Bangunan Terapung Sebagai Solusi Masa Depan
-
Upload
havis-zukri -
Category
Documents
-
view
79 -
download
4
description
Transcript of Bangunan Terapung Sebagai Solusi Masa Depan
BANGUNAN TERAPUNG SEBAGAI SOLUSI MASA DEPAN
Karya Ilmiah Ini Ditulis sebagai Persyaratan untuk Mengikuti Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia
HAVIS ZUKRI
BP 1410921055
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2014
BANGUNAN TERAPUNG SEBAGAI SOLUSI MASA DEPAN
Oleh: Havis Zukri
ABSTRAK
Penelitian in bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bangunan terapung; (2) mendeskripsikan perencanaan pembangunan bangunan terapung.
Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data.
Bangunan terapung diharapkan menjadi solusi pembangunan di masa depan dikarenakan pertumbuhan penduduk dunia yang diluar perkiraan, pemanasan global, serta reklamasi yang dianggap sebagai solusi yang malah lebih banyak mendatangkan kerugian.
Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan Very Large Floating Structures (VLFSs). Dalam desain VLFSs, berbagai beban harus diperhatikan, terutama air pasang, tsunami, badai dan gempa bumi. Bahan yang digunakan untuk permukaan terapung adalah baja, atau komposit beton atau baja beton dan spesifikasi relevan lainnya yang harus diikuti.
Pembangunan konstruksi bangunan terapung ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur pembangunan di masa depan yang tentunya ramah lingkungan serta tidak perlu khawatir dengan adanya isu pemanasan global dan laju pertumbuhan penduduk.
KATA PENGANTAR
2
Penulis mengucapkan puji syukur dan Alhamdulillah kepada Allah SWT
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, karaya ilmiah berjudul “Bangunan Terapung
Sebagai Solusi Masa Depan” dapat disajikan dalam bentuk hasil penelitian. Penulisan
karya ilmiah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir
semester Bahasa Indonesia.
Karya ilmiah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ria Febrina, S.s, M.Hum., dosen pengajar yang
telah meluangkan waktu dan memberikan saran-saran serta kritikan dalam
penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini agar sesuai dengan sistematika penulisan
karya ilmiah. Bantuan,bimbingan, dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis
insya Allah akan menjadi ilmu yang bermanfaat dan semoga menjadi amal ibadah
dan pahala yang diridhoi Allah SWT.
Akhir kata, penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan berharap dapat mendorong peneliti lain untuk melanjutkan penelitian ini.
Padang, November 2014
Havis Zukri
DAFTAR ISI
3
ABSTRAK 2
KATA PENGANTAR 3
BAB I PENDAHULUAN 6
1.1 Latar Belakang 6
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan Penelitian 6
1.4 Manfaat Penelitian 7
1.5 Sistematika Penulisan 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA 8
2.1 Landasan Teori 8
2.2 Kajian Pustaka 9
BAB III METODE PENELITIAN 11
3.1 Jenis Penelitian 11
3.2 Data dan Sumber Data 11
3.3 Populasi dan Sampel 11
3.4 Metode Pengumpulan Data 11
3.5 Metode Analisis Data 12
3.6 Metode Pengajian Hasil Analisis 12
BAB IV ANALISIS 13
4.1 Pengertian Bangunan Terapung 13
4
4.2 Alasan Memilih Bangunan Terapung 13
4.3 Cara Membuat Bangunan Terapung 15
BAB V PENUTUP 20
5.1 Kesimpulan 20
5.2 Saran 20
DAFTAR PUSTAKA 21
BAB I
5
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak orang
akhir-akhir ini. Pemanasan global pada dasarnya merupakan fenomena
peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan naiknya
permukaan air laut, sehingga mengakibatkan permukaan tanah yang semakin
sempit.
Hal ini menjadi masalah yang besar dalam bidang pembangunan, karena
semakin sedikitnya lahan kosong yang bisa dijadikan tempat untuk
pembangunan. Adapun lahan yang tersisa adalah hutan-hutan yang merupakan
paru-paru dunia. Apabila pohon-pohon di hutan ditebang, tentu hal ini malah
memperbesar masalah pemanasan global.
Disamping itu jumlah pertumbuhan penduduk di dunia kian hari semakin
diluar perkiraan. Reklamasi yang awalnya menjadi solusi pembangunan malah
banyak menimbulkan pertentangan.
Tentu di masa depan haruslah ada solusi untuk memecahkan masalah ini yang
semakin lama semakin runyam permasalahannya. Hal inilah yang menjadi acuan
pembuatan konstruksi bangunan terapung.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bangunan terapung?
2. Mengapa bagunan terapung menjadi solusi pembangunan di masa depan?
3. Bagaimana membuat bangunan terapung di atas permukaan air?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan bangunan terapung.
2. Menjelaskan mengapa bangunan terapung menjadi solusi di masa depan.
3. Menjelaskan cara pembuatan bangunan terapung di atas permukaan air.
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Dengan dilakukanya penelitian tentang bangunan terapung ini, diharapkan
dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu teknik sipil di masa mendatang.
1.4.2 Praktis
Dengan dilakukannya penelitian tentang bangunan terapung ini, diharapkan
dapat bermanfaat untuk kehidupan banyak orang serta memelihara bumi tetap
hijau.
1.5 Sistematika Penulisan
Karya ilmiah ini disusun atas empat bab, yaitu Bab I pendahuluan yang terdiri
atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan; Bab II landasan teori dan kajian pustaka; Bab III metode
penelitian terdiri atas jenis penelitian, data dan sumber data, populasi dan sampel,
metode pengumpulan data, metode analisis data, metode pengujian hasil analisis;
Bab IV analisis; dan yang terakhir Bab V penutup.
BAB II
7
LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Banyak alasan yang menjadi dasar mengapa bangunan terapung menjadi
solusi pembangunan dimasa depan. Pertama, adalah laju pertumbuhan penduduk
di dunia yang sangat pesat. Kompas (2013) mengemukakan
Dalam laporan bertajuk ”Prospek Populasi Dunia: Revisi 2012” yang dirilis di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat (14/6/13), disebutkan, penduduk dunia akan naik menjadi 8,1 miliar jiwa pada tahun 2025 dari jumlah 7,2 miliar jiwa saat ni. Jumlah itu akan terus berkembang menjadi 9,6 miliar pada tahun 2050. Prediksi sebelumnya, penduduk dunia diperkirakan ”hanya” mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050. Majalah Scientific American pada 27 Oktober 2011 menurunkan laporan yang menyebutkan populasi yang semakin besar juga membutuhkan sumber daya lebih banyak, mulai dari air, pangan, mineral, hingga energi dan ketersediaan lahan untuk pertanian.
Kedua, pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak
orang akhir-akhir ini. Muhi (2011) menjelaskan bahwa pemanasan global pada
dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke
tahun karena efek rumah kaca sehingga energy matahari terperangkap dalam
atmosfer. Hal ini menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga
mengakibatkan permukaan tanah yang semakin sempit.
Ketiga, adalah reklamasi pantai. Banyak pro dan kontra mengenai reklamasi
pantai. Reklamasi pantai sendiri adalah upaya teknologi yang dilakukan manusia
untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi linkungan buatan, suatu tipologi
ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam
daratan (Maskur, 2008). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh reklamasi sendiri
antara lain:
1. Peninggian muka air laut
2. Daerah pantai rawan tenggelam
3. Musnahnya habitat flora dan fauna laut
4. Tercemarnya air laut
8
2.2 Kajian Pustaka
Peneliti yang sudah melakukan penelitian mengenai bangunan terapung
adalah Azhar Firdaus (2011). Ia menyimpulkan bahwa
1. Rumah terapung menjadi harapan ke depan yang jelas untuk dapat
terealisasikan dalam mengatasi perubahan iklim pada aspek kenaikan muka
air laut. Karena rumah terapung dapat menyesuaikan dengan tingginya muka
air laut, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan adanya banjir yang
selama ini mereka alami jika mendirikan rumah di daratan.
2. Pulau buatan adalah harapan kedua untuk mengatasi perubahan iklim. Pulau
buatan dibangun dengan untuk melakukan reklamasi lahan yang sebelumnya
telah terkontaminasi oleh limbah. Hanya saja, pulau buatan inin dibangun
dengan perencanaan yang baik dan biaya yang tidak sedikit.
Peneliti lain yang juga sudah melakukan penelitian tentang bangunan
terapung adalah Rigan Satria A Putra, Puput Wiyono, dan Titis Wahyu (2013).
Mereka menilai reklamasi menimbulkan dampak negative bagi manusia dan
lingkungan sekitar. Kota apung menjadi solusinya, kota apung tersebut ada
beberapa banguna yang merupakan fasilitas umum dan pemukiman warga.
Bangunan utama memiliki diameter 200 meter dan mampu menampung hingga
12000 penghuni. Pada bangunan utama. Terdapat rumah sakit, sekolah, dan
fasilitas umum lainnya. Setiap cincin rumah apung dapat dihuni orang hingga 32
orang. Pembuangan limbah juga tak luput dari perhitungan mereka. Sebelum
akhirnya dibuang ke laut, limbah akan terlebih dahulu diolah sehingga tidak
mencemari kawasan perairan.
Komponen utama kota apung terdiri dari top rise, area fluktuatif, town ring,
dan badan tumpu. Top rise merupakan bagian bangunan paling atas yang
menggunakan kontruksi baja sebagai struktur penangkal petir dan penangkap
sinyal. Sedangkan town ring merupakan bagian bawah bangunan yang terbuat
dari bahan kedap air sehingga dapat menerima gaya tekan air dengan baik.
9
Area fluktuatif menjadi penghubung antara top rise dan town ring. Area ini
didukung sistem pegas sehingga dapat meredam tumbukan.
Fondasi kota apung tertancap di dasar laut namun bersifat floating fluktuatif
terhadap pergerakan air. Efek dari pergerakan air tidak terlalu berarti
dibandingkan dengan reklamasi sehingga pondasi tidak gampang rusak.
Konsep kota apung dirancang tanpa kendaraan pribadi karena sudah
disediakan transportasi umum untuk para penghuninya. Hal tersebut untuk
mewujudkan green architecture dalam rancangan kota apung yang dibuat.
Selain aksesibilitas, pembangkit listrik juga tidak menggunakan Bahan Bakar
Minyak (BBM), namun memanfaatkan kondisi alam yang ada di sana.
10
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat studi pustaka. Studi pustaka sendiri adalah
mengumpulkan informasi-informasi penting yang berkaitan dengan objek yang
diselidiki. Informasi-informasi ini biasanya didapatkan di buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, skripsi, dan dari internet. Penelitian “Bangunan Terapung
Sebagai Solusi Masa Depan” bersifat studi pustaka karena mengumpulkan
informasi-informasi terkait dari dalam berbagai bacaan sumber.
3.2 Data dan Sumber Data
Data penelitan ini adalah bangunan terapung. Sementara itu, penelitian ini
memiliki sumber data berupa konstruksi bangunan.
3.3 Populasi dan Sampel
Bangunan terapung sederhana dijadikan sampel dalam penelitian ini. Hal ini
dikarenakan begitu luasnya cakupan tentang konstruksi bangunan terapung yang
menjadi populasi dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan pembuatan bagunan
terapung sederhana tidak memiliki tingkat kerumitan yang tinggi.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan
informasi-informasi penting yang ada dalam buku referensi yang memiliki kaitan
dengan permasalahan dalam penelitian ini. Hal pertama yang diketahui adalah
begitu sedikitnya lahan yang akan dibangun untuk pembangunan sehingga harus
mencari solusi yang tidak mempunyai banyak tingkat kerugian. Penulis dapatkan
bagunan terapung sebagai solusi yang tepat pembangunan di masa datang.
Langkah selanjutnya adalah mencari referensi laporan penelitian atau skripsi
penulis lain yang telah terlebih dahulu membuat tulisan tentang bangunan
terapung. Selanjutnya mempelajari secara umum dan terperinci tentang apa saja
11
yang harus diperlukan untuk membuat bangunan yang terapung di atas
permukaan air.
3.5 Metode Analisis Data
Dalam meniliti tentang konstruksi bangunan terapung sebagai solusi
pembangunan di masa depan, peneliti menganalisis hasil-hasil pencarian
informasi-informasi yang ada dalam buku referensi untuk menentukan
bagaimana rancangan ini benar-benar dapat diwujudkan dan menjadi tolak ukur
pembangunan di masa depan. Tidak lupa saat menuliskan analisis, penulis juga
membandingkan pemikiran penulis dengan tulisan penulis lain yang lebih dahulu
menuliskan tulisan tentang bangunan terapung, dan juga memahami isi saran
dari penulis yang lebih dahulu membahasnya.
3.6 Metode Pengajian Hasil Analisis
Dalam penelitian ini penulis menyajikan tulisan secara verbal. Penulis hanya
menuturkan secara garis besar tentang rencana pembangunan konstruksi
bangunan di atas permukaan air. Dan item-item yang dirasa diperlukan untuk
proses pembangunan.
12
BAB IV
ANALISIS
4.1 Pengertian Bangunan Terapung
Secara garis besar bangunan terapung adalah bangunan yang terletak di atas
permukaan air. Bangunan terapung ini sederhana sudah banyak diterapkan di
dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Sumatera Selatan dan Kalimantan yang
sebagian wilayahnya dilalui oleh sungai, warga setempat telah pandai
memanfaatkannya dengan membangun rumah terapung yang di susun di atas
gelondongan kayu yang besar yang disusun seperti rakit
4.2 Alasan Memilih Bangunan Terapung
Dengan banyak jumlah penduduk dunia di masa datang, tentu perbandingan
jumlah penduduk dengan lahan yang tersedia akan semakin sedikit. Dengan
terbatasnya jumlah lahan yang ada, tentu akan menimbulkan masalah yang baru
di masa depan, dimana banyaknya orang yang tidak mempunyai tempat tinggal,
sehingga tingkat kemisikinan dan kriminalitas semakin tinggi.
Kedua, pemanasan global menjadi isu yang hangat dibicarakan oleh banyak
orang akhir-akhir ini. Muhi (2011) menjelaskan bahwa pemanasan global pada
dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke
tahun karena efek rumah kaca sehingga energy matahari terperangkap dalam
atmosfer. Hal ini menyebabkan naiknya permukaan air laut, sehingga
mengakibatkan permukaan tanah yang semakin sempit.
Hal ini menjadi masalah yang besar dalam bidang pembangunan, karena
semakin sedikitnya lahan kosong yang bisa dijadikan tempat untuk
pembangunan. Adapun lahan yang tersisa adalah hutan-hutan yang merupakan
13
paru-paru dunia. Apabila pohon-pohon di hutan ditebang, tentu hal ini malah
memperbesar masalah pemanasan global.
Ketiga, adalah reklamasi pantai. Banyak pro dan kontra mengenai reklamasi
pantai. Reklamasi pantai sendiri adalah upaya teknologi yang dilakukan manusia
untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi linkungan buatan, suatu tipologi
ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam
daratan (Maskur, 2008). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh reklamasi sendiri
antara lain:
5. Peninggian muka air laut
6. Daerah pantai rawan tenggelam
7. Musnahnya habitat flora dan fauna laut
8. Tercemarnya air laut
Berdasarkan ketiga alasan tersebutlah bangunan terapung menjadi solusi
pembangunan di masa depan. Keuntungan dari penggunaan bangunan
terapung menurut Watanabe (2004) adalah sebagai berikut.
1. Efisiensi konstruksi karena tidak perlu pembuatan dan pengerjaan
desain pondasi
2. Ramah lingkungan karena tidak merusak dan tidak menambah volume
benda yang bersifat massive structure.
3. Mudah dan cepat dalam pengerjaan karena proses pengerjaan dengan
metode perakitan (assembling method).
4. Tahan terhadap gempa karena secara struktur tidak tertanam di tanah
atau tidak berbasis pondasi namun mengapung dan hanya di ikat
dengan anchor.
5. Mudah dipindah maupun diperbaiki karena sifatnya yang dapat dirakit
(assembling method).
14
6. Konstruksi apung tidak mengalami proses konsolidasi maupun
setlemen.
7. Cocok untuk pembuatan konstruksi yang mengedepankan estetika
model atau bentuk dibandingkan metode konvensional yang
umumnya kaku.
4.3 Cara Membuat Bangunan Terapung
Secara tradisional, metode dan arsitektur dari rumah-rumah terapung di
seluruh dunia bergantung pada kondisi perbedaan iklim, budaya dan bahan baku,
yang tersedia di tempat-tempat lokal yang berbeda (Giebler, 2007). Di Indonesia,
kita mengenalnya terutama pada Rumah Terapung (Panggung) Suku Bajo di
Sulawesi dan Rumah Lanting di Kalimantan.
Di dalam air, objek memiliki gaya apung atau gaya ke atas. Gaya ini
menyebabkan berat benda di air akan terasa lebih ringan daripada di udara.
Berdasarkan teori Archimedes, besarnya gaya apung sama dengan berat air yang
dipindahkan (Surya, tt).
Keberlanjutan dari Arsitektur Terapung (Floating Architecture) dapat
diketahui sebagai pendekatan energi dan ekologis pada bangunan dengan sistem
terapung tanpa alat navigasi. Karakteristik berkelanjutan dari arsitektur terapung
sebagai berikut (Moon, 2011):
15
1. Penggunaannya bisa didaur ulang dan bisa direlokasi
2. Pengadopsian teknik energi terbarukan
3. Penginstalasian pembangkit mandiri
4. Penerapan sistem modular dan lainnya, seperti materi baru & tata
letak terbuka
Setidaknya ada enam jenis hunian berbasis air (Nillesen dan Singelenberg,
2011):
1. Pile Dwellings (panggung)
2. Floating Dwellings (terapung)
3. Amphibious Dwellings (air-darat)
4. Terp Dwellings (di atas bukit)
5. Dyke Houses (tanggul)
6. Waterside Living
Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan Very
Large Floating Structures (VLFSs). Pada dasarnya ada dua jenis VLFSs yang
dikembangkan saat ini, yaitu jenis semi-submersible dan jenis ponton. Secara
umum sistem mega apung terdiri dari (Watanabe et al, 2004):
1. Struktur ponton terapung yang sangat besar;
2. Fasilitas Mooring (penambat) untuk menjaga struktur mengapung di
tempat;
3. Akses jembatan atau jalan terapung; dan
16
4. Breakwater untuk mengurangi pasukan gelombang yang
mempengaruhi struktur terapung
Struktur mega apung ini memiliki kelebihan:\
1. Biaya lebih efektif bila kedalaman air besar;
2. Ramah lingkungan;
3. Mudah dan cepat untuk dibangun;
4. Dapat dengan mudah dipindahkan;
5. Terlindung dari guncangan seismik;
6. Tidak terkena dampak dari pemukiman dari hasil reklamasi pantai;
7. Posisinya konstan terhadap permukaan air; dan
8. Lokasinya di perairan pantai menyediakan pemandangan permukaan
air dari sekitarnya
Dalam desain VLFSs, berbagai beban harus diperhatikan, terutama air
pasang, tsunami, badai dan gempa bumi. Bahan yang digunakan untuk
permukaan terapung adalah baja, atau komposit beton atau baja beton dan
spesifikasi relevan lainnya yang harus diikuti (Watanabe et al, 2004). Tapi
beberapa penelitian lebih lanjut telah mencoba untuk menemukan bahan-bahan
lainnya yang lebih murah dan ramah lingkungan, seperti kayu komposit dan
fiberglass, busa dan bahan daur ulang (Nguyen, 2009).
Pendekatan hijau lainnya adalah Mangrove RhizophoraChitecture (MRaC),
yang telah dikembangkan oleh para peneliti dari Institut Teknologi Surabaya
(ITS), Indonesia. MRaC adalah arsitektur alternatif yang memanfaatkan
Rhizophora spp., Sebagai biomaterial sebagai struktur utama bangunan, yang
17
mengacu pada konsep lingkungan. Hasil akhirnya adalah sebuah arsitektur yang
ramah lingkungan dan tidak merusak ekosistem yang ada (Prawiro et al, 2009).
Pendekatan lain adalah “Ice Platform”. Ia menggunakan platform terapung
yang murah yang diambil dari bidang es di Kutub Utara dan di Laut Selatan
Antartika. Platform ini dilindungi oleh “air-film” dan penutup isolasi
konvensional, serta memiliki sistem pendingin untuk menangani kebocoran yang
dapat mempertahankan platform untuk waktu yang tak terbatas. Mereka dapat
mengapung di lautan hangat (Bolonkin, 2010).
Dari pendekatan arsitektur terapung yang telah dijelaskan di atas
memungkinkan pengembangan yang lebih luas menjadi sebuah Floating City
(Kota Terapung) di kemuadian hari sebagai solusi alternatif selain Reklamasi
Pantai. Kota Terapung merupakan kota model baru dengan memanfaatkan
Floating Urbanization (urbanisasi terapung). Konsep ini memiliki akan banyak
keuntungan, seperti: meningkatkan ketersediaan lahan daripada menciptakan
kelangkaan lahan; menurunkan risiko banjir daripada mengakibatkannya:
menghasilkan energi, makanan, air dan nutrisi, daripada mengonsumsi sumber
daya dan menghasilkan limbah; dan memiliki dampak positif pada ekosistem dan
menciptakan habitat daripada menurunkan ekosistem (De Graaf, 2012).
18
Pada tahun 2050, pulau terapung akan digunakan sebagai sarana perumahan
penduduk yang berkembang pesat di dunia, sementara pulau-pulau terapung
lainnya akan digunakan untuk menanam pangan dan memroduksi energi
terbarukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan menjual
energi surplus untuk daratan, sehingga tidak memerlukan metode tidak ramah
lingkungan dalam menghasilkan energy. Sekitar 71% dari permukaan bumi
ditutupi oleh lautan. Permukaan air ini akan menjadi potensi untuk dihuni.
Kolonisasi Lautan adalah teori dan praktek untuk permukiman manusia yang
permanen di lautan. Permukiman tersebut dapat mengapung di permukaan air,
atau diamankan ke dasar laut, atau ada di posisi menengah (Bolonkin, 2010).
19
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Konstruksi bangunan terapung adalah konstruksi bangunan yang
berada di atas permukaan air.
2. Konstruksi bangunan terapung menjadi solusi pembangunan di masa
depan berdasarkan tiga alasan, yaitu: laju pertumbuhan penduduk
yang pesat, naiknya permukaan air laut disebabkan pemanasan global,
reklamasi pantai.
3. Teknologi dalam mewujudkan kota terapung dikenal dengan sebutan
Very Large Floating Structures (VLFSs).
5.2 Saran
Saran penulis untuk peneliti selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan
yang ada dalam hasil analisis karena pembahasan mengenai bangunan mengapung ini
masih baru.
20
DAFTAR PUSTAKA
De Graaf, Rutger. 2012. Adaptive urban development: A symbiosis between cities on
land and water in the 21st century. Rotterdam: Rotterdam University.
Giebler, S. 2007. Schwimmende Architektur: Bauweisen und Entwicklung.
Germany: Technische Universitaet.
Maskur A. 2008. “Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai Di Kota
Semarang”. Semarang: Universitas Diponegoro.
Muhi, Ali Hanapiah. 2011. “Pemanasan Global”, diakses melalui
http://alimuhi.staff.ipdn.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/PEMANASAN-
GLOBAL.pdf, pada tanggal 25 September 2014 pukul 20:23 WIB
Kompas, “Pertumbuhan Penduduk Dunia Lampaui Prediksi”, diakses melalui
http://internasional.kompas.com/read/2013/06/15/10091516/Pertumbuhan.Pend
uduk.Dunia.Lampaui.Prediksi, pada tanggal 9 Desember 2014 pukul 19:45
WIB
Nillesen, A. L., dan Singelenberg, J. 2011. Amphibious Housing in the Netherlands :
Architecture and Urbanism on the Water. Rotterdam: NAi Uitgevers.
Surya, Yohanes. “ Kota Terapung”, diakses melalui
http.www.yohanessurya.com/download/penulis/Bermimpi_06.pdf, pada
tanggal 1 Desember 2014 pukul 23:05 WIB
Watanabe, E. dan Utsunomiya, T. 2004. Analysis and design of floating bridges.
Singapura: National University of Singapore.
21