BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA INSANG DAN … · Gambar 2 Anatomi dan Morfologi Bakteri ..... 7...
Transcript of BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA INSANG DAN … · Gambar 2 Anatomi dan Morfologi Bakteri ..... 7...
BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA INSANG DAN
SALURAN PENCERNAAN IKAN PATIN (Pangasius sp.)
RAHMANITIA PUHANDA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
2
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Bakteri dan
Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin (Pangasius sp.)
adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, September 2012
Rahmanitia Puhanda
B04080071
3
ABSTRACT
RAHMANITIA PUHANDA. Bacteria and Parasitic Worm on The Gills and
Digestive Tract of Catfish (Pangasius sp.). Under direction of USAMAH AFIFF
dan RISA TIURIA.
The present study was conducted to isolte, culture and identificatify of bacteria
and parasitic worm from gills and digestive tract of catfish. A group of 10 of catfish were
used, each gills and digestive tract was collected. The parasitic worms were colored with
Semichon’s Acetocarmine for permanent staining. Differentiations and characterizations
of variants isolate were based on biochemical reactions and Gram staining technique.
Parasitic worms that can be identified from gills were Dactylogyrus sp. and
Pseudodactylogyrus sp. The laboratory result shows that the gills and digestive tract of
catfish were predominantly contaminated with Aeromonas sp. and Staphylococcus
epidermidis, followed by Streptococcus sp., Edwardsiella tarda, Escherichia coli, Basillus
sp. dan Vibrio cholerae.
Key Word : catfish, bacteria, parasitic worms, gills, digestive system
4
RINGKASAN
RAHMANITIA PUHANDA. Bakteri dan Cacing Parasitik Pada Insang dan
Saluran Pencernaan Ikan Patin (Pangasius sp.). Dibimbing oleh USAMAH
AFIFF dan RISA TIURIA.
Pada usaha budi daya atau peternakan ikan, hal utama yang dituju tentunya
adalah keuntungan ekonomi yang sebesar–besarnya. Hal ini memicu peternak
untuk tetap menjaga kualitas ternaknya terutama dalam hal kesehatan. Banyak
faktor yang dapat menjadi pemicu terganggunya kesehatan ikan sehingga
menyebabkan turunnya produksi, diantaranya faktor fisik, kimia dan biologi. Hal–
hal yang termasuk dalam faktor fisik adalah suhu dan cahaya. Faktor kimia terdiri
dari gas–gas terlarut, parameter fisiko–kimia (nilai pH, konstanta ionisasi asam
dan basa lemah, efek ion umum, alkalinitas karbonat dan kesadahan, keasaman,
oksigen, karbondioksida, amonia, nitrit, nitrat, hidrogen sulfida dan mineral) dan
polutan (logam dan logam berat, non logam, air limbah, lumpur dan partikel,
minyak bumi, polutan panas dan polutan yang mempengaruhi rasa, warna dan bau
produk). Faktor terakhir yang sangat berpengaruh ialah faktor biologi berupa
hewan perairan lain yang bersifat predator ataupun reservoir penyakit–penyakit
infeksi dan mikroorganisme yang dapat bersifat patogen terhadap ikan (bakteri,
virus dan jamur) serta endo dan ektoparasit (Irianto 2005).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan serta
mengidentifikasi bakteri dan cacing parasitik yang terdapat pada insang dan
saluran pencernaan ikan patin (Pangasius sp.). Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik
pada insang dan pencernaan ikan patin (Pangasius sp.) sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai acuan dalam dunia akademik dan praktisi dalam
mengendalikan penyakit bakteri dan kecacingan yang berasal dari ikan konsumsi.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan 10 ekor sampel ikan patin yang
berasal dari kolam peternak ikan di daerah Parung Kabupaten Bogor. Ikan
dimatikan dengan cara menusuk medula oblongata tepat pada bagian medial
kepala. Insang kanan dan kiri dipotong dengan ukuran sekitar 1 x 1cm ditambah
dengan ±10 tetes aquades kemudian digerus di dalam mortal steril. Hasil gerusan
ditanam pada media MCA dan agar darah, lalu diinkubasi pada suhu 370C selama
24-48 jam. Sisa insang dimasukkan ke dalam NaCl fisiologis. Rongga perut
dibuka dan saluran pencernaan dipisahkan dan dikeluarkan. 1-2 tetes isi saluran
pencernaan ditambah dengan ±10 tetes aquades digerus di dalam mortar steril.
Hasil gerusan ditanam pada media MCA dan agar darah, lalu diinkubasi pada
suhu selama 24-48 jam. Sisa saluran pencernaan dimasukkan ke dalam NaCl
fisiologis. Insang dan saluran pencernaan dimasukkan ke dalam refrigerator
selama kurang lebih 10 jam untuk merelaksasikan cacing. Setelah itu insang
disisir di bawah mikroskop stereo untuk mengoleksi cacing. Saluran pencernaan
dibuka lumennya kemudian disisir di bawah mikroskop stereo untuk mengoleksi
cacingnya. Cacing yang ditemukan direlaksasikan di dalam NaCl fisiologis
kemudian difiksasi di dalam etanol 70% sebelum diwarnai. Cacing yang
didapatkan diwarnai dengan pewarnaan Acetocarmine untuk trematoda dan
5
pewarnaan semi permanen menggunakan minyak cengkeh untuk nematoda
(Soulbsy 1982). Identifikasi cacing dilakukan setelah pewarnaan selesai.
Spesimen cacing diukur dan diamati dengan menggunakan mikroskop stereo dan
video mikrometer. Koloni terpisah dari bakteri ditanam pada media agar nutrien
dan dibuat pewarnaan Gram. Bakteri Gram positif coccus diidentifikasi dengan uji
katalase, uji glukosa mikroaerofilik dan uji MSA. Bakteri Gram positif batang
dibedakan atas batang berspora dan tidak berspora. Bakteri Gram negatif batang
diidentifikasi dengan menggunakan uji oksidase dan uji-uji biokimia seperti uji
TSIA, indol, sitrat, urea dan fermentasi glukosa.
Berdasarkan hasil uji dan identifikasi yang telah dilakukan terdapat 7 jenis
bakteri yang ditemukan pada insang dan saluran pencernaan ikan patin.
Edwardsiella tarda, Aeromonas sp., Streptococcus sp. dan Staphylococcus
epidermidis ditemukan pada insang dan saluran pencernaan. Vibrio cholerae dan
Bacillus sp. ditemukan hanya pada insang. Escherichia coli ditemukan hanya pada
saluran pencernaan. E. tarda dan Aeromonas sp. merupakan dua spesies bakteri
yang bersifat patogen dan zoonotik pada ikan patin. Jenis cacing parasitik yang
ditemukan pada insang ikan patin adalah Dactylogyrus sp dan
Pseudodactylogyrus sp, sedangkan pada saluran pencernaan ikan patin tidak
ditemukan cacing parasitik.
Kata Kunci : Ikan Patin, bakteri, cacing parasitik, insang, saluran pencernaan
6
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
BAKTERI DAN CACING PARASITIK PADA INSANG DAN
SALURAN PENCERNAAN IKAN PATIN
(Pangasius sp.)
RAHMANITIA PUHANDA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
8
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tugas akhir : Bakteri dan Cacing Parasitik Pada Insang dan Saluran
Pencernaan Ikan Patin (Pangasius sp.)
Bentuk Tugas Akhir : Penelitian
Nama Mahasiswa : Rahmanitia Puhanda
NIM : B04080071
Disetujui,
Pembimbing I
drh. Usamah Afiff, M.Sc.
NIP. 19600624 198703 1 001
Pembimbing II
Dr. drh. Risa Tiuria, MS.
NIP. 19630430 198703 2 001
Diketahui,
Wakil Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan-IPB
drh. Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
NIP. 19630810 198803 1 004
Tanggal Pengesahan :
9
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Bakteri dan Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan
Patin (Pangasius sp.). Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun
tidak langsung khususnya kepada :
1. Bapak drh. Usamah Afiff, M.Sc. selaku dosen pembimbing I, yang telah memberikan
waktu, tenaga dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. drh. Risa Tiuria, MS. selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan
waktu, tenaga dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Ibu Dr. drh. Min Rahminiwati selaku dosen Pembimbing Akademik.
4. Ayahanda Puhilis, S.Pd, Ibunda Hasneli, S.Pd, Kakak Febriani Puhanda, Abang
Fernandes, Adinda Rani Oktavia Puhanda, Reno Oktavia Puhanda dan Rafif
Dzakhwan Nazif serta seluruh keluarga tercinta atas do’a, dorongan, bantuan
material dan spiritual serta kasih sayang yang selalu diberikan.
5. Uda Rico Faslah, S.Kh atas do’a, dorongan, kasih sayang dan bantuannya dalam
mendukung Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman satu penelitian Nurhayati, Hafiz dan Ismi atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Teman seperjuangan Tiara, Hilma, Antari, Puspi, Hapsah, Imelda, Elin dan Aulia
terima kasih atas dukungannya.
8. Bapak Eman dan Bapak Almarhum Rafiq yang telah membantu selama penelitian.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.
Bogor, September 2012
Rahmanitia Puhanda
10
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 9 September 1990 dari ayah
Puhilis dan ibu Hasneli. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara.
Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 38
Cingkariang. Pada tahun 2002, Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Bukittinggi dan melanjutkan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negri 3 Bukitinggi pada tahun 2005. Setelah itu, Penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama mengikuti perkuliahan, Penulis aktif di beberapa organisasi seperti
Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia dan Himpunan Mahasiswa Islam
komisariat FKH IPB serta beberapa kepanitiaan.
11
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xii
PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
Latar Belakang ................................................................................... 1
Tujuan ................................................................................................ 3
Manfaat .............................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4
Morfologi Ikan Patin ......................................................................... 4
Siklus Hidup ...................................................................................... 5
Sifat dan Habitat Alami ..................................................................... 5
Makanan dan Kebiasaan Makan ........................................................ 6
Taksonomi ......................................................................................... 6
Jenis-Jenis Ikan Patin ........................................................................ 6
Bakteri Pada Ikan .............................................................................. 7
Parasit Cacing Pada Ikan ................................................................... 11
BAHAN DAN METODA PENELITIAN ................................................. 18
Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 18
Bahan dan Alat Penelitian ................................................................. 18
Metode Penelitian .............................................................................. 18
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 26
Bakteri Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin .................. 26
Cacing Parasitik Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin ... 34
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 39
12
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Patin ...... 26
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Anatomi Ikan Patin (Pangasius sp.) ............................................. 5
Gambar 2 Anatomi dan Morfologi Bakteri ................................................... 7
Gambar 3 Bakteri Aeromonas hydrophila ..................................................... 8
Gambar 4 Infeksi Aeromonas hydrophila pada Kulit Ikan Patin .................. 8
Gambar 5 Infeksi Edwardsiella tarda pada Kulit Ikan Patin ........................ 9
Gambar 6 Infeksi Edwardsiella ictaluri pada Kulit Ikan Patin ..................... 10
Gambar 7 Bakteri Pseudomonas aeruginosa ................................................. 10
Gambar 8 Anatomi dan Morfologi Gyrodactylus sp. .................................... 12
Gambar 9 Anatomi dan Morfologi Dactylogyrus sp. .................................... 12
Gambar 10 Anatomi dan Morfologi Digenea ................................................ 13
Gambar 11 Siklus Hidup Digenea ................................................................. 14
Gambar 12 Anatomi dan Morfologi Nematoda ............................................ 15
Gambar 13 Siklus Hidup Nematoda ............................................................. 15
Gambar 14 Tipe Scolex Cestoda ................................................................... 16
Gambar 15 Siklus Hidup Cestoda ................................................................. 17
Gambar 16 Diagram Alir Identifikasi Bakteri ............................................... 20
Gambar 17 Pewarnaan Gram Edawardsiella tarda pada Insang Ikan Patin . 26
Gambar 18 Pewarnaan Gram Aeromonas sp. ............................. 28
Gambar 19 Pewarnaan Gram Vibrio cholerae pada Insang Ikan Patin ......... 30
Gambar 20 Pewarnaan Gram Escherichia coli .............................................. 31
Gambar 21 Pewarnaan Gram Bacillus sp. pada Insang Ikan Patin ............... 31
Gambar 22 Pewarnaan Gram Streptococcus sp. ............................................ 32
Gambar 23 Pewarnaan Gram Staphylococcus epidermidis ........................... 33
Gambar 24 Cacing Dactylogyrus sp. ............................................................. 34
Gambar 25 Cacing Pseudodactylogyrus sp. .................................................. 36
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari gugusan kepulauan
dan kelautan yang terletak di daerah tropis. Wilayah laut Indonesia mendapatkan
pengaruh dari dua laut yaitu Samudra Indonesia dan Samudra Pasifik. Keadaan
geografis Indonesia dengan banyak pulau–pulau yang terpisah secara strategis
menyebabkan Indonesia menjadi persimpangan jalan dan persinggahan sehingga
pulau–pulau Indonesia memiliki keragaman fauna dan flora (Subarijati 2008).
Ikan merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang berpotensi besar untuk
membangun perekonomian rakyat, baik ikan laut maupun ikan air tawar.
Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan jenis–jenis ikan
air tawar. Menurut The World Bank pada tahun1998 di Indonesia terdapat sekitar
1.3 x 103 jenis ikan air tawar dengan kepadatan 0.72 jenis/10
3 km
2, sehingga
Indonesia termasuk ke dalam negara “megabiodiversity” kedua setelah Brazil
(Wargasasmita 2002). Menurut Khairuman Khairul, terdapat 7 x 103 spesies
ikan yang hidup di perairan Indonesia dan 2 x 103 diantaranya merupakan jenis
ikan air tawar.
Lingkungan perairan air tawar terdiri dari dua kategori yaitu habitat lentik
(lentic) dan habitat lotik (lotic). Habitat lentik adalah habitat yang memiliki badan
air yang diam seperti danau dan kolam. Habitat lotik ialah habitat yang memiliki
badan air yang bergerak seperti sungai dan mata air. Jika dilihat dari faktor nutrien
yang terkandung di dalam airnya, lingkungan perairan air tawar memiliki
kandungan nutrien yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan air laut. Hal
ini disebabkan oleh perairan air tawar mendapat perlakuan atau masukan dari
aktivitas manusia (Irianto 2005).
Keberadaan berbagai jenis ikan air tawar di perairan Indonesia telah
dijadikan sebagai sumber mata pencarian, misal dengan budidaya ikan air tawar.
Dari sekitar 2 x 103 jenis ikan air tawar di perairan Indonesia, 27 jenis diantaranya
telah dibudidayakan. Ikan air tawar yang telah dibudidayakan diantaranya adalah
ikan bawal air tawar, gurami, ikan mas, lele, mujair, nila, patin dan beberapa jenis
ikan air tawar lainnya.
2
Pada usaha budi daya atau peternakan ikan hal utama yang dituju tentunya
adalah keuntungan ekonomi yang sebesar–besarnya. Hal ini memicu peternak
untuk tetap menjaga kualitas ternaknya terutama dalam hal kesehatan. Banyak
faktor yang dapat menjadi pemicu terganggunya kesehatan ternak ikan yang dapat
menyebabkan turunnya produksi, diantaranya faktor fisik, kimia dan biologi. Hal–
hal yang termasuk dalam faktor fisik adalah suhu dan cahaya. Faktor kimia terdiri
dari gas–gas terlarut, parameter fisiko–kimia (nilai pH, konstanta ionisasi asam
dan basa lemah, efek ion umum, alkalinitas karbonat dan kesadahan, keasaman,
oksigen, karbondioksida, amonia, nitrit, nitrat, hidrogen sulfida dan mineral) dan
polutan (logam dan logam berat, non logam, air limbah, lumpur dan partikel,
minyak bumi, polutan panas dan polutan yang mempengaruhi rasa, warna dan bau
produk). Faktor terakhir yang sangat berpengaruh ialah faktor biologi berupa
hewan perairan lain yang bersifat predator ataupun reservoir penyakit–penyakit
infeksi dan mikroorganisme yang dapat bersifat patogen (bakteri, virus dan jamur)
serta endo dan ektoparasit (Irianto 2005).
Ikan patin merupakan salah satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomi
tinggi baik dalam segi pembenihan ataupun pembesaran. Ikan patin banyak
disukai masyarakat karena tekstur dagingnya yang lembut, memiliki warna yang
bersih (hampir putih) dan memiliki kandungan protein yang tinggi. Ikan ini
dianggap lebih aman juga untuk dikonsumsi karena kadar kolesterol yang
terkandung di dalamnya relatif rendah. Selama ini ikan patin yang dikonsumsi
diperoleh dari penangkapan dari alam, namun seiring berjalannya waktu
permintaan dan kebutuhan terhadap ikan patin semakin tinggi namun populasinya
di alam justru semakin menurun. Oleh sebab itu banyak dibuka usaha budidaya
ikan patin. Tapi tentunya usaha ini tak selalu berjalan lancar karena banyak faktor
penghambat diantaranya keberadaan cacing dan bakteri pada tubuh ikan.
Cacing merupakan organisme parasit yang mengakibatkan infeksi.
Keberadaannya di dalam tubuh ikan sering tidak diperhatikan oleh peternak.
Walupun cacing jarang menyebabkan kematian tapi ia dapat menyebabkan
penurunan produksi yang sering kali luput dari perhatian. Cacing yang berada
pada saluran pencernaan dapat menyebabkan gangguan penyerapan makanan
sehingga dapat menyebabkan lambatnya pertumbuhan, penurunan berat badan,
3
penurunan imunitas tubuh, gangguan reproduksi, penurunan kualitas karkas
bahkan dapat berakibat pada kematian (Chandra et al. 2007). Bakteri merupakan
mikroorganisme yang dapat menjadi flora normal dan patogen di dalam tubuh
hewan. Keberadaannya dalam jumlah yang besar dan ditambah dengan penurunan
imunitas tubuh ikan dapat menyebabkan gangguan metabolisme, penurunan berat
badan dan produksi hingga kematian.
Tujuan
Penelitian bertujuan untuk mengetahui keberadaan serta mengidentifikasi
bakteri dan cacing parasitik yang terdapat pada insang dan saluran pencernaan
ikan patin (Pangasius sp.).
Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan serta
mengidentifikasi bakteri dan cacing parasitik yang terdapat pada insang dan
saluran pencernaan ikan patin (Pangasius sp.). Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bakteri dan cacing parasitik
pada insang dan pencernaan ikan patin (Pangasius sp.) sehingga dapat dimanfaat
sebagai acuan dalam dunia akademik dan praktisi dalam mengendalikan penyakit
bakteri dan kecacingan yang berasal dari ikan konsumsi. Identifikasi cacing
parasitik berpedoman pada Noga (1996), Hoffman (1977) dan Bychowsky (1961).
Indentifikasi bakteri berpedoman pada Jang et al. (1976) dan Cowan & Steel
(1974).
4
TINJAUAN PUSTAKA
Morfologi Ikan Patin
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang berasal dari kelompok
lele–lelean. Secara anatomi ikan ini memiliki bentuk tubuh memanjang dan agak
pipih. Tubuh dominan berwarna putih seperti perak, sedangkan bagian punggung
berwarna kebiru–biruan. Patin memiliki tubuh yang licin tanpa sisik (Amri
Khairuman 2008).
Secara umum tubuh ikan patin terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, badan
dan ekor. Kepala ikan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan ukuran badannya.
Bentuk kepalanya agak pipih dengan batok kepala yang keras. Mata dan hidung
memiliki ukuran yang kecil. Mulutnya memiliki celah yang lebar dengan dua
pasang sungut atau kumis pada bagian maksila dan mandibula. Sungut ini
merupakan ciri khas catfish (ikan berkumis seperti kucing) yang berfungsi sebagai
indra peraba saat berenang dan alat pencari pakan. Di dalam rongga mulut ikan ini
memiliki gigi palatin yang terpisah dari tulang vomer. Penutup insang pada bagian
kiri dan kanan kepalanya tidak terlalu besar sehingga tidak menutupi seluruh
bagian kepala (Dewi 2011).
Sama halnya dengan ikan–ikan lainnya, ikan patin memiliki berbagai
bentuk sirip di beberapa bagian tubuhnya. Sirip pada bagian punggung berupa
jari–jari keras yang berubah menjadi patil yang bergigi dan besar di sebelah
belakangnya. Jari–jari lunak pada sirip punggungnya terdapat 6-7 buah. Selain
jari–jari keras dan lunak pada bagian punggungnya terdapat juga sirip lunak yang
berukuran kecil sekali. Sirip ekor berbentuk simetris. Pada daerah sekitar dubur
terdapat sirip yang agak panjang, terdiri dari 30–33 jari–jari lunak. Sirip di bagian
perut memiliki 6 jari–jari lunak. Pada bagian dadanya ikan ini memiliki sirip
dengan 12-13 jari–jari lunak dengan sebuah jari–jari keras yang berubah menjadi
patil. Pada bagian ekor terdapat sirip yang bercagak dan bentuknya simetris (Dewi
2011).
5
Gambar 1 Anatomi Ikan Patin (Pangasius sp.) (Hamilton 1822)
Keterangan gambar : 1. Mulut; 2. Mata; 3. Sirip dada; 4. Patil; 5. Sirip punggung;
6. Sirip perut; 7. Sirip anal; 8. Gurat sisi; 9. Sirip ekor.
Siklus Hidup
Ikan patin dalam menjalani hidupnya mengalami perkembangan atau fase
yang akan dijalaninya selama beberapa waktu sampai akhirnya dapat dikonsumsi
ataupun dijadikan induk untuk menghasilkan benih-benih yang berkualitas.
Menurut Lusac dan Southgate (2012) ikan patin memiliki fase kehidupan yaitu
telur, larva, benih dan dewasa.
Sifat dan Habitat Alami
Ikan patin memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap pH (derajat
keasaman) air lingkungannya, sehingga ia dapat bertahan hidup pada pH rendah
atau yang agak asam sampai pH tinggi atau yang agak basa, yaitu berkisar antara
pH 5–9. Ikan ini membutuhkan kadar oksigen terlarut (O2) sebesar 3–6 ppm untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuhnya terhadap oksigen. Lingkungan
dengan kadar karbondioksida (CO2) sebesar 9–20 ppm masih dapat ditolerir oleh
patin. Tingkat alkalinitas yang dibutuhkan oleh patin adalah 80–250 ppm. Suhu
air yang baik untuk pertumbuhan patin ialah 28–300C (Amri Khairuman 2008).
Ikan patin merupakan jenis ikan dasar perairan (demersal). Hal ini
dibuktikan dengan bentuk mulutnya yang melebar dan menghadap ke bawah serta
kebiasaan hidupnya yang lebih suka menetap di dasar dari pada muncul di
permukaan perairan. Pada habitat aslinya ia hidup di sungai yang dalam , agak
keruh dan dasar yang berlumpur. Ikan ini bersifat nocturnal, keluar dari
6
persembunyiannya dan melakukan aktivitas pada malam hari. Patin hidup secara
berkelompok atau bergerombol. Hal ini merupakan faktor yang dapat merangsang
nafsu makannya.
Makanan dan Kebiasaan Makan
Ikan patin termasuk jenis omnivora (pemakan segala). Ikan ini biasa
memakan ikan–ikan kecil, cacing, serangga, biji–bijian, udang kecil dan moluska.
Namun pada stadium larva , ikan lebih bersifat karnivora dan memakan
Brachionus sp, Crustacea dan Cladocera. Sementara itu ikan yang dalam stadium
larva yang baru habis kuning telurnya mempunyai sifat kanibal yang tinggi
(Susanto 2009).
Taksonomi
Secara sistematika ikan patin dapat diklasifikasikan ke dalam domain
eukaryota, kingdom animalia, subkingdom bilateria, phylum Chordata,
subphylum Vertebrata, infraphylum Gnathostoma, superkelas Osteichtyes, kelas
Osteichtyes, subkelas Actinopterygii, ordo Siluriformes, famili Pangasiidae, genus
Pangasius dan spesies Pangasius sp. Ikan patin memiliki nama Inggris Catfish
(Saanin 1968).
Jenis – Jenis Ikan Patin
Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan patin, diantaranya patin
bangkok, patin siam (Pangasius sutchi), patin jambal (Pangasius djambal) dan
patin kunyit. Selain itu ada beberapa kerabat patin yaitu ikan Juaro (Pangasius
polyuranodo), ikan Rios, Riung, Lancang (Pangasius macronema), ikan Pedado
(Pangansius nasutus) dan ikan Lawang (Pangasius nieuwenhuisii) (Amri
Khairuman 2008).
7
Bakteri dan Cacing Parasitik pada Ikan
Bakteri pada Ikan
Bakteri ialah organisme bersel satu yang termasuk ke dalam kategori
organisme prokariot. Organisme ini memiliki karakteristik seperti membran sel,
nukleus (inti sel), reproduksi aseksual dan seksual (mitosis dan meiosis), memiliki
ribosom sitoplasmik, endoplasmik retikulum (RE), mitokondria, cloroplas,
aparatus golgi dan membran lipid (Carter & Wise 2004).
Gambar 2 Anatomi dan Morfologi Bakteri (Krisno 2011)
Aeromonas merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang,
ukurannya 1-4 x 0,4-1 mikron, fakultatif aerob (dapat hidup dengan atau tanpa
oksigen), tidak berspora, motil karena memiliki satu flagel (monotrichous
flagella) yang keluar dari salah satu kutubnya, senang hidup di lingkungan
bersuhu 15-300C dan pH antara 5,5-9 (Gufron & Kordi 2004). Bakteri ini banyak
terdapat di air tawar yang mengandung banyak bahan organik dengan kadar
salinitas rendah. Aeromonas dapat ditemukan di permukaan tubuh dan organ
dalam ikan (Noga 1996).
Genus Aeromonas terdiri dari beberapa spesies diantaranya A. hydrophila,
merupakan jenis bakteri yang bersifat patogen pada ikan. Bakteri ini bersifat
oportunis karena penyakit yang disebabkannnya dapat mewabah pada ikan–ikan
yang mengalami stres, berada pada pemeliharaan dengan kepadatan yang tinggi,
suhu lingkungan yang tinggi, polusi organik dan hipoksia. Penyakit yang
disebabkan oleh A. hydrophiia adalah hemoragik septikemia (bacterial
8
hemorrhagic septicemia (BHS) atau motile aeromonas septicemia(MAS)) pada
berbagai spesies ikan air tawar seperti patin (Irianto 2005).
Gambar 3 Bakteri Aeromonas hydrophilia (Anonim 2012)
Gambar 4 Infeksi Aeromonas hydrophila pada kulit ikan patin (Noga 1996)
Edwardsiella tarda merupakan bakteri yang berbentuk batang
melengkung pleomorfik dan bersifat Gram negatif. Bakteri ini termasuk dalam
famili Enterobacteriaceae yang bersifat fakultatif anaerob, berbentuk batang
dengan ukuran sedang, oksidasi negatif, katalase positif (beberapa negatif), tidak
berspora, fermentatif (sering diikuti dengan terbentuknya gas) dan motil. E. tarda
biasa ditemukan pada traktus intestin hewan dan manusia (Carter & Wise 2004).
9
E. tarda merupakan salah satu spesies bakteri yang bersifat patogen pada
ikan patin. Bakteri ini biasanya menyerang ikan patin dewasa. E. tarda hidup di
air kolam pemeliharaan ikan patin bersifat kronis dengan mortalitas yang rendah,
namun saat ikan stres dan imunitas tubuh menurun bakteri ini dapat menginfeksi
ikan patin dengan mortalitas yang tinggi karena menyebabkan penyakit
Edwardsiella septicaemia (ES). E. tarda merupakan salah satu jenis bakteri yang
bersifat zoonotik yang dapat menyebabkan terjadinya enteritis pada manusia
(Noga 1996).
Gambar 5 Infeksi Edwardsiella tarda pada kulit ikan patin (Noga 1996)
E. ictaluri merupakan salah satu spesies yang juga termasuk famili dari
Enterobacteriaceae yang bersifat patogen pada ikan patin. Menurut Irianto (2005)
bakteri ini berbeda dengan E. tarda, ia justru menginfeksi ikan patin pada saat
masih muda (benih, seukuran jari). Bakteri dapat menyebabkan Enteric
Septicemia atau septikemia enterik yang menunjukkan gejala klinis seperti infeksi
sistemik bakteri pada umumnya, diantaranya nekrosa dan ulserasi organ distensi
abdominal, exophthalmia, ptechi dan hemoragi pada kulit dan mulut. Pada negara
empat musim, bakteri ini merupakan bakteri yang menyebabkan penyakit
musiman. Ia dapat bertahan hidup pada suhu sekitar 240–28
0C yang merupakan
suhu optimum untuk pertumbuhan bakteri. Tingkat prevalensinya meningkat pada
bulan Mei–Juni dan September–Oktober. Selain itu E. ictaluri dapat bertahan
pada air kolam selama 90 hari dengan suhu sekitar 250C (Songer & Post 2005).
10
Gambar 6 Infeksi Edwarsiella ictaluri pada kulit ikan patin (Noga 1996)
Pseudomonas sp. Merupakan bakteri Gram negatif bersifat fakultatif
anaerob atau aerob, berbentuk batang dengan ukuran sedang, motil (beberapa
memiliki polar flagella), katalase dan oksidasi positif dan beberapa spesies dapat
menghasilkan water-soluble pigment. Bakteri ini hidup bebas di alam , sehingga
dapat ditemukan di air ataupun tanah. Bakteri Pseudomonas terdiri dari beberapa
spesies namun hanya satu spesies yang bersifat patogen yaitu Pseudomonas
aeruginosa. Sama dengan spesies Pseudomonas lainnya bakteri ini memiliki
habitat alami di air dan tanah. Pseudomonas sp. juga dapat ditemukan di kulit,
mukosa membran dan feses. Infeksi oleh P. aeruginosa dapat menyebabkan
infeksi pada luka, abses, diare, infeksi pada traktus urinari, genital dan telinga.
Tingkat infektif bakteri ini dapat meningkat jika adanya kombinasi dengan infeksi
Streptococcus dan Staphylococcus (Carter & Wise 2004).
Gambar 7 Bakteri Pseudomonas aeruginosa (Todar 2012)
11
Parasit Cacing pada Ikan
Parasit adalah adalah organisme yang hidup pada tubuh organisme lain
yang dapat menimbulkan kerugian atau efek negatif pada organisme yang
ditempatinya (Akbar 2011). Berdasarkan tempat hidupnya parasit terbagi menjadi
dua yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit merupakan organisme parasit
yang hidup di bagian luar tubuh inangnya, sedangkan endoparasit merupakan
organisme parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya.
Monogenea merupakan parasit yang termasuk dalam phylum
Platyhelminthes. Anggota dari kelas Monogenea ini sebagian besar bersifat
ektoparasit pada ikan, namun ada beberapa yang bersifat endoparasit yaitu
Acolpenteron sp., Kritskya sp. dan Enterogyrus sp. Monogenea bersifat
hermaprodit, bertelur/ovipar (kecuali Gyrodactilus, vivipar) dan memiliki larva
yang berenang bebas disebut oncomiracidium. Oncomiracidium menyerang inang
dan post oncomiracidium bermigrasi melalui insang atau permukaan tubuh
menuju target organ terakhir. Hal ini sejalan dengan infeksi oleh Monogenea yang
sering ditemukan pada insang, kulit dan sirip ikan. Namun ada juga Monogenea
yang menginfeksi organ dalam seperti rektum, uretra, rongga tubuh bahkan
pembuluh darah (Anshary 2008).
Monogenea dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok berdasarkan cara
makannya. Kelompok pertama adalah Monogenea yang menghisap darah inang
sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia. Kelompok kedua adalah
Monogenea yang memakan jaringan inang dan sel–sel debris sehingga dapat
merusak permukaan epitel akibat aktivitas “grazing” yang dilakukannya pada
permukaan integumen. Beberapa spesies Monogenea yang bersifat patogen pada
ikan ialah Microbothriidae (Dermophthirius), Capsalidae (Benedenia,
Neobenedenia), Dactylogyridae Dactylogyrus spp, Pseudodactylogyrus) dan
Gyrodactylidae (Gyrodactylus spp) (Anshary 2008).
Gyrodactylus sering ditemukan melekat pada permukaan tubuh atau sirip
ikan. Ia melekat dengan menggunakan alat pelekat (haptor) yang memiliki dua
sauh (anchors) yang dilengkapi dengan 16 kait tepi (marginal hooklets).
Gyrodactylus melepaskan larva ke lingkungan sudah dalam bentuk morfologi
yang sama dengan induknya (vivipar). Dactylogyrus melepaskan telur ke
12
lingkungan, telur ini bersifat resisten terhadap bahan kimia ataupun desinfektan.
Telur kemudian akan menetas dan menghasilkan larva yang memiliki bulu getar
yang dapat berenang bebas hingga menemukan inangnya (Irianto 2005).
Gambar 8 Anatomi dan Morfologi Gyrodactylus sp. (Ghufran & Kordi 2004).
Keterangan Gambar : 1. Organ peraba; 2. Kepala; 3. Mulut; 4. Pharynx; 5.
Embrio; 6. Mata; 7. Usus; 8. Testis; 9. Ovary; 10. Posterior haptor.
Gambar 9 Anatomi dan Morfologi Dactylogirus sp. (Ghufran & Kordi 2004).
Keterangan Gambar : 1. Kepala; 2. Mata; 3. Mulut; 4. Telur; 5. Ovary; 6. Testis;
7. Posterior haptor.
Digenea merupakan salah satu jenis parasit yang juga termasuk dalam
phylum Platyhelminthes. Digenea dewasa memilki tubuh oval datar dorsoventral,
memilki sucker pada bagian anterior dekat mulut dan sucker tambahan pada
bagian ventral (ventral sucker, atau acetabulum) (Anshary 2008).
13
Gambar 10 Anatomi dan Morfologi Digenea (Ghufran & Kordi 2004)
Digenea dewasa akan melepaskan telur ke lingkungan, telur ini akan
menetas dan menghasilkan mirasidium yang akan menumpang hidup pada inang
sementara atau inang perantara I misalnya siput. Mirasidium akan berkembang di
dalam tubuh siput menjadi sporocyst/rediae. Kemudian sebagian besar dari
sporocyst/rediae akan berubah menjadi cercaria. Pada keadaan lingkungan yang
menguntungkan cercaria akan berenang bebas di air dan menemukan inang antara
II seperti ikan–ikan kecil. Di dalam tubuh inang antara II cercaria akan berubah
menjadi metasercaria (ada yang menghasilkan kista dan ada yang tidak). Saat
ikan – ikan kecil ini dimakan oleh ikan dewasa maka kista metasecaria akan
berubah menjadi Digenea dewasa (Noga 1996).
14
Gambar 11 Siklus Hidup Digenea (Noga 1996)
Ikan yang terinfeksi oleh Digenea memperlihatkan gejala klinis seperti
spot coklat kehitaman pada kulit, sirip dan insang, perut kembung akibat obstruksi
gastrointestinal, pertumbuhan lambat, hemoragi, nekrosa dan infeksi sepanjang
jalur migrasi metasercaria. Parasit Digenea berpotensi zoonotik jika manusia
memakan ikan yang mengandung cacing dewasa ataupun kista metasercaria yang
tidak dimasak hingga matang.
Nematoda atau dikenal juga dengan sebutan cacing gilig merupakan
parasit yang dapat menyerang ikan air tawar maupun ikan air laut. Spesies dari
kelas Nematoda yang biasa menyerang ikan air tawar adalah Camallanoidea dan
Ascaroidea. Menurut Ghufran dan Kordi (2004) nematoda memiliki bentuk
seperti tabung, memiliki alat reproduksi berupa testis pada jantan dan ovarium
pada betina. Jantan memiliki spikula sedangkan betina tidak. Pada bagian anterior
tubuh jantan dan betina memiliki phoryna (faring) (Gambar 12).
15
Gambar 12 Anatomi dan Morfologi Nematoda (Ghufran & Kordi 2004)
Nematoda dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan siklus
hidupnya. Kelompok pertama yaitu Nematoda yang memilki silkus hidup
langsung yaitu tidak membutuhkan inang antara dalam berkembang biakannya.
Kelompok kedua ialah Nematoda yang membutuhkan inang antara dalam masa
perkembangbiakannya. Nematoda jenis ini ada yang menjadikan ikan sebagai
inang definitif ataupun inang antara. Jika ikan hanya sebagai inang antara maka
inang definitifnya adalah hewan pemakan ikan seperti burung pemakan ikan atau
mamalia (Irianto 2005).
Gambar 13 Siklus Hidup Nematoda (Noga 1996)
16
Infeksi oleh Nematoda pada ikan dapat memperlihatkan gejala klinis
berupa hemoragi, pembentukan kista atau granuloma, bintil – bintil atau nodul
eksternal, inflamasi dan nekrosis. Keberadaan nematoda pada saluran pencernaan
dapat merusak dinding traktus intestinal yang dapat mengganggu proses
penyerapan makanan, menurunkan nafsu makan dan berujung pada penurunan
berat badan serta produksi.
Cestoda merupakan parasit dari phylum Platyhelminthes. Cacing ini
dikenal juga dengan sebutan cacing pita. Menurut Muslim (2005) cestoda sering
ditemukan pada pencernaan manusia dan vertebrata, sedangkan larvanya dapat
ditemukan pada vertebrata dan avertebrata. Parasit ini memiliki bentuk tubuh
pipih seperti pita dan memiliki ruas–ruas di tubuhnya. Cacing jantan dan betina
memiliki masing–masing testis dan ovari sebagai alat reproduksinya. Pada bagian
anterior tubuhnya cacing ini memiliki alat hisap serta asetabulum untuk menempel
pada inangnya (Ghufran & Kordi 2004).
Cestoda dapat dibedakan tiga jenis jika dikelompokkan berdasarkan
bentuk scolexnya yaitu proteocephalid, pseudophyllid dan caryophyllaeid
(Gambar 14).
Gambar 14 Tipe Scolex Cestoda (Noga 1996)
Cestoda memiliki lebih dari satu inang, ikan bisa saja merupakan inang
antara atau inang definitif dari parasit ini tergantung jenisnya (Gambar 15).
17
Cacing dapat menginfeksi otot, saluran pencernaan dan rongga tubuh ikan . Gejala
klinis yang ditunjukkan adalah nafsu makan menurun, metabolisme terganggu
sehingga terjadi penurunan berat badan, serta dapat menyebabkan obstruksi di
saluran pencernaan (Irianto 2005).
Gambar 15 Siklus Hidup Cestoda (CDC 2012)
18
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 hingga bulan Maret 2012
bertempat di Laboratorium Helmintologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan dan Laboratorium Bateriologi Bagian Mikrobiologi Medis Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel ikan patin,
NaCl fisiologis, etanol bertingkat, etanol absolut, ethanol 70%, minyak cengkeh,
pewarna Semichon’s Acetocarmine, entelan, xylol, aquades, Blood Agar, Mac
Conkey Agar, Nutrient Agar, pewarna Gram, glukosa, sukrosa, maltosa, laktosa,
manitol, indol, TSIA, sitrat, KOH 10% dan KOH 4%.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat alat bedah,
timbangan, cawan petri, pinset, kait, pipet tetes,gunting, botol kaca, spidol, label
nama, gelas objek dan kaca penutup, mikroskop cahaya, mikroskop stereo, video
mikroskop, bunsen, ose, needle, tabung reaksi dan rak tabung reaksi.
Metode Penelitian
1. Teknik Pengambilan Sampel
Sampel ikan diambil dari kolam petani ikan patin di daerah Parung Kabupaten
Bogor sebanyak 10 ekor dengan berat rata–rata 500 g.
2. Teknik Parasitologi
Ikan patin yang masih hidup dimatikan dengan cara menusuk bagian
medial kepala tepat di otak. Insang ikan dikeluarkan kemudian diletakkan ke
dalam cawan petri yang telah diisi dengan NaCl fisiologis. Rongga perut ikan
dibuka kemudian saluran pencernaan (usus dan lambung) dikeluarkan diletakkan
ke dalam cawan petri yang telah diisi NaCl fisiologis. Kemudian sampel
dimasukkan ke dalam refrigerator selama kurang lebih 10 jam untuk
merelaksasikan cacing. Setelah itu insang disisir di bawah mikroskop stereo untuk
mengoleksi cacing. Saluran pencernaan dibuka lumennya kemudian disisir di
19
bawah mikroskop stereo untuk mengoleksi cacingnya. Cacing yang ditemukan
direlaksasikan di dalam NaCl fisiologis kemudian difiksasi di dalam etanol 70%
sebelum diwarnai.
3. Pewarnaan
Pada penelitian ini digunakan dua jenis teknik pewarnaan, yaitu
pewarnaan permanen untuk trematoda dan pewarnaan semi permanen untuk
Nematoda.
a. Pewarnaan Permanen
Pewarnaan permanen atau dikenal juga dengan pewarnaan Semichon’s
Acetocarmine biasa digunakan untuk mengindentifikasi cacing pipih (golongan
trematoda). Tahap pertama dalam pewarnaan ini adalah dengan merendam
spesimen dalam larutan Semichon’s Acetocarmine selama 15-20 menit (sampai
warna terserap dan spesimen berubah warna menjadi merah cerah). Setelah itu
spesimen dibilas dengan menggunakan etanol 70% dan kemudian direndam di
dalam larutan asam alkohol (99 bagian etanol 70% dicampur dengan 1 bagian
HCl). Kemudian dilakukan dehidrasi pada spesimen dengan menggunakan etanol
bertingkat (70%, 85%, 95%, 100%) dengan cara merendamnya selama 5 menit
pada setiap konsentrasi etanol. Setelah itu spesimen direndam di dalam xylol
sampai spesimen terlihat tembus pandang. Langkah terakhir adalah spesimen di-
mounting dengan entelan sebagai media fiksasi (Soulbsy 1982).
b. Pewarnaan Semi Permanen
Teknik pewarnaan ini menggunakan KOH dan minyak cengkeh yang
diaplikasikan untuk pewarnaan Nematoda. Tahapan pewarnaannya ialah penipisan
dan penghilangan lapisan kutikula cacing yang dilakukan dengan cara merendam
spesimen dalam KOH 10% selama 1-3 menit sampai lapisan kutikula terlihat
tembus pandang. Setelah itu spesimen dipindahkan ke dalam minyak cengkeh
selama kurang lebih 30 detik sampai 1 menit sampai organ–organ tubuh terlihat
jelas. Kemudian cacing didehidrasi dengan dimasukkan ke dalam etanol
bertingkat (70%, 85%, 95%) masing–masing selama 15 sampai 30 detik.
Spesimen yang telah didehidrasi di-mounting dengan entelan sebagai media
fiksasi (Khairunnisa 2007).
20
4. Pemeriksaan Bakteri
Ikan
ditimbang
Sampel digerus
Pewarnaan Gram
Agar darah Agar Mac Conkey
Koloni terpisah
Isolat Murni pada agar nutrien
Pewarnaan Gram
Positif (+) Negatif (-)
Coccus Batang Batang Coccus
Uji Oksidase Neisseria
(+) (-)
Batang berspora Batang tidak berspora
(+) (-)
Katalase Bacillus sp. Enterobactericeae Non Enterobactericeae
TSIA
(+) (-) Indol
Sitrat
Urea
Microcaccaceae Streptococcoceae Fermentasi karbohidrat
Uji Glukosa Mikroaerofilik
Mycobacterium
Corynebacterium
(-) (+) Propionobacterium
Lactobacillus
Micrococcus Staphylococcus
MSA
(+) (-)
S. aureus S. epidermidis
Gambar 16 Diagram alir identifikasi bakteri (Lay 1994)
21
Persiapan Bahan
Contoh berupa insang dan saluran pencernaa ikan. Insang dipotong ±1x1 cm
ditambah ±10 tetes aquades digerus dan hasil gerusan ditanam pada media MCA
dan agar darah. Sisa organ insang diletakkan didalam cawan petri yang berisi
NaCl fidiologis. Satu tetes isi saluran pencernan ditambah ±10 tetes aquades
digerus dan hasil gerusan ditanam pada media MCA dan agar darah. Sisa saluran
pencernaan diletakkan didalam cawan petri yang berisi NaCl fidiologis, kemudian
digunting sampai. Pengerjaannya dilakukan secara aseptis.
Isolasi Bakteri
Suspensi hasil gerusan ditanam di atas media agar darah dan agar Mac-
conkey untuk menumbuhkan koloni dengan teknik goresan T. Media yang telah
digores kemudian diinkubasi selama kurang lebih 24 jam. Koloni terpisah yang
tumbuh pada agar darah dan agar Mac-conkey dikarakterisasi berdasarkan
persamaan morfologis, yaitu ukuran, warna, bentuk, tepi permukaan, dan
transparansi. Koloni bakteri yang berbeda diambil dan dibiakkan pada agar
nutrien sebagai isolat murni pada suhu 37 °C selama 24 jam dan dilakukan
pewarnaan Gram untuk mengetahui sifat Gram dan morfologi bakteri. Menurut
Lay (1994), teknik pewarnaan Gram yaitu spesimen ditetesi kristal violet selama 1
menit kemudian dibilas dengan aquades. Setelah itu, spesimen ditetesi dengan
larutan pemucat (alkohol) selama 10-20 detik. Tahap terakhir ialah spesimen
ditetesi safranin selama 1 menit kemudian dibilas dengan aquades serta
dikeringkan dengan kertas pengering.
Identifikasi Bakteri
Pengamatan mikroskopik dengan pewarnaan Gram dilakukan kembali untuk
memperjelas morfologi dan sifat Gram dari suatu bakteri. Bakteri yang bersifat
Gram positif dengan bentuk batang terbagi menjadi dua, yaitu batang besar
memiliki spora dan tidak berspora. Batang berspora secara umum terdiri dari
genus Bacillus sp. (aerob) dan Clostridium (anaerob). Bakteri yang berbentuk
batang yang tidak memiliki spora secara umum dibedakan dengan bakteri yang
22
tahan asam yaitu Mycobacterium dan tidak tahan asam (Corynebacterium dan
Listeria).
Isolat dengan hasil Gram positif yang berbentuk coccus, selanjutnya diuji
dengan uji katalase. Katalase adalah enzim yang mengkatalisiskan (H2O2) menjadi
air dan oksigen. Penentuan adanya katalase diuji dengan penambahan 3% H2O2
pada koloni terpisah. Uji ini dilakukan untuk membedakan antara bakteri
kelompok Microcaccaceae dan Streptococcoceae (Lay 1994). Kelompok
Streptococcoceae bersifat katalase negatif, sedangkan kelompok Microcaccaceae
bersifat katalase positif. Bakteri yang bersifat katalase positif akan terlihat
pembentukan gelembung udara di sekitar koloni. Reaksi kimiawi yang
dikatalisasikan oleh enzim katalase terlihat berikut:
Bakteri dengan sifat katalase positif selanjutnya dilakukan uji. Hasil negatif
uji glukosa menunjukkan bakteri Micrococcus, sedangkan hasil positif
menunjukan bakteri Staphylococcus. Bakteri dengan hasil positif kemudian
dilakukan uji pada agar Manitol Salt Agar (MSA) yang mengandung kadar NaCl
tinggi, sehingga akan menghambat pertumbuhan bakteri selain Staphylococcus.
Media ini terutama digunakan untuk membedakan kelompok Staphylococcus yang
bersifat patogen dan non-patogen. S. aureus pada umumnya bersifat patogen dan
menghasilkan warna kuning pada agar. S. epidermidis bersifat tidak patogen dan
membentuk zona merah pada agar. Warna kuning disebabkan oleh fermentasi
manitol disertai pembentukan asam, sedangkan warna merah disebabkan manitol
yang tidak difermentasikan.
Uji oksidase berfungsi untuk menentukan adanya oksidase sitokrom pada
mikroorganisme. Uji ini berguna dalam identifikasi mikroorganisme patogen
seperti Neisseria gonorhoea dan Pseudomonas aeruginosa yang menunjukkan
hasil positif terhadap uji oksidase. Reagen uji oksidase terdiri dari 1:1 (vol/vol)
laruran 1% alpha-naphtol dan 1% dimetil-p-fenillendiamin oksalat. Tahapan
dalam uji oksidase ialah dengan pencampuran koloni terpisah dengan reagen.
Hasil oksidase positif ditunjukkan dengan warna koloni yang berubah menjadi
berwarna hitam setelah 30 menit. Hal ini disebabkan oksidase sitokrom
mengoksidasikan larutan reagen (Lay 1994). Hasil uji oksidasi positif dapat
23
dilanjutkan dengan proses identifikasi menggunakan media Triple Sugar Iron
Agar (TSIA), indol, MRVP (Methyl Red–Voges Proskauer), sitrat, urea, uji
fermentasi karbohidrat. Hasil uji oksidase yang menunjukkan hasil negatif
mengindikasikan jenis bakteri Pseudomonas dan Bordetella.
Uji TSIA dilakukan dengan menggunakan Triple Sugar Iron Agar. Media
mengandung tiga macam gula yaitu glukosa, laktosa dan sukrosa, selain itu media
juga mengandung indikator merah fenol dan FeSO4 untuk memperlihatkan
pembentukan H2S yang ditunjukkan dengan adanya endapan hitam. Konsentrasi
glukosa adalah 1/10 dari konsentrasi laktosa atau sukrosa agar fermentasi glukosa
dapat terlihat. Media TSIA terdiri dari dua bagian yaitu butt (bawah) dan slant
(atas). Tahapan uji TSIA yaitu koloni bakteri diambil dengan menggunakan
needle, kemudian ditusukkan pada bagian tengah butt dan langsung dilanjutkan
dengan penggoresan di bagian slant. Setelah itu media diinkubasi pada suhu 37 °C
selama 24-48 jam (Lay 1994).
Reaksi yang dapat terlihat pada media TSIA adalah bagian butt bersifat
asam dan berwarna kuning sedangkan bagian slant bersifat basa dan berwarna
merah akibat dari fermentasi glukosa. Keseluruhan media terjadi pembentukan
asam sehingga seluruh media berwarna kuning akibat fermentasi laktosa atau
sukrosa atau keduanya. Adanya pembentukan gas pada bagian butt, sehingga
media terpecah akibat pembentukan gas seperti H2 dan CO2. Seluruh media
berwarna merah karena ketiga jenis glukosa tidak difermentasi. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dapat terbentuk endapan hitam pada bagian butt karena
pembentukan H2S (Lay 1994).
Uji indol dilakukan dengan menggunakan media indol yang kaya akan
triptofan. Koloni bakteri yang telah diambil dengan menggunakan needle
ditusukkan ke bagian tengah media kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama
24-48 jam. Uji indol dilakukan dengan penambahan reagen Erlich-Bohme
sebanyak 2-3 tetes dan ditunggu selama 2-3 menit. Hasil uji positif terlihat dengan
terbentuknya warna merah pada permukaan media. Media indol berbentuk semi
padat sehingga dapat digunakan untuk mengetahui pergerakan bakteri. Bakteri
yang bersifat motil terlihat pertumbuhan koloni di sekitar tusukan dan di
permukaan media (Lay 1994).
24
Uji Methyl Red digunakan untuk menentukan adanya fermentasi asam
campuran. Fermentasi asam campuran ditentukan dengan cara menumbuhkan
mikroorganisme dalam kaldu yang mengandung glukosa dan menambahkan
reagens methyl red ke dalam kaldu setelah masa inkubasi pada suhu 37 °C selama
24 jam. Kaldu biakan akan berubah menjadi kuning atau jingga jika tidak terjadi
fermentasi asam campuran. Uji ini sangat berguna dalam mengidentifikasi
kelompok bakteri yang menempati saluran pencernaan.
Uji Voges Proskauer digunakan untuk mengidentifikasi mikroorgnisme
yang memfermentasi 2,3-butanadiol yang mengakibatkan penumpukan bahan
dalam pertumbuhan. Penambahan 10 tetes 40% KOH dan 15 tetes 5% larutan
alphanapthol dalam etanol dapat menentukan adanya asetoin
(asetilmetilkarbinol), yaitu suatu senyawa pemuka dalam sintesis 2,3-butanadiol.
Keberadaan asetoin ditunjukkan oleh perubahan warna kaldu menjadi merah
muda. Hasil reaksi dapat terlihat paling lambat setelah 30 menit. Perubahan warna
kaldu biakan akan lebih jelas pada bagian yang berhubungan dengan udara karena
sebagian 2,3-butanadiol dioksidasikan kembali menjadi asetoin sehingga
memperjelas hasil reaksi.
Uji sitrat dilakukan dengan menggunakan media Simmon’s citrate yang
berbentuk padat dan berwarna hijau. Media sitrat merupakan medium sintetik
dengan Na sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon, NH4+
sebagai sumber N dan
brom thymol blue sebagai indikator pH. Koloni bakteri yang telah diambil dengan
menggunakan ose kemudian digoreskan pada permukaan media dan diinkubasi
pada suhu 37
°C selama 24-48 jam. Hasil uji positif diperlihatkan dengan
perubahan warna media dari warna hijau menjadi biru. Hal ini menunjukan
kemampuan dari bakteri yang diuji dalam menggunakan sitrat dari media sebagai
satu-satunya sumber karbon (Lay 1994).
Uji urea dilakukan dengan menggunakan media urea yang berbentuk padat
dan berwarna merah-jingga. Koloni bakteri digoreskan pada permukaan media
dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Hasil uji positif terlihat dengan
perubahan warna media dari merah-jingga menjadi merah-ungu karena terjadinya
proses hidrolisis urea (Lay 1994).
25
Uji fermentasi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan media kaldu
karbohidrat yaitu glukosa, sukrosa, laktosa, maltosa, dan manitol yang
mengandung indikator brom cresol purple (BCP) dan di dalam tabung terdapat
tabung Durham sebagai indikator pembentukan gas. Koloni bakteri yang telah
diambil dengan menggunakan ose diinokulasi ke dalam media kemudian
diinkubasi pada suhu 37 °C selama 24-48 jam. Hasil positif uji fermentasi
karbohidrat diperlihatkan dengan perubahan warna media dari merah menjadi
kuning. Pembentukan gas dapat terlihat dengan adanya gelembung gas pada
tabung durham.
26
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian tentang identifikasi
bakteri dan cacing parasitik pada insang dan saluran pencernaan ikan patin
(Pangasius sp.) dengan menggunakan sepuluh sampel ikan patin, jenis–jenis
bakteri dan cacing parasitik yang ditemukan adalah :
Tabel 1 Hasil Identifikasi Cacing Parasitik dan Bakteri pada Ikan Patin
Ikan Cacing (Jumlah) Bakteri
Insang Saluran
Pencernaan
Insang Saluran Pencernaan
1 Dactylogyrus sp. (19)
Pseudodactylogyrus sp. (8) - Aeromonas sp. Aeromonas sp.
Escherichia coli
2 Dactylogyrus sp. (24)
Pseudodactylogyrus sp. (32) - Staphylococcus epidermidis
Aeromonas sp.
Staphylococcus
epidermidis
3 Dactylogyrus sp. (9)
Pseudodactylogyrus sp. (12) - Aeromonas sp.
Aeromonas sp.
4 Dactylogyrus sp. (29)
Pseudodactylogyrus sp. (13) - Staphylococcus epidermidis
Staphylococcus
epidermidis
5 Dactylogyrus sp. (38)
Pseudodactylogyrus sp. (18) - Streptococcus sp. Staphylococcus
epidermidis
Aeromonas sp.
6 Dactylogyrus sp. (9)
Pseudodactylogyrus sp. (11) - Streptococcus sp.
Aeromonas sp.
7 Dactylogyrus sp. (17)
Pseudodactylogyrus sp. (8) - Aeromonas sp.
Bacillus sp.
Aeromonas sp.
8 Dactylogyrus sp.(9)
Pseudodactylogyrus sp. (5) - Aeromonas sp.
Vibrio cholerae
Streptococcus sp.
9 Dactylogyrus sp. (10)
Pseudodactylogyrus sp. (4) - Aeromonas sp.
Edwardsiella tarda
Edwardsiella tarda
10 Dactylogyrus sp. (15)
Pseudodactylogyrus sp. (16) - Aeromonas sp.
Escherichia coli
Bakteri Pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin
Edwardsiella tarda
Gambar 17 Pewarnaan Gram Edwardsiella Tarda pada Insang Ikan Patin.
27
Koloni bakteri yang tumbuh terpisah diamati kemudian diisolasi dan
dilakukan serangkaian uji dan pengamatan sesuai dengan karakter Edwardsiella
tarda yang merujuk pada Jang et al. (1976) dan Cowan & Steel (1990). Menurut
Ismail et al. (2005) karakter definitif dari E. tarda adalah terbentuknya H2S dan
indol positif selain karakater umumnya yang merupakan bakteri Gram negatif,
aerob, negatif oksidase dan VP (Voges Proskauer).
Edwardsiella tarda ditemukan di insang dan saluran pencernaan ikan
patin. Namun menurut Carter & Wise (2004) E. tarda biasa ditemukan pada
traktus intestin hewan dan manusia serta air kolam. Keberadaan bakteri ini di
insang kemungkinan berhubungan dengan habitatnya di air kolam yang sangat
memberikan peluang bagi E. tarda hidup di insang yang merupakan salah satu
organ yang memiliki kontak besar dengan air.
Edwardsiellosis/emphisemathous putrevactive disease of catfish (EPDC)
atau Edwardsiella septicaemia (ES) merupakan penyakit akibat infeksi
Edwarsiella tarda pada ikan patin (Post 1987). Gejala klinis yang ditimbulkan
oleh infeksi E. tarda pada tahap infeksi ringan hanya berupa luka–luka kecil di
bagian kulit namun infeksi lebih lanjut menyebabkan luka bernanah pada otot dan
lambung. Pada kasus akut luka bertambah besar dalam waktu cepat, berisi gas
(H2S), berbentuk cembung dan menyebar ke seluruh tubuh. Gejala khas pada ikan
patin ialah perdarahan pada organ viseral (Austin 1999). Hal ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan Andriyanto et al. (2009), ikan patin yang dinfeksi
E. tarda menunjukkan gejala klinis berupa luka (ulser) dari muskular sampai
pedunkel, perdarahan pada sirip dan anus, perut membesar, organ interna bengkak
dan pucat serta ulser yang terjadi menimbulkan bau.
Edwardsiella tarda merupakan bakteri yang bersifat zoonotik. Infeksi E.
tarda pada manusia dapat menyebabkan gastroenteritis, diare, peritonitis dengan
sepsis dan selulitis serta pada infeksi ekstra intestinal dapat menyebabkan
penyakit menyerupai tifus (Woo & Bruno 1999).
Tindakan utama untuk menghindari infeksi oleh E. tarda ialah dengan
memberikan pakan yang kaya akan nutrisi pada ikan sehingga ikan dapat
mempertahankan imunitas tubuhnya dalam keadaan baik. E. tarda merupakan
polusi lingkungan sehingga perlu tindakan perbaikan kualitas air kolam
28
pemeliharaan ikan. Jika infeksi berlanjut dapat dilakukan pengobatan dengan
menggunakan terramycin, oxytetracyclin dan sulfonamid (Bullock & Herman
1985).
Aeromonas sp.
Gambar 18 Pewarnaan Gram Aeromonas sp. pada Saluran Pencernaan Ikan
Patin.
Hasil koloni yang tumbuh terpisah diamati dan diisolasi serta dilakukan
serangkaian uji sesuai dengan karakter Aeromonas sp. yang merujuk pada Jang et
al. (1976) dan Cowan & Steel (1990). Bakteri Aeromonas diklasifikasikan ke
dalam filum Protophyta, kelas Schizomycetes, ordo Pseudanonadeles, famili
Vibrionaceae, genus Aeromonas dan spesies Aeromonas sp. (Holt et al. 1998).
Aeromonas sp. ditemukan di insang dan saluran pencernaan ikan patin.
Menurut Songer dan Post (2005) Aeromonas sp. dapat ditemukan di air, tanah dan
feses. Namun secara lebih spesifik Noga (1996) menjelaskan bahwa bakteri ini
banyak terdapat di air tawar yang mengandung banyak bahan organik dengan
kadar salinitas rendah. Selain itu Aeromonas sp. dapat ditemukan di permukaan
tubuh dan organ dalam ikan. Hal ini menguatkan pernyataan Songer dan Post
pada tahun 2005 bahwa Aeromonas sp. dapat menyebabkan infeksi dengan tingkat
mortalitas yang tinggi pada satwa aquatik.
Aeromonas hydrophila merupakan salah satu spesies dari genus
Aeromonas yang menyebabkan penyakit motile aeromonad septicaemia/motile
aeromonad infection/hemorrhagic septicemia (Camus et al. 1998). Pada ikan
patin infeksi terdiri dari tiga kategori yaitu infeksi dengan gejala klinis eksternal,
29
infeksi dengan gejala klinis dan manifestasi lesio pada kulit dan otot di daerah
bawah kulit dan infeksi laten septicaemia tanpa gejala klinis eksternal, melainkan
internal berupa oedema, hemoragi dan nekrosis (Woo 2006). Muslim dan
Widjayanti (2009) menyatakan bahwa ikan patin yang diinfeksi dengan A.
hydrophila menampakkan gejala klinis berupa pergerakan ikan lambat, produksi
mukus yang berlebihan, mata cekung, insang pucat, perut kembung, terdapat
bintik–bintik merah pada seluruh permukaan tubuh, mulut kemerahan, ekor
geripis dan bila dibedah terdapat cairan berwarna kuning kehitaman.
Aeromonas sp. juga dapat menginfeksi beberapa jenis vertebrata termasuk
katak, kura-kura dan manusia. Berdasarkan laporan yang tercatat, infeksi
Aeromonas sp. pada manusia dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal dan
infeksi yang bersifat sistemik (Noga 1996). Beberapa strain dari A. hydrophila
dapat menyebabkan kasus enteropathogenic, khususnya pada anak – anak, orang
tua dan penderita immunocompromised (rusaknya imun akibat infeksi patogen)
(Trower et al. 2000).
Tindakan utama untuk menghindari infeksi oleh Aeromonas sp. ialah
dengan memberikan pakan yang kaya akan nutrisi pada ikan sehingga ikan dapat
mempertahankan imunitas tubuhnya dalam keadaan baik. Koreksi terhadap
kualitas lingkungan seperti kualitas air sehingga dapat mengurangi tingkat stres
ikan. Vaksinasi dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan infeksi. Vaksinasi
pada induk dapat memberikan kekebalan terhadap anak dalam waktu 3 minggu
(maternal antibody) (Lusiastuti & Hadie 2010). Infeksi yang bersifat akut dengan
mortalitas tinggi dan nafsu makan yang rendah dapat diatasi dengan pemberian
antibiotik seperti tetracyclin, chloramphenicol, florfenicol, derivat nitrofuran dan
asam pyridonecarboxylic (Woo & Bruno 1998).
30
Vibrio cholerae
Gambar 19 Pewarnaan Gram Vibrio cholerae pada Insang Ikan Patin
Vibrio cholerae merupakan agen dari penyakit cholera pada manusia.
Transmisi dari bakteri ini melalui air yang terkontaminasi feses. Dulu V. cholerae
hanya mampu hidup di dalam tubuh dan feses manusia namun sekarang V.
cholerae telah hidup bebas di alam dan memiliki reservoar alamiah. V. cholerae
juga dapat diisolasi dari udang, kerang, remis, dan kepiting (Lesmana 2004).
V. cholerae memiliki kapsul polisakarida, lipopolisakarida, pili dan
menghasilkan toksin. Toksin yang dihasilkan oleh V. cholerae mirip dengan
toksin yang dihasilkan oleh Escherichia coli. Toksin ini memiliki dua subunit,
yaitu subunit A dan B. Subunit B merupakan media untuk masuknya subunit A
yang dapat mengaktifkan adenylat cyclate cellular, sehingga terjadi akumulasi
cAMP dan hipersekresi dari elektrolit dan cairan (Post & Songer 2005).
V. cholerae bukan merupakan bakteri patogen yang umum ditemukan
pada ikan patin. Menurut Noga (1996) hanya ada satu laporan dari negara Jepang
tentang infeksi V. cholerae pada ikan. Keberadaan bakteri ini pada sampel ikan
patin yang diteliti kemungkinan berhubungan dengan air yang terkontaminasi oleh
bakteri V. cholerae. Spesies Vibrio yang bersifat patogen pada ikan diantara
Vibrio anguillarum, V. ordalii, V. damsela, V. carchariae, V. alginolyticus dan V.
vulnificus biogrup 2 (Mahardika & Zafran 2004).
31
Escherichia coli
Gambar 20 Pewarnaan Gram Escherichia coli pada Saluran Pencernaan
Ikan Patin
Menurut Songer dan Post (2005) E. coli merupakan bakteri Gram negatif
yang berukuran medium hingga panjang sekitar 0.4-0.7 µm dan 1-3 µm, tunggal
dan berpasangan. E. coli bersifat oksidasi negatif, motil dan katalase positif.
Hampir semua spesies E. coli mampu menghasilkan asam dan gas dari fermentasi
glukosa. E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan sehingga dapat
diisolasi pada feses, selain itu dapat ditemukan di lingkungan seperti air dan
tanah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, dimana E. coli ditemukan di saluran
pencernaan. Hampir semua strain E. coli bersifat low pathogenic tapi ada
beberapa strain dari E. coli bersifat high patogen dan bersifat opportunis infeksi
diantaranya Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Enteropathogenic E. coli (EPEC),
Enterohemorragic E. coli (EHEC), Enteroaggregative E. coli (EAEC),
Enteroinvasife E. coli (EIEC) dan Difuse Adhering E. coli (DAEC) (Bhunia
2008).
Bacilllus sp.
Gambar 21 Pewarnaan Gram Bacilllus sp. pada Insang Ikan Patin
32
Bacilllus sp. merupakan bakteri Gram positif yang berbentuk batang yang
berukuran medium hingga panjang. Bakteri ini dapat hidup secara aerob dan
anaerob fakultatif. Hampir semua spesies dari dari Bacilllus sp. bersifat katalase
positif dan motil. Ciri khas dari Bacilllus sp. ialah memiliki spora yang terlihat
jelas dengan menggunakan pewarnaan Gram. Bacilllus sp. hidup di lingkungan
seperti di tanah (Songer & Post 2005). Selama dilakukan penelitian Bacilllus sp.
ditemukan di insang dari ikan, hal ini mungkin berhubungan dengan kontaminasi
air oleh tanah sekitar yang tercemar Bacilllus sp.
Bacilllus sp. memiliki lebih dari 40 jenis spesies, tetapi hanya beberapa
diantaranya yang bersifat patogen. Beberapa spesies yang bersifat patogen
diantaranya Bacillus cereus dapat menyebabkan gangrenous mastitis pada sapi
dan terkadang menyebabkan aborsi pada sapi, domba dan kuda. Bacillus
licheniformis dapat menyebabkan aborsi pada sapi. Spesies yang paling bersifat
patogen adalah B. anthracis yang dapat menyebabkan penyakit anthrax yang
paling sering menyerang domestic dan wild ruminan serta kuda (Songer & Post
2005).
Streptococcus sp.
Gambar 22 Pewarnaan Gram Streptocoocus sp. pada Insang Ikan Patin
Streptococcus sp. merupakan bakteri Gram positif. Pada pewarnaan gram
bakteri ini memperlihatkan warna ungu dengan bentuk coccus (bulat) berantai.
Pada uji katalase Streptococcus sp. memperlihatkan hasil negatif yaitu dengan
tidak terbentuknya gelembung gas di sekitar koloni yang ditetesi dengan pereaksi
33
H2O2 3%. Hal ini mengindikasikan bahwa Streptococcus sp. tidak menghasilkan
enzim katalase sehingga tidak ada reaksi yang terjadi (Lay 1994).
Streptococcus sp. merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk bulat
memiliki sifat fakultatif anaerob, katalase positif, tidak berspora dan tidak motil.
Habitat dari Streptococcus sp. tergantung jenis dari bakterinya, selain itu bakteri
ini banyak di lingkungan sehingga dapat mengkontaminasi air dan tanah.
Streptococcus sp. yang bersifat patogen pada hewan dibagi kedalam grup A, B, C,
D, E, G, L dan V. Selain dibagi kedalam beberapa grup seperti yang dijelaskan
sebelumnya, Streptococcus sp. juga dibagi ke dalam dua grup yaitu β-hemolytic
Streptococcus (S. pyogen, S. agalctiae, S. canis, S. porcinus dan lain – lain) dan
non β-hemolytic Streptococcus (S. pneumoniae, S. equinus, S. suis dan S. uberis)
(Songer & Post 2005).
S. agalactiae merupakan spesies yang bersifat patogen pada ikan air tawar,
namun kasusnya jarang terjadi pada ikan patin tetapi sering ditemukan pada ikan
nila dengan gejala klinis berupa exophtalmia, meningoencepalitis, vakuolisasi dan
nekrosis sel – sel hati serta nekrosis dan kongesti limpa (Lusiastuti 2010).
Staphylococcus epidrmidis
Gambar 23 Pewarnaan Gram Staphylococcus sp. Pada Insang Ikan Patin
Bakteri Gram positif yang berbentuk bulat dapat dibagi kedalam dua grup
yaitu grup katalase positif yang merupakan famili Micrococcaceaea (genus
Micrococcus, Staphylococcus dan Rothia). Selanjutnya grup katalase negatif
terdiri dari genus Streptococcus, Enterococcus, Gemella, Globicatella,
Helcococcus dan Vagococcus. Staphylococcus merupakan bakteri yang sering
34
ditemukan pada spesimen klinik hewan. Beberapa spesies Staphylococcus yang
penting di dunia kedokteran hewan adalah S. aureus, S. epidermidis, S. warneri, S.
saprophyticus, S. kloosii, S. intermedius, S. hycus dan lain – lain (Songer & Post
2005).
S. epidermidis tidak bersifat patogen pada ikan patin. Namun menurut
Baehaki (2005) ada strain S. epidermidis yang menghasilkan protease yang
bersifat toxic tetapi belum diketahui dapat menginfeksi ikan patin atau tidak.
Selain itu Sutrisno dan Purwandari (2004) menginjeksikan Staphylococcus sp.
secara intraperitoneal pada ikan nila menunjukkan gejala klinis berupa abdomen
membesar, berisi cairan, insang pucat, ekor nekrosis, dorsal erosi, lesu, berenang
di permukaan dan pada posisi lateral tubuh. Injeksi buatan dari Staphylococcus sp.
ini menyebabkan kematian pada 80% sampel.
Cacing Parasitik pada Insang dan Saluran Pencernaan Ikan Patin
Dactylogyrus sp.
Gambar 24 Cacing Dactylogyrus sp
Keterangan gambar : 1. Kepala; 2. Badan; 3. Ekor; a. Organ Kepala; b.
Mata; c. Pharynx; d. Ovarium; e. Dorsal Anchor; f. Dorsal Bar; g.
Marginal Hook
35
Dactylogyrus sp. memiliki panjang tubuh 0.7 mm, lebar tubuh 0.18 mm
dan 2 buah spot mata yang terlihat. Menurut Noga (1996) Dactylogyrus sp
memiliki panjang tubuh rata – rata 0.3 – 2 mm. Menurut Bychowsky (1961)
Dactylogyrus sp. dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 2-5 mm untuk spesies
yang berukuran sedang dan >5 mm untuk spesies yang berukuran besar.
Dactylogyrus sp. memiliki 2 pasang kait besar pada bagian posteriodorsal (dorsal
anchor) yang dihubungkan oleh dorsal bar. Pada bagian pinggir dari dorsal anchor
terdapat 14 kait kecil (marginal hook) yang memilki ukuran yang bervariasi.
Selanjutnya Bychowsky (1961) menjelaskan bahwa Dactylogyrus sp. merupakan
parasit yang bersifat hermaprodit yang memiliki ovarium dan testis sekaligus.
Sesuai dengan Gambar 24 terlihat bentuk organ ovarium namun organ testis tidak
terlalu jelas.
Dari sepuluh sampel yang digunakan, semuanya menunjukkan hasil positif
terhadap keberadaan Dactylogyrus sp. pada organ insang. Dactylogyrus sp.
termasuk ke dalam jenis ektoparasit yang hidup di insang ikan. Parasit ini bersifat
patogen bagi ikan–ikan air tawar (Abdullah 2009).
Dactylogyrus sp. dewasa melepaskan telur ke lingkungan. Telur akan
berkembang menjadi oncomirasidia yang dilengkapi dengan kait–kait halus
sehingga oncomirasidia dapat melekat pada bagian tubuh ikan terutama insang.
Oncomirasidia tumbuh dewasa di tubuh inang dan kembali menghasilkan telur
(Noga 1996).
Infeksi Dactylogyrus sp. pada ikan menyebabkan meningkatnya sekresi
mucus, warna kulit menjadi gelap, epitel insang hiperplasia, insang pucat dan
hemoragi pada kulit. Keberadaan Dactylogyrus sp. dapat menyebabkan luka pada
kulit dan insang sehingga dapat mengundang datangnya bakteri dan menyebabkan
infeksi sekunder. Tingkat mortalitas akibat infeksi Dactylogyrus sp. bergantung
pada jumlah populasi dan imunitas dari inang. Semakin banyak jumlah populasi
dan semakin rendah imunitas maka tingkat mortalitas akan semakin meningkat,
begitu pula sebaliknya (Woo et al. 2002).
Tindakan utama yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi oleh
Dactylogyrus sp. adalah dengan perbaikan pakan dan kualitas lingkungan
sehingga tingkat stres menurun dan imunitas meningkat. Jika terjadi infeksi pada
36
ikan oleh Dactylogyrus sp. dapat diatasi dengan pemberian anthelmintik seperti
mebendazole dan praziquantel selain itu dapat juga menggunakan formalin atau
organophospat dan potasium permanganat (Woo 2006).
Pseudodactylogyrus sp.
Gambar 25 Cacing Pseudodactylogyrus sp.
Keterangan gambar : 1. Ventral Anchor; 2. Ventral Bar; 3. Mata; 4. Pharynx; 5.
Saluran Pencernaan; 6. Ovarium.
37
Pseudodactylogyrus sp. masih termasuk ke dalam famili Dactylogyrydae.
Parasit ini memiliki bentuk tubuh yang sangat mirip dengan Dactylogyrus sp.
tetapi Pseudodactylogyrus sp. memiliki haptor atau kait pada bagian
posterioventral tubuh yang terdiri dari 2 pasang ventral anchor yang dihubungkan
oleh ventral bar (Hoffman). Pseudodactylogyrus sp. memiliki marginal hook atau
kait kecil yang letaknya tidak beraturan. Parasit ini memiliki panjang tubuh
bervariasi sekitar 0.45-0.99 mm. Pseudodactylogyrus sp. merupakan parasit yang
bersifat hermaprodit sehingga memilki ovarium dan testis sekaligus di dalam
tubuhnya. Sesuai dengan Gambar 25, organ ovarium terlihat jelas namun organ
testis tidak terlalu jelas.
Pseudodactylogyrus bini dan P. angillae merupakan spesies yang sering
menyebabkan infeksi pada ikan air tawar. Infeksi menunjukkan gejala klinis
berupa hyperemi pada kulit dan insang, peningkatan sekresi mukus, dekstruksi
dari struktur insang, terkadang muncul hemoragi dan hyperplasia epitel insang
(Buchmann 1987).
Infeksi Pseudodactylogyrus sp. dapat dicegah dengan perbaikan
manajemen peternakan dan perbaikan kualitas pakan sehingga ternak terhindar
dari stres yang berimbas pada penurunan imunitas tubuh. Jika infeksi terjadi dapat
diobati dengan menggunakan potassium permanganate, sodium chloride, amonia
dan formaldehide. Pengobatan ini hanya berfungsi untuk menurunkan aktifitas
infeksi namun tidak dapat menghilangkan parasit secara total ((Buchmann 1987).
38
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Bakteri yang ditemukan pada saluran insang adalah Edwardsiella tarda,
Aeromonas sp., Streptocoocus sp. Staphylococcus epidermidis, Vibrio
cholerae, dan Bacilllus sp. Bakteri yang ditemukan pada saluran pencernaan
adalah Edwardsiella tarda, Aeromonas sp., Streptocoocus sp. Staphylococcus
epidermidis dan Escheriachia coli.
2. Cacing parasitik yang ditemukan pada insang adalah Dactylogirus sp. dan
Pseudodactylogyrus sp. Pada saluran pencernaan tidak ditemukan cacing
parasitik.
3. Jenis bakteri yang terdapat pada insang dan saluran pencernaan ikan patin
tidak jauh berbeda yaitu dari 7 spesies yang ditemukan 4 diantaranya ada di
kedua organ yaitu Edwardsiella tarda, Aeromonas sp., Streptocoocus sp. dan
Staphylococcus epidermidis. Sedangkan Vibrio cholerae, dan Bacilllus sp.
hanya ditemukan di insang dan Escheriachia coli hanya ditemukan di saluran
pencernaan.
4. Dua spesies bakteri yang ditemukan bersifat patogen pada ikan patin dan
bersifat zoonotik yaitu E. tarda dan Aeromonas sp.
Saran
1. Pada budidaya ikan patin agar dapat lebih memperhatikan dan meningkatkan
manajemen kesehatan dari ternak ikan diantaranya dengan meningkatkan
kualitas pakan dan lingkungan terutama air, sehingga faktor stres dan
imunosupresi yang menjadi pemicu penyakit dapat dikurangi.
2. Penelitian berikutnya diharapkan dapat melakukan uji yang lebih spesifik
terhadap bakteri yang terdapat pada ikan patin sehingga dapat diketahui
semua jenis bakteri sampai tingkat spesies. Begitu pula dengan cacing
parasitik, diharapkan pada penelitian berikutnya dapat menggunakan teknik
identifiksai yang lebih baik sehingga identifikasi menjadi lebih pasti dan
organ–organ dalam cacing terlihat lebih jelas.
39
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah SMA. 2009. Additional records of Dactylogyrus (Monogenea) from
some Cyprinid fishes from Darbandikhan lake, Iraq. Jorda J of Bio Sci
2:145-150.
Akbar J. 2001. Identifikasi parasit pada ikan Betok (Anaba testudius).
Bioscientiae 8:36-45.
Amri K,Khairuman. 2008. Buku Pintar Budi Daya 15 Ikan Konsumsi. Jakarta:PT
AgroMedia Pustaka.
Andriyanti S. et al. 2009. Deteksi Edwarsiella tarda secara immunohistokimia
pada ikan patin (Pangasius Pangasius). Indones J of Vet Sci & Medicine
1:7-12.
Anonim. 2012. Aeromonas Hydrophila. [terhubung berkala].
http://www.gopetsamerica.com/bio/bacteria/aeromonas-hydrophila.aspx.
[4 September 2012].
Anshary H. 2008. Modul Pembelajaran Berbasis Student Center Learning (SCL).
Mata Kuliah Parsitologi Ikan Fakultas Ilmu Kelautan Perikanan
Universitas Hassanudin.
Baehaki et al. 2005. Karakteristik protease dari bakteri patogen Staphylococcus
Aureus.Buletin Teknologi Hasil Perairan III:2.
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Machanisms and
Pathogenesis. New York: Springer Science & Business Media, LLC.
Bullock GL, Herman RL. 1985. Edwardsiella Infection of Fishes. Washington.
National Fish Health Research Laboratory.
Bychouwsky BE. 1982. Monogenetic Trematodes. Washington DC:Amerin
Institude Biology Science.
Camus AC et al. 1998. Aeromonas Bacterial Infection–Mootule Aeromonad
Septicemia. Southern Regional Aquculture Center 478.
Carter GR, Wise DJ. 2004. Veterinary Bacteriology and Micology. USA:Iowa
State Press.
CDC. 2012. Life Cycle of Taenia. [terhubung berkala].
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Taeniasis.htm. [16 September 2012].
40
Chandra AA et al. 2007. Potensi anthelmintik akar tanaman Putri Malu (Mimosa
pucida L) terhadap Hymenolepis nana pada Mencit. Media Peternakan
31:29-35.
Cowan ST, Steel. 1990. Manual For Identification of Medical Bacteria Second
Edition. Cambridge: Cambridge University Press.
Dewi S. 2011. Jurus Tepat Budi Daya Ikan Patin. Yogyakarta: Pustaka Baru
Press.
Gufron HM, Kordi KM. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit ikan.
Jakarta:PT. Rineka Cipta dan PT. Bina Adikarsa.
Hamilton. 1822. Pangasius pangsius. [terhubung berkala].
http://www.fishbase.org/summary/Pangasius-pangasius.html. [2 April
2012].
Holt JG et al. 1998. Bergey’s Manual of Determinant Bacteriology Ninth
Edition.Wiliam and Wilkins A.Waterly Company USA.
Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta:Gajah Mada University
Press.
Ismail SGM et al. 2005. Studies on Edwardsiella infection in Oreocrhomis
nilocatus. Egyptian J of Aquatic Research 31:460-471.
Jang SS, EL Biberstein, DC Hirsh. 1976. A Manual of Veterinary Clinical
Bacteriology and Mycology. Davis: University of California.
Khairunnisa. 2007. Minyak cengkeh (Eugenia aromatica) dan Kalium Hidroksida
10% Sebagai Bahan Pewarna Semi Permanen pada Cacing Nematoda
Dan Acanthocephala Ikan Air Laut [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Krisno A. 2011. Anatomi dan Morfologi Bakteri, Virus dan Jamur.[terhubung
berkala]. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/anatomi-dan-
morfologi-bakteri-jamur-virus/. [26 Mei 2012].
Lay, BW. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta:PT. Raja Grafindo.
Lesmana M. 2004. Perkembangan mutakhir infeksi Kolera. Jurnal Kedokteran
Trisakti 23:101-109.
Lusac JS, Southgate PC. 2012. Aquaculture. UK : Willey Publishing Science.
Lusiastuti AM, Hadie W. 2010. Penggunaan Vaksin Aeromonas : Pengeruhnya
Terhadap Sintasan dan Imunitas Larva Ikan Patin (Pangasius
41
hypopthalmus). Berita Biologi Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar
Bogor 10(2).
Mahardika KZ, 2004. Infeksi Iridovirus Pada JuvenilKerapu Bebek (Cromileptes
altivelis) Di Karamba Jaring Apung.Balai Besar Riset Perikanan Budidaya
Laut Gondol. Bali. Prosiding. Pengendalian Penyakit Pada Ikan Dan Udang
berbasis Imunisasi Dan Biosecurity.
Muslim HM. 2005. Parasitologi Keperawatan. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
ECG.
MuslimMPH, Widjajanti H. 2009. Penggunaan ekstrak bawang putih (Alium
sativum) untuk mengobati benih Patin Siam (Pangasius hypophtalmus) yang
terinfeksi bakteri Aeromonas Hydrophila. J Akuakultur Indones.8:91-100.
Noga EJ. 1996. Fish Disease. USA:Iowa State Press.
Post G . 1987. Text Book of Fish Health. T.F.H. Publication Isnc:31 - 37.
Saanin H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II.
Bandung:Bina Cipta
Songer G, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology. North Carolina:Elsevier
Sauners.
Soulsby EJL. 1982. Helmints, Athropods and Protozoa of Domesticated Animals.
Edisi ke-7. London: Bailiere-Tindall.
Subarijati HU. 2008. Inventarisasi jenis–jenis ikan air tawar dan air laut di Jawa
Timur. Jurnal penelitian perikanan 11:7–12.
Susanto H. 2009. Budi Daya Ikan di Pekarangan. Depok:Penebar swadaya.
Sutrisno B, Purwandari KY. 2004. Lesi patologik organ dan jaringan Ikan Nila
(Oerochromis niloticus) yang diinfeksi bakteri Staphylococcus sp. J Sain
Vet XXII (1).
Tucker CS, Hargreaves JA. 2006. Biology And Culture of Channel Catfish. USA:
Esevier.
Todar K. 2012. Pseudomonas aeruginosa. [terhubung berkala].
http://textbookofbacteriology.net/pseudomonas.html. [26 Mei 2012].
Trower CJ et al. 2000. Bacterial pathogenicity: production of an enterotoxin by a
gastro-enteritis-associated Aeromonas Strain. J. Med. Microbiol 49:121-
126.
42
Wargasasmita S. 2002. Ikan Air Tawar Endemik Sumatera yang Terancam Punah.
J Iktiologi Indones 2:41-49.
Woo PTK. 2006. Fish Disease and Disorder 2nd Edition. UK:CABI.
Woo PTK, Bruno DW. 1999. Fish Disease and Disorder Volume 3.UK:CABI
Publishing.
Woo PTK. 1998. Disease and Disorder of Fish in Cage Culture.UK:CABI
Publishing.