Bapedal Environmental

353
Ecolink Utama Sehat Pratama Sejati CMPS Asia Pacific GOI-ADB LOAN 1449 INO: BRNP-EMS PROJECT B A P E D A L E N V I R O N M E N T A L M A N A G E M E N T S E R V I C E S P R O J E C T Metodologi Standar Lingkungan Volume 1 - PROSES dan SOP

Transcript of Bapedal Environmental

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati CMPS Asia Pacific

GOI-ADB LOAN 1449 INO: BRNP-EMS PROJECT

BAPEDAL ENVIRONMENTAL MANAGEMENT SERVICES PROJECT

Metodologi Standar Lingkungan

Volume 1 - PROSES dan SOP

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

ii

Diterbitkan oleh Proyek BRNP EMS, BAPEDAL, Jakarta, 16 Mei 2000

KETERANGAN

Laporan ini adalah hasil terjemahan dari laporan yang asli dalam Bahasa Inggris. Mungkin akan ada beberapa perbedaan persepsi atau arti dalam terjemahan ini, namun

maksud/pengertian yang sebenarnya dapat dilihat pada laporan dalam Bahasa Inggris.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

iii

VOLUME 1

DAFTAR ISI

SINGKATAN

PEMBUKAAN

BAGIAN A RINGKASAN Halaman

1.0 PENGANTAR A-1

2.0 KONTEKS INDONESIA A-2 2.1 LATAR BELAKANG GLOBAL A-2 2.2 INDONESIA: TANAH AIR DAN MANUSIA A-3 2.3 EKONOMI INDONESIA A-3 2.4 LINGKUNGAN INDONESIA A-4 2.5 RESPON-RESPON KELEMBAGAAN INDONESIA A-5

3.0 PENGELOLAAN LINGKUNGAN A-6 3.1 PENGELOLAAN DAN STANDAR LINGKUNGAN A-6 3.2 PERSYARATAN KELEMBAGAAN A-9 3.3 KETERLIBATAN MASYARAKAT A-10 3.4 PEMECAHAN KONFLIK A-11

4.0 DEFINISI STANDAR LINGKUNGAN A-12

5.0 CAKUPAN STANDAR A-14 5.1 GEOGRAFIS A-14 5.2 SEKTORAL A-15

6.0 ANALISIS TERHADAP ISU A-15

7.0 PENENTUAN STANDAR LINGKUNGAN A-17

BAGIAN B PROSES PENENTUAN STANDAR

1.0 APA ITU PROSES PENENTUAN STANDAR B-1

2.0 KONTEKS KEBIJAKSANAAN B-3

2.1 TUJUAN B-3 2.2 PRINSIP B-4 2.3 KEBIJAKSANAAN B-5

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

iv

3.0 KONTEKS OPERASIONAL B-9

3.1 LEMBAGA B-9 3.2 DEPARTEMEN B-10 3.3 KEMENTERIAN B-15 3.4 STAKEHOLDER B-19

4.0 ANALISIS TERHADAP ISU B-21

5.0 PROSES DAN HUBUNGAN B-25

5.1 HUBUNGAN ANALISIS DAN KEBIJAKAN B-25 5.2 HUBUNGAN KELEMBAGAAN B-26 5.3 TANTANGAN BARU B-28

6.0 PROSES B-29

7.0 KOORDINASI ANTAR-INSTANSI B-36

BAGIAN C PROSEDUR PENGOPERASIAN STANDAR (SOP)

1.0 URAIAN C-1

2.0 TOPIK C-1

BAGIAN D RENCANA PELAKSANAAN

1.0 PENGANTAR D-1

1.1 LATAR BELAKANG D-1 1.2 ESM D-1

2.0 RENCANA PELAKSANAAN D-3 2.1 PRINSIP D-3 2.2 KEBIJAKAN D-3 2.3 TUJUAN D-5 2.4 TUGAS D-5 2.5 KEGIATAN dan TANGGUNG JAWAB D-7

3.0 SUMBER DAYA PELAKSANAAN D-14 3.1 PENGANTAR D-14 3.2 SUMBER DAYA MANUSIA D-15 3.3 ANGGARAN D-15

BAGIAN E PANDUAN BELAJAR MANDIRI

1.0 PENGANTAR E-1

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

v

2.0 STRUKTUR ESM E-2

3.0 DEFINISI E-5

4.0 JAWABAN UNTUK PERTANYAAN UMUM E-5

5.0 CONTOH PELAKSANAAN E-16

5.1 PENGANTAR E-16 5.2 PROSES PENENTUAN STANDAR E-16

REFERENSI

ANEKS

PROSEDUR OPERASI STANDAR (SOP)

VOLUME 2

DAFTAR ISI

SINGKATAN

BAGIAN A LATAR BELAKANG

1.0 PENGALAMAN INTERNASIONAL A-1

1.1 LATAR BELAKANG A-1 1.2 BAKU MUTU LINGKUNGAN A-5 1.3 AMERIKA SERIKAT A-8 1.4 AUSTRALIA A-11 1.5 THAILAND A-14 1.6 SINGAPURA A-16 1.7 PEMBAHASAN PENGALAMAN A-20

2.0 PENGALAMAN INDONESIA A-24

2.1 KONTEKS NASIONAL A-24 2.2 UNDANG-UNDANG YANG ADA DAN TANGGUNG JAWAB

ANTAR-LEMBAGA A-29 2.3 MASA DEPAN A-35

3.0 PERTIMBANGAN DAN KESIMPULAN A-62

3.1 PENGANTAR A-62 3.2 SIGNIFIKANSI STANDAR LINGKUNGAN A-62 3.3 PROSEDUR PENENTUAN STANDAR A-63 3.4 PEMAHAMAN ILMIAH A-64 3.5 OPSI TEKNOLOGI A-66

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

vi

3.6 RISIKO DAN KETIDAKPASTIAN A-66 3.7 APRAISAL EKONOMI A-67 3.8 MELAKSANAKAN STANDAR LINGKUNGAN A-68 3.9 MENGARTIKULASI NILAI A-69

BAGIAN B INFORMASI REFERENSI

1.0 PENDAHULUAN B-1

2.0 TATANAN GLOBAL DAN REGIONAL B-1

2.1 GLOBAL B-1 2.2 REGIONAL B-10

3.0 KONTEKS INDONESIA B-22

3.1 POPULASI B-22 3.2 FISIK B-23 3.3 SOSIAL DAN POLITIK B-27 3.4 EKONOMI B-29 3.5 LINGKUNGAN B-30

4.0 PENGELOLAAN LINGKUNGAN B-54

4.1 LATAR BELAKANG B-54 4.2 PENGELOLAAN LINGKUNGAN B-55 4.3 PERSYARATAN KELEMBAGAAN B-58 4.4 KETERLIBATAN MASYARAKAT B-62 4.5 PENYELESAIAN KONFLIK B-63

5.0 STANDAR LINGKUNGAN B-64

5.1 MENGAPA STANDAR LINGKUNGAN B-64 5.2 APA ITU STANDAR LINGKUNGAN B-70 5.3 ULASAN MENGENAI STANDAR LINGKUNGAN B-74

6.0 MENENTUKAN NILAI SOSIAL B-78

6.1 KEBIJAKAN NILAI DAN LINGKUNGAN B-78 6.2 MENCARI PENDAPAT MASYARAKAT B-79 6.3 KESIMPULAN B-85

7.0 ANALISIS ISU B-86

8.0 PENGKAJIAN ILMIAH DAN KESEHATAN B-89

8.1 PENGANTAR B-89 8.2 PROSEDUR PENGKAJIAN B-90

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

vii

8.3 MENGKAJI TOKSISITAS B-93 8.4 EFEK KESEHATAN MANUSIA B-94 8.5 EFEK PADA LINGKUNGAN ALAM B-99 8.6 JALUR LALUAN DAN EKSPOSUR LINGKUNGAN B-102 8.7 KEMAMPUAN ASIMILATIF LINGKUNGAN B-103 8.8 HASIL DARI PENGKAJIAN ILMIAH B-106

9.0 OPSI TEKNOLOGI B-110

9.1 PENGANTAR B-110 9.2 ARTI PENTINGNYA TEKNOLOGI BAGI STANDAR LINGKUNGAN B-110 9.3 MENGANALISIS OPSI TEKNOLOGI B-112 9.4 DAMPAK LINGKUNGAN DALAM DESAIN REKAYASA TEKNIK B-117 9.5 KELUARAN DARI PENGKAJIAN OPSI TEKNOLOGI B-119

10.0 RISIKO DAN KETIDAK-PASTIAN B-121

10.1 PENGANTAR B-121 10.2 KRITERIA STATISTIK UNTUK DAYA-TENGGANG B-121 10.3 ESTIMASI PROBABILITAS STATISTIK B-124 10.4 KETERBATASAN PROBABILITAS STATISTIK B-125 10.5 PENERIMAAN PUBLIK TERHADAP RISIKO B-127 10.6 PRINSIP LANGKAH PENCEGAHAN B-128 10.7 KELUARAN DARI PENGKAJIAN RISIKO DAN KETIDAK-PASTIAN B-129

11.0 APPRAISAL EKONOMI B-131

11.1 PENGANTAR B-131 11.2 ANALISIS EKONOMI DAN STANDAR LINGKUNGAN B-132 11.3 HAMBATAN SEBELUMNYA B-133 11.4 PRAKTEK TERBAIK DALAM APRAISAL EKONOMI B-133 11.5 ANALISIS MULTI-KRITERIA B-136 11.6 APLIKASI DISKON B-141 11.7 PERAN APRAISAL EKONOMI B-142 11.8 KELUARAN DARI APRAISAL EKONOMI B-144

12.0 IMPLEMENTASI STANDAR LINGKUNGAN B-145

12.1 PENGANTAR B-145 12.2 PERATURAN LANGSUNG B-145 12.3 SPESIFIKASI STANDAR B-147 12.4 FLEKSIBILITAS DALAM PRAKTEK B-148 12.5 PENGGUNAAN INSTRUMEN EKONOMI B-150 12.6 PERATURAN MANDIRI B-151 12.7 MENGGABUNGKAN PENDEKATAN KE IMPLEMENTASI B-155 12.8 KELUARAN DARI IMPLEMENTASI B-156

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

viii

SINGKATAN

ADB Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)

ADIPURA Program Kota Bersih; program nasional BAPEDAL

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (prosedur AMDAL)

ANDAL studi dan laporan AMDAL

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

BANGDA Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, dalam Departemen

Dalam Negeri

BAPEDAL Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan

BAPEDAL Regional Kantor Daerah BAPEDAL

BAPEDALDA Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BAT best available technology (teknologi terbaik yang tersedia)

BATNEEC best available techniques not entailing excessive cost (teknik

terbaik yang ada yang tidak membutuhkan biaya berlebihan)

BOD biological oxygen demand (kebutuhan oksigen biologis)

BPEO best practicable environmental option (opsi lingkungan terbaik

yang dapat dipraktekkan)

BPM best practicable means (sarana terbaik yang dapat dipakai)

DALAM NEGERI Departemen Dalam Negeri

DINAS Lembaga Teknis (sektoral) dalam pemerintah daerah tingkat

Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya

DKI Daerah Khusus Istimewa Jakarta (berstatus propinsi)

DO dissolved oxygen (oksigen terlarut)

EC European Community (Masyarakat Eropa)

EIA Environmental Impact Assessment (Analisis Mengenai

Dampak Lingkungan/AMDAL)

FGD flue gas desulphursation (desulfurisasi gas cerobong)

GATT General Agreement on Tariffs and Trade (Persetujuan Umum

mengenai Tarif dan Perdagangan)

GDP Gross Domestic Product (Produk Domestik Bruto)

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

ix

GHG greenhouse gas (gas rumah kaca)

GNP Gross National Product (Produk Nasional Bruto)

GOI Government of Indonesia (Pemerintah Indonesia)

HRD Human resources development (pengembangan sumberdaya

manusia)

INPRES Instruksi Presiden (Program dana khusus untuk pembangunan

daerah, ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden).

IPC Integrated Pollution Control (Pengendalian Pencemaran

Terpadu)

IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change (Panel antar-

pemerintah mengenai Perubahan Iklim)

ISO International Standards Organization (Organisasi Standar

Internasional)

Kabupaten Unit administratif sejajar kotamadya, merupakan pemerintahan

daerah tingkat II.

KANWIL Kantor wilayah departemen atau kementerian pusat

Kecamatan Unit administratif dalam kabupaten, terdiri dari sejumlah desa

Kelurahan Unit administratif dalam kecamatan di kawasan perkotaan,

sejajar desa

KEPMEN Keputusan Menteri

KEPPRES Keputusan Presiden

Kotamadya Unit administratif pemerintahan sejajar kabupaten, merupakqan

pemerintahan daerah tingkat II

LCA life cycle assessment (pengkajian daur/siklus hidup)

MEA Multilateral Environmental Agreement (Perjanjian Lingkungan

Multilateral)

MENLH Kementerian (atau Menteri) Negara Lingkungan Hidup

MHA Ministry of Home Affairs (Kementerian Dalam Negeri)

OECD Organisation for Economic Cooperation and Development

(Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi)

P5D Pedoman Penyusunan Perencanaan dan Pengendalian

Pembangunan Daerah

PEMDA Pemerintah Daerah

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

x

PERDA Peraturan Daerah

PP Peraturan Pemerintah

PPLH (Directorat) Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup

(dalam BANGDA)

PROKASIH Program Kali Bersih; program lingkungan nasional BAPEDAL

PROPER PROKASIH Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam rangka

Program Kali Bersih

PSL Pusat Studi Lingkungan

PUSARPEDAL Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup

RAKERNIS Rapat Kerja Teknis

REPELITA VI Rencana Pembangunan Lima Tahun VI (1994-1999)

TOR Terms of Reference (Buku Pedoman Acuan / Rujukan)

TSP Total suspended particulates (Total partikulat melayang)

TSS Total suspended solids (Total bahan padat melayang)

UK United Kingdom (Kerajaan Inggris)

WHO World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)

WTO World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia)

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati

CMPS Asia Pacific

xi

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati

CMPS Asia Pacific xii

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

xiii

PENDAHULUAN

Metodologi Standar Lingkungan (ESM) menyediakan Proses Penentuan Standar (SSP)lingkungan secara bertahap dan Prosedur Operasi Standar (SOP) terkait, disertai Rencana Pelaksanaan (IP), Panduan Belajar Mandiri (SLG) dan latar belakang Buku Panduan Acuan (RM). ESM dirancang sedemikian rupa untuk membantu para staf di BAPEDAL dan instansipemerintah lainnya termasuk BAPEDALDA, dengan pengalaman dalam organisasitersebut sekurang-kurangnya tiga tahun, untuk merevisi standar lingkungan yang ada atauStandar Lingkungan (ES) baru di bawah panduan manajer dan dengan masukan-masukan dari ahli, pemegang saham dan masyarakat. ES termasuk di antaranya adalah standar lingkungan hukum dan non-hukum, tatacara, pedoman, sasaran atau kriteria, yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jenis-jenis ES termasuk yang bersifat biologis, eksposur, mutu, ambien, emisi, produk, proses, daur-hidup dan sebagainya, tetapi tidak termasuk prosedurlaboratorium standar dan prosedur sistem pengelolaan lingkungan ISO 14000, karenametodologi untuk ini sudah didokumenkan secara internasional dan pada saat ini sedang digunakan di Indonesia. Kebijaksanaan lingkungan dan prosedur penentuan standar adalah rumit, termasukkeaneka-ragaman pertimbangan fisik, sosial, kesehatan, ekonomis, ekologis danteknologis. Pengidentifikasian, pemahaman dan penyetaraa pertimbangan-pertimbangan ini, dalam rangka mengembangkan usulan dan membuat keputusan terkait, membutuhkankebijakan Nabi Sulaiman. Perlu diingat, kata kebijaksanaan berasal dari pengetahuan, yang dikembangkan dariinformasi dan mengalir dari data. ESM menyajikan contoh-contoh mengenai data dan informasi yang secara pribadi dapat mengembangkan pengetahuan dasar mengaiprosedur penentuan standar. Setelah itu oleh pengguna pengetahuan ini diterapkan untukmeraih keberhasilan. ESM memberikan alatnya, tetapi bukan jawabannya. ESM dirangkum di Bagian A sedangkan Proses Penentuan Standar (SSP) disajikan di Bagian B, diteruskan Prosedur Pengoperasian Standar (SOP) di Bagian C. Rencana Pelaksanaan (IP) dan Panduan Belajar Mandiri (SLG) disajikan berturut-turut di Bagian D dan E. selanjutnya latar belakang dan bahan acuan, guna membantu memahami danmenggunakan ESM, disajikan di Volume 2 Buku Panduan Acuan (RM). Simak Gambar P1, Struktur Laporan Metodologi Standar Lingkungan (ESM).

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1A/Contents

CMPS Asia Pacific

xiv

GAMBAR P1: STRUKTUR LAPORAN METODOLOGI STANDAR LINGKUNGAN (ESM)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

BAG. E

PANDUAN BELAJAR MANDIRI (SLG)

BA

G. A

RA

NG

KU

MA

N

BAG. B

PROSES

PENENTUAN STANDAR

(SSP)

BAG. C

PROSEDUR

PENGOPERASIAN STANDAR

(SOP)

BA

G. D

RE

NC

AN

APE

LA

KSA

NA

AN

(IP)

BAG. A

LATAR BELAKANG

BAG. B

INFORMASI REFERENSI

PROSES dan SOPVOLUME 1 MANUAL REFERENSIVOLUME 2

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-1

BAGIAN A RANGKUMAN

1.0 PENGANTAR

Metodologi Standar Lingkungan (ESM) menyediakan proses dan prosedur terkait secara bertahap untuk membantu BAPEDAL, BAPEDALDA, organisasi-organisasi lainnya, dan para pembuat keputusan yang berkepentingan (misalnya Menteri, Gubernur dan Walikota), dalam menentukan Standar Lingkungan (ES). ESM terdiri dari tujuh komponen dalam 2 volume, dan disajikan dalam Gambar P1, Struktur Laporan Struktur Metodologi Standar Lingkungan (ESM). VOLUME 1 – PROSES dan SOP:

• Bagian A: Rangkuman – rangkuman ini mengenai metodologi standar lingkungan (ESM).

• Bagian B: Proses Penentuan Standar (SSP) – uraian mengenai konteks, tugas dan kegiatan umum, serta hubungan dan tanggungjawab pelaksanaannya dalam menentukan Standar Lingkungan, termasuk sosialisasinya di lingkungan pemerintah dan masyarakat.

• Bagian C: Prosedur Operasi Standar (SOP) – sejumlah prosedur atau panduan administratif dan teknis yang rinci untuk membantu seseorang dalam menyelesaikan tugas dan kegiatan proses.

• Bagian D: Rencana Pelaksanaan (IP) – sebuah perencanaan untuk melaksanakan ESM di tingkat pusat dan daerah.

• Bagian E: Panduan Belajar Mandiri (SLG) – sebuah petunjuk bagi pelaksana ESM untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dan mempelajari metodologinya.

VOLUME 2 – BUKU PEDOMAN ACUAN

• Bagian A: Latar Belakang dan Bagian B: Informasi Referensi – sebuah buku pedoman acuan lebih rinci mengenai berbagai tugas, kegiatan dan prosedur dalam menentukan Standar Lingkungan, guna membantu lebih jauh seseorang dalam mempelajari dan melaksanakan ESM.

Metodologi tersebut dirancang untuk dilaksanakan oleh staf di lingkungan BAPEDAL dan instansi-instansi pemerintah lainnya termasuk BAPEDALDA, di bawah panduan manajemen berpengalaman. Staf tersebut sekurang-kurangnya harus memiliki pengalaman selama tiga tahun dalam organisasi yang mempersiapkan atau melaksanakan Standar Lingkungan. Masukan-masukan spesialis tambahan kadang-kadang diperlukan oleh para ahli dalam masalah sosial, kesehatan, ekonomi, risiko, ekologi atau teknologi yang tidak dibahas rinci dalam Metodologi, selain dari tingkat pengenalan guna membantu pelaksanaannya. Mengapa Indonesia membutuhkan ESM? Negara-negara maju sudah memiliki beribu-ribu Standar Lingkungan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungannya. Tingkat perlindungannya memang tinggi, namun, demikian pula biayanya. Sebagai perbandingan, Indonesia hanya memiliki sekitar seribu buah dengan penambahan-penambahan yang sangat mahal di masa pemulihan krisis ekonomi, oleh banyaknya prioritas yang bersaing untuk mendapatkan sumberdaya keuangan yang terbatas dan sumberdaya manusia yang trampil.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-2

Ada peningkatan tekanan konsumen internasional dan lokal terhadap Indonesia untuk memperbaiki secara sungguh-sungguh kinerja pengelolaan lingkungannya. Ini akan melibatkan sejumlah kebijaksanaan baru dan mahal, termasuk Standar Lingkungan baru. Oleh karena itu, penting kiranya bahwa Indonesia secara mandiri dan terbuka mengevaluasi usulan-usulan yang masuk melalui konsultasi dengan para pemegang saham dan masyarakat guna mencapai konsensus sebelum membuat keputusan kebijaksanaan, dan tidak hanya sekedar menerima Standar Lingkungan internasional karena tekanan dari pihak luar. Artinya, ESM memberikan suatu tata cara bagi Indonesia untuk menetapkan standards lingkungan sendiri secara transparan, ilmiah, ekonomis dan secara sosial bertanggungjawab. Standar Lingkungan dalam Metodologi ini termasuk di antaranya standar hukum dan non-hukum, tatacara, pedoman, sasaran atau kriteria, yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jenis-jenis Standar Lingkungan termasuk yang bersifat biologis, eksposur, mutu, ambien, emisi, produk, proses, daur hidup dan sebagainya. ESM tidak termasuk prosedur standar pengambilan dan pengujian sampel laboratorium atau yang berkaitan dengan Sistem dan Audit Pengelolaan Lingkungan (ISO seri 14000), karena metodologi untuk itu sudah didokumentasikan dengan baik, diterima secara internasional dan saat ini sedang digunakan di Indonesia. ESM harus diterapkan di tingkat-tingkat multi-nasional, nasional, multi-propinsi, propinsi, multi-kabupaten, kabupaten atau kecamatan/lokasi tertentu. Karena pengelolaan lingkungan bersifat multi-sektoral, maka ESM juga relevan untuk diterapkan di seluruh sektor, misalnya, kesehatan, industri, pertanian atau kehutanan. Namun demikian hal ini perlu didukung oleh sistem perijinan, pengawasan dan pemberdayaan yang bersifat saling melengkapi, demi tercapainya pelaksanaan yang efektif. Mengingat adanya tuntutan bagi Pemerintah untuk memberikan informasi lingkungan dan keikutsertaan masyarakat, sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 hingga 7 dan 10 Undang-undang No. 23/1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, ESM menetapkan dilaksanakannya prosedur yang bersifat terbuka dan transparan dengan keikut-sertaan penuh dari masyarakat.

2.0 KONTEKS INDONESIA 2.1 LATAR BELAKANG GLOBAL Jumlah penduduk dunia saat ini mencapai sekitar 6 milyar diperkirakan akan tumbuh 4 milyar lebih, menjadi 10 milyar lebih sedikit pada pertengahan abad ini, dengan 95 persen pertumbuhannya terjadi di negara-negara berkembang. Sekitar 2 milyar pertumbuhannya akan terjadi di Kawasan Asia Pasifik. Pada tahun 2050, diperkirakan Kawasan tersebut akan memiliki setengah populasi dunia, sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) dan 40 persen konsumsi energi dunia. Jika ramalan ini terwujud, Kawasan tersebut akan mendominasi seluruh kawasan lainnya di dunia ini. Laporan Tinjauan Lingkungan Global dari Program Lingkungan PBB 1997 mencatat proses yang sangat berarti dalam satu dasawarsa terakhir ini dalam menghadapi tantangan lingkungan global di daerah berkembang dan daerah industri. Namun demikian, Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa “terlepas dari kemajuan ini, namun dilihat dari sudut pandang global, lingkungannya terus-menerus merosot dalam satu dasawarsa terakhir ini, sementara masalah lingkungan yang sifatnya penting tetap melekat kuat dalam struktur sosial ekonomi bangsa di kawasan tersebut. Struktur global dan solidaritas lingkungan tetap terlalu

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-3

lemah untuk mewujudkan kemajuan dalam realitas dunia luas. Akibatnya, kesenjangan antara apa yang telah dilakukan dan apa yang dibutuhkan semakin melebar.” 2.2 INDONESIA: TANAH AIR DAN MANUSIA Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.600 pulau, dilintasi garis katulistiwa sepanjang kira-kira 5.000 kilometer. Keadaan topografinya sangat bervariasi dari hamparan salju permanen di puncak pegunungan di Irian Jaya hingga pulau karang di dalam samudera yang berada di dekatnya. Wilayah laut negeri ini (termasuk zona ekonomi eksklusifnya) mencakup sekitar 7.7 juta kilometer persegi dan memiliki wilayah darat sekitar 1,9 juta kilometer persegi. Berbeda dengan banyak negara berkembang lainnya, Indonesia memiliki sejumlah besar sumberdaya alam, termasuk di antaranya:

• angkatan tenaga-kerja yang sangat besar, lebih dari 80 juta • sumberdaya energi, baik yang migas minyak bumi maupun non-migas • tanah yang subur di Jawa dan Bali dan tanah yang baik di Sumatera, Sulawesi dan

beberapa pulau lainnya • hutan lebat di lebih dari setengah wilayah negeri • sumberdaya dan keaneka-ragaman biologis yang sangat besar. Namun, kurangnya persediaan air dalam jumlah besar, merupakan masalah yang terjadi di musim kemarau, terutama di Jawa. Dengan populasi sebesar 210 juta dan laju pertumbuhan sekitar 1,6 persen per tahun, Indonesia merupakan negara keempat yang memiliki populasi terbesar di Dunia setelah Cina, India dan AS. Dengan kecenderungan yang ada sekarang, Bank Dunia melaporkan bahwa populasi tersebut diperkirakan akan mencapai angka sekitar 360 juta di abad ke-21. Pertumbuhan ini terutama merupakan hasil dari 40 persen populasi yang saat ini berusia di bawah 20 tahun. Sekitar dua pertiga dari populasi tersebut terpusat di pulau Jawa dan Sumatra yang berpenduduk padat.

Dengan enam kota berpenduduk lebih dari 1 juta orang dan 20 kota lagi dengan lebih 100.000 orang, Indonesia benar-benar telah bersifat kota, meskipun sekitar 60 persen dari populasinya masih hidup di wilayah pedesaan. Laju pertumbuhan perkotaan lebih dari 6 persen per tahun dan pada tahun 2020 setengah dari seluruh penduduk tinggal di wilayah perkotaan.

2.3 EKONOMI INDONESIA

Dalam menghadapi pertumbuhan populasi dan upaya peningkatan penghasilan dan standar kehidupan yang lebih tinggi, penduduk dan usaha-usaha komersial yang ada di Indonesia bereaksi dengan cara-cara yang utamanya mencerminkan potensi manfaat dan biaya swasta. Menyetarakan kepentingan-kepentingan ini terhadap biaya sosial, kebutuhan pembangunan prasarana dan kepedulian lingkungan, tetap berlanjut menjadi suatu tantangan. Misalnya:

• intensifikasi pertanian telah meningkatkan jumlah hasil, petani dan penghasilannya. • vegetasi alami dibersihkan untuk pertanian dan areal kota baru • vegetasi pesisir pantai dan hutan bakau dibersihkan untuk keperluan tambak ikan dan

tambak udang yang baru • penebangan kayu komersial telah sangat meluas, penghentian ekspor balok kayu secara

bertahap mengantar pada pengembangan industri kayu lokal dan lapangan pekerjaan terkait secara dramatis

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-4

• produksi dan penggalian pertambangan, minyak bumi dan gas meningkat • industri-industri baru bermunculan di mana-mana. Kegiatan-kegiatan ini ditegaskan dengan pertumbuhan ekonomi yang mantap sejak awal tahun 1970-an dan diperkirakan berlanjut selama kurun waktu yang lama di masa mendatang. Rata-rata pertumbuhan PDB per tahun dari tahun 1984 hingga 1998 adalah 6,8 persen. Pertanian tetap menjadi sektor ekonomi yang penting, yang mempekerjakan sekitar setengah dari angkatan tenaga kerja di negara Indonesia ini. Namun selama REPELITA VI (1994/5 hingga 1998/9), sumbangan manufaktur dalam PDB naik hingga 22,0 persen, untuk pertama kalinya melampaui pertanian (pada angka 19 persen). Inflasi bertengger di atas 10 persen pada tahun 1980-an, tetapi telah dapat dikendalikan, meskipun masih lebih tinggi daripada yang terjadi di negara-negara maju. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat daripada populasi, penghasilan per kapita naik dari tingkat yang sangat rendah pada awal tahun 1960-an menjadi AS$ 1.000 pada tahun 1997. Ini semua berakibat pada peningkatan kebutuhan yang sangat besar untuk mendukung prasarana kota. Sementara peristiwa sosial dan ekonomi yang terjadi baru-baru ini (1998/99) telah membalikkan kecenderungan-kecenderungan tersebut, pemulihan yang akan terjadi beberapa tahun ke depan akan kembali kepada perkembangan ekonomi besar dengan tekanan terhadap lingkungannya 2.4 LINGKUNGAN INDONESIA Hasil industri telah meningkat delapan kali sejak tahun 1970 dan dapat meningkat lebih lanjut sekitar tigabelas kali pada tahun 2020. Laporan Bank Dunia tahun 1994 “Lingkungan dan Pembangunan Indonesia: Tantangan Masa Depan” meramalkan bahwa, sementara sumbangan total pencemaran industri di kawasan perkotaan akan turun dari 70 menjadi 60 persen pada tahun 2020, tingkat absolut polutan industri di kota-kota di Indonesia – berasumsi pada kebijaksanaan dan praktek-praktek saat ini – akan berkembang hampir sepuluh kali lipat. Belum lagi adanya tambahan kenaikan besar dalam pencemaran rumahtangga yang merupakan akibat dari pertumbuhan populasi. Perubahan-perubahan ini memberikan dampak lingkungan yang besar, terutama pada mutu udara dan air, dan hilangnya produktivitas tanah, flora dan fauna. Biodiversitas telah terjadi penurunan. Pencemaran atmosfir oleh partikel-partikel dan bahan kimia, dan masalah dalam pembuangan limbah padat dan cair perkotaan dan industri merupakan konsekuensi utama pertumbuhan lebih lanjut yang perlu dipecahkan secara sungguh-sungguh. Permasalahan lingkungan dan prioritas yang diperlukan tersebar secara geografis sebagai fungsi pembangunan ekonomis di seluruh nusantara.. Secara luas mereka dibagi ke dalam dua kategori. Yang pertama adalah Jawa dan Bali yang menguasai sekitar 7 persen daratan Indonesia, 62 persen total populasinya dan 80 persen industrinya. Masalah lingkungan utamanya adalah pencemaran industri dan perkotaan, termasuk kurangnya persediaan dan penyehatan air, pengelolaan kotamadya dan limbah berbahaya serta pencemaran udara, terutama yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor di kota-kota besar. Yang kedua adalah pulau-pulau di luar Jawa dan Bali dengan 93 persen daratan, 38 persen populasi dan hanya 20 persen industri. Kepedulian lingkungan yang terutama adalah pemanfaatan lestari terhadap hutan, laut dan sumberdaya alam lainnya, termasuk kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan pertanian, pertambangan dan perikanan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-5

REPELITA VI dan Rencana Pembangunan Nasional 25 Tahun yang kedua, yang dimulai pada bulan April 1994, menekankan pembangunan yang lestari melalui perbaikan mutu lingkungan hidup, dukungan pertumbuhan ekonomi, penurunan perbedaan pembangunan daerah dan pengurangan kemiskinan. Mungkin perubahan paling jelas yang tercermin dalam REPELITA VI adalah dialihkannya fokus program pembangunan Pemerintah Indonesia dari upaya mengatasi defisit jasa menjadi upaya mengedepankan investasi yang diperlukan untuk mengetahui potensi ekonomis kawasan daerah, termasuk fungsinya sebagai pusat pelayanan pembangunan daerah, dan tuntutan prasarana terkait. Untuk mempercepat desentralisasi dan pelaksanaan rencana, sebagaimana yang sekarang diwajibkan oleh Undang-undang No. 22/1999, mengenai Pemerintah Daerah, tekanan diberikan pada pemanfaatan sumberdaya secara lebih baik, mobilisasi pendapatan setempat, mengembangkan mekanisme keuangan, dan meningkatkan pemulihan biaya oleh kotamadya-kotamadya dan instansi-instansinya. Koordinasi yang lebih baik dan penguatan instansi-instansi setempat juga diberikan. Kebijaksanaan keuangan untuk jasa pelayanan perkotaan menekankan pada peningkatan pendapatan pemerintah setempat serta efisiensi yang lebih besar dalam pemerataan pendapatan, dan peningkatan penggunaan dana pemerintah pusat serta mekanisme hibah khusus sebagai alat pengembangan keuangan di bawah manajemen setempat. 2.5 RESPON-RESPON KELEMBAGAAN INDONESIA Kemajuan yang berarti telah terwujud di bidang kesejahteraan di Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Harapan hidup, tingkat angka kematian bayi, jumlah kalori yang diterima setiap hari dan kemampuan baca-tulis telah meningkat secara tajam. Kemiskinan telah menurun secara dramatis, tetapi sebagai akibat dari krisis ekonomi baru-baru ini sekitar 25 persen populasi atau lebih dari 50 juta, tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Pemecahan masalah ini merupakan prioritas tinggi Pemerintah. Upaya pengelolaan lingkungan di Indonesia berawal dari tanggapan terhadap Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan in merupakan fondasi dari sasaran Indonesia dalam mencapai pembangunan lestari secara ekologis. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPENAS) bertanggungjawab pada seluruh perencanaan dan pembagian sumberdaya pembangunan Pemerintah Indonesia yang dikelola dalam rangka Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Pembangunan Nasional Tahunan (APBN). Kementerian Dalam Negeri bertanggung jawab pada pengawasan pemerintah daerah, terutama melalui Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) dan Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (BANGDA). Kementerian pusat lainnya yang terlibat dalam pembangunan perkotaan dan daerah, termasuk perlindungan lingkungan, adalah Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Sumberdaya Kelautan, Menteri Industri, dan Menteri Pekerjaan Umum. Dengan dipindahkannya ke otonomi daerah sebagaimana dipersyaratkan melalui Undang-undang No. 22/1999, banyak fungsi dari kementerian pusat ini dialihkan kepada pemerintah setempat.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-6

Indonesia merupakan pelopor dalam melaksanakan pembangunan yang lestari setelah keikutsertaannya dalam Konferensi Stockholm tahun 1972. Hal ini dicerminkan pertama kali dalam Undang-undang No, 4 tahun 1982, mengenai Ketentuan Dasar Pengelolaan Lingkungan. Misi utama Undang-undang tersebut adalah untuk menyatukan pertimbangan-pertimbangan lingkungan dan untuk memadukan pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari ke dalam proses pembangunan nasional. Ini direvisi pada tahun 1997 (Undang-undang No. 23, mengenai Pengelolaan Lingkungan), untuk meningkatkan cakupannya dan memperkuat keikutsertaan masyarakatnya serta ketentuan-ketentuan pemberdayaannya.

Tanggung jawab utama terhadap perlindungan lingkungan dan pencapaian pembangunan yang lestari secara ekologis terletak pada instansi-instansi sektoral. Namun, hal ini ditangani oleh Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan dibentuk pada tahun 1978, sebagai badan koordinasi berkenaan dengan instansi-instansi sektoral (pertanian, sumberdaya air, kehutanan, pertambangan dan energi dan sebagainya). Ini menjadi Kementerian Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan pada tahun 1983 dan Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 1993.

Karena terjadi peningkatan jumlah masalah lingkungan yang memerlukan keterlibatan operasional langsung, maka Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan (BAPEDAL) didirikan melalui Keputusan Presiden No. 23 tahun 1990, dan selanjutnya dikembangkan serta diregionalisasikan melalui Keputusan Presiden No. 77 tahun 1994.

Peran BAPEDAL adalah untuk membantu Presiden dalam pengelolaan dampak lingkungan yang termasuk di antaranya pencegahan dan pengendalian pencemaran lingkungan, kemerosotan lingkungan dan rehabilitasi mutu lingkungan, sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Prioritas BAPEDAL termasuk di antaranya adalah program-program: pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia, sungai bersih, kota bersih, kinerja usaha, pengelolaan limbah berbahaya, produksi bersih, analisis dampak lingkungan, langit biru, pembangunan laboratorium dan program pantai bersih.

Keputusan ini juga menetapkan ketentuan untuk pendirian BAPEDAL di tingkat daerah (dikenal sebagai BAPEDALDA) oleh pemerintah daerah. Prioritas pertama BAPEDAL adalah untuk mengembangkan struktur dan kemampuan Kantor Pusatnya dan kemudian mendirikan kantor-kantor daerah operasional di Denpasar (Bali dan Pulau-pulau di bagian Timur), Makassar (Sulawesi hingga Irian Jaya), Pekanbaru (Sumatra) dan fungsi regional Kantor Pusat untuk Jawa dan Kalimantan. Ini telah tercapai dan prioritas pada saat ini adalah membantu dan memfasilitasi kelanjutan pendirian dan penguatan BAPEDALDA di 29 propinsi dan 320 kabupaten di seluruh Indonesia, melalui penyediaan bantuan teknis dan dukungan laboratorium.

Konsep mengenai pembangunan yang lestari saat ini didukung secara luas oleh masyarakat internasional, termasuk Pemerintah Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Agenda 21 – Indonesia: Strategi Nasional mengenai Pembangunan Lestari, diterbitkan oleh Pemerintah pada bulan Maret 1997.

3.0 PENGELOLAAN LINGKUNGAN

3.1 PENGELOLAAN DAN STANDAR LINGKUNGAN

Lingkungan, dalam segenap bagiannya, adalah dasar sumberdaya alam bagi kehidupan. Sementara manusia merupakan bagian dari lingkungan, kelangsungan hidup kita dan pemenuhan sasaran sosial dan ekonomis kita bergantung pada bagaimana kita memanfaatkan sumberdaya alam sambil melestarikan lingkungan yang sehat.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-7

Dalam konteks ini lingkungan termasuk di antaranya sumberdaya tanah, air, udara, tanaman dan hewan, baik dalam status alamiahnya maupun sebagaimana mereka mungkin dipengaruhi oleh manusia. Dengan demikian faktor-faktor fisik dan ekologis serta sosial dan ekonomis akan dapat tercakup. Definisi yang diterima luas mengenai pembangunan lestari adalah yang pertama kali diusulkan oleh Komisi Brundtland pada tahun 1987, yaitu: Pembangunan lestari adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masakini tanpa merusak kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.sendiri.

Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan adalah tentang pencapaian pembangunan lestari melalui:

• pemanfaatan sumberdaya lingkungan yang bersifat lestari • pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang mantap dan langgeng • peningkatan mutu kehidupan generasi yang ada saat ini dan di masa mendatang • perlindungan lingkungan Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk penentuan dan penerapan Standar Lingkungan, bersifat lintas-sektoral, dan akan menjadi lebih efektif bila pendekatan keikutsertaan penuh diterapkan guna mencapai pemahaman dan konsensus terhadap isu, apa yang perlu dilakukan, dan oleh siapa. Hal ini sangat bergantung pada hal-hal berbagi informasi yang sama, pengembangan pikiran terbuka dan penerapan teknik pemecahan konflik sebagai kunci perencanaan, pembangunan dan alat pelaksanaan. T Tujuannya adalah untuk mencapai konsensus terhadap hasil menang-menang bagi berbagai pemegang saham dan kelompok kepentingan masyarakat. Model pendekatan ini diilustrasikan dalam Gambar A3.1, Pembuatan Keputusan Terpadu. Pembangunan lestari disajikan sebagai perimbangan antara pengelolaan lingkungan dan ekonomi (D); keadilan sosial sebagai hasil dari perimbangan yang adil antara penggunaan dan pembagian sumberdaya (E); dan keadilan lingkungan sebagai hasil dari keputusan sosial yang berkaitan dengan lingkungan fisik, biologis dan budaya (J). Posisi dua kubu yang saling bertentangan antara pihak-pihak gabungan akan menghancurkan peluang untuk mencapai kemajuan dalam sasaran bersama. Oleh karena itu, tantangannya adalah untuk mencapai perimbangan dan konsensus yang diperlukan melalui penggunaan keahlian bernegosiasi dan teknik pemecahan konflik.

GAMBAR A3.1: PEMBUATAN KEPUTUSAN TERPADU

MASYARAKAT

EKONOMI

LINGKUNGAN

ALAM

E

J D

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-8

Contoh-contoh pemecahan masalah kooperatif dengan menggunakan model ini tetap terbatas, tetapi bila diupayakan secara gigih, akan menjadi sangat berhasil, terutama di tingkat lokal dan daerah. Misalnya, ke 2.000 kelompok masyarakat koperasi yang dibentuk sebagai bagian dari Program Pemeliharaan Lahan Nasional Australia untuk keperluan regenerasi sumberdaya lingkungan, merupakan inisiatif bersama yang terus-menerus berhasil antara pemerintah, petani nasional dan kelompok lobi konservasi. Arti penting pembuatan keputusan di tingkat lokal diakui dalam bab 28, Agenda 21, Cetak Biru Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pengelolaan Lingkungan Abad 21, yang menekankan bahwa otoritas setempat adalah di mana rekomendasi yang dibuat dalam semua bab lainnya harus dilaksanakan. Oleh karena itu, mereka harus dilibatkan dalam pengembangan rekomendasi-rekomendasi tersebut.

• air, udara dan tanah adalah sumberdaya yang tidak tak kunjung habis • lingkungan dapat dikelola secara per bagian • nilai-nilai sosial tidak berubah • pengelolaan lingkungan adalah masalah teknis • teknologi dapat membuat segalanya menjadi mungkin. Peraturan pengelolaan lingkungan yang baru adalah

• air, udara dan tanah adalah sumberdaya yang terbatas • semua bagian ekosistem adalah saling berkaitan • nilai-nilai sosial mengalami perubahan • pengelolaan lingkungan merupakan masalah manusia • penggunaan teknologi memiliki keterbatasan dan perlu biaya. Kini terdapat pengakuan internasional yang ditegaskan melalui Laporan Pembangunan Dunia tahun 1992, bahwa pertumbuhan ekonomi yang sehat dan perbaikan mutu kehidupan tidak dapat dicapai tanpa dipergunakannya sumberdaya lingkungan jangka panjang yang lestari dan secara adil – udara, tanah, air, tanaman dan hewan. Atau taruhlah dengan cara lain, sebuah lingkungan yang merosot berarti hilangnya peluang untuk pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pembangunan sosial. Prinsip ini sama pentingnya bagi negara maju dan negara berkembang, terutama negara-negara yang mengandalkan sumberdaya alam atau lingkungan untuk keperluan produksi makanan dan komoditas dalam negeri serta pemasukan ekspor. Cara-cara formal untuk memecahkan perdebatan lingkungan muncul di setiap skala. Mereka berkisar mulai dari konvensi, komisi, lembaga dan asosiasi internasional; pengadilan agraria dan lingkungan nasional, panitia penyelidik khusus, perundingan meja bundar untuk berbagai kepentingan dan kelompok-kelompok lobi nasional; hingga panitia lokal, dewan pertimbangan dan kelompok penindak atas isu-isu khusus. Pemecahan konflik antara kepentingan-kepentingan yang bersaing dalam mengembangkan konsensus terhadap bentuk pembangunan yang lebih diinginkan adalah perlu untuk meraih keberhasilan. Konflik itu sendiri tidak selalu buruk. Hal tersebut menandakan adanya kesadaran terhadap kebutuhan untuk berubah. Perubahan merupakan jembatan antara yang baru dan yang lama, tetapi juga tidak dapat dihindarkan membawa konflik di antara keduanya. Perubahan besar yang berkelanjutan dalam penggunaan dan pengaturan sumberdaya alam membuat para pengelola lingkungan tidak punya pilihan kecuali menjadi pengelola perubahan lingkungan. Perubahan sejenis juga terjadi di tingkat pribadi dan profesional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-9

Perubahan terjadi di dalam jajaran manajemen lingkungan, dan segenap jabatan yang berkaitan. Tugas seorang pengelola lingkungan kini berkisar dari mulai mengkoordinasikan interpretasi teknis ramalan rumah kaca yang terbaru hingga memimpin pertemuan perdebatan publik. Label pengelola lingkungan kini diterapkan hampir pada semua jabatan, jajaran pemerintahan, industri dan LSM. 3.2 PERSYARATAN KELEMBAGAAN Analisis pengalaman terhadap sejumlah negara, termasuk Hongkong, Korea, Cina, Thailand, AS dan Australia dalam mengorganisasi mekanisme koordinasi pengelolaan lingkungan memberikan wawasan ke dalam tuntutan kelembagaan untuk melaksanakan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan dan penentuan Standar Lingkungan. Negara-negara tersebut memasukkan semua tingkat perkembangan ekonomi, ukuran populasi, beberapa jenis organisasi politik dan ekonomi, serta pembagian geografis yang luas. Menyadari bahwa stabilitas pemerintahan dan infrastruktur minimum bagi jasa pelayanan dan komunikasi merupakan persyaratan dasar yang diperlukan untuk terwujudnya pengelolaan lingkungan yang efektif, persyaratan yang lebih khusus dapat dikelompokkan menurut judul dasar kebijaksanaan, pengaturan struktural, persyaratan proses, sumberdaya, dan peran otoritas lingkungan dan kesehatan nasional. 3.2.1 Dasar kebijaksanaan Lima faktor diperlukan bagi sistem pengelolaan lingkungan yang layak dikerjakan baik itu di negara maju maupun di negara industri

• kerangka kerja kebijaksanaan yang transparan • kebijaksanaan yang jelas • perpaduan kebijaksanaan ke dalam undang-undang • pemberian sanksi terhadap para pelaku pencemaran • opini dan sikap masyarakat yang mendukung. 3.2.2 Pengaturan struktural Negara-negara dengan sistem operasional pengelolaan lingkungan biasanya menetapkan enam persyaratan struktural: • batang tubuh kebijaksanaan antar-sektoral yang bersifat tetap • lembaga eksekutif • tugas tanggungjawab terhadap badan koordinasi antar-sektoral • tercapainya koordinasi vertikal antara jajaran pemerintahan dan administrasi • ketentuan untuk menghubungkan koordinasi horizontal (antar-sektoral) dan vertikal • kementerian lingkungan dan kesehatan yang kuat. 3.2.3 Persyaratan proses Selain kebutuhan untuk pengaturan struktural yang tepat, untuk sistem pengelolaan lingkungan agar dapat dijalankan, proses pengelolaan dan teknis tertentu yang harus dilaksanakan, termasuk:

• memelihara momentum batang tubuh kebijaksanaan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-10

• menghubungkan kerja pengelolaan lingkungan dengan moda perencanaan prevalen dari negara bersangkutan

• mendefinisikan program kerja • mendefinisikan, menerapkan dan memperbaharui standar-standar untuk berbagai

parameter dan polutan lingkungan • memantau situasi lingkungan dan kesehatan atas dasar terencana dan berkesinambungan • mendefinisikan dan melakukan pendidikan masyarakat. 3.2.4 Sumberdaya Tidak cukupnya sumberdaya pengelolaan lingkungan merupakan hambatan yang paling sering terjadi guna memperoleh dampak yang diinginkan terhadap status kesehatan, kesejahteraan sosial-ekonomi dan lingkungan. Negara seringkali mendefinisikan dan menetapkan mekanisme pengelolaan lingkungan, tetapi tidak mampu menyediakan staf dan melengkapi mekanismenya guna melaksanakan kegiatan yang diperlukan. Jenis-jenis sumberdaya kritis yang diperlukan adalah:

• pengetahuan dan kemampuan lokal dalam manajemen pengetahuan • tersedianya tenaga manusia yang terlatih dan trampil dalam jumlah yang cukup untuk

keperluan pekerjaan ilmiah, profesional dan teknis. • dukungan informasi untuk pengumpulan, pemrosesan dan pelaporan data • instrumentasi untuk kebutuhan pemantauan lapangan, analisis laboratorium dan riset • sistem manajemen untuk pengelolaan lingkungan, pengendalian pencemaran dan

kegiatan kesehatan masyarakat terkait. 3.2.5 Peran otorita kesehatan Di sejumlah negara, peran otorita kesehatan nasional (dan otorita kesehatan negarabagian di negara-negara federal) berkisar dari mulai ketidak-terlibatan yang nyata dalam kebijaksanaan dan program pengelolaan lingkungan pengendalian pencemaran, sampai dengan keterlibatan nominal hingga keterlibatan yang mendalam dan bahkan kepemimpinan sistem pengelolaan lingkungan antar-sektoral. Meskipun sejarah organisasi dan politis mereka berbeda, perilaku otorita kesehatan nasional yang ditunjukkan di atas pada kelompok negara yang terakhir memberikan model keterlibatan sektor kesehatan dalam perlindungan lingkungan dan kesehatan. Sebagaimana sebuah kelompok, pemimpin-pemimpin kesehatan nasional ini:

• secara aktif menyokong nilai-nilai kesehatan dan ikut peduli dalam perumusan kebijaksanaan lingkungan dan pembangunan

• melembagakan nilai-nilai tersebut dan ikut peduli program-program nasional dan lokal. • memberikan informasi ilmiah, epidemiologis dan jasa pelayanan, seringkali

menggunakan sumber-sumber internasional • memberikan jasa pelayanan perencanaan dan laboratorium • menghubungkan kerja kesehatan lingkungan dengan pemeliharaan kesehatan primer • memfungsikan dengan baik antar-sektoral dan politis. 3.3 KETERLIBATAN MASYARAKAT Salah satu perubahan yang lebih signifikan yang ditemukan di sebagian besar negara Barat adalah bahwa kebijaksanaan dan tatacara pengelolaan sumberdaya alam, langkah-langkah

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-11

perlindungan lingkungan dan prosedur penentuan standar, kini memerlukan keterlibatan masyarakat. Ini juga ditetapkan dalam Pasal 5 hingga 7 dan 10 Undang-undang Indonesia No. 23/1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan. Lima penggunaan khas istilah keikut-sertaan masyarakat dapat diidentifikasi dalam literatur, dengan meningkatnya keterlibatan masyarakat, yaitu:

• sebuah sarana untuk meyakinkan masyarakat mengenai nilai keputusan yang sudah diambil; secara lebih jujur dijelaskan sebagai pendidikan masyarakat;

• sebuah kegiatan yang dilakukan menurut kebijaksanaan pembuat keputusan, apabila situasinya menjamin dan sumberdayanya tersedia; lebih baik disebut sumbangan masyarakat;

• sebuah sumbangan pada pengembangan kebijaksanaan atau pengelolaan proyek, di mana opini masyarakat dikanvaskan pada tahap-tahap proses tertentu; konsultasi masyarakat;

• suatu metode pemecahan konflik di mana ada serangkaian posisi yang tampaknya tidak cocok, sebagaimana dalam reviu dan penyelidikan masyarakat; atau

• suatu bagian terpadu proses pembuatan keputusan, di mana masyarakat bersangkutan dianggap sebagai mitra dalam pengembangan kebijaksanaan, pengelolaan dan pemantauan sumberdaya alam atau penentuan Standar Lingkungan, yaitu, kemitraan masyarakat dalam proses tersebut.

Tujuan keikutsertaan masyarakat yang efektif adalah untuk memastikan bahwa kerjasama yang erat ini dikelola sedemikian rupa sehingga konflik yang potensial diarahkan kembali kepada kemitraan kooperatif dan konstruktif; kepentingan setempat diperhitungkan; dan persyaratan kebijaksanaan dipenuhi. 3.4 PEMECAHAN KONFLIK Konflik dalam pengelolaan lingkungan dapat dijelaskan sebagai:

• Konflik adalah bagian dari perubahan yang tidak dapat dihindari – bukan merupakan akibat dari kegagalan pribadi atau kegagalan sistem.

• Konflik adalah sebuah langkah dalam pemecahan masalah – konflik mengisyaratkan kemungkinan berkembangnya debat.

• Konflik adalah masalah bersama – bukan merupakan tanggungjawab tunggal dari kelompok atau bentuk kepentingan apapun.

• Konflik adalah sebuah proses – konflik itu bukan sebuah hasil, rintangan ataupun sebuah dalih.

• Konflik dapat ditangani – tetapi pengelolaannya menghabiskan waktu dan sumberdaya. Pengelolaan lingkungan melibatkan urusan memperkecil risiko dan memaksimumkan peluang dalam hal lingkungan dan pengelolaan. Diagnosis dan pengurangan risiko terhadap lingkungan digabungkan dengan peluang meningkatkan sumberdaya lingkungan yang ada Peluang untuk menangani konflik orang lain memberikan banyak kesempatan untuk perubahan konstruktif. Kisaran kemungkinan teknik pemecahan konflik diilustrasikan dalam Gambar A3.2, Pengelolaan Konflik – Mendaki Gunung. Skala di sebelah kiri mencantumkan tingkat-tingkat kemungkinan hubungan antar-pribadi antara para pemain kunci dalam mendaki susunan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-12

mulai dari isolasi penuh di sebelah bawah hingga kepada kerja tim yang kooperatif sepenuhnya di puncak. Hubungan ini dijelaskan sebagai menggiring pemain ke dalam permainan Skala di sebelah kanan mencantumkan langkah-langkah pemulihan yang mungkin dilakukan untuk menjaga agar para pemain tetap berada dalam permainan, berkisar dari mulai konfrontasi sebagai skenario kasus terburuk di sebelah bawah hingga melakukan negosiasi di puncak.

KERJASAMA KERJA TIM NEGOSIASI

KOMITMEN FASILITASI

KOORDINASI MEDIASI KOLABORASI ARBITRASI

KOMUNIKASI LITIGASI INFORMASI LEGISLASI ISOLASI KONFRONTASI

GAMBAR A3.2: PENANGANAN KONFLIK – MENDAKI GUNUNG

4.0 DEFINISI STANDAR LINGKUNGAN Duapuluh tahun terakhir ini telah terjadi perkembangan besar pada perundang-undangan dan kebijaksanaan. Telah terjadi penggunaan standar numerik yang meningkat berkenaan dengan emisi, eksposur, jumlah yang diterima dan kadar bahan dalam lingkungan. Standar demikian telah ditentukan dengan menggunakan berbagai pendekatan oleh banyak badan yang berlainan – global, multi-nasional, nasional, regional dan lokal – guna melindungi kesehatan manusia dan lingkungan alam. Kadang-kadang diperdebatkan bahwa standarnya terlalu ketat sehingga biaya yang dibebankan pada masyarakat tidak sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Argumen lainnya adalah bahwa beberapa bentuk pencemaran (misalnya, eksposur berkepanjangan pada kadar bahan tertentu yang sangat rendah, terutama dalam bentuk gabungan) tidak ditangani secara cukup serius. Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperhitungkan berbagai pandangan dalam menentukan standar. Istilah standar diinterpretasikan dalam SML ini sebagai standar yang diartikan dalam undang-undang (misalnya, ambang batas emisi atau baku mutu atau kriteria lingkungan) dan juga tatacara, panduan dan sasaran, serta kriteria non-hukum yang digunakan dalam menentukan kasus individual; standar dan ambang batas yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah yang berkuasa demi alasan-alasan lain, terutama untuk eminen ilmiah atau kekuatan pasar dari mereka yang menentukan standar-standar tersebut; serta beberapa standar yang tidak numerik.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-13

Metodologi menerapkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, definisi baku mutu lingkungan, kriteria ambang batas dan kerusakan dalam Bab 1 Pasal 1, sebagaimana dikutip di bawah ini: (11) Baku mutu lingkungan merupakan ambang batas atau tingkat makhluk hidup, bahan,

energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur-unsur pencemar yang keberadaannya di dalam sumberdaya tertentu sebagai unsur lingkungan ditetapkan di tingkat tertentu;

(13) Kriteria kerusakan lingkungan standar merupakan ambang batas perubahan fisik

dan/atau biologis di dalam lingkungan yang dapat diukur. Metodologi tidak termasuk standar sekunder atau suplementer yang mencakup metode pengambilan sampel, analisis dan pengujian atau yang berkaitan dengan Sistem Pengelolaan Lingkungan dan prosedur Audit (ISO seri 14000), karena ini terpisah dengan definisi yang diterapkan dan tercakup dengan baik oleh metodologi-metodologi terinci yang diterima secara internasional yang pada saat ini sedang digunakan di Indonesia. Standar Lingkungan mengambil bentuk yang berbeda-beda. Mereka mencakup modifikasi terhadap lingkungan, atau pengaruh modifikasi demikian, atau kegiatan atau obyek yang mampu menyebabkan terjadinya modifikasi tersebut. Mereka dikelompokkan melalui acuan ke jalur yang diikuti oleh bahan-bahan hingga mereka bertemu atau memasuki suatu wujud yang peka terhadap kerusakan. Sebagai alternatif mereka dapat dikelompokkan sebagai yang menanggung secara lebih tidak langsung atas modifikasi lingkungan tersebut. Jenis-jenis standar yang kini lazim digunakan secara internasional, relevan untuk Indonesia dan tercakup oleh ESM ini tercantum di bawah dan diilustrasikan dalam Gambar A4.1:

GAMBAR A4.1: JALUR PENCEMARAN DAN TITIK-TITIK PENENTUAN STANDAR

Sumber: Kumpulan Holgate, “Perspective of Environmental Pollution”

• Standar yang diterapkan secara langsung ke titik tertentu pada jalur laluan

- standar biologis mendefinisikan ambang batas perubahan fisiologis atau dampak lainnya yang dapat diterima didalam organisme, misalnya kepekatan timah hitam dalam darah;

Proses standar

Proses standar

SUMBER

Kontrol produk Kontrol produk

Standar produk

Produk

Sumber

LINGKUNGAN

Standar kualitas lingkungan

Penyebaran

Standar pembuka

Standar sisa

Standar biologi

Permukaan SASARAN

Didalam

Penyerapan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-14

- standar eksposur mendefinisikan eksposur atau dosis yang dapat diterima pada titik

entri kepada sesuatu organisme., misalnya ambang batas dosis radiasi eksternal;

- standar mutu mendefinisikan konsentrasi bahan di udara, air atau tanah yang dapat diterima, misalnya nilai pedoman mutu udara atau logam berat di tanah pertanian;

- standar emisi mendefinisikan pelepasan polutan apa yang dapat diterima lingkungan,

misalnya nilai ambang batas emisi dari pabrik atau kendaraan bermotor; dan

- standar produk menetapkan komposisi suatu produk, misalnya baku mutu bahan bakar motor atau air minum

• Bentuk-bentuk Standar Lingkungan lainnya:

- standar proses mengidentifikasi teknik-teknik bagi suatu proses industri guna

memberikan kriteria untuk memutuskan emisi ke lingkungan apa yang berasal dari lokasi tertentu yang diijinkan, misalnya catatan pedoman diterbitkan bagi proses-proses yang dikenakan pengendalian pencemaran terpadu;

- standar berdasarkan daur hidup menetapkan kriteria produk daur hidup untuk

memenuhi kebutuhan, misalnya skema ecolabelling;

- standar penggunaan menentukan syarat-syarat penggunaan suatu bahan atau produk, atau dalam beberapa hal, melarang penggunaannya, misalnya melakukan pelarangan melalui petunjuk dan prosedur pemasaran serta pemakaiannya bagi produk-produk obat perlindungan tanaman dan hewan

- standar pengelolaan yang diterapkan pada kemampuan perusahaan atau organisasi

lainnya untuk menangani efek-efek lingkungan sebagai akibat dari pengoperasiannya, misalnya ISO 14001 atau sistem pengelolaan lingkungan (perhatikan sebagaimana dinyatakan di atas, Metodologi tidak termasuk standar pengelolaan).

5.0 CAKUPAN STANDAR

5.1 GEOGRAFIS Di tingkat nasional, negara menetapkan Standar Lingkungan nasional konsisten dengan perjanjian internasional dan apa yang dianggap sebagai isu dan persyaratan nasional. Dalam melakukannya, kepentingan daerah dan lokal menjadi terabaikan kecuali ada ketentuan untuk standar lokal terpisah di dalam konteks nasional Indonesia, AS dan Australia merupakan contoh-contoh mengenai hal ini. Lingkup geografis standar dapat secara kuat mempengaruhi bentuk yang mereka ambil, dan ini pada gilirannya akan berpengaruh terhadap cara di mana mereka dilaksanakan. Tidak ada peraturan otomatis untuk menentukan tingkat geografis atau politis di mana standar-standar untuk sebagian besar polutan harus ditetapkan. Dalam hal kepraktisan, mungkin lebih mudah untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan dan memperhitungkan nilai-nilai masyarakat di tingkat yang lebih lokal; tetapi, beberapa standar akan tetap ditentukan di tingkat internasional atau multinasional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-15

ESM ini mensyaratkan agar Standar Lingkungan ditetapkan terhadap area terkecil yang dianggap layak dan efektif untuk dilaksanakan. Selain itu, dalam hal standar ditentukan secara internasional atau nasional, mereka harus ditentukan dalam bentuk yang memungkinkan terjadinya sebanyak mungkin kebijaksanaan yang menyangkut metode pelaksanaan sepanjang hal tersebut layak dilakukan tanpa mengurangi keefektifannya. 5.2 SEKTORAL Perubahan mutu lingkungan bergantung pada banyak hal, misalnya sasaran lingkungan yang ditentukan secara politis, kemampuan lembaga bersangkutan, mutu peraturan dan pengaturan administratif yang ada, besarnya dan jenis investasi yang secara langsung atau tidak langsung dibuat dalam upaya mendukung tujuan lingkungan, tingkat kemajuan teknologi, keefektifan instrumen kebijaksanaan yang digunakan, dan lain-lainnya. Kebanyakan dari ini, serta hubungannya di antara mereka, merupakan subyek pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan adalah bersifat multi-sektoral, dengan standar-Standar Lingkungan terkait (standar hukum dan non-hukum) yang ditentukan dan dilaksanakan di berbagai administrasi pemerintah. Tentu saja ini berlaku di Indonesia. Menurut sifatnya, ESM cocok untuk diterapkan pada penentuan Standar Lingkungan dan yang lainnya di segenap sektor pemerintah dan organisasi non-pemerintah terkait, misalnya asosiasi industri. ESM memberikan definisi yang luas mengenai Standar Lingkungan, termasuk ambang batas pencemaran, konsisten dengan model-model internasional dan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan. Artinya, standar dan ambang batas harus relevan dalam berbagai penetapan geografis, budaya, sektoral dan kelembagaan; mereka harus dikembangkan dalam proses konsultasi umum dan transparan sepenuhnya; dan metodologinya harus relevan dan dapat dilaksanakan di setiap kawasan. Ini dirangkum dalam Tabel A5.1, yang memperhitungkan ketentuan Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintah Lokal (desentralisasi tanggungjawab). ESM juga menunjukkan keluasan sektoral dan kedalaman geografis konsultasi dan tanggungjawab pembuatan keputusan dalam pengelolaan lingkungan pada umumnya, dan dalam penentuan standar pada khususnya.

6.0 ANALISIS TERHADAP ISU Isu lingkungan mencapai agenda politis melalui rute internasional atau lokal yang berbeda-beda. Mereka biasanya memiliki komponen teknis yang besar: penilaian ahli akan terus diperlukan namun kepastian, ketepatan dan keobyektifannya tidak perlu terlalu diunggulkan ataupun diremehkan. Cara isu, dirumuskan dan pilihan yang tersedia untuk ditangani dengan mereka, biasanya juga mengundang pertanyaan mengenai nilai sosial dan ekonomis yang harus dibahas dari awal. Setelah isu teridentifikasi, harus ada prosedur yang jelas untuk menanganinya. Ini berlaku sama pada proses penentuan kebijaksanaan atau standar. Tahap analitis proses memiliki beberapa komponen yang saling melengkapi dan saling berkaitan erat:

• ilmiah termasuk pengkajian kesehatan • analisis pilihan teknologi • pengkajian risiko dan ketidakpastian

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-16

• penilaian ekonomis • analisis isu pelaksanaan, termasuk lingkup standar geografis dan sektoral TABEL A5.1: TANGGUNGJAWAB PENENTUAN STANDAR LINGKUNGAN

LINGKUNGAN, INDUSTRI, KESEHATAN, PERTAMBANGAN & ENERGI, PEKERJAAN UMUM, PERTANIAN, KEHUTANAN,

ANGKUTAN

TANGGUNGJAWAB SEKTORAL

TINGKAT STANDARD

NASIONAL

PROPINSI

DISTRIK

INTERNATIONAL

KELUASAN

REGIONAL (INTERNASIONAL)

SEKTORAL

NASIONAL

REGIONAL (MULTI-PROPINSI)

PROPINSI

MULTI-DISTRIK (CAKUPAN at AIRSHED)

DISTRIK

SUB-DISTRIK AT. LOKASI SPESIFIK

PENGAMBIL KEPUTUSAN PRIMER

SEKUNDER (ADVIS/ KONSULTASI)

Pendekatan ini berlaku bagi segala macam kebijaksanaan atau Standar Lingkungan tetapi sifat masalah lingkungan tertentu akan menentukan sumberdaya yang harus diberikan pada setiap jenis analisis dalam praktek. Proses ini dirangkum dalam Gambar A6.1. Ada prosedur yang tersusun dengan baik untuk mengkaji bukti ilmiah dan kesehatan dan menentukan, misalnya, hubungan dosis-efek guna menginformasikan proses pembuatan keputusan. Sasarannya haruslah untuk menunjukkan secara jelas di mana perbatasan pengetahuannya terletak dan sampai di mana pengetahuan ini relevan dengan masalah yang sedang dipertimbangkan. Pengkajian teknologis akan membuka peluang untuk menghindarkan kerusakan lingkungan dan mengendalikan pencemaran, serta bentuk-bentuk pencemaran baru yang merupakan akibat dari perubahan teknologi. Pengkajian daur hidup biasanya memberikan dasar paling memuaskan bagi pengkajian efek lingkungan produk dan proses industri. Prosedur Pengkajian risiko dapat membantu menjelaskan pilihan antara kebijaksanaan atau standar alternatif dan merasionalisasikan pilihan bahan untuk pengendalian prioritas. Pengkajian harus mengidentifikasi dan menggambarkan jenis dan sumber risiko yang berbeda-beda dalam situasi yang sedang dipertimbangkan, bersama dengan ketidakpastian dan implikasinya. Penilaian ekonomis menilai biaya dan manfaat dari serangkaian tindakan yang berbeda-beda sejauh memungkinkan. Diperlukan perhatian yang besar untuk memastikan agar efek di mana harga yang tidak dapat ditentukan diperhitungkan secara tepat dalam membuat keputusan.

GE

OG

RA

FIS

DA

LA

M

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-17

Pengkajian biaya dan manfaat langkah-langkah lingkungan dapat menjadi problematik bila pilihan yang tersedia mengundang pertanyaan mengenai nilai. Pelaksanaan kebijaksanaan atau standar mempengaruhi pola perilaku atau serangkaian tindakan tertentu oleh individu, bisnis dan industri. Ini harus diidentifikasi sebelumnya guna memastikan agar insentif buruk tidak tercipta secara tanpa sengaja dan agar pilihan strateginya menjadi yang paling efektif dalam mempengaruhi perilaku. Tema fundamental Metodologi ini merupakan kebutuhan terhadap transparansi dan keterbukaan dalam segenap aspek pengelolaan lingkungan, dan terutama di semua tahap proses yang mengantar pada penentuan Standar Lingkungan. Fungsi dan komposisi seluruh badan yang terlibat dalam penentuan standar harus diketahui masyarakat dan semua data, model dan asumsi yang mereka pergunakan harus tersedia untuk umum. Harus ada peluang bagi masyarakat untuk menggunakan pengaruh mereka terhadap apa yang terjadi di setiap tahap, dimulai dengan pengenalan awal suatu masalah.

MENGENALI MASALAH

MENDEFINISIKAN MASALAH DAN MENYUSUN PERTANYAAN

MERUMUSKAN SASARAN KEBIJAKSANAAN

pengkajian ilmiah

pilihan teknologi pengkajian risiko

penilaian ekonomis analisis pelaksanaan

RENUNGAN DAN PENALARAN

MEMUTUSKAN APAKAH PERLU MENENTUKAN STANDAR DAN MENDEFINISIKAN JENIS DAN ISINYA

MENSOSIALISASIKAN DAN MELAKSANAKAN STANDAR

MEMANTAU DAN MENGEVALUASI KEEFEKTIFAN

GAMBAR A6.1: PROSES PENENTUAN STANDAR LINGKUNGAN

7.0 PENENTUAN STANDAR LINGKUNGAN Ada dua aspek fundamental terhadap prosedur penentuan kebijaksanaan dan Standar Lingkungan. Yang pertama adalah bahwa keputusan semacam itu adalah keputusan yang rumit di mana berbagai pertimbangan harus diperhitungkan, dan sifatnya dalam pertimbangan ini secara luas telah disalahartikan dan disampaikan secara tidak benar. Yang kedua adalah bahwa teknik-teknik yang tersedia dapat dan harus digunakan untuk mengartikulasikan nilai-

NIL

AI

MA

SYA

RA

KA

T

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-18

nilai masyarakat serta memadukannya ke dalam setiap tahap kritis pembuatan keputusan mengenai kebijaksanaan dan Standar Lingkungan. Menentukan Standar Lingkungan merupakan kegiatan penilaian praktis. Penilaian dicapai melalui proses pembahasan untuk mencari cara mempertemukan beraneka-ragam hambatan dan sudut pandang. Prosedur pembahasan yang dirancang sebagaimana mestinya memperdalam pemahaman dan membuka semua kesalahan dan hal-hal yang bersifat tidak konsisten. Ini meningkatkan pembuatan keputusan dengan memperbaiki cara merumuskan masalah, menentukan penggunaan yang tepat bagi teknik-teknik analitis kontroversial, menjernihkan pandangan dan mempertimbangkan serangkaian perspektif. Langkah-langkah yang harus diikuti dalam menanggapi masalah lingkungan atau menentukan Standar Lingkungan diilustrasikan dalam Gambar A7.1. Ini menunjukkan pada tingkat konseptual prinsip-prinsip proses yang luas, dan bagaimana pelbagai unsur yang diperlukan untuk membuat penilaian praktis harus disusun dengan efektif dan diterapkan. Sekuens ini logis, meskipun tidak diperlukan yang kronologis. Durasi tahap-tahapnya akan berbeda kasus demi kasus, mereka dapat saling tumpang tindih, dan mungkin terjadi pengulangan. Sebuah pertimbangan penting adalah siapa yang membuat keputusan akhir mengenai standar. Untuk Standar Lingkungan hal ini seringkali dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Menteri lainnya, Gubernur atau Walikota, tetapi Standar Lingkungan juga dibuat oleh instansi sektoral, asosiasi industri dan organisasi lainnya. Metodologi tersebut tepat untuk penentuan semua standar semacam itu dan harus diterapkan oleh menteri, instansi atau organisasi terkait lainnya itu. Ini mengundang pertanyaan mengenai konsultansi antar-instansi/organisasi, koordinasi dan konsistensi. Negara-negara lain, misalnya Hongkong, Thailand, Australia dan AS memenuhi kebutuhan ini melalui pendirian Dewan Perlindungan Lingkungan Nasional yang melibatkan wakil dari berbagai kelompok kepentingan. Mereka dapat memiliki kekuasaan pembuatan keputusan eksekutif bila mereka termasuk keanggotaan Kementerian; atau menjadi penasihat untuk Menteri atau Kepala Negara, bila bukan keanggotaan Kementerian. Kadang-kadang kedua model keanggotaan digunakan dengan cara yang disebut belakangan menjadi penasihat untuk yang disebut sebelumnya Oleh karena itu, ESM memenuhi kebutuhan seperti Dewan Kementerian untuk Indonesia, didukung oleh Dewan Penasihat yang dilayani oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ini akan dilibatkan tidak hanya dalam penentuan standar, tetapi juga isu-isu yang lebih luas seperti pencapaian pembangunan yang lestari secara ekologis, kebijaksanaan dan program lingkungan yang strategis,serta masalah-masalah dan Konvensi lingkungan internasional. Dewan sejenis juga ditetapkan di tingkat distrik dan propinsi, tetapi dengan fokus pada isu dan Standar Lingkungan multi-propinsi dan propinsi. ESM mencakup hal-hal di atas dalam suatu bentuk terstruktur untuk memandu masyarakat dengan memberikan pengetahuan dasar dalam administrasi masalah-masalah lingkungan mengenai bagaimana caranya mengembangkan Standar Lingkungan baru, atau merevisi Standar Lingkungan yang ada. Artinya, fokusnya ada pada pemberian panduan dan informasi latar belakang terkait untuk melaksanakan proses administratif dan teknis terstruktur yang

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology A-Ina

CMPS Asia Pacific

A-19

melibatkan masalah-masalah sosial, kesehatan, ekonomi, ekologi, teknologi, pengkajian risiko dan implementasi. Dalam melaksanakan Metodologi tersebut, masukan tambahan para spesialis kadang-kadang diperlukan oleh ahli-ahli di bidang ini, yang akan membawa serta pengetahuan ahli mengenai berbagai bidang permasalahan, yang tidak diberikan dalam Metodologi, selain dari yang untuk tingkat pendahuluan dalam Buku Panduan Referensi untuk membantu orang-orang yang bertanggung jawab bagi pelaksanaannya.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-1

BAGIAN B PROSES PENENTUAN STANDAR

1.0 APA ITU PROSES PENENTUAN STANDAR Proses Penentuan Standar (SSP) menjelaskan mengenai konteks, tugas dan kegiatan umum, serta hubungan dan tanggungjawab pelaksanaan dalam menetapkan Standar Lingkungan, termasuk sosialisasinya dalam tubuh pemerintah dan masyarakat, sebagaimana tercakup oleh ESM ini. Detil pelaksanaan lebih lanjut diberikan dalam Prosedur Pengoperasian Standar (SOP) di Bagian C; didukung data dan informasi latar belakang tambahan yang diberikan dalam Buku Pedoman Acuan (RM) Volume 2 dan sejumlah referensi yang tercantum di bagian akhir Volume 1 ini. Rencana Pelaksanaan (IP) dan Panduan Belajar Mandiri (SLG) juga di berikan masing-masing di Bagian D dan E, Volume 1 ini. Setelah membaca dan memahami materi ini, barulah staf dapat secara aktif ikut serta dalam pelaksanaan ESM. Dengan demikian, Metodologi ini menyediakan proses penentuan standar bertahap, didukung oleh detil prosedur serta data dan informasi latar belakang, untuk membantu menentukan dan merevisi standar. Pengetahuan dan kebijaksanaan diperlukan untuk menangani beraneka-ragam isu rumit termasuk dalam ESM tersebut, harus dikembangkan secara terpisah di dalam individual yang terlibat, dan oleh mereka melalui upaya sendiri. ESM memberikan sarana, bukan jawaban. Untuk membantu staf menemukan jawabannya, Rencana Pelaksanaan diberikan di Bagian D dan Panduan Belajar Mandiri di Bagian E dari Volume 1 ini. Istilah standar diinterpretasikan sebagai standar yang diartikan dalam undang-undang (misalnya, ambang batas emisi atau baku mutu lingkungan) dan juga tatacara, panduan dan sasaran, serta kriteria non-hukum yang digunakan dalam menentukan kasus individual; bersama dengan standar dan ambang batas yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah yang berkuasa demi alasan-alasan lain, terutama untuk eminen ilmiah atau kekuatan pasar dari mereka yang menentukan standar-standar tersebut (misalnya standar produk); serta beberapa standar yang bukan numerik. Secara lebih khusus, standar lingkungan merupakan penilaian mengenai keadaan dapat diterimanya perubahan lingkungan yang merupakan akibat dari kegiatan manusia yang memenuhi kedua syarat berikut ini:

• standar lingkungan ditetapkan secara resmi setelah melakukan sejumlah pertimbangan dan dimaksudkan untuk diterapkan secara umum pada golongan kasus tertentu; dan

• karena kaitannya dengan sanksi, penghargaan atau nilai tertentu, maka dapat diharapkan akan menimbulkan pengaruh, langsung atau tidak langsung atas kegiatan yang mempengaruhi lingkungan.

Metodologi menerapkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, definisi baku mutu lingkungan, kriteria ambang batas dan kerusakan dalam Bab 1 Pasal 1, sebagaimana dikutip di bawah ini:

(11) Baku mutu lingkungan merupakan ambang batas atau tingkat makhluk hidup, bahan, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur-unsur pencemar yang keberadaannya di dalam sumberdaya tertentu sebagai unsur lingkungan ditetapkan di tingkat tertentu;;

(13) Kriteria kerusakan lingkungan standar merupakan ambang batas perubahan fisik dan/atau biologis di dalam lingkungan yang dapat diukur..

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-2

Metodologi tidak termasuk standar sekunder atau suplementer yang mencakup metode pengambilan sampel, analisis dan pengujian metode standar atau yang berkaitan dengan Sistem Pengelolaan Lingkungan dan prosedur Audit (ISO seri 14000), karena ini terpisah dengan definisi yang diterapkan dan tercakup dengan baik oleh metodologi-metodologi terinci yang diterima secara internasional yang pada saat ini sedang digunakan di Indonesia. Standar Lingkungan mengambil bentuk yang berbeda-beda. Mereka mencakup modifikasi terhadap lingkungan, atau pengaruh modifikasi demikian, atau kegiatan atau obyek yang mampu menyebabkan terjadinya modifikasi tersebut. Mereka dikelompokkan melalui acuan ke jalur yang diikuti oleh bahan-bahan hingga mereka bertemu atau memasuki suatu wujud yang peka terhadap kerusakan. Sebagai alternatif mereka dapat dikelompokkan sebagai yang menanggung secara lebih tidak langsung atas perubahan lingkungan tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Bagian A Seksi 4, ini termasuk standar emisi, mutu, eksposur, biologis dan produk; dan juga standar proses, daur hidup dan penggunaan. Isu lingkungan dan kebutuhan terhadap standar timbul di tingkat geografis yang berlainan berkisar mulai dari lokal hingga internasional. Sejumlah faktor sosial menentukan perilaku manusia terhadap isu lingkungan yang bervariasi dari negara ke negara, dan seringkali antar komunitas yang berlainan dalam negara, utamanya di Indonesia yang memiliki ragam dasar geografis dan budaya. Sejumlah masalah lingkungan dilokalisir, tetapi respon terhadap masalah lain melibatkan pengambilan langkah tindakan di atas area yang jauh lebih luas. Ada hubungan penting antara lingkup geografis standar lingkungan dan bagaimana standar tersebut dapat dilaksanakan secara paling efektif. Metodologi ini mensyaratkan agar standar lingkungan dan pencemaran ditetapkan terhadap area terkecil yang dianggap layak dan efektif untuk dilaksanakan. Selain itu, dalam hal standar ditentukan oleh pemerintah di atas tingkat daerah, mereka harus ditentukan dalam bentuk yang memungkinkan terjadinya sebanyak mungkin kebijaksanaan yang menyangkut metode pelaksanaan sepanjang hal tersebut layak dilakukan tanpa mengurangi keefektifannya. Perubahan mutu lingkungan bergantung pada banyak hal, misalnya sasaran lingkungan yang ditentukan secara politis, kemampuan lembaga bersangkutan, mutu peraturan dan pengaturan administratif yang ada, besarnya dan jenis investasi yang secara langsung atau tidak langsung dibuat dalam upaya mendukung tujuan lingkungan, tingkat kemajuan teknologi, keefektifan instrumen kebijakan yang digunakan, dan lain-lainnya. Kebanyakan dari ini, serta hubungannya di antara mereka, merupakan subyek pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan adalah bersifat multi-sektoral, dengan standar-standar lingkungan (langsung dan tidak langsung) yang ditentukan dan dilaksanakan di berbagai pemerintahan sektoral. Tentu saja ini berlaku di Indonesia, misalnya sumberdaya industri, pertambangan dan energi, kehutanan, air dan lingkungan Oleh karena itu, ESM dirancang untuk dapat menampung kisaran luas standar lingkungan dan pencemaran yang relevan dengan berbagai tatanan geografis, budaya, sektoral dan kelembagaan, dan Metodologi tersebut dapat dilaksanakan dalam masing-masing tatanan. Juga dapat, barangkali dengan sejumlah modifiaksi, diterapkan dan dilaksanakan pada standar bukan lingkungan, bergantung pada revisi atas materi latar belakang teknis agar dapat membuatnya menjadi relevan bagi pilihan kawasan subyek.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-3

2.0 KONTEKS KEBIJAKAN Seksi ini memberikan konteks kebijakan strategis untuk ESM dan pelaksanaannya. Hal ini didasarkan pada reviu terhadap sejumlah model internasional dan kebutuhan Indonesia yang ditunjukkan di Bagian A Volume 2, Buku Pedoman Acuan. 2.1 TUJUAN Tujuan Metodologi (ESM) ini adalah untuk memberikan:

• Metodologi penentuan standar lingkungan yang terbuka dan transparan yang melibatkan, langsung atau tak langsung, semua stakeholder (termasuk masyarakat umum) dengan kepentingan dalam standar lingkungan yang sedang dipertimbangkan.

• Proses dan prosedur administratif dan teknis bertahap guna membantu staf dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dan BAPEDAL, serta instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA untuk mempersiapkan, ikut serta dalam persiapan, atau membuat keputusan atas standar lingkungan yang cocok untuk diterapkan di tingkat nasional atau daerah di semua sektor.

• Informasi latar belakang administratif dan teknis mengenai penyiapan dan penentuan standar lingkungan, guna membantu staf dalam tubuh LH dan BAPEDAL, serta instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA untuk memahami metodologi, proses dan prosedurnya, dan bagaimana cara melaksanakannya.

Tujuan pertamanya adalah mengenai pengaturan yang baik. Ini merupakan pelaksanaan wewenang politis, ekonomis dan administratif dalam menangani isu-isu nasional dan regional, melalui partisipasi masyarakat luas, guna memastikan prioritas dan keputusan terkait didasarkan pada konsensus masyarakat luas dus bukannya pada keputusan sejumlah kecil orang di balik pintu tertutup. Dari ini semua, mengalir kebutuhan terhadap proses dan prosedur yang terbuka dan transparan termasuk partisipasi oleh para wakil semua kelompok kepentingan yang relevan. Ini konsisten dengan Pasal 5 hingga 7 dan 10 Undang-undang No. 23/1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan. Pasal-pasal ini mencakup hak publik untuk mengetahui kewajiban Pemerintah untuk memberikan informasi dan peluang keikut-sertaan masyarakat Proses dan prosedur ini harus termasuk pendistribusian data fisik dan elektronik, pelaporan lingkungan, kertas diskusi, forum masyarakat, partisipasi industri, kelembagaan, LSM dan masyarakat; diskusi meja bundar, jaringan, laporan media; diskusi, permohonan serta prosedur politis dan birokratis; juga konsultasi dan partisipasi masyarakat setempat. Stakeholder dalam konteks ini berarti seluruh organisasi dan individual yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh keuntungan atau terkena pengaruh merugikan oleh keputusan mengenai masalah atau standar yang sedang dalam pertimbangan. Ini untuk mengartikan secara luas istilah keuntungan (gain) dan pengaruh (affected). Tujuan kedua berkaitan dengan penentuan standar lingkungan dalam ESM ini, dan oleh karena itu mengacu pada LH/BAPEDAL dan instansi atau organisasi lainnya dengan wewenang untuk menentukan standar tersebut, termasuk mereka yang terlibat dalam peran konsultatif dan penasihat, pemerintah dan non-pemerintah, dan di tingkat nasional, propinsi dan daerah.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-4

Staf di LH/BAPEDAL dan sejumlah instansi lainnya termasuk BAPEDALDA yang ditunjuk, dipekerjakan atau disewa untuk mempersiapkan, ikut serta dalam penyiapan, atau membuat keputusan mengenai standar lingkungan minimum, harus memiliki pengalaman kerja selama tiga tahun dalam instansi atau organisasi yang berpartisipasi dalam proses atau prosedur ESM, bukannya orang-orang yang tidak berpengalaman. Bahwa, meskipun orang-orang yang tidak berpengalaman dapat dilibatkan dalam proses dan prosedur konsultasi dan partisipasi Metodologi, namun hal ini dirancang untuk dilaksanakan di bawah bimbingan pengelolaan orang yang memiliki cukup kemampuan membaca dan menulis dan memahami masalah administratif dan teknis untuk dapat membaca serta memahami ESM, dan melaksanakan prosedur setelah melakukan studi mengenai informasi latar belakang yang diberikan di dalamnya. Dalam konteks ini, wewenang pembuatan keputusan ada di tangan Menteri Lingkungan Hidup atau kuasanya, atau Menteri atau instansi atau organisasi lainnya yang memiliki wewenang hukum untuk membuat standar lingkungan di Indonesia. Tingkat nasional atau daerah meliputi multi-nasional, nasional, multi-propinsi, propinsi, multi-kabupaten/kotamadya, kabupaten/kotamadya, sub-kabupaten/kotamadya dan lokasi tertentu. Dalam tujuan ketiga, informasi latar belakang administratif dan teknis dirancang untuk memberikan penjelasan dan pemahaman isu yang cukup kepada staf yang terlibat untuk melaksanakan proses dan prosedur ESM. Dengan demikian, tanpa pengetahuan dan pemahaman latar belakang ini, staf akan merasa sulit, jika tidak boleh dikatakan mustahil, untuk melaksanakan proses dan prosedur tersebut secara efektif. Hal ini juga berkenaan dengan dipastikannya agar tersedia cukup informasi bagi staf supaya dapat memahami dan melaksanakan ESM dengan bantuan para ahli di bidang spesialis. Yaitu informasi teknis dan administratif latar belakang yang mencakup berbagai bidang spesialis, misalnya pengkajian ilmiah, kesehatan, teknologis, ekonomis dan risiko yang terkadang membutuhkan bantuan ahli. Ini dirancang untuk memungkinkan agar staf dapat mengidentifikasi persyaratan ahli dan mengatur masukan demikian bila perlu, tetapi tanpa perlu melakukan pengkajian spesialis. Informasi latar belakang administratif dan teknis ini diberikan dalam Prosedur Pengoperasian Standar (SOP) di Bagian C dan Aneks 1 Volume 1 ini, dan dalam Buku Pedoman Acuan Metodologi Standar Lingkungan (ESM) Volume 2.

2.2 PRINSIP ESM utamanya didasarkan pada filosofi pembangunan lestari secara ekologis (ESD) yang didefinisikan sebagai: Pembangunan yang menggunakan, melestarikan dan meningkatkan sumberdaya masyarakat sehingga proses ekologis di mana kehidupan bergantung harus dipertahankan, dan seluruh jumlah mutu kehidupan, sekarang dan di masa mendatang, dapat ditingkatkan. Secara lebih sederhana, ESD adalah pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia saat ini, sambil melestarikan ekosistem demi keuntungan generasi mendatang. Prinsip ESM diambil dari Visi dan Misi Pemerintah sebagaimana dijelaskan dalam Garis Besar Haluan Negara tahun 1999 dan meliputi:

• Kesejahteraan dan keamanan manusia

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-5

• Keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya. • Konsistensi dengan Konvensi internasional dan Undang-undang dasar, hukum dan

kebijakan Pemerintah Indonesia • Supremasi hukum dan hak-hak azasi manusia • Otonomi daerah • Keadilan antar-generasi • Pelestarian fungsi lingkungan • Perpaduan pertimbangan sosial, ekonomis dan ekologis, jangka pendek dan panjang • Relevansi dengan hukum yang berlaku • Transparansi, keterbukaan dan pengungkapan publik terhadap informasi dan proses

lingkungan • Keterlibatan dan pemberdayaan stakeholder dan publik dalam pelaksanaan • Kepatuhan dan pemberdayaan • Reviu dan perbaikan kinerja yang kontinyu. 2.3 KEBIJAKAN Kebijakan berikut ini ditarik dari prinsip, penerapan yang dirancang agar dapat mencapai pelaksanaan ESM yang efektif. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, serta Visi, Misi dan Strategi Menteri Lingkungan Hidup yang disajikan untuk Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Nopember 1999. Kebijakan tersebut memberikan pernyataan umum yang dirancang untuk membina atau menyalurkan proses pemikiran dalam melaksanakan Proses Penentuan Standar (SSP) dan SOP, bersama dengan pembuatan keputusan yang berkaitan dengan hal itu. Dengan demikian, mereka memberikan pedoman umum di mana tindakan dapat diambil dan keputusan dibuat guna menghindari analisis dan pertimbangan berulang terhadap serangkaian tindakan umum untuk hal serupa. Kebijakan harus diikuti oleh segenap staf yang melaksanakan ESM. Kebijakan P1 – Penerapan ESM ESM harus digunakan oleh staf Kementerian Lingkungan Hidup/BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA dalam segenap kasus yang melibatkan revisi atau penyiapan standar lingkungan baru. Standar lingkungan dalam ESM meliputi standar resmi dan tak resmi, protokol, panduan, sasaran atau kriteria, yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah atau non-pemerintah. Jenis Standar Lingkungan termasuk di antaranya biologis, eksposur, mutu, ambien, emisi, produk, proses, daur hidup dan sebagainya. Lembaga non-pemerintah yang merevisi atau membuat standar lingkungan baru harus didorong agar juga menggunakan ESM. Bilamana lembaga tersebut beroperasi berdasarkan persetujuan Pemerintah, maka persetujuan tersebut harus memasukkan syarat yang menuntut penggunaan ESM untuk tujuan semacam itu. Kebijakan P2 – Sosialisasi dan Pelatihan Untuk membantu organisasi pemerintah dan non-pemerintah, stakeholder, dan masyarakat dapat memahami, melaksanakan dan berpartisipasi sepenuhnya dalam pelaksanaan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup dan BAPEDAL harus mengembangkan dan melaksanakan program sosialisasi dan pelatihan ESM nasional dan regional yang komprehensif.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-6

Program sosialisasi dan pelatihan harus melibatkan:

• Persiapan dan penyebaran bahan rangkuman mengenai ESM yang bersifat promosional dan deskriptif dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya, pemerintah daerah, universitas, asosiasi industri, LSM, media dan masyarakat umum.

• Publikasi dan distribusi ESM dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi-instansi lainnya, pemerintah daerah, universitas, asosiasi industri dan LSM.

• Pelaksanaan program melatih-pelatih dan program pelatihan lainnya bagi staf pemerintah dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan daerah.

• Pelaksanaan dan pensponsoran program pelatihan bagi BAPEDALDA daerah dan staf lainnya dalam daerah tersebut, harus melibatkan penggunaan kapasitas pelatihan daerah.

• Pelaksanaan lokakarya pelatihan publik bagi stakeholder, lembaga, LSM dan publik di area regional harus menjelaskan dan mempromosikan ESM.

Kebijakan P3 – Kesejahteraan dan Keamanan Manusia Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memberikan prioritas perhatian agar dapat mencapai kesejahteraan dan keamanan manusia di dalam komunitas yang tampaknya akan terkena pengaruh keputusan terkait mengenai Standar Lingkungan. Tujuan standar lingkungan adalah untuk melindungi kesejahteraan manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, kebijakan ini harus diberi prioritas dalam pelaksanaan ESM. Kesejahteraan dan keamanan dalam konteks ini termasuk di antaranya kondisi kehidupan dan kerja individual, keluarga dan masyarakat; kesehatan, pendidikan, budaya, agama dan kebutuhan sosial lainnya; ketersediaan peluang ekonomis dan lapangan pekerjaan; dan keamanan dengan mengetahui kesinambungan selayaknya berkaitan dengan hal tersebut. Kebijakan P4 – Keselarasan dan Keseimbangan Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memberikan prioritas perhatian agar dapat mencapai transparansi, keterbukaan, keselarasan dan keseimbangan di dalam dan di antara berbagai stakeholder dan setiap orang yang terlibat dalam proses ESM, atau mungkin akan terkena pengaruh hasilnya. Kebijakan ini akan dibantu dengan menuntut ESM menerapkan proses terbuka dan konsultatif secara menyeluruh, termasuk membagi informasi dan pengetahuan, dan mengajak berbagai pihak yang memiliki pandangan berbeda untuk melakukan diskusi dan membangun konsensus bersama-sama. Terkadang kepentingan pribadi harus dikesampingkan demi kepentingan nasional. Hal ini akan membantu tercapainya keselarasan dan keseimbangan dalam penentuan standar lingkungan jika mereka yang diuntungkan atau dirugikan sejumlah keputusan memahami sepenuhnya dasar yang dijadikan tumpuannya.

Kebijakan P5 – Undang-undang dan Program Standar lingkungan harus konsisten dengan Undang-undang Dasar, konvensi internasional, perjanjian bilateral, undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah nasional dan lokal.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-7

Ini harus diidentifikasi dan dipublikasikan sebagai bagian dari proses penentuan standar, sehingga stakeholder dan publik mengetahui dan memahami peluang hukum terkait, dan hambatannya terhadap penentuan standar. Untuk memudahkan ini, karena dokumen hukum seringkali sulit dipahami masyarakat, penjelasan dengan bahasa sederhana mengenai poin kunci harus diberikan untuk bahan pertimbangan masyarakat. Musyawarah pendahuluan dengan Otorita Hukum Pemerintah yang relevan harus dilakukan guna memastikan agar usulan Standar Lingkungan sesuai dengan persyaratan hukum sebelum dilakukan penyerahan kepada pembuat keputusan. Kebijakan P6 – Keadilan Antar-generasi Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memastikan agar kesehatan, keanekaragaman dan produktivitas lingkungan dipertahankan atau ditingkatkan demi kepentingan generasi mendatang. Dalam hal ini, pertimbangan dan keputusan harus memadukan secara efektif faktor fisik, ekonomi, ekologis, sosial and keadilan jangka pendek dan panjang. Dengan demikian, haruslah dicapai keseimbangan antara kepentingan jangka pendek dan panjang yang saling bersaing yang tidak merugikan yang tersebut belakangan. Di mana ada ancaman kerusakan lingkungan yang serius atau tidak dapat diperbaiki, kurang lengkapnya kepastian ilmiah seharusnya tidak digunakan sebagai alasan untuk menunda langkah tindakan guna mencegah merosotnya lingkungan. Kebijakan P7 – Relevansi Standar lingkungan harus relevan dengan kemampuan politik, fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan ekologi area geografis atau fungsional di mana mereka diterapkan. Tidak ada gunanya menentukan standar yang tidak dapat dipatuhi karena keterbatasan atau ketidak-mampuan ekonomis atau teknologis. Dalam hal demikian, gol jangka panjang dapat dinyatakan dengan ketetapan standar yang konsisten dengan persyaratan yang ada, namun termasuk komitmen yang jelas untuk bekerja menuju dan mencapai gol dalam kerangka waktu tertentu. Standar harus ditentukan oleh Otorita Pemerintah yang relevan setelah mempertimbangkan keadaan dan ketentuan Undang-undang No. 22 tahun 1999, mengenai Pemerintah Daerah (Otonomi). Kebijakan P8 – Cakupan Geografis Standar lingkungan ditetapkan terhadap area terkecil yang dianggap layak dan efektif untuk dilaksanakan. Tidak ada peraturan otomatis untuk menentukan tingkat geografis atau politis di mana standar lingkungan harus ditetapkan. Dalam hal kepraktisan, mungkin lebih mudah untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan dan memperhitungkan nilai-nilai masyarakat di tingkat yang lebih lokal; tetapi, beberapa standar akan tetap ditentukan di tingkat multinasional atau nasional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-8

Bagaimanapun juga, di mana standar ditentukan secara multi nasional atau nasional, mereka harus ditentukan dalam bentuk yang memungkinkan terjadinya sebanyak mungkin kebijaksanaan yang menyangkut metode pelaksanaan, sepanjang hal tersebut layak dilakukan tanpa mengurangi keefektifannya. Dengan demikian standar semacam itu seringkali harus disampaikan melalui langkah tindakan resmi dan tidak resmi yang lebih rinci di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya. Kebijaksanaan yang asli memberikan keluwesan untuk menampung variasi dalam keadaan keuangan dan kebutuhan dalam berbagai area yang tercakup oleh standar multi-nasional atau nasional. Kebijakan P9 – Transparansi dan Keterbukaan Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus selalu menjamin adanya transparansi dan keterbukaan di semua kegiatan pelaksanaan, kecuali untuk masalah “rahasia perusahaan” yang harus ditentukan dan dicatat apa adanya oleh pembuat keputusan yang relevan. Undang-undang No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan menuntut adanya ESM dirancang berdasarkan prinsip, transparansi dan keterbukaan di semua kegiatan. Ini untuk memperbaiki mutu dan memudahkan penerimaan publik dan pengakuan terhadap hasilnya. Ini membutuhkan tersedianya informasi yang mudah dipahami publik yang menyangkut latar belakang, proposal dan alasan bagi dilaksanakannya ESM di setiap tahap yang relevan. -Selain itu dibutuhkan pula tersedianya peluang untuk mendapatkan masukan publik melalui penyerahan lisan dan tertulis, pertemuan dan penyelidikan, dan untuk mendapatkan umpan balik atas tindakan yang diambil dalam merespon masukan tersebut. Akan ada saatnya di mana masalah rahasia perusahaan tertentu harus dimasukkan dalam pertimbangan dan tidak disebar-luaskan untuk umum. Misalnya, suatu proses manufaktur atau teknologi rahasia di mana pemilik ingin melindunginya dari pesaing dagang, tetapi diperlukan pemahaman bagi orang yang melaksanakan ESM. Dalam hal demikian, pemilik secara resmi harus mengajukan permohonan agar kerahasiaannya dievaluasi dan ditentukan oleh pembuat keputusan yang relevan menurut ESM, misalnya Menteri Lingkungan Hidup atau Gubernur Propinsi yang bersangkutan. Persetujuan hanya boleh diterbitkan bila ada kasus yang jelas bahwa pengetahuan publik mengenai masalah tersebut akan memberikan pengaruh merugikan langsung kepada pemilik. Bila persetujuan tersebut diberikan maka harus dicatat secara terbuka disertai alasannya.

Kebijakan P10 – Pemberdayaan Stakeholder dan Masyarakat Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi-instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus mengambil langkah positif, di segenap proses pelaksanaannya, untuk memastikan agar stakeholder dan masyarakat umum diberi informasi yang mudah dipahami, menyadari sepenuhnya proses ESM yang sedang dilaksanakan, dan diberi kesempatan cukup untuk masukan yang berguna bagi proses tersebut. Stakeholder dalam konteks ini berarti seluruh organisasi dan individual yang secara langsung atau tidak langsung memperoleh keuntungan atau terkena pengaruh merugikan oleh keputusan mengenai masalah atau standar yang sedang dalam pertimbangan. Ini untuk mengartikan secara luas istilah keuntungan (gain) dan pengaruh (affected). Lihat juga Seksi 2.2 di bawah untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai istilah tersebut. Masyarakat umum termasuk stakeholder tetapi diperluas dengan memasukkan semua pihak, pemerintah dan non pemerintah dalam masyarakat, yang berminat atau tertarik dengan hal

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-9

atau standar yang sedang dalam pertimbangan. Misalnya, minat seseorang mungkin karena anaknya tinggal di kawasan di mana baku mutu udaranya diusulkan, atau mungkin mereka tertarik dengan baku mutu udara untuk alasan akademis atau riset. Sebagai alternatif, suatu kelompok masyarakat bisa menggalakkan diperkenalkannya bensin tanpa timah hitam untuk mengurangi pencemaran dan berminat kepada riset terkait dalam usulan baku mutu udara. Pengetahuan adalah kekuataan, dan tujuan kebijakan ini adalah untuk memastikan masukan efektif oleh stakeholder dan masyarakat, termasuk penyediaan informasi yang mudah dipahami. Dari ini mereka dapat meningkatkan pengetahuannya mengenai isu yang terlibat dan juga berpartisipasi serta membantu tercapainya konsensus atas keluaran ESM. Kebijakan P11 – Melestarikan Fungsi Lingkungan Dalam melaksanakan ESM, prioritas harus diberikan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan. Dalam konteks ini, fungsi lingkungan berarti proses biogeokimia alami yang terjadi di dalam udara, tanah, air, tumbuh-tumbuhan dan hewan yang menciptakan lingkungan, dan memastikan kelangsungan hidupnya dengan cara holistik. Kebijakan dihubungkan dengan memastikan bahwa kemampuan asimilatif lingkungan tidak terlampaui dan bahwa pembangunan lestari secara ekologis tercapai. Kebijakan 12 – Kepatuhan dan Pemberdayaan Menentukan prosedur kepatuhan dan pemberdayaan untuk memastikan pelaksanaan Standar Lingkungan yang efektif. Tidak ada artinya memiliki Standar Lingkungan jika tidak dilaksanakan. Meskipun ada banyak langkah tindakan resmi dan sukarela yang tersedia untuk memastikan pelaksanaan, hanya sedikit yang dapat tercapai jika tidak didasarkan pada sistem kepatuhan dan pemberdayaan hukum yang efektif. Kebijakan P13 – Reviu dan Kinerja Pelaksanaan ESM harus dipantau oleh BAPEDAL di mana prosedur dan masukannya direviu, dan kinerjanya selalu ditingkatkan seiring berjalannya waktu. Banyak yang harus dipelajari dalam melaksanakan ESM, dan pemantauan serta reviu kinerja oleh BAPEDAL akan memberi peluang untuk melakukan perbaikan prosedur dan keefektifan hasilnya.

3.0 KONTEKS OPERASIONAL 3.1 LEMBAGA Biasanya lembaga yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ESM adalah lembaga pemerintah tingkat nasional dan lokal, namun demikian bisa juga lembaga non-pemerintah, misalnya, asosiasi industri yang menentukan standar produk untuk memenuhi persyaratan konsumen. Di tingkat pemerintah, Menteri Lingkungan Hidup, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL, Gubernur, Bupati/Walikota dan BAPEDALDA (propinsi dan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-10

kabupaten/kotamadya), adalah yang paling sering menggunakan ESM. Namun ESM adalah relevan bagi Menteri sektoral dan lembaganya karena mereka juga sering menentukan standar lingkungan di daerah kekuasaannya masing-masing. Akhirnya, mengingat sifat dan desain ESM, seharusnya bisa relevan untuk menentukan standar non-lingkungan dengan beberapa modifikasi pada materi referensi latar belakang agar dapat relevan dengan area fungsional tertentu. Pelaksanaan ESM biasanya harus dilakukan oleh lembaga yang bertanggungjawab terhadap isu yang terlibat. Dalam Metodologi ini, lembaga demikian didefinisikan sebagai Proponen. 3.2 DEPARTEMEN Dari Keputusan Presiden No. 136 dan 147 tahun 1999, Proponen bisa berasal dari Departemen Pemerintah manapun yang tertera di bawah, bersama dengan tugas pokoknya. Bagaimanapun juga, banyak dari departemen ini yang terlibat sebagai stakeholder dalam proses konsultasi Proponen. 3.2.1 Departemen Dalam Negeri (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan di bidang pemerintahan umum, kesatuan bangsa, dan perlindungan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pelaksanaan sebagian tugas pemberdayaan masyarakat di bidang pembangunan daerah

dan desa; (c) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(d) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (e) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (f) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.2 Departemen Luar Negeri (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang politik luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengolahan data, dan penyajian informasi; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-11

3.2.3 Departemen Pertahanan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang pertahanan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelititan dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengolahan data, dan penyajian informasi; (e) pelaksanaan pengawasan funsional. 3.2.4 Departemen Hukum dan Perundang-undangan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang hukum dan perundang-undangan dan pelayanan serta penegakkan hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelititan dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengolahan data, dan penyajian informasi; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.5 Departemen Keuangan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang keuangan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengolahan data, dan penyajian informasi; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.6 Departemen Pertambangan dan Energi (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang pertambangan dan energi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-12

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.7 Departemen Perindustrian dan Perdagangan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang perindustrian dan perdagangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.8 Departemen Pertanian (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang pertanian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.9 Departemen Kehutanan dan Perkebunan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang kehutanan dan perkebunan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-13

(d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.10 Departemen Perhubungan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang perhubungan yang mencakup transportasi terpadu meliputi darat, laut, udara, pos dan telekomunikasi, serta penyiaran, search and rescue (SAR), dan meteorologi dan geofisika berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga, pengolahan data dan penyajian informasi;

(c) pelaksanaan SAR dan meteorologi dan geofisika; (d) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.11 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang eksplorasi laut dan di bidang perikanan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pelaksanaan dan pengawasan tugas eksplorasi ekosistem laut dan perikanan untuk

menjamin pemanfaatan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan serta berwawasan lingkungan;

(c) pelaksanaan sebagian tugas penatagunaan laut, pengembangan, pendayagunaan, dan

penyerasian pemanfaatan sumber daya hayati laut serta perizinan eksplorasi laut dalam skala nasional;

(d) pemberian bimbingan, pembinaan, dan perizinan dibidang perikanan; (e) pelaksanaan pengembangan dan penyerasian institusi masyarakat da dunia usaha di

bidang eksplorasi laut dan di bidang perikanan; (f) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(g) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (h) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (i) pelaksanaan pengawasan fungsional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-14

3.2.12 Departemen Tenaga Kerja (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pelaksanaan sebagian tugas pembinaan, penempatan, dan pengembangan produktivitas

tenaga kerja; (c) pelaksanaan tugas pembinaan hubungan industrial, perlindungan, dan pengawasan

ketenagakerjaan; (d) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(e) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (f) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (g) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.13 Departemen Kesehatan (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang kesehatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.14 Departemen Pendidikan Nasional (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang pendidikan nasional termasuk kebudayaan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-15

3.2.15 Departemen Agama (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang agama berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengolahan data, dan penyajian informasi; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.2.16 Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (a) penetapan kebijakan pelaksanaan, kebijakan teknis dan pengendalian pelaksanaannya,

pengelolaan kekayaan negara, serta perumusan dan penyiapan kebijakan umum di bidang permukiman dan pengembangan wilayah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(b) pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas dan administrasi Departemen dalam arti

perencanaan dan pendayagunaan sumber daya, pengorganisasian, serta hubungan antar lembaga;

(c) penelitian dan pengembangan proses dalam pelaksanaan tugas serta standardisasi; (d) pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tertentu; (e) pelaksanaan pengawasan fungsional. 3.3 KEMENTERIAN Dari Keputusan Presiden No. 194 tahun 1999, dukungan juga datang dari Menteri Negara seperti di bawah ini dengan fungsi-fungsi pokoknya. 3.3.1 Menteri Negara Riset dan Teknologi (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang ilmu pengetahuan, riset dan teknologi,

penerapan hasil riset dan teknologi berikut keterkaitan dan pemanfaatannya dalam pelaksanaan pembangunan serta perwujudan kemandirian, ketangguhan, dan keunggulan bangsa melalui pengembangan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi; peningkatan kemampuan penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan teknik produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan, dan ilmu pengetahuan dasar;

(b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program di

bidang ilmu pengetahuan, riset, dan teknologi yang diselenggarakan oleh departemen, lembaga pemerintah non departemen, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian milik masyarakat termasuk usaha industri, sehingga secara optimal mendukung keberhasilan pembangunan di berbagai bidang baik dari segi hasil, biaya, maupun pemanfaatan sumber daya;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-16

(c) pengkoordinasian kegiatan operational di bidang riset dan teknologi lembaga-lembaga pemerintah non departemen tertentu: (1) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; (2) Badan Tenaga Nuklir Nasional; (3) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi’ (4) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; (5) Badan koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional; (6) Badan Standardisasi Nasional; (7) Badan Pengawasan Tenaga Nuklir.

(d) Peningkatan minat dan peran serta masyarakat di bidang ilmu pengetahuan, riset, dan

teknologi; (e) Penyelenggaraan tugas lain yang diberikan oleh Presiden di bidang riset dan teknologi; (f) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.2 Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pembinaan koperasi dan pengusaha kecil

dan menengah; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program di

bidang pembinaan koperasi, pengusaha kecil dan menengah yang dilakukan oleh instansi pemerintah, swasta, dan lembaga masyarakat;

(c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang koperasi, pengusaha kecil dan menengah; (d) pengkoordinasian kegiatan operasional lembaga pengembangan sumber daya ekonomi

rakyat; (e) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.3 Menteri Negara Lingkungan Hidup (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pengelolaan lingkungan hidup; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha di bidang pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan wawasan lingkungan hidup;

(c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang pengelolaan lingkungan hidup; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.4 Menteri Negara Otonomi Daerah (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang otonomi daerah dan supervisi atas

pelaksanaanya;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-17

(b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program pengembangan administrasi pemerintahan daerah;

(c) pengakselerasian penyerahan kewenangan oleh departemen dan lembaga pemerintah

non departemen kepada Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam rangka optimalisasi otonomi daerah;

(d) evaluasi terhadap implementasi proses desentralisasi dan otonomi daerah; (e) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.5 Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pariwisata dan kesenian; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

pembangunan pariwisata dan kesenian dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha;

(c) peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha pariwisata dan kesenian dalam

memajukan pariwisata dan kesenian; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.6 Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang penanaman modal serta pembinaan,

pengendalian, peningkatan efisiensi, privatisasi, dan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara;

(b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

penanaman modal dan pembinaan Badan Usaha Milik Negara; (c) peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha di dalam dan di luar negeri di

bidang penanaman modal dan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara; (d) pengkoordinasian kegiatan operasional Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Badan

Pembinaan Badan Usaha Milik Negara; (e) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.7 Menteri Negara Pemuda Olahraga (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pembinaan pemuda dan olahraga; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

kepemudaan dalam pembangunan dan pencapaian prestasi yang tinggi di bidang keolahragaan;

(c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang pemuda dan olahraga dalam

pembangunan;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-18

(d) pengkoordinasian kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia dan organisasi kepemudaan lainnya;

(e) pengkoordinasian kegiatan Komite Olahraga Nasional Indonesia dan lembaga-lembaga

keolahragaan lainnya; (f) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.8 Menteri Negara Pekerjaan Umum (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pekerjaan umum, termasuk pengembangan

konstruksi; (b) pengkoordinasian dan peingkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha di bidang pekerjaan umum;

(c) peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha di bidang pekerjaan umum; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.9 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pemberdayaan perempuan, termasuk

keluarga berencana; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana, monitoring, dan

evaluasi terhadap program pemberdayaan perempuan; (c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang pemberdayaan perempuan untuk

mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender; (d) pengkoordinasian kegiatan instansi pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya

masyarakat dalam rangka pemberdayaan perempuan; (e) pengkoordinasian kegiatan operasional Badan Koordinasi Keluarga Berencan Nasional; (f) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.10 Menteri Negara Urusan Hak Azasi Manusia (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang has azasi manusia; (b) pengkoordinasian dan peningkatan ketepaduan penyusunan rencana dan program, serta

kerja sama nasional dan internasional di bidang has azasi manusia; (c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang penegakkan dan pencegahan pelanggaran

has azasi manusia; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-19

3.3.11 Menteri Negara Transmigrasi dan Kependudukan (a) perumusan kebijakan pemerintah untuk program transmigrasi dan kependudukan; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha untuk program transmigrasi dan kependudukan;

(c) peningkatan peran serta masyarakat di bidang pengelolaan transmigrasi dan

kependudukan; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.12 Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang pendayagunaan aparatur negara, termasuk

peningkatan kapasitas kelembagaan dan modernisasi sistem serta sumber daya aparatur pusat dan daerah dalam rangka perwujudan pemerintahan yang baik;

(b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah di bidang pendayagunaan aparatur negara;

(c) peningkatan kapasitas kelembagaan, sistem, sumber daya manusia, dan penyelesaian

masalah-masalah aparatur berserta tindak lanjutnya; (d) pengkoordinasian kegiatan operasional Lembaga Administrasi Negara, Badan

Kepegawaian Negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Arsip Nasional Republik Indonesia;

(e) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.3.13 Menteri Negara Masalah-masalah Kemasyarakatan (a) perumusan kebijakan pemerintah di bidang masalah-masalah kemasyarakatan; (b) pengkoordinasian dan peningkatan keterpaduan penyusunan rencana dan program

departemen, lembaga pemerintah non departemen, pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha di bidang urusan kemasyarakatan;

(c) peningkatan peran serta masyarakat dan dunia usaha di bidang masalah-masalah

kemasyarakatan; (d) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan

fungsinya kepada Presiden. 3.4 STAKEHOLDER Tentu saja, mengingat tekanan pemerintah pada otonomi daerah, sebagaimana dikonfirmasikan Undang-undang No. 22 dan 25 mengenai tanggungjawab dan keuangan pemerintah daerah, semakin banyak pembuatan keputusan mengenai administrasi pemerintah terjadi secara bertahap di tingkat lokal. Ini termasuk pengelolaan lingkungan dan penentuan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-20

standar. Oleh karena itu Proponen menjadi lebih lazim melalui BAPEDALDA, tetapi juga organisasi dan lembaga sektoral pemerintah daerah terkait. Terlepas dari organisasi mana yang ditentukan sebagai Proponen, akan selalu ada kebutuhan untuk konsultasi terbuka antara sektor dan pemerintah serta LSM lain, sebagaimana halnya konsultasi vertikal antara tingkat berbeda dalam tubuh Pemerintah dan dengan stakeholder dan masyarakat umum. Selain itu Proponen tersebut harus memastikan tersedianya sumberdaya yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Biasanya ini melibatkan penunjukan Tim Teknis untuk melaksanakan pekerjaan pelaksanaan ESM, bermusyawarah dengan pembuat keputusan yang ditunjuk (misalnya, Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota), bersama dengan spesialis eksternal yang dibutuhkan dan pendanaan proses konsultasi stakeholder/publik, yang bisa termasuk panitia penasihat, pembagian kertas diskusi dan penyelidikan pendapat masyarakat. Stakeholder didefinisikan dalam ESM ini sebagai Pemerintah dan para anggotanya, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan badan-badan pemerintah nasional dan lokal lainnya, lembaga dan asosiasi masyarakat dan swasta, industri dan perdagangan, LSM dan kelompok masyarakat dan individual lainnya, yang akan memperoleh keuntungan atau terkena pengaruh oleh keputusan mengenai masalah atau standar yang sedang dalam pertimbangan Stakeholder yang termasuk dalam definisi biasanya dibatasi pada badan atau individual di wilayah Republik Indonesia. Perkecualian terjadi jika masalah atau standar yang sedang dalam pertimbangan memiliki implikasi di luar Negara Indonesia. Dalam kasus ini harus dipertimbangkan untuk memasukkan stakeholder eksternal tersebut, secara hukum atau administratif, dalam proses dan prosedur pelaksanaan ESM. Contohnya termasuk standar yang berkaitan dengan: • Implementasi Konvensi Internasional di Indonesia, misalnya, Konvensi Basel mengenai

Gerakan Lintas-batas Limbah Berbahaya dan Konvensi mengenai Biodiversitas (the Basel Convention on Transboundary Movement of Hazardous Wastes and the Convention on Biodiversity).

• Perjanjian multi-nasional mengenai pencemaran udara dari kebakaran hutan Indonesia. • Perjanjian bi-lateral mengenai kawasan pembangunan, misalnya Indonesia Timur dan

Australia Utara. Istilah keuntungan dan pengaruh berarti interpretasi kata terluas. Bahwa, keuntungan atau pengaruh dapat berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan kesehatan fisik dan mental, kesejahteraan sosial dan budaya, atau kekayaan ekonomi dan keuangan badan atau individual tertentu. Contohnya termasuk: • Politis – kedudukan, reputasi atau dukungan internasional, nasional atau elektoral dari

pemerintahan atau kementerian. • Badan pemerintah – integritas hukum, status dan kekuatan masyarakat, gaji dan kondisi

staf, pemasukan dan biaya anggaran, dan peluang pembangunan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-21

• Perusahaan swasta – integritas hukum, pembagian pasar, biaya modal dan pengoperasian, nilai saham, kepentingan pribadi direktur, keuntungan, serta gaji dan kondisi staf.

• Individual – lingkungan hidup dan pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan termasuk

keluarga dan teman, kepentingan keuangan pribadi, peluang pekerjaan, serta kegiatan sosial dan rekreasional.

4.0 ANALISIS TERHADAP ISU

Isu lingkungan mencapai agenda politis melalui rute internasional atau lokal yang berbeda-beda. Mereka biasanya memiliki komponen teknis yang besar: penilaian ahli akan terus diperlukan namun kepastian, ketepatan dan keobyektifannya tidak perlu terlalu diunggulkan ataupun diremehkan. Cara isu, dirumuskan dan pilihan yang tersedia untuk ditangani dengan mereka, biasanya juga mengundang pertanyaan mengenai nilai sosial dan ekonomis yang harus dibahas dari awal. • Setelah isu teridentifikasi, harus ada prosedur yang jelas untuk menanganinya. Ini

berlaku sama pada proses penentuan kebijakan atau standar lingkungan. Tahap analitis proses memiliki beberapa komponen yang saling melengkapi dan saling berkaitan erat:

• Ilmiah termasuk pengkajian kesehatan • analisis opsi teknologi • pengkajian risiko dan ketidakpastian • apraisal ekonomis • analisis isu pelaksanaan, termasuk lingkup standar geografis dan sektoral. Pendekatan ini berlaku pada kebijakan atau standar lingkungan tetapi sifat masalah lingkungan akan menentukan sumberdaya yang harus diserahkan kepada setiap jenis analisis dalam praktek. Proses tersebut dirangkum dalam Gambar B4.1, dan yang lebih rinci diberikan dalam Informasi Referensi Seksi 8 hingga 12 Bagian B, Volume 2 ESM ini. Ada prosedur yang tersusun dengan baik untuk mengkaji bukti ilmiah dan kesehatan dan menentukan, misalnya, hubungan dosis-efek guna menginformasikan proses pembuatan keputusan. Sasarannya haruslah untuk menunjukkan secara jelas di mana perbatasan pengetahuannya terletak. Untuk menghindari akurasi palsu yang seringkali terjadi bila hanya ada satu pernyataan atau kesimpulan tunggal yang disodorkan, maka pengkajian harus menghadirkan serangkaian hubungan yang berkenaan dengan isu tertentu, masing-masing dibangun menurut kondisi yang berbeda; mengindikasikan kepekaan untuk berubah (misalnya melalui peningkatan pengetahuan atau perubahan prioritas); dan harus mengakui ketidakpastian secara lebih jelas. Pengkajian teknologis akan membuka peluang untuk menghindarkan kerusakan lingkungan dan mengendalikan pencemaran, serta bentuk-bentuk pencemaran baru yang merupakan akibat dari perubahan teknologi. Pengkajian daur hidup biasanya memberikan dasar paling memuaskan bagi pengkajian efek lingkungan produk dan proses industri, dan standar lingkungan seharusnya tidak ditetapkan dengan cara yang menghambat perkembangan pendekatan ini, atau menghalangi terserapnya perbaikan teknologi.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-22

MENGENALI MASALAH

MENDEFINISIKAN MASALAH DAN MENYUSUN PERTANYAAN

MERUMUSKAN SASARAN KEBIJAKSANAAN

pengkajian ilmiah

pilihan teknologi pengkajian risiko

penilaian ekonomis analisis pelaksanaan

RENUNGAN DAN PENALARAN

MEMUTUSKAN APAKAH PERLU MENENTUKAN STANDAR DAN MENDEFINISIKAN JENIS DAN ISINYA

MENSOSIALISASIKAN DAN MELAKSANAKAN STANDAR

MEMANTAU DAN MENGEVALUASI KEEFEKTIFAN

GAMBAR B4.1: PROSES PENENTUAN STANDAR LINGKUNGAN Prosedur Pengkajian risiko dapat membantu menjelaskan pilihan antara kebijakan atau standar alternatif dan merasionalisasikan pilihan bahan untuk pengendalian prioritas. Pengkajian harus mengidentifikasi dan menggambarkan jenis dan sumber risiko yang berbeda-beda dalam situasi yang sedang dipertimbangkan, bersama dengan ketidakpastian dan implikasinya. Faktor manusia mempengaruhi kuat cara orang memikirkan risiko dan toleransinya terhadap mereka, dan mereka harus diperhitungkan dalam seluruh penarikan proses pengkajian mengenai bukti dari konferensi konsensus dan teknik sejenis yang telah digunakan sebelumnya dalam proses tersebut. Komunikasi mengenai risiko harus dimulai dari awal dan menginformasikan pembingkaian pengkajian. Penilaian ekonomis menilai biaya dan manfaat dari serangkaian tindakan yang berbeda-beda sejauh memungkinkan. Diperlukan perhatian yang besar untuk memastikan agar efek di mana harga yang tidak dapat ditentukan diperhitungkan secara tepat dalam membuat keputusan. Pengkajian biaya dan manfaat langkah-langkah lingkungan dapat menjadi problematik bila pilihan yang tersedia mengundang pertanyaan mengenai nilai. Pelaksanaan kebijakan atau standar mempengaruhi pola perilaku atau serangkaian tindakan tertentu oleh individu, bisnis dan industri. Ini harus diidentifikasi sebelumnya guna memastikan agar insentif buruk tidak tercipta secara tanpa sengaja dan agar pilihan strateginya menjadi yang paling efektif dalam mempengaruhi perilaku. Status hukum standar harus menjadi yang terbaik dalam melengkapi berbagai strategi tersebut.

NIL

AI

MA

SYA

RA

KA

T

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-23

Pertanyaan tentang nilai perlu diajukan bila standar ditetapkan, dan apraisal ilmiah, teknologis dan ekonomis harus ditambahkan sedemikian rupa sehingga memungkinkan pertanyaan ini dipertimbangkan sebagaimana mestinya, agar supaya konsekuensi dari penentuan standar dapat dijelaskan dengan baik. Ada lingkup untuk lebih bersifat coba-coba dan berkesperimen dalam metode-metode dengan mana nilai publik bisa diartikulasikan. Penyajian kepada pembuat keputusan mengenai hasil analisis ini harus menyatakan secara jelas asumsi dan keterbatasan masing-masing analisis. Biasanya perlu untuk menawarkan beberapa opsi dan implikasinya, selama hal tersebut dapat diukur. Tema fundamental Metodologi ini merupakan kebutuhan terhadap transparansi dan keterbukaan dalam segenap aspek pengelolaan lingkungan, dan terutama di semua tahap proses yang mengantar pada penerapan kebijakan lingkungan atau penentuan Standar Lingkungan. Fungsi dan komposisi seluruh badan yang terlibat dalam penentuan kebijakan atau standar harus diketahui masyarakat dan semua data, model dan asumsi yang mereka pergunakan harus tersedia untuk umum. Harus ada peluang bagi masyarakat untuk menggunakan pengaruh mereka terhadap apa yang terjadi di setiap tahap, dimulai dengan pengenalan awal suatu masalah. Dalam praktek, ini lebih mudah dikatakan ketimbang dilakukan karena rumitnya isu yang ditimbulkan oleh perlindungan lingkungan, masalah konsekuen dalam menyajikan informasi dalam bentuk yang dapat diterima dan berarti, dan hubungan yang rumit antara semua badan yang terlibat. Kesulitan ini ikut menyebabkan kurangnya kepercayaan masyarakat dalam peraturan lingkungan yang diperburuk dengan sejumlah faktor lain Tekanan internasional dalam kebijakan lingkungan selama tahun 1970-an dan 1980-an ada pada isu ilmiah, di mana keahlian terletak di sebuah kelompok kecil masyarakat utamanya dalam badan pengendalian nasional atau regional atau dalam badan pemerintah lainnya. Pengendalian pencemaran terutama dilaksanakan dengan peraturan langsung melalui pengendalian pada emisi yang ditetapkan oleh undang-undang. Biasanya hanya dua pihak yang terlibat: badan pengendalian, dan perusahaan pembuat emisi. Keahlian mengenai teknologi proses yang meningkatkan emisi dibatasi hanya untuk regulator dan, utamanya, spesialis perusahaan dalam sebuah industri besar dan secara teknis lebih bersaing. Perubahan yang telah terjadi dalam pemahaman dan persepsi masalah lingkungan disertai dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap, dan keprihatinan mengenai, isu lingkungan. Meningkatnya hak hukum pada informasi lingkungan, upaya yang besar yang dilakukan oleh ilmuwan untuk menggalakkan kepentingan dan pemahaman terhadap pekerjaan mereka, dan ulasan yang ekstensif mengenai lingkungan dan isu-isu ilmiah dalam media suratkabar, telah menempatkan jauh lebih banyak informasi mengenai isu pencemaran dalam pikiran masyarakat. Kalangan masyarakat lebih luas kini diketahui memiliki kepentingan dalam pengambilan keputusan yang berkenaan dengan peraturan undang-undang. Keahlian mengenai masalah lingkungan menyebar lebih luas di luar badan pengendalian pencemaran dan perusahaan yang menyebabkan pencemaran. Secara khusus hal ini benar terutama menyangkut universitas dan kelompok lingkungan. Ia tidak dapat diterima lagi untuk melakukan pengambilan keputusan yang akan dinegosiasikan secara pribadi antara regulator dan pihak yang menimbulkan pencemaran.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-24

Sistem yang berdasarkan peraturan undang-undang di negara maju telah dimodifikasi untuk merespon tren dalam tekanan masyarakat, tetapi belum dikembangkan hingga ke tingkat keadaan yang diperlukan. Meningkatnya kesadaran terhadap kerumitan dari banyak masalah lingkungan membuat kepercayaan umum terhadap peraturan lingkungan kritis; tetapi ada tanda-tanda bahwa kepercayaan tersebut sedang terkikis. Ada ketegangan di sini. Kepercayaan dibutuhkan terutama bilamana ada ketidak-pedulian, tetapi kebodohan selalu memberikan dasar bagi keraguan atau setidak-tidaknya peringatan. Dan kepercayaan dapat makan waktu lama untuk dibangun, tetapi dapat dihancurkan dengan cepat. Penggunaan standar numerik dan prosedur formal yang lebih besar dapat diperkirakan meningkatkan kepercayaan masyarakat pada peraturan lingkungan dengan cara memberikan jaminan yang lebih baik bahwa peraturan tersebut ditentukan berdasarkan pada prosedur yang tepat dan ketat, dan beroperasi secara obyektif, tidak memihak dan konsisten. Dalam kenyataan, gabungan antara kuantifikasi yang lebih besar dan hilangnya kepercayaan tidaklah mengejutkan. Sebagaimana kita perhatikan, kedua tren tersebut mencerminkan faktor yang sama seperti menumbuhkan kesadaran terhadap kerumitan masalah lingkungan dan ketidak-pastian yang menyebarkannya. Juga, penekanan oleh lembaga pada kuantifikasi seringkali merupakan pengganti kepercayaan masyarakat, ketimbang bukti keberadaannya. Pengalaman AS menegaskan hal ini. Perpecahan kekuatan politik mengantar pada tekanan yang kuat pada prosedur formal dan penggunaan teknik kuantitatif seperti analisis manfaat biaya dan pengkajian risiko karena hal ini akan mempermudah melontarkan kritik di dalam dan di luar pemerintah bahwa keputusan kebijakan dibuat secara rasional dan tidak sewenang-wenang. Perpecahan tersebut juga berarti bahwa penerapan teknik kuantitatif dipertentangkan dengan keras oleh kelompok berbeda di Pengadilan dan di Konggres. Sejarah ini tidak memberikan dasar pemikiran bahwa penggunaan kuantifikasi dan prosedur formal yang lebih besar dengan sendirinya akan mengantar ke arah pembangunan kembali kepercayaan masyarakat. Pemahaman ilmiah terhadap isu lingkungan seringkali bergantung pada ketidak-pastian yang besar. Politikus seringkali meremehkan ketidak-pastian dalam keyakinan bahwa ini akan memulihkan kepercayaan masyarakat dan meningkatkan kredibilitas kebijakan dan proyek. Kadang-kala mereka juga menempatkan beban berlebihan pada perbandingan statistik estimasi risiko atau perbandingan kuantifikasi biaya dan manfaat. Pendekatan ini tidak produktif dalam jangka lama, karena ilmuwan dan politikus akan tidak dipercayai lagi Dengan membakar ide yang salah mengenai ketentuan ilmiah, ilmuwan dan sistem peraturan terekspos pada hilangnya kepercayaan yang merusak dari proporsi kasus yang tak terelakkan di mana kebijakan memudar dengan menengok kembali pada apa yang telah didasarkan pada asumsi yang salah. Sejumlah faktor lainnya telah merongrong kepercayaan terhadap peraturan lingkungan internasional. Yang satu adalah persepsi yang tersebar luas bahwa sejumlah regulator kurang mandiri dan kurang adil dalam kaitannya dengan kegiatan yang mereka atur. Faktor lainnya telah gagal untuk memberikan perhatian yang cukup pada nilai masyarakat sewaktu mengambil keputusan mengenai kebijakan lingkungan. Perlu dipertimbangkan bagaimana metode tradisional untuk memperhitungkan pandangan masyarakat dapat dilengkapi, terutama dalam hal kebijaksanan dan standar mengenai isu emosional dan membakar atau dengan implikasi gaya hidup yang menonjol.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-25

5.0 PROSES DAN HUBUNGAN 5.1 HUBUNGAN ANALISIS DAN KEBIJAKAN Harus ada pemisahan yang jelas antara analisis isu dan pembuatan kebijakan, termasuk penentuan standar. Ada beberapa alasan untuk ini. Adalah penting kiranya bahwa semua analisis komponen membatasi diri sendiri dalam mengeluarkan informasi yang akan membentuk bahan baku sesuatu keputusan, dan jangan berusaha menggantikan keputusan itu. Bahkan dalam hal di mana pengkajian ilmiah tampak merintis langsung kepada prosedur pertimbangan yang menjadi sumber kebijakan atau standar akan muncul, harus selalu ada pertimbangan kepraktisan, biaya, legalitas dan moralitas keputusan bersangkutan, seberapa intuitif pertimbangan ini bisa dipraktekkan. Kekakuan dan pertanggungjawaban dilayani lebih baik jika pertimbangan ini dijaga agar tetap eksplisit dan jelas. Argumentasi selanjutnya mengenai pemisahan menyangkut penggunaan dan penyajian nasihat ilmiah dalam keputusan kebijakan. Logika proses ilmiah berbeda dengan pembuatan kebijakan, membuatnya tak layak bagi kedua kegiatan dilakukan secara simultan. Telah sering ada pemahaman rendah mengenai sifat penyelidikan ilmiah dan ketidak-pastian di seputar hasil riset. Para politisi sering menuntut kepastian dari ilmuwan, membingkai pertanyaan dalam bentuk yang para ilmuwan tidak dapat menjawab, dan menuntut jawaban sebelum informasi yang cukup tersedia. Dalam hal ilmuwan bersikap eksplisit mengenai tingkat ketidak-pastian, pembuat kebijakan dapat menangkapnya sebagai alasan untuk menunda tindakan atau tanggapan. Kebutuhan untuk membangun prinsip jelas yang berlaku bagi digunakannya dan dipersiapkannya konsultasi ilmiah sangat relevan sekali dalam hal ada tingkat ketidak-pastian ilmiah yang tinggi, atau kisaran opini ilmiah yang signifikan, atau di mana masuk ke dalam area kebijakan publik yang sensitif. Pengetahuan yang disediakan oleh disiplin ilmu tunggal tak pernah cukup untuk menentukan tingkat presisi dari suatu standar. Dengan menghendaki dibuatnya suatu perbedaan antara analisis dan pembuatan kebijakan, tidak berarti bahwa ilmuwan dan analis lain tidak mampu melakukan penilaian praktis, ataupun mereka tidak harus melakukannya. Bagaimanapun juga, mereka harus membuatnya lebih jelas, ketika mereka sedang berbicara sebagai seorang ilmuwan (atau apapun) dan ketika mereka sedang melakukan penilaian praktis. Telah ada beberapa kasus sukses mengenai pemisahan ilmu pengetahuan dari pembuatan kebijakan di tingkat multi-nasional. Misalnya pemisahan ilmiah dari kelompok kerja ekonomi dan politik telah diresmikan dalam pendekatan yang diterapkan oleh Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Konvensi Eropa mengenai Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh (United Nations Economic Commission for Europe Convention on Long Range Transboundary Air Pollution (LRTAP). Tentu saja tidak ada jaminan (atau perlu adanya pengharapan riil) bahwa kelompok teknis kebal dari pengaruh politik mengingat para utusan bersangkutan ditunjuk oleh pemerintahnya. Namun demikian, penentuan muatan kritis pada lokakarya internasional oleh ilmuwan dan spesialis lainnya telah dijaga agar tetap terpisah dari penentuan standar dan sasaran emisi, dan informasi ilmiah yang disusun untuk Konvensi dipublikasikan secara agak luas. Praktek demikian memiliki potensi untuk meningkatkan transparansi prosedur pembuatan keputusan secara besar. Oleh karena itu siapapun yang terlibat dalam penentuan standar harus, dalam setiap pengumumannya, menarik perbedaan yang jelas antara pernyataan ilmiah dan rekomendasi yang ingin dibuat setelah mempertimbangkan pengkajian ilmiah sehubungan dengan beberapa faktor lain; dan harus mengidentifikasikan dengan jelas apa faktor lain itu.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-26

Prosedur yang diikuti oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam membuat pedoman mutu udara dan mutu air minum seringkali dikutip sebagai model mengenai bagaimana penentuan standar harus dilakukan. PBB mengumumkan detil pembenaran untuk setiap nilai pedoman, merangkum pertimbangan bukti ilmiah dan medis, dan dalam beberapa tahun terakhir ini telah ada penggunaan reviu yang teliti dan lebih eksplisit sementara pengkajian sedang dalam persiapan. Secara tipikal WHO menyatakan kesimpulan pengkajian ilmiah dalam bentuk nilai pedoman (misalnya, untuk konsentrasi bahan tertentu di udara). WHO menekankan bahwa perannya adalah untuk mengembangkan panduan ketimbang menentukan standar, dan bahwa panduan ini dapat dikembangkan menjadi standar dengan cara mempertimbangkan kondisi lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya setempat. Pada kenyataannya, nilai pedoman WHO seringkali diterjemahkan secara langsung menjadi ambang batas resmi. Misalnya, Komisi Eropa, dalam beberapa tahun terakhir ini mengajukan masukan usulan untuk undang-undang mutu air minum dan mutu udara, dalam prakteknya telah menerapkan nilai pedoman WHO sebagai usulan standar dalam hampir semua kasus. Ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan terhadap prosedur yang lebih transparan yang mengindikasikan bagaimana suatu nilai pedoman WHO digunakan oleh badan-badan lainnya dan bagaimana pertimbangan lainnya, di luar tujuan WHO, telah dipertimbangkan. Akan lebih disukai jika kesimpulan pengkajian ilmiah WHO dinyatakan sebagai serangkaian nilai yang mewakili tingkat risiko yang berbeda, karena ini akan menarik perhatian bagi keputusan kebijakan yang dibuat kemudian oleh badan penentu standar. 5.2 HUBUNGAN KELEMBAGAAN Adalah jelas dari reviu terhadap informasi di atas, pengembangan kebijakan lingkungan dan prosedur penentuan standar melibatkan tanggungjawab sejumlah badan kelembagaan yang berlainan. Dengan demikian, pembuatan kebijakan atau standar lingkungan semacam itu biasanya ditentukan dalam jaringan antar-organisasi yang rumit. Jaringan tersebut dapat memiliki manfaat yang sangat besar dalam hal fleksibilitas, tanggapannya terhadap berbagai sudut pandang dan perspektif, serta keterbukaannya pada informasi dan konsep baru. Pemisahan di atas merujuk pada analisis dan fungsi kebijakan dapat lebih mudah tercapai bila melibatkan beberapa organisasi terpisah. Sebaliknya, seringkali lebih sulit menangani jaringan semacam itu ketimbang menangani pekerjaan dari suatu badan tunggal. Ada persyaratan kelembagaan tertentu yang penting, tidak hanya untuk mutu keputusan, tetapi untuk membangun kepercayaan masyarakat, dan lebih sulit lagi untuk memastikan bahwa ini dipenuhi dalam penentuan antar-organisasi. Persyaratan pertama dan yang paling mendasar adalah bahwa semua langkah dalam prosedur harus dicakup. Badan yang menentukan standar harus memperhitungkan seluruh rangkaian pertimbangan yang relevan dengan keputusan semacam itu dan ini harus diwajibkan dalam terms of reference-nya Selama mereka tidak membuat sendiri detil pengkajian terhadap factor demikian, mereka harus dapat menggunakan pengkajian otoritatif yang dibuat oleh badan-badan lain. Persyaratan mendasar kedua adalah bahwa harus ada jejak audit yang mendokumentasikan semua pertimbangan yang diperhitungkan dalam mencapai keputusan dan bagaimana mereka diperhitungkan. Keberadaan jejak audit tersebut merupakan salah satu dari manfaat pokok prosedur WHO tersebut di atas. Yang diinginkan adalah, tidak hanya dalam hal kepentingan terhadap transparansi yang luas, tetapi juga untuk memberikan dasar bagi reviu standar, dengan interval waktu yang teratur atau ketika sesuatu terjadi untuk mengubah salah satu

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-27

asumsi yang menjadi dasar semula. Semua standar lingkungan harus direviu pada interval yang telah ditetapkan sebelumnya atau lebih dini jika muncul bukti baru yang signifikan atau jika ada perubahan tidak terduga dalam kondisi keuangan. Pemisahan langkah analitis dari langkah lain dalam prosedur, diinginkan untuk alasan lain, juga memudahkan pengadaan jejak audit dan meningkatkan pertanggungjawaban. Persyaratan dasar untuk memperoleh kepercayaan masyarakat adalah badan yang menentukan standar lingkungan harus bekerja dengan cara yang terbuka dan transparan. Dengan transparan berarti harus ada publisitas penuh mengenai keberadaannya, terms of reference-nya, keputusan yang mereka ambil beserta alasannya. Dengan terbuka berarti harus ada kesempatan cukup bagi mereka yang berada di luar lembaga, terutama mereka yang memiliki kepentingan tertentu dalam hal keputusan tertentu, untuk menyumbang sepenuhnya pada prosedur pembuatan keputusan. Sifat sumbangan, dan oleh karena itu persyaratan yang tepat dalam hal kelembagaan, akan bervariasi sesuai dengan aspek penentuan standar yang terlibat. Untuk masukan ilmiah, misalnya, penggunaan reviu yang teliti dan publikasi terbuka mengenai buktinya akan menjadi faktor utama. Para pembuat kebijakan dan masyarakat umum harus dapat mengenali dan memperhitungkan dampak kepentingan tetap (vested interest) dalam proses dan mencapai keseimbangan dalam hasil akhir. Semua analisis juga harus menjadi subyek reviu yang teliti dan pemeriksaan yang cermat. Ini bukan obat yang mujarab: sementara transparansi diperlukan, tidak ada jaminan bahwa keputusan yang baik secara materiil akan dihasilkan. Cara melakukan komunikasi dapat menyampaikan pesannya sendiri. Mengungkap informasi hanya bila di bawah tekanan tidak akan meningkatkan kredibilitas. Dan segera setelah suatu instansi tidak dipercaya, maka setiap informasi dari sumber tersebut cenderung diabaikan. Dalam dasawarsa terakhir ini, perubahan dalam undang-undang internasional dan praktek pemerintah (seperti kerelaan yang besar untuk melepaskan informasi lingkungan) dan pekerjaan kelompok tekanan lingkungan (seperti Greenpeace, Friends of the Earth, dan the International Union for Conservation and Nature) dalam sejumlah aspek memperkuat hak untuk mengetahui dan, mungkin, hak warganegara untuk diperbaiki. Telah ada tekanan untuk membuka proses kebijakan dan peraturan untuk pemeriksaan yang cermat oleh masyarakat, pertama di AS dan Australia, kemudian di Kerajaan Inggris, kemudian di seluruh Uni Eropa. World Wide Web mentransformasikan jumlah informasi yang ada dan kecepatan yang membuatnya tersedia, sekalipun mutu informasi ini beragam. Namun demikian, masih tetap ada kekurangan yang besar dalam pertanggungjawaban penentu standar. Keterbukaan yang lebih besar dan perhatian yang lebih cermat pada pertanggungjawaban juga memberikan sarana resmi tereksposnya penyalahgunaan ilmu pengetahuan oleh politisi. Hal tersebut dapat memberikan sarana penjelasan bagi tingkat ketidakpastian dalam pengkajian ilmiah dan asumsi yang mendasari analisis ilmiah dan ekonomi. Ada garis yang sulit ditarik antara keterbukaan dan penyebaran berita yang mengerikan. Penjelasan yang hati-hati namun tidak terlalu sederhana, adalah salah satu sarana untuk menghindari reaksi panik pada cerita yang setengah dipahami (kadang-kadang terlihat setelah pengumuman mengenai keamanan obat-obatan). Para ahli perlu berkonsentrasi pada perbaikan penjelasan dan menyadari dengan lebih baik kemampuan masyarakat untuk menangkap isu yang rumit dan menangani ketidakpastian.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-28

Persyaratan kelembagaan lainnya lebih disukai tetapi dalam praktek lebih sulit dipenuhi. Misalnya, badan yang menentukan standar harus dapat mengaitkan keputusannya dengan keputusan mengenai risiko lingkungan lainnya dalam area geografis yang dicakupnya. Implikasinya adalah bahwa badan yang menentukan standar untuk area tertentu harus bertanggung jawab terhadap semua jenis polutan dan semua media lingkungan. Badan yang menentukan standar juga harus memiliki sumberdaya yang cukup dan kelangsungan keberadaannya untuk memastikan agar reviu berkala terhadap standar dilakukan, dan agar ada reaksi cepat jika muncul bukti baru mengenai bentuk baru ancaman bahaya atau mengenai risiko yang dikaitkan dengan ancaman bahaya yang diketahui. Persyaratan ini bahkan mengasumsikan arti penting yang lebih besar jika ada ketidakpastian mengenai bukti ilmiah tentang efek atau tentang teknologi untuk mengurangi pencemaran. 5.3 TANTANGAN BARU Kesadaran publik mengenai masalah lingkungan kini tersebar luas di banyak negara dan pertimbangan lingkungan cukup tinggi dalam agenda pemerintah dan perusahaan besar. Terserapnya keprihatinan lingkungan ke seluruh masyarakat akan terus meningkat. Nilai melindungi lingkungan semakin dihargai oleh individual, industri, perdagangan, dan pemerintah. Masalah ekonomi yang melanda Indonesia saat ini seharusnya tidak menciptakan perkecualian untuk itu, paling tidak secara prinsip. Terlepas dari seberapa besar kesulitan untuk menentukan secara tepat apa yang dimaksud dengan konsep lestari, konsep tersebut telah menggenggam erat kesadaran publik dan politik. Hal tersebut mengundang pertanyaan menantang, terutama mengenai efek yang lebih luas dan lebih tahan lama, bukan sekedar keputusan kebijakan oleh pemerintah, namun oleh keputusan perusahaan dan tindakan yang diambil setiap orang dari hari ke hari. Terkait dengan tampilan ini adalah tuntutan yang luas terhadap meningkatnya perlindungan lingkungan. Sebuah contoh internasional mengenai hal ini adalah keresahan saat ini mengenai tingkat perlindungan yang dapat dijangkau oleh rezim peraturan sekarang terhadap efek merugikan organisme yang berubah secara genetik. Tidak ada peraturan sederhana untuk menentukan tingkat kewaspadaan yang harus diterapkan dalam kasus tertentu. Evaluasi sederhana mengenai apa yang diketahui dan apa yang ditakutkan adalah suatu prasyarat bagi kebijakan yang tidak dibatasi dengan tidak semestinya atau yang tidak memedulikan keyakinan yang seringkali dipegang teguh mengenai lingkungan. Penggunaan lebih besar dari pendekatan yang kurang bersifat tradisional diperlukan untuk menangani dengan sukses kompleksitas, distribusi luas dan sejumlah kecil polutan, serta menghasilkan perubahan gaya hidup yang dibutuhkan untuk menangani sejumlah bentuk kerusakan lingkungan. Pendekatan baru ini akan melibatkan lebih banyak penggunaan instrumen ekonomi dan bentuk peraturan mandiri. Pemerintah harus mengambil tujuan untuk menciptakan struktur dan praktek yang memungkinkan orang mencapai gol lingkungan melalui kerjasama dan tindakan yang sama. Sejumlah langkah telah diambil ke arah ini di Indonesia, namun jalannya masih sulit dan masih banyak lagi yang perlu dilakukan untuk menghilangkan insentif yang tidak pada tempatnya. Kesadaran lebih besar mengenai isu pembangunan lestari di antara perusahaan perlu disambut dengan baik. Langkah selanjutnya harus diambil guna memberdayakan perubahan sikap dan pendekatan demikian, dan memastikannya agar jadi universal. Ada tantangan terhadap bisnis dalam mengembangkan pendekatan yang lebih umum dan lebih memandang

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-29

jauh ke depan mengenai perusahaan terbaik dan terutama dalam mengubah sikap dalam perusahaan lebih kecil untuk memungkinkan mereka menangkap keuntungan komersial dan lingkungan dari praktek yang lebih baik. Seiring dengan pendekatan baru ini, standar lingkungan akan terus menyediakan kerangka kerja penting untuk memandu tindakan ke arah masa depan yang lebih lestari. Sebagai sasaran, mereka dapat memberikan struktur yang di dalamnya pendekatan non-peraturan terhadap perbaikan lingkungan dapat diterapkan. Dalam arena internasional mereka menetapkan gol bagi negara individual, sedangkan detil implementasi dapat ditinggalkan untuk dikembangkan dalam kerangka sosial dan hukum mengenai setiap pihak yang mengadakan perjanjian. Standar-standar yang didukung mesin penegak hukum adalah cara yang layak untuk menangani bentuk dan sumber pencemaran terburuk. Mereka dapat mewujudkan keprihatinan moral; dan, dalam kondisi tertentu di mana, kalau tidak, langkah non-hukum bakal jadi pilihan, mereka dapat ditahan sebagai cadangan untuk dipergukanan sewaktu-waktu jika perjanjian tidak terwujud. Kesinambungan pentingnya peraturan langsung pada umumnya diakui oleh para wakil perusahaan besar. Mereka percaya bahwa struktur pengendalian hukum yang ditegakkan secara bersih dan konsisten akan membantu dalam menjalankan roda bisnis mereka. Apabila semata-mata mengandalkan pada tindakan sukarela dalam melindungi lingkungan, perusahaan akan cenderung kurang kredibilitasnya di mata publik. Tekanan dari sumber eksternal dibutuhkan untuk menjaga standar dalam segala bentuk dan untuk meyakinkan kembali publik bahwa industri tidak membahayakan lingkungan bersangkutan. Bagaimanapun juga, tahap analistis dari prosedur keputusan dan beberapa komponennya adalah penting sekali. Ilmuwan harus lebih menyadari keprihatinan dan prioritas publik dan lebih banyak tahu mengenai kebutuhan proses kebijakan. Mereka harus bekerjasama lebih erat untuk memastikan bahwa nasihat obyektif siap tersedia untuk mengumumkan kebijakan. Dalam dasawarsa terakhir, telah dikerahkan upaya besar untuk meningkatkan pemahaman publik melalui media tersebut dan melalui mekanisme seperti pertemuan publik dan pameran ilmiah. Inisiatif semacam ini harus dilanjutkan dan dikembangkan, dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan distorsi yang masuk ke dalam debat lingkungan, terutama mengenai ilmu pengetahuan apa yang harus ditawarkan. Haruslah ada program jangka panjang mengenai pendidikan masyarakat, yang berlaku di segala umur, mengenai kemurnian pemahaman lingkungan dan pengelolaannya. Kebutuhan untuk mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam area kebijakan kini dikenal secara luas. Di masa mendatang, pasti ada lebih banyak pertalian dalam kebijakan untuk perlindungan lingkungan, bukan sekedar serangkaian langkah khas yang ditujukan pada sumber pencemaran khusus. Implementasi Metodologi ini di Indonesia akan memungkinkan diperolehnya respon demikian.

6.0 PROSES Ada dua aspek mendasar dalam proses penentuan kebijakan dan standar lingkungan. Yang pertama adalah bahwa keputusan tersebut merupakan keputusan yang rumit di mana berbagai pertimbangan yang harus diperhitungkan, dan sifatnya dalam hal ini telah disalah-pahami dan disajikan dengan keliru secara luas. Yang kedua adalah bahwa teknik yang tersedia dapat dan harus digunakan untuk mengartikulasikan nilai masyarakat dan memadukannya ke dalam setiap tahap kritis pembuatan keputusan mengenai kebijakan dan standar lingkungan. Informasi mengenai kedua isu ini diberikan di tempat lain dalam ESM untuk membantu

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-30

BAPEDAL dan staf lain yang terlibat melaksanakan proses yang dijelaskan dalam Seksi 6 ESM ini. Menentukan standar lingkungan merupakan kegiatan penilaian praktis. Penilaian dicapai melalui proses pembahasan, sebagaimana ditunjukkan dalam seksi sebelumnya di Bagian ini, yang mencari cara untuk memenuhi beraneka ragam rintangan dan sudut pandang. Prosedur yang bersifat diskusi dan dirancang secara layak memperdalam pemahaman dan mengungkapkan inkonsistensi atau kesalahan. Hal ini meningkatkan pembuatan keputusan dengan memperbaiki cara merumuskan masalah, menentukan penggunaan teknik analitis kontroversial yang tepat, menjernihkan pandangan dan mempertimbangkan serangkaian perspektif. Langkah dasar yang harus diikuti dalam merespon masalah lingkungan diilustrasikan dalam Gambar B6.1. Ini menunjukkan garis besar proses yang luas pada tingkat konseptual, dan bagaimana berbagai unsur yang diperlukan untuk membuat penilaian praktis harus disusun dengan efektif dan digunakan. Sekuens adalah unsur yang logis, meskipun tidak harus kronologis. Durasi tahap berbeda dari kasus ke kasus, mereka dapat saling tumpang tindih, dan mungkin terjadi pengulangan. Proses prosedural teknis berikut ini juga harus dipadukan dengan persyaratan undang-undang penentuan standar. Gambar A2.1 dalam Bagian A Volume 2 ESM ini menjelaskan proses di mana undang-undang dilibatkan. Prosedur yang lebih sederhana menggunakan Peraturan dan Keputusan. Langkah pertama dari penetapan kebijakan atau standar adalah mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah. Kebanyakan ada sejumlah konteks. Dalam beberapa kasus, masalahnya adalah bahwa tindakan yang telah diambil sebelumnya membawa hasil yang tidak memuaskan. Dalam kasus lainnya, seluruh masalahnya adalah baru sama sekali. Beberapa penemuan ilmiah (seperti penemuan efek khlorofluorokarbon (CFC) pada ozon stratosfir) dapat mengantar pada pengidentifikasian atau pengkajian kembali suatu masalah. Pengenalan masalah juga dapat terjadi melalui perubahan persepsi masyarakat terhadap suatu situasi, yang dapat mencerminkan pergeseran nilai, misalnya Tambang Freeport di Irian Jaya atau Pabrik Indorayon di Sumatra Utara. Langkah tersebut diawali dengan pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan masalah lingkungan yang diketahui. Ini dapat termasuk mutu lingkungan yang ada, daftar masalah dan kebutuhan lingkungan, daftar sumber pencemaran, referensi ilmu pengetahuan dan kesehatan, undang-undang dan peraturan, keluhan/masukan masyarakat, dan karakteristik nasional atau lokal. Tindakan ini diambil oleh Proponen yang bisa LH/BAPEDAL dan lembaga sektoral lainnya termasuk pemerintah lokal dan masyarakat. Proponen kemudian bertanggungjawab terhadap identifikasi isu lingkungan berdasarkan pada data dan informasi yang dikumpulkan. SOP 3, Statistik Lingkungan, SOP 4, Pengumpulan Data dan Analisis, memberikan data serta prosedur untuk membantu dalam langkah ini. Informasi referensi juga diberikan dalam Volume 2 ESM, dan dalam SOP 6 hingga 8 mengenai standar lingkungan internasional dan nasional.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-31

GAMBAR B6.1: PROSES PENENTUAN STANDAR

CATATAN:

1 Proses dilakukan oleh Proponen, biasanya BAPEDAL atau BAPEDALDA, tetapi juga instansi dan lembaga sektoral membutuhkan penentuan standar lingkungan sebagaimana ditentukan dalam ESM ini untuk tujuannya.

2 Pembuat Keputusan biasanya adalah Menteri Lingkungan Hidup, Menteri-menteri lainnya, Gubernur atau Bupati/Walikota, tetapi dapat pula termasuk para Kepala Instansi sebagaimana ditunjukkan dalam 1. Mereka juga dapat termasuk Parlemen Nasional dan Lokal atau komisi Nasional dan Propinsi jika ditentukan sebagai usulan oleh ESM ini.

3 Otorita Hukum yang terlibat bergantung pada sifat standar dan penentuan hukumnya. Mereka termasuk Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Biro Hukum Pemerintah Lokal.

Langkah 1 MENGIDENTIFIKASI DAN

MEMPRIORITASKAN MASALAH (Tim Teknis)

Langkah 2 MENETAPKAN MASALAH TERTENTU UTK DIBAHAS

(Tim Teknis)

Langkah 3 MERUMUSKAN TUJUAN

KEBIJAKAN, DISAHKAN PEMBUAT KEPUTUSAN

(Tim Teknis & Pembuat Keputusan)

Langkah 4 ANALISIS ISU

Ilmiah – kesehatan – teknologis economis – risiko – implementasi

(Tim Teknis dg. masukan ahli)

Langkah 5 PEMBAHASAN DAN SINTESE

(Tim Teknis)

Langkah 6 KEPUTUSAN ATAS STANDAR

DAN ISI (Pembuat Keputusan)

Langkah 7 MENSOSIALISASIKAN &

MENGIMPLEMENTASIKAN STANDAR (Proponen atau Otorita Pelaksana)

Langkah 8 MEMANTAU DAN

MENGEVALUASI KEEFEKTIFAN(Proponen atau Otorita Pelaksana)

MASUKAN PUBLIK STAKEHOLDER

SEKTORAL

KONSULTASI DG. OTORITA HUKUM

KONSULTASI PUBLIK ATAU PENYELIDIKAN

PENDAPAT UMUM STAKEHOLDER

SEKTORAL

KONSULTASI PUBLIK STAKEHOLDER

SEKTORAL

KONSULTASI PUBLIK ATAU PENYELIDIKAN

PENDAPAT UMUM STAKEHOLDER

SEKTORAL

KONSULTASI DENGAN OTORITA

HUKUM

KELUARAN PUBLIK STAKEHOLDER

SEKTORAL

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-32

Identifikasi masalah atau isu diprioritaskan oleh Proponen, biasanya melalui pembentukan Tim Teknis, untuk memilih masalah guna dilakukan tindakan pertama berdasarkan ESM. Ini termasuk analisis pendahuluan terhadap pertimbangan hukum, fisik, sosial, ekologis, ekonomi dan teknologis mengenai berbagai isu. Konsultasi antar-sektoral, masyarakat dan industri, formal dan informal oleh Tim Teknis juga diberikan dalam langkah ini, termasuk penyerahan tertulis dari, dan diskusi dengan, stakeholder dan pihak kepentingan lainnya. SOP 5, Memprioritaskan Isu Lingkungan, memberikan prosedur untuk membantu Tim Teknis dalam hal ini. Langkah yang kedua adalah mendefinisikan masalah khusus yang memerlukan tindakan, tidak hanya sekedar mengidentifikasi bahwa sesuatu adalah salah, tetapi mendefinisikan apa sebenarnya yang salah. Dalam banyak kasus, dua langkah yang pertama dapat terjadi secara simultan. Dalam kasus lain, pertimbangan lebih lanjut oleh Tim Teknis Proponen dapat mengungkapkan situasi yang lebih luas dan lebih rumit. Bila sifat masalah tidak pasti, maka nilai dari mereka yang menelitinya akan cenderung mempengaruhi cara mereka mendefinisikannya dan dengan demikian riset yang dilakukan harus membuat klarifikasi untuk itu. Definisi tersebut bisa jadi tidak digunakan secara universal: orang lain dapat mengkaji masalah tersebut dari perspektif yang berlainan dan dengan demikian mendefinisikannya secara berbeda. Kasus pembuangan pengeboran minyak Brent Spar di Laut Utara memberikan suatu contoh. Apakah kasus tersebut merupakan masalah identifikasi opsi lingkungan terbaik yang dapat dipraktekkan untuk suatu pembuangan yang terisolasi; ataukah menetapkan preseden bagi pembuangan seluruh struktur lepas pantai yang sejenis? Apakah pembuangan sampah di laut merupakan cara pembuangan hasil limbah masyarakat yang dapat diterima? Bagaimana risiko pembuangan ke lahan harus dibandingkan dengan risiko pembuangan ke laut yang jelas sangat berbeda? Kelompok orang yang berbeda memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap sejumlah isu ini. Dalam beberapa kasus mungkin ada pandangan yang berbeda mengenai apa yang harus dilindungi: kesehatan manusia, lingkungan alam, atau keduanya. Atau tingkat perlindungan bagaimana yang harus diberikan, misalnya, terhadap efek akut atau kronis, terhadap efek jangka panjang atau pendek, atau terhadap efek lokal atau jauh. Hanya prosedur inklusif yang dapat menjelaskan dengan memuaskan keprihatinan yang harus ditangani dan mengidentifikasi kisaran sudut pandang yang harus diperhitungkan, dengan demikian mengeraskan jalan untuk memberikan solusi yang efektif pada masalah tersebut. Contoh definisi tidak lengkap lainnya adalah mempertimbangkan penyerapan timah hitam dari atmosfir tanpa mempertimbangkan penyerapan dari cat, atau mempertimbangkan efek ozon pada manusia tanpa mempertimbangkan efeknya pada tanaman. Sebagaimana dinyatakan oleh panah dalam Gambar B6.1 yang mengindikasikan umpan balik, masalah lingkungan dapat menjalani pendefinisian ulang sebagai akibat dari langkah yang baru-baru ini dalam prosedur. Cara merumuskan masalah menentukan bagaimana persoalan yang harus dipertimbangkan dibingkai, dan penting bagi hasil akhir prosedur penetapan standar. Jika masalah lingkungan sejak awal sudah digambarkan atau diatur tidak selayaknya atau terlalu sempit, ini dapat menghapuskan kepercayaan masyarakat terhadap peraturan lingkungan, dapat mengakibatkan dibuatnya standar yang tidak sempurna; atau mengundang reaksi sosial, politis dan ekonomis yang jauh lebih luas. Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperhitungkan pada tahap dini ini perspektif dan nilai semua yang mungkin terkena pengaruh suatu masalah atau memiliki kepentingan di dalamnya. Ini bisa berupa serangkaian orang yang luas atau sempit, bergantung pada situasinya, dan perspektif mereka seringkali sangat berlainan. Keputusan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-33

akhir tidak perlu mewakili suatu konsensus (walau harapannya demikian) juga bukan denominator akseptabilitas biasa terendah, tetapi pandangan yang menyimpang harus telah diperhitungkan dengan semestinya. Tidak ada format tunggal yang tepat untuk mengartikulasikan nilai: mekanisme keterlibatan masyarakat harus disesuaikan dengan kondisi isu tertentu. Fleksibilitas dan imajinasi harus memungkinkannya untuk memikirkan cara memperhitungkan dengan tepat kisaran faktor yang diperlukan tanpa menghasilkan struktur administratif yang sukar ditangani dan lambat. Masyarakat dapat dilibatkan langsung (mungkin melalui rapat konsensus atau juri penduduk) atau tidak langsung, tetapi mereka secara efektif tidak diberdayakan jika mereka tidak dilibatkan dalam penentuan masalah. Cara yang lebih baik perlu dikembangkan untuk mengartikulasikan nilai masyarakat dan memperhitungkannya dari tahap paling dini dalam apa yang hingga kini secara relatif menjadi prosedur teknokratis. Langkah ketiga adalah bagi Tim Teknis untuk dapat merumuskan tujuan kebijakan yang dirancang untuk dicapai kebijakan atau standar. Meskipun secara konseptual ini berbeda dari penentuan masalah, dalam prakteknya kedua langkah tersebut tidak dapat dibedakan dengan mudah. Banyak masalah lingkungan masuk dalam kerangka kerja kebijakan yang sudah mapan dan tujuan standar dapat disimpulkan dari kebijakan lainnya atau ditentukan oleh analogi. Dalam hal tidak diterapkan, atau keadaan mengindikasikan bahwa tujuan kebijakan yang ada harus direviu secara kritis, maka merupakan hal yang vital bahwa masyarakat harus dilibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika rapat konsensus atau juri penduduk diselenggarakan, maka harus mencakup penentuan masalah dan perumusan tujuan kebijakan. Sementara isu mengenai lingkup perlindungan dicari, yang sudah harus dipertimbangkan dalam menentukan masalah, isu yang harus dibahas pada tahap ini termasuk di antaranya adalah masalah yang mengundang potensi pertentangan, seperti keadilan dan kesejahteraan materi, yang dicoba diakurkan oleh prinsip pembangunan lestari. Masalah lingkungan tertentu mungkin membutuhkan tindakan kebijakan pada beberapa bagian pertama dan dapat mengantar pada penentuan beberapa bentuk standar yang berlainan. Ketentuan yang cukup untuk melakukan pembahasan mengenai tujuan kebijakan harus memastikan bahwa berbagai tindakan yang diambil adalah saling memperkuat. Pada langkah ini juga kehadiran putaran umpan balik adalah penting: tujuan kebijakan dapat berubah karena pemahaman berkembang. Eksekutif Proponen dan pembuat keputusan akhir (misalnya, Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota) harus menyetujui secara resmi kesimpulan Tim Teknis pada langkah satu hingga tiga sebelum berjalan lebih jauh. Ini seringkali akan melibatkan konsultasi dengan pihak kepentingan lainnya, terutana Otorita Hukum yang relevan. Tim Teknis dibantu dalam langkah proses ini dengan cara mereviu materi dalam Bagian B Volume 2 ESM ini, dan SOP 9, Efek Kesehatan oleh Polutan, dan SOP 15, Partisipasi Masyarakat. Langkah keempat adalah analisis isu. Diperlukan sekumpulan analisis; komponen dari kumpulan tersebut, dan sifat hasil yang seharusnya mereka harapkan dapat dihasilkan, dibahas secara terpisah dalam Seksi 4 Bagian ini dan dalam Bagian B Volume 2 Buku Pedoman Acuan. Mereka meliputi aspek ilmiah, kesehatan, teknologi, risiko, ekonomi dan pelaksanaan. Kerangka kerja analisis ini telah dibangun pada langkah kedua dan ketiga dalam proses. Mereka seharusnya tidak diharapkan untuk mengunjungi kembali masalah nilai yang sudah dipertimbangkan dan diselesaikan. Persyaratan dominan pada langkah dalam prosedur ini adalah tingkat analitis yang ketat dan tinggi. Yang dapat digalakkan dengan cara

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-34

melakukan reviu yang teliti terhadap setiap analisis komponen dalam disiplin ilmu pengetahuannya masing-masing. Bergantung pada kerumitan isu terkait, Tim Teknis seringkali akan meminta bantuan dari spesialis terpilih untuk menyelesaikan tahap ini. Ini sama pentingnya bahwa ada kontak dan koordinasi antar analisis komponen, sebagaimana ditunjukkan oleh panah berkepala ganda dalam Gambar B6.1. Mereka saling mengandalkan data dan asumsinya. Dalam beberapa kasus, yang bisa berarti mereka semua tidak dapat dilaksanakan secara simultan. Waktu, sumberdaya dan tekanan yang diberikan pada setiap analisis komponen akan bervariasi sesuai dengan masalah yang sedang ditangani. Dalam beberapa kasus, adalah pengkajian ilmiah yang akan menempatkan tantangan terbesar. Dalam kasus lainnya, efek dari suatu bentuk pencemaran akan tidak asing lagi (misalnya radiasi), ada kecenderungan bahwa analisis ilmiah akan secara relatif langsung, dan penekanan yang lebih besar dapat ditempatkan pada analisis teknologi agar dapat mengidentifikasi pilihan yang ada dan mengestimasikan biayanya. Keputusan lainnya, seperti keputusan yang berkaitan dengan emisi kendaraan, sangat bergantung sekali pada analisis ekonomi dan pelaksanaannya untuk menentukan strategi yang efektif dalam mempengaruhi pola perilaku. Setiap analisis komponen harus mengeksplorasi serangkaian opsi dan skenario. Sebagian atau seluruh analisis dapat diulangi, apakah itu karena analisis tersebut tidak diterima sebab telah dilaksanakan dengan memuaskan atau karena munculnya faktor baru yang pada mulanya tidak diperhitungkan. Ini dapat terjadi pada inisiatif mereka yang melakukan analisis tertentu atau sebagai hasil reviu yang teliti atau karena kesimpulan analisis telah ditolak pada tahap berikutnya, yang dibahas di bawah. Meskipun pengulangan dapat sangat meningkatkan mutu keluarannya, namun mereka juga menambah biaya analisis dan waktu yang dipergunakan. Oleh karena itu lebih disukai menghindari pengulangan sebanyak mungkin dengan cara memberikan perhatian yang cermat pada mutu keluaran langkah-langkah sebelumnya dan melalui penghubung antara mereka yang melaksanakan analisis komponen mulai dari tahap perencanaan paling dini dan seterusnya. Tahap analitis utamanya adalah kegiatan Tim Teknis dan penasihat ahli, dalam kerangka masalah dan tujuan kebijakan yang telah ditentukan pada tahap terdahulu. Ada kondisi di mana bentuk lain pengetahuan, yang dimiliki bukan ahli, dapat memberikan sumbangan penting pada analisis ahli. Ini dapat terjadi dengan pengetahuan mengenai daerah setempat, misalnya karakteristik hutan atau tanah setempat, namun situasi semacam itu mungkin tampaknya kurang sering timbul dalam konteks penentuan standar. Penunjukan anggota awam untuk menjadi panitia ahli mungkin merupakan cara yang efektif untuk memastikan bahwa ini memiliki jenis pengetahuan khusus tertentu, tetapi jangan dianggap sebagai pengganti transparansi dan keterbukaan dalam pekerjaan panitia tersebut, atau untuk langkah tindakan menyeluruh guna mengartikulasikan nilai-nilai masyarakat biasanya pada tahap pembingkaian dan pembuatan keputusan kunci. Pertimbangan Tim Teknis terhadap hasil dari sekumpulan analisis dipandang dari cara bagaimana masalah telah ditentukan dan tujuan kebijakan diputuskan sebelumnya, jelas merupakan langkah kelima yang penting. Nama yang diberikan untuk itu dalam Metodologi adalah pembahasan dan sintese. Pertimbangan terhadap nilai masyarakat merupakan bagian yang penting dari langkah ini. Jika prosedurnya telah bekerja dengan efektif, mereka diartikulasikan sebagai bagian dari langkah terdahulu. Dengan demikian, mungkin harus diambil tindakan pada tahap ini agar dapat diartikulasikan dengan lebih jelas. Jika demikian halnya, maka volume informasi dan analisis yang jauh lebih besar yang tersedia saat ini pun dapat dimanfaatkan. Dalam hal ada isu rumit yang terlibat, seringkali diinginkan untuk menerbitkan kertas diskusi bagi publik untuk diperoleh komentar dan untuk dilakukan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-35

penyelidikan pendapat masyarakat guna memastikan bahwa pembuat keputusan memiliki semua informasi yang ada untuk membantu menyelesaikan langkah selanjutnya. Informasi mengenai kertas diskusi dan penyelidikan pendapat masyarakat diberikan dalam SOP 15, Partisipasi Masyarakat. Bilamana ada sedikit perbedaan pendapat mengenai solusi masalah lingkungan, pembahasan dan sintese dapat menjadi kegiatan yang agak sederhana. Tidaklah perlu bahwa mereka harus menghasilkan konsensus mengenai tindakan yang harus diambil. Kebanyakan hal tersebut tidak terjadi. Fungsi penting langkah dalam prosedur ini adalah untuk memudahkan pengambilan keputusan yang akan datang dengan cara mengidentifikasi area persetujuan dan ketidak-setujuan, serta menjelaskan sifat dan tingkat perbedaan. Mungkin perlu untuk meminta sebagian atau seluruh kumpulan analisis agar diulangi. Langkah keenam adalah keputusan mengenai standar dan isi. Langkah ini seringkali dihubungkan dengan langkah lima dan komentar yang dibuat untuk setiap langkah ini adalah sama bagi keduanya. Pembuat keputusan harus dilibatkan secara dekat pada tahap ini, sebagaimana halnya dengan stakeholder dan masyarakat umum, baik melalui publikasi proposal, konsultasi langsung dan/atau penyelidikan pendapat masyarakat, jika tidak dilakukan di langkah 5. Konsultasi formal dengan Otorita Hukum yang relevan yang bertanggungjawab terhadap pembuatan peraturan terkait juga harus terjadi melalui langkah tersebut. Sifat kebijakan atau standar sebagian besar mungkin telah ditentukan sebelumnya oleh tujuan kebijakan yang telah disetujui sebelumnya.Namun demikian, hasil dari langkah kelima atau keenam bisa jadi adalah reviu dilakukan apakah dari definisi asli masalah atau tujuan kebijakan yang diusahakan. Hasilnya bisa jadi adalah bahwa kemudian tahap analitis diulang, sebagai persiapan bagi ronde lanjutan dari pembahasan dan sintese. Siklus lebih jauh ini dapat terjadi jika tahap analitis telah menghasilkan pemahaman lebih mendalam terhadap masalah, misalnya, atau jika tingkat konsensus yang cukup tentang tindakan yang harus diambil tidak dapat dicapai. Penerapan praktis proses ini bervariasi dengan keadaan dari masing-masing kasus dan dengan skala geografis. Di antara sejumlah perbedaan tersebut adalah bobot yang melekat pada unsur individual dan metode di mana kelompok orang tertentu dilibatkan dalam proses. Waktu dan sumberdaya yang dihabiskan bagi metode tertentu untuk mendapatkan nilai, dan tingkat keikutsertaan awam, bergantung pada sifat masalah yang harus ditangani. Segera setelah proses bekerja menetapkan prinsip, penentuan standar berikutnya dalam prinsip tersebut (standar proses yang sesuai dengan prinsip teknologi terbaik yang tersedia yang tidak menuntut biaya berlebihan dapat menjadi contoh) secara relatif bisa tidak kontroversial. Nilai harus terus menginformasikan keputusan, tetapi mesin untuk mengartikulasikannya mungkin memiliki lingkup yang sempit, barangkali terbatas untuk mendeteksi adanya usulan standar yang dapat menimbulkan masalah nilai baru. Langkah ketujuh adalah mensosialisasikan dan mengimplementasikan standar oleh Proponen dan otorota pelaksanaan di antara mereka yang melaksanakan dan terkena pengaruh olehnya. Penting kiranya bahwa alasan, dasar tanggungjawab pelaksanaan, implikasi biaya dan manfaat yang dihasilkan standar dipahami oleh semua stakeholder dan masyarakat luas. Biasanya ini terjadi secara bertahap seiring dengan pengaturan pelaksanaan peralihan. Sejumlah contoh teknik sosialisasi dimasukkan dalam Rencana Pelaksanaan ESM Bagian D, Volume 1 ini.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-36

Langkah kedelapan dan terakhir dalam proses adalah untuk Proponen atau otorita pelaksanaan (jika bukan Proponen) untuk memantau dan mengevaluasi keefektifan kebijakan atau standar. Ini termasuk mereviu bukti baru. Juga termasuk mendapatkan dan menerbitkan data kepatuhan. Melakukan kegiatan tersebut akan sering seluruhnya atau utamanya untuk para ahli, yang misalnya dapat mempercepat reviu jika data ilmiah baru yang signifikan tersedia. Masyarakat akan prihatin dengan hasil evaluasi, yang dapat mengindikasikan bahwa cara pelaksanaannya harus diperbaiki, atau akhirnya bahwa seluruh proses penentuan standar harus diulangi lagi, jika muncul kebutuhan terhadap pendekatan baru. Ciri-ciri utama yang membedakan proses di atas dari apa yang biasanya terjadi pada saat ini adalah:

• pemisahan fungsi yang sangat jelas antara analisis dan kebijakan; • penjelasan yang komprehensif mengenai bentuk analisis yang diperlukan untuk

mendukung keputusan dan sumbangannya masing-masing; • penekanan pada pertimbangan aspirasi dan nilai masyarakat, tidak hanya ketika

keputusan akan diambil, tetapi pada tahap awal pengenalan dan penentuan masalah, pembingkaian pertanyaan, dan perumusan tujuan kebijakan – isu yang dibahas dan metodologi yang digunakan selama tahap analitis proses mencerminkan nilai-nilai yang diperoleh selama tahap awal ini; dan

• transparansi, keterbukaan dan konsultasi publik di semua tahap.

7.0 KOORDINASI ANTAR-INSTANSI Mengingat sifat kebijakan dan standar lingkungan multi-sektoral serta perlunya transparansi dan keterbukaan sebagaimana halnya konsultasi publik dan stakeholder dalam pelaksanaan ESM, maka pelaksanaannya perlu melibatkan konsultasi dan koordinasi antar-instansi yang efektif. Ini perlu untuk memastikan adanya masukan dan keterangan yang cukup bagi proses sebagaimana halnya untuk memudahkan terbentuknya konsensus, dan pemahaman terhadap hasil kebijakan dan standar. Koordinasi antar-instansi di Indonesia biasanya diberikan di tingkat nasional melalui Kabinet (Menteri), Menteri Koordinator, Menteri Negara, konsultasi antar-Menteri, konsultasi antar-Departemen dan Panitia atau Kelompok Kerja; serta konsultasi formal dan ad hoc antara Menteri dan Instansi Pemerintah, Pemerintah Lokal, lembaga, asosiasi industri, LSM dan kelompok masyarakat. Di tingkat pemerintah lokal, koordinasi dicapai melalui Menteri Dalam Negeri dan pertemuan nasional berkala antara Gubernur dengan Pemerintah Pusat; di propinsi melalui pertemuan berkala antara Bupati/Walikota dengan Gubernur serta pertemuan formal dan ad hoc serta kelompok panitia/kerja untuk fungsi dan isu khusus; demikian pula di kabupaten/kotamadya. Sebuah pertimbangan penting bagi ESM adalah – siapa yang membuat keputusan akhir mengenai standar dan mekanisme koordinasi apa yang akan digunakan. Untuk Standar Lingkungan hal ini seringkali dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Menteri lainnya, Gubernur atau Bupati/Walikota, tetapi standar lingkungan juga dibuat oleh instansi sektoral, asosiasi industri dan organisasi lainnya. Untuk keputusan yang lebih komprehensif mengenai

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-37

kebijakan dan standar, keputusan dapat dipadukan dalam undang-undang yang melibatkan Badan Legislatif Nasional atau Lokal. Negara-negara lain, misalnya Hongkong, Thailand, Australia dan AS memenuhi kebutuhan koordinasi ini melalui pendirian Dewan Perlindungan Lingkungan Nasional yang melibatkan wakil dari berbagai kelompok kepentingan. Mereka dapat memiliki kekuasaan pembuatan keputusan eksekutif bila mereka termasuk keanggotaan Kementerian; atau menjadi penasihat untuk Menteri atau Kepala Negara, bila bukan keanggotaan Kementerian. Kadang-kadang kedua model keanggotaan digunakan dengan cara yang disebut belakangan menjadi penasihat untuk yang disebut sebelumnya Oleh karena itu, ESM memenuhi kebutuhan seperti Dewan Kementerian, didukung oleh Kelompok Penasihat yang dilayani oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ini akan dilibatkan tidak hanya dalam penentuan standar, tetapi juga isu-isu yang lebih luas seperti pencapaian pembangunan yang lestari secara ekologis, kebijakan dan program lingkungan yang strategis,serta masalah-masalah dan Konvensi lingkungan internasional. Dewan-2 dan Kelompok Penasihat sejenis juga ditetapkan di tingkat distrik dan propinsi, tetapi dengan focus pada isu dan standar lingkungan multi-propinsi dan propinsi. Koordinasi ini dapat dicapai melalui Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin). Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 135 tahun 1999, Menteri Koordinator ini memiliki fungsi-fungsi berikut: (a) mengkoordinir Menteri Negara dan Kepala Instansi Pemerintah Non-Departemen dan

meningkatkan keselarasan dalam memenuhi tugas masing-masing yang berkaitan dengan bidang ekonomi, keuangan dan industri, serta penyelesaian masalah yang timbul di sejumlah bidang tersebut;

(b) mengkoordinir upaya Badan Usaha Milik Negara untuk mendapatkan pinjaman luar

negeri, baik berupa pinjaman lunak, kredit ekspor maupun pinjaman komersial, dan pengendalian realisasi dan pemanfaatan pinjaman tersebut;

(c) mengkoordinir kebijakan, pengembangan investasi, produksi dan distribusi sehingga

dapat mencapai keseimbangan struktur ekonomi; pembangunan regional, serta pembangunan pusat pertumbuhan ekonomi terpadu dan regional; pengembangan kerjasama ekonomi sub-regional, regional dan internasional; dan persamaan pengusaha dan peluang usaha, serta pengendalian kinerja atau pelaksanaannya;

(d) mengkoordinir penyelesaian masalah yang timbul dalam lingkup tugasnya yang

berkaitan dengan tugas Menteri Negara dan/atau Kepala Instansi Negara Non-Departemen di bawah koordinasi Anggota Koordinasi lainnya;

(e) menyerahkan laporan kepada Presiden mengenai hasil evaluasi, saran dan pendapat

tentang berbagai masalah dalam lingkup tugas dan fungsinya. Dalam melaksanakan fungsi-fungsi ini, Menko Ekuin mengkoordinir: (1) Menteri Keuangan (2) Menteri Pertambangan dan Energi (3) Menteri Industri dan Perdagangan (4) Menteri Pertanian (5) Menteri Kehutanan dan Perkebunan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-38

(6) Menteri Perhubungan (7) Menteri Tenaga Kerja (8) Menteri Eksplorasi dan Perikanan Laut (9) Menteri Negara Pekerjaan Umum (10) Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian (11) Menteri Negara Penanaman Modal dan Pemberdayaan Badan Usaha Milik Negara (12) Menteri Negara Riset dan Teknologi (13) Menteri Negara Lingkungan Hidup (14) Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (15) Kepala Administrasi Logistik (16) Kepala Biro Statistik Pusat (17) Kepala Lembaga Standarisasi Nasional (18) Kepala Badan Perencanaan Nasional (19) Kepala Lembaga Studi dan Penerapan Teknologi (20) Kepala Lembaga Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (21) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (22) Kepala Badan Pertanian Nasional (23) Kepala Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan (24) Kepala Instansi lainnya, bila dianggap perlu. Pasal 12 menetapkan bahwa: (1) Koordinasi oleh Menteri Koordinator dilaksanakan dalam hal:

(a) perumusan kebijakan; (b) pelaksanaan kebijakan, baik rutin maupun atas masalah yang ada; dan (c) evaluasi pelaksanaan kebijakan.

(2) Koordinasi oleh Menteri Koordinator dilaksanakan melalui:

(a) pertemuan koordinasi dari Menteri Koordinator atau pertemuan gabungan Menteri Koordinator;

(b) pertemuan kelompok kerja yang dibentuk oleh Menteri Koordinator sebagaimana

diperlukan;

(c) forum koordinasi yang ada yang diciptakan menurut peraturan yang berlaku; dan

(d) konsultasi langsung dengan Menteri dan Kepala lembaga pemerintah non departemen lainnya.

(3) Koordinasi oleh Menteri Koordinator dilaksanakan secara berkala dan setiap saat

menurut keperluan. Menko Ekuin dibantu oleh Sekretarisnya, Deputi Teknis, Staf Ahli dan Kelompok Kerja yang dibentuk untuk tujuan teknis khusus, sebagaimana ditunjukkan dalam (2) (b) di atas. Pengelompokan Menteri dan Menteri Negara yang relevan dari nomor 1 hingga 14 di atas dan termasuk Kepala BAPEDAL, dihimpun oleh Menteri Koordinator (atau calonnya, mungkin Menteri Lingkungan Hidup), dapat berfungsi sebagai badan pembuatan keputusan untuk berbagai isu kebijakan dan standar lingkungan utama. Deputi Teknis dapat dicalonkan sebagai Pimpinan Kelompok Kerja untuk melibatkan kepentingan sektoral dan non-

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-39

pemerintah yang relevan untuk mengembangkan proposal Dewan Menteri yang harus dipertimbangkan. Ini tampaknya tepat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 9 KEPPRES No. 135 tahun 1999 bahwa fungsi Deputi Teknis adalah: (a) menyiapkan dan merumuskan kebijakan Menteri Koordinator sesuai dengan tugas dan

fungsinya; (b) memantau, mengevaluasi dan melaporkan masalah atau kegiatan tertentu sesuai dengan

tugas dan fungsinya; (c) menjaga hubungan usaha dengan departemen, instansi pemerintah non-departemen, dan

instansi-instansi lainnya di bawah pengarahan Menteri Koordinator; dan (d) melakukan pekerjaan lain sebagaimana ditugaskan oleh Menteri Koordinator sesuai

dengan tugas dan fungsinya. Masalah penentuan kebijakan dan standar rutin dapat terus dikoordinir melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan BAPEDAL, setelah bermusyawarah dengan sektor lainnya, stakeholder dan masyarakat. Masalah pemerintah lokal harus dikoordinir melalui pembentukan mekanisme koordinasi yang melayani Gubernur dan Bupati/Walikota. Karena mekanisme yang ada bervariasi antara Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya, dan mengingat ketentuan Undang-undang No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintah Daerah (otonomi), maka lebih disukai bila metode yang digunakan ditentukan oleh pemerintah setempat bergantung pada kebutuhan dan persyaratannya. Alternatif preferensi untuk menggunakan yang tersebut di atas yang mengacu pada model Menteri Koordinator yang ada harus berjalan seiring dengan proposalnya dalam rangka membentuk Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari. Diusulkan agar Komisi dibentuk sebagai Badan Pemerintah independen yang dipimpin oleh Presiden atau calonnya, dengan keanggotaan yang diambil dari, Pemerintah (30 %), Dunia Usaha (10 %), Ilmuwan/Akademi (10 %) dan Masyarakat Umum (50 %). Tujuan utama Komisi adalah memadukan berbagai aspek lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi, didasarkan pada prinsip pembangunan lestari. Untuk mencapai tujuan ini, Komisi harus memiliki fungsi berikut ini: • Menjelaskan arah kebijakan yang ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara, relevan

dengan isu pembangunan lestari, untuk digunakan oleh Menteri terkait, masyarakat bisnis dan publik.

• Merumuskan kebijakan strategis dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara holistik, multi-sektoral dan lintas batas, melalui pelaksanaan prinsip pembangunan lestari, termasuk perencanaan tata ruang, desentralisasi manajemen, dan keadilan, untuk digunakan oleh Menteri terkait. Setiap Menteri terkait harus menyusun kebijakan yang lebih rinci untuk masing-masing sektor.

• Menentukan kriteria investasi dan teknologi yang sehat secara lingkungan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1B-Ina

CMPS Asia Pacific

B-40

• Menegakkan kebijakan terkait dengan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan. • Mengendalikan pelaksanaan kebijakan dalam sumberdaya alam dan pengelolaan

lingkungan untuk menjamin agar prinsip pembangunan lestari dilaksanakan. • Mengkoordinasikan dengan sejumlah Dewan yang relevan lainnya. • Menentukan posisi Indonesia dalam forum/pembicaraan global mengenai isu pengelolaan

lingkungan. • Membuat keputusan mengenai konflik dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan,

dengan situasi yang rumit, multi-dimensional, multi-sektor, dan lintas-batas, dan dengan dampak yang signifikan pada ekosistem dan sosial-ekonomi masyarakat.

Proposal yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah juga menetapkan agar Komisi melibatkan: • Komisi Penyelesaian Konflik • Komisi Pengendalian • Komisi Bio-regional Sunda • Komisi Bio-regional Wallacea • Komisi Bio-region Sahul. Komisi tersebut dapat membentuk Kelompok Kerja khusus dan diusulkan lebih jauh agar sejumlah Lembaga Daerah didirikan untuk memudahkan pembinaan pembangunan yang lestari secara ekologis di daerah bersangkutan. Sementara tujuan pokok Komisi adalah untuk memadukan sejumlah pertimbangan lingkungan dan ekonomi yang sedang berkembang, revisi dan penentuan standar lingkungan merupakan bagian mendasar dari tujuan ini dan konsisten dengan sejumlah rujukan fungsi di atas. Oleh karena itu, konsultasi dan persyaratan koordinasi pembuatan keputusan ESM yang diminta jelas termasuk dalam pengoperasian Komisi ini, terutama mengingat keanggotaan dan usulan hubungan lintas sektoral dengan Pemerintah tingkat Pusat dan Propinsi. Komisi Pengendalian tersebut di atas, dapat diberi tanggung jawab untuk memproses standar lingkungan Nasional, melalui Kelompok Kerja yang dibentuk untuk keperluan tersebut dan dilayani oleh BAPEDAL. Pengaturan serupa kemudian ditetapkan di tingkat daerah, dengan menggunakan lembaga yang ada atau lembaga baru yang dilayani oleh BAPEDALDA daerah.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1C-Ina

CMPS Asia Pacific C-1

BAGIAN C PROSEDUR PENGOPERASIAN STANDAR (SOP)

1.0 URAIAN Prosedur Pengoperasian Standar (SOP) memberikan sejumlah detil prosedur atau panduan administratif dan teknis untuk membantu mereka yang melakukan berbagai tugas dan kegiatan dalam melaksanakan Proses Penentuan Standar (SSP) yang dijelaskan dalam Bagian B Volume ini. SOP dirancang bagi staf BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, yang memiliki pengalaman minimum tiga tahun dalam organisasi tersebut, mempersiapkan atau melaksanakan Metodologi Standar Lingkungan (ESM) di bawah bimbingan manajemen. Untuk dapat dipahami dan diterapkan sepenuhnya SOP harus dibaca secara terpadu dengan bagian lain ESM, terutama Buku Pedoman Acuan (RM) Volume 2 dan berbagai referensi yang tertera di bagian akhir Volume 1 ini. Biasanya SOP disusun untuk memberikan pengantar, tujuan, latar belakang, prosedur dan bahan pendukung.

2.0 TOPIK Berbagai pilihan topik untuk disertakan dalam ESM ini, adalah yang diidentifikasi seperlunya untuk pelaksanaan awal Metodologi. Beberapa topik tersebut tidak lengkap, dan yang lainnya perlu dikembangkan dan ditambah oleh BAPEDAL sebagai pengalaman praktis yang diperoleh dalam pelaksanaan Metodologi. SOP diberikan dalam Aneks pada Volume 1 ESM ini. Liputan topiknya tertera di bawah ini disertai penjelasan singkat. 1 Singkatan SOP memberikan daftar singkatan yang lazim digunakan dalam pengelolaan dan prosedur penentuan standar lingkungan, serta artinya yang diterima secara umum. 2 Daftar Istilah Lingkungan SOP memberikan daftar istilah administratif dan teknis yang lazim digunakan dalam pengelolaan dan prosedur penentuan standar lingkungan, serta definisi atau penjelasannya yang diterima secara umum. 3 Statistik Lingkungan SOP memberikan berbagai terbitan statistik lingkungan yang ada yang dikelompokkan berdasarkan BAPEDAL nasional, daerah dan propinsi. Statistik tersebut menggunakan struktur administratif Pemerintah Indonesia yang ada pada tanggal pengumpulannya, tetapi dengan penghapusan Timor Timur. Dengan demikian jumlahnya adalah sebanyak 26 propinsi, bukan 29 sebagaimana yang diusulkan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1C-Ina

CMPS Asia Pacific C-2

Meskipun statistik BAPEDAL daerah dan nasional tetap sama, pada saatnya perlu diadakan beberapa pemisahan angka Maluku dan Papua (dahulu Irian Jaya) untuk menyesuaikannya dengan perbatasan propinsi yang baru, oleh Biro Statistik. 4 Pengumpulan dan Analisis Data SOP ini memberikan prosedur pengumpulan dan analisis data, bersama dengan informasi latar belakang mengenai sumber data, penyajian, faktor konversi dan unit. 5 Memprioritaskan Isu Lingkungan SOP ini menyediakan prosedur mengenai penentuan dan prioritasisasi berbagai isu lingkungan. 6 Standar Lingkungan Indonesia SOP ini memberikan sejumlah contoh standar lingkungan Indonesia pada saat ini. 7 Standar Lingkungan Internasional SOP ini memberikan sejumlah contoh standar lingkungan internasional. 8 Standar Lingkungan untuk Negara Berkembang SOP ini memberikan alternatif penentuan standar lingkungan di negara berkembang. 9 Efek Kesehatan oleh Polutan SOP ini memberikan informasi mengenai efek kesehatan oleh sejumlah polutan dan contoh prosedur terkait. 10 Pengelolaan Mutu Air SOP ini memberikan prosedur pengelolaan mutu air. 11 Pengambilan dan Analisis Sampel Air SOP ini memberikan informasi mengenai prosedur pengambilan dan analisis sampel air. 12 Pengambilan dan Analisis Sampel Udara SOP ini memberikan informasi mengenai prosedur pengambilan dan analisis sampel udara. 13 Teknologi Pengendalian Pencemaran SOP ini memberikan informasi mengenai teknologi pengendalian pencemaran dasar. 14 Instrumen Ekonomi SOP ini memberikan informasi mengenai instrumen ekonomi yang lazim digunakan dalam mengendalikan kerusakan lingkungan. 15 Partisipasi Masyarakat SOP ini menjelaskan sejumlah prosedur untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan penentuan standar.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-1

BAGIAN D RENCANA PELAKSANAAN

1.0 PENGANTAR 1.1 LATAR BELAKANG Proyek BRNP EMS yang telah menyelesaikan Rancangan Metodologi Standar Lingkungan (ESM) ini bersama BAPEDAL, kini bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Bagian D ini memberikan Rencana Pelaksanaan (IP) guna membantu BAPEDAL dalam tugas ini. Tujuan ESM adalah untuk memberikan: • Metodologi penentuan standar lingkungan yang terbuka dan transparan yang melibatkan,

langsung atau tak langsung, semua stakeholder (termasuk masyarakat umum) dengan kepentingan dalam standar lingkungan yang sedang dipertimbangkan.

• Proses dan prosedur administratif dan teknis terinci serta bertahap guna membantu staf

dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup (LH), BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA untuk mempersiapkan, atau ikut serta dalam persiapan, atau membuat keputusan mengenai standar lingkungan yang cocok untuk diterapkan di tingkat nasional atau daerah di segenap sektor.

• Informasi latar belakang administratif dan teknis mengenai penyiapan dan penentuan standar lingkungan, guna membantu staf dalam tubuh LH dan BAPEDAL, serta instansi lainnya termasuk BAPEDALDA untuk memahami metodologi, proses dan prosedurnya, dan bagaimana cara melaksanakannya.

1.2 ESM ESM terdiri dari: Volume 1: Rangkuman (Bagian A); Proses Penentuan Standar (Bagian B); Prosedur Pengopersian Standar (SOP) (Bagian C); Rencana Pelaksanaan (Bagian D); Panduan Belajar Mandiri (Bagian E); serta Referensi dan Aneks. Volume 2: Latar Belakang (Bagian A); Informasi Referensi (Bagian B); dan Referensi. Hubungan antara kedua volume tersebut dan berbagai Bagiannya diilustrasikan dalam Gambar D1.1. ESM memberikan panduan bagi BAPEDAL, BAPEDALDA, Instansi Pemerintah dan Lembaga Penentuan Standar lainnya mengenai bagaimana menentukan dan merevisi standar dengan cara terbuka, transparan dan efektif, di tingkat nasional dan lokal. Pelaksanaan ESM secara dini adalah penting bagi Indonesia karena: • Ada tekanan perdagangan dan konsumen internasional yang semakin meningkat kepada

Pemerintah Indonesia agar memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungannya dan mematuhi standar internasional. Penyusunan dan pengoperasian proses penentuan standar nasional dan lokal yang andal dan transparan akan memungkinkan Pemerintah Indonesia

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-2

menanggapi sejumlah tekanan di atas dengan cara bertanggungjawab baik secara sosial maupun ekonomi.

• Letter of Intent yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund (IMF) pada bulan Januari 2000, menetapkan ketentuan bagi Pemerintah Indonesia agar menyebarluaskan sisa-sisa peraturan di bawah Undang-undang No. 23 tahun 1997, mengenai Pengelolaan Lingkungan, yaitu, lima pada tahun 2000, lima pada tahun 2001, dan sisanya yang lima lagi pada tahun 2002. Banyak di antaranya, bahkan mungkin semuanya, melibatkan standar lingkungan.

GAMBAR D1.1: HUBUNGAN METODOLOGI STANDAR LINGKUNGAN (ESM) Secara ringkas tugas pelaksanaan meliputi: 1 Reviu BAPEDAL/LH terhadap ESM dengan memperhatikan kebutuhan di Indonesia

pada saat ini, serta pengesahan dan pengumuman resmi Metodologi tersebut dalam bentuk Keputusan Menteri, termasuk sejumlah panduan pendukung bagi penerapannya di tingkat nasional dan lokal.

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

BAG. E

PANDUAN BELAJAR MANDIRI (SLG)

BA

G. A

RA

NG

KU

MA

N

BAG. B

PROSES

PENENTUAN STANDAR

(SSP)

BAG. C

PROSEDUR

PENGOPERASIAN STANDAR

(SOP)

BA

G. D

R

EN

CA

NA

PEL

AK

SAN

AA

N(I

P)

BAG. A

LATAR BELAKANG

BAG. B

INFORMASI REFERENSI

PROSES dan SOPVOLUME 1 MANUAL REFERENSIVOLUME 2

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-3

2 Sosialisasi dan pelatihan staf operasional dalam hal ESM di berbagai kantor BAPEDAL

pusat dan daerah, termasuk pelatihan pelatih (ToT). Ini harus termasuk penyelesaian aplikasi studi kasus praktis ESM dalam hal pengembangan standar di atas yang ditunjukkan pada Peraturan Undang-undang No. 23 tahun 1997.

3 Sosialisasi dan pelatihan staf operasional dalam hal ESM dalam tubuh BAPEDALDA

di tingkat propinsi dan kabupaten/kotamadya, dengan menggunakan personil terlatih menurut item 1.

4 Sosialisasi ESM dalam tubuh Pemerintah dan masyarakat luas guna mendorong

terjadinya partisipasi penuh dalam proses, sejalan dengan item 2 dan 3. 5 Mereviu sejumlah pengalaman dalam item 1 hingga 4 dan memodifikasi ESM bila

dianggap perlu.

2.0 RENCANA PELAKSANAAN 2.1 PRINSIP ESM dan Rencana Pelaksanaan ini didasarkan pada sejumlah prinsip berikut yang diambil dari Visi dan Misi Pemerintah, sebagaimana dijelaskan dalam Garis Besar Haluan Negara tahun 1999. Informasi lebih lanjut mengenai berbagai prinsip ini diberikan dalam Bagian B, Seksi 2.2 Volume 1 ini.

• Kesejahteraan dan keamanan manusia • Keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungannya • Konsistensi dengan Konvensi internasional dan Undang-undang dasar, hukum dan

kebijakan Pemerintah Indonesia • Supremasi hukum dan hak-hak azasi manusia • Otonomi daerah • Keadilan antar-generasi • Pelestarian fungsi lingkungan • Perpaduan pertimbangan sosial, ekonomis dan ekologis, jangka pendek dan panjang • Relevansi dengan hukum yang berlaku • Transparansi, keterbukaan dan pengungkapan publik terhadap informasi dan proses

lingkungan • Keterlibatan dan pemberdayaan stakeholder dan publik dalam pelaksanaan • Kepatuhan dan pemberdayaan • Reviu dan perbaikan kinerja yang kontinyu. 2.2 KEBIJAKAN Kebijakan berikut ini ditarik dari prinsip penerapan yang dirancang agar dapat mencapai pelaksanaan ESM yang efektif. Kebijakan tersebut juga konsisten dengan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, serta Visi, Misi dan Strategi Menteri Lingkungan Hidup yang disajikan untuk Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Nopember 1999. Kebijakan tersebut memberikan pernyataan umum yang didesain untuk membina atau menyalurkan proses pemikiran dalam melaksanakan Proses Penentuan Standar (SSP) dan SOP, bersama dengan pembuatan keputusan yang berkaitan dengan hal itu. Dengan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-4

demikian, mereka memberikan pedoman umum di mana tindakan dapat diambil dan keputusan dibuat guna menghindari analisis dan pertimbangan berulang terhadap serangkaian tindakan umum untuk hal serupa. Informasi lebih jauh mengenai kebijakan ini diberikan dalam Bagian B, Seksi 2.3 Volume 1. Kebijakan harus diikuti oleh segenap staf yang melaksanakan ESM.. Kebijakan P1 – Penerapan ESM ESM harus digunakan oleh staf Kementerian Lingkungan Hidup/BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA dalam segenap kasus yang melibatkan revisi standar lingkungan yang ada atau penyiapan standar lingkungan baru. Kebijakan P2 – Sosialisasi dan Pelatihan Untuk membantu organisasi pemerintah dan non-pemerintah, stakeholder, dan masyarakat agar dapat memahami, melaksanakan dan berpartisipasi sepenuhnya dalam pelaksanaan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup dan BAPEDAL harus mengembangkan dan melaksanakan program sosialisasi dan pelatihan ESM nasional dan regional yang komprehensif. Kebijakan P3 – Kesejahteraan dan Keamanan Manusia Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memberikan prioritas perhatian agar dapat mencapai kesejahteraan dan keamanan manusia di dalam komunitas yang tampaknya akan terkena pengaruh keputusan terkait mengenai Standar Lingkungan. Kebijakan P4 – Keselarasan dan Keseimbangan Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memberikan prioritas perhatian agar dapat mencapai transparansi, keterbukaan, keselarasan dan keseimbangan di dalam dan di antara berbagai stakeholder dan orang lain yang terlibat dalam proses ESM, atau mungkin akan terkena pengaruh hasilnya. Kebijakan P5 – Undang-undang dan Program Standar lingkungan harus konsisten dengan Undang-undang Dasar, konvensi internasional, perjanjian bilateral, undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah nasional dan lokal. Kebijakan P6 – Keadilan Antar-generasi

Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus memastikan agar kesehatan, keanekaragaman dan produktivitas lingkungan dipertahankan atau ditingkatkan demi kepentingan generasi mendatang Kebijakan P7 – Relevansi

Standar lingkungan harus relevan dengan kemampuan politik, fisik, sosial, ekonomi, teknologi dan ekologi area geografis atau fungsional di mana mereka diterapkan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-5

Kebijakan P8 – Cakupan Geografis Standar lingkungan ditetapkan terhadap area terkecil yang dianggap layak dan efektif untuk dilaksanakan. Kebijakan P9 – Transparansi dan Keterbukaan Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus selalu menjamin adanya transparansi dan keterbukaan di semua kegiatan pelaksanaan, kecuali untuk masalah “rahasia perusahaan” yang harus ditentukan dan dicatat apa adanya oleh pembuat keputusan yang relevan. Kebijakan P10 – Pemberdayaan Stakeholder dan Masyarakat Dalam melaksanakan ESM, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, harus mengambil langkah positif, di segenap proses pelaksanaannya, untuk memastikan agar stakeholder dan masyarakat umum diberi informasi yang mudah dipahami, menyadari sepenuhnya proses ESM yang sedang dilaksanakan, dan diberi kesempatan cukup untuk masukan yang berguna bagi proses tersebut. Kebijakan P11 – Melestarikan Fungsi Lingkungan Dalam melaksanakan ESM, prioritas harus diberikan untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan. Kebijakan 12 – Kepatuhan dan Pemberdayaan Menentukan prosedur kepatuhan dan pemberdayaan untuk memastikan pelaksanaan Standar Lingkungan yang efektif. Kebijakan P13 – Reviu dan Kinerja Pelaksanaan ESM harus dipantau oleh BAPEDAL di mana prosedur dan masukannya direviu, dan kinerjanya selalu ditingkatkan seiring berjalannya waktu. 2.3 TUJUAN Tujuan Rencana Pelaksanaan ini adalah:

• Menjelaskan tugas utama serta kegiatan terkait dan tanggungjawab BAPEDAL untuk melaksanakan ESM.

• Mengidentifikasi persyaratan konsultasi. • Menjadwalkan waktu untuk melaksanakan tugas dan kegiatan. Rencana tersebut juga termasuk pemberian bantuan dan petunjuk teknis kepada BAPEDALDA untuk pelaksanaan ESM lokal. 2.4 TUGAS Secara umum, Rencana Pelaksanaan mempersyaratkan BAPEDAL untuk melaksanakan tugas berikut ini selama tiga tahun mendatang, setelah konsultasi dengan LH, departemen dan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-6

instansi lainnya, stakeholder dan masyarakat umum. Teknik keikut-sertaan masyarakat yang dijelaskan dalam SOP 15 harus digunakan dalam proses ini. T1: Penerapan ESM Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mereviu ESM dengan memperhatikan kebutuhan di Indonesia pada saat ini, mengubahnya bila dianggap perlu, dan mempersiapkan Keputusan Menteri termasuk sejumlah panduan pendukung untuk mendapatkan persetujuan Menteri Lingkungan Hidup, agar ESM dapat dilaksanakan oleh BAPEDAL dan BAPEDALDA. Waktu 6 bulan. T2: Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDAL/LH Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH untuk mensosialisasikan ESM dan melakukan pelatihan staf operasional termasuk pelatihan pelatih, di Kantor Pusat BAPEDAL/LH dan Kantor Daerah BAPEDAL. Waktu 6 bulan. T3: Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDALDA Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mensosialisasikan ESM dan melakukan pelatihan staf, termasuk pelatihan pelatih, di BAPEDALDA Propinsi. Waktu 6 bulan. T4: Sosialisasi Eksternal Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mensosialisasikan ESM di berbagai instansi Pemerintah dan masyarakat luas guna mendorong penerapan penuh, dan keikutsertaan dalam, ESM. Waktu 9 bulan. T5: Prioritasisasi Standar Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mereviu isu lingkungan nasional sekarang dan kinerja standar lingkungan yang ada, serta memberinya prioritas untuk mengembangkan program guna merevisi atau menentukan standar lingkungan nasional yang baru. Waktu 6 bulan. T6: Studi Kasus ESM Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH melakukan pelaksanaan studi kasus ESM mengenai pilihan isu/standar berprioritas tinggi. Waktu 24 bulan. T7: Persetujuan dan Kepatuhan Hukum Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mengembangkan dan menerapkan sistem persetujuan dan kepatuhan lingkungan berdasarkan hukum bagi pengendalian pencemaran di Indonesia. Waktu 24 bulan. T8: Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-7

Tugas ini menghendaki LH membantu Pemerintah dalam membentuk Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari yang diusulkan, dengan fungsinya untuk memasukkan persetujuan terhadap Standar Lingkungan Nasional. Waktu 6 bulan. T9: Bantuan Teknis Lokal Tugas ini menghendaki BAPEDAL terus-menerus memberikan bantuan teknis kepada BAPEDALDA dan instansi lokal lainnya dalam hal pelaksanaan ESM. Waktu terus-menerus. T10: Reviu ESM Tugas ini menghendaki BAPEDAL/LH mereviu ESM dengan memperhatikan pengalaman pelaksanaan tugas lainnya, utamanya Studi Kasus ESM T6, dan mengubah ESM bila perlu. Waktu 6 bulan. T11: Pemantauan ESM Tugas ini menghendaki BAPEDAL memantau pelaksanaan ESM secara terus-menerus, dan secara berkala mereviu dan mengadaptasi ESM untuk selalu menyesuaikan kebutuhan yang senantiasa berubah seiring perjalanan waktu. Waktu terus-menerus. 2.5 KEGIATAN DAN TANGGUNGJAWAB Kegiatan dan Tanggungjawab yang terkait dengan berbagai tugas di atas dijelaskan di bawah ini. Mereka dijadualkan dalam Rencana Kerja Pelaksanaan dalam Tabel D2.1, bersama persyaratan konsultasi. T1: Penerapan ESM Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah ini.

Kegiatan T1A1: Tim Reviu ESM Membentuk Tim Reviu Gabungan ESM BAPEDAL/LH (ESMRT). Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL. Kegiatan T1A2: Draf Keputusan Menteri mengenai Metodologi Standar Lingkungan (ESM) Mereviu ESM dan mempersiapkan draf Keputusan Menteri, termasuk pedoman pelaksanaan. Penanggungjawab ESMRT. Kegiatan T1A3: Reviu Keputusan Menteri mengenai Metodologi Standar Lingkungan (ESM) Mereviu draf Keputusan Menteri mengenai ESM melalui konsultasi dengan instansi yang relevan, dan memberitahu Menteri Lingkungan dalam kaitannya dengan hal tersebut. Penanggung jawab SESMEN LH.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-8

TABEL D2.1: RENCANA KERJA PELAKSANAAN ESM

KODE TUGAS DAN KEGIATAN PENANGGUNGJA-WAB TAHUN ke-1 TAHUN ke-2 TAHUN ke-3

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 KONSULTASI

T1

A1

A2

A3

A4

Penerapan ESM

Tim Reviu ESM

Draf Keputusan ESM

Reviu Keputusan ESM

Keputusan Akhir ESM

Deputi 2 BAPEDAL

ESMRT

SESMEN LH

MENLH

Deputi LH dan BAPEDAL

Instansi yang relevan

Instansi yang relevan

Menteri yang relevan

T2

A1

A2

A3

Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDAL/LH

ESMS & TTeam

Publikasi

Sosialisasi dan pelatihan

Deputi 2 BAPEDAL

ESMS & TT

ESMS & TT

Deputi LH dan BAPEDAL

Direktorat BAPEDAL

Pimpinan BAPEDAL Daerah

T3

A1

A2

Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDALDA

Publikasi

Sosialisasi dan pelatihan

ESMS & TT

ESMS & TT

Direktorat BAPEDAL

Pimpinan BAPEDAL Daerah

T4

A1

A2

Sosialisasi Eksternal

Publikasi

Lokakarya ESM

ESMS & TT

ESMS & TT

Direktorat BAPEDAL

Pimpinan BAPEDAL Daerah

T5

A1

A2

A3

A4

Prioritasisasi Standar

Tim SP

Pengumpulan data

Kertas diskusi

Penentuan prioritas

Deputi 2 BAPEDAL

SPT

SPT

SPT dan MENLH

Deputi BAPEDAL

Pimpinan BAPEDAL Daerah

Publik

Menteri yang Relevan Catatan: Publik meliputi instansi, lembaga, stakeholder, industri LSM dan masyarakat umum.

D-8

dhie/Methodology V1D

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-9

TAHUN ke-1 TAHUN ke-2 TAHUN ke-3 KODE TUGAS DAN KEGIATAN PENANGGUNGJAWAB Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

KONSULTASI ONS

T6 A1 A2

A3 A4

Studi Kasus ESM Tim CS ESM Studi kasus ESM Draf laporan studi kasus Laporan akhir studi kasus

Deputi 2 BAPEDAL CST CST CST dan MENLH

Pimpinan BAPEDAL Daerah BAPEDALDA terpilih dan instansi relevan lainnya Menteri yang Relevan

T7 A1

A2 A3 A4 A5

Persetujuan dan Kepatuhan Hukum Tim LC

Sistem kepatuhan pengembangan Reviu sistem kepatuhan Penentuan sistem kepatuhan Undang-undang sistem kepatuhan

Deputi 2 BAPEDAL LCT LCT LCT, MENLH dan Gubernur Gubernur dan Badan Legislatif

LH, Pimpinan Daerah dan Gubernur yang relevan Publik Publik Menteri yang Relevan Badan Legislatif Assembly

T8

A1

Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari Menyelesaikan proposal Komisi

SESMEN LH dan MENLH

Instansi dan Menteri yang relevan

T9 A1

Bantuan Teknis Lokal Bantuan Teknis

Pimpinan BAPEDAL Daerah

BAPEDALDA

T10 A1 A2 A3

Reviu ESM Tim ESMR Kertas diskusi ESM Revisi ESM

Deputi 2 BAPEDAL ESMRT ESMRT dan MENLH

LH Publik Menteri yang Relevan

T11 A1

Pemantauan ESM Pemantauan dan reviu ESM

BAPEDAL dan MENLH

Publik

Catatan: Publik meliputi instansi, lembaga, stakeholder, industri LSM dan masyarakat umum.

D-9

dhie/Methodology V1D

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-10

Kegiatan T1A4: Keputusan Final Menteri mengenai Metodologi Standar Lingkungan (ESM) Menteri mempertimbangkan, melalui konsultasi dengan sejumlah Menteri lainnya, dan membuat Keputusan Menteri mengenai ESM, jika disetujui. Penanggung jawab Menteri Lingkungan Hidup.

T2: Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDAL/LH

Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah ini. Kegiatan T2A1: Tim Sosialisasi dan Pelatihan ESM Membentuk Tim gabungan Pelatihan dan Sosialisasi ESM (ESMS dan TT) BAPEDAL/LH. Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL.

Kegiatan T2A2: Publikasi Persiapan, publikasi dan distribusi internal brosur, panduan dan buku pedoman ESM untuk digunakan oleh staf BAPEDAL dan LH. Penanggung jawab ESMS dan TT. Kegiatan T2A3: Sosialisasi dan Pelatihan Persiapan dan pelaksanaan program sosialisasi dan pelatihan, termasuk pelatihan pelatih, untuk staf Kantor Pusat BAPEDAL/LH dan Kantor Daerah BAPEDAL. Penanggung jawab ESMS dan TT.

T3: Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDALDA Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T3A1: Publikasi Persiapan, publikasi dan distribusi brosur, panduan dan buku pedoman ESM kepada BAPEDALDA untuk digunakan oleh staf BAPEDALDA. Penanggung jawab ESMS dan TT. Kegiatan T3A2: Sosialisasi dan Pelatihan Persiapan dan pelaksanaan program sosialisasi dan pelatihan, termasuk pelatihan pelatih, untuk BAPEDALDA Propinsi. Penanggung jawab ESMS dan TT.

T4: Sosialisasi Eksternal Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T4A1: Publikasi Persiapan, publikasi dan distribusi eksternal brosur, panduan dan publikasi media ESM Penanggung jawab ESMS dan TT. Kegiatan T4A2: Lokakarya ESM

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-11

Melaksanakan lokakarya publik di semua daerah untuk instansi, stakeholder, LSM dan masyarakat guna menjelaskan substansi ESM dan peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaannya. Penanggung jawab ESMS dan TT.

T5: Prioritasisasi Standar Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T5A1: Tim Prioritasisasi Standar Membentuk Tim Prioritasisasi Standar (SPT) BAPEDAL. Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL.

Kegiatan T5A2: Pengumpulan Data Mengumpulkan dan mentabulasikan data mengenai isu lingkungan, standar dan pandangan masyarakat. Penanggung jawab SPT. Kegiatan T5A3: Kertas Diskusi Menganalisis data, mengembangkan prioritas awal bagi revisi dan penentuan standar, serta membuat kertas diskusi untuk mengundang pertimbangan dan komentar masyarakat. Penanggung jawab SPT. Kegiatan T5A4: Penentuan Prioritas Mereviu komentar masyarakat, mengubah proposal bila perlu dan menyerahkan rekomendasi kepada Menteri Lingkungan Hidup untuk mendapatkan keputusan. Penanggung jawab SPT dan Menteri Lingkungan Hidup.

T6: Studi Kasus ESM Kegiatan dan Tanggungjawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T6A1: Tim Studi Kasus ESM Membentuk Tim Studi Kasus (CST) BAPEDAL/BAPEDALDA. Harap dicatat bahwa akan sangat membantu untuk menyusun studi kasus menjadi proyek bantuan internasional yang relevan untuk memanfaatkan sumberdaya tambahan yang ada. Disarankan agar BAPEDALDA Jawa Timur dipilih karena mereka memiliki Proyek AusAid jangka panjang. Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL Kegiatan T6A2: Studi Kasus ESM Melakukan pelaksanaan ESM skala penuh, termasuk konsultasi masyarakat, pada pilihan prioritas penentuan standar Propinsi. Misalnya, jika Jawa Timur terpilih untuk studi kasus, maka prioritas penentuan standarnya mungkin adalah baku mutu air dan standar pembuangan Sungai Surabaya. Kegiatan T6A3: Laporan Studi Kasus (Draf) Mempersiapkan draf laporan mengenai Studi Kasus ESM termasuk hasil, pelajaran yang dipetik dan proposal perubahan ESM, kalau ada. Laporan harus diberikan kepada Menteri

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-12

Lingkungan Hidup dan Gubernur yang relevan untuk memberikan informasi dan disebarkan secara umum untuk mendapatkan komentar. Penanggung jawab CST. Kegiatan T6A4: Laporan Studi Kasus (Final) Mereviu komentar yang diterima mengenai draf laporan, mengubahnya bila perlu dan menyerahkan laporan akhir termasuk rekomendasi untuk mendapatkan keputusan Menteri dan Gubernur. Penanggung jawab CST, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur.

T7: Persetujuan dan Kepatuhan Hukum Kegiatan dan Tanggungjawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah ini.

Kegiatan T7A1: Tim Kepatuhan Hukum Membentuk Tim Kepatuhan Hukum (LCT) LH/BAPEDAL/BAPEDALDA. Perlu dicatat bahwa akan sangat membantu untuk membentuk Tugas ini ke dalam proyek bantuan internasional yang relevan, sebagaimana halnya dengan Tugas 6, untuk memanfaatkan sumberdaya tambahan yang ada. Lagi, Jawa Timur dan Proyek AusAid mungkin tepat, karena Jawa Timur telah bekerja ke arah pembangunan sistem perijinan dan kepatuhan. Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL. Kegiatan T7A2: Mengembangkan Sistem Kepatuhan Mengembangkan draf sistem kepatuhan melalui musyawarah dengan instansi lain, stakeholder dan masyarakat umum, termasuk pembagian kertas diskusi untuk mendapatkan komentar masyarakat. Penanggung jawab LCT. Kegiatan T7A3: Reviu Sistem Kepatuhan Melaksanakan lokakarya publik, forum dan kelompok diskusi dalam hal draf system kepatuhan untuk merangsang partisipasi dan masukan masyarakat untuk draf proposal. Penanggung jawab LCT. Kegiatan T7A4: Penentuan Sistem Kepatuhan Mereviu komentar mengenai draf proposal, menyelesaikan usulan sistem kepatuhan dan merekomendasikan penerapannya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur. Penanggung jawab LCT, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur. Kegiatan T7A5: Undang-undang Sistem Kepatuhan Mereviu proposal dan jika didukung, mengatur undang-undang yang sesuai untuk diserahkan kepada Badan Legislatif Propinsi untuk mendapatkan pertimbangan dan keputusan. Penanggung jawab Gubernur dan Badan Legislatif.

T8: Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T8A1: Menyelesaikan Proposal Komisi Mereviu proposal yang ada dan membantu Menteri Lingkungan Hidup melalui musyawarah dengan sejumlah Menteri lainnya dalam menyerahkan proposal akhir

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-13

tentang pembentukan Komisi kepada Presiden. Penanggung jawab SESMEN LH dan Menteri Lingkungan Hidup.

T9: Bantuan Teknis Lokal Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T9A1: Bantuan Teknis BAPEDAL, melalui Kantor Daerahnya dan Pusat Informasi Lingkungan harus memberikan bantuan teknis secara terus-menerus kepada BAPEDALDA dalam memahami dan melaksanakan ESM dan tanggung jawab pengelolaan lingkungan lainnya. Penanggung jawab Pimpinan BAPEDAL Daerah.

Kegiatan T9A2: Pelatihan ESM BAPEDAL, melalui Kantor Daerahnya dan Pusat Informasi Lingkungan, harus memberikan sesi pelatihan berkala untuk staf BAPEDALDA dan lokakarya untuk stakeholder serta masyarakat umum, mengenai ESM dan pelaksanaannya. Penanggung jawab Pimpinan Daerah.

T10: Reviu ESM Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

Kegiatan T10A1: Tim Reviu ESM Membentuk Tim Reviu ESM LH/BAPEDAL (ESMRT). Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL. Kegiatan T10A2 Kertas Diskusi ESM Mereviu semua pengalaman dalam melaksanakan ESM dan memikul berbagai Tugas dan Kegiatan dalam Rencana Pelaksanaan ini serta mempersiapkan Kertas Diskusi mengenai pengalaman ini, termasuk proposal amendmen, untuk mendapatkan pertimbangan dan komentar publik. Penanggung jawab ESMRT. Kegiatan T10A3: Revisi ESM Mereviu komentar publik yang diterima dan menyiapkan proposal revisi ESM untuk dipertimbangkan Menteri Lingkungan Hidup. Menteri akan mempertimbangkan dan menentukan amandemen yang diperlukan, melalui musyawarah dengan sejumlah Menteri lainnya. Penanggung jawab ESMRT dan Menteri Lingkungan Hidup.

T11: Pemantauan ESM Kegiatan dan Tanggung jawab terhadap Tugas dijelaskan di bawah.

T11A1: Pemantauan dan Reviu Pelaksanaan ESM yang sedang berjalan harus dipantau dan direviu setiap lima tahun oleh BAPEDAL, dan setiap perubahan yang diperlukan harus diserahkan kepada Menteri

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-14

Lingkungan Hidup untuk dipertimbangkan menyangkut amandemen ESM tersebut. Penanggung jawab Deputi 2 BAPEDAL dan Menteri Lingkungan Hidup.

3.0 SUMBERDAYA PELAKSANAAN 3.1 PENGANTAR Proses Penentuan Standar (SSP) dan Prosedur Pengoperasian Standar (SOP), meskipun relevan dengan kebutuhan Indonesia, adalah termasuk sejumlah konsep dan prosedur yang secara relatif baru bagi BAPEDAL, LH dan BAPEDALDA lokal. ESM memberikan data dan informasi yang diperlukan staf untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan dan kebijaksanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan yang berhasil. Namun, waktu dan upaya yang diperlukan untuk mempelajari ESM dalam pengembangan pengetahuan dan kebijaksanaan ini tidak boleh diremehkan. Rencana Pelaksanaan memberikan peluang bagi BAPEDAL, staf lainnya dan masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan pelatihan guna memudahkan proses ini, tetapi harus dilengkapi dengan studi sendiri. Untuk membantu studi sendiri ini, Bagian E Volume 1 ESM ini memberikan Panduan Belajar Mandiri (SLG), yang harus dibaca dan digunakan oleh mereka yang terlibat dalam pelaksanaan ESM. SLG membantu pembaca dalam menemukan jawaban bagi pertanyaan dalam kedua Volume ESM tersebut. Namun demikian, pelaksanaan ESM yang berhasil menuntut BAPEDAL, LH dan BAPEDALDA untuk mengalokasikan sumber daya manusia dan keuangan tertentu pada tugasnya. 3.2 SUMBERDAYA MANUSIA Meski sulit untuk persis, reviu tugas, kegiatan, konsultasi dan tanggungjawab dalam IP ini menunjukkan bahwa selama usulan periode pelaksanaan tiga tahun, sejumlah masukan kira-kira 1.000 bulan orang kerja, sebagaimana dirangkum dalam Tabel D3.1, dibutuhkan dari BAPEDAL, LH dan BAPEDALDA. Angka ini di luar masukan bulan orang kerja untuk peserta pelatihan, yang dapat berjumlah 200 bulan orang kerja tambahan. Ini bukan berarti tambahan masukan sumber daya staf, karena banyak staf yang ada sudah bekerja pada salah satu kegiatan atau kegiatan lainnya yang tertera dalam Tabel D2.1. Namun, ini berarti bahwa staf yang dialokasikan harus didedikasikan pada tugas tersebut sehingga mereka dapat menyelesaikannya tepat pada waktunya. 3.3 ANGGARAN Tidaklah mungkin pada saat ini untuk menetapkan kebutuhan anggaran secara rinci. Ini harus dilakukan secara tahunan sebagai bagian dari proses penganggaran normal pemerintah. Oleh karena sebagian besar staf yang sudah bekerja pada sejumlah kegiatan pelaksanaan ESM akan dimanfaatkan, maka tidak diperlukan alokasi yang besar untuk staf tambahan. Namun, publikasi dan pelatihan, pelatihan lokal tertentu, akan melibatkan biaya yang perlu dialokasikan dari anggaran yang ada atau anggaran tambahan.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1D-Ina

CMPS Asia Pacific D-15

Sebagaimana ditunjukkan dalam Seksi 2.5 di bawah tugas T6 dan T7, seharusnya dimungkinkan untuk menggabungkan beberapa pekerjaan di dalam Proyek Donor yang ada, misalnya, Proyek Pembangunan BAPEDALDA AusAid Jawa Timur. Jika hal ini tercapai, pendanaan untuk publikasi dan pelatihan dapat dialokasikan oleh Proyek tersebut. Bagaimanapun juga, bahan publikasi diperkirakan sekitar Rp. 2 milyar, dan pelatihan, termasuk biaya perjalanan dan akomodasi, sekitar Rp. 3 milyar, keduanya selama tiga tahun Rencana Pelaksanaan. TABEL D3.1: PERSYARATAN MASUKAN PELAKSANAAN ESM

BAPEDAL LH BAPEDALDA

Kode TUGAS Org. Bln.

Bln.Org. Ker-

ja

Org. Bln.

Bln.Org. Ker-

ja

Org. Bln.

Bln.Org. Ker-

ja

T1 Penerapan ESM 2 6 12 1 6 6

T2 Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDAL/LH

4 6 24 2 6 12

T3 Sosialisasi dan Pelatihan BAPEDALDA

4 6 24 58 4 232

T4 Sosialisasi Eksternal 4 6 24 2 6 12 29 4 116

T5 Prioritasisasi Standar 6 3 18 29 1 29

T6 Studi Kasus ESM 4 12 48 2 6 12 3 12 36

T7 Persetujuan dan Kepatuhan Hukum

2 12 24 2 3 6 3 12 36

T8 NC untuk ESD 1 3 3

T9 Bantuan Teknis Lokal 4 36 144 1 12 12

T10 Reviu ESM 3 4 12 1 4 4 4 2 8

T11 Pemantauan ESM 1 36 36 1 6 6 29 3 87

TOTAL 366 73 544

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-1

BAGIAN E PANDUAN BELAJAR MANDIRI

1.0 PENGANTAR Panduan Belajar Mandiri (SLG) ini diberikan dalam rangka membantu staf dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup (LH), BAPEDAL dan instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, agar dapat belajar sendiri dan memahami Metodologi Standar Lingkungan (ESM) sehingga mereka dapat ikut serta dalam melaksanakan ESM. Akan sangat berguna bagi stakeholder dan masyarakat umum untuk memahami proses dan prosedur ESM, sehingga mereka dapat secara konstruktif dan sepenuhnya ikut serta dalam prosedur konsultasi dan pembuatan keputusan. SLG juga dapat digunakan untuk sesi pelatihan formal. SLG disusun dalam lima (5) Seksi, yaitu:

• Seksi 1: Pengantar • Seksi 2: Struktur ESM • Seksi 3: Definisi • Seksi 4: Jawaban untuk Pertanyaan Umum • Seksi 5: Contoh Pelaksanaan Prosedur penentuan kebijakan dan standar lingkungan adalah rumit, termasuk keanekaragaman pertimbangan fisik, sosial dan budaya, kesehatan, ekonomi, ekologis dan teknologis. Pengidentifikasian, pemahaman dan pengimbangan pertimbangan ini dalam mengembangkan proposal dan membuat keputusan terkait, boleh dibilang membutuhkan kebijaksanaan Nabi Sulaiman. Ingat, kebijaksanaan berasal dari pengetahuan, yang dikembangkan dari informasi, yang mengalir dari data. ESM memberikan sejumlah contoh data dan informasi yang oleh pengguna dapat digunakan untuk mengembangkan sendiri pengetahuan dasar mengenai prosedur penentuan standar. Kemudian terserah kepada pengguna untuk menerapkan pengetahuan ini agar dapat mencapai kebijaksanaan yang diperlukan supaya berhasil. Dengan demikian, EMS memberikan alat, bukan jawaban. Dengan mengikuti SLG ini, pengguna akan dibantu dalam menemukan sejumlah jawaban, tetapi sisanya harus ditemukan melalui studi terhadap ESM dan pengalaman praktis dalam penerapannya. Harus dipahami sejak semula bahwa ESM ini sesungguhnya adalah pedoman pengelolaan lingkungan, dan studi serta penerapannya sama dengan yang biasanya tercakup oleh Tingkat Master. Ini berarti bahwa agar dapat memahami dan menerapkan ESM tersebut secara sukses dan tuntas, membutuhkan studi dan upaya yang besar pada bagian staf yang terlibat. Penting juga kiranya untuk memahami bahwa ESM tidak selalu perlu untuk diterapkan secara penuh. Akan ada banyak situasi di mana isunya secara relatif jelas dan di mana langkah proses Bagian B Seksi 6 dapat diikuti dengan masukan terbatas untuk mencapai keputusan memuaskan. Yang penting adalah mengikutinya langkah demi langkah, menyelesaikan konsultasi dan mendokumentasikan proses yang diikuti dalam pembuatan keputusan dan alasannya. Salah satu contohnya adalah penerapan standar limbah berbahaya internasional yang berkaitan dengan Konvensi Basel di mana Indonesia menjadi salah satu Pihak. Contoh

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-2

lainnya adalah standar pembuangan air limbah lokasi industri yang memberikan pengolahan air limbah lengkap menurut standar internasional. Namun, penggunaan sepenuhnya proses ESM akan menguntungkan, bilamana isu sosial, ekonomi, ekologis dan teknologisnya rumit, atau bila mereka menunjukkan sesuatu yang kurang dari standar internasional. Contoh yang pertama bisa berupa revisi standar lingkungan yang dapat diterapkan pada Tambang Freeport atau penentuan standar baru untuk produksi dan penggunaan makanan yang direkayasa secara genetika. Contoh yang kedua bisa berupa penentuan standar pembuangan ke laut yang kurang ketat selama sepuluh (10) tahun di Kepulauan di sebelah Timur (NTB) ketimbang yang diterima secara internasional, guna mendorong pembangunan ekonomi karena rendahnya tingkat pembangunan yang ada sekarang dan tingginya kemampuan asimilatif perairan penerima. Ini adalah sejumlah contoh di mana keprihatinan dan tekanan lokal (yang pertama) dan internasional (yang kedua) menuntut agar proses pengkajian yang lengkap, terbuka dan rinci diikuti, sehingga keputusan terkait memiliki dasar sosial, teknik dan ekonomi yang sehat dan dengan selayaknya dapat tahan terhadap reviu lokal atau internasional. Sangat direkomendasikan agar pengguna ESM dan SLG ini:

• Pertama-tama, membaca semua Seksi SLG untuk dapat mengenali cakupannya. • Kedua, membaca Rangkuman Bagian A dalam Volume 1. • Ketiga, mempelajari dengan teliti Seksi 6 Bagian B, Proses; dan Bagian C, Prosedur

Pengoperasian Standar, termasuk SOP dalam Aneks Volume ini. • Keempat, membaca dengan teliti Volume 2 Pedoman Acuan untuk mempelajari

cakupannya. Setelah menyelesaikan yang di atas, sekarang seharusnya pengguna telah memahami ESM dan siap memulai studinya secara lebih rinci melalui SLG.

2.0 STRUKTUR ESM ESM dibuat dalam dua Volume, yaitu: • Volume 1 – PROSES DAN SOP • Volume 2 – PEDOMAN ACUAN Berbagai Bagian dari Volume ini dan hubungannya satu sama lain digambarkan dalam Gambar E2.1 dan dijelaskan di bawah ini. Sebagaimana ditunjukkan dari namanya, Volume 1 adalah berupa pedoman operasional dan Volume 2 berupa pedoman acuan pendukung yang memberikan detil lebih lanjut guna membantu dalam pelaksanaan proses dan prosedur Volume 1. VOLUME 1 terdiri dari Bagian A hingga E, Singkatan, Referensi dan Aneks SOP. BAGIAN A – Rangkuman memberikan ringkasan atau ulasan mengenai ESM, termasuk konteks global dan Indonesia atau penentuannya (Seksi 2), uraian mengenai pengelolaan lingkungan di mana penentuan standar lingkungan merupakan komponen yang penting (Seksi

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-3

3), definisi dan cakupan standar lingkungan (Seksi 4 dan 5), analisis terhadap isu dan penentuan standar lingkungan (Seksi 6 dan 7). BAGIAN B – Proses Penentuan Standar (SSP) adalah bagian utama ESM. Bagian B menjelaskan apa itu Proses Penentuan Standar (Seksi 1), menetapkan sejumlah tujuan, prinsip dan kebijakan di mana ESM dapat bekerja (Seksi 2), dan membahas konteks operasional, misalnya, lembaga dan stakeholder dalam proses penentuan standar (seksi 6) dan menjelaskan prosedur untuk mencapai koordinasi antar-instansi (Seksi 7).

GAMBAR E2.1: STRUKTUR LAPORAN METODOLOGI STANDAR LINGKUNGAN (ESM) BAGIAN C – Prosedur Pengoperasian Standar (SOP) menjelaskan apa itu SOP (Seksi 1) dan mencantumkan sejumlah topik yang dicakup (Seksi 2). SOP, sebagaimana tertera di bawah, kemudian diberikan secara lengkap sebagai Aneks Volume 1.

1 Singkatan 2 Daftar Istilah Lingkungan 3 Statistik Lingkungan

STANDAR LINGKUNGAN

(ESs)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

STANDAR LINGKUNGAN

(ES)

BAG. E

PANDUAN BELAJAR MANDIRI (SLG)

BA

G. A

RA

NG

KU

MA

N

BAG. B

PROSES

PENENTUAN STANDAR

(SSP)

BAG. C

PROSES

PENGOPERASIAN STANDAR

(SOP)

BA

G. D

RE

NC

AN

APE

LA

KSA

NA

AN

(IP)

BAG. A

LATAR-BELAKANG

BAG. B

INFORMASI REFERENSI

PROSES dan SOPVOLUME 1 REFERENSI MANUALVOLUME 2

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-4

4 Pendataan dan Analisis Data 5 Memprioritaskan Isu Lingkungan 6 Standar Lingkungan Indonesia 7 Standar Lingkungan Internasional 8 Standar Lingkungan untuk Negara Berkembang 9 Efek Kesehatan oleh Polutan 10 Pengelolaan Mutu Air 11 Pengambilan dan Analisis Sampel Air 12 Pengambilan dan Analisis Sampel Udara 13 Teknologi Pengendalian Pencemaran 14 Instrumen Ekonomi 15 Partisipasi Masyarakat

BAGIAN D – Rencana Pelaksanaan (IP) memberikan Rencana tiga tahun untuk melaksanakan ESM pada BAPEDAL. Ini mencakup berbagai tugas dan kegiatan, termasuk persyaratan tanggungjawab dan konsultasi, untuk:

• secara internal dan eksternal mensosialisasikan ESM; • melakukan pelatihan staf dan kesadaran masyarakat sehubungan dengan meningkatnya

kegiatan; • mengembangkan proposal sistem kepatuhan yang diperlukan; • memudahkan dibentuknya Komisi Nasional untuk usulan Pembangunan Lestari; • melakukan studi kasus pelaksanaan ESM; • memberikan bantuan teknis kepada instansi lainnya dan BAPEDALDA setempat; dan • memantau proses dan mereviu ESM bila perlu. BAGIAN E – Panduan Belajar Mandiri (SLG) sebagaimana diberikan dalam Bagian E Volume 1 ini. VOLUME 2 terdiri dari Bagian A dan B, serta Singkatan dan Referensi (Acuan). BAGIAN A – Latar-belakang menjelaskan pengalaman internasional dan pengembangan dalam pengelolaan lingkungan, penentuan standar lingkungan dan partisipasi masyarakat dalam hubungannya dengan hal tersebut (Seksi 1), membahas pengalaman Indonesia, perkembangan saat ini dan kebutuhan di masa mendatang (Seksi 2), dan menarik kesimpulan mengenai sejumlah persyaratan untuk dimasukkan dalam ESM (Seksi 3). BAGIAN B – Informasi Referensi memberikan data dan informasi global dan Indonesia yang relevan dengan pengelolaan lingkungan serta penentuan standar dan revisinya (Seksi 2 dan 3), membahas persyaratan pengelolaan lingkungan masa kini, termasuk partisipasi kelembagaan dan masyarakat, serta teknik penyelesaian konflik (Seksi 4), menjelaskan standar lingkungan, mengapa kita membutuhkannya dan cakupannya (Seksi 5), memberikan informasi mengenai definisi nilai masyarakat dan identifikasi pandangan masyarakat (Seksi 6); dan menjelaskan prosedur mengenai analisis isu (Seksi 7), pengkajian ilmiah dan kesehatan (Seksi 8), opsi teknologi (Seksi 9), risiko dan ketidakpastian (Seksi 10), apraisal ekonomi (Seksi 11), dan pelaksanaan (Seksi 12). PART Juga harus diperhatikan bahwa kekayaan informasi pendukung diberikan dalam Referensi yang tertera di bagian akhir Volume 1 dan 2, dan ini harus diacu untuk studi lebih lanjut.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-5

3.0 DEFINISI Ada sejumlah istilah yang digunakan dalam ESM, sebagian di antaranya mungkin baru bagi pengguna. Untuk membantu pemahaman mereka, definisi istilah ini diberikan dalam berbagai cara sebagaimana dirangkum di bawah: • Singkatan – sebuah daftar singkatan yang digunakan dalam ESM diberikan pada

permulaan dari kedua Volume masing-masing, serta di SOP 1 dalam Aneks Volume 1 ini.

• Teks – dalam hal istilah baru atau yang tidak biasa digunakan dalam teks, istilah tersebut didefinisikan atau artinya diberikan di dalam kurung atau dengan huruf miring.

• Daftar Istilah Lingkungan – daftar istilah diberikan di SOP 2 dalam Aneks Volume 1

ini. Sekarang pengguna harus mereviu Singkatan dan Istilah yang ditunjukkan di atas dan mempelajari istilah baru yang sebelumnya tidak dipahami. Definisi dan arti teks itu akan menjadi jelas sementara pengguna membaca melalui teks tersebut.

4.0 JAWABAN UNTUK PERTANYAAN UMUM Seksi ini memberikan jawaban untuk pertanyaan umum mengenai ESM, dan/atau menunjukkan kepada pengguna di mana jawabannya dapat ditemukan. Mereka dengan sengaja dan secara acak dicantumkan untuk mendorong pengguna agar membaca semuanya dari awal hingga akhir sebagai pengalaman belajar, dan tidak hanya sekedar memilih yang mudah. Q mengacu pada pertanyaan yang diketik dalam cetak miring, dan A menunjuk pada jawaban terkait yang diketik dalam cetak biasa. Q1 – Mengapa Indonesia membutuhkan ESM bila kita telah memiliki standar lingkungan? A1 – Indonesia, seperti banyak negara lainnnya, dihadapkan pada tekanan internasional dan konsumen untuk meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungannya dan untuk mencapai pembangunan lestari secara ekologis. Pemerintah yang baru juga telah mengikatkan diri pada komitmen untuk mencapai kedua gol ini. Standar lingkungan dan sistem kepatuhan yang tepat untuk memastikan penerapannya yang efektif merupakan suatu komponen mendasar untuk mencapai gol ini. Ya, Indonesia memiliki beberapa ratus standar lingkungan nasional, dan ya, sejumlah propinsi telah menetapkan standar lingkungan, biasanya menerapkan standar nasional atau menguranginya beberapa persen demi penampilan. Tetapi jumlah standar internasional ada ribuan banyaknya. Misalnya, sebuah bangunan tipikal yang terdiri dari beton, batu bata, baja, kayu, kaca, cat, karpet, perabot, AC, perpipaan, listrik, drainase dan manusia, melibatkan sekitar 1.000 standar lingkungan internasional yang terkait dengan sejumlah bahan tersebut; mulai dari penggalian, pembuatan, pengangkutan, pendirian dan penggunaannya. Gelas air minum melibatkan 150 standar internasional. Standar lingkungan mahal untuk dipatuhi, terutama jika mereka terlalu ketat atau terlalu berlebihan banyaknya. Dengan kurangnya sumberdaya keuangan dan sumberdaya manusia yang trampil pada saat ini, Indonesia harus cermat dalam pengalokasiannya pada prioritas

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-6

yang saling bersaing, misalnya, lingkungan vs pemberantasan kemiskinan serta kesehatan dan pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, penting kiranya agar Indonesia secara mandiri dan terbuka mengevaluasi proposal penentuan standar dan pengelolaan lingkungan, setelah bermusyawarah dengan stakeholder dan masyarakat, dalam upayanya untuk mencapai konsensus sebelum mengambil keputusan kebijakan, dan tidak hanya sekedar diambil demi memuaskan Standar Lingkungan internasional oleh tekanan eksternal, kenyataannya banyak di antaranya yang mungkin tidak tepat bagi Indonesia pada tahap pembangunan dewasa ini. ESM menyediakan kepada Indonesia suatu proses yang kuat guna mengerahkan kemandirian nasionalnya sehubungan dengan penentuan standar lingkungan yang transparan, ilmiah, ekonomis dan bertanggung jawab secara sosial, serta untuk memastikan agar standar tersebut relevan dengan kebutuhan Indonesia. Q2 – Apa itu standar lingkungan? A2 – Standar lingkungan adalah standar yang tertuang dalam undang-undang (misalnya, ambang batas emisi, standar atau kriteria mutu lingkungan) dan juga protokol non-legal, panduan dan sasaran, serta kriteria yang dipergunakan dalam memutuskan sejumlah kasus individual; standar tidak ditetapkan oleh Pemerintah yang memegang wewenang untuk alasan lain, terutama untuk keunggulan ilmiah atau kekuatan pasar dari mereka yang menetapkannya; dan beberapa standar bukan numerik. Metodologinya menerapkan Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan, definisi baku mutu lingkungan, kriteria ambang batas dan kerusakan dalam Bab 1 Pasal 1. Metodologi tersebut tidak memasukkan standar sekunder atau suplementer yang mencakup metode pengambilan sampel, analisis dan pengujian atau yang terkait dengan Sistem Pengelolaan Lingkungan dan prosedur Audit (seri ISO 14000), karena ini terpisah dengan penerapan definisi dan tercakup dengan baik oleh detil metodologi yang diterima secara internasional yang saat ini sedang digunakan di Indonesia. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 4, Bagian A Volume 1 ini. Q3 – Apa itu Metodologi Standar Lingkungan? A3 – Metodologi Standar Lingkungan (ESM) adalah proses penentuan standar lingkungan (SSP) bertahap dan prosedur administratif dan teknis (SOP) terkait, beserta Rencana Pelaksanaan (IP) Panduan Belajar Mandiri (SLG) dan Pedoman Acuan (RM) latar-belakang. ESM dirancang untuk membantu staf dalam Kementerian Lingkungan Hidup (LH), BAPEDAL dan berbagai instansi lainnya termasuk BAPEDALDA, yang memiliki pengalaman kerja sekurang-kurangnya tiga tahun dalam organisasi, untuk merevisi standar lingkungan (ES) yang ada atau menyiapkan yang baru di bawah bimbingan manajerial dan masukan ahli, stakeholder dan masyarakat Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 1 dan 4 hingga 6, Bagian B Volume 1 ini. Q4 – Siapa itu stakeholder?

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-7

A4 – Stakeholder didefinisikan dalam ESM sebagai Pemerintah dengan jajarannya, Kementerian Lingkungan Hidup, BAPEDAL dan badan pemerintah lokal serta nasional lainnya, masyarakat serta lembaga dan asosiasi swasta, industri dan perdagangan, LSM dan kelompok masyarakat serta individual lainnya, yang mendapat keuntungan atau terkena pengaruh merugikan oleh keputusan mengenai masalah atau standar yang sedang dalam pertimbangan. Istilah keuntungan dan pengaruh berarti interpretasi kata terluas. Bahwa, keuntungan atau pengaruh dapat berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan kesehatan fisik dan mental, kesejahteraan sosial dan budaya, atau kekayaan ekonomi dan keuangan badan atau individual tertentu. Contohnya termasuk: • Politis – kedudukan, reputasi atau dukungan internasional, nasional atau elektoral dari

pemerintahan atau kementerian. • Badan pemerintah – integritas hukum, status dan kekuatan masyarakat, gaji dan kondisi

staf, pemasukan dan biaya anggaran, dan peluang pembangunan.

• Perusahaan swasta – integritas publik, pembagian pasar, biaya modal dan pengoperasian, nilai saham, kepentingan pribadi direktur, keuntungan, serta gaji dan kondisi staf.

• Individual – lingkungan hidup dan pekerjaan, kesehatan dan kesejahteraan termasuk keluarga dan teman, kepentingan keuangan pribadi, peluang pekerjaan, serta kegiatan sosial dan rekreasional.

Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 3.4, Bagian B Volume 1. Q5 –Siapa yang menentukan standar lingkungan? A5 – Sebagaimana disebutkan dalam Jawaban 2 di atas, standar lingkungan ditetapkan oleh Pemerintah dan lain-lainnya yang membutuhkan standar untuk mengukur kinerjanya. Contoh standar Pemerintah termasuk mereka yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup atau Gubernur untuk mengendalikan pembuangan air limbah ke sungai dan saluran air lainnya, misalnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 tahun 1990. Contoh standar non-pemerintah adalah yang ditetapkan oleh Asosiasi Industri Bahan Kimia dalam Program Pemeliharaan Lingkungannya, atau oleh Asosiasi Industri Kayu yang memberi label produk kayu tertentu sebagai berasal dari kayu hutan lestari. Standar lingkungan, sebagai benchmark kinerja, juga memberikan kepastian bagi industri dan masyarakat sejauh menyangkut kebutuhan pemerintah untuk keperluan pengoperasian. Tanpa standar yang cukup, industri menjadi tidak yakin terhadap persyaratannya dan cenderung kurang mau melakukan investasi yang berarti. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 5, Bagian B Volume 2. Q6 – Apa itu pengkajian risiko? A6 – Pengkajian risiko membantu memilih antara kebijakan atau standar alternatif dan merasionalisir pilihan bahan bagi pengendalian prioritas. Pengkajian mengidentifikasi dan memberi karakter jenis-jenis sumber risiko yang berlainan dalam situasi yang sedang dipertimbangkan, beserta ketidakpastian dan implikasinya.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-8

Informasi mengenai pengkajian risiko diberikan dalam Seksi 10, Bagian B Volume 2. Q7 – Apa itu partisipasi masyarakat? A7 – Partisipasi masyarakat memastikan bahwa seluruh anggota masyarakat dengan kepentingan dalam suatu hal memiliki:

• akses ke informasi yang mudah dipahami mengenai hal tersebut; • peluang untuk memberikan pandangannya mengenai hal tersebut; dan • secara aktif dimusyawarahkan dengan Proponen dan dibawa ke dalam proses pembuatan

keputusan. Partisipasi masyarakat dipraktekkan secara luas sebagai komponen demokrasi yang mendasar di negara maju, dan sekarang dibutuhkan di Indonesia melalui Pasal 5, 7, dan 10 Undang-undang No. 23 tahun 1997, mengenai Pengelolaan Lingkungan. Informasi lebih lanjut diberikan di SOP 15 dalam Aneks pada Volume 1 ini, dan dalam Seksi 4.4, 4.5, 5.1, 5.2 dan 5.3 Bagian B dalam Volume 2. Q8 –Siapa itu Proponen? A8 – Proponen adalah orang atau organisasi yang melaksanakan ESM untuk menentukan standar lingkungan. Proponen bisa jadi Menteri Lingkungan Hidup atau Menteri lainnya, Gubernur atau Walikota/Bupati, BAPEDAL, BAPEDALDA atau instansi lainnya, bersama dengan organisasi non-pemerintah, misalnya asosiasi industri atau sejumlah badan profesional. Q9 – Apa arti analisis terhadap isu? A9 - Isu lingkungan mencapai agenda politis melalui rute internasional atau lokal yang berbeda-beda. Mereka biasanya memiliki komponen teknis yang besar: penilaian ahli akan terus diperlukan namun kepastian, ketepatan dan keobyektifannya tidak perlu terlalu diunggulkan ataupun diremehkan. Cara isu, dirumuskan dan pilihan yang tersedia untuk ditangani dengan mereka, biasanya juga mengundang pertanyaan mengenai nilai sosial dan ekonomis yang harus dibahas dari awal. Setelah isu teridentifikasi, harus ada prosedur yang jelas untuk menanganinya. Ini berlaku sama pada proses penentuan kebijakan atau standar lingkungan. Tahap analitis proses memiliki beberapa komponen yang saling melengkapi dan saling berkaitan erat: • ilmiah termasuk pengkajian kesehatan • analisis opsi teknologi • pengkajian risiko dan ketidakpastian • apraisal ekonomis • analisis isu pelaksanaan, termasuk lingkup standar geografis dan sektoral Pendekatan ini berlaku bagi segala macam kebijaksanaan atau standar lingkungan tetapi sifat masalah lingkungan akan menentukan sumberdaya yang harus diberikan pada setiap jenis analisis dalam praktek. Detil mengenai bagaimana berbagai analisis ini dilaksanakan

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-9

diberikan dalam Seksi 4, Bagian B Volume 1, dan dalam Seksi 8 hingga 12, Bagian B Volume 2 ESM ini. Bila isu yang terlibat membutuhkan detil analisis dalam setiap area yang ditunjukkan di atas, maka para ahli di bidang ini perlu dilibatkan guna mendukung Proponen dalam melaksanakan pekerjaannya. Q10 – Bila timbul sejumlah masalah, bagaimana cara kita mengetahui urut-urutannya untuk ditangani? A10 – Ada banyak waktu di mana ada lebih banyak masalah dan isu ketimbang yang dapat kita tangani. Adalah perlu untuk terlebih dahulu mendefinisikan masalahnya secara jelas, kemudian mengumpulkan data dan informasi yang relevan mengenai masalah dan isu tersebut, dan akhirnya menganalisis dan memprioritaskannya terhadap pilihan kriteria. Karena masalah ini dan solusi potensialnya seringkali disumbangkan kepada atau mempengaruhi masyarakat, maka masyarakat dan stakeholder terkait harus dilibatkan dalam proses ini. Informasi lebih lanjut diberikan di SOP 4, 5 dan 15 dalam Aneks pada Volume 1 ini. Q11 – Bagaimana Proses Penentuan Standar (SSP) dapat dikoordinir antar berbagai Instansi Pemerintah yang memiliki kepentingan dalam masalah tersebut. A11 – Koordinasi antar-instansi adalah rumit dan sulit. Rumit karena jumlah instansi yang terlibat ada di jajaran pemerintahan yang berlainan, dan sulit karena berbagai instansi ini seringkali menganggap dirinya saling bersaing satu sama lain. Hal demikian ini terjadi dalam sektor lingkungan terutama karena sifatnya yang multi-sektoral. Ini berarti diperlukan mekanisme koordinasi pemerintah sektoral, misalnya, Usulan Komisi Nasional untuk Pembangunan Lestari, dengan badan yang sejenis di tingkat propinsi. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 3 dan 7, Bagian B Volume 1 ini. Q12 – Bagaimana kita dapat mengidentifikasi efek kesehatan oleh polutan? A12 - Cara yang terbaik adalah meminta bantuan dari Departemen Kesehatan, yang harus bekerja secara erat dengan lembaga lingkungan seperti BAPEDAL dan BAPEDALDA dalam menentukan standar lingkungan, yang dirancang untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungannya. Bila isunya rumit, maka diperlukan ahli lainnya, misalnya, efek karsinogenik dari bifenol polikhlorinat (PCB), dan ini seringkali dapat ditemukan di sekolah kedokteran Universitas. Juga penting kiranya untuk mereviu literatur kedokteran yang relevan, sebagian di antaranya diidentifikasikan dalam Referensi di bagian akhir Volume ini. Informasi lebih lanjut diberikan di SOP 9 dalam Aneks pada Volume ini, dan dalam Seksi 8, Bagian B Volume 2. Q13 – Apa itu pembangunan lestari?

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-10

A13 - Definisi yang diterima luas mengenai pembangunan lestari adalah yang pertama kali diusulkan oleh Komisi Brundtland pada tahun 1987, yaitu: Pembangunan lestari adalah (pembangunan) yang memenuhi kebutuhan masakini tanpa merusak kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.sendiri. Dengan demikian, pembangunan pada saat ini harus memberikan pertimbangan karena penggunaan yang berkesinambungan dan konservasi sumberdaya alam, sehingga mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Misalnya, sumberdaya yang tidak dapat diperbarui seperti minyak dan batubara harus dilestarikan bila mungkin. Preferensi harus diberikan untuk penggunaan sumber daya yang dapat diperbarui, misalnya tenaga matahari dan kayu, di mana penggunaannya menuntut pembaruan, misalnya, penebangan pohon hutan selektif dengan revegetasi alami, atau penanaman hutan bertujuan khusus. Q14 – Apa itu pengelolaan lingkungan? A14 - Lingkungan, dalam segenap bagiannya, adalah dasar sumberdaya alam bagi kehidupan. Sementara manusia merupakan bagian dari lingkungan, kelangsungan hidup kita dan pemenuhan gol sosial dan ekonomi kita bergantung pada bagaimana kita memanfaatkan sumberdaya alam sambil melestarikan lingkungan yang sehat. Dalam konteks ini lingkungan termasuk di antaranya sumberdaya tanah, air, udara, tanaman dan hewan, baik dalam status alamiahnya maupun sebagaimana mereka mungkin dipengaruhi oleh manusia. Dengan demikian faktor-faktor fisik dan ekologis serta sosial dan ekonomis akan dapat tercakup. Definisi yang diterima luas mengenai pembangunan lestari adalah yang pertama kali diusulkan oleh Komisi Brundtland pada tahun 1987, yaitu: Pembangunan lestari adalah (pembangunan) yang memenuhi kebutuhan masakini tanpa merusak kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.sendiri. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan adalah tentang pencapaian pembangunan lestari melalui: • pemanfaatan sumberdaya lingkungan yang bersifat lestari • pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang mantap dan langgeng • peningkatan mutu kehidupan generasi yang ada saat ini dan di masa mendatang • perlindungan lingkungan Pengalaman internasional menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk penentuan dan penerapan standar lingkungan, bersifat lintas-sektoral, dan akan menjadi lebih efektif bila pendekatan keikutsertaan penuh diterapkan guna mencapai pemahaman dan konsensus terhadap isu, apa yang perlu dilakukan, dan oleh siapa. Hal ini sangat bergantung pada hal-hal berbagi informasi yang sama, pengembangan pikiran terbuka dan penerapan teknik pemecahan konflik sebagai kunci perencanaan, alat pembangunan dan pelaksanaan. Tujuannya adalah untuk mencapai konsensus terhadap hasil menang-menang bagi berbagai stakeholder dan kelompok kepentingan masyarakat. Kini terdapat pengakuan internasional yang ditegaskan melalui Laporan Pembangunan Dunia tahun 1992, bahwa pertumbuhan ekonomi yang sehat dan perbaikan mutu kehidupan tidak

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-11

dapat dicapai tanpa dipergunakannya sumberdaya lingkungan jangka panjang yang lestari dan secara adil – udara, tanah, air, tanaman dan hewan. Atau taruhlah dengan cara lain, sebuah lingkungan yang merosot berarti hilangnya peluang untuk pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pembangunan sosial. Prinsip ini sama pentingnya bagi negara maju dan negara berkembang, terutama negara-negara yang mengandalkan sumberdaya alam atau lingkungan untuk keperluan produksi makanan dan komoditas dalam negeri serta pemasukan ekspor. Peraturan pengelolaan lingkungan yang lama adalah:

• air, udara dan tanah adalah sumberdaya yang tidak tak kunjung habis • lingkungan dapat dikelola secara per bagian • nilai-nilai sosial tidak berubah • pengelolaan lingkungan adalah masalah teknis • teknologi dapat membuat segalanya menjadi mungkin.

Peraturan pengelolaan lingkungan yang baru adalah:

• air, udara dan tanah adalah sumberdaya yang terbatas • semua bagian ekosistem adalah saling berkaitan • nilai-nilai sosial mengalami perubahan • pengelolaan lingkungan merupakan masalah manusia • penggunaan teknologi memiliki keterbatasan dan perlu biaya. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 4, Bagian B Volume 2. Q15 – Apa itu manajemen komando dan kendali? A15 – istilah ini digunakan untuk pengelolaan lingkungan atau pengendalian pencemaran di mana Pemerintah menggunakan peraturan ketat, prosedur kepatuhan dan pemberdayaan, termasuk hukuman, untuk mengendalikan pencemar dan mereka yang merusak lingkungan. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 1.1, Bagian A Volume 2. Q16 –Apa itu instrumen ekonomi? A16 – Instrumen ekonomi, atau pendekatan berbasis pasar, mengandalkan pasar untuk memudahkan pencapaian mutu lingkungan yang memuaskan. Pencemar memiliki kontrol luas atas keputusan yang didasarkan pada biaya ekonomis, sosial dan ekologis kebijakan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Maka dari itu, mereka dapat memilih proses dan produk yang kurang merusak dengan mengubah harga pasar. Ini dapat termasuk memajaki mereka yang menyebabkan masalah atau mensubsidi mereka yang tidak melakukan. Penggunaan instrumen ekonomi tidak direkomendasikan kecuali jika ada sistem peraturan dan pemberdayaan yang efektif. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 1.1, Bagian A Volume 2.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-12

Q17 – Apa itu pendekatan pendidikan pada pengelolaan lingkungan? A17 – Pendekatan pendidikan mengandalkan prinsip bahwa sektor swasta yang berpengetahuan baik akan cenderung lebih memberikan solusi sukarela untuk masalah lingkungan, dengan tekanan dari masyarakat yang berpengetahuan baik untuk meningkatkan kinerja lingkungannya. Informasi lebih lanjut diberikan di SOP 15 dalam Aneks pada Volume ini dan dalam Seksi 1.1, Bagian A, dan Seksi 4.4, Bagian B Volume 2. Q18 – Apakah Pemerintah benar-benar menjanjikan keterbukaan, transparansi dan partisipasi masyarakat sebagaimana diwajibkan dalam ESM ini? A18 – Tentu saja Presiden telah menyatakan secara umum komitmennya pada keterbukaan, transparansi dan partisipasi masyarakat dalam administrasi Pemerintah pada sejumlah kesempatan. Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan juga membutuhkannya di bawah Pasal 5, 7 dan 10. Ini dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 mengenai Analisis Dampak Lingkungan di bawah Bagian VI, Pasal 33 hingga 35. Pendekatan tersebut ditegaskan dalam Garis Besar Haluan Negara tahun 1999. Menteri Lingkungan Hidup juga menegaskannya dalam Pidatonya kepada Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Nopember tahun 1999. Oleh karena itu jawabannya adalah ya. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 2.3, Bagian A Volume 2. Q19 –Apa itu otonomi daerah? A19 – Otonomi daerah memungkinkan propinsi dan kabupaten/kotamadya mengurus keuangan daerah setempat dan mengelola sumberdayanya sendiri, tanpa adanya campur tangan yang signifikan oleh Pemerintah Pusat. Perkecualiannya adalah kebijakan internasional, pertahanan dan keamanan, kehakiman, moneter dan fiskal (makro-ekonomi), agama; dan lain-lainnya termasuk perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional makro, dana neraca keuangan (financial balance fund), sistem administrasi negara dan kelembagaan ekonomi, pengembangan sumberdaya manusia, pemanfaatan sumberdaya alam, serta standarisasi teknologi, pelestarian dan standarisasi nasional yang tinggi. Ketentuan hukum otonomi daerah dijelaskan dalam Undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999, mengenai Pemerintah dan Keuangan Daerah, serta dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 mengenai Otonomi Daerah. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 2.3.4, Bagian A Volume 2. Q20 – Apa arti kepatuhan dan pemberdayaan? A20 – Pengelolaan lingkungan adalah tentang pencapaian pembangunan lestari melalui: • pemanfaatan sumberdaya lingkungan yang bersifat lestari • pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan yang mantap dan langgeng

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-13

• peningkatan mutu kehidupan generasi yang ada saat ini dan di masa mendatang • perlindungan lingkungan Ada beraneka-ragam alat kebijakan resmi dan tak resmi untuk digunakan dalam mencapai pengelolaan lingkungan yang efektif. Peralatan tersebut meliputi:

• rencana dan kebijakan strategis pemerintah • undang-undang dan peraturan • persetujuan dan perijinan • instrumen ekonomi • panduan industri • peraturan mandiri • laporan masyarakat • pendidikan dan promosi • program berbasis masyarakat • inspeksi, pemantauan dan reviu publik • sanksi administratif dan sanksi hukum • hukuman dan penalti. Pengalaman Internasional dan Indonesia menunjukkan bahwa:

• Campuran alat kebijakan ini harus dipilih untuk disesuaikan dengan keadaan berlainan di tempat dan waktu yang berlainan pula.

• Keberhasilan kebijakan tersebut bergantung pada dimilikinya peraturan operasional yang kuat, proses kepatuhan dan pemberdayaan.

• Standar lingkungan yang relevan, sebagaimana tercakup ESM, merupakan bagian integral campuran kebijakan sehingga ada beberapa sarana pengukuran hasil dan pengevaluasian keberhasilan sistem pengelolaan lingkungan dan yang lebih penting – kesehatan lingkungan.

Dalam konteks ini, kepatuhan dan pemberdayaan harus diterapkan secara sama pada organisasi pemerintah dan non-pemerintah. Bilamana peraturan, kebijakan, standar atau program dimulai, maka ini harus termasuk ketentuan untuk pemantauan dan reviunya, serta penerapan sanksi bagi yang melanggar. Oleh karena itu, batu pijakan untuk mencapai keberhasilan dalam pengelolaan lingkungan adalah proses pertanggungjawaban masyarakat yang efektif terhadap sektor publik serta sistem perijinan dan pemberdayaan hukum sektor swasta. Di bidang inilah bahwa tantangannya di masa mendatang adalah untuk Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya di bawah program otonomi, terutama untuk BAPEDAL dan BAPEDALDA, dalam penentuan, pelaksanaan dan pemberdayaan standar lingkungan. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 2.3.5, Bagian A Volume 2. Q21 – Apa itu Undang-undang Pengelolaan Lingkungan tahun 1997? A21 – Ini merupakan undang-undang lingkungan pokok Indonesia, yaitu, Undang-undang No. 23 tahun 1997 mengenai Pengelolaan Lingkungan. Undang-undang tersebut mencakup

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-14

semua aspek pencemaran lingkungan dan memberi kekuasaan tertinggi bagi pengelolaan lingkungan yang efektif serta penentuan dan pelaksanaan standar lingkungan. Selain itu, ada sejumlah Peraturan yang mencakup bidang khusus, misalnya, Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 20 tahun 1990), Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun (PP No. 85 tahun 1999), dan Keputusan Menteri yang membuat undang-undang standar atau memberi kekuasaan pelaksanaan. Lingkungan diacu sebagai lingkungan hidup. Ini menyiratkan arti bahwa lingkungan bukan hanya hidup, tetapi ada kehidupan di dalamnya. Lingkungan adalah suatu kesatuan ruang dari semua benda, kekuatan, situasi dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Antara lain, undang-undang diberlakukan mengingat bahwa pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada kebijakan nasional yang terpadu dan komprehensif. Pelaksanaan pengelolaan lingkungan dalam kerangka kerja pembangunan lestari secara lingkungan, didasarkan pada norma hukum yang memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat dan pembangunan lingkungan global, serta instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan. Berbagai acuan hukum dirangkum di bawah ini. Pengelolaan lingkungan merupakan suatu upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang mencakup kebijakan, eksploitasi, pembangunan, pemeliharaan, perbaikan, pengawasan dan pengendalian lingkungan yang melekat (Pasal 1). Dalam hal hak, kewajiban dan peran masyarakat, Bab III dan IV Undang-undang No. 23 tahun 1997 menetapkan: “Pasal 5 -

(1) Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan informasi lingkungan yang terkait dengan

peran pengelolaan lingkungan.

(3) Setiap orang berhak memainkan peran dalam skema pengelolaan lingkungan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.

“Pasal 7 -

(1) Masyarakat memiliki kemungkinan peluang sama dan luas untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan.

(2) Pelaksanaan ketetapan dalam (1) di atas, dilaksanakan melalui:

a. peningkatan kemandirian, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan; b. pembinaan kemampuan dan inisiatif masyarakat; c. peningkatan sikap cepat tanggap dalam melaksanakan pengawasan

sosial; d. pemberian saran; e. penyampaian informasi dan/atau laporan.

“Pasal 10 -

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-15

Dalam skema pengelolaan lingkungan Pemerintah harus:

a. menciptakan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab pembuat keputusan dalam pengelolaan lingkungan;

b. menciptakan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran terhadap hak dan

tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan;

c. menciptakan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upayanya untuk melestarikan daya dukung lingkungan;

d. mengembangkan dan menerapkan kebijakan pengelolaan lingkungan yang

menjamin pelestarian daya dukung lingkungan;

e. mengembangkan dan menggunakan instrumen pre-emptive, preventif dan proaktif dalam upayanya mencegah kemerosotan daya dukung lingkungan;

f. mendayagunakan dan mengembangkan teknologi yang sehat secara

lingkungan;

g. melaksanakan riset dan pengembangan lingkungan;

h. memberikan informasi lingkungan dan menyebarkannya kepada masyarakat;

i. memberikan penghargaan kepada orang atau organisasi yang berjasa di bidang lingkungan.”

Informasi lebih lanjut diberikan dalam Undang-undang No. 23 yang pertama yang harus dibaca dan dipelajari, bersama dengan Seksi 2.3.5, Bagian A Volume 2. Q22 – Di mana kita mendapatkan data dan informasi lingkungan untuk membantu dalam penentuan standar lingkungan? A22 – Data dan informasi latar-belakang yang bersifat global, regional, nasional dan propinsi diberikan dalam SOP 3 dalam Aneks pada Volume 1 ini, serta Seksi 2 dan 3, Bagian B Volume 2. Panduan lebih lanjut mengenai pengumpulan dan analisis data diberikan dalam SOP 4, dan informasi mengenai standar internasional dan nasional yang ada di SOP 6 hingga 8 dalam Aneks pada Volume 1 ini. Biro statistik, lembaga sektoral dan pemerintah lokal juga menerbitkan data dan informasi yang relevan. Q23 – Apa itu pengelolaan mutu air? A23 – Pengelolaan mutu air masuk dalam area luas pengelolaan sumberdaya air. Keseluruhan gol pengelolaan mutu air adalah untuk melindungi sumberdaya air. Ada lima komponen untuk pengelolaan mutu air, yaitu:

• pengkajian status mutu air saat ini • penentuan baku mutu air • pengembangan rencana pengendalian pencemaran air • pelaksanaan pengendalian pencemaran air

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-16

• pemantauan badan air dan efluen. Informasi lebih lanjut diberikan dalam SOP 10 dan 11 dalam Aneks pada Volume 1 ini. Q24 – Apa itu teknologi pengendalian pencemaran? A24 – Teknologi pengendalian pencemaran meliputi proses, mesin, peralatan dan sistem untuk mengendalikan emisi dan pembuangan polutan ke lingkungan. Informasi mengenai hal ini diberikan dalam Seksi 9, Bagian B Volume 2, dan di SOP 13 (dan SOP 11 dan 12 tentang prosedur pengambilan dan analisis sampel air dan udara) dalam Aneks pada Volume 1 ini. Q25 – Apa itu Agenda 21? A25 – Agenda 21 adalah strategi internasional untuk melindungi lingkungan sebagaimana disetujui oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, pada Konferensi PBB mengenai Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro pada tahun 1992. Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hal ini dengan melakukan persiapan dan penerbitan Agenda 21 – Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Lestari, pada Bulan Maret 1997. Ini merupakan dokumen acuan yang penting bagi mereka yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan dan penentuan atau revisi standar, dan harus dijadikan acuan dalam pekerjaan ini. Informasi lebih lanjut diberikan dalam Seksi 5.1.3, Bagian B Volume 2.

5.0 CONTOH

5.1 PENGANTAR Sejumlah contoh untuk menggambarkan proses dan prosedur diberikan dalam teks Volume 1 dan 2, termasuk SOP dalam Aneks pada Volume 1 ini. Seksi ini memberikan sejumlah contoh langkah dalam Proses Penentuan Standar (SSP) yang dijelaskan dalam Seksi 6, Bagian B Volume ini. Meskipun contoh tersebut menggunakan kawasan Indonesia untuk menggambarkan realisme, mereka termasuk data dan situasi hipotetis, karena data riil tidak tersedia dan pendataan dan analisisnya di luar lingkup kerja Proyek EMS. Ini karena proses penentuan standar, termasuk semua pendataan, penyelidikan, konsultasi dan pengkajian membutuhkan sebuah tim ahli selama dua tahun untuk menyelesaikannya Contoh berikut ini juga hanya selesai sebagian untuk menggambarkan masalah pokok bahasan, dan disisipi dengan komentar dan keterangan untuk memandu pengguna bagaimana cara menyelesaikan berbagai tugas. 5.2 PROSES PENENTUAN STANDAR (SSP) Contoh proses penentuan standar lingkungan yang dipilih adalah Propinsi Jawa Timur. Tujuan contoh tersebut adalah untuk merevisi standar air limbah yang ada untuk

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-17

pembuangan ke Sungai Brantas termasuk Sungai Surabaya, yang mengalir dari Brantas melalui Surabaya ke laut. Permohonan dibuat oleh Gubernur ditujukan kepada Kepala BAPEDALDA Jawa Timur karena banyak keluhan mengenai mutu air dari petani, industrialis dan masyarakat. Kepala BAPEDALDA mereviu permohonan, keluhan yang diterima, data yang ada dan setiap studi yang pernah dilakukan sebelumnya pada sistem sungai tersebut. Kepala BAPEDALDA harus bermusyawarah dengan instansi lainnya yang berkepentingan dengan sungai tersebut untuk menentukan respon awal pada permohonan, misalnya, Kantor Pengairan, Jasa Tirta (Perusahaan Pelayanan Sungai Brantas khusus yang didirikan Pemerintah Pusat) dan otorita air lokal (PDAM) yang mengoperasikan unit pengolahan air Karang Pilang di tengah bentangan Sungai Surabaya. Dari analisis data, informasi dan pandangan pendahuluan di atas, Kepala BAPEDALDA harus menyerahkan sebuah laporan singkat mengenai analisis tersebut kepada Gubernur termasuk rekomendasi untuk membentuk Tim Teknis (TT) dan Terms of Reference-nya (TOR). Dalam kasus yang lebih kecil Kepala BAPEDALDA dapat langsung membentuk Tim Teknis (TT) dan TOR. Namun, dalam hal ini sebagai sejumlah instansi pemerintah lainnya, industri dan stakeholder publik harus dilibatkan, ini dianggap lebih baik demi memperoleh persetujuan Gubernur, terutama karena standar yang ada ditetapkan dalam Keputusan Gubernur No. 413 tahun 1987, dan Gubernur menjadi pembuat keputusan berdasarkan hasil reviu. Tim Teknis (TT) harus diketuai oleh seorang Pejabat Senior BAPEDALDA, misalnya Kepala Divisi Pengawasan dan Pengendalian, dengan keanggotaan termasuk para wakil dari BAPEDALDA, kesehatan, pengairan, pertanian, Jasa Tirta, industri dan PDAM, dan termasuk konsultan dari BAPEDAL. Proses yang harus diikuti adalah yang ada di dalam Seksi 6, Bagian B Volume ini, sebagaimana dijelaskan di bawah. Setiap langkah berikut harus dibaca sehubungan dengan penjelasan dalam nomor langkah yang sama di Seksi 6, SOP terkait dalam Aneks pada Volume ini, dan informasi latar-belakang di Bagian B Volume 2. 5.2.1 LANGKAH 1 – Mengidentifikasi dan Memprioritaskan Masalah Dalam contoh ini, masalah kuncinya sudah ditentukan dalam TOR, yaitu, “merevisi standar pembuangan”, jadi prioritasisasi tidak diperlukan. Namun, jika belum ditentukan demikian maka perlu untuk mengikuti prosedur dalam SOP 4 dan 5, masing-masing adalah Pendataan dan Analisis Data, dan Memprioritaskan Isu Lingkungan. Namun demikian, Tim Teknis (TT) harus menyiapkan kertas kerja latar-belakang mengenai kawasan daerah aliran Sungai Brantas yang menjelaskan karakteristik fisik, sosial dan ekologisnya, termasuk pembangunan pada saat ini dan yang diproyeksikan serta penjelasan tentang isu pembuangan, kesehatan dan lingkungan. Misalnya, kertas kerja latar-belakang harus menjelaskan Sungai Brantas dengan anak sungainya sebagai sistem sungai terbesar yang seluruhnya terletak di Propinsi Jawa Timur. Area daerah aliran sungai tersebut luasnya adalah sekitar 12.000 km2 dan 20 juta orang tinggal di dalam daerah aliran sungai tersebut. Kota Malang (1,5 juta) terletak di daerah aliran

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-18

sungai sebelah atas dan kota industri besar Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik serta Kota Surabaya (jumlah penduduk sekitar 6 juta) terletak di daerah aliran sungai sebelah bawah. Ada kebutuhan besar pada Sungai Brantas untuk menyediakan air bagi penduduknya, petani dan industri serta membawa limbah industri dan rumahtangga dari wilayah luas metropolitan industri perkotaannya. Tekanan pada sungai ini meningkat dengan cepat seiring tingginya tingkat pertumbuhan industri dan rumahtangga di daerah aliran sungainya yang dibebankan pada penggunaan air intensif menurut sejarahnya untuk keperluan pengairan dan peternakan. Sungai Brantas mengalami tekanan sangat berat di bagiannya yang lebih rendah (Sungai Surabaya dan Sungai Porong). Mutu airnya buruk. Oksigen terlarut, bahan padat melayang, amonia dan kontaminasi bakteri telah terpantau pada tingkat yang tidak dapat diterima, tidak mencapai gol dan tujuan mutu air yang disetujui pemerintah. Air sungai membawa muatan organik tinggi yang dinyatakan sebagai kebutuhan oksigen biokimia (BOD) dan kebutuhan oksigen kimia (COD). Tingkat nutriennya ketika diukur ternyata juga tinggi. Sedimennya sangat tercemar oleh bahan organik dan senyawa beracun. Gol dan tujuan mutu air di Jawa timur ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 20 (1990) dan/atau Keputusan Gubernur Jawa Timur No. 413 (1987) untuk air Kelas A (air minum), B (bahan baku untuk air minum), C (perikanan dan peternakan), D (pertanian, pengoperasian usaha, industri dan pembangkit tenaga listrik) dan (di Jawa Timur) E (tidak cocok untuk penggunaan A, B, C dan D). Persyaratan mutu air untuk kelas air ini (gol yang didasarkan pada penggunaan bermanfaat) menentukan kriteria (tujuan) yang dikelompokkan ke dalam parameter fisik, kimia, mikrobiologis dan radioaktif. Mereka mencakup kriteria yang diakui secara internasional sebagai penting untuk mutu air, termasuk di antaranya, bahan padat terlarut, kekeruhan, oksigen terlarut, BOD dan COD, pH, deterjen, logam berat, anion, kation, amonia, pestisida, bahan organik beracun, oli dan gemuk dan parameter radioaktivitas. Belum ada pemantauan tengah-sungai yang konsisten terhadap logam berat atau bahan kimia organik yang persisten atau senyawa beracun lainnya dalam studi sungai di Jawa Timur, pengukuran ad hoc dan pemantauan efluen industri menunjukkan bahwa kontaminan ini tampaknya juga menjadi masalah mutu air di sejumlah bagian Sungai Brantas dan anak sungainya. Industri dan kegiatan yang membuang limbahnya ke sungai, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah sumber kontaminasi beracun yang diketahui, misalnya penyamakan kulit, bubur kertas dan kertas, penyepuhan listrik, pembuatan dan pemurnian logam, pembuatan tekstil, pertanian yang menggunakan pestisida, limindi dari lubang pembuangan sampah, dsb. Berdasarkan pada pengalaman dalam sistem sungai sejenis tampak bahwa ada konsentrasi logam berat dan senyawa organik beracun persisten yang signifikan di dalam sedimen dan biota di bentangan sebelah bawah sistem Sungai Brantas dan daerah pesisir di beberapa titik pembuangannya. Kertas kerja latar-belakang harus memberi keterangan bahwa, meskipun nutrien-nya (senyawa nitrogen dan fosfor) tinggi, tampaknya tidak ada masalah signifikan yang terjadi dengan ganggang yang berkembang, setidaknya di daerah aliran sungai sebelah bawah Ini sebagian karena konsentrasi bahan melayang yang tinggi secara alami mengurangi penetrasi sinar matahari dan oleh karena itu menghalangi pertumbuhan fotosintetis ganggang.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-19

Konsentrasi fitoplankton di sungai yang mengalir bebas di daerah aliran sungai sebelah hulu rendah. Di reservoar di daerah pegunungan bunga ganggang lebih mungkin terjadi di musim kemarau ketika lingkupan awannya rendah dan penetrasi sinar di permukaan airnya tinggi. Reservoar dibangun terutama untuk pembangkit listrik tenaga air dan suplai pertanian dan tidak digunakan untuk suplai air minum. Peningkatan produktivitas utama di reservoar merupakan faktor penting dalam memelihara perikanannya yang lestari. Aliran di musim kemarau, terutama di Sungai Surabaya, berada di bawah tekanan yang sangat berat dalam hal peningkatan ekstraksi yang stabil untuk memenuhi kebutuhan industri, perkotaan dan pertanian. Aliran musim kemarau di Sungai Surabaya diperkirakan akan menjadi 10 m3/detik (Encona). Kebutuhan yang diprediksikan pada tahun 1985 akan bertambah menjadi 17 m3/detik pada tahun 2000 dengan 48% untuk penggunaan air minum, 15% untuk industri, 8% untuk irigasi, 4% hilang dan 25% untuk dilusi. Kertas kerja latar-belakang harus terus menjelaskan standar, sumber dan karakteristik pembuangan ke sungai yang ada, data mutu air, pembangunan di masa mendatang, efek kesehatan masyarakat, merangkum keluhan masyarakat saat ini dan alasannnya, beserta lapangan pekerjaan terkait serta data ekonomi bersumber dasar industri. Kertas kerja latar-belakang memberikan masukan bagi langkah berikut ini. Sebagaimana dalam contoh ini masalahnya cukup didefinisikan dengan baik, disarankan agar Langkah 2 dan 3 dilakukan bersama-sama. 5.2.2 LANGKAH 2 – Menentukan Masalah Khusus yang akan Ditangani

LANGKAH 3 – Merumuskan Tujuan Kebijakan Sebelum menjalankan langkah ini silakan membaca kembali Langkah 2 dan 3 dalam Seksi 6, Bagian B. Tim Teknis (TT) harus mereviu kertas kerja latar-belakang yang ditunjukkan di atas setelah bermusyawarah dengan stakeholder dan masyarakat. Ada sejumlah cara untuk melakukan ini, sebagaimana dijelaskan dalam SOP 15, Partisipasi Masyarakat. Karena bidang studinya dijelaskan dengan sangat baik dalam contoh ini, maka diusulkan agar konsultasi awal dilaksanakan melalui pembentukan forum konsultasi dengan keanggotaan (katakan sekitar 30 peserta) yang diambil dari para wakil industri yang membuang limbah ke Sungai Brantas, para pengguna air, lembaga yang ada, kelompok masyarakat, para pimpinan di kawasan tersebut, dan para individual. Karena wanita seringkali memikul tanggungjawab terhadap persediaan air di rumahtangga, maka mereka harus diwakili, mungkin diusulkan oleh Kader Gerakan Resiliansi Wanita (PKK) setempat. Penting kiranya agar konsultasi dimulai secara dini dalam proses untuk memastikan agar para wakil sektoral, stakeholder dan masyarakat mengetahui proses tersebut dan dapat mulai membangun konsensus mengenai hasilnya kelak. Pertemuan harus dihimpun dari kelompok konsultatif agar dapat mempresentasikan informasi latar-belakang mengenai tugas bersangkutan. Pertemuan tersebut harus memulai diskusi mengenai penentuan masalah tertentu dan isu terkaitnya. Masalah tersebut harus dibiarkan terbuka pada penutupan pertemuan pertama sehingga para anggotanya dapat pergi dari pertemuan tersebut dengan membawa bekal isu untuk dibahas dengan para rekan dan teman mereka dan melakukan persiapan untuk pertemuan kedua. Catatan mengenai semua pertemuan harus direkam dan disediakan secara umum melalui anggota konsultasi.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-20

Pertemuan konsultasi kedua harus diselenggarakan untuk menjawab pertanyaan dan membuat draf pokok masalah tertentu, isu terkait dan tujuan kebijakannya. . Rencana pelaksanaan harus dibahas, namun lagi harus dibiarkan terbuka. Panduan tentang bagaimana melakukan hal ini diberikan dalam Langkah 2 dan 3 Seksi 6, Bagian B. Pertemuan konsultasi ketiga harus diselenggarakan untuk menyelesaikan definisi masalah yang direkomendasikan, tujuan kebijakan dan rencana kerja bagi Tim Teknis (TT). (Bisa jadi bahwa dua pertemuan sudah cukup). Tim Teknis (TT) harus berkonsultasi dengan otorita hukum, dalam hal ini Biro Hukum propinsi mengenai persyaratan hukum tertentu. Rekomendasi mengenai tujuan kebijakan dan rencana kerja Tim Teknis (TT) harus ditunjukkan kepada Gubernur (pembuat keputusan), termasuk informasi rangkuman tentang aspek administratif, teknis dan konsultasi masalah, untuk pertimbangan dan penentuan oleh Gubernur yang mungkin akan memusyawarahkannya dengan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota dari wilayah yang berdampingan di kawasan daerah aliran sungai pada proposal. 5.2.3 LANGKAH 4 – Analisis Isu Langkah ini memenuhi kebutuhan Tim Teknis (TT), dengan nasihat ahli, untuk melaksanakan pengkajian ilmiah, kesehatan, teknologi, ekonomi, risiko dan pelaksanaan atas isu yang terlibat. Seksi 7 hingga 12, Bagian B Volume 2 harus digunakan untuk membantu dalam proses ini. Langkah tersebut adalah yang digunakan oleh ahli teknis untuk penyelesaian oleh masing-masing bidang yang relevan. Misalnya, perusahaan pemasok air lokal, PDAM, memiliki unit pengolahan air yang berdampingan dengan Sungai Surabaya di Karang Pilang, dan mengambil air dari sungai tersebut untuk diolah dan didistribusikan kepada pengguna komersial dan pribadi. Mutu bahan baku air saat ini harus diidentifikasi bersama dengan teknologi pengolahan yang digunakan dan biayanya, serta biaya untuk konsumen. Proyeksi harus dibuat menyangkut mutu bahan baku air, teknologi pengolahan yang diperlukan, dan ekonomi teknologi, serta ekonomi proses keseluruhan. Efek kesehatan oleh penggunaan air, jika ada, harus ditentukan melalui data dari pusat kesehatan setempat dan mengambil sampel survei pengguna. Data dan pengetahuan kesehatan berbasis luas harus direviu untuk mengidentifikasi masalah kesehatan luas yang tidak langsung kelihatan di tingkat lokal. Buangan dan standar yang ada untuk pembuangan ke sungai ini harus diidentifikasi dan dikuantifikasi, bersama dengan proses industri dan tingkat pengolahan air limbah yang dilakukan, serta keefektifannya. Pembuangan sumber tersebar dan juga sumber titik harus diperhatikan. Proses dan teknik pengolahan alternatif bagi pembuang besar harus diidentifikasi dan dievaluasi. Misalnya, pabrik Asia Tile di hulu Karang Pilang mengubah prosesnya pada tahun 1995 untuk mendaur ulang air proses dan terutama membersihkan buangan yang terkontaminasi. Reviu terhadap pengalaman ini dapat mengantar kepada pengenalan respon serupa oleh industri lainnya. Mungkin lebih tepat kiranya untuk menyediakan sebuah pusat atau serangkaian unit pengolahan air limbah satelit ketimbang unit pengolahan individual.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-21

Opsi pengelolaan air limbah perlu diidentifikasi dan dievaluasi oleh Tim Teknis (TT), melalui musyawarah dengan industri bersangkutan, atau industri sejenis di kawasan lain. Studi-studi lainnya mengenai area sasaran tersebut harus direviu dan informasi yang relevan digunakan dalam langkah analisis ini. Misalnya, telah ada sejumlah studi mengenai Daerah Aliran Sungai Brantas, yaitu:

• PT Encona Engineering Inc bekerjasama dengan Sir M MacDonald & Partners Asia di bawah manajemen Kementeriaan Pekerjaan Umum, melakukan studi terhadap Sungai Surabaya pada tahun 1985 secara khusus diarahkan untuk mengatasi masalah air bermutu buruk di pipa masuk PDAM untuk pengolahan suplai air.

• Studi Bantuan Teknis Perancis pada tahun 1988/9 yang mengembangkan model kuantitas dan kualitas air bersifat komprehensif yang disesuaikan untuk penerapannya dari Lembah Loire (Loire Valley) di Perancis.

• Pembuatan model Daya Dukung Sungai Surabaya pada tahun 1994/5 oleh Institut Teknologi Surabaya (ITS). Model tersebut memberikan respon Sungai Surabaya terbaru yang berguna terhadap muatan pencemaran dan dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai bagian dari analisis yang tercakup oleh contoh ini.

• Laporan Prokasih (beraneka ragam). Analisis terhadap laporan ini harus memberikan data dan informasi yang berguna untuk keseluruhan analisis.

Analisis tersebut juga harus mempertimbangkan opsi pengelolaan mutu air Sungai Brantas dan anak sungainya. Yakni:

• pendekatan pengelolaan lingkungan; • pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai atau siklus air total; dan • pendekatan tindakan prioritas. Setiap pendekatan memiliki keunggulan dan masing-masing saling tumpang-tindih dengan yang lainnya. Perbedaan utamanya adalah pada penekanan dan alokasi tanggung jawab dan fungsi yang berbeda untuk setiap pendekatan, yang dipertimbangkan lebih lanjut di bawah. Jika pendekatan pengelolaan lingkungan diterapkan, maka pengelolaan mutu air dianggap menjadi bagian dari fungsi pengelolaan lingkungan yang luas. Tanggung jawab utama pengelolaan mutu air dan pengendalian pencemaran air dalam model ini berada di pundak otorita pengelolaan lingkungan. Dalam kasus Jawa Timur, BAPEDALDA yang menetapkan kebijakan lokal dan pelaksanaannya dan BAPEDAL yang menetapkan kebijakan nasional karena ini mempengaruhi perairan Jawa Timur. Ini berarti bahwa beberapa bagian lain pengelolaan siklus air biasanya tidak menjadi tanggung jawab utama otorita lingkungan, termasuk di antaranya:

• pengelolaan jumlah air termasuk alokasinya untuk ekstraksi air dari air permukaan dan air tanah dan pengelolaan penyimpanannya;

• pengelolaan infrastruktur termasuk bendungan, stasiun pembangkit listrik tenaga air, saluran, struktur tepi sungai, pengendalian dan pembelokan banjir, saluran air, dsb.

• pengelolaan daerah aliran sungai; • perikanan;

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-22

• pengelolaan rawa-rawa; • penambangan sungai; dan • peraturan penggunaan tepi sungai. Dalam model ini dibutuhkan mekanisme koordinasi antara otorita lingkungan (BAPEDALDA) dan otorita yang mengelola aspek lain siklus air agar supaya semua bagian pengelolaan air dapat digabungkan. Air dianggap menjadi salah satu sektor utama lingkungan. Oleh karena itu pengelolaan lingkungan secara keseluruhan jelas termasuk pengelolaan mutu air. Dalam skema ini pandangan mengenai lingkungan yang bersifat menyeluruh dapat diambil. Misalnya:

• Dari sisi pengelolaan sumberdaya alam, seluruh ekosistem dapat dipertimbangkan dan air tidak dipisahkan dari unsur lingkungan lainnya sebagai sebuah sektor khusus.

• Dari sisi pengelolaan industri, pelepasan ke lingkungan, apakah mereka berbentuk efluen cair ke air permukaan atau air tanah; atau emisi ke udara, atau limbah padat ke tanah, semuanya dianggap sebagai suatu keseluruhan dari masing-masing pabrik. Air tidak dipisahkan sebagai suatu kasus khusus, yang membutuhkan ijin berbeda untuk beroperasi, dibandingkan dengan, katakan pembuangan ke atmosfir atau pembuangan limbah padat ke lubang pembuangan sampah.

Tanggungjawab utama terhadap pengelolaan mutu air dalam model ini berada di pundak otorita lingkungan, yaitu, BAPEDAL dan BAPEDALDA setempat. Oleh karena itu perlu adanya mekanisme administratif untuk memastikan agar aspek pengelolaan sumberdaya air lainnya dipadukan dengan selayaknya ke dalam perencanaan lingkungan. Ini menjadi tugas panitia koordinator untuk memikirkan masalah daerah aliran sungai, yaitu, mutu air, jumlah air, penggunaan lahan, erosi, pengelolaan hutan, dsb. atau bisa jadi panitia koordinator khusus berdasarkan pada pertimbangan jumlah siklus air. Pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai pada pengelolaan mutu air didasarkan pada interaksi siklus hidrologis dengan karakteristik water-shed atau daerah aliran sungai. Pendekatan ini berfokus pada air dan geografi daerah aliran sungai ketimbang pada mutu air sebagai sektor lingkungan. Pendekatan secara menyeluruh pada pengelolaan siklus air dimungkinkan dengan model ini. Aspek siklus air dan pengelolaan air yang dipadukan berdasarkan pendekatan tersebut diidentifikasi di atas. Perpaduan pendekatan ini jelas merupakan keuntungan bagi sektor air, tetapi tidak memadukan pengelolaan lingkungan di mana mutu air merupakan salah satu sektor di antara beberapa sektor lainnya. Pendekatan tindakan prioritas tidak semetodis atau seketat kedua pendekatan di atas yang lebih umum, tetapi pendekatan tersebut memberikan prioritas kepada area yang paling kritis, dan dapat bertindak sejalan dengan yang lainnya. Contohnya, Jasa Tirta tampaknya mengikuti pendekatan ini dengan melakukan Studi Pengendalian Pencemaran Sungai Surabaya. Ada masalah yang menekan bahwa jumlah air yang diterima di unit pengolahan besar Karang Pilang PDAM untuk suplai air Surabaya tidak

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-23

selalu bermutu cukup baik untuk didistribusikan. Ada beberapa sumber pencemaran besar yang membuang limbah ke Sungai Surabaya antara Mojokerto dan Surabaya. Ini dapat dijadikan sasaran dengan tindakan langsung agar dapat mengurangi pencemaran suplai air. Misalnya ambang batas mutu air dalam sungai dapat ditetapkan di lokasi kunci masalah, yaitu, di Sungai Surabaya pada pipa masuk Karang Pilang, dan fokus tindakan jangka pendeknya adalah memperoleh air dengan mutu ini di titik ini. Jika ada ketidakpastian mengenai tingkat mutu air yang dibutuhkan di titik ini, maka kemudian mutu air difokuskan pada kebutuhan tertentu, yaitu, suplai air minum (Kelas B berdasarkan KepGub 413/1987) harus diprioritaskan. Dalam kasus Karang Pilang, ini harus melibatkan parameter mutu air konvensional, yaitu, kebutuhan oksigen, bahan padat melayang, mutu bakteriologis dan kontaminan beracun. Inventaris sumber pencemaran air di bagian sungai yang terpilih untuk dilakukan tindakan prioritas akan dibuat dan peringkat sumber ini disusun untuk menentukan daftar prioritas tindakan. Hal ini penting bahkan dalam prioritas pendekatan untuk memikirkan sumber pencemaran tersebar dan sejumlah sumber kecil lainnya. Jika diambil tindakan prioritas yang mahal terhadap 5 hingga 10 pencemar utama yang tidak menghasilkan hasil mutu air yang diharapkan, maka pendekatan tindakan prioritas bisa menjadi kegagalan yang mahal. Kuantitas air juga bisa penting dan dapat dibuatkan sebuah daftar inventaris abstraktor utama dan disiapkan tindakan untuk mengatur abstraktor ini lebih lanjut dalam urutan prioritas. Abstraktor air tanah adalah penting terutama dalam pertimbangan abstraksi. Penggunaan air untuk keperluan peternakan perlu diperhitungkan dalam pertimbangan terhadap kebutuhan . Hasil dari Langkah 4 adalah laporan yang merangkum pengkajian yang dilakukan dan menarik kesimpulan darinya pada setiap analisis. Kesimpulan ini ditarik bersama dalam langkah berikutnya setelah bermusyawarah dengan kepentingan sektoral, stakeholder dan masyarakat. 5.2.4 LANGKAH 5 – Pembahasan dan Sintese Langkah ini melibatkan Tim Teknis (TT) dalam sebuah reviu terhadap analisis dan kesimpulannya yang dibuat pada Langkah 4. Ini perlu dipikirkan satu sama lain pada saat bermusyawarah dengan para wakil sektoral, stakeholder dan masyarakat yang relevan. Proses tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Seksi 6, Bagian B Volume ini. Mungkin inilah saatnya untuk mengumpulkan kembali forum konsultasi yang digunakan dalam Langkah 2 dan 3 di atas, atau jika isu yang terlibat adalah signifikan dan kontroversial untuk melaksanakan penyelidikan pendapat masyarakat (lihat SOP 15). Contoh Sungai Brantas, sebagai isu yang terlibat biasanya adalah langsung, maka diusulkan agar kertas diskusi, memasukkan draf rekomendasi mengenai usulan strategi dan standar pengelolaan, disiapkan dan diterbitkan untuk mendapatkan komentar masyarakat dalam jangka waktu dua bulan. Ini harus diiklankan untuk memberitahu mereka yang ingin mereviu kertas diskusi, dan juga dibagikan kepada para anggota forum konsultasi tersebut di atas. Tim Teknis (TT) akan merangkum modifikasi sesuai dengan strategi dan standar yang direkomendasikan bila perlu, dan menyerahkan laporan, rekomendasi dan alasannya kepada

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1E-Ina

CMPS Asia Pacific E-24

Gubernur untuk dilakukan pertimbangan dan pembuatan keputusan. Laporan tersebut juga harus merangkum pandangan sektoral, stakeholder dan masyarakat dan mengemukakan isu-isu besar yang timbul beserta implikasinya. 5.2.5 LANGKAH 6 – Keputusan mengenai Standar dan Isinya Gubernur (dan stafnya) harus mereviu laporan dan rekomendasinya, dan memusyawarahkannya dengan Otorita Hukum mengenai apakah instrumen hukum yang relevan untuk standar dapat dibuat atau tidak. Gubernur dapat bermusyawarah dengan Gubernur lainnya, Menteri Lingkungan Hidup dan mungkin otorita kesehatan untuk memeriksa mengenai ketepatan standar yang diusulkan, dan menyangkut implikasi antar propinsi. Jika isunya tetap signifikan dan penyelidikan pendapat masyarakat tidak diselenggarakan selama melaksanakan Langkah 5, Gubernur dapat mengatur penyelidikan pendapat masyarakat untuk memeriksa lebih lanjut isu-isu yang terlibat (lihat SOP 15 untuk mengetahui penyelidikan pendapat masyarakat). Setelah mempertimbangkan segenap aspek, Gubernur akan menerbitkan keputusan mengenai standar dan alasan untuk itu dan harus tersedia untuk umum, termasuk salinan kepada pemerintahan yang berdampingan, Menteri Lingkungan Hidup dan BAPEDAL. 5.2.6 LANGKAH 7 – Mensosialisasikan dan Melaksanakan BAPEDALDA kemudian harus mensosialisasikan standar melalui iklan dan distribusinya untuk kepentingan sektoral, stakeholder dan publik. Hal ini dibantu dengan menyelenggarakan lokakarya dan pameran di area sasaran. Ini juga harus ada secara ringkas biaya dan manfaat standar kesehatan masyarakat dan mutu lingkungan, dan menjelaskan bagaimana standar akan dilaksanakan, termasuk juga pemberdayaannya. Pelaksanaan harus dimulai pada tanggal yang ditunjukkan, katakan dalam enam (6) bulan setelah pengambilan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan waktu dari periode sosialisasi. Pelaksanaan dapat termasuk periode peralihan satu tahun jika standar yang baru lebih ketat daripada yang sebelumnya, agar industri dan para pengusaha lainnya dapat melaksanakan pekerjaan penyesuaian. 5.2.7 LANGKAH 8 – Memantau dan Mengevaluasi Keefektifan BAPEDALDA harus melakukan program pemantauan terus-menerus terhadap pelaksanaan standar dan keefektifannya dalam memperbaiki mutu air. Biasanya ini termasuk reviu terhadap data pembuangan yang diberikan oleh para pengusaha, pelaksanaan pemeriksaan singkat terhadap mutu buangan, dan pengujian mutu air sungai berkala. Data dan kesimpulan pemantauan akan diterbitkan secara tahunan sebagai informasi publik, sebagai bagian dari Laporan Tahunan BAPEDALDA.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Content Methodology V1/References

CMPS Asia Pacific

R-1

REFERENCES 1 Act of the Republic of Indonesia No 24 (1992), regarding Spacial Planning, GOI,

Jakarta. 2 Act of the Republic of Indonesia No 23 (1997), regarding Environmental Management,

GOI, Jakarta. 3 Act of the Republic of Indonesia No 22 (1999), regarding Local Government, GOI,

Jakarta. 4 Act of the Republic of Indonesia No 25 (1999), regarding Regional Finances, GOI,

Jakarta. 5 Act of the Republic of Singapore (1999), Environmental Pollution Control, GOS,

Singapore. 6 Asian Development Bank (1986), Environmental Planning and Management, Asian

Development Bank, Manila. 7 Asian Development Bank (1987), Handbook on the Use of Pesticides in the Asia Pacific

Region, Asian Development Bank, Manila. 8 Asian Development Bank (1990), Economic Policies for Sustainable Development,

Asian Development Bank, Manila. 9 Asian Development Bank (1991), Environmental Risk Assessment, Environment Paper

No 7, Asian Development Bank, Manila. 10 Asian Development Bank (1992), Guidelines for the Health Impact Assessment of

Development Projects, Asian Development Bank, Manila. 11 Asian Institute of Technology (1993), Appropriate Environmental Standards for

Developing Countries, Environmental Systems Information Center (ENSIC), Bangkok. 12 Australian and New Zealand Environment and Conservation Council (1992), Australian

Water Quality Guidelines for Fresh and Marine Waters, Australian and New Zealand Environment and Conservation Council Secretariat, Canberra.

13 Ball S and Bell S (1991), The Law and Policy Relating to the Protection of the

Environment, Blackstone Press, London. 14 BAPEDAL (1997), Organisation, Functions and Programs, BAPEDAL, Jakarta. 15 BAPEDAL and East Java Pollution Control Implementation (PCI) Project (1999), Status

Report, GOI Policy and Progress Towards Decentralisation, PCI Project, BAPEDAL, Jakarta.

16 Barnett V and O’Hagan A (1997), Setting Environmental Standards, Chapman and Hall,

London.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Content Methodology V1/References

CMPS Asia Pacific

R-2

17 Bureau of Statistics (1996), Natural Resource Statistics of Indonesia, Bureau of Statistics, Jakarta.

18 Bureau of Statistics (1998), Environmental Statistics of Indonesia, Bureau of Statistics,

Jakarta. 19 Bureau of Statistics (1998), Health Statistics, Bureau of Statistics, Jakarta. 20 Bureau of Statistics (1998), Statistical Year Book of Indonesia, Bureau of Statistics,

Jakarta. 21 Carpenter R and Maragos J (1989), How to Access Environmental Impacts on Tropical

Islands and Coastal Areas, Environment and Policy Institute, East West Center, Asian Development Bank, Manila.

22 Carter B and Ramesh R (1993), Toward an Environmental Strategy for Asia, World

Bank, Washington. 23 Cernea M (1993), The Urban Environment and Population Relocation, World Bank,

Washington. 24 CMPS&F (1997), Master Plan for Capacity Building in BAPEDALDA, Asian

Development Bank TA No. 2598-INO, Ministry for Home Affairs, CMPS Asia Pacific, Jakarta.

25 Corbitt R (1989), Standard Handbook of Environmental Engineering, Mc Graw Hill,

New York. 26 Department of the Environment Welsh Office (1989), Environmental Assessment a

Guide to the Procedures, Her Majesty’s Stationery Office, London. 27 Department of Health (1998), Indonesia Health Profile, Department of Health, Jakarta. 28 EMS Project (1999), Environmental Statistics PR2, BRNP EMS Project, Jakarta. 29 EMS Project (1999), Existing Regulations and Interagency Responsibilities WP1, BRNP

EMS Project, Jakarta. 30 EMS Project (1999), Inception Report (Final) PR 3(A), BRNP EMS Project, Jakarta. 31 EMS Project (1999), Inter-Agency Coordination Models WP4, BRNP EMS Project,

Jakarta. 32 EMS Project (1999), International Standards and Limit Setting Methodologies WP2,

BRNP EMS Project, Jakarta. 33 EMS Project (1999), Regional Characteristics and Needs WP3, BRNP EMS Project,

Jakarta. 34 EMS Project (1999), Regional Workshop Outputs Report (Round 1) WP15, BRNP EMS

Project, Jakarta.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Content Methodology V1/References

CMPS Asia Pacific

R-3

35 EMS Project (2000), Regional Workshop Outputs Report (Round 2), WP19, BRNP EMS Project, Jakarta.

36 Engelman R (1997), Why Population Matters, Population Action International,

Washington. 37 Environmental Management Development in Indonesia (EMDI) (1992), Report on the

Air Quality Standards Project, EMDI Project, BAPEDAL, Jakarta. 38 Environment Protection Agency (1998), Regulatory Impact Statements, Environment

Protection Agency of NSW, Sydney. 39 Gardner-Outlaw T and Engelman R (1999), Forest Futures, Population Action

International, Washington. 40 Government of Indonesia (1999), Broad Policy Guidelines, GOI, Jakarta. 41 Government of Indonesia (1999), Indonesia 1999 an Official Handbook, Department of

Information, Directorate General for General Information, Directorate of Foreign Information Services, Jakarta.

42 Hammer J and Sudhir S (1995), East Asia’s Environment Principles and Priorities for

Action, World Bank, Washington. 43 Indonesian Center for Environmental Law (1994), Analysis of Policies, Regulations

Programs and Institutions that Affect Industrial Pollution Prevention in Indonesia, ICEL, Jakarta.

44 Indonesian Center for Environmental Law (1999), The Living Environment and Natural

Resources in the Post New-Order Era, ICEL, Jakarta. 45 James D (1991), Economics, Environment and Sustainable Development, Resource

Assessment Commission, Canberra. 46 Lovei M and Weiss Jnr C (1998), Environmental Management and Institutions in OFCD

Countries, Technical Paper No 391, World Bank, Washington. 47 Minister for Environment Decision KEP-51/MENLH/10/1995, regarding Liquid Waste

Standards for Industrial Activities, Ministry of Environment, Jakarta. 48 Ministry of Environment, BAPEDAL and the Kalpa Willi’s Foundation (1997), The

Indonesia Environmental Almanac, Ministry of Environment, Jakarta. 49 Ministry of Environment (1997), Indonesia a National Strategy for Sustainable

Development, Ministry of Environment, Jakarta. 50 Ministry of Environment (1998), Annual Report 1998, Ministry of Environment,

Singapore. 51 National Environment Protection Council (1998), Annual Reports and Related

Publications, National Environment Protection Council Service Corporation, Adelaide.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Content Methodology V1/References

CMPS Asia Pacific

R-4

52 National Environment Protection Council (1998), National Environment Protection Measure for Ambient Air Quality, National Environment Protection Council Service Corporation, Adelaide.

53 Patzer R (1994), Environmental Law Compliance and Enforcement, Environmental

Management Development in Indonesia Project, BAPEDAL, Jakarta. 54 Potter C (1992), Development and Implementation of Water Quality Standards in

Indonesia, Environmental Management Development in Indonesia Project, BAPEDAL, Jakarta.

55 Presidential Decree No 23 (1990), regarding the Establishment of Environmental Impact

Management Agency (BAPEDAL), GOI, Jakarta. 56 Presidential Decree No 77 (1994), regarding Environmental Impact Management Agency

(BAPEDAL), GOI, Jakarta. 57 Presidential Decree No 188 (1998), regarding Procedures for Draft Act Preparation, GOI,

Jakarta. 58 Presidential Decree No 196 (1998), regarding Environmental Impact Management

Agency (BAPEDAL), GOI, Jakarta. 59 Presidential Decree No 134 (1999), regarding Positions, Tasks, Functions, Organisation

Structure, and Working System of State Ministers, GOI, Jakarta. 60 Presidential Decree No 1 (2000), regarding Positions, Tasks, Functions, Organisation

Structure and Working System of Ministry of Environment, GOI, Jakarta. 61 Presidential Decree No 10 (2000), regarding Environmental Impact Management Agency

(BAPEDAL), GOI, Jakarta. 62 Read C (1993), Air Pollution and Child Health, Greenpeace, London. 63 Regulation PP20 (1990), regarding Water Pollution Control, GOI, Jakarta. 64 Regulation PP27 (1999), regarding Environment Impact Assessment, GOI, Jakarta. 65 Regulation PP41 (1999), regarding Air Pollution Control, GOI, Jakarta. 66 Regulation PP85 (1999), regarding Hazardous and Toxic Wastes, GOI, Jakarta. 67 Rogers P, Jalal K, Lohani B, Owens G, Yu CC, Dufournaud C, Bi J (1997), Measuring

Environmental Quality in Asia, Harvard University and Asian Development Bank, Manila.

68 Royal Commission on Environmental Pollution (1998), Twenty-first Report, Her

Majesty’s Stationary Office, London. 69 Ruzicka I (1997), Strategy for the Use of Market Based Instruments in Indonesia’s

Environmental Management, Asian Development Bank, Manila.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Content Methodology V1/References

CMPS Asia Pacific

R-5

70 Scott J (1998), European Community Environmental Law, Longman, London. 71 Setiawan H and Soewito (1998), Environmental Quality Standards, Quality Standards for

Waste Discharges to the Environment, Environmental Licensing Requirements and their Application in Investigations, BAPEDAL, Jakarta.

72 Stubbs J and Clarke G (1996), Megacity Management in the Asia and Pacific Region,

Asian Development Bank, Manila. 73 United Nations Environment Programme (1997), Global Environment Outlook, UNEP,

Nairobi. 74 United Nations Development Programme (1998), Human Development Report 1998,

Oxford University Press, New York. 75 United States Environmental Protection Agency (1990), The Report of the Ecology and

Welfare Subcommittee on Relative Risk Reduction, Science Advisory Board, USEPA, Washington.

76 United States Environmental Protection Agency (1992), Principles of Environmental

Enforcement, US EPA, Washington. 77 United States Environmental Protection Agency (1998), Reinventing Environmental

Protection, USEPA, Washington. 78 Wijetilleke L and Karunaratne S (1995), Air Quality Management Considerations in

Developing Countries, Technical Paper No 278, World Bank, Washington. 79 Winter G (1996), European Environmental Law a Comparative Perspective, Darmonth

Publishing, London. 80 World Bank (1994), Indonesia Environment and Development, Challenges for the

Future, World Bank, Washington. 81 World Bank (1997), Atlas of World Development Indicators, World Bank, Washington. 82 World Bank (1997), The State in a Changing World, World Development Report 1997,

Oxford University Press, New York. 83 World Bank (1998), Pollution Prevention and Abatement Handbook, World Bank,

Washington. 84 World Bank (1999), Entering the 21st Century World Development Report 1999/2000,

Oxford University Press, New York. 85 World Bank (1999), Greening Industry, Oxford University Press, New York. 86 World Health Organisation (1985), Environmental Pollution Control in Relation to

Development, Technical Report Series 718, WHO, Geneva.

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1/Annex-Ina

CMPS Asia Pacific

1

ANEKS

PROSEDUR OPERASI STANDAR (SOP)

GOI-ADB LOAN 1449 INO : BRNP-EMS PROJECT

• Ecolink Utama • Sehat Pratama Sejati dhie/Methodology V1/Annex-Ina

CMPS Asia Pacific

2

DAFTAR ISI

1 SINGKATAN

2 DAFTAR ISTILAH-ISTILAH LINGKUNGAN HIDUP

3 STATISTIK LINGKUNGAN HIDUP

4 PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS

5 MEMPRIORITASKAN ISU LINGKUNGAN

6 STANDAR LINGKUNGAN INDONESIA

7 STANDAR LINGKUNGAN INTERNASIONAL

8 STANDAR LINGKUNGAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

9 EFEK KESEHATAN OLEH POLUTAN

10 PENGELOLAAN MUTU AIR

11 PENGAMBILAN DAN ANALISIS SAMPEL AIR

12 PENGAMBILAN DAN ANALISIS SAMPEL UDARA

13 TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN

14 INSTRUMEN EKONOMI

15 PERAN SERTA MASYARAKAT

dhie5.0/SOP1/Abbreviations 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

1

SINGKATAN Singkatan berikut ini dipergunakan dalam Metodologi Standar Lingkungan. ADB Asian Development Bank (Bank Pembangunan Asia)

ADIPURA Program Kota Bersih (BAPEDAL)

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

ANDAL Analisis Dampak Lingkungan (untuk proyek tertentu)

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

AusAID Australian Agency for International Development (Lembaga

Bantuan Australia untuk Pembangunan Internasional)

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

BANGDA Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (Dalam Negeri)

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

BAPEDAL Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan

BAPEDAL Regional Kantor daerah BAPEDAL

BAPEDALDA Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BAT Best available technology (teknologi terbaik yang tersedia)

BATNEEC Best available techniques not entailing excessive cost (teknik

terbaik yang ada yang tidak membutuhkan biaya berlebihan)

BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal

BLH Biro Lingkungan Hidup

BOD5 Biochemical oxygen demand (kebutuhan oksigen biologis)

BPEO Best practicable environmental option (opsi lingkungan terbaik

yang dapat dipraktekkan)

BPM Best practicable means (sarana terbaik yang dapat dipakai)

BPPT Badan Penelitian Pengembangan dan Teknologi

BRNP BAPEDAL Regional Network Program (Program Jaringan

Regional BAPEDAL)

BTKL Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Propinsi, Kementerian

Kesehatan

dhie5.0/SOP1/Abbreviations 2

CIDA Canadian International Development Agency (Badan

Pembangunan Internasional Kanada)

CMPS&F Crooks Michell Peacock Scott & Furphy Pty Ltd

COD Chemical oxygen demand (kebutuhan oksigen kimia)

CSIRO Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization

(Organisasi Penelitian Ilmiah dan Industri Negara Persemakmuran)

DALAM NEGERI Departemen Dalam Negeri

Daerah Daerah (daerah administratif, propinsi atau kabupaten/kotamadya)

Dinas Lembaga Teknis tingkat Propinsi atau Kabupaten

DKI Daerah Khusus Istimewa Jakarta (berstatus propinsi)

DO Dissolved oxygen (oksigen terlarut)

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

EC European Community (Masyarakat Eropa)

EIA Environmental impact assessment (Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan/AMDAL)

EMC Environmental Management Center (now PUSARPEDAL) (Pusat

Pengelolaan Lingkungan (sekarang PUSARPEDAL)

EMS PROJECT Environmental Management Services Project (Proyek Pelayanan

Pengelolaan Lingkungan)

EPA Environment Protection Authority/Agency (Lembaga

Perlindungan Lingkungan)

ES Environmental standard (Standar Lingkungan)

ESM Environmental Standards Methodology (Metodologi Standar

Lingkungan)

GATT General Agreement on Tariffs and Trade (Persetujuan Umum

mengenai Tarif dan Perdagangan)

GDP Gross domestic product (Produk Domestik Bruto)

GHG Greenhouse gas (gas rumah kaca)

GID Gender in Development (status kelamin dalam pembangunan)

GNP Gross national product (Produk Nasional Bruto)

GOA Government of Australia (Pemerintah Australia)

GOI Government of Indonesia (Pemerintah Indonesia)

GTZ German Government Aid Agency (Lembaga Bantuan Pemerintah

Jerman)

dhie5.0/SOP1/Abbreviations 3

HRD Human resources development (pengembangan sumberdaya

manusia)

IBRD International Bank for Reconstruction and Development (World

Bank) (Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan

(Bank Dunia)

ICEL Indonesian Center for Environmental Law (Pusat Hukum

Lingkungan Indonesia)

INPRES Instruksi Presiden (Program dana khusus untuk pembangunan

daerah, ditetapkan berdasarkan Instruksi Presiden).

IP Implementation Plan (Rencana Pelaksanaan)

IPC Integrated pollution control (Pengendalian Pencemaran Terpadu)

IPCC Inter-governmental Panel on Climate Change (Panel Antar-

pemerintah mengenai Perubahan Iklim)

ISO International Standards Organization (Organisasi Standar

Internasional)

IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural

Resources (Perserikatan Internasional Konservasi Alam dan

Sumberdaya Alam)

JICA Japan International Cooperation Agency (Badan Kerjasama

Internasional Jepang)

Kabupaten Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kotamadya

KANWIL Kantor wilayah departemen atau pemerintahan pusat

KB (Program) Keluarga Berencana

Kecamatan Unit administratif dalam kabupaten

Kelurahan Unit administratif dalam kecamatan

KEPPRES Keputusan Presiden

KIP Kampung (village) Improvement Program (Program Perbaikan

Kampung (desa)

Kotamadya Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten/Kotamadya

LCA Life cycle assessment (pengkajian siklus hidup)

LH (Kementerian) Lingkungan Hidup

LES Locally employed staff (staf lokal)

LKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

MEA Multilateral Environmental Agreement (Perjanjian Lingkungan

Multilateral)

dhie5.0/SOP1/Abbreviations 4

MENLH Menteri Negara Lingkungan Hidup

MHA Ministry of Home Affairs (Kementerian Dalam Negeri)

MIS PROJECT Management Information Systems Project (Proyek Sistem

Informasi Manajemen)

MOH Ministry of Health (Kementerian Kesehatan)

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

MPW Ministry of Public Works (Kementerian Pekerjaan Umum)

NGO Non government organization (Lembaga Swadaya Masyarakat)

OECD Organization for Economic Cooperation and Development

(Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi)

OECF Overseas Economic Cooperation Fund (Japanese) (Bantuan

Kerjasama Ekonomi Luar Negeri (Jepang)

PCM PROJECT Project Coordination and Monitoring Project (Proyek Koordinasi

dan Pemantauan Proyek)

PD Project Director (BAPEDAL) [Direktur Proyek (BAPEDAL)]

PERDA Peraturan Daerah (tingkat provinsi)

PimPro Pimpinan Proyek (BAPEDAL)

PKK Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

PMO Project Management Office (for BAPEDAL) Kantor Manajemen

Proyek (BAPEDAL)

PP Peraturan Pemerintah

PPL I Pusat Pengolahan Limbah Industri

PROKASIH Program Kali Bersih

PROPER PROKASIH Program Peringkat Proyek Kali Bersih

PSL Pusat Studi Lingkungan

PTL Project Team Leader (Pimpinan Tim Proyek)

PUSARPEDAL Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan BAPEDAL

QA Quality assurance (jaminan mutu)

QC Quality control (pengendalian mutu)

RM Reference Manual (Buku Pedoman Acuan)

RKL Rencana Pengelolaan Lingkungan

RPL Rencana Pemantauan Lingkungan

SK Keputusan atau Surat Keputusan Gubernur

SLG Self Learning Guide (Panduan Belajar Mandiri)

SMU State Management Unit (Unit Pengelolaan Negarabagian)

dhie5.0/SOP1/Abbreviations 5

SOP Standard operating procedures (Prosedur Pengoperasian Standar)

SSP Standard setting process (Proses Penentuan Standar)

TSP Total suspended particulates (Total partikulat melayang)

TSS Total suspended solids (Total bahan padat melayang)

TOR Terms of Reference (Buku Pedoman Acuan / Rujukan)

UNDP United Nations Development Program (Program Pembangunan

Perserikatan Bangsa-bangsa)

USAID United States Aid for International Development (Bantuan

Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional)

USD United States Dollar (Dolar Amerika Serikat)

USEPA United States Environmental Protection Agency (Lembaga

Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat)

WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

WHO World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)

World Bank Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan

WTO World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia)

YIH Yayasan Indonesia Hijau

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

2

GLOSSARY OF ENVIRONMENTAL TERMS DAFTAR ISTILAH-ISTILAH LINGKUNGAN HIDUP

A Abatement: Reducing the degree or intensity of, or eliminating, pollution. Penanggulangan: Penurunan derajat atau intensitas, atau penghilangan pencemaran. Absorption: The passage of one substance into or through another; eg, an operation in which one or more soluble components of a gas mixture are dissolved in a liquid. Absorpsi: Menyusupnya sesuatu senyawa ke dalam atau melalui senyawa yang lain, misalnya, suatu proses dimana satu unsur atau lebih dari suatu campuran gas melarut dalam suatu cairan. Accident Site: The location of an unexpected occurrence, failure or loss, either at a plant or along a transportation route, resulting in a release of hazardous materials. Lokasi kecelakaan: Lokasi suatu kejadian, kegagalan atau kehilangan yang tidak diharapkan, baik pada suatu instalasi, di sepanjang rute perjalanan, yang mengakibatkan terlepasnya bahan berbahaya. Acid Deposition: A complex chemical and atmospheric phenomenon that occurs when emissions of sulfur and nitrogen compounds and other substances are transformed by chemical processes in the atmosphere, often far from the original sources, and then deposited on earth in either a wet or dry form. The wet forms, popularly called “acid rain,” can fall as rain, snow, or fog. The dry forms are acidic gases or particulates. Pengendapan asam: Fenomena kimiawi dan atmosfer yang kompleks yang terjadi ketika emisi senyawa belerang dam nitrogen serta bahan-bahan lain diubah melalui proses kimiawi, yang sering terjadi jauh dari sumber aslinya,

kemudian mengendap ke bumi baik dalam bentuk basah atau kering. Yang berbentuk basah dikenal dengan nama ‘hujan asam’ dan jatuh sebagai hujan, salju atau kabut. Yang berbentuk kering adalah gas-gas atau partikel bersifat asam. Acid Rain: (See: acid deposition). Hujan asam: (Lihat Pengendapan Asam) Activated Carbon: A highly adsorbent form of carbon used to remove odors and toxic substances from liquid or gaseous emissions. In waste treatment it is used to remove dissolved organic matter from wastewater. It is also used in motor vehicle evaporative control systems. Arang aktif: Bentuk karbon dengan daya serap tinggi, dipergunakan untuk menghilangkan bau dan bahan beracun dari emisi gas. Dalam instalasi pengolah limbah canggih, dipergunakan untuk menghilangkan zat organik terlarut dari air limbah. Bahan ini juga digunakan dalam sistem pengendalian penguapan pada kendaraan bermotor Activated Sludge: Sludge that results when primary effluent is mixed with bacteria-laden sludge and then agitated and aerated to promote biological treatment. This speeds breakdown of organic matter in raw sewage undergoing secondary waste treatment. Lumpur Aktif: Lumpur (sludge) yang dihasilkan ketika buangan primer dicampur dengan lumpur yang kaya akan bakteri kemudian diaduk dan diaerasi untuk merangsang terjadinya pengolahan secara biologis. Ini akan mempercepat penghancuran zat organik dalam limbah mentah pada instalasi pengolah limbah sekunder. Active Ingredient: In any pesticide product, the component which kills, or otherwise controls, target pests. Pesticides are regulated primarily on the basis of active ingredients.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 2

Bahan aktif: Kandungan dalam segala jenis pestisida, merupakan unsur yang membunuh, atau mengendalikan binatang pengganggu yang menjadi sasaran. Peraturan mengenai pestisida didasarkan terutama pada kandungan aktifnya. Acute Exposure: A single exposure to a toxic substance which results in severe biological harm or death. Acute exposures are usually characterized as lasting no longer than a day. Pemajanan akut: Pemajanan tunggal terhadap bahan beracun yang mengakibatkan dampak biologis yang parah atau terjadinya kematian. Pemajanan akut biasanya dikenali karena hanya berlangsung tidak lebih dari satu hari. Acute Toxicity: The ability of a substance to cause poisonous effects resulting in severe biological harm or death soon after a single exposure or dose. Also, any severe poisonous effect resulting from a single short-term exposure to a toxic substance. (See: chronic toxicity, toxicity). Toksisitas akut: Kemampuan suatu senyawa untuk menimbulkan keracunan yang mengakibatkan dampak biologis yang parah atau kematian segera setelah terjadinya suatu pemajanan atau dosis tunggal. Juga berarti, segala dampak peracunan parah akibat dari suatu pemajanan tunggal dalam waktu singkat terhadap suatu bahan beracun (Lihat: toksisitas kronis. Toksisitas) Adaptation: Changes in an organism’s structure or habit that help it adjust to its surroundings. Adaptasi: Perubahan struktur atau kebiasaan suatu organisme yang menghasilkan penyesuaian yang lebih baik terhadap sekitarnya. Add-on Control Device: An air pollution control device such as carbon adsorber or incinerator which reduces the pollution in an exhaust gas. The control device usually does not affect the process being controlled and thus is “add-on” technology as opposed to a scheme to control pollution through making some alteration to the basic process.

Alat Pengendalian Tambahan: Suatu alat pengendalian pencemaran udara misalnya arang penyerap atau insinerator yang menurunkan kadar pencemar dalam gas buang. Alat pengendali itu biasanya tidak mempengaruhi proses yang dikendalikan sehingga teknologi ‘tambahan’ ini berbeda dengan penataan pengendalian pencemaran melalui pengubahan pada proses dasarnya. Adsorption: 1. Adhesion of molecules of gas, liquid, or dissolved solids to a surface. 2. An advanced method of treating wastes in which activated carbon removes organic matter from wastewater. Adsorpsi: 1. Melekatnya molekul gas, cairan atau zat padat terlarut pada suatu permukaan . 2. Suatu cara pengolahan limbah tingkat lanjut dimana bahan organik dihilangkan dengan arang aktif dari dalam air limbah. Advanced Wastewater Treatment: Any treatment of sewage that goes beyond the secondary or biological water treatment stage and includes the removal of nutrients such as phosphorus and nitrogen and a high percentage of suspended solids. (See: primary, secondary treatment). Pengolahan Limbah Tingkat Lanjut: Segala bentuk pengolahan air limbah yang melampaui tahapan pengolahan air limbah sekunder atau secara biologis dan meliputi penghilangan bahan nutrien seperti fosfor dan nitrogen serta sebagian besar padatan tersuspensi. (Lihat: pengolahan primer, sekunder) Aeration: A process which promotes biological degradation of organic water. The process may be passive (as when waste is exposed to air), or active (as when a mixing or bubbling device introduces the air). Aerasi: Suatu proses untuk meningkatkan pencernaan bahan organik secara biologis. Proses ini bisa berlangsung pasif (misalnya dengan mengkontakkan limbah dengan udara), atau aktif (seperti dengan memasukkan udara melalui pencampuran atau peniupan) Aerobic: Life or processes that require, or are not destroyed by, the presence of oxygen. (See anaerobic).

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 3

Aerobik: Kehidupan atau proses-proses yang tergantung pada adanya oksigen. (Lihat anaerobik) Aerobic Treatment: Process by which microbes decompose complex organic compounds in the presence of oxygen and use the liberated energy for reproduction and growth. Types of aerobic processes include extended aeration, trickling filtration, and rotating biological contactors. Pengolahan aerobik: Suatu proses dimana mikroba mencernakan senyawa organik kompleks dengan menggunakan oksigen, kemudian memanfaatkan enerji yang terbentuk untuk kepentingan pertumbuhan dan perkembang-biakan. Jenis proses aerobik meliputi aerasi yang lebih dari cukup, penyaringan dengan trickling filters dan permukaan kontak biologis yang berputar-putar. Aerosol: A suspension of liquid or solid particles in a gas. Aerosol: Partikel cair atau padat yang tersuspensi dalam suatu gas. Agricultural Pollution: The liquid and solid wastes from farming, including: runoff and leaching of pesticides and fertilizers; erosion and dust from plowing; animal manure and carcasses; and crop residues and debris. Pencemaran Limbah Pertanian: Limbah cair atau padat dari pertanian, termasuk bilasan hujan dan rembesan pupuk dan pestisida kikisan dan debu dari penggarapan tanah; kotoran binatang dan bangkai, sisa tanaman dan sebagainya. Airborne Particulates: Total suspended particulate matter found in the atmosphere as solid particles or liquid droplets. Chemical composition of particulates varies widely, depending on location and time of year. Airborne particulates include: windblown dust, emissions from industrial processes, smoke from the burning of wood and coal, and the exhaust of motor vehicles. Partikel di udara: Banyaknya partikel tersuspensi yang ditemukan di udara sebagai partikel padat atau butiran air. Komposisi kimiawi dari partikel sangat bervariasi,

tergantung pada lokasi dan kapan dalam kurun waktu satu tahun. Partikel di udara meliputi debu terbang, emisi dari proses industri, asap dari pembakaran kayu atau arang, serta buangan dari kendaraan bermotor. Air Mass: A widespread body of air that gains certain meteorological or polluted characteristics - eg, a heat inversion or smokiness - while set in one location. The characteristics can change as it moves away. Masa udara: Suatu badan udara yang membentang luas yang memiliki karakteristik meteorologis tertentu, atau dapat tercemar – misalnya, inversi panas atau mengandung asap – ketika turun di suatu tempat. Ciri-ciri itu dapat berubah saat udara itu berpindah. Air Monitoring: (See monitoring). Pemantauan udara: (Lihat Pemantauan) Air Pollutant: Any substance in air which could, if in high enough concentration, harm man, other animals, vegetation, or material. Pollutants may include almost any natural or artificial composition of matter capable of being airborne. They may be in the form of solid particles, liquid droplets, gases, or in combinations of these forms. Generally, they fall into two main groups: (1) those emitted directly from identifiable sources and (2) those produced in the air by interaction between two or more primary pollutants, or by reaction with normal atmospheric constituents, with or without photoactivation. Exclusive of pollen, fog and dust, which are of natural origin, about 100 contaminants have been identified and fall into the following categories: solids, sulfur compounds, volatile organic chemicals, nitrogen compounds, oxygen compounds, halogen compounds, radioactive compounds, and odors. Pencemar atau Polutan Udara: Segala senyawa dalam udara yang jika dalam kadar tinggi dapat mencelakai manusia, binatang, tumbuhan atau benda. Pencemar meliputi hampir semua komposisi zat alami maupun buatan yang dapat terbawa udara. Mereka dapat berbentuk partikel padat, butiran cairan, gas-gas, atau dalam

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 4

kombinasi bentuk-bentuk ini. Umumnya mereka ada dalam dua kategori: (1) yang dikeluarkan langsung dari sumber yang dikenali dan (2) yang diproduksi dalam udara oleh interaksi antara dua atau lebih pencemar primer, atau melalui reaksi dengan kandungan udara normal, dengan atau tanpa aktifasi-sinar. Kecuali serbuk sari, kabut dan debu yang berasal dari alam, terdapat 100 unsur pencemar yang telah dikenali dan dapat digolongkan menjadi: padatan, senyawa belerang, bahan kimia organik menguap, senyawa nitrogen, senyawa oksigen, senyawa halogen, senyawa radioaktif, dan bau. Air Pollution: The presence of contaminant or pollutant substances in the air that do not disperse properly and interfere with human health or welfare, or produce other harmful environmental effects. Pencemaran Udara: Hadirnya senyawa kontaminan atau polutan di udara yang tidak tersebar dengan sempurna sehingga mengganggu kesehatan dan kesejahteraan manusia, atau menghasilkan dampak lingkungan yang membahayakan. Air Pollution Episode: A period of abnormally high concentration of air pollutants, often due to low winds and temperature inversion, that can cause illness and death. Episoda Pencemaran Udara: Suatu masa di mana kadar zat pencemar udara secara tidak normal sangat tinggi, seringkali karena kecepatan angin rendah dan terjadinya inversi suhu, sehingga menyebabkan kesakitan dan kematian. Algae: Simple rootless plants that grow in sunlit waters in relative proportion to the amounts of nutrients available. They can affect water quality adversely by lowering the dissolved oxygen in the water. They are food for fish and small aquatic animals. Algae atau Lumut-lumutan: Adalah tumbuhan sederhana, tak berakar, biasanya tumbuh dalam badan air yang memperoleh sinar matahari setara dengan banyaknya makanan yang ada. Mereka dapat mempengaruhi kualitas air secara berarti dengan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air. Bahan ini merupakan makanan bagi bangsa ikan dan binatang air berukuran kecil.

Algal Blooms: Sudden spurts of algal growth, which can affect water quality adversely and indicate potentially hazardous changes in local water chemistry. Ledakan algae: Lonjakan pertumbuhan algae; yang dapat berpengaruh buruk pada kualitas air dan menandakan perubahan yang sangat berbahaya terhadap kimiawi air setempat. Ambient Air: Any unconfined portion of the atmosphere: open air, surrounding air. Udara Ambien: Bagian dari atmosfir yang tidak berada dalam ruang tertutup: udara terbuka; udara luar di sekitar. Anaerobic: A life or process that occurs in, or is not destroyed by, the absence of oxygen. Anaerobik: Kehidupan atau proses-proses yang dapat terjadi tanpa adanya oksigen bebas. Aquifer: An underground geological formation, or group of formations, containing usable amounts of ground water that can supply wells and springs. Akifer: Formasi geologis bawah tanah, atau sekelompok formasi yang mengandung sejumlah air tanah yang dapat dimanfaatkan yang menjadi cadangan air bagi sumur dan mata air. Assimilation: The ability of a body of water to purify itself of pollutants. Asimilasi: Kemampuan suatu badan air untuk memurnikan diri sendiri dari berbagai pencemar. Atmosphere (an): A standard unit of pressure representing the pressure exerted by a 29.92-inch column of mercury at sea level at 45o latitude and equal to 1,000 grams per square centimeter. Atmosfir: Suatu standar satuan tekanan yang merupakan tekananan yang ditimbulkan oleh suatu kolom air raksa setinggi 29,92 inchi pada tempat setinggi permukaana ir laut pada garis lintang 45o dan sama dengan 1000 gram per sentimeter persegi

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 5

Attenuation: The process by which a compound is reduced in concentration over time, through adsorption, degradation, dilution, and/or transformation. Penyusutan: Suatu proses dimana suatu senyawa direduksi kadarnya menurut perjalanan waktu, melalui adsorpsi, degradasi, pengenceran, dan/atau transformasi. B Background Level: In air pollution control, the concentration of air pollutants in a definite area during a fixed period of time prior to the starting up of or the stoppage of a source of emission under control. In toxic substances monitoring, the average presence in the environment, originally referring to naturally occurring phenomena. Kadar ambien: Dalam bidang pencemaran udara dalam suatu kawasan tertentu selama kurun waktu tertentu sebelum dimulainya atau penghentian sumber emisi yang dikendalikan. Dalam pemantauan suatu senyawa, keberadaan dalam lingkungan rata-rata, sebenarnya mengacu pada fenomena alami. Bacteria: (Singular: bacterium) Microscopic living organisms which can aid in pollution control by consuming or breaking down organic matter in sewage or by similarly acting on oil spills or other water pollutants. Bacteria in soil, water or air can also cause human, animal and plant health problems. Bakteri: (Bakteri ber-sel tunggal) Makhluk hidup mikroskopis yang dapat membantu pengendalian pencemaran dengan jalan mengkonsumsi atau memecah bahan organik dalam air kotor atau dengan melakukan hal yang sama terhadap tumpahan minyak atau pencemar air lainnya. Bakteri dalam tanah, air atau udara dapat menyebabkan masalah kesehatan pada manusia, tumbuhan atau binatang. Baghouse Filter: Large fabric bag, usually made of glass fibers used to eliminate intermediate and large (greater than 2 microns in diameter) particles. This device operates in a way similar to the bag of an electric vacuum cleaner

passing the air and smaller particulate matter, while entrapping the larger particulates. Saringan Kantong: Kantong kain besar, biasanya terbuat dari serat gelas digunakan untuk menghilangkan partikel menengah dan besar (bediameter lebih besar dari 2 mikron). Cara kerja alat ini sama dengan kantong pada penyedot debu dimana udara dan partikel kecil lolos, sementara partikel yang besar tertangkap. Bar Screen: In wastewater treatment, a device used to remove large solids. Saringan Jeruji: Dalam hal pengolahan limbah, adalah suatu alat untuk menghilangkan benda-benda kasar yang berukuran agak besar. Benthic Organism (Benthos): A form of aquatic plant or animal life that is found on or near the bottom of a stream, lake or ocean. Benthos: Bentuk tumbuhan atau inatang air yang ditemukan pada atau di dekat dasar sungai, danau atau laut. Bioaccumulative: Substances that increase in concentration in living organisms (that are very slowly metabolized or excreted) as they breathe contaminated air, drink contaminated water, or eat contaminated food. (See: biological magnification). Akumulasi biologis: Senyawa yang meningkat kadarnya dalam tubuh makhluk hidup (dicernakan atau dikeluarkan sangat perlahan), yang masuk ketika makhluk itu menghirup udara tercemar, atau memakan makanan terkontaminasi. (Lihat biological magnification) Bioassay: Using living organisms to measure the effect of a substance, factor, or condition by comparing before-and-after data. Term is often used to mean cancer bioassays. Tes Biologis atau Bioassay: Penggunaan organisme hidup untuk mengukur efek suatu bahan, faktor atau keadaan, dengan membandingkandata sebelum dan sesudah. Istilah ini sering digunakan untuk menyebut bioassay kanker. Biochemical Oxygen Demand (BOD): A measure of the amount of oxygen

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 6

consumed in the biological processes that break down organic matter in water. The greater the BOD the greater the degree of pollution. Kebutuhan Oksigen Kimiawi atau Biochemical Oxygen Demand: Banyaknya oksigen terlarut dalam air yang dibutuhkan oleh mikro organisme untuk menghancurkan bahan limbah organik dalam air. Ini adalah ukuran pencemaran karena beban pencemaran limbah yang tinggi menuntut kebutuhan oksigen yang tinggi. Biodegradable: The ability to break down or decompose rapidly under natural conditions and processes. Mudah Terurai: Kemampuan untuk dihancurkan atau tercerna secara mudah dalam kondisi dan proses alami. Biological Control: In pest control, the use of animals and organisms that eat or otherwise kill or out-compete pests. Pengendalian secara Biologis: Dalam bidang pengendalian bitanag pengganggu, ialah pemanfaatan makhluk hidup atau binatang yang memakan atau dengan cara lain yaitu membunuh atau menyaingi binatang pengganggu tersebut. Biological Magnification: Refers to the process whereby certain substances such as pesticides or heavy metals move up the food chain work their way into a river or lake, and are eaten by aquatic organisms such as fish which in turn are eaten by large birds, animals, or humans. The substances become concentrated in tissues or internal organs as they move up the chain. (See: bioaccumulative). Akumulasi Biologis: Suatu proses dimana sesuatu senyawa misalnya pestisida atau logam berat bergerak ke atas rantai makanan sehingga akhirnya nanti mencapai sebuah sungai atau danau, dan dimakan oleh makhluk air seperti ikan yang kemudian dimakan juga oleh burung besar, binatang atau oleh manusia. Dalam perjalan melalui rantai makanan, senyawa itu menjadi semakin pekat di dalam jaringan atau organ dalam (Lihat Akumulasi biologis) Biological Oxidation: The way bacteria and microorganisms feed on and decompose complex organic materials. Used in self-purification of water bodies

and in activated sludge wastewater treatment. Oksidasi Biologis: Adalah cara bacteria dan mikroorganisme memperoleh makanan dan menguraikan bahan organik kompleks. Ini dipergunakan dalam pemurnian-sendiri (self purification) dari suatu badan air atau lumpur-aktif (activated sludge) dalam pengolahan limbah. Biological Treatment: A treatment technology that uses bacteria to consume waste. This treatment breaks down organic materials. Pengolahan biologis: Suatu teknologi pengolahan yang menggunakan bakteri untuk mengkonsumsi limbah. Pengolahan ini dapat menguraikan bahan organik. Biomass: All of the living material in a given area, often refers to vegetation. Also called “biota”. Biomasa: Segala jasad hidup dalam suatu kawasan lingkungan tertentu; sering disebut juga sebagai vegetasi. Juga disebut ‘biota’. Biomonitoring: 1. The use of living organisms to test the suitability of effluents for discharge into receiving waters and to test the quality of such waters downstream from the discharge. 2. Analysis of blood, urine, tissues, etc., to measure chemical exposure in humans. Pemantauan secara Biologis: Penggunaan mikroorganisme hidup dalam menentukan kesesuaian efluen untuk dibuang ke badan air penerima dan untuk pemeriksaan kualitas air tersebut pada arah hilir dari titik-titik pembuangan. Biotechnology: Techniques that use living organisms or parts of organisms to produce a variety of products (from medicines to industrial enzymes) to improve plants or animals or to develop microorganisms for specific uses such as removing toxics from bodies of water, or as pesticides. Bioteknologi: Teknik yang menggunakan jazad hidup atau bagian dari jazad hidup untuk menghasilkan berbagai produk (dari obat-obatan sampai ensim industri) untuk meningkatkan

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 7

tumbuhan atau binatang atau untuk mengembangkan mikroorganisma untuk keperluan khusus misalnya untuk menghilangkan bahan beracund ari dalam badan air, atau sebagai pestisida. BOD: The amount of dissolved oxygen consumed in five days by biological processes breaking down organic matter. BOD: Banyaknya oksigen terlarut yang dikonsumsi dalam 5 hari oleh proses-proses biologik dalam menguraikan bahan organik . Brackish Water: A mixture of fresh and salt water. Air Payau: Campuran air tawar dan air asin Bubble: A system under which existing emissions sources can propose alternate means to comply with a set of emissions limitations; under the bubble concept, sources can control low in return for a comparable realization of controls at a second emission point where costs are higher. Bubble: Suatu sistim dimana sumber emisi yang ada dapat mengusulkan cara alternatif untuk memenuhi standar emisi tertentu; dalam konsep bubble, sumber-sumber itu dapat melakukan pengendalian rendah sebagai imbangan dari pengendalian di titik emisi kedua yang biayanya lebih tinggi By-product: Material, other than the principal product, that is generated as a consequence of an industrial process. Produk samping: Bahan, selain daripada produk utama, yang dihasilkan sebagai konsekuensi dari proses industri. C Cadmium (Cd): A heavy metal element that accumulates in the environment. Kadmium: Unsur logam berat, yang terakumulasi dalam lingkungan Carbon Adsorber: An add-on control device which uses activated carbon to absorb volatile organic compounds from

a gas stream. The VOCs are later recovered from the carbon. Arang Penyerap: Suatu alat pengendali tambahan yang menggunakan arang aktif untuk menyerap senyawa organik menguap dari aliran gas. Senyawa organik menguap itu nanti dapat diambil dari dalam arang. Carbon Dioxide (CO2): A colorless, odorless, non-poisonous gas, which results from fossil fuel combustion and is normally a part of the ambient air. Karbon Dioksida (CO2): Gas tak berwarna, tak berbau dan tak beracun, bagian normal dari udara bebas, hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (BBM). Carbon Monoxide (CO): A colorless, odorless, poisonous gas produced by incomplete fossil fuel combustion. Karbon Monoksida (CO): Gas tak berwarna, tak berbau dan sangat beracun. terbentuk dari hasil pembakaran tak sempurna bahan bakar fosil Carcinogen: Any substance that can cause or contribute to the production of cancer. Karsinogen: Bahan kimia atau bentuk (energi) radiasi yang langsung atau tak langsung menyebabkan kanker. Catalytic Converter: An air pollution abatement device that removes pollutants from motor vehicle exhaust, either by oxidizing them into carbon dioxide and water or reducing them to nitrogen and oxygen. Catalytic converter: Peralatan pengendalian pencemaran udara yang menghilangkan pencemar dari gas buang kendaraan bermotor, baik dengan cara mengoksidasinya menjadi karbon dioksida dan air atau mereduksinya menjadi nitrogen dan oksigen. Catalytic Incinerator: A control device which oxidizes volatile organic compounds (VOCs) by using a catalyst to promote the combustion process. Catalytic incinerators require lower

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 8

temperatures than conventional thermal incinerators, with resultant fuel and cost savings. Catalytic incinerator: Suatu alat pengendali yang mengoksidasi senyawa organik menguap dengan menggunakan katalis untuk meningkatkan proses pembakaran. Catalytic incinerator memerlukan suhu lebih rendah dibanding thermal incinerator, sehingga menghemat bahan bakar dan biaya. Cells: 1. In solid waste disposal, holes where waste is dumped, compacted, and covered with layers of dirt on a daily basis. 2. The smallest structural part of living matter capable of functioning as an independent unit. Sel: 1. Dalam pembuangan sampah padat, adalah lobang ke mana sampah dibuang, dimampatkan, dan ditimbun dengan lapisan tanah setiap hari. 2. Bagian terkecil pembentuk jazad hidup yang mampu berfungsi sebagai suatu satuan yang mandiri. Chemical Oxygen Demand (COD): A measure of the oxygen required to oxidize all compounds in water, both organic and inorganic. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD): Banyaknya oksigen yang diperlukan untuk mengoksidasi segala senyawaan dalam air, baik organik maupun anorganik. Chemical Treatment: Any one of a variety of technologies that use chemicals or a variety of chemical processes to treat waste. Pengolahan Kimiawi: Teknologi pengolahan limbah yang menggunakan bahan kimia atau proses kimiawi Chlorinated Hydrocarbons: These include a class of persistent, broad-spectrum insecticides that linger in the environment and accumulate in the food chain. Among them are DDT, aldrin, dieldrin, heptaclor, chlordane, lindane, endrin, mirex, hexachloride, and toxaphene. Other examples include TCE, used as an industrial solvent. Chlorinated Hydrocarbons: Jenis ini meliputi sekelompok insektisida yang tahan lama, berspektrum lebar yang bertahan dalam

lingkungan dan terakumulasi dalam rantai makanan. Diantaranya adalah DDT, aldrin, dieldrin, heptaclor, chlordane, lindane, endrin, mirex, hexachloride, and toxaphene. Contoh yang lain termasuk pula TCE, yang digunakan sebagai pelarut di bidang industri. Chlorinated Solvent: An organic solvent containing chlorine atoms, eg, methylene chloride and 1.1.1-trichloromethane which is used in aerosol spray containers and in traffic paint. Chlorinated Solvent: Pelarut organik yang mengandung atom khlor, misalnya methylene chloride and 1.1.1-trichloromethane yang digunakan dalam tabung semprotan aerosol dan cat untuk lalulintas. Chlorination: The application of chlorine to drinking water, sewage, or industrial waste to disinfect or to oxidize undesirable compounds. Khlorinasi: Pembubuhan khlor ke dalam air minum, air limbah, atau limbah industri untuk mendesinfeksi atau mengoksidasi senyawa yang tidak diinginkan. Chlorofluorocarbons (CFCs): A family of inert, nontoxic, and easily liquefied chemicals used in refrigeration, air conditioning packaging, insulation, or as solvents and aerosol propellants. Because CFCs are not destroyed in the lower atmosphere they drift into the upper atmosphere where their chlorine components destroy ozone. Chlorofluorocarbons (CFCs): Sekelompok bahan kimia bebas, tak beracun, dan mudah dibuat cair yang digunakan untuk sistim pendingin, air conditioning, insulasi, atau sebagai pelarut dan bahan aerosol. Karena CFC tidak dapat dihancurkan di atmosfir bagian bawah, maka bahan itu mengembara hinga atmosfir bagian atas dimana unsur khlor dapat merusak lapisan ozone. Chromium: (See heavy metals). Khromium: (Lihat logam berat) Chronic Toxicity: The capacity of a substance to cause long-term poisonous human health effects. (See acute toxicity).

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 9

Toksisitas kronis: Kemampuan suatu senyawa untuk menimbulkan peracunan pada manusia dalam jangka panjang. (Lihat Toksisitas akut) Cleanup: Actions taken to deal with a release or threat of release of a hazardous substance that could affect humans and/or the environment. The term “cleanup” is sometimes used interchangeably with the terms remedial action, removal action, response action, or corrective action. Pembersihan: Tindakan yang dilakukan untuk menghadapi keluarnya atau ancaman keluarnya bahan berbahaya yang berakibat buruk untuk manusia dan lingkungan. Istilah ‘cleanup’ kadang-kadang dipakai bergantian dengan istilah remedial action (tindakan penyembuhan), removal action (tindakan penghilangan), response action (tindakan tangapan), atau corrective action (tindakan perbaikan). Coagulation: A clumping of particles in wastewater to settle out impurities. It is often induced by chemicals such as lime, alum, and iron salts. Koagulasi: Proses penggumpalan partikel-partikel dalam air limbah untuk mengendapkan bahan pencemar. Proses ini seringkali dibantu dengan pembubuhan bahan kimia misalnya kapur, tawas, dan garam-garam besi. Coliform Index: A rating of the purity of water based on a count of fecal bacteria. Perkiraan Terdekat Jumlah Bakteri Golongan Coli: Suatu cara klasifikasi derajat kualitas air berdasarkan jumlah bakteri tinja. Coliform Organism: Microorganisms found in the intestinal tract of humans and animals. Their presence in water indicates fecal pollution and potentially dangerous bacterial contamination by disease-causing microorganisms. Bakteri Golongan Coli: Organisma yang ditemukan dalam saluran pencernaan manusia dan hewan.Keberadaannya dalam air menandakan adanya pencemaran oleh tinja dan adanya pencemaran kuman penyebab penyakit yang berbahaya. Combined Sewers: A sewer system that carries both sewage and storm-water

runoff. Normally, its entire flow goes to a waste treatment plant, but during a heavy storm, the storm water volume may be so great as to cause overflows. When this happens untreated mixtures of storm water and sewage may flow into receiving waters. Storm-water runoff may also carry toxic chemicals from industrial areas or streets into the sewage system. Saluran gabungan: Suatu sistem saluran yang membawa air kotor dan bilasan hujan sekaligus. Lazimnya, semua aliran menuju instalasi pengolahan air limbah, namun pada musim hujan yang deras, volume air hujan terlalu besar hingga meluap. Jika ini terjadi campuran air hujan dan limbah yang tak terolah akan melimpah ke badan air. Bilasan air hujan dapat membawa bahan kimia berbahaya dari kawasan industri atau jalan-jalan masuk kedalam sistim saluran. Comminution: Mechanical shredding or pulverizing of waste. Used in both solid waste management and wastewater treatment. Comminution: Pencabikan dan penghancuran limbah secara mekanik. Ini dipergunakan baik dalam pengelolaan sampah padat dan pengolahan air limbah. Compaction: Reduction of the bulk of solid waste by rolling and tamping. Pemadatan: Penurunan volume sampah dengan menggulung dan menempa. Composting: The natural biological decomposition of organic material in the presence of air to form a humus-like material. Controlled methods of composting include mechanical mixing and aerating, ventilating the materials by dropping them through a vertical series of aerated chambers, or placing the compost in piles out in the open air and mixing it or turning it periodically. Pengomposan: Proses pencernaan bahan organik dalam limbah padat menggunakan oksigen untuk menghasilkan produk akhir semacam humus.Proses pengomposan secara terkendali meliputipencampuran secara mekanik, dan dihembus dengan jalan menjatuhkannya melalui susunan vertikal ruang-ruang berventilasi; atau dengan membuat onggokan-

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 10

onggokan di udara terbuka yang dicampur dan dibalik-balik secara berkala. Contaminant: Any physical, chemical, biological, or radiological substance or matter that has an adverse affect on air, water or soil. Kontaminan: Senyawa fisik, kimiawi, biologis atau radiologis atau bahan yang memiliki akibat buruk pada udara, air atau tanah. Conventional Systems: Systems that have been traditionally used to collect municipal wastewater in gravity sewers and convey it to a central primary or secondary treatment plant prior to discharge to surface waters. Sistim konvensional: Sistim yang telah diterapkan secara tradisional dalam pengumpulan air limbah kota melalui saluran gravitasi dan mengirimnya ke instalasi pengolahan primer atau sekunder sebelum dibuang ke air permukaan. Cooling Tower: A structure that helps remove heat from water used as a coolant; eg, in electric power generating plants. Menara Pendingin: Suatu alat yang membantu penghilangan panas dari air, dipergunakan sebagai coolant dalam pembangkit tenaga listrik. Corrosion: The dissolving and wearing away of metal caused by a chemical reaction such as between water and the pipes that the water contacts, chemicals touching a metal surface, or contact between two metals. Korosi: Pelarutan atau pengausan logam oleh reaksi kimiawi seperti antara air dengan pipa yang kontak dengan air, bahan kimia yang kontak dengan permukaan logam, atau kontak antara dua macam logam. Cover Material: Soil used to cover compacted solid waste in a sanitary landfill. Bahan Penutup: Tanah yang dipergunakan untuk menimbun sampah yang telah dipadatkan dalam sistem pembuangan sanitary landfill.

Cubic Feet Per Minute (CFM): A measure of the volume of a substance flowing through air within a fixed period of time. With regard to indoor air, refers to the amount of air, in cubic feet, that is exchanged with indoor air in a minute’s time, or an air exchange rate. Cubic Feet Per Minute (CFM): Suatu ukuran volume senyawa yang mengalir melalui udara dalam kurun waktu tertentu. Jika menyangkut udara dalam ruangan, adalah banyaknya udara, dalam feet kubik, yang bertukar dengan udara dalam ruangan dalam satu menit, atau bisa dikatakan sebagai derajat pertukaran udara. Curie: A quantitative measure of radioactivity equal to 3.7 x 1,010 disintegration per second. Curie: Satuan ukuran radioaktifitas yang setara dengan 3.7 x 1,010 penguraian per detik. Cyclone Collector: A device that uses centrifugal force to pull large particles from polluted air. Penangkap Siklon : Sebuah alat menggunakan daya sentrifugal untuk menarik partikel-partikel besar dari udara tercemar. D Decomposition: The breakdown of matter by bacteria and fungi. It changes the chemical makeup and physical appearance of materials. Dekomposisi: Penguraian zat-zat oleh bakteri. Mereka merubah struktur kimia dan penampilan pisik dari zat-zat itu. Degradation: The process by which a chemical is reduced to a less complex form. Degradasi: Proses dimana suatu bahan kimia direduksi menjadi bentuk yang lebih sederhana. Denitrification: The anaerobic biological reduction of nitrate nitrogen to nitrogen gas.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 11

Denitrifikasi: Reduksi biologis secara anaerobik terhadap nitrogen nitrat menjadi gas nitrogen. Desulfurization: Removal of sulfur from fossil fuels to reduce pollution. Desulfurisasi: Penghilangan sulfur dari bahan bakar fosil atau BBM untuk mengurangi pencemaran. Detergent: Synthetic washing agent that helps to remove dirt and oil. Some contain compounds which kill useful bacteria and encourage algae growth when they are in wastewater that reaches receiving waters. Deterjen: Bahan pencuci sintetik yang membantu air menghilangkan kotoran dan minyak. Sebagian deterjen mengandung senyawa yang dapat membunuh bakteri yang bermanfaat dan merangsang pertumbuhan lumut dalam air limbah yang akhirnya masuk ke badan air penerima. Digester: In wastewater treatment, a closed tank; in solid waste conversion, a unit in which bacterial action is induced and accelerated in order to break down organic matter and establish the proper carbon-to-nitrogen ratio. Pencerna: Dalam pengolahan air kotor diartikan sebagai tangki tertutup, dalalm bidang pengolahan sampah, adalah suatu unit dimana digalakkan kegiatan bakteri untuk menguraikan bahan organik dan menciptakan rasio karbon-nitrogen yang sesuai. Dilution Ratio: The relationship between the volume of water in a stream and the volume of incoming water. It affects the ability of the stream to assimilate waste. Rasio Pengenceran: Hubungan antara volume air dalam sungai dengan volume air kotor yang masuk. Ini dapat mempengaruhi kemampuan sungai untuk mengasimilasi air kotor. Dioxin: Any of a family of compounds known chemically as dibenzo-p-dioxins. Concern about them arises from their potential toxicity and contamination in commercial products. Tests on laboratory animals indicate that it is one of the more toxic man-made chemicals known.

Dioksin: Suatu senyawa yang secara kimia dikenal sebagai dibenzo-p-dioxins. Zat ini menjadi perhatian karena sifat racunnya yang akut dan kemungkinan kontaminasinya terhadap produk-produk dagang. Percobaan dengan binatang di laboratorium menunjukkan bahwa zat ini adalah salah satu dari bahan buatan manusia yang sangat beracun. Disinfection: A chemical or physical process that kills pathogenic organisms in water. Chlorine is often used to disinfect sewage treatment effluent, water supplies, wells, and swimming pools. Disinfection: Proses-proses kimia dan fisika yang membunuh organisme penyebab penyakit menular dalam air. Senyawa Khlor sering dipergunakan untuk men-disinfeksi buangan instalasi pengolahan air limbah, penyediaan air minum, sumur, dan kolam renang. Dispersant: A chemical agent used to break up concentrations of organic material such as spilled oil. Bahan Penyebar: Bahan kimia yang dipakai untuk memecah kadar bahan organik, misalnya tumpahan minyak di laut. Disposal: Final placement or destruction of toxic, radioactive, or other wastes; surplus or banned pesticides or other chemicals; polluted soils; and drums containing hazardous materials from removal actions or accidental releases. Disposal may be accomplished through use of approved secure landfills, surface impoundments, land farming, deep well injection, ocean dumping, or incineration. Pembuangan: Pembuangan akhir atau penghancuran limbah beracun, radioaktif atau lainnya, sisa pestisida atau pestisida yang dilarang maupun bahan kimia lainnya, tanah yang tercemar, dan drum yang berisi bahan berbahaya agar tidak terjadi kebocoran yang tak diinginkan. Pembuangan dapat dilakukan pada landfill yang sudah ditunjuk, pembuatan tanggul, tanah pertanian, injeksi ke sumur dalam, pembuangan ke lautan, atau dengan dibakar. Dissolved Oxygen (DO): The oxygen freely availabale in water. Dissolved oxygen is vital to fish and other aquatic

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 12

life and for the prevention of odors. Traditionally, the level of dissolved oxygen has been accepted as the single most important indicator of a water body’s ability to support desirable aquatic life. Secondary and advanced waste treatment are generally designed to protect DO in waste-receiving waters. Oksigen Terlarut: Oksigen yang tersedia bebas dalam air. Oksigen terlarut penting untuk kehidupan ikan dan makhluk akuatik lainnya dan untuk mencegah timbulnya bau. Umumnya, kadar oksigen terlarut diakui sebagai satu-satunya indikator paling penting tentang kemampuan badan air untuk mendukung kehidupan akuatik yang diharapkan. Pengolahan limbah sekunder dan tingkat lanjut lazimnya dirancang untuk melindungi Oksigen terlarut dalam badan air penerima limbah. Dissolved Solids: Disintegrated organic and inorganic material contained in water. Excessive amounts make water unfit to drink or use in industrial processes. Padatan Terlarut: Campuran dari hasil uraian bahan organik maupun anorganik yang terkandung dalam air. Jumlah dissolved solids yang berlebihan menyebabkan air tidak layak minum atau tidak layak pakai untuk keperluan industri. Distillation: The act of purifying liquids through boiling, so that the steam condenses to a pure liquid and the pollutants remain in a concentrated residue. Penyulingan: Pemurnian zat cair melalui perebusan, kemudian uap yang terjadi dikondensasikan menjadi air murni, sementara bahan pencemar tertinggal dalam sisa yang pekat. Dump: A site used to dispose of solid wastes without environmental controls. Lokasi Pembuangan Sampah: Suatu tempat yang dipergunakan untuk membuang sampah padat tanpa langkah pengendalian lingkungan apapun. E Ecology: The relationship of living things to one another and their

environment, or the study of such relationships. Ekologi: Hubungan antara satu makhluk hidup dengan yang lain, dan dengan lingkungannya, atau studi tentang tata hubungan itu. Ecosystem: The interacting system of a biological community and its non-living environmental surroundings. Ekosistim: Sistem interaksi komunitas biologik dan lingkungan benda tak hidupnya. Effluent: Wastewater - treated or untreated - that flows out of a treatment plant, sewer, or industrial outfall. Generally refers to wastes discharged into surface waters. Buangan atau Efluen: Limbah cair – diolah atau tidak – yang mengalir keluar dari instalasi pengolahan, saluran air kotor, atau dari titik pembuangan dari industri. Lazimnya dimaksudkan sebagai limbah yang dibuang ke air permukaan. Effluent Limitation: Restrictions established by a State or EPA on quantities, rates, and concentrations in wastewater discharges. Batasan efluen: Pembatasan yang ditetapkan oleh Negara Bagian atau EPA menyangkut jumlah, derajat, dan kadar-kadar dalam buangan limbah cair. Electrostatic Precipitator (ESP): An air pollution control device that removes particles from a gas stream (smoke) after combustion occurs. The ESP imparts an electrical charge to the particles, causing them to adhere to metal plates inside the precipitator. Rapping on the plates causes the particles to fall into a hopper for disposal. Electrostatic Precipitator: Suatu alat pengendali pencemaran udara yang menghilangkan partikel-partikel dari aliran gas (asap) setelah proses pembakaran. Alat ESP ini memberikan muatan listrik pada partikel-partikel sehingga mereka dapat menempel pada pelat logam di dalam precipitator itu. Jika pelat itu dikethok-kethok maka partikel yang tertangkap itu akan jatuh ke corong untuk nantinya dibuang.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 13

Emission: Pollution discharged into the atmosphere from smokestacks, other vents, and surface areas of commercial or industrial facilities; from residential chimneys; and from motor vehicle, locomotive, or aircraft exhausts. Emisi: Pencemaran yang dilepaskan ke udara dari cerobong asap, bentuk lubang pembuangan lain, atau dari permukaan sarana komersial dan industri, dari cerobong di rumah-rumah, dan dari kendaraan bermotor, lokomotif, atau buangan pesawat terbang. Emission Factor: The relationship between the amount of pollution produced and the amount of raw material processed. For example, an emission factor for a blast furnace making iron would be the number of pounds of particulates per ton of raw material. Faktor Emisi: Hubungan antara banyaknya pencemaran yang terjadi dengan banyaknya bahan mentah yang diproses. Sebagai contoh, suatu faktor emisi untuk tungku pembakar untuk pembuatan besi adalah berapa kilogram particulates per ton bahan mentah. Emission Standard: The maximum amount of air polluting discharge legally allowed from a single source, mobile or stationary. Baku Mutu Emisi: Batas jumlah maksimum bahan pencemar yang dapat dibuang/dikeluarkan oleh suatu sumber pencemar tunggal, diam atau bergerak, yang dapat diperbolehkan menurut peraturan perundang-undangan. Enrichment: The addition of nutrients (eg, nitrogen, phosphorus, carbon compounds) from sewage effluent or agricultural runoff to surface water. This process greatly increases the growth potential for algae and aquatic plants. Pengkayaan: Meningkatnya kandungan nutrient (senyawa nitogen, fosfor dan karbon) dari buangan limbah atau bilasan daerah pertanian ke dalam air permukaan. Proses ini meningkatkan potensi pertumbuhan lumut lumutan dan tanaman akuatik. Environment: The sum of all external conditions affecting the life, development, and survival of an organism.

Lingkungan: Adalah kumpulan segala kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan daya hidup suatu makhluk hidup. Environmental Assessment: A process whose breadth, depth, and type of analysis depend on the proposed project. EA evaluates a project’s potential environmental risks and impacts in its area of influence and identifies ways of improving project design and implementation by preventing, minimizing, mitigating, or compensating for adverse environmental impacts and enhancing positive impacts. Analisis Lingkungan: Proses yang keluasannya, kedalamannya, dan macam analisisnya tergantung pada proyek yang diusulkan. Analisis ini mengevaluasi kemungkinan suatu proyek dalam menimbulkan resiko dan dampak lingkungan dalam kawasan dan mengidentifikasi cara meningkatkan perencanaan dan pelaksanaan proyek dengan mencegah, meminimalkan, mengendalikan atau mengkompensasikan dampak yang negatif serta meningkatkan dampak positif. Environmental Audit: 1. An independent assessment of the current status of a party’s compliance with applicable environmental requirements. 2. An independent evaluation of a party’s environmental compliance policies, practices, and controls. Audit Lingkungan: 1. Suatu penilaian independen mengenai keadaan saat ini menyangkut kepatuhan suatu pihak tertentu terhadap persyaratan lingkungan 2. Evaluasi independen terhadap kebijakan, tindakan dan pengendalian pihak tertentu menyangkut kepatuhan lingkungan Environmental Standards: There are three kinds of environmental standards which serve quite different purposes in environmental policy: Baku Mutu Lingkungan: Terdapat tiga macam baku mutu lingkungan yang melayani tujuan yang berbeda dalam kaitannya dengan kebijakan lingkungan. Ambient standards set maximum levels of a pollutant in the receiving medium (air, water and soil). Ambient standards

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 14

offer a simple method of establishing priorities since areas (or stream lengths) which comply with the relevant ambient standards are considered to require no further intervention, while other areas may be ranked by the extent to which concentrations exceed the ambient standards. Ambient standards require an explicit agreement on the environmental quality objectives that are desired, and the costs that society is willing to accept to meet those objectives. Because ambient standards can be set at different levels for different locations, it is possible to use them to protect valuable ecosystems in a way that would not be possible by using emission controls. It has been usual to establish an ambient standard for a pollutant by reference to the health effects of different levels of exposure, although certain countries have been moving more recently toward ambient standards based on the capacity of natural ecosystems to absorb environmental pollution. Historically, ambient standards in the industrialized market economies have been continually tightened in the light of medical evidence on the impact of certain pollutants, and as the demand for better environmental quality has increased. Baku Mutu Ambien: sekumpulan batasan maksimum kadar pencemar dalam media penerima (udara air dan tanah). Standar ambien menawarkan cara sederhana untuk menetapkan prioritas karena suatu kawasan (atau ruas sungai) yang memenuhi standar ambien terkait dianggap tidak memerlukan intervensi lebih lanjut, sedangkan daerah lain dapat diurutkan sesuai dengan seberapa jauh sesuatu kadar melampaui standar ambien. Standar ambien memerlukan suatu kesepakatan tegas tentang tujuan mutu lingkungan yang diinginkan, serta kesanggupan masyarakat untuk memikul beban pembiayaan untuk mencapai tujuan itu. Karena standar ambien dapat ditetapkan untuk tingkatan yang berbeda sesuai untuk daerah yang berbeda, maka dimungkinkan untuk melindungi ekosistim yang berharga dengan suatu cara yang tidak mungkin dilakukan dengan pengendalian emisi. Lazim juga untuk menentukan standar ambien untuk suatu pencemar dengan mengacu pada dampak kesehatan untuk berbagai tingkat pemajanan, walaupun negara-negara tertentu akhir-akhir ini telah bergerak ke arah standar ambien yang didasarkan pada daya dukung ekosistim alami untuk menyerap pencemaran

lingkungan. Menurut sejarah, standar ambien di ekonomi pasar industri terus semakin diperketat sesuai dengan temuan-temuan medis mengenai dampak kesehatan pencemar tertentu, dan sesuai dengan meningkatnya tuntutan kualitas lingkungan yang semakin baik. Emission standards set maximum amounts of pollutant that may be given off by a plant or machine. They may be established in terms of what can be achieved using the “Best Available Control Technology” (BACT) or by trying to estimate the volume or concentration of a pollutant in exhaust gases or wastewater discharges that is compatible with ensuring that areas around the plant meet the ambient standards that are defined for the pollutant. Content standards, such as fuel quality standards, may influence the amount of, eg, sulfur in fuel oil or the recycled content of packaging. Increasingly, countries are moving toward BATNEEC standards - Best Available Technology Not Entailing Exessive Cost. Defining “Excessive Cost” is often a political decision that is resolved on a case-by-case basis. Baku Mutu Emisi: Baku Mutu Emisi menetapkan jumlah maksimum pencemar yang dapat dilepaskan oleh suatu instalasi atau mesin. Ini dapat ditetapkan dalam istilah apa yang dapat dicapai ‘Teknologi Pengendalian Terbaik Yang Dapat Dicapai’ atau ‘Best Available Control Technology” (BACT) atau dengan mencoba untuk memperkirakan volume atau kadar suatu pencemar dalam gas buang atau buangan limbah cair yang setara dengan jaminan bahwa kawasan di sekitar instalasi memenuhi standar ambien yang ditetapkan untuk pencemar tersebut. Standar kandungan, misalnya standar kualitas bahan bakar, dapat mempengaruhi banyaknya, misalnya belerang dalam bahan bakar atau kandungan packaging yang dapat ditangkap kembali. Negara-negara semakin meningkat ke arah standar BATNEEC - Best Available Technology Not Entailing Exessive Cost atau Teknologi Pengendalian Terbaik yang tidak Menimbulkan Biaya Berlebihan. Batasan ‘Biaya Berlebihan’ seringkali merupakan pertimbangan politis yang diatasi kasus per kasus. New Source Performance Standards (NSPS) are specific emission standards - always based on BACT - in which the emission standard is only applied to new plants. They are a special and very rigid

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 15

form of grandfathering since emissions from existing plants are treated differently from emissions from new plants. If it is costly for a plant to install the controls necessary to meet NSPS, they have the effect of prolonging the economic life of existing plants by imposing a cost handicap on new plants - of course subject to the influence of other economic and technological factors. Standar Kinerja Sumber Yang Baru (New Source Performance Standards, NSPS): adalah standar-standar khusus yang selalu didasarkan pada BACT – dimana standar emisi hanya diberlakukan pada instalasi baru. Standar-standar ini merupakan pembinaan khusus dan ketat karena emisi dari instalasi yang ada diperlakukan berbeda dengan emisi dari instalasi baru. Jika kiranya terlalu mahal bagi instalasi untuk memasang pengendali untuk memenuhi NSPS, mereka memiliki dampak memperpanjang umur ekonomi dari instalasi yang ada dengan menerapkan cost-handicap pada instalasi baru – yang tentu saja dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi dan teknologi lainnya. Eutrophication: The slow aging process during which a lake, estuary, or bay evolves into a bog or marsh and eventually disappears. During the later stages of eutrophication the water body is choked by abundant plant life as the result of increased amounts of nutritive compounds such as nitrogen and phosphorus. Human activities can accelerate the process. Eutrofikasi: Proses penuaan yang lambat dalam mana suatu danau, muara, atau pantai berevolusi menjadi bog atau marsh dan akhirnya akan menghilang. Pada tahapan akhir dari eutrofikasi, badan air seperti dijejali dengan tumbuhan yang marak sebagai akibat meningkatnya kandungan bahan makanan seperti nitrogen dan fosfor. Kegiatan manusia dapat mempercepat proses tersebut. Evapotranspiration: The loss of water from the soil both by evaporation and by transpiration from the plants growing in the soil. Evapotranspirasi: Hilangnya air dari tanah baik oleh penguapan dan oleh pernapasan tanaman yang tumbuh di tanah.

Exposure: The amount of radiation or pollutant present in an environment which represents a potential health threat to the living organisms in that environment. Pemajanan: Banyaknya radiasi atau pencemar yang ada dalam suatu lingkungan yang mewakili ancaman kesehatan terhadap makhluk hidup dalam lingkungan tersebut. F Fabric Filter: A cloth device that catches dust particles from industrial emissions. Saringan Kain: Suatu alat berupa kain yang menangkap debu dan partikel dari emisi industri. Fecal Coliform Bacteria: Bacteria found in the intestinal tracts of mammals. Their presence in water or sludge is an indicator of pollution and possible contamination by pathogens. Bakteri Coli Tinja: Sekelompok jazad renik yang ditermukan di usus manusia dan binatang. Keberadaannya dalam air menandakan adanya pencemaran dan kontaminasi bakteri yang berbahaya. Fertilizer: Materials such as nitrogen and phosphorus that provide nutrients for plants. Commercially sold fertilizers may contain other chemicals or may be in the form of processed sewage sludge. Pupuk: Bahan-bahan seperti nitrogen dan fosfor yang menyediakan makanan untuk tumbuhan. Pupuk yang diperdagangkan dapat mengandung bahan kimia lain atau merupakan bentuk lumpur limbah cair yang diolah. Filtration: A treatment process under the control of qualified operators, for removing solid (particulate) matter from water by passing the water through porous media such as sand or a man-made filter. The process is often used to remove particles that contain pathogenic organisms. Penyaringan: Suatu proses pengolahan yang diawasi oleh operator ahli, untuk menghilangkan zat padat dari dalam air melalui media berpori seperti pasir atau saringan buatan manusia.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 16

Proses tersebut seringkali dilakukan untuk menghilangkan partikel yang mengandung mikroorganisma penyebab penyakit. Flocculation: The process by which clumps of solids in water or sewage are made to increase in size by biological or chemical action so that they can be separated from the water. Flokulasi: Suatu proses dimana gumpalan zat padat dalam air atau air kotor ditingkatkan ukurannya secara biologis atau kimiawi sehingga dapat dipisahkan dalam air. Flowmeter: A gauge that shows the speed of wastewater moving through a treatment plant. Also used to measure the speed of liquids moving through various industrial processes. Pengukur Kecepatan Aliran: Satu alat ukur yang menunjukkan kecepatan aliran airkotor melalui instalasi pengolahan air limbah. Alat ini juga digunakan untuk mengukur kecepatan aliran zat cair melalui berbagai proses industri. Flue Gas: Vented air coming out of a chimney after combustion in the burner. It can include nitrogen oxides, carbon, oxides, water vapor, sulfur oxides, particles, and many chemical pollutants. Gas Buang: Udara yang keluar dari cerobong setelah pembakaran. Di dalamnya termasuk nitrogen oksida, karbon oksida, uap air, sulfur oksida, partikel, dan banyak pencemar kimiawi. Flue Gas Desulfurization: A technology which uses a sorbent, usually lime or limestone, to remove sulfur dioxide from the gases produced by burning fossil fuels. Flue gas desulfurization is currently the state-of-the-art technology in use by major SO2 emitters, eg, power plants. Desulfurisasi Gas Buang: Suatu teknologi yang meggunakan sorbent, biasanya kapur atau batukapur, untuk menghilangkan sulfurdioksida dari dalam gas yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Desulfurisasi gas buang merupakan teknologi terbaik yang digunakan saat ini oleh penghasil S02, misalnya instalasi pembangkit tenaga. Fluorides: Gaseous, solid, or dissolved compounds containing fluorine that

result from industrial processes; excessive amounts in food can lead to fluorosis. Fluorida: Senyawa gas, padat atau terlarut yang mengandung fluor sebagai hasil proses industri; Konsumsi zat ini secara berlebihan dapat menyebabkan fluorosis. Fluorocarbon (FCs): Any of a number of organic compounds analogous to hydrocarbons in which one or more hydrogen atoms are replaced by fluorine. Once used in the United States as a propellant in aerosols, they are now primarily used in coolants and some industrial processes. FCs containing chlorine are called chlorofluorocarbons (CFCs). They are believed to be modifying the ozone layer in the stratosphere, thereby allowing more harmful solar radiation to reach the Earth’s surface. Fluorocarbon (FC): Segala bentuk senyawa organik yang setara dengan hidrokarbon dimana satu atau lebih atom hidrogen digantikan oleh fluor. Dulu pernah digunakan di Amerika Serikat sebagai bahan aerosol, kini bahan tersebut digunakan untuk bahan pendingin dan untuk proses industri. FC yang mengandung khlor disebut disebut chlorofluorocarbon (CFC). Mere diduga mengubah lapisan ozone di stratosfir, sehingga menyebabkan radiasi matahari yang berbahaya dapat mencapai permukaan bumi. Fly Ash: Non-combustible residual particles from the combustion process carried by flue gas. Jelaga: Partikel-partikel tak terbakar yang terbawa oleh flue gas. Food Chain: A sequence of organisms, each of which uses the next, lower member of the sequence as a food source. Rantai Makanan: Urutan perpindahan energi dalam bentuk makanan mulai dari makhluk dari suatu jajaran trophic yang satu ke lainnya, pada waktu suatu makhluk memakan atau mencernakan lainnya. Lihat detritus food chain, grazing food chain. Fugitive Emissions: Emissions not caught by a capture system.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 17

Emisi yang lolos: Emisi yang tak tertahan oleh sistim pepangkap. G Geiger Counter: An electrical device that detects the presence of certain types of radioactivity. Geiger Counter: Suatu alat listrik yang mendeteksi adanya radioaktifitas. Generator: A facility or mobile source that emits pollutants into the air or releases hazardous wastes into water or soil. Generator: Suatu alat yang merubah tenaga mekanis menjadi tenaga listrik. Granular Activated Carbon Treatment: A filtering system often used in small water systems and individual homes to remove organics. GAC can be highly effective in removing elevated levels of radon from water. Pengolahan dengan butiran arang aktif: Sistim penyaringan yang diterapkan pada sistim penyediaan air bersih berskala kecil dan di rumah tangga untuk menghilangkan bahan organic. Pengolahan dengan butiran arang aktif ini sangat efektif untuk menghilangkan radon derajad tinggi dari dalam air. Greenhouse Effect: The warming of the Earth’s atmosphere caused by a build-up of carbon dioxide or other trace gases; it is believed by many scientists that this build-up allows light from the sun’s rays to heat the Earth but prevents a counterbalancing loss of heat. Efek Rumah Kerja: Terperangkapnya panas di atmosfir. Radiasi matahari bergelombang pendek yang datang dapat menembus atmosfir, tetapi radiasi bergelombang lebih panjang yang menuju ke angkasa terserap oleh uap air, karbon dioksida dan ozon dalam atmosfir dan dipancarkan kembali ke bumi, menyebabkan peningkatan suhu atmosfir. Penjelasan lain: Peningkatan suhu atmosfir yang disebabkan oleh menumpuknya karbon dioksida yang dapat meloloskan sinar matahari untuk menanasi bumi tetapi mencegah lolosnya kembali panas tersebut. Ground Water: The supply of fresh water found beneath the Earth’s surface (usually in aquifers) which is often used

for supplying wells and springs. Because ground water is a major source of drinking water there is growing concern over areas where leaching agricultural or industrial pollutants or substances from leaking underground storage tanks are contaminating ground water. Air Tanah: Air yang terdapat di bawah permukaan tanah, yaitu tepatnya pada zona-zona jenuh air; Cadangan air tawar di bawah prmukaan bumi yang merupakan cadangan alamiah. H Habitat: The place where a population (eg, human, animal, plant, micro-organism) lives and its surroundings, both living and non-living. Habitat: Seluruh kondisi lingkungan di suatu tempat tertentu yang dihuni, hidup dan tumbuh secara alami oleh suatu organisma, populasi atau komunitas. Half-Life: 1. The time required for a pollutant to lose half its affect on the environment. For example, the half-life of DDT in the environment is 15 years, of radium, 1,580 years. 2. The time required for half of the atoms of a radioactive element to undergo decay. 3. The time required for the elimination of one half a total dose from the body. Umur Paruh: Waktu yang diperlukan sehigga separuh jumlah atom-atom dari sejumlah senyawa radioaktif mengalami aus dan menjadi isotop lain. Batasan ini diperluas pemakaiannya sehingga menjadi waktu paruh biologik (biological half-life), waktu yang diperlukan agar separuh dari sejumlah yang terdapat dalam suatu sistem biologik (misalnya merkuri dalam otak) dapat dihancurkan atau dikeluarkan dari tubuh. Penjelasan lain: Adalah lamanya waktu yang diperlukan sesuatu bahan untuk kehilangan separuh kekuatannya. Contohnya, waktu paruh DDT adalah 15 tahun; radium 1580 tahun. Hazardous Waste: By-products of society that can pose a substantial or potential hazard to human health or the environment when improperly managed. Possesses at least one of four characteristics (ignitability, corrosivity, reactivity, or toxicity), or appears on special lists.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 18

Limbah Berbahaya: Adalah sejenis limbah yang karena sifatnya ia berbahaya dalam penanganannya dan pembuangannya, misalnya bahan peledak yang sudah tua, bahan radioaktif, bahan kimia, dan beberapa limbah biologik; biasanya dihasilkan oleh proses industri. Heavy Metals: Metallic elements with high atomic weights, eg, mercury, chromium, cadmium, arsenic, and lead. They can damage living things at low concentrations and tend to accumulate in the food chain. Logam Berat: Unsur-unsur logam seperti besi, nikel, seng, kobalt, merkuri, khromium, kadmium, arsen, dan timbal, yang mempunyai berat atom yamg besar. Mereka dapat menimbulkan akibat buruk pada makhluk hidup dalam kadar yang rendah, dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan. Herbicide: A chemical pesticide designed to control or destroy plants, weeds, or grasses. Herbisida: Suatu bahan kimia yang mengendalikan atau memberantas tumbuhan yang tak diinginkan. Bahan kimia ini merusak atau mematikan kehidupan tanaman dengan mengganggu pertumbuhan normalnya. Hydrocarbons (HC): Chemical compounds that consist entirely of carbon and hydrogen. Hidrokarbon: Suatu jenis senyawa organik yang mengandung atom karbon (C) dan hidrogen (H). Mereka sering dijumpai sebagai bahan pencemar misalnya dari bensin yang terbakar tak sempurna, penguapan pelarut industri, khususnya dari kilang-kilang. Jika keberadaannya disertai adanya oksida nitrogen dan sinar matahari maka mereka dapat membentuk smog fotokimia (photochemical smog). Senyawa yang ditemukan dalam bahan bakar fosil (BBM), yang mengandung karbon dan hidrogen dan mungkin dapat menyebabkan kanker (carcinogenic). Hydrogen Sulfide (HS): Gas emitted during organic decomposition. Also a byproduct of oil refining and burning. It smells like rotten eggs and, in heavy concentration, can cause illness. Hidrogen Sulfida (H2S): Gas yang dilepaskan pada penguraian bahan organik yang berbau

seperti telur busuk. Juga merupakan produk samping dari kilang pemurnian dan pembakaran minyak, dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan sakit. Hydrology: The science dealing with the properties, distribution, and circulation of water. Hidrologi: Ilmu yang berhubungan dengan sifat, penyebaran dan peredaran air. I Impoundment: A body of water or sludge confined by a dam, dike, floodgate, or other barrier. Waduk: Badan air yang terkurung di dalam dam, dike, pintu air/banjir, atau bentuk penahan lain. Incineration: 1. Burning of certain types of solid, liquid, or gaseous material. 2. A treatment technology involving destruction of waste by controlled burning at high temperatures, eg, burning sludge to remove the water and reduce the remaining residues to a safe, non-burnable ash which can be disposed of safely on land, in some waters, or in underground locations. Pembakaran: 1. Pembakaran jenis sampah padat, cair atau gas tertentu 2. Suatu teknologi pengolahan yang mengandung penghancuran sampah dengan cara pembakaran terkendali pada suhu tinggi, misalnya pembakaran lumpur untuk menghilangkan air dan menurunkan sisa yang ada menjadi abu yang aman, tak terbakar yang kemudian dapat dibuang dengan aman ke tanah, ke dalam badan air tertentu, atau pada lokasi bawah tanah. Incinerator: A furnace for burning wastes under controlled conditions. Incinerator: Suatu ruangan terkendali di mana bahan-bahan limbah, termasuk sampah, dibakar. Indicator: In biology, an organism, species, or community whose characteristics show the presence of specific environmental conditions. Indikator: Dalam Biologi, adalah suatu jazad renik, spesies atau komunitas yang menunjukkan keadaan lingkungan tertentu.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 19

Indirect Discharge: Introduction of pollutants from a non-domestic source into a publicly owned waste treatment system. Indirect dischargers can be commercial or industrial facilities whose wastes go into the local sewers. Pembuangan tak langsung: Masuknya pencemar dari sumber bukan domestik ke instalasi pengolahan limbah milik umum. Para pembuang tak langsung ini berupa sarana perdagangan atau industri yang membuang limbahnya ke saluran setempat. Infiltration: 1. The penetration of water through the ground surface into sub-surface soil or the penetration of water from the soil into sewer or other pipes through defective joints, connections, or manhole walls. 2. A land application technique where large volumes of wastewater are applied to land, allowed to penetrate the surface and percolate through the underlying soil. (See percolation). Penyusupan atau Infiltrasi: 1. Penyusupan air melalui permukaan tanah ke lapisan tanah bawah permukaan atau penyusupan air dari tanah ke dalam pipa saluran melalui sambungan yang rusak atau lubang pemeriksaan. 2. Teknik pembuangan ke atas tanah dimana sejumlah besar limbah cair dibuang ke atas tanah, dibiarkan menembus permukaan dan meresap melalui lapisan tanah di bawahnya (lihat perkolasi) Inorganic Chemicals: Chemical substances of mineral origin, not of basically carbon structure. Bahan kimia anorganik: Senyawa kimia yang berasal dari mineral, struktur dasarnya bukan karbon. Insecticide: A pesticide compound specifically used to kill or control the growth of insects. Insektisida: Senyawa atau campuran senyawa yang dimaksudkan untuk mencegah, menghancurkan atau menangkal serangga. Instream Use: Water use taking place within a stream channel, eg, hydro-electric power generation, navigation,

water-quality improvement, fish propagation, recreation. Penggunaan dalam sungai: Penggunaan air dilakukan di dalam sungai, misalnya pembangkit tenaga listrik hidro, pelayaran, peningkatan kualitas air, perikanan, rekreasi. Inversion: An atmospheric condition caused by a layer of warm air preventing the rise of cooling air trapped beneath it. This prevents the rise of pollutants that might otherwise be dispersed and can cause an air pollution episode. Inversi: Suatu kondisi atmosfir yang disebabkan oleh adanya lapisan udara hangat yang menghalangi lapisan udara dingin di bawahnya untuk naik. Hal ini juga memerangkap pencemar yang seharusnya dapat tersebar dan diencerkan, dan dapat menimbulkan suatu episoda pencemaran. Ion Exchange Treatment: A common water softening method often found on a large scale at water purification plants that remove some organics and radium by adding calcium oxide or calcium hydroxide to increase the pH to a level where the metals will precipitate out. Pengolahan Dengan Pertukaran Ion: Cara pelunakan air yang lazim dijumpai dengan skala besar pada instalasi penjernihan air yang menghilangkan beberapa jenis organik dan radium dengan menambahkan kalsium oksida atau kalsium hidroksida untuk meningkatkan pH samapi tingkat dimana logam-logam akan mengendap. Irrigation: Technique for applying water or wastewater to land areas to supply the water and nutrient needs of plants. Irigasi: Teknik untuk membuang air atau air kotor ke pertanahan untuk mengisi kebutuhan air atau makanan untuk tanaman. J K L Lagoon: 1. A shallow pond where sunlight, bacterial action, and oxygen work to purify wastewater; also used for

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 20

storage of wastewaters or spent nuclear fuel rods. 2. Shallow body of water, often separated from the sea by coral reefs or sandbars. Laguna: 1. Suatu kolam yang dangkal di mana sinar matahari, bakteri dan oksigen bekerja untuk memurnikan air limbah, juga digunakan untuk menampung air limbah atau bekas batang nukllir. 2. Badan air yang dangkal, seringkali dipisahkan dari lautan oleh batuan karang atau pasir. Land Application: Discharge of wastewater onto the ground for treatment or reuse. (See: irrigation). Pembuangan ke atas tanah: Pembuangan air limbah ke atas tanah untuk pengolahan atau pemanfaatan kembali. (Lihat irigasi) Landfill: 1. Sanitary landfills are land disposal sites for non-hazardous solid wastes at which the waste is spread in layers, compacted to the smallest practical volume, and cover material applied at the end of each operating day. 2. Secure chemical landfills are disposal sites for hazardous waste. They are selected and designed to minimize the chance of release of hazardous substances into the environment. Landfill: 1. Lahan tempat pembuangan sampah tidak berbahaya dimana sampah disebarkan dalam lapisan-lapisan, dipadatkan sampai volume sekecil-kecilnya, dan setiap hari ditutup dengan lapisan penutup. 2. Secure chemical Landfill adalah lahan pembuangan bahan berbahaya. Lokasi ini dipilih dan dirancang sedemikian rupa sehingga meminimalkan kemungkinan lolosnya bahan berbahaya ke dalam lingkungan. Leachate: A liquid that results from water collecting contaminants as it trickles through wastes, agricultural pesticides, or fertilizers. Leaching may occur in farming areas, feedlots, and landfills, and may result in hazardous substances entering surface water, ground water, or soil. Rembesan atau Leachate: Cairan yang mengandung cemaran pada waktu merembes melewati sampah, sampah pertanian, atau pupuk. Rembesan ini dapat terjadi di daerah pertanian, tempat penampungan hewan, dam landfill, dan

dapat menimbulkan masuknya bahan berbahaya ke air permukaan, air tanah atau tanah. Leaching: The process by which soluble constituents are dissolved and carried down through the soil by a percolating fluid. (See leachate). Perembesan atau Leaching: Suatu proses dengan mana bahan-bahan nutrient atau pencemar terlarut dan terbawa air, atau terbawa lebih dalam ke bawah tanah. Limnology: The study of the physical, chemical, meteorological, and biological aspects of fresh water. Limnologi: Suatu studi tentang aspek fisik, kimiawi, meteorologik, dan biologik daripada air tawar, misalnya danau, kolam atau sungai. Liner: 1. A relatively impermeable barrier designed to prevent leachate from leaking from a landfill. Liner materials include plastic and dense clay. 2. An insert or sleeve for sewer pipes to prevent leakage or infiltration. Pelapis: 1. Penahan yang relatif tidak tembus air untuk menahan rembesan dari landfill. Bahan pelapis termasuk plastik dan lempung padat. 2. Pada pelapis dapat disisipkan selongsong untuk pipa air limbah agar tidak terjadi rembesan atau peresapan. M Mechanical Aeration: Use of mechanical energy to inject air into water to cause a waste stream to absorb oxygen. Aerasi mekanis: Penggunaan tenaga mekanis untuk memasukkan udara ke dalam air agar aliran air limbah dapat menyerap oksigen. Methane: A colorless, nonpoisonous, flammable gas created by inaerobic decomposition of organic compounds. Metana: Suatu gas yang tak berwarna, tak beracun, dan mudah terbakar, yang dilepaskan oleh rawa-rawa dan timbunan sampah yang mengalami penguraian secara anaerobik. Microbes: Microscopic organisms such as algae, animals, viruses, bacteria,

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 21

fungus, and protozoa, some of which cause diseases. Mikroba: Hewan dan tumbuhan renik. Beberapa jenis yang dapat menyebabkan penyakit dapat dijumpai dalam air kotor. Mitigation: Measures taken to reduce adverse impacts on the environment. Mitigasi: Tindakan yang dilakukan untuk menurunkan dampak buruk terhadap lingkungan. Mixed Liquor: A mixture of activated sludge and water containing organic matter undergoing activated sludge treatment in an aeration tank. Mixed Liquor: Adalah lumpur aktif (activated sludge) dan air yang mengandung zat-zat organik, yang akan diolah dalam tangki aerasi. Mobile Source: A moving producer of air pollution, mainly forms of transportation such as cars, trucks, motorcycles, airplanes. Sumber Bergerak: Adalah sumber pencemaran yang bergerak, umumnya adalah berbagai bentuk transportasi - mobil, sepeda motor dan pesawat terbang. Modeling: An investigative technique using a mathematical or physical representation of a system or theory that accounts for all or some of its known properties. Models are often used to test the effect of changes of system components on the overall performance of the system. Pembuatan Model: Suatu teknik penelitian menggunakan model fisik atau matematis yang mewakili suatu sistim atau teori yang memperhitungkan semua atau sebagian sifat yang diketahui. Model sering digunakan untuk menguji dampak perubahan pada unsur sistim terhadap kinerja menyeluruh dari sistim tersebut. Monitoring: Periodic or continuous surveillance or testing to determine the level of compliance with statutory requirements and/or pollutant levels in various media or in humans, animals, and other living things.

Pemantauan: Penyelidikan atau pemeriksaan berkala atau terus menerus untuk menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan dan/atau derajat pencemaran dalam berbagai media atau dalam tubuh manusia, binatang, dan makhluk hidup lainnya. Monitoring Wells: Wells drilled at a site to collect ground-water samples for the purpose of physical, chemical, or biological analysis to determine the amounts, types, and distribution of contaminants in the ground water beneath the site. Sumur pemantauan: Sumur-sumur bor yang dibuat pada lokasi tertentu untuk mengumpulkan contoh air untuk tujuan pemeriksaan fisik, kimia atau biologis guna menentukan jumlah, jenis dan penyebaran bahan pencemar dalam air tanah di bawah lokasi itu. Mutagen: Any substance that can cause a change in genetic material. Mutagen: Segala senyawa yang dapat menyebabkan perubahan dalam struktur genetik pada generasi berikut; segala senyawa yang mampu memacu perubahan/mutasi genetik pada organisme hidup. N Neutralization: Decreasing the acidity or alkalinity of a substance by adding to it alkaline or acidic materials, respectively. Netralisasi: Menurunnya keasaman atau kebasaan suatu senyawa dengan penambahan bahan bersifat basa atau asam. Nitrate: A compound containing nitrogen which can exist in the atmosphere or as a dissolved gas in water and which can exist in the atmosphere or as a dissolved gas in water and which can have harmful effects on humans and animals. Nitrates in water can cause severe illness in infants and cows. Nitrat (NO3): Nitrat, kelompok kimiawi bermuatan negatif yang terdiri atas satu atom nitrogen dan tiga atom oksigen. Merupakan bahan utama pupuk kimia. Nitric Oxide (NO): A gas formed by combustion under high temperature and

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 22

high pressure in an internal combustion engine. It changes into nitrogen dioxide in the ambient air and contributes to photochemical smog. Nitri Oksida (NO): Gas yang terbentuk dari pembakaran pada temperatur dan tekanan tinggi, dalam mesin (internal combustion engines). Zat NO ini dapat berubah menjadi nitrogen dioksida dalam udara bebas sehingga dapat menimbulkan photochemical smog. Nitrification: The process whereby ammonia in wastewater is oxidized to nitrite and then to nitrate by bacterial or chemical reactions. Nitrifikasi: Proses dimana amoniak dalam air limbah dioksidasi menjadi nitrit dan kemudian menjadi nitrat oleh bakteri atau secara kimiawi. Nitrogen Dioxide (NO2): The result of nitric oxide combining with oxygen in the atmosphere. A major component of photochemical smog. Nitrogen Dioksida (NO2): Hasil daripada ber-reaksinya NO dengan oksigen di atmosfir; merupakan bagian utama daripada photochemical smog. Nitrogenous Waste: Animal or vegetable residues that contain significant amounts of nitrogen. Limbah nitrogen: Sisa binatang atau sayuran yang mengandung banyak nitrogen. Limbah mengandung Nitrogen: Sisa-sisa tumbuhan atau hewan yang banyak mengandung unsur nitrogen. Nitrogen Oxide (NOx): Product of combustion from transportation and stationary sources and a major contributor to acid deposition and the formation of ground level ozone in the troposphere. Nitrogen Oksida (NOx): Pencemar udara yang terutama terdiri atas nitric oxide (NO) dan nitrogen dioksida (NO2), yang dihasilkan oleh reaksi nitrogen (N2) dan oksigen (O2) di udara, yang terjadi pada suhu tinggi, misalnya pada mesin-mesin bakar (internal combustion engine) dan tungku.

Non-Point Source: Pollution sources which are diffuse and do not have a single point of origin or are not introduced into a receiving stream from a specific outlet. The pollutants are generally carried off the land by stormwater runoff. The commonly used categories for non-point sources are: agriculture, forestry, urban, mining, construction, dams and channels, land disposal, and saltwater intrusion. Sumber Majemuk: Sumber-sumber pencemaran yang tersebar dan tidak memiliki satu asal yang tunggal dan memasuki badan air penerima dari sesuatu outlet tertentu. Bahan pencemar biasanya terbawa dari tanah oleh bilasan permukaan tanah sewaktu hujan. Istilah ini biasanya diterapkan pada daerah pertanian, hutan, perkotaan, pertambangan, konstruksi, waduk dan saluran, pembuangan di atas permukaan tanah, dan penyusupan air laut. udara di mana limbah dikeluarkan tidak hanya dari satu sumber yang khas dan dapat dikenali, tetapi dari beberapa titik keluar yang campur baur. Nutrient: Any substance assimilated by living things that promotes growth. The term is generally applied to nitrogen and phosphorus in wastewater, but is also applied to other essential and trace elements. Nutrien atau bahan makanan: Segala senyawa yang diasimilasikan oleh makhluk hidup untuk meningkatkan pertumbuhan. Istilah ini umumnya diarahkan kepada unsur nitrogen dan fosfor dalam air limbah, tetapi juga diterapkan terhadap unsur hara dan unsur penting lainnya. Nutrien: Unsur atau senyawa yang merupakan bahan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme. Contohnya adalah karbon, oksigen, nitrogen, kalium, fosfor, bahan padat terlarut dan gas yang terdapat dalam air. O Organic: 1. Referring to or derived from living organisms. 2. In chemistry, any compound containing carbon. Organik: 1. Segala yang berhubungan dengan atau berasal dari makhluk hidup. 2. Dalam bidang kimia, adalah segala senyawa yang mengandung karbon.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 23

Organic Chemicals / Compounds: Animal or plant-produced substances containing mainly carbon, hydrogen, and oxygen. Senyawa Organik: Molekul yang lazimnya mengandung atom-atom karbon dan hidrogen; karbon, hidrogen dan oksigen; atau karbon, hirogen, oksigen dan nitrogen. Organophosphates: Pesticide chemicals that contain phosphorus; used to control insects. They are short-lived, but some can be toxic when first applied. Organofosfat: Kelompok pestisida yang terdiri atas berbagai insektisida sintetik jenis yang tahan lama (persistent) yang bekerja dengan mematahkan reaksi syaraf dan otot; contohnya adalah parathion dan malathion. Pestisida yang mengandung fosfor, dipergunakan untuk memberantas serangga. Umurnya pendek tetapi dapat bersifat toksik waktu pertama dipergunakan. Outfall: The place where an effluent is discharged into receiving waters. Terjunan: Tempat di mana air buangan jatuh ke dalam sungai penerima. Overburden: The rock and soil cleared away before mining. Overburden: Batuan dan tanah yang disingkirkan sebelum memulai penambangan. Overland Flow: A land application technique that cleanses waste by allowing it to flow over a sloped surface. As the water flows over the surface, the contaminants are removed and the water is collected at the bottom of the slope for reuse. Aliran di atas tanah: Teknik pembuangan ke atas tanah yang menjernihkan air limbah dengan cara membiarkannya mengalir melalui permukaan yang miring. Ketika air mengalir di permukaan miring, bahan pencemar dihilangkan dan airnya dihimpun di bagian bawah untuk dimanfaatkan kembali. Oxidation: 1. The addition of oxygen which breaks down organic waste or chemicals such as cyanides, phenols, and organic sulfur compounds in sewage by bacterial and chemical means. 2.

Oxygen combining with other elements. 3. The process in chemistry whereby electrons are removed from a molecule. Oksidasi: 1. Penambahan oksigen yang menguraikan limbah organik atau bahan kimia seperti sianida, fenol, dan senyawa belerang organik dalam air limbah dengan cara biologis atau kimiawi. 2. Oksigen yang berikatan dengan senyawa lainnya. 3. Proses dalam bidang kimia dimana elektron dihilangkan dari sebuah molekul. Oksidasi: Oksigen yang ber-reaksi dengan unsur lain. Oxidation Pond: A man-made lake or body of water in which organic waste is consumed by bacteria. It is used most frequently with other water-treatment processes. An oxidation pond is basically the same as a sewage lagoon. Kolam Oksidasi: Danau buatan manusia atau badan air di mana limbah organik diuraikan oleh bakteri. Ini sering digunakan dengan proses pengolahan air lainnya. Kolam oksidasi pada dasarnya sama dengan laguna air limbah. Ozone (O3): Found in two layers of the atmosphere, the stratosphere and the troposphere. In the stratosphere (the atmospheric layer beginning 7 to 10 miles above the earth’s surface), ozone is a form of oxygen found naturally which provides a protective layer shielding the earth from ultraviolet radiation’s harmful health effects on humans and the environment. In the troposphere (the layer extending up 7 to 10 miles from the earth’s surface), ozone is a chemical oxidant and major component of photochemical smog. Ozon (O3): Zat yang terdapat di dua lapisan atmosfir, stratosfir dan troposfir. Di stratosfir (lapisan atmosfir mulai dari 7 sampai 10 mil di atas permukaan bumi), ozone adalah bentuk oksigen yang terdapat secara alami yang memberikan lapisan pelindung bagi permukaan bumi terhadap radiasi sinar ultraviolet yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Di troposfir (lapisan lanjutan mulai 7 sampai 10 mil diatas permukaan bumi), ozone adalah oksidan kimia dan unsur utama photochemical smog.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 24

Ozone Depletion: Destruction of the stratospheric ozone layer which shields the earth from ultraviolet radiation harmful to biological life. This destruction of ozone is caused by the breakdown of certain chlorine and/or bromine-containing compounds (chlorofluorocarbons or halons) which break down when they reach the stratosphere and catalytically destroy ozone molecules. Penipisan lapisan ozone: Perusakan lapisan ozone stratosfir yang melindungi permukaan bumi dari radiasi ultraviolet yang berbahaya untuk kehidupan biologis. Perusakan ozone ini disebabkan oleh penguraian senyawa khlor tertentu (chlorofluorocarbons atau halons) yang terurai ketika mereka mencapai stratosfir dan secara katalitis menghancurkan molekul ozone. P Particulates: Fine liquid or solid particles such as dust, smoke, mist, fumes, or smog, found in air or emissions. Partikel: Partikel padat atau cair yang halus, misalnya debu, asap, embun, uap (fumes), atau smog (campuran smoke dan fog) yng ditemukan yang tersuspensi atau terkandung dalam udara di udara atau emisi. Pathogenic: Capable of causing disease. Patogen: Bersifat mampu menimbulkan penyakit. Pathogens: Microorganisms that can cause disease in other organisms or in humans, animals, and plans. They may be bacteria, viruses, or parasites and are found in sewage, in runoff from animal farms or rural areas populated with domestic and/or wild animals, and in water used for swimming. Fish and shellfish contaminated by pathogens, or the contaminated water itself, can cause serious illnesses. Patogen: Segala organisme yang menyebabkan penyakit pada makhluk yang lain atau pada manusia, binatang atau tanaman. Mereka dapat berupa bakteri, virus, atau parasit dan terdapat pada air limbah, dalam bilasan dari peternakan atau daerah pedesaan yang dihuni oleh hewan

piaraan.atau liar, dan dalam air untuk berenang. Ikan dan kerang-kerangan yang tercemar kuman patogen, ataupun airnya sendiri yang tercemar, dapat menimbilkan penyakit yang serius. PCBs: A group of toxic, persistent chemicals (polychlorinated biphenyls) used in transformers and capacitators for insulating purposes and in gas pipeline systems as a lubricant. PCB (Polychlorinated biphenyls): Suatu kelompok bahan kimia yang beracun dan tahan lama, dipergunakan dalam pembuatan transformator dan kapasitor untuk tujuan insulasi dan juga dalam sistim pipa gas, yaitu sebagai pelumas Percolation: The movement of water downward and radially through the sub-surface soil layers, usually continuing downward to the ground water. Perkolasi: Perembesan ke bawah atau penyaringan air melalui rongga di antara batuan atau tanah. Permeability: The rate at which liquids pass through soil or other materials in a specified direction. Permeabilitas: Derajat kelolosan cairan melalui tanah atau bahan lain menurut arah tertentu. Permit: An authorization, license, or equivalent control document issued by an approved agency to implement the requirements of an environmental regulation; eg, a permit to operate a wastewater treatment plant or to operate a facility that may generate harmful emissions. Ijin: Suatu pemberian kewenangan, ijin, atau dokumen pengaturan yang setara yang diterbitkan oleh instansi yang ditunjuk untuk melaksanakan persayaratan suatu peraturan lingkungan, misalnya suatu ijin untuk mengoperasikan instalasi pengolahan air limbah atau untuk mengoperasikan sarana yang dapat menghasilkan emisi berbahaya. Persistence: Refers to the length of time a compound, once introduced into the environment, stays there. A compound may persist for less than a second or indefinitely.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 25

Persistensi: Panjangnya waktu bagi suatu senyawa, sejak masuk ke dalam lingkungan, untuk tetap bertahan disana. Suatu senyawa bisa bertahan kurang dari satu detik sampai untuk selamanya. Pesticide: Substance or mixture of substances intended for preventing, destroying, repelling, or mitigating any pest. Also, any substance or mixture of substances intended for use as a plant regulator, defoliant, or desiccant. Pesticides can accumulate in the food chain and/or contaminate the environment if misused. Pestisida: Senyawa atau campuran senyawa yang dimaksudkan untuk mencegah, membunuh, mengusir, atau mengendalikan binatang pengganggu. Juga, segala senyawa atau campuran senyawa yang dimaksudkan untuk mengatur pertumbuhan tanaman, menghilangkan bunga, atau mengeringkannya. Pestisida dapat terakumulasi dalam rantai makanan dan/atau mencemari lingkungan, jika salah dalam menggunakannya. pH: A measure of the acidity or alkalinity of a liquid or solid material. pH: Suatu ukuran derajat keasaman atau kebasaan suatu bahan, cair atau padat. Phenols: Organic compounds that are byproducts of petroleum refining, tanning, and textile, dye, and resin manufacturing. Low concentrations cause taste and odor problems in water; higher concentrations can kill aquatic life and humans. Fenol: Senyawa organik yang merupakan produk samping kilang pemurnian minyak, penyamakan kulit, tekstil, warna, dan produksi resin. Dalam kadar rendah dapat menimbulkan efek pada rasa dan bau, sedangkan pada kadar agak tinggi dapat mematikan hewan akuatik. Phosphates: Certain chemical compounds containing phosphorus. Fosfat: Senyawa kimia yang mengandung fosfor. Phosphorus: An essential chemical food element that can contribute to the eutrophication of lakes and other water bodies. Increased phosphorus levels

result from discharge of phosphorus-containing materials into surface waters. Fosfor: Suatu unsur zat makanan yang penting, yang juga dapat membantu timbulnya masalah eutrophication dalam badan-badan air. Meningkatkanya kadar fosfor akibat pembuangan bahan mengandung fosfor ke dalam air permukaan. Photochemical Oxidants: Air pollutants formed by the action of sunlight on oxides of nitrogen and hydrocarbons. Oksidan Fotokimiawi: Pencemar udara yang terbentuk karena kegiatan sinar matahari terhadap oksida nitrogen dan hidrokarbon. Photosynthesis: The manufacturing by plants of carbohydrates and oxygen from carbon dioxide and water in the presence of chlorophyll, using sunlight as an energy source. Fotosintesis: Proses produksi hidrat arang gula sederhana atau molekul-molekul makanan, misalnya glukosa C6H12O6 dan oksigen, dari karbon dioksida dan air yang dilakukan oleh sel tumbuh-tumbuhan dengan adanya butir hijau daun dan sinar matahari sebagaisumber energi. Physical and Chemical Treatment: Processes generally used in large-scale wastewater treatment facilities. Physical processes may involve air-stripping or filtration. Chemical treatment includes coagulation, chlorination, or ozone addition. The term can also refer to treatment processes, treatment of toxic materials in surface waters and ground waters, oil spills, and some methods of dealing with hazardous materials on or in the ground. Pengolahan fisik dan kimiawi: Proses-proses yang umumnya digunakan dalam instalasi pengolahan air limbah berskala besar. Proses-proses fisik dapat terdiri atas sir-stripping atau penyaringan. Pengolahan kimiawi meliputi koagulasi, khlorinasi, atau penambahan ozone. Istilah ini dapat juga berarti proses pengolahan, pengolahan bahan beracun di air permukaan dan air tanah, tumpahan minyak, dan sebagian cara untuk mengatasi bahan berbahaya di atas atau dalam tanah.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 26

Phytoplankton: That portion of the plankton community comprised of tiny plants, eg, algae, diatoms. Fitoplankton: Bagian dari masyarakat plankton yang terdiri atas tanaman kecil seperti lumut, diatome. Phytotoxic: Something that harms plants. Fitotoksik: Sesuatu zat yang mengganggu kehidupan tumbuh-tumbuhan. Plume: 1. Visible or measurable discharge of a contaminant from a given point of origin; can be visible or thermal in water, or visible in the air as, for example, a plume of smoke. 2. The area of measurable and potentially harmful radiation leaking from a damaged reactor. 3. The distance from a toxic release considered dangerous for those exposed to the leaking fumes. Gugus asap: 1. Buangan pencemar yang nampak atau terukur dari suatu titik pembuangan tertentu, dapat terlihat atau terasa panas dalam air, atau terlihat dalam udara sebagai, misalnya, gugusan asap. 2. Daerah yang terukur dan mungkin menimbulkan radiasi yang berbahaya yang bocor dari reaktor yang rusak. 3. Jarak dari titik pelepasan bahan beracun yang dianggap berbahaya bagi mereka yang terpajan kepada fuma yang lolos. Point Source: A stationery location or fixed facility from which pollutants are discharged or emitted. Also, any single identifiable source of pollution, eg, a pipe, ditch, ship, ore pit, factory smokestack. Sumber Tunggal: Lokasi yang stasioner atau menetap yang mengeluarkan pencemar. Juga berarti suatu titik manapun yang dapat dikenali sebagai sumber pencemaran, misalnya sebuah pipa, parit, kapal, galian tambang, cerobong asap. Pollutant: Generally, the presence of matter or energy whose nature, location, or quantity produces undesired environmental effects. Under the US Clean Water Act, for example, the term is defined as the man-made or man-

induced alteration of the physical, biological, and radiological integrity of water. Bahan Pencemar: Secara umum berarti zat atau enerji yang sifatnya, lokasinya atau jumlahnya menghasilkan dampak lingkungan yang tidak diinginkan. Di dalam US Clean Water Act, misalnya, istilah itu diberi batasan aebagai tindakan manusia atau buatan manusia yang menghasilkan perubahan integritas fisik, biologis, dan radiologis air. Polyelectrolytes: Synthetic chemicals that help solids to clump during sewage treatment. Polielektrolit: Bahan kimia sintetik yang membantu zat padat untuk menggumpal selama pengolahan limbah. Polymer: Basic molecular ingredients in plastic. Polimer: Kandungan molekuler dasar dalam plastik. Polyvinyl Chloride (PVC): A tough, environmentally indestructible plastic that releases hydrochloric acid when burned. Polivinil Khlorida (PVC): Sejenis plastik yang kuat dan tidak terurai dalam lingkungan yang mengeluarkan asam HCI jika dibakar. Potable Water: Water that is safe for drinking and cooking. Potable Water: Air aman untuk diminum dan dipergunakan untuk memasak. PPM/PPB: Parts per million/parts per billion, a way of expressing tiny concentrations of pollutants in air, water, soil, human tissue, food, or other products. PPM/PPB: Bagian per juta/Bagian permilyar, suatu cara untuk menyebutkan kadar pencemar yang sangat kecil dalam udara, air, tanah, jaringan manusia, makanan atau produk lainnya. Precipitation: Removal of solids from liquid waste so that the hazardous solid portion can be disposed of safely; removal of particles from airborne emissions.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 27

Presipitasi: Penghilangan padatan dalam air limbah sehingga padatan yang berbahaya dapat dibuang dengan aman, penghilangan partikel emisi dari udara. Precipitators: Air pollution control devices that collect particles from an emission. Precipitator: Suatu alat pengendali pencemaran udara yang mengumpulkan partikel dari emisi. Precursor: In photochemical terminology, a compound such as a volatile organic compound (VOC) that “precedes” an oxidant. Precursors react in sunlight to form ozone or other photochemical oxidants. Precursor: Dalam bidang fotokimia, suatu senyawa seperti ‘bahan organik menguap’ yang ‘mendahului’ suatu oksidan. Precursor bereaksi dengan sinar matahari untuk mebentuk ozone atau oksidan fotokimia lainnya. Pretreatment: Processes used to reduce, eliminate, or alter the nature of wastewater pollutants from non-domestic sources before they are discharged into publicly owned treatment works. Pengolahan Awal: Proses yang diterapkan untuk menurunkan, menghilangkan, atau mengubah sifat bahan pencemar dari air limbah dari sumber-sumber non-domestik, kadar pencemaran sebelum air limbah memasuki saluran atau instalasi pengolahan. Prevention: Measures taken to minimize the release of wastes to the environment. Pencegahan: Tindakan yang diambil untuk memiimalkan pembuangan limbah ke dalam lingkungan. Primary Treatment: First steps in wastewater treatment; screens and sedimentation tanks are used to remove most materials that float or will settle. Primary treatment results in the removal of about 30 percent of carbonaceous biochemical oxygen demand from domestic sewage.

Pengolahan Primer: Tahap pertama pengolahan air limbah, tangki-tangki penyaringan dan pengendapan digunakan untuk menghilangkan sebagian besar bahan mengapung atau akan mengendap. Pengolahan primer menghasilkan hilangnya 30 persen bahan-bahan karbon yang menimbulkan BOD (kebutuhan oksigen biokemis) dari air limbah domestik. Putrescible: Able to rot quickly enough to cause odors and attract flies. Mudah membusuk: Sifat zat yang cepat membusuk, menghasilkan bau dan menarik kerumunan lalat. Pyrolysis: Decomposition of a chemical by extreme heat. Pirolisa: Penguraian secara kimiawi karena panas yang tinggi; dekomposisi benda pada suhu tinggi tanpa oksigen. Q R Radiobiology: The study of radiation effects on living things. Radiobiologi: Bidang studi tentang efek radiasi terhadap makhluk hidup. Radiation: Any form of energy propagated as rays, waves, or streams of energetic particles. The term is requently use in relation to the emission of rays from the nucleus of an atom. Radiasi: Segala bentuk enerji yang dihasilkan sebagai sinar, gelombang, atau aliran partikel enerji. Istilah ini seringkali digunakan dalam kaitan dengan emisi sinar dari inti sebuah atom. Raw Sewage: Untreated wastewater. Limbah mentah: Air limbah yang belum diolah. Receiving Waters: A river, lake, ocean, stream, or other watercourse into which wastewater or treated effluent is discharged. Badan Air Penerima: Sebuah sungai, danau, lautan, kali, atau aliran air lainnya ke dalam

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 28

mana air limbah atau buangan yang sudah diolah dibuang. Recycle/Reuse: The process of minimizing the generation of waste by recovering usable products that might otherwise become waste. Examples are the recycling of aluminum cans, wastepaper, and bottles. Daur Ulang atau Recycle/Reuse: Proses meminimalkan pengeluaran sampah dengan mengambil kembali benda-benda yang dapat dimanfaatkan, jika tidak mereka akan terbuang sebagai sampah. Contohnya adalah pengambilan kembali kaleng-kaleng dari aluminum, kertas bekas, dan botol. Red Tide: A proliferation of a marine plankton that is toxic and often fatal to fish. This natural phenomenon may be stimulated by the addition of nutrients. A tide can be called red, green, or brown, depending on the coloration of the plankton. Red Tide: Berkembang biaknya plankton laut yang dapat mematikan ikan dalam jumlah besar. Fenomena alamiah ini dapat dipacu oleh adanya zat-zat makanan. Tide ini bisa dikatakan merah (red tide), hijau (green tide) atau cokelat (brown tide) tergantung warna lumut-lumutannya. Refuse: (See solid waste). Sampah: (Lihat sampah padat) Residual: Amount of pollutant remaining in the environment after a natural or technological process has taken place, eg, the sludge remaining after initial wastewater treatment, or particulates remaining in air after the air passes through a scrubbing or other pollutant removal process. Sisa: Banyaknya pencemar yang tersisa dalam lingkungan sesudah terjadinya proses alamiah atau teknologis, misalnya lumpur yang tersisa setelah pengolahan air limbah tahap awal, atau partikel yang tersisa dalam udara sesudah udara lewat melalui sebuah scrubber atau proses penangkap pencemaran lainnya. Resistance: For plants and animals, the ability to withstand poor environmental conditions and/or attacks by chemicals or

disease. The ability may be inborn or developed. Daya tahan: Untuk tanaman atau binatang, kemampuan untuk menghadapi kondisi lingkungan yang buruk dan/atau serangan oleh bahan kimia atau penyakit. Kemampuan ini mungkin terbawa sejak lahir atau hasil perkembangan. Resource Recovery: The process of obtaining matter or energy from materials formerly discarded. Pemanfaatan kembali sumber daya: Proses untuk mendapatkan zat atau energi yang semula dibuang. Reverse Osmosis: A water treatment process used in small water systems by adding pressure to force water through a semi-permeable membrane, Reverse osmosis removes most drinking water contaminants. Also used in wastewater treatment. Large-scale reverse osmosis plants are now being developed. Osmosis Terbalik: Suatu cara pengolahan limbah yang menggunakan membran semi-permeable untuk memisahkan pencemar dari dalam air. Reverse osmosis menghilangkan sebagian besar pencemar dalam air minum. Juga digunakan dalan pengolahan air limbah. Instalasi reverse osmosis berskala besar saat ini sedang dalam pengembangan. Risk Assessment: The qualitative and quantitative evaluation performed in an effort to define the risk posed to human health and/or the environment by the presence or potential presence and/or use of specific pollutants. Analisis Resiko: Evaluasi kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan dalam upaya untuk menjelaskan resiko terhadap kesehatan manusia dan/atau lingkungan dengan kehadiran atau kemungkinan kehadiran dan/atau penggunaan pencemar tertentu. Rubbish: Solid waste, excluding wood waste and ashes, from homes, institutions, and work-places. Sampah Basah: Sampah padat tidak termasuk sisa makanan dan abu, baik yang berasal dari rumah tangga, gedung-gedung dan tempat-tempat kerja.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 29

Run-off: That part of precipitation, snow melt, or irrigation water that runs off the land into streams or other surface-water. It can carry pollutants from the air and land into the receiving waters. Air Larian: Air hujan, cairan salju, atau irigasi yang mengalir di atas permukaan tanah dan kembali ke sungai. Air ini dapat membawa serta zat-zat pencemar dari udara atau tanah dan membawanya ke badan air penerima S Salinity: The degree of salt in water. Salinitas atau kadar garam: Kadar kandungan garam dalam air Salts: Minerals that water picks up as it passes through the air, over and under the ground, and as it is used by households and industry. Garam: Mineral yang terambil oleh air ketika air melewati udara, di atas dan di bawah permukaan tanah, dan ketika air digunakan oleh rumah tangga dan industri. Sand Filters: Devices that remove some suspended solids from sewage. Air and bacteria decompose additional wastes filtering through the sand so that cleaner water drains from the bed. Saringan pasir: Peralatan yang menghilangkan sebagian padatan tersuspensi dari air kotor. Udara dan bakteri lebih lanjut menguraikan limbah yang tersaring melalui pasir itu sehingga air yang mengalir keluar dari susunan pasir akan menjadi lebih bersih. Sanitary Landfill: (See: landfill). Sanitary Sewers: Underground pipes that carry off only domestic or industrial waste, not storm water. Saluran air kotor: Pipa-pipa bawah tanah yang hanya membawa limbah domestik dan daerah perdagangan, tidak termasuk air hujan. Sanitation: Control of physical factors in the human environment that could harm development, health, or survival.

Sanitasi: Pengendalian faktor-faktor fisik dalam lingkungan manusia yang dapat mengganggu pertumbuhan, kesehatan atau daya hidup (survival). Screening: Use of screens to remove coarse floating and suspended solids from sewage. Penapisan: Suatu alat penyaring yang dipergunakan untuk menghilangkan bahan kasar dan bahan terapung dari air kotor. Scrubber: An air pollution device that uses a spray of water or reactant or a dry process to trap pollutants in emissions. Scrubber: Suatu alat pengendali pencemaran udara secara umum dengan menggunakan pancaran air untuk menangkap zat-zat pencemar dari udara yang dialirkan melaluinya dan untuk mendinginkan emisi. Secondary Treatment: The second step in most publicly owned water treatment systems in which bacteria consume the organic parts of the waste. It is accomplished by bringing together waste, bacteria, and oxygen in trickling filters or in the activated sludge process. This treatment removes floating and settleable solids and about 90 percent of the oxygen-demanding substances and suspended solids. Disinfection is the final stage of secondary treatment. (See: primary, tertiary treatment). Pengolahan Sekunder: . Penjelasan lain: Adalah tahap kedua dalam sistem pengolahan air limbah di mana bakteri dibiarkan mencernakan bahan organik dalam limbah itu. Proses ini terselenggara dengan menempatkan limbah bercampur bakteri di dalam saringan kerikil dengan cara dipercikkan (trickling filter) atau dalam proses lumpur aktif (activated sludge). Bandingkan denga primary treatment, tertiary treatment. Process ini dapat menghilangkan zat padat terapung dan mengendap, dan juga sekitar 90 % bahan-bahan yang membutuhkan oksigen untuk penguraiannya serta zat padat tersuspensi. Tahap akhir daripada pengolahan sekunder adalah desinfeksi dengan kapurit. (Lihat pengolahan primer, sekunder) Sedimentation: Letting solids settle out of wastewater by gravity during wastewater treatment.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 30

Sedimentasi: Adalah proses mengendapkan zat padat dengan sendirinya dalam proses pengolahan air limbah dengan menggunakan gaya gravitasi. Sedimentation Tanks: Holding areas for wastewater where floating wastes are skimmed off and settled solids are removed for disposal. Bak sedimentasi: Adalah penampungan air limbah di mana limbah yang terapung akan dikeruk, sedangkan bahan yang mengendap dipompa keluar untuk dibuang. Sediments: Soil, sand, and minerals washed from land into water usually after rain. They pile up in reservoirs, rivers, and harbors, destroying fish-nesting areas and holes of water animals and clouding the water so that needed sunlight might not reach aquatic plants. Careless farming, mining, and building activities will expose sediment materials, allowing them to be washed off the land after rainfalls. Sedimen atau endapan: Tanah, pasir, dan mineral dari daratan yang terbilas ke dalam air, biasanya sehabis hujan. Mereka tertimbun dalam waduk, sungai dan pelabuhan, mengganggu kehidupan ikan dan lobang tempat berlindung binatang air sehingga sinar matahari yang diperlukan tidak dapat menembus sampai kepada mereka. Kegiatan peternakan, pertambangan, dan konstruksi yang ceroboh akan menghasilkan sedimen sehingga dapat terbilas dari daratan sewaktu hujan. Septic Tank: An underground storage tank for wastes from homes having no sewer line to a treatment plant. The waste goes directly from the home to the tank, where the organic waste is decomposed by bacteria and the sludge settles to the bottom. The effluent flows out of the tank into the ground through drains; the sludge is pumped out periodically. Tangki septik: Suatu tangki yang tertanam di bawah tanah yang menampung dan memproses air limbah dari rumah-rumah yang tidak menyediakan sistem saluran perpipaan air kotor.Limbah dari rumah langsung menuju tangki tersebut dimana bahan organik diuraikan oleh bakteri sehingga lumpurnya akan mengendap ke dasar tangki. Buangannya mengalir keluar tangki ke dalam tanah melalui

saluran, lumpurnya kemudian dipompa keluar secara berkala. Settleable Solids: Material heavy enough to sink to the bottom of a wastewater treatment tank. Padatan Mengendap: Zat-zat yang cukup berat sehingga mengendap ke dasar tangki pengolahan air kotor. Settling Tank: A holding area for wastewater, where heavier particles sink to the bottom for removal and disposal. Bak pengendapan: Suatu tempat penampungan air limbah, di mana partikel yang lebih berat mengendap ke dasar dan dapat dibuang. Sewage: The waste and wastewater produced by residential and commercial establishments and discharged into sewers. Air kotor: Limbah dan air limbah organik yang dihasilkan oleh kawasan pemukiman dan perdagangan dan dibuang ke saluran air kotor. Sewage Sludge: Sludge produced at a munipical treatment works. Lumpur air kotor: Lumpur yang dihasilkan pada instalasi pengolahan air kotor. Sewer: A channel or conduit that carries wastewater and storm water runoff from the source to a treatment plant or receiving stream. Sanitary sewers, carry household, industrial, and commercial waste. Storm sewers carry runoff from rain or snow. Combined sewers are used for both purposes. Saluran air kotor: Saluran yang membawa air limbah dan limpahan air hujan dari sumbernya menuju instalasi pengolahan atau badan air penerima. Sanitary sewers membawa limbah daerah permukiman dan perdagangan. Storm sewers membawa limpahan air hujan dan salju. Combined sewers dipakai untuk kedua tujuan tersebut. Silt: Fine particles of sand or rock that can be picked up by a air or water and deposited as sediment.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 31

Lanau: Partikel tanah atau batuan yang halus yang terangkut oleh air atau udara dan diendapkan sebagai sedimen. Siting: The process of choosing a location for a facility. Penentuan Lokasi: Proses pemilihan lokasi untuk sarana tertentu. Skimming: Using a machine to remove oil or scum from the surface of the water. Skimming: Penggunaan mesin untuk menghilangkan minyak atau scum (kotoran terapung) dari permukaan air. Slow Sand Filtration: Treatment process involving passage of raw water through a bed of sand at low velocity which results in the substantial removal of chemical and biological contaminants. Saringan pasir Lambat: Proses pengolahan dimana air mentah dilewatkan susunan pasir pada kecepatan rendah sehingga mampu menghilangkan pencemar kimia dan biologis. Sludge: A semi-solid residue from any of a number of air or water treatment processes. Sludge can be a hazardous waste. Lumpur: Bahan sisa setengah padat dari sejumlah proses pengolahan udara dan air. Lumpur dapat berupa limbah berbahaya. Slurry: A watery mixture of insoluble matter that results from some pollution control techniques. Bubur limbah: Adalah suatu campuran bahan kotoran dan air sebagai hasil suatu proses pengolahan / pengendalian pencemaran. Smelter: A facility that melts or fuses ore, often with an accompanying chemical change, to separate the metal. Emissions are known to cause pollution. Smelting is the process involved. Smelter: Suatu sarana yang melelehkan bahan tambang, seringkali disertai dengan terjadinya perubahan kimiawi, untuk dapat memisahkan logamnya. Emisinya diketahui dapat menyebabkan pencemaran.

Smog: Air pollution associated with oxidants. (See: Photochemical oxidants). Smog: Pencemaran udara yang berhubungan dengan bahan-bahan oksidan(Lihat photochemical smog). Smoke: Particles suspended in air after incomplete combustion of materials. Asap: Partikel yang melayang di udara setelah terjadinya pembakaran tak sempurna Solid Waste: Non-liquid, non-soluble materials ranging from municipal garbage to industrial wastes that contain complex, and sometimes hazardous, substances. Solid wastes also include sewage sludge, agricultural refuse, demolition wastes, and mining residues. Technically, solid waste also refers to liquids and gases in containers. Sampah Padat: Bahan padat, tidak larut bervariasi antara sampah kota sampai limbah industri yang mengandung senyawa kompleks, seringkali juga berbahaya. Sampah padat meliputi juga lumpur air kotor, sampah pertanian, limbah bongkaran, dan sisa penambangan. Secara teknis sampah padat juga berarti cairan atau gas yang terkandung dalam kontener. Solid Waste Disposal: The final placement of refuse that is not salvaged or recycled. Pembuangan Sampah Padat: Penempatan akhir dari sampah yang sudah tak dapat didaur ulang atau dipergunakan kembali. Solid Waste Management: Supervised handling of waste materials from their source through recovery processes to disposal. Pengelolaan sampah padat : Penanganan sampah yang terkendali sejak dari sumber, melewati proses ‘pemungutan kembali,’ sampai pembuangan. Solidification and Stabilization: Removal of wastewater from a waste or changing it chemically to make the waste less permeable and susceptible to transport by water.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 32

Pemadatan dan stabilisasi: Penghilangan air limbah dari limbah atau mengubahnya sehingga menjadi kurang tembus air dan tak dapat terbawa air. Solvent: Substance (usually liquid) capable of dissolving or dispersing one or more other substances. Pelarut: Senyawa (biasanya cairan) yang mampu melarutkan atau menyebarkan satu atau lebih senyawa lainnya. Stabilization: Conversion of the active organic matter in sludge into inert, harmless material. Stabilisasi: Pengubahan bahan organik aktif menjadi bahan-bahan yang stabil dan tak berbahaya. Stable Air: A mass of air that is not moving normally, so that it holds rather than disperses pollutants. Udara stabil: Suatu massa udara yang tidak bergerak secara normal, sehingga akibatnya bahan pencemar di udara terperangkap dan tidak dapat tersebar / diencerkan. Stack: A chimney or smokestack; a vertical pipe that discharges used air. Cerobong: Cerobong asap; Pipa tegak yang mengeluarkan udara yang telah terpakai. Stack Effect: Used air, as in a chimney, that moves upward because it is warmer than the surrounding atmosphere. Efek cerobong: Udara yang telah terpakai, misalnya dalam cerobong, yang bergerak ke atas karena suhunya lebih hangat daripada udara di sekitarnya. Sterilization: 1. In pest control, the use of radiation and chemicals to damage body cells needed for reproduction. 2. The destruction of all living organisms in water or on the surface of various materials. In contrast, disinfection is the destruction of most living organisms in water or on surfaces. Sterilisasi: 1. Dalam bidang pest control, ialah penggunaan radiasi dan bahan kimia untuk merusak sel tubuh yang doiperlukan untuk perkembang biakan. 2. Pembunuhan semua

makhluk hidup dalam air atau pada permukaan berbagai benda. Sedangkan disinfeksi adalah penghancuran sebagian besar makhluk hidup dalam air atau pada permukaan benda. Strip-Mining: A process that uses machines to scrape soil or rock away from mineral deposits just under the earth’s surface. Penambangan Terbuka: Suatu proses menggunakan mesin untuk mengeruk tanah atau batuan untuk mencapai endapan mineral, tidak jauh di bawah permukaan tanah. Sulfur Dioxide (SO2): A heavy, pungent, colorless, gaseous air pollutant formed primarily by industrial fossil fuel combustion processes. Sulfur Dioksida (SO2): Suatu jenis gas yang tak berwarna, berat, berbau menyengat, terbentuk terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil di industri Sump: A pit or tank that catches liquid runoff for drainage or disposal. Cekungan: Adalah cekungan / galian atau tangki yang menangkap air terbilas untuk kemudian dibuang. Surface Water: All water naturally open to the atmosphere (rivers, lakes, reservoirs, streams, impoundments, seas, estuaries, etc.), also refers to springs, wells, or other collectors which are directly influenced by surface water. Air permukaan: Semua badan air yang terbuka ke udara (sungai, danau, waduk, kali, dam, lautan dan muara, dll.) istilah ini juga berlaku untuk mata air, dan kumpulan air lainnya yang langsung dipengaruhi oleh air permukaan. Surfactant: A surface-active agent used in detergents to cause lathering. Surfactant: Suatu bahan kimia surface active agent dipergunakan dalam deterjen yang dapat menimbulkan busa. Suspended Solids (SS): Small particles of solid pollutants that float on the surface of, or are suspended in sewage or other liquids. They resist removal by conventional means. (See: Total Suspended Solids).

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 33

Padatan Melayang (SS): Partikel pencemar padat berukuran kecil yang terapung pada permukaan, atau melayang dalam, air kotor atau cairan lainnya. Padatan ini tidak dapat dihilangkan dengan cara-cara biasa. (Lihat Padatan Tersuspensi Total) T Tailings: Residue of raw materials or waste separated out during the processing of crops or mineral ores. Tailings: Sampah atau bahan sisa yang dipisahkan setelah penanganan hasil panen atau tambang mineral. Teratogen: Substance that causes malformation or serious deviation from normal development of embryos and fetuses. Teratogen: Suatu zat yang jika termakan oleh wanita hamil dapat menyebabkan kecacatan pada embryo dan calon bayi dalam kandungan. Tertiary Treatment: Advanced cleaning of wastewater that goes beyond the secondary or biological stage. It removes nutrients such as phosphorus and nitrogen and most BOD and suspended solids. Pengolahan Tersier: Cara pembersihan air limbah lebih lanjut setelah tahapan pengolahan sekunder atau tahapan pengolahan biologik. Pada tahapan ini diupayakan untuk menghilangkan bahan nutrien seperti fosfat dan nitrogen serta sebagian besar BOD dan zat padat tersuspensi. Thermal Pollution: Discharge of heated water from industrial processes that can affect the life processes of aquatic organisms. Pencemaran panas: Pembuangan air bersuhu tinggi dari proses-proses industri yang dapat mempengaruhi kehidupan tanaman dan hewan akuatik. Total Suspended Solids (TSS): A measure of the suspended solids in waste water, effluent, or water bodies, determining tests for “total suspended non-filterable solids.” (See: suspended solids).

Padatan Tersuspensi Total (TSS): Suatu ukuran padatan tersuspensi dalam air libah, buangan, atau badan air. (Lihat: padatan tersuspensi) Toxic Pollutants: Materials contaminating the environment that cause death, disease, and/or birth defects in organisms that ingest or absorb them. The quantities and length of exposure necessary to cause these effects can vary widely. Pencemar beracun: bahan yang mencemari lingkungan yang menyebabkan kematian, penyakit, dan/atau kecacatan lahir pada makhluk hidup jika tertelan atau terserap olehnya. Jumlah dan lamanya pemajanan yang merupakan faktor penting untuk menimbulkan dampak dapat sangat bervariasi. Toxic Substance: A chemical or mixture that may present an unreasonable risk of injury to health or the environment. Senyawa beracun: Zat kimia atau suatu campuran yang merupakan resiko terhadap kesehatan atau kerusakan lingkungan. Toxicity: The degree of danger posed by a substance to animal or plant life. (See: acute, chronic toxicity). Toksisitas: Kadar bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan terhadap makhluk hidup, baik terhadap hewan maupun tanaman. Trichloroethylene (TCE): A stable, low-boiling colorless liquid, toxic by inhalation. TCE is used as a solvent, for metal degreasing, and in other industrial applications. Trichloroethylene (TCE): Cairan yang stabil, bertitik didih rendah, tak berwarna, beracun jika terhirup. TCE digunakan sebagai pelarut, untuk menghilangkan lemak pada logam, dan untuk penggunaan industri yang lainnya. Trickling Filter: A coarse, biological treatment system in which wastewater is trickled over a bed of stones or other material covered with bacterial growth. The bacteria break down the organic waste in the sewage and produce clean water.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 34

Trickling Filter: Suatu perangkat pengolahan biologik: di mana air limbah dipercikkan ke atas setumpuk batuan, atau bahan lain, yang tersusun dengan cara tertentu, dan dilapisi oleh tumbuhuan bakteri. Bakteri akan menguraikan bahan organik dalam air limbah dan menghasilkan air yang lebih bersih. Turbidity: 1. Haziness in air caused by the presence of particles and pollutants. 2. A similar cloudy condition in water due to suspended silt or organic matter. Kekeruhan 1. Kekaburan di udara akibat adanya partikel dan pencemar. 2. Keadaan kekeruhan yang sama dalam air karena terdapatnya zat padat tersuspensi atau bahan organik. U Underground Storage Tank: A tank located all or partially under ground that is designed to hold gasoline or other petroleum products or chemical solutions. Tangki penampungan bawah tanah: Sebuah tangki yang tertanam seluruhnya atau sebagian dalam tanah yang dirancang untuk menampung bensin atau produk minyak atau larutan kimia lainnya. Urban Runoff: Storm water from city streets and adjacent domestic or commercial properties that may carry pollutants of various kinds into the sewer systems and/or receiving waters. Air Larian Perkotaan: Air hujan yang jatuh di jalan-jalan kota atau kawasan pemukiman dan perdagangan di sekitar, yang bisa membawa berbagai jenis pencemar ke dalam saluran air kotor atau ke dalam badan air penerima. V Vapor: The gaseous phase of substances that are liquid or solid at atmospheric temperature and pressure, eg, steam. Uap: Fase gas dari suatu zat yang semula cair atau padat pada suhu dan tekanan atmosfir, misalnya uap. Vapor Capture System: Any combination of hoods and ventilation system that captures or contains organic

vapors in order that they may be directed to an abatement or recovery device. Sistim Penangkap Uap: Segala kombinasi kerudung dan sistim ventilasi yang menangkap atau mengandung uap organik sehingga dapat diarahkan ke alat penangkapan atau pengolahan. Vector: 1. An organism, often an insect or rodent, that carries disease. 2. An object that is used to transport genes into a host cell (vectors can be plasmids, viruses, or other bacteria). A gene is placed in the vector; the vector then “infects” the bacterium. Vector: 1. Makhluk hidup, biasanya serangga atau tikus, yang membawapenyakit . 2. Suatu benda yang memindahkan gena ke sel tuan rumah (vector dapat berupa plasmid, virus, atau bakteri). Gena ditempatkan dalam vector, kemudian vector itu ‘menginfeksi’ bakteri. Vinyl Chloride: A chemical compound, used in producing some plastics, that is believed to be carcinogenic. Vinil Khlorida: Senyawa kimia yang dipergunakan dalam produksi plastik. Pemaparan berlebihan terhadap zat ini dapat menyebabkan kanker. Volatile: Description of any substance that evaporates readily. Menguap: Zat-zat yang dapat menguap pada suhu rendah. Volatile Organic Compound (VOC): Any organic compound which participates in atmospheric photochemical reactions generally having a boiling point of less than 145 degrees Celsius. Bahan Organik Menguap: Segala senyawa organik yang ikut serta dalam reaksi fotokimia di atmosfir, biasanya memiliki titik didih kurang dari 145 derajat Celsius. W Waste: 1. Unwanted materials left over from a manufacturing process. 2. Refuse from places of human or animal habitation.

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 35

Limbah: Bahan-bahan yang sudah tak dikehendaki lagi, sebagai sisa dari proses produksi atau buangan dari tempat pemukiman manusia atau penampungan hewan. Wastewater Treatment Plant: A facility containing a series of tanks, screens, filters, and other processes by which pollutants are removed from water. Instalasi Pengolahan Air Limbah: Suatu sarana yang terdiri atas serangkaian tangki, saringan, dan proses-proses lainnya untuk menghilangkan pencemar dari dalam air. Wastewater Treatment Stream: The continuous movement of waste from generator to treater and disposer. Arus Pengolahan Limbah cair: Pergerakan limbah terus menerus dari penghasil menuju pengolah atau pembuang. Wastewater: The spent or used water from individual homes, a community, a farm, or an industry that contains dissolved or suspended matter. Air limbah: Air bekas atau terpakaiberasal dari daerah pemukiman, peternakan dan industri, yang mengandung zat padat terlarut atau tersuspensi. Wastewater Operations and Maintenance: Actions taken after construction to assure that facilities constructed to treat wastewater will be properly operated, maintained, and managed to achieve efficiency levels and prescribed effluent levels in an optimum manner. Pengoperasian dan Pemeliharaan Limbah Cair: Tindakan yang dilakukan setelah konstruksi untuk memastikan agar sarana yang dibangun untuk maksud mengolah air limbah akan dioperasikan, dipelihara dan dikelola secara benar untuk mencapai tingkat efisiensi dan batas efluen dengan cara yang optimum.

Water Pollution: The presence in water of enough harmful or objectionable material to damage the water’s quality. Pencemaran Air: Masuknya bahan-bahan berbahaya dan tak dikehendaki dengan kadar yang cukup untuk merusak kualitas air. Water Quality Criteria: Specific levels of water quality which, if reached are expected to render a body of water suitable for its designated use. The criteria are based on specific levels of pollutants that would make the water harmful if used for drinking, swimming, farming, fish production, or industrial processes. Kriteria Kualitas Air: Tingkat kualitas air tertentu, jika dipenuhi, akan membuat badan air tersebut sesuai untuk peruntukannya. Kriteria tersebut didasarkan pada tingkatan pencemar tertentu yang menyebabkan air menjadi berbahaya jika digunakan untuk minum, berenang, beternak, memelihara ikan, atau proses industri. Watershed: The land area that drains into a stream. Daerah Aliran Sungai: Daerah yang mengalami pematusan oleh suatu sungai Wetlands: An area that is regularly saturated by surface or ground water and subsequently is characterized by a prevalence of vegetation that is adapted for life in saturated soil conditions. Examples include: swamps, bog, fens, marshes, and estuaries. Daerah basah: Suatu daerah yang senantiasa jenuh oleh air permukaan atau air tanah dan ditandai oleh adanya vegetasi yang beradaptasi untuk hidup pada kondisi tanah yang jenuh air. Contohnya meliputi rawa, bog, fens, marshes dan muara. XYZ

Dhie5.0/S. SOP Glossary/ps 36

_________________________________ Terms abstracted (with modifications) from the, Istilah-istilah diabstrasikan dari (dengan perubahan) “Glossary of Environmental Terms and Acronym List,” United States Environmental Protection Agency, Office of Communication and Public Affairs, December 1989, 19K-1002; and Environment Dictionary, Margono, BAPEDAL, 1996, dan Kamus Lingkungan Hidup, Margono, BAPEDAL, 1996.

dhie5.0/SOP Statistics/Indo 1

METODOLOGI STANDAR LINGKUNGAN

SOP ESM

3

STATISTIK LINGKUNGAN HIDUP

Halaman

1.0 PENDAHULUAN 2 2.0 PERSIAPAN TABEL 2 3.0 TABEL 5 Tabel Topik A Statistik Internasional (1997) 5 B Statistik Wilayah (1995/1997) 6 C Penunjukkan Kemakmuran Menurut Propinsi/Wilayah (1997) 10 1 Pembagian Daerah Administrasi Menurut Propinsi/Wilayah (1997) 12 2 Luas, Penduduk dan Kepadatannya menurut Propinsi/Wilayah (1997) 13 3 Luas Daerah Pengaliran (Beberapa) Rata-rata Harian Aliran Sungai (1995) 14 4 Panjang Jalan Menurut Propinsi/Wilayah (1995) 17 5 Penggunaan Lahan Menurut Propinsi/Wilayah (1996) 18 6 Penduduk Bekerja Lapangan Pekerjaan Utama Menurut Propinsi/Wilayah

(1997) 20 7 Produksi Bahan Makanan Utama Menurut Propinsi/Wilayah (1996) 22 8 Produksi Ikan dan Udang Menurut Propinsi/Wilayah (1995) 23 9 Akomodasi Pariwisata Menurut Propinsi/Wilayah (1997) 24 10 Banyaknya Kendaraan Bermotor Menurut Propinsi/Wilayah (1996) 25 11 Konsumsi Tenaga Listrik (1995) 26

12 Pencemaran Udara dari Industri Pengolahan Menurut Propinsi/Wilayah (1996) 27

13 Perkiraan Emisi CO, NOx & HC dari Kendaraan Bermotor Menurut

Propinsi/Wilayah (1996) 28

14 Beban Limbah Industri di Beberapa Sungai (1995/1997) 30

dhie5.0/SOP Statistics/Indo 2

1.0 PENDAHULUAN

SOP ini dibuat berdasarkan latar belakang data implementasi Metodologi Standar Lingkungan (MSL). SOP ini menyajikan lingkungan dan daftar statistik yang berhubungan menurut propinsi dan daerah Bapedal. Termasuk statistik yang ada sekarang melalui kantor resmi pemerintah, sebagian besar Biro statistik, dan tidak lengkap. Sumber data adalah memberikan pada dasar tiap Tabel. Rincian bagaimana tiap Tabel yang dibuat terdapat di Bab 2. Bermaksuk untuk menambahkan dalam laporan sebagai informasi yang akan ada selanjutnya.

2.0 DAFTAR PERSIAPAN 2.1 Umum Bagian ini menguraikan sumber dan persiapan tiap Tabel. Berikut ini komentar umum yang diajukan untuk beberapa atau seluruh Tabel. • Data dalam SOP adalah seteliti sumber pokok.

• Kemungkinan ada sumber lain dengan variasi angka-angka, tanah hutan merupakan contoh yang baik, jadi pilihan terakhir untuk digunakan harus mempertimbangkan relefansinya dan usulan yang mana angka-angka akan dimasukkan.

• Beberapa data kemungkinan tidak tepat dan tidak seharusnya digunakan, termasuk di dalam SOP ini untuk menggambarkan luasnya informasi yang diperlukan untuk keberhasilan manajemen lingkungan.

• Catatan untuk beberapa Tabel menerangkan secara terperinci.

• Sedikit variasi mungkin terjadi dalam angka dan jumlah, pada saat dibandingkan dengan sumber, karena ada pembulatan angka-angka.

• Penunjukkan tempat daerah yang digunakan oleh Bapedal ditentukan dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 77/1994 kurang Timor Timur adalah:

Daerah 1 – delapan Propinsi, yaitu:

DI Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

Daerah 2 – tiga Propinsi, yaitu: Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

dhie5.0/SOP Statistics/Indo 3

Daerah 3 – enam Propinsi, yaitu:

Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Irian Jaya

Daerah 4 – sembilan Propinsi, yaitu:

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur

2.2 Tabel-tabel Tabel A: Statistik Internasional menyajikan beberapa informasi umum atas beberapa

negara lain untuk memberikan penetapan internasional untuk Indonesia. Sebagian angka berasal dari Tabel 13.1, 13.2, 13.5, dan 13.7 di dalam Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997.

Tabel B: Statistik Daerah, jumlah keseluruhan sekarang ini untuk tiap empat daerah

BAPEDAL dan untuk Indonesia diambil dari Tabel 1 sampai dengan 14 dalam penerbitan.

Tabel C: Petunjuk Kesejahteraan menurut Propinsi/Daerah (1997), telah diambil angka

yang berhubungan dengan tabel di Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997 dan atau beberapa Tabel 1 sampai dengan 14 di terbitan ini.

Tabel 1: Pembagian Daerah Administrasi oleh Propinsi/Daerah (1997), diambil dari

Tabel 1.1 dan angka pegawai pemerintah dari Tabel 3.2.15 di Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997.

Tabel 2: Luas, Jumlah Penduduk dan Kepadatan per Propinsi/Daerah (1997), dibuat

dari Tabel A.I.1.1 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Tabel 3: Luas Daerah Pengaliran (beberapa) dan Rata-rata Harian (1995) ada di

rumusan Tabel 1.3 dalam Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997. Tabel 4: Panjang Jalan menurut Propinsi/Daerah (1995) berasal dari Tabel A.I.1.4

dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Tabel 5: Penggunaan Lahan menurut Propinsi/Daerah (1996), diambil dari Tabel

5.1.1 sebagian besar dari data dan Tabel 5.3.1 untuk kehutanan, dalam Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997. Perlu dicatat bahwa sumber-sumber lain

dhie5.0/SOP Statistics/Indo 4

untuk beberapa data ini, contohnya, kehutanan, dan mungkin merubah-rubah dari sumber ke sumber. Tabel 5 adalah tidak lengkap untuk kota dan daerah lainnya karena sumber yang tidak dapat ditemukan saat penulisan.

Tabel 6: Tenaga Kerja Industri Utama menurut Propinsi/Daerah (1997), berasal dari

Tabel 3.2.4 dalam Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997. Tabel 7: Produksi Bahan Makanan Utama menurut Propinsi/Daerah (1997), berasal

dari Tabel A.II.1.1 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Tabel 8: Produksi Ikan dan Udang menurut Propinsi/Daerah (1995), adalah kumpulan

dari Tabel A.II.1.10, A.II.1.12, dan A.II.14 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997.

Tabel 9: Akomodasi Pariwisata menurut Propinsi/Daerah (1997), adalah kumpulan

dari Tabel 8.6.1, 8.6.3, Buku Tahunan Statistik Indonesia, 1997. Tabel 10: Jumlah Kendaraan menurut Propinsi/Daerah (1996), diambil dari Tabel

A.I.1.16 dengan orang/kendaraan dari Tabel A.I.17 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997.

Tabel 11: Pemakaian Listrik (1995), adalah kumpulan dari Tabel A.II.21 dalam

Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Tabel 12: Pencemaran Udara dari Industri menurut Propinsi/Daerah (1996), adalah

kumpulan dari Tabel A.II.2.1 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Angka hitungan propinsi tidak tersedia yang mana mengurangi nilai Tabel, sebagai keyakinan atas ketelitian beberapa catatan angka-angka.

Tabel 13: Perkiraan Emisi Kendaraan menurut Propinsi/Daerah (1996), adalah

kumpulan dari Tabel A.II.2.7 sampai dengan A.II.2.9 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997.

Tabel 14: Beban Limbah Industri di beberapa Sungai (1995/1997), adalah kumpulan dari

Tabel B.II.2.4 dan B.II.2.5 dalam Statistik Lingkungan Indonesia, 1997. Merupakan catatan data untuk sungai-sungai di Daerah 2 dan 3 tidak termasuk di Tabel dan sumber-sumber data alternatif tidak terdapat pada saat penulisan.

dhie5.0/SOP Statistics/International/Eng 5

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

3.0 TABLES TABEL

TABLE A: INTERNATIONAL STATISTICS (1997) TABEL A : STATISTIK INTERNATIONAL (1997)

TRADE BALANCE NERACA PERDAGANGAN

COUNTRY

NEGARA

POPULATION

PENDUDUKAN (mil./juta)

GDP GDP

(bil./mil.)

CPI CPI IMP./IMP.

(USD M/J) EXP./EKS. (USD M/J)

INDONESIA MALAYSIA PHILIPPINES SINGAPORE THAILAND KOREA (Rep.) JAPAN HONG KONG CHINA AUSTRALIA USA

202

22

74

3

61

46

7

1,230

18

624,337

277

2,452

143

4,827

420,987

503,000

1,327

6.6

2.7

4.9

2.5

6.9

4.9

2.0

6.9

0.3

2.5

59,148

18,887

18,413

65,296

17,487

37,123

172,389

100,501

31,732

430,760

53,444

19,702

11,791

61,766

14,129

29,789

205,379

86,699

31,068

340,197

Source: Statistical Year Book of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Regional/Eng 6

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE B: REGIONAL STATISTICS TABEL B : STATISTIK WILAYAH TAB. TAB. NO.

NAME NAMA

UNIT UNIT

REGION 1 WILAYAH 1

REGION 2 WILAYAH 2

REGION 3 WILAYAH 3

REGION 4 WILAYAH 4

INDONE-SIA

1 ADMIN. UNITS PEMBAGIAN ADM. Regencies Kabupaten Municipalities Kotamadya Districts Kecamatan Villages Desa Civil Serv. Provincial Pegawai Propinsi Civil Serv./Pop. Pegawai/Pendudukan

1997 no. no. no. no. no. 1,000

55

21

882

21,560

884,538

20.81

26

3

236

3,117

239,784

22.87

49

9

640

10,540

539,463

29.22

106

32

2,208

30,826

(1)

2,395,956

18.46

236

65

3,966

66,103

(1)

4,059,741

20.17

2 AREA, POPULATION AND DENSITY LUAS, PENDUDUK DAN KEPADATAN Area Luas Area Indonesia Luas Indonesia Population Pendudukan Population Indonesia Pendudukan Indonesia Density Kepadatan Growth Pertumbuhan

1997

km2 % 000 % Per/ km2 %

473,481

24.86

42,500

21.12

90

2.21

73,614

3.87

10,484

5.21

142

1.62

685,704

36.00

18,462

9.18

27

2.09

671,646

35.27

129,789

64.50

193

1.56

1,904,445

100.00

201,235

100.00

106

1.73

3 CATCHMENT AREAS (Incomplete) LUAS DAERAH PENGALIRAN (Tidak lengkap)

4 LENGTH OF ROADS PANJANG JALAN National Negara Province Propinsi Regency Kabupaten Munipical Kotamadya Total/jumlah

1995

km km km km km

8,853

17,586

77,173

11,037

114,649

2,308

4,127

23,856

465

30,756

6,280

11,517

53,754

2,624

74,175

9,465

16,519

103,609

15,815

145,408

26,906

49,749

258,392

29,941

364,988

5 LAND UTILIZATION PENGGUNAAN LAHAN Area Luas Urban Kota Rural Desa Cultivation Ladang Grazing Padang Rumput Fallow Kosong Fish Ponds Tambak Estates Perkebunan

1996 000 ha 000 ha 000 ha 000 ha 000 ha 000 ha 000 ha 000 ha

47,349

1,882

4,319

557

2,260

245

8,076

7,362

194

821

575

803

15

355

68,570

439

1,686

500

1,255

149

2,252

67,165

2,777

4,738

324

3,018

213

3,803

190,445

5,292

11,564

1,956

7,336

622

14,486

dhie5.0/SOP Statistics/Regional/Eng 7

TAB. TAB. NO.

NAME NAMA

UNIT UNIT

REGION 1 WILAYAH 1

REGION 2 WILAYAH 2

REGION 3 WILAYAH 3

REGION 4 WILAYAH 4

INDONE-SIA

Woodland Tanaman Kayu Forests Hutan Wetland Sawah Other Lain-lain

000 ha 000 ha 000 ha 000 ha

3,932

24,275

2,437

814

2,993

400

1,078

54,836

963

3,619

38,932

4,739

9,443

121,036

8,539

6 MAIN INDUSTRY WORKFORCE PENDUDUK BEKERJA LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA Main Industry Lapangan Pekerjaan Utama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total/jumlah

1997 no. no. no. no. no. no. no. no. no. no. no.

9,410,925 153,594

1,353,904 43,990

655,604 2,950,628

676,855 76,937

2,353,503 433

17,676,373

2,624,189 70,612

681,947 9,271

230,376 819,943 157,659

35,845 627,254

0 5,257,096

4,139,851 45,076

508,286 17,350

231,147 1,216,184

264,809 18,965

1,190,041 0

7,631,709

19,409,934 626,950

8,654,592 161,868

3,072,168 12,217,323

3,033,730 523,633

8,410,586 2,728

56,113,512

35,584,899 896,232

11,189,729 232,479

4,189,295 17,204,078

4,133,053 655,380

12,581,384 3,161

86,678,690

7 MAJOR FOODCROP PRODUCTION PRODUKSI BAHAN MAKANAN UTAMA Paddy Padi Maize Jagung Cassava Ubi Kayu Sweet Potato Ubi Jalar Peanut Kacang Tanah Soy Bean Kacang Kedelai Total/jumlah

1996 000 T 000 T 000 T 000 T 000 T 000 T 000 T

11,612.2

1,588.7

4,174.4

437.6

112.8

290.2

18,215.9

2,589.6

703.2

1,160.5

203.2

52.0

169.9

4,878.4

5,220.1

1,081.5

1,582.6

498.2

100.8

105.0

8,588.2

31,107.7

5,667.7

9.926.1

874.4

477.0

943.4

48,996.3

50,529.6

9,041.1

16,843.6

2,013.4

742.6

1,508.5

80,678.8

8 PRODUCTION FISH AND SHRIMP PRODUKSI IKAN DAN UDANG Ponds/Tambak • Fish/Ikan • Shrimp/Udang Inland Sungai Marine/Laut • Fish/Ikan • Shrimp/Udang

1995

no. no. no. no. no.

127,877 35,408 93,092

968,680 1,935

9,883 58,677

3,688

263,170 5,959

95,011 258

35,390

949,585 78,954

407,921 281,632 197,496

1,109,346 6,868

640,692 497,986 329,666

3,290,781 95,274

9 TOURISM ACCOMMODATION AKOMODASI PARIWISATA Accommodation Akomodasi Rooms Kamar

1997

no. no.

1,971

44,804

1,762

40,404

1,060

19,396

4,863

124,756

9,650

229,360

dhie5.0/SOP Statistics/Regional/Eng 8

TAB. TAB. NO.

NAME NAMA

UNIT UNIT

REGION 1 WILAYAH 1

REGION 2 WILAYAH 2

REGION 3 WILAYAH 3

REGION 4 WILAYAH 4

INDONE-SIA

Beds Tempat Tidur Occupancy/Penghunian • Star/Berbintang • Non-Star/Biasa Length/Lama • Star/Berbintang • Non-Star/Biasa

no. % % d/h d/h

77,465 72,976 33,616 208,824 392,881

43.6 31.0

2.2 1.6

10 NUMBER OF VEHICLES BANYAKNYA KENDARAAN BERMOTOR Cars Mobil Buses Bis Trucks Truk Motorcycles Sepeda Motor Total/jumlah Vehicles/kendaraan

1996 no. no. no. no. no. 10.000p

290,681

81,639

301,979

1,729,787

2,404,086566

86,332

14,961

56,707

542,000

700,000668

105,736

46,586

108,431

611,557

872,310473

1,922,339

451,383

963,696

7,166,489

10,503,907 809

2,405,088

594,569

1,430,813

10,049,833

14,480,303720

11 ELECTRICITY CONSUMPTION KONSUMSI TENAGA LISTRIK Consumption Konsumsi Consumption/Capita Konsumsi/Kapita Load/Capita Daya Ters./Kapita Elect. Ratio Rasio Elekt.

1995

(Gwh) (kwh) (kVA) (%)

5,091.3

124.7

966.4

92.2

1,586.8

89.3

37,758.4

301.6

45,402.9

225.6

0.12

39.8

12 AIR POLLUTION MANUFACTURING INDUSTRY PENCEMARAN UDARA DARI INDUSTRI PENGOLAHAN Dust Debu SO 2 NO 2 HC CO Others Lainnya

1996 ton/year ton/year

ton/year

ton/year

ton/year

ton/year

14,425,805

248,532 603,251

287,591,010 76,237

10,985,601

13,184

NA NA NA NA 20

491,590

NA 442,128

NA 85

711,373

19,980,598

264,418 2,727,004

75,247,034 636,276

14,463,598

34,911,177

512,950 3,772,383

362,838,044 712,598

26,160,592

13 ESTIMATIONS OF CO, NOx, & HC (5) VEHICLE EMISSIONS PERKIRAAN EMISI CO, NOx, & HC DARI KENDARAAN BERMOTOR CO COx HC

1996 ton/year ton/year ton/year

1,642,660 79,841

140,350

478,099 23,240 40,881

596,010 28,975 50,930

7,177,120 348,888 613,257

9,893,889 480,944 845,418

14 INDUSTRIAL WASTE POLLUT. LOADING (Incomplete) BEBAN LIMBAH INDUSTRI (Tidak lengkap)

1995/1997

dhie5.0/SOP Statistics/Regional/Eng 9

Notes/catatan : Table/Tabel 1: (1) Includes (termasuk) 1,153 and (dan) 0.03% overseas (luar negeri) Table/Tabel 6: 1 Agriculture, forestry, fisheries / Pertanian, kehutanan, perikanan

2 Mining and quarrying / pertambangan dan penggalian 3 Manufacturing industry / industri pengolahan 4 Electricity, gas, water / listrik, gas, air 5 Construction / bangunan 6 Trade, restaurants, hotels / perdagangan, rumah makan, hotel 7 Transportation, communication / angkutan, komunikasi 8 Finance, real estate, business services / keuangan, persewaan bangunan, jasa perusahaan 9 Public services / jasa kemasyarakatan 10 Others / lainnya.

Table/Tabel 13: (5) CO – carbon monoxide; NOx – nitrogen oxides; HC - hydrocarbons

dhie5.0/SOP Statistics/Welfare Indicators/Eng 10

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE C: WELFARE INDICATORS BY PROVINCE/REGION (1997) TABEL C : PENUNJUKAN KEMAKMURAN MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1997)

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

AREA LUAS

(km2)

POPUL-ATION

PENDUDU-KAN

(000)

DENSI-TY

KEPADAT-AN

(Per/km2)

HOUSE- HOLDS

RM. TANGGA

(000)

PCGRD

P (1)

(Rp 000)

LEVEL 1 REVENUES PENERIMAAN

PROPINSI

(Rp mil)

W’FOR-CE (2) PEND. KERJA

(000)

POV-ERTY

(3) PEND.

MISKIN (%)

VEHI-CLES (3)

KENDA-RAAN

(000)

TELE-PHONES TELEPON

(3)

(000)

PIPED WATER

AIR LEDENG

(% HH/RT)

TOI-LETS

TEMP. AIR BESAR

(%HH/RT)

ELECT-RICITY LISTRIK

(%HH/RT)

STUD./ TE-

ACH. MURID/ GURU

P/HOS. BED (3)

P/RS TEMP. TIDUR

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

55,392

70,787

49,778

94,561

44,800

103,688

21,168

33,307

4,016

11,541

4,454

4,097

2,476

7,532

1,476

6,908

73 (15) 163

(9) 89

(12) 43

(18) 55

(17) 73

(15) 70

(16) (7) 207

872

2,582

1,079

957

594

1,717

353

1,638

3,702 (5)

2,470 (8)

2,142 (15)

5,882 (3)

1,624 (19)

2,285 (10)

1,545 (20)

1,356 (23)

255,366

673,820

167,120

307,088

129,581

257,984

96,332

166,647

1,661

4,768

1,857

1,634

1,010

3,134

703

2,910

10.79 (16)

10.92 (17)

8.76 (7)

7.94 (3)

9.06 (8)

10.72 (15)

9.37 (10)

10.65 (14)

217

949

224

304

(4)

710

(4)

(4)

41.9

195.7

65.7

90.8

28.9

88.4

16.9

59.5

12.82 (21)

26.25 (6)

22.52 (8)

8.09 (25)

18.27 (15)

21.41 (11)

15.62 (17)

(26) 6.15

52.62 (14)

68.92 (5)

32.20 (25)

78.98 (1)

58.97 (8)

56.98 (10)

55.85 (11)

73.49 (3)

61.94 (18)

76.51 (9)

64.41 (13)

64.05 (14)

57.85 (21)

60.09 (19)

61.97 (17)

42.34 (24)

23.72 (25)

19.55 (18)

18.26 (10)

22.06 (24)

18.40 (11)

21.26 (22)

18.45 (12)

20.13 (20)

2,032 (17) 965

(3) 1,347

(8) 2,204

(19) 2,626

(22) 1,792

(14) 2,443

(21) 3,887

(25)

Sumatra Sumatera

473,481 42,500 90 9,792 2,586 2,053,938 17,677 10.18 2,404 587.8 17.80 62.00 62.42 19.78 1,595

REGION I WILAYAH I

473,481 24,500 90 9,792 2,586 2,053,938 17,677 10.18 2,404 587.8 17.80 62.00 62.42 19.78 1,595

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

5,561

20,177

47,876

2,953

3,796

3,735

531 (6)

188 (8) 78

(14)

751

926

760

2,916 (7)

1,062 (25) 902 (26)

185,873

109,170

129,102

1,682

1,810

1,765

4.29 (2)

17.61 (22)

20.57 (24)

(5)

(5)

(5)

89.4

24.4

19.0

46.15 (2)

14.39 (18)

16.39 (16)

50.70 (15)

31.71 (26)

64.46(6)

92.10 (2)

74.15 (10)

27.72 (26)

13.80 (3)

21.99 (23)

20.58 (21)

1,043 (5)

3,908 (26)

2,143 (18)

REGION 2 WILAYAH 2

73,614 10,484 142 2,437 1,518 424,145 5,257 14.72 700 132.8 23.68 47.89 65.29 18.57 1,885

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

19,023

69,726

72,781

27,688

2,730

2,017

7,828

1,672

144 (10) 29

(19) 108 (11) 60

(17)

685

480

1,725

363

1,777 (16)

1,502 (22)

1,522 (21)

1,272 (24)

120,467

210,103

242,941

100,493

1,109

938

3,023

742

10.60 (13)

8.18 (5)

8.02 (4)

8.48 (6)

96

153

499

(6)

37.6

21.4

89.9

11.5

27.90 (5)

21.90 (9)

21.45 (10)

24.65 (7)

54.49 (12)

44.18 (21)

49.84 (17)

57.67 (9)

78.70 (8)

58.39 (20)

66.30 (12)

44.99 (23)

13.69 (1)

16.54 (6)

16.70 (7)

19.52 (17)

1,003 (4)

1,621 (12)

1,410 (10)

2,350 (20)

dhie5.0/SOP Statistics/Welfare Indicators/Eng 11

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

AREA LUAS

(km2)

POPUL-ATION

PENDUDU-KAN

(000)

DENSI-TY

KEPADAT-AN

(Per/km2)

HOUSE- HOLDS

RM. TANGGA

(000)

PCGRD

P (1)

(Rp 000)

LEVEL 1 REVENUES PENERIMAAN

PROPINSI

(Rp mil)

W’FOR-CE (2) PEND. KERJA

(000)

POV-ERTY

(3) PEND.

MISKIN (%)

VEHI-CLES (3)

KENDA-RAAN

(000)

TELE-PHONES TELEPON

(3)

(000)

PIPED WATER

AIR LEDENG

(% HH/RT)

TOI-LETS

TEMP.AIRBESAR

(%HH/RT)

ELECT-RICITY LISTRIK

(%HH/RT)

STUD./ TE-

ACH. MURID/ GURU

P/HOS. BED (3)

P/RS TEMP. TIDUR

Sulawesi

189,218 14,247 75 3,253 1,539 674,004 5,812 8.59 748 160.4 23.06 50.85 65.36 16.33 1,392

Maluku Irian Jaya

74,505

421,981

2,169

2,046

29 (19) 5

(23)

467

489

1,698 (18)

4,061 (4)

117,040

291,885

830

990

19.47 (23)

21.17 (25)

51

73

26.4

37.3

20.42 (12)

18.61 (13)

37.15 (23)

42.66 (22)

62.21 (16)

38.10 (25)

19.39 (16)

19.00 (13)

1,363 (9)

1,204 (7)

REGION 3 REGION 3

685,704 18,462 27 4,209 1,823 1,082,929 7,632 11.29 872 224.1 22.24 48.37 61.84 16.97 1,365

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

590

46,300

34,206

3,169

47,921

9,420

40,554

30,420

2,958

34,508

15,966 (1)

876 (4)

889 (3)

934 (2)

720 (5)

2,200

10,258

7,444

812

9,189

8,809 (2)

2,185 (13)

1,740 (17)

2,157 (14)

2,241 (12)

2,972,350

1,646,283

1,500,398

213,380

1,692,519

3,624

15,307

14,128

1,494

16,589

2.48 (1)

9.88 (11)

13.91 (20)

10.42 (12)

11.86 (19)

3,398

1,243

2,577

(7)

2,499

1,452.3

537.9

281.9

49.8

670.4

53.51 (1)

14.13 (19)

13.88 (20)

11.77 (24)

18.40 (14)

75.25 (2)

48.36 (19)

49.14 (18)

63.36 (7)

45.81 (20)

99.61 (1)

86.74 (4)

86.00 (5)

90.49 (3)

82.13 (7)

19.05 (14)

25.41 (26)

20.11 (19)

13.79 (2)

17.81 (8)

615 (1)

2,754 (23)

1,750 (13) 837

(2) 1,947

(16) Java Jawa

132,186 117,860 892 29,903 2,612 8,024,930 51,142 10.90 9,717 2,992.2 18.21 50.16 86.19 20.55 1,717

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

146,760

152,600

37,660

202,440

3,801

1,700

2,997

3,431

26 (20) 11

(22) 80

(13) 17

(21)

842

427

762

564

2,246 (11)

3,127 (6)

2,408 (9)

10,462 (1)

142,831

232,520

208,754

290,275

1,690

801

1,489

991

21.98 (26)

11.24 (18)

14.33 (21)

9.24 (9)

205

82

267

233

42.3

19.0

48.3

60.8

12.15 (23)

12.79 (22)

31.30 (4)

41.58 (3)

53.80 (13)

35.93 (24)

49.87 (16)

69.93 (4)

63.20 (15)

57.65 (22)

70.48 (11)

84.29 (6)

19.24 (15)

14.85 (4)

15.44 (5)

18.16 (9)

1,794 (15)

3,047 (24)

1,578 (11)

1,077 (6)

Kalimantan

539,460 11,929 22 2,595 4,262 874,380 4,971 15.45 787 170.4 24.32 53.18 68.98 17.19 1,599

REGION 4 WILAYAH 4

671,646 129,789 193 32,498 2,717 8,899,310 56,113 11.28 10,504 3,162.6 18.70 50.40 84.81 20.17 1,706

INDONESIA

1,904,445 201,235 106 48,936 2,717 12,460,322 86,679 11.21 14,480 4,107.3 19.22 52.48 77.39 19.60 1,653 5 Source: Statistical Year Book of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Indonesia,1997. (3) 1996 (6) Included in South Sulawesi Notes : (1) Per Capita Gross Regional Domestic Product, 1996. 1996 Termasuk Sulawesi Selatan Catatan: Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita, 1996. (4) Included in South Sumatra (7) Included in Central Java

(2) Population 10 years and over who worked during the previous week. Termasuk Sumatera Selatan Termasuk Jawa Tengah Penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu. (5) Included in Region 2 (8) Italic numbers in brackets show rankings.

Termasuk Wilayah 2 Nomor miring dalam kurung adalah ranking menurut propinsi.

dhie5.0/SOP Statistics/Administrative Units/Eng 12

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 1: NUMBER OF ADMINISTRATIVE UNITS BY PROVINCE/REGION (1997) TABEL 1 : PEMBAGIAN DAERAH ADMINISTRASI PROPINSI/WILAYAH (1997)

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

REGENCI-ES

KABUPATEN

MUNICI - PALITIES

KOTAMADYA

DISTRIC-TS

KECAMATAN

VILLAGES

DESA

CIVIL SERV.

PEGAWAI

CS/1,000

PEG/1,000

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

9 11

8

5 5 8

3 6

2 6

6

2 1 2

1 1

142 252

114

91 60

110

31 82

5,596 5,269

2,180

1,350 1,148 2,881

1,141 1,995

97,270 237,382

125,323

83,985 60,118

133,401

43,050 104,009

24.22 20.57

28.14

20.50 24.28 17.71

29.17 15.06

Sumatra Sumatera

55 21 882 21,560 884,538 20.81

REGION I WILAYAH I

55 21 882 21,560 884,538 20.81

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

8 6

12

1 1 1

51 61

124

649 636

1,892

86,202 70,777 82,805

29.19 18.65 22.17

REGION 2 WILAYAH 2

26 3 236 3,177 239,784 22.87

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

4

4

21

4

3

1

2

1

93

69

185

64

1,481

1,400

2,914

891

92,564

57,522

198,843

51,855

33.91

28.52

25.40

31.01

Sulawesi 33 7 411 6,686 400,784 28.13Maluku Irian Jaya

4 12

1 1

56 173

1,559 2,295

64,328 74,351

29.66 36.34

REGION 3 WILAYAH 3

49 9 640 10,540 539,463 29.22

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

0 20

29

4

29

5 6

6

1 8

43 529

533

75

615

265 7,169

8,530

438

8,426

354,126 565,166

539,116

108,308 558,323

37.59 13.94

17.72

36.62 16.18

Java Jawa

82 26 1,795 24,828 2,125,039 18.03

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

6

5

9

4

1

1

1

3

124

85

117

87

1,402

1,234

2,169

1,193

76,541

53,553

79,637

61,186

20.14

31.50

26.57

17.83

Kalimantan 24 6 413 5,998 270,917 22.71REGION 4 WILAYAH 4

106 32 2,208 30,826 2,395,956 18.46

INDONESIA 236 65 3,966 66,103 4,059,741 (1)

20.17(1)

Source : Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997. Note (catatan): (1) Includes (termasuk) 1,153 and (dan) 0.03% overseas (luar negeri).

dhie5.0/SOP Statistics/Population & Density/Eng 13

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 2: AREA, POPULATION AND DENSITY BY PROVINCE/REGION (1997) TABEL 2 : LUAS, PENDUDUK DAN KEPADATANNYA MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1997)

PROVINCE/REGION PROPINSI/WILAYAH

AREA LUAS (km2)

AREA/LUAS INDONESIA

(%)

POP/PEND.

(000)

POP/PEND. INDONESIA

(%)

DENSITY KEPADATAN (Per /km2)

GROWTH PERTUMB.

(%)

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

55,392 70,787

49,778

94,561 44,800

103,688

21,168 33,307

2.91 3.72

2.61

4.97 2.35 5.44

1.11 1.75

4,016 11,541

4,454

4,097 2,476 7,532

1,476 6,908

2.00 5.74

2.21

2.04 1.23 3.74

0.73 3.43

73 163

89

43 55 73

70

207

2.34 1.71

1.55

3.23 2.96 2.56

3.26 1.99

Sumatra Sumatera

473,481 24.86 42,500 21.12 90 2.21

REGION I WILAYAH I

473,481 24.86 42,500 21.12 90 2.21

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

5,561 20,177 47,876

0.30 1.06 2.51

2,953 3,796 3,735

1.46 1.89 1.86

531 188

78

0.88 1.72 1.93

REGION 2 WILAYAH 2

73,614 3.87 10,484 5.21 142 1.62

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

19,023

69,726

72,781

27,688

1.00

3.66

3.82

1.45

2,730

2,017

7,828

1,672

1.36

1.00

3.89

0.83

144

29

108

60

1.40

2.45

1.65

3.11

Sulawesi 189,218 9.93 14,247 7.08 75 1.88Maluku Irian Jaya

74,505 421,981

3.91 22.16

2,169 2,046

1.08 1.02

29 5

2.27 3.30

REGION 3 WILAYAH 3

685,704 36.00 18,462 9.18 27 2.09

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

590 46,300

34,206

3,169

47,921

0.03 2.42

1.80

0.17 2.52

9,420 40,554

30,420

2,958

34,508

4.68 20.15

15.12

1.47

17.15

15,966 876

889

934 720

1.95 1.97

0.93

0.22 0.87

Java Jawa

132,186 6.94 117,860 58.57 892 1.32

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

146,760

152,600

37,660

202,440

7.71

8.01

1.98

10.63

3,801

1,700

2,997

3,431

1.89

0.84

1.49

1.71

26

11

80

17

2.36

2.86

2.07

9.02

Kalimantan 539,460 28.33 11,929 5.93 22 3.95REGION 4 WILAYAH 4

671,646 35.27 129,789 64.50 193 1.56

INDONESIA

1,904,445 100.00 201,235 100.00 106 1.73

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/River Catchment/Eng 14

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 3: RIVER CATCHMENT AREAS (SEVERAL) AND DAILY AVERAGE FLOWS (1995) TABEL 3 : LUAS DAERAH PENGALIRAN (BEBERAPA) RATA-RATA HARIAN ALIRAN SUNGAI (1995)

PROVINCE/RIVER

PROPINSI/SUNGAI

LOCATION

LOKASI

CATCH-MENT

PENGALIR-AN

(km2)

AV.FLOW

RR.ALIRAN

(m3/sec)

AV. FLOW

RR.ALIRAN

(l/sec/km2)

DEPTH

TINGGI

(mm)

YEAR VOL.

VOL. TAHUN (106 m3)

REGION I/WILAYAH I

DI Aceh Krueng Aceh Krueng Langsa Krueng Tamiang North Sumatra Sumatera Utara S. Langkat S. Belawan S. Asahan West Sumatra Sumatera Barat Bt. Hari Riau S. Siak Bt. Kampar Jambi Bt. Hari South Sumatra Sumatera Selatan Air Musi S. Musi Bengkulu A. Bengkulu A. Ketahun Lampung Way. Komering Way. Seputih Way. Sekampung

Kamp. Darang Kamp. Pentow Kuala Simpang S. Wampu-Stabat Asam Kumbang S. Silau-Kisarang Naga S. Dareh S. Tapung Kiri-Pantai Cermin Bt. Kampar Kanan-Bingkuang Bt. Hari-Sei Duren S. Lematang-S Rotan S. Musi-Mambang A. Bengkulu-Taba Trujam A. Ketahun-Tunggang Way Saka-Bunga Mayang Way Seputih-Buyut Udik Way Argoguruh-Tigemeneng

1,291 95

4,496

3,809 201

1,046

4,952

1,716

4,000

38,704

6,990 7,745

444

969

432

1,648

1,975

34.7 3.7

286.0

247.0 15.2 53.8

385.0

89.5

276.0

2,477.0

435.0 343.0

31.8

78.6

42.5

40.6

74.0

26.9 39.2 63.6

64.8 75.5 51.4

77.8

52.2

69.1

64.0

62.3 44.3

71.7

81.2

98.5

24.6

37.5

850 1,238 2,013

2,045 2,380 1,625

2,440

1,640

2,160

2,007

1,958 1,384

2,248

2,556

3,100

776

1,173

1,097 118

9,049

7,788 479

1,700

12,082

2,815

8,640

77,440

13,718 10,817

998

2,476

1,339

1,278

2,316

REGION 2/WILAYAH2 Bali Tk. Mendaum Tk. Penarukan Tk. Melangit Tk. Sangsang Tk. Balian Nusa Tenggara Barat K. Babak Nusa Tenggara Timur K. Ae Sesa K. Noil Benain

Tk. Mendaum-Bestala Tk. Penarukan-Sudaji Tk. Melangit-Kembengan Tk. Sangsang-Peteluan Tk. Balian-Lalanglinggah K. Dodokan-Karanganyar Ae Sesa-Boasabi Noil Benain-Nunbei

23 31 51

40

152

529

1,089 3,325

0.6 2.2 0.1

0.8 1.2

16.9

23.5 75.9

28.0 70.0

2.2

19.6 8.0

32.0

21.6 22.8

876 2,195

70

618 251

1,005

677 716

20 69

4

25 38

531

737 2,380

dhie5.0/SOP Statistics/River Catchment/Eng 15

PROVINCE/RIVER

PROPINSI/SUNGAI

LOCATION

LOKASI

CATCH-MENT

PENGALIR-AN

(km2)

AV.FLOW

RR.ALIRAN

(m3/sec)

AV. FLOW

RR.ALIRAN

(l/sec/km2)

DEPTH

TINGGI

(mm)

YEAR VOL.

VOL. TAHUN (106 m3)

REGION 3/WILAYAH 3 North Sulawesi Sulawesi Utara S. Topudu S. Bolango S. Paguyaman S. Randangan S. Tondano Central Sulawesi Sulawesi Tengah S. Tambalako S. Palu S. Buol South Sulawesi Sulawesi Selatan S. Kalaena S. Baliase S. Jenemeja S. Cenranae S. Jeneberang S. Sadang S. Mapili South East Sulawesi Sulawesi Tenggara S. Lawe Lalindu S. Lawe Sampara Maluku Way Apu Way Isal Irian Jaya S. Bumi S. Baliem

S. Limboto-Topudu S. Lowuo-Lowuo S. Paguyaman-Parungi S. Randangan-Motolohu S. Tondano-Kairagi S. Tambalako-Kumpi S. Palu-Palu S. Buol-Air Torang S. Kalaena-Toremu S. Baliase-Baliase S. Jenemeja-Noling S. Cenrana-Tampangeng S. Jeneberang-Kampili S. Sadang-Kabere S. Maloso-Batusimbayo L. Lalindu-Lamonae L. Kanoweha-Wawalemo Way Geren-Tifu Way Isal-Pasahari S. Bumi Hulu-Topo S. Baliem-Pikhe

950 491

1,887 2,452

421

1,353 3,062 1,413

1,070 855 783

6,438 647

5,760 1,390

2,974 5,625

392 354

552

2,688

11.9 54.5

142.0 119.0

12.7

75.9 124.0 120.0

95.4 73.2 45.2

232.0 68.6

264.0 92.2

258.0 185.0

18.0 21.1

41.2

290.0

12.6 111.0

75.1 48.6

30.2

56.1 40.4 85.1

89.2 85.7 57.7 36.0

106.0 45.8 66.4

86.7 33.0

45.8 59.6

74.6

108.0

398 3,510 2,374 1,536

948

1,765 1,277 2,675

2,806 2,696 1,817 1,141 3,341 1,437 2,093

2,732 1,045

1,447 1,872

2,349 3,396

378 1,724 4,478 3,766

400

2,389 3,909 3,779

3,003 2,305 1,423 7,344 2,161 8,279 2,909

8,124 5,877

567 662

1,297 9,125

REGION 4/WILAYAH 4 JAVA DKI Jakarta K. Angke K. Ciliwung K. Sunter West Java Jawa Barat S. Cimanceuri S. Cisadane K. Angke K. Ciliwung S. Cisadane S. Citarum Central Java Jawa Tengah K. Comal K. Blorong K. Garang S. Serang B. Solo

K. Pesanggrahan-Kb. Jeruk K. Krukut-Bendungan Hilir K. Sunter-Cipinang Muara S. Cimanceuri-Kutruk S. Cisadane-Babakan K. Pesanggrahan-Sawangan K. Ciliwung-Sugutamu S. Cisadane-Legokmuncang S. Citarum-Nanjung

K. Comal-Jatirejo K. Blorong-Kedungpucung K. Garang-Panjangan K. Serang-Muncar B. Solo-Jurug

123

60

138

449 1,146

56

267 196

1,675

739 158

190

98 3,207

13.3

8.2

8.9

14.1 53.7

1.7

26.5 10.2

73.2

41.1 7.0

8.6 5.2

106.0

108.0

137.0

64.5

31.3 46.9 30.1

99.6 52.1

43.7

55.6 44.3

45.4 53.5 33.1

3,392

4,300

2,028

985 1,477

940

3,135 1,643

1,377

1,717 1,389

1,425 1,672 1,029

417

257

279

442 1,692

53

836 322

2,306

1,270 219

270 163

3,301

dhie5.0/SOP Statistics/River Catchment/Eng 16

PROVINCE/RIVER PROPINSI/SUNGAI

LOCATION

LOKASI

CATCH-MENT

PENGALIR-AN

(km2)

AV.FLOW

RR.ALIRAN

(m3/sec)

AV. FLOW

RR.ALIRAN

(l/sec/km2)

DEPTH

TINGGI

(mm)

YEAR VOL.

VOL. TAHUN (106 m3)

DI Yogyakarta K. Opak K. Progo K. Serang East Java Jawa Timur B. Solo K. Brantas KALIMANTAN West Kalimantan Kalimantan Barat S. Pesaguan S. Kapuas S. Barito S. Kapuas S. Barito S. Mahakam

K. Opak-Karangsemut K. Progo-Kalibawang K. Serang-Durungan B. Solo-Babat K. Brantas-Mojokerto S. Pesaguan-Tumbangtiti S. Landak-Manggu S. Barito-Muara Teweh S. Kapuas-Pujon S. Tabalong-Tanjung S. Melak-S. Melak

432

1,676 88

16,286 11,196

575 3,710

30,536 4,731 2,834

25,000

20.8 97.6

5.7

531.0 182.0

32.0 548.0

1,735.0 517.0 205.0

1,647.0

48.1 58.2 64.3

32.6 16.3

55.6 148.0

56.8 109.0

72.2 65.9

1,500 1,813 2,006

1,016 510

1,752 4,663 1,792 3,424 2,270 2,078

648

3,039 177

16,545 5,714

1,007 17,301 54,705 16,199

6,432 51,943

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Roads/Eng 17

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 4: LENGTH OF ROADS (km) BY PROVINCE/REGION (1995) TABEL 4 : PANJANG JALAN (km) MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1995) PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH NATIONAL

NEGARA PROVINCE

PROPINSI REGENCY KABUPATEN

MUNIPICAL KOTAMADYA

TOTAL JUMLAH

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

1,688 1,482

992

1,006 1,009 1,094

750 832

2,592 2,916

1,369

2,809 1,632 2,879

1,259 2,130

9,190 20,726

12,904

7,742 5,631

10,271

3,349 7,360

441 4,800

2,238

1,219

563 672

371 733

13,911 29,924

17,503

12,776

8,835 14,916

5,729

11,055Sumatra Sumatera

8,853 17,586 77,173 11,037 114,649

REGION I WILAYAH I

8,853 17,586 77,173 11,037 114,649

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

486 627

1,195

718 1,532 1,877

6,187 4,794

12,875

465 0 0

7,856 6,953

15,947REGION 2 WILAYAH 2

2,308 4,127 23,856 465 30,756

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

959

969

1,681

407

1,506

2,591

1,819

1,185

6,103

5,974

22,443

5,051

950

0

1,320

0

9,518

9,534

27,263

6,643

Sulawesi 4,016 7,101 39,571 2,270 52,958Maluku Irian Jaya

775 1,489

2,347 2,069

5,492 8,691

354 0

8,968 12,249

REGION 3 WILAYAH 3

6,280 11,517 53,754 2,624 74,175

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

251 1,041

1,134

223

1,357

1,368 2,420

2,580

1,199 2,750

0 22,301

18,348

12,213 25,263

6,868 1,634

2,297

565

2,640

8,487 27,396

24,359

14,200 32,010

Java Jawa

4,006 10,317 78,125 14,004 106,452

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

1,468

2,505

690

796

2,056

1,227

1,135

1,784

7,538

9,099

5,388

3,459

295

536

320

660

11,357

13,367

7,533

6,699

Kalimantan 5,459 6,202 25,484 1,811 38,956REGION 4 WILAYAH 4

9,465 16,519 103,609 15,815 145,408

INDONESIA

26,906 49,749 258,392 29,941 364,988

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Land/Eng 18

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 5: LAND UTILIZATION (000 ha) BY PROVINCE/REGION (1996) TABEL 5 : PENGGUNAAN LAHAN (000 ha) MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1996)

URBAN/SEPERTI KOTA

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

AREA

LUAS URB./KOTA RUR./DESA

CULTIVAT- ION

LADANG/ HUMA

GRAZING

PAD. RUMPUT

FALLOW

KOSONG

FISH PONDS TAMBAK

ESTATES

PERKEBUN- AN

WOOD- LAND

TANAMAN KAYU

FORESTS

HUTAN

WETLAND

SAWAH

OTHER

LAIN-LAIN

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

5,539 7,079

4,978

9,456 4,480

10,369

2,117 3,331

292 315

101

416 136 300

79

243

559 669

441

584 515 577

194 780

174 185

31

11 13

127

15 1

209 467

109

337 171 596

199 172

72 17

23

36

9 57

4

27

644 1,683

396

1,523 1,237 1,760

322 511

255 372

609

219 526

1,601

250 100

3,169 3,848

2,600

4,786 2,482 5,043

1,043 1,304

320 537

234

228 222 518

90

288

Sumatra Sumatera

47,349 1,882 4,319 557 2,260 245 8,076 3,932 24,275 2,437

REGION I WILAYAH I

47,349 1,882 4,319 557 2,260 245 8,076 3,932 24,275 2,437

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

556 2,018 4,788

41 33

120

126 227 468

0 33

542

1 83

719

1 8 6

127 30

198

13 357 444

126 1,020 1,847

89 198 113

REGION 2 WILAYAH 2

7,362 194 821 575 803 15 355 814 2,993 400

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

1,902

6,973

7,278

2,769

93

59

173

114

365

324

671

326

53

75

279

93

136

513

253

353

8

6

125

10

322

976

540

414

93

292

475

218

1,525

4,394

3,615

2,603

89

157

628

69

Sulawesi 18,922 439 1,686 500 1,255 149 2,252 1,078 12,137 943 Maluku Irian Jaya

7,450 42,198

NA NA

NA NA

NA NA

NA NA

NA NA

NA NA

NA NA

7,265 35,434

7 13

REGION 3 WILAYAH 3

68,570 439 1,686 500 1,255 149 2,252 1,078 54,836 963

dhie5.0/SOP Statistics/Land/Eng 19

URBAN/SEPERTI KOTA

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

AREA

LUAS URB./KOTA RUR./DESA

CULTIVAT- ION

LADANG/ HUMA

GRAZING

PAD. RUMPUT

FALLOW

KOSONG

FISH PONDS TAMBAK

ESTATES

PERKEBUN- AN

WOOD- LAND

TANAMAN KAYU

FORESTS

HUTAN

WETLAND

SAWAH

OTHER

LAIN-LAIN

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

59 4,630

3,421

317

4,792

41 487

573

85

598

2 1,021

768

114

1,166

0 37

3

0 3

1 43

2

0

20

0 71

34

0

57

0 386

78

0

174

0 220

59

17 50

1 1,012

649

15

1,427

2 1,135

997

61

1,147

Java Jawa

13,219 1,784 3,071 43 66 162 638 346 3,104 3,342

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

14,676

15,260

3,766

20,244

402

217

160

214

733

352

337

245

41

69

149

22

1,544

262

224

922

4

11

18

18

1,811

602

315

437

1,284

493

251

1,245

8,731

10,675

1,839

14,583

483

286

495

133

Kalimantan

53,946 993 1,667 281 2,952 51 3,165 3,273 35,828 1,397

REGION 4 WILAYAH 4

67,165 2,777 4,738 324 3,018 213 3,803 3,619 38,932 4,739

INDONESIA

190,445 5,292 11,564 1,956 7,336 622 14,486 9,443 121,036 8,539

Source : Statistical Year Book of Indonesia, 1997. Sumber : Statistik Indonesia, 1997. Note : Several totals incomplete. Catatan: Beberapa jumlah kurang.

dhie5.0/SOP Statistics/Workforce/Eng 20

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 6: MAIN INDUSTRY WORKFORCE BY PROVINCE/REGION (1997) TABEL 6 : PENDUDUK BEKERJA LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1997)

MAIN INDUSTRY / LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TOTAL JUMLAH

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

959,222 2,433,625

814,545

731,501 556,790

1,788,573

407,715 1,718,954

12,340 13,565

13,800

51,385 11,590 43,205

5,295 2,414

107,666 322,425

175,785

161,417

67,058 211,325

41,844

266,384

8,912 15,965

5,870

5,158 1,906 4,625

666 888

55,252 161,085

77,130

48,344 30,172

109,314

27,924 146,383

225,844 918,990

428,140

264,367 149,758 472,125

98,145

393,259

48,578 228,320

62,125

74,453 36,120

116,471

21,849 88,939

7,793 38,485

7,910

7,480 3,564 7,378

3,120 1,207

235,782 635,005

271,575

289,172 153,318 380,685

96,750

291,216

0 0

0

433

0 0

0 0

1,661,389 4,767,465

1,856,880

1,633,710 1,010,276 3,133,701

703,308

2,909,644Sumatra Sumatera

9,410,925 153,594 1,353,904 43,990 655,604 2,950,628 676,855 76,937 2,353,503 433 17,676,373

REGION I WILAYAH I

9,410,925 153,594 1,353,904 43,990 655,604 2,950,628 676,855 76,937 2,353,503 433 17,676,373

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

562,782 876,417

1,184,990

25,064 42,138

3,410

249,908 232,494 199,545

4,136 1,830 3,305

108,796 82,215 39,365

391,352 299,946 128,645

57,822 73,947 25,890

26,546 6,504 2,795

255,680 194,904 176,670

0 0 0

1,682,086 1,810,395 1,764,615

REGION 2 WILAYAH 2

2,624,189 70,612 681,947 9,271 230,376 819,943 157,659 35,845 627,254 0 5,257,096

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

503,820

543,988

1,517,066

424,477

8,620

0

8,162

14,339

80,320

56,193

239,906

54,737

2,770

1,845

6,553

672

48,930

31,555

80,428

25,079

167,660

141,853

575,741

118,545

41,220

23,855

128,851

17,703

3,690

1,668

5,460

2,352

251,750

136,513

460,985

84,513

0

0

0

0

1,108,780

937,470

3,023,152

742,417

Sulawesi

2,989,351 31,121 431,156 11,840 185,992 1,003,799 211,629 13,170 933,761 0 5,811,819

Maluku Irian Jaya

453,485 697,015

2,195 11,760

42,720 34,410

2,755 2,755

24,850 20,305

128,195 84,190

27,630 25,550

3,545 2,250

144,260 112,020

0 0

829,635 990,255

REGION 3 WILAYAH 3

4,139,851 45,076 508,286 17,350 231,147 1,216,184 264,809 18,965 1,190,041 0 7,631,709

dhie5.0/SOP Statistics/Workforce/Eng 21

MAIN INDUSTRY / LAPANGAN PEKERJAAN UTAMA

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

TOTAL JUMLAH

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

6,980 4,026,438

5,615,330

501,762

6,843,040

8,376 196,372

105,525

6,114

181,484

681,248 2,705,246

2,224,111

202,968

2,363,686

30,014 45,775

26,008

2,682

41,238

196,138 1,032,188

848,809

82,530

723,572

1,170,546 3,796,751

2,789,653

324,294

3,297,736

298,744 1,165,514

565,096

45,798

746,686

166,124 126,077

62,560

12,702

127,516

1,065,148 2,213,134

1,890,946

315,090

2,262,504

698 0

0

0

1,088

3,624,016 15,307,495

14,128,038

1,493,940

16,588,550

Java Jawa

16,993,550 497,871 8,177,259 145,717 2,883,237 11,378,980 2,821,838 494,979 7,746,822 1,786 51,142,039

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

1,046,734

421,470

637,950

310,230

38,727

16,240

37,554

36,558

114,628

53,690

187,380

121,635

5,999

1,470

3,444

5,238

37,249

28,280

53,256

70,146

208,769

133,980

301,572

194,022

40,315

39,340

69,516

62,721

8,593

2,100

5,622

12,339

188,901

103,880

192,486

178,497

0

420

522

0

1,689,915

800,870

1,489,302

991,386

Kalimantan

2,416,384 129,079 477,333 16,151 188,931 838,343 211,892 28,654 663,764 942 4,971,473

REGION 4 WILAYAH 4

19,409,934 626,950 8,654,592 161,868 3,072,168 12,217,323 3,033,730 523,633 8,410,586 2,728 56,113,512

INDONESIA

35,584,899 896,232 11,198,729 232,479 4,189,295 17,204,078 4,133,053 655,380 12,581,384 3,161 86,678,690

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

Notes : 1 Agriculture, forestry, fisheries / Pertanian, kehutanan, perikanan 6 Trade, restaurants, hotels / perdagangan, rumah makan, hotel Catatan 2 Mining and quarrying / pertambangan dan penggalian 7 Transportation, communication / angkutan, komunikasi

3 Manufacturing industry / industri pengolahan 8 Finance, real estate, business services / keuangan, persewaan bangunan, jasa perusahaan 4 Electricity, gas, water / listrik, gas, air 9 Public services / jasa kemasyarakatan 5 Construction / bangunan 10 Others / lainnya.

dhie5.0/SOP Statistics/Foodcrop/Eng 22

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 7: MAJOR FOODCROP PRODUCTION (1,000 ton) BY PROVINCE/REGION (1996) TABEL 7 : PRODUKSI BAHAN MAKANAN UTAMA MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1996)

PROVINCE/REGION PROPINSI/WILAYAH

PADDY PADI

MAIZE JAGUNG

CASSA-VA

UBI KAYU

SWEET POTATO UBI JALAR

PEANUT KACANG TANAH

S’BEAN KACANG KEDELAI

TOTAL JUMLAH

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

1,417.9 3,124.6

1,964.0

459.8 657.4

1,621.9

394.7 1,971.9

51.2 373.4

52.2

35.0 17.9 86.5

53.4

919.1

66.3 366.9

98.5

62.6

158.5 404.8

108.7

2,908.1

28.4 118.3

34.1

11.1 19.0 45.0

117.5

64.2

23.5 30.3

10.6

3.9 3.4

17.4

7.4 16.3

102.5 33.6

13.0

8.0

13.0 21.5

7.7

90.9

1,689.8 4,047.1

2,172.4

580.4 869.2

2,197.1

689.4 5,970.5

Sumatra Sumatera

11,612.2 1,588.7 4,174.4 437.6 112.8 290.2 18,215.9

REGION I WILAYAH I

11,612.2 1,588.7 4,174.4 437.6 112.8 290.2 18,215.9

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

839.8 1,291.0

458.8

91.9 65.5

545.8

211.5 130.3 818.7

92.1 31.6 79.5

15.9 26.3

9.8

30.8 135.1

4.0

1,282.0 1,679.8 1,916.6

REGION 2 WILAYAH 2

2,589.6 703.2 1,160.5 203.2 52.0 169.9 4,878.4

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

453.4

561.1

3,833.4

305.1

168.5

36.6

766.1

84.0

93.1

50.6

675.7

165.8

36.0

13.3

102.3

16.4

11.2

6.5

71.0

4.3

34.3

8.6

47.6

6.4

796.5

676.7

5,496.1

582.0

Sulawesi 5,153.0 1,055.2 985.2 168.0 93.0 96.9 7,551.3Maluku Irian Jaya

29.6 37.5

16.7 9.6

564.0 33.4

56.7 273.5

3.9 3.9

2.4 5.7

673.3 363.6

REGION 3 WILAYAH 3

5,220.1 1,081.5 1,582.6 498.2 100.8 105.0 8,588.2

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

17.3 10,744.6

8,333.6

660.1

8,570.6

0 344.2

1,696.7

142.7

3,401.5

0.7 1,815.7

3,330.9

695.5

3,541.2

0 412.1

161.3

8.8

219.9

0 106.4

133.5

48.9

161.2

0 79.9

248.9

76.9

508.5

18.0 13,502.9

13,904.9

1,632.9

16,402.9

Java Jawa

28,326.2 5,585.1 9,384.0 802.1 450.0 914.2 45,461.6

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

824.4

373.2

1,199.3

384.6

34.9

10.1

28.3

9.3

185.6

61.2

176.2

119.1

16.4

7.5

22.4

26.0

2.0

1.2

21.1

2.7

7.0

8.0

10.7

3.5

1,070.3

461.2

1,458.0

545.2

Kalimantan 2,781.5 82.6 542.1 72.3 27.0 29.2 3,534.7REGION 4 WILAYAH 4

31,107.7 5,667.7 9,926.1 874.4 477.0 943.4 48,996.3

INDONESIA 50,529.6 9,041.1 16,843.6 2,013.4 742.6 1,508.5 80,678.8

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Fisheries/Eng 23

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 8: PRODUCTION FISH AND SHRIMP (TON) BY PROVINCE/REGION (1995) TABEL 8 : PRODUKSI IKAN DAN UDANG (TON) MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1995)

PONDS/TAMBAK MARINE/LAUT TOTALS/JUMLAH PROVINCE/REGION PROPINSI/WILAYAH Fish Shrimp

INLAND SUNGAI Fish/Ikan Shrimp

Ton F’men (1)

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

34,900 28,640

16,565

2,945 1,926

11,130

4,570 27,201

0 34,752

0

0 0

186

0 470

1,114 8,032

6,303

15,310 5,607

42,714

1,918 12,094

100,120 303,670

73,780

224,070

19,980 121,900

16,115

109,045

0 1,935

0

0 0 0

0 0

136,134 377,029

96,648

242,325

27,513 175,930

22,603

145,960

131,312 238,425

192,153

116,549

46,470 131,532

35,298

120,672 Sumatra Sumatera

127,877 35,408 93,092 968,680 1,935 1,226,992 1,012,,411

REGION I WILAYAH I

127,877 35,408 93,092 968,680 1,935 1,226,992 1,012,411

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

1,992 7,686

205

52,948 5,729

0

993 2,197

498

137,245 61,755 64,170

5,959 0 0

199,137 77,367 64,873

64,613 89,565 72,705

REGION 2 WILAYAH 2

9,883 58,677 3,688 263,170 5,959 341,377 226,883

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

5,755

3,058

77,390

7,469

0

0

258

0

3,061

344

25,815

3,893

117,350

80,350

243,650

127,675

23,915

1,716

2,210

4,898

150,081

85,468

349,323

143,935

129,215

86,118

217,359

77,052

Sulawesi 93,672 258 33,113 569,025 32,739 728,807 509,744 Maluku Irian Jaya

15 1,324

0 0

18 2,259

262,115 118,445

25,475 20,740

287,623 142,768

111,042 136,192

REGION 3 WILAYAH 3

95,011 258 35,390 949,585 78,954 1,159,198 756,978

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

972 236,922

50,841

2,295

105,043

0 89,996

161,354

0

30,282

0 6,042

13,155

1,399

12,834

59,405 161,735

272,212

1,204

239,575

5,864 880

0

0 0

66,241 495,575

497,562

4,898

387,734

80,077 897,435

596,262

84,585

515,065

Java Jawa

396,073 281,632 33,430 734,131 6,744 1,452,010 2,173,424

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

1,734

486

1,731

7,897

0

0

0

0

21,451

43,435

66,215

32,965

62,825

48,060

193,370

70,960

0

0

0

124

86,010

91,981

261,316

111,946

76,569

58,919

89,455

131,239

Kalimantan 11,848 0 164,066 375,215 124 551,253 356,182 REGION 4 WILAYAH 4

407,921 281,632 197,496 1,109,346 6,868 2,003,263 2,529,606

INDONESIA 640,692 497,986 (2)

329,666 3,290,781 95,274 (3) 4,854,399 (2) (3)

4,525,878

Source : Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997. Notes/Catatan: (1) Excludes (kecuali) shrimp; (3) Includes misc.(termasuk d.l.l.) 1,558 ton.

(2) Includes misc. (termasuk d.l.l.) 122,011 ton;

dhie5.0/SOP Statistics/Tourism Acc./Eng 24

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 9: TOURISM ACCOMMODATION BY PROVINCE/REGION (1997) TABEL 9 : AKOMODASI PARIWISATA MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1997)

OCCUPANCY/PENG-HUNIAN

LENGTH/LAMA (day/hari)

PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

ACCOMO-

DATION AKOMODASI

ROOMS

KAMAR

BEDS

TEMP. TID.

STAR BERBIN-

TANG

NON-STAR BIASA

STAR BERBIN-

TANG

NON-STAR BIASA

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

158 615

233

387 104 250

93

131

2,865 13,467

4,331

12,287

2,322 5,123

1,422 2,987

5,665 22,595

8,189

20,354

3,833 9,263

2,445 5,121

49.0 45.7

32.9

35.9 57.3 33.3

44.6 55.0

41.4 32.7

40.6

26.8 33.9 43.1

26.7 43.7

2.0 1.4

2.1

2.1 2.0 1.8

1.8 1.8

2.6 1.3

2.5

2.1 1.4 1.7

1.3 2.0

Sumatra Sumatera

1,971 44,804 77,465

REGION I WILAYAH I

1,971 44,804 77,465

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

1,244 297 221

32,840 4,052 3,512

57,393 9,047 6,536

57.9 37.2 43.7

33.9 22.4 29.7

4.1 3.0 3.1

2.9 2.0 4.0

REGION 2 WILAYAH 2

1,762 40,404 72,976

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

121

164

399

87

2,718

2,188

8,718

973

4,563

3,812

15,361

1,598

46.6

29.8

31.0

39.2

31.2

22.9

16.9

43.8

3.3

1.5

2.2

2.2

2.4

3.0

1.5

2.8

Sulawesi 771 14,597 25,334 Maluku Irian Jaya

192 97

2,805 1,994

4,820 3,462

50.8 40.5

37.3 33.1

3.3 2.4

2.9 3.0

REGION 3 WILAYAH 3

1,060 19,396 33,616

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

255 1,218

922

776 947

21,499 33,923

18,823

11,535 22,446

35,748 57,549

31,520

20,266 35,792

49.3 35.5

39.7

46.6 41.9

48.5 30.0

21.9

33.8 29.8

2.0 2.1

1.5

2.2 1.8

1.2 1.4

1.1

1.9 1.2

Java Jawa

4,118 108,226 180,875

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

152

195

143

255

3,510

3,618

3,310

6,092

5,863

5,962

5,697

10,427

48.1

58.4

48.0

53.9

33.9

40.9

44.7

34.6

1.6

1.4

1.7

2.5

1.2

2.0

2.3

1.8

Kalimantan 745 16,530 27,949 REGION 4 WILAYAH 4

4,863 124,756 208,824

INDONESIA

9,656 229,360 392,881 43.6 31.0 2.2 1.6

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Number of Vehicles/Eng 25

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 10: NUMBER OF VEHICLES BY PROVINCE/REGION (1996) TABEL 10 : BANYAKNYA KENDARAAN BERMOTOR MENURUT PROPINSI/WILAYAH (1996)

PROV./REGION PROP./WILAYAH

CARS MOBIL

BUSES BIS

TRUCKS TRUK

M.CYCS SPD. MTR

TOTAL JUMLAH

VEH/10,000 P KEND/10,000 P

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau South Sumatra (1) Sumatera Selatan (1)

15,490 123,618

20,187

25,857

105,529

1,845 24,941

23,361

15,201 16,291

17,122 110,306

34,696

32,211

107,644

182,610 689,868

145,994

230,970 480,345

217,067 948,733

224,238

304,239 709,809

541 822

503

743 386

Sumatra Sumatera

290,681 81,639 301,979 1,729,787 2,404,086 566

REGION I WILAYAH I

290,681 81,639 301,979 1,729,787 2,404,086 566

Nusa Tenggara (2)

86,332 14,961 56,707 542,000 700,000 668

REGION 2 WILAYAH 2

86,332 14,961 56,707 542,000 700,000 668

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi (3) Sulawesi Selatan (3)

20,988

9,898

56,463

9,721

3,671

22,045

17,210

17,492

57,020

47,806

122,385

363,638

95,725

153,446

499,166

351

761

525

Sulawesi 87,349 35,437 91,722 533,829 748,337 525Maluku Irian Jaya

9,225 9,162

2,655 8,494

8,841 7,868

30,203 47,525

50,924 73,049

235 357

REGION 3 WILAYAH 3

105,736 46,586 108,431 611,557 872,310 473

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java (4) Jawa Tengah (4) East Java Jawa Timur

967,229 281,272

272,606

323,598

310,636 82,893

34,450

8,425

344,730 164,344

200,714

185,124

1,775,153 714,567

2,069,086

1,982,390

3,397,748 1,243,076

2,576,856

2,499,537

3,607 307

772

724

Java Jawa

1,844,705 436,404 894,912 6,541,196 9,717,217 824

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

17,003

4,879

26,173

29,579

2,953

2,067

4,179

5,780

13,823

4,435

24,314

26,212

171,336

70,415

212,606

170,936

205,115

81,796

267,272

232,507

540

481

892

678

Kalimantan 77,634 14,979 68,784 625,293 786,690 659REGION 4 WILAYAH 4

1,922,339 451,383 963,696 7,166,489 10,503,907 809

INDONESIA

2,405,088 594,569 1,430,813 10,049,833 14,480,303 720 Source : Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 1997. Notes (Catatan) : (1) Includes (termasuk) Jambi, Bengkulu and (dan) Lampung.

(2) Includes (termasuk) Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. (3) Includes (termasuk) Sulawesi Tenggara. (4) Includes (termasuk) DI Yogyakarta.

dhie5.0/SOP Statistics/Electricity/Eng 26

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 11: ELECTRICITY CONSUMPTION (1995) TABEL 11 : KONSUMSI TENAGA LISTRIK (1995) PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH CONSUMPTION

KONSUMSI (Gwh)

CONS./CAPITA KONS./KAPITA

(kwh)

LOAD/CAPITA DAYA TERS./KAPITA

(kVA)

ELECT. RATIO RASIO ELEKT.

(%) DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

291.8 2,320.4

557.6

418.7 178.3 893.0

91.1

340.4

78.2 209.1

130.1

108.7

80.1 129.4

68.5 52.0

0.06 0.12

0.07

0.07 0.05 0.07

0.06 0.04

33.0 43.4

38.5

24.5 19.7 26.2

33.2 13.2

Sumatra Sumatera

5,091.3 124.7

REGION I WILAYAH I

5,091.3 124.7

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

718.0 146.2 102.2

243.2 40.1 29.1

0.16 0.04 0.02

65.2 28.2 13.1

REGION 2 WILAYAH 2

966.4 92.2

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

299.3

107.6

787.8

62.7

112.7

57.3

105.6

41.7

0.10

0.05

0.09

0.04

53.1

27.5

41.6

20.1

Sulawesi 1,257.4 91.6 Maluku Irian Jaya

167.5 161.9

82.4 89.6

0.06 0.06

31.7 20.9

REGION 3 WILAYAH 3

1,586.8 89.3

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

10,134.3 13,151.0

4,237.9

566.8

8,090.8

1,129.6 340.3

139.9

185.1 234.1

0.60 0.16

0.07

0.11 0.11

87.3 42.7

37.9

60.1 40.2

Java Jawa

36,180.8 315.3

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

374.0

104.4

526.3

572.9

105.6

66.8

187.0

270.9

0.06

0.05

0.11

0.15

25.7

24.0

46.8

44.3

Kalimantan 1,577.6 150.7 REGION 4 WILAYAH 4

37,758.4 301.6

INDONESIA

45,402.9 225.6 0.12 39.8

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/SOP Statistics/Manufacturing Emissions/Eng 27

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 12: AIR POLLUTION MANUFACTURING INDUSTRY BY PROVINCE/REGION (1996) TABEL 12 : PENCEMARAN UDARA DARI INDUSTRI PENGOLAHAN PROPINSI/WILAYAH (1996)

(Ton/Year – Ton/Tahun) PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH DUST Debu

SO 2

NO 2

HC

CO OTHERS Lainnya

DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara West Sumatra Sumatera Barat Riau Jambi South Sumatra Sumatera Selatan Bengkulu Lampung

744,900 564,384

38,200

3,882,739

6,412 NA

4,738

9,184,432

NA 96,716

53

58,388

NA NA

NA

93,375

5,220 424

12,485

411,937

360 NA

59

172,766

45,000 1,939

400

203,224,778

NA NA

8

84,318,885

75,000 1,220

17

NA NA NA

NA NA

NA 1,089

2

10,957,612

NA NA

5

26,893Sumatra Sumatera

14,425,805 248,532 603,251 287,591,010 76,237 10,985,601

REGION I WILAYAH I

14,425,805 248,532 603,251 287,591,010 76,237 10,985,601

Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur

13,184 NA NA

NA NA NA

NA NA NA

NA NA NA

NA NA NA

20 NA NA

REGION 2 WILAYAH 2

13,184 NA NA NA NA 20

North Sulawesi Sulawesi Utara Central Sulawesi Sulawesi Tengah South Sulawesi Sulawesi Selatan South East Sulawesi Sulawesi Tenggara

292,690

6,141

86,735

4,777

NA

NA

NA

NA

13,515

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

85

NA

NA

NA

11,373

NA

Sulawesi 390,343 NA 13,515 NA 85 11,373Maluku Irian Jaya

NA 101,247

NA NA

829 427,784

NA NA

NA NA

700,000 NA

REGION 3 WILAYAH 3

491,590 NA 442,128 NA 85 711,373

DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur

506,330 18,854,919

180,585

1,697

432,191

2,160 123,042

650

NA

130,608

NA 23,945

1,830

NA

2,690,389

3,708 115,911

801

56

75,119,807

NA 475,461

23,588

NA 621

1 84,446

4,652

2

14,374,497

Java Jawa

19,975,722 256,460 2,716,164 75,240,283 499,670 14,463,598

West Kalimantan Kalimantan Barat Central Kalimantan Kalimantan Tengah South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

2

NA

NA

4,874

NA

NA

NA

7,958

NA

NA

NA

10,840

NA

NA

NA

6,751

NA

NA

NA

136,606

NA

NA

NA

NA

Kalimantan 4,876 7,958 10,840 6,751 136,606 NAREGION 4 WILAYAH 4

19,980,598 264,418 2,727,004 75,247,034 636,276 14,463,598

INDONESIA

34,911,177 512,950 3,772,383 362,838,044 712,598 26,160,592

Source : Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997. Note : Several totals incomplete. Catatan : Beberapa jumlah kurang.

dhie5.0/SOP Statistics/Vehicle Emissions/Eng3 28

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 13: ESTIMATIONS OF CO, NOx & HC(5) VEHICLE EMISSIONS BY PROV./REG. (1996) TABEL 13 : PERKIRAAN EMISI CO, NOx & HC(5) DARI KENDARAAN BERMOTOR PROPINSI/WILAYAH (1996)

(Ton/Year – Ton/Tahun)

TOTALS/JUMLAH PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

CARS MOBIL

BUSES

BIS

TRUCKS

TRUK

M.CYCS SPD. MTR CO (5)

NOx (5) HC (5)

DI Aceh CO NOx HC North Sumatra Sumatera Utara CO NOx HC West Sumatra Sumatera Barat CO NOx HC Riau CO NOx HC South Sumatra (1)

Sumatera Selatan (1)

CO NOx HC

10,580

515 904

84,470 4,106 7,220

13,790 670

1,178

17,670 859

1,510

72,110 3,505 6,160

1,260

61 108

17,040 828

1,456

15,960 776

1,364

10,390 505 888

11,130 541 951

11,700

569 1,000

75,370 3,664 6,440

23,710 1,152 2,026

22,010

1,070 1,880

73,550 3,575 6,285

124,770

6,065 10,660

471,370 22,910 40,280

99,750 4,850 8,520

157,820

7,670 13,480

328,210 15,950 28,040

148,310

648,250

153,210

207,890

485,000

7,210

31,508

7,448

10,104

23,571

12,672

55,396

13,088

17,758

41,436Sumatra Sumatera

1,642,660 79,841 140,350

REGION I WILAYAH I

1,642,660 79,841 140,350

Nusa Tenggara (2) CO NOx HC

58,965

2,866 5,042

10,218

497 874

38,730

1,883 3,312

370,186

17,994 31,653

478,099

23,240

40,881REGION 2 WILAYAH 2

478,099 23,240 40,881

North Sulawesi Sulawesi Utara CO NOx HC Central Sulawesi Sulawesi Tengah CO NOx HC South Sulawesi (3) Sulawesi Selatan (3)

CO NOx HC

14,340 697

1,225

6,760 329 578

38,580 1,875 3,297

6,640 323 568

2,510 122 214

15,060 732

1,287

11,760 572

1,005

11,950 581

1,021

38,960 1,894 3,330

32,660 1,590 2,790

83,620 4,065 7,145

248,470 12,080 21,230

65,400

104,840

341,070

3,182

5,097

16,581

5,588

8,958

29,144Sulawesi 511,310 24,860 43,690

Maluku CO NOx HC

6,300

306 539

1,810

88 155

6,040

294 516

20,640

1,000 1,765

34,790

1,688

2,975

dhie5.0/SOP Statistics/Vehicle Emissions/Eng3 29

TOTALS/JUMLAH PROVINCE/REGION

PROPINSI/WILAYAH

CARS MOBIL

BUSES

BIS

TRUCKS

TRUK

M.CYCS SPD. MTR CO (5)

NOx (5) HC (5)

Irian Jaya CO NOx HC

6,260

304 535

5,800

282 496

5,380

261 459

32,470

1,580 2,775

49,910

2,427

4,265REGION 3 WILAYAH 3

596,010 28,975 50,930

DKI Jakarta CO NOx HC West Java Jawa Barat CO NOx HC Central Java (4)

Jawa Tengah (4) CO NOx HC East Java Jawa Timur CO NOx HC

660,890

32,130 56,470

192,190 9,340

16,420

186,270 9,050

15,920

221,110 10,750 18,890

212,250

10,320 18,136

56,640 2,750 4,840

23,540 1,145 2,011

5,760 280 492

235,550

11,450 20,130

112,290 5,460 9,595

137,140 6,670

11,720

126,490 6,150

10,810

1,212,930

58,960 103,640

488,250 23,730 41,720

1,413,770 68,720

120,800

1,354,530 65,850

115,740

2,321,620

849,370

1,760,720

1,707,890

112,860

41,280

85,585

83,030

198,376

72,575

150,451

145,932Java Jawa

6,639,600 322,755 567,334

West Kalimantan Kalimantan Barat CO NOx HC Central Kalimantan Kalimantan Tengah CO NOx HC South Kalimantan Kalimantan Selatan CO NOx HC East Kalimantan Kalimantan Timur CO NOx HC

11,620 565 993

3,330 162 285

17,880 870

1,528

20,210 982

1,727

2,020 98

172

1,410 69

121

2,860 140 244

3,950 192 337

9,440 460 807

3,030 147 259

16,610 808

1,420

17,910 870

1,530

117,070 5,690

10,000

48,110 2,340 4,110

145,270 7,060

12,410

116,800 5,680 9,980

140,150

55,880

182,620

158,870

6,813

2,718

8,878

7,724

11,972

4,775

15,602

13,574Kalimantan

537,520 26,133 45,923

REGION 4 WILAYAH 4

7,177,120 348,888 613,257

INDONESIA

9,893,889 480,944 845,418

Source : Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997

Notes/Catatan: (1) Includes (termasuk) Jambi, Bengkulu and (dan) Lampung. (2) Includes (termasuk) Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur. (3) Includes (termasuk) Sulawesi Tenggara. (4) Includes (termasuk) DI Yogyakarta. (5) CO - carbon monoxide; NOx - nitrogen oxides; HC - hydrocarbons.

dhie5.0/SOP Statistics/Industrial Waste/Eng 30

BAPEDAL STATISTICS STATISTIK

TABLE 14: INDUSTRIAL WASTE POLLUTANT LOADING IN SEVERAL RIVERS (1995/1997) TABEL 14 : BEBAN LIMBAH INDUSTRI DI BEBERAPA SUNGAI (1995/1997)

1995/1996 1996/1997 PROVINCE/REGION PROPINSI/WILAYAH

RIVER SUNGAI BOD COD BOD COD

REGION I/WILAYAH I DI Aceh North Sumatra Sumatera Utara Riau South Sumatra Sumatera Selatan

Langsa Tamiang Deli Semayang Asahan Merbau Belumai Siak Musi

NA NA

42

248 1,830

542 362

4,417

1,796

NA NA

74

379 3,462

948 559

9,021

13,143

105 480

23 84

1,162 342

79

5,496

NA

240 684

41

147 3,857

592 140

12,456

NA

REGION 4/WILAYAH 4 DKI Jakarta West Java Jawa Barat Central Java Jawa Tengah DI Yogyakarta East Java Jawa Timur West Kalimantan Kalimantan Barat South Kalimantan Kalimantan Selatan East Kalimantan Kalimantan Timur

Ciliwung Cipinang Mookervart Grogol Cakung Ciujung Cisadane Ciliwung Cileungsi, Bekasi Citarum Cimanuk Kali Anyar Bengawan Solo Premulung Ngringo Palur Pengo Sroyo Kali Garang Winongo Code Gajah Wong Kali Brantas Kali Surabaya Kali Lesti Kanal Mangetan Kali Porong Kali Madiun Kapuas Barito Martapura Mahakam dan Karang Mumus

65

142 121

25 36

2,131 1,371

314 842

3,884 1,158

NA NA NA NA NA NA NA NA

12,949

48 37

833

1,881 3,682 1,915 3,757

219

1,294

3 2

4,404

185 431 289

67 122

2,233 3,350

782 2,120 8,782 2,292

NA NA NA NA NA NA NA NA

36,155

122 91

1,663 4,028 6,584 4,041 7,021

364

2,875

8 6

14,755

NA NA NA NA NA

1,959 2,979

40 1,440 1,440

NA

195 437 473 222

2 102 477 129

NA NA NA

1,488

953 722

2,308 1,789

73

NA

100 65

242

NA NA NA NA NA

3,280 5,463

94 2,246 3,653

NA

495 1,202 1,380

605 5

280 15

506

NA NA NA

2,154 2,978 1,470 4,995 3,189

141

NA

206 160

2,065

Source: Environmental Statistics of Indonesia, 1997. Sumber: Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, 1997.

dhie5.0/S SOP Data/ps 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

4

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISIS

1.0 PENGANTAR Data adalah sekumpulan fakta yang tidak saling terkait. Bilamana data dikumpulkan, dianalisis dan didokumentasikan maka data tersebut menjadi informasi. Data dan informasi mengenai pokok bahasan atau isu tertentu diperlukan guna membantu orang yang berminat untuk memahami dan melakukan sesuatu atas pokok bahasan atau isu tersebut demi tujuan apapun juga. Informasi diperlukan untuk analisis atau pengkajian terkait dalam pengembangan rencana atau tindakan yang berhubungan dengan pokok bahasan atau isu. Relevansi dan akurasi informasi tersebut, dan data yang dijadikan dasarnya, adalah penting, karena akan menentukan validitas hasilnya. Pengumpulan data adalah tugas yang relatif sederhana, tetapi akan menjadi sulit dan memakan waktu lama bila tidak ada pemerintah dan sistem informasi yang efektif. 2.0 TUJUAN Tujuan SOP ini adalah untuk memberikan: • Panduan untuk membantu BAPEDAL dan staf yang terlibat lainnya dalam

pengembangan dan pelaksanaan kebijakan dan standar lingkungan, dalam pengumpulan dan analisis data fisik, sosial, ekonomi, ekologis, kelembagaan dan lain-lainnya yang terkait.

• Bantuan untuk memahami metodologi atau proses dan prosedur pengumpulan data,

dan bagaimana caranya memperoleh, mengumpulkan, menyusun dan menyajikan data tersebut ke dalam bentuk yang berguna.

3.0 LATAR BELAKANG Sebelum seseorang dapat menangani suatu pokok bahasan atau isu secara efektif, apakah itu mengenai berapa banyak uang yang dibutuhkan seseorang untuk hidup selama satu tahun atau bagaimana pemerintah dapat memecahkan masalah kerusakan terumbu karang, perlu kiranya untuk memahami sifat, karakteristik, batas dan aspek eksternal dari isu tersebut. Bahwa, orang perlu mengumpulkan data dan informasi mengenai seluruh aspek isu yang bersangkutan sehingga dapat dipahami dan dianalisis; serta mengembangkan, mengevaluasi dan menyetujui proposal, kebijakan dan rencana untuk pelaksanaannya. Untuk memastikan bahwa kebijakan dan rencana tersebut disosialisasikan dan diterima secara efektif, berbagai kelompok kepentingan (stakeholder) harus dapat memahami data dan informasi tersebut dan dilibatkan dalam proses pengembangan analisis dan respon. Oleh karena itu, data harus dikumpulkan dan disajikan dengan cara untuk memuaskan

dhie5.0/S SOP Data/ps 2

tujuannya, tetapi juga harus mudah dipahami dan ditafsirkan oleh para stakeholder terkait dan masyarakat yang memiliki informasi. Tersebut di atas berlaku sepadan terhadap pengembangan kebijakan ekonomi nasional dan regional, atau rencana pengelolaan lingkungan, atau penentuan standar lingkungan. Data dan informasi dalam konteks ini dapat dikelompokkan sebagai bersifat fisik, sosial, ekonomi, ekologi, hukum, kelembagaan, teknologi dan pengalaman, yaitu apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman internasional dan lokal sebelumnya dalam menangani masalah atau isu serupa. Oleh karena itu, pengumpulan dan penyajian data relevan yang tepat memberikan dasar pemahaman dan pengetahuan mengenai isu/isu-isu yang dapat menjadi dasar tahap analisis. Kemudian ini dapat diproses sebagaimana ditentukan dalam Metodologi Penentuan Standar, untuk pengembangan dan evaluasi kebutuhan, prioritas dan tindakan alternatif; dan akhirnya strategi, rencana, kebijakan atau standar yang lebih disukai. 4.0 PROSEDUR Prosedur pengumpulan data termasuk pengidentifikasian kebutuhan, sumber, metode yang tersedia, perencanaan, pengumpulan, dokumentasi dan penyajian data. Mereka dirangkum dalam Gambar 1.

GAMBAR 1: PROSES PENGUMPULAN DATA Setelah disusun, ditentukan dan disetujui, melalui konsultasi publik jika dipandang perlu, mengenai masalah atau isu yang membutuhkan perhatian, langkah pertamanya adalah mengidentifikasi, mendaftar dan selain itu mendokumentasikan apa yang diketahui tentang isu tersebut dan apa lagi yang harus diketahui, yaitu, data dan informasi yang relevan dengan isu tersebut hingga: • sifat, karakteristik, batas dan aspek eksternal isu tersebut didefinisikan, dicatat dan

dipahami; dan

Mengenali masalah dan menetapkan isu

Konsultasi publik

Merencanakan program pengumpulan data

Menentukan sumber data dan metode

Mengidentifikasi batas data dan kebutuhan

Pengumpulan data dan survei

Analisis dan dokumentasi data

Konsultasi publik

dhie5.0/S SOP Data/ps 3

• semua hambatan dan peluang untuk menangani isu tersebut, termasuk sejumlah contoh internasional dan lokal sebelumnya yang berhubungan dengan isu serupa diidentifikasi dan dicatat.

Langkah kedua adalah menyiapkan pengumpulan data, data daftar rencana, sumber dan lokasi, metode pengumpulan data dan waktu. Langkah ketiga adalah pengumpulan data ini melalui: • Reviu literatur mengenai buku pelajaran, statistik, anggaran, laporan studi riset dan

lokakarya dari pemerintah dan non-pemerintah setempat dan internasional; publikasi kelembagaan (universitas dan asosiasi bisnis) dan LSM; pernyataan para pemimpin politik dan masyarakat, dan media (cetak dan audio visual). Biasanya ini tersedia di kantor-kantor pemerintah dan swasta, perpustakaan umum dan perpustakaan lainnya, serta internet.

• Survei di mana data secara fisik dikumpulkan melalui lokakarya, pertemuan atau

wawancara dengan para stakeholder atau yang lainnya; pengukuran di lapangan; fotografi (aerial atau permukaan); pengambilan sampel dan analisis; dan melalui survei sumber data internet.

Untuk membantu reviu literatur, jenis dan sumber data yang secara lazim dibutuhkan tertera dalam Tabel 1 dan 2. Ini bukanlah daftar yang lengkap, juga bukan semua data yang diperlukan untuk setiap isu. Tabel ini hanya sekedar memberikan daftar periksa mengenai kemungkinan persyaratan data dan di mana data terkait bisa ditemukan. Survei melibatkan berbagai kunjungan ke kawasan yang berbeda-beda dan pengumpulan data fisik di lapangan. Ini dapat melibatkan pengumpulan data dari departemen, universitas atau industri eksternal; pengukuran fisik bangunan atau lokasi; pengamatan dan pencatatan kegiatan, pengambilan sampel tanah atau air untuk kemudian dilakukan analisis laboratorium; perekaman situasi atau peristiwa dengan kamera foto atau video; atau pertemuan, wawancara dan kuesioner. TABEL 1.0: JENIS DATA

DATA SUMBER (No. Referensi)

DATA SUMBER (No. Referensi)

FISIK Iklim – meteorologi, sinar matahari, suhu, curah hujan, angin yang ada, perubahan iklim, penipisan ozon, efek rumah kaca Geografis – topografi (daratan dan lautan), geologi, hidrologi, daerah aliran sungai, airshed, air tanah, jenis tanah, vegetasi, mineral, energi Penggunaan tanah – perkotaan dan non-perkotaan, industri, pertanian, kehutanan, pertambangan, perikanan, pariwisata, transportasi

24, 29, 31, 63, 65 29, 31, 33, 37, 39, 65, 67, 68 29, 31, 33, 35, 37, 39, 41, 62, 65, 67, 68

EKONOMIS Laporan – PDB, impor, ekspor, anggaran pemerintah, investasi modal, inflasi, penghasilan per kapita, produksi sektoral, penghasilan sektoral, manufaktur, pariwisata, transportasi, energi, angkatan kerja, lapangan kerja menurut sektor, pengangguran EKOLOGIS Flora/fauna (daratan dan lautan) – jenis, distribusi, volume, tekanan, kelangsungan hidup

1, 6, 8, 9, 12, 13, 29, 41, 43, 51, 62, 63, 65, 67, 68, 80, 83 6, 11, 12, 13, 29, 31, 33, 39, 41, 42, 53, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 82, 83

dhie5.0/S SOP Data/ps 4

Degradasi – mutu/pencemaran udara, mutu/pencemaran air, erosi lahan dan pesisir, kontaminasi lahan, kemampuan asimilatif udara, lahan dan air, industri pertambangan dan penggalian, limbah pertanian dan hutan, kebakaran hutan/semak-belukar, penangkapan ikan berlebihan, kerusakan hutan bakau, kerusakan karang, budi-daya berpindah, limbah beracun SOSIAL Demografis – populasi, jenis kelamin, distribusi usia, tingkat kelahiran, pertumbuhan Kesehatan – harapan hidup, lahir hidup, penyakit, penyebab kematian, dokter, dokter gigi, pusat kesehatan, rumahsakit, pelayanan kesehatan lainnya Pendidikan – sekolah, universitas, lembaga lainnya, guru, tingkat pendidikan, (populasi), ketrampilan Kelembagaan (riset, pengajaran dan donor) – fungsi dan tanggungjawab, mekanisme koordinasi, kebijakan, rencana, program, standar Industri/LSM – organisasi, fungsi dan tanggungjawab, mekanisme koordinasi, kebijakan, rencana, program, standar

1, 6, 8, 12, 13, 27, 29, 31, 33, 37, 39, 42, 53, 60, 61, 63, 65, 67, 68, 81 29, 63, 66, 67 12, 13, 29, 34, 35, 63, 65 29, 32, 63, 65 1-13, 50, 53, 68, 82, 83 2, 11, 50, 51, 52, 53, 68, 82, 83

Biodiversitas (daratan dan lautan) – jenis spesies, distribusi, tekanan, kelangsungan hidup HUKUM Kelembagaan – Konstitusi, perjanjian internasional, rencana 5 dan 25 tahun, GBHN, anggaran tahunan Undang-undang – Undang-undang (nasional dan lokal). Keputusan Presiden/Gubernur, standar Peraturan – pemerintah, menteri, gubernur, walikota, departemen, non-pemerintah, standar KELEMBAGAAN Pemerintah – organisasi, fungsi dan tanggungjawab (nasional dan lokal), mekanisme koordinasi, rencana dan program, standar Non-Pemerintah – lihat Sosial, Industri/LSM TEKNOLOGIS Riset dan pengembangan, teknologi termasuk proses, perlindungan lingkungan, produksi bersih, sistem pengelolaan dan desain, standar

6, 11, 12, 13, 29, 31, 33, 39, 41, 42, 53, 62, 63, 64, 65, 67, 68, 82, 83 27, 28, 40, 41, 42, kelembagaan sektoral 27, 28, 42, 44, 60, 62, 65, 66 27, 28, 42, 44, 60, 62, 65, 66 KEPPRES, KEPMEN, 27, 28, 31-39, 41, 42, 60, 62, 65, 66, 67 8, 9, 25, 36, 41, 50, 51, 52, 68, 83

TABEL 2: SUMBER DATA

SUMBER

NO. REFERENSI.

SUMBER

NO. REFERENSI

INTERNASIONAL Bank Pembangunan Asia Asosiasi Bisnis (Kamar Dagang Internasional, Konfederasi Industri Inggris, Asosiasi Industri Kimia, dsb.) Konvensi Lembaga Donor (USAID, AusAID, JICA, CIDA dsb.) Kedutaan Lembaga Perlindungan Lingkungan (AS, Hongkong,

1 2 3 4 5 6

Dep. Perindustrian dan Perdagangan Dep. Pekerjaan Umum Dep. Perhubungan Dep. Pertambangan dan Energi DPR Internet Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Penanaman Modal MPR Non Pemerintah

36

37 38 39 40 41 42 43 44

dhie5.0/S SOP Data/ps 5

Jepang, Australia dsb.) ESCAP Organisasi Buruh Internasional Internet Perpustakaan Media LSM (Greenpeace, WWF Nature, dsb.) Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-bangsa Bank Dunia NASIONAL Pemerintah Badan Meteorologi dan Geofisika Lembaga Riset dan Penerapan Teknologi Badan Tenaga Atom BAPEDAL BAPPENAS Biro Statistik Biro Standar Nasional Dep Pertanian dan Perikanan Dep Pendidikan Dep Kehutanan Dep Kesehatan Dep Dalam Negeri

7 8 9

10 11

12

13

24 25

26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

British Council, Ford Foundation Asosiasi Industri (Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Pertambangan, Tekstil, Kulit dsb.) Media LSM (WALHI, ICEL, Kehati) LOKAL Pemerintah BAPEDALDA BAPEDAL Regional BAPPEDA Biro Statistik Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Kantor Sektoral Pemerintah Kantor Gubernur Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup (NKLD) dan Laporan Proyek Universitas Regional dan Lokal Non-Pemerintah Asosiasi Industri Media LSM (lokal) Universitas

50 51

52 53

60 61 62 63

64

65 66 67

68

80 81 82 83

Aspek terpenting dari survei lapangan adalah pra-perencanaan untuk memastikan bahwa ketentuan tujuan, prosedur, anggaran, dan peralatan serta perjalanan adalah jelas dan dipahami oleh tim survei sebelum memulai survei. Misalnya, survei lapangan tidak hanya melibatkan definisi, fungsi dan tanggungjawab tim; serta kebutuhan transportasi dan akomodasi; melainkan seringkali juga pakaian pelindung, PPPK, senter, plester, termometer, stopwatch, peralatan pengambilan sampel, komputer laptop, printer, kertas, alat tulis dan peralatan serba-serbi. Langkah keempat adalah menganalisis dan menyusun data dalam bentuk yang berguna sebagai masukan bagi isu atau tahap analisis penentuan standar. Sampel tabulasi dan grafik ditunjukkan dalam Gambar 2. Unit standar, singkatan dan konversi ditunjukkan dalam Tabel 3.

dhie5.0/S SOP Data/ps 6

GAMBAR 2: TABEL DAN GRAFIK SAMPEL

NO BARANG TARIF BIAYA (Rp. 000) (Rp. 000) 1 Mobil 20,000 40,000 2 Peralatan 10,000 60,000 3 Pelatihan 5,000 40,000 4 Konsultan 5,000 30,000 5 TOTAL 170,000

NO AKTIVITAS BULAN 1 2 3 4 1 Survei 2 Analisis 3 Konsultasi 4 Desain 5 Implementasi

Ir:SOP 5 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

5

MEMPRIORITASKAN ISU LINGKUNGAN 1.0 PENGANTAR Pengembangan kebijakan lingkungan, termasuk penetapan standar lingkungan, merupakan sebuah proses yang rumit. Proses tersebut melibatkan pengkajian ilmiah dan kesehatan; pertimbangan opsi teknologi dan hukum untuk menangani isu tersebut; serta analisis sosial, politik dan ekonomi, termasuk ketentuan untuk, dan pengelolaan konsultasi dan masukan dari stakeholder dan masyarakat dalam upaya meningkatkan mutu dan memperoleh dukungan masyarakat terhadap keputusan terkait. Isu lingkungan mencapai agenda politik melalui rute internasional, nasional atau lokal yang beraneka-ragam. Mereka seringkali berada dalam persaingan langsung dengan isu sosial, ekonomi dan pembangunan lainnya agar memperoleh perhatian politik yang cukup demi mendapatkan pertimbangan yang aktif; dan pada gilirannya kemauan politik yang cukup untuk menanganinya dengan cara yang membangun, segera setelah dikenali. Isu lingkungan dapat bersifat spesifik lokasi (misalnya, Tambang Freeport di Irian Jaya); berkaitan dengan daerah aliran sungai, airshed atau daerah (misalnya, pencemaran air Sungai Brantas di Jawa Timur); atau mengasumsikan dimensi nasional atau internasional (misalnya, pemanasan global). Mereka bisa diakibatkan dari kegiatan tunggal atau banyak kegiatan langsung atau tidak langsung, dan memiliki efek lingkungan yang bersifat tunggal atau multi-media. Contoh-contohnya meliputi:

• pencemaran udara lokal dari pabrik daur ulang besi baja (efek tunggal dan langsung dalam satu media, udara);

• pencemaran udara dari kota besar termasuk emisi sumber tak bergerak dan bergerak (efek langsung dan banyak dalam satu media, udara);

• pencemaran kabut fotokimia dan ozon yang merupakan akibat dari pencemaran udara di atas dan adanya inversi suhu dalam airshed penerima (efek tidak langsung dan banyak di satu media, udara); dan

• penggunaan pestisida pertanian yang mengakibatkan efek kesehatan dan ekologis buruk dari pencemaran yang dibawa oleh udara, serta kontaminasi lahan dan pencemaran air yang berasal dari peresapan air tanah dan aliran buang ke sungai (efek multi-media langsung dan tidak langsung dalam sejumlah media, udara, tanah dan air).

Oleh karena itu, penting kiranya untuk menentukan dengan jelas isu lingkungan dan memprioritaskannya dalam pengembangan program tindakan terkait, karena semuanya tidak dapat ditangani secara simultan. Sebuah program logis dan didokumentasikan dengan baik yang ditujukan untuk menangani isu riil akan lebih mudah memperoleh pengakuan dan penerimaan dalam agenda politik pemerintah ketimbang yang kurang demikian.

Ir:SOP 5 2

2.0 TUJUAN Tujuan SOP ini adalah untuk memberikan:

• Panduan untuk membantu BAPEDAL dan staf yang terlibat lainnya dalam mengidentifikasi dan mendefinisikan isu lingkungan yang membutuhkan pertimbangan untuk menetapkan atau merevisi standar lingkungan.

• Bantuan untuk memahami metodologi atau proses dan untuk memprioritaskan isu lingkungan mengenai penetapan standar lingkungan.

3.0 LATAR BELAKANG 3.1 Isu Isu atau masalah lingkungan dapat menjadi jelas bagi pengamat awam, misalnya, air atau udara yang kotor dan berbau; atau yang tidak kelihatan, misalnya, minyak yang bocor masuk ke dalam air tanah dari tanki bawah tanah; kontaminasi bahan kimia terhadap tanah dari penggunaan pestisida yang berlebihan; pencemaran air raksa terhadap udara dari praktek gold recovery; atau pemanasan global dari emisi karbon dioksida yang berlebihan ke atmosfir. Masyarakat setempat seringkali merupakan sumber informasi terbaik tentang masalah atau isu lingkungan yang nyata. Mereka ingat seperti apa lingkungan daerah mereka sebelumnya, dan kesejahteraan mereka terkena pengaruh secara langsung oleh mutu lingkungan pada saat ini. Bahwa, isu lingkungan nyata yang terbaik adalah apabila ditentukan melalui pendekatan dari bawah ke atas. Isu yang kurang jelas atau tak tampak kadang-kala menunjukkan diri mereka dan menjadi jelas di tingkat lokal melalui perkembangan efek kesehatan manusia atau ekologis yang buruk. Misalnya, orang akan mengembangkan tingkat kenaikan diare melalui kontaminasi air tanah, atau masalah pernafasan dari penurunan mutu udara ambien. Mereka juga seringkali teridentifikasi melalui riset nasional atau internasional (misalnya, penipisan ozon stratosfir) atau aliran dari penetapan perjanjian bi-lateral atau konvensi internasional (misalnya Konvensi Basel mengenai Gerak Limbah Berbahaya Lintas Perbatasan / Basel Convention on Transboundary Movements of Hazardous Wastes). Tentu saja akan ada perbedaan persepsi masyarakat dan keprihatinan terhadap keaneka-ragamanan isu ini, bergantung pada pengetahuan dan kepentingan masyarakat. Misalnya, masyarakat yang semata-mata bergantung pada pekerjaan di bidang budi-daya air akan sangat prihatin pada pencemaran industri yang terkait dengan kolam ikan dan potensinya yang merusakkan, dengan kemungkinan naiknya permukaan air laut karena pemanasan global hanya sedikit atau tidak memprihatinkan mereka sama sekali, meskipun kolamnya juga dapat dihancurkan oleh banjir air laut. Mereka memahami yang pertama, tetapi tidak memahami ancaman yang kedua yang memiliki konsekuensi sama. Oleh karena itu, dalam mengidentifikasi isu lingkungan, penting kiranya untuk memastikan agar stakeholder dan masyarakat memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam proses tersebut dan diberi informasi yang cukup dan yang mudah dipahami agar partisipasi mereka punya arti.

Ir:SOP 5 3

Dalam menentukan isu, lingkungan batas isu juga harus ditentukan. Ingat, ESM perlu menetapkan standar lingkungan untuk area geografis terkecil di mana hal tersebut beralasan dilakukan. Batas isu harus membantu menentukan area di mana standar lingkungan yang ditentukan kemudian diterapkan. Ini bisa jadi hanya bersifat spesifik lokasi, distrik, propinsi, daerah (termasuk watershed dan airshed), nasional atau multi-nasional. 3.2 Prioritasisasi Seringkali ada sejumlah isu masalah lingkungan di suatu area sekaligus. Tidak mungkin menangani semuanya secara bersamaan, meskipun dengan sumberdaya yang tak terbatas. Juga, tidak semua isu sama pentingnya. Memprioritaskan isu ini dengan cara yang logis akan membantu Pemerintah dan stakeholder mengembangkan kebijakan, program dan standar respon yang efektif biaya. Misalnya, keefektifan biaya dan pengkajian risiko program pengolahan air limbah industri yang tepat demi menghindari kerusakan pada kolam ikan tersebut di atas dapat meningkatkan prioritas jauh lebih tinggi ketimbang upaya untuk menangani secara langsung kerusakan yang mungkin terjadi karena naiknya permukaan air laut di masa mendatang, jika bukan untuk alasan yang lainnya bahwa mungkin ada lebih banyak waktu untuk menangani yang tersebut terakhir. Susunan prioritas yang perlu ditetapkan dalam konteks nasional dan lokal konsisten dengan kebijakan dan strategi pemerintah yang telah mapan. Ini diberikan dalam UUD dan GBHN, Rencana Pembangunan, Perundang-undangan dan Kebijakan Pemerintah yang diterbitkan. Namun, hanya karena identifikasi isu dalam beberapa hal tidak konsisten, bukanlah alasan untuk tidak bertindak, tetapi lebih merupakan alasan untuk mereviu panduan pemerintah. Prioritasisasi seringkali perlu mencapai keseimbangan antara prioritas lokal dan nasional, dengan kepentingan lokal diberi pertimbangan yang sama karena mereka seringkali mencerminkan kemauan rakyat, suatu bumbu penting dalam demokrasi yang berhasil. 4.0 DEFNISI ISU Titik awal penetapan kebijakan lingkungan atau standar lingkungan adalah pengenalan masalah atau isu. Dalam banyak kasus akan ada sejumlah konteks. Dalam beberapa kasus, isunya adalah bahwa tindakan yang telah diambil sebelumnya memiliki hasil yang tidak memuaskan. Dalam kasus lainnya, seluruh isunya adalah sama sekali baru. Beberapa penemuan ilmiah (seperti penemuan efek khlorofluorokarbon (CFC) pada ozon stratosfir) dapat mengantar pada pengidentifikasian atau pengkajian kembali suatu isu. Pengenalan isu juga dapat terjadi melalui perubahan persepsi masyarakat terhadap suatu situasi, yang dapat mencerminkan pergeseran nilai. Sikap terhadap usulan instalasi minyak Brent Spar di Laut Utara mengenai pembuangan ke laut menggambarkan secara dramatis suatu pergeseran nilai demikian. Pandangan masyarakat harus diperhitungkan dalam menentukan apa isu keprihatinan yang sebenarnya. Hal ini dapat melibatkan konsultasi stakeholder dan kelompok masyarakat setempat atau survei masyarakat. Selain itu, hal ini akan pula membantu memahami secara lebih baik terhadap sifat isu dan memulai proses pengembangan konsensus, seiring dengan berlangsungnya proses untuk mengeluarkan definisi dan tindakan prioritasisasi. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, konsultasi semacam itu harus melibatkan pemberian informasi yang siap dipahami guna memungkinkan keikutsertaan masyarakat yang berarti.

Ir:SOP 5 4

Langkah selanjutnya adalah mendefinisikan isu, tidak hanya sekedar mengidentifikasi bahwa sesuatu adalah salah, tetapi mendefinisikan apa sebenarnya yang salah. Dalam banyak kasus, dua langkah yang pertama dapat terjadi secara simultan. Dalam kasus lain, pertimbangan lebih lanjut dapat mengungkapkan situasi yang lebih luas dan lebih rumit. Bila sifat isu atau masalah tidak pasti, maka nilai dari mereka yang menelitinya akan cenderung mempengaruhi cara mereka mendefinisikannya dan dengan demikian riset yang dilakukan harus membuat klarifikasi untuk itu. Definisi tersebut bisa jadi tidak digunakan secara universal: orang lain dapat mengkaji masalah tersebut dari perspektif yang berlainan dan dengan demikian mendefinisikannya secara berbeda. Kasus Brent Spar memberikan contoh lagi. Apakah kasus tersebut merupakan masalah identifikasi opsi lingkungan terbaik yang dapat dipraktekkan untuk suatu pembuangan yang terisolasi; ataukah menetapkan preseden bagi pembuangan seluruh struktur lepas pantai yang sejenis? Apakah pembuangan sampah di laut merupakan cara pembuangan hasil limbah masyarakat yang dapat diterima? Bagaimana risiko pembuangan ke lahan harus dibandingkan dengan risiko pembuangan ke laut yang jelas sangat berbeda? Kelompok orang yang berbeda memiliki pendekatan dan jawaban yang sangat berbeda pula terhadap sejumlah isu ini. Dalam beberapa kasus mungkin ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai apa yang harus dilindungi: kesehatan manusia, lingkungan alam, atau keduanya. Atau tingkat perlindungan setinggi apa yang harus diberikan: pada efek akut atau kronis; pada efek jangka panjang atau pendek, atau pada efek setempat atau jauh. Hanya prosedur inklusif yang dapat menjelaskan dengan memuaskan keprihatinan yang harus ditangani dan mengidentifikasi kisaran titik pandang yang harus diperhitungkan, dengan demikian mengeraskan jalan untuk melakukan penyelesaian masalah tersebut secara efektif. Contoh lain mengenai definisi tak lengkap adalah mempertimbangkan penghirupan timah hitam dari atmosfir tanpa mempertimbangkan penghirupan dari cat; atau mempertimbangkan efek ozon pada manusia tanpa mempertimbangkan efeknya pada tetumbuhan. Cara merumuskan masalah menentukan bagaimana persoalan yang harus dipertimbangkan dibingkai, dan penting bagi hasil akhir prosedur penetapan standar. Oleh karena itu, penting kiranya untuk memperhitungkan pada tahap dini ini perspektif dan nilai semua yang mungkin terkena pengaruh suatu masalah atau mengandung kepentingan di dalamnya. Ini bisa berupa serangkaian orang yang luas atau sempit, bergantung pada situasinya, dan perspektif mereka seringkali sangat berlainan. Keputusan akhir tidak perlu mewakili suatu konsensus (walau harapannya demikian) juga bukan denominator akseptabilitas biasa terendah, tetapi pandangan yang menyimpang harus telah diperhitungkan dengan semestinya. Untuk membantu dalam pengidentifikasian dan pendefinisian isu, sejumlah contoh diberikan dalam Tabel 1. TABEL 1: ISU LINGKUNGAN TIPIKAL

NO TOPIK ISU 1 Lahan lahan pedesaan yang digunakan untuk pembangunan perkotaan

pembukaan lahan dan erosi tanah kontaminasi lahan oleh pestisida kontaminasi lahan oleh limbah berbahaya penambangan penggunaan lahan pertanian marjinal secara berlebihan konversi untuk budi-daya air

Ir:SOP 5 5

2 Vegetasi penebangan kayu secara gelap penggundulan hutan konversi hutan budi-daya berpindah penambangan pembabatan untuk keperluan perkotaan, perkebunan dan pertanian kerusakan biodiversitas hutan

3 Udara emisi industri emisi sumber bergerak pembakaran terbuka penambangan open cut emisi air raksa dari gold recovery emisi khlorofluorokarbon emisi karbon dioksida dan pemanasan global

4 Air buangan industri buangan perkotaan aliran buang (run-off) perkotaan aliran buang pedesaan erosi tanah penggunaan pestisida pembuangan limbah secara gelap kontaminasi air tanah

NO TOPIK ISU

kontaminasi air minum salinisasi eutrofikasi buangan kapal di perairan pesisir budi-daya air yang berlebihan kerusakan biodiversitas sungai

5 Ekosistem kerusakan hutan bakau kerusakan hutan tadah hujan eksploitasi terumbu karang abrasi dan sedimentasi pencemaran pesisir/laut erosi pesisir kerusakan biodiversitas pesisir penangkapan ikan yang berlebihan

6 Sosial dan budaya efek kesehatan yang buruk hilangnya mutu kehidupan hilangnya pekerjaan tradisional konflik sosial hilangnya habitat budaya hilangnya identitas budaya kerusakan artifak dan relik budaya

Area dampak isu juga harus diidentifikasi. Mereka dapat berupa area efek langsung atau tidak langsung, dan primer atau sekunder dalam hal hasilnya. Efek langsung dapat berupa serangan asma karena tingkat sulfur dioksida yang berlebihan, atau tidak langsung selama bertahun-tahun dalam pengembangan emfisema (sejenis penyakit paru-paru) melalui orang yang tidak merokok tetapi menghirup asap tembakau orang lain yang merokok. Efek primer dapat berupa masalah pernafasan karena eksposur pada karbon dioksida tingkat tinggi. Efek sekunder dapat berupa banjir karena naiknya permukaan air laut yang merupakan akibat dari pemanasan global yang disebabkan oleh emisi karbon dioksida dunia yang berlebihan. Area dampak seringkali bersifat multi-dimensional, artinya biasanya mengandung area geografis efek, tetapi kadang-kala juga salah satu efek populasi, kesehatan, sosial, ekonomi

Ir:SOP 5 6

dan budaya atau lainnya. Definisi area dampak menetapkan parameter proses pengumpulan dan analitis data dalam mengembangkan rencana dan kebijakan pengelolaan lingkungan, serta dalam menentukan atau merevisi standar lingkungan. 5.0 PRIORITASISASI ISU Mengingat luasnya keaneka-ragaman isu, area dan karakteristik dampaknya, maka prioritasisasinya bukanlah sekedar masalah perbandingan langsung, karena tidak ada dua isu yang sama. Pengembangan dan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan dan penetapan atau revisi standar lingkungan yang melibatkan pertimbangan banyak isu yang kadang-kala saling berkaitan, harus dibahas melalui evaluasi dampak dan hubungan variabel melalui peringkat prioritasisasinya. Metode tradisional yang masih penting digunakan dalam pengevaluasian dan pemberian ranking opsi termasuk penerapan analisis keuangan dan ekonomi serta perencanaan banyak tujuan. Mekanisme ini terutama juga relevan dengan pemilihan program jangka pendek dan dalam keputusan penetapan standar. Informasi lebih jauh mengenai prioritasisasi isu diberikan dalam Seksi 11 Bagian B, Volume 2 ESM ini. 5.1 Analisis keuangan dan ekonomi Analisis keuangan dan ekonomi membahas semua biaya dan manfaat. Ini dapat melibatkan efek menguntungkan atau merugikan selain dari biaya pembangunan dan pengoperasian serta manfaat bagi pengguna. Kelayakan keuangan dan ekonomi menyiratkan arti bahwa diskon keuntungan dari kebijakan atau standar untuk membahas isu harus melampaui diskon biaya atas kehidupannya yang berguna. Indikator seperti rasio manfaat-biaya, keuntungan bersih, net present value (nilai bersih sekarang) dan internal rate of return (tingkat pengembalian internal) digunakan untuk menunjukkan kelayakan ekonomi. Semua biaya dan manfaat yang dapat diperhitungkan harus dimasukkan dalam analisis. Pendekatan ini relatif mudah untuk item jenis bata dan turap dengan harga pasar yang sudah sangat mapan. Kiranya tidak terlalu mudah bila analisis tersebut memasukkan sumberdaya lingkungan – lahan, air, tetumbuhan dan hewan; atau sejumlah pertimbangan sosial dan budaya. Hal ini dikarenakan sumberdaya ekologis, sosial dan budaya ini merupakan barang milik umum – tidak ada cara yang mudah untuk menentukan harga pasar bagi komoditas tersebut. Udara bersih, air tak tercemar dan kesehatan masyarakat merupakan contoh yang bagus. Kegagalan pasar disenyawakan dengan kehadiran eksternalitas; biaya yang disebabkan oleh satu orang, tetapi ditanggung oleh orang lainnya. Misalnya, industri yang ingin sekali mendapatkan keuntungan akan meminimumkan biayanya. Jika bagian dari biaya ini, komponen ekologis, sosial dan budaya, ditanggung oleh orang lain, maka industri tidak akan campur tangan kecuali jika tanggung jawab perusahaan, peraturan umum dan/atau paksaan mewajibkannya. 5.2 Perencanaan banyak tujuan Metode luas yang kurang berwujud mengenai optimisasi parameter sosial, ekonomis, lingkungan dan parameter lainnya ini, yang menyumbang kepada perencanaan pembangunan, telah mulai dibahas dan disempurnakan selama sekitar tiga dasawarsa terakhir. Misalnya, pada tahun 1950 US Inter-Agency Committee on Water Resources (Komite Antar-lembaga mengenai Sumberdaya Air AS) dalam Usulan Praktek Analisis Ekonomi Proyek Lembah

Ir:SOP 5 7

Sungai, menyadari bahwa tujuan akhir proyek dan program lembah sungai, sama halnya dengan semua kegiatan produktif lainnya, adalah untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Juga diakui bahwa kebijakan publik bisa dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomis lainnya, namun kemudian membatasi diri sendiri terhadap teknik evaluasi ekonomi tradisional. Laporan Dewan Sumberdaya Air dari Presiden Amerika Serikat tahun 1962 (1962 US President’s Water Resources Council) mengambil pandangan yang luas dalam menyatakan tujuan dasar perumusan rencana mengenai hal memberikan manfaat terbaik, atau kombinasi manfaat, dari sumberdaya air dan lahan untuk memenuhi semua kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang yang dapat diramalkan. Dengan demikian, prosedur perencanaan dituntut untuk mempertimbangkan sepenuhnya tujuan pengembangan, pelestarian dan kesejahteraan manusia, dan membuat pilihan beralasan di antara mereka ketika sedang konflik. Dewan Sumberdaya Air Amerika Serikat (didirikan pada tahun 1965) memadukan pertimbangan ekonomis, lingkungan, sosial dan regional dalam prosedur perhitungan mereka, pada tahun 1970. Ini dikurangi menjadi pertimbangan pembangunan ekonomi nasional dan mutu lingkungan pada tahun 1973, dengan melibatkan pembangunan regional dan kesejahteraan sosial bila dipandang perlu. Belum lama berselang, telah dikembangkan teknik akuntansi sumberdaya alam, yang mencoba menempatkan nilai uang pada sumberdaya ekologis. Namun, masalahnya adalah bahwa sejauh ini upaya untuk membangun skema akuntansi telah meremehkan sumberdaya ekologis dan budaya sebagai sarana yang tersedia bagi para ahli ekonomi memiliki keterbatasan. Misalnya, metode kerelaan membayar secara signifikan dapat memandang rendah aspek ekosistem yang belum begitu dikenal oleh masyarakat. Beberapa asumsi yang mengutamakan prosedur pengurangan tidak relevan dengan efek lingkungan jangka panjang. Multiplier ekonomi yang digunakan terhadap nilai lingkungan dapat mendistorsi hasilnya. Ada sejumlah pendekatan lain yang digunakan dalam perencanaan dan evaluasi banyak tujuan, sebagian di antaranya adalah:

• memaksimumkan tujuan tunggal atau kelompok yang memiliki halangan pada yang lainnya

• pengevaluasian rencana berdasarkan alternatif melalui tawar-menawar antar peserta • menimbang alternatif dan komponennya untuk tujuan perbandingan • penggunaan nilai sasaran komponen dengan penalti kegagalan. Kebanyakan, perlakuan terhadap tujuan dan kriteria terbatas pada pertimbangan mereka yang tersirat dalam penalaran atau penaksiran nilai dari perencana, yang mengembangkan prosedur perumusan atau analisis tertentu. Namun demikian, berbagai teknik optimasi matematis telah dikembangkan dan diterapkan untuk mempermudah proses pembuatan keputusan. Namun, hasilnya hanya sebagus asumsi dan masukan datanya. 5.3 Sistem ranking (a) Strategi alternatif Suatu pendekatan yang menarik dalam mengevaluasi alternatif adalah yang digunakan dalam Studi Pengelolaan Air Limbah Area Luas Suffolk Nassau (AS) pada tahun 1978. Lima tujuan/kriteria digunakan, yaitu biaya, mutu lingkungan, reliabilitas, kemungkinan pelaksanaan dan pemanfaatan energi. Ada lebih 600.000 kombinasi dan studi tersebut dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap satu mengurangi jumlah opsi hingga ke proporsi yang

Ir:SOP 5 8

dapat ditangani dengan cara membuang hal yang mengandung hambatan lingkungan yang besar dan jelas dan biaya berlebihan. Tahap dua memanfaatkan pendekatan tiga langkah untuk mengevaluasi lebih jauh opsi tersebut. Langkah 1 menggunakan kuesioner untuk mengestimasikan keinginan penduduk pada pilihan tujuan. Langkah 2 melakukan evaluasi teknis terhadap setiap alternatif berdasarkan pada seberapa baiknya setiap tujuan dapat dipuaskan. Langkah 3 menggabungkan hasil langkah 1 dan 2 dengan menggunakan matriks keputusan multi-tujuan untuk menghasilkan ranking alternatif akhir. Kemudian kepekaan analisis dilaksanakan untuk menguji validitas proses. Sebuah metodologi yang serupa digunakan pada tahun 1977 untuk mengevaluasi lokasi alternatif bagi bandara internasional kedua Sydney. Proses Delphi memberikan contoh lain mengenai proses reviu struktur masyarakat dalam perencanaan multi-tujuan. Tujuannya adalah untuk mencapai konsensus mengenai solusi masalah dengan cara mempertimbangkan secara bersama-sama opini dari kelompok saksi ahli yang berbeda; termasuk penduduk, para ahli sektoral, penasihat kebijakan dan pembuat keputusan. Manfaatnya adalah bahwa pemrosesan sejumlah besar informasi dipermudah dengan cara yang sistematis. Umpan balik dan ranking langsung memberikan metode berbiaya rendah mengenai pengasimiliasian pendapat ahli. Namun, keberhasilannya bergantung pada ketrampilan pimpinan kelompok dan membuat peserta terikat pada tujuan untuk mencapai konsensus. (b) Evaluasi dampak lingkungan Dengan hadirnya prosedur analisis dampak lingkungan sejak akhir tahun 1960-an hingga awal 1970-an, berbagai teknik analisis/evaluasi dan metodologi terkait diperkenalkan dan dikembangkan dalam perjalanan waktu. Sebagian dari ini dirangkum di bawah, dan mengingat tujuan dan karakteristiknya, sebagian cocok diadaptasikan dengan pilihan criteria dalam mengambil prioritas isu lingkungan. Daftar periksa menyajikan salah satu metodologi dasar yang digunakan dalam sistem evaluasi lingkungan yang dikembangkan dan diuji untuk keperluan Biro Reklamasi Amerika Serikat (United States Bureau of Reclamation/USBR) oleh Laboratorium Batelle Columbus. Mereka digunakan untuk mengukur mutu dan isu lingkungan dalam hal skor yang dapat digunakan untuk evaluasi alternatif komparatif, atau untuk membandingkan isu lain. Probabilitas efek setiap tindakan dan efek diklasifikasi menurut apakah dampaknya mungkin merugikan, menguntungkan atau netral. Perlu dibuat sebuah catatan terpisah mengenai semua keterkaitan di mana tidak ada keputusan yang dapat dibuat, baik karena kekurangan data atau keahlian. Empat kategori daftar periksa adalah sebagai berikut:

• Daftar Periksa Sederhana memberikan uraian dasar mengenai kemungkinan dampak positif atau negatif sesuatu proyek atau kegiatan tanpa upaya menentukan peringkat kebesarannya.

• Daftar Periksa Deskriptif menjelaskan faktor lingkungan secara rinci, termasuk informasi mengenai interpretasi ukuran dan data yang sebenarnya. Laboratorium Riset Rekayasa Konstruksi Angkatan Bersenjata AS (The US Army Construction Engineering Research Laboratory) telah menggunakan ini lebih jauh dengan mengkomputerisasikan sistemnya. Di sini masing-masing interaksi dikodekan ke dalam salah satu dari empat kategori. Yang pertama mengindikasikan bahwa dampak potensial harus dianalisis setiap kali kegiatan dilaksanakan. Yang kedua adalah bahwa biasanya dampak itu ada, tetapi bisa juga tidak

Ir:SOP 5 9

ada, bergantung pada situasinya. Yang ketiga bahwa dampak timbul dalam situasi tertentu. Yang keempat dalam hal tidak ada dampak potensial.

• Daftar Periksa Skala mempergunakan teknik penentuan skala untuk mengkaji dampak dengan peringkat yang dapat diungkapkan dengan penjumlahan aljabar, penilaian tambah dan kurang, rasio peringkat dan rata-rata peringkat.

• Daftar Periksa Skala – Bobot mempermudah para pembuat keputusan. Mereka tidak hanya memberikan identifikasi dampak yang kuat saja, melainkan juga tingkat pengukuran, interpretasi dan evaluasi. Namun demikian, penentuan skala - bobot tersebut adalah, utamanya, terbuka terhadap bahaya yang orang lain bisa saja melihatnya secara berbeda. Juga nilai numerik yang ditetapkan dalam proses tersebut dapat bias. Mereka terhimpun dalam berbagai dampak lain dan ini menghapuskan kelayakan pertukaran oleh para pembuat keputusan.

Sistem Batelle yang ditunjukkan di atas dikembangkan untuk diterapkan di proyek sumberdaya air. Biasanya ini diterima karena memiliki aplikasi yang luas dan melibatkan sejumlah langkah berikut:

• Mendapatkan data parameter eksternal. Mengkonversikannya menjadi nilai skala mutu lingkungan (EQ) dan mengalikannya dengan pembobotan kepentingan (PIU) untuk mendapatkan skor gabungan.

• Untuk setiap alternatif diprediksikan perubahan dalam parameter lingkungan.

• Memanfaatkan prediksi perubahan yang menentukan skala mutu lingkungan untuk masing-masing parameter dan alternatif.

• Mengalikan nilai setiap alternatif mutu lingkungan (EQ) dengan setiap PIU (pembobotan kepentingan), dan menghimpun informasi untuk mendapatkan jumlah skor gabungan.

Matriks telah dikembangkan dan digunakan dalam beberapa bentuk evaluasi analisis dampak. Yang paling sederhana di antaranya adalah matriks interaksi dasar di mana skor numerik diberikan untuk probabilitas skala, intensitas, durasi, frekuensi dan efek kumulatif atas setiap tindakan atau perubahan dalam masing-masing komponen lingkungan. Leopold mendesain matriks 100 tindakan spesifik potensial terhadap 88 item lingkungan. Sistem gradasi berkisar dari 1 hingga 10 digunakan untuk setiap tindakan berdasarkan pada potensi dampak yang diciptakan. Demikian pula halnya, skala kepentingan item lingkungan ditentukan mulai dari 1 hingga 10 berdasarkan pada signifikansi interaksi potensial. Kerangka ini dapat bervariasi disesuaikan dengan keaneka-ragaman situasi. Jaringan merupakan perpanjangan matriks dan memberikan analisis interaksi yang berguna dengan memanfaatkan kerangka kerja konseptualSorenson mengembangkan pendekatan jenis jaringan untuk pertimbangan dampak lingkungan dari berbagai penggunaan di zona pesisir. Ini diangap menjadi matriks berjenjang di mana suatu interaksi matriks digambarkan memelopori lainnya. 6.0 PROSES PRIORITASISASI Prioritasisasi isu dapat menggunakan satu atau lebih teknik di atas, tergantung pada jumlah dan tingkat kerumitannya. Misalnya, perencanaan multi-tujuan skala penuh, analisis manfaat biaya, risiko dan kepekaan mungkin diperlukan untuk pengembangan strategi lingkungan

Ir:SOP 5 10

Indonesia. Adalah benar bahwa pengkajian yang rinci membutuhkan data yang komprehensif dan investasi sumberdaya waktu dan ahli yang sangat banyak. Sebaliknya, barangkali Kabupaten setempat mungkin hanya prihatin dengan prioritas 10 atau 15 isu untuk diputuskan dalam rencana pengendalian pencemaran tahunannya, dalam hal mana pengkajian umum sudah dianggap cukup. Contoh mengenai proses pengkajian umum, yang menggunakan model Skala – Bobot (Scaling-Weighting), diberikan di bawah ini. Ini sesuai bila melibatkan sejumlah isu yang dapat ditangani, atau bila kekurangan data atau sumberdaya yang cukup tidak memungkinkan dilakukannya pengkajian yang lebih rinci dan canggih yang ditunjukkan di atas. Misi utama pemerintah adalah mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lestari, merata, dan patuh sepenuhnya terhadap hukum. Pemerintah juga menyadari arti penting dicapainya pengembangan ekologis yang lestari sebagai dasar pembangunan ekonomi dan strategi pengurangan kemiskinan yang lebih luas. Oleh karena itu, setiap sistem ranking harus terkait secara jelas dan dapat dikuantifikasi dengan dampak lingkungan dan manfaat pada kesehatan; serta sumberdaya lahan, udara dan air, dsb. Kriterianya harus mencakup faktor teknis dan sosial ekonomi yang berkaitan. Kriteria tersebut juga harus memenuhi prinsip kondisi komprehensif, fleksibilitas, relevansi, obyektivitas, evaluasi ahli, dan kuantifikasi sejauh data yang tersedia. Kriteria yang dipilih untuk contoh prioritasisasi ini dijelaskan sebagai:

• Kesehatan – tingkat kemungkinan dampak terhadap kesehatan masyarakat, di tingkat lokal dan regional, dan hubungannya dengan populasi dan tingkat pencemaran udara, air, lahan dan bunyi. Indikator lainnya dapat termasuk tingkat angka kematian bayi, penyakit yang dibawa air, toksisitas dan perawatan kesehatan.

• Lingkungan – tingkat kemungkinan kerusakan atau perbaikan mutu lingkungan dan hubungannya dengan, dan mutu dari, media lingkungan penerima. Indikatornya dapat termasuk faktor mutu udara, lahan, air, biologis dan bunyi di tingkat lokal dan regional, serta kemampuan asimilatif, perubahan habitat dan periode pemulihan lingkungan.

• Ekonomi – biaya produksi dan konsumen, serta dampak ekonomis pada produk domestik bruto propinsi (gross provincial domestic product / GPDP), lapangan pekerjaan dan kemiskinan.

• Risiko – langkah tindakan pemerintah dan komitmen masyarakat, kapasitas implementasi, tingkat partisipasi, dukungan masyarakat, dan pendanaan serta ketersediaan sumberdaya lainnya.

• Biaya – biaya modal dan pengoperasian pelaksanaan pemecahan. Data harus dikumpulkan dan ditabulasikan untuk kriteria di atas, dan untuk area cakupan isu geografis dan fungsional yang sedang dipertimbangkan, termasuk solusinya. Silakan merujuk Tabel 1 yang memberikan contoh isu lingkungan. Langkah selanjutnya adalah menentukan peringkat atau signifikansi efek atau dampak isu pada masing-masing pilihan kriteria. Dalam contoh ini, kelima kriterianya tertera di atas. Biasanya ini diberi nomor 1 hingga 5, atau bahkan 10 jika tersedia detil data yang cukup

Ir:SOP 5 11

menurut pilihan kriteria untuk membuat pengkajian yang berarti dengan variasi pada skala sebesar 1 hingga 10. Dalam model ini, semakin besar nomornya berarti semakin besar dampaknya dan, dengan demikian, semakin tinggi prioritasnya untuk melakukan tindakan korektif. Dalam menentukan pilihan peringkat, skor yang potensial untuk setiap kriteria pertama-tama harus dikalibrasi pada kisaran dampak yang mungkin timbul dan kemudian didistribusikan pada skala yang dipilih. Dalam contoh ini, karena terbatasnya data yang tersedia, maka digunakan skala 1 hingga 3, sebagaimana ditunjukkan di bawah ini. Juga bobot sebesar 1 hingga 3 diberikan pada kriteria kesehatan, 1 hingga 2 pada kriteria lingkungan dan biaya, dan 1 hingga 1,5 pada masing-masing kriteria ekonomi dan risiko, sebagaimana mewakili aspirasi masyarakat dan pemerintah atas isu yang terlibat. Kriteria, peringkat dan bobot isu dan solusinya diberikan dalam Tabel 2. TABEL 2: KRITERIA PERINGKAT DAN BOBOT

PERINGKAT NO KRITERIA DAMPAK NOMOR

BOBOT

• efek kesehatan yang diketahui sedikit • beberapa kasus penyakit diare dan

pernafasan • tidak ada perubahan dalam angka

kematian bayi

1 1.0

• kasus penyakit di atas rata-rata di pusat kesehatan

• beberapa kasus penyakit diare dan pernafasan

• beberapa peningkatan dalam angka kematian bayi di atas tingkat sebelumnya

2 2.0

1 Kesehatan

• banyak kasus penyakit di pusat kesehatan

• banyak kasus penyakit yang dibawa oleh air

• angka kematian bayi yang besar di atas tingkat sebelumnya dan rata-rata propinsi

3 3.0

• baku mutu tidak terlampaui • sedikit perubahan pada sumberdaya

lingkungan, misalnya, vegetasi dan biodiversitas

• kemampuan asimilatif yang tinggi

1 1.0 2 Lingkungan

• baku mutu kadang-kala terlampaui • perubahan tingkat sedang pada

sumberdaya lingkungan, misalnya beberapa kerusakan vegetasi dan biodiversitas

• kemampuan asimilatif tingkat sedang

2 1.5

Ir:SOP 5 12

PERINGKAT NO KRITERIA DAMPAK NOMOR

BOBOT

• baku mutu seringkali terlampaui • perubahan besar pada sumberdaya

lingkungan, misalnya kerusakan vegetasi dan biodiversitas yang luas dan pencemaran air yang berat

• sedikit atau tidak memiliki kemampuan asimilatif

3 2.0

• efek tidak signifikan pada PGDP • efek tidak signifikan pada lapangan

pekerjaan • efek kecil pada kemiskinan

1 1.0

• pengurangan tingkat sedang dalam PGDP

• pengurangan tingkat sedang dalam lapangan pekerjaan

• peningkatan tingkat sedang dalam kemiskinan

2 1.0

3 Ekonomi

• pengurangan besar dalam PGDP • pengurangan besar dalam lapangan

pekerjaan • peningkatan besar dalam kemiskinan

3 1.5

• risiko tinggi atas hasil yang gemilang 1 1.0 • risiko sedang atas hasil yang gemilang 2 1.0

4 Risiko

• risiko rendah atas hasil yang gemilang 3 1.5 5 Biaya • biaya modal dan/atau pengoperasian

tinggi • biaya modal dan/atau pengoperasian

sedang • biaya modal dan/atau pengoperasian

rendah

1 2 3

1.0 1.5 2.0

Sistem tersebut biasanya diterapkan secara manual konsisten dengan pilihan kriteria penentuan peringkat, oleh panel ahli yang dipilih sebagai berpengetahuan luas atas berbagai komponen item yang harus dievaluasi. Data dikumpulkan sebanyak mungkin dan dilengkapi dengan opini anggota panel. Lembar peringkat kemudian dilengkapi oleh setiap anggota dalam sidang diskusi panel, dan dirata-rata untuk mendapatkan nilai akhir. Pendekatan sistematis jenis ini harus menekan prasangka individual dan memberikan hasil yang seimbang. Penerapan sistem peringkat mengambil manfaat dari tambahan proses konsultasi publik, tetapi kadang-kala hal ini tidak mungkin dilakukan karena terbatasnya waktu. Namun demikian, keluaran panel ahli perlu dicocokkan dengan yang ada di masyarakat, mungkin melalui isu kertas kerja rangkuman komentar publik, atau melalui survei publik. Meskipun hasil dari metode ini tidak mutlak, hal ini tidak perlu menjadi masalah karena hasil tersebut memberikan perbandingan indikatif antara isu yang ada, yang seringkali mencakup segala apa yang diperlukan. Sebuah tabel peringkat untuk keperluan para anggota panel penentuan peringkat, yang menggunakan contoh yang ditunjukkan dalam Tabel 2 di atas, disajikan dalam Tabel 3 di bawah ini.

Ir:SOP 5 13

TABEL 3: FORMULIR PENGKAJIAN PRIORITASISASI ISU AREA: KOTAMADYA SURABAYA ANGGOTA PANEL: Bpk. Budi TANGGAL: 28.1.02

PERINGKAT POTENSIAL NO ISU KRITERIA PERINGKAT BOBOT

NILAI PERINGKAT

PRIORI-TAS

Kesehatan Lingkungan Ekonomi Risiko Biaya

1 1 1 3 3

2 2 2 2 2

3 3 3 1 1

1.0 1.0 1.0 1.5 2.0

2.0 1.5 1.0 1.0 1.5

3.0 2.0 1.5 1.0 1.0

9.0 6.0 4.5 1.0 1.0

1 Mutu air sungai Surabaya

TOTAL 21.5 1

PERINGKAT POTENSIAL NO ISU KRITERIA PERINGKAT BOBOT

NILAI PERINGKAT

PRIORI-TAS

Kesehatan Lingkungan Ekonomi Risiko Biaya

1 1 1 3 3

2 2 2 2 2

3 3 3 1 1

1.0 1.0 1.0 1.5 2.0

2.0 1.5 1.0 1.0 1.5

3.0 2.0 1.5 1.0 1.0

4.0 3.0 4.5 2.0 3.0

2 Pencemaran udara Surabaya

TOTAL 16.5 3 Kesehatan Lingkungan Ekonomi Risiko Biaya

1 1 1 3 3

2 2 2 2 2

3 3 3 1 1

1.0 1.0 1.0 1.5 2.0

2.0 1.5 1.0 1.0 1.5

3.0 2.0 1.5 1.0 1.0

4.0 3.0 1.0 2.0 3.0

3 Limbah padat Surabaya

TOTAL 13.0 4 Kesehatan Lingkungan Ekonomi Risiko Biaya

1 1 1 3 3

2 2 2 2 2

3 3 3 1 1

1.0 1.0 1.0 1.5 2.0

2.0 1.5 1.0 1.0 1.5

3.0 2.0 1.5 1.0 1.0

9.0 3.0 2.0 2.0 3.0

4 Limbah berbahaya Surabaya

TOTAL 19.0 2 Kesehatan Lingkungan Ekonomi Risiko Biaya

1 1 1 3 3

2 2 2 2 2

3 3 3 1 1

1.0 1.0 1.0 1.5 2.0

2.0 1.5 1.0 1.0 1.5

3.0 2.0 1.5 1.0 1.0

1.0 3.0 1.0 2.0 3.0

5 Mutu perkotaan Surabaya

TOTAL 10.0 5 Hasil dari contoh prioritasisasi ini menunjukkan prioritas yang diberikan untuk mereviu dan menetapkan standar pencemaran dan mutu air untuk Sungai Surabaya disusul, mengingat sumberdaya dan anggarannya telah tersedia, dengan limbah berbahaya, pencemaran udara, limbah padat dan mutu perkotaan. Hasil tersebut juga menunjukkan prioritas alokasi sumberdaya untuk program pengelolaan lingkungan dan pelaksanaannya.

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

6

STANDAR LINGKUNGAN INDONESIA

1.0 BAKU MUTU AIR PERMUKAAN Sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 (1990), empat golongan manfaat air dibedakan menurut maksud peruntukannya, yakni: • A (air minum tanpa pengolahan terlebih dahulu) • B (sebagai bahan baku air minum) • C (air untuk keperluan perikanan dan hewan ternak) • D (air untuk keperluan pertanian dan peruntukan lainnya). Untuk masing-masing kelas, sejumlah parameter kimia dan fisika serta ambang batas atasnya diperinci dalam Apendiks pada PP 20. Jumlahnya ada 51 parameter untuk Kelas A, 41 untuk Kelas B, 27 untuk Kelas C dan 21 untuk Kelas D. Parameter ini diberikan dalam Tabel 1. Pasal 14 menyatakan bahwa Gubernur Propinsi harus menentukan kemampuan untuk mengasimilasi muatan pencemaran. Pasal 15 menyatakan bahwa: 1 Menteri, setelah bermusyawarah dengan para Menteri lainnya, dan/atau dengan

para kepala lembaga non departemen yang terlibat, akan menentukan baku mutu efluen.

2 Untuk melindungi mutu air, Gubernur Propinsi, setelah bermusyawarah dengan Menteri, dapat menetapkan standar yang disebutkan dalam paragraf (1).

Pasal 16 menetapkan bahwa baku mutu air ambien, kemampuan untuk mengasimilasi muatan pencemaran, dan baku mutu limbah cair harus direviu secara teratur; sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun. Pengenceran efluen dilarang. Lebih lanjut, diperlukan ijin khusus untuk membuang air limbah ke lahan. Pasal 21 menyatakan bahwa: orang yang membuang limbah cair ke dalam air harus dikenakan pembayaran retribusi. Prosedur dan jumlah retribusi ditetapkan menurut peraturan Propinsi. Pasal 27 menyatakan bahwa pembuangan limbah domestik rumahtangga diatur menurut Peraturan Daerah. TABEL 1: KRITERIA MUTU AIR – PP 20 (1990)

KADAR MAKSIMUM NO

PARAMETER

UNIT A B C D A FISIK 1 Bau Tak berbau 2 Total Bahan Padat Terlarut

(TDS) mg/L 1,000 1,000 1,000 2,000

3 Kekeruhan Skala NTU 5 4 Rasa Tak berasa 5 Suhu 0C Suhu udara

± 30C Suhu air normal

Suhu air normal ± 30C

Suhu air normal

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 2

KADAR MAKSIMUM

NO

PARAMETER

UNIT A B C D 6 Warna Skala TCU 15 7 Konduktivitas listrik umhos/cm

(250C)

2,250B KIMIA (a) BAHAN KIMIA

ANORGANIK

1 Air raksa mg/L 0.001 0.001 0.002 0.0052 Amonia bebas mg/L 0.02 3 Alumunium mg/L 0.2 4 Arsenik mg/L 0.05 0.05 1.0 1.05 Barium mg/L 1.0 1.0 1.06 Besi mg/L 0.3 5.0 7 Fluorida mg/L 0.5 1.5 1.5 8 Kadmium mg/L 0.005 0.018 0.01 0.019 Khlorin bebas mg/L 0.003

10 Kekerasan CaCO3 mg/L 500 11 Khlorida mg/L 250 600 12 Khromium (Heksavalen) mg/L 0.05 0.05 0.05 0.00313 Kobalt mg/L 114 Mangaan mg/L 0.1 0.5 6015 Sodium mg/L 200 16 NA (garam alkali) mg/L 0.0617 Nitrat, sebagai N mg/L 10 10 18 Nitrit, sebagai N mg/L 1.0 1.0 0.06 19 Perak mg/L 0.05 20 Nikel mg/L 0.521 PH 6.5-8.5 5-9 6-9 6-922 Oksigen terlarut mg/L >3 23 Selenium mg/L 0.01 0.01 0.05 0.0524 Seng mg/L 5 5.0 0.02 2.025 Sianida mg/L 0.1 0.1 0.02 26 Sulfat mg/L 400 400 27 Sulfida sebagai H2S. mg/L 0.05 0.1 0.002 28 Rasio Absorpsi Sodium

(SAR) mg/L 0.02

29 Tembaga mg/L 1.0 1.0 0.230 Timah hitam mg/L 0.05 0.1 1.031 Residu Sodium Karbonat

(RSC) mg/L 1.25-2.50

(b) BAHAN KIMIA ORGANIK 1 Aldrin dan dieldrin mg/L 0.0007 0.017 2 Benzena mg/L 0.01 3 Benzo (a) Piren mg/L 0.00001 4 Khlordana (total isomer) mg/L 0.0003 0.003 5 Khlorofom mg/L 0.03 0.5 6 2,4 – D mg/L 0.10 7 DDT mg/L 0.03 0.042 8 9

Endrin Fenol

mg/L mg/L

0.001 0.002

10 Deterjen mg/L 0.5 11 1,2-Dikhloroetan mg/L 0.01 12 1,1- Dikhloroetan mg/L 0.0003 13 Heptaktor dan Hepta

khlorpoksida mg/L 0.003 0.018

14 Logam Biru Aktif mg/L 0.5 15 Heksakhlorobenzena mg/L 0.00001 16 Lindane mg/L 0.004 0.056 17 Metoksikhlor mg/L 0.03 0.0035 18 Pentakhlorofenol mg/L 0.01 19 Toksafena mg/L 0.005

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 3

KADAR MAKSIMUM

NO

PARAMETER

UNIT A B C D 20 Total Pestisida mg/L 0.1 21 2,4,6-Trikhlorofenol mg/L 0.01 22 PCB mg/L nil 23 Bahan Organik (KMnO4) mg/L 10 24 Organofosfat mg/L 0.1 25 Oli dan gemuk mg/L nil (c) MIKRO BIOLOGIS 1 Bakteri Koliform Tinja Total per

100 ml 0 2,000

2 Total Bakteri Koliform Total per 100 ml

3 10,000

(d) RADIO-AKTIVITAS 1 Aktivitas Alfa Kotor Bq/L 0.1 0.1 0.12 Aktivitas Beta Kotor Bq/L 1.0 1.0 1.0

Catatan: ug = microgram mg = miligram L = liter umho = microhoms Bq = Bequerel NTU = Nephalometric Turbidity Units TCU = True Colour Units Logam berat adalah sebagai logam terlarut 2.0 STANDAR KESEHATAN AIR Standar kesehatan air minum, air bersih dan air-air lainnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/MENKES/PER/IX/1990 sebagaimana dikutip dalam Tabel 2. TABEL 2: STANDAR KESEHATAN AIR

KADAR MAKSIMUM NO

PARAMETER

UNIT AIR MINUM AIR BERSIH KOLAM

RENANG KAMAR MANDI UMUM

A FISIK 1 Bau Tak berbau Tak berbau Tak berbau Tak berbau 2 Total Bahan Padat Terlarut

(TDS) mg/L 1000 1,500

3 Kekeruhan Skala NTU 5 25 4 Rasa Tak berasa Tak berasa 5 Suhu 0C Suhu udara

± 30C Suhu udara

± 30C

6 Warna Skala TCU 15 50 1007 Oli dan gemuk Tak berbau

dan tanpa filem

B KIMIA (a) Kimia anorganik

1 Air raksa mg/L 0.001 0.001 2 Alumunium mg/L 0.2 0.2 3 Arsenik mg/L 0.05 0.05 4 Barium mg/L 1.0 5 Besi mg/L 0.3 1.0 6 Flourida mg/L 1.5 1.5 7 Kadmium mg/L 0.005 0.005 8 Kekerasan (CaCO3) mg/L 500 500 500 9 Khlorida mg/L 250 600

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 4

KADAR MAKSIMUM NO

PARAMETER

UNIT AIR MINUM AIR BERSIH KOLAM

RENANG KAMAR MANDI UMUM

10 Khromium (Heksavalen) mg/L 0.05 0.05 11 Mangaan mg/L 0.1 0.5 12 Sodium mg/L 200 13 Nitrat sebagai N mg/L 10 10 14 Nitrit sebagai N mg/L 1.0 1.0 15 Perak mg/L 0.05 16 PH 6.5-8.5 6.5-9.0 6.5-8.5 6.5-8.517 Salenium mg/L 0.01 0.01 18 Seng mg/L 5.0 15 19 Sianida mg/L 0.1 0.1 20 Sulfat mg/L 400 400 21 Sulfida (H2S) mg/L 0.05 22 Tembaga mg/L 1.0 1.5 23 Timah hitam mg/L 0.05 0.05

(b)

Bahan Kimia Organik

1 Aldrin dan dieldrin mg/L 0.0007 0.0007 2 Benzena mg/L 0.01 0.01 3 Benzo (a) piren mg/L 0.00001 0.00001 4 Khlorodana (total Isomer) mg/L 0.0003 0.007 5 khloroform mg/L 0.03 0.03 6 2,4-D mg/L 0.10 0.1 7 DDT mg/L 0.3 0.03 8 Deterjen mg/L 0.5 0.5 1.09 1,2-Dikhloroetan mg/L 0.01 0.01

10 1,1- Dikhloroetan mg/L 0.0003 0.0003 11 Heptakhlor dan epoksida

heptakhlor mg/L 0.003 0.003

12 Heksakhlorobenzena mg/L 0.00001 0.00001 13 Gamma-HCH (Lindane) mg/L 0.004 0.004 14 Metoksikhlor mg/L 0.03 0.01 15 Pentakhlorofenol mg/L 0.01 0.01 16 Total Pestisida mg/L 0.1 0.1 17 2,4,6-trikhlorofenol mg/L 0.01 0.01 18 Bahan organic mg/L 10 10 C MIKROBIOLOGIS 1 Bakteri Koliform Tinja Total per

100 ml 0 0

2 Total Bakteri Koliform Total per 100 ml

0 10-50 2 200

D RADIO-AKTIVITAS 1 Aktivitas Alfa Kotor Bg/L 0.1 0.1 0.1 0.12 Aktivitas Beta Kotor Bg/L 1.0 1.0 1.0 1.0

Catatan: ug = microgram mg = miligram ml = mililiter L = Liter Bg = Bequerel NTU = Nephalometric Turbidity Units TCL = True Colour Units Logam berat adalah sebagai bahan padat terlarut. 3.0 STANDAR EFLUEN AIR LIMBAH Standar efluen air limbah ditetapkan dalam Keputusan Menteri No. 3 (1991) dan No. 50 (1995). Untuk 21 industri terpilih:

• ambang batas sebelah atas volume buangan air limbah per unit produksi akhir ditetapkan untuk proses produksi terpilih dalam industri yang dipilih;

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 5

• ditetapkan kadar maksimum sejumlah polutan terpilih yang diijinkan; dan

• ditetapkan jumlah muatan maksimum per polutan per unit keluaran akhir. Untuk seluruh industri ditetapkan dua perangkat norma efluen air limbah yang berisi ambang batas sebelah atas sejumlah 33 parameter, kecuali untuk pH, suhu, dan radioaktivitas yang dinyatakan dalam mg polutan per liter.

4.0 BAKU MUTU UDARA Baku mutu udara Indonesia ditetapkan dalam Peraturan No. 41 tahun 1999, sebagaimana dikutip dalam Tabel 3 di bawah ini: TABEL 3: BAKU MUTU UDARA NASIONAL

NO.

PARAMETER

WAKTU

AMBANG BATAS

1 Sulfur Dioksida (SO2) 1 jam 24 jam 1 tahun

900 ug/Nm3 365 ug/Nm3 60 ug/Nm3

2 Karbon Monoksida (CO) 1 jam 24 jam 1 tahun

30,000 ug/Nm3 10,000 ug/Nm3

3 Nitrogen Dioksida (NO2) 1 jam 24 jam 1tahun

400 ug/Nm3 150 ug/Nm3 100 ug/Nm3

4 Ozon (O3)

1 jam 1 tahun

235 ug/Nm3 50 ug/Nm3

5 Hidrokarbon (HC)

3 jam 160 ug/Nm3

Partikel (PM10)

24 jam 150 ug/Nm3 6

Partikel (PM 2.5) *

24 jam 1 tahun

65 ug/Nm3 15 ug/Nm3

7 Total Bahan Padat Melayang (TSP)

24 jam 1 tahun

230 ug/Nm3 90 ug/Nm3

8 Timah hitam (Pb) 24 jam 1 tahun

2 ug/Nm3 1 ug/Nm3

9 Abu jatuh 30 hari days 10 ton/km2/bulan (permukiman) 20 ton/km2/bulan (industri)

10 Total Fluorida (sebagai F) 24 jam 90 hari days

3 ug/Nm3 0.5 ug/Nm3

11 Indeks Fluorida 30 hari days 40 ug/100 cm2 dari filter kertas

12 Khlorin dan Khlorin Dioksida 24 jam 150 ug/Nm3 13 Indeks Sulfat 30 hari days 1 mg SO3/100 cm3

dari peroksida timah hitam

Catatan: * PM2.5 dari tahun 2002 No. 10 hingga 13 berlaku hanya untuk industri petrokimia dan bahan kimia. 5.0 STANDAR EMISI UDARA (Sumber tak bergerak) Standar emisi udara sumber tak bergerak ditetapkan dalam KEP-13/MENLH/3/1995 selama tahun 1995 hingga 2000. Kategorinya adalah industri baja, bubur kertas dan kertas, pembangkit tenaga listrik, semen dan industri lainnya. Semua dirangkum dalam Tabel 4.

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 6

TABEL 4: STANDAR EMISI UDARA (Sumber tak bergerak)

EMISI MAKS. (mg/m3) NO.

INDUSTRI

SUMBER

PARAMETER 1995 2000

A BAJA 1 Penanganan bahan baku Total partikel 600 150 2 Basic oxygen furnace Total partikel 600 150 3 Electric arc furnace Total partikel 600 150 4 Tungku pemanasan ulang Total partikel 600 150 5 Tungku aneal (Annealing

furnace) Total partikel 600 150

6 Pengawet dan regenerasi asam (Acid pickling and regeneration)

Total partikel Gas asam hidrokhlorik berbau menyengat

600 10

150 15

7 Power boiler Total partikel Sulfur dioksida Nitrogen oksida

400 1,200 1,400

230 800

1,000 8 Semua sumber Keburaman 40% 20%

B BUBUR KERTAS DAN KERTAS

1 Tungku pemulihan (Recovery furnace)

Total partikel Total pengurangan sulfur

400 20

230 10

2 Dapur kapur Total partikel

400 40

350 28

3 Tanki pelarut Total partikel Total pengurangan sulfur

400 40

260 28

4 Digester Total pengurangan sulfur 14 10 5 Unit mesin pemutih (Bleach

plant) Khlorin Khlorin dioksida

15 130

10 125

6 Power boiler Total partikel Sulfur dioksida Nitrogen oksida

400 1,200 1,400

230 800

1,000 7 Semua sumber Keburaman 40% 35%

C PEMBANG-KIT LISTRIK

1 Total partikel Sulfur dioksida Nitrogen oksida

300 150

2 Keburaman 1,500 750 3 1,700 850 4 40% 20%

D SEMEN 1 Dapur kapur Total partikel

Sulfur dioksida Nitrogen oksida

150 1,500 1,800 35%

80 800

1,000 20%

2 Pendingin klinker Keburaman 150 80 3 Penghancuran, penggilingan,

pengangkutan dan pengantongan

Total partikel 150 80

4 Power boiler Total partikel Sulfur dioksida Nitrogen oksida

400 1,200 1,400

230 800

1,000 E LAIN-LAIN

1 Amonia 1 0.5 2 Khlorin 15 10 3 Hidrogen khlorida 10 5 4 Hidrogen fluorida 20 10 5 Nitrogen oksida 1,700 1,000 6 Opasitas 40% 35% 7 Partikel 400 350 8 Sulfur dioksida 1,500 800 9 Total pengurangan sulfur 70 35

10 Air raksa 10 5

dhie5.0/SOP6/Indonesian Env. Stds 7

EMISI MAKS. (mg/m3)

NO.

INDUSTRI

SUMBER

PARAMETER

1995 2000 11 Arsenik 25 812 Antimerkuri 25 813 Kadmium 15 814 Seng 100 5015 Timah hitam 25 12

6.0 STANDAR EMISI UDARA (Sumber Bergerak) Standar emisi udara sumber bergerak ditetapkan dalam KEP-35/MENLH/10/1993, sebagaimana dikutip dalam Tabel 5. TABEL 5: STANDAR EMISI UDARA (Sumber Bergerak)

KATEGORI KENDARAAN

BAHAN BAKAR

KONDISI PENGUJIAN

CO% Maksimum

HIDROKAR-BON ppm

KEBURAMAN

Kendaraan angkutan umum hingga 9 penumpang

Bensin Oktan ≥ 87

tidak sedang berjalan

4.5 1,200

Kendaraan disel Disel tidak sedang

berjalan 25%

Kendaraan roda dua empat stroke tanpa stroke

Bensin Octan ≥ 87

tidak sedang berjalan

4.5 4.5

2,400 3,000

dhie5.0/SOP7/International Env. Stds

1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

7

STANDAR LINGKUNGAN INTERNASIONAL

1.0 STANDAR KUALITAS PEMBUANGAN UDARA

USEPA PRIMARY AIR QUALITY

STANDARDS

WHO LONG TERM GOALS

AUSTRALIAN STANDARDS

NO.

PARAME-TER

TIME

Concentrat-ion

Method Concentrat-ion

Method Concentrat-ion

Method

1 Sulphur Dioxide

Annual Mean 24 Hours

80 µg/m3 (0.03 ppm) 365 µg/m3

(0.014 ppm)

Pulsed Fluorescence

50 µg/m3 (0.017 ppm) 125 µg/m3 (0.044 ppm)

0.02 ppm 0.08 ppm

AS3580.4.1-1990

2 Carbon Monoxide

8 Hours 1 Hour

10 mg/m3 (9 ppm) 40 mg/m3 (35 ppm)

Non-dispersive Infrared Spectrome-try

10 µg/m3 (9 ppm) 30 µg/m3 (26 ppm)

Non-dispersive Infrared Spectrome-try

9.0 ppm AS3580.7. 1-1992

3 Nitrogen Dioxide

Annual Mean 24 Hours

100 µg/m3 (0.053 ppm)

Chemilumi-nescence

150 µg/m3 (0.08 ppm)

0.03 ppm 0.12 ppm (1 hour)

Chemilumi-nescence

4 Ozone 1 Hour 8 Hours

235 µg/m3 (0.12 ppm) 160 µg/m3 (0.08 ppm)

Ultraviolet Photometry

150-200 µg/m3 (0.076-0.1 ppm) 100-120 µg/m3 (0.05-0.06 ppm)

Ultraviolet Photometry

0.10 ppm 0.08 ppm (4 hours)

AS3580.6.1-1990

5 PM10 (Particles that are 10 micrometers or smaller)

Annual Mean 24 Hours

50 µg/m3 150 µg/m3

1) High Volume Sampling

2) Continu-ous Filter-Based Mass Measu-rement

50 µg/m3 High Volume Sampling

6 PM2.5 (Particles that are 2.5 micrometers or smaller)

Annual Mean 24 Hours

15µg/m3 65 µg/m3

Tapered Element Oscillating Microba-lance (TEOM)

7 Lead 3 Months 1 Year

1.5 µg/m3 Atomic Absorption Spectrosco-py

0.5-1 µg/m3

0.50 µg/m3

Atomic Absorption Spectros-copy

2.0 STANDAR EMISI UDARA

STANDARD NO. PARAMETER

SINGAPORE

1 Smoke Ringelmann No. 2 or equivalent opacity. (Not to exceed more than 5 minutes in any period of one hour)

2 3

Solid particles Sulphuric acid mist or sulphur trioxide

0.20 g/Nm3 (Corrected to 12% CO2) 0.10 g/Nm3 as sulphur trioxide

dhie5.0/SOP7/International Env. Stds

2

NO. PARAMETER STANDARD

SINGAPORE 4 Acid gases 3.0 g/Nm3 as sulphur trioxide 5 Fluorine compunds 0.10 g/Nm3 as hydrofluoric acid 6 Hydrogen chloride 0.20 g/Nm3 as hydrogen chloride

7 Chorine 0.10 g/Nm3 as chlorine

8 Hydrogen sulphide 5 ppm as hydrogen sulphide gas

9 Nitric acid or oxides of nitrogen (nitric acid plants)

2.0 g/Nm3 as nitrogen dioxide

10 Nitric acid or oxides of nitrogen (non-nitric acid plants)

1.0 g/Nm3 as nitrogen dioxide

11 Carbon monoxide 1.0 g/Nm3 as carbon monoxide

12 Copper and its compounds 0.02 g/Nm3 as copper

13 Lead and its compounds 0.02 g/Nm3 as lead

14 Arsenic and its compounds 0.02 g/Nm3 as arsenic

15 Antimony and its compounds 0.01 g/Nm3 as antimony

16 Cadmium and its compounds 0.01 g/Nm3 as cadmium

17 Mercury and its compounds 0.01 g/Nm3 as mercury

3.0 STANDAR PENYALURAN AIR

SINGAPORE

NO. PARAMETER Watercourse

(mg/l)

Controlled Watercourse

(mg/l)

WORLD BANK (Pollution Prevention

Handbook 1998) (mg/l)

1 Temperature of discharge 450C 450C 2 Colour 7 Lovibond

Units 7 Lovibond

Units

3 pH Value 6-9 6-9 6 - 9 4 BOD (5 days at 200C) 50 20 30 - 50 5 COD 100 60 150 - 250 6 Total Suspended Solids 50 30 10 - 50 7 Total Dissolved Solids 2000 1000 8 Chloride (as chloride ion) 600 400 9 Sulphate (as SO4) 500 200 10 Sulphide (as sulphur) 0.2 0.2 11 Cyanide (as CN) 0.1 0.1 0.1-0.5 12 Detergents (linear alkylate

sulphonate as methylene blue active substances)

15 5

13 Grease and Oil 10 5 10 14 Arsenic 1 0.05 0.1 15 Barium 5 5 16 Tin 10 5 2 17 Iron (as Fe) 20 1 0.5 - 3.5 18 Beryllium 0.5 0.5 19 Boron 5 0.5 20 Manganese 5 0.5 21 Phenolic Compounds

(expressed as phenol) 0.2 Nil 0.5 - 1.0

dhie5.0/SOP7/International Env. Stds

3

SINGAPORE

NO. PARAMETER Watercourse

(mg/l)

Controlled Watercourse

(mg/l)

WORLD BANK (Pollution Prevention

Handbook 1998) (mg/l)

22 Cadmium 0.1 0.01 0.1 23 Chromium (trivalent and

hexavalent) 1 0.05 0.1

24 Copper 0.1 0.1 0.5 25 Lead 0.1 0.1 0.1 - 0.2 26 Mercury 0.05 0.001 0.01 27 Nickel 1 0.1 0.5 28 Selenium 0.5 0.01 29 Silver 0.1 0.1 0.5 30 Zinc 1 0.5 1 - 2 31 Metals in Total 1 0.5 2 - 10 32 Chlorine (Free) 1 1 2 33 Phosphate (as PO4) 5 2 34 Calcium (as Ca) 200 150 35 Magnesium (as Mg) 200 150 36 Nitrate (as NO3) 20

4.0 KRITERIA KUALITAS AIR YANG DIREKOMENDASIKAN OLEH USEPA

NASIONAL USEPA secara periodik menerbitkan kriteria kualitas air yang direkomendasikan pada bagian 304 (a) tentang Undang-undang Kebersihan Air (CWA). Kriteria ini memberikan petunjuk bagi negara dan bangsa dalam menyusun kreteria kualitas air. Ini selanjutnya dipakai untuk menentukan batas dalam pelaksanaan pemrosesan. Dokumen berikut ini menunjukkan salinan dari Kriteria Kualitas Air yang terakhir, (April 1999) bersamaan dengan catatan keterangannya, referensi dari orang yang menyusun atau merevisi standar lingkungan di Indonesia.

United States Office of Water EPA 822-Z-99-001 Environmental Protection 4304 April 1999 Agency

EPA National Recommended Water Quality Criteria-Correction

1

SUMMARY: EPA is publishing a compilation of its national recommended water quality criteria for 157 pollutants, developed pursuant to section 304(a) of the Clean Water Act (CWA or the Act). These recommended criteria provide guidance for States and Tribes in adopting water quality standards under section 303(c) of the CWA. Such standards are used in implementing a number of environmental programs, including setting discharge limits in National Pollutant Discharge Elimination System (NPDES) permits. These water quality criteria are not regulations, and do not impose legally binding requirements on EPA, States, Tribes or the public.

This notice also describes changes in EPA's process for deriving new and revised 304(a) criteria. Comments provided to the Agency about the content of this Notice will be considered in future publications of water quality criteria and in carrying out the process for deriving water quality criteria. With this improved process the public will have more opportunity to provide data and views for consideration by EPA. The public may send any comments or observations regarding the compilation format or the process for deriving new or revised water quality criteria to the Agency now, or anytime while the process is being implemented.

ADDRESSES: A copy of the notice, "National Recommended Water Quality Criteria" is available from the U.S. EPA, National Center for Environmental Publications and Information, 11029 Kenwood Road, Cincinnati, Ohio, 45242, phone (513) 489-8190. The publication is also available electronically at: http://www.epa.gov/ost. Send an original and 3 copies of written comments to W-98-24 Comment Clerk, Water Docket, MC 4104, US EPA, 401 M Street, S.W., Washington, D.C. 20460. Comments may also be submitted electronically to [email protected]. Comments should be submitted as a WP5.1, 6.1 or an ASCII file with no form of encryption. The documents cited in the compilation of recommended criteria are available for inspection from 9:00 to 4:00 p.m., Monday through Friday, excluding legal holidays, at the Water Docket, EB57, East Tower Basement, USEPA, 401 M St., S.W., Washington, D.C., 20460. For access to these materials, please call (202) 260-3027 to schedule an appointment. FOR FURTHER INFORMATION CONTACT: Cindy A. Roberts, Health and Ecological Criteria Division (4304), U.S. EPA, 401 M. Street, S.W., Washington, D.C., 20460; (202) 260-2787; [email protected]. SUPPLEMENTARY INFORMATION: I. What are Water Quality Criteria?

Section 304(a)(1) of the Clean Water Act requires EPA to develop and publish, and from time to time revise, criteria for water quality accurately reflecting the latest scientific knowledge. Water quality criteria developed under section 304(a) are based solely on data and scientific judgments on the relationship between pollutant concentrations and environmental and human health effects. Section 304(a) criteria do not reflect consideration of economic impacts or the technological feasibility of meeting the chemical concentrations in ambient water. Section 304(a) criteria provide guidance to States and Tribes in adopting water quality standards that ultimately provide a basis for controlling discharges or releases of pollutants. The criteria also provide guidance to EPA when promulgating federal regulations under section 303(c) when such action is necessary.

2

II. What is in the Compilation Published Today?

EPA is today publishing a compilation of its national recommended water quality criteria

for 157 pollutants. This compilation is also available in hard copy at the address given above. The compilation is presented as a summary table containing EPA's water quality criteria

for 147 pollutants, and for an additional 10 pollutants, criteria solely for organoleptic effects. For each set of criteria, EPA lists a Federal Register citation, EPA document number or Integrated Risk Information System (IRIS) entry (www.epa.gov/ngispgm3/iris/irisdat). Specific information pertinent to the derivation of individual criteria may be found in cited references. If no criteria are listed for a pollutant, EPA does not have any national recommended water quality criteria.

These water quality criteria are the Agency's current recommended 304(a) criteria,

reflecting the latest scientific knowledge. They are generally applicable to the waters of the United States. EPA recommends that States and Tribes use these water quality criteria as guidance in adopting water quality standards pursuant to section 303(c) of the Act and the implementing federal regulations at 40 CFR 131. Water quality criteria derived to address site-specific situations are not included; EPA recommends that States and Tribes follow EPA's technical guidance in the "Water Quality Standards Handbook - 2nd Edition," EPA, August 1994, in deriving such site-specific criteria. EPA recognizes that in limited circumstances there may be regulatory voids in the absence of State or Tribal water quality standards for specific pollutants. However, States and Tribes should utilize the existing State and Tribal narrative criteria to address such situations; States and Tribes may consult EPA criteria documents and cites in the summary table for additional information.

The national recommended water quality criteria include: previously published criteria

that are unchanged; criteria that have been recalculated from earlier criteria; and newly calculated criteria, based on peer-reviewed assessments, methodologies and data, that have not been previously published.

The information used to calculate the water quality criteria is not included in the summary

table. Most information has been previously published by the Agency in a variety of sources, and the summary table cites those sources.

When using these 304(a) criteria as guidance in adopting water quality standards, EPA

recommends States and Tribes consult the citations referenced in the summary table for additional information regarding the derivation of individual criteria.

The Agency intends to revise the compilation of national recommended water quality

criteria from time to time to keep States and Tribes informed as to the most current recommended water quality criteria.

3

III. How Are National Recommended Water Quality Criteria Used? Once new or revised 304(a) criteria are published by EPA, the Agency expects States and

Tribes to adopt promptly new or revised numeric water quality criteria into their standards consistent with one of the three options in 40 CFR 131.11. These options are: (1) adopt the recommended section 304(a) criteria; (2) adopt section 304(a) criteria modified to reflect site-specific conditions; or, (3) adopt criteria derived using other scientifically defensible methods. In adopting criteria under option (2) or (3), States and Tribes must adopt water quality criteria sufficient to protect the designated uses of their waters. When establishing a numerical value based on 304(a) criteria, States and Tribes may reflect site specific conditions or use other scientifically defensible methods. However, States and Tribes should not selectively apply data or selectively use endpoints, species, risk levels, or exposure parameters in deriving criteria; this would not accurately characterize risk and would not result in criteria protective of designated uses.

EPA emphasizes that, in the course of carrying out its responsibilities under section

303(c), it reviews State and Tribal water quality standards to assess the need for new or revised water quality criteria. EPA generally believes that five years from the date of EPA's publication of new or revised water quality criteria is a reasonable time by which States and Tribes should take action to adopt new or revised water quality criteria necessary to protect the designated uses of their waters. This period is intended to accommodate those States and Tribes that have begun a triennial review and wish to complete the actions they have underway, deferring initiating adoption of new or revised section 304(a) criteria until the next triennial review.

IV. What is the Status of Existing Criteria While They Are Under Revision?

The question of the status of the existing section 304(a) criteria often arises when EPA

announces that it is beginning a reassessment of existing criteria. The general answer is that water quality criteria published by EPA remain the Agency's recommended water quality criteria until EPA revises or withdraws the criteria. For example, while undertaking recent reassessments of dioxin, PCBs, and other chemicals, EPA has consistently upheld the use of the current section 304(a) criteria for these chemicals and considers them to be scientifically sound until new, peer reviewed, scientific assessments indicate changes are needed. Therefore, the criteria in today's notice are and will continue to be the Agency's national recommended water quality criteria for States and Tribes to use in adopting or revising their water quality standards until superseded by the publication of revised criteria, or withdrawn by notice in the Federal Register.

V. What is the Process for Developing New or Revised Criteria?

Section 304(a)(1) of the CWA requires the Agency to develop and publish, and from time

to time revise, criteria for water quality accurately reflecting the latest scientific knowledge. The Agency has developed an improved process that it intends to use when deriving new criteria or

4

conducting a major reassessment of existing criteria. The purpose of the improved process is to provide expanded opportunities for public input, and to make the process more efficient.

When deriving new criteria, or when initiating a major reassessment of existing criteria,

EPA will take the following steps. 1. EPA will first undertake a comprehensive review of available data and information.

2. EPA will publish a notice in the Federal Register and on the Internet announcing its assessment or reassessment of the pollutant. The notice will describe the data available to the Agency, and will solicit any additional pertinent data or views that may be useful in deriving new or revised criteria. EPA is especially interested in hearing from the public regarding new data or information that was unavailable to the Agency, and scientific views as to the application of the relevant Agency methodology for deriving water quality criteria.

3. After public input is received and evaluated, EPA will then utilize information obtained from both the Agency's literature review and the public to develop draft recommended water quality criteria.

4. EPA will initiate a peer review of the draft criteria. Agency peer review consists of a documented critical review by qualified independent experts. Information about EPA peer review practices may be found in the Science Policy Council's Peer Review Handbook (EPA 100-B-98-001, www.epa.gov).

5. Concurrent with the peer review in step four, EPA will publish a notice in the Federal Register and on the Internet, of the availability of the draft water quality criteria and solicit views from the public on issues of science pertaining to the information used in deriving the draft criteria. The Agency believes it is important to provide the public with the opportunity to provide scientific views on the draft criteria even though we are not required to invite and respond to written comments.

6. EPA will evaluate the results of the peer review, and prepare a response document for the record in accordance with EPA's Peer Review Handbook. EPA at the same time will consider views provided by the public on issues of science. Major scientific issues will be addressed in the record whether from the peer review or the public.

7. EPA will then revise the draft criteria as necessary, and announce the availability of the final water quality criteria in the Federal Register and on the Internet.

VI. What is the Process for Minor Revisions to Criteria?

In addition to developing new criteria, and conducting major reassessments of existing

criteria, EPA also from time to time recalculates criteria based on new information pertaining to individual components of the criteria. For example, in today's notice, EPA has recalculated a number of criteria based on new, peer-reviewed data contained in EPA's IRIS. Because such recalculations normally result in only minor changes to the criteria, do not ordinarily involve a

5

change in the underlying scientific methodologies, and reflect peer-reviewed data, EPA will typically publish such recalculated criteria directly as the Agency's recommended water quality criteria. If it appears that a recalculation results in a significant change EPA will follow the process of peer review and public input outlined above. Further, when EPA recalculates national water quality criteria in the course of proposing or promulgating state-specific federal water quality standards pursuant to section 303(c), EPA will offer an opportunity for national public input on the recalculated criteria.

VII. How Does the Process Outlined Above Improve Public Input and Efficiency?

In the past, EPA developed draft criteria documents and announced their availability for

public comment in the Federal Register. This led to new data and views coming to EPA's attention after draft criteria had already been developed. Responding to new data would sometimes lead to extensive revisions.

The steps outlined above improve the criteria development process in the following ways. 1. The new process is Internet-based which is in line with EPA policy for public access

and dissemination of information gathered by EPA. Use of the Internet will allow the public to be more engaged in the criteria development process than previously and to more knowledgeably follow criteria development. For new criteria or major revisions, EPA will announce its intentions to derive the new or revised criteria on the Internet and include a list of the available literature. This will give the public an opportunity to provide additional data that might not otherwise be identified by the Agency.

2. The public now has two opportunities to contribute data and views, before development and during development, instead of a single opportunity after development.

3. EPA has instituted broader and more formal peer review procedures. This independent scientific review is a more rigorous disciplinary practice to ensure technical improvements in Agency decision-making. Previously, EPA used the public comment process outlined above to obtain peer review. The new process allows for both public input and a formal peer review, resulting in a more thorough and complete evaluation of the criteria.

4. Announcing the availability of the draft water quality criteria on the Internet will give the public an opportunity to provide input on issues of science in a more timely manner.

VIII. Where Can I Find More Information About Water Quality Criteria and Water Quality Standards?

For more information about water quality criteria and Water Quality Standards refer to the following: Water Quality Standards Handbook (EPA 823-B94-OOSa); Advanced Notice of Proposed Rule Making (ANPRM), (63FR36742); Water Quality Criteria and Standards Plan - Priorities for the Future (EPA 822-R-98-003); Guidelines and Methodologies Used in the

6

Preparation of Health Effects Assessment Chapters of the Consent Decree Water Criteria Documents (45FR79347); Draft Water Quality Criteria Methodology Revisions: Human Health (63FR43755, EPA 822-Z-98-001); and Guidelines for Deriving Numerical National Water Quality Criteria for the Protection of Aquatic Organisms and Their Uses (EPA 822/R-85-100); National Strategy for the Development of Regional Nutrient Criteria (EPA 822-R-98-002).

These publications may also be accessed through EPA's National Center for

Environmental Publications and Information (NCEPI) or on the Office of Science and Technology's Home-page (www.epa.gov/OST).

IX. What Are the National Recommended Water Quality Criteria?

The following compilation and its associated footnotes and notes presents the national

recommended water quality criteria.

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

8

STANDAR LINGKUNGAN UNTUK NEGARA BERKEMBANG

1.0 PENGANTAR Masalah utama negara berkembang seperti Indonesia, adalah pengembangan standar dan kriteria mutu lingkungan yang tepat untuk desain dan pengoperasian kebijakan lingkungan, rencana pengelolaan, proyek/program; serta pengembangan perkotaan, industri, pertanian, pertambangan dan pengembangan lainnya. Metodologi Standar Lingkungan mengusulkan agar standar dan kriteria ini harus memperhitungkan:

• biaya pembangunan, termasuk modal, pengoperasian dan pemeliharaan; • pengkajian ilmiah, sosial, ekonomi, teknologi dan risiko isu yang terlibat; • ciri lingkungan penerima, termasuk kemampuannya untuk menyerap pencemaran

tanpa kerusakan yang tetap atau permanen, dan terus digunakan dengan dasar lestari; • aspirasi, kebutuhan, tuntutan dan prioritas masyarakat; • penggunaan efektif biaya teknologi yang tersedia dari sumber manapun; • relevansi standar terhadap ciri fisik, sosial, ekonomi dan ekologi area di mana mereka

diterapkan; dan • keterjangkauan biaya standar yang diusulkan. Walau telah dilakukan banyak diskusi mengenai ketersediaan teknologi yang tepat untuk negara berkembang, namun persiapan mengenai Standar Lingkungan yang layak sangatlah sedikit. 2.0 TUJUAN Tujuan SOP ini adalah untuk memberi staf yang terlibat dalam penetapan atau perbaikan standar lingkungan panduan tentang pengembangan proposal yang relevan dengan karakteristik dan kebutuhan fisik, sosial, ekonomis dan ekologis Indonesia. 3.0 LATAR BELAKANG Negara berkembang seringkali menerapkan Standar Lingkungan dari negara industri dengan alasan:

• Negara berkembang tidak ingin terkesan sebagai negara kelas dua mengenai mutu lingkungannya karena hal ini mengandung implikasi sosial-politik, ekonomi dan pariwisata yang buruk.

• Negara berkembang seringkali memiliki keterbatasan sumberdaya untuk menerapkan pengkajian ilmiah, sosial, ekonomis, teknologis dan risiko untuk membenarkan penyimpangan dari Standar Lingkungan internasional.

• Standar Lingkungan yang lebih rendah dan seringkali lebih murah dan konsekuensinya lebih realistis bagi negara berkembang, melibatkan risiko lebih tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, dan sedikit pejabat serta pemerintah yang mau merekomendasikan tingkat risiko yang lebih tinggi ketimbang yang digunakan di negara industri.

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 2

Karena standar internasional tersebut seringkali tidak terjangkau biayanya dan tidak dapat dilaksanakan di negara berkembang, selain oleh beberapa perusahaan multi nasional dan perusahaan nasional besar saja, maka hasilnya hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada kepatuhan dan perbaikan dalam mutu lingkungan; dan industri serta masyarakat kehilangan kepercayaan pada program yang mengakibatkan kegagalan mereka. Alternatifnya jika Standar Lingkungannya realistis, yaitu dapat dipenuhi dalam keterbatasan karakteristik daya-jangkau keuangan negara berkembang, hal ini memungkinkan terjadinya kepatuhan serta pemantauan dan program pemberdayaan yang penting yang membangun kepercayaan industri dan masyarakat pada program yang menghasilkan keberhasilan mereka. Apa yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa negara industri tidak memulai program perlindungan mereka dengan standar saat ini, sebagaimana yang diyakini oleh banyak orang bahwa negara berkembang harus melakukannya. Di Kalifornia, misalnya, standar untuk memungkinkan adanya gemuk/oli di dalam buangan limbah penyulingan minyak bumi meningkat dari 50 ppm 50 tahun yang lalu menjadi hanya beberapa ppm sekarang ini. Pada tahun 1940 di negara industri secara tipikal ada beberapa ratus Standar Lingkungan, saat ini ada beberapa ribu. Misalnya, termasuk parameter kesehatan toksisitas, kini di negara industri, merupakan hal yang biasa untuk mendapatkan sekitar 150 standar lingkungan yang diterapkan hanya untuk air minum saja. Oleh karena itu, disarankan agar panduan untuk penetapan standar di negara berkembang tersedia dengan cara mereviu bagaimana standar berkembang di negara industri selama abad terakhir ini. Yaitu, mengevaluasi praktek standar di negara industri karena tingkat kemakmuran dan industrialisasinya meningkat secara progresif. 4.0 PENDEKATAN ALTERNATIF Tesisnya adalah bahwa negara berkembang tidak cukup memiliki sumberdaya ekonomi, teknologi dan manusia yang trampil untuk memecahkan masalah sosial, ekonomi dan lingkungannya dalam waktu singkat; sebagaimana telah terjadi di negara industri beberapa dasawarsa yang lalu. Oleh karena itu, respon kebijakan yang diperlukan adalah respon bertahap (multi-sektoral) yang seimbang sepanjang waktu, sebagaimana yang telah terjadi di negara industri. Masalah keseimbangan dan keefektifan dalam mencurahkan sumber daya manusia dan modal yang langka untuk memecahkan masalah di negara berkembang adalah fundamental bagi terwujudnya keberhasilan. Misalnya, untuk melindungi kesehatan masyarakat, sistem pematusan limbah perkotaan yang canggih dengan efek pencemaran yang minimum sekarang merupakan hal yang umum di negara industri, dengan sedikit contoh di negara berkembang. Ini seringkali membutuhkan pengolahan tingkat primer, sekunder dan tersier termasuk disinfeksi, dengan biaya meningkat oleh faktor sekitar 20 untuk mencapai mutu efluen pengolahan tersier di atas mutu efluen pengolahan primer. Pertanyaan bagi negara berkembang adalah haruskah sumberdaya yang langka digunakan untuk mencapai pengolahan tingkat tersier dan demi mematuhi standar internasional hanya untuk area yang kecil bila selebihnya tidak ada pengolahan; atau apakah lebih realistis untuk menerapkan tingkat pengolahan primer tahap pertama tetapi di atas area seluas 20 kali atau lebih dengan biaya sama, dengan tingkat pelayanan yang sama rendahnya, tetapi dengan komitmen untuk meningkatkan tingkat pelayanan dan perlindungan ini secara bertahap dalam perjalanan waktu ke depan.

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 3

Oleh karena itu, ESM menyediakan proses di mana permasalahan jenis ini dapat dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan dan dicapai keputusan yang efektif biaya, berdasarkan pada pertimbangan situasi area. Sebuah isu terkait adalah bahwa Indonesia sedang muncul sebagai suatu bangsa demokratis, dan lagi ini mungkin akan membantu untuk mempertimbangkan perkembangan historis demokrasi di negara industri, serta globalisasi dalam perdagangan, keuangan dan informasi saat ini. Bahwa, demokrasi di negara industri telah mengembangkan masyarakat luas yang memiliki cukup informasi selama beberapa dasawarsa terakhir ini, berpengalaman dalam mengartikulasikan tuntutan mereka pada pemerintah agar menyelesaikan semua masalah, banyak di antaranya kecil dan mengandung sedikit konsekuensi keseluruhan, tetapi ditanggapi secara serius oleh pemerintah demi alasan pemilihan suara. Isunya adalah bagaimana caranya menangani kelompok kepentingan yang terlalu bersemangat tanpa kehilangan suara. Tren respon yang penting adalah musyawarah, keterbukaan dan transparansi, prinsip yang merupakan landasan terhadap keberhasilan Metodologi ini. Yang lainnya adalah swastanisasi bertahap kegiatan sektor publik dan penerapan prinsip pengguna membayar atas banyak pelayanan pemerintah. Ini dipaksakan pada pemerintah negara industri untuk alasan ekonomi, karena mereka tidak dapat mendanai lagi pelayanan tingkat tinggi yang dituntut, tetapi juga membantu dalam membedakan tuntutan dari pemerintah pada penyedia produk atau jasa swasta. Tentu saja, akan ada tekanan internasional dan lokal yang besar pada pemerintah negara berkembang untuk menerapkan Standar Lingkungan internasional, tetapi ini bukan alasan bagi Indonesia untuk tidak mempertimbangkan keuntungan nyata dari pendekatan bertahap di sejumlah area di mana mereka dapat dibenarkan. Keterbukaan yang melanjuti proses semacam itu dan upayanya yang dicurahkan untuk mensosialisasikannya akan penting bagi terwujudnya keberhasilan dan dapat menghindarkan salah pengarahan sumberdaya manusia dan modal yang langka. Pusat Informasi Sistem Lingkungan (The Environmental Systems Information Center /ENSIC), Institut Teknologi Asia (Asia Asian Institute of Technology), menerbitkan Kertas Kerja 35 tahun 1993, berjudul Standar Lingkungan yang tepat untuk Negara Berkembang (Appropriate Environmental Standards for Developing Countries), yang mengusulkan standar alternatif bagi negara berkembang, adalah konsisten dengan pendekatan di atas. Kertas Kerja tersebut dirangkum di bawah ini sebagai dasar pertimbangan dalam melaksanakan Metodologi ini. Tentu saja akan terjadi berulangkali ketika ada sesuatu yang kurang dari standar internasional tidak dapat diterima. Seringkali ini diperlukan oleh kebijakan bersama perusahaan multi-nasional di negara manapun mereka beroperasi, dan harus diterapkan oleh Indonesia dalam kasus sejenis. Namun sama halnya, akan ada saat di mana sesuatu yang kurang tidak hanya dapat diterima, tetapi melakukan yang lain tidaklah bertanggungjawab. Metodologi tersebut dirancang untuk membantu dalam pembuatan keputusan ini secara rasional dan bertanggungjawab. 5.0 KARAKTERISTIK PEMBANGUNAN Tersebut di atas yang menunjuk pada Kertas Kerja 35 membuat perbandingan antara karakteristik AS dan negara berkembang selama kurun waktu tertentu, dan sejumlah

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 4

pengamatan ditarik dari perbandingan ini sebagai panduan yang memungkinkan dibuatnya pertimbangan dalam pemilihan Standar Lingkungan yang tepat di Indonesia. Amerika terpilih karena informasi yang diperlukan siap tersedia dan akurat; Amerika berubah dari negara berkembang yang relatif tidak canggih menjadi negara yang memiliki sangat banyak industri dalam periode tertentu; dan keprihatinan masyarakat umum, yang dicerminkan oleh para pembuat keputusan politis, telah berubah dari menangani masalah dasar yaitu menyediakan kehidupan dan kesehatan dasar untuk keluarga, menjadi penyediaan fasilitas dan pelayanan jasa yang sangat canggih. Kertas Kerja tersebut memberikan berbagai statistik indikator sosial, ekonomi dan kesehatan untuk perbandingan yang ditarik mengenai perkembangan AS dan negara berkembang selama beberapa dasawarsa terakhir ini, yang meliputi:

• Populasi • Harapan hidup • Angka kematian bayi • Kematian akibat TBC dan kanker • Kematian akibat tifus dan paratifus • PNB/Kapita • Aktiva/Kapita • Rata-rata gaji mingguan • Konsumsi listrik rumahtangga • Jumlah pegawai negeri nasional. Sebagai kelompok, statistik ini memberikan langkah indikatif pengembangan kesejahteraan sosial dan ekonomi antar negara dalam kurun waktu tertentu. Analisis data ini menunjukkan perbedaan besar dalam kesejahteraan sosial dan ekonomi saat ini, tetapi juga kemiripan antara Indonesia pada saat ini dengan AS pada tahun 1930-an dan 1940-an. Jika perkembangan standar lingkungan di kedua negara tersebut pada periode yang sama dibandingkan, akan tampak bahwa AS (dan negara-negara industri lainnya) memiliki ribuan standar lingkungan, mencerminkan tuntutan masyarakat saat ini yang tinggi, penghasilan perkapita yang tinggi, ketersediaan teknologi yang canggih, dan keseluruhan kesanggupan untuk memberikan respon semacam itu. Di negara berkembang, termasuk Indonesia, tingkat Standar Lingkungan saat ini adalah dalam hitungan ratusan, sekali lagi mencerminkan tuntutan masyarakat, tetapi bahkan ini sering dibantah sebagai tidak terjangkau biayanya. Untuk menekankan kecanggihan pengelolaan dan baku mutu lingkungan negara industri internasional, dengan segala biaya tinggi terkait, di mana negara berkembang dengan banyak kebutuhan sosial dan ekonomi yang bersaing serta sangat sedikitnya sumberdaya adalah tidak realistis, setidaknya dalam sejumlah kasus, dan harus dipertimbangkan dengan cermat secara kasus per kasus. Untuk menggambarkannya lebih jauh – adalah jelas bahwa setiap masyarakat memiliki kebutuhan dan nilai yang kira-kira sama sejauh menyangkut penduduknya. Perbedaan utamanya timbul dari perbedaan jumlah sumberdaya yang tersedia untuk setiap penduduknya. Disarankan agar setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, akan melalui suatu siklus yang serupa dengan AS, dengan sumberdaya yang semakin

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 5

meningkat sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduknya yang semakin meningkat pula seiring dengan meningkatnya produk nasional bruto dan penghasilan per kapita. Keprihatinan terhadap kesehatan dan lingkungan harus selalu direncanakan selama berlangsungnya pembangunan, tetapi penting kiranya bahwa proses perencanaan tersebut membentuk hirarki kebutuhan dan bahwa ini digunakan untuk mengendalikan pembagian sumberdaya. Disarankan agar kapan saja dalam proses pembangunan, jumlah yang dicurahkan untuk perbaikan sanitasi dan lingkungan tidak boleh melebihi 2-3 persen dari GNP. Bila ini terlampaui, dapat mengakibatkan program tersebut tidak dapat dijangkau dalam hal biaya operasional dan pemeliharaan. Ambang batas sumberdaya maksimum ini berlaku sama terhadap seluruh masyarakat apakah mereka dianggap telah maju atau sedang berkembang. Statistik perbaikan kesehatan AS kurang lebih dapat mewakili masyarakat maju yang modern. Pengetahuan ilmiah mengenai mikrobiologi dan imunisasi pada dasarnya berkembang selama periode ketika AS sedang berkembang dan mendapatkan dampak besar dalam mewujudkan perbaikan tersebut. Masyarakat negara berkembang modern telah memiliki pengetahuan dan teknologi yang ada ini. Masalahnya adalah pada jumlah sumberdaya yang mereka korbankan untuk berbagai masalah lingkungan. Selain AS, sebagaimana halnya negara maju lainnya, memiliki penyakit yang berlainan untuk dipertimbangkan. Sebuah contoh yang menonjol adalah kanker yang merupakan penyakit menahun. Harapan hidup sebesar 76 tahun di AS sangat berpengaruh dalam menjadikan kanker sebagai keprihatinan utama. Dengan harapan hidup sebesar 65 tahun di Indonesia pada saat ini, hal itu merupakan prioritas yang jauh lebih rendah. Akhirnya, peningkatan besar penyakit menahun seperti kanker di negara maju, cenderung menimbulkan keinginan masyarakat untuk membersihkan semua kontaminan dari lingkungan guna melindungi mereka dari penyakit tersebut. Ini dapat disebut konsep risiko nol. Gambar 1 menunjukkan peningkatan yang sangat besar dalam komitmen sumberdaya yang ditujukan pada pencapaian risiko nol. Pencapaian risiko nol bukan merupakan gol yang layak, bahkan masyarakat yang paling kaya dan paling maju sekalipun tidak memiliki sumberdaya untuk mendekatinya. Oleh karena itu, penting kiranya agar masyarakat negara berkembang membidik gol yang mungkin dicapai dan memprogram sumberdayanya sesuai gol tersebut.

GAMBAR 1: TINGKAT PENGOLAHAN VERSUS BIAYA

6.0 PENINGKATAN PROGRESIF DALAM STANDAR LINGKUNGAN Peningkatan geometris dalam penetapan standar lingkungan telah terjadi di AS dan negara industri lainnya selama 60 tahun terakhir ini. Sejumlah contoh dirangkum di bawah ini:

TINGKAT PENGOLAHANLEVEL OF TREATMENT

BIA

YA

Nol

Sekunder Primer

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 6

6.1 Suplai air Keseluruhan peningkatan dalam penetapan standar dimulai dengan peraturan mengenai air minum masyarakat, dimotivasi oleh keprihatinan utama pada pengendalian penyakit menular. Pada tahun 1942, dengan dikenalinya bercak fluorida gigi, serta peningkatan analisis bahan kimia, peraturan mengenai fluorida dan beberapa logam beracun ditambahkan dalam daftar bahan yang diatur. Pada tahun 1962, pengenalan methaemoglobinanemia menyebabkan ditambahkannya nitrat pada daftar tersebut. Barium dan perak juga ditambahkan, begitu pula parameter estetika, kekeruhan, warna, bau dan alkil benzena sulfonat. Pada tahun 1977, dengan keprihatinan masyarakat terhadap penyakit Minimata, air raksa pun dimasukkan. Pada saat yang sama, kadmium bergabung dalam daftar tersebut. Dengan kepentingan dan keprihatinan masyarakat yang sangat meningkat terhadap kekuatan nuklir dan eksposur radiasi, maka standar radium beserta standar radiasi bruto pun diterapkan. Pada tahun 1980, oleh peningkatan teknik analitis dan keprihatinan masyarakat terhadap pestisida yang tersebar luas, maka pestisida yang lazim digunakan ditambahkan pada daftar. Pada tahun 1985, keprihatinan masyarakat terhadap potensi hidrokarbon berkhlorin untuk menyebabkan kanker mengakibatkan dibuatnya peraturan mengenai senyawa ini. Sejak saat itu keprihatinan dan yang menghasilkan peraturan baru ini meningkat secara tetap. Pada tahun 1990-an, pestisida lebih lanjut ditambahkan, sekarang berjumlah lebih dari 100 bahan. Biaya yang timbul karena air yang dikirimkan kepada konsumen rumahtangga, karena peningkatan pengolahan yang dibutuhkan untuk memenuhi peraturan baru tersebut, telah meningkat sebanding, dalam beberapa kasus jumlahnya meningkat hingga 20 kali tingkat biaya pada tahun 1940. 6.2 Pembuangan ke laut Sebelum tahun 1955, standar pembuangan ke laut terbatas pada pertimbangan estetika dan kesehatan dasar. Pada tahun 1955, peraturan ditentukan untuk bau, benda terapung, oli dan gemuk, racun yang merusak, dan koliform dalam ombak. Pada tahun 1972, terutama karena peristiwa Minimata, logam berat pun diatur; juga sianida, fenol, pH, oksigen dalam laut, residu khlorin, amonia, toksisitas, radiasi, dan fenol berkhlorin ditambahkan dalam daftar. Pada tahun 1983, pestisida masuk daftar dan sejak itu daftar pun semakin panjang. Pada tahun 1988 peraturan logam menjadi lebih ketat. 6.3 Mutu udara Sebelum tahun 1959, belum ada standar.

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 7

Pada tahun 1959, terutama di Los Angeles, di mana karena ancaman bahaya pencemaran udara lapisan inversi alamnya parah, maka karbon monoksida, partikulat, hidrogen sulfida, dan sulfur dioksida pun diatur. Ini merupakan upaya nyata pertama untuk membersihkan udara Los Angeles. Pada tahun 1969, nitrogen oksida, yang ditemukan menjadi penyebab utama kabut fotokimia, ditambahkan pada daftar. Pada tahun 1970, dengan keprihatinan baru terhadap hujan asam, sulfat dan timah hitam ditambahkan pula. Pada tahun 1982, tingkat yang diijinkan menurun. Dalam pencemaran udara masalah utamanya berkenaan dengan sumber dan kendaraan yang tak bergerak. Fokus utama upaya peraturannya adalah dalam pengurangan pencemaran dengan menggunakan proses perijinan. Sumber tak bergerak dikontrol secara ketat dan persyaratan teknologi terbaik yang tersedia (BAT) ditentukan dan secara berkesinambungan ditingkatkan untuk kendaraan. Hasil bersih program perijinan secara esensiil telah menyangkal ijin untuk banyak jenis sumber tak bergerak yang baru, yang pada hakikatnya telah menghapuskan pembakaran sebagai opsi untuk penanganan masalah limbah. Ambang batas ditentukan sesuai dengan apa yang dirasakan masyarakat adalah risiko nol. 7.0 PENGAMATAN Secara umum, kecuali untuk awal penetapan standar, kebanyakan persyaratan yang diterapkan diyakini telah memecahkan masalah sebenarnya pada saat ini (kecuali nitrat dalam air). Persyaratan ditentukan untuk memecahkan masalah yang ditafsirkan bisa terjadi di masa mendatang karena kemungkinan biomagnifikasi bahan yang dapat merosot secara perlahan-lahan. Tentu saja juga spekulasi bahwa jumlah kecil karsinogen yang dapat menyebabkan kanker akan mendorong ditetapkannya lebih banyak peraturan lagi. Peraturan tentang pestisida berkhlorin, terutama DDT, dimotivasi oleh ketakutan bahwa seluruh spesies akan punah. Namun, DDT merupakan satu-satunya pestisida yang efektif dalam membunuh nyamuk pembawa malaria; dengan demikian penggunaan DDT dipraktekkan secara luas di negara tropis dengan tujuan untuk mengendalikan malaria meskipun DDT telah digantikan secara luas oleh pestisida ringan untuk keperluan pertanian. Tingkat ketentuan peraturan logam berat dapat menjadi terlalu konservatif karena mereka berkaitan dengan efek racun dalam ekologi. Selain peristiwa merkuri di Minimata Jepang, logam jarang mencapai tingkat beracun dalam mata rantai makanan. Mamalia memiliki pembasmi racun alami bagi logam dan organik di dalam sistem mereka. Ada sejumlah ambang batas di mana toksisitas menjadi jelas. Contohnya adalah arsenik di dalam suplai air minum di Los Angeles yang berasal dari aksi tektonik. Ini melebihi ambang batas yang ditentuan untuk pembuangan limbah ke laut. Hanya sedikit atau tidak ada wabah penyakit menular yang dapat digunakan untuk menunjukkan masalah signifikan yang berasal dari ini. Jumlah keseluruhan sumberdaya masyarakat yang dapat dialokasikan untuk perbaikan lingkungan terbatas. Banyak suplai air di negara berkembang tidak mencukupi, banyak penduduk yang tidak bisa mendapatkan pelayanan tersebut. Misalnya, pada bulan November 1999 Menteri Kesehatan mengatakan bahwa lebih dari 40 persen air minum

dhie5.0/SOP8/Developing Countries 8

Indonesia terkontaminasi. Mungkin lebih buruk lagi, kegagalan reguler dalam tekanan secara rutin menghasilkan hubungan silang yang secara serius mencemari suplai air terlepas dari standar pengolahan dan desain yang ditentukan untuk memperbaiki mutunya. Item dengan prioritas tinggi seharusnya adalah penyediaan suplai air yang aman dengan upaya yang dikeluarkan untuk mencapai penurunan ancaman bahaya terbesar dengan dana yang ada. Jadi, standar untuk residu khlorin dalam sistem pembagian suplai air dapat menjadi jauh lebih berarti ketimbang standar yang berkaitan dengan mutu air olahan. Di banyak negara berkembang perhatian yang diberikan untuk menangani kotoran tubuh dan limbah saniter lain relatif kecil, yang mendatangkan ancaman pencemaran besar terhadap sistem suplai air atau makanan untuk kepentingan umum. Untuk suplai air, penetapan standar air mentah dan air olahan tak berarti banyak selama kondisi ini ada. Kebutuhan terhadap teknologi yang tepat di negara berkembang telah diperdebatkan dengan sengit bahkan meskipun belum dipraktekkan dengan baik. Namun, pengakuan bahwa teknologi yang tepat hanya berarti bila disertai standar yang tepat belum sepenuhnya diketahui. Hal ini telah mengakibatkan sedikitnya tindakan yang dilakukan dalam penggunaan standar yang tepat sehubungan dengan pelaksanaan teknologi yang tepat pula di bidang perbaikan lingkungan. Oleh karena itu, apa yang diperlukan adalah penggunaan teknologi yang tepat dengan pembagian sumberdaya yang dilakukan sesuai dengan urutan prioritas yang direncanakan secara cermat. 8.0 KESIMPULAN Disimpulkan bahwa di negara berkembang hal yang sangat diinginkan adalah mengoptimasikan pembelanjaan sumberdaya yang terbatas untuk dicurahkan demi perbaikan lingkungan; tetapi, karena alokasi sumberdaya harus diperiksa dengan sangat teliti, maka perencanaan yang cermat dan pembentukan hirarki risiko yang harus dikurangi menurut kepentingannya, bahkan menjadi lebih penting. Standar yang dapat dicapai dengan tepat dapat dirumuskan, yang jika dilaksanakan, dapat menghasilkan pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan cara yang terbaik di kota, negara, atau daerah tertentu. Perbaikan maksimum dalam kondisi lingkungan dapat dicapai dengan cara memanfaatkan standar yang tepat tersebut. Ketentuannya memungkinkan digunakannya teknologi yang tepat. Semua negara akhirnya harus memanfaatkan gol lingkungan yang sesuai dan tujuan desain terkait, yang secara optimal akan menghasilkan penggunaan teknologi yang tepat. Standar yang tepat harus bersifat spesifik bagi masyarakat tertentu bergantung pada kondisi ekonomi, sosial setempat, kesehatan dan lingkungan, serta keterjangkauan biayanya. ESM menyediakan proses bagi Indonesia untuk melakukan evaluasi semacam itu dan mencapai konsensus yang logis dengan para stakeholder dan masyarakat setempat mengenai hasil yang diinginkan.

dhie/SOP9/Health Effects 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

9

EFEK KESEHATAN OLEH POLUTAN 1.0 PENGANTAR Tujuan utama penetapan dan penerapan Standar Lingkungan adalah untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungannya. Efek kesehatan oleh bahan kimia dan polutan lainnya yang dibuang ke atmosfir sangat beragam. Sebagian berefek kecil atau tidak berefek dan cepat diserap ke dalam lingkungan, misalnya uap. Yang lainnya mungkin karsinogenik dan gigih bertahan dalam lingkungan selama bertahun-tahun, misalnya organokhlorin. ESM memberikan analisis efek kesehatan sebagai bagian dari proses penetapan standar. 2.0 TUJUAN Tujuan SOP ini adalah memberikan informasi pelengkap pada yang telah diberikan di Bagian E Seksi 8 mengenai efek kesehatan oleh polutan, guna membantu BAPEDAL dan staf lainnya yang terlibat dalam penetapan Standar Lingkungan. Dua area yang menjadi keprihatinan bersama di Indonesia tercakup di dalamnya, seperti misalnya pestisida dan polutan udara.

3.0 LATAR BELAKANG Ada banyak bahan kimia dan kontaminan potensial dalam penggunaan sehari-hari, termasuk di antaranya yang dipakai dalam kegiatan manufaktur dan aplikasi untuk kepentingan ekonomi, kesehatan dan kesejahteraan penduduk dunia. Ini termasuk bahan kimia yang digunakan langsung dalam pembuatan produk dan farmasi, industri-industri lainnya, transportasi, pertanian, pertambangan, serta prasarana dan sarana perkotaan. Kontaminasi dan pencemaran yang merupakan akibat dari kegiatan ini, jika tidak dikendalikan dengan semestinya, melalui eksposur langsung, residu, pembuangan limbah, dan emisi serta pembuangan ke lingkungan. Misalnya, sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sangat mengandalkan pada produksi pertanian untuk penyedian pangan bagi penduduknya yang semakin meningkat. Pestisida, yang meliputi insektisida, herbisida, fungisida dan rodentisida, sudah semakin banyak digunakan di sejumlah negara ini karena meningkatnya kebutuhan pangan. Meskipun semuanya dapat mempengaruhi lingkungan secara buruk, biasanya insektisida menempatkan risiko yang lebih serius dan tersebar luas, terutama karena toksisitasnya yang akut dan kronis bagi organisme hidup, kegigihannya bertahan dalam lingkungan atau karena sejumlah unsur yang sifatnya kumulatif. Contoh lainnya adalah racun di dalam emisi pencemaran udara dari industri dan sumber bergerak dan efek kesehatannya yang buruk. Catatan dari Rumahsakit Westminster (Westminster Hospital) di London dari tahun 1873 hingga 1935 menunjukkan bahwa, meskipun asma telah dikenali dengan baik pada akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an, asma jarang menjadi penyebab opname di rumahsakit atau kematian hingga tahun 1920-an. Namun, pada tahun 1960-an, opname di rumahsakit karena asma telah mencapai tingkat proporsi wabah. Selama tahun 1980-an kematian di antara penduduk berusia 5 – 34 tahun naik sebesar 30 – 60 persen di Australia, Perancis, Inggris dan Wales, Kanada dan AS. Penyebabnya, peningkatan racun dalam jumlah yang sangat besar di dalam atmosfir,

dhie/SOP9/Health Effects 2

misalnya, konsentrasi sulfur dioksida, oksida nitrogen, ozon, karbon monoksida, timah hitam dan hidrokarbon. Polutan ini tidak hanya menyebabkan asma, tetapi juga masalah paru-paru kronis, seringkali merupakan akibat infeksi saluran pernafasan pada masa kecil; dan secara potensial kanker, misalnya para pekerja yang selama bertahun-tahun bekerja di penyulingan minyak terbukti memiliki risiko leukemia yang meningkat. Tingkat timah hitam yang dikaitkan dengan jalan dan lalulintas yang ramai juga terbukti telah menurunkan IQ anak-anak yang tinggal di dekatnya. Pemahaman terhadap proses dan efek di atas diperlukan dalam pelaksanaan ESM. Sejumlah panduan lebih lanjut diberikan dalam seksi-seksi sebagai berikut. 4.0 PESTISIDA

4.1 Efek umum Sebagaimana disebutkan di atas, pestisida meliputi insektisida, herbisida, fungisida dan rodentisida. Penggunaan pestisida dan efeknya adalah penting, karena sumbangannya pada peningkatan produksi pangan (keuntungan) dan efek potensialnya pada sekitar 50 persen angkatan kerja yang aktif di bidang pertanian, budidaya air dan kehutanan (kerugian). Kebanyakan fungisida dan herbisida, serta berbagai jenis insektisida tertentu (organofosfat) mengikat partikel tanah atau memecahkannya secara relatif cepat menjadi bahan-bahan yang kurang berbahaya setelah pemakaian, meskipun airnya dapat terkontaminasi oleh penggunaan tanah yang memakai herbisida. Pestisida persisten, seperti organokhlorin (DDT, aldrin, heptakhlor, dieldrin dan khlordane) tetap tidak berubah dalam lingkungan untuk waktu yang lama. Lamanya persistensi bervariasi dengan kondisi iklim, yaitu tingkat degradasi lebih cepat di daerah beriklim tropis dibandingkan dengan iklim sedang. Kebesaran dan tingkat keparahan pestisida yang terkait dengan masalah sangat bervariasi di antara jenis-jenis agro-ekosistem yang berlainan. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi efek pestisida yang aktual atau potensial, penting kiranya untuk terlebih dahulku menentukan jenis agro-ekosistem di mana pestisida akan digunakan, misalnya jenis dan banyaknya organisme bukan sasaran (margasatwa dan hewan ternak). Selain itu, pemilihan pestisida dan intensitas penggunaannya bergantung pada pola tanaman pangan dan panen yang berlaku. Akhirnya, karena adanya sejumlah perbedaan dalam ciri biofisik lingkungan, seperti misalnya perairan permukaan tanah dan kedalaman air tanah, maka mobilitas dan kemungkinan distribusi pestisida dan residu pestisida akan sangat beragam di antara agro-ekosistem yang berlainan. Meskipun pestisida dapat memiliki efek merugikan pada hampir setiap jenis agro-ekosistem di Wilayah Asia Pasifik, namun risiko yang dikaitkan dengan sistem panen tertentu terutama dapat menjadi sangat parah. Misalnya, sawah irigasi dengan varietas tradisional yang ditanam dan hanya sedikit atau tanpa pestisida sama sekali, kerugian hasil dan hama relatif stabil. Namun, dengan perluasan irigasi dan diperkenalkannya secara luas varietas hasil tinggi, seiring dengan praktek dan masukan intensif agronomik yang konsekuen, penggunaan pestisida pada irigasi sawah pun meningkat, seringkali secara dramatis. Ketika penggunaan tersebut menjadi semakin kurang pilih-pilih, maka kerusakan lingkungan sangat parah dapat terjadi. Tingkat kerusakan bergantung pada kepekaan sejumlah komponen berikut ini:

• Ikan yang dipelihara di sawah merupakan sumber protein bagi petani. Konsekuensinya, penggunaan insektisida yang tidak semestinya dapat

dhie/SOP9/Health Effects 3

mengkontaminasi ikan tersebut dan konsumennya terkena pengaruh secara merugikan.

• Air secara kontinyu bersirkulasi melalui sawah, saluran irigasi, kolam, sungai dan danau. Jika air yang dapat melarutkan atau dapat mengangkut formulasi pestisida digunakan, maka bahan-bahan tersebut dapat bergerak ke dalam area bukan sasaran dan dengan demikian mengkontaminasi sumberdaya air setempat.

• Kerbau dan burung yang hidup di air seringkali kontak dengan air sawah atau sumber air di dekatnya yang, jika terkontaminasi pestisida beracun, dapat mempengaruhi kesehatan mereka secara serius.

Karena parahnya serangan serangga dan penyakit, sebagian besar jenis sayur-mayur tidak dapat ditanam di Wilayah Asia Pasifik tanpa pemakaian insektisida dan fungisida secara mingguan. Penggunaan pestisida yang intensif ini, terutama insektisida, dapat mengakibatkan residu pestisida yang tak dapat diterima dalam tanah dan tanaman pangan dan dalam pengembangan kekebalan hama. Misalnya, sejumlah hama serangga utama pada sayur-mayur, seperti ngengat punggung berlian (diamondback moth), Plutella xylostella, kini kebal terhadap insektisida. Pestisida, utamanya insektisida, karena toksisitasnya yang akut bagi binatang menyusui dan binatang bertulang belakang lainnya serta kemampuannya untuk bertahan dan berakumulasi dalam organisme, telah menghasilkan efek serius pada margasatwa dan hewan ternak. Sejumlah studi yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa burung terutama sangat sensitif terhadap kontaminasi insektisida. Mereka dapat mati karena menelan umpan, perlakuan benih atau formulasi granular pestisida, atau karena makan cacing dan serangga yang terkontaminasi pestisida. Penggunaan pestisida di atas area yang luas juga dapat menurunkan keseluruhan populasi binatang tidak bertulang belakang yang merupakan sumber pangan bagi banyak burung, utamanya spesies yang suka berpindah. Insektisida tertentu, seperti DDT, dapat memiliki efek negatif jangka panjang pada proses kembang-biak burung dari spesies pemangsa atau akuatik. Kerbau dan hewan ternak lainnya yang digunakan di pertanian juga dapat terkena racun melalui pemakaian insektisida tanpa pilih-pilih. Selain untuk membinasakan serangga dan hama artropoda lainnya, insektisida, terutama jenis spektrum luas seperti organofosfat dan piretroida, membinasakan predator dan parasit bermanfaat yang membantu mengatur populasi hama. Konsekuensinya, jika hama membangun kekebalan terhadap pestisida, maka populasi hama dapat meningkat dengan cepat ketingkat tinggi secara luar biasa. Dalam keadaan seperti ini petani dapat menggunakan pestisida yang semakin kuat untuk mencegah kerugian karena hasil panen yang hancur, suatu proses yang seringkali dijelaskan sebagai lingkaran setan pestisida. Pestisida dapat tetap tinggal pada hasil panen setelah pemakaiannya untuk melindungi terhadap hama di sawah dan di dalam penyimpanan. Namun, seringkali diungkapkan adanya kekhawatiran mengenai tingkat residu yang tinggal di dalam atau pada makanan yang dijual dan dikonsumsi. Pemerintah negara berkembang juga prihatin mengenai residu yang tidak dibenarkan menurut peraturan yang terkandung dalam hasil panen ekspor yang dapat mengakibatkan penolakan hasil panen tersebut oleh negara pengimpor. Oleh karena itu, banyak pemerintah yang mewajibkan pengusaha pabrik pestisida, sebelum memperkenalkan pestisida ke pasar, untuk menentukan perkiraan sifat, tingkat dan signifikansi toksikologis residu. Latar belakang informasi demikian digunakan untuk menentukan ambang batas resmi residu dalam makanan serta periode minimum yang harus diperhatikan sebelum dilakukan penyemprotan dan panen. Ambang batas resmi tersebut sering disebut ambang batas

dhie/SOP9/Health Effects 4

residu maksimum (MRL) atau toleransi dan ditetapkan sebagai konsentrasi residu maksimum yang merupakan akibat dari penggunaan pestisida, dengan memperhitungkan jumlah minimum yang diperlukan untuk mencapai pengendalian yang cukup sementara meninggalkan jumlah terkecil residu praktis dan dapat diterima dari sudut pandang kesehatan. Jika rekomendasi praktek pertanian diikuti, residu dalam hasil panen pada saat dipanen dapat dijaga di bawah ambang batas residu maksimum yang ditetapkan oleh pemerintah dan organisasi internasional. Tingkat residu yang dapat diterima didasarkan pada estimasi tingkat penyerapan residu pestisida yang bila di bawahnya risiko kesehatan adalah terlalu kecil untuk dikhawatirkan. Tingkat ini dikenal sebagai penyerapan harian yang dapat diterima (acceptable daily intake/ADI) dan ditetapkan sebagai jumlah residu yang boleh dikonsumsi setiap hari selama kehidupan aktif individual dengan ketentuan praktis, berdasarkan pada seluruh kenyataan yang diketahui, bahwa tidak akan mengakibatkan bahaya. The FAO/WHO Codex Alimentarius Commission menetapkan standar internasional MRL dan ADI bagi hasil panen pertanian yang ditujukan untuk perdagangan internasional. Banyak pemerintah, terutama di Wilayah Asia Pasifik, menerapkan standar ini untuk memastikan bahwa tingkat keamanan residu pestisida dalam makanan tidak dilanggar. Populasi hama dapat membangun kekebalan terhadap pestisida yang akhirnya melemahkan keefektifannya sebagai sarana pengendalian hama. Meskipun masalah tersebut biasanya lebih parah di negara maju dengan penggunaan pestisidanya yang lebih intensif, namun kekebalan pestisida menjadi masalah utama di seluruh dunia yang cenderung memiliki dampak yang semakin meningkat pada strategi pengendalian hama dan produksi pertanian. Kekebalan terhebat adalah pada serangga, dengan 447 spesies itu sendiri, telah membentuk kekebalan terhadap piretroid, jenis insektisida terbaru. Kekebalan terhadap insektisida berkembang biak selama 40 tahun terakhir ini, setelah penemuan dan penggunaan insektisida dan mitisida organik sintetis. Selain kekebalan insektisida, juga telah dilaporkan sejumlah kasus kekebalan serius dalam patogen tanaman terhadap fungisida dan bakterisida, sejumlah rumput liar terhadap herbisida tertentu, dan tikus terhadap rodentisida tertentu.

4.2 Efek kesehatan (a) Tingkat dan ukuran toksisitas Menurut FAO International Code of Conduct on the Distribution and Use of Pesticides (Kode Perilaku mengenai Distribusi dan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh Oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia dari Badan PBB) tahun 1986, toksisitas adalah daya fisiologis atau biologis yang menentukan kemampuan bahan kimia dalam menciptakan bahaya atau menimbulkan cedera pada organisme hidup oleh hal selain daripada peralatan mekanis. Kebanyakan bahan kimia yang digunakan untuk pengendalian hama tidak hanya beracun bagi sasaran organisme yang dimaksudkan, tetapi juga bagi spesies bukan sasaran. Oleh karena itu, mereka membawa ancaman bahaya yang potensial bagi para pemakai dan konsumen produk olahan hasil panen. Mereka juga memiliki efek merugikan pada margasatwa. Dalam menentukan tingkat toksisitas, pertimbangan pertamanya adalah saluran yang dilalui oleh pestisida untuk dapat memasuki tubuh manusia. Rute kontaminasi dapat melalui mulut (oral), kulit (dermal) atau paru-paru (pernafasan). Segera setelah berada di dalam tubuh, mereka dapat menghasilkan gejala keracunan, yang disebut akut jika terjadi karena eksposur atau penyerapan tunggal; atau kronis jika keracunan tersebut merupakan akibat dari eksposur berulang atau penyerapan sejumlah kecil racun.

dhie/SOP9/Health Effects 5

Toksisitas biasanya diukur melalui respon terhadap dosis tunggal pestisida yang memasuki tubuh binatang percobaan, biasanya tikus atau kelinci. Satuan ukurannya adalah milligram bahan aktif per kilogram berat badan. Metode pencatatan toksisitas relatif pestisida yang diterima adalah nilai Dosis Mematikan 50 (LD50), suatu estimasi statistik dosis bahan kimia yang akan membunuh 50 persen binatang percobaan di bawah kondisi tertentu. Karena pestisida bersifat selektif dalam tindakannya, reaksi terhadap mereka pun bervariasi di antara spesies hewan yang berlainan. Dengan demikian, nilai LD50 bagi tikus dan anjing mungkin tidak mempunyai hubungan langsung pada nilai toksisitas bagi manusia. Namun demikian, sepanjang nilai tersebut tidak dianggap absolut, nilai LD50 menjadi sarana yang bermanfaat untuk mengklasifikasikan pestisida menurut toksisitasnya. Sebagian besar dapat diasumsikan bahwa manusia setidaknya sama pekanya terhadap bahan kimia ini sebagaimana halnya hewan percobaan yang paling peka. Karena toksisitas juga bervariasi dalam hal rute penyerapannya oleh tubuh, nilai LD50 dapat ditentukan untuk sejumlah moda entri lain. Bila pestisida diuji dengan memberikannya pada kulit, hasilnya disebut sebagai LD50 dermal; bila bahan kimia diuji melalui pemberian makanan, hasilnya disebut sebagai LD50 oral. Pestisida tidak selalu langsung melemahkan atau mematikan. Uji hewan telah menunjukkan bahwa beberapa senyawa dapat menyebabkan cacat bawaan pada anak-anak yang dilahirkan oleh orang dewasa yang terekspos atau menyebabkan efek kronis lainnya seperti kerusakan enzim, merosotnya sel darah, atau kanker. Informasi mengenai hal ini dan pestisida lainnya dapat diperoleh dari lembaga peraturan di negara berkembang, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation (WHO), Program Internasional mengenai Keamanan Bahan Kimia (International Program on Chemical Safety/IPCS) dan beberapa sumber lainnya. (b) Kasifikasi menurut ancaman bahaya Menurut Kode Perilaku mengenai Distribusi dan Penggunaan Pestisida yang diterbitkan oleh Oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia dari Badan PBB tahun 1986 [(FAO International Code of Conduct on the Distribution and Use of Pesticides (1986)], ancaman bahaya adalah kemungkinan bahwa pestisida akan menyebabkan efek merugikan atau mencederai menurut kondisi di mana pestisida tersebut digunakan. Organisasi Kesehatan Dunia mengakui bahwa berbagai faktor mempengaruhi klasifikasi ancaman bahaya akut dan membahas isu ini dalam dokumennya, PBB merekomendasikan Klasifikasi Pestisida menurut Ancaman Bahayanya: Pedoman Klasifikasi (Guidelines to Classification), 1986/1987. Klasifikasi, yang membedakan antara berbagai kelas ancaman bahaya formulasi pestisida, didasarkan pada toksisitas oral dan dermal akut bahan aktif, konsentrasinya dan keadaan fisiknya, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.

TABEL 1: PBB MEREKOMENDASIKAN KLASIFIKASI PESTISIDA MENURUT ANCAMAN BAHAYANYA

LD50 untuk Tikus (mg/kg berat badan) Oral Dermal

KELAS ANCAMAN

BAHAYA Padat Cair Padat Cair IA Amat sangat Berbahaya 5 atau kurang 20 atau kurang 10 atau kurang 40 atau kurang IB Sangat Berbahaya 5 – 50 20 – 200 10 – 100 40 – 400 II Berbahaya tingkat sedang 50 – 500 200 – 2000 100 – 1000 400 – 4000 III Agak Berbahaya Di atas 500 Di atas 2000 Di atas 1000 Di atas 4000

Catatan: istilah padat dan cair menunjukkan keadaan fisik formulasi yang diklasifikasikan

dhie/SOP9/Health Effects 6

Toksisitas pestisida biasanya lebih mengacu pada toksisitas bahan aktif. Namun, untuk tujuan praktis, pengguna pestisida lebih tertarik pada toksisitas formulasi atau campuran yang dipakai setelah dilakukan pengenceran dengan layak. Oleh karena itu, banyak pabrik pestisida menyediakan informasi mengenai toksisitas akut formulasi serta bahan aktif dalam terbitan selebaran teknisnya. Bila informasi tersebut tidak diberikan, perkiraan indikasi toksisitas formulasi dapat diperoleh dengan menggunakan rumus berikut ini yang didasarkan pada konsentrasi bahan aktif atau bahan dalam formulasi.

LD50 formulasi = LD50 bahan aktif x 100 persentasi bahan aktif dalam formulasi

Selain konsentrasi bahan aktif dalam formulasi, jenis formulasi penting dalam menentukan eksposur dan risiko actual dari penggunaan. (c) Unsur racun beberapa kelompok bahan kimia Organokhlorin: Beberapa pestisida dalam kelompok organokhlorin memiliki toksisitas oral tinggi; kebanyakan memiliki aksi residual lama yang bermanfaat dalam pengendalian serangga. Bila dosisnya ringan, meskipun dalam eksposur yang sering atau kontinyu, pestisida tersebut seringkali tidak menyebabkan gejala keracunan yang nyata. Namun, residu dapat berakumulasi dalam jaringan lemak tubuh dan dampak merugikannya telah menyebabkan diterbitkannya peraturan yang melarang penggunaannya. Misalnya, di banyak negara, aldrin, khlordana, dieldrin dan heptakhlor dilarang digunakan sebelum penanaman terhadap serangga tanah, untuk pengendalian rayap di bawah tanah atau untuk penggunaan khusus yang serupa. Penggunaan DDT seringkali dicadangkan untuk pengendalian malaria dan hanya diijinkan untuk keperluan penggunaan pertanian tertentu. Lihat Tabel 2 untuk mengetahui toksisitas organofosfat terpilih yang relatif akut. Meskipun banyak organokhlorin ini atau degradasi produknya dapat disimpan dalam jaringan lemak, namun tampaknya mereka tidak menyebabkan efek merugikan selama mereka tetap tinggal dalam lemak tersebut. Endapan organokhlorin hilang dalam waktu lama bilamana eksposur lebih lanjut telah berhenti.

TABEL 2: TOKSISITAS ORGANOKHLORIN TERPILIH YANG RELATIF AKUT

Kelas Ancaman Bahaya/Bahan Aktif LD50 untuk Tikus (Oral)

(mg/kg) Amat sangat Berbahaya (IA) :

dieldrin 10 Sangat Berbahaya (IB) :

aldrin 98 endrin 7

Berbahaya tingkat sedang (II): kamfekhlor 80

khlordana 460 DDT 113

endosulfan 80 lindana 80-300

Organokhlorin telah terbukti menyebabkan kanker pada hewan percobaan dan juga mengganggu fungsi sistem syaraf pusat dan hati. Mereka juga menyebabkan efek kronis. Organofosfat: Senyawa ini merupakan ester dari asam fosforik atau asam fosforotionik dengan kelompok metoksi atau etoksi-molekul. Terdiri dari jumlah terbesar insektisida.

dhie/SOP9/Health Effects 7

Organofosfat menunjukkan keanekaragaman aktivitas dan persistensi biologis. Mereka berkisar dari bahan aktif yang amat sangat beracun, seperti disulfoton dan paration, hingga malation yang relatif aman dan dari dikhlorvos dan mevinfos yang mendegradasi secara cepat hingga senyawa yang lebih persisten seperti diazinon dan azinfosmetil. Beberapa senyawa seperti dimetoat dan mevinfos memiliki tindakan yang sistematis pada tanaman. Organofosfat merupakan racun saraf yang membunuh melalui penghentian tindakan enzim tertentu dalam sistem saraf pusat. Enzim ini disebut kolinesterase. Pada umumnya, senyawa organofosfat menyebabkan reaksi racun akut pada manusia (lihat Tabel 3 untuk mengetahui toksisitasnya yang relatif akut). Segera setelah pasien dipindahkan dari eksposur lebih lanjut pada pestisida, pemulihannya biasanya cepat dan biasanya tidak ada purna efek yang serius, selama eksposur baru dihindari.

TABEL 3: TOKSISITAS ORGANOFOSFAT TERPILIH YANG RELATIF AKUT

Kelas Ancaman Bahaya/ Bahan Aktif LD50 untuk tikus (Oral)

(mg/kg) Amat sangat Berbahaya (IA):

disulfoton 2.6 EPN1/ 14

fensulfotion 3.5 mevinfos 4

forat 2 paration 13

Paration-metil 14 Sangat Berbahaya (IB):

azinfos-metil 16 karbofenotion 32

fention 330 monokrotofos 14

Berbahaya tingkat Sedang (II):

khlorpirifos 135 diazinon 300 dimetoat 150

fenitrotion 503 Agak Berbahaya (III):

malation 2100 pirimifos metil 2018

1/ etil-nitrofenil fenilfosfonotioat

Tidak seperti organokhlorin, kebanyakan organofosfat tidak disimpan dalam jaringan lemak dan siap dibuang dalam urin. Namun, eksposur berulang dapat menyebabkan gejala keracunan dalam tubuh.

Karbamat: Karbamat adalah ester asam karbamik. Mereka menyerupai organofosfat dalam aksi biologisnya. Meskipun mereka juga menghentikan kerja enzim kolinesterase, pada umumnya karbamat dimetabolisasikan dalam tubuh dengan cepat dan dikeluarkan. Seperti organofosfat, karbamat tidak berakumulasi dalam jaringan lemak tubuh (lihat Tabel 4).

Insektisida karbamat, seperti aldikarb dan karbofuran adalah pestisida persisten dan sistemik dengan toksisitas oral, dermal dan penghirupan yang tinggi. Karena aksi residualnya yang lama, penyatuan karbamat dalam tanah direkomendasikan untuk mengendalikan hama dalam tahap pertumbuhan dini.

dhie/SOP9/Health Effects 8

Piretroid: Piretroid menyerupai piretrin alam. Keduanya berbagi manfaat dalam hal aktivitas biologis yang tinggi pada serangga dan, pada umumnya, memiliki toksisitas mamalia lebih rendah daripada kelompok insektisida lainnya (lihat Tabel 5). Biasanya mamalia membersihkan piretroid dengan cepat melalui proses dan ekskresi metabolis. Di dalam tanah, biodegradasi oleh mikroorganisme tanah sangat mengurangi aksi residual. Karakter lipofilik senyawa ini melekatkannya ke partikel tanah, menghalangi kemungkinan pelarutan.

Karena piretroid seperti bioaletrin, aletrin dan S-bioaletrin memiliki volatilitas yang baik serta efek yang kuat, mereka digunakan untuk mengendalikan penyimpanan dan hama rumahtangga. Piretroid foto-stabil seperti sipermetrin, deltametrin, fenvalerat dan permetrin digunakan untuk pengendalian hama di ladang tanaman pangan dan sayur-mayur, kecuali untuk pengendalian belalang coklat dan afid yang telah menunjukkan adanya masalah kebangkitan kembali.

TABEL 4: TOKSISITAS KARBAMAT TERPILIH YANG RELATIF AKUT

Kelas ancaman bahaya/Bahan aktif LD50 untuk tikus (Oral) (mg/kg) Insektisida: Amat Sangat Berbahaya (IA):

aldikrab 0.93 Sangat Berbahaya (IB):

karbofuran 8 metomil 17 oksamil 6

Berbahaya tingkat Sedang (II):

karbaril 300 metiokarb 100 propoksur 95

Herbisida: Berbahaya tingkat sedang (II):

tiobenkarb 1300

Agak Berbahaya (III): barban 1300

Fungisida: Tidak sepertinya membawa ancaman bahaya akut:

Karbendasim 15000 Propineb 8500

TABEL 5: TOKSISITAS PIRETROID TERPILIH YANG RELATIF AKUT

Kelas Ancaman Bahaya/Bahan Aktif LD50 untuk tikus (Oral) (mg/kg) Insektisida: Berbahaya Sedang (II) :

bioaletrin 700

Agak Berbahaya (III) aletrin 920

resmetrin 2000 Tidak sepertinya membawa ancaman bahaya akut dalam penggunaan normal:

bioresmetrin 7000 sipermetrin 4000 deltametrin 2200

fenvalerat 3200 permetrin 4000

fenotrin 5000 tetrametrin 5000

dhie/SOP9/Health Effects 9

Ditiokarbamat dan Senyawa-senyawa terkait: Seng, mangaan dan garam besi ditiokarbamat digunakan sebagai fungisida pertanian. Thiram disulfida, dibentuk melalui oksidasi ditiokarbamat, digunakan sebagai fungisida dan pembalut biji terhadap jamur tanah. Kelompok tersebut memiliki toksisitas akut rendah bagi manusia dan hewan; namun, efek kronisnya (misalnya onkogenisitas) harus diperhitungkan. Contoh kelompok ini termasuk ferbam (garam besi), maneb (garam mangaan) dan zineb (garam seng). Dinitrofenol dan Pentakhlorofenol: Kelompok nitrofenol, nitrokresol dan khlorofenol ini seringkali memiliki penggunaan multi-tujuan seperti insektisida, herbisida, akarisida, fungisida dan bahan pengawet kayu. Mereka sangat beracun jika tertelan, merangsang metabolisme dan meningkat menjadi demam tinggi. Pentakhlorofenol mengganggu selaput lendir dan memedihkan mata. Fenol merupakan fitotoksik pada tanaman. Beberapa contoh kelompok ini adalah dinoseb, dinokap dan pentakhlorofenol. Asam Fenoksiasetik: senyawa khlorofenoksi, asam, ester dan garam memiliki toksisitas rendah bagi banyak individu. Mereka mengganggu kulit, mata, saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal dalam tingkat sedang sampai parah Senyawa tersebut tidak disimpan dalam jaringan lemak dan dibuang secara cepat. Hampir semua senyawa adalah herbisida rumput liar berdaun lebar, yang digunakan secara luas untuk penyiangan selektif terhadap rumput liar di sawah dan tanaman pangan biji-bijian lainnya. Herbisida terkenal dari kelompok ini adalah 2,4-D, MCPA, MCPB dan 2,4,5-T. Pengganti Urea: Kelompok senyawa ini terdiri dari herbisida yang relatif tak beracun berkisar dari herbisida tanaman pangan selektif hingga non-selektif, herbisida residual jangka panjang yang digunakan untuk pengendalian rumput liar individual. Khlorbromuron, fluometuron, diuron, neburon dan bromasil adalah anggota kelompok ini. Triazina: Triazina terdiri dari kelompok selektif herbisida toksisitas mamalia rendah dan termasuk di antaranya atrazina, simazina, ametrin, prometrin, terbutrin and propazina. Dipiridilium: Dua herbisida penting dalam kelompok ini adalah diquat dan paraquat. Keduanya adalah desikan (penyerap cairan) yang digunakan untuk pengendalian rumput liar atau sebagai bantuan pra-panen bagi sejumlah tanaman pangan. Mereka sangat beracun bagi mamalia bila tertelan; dus harus hati-hati dalam penanganan dan penyimpanan konsentrat tersebut. Kedua senyawa tersebut dengan cepat menjadi tidak aktif setelah menyentuh tanah. Guanidin and Naptokuinon: Kelompok ini meliputi dodina dan diklona; keduanya adalah fungisida yang memiliki toksisitas mamalia rendah. Asam Trikhlorobenzoik, Trikhloracetik, Trikhloropikolinik: Kelompok ini, yang meliputi TBA, TCA dan pikloram, relatif tidak beracun bagi manusia. Namun TCA dapat menyebabkan luka bakar oleh kontak kulit yang berkepanjangan, dan pikloram mudah terbakar. Semuanya adalah herbisida yang memiliki daya residu tanah berdurasi panjang. Senyawa air raksa: Senyawa air raksa adalah fungisida yang berguna untuk perawatan benih. Namun mereka menunjukkan toksisitas oral dan dermal akut yang tinggi pada mamalia. Selain itu, kebanyakan mengundang ancaman bahaya lingkungan melalui akumulasi dalam mata rantai makanan. Alkil merkurial menyebabkan kelumpuhan yang parah, kerusakan permanen pada sistem syaraf pusat dan harus digunakan hanya bila berada di bawah pengawasan ketat.

dhie/SOP9/Health Effects 10

Arsenikab: Ini meliputi herbisida kontak sebelum muncul selektif, seperti asam metilarsonik (MSMA), untuk mengendalikan rumput liar. Mereka berbahaya tingkat sedang tetapi dapat mengundang risiko berat jika tidak ditangani dan digunakan dengan hati-hati. Insektisida Botanikal: Insektisida dalam kelompok ini lebih berasal dari bahan tanaman ketimbang dari bahan kimia sintetis. Anggotanya meliputi piretrin, rotenon, riania and nikotin. Toksisitasnya pada manusia dan binatang berkisar dari sangat rendah untuk piretrin hingga sangat tinggi untuk nikotin sulfat. Rodentisida anti-koagulan: Anti-koagulan jenis koumarin (warfarin, koumafena) dan jenis 1,3-indandiona (diphasinona, pindona, valona) menghentikan koagulasi darah, menyebabkan binatang pengerat mati karena pendarahan internal. Non-koagulasi tampaknya lebih mudah terinduksi pada tikus ketimbang pada kebanyakan mamalia lainnya. Meskipun kecermatan dalam penanganan dan penyimpanan harus dilaksanakan, bahaya keracunan dari kelompok ini jauh lebih sedikit ketimbang rodentisida akut. Vitamin K1 dan V1 merupakan penawar racun yang efektif dan bahan anti-koagulan dosis tunggal, seperti brodifacoum and bromadialona, yang ada. Rodentisida Akut: Arsenik trioksida dan seng fosfida adalah senyawa anorganik yang sangat beracun yang mampu membunuh tikus setelah ditelannya dosis tunggal. Toksisitasnya pada manusia dan binatang rumahtangga adalah tinggi. Red squill, sebuah rodentisida botani, kurang berbahaya karena dengan cepat merangsang muntah pada mamalia kecuali tikus. 5.0 POLUTAN UDARA 5.1 Nitrogen dioksida Sebagai gas, nitrogen menciptakan hampir empat per lima atmosfir. Selama berlangsungnya pembakaran bersuhu tinggi, nitrogen dan oksigen di udara bergabung membentuk nitrogen oksida, utamanya nitrik oksida. Nitrik oksida tidak beracun bagi manusia tetapi berubah dengan cepat menjadi nitrogen dioksida di dalam atmosfir. Sejumlah nitrogen oksida juga dibentuk oleh senyawa nitrogen dalam bahan bakar. Nitrogen oksida (NOx) dapat melanjutkan reaksi lebih jauh membentuk ozon troposfir dengan hadirnya hidrokarbon dan sinar matahari. Nitrogen dioksida adalah unsur oksidasi yang kurang kuat ketimbang ozon tetapi memiliki efek racun yang serupa pada manusia. Pencemaran nitrogen dioksida di luar ruangan yang paling parah biasanya ditemukan dalam kawasan lalulintas sangat padat. Industri dan unit pembangkit tenaga listrik juga merupakan sumber penting NOx. Baku mutu udara untuk nitrogen dioksida (NO2) Masyarakat Eropa adalah: • Nilai ambang batas: 104 ppb (200 µg/m3), 98 persentil nilai setiap jam sepanjang

tahun • Nilai pedoman: 70 ppb (135 µg/m3), 98 persentil nilai setiap jam sepanjang tahun, dan

26 ppb (50 µg/m3), 50 persentil nilai setiap jam sepanjang tahun.

dhie/SOP9/Health Effects 11

Nilai ambang batas ditetapkan untuk melindungi kesehatan manusia. Nilai pedoman bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kesehatan manusia dan menyumbangkan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan. Pedoman NO2 yang direkomendasikan oleh PBB adalah: • 210 ppb (400 µg/m3), 1 jam mean. • 80 ppb (150 µg/m3), 24 jam mean. Pedoman 1 jam ditetapkan untuk memberikan suatu marjin perlindungan untuk penderita asmat dan pedoman 24 jam untuk melindungi terhadap eksposur kronis. Konsentrasi mean nitrogen dioksida tahunan di kawasan perkotaan di seluruh dunia secara tipikal ada dalam kisaran sebesar 10-50 ppb. Di AS, Los Angeles metropolitan memiliki ukuran konsentrasi hingga 400 ppb sebagai rata-rata satu jam. Jakarta dan kota-kota besar Indonesia lainnya masuk dalam kisaran di atas. Sejumlah studi laboratorium telah membuktikan bahwa nitrogen dioksida bertindak sebagai ozon dalam hal mereka mencederai saluran udara terkecil paru-paru, merangsang produksi bahan yang menyebabkan peradangan dan menaikkan tingkat rentan hewan terhadap infeksi saluran pernafasan. Perubahan serupa emfisema dan perubahan dalam kolagen, protein struktural yang paling berlimpah dalam paru-paru, telah diamati PBB setelah eksposur jangka panjang hingga dosis relatif rendah. Beberapa jenis binatang yang dipelajari EPA AS menunjukkan bahwa nitrogen dioksida menaikkan tingkat kerentanan terhadap infeksi paru-paru karena bakteri dan mungkin infeksi karena virus. Tidak ada efek pernafasan pada dosis lebih tinggi termasuk perubahan dalam metabolisme sel darah merah, fungsi hati dan ginjal. Sejumlah studi laboratorium mengenai sel bronkhial epithelial menunjukkan bahwa eksposur pada 400 ppb (tingkat yang terkadang ditemukan di tepi jalan) dapat melemahkan fungsi sel, teorinya, membuat jaringan lebih rentan terhadap infeksi. Studi eksposur manusia pada orang dewasa menunjukkan akibat campuran berkenaan dengan efek kesehatan karena eksposur nitrogen dioksida. Sejumlah studi belum menemukan efek merugikan pada konsentrasi dari 500 ppb hingga 4.000 ppb pada sukarelawan yang sehat atau penderita asma. Yang lainnya menunjukkan penderita asma dapat terkena pengaruh pada dosis yang jauh lebih rendah. Dalam salah satu studi yang lebih dini, 13 dari 20 sukarelawan penderita asma tampaknya responsif terhadap NO2 setelah eksposur pada 100 ppb selama satu jam. Perubahannya dalam resistansi saluran udara hanyalah marjinal setelah eksposur, namun reaktivitas saluran udaranya pada obat yang mengerutkan otot yang menghirup nafas menunjukkan peningkatan yang lebih pasti. Pengamatan ini menunjukkan bahwa eksposur nitrogen dioksida dapat membuat penderita asma menjadi lebih rentan terhadap sejumlah gejala yang disebabkan oleh faktor lingkungan lainnya meskipun tidak menimbulkan gejala tersebut secara langsung. Studi lainnya mengidentifikasi kaitan signifikan antara NO2 luar ruang dan gejala pernafasan pada 1.225 anak-anak pra-sekolah di Swiss. Empat daerah dipilih untuk mewakili tingkat pencemaran udara yang berbeda; dua di kota Basel dan Zurich, satu di pinggir kota (Wetzikon), dan satu lagi di kawasan pedesaan daerah Zurich (Rafzerfeld). Orangtua dan anak-anak yang ikut berpartisipasi dalam studi tersebut mengisi buku harian mengenai gejala pernafasan anaknya setiap hari termasuk batuk, sakit tenggorokan, demam, hidung berair dan sakit telinga selama periode enam minggu pada tahun 1985 dan

dhie/SOP9/Health Effects 12

1986. NO2 udara ambien diukur dengan pengambil sampel pasif (selang Palmes) yang ditempatkan di luar apartemen di mana anak tinggal dan juga dilekatkan secara langsung pada anak tersebut. Rata-rata tingkat NO2 mingguan untuk Basel dan Zurich adalah sekitar 26 ppb, 17 ppb untuk Wetzikon dan 13 ppb untuk Rafzerfeld. Frekuensi gejala pernafasan per anak per hari ditemukan meningkat seiring dengan peningkatan tingkat NO2 di luar ruangan. Kaitannya tetap signifikan meskipun setelah mengendalikan beberapa faktor termasuk perokok pasif dan NO2 di luar ruangan. 5.2 Ozon Ozon (O3) adalah polutan sekunder; ozon dibentuk dalam atmosfir oleh serangkaian reaksi fotokimia antara hidrokarbon dan nitrogen oksida. Kedua polutan primer ini dihasilkan selama terjadinya pembakaran. Kendaraan bermotor biasanya menyumbang sekitar 50% nitrogen oksida dan 40% hidrokarbon; stasiun pembangkit tenaga listrik 35 % nitrogen oksida dan proses industri dan penguapan bahan pelarut 50% hidrokarbon. Pedoman ozon yang direkomendasikan oleh PBB adalah:

• 76-100 ppb (150-200 µg/m3) sebagai rata-rata 1 jam. • 50-60 ppb (100-120 µg/m3) sebagai rata-rata 8 jam. Tidak seperti kebanyakan polutan, ozon adalah unsur pokok alami atmosfir sebelah atas di mana mereka menyerap, berpotensi merusak radiasi matahari yang kalau tidak bakal mencapai permukaan bumi. Campuran atmosfir normal yang membawa sejumlah ozon stratosfir ke bumi dan membersihkan udara di beberapa kawasan terpencil dapat mengandung 30-50 ppb Pencemaran ozon yang paling parah terjadi pada saat kondisi matahari bersinar cerah. Konsentrasi ozon tertinggi seringkali ada di luar kawasan perkotaan, ketika plume pencemaran bergerak ke luar kawasan perkotaan selama berlangsungnya kondisi anti-siklon. Di Los Angeles, yang mengalami pencemaran fotokimia terburuk di dunia, konsentrasi ozon seringkali melebihi 200 ppb dan terkadang 300 ppb untuk periode selama satu jam atau lebih, sebagai akibat dari tingkat lalulintas dan sinar matahari yang tinggi, dengan pencemaran yang terperangkap oleh lingkaran pegunungan yang mengelilingi kota. Pernah terpikir bahwa kabut fotokimia hanya terkurung untuk Los Angeles. Namun, selama tahun 1970-an pencemaran fotokimia muncul di banyak kota besar di dunia, bersamaan dengan pertumbuhan dramatis dalam emisi pertanda ozon dari kendaraan bermotor. Sementara Jakarta dan sejumlah kota besar Indonesia lainnya pada umumnya berada di bawah panduan PBB, jangan merasa lega dahulu, karena peningkatan penggunaan bahan bakar bertimah hitam berarti tingkat berlebihan dalam waktu dekat. Hampir tidak mengejutkan lagi bahwa ozon, suatu oksidan kuat yang dapat memecahkan bentangan karet pada tingkat hanya sebesar 10 ppb hingga 20 ppb (0,01 hingga 0,02 ppm), juga dapat membahayakan jaringan halus dalam paru-paru. Dengan menggunakan model matematis, ilmuwan menghitung bahwa konsentrasi ozon tertinggi terjadi dalam saluran terkecil paru-paru. Sejumlah studi pada binatang telah membuktikan bahwa eksposur kronis pada tingkat 200 ppb dapat menyebabkan perubahan fungsional, biokimia dan struktural analog dengan saluran udara kecil pada perubahan yang disebabkan usia dan penyakit paru-paru obstruktif kronis. Konsentrasi serupa merusakkan mekanisme pertahanan terhadap penyakit. Ozon tampaknya mempengaruhi

dhie/SOP9/Health Effects 13

sistem kekebalan dan pembersihan mukosiliari, sistem lewat mana sel menganjur pada saluran pernafasan menyapu ke luar serangan bakteri dan kotoran lainnya. Belum lama ini sejumlah ilmuwan memperagakan bahwa tingkat ozon yang sering dialami selama episode pencemaran dapat menyebabkan reaksi yang menyebabkan peradangan dalam paru-paru manusia. Banyak studi yang telah meneliti efek ozon pada sukarelawan muda yang sehat. Beberapa studi PBB menunjukkan bahwa tidak ada ambang batas untuk efek ozon yang diamati. Efek akut jangka panjang mulai dari sekitar 100 ppb. Iritasi mata, karena oksidan non ozon seperti peroksiasetil nitrat, dapat terjadi pada tingkat agak lebih rendah. Seiring dengan naiknya tingkat berbagai gejala dapat dialami, termasuk batuk, tenggorokan kering, rasa tidak enak pada dada, perasaan letih dan mual. Selain itu, ada orang yang lebih responsif terhadap efek O3 ketimbang lainnya. Dalam keadaan diam, tampaknya tidak ada efek di bawah kondisi eksposur ambien. Dengan latihan ringan, terputus-putus, iritasi dapat terjadi pada sekitar 300 ppb (konsentrasi yang ditemukan selama episode pencemaran parah) setelah eksposur satu atau dua jam. Beberapa studi telah mempelajari efek ozon setelah satu jam latihan terus-menerus atau latihan dua jam terputus-putus pada konsentrasi yang terdapat dalam udara ambien di Amerika Serikat. Semua ini menunjukkan sejumlah kehilangan dalam fungsi paru-paru dalam kisaran 150-200 pbb dan salah satunya menunjukkan efek ringan pada 120 ppb (standar AS). Toleransi tampaknya akan terjadi selama terjadi eksposur O3 berkepanjangan; secara tipikal fungsi paru-paru memburuk pada hari kedua eksposur tetapi membaik pada hari berikutnya. Jika eksposur yang sering berhenti, maka toleransinya hilang dalam seminggu atau dua. Signifikansi hal ini masih tetap belum diketahui. Ozon tampaknya akan mempengaruhi penderita asma dan orang yang memiliki fungsi paru-paru normal hingga pada tingkat setara meskipun ada sejumlah bukti bahwa sub-kelompok penderita asma adalah sangat peka. Selain itu ada bukti bahwa tingkat O3 yang relatif rendah dapat menurunkan toleransi penderita asma pada irritan biasa. 5.3 Sulfur dioksida dan bahan partikulat Sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat dihasilkan melalui pembakaran bahan bakar fosil dan merupakan polutan utama di kawasan perkotaan di seluruh dunia. Karena mereka dipancarkan oleh sumber-sumber yang mirip, maka seringkali sulit untuk menganggap asal efek kesehatan dari salah satu polutan saja. Gambarannya diperumit lebih jauh oleh asam aerosol yang berasal dari SO2 di bawah kondisi yang layak dan seringkali hidup berdampingan dengan SO2 dan partikulat. Partikulat yang dibawa udara terdiri dari campuran kompleks antara bahan yang berasal dari berbagai sumber alam dan/atau sumber antropogenik. Unsur pokok tipikal di kawasan perkotaan termasuk produk karbon dan hidrokarbon dari pembakaran yang tidak sempurna. Pembakaran batubara biasanya bertanggungjawab terhadap partikulat yang kelihatan paling jelas, utamanya di kawasan perkotaan, tetapi sekarang ini kendaraan diesel merupakan sumber utama, bertanggungjawab terhadap hampir sepertiga jumlah emisi dan hingga 90 persen asap hitam di beberapa kawasan. Telah diperkirakan bahwa kendaraan diesel memancarkan lebih dari 10 kali partikulat berdasarkan kondisi kendaraan perkotaan ketimbang kendaraan berbahan bakar bensin, dan hingga 100 kali lebih dari kendaraan bensin tanpa timah hitam yang dipasangi konverter katalitik 3-arah. Partikel diesel terdiri dari karbon dan biasanya berdiameter di

dhie/SOP9/Health Effects 14

bawah 1 mikrometer. Mereka membawa jejak polutan lainnya seperti poliaromatik hidrokarbon (PAH). Jakarta, Surabaya dan kota besar lainnya di Indonesia telah menderita tingkat bahan partikulat yang berlebihan, utamanya dari kendaraan dan pembakaran terbuka. Tingkat SO2 masih dapat diterima, tetapi sedang dalam peningkatan. Karena rumitnya partikulat dan kepentingan ukuran relatifnya dalam menentukan efek kesehatan, maka timbul berbagai istilah deskriptif. Dengan demikian partikulat dapat ditentukan oleh metode pengambilan sampel, misalnya, bahan partikulat melayang, total partikulat melayang, asap hitam. Istilah-istilah lainnya mengacu pada ukuran, misalnya, PM 10 (bahan partikulat dengan diameter aero-dinamis kurang dari 10 µm). Tetapi yang lainnya menjelaskan bagaimana partikulat berkaitan dengan saluran pernafasan, misalnya partikel rongga dada yang relatif halus cenderung untuk mengendap di saluran pernafasan sebelah bawah. Untuk partikel, dosis efektifnya bergantung pada ukuran serta konsentrasinya. Partikel besar, 10µm dan 10µm ke atas, cenderung diendapkan dalam saluran udara sebelah atas dan dengan cepat dibersihkan. Partikel berdiameter di bawah 10 µm dapat mencapai paru-paru. Partikel besar dalam kisaran ini cenderung mengendap di daerah trakheobronkhial sementara partikel kecil cenderung tinggal dalam di jaringan paru-paru dekat gelembung paru-paru, kantong udara paru-paru. Partikel dalam paru-paru dibersihkan dengan sistem mukosiliari; struktur seperti rambut halus pada permukaan sel menganjur the saluran udara menyapu lendir dan kotoran ke arah mulut. Karena daerah gelembung paru-paru memiliki sistem pembersihan yang lebih lamban ketimbang saluran udara sebelah atas, maka partikel yang mengendap di sana bisa tinggal selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Pembersihan rusak dalam beberapa penyakit paru-paru seperti cystic fibrosis dan juga dapat rusak oleh sejumlah polutan, termasuk asap rokok. Pada saat latihan berat, ketika proporsi pernafasan mulut dengan pernafasan hidung meningkat, maka lebih banyak partikel yang menerobos lebih jauh ke dalam saluran pernafasan. Baku mutu udara Masyarakat Eropa untuk SO2 adalah:

• Ambang batas: 130 ppb (350 µg/m3), 98 persentil nilai mean setiap hari sepanjang tahun, dan 44 ppb (120 µg/m3), 50 persentil nilai mean setiap hari sepanjang tahun

• Pedoman: 37-55 ppb (100-150 µg/m3), 24 jam mean dan 15-22 (40-60 µg/m3), mean tahunan.

Nilai ambang batas ditetapkan untuk melindungi kesehatan manusia, sementara nilai pedoman berlaku sebagai tindakan pencegahan jangka panjang bagi kesehatan dan lingkungan. PBB merekomendasikan pedoman SO2 berikut ini untuk melindungi kesehatan masyarakat:

• 185 ppb (500 µg/m3), 10 menit mean. • 130 ppb (350 µg/m3), 1 jam mean. Pedoman PBB untuk partikulat adalah:

dhie/SOP9/Health Effects 15

• 125 µg/m3 asap hitam atau 120 µg/m3 Total Partikulat Melayang (TSP) sebagai 24 jam mean dengan adanya sulfur dioksida sebesar 125 µg/m3 atau lebih

Konsentrasi tinggi SO2 melambatkan laju kecepatan pernafasan dan menimbulkan bronkho-konstriksi, dan menyebabkan bronkhitis dan trakheitis pada hewan percobaan. Eksposur pada SO2 juga dapat meningkatkan reaktivitas bronkhial pada sejumlah unsur lainnya. Resistensi saluran pernafasan biasanya meningkat segera setelah eksposur dimulai dan kembali menjadi normal beberapa menit atau jam setelah eksposur berakhir. Sulfur dioksida juga dapat merusakkan pembersihan mukosiliari (bulu-bulu halus saluran lendir) Tingkat tinggi SO2 yang melebihi 1,000 ppb (1 ppm) menimbulkan nafas tersengal pada orang dewasa normal. Penderita asma lebih peka dan dapat bernafas tersengal-sengal pada tingkat serendah 200 ppb, terutama jika mereka sedang melakukan gerak badan. Tingkat tersebut tetap terjadi secara terputus-putus di AS dan Eropa. Latihan fisik seringkali menyebabkan pernafasan tersengal pada penderita asma dan SO2 meningkatkan efek ini. Pernafasan tersengal berkembang dalam beberapa menit setelah mulai dilakukannya gerak badan dan tidak meningkat seiring dengan semakin meningkatnya eksposur. Istirahat biasanya mengurangi gejala dalam setengah jam meskipun eksposur SO2 terus berlanjut. Beberapa penderita asma lebih peka terhadap efek SO2 ketimbang yang lainnya. 5.4 Karbon monoksida Karbon monoksida (CO) adalah polutan udara yang terdapat di banyak tempat yang dihasilkan oleh pembakaran tak sempurna terhadap setiap bahan yang mengandung karbon. Sumbernya termasuk mobil, industri, fasilitas pemanasan dan memasak, serta asap tembakau. Konsentrasi karbon monoksida di kawasan perkotaan bergantung pada kondisi lalulintas dan cuaca. Konsentrasi bervariasi setiap hari dengan jam sibuk. Konsentrasi tertinggi terjadi dekat lalulintas yang padat di terowongan persimpangan jalan, jalan di bawah tanah dan tempat parkir mobil bawah tanah. Tingkatnya di dalam kendaraan lebih tinggi ketimbang di luar dan dapat mengakibatkan tingkat darah yang tingginya mengejutkan selama periode berkepanjangan di antara lalulintas yang padat. Toksisitas karbon monoksida berkaitan dengan afinitas hemoglobin, oksigen yang membawa molekul darah. Karbon monoksida memindahkan oksigen dari lokasi penantian dalam molekul hemoglobin guna menghasilkan karboksihemoglobin (COHb). Ini menyetimbangkan pengiriman oksigen ke otak dan jaringan lainnya serta bertanggungjawab terhadap sebagian besar efek toksikologis. Individu tak merokok yang sehat memiliki konsentrasi COHb sebesar 0,5-1,5 persen. Konsentrasi COHb terkait dengan tingkat karbon monoksida ambien, waktu eksposur, dan tingkat kegiatan fisik. Meskipun tingkat dalam populasi umum mungkin rendah, individual yang terekspos karena pekerjaannya (misalnya, polisi lalulintas dan montir) bisa lebih tinggi. Pengawas jalan raya dilaporkan memiliki konsentrasi COHb sebesar 4-7,6 (perokok) dan 1,4-3,8 persen (bukan perokok). Ini memakan waktu 4-12 jam untuk menyetimbangkan tingkat udara dan tingkat darah COHb: eksposur pada tingkat tinggi meski untuk jangka waktu singkat dapat mengakibatkan konsentrasi COHb menjadi tinggi yang bertahan selama beberapa jam. Bayi belum lahir rawan risiko terutama karena COHb darah janin bisa 2,5 kali lebih tinggi ketimbang COHb ibu, yaitu, dipusatkan dalam darah janin. Tidak ada baku mutu udara Masyarakat Eropa untuk karbon monoksida. Pedoman yang direkomendasikan oleh PBB adalah:

dhie/SOP9/Health Effects 16

• Eksposur maksimum yang diijinkan sebesar 86 bagian per juta (ppm) (100 mg/m3) selama kurun waktu tidak melebihi 15 menit.

• Untuk eksposur jangka pendek, 50 ppm (60 mg/m3) selama 30 menit. Pedoman ditetapkan untuk mencegah agar tingkat COHb bukan perokok tidak melebihi 2,5-3,0 persen. Secara moderat tingkat karboksihemoglobin yang tinggi (2-4 persen) menurunkan kemampuan gerak badan pemuda yang sehat. Tingkat yang lebih tinggi (>5 persen) menyebabkan ketidakseimbangan konsentrasi, persepsi visual, kemampuan belajar, sakit kepala dan menurunkan konsumsi oksigen maksimal selama gerak badan yang butuh banyak tenaga. Individual berpenyakit jantung memiliki catatan kerawanan terbaik. Pasien dengan penyempitan pembuluh darah koroner (penyakit jantung iskaemik / ischaemic heart disease / IHD) mengalami nyeri dada ketika sedang mengerahkan tenaga dan cenderung mengidap ritme listrik abnormal dalam otot jantung yang secara potensial dapat mengakibatkan kematian mendadak. Konsentrasi rendah COHb (2-4 persen) meningkatkan kemungkinan nyeri dada pada pasien berpenyakit jantung iskaemik yang melakukan kegiatan fisik secara terpusat. 5.5 Timah hitam Keprihatinan mengenai pencemaran lingkungan dengan timah hitam dikuatkan karena adanya bukti yang semakin meningkat bahwa eksposur timah hitam tingkat rendah merusakkan perkembangan mental anak kecil. Meski mustahil menghitung dengan tepat kontribusi angkutan jalan pada kandungan tingkat timah hitam dalam lingkungan, namun mereka menjadi sumber utama timah hitam lingkungan. Setelah dipancarkan, timah hitam akhirnya mengendap di tanah dan air permukaan. Anak-anak terekspos melalui penghirupan udara kota dan penelanan debu dan tanah. Sumber penting lainnya adalah makanan dan air minum. Tertelannya debu adalah yang tertinggi di kawasan yang dekat dengan lalulintas padat. Tingkat timah hitam yang dibawa udara berada dalam kisaran 0.5-3 µg/m3 bagi banyak kota di Eropa. Di London, konsentrasi rata-rata tahunan berkisar antara 0.1-1.6 µg/m3 selama periode 1985-1989. Ada penurunan umum dalam emisi sejak diperkenalkannya undang-undang pada tahun 1986 untuk mengurangi kandungan timah hitam bensin, dan peningkatan ketersediaan dan penggunaan bensin yang tidak mengandung timah hitam. Tidak ada persamaan yang andal untuk menghitung hubungan antara timah hitam yang dibawa udara dan timah hitam darah pada anak-anak (sebagian karena menelan debu), tetapi pada orang dewasa perubahan sebesar 1 µg/m3 timah hitam yang dibawa udara terkait dengan perubahan timah hitam darah sebesar 0.01-0.02 µg/ml. Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya di Indonesia telah mengalami kelebihan tingkat timah hitam di dan dekat rute lalulintas utama. Nilai ambang batas mutu udara Masyarakat Eropa untuk timah hitam di udara adalah 2 µg/m3. PBB merekomendasikan angka tengah (mean) 1 tahun dalam kisaran 0.5-1 µg/m3. Pedoman ini ditetapkan untuk menjaga tingkat timah hitam darah sebesar <20 µg/100 ml dalam 98 persen populasi umum. Timah hitam memiliki serangkaian efek racun potensial. Efek racun yang terlihat bergantung pada dosisnya. (Pada tingkat darah sebesar 80-100 µg/dl efek termasuk anemia

dhie/SOP9/Health Effects 17

kolik timah hitam (sakit usus) karena penurunan sintesis hemoglobin, kerusakan ginjal dan kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki. Pada tingkat timah hitam darah dalam berkisar 30-60 µg/dl, efeknya termasuk penurunan sintesis hemoglobin, abnormalitas saraf periferal dan gangguan ginjal serta fungsi reproduktif. Anak-anak dapat menunjukkan efek racun pada dosis yang lebih rendah ketimbang orang dewasa. Beberapa efek tidak baik meningkat seiring dengan naiknya tingkat timah hitam darah meskipun dalam kisaran normal. Sejumlah efek tersebut termasuk perubahan halus dalam sintesis sel darah pada orang dewasa dan anak-anak, peningkatan tekanan darah pada manusia setengah umur, efek sistem syaraf pusat pada anak-anak. Kebanyakan penyelidikan mengenai efek timah hitam pada anak-anak berfokus pada uji inteligensi serta uji psikologis dan fungsi sosial lainnya. Riset ini dipelopori di AS di mana anak-anak dengan tingkat timah hitam tinggi pada gigi dinilai sangat kurang baik dalam uji kemampuan ketimbang mereka dengan tingkat rendah. Namun, tiga studi lainnya tidak menemukan kaitan yang secara statistik signifikan antara beban timah hitam tubuh dengan kemampuan mental setelah memperhitungkan sejumlah faktor gabungan. Lembaga Perlindungan Lingkungan AS (The US Environmental Protection Agency) telah mempertimbangkan bersama desain studi yang lebih baik, dan menyimpulkan bahwa ada kaitan positif antara efek eksposur timah hitam tingkat rendah dan efek kognitif dengan defisit rata-rata sebesar satu atau dua poin IQ pada tingkat darah sebesar 15-30 µg/dl dan empat atau lima poin pada tingkat yang lebih tinggi. 5.6 Benzena Benzena merupakan salah satu dari sekelompok hidrokarbon aromatik yang termasuk toluena dan silen. Benzena dikenal sebagai penyebab kanker pada manusia (PBB). Sumber atmosfir utamanya adalah emisi dari kendaraan bermotor dan hilangnya penguapan selama pengangkutan, penanganan dan penjualan bensin. Konsentrasi ambien yang tertinggi adalah di sekitar stasiun pompa bensin dan dekat kilang minyak. Untuk alasan ini, sistem penangkapan uap, yang membatasi eksposur di stasiun pengisian, adalah wajib di AS dan Australia, dan stasiun pengisian ditempatkan jauh dari komunitas. Sumber tambahan eksposur manusia termasuk di antaranya adalah asap tembakau, makanan , air minum dan bahan pelarut rumahtangga. Eksposur industri terjadi di industri karet dan minyak bumi. Konsentrasi ambien biasanya antara 1 hingga 50 ppb. Anak-anak yang tinggal di kawasan kota mengandung konsentrasi darah benzena dan toluena yang jauh lebih tinggi, ketimbang anak-anak di kawasan pedesaan. Sebagaimana karsinogen yang telah dikenali, PBB tidak mampu merekomendasikan tingkat aman benzena yang dibawa udara. Eksposur pada benzena menyebabkan gangguan kulit, mata dan saluran pernafasan sebelah atas. Lebih lanjut eksposur menyebabkan depresi, sakit kepala, pusing dan mual. Akhirnya, benzena menekan pembentukan sel darah di dekat sumsum tulang binatang percobaan laboratorium, dan menyebabkan berbagai tumor dalam bentuk ketergantungan dosis. Pengkajian risiko kanker dalam tubuh manusia yang terekspos pada benzena sebagian besar didasarkan pada studi mengenai tingkat leukemia pada dua kelompok pekerja tertentu di Amerika Serikat, yang satu memproduksi bahan film karet, dan yang lainnya bekerja di Perusahaan Kimia Dow (Dow Chemical Company). Dalam kedua kasus tersebut, insiden leukemia myelogenous yang diperkirakan lebih besar daripada yang

dhie/SOP9/Health Effects 18

diamati, sehubungan dengan eksposur yang diperkirakan sebesar 16 mg/m3 (kira-kira 5.000 ppb). Data dari studi tersebut digunakan untuk menghitung risiko leukemia pada konsentrasi rendah yang diamati di lingkungan perkotaan. Metode penaksiran risiko ini tidak diterima secara universal, namun di lembah sungai Los Angeles tambahan risiko masa hidup diestimasikan pada 101 hingga 780 kasus leukemia per juta orang yang terekspos. 5.7 Aerosol asam Potensi hujan asam untuk merusak danau, hutan dan bangunan telah memperoleh perhatian besar. Kini sedang dikumpulkan bukti untuk menunjukkan bahwa asam yang dibawa udara bisa mengandung efek kesehatan manusia yang merugikan. Aerosol asam terbentuk melalui beberapa mekanisme polutan umum (sulfur dan nitrogen oksida) dan dapat menyertai pencemaran jenis musim kemarau dan musim hujan. Pada jenis yang pertama, sulfur dioksida yang dihasilkan selama berlangsungnya pembakaran bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfur (H2SO4). Berdasarkan sejumlah kondisi kedua, transformasi SO2 menjadi H2SO4 dikatalisasi oleh logam tertentu dalam tetes air dan karbon pada permukaan partikulat. Jenis reaksi ini dapat terjadi dengan cepat pada saat SO2 dan pencemaran partikulat terperangkap di dalam massa udara berkabut. Jenis reaksi yang ketiga adalah fotokimia; nitrogen oksida, yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan unit pembangkit tenaga listrik, bereaksi dalam sinar matahari dengan hidrokarbon untuk menghasilkan unsur oksidasi yang dengan cepat berinteraksi dengan SO2 untuk membentuk H2SO4. Asam sulfur dan asam nitrik dinetralisir oleh amonia atmosfir. Amonia merupakan hasil normal metabolisme hewan yang terjadi dalam konsentrasi yang lebih tinggi di dekat tanah. Keasaman aerosol cenderung meningkat pada ketinggian di atas tanah dan aerosol yang terbentuk di dalam campuran polutan yang dipancarkan dari cerobong asap yang tinggi dapat berkelana ribuan kilometer. Aerosol asam secara teknis sulit diukur karena mereka sangat reaktif. Sebagian karena inilah, maka sangat sedikit pemantauan aerosol asam telah terjadi dan informasi tentang tingkat ambien tidak tersedia. Ini merupakan masalah di Belahan Bumi Utara, terutama Eropa dan AS, tetapi hanya sedikit yang terjadi di Wilayah Asia Pasifik.

ir:SOP 10 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

10

PENGELOLAAN MUTU AIR 1.0 PENGANTAR Pengelolaan sumberdaya air melibatkan keseluruhan pengelolaan sumberdaya air termasuk konservasi, penggunaan, dan mutunya yang berkelanjutan untuk penggunaan di masa mendatang bagi tujuan ekonomi, rekreasi, ekologis serta kesehatan dan kesejahteraan manusia. Pengelolaan mutu air termasuk dalam area pengelolaan sumberdaya air. Keseluruhan gol pengelolaan mutu air adalah untuk melindungi sumberdaya air. Pengelolaan formal yang melibatkan campur tangan pemerintah biasanya diperlukan bila ada kebutuhan yang semakin meningkat dan bersaing terhadap sumber daya tersebut atau bila penggunaan yang tak terkendali menyebabkan terjadinya kemerosotan mutu air yang tidak bisa diterima. Komponen penting mengenai rencana pengelolaan mutu air adalah data dasar mengenai mutu sumberdaya air; sifat, lokasi dan karakteristik buangan ke dalam sumberdaya air; berbagai persyaratan penggunaan sumber daya air; serta gol, kriteria dan standar mutu air yang dapat diterapkan pada sumberdaya air. Sayangnya, ada banyak contoh di seluruh dunia mengenai perencanaan, pengelolaan dan pengendalian mutu air dan air limbah yang buruk. Misalnya, ekstraksi air tanah untuk keperluan irigasi di Lembah Sungai Murray-Darling di Australia yang dilakukan secara berlebihan telah mengakibatkan salinisasi lahan dan sungai, kemerosotan tanah dan hilangnya hasil panen ekstensif. Kurang efektifnya pengolahan air limbah dan pengendalian efluen di sejumlah industri yang berdampingan dengan Sungai Surabaya di Jawa Timur telah mengakibatkan bahan baku air menjadi sangat tercemar, membuat PDAM mengeluarkan tambahan biaya pengolahan air yang sangat besar bagi keperluan suplai air kota Surabaya. 2.0 TUJUAN Tujuan dari SOP ini adalah untuk membantu merka yang melaksanakan kegiatan pengelolaan mutu air, termasuk mereka yang terlibat dalam penetapan atau revisi yang berkaitan dengan mutu air, kriteria dan standar pembuangan. 3.0 PENGELOLAAN MUTU AIR 3.1 Pendekatan Lembah Sungai Agar dapat mencapai keseluruhan gol pengelolaan mutu air, yaitu melindungi mutu umum badan air, maka perlu untuk memecahkan masalahnya pada skala yang setidaknya sama seperti badan air itu sendiri, apakah ini danau, sungai atau ekosistem pesisir. Fokus pada pembuangan individu, tanpa memahami konteks yang lebih luas, tampaknya akan mengantar pada campur tangan yang tidak efisien dan seringkali mahal.

ir:SOP 10 2

Pengelolaan sumberdaya air yang komprehensif, di mana pengelolaan air limbah merupakan salah satu komponennya, harus didasarkan pada sejumlah prinsip yang luas, yaitu:

• air dapat dianggap sebagai barang ekonomis • pengelolaan air harus mengenal aspek sosial penggunaan air dan oleh karena itu

melibatkan para stakeholder di segala lapisan. • pemeliharaan ekosistem merupakan salah satu gol pengelolaan air yang sah • harus ada perspektif kelembagaan dan kerangka hukum yang seluas sistem air fisik. 3.2 Pendekatan pengelolaan air limbah Ada beraneka-ragam pendekatan pengelolaan air limbah yang dipraktekkan di seluruh dunia, akan tetapi mungkin kiranya untuk menggolongkannya secara luas menjadi tiga, yaitu:

• desentralisasi tindakan lokal • koordinasi tindakan regional • sistem yang didorong standar nasional. Yang pertama terutama adalah pendekatan proyek demi proyek yang didorong oleh inisiatif individual. Meskipun dapat menyelesaikan masalah setempat, namun seringkali tidak efisien dan tidak dapat menangani masalah yang luas tersebar atau sistem besar, secara tipikal ini merupakan tahap pertama pengembangan pengendalian air limbah, tetapi tidak dapat dianggap sebagai pendekatan jangka panjang yang didambakan. Pendekatan kedua tampaknya paling menarik, karena dapat mengantar pada program yang komprehensif dan efektif biaya. Namun, meski pendekatan lembah sungai digunakan di sejumlah negara Eropa, hal ini bukan berarti merupakan norma di dunia maju. Pendekatan berdasarkan standar merupakan sistem yang dewasa ini digunakan di AS dan terutama juga merupakan model yang mendasari pendekatan Uni Eropa. Oleh karena itu, secara luas, disarankan agar model yang perlu dipertimbangkan bagi negara berkembang adalah pendekatan lembah sungai atau penerapan standar nasional. 3.3 Pendekatan berdasarkan standar Pendekatan berdasarkan standar dewasa ini digunakan di AS dan Uni Eropa, tetapi, keprihatinan semakin bertambah di kedua area tersebut atas tingginya biaya yang dibebankan melalui keseragaman persyaratan dan ketidakefisienan keseluruhan sistem dalam memenuhi gol mutu air. AS sekarang ini memiliki sistem yang berdasarkan keseragaman standar yang telah mencapai perbaikan signifikan dalam tingkat pengolahan air limbah – tetapi dengan biaya yang lebih tinggi ketimbang pendekatan alternatif yang seharusnya telah dapat dicapai. Penting untuk diperhatikan bahwa, selama satu dasawarsa, subsidi pemerintah federal telah banyak memberi investasi modal dalam pengolahan air limbah tingkat kotamadya. Sebelum diterapkannya sistem ini (tahun 1972) undang-undang sebelumnya pada hakikatnya telah membangun sistem di mana Negarabagian menetapkan baku mutu air buangan pada muatan yang konsisten dengan baku mutunya. Pendekatan ini ternyata tidak dapat berjalan dengan baik, terutama karena kesulitan membagi jumlah muatan yang diijinkan di antara buangan tersebut dan untuk menentukan tanggungjawab bilamana baku mutu air dilanggar.

ir:SOP 10 3

Uni Eropa telah menerapkan persyaratan pengolahan air limbah yang seragam tanpa menghiraukan kondisi setempat (kecuali yang berada dalam area sensitif, dikenakan persyaratan yang lebih tinggi). Karena biaya pelaksanaan kebijakan ini menjadi lebih jeals, maka ada oposisi yang semakin meningkat terhadap biaya tinggi tersebut dan diperlukan subsidi pemerintah untuk mendanai pekerjaan yang diminta. Biaya keseluruhan belum dipertimbangkan secara serius selama persiapan pembuatan undang-undang. Konsekuensi praktis biaya tinggi merupakan hambatan dalam mematuhi persyaratan tersebut. Pendekatan Uni Eropa pada hakikatnya merupakan penyimpangan dari pendekatan lembah sungai yang telah digunakan secara luas dalam sistem nasional di Eropa barat. Jerman, Perancis, Spanyol dan Kerajaan Inggris semuanya memiliki suatu bentuk otorita lembah sungai atau bentuk yang lainnya. Ini semua memiliki sistem ongkos dan biaya yang memberikan dana (pada tingkat yang lebih besar atau lebih sedikit) untuk investasi air limbah, tetapi sistemnya sekarang sedang mengalami perubahan agar dapat mematuhi persyaratan Uni Eropa. Namun demikian, sistem ini tetap memiliki tingkat keluwesan untuk mengembangkan prioritas dalam wilayah kekuasaannya sendiri. 4.0 SIKLUS PENGELOLAAN MUTU AIR Ada lima komponen dalam siklus pengelolaan mutu air, yaitu:

• pengkajian status mutu air saat ini • penetapan baku mutu air • pengembangan rencana pengendalian pencemaran air • pelaksanaan pengendalian pencemaran air • pemantauan badan air dan efluen. Siklus tersebut diilustrasikan dalam Gambar 1 dan dapat memakan waktu hingga 3 sampai 5 tahun untuk menyelesaikannya, dan kemudian didaur ulang. Beberapa komponennya dapat bekerja secara paralel, misalnya, membangun sistem pemantauan mutu air sambil menerapkan sejumlah pengendalian di area kritis dengan menggunakan teknologi sarana terbaik yang dapat dipraktekkan, yang keduanya dapat berlangsung secara paralel dengan pengembangan rencana pengendalian pencemaran air.

GAMBAR 1: SIKLUS PENGELOLAAN MUTU AIR

Mengembang-kan rencana

pengendalian pencemaran air

Mengkaji mutu air sekarang

Memantau badan air dan

efluen

Menetapkan standar mutu air ambien

Melaksanakan pengendalian

pencemaran air

ir:SOP 10 4

Berbagai komponennya dijelaskan di bawah. Perlu diperhatikan bahwa adalah hal biasa untuk mengacu pada standar ambien dalam perairan sebagai gol dan tujuan mutu air, di mana golnya sesuai dengan manfaat penggunaan air, dan tujuannya bagi kriteria mutu air cocok untuk mempertahankan manfaat pengunaan yang dipilih sebagai gol bagi badan air tersebut. 4.1 Mengkaji mutu air saat ini Pengkajian mutu air dari badan air pada saat ini melibatkan:

• membandingkan pantauan tingkat mutu air ambien dengan gol dan tujuan mutu air atau standar ambien, apakah mereka sudah ditetapkan sebagai bagian dari rencana pengelolaan mutu air sebelumnya atau sebagai bagian dari sistem penetapan baku mutu air ambien propinsi atau nasional; atau

• membandingkan pantauan tingkat mutu air ambien dengan gol (dan tujuan) mutu air yang mungkin ingin dinikmati masyarakat, sehubungan dengan benchmark internasional seperti WHO, dsb.

Idealnya perbandingan ini harus dibuat dengan menggunakan alat statistik untuk mengkuantifikasi penyimpangan mutu air yang sebenarnya dari gol dan tujuannya atau standar ambien, apakah dalam arah positif atau negatif. 4.2 Menetapkan baku mutu air ambien Ada dua metode dasar penetapan baku mutu air yang didasarkan pada:

• gradasi kebersihan dari sangat bersih hingga kotor, dan • pencocokan manfaat penggunaan yang diinginkan dengan kriteria mutu air yang sesuai. Kadang-kadang gradasi kebersihan dikawinkan dengan seperangkat manfaat penggunaan tetap, sebagaimana dalam Keputusan Gubernur Jawa Timur, No. 187 tahun 1988, yang mengawinkan lima kelas air sebagai berikut:

• Kelas A adalah air yang dapat dikonsumsi sebagai air minum secara langsung pada sumbernya tanpa pengolahan terlebih dahulu;

• Kelas B adalah air yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk diolah menjadi air minum atau untuk penggunaan rumahtangga lainnya;

• Kelas C adalah air yang dapat digunakan untuk tujuan perikanan dan peternakan; • Kelas D adalah air yang dapat digunakan untuk tujuan pertanian dan juga dapat

digunakan dalam operasi usaha di kota dan bagi industri serta pembangkit tenaga listrik; dan

• Kelas E adalah air yang tidak dapat digunakan sebagaimana peruntukan Kelas A, B, C dan D.

Ini tampaknya merupakan penerapan metode di atas yang pertama, namun kenyataannya Keputusan tersebut merupakan penerapan metode yang kedua, di mana setiap badan air yang berlainan hanya menerima satu klasifikasi, yaitu B, C atau D. Oleh karena itu, hal ini merupakan gradasi baku mutu air ambien dari bersih hingga kotor.

ir:SOP 10 5

Sebaliknya, sistem penetapan mutu air, yang digunakan di Amerika Serikat atau Australia, mengikuti metode yang kedua di tingkat nasional, di mana manfaat penggunaannya dengan kriteria mutu air ditetapkan dan pemerintah setempat memilih manfaat penggunaan yang tepat untuk masing-masing badan atau bentangan air. Manfaat penggunaan yang lazim diterapkan di negara maju adalah:

• perlindungan terhadap ekosistem air (termasuk sub-kategori untuk budidaya ikan dan kerang)

• suplai air minum • rekreasi (termasuk sub-kategori untuk kontak primer dan sekunder) • penggunaan pertanian (termasuk sub-kategori bagi berbagai jenis tanaman pangan dan

hewan ternak) • penggunaan industri (termasuk sub-kategori bagi berbagai jenis penggunaan industri). Kriteria mutu air dikembangkan untuk masing-masing manfaat penggunaannya. Beberapa manfaat penggunaan dapat ditentukan untuk masing-masing badan air dan persyaratan yang paling ketat menjadi tujuan mutu air atau standar ambien untuk badan air tersebut. Keterlibatan masyarakat daerah aliran sungai setempat dalam menetapkan baku mutu air bergantung pada praktek normal pemerintah dan budaya warganegaranya. Di Australia dan AS, konsultasi masyarakat yang ekstensif dilibatkan dalam penetapan standar semacam itu. Langkah yang lazim digunakan dalam penetapan baku mutu air ambien adalah mengkaji kemungkinan konsekuensi standar dalam hal manfaat biaya bagi segenap implikasinya. Namun, ini merupakan proses yang rumit dan biasanya tidak perlu dilakukan pada putaran atau siklus pertama penetapan standar. Hal ini dikarenakan siklus pertama penetapan standar biasanya dimulai dari situasi yang tercemar, di mana manfaatnya jelas lebih penting daripada biayanya. 4.3 Mengembangkan rencana pengendalian pencemaran air Rencana ini biasanya menentukan sejumlah kegiatan atau tindakan mengendalikan pencemaran air dan untuk mencapai standar ambien (gol dan tujuan) yang dikehendaki. Persiapannya harus memasukkan konsultasi masyarakat yang ekstensif. Rencana tersebut dapat termasuk:

• pengurangan muatan pencemaran sumber titik (ujung pipa) • pengurangan muatan sumber tersebar dari kawasan perkotaan • pengurangan muatan sumber tersebar dari kegiatan pertanian • peraturan proses abstraksi dan penampungan air guna menghindari terjadinya penurunan

volume air yang mengalir di sungai secara berlebihan • pengelolaan perencanaan penggunaan lahan di daerah aliran sungai untuk memperkecil

dampak pada mutu air (dan jumlah). Pengkajian harus dilakukan terhadap sumberdaya yang diperlukan untuk melaksanakan rencana tindakan, termasuk yang berikut ini:

• biaya (pengendalian pencemaran industri, pengendalian pencemaran kotamadya dan langkah tindakan pertanian untuk membatasi dampak pencemaran, yaitu, pengendalian erosi, modifikasi penggunaan pestisida)

ir:SOP 10 6

• undang-undang dan kebutuhan administratif (peraturan tambahan dan staf pemberdayaan yang diperlukan)

• biaya sosial (pembatasan penggunaan air dan tepi sungai, dsb. oleh publik). Pada tahap ini rencana tersebut harus disahkan oleh otorita yang relevan, berdasarkan pada usulan baku mutu air ambien, atau rencana tindakan atau standar yang dimodifikasi agar dapat mencapai hasil yang memuaskan dalam hal implikasi lingkungan, ekonomi dan masyarakat. 4.4 Melaksanakan pengendalian pencemaran air Strategi pelaksanaan rencana dikembangkan dan dievaluasi, termasuk di antaranya:

• Sistem peraturan untuk mengendalikan pencemaran dari industri dan sumber besar lainnya seperti hotel dan rumahsakit, meliputi:

- perijinan sumber pencemaran secara progresif atau bertahap - pengetatan dan perpaduan analisis EIA untuk memenuhi sasaran pengendalian

pencemaran air - pengembangan pelayanan inspeksi yang handal dan efisien - pengembangan bukti kemampuan untuk menuntut pencemaran air ke pengadilan.

• Pengembangan sistem saluran limbah perkotaan dan pengelolaan drainase yang tercemar, meskipun ini akan menjadi tugas jangka panjang di banyak kota.

• Diperkenalkannya langkah tindakan untuk membujuk masyarakat agar mengubah perilaku yang menyebabkan pencemaran, atau diperkenalkannya peraturan untuk mengendalikan atau mengurangi pencemaran dari sumber rumahtangga.

• Penunjukan tanggungjawab yang jelas terhadap tindakan di seluruh jajaran pemerintah untuk melakukan tindakan lingkungan dan penegakan hukum.

• Diperkenalkannya atau modifikasi pengendalian dan peraturan penggunaan lahan untuk memperkecil dampak perubahan dalam penggunaan lahan pada mutu air.

• Sosialisasi rencana dan strategi pelaksanaan untuk seluruh masyarakat, meliputi:

- publik - industri - pemerintah tingkat nasional - pemerintah lokal - instansi pemerintah lokal - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

• Pengenalan insentif produksi bersih. • Pengenalan insentif ekonomi yang mendukung kepatuhan, meliputi:

- biaya pencemaran - penalti yang tinggi bagi pelanggaran - uang jaminan kinerja lingkungan - pemulihan kerusakan lingkungan atau biaya pembersihan dari pencemar yang

dinyatakan bersalah - penerapan peraturan mandiri secara luas oleh industri.

• Diperkenalkannya dan dukungan terhadap sistem audit lingkungan seperti ISO 14000 dengan cara yang membantu pemerintah dan masyarakat agar dapat mencapai tujuan lingkungan.

ir:SOP 10 7

4.5 Pemantauan badan air dan efluen Pelaksanaan rencana harus dipantau pada banyak tingkat. Namun, pemantauan yang terpenting adalah pemantauan terhadap ambien mutu air sungai serta terhadap mutu dan muatan efluen. Ini harus termasuk yang berikut: Pembinaan sistem pemantauan mutu air ambien yang:

• mewakili badan air berdasarkan pada:

- lokasi titik pengambilan sampel; - frekuensi pengambilan sampel; dan

• mengukur seluruh parameter yang ditentukan dalam standar ambien, yaitu, kriteria atau tujuan.

Pembinaan sistem pemantauan mutu dan muatan efluen yang:

• mewakili muatan polutan yang dilepaskan ke badan air dalam hal:

- kadar; - aliran; dan - keaneka-ragaman buangan yang berkaitan dengan prosesnya;

• cocok untuk digunakan dalam tindakan hukum; dan • tersedia untuk masyarakat. Pembinaan metode pengkajian muatan polutan sumber tersebar, termasuk pemantauan seperlunya. Pembinaan sistem model mutu air yang:

• digunakan untuk pengkajian rutin hasil pemantauan; • secara reguler dikalibrasi dengan menggunakan data sebagaimana dikumpulkan; dan • digunakan untuk memprediksi perubahan mutu air yang merupakan hasil tindakan

pengelolaan dan pengendalian 4.6 Pengulangan siklus Adalah perlu untuk mengulang Siklus Pengelolaan Mutu Air sebagai peningkatan yang dicapai dalam mutu air. Pengalaman di negara maju menunjukkan bahwa perlunya mengikuti siklus pengelolaan yang ketat ini menjadi lebih penting setelah keuntungan dari siklus pengendalian yang pertama terwujud.

ir: SOP 11 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

11

PENGAMBILAN DAN ANALISIS SAMPEL AIR 1.0 PENGANTAR Mengkaji jumlah dan efek polutan yang dibuang ke lingkungan akuatik merupakan proses yang melibatkan serangkaian tugas. Yakni:

• mendapatkan sampel yang mewakili • mengawetkan, menyimpan dan mengangkut sampel dengan benar untuk dilakukan

analisis • menganalisis secara tepat dan akurat untuk mendapatkan indikator yang tepat • melaporkan hasilnya secara akurat dan lengkap • menyajikan penafsiran. Adalah hal yang vital untuk menyadari bahwa setiap langkah penting dan bahwa dengan perhatian, kesulitan dapat diperkecil. 2.0 TUJUAN SOP ini diberikan untuk membantu mereka yang melakukan pengambilan dan analisis sampel air dan air limbah, termasuk mereka yang terlibat dalam pengumpulan data untuk penetapan atau revisi standar lingkungan. Tujuan SOP adalah:

• untuk mengidentifikasi prosedur yang tepat bagi pengambilan sampel buangan yang mewakili ke air;

• untuk memberikan panduan mengenai prosedur analitis dan jaminan mutu yang tepat;

• untuk membantu industri agar dapat memenuhi kewajiban lingkungan dengan cara yang paling efisien dan seekonomis mungkin; dan

• untuk memberikan panduan agar dapat merencanakan dan melaksanakan program pemantauan dan pelaporan air yang efektif.

3.0 PENGAMBILAN SAMPEL MUTU LINGKUNGAN Komposisi, homogenitas dan pemanfaatan badan air sangat bervariasi. Masing-masing harus dipertimbangkan secara terpisah. Merancang program pengambilan sampel air yang cukup membutuhkan sejumlah pengetahuan dan pemahaman terhadap sistem yang akan diambil sebagai sampel. Pengguna data, pengambil sampel, staf laboratorium dan ahli statistik semuanya harus dilibatkan dalam tahap perencanaan program, jika ingin berhasil.

ir: SOP 11 2

3.1 Menetapkan tujuan Tujuan program pengambilan sampel perlu dinyatakan dengan jelas sehingga data yang dikumpulkan akan relevan. Jika pembagian ruang parameter merupakan hal yang penting dalam danau yang tidak mengalir, mungkin perlu diambil sejumlah besar sampel agar mewakili danau tersebut secara statistik. Tetapi jika diperlukan perubahan waktu pada satu lokasi, maka diperlukan lebih sedikit sampel untuk dapat memberikan gambaran yang akurat. 3.2 Strategi pengambilan sampel Untuk mendapatkan sampel yang mewakili, perlu dipastikan tingkat homogenitas dalam badan air. Biasanya, sistem yang tercampur baik seperti sungai yang mengalir, akan lebih homogen secara spasial ketimbang air yang tidak mengalir, tetapi waktunya dapat bervariasi. 3.3 Logistik Beberapa pertimbangan penting adalah:

• variasi masukan ke badan air dengan waktu • kegiatan yang dapat mempengaruhi kondisi (menghubungi pejabat yang relevan dan

industri setempat yang memberi masukan besar untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang direncanakan, misalnya pengerukan, kegiatan industri atau survei yang bisa memberi dampak sementara pada mutu air)

• akses ke area • metode dan peralatan pengambilan sampel yang sesuai • ketersediaan dan kecukupan metode analisis yang sensitif dan spesifik • jarak dari, dan kapasitas, laboratorium analitis. 3.4 Beberapa petunjuk pengambilan sampel praktis Petunjuk berikut ini mungkin bermanfaat.

• Untuk menentukan kemungkinan dampak komponen yang dapat larut dalam efluen atau air penerima, tingkat volume dan buangan efluen dan air penerima harus diketahui agar dapat mengestimasikan efek dilusinya.

• Jika buangan tersebut memiliki densitas atau suhu yang berbeda dengan yang dimiliki oleh air penerima, maka plume dapat tercipta yang akan merumitkan penghitungan tingkat dilusi. Dalam keadaan ini, mungkin perlu untuk mengambil sampel lebih besar agar dapat mengevaluasi dampak kegiatan tersebut.

• Pada saat mengambil sampel di sungai, pertama-tama ambil sampel hilir dan bergerak maju ke hulu. Ini menghindari kemungkinan sampel terkena pengaruh gangguan sedimen selama berlangsungnya kegiatan pengambilan sampel.

• Nilai oksigen terlarut (DO) di dalam badan air bervariasi secara alami sepanjang hari dan sesuai dengan kondisi sinar matahari dan turbulensi. Fotosinthesis siang hari dengan tanaman dan ganggang menaikkan tingkat DO, sementara pernafasan menghabiskan DO pada malam hari. Konsekuensinya, perbandingan tingkat DO di lokasi berlainan harus dibuat dengan cermat, dan hanya dengan hasil bacaan yang diambil pada waktu dan hari yang kira-kira sama. Waktu dan hari yang terbaik untuk mengambil sampel dengan DO minimum adalah pada waktu fajar.

ir: SOP 11 3

4.0 PEMANTAUAN BUANGAN Tujuan utama pemantauan buangan industri adalah untuk memberikan informasi kinerja industri kepada otorita peraturan dan pengusaha pabrik. Ini untuk memastikan bahwa pengoperasian pabrik dikelola pada tingkat pengendalian pencemaran yang cukup. Data tersebut juga dapat berguna dalam pembuatan desain dan pelaksanaan standar lingkungan dan sistem teknologi bersih, dan dapat membantu mengidentifikasi peluang untuk memperkecil limbah semaksimum mungkin. Pemantauan kinerja buangan harus memberikan informasi yang tepat, dapat dipercaya dan akurat mengenai mutu dan tingkat buangan limbah pada lingkungan. Metode pengambilan dan analisis sampel berstandar tinggi memungkinkan dilakukannya tindakan cepat untuk memastikan kepatuhannya dengan persyaratan persetujuan. Pengusaha pabrik berkewajiban untuk memastikan agar semua sampel diambil dan dianalisis dengan ahli dan sesuai dengan persetujuannnya. 4.1 Di mana dan seberapa sering sampel harus diambil? Secara minimum, pengambilan sampel buangan limbah harus dilakukan pada frekuensi dan lokasi yang telah ditentukan dalam persetujuan. Indikator kinerja sebagaimana direkomendasikan oleh pengusaha pabrik harus dimasukkan program. Persetujuan tersebut harus menentukan titik pengambilan sampel yang cocok dan mudah diakses,. Jika pengusaha diminta untuk memantau danau, sungai atau kawasan laut, maka mungkin diperlukan desain program pengambilan sampel yang rumit. Panduan dan metode pengambilan sampel yang mewakili diberikan dalam Seksi 3. 4.2 Siapa yang harus melakukan pengambilan dan analisis sampel? Pengambilan sampel dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan, staf BAPEDAL (atau BAPEDALDA setempat atau instansi yang relevan lainnya), konsultan eksternal atau laboratorium. Penting kiranya bahwa personil pengambilan sampel sudah mengenali metode untuk mendapatkan sampel yang mewakili, penanganan dan pengawetannya, serta persyaratan yang diminta analis. 4.3 Wadah dan metode pengawetan Wadah, metode pengawetan dan prosedur penanganan sampel harus sesuai dengan analit yang sedang dipantau. Ini tertera dalam daftar di bawah. 4.4 Prosedur pengambilan sampel Lihat Seksi 6. 4.5 Pelaporan hasil Hasil analisis merupakan bantuan yang berharga dalam mengendalikan pengoperasian pabrik dan melindungi lingkungan. Pengusaha bertanggungjawab untuk mereviu hasil analisis secara cepat dan teratur dan melaporkannya kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan sebagaimana yang dipersyaratkan persetujuan.

ir: SOP 11 4

5.0 MEMILIH LABORATORIUM Laboratorium harus dipilih dan diajak berkonsultasi mengenai persyaratan pengambilan sampel dan jaminan mutu secara keseluruhan sebelum terjadi pengambilan sampel. Setiap Propinsi memiliki laboratorium yang disetujui Pemerintah untuk melakukan pengambilan dan analisis sampel lingkungan. Hal ini sering merupakan laboratorium yang dijalankan oleh Departemen Kesehatan, Industri atau Pekerjaan Umum. Laboratorium swasta juga ada di sejumlah kota besar. 5.1 Apa yang harus disediakan Laboratorium Pada saat memilih laboratorium, perlu dipertimbangkan sejumlah faktor selain biaya jasa analitis. Meskipun beberapa analisis yang ditentukan dalam persetujuan pembuangan tampak sederhana, namun hasil yang akurat dan dapat dipercaya hanya dapat diperoleh bila prosedur pengambilan dan analisis sampel dilaksanakan secara kompeten. Laboratorium harus diajak berkonsultasi mengenai metode pengambilan sampel, wadah, pengawetan dan volume sampel yang diminta. Selain itu, laboratorium harus melakukan analisis dengan cara yang andal, akurat dan tepat. Maka dari itu, laboratorium harus dipilih dengan menggunakan sejumlah kriteria. Apakah laboratorium tersebut:

• mempekerjakan staf berpengalaman dalam seluruh segi metode pengambilan dan analisis sampel?

• menggunakan metode pengujian yang ketat dan andal? • ikut serta dalam program pengujian keahlian yang sesuai? • menjaga prosedur pengendalian mutu dan jaminan mutu yang cukup? dan • memberikan laporan lengkap mengenai hasil pengujian, termasuk ketidakpastian dalam

hasil, detil metodologi pengujian, hasil pengendalian mutu dan variasi pada metode pengujian yang telah terjadi?

5.2 Menggunakan laboratorium milik sendiri Perusahaan yang menjalankan laboratorium sendiri untuk tujuan pengendalian produk bisa mempertimbangkan digunakannya fasilitas untuk tujuan pemantauan. Namun ini tidak selalu merupakan pilihan terbaik. Laboratorium tersebut mungkin saja kurang pengalaman dan sarana yang dibutuhkan untuk analisis penelusuran (trace analysis). Dengan mendapatkan semuanya dapat terbukti lebih mahal dan kurang memuaskan ketimbang menggunakan laboratorium konsultan berpengalaman. 6.0 METODE DAN PENANGANAN PENGAMBILAN SAMPEL Tujuan pengambilan sampel air adalah untuk mengambil dan menyajikan sampel untuk dianalisis yang secara tepat mewakili buangan limbah atau badan air yang sedang diselidiki. Sayangnya, tidak ada metode pengambilan sampel tunggal yang dapat diterapkan pada semua parameter dan kondisi. Bagian ini memberikan informasi dan instruksi umum untuk kebanyakan situasi. 6.1 Wadah dan pengawetan sampel Terlepas dari jenis badan air yang diambil sebagai sampel, wadah, metode pengawetan dan kondisi penyimpanan sampel harus layak untuk kepentingan analit. Selain itu, analisis harus

ir: SOP 11 5

dilaksanakan dalam periode penahanan maksimum yang telah ditentukan. Detil lebih jauh dapat diperoleh dari Tabel 1. 6.2 Pertimbangan keselamatan Karena ancaman bahaya potensial yang dikaitkan dengan sejumlah pembuangan, tindakan pencegahan ekstra untuk keselamatan harus diterapkan pada pengambilan sampelnya. Pencegahannya meliputi:

• Mengambil sampel dari anjungan yang cocok dan stabil • Mengenakan pakaian pelindung yang sesuai • Memastikan perlindungan dari gas dan uap beracun yang dipancarkan dari buangan.

6.3 Metode pengambilan sampel Mengambil sampel buangan limbah Sampel buangan limbah yang paling mewakili adalah dari titik di mana efluen tercampur secara menyeluruh dan dekat dengan outlet dari lokasi tersebut. Biasanya titik dijelaskan dalam persetujuan pembuangan, dan sampel harus selalu diambil dari titik tersebut. Selain itu, sampel harus diambil sesering yang diwajibkan oleh persetujuan. Bilamana mungkin, sampel harus diambil secara langsung ke dalam wadah yang akan dikirim ke laboratorium untuk analisis. Namun, bila mengambil sampel buangan yang secara potensial beracun, pertimbangan keselamatan mungkin menuntut agar sejumlah besar sampel diambil dengan cara menurunkan timba ke dalam aliran limbah, diikuti dengan pengambilan sampel secara cepat dalam jenis wadah yang direkomendasikan.

6.4 Pembilasan wadah sampel Secara umum, wadah sampel harus dibilas dengan air yang akan disampel, sebelum mengambil sampelnya. Bilasan tambahan ini memperkecil kontaminasi dari sebelah dalam wadah yang dapat terjadi antara pencucian dan pengambilan sampel. Jangan mengikuti prosedur ini apabila:

• analitnya dikaitkan dengan cairan yang tak dapat dicampur atau partikulat melayang yang akan melekat ke sisi wadah dan dapat mengakibatkan terjadinya konsentrasi yang lebih tinggi pada sampelnya;

• mengambil sampel bakteri atau polutan mikrobiologis lainnya, karena penting agar sterilitas wadah sebelum penggunaan dipelihara dan penghilangan unsur dekhlorinasi apapun harus dicegah; atau

• botol yang mengandung bahan pengawet (misalnya pelarut atau asam) yang biasa direkomendasikan pada saat mengambil sampel pestisida, surfaktan dan hidrokarbon.

Dalam hal demikian, wadah sampel harus dibersihkan dan dikeringkan sebelum digunakan. Pengambilan sampel spesies volatil Pada saat pengambilan sampel spesies volatil, harap berhati-hati guna mengindari kehilangan. Botol sampel harus diisi perlahan-lahan untuk mengurangi agitasi yang dapat mendorong keluar senyawa volatil. Tingkat isi wadah bergantung pada metode analisisnya. Jika tingkat volatilnya akan diukur dengan metode headspace botol tersebut harus diisi sebagian sebagaimana ditunjukkan oleh laboratorium. Untuk metode analisis lainnya, wadah harus diisi hingga ada bentuk bulan

ir: SOP 11 6

sabit di atas bibir botol dan kemudian tutupnya dieratkan. Ambil sampel baru jika ada gelembung udara. Segera dinginkan sampel di atas es untuk pengangkutan ke laboratorium analisis. Dua botol harus diisi di setiap lokasi pengambilan sampel.

Metode pengambilan sampel air permukaan Metode berikut ini direkomendasikan

• Air yang bercampur dengan baik Sampel yang diambil 100 mm di bawah permukaan, jauh dari tepi, sudah cukup. Tongkat pengambilan sampel akan membantu, sementara tali mungkin lebih baik untuk menurunkan botol yang diberi beban dari jembatan.

• Perairan yang dalam dan berlapis Ini mungkin membutuhkan alat khusus (seperti pengambil sampel Van Dorn) dan teknik penanganan yang cermat jika spesies bahan kimianya tidak stabil (misalnya oksigen terlarut, karbon dioksida, sulfida, sulfit). Pompa tangan atau yang digerakkan listrik dengan selang inlet panjang mungkin berguna untuk mengambil air dari kedalaman yang dipilih.

• Perairan dangkal Kontaminasi dari sedimen yang terganggu harus dihindari dengan menggunakan inlet panjang atau selang tipis pada botol sampel dan menarik air kedalam botol dengan cara menyedot.

• Lapisan permukaan Ini dapat terbentuk bila ada minyak, lemak, pelarut atau surfaktan. Untuk mengambil sampel, pegang wadah secara horisontal di dalam air, setengah terbenam.

Dalam semua kasus pastikan bahwa alat atau metode pengambilan sampel tidak mengkontaminasi sampel tersebut. Pengambilan sampel air tanah Pengujian mutu air tanah secara teratur biasanya dilakukan dari sumur bor, sumur atau piezometer. Teknik konstruksi untuk memantau sumur bor bergantung pada lokasi akuifer dan geologi yang mendasarinya. Pekerjaan ini harus dilakukan oleh ahli di bidang hidrogeologi. Pengambilan sampel air tanah harus dilakukan dengan menggunakan prosedur yang sesuai dengan standar internasional, misalnya, the Badan Sumberdaya Air Australia, Panduan Pendahuluan pada Prosedur Pengoperasian Standar untuk Pengambilan Sampel Air Tanah Terkontaminasi (Australian Water Resources Councils Preliminary Guide to Standard Operating Procedures for Sampling Contaminated Groundwater) (Water Resources Management Committee Occasional Paper WRMC No. 2, September 1991). Sebelum mengambil sampel, sumur bor harus dibersihkan (dievakuasi). Biasanya paling kurang tiga volume sumur bor dihilangkan dari sumur bor tersebut, yang memastikan bahwa air yang akan diambil sebagai sampel adalah air tanah dari akuifer yang mengelilingi sumur bor tersebut ketimbang air yang menggenang dari dalam sumur bor. Bergantung pada tingkat kontaminasi, air bersih harus dapat ditampung dan diperlakukan dengan tepat. Peralatan yang masuk atau membawa air dari sumur bor ke wadah pengambilan sampel harus dibersihkan (didekontaminasi) setiap kali sebelum pengambilan sampel. Penyiapan wadah sampel air tanah dan teknik pengawetan sampel adalah sama seperti untuk air lainnya (lihat di bawah dan Seksi 7). Ada dua metode pengambilan sampel air tanah.

ir: SOP 11 7

• Pemompaan Pilihan pompa bergantung pada kedalaman dan kontaminan yang terlibat. Metode ini lebih disukai ketimbang menimba.

• Penimbaan Sampel air tanah dipindahkan secara manual dengan menggunakan sebuah timba (tabung berlubang terbuat dari bahan yang tidak bereaksi kimia terhadap zat lain seperti teflon atau stainless steel) yang diikatkan pada seutas tali. Metode ini tidak cocok untuk pengambilan sampel air tanah anoksik atau organik volatil, karena tindakan penimbaan yang mengganggu air bersangkutan, akan mengakibatkan perubahan unsur kimia.

6.5 Pengukuran lapangan Pengukuran lapangan terhadap pH, suhu, oksigen terlarut dan konduktivitas merupakan hal yang lazim dan sah dilakukan. Meter lapangan berhadapan dengan perlakuan kasar (seperti benturan, getaran, perubahan suhu yang ekstrim). Hasil yang andal tidak dapat diperoleh kecuali jika meter tersebut dirawat dan dikalibrasi menjelang digunakan. 6.6 Penanganan sampel Prosedur penanganan yang benar diperlukan untuk melindungi integritas sampel dan keselamatan personil. Panduan berikut ini harus dipatuhi. Pengambilan dan penanganan sampel air limbah yang aman Tindakan pencegahan dan peringatan berikut ini harus dipatuhi pada saat mengambil sampel air limbah, yang bisa termasuk bahan kimia berbahaya.

• Kontak kulit dan penghirupan gas dari efluen harus dihindari.

• Tambahan bahan pengawet asam bisa melepaskan gas beracun semacam hidrogen sulfida dan hidrogen sianida. Setelah asam ditambahkan ke sampel, wadahnya harus segera ditutup rapat.

• Untuk menghindari infeksi pada saat mengambil sampel efluen yang mungkin mengandung limbah rumahtangga, pengambil sampel harus mengenakan sarung tangan plastik satu kali pakai. Selain itu, tangan harus dicuci dengan sabun pembunuh bakteri setelah melakukan pengambilan sampel efluen tersebut. Sampel harus menyandang peringatan bagi analis, yang harus mengikuti tindakan pencegahan yang sama. Perlindungan terhadap infeksi hepatitis harus diupayakan melalui penyuntikan.

• Titik pengambilan sampel harus siap untuk dapat diakses dengan mudah dengan rel atau tali pengaman. Pengambil sampel harus ditemani orang lain atau lokasi pengambilan sampelnya diketahui.

Pemberian label dan pencatatan dalam buku log Sampel harus diberi penjelasan yang cukup dan diberi label secara aman di lokasi pengambilan sampel, misalnya: NAMA LABORATORIUM (Sampel untuk Analisis) Data yang diambil ………………Waktu/Jam ……………….. Sampel dari ………… ……No. Sampel …………….… Lokasi ………………………………………………... Diambil oleh …………………………………………….

ir: SOP 11 8

Botol sampel harus diberi label untuk mengidentifikasi sampel tersebut secara jelas. Menggunakan pena penandaan (marking pen) berbasis pelarut (lebih disukai hitam) atau alat pemberi tanda tahan air yang sejenis. Log sampel harus menunjukkan seluruh informasi yang relevan, termasuk di mana (lokasi dan kedalaman yang persis) dan kapan (tanggal, waktu dan hari) sampel tersebut diambil dan ciri khas yang relevan lainnya seperti kondisi cuaca dan adanya kotoran mengapung atau lapisan minyak. Untuk buangan yang disetujui, ukur laju kecepatan aliran pada waktu pengambilan sampel. Baca papan pengukur aliran bila ada pada saat mengambil sampel dari sungai. Sebuah salinan log harus diberikan kepada laboratorium dan yang lainnya disimpan oleh lembaga pengambilan sampel. Detil mengenai setiap bahan pengawet yang ditambahkan (jenis, kadar sebelum penambahan dan jumlah yang ditambahkan) harus dicatat pada label sampel. Serahkan bahan pengawet yang digunakan kepada laboratorium untuk ketentuan blangko. Pengangkutan Ketika mengangkut sampel, serangkaian tindakan pencegahan harus dilakukan

• Pastikan semua tutup botol dalam keadaan tertutup rapat untuk mencegah kebocoran.

• Pastikan bahwa label sampel tetap melekat pada wadahnya dan tidak rusak selama dalam perjalanan.

• Lindungi sampel dari penggunaan panas yang berlebihan, misalnya, es basah, es batu kulkas atau kulkas mobil. Jangan membekukan botol kaca atau sampel yang ditujukan untuk analisis mikrobiologis.

• Cegah agar botol tidak jatuh tergeletak selama dalam pengangkutan. Botol kaca harus dibungkus benda empuk untuk mencegah pecah.

• Simpan botol polietilen dalam posisi tegak dan berikan udara cukup untuk mencegah kehilangan saat terjadi pembekuan. Tutup ulir pada botol polietilen dapat terdesak lepas oleh pengembangan sampel ketika membeku, mengakibatkan hilangnya sampel.

Menghindari kontaminasi sampel Staf dan analis pengambilan sampel harus mengetahui banyak mengenai sumber kontaminasi yang potensial selama pengambilan, pengangkutan dan analisis sampel. Beberapa contoh diberikan di bawah ini:

• kendaraan (hidrokarbon atau timah hitam);

• debu yang dibawa udara;

• larutan amonia – termasuk bahan pembersih – tidak boleh ditangani atau disimpan di daerah sekeliling pengambilan atau pengoperasian analitis sampel;

• merokok selama berlangsungnya pengambilan dan pengoperasian analitis sampel harus dilarang, karena abu dan asap rokok mengandung sejumlah kontaminan berarti seperti fosfat, nitrat, hidrokarbon dan logam berat; dan

• larutan penyangga untuk pengkalibrasian meter berpotensi mengkontaminasi sampel air yang mengandung fosfor atau analit lainnya.

ir: SOP 11 9

7.0 WADAH, PENGAWETAN DAN PERIODE PENAHANAN 7.1 Wadah sampel dan penyiapannya Analis harus selalu diajak berkonsultasi untuk mendapatkan keterangan mengenai wadah dan metode pengawetan, dan keterangan mengenai volume sampel yang sebenarnya diperlukan. Standar nasional harus diterapkan secara tidak formal untuk memenuhi persyaratan ini. Sebuah contoh dari Standar Australia AS 2031 diberikan dalam Tabel 1. 7.2 Pengawetan dan manipulasi sampel pendahuluan Metode pengawetan adalah didasarkan pada pelambatan perubahan biologis, kimiawi dan fisika. Keefektifannya sangat bervariasi dan hanya harus diterapkan apabila sampel tidak dapat dianalisis dalam beberapa jam setelah pengambilan. Pengawetan harus dilakukan secepat mungkin setelah pengambilan sampel. 7.3 Pembekuan Sampel paling baik bila dibekukan dalam jumlah kecil cukup untuk penentuan satu parameter, guna menghindari pencairan dan pembekuan kembali berulang-kali jika jumlah analisis dibagi selama beberapa hari. Direkomendasikan pembekuan cepat dengan es kering (dry ice). Sampel yang dicairkan harus dicampur dan dibiarkan untuk mencapai suhu ambien sebelum dilakukan pengukuran atau analisis. 7.4 Pengasaman Pengasaman hingga di bawah pH 2 merupakan ketentuan standar pengawetan untuk analisis jejak logam (trace metal). Ini mengurangi kehilangan kondensasi gas atau zat cair pada dinding wadah. Sampel asam yang digunakan, yang harus kelas analitis dan mengandung logam rendah, harus ditahan untuk koreksi blangko (blank correction). 7.5 Pengambilan sampel multi-analit Penting kiranya untuk memisahkan prosedur pengambilan sampel, penanganan dan analisis sampel bagi setiap parameter, guna memperkecil risiko terjadinya kontaminasi silang. Misalnya, asam nitrik yang digunakan untuk penyiapan wadah dan sebagai bahan pengawet untuk analisis logam berat dapat mengakibatkan kontaminasi pada sampel yang akan dianalisis untuk mendapatkan nitrat. Demikian pula halnya, tembaga sulfat yang digunakan untuk pengawetan fenol dapat mengkontaminasi sampel untuk keperluan analisis logam. 7.6 Ekstraksi bahan pelarut Untuk bahan organik seperti hidrokarbon, PAH dan sejumlah pestisida, direkomendasikan ekstraksi pendahuluan bahan pelarut dalam wadah sampel di lokasi. Sampel bahan pelarut dan wadah yang digunakan harus diserahkan untuk dilakukan analisis. 7.7 Filtrasi Terkadang perlu untuk mengukur konsentrasi spesies yang dapat disaring atau larut – yaitu yang larut dalam cairan sampel dan dapat melewati filter, sebagaimana beda dari konsentrasi bahan partikulat melayang. Untuk mencapainya, sampel disaring dengan filter secepat

ir: SOP 11 10

mungkin setelah pengambilan (lebih disukai di lokasi) dan analisis dilakukan pada cairan, partikulat yang disaring dengan filter atau keduanya. Analis harus memastikan agar filter dan peralatan filtrasi tidak mengkontaminasi sampel atau menyerap analit hingga pada tingkat signifikan. Sebelum digunakan, filter juga harus diperlakukan dengan cara yang sama seperti wadah sampel. 8.0 METODE ANALITIS DAN JAMINAN MUTU 8.1 Referensi Untuk memperkecil variasi dalam hasil analisis, harus diterapkan metode nasional preferensi. Daftar metode pengujian preferensi di Australia diberikan dalam Tabel 2 sebagai contoh. Prosedur yang digunakan haruslah yang ada dalam daftar atau metode pilihan lainnya dari indikasi teks standar terinci di bawah ini. 1. American Public Health Association (1992) Standard Methods for the Examination of

Water and Wastewater, 18th Edition, 1286 pp, APHA, Washington DC 20036 atau edisi terbaru.

2. US Environmental Protection Agency (1992) Publication SW-846, Test Methods for

Evaluating Solid Waste, Third Edition, 1986 (plus pembaharuan). 3. US Environmental Protection Agency (1979) Methods for Chemical Analysis of Water

and Wastes 298 pp, US EPA (Publication No EPA-600 4-79-020) Washington DC 20460 atau edisi terbaru.

4. American Society for Testing and Materials (1992) Water and Environmental

Technology, Volumes 11.01 to 11.04, ASTM, 1916 Race Street, Philadelphia, PA 19103 atau edisi terbaru.

5. Standar-standar Australia yang relevan (katalog penerbitan tersedia dari Standards

Australia, 19-25 Raglan Street, South Melbourne VIC 3205). 6. US Environmental Protection Agency (1978), Microbiological Methods for Monitoring

the Environment Water and Wastes, 337 pp, USEPA, (Publication No EPA-600/8-78-017) Cincinnati, Ohio, 45268 atau edisi terbaru.

7. Department of the Environment (1982) The Bacteriological Examination of Drinking

Water Supplies, Report on Public Health and Medical Subjects, No 71. Method for the Examination of Water and Associated Material, (tersedia dari available from Department of Health and Social Security, Public Health Laboratory Service, Her Majesty’s Stationary Office, London) atau edisi terbaru.

Metode lainnya hanya boleh digunakan jika mereka terbukti memberikan hasil yang sebanding dengan metode yang berasal dari referensi di atas. Penting kiranya agar analis memeriksa kesesuaian prosedur yang digunakan bagi jenis sampel tertentu berdasarkan penyelidikan.

ir: SOP 11 11

TABEL 1: JENIS WADAH, PENGAWETAN DAN WAKTU PENAHANAN SAMPEL MAKSIMUM

DETERMINAN WADAH VOLUME NORMAL

UNTUK PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN PERIODE

PENAHAN-AN MAKSIMUM

CATATAN

Keasaman (mineral) Polietilen atau kaca borosilikat

200 Segera simpan antara 10 dan 40C. 24 jam

Alkalinitas Polietilen atau kaca borosilikat

200 Isi botol untuk mengeluarkan udara. Segera simpan antara 10 dan 40C.

24 jam

Aluminium Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Amonia Polietilen atau kaca 500 (a) Simpan antara 10 dan 40C. (b) Bekukan sampel segera setelah

pengambilan. (c) Asamkan dengan asam sulfurik

pada pH 1 hingga 2. Simpan antara 10 dan 40C.

6 jam 7 hari 7 hari

Anionik surfaktan (sintetis)

Kaca 400 Simpan antara 10 dan 40C. 48 jam Barang pecah belah sebelumnya tidak boleh dicuci dengan deterjen

Arsenik Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dg asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Barium Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

6 bulan

Kebutuhan oksigen biokimia (BOD)

Kaca 1000 Isi botol untuk mengeluarkan udara. Simpan antara 10 dan 40C.

24 jam

Boron Polietilen 500 Tidak ada yang diperlukan. 28 hari Bromida Polietilen 500 Simpan antara 10 dan 40C dalam

kegelapan. 28 hari

Kadmium Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Kalsium Polietilen 100 Isi botol untuk mengeluarkan udara. Segera simpan antara 10 dan 40C. atau asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

7 hari Sampel air dengan pH tinggi (pH>8) atau jumlah karbonat tinggi yang diambil hanya untuk penentuan kalsium, kekerasan atau magnesium harus diasamkan dengan asam nitrik.

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 12

DETERMINAN WADAH VOLUME NORMAL

UNTUK PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN PERIODE

PENAHAN-AN MAKSIMUM

CATATAN

Kebutuhan oksigen kimia (COD)

Kaca yang dicuci dengan asam 100 Asamkan dengan asam sulfurik pada

pH 1 hingga 2. Simpan pada 40C. 7 hari

Khlorida Polietilen 100 Tidak ada yang diperlukan 6 bulan Khlorin Polietilen atau kaca 200 Jauhkan sampel dari sinar matahari

langsung Mulai analisis dalam lima menit setelah pengambilan sampel

Klorofil Polietilen Filter di tempat Tambahkan 0,2 mL suspensi magnesium karbonat. Saring dengan filter dan cepat bekukan kertas filter dalam gelap.

28 hari Sampel harus disaring dengan filter pada saat pengambilan. Volume yang disaring dengan filter bergantung terutama pada jumlah bahan partikulat yang ada dan konsentrasi klorofil yang diharapkan. Filter tidak boleh disentuh dengan jari & semua alat penanganan sampel harus dijaga agar bebas dari asam, karena ini menyebabkan degradasi klorofil pada faeofitin.

Khromium (total) Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Khromium (VI) Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Simpan antara 10 dan 40C. 24 jam Harus dihindari pemberian reagen tambahan.

Kobal Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Warna Kaca 100 Simpan antara 10 dan 40C. 24 jam Konduktansi (khusus) Polietilen 100 Tidak ada yang diperlukan. Lebih disukai di

tempat atau in situ

Tembaga Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Sianida Polietilen atau kaca 500 Tambahkan larutan sodium hidroksida pada pH ≥ 12. Simpan dalam kegelapan antara 10C dan 40C.

24 jam Hidrogen sulfida dapat dihilangkan dengan menambahkan kadmium nitrat setelah penyesuaian pH sampel pada to pH ≥ 12. Jika ada unsur pengoksidasian, tambahkan asam askorbik. Telah terjadi kelebihan penambahan asam askorbik bila kertas iodida kaku gagal untuk berubah menjadi biru pada saat bersentuhan dengan sampel tersebut.

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 13

DETERMINAN WADAH VOLUME NORMAL

UNTUK PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN PERIODE

PENAHAN-AN MAKSIMUM

CATATAN

Fluorida Polietilen 500 Tidak ada yang diperlukan. 28 hari Kekerasan Polietilen 200 Isi botol untuk mengeluarkan udara.

Segera simpan antara 10 dan 40C. atau asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

7 hari Sampel air dengan pH tinggi (pH>8) atau jumlah karbonat tinggi yang diambil hanya untuk penentuan kekerasan, kalsium atau magnesium harus diasamkan dengan asam nitrik.

Hidrokarbon Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut

4000 Estraksikan bahan pelarut di tempat dengan bahan pelarut yang sesuai. Simpan antara 10 dan 40C. Asamkan pada pH 2 dengan asam sulfurik jika hidrokarbon telah menjadi emulsi.

Lakukan analisis secepat mungkin namun dalam 24 jam.

Jangan isi botol hingga tumpah.

Iodida Polietilen atau kaca 500 Simpan antara 10 dan 40C dalam kegelapan.

7 hari

Besi Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Kjeldahl nitrogen Polietilen atau kaca 500 Asamkan dengan asam sulfurik pada pH < 2. Simpan antara 10 dan 40C.

7 hari

Timah hitam Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Lignin and tanin Kaca 250 Simpan antara 10 dan 40C. 7 hari Magnesium Polietilen 100 Isi botol untuk mengeluarkan udara.

Segera simpan antara 10 dan 40C. atau asamkan dengan asam nitrik.

7 hari Sampel air dengan pH tinggi (pH>8) atau jumlah karbonat tinggi yang diambil hanya untuk penentuan kalsium, kekerasan atau magnesium harus diasamkan dengan asam nitrik.

Mangaan Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Air raksa Kaca borosilikat yang dicuci dengan asam

500 Segera asamkan sampel yang belum disaring dengan filter pada pH ≤ 1dengan asam nitrik dan tambahkan potassium dichromat hingga 0.05% m/V.

3 hari Untuk air yang terkontaminasi diperlukan tambahan oksidan; harus dibuat referensi untuk analis untuk memberikan instruksi lebih jauh

Molibdenum Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 14

PENENTUAN WADAH

VOLUME NORMAL UNTUK

PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN

PERIODE PENAHAN-

AN MAKSIMUM

CATATAN

Nikel Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Nitrogen (semua bentuk)

Lihat entri individual di bawah Amonia, Kjeldahl nitrogen, Nitrat dan Nitrit.

Nitrat Polietilen atau kaca 500 (a) Simpan antara 10 dan 40C. (b) Bekukan sampel segera

setelah pengambilan. (c) Asamkan dengan asam

sulfurik pada pH 1 hingga 2. Simpan antara 10 dan 40C.

(a) 6 jam (b) 7 hari (c) 7 hari

Nitrit Polietilen atau kaca 500 Bekukan sampel segera setelah pengambilan.

7 hari

Oli dan gemuk Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut

1000 Asamkan dengan asam sulfurik atau asam hidrokhlorik hingga kira-kira pH1. Simpan antara 10 dan 40C.

7 hari Jangan isi penuh wadah sampel.

Karbon organik (total)

Kaca 100 Asamkan dengan pH 1 hingga 2 dengan asam sulfurik. Simpan antara 10 dan 40C.

48 jam Jangan isi penuh wadah sampel.

Pestisida1

organofosfor Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut

2000 Estraksikan bahan pelarut dengan bahan pelarut yang sesuai dalam 24 jam, lebih disukai di tempat untuk fosfat terlarut. Simpan antara 10 dan 40C.

24 jam

Organofosfat2 Kaca yang dicuci dengan asam

300 Filter membran di tempat. Simpan antara 10 dan 40C.

2 hari

Oksigen terlarut (DO)

Kaca yang dicuci dengan asam

300 Tentukan di tempat atau in situ, atau perbaiki dan simpan dalam kegelapan

24 jam Perbaikan di tempat harus dilakukan hanya setelah berkonsultasi dengan analis. Turbulensi yang berlebihan harus dihindarkan, untuk memperkecil penarikan oksigen.

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 15

DETERMINAN WADAH VOLUME NORMAL

UNTUK PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN PERIODE

PENAHAN-AN MAKSIMUM

CATATAN

Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH)

Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut

2000 (a) Tambahkan 1000mL metanol pada wadah sebelum menambahkan sampel dengan volume yang sama.

(b) Tambahkan bahan pelarut pengekstraksi di tempat.

7 hari 24 jam

Pestisida Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut. Gunakan aluminium foil atau liner politetra fluoroetilen di bawah penutup plastik.

4000 Estraksikan bahan pelarut di tempat dengan bahan pelarut yang sesuai. Simpan antara 10 dan 40C dalam kegelapan.

24 jam Karena keanekaragaman jenis pestisida, periode panahanan dapat diperpanjang melalui konsultasi dengan analis.

pH Polietilen atau kaca borosilikat

100 Tidak ada yang diperlukan Tentukan in situ atau di tempat atau dalam 6 jam.

Bila mengharapkan konsentrasi tinggi pada gas terlarut, atau bila sampel tidak dapat dipertahankan pada suhu ambien, maka penentuannya harus dilakukan di tempat atau in situ.

Senyawa fenolik Kaca 1000 Asamkan pada pH 4 dengan asam ortoforforik, asam hidrokhlorik atau asam sulfurik. Tambahkan 1,0 g tembaga sulfat per liter. Simpan antara 10 dan 40C.

21 hari Unsur pengoksidasian seperti khlorin dapat dinetralisir dengan penambahan sodium arsenit atau ferrous sulfat yang berlebihan sebelum pengasaman. Sulfur dioksida dan hidrogen sulfida dapat dihilangkan melalui aerasi singkat terhadap sampel yang diasamkan sebelum penambahan tembaga sulfat.

Fosfat (total) Kaca yang dicuci dengan asam

300 Tambahkan 1mL asam hidrokhlorik per liter.

28 hari

Fosfor (semua bentuk)

Polietilen densitas rendah 300 (a) Simpan antara 10 dan 40C. (b) Bekukan segera setelah

pengambilan. (c) Simpan antara 10 dan 40C dalam

botol yang dipenuhi dengan iodina.

6 jam 28 hari 28 hari

Wadah sampel tidak boleh dicuci dengan deterjen yang mengandung senyawa fosfor.

Bifenil ber-polikhlorin (PCB)

Kaca yang dicuci dengan bahan pelarut. Gunakan aluminium foil atau liner politetrafluoro etilen di bawah penutup plastik.

4000 Estraksikan bahan pelarut dengan bahan pelarut yang sesuai. Simpan antara 10 dan 40C.

6 bulan

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 16

DETERMINAN WADAH VOLUME NORMAL

UNTUK PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN PERIODE

PENAHAN-AN MAKSIMUM

CATATAN

Potasium Polietilen Polyethylene 100 Tidak ada yang diperlukan. 28 hari Radioaktivitas, kegiatan a dan ß bruto

Polietilen atau kaca yang dicuci dengan asam

1000 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Selenium Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Silika Polietilen 200 Tidak ada yang diperlukan. 24 jam Sampel yang mengandung kurang dari 3 mg/L silika dapat disimpan dalam keadaan beku pada –200C selama beberapa bulan. Sampel air tawar dan sampel dengan pH < 6 jangan dibekukan. Sampel sungai yang bergolak harus disaring dengan filter di lapangan melalui filter asetat selulosa.

Perak Polietilen yang dicuci dengan asam

100 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Sodium Polietilen 100 Tidak ada yang diperlukan. 28 hari Bahan padat (terlarut) Polietilen 500 Tidak ada yang diperlukan 24 jam Bahan padat (melayang)

Polietilen 500 Simpan antara 10 dan 40C. 24 jam

Sulfat Polietilen yang dicuci dengan asam

200 Simpan antara 10 dan 40C. 7 hari

Sulfida (total) Polietilen 500 (a) Tidak ada yang diperlukan.. (b) Tambahkan 2 mL larutan seng

asetat. Simpan antara 10 dan 40C.

(c) Tambahkan 10 mL reagen tembaga-DMP.

Tentukan di tempat 7 hari 12 jam

Isi penuh botol tanpa aerasi

Suhu Tidak ada yang diperlukan. Tidak ada yang diperlukan. Tentukan in situ Trihalometan Kaca yang dicuci dengan

bahan pelarut 100 Isi botol hingga penuh setelah

menambahkan 2 mL larutan asam askorbik 5%.

21 hari

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 17

DETERMINAN WADAH

VOLUME NORMAL UNTUK

PENENTUAN TUNGGAL (mL)

PROSEDUR PENGAWETAN

PERIODE PENAHAN-

AN MAKSIMUM

CATATAN

Turbiditas Polietilen 100 Tidak ada yang diperlukan. 24 jam lebih disukai ditentukan di tempat

Uranium Polietilen yang dicuci dengan asam

200 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Vanadium Polietilen yang dicuci dengan asam

200 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

Seng Polietilen yang dicuci dengan asam

500 Asamkan dengan asam nitrik pada pH 1 hingga 2.

28 hari

E. Coli (AS2031.21987)

Plastik atau kaca, steril dan mengandung larutan sodium trisulfat yang sudah disterilkan sebelumnya, cukup untuk memberikan 100mg/L dalam sampel yang diawetkan.

500 Simpan antara 10 dan 40C. Hingga 6 jam. Dalam keadaan istimewa hingga 24 jam.

Jangan bilas wadah sebelum pengambilan sampel. Sisakan kira-kira 2 cm ruang kepala (head space).

1ISO5667/3-1985 2ISO5667/3-1985

Sumber: Standards Australia AS 2031

ir: SOP 11 18

8.2 Prosedur jaminan mutu yang direkomendasikan Terlepas dari akreditasi, laboratorium dapat memperoleh hasil yang secara signifikan berbeda untuk sampel yang identik - meskipun menggunakan metode yang sama. Ini dapat terjadi karena adanya beberapa kesalahan manusia atau kesalahan sistematis yang hanya dapat terdeteksi jika laboratorium memiliki cukup sistem jaminan mutu dan pengendalian mutu. Pedoman mengenai prosedur tersebut dirinci dalam Seksi 9. TABEL 2 – METODE ANALISIS AIR DAN AIR LIMBAH PREFERENSI EPA (VICTORIA)

PARAMETER PENGUJIAN Wadah dan pengawetan AS2031.1-1986 Amonia Konsen. rendah.: Metode APHA2 4500-NH3 G

Konsen. tinggi.: Metode APHA2 4500-NH3 B dan E BOD (Biochemical Oxygen Demand) Metode APHA2 5210 B4 BTEX (Benzene, Toluene, Ethylbenzene, dan Xylene) Metode USEPA1 (1986) 5030 dan 8240B COD (Chemical Oxygen Demand) Metode APHA2 5220 C Khlorida Metode APHA2 4110 B atau C (khromatografi ion) Warna (air alami, warna lemah) Metode APHA2 2120 B Warna (air limbah warna kuat) Metode APHA2 2120 E Khlorin Metode APHA2 4500-C1 B, D atau G5 Konduktivitas Metode APHA2 2510 B Sianida Metode APHA24500-CN- Oksigen terlarut Kalibrasi meter lapangan dg. membandingkan dg.

Metode APHA2 4500-O B E. Coli APHA 9260F Flluorida Metode APHA2 4110 B atau C (khromatografi ion) Formaldehida ASTM6 Lignin dan tanin Metode APHA2 5550 B Logam APHA Part 3000 LOGAM Nitrat Metode APHA2 4110 B atau C (khromatografi ion) Nitrit Metode APHA2 4110 B atau C (khromatografi ion) Nitrogen (total kjeldahl) Metode APHA2 4500 Norg B Oli dan gemuk Metode APHA2 5520 B3 Insektisida organokhlorin Metode APHA2 6410, 6630B atau 6630C atau

USEPA1 Method 8081 pH Metode APHA2 4500-H+B Fenol Metode APHA2 6410 atau 6420 Polychlorinated Biphenyls (PCBs) Metode APHA2 6630 B & C, atau USEPA1 Method

8081 Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) Metode APHA2 6410 B Fosfor (total) Metode APHA2 4500-P B dan C Bahan padat (terlarut dan melayang) Metode APHA2 2540 B & 2540 D Sulfat Metode APHA2 4110 B atau C (khromatografi ion) Sulfida Metode APHA2 4500-S2-C & D Surfaktan, Anionik AS 3506 – 1987 Total Organic Carbon (TOC) Metode APHA2 5310 B, C atau D Total Petroleum Hydrocarbons (TPH) Metode Lab Air/Limbah EPA 60143 Turbiditas Metode APHA2 2130 B

CATATAN:

1 USEPA Publication SW-846, Test Methods for Evaluating Solid Waste, Third Edition, 1986 (plus Revisi Pertama dan Kedua, 1988 dan 1992).

2 American Public Health Association, Methods for Examination of Water dan Wastewater, edisi ke 18 tahun 1992.

ir: SOP 11 19

3 Metode ini membutuhkan penggunaan freon untuk ekstraksi. EPA kini sedang melakukan riset mengenai kemungkinan penggantian bahan pelarut yang memiliki potensi penipisan ozon rendah.

4 Ini merupakan pengujian lima hari. Kini Standards Australia sedang mempertimbangkan prosedur tujuh hari yang lebih sesuai.

5 Pilihan metode bergantung pada karakteristik sampel.

6 American Society of Testing dan Materials, 1990, Waste Testing dan Quality Assurance: Second Volume, ASTM STP 1062, D. Friedman, Ed,. Determination of Formaldehida in Sampels of Environmental Origin, Bicking, M.K.L., Cooke, W.M., Kawahara, F.K., dan Longbottom, J.E..

9.0 PROSEDUR JAMINAN MUTU Prosedur jaminan mutu harus diterapkan secara nasional dan diikuti. Istilah jaminan mutu dan pengendalian mutu seringkali kacau. Dalam hal kegiatan analisis laboratorium, kedua istilah tersebut dijelaskan sebagai berikut. 9.1 Jaminan mutu (QA) Jaminan Mutu adalah segala tindakan, prosedur, pemeriksaan dan keputusan yang dilakukan untuk memastikan akurasi dan keandalan hasil analisis. Misalnya: prosedur rutin yang memastikan dilakukannya pengendalian sampel, transfer data, kalibrasi instrumen, dsb. sebagaimana semestinya. Diperlukan keputusan yang tepat untuk memilih dan melatih staf secara patut, memilih peralatan dan metode analitis; dan hasil penilaian hari ke hari dari pencermatan dan pemeliharaan reguler sistem laboratorium. 9.2 Pengendalian mutu (QC) Pengendalian Mutu adalah bagian dari Jaminan Mutu yang berfungsi memantau dan mengukur keefektifan prosedur Jaminan Mutu lainnya dibandingkan dengan tujuan yang telah diputuskan sebelumnya. Ini dapat termasuk pengukuran mutu reagen, kebersihan peralatan, akurasi dan presisi metode dan instrumentasi, serta keandalan sebagaimana dilaksanakan setiap hari di laboratorium. 9.3 Prosedur Pengendalian Mutu minimum yang direkomendasikan Analis harus melaksanakan sejumlah langkah Pengendalian Mutu berikut ini dengan setiap batch analitis, atau dengan setiap duapuluh sampel, yang mana yang lebih kecil. Analisis blangko (Blank analysis) – penentuan kontribusi pada sinyal analitis dengan reagen, pecah-belah, dsb. kontribusi yang diukur harus dikurangkan dari sinyal analitis bruto untuk setiap analisis, sebelum dilakukan penghitungan konsentrasi analit sampel. Replicate analysis – analisis duplikat terhadap sekurang-kurangnya satu sampel dari batch Sampel pengendalian laboratorium – terdiri dari matriks pengendalian (misalnya de-ionisasi atau air kran) porsi sampel berlipat di bawah analisis, diperkuat dengan analit yang mewakili kelas analit. Porsi pemeriksaan pemulihan harus diperkuat pada konsentrasi yang mudah dikuantifikasi, tetapi dalam kisaran konsentrasi yang diharapkan untuk sampel riil. Surrogate spikes (Pasak substitusi) – bila perlu (misalnya analisis khromatografis organik), pasak substitusi harus ditambahkan pada semua analisis. Pasak substitusi adalah tambahan senyawa yang diketahui pada setiap sampel, pasak blangko dan matriks atau sampel referensi, yang serupa dengan analit penting dalam hal:

ir: SOP 11 20

• ekstraksi • pemulihan melalui prosedur pembersihan • respon pada khromatografis atau ketentuan lainnya; tetapi:

• tidak diharapkan ditemukan dalam sampel riil • tidak akan mengganggu kuantifikasi analit penting • dapat dikuantifikasi secara terpisah. Pasak substitusi ditambahkan pada porsi analisis sebelum ekstraksi. Tujuan substitusi adalah untuk memberikan sarana pemeriksaan, bagi setiap analisis, sehingga tidak ada kesalahan besar yang mengantar pada hilangnya analit secara signifikan telah terjadi pada setiap tahap prosedur. Dalam hal analisis organik, senyawa pasak substitusi dapat menjadi analog deuterasi, alkilasi atau analog halogenasi atau isomer struktural senyawa analit. Standar internal – penggunaan standar internal dibutuhkan untuk melakukan analisis khromotografis organik. Standar internal ditambahkan, setelah dilakukannya semua langkah ekstraksi, pembersihan dan pemusatan, pada setiap solusi ekstrak akhir. Tambahan tersebut adalah sejumlah konstan dari satu senyawa atau lebih dengan mutu senyawa substitusi yang sejenis. Tujuan standar internal adalah untuk memeriksa konsistensi langkah analitis (misalnya, volume injeksi, kepekaan instrumen dan waktu retensi sistem khromatografis) dan memberikan referensi di mana hasilnya dapat disesuaikan dalam hal variasi. Catatan hasil prosedur Pengendalian Mutu harus dijaga untuk membangun keandalan metode, interval konfidensi untuk hasil analisis, dan tren dalam presisi dan akurasi. Akreditasi laboratorium berarti bahwa metode analitis dan sistem Jaminan Mutu direviu secara teratur. Namun tidak ada sistem Jaminan Mutu yang sempurna. Sebagai pengguna jasa, pengusaha berhak menanyakan pelayanan jasa analitis mengenai metode dan prosedur Jaminan Mutu. 10.0 REVIU DAN PELAPORAN HASIL 10.1 Laporan analitis Hasil akhir pengambilan dan analisis sampel, laporan analitis, harus memiliki informasi yang cukup bagi pengusaha atau pengguna akhir untuk dapat membuat evaluasi kritis mengenai isinya. Informasi berikut ini harus dilaporkan bersama dengan hasil analitis bagi setiap parameter yang ditentukan:

• identifikasi sampel (termasuk jumlah dan lokasi sampel) • tanggal dan waktu pengambilan sampel • detil pengawetan sampel • referensi untuk metode analitis yang digunakan • deskripsi parameter yang akurat • tanggal penentuan

ir: SOP 11 21

• hasilnya, dalam satuan yang tepat, termasuk ambang batas deteksi • setiap penyimpangan dari prosedur standar • setiap faktor yang mungkin telah mempengaruhi hasil tersebut – misalnya data dan

pengamatan meteorologis. Analis harus menentukan mutu yang diukur, dan memastikan agar pelaporannya memenuhi format yang diminta dalam metode standar. Hasilnya harus tidak pernah dikutip pada angka nol, tetapi sebagai yang kurang dari angka yang berkaitan dengan ambang batas deteksi. Hasilnya biasanya dilaporkan sebagai mg/L or µ/L untuk konsentrasi dan orgs/100mL untuk konsentrasi organisme bakteri. 10.2 Mereviu data dan laporan perkecualian Pengusaha harus mereviu seluruh hasil analitis setelah diterimanya data dan harus segera mengambil tindakan untuk mengoreksi setiap masalah yang terjadi pada unitnya. Hasil analitis yang melebihi ambang batas emisi yang disetujui harus segera dilaporkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan secara tertulis (lebih baik lewat faksimili). Alasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dan tindakan yang diambil untuk mengembalikan parameter tersebut agar mematuhi persetujuan harus dimasukkan dalam laporan perkecualian. Pada saat mereviu data, pengusaha harus:

• membandingkan hasilnya dengan yang diharapkan • mengindikasikan setiap masalah yang terjadi pada unit pabrik • mempertimbangkan perubahan yang dibandingkan dengan data historis • mempertimbangkan peluang dan pilihan untuk meminimumkan limbah. 10.3 Pelaporan rutin kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan Pelaporan rutin tentang hasil pemantauan biasanya dibuat secara tahunan dan oleh pengusaha dikirimkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan. Hasil tersebut harus diserahkan dalam bentuk laporan singkat, ditandatangani oleh pengusaha, meliputi:

• lembar (lembar-lembar) rangkuman yang telah ditandatangani mengenai pengujian emisi yang dilaksanakan

• penjelasan tertulis mengenai status unit yang dilayani oleh titik (titik-titik) pembuangan tertentu selama periode pengambilan sampel

• setiap parameter pengoperasian yang relevan • setiap tindakan pemeliharaan atau tindakan korektif yang diambil sebagai akibat

pelanggaran persetujuan • reviu terhadap situasi yang mengantar pada pelanggaran, dan rekomendasi yang

dipertimbangkan untuk memperkecil kemungkinan situasi tersebut terulang kembali. 10.4 Penyimpanan laporan Hasil dan laporan analitis individual harus disimpan selama tiga tahun (meskipun tidak diserahkan kecuali jika diminta). Pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan akan mereviu hasil yang diserahkan dan dapat meminta informasi lebih lanjut, mengakses catatan laboratorium atau bila perlu memprakarsai pengambilan sampelnya sendiri.

ir: SOP 12 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

12

PENGAMBILAN DAN ANALISIS SAMPEL UDARA 1.0 PENGANTAR

Melakukan pengujian emisi udara yang melahirkan hasil akurat dan konsisten merupakan tugas yang sulit. Hal ini dapat melibatkan pengukuran cerobong asap di tempat (in-situ) di lokasi bersangkutan, atau pengambilan sampel untuk dibawa ke laboratorium analitis untuk dilakukan analisis. Kebanyakan pengoperasian industri melibatkan proses yang mengubah karakteristik dan jumlah pembuangan polutan, yang lebih memperumit prosedur pengujian. Namun, dengan hati-hati kesulitan ini dapat diperkecil dan hasil yang dapat diterima pun dapat dicetak. 2.0 TUJUAN SOP ini dimaksudkan untuk membantu seseorang yang melakukan pengambilan dan analisis sampel emisi udara, termasuk mereka yang terlibat dalam pengumpulan data untuk penetapan atau revisi standar lingkungan. Tujuan SOP adalah:

• Untuk mengidentifikasi prosedur yang tepat bagi pengambilan sampel buangan ke atmosfir yang mewakili;

• Untuk memberikan panduan mengenai prosedur analitis dan jaminan mutu yang tepat;

• Untuk membantu industri agar dapat memenuhi kewajiban lingkungan dengan cara yang paling efisien dan seekonomis mungkin; dan

• Untuk memberikan panduan yang komprehensif agar dapat merencanakan dan melaksanakan program pemantauan dan pelaporan udara yang efektif.

3.0 EMISI Tujuan utama pemantauan emisi industri adalah untuk memberikan informasi kepada otorita peraturan dan pengusaha pabrik. Ini untuk memastikan bahwa pabrik dikelola pada tingkat pengendalian pencemaran yang cukup. Data tersebut juga dapat berguna dalam pembuatan desain dan pelaksanaan standar lingkungan dan sistem teknologi bersih, dan dapat membantu mengidentifikasi peluang untuk memperkecil limbah semaksimum mungkin. Pemantauan emisi kinerja harus memberikan informasi yang tepat, dapat dipercaya dan akurat mengenai mutu dan tingkat emisi limbah pada lingkungan. Ini akan membuka peluang terhadap ketidak-patuhan terhadap persyaratan persetujuan yang harus segera ditindak. Ini hanya bisa dicapai jika metode pengambilan dan analisis sampelnya berstandar tinggi. Pengusaha pabrik berkewajiban untuk memastikan agar semua sampel diambil dan dianalisis dengan ahli dan sesuai dengan persetujuannya.

ir: SOP 12 2

3.1 Di mana, seberapa sering dan bagaimana sampel harus diambil? Pengambilan sampel emisi harus dilakukan pada frekuensi dan lokasi yang telah ditentukan dalam persetujuan. Pengusaha harus menyediakan titik pengambilan sampel yang mudah diakses, aman dan cocok. Jika pengambilan dan pengujian sampel penyelidikan di pabrik lebih lanjut yang memerlukan desain dan pelaksanaan program rumit dianggap perlu, mungkin diperlukan konsultan ahli yang relevan. 3.2 Siapa yang harus melakukan pengambilan dan analisis sampel? Pengambilan sampel dapat dilakukan oleh karyawan perusahaan, staf BAPEDAL (atau BAPEDALDA setempat atau instansi yang relevan lainnya), konsultan eksternal atau laboratorium. Penting kiranya bahwa personil pengambilan sampel sudah mengenali metode untuk mendapatkan sampel yang mewakili, penanganan dan pengawetannya, serta persyaratan yang diminta analis. 3.3 Prosedur pengambilan sampel Penting kiranya bahwa aliran gas yang diambil sebagai sampel mewakili jumlah keseluruhan atau bagian emisi sumber yang telah diketahui, dan sampel yang diambil mewakili aliran gas yang diambil sebagai sampel. Panduan mengenai pokok bahasan ini diberikan dalam Seksi 5. 3.4 Pelaporan hasil Hasil analisis merupakan bantuan yang berharga dalam mengendalikan pengoperasian pabrik dan melindungi lingkungan. Adalah tanggungjawab pengusaha untuk mereviu hasil analisis secara cepat dan teratur. Hasil laboratorium dan akibat tindakan yang diambil harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan sebagaimana yang dipersyaratkan persetujuan. 4.0 MEMILIH LABORATORIUM Laboratorium harus dipilih dan diajak berkonsultasi mengenai persyaratan pengambilan sampel dan jaminan mutu secara keseluruhan sebelum terjadi pengambilan sampel. Setiap Propinsi memiliki laboratorium yang disetujui Pemerintah untuk melakukan pengambilan dan analisis sampel lingkungan. Hal ini sering merupakan laboratorium yang dijalankan oleh Departemen Kesehatan, Industri atau Pekerjaan Umum. Laboratorium swasta juga ada di sejumlah kota besar. 4.1 Apa yang harus disediakan Laboratorium Pada saat memilih konsultan pengambilan atau pengujian sampel, orang harus mempertimbangkan sejumlah faktor selain biaya jasa pengambilan dan analitis sampel. Sejumlah konsultan hanya ahli dalam pengambilan sampel saja. Mereka melaksanakan pengambilan sampel untuk laboratorium analitis ahli agar menganalisis atas namanya. Ini menekankan fakta bahwa pengambilan sampel emisi udara seringkali merupakan aspek pengujian yang sulit, membutuhkan peralatan khusus dan personil ahli. Meskipun beberapa analisis yang ditentukan dalam persetujuan tampak sederhana, namun hasil yang akurat dan dapat dipercaya hanya dapat diperoleh bila prosedur pengambilan dan analisis sampel dilaksanakan secara kompeten. Upaya yang dibutuhkan untuk dapat mematuhi persyaratan persetujuan dapat sangat beragam mengingat faktor seperti analit

ir: SOP 12 3

pengujian, interferensi, penyiapan sampel (pengujian in-situ atau pengujian laboratorium) dan lokasi laboratorium. Laboratorium harus melakukan analisis dengan cara yang andal, akurat dan tepat. Kriteria berikut harus dipertimbangkan pada saat memilih laboratorium. Apakah laboratorium tersebut:

• mempekerjakan atau mengontrak staf berpengalaman dalam seluruh segi metode pengambilan dan analisis sampel?

• menggunakan metode pengujian yang ketat dan andal? • ikut serta dalam program pengujian keahlian yang sesuai • menjaga prosedur pengendalian mutu dan jaminan mutu yang cukup • memberikan laporan lengkap mengenai hasil pengujian – termasuk ketidakpastian dalam

hasil, detil metodologi pengujian, bidang pengambilan sampel dan titik sampel, hasil pengendalian mutu serta variasi pada metode pengujian yang telah terjadi

4.2 Menggunakan laboratorium milik sendiri Perusahaan yang menjalankan laboratorium sendiri untuk tujuan pengendalian produk bisa mempertimbangkan digunakannya fasilitas pemantauan. Namun ini tidak selalu merupakan pilihan terbaik – laboratorium tersebut mungkin saja kurang pengalaman dan sarana yang dibutuhkan untuk pengambilan dan analisis sampel udara. Dengan mendapatkan semuanya dapat terbukti lebih mahal dan kurang memuaskan ketimbang menggunakan laboratorium konsultan berpengalaman. 5.0 METODE PENGAMBILAN SAMPEL EMISI UDARA Tujuan pengujian emisi sumber tak bergerak adalah untuk memperoleh data akurat mengenai komposisi limbah dan laju kecepatan emisi ke atmosfir. Tidak ada metode pengambilan sampel tunggal yang dapat menangani dengan baik sifat emisi sumber yang beraneka-ragam dan rumit. Bagian ini memberikan informasi dan panduan umum mengenai sejumlah aspek pengambilan sampel yang harus dipertimbangkan sebelum memulai program pengambilan sampel. 5.1 Pertimbangan keselamatan Keaneka-ragaman ancaman bahaya harus dipertimbangkan dengan cermat sebelum mulai melakukan pengambilan sampel cerobong asap. Ancaman bahaya yang perlu dipertimbangkan meliputi:

• bekerja di ketinggian atau di atas anjungan darurat • eksposur pada gas beracun, bersifat merusak dan panas • ancaman bahaya listrik • ancaman bahaya tersandung kabel • bunyi bising atau panas yang berasal dari peralatan pabrik • benda jatuh dari anjungan kerja atau ke dalam pipa saluran • ancaman bahaya kebakaran. Manajemen pabrik harus diberitahu mengenai pengujian yang akan dilakukan dan harus diperoleh informasi tentang kebijakan keselamatan perusahaan serta detil mengenai:

• persyaratan izin kerja keselamatan

ir: SOP 12 4

• lokasi peralatan darurat dan sinyal keselamatan • lokasi kawasan penyelamatan diri atau titik berkumpul • prosedur pelaporan bila terjadi masalah keselamatan 5.2 Faktor yang harus dipertimbangkan dalam program pengambilan sampel Untuk merancang program pengambilan sampel yang cukup membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap proses yang akan disampel. Sejumlah pertimbangan penting adalah:

• detil informasi mengenai kondisi proses • kondisi di mana pengujian diperlukan • lokasi bidang pengambilan sampel • penyediaan lubang akses • pemilihan jumlah titik pengambilan sampel • akses yang aman ke kawasan bersangkutan • peralatan pengambilan sampel yang memadai • ketersediaan cukup metode analisis yang sensitif dan spesifik. • jarak dari laboratorium dan kemampuan laboratorium analitis. Untuk memastikan keberhasilan program, pengguna data, pengambil sampel dan staf laboratorium harus dilibatkan dalam tahap perencanaan. Variasi yang luas dalam kondisi proses di banyak pabrik industri menghasilkan karakteristik dan jumlah emisi limbah yang saling berbeda. Strategi pengambilan sampel beragam bergantung pada apakah prosesnya berkesinambungan, bersiklus atau berkelompok dan apakah hasilnya mencerminkan kondisi pengoperasian unit puncak, normal atau kondisi pengoperasian peruntukan unit pabrik lainnya. Pada saat ini tidak ada metode pengujian yang berlaku bagi pengambilan dan analisis sampel terhadap semua indikator yang dipancarkan dari sumber tak bergerak. Bagi banyak indikator, mungkin kinerja metode analitis sudah diperagakan, tetapi tidak ada informasi yang tersedia tentang teknik pengambilan sampel yang tepat. Selama tahap pembuatan desain program pengambilan sampel, personil yang terlibat dalam pengambilan dan analisis sampel emisi udara perlu mempertimbangkan keanekaragaman fisika dan kimiawi buangan. Validasi metode pengambilan dan analitis sampel juga diperlukan untuk memastikan integritas data bilamana digunakan metode yang tidak berlaku. Bahkan dalam situasi di mana ada metode yang sah, metode tersebut mungkin tidak dapat diterapkan pada sumber emisi lainnya. Dalam semua situasi pengujian, pertimbangan harus diberikan terhadap:

• fluktuasi dalam velositas, suhu atau konsentrasi karena variasi yang tidak dapat dikendalikan dalam proses

• kadar lembab (terutama gas cerobong asap yang basah) • komposisi gas yang diperkirakan dan mungkin mengganggu persenyawaan • vakum tinggi, tekanan tinggi atau aliran gas suhu tinggi • unsur korosif atau sangat reaktif. Merencanakan pengujian emisi sumber perlu menentukan tujuannya secara jelas untuk memastikan bahwa datanya memenuhi pernyataan tujuan.

ir: SOP 12 5

5.3 Persyaratan dasar Kebanyakan pengujian cerobong asap membutuhkan pengukuran parameter berikut ini guna memungkinkan penghitungan tingkat emisi massa limbah pembuangan:

• velositas gas • tekanan dan suhu • komposisi dan kepadatan gas • kelembapan • laju kecepatan aliran volumetrik. Untuk memperkecil jumlah variabel, pengujian harus dilakukan bila ada aliran konstan melalui pipa. Aliran tersebut harus tetap konstan di sepanjang pengujian. Untuk pengujian emisi, pengkondisian sampel biasanya diperlukan dalam rangka keberhasilan mentransfer analit ke media pengambilan. Ini seringkali menggabungkan filtrasi, pemanasan, pendinginan atau kondensasi untuk memelihara integritas sampel. 5.4 Inspeksi lokasi pendahuluan Inspeksi fisik sumber digunakan untuk menentukan lokasi lubang akses pengambilan sampel, aksesibilitas dan persyaratan anjungan kerja (termasuk kekuatan dan keselamatannya). Dalam diskusi yang dilakukan dengan personil industri harus termasuk kondisi pengoperasian unit dan persyaratan keselamatan unit bagi peralatan dan personil pengujian. Jika lubang akses sudah ada sebelumnya, penentuan suhu, velositas, tekanan dan kandungan kelembapan pendahuluan harus dibuat pada saat ini. Jika rencana pengambilan sampel gagal memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan sampel yang mewakili, maka harus dicari lokasi pengambilan sampel alternatif. Setelah mempertimbangkan tujuan pengujian dan kondisi pengoperasian unit, maka harus dibuat keputusan mengenai peralatan pengambilan sampel dan prosedur pengujian yang akan digunakan. 5.5 Mengambil sampel spesies partikulat (padat atau cair) Untuk mendapatkan sampel aliran gas yang mewakili yang mengandung bahan partikulat padat atau cair, maka sampel harus diambil dari sumber emisi sehingga velositas dan arah gas yang memasuki nozzle pengambilan sampel sama seperti gas dalam pipa pada titik pengambilan sampel (pengambilan sampel iso-kinetik). 5.6 Pengambilan sampel spesies gas Pengambilan sampel multi-titik biasanya tidak diperlukan untuk pengambilan sampel emisi gas. Namun, dalam sejumlah proses (terutama setelah penggabungan beberapa aliran yang berlainan), stratifikasi aliran gas berlangsung bagi beberapa aliran hilir yang jauh. Survei terhadap unsur pokok aliran gas yang cocok (seperti karbon dioksida atau oksigen) harus dilaksanakan untuk menentukan tingkat stratifikasi. Dalam hal tidak ada stratifikasi, pengambilan sampel titik tunggal pada diameter seperempat cerobong asap akan cukup mewakili emisi gas.

ir: SOP 12 6

Jika ada stratifikasi, penentuan emisi gas akan membutuhkan teknik pengambilan sampel banyak titik, kecuali jika dapat ditemukan rencana pengambilan sampel alternatif. 5.7 Pengambilan sampel spesies organik Pengambilan sampel spesies organik dari cerobong asap merupakan bidang pengujian yang berkembang dengan cepat. Ada banyak lubang jebakan bagi yang tidak hati-hati. Senyawa organik dapat dipancarkan ke atmosfir dari berbagai sumber industri dalam beragam fase atau gabungan fase (padat, cair atau gas). Pengambilan sampel terhadap senyawa ini membutuhkan sistem pengambilan sampel yang bergantung pada fase senyawa tersebut. Teknik pengambilan sampel organik tidak dapat membedakan secara cukup uap dari spesies fase partikel. Karena suhu pengambilan yang terlibat dalam pengambilan sampel cerobong asap relatif tinggi, maka pembagian fase sampel cerobong asap tidak harus mencerminkan pembagiannya dalam situasi ambien. Mengambil sampel spesies organik dengan titik didih lebih besar dari 1000C secara tipikal melibatkan filtrasi untuk mengambil spesies partikulat (pengambilan sampel iso-kinetik), yang diikuti suatu modul penyerap untuk menangkap organik semi-volatil yang dapat menerobos media filter. Mengambil sampel spesies organik dengan titik didih kurang dari 1000C dapat melibatkan teknik pengambilan sampel comot (grab sampling) seperti kantong Tedlar® atau teknik pengambilan sampel kanister (canister sampling). Pengambilan sampel kantong (bag sampling) seringkali berakibat pada kehilangan sampel yang bersifat absorbtif. Analisis harus dilakukan secepat mungkin setelah pengambilan dan digunakan hanya untuk yang komponennya telah divalidasi. Aliran gas yang memiliki suhu tinggi dan kelembaban tinggi tidak boleh diambil sebagai sampel karena potensi kehilangan oleh kondensasi yang tinggi. Sistem pengambilan sampel lainnya yang memperluas lingkup pengumpulan senyawa organik volatil atau semi-volatil termasuk di antaranya penggunaan damar penyerap padat campuran dan perangkap berangkai. Terlepas dari sistem pengambilan sampel yang diterapkan, diperlukan evaluasi terhadap efisiensi pengumpulan sampel organik. Penyerap yang digunakan dalam system pengambilan sampel harus memiliki afinitas yang baik terhadap analit dan cukup kapasitas berat untuk periode pengambilan sampel dan laju kecepatan aliran yang digunakan. Terobosan analit sampel tidak boleh terjadi di bawah kondisi pengambilan sampel. Terobosan harus dikaji dengan pengukuran analit dalam modul pendukung. Banyak penyerap membutuhkan prosedur pembersihan dan semuanya harus dianalisis untuk mengetahui tingkat kosongnya. 5.8 Pemantauan emisi kontinyu Para pengusaha mungkin perlu memantau emisi prosesnya secara kontinyu. Mendapatkan sampel buangan yang mewakili merupakan faktor terpenting dalam menempatkan peralatan pemantauan emisi kontinyu. Panduan mengenai penempatan yang tepat diberikan di atas. Faktor pemasangan lainnya juga harus dipertimbangkan. Ini termasuk kemampuan akses ke monitor dan interface pengambilan sampel untuk keperluan pemeliharaan dan kalibrasi rutin. Jika monitornya berada jauh dari lokasi pengambilan sampel, maka pertimbangan harus diberikan pada waktu respon, reaktivitas analit disampel dan potensi hilangnya sampel. Sebuah sistem ekstraktif secara tipikal memasukkan sejumlah komponen berikut ini:

ir: SOP 12 7

• sonde pengambilan sampel dalam cerobong asap • filter kasar dalam cerobong asap • tabung pengangkut sampel • pompa sampel • penghilangan kelembaban • filter halus • sistem kalibrasi analyzer • perekam data.. Pengkalibrasian sistem harus termasuk seluruh unit pengambilan dan analisis sampel. Gas kalibrasi harus memasuki sistem pemantauan gas kontinyu sedekat mungkin dengan titik entri sampel gas cerobong asap. Alat pengalisis (analyzer) harus dikalibrasi pada tingkat, tekanan, dan suhu aliran gas serta prosedur pengoperasian yang digunakan untuk memantau gas cerobong asap. Karakteristik kinerja sistem pemantauan emisi harus dievaluasi untuk mengetahui:

• waktu respon • zero and span drift • ambang batas deteksi • efek bahan pengganggu • efek suhu pada stabilitas instrumen yang melebihi kisaran suhu pengoperasian yang

diperkirakan. Penerapan alat baru harus termasuk siklus nol and rentang (zero and span cycle) rutin 24 jam untuk menunjukkan stabilitas instrumen. Frekuensi kalibrasi dapat dikendurkan hingga 168 jam setelah peragaan stabilitas instrumen yang memuaskan. Pemeriksaan linearitas instrumen dibutuhkan setiap enam bulan atau setelah melakukan perawatan signifikan. Gas standar bisa ditelusur ke standar NIST dan harus digantikan atau dikalibrasi ulang dalam dua tahun dari tanggal kalibrasi sertifikat yang pertama. Sebuah buku log khusus harus dipelihara bagi setiap analyzer, yang mencatat semua data relevan berkaitan dengan instrumen. Rekaman grafik keluaran instrumen harus diberi label berisi waktu, tanggal dan inisial operator setiap hari. Rekaman grafik dan buku log harus disimpan tanpa batas waktu. 6.0 METODE ANALITIS DAN JAMINAN MUTU 6.1 Referensi Untuk memperkecil variasi dalam hasil analisis, harus diterapkan metode nasional preferensi. Daftar metode pengambilan dan pengujian sampel preferensi di Australia diberikan dalam Tabel 1 sebagai contoh. Prosedur yang digunakan haruslah yang ada dalam daftar atau metode pilihan lainnya seperti yang berasal dari indikasi teks standar terinci di bawah ini, di mana terbukti telah dapat memberikan hasil yang sebanding dengan metode yang ditentukan. 1. American Public Health Association (1989) Methods of Air Sampling and Analysis 3rd

Edition, APHA, Washington DC 20036, atau edisi terbaru.

ir: SOP 12 8

2. US Environmental Protection Agency (1986) Publication SW-846, Test Methods for Evaluating Solid Waste, Third Edition, 1986 (plus pembaharuan).

3. Winberry W.T., Murphy N.T., Riggan R.M., Methods for the Determination of Toxic Organic Compounds in Air – EPA Methods, Noyes Data Corporation, USA, 1990.

4. NIOSH Manual of Analytical Methods, 3rd edition, diterbitkan oleh Departemen Kesehatan AS.

5. Standar-standar Australia yang relevan (katalog penerbitan tersedia dari Standards Australia, 19-25 Raglan Street, South Melbourne VIC 3205).

6. US Environmental Protection Agency (1978), USEPA, (Publication No EPA 600-4-77-027b) Cincinnati, Ohio, 45268, atau edisi yang terbaru.

Analis harus memeriksa kesesuaian prosedur yang digunakan bagi jenis sampel tertentu berdasarkan penyelidikan. TABEL 1 – METODE ANALISIS EMISI UDARA PREFERENSI EPA (VICTORIA)

PARAMETER PENGUJIAN

PENGUKURAN AMBIEN Indikator Kelas 1 Karbon monoksida AS3580.7.1 Nitrogen dioksida AS3580.5.1 Oksidan AS3580.6.1 Sulfur dioksida AS3580.4.1 Parikulat penurun penglihatan AS2724.4 Timah hitam AS2800 Pengukuran Udara Ambien Lainnya Total partikulat melayang AS2724.3 Endapan bahan AS3580.10.1 PM10 AS3580.9.6 dan AS3580.9.7 Senyawa organik volatil AS3580.11.1 PENGUKURAN SUMBER Uap air Metode 4 USEPA Metode B3 EPA (Vic) (pembuangan < 1000C) Laju kecepatan aliran velositas dan volume Draf ISO/DIS 10780 Oksigen Metode B10 EPA (Vic) Kepadatan gas Metode 3 USEPA Karbon dioksida Metode B41 EPA (Vic) Karbon monoksida Metode B111 EPA (Vic) Total nitrogen oksida Metode B121 EPA (Vic) Metode 7D USEPA Sulfur dioksida Metode B221 EPA (Vic) Sulfur dioksida dan sulfur trioksida Metode B8 EPA (Vic) Partikulat Draf AS2 BS 893 Metode 17 USEPA Bau Metode B1 & B2 EPA (Vic) Hidrogen khlorida Metode B16 EPA (Vic) Total pengurangan sulfur Metode 16A USEPA Fluorida Metode 13B USEPA Logam berat Setelah Metode 101A3 USEPA Senyawa organik volatil Metode B204 EPA (Vic)

CATATAN:

1. Metode yang cocok untuk pemantauan emisi berkesinambungan.

2. Metode yang saat ini masih dalam bentuk draf tetapi tersedia dari Standards Australia

ir: SOP 12 9

3. Evaluasi Laboratorium dan Lapangan terhadap Metodologi Pengukuran Emisi Multi-Logam dari Sumber Tak Bergerak. (Steinsberger S.C., Ward T.T. Proceedings 1989 EPA/A & WMA International Symposium Measurement of Toxic and Related Air Pollutants).

4. Cocok untuk hidrokarbon dalam kisaran BP36-1260C. 6.2 Prosedur jaminan mutu yang direkomendasikan Hasil yang berbeda untuk sampel yang secara nominal identik dapat terjadi meskipun mereka diperoleh dengan menggunakan metode yang sama. Ini dapat terjadi karena adanya beberapa kesalahan manusia atau kesalahan sistematis yang hanya dapat terdeteksi di dalam laboratorium yang memiliki cukup sistem jaminan mutu dan pengendalian mutu. Pedoman mengenai prosedur tersebut diberikan dalam Seksi 7 di bawah ini yang diberikan sebagai daftar periksa pedoman Indonesia yang ada. 7.0 PROSEDUR JAMINAN MUTU Prosedur jaminan mutu harus diterapkan secara nasional dan diikuti. Istilah jaminan mutu dan pengendalian mutu seringkali kacau. Dalam hal kegiatan analisis laboratorium, kedua istilah tersebut dijelaskan sebagai berikut. 7.1 Jaminan mutu (QA) Jaminan Mutu adalah segala tindakan, prosedur, pemeriksaan dan keputusan yang dilakukan untuk memastikan akurasi dan keandalan hasil analisis. Misalnya: prosedur rutin yang memastikan dilakukannya pengendalian sampel, transfer data, kalibrasi instrumen, dsb. sebagaimana semestinya. Diperlukan keputusan yang tepat untuk memilih dan melatih staf secara patut, memilih peralatan dan metode analitis; dan hasil penilaian hari ke hari dari pencermatan dan pemeliharaan reguler sistem laboratorium. 7.2 Pengendalian mutu (QC) Pengendalian Mutu adalah bagian dari Jaminan Mutu yang berfungsi memantau dan mengukur keefektifan prosedur Jaminan Mutu lainnya dibandingkan dengan tujuan yang telah diputuskan sebelumnya. Ini dapat termasuk pengukuran mutu reagen, kebersihan peralatan, akurasi dan presisi metode dan instrumentasi, serta keandalan sebagaimana dilaksanakan setiap hari di laboratorium. 7.3 Prosedur Pengendalian Mutu minimum yang direkomendasikan Analis harus melaksanakan sejumlah langkah Pengendalian Mutu berikut ini dengan setiap batch analitis. Analysis blank – penentuan kontribusi pada sinyal analitis dengan reagen, pecah-belah, dsb. Kontribusi yang diukur harus dikurangkan dari sinyal analitis bruto untuk setiap analisis, sebelum penghitungan konsentrasi analit sampel. Field blank – kereta pengambilan sampel dimuati reagen, dihimpun, diangkut dari dan ke lokasi pengambilan sampel, dan diperlakukan dengan cara yang sama persis seperti sampel, kecuali jika tidak digunakan untuk mengambil sampel dari buangan. Replicate analysis – analisis duplikat terhadap sekurang-kurangnya satu sampel dari batch.

ir: SOP 12 10

Sampel pengendalian laboratorium – terdiri dari matriks pengendalian (misalnya de-ionisasi atau air kran) porsi sampel berlipat di bawah analisis, diperkuat dengan analit yang mewakili kelas analit. Porsi pemeriksaan pemulihan harus diperkuat, tetapi dalam kisaran konsentrasi sampel riil yang diharapkan. Surrogate spikes (Pasak substitusi) – bila perlu (misalnya analisis khromatografis organik), pasak substitusi harus ditambahkan pada semua analisis. Pasak substitusi adalah tambahan senyawa yang diketahui pada setiap sampel, pasak kosong dan matriks atau sampel referensi, yang serupa dengan analit penting dalam hal:

• ekstraksi • pemulihan melalui prosedur pembersihan • respon pada khromatografis atau ketentuan lainnya; tetapi:

• tidak diharapkan ditemukan dalam sampel riil • tidak akan mengganggu kuantifikasi analit penting • dapat dikuantifikasi secara terpisah. Pasak substitusi ditambahkan pada porsi analisis sebelum ekstraksi. Tujuan substitusi adalah untuk memberikan sarana pemeriksaan, bagi setiap analisis, sehingga tidak ada kesalahan besar yang mengantar pada hilangnya analit secara signifikan telah terjadi pada setiap tahap prosedur. Dalam hal analisis organik, senyawa pasak substitusi dapat menjadi analog deuterasi, alkilasi atau halogenasi, atau isomer struktural senyawa analit. Standar internal – penggunaan standar internal dibutuhkan untuk melakukan analisis khromotografis organik. Standar internal ditambahkan, setelah dilakukannya semua langkah ekstraksi, pembersihan dan pemusatan, pada setiap solusi ekstrak akhir. Tambahan tersebut adalah sejumlah konstan dari satu senyawa atau lebih dengan mutu senyawa substitusi yang sejenis. Tujuan standar internal adalah untuk memeriksa konsistensi langkah analitis (misalnya, volume injeksi, kepekaan instrumen dan waktu retensi sistem khromatografis) dan memberikan referensi di mana hasilnya dapat disesuaikan dalam hal variasi. Catatan hasil prosedur Pengendalian Mutu harus dijaga untuk membangun keandalan metode, interval konfidensi untuk hasil analisis, dan tren dalam presisi dan akurasi. Akreditasi laboratorium berarti bahwa metode analitis dan sistem Jaminan Mutu direviu secara teratur. Namun tidak ada sistem Jaminan Mutu yang sempurna. Sebagai pengguna jasa, pemegang ijin berhak menanyakan pelayanan jasa analitis mengenai metode dan prosedur Jaminan Mutu. 8.0 REVIU DAN PELAPORAN HASIL 8.1 Laporan analitis Hasil akhir pengambilan dan analisis sampel – laporan analitis - harus memiliki informasi yang cukup bagi pengusaha atau pengguna akhir untuk dapat membuat evaluasi kritis mengenai isinya. Informasi berikut ini harus dilaporkan bersama dengan hasil analitis bagi setiap parameter yang ditentukan:

ir: SOP 12 11

• organisasi yang melaporkan • tanggal, waktu dan tempat pengukuran • identifikasi sumber yang diuji • referensi untuk metode analitis • detil mengenai kondisi pengoperasian sumber selama berlangsungnya pengambilan

sampel • lokasi bidang pengambilan sampel, berkenaan dengan gangguan aliran hulu dan hilir

terdekat • periode pengambilan sampel • jumlah penentuan • rata-rata velositas gas cerobong asap dalam hitungan ms-1 • rata-rata suhu gas cerobong asap dalam Kelvin • kgm-3 kepadatan gas cerobong asap • kandungan air gas cerobong asap, dinyatakan sebagai persentasi menurut volumenya • laju kecepatan aliran volumetrik gas cerobong asap dalam keadaan kering menurut syarat-

syarat standar, dalam m3 s-1 • kadar limbah dalam keadaan kering menurut persyaratan standar dalam kgm-3 • emisi massa limbah keadaan kering menurut persyaratan standar dalam kgs-1 • detil mengenai pengawetan sampel • tanggal penentuan • hasilnya, dalam satuan yang tepat • setiap penyimpangan dari prosedur standar • setiap faktor yang mungkin telah mempengaruhi hasil tersebut. Analis harus memastikan bahwa ukuran mutu ditentukan, dan format pelaporannya dilakukan dalam metode standar. Hasilnya harus tidak pernah dikutip pada angka nol, tetapi sebagai yang kurang dari angka yang berkaitan dengan ambang batas deteksi. Secara normal, semua volume dan kadar harus dilaporkan sebagai kering pada suhu nol derajat Celsius dan pada tekanan absolut sebesar 101.3 kilopascals. Persetujuan tersebut juga dapat menentukan tingkat gas referensi yang hasilnya harus dikoreksi (misalnya 7% oksigen untuk pengujian oksida nitrogen). Analis tidak boleh melaporkan hasil dengan jumlah angka yang jauh lebih besar ketimbang yang dibenarkan oleh akurasi pengujian. 8.2 Mereviu data dan laporan perkecualian Pengusaha harus mereviu seluruh hasil analitis setelah diterimanya data dan harus segera mengambil tindakan untuk mengoreksi setiap masalah yang terjadi pada unitnya Hasil analitis yang melebihi ambang batas emisi ijin harus segera dilaporkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan secara tertulis (lebih baik lewat faksimili). Alasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran dan tindakan yang diambil untuk mengembalikan parameter tersebut agar mematuhi persetujuan harus dimasukkan dalam laporan perkecualian. Pada saat mereviu data, pengusaha harus:

• membandingkan hasilnya dengan yang diharapkan • mengindikasikan setiap masalah yang terjadi pada unit pabrik • mempertimbangkan perubahan yang dibandingkan dengan data historis • mempertimbangkan peluang dan pilihan untuk meminimumkan limbah.

ir: SOP 12 12

8.3 Pelaporan rutin kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan Pelaporan rutin tentang hasil pemantauan biasanya dibuat secara tahunan dan oleh pengusaha dikirimkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan. Hasil tersebut harus diserahkan dalam bentuk laporan singkat, ditandatangani oleh pengusaha, meliputi:

• lembar (lembar-lembar) rangkuman yang telah ditandatangani mengenai pengujian emisi yang dilaksanakan

• penjelasan tertulis mengenai status unit yang dilayani oleh titik (titik-titik) pembuangan tertentu selama periode pengambilan sampel

• setiap parameter pengoperasian yang relevan • setiap tindakan pemeliharaan atau tindakan korektif yang diambil sebagai akibat

pelanggaran persetujuan • reviu terhadap situasi yang mengantar pada pelanggaran, dan rekomendasi yang

dipertimbangkan untuk memperkecil kemungkinan situasi tersebut terulang kembali. 8.4 Penyimpanan laporan Hasil dan laporan analitis individual harus disimpan selama tiga tahun dan diserahkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan atas permintaan. Pejabat yang berwenang menerbitkan persetujuan akan mereviu hasil yang diserahkan dan dapat meminta informasi lebih lanjut, mengakses catatan laboratorium atau bila perlu memprakarsai pengambilan sampelnya sendiri

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

13

TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN

1.0 PENGANTAR SOP ini mengantar pada teknologi pengendalian pencemaran yang relevan dengan kondisi Indonesia. Tujuannya adalah untuk membantu mereka yang terlibat dalam pengendalian pencemaran, termasuk mereka yang terlibat dalam pengkajian teknologi dan penetapan standar lingkungan. Masalah pencemaran industri bervariasi dari industri ke industri, dan bahkan untuk jenis industri yang sama, karakteristik buangan limbah dari satu pabrik tidak selalu sama seperti yang lainnya jika komposisi bahan baku atau prosedur produksinya berbeda. Sejumlah skema unik telah dikembangkan untuk menyelesaikan masalah industri tertentu. Teknologi pengendalian pencemaran direviu secara konstan dan diperbaharui secara teratur, sebagian karena perubahan teknologi produksi yang mengubah karakteristik air limbah atau emisi udara yang dihasilkan, atau sebagian karena kebutuhan untuk menurunkan biaya pengolahan serta untuk memenuhi standar lingkungan yang baru. Sejumlah besar riset dan pekerjaan pembangunan telah dilaksanakan selama dasawarsa terakhir ini dalam masyarakat ilmu pengetahuan dan rekayasa teknik untuk memajukan teknologi pengolahan air limbah dan emisi udara. 2.0 PENGURANGAN LIMBAH DAN PEMULIHAN SUMBERDAYA Teknologi pengendalian pencemaran seharusnya tidak terbatas pada pengolahan ujung pipa saja tetapi juga harus termasuk pengurangan limbah dan pemulihan sumberdaya. Pada kenyataannya, yang disebut terakhir merupakan komponen penting dalam mengembangkan keseluruhan strategi pengelelolaan pengendalian pencemaran. Dalam banyak proses industri, limbah cair, padat dan gas dihasilkan selama berlangsungnya pembuatan produk. Selain menciptakan masalah lingkungan, limbah ini dapat diartikan sebagai hilangnya bahan dan energi berharga dari proses produksi dan investasi yang signifikan dalam pengendalian pencemaran. Oleh karena itu, pengurangan limbah telah menjadi persyaratan yang mendasar bagi industri yang memperhatikan tujuan pengelolaan lingkungan ketimbang yang hanya memusatkan perhatian pada solusi pengolahan ujung pipa saja. Pengurangan limbah harus menjadi komponen kunci program pengelolaan limbah yang efektif biaya dan komprehensif. Teknik pengurangannya tidak harus menggunakan teknologi tinggi atau membutuhkan pengeluaran modal besar. Banyak teknik yang hanya membutuhkan perubahan sederhana dalam cara menangani bahan dalam proses produksi. Yang berikut ini membahas bagaimana pengurangan limbah dapat dicapai dalam berbagai aspek operasional pembinaan industri. Ada empat kategori pokok teknik pengurangan limbah, yaitu:

• pengelolaan inventaris • perubahan proses produksi • pengurangan volume • pemulihan.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 2

2.1 Pengelolaan inventaris Pengelolaan inventaris melaksanakan pengendalian yang tepat terhadap bahan baku, produk setengah jadi dan produk akhir. Ini untuk menghindari penghasilan limbah yang merupakan akibat dari bahan baku yang kedaluarsa, tidak memenuhi spesifikasi, terkontaminasi, atau bahan baku yang tidak diperlukan, atau kerusakan produk setengah jadi atau produk akhir. Metode untuk mengendalikan inventaris berkisar dari perubahan sederhana dalam prosedur pemesanan menjadi pengaturan manufaktur tepat waktu. Misalnya hanya jumlah bahan baku yang dibutuhkan untuk produksi yang harus dibeli untuk jangka waktu tertentu. Prosedur yang mereviu pembelian semua bahan harus dikembangkan. Semua bahan produksi harus dievaluasi untuk menentukan apakah mereka mengandung unsur pokok yang tidak diinginkan, dan jika demikian halnya maka apa bahan alternatif yang ada yang tidak mengandung unsur pokok yang tidak diinginkan. 2.2 Perubahan proses produksi Proses produksi harus dioperasikan pada efisiensi puncak sehingga diperoleh hasil maksimum dan bahan yang menjadi limbah jumlahnya minimum Ini dapat dicapai dengan menggabungkan perbaikan teknik pelatihan, pemantauan dan evaluasi. Prosedur ini biasanya tidak mahal untuk dilaksanakan. Misalnya, memeriksa bahan baku atau bagian-bagiannya sebelum mereka diproses guna mengurangi penolakan barang. Produksi harus dijadwalkan untuk mengurangi frekuensi pembersihan peralatan, misalnya memproduksi cat yang berwarna terang kemudian cat berwarna gelap sehingga tong-nya tidak perlu dibersihkan setelah pengadukan. Program pemeliharaan ketat harus dikembangkan yang menekankan pemeliharan korektif dan preventif. Ini akan mengurangi limbah yang disebabkan oleh kegagalan peralatan. Program demikian membantu menentukan lokasi sumber pelepasan limbah yang potensial dan mengoreksi masalahnya sebelum ada bahan yang hilang. Memodifikasi formula produk sedemikian rupa sehingga lebih banyak bahan baku yang digunakan dalam proses produksi diubah menjadi produk, yaitu mengurangi dihasilkannya produk samping yang tidak diinginkan. Peralatan proses yang lebih efisien harus dipasang atau memodifikasi peralatan yang ada untuk mengambil manfaat teknik produksi yang lebih baik. Peralatan baru atau yang diperbaharui dapat menggunakan bahan proses secara lebih efisien, menghasilkan limbah yang lebih sedikit. Sistem efisiensi yang lebih tinggi akan menurunkan jumlah produk yang ditolak atau yang tidak memenuhi spesifikasi. 2.3 Pengurangan volume Ini termasuk mengoptimasikan parameter operasional seperti suhu, tekanan, waktu reaksi, konsentrasi, penggunaan air dan bahan kimia untuk mengurangi dihasilkannya produk samping atau limbah. Kebutuhan setiap langkah operasional harus dievaluasi guna menghapus segala sesuatu yang tidak diperlukan. Prosedur pembersihan dapat diperbaiki untuk mengurangi volume limbah dengan menggunakan metode seperti pembersihan secara kering (dry cleaning), penyeka tembok atau alat penyeka jendela mekanik, dan peningkatan waktu pengeringan. 2.4 Pemulihan Pemulihan termasuk reklamasi dan pemanfaatan limbah. Bahan yang tumpah atau bocor harus dikumpulkan untuk digunakan kembali. Produk yang tidak memenuhi spesifikasi atau pengembalian dari perdagangan harus dikerjakan kembali sejauh mungkin menjadi produk yang dapat dijual.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 3

Limbah yang dihasilkan dari satu pabrik dapat menjadi bahan baku bagi pabrik lainnya. Misalnya, larutan pemutih atau perekat bekas dari unit pemrosesan foto merupakan sumber perak bagi pabrik pemurnian logam mulia. Pelarut limbah yang dihasilkan dari industri elektronik dapat dipulihkan melalui penyulingan dan digunakan lagi dalam proses yang sama. 3.0 PRINSIP DASAR PENGOLAHAN AIR LIMBAH 3.1 Pendahuluan Bagian ini mencakup sejumlah aspek pengolahan air limbah, termasuk muatan pencemaran, pengolahan primer dan sekunder dan penghilangan nutrien. Sarana pengendalian atau pengolahan bau yang terkait dengan unit pengolahan air limbah juga dibahas.

3.2 Definisi Beberapa istilah yang lazim disebutkan dalam pengolahan air limbah didefinisikan sebagai berikut:

• Bakteri aerobik – bakteri yang membutuhkan oksigen unsur bebas untuk pertumbuhannya.

• Bakteri anaerobik – bakteri yang hanya tumbuh jika tidak ada oksigen unsur bebas.

• Kebutuhan Oksigen Biokimia (BOD) – jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk oksidasi biologis bahan organik dalam cairan.

• Organisme Koliform – sekelompok bakteri yang dikenal sebagai indikator pencemaran tinja.

• Denitrifikasi – proses biologis di mana gas nitrogen dihasilkan dari nitrat dan nitrit.

• Bakteri E Coli – spesies bakteri yang ditemukan dalam jumlah besar di dalam sistem usus binatang berdarah panas.

• Nitrifikasi – proses biologis di mana amonia diubah pertama menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat.

• Nutrien – bahan yang diasimilasi oleh organisme yang meningkatkan pertumbuhan dan penggantian unsur pokok sel.

• Patogenik – menimbulkan penyakit. 3.3 Pengolahan primer Pengolahan primer biasanya melibatkan penyaringan, penghilangan kerikil dan sedimentasi dan dapat membuang kira-kira 60 persen bahan padat melayang dan 35 persen BOD. 3.3.1 Penyaringan Kebanyakan alat penyaringan digunakan untuk menghilangkan bahan yang merusak peralatan atau mengganggu pengoperasian yang memuaskan dari proses atau peralatan. Saringan jeruji banyak digunakan dan dapat menggaruk secara manual atau secara otomatis dan mekanik, hasil penyaringannya dihilangkan dari air limbah dan dibuang dengan dikubur atau insinerasi, lihat Gambar 1 di bagian akhir SOP ini.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 4

Jenis saringan pembersih mekanik lainnya adalah kominutor (pencacah) yang menggabungkan mekanisme pemotongan yang memotong bahan yang tertahan tanpa menghilangkannya dari aliran air limbah. Alat ini seringkali digunakan di lokasi di mana penghilangan hasil penyaringan sulit dilakukan seperti dalam kamar pompa yang dalam. 3.3.2 Penghilangan kerikil (grit) Istilah kerikil digunakan untuk mengidentifikasi partikel pasir atau gragal kecil dan kasar yang berasal dari barang tambang atau berbagai benda lainnya yang berasal dari barang non-tambang seperti ampas kopi, biji-bijian, dsb. Penghilangan kerikil mengerjakan sekurang-kurangnya tidak fungsi pokok:

• perlindungan pada peralatan mekanik bergerak oleh abrasi dan aus tak normal • pengurangan penyumbatan pipa oleh endapan partikel kerikil • pengurangan dalam frekuensi pembersihan tangki pencerna. Tangki empat persegi panjang biasanya digunakan dengan sebaran udara pada satu sisi tangki yang menciptakan rol spiral ke aliran air limbah. Ketika air limbah mengalir di sepanjang tangki, partikel kerikil cenderung mengendap ke dasar dengan tingkat kecepatan sesuai ukuran partikel dan oleh velositas rol dalam tangki. Endapan kerikil biasanya dihilangkan dengan penggaruk yang dihubungkan pada sebuah rantai dan digerakkan motor listrik. Kerikil tersebut biasanya dibuang dengan cara dikubur. Penggunaan udara tersebar di dalam tangki kerikil membantu flotasi gemuk di dalam tangki sedimentasi primer.

3.3.3 Sedimentasi Tujuan sedimentasi adalah untuk menghilangkan bahan padat yang dapat mengendap dengan prinsip sedimentasi dan untuk mengurangi kandungan bahan padat melayang di dalam air limbah. Tangki sedimentasi biasanya berbentuk empat persegi panjang atau bundar dan diberi wadah penampung untuk pengambilan lumpur. Kebanyakan tangki sedimentasi dilengkapi alat pengambilan lumpur mekanik. Ketika lumpur mengendap ke lantai tangki, digerakkan dengan bantuan penggaruk mekanik ke dalam wadah penampung untuk kemudian ditarik dan diolah secara terpisah (lihat Gambar 2 dan 3 di bagian akhir SOP ini). Sejumlah gemuk dan bahan yang dapat mengapung akan naik ke permukaan tangki sedimentasi dan dihilangkan dengan peralatan skim dan dibuang dengan cara dikubur atau insinerasi. Tangki Imhoff atau tangki dua tingkat memiliki fungsi ganda yaitu sedimentasi dan pencernaan lumpur dalam sebuah tangki tunggal.

3.4 Pengolahan sekunder memanfaatkan proses biologis Pengolahan sekunder air limbah rumahtangga (dengan atau tanpa pengolahan primer) biasanya melibatkan pengolahan dengan filter tetesan atau dengan proses lumpur aktif. Kedua proses ini pada prinsipnya sama dalam hal keduanya bergantung pada oksidasi biokimia bahan organik kompleks di dalam selokan. Sedimentasi primer adalah paling efisien dalam menghilangkan benda padat kasar sementara proses biologis adalah yang paling efisien dalam menghilangkan bahan organik yang dapat larut atau dalam kisaran ukuran koloid. 3.4.1 Filter tetesan Filter tetesan utamanya terdiri dari sebuah tangki yang diisi media filter (media batu pilihan atau plastik) dan dilengkapi sistem drainase bawah tanah. Efluen, setelah

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 5

pengolahan primer disemprotkan ke seluruh permukaan media filter di mana mereka menetes dengan perlahan-lahan ke atas permukaan media ke dalam sistem drainase bawah tanah di mana efluen tersebut kemudian dipindahkan ke tangki pengendapan. Segera setelah filter dioperasikan, permukaan media dilapisi dengan Zooglea, bahan seperti jeli kental yang mengandung bakteri dan biota lainnya. Di bawah kondisi lingkungan yang nyaman, Zooglea menyerap dan menggunakan bahan organik melayang, koloid dan terlarut dari air limbah yang melewati permukaannya. Akhirnya tercapai keseimbangan populasi. Ketika biota mati mereka, bersama dengan bahan organik yang agak setengah membusuk dibuang dari filter. Pengendapan sekunder diberikan untuk menahan bahan padat dapat mengendap yang mengalir berat dari filter. Filter tetesan lazim digunakan di unit pengolahan kecil. Mereka memiliki kemampuan pulih kembali dari muatan kejutan dan memberikan kinerja yang layak dengan pengawasan yang berketrampilan minimum. Filtrasi tetesan mampu menghilangkan 70-90 persen BOD dan 75-90 persen bahan padat melayang yang tertinggal setelah pengolahan primer. 3.4.2 Lumpur aktif Lumpur aktif didefinisikan sebagai: flokulan lumpur yang tercipta dalam air limbah baku atau endapan oleh pertumbuhan bakteri Zooglea dan organisme lainnya berkat adanya oksigen terlarut, dan berakumulasi dalam konsentrasi yang cukup dengan mengembalikan flokulan yang telah terbentuk sebelumnya. . Proses lumpur aktif didefinisikan sebagai:

suatu proses biologis di mana campuran air limbah dan lumpur aktif diaduk dan diaerasi – lumpur aktif tersebut kemudian dipisahkan dari limbah rumahtangga olahan melalui sedimentasi dan dibuang atau dikembalikan ke proses sesuai keperluan Sejumlah unit penting dari alat pemroses lumpur aktif adalah tangki aerasi dengan fasilitas aerasi dan pengaduknya, tangki pengendapan akhir dengan fasilitas pengambilan lumpurnya serta pompa untuk mengembalikan lumpur aktif dari tangki pengendapan ke tangki aerasi. Karena ada penumpukan atau akumulasi lumpur aktif secara gradual selama pengoperasian yang kontinyu, ketentuan untuk pembuangan jumlah kelebihan tersebut juga diperlukan, lihat Gambar 4. Metode penambahan udara ke dalam limbah rumahtangga digolongkan menurut aerasi udara tersebar atau aerasi mekanik. Aerasi udara tersebar didefinisikan sebagai aerasi yang dihasilkan dalam cairan oleh udara yang lewat melalui alat penyebar. Alat penyebar dapat berupa keramik berpori, nozzle penolak karbon berpori atau pipa perforasi, yang masing-masing menawarkan efisiensi pemindahan oksigen yang saling berbeda. Aerasi mekanik didefinisikan sebagai dimasukkannya oksigen atmosfir ke dalam cairan melalui tindak mekanik pedal atau mekanisme semprot (lihat Gambar 5 dan 6 di bagian akhir SOP ini). Lumpur aktif konvensional mampu menghilangkan 85-95 persen BOD dan SS yang tertinggal setelah pengolahan primer.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 6

3.5 Penghilangan nutrien Tingkat pengolahan air limbah yang diperlukan untuk pembuangan ke sungai, muara atau laut bergantung pada kemampuan air penerima mengasimilasikan limbah dan penggunaan di mana air penerima diletakkan. Kondisi air penerima, laju kecepatan aliran, penggunaan yang ada atau yang potensial (suplai air, penangkapan ikan, mandi, dsb.) dan variasi musiman merupakan sejumlah faktor yang perlu dipertimbangkan. Dalam sejumlah kasus, diinginkan untuk membatasi kadar nutrien dalam efluen untuk mengurangi potensi pertumbuhan ganggang dalam air penerima yang dapat menghasilkan penurunan tingkat oksigen terlarut dalam perairan ini. Fosfor dan nitrogen adalah dua nutrien pokok yang biasanya ditemukan dalam efluen setelah pengolahan primer atau sekunder dan sebagian metode yang digunakan untuk penghilangannya dibahas secara singkat di bawah ini. 3.5.1 Penghilangan fosfor Penghilangan fosfor biasanya dicapai dengan menambahkan bahan kimia (kapur atau garam metalik seperti aluminium sulfat) ke proses pengolahan untuk mengendapkan fosfor dan memudahkan penghilangannya melalui endapan. Al+++ + PO4

--- AlPO4 (Ion Aluminium) (Ion Fosfat) (Aluminium Fosfat) Penghilangan fosfor hingga 95 persen dapat dicapai dengan metode ini. Penghilangan fosfor dengan sistem biologis juga mungkin dilakukan dan telah diselidiki secara ekstensif di Afrika Selatan. 3.5.2 Penghilangan Nitrogen Nitrogen dapat dihilangkan dengan memanfaatkan proses biologis dua tahap sebagaimana di bawah ini: Dalam tahap pertama, Amonia (NH3) diubah secara aerobik menjadi nitrat (NO3) dengan memanfaatkan bakteri yang dapat diserap nitrat dalam tangki aerasi (nitrifikasi). Dalam tahap proses yang kedua, nitrat diubah secara anaerobik menjadi gas nitrogen (denitrifikasi) dalam fasilitas pemisahan aerasi dan pengendapan. Nitrifikasi akan terjadi dalam banyak proses pengolahan biologis aerobik jika waktu penahanan biologis dalam sistem tersebut lebih besar dari 10 hari, dan memperoleh aerasi yang cukup. Parameter lazim untuk menetapkan waktu penahanan biologis adalah Mean Cell Residence Time (MCRT). Nitrifikasi juga menghasilkan disinfeksi efluen pabrik yang lebih efektif dengan menggunakan khlorin. Tanpa nitrifikasi, amonia akan bereaksi dengan khlorin untuk membentuk monokhloramin yang sangat lemah sebagai unsur disinfektan. Cl2 + H2O HOCl + H+ + Cl (Khlorin) (Asam Hipokhlorus) HOCl + NH3 NH2Cl + H2O

(Amonia) (Monokhloramin)

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 7

3.6 Pengolahan Lumpur Lumpur yang diambil dari tangki pengendapan primer atau sekunder biasanya tidak cocok untuk pembuangan tanpa pengolahan sebelumnya. Pengolahan semacam itu diperlukan untuk mengurangi volume yang harus ditangani dan untuk memberikan kestabilan. Meskipun volume lumpur yang dihasilkan seringkali di bawah satu persen dari jumlah volume air limbah yang diolah, fasilitas pengolahan lumpur seringkali dapat bertanggungjawab atas 20 hingga 40 persen jumlah biaya modal dan pengoperasian seluruh pabrik. Pencernaan anaerobik adalah salah satu dari proses yang biasa dilakukan untuk stabilisasi lumpur di unit pengolahan yang besar. Proses secara biologis mengurangi jumlah bahan padat volatil, mencairkan lemak bahan organik yang tidak dapat membusuk dan menghancurkan sejumlah besar organisme patogenik. Selama proses pencernaan, gas dikeluarkan (terutama metan) yang seringkali digunakan sebagai sumber bahan bakar dalam unit pengolahan air limbah. Pencernaan lumpur merupakan pengatur tanah yang sangat baik dan mengandung nutrien nitrogen dan fosfor yang mendorong pertumbuhan tanaman. Namun, pencernaan lumpur hanya memiliki sekitar 20 persen nilai pemupukan dari pupuk anorganik atas dasar volume. Lumpur biasanya dihilangkan airnya sebelum pembuangan dengan menggunakan:

• tempat pengeringan lumpur • laguna lumpur • peralatan mekanik penghilangan air lumpur. 3.7 Menghasilkan dan mengendalikan bau Bau dari unit pengolahan air limbah biasanya dapat dianggap berasal dari tiga sumber:

• air limbah baku tinja • fasilitas pengolahan sekunder yang terlalu penuh • praktek pengolahan lumpur. Pembusukan dalam air limbah adalah disebabkan oleh habisnya oksigen terlarut karena waktu penahanan dalam selokan atau stasiun pompa yang lama, diikuti peningkatan dalam aktivitas anaerobik. Karena air limbahnya membusuk, maka bakteri anaerobik berkembang. Bakteri ini memanfaatkan nitrat dan sulfat yang ada dalam air limbah sebagai sumber oksigennya. Pengurangan ion sulfat menghasilkan gas hidrogen sulfida yang sangat berbau. Suhu musim panas yang tinggi dikombinasikan dengan waktu penahanan dalam selokan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan bertimbunnya hidrogen sulfida secara cepat. Fasilitas pengolahan sekunder yang terlalu penuh juga menjadi sumber bau yang potensial. Jika suplai udara ke tangki aerasi lumpur aktif tidak cukup, maka kondisi bau dapat berkembang. Bau yang berkaitan dengan pengolahan lumpur dapat terjadi dari pencerna lumpur yang terlalu penuh dan selama proses terlepasnya air dari lumpur. Berbagai metode yang ada untuk pengendalian bau dirangkum di bawah ini.

• Bau yang berkaitan dengan air limbah kotoran biasanya dikendalikan oleh salah satu atau gabungan dari metode berikut ini:

- Aerasi hulu unit pengolahan air limbah.

- Penyuntikan khlorin atau ozon ke hulu unit pengolahan air limbah.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 8

- Pengambilan dan pengolahan sejumlah gas beracun di unit pengolahan. Metode pengolahan gas yang relatif baru adalah dengan mengoperasikan filter biologis (prinsip yang sama seperti filter tetesan) dan membuang gas ke atas melalui media filter. Metode ini dapat mencapai penghilangan hidrogen sulfida hingga 95 persen. Suatu metode pengganti adalah dengan memampatkan gas dan melepaskannya di dekat dasar tangki pra-aerasi atau tangki aerasi. Dengan menggunakan metode ini banyak hidrogen sulfida yang menjadi larutan.

- Memanaskan gas berbau dalam insinerator pada suhu sebesar 1400 0F untuk menghilangkan bau tersebut.

• Perubahan dalam prosedur operasional dan teknik baru terkadang dapat mengurangi bau. Meningkatkan pengendalian suhu dan pencampuran pencerna anaerobik dengan lebih baik seringkali dapat meringankan masalah bau.

• Penambahan waktu pada air limbah kotoran menaikkan pH. Karena kemampuan larut hydrogen sulfida meningkat seiring dengan naiknya pH, berkembangnya hidrogen sulfida berkurang, dengan demikian tingkat bau pun turun.

4.0 TEKNOLOGI PENGOLAHAN AIR LIMBAH Ada sejumlah kelompok industri yang menciptakan masalah pencemaran besar di Indonesia, termasuk di antaranya:

• Penyamakan kulit • Pabrik tekstil • Bubur kertas dan kertas • Pabrik gula • Industri makanan • Fermentasi • Obat-obatan dan farmasi • Kilang minyak dan produk serumpun • Bahan kimia • Pupuk • Kaca, semen dan asbes • Logam • Plastik dan produk sintetis • Sabun dan deterjen. Yang berikut ini membahas teknologi pengolahan yang relevan dengan industri berikut. 4.1 Penyamakan kulit Polutan utama dalam air limbah penyamakan kulit adalah sulfida, khromium, BOD, COD dan nitrogen. Oleh karena itu, proses pengolahan yang digunakan harus dapat mengurangi semua polutan ini. Sulfida dapat dioksidasi menjadi sulfat yang lebih dapat diterima untuk pembuangan ke air penerima. BOD, COD dan nitrogen biasanya dihilangkan melalui proses biologis. Khromium dapat mengganggu reaksi biologis bila ada didalam konsentrasi tinggi, misalnya diatas 10 mg/L, dan mungkin tidak dapat diturunkan ketingkat yang rendah dengan proses biologis. Khrom sebagai keadaan trivalen dalam air limbah penyamakan kulit yang dapat dipresipitasi sebagai khrom hidroksida dengan pH sekitar 8-9.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 9

Skema kemungkinan pengolahan air limbah penyamakan kulit dirangkum sebagaimana diperagakan dalam Gambar 7.

GAMBAR 7: PENGOLAHAN AIR LIMBAH PENYAMAKAN KULIT TIPIKAL 4.2 Kilang minyak dan produk serumpun Air limbah industri ini biasanya mengandung oli/gemuk, COD, BOD, fenol, sulfida, amonia, total karbon organik (TOC), dan terkadang asam atau alkali.

Aliran Limbah Alkalin

Limbah Asam Khromium

Saringan Presipitasi khrom Kapur

Oksidasi Sulfida

pH 10-11

Penjernih Primer

Filter Lumpur Lumpur kering utk

Landfill Penjernih

Primer

Katalisator mis. Mn

Lumpur Aktif

Penjernih Sekunder

Asam

Kembalian Lumpur

Aktif

Ke Air Penampung

Lumpur Limbah

Air limbah

Pemisah API

Kolam Skim

Penyesuaian pH

Lumpur Aktif

Penjernih

Air Penampung

Asam Alkali

Pembuangan Lumpur Limbah

Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Oli bekas ke Unit Pemulihan

GAMBAR 8: PENGOLAHAN AIR LIMBAH MINYAK BUMI TIPIKAL

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 10

Sebuah alat skim oli, disebut pemisah API yang telah dikembangkan oleh Institut Petroleum Amerika (American Petroleum Institute), lazim digunakan untuk menghilangkan oli/gemuk dan bahan padat berat. Reduksi minyak lebih lanjut dicapai dengan sistem flotasi udara terlarut atau kolam skim atau sistem filtrasi. COD, BOD, fenol, sulfida dan amonia dapat dihilangkan dengan sistem biologis. Lihat skema pengolahan tipikal dalam Gambar 8 4.3 Pabrik tekstil, industri makanan, sabun dan deterjen, obat-obatan dan farmasi Air limbah industri ini mengandung COD, BOD, asam atau alkali dan kemungkinan oli/gemuk. Dus, skema pengolahan yang terdiri dari penahan oli/gemuk, tangki perimbangan dan reaktor lumpur aktif lazim digunakan untuk meningkatkan mutu air limbah, lihat Gambar 9. Untuk air limbah tertentu yang sulit didegradasi, serbuk karbon aktif dapat ditambahkan ke dalam tangki Lumpur aktif untuk meningkatkan efisiensi pengolahan. Tambahan biokimia merupakan pilihan kemungkinan lainnya untuk meningkatkan kapasitas unit pengolahan lumpur aktif.

GAMBAR 9: PENGOLAHAN AIR LIMBAH TEKSTIL, MAKANAN, DETERJEN DAN FARMASI TIPIKAL

4.4 Industri gula dan fermentasi Air limbah industri ini mengandung COD dan BOD tinggi yang biasanya mudah terjadi biodegradasi. Sistem pengolahan aerobik dan anaerobik telah digunakan untuk mengurangi polutan. Sekitar 25 tahun lalu, teknologi selimut lumpur anaerobik aliran atas (upflow anaerobic sludge blanket / UASB) dikembangkan yang ternyata mampu untuk beroperasi dengan efisiensi tinggi dan dengan biaya pengoperasian yang relatif rendah. Biaya modalnya juga lebih rendah dari sistem aerobik dan anaerobik tradisional untuk limbah berkekuatan tinggi. Sejak saat itu banyak pekerjaan pembangunan dilaksanakan dengan teknologi ini dan semakin banyak unit UASB telah dibangun untuk mengolah air limbah dari industri gula dan fermentasi. Proses UASB dikembangkan di Belanda pada akhir tahun 1970-an. Intisari proses tersebut adalah bahwa aliran air limbah meningkat di dalam reaktor yang mengandung lumpur butiran (butiran-butiran campuran bakteri anaerobik). Butiran tersebut, yang berukuran

Air limbah

Tangki Skim

Tangki perimbangan

Lumpur Aktif

Ke Air Penampung

Asam Alkali

Pembuangan LumpurLimbah Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Penjernih

Bubuk Karbon Aktif (opsi)

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 11

besar (secara tipikal 1,5 – 2 mm) mengendap jauh lebih cepat ketimbang tingkat kenaikan air limbah, jadi mereka membentuk lapisan dalam reaktor, memaksimumkan kontak bahan padat dan pembuangan COD dan melepaskan biogas. Biogas yang timbul ditahan oleh kerudung; air limbah lewat di sela kerudung tersebut, dan melalui pencuci efluen. Ada beberapa ciri berbeda yang menempatkan UASB terpisah dari sistem aerobik. Dua faktor yang paling signifikan adalah ruang dan energi: Unit UASB dapat dimuati antara 10 dan 20 kg COD/m3d berdasarkan pada volume reaktor, dibandingkan dengan 1 hingga 2 kg COD/m3d untuk sistem aerobik, sehingga unit tersebut secara fisik jauh lebih kecil. Biaya energi UASB biasanya besarnya sekitar lebih rendah dari pada biaya untuk sistem aerobik. Ciri lainnya yang penting adalah hasil lumpur: sistem anaerobik menghasilkan secara kasar 0,4 kg VSS per COD yang dihilangkan, sementara sistem UASB menghasilkan antara 0.02 dan 0.05 kg VSS/kg COD yang dihilangkan. Dengan demikian, diharapkan biaya modal dan biaya pengoperasian sistem UASB lebih rendah ketimbang sistem aerobik untuk mengolah air limbah berkekuatan tinggi. Namun, harus dicatat bahwa sistem UASB, seperti proses anaerobik lainnya, tidak dapat menghasilkan efluen mutu sekunder, jadi efluen UASB harus dibuang ke selokan atau diolah lebih lanjut secara aerobik sebelum dilakukan pembuangan akhir. Skema pengolahan tipikal untuk industri gula dan fermentasi dirangkum dalam Gambar 10.

GAMBAR 10: PENGOLAHAN AIR LIMBAH GULA DAN FERMENTASI TIPIKAL 4.5 Industri bubur kertas dan kertas Air limbah industri bubur kertas dan kertas biasanya bervolume besar dan polutan utamanya adalah COD, BOD, TOC, bahan padat melayang dan halida organik. Proses biologis adalah bentuk pengolahan yang paling lazim digunakan dan mungkin merupakan metode yang paling efektif biaya untuk menghilangkan polutan ini. Kebanyakan sistem pengolahan terdiri dari satu atau beberapa laguna aerasi besar yang memberikan jumlah penahanan hidraulis selama 10 hingga 30 hari. Waktu penahanan yang lama penting

Air limbah

Sentrifugal atau Penyaringan

Tangki Pengasaman

Reaktor UASB

Tangki Denitrifikasi

Penjernih

Ke Air Penampung

Asam atau Alkali

Pembuangan LumpurLimbah Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Reaktor Aerobik

Penyimpanan lumpur butiran

Pembuangan LumpurLimbah di Luar

Lokasi atau dijual

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 12

untuk mengurangi bahan yang sulit didegradasi seperti warna dan halida organik. Selama duapuluh tahun terakhir ini, UASB telah mengeluarkan teknologi yang berbiaya seefektif mungkin untuk mengolah air limbah pabrik bubur kertas dan kertas. Sistem pengolahan aerobik tipikal dijelaskan dalam Gambar 11.

GAMBAR 11: PENGOLAHAN AIR LIMBAH AEROBIK BUBUR KERTAS DAN KERTAS TIPIKAL

Skema pengolahan tipikal yang memasukkan reaktor UASB dan laguna aerobik ditunjukkan dalam Gambar 12.

GAMBAR 12: PENGOLAHAN AIR LIMBAH UASB BUBUR KERTAS DAN KERTAS TIPIKAL

4.6 Industri pupuk Industri pupuk utamanya memproduksi pupuk nitrogen atau fosfat. Beberapa di antaranya memproduksi keduanya.

Air limbah

Saringan

Penjernih Primer

Laguna Aerasi

Penjernih Sekunder

Ke Air Penampung

Pemulihan serat

Pembuangan Lumpur Limbah

Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Air limbah

Saringan

Penjernih Primer

Pra-pengasaman

UASB

Penjernih Sekunder

Ke Air Penampung

Asam atau Alkali

Pembuangan LumpurLimbah Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Laguna Aerasi

Penyimpanan Lumpur Limbah

atau Pembuangan Luar Lokasi

Pemulihan Serat

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 13

Untuk air limbah yang mengandung fosfat, tambahan kapur akan menghasilkan reaksi presipitasi di mana fosfat membentuk garam dengan kalsium: 5Ca (OH)2 + 3H3PO4 --> Ca5 OH (PO4)3 + 9H2O

Hidroksiapatit

Ca (OH)2 + 2H3PO4 --> Ca (H2PO4)2 + 2H2O Monokalsium fosfat

Ca (OH)2 + Ca (H2PO4)2 --> 2CaHPO4 + 2H2O

Dikalsium fosfat Skema pengolahan tipikal untuk penghilangan fosfat ditunjukkan dalam Gambar 13.

GAMBAR 13: PENGOLAHAN AIR LIMBAH PUPUK TIPIKAL Amonia dapat dihilangkan dengan cara khlorinasi yang mengoksidasi amonia menjadi nitrogen, atau dengan mengosongkan udara yang memindahkan amonia dari fase cair ke fase gas. Pengolahan yang paling efektif biaya adalah biologis yang mengubah amonia, nitrat dan nitrit menjadi molekul nitrogen. Sebuah skema pengolahan tipikal ditunjukkan dalam Gambar 14.

GAMBAR 14: PENGOLAHAN AIR LIMBAH BIOLOGIS PUPUK

Air limbah

Saringan

Tangki Pencampur

Penjernih

Perlu pengolahan lanjut bila mengandung nitrogen Jika tidak, dibuang ke air penampung

pH 8-9

Pembuangan LumpurLimbah Luar Lokasi

Daur ulang lumpur Kapur

Air limbah

Perimbangan

Nitrifikasi

Denitrifikasi

Aerasi

Ke Air Penampung

Asam atau Alkali

Pembuangan LumpurLimbah Luar Lokasi

Kembalian Lumpur Aktif

Penjernih

Nutrien (karbon organik)

Nutrien (karbon anorganik) utk sintesis biomassa

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 14

4.7 Industri logam Air limbah dari industri logam mengandung oli/gemuk dan ion logam yang berasal dari bahan baku dan/atau bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi. Sebuah tangki skim (skimming tank) dapat digunakan untuk menghilangkan oli/gemuk. Ion logam seperti tembaga, seng, nikel, timah hitam dan khromium (trivalen) dapat dihilangkan dengan presipitasi yang menggunakan alkali atau kapur. Khrom heksavalen yang sering ada dalam air limbah dari pabrik elektroplat listrik perlu dikurangi hingga tingkat trivalen dengan pengurangan seperti sodium sulfit atau sulfur dioksida, sebelum presipitasi dengan alkali atau kapur dapat dilakukan. Flokulan seringkali ditambahkan setelah langkah presipitasi dilakukan guna membantu pembentukan flok sehingga mutu penjernihan air yang diinginkan dapat diperoleh.

GAMBAR 15: PENGOLAHAN AIR LIMBAH LOGAM TIPIKAL 4.8 Produk bahan kimia dan plastik dan produk sintetis Air limbah mungkin mengandung asam, alkalin, dan/atau mengandung COD, BOD dan senyawa nitrogen atau fosfor, bergantung pada bahan baku dan proses produksi yang digunakan. Jika air limbah tidak mengandung bahan organik dan hanya memiliki masalah pH, maka solusinya adalah netralisasi. Jika air limbah mengandung COD, BOD dan senyawa nitrogen selain asam atau alkali, maka diperlukan pengolahan biologis. Sistem UASB dapat digunakan jika air limbahnya mengandung kelebihan COD sebesar 5.000 mg/L. Skema pengolahan yang dimungkinkan adalah yang serupa dengan yang dibahas dalam Seksi 4.4 (dengan sistem UASB) dan Seksi 4.6 (sistem aerobik). 5.0 TEKNOLOGI PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA Emisi gas diolah dengan peralatan pembersih gas seperti scrubber basah, rumah kantong, presipitator elektrostatis, siklon, filter karbon, biofilter atau insinerator.

Air limbah mengandung ion

logam lain

Air limbah mengandung khrom heksavalen

Alat penghilang minyak

Tangki Reduksi

Flokulasi

Presipitasi

Penjernihan

Flokulan

Ke Air Penampumg Pembuangan Lumpur Limbah utk Landfill

Penyulingan minyak

Alkali atau Kapur

Asam

Reduktan

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 15

5.1 Scrubber basah Scrubber basah lebih disukai untuk kontaminan yang dapat larut atau dapat berkondensasi seperti kabut asam, amonia, hidrogen sulfida, akrilonitril, formaldehida, asam akrilik, partikel garam, dsb. Air scrubbing limbah perlu diolah sebelum dibuang ke air penerima. Packed tower dan venturi scrubbers adalah dua sistem scrubber basah yang lazim digunakan dan ditunjukkan dalam Gambar 16 dan 17 di bagian akhir SOP ini. 5.2 Rumah kantong (Baghouse) Rumah kantong adalah preferensi pilihan untuk menghilangkan partikulat debu kering dalam kisaran sebesar 0.001 mikron hingga 100 mikron dan dengan suhu di bawah 2500C. Rumah kantong seringkali digunakan untuk menangkap debu yang dipancarkan dari tungku, pengoperasian sand blasting dan pengoperasian pengepakan produk berbentuk tepung. Gambar 18 di bagian akhir SOP ini menunjukkan sebuah sistem rumah kantong tipikal. 5.3 Presipitator elektrostatis (EP) Presipitator elektrostatis dapat digunakan untuk menghilangkan partikulat debu dalam kisaran sebesar 0.001 mikron hingga 100 mikron dan dengan suhu setinggi 5900C. Persipitasi basah dapat digunakan jika gasnya lembab. Oleh karena itu presipitator elektrostatis memiliki aplikasi yang jauh lebih luas ketimbang sistem rumah kantong. Biasanya presipitator elektrostatis mengandung biaya modal lebih tinggi ketimbang rumah kantong. Presipitator elektrostatis digunakan secara ekstensif di pabrik semen, stasiun tenaga listrik pembakaran batubara, dsb. di mana diperlukan pengendalian partikulat yang ketat. Gambar 19 di bagian akhir SOP ini menunjukkan sebuah presipitator elektrostatis tipikal. 5.4 Siklon Siklon utamanya digunakan dalam industri kayu untuk pengumpulan serbuk gergaji. Siklon biasanya digunakan untuk mengumpulkan partikulat yang lebih besar dari 10 mikron. Pemisahan siklon merupakan sistem yang murah tetapi aplikasinya terbatas. Gambar 20 di bagian akhir SOP ini menunjukkan sebuah siklon biasa. 5.5 Filter karbon aktif Kontaminan molekuler yang tidak siap larut atau berkondensasi dalam media cair dapat dihilangkan melalui adsorpsi karbon, misalnya, benzena, stiren, merkaptan dari industri petrokimia dan plastik. Perlu diperhatikan bahwa karbon memiliki keterbatasan pada kapasitasnya dan ketika karbon sudah jenuh dengan adsorbsi bahan kimia maka ia harus diganti atau diregenerasi. Karbon relatif mahal dan lebih disuka digunakan untuk menghilangkan kontaminan yang dihasilkan dari gas. 5.6 Biofiltrasi Biofiltrasi adalah sistem yang relatif baru yang digunakan utamanya untuk menghilangkan kontaminan gas. Dalam sistem ini, biomassa ditumbuhkan pada sebuah media pendukung yang berpori-pori. Ketika gas tersebut melewati media, biomassa menyerap kontaminan dan memanfaatkannya sebagai makanan. Serangkaian luas kontaminan organik seperti xilen, stiren, merkaptan, hidrogen sulfida dsb. dapat dihilangkan dengan biofilter.

dhie5.0/SOPs 13/Pollution Control Technologies 16

Perlu diperhatikan bahwa gas yang mengandung formaldehida atau akrilonitril dapat membunuh biomassa. Bergantung pada sifat kontaminan, biofilter perlu penggantian dalam waktu satu hingga lima tahun. Sebuah biofilter tipikal ditunjukkan dalam Gambar 21 di bagian akhir SOP ini. 5.7 Insinerasi Insinerasi dapat digunakan untuk menghancurkan hidrokarbon, amonia, hidrogen sulfida dan banyak kontaminan gas yang mudah terbakar. Suhu pembakaran paling kurang harus 7600C dan waktu tinggal gas dalam kamar pembakaran dapat bervariasi dari 0,3 detik hingga 3 detik bergantung pada sifat polutan. Biasanya proses pembakaran menghabiskan jauh lebih banyak energi ketimbang proses lainnya. Proses ini digunakan bila proses pengolahan lainnya tidak efektif. Proses pembakaran digunakan bila proses pengolahan lainnya tidak efektif. Sebuah unit insinerasi tipikal ditunjukkan dalam Gambar 22 di bagian akhir SOP ini. 6.0 KESIMPULAN Ada berbagai proses pengolahan untuk pengendalian pencemaran. Penerapan proses ini bergantung pada sifat polutan, volume buangan, kondisi lokasi dan peraturan pengendalian pencemaran yang berlaku terhadap kawasan bersangkutan. Semua faktor ini harus dipertimbangkan dalam pengembangan proses pengolahan. Mengingat sangat sulitnya meramalkan sifat air limbah bila banyak spesies bahan kimia bercampur menjadi satu dan berinteraksi satu sama lain atau dengan sejumlah lainnya, penting kiranya agar studi mengenai kemungkinan diolahnya air limbah dilaksanakan untuk menghasilkan data guna mengkonfirmasikan skema pengolahan yang lebih disukai.

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

14

INSTRUMEN EKONOMI

1.0 PENGANTAR Peraturan yang ketat dan pendekatan komando dan kendali untuk perlindungan lingkungan dan pengendalian pencemaran telah mendominasi pengembangan kebijakan lingkungan dan pelaksanaannya di banyak negara maju selama 30 hingga 40 tahun terakhir, dan belum lama ini upaya serupa mulai dilakukan di negara berkembang. Fokus pada pengendalian ujung pipa ini menghambat perkembangan perubahan proses, pengurangan limbah, Produksi Bersih dan inovasi dalam pengendalian pencemaran dan pengelolaan lingkungan. Belum lama ini, pengembangan pendekatan berbasis pasar atau penerapan instrumen ekonomi telah memperoleh dukungan di negara maju, misalnya, AS, Eropa dan Australia. Namun, penggunaan instrumen ekonomi tidak menyingkirkan kebutuhan terhadap undang-undang, standar, pemantauan dan pemberdayaan lingkungan, karena kerangka kerja hukum diperlukan untuk pengoperasiannya. 2.0 TUJUAN Tujuan SOP ini adalah untuk memberikan informasi mengenai instrumen ekonomi, lebih jauh daripada yang diberikan dalam Volume 2 Seksi 1.1.3 ESM ini, untuk membantu mereka yang terlibat dalam pengendalian pencemaran, termasuk yang terlibat dalam penetapan atau revisi standar lingkungan. 3.0 MENGAPA INSTRUMEN EKONOMI Ada argumen bahwa, walaupun pendekatan komando dan kendali peraturan memang terbukti efektif dalam memenuhi tujuan lingkungan, ada kecenderungan pendekatan tersebut tidak luwes dan membebani masyarakat dengan biaya tinggi yang tak semestinya. Selain itu, pendekatan ini juga mahal untuk diterapkan. Instrumen ekonomi lebih mengandalkan pada desentralisasi pembuatan keputusan dan mekanisme pasar. Sumberdaya alam dan lingkungan tersedia secara terbatas. Penggunaan dan degradasinya yang berlebihan diketahui merupakan akibat dari kegagalan pasar Para pengguna sumberdaya alam dan lingkungannya seringkali tidak membayar biayanya dengan sepenuhnya. Dengan menciptakan pasar bagi sumberdaya alam dan kelangkaan sumberdaya lingkungan yang sesungguhnya pada hakikatnya dapat diisyaratkan kepada para penggunanya, menciptakan insentif ekonomi untuk pengelolaan yang lebih bijaksana dan lebih efektif biaya. Pemerintah dapat mempengaruhi pola penggunaan dengan cara mengendalikan jumlah sumberdaya lingkungan yang diperdagangkan dan/atau dengan cara mengendalikan harganya, baik secara langsung di mana ada mandat untuk menentukan harga, atau secara tidak langsung melalui biaya, pajak, subsidi dan instrumen ekonomi lainnya.

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 2

Suatu argumen yang mendukung instrumen ekonomi adalah bahwa mereka memberikan insentif terhadap perbaikan efisiensi dan kinerja lingkungan yang berlangsung, misalnya dalam kaitannya dengan inovasi, teknologi perlindungan lingkungan dan praktek pengelolaan lingkungan. Insentif yang sama tidak dapat timbul dalam sistem komando dan kendali. Namun, terjadi argumen balasan. Misalnya, biaya pengendalian lingkungan tidak boleh mewakili proporsi besar dari total biaya, sehingga hanya ada sedikit insentif untuk merespon terhadap sinyal harga. Dalam penanganan beberapa masalah lingkungan, peraturan langsung telah seringkali diperlukan untuk memberikan rangsangan demi perbaikan, secara ekonomis dan juga secara lingkungan. Peraturan yang mengatur emisi kendaraan bermotor merupakan satu contoh, dengan penghematan biaya yang signifikan dan peningkatan efisiensi energi yang merupakan hasil dari mesin dan desain bodi motor yang lebih baik, dipacu oleh kebutuhan untuk menurunkan emisi pembakaran yang menimbulkan pencemaran. Harus disadari bahwa, dalam praktek, efek insentif tidak boleh menjadi tujuan utama dalam penggunaan instrumen ekonomi. Instrumen ekonomi juga dapat digunakan untuk menutup biaya administratif berbagai fungsi peraturan, seperti penetapan, pemantauan dan pemberdayaan standar. Dalam konteks ini instrumen ekonomi digunakan sebagai alat yang dapat didistribusikan kembali. Adalah mungkin untuk merancang instrumen ekonomi yang tujuan utamanya untuk meningkatkan pendapatan ketimbang perubahan perilaku. Pajak lingkungan merupakan contoh untuk ini. Apakah peningkatan pendapatan semacam itu efektif dalam memenuhi tujuan lingkungan bergantung pada bagaimana pendapatan tersebut dibelanjakan. Jika pendapatan tersebut dialokasikan untuk program perbaikan lingkungan, maka efek manfaatnya dapat diharapkan. Namun, jika pendapatan tersebut hanya sekedar dibayarkan untuk pendapatan pemerintah, maka manfaat lingkungan tidak dapat dicapai. 4.0 JENIS-JENIS INSTRUMEN EKONOMI Sekitar duapuluh tahun yang silam, instrumen ekonomi untuk perlindungan lingkungan jarang digunakan, namun kini penggunaannya telah meningkat secara pasti. Beberapa contoh yang pertama adalah penggunaan biaya efluen dalam pengelolaan mutu air di Perancis, Jerman dan Belanda. AS juga memperkenalkan hak pengendalian pencemaran yang dapat diperdagangkan selain serangkaian luas instrumen ekonomi lainnya dan peraturan langsung perlindungan lingkungan dan sumberdaya alam. Australia juga telah memperkenalkan ongkos pembuangan air dan uang jaminan untuk menggaransi kinerjanya. Berbagai survei telah dilakukan oleh Direktorat Lingkungan dari OECD mengenai digunakannya instrumen ekonomi di antara negara anggotanya. Dari 14 negara yang disurvei, ada lebih dari 150 contoh penerapan instrumen ekonomi. Area penerapan instrumen lingkungan di negara maju meliputi: • Pengelolaan pencemaran • Pengelolaan sumberdaya alam • Pengelolaan kenyamanan lingkungan. Berbagai jenis instrumen ekonomi yang digunakan dalam bidang ini dicantumkan dan dibahas di bawah:

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 3

• biaya emisi dan efluen • biaya pengguna untuk pengolahan dan/atau pembuangan limbah • pajak lingkungan • ongkos ketidak-sesuaian proporsional • biaya produk • pengembalian deposito • hak pencemaran yang dapat diperdagangkan • hak pengguna sumberdaya yang dapat diperdagangkan • biaya pengguna atas sumberdaya alam dan kenyamanan lingkungan • uang jaminan kinerja (performance bond). 4.1 Biaya emisi dan efluen Teorinya, biaya emisi dan efluen yang ditetapkan pada tingkat biaya kerusakan lingkungan marginal atau biaya pengurangan, merupakan cara terbaik untuk menginternalisasikan biaya sosial pencemaran dan mengubah perilaku unsur ekonomi. Ini dibuat pada tingkat biaya (muatan atau kadar polutan) dari sumber individual. Tujuannya adalah untuk mendorong penurunan tingkat pembuangan. Kerugian yang mungkin timbul adalah bahwa mungkin biaya dan fungsi pencemar tidak dapat diketahui, dengan demikian akan sulit untuk menetapkan skala biaya yang benar untuk mendapatkan peningkatan yang diinginkan. Beberapa contoh termasuk Belanda di mana tingkat biaya pencemaran air ditentukan oleh pendapatan yang dibutuhkan untuk pengolahan pematusan limbah dan kebijakan untuk pemeliharaan dan peningkatan mutu air secara umum. Biaya tersebut diimplementasikan oleh Dewan Air (Water Boards), badan yang mengatur sendiri para pengguna air permukaan yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan air. Biaya didasarkan pada BOD dan (kebanyakan) logam berat. Biaya tersebut dipungut atas semua pembuangan langsung dan tak langsung. Water Boards Australia memberlakukan sistem serupa untuk limbah komersial. Rumahtangga dan perusahaan kecil membayar suatu jumlah tetap. Menurut riset yang dilakukan atas isu ini, ada efek insentif bagi perusahaan besar yang diukur dengan sesungguhnya, termasuk sektor pertanian, terutama produksi hewan ternak. Tampaknya hal ini dapat berjalan baik mengingat tingkat biayanya agak tinggi dan ditujukan untuk memberikan pemulihan biaya pengolahan limbah rumahtangga sepenuhnya. Dasar biaya dihubungkan secara langsung dengan muatan pencemaran (untuk perusahaan besar) dan program biaya didesentralisasikan serta transparan bagi para pengguna air. Contoh lainnya adalah pajak Sulfur di Swedia. Pajak dipungut per kandungan-S bahan bakar diesel dan oli pemanas, yang melampaui ambang batas kandungan-S sebesar 0,1 persen. Pajak tersebut, yang merupakan biaya produk, memperkirakan biaya emisi dan dapat dibayar kembali jika pembayar pajak dapat menunjukkan penurunan emisi SOx yang aktual. Suatu evaluasi resmi mengindikasikan bahwa kandungan sulfur oli berkurang hampir 30 persen antara tahun 1990 dan 1992 sebagai hasil dari pengenaan pajak tersebut. Emisi pembakaran batubara dan gambut juga menurun sangat banyak. Pajak tersebut mendorong pembersihan gas cerobong asap pada tingkat yang lebih besar daripada sebelumnya, tetapi emisinya juga telah menurun karena penggantian bahan bakar fosil. Pajak CO2 memberikan insentif tambahan untuk itu. Biaya administratifnya kurang dari 1 persen dari pendapatannya.

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 4

Ada beberapa contoh dari Australia mengenai pengendalian pencemaran udara yang utamanya mengandalkan pada instrumen komando dan kendali. Kebanyakan Negarabagian menerapkan ongkos ijin berdasarkan pada sifat emisi, bukan ukuran muatan pencemaran. Sistem ijin emisi sulfur dioksida yang dapat diperdagangkan berlaku di AS, di mana ketidakluwesan peraturan langsung membuat pendekatan ini menjadi menarik. Sistem demikian jadi optimal hanya jika ada pasar kompetitif yang aktif, dan lokasi emisi serta keadaan di mana mereka terjadi tidak berbeda. Biaya efluen air bekerja dengan cara yang sama dengan biaya emisi. Sebagaimana halnya dalam kasus pengelolaan lingkungan udara, instrumen yang biasa digunakan adalah sistem perijinan, dengan ongkos yang dirancang untuk menutup biaya administratif, meskipun sekarang hal ini meningkat berdasarkan pada pengkajian muatan pencemaran. Contoh biaya efluen (dirancang agar punya efek insentif) adalah sistem ongkos yang diperkenalkan di Australia Selatan untuk mendukung Undang-undang Perlindungan Laut (Marine Protection Act) yang lolos pada tahun 1990. Peraturan tersebut mulai berlaku pada bulan Maret 1993 (istilah emisi digunakan untuk menjelaskan skemanya, meskipun diterapkan pada efluen). Emisi diukur untuk setiap titik sumber yang dibuang ke air laut pasang surut Australia Selatan. Biaya dipungut menurut tingkat dampak, yang akibatnya berlaku sebagai pengganti biaya kerusakan lingkungan. Di beberapa negara, biaya dibebankan pada tingkat gangguan bunyi. Biaya dipungut atas pesawat terbang, misalnya, atas dasar per pesawat terbang atau per penumpang, menurut jenis pesawat terbang dan tingkat bunyi yang dicapai selama berlangsungnya lepas landas dan pendaratan. 4.2 Biaya pengguna untuk pengolahan dan pembuangan limbah Ini merupakan hal lazim di negara maju, dan termasuk biaya untuk pengolahan dan pembuangan air limbah rumahtangga dan industri serta limbah padat. Prinsip dasar perancangan instrumen ekonomi yang efektif jenis ini adalah sebagai berikut:

• Pendekatan yang berbeda untuk menentukan tariff industri, rumahtangga dan konsumen besar lainnya.

• Tarif ditentukan pada tingkat (rata-rata) yang memberikan pemulihan biaya investasi dan pengoperasian sepenuhnya.

• Biaya didasarkan pada muatan pencemaran atau penggunaan air bila mungkin. Hal ini terutama relevan untuk industri dan konsumen besar lainnya.

• Pemulihan biaya penuh dijamin hanya berdasarkan kondisi bahwa ukuran (kapasitas) unit (unit-unit) pengolahan umum dan tingkat pengolahan yang diterapkan ditentukan berdasarkan pengembangan analisis ekonomi yang membandingkan biaya dan manfaat pengurangan pencemaran air dan mempertimbangkan semua opsi alternatif, termasuk langkah tindakan pengolahan biaya rendah di industri.

Dalam banyak contoh, otorita air bertanggungjawab terhadap suplay air, pengolahan dan pembuangan air limbah, penjualan efluen dan lumpur olahan, serta pengolahan dan pembuangan limbah perdagangan cair via sistem pematusan limbah. Otorita air dapat

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 5

memikul tanggungjawab lingkungan tambahan, seperti pengendalian aliran buang air hujan dan mutu air di dalam air penerima. Perlindungan lingkungan secara sengaja dapat dijadikan faktor dalam kebijakan harga otorita air dan/atau diberdayakan melalui standar lingkungan yang dibebankan oleh lembaga perlindungan lingkungan atau oleh otorita air itu sendiri Standar demikian dapat berkaitan dengan jumlah muatan dan kadar polutan masukan yang memasuki sistem (terutama dari industri), dan juga pembuangan efluen ke lingkungan. Dengan demikian pengelolaan mutu lingkungan dalam kaitannya dengan pengolahan dan pembuangan air limbah dapat dicapai melalui kombinasi antara pemberian harga dan peraturan lingkungan. Larangan langsung dapat dikenakan pada pembuangan beberapa bahan, seperti limbah yang tidak mudah ditangani, ke sistem pematusan limbah. Teorinya, efisiensi ekonomi maksimum harus dicapai melalui pemberian harga biaya marginal, meskipun ada sejumlah kesulitan praktis dalam melaksanakan prinsip tersebut. Beberapa otorita air telah berhasil melaksanakan kebijakan harga pengguna membayar yang memiliki pengaruh nyata pada tingkat kebutuhan pelayanan limbah, misalnya Hunter Water Corporation dan ACT Electricity and Water di Australia. Efisiensi ekonomis pengelolaan air limbah dapat ditingkatkan melalui penjualan produk samping yang layak secara komersial. Daur ulang air (pemurnian efluen) biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan lapangan golf, pemelihara anggrek dan tukang kebun. Para pengguna menanggung biaya saluran pipa independen, peralatan pompa dan biaya pemeliharaannya. Efluen adalah bermutu tinggi tetapi hanya disuplai untuk penggunaan yang disetujui oleh Departemen Kesehatan, seperti pemakaian untuk keperluan industri dan pertanian. Yang sangat menarik adalah sistem biaya pengguna industri yang berkaitan dengan pembuangan melalui sistem selokan. Program limbah perdagangan di banyak Negarabagian Amerika dan Dewan Air Australia (Australian Water Boards) punya efek insentif yang menghasilkan penurunan jumlah bahan yang dibuang ke sistem pematusan limbah, dan ini dapat diharapkan meningkat seiring dengan kenaikan biayanya. Kesulitan dengan program tersebut telah dialami karena tidak cukupnya meter. Limbah padat yang dihasilkan oleh rumahtangga dan industri sebagian besar ditangani oleh otorita setempat, tetapi Pemerintah Negarabagian juga boleh melaksanakan beberapa fungsi tertentu, termasuk penetapan standar pembuangan dan biaya yang diterapkan. Biaya dan peraturan diatur sedemikian rupa untuk mengurangi timbunan bahan yang dihasilkan dan untuk mendorong daur ulang. Salah satu risiko biaya pengguna, terutama untuk limbah rumahtangga, adalah bahwa mereka dapat mendorong pembuangan limbah gelap dan merosotnya lingkungan. 4.3 Pajak lingkungan Ini terdiri dari pungutan khusus untuk mendanai program dan proyek perbaikan lingkungan. Sebuah contoh pajak semacam itu yang secara potensial efisien, tidak berkaitan dengan efek insentif, adalah pungutan yang dirancang sebagai langkah pendanaan modal garis depan. Contoh pungutan semacam itu adalah Pungutan Lingkungan Khusus yang diperkenalkan oleh Dewan Air Sydney (Sydney Water Board). Salah satu kesimpulan utama yang dapat ditarik adalah diperolehnya penerimaan publik atas skema tersebut, dananya harus digunakan dan terlihat digunakan untuk program perbaikan lingkungan.

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 6

Alternatif untuk pungutan lingkungan (yang dapat dibandingkan dengan pajak orang (poll tax) adalah sistem biaya pengguna atas pengolahan dan pembuangan efluen. Hal ini dapat diperdebatkan bahwa pendekatan pengguna membayar dapat memiliki efek insentif, sementara poll tax tidak. Salah satu kesulitan pendekatan pengguna membayar dalam konteks ini adalah bahwa penguna suatu lingkungan yang telah diperbaiki tidak sama seperti pengguna pelayanan pengolahan dan pembuangan efluen. Jika pendapatan dari biaya ditentukan untuk pembelanjaan bagi keperluan lingkungan, maka perlu dipastikan adanya sistem alokasi yang logis, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan dengan tujuan dan prioritas pendanaan yang jelas. Salah satu contohnya adalah biaya pengguna. Biaya perkiraan yang lebih mengikat dengan rabat harga bagi pencemar yang menunjukkan tingkat emisi yang senyatanya lebih rendah dapat berlaku sebagai sebuah contoh lain mengenai suatu program yang transparan yang membantu memudahkan terjadinya efek insentif biaya dan mengatasi masalah pemantauan dan pemberdayaan. Berdasarkan skema ini, pencemar didorong untuk memantau dan melaporkan emisinya sementara badan pelaksana mengawasi praktek pelaporan mandiri dengan melakukan inspeksi acak dan menerapkan hukuman keras terhadap laporan emisi palsu. 4.4 Ongkos ketidak-patuhan proporsional Ini terdiri dari pembayaran penalti yang dibebankan jika ambang batas maksimum pada efluen dilampaui. Untuk membentuk instrumen ekonomi, biaya semacam itu harus dihubungkan dengan tingkat dilampauinya ambang batas yang telah ditentukan. Biaya tersebut dapat diterapkan pada tingkat terlampauinya per unit yang sama (tingkat rata-rata konstan dan marjinal), atau dapat terdiri dari skala hitung geser (sliding scale) di mana biaya unit yang meningkat lebih besar adalah tingkat pelampauan (tingkat rata-rata dan marjinal yang meningkat). Penalti tetap, seperti denda ketidak-patuhan, tidak digolongkan sebagai instrumen ekonomi. 4.5 Biaya produk Ini dapat dibebankan pada masukan kegiatan ekonomi sebagai alat pengendalian dampak lingkungan yang buruk secara tidak langsung. Di sejumlah negara Eropa, misalnya, biaya dipungut atas bahan bakar menurut kandungan sulfurnya, sebagai insentif untuk menurunkan emisi sulfur oksida, sebagaimana ditunjukkan di atas dalam contoh Swedia. Pajak konsesi juga dibebankan pada minyak pelumas yang didaur-ulang untuk mendorong pelestarian sumberdaya dan pengurangan dampak lingkungan yang buruk. Manfaat biaya produk sebagai wali biaya pencemaran meliputi:

• keluwesan dalam menetapkan tujuan yang dapat digunakan untuk memberikan insentif, atau untuk meningkatkan pendapatan, atau untuk memenuhi kedua fungsi ini

• kemungkinan untuk mengendalikan sumber tersebar • kesederhanaan desain relatif dan kemudahan pelaksanaan • kemungkinan untuk menggunakan jalur administratif dan fiskal yang ada. Biaya produk layak apabila:

• produk digunakan dalam jumlah atau volume besar • produk dapat diidentifikasi dengan mudah

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 7

• produk substitusi tersedia dengan mudah • penggunaan produk bercirikan elastisitas permintaan yang tinggi • produk tidak mengandung racun tinggi • ada hubungan kuat antara penggunaan atau pembuangan produk dan jumlah

pencemaran. Biaya produk menjadi instrumen preferensi apabila:

• pencemaran terjadi pada tahap konsumsi atau pembuangan • jika pencemaran terjadi pada tahap fabrikasi/pembangkitan tenaga listrik, maka

pembuangan polutan sasaran bergantung pada karakteristik masukan ketimbang pada pengurangan atau teknologi proses.

Pajak yang berbeda telah diterapkan di Australia atas kertas daur ulang untuk mendorong penggunaan ulang kertas, menghemat suplai kayu dan mengurangi pembuangan limbah dan sampah. Kerugiannya terutama adalah bahwa pajak tersebut tidak dapat dihubungkan dengan kerusakan lingkungan di lokasi tertentu, dan juga dapat secara tak semestinya menambah beban biaya bagi produser yang efisien dan bukan pencemar. 4.6 Hak pencemaran yang dapat diperdagangkan Ini terdiri dari izin kuantitas dan/atau kualitas atas emisi dan/atau efluen. Mekanikanya relatif sederhana. Otorita pengendalian menentukan jumlah muatan yang ditanggung lingkungan untuk daerah aliran sungai, segmen sungai, badan air atau airshed tertentu dan mengeluarkan sejumlah hak pembuangan (izin atau pemberian hak). Hak ini kemudian dapat diperdagangkan di pasar, bergantung pada syarat khusus yang ditentukan oleh otorita pengendalian. Pada prinsipnya, hak pencemaran yang dapat diperdagangkan harus efektif dalam memenuhi tujuan lingkungan, karena toleransi lingkungan (atau seharusnya) dibangun menjadi desain sistem. Hak tersebut juga harus efisien secara ekonomis dengan cara yang mengantar pada perimbangan biaya pengurangan oleh semua pencemar yang berdagang di pasar. Berbagai ketentuan dapat dibuat oleh otorita pengendalian untuk mengetatkan total rintangan dengan cara menurunkan ijin kuota pada saat perdagangan terjadi, penyusutan yang seragam jumlah pencemaran pada jadwal waktu tertentu bagi seluruh pemilik hak, atau membeli kembali melalui pemerintah yang masuk pasar. Hak pencemaran yang dapat diperdagangkan memiliki berbagai manfaat dan keterbatasan. Manfaatnya yang utama adalah bahwa hak tersebut diubah menjadi aktiva modal yang dapat dibeli dan dijual oleh perusahaan, individu dan otorita pemerintah. Pada prinsipnya, kapasitas asimilatif lingkungan harus dialokasikan bagi penggunaannya yang bernilai paling tinggi. Prospeknya yang menarik adalah dimungkinnya kelompok rekreasionis dan kelompok kepentingan untuk memasuki pasar dan membeli hak-hak tersebut Hak yang dapat diperdagangkan dapat memiliki sejumlah keterbatasan praktis. Salah satu pertimbangan yang paling penting adalah apakah pasar dapat dibangun dan apakah akan terjadi perdagangan yang cukup untuk mencapai efisiensi perolehan. Terkadang hal ini dijelaskan sebagai ketipisan atau ketebalan pasar. Biaya pemeliharaan pasar dikenal sebagai biaya transaksi.

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 8

Sistem izin emisi sulfur dioksida yang dapat diperdagangkan berlaku di AS, di mana luwesnya peraturan langsung membuat pendekatan ini menjadi menarik. Hak pencemaran yang dapat diperdagangkan sedang dipertimbangkan di sejumlah Negarabagian di Australia, tetapi tidak ada contoh mengenai sistem tersebut dalam penggunaan yang sebenarnya. Satu-satunya contoh yang diketahui adalah sistem terbatas hak yang dapat diperdagangkan yang diperkenalkan Komisi Lembah Sungai Murray-Darling (Murray-Darling Basin Commission) pada tahun 1992. Satu-satunya peserta yang diijinkan dalam skema tersebut adalah Negarabagian New South Wales, Victoria dan Australia Selatan. Perdagangan diijinkan dalam hal kadar garam, yang diukur dalam unit EC (konduktivitas listrik). Dengan cara menginvestasikan modal yang bekerja untuk mengelola garam yang memasuki sistem sungai dan meningkatkan aliran sungai, kredit garam (salt credits) dapat dihasilkan. Kredit dapat diperdagangkan antar Negarabagian, tetapi biasanya diterapkan di masing-masing Negarabagian untuk memperimbangkan debit dari drainase yang memasuki sistem sungai. 4.7 Uang jaminan kinerja Uang jaminan digunakan sebagai instrumen ekonomi dalam sejumlah penerapan perlindungan lingkungan di negara maju. Mereka telah digunakan utamanya dalam industri pertambangan untuk mendorong terjadinya rehabilitasi lahan, kecuali aplikasi lainnya termasuk program pengurangan pencemaran dan program pengendalian efluen. Prinsip umum uang jaminan kinerja adalah bahwa instansi pemerintah yang mengawasi diberi jaminan dana yang cukup, dalam bentuk uang atau keamanan, untuk menutup biaya rehabilitasi bila terjadi kegagalan yang dilakukan oleh perusahaan bersangkutan. Salah satu kerugian uang jaminan kinerja potensial adalah bahwa uang jaminan tersebut tidak dapat memberi ganti rugi kerusakan lingkungan yang permanen. Dalam hal kerusakan permanen berskala besar mungkin terjadi, maka akan lebih efektif untuk mengandalkan peraturan langsung. Ada berbagai cara di mana pendanaan semacam itu dapat disediakan. Salah satunya adalah pemberian dana modal di depan. Namun, hal ini dapat sangat membebani posisi aliran uang perusahaan. Perusahaan dapat mengurangi tekanan pada modal kerja dengan cara mengambil pinjaman dengan lembaga keuangan, di mana biaya tahunan menjadi bunga pinjaman. Namun, persyaratan pokok uang jaminan kinerja (performance bond) adalah bahwa jaminan diberikan kepada pemerintah terhadap risiko kegagalan memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk melindungi lingkungan. Dengan demikian pengaturan tersebut telah mengembangkan semacam asuransi risiko, bagaimana jaminan rehabilitasi atau restorasi diperoleh melalui pembayaran premi risiko kepada bank, perusahaan asuransi atau lembaga keuangan lainnya. Uang jaminan kinerja telah diperkenalkan di AS dan Australia sebagai dorongan bagi perusahaan pertambangan untuk memulihkan kawasan tambang. Perpanjangan kontrak sewa pertambangan bergantung pada kondisi kepatuhan terhadap rehabilitasi bertahap sesuai rencana pembangunan tambang. Uang jaminan juga dapat diterapkan untuk menjamin program pengurangan pencemaran yang dinegosiasi dengan industri. Uang jaminan tersebut dinilai atas dasar amortisasi investasi modal. Uang jaminan kinerja dapat dikembangkan secara luas terhadap sumberdaya alam di mana rehabilitasi dan restorasi yang layak diperlukan; misalnya penebangan hutan milik umum oleh kontraktor swasta, kawasan taman nasional atau kawasan rekeasi yang disewa oleh

dhie5.0/SOPs 14/Economic Instruments 9

pengusaha swasta, dan lahan umum yang disewakan untuk kegiatan perumputan atau pertanian. 5.0 KESIMPULAN Instrumen ekonomi tidak mungkin berhasil kecuali jika ada: • situasi pasar kompetitif yang menuntut bisnis menerapkan tindakan ekonomi yang

kuat.

• pasar pengendalian lingkungan dan teknologi bersih yang berkembang dengan baik;

• stabilitas politik dan ekonomi umum untuk mendorong persaingan dan investasi jangka panjang; dan

• standar, peraturan dan pemberdayaan lingkungan yang jelas dan kuat oleh lembaga perlindungan lingkungan yang kompeten.

Perlu diperhatikan bahwa pengenalan instrumen ekonomi harus paralel dengan pengembangan keseluruhan kerangka kerja kebijakan lingkungan dan penguatan komitmen politik dan kemampuan kelembagaan.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 1

ENVIRONMENTAL STANDARDS METHODOLOGY

SOP ESM

15

PERAN SERTA MASYARAKAT 1.0 PENGANTAR Peran Serta Masyarakat secara utuh dan terbuka dalam rangka pembangunan Pemerintah di bidang legislatip, strategi, kebijakan, program dan perumusan acuan lingkungan kini sudah menjadi hal yang wajar di negara-negara maju. Dan telah terbukti hal ini bersifat hakiki dan bermanfaat. Hakiki karena hal itu merupakan dambaan dari masyarakat demokrasi yang dewasa, dan bermanfaat karena lazimnya hal itu mengarah kepada pengambilan keputusan yang lebih sempurna dan menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat, dan memberikan dampak pada hasil-hasil dan implementasi yang lebih handal. Informasi yang lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat dipaparkan dalam sub-bagian 6.2. Bagian B dalam Volume 2 dari ESM ini. Peran serta masyarakat yang handal kini diperlukan dalam sektor lingkungan Indonesia berdasarkan Pasal 5,7 dan 10 dari Undang-undang No 23 tahun 1997, berkaitan dengan Pengelolaan Lingkungan. Undang-undang ini mewajibkan Pemerintah untuk memberikan informasi lingkungan pada masyarakat dan tanggap pada pemikiran, kebutuhan, dan aspirasi masyarakat sehubungan dengan pengambilan keputusan. Dengan cara pemberian contoh, persyaratan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27/1999 berkaitan dengan Penilaian Dampak Lingkungan(EIA). Pasal 33 sampai 35 mewajibkan pemberian utuh dan terbuka mengenai informasi EIA bagi masyarakat, peran serta masyarakat yang langsung dalam proses EIA, dan distribusi masyarakat mengenai keputusan dan bahan yang terkait dengan keputusan-keputusan semacam itu. 2.0 SASARAN Sasaran dari SOP ini adalah untuk memberikan panduan bagi pelaksanaan peran serta masyarakat yang terpadu dalam membantu mereka yang terlibat dalam pelaksanaan ketentuan Pasal No 23 tahun 1997, khususnya mereka yang terlibat dalam perumusan atau penataan acuan-acuan lingkungan. 3.0 PERAN SERTA MASYARAKAT – TINJAUAN Peran serta masyarakat yang handal mencakup hal-hal berikut ini:

• Pengadaan dukungan informasi sehubungan dengan usulan atau hal yang dapat dipahami oleh masyarakat;

• Pengaturan pertukaran informasi dan gagasan sehubungan dengan usulan atau hal pokok antara masyarakat dan pendukung:

• Pengambilan keputusan oleh pendukung berkaitan dengan beragam pandangan yang disampaikan dan dalam konsultasi dengan masyarakat.

• Distribusi masyarakat oleh pendukung keputusan dan alasan selanjutnya, dan

• Sosialisasi dari keputusan dalam masyarakat yang lebih luas.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 2

Masyarakat, termasuk pemegang saham, dalam hal ini tiap orang atau organisasi yang berminat baik langsung ataupun tidak langsung dalam usulan atau hal pokok sesuai pertimbangan. Proponent (pendukung), dalam hal ini berarti organisasi atau pribadi, termasuk pemerintah, badan-badan atau departemen pemerintah, industri, dan institusi lainnya dan pribadi yang ingin untuk menentukan suatu usulan atau sesuatu hal pokok yang dapat berdampak penting bagi masyarakat. Contoh pengambilan keputusan mewajibkan peran serta masyarakat termasuk bagian legislatip pemerintah, pajak dan subsidi, harga yang meningkat untuk layanan umum, perencanaan strategi dan lingkup, program dan kebijakan, perumusan acuan lingkungan, proyek pengembangan; dan industri sektor swasta (atau pemerintah), bangunan kantor, pengembangan hotel dan pariwisata, kehutanan, pertanian, pengembangan sumber daya kelautan dan pesisir dan pertambangan. Disamping merupakan suatu target yang menggembirakan, peran serta masyarakat tidaklah selalu memberikan hasil yang menguntungkan. Acapkali ada suatu kebutuhan bagi golongan minoritas untuk secara mudah menerima bahwa keuntungan bagi mayoritas pada kenyataannya lebih banyak daripada dampak yang merugikan. Peran masyarakat yang handal akan menunjang pencapaian penerimaan yang mudah atau andaikata tidak, alasan pengambilan keputusan terbuka untuk semua untuk dapat memahami. 4.0 PERAN SERTA MASYARAKAT SECARA TERPERINCI 4.1 Latar Belakang Lima penggunaan yang jelas berkaitan dengan istilah peran serta masyarakat dapatlah diidentifikasikan dalam kesusasteraan, dengan luasnya pertambahan keterlibatan masyarakat:

• Suatu sarana untuk meyakinkan masyarakat tentang nilai dari keputusan yang telah diambil – yang lebih jujur dijabarkan sebagai pendidikan masyarakat;

• Suatu kegiatan yang diterapkan berdasarkan kebijakan dari pengambil keputusan; andaikata situasinya menjamin dan tersedianya sumber daya – yang lebih baik disebut dengan kontribusi masyarakat;

• Suatu kontribusi bagi manajemen proyek, dalam mana opini masyarakat yang diteliti pada tingkat-tingkat tertentu dari suatu proses- konsultasi masyarakat;

• Suatu metode tentang manajemen konflik di mana ada rangkaian tentang posisi yang bertentangan- sebagai dalam ulasan dan permintaan masyarakat; atau

• Suatu bagian yang tak terpisah dari proses pengambilan keputusan, dalam mana masyarakat terkait dianggap sebagai mitra dalam pengembangan, manajemen, dan pemantauan suatu keputusan- itu adalah , kemitraan masyarakat dalam proses yang utuh.

Ada sejumlah tatalaksana yang mencakup masyarakat, sebagai didaftarkan dibawah ini. Contoh dari hal-hal ini kemudian dijabarkan dengan lebih terperinci dalam SOP ini. • Tatalaksana formal:

- pengambilan suara - pusat informasi masyarakat yang ditunjang pemerintah - kelompok lobi - survei pendapat

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 3

- diskusi meja bundar - arbitrasi - koleksi data, misalnya pernyataan laporan lingkungan - grup penasehat perencanaan strategi - penyelesaian permasalahan - juri warga masyarakat - forum masyarakat terbuka, diiklankan secara luas - kampanye - permintaan masyarakat - organisasi penasehat wilayah - grup konsultasi Agenda 21 setempat

• Tatalaksana non formal:

- jaringan kerja, seperti halnya kontak empat mata - telekonperensi, lewat tilpon atau surat elektronik - wawancara informasi kunci - melalui cara telepon dan menulis - lokakarya visi dimana suatu wilayah masa depan yang ideal didisain - kelompok fokus - membuat gosip - rehat the dan makan siang - hotline - pusat kerukunan warga - acara khusus

4.2 Sasaran Sasaran dari peran serta masyarakat adalah untuk mengkesimbangkan persyaratan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Hal ini mencakup proses agar supaya konflik yang berpotensi dapatlah diarahkan kembali pada kemitraan yang bersifat membangun dan kerjasama, kepentingan setempat diperhatikan dan persyaratan kebijakan dicapai.

4.3 Penjabaran Ada empat komponen utama bagi peran serta masyarakat, yaitu:

• Pendidikan lingkungan atau ketentuan mengenai data lingkungan yang spesifik atau yang umum dan dapat dipahami secara mudah dan informasi bagi masyarakat, termasuk program pro aktif yang dilakukan oleh BAPEDAL, BAPEDALDA, institusi, sekolah, universitas, industri dan LSM lainnya.

• Konsultasi masyarakat atau pemanfaatan teknik konsultasi khusus untuk mendistribusikan informasi, untuk mendapatkan aspirasi dan pandangan dari pemegang saham dan masyarakat, dan untuk mulai memperhitungkan hasil yang diinginkan dari bangunan sebagai usulan atau hal pokok yang dipertimbangkan.

• Pengambilan keputusan atau perumusan satu kesimpulan dan penjabaran satu keputusan dan pelaksanaan peraturan bagi usulan atau hal pokok berdasarkan pertimbangan, dengan konsultasi yang dilakukan bersama pemegang saham dan masyarakat terkait, termauk di dalamnya alasan-alasan yang ada dan bagaimana keputusan itu dapat dimasyarakatkan.

• Pelaksanaan keputusan termasuk dalamnya sosialisasi, pelaksanaan pemantauan dan tinjauan hasil secara berkala.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 4

4.4 Tata Laksana Peran Serta Masyarakat Ada beragam teknik atau tata laksana yang dipakai untuk melaksanakan komponen-komponen ini dan contoh yang dijabarkan berikut ini dalam bagian SOP ini. Pemilihan dalam mana tata laksana digunakan yang komponennya tergantung pada keadaan lingkungan, mencakup seberapa luas usulan atau hal pokok yang dipertimbangkan, besarnya dampak sumber daya ekologi dan fisis, sosial, budaya dan ekonomi, dan beban opini masyarakat yang diantisipasikan, untuk dan terhadap, usulan atu hal pokok. 5.0 PENDIDIKAN LINGKUNGAN Titik awal dari suatu program peran serta masyarakat adalah menyediakan program pendidikan lingkungan masyarakat yang handal. Ini merupakan persyaratan yang berdasar bagi BAPEDAL dan LH karena pasal 10 dari Undang-Undang No. 23/1997, dan dikonfirmasikan oleh Menteri Lingkungan dalam presentasinya pada Komisi 8 DPR di bulan November 1999, pada saat Menteri menggarisbawahi ketiga prinsip utama untuk diterapkan oleh Menteri Lingkungan dan BAPEDAL dalam memberikan tanggung jawab mereka. Yang pertama - prinsip pemberdayaan masyarakat - dirancang untuk mengatur gerakan lingkungan yang telah berupaya selama bertahun-tahun untuk memperbaiki keadaan lingkungan Indonesia, bersama dengan media, untuk berperan secara lebih aktif dalam memantapkan masyarakat untuk bersama-sama mengelola lingkungan pada semua tingkat sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Yang kedua - prinsip integrasi dan koordinasi lintas sektoral - dirancang untuk bersama-sama dengan pemerintah menghasilkan, dalam sektor administrasinya dan masyarakat di semua tingkat untuk memberikan tanggapan yang terpadu sehubungan dengan degradasi lingkungan. Dalam hal ini, pengembangan dari suatu pendekatan yang sistematis bagi pengelolaan lingkungan mencakup beragam pihak atau pemegang saham, dan merupakan suatu dasar bagi tercapainya pengembangan yang berkesinambungan di Indonesia. Yang ketiga - prinsip kinerja manajemen untuk perbaikan yang berkesinambungan - dirancang bagi perbaikan yang berkesinambungan dan progresif dalam pengelolaan oleh Menteri Lingkungan dan BAPEDAL, dalam hal ini untuk diintegrasikan dengan tatanan organisasi baru dan persyaratan pengoperasian dari kedua badan. Pernyataan UNESCO tahun 1997 Pendidikan untuk Masa Depan yang berkesinambungan: Suatu visi yang lintas disipliner untuk tindakan yang disesuaikan dengan : telah disepakati secara luas bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling handal yang dimiliki masyarakat untuk menghadapi tantangan masa depan. Tak pelak lagi, pendidikan akan membentuk dunia masa depan. Perubahan iklim, kerugian keragaman hayati, perikanan yang mengalami kemunduran, pengosongan lapisan ozon dan perdagangan spesis yang berbahaya, hanyalah merupakan sebagian dari ancaman lingkungan utama yang berdampak pada suatu tanggapan kerjasama yang global. Pengakuan sejagad bahwa permasalahan ini merefleksikan suatu kebutuhan bagi suatu komitmen global untuk dikulminasikan secara berkesinambungan pada Pertemuan Puncak Bumi di Rio De Janeiro di tahun 1992, dimana 150 negara (termasuk Indonesia) mensepakati dokumen Agenda 21. Hal ini memberikan suatu kerangka kerja bagi strategi pengembangan yang berkesinambungan di semua tingkat.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 5

Agenda 21 tetap merupakan dasar dari kegiatan yang disepakati secara internasional bagi pengembangan yang berkesinambungan. Bab 36 dari Agenda 21 mengenai Promosi Pendidikan Kesadaran Masyarakat dan Pelatihan yang berfokus pada peran pendidikan dalam pengambilan keputusan mengenai lingkungan. Dalam hal ini para pemimpin Dunia menyatakan bahwa: pendidikan merupakan hal yang kritis bagi peningkatan pengembangan yang berkesinambungan dan kapasitas masyarakat untuk menyampaikan isu-isu pengembangan dan lingkungan. ....hal itu juga bersifat kritis bagi pencapaian kesadaran etis dan lingkungan, nilai dan sikap, ketrampilan dan sikap hidup yang sesuai dengan pengembangan yang berkesinambungan dan peran serta masyarakat yang handal dalam pengambilan keputusan. Hal ini dikonfirmasikan oleh penerbitan dari Strategi Nasional Indonesia bagi Pengembangan yang Berkesinambungan (Agenda 21) di bulan Maret tahun 1997.

5.1 Definisi Pendidikan dan lingkungan dijabarkan dalam SOP dalam pengertian luas mencakup:

• peningkatan kesadaran • mendapatkan perspektif, nilai, pengetahuan dan ketrampilan yang baru • proses formal dan informal yang berdampak pada perubahan perilaku dalam menunjang

suatu lingkungan yang berkesinambungan.

5.2 Prinsip Prinsip pendidikan lingkungan adalah: 1. Pendidikan lingkungan harus melibatkan semua orang Oleh karena sifatnya yang amat penting dan alamiah, pendidikan lingkungan tidaklah dapat dikaitkan dengan salah satu kelompok dalam masyarakat. Karena hal itu merupakan tanggung jawab dari semua individu - baik pemerintah, industri, media, institusi pendidikan, kelompok masyarakat - sampai pada tingkat individu itu sendiri. 2. Pendidikan lingkungan haruslah bersifat sepanjang waktu.

Informasi mengenai permasalahan lingkungan selalu diperbaharui, karena kita belajar dari kesalahan dan pengalaman di waktu lampau. Karena kami bertumbuh dan menerapkan teknologi lingkungan yang lebih sempurna, maka kemampuan masyarakat dan individu untuk menanggapi secara handal perlu juga ditingkatkan.

Sama halnya dengan belajar di tempat kerja dan pelatihan ulang untuk meneruskan produktivitas, hal yang sama juga berlaku untuk pendidikan lingkungan, baik yang bersifat formal atau non formal. 3. Pendidikan lingkungan haruslah bersifat terpadu dan terkait .

Dalam upaya untuk menghadapi tantangan lingkungan, kami membutuhkan masyarakat yang berwawasan luas dan memahami sistem, keterkaitan, pola dan alasan. Tantangan itu sendiri acapkali memiliki aspek ethis, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, dan sosial, dan kesemuanya itu haruslah ditinjau bagi manajemen yang handal. Pengetahuan disiplin yang mendasar dari seorang pakar, dalam memberikan kontribusinya, sudah tidak lagi memadai dengan sendirinya, karena itu apresiasi terpadu tentang konteks permasalahan lingkungan adalah sesuatu yang hakiki.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 6

Yang sama pentingnya adalah kebutuhan untuk menciptakan jalinan komunikasi yang baik dengan mitra kerja, atau belajar tentang hal-hal yang mirip dan berkaitan dengan lingkungan, namun yang berasal dari profesi atau latarbelakang disiplin yang berbeda. Tumpuan yang lebih baik bagi lingkungan dan kemitraaan juga dibutuhkan antara perumusan pendidikan formal dan non formal, dan diantara kelompok yang beragam dengan kepentingan yang bersaing pada isu lingkungan. 4. Pendidikan lingkungan haruslah bersifat praktis. Hal yang paling mendasar dalam menjabarkan karakteristik dari pendidikan lingkungan yang handal adalah bahwa hal itu harus diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang berdampak pada hasil lingkungan yang lebih baik, dan bukan hanya akumulasi ketrampilan yang tidak praktis atau pengetahuan. Hal ini merupakan patokan untuk mengukur kehandalan dari pendidikan lingkungan. 5. Pendidikan lingkungan haruslah selaras dengan tujuan ekonomi dan sosial. Pendidikan lingkungan yang handal haruslah menopang tercapainya suatu tujuan lingkungan yang selaras dengan tujuan-tujuan ekonomi dan sosial yang mantap - tidak boleh diajarkan dalam sesuatu batasan yang hampa, atau hanya untuk melengkapi masyarakat sesuai dengan agenda dalam batasan masyarakat. Pendidikan lingkungan perlu untuk merangkum kenyataan ini dengan memberikan informasi, pengetahuan, pemahaman dan kapasitas untuk mempengaruhi masyarakat utama sedemikian rupa yang memajukan sasaran lingkungan berbarengan dengan sasaran ekonomi dan sosial lainnya.

5.3 Kegiatan-kegiatan Kegiatan-kegiatan lingkungan haruslah ditangani oleh BAPEDAL, BAPEDALDA, institusi lainnya, institusi pendidikan, industri, media, dan LSM. Pusat Informasi Lingkungan yang baru dikembangkan oleh BAPEDAL di Pekanbaru, Denpasar, Makasar dan Jakarta, memberikan suatu sumber daya inti bagi pengembangan kegiatan informasi dan pendidikan lingkungan terkini dari BAPEDEAL, dan telah dirancang untuk tujuan ini. Kegiatan-kegiatannya harus mencakup: (a) Menjamin adanya pemahaman dan komitmen bagi pendidikan lingkungan, dan

pengadaan pendanaan dan sumber-sumber daya lainnya di BAPEDAL/LH dan institusi lainnya, organisasi, kantor swasta dan LSM dengan suatu tanggung jawab atau kepentingan dalam meneruskan pendidikan lingkungan kepada masyarakat.

(b) Persiapan dan distribusi data yang dapat dipahami dan informasi mengenai sistem lingkungan dan sumber daya yaitu, daerah rawa, udara, tanaman, ekosistem dan binatang; baik pada tingkat lokal, nasional dan global, termasuk dalamnya persiapan-persiapan institusi dan program manajemen.

(c) Persiapan dan pendistribusian yang dapat dipahami dan informasi mengenai demografi, sosial dan sumber-sumber ekonomi, termasuk di dalamnya dampaknya yang berkaitan dengan sumber daya-sumber daya yang termasuk dalam (b) dia atas, dan persiapan-persiapan institusi dan program untuk dampak manajemen ini.

(d) Penerapan pendidikan dasar bagi masyarakat baik yang disponsori oleh pemerintah maupun swasta beserta pelatihan-pelatihan dan kegiatan-kegiatan pencapaian lainnya

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 7

untuk membantu masyarakat agar dapat dengan mudah memahami hal-hal yang dipaparkan dalam bagian (b) dan (c) termaktub di atas.

(e) Integrasi dari hal-hal pokok yang tercakup oleh (b) dan (c) di atas dalam kurikulum sekolah dan universitas.

(f) Pelaksanaan periklanan masyarakat secara khusus dan kampanye-kampanye lainnya dan pameran-pameran untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat.

5.4 Pengetahuan Bidang-bidang pengetahuan yang tercakup dalam pendidikan lingkungan adalah sebagai berikut:

• planet bumi sebagai suatu sistem yang terbatas. • sumber daya bumi, khususnya udara, tanah, air, mineral, pendistribusiannya dan perannya

dalam mendukung mahluk hidup. • sifat alamiah dari ekosistem, kesehatan dan kemandiriannya dalam lingkup hayati. • ketergantungan manusia akan sumber daya lingkungan bagi kehidupan dan

kesinambungannya. • hubungan yang berkesinambungan dengan lingkungan. • implikasi dari distribusi sumber daya dalam menentukan sifat dari masyarakat beserta

tingkat dan kaidah pengembangan ekonomi. • peran dan nilai Iptek dalam pengembangan masyarakat dan dampak teknologi pada

lingkungan. • keterkaitan di bidang politik, ekonomi, lingkungan dan masalah sosial terkini, dan proses

perencanaan, penetapan kebijakan dan penerapan untuk menanggulangi permasalahan. • dampak dari kemajuan ekonomi dan manusia pada lingkungan alam dan yang dibuat. • penilaian teknologi dan lainnya untuk meminimumkan atau mengelola dampaknya. • pelestarian sumber-sumber daya dan cara produksi yang lebih bersih. • pengendalian, dan penyelidikan yang sesuai dengan hukum, kebijakan dan program,

termasuk di dalamnya sarana-sarana ekonomi dan partisipasi yang bersifat sukarela. 5.5 Ketrampilan Ketrampilan yang dibutuhkan untuk meneruskan pendidikan lingkungan yang handal mencakup:

• penjabaran dan penerangan mengenai konsep-konsep yang fundamental misalnya lingkungan, sistem ekologi, masyarakat, teknologi dan pengembangan dan kemampuan untuk dapat menerapkannya pada situasi yang khusus dengan memanfaatkan serangkaian cara-cara dan sumber-sumber daya yang terkait.

• analisa permasalahan dan pengkajiannya dan penyelidikan yang berkait dengan pertanyaan.

• penilaian dan evaluasi atas opini yang berbeda. • pengembangan hipotesa berdasarkan informasi yang akurat dan seimbang, keterpaduan

dalam sintesa yang penuh perhatian pengkajian yang kritis, pengujian informasi baru dan kepercayaan pribadi, eksplorasi dan pengalaman terhadap hipotesa-hipotesa ini.

• Komunikasi mengenai informasi dan opini secara handal. • pengembangan kemitraan dan hal-hal yang bersifat mendasar untuk tindakan-tindakan

yang berkaitan dengan konsensus dan kerjasama. • pengembangan strategi untuk kegiatan, termasuk penempatan sumber daya yang sesuai

dan sarana untuk pelaksanaannya.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 8

6.0 KONSULTASI MASYARAKAT

Bagian 4.1 memuat serangkaian tata laksana konsultasi masyarakat baik yang bersifat formal maupun informal. Bagian ini menjabarkan hal-hal tersebut secara terperinci sebagai panduan bagi staf yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan, termasuk dalamnya perumusan dan perbaikan acuan-acuan lingkungan (ESs). Tata laksana yang tidak termasuk dapat diterapkan dengan memanfaatkan cara-cara yang bersamaan dengan yang telah dijelaskan sebelumnya.

6.1 Forum Masyarakat

Ini merupakan pertemuan diskusi masyarakat yang teratur dan dilakukan oleh seorang pendukung yang melibatkan wakil-wakil dari pemegang saham dan masyarakat dengan suatu kepentingan dalam usulan atau hal-hal pokok berdasarkan pertimbangan. Bilamana diorganisasikan secara tepat, maka forum ini dapat berhasil luar biasa.

Tujuan dan peran serta haruslah dijabarkan sejak awal dan didiskusikan pada pertemuan pertama, dimana para peserta diberikan peluang untuk memberikan pendapat mereka dan kesepakatan sehubungan dengan pelaksanaan tata laksana forum. Yaitu bahwa forum ini bukannya untuk pribadi peserta tetapi lebih banyak pada pengejawantahan pola pemikiran operasionil yang kemudian dikembangkan dan disepakati bersama.

Program forum harus dimulai dengan penyajian sasaran-sasaran pendukung disampaikan dengan data latar belakang yang terkait dan informasi mengenai pilihan. Rancangan atau usulan terakhir tidak diperkenankan untuk dikembangkan atau disajikan pada saat itu, agar konsultasi masyarakat yang berarti dapat timbul dan prosesnya bukannya semata-mata merupakan pengoperasian pemasaran.

Para pemegang saham dan masyarakat haruslah diundang untuk menyampaikan keinginan, kebutuhan dan aspirasi mereka dalam bidang dan sasaran sebagaimana yang disampaikan oleh pendukung. Hal ini haruslah dicatat dalam distribusi masyarakat bersamaan dengan ringkasan tatalaksana.

Hal-hal berikut ini haruslah disediakan sehubungan dengan pelaksanaan forum masyarakat:

• melakukan forum pada tahap awal suatu proses • ada keseimbangan yang merata antara para pendukung dan para peserta sehubungan

dengan bagaimana forum itu dibentuk, dilaksanakan dan dilaporkan. • penggunaan tempat yang netral yang sudah tidak asing lagi bagi para peserta. • para peserta dipilih dari mereka yang adalah pemegang saham dan masyarakat, dan bukan

pendukung. • mengundang seorang fasilitator netral untuk melaksanakan forum ini. • diperlukan seorang teknisi yang bersifat netral dalam memberikan arahannya secara

langsung bagi para peserta dalam tahap proses. • melakukan keseimbangan antara bagian-bagian utama diskusi dan perjanjian, yang

disampaikan untuk masyarakat umum. • walau para peserta tidak dipungut biaya, namun makanan ringan haruslah disediakan pada

pertemuan forum.

Pertemuan-pertemuan forum secara berkala selama kurun waktu pengembangan dari usulan, dengan pertemuan-pertemuan pada masing-masing tahap pengembangan, termasuk keputusan akhir untuk melakukan kegiatan tahap.

6.2. Pertemuan Masyarakat

Pertemuan masyarakat terbuka akan dapat berfungsi untuk belajar mengenai aspirasi dan frustrasi orang lain namun kadang-kadang dapat juga menghasilkan sesuatu yang bersifat

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 9

individu dan dominan, apapun alasannya, hanyalah untuk menginginkan waktu yang paling banyak dan melupakan hasil. Hal-hal ini biasanya tidak direkomendasikan untuk dibantu oleh pendukung, namun kadang-kadang ada alternatif lain yang dapat dipikirkan. Lebih sering mereka dibantu oleh masyarakat dan, dalam hal semacam itu, pendukung atau para wakil harus hadir untuk memberikan informasi dan menjawab pertanyaan. Bilamana terdapat hal-hal yang berlawanan adalah penting agar pendukung dan/atau para wakil bersikap sabar, bertindak sebagai pendengar yang baik, menjawab dengan sopan semua pertanyaan-pertanyaan yang masuk akal, dan tidak terhanyut dalam emosi andaikata hal itu terjadi.

6.3 Pusat informasi Pusat Informasi Masyarakat seperti Pusat Informasi Masyarakat BAPEDAL yang baru di Pekanbaru, Denpasar, Makasar dan Jakarta dapatlah bertugas sebagai suatu fokus bagi konsultasi masyarakat pada rangkaian hal-hal yang bersifat lingkungan. Hal ini diakibatkan karena mereka melayani msyarakat sebagai sumber informasi, mereka mengoperasikan kegiatan pencapaian melalui pameran-pameran bergerak dan mereka memiliki kemudahan untuk menarik masyarakat atau pertemuan-pertemuan yang didanai oleh pendukung untuk saling tukar menukar informrasi dan mengembangkan gagasan mengenai kebutuhan, aspirasi dan usulan. Pusat informasi dapat juga bertugas sebagai sesuatu hal yang memudahkan untuk dilaksanakannya survei masyarakat, data yang dirancang dan informasi terkini mengenai isu-isu lokal, daerah dan pusat beserta usulan-usulan. Pameran bergerak adalah khususnya berharga karena dapat dimanfaatkan untuk bepergian di seluruh daerah yang penting yang melayani lokasi yang berbeda untuk masyarakat kelas bawah dan melakukan kegiatan konsultasi. Sehubungan dengan hal ini, kadang-kadang mereka harus dipinjamkan ke kelompok masyarakat untuk melakukan kegiatan konsultasi. 6.4 Survei opini masyarakat Survei opini masyarakat dapatlah dilaksanakan untuk merangkum data prioritas masyarakat untuk lingkungan dan lainnya. Suatu survei yang dirancang dengan baik mengenai contoh suatu wakil dari masyarakat memberikan hasil-hasil yang dapat dintepretasikan dengan mudah. Suatu pengambilan contoh secara acak akan memberikan hasil yang tidak berpengaruh dengan memberikan tingkat jawaban yang tinggi. Perhatian haruslah diberikan pada saat melakukan pertanyaan-pertanyaan dalam survei opini masyarakat untuk mencegah terjadinya distorsi. Suatu survei yang dirancang dengan baik dapat menilai pengetahuan, sikap, pendapat, gaya hidup dan nilai-nilai. Suatu survei yang sederhana dapat memprioritaskan kepentingan lingkungan masyarakat, atau hal-hal yang semacam ini lebih daripada yang bersifat umum. Hal ini dapatlah dengan sederhana ditanyakan pada para responden untuk memberikan urutan nomor sehubungan dengan apa yang dilakukan pemerintah, misalnya Puskesmas, udara yang tercemar, air yang tercemar, limbah yang padat, atau memilih serangkaian prioritas dari daftar lebih panjang. Survei semacam itu amat berguna untuk BAPEDAL dan BAPEDALDA dalam menentukan prioritas untuk merumuskan atau memperbaiki acuan-acuan lingkungan berdasarkan ESM ini.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 10

Para peserta dapat dipilih secara acak berdasarkan jalan dan nomor rumah, buku petunjuk telepon atau berdasarkan wilayah pedesaan. Jawaban-jawaban yang terkumpul dapatlah dipadukan pada tingkat pedesaan dan dikumpulkan untuk jumlah keseluruhan di tingkat kabupaten, kemudian menyusul tingkat propinsi berdasarkan jaringan kerja pemerintah, atau lainnya misalnya, PKK atau Pramuka. Pemeriksaan keamanan haruslah dimasukkan untuk mengesahkan hasil yang dicapai. Contoh-contoh yang mengalami kerusakan harus dilakukan pengulangan kembali sebelum dilakukan pengesahan dengan keputusan akhir. Hal yang perlu dipikirkan dengan menerapkan survei ini adalah bahwa jawaban yang didapat cenderung untuk didasarkan pada tingkat yang amat terbatas mengenai informasi dan pertimbangan. Adalah lazim untuk memasukkan satu atau dua halaman pada informasi di angket, para responden yang diproses melalui informasi ini kadang-kadang kesannya tampak tergesa-gesa. Para responden memiliki sedikit upaya untuk mencari tahu informasi yang lebih lanjut sehingga dapat memberikan suatu pengertian yang lebih sempurna, dan tidak diwajibkan untuk membicarakan pendapat mereka dengan orang lain. Secara konsekuen, adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan bila mereka dapat memahami apa yang disebut dengan pandangan yang dinginkan. Kritik ini diberikan oleh pendekatan juri warga masyarakat bagi masyarakat yang menjadi peserta yang dibahas di bagian 7.2 di bawah ini. 6.5 Dokumen diskusi Adalah sesuatu yang menolong untuk menghasilkan suatu dokumen diskusi masyarakat sehubungan dengan suatu usulan atau hal pokok untuk menjamin informasi yang terkait yang tersedia bagi masyarakat dalam bentuk formulir yang dapat dipahami. Dokumen diskusi haruslah mencakup data dan informasi latar belakang terkait, suatu deskripsi yang sederhana tentang tujuan, sasaran dan pilihan yang tersedia yang berkaitan dengan hal pokok; dan nasehat mengenai kesejahteraan dan biaya pilihan, bila memungkinkan dengan suatu pilihan yang diinginkan dan alasannya. Dokumen diskusi dapatlah berfungsi sebagai dasar peran serta di forum masyarakat atau penyelidikan masyarakat atau dapat juga mencakup suatu undangan untuk jawaban tertulis. Untuk meningkatkan kehandalan dokumen diskusi, ketentuan haruslah dibuat bagi presentasi lisan setempat sehubungan dengan penggunaan teknik berkomunikasi yang ada kaitannya dengan target peserta. Hal ini dapat dilakukan lewat video atau tayangan wayang kulit yang dirancang khusus dengan menampilkan tokoh utama di dokumen, atau pemimpin budaya setempat untuk tercapainya tujuan yang sama. 6.6 Kelompok konsultasi setempat Suatu hal yang bersifat lokal atau suatu usulan yang penting, misalnya usulan yang berkaitan dengan kehutanan atau pertambangan baru, dapat menjamin dilakukannya konsultasi representatif setempat atau kelompok penasehat, bilamana di tempat tidak ada. Perhatian harus diberikan untuk menjamin keseimbangan antara pemegang saham, masyarakat dan wakil pendukung. Tujuannnya adalah agar sejumlah permasalahan dapatlah diatasi dalam kelompok sebagai bagian dari pengoperasiannya, dan kemungkinan kecil untuk diatasi oleh pengambil keputusan.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 11

Amatlah membantu bilamana kelompok-kelompok tersebut diberikan suatu penasehat teknik yang netral untuk mengkaji materi yang diberikan, menjelaskannya pada peserta lokal dan merekomendasikan mereka atas tanggapan yang sesuai dari perspektif mereka. Penasehat haruslah didanai oleh pendukung, namun ia dipilih dan dikendalikan oleh peserta yang berkepentingan dan masyarakat. 6.7 Media Kadang-kadang media dapat digunakan baik dibayar atau tidak untuk mendistribusikan informasi dan jawaban-jawaban yang didapat. Misalnya, suatu pertanyaan yang didistribusikan di suatu koran lokal, didukung oleh beberapa artikel yang menjelaskan. Yang lainnya dapatlah berbentuk informasi lewat sarana televisi atau siaran radio dan dilakukan lewat telepon atau surat menyurat dalam survei. Hasil-hasil survei dapatlah simpang siur, namun perlu untuk disahkan oleh beberapa survei contoh yang sebanding. Bagaimanapun juga, nilai peran serta media dalam pengembangan opini masyarakat haruslah diatur bilamana memungkinkan. 7.0 PENGAMBILAN KEPUTUSAN Proses pengambilan keputusan tidaklah diperkenankan untuk dilaksanakan secara tersendiri kecuali hal-hal tersebut yang terlibat benar-benar jelas dengan sedikit atau tanpa implikasi untuk masyarakat termasuk pemegang saham. Pilihan keputusan rancangan dapatlah diulas dan ditanggapi melalui satu atau dua tata laksana konsultasi yang tersebut di atas, misalnya suatu forum masyarakat atau kelompok konsultasi lokal. Hal-hal yang lebih rumit akan membutuhkan pendistribusian dokumen diskusi berdasarkan pilihan keuntungan dan kerugian bagi tanggapan masyarakat, atau dengan menggunakan salah satu tata laksana yang tersebut di bawah ini. 7.1 Penyelesaian sengketa Penyelesaian sengketa dapat digunakan sebagai suatu sarana dalam mengatasi ketidaksesuaian. Hal itu dijabarkan sebagai berikut: Suatu tatanan proses yang dipilih oleh pihak-pihak sebagai sarana untuk mencapai perjanjian resolusi atas ketidak-sesuaian mereka. Adalah berdasarkan prinsip sukarela yang utuh, tanpa proses praduga. Setiap pihak bebas untuk meninggalkan negosiasi pada tahap apapun. Penghubung, untuk hal ini, tidak memutuskan apapun sehubungan dengan ketidaksesuaian yang terjadi pada pihak-pihak atau menentukan apapun pada pihak-pihak. Sebagai bagian dari dinamika individu yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa yang telah diatur adalah merupakan suatu prospek kepuasan yang dicapai secara signifikan sesuai dengan resolusi dari ketidaksesuaian ini yang telah disepakati. Penyelesaian sengketa dapat meningkatkan proses peran serta masyarakat dengan meningkatkan tingkat ke arah mana masyarakat dapat dilibatkan dalam mengambil keputusan yang juga berdampak pada mereka dan memberikan peluang untuk mendapatkan solusi yang paling memuaskan. Melalui penyelesaian sengketa ini, maka hak untuk dapat didengar secara efektif ditingkatkan pada peluang untuk dapat diperhatikan. Aspek-aspek yang penting untuk hal ini adalah dengan melibatkan pihak-pihak terkait secara awal, untuk menjamin dan memungkinkan perhatian mereka untuk dapat dijawantahkan secara adil dan untuk membantu kegiatan interaksi mereka.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 12

Penyelesaian sengketa kadang-kadang dicirikan dengan sesuatu yang penting yang melibatkan kompromi, dengan solusi dalam mana masing-masing pihak beranjak tanpa adanya sesuatu gabungan antara kalah dan menang. Sedangkan ada banyak kegiatan dimana konsensus bersama adalah sesuai untuk mengatasi sengketa, melakukan kompromi dapat berdampak yang sama dengan pendekatan yang bertentangan yang menyulitkan dalam pencaharian pilihan lain dan menghasilkan hasil yang tidak memuaskan bagi semua pihak. Penyelesaian dengan cara damai bukanlah pendekatan yang dipakai oleh sebagian besar penyelesaian sengketa, sehubungan dengan persepsi pemegang saham bahwa hal tertentu tentang prinsip dapatlah ditinggalkan. Sebaliknya, tujuannya adalah memenuhi kebutuhan psikologi dan yang nyata sebanyak mungkin sehubungan dengan proses dan hasil. Keuntungan dari pendekatan ini adalah solusi yang lebih baik untuk diselidiki, hubungan antara komitment masyarakat dengan tugas pengambilan keputusan cenderung untuk naik sesuai dengan tingkat dimana mereka telah mengkontribusikan proses keputusan. Dilain pihak, keputusan yang dibuat melalui proses pertentangan, dengan pihak yang mempertahankan kemantapan posisi, dapatlah memberikan solusi bagi sengketa yang spesifik untuk waktu yang singkat, namun yang tidak mungkin untuk memberikan jawaban yang baik yang diinginkan sehubungan dengan pelestarian dan manajemen sumber daya. Setidak-tidaknya beberapa pihak akan mengetahui bahwa suatu solusi telah dibebankan kepada semua pihak. Penyelesaian sengketa, berdasarkan sifatnya dan dampaknya, lebih cenderung untuk solusi jangka panjang, yang menggunakan strategi untuk mencapai tujuan utama dari pihak-pihak tanpa melakukan kompromi dengan prinsip mereka. Suatu kerangka kerja yang baik bagi keputusan kebijakan dengan mana semua pihak yang berkepentingan dapat berfungsi, adalah lebih efisien daripada suatu iklim yang tidak menentu dan posisi yang dipolarisasikan yang hanya dapat dipakai untuk pertikaian yang timbul kembali. Pemanfaatan penyelesaian sengketa mencakup penyusunan dan dimungkinkannya suatu lingkungan yang dapat mengatasi permasalahan dan yang konstruktif bagi pemegang saham. Penyelesaian sengketa yang biasanya dianggap netral oleh semua peserta, tetap menggunakan peraturan dasar sampai tercapainya suatu resolusi. Penyelesaian sengketa bertanggung jawab untuk memberikan laporannya sehubungan dengan hasil-hasil bagi pengambil keputusan, hal ini mencakup isu-isu yang diatasi dengan alasan, dan yang masih harus diatasi termasuk pandangan-pandangan yang bersaing. 7.2 Dewan Juri warga masyarakat Para juri warga masyarakat yang diterapkan di Amerika Serikat dan Jerman di awal tahun 1970-an, dijabarkan sebagai berikut: Para juri warga masyarakat terlibat dalam masyarakat dalam kapasitasnya sebagai warga negara biasa tanpa ada kepentingan khusus atau pandangan pada hal-hal yang diamati. Mereka biasanya diatur oleh suatu organisasi yang memiliki pengaruh untuk bertindak atas rekomendasi mereka. Sekitar 12 sampai 16 juri direkrut, berdasarkan pengambilan sample yang acak, agar dapat secara luas menjadi wakil dari masyarakat. Tujuan mereka adalah untuk memenuhi suatu pertanyaan yang penting tentang kebijakan atau perencanaan. Mereka dikumpulkan bersama untuk beberapa hari, dengan tim yang terdiri dari dua moderator. Mereka telah diperlengkapi dengan latar belakang pertanyaan melalui informasi tertulis dan bukti para saksi. Para juri menyeleksi informasi, memeriksa ulang dengan para saksi dan mendiskusikan aspek yang berbeda dalam kelompok kecil dan masa sidang. Kesimpulan

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 13

mereka disusun dalam suatu laporan yang dikembalikan pada para juri untuk memberikan persetujuan sebelum diserahkan kepada dewan wewenang. Keputusan juri tidak harus dicapai dalam suara bulat, atau dijilid untuk memberikan respon dalam satu kurun waktu baik untuk menerapkan rekomendasinya atau untuk menjelaskan mengapa tidak. Dibandingkan dengan cara-cara lain, para juri warga masyarakat menyajikan suatu rangkuman informasi yang unik, ketat waktu, berdasarkan asas mufakat dan mandiri. Keuntungan utama yang berpotensi dari para juri warga masyarakat dalam kaitannya dengan bentuk lainnya yang lazim mengenai penilaian nilai lingkungan adalah lebih diinformasikan, dimufakati dan didiskusikan secara nyata. Hal ini juga cenderung untuk dikaitkan dengan suatu pengurangan dalam sikap memihak misalnya dalam hal memberikan jawaban ya dan jawaban yang memakai simbol yang telah lazim dalam angket. Para juri warga masyarakat lebih akurat dalam menanggapi dimensi sosial dari perumusan yang lebih disukai daripada pendekatan lainnya yang memfokuskan untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan individu yang terisolasi. Penekanan terletak pada konstruksi dibanding dengan keterkaitan dari apa yang diinginkan. Kerugian yang amat berpotensi adalah cara-cara yang digunakan para juri warga kota ini yang merupakan sample yang kurang berpotensi dan yang lebih kecil dan kurang terwakili yang dimiliki warga masyarakat yang cenderung bersikap oportunis. Hal ini meningkatkan jumlah hal-hal yang menarik. Misalnya perbandingan dapat diambil berdasarkan sistem peradilan kriminal yang berlaku, sedangkan para juri biasanya menghadapi keputusan dengan implikasi penting yang berpotensi untuk kesejahteraan sosial. Di pihak lain, keputusan yang dibuat oleh para juri hanyalah menghilangkan permasalahan, beberapa pengamat menginginkan agar keputusan yang diambil dibuat berdasarkan survei masyarakat yang sederhana. Keputusan yang didasarkan pada keinginan masyarakat untuk membayar tampaknya belum populer secara merata. Ada beberapa cara untuk menyatakan kerugian penggunaan sample kecil dari para juri warga masyarakat. Yang pertama adalah menyediakan kepada para juri informasi pandangan masyarakat yang lebih luas. Yang lainnya adalah untuk menjalankan tugas-tugas juri yang mandiri dan berfungsi ganda dan untuk menilai persamaan dari penemuan-penemuan itu. Dalam beberapa hal, adalah mungkin untuk meningkatkan ukuran sample sampai panel warga masyarakat sudah sesuai untuk terwakili dalam populasi terkait. Perhatian juga dibutuhkan pada saat melakukan penyeleksian juri warga kota untuk menjamin bahwa juri adalah dapat terwakili sepraktis mungkin, menyangkut jumlah juri yang terlibat. 7.3 Penyelidikan masyarakat. Penyelidikan masyarakat biasanya digunakan bila hal-hal yang mencakup pengambilan keputusan adalah sesuatu yang bersifat rumit dan implikasi dari keputusan adalah jauh dari pencapaian. Lazimnya didasarkan secara legal, namun dapat juga secara formal sebagaimana dalam tatalaksana Pengadilan atau secara tidak formal sebagaimana dalam dengar pendapat administrasi. Tujuan dari penyelidikan masyarakat adalah untuk menjamin bahwa semua fakta terkait dan pendapat tersedia bagi pengambil keputusan, dan bahwa setiap insan yang berminat pada hal

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 14

tersebut telah memperoleh peluang untuk menyampaikan pandangannya dan alasan (melalui penyelidikan) yang disampaikan kepada pengambil keputusan untuk dipertimbangkan. Penyelidikan masyarakat haruslah dibuat berdasarkan keputusan Menteri yang mencakup pengangkatan Komisaris (orang yang ditunjuk untuk menerapkan penyelidikan) dan kerangka acuan dari penyelidikan (TOR). Dapat diangkat lebih dari satu komisaris, misalnya yang pertama adalah orang yang berlatar belakang hukum, dan yang kedua berlatar belakang teknis dengan ketrampilan pada hal yang menyangkut penyelidikan. Persyaratan dalam pengangkatan juga harus mencakup persyaratan dari pemberian gaji, kurun waktu pemberian laporan oleh Komisaris, dan tatalaksana yang harus diterapkan dalam melakukan penyelidikan masyarakat yang mencakup staf pendukung dan sumber daya lainnya yang tersedia bagi Komisaris. Segera setelah pengangkatan Komisaris tersebut, maka Komisaris itu haruslah memberikan pengumumannnya kepada masyarakat melalui sarana yang wajar tentang keberadaan dari penyelidikan, TORnya dan ringkasan dari usulan programnya. Komisaris haruslah taat pada persyaratan pengangkatan dan TOR dalam menerapkan kegiatan penyelidikan dan tidak terpengaruh oleh tekanan-tekanan dari luar, selain yang telah ditentukan oleh Menteri untuk melakukan perubahan. Komisaris dapat melakukan perkenalan riwayat hidup atau menyiapkan dokumen diskusi dan dibagikan untuk dipertimbangkan oleh masyarakat sebelum dimulainya kegiatan dengar pendapat. Dengar pendapat yang diterapkan oleh Komisaris harus terbuka untuk umum, kecuali ada kebijakan lain yang diterapkan oleh Komisaris. Dengar pendapat sebaiknya dilakukan ditempat yang berkaitan dengan topik dan dapat dilakukan penyelidikan ditempat. Komisaris dapat mengundang khalayak ramai melalui iklan untuk hadir dan memberikan masukan secara tertulis atau lisan bagi Komisaris. Masukan tertulis yang diterima haruslah dapat dipublikasikan pada umum untuk didengar pendapatnya. Komisaris mempunyai wewenang untuk mewajibkan para saksi untuk hadir pada saat penyelidikan dan menjawab pertanyaan yang diajukan. Bila tidak hadir, maka akan diberikan sangsi yang berat. Mereka yang memberikan masukannya haruslah benar-benar bertanggungjawab untuk keabsahannya (penting untuk tatalaksana pengadilan). Komisaris diwajibkan untuk mempertimbangkan semua bukti dan menyajikan sebuah laporan pada Menteri termasuk semua penemuan, rekomendasi dan alasan. Minister akan mencetak laporan Komisaris untuk dapat dipertimbangkan oleh masyarakat sebelum menentukan akan hal tersebut. Suatu skema yang memaparkan proses penyelidikan masyarakat dapat dilihat di Gambar 7.1.

dhie5.0/SOP 15/Public Participation 15

PEMBAHASAN ATAS USULAN PENYELIDIKAN Menteri membahas dengan para Menteri lain, kelompok-kelompok industri dan lingkungan

mengenai hal pokok dan apakah perlu untuk diterapkan penyelidikan masyarakat.

Keputusan Menteri untuk bertindak

RANCANGAN KERANGKA ACUAN Menteri bersidang dengan para pihak yang berminat untuk memberi masukannya bagi penyusunan rancangan Kerangka Acuan, saran untuk tata waktu dan memberikan saran

yang memungkinkan bagi Komisaris untuk mempertimbangkan keputusan Menteri.

PENGANGKATAN DAN DIRESMIKANNYA KERANGKA ACUAN Menteri menentukan dan meresmikan dikeluarkannya Kerangka Acuan untuk Penyelidikan

Masyarakat

LINGKUP Komisaris/para komisaris menjabarkan lingkup penyelidikan: hal yang diproritaskan,

kebutuhan riset, tatalaksana penyelidikan, pengenalan dan keterlibatan pihak-pihak terkait, kriteria pendanaan dan pengumuman kepada khalayak ramai tentang Penyelidikan dan

TOR.

LATARBELAKANG INFORMASI

Para Komisaris menyiapkan dokumen yang berkaitan dengan latarbelakang dan lingkup penyelidikan

PROSES PENYELIDIKAN

Komisaris mempublikasikan Penyelidikan dan mengharapkan masukan.

Komisaris menerima dan mengulas masukan

Komisaris menerapkan dengar pendapat dengan masyarakat

Komisaris memeriksa bukti dan menyiapkan dan menyampaikan laporan

untuk Menteri

KEPUTUSAN MENTERI Menteri menentukan hal pokok setelah berkonsultasi sebagaimana yang ditentukan oleh

Menteri (hal ini dapat mencakup penyampaian laporan untuk mengundang tanggapan masyarakat)

PEMBERITAHUAN TENTANG KEPUTUSAN

Menteri mengumumkan tentang keputusan dan alasannya

GAMBAR 7.1: PROSES PERMINTAAN UMUM