Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

9
Banjir Jakarta dan Inefektifitas Tata Ruang di Indonesia BY JEHANSIREGAR ON FEBRUARY 3, 2014 M. Jehansyah Siregar, Ph.D. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB. Email jehansiregar(at)yahoo.com. Banjir yang setiap tahun terjadi di Jakarta salah satunya disebabkan perubahan morfologi kota yang terakumulasi dalam kurun waktu yang lama sekali. Di banyak lokasi, lahan-lahan basah berupa rawa, hutan bakau maupun persawahan, terutama di Jakarta Barat dan Jakarta Utara, telah diurug dan dibangun permukiman, pabrik dan pergudangan. Lahan-lahan basah di sepanjang bantaran sungai dan sekitar situ-situ terus diduduki dan dibangun permukiman, baik secara formal maupun informal. Konversi lahan basah menjadi lahan perkotaan dibiarkan terus terjadi. Selama berpuluh-puluh tahun, lahan-lahan retensi air ketika hujan lebat ini telah banyak berkurang dan mengakibatkan luapan air yang semakin meningkat setiap musim hujan tiba. Sudah jelas, hal ini terjadi akibat tidak adanya pengendalian pemanfaatan ruang Jakarta. Tata Ruang Jakarta Penuh Masalah Dari sisi penataan ruang, kita bisa melihat bahwa semua produk rencana tata ruang di Jakarta, mulai Rencana Induk 1965-1985 hingga RTRW 2030, adalah produk-produk yang sangat lemah. Di dalam prakteknya, rencana-rencana tersebut selalu ”masuk angin”, baik sebelum maupun setelah ditetapkan. Hal ini dikarenakan rencana tersebut telah dipenuhi dengan kepentingan bisnis properti dan tidak disusun berlandaskan pada akar permasalahan dan tujuan pembangunan Jakarta secara objektif untuk kepentingan publik.

description

Banjir di jakarta

Transcript of Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

Page 1: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

Banjir Jakarta dan Inefektifitas Tata Ruang di IndonesiaBY  JEHANSIREGAR  ON FEBRUARY 3 , 2014

M. Jehansyah Siregar, Ph.D. Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan

Kebijakan (SAPPK) ITB. Email  jehansiregar(at)yahoo.com.

Banjir yang setiap tahun terjadi di Jakarta salah satunya disebabkan perubahan

morfologi kota yang terakumulasi dalam kurun waktu yang lama sekali. Di banyak lokasi,

lahan-lahan basah berupa rawa, hutan bakau maupun persawahan, terutama di Jakarta

Barat dan Jakarta Utara, telah diurug dan dibangun permukiman, pabrik dan

pergudangan. Lahan-lahan basah di sepanjang bantaran sungai dan sekitar situ-situ

terus diduduki dan dibangun permukiman, baik secara formal maupun informal. Konversi

lahan basah menjadi lahan perkotaan dibiarkan terus terjadi. Selama berpuluh-puluh

tahun, lahan-lahan retensi air ketika hujan lebat ini telah banyak berkurang dan

mengakibatkan luapan air yang semakin meningkat setiap musim hujan tiba. Sudah

jelas, hal ini terjadi akibat tidak adanya pengendalian pemanfaatan ruang Jakarta.

Tata Ruang Jakarta Penuh Masalah

Dari sisi penataan ruang, kita bisa melihat bahwa semua produk rencana tata ruang di

Jakarta, mulai Rencana Induk 1965-1985 hingga RTRW 2030, adalah produk-

produk yang sangat lemah. Di dalam prakteknya, rencana-rencana tersebut selalu

”masuk angin”, baik sebelum maupun setelah ditetapkan. Hal ini dikarenakan rencana

tersebut telah dipenuhi dengan kepentingan bisnis properti dan tidak disusun

berlandaskan pada akar permasalahan dan tujuan pembangunan Jakarta secara objektif

untuk kepentingan publik.

Jakarta juga telah kehilangan keterpaduan perencanaan dengan wilayah sekitarnya

(Jabodetabek). Ketika Kota Jakarta ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi Daerah

Khusus Ibukota, hilanglah sudah perhatian pada keterpaduan Jabodetabek.

Menghadapi masalah kebutuhan lahan yang meningkat, maka di dalam RTRW 2030 

diusulkan untuk dilakukan reklamasi di perairan utara Jakarta. Karena biayanya yang

”dipandang mahal”, reklamasi akhirnya dijadikan justifikasi untuk melibatkan para

pengembang besar secara langsung. Namun dari berbagai kajian lingkungan, reklamasi

bukannya menyelesaikan masalah, justru sebaliknya berpotensi menimbulkan masalah

terganggunya keseimbangan ekosistem pantai utara Jakarta.

Page 2: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

Selain itu, wilayah Selat Sunda hingga Laut Jawa termasuk daerah yang memiliki

sumber-sumber gempa besar sehingga lahan-lahan hasil reklamasi juga berpotensi

terancam gempa besar dan amblas seperti yang terjadi di Kobe, Jepang. Setelah

rencana Greater Jakarta tidak kunjung bisa diwujudkan, perencanaan dan manajemen

pembangunan Jakarta jadi semakin tidak berarah. Hampir semua peraturan di Jakarta

bersifat tambal sulam karena hanya diatur berdasarkan SK Gubernur semata (bukan

Perda), dengan maksud hanya menguntungkan para pengembang besar saja.

Masalah Nasional

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang di Jakarta tidaklah efektif dan

justru menjadi ajang pertarungan kepentingan dan pembenaran arah pembangunan

yang menyimpang. Mengingat penataan ruang di Jakarta adalah penataan ruang

yang tertua di tanah air, maka sudah sepantasnya dijadikan model penataan ruang bagi

kota-kota dan daerah-daerah lain di seluruh Indonesia. Dengan demikian, maka

permasalahan inefektifitas tata ruang ini adalah masalah nasional yang menjadi

tanggung-jawab pemerintah pusat.

Tata Ruang Jakarta yang tidak efektif adalah puncak gunung es dari tidak efektifnya

penataan ruang di berbagai kota-kota besar, kota-kota sedang dan wilayah Indonesia

lainnya. Oleh karena itu, inefektifitas penataan ruang ini tidak bisa tidak harus dikaji di

tataran pilihan-pilihan kebijakan dalam penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia.

Isu inefektifitas tersebut harus menjadi isu sentral di dalam praktek pembangunan

(pemanfaatan ruang) dan di dalam penyelenggaan penataan ruang itu sendiri.

Seringkali isu-isu penataan ruang yang dipandang strategis adalah soal alih fungsi

lahan, ketimpangan antar wilayah dan urbanisasi yang tinggi. Apakah benar isu-isu

tersebut yang menjadi isu strategis penataan ruang? Jawabannya, ada permasalahan

yang lebih mendasar lagi, karena alih fungsi lahan dan ketimpangan antar wilayah pada

dasarnya menyangkut penataan ruang yang tidak efektif. Inilah tanggung-jawab

pemerintah pusat yang hingga kini belum mampu diselesaikan, yaitu mewujudkan

efektifitas penataan ruang di berbagai kota-kota besar, kota-kota sedang dan wilayah

Indonesia lainnya.

Kaji Ulang Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang di Indonesia

Di dalam proses merumuskan sebuah kebijakan, pengenalan isu dan masalah yang

tepat adalah awal dari pembuatan kebijakan yang berkualitas. Ada adagium yang sudah

dikenal luas di dalam studi kebijakan publik, yaitu kebijakan yang belum terlalu tepat

Page 3: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

namun telah disusun di atas pengenalan isu dan permasalahan yang tepat adalah jauh

lebih baik dibanding kebijakan yang tampaknya sempurna namun ternyata disusun di

atas pengenalan masalah yang kurang tepat. Oleh karena itu, penulis lebih memilih

dengan memulainya dari identifikasi akar permasalahan yang benar-benar mendasar

dalam praktek penataan ruang di tanah air.

Dari pengamatan penulis, beragam isu dan permasalahan yang paling mendasar dalam

praktek penataan ruang dapat digolongkan ke dalam permasalahan internal dan

permasalahan eksternal penataan ruang. Permasalahan internal penataan ruang yang

paling nyata adalah belum dapat diterapkannya produk-produk perencanaan ruang

secara efektif di dalam praktek pembangunan, terutama yang berkaitan dengan dimensi

fisik spasial lingkungan binaan. Permasalahan ini disebut juga dengan istilah “adanya

gap” antara rencana dan praktek pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata

ruang. Sedangkan permasalahan eksternal penataan ruang muncul dari praktek-praktek

pembangunan pada aspek-aspek lainnya yang secara langsung atau tidak langsung

semakin menjauhkan kesenjangan rencana dan implementasi, seperti isu pertanahan,

keterpaduan infrastruktur, dan sebagainya.

Penataan Ruang yang Tidak Efektif

Produk-produk rencana tata ruang wilayah (RTRW nasional, provinsi, kabupaten, kota,

dan produk rencana lainnya) yang tidak diikuti atau mengalami perubahan pada praktek

pemanfaatan ruang (baca: pembangunan), sudah menjadi isu yang dikenal luas. Di

tingkat perkotaan misalnya, wujud pembangunan kota-kota secara kumulatif dalam

kurun puluhan tahun umumnya menyimpang dari RTRW yang telah ditetapkan

sebelumnya. Bahkan secara pesimis seringkali muncul ungkapan bahwa RTRW justru

telah berubah perannya sebagai dokumen untuk memutihkan penyimpangan rencana

tata ruang pada periode sebelumnya dan sekaligus sebagai dokumen justifikasi untuk

menjalankan praktek pembangunan dari berbagai kelompok kepentingan. Rencana tata

ruang akhirnya berubah menjadi ajang pertarungan kepentingan seperti terjadi di DKI

Jakarta. Baik secara tersamar-samar maupun yang tampak nyata secara kasat mata.

Hasilnya, kepentingan publik selalu menjadi pihak yang kalah, karena hampir tidak ada

yang benar-benar memperjuangkannya.

Kegagalan mewujudkan rencana tata ruang dalam praktek pemanfaatan dan

pengendalian ruang inilah yang dimaksud sebagai penataan ruang yang tidak efektif.

Secara garis besar, ada beberapa permasalahan yang melatar-belakangi hal ini, di

antaranya:

Page 4: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

1. Kegagalan memahami konteks pembangunan di sektor publik. Kegagalan

perencanaan ruang akan terjadi ketika proses perencanaan spasial terlepas dari

konteks pembangunan yang berada di domain publik. Pelaku-pelaku pembangunan

di sektor publik meliputi institusi pemerintah, baik pemerintah nasional maupun

pemerintah daerah, investor swasta dan individu masyarakat yang berurusan

dengan kepentingan publik, adalah pihak-pihak yang memberi pengaruh dalam

pemanfaatan ruang. Pada kenyataannya, konstelasi para pelaku ini mendudukkan

istilah “sesuai rencana” atau “tidak sesuai rencana” sebagai permasalahan yang

tidak sederhana.  Di dalam konteks pembangunan di sektor publik, banyak sekali

kepentingan, penguasaan sumberdaya, dan hubungan kekuasaan yang saling

mempengaruhi satu sama lain.

2. Kegagalan membangun komunikasi dengan para pelaku pembangunan. Gagal

paham atas pembangunan yang berada di domain publik pada gilirannya menutup

upaya-upaya untuk membangun komunikasi manajemen pembangunan yang efektif

dengan para pelaku pembangunan. Permasalahan inilah yang melatar-belakangi

munculnya pihak-pihak yang ingin lebih memajukan proses perencanaan tata ruang

secara partisipatif, atau dikenal sebagai participatory planning.

3. Orientasi berlebihan pada sistem rencana tata ruang. Ini adalah cara pandang

yang beranggapan bahwa suatu rencana ruang secara otomatis diterapkan dalam

praktek pembangunan. Perspektif ini adalah buah dari kegagalan memahami

konstelasi pelaku dan kegagalan membangun komunikasi dengan berbagai aktor

pembangunan sebagaimana telah diuraikan di atas. Bahkan cara pandang ini

semakin menjadi-jadi dengan anggapan bahwa untuk menerapkan suatu rencana

tata ruang harus dibuat rencana tata ruang yang lebih rinci lagi.   Sebagai contoh,

pelaksanaan RTRW Nasional adalah penerapannya dalam bentuk RTRW Provinsi,

RTRW Kabupaten dapat dioperasionalkan melalui RDTR, dan seterusnya.

Pandangan ini biasanya menargetkan dicantumkannya kalimat “mengacu pada

Rencana Tata Ruang yang berlaku” ataupun “pengenaan sanksi bagi yang

melanggar rencana tata ruang” di dalam pasal-pasal peraturan tertentu. Padahal

pada prakteknya, masih banyak “lubang-lubang yang menganga”  dalam bentuk

istilah penyesuaian rencana, revisi rencana, dan berbagai bentuk negosiasi di antara

para pelaku yang luput dari perhatian. Semua proses inilah yang dipakai para pelaku

pembangunan sehingga tanpa disadari akhirnya menyimpangkan ketentuan

rencana, baik mereka dari pihak pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat

luas.

Page 5: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

4. Kegagalan mengelola pembangunan berbasis prakarsa publik. Kelemahan

dalam mengenali berbagai kelompok kepentingan di dalam pembangunan sektor

publik, ditambah kelemahan membangun komunikasi yang efektif, serta diperkuat

dengan orientasi yang berlebihan pada produk-produk rencana tata ruang

sebagaimana diuraikan di atas, akhirnya bermuara pada kegagalan mengelola suatu

prakarsa pembangunan sebagai sebuah prakarsa publik.   Pada dasarnya,

pembangunan memang harus menempatkan lembaga publik sebagai lokomotif

pembangunan untuk membawa prakarsa publik, karena ada begitu banyak

kepentingan publik yang dipertaruhkan di dalamnya. Kegagalan memajukan

prakarsa publik akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk pasif dan pembiaran praktek

pembangunan oleh berbagai kelompok kepentingan. Tidak dapat dielakkan,

terciptalah iklim pembiaran yang spekulatif dan mengarah pada fragmentasi

pembangunan yang semakin parah.   Sebagai contoh, di dalam perencanaan suatu

kawasan bisnis di Jakarta yang kemudian ditetapkan sebagai kawasan komersial

pusat kota dengan intensitas tinggi, ternyata tanah di kawasan tersebut telah

dikuasai oleh kelompok kepentingan tertentu atau sudah ada konsesi tertentu yang

disepakati di balik layar. Produk rencana ruang yang seolah-olah membawa

kepentingan publik ternyata telah disusupi kepentingan golongan tertentu. Istilahnya

sekarang, “rencana yang sudah masuk angin”. Bisa diduga pula, iklim pembiaran

yang spekulatif seperti itu memang secara sengaja diciptakan oleh birokrasi yang

korup, sehingga muncul istilah di lapangan yaitu “tata ruang” berubah menjadi “tatar

uang”.

Prinsip-prinsip dasar Strategi Penataan Ruang

Dengan memahami isu-isu dan permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan

penataan ruang sebagaimana diuraikan di atas, maka strategi penataan ruang harus

bisa menjamin adanya perubahan-perubahan yang progresif dan signifikan dalam

proses penataan ruang sebagai bagian integral dari proses pembangunan. Dengan kata

lain, proses penataan ruang harus memiliki landasan yang kokoh, berupa

dirumuskannya strategi-strategi penataan ruang, seperti:

1. Meningkatkan pemahaman akan karakter dan peran sektor publik di dalam

proses pembangunan yang multi dimensional,

2. Membuka eksklusifisme penataan ruang yang terlalu berorientasi pada sistem

rencana tata ruang dan mendorong inklusifisme penataan ruang sebagai bagian

pembangunan yang lebih utuh.

Page 6: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

3. Mendorong peran pemerintah pusat untuk mengembangkan sistem dan model

pembangunan yang utuh dalam rangka memperkuat kapasitas pemerintah daerah.

Banyak sekali penyimpangan tata ruang terjadi di tingkat daerah karena lemahnya

kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola aktor-aktor pembangunan secara

terpadu. Sedangkan pemerintah pusat hadir di daerah sebatas dalam aksi sektor-

sektor yang jauh dari utuh dan terpadu. Sebagai contoh, pembangunan menara-

menara rumah susun untuk masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan,

program pengembangan kawasan, prasarana permukiman, fasos dan fasum serta

prasarana transportasi, semuanya diprogramkan masing-masing di lokasi sasaran

yang berbeda-beda pula. Demikian pula dengan produk RTRW nya, jauh lebih tidak

terpadu lagi. Padahal semua program pembangunan fisik ini, demi mencapai tujuan

pelayanan masyarakat dan tujuan efisiensi fiskal, harus dijalankan secara terpadu,

semisal melalui penataan permukiman komprehensif dan pembangunan kota-kota

baru.

4. Membangun pemahaman yang lebih utuh akan tujuan-tujuan sebenarnya (tujuan-

tujuan publik), fungsi dan peran dari penataan ruang sebagai bagian dari

pembangunan. Pemahaman terhadap tata ruang sebagai adanya larangan

membangun ini dan itu atau larangan di sini dan di situ, tentunya bukanlah

pemahaman yang dangkal. Pemahaman atas tata ruang yang dangkal seperti ini

justru akhirnya hanya membuka ruang negosiasi untuk membuat berbagai bentuk

“penyesuaian”. Untuk itu pemerintah pusat harus terus menerus menjelaskan tujuan-

tujuan, fungsi dan peran dari penataan ruang serta pentingnya penataan ruang dari

sisi kepentingan semua sektor publik dalam praktek pembangunan di daerah.

Termasuk di dalamnya, bagaimana posisi rencana tata ruang terhadap rencana

pembangunan lainnya seperti RPJMD, RP3KP, RPIJM, KLHS, dan sebagainya,

5. Mempraktekkan pendekatan pembangunan terpadu. Peran pemerintah pusat

tidak berhenti sampai penyebarkan pemahaman yang utuh saja, namun hingga

menunjukkan model pembangunan dalam prakteknya melalui pendekatan

pembangunan yang terpadu.

Sebagai contoh, peran pemerintah pusat di bidang penataan ruang tidak cukup sampai

selesainya produk RTRW di daerah, baik provinsi, kota maupun kabupaten. Namun

pemerintah pusat harus menunjukkan bagaimana penerapan RTRW tersebut di dalam

praktek pembangunan kota, yaitu bagaimana perencanaan ruang dioperasionalkan

dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang. Dengan demikian, pemerintah

daerah yang kapasitasnya dinilai masih kurang memadai, dapat mecontoh bagaimana

suatu peraturan zonasi disusun dan diterapkan sesuai rencana ruang.

Page 7: Banjir Jakarta Dan Inefektifitas Tata Ruang Di Indonesia

Target pemahaman dan praktek yang melembaga di dalam penggunaan rencana ruang

dalam pembangunan, jauh lebih penting dibanding target formal selesainya naskah

RTRW daerah tanpa diiringi kapasitas yang memadai. Ruh penataan ruang itu berada

pada praktek yang melembaga, bukan pada formalisasi dan legalisasi dokumen-

dokumen produk rencana ruang (RTRW).

Inilah strategi yang diperlukan untuk menjawab masalah inefektifitas penataan ruang

sekaligus masalah fragmentasi pembangunan, yang sepertinya tidak tampak namun

faktanya terjadi di hampir semua sektor pembangunan. Instansi penataan ruang dari

pemerintah pusat harus mampu menjelaskan pentingnya penataan ruang dari semua

sisi kepentingan sektor publik. Tujuannya tidak lain adalah efektifnya perencanaan

pembangunan di semua sektor, melalui keterpaduan pembangunan di daerah-daerah

dan di tingkat nasional.

Langkah ke Depan

Dari pemaparan sebelumnya telah dipahami bagaimana posisi penataan ruang di dalam

konteks pembangunan di sektor publik, yaitu bahwa penataan ruang adalah bagian

dalam keseluruhan pembangunan di sektor publik. Di tataran pembangunan, efektifitas

penataan ruang terwujud hanya melalui pendekatan public sector driven di dalam

praktek pembangunan. Dengan kenyataan lemahnya pembangunan di sektor publik,

maka pemerintah nasional perlu segera menyusun langkah-langkah aksi untuk

mengembangkan model pembangunan yang mendorong peran sektor publik sebagai

pemimpin pembangunan dan pemanfaatan ruang. Di tataran penataan ruang,

pemerintah nasional sudah saatnya meninggalkan pendekatan comprehensive planning

dan secara proaktif mengembangkan modelDynamic Planning dan Participatory

Planning yang lebih komunikatif dan efektif.

Semoga musibah banjir yang menimpa Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia

menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi pemerintah pusat untuk segera

melakukan reformasi penataan ruang di negeri tercinta ini.