Batu Empedu

36
REPERAT KOLELITIASIS Disusun untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik stase ilmu bedah Rumah Skit Umum Tasikmalaya Pembimbing: dr. H. Yarie Hendarman Hudly. Sp.B disusun : kuswanto 08310168 1

Transcript of Batu Empedu

Page 1: Batu Empedu

REPERAT

KOLELITIASIS

Disusun untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik stase ilmu bedah

Rumah Skit Umum Tasikmalaya

Pembimbing:

dr. H. Yarie Hendarman Hudly. Sp.B

disusun :

kuswanto

08310168

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATIBANDAR LAMPUNG

2013

1

Page 2: Batu Empedu

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN........................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKAA.Definisi .......................................................................................................6B. Anatomi dan fisiologi ................................................................................7C. Etiologi………........................................................................................... 10D. Patofisiologis hemoroid..............................................................................11E. Faktor resiko ...............................................................................................12F. Klasifikasi hemoroid .................................................................................. 13G. Gejala klinis ……........................................................................................15H. Diagnosis hemoroid.....................................................................................17I. Pemeriksaan hemoroid……….....................................................................18J. Diagnosis banding.........................................................................................19K. Penatalaksanaan hemoroid...........................................................................20L. Pencegahan……….......................................................................................25M. Komplikasi…………...………....................................................................25N. proknosis………..........................................................................................26

Daftar pustaka

2

Page 3: Batu Empedu

PENDAHULUAN

Kolelitiasis atau biasa disebut batu empedu adalah salah satu dari penyakit

gastrointestinal yang paling sering di jumpai di praktek klinik. Penelitian dengan

ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien batu empedu adalah asimtomatik. Secara

umum dapat dikatakan bahwa pasien-pasien yang asimtomatik akan kambuh dan

memperlihatkan gejala-gejala pada sebanyak 1-2% per tahun “follow up”. Manifestasi klinik

dari batu empedu dapat berupa nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung

empedu (kolesistitis akut) atau saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi-komplikasi

akibat migrasi batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran

empedu yang dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.

Tidak semua batu empedu memerlukan tindakan untuk mengeluarkannya. Ada beberapa

faktor yang menentukan bagaimana penatalaksanaannya antara lain lokasi batu tersebut,

ukurannya dan manifestasi kliniknya. Kemajuan-kemajuan yang pesat di bidang iptek

kedokteran pada dua dekade ini terutama kemajuan di bidang pencitraan (imaging),

endoskopi diagnostik dan endoskopi terapetik membawa perubahan yang sangat mendasar

dalam penatalaksanaan batu empedu.

Pada masa-masa yang lalu kira-kira sebelum tahun delapan puluhan, sarana

diagnostik imaging untuk batu empedu hanya dari foto polos abdomen, kolesistografi oral

dan kolangiografi intravena. Tetapi sarana diagnostik ini mempunyai banyak keterbatasan,

antara lain bahwa fungsi hati mempengaruhi hasil foto yang diperoleh. Pada keadaan di mana

bilirubin serum meningkat lebih dari 3 mg%, tidak akan ada ekskresi bahan kontras dari sel-

sel hati ke saluran empedu sehingga tidak akan diperoleh gambar. Hal ini mengakibatkan

bahwa pada masa itu sangat sulit menentukan apakah seseorang dengan ikterus itu

disebabkan oleh kelainan parenkim atau oleh obstruksi saluran empedu yang penanganannya

sangat berbeda. Sarana terapetik serta penatalaksanaannya juga mengalami perubahan yang

sangat besar yakni makin terjadinya kecenderungan penanganan batu saluran empedu

ditangani secara minimal invasif melalui endoskopi oleh para gastroenterolog.1

3

Page 4: Batu Empedu

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Gambar 1 Batu Kandumg Empedu

Kolelitiasis adalah material atau kristal yang terbentuk dalam kandung

empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen empedu,

kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu pada anak-anak

adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi

yang tidak diketahui. Di negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu

adalah kolesterol, sehingga sebagian batu empedu mengandung kolesterol lebih dari

80%.2 Choledocholithiasis didefinisikan sebagai adanya batu empedu di saluran

empedu dan / atau saluran hepatik umum.3

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Biliaris

Gambar 2 Kandung Empedu

4

Page 5: Batu Empedu

Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50

ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu

proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain

saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel

thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. Empedu dibentuk

oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus

biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian

keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya

membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum

terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai

tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.4,5

Kandung empedu bentuknya seperti pir, panjangnya sekitar 7 - 10 cm.

Kapasitasnya sekitar 30 50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung

sampai 300 cc. Organ ini terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi

antara lobus hati kanan dan kiri. Bagian ekstrahepatik dari kandung ampedu ditutupi

oleh peritoneum. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum dan

kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit

Gambar 3 Ilustrasi Kandung Empedu

5

Page 6: Batu Empedu

memanjang di atas tepi hati, dan sebagian besar tersusun atas otot polos dan jaringan

elastik, merupakan tempat penampungan empedu. Korpus merupakan bagian terbesar

dari kandung empedu, dan ujungnya akan membentul leher (neck) dari kandung

empedu. Leher ini bentuknya dapat konveks, dan mebentuk infundibulum atau

kantong Hartmann. Kantong Hartmann adalah bulbus divertikulum kecil yang terletak

pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang secara klinis bermakna karena

proksimitasnya dari duodenum dan karena batu dapat terimpaksi ke dalamnya. Duktus

sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Katup spiral dari

Heister terletak di dalam duktus sistikus, mereka terlibat dalam keluar masuknya

empedu dari kandung empedu. Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui

arteri sistika; yang akan terbagi menjadi anterior dan posterior, secara khas

merupakan cabang dari arteri hepatika kanan, tetapi asal dari arteri sistika bervariasi.

Arteri sistika muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common

hepatic duct dan ujung hepar). Drainase vena dari kandung empedu bervariasi,

biasanya ke dalam cabang kanan dari vena porta. Aliran limfe masuk secara langsung

ke dalam hati dan juga ke nodus-nodus di sepanjang permukaan vena porta..

Persarafannya berasal dari vagus dan cabang simpatik yang melewati celiac plexus

(preganglionik T8-9). Impuls dari liver, kandung empedu, dan bile ducts melewari

aferen simpatetik melalui splanknik nerve dan menyebabkan nyeri kolik. Saraf

muncul dari aksis seliak dan terletak di sepanjang arteri hepatica. Sensasi nyeri

diperantarai oleh serat viseral, simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung

empedu dibawa melalui cabang vagus dan ganglion seliaka.

Duktus Biliaris

Duktus biliaris ekstrahepatal terdiri atas duktus hepatikus kiri dan kanan,

common hepatic duct, duktus sistikus, dan common bile duct atau duktus

koledokus.Duktus hepatika kanan dan kiri keluar dari hati dan bergabung dengan

hilum membentuk duktus hepatik komunis, umumnya anterior tehadap bifurkasio

vena porta dan proksimal dekat dengan arteri hepatica kanan. Bagian ekstrahepatik

dari duktus kiri cenderung lebih panjang. Duktus hepatikus komunis membangun

batas kiri dari segitiga Calot dan berlanjut dengan duktus koledokus. Pembagian

terjadi pada tingkat duktus sistikus. Duktus koledokus panjangnya sekitar 8 cm dan

terletak antara ligamentum hepatoduodenalis, ke kanan dari arteri hepatica dan

anterior terhadap vena porta. Segmen distal dari duktus koledokus terletak di dalam

substansi pankreas. Duktus koledokus mengosongkan isinya ke dalam duodenum

6

Page 7: Batu Empedu

sampai ampula Vateri, orifisiumnya dikelilingi oleh muskulus dari sfingter Oddi.

Secara khas, ada saluran bersama dari duktus pankreatikus dan duktus koledokus

distal.

Hati mempunya fungsi yang akan dijelaskan di bawah ini. Fungsi hati dibagi

atas 4 macam:

Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati. Saluran empedu mengalirkan, kandungan

empedu menyimpan dan mengeluarkan empedu ke dalam usus halus sesuai yang

dibutuhkan. Hati mengekskresi sekitar satu liter empedu tiap hari. Unsur utama

empedu adalah air (97%), elektrolit, garam empedu fosfolipid, kolesterol dan

pigmen empedu (terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk

pencernaan dan absorpsi lemak dalam usus halus. Oleh bakteri usus halus

sebagian besar garam empedu direabsorpsi dalam ileum, mengalami resirkulasi

ke hati, kemudian mengalami rekonjugasi dan resekresi. Walaupun bilirubin

(pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak

mempunyai peran aktif, ia penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran

empedu, karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang

berhubungan dengannya. Di samping itu ke dalam empedu juga diekskresikan

zat-zat yang berasal dari luar tubuh, misalnya logam berat, beberapa macam zat

warna (termasuk BSP) dan sebagainya.

Fungsi metabolik

Hati memegang peran penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,

vitamin dan juga memproduksi energi. Zat tersebut di atas dikirim melalui vena

porta setelah diabsorpsi oleh usus. Monosakarida dari usus halus diubah menjadi

glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini

disuplai glukosa secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi

kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam jaringan untuk

menghasilkan panas atau energi dan sisanya diubah menjadi glikogen, disimpan

dalam otot atau menjadi lemak yang disimpan dalam jaringan subkutan. Hati

juga mampu menyintesis glukosa dari protein dan lemak (glukoneogenesis).

Peran hati pada metabolisme protein penting untuk hidup. Protein plasma,

kecuali gama globulin, disintesis oleh hati. Protein ini adalah albumin yang

diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid, protrombin,

fibrinogen dan faktor-faktor pembekuan yang lain. Selain itu, sebagian besar

7

Page 8: Batu Empedu

asam amino mengalami degradasi dalam hati dengan cara deaminasi atau

pembuangan gugusan amino (-NH2). Amino yang dilepaskan kemudian

disintesis menjadi urea, diekskresi oleh ginjal dan usus. Amonia yang terbentuk

dalam usus oleh kerja bakteri pada protein diubah juga menjadi urea dalam hati.

Beberapa fungsi khas hati dalam metabolisme lemak yaitu oksidasi beta asam

lemak dan pembentukan asam asetoasetat yang sangat tinggi, pembentukan

lipoprotein, pembentukan kolesterol dan fosfolipid dalam jumlah yang sangat

besar, perubahan karbohidrat dan protein menjadi lemak dalam jumlah yang

sangat besar.

Fungsi pertahanan tubuh

Terdiri dari fungsi detoksifikasi dan fungsi proteksi. Fungsi detoksifikasi

sangat penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati yang melakukan oksidasi,

reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan, dan

mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Detoksifikasi zat

endogen seperti indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan dalam asam amino

oleh kerja bekteri dalam usus besar dan zat eksogen seperti morfin, fenobarbital

dan obat-obat lain. Hati juga menginaktifkan dan mengekskresikan aldosteron,

glikokortikoid, estrogen, progesteron, dan testoteron. Fungsi proteksi dilakukan

oleh sel Kupffer yang terdapat pada dinding sinusoid hati, sebagai sel endotel

yang mempunyai fungsi sebagai system endothelial, berkemampuan fagositosis

yang sangat besar sehingga dapat membersihkan sampai 99% kuman yang ada

dalam vena porta sebelum darah menyebar melewati seluruh sinusoid. Sel

Kupffer juga mengadakan fagositosis pigmen-pigmen, sisa-sisa jaringan dan

lain-lain. Sel Kupffer juga menghasilkan immunoglobulin yang merupakan

alat, berbagai macam antibodi yang timbul pada berbagai kelainan hati tertentu,

anti mitochondrial antibody (AMA), smooth muscle antibody (SMA), dan anti

nuclear antibody (ANA).6,7

Tiga bagian utama: latar belakang, tubuh dan leher. Dari cystic duct muncul,

dimana kandung kemih melekat pada saluran hepatikum, untuk menimbulkan saluran

empedu umum. Panjang sekitar 7,5 cm dapat juga berfariasi. sesuai dengan mulut

bagian titik kistik. Mencapai diameter normal 5,5 mm. Yang jauh lebih tinggi dalam

kasus obstruktif patologi. 4 bagian diakui didefinisikan dengan baik:

1. Melayani supraduodenal Go down di ligamen hepatoduodenal depan foramen

Winslow. Apakah ke depan dan ke kanan vena portal

8

Page 9: Batu Empedu

2. Melayani retroduodenal: berkaitan erat dengan bagian pertama dari duodenum,

mencapai lateral ke vena portal dan wajah cava.

3. Pankreas porsi: Ini membentang dari tepi bawah bagian pertama duodenum ke

titik di dinding posteromedial dari bagian kedua duodenum.

4. Intramural duodenum bagian: Penyebaran miring ke bawah dan lateral dalam

dinding duodenum pada perpanjangan sekitar 2 cm. Saluran empedu umum

bergabung pankreas biasanya hanya di dalam duodenum dinding di 89%.3

C. Patogenesis

Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun terakhir.

Walaupun beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui

sepenuhnya, namun komposisi kimia dan adanya lipid dalam cairan empedu

memegang peran penting dalam proses terbentuknya batu. Kira-kira 8% dari lipid

empedu dalam bentuk kolesterol dan 15-20% dalam bentuk fosfolipid. Keduanya

tidak larut dalam air, dalam cairan empedu terikat dengan garam empedu dengan

komposisi 70-80% dari lipid empedu. Empedu adalah suatu cairan aqueous yang

terdiri dari lemak hidropobik yang tidak larut (kolesterol dan fosfolipid), yang

selanjutnya bisa terlarut dengan bantuan suatu asam empedu.9 Empedu terdiri dari air

(97,5 g/dL) garam empedu (1,1 g/dL) bilirubin (0,04 g/dL) kolesterol (0,1 g/dL) asam

lemak (0,12 g/dL) leshitin/fosfolipid (0,04 g/dL) Na+ (145 mEq/L), K+ (5 mEq/L),

Ca2+ (5 mEq/L), Cl- (100 mEq/L), HCO3 - (28 mEq/L).

Kolesterol dalam empedu bercampur dengan garam empedu dan fosfolipid

membentuk campuran micelles dan vesikel. Micelles adalah kumpulan lemak yang

mempunyai dinding yang hidrofilik (larut dalam air) dan inti yang hidrofobik (tidak

larut dalam air). Vesikel adalah suatu bentukan sferik bilayers dari fosfolipid yang

terdiri dari 2 rantai yaitu rantai nonpolar hidrokarbon menghadap dan rantai polar

mengarah ke larutan. Pada keadaan kosentrasi kolesterol yang tinggi vesikel

membawa kolesterol dalam jumlah besar. Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan

garam empedu digambarkan dalam suatu segitiga yang sering disebut Triangular

Coordinats yang menggambarkan konsentrasi kelarutan kolesterol dalam suatu

campuran dengan fosfolipid dan garam empedu. The maximum equilibrium solubility

dari kolesterol ditentukan oleh rasio kolesterol, fosfolipid dan garam empedu, yang

dinyatakan dalam indeks saturasi kolesterol. Micelles terbentuk jika titik potong

konsentrasi relatif dari ketiga komponen (kolesterol, lesitin dan garam empedu)

9

Page 10: Batu Empedu

terletak pada area micellar. Keadaan ini berada dalam kondisi stabil untuk mencegah

terbentuknya batu. Jika titik potong konsentrasi empedu terletak di luar area tersebut

maka empedu bersifat litogenik. Berbagai kondisi dapat menyebabkan ketidakstabilan

komposisi dari ketiga komponen tersebut.

Predisposisi Terbentuknya Batu Kandung Empedu

Terbentuknya empedu abnormal akibat penyakit hati primer

Penurunan konsentrasi garam empedu bilier

Peningkatan konsentrasi kolesterol bilier

Kelainan ileum yang menyebabkan peningkatan siklus enterohepatikGangguan

fungsi kandung empedu:

Kegagalan dalam pengosongan kandung empedu

Peningkatan konsentrasi empedu sehingga menjadi sangat jenuh

Faktor risiko batu empedu dikenal dengan singkatan 4F: yaitu Forty, Female, Fat,

Family.

• Usia lanjut. Batu empedu jarang sekali menyerang di usia 25 tahun ke bawah. Sekitar

30% lansia diperkirakan memiliki batu empedu, meskipun kebanyakan tidak

menimbulkan gejala.

• Wanita. Wanita lebih banyak terkena batu empedu dibandingkan pria. Pada wanita

insidennya sekitar 2 per 1000, dibandingkan hanya 0,6 per 1000 pada pria. Pada

wanita hamil, kandung empedu menjadi lebih rendah dan batu empedu bisa

berkembang. Hormon wanita dan penggunaan pil KB juga diduga ikut berperan.

• Obesitas. Kelebihan berat badan merupakan faktor risiko yang kuat untuk batu

empedu, terutama di kalangan wanita.

Beberapa proses pembentukan batu empedu akan diuraikan di bawah ini

Patogenesis Batu Empedu Kolesterol

Terbentuknya batu kolesterol diawali adanya presipitasi kolesterol yang membentuk

kristal kolesterol. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya presipitasi

kolesterol adalah:

1. absorpsi air,

2. absorpsi garam empedu dan fosfolipid

3. sekresi kolesterol yang berlebihan pada empedu

4. adanya inflamasi pada epitel kandung empedu

5. kegagalan untuk mengosongkan isi kandung empedu

6. adanya ketidakseimbangan antara sekresi kolesterol

10

Page 11: Batu Empedu

7. fosfolipid dan asam empedu, peningkatan produksi musin di kandung empedu dan

penurunan kontraktilitas dari kandung empedu. Batu kolesterol terbentuk ketika

konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu melebihi kemampuan empedu untuk

mengikatnya dalam suatu pelarut, kemudian terbentuk kristal yang selanjutnya

membentuk batu.

Pembentukan batu kolesterol melibatkan tiga proses yang panjang yaitu

pembentukan empedu yang sangat jenuh (supersaturasi), pembentukan kristal

kolesterol dan agregasi serta proses pertumbuhan batu. Proses supersaturasi terjadi

akibat peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi garam empedu atau

keduanya. Konsentrasi empedu yang melebihi indeks saturasi kolesterol membuat

empedu menjadi sangat jenuh. Akibatnya terjadi peningkatan kolesterol dalam

vesikel. Vesikel unilamelar yang jenuh kolesterol ini bergabung membentuk vesikel

kolesterol multilamelar, kemudian terbentuk cluster yang dapat bertindak sebagai inti

pembentukan Kristal kolesterol. Pembentukan inti ini bisa bersifat homogen dan

heterogen. Inti homogen terjadi apabila pembentukan Kristal tanpa material asing,

sedangkan heterogen apabila pembentukan kristal disertai material asing seperti sel

epitel, protein, garam kalsium atau benda asing. Pembentukan inti yang bersifat

heterogen lebih sering terjadi dibandingkan dengan homogen. Kristal kolesterol ini

terus tumbuh dan menggumpal dengan musin membentuk suatu batu.

Pembentukan kristal kolesterol dapat dipacu (promoter) dan dihambat

(inhibitor) oleh suatu zat tertentu. Diperkirakan promoter dan inhibitor tersebut

berperan saat pembentukan inti kolesterol. Protein dapat bertindak sebagai promoter

dan inhibitor. Protein bilier dengan berat molekul lebih dari 130 kDa (Kilo Dalton)

merupakan suatu promoter, sedangkan protein dalam empedu normal merupakan

suatu inhibitor. Faktor antinukleasi dari protein tersebut menjaga kestabilan vesikel

kolesterol fosfolipid dalam empedu normal dan menghambat proses kristalisasi.

Faktor antinukleasi tersebut adalah Apolipoprotein A-I dan Apolipoprotein A-II.

Musin dari kandung empedu juga merupakan promoter. Musin mempercepat

pembentukan kristal kolesterol. Pemberian obat aspirin yang menghambat

pengeluaran musin dikatakan mampu menghambat pembentukan Kristal kolesterol.

Kecepatan pembentukan kristal ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor pro

dan antinukleasi. Stasis dari kandung empedu juga mempengaruhi pembentukan

kristal empedu dari bentuk mikroskopik menjadi bentuk makroskopik. Pergerakan

kandung empedu menghambat pembentukan batu.

11

Page 12: Batu Empedu

Patogenesis Batu Non Kolesterol (Batu Pigmen)

Batu pigmen sebagian besar terbentuk dari bilirubin yang tak terkonjugasi.

Bilirubin tak terkonjugasi terdapat dalam pigmen empedu normal dalam jumlah yang

sedikit, namun sangat sensitif untuk mengalami presipitasi oleh ion kalsium. Proses

ini belum sepenuhnya diketahui, namun diduga sebagai awal terbentuknya batu

adalah terjadi proses polimerisasi sehingga terbentuk polymers of cross-linked

bilirubin tetrapyrroles. Pencetus terjadinya proses polimerisasi juga belum diketahui,

namun diduga disebabkan oleh radikal bebas atau singlet oksigen yang diproduksi

oleh hepar atau oleh makrofag atau neutrofil dalam mukosa kandung empedu. Pada

manusia peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi merupakan akibat dari

peningkatan kadar hemoglobin. Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat juga

timbul akibat peningkatan proses hidrolisis enzimatik (beta glukoronidase) dari

bilirubin terkonjugasi atau penurunan jumlah inhibitor beta glukoronidase yaitu asam

glutarat. Musin glikoprotein merupakan kerangka terbentuknya batu pigmen. Musin

diproduksi oleh kripta kandung empedu. Hipersekresi musin juga memainkan peranan

penting dalam pembentukan batu pigmen.

Patogenesis Batu Pigmen Hitam

Batu pigmen hitam banyak dijumpai pada pasien-pasien sirosis, penyakit

hemolitik seperti talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen hitam dijumpai dalam

empedu yang steril dalam kandung empedu. Pada gambaran radiologis hamper 50%

terlihat sebagai gambaran radioopak, akibat mengandung kalsium karbonat dan

kalsium fosfat dalam konsentrasi yang tinggi. Batu pigmen hitam biasanya mengkilat

atau tumpul seperti aspal, sedangkan batu pigmen coklat lembek, dengan konsistensi

seperti sabun. Batu pigmen hitam terjadi akibat melimpahnya bilirubin tak

terkonjugasi dalam cairan empedu.

Peningkatan ini disebabkan oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat

hemolisis, proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan

proses dekonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk kompleks

dengan ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai sifat

sangat tidak larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna menyebabkan peningkatan

pH, dan keadaan ini merangsang pembentukan garam kalsium. Kalsium bilirubinat

yang terbentuk terikat dengan musin tertahan di kandung empedu. Hal ini sebagai

awal proses terbentuknya batu. Pada penyakit batu pigmen hitam, empedu biasanya

jenuh oleh adanya kalsium bilirubinat, kalsium karbonat dan kalsium fosfat. Garam

12

Page 13: Batu Empedu

kalsium ini merupakan akibat dari peningkatan jumlah bilirubin tak terkonjugasi atau

peningkatan kalsium yang terionisasi. Peningkatan kalsium yang terionisasi biasanya

akibat peningkatan jumlah kalsium terionisasi dalam plasma atau penurunan jumlah

zat pengikat kalsium di dalam cairan empedu seperti garam empedu micellar dan

vesikel lesitin kolesterol

Patogenesis Batu Pigmen Coklat

Batu pigmen coklat umumnya terbentuk dalam duktus biliaris yang terinfeksi.

Gambaran radiologisnya biasanya radiolusen karena mengandung kalsium karbonat

dan fosfat dalam konsentrasi yang kecil. Batu pigmen coklat mengandung lebih

banyak kolesterol dibanding batu pigmen hitam, karena terbentuknya batu

mengandung empedu dengan kolesterol yang sangat jenuh. Garam asam lemak

merupakan komponen penting dalam batu pigmen coklat. Palmitat dan stearat yang

merupakan komponen utama garam tersebut tidak dijumpai bebas dalam empedu

normal, dan biasanya diproduksi oleh bakteri. Kondisi stasis dan infeksi memudahkan

pembentukan batu pigmen coklat. Dalam keadaan infeksi kronis dan stasis empedu

dalam saluran empedu, bakteri memproduksi enzim b-glukoronidase yang kemudian

memecah bilirubin glukoronida menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bakteri juga

memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam empedu. Phospholipase

A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh dan enzim hidrolase garam empedu

mengubah garam empedu menjadi asam empedu bebas. Produk-produk tersebut

kemudian mengadakan ikatan dengan kalsium membentuk suatu garam kalsium.

garam kalsium dari asam lemak (palmitat dan stearat) dan kolesterol membentuk

suatu batu lunak. Bakteri berperan dalam proses adhesi dari pigmen bilirubin.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi/indirek

1. Over produksi

Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah yang sudah tua

atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi bilirubin. Penghancuran

eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling sering akibat hemolisis

intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau hemoglobinopati) atau akibat

resorbsi hematom yang besar. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik.

Konjugasi dan transfer bilirubin berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak

terkonjugasi/indirek melampaui kemampuan sel hati. Akibatnya bilirubin indirek

meningkat dalam darah. Karena bilirubin indirek tidak larut dalam air maka tidak

dapat diekskresikan ke dalam urine dan tidak terjadi bilirubinuria. Tetapi

13

Page 14: Batu Empedu

pembentukkan urobilinogen meningkat yang mengakibatkan peningkatan ekskresi

dalam urine feces (warna gelap). Beberapa penyebab ikterus hemolitik: hemoglobin

abnormal (cickle sel anemia), kelainan eritrosit (sferositosis heriditer), antibody serum

(Rh. Inkompatibilitas transfusi), dan malaria tropika berat.

2. Penurunan ambilan hepatik

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan memisahkannya dari

albumin dan berikatan dengan protein penerima. Beberapa obat-obatan seperti asam

flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.

3. Penurunan konjugasi hepatik

Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan bilirubin tak

terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase.

Terjadi pada : Sindroma Gilberth, Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar

II.

Hiperbilirubinemia konjugasi/direk

Hiperbilirubinemia konjugasi / direk dapat terjadi akibat penurunan eksresi

bilirubin ke dalam empedu.Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh

kelainan intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi

oleh hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin ke dalam sirkulasi

sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan

dengan : Hepatitis, sirosis hepatis, alkohol, leptospirosis, kolestatis obat (CPZ), zat

yg.meracuni hati fosfor, klroform, obat anestesi dan tumor hati multipel. Ikterus pada

trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan Rotor,

ikterus pasca bedah.8

D. Diagnosis

Diagnosis adanya kolelitiasis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan USG sebagai pilihan utama untuk menegakkan diagnosis. USG tidak

bias membedakan jenis batu. Pemeriksaan terbaik untuk mengetahui jenis batu adalah

pemeriksaan kolesistografi oral. USG merupakan pemeriksaan diagnostik utama pada

pasien yang dicurigai menderita kolelitiasis. Sensitivitas pemeriksaan ini dalam

mendeteksi batu ini adalah 96%. Gambaran yang dijumpai adalah bayangan fokus

eklogenik yang khas. USG juga dapat membedakan adanya penebalan dinding

kandung empedu karena proses inflamasi. Adanya batu di saluran kandung empedu

juga dapat dideteksi pada pemeriksaan USG.2

14

Page 15: Batu Empedu

Sindrom Mirizzi mengacu pada obstruksi jinak saluran hepatik umum oleh

batu dalam leher atau duktus sistikus dari kandung empedu, yang menyebabkan

kompresi ekstrinsik dari saluran hepatik umum dan ikterus obstruktif. Meskipun

jarang menyebabkan ikterus obstruktif, itu tetap menjadi klinis dan pembedahan akan

sulit. Lima pasien dengan sindrom Mirizzi ditangani dari 9000 pasien yang menjalani

operasi untuk penyakit batu empedu. Pengelolaan pasien yang rinci. Diagnosis

memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi klinis tetapi dapat dikonfirmasikan dengan

menggunakan ultrasonografi dan perkutan transhepatik kolangiografi. Kolesistektomi

dan eksplorasi saluran umum adalah komponen penting dari terapi operasi, tetapi

prosedur tambahan untuk memperbaiki non-melingkar empedu cacat saluran atau

striktur harus diantisipasi.9

Ada tiga klasifikasi yang telah diusulkan untuk menggambarkan varian

sindrom Mirizzi,dan untuk membantu dalam memilih terapi yang tepat. Klasifikasi

oleh McSherry et al, dijelaskan dua jenis.

Tipe I disebut kompresi saluran hepatik umum oleh batu berdampak pada duktus

sistikus atau kantong Hartmann.

Tipe II disebut erosi kalkulus darikistik saluran ke saluran hepatik umum,

menghasilkan fistula cholecystocholedochal.

Csendes et al, membuat klasifikasi kedua dengan mempertimbangkan tingkat

fistula. Tipe I tetap kompresi, sama eksternal hepatik saluran umum karena batu

berdampak pada leher kandung empedu atau di duktus sistikus. Jenis II lesi IV disebut

kehadiran dan luasnya sebuah cholecystohepatic (cholecystobiliary atau

cholecystocholedochal) fistula, karena erosidinding anterior atau ductus lateral

hepatik umum oleh batu dampak. Fistula yang terlibat kurang dari sepertiga dari

lingkar umum hati saluran dalam tipe II. Keterlibatan antara sepertiga dan dua-pertiga

dari lingkar saluran hepatik umum disebut sebagai tipe III lesi, sedangkan

penghancuran dinding seluruh Duktus hepatika disebut tipe IV lesi.

Klasifikasi ketiga, diusulkan oleh Nagakawadan rekan, diperluas definisi yang

Mirizzi sindrom. Tipe I disebut batu berdampak pada duktus sistikus atau leher

kandung empedu. Tipe II ditandai dengan fistula dari umum saluran. Tipe III

didefinisikan oleh saluran hepatic karena batu pada pertemuan tersebut stenosis hati

dan saluran kistik. Tipe IV ditandai oleh stenosis hati saluran sebagai komplikasi

kolesistitis tanpa adanya kalkuli berdampak pada duktus sistikus atau leher kandung

empedu.

15

Page 16: Batu Empedu

Mirizzi sindrom merupakan bagian dari diferensial diagnosis dari semua

pasien dengan ikterus obstruktif, dan kembali indeks kecurigaan yang tinggi. Paling

pasien datang dengan penyakit kuning, dan nyeri kuadran kanan atas. Peningkatan

dalam konsentrasi serum dari alkali fosfatase dan bilirubin yang hadir di lebih dari 90

persen pasien. Klinis dan laboratorium yang mirip dengan pasien yang hadir dengan

ikterus obstruktif sekunder untuk choledocholithiasis. Setelah diagnosis ikterus

obstruktif telah membuat USG perut sering tes pencitraan pertama preformed.

Pencitraan umumnya mengungkapkan batu empedu, Dilatasi saluran intrahepatik,

dengan paralel panjang duktus sistikus dan kandung empedu kontrak. Adanya batu

berdampak pada kantong empedu leher dan perubahan mendadak ke panjang normal

saluran umum di bawah tingkat batu juga sangat sugestif sindrom Mirizzi itu.

Sindrom Mirrizi sensitivitas USG dalam mendeteksi ini Mirizzis di Roma adalah 23-

46%. Dalam seri Csendes, USG menunjukkan saluran membesar pada 81% dari

pasien dan menimbulkan kecurigaan dari sindrom ini Mirizzi hanya dalam 27% kasus.

CT scan memiliki sejenis kepekaan terhadap USG, namun dapat membantu dalam

mendiagnosis penyebab lain dari ikterus obstruktif seperti kanker kandung empedu,

cholangiocarcinoma, atau tumor metastatik.10

E. Manifestasi Klinis

Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala.

Lebih dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala

klinik yang timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non

spesifik, intoleransi makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak

jelas, tidak nyaman pada perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi

pada orang dewasa dengan atau tanpa kolelitiasis.

Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier

dan obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier

yang ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5

jam. Lokasi nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung.

Nyeri sering terjadi pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak

beraturan. Nyeri perut kanan atas yang berulang merupakan gambaran penting adanya

kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir di perut kanan atas, namun nyeri mungkin

juga terlokalisir di epigastrium. Nyeri pada kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu

atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan adanya obstruksi dari duktus.

16

Page 17: Batu Empedu

Tekanan pada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk melawan obstruksi,

sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium biasanya dalam

keadaan tegang. Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut

kanan atas yang berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari

gejala klinik yang timbul, sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice,

failure to thrive, keluhan perut yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan

gejala asimptomatik. Mual dan muntah juga umum terjadi. Demam umum terjadi

pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri episodik terjadi secara tidak

teratur dan beratnya serangan sangat bervariasi. Pada pemeriksaan fisik mungkin

tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului nekrosis,

kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu. Lewatnya batu pada

kandung empedu menyebabkan obstruksi kandung empedu, kolangitis duktus dan

pankreatitis. Manifestasi pertama gejala kolelitiasis sering berupa kolesistitis akut

dengan gejala demam, nyeri perut kanan atas yang dapat menyebar sampai ke skapula

dan sering disertai teraba masa pada lokasi nyeri tersebut. Pada pemeriksaan fisik

dijumpai nyeri tekan pada perut kanan atas yang dapat menyebar sampai daerah

epigastrium. Tanda khas (Murphy’s sign) berupa napas yang terhenti sejenak akibat

rasa nyeri yang timbul ketika dilakukan palpasi dalam di daerah subkosta kanan.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi

hepar, kadar lipase dan amilase serum. Pada keadaan kolik bilier kronis maupun

episodik beberapa pasien memiliki kadar atau nilai laboratorium yang normal,

khususnya pada pasien yang tidak menunjukkan gejala pada saat diperiksa.

Sedangkan pada keadaan akut, khususnya pada kasus dengan batu pada saluran

empedu akan terjadi peningkatan kadar aminotransferase, alkalin fosfatase dan

bilirubin. Pasien dengan komplikasi kolesistitis akut akan memperlihatkan

peningkatan lekosit, 15% dari pasien tersebut terjadi peningkatan ringan dari

aminotransferase, alkalin fosfatase dan bilirubin. Pada pasien dengan komplikasi

pankreatitis akan terjadi peningkatan serum amilase dan lipase dan tes fungsi hepar

yang abnormal. Pemeriksaan radiologi untuk membantu menegakkan diagnosis

adanya batu kandung empedu bisa dengan pemeriksaan ultrasonografi (USG),

cholescintigraphy dan foto polos abdomen.

17

Page 18: Batu Empedu

Pada umumnya USG merupakan pemeriksaan pilihan untuk memeriksa anak

dan remaja dengan keluhan adanya nyeri perut kanan atas atau nyeri epigastrium.

USG merupakan pemeriksaan yang aman dan sensitif untuk mengidentifikasi adanya

batu di kandung empedu. Apabila kandung empedu teridentifikasi saat dilakukan

USG, maka angka keberhasilan menemukan batu dapat mencapai 98%. Pemeriksaan

foto polos abdomen dapat mengidentifikasi batu jika batu tersebut radioopak atau

terbuat dari kalsium dalam konsentrasi tinggi. Pemeriksaan cholecystography dan

cholangiography jarang dilakukan pada anak-anak. Pemeriksaan skintigrafi dengan

menggunakan technetium- 99m-labeled aminodiacetic acid, sangat akurat dalam

mengevaluasi pasien-pasien dengan kolesistitis. Dalam mendeteksi batu, khususnya

pada pasien yang mendapat nutrisi parenteral yang lama, pemeriksaan USG lebih

akurat dibandingkan dengan skintigrafi.

G. Diagnosis

Diagnosis adanya kolelitiasis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan USG sebagai pilihan utama untuk menegakkan diagnosis. USG tidak

bias membedakan jenis batu. Pemeriksaan terbaik untuk mengetahui jenis batu adalah

pemeriksaan kolesistografi oral. USG merupakan pemeriksaan diagnostik utama pada

pasien yang dicurigai menderita kolelitiasis. Sensitivitas pemeriksaan ini dalam

mendeteksi batu ini adalah 96%. Gambaran yang dijumpai adalah bayangan fokus

eklogenik yang khas. USG juga dapat membedakan adanya penebalan dinding

kandung empedu karena proses inflamasi. Adanya batu di saluran kandung empedu

juga dapat dideteksi pada pemeriksaan USG.

18

Page 19: Batu Empedu

Gambar 4 USG kolelitiasis

Gambar 5 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum, refluks

gastroesofagus, dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable bowel syndrome,

kolik ginjal. Nyeri ulkus peptikum biasanya lebih sering, hamper setiap hari dan

berkurang sehabis makan. Nyeri yang timbul biasanya menetap di perut kanan atas,

pada kolelitiasis frekuensinya lebih jarang. Nyeri karena refluks dapat dibedakan

dengan nyeri kolelitiasis dilihat dari adanya rasa terbakar, lokasi nyeri di substernal,

dan sering dipengaruhi oleh posisi, dimana pada posisi supine rasa nyeri akan

memberat. Nyeri epigastrium karena kolelitiasis dan dispepsia nonulkus sukar

dibedakan. Namun demikian nyeri karena kolik bilier biasanya lebih hebat,

frekuensinya sporadik, dan penyebaran nyeri sampai perut kanan atas dan skapula.

19

Page 20: Batu Empedu

Diagnosis banding untuk kolesistitis akut adalah apendisitis akut, pankreatitis akut,

hepatitis akut, perforasi ulkus, perforasi ulkus peptikum dan penyakit intestinal akut

lain.

Untuk membedakan dengan pankreatitis akut, biasanya nyeri pada pankreatitis

akut lebih terlokalisir dan jarang disertai tanda peritoneal akut. Nyeri sampai ke

punggung, menghilang saat posisi duduk adalah khas untuk pankreatitis akut. Gejala

demam dan leukositosis mungkin sama pada kedua kasus, tetapi peningkatan kadar

serum amilase jauh lebih tinggi pada keadaan pankreatitis akut. Pada keadaan

pankreatitis yang berat, penderita tampak sangat toksik. Namun pada penderita

dengan kolesistitis akut dengan komplikasi pankreatitis akut USG diperlukan untuk

segera membedakan keadaan tersebut. Untuk membedakan dengan kolesistitis, pada

keadaan hepatitis biasanya pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar serum

enzim hepar akan jauh lebih tinggi dibanding dengan kolesistitis akut. Pada keadaan

apendisitis akut, ditandai oleh nyeri khas pada perut kanan bawah, diawali dari sekitar

daerah umbilikal yang kemudian menetap di perut kanan bawah. Pada keadaan

perforasi usus, pada pemeriksaan radiologis sering dijumpai adanya udara bebas pada

foto polos abdomen.

I. Penatalaksanaan Kolelitiasis

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non

bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang

menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan

kolelitiasis yang asimptomatik.

Penatalaksanaan Non Bedah

Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu

dengan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid,

extracorporeal shock-wave lithotripsy dengan pemberian kontinyu obatobatan,

penanaman obat secara langsung di kandung empedu.

Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian

obat-obatan oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada

chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaan

chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan

hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu

pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan

20

Page 21: Batu Empedu

mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak

terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk

menjalani operasi.

Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu

kolesterol dengan memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui

kateter perkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier.

Larutan yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan

suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya mampu menghancurkan

batu kandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan

untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang radiolusen. Larutan yang digunakan

dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya kekambuhan

terbentuknya kembali batu kandung empedu. Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy

(ESWL) menggunakan gelombang suara dengan amplitudo tinggi untuk

menghancurkan batu pada kandung empedu. Pasien dengan batu yang soliter

merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun pada anak-anak

penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan

yang tinggi.

Penatalaksanaan Bedah

Cholecystectomy sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam

penanganan kolelitiasis dengan gejala. Yang menjadi pertanyaan kapan sebaiknya

operasi dilakukan. Penelitian tentang ini didapatkan bahwa pasien dengan gejala nyeri

perut yang berulang merupakan indikasi segera dilakukan operasi karena dapat

menyebabkan komplikasi yang serius. Prosedur Cholecystectomy terdiri dari beberapa

jenis tindakan yaitu Laparoscopic Cholecystectomy, open Cholecystectomy, open

Cholecystectomy dengan eksplorasi saluran empedu, open Cholecystectomy dengan

eksplorasi saluran empedu dan choledochoenterostomy dan choledochoenterostomy

yang diikuti open Cholecystectomy. Laparoscopic Cholecystectomy mempunyai

keuntungan lebih dibandingkan dengan Cholecystectomy konvensional. Pada anak-

anak, indikasi Laparoscopic Cholecystectomy sama dengan Cholecystectomy

konvensional terutama pada anak kolelitiasis dengan gejala atau pada anak yang juga

menderita hemoglobinopati9 atau pada anak dengan kolelitiasis tanpa gejala berumur

kurang dari 3 tahun, yang telah mendapatkan makanan oral minimal selama 12 bulan.

Teknik ini bermanfaat pada pasien dengan familial hyperlipidemia, hereditary

spherocytosis, glucose-6-phosphatase deficiency, thalassemia, glicogen strage

21

Page 22: Batu Empedu

disease dan sickle cell anemia. Prosedur ini tidak dianjurkan pada anak dengan

kolelitiasis yang disertai kolesistitis akut, pankreatitis atau kemungkinan menderita

perlengketan usus. Pada anak yang menderita anemia sel sickle dengan kolelitiasis,

laparoscopic cholecystectomy elektif merupakan pilihan utama. Tindakan elektif lebih

dipilih dibandingkan dengan tindakan cholecystectomy emergensi karena untuk

menghindari risiko komplikasi seperti komplikasi intraoperatif (vaso-oklusi),

komplikasi sesudah operasi (pneumonia) dan komplikasi lain seperti kolangitis,

koledokulitiasis atau kolesistitis akut.

J. Komplikasi Kolelitiasis

Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis

akut, pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu.

K. Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG

diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang

secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko

terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko

tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita

penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan semakin memburuk dengan

bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.2,7

22

Page 23: Batu Empedu

DAFTAR PUSTAKA

1. Nurman A., dkk. Gambaran Klinik dan Penatalaksanaan Kolangitis Akut. Kongres Nasional PGI-PGGI-PPHI, 1991, Medan

2. Gustawan I W., Nomor Aryasa K., Karyana I P. G., Sanjaya Putra I G. N. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 10, Oktober 2007

3. Consuelo Quintanilla L.1 Dr. Humberto Flisfisch F. Coledocolitiasis Rev. Medicina y Humanidades. Vol. I. N° 3. (Sept.-Dic.) 2009. Sección Alumnos de Pre y Posgrado Pág. 1 60

4. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

5. Richard S. Snell, 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit EGC, Jakarta.

6. Husadha, Yast. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fisiologi dan Pemeriksaan

Biokimiawi Hati. Edisi 3. 1996. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Halaman 225-226

7. Sjamsuhidajat, R & Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah . 1997. Jakarta: EGC.

Halaman: 249

8. http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/ikterus_files_of_drsmed_fkur.pdf

9. Thomas C. Bower and David M. Nagorey. Mirizzi syndrome Department of Surgery,

Mayo Clinic, Rochester, Minnesota, USA HPB Surgery 1988, Vol. 1, pp. 67-76

10. George J Xeroulis, Mirizzi syndrome. Department of Surgery, University of Western

Ontario London, Ontario, Canada. E-mail: [email protected]. Kuwait Medical

Journal 2006, 38 (1): 3-6

23