Berdasarkan Manifestasi Dan Hasil Pemeriksaan Fisik Serta Hasil Pemeriksaan Labiratorium

16
Berdasarkan manifestasi dan hasil pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan labi pasien dalam kasus diatas menderita Grave’s disease akibat terjadinya hipert BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hormon Tiroid dan Paratiroid Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid mem masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). el!s tiroid kemudian membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tiro Tahap berikutnya adalahoksidasi ion iodida menjadi" # oleh en$im peroksidase. elanjutnya terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, menjadi T % dan T & yang diatur oleh en$im iodinase. 'emudian, hormon tiroid yang terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam jumlah yang ukup untuk dua tiga bulan. etelah hormon tiroid terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya h dahulu dari tiroglobulin, oleh en$im protease. 'emudian, T % dan T & yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel!sel tiroid. 'eduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. 'arena mempunyai afinitas yang besar terhadap pro plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau odium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini kemudian akan dilepas kemb en$im deiodinase untuk membuat hormon tiroid tambahan (Guyton and *all, #++ -egulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. *ipotalamus sebagai mast mensekresikan T-* (Tyrotropine -eleasing *ormone) untuk mengatur sekresi T* hipofisis anterior. 'emudian tirotropin atau T* (Thyroid timulating *ormone hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara M/. Mekanis mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berl sehingga menghambat sekresi T-* maupun T*. Bila jumlah hormon tiroi men ukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and *all, #++ ).

description

bagus susetio

Transcript of Berdasarkan Manifestasi Dan Hasil Pemeriksaan Fisik Serta Hasil Pemeriksaan Labiratorium

Berdasarkan manifestasi dan hasil pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan labiratorium, pasien dalam kasus diatas menderita Graves disease akibat terjadinya hipertiroidisme.

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Hormon Tiroid dan ParatiroidTahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid tambahan (Guyton and Hall, 2007).

Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih, sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and Hall, 2007).

Hormon paratiroid menyediakan mekanisme yang kuat untuk mengatur konsentrasi kalsium dan fosfat ekstrasel melalui pengaturan reabsorpsi usus, ekskresi ginjal, dan pertukaran ion-ion tersebut antara cairan ekstrasel dan tulang. Paratiroid hormone (PTH) meningkatkan kadar kalsium plasma dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang dan usus, dan menurunkan ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi fosfat oleh ginjal (Guyton and Hall, 2007).

B. Fungsi dan Efek Hormon TiroidEfek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir (Guyton and Hall, 2007).

Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain (Guyton and Hall, 2007).

C. Hipertiroidisme-Graves DiseaseHipertiroidisme adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari hormon tiroid. Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer (Hermawan, 1990). Diagnosis hipertiroidisme didapatkan melalui berbagai pemeriksaan meliputi pengukuran langsung konsentrasi tiroksin bebas (dan sering triiodotironin) plasma dengan pemeriksaan radioimunologi yang tepat. Uji lain yang sering digunakan adalah pengukuran kecepatan metabolime basal, pengukuran konsentrasi TSH plasma, dan konsentrasi TSI (Guyton and Hall, 2007).

Graves disease atau toxic diffuse goiter merupakan penyebab paling sering dari tirotoksikosis dengan RAIU (radioactive iodine uptake) yang tinggi. Penyakit ini lebih umum terjadi pada usia 20-50 tahun. Kelaina ini merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme, goiter yang bersifat difus, dan adanya antibodi IgG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor TSH. Penyakit Graves akan disertai gejala mata exopthalmus, akibat reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular (Gunawan et.al., 2007).

D. Penatalaksanaan HipertiroidismeAda 4 golongan penghambat sintesis hormon tiroid, yaitu 1) antitiroidmenghambat sintesis hormon secara langsung; 2) penghambat ionyang memblok mekanisme transpor iodida; 3) yodium dengan konsentrasi tinggiyang dapat mengurangi sintesis dan pengeluaran hormon dari kelenjarnya; dan 4) yodium radioaktifyang merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi. Juga ada beberapa obat yang tidak berefek pada hormon di kelenjar, tetapi digunakan sebagi terapi ajuvan, bermanfaat untuk mengatasi ejala tirotoksikosis, misalnya antagonis reseptor- dan penghambat kanal Ca++ (Gunawan et.al., 2007).

Penghambat sintesis seperti propiltiourasil (PTU) menghambat proses sintesis T4 dan T3, menghambat konversi T4 menjadi T3, serta menghambta kerja enzim peroksidase dalam proses iodinasi tirosin (Guyton and Hall, 2007). Pemberian iodida dalam dosis tinggi dapat meringankan hipertiroidisme, karena iodida dalam konsentrasi tinggi menghambat proses transpor aktifnya sendiri ke dalam tiroid, dan bila yodium di dalam tiroid terdapat dalam jumlah cukup banyak maka terjadi hambatan sintesis iodotironin dan iodotirosin (Gunawan et.al, 2007).

BAB IIIPEMBAHASANSecara garis besar, hormon tiroid mempunyai fungsi: 1) meningkatkan aktivitas metabolik seluler, 2) hormon pertumbuhan, dan 3) mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik (seperti pada metabolisme dan sistem kardiovaskular), serta mempengaruhi sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain.

Dasar diagnosis hipertiroidisme meliputi uji pengukuran langsung konsentrasi T3 dan T4 bebas (FT4 dan FT3), dan juga pengukuran konsentrasi TSH dan TSI plasma. Selain pemeriksaan dengan radioimmunoassay itu, penegakan diagnosis juga dapat merujuk pada gejala klinis sebagai konsekuensi mekanisme fisiologi yang terganggu, seperti timbulya exopthalmus, pembengkakan kelenjar, atau tremor otot. Pembengkakan kelenjar ini kemudian harus diperiksa lebih lanjut lagi, apakah menimbulkan rasa nyeri atau tidak, karena diagnosis banding tiroiditis dapat mengarah ke gejala goiter koloid endemik dan juga gejala hipertiroidisme. Gejala klinis yang timbul kemudian dinilai dengan menggunakan suatu indeks sebagai dasar diagnosis sebelum pemeriksaan laboratorium, yaitu indeks Wayne dan indeks New Castle, yang dapat membedakan antara hipotiroidisme dengan hipertiroidisme.

Pada hipertiroidisme, konsentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang menyerupai TSH menyuruh kelenjar tiroid mensekresikan hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme. Bahan menyerupai TSH yang menyuruh cAMP aktif terus menerus ini adalah antibodi imunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin). Karena itu pada pasien hipertiroidisme, konsentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat.

Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid dipaksa mensekresikan hormon hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretoris kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan, akibat proses metabolisme yang keluar jalur ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi, atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Exopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular, akibatnya bola mata terdesak keluar.

Hipotiroid mungkin terjadi karena pengangkatan sebagian kelenjar tiroid melalui pembedahan mungkin hanya menyisakan sedikit sel-sel sekretoris. Hipoparatiroid mungkin terjadi oleh karena ikut terangkatnya kelenjar paratiroid yang berada persis di belakang kelenjar tiroid. Akibatnya, sekresi PTH pun berkurang menjadi di bawah normal. Hiperparatiroid mungkin dapat terjadi karena tidak adanya efek kerja yang antagonis antara kalsitonin yang dihasilkan oleh sel-sel C kelenjar tiroid dengan PTH.

Penatalaksanaan yang paling efektif dalam kasus struma hipertiroidsme adalah pengangkatan sebagian kelenjar tiroid. Sebelum pelaksanaan tindakkan operatif ini, dapat digunakan yodium radioaktif atau obat-obat antitiroid sebagai terapi pendahuluan. Namun, tindakan bedah ini mempunyai beberapa efek yang tidak diharapkan namun mungkin saja timbul, seperti hipotiroid, hipoparatiroid, atau hiperparatiroid. Karena itu, pilihan terapi yang lebih aman adalah dengan menggunakan antitiroid, seperti propiltiourasil dan metimazol. Hal ini dapat mengurangi tindakan operatif beserta segala komplikasinya. Antitiroid dapat dikombinasikan dengan pemberian yodium radioaktif, yang merusak sel-sel sekretoris tiroid. Namun, terapi dengan pemberian yodium konsentrasi tinggi sudah mulai ditinggalkan karena kurang efektif, apalagi bila menjadi terapi tunggal hipertiroidisme.

BAB IVPENUTUPA. KESIMPULAN1. Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik seluler, sebagai hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik seperti sistem kardiovaskuler dan regulasi hormon lain.

2. Diagnosis hipertiroidisme mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4, FT3, TSI, dan indeks Wayne dan indeks New Castle berdasarkan gejala klinis yang timbul.

3. Penyebab terjadinya hipertiroidisme adalah TSI yang mengambil alih regulasi yang seharusnya dilaksanakan oleh TSH.

4. Efek samping pembedahan yang mungkin timbul bisa saja terjadi akibat letak kedua kelenjar yang berdekatan dan fungsinya yang antagonis.

5. Penatalaksanaan hipertiroidisme meliputi tindakan bedah dan pemberian bahan penghambat sintesis tiroid, seperti antitiroid, penghambat ion iodida, yodium konsentrasi tinggi, dan yodium radioaktif.

Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.(1,2,3)Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.(1,2)

2.1 DefinisiPenyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati (eksoftalmus/ mata menonjol) dan kadang-kadang dengan dermopati.(1,4,5,6)

2.2 EtiologiPenyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.(2,6)

2.3 PatogenesisPada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves. Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.

Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica, yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan otoantigen kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan tersebut. Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans . Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung.(2)

2.4 Gambaran KlinisA. Gejala dan Tanda Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. (3) Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. (5)Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :

Kelas Uraian 0 Tidak ada gejala dan tanda1 Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)2 Perubahan jaringan lunak orbita3 Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)4 Keterlibatan otot-otot ekstra ocular5 Perubahan pada kornea (keratitis)6 Kebutaan (kerusakan nervus opticus)

Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita, kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3 ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea ( terjadi keratitis). Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan.Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau infertilitas.Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan. (1,2) Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan. (8) Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut :

B. Pemeriksaan laboratorium Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah ini :

Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. (2) Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4). (1,2,3)

C. Pemeriksaan penunjang lainPemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin. (1)

D. Diagnosis Banding Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer. Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves.Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi.Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat.Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa : - Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin - High-output heart failure Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini dikenal dengan apathetic hyperthyroidism. (2)

Berat rata-rata 15 gram. Terdiri dari lobus lateral yang memanjang sepanjang sisi laring, mencapai tingkat garis tengah dari kartilago tiroid dan bergabung dengan istmus yang menyilang trakea. Lobus piramidalis 80 %, memanjang ke atas dari istmus, dan merupakan sisi embrionik dari duktus tiroglosal. Suplai arteri: superior dari arteri karotis eksterna, dan inferior dari trunkus tiroservikalis. (2) Nervus laringeus rekuren. Cedera mengakibatkan paralisis pita suara. Terletak dalam sulkus trakeoesofageal: 64% kanan, 77% kiri. Lateral terhadap trakea: 33% kanan, 22% kiri. Anterolateral terhadap trakea: 3% kanan, 2% kiri. Langsung (non-rekuren): 0,5% kanan. Anterior terhadap arteri tiroidalis inferior: 37% kanan, 24% kiri; 50% tertanam pada ligamentum Berry di belakang kutub atas dan rentan terhadap cedera akibat traksi pada glandula. (2) Nervus laringealis superior. Cedera mengakibatkan paralisis otot krikotiroid, yang membentuk suara halus korda vokalis. Lokasinya di dekat atau di antara kutub atas pembuluh-pembuluh. (2) FISIOLOGIFungsi utama kelenjar tiroid adalah mensintesis dan mensekresi hormon tiroid. Peningkatan hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme dan sebaliknya. (2)PATOFISIOLOGI GRAVES DISEASE Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif tipe II. Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang berikatan dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang memproduksi tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan peningkatan produksi dari hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karena tiroid) sering terjadi yang tampak pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Penyebab peningkatan produksi dari antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin merangsang antibodi, dimana bereaksi silang dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves disease, sebagian besar orang lebih banyak terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari reseptor TSH yang bersifat genetik.Yang berperan adalah HLA DR (terutama DR3).PEMERIKSAAN MATA Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) ,menurut the American Tyroid Associat iondiklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :Kelas uraian :0. Tidak ada gejala dan tanda1. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare,lid lag)2. Perubahan jaringan lunak orbita3. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel Expthalmometer)4. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular5. Perubahan pada kornea (keratitis)6. Kebutaan (kerusakan nervus opticus) Kelas 1, terjad inya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal tirotoksikosisGraves yang dpat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas2-6, terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2 ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,kongesti danpembengkakan dari konjungtive (khemosis). Kelas 3, ditandai dengaan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel Exophthalmometer. Pada Kelas 4, terjadi perubahan otot-otot boala mata berupa proses infiltratif terutama padamusculus rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakan bola mata keatas.Bilamengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakan bola matakesamping. Kelas 5 ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6 ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan. Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler disertai dengan reaksiinflamasi akut.Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-ototekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata,sehingga dapat terjadi diplopia.Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Bilapembengkakan otot terjadi di bagian posterior, akan terjadi penekanan nervus optikus yang akanmenimbulkan kebutaan.PEMERIKSAAN PENUNJANG GRAVES DISEASEA. PEMERIKSAAN FISIK1. Inspeksia :a. posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi.b. Pembengkakan : Bentuk : Difus atau local Ukuran : Besar atau kecil Permukaan : Halus atau Nodular Keadaan : Kulit atau tepi Gerakan : Pada waktu menelan Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan ludah dimana kelenjartiroid akan mengikuti gerakan naik turunnya trakea untuk menutup glotis. Karena tiroiddihubungkan oleh ligamentum kartilago dengan tiroid yaitu ligamentum berry.2. Palpasi Dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita danjari-jari lain meraba benjolan pada leher penderita dan posisi kepala penderita dalam keadaan flexi..Pada palpasi yang perlu diperhatikan adalah : Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan ataukeduanya). Ditentukan ukuran (diameter terbesar dari benjolan). Konsistensi (kenyal sampai sangat keras). Mobilitas. Infiltrasi terhadap kulit/ jaringan sekitar. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak. Nyeri pada penekanan atau tidak.3. Perkusi Jarang dilakukan Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke retrosternal.4. Auskultasi Jarang dilakukan Hanya dilakukan jika ada pulsasi pada pembengkakan.B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Meskipun diagnosis sudah dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dengan menggunakanindeks Wayne, namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu dikerjakandengan alasan :1. Untuk lebih menguatkan diagnosis yang sudah ditetapkan pada pemeriksaan klinik.2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa kondisi seperti atrialfibrilasi yang tidak diketahui sebabnya, payah jantung berat badan menurun, diare ataumiopati tanpa manifestasi klinis lain hipertiroidisme.Tes laboratorium terhadap thyroid hormone economy dapat dibagi dalam 5 kategori utama,yaitu :1. Tes-tes mengenai konsentrasi dan ikatan dari hormone-hormon tiroid dalam darah2. Tes terhadap fungsi thyroid3. Indeks-indeks metabolic4. Tes-tes mengenai ontrol homeostatik dari fungsi tiroid5. Pemeriksaan-pemeriksaan lain , misalnya : ultrasonik , scan dan USG TiroidPENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan adalah membatasi produksi hormon tiroid yang berlebihan dengan caramenekan produksi (obat antitiroid) atau merusak jaringan tiroid (Iodium Radioaktif, tiroidektomisubtotal). Walaupun mekanisme otoimun merupakan faktor utama yang berperan dalam patogenesisterjadinya sindrome penyakit Graves ,namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untukmengontrol keadaan hipertiroidisme.Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakitGraves,yaitu:1.Obat anti-tiroid Propilitiourasil Initial: 100-150 mg/6 jam, 4-8 minggu: 50-200 mg(menghambat T4 dan T3 di perifer).Metimazo: durasi panjang 1X40 mg/ hari, setiap pagi 1-2 bulan , 5 20 mg.2.Bedah Indikasi operasi adalah: Pasien umur muda dengan struma besar serta tidak berespons terhadap obat anti tiroid Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan obat anti tiroid dosis besar Alergi terhadap obat anti tiroid, pasien tidak dapat menerima yodium radioaktif Adenoma toksik atau struma multinodular toksik. Pada penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul. Sebelum operasi, biasanya pasien di beri obat anti tiroid sampai eutiroid kemudian diberi cairan kalium yodida 100-200 mg/ hari atau cairan lugol 10-15 tetes selama 10 hari sebelum dioperasi untuk mengurangi vaskularisasi pada kelenjar tiroid.3.Radioaktif Iodine Indikasi pengobatan dengan radioaktif iodine diberikan pada: Pasien umur 21 tahun atau lebih. Hipertiroidisme yang kambuh sesudah di operasi. Gagal mencapai remisi sesudah pemberian obat anti tiroid. Tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan obat anti tiroid. Adenoma toksik, goiter multinodular toksik.KOMPLIKASI Krisis Tiroid (Tyroid Storm)Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancamkehidupan penderita.Faktor pencetus terjadinya krisis tyroid pada penderita tirotoksikosis antara lain : Tindakan operatif ,baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain Terapi Yodium radioaktif Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara adekuat Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti Diabetes,trauma,infeksi akut,alergi obatyang berat atau infark miokard.Peruba h a n Biokimia Produksi hormon tiroid yanfg berlebihan ditenggarai menjadi penyebab dari krisis tiroid, padapenelitian tentang krisis tiroid terdapat adanya peningkatan dari katekolamine ( epineprin,norepineprin, etc ), selain itu terdapat juga penurunan TBG yang menyebabkan adanya hormontiroid dalam darah, kombinasi dari kedua hal diatas dapat menyebabkan infeksiatau stress pada pembedahan. Manifestasi klinis dari krisis tyroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme berat dan responsadrenergik yang hebat ,yaitu meliputi : Demam Tinggi ,dimana suhu meningkat dari 38C sampai mencapai 41C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis. Takikardi hebat ,atrial fibrilasi sampai payah jantung. Gejala-gejala neurologik berat seperti agitasi ,gelisah,delirium sampai koma Gejala-gejala saluran cerna berupa mual,muntah, diare,dan ikterus