bakumutu amonia
Transcript of bakumutu amonia
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nitrogen merupakan nutrisi esensial dalam kehidupan sebagai kompo-
nen pembangun utama protein tumbuhan dan hewan. Senyawa nitrogen, dalam
lingkungan air biasanya ditemukan dalam bentuk ion amonium (NH4+
Baku mutu yang berlaku di Indonesia menurut PP No. 82 tahun 2001
menyebutkan bahwa batas maksimum kandungan amonia dalam badan air kelas I
adalah 0,5 mg/L. Sedangkan menurut KEPMEN LH No. 122 tahun 2004 tentang
beban maksimum pencemaran limbah kegiatan industri khususnya adalah industri
pupuk adalah 0,75 kg/ton untuk industri pupuk urea; 1,5 kg/ton untuk industri
pupuk nitrogen lain dan 0,3 kg/ton untuk industri amonia (Prasetya, 1992).
)
(Lei dkk., 2008). Meskipun amonium merupakan nutrisi penting untuk ganggang,
namun kelebihan jumlah amonium dalam lingkungan perairan dapat
menyebabkan eutrofikasi sungai, danau dan pesisir pantai (Rozic dkk., 2000).
Eutrofikasi tersebut terjadi karena kelebihan amonium, sehingga amonium akan
teroksidasi secara mikrobiologi menghasilkan nitrat. Adanya nitrat ini dapat
merangsang pertumbuhan ganggang menjadi tak terbatas, sehingga kandungan
oksigen dalam perairan menjadi berkurang (Prasetya, 1992). Kelebihan kadar
nitrogen pada lingkungan juga dapat bersifat toksik (Rozic dkk., 2000). Amonia
pada kadar 0,45 mg/L menghambat laju pertumbuhan hewan aquatik hingga 50%,
sedangkan pada kadar 1,29 mg/L sudah membunuh beberapa jenis udang
(Prasetya, 1992). Kadar amonium lebih dari 1,5 mg/L membahayakan kehidupan
ikan (Sarioglu, 2005). Bahkan menurut Sawyer (1994), amonia bebas di dalam air
dengan konsentrasi diatas 0,2 mg/L menyebabkan kematian pada beberapa jenis
ikan. Karena bahaya dan toksisitas tersebut, maka kelebihan amonia dalam
perairan perlu ditangani.
Berbagai metode telah banyak dilakukan untuk menghilangkan amonium
antara lain melalui proses biologi seperti nitrifikasi/denitrifikasi yaitu perubahan
amonium menjadi nitrit, nitrat dan akhirnya menjadi gas nitrogen (N2)
(Thornton dkk., 2007). Namun cara ini tidak cocok digunakan untuk pengolahan
2
air limbah buangan dengan kadar amonium tinggi, karena prosesnya otomatis dan
sulit untuk dikontrol. Cara lain yaitu dengan proses kimia-fisik seperti stripping
udara, adsorpsi dan pertukaran ion (Jorgensen, 1976). Cara stripping udara
dilakukan dengan mengontakkan air limbah yang mengandung ion amonium
dengan suatu gas, biasanya berupa udara agar amonium terlarut dapat berubah
menjadi gas amonia yang mudah menguap. Keuntungan dari penggunaan metode
stripping udara adalah pengoperasiannya relatif mudah dan tidak terpengaruh oleh
zat beracun lainnya. Namun metode ini mempunyai kekurangan yaitu
menimbulkan suara bising dari blower udara, perlu kontrol pH dan tidak dapat
diterapkan pada suhu rendah (Reynolds, 1982 dalam Ayu, 2010). Sedangkan
metoda pertukaran ion dengan resin organik hasilnya selektif tapi mahal
(Huang dkk., 2009). Proses adsorpsi merupakan cara yang sangat mudah dan
biaya yang relatif rendah untuk menghilangkan amonium di dalam air, terutama
bila bahan adsorben yang digunakan sangat murah.
Abu dasar limbah hasil pembakaran batubara merupakan bahan yang
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai adsorben. Bahan ini sangat melimpah dan
kurang dimanfaatkan, biasanya hanya ditumpuk di landfill hingga menggunung.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2006, limbah abu layang
yang dihasilkan di Indonesia mencapai 52,2 ton/hari dan limbah abu dasar
mencapai 5,8 ton/hari. Total limbah abu PLTU di Indonesia pada tahun 2000
mencapai 1,66 juta ton dan pada tahun 2006 mencapai sekitar 2 juta ton (Ardha,
2007). Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Yanti, 2009, abu dasar
mengandung silikon dioksida (SiO2) (24,10%), aluminium oksida (Al2O3) (6,80
%), besi oksida ( Fe2O3) (33,59 %), kalsium oksida (CaO) (26,30 %) dan karbon
(11,12%) serta beberapa logam berat seperti : As, Sn, Cr dan Cd. Dengan
kandungan tersebut, tumpukan abu dasar dapat menimbulkan masalah lingkungan
dan kesehatan, sehingga perlu diupayakan pemanfaatannya. Tidak seperti abu
layang yang telah banyak dimanfaatkan antara lain sebagai bahan dasar
pembuatan geopolimer, aditif semen dan lainnya, abu dasar ini belum banyak
dimanfaatkan karena rendahnya kandungan SiO2 dan Al2O3 serta tingginya
kandungan karbon dibandingkan abu layang.
3
Penelitian sebelumnya telah memanfaatkan abu dasar sebagai bahan
adsorben untuk menurunkan kandungan logam-logam berat seperti Cu (II) (Said,
2010, Setiaka, 2010), Zn (II) (Wahyuni, 2010) serta untuk amonium (Ayu, 2010).
Hasil yang dilaporkan menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi abu dasar untuk
amonium adalah 0,9364 mg/g dengan konsentrasi awal amonium 50 mg/L
menggunakan metode batch (Ayu, 2010). Kapasitas adsorpsi abu dasar ini lebih
kecil bila dibandingkan dengan adsorben lain seperti zeolit alam Turki yang
kapasitas adsorpsinya mencapai 23,70 mg/g dengan konsentrasi awal amonium 5-
900 mg/L (Sarioglu, 2005), 17,7 mg NH4+
Selain telah dimanfaatkan sebagai bahan adsorben, abu dasar telah
dilaporkan dapat dikonversi menjadi zeolit antara lain zeolit MCM-41
(Chandrasekhar dkk, 2008), zeolit NaP1, hidroksi sodalit dan tobernite (Whan
dkk, 2006), dan zeolit A (Nikmah, 2009; Atminingsih, 2009 dan Yanti, 2009).
Pada proses konversi abu dasar menjadi zeolit, Si dan Al yang merupakan
kandungan terbesar abu dasar berubah menjadi stuktur tetrahedral aluminosilikat
yang merupakan kerangka dasar struktur zeolit. Dengan demikian Si dan Al dalam
abu dasar tidak lagi menjadi kontaminan yang terlepas pada lingkungan. Ayu
(2010) telah menguji zeolit A yang disintesis Yanti (2009) dari abu dasar, untuk
menurunkan kadar amonium dalam larutan sintetik menggunakan metode bacth
pada rentang konsentrasi dari 5 mg/L hingga 100 mg/L, pH 6 dan jumlah
adsorben 0,5 gram. Kapasitas adsorpsi yang dihasilkan adalah 4,5 mg/g. Kapasitas
adsorpsi yang diperoleh ini, jauh lebih besar dibandingkan kapasitas adsorpsi yang
diperoleh jika menggunakan abu dasar sebagai adsorbennya yaitu 0,9364 mg/g
(Ayu, 2010).
/g zeolit dari zeolit alam Kroasia
(Farkas dkk, 2005), zeolit sintesis dari abu layang dengan kapasitas adsorpsi
23,83 mg- N/g dari konsentrasi awal amonium 5-200 mg/L (Lei dkk, 2007) dan
zeolit Na-A dari haloysit dengan kapasitas adsorpsi 44,3 mg/g (Zhao dkk, 2010).
Sementara itu, kandungan karbon sisa pembakaran batubara dalam abu
dasar, dapat dimanfaatkan menjadi zeolit-karbon. Bahan ini dapat berfungsi
ganda sebagai adsorben yang mampu mempertukarkan kation-kation dan
kontaminan organik secara simultan (Yanti, 2009), sehingga berpotensi untuk
4
diterapkan sebagai adsorben pada limbah-limbah yang mengandung kontaminan
ionik dan organik seperti limbah buangan rumah tangga, industri, dan pertanian.
Pembuatan zeolit-karbon telah dilaporkan oleh peneliti sebelumnya
antara lain oleh Gao dkk. (2005) dari abu layang batubara yang ditambahkan
serbuk kayu dan Na2CO3 sebagai aktifator melalui proses kalsinasi dalam
atmosfir N2 diikuti hidrotermal dalam larutan NaOH 2M. Hasilnya adalah zeolit
Na-P1 dan Na-X dengan luas permukaan 84 m2/g dan volume pori sebesar 0,15
cm3/g. Pembuatan komposit zeolit NaA-karbon dan NaX-karbon dari abu layang
melalui metode fusi telah dilaporkan oleh Miyake dkk (2008). Proses fusi
dilaporkan menggunakan NaOH dengan variasi konsentrasi, pada 750ºC dengan
atmosfer N2, sedangkan proses hidrotermal dilakukan pada 80ºC selama 24 jam.
Halim dkk. (2010) menambahkan karbon aktif dari sekam padi pada zeolit alam
limestone. Hasilnya adalah zeolit karbon yang digunakan sebagai adsorben
amonium dan kontaminan organik pada air limbah buangan dengan efisiensi
hingga 92,6% untuk kontaminan organik dan 86,4% untuk amonium. Londar,
(2009) mensintesis zeolit karbon dari abu dasar dengan metode hidrotermal
langsung dan penambahan karbon aktif yang bervariasi. Hasilnya adalah zeolit
A–karbon dengan nilai kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 127,30 meq/100 g.
Yanti (2009) juga berhasil mensintesis zeolit A-karbon dari abu dasar batubara
menggunakan metode peleburan dalam atmosfer N2 pada suhu 750°C diikuti
proses hidrotermal pada 100°C selama 12 jam, dengan mempertahankan
kandungan karbon yang ada dalam abu dasar. Hasil yang diperoleh adalah zeolit
A-karbon dengan luas area sebesar 105,99 m2/g dan nilai kapasitas tukar kation
(KTK) sebesar 190,87 meq/100g. Campuran zeolit A-karbon memiliki luas
permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan zeolit A yang dibuat dengan
metode peleburan, karena keberadaan karbon. Hasil penelitian yang dilaporkan
oleh Yanti (2009) menunjukkan bahwa zeolit A memiliki luas permukaan sebesar
2,47 m2/g, sedangkan zeolit A-karbon 105,99 m2
Sebagaimana sifat karbon pada umumnya, keberadaan karbon dalam abu
dasar memiliki luas permukaan besar dan memiliki kemampuan menyerap banyak
/g. Selain itu kapasitas tukar
kation (KTK) zeolit A yang dihasilkan sebesar 347,83 meq/100g dan zeolit A-
karbon 221,71 meq/100g.
5
senyawa non polar pada permukaannya (Hassett dan Eylands, 1999). Semakin
besar kandungan sisa karbon pada abu dasar maka semakin besar pula jumlah
total luas permukaan campuran zeolit-karbon. Dengan sifat-sifat zeolit A-karbon
tersebut, diharapkan dapat berfungsi menurunkan kadar amonium yang tinggi
dalam larutan sehingga nantinya dapat diaplikasikan pada lingkungan
sesungguhnya seperti limbah buangan rumah tangga, industri, pertanian serta
tambak udang.
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari Yanti (2009) yang telah
berhasil mensintesis zeolit A-karbon dengan cara mempertahankan kandungan
karbon dalam abu dasar. Pada penelitian ini zeolit A-karbon digunakan untuk
mengadsorp ion amonium dari larutannya dengan sistem batch dan kolom
(kontinyu). Aspek yang dipelajari dalam metode batch adalah variabel konsentrasi
awal, waktu kontak dan pH larutan serta kinetika dan isoterm adsorpsi. Pada
metode kolom variabel yang dipelajari adalah laju alir, sedangkan untuk
menentukan kapasitas adsorpsinya digunakan model Thomas, yaitu model yang
memperhitungkan laju alir. Model Thomas merupakan model yang sederhana dan
yang paling umum dan paling luas digunakan dalam teori performa kolom. Oleh
karena itu, pada penelitian ini data penerobosan (breakthrough) diperoleh dari
studi kolom yang diuji menggunakan model kinetik yaitu model Thomas
Sistem kolom kontinyu mempunyai perbedaan dengan sistem batch. Pada
sistem batch, adsorben dicampurkan pada larutan yang jumlahnya tetap dan
diamati perubahan kualitasnya pada selang waktu tertentu. Pada sistem kolom,
larutan selalu dikontakkan dengan adsorben sehingga adsorben dapat mengadsorp
dengan optimal sampai kondisi jenuh yaitu pada saat konsentrasi effluen (larutan
yang keluar) mendekati konsentrasi influen (larutan awal). Oleh karena itu, sistem
kolom ini lebih menguntungkan karena pada umumnya memiliki kapasitas lebih
besar dibandingkan dengan sistem batch, sehingga lebih sesuai untuk aplikasi
dalam skala besar. Sistem kolom dapat dilakukan dengan dua cara aliran yaitu
aliran dari atas kebawah (down flow) atau aliran dari bawah ke atas (up flow)
(Khartikeyan, 2004). Pada penelitian ini digunakan aliran kolom dari atas ke
bawah (down flow) karena lebih mudah pengoperasian laju alirnya.
6
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja
zeolit A-karbon hasil sintesis dari abu dasar batubara dengan metode peleburan
terhadap adsorpsi ion amonium dari larutannya dengan metode batch dan kolom.
1.3 Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini meliputi (i) abu dasar yang digunakan
berasal dari PT. IPMOMI Paiton, (ii) metode yang digunakan untuk mengkonversi
abu dasar menjadi zeolit A-karbon adalah metode peleburan yang diikuti
kristalisasi hidrotermal dalam atmosfir nitrogen (N2
) (Yanti, 2009) (iii) variabel
yang diamati pada sistem batch adalah variasi konsentrasi awal amonium, waktu
kontak dan pH (iv) kinetika adsorpsi yang dipelajari menggunakan metode orde
satu dan orde dua semu (v) isoterm adsorpsi dipelajari dengan metode Langmuir,
Freundlich dan Temkin (vi) variabel yang diamati pada sistem kolom (kontinyu)
adalah variasi laju alir (vii) Variabel yang diamati pada sistem kolom adalah
variasi laju alir (viii) Penentuan kapasitas adsorpsi pada system kolom
menggunakan model Thomas (ix)
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kapasitas adsorpsi ion
amonium dengan metode batch dan kolom menggunakan adsorben zeolit A-
karbon yang disintesis dari limbah abu dasar batubara dengan metode peleburan.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada
penyelesaian pengolahan air limbah buangan, khususnya adsorpsi kelebihan
amonium pada air limbah. Selain itu penelitian ini diharapkan memberikan
alternatif pemanfaatan limbah abu dasar sebagai bahan adsorben.