Bahan Ajar Narsum Apgakum

10
Bahan ajar Pelatihan Teknis Perlindungan Anak Bermasalah dengan Hukum bagi Aparat Penegak Hukum Kerangka Hukum Nasional terkait Hak Anak Pelaku Oleh: Maidah Purwanti * A. Pengertian Anak: Berdasarkan Peraturan perundang-undangan 1. Pasal 45 KUHAP menentukan usia maksimal anak adalah 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan batasan usia 17 tahun, sedangkan Pasal 287-293 (15 th); 2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ketentuan Umum Pasal 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan 3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 4. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 dikatakan bahwa Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) * Disampaikan dalam Pendidikan dan Latihan Teknis Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum bagi Aparatur Penegak Hukum, Jumat 25 Oktober 2014, BPSDM Kementerian Hukum dan HAM

description

narasumber

Transcript of Bahan Ajar Narsum Apgakum

Bahan ajarPelatihan Teknis Perlindungan Anak Bermasalah dengan Hukum bagi Aparat Penegak Hukum

Kerangka Hukum Nasional terkait Hak Anak Pelaku

Oleh: Maidah Purwanti

A. Pengertian Anak:

Berdasarkan Peraturan perundang-undangan

1. Pasal 45 KUHAP menentukan usia maksimal anak adalah 16 tahun. Pasal 283 KUHP menentukan batasan usia 17 tahun, sedangkan Pasal 287-293 (15 th);2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ketentuan Umum Pasal 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

3. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

4. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Ketentuan Umum Pasal 1 angka 5 dikatakan bahwa Anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

5. Sementara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, memberikan batasan usia anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Sumber lain

Menurut Pasal 1 Konvensi Hak Anak, seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak, kedewasaan dicapai lebih awal.

Dalam Islam, tidak ada ketentuan mengenai usia anak, namun ditentukan kapan seorang mulai dinyatakan dewasa, sehingga dengan sendirinya selain orang yang telah memenuhi syarat sebagai seorang dewasa maka ia dikatakan belum dewasa atau masih anak, untuk menentukan tingkat kedewasaan seseorang patokannya adalah apakah seorang anak telah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia telah baligh atau belum. Dan setiap anak berbeda dalam hal ini. Kadang tanda-tanda ini muncul di umur 13 tahun, sedangkan anak yang lain belum tentu di umur yang sama. Menurut Imam Syafii, jika seorang anak tak kunjung menampakkan tanda-tanda baligh hingga umur 15 tahun, maka di umur 15 tahun itu dia sudah bisa dikatakan dewasa.

Tanda-tanda baligh itu antara lain ihtilam (bagi laki-laki) atau haidh bagi perempuan. Serta perubahan fisik seperti bagi anak lelaki mulai muncul jakun, suara agak berat, dan tumbuh bulu di mana-mana (terutama kumis, janggut, bulu ketiak, dan juga di daerah seputar kemaluan). Wanita juga sama. Secara fisik payudaranya mulai tumbuh juga tumbuh bulu kecuali janggut dan kumis.

B. Kerangka hukum perlindungan anak

Nasional

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

7. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum

8. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Internasional

1. Konvensi Hak Anak (20 Nopember 1989)

C. Kerangka Hukum anak berhadapan dengan hukum (hak anak pelaku)Pasal 1 angka 2 UU No 11 Tahun 2012 memberikan pengertian Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana, sehingga tidak lagi ada pengertian mengenai anak pelaku, karena yang ada adalah ketentuan mengenai anak yang berkonflik dengan hukum, yang diberikan pengertian pada Pasal 1 angka 3 UU No 11 Tahun 2012 sebagai Anak yaitu anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Terhadap Anak yang disebutkan pengertiannya pada Pasal 1 angka 3 tersebut, UU No 11 Tahun 2012 memberikan pengaturan apa hak-hak yang dimiliki Anak, serta apa kewajiban aparat penegak hukum dalam menangani Anak.

UU No 11 Tahun 2012 memberikan ketentuan mengenai sistem peradilan pidana anak sebagai Keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yg berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana, sehingga semua proses hingga para pihak yang terkait dalam hal tersebut tercakup dalam UU ini.

Sebelum kita membahas mengenai muatan UU No 11 Tahun 2012 terutama terkait hak Anak, terlebih dahulu kita akan memahami secara singkat konsepsi dasar disusunnya UU SPPA tersebut, berdasarkan prinsip hukum nasional pendekatan hukum pada kasus ABH didasari dua asumsi, Pertama: anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa. Hal ini didasari asumsi bahwa anak tidak dapat melakukan kejahatan atau doli incapax dan tidak dapat secara penuh bertanggung jawab atas tindakannya.Kedua: bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.

Berdasarkan asumsi di atas, maka tindakan hukum yang dilakukan terhadap mereka yang berusia di bawah 18 tahun harus mempertimbangkan kepentingan terbaik anak. Pendekatan yang digunakan untuk penanganan anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan nilai, prinsip, dan norma Konvensi Hak Anak adalah pendekatan yang murni mengedepankan kesejahteraan anak (Pasal 3 ayat (1),(2),(3)) dan pendekatan kesejahteraan dengan intervensi hukum (Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 Konvensi Hak Anak).Sedangkan berdasarkan pada prinsip hukum Internasional, menurut Pasal 40 Konvensi Hak Anak dikatakan: 1. Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat. 2. Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen internasional yang relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin bahwa: (a)Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum nasional atau internasional pada waktu perbuatan-perbuatan itu dilakukan; (b)Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-jaminan berikut: (i) Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum; (ii) Diberi informasi dengan segera dan langsung mengenai tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya; (iii)Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya atau wali hukumnya; (iv)Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau mengaku salah; untuk memeriksa para saksi yang berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-syarat keadilan; (v)Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan pengadilan menurut hukum; (vi)Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara dengan bahasa yang digunakan; (vii)Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada semua tingkat persidangan. 3. Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan undang-undang, prosedur-prosedur, para penguasa dan lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar hukum pidana, terutama: (a)Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana; (b)Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan, dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya; 4.Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun pelanggaran itu.

Berdasarkan ketentuan Konvensi Hak Anak diatas, maka dirumuskanlah UU No 11 Tahun 2012 sebagai pelaksanaan kewajiban Indonesia selaku negara pihak, dimana dalam rumusannya UU No 11 Tahun 2012 mengupayakan pelaksanaan setiap butir ketentuan yang ada dalam Konvensi tersebut.Penjabaran rumusan UU No 11 Tahun 2012 tentulah akan sangat panjang terlebih apabila pembahasan juga mengikutsertakan pelaksanaan teknis disertai segala hambatan dan tantangan yang harus dilewati dalam penerapan UU tersebut, sehingga terhadap pembahasan kali ini penguraian mengenai UU No 11 Tahun 2012 hanya akan diuraikan secara garis besar dalam bentuk pentabelan saja (terlampir), untuk lebih memahamkan peserta pendidikan dan latihan terhadap penerapan UU No 11 Tahun 2012 dalam bidang tugasnya masing-masing sebaiknya dibahaskan secara khusus dalam mata diklat teknis.

D. Penerapan hak anak pelaku dalam kerangka hukum

Karena luasnya cakupan pembahasan UU No 11 Tahun 2012 maka bahasan pada makalah singkat ini dibatasi terkait hak-hak Anak yang termuat dalam UU No 11 Tahun 2012, sebagai berikut:

Pasal 3 UU No 11 Tahun 2012 menyebutkan hak Anak dalam proses peradilan pidana yaitu: a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya

b. Dipisahkan dari orang dewasa

c. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif

d. Melakukan kegiatan rekreasional

e. Bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya

f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup

g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat

h. Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum

i. Tidak dipublikasikan identitasnya

j. Memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak

k. Memperoleh advokasi sosial

l. Memperoleh kehidupan pribadi

m. Memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat

n. Memperoleh pendidikan

o. Memperoleh pelayanan kesehatanp. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan peruuanSedangkan hak Anak yang sedang menjalani masa pidana termuat dalam Pasal 4 yaitu:

a. Mendapat pengurangan masa pidana

b. Memperoleh asimilasi

c. Memperoleh cuti mengunjungi keluarga

d. Memperoleh pembebasan bersyarat

e. Memperoleh cuti menjelang bebas

f. Memperoleh cuti bersyaratg. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perUUanNamun sebenarnya, esensi dari UU No 11 Tahun 2012 adalah pada apa yang menjadi upaya penegak hukum terkait proses peradilan pidana agar menjadi suatu proses yang menjamin hak-hak anak, yaitu dengan mewajibkan pendekatan keadilan restoratif (Pasal 5) dengan mengupayakan diversi pada tahapan penyidikan, penuntutan dan persidangan.Upaya diversi pada setiap tahapan inilah yang memberikan penekanan penting karena merupakan esensi dari UU No 11 Tahun 2012 yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang menangani Anak.E. Latihan:

1. Sebutkan hak-hak yang dimiliki Anak mulai tahap penyidikan sampai dengan saat pembimbingan setelah menjalani pidana

2. Sebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam Sistem Peradilan Pidana Anak3. Jelaskan tiap tahapan diversi Disampaikan dalam Pendidikan dan Latihan Teknis Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum bagi Aparatur Penegak Hukum, Jumat 25 Oktober 2014, BPSDM Kementerian Hukum dan HAM