnya meninggal. Infeksi menyebabkan pembengkakan jaringan otak dan menghalangi aliran darah, sehingga

timbul gejala-gejala stroke (termasuk kelumpuhan). Beberapa penderita mengalami kejang. Pernah ada kejadian

seperti itu?”

“Saya rasa pernah, bahkan sering. Tapi, kebanyakan warga menyangka kejang itu akibat adanya guna-

guna. Mereka biasa bawa ke dukun.”

“Itu sangat berbahaya. Saya lanjutkan. Pada anak- anak yang berusia sampai 2 tahun, meningitis biasanya

menyebabkan demam, gangguan makan, muntah, rewel, kejang dan menangis dengan nada tinggi (high pitch cry).

Kulit diatas ubun-ubun menjadi tegang dan ubun-ubun bisa menonjol. Aliran cairan di sekeliling otak bisa

mengalami penyumbatan, menyebabkan pelebaran tengkorak (keadaan yang disebut hidrosefalus). Bayi yang

berusia dibawah 1 tahun tidak mengalami kaku kuduk.”

“Prognosisnya, Jika segera diberikan pengobatan, maka jumlah penderita yang meninggal mencapai

kurang dari 10%. Tetapi jika diagnosis maupun pengobatannya tertunda, maka bisa terjadi kerusakan otak yang

menetap atau kematian, terutama pada anak yang sangat kecil dan pada usia lanjut. Sebagian besar penderita bisa

sembuh sempurna, tetapi beberapa penderita sering mengalami kejang. Gejala sisa lainnya adalah kelainan mental

yang menetap serta kelumpuhan. Nah, karena di desa ini telah banyak yang menunda pengobatan. Maka

kemungkinan besar akan menimbulakan banyak korban.”

“Suatu vaksin dapat membantu mencegah meningitis ini. Vaksin ini terutama digunakan jika terjadi

wabah, pada populasi yang terancam wabah dan pada orang-orang yang mengalami pemaparan bakteri yang

berulang. Kepada anggota keluarga, petugas kesehatan, dan orang lainnya yang berhubungan dengan penderita

88

Page 89: Bias Nuansa JIngga

meningitis, juga diberikan antibiotik misalnya Rifampin atau Minosiklin. Anak-anak harus mendapatkan

imunisasi rutin dengan vaksin Hemophilus Influenzae tipe B, yang membantu mencegah terjadinya meningitis

yang paling sering terjadi pada anak-anak. Kira-kira begitu gambaran sementaranya tentang diagnosa saya.”

“Yah, sekarang kami paham apa yang telah terjadi di desa ini.”

“Sebaiknya kita membuat perencanaan yang matang untuk mencegah bertambahnya korban.”

“Saya setuju dengan Pak Made Nugraha. Kita akan mulai besok pagi. Bapak-bapak sangat membantu

saya.” ujarku mengakhiri pertemuan.

Malam ini sangat melelahkan. Aku lebih memilih istirahat. Besok adalah hari yang baik untuk memulai

sesuatu yang baik.

***

Pagi yang cerah menyambut kantukku. Tak terasa telah satu minggu aku disini. Ayu akan datang pagi ini.

Yah, semuanya akan jelas dan aku bisa bertindak cepat.

“Velia, akhirnya,”

“Kenapa? Ketemu?”

“Yah, ternyata itu bakteri Neisseria meningitides.”

“Astaghfirullah.”

“Lalu bagaimana?”

“Ternyata dugaanku benar.”

“Aku kurang paham, Vel. Maukah kamu menjelaskan tentang penyakit ini?”

“Penyakit ini terkenal dengan sebutan Meningitis Meningokokus yang merupakan radang selaput otak

atau sumsumtulang belakang yang terjadi secara akut. Penyakit ini cepat menular, dapat menyebabkan kematian

dan bila sembuh dapat meninggalkan gejala sisa akibat kerusakan di otak. Ini sangat berbahaya. Kuman Neisseria

Meningitidis masuk kedalam tubuh manusia melalu saluran nafas bagian atas. Umumnya wabah Meningitis

Meningokokus terjadi pada musim panas yang panjang dan kering. Perbedaan suhu tubuh dan udara di

lingkungannya serta pengaruh udara yang kering dapat menyebabkan kerusakan sel (Lesi epithel mukosa) karena

terjadinya denaturalisasi pencairan selaput lemak sel sehingga terjadi kerusakan mitokondria yang akan

mengakibatkan terjadinya metabolik asidosis dan hypoxia cellulair. Kondisi ini akan mempermudah masuknya

bakteri kedalam tubuh yang kemudian akan berkembang biak di selaput nasofaring.”

“Aku cukup paham dengan penjelasanmu. Tapi, apa bisa dicegah?”

“Bisa, dengan dilakukannya inkubasi antara dua hingga sepuluh hari, umumnya tiga hingga empat hari.

Tapi, disini ga’ mungkin. Tempatnya tidak kondusif.”

“Ga’ mungkin semuanya kita bawa ke kota kan?”

“Ya. Tapi, kita harus bagaimana? Untuk sementara waktu kita menggunakan pengobatan simtomatis. Bila

suhu diatas 39, diberikan Paracetamol 3 x 500 mg. Bila kejang, diberikan antikonvulsi 10 mg diasepam IV

89

Page 90: Bias Nuansa JIngga

Petanpelan dan dapat diulang tiap 15 menit, sampai 3 kali. Bila terjadi renjatan septic, tekanan darah sistolik kecil

dari 75 mg Hg harus diatasi dengan pemberian Dopamin empat ratus miligram dimasukkan dalam cairan infus

lima ratus miligram, dengan kecepatan dua puluh tetes per menit ditambah dengan Corticosteroid diberikan

secara Bolus yaitu dexametason satu hingga tuga mg/Kg BB tiap delapan jam, dilanjutkan dengan satu mg/Kg

BB. Tapi, apa mungkin semua obat-obatan itu bisa kita dapatkan? Aku ragu!”

“Obat-obatan yang harganya terjangkau mungkin bisa. Aku akan kembali ke kota dan membawa semua

yang dibutuhkan. Ada lagi?”

“Mungkin itu aja dulu.”

“Oh ya, ada surat dari Mas kamu tuh! Ambil dimeja depan.”

Aku bergegas ke depan, mengambil dan membaca surat dari laki-lakiku yang telah lama aku tinggalkan.

Denpasar, di malam yang dingin aku duduk menatap bintang.

Untuk, bintangku yang sedang bersinar.

Bismillahirrahmanirrahiim.

Adinda, apa kabar kau disana? Aku terus menantimu untuk segera pulang kepangkuanku. Tapi, mungkin

mereka lebih membutuhkanmu. Aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ada beberapa pekerjaan yang hendak

aku kerjakan. Maaf, jika liburan ini tak sesuai dengan yang kau harapkan. Aku akan selalu merindukanmu. Dan

nanti kita akan segera bertemu. Aku yakin itu. InsyaAllah. Kuakhiri suratku dengan sebuah puisi untukmu.

“Permataku”

Detak langkah

Derai tawa

Menyelinap lalu menyeruak

Memutar lalu mengingat

Hidupku terpaut dicintamu

Bahagiaku terukir dibahagiamu

Jerihmu menoreh banggaku

Lelahmu menopang lelahku

Dukamu menggambar tawaku

Permataku…

Layakkah diri ini menyakitimu?

Pantaskah jiwa ini membunuh hatimu?

Putih diantara hitamku, karenamu

Tawa diantara tangisku, hiburmu

Daya diantara lemahku, juangmu

90

Page 91: Bias Nuansa JIngga

Permataku…

Biarkan cintaku meraih hatimu

Izinkan banggaku menoreh banggamu

Jiwamu mulia untukku

Jiwamu hidupku

Permataku…

Lepaskanlah penatmu

Dan peluklah hatimu

Aku…

Hanya aku hatimu

Hati cintamu…

Salam cinta tulus dari suamimu. Doaku bersamamu.

Ashabul Kahfi

Aku melipat suratnya. Aku mencari selembar kertas dan sebuah pena. Aku menulis surat untuknya. Surat

balasan dari seorang istri yang merindukan suaminya.

***

Senyumku menatap surat dari kahfi tiba-tiba memudar. Wajahku pucat ketika melihat beberapa orang

kampung berlari cemas ke arahku.

“Bu Dokter, korban bertambah banyak. Setengah masyarakat Desa ini mengalami gejala yang pernah

anda bahas!”

“Dan, telah lebih sepuluh anak yang meninggal. Apakah penyakit ini menular? Karena ibu dan bapak

mereka juga terserang.” hatiku seakan disengat lebah. Aku tak menyangka akan secepat itu. Ayu baru saja ke

kota. Kemungkinan besok dia akan membawa obatnya. Sungguh aku dalam kepanikan yang nyata.

“Aku akan berusaha menanganinya. Adakah yang bersedia rumahnya dipakai untuk tempat

penampungan?”

“Yah, Made Nugraha bisa.”

“Baiklah, saya akan perintahkan perawat untuk mensterilkan rumah Bapak. Semua korban yang masih

bisa diselamatkan bawa kesana. Sebelumnya yang akan bertugas disana harus memakan obat ini.”

“Baiklah. Apakah ranjang puskemas sebaiknya kita pindahkan juga?”

“Yah, sebelumnya akan dinetralkan oleh perawat saya.” setelah semua selesai, pasien pun aku pindahkan

ke rumah Made Nugraha yang sangat besar. Aku menggolongkan mereka dalam tiga tingkat. Akut, parah, dan

91

Page 92: Bias Nuansa JIngga

pemula. Mereka berada di ruangan yang berbeda. Aku memberikan beberapa obat-obatan yang tersisa. Semoga

obat-obat yang aku pesan segera datang. Untuk sementara waktu aku bisa cukup tenang.

Aku memilih untuk pulang dan membersihkan diriku. Setelah itu aku akan berdiskusi dengan para

sahabat yang senantiasa membantuku.

“Pak Made Nugraha, saya sangat bangga sekali dengan kebesaran jiwa bapak. Semoga hal yang baru kita

lakukan bisa banyak membantu mereka. Oh ya, ada beberapa informasi lagi yang ingin saya sampaikan.”

“Upaya penanggulangan penyebaran penyakit adalah dengan penyuluhan tentang Meningitis

Meningokokus, cara penularannya, perawatan kesehatan perseorangan dan pencegahannya, menghindari dari

keramaian atau kepadatan orang, pemberian vaksinasi, pengendalian penderita dengan cara isolasi kasus hingga

24 jam setelah pemberian khemotherapy yang tepat. Desinfeksi semua sekret dari mulut, hidung dan barang-

barang yang tercemar, hindari kontak dengan penderita, dan pengobatan spesifik Penicillin secara parenteral

adalah pilihan utama. Ampicillin Parenteral juga efektif khususnya terhadap serangan Influenza. Bagi yang

sensitif penicillin, chloramphenicol juga efektif. Ada juga cara Penentuan kriteria kasus dengan gejala klinis

lapangan yaitu panas mendadak sampai 38 derajat celcius, sakit kepala yang berat, mual, dan muntah atau

petechiae. Mungkin agak sulit dipahami. Tapi, itu informasi penting yang dapat saya jelaskan. Semoga

bermanfaat untuk kita semua. Walaupun saya rasa, bapak takkan terlalu paham, tapi ini menjadi amanah untuk

saya menyampaikannya.”

Aku akui aku telah lelah sekali. Malam ini aku memutuskan untuk istirahat total. Kalau tidak, bisa-bisa

kondisiku tidak fit untuk menatap hari esok. Yah, ini adalah perjuangan terbesarku saat ini.

***

“Aku harus menghancurkan Kahfi. Dia harus merasakan sakit yang aku rasakan. Ternyata dia lebih bejat

dariku. Dasar srigala berbulu domba. Sekarang, aku sudah tau kalo sebenarnya anak itu bukan anaknya. Aku,

Vemas kembali untuk membalaskan sakit hatiku. Kahfi, tunggu pembalasanku.” Semua terasa menggebu, Vemas

kembali dari Amerika hanya untuk membalaskan sakit hatinya.

***

Jakarta begitu panas. Kahfi duduk manis di atas taksi menuju sebuah perusahaan terkenal di Negeri ini.

Disana ada pekerjaan yang menanti.

“Mas Kahfi, apa kabar? Akhirnya sudi juga dirimu mampir kesini.”

“Ah, Jauzi, jangan begitu. Aku jadi tak enak padamu. Ada yang bisa aku bantu?”

“Begini, saya ada proyek besar sekali. Tapi, saya butuh orang yang punya skill. Mas Kahfi kan lulusan

Nanyhang. Saya rasa ga’ diragukan lagi kemampuannya.”

“Jauzi, ini terlalu berlebihan. InsyaAllah saya bantu sebisa saya.”

92

Page 93: Bias Nuansa JIngga

“Proyek ini jangka waktunya satu bulan. Jadi, Mas bisa menetap disini selama itu. Soal akomodasi dan

transportasi bisa diatur. Pokoknya Mas tinggal kerja aja deh. Ok!”

Jakarta, diawal kepedihan

Jauzi memulai cerita tentang nelangsa yang aku rasakan

“Kahfi tersenyum lebar. Belum pernah dia dihargai begitu tinggi oleh seseorang. Selama ini kesabarannya

banyak menjadi cemoohan orang banyak. Bersyukurlah Kahfi bertemu denganku. Tapi, itu tak berlangsung lama.

Kebahagiaan yang kami rasakan sebagai sahabat tiba-tiba sirna oleh sesuatu hal yang akupun tak paham

bagaimana itu bisa terjadi.”

“Sabtu sore, aku dan Kahfi mendapat undangan dinner disebuah resto terkenal. Aku tidak bisa hadir,

karena hari itu istriku sedang sakit. Akhirnya, Kahfi sendiri yang pergi. Disana dia masih sempat menelponku dan

mengatakan bahwa dia akan pergi kesuatu tempat yang agak jauh. Ternyata tempat pertemuannya dialihkan ke

Puncak. Diapun berangkat dengan tamu yang lain.”

“Tidak ada sedikitpun kecurigaan yang aku rasakan. Beberapa jam kemudian aku mendengar kabar, kalau

villa itu terbakar. Dan Kahfi tewas didalamnya. Aku begitu shock mendengar berita itu. Rasa bersalahku

mengganas. Akupun hampir gila karena itu.”

“Setelah di evakuasi. Ternyata benar itu jenazahnya kahfi. Aku ingat dia memakai kemeja biru kotak-

kotak. Aku melihat sisa kain itu ditubuh jenazah. Disana aku menemui Vemas juga. Ternyata dia juga menjadi

salah satu tamu yang diundang. Alhamdullilah dia selamat. Mungkin hal ini yang dapat aku ceritakan. Selebihnya

aku tak tahu. Mungkin Vemas bisa lebih memberi informasi yang baik.”

Jauzi berusaha menguatkanku. Cerita itu sangat menyusuk ulu hatiku. Aku menatap kearah jenazah itu.

Aku tak sanggup menatap onggokan daging yang sudah tak berbentuk itu. Hanya derai air mata yang dapat aku

beri untuk membaluti kepergiannya.

***

Subuh itu saat aku usai shalat. Ayu datang membawa kabar buruk untukku. Sebuah kenyataan tentang

kepedihanku. Suamiku menjadi korban dalam musibah kebakaran di Puncak. Aku tak sanggup menahan tangisku.

Aku segera berlari menuju mini bus, aku ingin ke Jakarta. Pagi ini juga.

Kondisi Desa ini sudah semakin membaik. Tak terasa sudah dua minggu aku mengabdi pada mereka.

Akhirnya terketuk juga hati pemerintah untuk memperhatikan mereka. Bersama kepergianku, bus terakhir

pembawa korban selamat pun pergi. Desa menjadi sepi. Semua yang divonis terinfeksi dibawa ke kota untuk di

inkubasi dan diberi perawatan intensif. Setelah melakukan penyuluhan ke rumah-rumah bagi yang tetap tinggal.

Aku merasa mantap untuk segera meninggalkan mereka. Tanpa ada ucapan perpisahan. Tapi, aku telah berjanji.

Jika semua sudah membaik. Aku akan kembali. Kini aku ingin melihat pusara cintaku.

93

Page 94: Bias Nuansa JIngga

Tubuhku menggigil ketika Jauzi menceritakan cerita pedih ini. Aku sungguh tak sanggup. Tapi, hidup

memang begini. Penuh liku, tak selurus yang diduga.

Kini, aku berada diantara ratusan pelayat. Rumah Bu Sarah dibanjiri banyak orang. Aku hanya duduk

terdiam didekat foto almarhum Kahfi. Jenazahnya telah dikubur beberapa menit lalu. Aku kehilangan

semangatku. Mana ikhlasku???

Aku masih diantara sadar dan tak sadar. Aku terbayang dia masih disampingku. Membawakan sebuah

lagu yang takkan pernah aku lupa. Lagu yang menambah sedihku. Lagu yang dia bawakan ketika malam itu.

Malam saat kami yakin bahwa cinta adalah pengorbanan. Dan kita harus berpisah untuk kebahagiaan mereka

yang senantiasa membahagiakan kita. Aku menatap wajah Vemas yang polos. Dia tertegun dihadapanku. Vem,

andaikan kau tahu lagu itu dinyanyikan Kahfi untuk mengikhlaskanku untukmu beberapa tahun yang silam.

Separated-Usher. Memori Kahfi sebelum rencana pernikahanku dengan Vemas, beberapa tahun yang

lalu.

If love was a bird

Then we wouldn't have wings

If love was a sky

We'd be blue

If love was a choir

You and I could never sing

Cause love isn't for me and you

If love was an Oscar

You and I could never win

Cause we can never act out our parts

If love is the Bible

Then we are lost in sin

Because its not in our hearts

So why don't you go your way

And I'll go mine

Live your life, and I'll live mine

Baby you'll do well, and I'll be fine

Cause we're better off, separated

If love was a fire

Then we have lost the spark

94

Page 95: Bias Nuansa JIngga

Love never felt so cold

If love was a light

Then we're lost in the dark

Left with no one to hold

If love was a sport

We're not on the same team

You and I are destined to lose

If love was an ocean

Then we are just a stream

Cause love isn't for me and you

So why don't you go your way

And I'll go mine

Live your life, and I'll live mine

Baby you'll do well, and I'll be fine

Cause we're better off, separated

Girl I know we had some good times

It's sad but now we gotta say goodbye

Girl you know I love you, I can't deny

I can't say we didn't try to make it work for you and I

I know it hurts so much but it's best for us

Somewhere along this windy road we lost the trust

So I'll walk away so you don't have to see me cry

It's killing me so, why don't you go

So why don't you go your way

And I'll go mine

Live your life, and I'll live mine

Baby you'll do well, and I'll be fine

Cause we're better off, separated

Kahfi, selamat jalan. Nantikan ku dibatas waktu.

***

95

Page 96: Bias Nuansa JIngga

Hidupku kini memasuki lembar yang baru. Aku memutuskan untuk menetap di Jakarta Selatan. Tepatnya

di daerah Rempoa. Disana aku mengontrak sebuah rumah, untuk tempat aku, Bu Sarah, dan Biruza tinggal. Kami,

harus mampu bertahan tanpa kehadirannya yang telah pergi.

Dua bulan telah berlalu, kehidupanku kini terasa lebih ringan. Kebahagiaanku bertambah, apalagi saat

aku tahu bahwa, wabah di Banyuwetan telah usai. Alhamdulillah banyak korban yang sudah sembuh total. Hanya

sedikit yang mengalami kelumpuhan. Alhamdullilah, segala puji hanya untukNya. Aku berniat bulan depan

kesana. Selain menemui mereka, juga menyaksikan pernikahan Ayu dengan Ahmad Husein. Sejak aku

tinggalkan, Dokter manis itu ternyata cinta lokasi dengan pemuda gagah yang membantuku saat terjadi wabah

ganas itu.

Pagi ini, Vemas berkunjung lagi ke Rumahku seperti biasa. Sejak Kahfi meninggal, dia jadi sering kesini

untuk mengajak Biruza bermain. Anakku itu senang padanya. Entahlah sihir apa yang dia berikan pada bocah

kecilku itu.

“Velia, ga’ kerasa udah dua bulan kejadian pahit itu berlalu. Aku adalah senyum dan dukamu, sobat!”

“Yah, aku bahagia dengan adanya dirimu, teman.”

“Jadi, keingat masa kuliah dulu deh. Hahahaha.”

“Oh ya, bulan depan aku mau ke Denpasar, sahabatku menikah disana. Aku boleh titip Ibu dan Biru

kan?”

“Ih. Boleh banget. Tapi, kayaknya bulan depan,”

“Apa? Kamu sibuk?”

“Ya. Malam ini aku mau melamar seorang wanita untuk menjadi pendampingku. Dan dua minggu lagi,

kami akan menikah. Bulan depan aku dan dia akan bulan madu juga ke Bali. Jadi,”

“Wah, kita bisa berangkat bareng!”

“Memang begitu seharusnya. Hahahaha.”

***

Malam yang biasa saja. Tiba-tiba aku mendengar bunyi kendaraan roda empat yang menyentuh halaman

rumahku. Aku berjalan santai membukakan pintu. Ternyata itu keluargaku. Bunda dan Kak Vahriz beserta

keluarga lainnya. Aku juga melihat Mami dan Papi Vemas, beserta adik-adiknya. Wah, kejutan besar ini.

“Bunda, Vel kangen banget nih.”

“Iya sayang, mana Ibu Sarah?”

“Ada di dalam.”

“Mami, Papi, apa kabar?”

Aku mendekap semua yang datang. Aku persilahkan masuk ke dalam. Aku yakin, mereka meminta

bantuanku untuk acara lamaran Vemas malam ini. Akupun tersenyum penuh bahagia. Akhirnya Vemas menemui

kebahagiaannya juga.

“Mana Vemas, Mi?”

96

Page 97: Bias Nuansa JIngga

“Dia lagi perjalanan kesini.”

“Wah, dia pasti deg-degan nih. Antara ditolak atau ga’? Iya kan?”

“Ah, kamu dari dulu sampe sekarang sama aja, Vel! Jahil!”

“Hehehehe.” aku mendengar suara mobil Vemas masuk. Derap langkahnya menyisir lantai rumahku.

Tiba-tiba aku merasakan getaran yang hebat. Entah apa yang telah terjadi. Aku dibuat bingung karenanya.

Mungkin karena aku terlalu gugup melihat siapa nanti calon istrinya.

“Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

”Kok sendiri Vemas?”

“Yah, maunya aku bawa satu kampung kesini, Vel?”

“Ah, ditanya malah ngeles kamu.”

“Hahahaha. Langsung aja deh ya. Vel,”

“Apa?”

“Untuk kedua kalinya aku berkata padamu WILL YOU MARRIE WITH ME?” dadaku serasa runtuh, detak

jantungku berhenti. Rasanya dunia hendak merajamku. Ya Rabb, apa yang terjadi ini? Aku tak paham tentang

jalan hidupku. Kini, orang yang sama beberapa tahun yang lalu melakukan hal yang sama padaku. Aku sungguh

tak kuasa menahan getaran yang menusuk jiwaku.

“Velia, please answer my question.”

“InsyaAllah, jika memang Allah mengizinkan aku menjadi istrimu. Ya, aku terima tanpa keraguan.”

“Alhamdullilah.” acarapun berjalan lancar. Aku tak tahu kenapa tak ada sedikitpun keraguan padaku. Saat

menjawab apa yang ditanyakannya.

Mungkin dialah jodohku sebenarnya.

***

Ternyata benar, aku ke Bali dengannya. Dia memang jahil. Kami memutuskan menunda berbulan madu.

Dia seorang dokter, dan aku juga. Dia paham apa yang hendak aku lakukan. Kami memutuskan menghabiskan

waktu disana. Mengunjungi tempat para sahabatku. Banyuwetan.

Perjalanan yang jauh, kini terasa dekat. Memang jika bersama orang yang kita sayangi semua terasa

indah. Meskipun agak sedikit gombal. Tapi, itu memang benar adanya. Dari kejauhan aku sudah bisa menangkap

hiruk pikuk di Balai desa. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa juga mendengar tawa bahagia mereka.

“Bu Dokter Velia, apa kabar?”

“Pak Made Nugraha? Wah, tambah makmur saja kelihatannya.”

“Yah, berkat doa Ibu saya dan semua masyarakat menjadi makmur.”

“Bapak bisa saja.”

“Siapa itu Bu?”

97

Page 98: Bias Nuansa JIngga

“Ini suami saya, dia juga Dokter.”

“Selamat datang di negeri kami Pak?”

“Vemas Ferhigi.”

“Nama yang bagus. Mari masuk!”

Aku melihat banyak anak yang kini bisa berlari dan tertawa riang. Mereka semua kembali seperti dulu.

Menjadi anak yang ceria dan bahagia. Aku ikut senang karenanya. Yah, berkat ALLAH semua menjadi begini.

Aku bersyukur terlahir sebagai Islam dan berjalan di jalan yang seharusnya.

Pernikahan Ayu tinggal beberap hari lagi. Tampak, warga sibuk sekali. Aku memilih untuk berkeliling

Desa. Sambil mengoreksi kembali yang telah mereka lakukan untuk pencegahan wabah itu masuk lagi. Ternyata

luar biasa. Mereka menjaga desa ini baik sekali. Hanya sebenarnya kamar mandi yang mereka bikin belum

bagaimana seharusnya. Aku berbisik pada suamiku.

“Satu minggu ini, tempat MCK (Mandi, Cuci, Kakus) akan dibangun disemua rumah. Biayanya biar

kami yang tanggung, Pak!”

Vemas berujar sangat bijaksana. Aku bangga padanya. Dia telah menjadi bagian dari yang

membutuhkan. Kini aku dapat bernafas lega.

Jika nanti aku kembali ke Negeri ini, aku akan membawa kebahagian saat menatap mereka. Meskipun

pusara cintaku telah terpatri jauh disana. Tapi, itu tak membuatku linu terus dalam jemu. Kini bahagia siap

menyambut hariku. Bersama seorang anak yang kini mengakar di rahimku.

Kahfi, bahagialah kau disana. didekat Dzat yang tercinta, ALLAHku dan ALLAHMu, juga ALLAH

seluruh umat.

***

98

Page 99: Bias Nuansa JIngga

*9*

AKU PERGI DENGAN SYAHADAH

Terlalu banyak masalah dalam hidupku. Sebenarnya aku tak ingin menuntut apa-apa. Aku hanya ingin

bahagia. Bahagia mencapai RidhoNya. Anakku, walaupun kau tak kuharapkan untuk lahir dari rahim ini. Tapi,

kau tetap anakku, kau tetap suci, meskipun caraku mendapatkanmu begitu hina. Biruza Hudzaifah, kau adalah

penjaga hatiku. Kau tumbuh menjadi pahlawan untukku.

“Vel, aku ragu, operasi ini akan berhasil. Dia sudah berada di ujung penderitaannya. Hanya Allah yang

bisa menyelamatkannya dan memberi waktu untuknya tersenyum pada kalian.” Zalimah, Pulmonolog. Sahabatku.

Aku tak menyangka, seburuk inikah kondisi suamiku. Sampai-sampai dia di vonis tak mampu bertahan lama.

Asmanya, aku tahu penyakitnya itu mendarah daging dalam tubuhnya sejak pertama kali aku

mengenalnya. Suamiku, kenapa kau harus pergi disaat aku mulai bisa mencintaimu. Kau benar, cinta itu akan

tumbuh bila di pupuk dengan baik. Cinta datang karena telah terbiasa. Kau berhasil menyuburkan cintaku. Tapi,

mengapa? Kau harus pergi, disaat rasa itu mulai tumbuh. Kenapa?

“Ummi, Abi kenapa?”

“Biru, Abi ga’ kenapa-napa kok!”

“Tapi, Ummi menangis.” tangan lembutnya mengusap pipiku. Oh, anakku… andai kau tahu Abimu ini

akan menyusul Ayahmu ke Surga. Anakku, maafkan Ibumu ini. Aku harus membuatmu kehilangan Ayah untuk

ketiga kalinya. Aryaza dan Kahfi telah pergi meninggalkanmu. Itu, karena Ibumu yang bodoh ini. Dan kini,

Vemas juga akan pergi karena salahku.

“Ummi, Ummi jangan nangis. Nanti, adek juga sedih.” dia mengusap perutku yang mulai membesar. Ya

Allah, haruskah anak didalam kandunganku ini, bernasib sama dengan Biru? Kehilangan Ayah saat dia lahir. Ya

Allah, berikanlah aku berjuta-juta daun untuk menghapus air mata ini. Sekumpulan kayu untuk menguatkan hati

ini, agar aku bersabar. Serta ikhlas atas apa yang telah terjadi padaku selama ini.

***

“Vel, kamu harus jaga kandunganmu. Jangan terlalu banyak berfikir. Kamu harus ikhlas. Pasti ini semua

ada hikmahnya.” suara Karin menguatkan hatiku.

“Vel, aku ke kamar itu dulu ya. Jangan lupa, tebus obat ini.” dia menyerahkan kertas kecil kepadaku dan

berjalan menuju ruangan nomor 230.

Aku berjalan perlahan, menatap kakiku yang terhalangi perut yang membuncit ini. Tujuh bulan sudah, dia

berada dalam rahimku. Vemas, bertahanlah hingga kau bisa melihat buah hatimu ini. Bertahanlah suamiku!

99

Page 100: Bias Nuansa JIngga

“MASYA ALLAH!” suara itu menyentakkan langkahku. Aku melihat kearah kamar yang dimasuki

Karin. Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi.

Ya Allah! Aku melihat Ibu Sarah dan Kak Kiriena. Sedang apa mereka?

Aku memasuki ruangan itu, aku melihat mereka dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Sekian lama aku

mencari kabar mereka. Tapi, Allah mempertemukan kami disini.

“Velia Andyra?”

“Bu?”

“Maafkan ibu nak, sudah menyembunikan keberadaan suamimu, dia yang minta pada ibu. Kami

menghilang dari hadapanmu karena,”

Kami meraih tangis besama. Aku merangkul tubuh mereka satu persatu. Setelah kami merasa telah puas

melepas rindu. Aku melihat ke arah pembaringan. Aku menatap tubuh yang lemah terhalang infus. Dia adalah

orang yang telah kunanti selama ini, suamiku yang aku kira telah pergi. Orang yang menjadi nafas cintaku. Tapi,

itu dulu. Saat aku belum menjadi bagian dari diri Vemas. Sekarang? Entahlah… Vemas telah mendustaiku.

Suamiku masih hidup, sudikah dia memaafkan kesalahanku?

“Kak Kahfi, suamiku?”

“Iya.”

“Apa yang terjadi?”

“Meningitis.”

“Apa?”

“Iya.”

“Gara-gara apa?”

“Ini.”

Kak Kiriena menyerahkan sebuah buku tebal yang segera ku raih. I JUST WANNA WAIT YOU. Buku

yang dikarang oleh pengarang misterius yang bernama pena AKA. Buku fenomenal yang menjadi best seller ini

berisikan tentang kisah seorang wanita yang setia menunggu kekasihnya di Selat Bering. Dan dia tertelan ombak,

saat pasang naik di laut Bering. Anza, pria yang kembali dan tak menemukan kekasihnya. Dia rela menjadi

wartawan televisi. Padahal, itu profesi yang tak disukainya. Karena dengan tujuan mencari informasi tentang

kekasihnya, Vediora. Orang-orang menyangka gadis itu telah meninggal. Tapi, Anza tak percaya. Dia terus

mencari dan menunggu. Hingga suatu hari dia bertemu dengan gadis yang mirip sekali dengan kekasihnya. Dia

bernama Asiyah. Gadis itu, dia percaya, itu cintanya. Dengan melawati banyak rintangan. Akhirnya dia

menemukan bukti bahwa Asiyah, memang kekasihnya. Karena, suatu ketika Syeikh Gishkan Al Fateh, orang

yang merawat Asiyah. Menceritakan pada Anza, perihal kehidupan masa lalu Asiyah. Dia ditemukan keluarga

Islam ini, di daratan Laut Merah. Ketika mereka sedang dalam perjalanan ke Turki. Cinta yang suci, takkan bisa

dihilangkan begitu saja. Semua pasti ada bekasnya. Aku akan tetap menunggumu. I JUST WANNA WAIT YOU.

“Jadi… buku ini dikarang oleh?” aku mengenggam erat buku yang memiliki lima ratus halaman lebih itu.

Buku yang ditulis dengan bahasa Inggris ini adalah buku favoritku. Aku mendapatkannya dengan cara yang tak

100

Page 101: Bias Nuansa JIngga

wajar. Waktu kandunganku berumur lima bulan. Aku berjalan dari Pondok Indah ke Senayan, lalu ke Kemang.

Saat itu hujan badai. Memang aku pergi dengan mengendarai mobil. Tapi, Jakarta saat itu tak bersahabat. Setelah

menelfon ke QB WORLD BOOKS, puluhan kali. Akhirnya pada hari itulah aku akan mendapatkan buku itu.

“AKA. Ashabul Kahfi.” jelas Bu Sarah padaku.

Petir dalam dadaku menyambar bergantian. Aku tak percaya. Kahfi yang mengarang buku itu. Buku yang

membuatku yakin, bahwa tak ada penantian yang sia-sia.

Aku menangis sejadi-jadinya. Apalagi, ketika Kak Kiriena berkata :

“Dia mempersembahkan buku ini buat yang telah bersedia menantinya.” Kak Kiriena memperlihatkan

halaman ketiga dari buku itu.

Kupersembahkan untuk Istriku tercinta di singgasananya dan putraku tersayang yang kini beranjak

balita…

“Dan… Vel, He just wanna wait you, until the end of time.” aku berlari keluar, membawa tubuh yang tak

ku perhatikan lagi.

Ya Allah. Begitukah aku membalas semua pengorbananya. Begitukah?

Semua hanya untukku. Cinta Vemas, Kahfi, Jauzi dan Aryaza. Hanya untukku. Mereka mengobankan

nyawanya, hanya untuk mendapat cintaku. Hanya untukku.

Haruskah aku kehilangan orang yang aku cintai dalam sekaligus? Haruskah?

***

“Karin, sebenarnya bagaimana keadaan Kahfi?”

“Vel, meningitis di otaknya itu bisa mengakibatkan dia buta, kita akan melakukan operasi kecil, dan cuma

ada dua kemungkinan, buta atau,”

“Meninggal?” dokter muda itu mengangguk dan berusaha menenangkan tangisku.

“Vel, kamu percaya dengan keajaiban Allah kan?”

“Karin, kamu tahu ga’? Kahfi itu siapa?”

“Siapa Vel?”

“Dia suamiku.”

“Apa? Lalu Vemas?”

“Ceritanya panjang. Apakah kamu ga’ bisa berbuat sesuatu?”

“Hari ini aku akan berusaha melalui operasi, kamu berdoa aja ya. Jika berhasil, kita tinggal menunggu

apakah ada yang mau mendonorkan korneanya. Sekarang, kamu memohon kepada Allah ya, semoga ini yang

terbaik.”

“Karin,” aku memeluk erat tubuhnya.

***

101

Page 102: Bias Nuansa JIngga

Aku tak henti-hentinya memohon kepada Sang Khalik. Tangisku tak berhenti berderai. Aku tatap tubuh

suamiku yang masih terbaring lemah. Apakah aku sanggup menerima hasilnya nanti? Ya Rabb… berilah

hambamu ini kekuatan untuk bersabar dan senantiasa selalu bersyukur. Ternyata memang benar, cinta takkan

pernah usai. Kini aku dihdapkan pada dua laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku.

Seperti yang disampaikan Pinkan dalam nyanyiannya,

Cinta… takkan pernah usai

Meski cinta dalam derita

Saat harapan yang gelap untuk memudar

Cinta tetap ada walau didera

Aku… aku kan disini, kenyataan harus kulalui

Dan aku pun lari walau memang pahit

Walau ku menangis tetap ku berdiri

Meski hancurnya hatiku

Meski berat beban ini

Namunku tak sendiri karena cinta setiaku

Meski harus ku lewati seribu jalan yang berliku

Namun kutahu pasti dalam hidupku cinta takkan usai

***

Hari-hariku banyak tersita di rumah sakit. Kedua suamiku sama-sama dirawat disana. Setiap berganti

waktu, setiap itu pula aku berusaha membagi ragaku untuk menemani satu diantara mereka. Meskipun sebenarnya

kondisiku sangat lemah, karena kandunganku yang makin lama makin membesar. Tapi, aku tetap Velia yang

tegar.

“Vel, Alhamdulillah. Ada yang mendonorkan korneanya untuk Kahfi, jadi dia bisa segera di operasi

sekarang.”

Aku mencari arah kiblat, aku berusaha meluapkan segala kebahagiaanku yang sebentar lagi akan

menyapa. Ya Rabb, begitu besar karuniaMu. Setelah aku menyalami mesra tangan suamiku dan memeluk erat

tubuh mertuaku. Aku perlahan beranjak kearah kamar Vemas, aku merasa bersalah karena aku telah

menelantarkan dia.

“Karin, sedang apa disini? Kenapa mata suamiku diperban?” tanyaku heran, saat aku melihat Karin

menggunting perban dan siap ditempelkan dengan plester dibagian kepala Vemas.”

“Tenanglah sayang, aku tak apa-apa, ini hanya untuk sementara. Mataku terlalu lelah untuk terus

berakomodasi. Aku terlalu hina, sehingga,” Vemas melirihkan suaranya pada kalimat yang terakhir dan itu pun

terputus.

102

Page 103: Bias Nuansa JIngga

“Ah, sudahlah ga’ apa-apa, emangnya kamu malu punya suami orang buta?” dia berusaha mencairkan

suasana yang semulanya tegang sekali.

“Orang buta? Kamu kan… Karin, tolong jelaskan padaku?”

“Begini Vel, karena Vemas mengeluh terus matanya terasa sakit dan itu seringkali mengganggu aturan

nafasnya sehingga dia sering sesak nafas yang sulit ia kendalikan. Jadi, terpaksa aku dan dokter lain mengangkat

korneanya. Agar penderitaan sakitnya agak berkurang.”

“Gila! Tapi, mengapa tidak izin padaku, aku ini kan juga dokter, apa kau tak percaya padaku?”

“Sudahlah Vel, ini permintaanku. Ikhlaskanlah, ini hanya sebuah kornea bukan nyawa. Seandainya itu

nyawaku apakah kamu siap mengikhlaskannya istriku?”

“Vemas, jangan bicara seperti itu!”

Aku merangkul hangat tubuhnya. Dia perlahan meraba perutku dan mencium calon buah hatinya dengan

lembut. Hatiku berkata “Vemas, kau begitu lembut dan penyayang, karena itu kau berhak menjadi berlian yang

mengisi kerangka kalung hidupku.”

***

Hari-hari terasa menyesak bagiku. Dua hal yang tak mungkin aku pisahkan keberadaannya. Aku masih

bertanya dalam hatiku “Ada apa ini? Kenapa seperti ini?”

Tapi, semua tanya itu aku coba untuk musnahkan. Kini, aku hanya ingin fokus pada mereka berdua, Kahfi

dan Vemas. Dua orang yang aku cintai, aku yakin Allah memberikan jalan yang baik untukku. Dengan

dipertemukannya kembali aku dengan Kahfi, hidupku terasa bimbang. Nanti harus bagaimana?

Telah lebih dua minggu Vemas dirawat, tapi tidak menunjukkan perkembangan yang baik malah semakin

memburuk. Sebaliknya Kahfi, dia semakin membaik. Alhamdullilah ada seorang yang dermawan yang rela

memberikan kornea matanya untuk Kahfi.

“Velia, kondisiku semakin memburuk. Dan aku ingin pergi dengan melihat senyum diwajahmu.

Meskipun kini aku tak mampu. Tapi, aku yakin tanganku masih bisa menyentuh senyummu.”

Tangisku tak tertahan saat kata-kata itu memancar dari mulutnya. Sahabat yang sangat aku cintai. Orang

yang selalu ikhlas menerimaku. Dia memang lebih patut mendapat cinta tulusku. Keikhlasannya membuatku tak

bisa melepasnya. Dia begitu cerah, padahal kondisinya semakin memburuk. Dia menanti ajalnya dengan senyum

yang selalu merekah dibibirnya. Vemas, aku mencintaimu, karena cintamu kepada ALLAH. Dia adalah seorang

yang hanif. Vemas, sungguh jangan kau tinggalkan aku. Jangan kau buat perpisahan ini menjadi duka terberatku.

Sungguh aku tak sanggup.

Sejenak aku membawa khayalku kemasa yang lalu. Saat dia masih bisa berlari menghiburku. Saat

tangisku dihapuskannya, saat jiwaku dikuatkannya.

“Vel, kamu bangga ga’?”

“Bangga kenapa?”

103

Page 104: Bias Nuansa JIngga

“Memiliki aku sebagai sahabatmu kembali.”

“Aku bahagia, kau kembali padaku. Sahabatku yang hilang kini telah kembali.”

“Yah, aku juga mendamba saat-saat seperti ini. Kita kembali tertawa, menangis bersama.”

“Setelah ini kamu akan ke Jakarta, aku ke Yogyakarta. Sesaat lagi kita akan berpisah. Padahal, aku masih

ingin didekatmu, sobat!”

“Uh… tak terasa lima tahun telah kita lalui di kota ini ya, kota yang membesarkan kita. Yang

mengenalkan kita apa arti hidup.”

Langkahku terhenti di sebuah kamar. Kali ini waktunya aku memeriksa pasien kamar seratus satu. Vemas

melanjutkan perjalanannya ke ruang istirahat. Waktunya dia untuk rehat sejenak setelah kerjaan menempa tubuh

kurusnya.

“Semangat Vel! Kamar terakhir kan? Aku tunggu di ruang istirahat ya.”

Aku mengancungkan jempolku, tanda aku setuju. Segera aku bergegas menyelesaikan tugasku. Setelah

itu aku memenuhi undangan sahabatku untuk berehat sejenak.

“Vemas, kamu setelah ini masih bertugas?”

“Mau ngajak kemana nih?”

“Yee, GR aja lo! Aku Cuma,”

“Cuma apa?”

“Ga’ ada, aku lupa!”

“Senyummu cukup sebagai jawaban atas isi hatimu, aku paham dirimu melebihi siapapun. Kamu harus

yakin itu.”

Aku tersentak ketika kalimat beberapa tahun yang lalu itu tiba-tiba muncul dimasa ini. Muncul dari bibir

suamiku.

Aku mengusap pelan wajahnya. Sungguh aku tak mau kehilanagn dirinya. Semua kenangan tentangnya

takkan pernah terkubur.

“Velia, aku akan pergi dengan syahadah. Aku ingin kau membantuku. Bantulah aku.” aku menggetarkan

suaraku. Terisak aku melepasnya. Tapi, aku harus ikhlas seperti yang dia selalu bilang. Dia menirukan lafadzku,

setelah selesai. Dia mengusap senyumku yang dipaksakan. Dia menghapus air mataku dan dia tersenyum manis.

Inallillahi wa inna illahi rajiun.

Sungguh ku tak dapat percaya, sungguh aku tak dapat mengerti, kau telah pergi dari hidupku. Mengapa

kita berpisah? Aku kehilanganmu. Di manakah dirimu? Apakah semuanya berakhir?

Sejak kali mengingatmu sulit melepas kau pergi. Jujur, aku sangat kehilanganmu. Andaikan waktu

dapatku rengkuh, aku akan putar tepat pada masa aku mencintaimu utuh.

***

104

Page 105: Bias Nuansa JIngga

Rumah menjadi sangat ramai, mungkin ratusan orang yang datang. Yang pasti didominasi oleh para

dokter. Aku mengenakan gamis putih dengan perut yang terus membesar. Aku menghilangkan tangisku. Aku

berusaha tegar. Semua menyalamiku dan berduka atas dukaku. Aku duduk diantara semu, aku menjamu dukaku.

Sejurus aku menatap wajah suamiku aku teringat semua kenangan indahku.

“Wah, anak kita perempuan. Lihat monitor itu, Subhanallah! Gimana kita kasih nama Veqiqhan Fatihah.

Bagus ga’?”

“Vel, lihat Biruza! Dia tumbuh menjadi laki-laki kecil yang gagah.”

“Aku sangat mencintaimu.”

“Aku sangat mencintaimu.”

“Aku sangat mencintaimu.”

Kalimat itu terus terngiang dalam benakku. Kini, tangisku tak dapat kutahan lagi. Semua air mata meleleh

sudah. Bayangannya tak kunjung hilang. Senyum terus menghantuiku. Auranya terus menyelimutiku. Ya Rabb,

apa yang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar ikhlas?

Malam ini aku mengumpulkan semua kenangan tentangnya yang telah pergi. Dia telah meninggalkanku

jauh kesana. Aku teringat sebuah puisi yang pernah ia tulis untukku.

Tawa disela dua warna

Bertanya…

Aku siapa???

Senyum diantara dua dunia

Bertanya…

Aku dimana???

Rasa didusta dua cinta

Bertanya…

Dia siapa???

Pecah raguku membelah ragumu

Musnah inginku menghanguskan inginmu

Sendiri…

Kau sendiri meratapiku

Jenak demi jenak menyentak

Aku tersentak…

Kaca diriku membayang diseribu dinding

Menampar keluhku, keluhmu…

Aku tertatih menuju sedihmu

105

Page 106: Bias Nuansa JIngga

Ku selimuti jiwamu yang beku

Kau masih disitu,

diselimuti ragumu raguku,

disirami inginmu inginku

Kau bukan yang dulu

Kau menyihirku, membenamkanku pada pesonamu

Kau menjelma memasuki duniaku

Kini, biarlah tawa melingkar diwajahku wajahmu

Tawa penuh harap dan cita…

Sahabatku,

ku tunggu dirimu ditempatku ditempatmu…

Andaikan aku bisa memburu waktu, aku kan segera berlari kewaktumu. Bersamamu untuk menit rasa dan

merangkai cinta.

***

Hanya delapan bulan waktu yang aku lalui bersama Vemasku. Waktu itu memang sebentar. Tapi, bagiku

itu adalah waktu yang sangat lama. Aku menghabiskannya untuk dunia. Bersama dengannya aku berpetualang

bahkan sampai nyaris mengorbankan nyawaku.

Kandunganku saat itu masih berumur tiga bulan, hatiku kembali terketuk untuk membantu menyelesaikan

masalah di ibukota ini. Setelah banjir Bandang menghantam negeri ini ditemukan terjangkitnya penyakit

leptospirosis.

“Vel, kamu pernah dengar tentang penyakit ini kan?”

“Ya, aku pernah baca. Tapi, Belum pernah menangani langsung.”

“Aku pernah, waktu kuliah disini. Penyakit ini sangat berbahaya jika tidak segera dicegah. Biasanya

manusia terinfeksi bakteri leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori oleh air

seni hewan penderita leptospirosis. Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata,

hidung, kulit yang lecet atau makanan yang terkontaminasi oleh urin hewan terinfeksi leptospirosa. Masa inkubasi

dari bakteri ini adalah selama empat hingga sembilan belas hari.”

“Aku juga pernah baca. Kalau pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira mudah mati

dengan antibiotik yang banyak dipasaran, seperti Penicillin dan turunannya (Amoxylline), Streptomycine,

Tetracycline, Erytromycine, Doxycycline.”

“Kamu memang hebat kalau soal obat. Hafalan kamu itu setia banget. Aku bangga sama dokter yang satu

ini.”

106

Page 107: Bias Nuansa JIngga

“Ah, biasa aja Vemas, kamu berlebihan. Pada kasus-kasus awal mungkin para dokter tidak menduga ada

leptospirosis. Penyakit ini tidak lazim dan mungkin terlupakan, sebab belum tercatat ada jangkitannya di Jakarta.

Itu sebab pada kasus-kasus awal bisa bisa jadi dokter luput mendiagnosis, sehingga pasien terlambat diberi

antibiotika. Jika terlambat diobati, komplikasi leptospirosis merusak ginjal, selain hati dan otak. Begitu bukannya

Pak Dokter?”

“Tepat sekali. Maka dari itu kita harus turun langsung ke lapangan. Setujukah?”

“Yap, InsyaAllah kita bisa!”

Pagi ini agendaku adalah memberikan penyuluhan kepada warga tentang penyakit ini. Sebelumnya aku

mendiskusikannya dengan tim dokter yang lain.

“Hal yang harus segera kita lakukan adalah lisolisasi seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian

rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira, dianggap cara

mudah dan murah mencegah mewabahnya leptospirosis.”

“Dan menurut saya kita juga harus mengingatkan warga agar menghindari berkontak dengan kencing

hewan piaraan. Lalu, biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu berkontak dengan air

kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakai sepatu bot, terutama jika kulit ada luka, borok, atau eksim.

Biasakan membasuh tangan sehabis menangani hewan, ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-

tempat kotor. Mungkin akan lebih efektif.”

“Yah, saya setuju dengan saran Dokter Vemas. Ada baiknya hewan piaraan yang terserang leptospirosis

langsung diobati dan yang masih sehat diberi vaksinasi. Dan ingat juga bahwa vaksinasi leptospirosis tidak

berlaku bagi manusia. Di Amerika Serikat Desember 2000, ada anjuran bagi orang yang beresiko terjangkit

leptospirosis diberikan seminggu antibiotika (dipilih golongan doxycycline) sebagai upaya pencegahan. Rasa saya

begitu.”

“Yah, Dokter Salma benar. Saya akan langsung turun kelapangan dan mengintruksikan kepada warga

agar segera membasmi tikus rumah sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada hewan pengerat lain. Jangan

lupa bagi yang aktivitas hariannya di peternakan. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan

hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman.”

“Baiklah Dokter Velia. Sebaiknya kita langsung bergerak.”

“Ada baiknya beberapa dokter tetap stand by disini. Jika ada pasien dengan ciri-ciri demam menggigil,

pegal linu, nyeri kepala, nyeri tenggorokan, batuk kering, mual-muntah, sampai mencret-mencret. Jika pada

tahapan ini tidak diobati gejala bertambah parah dan tampak lebih khas. Oleh karena menyerang hati, pada

stadium lanjut muncul gejala penyakit kuning. Kulit dan putih mata menjadi kekuningan, selain tampak pula mata

merah layaknya sedang sakit mata. Demam, kuning dan mata merah, dianggap khas pada leptosprirosis.

Adakalanya terjadi pendarahan. Dokter mendengar bunyi paru-paru abnormal, dan kemungkinan kulit meruam

merah.”

“Wah, saya pernah mendengar kabar. Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang dicurigai leptospirosis,

pemeriksaan laboratorium urin dan darahnya menunjukkan hasil abnormal. Fungsi ginjal dan hati terganggu,

107

Page 108: Bias Nuansa JIngga

selain sel darah putih menurun. Namun yang lebih pasti diperoleh dari hasil pemeriksaan serologis. Memang bisa

juga dilakukan pembiakan kuman dari urin, darah, atau cairan otak. Namun perlu waktu dua minggu, dan

kumannya sendiri tergolong bersifat lamban bertumbuh. Maka paling praktis memang masih pemeriksaan darah.

Dan itu sedang kita lakukan. Semoga pasien itu masih mampu bertahan.”

“Kalau begitu, Dokter Aji saja yang disini. Sepertinya sudah sangat paham. Bersedia bukan?”

“Dengan senang hati Dokter Vemas.”

“Oh ya, satu lagi. Kita harus ingat bahwa gejala leptospirosis menjadi lebih berat jika tidak diobati atau

obatnya salah alamat. Selain komplikasi ke hati menimbulkan gejala penyakit kuning, komplikasi ke selaput otak

menimbulkan gejala nyeri kepala, kejang-kejang, leher kaku, dan penurunan kesadaran. Komplikasi ke ginjal

umumnya bersifat fatal. Maka dari itu, kita harus menghindari kesalahan tersebut.”

“Baiklah, terima kasih atas diskusi hari ini. saya dan tim dokter akan langsung terjun ke lapangan.

Tempatnya sesuai dengan yang telah didenahkan.”

***

Ternyata semua diagnosa benar. Lebih dari ribuan warga terserang penyakit ini. sudah satu minggu aku

dan suamiku konsentrasi untuk penyakit ini. Dan parahnya, aku mengalami gejala awal yang sama dengan

penyakit itu. Vemas sangat panik. Aku langsung diisolasi dan diberi perawatan insentif. Kini, aku genap satu

minggu terdiam di rumah sakit. Tubuhku benar-benar lemah. Anak dalam rahimku terancam tak mampu bertahan.

Tapi, untunglah segera ditangani dengan baik. Aku sempat melewati masa-masa antara mati dan hidup.

Disanalah dia berada. Vemas selalu menjagaku siang dan malam. Kini, dia tidak turun kelapangan. Karena,

korban bisa secepatnya dibawa ke rumah sakit terdekat dan ditangani oleh dokter ahli.

Malam ini, Vemas akan menerima penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta. Dia akan menerima

penghargaan sebagai Dokter terbaik tahun ini. Karena, memang sebelumnya, dia juga telah berhasil menaklukan

berbagai macam wabah. Dia memang luar biasa. Aku masih lemas diatas pembaringan. Sayang sekali aku tak

dapat menemaninya. Dia harus berangkat sendiri. Tapi,

“Aku tidak akan pergi tanpamu. Kesuksesan ini adalah kesuksesan kita.”

“Tapi, aku mewakilkan diriku padamu.”

“Biarlah aku juga mewakilkan diriku pada tim dokter lainnya. Kamu setuju kan, istriku?”

“Yah, terserah kamu. Mungkin itu yang terbaik.”

“Yah, memang pilihan terbaik jika aku selalu disampingmu.”

“Oh, so sweet.”

Air mataku tak berhenti juga. Kenangan itu terus membawaku dalam lembah duka. Ini sudah pukul satu

malam. Aku membasahi sajadah dengan air mataku. Alam sadarku kembali. Kini, aku baru sadar bahwa dia telah

pergi meninggalkanku.

108

Page 109: Bias Nuansa JIngga

***

Bulanpun berganti lebih buruk dari yang aku bayangkan. Tapi, kesuraman itu mulai memancarkan sinar.

Kabar Kahfi semakin membaik sedikit menghiburku. Kini, semangatku untuk kembali ceria datang. Dia kembali

menjadi suamiku lagi. Dan aku kini akan mengabdi padanya. Kandunganku semakin tua. Sudah lebih dari

sembilan bulan. Kini memasuki sembilan bulan tujuh hari. Diperkirakan anakku lahir tiga hari lagi. Anehnya,

tubuhku belum terasa sakit. Aku masih sempat berjalan sendiri di lorong-lorong rumah sakit. Dokter

menyarankan aku disini sampai waktu kelahiran. Sungguh aku sudah tak sabar menanti bayi perempuan ini.

Kahfi tampak gagah disampingku. Dia selalu setia menemaniku. Aku merasa waktu saat Biruza lahir

terulang kembali. Mungkin, Allah telah menakdirkan semua buah hatiku akan diadzan atau diiqamatkan olehnya.

Aku mencoba menahan rasa sakitku. Aku berharap anak keduaku ini lahir dengan normal. Perkiraanku

benar. Anakku akan dilahirkan secara normal. Setelah diberi analgesia epidural yang rasanya tulang seperti dibor,

sakit sekali sampai aku memegang erat tangan perawat disampingku.

Aku bersiap untuk masuk pembukaan pertama. Ini adalah bagian nyeri pertama, yaitu saat kontraksi

rahim. Luar biasa sakitnya!

Nyeri selanjutnya adalah ketika mulut rahim terbuka penuh atau yang sering disebut pembukaan kedua.

Nyeri ini terasa tajam dan panas serta lebih intens dan lebih jelas dibandingkan nyeri pada pembukaan pertama.

Aku benar-benar tak kuasa menahan rasa sakit yang terus menerpa jantungku.

Tapi, setelah semua siksaan itu berakhir. Lahirlah buah hatiku. Semua sakit diabaikan. Rasanya, semua

penat hilang ketika mendengar tangisan bayiku.

Veqiqhan Fatihah telah lahir kedunia. Aku mendengar suara iqamat suamiku. Namun setelah itu keletihan

luar biasa menyerangku.

Beberapa waktu sebelum itu aku merasa pusing dan dada terasa sakit. Enam jam kemudian, aku kejang-

kejang dan sesak napas. Bahkan, sampai pingsan selama sepuluh jam. "Ternyata Dokter Velia mengalami

eclampsia post partum. Tekanan darah naik usai melahirkan sampai 180/140. Padahal sebelum hamil, tekanan

darahnya rendah." ujar dokter yang membantu dalam persalinanku.

"Selama sepuluh jam Velia di ICU dan menjalani berbagai tes. Dia seperti kena stroke. Untung tidak ada

saraf atau pembuluh darah yang pecah di otak. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit selama sepuluh hari.

Setelah itu baru dapat diizinkan pulang, namun keadaannya akan sangat lemah. Dia harus periksa darah seminggu

sekali. Ini akibat tensi tinggi, darahnya mengental dan menyumbat. Jadi, selama 18 hari pertama di rumah, Velia

harus menyuntikkan sendiri obat pengencer darah di bagian perut. Pak Kahfi tidak usah khawatir. Kami akan

melakukan yang terbaik untuk Dokter Velia.”

Kahfi hanya terdiam. Dia terus berharap yang terbaik untukku. Dia yakin dokter berkerudung itu dapat

menyelamatkanku.

109

Page 110: Bias Nuansa JIngga

Setelah semua yang disarankan dokter aku jalani. Aku kembali ke rumah dalam kondisi yang sangat

lemah. Aku harus istirahat full. Sementara anakku masih dirawat di rumah sakit. Pengalaman hebat ini akan

menjadi pelajaran yang berharga untukku.

***

Satu tahun telah berlalu. Qiqhan tumbuh menjadi gadis kecil yang manis.

“Kak, apakah Qiqhan perlu tahu tentang Vemas?”

“Tentu dia harus tahu siapa ayah kandungnya, Vel.”

“Tapi, rasa sakitku padanya tak mau hilang.”

“Aku minta maaf jika ceritaku membuatmu sangat membencinya. Sekarang semua keputusan ada

padamu.”

Aku merasa sangat sakit ketika mengetahui ternyata betapa jahatnya Vemas padaku dan Kahfi. Ternyata

dia yang telah merencanakan semua ini. Dia telah berhasil membalaskan dendamnya

“Aku tak mengerti sebenarnya mau Vemas apa? Dia begitu benci padaku. Saat aku sampai di Villa itu,

dia menyambutku dengan kepalan tinjunya yang melahap dadaku. Aku hampir saja mati ditangannya.”

“Kahfi, aku harus meninggalkan kehidupan Velia gara-gara kau! Dasar kau penipu! Sebenarnya, anak

itu bukan anakmu kan? Dasar laki-laki laknat kau Kahfi!”

“Cacian tak henti-hentinya dia berikan padaku. Aku benar-benar tak berdaya karenanya. Pada akhirnya

dia mengancamku.”

“Jika kau tak mau pergi dari kehidupan Velia! Aku akan membunuhnya dan juga anaknya itu. Kau tahu,

aku bisa melakukan apa saja!”

“Hatiku miris mendengarnya. Aku tak ingin dia melukai kau dan Biruza. Akhirnya aku menyetujui

tawarannya. Dia mengasingkanku ke New York. Semua biayaku selama disana dia yang tanggung. Awalnya aku

merahasiakan keberadaanku pada Ibuku. Tapi, setelah kau menikah dengannya. Aku menghubungi Ibu dan

mengajak beliau serta Kak Kanan dan keluarga untuk menetap disana. Mereka sangat terkejut sekali mendapatkan

kenyataan pahit itu. Tapi, mereka paham apa sebenarnya yang tersirat dibalik semua ini. Allah kini telah

mempertemukanku denganmu di tempat yang seharusnya. Jangan pernah engkau membenci almarhum Vemas.

Karena dia saat itu hanya khilaf dan hilang kendali.”

Sejak Kahfi menceritakan semua itu. Aku menjadi sangat membenci Vemas. Aku takkan melupakan

kelakuan bejatnya itu. Maka dari itu aku memutuskan untuk tidak memberi tahu Qiqhan siapa ayah kandungnya.

Karena dia nanti akan malu jika tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang tak bermoral. Orang yang telah

menghancurkan hidupku.

Entahlah, sampai kapan rasa sakit ini akan sirna. Tapi, jujur aku benar-benar merasakan sakit yang

sebenarnya.

110

Page 111: Bias Nuansa JIngga

***

Ruang kerja almarhum Vemas sudah lama tak aku masuki. Kini penuh dendam aku beranikan diri untuk

masuk dan membongkar semua kenangan tentangnya, setelah itu ku buang agar suatu saat nanti Qiqhan tidak

akan tahu rahasia ini. Aku membuang benda-benda kesayangannya dengan beringas. Tiba-tiba aku melihat sebuah

diari. Buku itu dikunci, aku mengambil martil dan membukanya.

Jika nanti buku ini ditemukan oleh seseorang, maka dialah yang ditakdirkan Allah untuk tahu isi hatiku.

Vemas, diawal kebahagiaan yang berimpit sesal.

Hari ini impianku terwujud. Wanita yang ku damba telah menjadi istriku yang sah. Tapi, apa halal

jalanku mendapatkannya? Aku begitu murka pada diriku. Aku telah memisahkan dia dengan orang yang sangat

ia cintai. Aku begitu bejat. Kadang, aku tak bisa memaafkan diriku.

Aku buka lembaran terakhir..

Semua telah aku tuliskan dalam buku kecil ini, perjalananku menuju kebahagian. Kini aku merasakan

pembalasan atas kejahatanku. Sebenarnya ini bukan penyakit ashma biasa. Aku juga mengidap leukemia. Aku

sadar bahwa Allah telah menghukumku. Belum genap setahun aku menikahinya. Tapi, nyawaku harus pergi

secepat ini. Hari ini aku akan pergi ke rumah sakit untuk menjalankan rawat inap. Setelah itu entah aku mampu

menuliskan penyesalanku dikertas ini. Tapi,aku yakin. Salma akan membantuku. Dia yang akan menyembunyikan

semua rahasia ini. Rahasiaku akan tersimpan baik sampai bumi ini berakhir kejayaannya. Maafkan aku Velia aku

telah melukai persaanmu, menghancurkan impianmu. Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku!

Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan

aku!

Tangisku membanjiri setiap lembaran kertas ini. Betapa jahatnya aku telah begitu dendam padanya. Aku

ingin tahu rahasia apa yang ia simpan pada Dokter Salma. Aku segera bergegas ke rumah sakit menemuinya.

***

“Salma, kau harus ceritakan padaku apa yang terjadi!”

“Tapi, aku telah berajnji padanya.”

“Aku mohon, aku mohon padamu, ceritakanlah!”

“Baik, baik, semoga aku mengambil tindakan yang benar.”

“Sejak awal pemeriksaan, aku tahu dia mengidap leukemia, tapi dia minta padaku untuk tidak memberi

tahu siapapun. Dia menceritakan semuanya tentang kejahatannya padamu dan Kahfi. Dia sengat menyesal,

sebelum dia mati. Dia minta aku mencari Kahfi dan membawanya kesini. Dia ingin meminta maaf padanya.

Diapun memberikan nomor Kahfi yang di New York. Ternyata, dia sedang sekarat di Rumah sakit karena

Meningitis. Aku sempat berangkat disana dan memantau keadaannya atas perintah Vemas. Aku berhasil

membawanya kemari dan keluarganya. Disini kami memberikan perawat yang intensif padanya. Saat aku

111

Page 112: Bias Nuansa JIngga

memberi tahu Vemas bahwa Kahfi juga diambang kematian, dia menangis. Ketika aku berkata kalau ada yang

mendonorkan korneanya, maka kemungkinan dia bisa selamat dalam keadaan yang normal. Karena, saraf

matanya akan rusak jika tetap dilakukan operasi. Dengan sigap Vemas mengatakan. “Ambillah korneaku, sebagai

tanda permohonan maafku.” aku pun melakukannya dan Kahfi dapat kami selamatkan. Vel, dia juga menitipkan

ini untukmu.” Salma mengeluarkan sebuah sapu tangan biru kesayangan Vemas.

“Dia yakin, suatu saat nanti kamu akan mencariku dan bertanya tentang semua ini. Kamu pasti akan

menangis dan dia telah mempersiapkan ini untuk menyapu sedihmu.”

“Vemas, maafkan aku. Aku telah berburuk sangka padamu. Padahal hatimu begitu mulia. Tapi, kenapa

kamu melakukan semua ini?”

Aku berlari sejauh-jauhnya, rasanya aku ingin berteriak. Aku mengendarai kendaraanku secara brutal.

Aku ingin pergi ke tempat yang luas. Dimana aku bisa menangis sekuat-kuatnya.

Aku banting pintu mobilku, aku menghadap pantai. Aku teriak penuh sesak.

“VEMAS MAAFKAN AKU KARENA TAK BISA MEMAAFKANMU, SAKIT DIHATI INI

TERLALU SULIT UNTUK DISEMBUHKAN. MAAFKAN AKU VEMAS!”

Jujur, aku tak mampu memafkannya. Hatiku terasa sakit sekali. Seakan tak ada lagi kata maaf untuknya.

Walaupun kini aku sudah tahu semua kebenarannya.

***

Aku tertatih didalam sedih

Aku tertahan diantara karang

Sungguh, aku ingin lepas

Sungguh, aku ingin pergi dari lembah duka ini

Wangi kamboja pun tak sewangi ragaku

Aku…

Aku lebih laknat dari itu…

Aku meniti jalan ini dengan tangis dan darah

Aku mengikuti alur waktu dengan malu

Raga ini, sudah lelah

Jiwa ini, sungguh sesak

Sesak, menghantam dadaku

Menghancurkan kalbuku

Hingga aku tak dapat menggapai cahayaMu

112

Page 113: Bias Nuansa JIngga

Aku berlari diatas kepingan-kepingan kaca

Aku kembali tertatih

Tangis terus menderu

Darahku tak berhenti mengalir

Hingga…

Hingga nafas ini terputus

Hingga raga ini terhempas

Hingga jantung ini tak berdetak

Aku tak sanggup kembali

KepangkuanMu

Aku tak sanggup menangis dihadapanMu

Aku begitu kotor…

Tak pantas jiwa ini pulang ke jalanMu

Sungguh, tak pantas…

Disaat nafas menjerat jantung

Aku menyebut namaMu

Karena memang sungguh,

AKU TAK PANTAS…

Aku membaca lembaran puisi terakhir yang ditulis oleh Vemas. dia memberikannya sebelum dia

bersyahadah. Dia menyelipkan ditanganku dan mengatakan agar aku membukanya ketika aku merasa sangat kesal

padanya.

Aku remuk kertas itu dan aku hempaskan ke lantai. Aku ambil lembar selanjutnya.

Debu pekat hitam menampar wajahku,

Kekeringan ilalang menjerat kerongkonganku,

Percikan serat-serat rotan itu menggigit tulangku yang masih dibasahi darah dan nanah…

Gigi-gigi makhluk malam yang geram,

Siap menerkam pita-pita suaraku,

Pagi… tak kunjung menghampiri

Kicauan mencekam binatang penikmat darah,

Mencabuti bulu-bulu romaku,

Angin malam menyebar memaksakan diri menyumbat aliran nadi

113

Page 114: Bias Nuansa JIngga

Pagi… tak kunjung menghampiri

Ku tatap disetiap dinding berapi

Keringat-keringat lahar membasahi setiap sendi diri,

Semuanya luruh bersama nafsu…

Malam terus menatap sengit padaku,

Tombak-tombak penuh bara itu menancap satu persatu di atas tenggorokkanku

Pedang-pedang yang terasah tajam itu mulai menyayat tipis setiap lembar paru-paruku

Malam yang tak kunjung menghilang

Dipanku bergetar menarik helaan nafas

Kakiku terasa dipasung ribuan batu kejam

Tanganku beku bak ditikam baja jahanam

Isi hatiku mencair dan melebur dalam adonan kehancuran

Ku tatap benda yang berdetak di sudut terang,

Jarumnya menusuk mataku, menekan nafasku

Aku kembali…

Seketika saat alunan sendu itu menyapa timpaniku

Kakiku beku serupa tersengat listrik yang menjalari dari ujung kaki hingga…

Merambat ke hulu jantungku,

Dan…

Semua gelap…

Membiaskan nafas penutup hariku…

Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyesali keegoisanku untuk memaafkan kesalahannya. Tapi, entah

mengapa aku tetap bertekad tidak akan memberi tahu Qiqhan tentang keberadaannya sebagai ayah kandung dari

gadis kecilku. Sampai kapan aku harus menyembunyikannya? Aku tak tahu! Semua ini aku sembunyikan dibalik

nadiku. Dia pergi dengan syahadahnya dan aku disini masih bertahan pada kebencianku terhadapnya.

114

Page 115: Bias Nuansa JIngga

*10*

DIA KEMBALI UNTUK PERGI

Penggilingan, Jakarta Timur…

Rumah yang asri ini akan menjadi telaga bahagiaku. Hari ini genap sudah enam bulan kepergian Vemas.

Sesuai dengan apa yang dituliskannya saat detik terakhir “Velia kembalilah pada suamimu dan aku akan selalu

melihat senyum bahagiamu.”

“Aduh, manis sekali anakmu ini Vel, cup… cup… cup… sayang.” Ibu Sarah bahagia sekali, dia

menggendong Veqiqhan kecilku dengan mesra. Biru sedang asyik bermain dengan si kembarnya kak Kanan dan

Kiriena. Aku mulai memeriksa isi rumah, aku harus memastikan semuanya lengkap sesuai dengan apa yang aku

pesan sebelumnya pada salah satu perusahaan desain interior yang terkenal di Jakarta, tepatnya milik Kak Sara

dan suaminya.

Kahfi mengangkat satu persatu koper pakaian yang kami miliki. Rumah ini cukup besar, ada lima kamar.

Tiga dilantai satu dan dua dilantai dua. Kamar utamanya terletak dekat ruang makan, yah seharusnya didepan.

Kamar paling depan didesain khusus untuk Biru dan Qiqhan. Kamar disebelahnya sebagai kamar tamu, untuk kali

ini ditempati oleh Ibu Sarah. Sedangkan yang diatas kamar pembantu kami, Mbok Tarmi dan anaknya Haryati.

Disebelahnya sebagai ruang setrika dan mencuci. Lantai duanya tidak terlalu besar. Hanya cukup untuk satu

kamar menengah dan kamar yang kecil yang berubah fungsi jadi tempat menyetrika. Diluarnya ada mesin cuci

dan wilayah khusus mencuci dan sebuah kamar mandi yang terletak di depan tangga menuju tempat jemuran.

Rumah yang indah dan bersahaja. Tempat yang akan menjadi saksi kehidupanku mulai detik ini dan

seterusnya, karena aku memutuskan menghabiskan hidupku di Jakarta.

Kahfi membenahi kembali ilmu yang penah ia dapatkan di NTU, dia kini sibuk mencari pekerjaan yang

cocok. Karena, lebih dari lima perusahaan ternama mengidamkan dia untuk menjadi salah satu manager

perusahaan. Yah, itu prestasi yang sangat gemilang. Seorang Kahfi yang cerdas dan pekerja keras memang pantas

mendapatkan posisi itu.

“Vel, menurut kamu dari sekian banyak permohonan yang ada, bagusnya aku milih yang mana ya?”

“Pilihlah apa yang menurut Kakak banyak manfaatnya untuk masyarakat Indonesia dan pastikan tidak

merugikan banyak orang, apapun pilihan Kakak aku setuju.” dia membelai mesra rambut lurusku sambil

mengecup dahiku.

“Kamu memang istri terbaik, aku bangga telah memilikimu. Terimakasih Allah.”

***

Pagi yang cerah menerpa atap-atap rumah-rumah dikawasan Taman Pulo Indah, Penggilingan. Cahaya

suryanya membelai hangat dedaunan di taman rumahku. Senyum bidadara dan bidadariku menghias setiap sudut

115

Page 116: Bias Nuansa JIngga

rumah. Tangis mereka menjadi semangat baruku untuk melangkah, memulai kehidupan hari ini. Yah, setelah aku

mengurus izin praktik, aku memulai mencari tempat yang strategis dan tak jauh dari rumah. Untungnya, Neru

sahabatku sewaktu SMA dulu menjadi salah satu pemilik gedung dikawasan Kelapa Gading. Tempatnya tak

terlalu jauh dari rumahku. Hari ini aku akan menemuinya untuk membicarakan harga dan perencanaan desain

interiornya. Karena aku dokter anak, aku menginginkan ruangan yang memang sesuai dengan anak-anak. Dalam

artian tidak menyeramkan bagi mereka.

“Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam. Velia?” kami melepas rindu satu sama lain. Dia memelukku erat sekali. Memang,

kami telah lama tak berjumpa.

“Apa kabar nih bu?”

“Alhamdullilah. Duh, semakin aja nih!”

“Semakin apa?”

“Semakin imut ajah!”

“Ah, kamu bisa ajah, badanku emang dari dulu segini-gini aja lagi.”

“Oh ya, gimana jadinya penawaranku itu?”

“Amanlah! Aku udah bilang sama suamiku, katanya lantai bawah gedung ini bisa kamu tempati.”

“Alhamdullilah.”

“Ntar biar bisnis aku dan suamiku dilantai atas.”

“Jadi, gedung ini belum kamu tempati?”

“Yups, soalnya ga’ tau mau bikin usaha apa.”

“Gimana bikin resto aja?”

“Resto?”

“Yah, tapi emang sesuai dengan takaran gizi seimbang dan tanpa bahan pengawet. Ntar pasien aku bisa

aku anjurin makan di resto kamu, jadi kita saling menguntungkan.”

“Wah, idenya bagus banget tuh, ntar deh aku diskusiin sama yang lain.”

“Yang lain? Yang lain siapa?”

“Yah, sama suamiku, mertuaku, dan saudara-saudara dia yang bakal menginvestasikan dana buat resto

ini.”

“Oh ya udah, kalau emang udah deal. Aku mau ke tempat Kak Sara untuk membicarakan tentang desain

interiornya.”

“Ok deh.”

Setelah melakukan ritual perpisahan ala ibu-ibu. Aku pun berlalu. Honda Jazz silverku melaju tak terlalu

kencang.

Tiba-tiba dari balik tasku bedendang sudah sang ponsel. Aku mengambil perlahan.

“Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

116

Page 117: Bias Nuansa JIngga

“Ada apa Kak?”

“Kamu lagi dimana?”

“Masih di Gading, macet nih!”

“Oh, aku mau ngajak ke Perusahaanku rencananya.”

“Dalam rangka apa tuh?”

“Disini ada organisasi para istri-istri manager. Jadi, kamu dimintai datang.”

“Oh, yah udah. Aku kesana aja yah.”

“Kamu pulang aja, ntar aku jemput sekalian, gimana?”

“Ok deh, suamiku tercinta.” selepas shalat dzuhur usai, aku mulai berkemas-kemas diri untuk berangkat

ke kantor suamiku, Kahfi. Kami juga mengajak Biru dan Qiqhan.

Kini mereka sudah beranjak balita. Qiqhan berumur dua tahun dan Biru lima tahun. Aku bahagia sekali

karena Allah menganugerahkan mereka padaku.

“Udah beres, sayang?”

“Cantik kan?”

“Subhanallah, gini dong tiap hari. Kalau kayak gini, mendua aku tak mampu.”

“Yeee!”

Aku mencubit pinggangnya mesra. Kami pun beranjak keatas mobil CR-V silver milik Kahfi.

***

Setelah usai acaranya, aku memutuskan segera pulang, karena aku merasa kurang enak badan. Kahfi

dengan setia membawaku perlahan menuju mobi. Tiba-tiba,

“Hoekkk… hoekkk!”

“Kenapa sayang?”

“Ummi kenapa muntah, Abi?”

“Biru jaga dek Qiqhan dibelakang ya!”

“Iya Abi.”

“Abi mau ajak Ummi ke rumah sakit.” mobil gagah itu melaju menuju rumah sakit terdekat. Kahfi terlihat

cemas. Dia sesekali mengelus dahiku dan memegang erat tanganku yang pasrah dalam genggamannya.

Sesampainya di rumah sakit, dia menggendongku tergesa-gesa menuju tempat tidur yang memang telah tersedia

sebagai sarana IGD. Dia kembali ke mobil dan mengajak kedua anakku turun.

“Ummi napa?” terbata tak jelas Qiqhan menanyakan kondisiku pada Kahfi.

Dia mencium hangat kening putriku dengan penuh kecemasan yang tak kunjung hilang dari raut

wajahnya yang tampan.

“Keluarga Dokter Velia?”

“Iya, saya suaminya. Bagaimana keadaan istri saya dokter?”

117

Page 118: Bias Nuansa JIngga

“Alhamdullilah, dia baik-baik saja. Selamat sebentar lagi anak manis ini memperoleh adik.” dokter yang

sudah cukup berumur itu mengelus jilbab mungil yang dikenakan Qiqhan. Syukur yang tak terkira untuk kami

semua. Kahfi bergegas memasuki ruangan.

“Vel, Allahuakbar.”

“Yah, Allahuakbar.”

Aku mengusap pipi kedua anakku dan aku rangkul mereka semua. Keluarga kecilku. Ya Allah, terima

kasih atas anugerah ini.

***

Semua terasa indah bagiku, kini aku mengandung benih cinta pertamaku dengan orang yang sangat aku

cintai. Aku serasa menjadi ratu yang dimanja oleh sang raja. Apapun yang aku inginkan semua jadi nyata.

Memang, Kahfi bahagia sekali dengan kabar bahagia ini. Dan aku akan berusaha menjaga janin ini hingga nanti

dia tersenyum pada dunia. Aku telah bertekad untuk memperbaiki menu makananku dan mencoba tidak

mengidam makanan yang bisa membahayakan calon bayiku. Aku harus ngidam makanan yang bergizi, agar

anakku kelak tumbuh dengan sehat.

Hari ini, aku memulai membuka praktek di Kelapa Gading. Ternyata, Neru memutuskan untuk mengikuti

saranku. Dia membangun sebuah resto yang diberi nama “NEGAS RESTO natural and healthy food”. NEGAS

artinya Neru dan Bagas. Bagas adalah suami kedua Neru. Setelah, Guntur meninggal dunia dia dipersunting laki-

laki keturunan ningrat yang kaya raya. Yah, dia beruntung.

“Dari hari ini dan seterusnya, kamu akan aku antar jemput. Gimana sayang?”

“Tapi, apa kakak ga’ sibuk di kantor?”

“Buat kamu aku selalu ada waktu.”

Dia mengecup dahiku mesra. Aku meraih punggung tangannya dan membalas kecupan hangatnya. Dia

bergegas membuka pintu mobil dan berlari kearah sisi disebelahnya. Dia membukakan pintu untukku, yah betapa

aku benar-benar seperti ratu.

Aku menatap sebuah gedung yang indah dengan warna yang menarik. Ini baru pukul empat sore.

Praktekku buka jam lima sore. Terlihat dua orang juru rawatku sedang menyapu teras gedung dan apoteker

sedang menyusun rapi letak obat di almari kaca.

Aku menyampaikan salamku. Mereka menjawab serentak. Lalu, kembali bekerja setelah mempersilahkan

aku untuk masuk ke ruanganku. Gedung ini cukup besar. Lantai satu cukup untuk satu ruangan yang cukup luas,

ruang tunggu yang desainnya anak-anak banget, apotek yang lumayan besar, serta satu buah kamar menengah

yang biasanya tempat karyawanku istirahat dan membuat minuman atau makanan ringan. Semua sudut ruangan

aku pasang AC, agar anak-anak nanti bisa nyaman berada ditempat praktekku. Pertama melihat gedung ini, akan

terlihat pintu dari kayu yang simple dengan cat warna-warni. Membukanya dengan cara didorong kesamping,

seperti membuka rumah orang Jepang. Pintu menuju lantai dua terbuat dari kaca yang letaknya disamping ruang

tunggu praktik, agak menjorok kedalam dan disitu berdiri dua orang pelayan yang menanti sang tamu.

118

Page 119: Bias Nuansa JIngga

Beruntungnya aku, Neru mendesain sebuah tangga menuju ruang menengah yang bisa aku lewati kapan saja jika

aku ingin menemuinya. Memang tempat yang nyaman dan asyik.

***

Hari-hari aku lalui dengan bahagia. Serasa Allah telah mencurahkan nikmat yang tak terkira. Tapi, ada

satu hal yang menganjal pikiranku. Aku belum bisa banyak berbuat untuk anak Indonesia. Aku praktek di

kawasan elite. Secara tak langsung, pasienku dari golongan menengah keatas. Sedangkan nuraniku dari awal

berkata, aku harus ada untuk mereka yang kekurangan. Bertahun-tahun aku hidup di Ibukota. Sudah banyak harta

yang aku kumpulkan. Sudah aku sekolahkan anak-anakku ditempat terbaik. Sudah aku berangkatkan orang tuaku

ke jazirah Arab. Bahkan aku telah membangun sebuah rumah disana, sebagai tempat peristirahatan keluarga, jika

hendak umroh ke Saudi Arabia. Telah kudirikan beberapa Mushalla dan sebuah Masjid di kampung halamanku.

Kebahagian dunia semua telah kugapai. Tapi, ketidaknyamanan masih aku rasakan. Rencana membangun

Yayasan di Jakarta aku batalkan. Aku rasa, tempat tinggalku tidak strategis untuk membangun yayasan. Selain itu

Jakarta telah membuatku sesak. Rasanya aku ingin melabuhkan diri kesuatu tempat yang tenang dan nyaman.

“Assalammua’laikum, Akhi Airi. Ana Velia. Masih ingat tak?”

“Wa’alaikumussalam, Ukh. Tentu ana masih ingat. Ohya, afwan jiddan ana belum bisa menghubungi

Ukhti akhir-akhir ini. Masalah proyek disini tinggal finishing. InsyaAllah dua bulan lagi sudah bisa ditempati.”

“Alhamdulillah, Akh. Jazakallah khairon Katsiir.”

“Afwan.”

***

“Vel, kamu dimana nak?”

“Kenapa Bu? Ada apa? Kenapa ibu terlihat panik?”

“Kahfi, suamimu masuk IGD, dia kecelakaan di daerah Casablanca tadi malam.”

Hatiku disengat listrik. Terdiam, mataku sayu dan bibirku beku. Sendiku terasa kaku. Aku tak berani

menatap wajahku dicermin yang mempertemukanku dengan bayangku. Air mataku jatuh. Terisak aku coba

perlahan bertanya.

“Bagaimana keadaan Kak Kahfi Bu? Vel, akan segera pulang pagi ini juga.”

“Dia… dia… koma nak! Kata dokter, hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya.”

Hatiku tersentak mendengarnya. Harapanku terkubur sudah.

Aku meninggalkan ganggang telpon itu dan bergegas turun ke lobi. Aku memesan taksi menuju Bandara

Internasional Adisucipto. Diperjalanan aku memesan tiket ditempat langgananku.

Langkahku terdiam di dalam pesawat. Pikiranku telah sampai lebih awal di Jakarta. Setibanya di

Soekarno Hatta. Aku setengah berlari menuju pengambilan bagasi.

119

Page 120: Bias Nuansa JIngga

“Permisi, maaf. Dengan Ibu Velia?”

“Yah, benar itu nama saya.”

“Maaf, bu. Apakah ibu istrinya Mas Kahfi?”

“Yah, benar.”

“Saya, Urip Fatullah. Saya pilot maskapai penerbangan ini. Barusan saya dapat telpon. Mas Kahfi telah

pergi. Benarkah Bu?”

“Astaghfirullah.”

Aku meraih handphoneku yang belum aku aktifkan. Ternyata banyak sms dan panggilan tak terjawab.

Dan kabar buruk itu menyengat tenggorokkanku, menggelapkan mataku.

***

Mataku perlahan terbuka. Semua terasa sakit. Ulu hati ini serasa dirajam sembilu. Aku memandang

Bunda yang menemani tubuhku di atas dipan. Beliau menepuk bahuku lembut.

“Vel, Allah maha berkehendak. Kamu harus percaya itu. Kamu harus kuat ya, nak. Mungkin Arya,

Vemas, dan Kahfi adalah jodohmu. Tapi, yakinlah tak ada cinta yang abadi di dunia ini. Semuanya akan kembali

pada yang Satu.”

Aku memeluknya erat. Aku berjalan perlahan menuju pembaringan suamiku. Aku hantarkan dia dengan

doa. Aku pendam rasa sakitku. Dan aku tunjukkan kepada semua orang bahwa aku kuat. Aku pasti bisa!

Semua terasa cepat bagiku. Kini aku sendiri membesarkan keenam buah hatiku. Kadang aku merasa

menjadi wanita pembawa sial. Tak ada laki-laki yang lama bertahan disampingku. Ya Allah, kufur nikmatkah aku

ini?

Mengapa dia harus datang? Jika memang untuk kembali? Aku berusaha menjawab pertanyaan yang tak

henti-hentinya mengejarku.

Setelah dia pergi, pagi ini aku membuka sebuah kotak yang sudah lama tak ku buka sejak beberapa tahun

yang lalu. Kotak hijau berbentuk bintang. Aku mengeluarkan foto-foto zaman dahulu. Bersama Vemas, Kahfi,

dan sahabat-sahabatku. Aku mengambil satu lembar foto aku dan Vemas saat di Denpasar. Dibelakangnya,

Vemas menuliskan kata-kata yang selalu dia ucapkan “Senyummu cukup sebagai jawaban atas isi hatimu, aku

paham dirimu melebihi siapapun. Kamu harus yakin itu. Dari yang selalu mengingatmu. Suamimu Vemas.”

“Apa? Jadi Ummi punya suami selain Abi?”

“Qiqhan? Kamu,”

“Dia siapa Ummi?”

“Ayahmu.”

“Apa?”

“Qiqhan, maafkan Ummi baru cerita padamu. Ummi haya ga’ ingin berduka terus akan kepergiannya.”

“Jadi, selama ini Ummi membohongiku?”

120

Page 121: Bias Nuansa JIngga

“Bukan begitu,”

“Halah! Jadi selama ini Ummi bohong! Aku benci Ummi!”

“Qiqhan, tunggu nak!”

Aku berlari mengejar putriku yang berlari jauh keluar. Aku bingung. Air mataku meleleh sudah. Apa

yang akan terjadi padanya nanti. Aku yang salah, ini karena keegoisanku beberapa tahun yang lalu. Andaikan aku

bisa ikhlas menerima kenyataan itu. Pasti semua tidak akan seperti ini. Sekarang entah bagaimana aku harus

menghadapi Qiqhan. Apakah dia bisa menerima penjelasanku yang terlampau egois ini?

Cermin dihadapanku kini sedang menertawakan kebingunganku. Aku memang begitu bodoh. Wajahku itu

terlalu nista untuk dimaafkan.

“Ummi, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi dengan Qiqhan?”

Ya Allah, kini Biru bertanya pula padaku apa yang terjadi? Jika dia juga tahu tentang Aryaza, apakah dia

juga akan paham apa yang aku jelaskan.

“Biru, Qiqhan mana?”

“Dia meninggalkan surat ini tadi malam. Sepertinya dia kabur dari rumah. Tapi, Ummi tenang aja. Aku

tahu dimana dia berada. Dia akan baik-baik saja. Dia hanya butuh ketenangan.”

“Ummi begitu kejamkah, nak? Mengapa semua ini terjadi sesaat setelah Abi kalian pergi. Dia pasti sedih

melihat semua ini.”

“Ummi, ceritakanlah padaku. Apa yang terjadi.”

***

Hidup ini sungguh berliku bagi seorang Velia Andyra. Dari masa remaja yang menyenangkan dan tiba-

tiba dihadang oleh masalah yang besar. Yang merapuhkan silaturrahim antara dua orang sahabat dan membunuh

seorang pecinta sejati. Aku telah menghancurkan harapan mereka. Menjauhkan aku dari sebuah cinta. Cinta

kepada sahabat-sahabatku. Vemas adalah sahabat karibku waktu SMA dulu, dia pergi menjauhiku karena aku

terlalu egois. Aku teringat kembali dengan kejadian yang mengoyak hatiku. Perdebatan dua manusia yang tak

terhindari.

”Dengan kamu menamparku kamu puas? Dengan menamparku kamu akan melupakan Kahfi mu itu?!

Ayo tampar lagi?”

”Sampai kapanpun. Aku takkan melupakan dia. Meskipun nanti dia bukan milikku.Vemas, Aku benci

kamu! Naia pergi, karena kamu. Dia,”

”Stop!”

”Kenapa Tuhan? Aku harus mencintainya? Kenapa? Naia gadis yang sempurna itu aku sia-siakan karena

dia? Kenapa?”

”Aku begitu mencintainya. Hingga cintaku harus membunuh. Vel, kamu ga’ tahu, betapa sakitnya hatiku

ini. Kamu ga’ henti-hentinya menoreh hatiku dengan cintamu. Aku, sahabatmu. Aku yang tahu tentang cintamu.

121

Page 122: Bias Nuansa JIngga

Setiap kau cerita tentangnya. Setiap itu juga kau menoreh kembali lukaku. Apalagi disaat kau memintaku untuk

mencintai Naia. Aku lakukan semua itu untukmu. Apa yang pernah aku tolak apa yang kamu inginkan? Kapan?

Aku hanya seorang yang baru mengenal arti cinta. Saat aku tahu pun aku harus terluka. Pedih, Vel!”

”Vemas. Jadi selama ini?”

”Aku mencintaimu.”

”Vemas?”

”Aku mencintaimu.”

Semua itu tak dapat aku lupakan. Potongan kenangan itu menghangatkan nadiku. Dia begitu mencintaiku,

sedangkan aku menyia-nyiakannya. Vemas hadir kembali untukku. Saat aku diantara hidup dan mati, dia selalu

disampingku, setia menemaniku, menyemangatiku untuk bertahan hidup. Pada akhirnya, aku mengerti arti sebuah

persahabatan. Pengorbanan seorang sahabat itu tidak dilihat bagaimana ia berbuat untuk kita, tapi bagaimana dia

ikhlas menerima kita apa adanya. Vemas takkan tergantikan untukku. Dia adalah laki-laki yang memiliki

keikhlasan yang luar biasa.

Aku telah mengecewakan dia. Aku lebih memilih orang yang aku cintai. Aku memang egois padanya.

Padahal dialah cinta yang sesungguhnya. Aku baru menyadari saat dia pergi meninggalkanku. Walaupun dia

hanya sesaat menemaniku, tapi semua terasa indah. Apa yang aku rasakan padanya berbeda dengan apa yang aku

rasakan pada Kahfi. Dia membuatku menjadi istri yang paling bahagia. Qiqhan lahir dari rahimku atas izin Allah.

Nama itu diberikan Vemas, sesaat sebelum dia meninggalkanku.

Sungguh, saat itu adalah masa yang sangat menyakitkan untukku. Hingga suatu saat aku kembali pada

Kahfi, dia mengungkap semua hal tentang Vemas. Sejak itu hatiku tertutup untuk memujinya.

Hatiku terlampau sakit untuk mengenangnya. Pada akhirnya, aku memutuskan tidak memberi tahu satu

orang pun dari anak-anakku tentang keberadaannya. Termasuk anak kandungnya sendiri. Karena kebencianku dan

keegoisanku. Serta ketidakikhlasanku menerima semua ini. Kini, aku paham, bahwa dia begitu mulia. Dia

meninggal secara baik-baik, berbeda dengan Kahfi. Dia pergi begitu menggenaskan. Semua yang baik itu belum

tentu berakhir baik dan sebaliknya semua yang jahat belum tentu berakhir jahat. Kepahamanku melunturkan

keegoisanku. Izinkanlah aku mengenang mereka.

***

”Qiqhan, semua ini diluar kuasa Ummi, kamu harus yakin Allah telah memberikan jalan masing-masing

untuk kita.”

”Tapi, Kak Biru, kamu ga’ ngerasain apa yang aku rasain? Ternyata ayah yang selama ini aku banggakan,

bukan ayahku. Malah aku punya ayah yang kejam. Aku malu sama kamu Kak, aku malu.”

”Siapapun ayah kita, kita tetaplah kita. Mungkin ayahmu adalah yang terbaik untukmu. Pulanglah

Qiqhan. Kasihanlah pada Ummi, dia belum siap sebenarnya mengungkap ini semua.”

”Aku sulit memaafkannya, seperti dia sulit memaafkan kesalahan ayahku.”

122

Page 123: Bias Nuansa JIngga

Aku serasa ingin runtuh mendengar ucapan putriku itu. Memang ini pantas aku dapatkan. Aku berusaha

menahan tangisku. Aku harus mengerti anak-anakku. Karena, selama ini mereka telah mengerti aku. Aku teringat,

saat hari ibu tahun lalu. Biruza menghadiahkanku sebuah lagu tentang pengabdian seorang bunda. Kerispatih

mengemasnya dalam lagu sebuah pengabdian. Sampai kini, masih terngiang dibenakku suara merdunya.

Kau adalah yang pertama menyentuhku

Mendekapku di tengah dingin malam

Kau adalah sesuatu yang indah bagiku

Ceriakan hati di kala hati ini terpuruk

Kau sosok tak tergantikan

Walau tak semuanya ragamu ada

Setiamu melekat

Sampai aku di ujung usia

Bunda...

Ijinkan aku bersujud kali ini

Sebagai tanda...

Aku mencintaimu

Bunda…

Demi langit bumi aku bersumpah

Kan ku jaga pengabdianmu di hidupku...

Itu sungguh berarti bagiku…

Bunda… aaa... aa…

Bundaaaa… aa… uoo... uoo… uuu…

Ouu… uuu... ooo... ooo...

Bunda…

Ijinkan aku bersujud kali ini

Sebagai tanda...

Aku mencintaimu

Bunda…

Demi langit bumi aku bersumpah

123

Page 124: Bias Nuansa JIngga

Kan ku jaga pengabdianmu di hidupku...

Itu sungguh berarti

Itu sungguh berarti

Itu sungguh berarti bagiku…

Tak sanggup aku menahan tangisku. Aku berlari ke Mobil. Lebih baik aku pergi menjauh dari mereka.

Aku tak ingin menyakiti mereka lebih dalam. Tapi, Bunda menahanku. Aku kembali masuk ke dalam.

“Biruza, sebenarnya. Kalian berdua bukanlah anak Kahfi.” Bundaku keluar dari kamarnya. Mata kedua

anakku ini membesar. Rasanya petir menyambar hati mereka silih berganti.

“Maksud Nenek apa?”

“Lebih baik kau langsung tanya pada ibumu, nak!”

“Ummi, apalagi ini? Rahasia apa lagi yang Ummi sembunyikan pada kami?”

“Baiklah, hari ini aku akan mengungkap semuanya. Jalan hidupku memang pedih. Sungguh sulit aku

hadapi.”

Akupun menceritakan semua masa laluku padanya. Mengulang kembali luka lamaku.

***

Beberapa hari lagi pernikahanku akan digelar. Aku diburu perasaan ragu. Tapi, ini sudah menjadi

pilihanku untuk menikah dengan Vemas. Aku tak mungkin tega membuat dia terluka. Keikhlasannya telah

menguatkan hatiku. Aku tetap akan menikah dengannya. Meskipun aku tahu Kahfi akan sangat terluka. Tapi, aku

percaya cinta tak harus memiliki.

Aku dan Aidha melambungkan tujuan ke Butik terkenal di Kota ini. Sesampai disana, aku disibukkan

dengan berbagai aksesoris, aku bagaikan seorang putri yang dilayani banyak pelayan.

“Ah, akhirnya selesai juga.”

“Langsung pulang kan Ai?”

“Iya nih, hujannya deras banget.” roda mobilpun melaju menuju taman kota.

“Aidha, aku kebelet nih, berhenti dulu dong.”

“Dimana?”

“Di Toilet Taman kota aja.”

“Oke deh.”

Mobilpun berhenti di tempat yang ku maksud. Perlahan aku berjalan menuju Toilet bersama payung yang

menyelamatkan tubuhku dari derasnya hujan.

“Hey, siapa di dalam!”

Suara itu mengejutkanku, rasanya aku tak salah masuk toilet, ini toilet wanita. Tapi, mengapa ada suara

laki-laki yang mengganas mengetuk pintu. Aku beranikan diri keluar. Tubuh besar dan wajah tampan itu

124

Page 125: Bias Nuansa JIngga

menubruk tubuhku, mendorongku ke dalam Toilet. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa, teriakanku takkan

terdengar, hujan begitu deras.

Laki-laki itu mengganas, tubuhnya menghimpit tubuhku, Ya Rabb… aku tidak bisa berbuat apa-apa

selain beristighfar padaMu.

Semua telah terjadi, laki-laki peminum khamar itu telah mengoyak harapanku. Aku telah kehilangan

semuanya. Aku kehilangan permataku.

Ya Rabb… ampuni aku!

Aku berlari menuju mobil, Aidha masih menungguku.

“Velia, kok lama banget?” aku terdiam, tangisku terus meleleh.

“Velia, ada apa?” aku masih membungkam mulutku, aku berusaha meyakinkan sahabatku, bahwa tidak

terjadi apa-apa.

Sulit aku mengingat kejadian beberapa jam lalu, semuanya telah menelan harapanku. Aku mengurung

diri di dalam kamar, aku telah ternoda. Aku tak pantas menikahi Vemas.

Malam yang kelabu itu, beberapa hari sebelum pernikahanku. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus

aku perbuat dengan keadaan seperti ini. Benar kata orang, kita hanya bisa bicara saat orang lain tertimpa musibah

“Kita harus tabah, anggap ini adalah ujian.” andaikan orang itu tahu bagaimana menderitanya kita, pasti merela

tak sanggup mengucapkan hal itu.

Aku, kini aku sendiri yang merasakan hal itu. Aku merasa putus asa dengan kehidupan ini. Aku bingung

harus bagaimana dengan keadaan seperti ini? Semua orang bertanya padaku dan keluarga. Apa yang terjadi,

sehingga aku membatalkan pernikahanku dengan Vemas. Ada apa?

Hari-hari ku lalui tanpa ada semangat lagi. Satu bulan yang lalu, Jauzi melamarku pada Bunda. Dia

mengaku palsu. Dia mengatakan bahwa, dia ayah dari anak yang kukandung selama dua bulan ini. Konyol,

memang.

Tak ada sedikit niat pun, aku untuk mencari manusia laknat itu. Sudah tiga bulan lebih mungkin, aku

menahan tangis yang tak kunjung berhenti terurai ini. Berjuta tanggapan masuk bertubi-tubi dalam kalbuku.

Saudara-saudara Ayah, tak bisa menerima kenyataan ini.

Pada akhirnya aku dihadapkan pada seorang laki-laki yang benar-benar telah bersuci. Aryaza meninggal.

Saat dia menjalankan qiyamul lail. Dia menjelma menjadi seorang laki-laki yang mulia. Meskipun aku tak sempat

menatap wajahnya. Tapi, aku bisa merasakan kebaikannya dari tatapan mata anaknya, Biruza.

Tiga laki-laki yang mengisi hariku. Aryaza, Vemas, dan Kahfi. Mereka telah menggoreskan banyak

kenangan untukku. Kenangian pahit maupun manis, yang akan aku kenang selamanya.

***

“Aku… aku benci sama Ummi!”

“Biru, tunggu. Kamu mau kemana, nak?”

125

Page 126: Bias Nuansa JIngga

“Kamu benar Qhan, kini aku merasakan hal yang sama denganmu. Aku bukan anak dari laki-laki yang

menjadi idolaku. Aku hanya seorang laki-laki bejat yang tidak sah menikahi ibuku. Apalagi sebutan yang pantas

untukku kalau bukan anak haram!” sesaat tamparanku melesat diwajahnya.

“Jangan sekali-kali kau ulangi perkataan itu. Kau adalah anakku. Dan aku takkan biarkan siapapun

menghinamu, nak!”

“Ummi, pertama kalinya aku merasakan tamparanmu. Terima kasih. Jangan harap kau akan melihat

wajahku lagi setelah itu.”

“Kak, aku ikut denganmu.”

“Biruza, Qiqhan, kembali nak!!!”

Mereka berlalu dihadapanku. Aku serasa ingin mati saat itu juga. Suara Qiqhan saat mendeklamasikan

puisi buatannya beberapa tahun yang lalu terngiang dibenakku.

Mungkin, aku bukan mutiara dalam hatimu

Mungkin, aku bukan tawa disudut bibirmu

Mungkin, engkau kecewa padaku

Karena ku tak bisa jadi inginmu

Ibu…

Hari ini pertama kali aku jujur padamu

Hari ini penuh berani ku ungkap padamu

Maafku… Maafku… Hanya maafku…

Ibu…

Aku tahu, aku terlalu hina untuk meraih maafku

Aku sadar, aku tak pantas meraih bahagiamu

Ibu…

Izinkan aku mengangkat tinggi senyummu

Saat menatap aku di ujunng cita

Ibu…

Sungguh sulit ku bayangkan

Besarnya pengorbananmu

Yang hanya ku balas dengan durhakaku

Ibu…

Maafkanlah aku…

Jika ada resah dan gundahmu, hadapkanlah padaku

Jangan kau simpan direlung kalbumu

Karena itu membuatku jauh…

Jauh dari surga dibawah telapakmu

126

Page 127: Bias Nuansa JIngga

Ibu…

Aku bersimpuh dihadapmu

Mengharap maafmu

Mendamba cintamu

Aku kini telah menjadi inginmu

Esok dan selamanya

Serasa tubuhku goyah mengingat semua itu. Semua terasa gelap bagiku.

***

“Ummi, ini Fiyah. Ummi, bangun.”

“Fiyah, kamu harus sabar. Ummi ga’ papa kok.”

“Tapi, Nek. Kak Biru dan kak Qiqhan jahat!”

“Ummi, Ummi, Ummi?” mataku berat terbuka, tapi aku mendengar rengekan keempat anakku. Aku harus

bertahan. Aku tak boleh lemah.

“Pagi semua! Dokter Velia mengalami kejadian beberapa tahun yang lalu saat dia sempat koma hingga

setahun. Tapi, sekarang tak terlalu parah. Akibat trauma di kepalanya. Sekarang dia dipastikan mengalami

vertigo.”

“Penyakitnya parah, Dok?”

“Penyakit Ibu adik digolongkan pada vertigo nonvestibular, sensasi yang dirasakan penderita adalah

melayang, bergoyang, atau sempoyongan. Serangan biasanya terjadi terus-menerus, tetapi tidak ada mual maupun

muntah. Vertigo akibat gangguan sistem visual biasanya dicetuskan oleh situasi yang ramai, banyak orang atau

benda lalu lalang. Jadi, baiknya dihindari yang seperti itu.”

“Lalu bagaimana menyembuhkan penyakit ini, Dok?”

“Selain dengan obat, bisa juga dengan terapi. Latihan itu adalah metode Brandt-Daroff, berupa latihan

membaringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, diselingi duduk tegak dengan kaki tergantung. Latihan lain adalah

latihan visual vestibular yang dibedakan bagi penderita yang masih harus berbaring, bisa duduk, atau sudah

mampu berdiri. Ada juga latihan yang berupa gerakan mata ke berbagai arah secara runtut dan teratur serta

gerakan kepala ke kiri dan kanan. Dengan latihan dan obat yang tepat terhadap penyebabnya, vertigo bisa diatasi

sehingga kualitas hidup penderita bisa pulih. Kalaupun dunia tetap berputar, penderita tak lagi merasa ikut

berputar. Begitu kira-kira, dik. Tidak usah terlalu cemas. InsyaAllah Dokter Velia bisa cepat membaik. Kalau

begitu, saya permisi dulu ya.”

“Ya, terima kasih Dok.” mataku mulai bisa dibuka. Aku melihat semuanya putih.

“Ummi? Nek, Ummi sudah sadar!”

“Baguslah!”

127

Page 128: Bias Nuansa JIngga

***

“Biruza dan Qiqhan, mana?”

“Mereka sedang perjalanan kesini. Kamu istirahat yang cukup aja.” tiba-tiba dari balik pintu aku

mendengar petikan gitar. Aku yakin itu pasti Biruza. Ya, Allah semoga ini bisa menjadi obat untuk sakitku.

Seorang wanita bermahkota ibu

Menggenggam jari-jari kecil

Ikatan itu tidak kan terurai

Karena tautan ini tautan darah dan akidah

dan Rahmat dari Allah

Kini Ibu peganglah tanganku ini

Biar kubawa ibu menjelajah hasil titik peluhmu

Biar kubawa ke alamku hasil ukiranmu selama ini

Tautan darah dan akidah dan rahmat dari Allah

Dodoyanmu Ibu membina benteng pemisah

Antara yang hak dan yang bathil, membakar semangat perjuangan

Mengait kasih pada junjungan tercinta,

bersujud lemah mengabdi diri kepada yang Esa

Jika belum pernah kau dengar ucapan terima kasihku,

dengarkanlah doaku ini, semoga Tuhan mengasihimu,

sebagaimana kau mengasihiku,

dari dulu hingga kini dan untuk selama-lamanya.

Dan, semua anakku bernyanyi. Mereka memberikanku sebuah lagu yang selalu aku nyanyikan sebelum

mereka tidur.

Who should I give my love to?

My respect and my honour to?

Who should I pay good mind to

After Allah and Rasul-Allah?

Comes your mother

Who next? Your mother

Who next? Your mother

128

Page 129: Bias Nuansa JIngga

And then your father

Cause who used to hold you

And clean you and clothe you?

Who used to feed you

And always be with you?

When you were sick

Stay up all night

Holding you tight?

That right no other

My mother

Who should I take good care of

Giving all my love?

Who should I think the most of

After Allah and Rasul-Allah?

Comes your mother

Who next? Your mother

Who next? Your mother

And then your father

Cause who used to hear you

Before you could talk?

Who used to hold you

Before you could walk?

And when you fell

Who pick you up?

Clear your cut?

No one but

Your mother

My mother

Who should I stay right close to?

129

Page 130: Bias Nuansa JIngga

Listen most to?

Never say no to

After Allah and Rasul-Allah?

Comes your mother

Who next? Your mother

Who next? Your mother

And then your father

Cause who used to hug you

And buy you new clothes?

Comb your hair and blow your nose?

And when you cries who wiped your tears?

Knows your fears?

Who really cares?

My mother

Say Alhamdulillah

Thank you Allah

Thank you Allah

For my mother

Aku terdiam. Tangisku tak tertahan. Mereka memelukku erat. Anak-anakku yang kini menjadi satu-

satunya kebahagiaanku.

Aku memeluk Bunda, yang selama ini telah memberikan aku kesempatan untuk menjadi ibu yang baik

untuk keenam anak-anakku.

Terima kasih Bunda, aku sangat mencintaimu. Takkan pernah aku lupa akan pengorbananmu untukku.

Kahfi, dia kembali untuk pergi. Kini, anak-anakku akan selalu kembali padaku, dan takkan pernah pergi

meninggalkanku. Karena, nanti mereka yang akan menghantarkanku ke surga. Surga tempat aku betemu dengan

Nya. ALLAH yang selalu dicinta.

***

130

Page 131: Bias Nuansa JIngga

*11*

SECERCAH CAHAYA MERCUSUAR

Biruza Hudzaifah, Veqiqhan Fatihah, Tsaqofiyah Al-Mumtahanah, Hafazzah Zalazah, Zayrha

Mahiannisa, dan Fahren Afsahdan. Biru, si sulung yang kini menyelesaikan tahun terakhirnya di Teknik

Arsitektur ITB. Qiqhan, putri keduaku yang memilih untuk menulis dan melukis kini menjajaki negeri IKJ. Fiyah

siswi kelas dua SMA favorit Jakarta yang diamanahkan menjadi ketua An-nisa. Fazzah, laki-laki 14 tahun yang

selalu membuatku gemas untuk mengasah bakat menyanyinya, menjadi lead vokal tim Nasyid di sekolahnya.

Zayhra, gadis kelas enam SD yang lucu sekali hobinya menari dan teater. Terakhir, pria lucuku, Fahren, anak

bungsuku yang berumur tiga tahun. Semua buah hatiku yang aku sayangi. Tumbuhlah kalian menjadi anak-anak

yang shaleh.

Meskipun aku kini menjadi single parent. Tapi aku tetap mampu memainkan peran ayah mereka. Di

umurku yang hampir berkepala lima ini, aku berusaha menjalani kehidupanku dengan senyuman. Semua yang

telah terjadi padaku adalah ibrah untuk yang lain. Aku yakin, kisahku ini akan banyak memberikan pelajaran

kepada yang lain.

Aku memutuskan untuk menetap di Yogyakarta. Karena, aku rasa kota ini adalah tempat terbaik aku

berlabuh. Dari Padang, Jakarta, dan akhirnya Yogyakarta sebagai tempat terakhir aku berkisah.

Sleman, medio September…

Rumah sederhana yang aku kontrak ini hanya untuk satu tahun. Setelah itu aku akan pindah ke Kaliurang

atas. Karena, Yayasanku telah resmi dibuka, Oktober lalu. Tapi, aku belum bisa menetap disana. Aku masih ingin

mengabdikan diriku pada kota ini. Seorang sahabat menawarkan pekerjaan padaku. Pertama, menjadi dosen di

Fakultas Kedokteran. Kedua, menjadi dokter di RS Sardjito. Untuk yang pertama aku terima, untuk yang kedua,

aku lebih menyarankan untuk memberikan kesempatan kepada yang lain.

Disini, aku tinggal bersama Fahren. Kelima anakku masih di Jakarta. Aku pikir ada baiknya mereka

pindah kesini, ketika kenaikan kelas. Aku selalu membawa Fahren jika mengajar ke Kampus. Untungnya,

mahasiswaku tidak protes, malah mereka bilang menambah semangat belajar. Soalnya Fahren sering membuat

kelucuan yang memang menggelitik penglihatan mereka.

***

Langkahku menyisir parkiran Fakultas Kedokteran. Sambil mengecek kembali file-fileku, aku terus

memperhatikan dimana letak mobilku. Tiba-tiba,

“Assalammua’laikum, Mbak!” mataku menoleh biasa saja dan aku terkejut, siapa yang telah berdiri di

depanku.

“Wa’alaikumussalam, Mas Nuri?”

131

Page 132: Bias Nuansa JIngga

“Wah, sudah lama tak bersua, Mbak Velia tetap kelihatan seperti dulu.”

“Ah, nyindir nih, umur udah tua gini, masa masih sama.”

“Yah, walaupun umur Mbak udah tua, tapi wajahnya masih tigapuluhan.”

“Hahahaha, Mas Nuri paling bisa kalo becanda.”

“Ini ga’ gombal lho! Hahaha. Bagaimana kabar keluarga?”

“Alhamdullilah, semua lancar.”

“Saya, ikut berduka atas kepergian suami Mbak.”

“Duh, makasih lho nih. Mana istrimu Mas?”

“Sini, bawaannya biar aku yang bawa.” dia meraih berkas-berkas yang aku genggam. Aku jadi teringat,

pada peristiwa beberapa tahun yang silam. Saat aku masih menjadi mahasiswa Pascasarjana. Saat itu, teman yang

pertama kali aku kenal adalah Nuriawan. Setelah diantar oleh Maulana, aku bertemu dengan dia. Yah, waktu itu

umurku masih 22 tahun. Kategori muda untuk menjadi seorang pascasarjana.

“Hai, aku Nuriawan, panggil aja Nuri. Kamu?”

“Velia andyra, panggil aja Vel.”

“Dari?”

“Padang. Anda?”

“Surabaya.”

“Dulu dari sini juga, atau dari Surabaya?”

“Maksudny? S1 gitu?”

“Ya.”

“Disini, yah at least tau banyaklah bagaimana Kampus ini.” aku mengangguk pelan, sambil

memperhatikan namaku dipanggil.

“Jadi, kalo kamu mau tau Jogja bagaimana, hubungi aja aku.” dia tertawa dan begitu juga aku.

Aku menjadi teman baiknya, kebetulan dia mengambil spesialis yang sama denganku. Yah, kami sama-

sama mendambakan gelar Sp.A. Aku semakin akrab dengannya. Dia memiliki kepribadian yang ringan. Dalam

artian dia sangat peka dengan lingkungan sekitar. Selain itu, Nuri adalah laki-laki yang pintar. Baik dalam bergaul

dan berbicara dimuka umum. Tak salah kalau dalam beberapa acara dia ditunjuk sebagai Master Of Ceremony,

tak jarang juga kita tampil berpasangan. Selain itu dia juga memiliki ilmu agama yang baik. Dia tidak banyak

berkata, tapi lebih sering bertindak. Wajahnya yang biasa saja menjadi luar biasa karena karisma yang ia miliki.

Banyak dari adik-adik mahasiswi strata satu yang terpaut dengannya. Suatu kali waktu kami berjalan kearah

laboratorium.

“Mas Nuri, bisa Bantu kita nggak?” sesaat langkah kami berhenti. Dan aku tersenyum pada dua orang

gadis tinggi yang berbicara dengan logat Jakarta. Mereka tidak memakai kerudung. Hanya celana dasar dan

kemeja yang terbalut ditubuh gadis yang keduanya berambut panjang. Aku mendengar bisik mereka.

“Oh, ini dia pacarnya Mas Nuri.”

“Iya, biasa aja, mending juga kita.” rasa panas kupingku mendengarnya. Tapi, apadaya dan apa hakku.

132

Page 133: Bias Nuansa JIngga

“Ssst, jangan gossip terus, apa yang bisa Mas Bantu?”

“Gini Mas, kita mau ngadain baksos ke Kaliurang. Mas mau ikut ga’? Ngasih penyuluhan gitu kek, atau

apa kek!”

“Kok, pake “kek” segala. Kayaknya nggak jelas gitu toh programnya.”

“Yah, pokoknya Mas harus ikut!” tangan gadis yang berkacamata menarik kemeja gadis yang satu lagi.

“Wah, ada maksud lain kiranya?”

“ Ga’ Mas, kalo emang ga’ bisa, yah ga’ apa-apa sih.”

“Kapan toh?”

“Weekend inilah, Sabtu-Minggu. Kita bakal nginep kok, kalau buat Mas nggak pake insert. Piye?”

“Wah, enak juga nih. Piye Mbak Vel?”

“Apa? Oh, maaf dari tadi saya ga’ konsentrasi menyimak pembicaraanya.”

“Piye? Mau ikut nggak? Anak koas mau ngadain baksos weekend ini. Bisakah?”

“Lho, saya kan ga’ diundang toh? Yah, Mas Nuri kalau dibutuhkan, sebaiknya pergi.”

“Kalo Mbak Vel ndak pergi, saya juga ndak pergi.” ah, dia seperti anak-anak. Pastilah kedua gadis itu

membenarkan apa yang mereka duga selama ini.

“Jangan kayak anak-anak Mas. Saya,”

“Gimana Mbak, bisa ga’?” gadis berkacamata agak ketus bertanya padaku. Aku hanya mengangguk dan

“InsyaAllah.”

***

Kaliurang, beberapa tahun yang silam...

Bakti sosial ini memang rutin diadakan oleh Fakultas Kedokteran ini. Biasa kita pergi ke Desa terpencil

dan memberikan penyuluhan disana. Kali ini adalah tempat yang paling dekat. Biasanya mereka keluar dari

Yogyakarta. Aku mengemasi barang-barangku dengan sigap. Sebelumnya aku telah meminta izin dengan Tante

Miranda. Dan kebetulan Maulana juga menjadi panitia penyelenggara. Dia memang aktif di BEM-FK.

Karangwuni sepi pagi itu, yah maklum masih jam enam pagi. Aku tinggal di daerah Karangwuni. Memang agak

jauh dari fakultasku, tapi kawasannya lebih baik dan nyaman.

Aku menelusuri jalan yang senyap. Seakan diam-diam menghitung langkahku menuju perempatan gang

megatruh, lebih dikenal perempatan Gading Mas. Karena, swalayan ini sangat terkenal bagi masyarakat Jogja

yang sering melewati jalan kaliurang KM 5.

Kami memilih berjalan, soalnya motor Maulana sedang rusak. Jadi, pagi itu kita sekalian olahraga. Aku

memulai perjalanan dengan bismillah. Aku berjalan disebelah kiri jalan. Tampak plang Hotel Ishiro seakan

mengajak untuk segera mendekap jalan disekitarnya. Aku menatap gedung MM (Magister Manajemen) yang

berdiri kokoh dan indah.

“Maulana, baiknya kita lewat mana nih?”

133

Page 134: Bias Nuansa JIngga

“Kalo lewat depan Balairung aja gimana Mbak?”

“Boleh juga, tapi kita ketemuan di belakang toh? Dekat pos satpam ke arah Sardjito?”

“Iya, ada jalan yang lebih cepat mungkin?”

“Gimana kalo kita lewat Fakultas Biologi aja. Nanti langsung sampai di dekat pos satpam.”

“Ohya, aku rasa itu jalan yang terbaik. Mbak sering lewat sana?”

“Yah, hampir tiap hari. Soalnya Mbak punya sahabat disana, sekarang dia udah jadi dosen muda di

Biologi.”

“Oh, pantaslah.”

Daun-daun kering membanjiri jalan kesehatan yang membentang dari utara hutan biologi hingga selatan.

Aku menatap hening, kelopak bunga yang memerah diatas pohon-pohon kekar yang memadati area hutan buatan

ini. Aku menatap lurus ke depan, beberapa Bus telah siap membawa kami ke Kaliurang.

“Mbak Vel, akhirnya pergi juga.”

Nuriawan tersenyum dan berlari kecil menujuku. Maulana mengangguk pertanda ingin pamit berjalan ke

arah para panitia. Percakapan itu tak bisa aku hindari. Yah, aku sadari dia menyihirku.

“Iya, ntar kalo aku ga’ pergi, aku mendzalimi gadis-gadis itu pula.”

“Maksudnya?”

“Yah, ntar mereka jadi ga’ semangat kerja deh… soalnya kan ga’ da Mas Nuriawan yang gagah dan

berani ini. Wueeeek!”

“Muji ya muji aja Mbak, ga’ usah pake muntah segala. Hehehehe.”

“Yah, terserahlah.” ia mengajakku melangkah ke arah para residen dan mahasiswa lainnya. Sambil

setengah berbisik, Nuri berkata “Pasti akhir pekan ini akan menyenangkan.”

***

Para calon dokter Indonesia ini telah memadati isi bus mini pariwisata. Mereka telah siap dengan segala

perbincangan. Baik seputar ilmu mereka, atau menyerempet ke permasalahan politik, bahkan sampai agama. Yah,

begitulah mereka, lebih memilih bercerita tentang itu, daripada harus membahas masalah cinta dan kehidupan ini.

Mereka memang gila ilmu. Di Negeri ini, profesi seorang dokter memang menjadi idaman semua orang. Tapi,

sebenarnya peluang kerja sudah lama terkubur untuk mereka. Hanya yang kompetitif yang sukses. Dan yang

terpenting seorang dokter yang mulia, itu yang rakyat butuhkan. Bukan dokter yang gila harta. Yang menjadikan

profesi mulia mereka sebagai tambang harta. Dan, pada kenyataannya para generasi medika saat ini berfikir

kearah sana. Uang adalah segala-galanya.

Suatu saat nanti aku bercita-cita ingin menjadi seorang pengabdi masyarakat yang dapat berbuat banyak

untuk negeri ini. Aku tidak mau menjadi dokter yang hanya menjual ilmu. Tapi, juga menjual jasa. Yah,

keinginan mulia itu sedang menghantuiku. Bakti sosial ini menghantarkanku pada sebuah impian menuju harapan.

“Hai, lagi mikirin apa? Boleh duduk disini?”

134

Page 135: Bias Nuansa JIngga

“Terserah!”

“Wah, aku ada salah ya? Kok kamu jutek gitu?”

“Salah? Banyak.”

“Ah, masa sih? Wah, aku dzalim dong sama kamu?”

“Dah tau malah nanya. Dasar aneh!”

“Aneh-aneh, tapi menarikkan?”

“Bagi mereka mungkin. Tapi, bagiku. Nggak lah ya.”

“Yakin? Jangan benci gitu dong ma aku.”

“Siapa yang benci sama kamu?”

“Tuh, Bu dokter yang lagi cemberut.”

“Ngsak ngerasa ya?” tiba-tiba seorang gadis berjilbab datang menghampiriku.

“Mbak Vel, ada yang mau kami bicarakan. Boleh disini?”

“Boleh.” aku menggerakkan kepalaku pertanda memohon Nuri untuk pindah.

“Maaf jadi merepotkan.”

“Ah, Ngaak papa, ada apa ya?”

“Mbak kenal dengan Mas saya?”

“Siapa?”

“Mas Dani, dia setahun diatas Mbak. Sekarang lagi di spesialis paru-paru.”

“Iya, kenapa dengan Mas kamu?”

“Dia, ingin mengkhitbah Mbak.”

“Apa?”

“Jangan keras-keras Mbak. Tuh kan, semua jadi ngelihat kita.”

“Maaf.” wajahku tersipu malu.

“Tapi, aku Nggak kenal sama dia. Tahu wajahnya saja tidak.”

“Pernah ikut pelatihan ESQ kan?”

“Oh, pernah. Emangnya kenapa?”

“Di sana dia kenal Mbak.”

“Jangan-jangan, Dokter Hamdani?”

“Yah, itu Mas saya.”

“Ya ampun, saya memanggilnya Mas Nugie. Namanya kalo ga’ salah Nugroho Hamdani kan?”

“Iya, nama kerennya memang Nugie. Tapi, biasanya dia dipanggil Dani.”

“Oh begitu. Ya, saya kenal kalo begitu. Dia orang yang menyenangkan tapi…,”

“Tapi apa Mbak?”

“Saya sudah ada yang minta sebelum itu. Bagaimana dong?”

“Yah, mungkin Mbak bukan jodohnya kakak saya.”

“Sebelumnya, saya minta maaf. Saya sangat menghargai keberanian Mas Nugie dan kamu, dik!”

135

Page 136: Bias Nuansa JIngga

“Maaf juga, kalau saya terlalu lancang menyampaikan hal ini.”

“Afwan.”

“Saya kembali kesana ya, Mbak!”

“Monggo.”

Ada-ada saja. Mas Nugie memang sempat mengetuk hatiku untuk berpaling dari Kahfi. Karena, dia mirip

sekali dengan Kahfi. Semuanya, senyumnya, suaranya, matanya, jalannya, pokoknya semua mereka mirip. Hanya

saja, cintaku sudah lama terpaut pada seorang Kahfi.

“Duarrr.”

“Nuri!”

“Ah, gitu aja marah. Udah sampe tuh!”

“Udah tau!”

“Yeh, cemberut dia. Tapi, tambah manis kok!”

“Nuri, aku ga’ suka!”

“Aku suka. Suka kamu. Hahaha.” dia lari turun menerobos yang lain. Dasar orang aneh!

***

Malam di Kaliurang memang sedikit menantang. Dinginnya menyalami nadiku. Untung, aku membawa

sweater yang cukup tebal untuk menemaniku beraktifitas malam ini. Setelah seharian memberikan penyuluhan.

Aku memilih untuk bergabung dengan yang lain. Mereka sedang berkumpul mengelilingi api unggun.

Tak pernah kuduga

semuanya berubah

saat kau memandangku

bergetar hati ini

kau berikan harapan tentang

warna warni hariku

semenjak ada dirimu

dunia terasa indahnya

semenjak kau ada disini

kumampu melupakannya

kini aku tak sabar

ingin hati kau untukku

nyatakanlah kepadaku

janji indah yang kutunggu

semua kini telah bersinar lagi

136

Page 137: Bias Nuansa JIngga

takkan kuingat dia

semenjak ada dirimu

dunia terasa indahnya

semenjak kau ada disini

kumampu melupakannya

semenjak ada dirimu

semua terasa indahnya

semenjak kau ada disini

tak ingin melepaskanmu

where are you

when I needed you

Now that I found someone new

Lagunya Andity melantun indah keluar dari suara Nuri. Dia memang pandai sekali bernyanyi. Pernah,

jadi vokalis grup band soalnya.

“Lagu yang baru saya nyanyikan itu, sebenarnya adalah ungkapan hati saya kepada seseorang.”

Hatiku berdesir kencang sekali. Jangan-jangan dia nekat. Ah, tapi kok aku jadi GR-an gini ya? Bodo amat

lah!

“Siapa Mas?”

“Ada deh… mau tau aja! Hahahaha. Ohya Arin mana?”

“Jangan-jangan, wanita itu Arin ya?”

“Cieeeeeeeeeeeeeeeeee!!!” semua bersorak tertawa kegirangan. Aku sengaja berkata seperti itu, agar

dugaan tak berlari mengejarku.

“Ah, Mbak Velia bisa aja!”

“Ya iyalah!”

“Udah, ah kalian ini berdebat terus.”

“Arin dari mana aja sih? Nuri nyariin tuh! Hahahaha.”

“Ah Velia jangan gitu. Aku jadi ga’ enak hati.”

“Cieeeeeeeeeeeeeeeee!!!”

“Udahlah, jangan dibahas lagi. Ntar banyak yang sakit hati. Iya ga’?”

“Huuuuuuuuuuuuuuuuuu!!!”

Malampun berlalu. Semua terasa sangat melelahkan, tapi, mataku tak jua mampu terpejam. Aku memilih

duduk di pendopo menatap bintang yang selalu menemani sepiku. Aku melihat Arin berdiri dibawah sinar bulan

malam itu. Dia sedang berbicara dengan Nuri. Aku perlahan mendekati mereka secara diam-diam. Aku

bersembunyi dibalik semak yang rimbun.

“Nuri, jadi selama ini kamu anggap aku apa?”

137

Page 138: Bias Nuansa JIngga

“Arin, kita cuma teman, ga’ lebih.”

“Kita udah sama-sama sejak SMA. Kamu ingat ga’? Apa aja yang telah kamu perbuat padaku?”

“Maksud kamu apa? Jangan mengada-ngada kamu.”

“Aku mencintai kamu Nuri.”

“Tapi, kita udah punya pasangan masing-masing.”

“Ya, jangan sampai mereka tau tentang perselingkuhan ini.”

“Gila kamu!”

“Pacarmu di Surabaya ga’ bakal tau kok.”

“Tapi, pacarmu adalah sahabatku. Apa mungkin aku tega padanya.”

“Tapi, kamu inginkan bersamaku?”

“Sudahlah, Arin.”

“Lihat mataku, aku serius!”

“Aku juga serius. Aku sebenarnya,”

“Apa?”

“Sudah lama putus dengan dia.”

“Bagus itu.”

“Tapi, kini aku sedang menaruh hati pada seorang gadis.”

“Apa? Siapa?”

“Kamu ga’ usah tau.”

“Aku akan habisi dia!”

“Jangan nekad kamu!”

“Nekad? Aku bisa melakukan apa saja dengan uangku. Satu hal lagi! Kamu telah melihat bagaimana aku

menyingkirkan rivalku, kan?”

“Dia gadis baik-baik. Kamu jangan pernah mengusik dia.”

“Siapa? Jawab?”

“Aku ga’ akan kasih tau.”

“Aku akan cari tau. Dan setelah itu kamu tahu akibatnya.”

***

Bulu kudukku merinding, jika mengingat ancaman Arin tadi malam. Malang sekali gadis itu jika dia

harus mati ditangan wanita pembunuh berdarah dingin itu. Wajahnya saja yang manis, tapi hatinya busuk. Aku

baru tahu sebuah kebenaran tentangnya. Setidaknya aku bisa membantunya berubah agar menjadi lebih baik.

Seperti kemarin, kami juga melakukan kegiatan yang sama dan akan diakhiri dengan makan bersama di

kampung tempat kami bakti sosial. Banyak yang dapat kami bagi disini. Kami membantu mereka membuatkan

kakus yang sehat dan juga bagaimana cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Aku masih merasa fit, hingga

138

Page 139: Bias Nuansa JIngga

sore nanti mungkin masih bisa bertahan. Yah, maklumlah aku sempat mengangkat beban yang berat saat mendaki

tadi. Tapi, ini belum seberapa dari yang lain. Mungkin mereka lebih parah. Ada yang lecet dan bahkan luka yang

cukup serius.

“Velia itu sempurna untukku.”

“Maksud kamu apa Nur?”

“Kau setuju jika aku melamarnya?”

“Apa?”

“Velia? Sedang apa kau disini?”

“Aku,”

“Farid sepertinya Allah memang memilihkan dia untukku.”

“Ah, kamu ini Nur.”

Hatiku sungguh cemas, apalagi jika Arin mendengarnya. Bisa-bisa aku mati ditangan gadis beringas itu.

Aku segera berlari menuju penginapan. Aku benar-benar harus memisahkan diri untuk sesaat. Sesampainya

disana, aku langsung dihampiri adiknya Mas Nugie.

“Mbak, ada kabar buruk.”

“Ada apa?”

“Mas Nuri dan Mas Farid hanyut dibawa air.”

“Apa?”

“Tapi, sudah berhasil diselamatkan. Sepertinya mereka dipatok ular berbisa.”

“Dimana mereka sekarang?”

“Di pendopo.”

Aku segera bergegas kesana. Aku mencoba mengingat apa yang pernah kubaca tentang gigitan ular

berbisa. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan dugaan itu benar atau tidak.

“Bagaimana ini Mbak? Saya bingung!”

“Tenang Maulana, kita pastikan dulu mereka digigit ular atau tidak.”

Setahuku ciri khas dari gigitan Ular berbisa adalah adanya 2 titik bekas tusukan gigi rahang atas ular. Aku

melihatnya tepat di dada mereka. Dan biasanya gejala yang dirasakan penderita setelah digigit ular adalah rasa

nyeri pada bekas gigitan, bengkak, warna kebiruan akibat adanya perdarahan dibawah kulit. Dan gangguan

pernafasan, denyut Jantung atau gangguan syaraf tergantung dari jenis bisa ular. Yah, aku mulai mengecek

kondisi mereka. Semua dugaan benar. Mereka telah digigit ular berbisa. Kini, aku harus memastikan banyak atau

sedikitnya bisa yang masuk. Biasanya, makin banyak bisa ular yang masuk ke dalam tubuh, makin dekat gigitan

itu dengan letak jantung dan makin ganas racun ular yang masuk maka akan makin cepat efek racun ular terlihat.

Aku rasa racun ini bersifat hemotoksis yang merusak sel-sel darah.

“Yang harus kita lakukan pertma kali adalah mengikat anggota tubuh dengan ikat pinggang, tali, dasi.

Pada bagian sebelah proksimal kearah Jantung dari gigitan ular. Untuk mencegah racun ular menyebar ke bagian

tubuh yang lain. Usahakan agar penderita menjadi tenang dan tidak banyak bergerak. Keaktifan penderita akan

139

Page 140: Bias Nuansa JIngga

mempercepat racun menjalar ke seluruh tubuh. Bawalah penderita secepat mungkin ke RS terdekat untuk

mendapatkan perawatan selanjutnya. Itu yang ku tahu.”

Setelah menjelaskan dan mempraktikkannya. Aku bergegas membawa mereka ke Rumah sakit. Aku takut

akan berakibat fatal.

“Biasanya Di Rumah sakit bekas gigitan akan dirawat dan bila memungkinkan racun akan dikeluarkan

dengan cara menyedot darah di bekas gigitan, lalu diberi suntikan Anti Bisa Serum dan diberi suntikan ATS Anti

Tenus Serum terakhir diberikan suntikan anti nyeri. Semoga kita belum terlambat.”

***

Rumah sakit Sardjito, Yogyakarta…

Sudah lebih satu jam mereka didalam. Aku belum juga mendapat kabar tentang kondisi mereka. Aku

yakin, mereka akan terselamatkan. Rasanya aku takkan bisa memaafkan diriku jika mereka tidak selamat.

“Sudahlah Mbak Vel. Mari kita berdoa untuk mereka.” aku menganggukkan kepalaku dan segera

memohon pada yang maha kuasa.

Ya Rabb, berikanlah kekuatan kepada kedua sahabatku ini. Mudahkanlah urusan mereka. Jika memang

ajal mereka dekat, wafatkanlah mereka secara baik-baik Ya Allah.

Aku sesak saatku lupa

Gundah tengah menyerangku

Menggigit nadiku

Menekan atlasku

Berjalan aku sulit

Bicara aku tak mampu

Datar…

Wajahku hanya datar,

menatap ruang keramaian yang terasa hampa

Ditanya, aku diam…

Disapa, aku beku…

Aku diam, diam, diam, dan diam

Aku tersiksa dengan lupaku

Aku begitu luruh

Guruh menghempaskan rasa salahku

Pupus…

Sudah menghimpitku

140

Page 141: Bias Nuansa JIngga

Namun…

Satu hal yang mampu menopang ragaku

Percayaku atas jalanMu

Aku mengembalikan memoriku pada sebuah puisi yang pernah aku bawakan saat masih duduk di bangku

SMA. Aku yakin, hati Nuri dan Farid seperti yang ku gambarkan dalam puisi itu. Semoga mereka mampu

bertahan.

“Dokter Velia?”

“Ya, saya.”

“Alhamdullilah Dokter Nuri dan sahabatnya selamat.”

“Alhamdullilah. Allahuakbar!” aku lega juga akhirnya. Ternyata doa kami diijabah oleh sang penguasa

cinta. Hanya Dia yang akan didamba sampai nafas ini benar-benar bergantung didekatNya. Betapa aku bahagia

hari ini. Sebuah keajaiban telah terpatri dalam diri seorang Nuri.

***

Lambat laun akhirnya Arin tau juga siapa yang dicintai Nuri saat ini. Entah aku bersuudzon padanya atau

memang itu terjadi benar adanya. Pasca sehatnya Nuri dan Farid. Aku mulai diteror.

“Velia, mau ga’ nemenin Mbak ke Toilet?”

“Oh, boleh.”

Aku melangkah santai ke arah toilet, dan sesaat mataku terpana dan seakan jantungku ingin pecah. Ketika

aku melihat darah tertulis jelas dicermin Toilet itu.

AWAS!!! AKU AKAN SELALU DIDEKATMU!!!

Nadiku berpacu cepat, keringat dinginku mengalir deras. Pertanda apa ini?

“Vel, iseng banget yah ini orang.” aku hanya mengangguk penuh cemas dan segera berlalu.

“Aku tunggu diluar aja Mbak.”

“Oh ya.”

Diluar aku menunggu dekat pintu keluar Laboraturium lantai enam ini. Aku melihat kearah taman dekat

tugu kebanggaan Fakultas Kedokteran. Disana aku melihat Arin dan kawan-kawannya sedang bercanda ria.

Mataku segera berpaling kearah lantai. Aku melihat sebuah surat yang tergelatak begitu saja dilantai. Tulisannya

“UNTUK dR. VELIA”

Aku meraih dan membukanya dengan tangan yang bergetar.

“NURI MILIKKU, JAUHI DIA ATAU KAU AKAN MENJEMPUT AJALMU SENDIRI”

Jantungku seakan ingin berhenti. Aku hampir gila karena ini. Sejak beberapa teror menghantuiku. aku

menghilang untuk sesaat. Sudah hampir satu minggu aku tak bertatapan dengan Nuri. Saat dia berusaha

mendekatiku, aku terus beralasan macam-macam. Aku lebih menyibukkan diri untuk bergabung dengan Jama’ah

141

Page 142: Bias Nuansa JIngga

Shalahuddin di Universitas. Seketika itu pula tak ada lagi teror yang menghampiriku. Entah mengapa aku yakin

itu dari Arin.

***

Yogyakarta, saat aku menemukannya kembali…

“Istriku telah lama meninggal. Aku Cuma punya satu anak. Perempuan, sekarang masih SMP kelas 1.”

“Kalau aku punya enam anak.”

“Wah, banyak juga ya, Mbak. Istriku meninggal saat Nana berumur tiga tahun. Dia divonis kanker rahim

dan sudah stadium akhir.”

“Aku ikut berduka, Mas.”

“Oh ya, mengapa memilih Jogja menjadi tempat berlabuh?”

“Karena, aku rasa, disini aku menemui ketenangan.”

“Yah, aku juga begitu.”

“Ini mobilku.”

“Oh ya, ini barang bawaanya.”

“Terimakasih ya Mas.”

“Sama-sama. Keep contact ya Mbak.”

“InsyaAllah. Masih nomor yang lama?”

“Ya, saya orangnya setia.”

“Duluan. Assalammua’laikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Aku melaju bersama mobil kesayanganku. Pertemuan sesaat ini membuatku kembali bersemangat.

Setidaknya aku kini memiliki sahabat untuk berbagi masa lalu.

Sekip sesak sekali. Banyak mahasiswa yang memadati kawasan ini. Aku berencana untuk singgah

sebentar di Mirota Kampus. Aku ingin membeli beberapa perlengkapan rumah tangga. Hari ini, Mbok Ijah

datang. Dia yang akan membantuku mengurus rumah tangga sementara ini.

Mirota belum banyak berubah. Hanya sedikit ada kemajuan pada produk-produk yang dijajakan, pastinya

juga dekorasi tempat yang jauh lebih baik. Aku membeli perlengkapan dapur dan kamar mandi. Setelah itu aku

memutuskan untuk segera pulang dan sebelumnya menjemput Fahren di tempat sahabatku, Ayu. Dia dan

suaminya Ahmad memilih menetap disini sejak beberapa tahun yang lalu. Tak banyak yang bisa ia lakukan di

Denpasar.

***

142

Page 143: Bias Nuansa JIngga

Kampus biru menatapku lembut. Nadiku berguncang hebat saat memasuki kawasan Kedokteran. Entah

apa yang membuatku begini. Hari ini aku akan mengajar kuliah umum tentang ilmu anak. Di depan ratusan

mahasisiwa Kedokteran Umum.

Setelah memasuki ruangan seminar. Aku duduk paling depan menghadap ratusan mahasiswa. Tampak

disampingku beberapa dokter pediatri. Salah satu diantaranya adalah dr.Nuriawan, Sp.A. Aku kali ini mendapat

bagaian untuk membahas apa itu pediatri alias ilmu kesehatan anak.

“Assalammua’laikum warahmatullahiwabarakatuh. Selamat siang! Sebelum masuk pada kuliah umum

ini, saya mau memperkenalkan diri, karena saya adalah dosen baru disini. Nama saya, dr.Velia Andyra, Sp.A,

saya berasal dari Padang, Sumatera Barat dan dulu berdomisili di Jakarta. Mungkin itu saja pengenalan singkat.

Agar waktu yang kita gunakan ini efektif saya langsung saja pada topik kuliah kita siang ini.

Pediatri atau ilmu kesehatan anak ialah spesialisasi kedokteran yang berkaitan dengan bayi dan anak.

Kata pediatri diambil dari dua kata Yunani kuno, paidi yang berarti "anak" dan iatros yang berarti "dokter".

Sebagian besar dokter anak merupakan anggota dari badan nasional seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia,

American Academy of Pediatrics, Canadian Pediatric Society, dan lainnya. Abraham Jacobi adalah bapak dari

pediatri. Pediatri berbeda dengan kedokteran dewasa. Perbedaan fisik tubuh yang jelas dan kematangan

pertumbuhannya menjadikan kesehatan anak berdiri sebagai spesialisasis tersendiri. Tubuh yang lebih kecil dari

bayi memiliki aspek fisiologis yang berbeda dari orang dewasa. Aspek kedokteran lainnya ikut terpengaruh

seperti defek kongenital, onkologi, dan immunologi. Sederhananya, menangani pasien anak bukan seperti

menangani pasien dewasa versi kecil.

Pada abad ke-19 satu dari lima anak meninggal sebelum usia 5 tahun. Sebagian besar kematian itu

diakibatkan oleh penyakit menular. Kini beberapa dari kematian itu dicegah dengan menyembuhkan penyakit saat

hal itu terjadi. Sebagian besar dari mencegah penyakit dengan imunisasi.

Pada kali ini penyakit yang akan saya bahas adalah disentri. Bagi yang ingin mengajukan pertanyaan,

silahkan mempersiapkannya sejak awal saya menerangkan tentang penyakit ini. Setuju?”

“Setuju.” serempak semua mahasiswa menjawab penuh semangat.

“Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys berarti gangguan dan enteron berarti usus, yang berarti

radang usus yang menimbulkan gejala meluas, tinja lendir bercampur darah. Gejala-gejala disentri antara lain

adalah buang air besar dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja

bercampur lendir (mucus), dan nyeri saat buang air besar atau tenesmus.”

“Disentri yang disebabkan oleh Bakteri Disentri basiler pada umumnya ada empat macam. Seperti :

Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering kurang lebih 60% kasus disentri yang dirujuk serta

hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella, Escherichia coli

enteroinvasif , Salmonella, dan Campylobacter jejuni, terutama pada bayi. Selain disebabkan oleh bakteri juga

ada yang dinamakan disentri amoeba ini disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia diatas 5

tahun.”

143

Page 144: Bias Nuansa JIngga

“Nah, pada kuliah ini, kita akan membahas tentang Disentri Basiler dan Disentri amoeba. Mungkin kita

lebih banyak diskusi setelah ini. Jadi, untuk sesi pertama dipersilahkan tiga orang. Saya serahkan kembali kepada

moderator.”

Alhamdullillah, ternyata mereka sangat bersemangat sekali menanggapi apa yang telah aku sajikan.

Banyak diantara mereka yang bertanya. Semoga aku dan tim dokter bisa menjawabnya.

“Terima kasih atas kesempatannya, saya ingin bertanya Antibiotika apa yang bisa kita berikan pada anak

jika ternyata sang anak positif terjangkit disentri?”

“Baik, mungkin dr.Velia langsung bisa menjawab, karena beliau adalah dokter yang paling cerdas dalam

menghafal semua jenis antibiotika.”

“Terima kasih atas kesempatannya. Anak dengan disentri harus dicurigai menderita shigellosis dan

mendapatkan terapi yang sesuai. Pilihan utama untuk Shigelosis menurut anjuran WHO: Kotrimokasazol

trimetoprim 10mg/kbBB/hari dan sulfametoksazol 50mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis, selama lima hari. Dan

dari hasil penelitian, tidak didapatkan perbedaan manfaat pemberian kotrimoksazol dibandingkan placebo 10.

Alternatif yang dapat diberikan : Ampisilin 100mg/kgBB/hari dibagi dalam empat dosis, Cefixime 8mg/kgBB/hari

dibagi dalam dua dosis, Ceftriaxone 50mg/kgBB/hari, dosis tunggal IV atau IM, dan Asam nalidiksat

55mg/kgBB/hari dibagi dalam empat dosis.

Perbaikan seharusnya tampak dalam dua hari, misalnya panas turun, sakit dan darah dalam tinja

berkurang, frekuensi BAB berkurang. Bila dalam dua hari tidak terjadi perbaikan, antibiotik harus dihentikan dan

diganti dengan alternatif lain yaitu terapi antiamubik diberikan dengan indikasi : Ditemukan trofozoit Entamoeba

hystolistica dalam pemeriksaan mikroskopis tinja, tinja berdarah menetap setelah terapi dengan dua antibiotika

berturut-turut masing-masing diberikan untuk dua hari, yang biasanya efektif untuk disentri basiler, dan terapi

yang dipilih sebagai antiamubik intestinal pada anak adalah Metronidazol 30-50mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga

dosis selama sepuluh hari. Bila disentri memang disebabkan oleh E. hystolistica, keadaan akan membaik dalam

dua sampai tiga hari terapi.”

“Luar biasa jelasnya. Mari kita beri tepukan hangat untuk dokter muda kita ini.”

“Selanjutnya, mungkin pertanyaan terakhir ya, soalnya waktu kita tinggal sepuluh menit lagi. Sayang

sekali ya, Dok. Padahal banyak yang harus dibahas lagi tentang disentri.”

“Dok, saya mau tanya nih, perbedaan antara disentri basiler dan disentri amoeba apa?”

“Disentri basiler biasanya diikuti dengan diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada

disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan

setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja, panas tinggi 39,50 - 400 C,

appear toxic, muntah-muntah, anoreksia, sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB, dan kadang-kadang

disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi.

Kalau Disentri amoeba pada umumnya Diare disertai darah dan lendir dalam tinja, frekuensi BAB umumnya lebih

sedikit daripada disentri basiler, sakit perut hebat yaitu kolik, dan gejala konstitusional biasanya tidak ada, panas

hanya ditemukan pada 1/3 kasus.”

144

Page 145: Bias Nuansa JIngga

“Baiklah, semua pertanyaan telah dibahas tuntas oleh dr. Velia Andyra. Selanjutnya kita masuk pada

pengenalan penyakit lainnya yang akan disajikan oleh dr.Nuriawan, Sp.A kepada beliau dipersilahkan.”

***

“Mbak, luar biasa sekali. Mahasiswa sepertinya takjub sekali dengan cara Mbak menerangkan tanpa

melihat teks. Amazing banget!”

“Mas Nuri juga kok, jangan berlebihan gitu.”

“Oh ya, hari ini anak saya terima raport di sekolahnya. Rencananya habis itu saya mau traktir dokter dan

Fahren. Bagaimana?”

“Wah, saya suka ditraktir. Tapi, saya jemput Fahren di Masjid dulu ya. Tadi, mahasiswa saya

menawarkan diri untuk menjaganya.”

“No problem.”

Aku menyapa buah hatiku, dia berlari mengejar dan memelukku. Aku minta dia untuk pamit pada

mahasiswa yang bersedia menjaganya tadi. Dia menyalami santun gadis berhijab itu. Aku pun menjabat hangat

tangannya dan segera berlalu menuju parkiran.

“Kita mau kemana Ummi?”

“Mau jalan-jalan sama Om Nuri dan putrinya.”

“Holeeeeee!”

“Hai Fahren, apa kabar?”

“Baik, baik, dan baik Om Nuli.”

“Nuri, sayang!”

“Nuli, Ummi!”

“Fahren memang anak yang menggemaskan. Mari Mbak, silahkan!”

Aku bersamanya melaju menuju sekolah Nana, putri semata wayang Nuri. Di dalam mobil, Fahren

dengan lincahnya bercerita pada Nuri tentang hero yang dia sukai. Memang terlihat sangat menggemaskan.

Sesampainya di sekolahannya Nana, Nuri memintaku untuk ikut turun. Awalnya aku menolak tapi tak ada

salahnya pikirku.

“Papa, Nana malu nih sama teman-teman. Dari dulu yang jemput raport Nana, pasti Papa melulu, ga’

pernah yang lain!”

“Wah, anak Papa udah bosan nih sama papa?”

“Pa, Tante cantik ini siapa?”

“Ini Tante Velia, teman lama Papa.” dia menyalami tanganku santun dan merundukkan badannya untuk

menyapa Fahren. Rambutnya yang lurus menambah aura kecantikan dalam dirinya.

“Tante, mau kan jemput raport aku?”

145

Page 146: Bias Nuansa JIngga

“Boleh, kebetulan sekali sudah rindu rasanya ingin mendengar curhat wali kelas saat terima raport gini,

dulu kan Tante juga sering begini. Ya sudah, kelasmu dimana?”

“Ayo, Tante. Ntar Fahren biar aku yang jaga diluar.” tanganku diraihnya mesra, seakan aku bisa

merasakan betapa rindunya dia pada sosok seorang ibu. Kelas yang rapi dan asri. Aku menunggu dengan tenang

namanya dipanggil. Aku berharap dia mendapatkan nilai yang baik. Dan itu benar, ketika namanya disebut

sebagai juara umum di sekolah itu. Aku maju, sebagai tantenya. Tapi, betapa bangganya dia saat semua orang

takjub melihat kehadiranku. Mungkin, mereka mengira aku adalah ibunya. Tapi, tak apalah. Kalau dia senang aku

akan merasa jauh lebih senang dari itu, kini aku menemukan secercah cahaya dari kehidupanku yang dulu mulai

padam. Akankah cahaya itu akan benar-benar aku genggam? Wallaahualam.

***

146

Page 147: Bias Nuansa JIngga

*12*

BIAS NUANSA JINGGA

Kisahku berlabuh diantara banyak cinta. Kehidupanku ini terdsain spesial. Allah Maha besar dengan

segera kehendakNya. Setelah sekian lama aku mencari sebuah arti kesetian, akhirnya aku menemukan juga,

kepada siapa kita hendak berlabuh.

Cerita ini mungkin telah usai, tapi kenangan itu akan tetap menorehkan sejarah perjalanan hidup seorang

Velia Andyra yang kini telah genap berumur setengah abad. Yah, perjalanan yang cukup panjang.

Kehadiran seorang Nuriawan setidaknya menambah liku dalam hidupku. Dia menjadi sosok beberapa

tahun yang lalu. Saat kami pertama kali bertemu. Dia mengakui rasa cinta itu masih ada. Kekaguman pada diriku

itu masih tersisa. Karena, memang dia belum berubah. Perhatian dan kasih sayangnya kini kembali aku rasakan.

Kini telah memasuki tahun ajaran baru. Aku sedang sibuk mencari sekolah terbaik untuk Fiyah, Fazzah,

dan Zayhra. Qiqhan memutuskan untuk pindah kesini. Dia ingin melanjutkan studinya. Dia ingin lebih serius

menekuni seni. Tapi, terbesit dalam dirinya ingin menjadi seorang dokter sepertiku. Sebulan yang lalu dia ikut tes

di Jakarta. Alhamdullilah dia lulus di tempat aku mengajar. Fakultas Kedokteranku. Untung saja, aku tidak ada

mengajar mahasiswa baru. Jadi, takkan ada yang berfikiran buruk pada putriku. Biruza bulan depan wisuda. Aku

dan semua keluargaku akan menghadiri acaranya di Bandung. Aku bahagia luar biasa. Akhirnya, aku merasakan

apa yang Bundaku rasakan beberapa tahun yang lalu. Saat aku juga merasakan nikmatnya diwisuda.

Adisucipto, awal kebanggaanku…

Aku menanti penuh kerinduan bersama fahren dan Nuriawan. Seperti apa anak-anakku kini. Dulu, aku

berdiri disini sebagai seorang mahasiswa. Yah, seperti mereka, aku masih polos dan belum tahu apa-apa. Kini,

aku tak menyangka, serasa baru kemarin aku menginjakkan kaki di negeri ini. Ya Allah, terima kasih atas

waktuMu untukku. Diakhir perjalanan hidupku ini, aku ingin berbuat sesuatu untukMu.

Akhirnya, waktu yang aku tunggu-tunggu datang juga. Aku melihat lima bersaudara berjalan ke arahku.

Tiga gadisku yang menghijab dirinya dan dua laki-laki gagahku. Mereka tampak bahagia dengan senyum yang

merekah dibibirnya.

“Ummi, aku kangen banget!”

Qiqhan, putriku. Dia memelukku erat sekali. Dilanjutkan oleh semua anak-anakku.

“Fahren, sini sama Kak Biru. Wah, kenalin dong Mi temannya!”

“Oh ya, maaf Ummi sampai lupa. Kenalin, ini Om Nuriawan, teman lama Ummi.”

“Hai, anak-anak. Kalian memang sholeh-sholeh ya.” mereka satu persatu menyalami tangan Nuri. Aku

merasa ada kehangatan yang berbeda.

“Ya sudah, ayo kita langsung pulang aja. Pasti kalian sudah lelah sekali, kan?”

“Yuhu. Om benar banget. Qiqhan capek banget nih.”

147

Page 148: Bias Nuansa JIngga

“Kalau begitu, yang akhwat sama Ummi and yang ikhwan sama Om Nuri. Soalnya ga’ muat nih

mobilnya.”

“Ok deh.” jawab Biru mantap membawa trolly kearah mobil.

Dalam perjalanan menuju rumah. Qiqhan banyak cerita tentang kegembiraannya lulus di Fakultas

Kedokteran dan bagaimana persaingannya dengan anak SMA.

“Tau nggak Mi? Ada anak SMA yang satu les ma aku, dia itu jatuh cinta gitu deh ceritanya. Padahal dia

nggak tahu, kalau aku dua tahun lebih tua dari dia. Hahahaha.”

“Parahnya lagi Mi, itu kakak kelasnya Fiyah di sekolahan.”

“Tapi, kalian nggak nakal kan?”

“Dikit Mi, kita kerjain gitu deh. Hahahaha.”

“Kerjain gimana?”

“Aku minta tolong Kak Biru gitu deh. Jadi gini, waktu pulang les itu, Kak Biru jemput aku. Terus kita sok

mesra gitu deh. Dia cemburu abis and nyebur ke got. Hahaha.”

“Kalian ini, udah minta maaf?”

“Udah sih, pas lulusan kemaren.”

“Ummi, Zayrha juga punya cerita.”

“Cerita apa sayang?”

“Aku ikut lomba menulis. Terus tulisan aku masuk Mi, tapi seminggu lagi terbitnya. Ummi baca ya.”

“Subhanallah. InsyaAllah sayang. Kamu memang anak pintar!”

“Masih jauh Mi?”

“Ga’ deket kok. Ini juga udah sampe.”

***

Akhirnya apa yang aku dambakan terwujud juga. Sekarang semua keluargaku berkumpul. Kami mulai

membenahi kehidupan yang baru. Menata semua hal yang sempat tergoncang karena kepergian Kahfi.

Ini adalah hari pertama Qiqhan mengikuti ospek di Kampus, begitu juga Fiyah, ini adalah hari

pertamanya di sekolah yang baru. Fazzah dan Zayrha masih istirahat di rumah. Mereka akan masuk sekolah satu

minggu lagi. Sedangkan Biru langsung akrab dengan Nuri. Dia mengajak Biru jalan-jalan melihat arsitektur yang

menakjubkan di Negeri ini.

Aku dan Fahren memilih untuk mengajak Zayrha dan Fazzah ke Malioboro. Setidaknya langkah awal

memperkenalkan kota ini. Karena mereka akan tinggal lama di Negeri ini dan aku akan melihat perkembangan

mereka disini. Mungkin sampai nafasku terenggut ajal.

Kehadiran Nuriawan sangat membantu keluargaku. Dia menjadi sosok ayah bagi mereka. Tak heran jika

anak-anakku cepat dekat dengan mereka. Ya, itu adalah salah satu keahlian seorang dokter anak. Dia bisa

membaca keinginan anak tersebut. Sikap Nuri akhir-akhir ini berubah drastis. Dia menjadi sangat perhatian.

148

Page 149: Bias Nuansa JIngga

Malam ini dia dan Nana akan berkunjung ke rumahku. Kebetulan ada acara syukuran menyambut kehidupan yang

baru di negeri yang baru.

“Ummi, Om Nuri itu baik ya. Jangan-jangan dia menaruh hati pada Ummi. Cieee!”

“Qiqhan, kamu ini. Masih kayak anak-anak aja.”

“Ummi, meskipun udah tua, Om Nuri tetap ganteng ya? Tadi aja pas ospek banyak yang naksir!”

“Apa? Mustahil!”

“Yah, ga’ percaya dibilangin ma anaknya. Ya sutra lah, ntar Ummi jadi cemburu pula.” dia berlari sehabis

menggodaku. Dasar Qiqhan!

“Qiqhan, awas kamu yah!”

“Ummi, masak apa? Biru dah laper nih.” tangan gagahnya mencomot sepotong ayam goreng.

“Biru, itu untuk nanti. Kamu ini nakal yah, sama tuh sama si Qiqhan.” sambil duduk di ruang tengah dia

dan Qiqhan mulai beraksi.

“Dek, Kakak suka kok kalo Ummi jadian ma Om Nuri. Cocok gitu loh! Hahahahaha.”

“Mulai deh, gitu yah sama Ummi sekarang?!”

“Tapi Ummi, beliau itu memang pantas jadi ayah kita.”

Fazzah dan Zayrha ikut bergabung dengan mereka. Apalagi yang akan mereka utarakan.

“Ummi, Nana itu manis yah, pasti cocok ma aku. Ya ga’?

“Eh, Fazzah. Kak Biru ga’ setuju ya, soalnyakan Om Nuri mau jadi ayah baru buat kita.”

“Oh ya? Kalau gitu Fazzah ngalah deh buat Ummi.” mukaku memerah, aku mulai gelisah. Sambil

memegang serbet aku mengancam akan mengejar mereka.

“Hey, awas yah kalian!” terjadi hal yang diinginkan, aku berlari mengejar keempat anak nakal itu. Tiba-

tiba,

“Assalammua’laikum.”

“Tuh, yayang Nuri udah datang.” ujar Qiqhan menggoda.

“Biru, kamu bukain pintunya ya. Ummi mau beres-beres dulu.”

“Cieeeeeee… dandan nie!”

“Qiqhan, siapin makanannya! Bawel banget anak satu ini!” aku melangkah ke kamarku. Fahren masih

tidur. Aku beranjak mencari pakaian yang lebih rapi. Setelah aku rasa penampilanku baik, akupun melihat Fahren

bangun dan mengigau. Aku menggendongnya keluar.

“Kenapa Mi, Fahren ngigo lagi ya?”

“Iya, seperti biasa. Ohya, Fiyah tolong Ummi jagain Fahren yah.”

“Dengan senang hati.” aku memberikan fahren pada Fiyah, dia memandikan dan merapikan si bungsu

yang lucu itu. Aku membawa jasadku menuju ruang tamu. Cukup senyum datar untuk menyambut Nuriawan dan

pelukan hangat untuk Nana.

“Langsung aja ya Vel, aku mau mengutarakan maksudku malam ini. Aku dan Nana merasa cocok dengan

keluargamu. Aku punya harapan suci ingin meminangmu. Boleh?”

149

Page 150: Bias Nuansa JIngga

“Apa? Kamu pandai bercanda ya.”

“Wah, serius ini kelihatannya Om!”

“Biruza mungkin paham maksud saya.”

“Ya, saya juga paham maksudmu Mas, tapi,”

“Mi, jangan kayak lagu edqoustic ya, yang ituloh nantikanku dibatas waktu.” aku tersenyum. Aku ingat

seseorang pernah menyanyikan lagu itu. Ya, dialah Kahfi. Saat aku menonton festival Nasyid di Muaro, Padang.

Dikedalaman hatiku tersembunyi harapan yang suci

Tak perlu engkau menyangsikan

Lewat kesalihanmu yang terukir menghiasi dirimu

Tak perlu dengan kata-kata

Sungguh walau kukelu tuk mengungkapkan perasaanku

Namun penantianmu pada diriku jangan salahkan

Kalau memang kau pilihkan aku

Tunggu sampai aku datang nanti

Kubawa kau pergi kesyurga abadi

Kini belumlah saatnya aku membalas cintamu

Nantikanku dibatas waktu

“Bagaimana Vel, kamu menerimanya? Atau,”

“Pada dasarnya, aku akan menikah untuk anak-anakku. Karena, mereka yang terpenting saat ini dari

apapun. Jadi,”

“Kami setuju sekali, kalau Ummi dan Om Nuri menikah.”

“Alhamdullilah. Saya akan menyegerakan prosesi acaranya.”

“Yah, kalau bisa bulan depan saja. Di kota Bandung InsyaAllah. Ba’da wisudanya Biru. Bagaimana?”

“Baiklah, saya setuju. Oh ya ngomong-ngomong, udah lapar juga nih.”

“Astaghfirullah al’adzim. Mari silahkan.”

***

Keputusan kilat ini aku ambil karena anak-anakku terlalu mendamba Nuriawan menjadi ayahnya. Aku

hanya ingin membahagiakan mereka. Malam ini aku kembali seperti biasa mendongengkan kisah para sahabat

Nabi dan orang terkenal di masanya. Kali ini aku bercerita tentang Rabiah Al-adawiyah.

150

Page 151: Bias Nuansa JIngga

“Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenal dalam sejarah Islam. Dia

dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrah berhampiran kota Basrah di Iraq. Dia lahir dalam sebuah keluarga

yang miskin dari segi kebendaan namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnya pula hanya bekerja

mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlah dengan menggunakan sampan.

Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah

yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai

berlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari

dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud

hampir lenyap sama sekali.

Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah

tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan

al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik

jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang

benar-benar taat.

Bapak Rabi’ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir daripada kemewahan dunia dan tidak

pernah letih bersyukur kepada Allah. Dia mendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih.

Pendidikan yang diberikannya bersumberkan Al-Quran. Rabi’ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati

isi Al-Quran sehigga berjaya menghafal kandungan al-Quran.”

“Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itu semakin buruk setelah

beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Ada riwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat.

Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan asas keimanan yang belum padam di hatinya, dia dipermudahkan

oleh Allah untuk kembali bertaubat. Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyadarkan serta

mendorong hati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba bergantung harap kepada belas ihsan

Tuhannya.”

Fahren sudah tertidur, aku melanjutkan lamunanku tentang sang idola, Rabiah Al-Adawiyah. Aku ingat

sebuah ucapan Rabi’ah sewaktu kesunyian diketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:

“Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau daripada segala yang ada yang boleh

memesongkan diri daripada-Mu, daripada segala pendinding yang boleh mendinding antara aku dengan Engkau!

Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidur nyenyak, semua pemilik telah menutup

pintunya dan inilah dudukku di hadapan-Mu.

Tuhanku! Tiada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiran pohon yang bergeser, tiada

desiran air yang mengalir, tiada siulan burung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiada

tiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkan melainkan aku dapati semua itu menjadi

bukti keEsaan-Mu dan menunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.

151

Page 152: Bias Nuansa JIngga

Sekalian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyik maksyuknya. Yang tinggal hanya

Rabi’ah yang banyak kesalahan di hadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanya

yang akan menahannya daripada tidur supaya dia dapat berkhidmat kepada-Mu.” (Rabiah Al-Adawiyah)

Rabi’ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:

“Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyian kepada keagungan-Mu.

Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yang mendalam dan karena kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut

bertepukan. Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yang terang, falak yang bulat,

bulan yang menerangi, bintang yang berkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab Engkaulah

Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa.” (Rabiah Al-Adawiyah)

Setiap malam begitulah keadaan Rabi’ah. Apabila fajar menyingsing, Rabi’ah terus juga bermunajat

dengan ungkapan seperti:

“Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti. Wahai malangnya diri!

Apakah Engkau akan menerima malamku ini supaya aku berasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya

maka aku diberikan takziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkau menghidupkan aku

dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jika Engkau menghalauku daripada pintu-Mu itu, niscaya aku

akan tetap tidak bergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu.” (Rabiah Al-Adawiyah)

Aku semakin kagum pada sosok Rabiah karena ia seolah-olah tidak mengenali yang lain daripada Allah.

Dia tidak mempunyai tujuan lain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi’ah telah mempertalikan akalnya,

pemikirannya dan perasaannya hanya kepada akhirat semata-mata. Dia senantiasa meletakkan kain kapannya di

hadapannya. Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam sembahyangnya: “Ya Tuhanku!

Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku daripada-Mu.”

Aku ingat syairnya yang masyhur berbunyi:

“Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,

Tiada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,

Kekasihku ghaib daripada penglihatanku dan peribadiku sekalipun,

Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun.” (Rabiah Al-Adawiyah)

Aku ingin menjadi sepertinya dan juga seperti Fatimah Azzahra. Malam ini aku tidak tidur. Aku

bermunajat seperti yang dilakukan Rabiah Al-adawiyah. Hingga subuh menjelang aku masih tetap teguh diatas

sajadahku.

***

152

Page 153: Bias Nuansa JIngga

Hari sudah terlampaui bulan. Kini aku berada di negeri Almarhum suamiku, Kahfi. Aku menyaksikan

wisuda anak pertamaku. Dia tampak gagah sekali dengan toganya. Kebaya coklat tua dengan hijab yang menutupi

punggung aku berjalan menuju ruangan yang telah dipersiapkan. Disana aku bertemu seseorang, dialah Zahraku.

Aku bertemu kembali dengannya setelah sekian lama dia hilang. Aku memeluknya erat. Tanpa mengeluarkan kata

sepatahpun. Aku ingat sewaktu dulu aku berkata padanya.

“Andaikan namaku Zahra, aku akan bangga!”

Karena Imam Shadiq as berkata: Fathimah as di sisi Allah memiliki 19 nama seperti Fathimah, Shiddiqah,

Mubarakah, Thahirah, Zakiyah, Radhiyah, Mardhiyah, Muhaddatsah dan Zahra. Dan kenapa Zahra? Karena

cahaya wanita yang dimuliakan Allah ini dalam sehari tiga kali menyinari Imam Ali as. Ketika ia berada di

mihrabnya untuk melakukan ibadah, cahayanya menyinari seluruh manusia, sebagaimana cahaya bintang-bintang

menyinari penduduk bumi. Subhanallah memang nama yang indah.

Aku masih menatapnya, tak terasa air mataku meleleh. Aku kembali memeluknya. Aku teringat waktu dia

pertama kali mengenalkannku pada Fatimah Azzahra.

“Fatimah az-Zahra adalah puteri bungsu yang mulia Rasulullah S.A.W, Muhammad bin Abdullah bin

Abdul Muthalib bin Hasyim. Siti Fatimah Az-Zahra dilahirkan pada hari Jumat 20 Jamadil Akhir yaitu tahun

kelima sebelum Nabi saw menjadi Rasul. Ketika itu kaum Quraisy sedang memperbaiki dan membangun kembali

Ka’bah disebabkan banyak kerusakan pada bangunan tersebut. Siti Fatimah putri kesayangan Nabi s.a.w.

mendapat gelaran Assidiqah (wanita terpercaya), Athahirah (wanita suci) Al-Mubarakah (yang diberikahi Allah)

dan yang paling sering disebutkan adalah Fatimah Azzahra (bunga yang mekar semerbak). Dia juga digelari Al-

Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu,

akhlaq, adab, hasab dan nasab. Fatimah lebih muda dari Zainab, isteri Abil Ash bin Rabi' dan Ruqayyah, isteri

Usman bin Affan. Juga dia lebih muda dari Ummu Kalsum. Siti Fatimah az-Zahra menyaksikan sendiri betapa

halangan dan rintangan yang telah dihadapi ayahandanya dalam memperjuangkan Islam. Ketika Nabi s.a.w.

dihina dan diletakkan najis binatang saat Nabi saw sedang sujud, dengan tangisan kesedihan Siti Fatimah

membersihkan tubuh Nabi s.a.w. dari kotoran yang taburkan oleh kaum Quraisy.”

“Kepada Salman Al-Farisi, Rasulullah SAW pernah bercerita tentang kearifan yang dicapai oleh Fatimah.

Baginda bersabda, "Wahai Salman, ketahuilah bahawa Allah SWT telah memenuhi kalbu dan seluruh jiwa raga

puteriku dengan keimanan." Al-Hassan menuturkan; "Ibuku adalah dia yang memenuhi malamnya dengan doa

dan munajat hanya karena umat Muhammad." sebagai pendamping hidup Imam Ali r.a, Fatimah juga tampil

sebagai isteri yang ideal dan suri rumah yang penuh tanggung jawab. Bahkan beliau turut menggerakkan beberapa

protes sosial terhadap status-quo yang merampas kekhalifahan Ali r.a dan pencerobohan ke atas tanahnya.”

“Demikian besar pribadi Fatimah sehingga insan sehebat Imam Ali r.a merasa tenang dan damai di

sisinya. "Demi Tuhan, hingga akhir hayatnya, tidak pernah aku merasa kecil hati dengan perilakunya atau

memaksanya. Begitu juga tidak pernah dia merasa marah terhadapku atau tidak mentaatiku. Saat aku melihat

Fatimah" Kata Imam Ali, "Hilanglah duka dari seluruh jiwaku".”

153

Page 154: Bias Nuansa JIngga

Aku menangis mengingat semua itu. Dia adalah sahabat yang mengenalkanku tentang islam. Tak satu

patah katapun yang keluar dari bibirku. Acarapun dimulai, aku mengenggam erat tangannya.

***

“Vel, maafkan aku.”

“Zahra, aku yang seharusnya minta maaf.”

“Ini putramu?”

“Ya, Biruza Hudzaifah. Dan dia putrimu?”

“Azzahra, nama yang kau dambakan bukan?” aku memeluk erat putrinya.

“Semoga kau menjadi seperti Azzahranya Rasulullah. Amin.”

“Velia, kau masih sama. Aku merindukanmu.”

Zahra memeluk erat tubuhku. Aku masih terkejut dengan semua kenyataan ini. Kebahagiaan yang luar

biasa di ujung hariku.

Aku memperkenalkan dia pada Nuri. Kamipun mengajak dia dan keluarga menuju rumah Ibu Sarah.

Disana semua keluarga telah berkumpul. Hari ini Nuriawan akan mengkhitbahku secara resmi.

Ustadz Harist memulai acaranya dengan tausiyah tentang Khitbah.

“Tidak boleh seorang muslim meminang wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya di masa iddah.

Karena waktu iddah adalah waktu yang suci bagi pasangan sebelumnya, maka ia tidak boleh dilanggar. Yang

berhasrat boleh saja memberitahu kepada seorang janda yang ditinggal mati suaminya bahwa ia ingin

menikahinya, ketika janda itu masih menjalani masa-masa iddah. Itu pun dilakukannya dengan bahasa sindiran,

bukan dengan bahasa terang-terangan. Allah swt. berfirman, "Dan tidak ada dosa bagi kalian meminang wanita-

wanita itu dengan sindiran." (A1-Baqarah: 235).”

“Diharamkan pula melamar wanita yang sedang dilamar orang lain, jika telah terjadi kesepakatan dengan

pihak pertama. Yang demikian itu karena pelamar pertama telah mendapatkan hak yang harus dihormati. Hal ini

perlu diperhatikan dalam rangka menjaga hubungan dan cinta kasih di tengah masyarakat, di samping untuk

menghindarkan seorang muslim dari perilaku yang bertentangan dengan sifat ksatria, karena perilaku ini mirip

dengan penculikan dan permusuhan. Lain halnya jika pelamar pertama telah beralih pandangan atau ia sendiri

mengizinkan kepada pelamar kedua. Dalam hal ini tidaklah mengapa.”

“Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seorang rnukmin adalah saudara bagi

mukmin lainnya. Karena itu, tidak halal baginya melakukan transaksi di atas transaksi saudaranya dan tidak boleh

meminang pinangan saudaranya." HR. Muslim.”

“Imam Bukhari meriwayatkan bahwa beliau saw. bersabda, "Seorang laki-laki tidak boleh melamar

lamaran laki-laki lain hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya." HR. Bukhari.”

Setelah itu masuklah pada acara inti yang sakral. Hari itu aku telah resmi dipinang olehnya. Pada

dirinyakah aku akan berlabuh?

154

Page 155: Bias Nuansa JIngga

***

Setelah kepulanganku dari Bandung. Aku ditugaskan untuk mencari tahu penyebab penyakit misterius di

Rumah sakit Tidar, Magelang. Menurut diagnosa sementara. Penyakit itu diakibatkan adanya virus hepatitis.

“Dokter yakin diagnosanya benar?”

“Yakin, karena pada penderita terdapat tanda-tanda yang sama dengan penderita yang terserang virus ini.”

“Virus hepatitis A terutama menyebar melalui tinja. Penyebaran ini terjadi akibat buruknya tingkat

kebersihan. Di negara-negara berkembang sering terjadi wabah yang penyebarannya terjadi melalui air dan

makanan. Termasuk negara kita. Mungkin penderita mengidap hepatitis A. Karena kalau Hapatitis B

penularannya tidak semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk darah.

Penularan biasanya terjadi diantara para pemakai obat yang menggunakan jarum suntik bersama-sama atau

diantara mitra seksual baik heteroseksual maupun pria homoseksual. Kalau Hepatitis C disebabkan akibat

transfusi darah. Virus hepatitis C ini paling sering ditularkan melalui pemakai obat yang menggunakan jarum

bersama-sama. Jarang terjadi penularan melalui hubungan seksual. Untuk alasan yang masih belum jelas,

penderita "Penyakit hati alkoholik" seringkali menderita hepatitis C. Saya rasa itu tidak mungkin. Soalnya

penderita banyak dari kalangan anak-anak, bukan?”

“Bagaimana dengan Virus hepatitis D? Biasanya hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B

dan virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki resiko tinggi

terhadap virus ini adalah pecandu obat. Karena, saya juga menemukan penderita seorang pria yang

mengkonsumsi obat-obatan terlarang.”

“Yah, tapi wabah yang menyerang kampung itu sepertinya akibat ketidak-hiegenisanya lingkungan.”

“Saya, telah mengintruksikan perawat untuk memberi obat antibiotika. Apakah tindakkan ini benar

Dokter Velia?”

“Sebaiknya kita menggunakan Calcium I + Cordyceps, cara pemakaiannya pagi hari 1 jam setelah makan

pagi 2 kapsul Cordyceps, siang hari (setelah makan siang)1 sachet Calcium I + 2 kapsul Cordyceps 1 jam setelah

minum Calcium I , dan sore atau malam hari setelah makan malam) 2 kapsul Cordyceps .”

“Yah, saya akan mengganti cara pengobatannya.”

“Untuk sementara waktu itu dulu. Sekarang kita harus memastikan diagnosa ini benar.” aku berlalu

dihadapan dua residen yang bertugas di Rumah sakit itu. Kini, aku menuju laboratorium.

***

Penyakit misterius itu akhirnya terungkap juga. Ternyata yang kami duga itu benar. Alhamdullilah semua

bisa diatasi dengan baik. Aku kembali ke Yogyakarta pagi ini. Hampir dua hari aku di Magelang dan selama itu

aku meninggalkan anak-anakku.

155

Page 156: Bias Nuansa JIngga

Kesibukanku kini bertambah. Aku dipercayai untuk menjadi pembicara dalam sebuah acara keagamaan

tentang hubungan agama dan ilmu kedokteran.

Aku mencoba membahas tentang teori Kedokteran Islam. Aku pernah membaca artikel yang

diterjemaahkan oleh A.Q.Khalid. Disana dia bercerita tentang sejarah kedokteran islam. Bermula pada abad ke 8,

ilmuwan Muslim secara berangsur mengembangkan pendekatan kepada dunia kedokteran dengan cara yang lebih

canggih dan tidak lagi memasukkan unsur takhayul padang pasir dari bangsa Arab. Dorongan utama datang dari

sekolah kedokteran Parsi di Jundishapur yang materi pelajarannya terutama sekali didasarkan pada praktek

kedokteran Yunani melalui metoda rasional. Kontak di antara Jundishapur dengan para penguasa Muslim di mulai

sejak tahun 765M yang berawal bukan pada pencarian kebenaran universal tetapi pada alasan yang lebih bersifat

pribadi dan segera yaitu adanya gangguan pencernaan kronis yang mengganggu penguasa Baghdad. Kepala tabib

dari Jundishapur adalah Jurjis. Tabib ini berhasil dan untuk itu ia diangkat sebagai tabib istana.

Sebagaimana halnya Jurjis, kebanyakan dari para praktisi pengobatan Islamiah awal adalah keturunan

Parsi yang berbicara dan menulis dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa ilmiah di Abad Pertengahan. Salah

seorang yang paling kondang dari para tabib Timur ini adalah Al-Razi yang hidup 865 – 925 M. Ia adalah dokter

terbaik di zamannya dimana ia disejajarkan dengan Hipokrates dalam orisinalitas deskripsi suatu penyakit. Razi

(dalam bahasa Latin – Rhazes) dikatakan telah menulis lebih dari dua ratus kitab dengan subyek menyangkut dari

kedokteran sampai kimia, theologi dan astronomi. Sekitar separuh dari kitab-kitab itu berkenaan dengan

kedokteran, termasuk di antaranya yang terkenal tentang penanganan penyakit cacar. Dalam telaahnya tentang

penyakit cacar itu adalah Razi yang menjadi orang pertama yang membedakannya sebagai suatu penyakit khusus

dari antara demikian banyak demam eruptif yang menjangkiti manusia. Dengan memberikan simptomatis klinikal

dari penyakit cacar, ia membekali para tabib dengan pengetahuan untuk mendiagnosanya secara tepat dan

memprediksi perjalanan penyakit. Ia juga memberikan saran pengobatan atas penyakit tersebut. Ia menekankan

pengobatan dengan cara yang halus, diet makanan yang baik, perawatan yang teliti yang sepertinya sama seperti

yang diterapkan di masa kini yaitu istirahat, lingkungan bersih dan menjaga pasien tetap nyaman.

Meski Razi tidak tahu apa-apa tentang bakteria yang baru ditemukan di awal abad ke 17, ia memiliki

naluri intuitif mengenai prinsip-prinsip higiene, jauh melampaui standar abad pertengahan. Suatu ketika ia pernah

ditanya tentang pemilihan lokasi dari suatu rumah sakit baru di Baghdad. Untuk menelitinya ia lalu

menggantungkan irisan-irisan daging di beberapa tempat di kota tersebut. Ia menyarankan pendirian rumah sakit

di lokasi yang gantungan dagingnya paling lambat membusuk. Abad 10 dan 11 merupakan periode dari ahli-ahli

medikal dengan peringkat tertinggi. Al-Majusi mendominasi bidang medical internal di Timur, di Andalusia

muncul salah seorang sosok medikal akbar yaitu Al-Fahrawi. Ia adalah salah seorang ahli bedah Muslim terbesar

dan buku karangannya Kitabul Tarif yang merupakan ensiklopedia kedokteran merupakan pedoman definitive

bagi para ahli bedah selama berabad-abad. Periode ini juga merupakan masa berkembangnya karya-karya akbar di

bidang ophtalmologi (mata). Ali ibn Isa adalah orang pertama yang mengusulkan penggunaan bius (anastesia)

dalam pembedahan.

156

Page 157: Bias Nuansa JIngga

Sosok yang paling mencolok dan merupakan dokter Muslim yang paling terkenal adalah Abu Ali ibn

Sina, ‘pangeran kedokteran’ dan di kalangan cendekiawan serta dokter-dokter di Barat dikenal sebagai Avicenna,

sebagaimana juga banyak orang di Timur menyebut dunia medikal Islam sampai dengan hari ini. Ibnu Sina lahir

di Bukhara dan belajar sendiri ilmu kedokteran serta sudah termashur saat berusia delapanbelas tahun. Ia hidup

dari tahun 980 – 1037 M. Hasil karyanya mencakup 170 buku mengenai filsafat, medikal, matematika, anatomi

disamping juga puisi dan karya keagamaan. Salah satu karya yang paling terkenal adalah Al-Qanun fil-tibb

(Kanun Ketabiban) yang merupakan ensiklopedia tentang segala fase dari penanganan penyakit. Kitab ini menjadi

karya paling berpengaruh dalam sejarah kedokteran dunia.

Malam itu aku berdiri diatas kemegahan pentas kebanggaan. Aku terpilih menjadi Dokter teladan tahun

ini. Dan aku harap, aku tak hanya terbaik dimata mereka. Tapi, juga terbaik di mata Allah. Karena hanya

redhonya yang aku damba.

***

Aku hidup dengan hidupku. Kini aku menikmati diriku sebagai seorang dokter dan Ustadzah. Aku

mencintai keduanya. Kebahagianku telah lengkap. Aku tersadar ternyata selama ini aku hanya menjadi pendosa

cinta. Aku tak paham apa itu cinta sebenarnya. Cinta yang aku damba adalah seperti cinta Rabiah Al Adawiyah

kepada Allah.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu,

Hingga tak ada sesuatupun menggangguku dalam jumpa-Mu,

Tuhanku, bintang-bintang berkelap-kelip

Manusia terlena dalam buai tidur lelap

Pintu-pintu istanapun telah rapat tertutup

Tuhanku, demikian malam pun berlalu

Dan inilah siang datang menjelang

Aku menjadi resah gelisah

Apakah persembahan malamku Kauterima

Hingga aku berhak mereguk bahagia

Ataukah itu Kau tolak hingga aku dihimpit duka

Demi kemahakuasaan-Mu

Inilah yang akan selalu kulakukan

Selama Kauberi aku kehidupan

Demi kemanusiaan-Mu

Andai Kauusir aku dari pintu-Mu

Aku tak akan pergi berlalu

157

Page 158: Bias Nuansa JIngga

Karena cintaku pada-Mu sepenuh kalbu

(Rabiah Al-Adawiyah)

Kesetiaan cinta yang kucari adalah kesetiaanku mendampingiNya selama hidupku. Cinta yang selama ini

ku cari telah aku temukan. Jalan hidupku terlalu terjal tapi aku telah melabuhkan kisahku ditangaNya, dicintaNya,

dan di RidhoNya. Allah adalah tujuanku dan juga tujuan semua insan. Aku mendapatkan indah cintanya karena

Dia telah membukakan tabir. Tak ada hambatan aku mendekat padanya. Kini, aku menjelma menjadi seorang

Rabiah yang mulia dan Azzahra yang bersinar seperti bintang. Tujuanku telah kudapati. Hanya keteguhan yang

aku butuhkan untuk menapaki jalan yang sebenar-benarnya jalan. Jalan Allah menuju kemenangan.

Aku berjalan keluar. Perlahan aku tatap langit, aku ingin membuktikan kata ayah. Apakah benar jika hati

telah menemukan cinta sesungguhnya, saat kita melihat langit, maka langit akan membiaskan nuansa jingga.

Subhanallah! Jingga di langit begitu indah. Aku duduk diantara karang dan menatap matahari yang mulai

menyudut menghilang. Ragaku menikmati keajaiban Allah senja itu. Apa yang telah aku jalani adalah apa-apa

yang terindah dariNya. Hatiku seketika terasa lapang. Gamis putihku menyibak ditarik angin. Sekali lagi aku tatap

langit yang mulai menghitam. Perlahan, aku langkahkan kakiku menuju jalan. Benakku membahana, adzan telah

berkumandang, saatnya aku kembali menemui cintaku, Allah. Ya! Hanya Allahlah cinta yang sebenarnya.

“Buk? Mau kemana?” seorang gadis berjilbab putih mendekatiku.

“Mau ke Masjid!” dia menggenggam tanganku dan menuntunku perlahan.

Mataku terpejam dan aku merasakan sesuatu yang berbeda.

Dan,

Allahuakbar!!!

***

“Ummi? Ummi yakin kalau gadis itu,” mataku masih samar. Aku hanya dapat merasakan suara Biru

anakku yang menggema.

“Ummi?” aku tersenyum.

Aku perlahan melihat ke arah tas tanganku. Secara tak lisan aku memerintahkan Biru mengambilnya dan

mengeluarkan buku yang ada didalamnya.

Aku kembali tersenyum.

“Nak, berjanjilah, buku-kan buku ini untuk Ummi! Karena, disana semua kisah hikmah yang telah Ummi

lalui selama ini. Jadikanlah pelajaran yang nantinya akan membawamu kedalam kehidupan yang abadi.”

***

158

Page 159: Bias Nuansa JIngga

Itulah ibuku, orang yang paling aku cintai. Perempuan tangguh yang takkan tergantikan. Hal yang

paling menganggumkan yang pernah aku dapatkan dari beliau adalah ketika Ummi berpesan “Jangan pernah

membiaskan cinta, jika tak paham makna nuansa, karena akan membunuh jingga yang selalu kau agungkan!”

-Biruza Hudzaifah-

Yogyakarta, 01 Juli 2008

07:18 PM

Diantara kebisingan kamar yang tak teredam!

SELESAI

159

Page 160: Bias Nuansa JIngga

TAK HANYA SEKEDAR IMIPIAN

Penantian itu ada ujungnya. Kini aku telah sampai di ujung penantian itu. Menanti untuk sebuah impian

yang sempat tertunda. Dengan sisa semangat aku mulai membangun optimisme dalam diri. Ini akan selesai!!!

Semua takkan ada artinya tanpa ada yang mengijabah doa-doaku. ALLAHUAKBAR, tanpa itu pula

takkan ada semangat yang melingkari benakku. Aku melihat jauh ke masa lalu, melihat sebuah perjuangan yang

tak berbatas. Hari ini, aku bisa menikmati indahnya Islam karena perjuangannyalah, Rasulullahku.

Menulis itu tak mudah. Semuanya lahir dari potensi yang ada. Itu takkan hadir jika tak ada dukungan dari

orang-orang terdekat. Ibu dan bapakku yang selalu menemani langkahku, beliau tiada lelah menyemangati

hidupku. Mereka yang telah memberikan sebuah kehidupan yang lebih dari cukup, yang selalu memenuhi apa

yang aku butuhkan. Karya ini pun ku persembahkan sebagai tanda cintaku untuk mereka.

Apalah artinya hidup ini tanpa cinta. Cinta yang akan mengalahkan keangkuhan manusia. Persaudaraan

dan persahabatan yang takkan ternilai harganya. Sepupuku tercinta, Gilang Nuansa dan Gemilang Nirmala yang

selalu memberikan semangat dan masukan untukku, yang senantiasa meluangkan waktu untuk mendengarku.

Keluarga besar “Rumah Gadang”, keluarga besar bapakku, keluarga Belimbing, keluarga besar pendidikanku (TK

Pertiwi 2, SDN 05 Tan Malaka, SMPN 1 Padang, SMAN 1 Padang, dan Fakultas Biologi UGM) yang menjadi

bagian dari kekuatanku.

Kini tak hanya sekedar impian yang aku rasakan, tapi sebuah kenyataan. Kebahagian ini takkan ada tanpa

mereka semua, mereka yang mencintaiku apa adanya.

“Aku takkan pernah berhenti mencinta, hingga cinta menghentikan ku.”

THANKS TO :

Para sahabat…

BSC07 : Untuk semua dukungan, semangat, kerelaan untuk mengerti seorang Biaz yang keras! Kalian

adalah saudaraku, sahabatku, hatiku yang selalu bisa aku andalkan! Untuk Ayu, Lia, Firi, Hendy, Ibnu yang sudah

mau jadi pembaca pertama, dan Iman yang dengan senang hati membuatkan logo yang biaz minta.

FLPers : Sebuah pemantik yang luar biasa! Membukakan pikiranku untuk melanjutkan karya ini. Didekat

kalianlah aku bisa terus berkarya. Mba’ Iwul, Mba’ Lilo yang sudah mau mendengar ceritaku, Mba’ Ajeng yang

merupakan inspirator dan motivator, Mba’ Desy yang menyiramku dengan limpahan ilmu, Mas Budi yang sudah

dengan kerelaan hati menjadi editor plus membantu penuh sampai naskah ini bisa terbit, Club CWC yang menjadi

pompa semangatku, dan semua anak FLP yang telah dengan senang hati meyakinkanku, aku pasti bisa

menerbitkannya!!!

160

Page 161: Bias Nuansa JIngga

Organisasiku : Rohis Smansa Padang, BIMO-JMMB (Jamaah Mahasiswa Muslim Biologi), SENAT FB-

UGM yang dengan segala pengertiannya telah mengizinkanku terus berdedikasi diduniaku. Disanalah aku banyak

menemukan sesuatu yang berbeda dan luar biasa!

Bio’ers : Teman-teman 07 di Biologi, terimakasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca karya

kecilku ini. Buat Uda Rifki dkk, yang rela membuatkan disain cover awal yang memacu semangatku

menyelesakan novel ini, Resti yang dengan senang hati mendengarkan aku, terimakasih untuk semuanya!

Asasong-team : Untuk semua waktu, semangat, dan ilmu yang telah diberakan, aku tak bisa hanya

mengucapkan terimakasih. Karena, kalian meyakinkan aku, bahwa aku tak sendiri! Jazakillah ya ukhti…

Special Person : Kepada semua yang telah dengan kerendahan hati meluangkan waktunya membaca

naskah novel ini sebelum jadi buku, terimakasih! Karena kalian adalah semangatku!

Semoga impian yang telah aku raih ini menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk semua!

161

Page 162: Bias Nuansa JIngga

CURICULUM VITAE (Untuk kepentingan Profil Penulis)

Nama Lengkap : ISTI ANINDYA

Nama Pena : [BIAZ]

Tempat, Tanggal Lahir : SALIDO, 21 November 1989

Alamat Asal : Jl. Anggur II No.102 Perumnas Belimbing, Kuranji,

Padang, Sumatera Barat

Alamat di Jogja : Jl. Kaliurang KM 5, Karangwuni Blok E/16 Sleman

No. HP : 0899 518 548 2

0852 74 57 77 57

0274 9105943

Email/ Friendster : [email protected]/[email protected]

Blog : www.bintangazzahraflp.multiply.com

Nama Orangtua : Istanto S.Si (Ayah) dan Elly Rasyanti (Ibu)

Nama Saudara : Isfan Azhabil dan Isfi Afiannisa

Riwayat Pendidikan : TK Pertiwi 2 Padang

SDN 05 Tan malaka Padang

SMPN 1 Padang

SMAN 1 Padang

\ Fakultas Biologi UGM

Cita-cita : Ilmuwan Genetika Forensik

Organisasi (Saat ini) : FLP YOGYAKARTA angkatan VIII

SENAT-FB UGM

KSAT (Kelompok Studi Arsitektur Taman)

JMMB (Jemaah Muslim Mahasiswa Biologi)

Karya : Pupus (Cerpen, Singgalang 2005)

Sedih yang tak berujung (Cerpen, Singgalang 2006)

Junquiera (Cerpen, Media Smansa 2006)

Motto hidup : You are what you think !

162

Page 163: Bias Nuansa JIngga

163