bentuk-pola-tanam-sistem-agroforestry-di-lahan-kering.doc

27
Mata Kuliah : Model-Model Sistem Pertanian Dosen : Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, M.Sc BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRY DI LAHAN KERING OLEH : MOHAMMAD AQSA G511 03 701

description

kehutanan

Transcript of bentuk-pola-tanam-sistem-agroforestry-di-lahan-kering.doc

PAGE

Mata Kuliah : Model-Model Sistem PertanianDosen : Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, M.Sc

BENTUK POLA TANAM SISTEM AGROFORESTRY DI LAHAN KERINGOLEH :MOHAMMAD AQSAG511 03 701

KONSENTRASI TANAMANPROGRAM STUDI SISTEM-SISTEM PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2003I. PENDAHULUAN

Luas daratan indonesia seluruhnya adalah 2000 juta hektar. Sekitar 168 juta hektar atau 81% tersebar di empat pulau besar selain di pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan , Sulawesi, dan Irian Jaya/Papua. Dari 168 juta hektar lahan tersebut, 123 juta hektar berupa lahan/tanah kering dan selebihnya 34 juta hektar berupa lahan/tanah basah, baik berupa rawa pasang surut maupun rawa lebak (Hakim, dkk., 1986)Lahan kering merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peluang besar untuk dimanfaatkan secara optimal. Areal lahan kering di Indonesia terluas, yaitu mencapai 52,5 Juta Ha yang tersebar di Pulau Jawa dan Bali (7,1 Juta Ha), Sumatera (14,8 Juta Ha), Kalimantan (7,4 Juta Ha), Sulawesi (5,1 Juta Ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 Juta Ha) dan Irian Jaya (11,8 Juta Ha) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1998) dalam (Haryati, 2003).

Meskipun areal lahan kering luas, namun daya guna sumberdaya tanah tersebut sangat bervariasi dimana ditentukan oleh keadaan fisik lingkungan, pembatas sifat tanah, kesesuaian wilayah, teknologi, dan faktor sosial budidaya.

Dari segi tanah, potensial lahan kering sangat tergantung dari jenis-jenis tanah. Sebagain besar lahan kering di Indonesia terdiri dari jenis podsolik, dimana dari segi sifat tanah termasuk golongan marginal yang memerlukan teknologi pengelolaan yang hati-hati dan intensif (Foth, 1994).

Tanah merupakan komponen penting dalam pertanian. Oleh karena itu, berhasilnya suatu usaha pertanian tergantung pada perencanaan penggunaan tanah/lahan setempat. Perencanaan penggunaan lahan yang baik harus disesuaikan dengan kemampuan dari lahan yang ada. Namun dengan peningkatan jumlah penduduk yang terus menerus menuntut para petani untuk meningkatkan produksinya, sehingga lahan-lahan dengan kelas kemampuan IV, V, VI dengan kelas kesesuaian S3 dan N1 yang sudah jelas merupakan lahan marginal untuk tanaman pangan juga menjadi sasaran pemanfaatan. Akibat model pertanian seperti ini menyebabkan degradasi unsur hara, pencucian , dan erosi tanah.

Agar kondisi seperti di atas tidak berlangsung terus-menerus, maka diperlukan teknologi baru. Teknologi baru ini selain dapat meningkatkan produktivitas tanaman, efisien, mampu memperbaiki dan mengkonversi sumberdaya lahan dan air, teknologi ini juga harus mempunyai manfaat yang berkelanjutan. Menurut Sutanto (2002), yang dimaksud berkelanjutan adalah bahwa model yang dikembangkan harus dilihat berdasarkan kemampuan untuk menghasilkan secara berkelanjutan-menghasilkan sesuatu dalam jangka pendek, jangka menengah, demikian selanjutnya jangka panjang. Penekanan diberikan pada sistem yang stabil sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan tidak mudah berubah karena perubahan yang tiba-tiba (iklim dan pasar). Akhirnya sistem yang dikembangkan harus berwawasan konservasi termasuk mempertahankan konservasi tanah dan air, serta pengelolaan kesuburan tanah.

Karena pertanian di Indonesia tidak dapat menghindari penggunaan lahan marginal dalam hal ini lahan kering yang tingkat kesuburannya rendah, maka diperlukan suatu teknologi yang tepat, dimana selain memiliki fungsi produksi juga sebagai proteksi atau konservasi lingkungan. Kedua fungsi diatas dapat ditemui pada sistem agroforestry dengan berbagai model atau pola didalamnya.

Dalam makalah ini, penulis mencoba menyajikan salah satu bentuk pola tanam dalam agroforestry yang dapat diterapkan pada lahan kering yaitu pola tanam alley cropping berikut peluang dan kendala dalam penerapannya, keunggulan dan kelemahan serta cara minimasi dan maksimasi pengaruhi negatif dan positif dari pola tersebut.II. BENTUK POLA TANAM DALAM SISTEM AGROFORESTRYAgroforestry adalah bentuk atau sistem penggunaan lahan, dimana pemakai lahan dapat memperoleh hasil tanaman pangan atau tanaman agronomi lain, tanaman pakan ternak dan hasil kayu, secara simultan, serta dapat melestarikan sumberdaya lahan tersebut. Dalam sistem agroforestry ada beberapa pola tanam, diantaranya adalah bentuk pola tanam tiga strata, multistorey cropping, alley cropping, dan sebagainya (Sutidjo, 1986).Salah satu pola tanam yang populer dari sistem agroforestry yang mempunyai ciri produktivitas tinggi dan dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang luas adalah pola tanam tumpangsari berlorong atau lebih dikenal dengan istilah alley cropping.

Anonim (2003) mengatakan, Alley cropping adalah suatu cara pemeliharaan lahan berlereng dengan menanam tanaman lorong atau pagar, yang dari tanaman tersebut kita tidak hanya mengurangi resiko erosi melainkan kita juga memperoleh manfaat lain dari tanaman lorong tersebut, misalnya mulsa (sisa-sisa tanaman yang sangat cepat membusuk dan menjadi penyubur lahan), bahkan mungkin tanaman lorong dapat digunakan sebagai makanan ternak.Selanjutnya, Kang et al., (1984) menuliskan, Alley cropping merupakan salah satu sistem agroforestry yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di antara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Tanaman pagar dipangkas secara periodik selama pertanaman untuk menghindari naungan dan mengurangi kompetisi hara dengan tanaman pangan/semusim. Leucaena leucocephala merupakan jenis pohon leguminosa yang pertama diuji dalam sistem Alley cropping dan menyusul Glinsidia sepium.Menurut Haryati (2003) dalam memilih jenis leguminosa yang akan diintroduksikan, selain dipilih tanaman yang sesuai dengan agroekosistem setempat, mempunyai pengaruh negatif yang rendah, juga harus sesuai dengan tujuan utama (prioritas masalah) yang akan dipecahkan, misalnya :

Jika erosi menjadi masalah utama, maka Flemingia congesta menjadi pilihan utama dalam Alley cropping. Jika pakan ternak menjadi masalah utama, maka Gliricidia sepium dan atau Calliandra calothyrsus menjadi pilihan atau dikombinasikan dengan Flemingia congesta. Jika tanah alkalin kuat, atau solum tanah 500 m dari permukaan laut, maka Calliandra calothyrsus menjadi pilihan utama dan sebagai alternatif Gliricidia sepium atau Flemingia congesta.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini sangat efektif mengendalikan erosi. Di Filipina, Alley cropping dapat menurunkan erosi sebanyak 62 %, yang terdiri atas 48 % disebabkan oleh pengaruh penutupan tanah oleh mulsa, 8 % disebabkan oleh perubahan profil tanah dan 4 % oleh penanaman secara kontour (Haryati, 2003). III. PELUANG DAN KENDALA POLA TANAM ALLEY CROPPING DI LAHAN KERING

A. PELUANG

Petani lahan kering pada umumnya bermodal rendah dengan tenaga kerja yang langka, maka Alley cropping merupakan alternatif yang baik dibandingkan dengan teras bangku. Pada lahan yang sudah terlanjur dibuat teras bangku, biasanya tanpa tanaman penguat teras, memerlukan tanaman penguat teras berupa rumput dan leguminosa pohon untuk lebih mengefektifkan dari teras bangku tersebut. Ini merupakan peluang pengembangan leguminosa yang biasa ditanam dalam Alley cropping.Adanya masalah kelangkaan hijauan pohon setiap musim kemarau di lahan kering juga dapat menjadi pendorong kuatnya motivasi petani untuk menerapkan Alley cropping. Untuk lebih mendayagunakan sistem ini hubungannya dengan kebutuhan petani, maka Alley cropping dapat dimodifikasi, yaitu dengan mengkombinasikan rumput pakan ternak pada barisan pagarnya atau ditanam secara berselang-seling antar barisan tanaman pohon atau tanamn semusim. Menurut Shancez (1995) Alley cropping lebih baik diterapkan pada kondisi dimana tanah cukup subur tanpa keterbatasan unsur hara makro, curah hujan cukup selama masa pertanaman, lahan sangat miring dan erosi tinggi, tenaga kerja banyak tersedia dan lahannya luas, serta status pemilikan tanah yang aman Pada daerah-daerah seperti Flores dan Lombok, pola tanam alley cropping cocok untuk diterapkan, karena dengan cara demikian evapotranspirasi tanaman tidak terlalu tinggi atau dapat dikurangi, dan mikroklimat serta kesuburan tanah dapat diperbaiki. Pada lahan yang berlereng, lamtorogung dapat ditanam pada guludan-guludan yang dibuat mengikuti arah lereng sehingga sekaligus berfungsi sebagai penahan erosi (Sutidjo, 1986). Hal ini sejalan pula dengan pendapat Samosir (1996), Untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani di lahan kering dapat dilakukan melalui pertanaman tumpangsari, karena pertanaman secara tumpangsari pada lahan kering dapat memelihara kelembaban dan kadar air serta mengurangi erosi dan meningkatkan kesuburan.B.KENDALASecara sosial ekonomi, Alley cropping mempunyai beberapa tantangan untuk dikembangkan di lahan kering diantaranya pandangan negatif petani teras bangku, persepsi negatif petani (trauma) terhadap pengembangan tanaman Lamtoro, biaya sosial tinggi untuk daerah marginal kritis, prioritas petani masih berorientasi pada keamanan pangan (food security), kerawanan keamanan tanaman pagar dari masyarakat itu sendiri, dan teknologi ini mengkonsumsi kesadaran, kesabaran, dan pengorbanan petani yang tidak ringan (Haryati, 2003).

Selain hal tersebut, adanya persepsi petani, dengan penerapan budidaya lorong mengurangi areal produksi yang dimiliki, sedangkan rata-rata pemilikan lahan usaha tani sangat sempit. Penyediaan benih tanaman pagar/leguminosa dalam jumlah besar juga menjadi kendala apabila sistem ini akan diterapkan pada skala luas.IV. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN

POLA TANAM ALLEY CROPPINGA. KEUNGGULANA.1. Efektivitas Pengendalian Erosi

Efektivitas pengendalian erosi sangat tergantung pada jenis tanaman pagar yang digunakan, jarak antara tanaman pagar dan kemiringan lahan. Alley cropping menahan kehilangan tanah 93% dan air 83% dibandingkan pada pertanaman tunggal semusin. Efektivitas pengendalian erosi ini juga dikarenakan terbentuknya teras secara alami dan perlahan-lahan setinggi 25-30 cm pada dasar tanaman pagar. Alegre dan Rao (1996) mengemukakan bahwa rendahnya erosi disebabkan oleh hasil pangkasan yang sukar melapuk yang berfungsi sebagai mulsa, sehingga tanah terlindung dari air hujan, dan pemadatan tanah oleh pekerja selama operasi di lapangan. Barisan tanaman pagar menurunkan kecepatan aliran permukaan sehingga memberikan kesempatan pada air untuk berinfiltrasi. Selanjutnya, tanaman pagar menyebabkan air tanah selalu berkurang untuk kebutuhan pertumbuhannya selama musim kemarau sehingga sistem ini menyerap lebih banyak air hujan ke dalam tanah dan akhirnya menurunkan erosi.

A.2. Peningkatan Produktivitas Tanah dan Tanaman

Selain efektif pengendalian erosi, Alley cropping juga dapat meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Alegre dan Rao (1996) mengemukakan bahwa sistem ini dapat memperbaiki sifat fisik tanah, yaitu menurunkan BD (bulk density) dan meningkatkan konduktivitas hidraulik tanah (Tabel 1).

Tabel 1.Pengaruh Pertanaman Tunggal (semusim) dan Alley cropping terhadap BD (bulk density) dan Konduktivitas Hidraulik setelah 14 kali Pertanaman Semusim.

PerlakuanBD

(kg/m3)Konduktivitas hidraulik

(cm/hari)

Pertanaman tunggal (semusim)1,4318,5

Alley cropping1,2950,0

Hutan sekunder1,2099,8

LSD (0,05)0,066,8

Sumber : Alegre and Rao (1996)

Perbaikan sifat fisik ini disebabkan karena adanya perambahan residu organik dari hasil pangkasan secara periodik ke tanah. Alley cropping juga dapat mengingkatkan diameter agregat dan stabilitas agregat. Selain perbaikan sifat fisik tanah, Alley cropping juga dapat meningkatkan unsur hara di dalam tanah (Tabel 2).Tabel 2. Pengaruh Alley cropping terhadap Unsur Hara Dalam Tanah.

PerlakuanUnsur HaraSumber

CPKCaMg

(%)mg/lme/100g

a.Tanpa Alley cropping0,6527,00,192,90,35Karg et al. (1984)

b.Dengan Alley cropping

(Leucaena sp)1,0726,00,283,450,5

a. Tanpa Alley cropping1,186,00,070,080,18Alegre and Rao

(1996)

b. Dengan Alley cropping

(Inga edulis)1,329,11,130,960,22

Respon spatial dalam Alley cropping juga terjadi pada aktivitas organisme di dalam tanah yang ditunjukkan oleh gradient spatial dan temporal dari aktivitas casting cacing tanah. Alley cropping dengan tanaman utama kacang-kacangan juga dapat meningkatkan kehidupan mikrobiota tanah pada tahun-tahun kering. Perbaikan produktivitas tanah yang meliputi perbaikan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan aktivitas biologi tanah tentu saja akan sangat menunjang pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan produksi tanaman pangan/semusim yang ditanam pada lorongnya. Kang et al. (1984) menambahkan bahwa hasil tanaman pangan/semusim yang ditanam dengan Alley cropping lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa Alley cropping. Contoh peningkatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.Tabel 3.Hasil Tanaman Jagung, Kacang Tunggak dan Ubikayu pada Alley CroppinPerlakuanHasil tanaman (ton/ha)

JagungKacang tunggakUbikayu

Kontrol2,80,723,0

Alley cropping :

~ Leucaena leucocephala---

~ Glirisidia sepium4,40,825,0

~ Acioa barterii3,2--

Sumber : Kang et al. (1984) ; keterangan : tanda (-) berarti tidak ada perlakuannya. A.3.Adanya Interaksi Menguntungkan antara Tanaman Pagar dan Tanaman Pangan/Semusim.Keunggulan lain sistem Alley cropping adalah dengan adanya interaksi yang bersifat menguntungkan antara pangan dan tanaman utama (pangan/semusim) menurut Mapa dan Gunasena (1995), sebagai berikut :a. Serasah dan hasil pangkasan (daun dan ranting) merupakan lapisan pelindung sumber bahan organik untuk tanah.

b. Lapisan serasah menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah dan memperbaiki regim kelembaban tanah.

c. Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma dan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau.

d. Tanaman pagar dapat mengikat unsur N2 secara biologis dari udara dan sebagai suplai nitrogen sehingga kebutuhan pupuk N dapat diturunkan.

e. Memberikan iklim mikro yang stabil, dengan penurunan kecepatan angin, peningkatan kelembaban, memberikan naungan (misalnya Erythrina pada pertanaman coklat atau kopi).A.4. Diversifikasi Hasil Tanaman dan Sumber Pendapatan

Meskipun penerapan sistem agroforestry dengan pola tanam alley cropping tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang segera dapat diuangkan, diversifikasi tanaman merupakan jaminan terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman dan resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Dalam tabel berikut diperlihatkan rincian pendapatan rata-rata petani per tahun dari diversifikasi tanaman yang dilakukan.Tabel 4. Perincian Pendapatan rata-rata Petani Pertahun Menurut Jenis Tanaman pada Pola Tanam Campuran

StrataPendapatan Rata-rata (Rp/th/ha)Jumlah

BambuT.PokokT.KebunT.BuahPalawija

I167.8041.468.293111.463192.195113.1702.052.925

II471.5782.273.68421.52133.414110.5263.010.254

III687.5005.589.286153.571535.714385.7147.351.785

Rata-rata442.2943.110.42195.362287.107203.137

Sumber : Riva (1998)B. KELEMAHAN

Beberapa kelemahan sistem Alley cropping menurut Haryati (2003) adalah sebagai berikut :

1. Mengurangi luas areal tanam sebanyak ( 20 22 %.2. Meningkatnya biaya dan tenaga untuk penanaman, pemangkasan, pemulsaan dan pemeliharaan tanaman pagar.3. Efek allelophati (mengeluarkan aksudat yang bersifat racun bagi tanaman).4. Menimbulkan interaksi yang tidak menguntungkan antara pohon dan tanaman pangan/semusim :a. Kompetisi cahaya : naungan pohon, menurunkan intensitas cahaya pada level tanaman pangan/semusim.b. Kompetisi hara dan air : sistem perakaran tanaman pagar yang dangkal akan berkompetisi dengan tanaman pangan semusim dalam hal hara dan air, menurunkan penyerapan oleh akar tanaman pangan/semusim.c. Tanaman pagar bisa sebagai inang hama dan penyakit bagi tanaman pangan/semusim dan sebaliknya.

V. MINIMASI DAN MAKSIMASI PENGARUH NEGATIFDAN POSITIF POLA TANAM ALLEY CROPPINGA. MINIMASI PENGARUH NEGATIFPengaruh negatif atau pengaruh tidak menguntungkan dalam sistem Alley cropping dapat dikurangi dengan cara :

Pemangkasan secara periodik selama fase pertumbuhan tanaman utama untuk mengurangi pengaruh naungan.

Memilih tanaman yang mempunyai kanopi lebih sempit tetapi rapat untuk mengurangi kompetisi cahaya.

Memilih tanaman utama (pangan/sEmusim) yang toleran terhadap naungan.

Memilih jenis tanaman pagar yang mempunyai perakaran yang dalam untuk menghilangkan kompetisi dengan tanaman utama tetapi cukup dekat untuk mengendalikan gulma dan untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari suplai bahan organik.B. MAKSIMASI PENGARUH POSITIFPengaruh positif dalam sistem Alley cropping dapat dimaksimalkan dengan cara memilih tanaman pohon yang sesuai untuk ditumpangsarikan dengan tanaman semusim, berdasarkan :

Bentuk dan distribusi kanopiPohon yang tinggi dengan kanopi yang sempit tetapi padat tidak akan memberikan terlalu banyak naungan terhadap tanaman utama selama musim tanam. Sebaliknya, pohon dengan kanopi yang lebar dan setengah terbuka akan memungkinkan cahaya menjangkau tanaman utama, tetapi tidak sesuai dalam mengendalikan gulma setelah atau diantara periode pertanaman.

Kualitas dan kuantitas penyediaan bahan organik serasahUntuk memaksimalkan pengaruh positif, pohon dengan serasah yang lambat didekomposisi dikombinasikan dengan pohon yang mempunyai residu bahan organik yang cepat terdekomposisi. Serasah dengan kualitas yang rendah dan lambat didekomposisi sesuai untuk mulsa, melindungi permukaan tanah dari erosi. Kombinasi dari serasah yang berkualitas rendah dan tinggi akan meningkatkan sinkronisasi dari pelepasan hara dari residu organik dengan kebutuhan tanaman.

Kemampuan pertumbuhan

Kedalaman perakaran dan distribusinya

Tahan terhadap pemangkasan dan periodik

Tahan terhadap hama dan penyakit

Mempunyai kemampuan biologi untuk memfiksasi N2 - Udara

VI. PENUTUP

Alley cropping merupakan salah satu pola tanam sistem agroforestry dimana dilakukan penanaman tanaman semusim atau tanaman pangan diantara lorong-lorong yang dibentuk oleh pagar tanaman pohonan atau semak. Alley cropping efektif mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah, meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan, serta diversifikasi hasil tanaman dan pendapatan.Alley cropping mempunyai peluang yang cukup strategis untuk dikembangkan pada sistem usaha tani di lahan kering. Dan untuk lebih mendayagunakannya, Alley cropping dapat dilakukan dengan mengkombinasikan leguminosa pohon dan rumput pakan ternak. Kendala adopsi Alley cropping adalah kebutuhan tenaga kerja yang tinggi, keterbatasan nilai tambah terhadap pendapatan usaha tani, sertra kurangnya bahan tanaman khususnya dari jenis pakan ternak.Alley cropping mempunyai keunggulan dan juga kelemahan, namun melalui pengelolaan yang baik hal ini dapat diatasi. Kombinasi kompetisi di bagian atas (naungan) dan bawah tanah (air dan hara) yang dapat diminimasi dengan cara menghilangkan, mengurangi, atau menyesuaikan sistem pertanaman dengan Alley cropping.

DAFTAR PUSTAKA

Alegre, J.C., and M.R. Rao. 1996. Soil and Water Conservation by Countour Ledging in The Humid Tropics of Peru. Elsevier Science. BV.

Anonim. 2003. Teknologi Konservasi Tanah dan Air dengan Alley cropping. On line (www.bi.go.id/sipuk/lin/ind/alleycropping/htm). Di akses 7 Januari 2003.

Foth, H.D., 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah; Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.

Hakim, N.,Nyakpa, M.Y., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong, G.B., dan Bailey, H.H., 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung, Lampung.

Haryati, U. 2003. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Alley cropping Serta Peluang dan Kendalanya di lahan Kering. On line ([email protected]). Diakses 7 Januari 2003.

Kang, B.T., G.F. Wilson, and T.L. Lawson. 1984. Alley Cropping a Stable Alternative to Shifting Cultivation. International Institute of Tropical Agriculture (IITA). Ibadan, Nigeria.

Mapa, R.B. and H.P.M. Gunasena. 1995. Effect of Alley cropping on Soil Agregate Stability of a Tropical Alfisol. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Riva, W.F., 1998. Pengelolaan Kebun Campuran Tradisional dan Kontribusinya terhadap Pendapatan Rumah Tangga. Studi Kasus di Kampung Naga Salawu Jawa Barat. Dalam Kehutanan Masyarakat Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Huatn,. IPB dab The Ford Foundation; Hal 37 47.

Sanchez, P.A. 1995. Science in Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.

Samosir, S.S.R, 1996. Pengelolaan Lahan Kering. Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional II Budidaya Lahan Kering. Dalam Dies Natalis XV Unhalu, Kendari.Sutidjo, D., 1986. Pengantar Sistem Produksi Tanaman Agronomi. Buku Kuliah Disusun Dalam Rangka Kerjasama Institusional Fakultas Pertanian Unila-Institut Pertanian Bogor.Sutanto, R., 2002. Penerapan Pertanian Organik; Pemasyarakatan dan Pengembangannya. Kanisius, Yogyakarta.