bahan tugas ilmu lingkungan.doc

79
Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Material Cagar Budaya* Oleh: Ir. Yoesoef. BA Direktorat Tinggalan Purbakala A. Pendahuluan Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Perubahan sedikit saja pada kondisi lingkungan akan mengakibatkan dampak yang besar bagi kehidupan manusia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Akhir-akhir ini dunia digemparkan dengan munculnya fenomena perubahan iklim. Secara umum pasti kita sudah pernah mendengar tentang rumah kaca. Rumah yang dibangun dengan konstruksi khusus pada bagian atapnya ini biasa digunakan untuk lahan proses pembibitan pada kegiatan perkebunan dan berfungsi untuk menghangatkan tanaman yang berada di dalamnya. Hal di atas juga terjadi pada bumi, di mana radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek, menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun sayangnya, tak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer – disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut terperangkap di atmosfer bumi.

Transcript of bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Page 1: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Dampak Perubahan Iklim Global terhadap Material Cagar Budaya*

Oleh:Ir. Yoesoef. BA

Direktorat Tinggalan Purbakala

A. Pendahuluan

Lingkungan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Perubahan sedikit saja pada kondisi lingkungan akan mengakibatkan dampak yang besar bagi kehidupan manusia, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Akhir-akhir ini dunia digemparkan dengan munculnya fenomena perubahan iklim. Secara umum pasti kita sudah pernah mendengar tentang rumah kaca. Rumah yang dibangun dengan konstruksi khusus pada bagian atapnya ini biasa digunakan untuk lahan proses pembibitan pada kegiatan perkebunan dan berfungsi untuk menghangatkan tanaman yang berada di dalamnya.

Hal di atas juga terjadi pada bumi, di mana radiasi yang dipancarkan oleh matahari, menembus lapisan atmosfer dan masuk ke bumi. Radiasi matahari yang masuk ke bumi dalam bentuk gelombang pendek, menembus atmosfer bumi dan berubah menjadi gelombang panjang ketika mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian gelombang dipantulkan kembali ke atmosfer. Namun sayangnya, tak semua gelombang panjang yang dipantulkan kembali oleh bumi dapat menembus atmosfer menuju angkasa luar karena sebagian dihadang dan diserap oleh gas-gas yang berada di atmosfer – disebut Gas Rumah Kaca (GRK). Akibatnya radiasi matahari tersebut terperangkap di atmosfer bumi.

Karena peristiwa ini berlangsung berulang kali, maka kemudian terjadi akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi yang menyebabkan suhu di bumi menjadi semakin hangat. Peristiwa alam ini dikenal dengan Efek Rumah Kaca (ERK), karena peristiwanya serupa dengan proses yang terjadi di dalam rumah kaca.

Dalam Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC), ada enam jenis gas yang digolongkan sebagai GRK, yaitu karbondioksida (CO2), dinitroksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksafluorida (SF6), perfluorokarbon (PFCs) dan hidrofluorokarbon (HFCs). GRK terutama dihasilkan dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batubara) seperti pada penggunaan kendaraan bermotor dan penggunaan alat-alat elektronik. Selain itu penebangan pohon, penggundulan hutan, kebakaran hutan, cerobong industri serta TPA juga merupakan sumber emisi GRK.

Page 2: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer akibat aktivitas manusia inilah di berbagai belahan dunia akan berakibat meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi meningkat. Peristiwa ini disebut Pemanasan Global. Meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi menyebabkan terjadinya perubahan pada unsur-unsur iklim lainnya, seperti naiknya suhu air laut, meningkatnya penguapan di udara, serta berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya mengubah pola iklim dunia. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Perubahan Iklim.

B. Perubahan Iklim Global

1. IklimIklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar, iklim dapat terjadi karena adanya rotasi, revolusi bumi, perbedaan lingkungan geografis dan lingkungan fisis. Rotasi adalah pergerakan melingkar bumi terhadap sumbunya sendiri yang menjadikan adanya siang dan malam serta distribusi panas matahari ke seluruh permukaan bumi. Sedangkan revolusi adalah pergerakan bumi dalam mengelilingi matahari yang dicapai dalam 365 hari atau satu tahun dalam sekali putarannya.

2. Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia

Faktor faktor yang mempengaruhi iklim di Indonesia adalah

a) Perairan laut IndonesiaIndonesia adalah negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas, sehingga terbentuk iklim laut yang sangat berpengaruh di Indonesia.

b) TopografiIndonesia memiliki topografi wilayah yang sangat bervariasi seperti dataran rendah, dataran tinggi, dan pegunungan yang memiliki suhu yang berbeda-beda. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan iklim secara vertikal seperti iklim panas, sedang, sejuk, dan dingin.

c) Letak AstronomisPosisi wilayah Indonesia secara Astronomis berada di antara 6º Lintang Utara – 11º Lintang Selatan dan 95º – 141º Bujur Timur. Keberadaan wilayah Indonesia dalam posisi ini menyebabkan Indonesia memiliki iklim tropis dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun.

d) Letak GeografisIndonesia berada di antara benua Asia dan Australia sehingga menjadi tempat perlintasan arah angin yang berubah setiap enam bulan. Hal ini menyebabkan

Page 3: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

terjadinya dua musim di Indonesia, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Angin dari benua Australia yang kering menyebabkan musim kemarau, sedangkan angin yang bertiup dari Samudera Pasifik melewati Laut Cina Selatan yang basah menyebabkan musim penghujan di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, iklim di Indonesia juga dipengaruhi oleh iklim musim.

3. Perubahan Iklim

a) Perubahan IklimPerubahan iklim adalah perubahan jangka panjang yang terjadi pada pola rata-rata cuaca di suatu wilayah atau bumi secara menyeluruh. Perubahan cuaca mencerminkan variasi abnormal yang terjadi pada iklim di bumi, yang selanjutnya berdampak terhadap bagian bumi yang lain, seperti pencairan lapisan es. Perubahan iklim yang ekstrim dapat menyebabkan penyimpangan iklim yang jauh dari normalnya sehingga bisa mengakibatkan kekeringan, kemarau panjang dan banjir.

b) Penyebab Perubahan IklimFaktor penyebab perubahan iklim tak lain adalah manusia sendiri. Kegiatan-kegiatan manusia seperti konsumsi energi, meningkatnya industri dan transportasi, dan pembukaan lahan baru merupakan pemicu awal dari perubahan iklim.

c) Dampak Perubahan IklimLaporan “Climate Change, Climate Change Impacts, Adaptation and Vulnerability (2007)”, telah memprediksi kemungkinan dampak perubahan iklim yang sudah dan yang mungkin akan terjadi di masa depan. Salah satu kesimpulannya, pemanasan global akan memberi dampak negatif yang nyata bagi kehidupan ratusan juta warga di dunia. Salah satunya adalah meningkatnya suhu permukaan bumi sepanjang lima tahun mendatang. Ini akan mengakibatkan gunung es mencair. Dampaknya panen gagal, yang hingga tahun 2050 membuat 130 juta penduduk dunia terutama di Asia mengalami kelaparan. Pertanian gandum di Afrika juga bernasib sama. Pemanasan global juga membuat permukaan laut meningkat, lenyapnya beberapa spesies dan bencana nasional yang makin meningkat. 30% garis pantai di dunia lenyap pada 2080. Lapisan es di kutub mencair hingga terjadi aliran air di Kutub Utara dan membuat Terusan Panama terbenam.

Naiknya suhu udara akan memicu topan yang lebih dasyat hingga mempengaruhi wilayah pantai. Banyak tempat yang kering akan makin kering, sebaliknya sejumlah tempat yang basah akan makin basah. Hal ini membuat distribusi air secara alami kian tidak teratur dan berpotensi meningkatkan ketegangan dalam pemanfaatan air untuk kepentingan industri, pertanian dan sosial. Sekitar 1-3 milyar orang di dunia terutama di wilayah miskin, diperkirakan akan menderita kekurangan air kronis pada 2100.

Page 4: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Dari seluruh dampak yang muncul, Asia menjadi bagian dari bumi yang akan menderita paling parah. Setiap kenaikan suhu 2 derajat celcius akan menurunkan produksi pertanian di China dan Bangladesh hingga 30% pada 2050. Kelangkaan air meningkat di India seiring dengan menurunnya lapisan es di pegunungan Himalaya. Sekitar 100 juta warga pesisir di Asia pemukimannya tergenang karena peningkatan permukaan laut antara 1-3 mm/tahun.

Untuk Indonesia sendiri, ada sejumlah dampak perubahan iklim. Dalam periode 2003-2005 saja, terjadi 1.429 kejadian bencana. Sekitar 53,3% adalah bencana terkait hidro-meteorologi (Bappenas dan Bakornas PB, 2006). Banjir adalah bencana yang paling sering terjadi (34%), diikuti oleh longsor (16%). Kemungkinan pemanasan global akan menimbulkan kekeringan dan curah hujan ekstrim yang lebih parah, yang pada gilirannya akan menimbulkan risiko bencana iklim yang lebih besar (Trenberth dan Houghton, 1996). Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (2006) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu dari negara-negara yang rentan terhadap bencana terkait dengan iklim.

Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah rapuhnya bangunan-bangunan sepanjang pesisir, terutama bangunan yang sudah tua. Bangunan tua tersebut sebagian besar adalah Cagar Budaya yang harus dilestarikan.

C. Cagar Budaya

1. Cagar BudayaPengertian Cagar Budaya menurut Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

Page 5: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas

2. Kondisi Cagar Budaya di IndonesiaIndonesia memiliki kekayaan budaya yang tak ternilai harganya, baik yang berupa budaya materi (tangible) maupun budaya non materi (intangible). Budaya materi sering disebut dengan Cagar Budaya yang dibedakan menjadi dua, yaitu Cagar Budaya tidak bergerak dan Cagar Budaya bergerak. Cagar Budaya yang tidak bergerak ini mempunyai masa atau periode yang berbeda, yaitu periode prasejarah, periode klasik (Hindu–Buddha), Islam, dan Kolonial. Sedangkan jenis bangunannya menjadi beberapa, antara lain gua prasejarah, menhir, candi, pura, masjid kuno, rumah adat, benteng, gedung, dan lain sebagainya.

Namun pada saat ini Cagar Budaya telah banyak mengalami kerusakan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu umur yang sudah tua, lingkungan alam maupun ulah manusia akibat pembangunan, dan lain sebagainya. Kalau hal ini dibiarkan maka kerusakan Cagar Budaya akan dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitasnya serta nilai intangible yang dikandungnya.

Pelestarian Cagar Budaya harus tetap terjaga agar tidak rusak dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

D. Material Penyusun Cagar Budaya

1. BatuanAdalah segala macam yang menyusun kerak bumi baik padat maupun lepas seperti pasir dan debu. Sifat fisik batuan adalah berat jenis, porositas, kadar air jenuh/natural, volume pori, dan volume butir. Sedangkan sifat mekanik batuan adalah kuat tekan (retak dan pecah ), kuat tarik, dan elastisitas.

Batuan tersusun atas beberapa jenis mineral. Mineral adalah zat padat dari unsur atau persenyawaan kimia yang dibentuk oleh proses anorganik dan mempunyai susunan kimia tertentu, contohnya adalah K (AlSi3O8) atau Ortoklas dan (Mg,Fe)2 (SiO4) atau Olivin.

Mineral terang (Felsik) secara berurutan adalah Olivin – orto piroksin – klino piroksin – Amphibol – biotit. Sedangkan Mineral gelap (mafik) secara berurutan adalah: Anortit – Bitownit – Labradorit – Andesin – Oligoklas – Albit

Page 6: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Mineral sekunder adalah mineral yang dibentuk dari mineral utama oleh proses pelapukan, sirkulasi air atau larutan dan metamorfosma.Contoh:2(KAlSiO3)O8 Al2Si2O3(OH)4plagioklas lempung

Berdasarkan komposisi, sifat, dan asal terbentuknya, batuan dibedakan menjadi beberapa kelompok.

a. Batuan BekuAdalah batuan yang terjadi dari pembekuan magma.Penggolongan batuan beku berdasarkan tiga hal yaitu :- Pembagian genetik berdasarkan tempat terjadinya (ekstrusif dan intruksif)- Pembagian kimia berdasarkan senyawa oksidanya :SiO2, TiO2, Al2O3, Fe2O3, FeO, MnO, MgO, CaO, Na2O, K2O, H2OP2O (Granit, Diorit, Gabro, Peridotit).

Berdasarkan kandungan silika: Batuan asam > 66% , menengah 52 – 66 %, basa 45 – 52%, ultra basa < 45%. Batu lapuk mempunyai komposisi kimia berbeda dengan batu segar. – Pembagian berdasarakan susunan mineralogi: Kwarsa, Feldspar plagioklas, (mineral felsik), amphibol, piroksin dan olivin (mineral mafik) Dalam mengidentifikasi batuan beku, sangat perlu sekali mengetahui karakteristik batuan beku yang meliputi sifat fisik dan komposisi mineral. Dalam membicarakan masalah sifat fisik batuan beku tidak akan lepas dari Tekstur (kristalin, granularitas), struktur (masif, vesikuler), dan komposisi mineral.

b. Batuan Sedimen

Batuan sedimen atau sering disebut sedimentary rocks adalah batuan yang terbentuk akibat proses pembatuan atau lithifikasi dari hasil proses pelapukan dan erosi yang kemudian tertransportasi dan seterusnya terendapkan. – Batuan sedimen klastik diendapkan dengan proses mekanis. Contoh: breksi, konglomerat, dan batu pasir. – Batuan sedimen evaporit (proses hidrolisis dengan larutan kimia yang cukup pekat), contoh batu gip dan batu garam. – Batuan sedimen batu bara (terbentuk oleh unsur organik) – Batuan sedimen karbonat terbentuk dari kumpulan cangkang moluska, alga, foraminifera yang bercangkang kapur.

c. Batuan Metamorfosa

Batuan metamorf atau batuan malihan adalah batuan yang terbentuk akibat proses perubahan temperatur dan/atau tekanan dari batuan yang telah ada sebelumnya. Akibat bertambahnya temperatur dan/atau tekanan, batuan sebelumnya akan berubah tekstur dan strukturnya sehingga membentuk batuan baru dengan tekstur dan struktur yang baru pula. Contoh batuan metamorfosa adalah marmer yang merupakan perubahan dari batu gamping. 2. Bata Bata merah adalah suatu unsur

Page 7: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

bangunan yang diperguakan untuk konstruksi bangunan. Bata merah dibuat dari tanah dengan atau tanpa bahan baku lain dibakar cukup tinggi sehingga tidak larut dalam air. Proses pembuatan bata mulai dari penggalian tanah, pencampuran dengan air dan bahan bahan lain jika perlu hingga pemberian bentuk, semua dikejakan dengan tangan. Tanah yang baik sebagai bahan dasar adalah jenis lempung padas. Bila terlalu banyak lempung, bata akan mudah pecah pada waktu proses pengeringan. Bila terlalu banyak pasir, bata akan getas. Perbandingan antara lempung pasir perlu pengalaman tersendiri dalam proses pembuatan. Perlu analisis laboratorium mengenai kandungan unsur garam tanah. Campu Tingkat Iran bahan dasar, biasanya terdiri atas bahan organik, misal sekam, abu tidak dianjurkan/hindari campuran dengan bahan yang korosif misal garam. Ukuran bata normal adalah 230 x 110 x 50 mm, sedangkan bata kuno berukuran 350 x 200 x 100 mm. Pembakaran bata biasanya menggunakan bahan kayu, sekam, sekam campur garam dan belerang. Suhu pembakaran sebaiknya mencapai 700º C agar partikel air yang terjebak di antara butir bisa hilang/menguap Berdasarkan kuat tekannya, bata dikelompokkan menjadi : > 100 kg/cm² Tingkat II 80 – 100 kg/cm² Tingkat III 60 – 79 kg/cm²

3. KayuKayu tersusun dari sel-sel yang memiliki tipe bermacam-macam dan susunan dinding selnya terdiri atas senyawa kimia berupa selulosa dan hemi selulosa (karbohidrat) serta lignin (non karbohidrat) dan zat ekstratif. Semua kayu bersifat anisotropik, yaitu memperlihatkan sifat-sifat yang berlainan jika diuji menurut tiga arah utamanya (longitudinal, radial, dan tangensial). Kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis, yaitu dapat menyerap atau melepaskan kadar air sebagai akibat perubahan kelembaban dan suhu udara di sekelilingnya, dan mempunyai titik jenuh serat. Bila kadar airnya di bawah TJS kayu akan mengerut. Kayu dapat diserang oleh hama dan penyakit serta dapat terbakar terutama dalam keadaan kering.

4. Bata BerplesterBata berplester adalah bata yang dilapisi oleh plester yang terbuat dari semen. Semen yang mempunyai kemampuan untuk mengikat dan mengeras di dalam air disebut semen hidrolik. Yang tergolong semen hidrolik antara lain kapur hidrolik, semen pozolan, dan semen port land.Proses pembuatan kapur hidrolik:

Page 8: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Proses pembakaranCaCO3 CaO + CO2Proses mematikanCaO + H2O Ca(OH)2 + panasProses pengerasanCa(OH)2 + CO2 CaCO3 + H2O

Sifat :Agar proses pengerasan dapat berlangsung sempurna diperlukan carbon dioksida yang cukup. Kapur hidrolik memiliki kekuatan yang rendah dengan berat jenis rata-rata 1000kg/m³.

Semen Pozolan adalah bahan pozolan yang bila dicampur dengan kapur padam (Ca (OH)2) dan air akan membentuk benda padat dan keras. Pozolan adalah bahan alami maupun buatan yang terdiri atas unsur silikat dan aluminat yang reaktif. Bahan yang tergolong sebagai pozolan antara lain semen merah, abu terbang, bubukan terak tanur tinggi. Zeolit atau batuan mendidih merupakan senyawa alumino silikat yang secara kimia dan fisik mempunyai kemampuan sebagai pozolan. Sifat semen pozolan antara lain sukar larut dalam air (wahyu wijarnako : httn://wahyu.com).

E. Kerusakan dan Pelapukan Material Cagar Budaya Akibat Perubahan Iklim

Kerusakan adalah suatu proses perubahan bentuk yang terjadi pada suatu benda dimana jenis dan sifat-sifat fisik maupun kimiawinya masih tetap (disintegrasi).

Pelapukan adalah suatu proses penguraian dan perubahan dari bahan asli ke bahan lain dimana jenis dan sifat-sifat fisik dan kimiawi dari bahan tersebut sudah berubah (dekomposisi).

1. Gejala Kerusakan dan Pelapukan Material Cagar Budayaa) Gejala kerusakan :Biasanya dapat dilihat secara visual/langsung (retak, patah, miring, pecah, bengkok dll)b) Gejala pelapukan :Pada tingkat awal belum nampak dan baru nampak pada tingkat menengah hingga lanjut, (diskomposisi, pembusukan, perubahan warna).

2. Faktor Penyebab Kerusakan dan Pelapukan Material Cagar Budaya

Kerusakan dan pelapukan bisa disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal.Faktor internal penyebab kerusakan dan pelapukan antara lain adalah:

Page 9: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

- Kualitas dan jenis material- Teknologi pembuatan struktur bangunan- Sifat tanah sebagai dasar bangunan

Faktor internal penyebab kerusakan dan pelapukan antara lain adalah:- Iklim- Bencana alam- Organisme

Beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan dan pelapukan material:a) Kayu- Air hujan- Degradasi oleh pengaruh suhu dan kelembaban- Degradasi cahaya- Degradasi mikrobia

b) Batu- Air hujan- Pembentukan carbonat (HCO3)- Oksidasi (2Fe2O3.3H2O)- Hidrasi atau hidrolisis- Suhu dan kelembaban udara, intensitas sinar matahari- Angin

c) Bata- Penggaraman- Kelembaban relatif- Kapilarisasi air (15.10 -6 /r meter)- Suhu dan kelembaban udara, intensitas sinar matahari- Angin (arah dan kecepatan)

Page 10: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

3. Dampak perubahan iklim global terhadap kelestarian benda cagar budaya:a) Meningkatnya kerusakan bangunan karena adanya perubahan daya dukung tanah, erosi, banjir, longsor, dan kapilarisasi air, yang disebabkan oleh meningkatnya runoff dan debit aliran air pada daerah basah (contoh Stasiun Tawang, Gedung Sobokarti Semarang).b) Meningkatnya risiko kebakaran pada bangunan kayu.c) Meningkatnya kerusakan fisis (retak, pecah, melengkung, degradasi warna) pada bangunan batu, bata, dan kayu karena fluktuasi suhu yang sangat besar dan intensitas penyinaran yang lebih tinggi (contoh Gereja Blendok Semarang).d) Proses pelapukan kimiawi akan lebih cepat, karena banyaknya unsur terlarut, dan meningkatnya penguapan (misal pengelupasan, penggaraman dan degradasi struktur material).e) Pertumbuhan mikroorganisme pada daerah basah akan meningkat, sedangkan pada daerah kering pertumbuhan mikroorganisme tertentu yang bisa bertahan hidup (golongan mikroorganisme thermofil). Serangan serangga pada bangunan kayu akan meningkat, seiring dengan tingkat kelembaban dan kekeringan yang tinggi

F. Konsep Penanganan Dampak Perubahan Iklim Terhadap Cagar Budaya

Untuk mengantisipasi perubahan iklim dan dampaknya terhadap Cagar Budaya, maka diperlukan suatu konsep penanganan agar kerusakan yang terjadi akibat perubahan iklim tersebut bisa diminimalisasi. Selain itu konsep penanganan juga diperlukan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari Cagar Budaya yang telah terkena dampak perubahan iklim. Beberapa konsep tersebut adalah: Monitoring jenis kerusakan yang disebabkan oleh faktor iklim secara periodik; Mempersiapkan SDM yang paham tentang klimatologi; Untuk monitoring kondisi iklim setempat, perlu adanya sarana stasiun klimatologi di dekat/di sekitar Cagar Budaya baik rekayasa maupun minta bantuan BMKG atau monitoring melalui stasiun klimatologi terdekat (apabila menggunakan AWS akses lewat internet); Dalam pelaksanaan pemugaran agar dipikirkan adanya lapisan kedap air di dalam struktur bangunan untuk mencegah adanya air rembesan dan kapilarisasi air agar tidak memicu terjadinya hidrolisis dan meningkatnya kelembaban yang bisa berakibat terjadinya pelapukan kimiawi dan biologi; Mengurangi material Cagar Budaya dari sinar matahari secara langsung, dengan jalan membuat pertamanan yang rindang dan tidak menebang pohon perindang di sekitar Cagar Budaya; Menyempurnakan sistem drainase (menghitung debit maksimum berdasarkan intensitas curah hujan) di sekitar Cagar Budaya untuk mengurangi kapilarisasi air dan kelembaban. Untuk Cagar Budaya yang rawan longsor buat talut penahan yang kuat dan kurangi air yang masuk ke halaman atau kawasan situs Cagar Budaya; Dalam pemugaran, agar dipilih bahan pengganti yang berkualitas baik dan tahan

Page 11: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

terhadap pengaruh iklim; Bila terjadi rembesan dan kapilarasi air pada Cagar Budaya agar segera diatasi penyebabnya; Instalisasi listrik pada Cagar Budaya kayu agar disempurnakan untuk menghindari kebakaran; Bila terjadi rembesan air pada Cagar Budaya batu dan bata, sebelum rembesan tersebut teratasi sebaiknya air rembesan dibersihkan setiap 15 hari untuk menghindari adanya endapan garam; Cagar Budaya yang dekat pantai agar selalu dimonitor dan dilindungi/dibuatkan dinding pelindung dari kemungkinan kenaikan air laut dan terjadinya badai.

G. Penutup

Dampak dari perubahan iklim terhadap kehidupan manusia meliputi hampir seluruh aspek, baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan iklim tersebut tidak dapat dicegah, namun bisa diperlamban. Cagar Budaya mengalami dampak yang serius akibat perubahan iklim global, terutama Cagar Budaya yang usianya sudah sangat tua dan berada dalam wilayah berisiko tinggi terhadap perubahan Iklim. Material Cagar Budaya yang sudah rapuh sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, maka dikhawatirkan Cagar Budaya tersebut akan rusak dan hilang di waktu mendatang.

H. Referensi

- Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

- Aris Munandar, Dampak Perubahan Iklim Global Terhadap Benda Cagar Budaya

- Nasrullah, Dampak Perubahan Iklim pada Aktivitas Pelestarian Cagar Budaya

- Syafrudin, Dampak Perubahan Iklim terhadap Lingkungan

- United Nations Development Programme – Indonesia, 2007. Sisi lain perubahan iklim – Mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya. ISBN: 978-979-17069-0-2

- Meiviana, Armely, Diah R Sulistiowati, Moekti H Soejachmoen, 2004. Bumi Makin Panas – Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Kerja sama Kementerian Lingkungan Hidup Bidang Pelestarian Lingkungan, Pelangi dan JICA.

*Dimuat dalam Jurnal Arkeologi 2011

Page 12: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Pemanasan global atau yang dikenal “global warming”, tidak asing terdengar di telinga kita. Hal ini sering dibicarakan setelah dampak dari fenomena tersebut dirasakan oleh masyarakat. Di Indonesia, banyak terjadinya bencana banjir, kebakaran hutan, merebaknya wabah penyakit menular, dan musim yang tak menentu disinyalir merupakan imbas pemanasan global. 

“Pemanasan global ini juga sering disebut “efek rumah kaca”. Hal ini memang berhubungan, istilahnya didapat karena di atmosfer kita seperti ada selimut yang melindungi bumi terdiri dari gas rumah kaca, untuk memanaskan bumi. Namun, kini ada peningkatan gas tersebut secara signifikan sehingga bumi semakin panas,” kata Laras Tursilowati, pada siaran Iptek Voice, 19 April 2012. 

Pemanasan global sendiri berbeda dengan perubahan iklim yang banyak mengandung unsur iklim seperti curah hujan, kondisi awan, angin, radiasi matahari. Pemansan global sendiri meliputi peningkatan rata-rata temperatur yang berada didekat atmosfir, yang dekat dengan permukaan bumi akibat meningkatnya energi gas rumah kaca di atmosfir. GRK ini didominasi oleh CO2, gas metana, dan N2O. Laras mengatakan, kalau gas tersebut meningkat akibat aktifitas manusia maka bumi juga akan semakin panas.

Faktor utama penyebab meningkatnya gas-gas yang menyebabkan timbulnya pemanasan global dikarenakan sumber-sumber energi CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan fosil seperti minyak bumi dan batubara. Seperti yang digunakan untuk transportasi, industri energi, rumah tangga dan keperluan lain. 

Secara tidak langsung, pemanasan global ini berpengaruh pada cuaca yang tidak menentu. Suhu rata-rata permukaan bumi meningkat secara bertahap. Dari naiknya suhu rata-rata tersebut, tingginya permukaan air laut juga berpengaruh. Pemanasan yang berpusat di belahan utara bumi, menyebabkan es di kutub utara mencair. Dengan cairnya es tersebut, debit air laut akan bertambah dan menyebabkan pulau-pulau rendah akan tenggelam dan hilang. Hasil pertanian pun tidak luput dari pengaruh pemanasan global. Hujan atau kemarau yang terlalu panjang, menyebabkan sering terjadi banjir atau kekeringan parah. Pertumbuhan tanaman akan terganggu yang pada akhirnya juga akan mengurangi hasil panenan.

“Dampaknya memang akan banyak pulau yang terendam karena kenaikan permukaan air laut, mungkin di tahun 2030 sekitar 2000 pulau akan hilang, kota-kota di pinggir pantai akan terkena abrasi, air laut masuk ke daratan.

Page 13: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Kemudian masalah kesehatan akibat ketersediaan air bersih berkurang, ketersediaan pangan, ekosistem laut terusak, dan masih banyak lagi,” jelas Laras.

Dampak negatif dari pemanasan global memang sangat banyak. Baik itu secara langsung atau tidak langsung pada manusia. Secara tidak langsung yaitu dengan merusak lingkungan yang akan mengganggu pemenuhan kebutuhan manusia. Secara langsung yaitu dengan suhu yang terasa semakin panas yang mengganggu kesehatan manusia.

“Kita harus terpadu antara berbagai pihak harus bisa mensosialisasikan dampak ini. Kearifan lokal juga perlu diterapkan, seperti menanam pohon yang bisa menyerap Co2. Untuk mengurangi CO2 sendiri sebetulnya ada banyak cara, misalnya memahami kondisi cuaca, menyesuaikan  ruang tanam, tidak menggali tanah di lereng bukit, mewaspadai pasang air laut, membuang sampah pada tempatnya untuk mencegah banjir, membudayakan hidup bersih, membuat kolam untuk menampung hujan dan membuat sungai resapan. Karena pemanasan global bisa mengakibatkan hujan dengan intensitas tinggi,” tambah Laras.

Sahabat Iptek...simak terus informasi Iptek yang menarik dan berguna lainnya dari narasumber pakar dibidangnya pada siaran radio IPTEK VOICE setiap Senin sampai Jumat pukul 08.30-09.00 WIB di PRO 4, 92.8 FM .IPTEK VOICE "The Sound of Science". (bhh/aps/humasristek)

PENGARUH MASALAH LINGKUNGAN GLOBALTERHADAP MANUSIA (1)

(MASALAH LINGKUNGAN UDARA)

 

RINGKASAN

Kebanyakan masalah lingkungan sekarang ini disebabkan oleh kegiatan sosial ekonomi manusia.  Memburuknya lingkungan akibat kegiatan itu berpengaruh terhadap bumi secara keseluruhanbaik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Peningkatan emisi CO2 yang menyertai konsumsi bahan bakar fosil dan pemanasan global berakibat pada memburuknya kualitas air, meningkatnya limbah akibat perubahan gaya hidup, dan lain-lain.

Sekarang ini, pemanasan global merupakan masalah yang paling menarik perhatian di antara masalah lingkungan yang menyebabkan peningkatan suhu, perubahan iklim, meningkatnya permukaan air laut, dan perubahan ekologi yang memberikan pengaruh besar kepada dasar eksistensi manusia. Selain itu, masalah kerusakan lapisan ozon,

Page 14: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

hujan asam, oksidan fotokimia, dan lain-lain memberikan pengaruh kepada kesehatan dan lingkungan, bukan hanya masalah lingkungan udara, tetapi juga masalah lingkungan air dan tanah yang berada dalam kondisi yang tidak dapat diabaikan.

Salah satu masalah lingkungan adalah limbah yang dihasilkan dari kegiatan sosial ekonomi saat ini, berupa produksi skala besar, konsumsi skala besar, limbah skala besar, dan dari limbah kemudian timbul masalah pada bumi berupa perpindahan limbah beracun dari negara maju ke negara berkembang.

Masalah lingkungan dapat berakibat pada rusaknya lingkungan alam yang berharga seperti hutan, sungai, pantai dan lain-lain, selain dapat merusak keragaman hayati yang sangat penting untuk manusia. Karena itu perlu upaya yang terkoordinasi secara internasional untuk menghadapi masalah ini.

URAIAN

1. Pemanasan global

Saat ini masalah lingkungan yang paling menarik perhatian adalah pemanasan global. Bumi menerima energi yang dipancarkan oleh matahari dan menjadi hangat, dan menjadi dingin karena melepaskan energi ke ruang angkasa. Apabila energi berada dalam keseimbangan maka suhu bumi juga akan tetap dan stabil. Tetapi jika konsentrasi gas di udara (gas rumah kaca) yang berfungsi mencegah lepasnya energi ke ruang angkasa meningkat, maka terjadilah ketidakseimbangan dan suhu permukaan bumi akan meningkat. Peningkatan suhu ini menyebabkan perubahan iklim dan meningkatnya permukaan air laut. Perubahan tersebut memberikan efek yang besar pada dasar eksistensi manusia seperti misalnya ekologi. Inilah yang disebut masalah pemanasan global. IPCC dengan WMO sebagai forum diskusi tingkat pemerintah mengenai masalah pemanasan global bersama United Nations Environmental Programs (UNEP) melaporkan bahwa 64% di antara gas rumah kaca adalah CO2. Oleh karena sekitar 80% jumlah CO2 yang dihasilkan berasal dari konsumsi bahan bakar fosil, maka pengurangan CO2 menjadi topik yang penting. Sudah terlihat bahwa pemanasan global berakibat pada meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (Gambar 1), meningkatnya suhu rata-rata bumi (Gambar 2), dan meningkatnya permukaan air laut. IPCC dalam laporan keduanya berdasarkan data pada tahun 1995, mengakui bahwa pemanasan global telah terjadi akibat dari efek artifisial karena meningkatnya emisi gas rumah kaca sejak terjadinya revolusi industri. Berikut ini dapat dilihat pengaruh pemanasan tersebut berdasarkan laporan ke-2 IPCC.

(1) Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca

Konsentrasi gas rumah kaca di udara konstan pada masa sebelum revolusi industri di pertengahan tahun 1700-an, kemudian meningkat sesudah revolusi industri, dan meningkat sangat pesat pada akhir-akhir ini (Gambar 1). Menurut IPCC, konsentrasi CO2 pada masa sebelum revolusi industri sebesar 280 ppmv menjadi 358 ppmv pada tahun 1994 (ppmv = satu per sejuta bagian, perbandingan volume). Penyebabnya adalah sebagian besar sebagai akibat dari aktivitas manusia yang sebagian besar adalah karena pemanfaatan bahan bakar fosil, perubahan pola penggunaan tanah dan pertanian.

(2) Perubahan iklim dan peningkatan permukaan air laut

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akan meningkatkan suhu rata-rata bumi, dan peningkatan suhu udara membuat permukaan air laut meningkat melalui pemuaian air laut, pelelehan es di kutub atau di gunung tinggi. Sejak memasuki abad ini, dari data diketahui jumlah gunung es semakin berkurang, dan terlihat adanya perubahan yang

Page 15: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

dapat menjadi masalah serius seperti gejala suhu tinggi ekstrim, meningkatnya kemungkinan banjir dan kekeringan.

Menurut IPCC, suhu bumi rata-rata meningkat 0,3 - 0,6 oC sejak akhir abad 19 (Gambar 2) dan permukaan air laut meningkat 10 - 25 cm selama 100 tahun terakhir. Diperkirakan pada tahun 2100 suhu udara rata-rata seluruh bumi meningkat 2 oC dibanding tahun 1990, permukaan air laut akan naik 50 cm, dan sesudah tahun itupun suhu akan terus meningkat. Selain itu, walaupun misalnya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca dapat dihentikan sampai akhir abad 21, diperkirakan bahwa peningkatan suhu dan meningginya air laut akan terus berlanjut.

Peningkatan permukaan air laut dan iklim yang menjadi ekstrim menimbulkan kekhawatiran meningkatnya banjir dan gelombang pasang di daerah pantai. Misalnya permukaan air laut meningkat 50 cm, jika tidak dilakukan tindakan pencegahan maka populasi dunia yang rentan terhadap gelombang pasang diperkirakan akan meningkat dari jumlah saat ini 46 juta orang menjadi 92 juta orang.

(3) Iklim abnormal

Akibat peningkatan suhu rata-rata bumi, tempat turun hujan menjadi berubah, diperkirakan curah hujan dan kekeringan menjadi ekstrim, dan kemungkinan terjadinya badai meningkat. Akhir-akhir ini, iklim abnormal berupa suhu tinggi yang tidak biasa, banjir, kekeringan, dan lain-lain, terlihat di setiap tempat di dunia, dan manusia didorong untuk memiliki perhatian terhadap hubungan antara meningkatnya bencana alam dan pemanasan global.

(4) Efek terhadap kesehatan

Akibat meningkatnya suhu rata-rata bumi, penderita penyakit menular seperti malaria, demam kuning, dan lain-lain akan meningkat. Menurut IPCC, diperkirakan dengan meningkatnya suhu 3,5 oC saja ada peningkatan penderita malaria sekitar 5 – 8 juta orang per tahun.

(5) Efek terhadap ekologi

Menurut IPCC, apabila iklim abnormal dan peningkatan kerusakan tidak dipikirkan, dengan anggapan pasokan bahan pangan di seluruh dunia ada dalam keadaan seimbang, akan terjadi perbedaan pasokan yang sangat besar antara satu tempat dengan tempat lain karena ada wilayah yang mengalami peningkatan produksi dan ada wilayah yang mengalami penurunan produksi. Di daerah tropis dan sub-tropis, di satu sisi ada peningkatan populasi, jumlah produksi bahan pangan berkurang, ada bahaya meningkatnya kelaparan dan pengungsian di wilayah miskin yang mencakup wilayah kering dan setengah kering.

2. Kerusakan lapisan ozon

Apabila freon yang merupakan bahan kimia artifisial terlepas ke udara dan mencapai stratosfir (ruang 10 – 50 km di atas tanah), maka ia akan menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon di stratosfir, dan hal ini menjadi masalah di tahun-tahun terakhir ini. Karena lapisan ozon berfungsi sebagai penyerap sebagian besar sinar ultra violet yang berbahaya bagi manusia, maka apabila lapisan ozon rusak jumlah sinar ultra violet yang mencapai bumi akan meningkat dan ini akan memberikan efek buruk kepada kesehatan manusia dan ekologi. Meningkatnya jumlah sinar ultra violet yang mencapai bumi menimbulkan kekhawatiran terhadap efek buruk pada kesehatan manusia seperti kanker kulit, katarak, menurunnya kekebalan dan efek buruk terhadap tumbuhan darat dan ekologi air. Akhir-akhir ini mulai terlihat gejala yang disebut lubang ozon, yaitu menipisnya lapisan ozon di stratosfir di atas kutub selatan (Gambar 3), dan pada tahun

Page 16: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

1998 lubang ozon yang terjadi adalah yang terbesar dibanding masa-masa sebelumnya. Kecenderungan berkurangnya lapisan ozon terjadi hampir di seluruh dunia kecuali wilayah tropis.

3. Hujan asam

Hujan asam adalah air hujan, embun dan salju yang memiliki tingkat keasaman tinggi (pH rendah) akibat terlarutnya asam sulfat dan asam nitrat. Ini disebabkan terutama karena emisi SOx dan NOx dari pembakaran bahan bakar fosil ke udara. Akibat hujan asam ini air di atas bumi seperti air danau dan air sungai menjadi asam, dan ini akan memberikan pengaruh kepada pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, memberikan pengaruh kepada berbagai jenis ikan, memberikan pengaruh kepada hutan karena tanah menjadi asam, juga secara langsung menempel pada bangunan kayu atau warisan budaya yang menyebabkan rusaknya bangunan tersebut. Jadi, rentang pengaruhnya luas. Hujan asam bisa mencapai wilayah 500 – 1000 km dari sumber lepasan materi penyebab hujan asam, dan karena itu salah satu karakteristiknya adalah bahwa gejala ini melingkupi wilayah yang luas, melampaui batas-batas negara.

Di Amerika dan Eropa di mana hujan asam sudah lebih dahulu menjadi masalah, terdapat laporan mengenai air danau yang menjadi asam, berkurangnya luas hutan, matinya ikan-ikan, dan lain-lain akibat hujan asam (Gambar 4). Laporan mengenai hal ini juga terdapat di Jepang. Hujan asam yang sebelumnya menjadi masalah di negara-negara maju, kini juga semakin menjadi masalah besar di negara-negara berkembang akibat industrialisasi.

4. Oksidan fotokimia (Photochemistry Oxidant)

Oksidan fotokimia adalah polutan primer berupa NOx dan hidrokarbon (HC) yang dilepaskan dari pabrik dan kendaraan bermotor. Setelah menerima sinar matahari akan mengalami reaksi fotokimia berubah menjadi materi sekunder berupa ozon, dan ini menjadi penyebab terjadinya kabut fotokimia (photochemistry smog). Oksidan fotokimia memiliki sifat pengasaman yang tinggi, dalam konsentrasi tinggi memberikan rangsangan pada mata atau tenggorokan, memberikan pengaruh kepada organ pernafasan, dan juga kepada produk pertanian.

Global Warming (Pemanasan Global)

Pengantar

Isu lingkungan yang menarik di era millinium ini adalah pemanasan global dan perubahan iklim. Dampak terjadinya pemanasan global ditandai dengan peningkatan kadar emisi (CO2) di udara, peningkatan tinggi muka air laut sebagai akibat mencairnya lapisan es di kutub utara (Antartika), perubahan cuaca yang radikal, dan bencana alam yang terjadi abad 21. Terbukanya lubang ozon di atmosfer menyebabkan sinar ultraviolet langsung menuju bumi yang akan mengancam kehidupan makhluk hidup. Kondisi demikian mengakibatkan bumi

Page 17: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

menjadi labil dan dalam jangka panjang dapat merusak ekosistem di alam. Perubahan iklim yang terjadi akan menyebabkan kerugian yang besar bagi kehidupan manusia, seperti krisis air bersih, rusaknya infrastruktur daerah tepi pantai, menurunnya produktivitas pertanian, dan meningkatnya frekuensi penyakit.

Ancaman inilah yang membuat para kepala negara di seluruh dunia selalu menyempatkan diri membahas masalah global warming pada momen-momen pertemuan tingkat regional maupun internasional. Di penghujung tahun 2007, Indonesia mendapat kehormatan sebagai tuan rumah suatu pertemuan akbar yang membahas tentang isu lingkungan, yakni Konferensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Cange). Pertemuan yang dihadiri lebih dari 180 negara ini dikatakan oleh Emili Salim (Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, RI) selaku pimpinan delegasi Indonesia dalam Konverensi UNFCCC di Bali, ada tiga aspek penting yang disepakati pada konvensi Bali dalam menyikapi perubahan iklim meliputi persoalan ilmiah (scientific) dan seluruh detail teknisnya, kepentingan rakyat kecil, serta aspek politik masing-masing negara.

Dari tiga aspek ini dapat dikaji bahwa upaya penyelamatan lingkungan harus dilihat dari kepentingan ekologi yang disikapi dengan teknologi. Kemudian aspek sosial, yang mana selama ini salah satu imbas dari bencana alam adalah masyarakat, serta kebijakan pemerintah tiap-tiap negara dalam menyiapkan instrument hukum dan aturan dalam upaya menata mekanisme didalam rangka penyelamatan lingkungan tersebut.

1. Gambaran umum pemanasan global (global warming)

Global warming merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata udara permukaan bumi dan lautan. Suhu udara rata-rata permukaan bumi meningkat 0.74 + 0.18°C dalam 100 tahun terakhir. SedangkanIntergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi bahwa suhu global cenderung meningkat sebesar 1,1 sampai 6,4°C pada tahun 1990-2100 (Damayanti, 2007). Menurut para ahli klimatologi di NASA, tahun 2007 merupakan tahun kedua terpanas pada abad ini, bersaing dengan tahun 1998. Berikut ini disajikan grafik temperatur permukaan global tahunan. Dari grafik tersebut dapat dinterpretasikan bahwa pada tahun 1951-1980 grafik temperatur permukaan global tahunan relatif terhadap temperatur rata-rata dan pada titik tahun 2007 merupakan anomali di bulan ke 11.

Gambar 1. Grafik temperatur permukaan global (Sumber : NASA Goddard Institute for Space Studies/GISS)

 

 

Page 18: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Pemanasan terbesar pada tahun 2007 terjadi di Artik dan daerah sekitarnya yang memiliki lintang tinggi. Pemanasan global sendiri memiliki efek yang sangat besar di area kutub dengan menghilangnya salju dan memicu peningkatan air terbuka (lautan) yang menyerap lebih banyak cahaya dan panas matahari. Salju dan es memantulkan cahaya matahari, saat salju menghilang maka menghilang pula kemampuan mereka untuk mengalihkan panas matahari. Anomali paling besar di Artik pada tahun 2007 konsisten dengan rekaman geografi terhadap lautan es Artik di bulan September 2007 (Ivie, 2008).

Gambar 2.  Anomali temperatur pada tahun 2007 (Sumber : NASA Goddard Institute for Space Studies /GISS)

Kondisi permukaan bumi akibat pemanasan global (global warming)

Kenaikan suhu 1ºC sampai 3ºC merupakan titik puncak, tetapi jika naik sampai pada 6 ºC maka peningkatan ini dapat menyebabkan kepunahan pada hampir semua kehidupan. Menurut Ranger (2009), pengaruh kenaikan suhu terhadap kondisi di permukaan bumi adalah sebagai berikut:

Kenaikan Suhu 1 Derajat; Pada kenaikan suhu 1 derajat, Kutub Utara akan kehilangan es setengah tahun penuh, Atlantik Selatan yang sebelumnya tidak ada badai akan mengalami serangan badai dan di barat AS terjadi kekeringan parah yang mengakibatkan banyak penduduk menderita.

Kenaikan Suhu 2 Derajat; Beruang kutub berjuang untuk hidup saat lapisan es mencair. Lapisan es di Greenland mulai menghilang, sedangkan batu karang menjadi lenyap. Permukaan air laut mengalami kenaikan 7 meter secara global.

Kenaikan Suhu 3 Derajat; Hutan hujan di Amazon mengering dan pola cuaca El Nino bertambah intensitasnya menjadi sesuatu yang biasa. Eropa secara berulang mengalami musim panas yang teramat panas yang sangat jarang terjadi sebelumnya. Jutaan dan milyaran orang akan berpindah dari sub tropik menuju daerah pertengahan garis lintang.

Kenaikan Suhu 4 Derajat ; Air laut akan meninggi dan meluap membanjiri kota-kota di daerah pesisir. Menghilangnya lapisan es akan mengurangi banyak persediaan air tawar. Suatu bagian di Kutub Selatan akan tenggelam dan menyebabkan area air yang meluap semakin jauh. Temperatur musim panas di London akan menjadi 45ºC.

Kenaikan Suhu 5 Derajat ; Daerah yang tidak bisa dihuni semakin menyebar, tumpukan es dan air tanah sebagai sumber air untuk kota-kota besar akan mengering dan jutaan pengungsi akan bertambah. Kebudayaan manusia akan mulai menghilang seiring dengan perubahan iklim yang dramatik ini. Dalam hal ini kelompok yang kurang mampu sepertinya akan menjadi paling menderita. Tidak ada lagi es yang tersisa pada kedua kutub

Page 19: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

seiring dengan punahnya bermacam spesies di lautan dan tsunami dalam skala besar memusnahkan kehidupan dekat pantai.

Kenaikan Suhu 6 Derajat ; Pada kenaikan suhu 6 derajat, kepunahan massal sebesar 95% akan terjadi, makhluk yang masih hidup akan mengalami serangan badai dan banjir besar yang terus menerus, hidrogen sulfat dan kebakaran akibat gas metana akan menjadi hal yang biasa. Gas ini berpotensi menjadi bom atom dan tidak ada yang mampu bertahan hidup kecuali bakteri. Hal ini akan menjadi skenario hari kiamat.

 

 

Gambar 3. Efek dari global warming (Sumber: http://yauhui.net. )

 

2. Penyebab pemanasan global (global warming)

Efek Rumah Kaca (Green House Effect)

Istilah gas rumah kaca berasal dari pengalaman para petani di daerah iklim sedang yang menanam sayur-mayur dan bunga-bungaan dalam rumah kaca pada akhir musim panas, musim dingin, dan permulaan musin semi. Para petani merasakan panas pada waktu hari cerah, suhu di dalam rumah kaca lebih panas daripada suhu di luar. Sebabnya ialah kaca transparen untuk sinar matahari. Sinar matahari yang mengenai benda-benda di dalam rumah kaca dipantulkan kembali sebagai sinar panas, yaitu infra merah yang bergelombang panjang. Kaca tidak transparan untuk sinar panas ini dan sinar tersebut terperangkap di dalam rumah kaca. Naiklah suhu dalam rumah kaca, kenaikan suhu dalam rumah kaca itu disebut efek rumah kaca (Soemarwoto, 2001).

Lapisan atmosfir terdiri dari, berturut-turut: troposfir, stratosfir, mesosfir dan termosfer. Lapisan terbawah (troposfir) adalah yang yang terpenting dalam kasus ERK. Sekitar 35% dari radiasi matahari tidak sampai ke permukaan bumi. Hampir seluruh radiasi yang bergelombang pendek (sinar alpha, beta dan ultraviolet) diserap oleh tiga lapisan teratas. Yang lainnya dihamburkan dan dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh molekul gas, awan dan partikel. Sisanya yang 65% masuk ke dalam troposfir. Di dalam troposfir ini, 14 % diserap oleh uap air, debu, dan gas-gas tertentu sehingga hanya sekitar 51% yang sampai ke permukaan bumi. Dari 51% ini, 37% merupakan radiasi langsung dan 14% radiasi difus yang telah mengalami penghamburan dalam lapisan troposfir oleh molekul gas dan partikel debu. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap sebagian dipantulkan. Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah (Syahputra, 2007).

Page 20: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metana (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik. Terjadilah Efek Rumah Kaca (ERK). Gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca. Seandainya tidak ada ERK, suhu rata-rata bumi akan sekitar minus 180 ºC terlalu dingin untuk kehidupan manusia. Dengan adanya ERK, suhu rata-rata bumi 330 ºC lebih tinggi, yaitu 150 ºC. Jadi, ERK membuat suhu bumi sesuai untuk kehidupan manusia. Namun, ketika pancaran kembali sinar inframerah terperangkap oleh CO2 dan gas lainnya, maka sinar inframerah akan kembali memantul ke bumi dan suhu bumi menjadi naik. Dibandingkan tahun 1950-an misalnya, kini suhu bumi telah naik sekitar 0,20 Cº lebih (Razak, 2008).

Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya. Energi yang masuk ke bumi mengalami 25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer 25% diserap awan 45% diadsorpsi permukaan bumi 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsoprsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda (Razak, 2008).

Gas Rumah Kaca dan Penyebabnya

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca. Menurut Wikipedia (2007) bahwa beberapa pengertian yang berkaitan dengan Gas Rumah Kaca adalah sebagai berikut:

Gas rumah kaca

Merupakan gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Karbondioksida (CO2) yang timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan vulkanik; pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbondioksida); dan pembakaran material organik (seperti

Page 21: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

tumbuhan). Karbondioksida dapat berkurang karena terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis memecah karbondioksida. Uap air adalah gas rumah kaca yang timbul secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca. Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.

Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap air di troposfer, dengan kelembapan relatif agak konstan. Meningkatnya konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca; yang mengakibatkan meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di atmosfer. Keadaan ini terus menerus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium (kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan gas-gas rumah kaca seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.lepaskan oksigen ke atmosfer serta mengambil atom karbonnya.

Karbondioksida (CO2)

Manusia telah meningkatkan jumlah karbondioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar fosil, limbah padat, dan kayu untuk menghangatkan bangunan, menggerakkan kendaraan dan menghasilkan listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbondioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun untuk perluasan lahan pertanian. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbondioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbondioksida ke udara jauh  lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.

Pada tahun 1750, terdapat 281 molekul karbondioksida pada satu juta molekul udara (281 ppm). Pada Januari 2007, konsentrasi karbondioksida telah mencapai 383 ppm (peningkatan 36 persen). Jika prediksi saat ini benar, pada tahun 2100, karbondioksida akan mencapai konsentrasi 540 hingga 970 ppm. Estimasi yang lebih tinggi malah memperkirakan bahwa konsentrasinya akan meningkat tiga kali lipat bila dibandingkan masa sebelum revolusi industri.

Metana (CH4)

Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk gas rumah kaca. Ia merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi. Metana juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan

Page 22: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Sejak permulaan revolusi industri pada pertengahan 1700- an, jumlah metana di atmosfer telah meningkat satu setengah kali lipat.

Nitrogen Oksida (NO)

Nitrogen oksida adalah gas insulator panas yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih besar dari karbondioksida. Konsentrasi gas ini telah meningkat 16 persen bila dibandingkan masa pre-industri.

Gas lainnya

Gas rumah kaca lainnya dihasilkan dari berbagai proses manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan alumunium. Hidrofluorokarbon (HCFC-22) terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi, perabotan (furniture), dan temoat duduk di kendaraan. Lemari pendingin di beberapa negara berkembang masih menggunakan klorofluorokarbon (CFC) sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi ultraviolet). Pada tahun 2000, para ilmuan mengidentifikasi bahan baru yang meningkat secara substansial di atmosfer. Bahan tersebut adalah trifluorometil sulfur pentafluorida. Konsentrasi gas ini di atmosfer meningkat dengan sangat cepat, yang walaupun masih tergolong langka di atmosfer tetapi gas ini mampu menangkap panas jauh lebih besar dari gas-gas rumah kaca yang telah dikenal sebelumnya. Hingga saat ini sumber industri penghasil gas ini masih belum teridentifikasi.

Efek Umpan Balik

Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat

Page 23: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek nettonya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

 

Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an). Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi

Page 24: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat “keterangan” dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat “keterangannya” selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemanasan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

 

Peternakan (Komsumsi Daging) dan Pertanian

World Watch Institute, dalam Watch Magazine edisi November/Desember 2009 menyebut industri peternakan dunia menyumbang sedikitnya 51 persen gas rumah kaca penyebab pemanasan global. World Watch Institute adalah organisasi riset independen di AS yang berdiri sejak 1974. Organisasi ini dikenal kritis terhadap isu lingkungan dan hanya bersuara berdasarkan fakta. Laporan dari World Watch Insitute banyak digunakan lembaga bergengsi seperti Greenpeace (Sumber: Kompas.com.).

Sektor peternakan telah menyumbang 9 persen karbon dioksida, 37 persen gas metana (mempunyai efek pemanasan 72 kali lebih kuat dari CO2 dalam jangka 20 tahun, dan 23 kali dalam jangka 100 tahun), serta 65 persen dinitrogen oksida (mempunyai efek pemanasan 296 kali lebih lebih kuat dari CO2). Berikut garis besarnya menurut FAO:

1. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak

Page 25: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya

Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG)

Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 milyar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan

Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak.

Karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya

2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan

Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya.

Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.

3. Emisi karbon dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen

Emisi CO2 dari pengolahan daging dapat mencapai puluhan juta ton per tahun.

Emisi CO2 dari pengangkutan produk hewan ternak dapat mencapai lebih dari 0,8 juta ton per tahun.

Dari uraian di atas, dapat dilihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari tiap komponen sektor peternakan. Di Australia, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan lebih besar dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dalam kurun waktu 20 tahun, sektor peternakan Australia menyumbang 3 juta ton metana setiap tahun (setara dengan 216 juta ton CO2), sedangkan sektor pembangkit listrik tenaga batu bara menyumbang 180 juta ton CO2 per tahunnya (Sumber: Kompas.com).

Aktivitas pertanian rupanya menyumbang sekitar 20% gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Sektor pertanian memproduksi 50% gas metana (CH4) dan 70% nito dioksida (N2O). Dalam percaturan global, pertanian di negara maju yang telah padat teknologi dapat menyumbang pengurangan emisi CO2 sebanyak 40%. Produksi biofuel dari perkebunan di negara-negara maju juga

Page 26: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

memberikan kontribusi sebesar 32%. Pengurangan emisi NO2 dari pertanian negara maju bisa mencapai 30% jika penggunaan pupuk nitrogen dikurangi atau dilakukan secara efesien (Harian Kompas, 2009).

3. Dampak Pemanasan global (Global Warming)

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

a. cuaca

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat (Hariansyah, 2008).

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini, badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim (Hariansyah, 2008).

b. tinggi muka laut

Page 27: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm (4 – 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 – 88 cm (4 – 35 inchi) pada abad ke- 21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai. Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades (Hariansyah, 2008).

c. pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat (Hariansyah, 2008).

d. hewan dan tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian

Page 28: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah (Hariansyah, 2008).

Pemanasan global juga memusnahkan 30 persen satwa dan tumbuhan Indonesia akibat kenaikan suhu 0,2-1 derajat celcius dalam 34 tahun terakhir ini. Salah satu anomali dari dampak pemanasan global ini dengan melihat prilaku orang utan (Pongo Pygmeus) di pedalaman hutan Kalimantan. Dulu satwa arboreal ini hidup di pucuk-pucuk memakan buah dan serangga, namun, kini banyak ditemui orang utan berjalan-jalan di darat (Pratomo, 2007).

e. kesehatan manusia

Di dunia yang hangat, para ilmuan memprediksi bahwa lebih banyak orang yang terkena penyakit atau meninggal karena stress panas. Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit malaria; persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen jika temperature meningkat. Penyakit-penyakit tropis lainnya juga dapat menyebar seperti malaria, seperti demam dengue, demam kuning, dan encephalitis. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi dan penyakit pernafasan karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari (Hariansyah, 2008).

4. Upaya Pengendalian Pemanasan Global (Global Warming)

Menghilangkan Karbon

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Page 29: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Pada dasarnya, yang harus kita lakukan adalah mengurangi semaksimal mungkin segala aktifitas yang menghasilkan emisis gas rumah kaca. Ada beberapa hal utama yang dapat dilakukan dalam menyelamatkan planet bumi, yaitu:

1. Membatasi emisi karbon dioksida2. Membudayakan gemar menanam pohon dan menggunakan tanaman hidup

sebagai pagar rumah.

3. Penebangan pohon harus diikuti dengan penanaman kembali bibit pohon yang sama dalam jumlah lebih banyak

4. Daur ulang (Recycle) dan gunakan ulang(Reuse)

5. Menggunakan alat transportasi alternatif yang berbahan bakar ramah lingkungan untuk mengurangi emisi karbon

6. Mengurangi atau menghentikan makan daging

7. Menghindari membakar sampah dan  membuka lahan dengan cara membakar

8. Menghemat energi dan listrik misalnya; mengganti komputer personal dengan komputer jinjing yang dapat menyimpan arus listrik, mematikan atau mencabut koneksi listrik alat-alat elektronik setelah digunakan.

9. Merawat mesin kendaraan secara berkala agar emisi gas buang kendaraan baik,

10.Bagi industri, selalu memantau emisi gas buang limbahnya.

Kerjasama antar negara melalui Persetujuan Internasional

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Denmark akan menjadi tuan rumah pertemuan PBB yang membahas mengenai perubahan iklim (COP 15) pada 7-18 Desember 2009 di Kopenhagen. Pemerintah Denmark telah melayangkan undangan kepada 191 kepala negara untuk

Page 30: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

menghadiri konferensi tersebut. COP 15 ini memiliki arti penting karena diharapkan bisa menghasilkan protokol baru pengganti Protokol Kyoto yang berakhir periode komitmennya pada tahun 2012 mendatang. Undangan kepada para kepala negara tersebut ditandatangani oleh Perdana Menteri Denmark Lars LokkeRasmussen dan dikirimkan melalui jalur diplomatik (Sumber: Kompas.com).

Pembicaraan pra-COP yang dilaksanakan awal pekan ini di Kopenhagen, menunjukkan masih adanya tawar menawar keras, terutama dari negara maju, khususnya Amerika Serikat, mengenai target pengurangan emisinya. Demikian pula China, sebagai negara penyumbang emisi kedua terbesar. Kendati demikian, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sekaligus Ketua Delegasi RI (Delri) pada COP15, Rachmat Witoelar, melihat masih adanya peluang untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan yang akan bermanfaat. Meskipun, bukan keputusan ideal, seperti yang dimandatkan. COP13 di Bali pada tahun 2007 lalu, memandatkan agar COP15 berhasil merumuskan draft baru pengganti Protokol Kyoto (Sumber: Kompas.com).

 

Penutup

Global warming merupakan istilah yang menunjukkan peningkatan suhu rata-rata udara permukaan bumi dan lautan. Suhu udara rata-rata permukaan bumi meningkat 0.74 + 0.18°C dalam 100 tahun terakhir.

Penyebab pemanasan global (Global Warming) antara lain disebabkan oleh Efek Rumah Kaca (Green House Effect), efek umpan balik, variasi matahari dan peternakan (komsumsi daging).

Global warming memberikan dampak terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan dan tumbuahan, kesehatan manusia.

Upaya dalam mengatasi Global warming melalui cara menghilangkan karbon dan kerjasama antar negara melaui persetujuan internasional.

Oleh karena itu, hal penting yang dapat dilakukan dalam meningkatkan upaya menanggulangi pemanasan global ini adalah :

1. Perlunya penanamkan jiwa yang mencintai lingkungan dan menjaga bumi dari kerusakan.

2. Perlunya menyamakan gerak langkah kita sebagai sekelompok manusia yang mengiginkan bumi ini selalu terjaga, selain itu kita juga harus selalu bersemangat untuk mengkampanyekan seruan ” Stop Global Warming and Save Our Earth”.

Page 31: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

DAFTAR PUSTAKA

 

Damayanti, C.S. 2007. Global Warming dan Penyakit Hewan (Pdf. File). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Haneda, 2004. Hubungan efek Rumah Kaca Pemanasan Global & Perubahan Iklim. Online.(http://www.climatechange.menlh.go.id). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Hariansyah, Catur Aries, dan Sulistiono. 2008. Pemanasan Gobal Terkuak Kembali (Pdf File). Karya Ilmiah. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Ivie. 2008. Global Warming Tahun 2007, Tahun Terpanas Kedua di Bumi. Online. (http://langitselatan.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Kodra, A.H., Syaukani. 2004. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas; Menyibak Tragedi Kehancuran Hutan. Bandung: Nusantara.

Lukas Adi Prasetya. 2009. 25 November. Kurangi Konsumsi Daging, Cegah Pemanasan Global; Cegah Pemanasan Global Bukan Sekedar Hemat Listrik dan BBM. Online (http://kompas.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Ptatomo, Lutfi. 2007. Hancurnya Bumi; Ujung Global Warming. Online (http://beritahabitat.net). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Ranger. 2009. Global Warming (Pemanasan Global). Online. (http://gumuxranger.web.id). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Razak, Abdul. 2008. Kajian Yuridis CarbonTrade dalam Penyelesaian Efek Rumah Kaca (Pdf File). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Soemarwoto, Idjah. 2001. Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Syahputra, Benny. 2007. Mengenal Efek Rumah Kaca. Online. (http://www.bennysyah.edublogs.org). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Wedhaswary, dwi dan Rachmat Witoelar. 2009. 23 November. Emil Salim: Dengan atau Tanpa AS, Komitmen Iklim Jalan Terus. Online (http://kompas.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

Wikipedia. 2007. Gas Rumah Kaca. Online. (http://www.id.wikipedia.org). Diakses pada tanggal 23 November 2009.

Page 32: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Wsn. 2009. 15 November. Pemerintah Denmark Undang 191 Kepala Negara ke Kopenhagen. Online (http://kompas.com). Diakses pada tanggal 29 November 2009.

“Mari Duduk Bersama dan Membuka Hati”. 2009. 2 Desember. Kompas. Hlm 14.

pemanasan GlobalPemanasan global (Inggris: global warming) adalah suatu proses meningkatnya suhurata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change(IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasigas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.[1]Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca pada masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil.[1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas kalor lautan.Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrem,[2] serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.Beberapa hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi pada masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah

Page 33: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

kaca

PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL

Efek rumah kacaSegala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merahgelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan suhu rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dari suhunya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balikAnasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara,kelembapan relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model

Page 34: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.[3]

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo)oleh es.[4] Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku(permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Variasi Matahari

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini.[6] Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat

Page 35: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.[8][9]

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuwan dari Duke University memperkirakan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan suhu rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10]Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat perkiraan berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuwan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swissmenyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global.[12][13] Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.[14]

Global Warming 

Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi.

Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Page 36: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Perbedaan angka perkiraan itu dikarenakan oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.

Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekwensi-konsekwensi yang ada. Sebagian besar pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Penyebab Pemanasan Global

Efek rumah kaca

Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut dalam bentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Hal tersebut terjadi berulang-ulang dan mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.

Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.

Sebenarnya, efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 °C (59 °F), bumi sebenarnya telah lebih panas 33 °C (59 °F) dengan efek rumah kaca (tanpanya suhu bumi hanya -18 °C sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi). Akan tetapi sebaliknya, akibat jumlah gas-gas tersebut telah berlebih di atmosfer, pemanasan global menjadi akibatnya.

Efek umpan balik

Efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih

Page 37: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

banyaknya air yang menguap ke atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menjadi menghangat). Umpan balik ini hanya dapat dibalikkan secara perlahan-lahan karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.

Efek-efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah, awan akan memantulkan radiasi infra merah balik ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif (menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersama dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.

Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah. 

Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.

Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. Perbedaan antara mekanisme ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan memanaskan stratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960, yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950.

Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan

Page 38: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar 25-35% antara tahun 1980 dan 2000. Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol sulfat juga telah dipandang remeh. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.

Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. Sebuah penelitian oleh Lockwood dan Fröhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis.

Mengukur Pemanasan Global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa

Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai. Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu, komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.

Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

Page 39: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100.

IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang sangat besar.

Model iklim

Prakiraan peningkatan temperature terhadap beberapa skenario kestabilan (pita berwarna) berdasarkan Laporan Pandangan IPCC ke Empat. Garis hitam menunjukkan prakiraan terbaik; garis merah dan biru menunjukkan batas-batas kemungkinan yang dapat terjadi.

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.

Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu rentang tertentu.

Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim, IPCC memperkirakan pemanasan sekitar 1.1 °C hingga 6.4 °C (2.0 °F hingga 11.5 °F) antara tahun 1990 dan 2100. Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.

Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. Model-model ini tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun 1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.

Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2). Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif.

Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap

Page 40: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

model-model yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. Saat ini juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global

Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia.

Cuaca

Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut. Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.

Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim. 

 Tinggi muka laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 - 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.

Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-

Page 41: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

negara miskin mungkin hanya dapat melakukan evakuasi dari daerah pantai.

Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20 inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.Pemanasan di GreenlandGreenland mengalami pencairan salju pada ketinggian yang lebih tinggi dibanding ketinggian rata-rata selama tahun tahun yang lalu. Hasil pengamatan harian menunjukkan mencairnya salju di lapisan es Greenland mengalami peningkatan setiap harinya.

pengawasan pelelehan saju di lapisan es Greenland secara harian dilakukan dengan Special Sensor Microwave Imaging radiometer (SSM/I) yang berada di pesawat ruang angkasa Defense Meteorological Satellite Program. Sensornya akan mengukur sinyal yang dipancarkan lapisan es dan mendeteksi lelehan salju yang terjadi lebih dari 10 hari lebih lama dari rata-rata yang terjadi pada area tertentu di Greenland.

Dengan adanya hasil pengamatan satelit secara periodik memberikan data dan informasi yang akan membantu para peneliti untuk mengetahui kecepatan pelelehan es dan banyaknya air dari salju yang mencair dan bergabung dengan lautan disekitarnya, juga untuk mengetahui seberapa banyak radiasi Matahari yang akan dipantulkan kembali ke atmosfer.

Dan data ini menunjukkan bahwa adanya peningkatan yang derastis selama beberapa tahun ini. Karena lapisan ozon yang melapisi bumi ini semakin tipis dan sudah menghasilkan lubang ozon yang ada di kutub utara.

Mencairnya salju di Greenland memberi pengaruh yang sangat besar terhadap luas lapisan es yang terus berkurang dan terhadap tinggi dan dalam lautan diseluruh dunia. Sebagian air yang dihasilkan dari salju yang mencair juga akan mengalir kedalam glaser melalui patahan-patahan dan alur lubang vertikal (moulin), kemudian mencapai lapisan batuan dibawahnya dan mencairkan lapisan es diatasnya.

Pengamatan dan studi yang dilakukan sebelumnya oleh Jay Zwally dan Waleed Abdalati dari NASA Goddard menunjukkan, air yang mencair pada musim panas pada dasar lapisan es bisa meningkatkan gerak es dan menyebabkan terjadinya peningkatan level lautan (tinggi dan dalamnya) dengan sangat cepat. Fenomena ini akan mempercepat terjadinya pemanasan global.

Es Kutub Utara Mencair Lebih Cepat

Lapisan es di Kutub Utara terus mencair lebih cepat dari sebelumnya akibat pengaruh pemanasan global. Pantauan lapisan es di Kutub Utara yang dilakukan satelit dalam 30 tahun ini memperlihatkan lapisan es disana mencapai tingkat terendah pada Agustus tahun 2008 ini.

Para peneliti Amerika Serikat dari Pusat Data Nasional Salju dan Es (NSIDC) menyebutkan, pada pengukuran 26 Agustus, luas permukaan es di Kutub Utara menyusut hingga 5,26 juta kolometer persegi, berkurang dibandingkan dengan 21 September 2005 yang seluas 5,32 juta kilometer persegi.

Sejak awal Agustus, menurut Boulder, badan pemantauan Kutub Utara yang berbasis di Colorado, AS, permukaan es disana menyusut sebanyak 0.006 juta kilometer persegi.

Mencairnya es di Kutub Utara, menurut NSIDC, berlangsung sangat cepat dan ekstensif. Ini memungkinkan luas permukaan es akan menyusut hingga dibawah 4,25 juta kilometer persegi. Angka 4,25 juta kilometer persegi, berdasarkan pantauan satelit, merupakan angka terendah luas

Page 42: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

permukaan es di Kutub Utara, yang tercatat pada musim panas tahun 2007.

Rata-rata luas permukaan es di Kutub Utara, menurut pantauan, selama tahun 1979-2000 adalah 7,23 juta kilometer persegi.

"Intinya adalah tren negatif es pada musim panas memperpanjang berlanjutnya kecenderungan yang telah berlangsung beberapa dekade," demikian tulis NSIDC dalam laporannya.

Glasiologis NSIDC, Mark Serreze memperingatkan, Kutub Utara bahkan bisa tidak berlapiskan es lagi pada bulan September untuk pertama kalinya dalam sejarah modern.

Pertanian

Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan penyakit yang lebih hebat.

Hewan dan tumbuhan

Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Kesehatan manusia

Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak.

Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

Page 43: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Perdebatan tentang pemanasan global

Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.

Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.

Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.

Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti.

Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

Pengendalian pemanasan global

Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.

Kerusakan yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur)

Page 44: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

habitatnya, mengosongkan tanah yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.

Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah kaca.

Menghilangkan karbon

Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya, menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di mana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.

Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, bahkan tidak melepas karbon dioksida sama sekali. 

Persetujuan internasional

Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992, pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997 di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.

Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen.

Page 45: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.

Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya. Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini, memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.

Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak, industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil. Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses industri yang lebih effisien.

Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan. Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.

Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang sistem di mana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon. Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama mereka yang ada di Uni Eropa.

Global WarNing of Global WarMing

Pernyataan di bawah berikut ini mungkin akan membuat kita tersentak sekaligus terbelalak. Ia berbunyi: “Pernyataan pemanasan global itu sungguh nyata cuma omong kosong. Pernyataan itu diulang-ulang oleh para aktivis guna meyakinkan sekaligus menakut-nakuti publik bahwa iklim akan berubah menjadi malapetaka, dan aktivitas manusialah penyebab utamanya.” Kalimat itu diucapkan senator AS dari Partai Republik, James Inhofe, yang juga merupakan Ketua Environment and Public Works Committee Senat AS, setahun lalu. 

Page 46: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Pernyataan itu diperkuat lagi dengan pernyataan Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara dengan sebuah radio lokal di AS belum lama ini, yang menunjukkan keraguan sang direktur bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar yang harus diatasi manusia. Dalam wawancara tersebut, salah satu petikan pernyataan Griffin yang kemudian banyak dikutip adalah, “Iklim bumi saat ini adalah iklim yang terbaik yang pernah kita punyai.”

Benarkah pemanasan global sungguh-sungguh merupakan akibat dari ulah manusia yang terlalu rakus mengeksploitasi bumi dan ceroboh menjaga keseimbangan alam? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal terpenting yang harus diatasi manusia?

Inhofe memaparkan beragam fakta dan kutipan yang mendukung argumennya. Menurutnya, media memainkan peranan penting dalam menggelorakan isu yang tidak benar ini. Ia pun mengungkapkan penelusurannya terhadap laporan beberapa media terkemuka seperti Newsweek, Majalah Time, Harian New York Times, Chicago Tribune, dan juga Jurnal Science News. Didapatinya, media-media tersebut pada era tahun 1900-an justru melaporkan kekhawatiran akan datangnya abad es, bukan pemanasan atau melelehnya es. Hingga periode 1920-1930-an sampai menjelang akhir tahun 1970-an, media-media terkemuka di AS itu masih sangat gencar memberitakan dan melaporkan bahaya perubahan bumi menjadi bola es.

Ia pun melecehkan Protokol Kyoto, sebuah protokol yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di kolong bumi ini guna mengurangi emisi gas-gas pembentuk rumah kaca di mana AS menolak menandatanganinya, sebagai kesepakatan dan solusi yang tidak ada artinya dalam rangka mengurangi emisi gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengurangi gas-gas tersebut adalah penggunaan alat pembersih gas dan teknologi yang lebih efisien untuk menekan gas tersebut bertebaran ke angkasa.

Namun pernyataan Inhofe berbau politis itu tak menyurutkan gerakan global di seluruh dunia bahwa ancaman pemanasan bumi sungguh-sungguh nyata dan harus diperangi dari sekarang oleh semua pihak. Inhofe, politisi dari Partai Republik, sebagaimana halnya Mantan Presiden AS George W. Bush yang juga dari Partai Republik, jelas tidak mau kepentingan mereka terusik terusik gara-gara harus menekan emisi gas rumah kaca yang di AS sebagian besar dihasilkan dari pembangkit listrik berenergi fosil (BBM, batubara).

Tak hanya Inhofe dan Bush yang bersikap “bebal” terhadap perubahan iklim. Lebih dari 17 ribu ilmuwan -- dua ribu lebih di antaranya adalah fisikawan, geofisikawan, ahli iklim, ahli meteorologi, dan pakar lingkungan- menandatangani petisi yang diedarkan oleh Oregon Institut of Science and Medicine di AS. Salah satu kalimat dalam petisi itu menyatakan, “Tidak ada bukti-bukti ilmiah bahwa pelepasan gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas-gas rumah kaca lainnya yang mengakibatkan pemanasan akut terhadap temperatur bumi dan kerusakan pada iklim bumi.”

Terlepas dari kenyataan dan pernyataan politik yang diungkapkan di atas, fakta-fakta berikut ini berbicara jauh lebih kuat dan nyata, memperlihatkan ke mana arah perubahan iklim di bumi ini akan menuju dan bermuara.

 Fakta-fakta

Kita mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen.

Masih di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area gletser/glacier menunjukkan

Page 47: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.

Tidak hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik. Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.

Mari beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963 hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun sejak sekarang.

Konsekuensi dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915 hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh tahun antara 1985-1995.

Apa yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga, Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan sepanjang aliran sungai-sungai itu.

Tak hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun 1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju, sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka. Artinya, tidak ada lagi salju di sana.

Pelelehan es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja. Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.

Konsekuensi dan Risiko

Karena energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi

Page 48: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.

Namun, konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu. Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.

Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan ratusan juta umat manusia.

Konsekuensi di Tingkat Lokal

Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat.

Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.

Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.

Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.

Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.

Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya— sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada

Page 49: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

pemanasan secara global.

Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya

kongkret memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.  

Pemanasan Global Ancam Negara Kepulauan

Pemanasan global yang mengakibatkan kenaikan suhu diatas permukaan bumi mengancam keberadaan negara-negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina dan Jepang.

Hal itu dikatakan Ketua Program Doktor dan Magister Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Prof. Dr. Alvi Syahrin, saat sosialisasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim, di Medan, Senin.

Ia mengatakan, pemanasan global yang terjadi diramalkan juga akan mencairkan lapisan es Greendland hingga menyebabkan naiknya permukaan laut menuju tujuh meter.

"Kalau ini sampai terjadi, maka pulau-pulau kecil dibelahan dunia akan tenggelam oleh air laut. Indonesia sendiri dalam dua tahun belakangan ini sudah kehilangan 24 pulau-pulau kecil akibat naiknya permukaan laut,"katanya.

Sementara pada kesempatan yang sama Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Sumatera, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Ir.Sabar Ginting MBA, mengatakan, rata-rata tahunan es lautan artik telah menciut sebesar 2,7 persen perdekade, dengan penurunan lebih besar pada saat musim panas sebesar 7,4 persen per dekade.

Penurunan glacier dan tutupan es juga berkontribusi terhadap kenaikan permukaan air laut sebesar 0,5 mm per tahun dari tahun 1961 hingga 2003.

Akibat pemanasan global, kata dia, pada pertengahan abad rata-rata run off sungai dan ketersediaan air diproyeksikan akan meningkat 10-40 persen didaerah lintang tinggi dan dibeberapa wilayah tropis basah.

Sementara diwilayah daerah lintang menengah dan daerah tropis kering ketersediaan air akan menurun sekitar 10-30 persen.

Sumber:gogreenindonesia.blogspotKompasDetikNews

Page 50: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Penyebab

Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas

lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaranbahan

bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-

tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

Energi yang masuk ke Bumi:

25% dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer

25% diserap awan

45% diserap permukaan bumi

5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi

Energi yang diserap dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan

bumi. Namun sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas

CO2 dan gas lainnya, untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah

kaca diperlukan, dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi

tidak terlalu jauh berbeda.

Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen

monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana

dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan

efek rumah kaca.

[sunting]Akibat

Meningkatnya suhu permukaan bumi akan mengakibatkan adanya perubahan iklim yang sangat

ekstrem di bumi. Hal ini dapat mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lainnya, sehingga

mengurangi kemampuannya untuk menyerap karbon dioksida di atmosfer. Pemanasan global

mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya

permukaan air laut. Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga

air laut mengembang dan terjadi kenaikan permukaan laut yang mengakibatkan

negara kepulauan akan mendapatkan pengaruh yang sangat besar.

Menurut perhitungan simulasi, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu rata-rata bumi 1-5 °C. Bila

kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan

peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 °C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya

konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan

dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi

meningkat.

Page 51: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Penyebab Pemanasan Global

Secara umum, penyebab pemanasan global terbagi menjadi tiga, yaitu efek rumah kaca, efek umpan balik, dan variasi matahari. Sebagaimana diketahui, segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merah gelombang panjang ke angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, sulfur dioksida dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat. Berdasarkan logika ini, maka pemanasan Global (Global Warming), terjadi disebabkan meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi, yang antara lain disebabkan karena :

Bumi menyerap lebih banyak energi matahari, daripada yang dilepas kembali ke atmosfer (ruang angkasa). Keadaan ini menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas, serta menimbulkan peningkatan panas bumi dan pencairan kutub es

Pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan energi fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya)

Penghasil terbesar emisi zat karbon adalah adalah negeri-negeri industri, hal ini dikarenakan pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan;

Pemanasan global merupakan peningkatan secara gradual dari suhu permukaan bumi yang sebagian disebabkan oleh emisi dari zat-zat penecmar seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4) dan oksida nitrat (N2O), serta bertanggungjawab terhadap perubahan dalam pola cuaca global. Karbondioksida dan zat pencemar lanilla berkumpul di atmosfer membentuk lapisan yang tebal menghalangi panas matahari dan menyebabkan pemanasan planet dengan efek gas rumah kaca.

Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi

Page 52: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko populasi yang sangat besar.

Sedangkan penyebab pemanaan global karena faktor efek umpan balik dapat dijelaskan, bahwa efek umpan balik terjadi karena awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek pemanasan. Awan juga akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan.

Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es. Ketika suhu global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat. Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.

Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif. Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi pertumbuhan diatom daripada fitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.

Pemanasan global merupakan fenomena yang kompleks, dan dampak sepenuhnya sangat sulit diprediksi. Namun, setiap tahunnya para ilmuawan makin banyak belajar tentang bagaimana pemanasan global tersebut mempengaruhi planet, dan banyak diantara mereka setuju bahwa konsekuensi tertentu akan muncul jika kecenderungan pencemaran yang terjadi saat ini berlanjut, diantaranya adalah:

Peningkatan permukaan laut yang disebabkan oleh mencairnya gunung es akan menimbulkan banjir di sekitar pantai;

Naiknya temperatur permukaan air laut akan menjadi pemicu terjadinya badai terutama di bagian tenggara atlantik

Rusaknya habitat seperti barisan batu karang dan pegunungan alpen dapat menyebabkan hilangnya berbagai hayati di wilayah tersebut Baru-baru ini, dalam pernyataan akhir tahunnya, Pelangi, satu institusi yang memfokuskan diri dalam penelitian dan mitigasi perubahan iklim menyebutkan bahwa suhu permukaan bumi di sebagian besar wilayah Indonesia telah meningkat antara 0.5 – 1 derajat Celsius dibandingkan pada temperature rata-rata antara tahun 1951 – 1980, yang mana peningkatan ini terutama disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca.

Page 53: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

Pemanasan global merupakan hal yang tidak terbantahkan lagi dan dapat menimbulkan dampak yang sangat mengerikan. Laporan tersebut menyebutkan manusia sebagai biang utama pemanasan global. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70% antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir.

Rata-rata temperatur global telah naik 0,72 derajat Celcius dalam 100 tahun terakhir. Permukaan air laut naik rata-rata 0,175 cm setiap tahun sejak 1961. (Laporan terakhir Panel PBB untuk Perubahan Iklim atau United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) di Valencia, 19 November 2007

Menurut Antara News (2007), sedikitnya 23 pulau tidak berpenghuni di Indonesia tenggelam dalam 10 tahun terakhir akibat pemanasan global. Diperkirakan pada 2070 sekitar 800 ribu rumah yang berada di pesisir harus dipindahkan dan sebanyak 2.000 pulau dari sekitar 18 ribu pulau di Indonesia akan tenggelam akibat naiknya air laut. Pulau Maladewa di India, Vanuatu dan beberapa pulau lainnya juga dikhawatirkan akan mengalami nasib yang sama akibat pemanasan global.

Pengaruh Pemanasan Global terhadap Kesehatan1.Pemanasan global tak hanya berdampak serius pada lingkungan manusia di bumi namun juga terhadap kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pertemuan tahunan di Genewa mengatakan bahwa berbagai penyakit infeksi yang timbul diidentifikasi terkait dengan perubahan lingkungan hidup yang drastis. Kerusakan hutan, perluasan kota, pembukaan lahan untuk pertanian, pertambangan, serta kerusakan ekosistem di kawasan pesisir memicu munculnya patogen lama maupun baru. Berbagai penyakit yang ditimbulkan parasit juga meningkat terutama di wilayah yang sering mengalami kekeringan dan banjir.

Malnutrisi mengakibatkan kematian 3,7 juta jiwa per tahun, diare mengakibatkan kematian 1,9 juta jiwa, dan malaria mengakibatkan kematian 0,9 juta jiwa.

Suhu yang lebih panas juga berpengaruh pada produksi makanan, ketersediaan air dan penyebaran vektor penyakit. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa pemanasan global (global warming) akan banyak berdampak bagi kesehatan masyarakatdan lingkungan. Perubahan temperatur dan curah hujan yang ditimbulkan memberikan kesempatan berbagai macam virus dan bakteri penyakit tumbuh lebih luas. WHO mengatakan, selain virus dan bakteri penyakit berkembang pesat, secara tidak langsung pemanasan global juga dapat menimbulkan kekeringan maupun banjir.

Kekeringan mengakibatkan penurunan status gizi masyarakat karena panen yang terganggu, Banjir menyebabkan meluasnya penyakit diare serta Leptospirosis.

Kebakaran hutan, dapat mengusik ekosistem bumi, menghasilkan gas-gas rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global. Sedangkan asap hitamnya

Page 54: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

menganggu secara langsung kehidupan manusia, Asap yang mengandung debu halus dan berbagai oksida karbon itu menyebabkan gangguan pernapasan dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), mulai asma, bronkhitis hingga penyakit paru obstruktif kronis (COPD). Asap tersebut juga membawa racun dioksin yang bisa menimbulkan kanker paru dan gangguan kehamilan serta kemandulan pada wanita.

Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadian Demam Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adalah organisme tersebut. Selain itu bisa diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)

Dampak pemanasan global juga mempengaruhi penipisan ozone antara lain meningkatnya intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan bumi menyebabkan gangguan terhadap kesehatan, seperti kanker kulit, katarak, penurunan daya tahan tubuh, dan pertumbuhan mutasi genetik., memperburuk penyakit-penyakit umum Asma dan alergi  Meningkatkan kasus-kasus kardiovaskular, kematian yang disebabkan penyakit jantung dan stroke serta gangguan jantung dan pembuluh darah

2. Pemanasan global juga menyebabkan musim penyerbukan berlangsung lebih lama sehingga meningkatkan resiko munculnya penyakit yang ditimbulkan oleh kutu di wilayah Eropa Utara. Peyakit lain yang teridentifikasi adalah lyme, yang disebabkan oleh semacam bakteri di Amerika Utara, Eropa, dan Asia. Gejalanya berupa sakit kepala, kejang, dan nyeri sendi. Penyakit itu berpindah melalui gigitan sejenis kutu rusa yang yang telah terinfeksi lyme. Bakteri yang sama juga benyek ditemukan pada tikus. Dampak lain yang terasa adalah nyamuk-nyamuk semakin berkembang biak erutama di Afrika dan Asia. Dua penyakit serius akibat gigitan nyamuk, yaitu malaria dan demam berdarah dengue, sangat sensitif terhadap perubahan iklim. Di Indonesia kita sudah merasakannya langsung, yakni tingginya angka korban yang menderita demam berdarah.

Pemanasan global mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat, sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Tentang keterkaitan pemanasan global dengan peningkatan vektor demam berdarah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Udara panas dan lembab itu paling cocok buat nyamuk malaria (Anopheles), dan nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti). Dulu, jenis kedua nyamuk penebar

Page 55: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

maut ini lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau.

Kini rentang waktu serangan kedua serangga itu hampir di sepanjang tahun. Udara panas dan lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu menyediakan genangan air bening untuk mereka bertelur. Maka, kini virus malaria yang dibawa Anopheles dan virus dengue yang dibawa nyamuk Aedes aegypti dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas.

Akibat pemanasan global, siklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD) di tubuh nyamuk Aedes aegyti dan siklus inkubasi ekstrinsik virus penyebab Malaria di tubuh nyamuk Anopheles menjadi lebih pendek dan Masa inkubasi kuman lebih singkat. Populasi mereka lebih mudah meledak. Akibatnya, kasus demam berdarah lebih mudah meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Karena itu, upaya pencegahan penyakit harus dilakukan secara menyeluruh. Tidak hanya menangani penyakitnya saja, tetapi “Faktor lingkungan fisik dan biologis harus pula dikendalikan dengan cara memodifikasi lingkungan agar vektor malaria dan demam berdarah tak bisa berkembang biak,“

3. WHO juga menyebutkan ancaman lain dari meningkatnya suhu rata-rata global, yakni penyakit yang menyerang saluran pernapasan. “Gelombang panas menyebabkan jumlah materi dan debu di udara meningkat,” kata Bettina Menne, anggota WHO divisi Eropa. Suhu udara yang semakin hangat juga membawa penyakit alergi. Kenaikan permukaan air laut akan mengakibatkan banjir dan erosi, terutama di kawasan pesisir, dan mencemari sumber-sumber air bersih. Akibatnya adalah wabah kolera dan malaria di negara miskin. Wilayah di Asia selatan, terutama Bangladesh disebut sebagai wilayah yang paling rawan karena berada di dataran rendah dan sering mengalami banjir. Mencairnya puncak es Himalaya, luasnya daerah gurun pasir dan wilayah pesisir pantai yang tercemar merupakan sarana penularan penyakit, hal ini juga menyebabkan angka kekurangan gizi pada anak-anak. (Article source : Reuters).

4.  Ada 35 jenis penyakit infeksi baru yang timbul akibat perubahan iklim, diantaranya ebola, flu burung, dll penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia. Penyakit yang paling rentan terjadi di Indonesia, menurut adalah penyakit degeneratif dan penyakit menular. Hal ini dapat dengan cepat berkembang pada masyarakat yang kondisi gizi kurang baik dan kondisi kesehatan lingkungan yang kurang memadai. (Dr. Wan Alkadri, Msc.)

Beberapa informasi diatas diharapkan dapat menjadi pembelajaran kita bersama.Minimal kita mengetahui kondisi sebenarnya dari bumi yang kita tampati ini. Kita dapat memulai beberapa kegiatan kecil untuk menyelamatkan bumi. Dengan masalah utama pada penggunaan bebeapa bahan bakar yang dapat menyebabkan atau sebagai pencetus efek rumah kasa, maka kegiatan kecil kita dapat kita mulai dari sini.

Page 56: bahan tugas ilmu lingkungan.doc

 Referensi : Agoes, Ridad., 1998,  Pemanasan Global dan Antisipasi Dampaknya Pada Perubahan Pola Sebar Penyakit Menular., Manusia, Kesehatan dan Lingkungan.