Bahan kebijakan 1.docx

114
KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA I. PENDAHULUAN Usaha penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Barat dimulai dengan jalur perdagangan, kemudian jalur militer. Peristiwa kedatangan orang Barat, pada tahun 1556 oarang Belanda merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten yang dipimpin oleh Cornelis De Houtmen dan De Keyzer. Kemudian setelah Belanda menguasai Indonesia maka timbullah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dan latar belakang kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan karena politik Pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam didasari rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme. Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan beberapa kebijakan- kebijakan Pemerintah Kolonial pada pendidikan di Indonesia. II. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana sejarah pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda (kolonial)? 2. Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda pada pendidikan di Indonesia? III. PEMBAHASAN A. Sejarah Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Kolonial Kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi). Sejak awal, kedatangan Belanda di Indonesia baik seabagai pedagang

Transcript of Bahan kebijakan 1.docx

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENDIDIKAN PEMERINTAH KOLONIAL DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN

Usaha penaklukan yang dilakukan oleh bangsa Barat dimulai dengan jalur perdagangan, kemudian jalur militer. Peristiwa kedatangan orang Barat, pada tahun 1556 oarang Belanda merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten yang dipimpin oleh Cornelis De Houtmen dan De Keyzer. Kemudian setelah Belanda menguasai Indonesia maka timbullah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Dan latar belakang kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan karena politik Pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam didasari rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialisme.

Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan beberapa kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial pada pendidikan di Indonesia.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sejarah pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda (kolonial)?

2. Bagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda pada pendidikan di Indonesia?

III. PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendidikan Islam Pada Zaman Penjajahan Kolonial

Kaum kolonial Belanda berhasil menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan misinya yang ganda (antara imperialis dan kristenisasi). Sejak awal, kedatangan Belanda di Indonesia baik seabagai pedagang perorangan, kemudian diorganisasikan menjadi VOC maupun sebagai aparat pemerintah yang berkuasa dan menjajah. Oleh sebab itu kehadiran mereka selalu mendapat tantangan dan perlawanan dari penduduk. Dengan mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka kolonial Belanda harus bisa memahami seluk beluk penduduk tersebut untuk bisa manjadikan bumi Indonesia sebagai jajahan mereka .

Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi, tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya. Bukan untuk memakmurkan bangsa yang dijajah . Begitu pula halnya pendidikan mekera telah memperkenalkan sistem dan metodologi baru dan tentu saja lebih efektif, namun semua itu dilakukan sekedar untuk menghasilkan tenaga-tenaga yang dapat membantu segala kepentingan penjajah dengan imbalan yang murah sekali dibandingkan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Dan kenyataannya, Belanda sebagai penjajah benar-benar mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memeras tenaga, sumber alam, dan sebagainya. Sementara dilain pihak juga diadakan semacam pembodohan terhadap penduduk pribumi. Karena itu Belanda sebagai penjajah berbeda sekali dengan penjajah yang lain, seperti Inggris. Belanda memang tidak pemberani kalau Inggris meskipun mereka sebagai penjajah tapi tidak menyampingkan kemajuan pribumi terutama dibidang pendidikannya.

Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan, itu adalah westernisasi dan kristenisasi yaitu untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijakan penjajahan Belanda di Indonesia yang berlangsung selama tiga setengah abad.

KH. Syaifuddin Zuhri, menggambarkan bahwa rakyat Indonesia yang mayoritas umat Islam memandang orang-orang barat tersebut sebagai penakluk, penjajah dan imperialisme.

Dalam dada penjajahan tersebut begitu kuatnya ajaran dan politikus curang dan licik, seperti Machiavelli, yang antara lain menganjurkan :

1. Agama sangat diperlukan bagi pemerintah kolonial.

2. Agama tersebut digunakan uuntuk menjinakkan dan menaklukan rakyat.

3. Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus dibawa untuk memecahbelah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada pemerintah.

4. Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati.

5. tujuan dapat menghalalkan segala cara .

Tentang dimulainya penjajahan Barat (Belanda) terhadap Indonesia memang terdapat silang pendapat, diantaranya:

1. Ir. Soekarno (Proklamator Indonesia), menyatakan bahwa penjajahan Belanda, atas Indonesia dimulai sejak tahun 1596, dimana tahun tersebut dia dijadikan batas awal dalam penyusunan periodeisasi sejarah Indonesia. Dimana Indonesia dijajah Belanda selama kurang lebih tiga setengah abad (1596-1942).

2. pendapat yang lain beranggapan bahwa penjajahan di Indonesia secara de facto dan de jure telah dimulai sejak tanggal 1 januari 1800, yaitu sehari setelah VOC gulung tikar dan menyerehkan kekuasaan atas Indonesia kepada pemerintah Belanda di Indonesia. Yaitu pada tanggal 31 desember 1799

B. Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Belanda Pada Pendidikan Indonesia.

Tiga poin utama dalam politik etis Belanda pada masa itu adalah irigasi, migrasi dan edukasi. Dalam poin edukasi, pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah gaya untuk kalangan pribumi. Akan tetapi keberadaan sekolah-sekolah ini ternyata tidak menjadi sebuah saran pencerdasan masyarakat pribumi. Pendidikan yang disediakan Belanda ternyata hanya sebatas mengajari para pribumi berhitung, membaca dan menulis. Setelah lulus dari sekolah, akhirnya mereka dipekerjakan sebagai pegawai kelas rendah untuk kantor-kantor Belanda di Indonesia.

Keengganan pemerintah kolonial Belanda dalam memajukan pendidikan rakyat Indonesia ini bisa dimaklumi, karena masih mendambakan kelestarian penjajahannya. Pemerintah kolonial menyadari, bahwa Pendidikan akan merupakan dinamit bagi sistem pemerintahan kolonial yang berlaku. Kebijakannya dalam bidang pendidikan tidak terlepas dari pola politik kolonial-nya. Alasan penyelenggaraan pendidikan pengajaran, lebih ditekankan pada kepentingan pemerintah kolonial daripada kepentingan rakyat jajahannya sendiri, sebagaimana terlihat jelas dalam kebijakan yang menyangkut agama mayoritas pribumi, dalam ordonansi guru maupun dalam ordonansi sekolah liar.

a. Kebijakan dalam bidang pendidikan dan Islam

Kelestarian penjajahan, betapapun merupakan impian politik pemerintah kolonial. Sejalan dengan pola ini, maka kebijakan dalam bidang pendidikan menempatkan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi. Pendidikan Barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.

Kesadaran bahwa pemerintah kolonial merupakan Pemerintahan kafir yang menjajah agama dan bangsa mereka, semakin mendalam tertanam dibenak para santri. Pesantren yang merupakan pusat pendidikan Islam pada waktu itu mengambil sikap anti Belanda. Sampai uang yang diterima seseorang sebagai gaji dari pemerintah Belanda, dinilainya sebagi uang haram. Celana dan dasi pun dianggap haram, karena dinilai sebagai pakaian identitas Belanda.

Di mata umat Islam, pemerintah kolonial sering dituduh sebagai pemerintah Kristen, sementara berbagai kebijakannya justeru sering mempersubur tuduhan tersebut. Sekolah-sekolah Kristen yang umumnya diberi subsidi oleh oleh pemerintah kolonial sering mewajibkan pendidikan agama Kristen bagi murid-murid Islam. Sekolah-sekolah Negeri juga sering dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda suatu aliran Gereja.

Ketika Van Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Dan tiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.

b. Ordonansi Guru

Suatu kebijakan pemerintah kolonial yang oleh umat Islam dirasakan sangat menekan adalah ordonansi guru. Ordonansi pertama yang dikeluarkan pada tahun 1905 mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama, sedangkan ordonansi kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kedua ordonansi ini dimaksudkan sebagi media pengontrol bagi pemerintah kolonial untuk mengawasi sepak terjang para pengajar dan penganjur agama Islam di negeri ini.

Pada tahun yang sama pula yakni tahun 1925 Pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Peraturan itu mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, dan lain-lain.

c. Ordonansi Sekolah Liar

Sejak Tahun 1880 pemerintah kolonial secara resmi memberikan izin untuk mendidik pribumi. Pada tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah yang tidak ada izinya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial yang disebut Ordonansi Sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan Nasionalisme- Islamisme pada tahun 1928, berupa sumpah pemuda.

Agaknya perlu dicatat beberapa faktor yang ikut mewarnai situasi menjelang lahirnya ordonansi pengawasan ini. Pemerintah kolonial pada saat itu terpaksa mengadakan penghematan, berhubung merosotnya ekonomi dunia, dan terpaksa pula memperendah aktifitasnya termasuk dalam bidang pendidikan. Kebijaksanaan ini membawa akibat sangat majunya pendidikan Kristen di Indonesia. Sementara itu keinginan orang orang Indonesia untuk memperoleh pendidikan Barat juga semakin berkembang. Ketidak mampuan pemerintah kolonial dalam mengatasi arus yang justru sejalan dengan apa yang digalakannya selama ini, mengakibatkan bermunculannya sekolah suasta pribumi, yang kemudian dikenal sebagai sekolah liar. Tetapi karena pengelola dan kurikulum sekolah ini dinilai tidak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, maka ijazah sekolah tersebut tidak diakui dikantor-kantor resmi. Sekolah liar ini selalu didirikan oleh orang-orang Indonesia dan dimasuki oleh anak-anak Indonesia.

C. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda

Politik pendidikan kolonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik pendidikan tertentu yakni:

1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.

2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam anatara pendidikan Belanda dan pendidikan pribumi.

3. Kontrol sentral yang kuat, pendidikan dikontrol secara sentral yaitu guru-guru dan orangtua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.

4. Keterbatasan tujuan sekolah pribumi, dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan.

5. Prinsip konkordansi yang menyebabkan sekolah di Indonesia sama dengan di negeri Belanda, prinsip konkordansi ini menurut Kat Angelino menjamin secara mutlak standar pendidikan yang sama dengan di Hindia Belanda dengan di Holland. Prinsip konkordansi mencegah merosotnya taraf pendidikan, seperti dalam hal tertentu banyak sedikit terjadi di India Inggris, di Indo-Cina Perancis dan di Filipina, oleh sebab di sana, prinsip konkordansi dengan negara asal tidak ada.

6. Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi. Sekitar tahun 1910 terdapat berbagai ragam sekolah rendah bagi anak-anak Indonesia seperti Sekolah Desa untuk anak-anak di daerah pedesaan, Sekolah Kelas Dua untuk anak orang biasa di kota-kota. Sekolah Kelas Satu untuk anak-anak kaum ningrat dan golongan kaya sekolah khusus untuk anak militer, juga untuk golongan aristokrasi di Sumatera, dan di samping itu sejumlah sekolah untuk pendidikan pegawai dan dokter Jawa. Ciri khas dari sekolah-sekolah ini ialah bahwa masing-masing berdiri sendiri tanpa hunungan organisasi anatara yang satu lagi dan tanpa jalan untuk melanjutkannya. Sekolah untuk pendidikan pegawai hanya dapat dimasuki melalui ELS. Sebaliknya untuk anak-anak Belanda telah ada sejak 1860 suatu sistem pendidikan yang mempunyai organisasi yang lengkap sama dengan yang di negeri Belanda yang memungkinkan mereka memasuki universitas melalui sekolah rendah dan menengah yang saling berhubungan erat.

IV. SIMPULAN

Pemerintah kolonial Belanda menjajah negeri kita Indonesia selama kurang lebih tiga ratus lima puluh tahun dan selama penjajahan Belanda menerapkan banyak kebijakan terutama dalam pendidikan yang sangat penting bagi kemajuan bangsa Indonesia diantara kebijakan-kebijakan itu antara lain dalam pendidikan Islam, ordonansi guru, dan ordonansi sekolah liar. Dari kebijakan tersebut pendidikan Indonesia menjadi lumpuh dan tidak diakui oleh pemerintah kolonial, dan para pendidik tidak berani dalam melaksanakan proses pembelajaran yang selayaknya, dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh orang Indonesia menjadi sekolah liar yang statusnya tidak diakui oleh pemerintah kolonial dan setiap saat dapat digusur oleh pemerintah kolonial karena tidak meminta izin pada pemerintah kolonial.

V. PENUTUP

Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan, kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan oleh karena itu kami minta kritik dan saran yang mebangun dari pembaca sebagai bahan acuan untuk makalah-makalah yang berikutnya. Mungkin hanya itu yang dapat kami sampaikan dan kurang lebihnya kami mohon maaf, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Amin

DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995

http://pikokola.files.wordpress.com/2008/11/pendidikan-masa-kolonial-dan-sekarang.pdf

Nasution, S., Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1995

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 1996

Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997,

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM TIGA ZAMAN: PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA, PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG, HINGGA PENDIDIKAN MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN INDONESIA DALAM TIGA ZAMAN: PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA, PENDIDIKAN ZAMAN PEMERINTAH PENDUDUKAN JEPANG, HINGGA PENDIDIKAN MASA AWAL KEMERDEKAAN INDONESIA

Rendy Wahyu Satriyo Putro[1]

Abstrak : Sejarah sebuah bangsa tidak dapat dilepaskan dari pendidikannya, begitu pula bangsa Indonesia. Perjalanan bangsa Indonesia dalam tiga zaman, yaitu zaman pemerintah kolonial Belanda, pemerintah pendudukan Jepang, hingga masa awal kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari peran pendidikan. Masing-masing zaman atau pemerintahan memiliki ciri khas kebijakan dalam pendidikan. Pendidikan dari masing-masing zaman memberikan pengaruh bagi perkembangan bangsa yang selalu berkembang sampai saat ini. Kurikulum pendidikan yang selalu berganti seiring dengan pergantian zaman maupun pergantian kebijakan.

Kata Kunci : Pendidikan Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda, Pemerintah Pendudukan Jepang, Masa Awal Kemerdekaan Indonesia.

Pendahuluan

Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang dienyam oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau tidaknya pendidikan suatu bangsa. Begitu pula dengan Indonesia yang memiliki sejarah perkembangan pendidikan dari masa klasik hingga masa sekarang yang terus selalu berkembang. Sesuai dengan perkembangan zaman, pendidikan juga selalu berkembang secara dinamis. Namun, tidak ada bangsa yang berkembang secara dinamis tanpa adanya proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya.

Indonesia dalam perjalanan sejarahnya juga bergerak dengan proses, pergerakan, dan perkembangan pendidikannya. Yang kita ketahui sendiri bahwa tokoh-tokoh pemimpin bangsa Indonesia juga merupakan lulusan lembaga pendidikan. Apabila kita lihat perkembangan Indonesia, pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pendidikan adalah kebutuhan mendasar suatu bangsa, begitu pula bangsa Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta meningkatkan harkat dan martabat bangsa.

Pada masa penjajahan bangsa asing, tanpa disadari oleh pihak penjajah bahwa sistem pendidikan yang diberikan dapat menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Pemuda-pemuda pribumi yang mendapatkan pendidikan dari penjajah justru berbalik menyusun kekuatan untuk memerdekakan bangsanya. Dan setelah merdeka, sistem pendidikan penjajah ada yang ditinggalkan dan ada yang masih dipertahankan.

Dalam pembahasan artikel ini akan lebih dibahas tentang pendidikan Indonesia pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, masa Pemerintahan Pendudukan Jepang, dan masa awal kemerdekaan Indonesia. Dalam perkembangannya, pendidikan pada masing-masing zaman atau pemerintahan tersebut memiliki ciri khas tersendiri dalam kebijakan pendidikan.

Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Penjajah Belanda dalam perjalanan sejarahnya menunjukkan bagaimana ia menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada. Pada 1882, Belanda membentuk pristerraden yang mendapat tugas mengawasi pengajaran agama di pesantren-pesantren. Pada 1925, Belanda mengeluarkan peraturan bahwa orang yang akan memberi pengajaran harus minta izin dulu. Pada 1925, terbit goeroe-ordonnantie[2] yang menetapkan bahwa para kiai yang akan memberi pelajaran, cukup memberitahukan kepada pihak Belanda. Peraturan-peraturan itu semua merupakan rintangan perkembangan pendidikan yang diselenggarakan oleh para pengikut agama Islam (Rifai, 2011: 56).

Komisaris Jenderal pada masa tersebut cukup menaruh perhatian di bidang pendidikan. Terbukti setelah beberap waktu berselang dari proses serah terima daerah jajahan dari pihak Inggris ke pihak Belanda, ia menunjuk CGC Reinwardt sebagai Direktur Pengajaran (Najamuddin, 2005). Pada tahun terakhir di masa pemerintahannya, dikeluarkan peraturan persekolahan yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan dan penyelenggaraan pengajaran. Sayangnya, ide-ide Daendels pada masa sebelumnya yang ingin memperluas kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk jajahan tidak dilanjutkan pada masa ini. Hal tersebut sangat jelas karena dalam ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan pada masa ini sangatlah sedikit yang membahas masalah pengajaran untuk penduduk jajahan. Salah satunya adalah peraturan umum tentang pendidikan sekolah yang berisi bahwa pendidikan hanya untuk orang Belanda saja (Said dan Affan, 1987). Dan bahkan peraturan ini berlaku hingga tahun terakhir pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen. Meski pada tahun 1818 telah dikeluarkan Regeringsreglement untuk Hindia Belanda yang isinya antara lain membahas bahwa semua sekolah di Hindia Belanda dapat dimasuki baik orang Eropa maupun penduduk jajahan (Watson dalam Supriadi, 2003). Namun pada kenyataannya yang memasuki sekolah sekolah tersebut hanya sedikit sekali yang berasal dari kalangan pribumi.

Pada tahun 1817, didirikan sekolah dasar khusus untuk anak-anak dari golongan bangsa Belanda (Europeese Lagere School). Bahasa pengantar di sekolah-sekolah tersebut adalah bahasa Belanda dan sistem maupun kurikulumnya disesuaikan dengan yang berlaku di Belanda agar tetap sinergis dengan sekolah lanjutan di Belanda (Boone dalam Supriadi, 2003). Sekolah ini semakin banyak didirikan di berbagai daerah sejalan dengan semakin banyak pula orang Belanda yang datang ke bumi nusantara sambil membawa keluarganya ikut serta. Pendirian ELS ini tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, melainkan juga pihak swasta seperti NZG atau yang dikenal dengan zending[3] (Supriadi, 2003).

Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini[4] juga membuat garis pemisah yang tajam antara dus subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah pribumi. Tetapi pada tahun 1892[5] akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa Belanda, sebagaimana berikut:

1. Sekolah kelas satu (ongko sidji) atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran bahasa Belanda;

2. Sekolah kelas dua (ongko loro) atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa Belanda.

Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam Rifai (2011: 59) konteks pendidikan dan pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain.

Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan, yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifai, 2011: 59). Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut, diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit (Ricklefs, 2001).

Menurut Ary Gunawan dalam Rifai (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu:

1. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.

2. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi kepentingan kaum penjajah.

3. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.

4. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.

5. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan kebudayaan barat.

Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak bengsawan bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia (Rifai, 2011: 67-68).

Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan pula di sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru. Mr. JH. Abendanon menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi kaum wanita (bersama dengan Van Deventer, Abendanon, menaruh perhatian pada usaha R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama kali dibuka pada 1909. Untuk membuka kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di antaranya dibuka sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke MULO). Sekolah-sekolah desa diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak diterima di sekolah-sekolah Belanda (Rifai, 2011: 73-74).

Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifai, 2011: 76-77).

Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis, individualis dan materialis (Rifai, 2011: 83).

Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan pengajaran semakin diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan pengajaran makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat (Rifai, 2011: 80).

Daftar pustaka

Sjamsudin. 1993. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.

Subkhan, Edi. 2010. Ki Hajar Dewantara Peletak Dasar Pendidikan Indonesia.

K.H. Dewantara. 2004. Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Najamuddin. 2005. Perjalanan Pendidikan Di Tanah Air (Tahun 1800-1945). Bandung: Rineka Cipta.

Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangan Sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.

Ricklefs, M.C. 2001. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.

Muhammad Said dan Junimar Affan. 1987. Mendidik dari Zaman Ke Zaman. Bandung: Jemmars.

Assegaf, Abd. Rachman. 2005. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Praproklamasi ke Reformasi. Yogyakarta: Kurnia Kalam.

Rifai, Muhammad. 2011. Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

endidikan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda

Posted on 3 Agustus 2010 by anannur

4 Votes

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada zaman kolonial pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Ciri yang khas dari sekolah-sekolah ini ialah tidak adanya hubungan berbagai ragam sekolah itu. Namun lambat laun, dalam berbagai macam sekolah yang terpisah-pisah itu terbentuklah hubungan-hubungan sehingga terdapat suatu sistem yang menunjukkan kebulatan. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertical sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.

Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda. Selain itu kejadian-kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya, setidaknya dalam teori, memberikan kesempatan kepada setiap anak desa yang terpencil untuk memasuki perguruan tinggi. Dalam kenyataan hanya anak-anak yang mendapat pelajaran di sekolah berorientasi Barat saja yang dapat melanjutkan pelajarannya, sekalipun hanya terbatas pada segelintir orang saja.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari makalah ini adalah:

Apa alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia?

Faktor apa saja yang menyebabkan berlangsungnya politik etika?

Bagaimana sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda?

Apa saja ciri umum politik pendidikan Belanda?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah:

Agar mengetahui alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia.

Agar mengetahui faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika.

Agar mengetahui sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda.

Agar mengetahui ciri umum politik pendidikan Belanda.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan selama penjajahan Belanda

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.

Zaman VOC (Kompeni)[1]

Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad ke 20.

Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan tetapi menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat istiadat dan kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh belanda untuk memerintah negri ini dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.

Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.

Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC

Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).

Didalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.

Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statua Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan, memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupuan setiap Gubernur Jendaral pada penobatannya berjanji dengan hidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan hindia Belanda dengan segenap usuha prinsip yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus terus member keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan pendidikan itu. Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah dikota lain di Jawa. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum distatuta 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan oleh keadaan.

Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi peketi yang baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif.

Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).

Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.

Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan perintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan factor dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.

Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undang-undang Agraria dari De Waal, yang member kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertania partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.

Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:[2]

Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.

Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.

Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.

Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian:

a) Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka.

b) Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.

Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:

Kelas I[3]

Tujuan: memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan.

Lama bersekolah: 5 tahun

Mata pelajarannya: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur.

Guru-guru: keluaran Kweekschool

Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu

Kelas II

Tujuan: Memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum

Lama bersekolah: 3 tahun

Mata paelajaran: Membaca, menulis dan berhitung.

Guru-guru: persyaratannya longgar

Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu

Pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda sedangkan sekolah kelas II tetap atau disebut juga sekolah vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907.

B. Politik Etika dan pengajaran

Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda. Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industry dari Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industry Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.

Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan trasmigrasi dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara cultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.

Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan Indonesia didirikan .Demikian juga pendidikan dikembangkan secara vertical dengam didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk melanjutkan ke tingkat universitas.

Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:

1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:

a) Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3

b) Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar

c) Lama belajar menjadi 7 tahun

d) Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat

e) Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka

2. Mendirikan Sekolah Desa

Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.

Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:

a) Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa

b) Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg

c) Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat

C. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda

Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.

Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)

Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:

Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

a) Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.

b) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.

c) Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.

Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah

Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.

Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.

Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.

Sekolah Peralihan (Schakelschool)

Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.

Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.

AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.

HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860

Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:

Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881

Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piata batu

Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.

Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.

Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.

Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).

Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.

Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:

Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.

Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.

Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.

Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:

a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).

Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.

b) Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).

RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.

c) Pendidiakn tinggi kedokteran.

Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.

D. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda

Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.

Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:

System Dualisme

Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah.

System Korkondasi

System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkrkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda.

Sentralisasi

Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar.

Menghambat gerakan Nasional

Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.

Perguruan swasta yang militer

Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolah-olah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara tanggal 3 juli 1922.

Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis

Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.

Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:[4]

Dualisme

Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi kesempatan.

Gradualisme

Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.

Prinsip Konkordansi

Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.

Control sentral yang kuat

Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri Belanda.

Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah menurut keadaan zaman.

Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.

Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah Belanda dalam tenaga kerja.

Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:

Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;

Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;

Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.

Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.[5]

BAB III

KESIMPULAN

Alasan orang Belanda mendirikan sekolah bagi anak-anak Indonesia yaitu untuk mendidik anak Belanda dan Jawa agar menjadi pekerja yang kompeten pada VOC. Dan pada saat itu belum terdapat pengajaran klasik. Mengajar berdasarkan pengajaran individual. Murid-murid datang seorang demi seorang ke meja guru dan menerima bantuan individual. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa melayu dan portugis, karena bahasa belanda masih dirasakan sulit.

Faktor-faktor yang menyebabkan berlangsungnya politik etika

Terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul Hutang Kehormatan dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara.

Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908,

serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919,

adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya.

Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu, diantaranya:

Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)

Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah

Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Ciri umum politik pendidikan Belanda

Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:

System Dualisme

System Korkondasi

Sentralisasi

Menghmbat gerakan Nasional

Perguruan swasta yang militer

Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis

Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:

Dualisme

Gradualisme

Prinsip Konkordansi

Control sentral yang kuat

Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis

Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.

[1] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 29

[2] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 36

[3] Prof. Dr. H. Afifuddin, Sejarah Pendidikan, (bandung: Prosfect, 2007), hlm. 37

[4] Prof. Dr. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 20

[5] http://khairuddinhsb.blog.plasa.com/2008/07/21/pendidikan-di-zaman-belanda/

BAB II

SEJARAH PENDIDIKAN PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA (1619-1942)

1. Pendidikan pada Masa Penjajahan Belanda

Penulusuran kebijakan dan tujuan pendidikan di zaman Belanda ini dibagi ke dalam empat periode besar, berdasarkan yang berkuasa pada masa tersebut, yaitu :

Periode awal, Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia dan lalu mendirikan VOC.

Periode kedua, masa pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC yang tumbang karena kebangkrutan.

Periode ketiga, masa pemerintahan Inggris yang berlangsung sangat singkat tetapi berandil besar dalam kemundurun pendidikan di Indonesia.

Periode keempat, kembalinya pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia hingga berpindah tangan ke Jepang[1]. Periode itu dibagi-bagi lagi menjadi sub-sub kecil berdasarkan masa pemerintahan Gubernur Jenderal yang berkuasa pada masa tersebut. Hal ini dilakukan untuk lebih memperjelas kebijakan pendidikan yang diambil oleh masing-masing Gubernur Jenderal yang tentunya memiliki ambisi yang berlainan dalam menetapkan kebijakan bagi penduduk jajahan. Mereka memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dan Kristenisasi, yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan barat di Indonesia selama 3,5 abad[2].

1.1. Zaman VOC (1596-1799)

Delapan tahun setelah bangsa Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, berdirilah Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang diberikan otonom penuh untuk melakukan monopoli terhadap segala aktifitas perdagangan di negeri jajahan oleh kerajaan Belanda. Selama kurang lebih dua abad berkuasa, VOC yang semula hanyalah sebuah persatuan kongsi dagang telah menjelma menjadi sebuah birokrasi pemerintahan yang kuat dengan pegawai-pegawai dan kekuatan pertahanan untuk mengamankan kepentingannya.

Disamping keberadaan armada pelayaran yang begitu besar, pada masa tersebut pendidikan dilakukan bukan untuk mencapai kesejahteraan pengetahuan peserta didik. Apalagi kedatangan Belanda juga dibarengi dengan Nederlands Zendelingen Genootschap (NZG), gereja kristen dari Belanda yang akhirnya menangani pendidikan di Indonesia sehingga tidak mengherankan bila pendidikan pada masa itu termasuk usaha-usaha kristenisasi terlebih lagi dengan moto Gold-Glory-Gospel yang diusung oleh orang-orang Eropa.

Pada akhir abad 18 VOC mengalami kebangkrutan karena persoalan internal mereka yang tidak sehat, yaitu rendahnya gaji pegawai sehingga korupsi merajalela, meskipun hal tersebut juga tidak menjadi satu-satunya penyebab keruntuhannya[3]. Pegawai VOC harus menyuap untuk mendapatkan jabatan strategis dan agar modal mereka kembali, mereka juga menjual jabatan bupati hingga kepala desa pada penawar tertinggi. Lebih parahnya lagi, mereka bahkan sering melakukan transaksi perdagangan yang nilainya lebih besar daripada transaksi VOC yang tentunya untuk kepentingan pribadi dan berlangsungnya perlawanan rakyat yang terus menerus dari berbagai daerah di Indonesia. Kepailitan VOC tersebut diakhiri dengan penyerahan aset dan segala hutang VOC kepada pemerintahan kerajaan Belanda pada 31 Desember 1799.

1.2. Pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1808-1811)

Gubernur Jendral Daendels pada tahun 1808 mendapat perintah dari Raja Lodewijk Napoleon untuk meringankan nasib budak-budak serta orang bumi putra dan melenyapkan perdagangan budak. Namun dalam sejarahnya malah membuat peraturan baru yang menambah penderitaan rakyat, yakni pekerjaan rodi (kerja paksa). Bentuk baru dalam lapangan pendidikan antara lain adalah :

1. Pada tahun 1808 ia memberi perintah kepada bupati-bupati di pulau Jawa agar pengajaran tersebar di kalangan rakyat dan tiap-tiap distrik mempunyai sekolah.

2. Tahun 1809 untuk pertama kali diselenggarakan pendidikan bidan, yang merupakan usaha pemeliharaan kesehatan rakyat. Yang menjadi gurunya adalah para dokter yang ada di Batavia, bahasa pengantarnya adalah bahasa melayu.

3. Tahun 1809 mendirikan sekolah Ronggeng di Cirebon dalam usaha untuk memajukan tari-tarian rakyat[4].

1.3. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1816-1942)

Ada beberapa kebijakan pendidikan pada masa kembalinya pemerintahan Hindia Belanda menduduki Indonesia sampai akhir penjajahan Belanda di Indonesia.

1.3.1. Serah terima Komisaris Jenderal Belanda dari pihak Inggris (1816-1818) C.G.C. Reinward

Penyelenggaraan sekolah-sekolah di serahkan kepada C.G.C. Reinwardt, yang menjadi terkenal karena ia mendirikan Kebun Raya di Bogor. Tugasnya dalam lapangan pengajaran berat baginya, karena hasil usaha-usaha VOC yang sedikit itu hilang sama sekali. Maka usaha pertama yang dihasilkan Reinwardt adalah menghasilkan undang-undang pengajaran, yang dapat dianggap sebagai hasil pendirian sekolah-sekolah. Akhirnya pada tahun 1818 keluarlah Peraturan Pemerintah yang memuat peraturan umum mengenai persekolahan dan sekolah rendah. Isinya hanya berupa ketentuan-ketentuan mengenai pengawasan, sedikit mengenai penyelenggaraan pengajaran, dan tidak menyinggung sedikitpun soal perluasan pengajaran dikalangan bangasa Indonesia. Yang diperhatikan hanyalah penyelenggaraan sekolah-sekolah rendah bagi bangsa Belanda.

1.3.2. Pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Capellen (1819-1826)

Capellen ketika berkuasa di Indonesia mengambil inisiatif yaitu mendirikan beberapa sekolah dasar untuk anak-anak Belanda dan anak-anak yang sengaja untuk penduduk pribumi yang memeluk agama nasrani dengan harapan untuk membantu pemerintahan Belanda.

Capellen menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 mengeinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk yang mengajarkan kepada anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang baik[5].

1.3.3. Pemerintahan Gubernur Jenderal Van Den Bosch (1830-1848)

Pada masa ini, pendidikan bagi pribumi kembali dirasa penting guna menopang operasionalisasi pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal Van den Bosch (1829-1834) yang dikenal sebagai penggagas Cultuurstelsel tercatat pernah menerbitkan edaran agar didirikan sekolah dasar negeri di tiap karesidenan atas biaya Bijbelgenootschap (persekutuan Injil) tahun 1831. Tetapi kurang beroleh tanggapan karena menyelisihi prinsip netral sikap pemerintah dalam soal agama. Baru kemudian tahun 1848, dengan keluarnya Keputusan Raja, diinstruksikan untuk mendirikan sekolah-sekolah pribumi dengan pembiayaan sebesar f. 25.000 setahun yang dibebankan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendidik para calon pegawai negeri. Sejak itulah berdiri dan berkembang sekolah-sekolah dari tingkat dasar dan lanjutan hingga tinggi yang memperkenankan golongan pribumi (aristokrat) untuk turut menikmati pendidikan. Untuk mengurusi pendidikan, agama dan kerajinan, pemerintah Hindia Belanda juga telah membentuk departemen khusus pada tahun 1867. Perkembangan ini kemudian sempat mengalami kemunduran karena krisis ekonomi dunia (malaise) yang berlangsung hampir satu dekade (1883-1892)[6].

1.3.4. Pemerintahan Gubernur Jenderal Rachusen (1848-1852)

Pada tahun 1848, kebutuhan akan pegawai dapat terpenuhi karena Gubernur Jenderal yang berkuasa dapat menggunakann anggaran belanja negara tiap-tiap tahun untuk mendirikan sekolah bagi penduduk jawa, terutama untuk mendidik calon-calon pegawai. Maka antara tahun 1848-1852 didirikanlah 20 buah sekolah untuk anak-anak Indonesia di tiap-tiap ibu kota keresidenan. Ketika itu sudah ada 30 buah sekolah untuk anak-anak Belanda.

Untuk melaksanakan putusan tahun 1848, pemerintah kolonial menghadapi dua macam kesulitan, yakni: kesulitan mengenai bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumi putera, yang harus didirikan di tiap-tiap ibukota keresidenan itu dan kekurangan guru. Akhirnya diputuskan, bahwa bahwa bahasa pengantar di sekolah itu adalah bahasa daerah, sedangkan bahasa Melayu diberikan sebagai mata pelajaran. Syarat utama untuk berhasilnya sekolah-sekolah bumiputera itu adalah pembentukan golongan guru-guru Indonesia yang mendapat pendidikan baik. Maka sebagai usaha pertama untuk mengatasi kekurangan tenaga guru dibukalah pada bulan April 1852 Kweekschool (sekolah guru) pertama di Surakarta. Di sekolah ini muridnyapun terbatas pada anak-anak golongan bangsawan saja. Kelak menyusul sekolah-sekolah guru di kota-kota lain[7].

1.3.5. Pemerintahan Hindia Belanda pada pertengahan hingga akhir abad 19

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa kebijakan yang dibuat oleh belanda pada pertengahan hingga akhir abad 19.

1. Penyelenggaraan sekolah-sekolah bumiputera sesudah tahun 1850

Penyelenggraannya adalah sebagai berikut:

A. Bangunan sekolah

Di Pulau Jawa bangunan-bangunan sekolah bumiputera didirikan oleh Pemerintah. Biasanya mengambil tempat di halaman kabupaten. Meskipun masih sederhana, tetapi bangunannya terpelihara, karena para bupati turut memperhatikannya.

Di luar Pulau Jawa kekadaannya tidak memuasakan. Sejak dahulu urusan sekolah dibebankan kepada rakyat, tidak mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat. Beberapa tempat memiliki bangunana sekolah yang mirip sekali sebuah gubug.

1. Penyusunan kelas

Mula-mula murid duduk di tanah. Jadi bangku-bangku tidak ada sama sekali. Hal ini disesuaikan dengan adat ketika itu yang menentukan bahwa orang rendahan harus duduk di tanah bila berhubungan dengan atasan (feodal).

2. Kurikulum

Kurikulum disesuaikan dengan keharusan sekolah untuk mendidik calon-calon pegawai. Bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa resmi. yang jelas menunjukkan sifatnya mendidik calon-calon pegawai adalah diberikannya pelajaran mengukur tanah. Ini dihubungkan dengan pelaksanaan tanam paksa. Pada semua mata pelajaram tanpak adanya penyesuaian dengan keperluan dan kebutuhan kantor-kantor pemerintahan. Menggambar : peserta didik hanya diberi latihan menggambar peta-peta lapangan. Berhitung: soal-soal yang berhubungan dengan pemungutan pajak, administrasi gudang-gudang garam dan kopi, membuat macam-macam daftar, tata buku yang sederhana dan sebagainya. Ilmu pertanian: tujuannya bukan untuk memajukan pertanian rakyat, tetapi hanya untuk menambah pengetahuan yang sekiranya berguna bagi calon pegawai.

3. Peserta didik

Sesuai dengan tujuan sekolah, untuk mendidik calon pegawai, maka murid-muridnya tidak diambil dari golongan rakyat biasa, melainkan dari golongan priyayi, abak-anak pegawai, seperti: anak-anak bupati, wedana, juru tulois, mantri atau kepala desa. Dengan mendidik anak dari golongan priyayi dimaksudkan agar rakyat yang taat kepada kaum priyayi lebih mudah untuk dipengaruhi. Ini terjadi di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa keadaannya berbeda. Di daerah Minangkabau misalnya, sekolah-sekolah bumiputera dapat dikunjungi oleh anak-anak pedagang dan petani.

4. Menjalankan politik pengajaran liberal

Pada tahun 1863 dan tahun 1864 pemerintah mulai menjalankan plitik pengajaran liberal (liberal disini berarti: berpikir luas mengenai suatu hal, dalam hal ini pengajaran). Maka tujuan sekolah bukan lagi mendidik calon-calon pegawai, tetapi mendidik rakyat dalam arti yang umum. Hendaknya pengajaran membawa rakyat ke arah kebahagiaan.

Politik pengajaran liberal membawa hasil-hasil sebagai berikut:

A. perluasan pengajaran bumiputera tidak terikat lagi oleh anggaran belanja seperti yang ditetapkan oleh putusan pemerintah tahun 1848

B. Naiknya harta makanan tiku kini terbuka bagi anak-anak Indonesia dan Cina untuk memasuki sekolah sekolah Belanda.

C. semua jabatan-jabatan negeri terbuka bagi setiap orang dengan tidak memperhatikan keturunan dan bangsa.

Pemberlakuan undang-undang agraris (1870) dan pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan

Antara politik pengajaran dan perkembangan masyarakat selalu ada hubungan erat. Maka timbulnya perubahan di lapangan ekonomi sesudah tahun 1870, turut juga mempercepat pekembangan pengajaran di Indonesia. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undang-undang agraris dari De Waal, yang memberi kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertanian partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju. Masyarakat lebih banyak lagi mebutuhkan pegawai-pegawai. Sekolah-sekolah yang ada belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak pegawai-pegawai makin dipergiat lagi.

Untuk kelancaran pekerjaan segera ditetapkan beberapa peraturan untuk sekolah-sekolah bumiputera dan sekolah-sekolah Belanda.

1. Sekolah-sekolah Bumiputera

a. Menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan guru sebagai persiapan untuk mendirikan sekolah-sekolah bumiputera yang baru.

b. Sekolah terutama sekali untuk anak-anak priyayi

c. Bahasa pengantar di sekolah-sekolah bumiputera dalah bahasa daerah atau bahasa Melayu.

d. Kurikulum wajib adalah: membaca, menulis, dan berhitung dan bahasa Belanda.

e. Biaya sekolah dipikul seluruhnya oleh pemerintah.

f. Sekolah-sekolah Belanda

Anak-anak Indonesia dan Cina dapat diterima di sekolah-sekolah ini, setelah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal.

Periode Politik Etis (1900-1942)

Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto de Eereschul (hutang kehormatan) dan slogan Educatie, Irigatie, Emigratie[8]. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi golongan priyayi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial.

Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumiputera, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:

Pertama, Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:

a. Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3

b. Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar

c. Lama belajar menjadi 7 tahun.

d. Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat

e. Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka

Kedua, Mendirikan Sekolah Desa

Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.

Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:

1. Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa

2. Sekolah kelas II (rakyat biasa), yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg

3. Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat

Sistem pendidikan pada periode politik etis

Selanjutnya secara umum sistem pendidikan pada periode ini didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.

Pertama, Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)

Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:

1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.

2. Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.

3. Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.

4. Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli (anak-anak priyayi). Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.

Model Pendidikan rendah kedua :

1. Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah

2. Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892

3. Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.

4. Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakan kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.

5. Sekolah Peralihan (Schakelschool).Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.

Kedua, Pendidikan lanjutan (Pendidikan Menengah)

1. MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman Jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.

2. AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra golongan priyayi dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling=bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman Jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.

3. HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra golongan priyayi atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnya dirikan pada Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860[9]

Ketiga, Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )

Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:

1. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima sekolah lulusan bumi putra golongan priyayi kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881

2. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piata batu

3. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.

4. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.

5. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.

6. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs). Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.

7. Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:

8. Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.

9. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.

10. Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.

Keempat, Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)

Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:

1. Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.

2. Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school). RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.

3. Pendidikan tinggi kedokteran. Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS dan HBS.

Pendidikan Islam pada masa Penjajahan Belanda.

Kehadiran Belanda tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan kehidupan keagamaan rakyat. Segala aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak pengamalan agama Islam. Termasuk juga terhadap pendidikan Islam sendiri. Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialismenya[10].

Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal di ketahui bahwa pesantren merupakan merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya kolonial Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan pengelolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda[11].

Betul pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka masam sekolah, ada yang bernama Sekolah Dasar, Sekolah Kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Tetapi sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus minta izin dahulu. Peraturan itu besar sekali pengaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam.

Umat Islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat Islam dan yang dikelola kolonial. Sistem pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada Islam. Mereka menganggap Islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka. Maka Islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.

Pada tahun 1832 M pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Presterraden. Atas nasihat dari badan inilah maka pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (pengajian) harus meminta izin lebih dahulu. Pada tahun 1925M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh memberikan pelajaran mengaji. Pada tahun 1932M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah yang disebut ordanansi sekolah liar[12]

Selanjutnya pada bagian ini akan dijelaskan periode pendidikan Islam yang dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, pendidikan Islam sebelum tahun 1900. Kedua, pendidikan pada masa peralihan. Ketiga, Pendidikan Islam sesudah 1909.

2.1 Pendidikan Islam sebelum tahun 1900

Dua lembaga pendidikan memegang peranan penting pada penyebaran agama Islam, yaitu langgar dan Pesantren. Karena Islam berprinsip demokratis, maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat[13]. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut kedua lembaga tersebut.

2.1.1. Langgar

1. tujuan : memberikan pengetahuan tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan pengetahuan umum.

2. Kurikulum : mempelajari abjad Arab, kemudian mengeja ayat-ayat al-Quran pertama dengan irama suara tertentu.

3. Pendidik : adalah seorang yang sudah memiliki pengetahuan agama yang agak mendalam. Guru itu dipandang sebagai seseorang yang sakti. Murid-murid tidak boleh mengecam guru. Mengecam guru dianggap berdosa.

4. Peserta didik : semua anak dari berbagai kalangan.

5. Metode: halaqoh

6. Waktu belajar: biasanya berlangsung kurang lebih setahun, tetapi kadang-kadang hanya diikuti beberapa bulan saja. Biasanya pelajaran diberikan pada pagi hari dan malam hari, berlangsung kira-kira dua jam lamanya.

Sebagai lembaga sosial langgar itu penting artinya. Anak-anak rakyatlambat laun menyadari menjadi anggota persekutuan besar, yaitu persekutuan umat Islam[14].

2.1.2. Pesantren

Pengajaran yang lebih lanjut dan lebih mendalam diberikan di pesantren. Berikut komponen lembaga pesantren pada masa ini:

1. Tujuan : sama dengan pendidikan langgar yaitu memberikan pengetahuan tentang agama (membaca al-Quran sampai tamat), bukan memberikan pengetahuan umum.

2. Kurikulum : Ushuluddin (pokok-pokok ajaran kepercayaan), Usul Fiqh (alat penggali hukum dari Quran dan Hadist, Fiqih, dan ilmu Arobiyah (untuk mendalami bahasa agama)

3. Metode : sorogan (bimbingan individual) dan bandongan atau halaqah (semaca, ceramah umum)[15]

4. Pendidik: disebut ajengan atau kiyai.

5. Peserta didik : dinamakan santri pada umumnya terdiri dari anak-anak yang lebih tua dan telah memiliki pengetahuan dasar yang telah mereka peroleh di langgar.

6. Lama belajar : ada yang setahun, ada juga yang sampai sepuluh tahun atau lebih. Banyak santri yang belajar pada beberapa pesantren. Pelajaran pertama diberikan pada pagi hari, sesudai selesai sembahyang subuh. Sesudah itu para santri melakukan kerja bakti bagi bagi gurunya, umpamanya: membersihkan halaman, berkebun, bekerja di sawah, dan sebagainya. Sesudah makan siang semua istirahat, untuk kemudian dimukai lagi dengan pelajaran dan diselingi dengan menghapal. Bada maghrib ataau bada isya dimulai lagi dengan pelajaran.

Pendidikan Islam pada masa ini bercirikan hal-hal berikut:

1. Pelajaran diberikan satu demi satu

2. Pelajaran ilmu sharf didahulukan dari ilmu nahu

3. Buku pelajaran pada mulanya dikarang oleh ulama Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa daerah setempat

4. Kitab yang digunakan umumnya ditulis tangan

5. Pelajaran suatu ilmu, hanya diajarkjan dalam satu macam buku saja

6. Toko buku belum ada, yang ada hanya diajarkan dalam satu macam buku saja

7. Karena terbatasnya bacaan, materi ilmu agama sangat sedikit

8. Belum lahir aliran baru dalam Islam[16]

Pada periode ini memang sulit untuk menentukan secara pasti kapan dan dimana surau atau langgar dan pesantren pertama kali berdiri. Kendati demikian dapat diketahui bahwa pada abad ke-17 M di Jawa telah terdapat pesantren Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebgainya. Namun sebenarnya jauh sebelum itu telah ada sebuah pesantren di hutan Glagah Arum (sebelah selatan Jepara) yang didirikan oleh Raden Fatah tahun 1745. Sementara di Sumatra tempat pengajian diseb surau yang sangat sulit untuk dilacak secara pasti tahun dan dimana berdirinya.

2.2 Pendidikan Islam pada masa peralihan (1900-1908)

Kalau sebelum tahun 1900 lembaga-lembaga pendidikan Islam masih relatif sedikit dan berlangsung secara sederhana. Lain halnya setelah itu. Dalam periode yang disebut peralihan ini telah banyak berdiri tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Parabek Bukit Tinggi (1908) yang didirikan oleh Syekh H. Ibarahim Parabek dan di Pulau jawa seperti pesantren Tebuireng pendirinya adalah K.H. Hasyim Ashari. Namun sistem madrasah belum dikenal.[17]

Periode peralihan ini boleh dikatakan dipelopori oelh Syekh Kharib Minangkabau dan kawan-kawannya yang banyak mengajar menddik dan mengajar pemuda di Mekkah, terutama pemuda-pemuda yang berasal dari Indonesia dan Malaya. Murid-murid beliau seperti H. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) di Yogyakarta dan kemudian Nahdatul Ulama. Dengan demikian sudah barang tentu murid-murid mereka yang kembali dari Mekkah ikut andil dalam pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia sekembalinya dari Mekkah.[18]

Berikut ini adalah materi pendidikan Islam yang berkembang di Minangkabau :

- Belajar huruf Hijaiyyah

- Pengajian kitab yang terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu:

1. Mengaji Nahwu, Sarf, dan fiqih dengan kitab-kitab Ajrumiyah, Matan bina, Fathul Qarib, dan sebagainya.

2. Mengaji Tauhid dengan kitab-kitab sanusi, Syekh Khalid (Azhari dan Asymawi), Fathul Muin, dan lainnya.

3. Mengaji tafsir dengan kitab Kifayatul Awam (Ummul Barahin, Baidawi, Jalalin, dan lain-lain.

- Penga;jian ilmu tasawuf, mantiq, dan Balagoh. Kitab yang digunakan adalah kitab Sullam, Idahul Mubham, Jauhar Maknun/Talkhis, dan Ihya Ulumudin.[19]

Adapun ciri-ciri pelajaran agama Islam pada masa peralihan ini berupa :

1. Pelajaran untuk dua sampai enam ilmu dihimpun secara sekaligus.

2. Pelajaran ilmu Nahwu didahulukan atau disamakan dengan ilmu sarf

3. Buku peljaran semuanya karangan ulama Islam kuno dan dalam bahasa Arab

4. Buku-buku semuanya dicetak

5. Suatu ilmu diajarkan dari beberapa macam buku, rendah, menengah, dan tinggi.

6. Lahirnya aliran baru dalam Islam seperti yang dibawa oleh Majalah al-Manar di Mesir mulai lahir[20]

Dengan demikian terlihat jelas adanya perbedaan pelaksanaan pendidikan islam pada masa peralihan dengan masa sebelum tahun 1900. Terlihat bahwa pendidikan Islam setelah tahun 1900 sudah mengalami kemajuan sedemikian rupa. Padahal waktu itu kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap poendidikan Islam di Indonesia sedang ketat-ketatnya.

2.3 Pendidikan Islam sesudah tahun 1909

Isu nasionalisme tampak gaungnya kemana-mana berkat tampilnya Budi Utomo pada tahun 1908, yang menyadarkan bangsa Indonesia, bahwa perjuangan mereka yang selama ini Cuma mengandalkan kekuatan dan kedaerahan tampa memperhatikan persatuan, sulit untuk mencapai keberhasilan, karena itulah sejak tahun 1908 timbul semacam kesadaran baru dari bangsa Indonesia untuk memperkuat persatuan.

Tak terkecuali kesadaran yang demikian juga muncul pada kalangan pendidik Islam. Ulama-ulama yang pada waktu itu menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional sudah tidak begitu sesuai dengan iklim Indonesia dan jumlah murid yang ingin belajar dari hari ke hari semakian bertambah. Maka dirasakan penting memberikan pendidikan secara teratur d madarasah atau sekolah.

Dengan demikian selain dua corak pendidikan sebelumnya, yaitu corak pendidikan Belanda yang khusus berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi serta dikelola se