BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

20
BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA A. Pengertian Sosiologi Agama Pengertian sosiologi agama menurut para ahli: 1. Drs. D. Hendropuspito, O.C Dalam bukunya “Sosiologi Agama” menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya. 2. Secara umum Sosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat, praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat. 3. Dr. W. Goddijn, Sosiologi agama adalah bagian dari sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan. Definisi sosiologi agama menurut Dr. H. Goddijn dianggap sangat sukar diingat karena terlalu panjang rumusannya sehingga salah satu tujuan dari definisi akan sulit dicapai maka diberikan definisi yang lebih singkat. Pendapat lain tentang sosiologi agama: • Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda. • Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi

description

sosiologi agama

Transcript of BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

Page 1: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA

A. Pengertian Sosiologi AgamaPengertian sosiologi agama menurut para ahli:1. Drs. D. Hendropuspito, O.CDalam bukunya “Sosiologi Agama” menerangkan bahwa sosiologi agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.2. Secara umumSosiologi agama mempelajari peran agama di dalam masyarakat, praktik, latar sejarah, perkembangan dan tema universal suatu agama di dalam masyarakat.3. Dr. W. Goddijn,Sosiologi agama adalah bagian dari sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaan.Definisi sosiologi agama menurut Dr. H. Goddijn dianggap sangat sukar diingat karena terlalu panjang rumusannya sehingga salah satu tujuan dari definisi akan sulit dicapai maka diberikan definisi yang lebih singkat. Pendapat lain tentang sosiologi agama:• Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai sistem agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan sistem keagamaan yang berbeda.• Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena sosial, dan memandang agama sebagai fenomena sosial. Sosiologi agama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.Sosiologi agama menjadi disiplin ilmu tersendiri sejak munculnya karya Weber dan Durkheim. Jika tugas dari sosiologi umum adalah untuk mencapai hukum kemasyarakatan yang seluas-luasnya, maka tugas dari sosiologi agama adalah untuk mencapai keterangan ilmiah tentang masyarakat agama khususnya. Masyarakat agama tidak lain ialah suatu persekutuan hidup (baik dalam lingkup sempit maupun luas) yang unsur konstitutif utamanya adalah agama atau nilai-nilai keagamaan.Jika teologi mempelajari agama dan masyarakat agama dari segi ”supra-natural”, maka sosiologi agama mempelajarinya dari sudut empiris sosiologis. Dengan kata lain, yang akan dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya. Sampai seberapa jauh agama dan nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat.Menurut Keith A. Roberts, sasaran atau objek kajian sosiologi agama adalah memfokuskan kajian pada:

Page 2: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

1) Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan, yang meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya dan pembaharuannya.2) Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut atau proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan perilaku ritual.3) Konflik antar kelompok, misalnya katholik lawan protestan, kristen dengan islam dan sebagainya.Sosiologi agama menangani masyarakat agama sebagai sasarannya langsung. Masyarakat agama terdiri dari komponen-komponen konstitusi seperti kelompok keagamaan, institusi religi yang mempunyai ciri pola tingkah laku tersendiri menurut norma dan peraturan yang ditentukan oleh agama. Agama sebagai fenomena sosial, fakta sosial yang dapat disaksikan dan dialami oleh banyak orang. Sosiologi Agama tidak membuat evaluasi mengenai ajaran dogma dan moral yang diyakini pemeluknya berasal dari luar.Sosiologi agama mempelajari sudut pandang empiris-sosiologis, yang hendak dicari dalam fenomena agama itu adalah dimensi sosiologisnya, sampai seberapa jauh agama dan nilai-nilai keagamaan memainkan peranan dan berpengaruh atas eksistensi dan operasi masyarakat manusia. Contoh konkretnya, seperti: seberapa jauh unsur kepercayaan mempengaruhi pembentukkan kepribadian pemeluknya, ikut mengambil bagian dalam menciptakan jenis kebudayaan, mempengaruhi terbentuknya partai-partai politik dan golongan nonpolitik, memainkan peranan dalam munculnya strata sosial, lahirnya organisasi, seberapa jauh agama ikut mempengaruhi proses sosial. Untuk mencapai maksudnya sosiologi agama menempuh cara dengan observasi, interview dan angket mengenai masalah-masalah keagamaan yang dianggap penting dan sanggup memberikan data yang dibutuhkan.

B. Tempat Sosiologi AgamaSosiologi agama merupakan ilmu yang menduduki tempat yang profan. Ia bukanlah ilmu yang sakral, ilmu yang dilakukan dan dibina oleh sarjana ilmu sosial, baik orangnya suci maupun tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukanlah untuk membuktikan kebenaran (objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ikhwal masyarakat agama.Maka dapat dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain, dan ilmu ini lebih merupakan ilmu praktis (terpakai) daripada ilmu teoritis murni. Diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah sosio-religius yang timbul waktu itu di Eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama.

Fungsi Sosiologi AgamaFungsi sosiologi agama adalah mengatasi kesulitan yang muncul dalam masyarakat, menunjukkan cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak

Page 3: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

kalah beratnya dengan masalah-masalah sosial nonkeagamaan. Sosiologi agama sanggup menciptakan suatu tertib sosio-religius yang ideal, misalnya pengorganisasian kehidupan paroki yang harmonis dan efisien.Pada prinsipnya sosiologi agama sama dengan sosiologi umum yang membedakannya adalah obyek materinya. Sosiologi umum membicarakan semua fenomena yang ada dalam masyarakat secara umum, sedangkan sosiologi agama membicarakan salah satu aspek dari berbagai fenomena sosial yaitu agama dalam perwujudan sosial. Sosiologi agama memusatkan perhatiannya terutama untuk memahami makna yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada sistem agamanya sendiri, dan berbagai hubungan antar agama dengan struktur sosial lainnya, juga dengan berbagai aspek budaya yang bukan agama seperti magic, ilmu pengetahuan dan teknologi.Dalam kehidupan masyarakat pedesaan agama masih berperan dalam berbagai aspek kehidupan, bahwa hampir disetiap kegiatan selalu melibatkan agama baik itu dalam ekonomi, pendidikan, politik dan sosial lainnya. Contohnya di masyarakat pedesaan tradisional upacara-upacara ritual selalu menjadi bumbu dalam berbagai kegiatan non-agama. Dalam kegiatan bercocok tanam selalu diadakan upacara religi memberi sesajen kepada dewi yang menguasai pertanian (dewi sri dari Suku Sunda) agar memberikan keuntungan kepada petani pada musim panen, pedagang dipasar memakai jampi-jampi tertentu agar dagangannya laku keras, sekolah yang disukai oleh masyarakat pedesaan adalah sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga keagamaan (Madrasah), partai politik yang dipilih dalam pemilihan umum adalah partai yang memiliki asas dan dasar agama.Berbeda dengan masyarakat perkotaan kecil, pada masyarakat seperti ini agama mulai berkurang peranannya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Ide-ide modernisasi selalu terhambat oleh pemikiran-pemikiran keagamaan yang membatasi kreativitas bebas dalam melaksanakan pembaruan sosial. Apalagi di masyarakat kota metropolitan, pada masyarakat seperti ini peran agama hampir hanya dalam kehidupan individu dan lingkungan keluarga saja.

C. Lahir dan Berkembangnya Sosiologi AgamaKelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat. Ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak” sosiologi.Fenomena agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-

Page 4: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

1903), Friedrich H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitif. Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut sosiologi agama klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu muncullah suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan kebijaksanaan itu para peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral dirasa sebagai kunci utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat kegiatan penelitian dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang dinamakan sosiologi pastoral. Ternyata usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka sosiologi pastoral itu mendapat gairah lebih besar lagi dan mengalami perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa negara (Perancis, Jerman, dan Belanda) didirikan lembaga khusus untuk penelitian kehidupan sosial gerejani.Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal tersebut, antara lain:- Pimpinan gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Dukungan dari pihak pimpinan gereja berkurang. Lalu dapat dipahami pula bahwa semangat para pendukungnya menjadi patah.- Menurut kalangan sosiolog (dari sosiologi umum) tidak tinggal diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan hasil kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah.Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama dipandang perlu untuk diperluas, tidak hanya dipersempit pada gereja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kerpercayaan tertentu. Maka dapat disimpulkan bahwa mulai saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas hanya kehidupan gerejani saja, tetapi harus mencakup semua bentuk kepercayaan yang ada di luar gereja.Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas terjadilah perubahan dalam sikap sosiologi agama. Pertama, sosiologi agama menjauhkan diri dari gereja dan kembali pada pangkuan umum sosiologi umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah

Page 5: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

baru menuju kepada tercapainya pengetahuan yang bersifat ilmu. Untuk itu dirasa perlu mengadakan koreksi-koreksi mengenai sasaran, metodologi, dan problematikanya.

Sosiologi gereja di EropaDi Prancis. Dari negara yang sebagian besar penduduknya beragama katholik pelopornya adalah Gabriel Le Bras. Karena dialah perintis dan pendorong sosiologi agama (dalam arti gereja) di Eropa Selatan. Dia tergerak oleh dua kenyataan yang saling bertolak belakang di negaranya. Di satu sisi, Prancis adalah contoh negara yang beragama, tetapi disisi lain Prancis adalah tanah subur bagi atheisme dan non-keagamaan. Sebagai hasil studinya ia menerbitkan sebuah buku sosiografi agama pada tahun 1931. Dengan ini muncullah apa yang disebut sosiologi gereja.Di Belgia. Pelopornya adalah J.Leclercg yang sejak tahun 1941 bergiat dengan sosiologi agama (gereja). Selain itu dia juga dikenal sebagai pemprakarsa berdirinya Kongres Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Brussel didirikan pula suatu Pusat Penelitian Agama yang diberi tugas untuk meningkatkan penelitian sosio-agama dibawah direksi I.Houtart, termasuk juga penelitian masalah sosio-gerejani. Dari pusat itu dibuat perencanaan bagi penderian sekolah-sekolah, gereja-gereja dan kepentingan lain.Di Jerman. Pengantar sosiologi agama yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim Wach (1931) dan Gustave Mensching (1944). Namun keduanya masih bermutu sejarah agama daripada sosiologi agama. Mensching memberikan petunjuk-petunjuk tentang cara efisien dalam mempelajari masalah sosio-agama berkat pengaruh dari Amerika Serikat. Pembinaan sosiologi pastoral dirintis oleh N.Greinacher yang ditopang dengan penerbitan majalah pastoral ”Anima” dan ”Lebendige Seelsorge” dimana disajikan banyak karangan tentang kehidupan paroki.Di Nederland. Penelitian sosiografis tentang hidup religius dimulai oleh Steinmatz. Suatu buku tentang ”Lapangan kerja gereja di kota-kota besar” (1913) diterbitkan oleh W. Harrenstein. Masalah perbedaan agama dan perbedaan mentalis ditangani oleh J.P Kryut (1943) seorang guru besar dari Universitas Utrecht. Selanjutnya dapat disebut nama W. Banning yang membuat seri studi ”Pastoral Sosiografis” dari kehidupan agama di Nederland (1953). A.J. Ponsioen berjasa juga mengkaji masalah ”agama dan kesadaran kelompok” (1957) dari negeri ini muncul suatu majalah ”Social Kompas” dalam tahun 1950, yang kemudian mulai tahun 1960 ditingkatkan menjadi menjadi majalah internasional mengenai studi sosio-keagamaan dengan nama ”Social Compass”.Di Itali. Dorongan pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari seorang uskup di Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat gereja yang disusun oleh Boldrini Filograsi dan D.Agata. Kemudian Don Parenna mendorong kalangan gerejawan supaya mendirikan suatu pusat Biro Statistik Gereja, yang berfungsi sebagai sumber informasi dan perencanaan bagi setiap keuskupan.

Page 6: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

Ternyata atas dorongan itu, beberapa keuskupan memiliki Biro Statistik. Sebuah buku dengan judul ”Sociologia Religiosa”, 1957 diterbitkan oleh S.S Aquaviva.

Sosiologi gereja di Amerika SerikatDari kalangan Protestan sejak dasawarsa kedua abad ini gereja-gereja Protestan di Amerika Serikat dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan masalah pelayanan, kependetaan, dan pendidikan. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka federasi gereja protestan mendirikan suatu ”Institute for Social Religious Research” pada tahun 1922. Lembaga itu mengalami kemacetan (berhenti) pada tahun 1934, tetapi dihidupkan kembali (1935) dalam bentuk nama baru ”Bureau of Research and Survey of National Council of Christian Churches”.Dari kalangan sosiolog sendiri sebelum Perang Dunia sebagian besar mereka tidak tertarik dengan sosiologi agama. Mereka berpandangan bahwa agama sebagai suatu kelambanan kultural (type of cultural) yang tidak bermanfaat untuk dipelajari. Tetapi seseudah Perang Dunia II terdapat perubahan dalam sikap tersebut dan minat terhadap sosiologi agama mulai bertumbuh, praduga yang kurang baik mulai didesak oleh pandangan positif dan sistematis.Dari kalangan katholik, pada tahun 1938 kalangan sarjana katholik mendirikan suatu organ yang diberi nama ”The American Catholic Sociological Society”. Tujuan yang ingin dicapai organ ini ada dua hal, pertama memberikan karangan-karangan ilmiah mengenai teori-teori sosiologis dan penelitian dalam lapangan keagamaan, kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog katholik sendiri. Pada awal penerbitannya ternyata karangan-karangannya sebagian besar masih bersifat filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya dapat mengubah corak itu menjadi positif empiris, sehingga majalah tersebut pada tahun 1964 berganti menjadi ”Sociological Analysis”.

Sosiologi agama di IndonesiaKalangan para ahli ilmu sosial dan Dr.Mukti Ali (mantan menteri agama RI) beliau menganjurkan para sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang masalah kehidupan agama. Terlepas dengan hal itu muncul dua buku yang diterbitkan oleh LP3ES yaitu ”Profil Pesantren” dikarang oleh Sudjoko dkk dan ”Pesantren Pembaharuan” dikarang oleh M.Dawam Rahardjo dkk. Dari dua buku tersebut menyingkap bentuk kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup kecil yang disebut dengan pesantren. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat disebut sosiologi agama dalam arti sesungguhnya. Hal ini harus disambut gembira karena bagaimanapun nilainya mereka telah menanamkan benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian yang diinginkan sosiologi agama di masa depan.Dari kalangan gereja katholik. Langkah-langkah yang diambil Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta patut disambut rasa syukur. Universitas tersebut pada tahun 1972 mendirikan suatu pusat yang diberi nama Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) Jakarta

Page 7: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

dan diberi tugas untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan erat dengan perekembangan gereja katholik di Indonesia. Tujuan tersebut dituangkan dalam beberapa program. Antara lain program latihan dasar dalam teori sosial kegerejaan dan metodologi penelitian. Sebuah program latihan lanjutan diberikan kepada suatu kelompok kerja terpilih dalam bidang penelitian sosial kegerejaan dan perencanaan. Ada lagi program pengembangan staf tenaga penelitian yang dilaksanakan melalui sejumlah kursus tersendiri. Dalam bidang penelitian dijelaskan bahwa masalah katekese dan liturgi gereja tidak termasuk di dalamnya. PPA tersebut juga bermaksud mengadakan perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan, dan majalah yang berkenan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang yang bertalian.

D. Jenis Sosiologi AgamaAdanya perbedaan jenis sosiologi dengan ciri-cirinya tersendiri yakni Pertama, terdapat perbedaan visi atas realitas masyarakat, teristimewa mengenai kekuatan tertentu yang dianggap memainkan peranan dominan atas kehidupan masyarakat. Kedua, akibat dari perbedaan visi itu digunakan pula metode dan pendekatan yang berbeda juga untuk mempelajari masyarakat. Sudah tentu setiap aliran memakai metode yang dianggap paling kena untuk mengungkapkan keistimewaan realitas masyarakat tersebut. Dengan demikian kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan mengandung tekanan-tekanan tersendiri yang diwarnai dengan visi dan sikap-sikap yang menguasainya. Adapun beberapa jenis sosiologi agama, antara lain sebagai berikut :a. Aliran KlasikAliran ini muncul pada pertengahan abad ke-19 dan belahan pertama dari abad ke-20, yang ditopang oleh sejumlah sarjana (kecuali Durkheim dan Weber, dan masih dapat ditambah dengan Taqueville, Marks, Toennis, Simmel, Pareto, Spencer, dll). Karya tulis para sarjana tersebut masih tetap akan dibaca dan dikiranya tidak akan pernah ditinggalkan sama sekali. Karya mereka lebih bercorak sosiologi dasar daripada sosiologi agama, dengan pengecualian Durkheim dan Weber. Bagi mereka sosiologi (agama) sangat dekat dengan sejarah dan filsafat yang merupakan suatu refleksi dan analisis sistematis terhadap masyarakat, kebudayaan dan agama sebagai proyek manusia. Tujuannya hendak mengungkapkan pola-pola sosial dasar dan peranannya dalam menciptakan masyarakat. Instansi pemerintah dan kalangan agama yang berkonsultasi dengan pendukung aliran tersebut, akan mendapat jawaban yang berupa esei panjang tentang sejarah dari masyarakat agama yang bersangkutan, yang menganalisis sejarah masyarakat (organisasi) tersebut. Di dalamnya ditunjukkan kekuatan-kekuatan (sosial) yang mendorong berdirinya, unsur-unsur budaya yang menopang kelangsungan hidupnya, dibandingkan dengan tuntutan-tuntutan modern dalam situasi yang sudah berubah, lantas mempersilahkan instansi yang berkepentingan untuk mengadakan perubahan yang sesuai atau tidak mengadakannya.

Page 8: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

b. Aliran PositivismeAliran ini mengikuti sosiologi yang empiris-positivistis dan menjajarkan masyarakat (dan masyarakat agama) sama dengan benda-benda alamiah. Ia menyibukkan diri dengan kuantifikasi dari dimensi masyarakat yang kualitatif dengan metode pengukuran yang eksak dan menarik kesimpulan yang dibuktikan dengan fakta-fakta. Dengan kata lain kesimpulan yang sifatnya netral tanpa diwarnai pertimbangan teologis atau fisiologis, dilepas dari konteks sejarah perkembangan yang dialami masyarakat itu dalam waktu yang lampau. Cara penganalisisan demikian itu dipegang ketat dan konsekuen demi tercapainya hasil yang diinginkan, yaitu hasil yang se-objektif mungkin. Instansi (pemerintah atau keagamaan) yang akan minta bantuan dari aliran positivistis ini untuk mengadakan penelitian mengenai lembaganya atau organisasinya akan mendapat keterangan banyak tentang struktur organisasinya, tentang keadaan sistem peraturannya, mengenai kualitas kepemimpinannya dan reaksi (yang positif dan negatif) dari anggota-anggota lembaganya. Instansi yang berkonsultasi akan diyakinkan mengenai pentingnya keterangan (ilmiah) itu, tetapi kepadanya diserahkan sepenuhnya untuk menentukan sendiri bagaimana ia akan menggunakan informasi itu.c. Aliran Teori KonflikDalam pandangan ahli sosiologi aliran ini masyarakat yang baik (sehat) ialah masyarakat yang hidup dalam situasi konfliktual. Masyarakat yang disebut dalam keadaan keseimbangan (equilibrium) dianggapnya sebagai masyarakat yang tertidur dan berhenti dalam proses kemajuannya. Karena konflik (bentrokan) sosial dianggapnya sebagai kekuatan sosial utama dari perkembangan masyarakat yang ingin maju kepada tahap-tahap yang lebih sempurna. Gagasan konfliktual ini (yang skemanya diciptakan oleh filsuf Hegel sebagai tesis – anti tesis – sintesis) didukung oleh Karl Marx, F. Oppenheimer, A. Weber, dan W. Sombart, sebagai sarana mutlak (yang diberikan oleh alam sendiri) untuk memajukan masyarakat manusia. Aliran teori konflik ini tidak sependapat dengan aliran para ahli aliran fungsionalisme, yang dilihat equilibrium sosial masyarakat sebagai bentuk hidup sosial yang ideal, karena dianggap kurang menyadari, atau membiarkan adanya kekurangan dan ketidakadilan yang dibungkam oleh struktur kekuasaan yang bertahan. Dari sisi lain sosiologi aliran teori konflik ini (yang juga disebut teori kritis) tidak dapat menyetujui metode kuantitatif dari aliran positivisme, karena dianggapnya sebagai suatu arus yang mengasingkan orang dari masyarakat. Lebih jauh sosisologi kritis ini merasa tidak dapat memusatkan perhatiannya pada problem mikro saja. Sebab pengkajian masalah yang kecil akan mengundang segera persoalan yang lebih besar dan mendorong kepada pengkajian bentrokan-bentrokan yang implisit terkandung di dalam sistem sosial seluruhnya. Dan yang tidak boleh dilupakan dalam analisisnya ialah usaha menempatkan situasi yang dihadapi dalam kurun sejarah perkembangan yang telah dilewati yang tidak dapat dilepaskan dari masalah baru yang hendak dicari pemecahannya. Dari sudut pandangan ini dapat dikatakan bahwa sosiologi kritis

Page 9: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

(konfliktual) ini mempunyai titik persamaan dengan sosiologi klasik yang selalu tertarik kepada problem-problem makro, dan masalah-masalah mikro hanya diperhatikan sejauh itu dapat memberikan keterangan bagi pemecahan masalah yang lebih besar. Apabila pihak-pihak yang berkepentingan (instansi pemerintah atau keagamaan) berkonsultasi dengan aliran sosiologi kritis ini maka mereka akan mendapat seperangkat penjelasan tentang unsur-unsur pertentangan yang ada dalam tubuh organisasinya, dan yang berhasil digali dari kesadaran kelompok-kelompok yang saling bertentangan. Lalu diberikannya seberkas resep yang dipandang tepat untuk mengatasi bentrokan-bentrokan yang sangat berguna itu menuju kepada suatu sintesis baru yang pada gilirannya akan menumbuhkan dinamika baru, yang pada dasarnya mengandung benih-benih konflik baru.d. Aliran FungsionalismePendukung-pendukungnya bertolak dari pendirian dasar bahwa masyarakat itu suatu sistem perimbangan, dimana setiap kelompok memberikan sumbangannya yang khas melalui peranannya masing-masing yang telah ditentukan demi lestarinya sistem perimbangan sebagai keseluruhan. Arti dan makna dari sebuah kegiatan sosial hanya dimengerti dengan baik apabila orang dapat menemukan setepatnya tempat dan fungsinya dan dalam keseluruhan sistem sosial. Dalam keterangan pemikiran itu timbulnya suatu bentrokan dalam organisasi dipandang berfungsi korektif untuk membetulkan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam subbagian institusi-institusi yang tidak berjalan dengan baik. Penelitian yang diadakan sebagian besar ditujukan untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang berfungsi baiknya peranan-peranan (tugas-tugas) yang dilaksanakan semua bagian di semua lapisan baik dari pemegang pimpinan maupun yang dipimpin. Dalam kerangka penegakan seluruh sistem masyarakat sebagai suatu neraca keseimbangan yang harmoni, aliran fungsionalisme ini dapat menerima prinsip kerja yang memperkecil lingkup penelitiannya pada suatu problem mikro, yang dianggap berguna sebagai sampel untuk mengetahui keadaan keseluruhannya sebagai sistem keseimbangan. Apabila aliran fungsionalisme ini diminta bantuannya untuk meneliti suatu wilayah keagamaan atau suatu lembaga religius demi kepentingan instansi peminta yang bersangkutan. Maka perhatian khusus akan dicurahkan untuk memperoleh penjelasan mengenai dua hal, (a) bagian-bagian mana dari wilayah (lembaga) yang berfungsi baik dan (b) bagian-bagian mana yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dari data-data itu akan diberikan petunjuk-petunjuk atau anjuran supaya bagian-bagian lembaga yang tidak sanggup memberikan sumbangan kepada terwujudnya keseimbangan dari seluruh sistem, harus diubah.

E. Pandangan Teori Fungsionalisme atas AgamaAliran fungsionalisme melihat masyarakat sebagai equilibrium sosial dari semua institusi yang ada didalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri atas norma-norma yang dianggap syah

Page 10: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

dan mengikat oleh anggota-anggotanya yang menjadi pengambil bagian (partisipasi) dari sistem itu. Keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk sistem sosial itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagian (institusi) saling bergantungan dengan semua bagian lainnya sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi bagian yang lain dan keadaan sistem sebagai keseluruhan.Dalam kerangka pemikiran teori fungsionalisme, agama hanya merupakan suatu bentuk tindak langkah manusia yang dilembagakan yang berada diantara lembaga-lembaga sosial lainnya. Teori fungsionalisme meandang agama sebagai salah satu lembaga sosial yang memegang kunci penting untuk menjawab kebutuhan mendasar dari masyarakat, jelasnya kebutuhan manusia yang tidak dapat dipuaskan dengan nilai-nilai duniawi yang serba sementara, tetapi hanya dengan ”sesuatu yang ada diluar” dunia yang empiris ini. Namun, sosiologi fungsionalisme tidak mengutik apa hakikat dari ”sesuatu yang ada diluar” itu, tetapi hanya melihat pengaruhnya yang nyata, dalam arti sejauh hakekat itu telah mengambil bentuk yang konkret sebagai salah satu lembaga sosial.Sebagaimana telah diketahui kalangan para ahli kemasyarakatan, teori fungsionalisme sudah mempunyai pengaruh yang ikut menentukan atas sosiologi umum, tetapi juga atas sosiologi agama. Penelitian-penelitian yang diadakan oleh aliran fungsionalisme menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sangat berguna bagi kebijaksanaan instansi-instansi keagamaan maupun pemerintahan. Para fungsionalis sanggup menjelaskan bahwa baik masyarakat religius maupun masyarakat profane keduanya mengemban fungsi bagi umat manusia, dan kedua belah pihak mempunyai kewajiban moril untuk menyadari saling ketergantungannya.Lebih lanjut teori fungsionalisme melihat agama sebagai penyebab sosial (social causation) yang dominan dalam terbentuknya lapisan (strata) sosial dalam tubuh masyarakat, yang masing-masing mempunyai perasaan tersendiri yang sanggup mengumpulkan orang-orangnya dalam suatu wadah persatuan yang amat kompak (jika mereka menganut agama yang sama) tetapi perasaan religius dari agama yang berlainan dapat (dan memang terjadi) memisahkan kelompok yang satu dengan yang lain secara tajam atau dengan istilah lain dapat menimbulkan konflik yang bermotif keagamaan. Teori fungsionalisme melihat agama sebagai suatu bentuk kebudayaan yang istimewa, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku manusia penganutnya baik lahiriah maupun batiniah, sehingga sistem sosialnya untuk sebagian terdiri dari kaidah-kaidah yang dibentuk oleh agama.Akhirnya dapat disimpulkan bahwa seluruh penyorotan dari kacamata fungsionalisme atas agama dalam segala seginya memberikan gambaran bahwa agama merupakan suatu kategori sosial. Pandangan ini bukan milik ekslusif dari fungsionalisme, melainkan dari sosiologi positif umumnya.

Arti Penting Teori FungsionalTeori fungsionalisme memandang agama dalam kaitan dengan aspek pengalaman

Page 11: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

yang mentransendensikan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari, yakni melibatkan kepercayaan dan tanggapan kepada sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Oleh karena itu, secara sosiologis agama menjadi penting dalam kehidupan manusia di mana pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian yang dibutuhkan. Dari sudut pandangan teori fungsional, agama menjadi atau penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastiaan, ketidakberdayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai suatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal yang diluar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya. Dari sini kita dapat menyebutkan enam fungsi agama.Pertama, agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang di luar jangkauan manusia yang melibatkan takdir dan kesejahteraan, dan terhadap mana manusia memberikan tanggapan serta menghubungkan dirinya, menyediakan bagi pemeluknya suatu dukungan, pelipur lara dan rekonsiliasi. Manusia membutuhkan dukungan dukungan moral di saat menghadapi ketidakpastian, pelipur lara disaat berhadapan dengan kekecewaan, dan membutuhkan rekonsiliasi dengan masyarakat bila diasingkan dari tujuan dan norma-normanya. Karena gagal mengejar aspirasi, karena dihadapkan dengan kekecewaan serta kebimbangan, maka agama menyediakan sarana emosional penting yang membantu dalam menghadapi unsur-unsur kondisi manusia ini. Dalam memberikan dukungannya, agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral dan membantu mengurangi kebencian. Kedua, agama menawarkan suatu hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara ibadat, karena itu memberikan dasar emosional bagi rasa aman baru dan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan kondisi manusia dan arus serta perubahan sejarah. Melalui ajaran-ajaran yang otoritatif tentang kepercayaan dan nilai, agama menyediakan kerangka acuan di tengah pertikaian dan kekaburan pendapat serta sudut pandang manusia. Fungsi agama yang bersifat kependetaan ini menyumbang stabilitas, ketertiban, dan seringkali mendukung pemeliharaan status quo.Ketiga, agama mensucikan norma-norma dan nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan kelompok di atas keinginan individu dan disiplin kelompok diatas dorongan hati individu. Dengan demikian agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas dan ganjaran yang merupakan ciri khas suatu masyarakat. Lebih jauh lagi, tidak ada masyarakat dimana orang yang hidup pada pengharapan tanpa penyimpangan, masih tetap dijumpai metode-metode tertentu untuk menangani keterasingan dan kesalahan individu yang menyimpang. Agama juga melakukan fungsi ini dengan menyediakan cara-cara, sering dengan cara ritual,

Page 12: BEBERAPA SEGI SOSIOLOGI AGAMA.docx

di mana kesalahan dapat diampuni dan individu dilepaskan dari belenggu kesalahan dan disatukan kembali ke dalam kelompok sosial. Jadi, agama mensucikan norma dan nilai, yang membantu pengendalian sosial, mengesahkan alokasi pola-pola masyarakat, sehingga membantu ketertiban dan stabilitas, dan menolong mendamaikan hati mereka yang tidak memperoleh kasih sayang. Keempat, agama juga melakukan fungsi yang bisa bertentangan dengan fungsi sebelumnya. Agama dapat pula memberikan standar nilai dalam arti dimana norma-norma yang telah terlembaga, dapat dikaji kembali secara kritis dan kebetulan masyarakat memang sedang membutuhkannya.Kelima, agama melakukan fungsi-fungsi identitas yang penting. Kita telah menyinggung salah satu aspek fungsi ini dalam membicarakan fungsi hubungan transcendental yang ada dalam agama. Melalui penerimaan nilai-nilai yang terkandung dalam agama dan kepercayaan-kepercayaan tentang hakikat dan takdir manusia, individu mengembangkan aspek penting pemahaman diri dan batasan diri. Melalui peran serta manusia didalam ritual agama dan doa, mereka juga melakukan unsur-unsur signifikan yang ada dalam identitasnya. Dengan cara ini, agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia dan apa ia. Davis mengatakan,”agama memberikan individu rasa identitas pada masa lampau yang sudah jauh dan masa mendatang yang tidak terbatas”. Will Herberg dalam studi sosiologi agama Amerika di tahun 1950-an, mengatakan bahwa salah satu cara penting di mana orang Amerika membentuk identitasnya ialah dengan menjadi anggota salah satu dari ”ketiga agama demokrasi”, yakni Protestanisme, Katholikisme, dan Yahudiisme. Keenam, agama bersangkut-paut pula dengan pertumbuhan dan kedewasaan individu, dan perjalanan hidup melalaui tingkat usia yang ditentukan oleh masyarakat. Agama melibatkan individu dalam proses belajar.Jadi, menurut teori fungsional, agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam ketidakpastian, menghibur ketika dilanda kecewa, mengaitkannya dengan tujuan-tujuan masyarakat, memperkuat moral, dan menyediakan unsur-unsur identitas. Agama bertindak menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial, menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, dan menyediakan sarana untuk mengatasi kesalahan dan keterasingan. Sumbangan agama kepada masyarakat bisa bersifat positif dan negatif. Kaum fungsionalis selalu atau lebih banyak memusatkan perhatiaan pada fungsi-fungsi positif yang biasanya tidak diketahui oleh anggota masyarakat, yakni fungsi laten yang positif. Perdebatan diantara ahli sejarah modern memusatkan perhatian pada fungsi laten yang negatif. Jelas masih banyak penjajakan yang harus dilakukan.