Bahan Ajar Ilmu Wilayah

142
BAHAN AJAR ILMU WILAYAH KONSEP WILAYAH DAN PERWILAYAHAN BAGIAN – 1

description

gpw

Transcript of Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Page 1: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

KONSEP WILAYAH DAN PERWILAYAHAN

BAGIAN – 1

Page 2: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Mangapa Kajian Wilayah

a. Pandangan Teoritis1. Perubahan paradigma keilmuan, dari mono disiplin menjadi multidisiplin

ilmu 2. Sulitnya menyelesaikan masalah hanya dengan satu pandangan disiplin

ilmu3. Ilmu wilayah adalah ilmu yang memadukan berbagai dimensi keilmuan,

khususnya sosial dan lingkungan (fisik)

b. Pandangan Praktis (aplikasi untuk pembangunan)1. Pertumbuhan dan pemerataan pembangunan (growth with equity)

diseluruh wilayah2. Menyeimbangkan pertumbuhan3. Mengurangi kesenjangan4. Mengarahkan kegiatan pembangunan sesuai potensi, permasalahan, dan

prioritasnya5. Mengembangkan keterkaitan sosial ekonomi antar wilayah (pusat-

pinggiran, desa-kota)6. Mengelola sumberdaya local7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan8. Pengembangan wilayah khusus (wilayah tertinggal, rawan bencana,

terisolir, perbatasan, dll)9. Konfigurasi geografis Indonesia

Page 3: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

ILMU WILAYAH

Ilmu yang mempelajari tentang wilayah (region) dengan pendekatan sistem

( integrated dan comprehensif) serta bekerja dengan interdisipliner.

Ilmu wilayah memberikan pola dan kerangka spasial kepada ilmu-ilmu sosial

dan fisik yang telah ada guna mengusahakan tercapainya keseimbangan sosio

spasial (spatial equilibrium) di wilayah yang bersangkutan dengan

memperhitungkan dimensi waktu (dinamik).

Sifat ilmu wilayah: Multidimensional (sektoral dan regional), integrated

(terpadu), komprehensif (menyeluruh), interdisipliner.

Page 4: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

LINGKUP KAJIAN ILMU WILAYAH

Mengkaji variasi wilayah dengan fokus sumberdaya dan hasil-hasil

pembangunan. Contoh: dikotomi wilayah (kota-desa, industri-pertanian, pusat-

pinggiran, wilayah maju-terkebelakang), kesenjangan wilayah.

a. Lingkup Substantif

1. Ekonomi, mengkaji faktor-faktor ekonomi yang mempengaruhi

perkembangan suatu wilayah (pendayagunaan resource, investasi, dan

lain-lain).

2. Social dan cultur, mengkaji tentang partisipasi, institusi, pemerataan,

kesejahteraan, dan lain-lain.

3. Resource Manajement, berkaitan dengan isu pengelolaan lingkungan

dan sumberdaya, seperti: carrying capacity dan sustainable

development.

4. Spatial Organization, berhubungan dengan perspektif keruangan

dalam mengkaji wilayah, seperti tata ruang kegiatan, proses, dan

dinamika struktur ruang.

b. Lingkup Wilayah (Spasial), unit entitas sub nasional, mulai dengan unit

propinsi, kabupaten hingga kecamatan. Selain itu juga wilayah dalam

pengertian sistem ekologis, seperti DAS dan kawasan fungsional lainnya.

c. Lingkup Waktu, mempertimbangkan perkembangan antar waktu (dinamika

wilayah) dan prediktif.

Page 5: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

KEDUDUKAN ILMU WILAYAH DALAM GEOGRAFI

Geografi the study of the earth’s surface as the space within which the

human population lives (Johnston, 1981).

Ada kesamaan objek (fokus) kajian antara geografi dan ilmu wilayah.

Ilmu wilayah menggunakan 3 pendekatan geografi, yaitu analisis

keruangan, analisis ekologi, dan analisis komplek wilayah.

Selengkapnya dapat dilihat pada diagram berikut.

Page 6: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Gambar 2. Geografi dan Kajian Dinamika Wilayah

GEOGRAFIThe study of the earth’s

surface as the space within

which the human

population lives

(Johnston, 1987)

ORGANISASI KERUANGAN

HUBUNGAN MANUSIALINGKUNGAN

TEKNIK atau ALAT DASAR (Basic tools) : Kartografi Penginderaan jauh Lain-lain :

Statistik Modelling

KEGIATAN MANUSIA (ekonomi, sosial, budaya, politik,dll)

LINGKUNGAN ALAM (tanah, batuan,air, udara, flora dan fauna)

ANALISA KERUANGAN(lokasi, jarak,ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan)

ANALISA EKOLOGI (ekosistem)

ANALISA KOMPLEKS WILAYAH (analisa intra-regional)

STUDI DINAMIKA WILAYAH

Sistem informasi geografi.Pengelolaan DAS.Pengembangan sumberdaya terpadu.Bencana (baik alam maupun non alam).Kerjasama regional.Lokasi kegiatan (industri,pariwisata,pertokoan,perkantoran,dsb).Perencanaan pengembangan wilayah,perkotaan,perdesaa,dll.

Page 7: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

WILAYAH (REGION)

Pandangan Terhadap Wilayah

a. Pandangan Subjektif. Wilayah merupakan sarana untuk mencapai tujuan;

hanya berupa buah pikiran; suatu model untuk membantu mempelajari

(bagian) permukaan bumi.

………. Regions are a simple generalization of the human mind (Lzard)

b. Pandangan Objektif. Wilayah adalah nyata ada, merujuk pada bagian

permukaan bumi; wilayah alamiah (natural regions).

Apa itu Wilayah ?

Wilayah : Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait

padanya, yang dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu.

Ruang : wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara

sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya

hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Kesatuan Geografis : dimensi geometri (ukuran) dan referensi geografis,

dengan mengacu kepada wujud fisik wilayah.

Unsur Terkait : unsur-unsur di dalam wilayah meliputi komponen alam (fisik

dan biotik), komponen manusia (sosial, ekonomi, budaya), komponen buatan

(hasil cipta manusia, teknologi). Wilayah sebagai sistem, dengan subsistem di

dalamnya (Socio System dan Natural System/ecosystem).

Dibatasi oleh lingkup pengamatan tertentu : 1.Homogenitas,

2.Heterogenitas, 3.Administrasi/Politik

Kawasan : wilayah dengan fungsi tertentu

Daearah : wilayah dalam batas kewenangan pemerintah

Page 8: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Wilayah terkait dengan pembangunan dan kepentingan administrasi. Oleh

karena itu wilayah didefinisikan Sub Nasional (propinsi, kabupaten, kecamatan,

desa), di atas rumah tangga (komunitas). Tergantung Hirarki (Tingkatan).

Page 9: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PENDEKATAN MENGENAL WILAYAH

A. Pendekatan Landscape

Natural Landscape

Cultural Landscpe

B. Pendekatan Lingkungan

Lingkungan Alam (Biogeofisik)

Lingkungan Sosial

Lingkungan Binaan

C. Pendekatan Sumberdaya

Sumberdaya Alam

Sumberdaya Manusia

Sumberdaya Buatan (Teknologi)

Page 10: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

WILAYAH SEBAGAI SISTEM

Pendekatan sistem sangat tepat dalam mengkaji wilayah, dengan segala

komponen di dalamnya. Menuju Spatial Equilibrium.

Pendekatan sistem terdiri dari :

1. Sistem Input, Proses, dan Output

2. Terdiri dari beberapa subsistem yang terhubungkan secara intergratif.

Dua subsistem utama adalah subsistem social (Social System) dan

Ekosistem, sebagai dwi tunggal.

Dalam Social system terdiri dari ekonomi, politik, Sosial, dan kultur.

3. Integrated dan Komprehensif.

Kajian Wilayah

Page 11: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

……..examination of a thing’s parts to find out their essential features’ spatial

/regional analysis (Bruce Mitchell, 1998) :

Location and distribution of phenomena interaction of phenomena between places

and regions spatial / regional structure arragement, and organization spatial processes.

Gambar lewatPIRAMIDA LANDSCAPE WILAYAH

(KUNCI PEMAHAMAN)

Page 12: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

KONSEPSI WILAYAH

NO TIPOLOGI KONSEPSI WILAYAH

JENIS DEFINISI - KRITERIA KETERANGAN/CONTOH

1 Berdasarkan Tipe

1.Homogenoitas(Homogeneous region / formal region / uniform region

Keseragaman dari properti (unsur/kriteria) yang ada dalam wilayah baik sendiri maupun gabungan

Identifikasi batas terluar, dengan mengenali core region (memiliki derajad deferensiasi yang tertinggi)

2.Heterogenitas (Functional region/organic region/nodal region)

Pola interaksi dan interdependensi antar sub sistem (sub area), dengan tekanan pada kegiatan manusia

Ide sentralitas dan fungsional (ada wilayah inti =nodal dan hinterlandnya.

2 Berdasarkan Rank / Hirarki

Klasifikasi wilayah berdasarkan urutan atau orde wilayah yang membentuk satu kesatuan

Pertimbangan : size (ukuran), form (bentuk), function (fungsi)Contoh : RT,RW, Dusun, Desa,Kec, Kab, Prop.

3 Berdasarkan Kategori (jumlah kriteria)

1.Single Topic Region (Wilayah bertopik tunggal)

Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada satu macam topik/kriteria saja

Wilayah curah hujanWilayah geologi

2.Combined Topic Region (Wilayah bertopik gabungan)

Wilayah yang eksistensinya didasarkan pada gabungan (lebih dari satu) macam kriteria (topik masih sama)

Wilayah iklim (gabungan dari cuarah hujan, temperatur, tekanan udara, angin)

3.Multiple Topic Region (Wilayah bertopik banyak)

Wilayah yang eksistensinya mendasarkan pada beberapa topik yang berbeda satu sama lain

Wilayah pertanian (gabungan dari topik fisik = tanah, hidrologi dan topik tanaman)Wilayah ekonomi

4.Total Region (wilayah total)

Delimitasi wilayah menggunakan semua unsur wilayah. Bersifat klasik, kesatuan politik, (administrasi) sebagai dasar

Contoh : wilayah administrasi desa, kecamatan, kabupaten, propinsi

5.Compage Region Tidak mendasarkan pada banyak sedikitnya topik, tetapi aktivitas manusia yang menonjol

Semacam wilayah perencanaan, Misalnya wilayah miskin, wilayah bencana,dll

Keterangan : Pemanfaatan konsep-konsep tersebut, dapat tunggal dan kombinasi, tergantung kepada

jenis kegiatan, lingkup usaha, masalah, cakupan wilayah, dan tujuan program yang dirancang.

Page 13: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PEWILAYAHAN

Usaha untuk membagi-bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi

tertentu untuk tujuan tertentu pula. Pembagiannya dapat mendasarkan pada

kriteria-kriteria tertentu, seperti administrasi, fisik, ekonomi, sosial, geografis

dan sebagainya.

Secara teknik, berkaitan dengan proses penentuan batas daerah yang

bentuknya tergantung pada tujuan pengelompokan, kriteria yang digunakan

dan ketersediaan data.

Tujuan umum pewilayahan untuk mempermudah penganalisaan serta

memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang ada pada kelompok-

kelompok wilayah tersebut.

Terkait dengan pembangunan, tujuan pewilayahan di Indonesia adalah :

1. Menyebarkan pembangunan dan menghindari pemusatan

pembangunan yang berlebihan pada wilayah tertentu.

2. Keserasian dan koordinasi antar kegiatan pembangunan (sektoral di

daerah)

3. Arahan kegiatan pembangunan (prioritas wilayah)

Page 14: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

METODE PEWILAYAHAN

1. Penyamarataan Wilayah (Regional Generalization)

Usaha menggolongkan wilayah kedalam bagian-bagian tertentu, dengan cara

menonjolkan karakter-karakter tertentu.

Unsur-unsur yang kurang/tidak penting dan tidak relevan dihilangkan.

Tujuannya menonjolkan sifat tertentu yang dominan dari suatu wilayah.

Memperhatikan skala peta dan tujuan pewilayahan.

Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.

Sebagian besar menggunakan metode kualitatif

2. Klasifikasi Wilayah (Regional Classification)

Usaha menggolongkan wilayah secara sistematis ke dalam bagian-bagian

tertentu (klasifikasi) berdasarkan kriteria-kriteria tertentu.

Semua unsur, kriteria, individu diperhitungkan dalam proses klasifikasi.

Tujuannya mencari deferensiasi (perbedaan) antar bagian-bagian wilayah.

Dapat menggunakan cara-cara delimitasi kuantitatif dan kualitatif.

Sebagian besar menggunakan metode kuantitatif (statistik).

Page 15: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

VARIABEL PEWILAYAHAN

Berdasarkan Jumlah Variabel / Kriteria

1. Single Variable (variable tunggal)

2. Multiple Variabel (variable banyak)…….Lihat bagian kategori wilayah

Berdasarkan Teknik Penentuan Batas (delimitasi)

1. Kualitatif (deskriptif,interpretasi foto udara)

2. Kuantitatif (Thiesen polygon, Railly’s law = Law of retail gravitation,

computer, statistik)

Penentuan Batas

Tidak ada satupun daerah yang memiliki karakteristik yang sama identik.

Sehingga sulit ada batas yang tegas antar wilayah.

Yang terpenting adalah wilayah inti (core region) yang memiliki deferensiasi

tinggi, sedangkan batas antar wilayah, lebih kepada zone peralihan (zone

transition) dimana deferensiasinya paling rendah.

Page 16: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PLANNING REGION AND PROGRAMME REGION

KRITERIA ANALISIS PERENCANAAN

Interdependensi Functional Region

Nodal Region

Polarized Region

Planning Region

Similarity (Kesamaan) Uniform Region

Formal Region

Homogeneous Region

Zonal Region

Programme Region

Page 17: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

SWP (SUB WILAYAH PEMBANGUNAN)

Prinsip

Menciptakan integrasi, melalui keterkaitan dan ketergantungan

Tujuan

1. Memperkuat kesatuan atau integrasi (ekonomi) negara atau wilayah secara

utuh

2. Efisiensi pertumbuhan (prinsip growth centers)

3. Menyebaratakan pembangunan dan menghindarkan pemusatan kegiatan

(kesenjangan)

4. Menjamin keserasian dan koordinasi antar berbagai kegiatan pembangunan

Komponen

1. Model Sistem Integrasi

2. Inti (pusat) wilayah dan wilayah pengaruhnya (hinterland)

3. Penentuan batas SWP

4. Basis Ekonomi SWP

PENENTUAN SWP

1. Deskripsikan Sistem Keterkaitan, Ketergantungan, dan Pola Pergerakan

Dalam Suatu Wilayah

………Wilayah Homogen (Variabel Fisik Wilayah) Dapat Dijadikan Dasar

2. Tetapkan Inti / Pusat Wilayah Dan Wilayah Pengaruhnya

3. Penentuan Batas

4. Penilaian Basis Ekonomi

Instrumen : Pemetaan / Gis

Page 18: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

GAMBAR LEWAT

Page 19: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

SPATIAL LINKAGE ANALYSIS

PATTERNS OF PHYSICAL, ECONOMIC, SOCIAL AND

ORGANIZATIONAL INTERACTIONS AMONG SETTLEMENTS

AND RURAL AREAS SURROUNDING THEM

MAJOR LINKAGES IN SPATIAL DEVELOPMENT :

1. PHYSICAL LINKAGES : ROAD, RIVER TRANSPORT,

RAILROAD, ECOLOGICAL INTERDEPENDENCES

2. ECONOMIC LINKAGES : MARKETT PATTERNS, FLOWS OF

RAW MATERIALS, PRODUCTION LINKAGES, CONSUMPTION

AND SHOPPING PATTERNS, INCOME FLOWS

3. POPULATION MOVEMENT : TEMPORAL AND PERMANENT

MOVEMENT (MIGRATION)

4. TECHNOLOGICAL LINKAGES : TECHNOLOGY

INTERDEPENDENCY, IRRIGATION SYSTEM,

TELECOMMUNICATION SYSTEM

5. SOCIAL INTERACTION LINKAGES : VISITING PATTERN,

RITUAL AND RELIGIUS ACTIVITIES

6. SERVICE DELIVERY LINKAGES : ENERGY FLOWS AND

NETWORKS, CREDIT AND FINANCIAL NETWORKS,

EDUCATION HEALTH SERVICE DELIVERY SYSTEMS

7. POLITICAL, ADMINISTRATIVE AND ORGANIZATIONAL

LINKAGES : GOVERNMENT BUDGET FLOWS AND

STRUCTURAL RELATIONSHIPS

Page 20: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

GAMBAR LEWAT

Page 21: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

PENDEKATAN WILAYAH DALAM PEMBANGUNAN

BAGIAN – II

Page 22: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH

PENDAHULUAN

Mekanisme perencanaan pembangunan nasional berjalan melalui dua

pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan

tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia

untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan

masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan

keselarasan dan keserasian dua strategi tersebut merupakan hal pelik, bahkan

terkadang cenderung kontradiktif dan dikotomis.

Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih

menonjol dan semakin menguat dibanding pendekatan kedua (regional), hal ini dapat

dilihat dari orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan

ekonomi (economic growth) sektoral sebagai cara untuk mencapai tujuan

pembangunan. Disamping telah memberikan hasil yang memuaskan (dilihat dari

indikator ekonomi) seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan perkapita naik,

namun orientasi tersebut ternyata telah menimbulkan beberapa masalah, salah satu

diantaranya adalah tidak meratanya distribusi kegiatan dan hasil pembangunan,

sehingga beberapa agenda permasalahan pembangunan, seperti kemiskinan,

kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antar wilayah (kota – desa, pusat –

daerah), sering digunakan sebagai contoh produk model pembangunan (sektoral)

yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut dapat dimengerti karena untuk mengejar pertumbuhan yang

tinggi serta efisiensi, pembangunan diutamakan pada kegiatan-kegiatan yang paling

produktif, terutama kegiatan ekspor produksi primer seperti pertambangan,

kehutanan, dan perkebunan. Sementara itu untuk mengadakan barang-barang

konsumsi dan mengurangi ketergantungan impor, dikembangkan industry substitusi

impor, yang dikembangkan di kota-kota besar. Akibatnya tingkat pembangunan

ekonomi yang tinggi hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan

Page 23: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

sumber alam serta kota-kota besar. Dari sinilah persoalan ketimpangan wilayah

sebagai agenda utama pembangunan regional berawal dan terus berkembang.

Gunawan Sumodiningrat (1995) mencatat tiga bentuk ketimpangan

pembangunan, yaitu ketidakmerataan antar golongan penduduk, ketidakmerataan

antar sektor dan ketidakmerataan antar wilayah. Ketidakmerataan antar golongan

penduduk terlihat dari masih banyaknya penduduk miskin, baik di perkotaan maupun

perdesaan, meskipun relatif menurun, namun penurunan tertsebut tidak sebanding

dengan peningkatan hasil pembangunan yang dinikmati oleh golongan masyarakat

yang tidak miskin. Spektrum ketimpangan antar golongan penduduk juga meluas

pada dimensi pribumi dan non pribumi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi

tampaknya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil lapisan masyarakat Indonesia,

sedangkan sebagian besar masyarakat masih hidup dalam suasana ‘kemiskinan’.

Ketidakmerataan pembangunan antar sektor dan antar wilayah muncul secara

nyata dalam beberapa bentuk dualisme, yaitu antara sektor pertanian yang semakin

menurun peran dan produktivitasnya, namun menampung tenaga kerja yang cukup

banyak dan sektor industri yang cenderung capital intensive dengan daya serap tenaga

kerja rendah namun kontribusinya semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan

sektor jasa dan perdagangan yang semakin jauh meninggalkan sektor pertanian. Lebih

lanjut ketidakmerataan aspek demografis dan sumberdaya alam serta kebijakan

pemerintah telah memberikan andil yang cukup besar dalam ketimpanagan wilayah.

Dikotomi Jawa (pusat) dan luar Jawa (pinggiran), Kawasan Timur Indonesia (KTI)

dan Kawasan Barat Indonesia (KBI), antara perdesaan dan perkotaan adalah kasus

nyata pembangunan wilayah Indonesia. Fakta-fakta tersebut merupakan suatu contoh

adanya masalah pembangunan dilihat dalam dimensi ruang (wilayah).

Strategi pembangunan yang hanya mendasarkan pertumbuhan ekonomi tanpa

memperhatikan aspek distribusi (pemerataan), perluasan kesempatan kerja,

penghapusan kemiskinan serta aspek wilayah, walaupun pada tahap awalnya berhasil

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya akan mengalami berbagai

masalah tersebut.

Page 24: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan kebijaksanaan yang

menangani masalah ruang, dalam hal ini adalah kebijaksanaan pengembangan

wilayah. Kebijaksanaan ini berkenaan dengan lokasi di mana pembangunan ekonomi

dilakukan. Wilayah nasional tidak homogen, dan kegiatan pembangunan tidak terjadi

pada tiap bagian wilayah dengan merata. Peranan perencanaan wilayah adalah untuk

menghubungkan kegiatan yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan pembangunan

nasional (Friedmann, 1966 : 5).

Page 25: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PERANANNYA

Pengembangan wilayah berkenaan dengan dimensi spasial (ruang) dari

kegiatan pembangunan. Didasari pemikiran bahwa kegiatan ekonomi terdistribusi

dalam ruang yang tidak homogen, oleh karena lokasi mempunyai potensi dan nilai

relatif terhadap lokasi lainnya, maka kegiatan yang bertujuan ekonomi maupun sosial

akan tersebar sesuai dengan potensi dan relatif lokasi yang mendukungnya (Luthfi,

1994).

Begitu pula kesejahteraan penduduk akan tergantung pada sumberdaya dan

aksesibilitasnya terhadap suatu lokasi, dimana ekonomi terikat (Richardson, 1981 :

270). Usaha-usaha untuk mengkaitkan kegiatan ekonomi sektor industri dengan

sektor pertanian, atau pengkaitan beberapa jenis industri akan sulit tercapai tanpa

memperhatikan aspek ruang, karena masing-masing terpisah oleh jarak geografis.

Oleh karena itu arti pembangunan juga perlu diberi perspektif baru sebagai upaya

pengorganisasian ruang (Luthfi, 1994). Untuk tujuan ini maka pendekatan

pengembangan wilayah yang menyangkut aspek tata ruang mendapatkan peranannya.

Pendekatan melalui pengembangan wilayah ini mempunyai beberapa

keuntungan, Pertama, akan didasari pengenalan yang lebih baik atas penduduk dan

budaya pada berbagai wilayah, serta pengenalan atas potensi unik daerah. Sehingga

memudahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi,

kapasitas serta problem khusus daerah tersebut. Dengan pengembangan wilayah ini

dapat diharapkan kemungkinan lebih baik untuk memperbaiki keseimbangan sosial

ekonomi antar wilayah (Friedmann, 1979 : 38).

Alasan politis diterapkannya perencanaan pengembangan wilayah antara lain

adalah bahwa pembangunan nasional yang terlalu bersifat sektoral dan tidak

mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, atau bagaimana penjalaran pertumbuhan

tersebut dalam ruang ekonomi. Tindakan mengabaikan dimensi tata ruang, ditambah

dengan hanya menekankan pemikiran jangka pendek, akan memberikan kontribusi

tetrhadap semakin tajamnya kesenjangan antar wilayah (Miller, 1989 : 8).

Page 26: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Pengembangan wilayah merupakan perangkat yang melengkapi atau bagian

integral dari pembangunan nasional. Pembangunan wilayah diarahkan untuk

mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar desa

dan kota, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan Kawasan Timur

Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan

daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah

bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan

Wawasan Nusantara (GBHN, 1993). Selanjutnya tujuan dan prinsip pendekatan

dalam pengembangan wilayah juga tidak terlepas dari tujuan dan prinsip

pembangunan nasional.

Hal ini berarti setiap kegiatan pembangunan di daerah harus

mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) disamping

pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral. Kebijaksanaan pembangunan

regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Tojiman S, 1981)

yaitu :

1. Meningkatkan kseimbangan dan keserasian antara pembangunan antar

sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai

pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi

dan prioritasnya.

2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan

pertumbuhan antar wilayah.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat local dalam pembangunan.

4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan

hinterlandnya dan antara kota dan desa.

Pada dua dasawarsa terakhir, perencanaan regional di Indonesia semakin

menunjukkan aura respectability (pancaran kehormatan), seiring semakin

kompleksnya tantangan dan masalah pembangunan dan adanya keyakinan bahwa

pendekatan kewilayahan merupakan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi

ketimpangan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan, khususnya ketimpangan antar

wilayah. Dengan demikian pembangunan regional diharapkan dapat muncul sebagai

Page 27: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

salah satu alternatif paradigma pembangunan yang berfungsi sebagai balance

terhadap penarapan pola kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh para

pemegang kebijakan ekonomi orde baru. Pada dasawarsa ini pula kebijakan regional

menunjukkan perannya, hal ini didukung oleh semakin maraknya kebijakan yang

berorientasi pada wilayah semacam otonomi wilayah, desentralisasi, regionalisasi,

penyusunan tata ruang wilayah, pembangunan kawasan terpadu dan lain-lain.

Page 28: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL

Pada hakekatnya daerah merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari

pembangunan nasional, oleh karena itu dalam rangka menjamin agar pelaksanaan

pembangunan nasional dapat berjalan serasi dan seimbang, maka perlu diusahakan

keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Hal ini berarti

setiap kegiatan pembangunan di daerah harus mempertimbangkan kondisi dan situasi

regional (aspek kewilayahan) disamping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat

sektoral.

Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai

empat tujuan utama (Bappenas, 1993) yaitu :

1. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan sektoral

dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan

sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya.

2. Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan

pertumbuhan antar wilayah.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan.

4. Meningkatkan keserasian hubungan antara pusat-pusat wilayah dengan

hinterlandnya dan antara kota dan desa.

Pertanyaan yang tentunya menarik untuk dikedepankan adalah bagaimana

problematika pembangunan dipahami dalam kontek atau pendekatan pembangunan

wilayah (regional development) dan sejauh mana model pembangunan wilayah di

Indonesia mampu mengatasinya. Selanjutnya analisis teoritis dan fakta digunakan

untuk menjelaskannya.

Page 29: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Untuk memahami pelaksanaan pembangunan regional di Indonesia maka

perlu dipahami dasar pemikiran dan konsep yang digunakan, khususnya konsep

pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) serta bagaimana wujud pelaksanaannya.

Dalam konsep pembangunan wilayah (regional development) yang selama ini

kita terapkan, tampak jelas bahwa strategi pembangunan nasional lebih menganut

model Growth centers yang lebih cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Asumsi dasar adalah terjadinya mekanisme trickle down effect, yaitu adanya proses

difusi atau proses penebaran hasil dan proses pembangunan ke pusat-pusat

pertumbuhan yang lebih rendah dan wilayah hinterlandnya.

Dalam model growth centers, pembangunan berlangsung dalam suatu

equilibrium matrix lokasi yang terdiri dari beberapa pusat-pusat pertumbuhan (growth

centers) dan daerah penyangga-pinggiran (hinterland). Langkah awal dimulai dengan

membangun pusat atau kutub pertumbuhan lebih dahulu (dengan industrialisasi).

Pertumbuhan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat.

Apabila langkah ini berhasil, maka tindakan kedua adalah proses penjalaran atau

penetesan keberhasilan itu ke wilayah-wilayah hinterland di sekitarnya. Mekanisme

efek tebar berjalan melalui proses membangun keterkaitan (linkages development)

leading industries pada pusat-pusat pertumbuhan, baik keterkaitan ke depan (forward

linkages) dan ke belakang (backward linkages).

Model seperti inilah yang oleh Dean K. Forbes (1986) disebut sebagai model

pembangunan non-marxis. Pada model seperti ini pada kenyataannya tidak jelas

mekanisme penetesannya bahkan cenderung mengakselerasikan proses industrialisasi

dan urbanisasi serta telah menimbulkan terkonsentrasinya pembangunan di pusat-

pusat pertumbuhan (dalam kasus Indonesia : Jawa, Sumatera, Bali = Kawasan Barat

Indonesia). Dengan demikian bukan trickle down effect yang terjadi, melainkan

keadaan sebaliknya yaitu backwash and polarization effect, dimana terjadi

penyedotan (aliran) potensi sumberdaya wilayah hinterland oleh pusat-pusat

pertumbuhan ; sehingga pada akhirnya akan semakin memperluas kesenjangan

dengan wilayah-wilayah pinggiran.

Page 30: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Studi yang dilakukan M.J. Titus tentang arus migrasi (1978) dan Mubyarto

(1989) tentang pengaliran modal menyebutkan bahwa ciri model pembangunan

tersebut di dunia, ketiga adalah terciptanya mekanisme penyedotan sumberdaya

(capital dan tenaga kerja) dari wilayah pinggiran menuju wilayah pusat. Selanjutnya

dengan jelas disebutkan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah Indonesia

terjadi bukan hanya karena faktor kemiskinan sumberdaya wilayah, tetapi juga akibat

pola hubungan yang tidak seimbang antara pusat kota dan daerah.

Kegagalan untuk mewujudkan efek tetesan, oleh Friedman (1975) disinyalir

akibat tidak bekerjasamanya mekanisme pasar secara proporsional, oleh karena itu

timbullah upaya untuk merencanakan pusat-pusat pertumbuhan di dalam kerangka

pengembangan wilayah yang terkendali.

Meskipun terlalu dini untuk mengatakan kebijaksanaan pembangunan

regional di Indonesia ‘gagal’, namun analisis fakta menunjukkan bahwa pendekatan

seperti ini kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Kesenjangan antar wilayah

nyatanya tetap menyolok, meski intervensi pemerintah sudah banyak dilakukan. Ini

terutama terjadi akibat modal (kapital) yang diharapkan bisa mengalir ke pinggiran,

lebih banyak tertahan di pusat atau wilayah lain yang secara ekonomi lebih

menguntungkan, bahkan seringkali mengalir ke pusat.

Beberapa hasil studi berikut menngambarkan belum berhasilnya kebijakan

pembangunan regional yang diterapkan di Indonesia, diantaranya ditandai dengan

semakin exist-nya problem ketimpangan wilayah (regional inequity) dalam tingkat

pertumbuhan dan perkembangan antar daerah dan dalam tingkat pendapatan dan

kemakmuran, terjadi pula sistem keruangan yang benar-benar terkutub dengan pusat

kota mendominasi suatu jaringan perkotaan yang terbelakang.

Hendra Asmara (1975) menggarisbawahi bahwa ada periode 1988-1971

terdapat ketimpangan antar wilayah di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan

sumberdaya alam, tingkat produktivitas perkapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi

penggunaan sumberdaya dan organisasi. Pratilla (1981) menunjukkan adanya

konsentrasi aset-aset pembangunan pada WPU-B, baik dalam aspek sumberdaya

Page 31: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

manusia, Produk Domestik Regional Bruto (PDBR) maupun PDBR per kapita,

dimana wilayah ini memberikan sumbangan lebih dari 40% dari pendapatan nasional.

Moeljarto Tjokrowinoto (1995) mengungkapkan bahwa hal ini merupakan

konsekuensi logis orientasi pertumbuhan yang cenderung mengarahkan alokasi

sumberdaya pada wilayah-wilayah pusat pertumbuhan maka disamping keberhasilan

pembangunan maka tampak adanya regional inequity atau ketimpangan regional yang

cukup memprihatinkan. Selanjutnya hal ini tercermin dari timpangnya pembiayaan

pembangunan (dana INPRES, DAU, dan DAK), produk domestik regional bruto

(PRDB), pendapatan perkapita, proporsi penduduk miskin, indeks mutu hidup (IMH),

atau physical quality of life index (PQLI) antar propinsi (Biro Pusat Statistik dan

Budhy Tjahjati Soegijoko, (1992). Selain itu juga terjadi kesenjangan sektoral

(dicerminkan oleh tidak seimbangnya indek nilai tukar) antara sektor pertanian dan

nonpertanian dan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian secara

tidak sadar telah terjadi proses pengkutuban hasil-hasil pembangunan (polarized

development process) pada wilayah tertentu dan marginalisasi di wilayah lain.

Dengan menggunakan indikator kesenjangan pendapatan per kapita,

penyebaran dan konsentrasi industri, investasi, kemiskinan dan pendidikan, Cornelis

Lay (1993) dengan jelas mengemukakan bahwa keterbelakangan dan ketimpangan

antar wilayah exist di Indonesia. Bahkan beberapa indikator mengkonfirmasikan

adanya kecenderungan untuk terus memburuk. Lebih lanjut, perbandingan antar

wilayah menunjukkan bahwa secara umum daerah-daerah di Kawasan Barat

Indonesia (KBI) memiliki penampilan yang lebih meyakinkan dalam hal tingkat

kemajuannya, sementara wilayah-wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih

mewakili performance keterbelakangan. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut

mengindikasikan terjadinya kesenjangan yang cukup tajam. Bahkan, ketimpangan

yang sama juga terjadi dalam satu wilayah yang sama.

Menguatnya terminology pembangunan KBI (sebagian wilayah yang

diuntungkan) dan KTI (wilayah yang kurang beruntung) akhir-akhir ini menjadi

indikator penjelas adanya ketimpangan antar wilayah. Apabila tidak segera

Page 32: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

diantisipasi dengan cepat maka tidak hanya akan menimbulkan kerawanan sosial dan

ekonomi tetapi juga politik, terutama pada aspek integrasi nasional dan hamkamnas.

Dalam konteks situasi seperti ini beberapa program pembangunan yang

berdimensi pemerataan akan sulit diharapkan keberhasilannya selama orientasi

(model) pembangunan dan faktor serta mekanisme ketimpangan itu tidak diubah.

Artinya harus ada perubahan atau penyesuaian pembangunan pada tingkat makro.

Jika selama ini pengembangan wilayah-wilayah pusat terus dilaksanakan, sudah

saatnya pengembangan wilayah pinggiran dengan lebih serius. Adanya kenyataan

diatas mendorong upaya-upaya untuk mencari paradigma pengembangan kawasan

alternatif yang lebih fungsional dan mampu merespon pertumbuhan ekonomi dan

mewujudkan pemerataan.

Ditetapkannya Undang-Undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang

(UUPR) yang menjadi dasar bagi perumusan Strategi Nasional Pembangunan Tata

Ruang Nasional (SNPTR) dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah pada tingkat yang

lebih rendah belum memberikan hasil yang optimal, hal ini nampak dari banyaknya

konflik kepentingan terhadap ruang yang terjadi. Meskipun demikian dukungan aspek

kelembagaan atau perundang-undangan dan beberapa kebijakan lain yang bernuansa

regional semacam Program Pengembangan Wilayah (PPW) atau Provincial

Development Programme (PDP), Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT),

diharapkan akan semakin mampu menyentuh akar permasalahan.

Page 33: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

RESTRUKTURISASI STRATEGI PEMBANGUNAN

Masa depan pembangunan nasional maupun regional dalam pembangunan

Indonesia dalam konteks otonomi daerah tergantung tidak saja pada tekad politik dan

keberanian pemerintah tapi juga pemahaman yang tepat terhadap pembangunan

regional. Pelaksanaan pembangunan regional akan tersendat tanpa restrukturisasi

kebijakan dan strategi pembangunan. Hal ini dilaksanakan untuk menangkal berbagai

macam kesenjangan dan ketidakmerataan yang muncul sebagai akibat pelaksanaan

pembangunan, langkah-langkah restrukturisasi penting antara lain (Muta’ali, 1997) :

1. Restrukturisasi Alokasi Dana Pembangunan

Baik dana APBN maupun APBD ataupun dana swasta lainnya secara

proporsional. Anggaran DAU dan DAK yang sering memunculkan kontroversi dan

tidakpuasan bagi daerah terus diperbaiki dan harus tetap ditingkatkan sebagai

keputusan politik dalam alokasi anggaran dan pemerataan pembangunan, khususnya

lebih diutamakan untuk mengatasi daerah-daerah hinterland yang miskin dan sulit

berkembang serta mengeliminir kesenjangan wilayah. Hal ini juga harus diimbangi

pola perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih baik.

2. Restrukturisasi Spasial

Kebijaksanaan penting yang harus dilakukan guna meningkatkan efektifitas

pembangunan regional dan mengurangi kesenjangan antar wilayah adalah

diberikannya penekanan pada mekanisme penyebaran modal atau aset pembangunan

secara geografis dan proporsional. Selain itu fokus kebijaksanaan diarahkan pada

upaya-upaya mengkoordinasikan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan lokal

pada sejumlah daerah terpilih sesuai dengan potensi dan permasalahan.

Dalam konteks pembangunan regional Indonesia, perlu diciptakan pola

hubungan antar wilayah yang seimbang dan menekankan aspek pemerataan dan

keseimbangan terutama pada KTI dan KBI, antara Jawa dan luar Jawa, Perkotaan dan

Perdesaan, Pusat dan Pinggiran dan seterusnya, serta berpihak kepada daerah-daerah

miskin. Beberapa policy tentang pengembangan kawasan andalan, pengembangan

segitiga pertumbuhan, pengembangan prasarana dan kebijakan insentif di beberapa

Page 34: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

daerah terbelakang perlu direalisasikan lebih nyata. Selain itu juga perlu membangun

jalinan keterkaitan antar wilayah (Rondinelli, 1983).

3. Restrukturisasi Sektoral

Dilakukan terutama untuk mengatasi berbagai kemungkinan berkembangnya

kesenjangan sektoral, terutama antara industri dan pertanian, antara sektor formal-

modern dan sektor informal-tradisional, dan seterusnya sehingga benar-benar mampu

diciptakan keserasian dan keseimbangan antar sektor. Kebijakan dapat ditempuh baik

dalam aspek perimbangan keuangan, investasi, program dan proyek pembangunan,

kelembagaan, maupun aspek politis yang lain.

4. Restrukturisasi Kelembagaan

Perlunya aspek perundang-undangan yang mengatur tentang pola hubungan

dan tata kerja serta perimbangan pembangunan antar wilayah, baik dalam

perencanaan maupun pelaksanaan. Selain itu perlu ditunjang adanya institusi

perencanaan wilayah yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas.

Perencanaan yang bersifat keruangan dan pembangunan wilayah perlu

dilakukan karena kedua hal tersebut merupakan suatu cara untuk memecahkan

permasalahan pembangunan yang mendasar. Permasalahan ini adalah bagaimana

mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara luas yang mengijinkan sebagian besar

penduduk pedesaan dan wilayah-wilayah tertinggal untuk berpartisipasi lebih efektif

dalam kegiatan produktif dan untuk mencapai keuntungan yang lebih besar dari

proses pembangunan (Rondinelli, 1985). Namun langkah-langkah ini tidak akan

sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh political will yang sungguh-

sungguh dari semua pihak yang terkait untuk mengatasi kesenjangan wilayah.

Page 35: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PENUTUP

Menguatnya otonomi daerah dan pendekatan wilayah dalam pembangunan

merupakan tantangan yang menarik bagi geograf, untuk mengerahkan seluruh

kemampuannya bagi pengkajian yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi ilmu dan

masyarakat. Menurut Fawcett, penerapan ilmu geografik secara sistematik kepada

kondisi-kondisi yang ada, memungkinkan kajian wilayah dapat dilakukan secara

komprehensif dan memuaskan. Dengan kata lain kajian geografis akan turut

menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan pembangunan (otonomi)

daerah dan masyarakatnya.

Page 36: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

ANALISIS WILAYAHBAGIAN - III

Page 37: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

SCOPE OF SPATIAL / REGIONAL ANALYSIS

(bruce mitchell, 1998)

Location and distribution of phenomena

Interaction of phenomena between places and regions

Spatial / regional structure arragement, and organization

Spatial processes

Gambar : Faktor – faktor pembentuk struktur wilayah

Page 38: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

STRUKTUR WILAYAH ADALAH HASIL KENAMPAKKAN INTERAKSI

MULTI FAKTOR

Kenampakan : struktur ekonomi,struktur sosial,struktur pemanfaatan ruang.

Economic SocialCulturePoliticgeographic

Human process created reg.structure

Spatial/Regional Sructure (pattern of economic Activity)

Reciprocal relationship spatial form/regional structure influence a human process

Page 39: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

KERANGKA DASAR ANALISIS WILAYAH

TIPE WILAYAH : HOMOGEN DAN FUNGSIONAL

1. Wilayah Homogen

Perbedaan dengan wilayah lain lebih penting daripada perbedaan di dalam

wilayah

Perbedaannya cukup signifikan

Perbedaan dapat diuji secara empiris

Kriteria untuk deleniasi sangat tergantung ‘kepentingan’ dan

‘tujuan’ analisis.

Teknik analisis : single variabel atau\

Analisis faktor & indexing/scoring multi variabel

2. Wilayah fungsi

- Dicirikan dengan perbedaan-perbedaan di dalam wilayah dan hubungan-

hubungan fungsional, yang sering diekspresikan dengan adanya aliran (flows),

seperti transportasi, komunikasi,dst.

Manusia membutuhkan ruang untuk aktivitasnya

Lokasi

Transportasi dan komunikasi

Spesialisasi

Pusat/node/center

Teknik analisis :

Gravity models % flow models

Page 40: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

STRUKTUR WILAYAH

(PEMAHAMAN MAKNA DASAR)

A. Komposisi

Didasarkan pada kesamaan kriteria (intra region)

Ekonomi

Sosial

Fisik (Pemanfaatan Ruang)

B. Jaringan

Didasarkan pada keterkaitan antar wilayah (inter region)

Center – Pherypery

Hirarki

Keterkaitan

Fungsional (struktur ruang)

Page 41: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

ANALISIS REGIONAL

ANALISIS INTER-REGIONAL

Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh

Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah,

bukan ‘the main concern’

Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah

ANALISIS INTRA-REGIONAL

Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah

Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah),

merupakan ‘the main concern’

Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat

komplementer

Page 42: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

GEOGRAPHIC DATA MATRIX

DAERAH DALAM ANGKA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

HINCO Approach :

1. HUMAN aspect

2. INSTITUTIONAL aspect

3. NATURAL aspect

4. CAPITAL aspect

5. OTHER aspect

HINCO approach (Avrom Bendavid-Val, 1991)

Analytical Rubric Table Subjects

Page 43: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

1. Human aspect Population size and demographic characteristic;education;work experience,skills;income and wages;expenditure patterns;employment,unemployment,labor force participation;health;population subsets (e.g.minorities,rural,urban);productivity;housing;commutation;labor market areas.

2. Institutional aspect Regional and local governments;public revenue and expenditure patterns;social and municipal services;labor-to-capital ratios;business barriers, business institutions;institutional coordination;institutional participation,trade and labor organizations;cooperatives;economic activity mix characteristics;land ownership patterns.

3. Natural aspect Land use patterns,mineral resources,soil types,water resources;topographic features;recreation assets;scenic assets,locational characteristics;historicsites;other heritage-related fentures;environmentally sensitive zones;hazard-prone zone.

4. Capital aspect Infrastructure;land use potentials;transportation and communication;public investment;private investment;saving rate;external capital sources;housing stock;unutilized/under utilized structures;firm size;concentration ratio;gross product;capital-to-output ratios;public-capital construction.

5. Other aspect Development plans and planning at higher and lower level trade areas;special relationship with other areas,special information on major economic activities,problems, or potentials;results of surveys designed to obtain the views of the leadership or general public on development problems,potential, or desired directions;energy resources.

Page 44: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

AgrasisIndustridll

ProduksiDistribusiPertukaran

VARIABLE KOMPONEN WILAYAH (by Sunardi Djojosuharto)

ANALISIS INTRA-REGIONAL :

C

I

R

I

W

I

L

A

Y

A

H

POTENSI

IKLIM

SOSBUD

KEMAMPUAN LAHAN

S

D

M

A

N

U

S

I

A

S

D

L

A

H

A

N AIR

DEMOGRAFI

SOSEK

Lereng, kedalaman,erosi,tekstur,permeabilitas

Pertanian;pertambangan,industri,jasa,dst.

Jumlah:kepadatan,jenis kelamin,usiakerja,mata pencaharian,dst

Kelembagaan;kesenian,agama,pendidikan

Air permukaan:curah hujan,evaporasi,transpirasui,infiltrasi.

Airtanah:infiltrasi,perkolasi,storage,base flow.

FUNGSI & SIFAT

FUNGSI & SIFAT

SIFATSIFAT

FUNGSIFUNGSI

Page 45: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Disagregasi ruang dan unsur-unsur di dalam wilayah

Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian wilayah (sub-wilayah),

merupakan ‘the main concern’

Analisis interaksi dan interdependensi antar wilayah, hanya bersifat

komplementer

Ecological Complex Analysis

Pendekatan ekologi, memandang wilayah sebagai organism (relasi, tumbuh dan

berkembang). Komponen dan sistem interaksi :

1. POPULATION

2. ENVIRONMENT

3. TECHNOLOGY

4. PATTERN OF CULTURE

5. ORGANIZATION

Homoginity Analysis

Perwilayahan Dengan Prinsip Homogenitas (Kesamaan Kriteria)

Teknik Analisis :

1. KUALITATIF

2. KUANTITATIF (STATISTIK)

3. PEMETAAN (GIS)

4. CLUSTER ANALYSIS

GAMBAR TEKNIK ANALISIS INTRAREGIONAL DAN INTERREGIONAL

Page 46: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

TABEL 2

ANALISIS INTER-REGIONAL

Page 47: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Setiap satuan wilayah dianggap sebagai ‘agregat’ utuh

Analisis unsur-unsur wilayah dan bagian-bagian di dalam setiap wilayah,

bukan ‘the main concern’

Analisis lebih ditekankan pada interaksi dan interdependensi antar wilayah

Functionality Analysis

Untuk Penentuan Wilayah Pusat Dan Hinterlandnya

Diidentifikasikan Dengan Jumlah Fungsi (Pelayanan)

1. Ekonomi

2. Sosial

3. Administrasi

4. Umum

Menunjukkan Hirarki atau Tingkatan Wilayah

Semakin Banyak Jumlah Fungsi, Semakin Tinggi Hirarki, Menjadi Pusat dan Radius

Pengaruhnya Semakin Luas.

Teknik Analisis :

1. Skalogram

2. Bisection

3. Sosiogram

Settlement Typology Analysis

Page 48: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Untuk Mengidentifikasi Spesialisasi Fungsi Lingkungan Permukiman (Bisa Kota).

Dicari Karakteristik Yang Dominan, Unik, Spesifik

Variabel yang digunakan :

1. Struktur Ruang Kegiatan

2. Struktur Pekerjaan

Settlement Juga Dapat Dianalisa Patternnya (Mengelompok-Menyebar)…

Pembangunan Infrastruktur

Rank – Size Analysis

Untuk Menentukan Sistem Kota-Kota (HIrarki) Termasuk Sebaran Indek Keutamaan

(Index Of Primacy) Dari Kota-Kota (Kesenjangan)

Variabel Yang Digunakan :

1. Jumlah Penduduk

2. PDRB (Modifikasi Menarik)

Network Analysis

Aspek Fungsional, Keterkaitan Antar Wilayah

Konsep Aksesibilitas Dan Konektifitas

Konsep Aksesibilitas – Kemudahan (Jarak Fisik (Km), Cost,Time, Dan Sarana

Prasarana).

Konsep Konektifitas

Rute Atau Links

Posisi Strategis

Spatial Interaction Analysis

Page 49: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Menunjukkan Relasi Interdependensi Antar Lokasi Dalam Hal Pergerakan Penduduk,

Barang, Komoditas, Informasi, Dll.

Teknik Analisis :

1. Analisis Gravitasi

2. Analisis Titik Henti

Variabel Yang Digunakan :

1. Variabel Massa (Pergerakan), Penduduk, Barang, Komoditas, Ekonomi,

Kesempatan Kerja,dll.

2. Variabel Jarak

Regional Economic Analysis

1. Basis Ekonomi (Location Quotient=Lq)

Menentukan Basis Ekonomi Dan Efek Pengganda Sektor Basis

2. Shift – Share Analysis

Economic Composition Analysis

Menilai Kinerja Ekonomi Wilayah (Dinamik)

3. Input – Output Regional

Keterkaitan Produk, Forward Dan Backward Linkages, Multiplier Effect

4. Income And Product Account

Kesenjangan Sosial Dan Regional

Kesenjangan Sosial Antar Strata Masyarakat

Indek Gini

Kurva Lorenz

Kesenjangan Regional

Indek Wiliamson

Economic Distance

Kurva Lorenz

Statistic Compendium

Page 50: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Pemanfaatan Teknik Statistik Untuk Analisis Regional

Misalnya : Statistik Multivariate Analysis Untuk Menentukan Daya Saing Regional

Tergantung Struktur Datanya

Cross-Section Maupun Time-Series

Table 1

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

Page 51: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

DINAMIKA DAN TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH

BAGIAN – IV

DINAMIKA WILAYAH DALAM PERSPEKTIF GEOGRAFIS

Page 52: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

oleh :

Djarot S. Widyatmoko

PENDAHULUAN

(Geography is about local variability within a general context – R.J. Johnston, 1984)

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa belakangan ini kita menjadi saksi

perubahan-perubahan yang begitu cepat di dunia ini. Kekhususan sifat suatu daerah

atau tempat yang telah menjadi trademark selama berpuluh-puluh tahun banyak yang

telah hilang atau paling tidak telah berubah bentuk. Pulau Bali yang saya tahu

sekarang, sangat jauh berbeda dengan keadaan ketika saya melaksanakan KKL I dua

puluh tahun yang lalu. Riau kepulauan yang dikenal dengan daerah penampungan

‘manusia perahu’ dari Vietnam, kini merupakan kawasan unggulan bagi

pengembangan industri dan pariwisata nasional. Lebih dekat lagi, seperti Desa

Kasongan di Kabupaten Bantul : kini terkenal dengan industri kerajinan gerabahnya,

daerah di sekitar Jalan Kaliurang, Condongcatur, Caturtunggal sudah berubah

menjadi kawasan permukiman padat penduduk dan pelayanan yang mungkin lebih

padat daripada beberapa daerah Kotamadya Yogyakarta sendiri. Dan tentunya masih

banyak lagi. Pada ‘kawasan tumbuh-cepat’, seperti koridor Merak-Jakarta-Bandung

atau koridor Surabaya-Malang, kecepatan perubahannya (the speed of change)

mungkin tidak dihitung dalam tahun, melainkan dalam bulan.

Perubahan-perubahan yang terjadi seperti yang ditunjukkan dalam contoh-

contoh di atas menunjukkam bahwa wilayah permukaan bumi merupakan organisme

yang dinamis. Bentuk, sifat, dan kecepatan dari dinamikanya merupakan fungsi dari

kekuatan-kekuatan yang bekerja baik yang berasal dari luar dan dari dalam wilayah

itu sendiri, maupun yang berasal dari perpaduan kekuatan-kekuatan yang bersifat

khas (unique) setempat dan yang bersifat umum (general). Dinamika wilayah

memang proses in-situ atau setempat namun keberadaan proses merupakan hasil

perpaduan dari dua kekuatan tersebut. Fenomena industri kerajinan gerabah adalah

ciri khas Kasongan, yang merupakan perpaduan dari inovasi lokal dalam teknik dan

Page 53: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

gaya gerabah yang disesuaikan dengan selera pasar (baik regional, nasional, maupun

internasional). Namun, surut-berkembangnya indusri gerabah Kasongan tergantung

pada elastisitas kemampuan pengrajin lokal terhadap inovasi baru akibat (perubahan)

peningkatan mutu, selera, dan jumlah permintaan pasar. Perubahan permintaan pasar

ini pada dasarnya merupakan respon terhadap perubahan-perubahan umum yang

bersifat global, seperti perubahan perilaku ekonomi dunia, kemajuan teknologi,

keterbukaan negara, dan sebagainya. Jadi, dinamika suatu tempat tidak dapat

dipisahkan atau merupakan bagian integral dari dinamika yang terjadi di tempat lain.

Bentuk saling ketergantungan antar tempat atau ruang ini (interdependencies of

places atau spatial interdependence) merupakan fenomena geografi yang kini banyak

diminati geografiwan, terutama untuk menjawab perubahan-perubahan pola

keruangan kegiatan manusia akibat kuatnya pengaruh arus globalisasi dan

internasional. Seperti yang diungkapkan oleh Knox dan Marston (1998) :

By studyng spatial interdependence, geographers are able to address diversity within

the framework of a broader relationship ; to see the uniqueness of individual places

and regions within the contexs of other places and regions (and, indeed, the whole

globe); and to see how general relationships play out within particular setting.

MEMAHAMI DINAMIKA WILAYAH

Page 54: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Konsep ‘region’ atau wilayah memang masih merupakan perdebatan yang

panjang dalam dunia akademisi, namun dalam konteks perkembangan wilayah

(regional development) tampak terdapat konsesus yang menganggap wilayah sebagai

bagian permukaan bumi dalam lingkup sub-nasional. Walaupun demikian,

diskonsesus masih tetap saja muncul bila dikaitkan dengan persoalan perwilayahan

(regionalization). Pada satu sisi wilayah diekspresikan melalui azas-azas persamaan

(homogenity) dan di sisi lain disusun atas dasar azas-azas fungsionalitas

(functionality). Artikel ini tidak akan membahas perbedaan-perbedaan tersebut,

namun cukup dikatakan di sini bahwa kombinasi dari kedua azas tersebut bila

diterapkan pada bagian permukaan bumi sub-nasional yang cukup luas akan

melahirkan variasi keruangan (spatial variation). Variasi keruangan akan

menimbulkan berbagai bentuk interaksi keruangan (spatial interaction) antar

masing-masing tempat (individual places) dan tentunya interaksi keruangan

menghasilkan bentuk-bentuk saling ketergantungan antar tempat (interdependency of

places). Dengan analogi semacam ini jelas bahwa spatial interdependency merupakan

pencerminan dari azas-azas geografi (khususnya spatial analysis) : location, distance,

space, accessibility, dan spatial interaction.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah dinamika wilayah itu? Dan mengapa

terjadi dinamika? Gambar 1 di bawah ini mungkin dapat digunakan sebagai landasan

untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Wujud kompak dari suatu wilayah dapat

berupa perkotaan, perdesaan, DAS (daerah aliran sungai), dan ad hock region (dapat

berupa wilayah perencanaan, atau wilayah-wilayah khusus lainnya). Dinamika

wilayah tentunya tidak diekspresikan dalam bentuk perpindahan lokasi suatu wilayah

dari lokasi yang satu ke lokasi yang lain namun lebih merujuk pada perubahan unsur-

unsur wilayah (HINCO : Human-Institution-Natural-Capital-Other) yang disebabkan

oleh adanya ‘intervensi’ dari agen perubahan (agents of change) baik yang bersifat

alami maupun buatan manusia, atau bahkan kombinasi keduanya. Seperti yang

tampak dalam gambar 1 dinamika wilayah dibentuk oleh serangkaian perubahan yang

saling kait mengait antara perubahan-perubahan baik yang alami maupun bukan :

iklim, bencana alam, ekonomi, demografi, politik, budaya, teknologi, sosial, baik

Page 55: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

dalam skala makro maupun mikro. Dampak pengaruh dari agen-agen perubahan tidak

berarti akan menghasilkan respon yang sama terhadap semua wilayah namun oleh

faktor-faktor lokal (local factors) suatu wilayah pengaruh tersebut dimodifikasi. Di

samping itu, kekuatan pengaruh masing-masing agen perubahan juga tidak sama kuat

dan kombinasi dari beberapa agen perubahan juga menghasilkan pengaruh yang

berbeda pula. Kompleksitas hubungan dan pengaruh agen-agen perubahan ini

tercermin dalam variasi dinamika yang dihasilkan. Sifat dari pengaruh agen

perubahan terhadap wilayah tidak selalu searah, karena perubahan yang dihasilkan

akan menimbulkan umpan balik terhadap dinamika wilayah itu sendiri (lihat gambar

1). Sehingga gerakan pengaruh-mempengaruhi ini bak spiral yang terus berputar baik

ke atas maupun ke bawah. Ke atas berarti perubahan-perubahan yang terjadi dianggap

membawa ‘kemajuan’, sedangkan ke bawah berarti sebaliknya.

Memang tidak ada hal yang baru dalam analysis dinamika wilayah ini. Namun

yang perlu mendapatkan perhatian kita adalah kecepatan dan skala perubahan yang

terjadi akhir-akhir ini (terutama dalam dua dasawarsa terakhir) yang di luar

kemampuan kita untuk mengantisipasinya. Saya tidak pernah mengira kalau kenaikan

harga temped an tahu di pasar Demangan menjadi duakali lipat dipicu oleh

pengambangan (floating) nilai mata uang Baht di Thailand sana. Tidak hanya skala,

namun juga ‘rentetan’ pengaruhnya. Siapa sangka kalau kemacetan impor jagung

akan berpengaruh terhadap runtuhnya industri makanan jadi dan juga menurunkan

derajat ‘diet’ masyarakat. Kejadian yang saling kait-mengait dengan melibatkan

variasi skala geografis dan skala pengambilan keputusan yang lebar menyebabkan

analisis saling ketergantungan keruangan menjadi lebih cepat daripada sebelumnya.

Walaupun tidak ada yang baru, namun entry point dari momentum analisis

dinamika wilayah ini dipicu oleh teori sistem-dunia (world-system) karya Emmanuel

Wallerstein (1979). Dalam teori ini permukaan bumi tidak lagi dibagi menjadi dua

wilayah dikotomi tetapi tiga wilayah yang saling berkaitan, yakni core, semi-

periphery, dan periphery. Dengan mengikutsertakan wilayah semi-periphery ke

dalam sistem dunia, Wallerstein ingin menjelaskan sifat kedinamisan wilayah, yaitu

tidak selamanya suatu wilayah terpaku pada satu posisi. Sejarah telah memberikan

Page 56: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

bukti timbul tenggelamnya peradaban manusia di suatu wilayah. Eropa Barat,

Amerika Utara, dan Jepang adalah wilayah core dunia sekarang ini dan sebagian

besar wilayah Afrika,Timur Tengah, dan Asia Tenggara adalah periphery, sedang

negara-negara industri baru, seperti Korea, Taiwan, Hongkong, dan Singapura adalah

wilayah semi-periphery. Namun sejarah juga mengatakan bahwa wilayah-wilayah

periphery sekarang ini ‘dahulu pernah’ sebagai core dunia dan sebaliknya wilayah

core yang sekarang ada, ‘dahulu’ adalah periphery. Menurut Wallerstein, hubungan

antara core-semi periphery-periphery adalah hubungan yang dinamis dalam arti

bahwa masing-masing saling membutuhkan dan masing-masing ingin memperkuat

posisi atau statusnya dengan memperkuat efektivitas wilayahnya dalam

meningkatkan daya saing kemampuan domestik (Knox, 1994).

Dalam menerangkan dinamika wilayah, teori sistem-dunia ternyata bukan

satu-satunya pisau analisa. Di antaranya adalah globalisasi dan perubahan teknologi.

Globalisasi adalah semakin meningkatnya ketertautan (interconnectedness) wilayah-

wilayah permukaan bumi melalui proses-proses perubahan baik ekonomi,

lingkungan, politik, maupun budaya (Knox dan Marston, 1998). Gejala globalisasi

dan internasionalisasi (ekonomi) akhir abad ke-20 ditandai dengan munculnya tiga

wilayah yang mendominasi produksi dan perdagangan dunia : Amerika Utara,

Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), serta Asia Timur dan Asia Tenggara (menguasai

hampir 80 % ekspor dunia dan lebih dari 60 % produksi manufaktur dunia);

deregulasi sistem keuangan dunia : mempermudah pergerakan investasi ke seluruh

pelosok bumi (terutama di tiga wilayah di atas) baik melalui subtitusi-impor maupun

foreign direct investment-FDI ; dan internasionalisasi ‘proses produksi’, terutama

perusahaan multi nasional (transnasional Corporation-TNCs) : menyebabkan tata

pembagian tenaga-kerja internasional baru (the new international division of labor-

NIDL).

Page 57: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Penganut teori gelombang-panjang (long-wave theory) mempercayai adanya

pengaruh daur inovasi teknologi terhadap perkembangan ekonomi global. Sejak tahun

1780, telah terselesaikan empat gelombang-K (K-waves : K adalah inisial dari

Kondratiev, seorang ekonom Rusia pencetus teori ini pada tahun 1920) dimana

masing-masing gelombang memakan waktu sekitar 50 tahun. Setiap gelombang-K

selalu berkaitan dengan difusi inovasi teknologi pokok dan hal tersebut berpengaruh

pada bentuk dan sifat produksi, distribusi, dan organisasi (Golledge dan Stimson,

1997). Kita sekarang sedang berada pada era gelombang-K kelima yang baru pada

tahap awal : ‘era teknologi informasi’ – TI, yang ditandai dengan kemajuan pesat

pada teknologi transportasi dan telekomunikasi. Dampak utama dari gelombang

terakhir ini adalah pengkerutan jarak (the shrinking of distance) geografis, berarti

pula aliran (barang, orang, informasi) dan perubahan (baik produksi, distribusi, dan

organisasi) menjadi ‘lebih cepat’.

Proses globalisasi (ekonomi) dan perubahan teknologi (terutama di bidang

transportasi dan telekomunikasi) lebih memperkuat dan membesar jaringan kota-kota

di dunia (terutama kota-kota besar / metropolitan), dan yang lebih penting, terutama

bagi geografiwan, adalah semakin kuatnya peranan kota sebagai agen perubahan

wilayah. Namun, sifat hubungan antar kota ini tidak seimbang dan cenderung

ekspoilatif, yaitu menguntungkan kota-kota dengan kekuatan kontrol yang besar.

Sistem kota-kota dunia sekarang ini didominasi oleh kota dunia (world cities). Kota

dunia adalah kota yang menjadi pusat kendali bisnis dunia, termasuk di dalamnya

adalah pusat kekuatan ekonomi, budaya, dan politik yang menentukan bentuk dan

arah globalisasi ekonomi dan budaya (Knox, 1997). Dewasa ini diyakini ada empat

tingkat kota dunia. Paling atas terdapat tiga kota dunia, yang semuanya terdapat di

wilayah core , yaitu New York, London, dan Tokyo. Di bawahnya adalah kota-kota

dengan kekuatan dengan kontrol skala regional. Untuk wilayah Asia Timur dan

Tenggara adalah Singapura, yang kemudian disusul oleh Hongkong dan Seoul,

Osaka, dan Taipei di tingkat tiga. Untuk kota dunia tingkat ke-empat adalah ibukota-

ibukota negara namun telah mempunyai pengaruh pada skala regional (Jakarta

termasuk dalam kategori ini). Dengan struktur hirarki dan jaringan kota-kota

Page 58: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

semacam ini, maka sudah sewajarnya wilayah-wilayah yang mendapat kesempatan

berkembang terlebih dahulu adalah wilayah-wilayah yang memiliki keterkaitan

dengan kota-kota dunia. Dicken (1992) mengidentifikasikan wilayah yang paling

dinamis di dunia pada saat ini terpusat di tiga kutub, yaitu wilayah MEE, Amerika

Utara, dan wilayah Asia Timur dan Tenggara. Kerjasama-kerjasama regional yang

menjadi ‘trend’ perkembangan saat ini, seperti kerjasama segitiga antara Indonesia-

Malaysia-Singapura, Indonesia-Malaysia-Thailand, dst. Sebenarnya merupakan

implikasi dari perkembangan (ekonomi) global yang ditimbulkan oleh dinamika kota-

kota dunia. Segitiga pertumbuhan SIJORI : Singapura-Johor-Riau merupakan contoh

nyata kerjasama regional yang mengangkat wilayah sekitar negara-kota Singapura

masuk ke dalam jaringan global dengan Singapura sebagai ‘jangkar’ dan ‘motor

penggerak’ nya.

Pada tingkat nasional, wilayah-wilayah yang ‘aktif berkembang’ sudah pasti

dengan mudah dapat kita kenali, yaitu wilayah-wilayah di sekitar kota besar di

Indonesia. Pada tingkat pertama, sudah pasti berada di wilayah sekitar Jakarta :

JABOTABEK, bahkan telah meluas meliputi hampir separoh wilayah propinsi Jawa

Barat, dengan koridor-koridor yang aktif berkembang, seperti Jakarta-Cirebon,

Jakarta-Merak / Anyer, Jakarta-Bandung-Cianjur. Tingkat kedua adalah wilayah di

sekitar Surabaya : GERBANGKERTOSUSILA, ditambah dengan koridor Surabaya-

Malang. Pada tingkat ketiga mungkin ditempati oleh wilayah di sekitar Medan dan

Ujung Pandang, oleh karena kota-kota ini pusat perniagaan regional dan mempunyai

jaringan internasional yang cukup kuat.

Lalu, bagaimana dengan JOGLOSEMAR : Jogjakarta, Solo, dan Semarang ?

Page 59: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

JOGLOSEMAR : WILAYAH APA ?

Sesuai dengan keinginan kita untuk ‘menggarap’ wilayah JOGLOSEMAR ini

setelah penelitian terpadu di DAS Progo dianggap selesai, maka timbul dalam benak

saya pertanyaan di atas. Tentunya pertanyaan ini hanya merupakan ‘bagian kecil dari

tugas kita’ untuk menjawabnya dalam penelitian-penelitian yang akan dilakukan

nantinya.

Akronim JOGLOSEMAR sebenarnya dengan jelas menunjuk pada tiga kota

besar (bahkan dapat disebut tiga kota terbesar) di wilayah bagian tengah Pulau Jawa :

Jogjakarta (atau Yogyakarta), Solo, dan Semarang. Oleh karena kedudukan geografis

ketiga kota tersebut ‘agak’ berdekatan dan berbentuk segitiga, maka orang sering

mengidentitfikasikan wilayah di sekitar tiga kota ini sebagai Segitiga Pertumbuhan

JOGLOSEMAR atau disingkat SP JOGLOSEMAR. Istilah SP ini memang marak

digunakan dalam kurun lima tahun belakangan ini yang umumnya merujuk pada

aspek pengembangan ekonomi wilayah yang ditimbulkan oleh ‘linkages’ tiga kota

utamanya. Kentalnya muatan ekonomi dalam memandang SP ini disebabkan

kerjasama-kerjasama ekonomi sering dijadikan landasan pembentukan SP (Muta’ali,

1997). Dalam artikel ini saya tidak akan membahas lebih jauh mengenai SP (karena

sudah menjadi bagiannya Sdr. Lutfi Muta’ali dan Sdr. Baiquini), namun cukup bagi

saya untuk mengatakan bahwa konsep SP ini membawa konsekuensi yang berat

namun sekaligus menarik bagi geografiwan untuk terlibat di dalamnya.

Setidaknya ada tiga aspek yang menjadi tantangan geografiwan, yaitu

konseptualisasi, deleniasi, dan kontribusi analisis. Sebagai konsep yang masih relatif

baru, pengertian SP ini masih ‘labil’ sehingga diperlukan ‘manuver-manuver’

geografiwan untuk memperoleh klarifikasikan konsep yang ‘applicable’. Aspek

kedua mungkin bagian yang paling sulit : bagaimana SP ini diberi batas

keruangannya. Sebagaimana halnya dengan diskonsensus persoalan regionalization,

deliniasi SP membutuhkan argumen-argumen yang secara teoritis dan praktis dapat

dipertanggung-jawabkan. Dan untuk aspek yang terakhir diperlukan konsolidasi

pemikiran-pemikiran geografis untuk menjawab tantangan ‘baru’, yang mungkin

relevan dengan pertanyaan : apa bentuk kontribusi geografiwan ?

Page 60: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

PENUTUP : KONTRIBUSI ANALISIS GEOGRAFIS

Immanuel Kant (1724-1804) membagi ilmu pengetahuan menjadi dua :

khusus dan umum. Khusus berarti mempelajari disiplin-disiplin tertentu, seperti

fisika, kimia, biologi, dan sebagainya; sedang untuk yang umum hanya ada dua :

mempelajari sesuatu dalam waktu adalah ilmu sejarah dan mempelajari sesuatu dalam

ruang adalah ilmu geografi (Knox dan Marston, 1998). Jadi, memang sudah sejak

lama pengertian tentang ruang mengakar dalam studi-studi geografis, bahkan secara

ekstrim disebutkan bahwa ‘kajian tentang ruang’ adalah domain ilmu geografi. Jika

ruang geografis secara sempit dapat diartikan sebagai wilayah permukaan bumi, maka

sudah sewajarnya bila geografiwan sangat berkepentingan dengan kajian dinamika

wilayah. Lalu, bagaimana bentuk kontribusinya ?

Sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum geografi tidak mempunyai

objek material khusus (Hinderink, 1981). Bahkan Johnston (1981) menyebutkannya

sebagai “the study of the earth’s suface as the space within which the human

population lives”. Konsekuensinya adalah bahwa segala fenomena yang ada dan atau

terjadi di dalam wilayah dapat dijadikan objek kajian geografis. Sehingga tidak

terlalu keliru bila ada yang beranggapan bahwa geography is what geographers do.

Namun demikian, tidak berarti bahwa ilmu geografi tidak berciri. Seperti yang

tampak dalam gambar 2 studi-studi geografis dikenal sebagai studi yang menaruh

perhatian pada organisasi keruangan (spatial organization) baik lingkungan alamiah

(natural environment) maupun kegiatan-kegiatan manusia (human activities). Di

samping itu, studi-studi geografis juga sangat concern terhadap fenomena yang

ditimbulkan oleh atau proses-proses yang berkaitan dengan hubungan antara manusia

dengan lingkungannya (human – environment relationship). Last but not least, studi

geografi selalu dikenal dengan ‘petanya’ baik sebagai alat analisis maupun sebagai

hasil kajiannya. Kemajuan teknologi fotografi dan kedirgantaraan telah membawa

studi geografi berkembang lebih jauh dengan menggunakan citra penginderaan jauh

dalam mengkaji fenomena di permukaan bumi ini. Bahkan dalam era teknologi

informasi, geografiwan telah berhasil menyumbangkan karya emasnya bagi kemajuan

Page 61: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

ilmu pengetahuan dan pembangunan dunia lewat geographic information system atau

GIS.

Dengan ciri-ciri di atas kontribusi nyata geografi terhadap studi dinamika

wilayah, menurut hemat saya, terletak pada pendekatan-pendekatan atau hampiran-

hampirannnya (approaches) terhadap persoalan-persoalan wilayah (baik teoritis

maupun terapan). Ada tiga pendekatan atau hampiran yang digunakan dalam studi

geografis, yaitu keruangan, ekologi, dan kompleks wilayah (Bintarto dan Surastopo,

1979 ; Hinderink, 1981). Analisa keruangan (baik pola maupun distribusi keruangan)

merupakan pencerminan dari concern studi geografi terhadap organisasi keruangan.

Dalam gambar 2 ditunjukkan bahwa ada lima konsep dasar yang digunakan dalam

analisis keruangan, yakni lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, dan interaksi keruangan

(Knox dan Marston, 1998). Analisa ekologi merupakan pencerminan concern studi

geografi terhadap hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam analisa ekologi

ini, teori ekosistem memegang peranan yang penting (Bintarto dan Surastopo, 1979).

Sedangkan analisa kompleks wilayah yang merupakan paduan dari dua analisa

tersebut sebelumnya sebenarnya merupakan kulminasi studi geografi terhadap

persoalan-persoalan wilayah. Wilayah tidak lagi dilihat dan dihampiri secara

sepenggal-sepenggal, namun sebagai entitas yang utuh, satu kesatuan. Analisa

kompleks wilayah menjadi lebih penting kegunaannya dalam intra-regional analysis

(Bendavid-Val, 1991).

Dengan ketiga pendekatan di atas, respon geografiwan terhadap studi

dinamika wilayah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu studi yang bersifat

teoritis (theoretical) dan studi yang bersifat terapan (applied). Teoritis berarti

berhubungan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengembangan

teori-teori dalam ilmu geografi ; terapan berarti menjawab persoalan-persoalan di

dalam wilayah untuk kegunaan-kegunaan praktis. Seperti yang tampak dalam gambar

1 bahwa persoalan-persoalan wilayah muncul ke permukaan sebagai akibat lanjutan

dari perubahan-perubahan yang terjadi pada unsur-unsur wilayah. Penanganan

persoalan-persoalan wilayah melalui pengembangan kebijakan-kebijakan dan

perencanaan akan menimbulkan persoalan-persoalan baru baik yang diharapkan

Page 62: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

maupun yang tidak, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kembali dinamika

wilayah. Begitu seterusnya, sehingga sesungguhnya peranan geografiwan dalam

mengkaji dinamika wilayah tak ada putusnya : selalu ada persoalan-persoalan baru

yang membutuhkan kontribusi analisis geografis. Timbul pertanyaan : lalu,

bagaimana prakteknya ?

Ada dua hal pokok, menurut hemat saya, yang harus diperhatikan, yaitu

lingkup kajian dan prosedur. Untuk menentukan lingkup kajian dinamika wilayah,

saya merujuk pendapat Bendavid-Val (1991) seperti yang tercantum dalam Tabel 1

dan Tabel 2. Beliau mengembangkan suatu kerangka analisa dalam studi

intraregional yang didasari oleh dua kajian pokok (lihat Tabel 1), yaitu kajian tentang

“economics characteristics of places and the interactions among them” dan “the

overall environment in regional subareas”, yang kemudian dijabarkan ke dalam lima

belas butir analisis (lihat table 2) : (1) Basic statistical compendium; (2) incomes

measures; (3) social accounts; (4) economic composition analysis; (5) natural

resource assassement; (6) linkage investigations; (7) flow studies; (8) friction

analysis; (9) extended commodity trade systems analysis; (10) economic base and

accrual analysis; (11) input-output analysis; (12) rural-urban exchange analysis;

(13) access studies; (14) functional analysis; (15) market center studies. Sedang

untuk prosedur, saya merujuk pendapat Nossin (1982) seperti yang tercantum dalam

Gambar 3. Walaupun sebenarnya gambar tersebut untuk menerangkan langkah-

langkah yang perlu dalam suatu survey / penelitian untuk pembangunan, namun ke-

enam langkah tersebut sesuai dengan kebutuhan dan bentuk penelitian geografis

dalam studi dinamika wilayah. Ke – enam langkah tersebut, menurut hemat saya,

dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok studi yang sifat ‘sequential’, yaitu :

pertama, kelompok studi yang berkaitan dengan pembentukan bank data yang

bersifat komprehensif. Pada tahap ini, segala usaha dan perhatian dari masing-masing

‘interest’ harus dicurahkan pada pembentukan ‘sistem informasi wilayah’ yang

terintegrasi. Dengan demikian, kedudukan dan peranan GIS dalam kajian dinamika

wilayah dapat sebagai ‘alat’ sekaligus ‘tujuan’ analisis. Pada tahap kedua adalah

pemanfaatan sistem informasi wilayah untuk menganalisis persoalan-persoalan

Page 63: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

wilayah. Pada tahap ini tidak diperlukan integrasi masing-masing interest : mengkaji

paling tidak lima belas topik penelitian seperti yang diusulkan oleh Avrom Bendavid-

Val. Dan tahap terakhir adalah keikutsertaan geografiwan dalam menjawab

persoalan-persoalan wilayah, terutama dalam ‘intervensi’ kebijakan dan perencanaan.

Pada tahap ini perlu adanya seleksi persoalan-persoalan wilayah : dipilih persoalan-

persoalan yang benar-benar ‘aktual’ dan ‘krusial’ dan mempunyai ‘dampak penting’

bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengembangan wilayah yang dikaji.

Usulan tiga tahapan tersebut menyiratkan bahwa penelitian dinamika wilayah

sebaiknya dilakukan terpadu dengan melibatkan banyak minat. Di samping itu,

penelitian dinamika wilayah tampaknya juga membutuhkan waktu cukup panjang,

dan disertai dengan perencanaan yang cukup matang agar sasaran dapat dicapai

secara efektif dan efisien.

Bagaimana dengan SP-JOGLOSEMAR ? tentunya perlu kita pikirkan bersama.

Page 64: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

REFERENSI

Bendavid –Val, A.1991. Regional and Local Economic Analysis For Practitioners.

New York : Preager.

Bintarto, R. dan Surastopo H. 1997. Metode Analisa Geografi. Jakarta : LP3ES.

Golledge, R.G. dan Stimson, R.J. 1997. Spatial Behaviour : A Geographic

Perspective. New York : The Guilford Press.

Hinderink, J. 1981. Geography and the Study of Development. The Indonesian

Journal of Geography. Vol. 11 (42) : 9-18.

Johnston, R.J. (eds). 1981. The Dictionary of Human Geography. Oxford : Blackwell.

Johnston, R.J. 1984. The World is Our Oyster. Transactions, Institute of British

Geographers. Vol. 9 : 443-459.

Knox, P.L. 1995. The World Cities and the Organization of Global Space. Dalam

Johnston, R.J. et al. (editors). Geographies of Global Change : Remapping the

world in the late twentieth century. Oxford : Blackwell.

Knox, P.L. dan Agnew J. 1994. The Geography of The World Economy : An

Introduction to Ekonomic Geography. Edisi kedua. London : Edward Arnold.

Knox, P.L. dan Marston, S. A. 1998. Places and Regions in Global Context : Human

Geography. New Jersey : Prentice Hall.

Muta’ali, Lutfhi. 1997. Tinjauan Geografis Segitiga Pertumbuhan Dalam

Pembangunan Wilayah. BEM Fakultas Geografi-UGM, Yogyakarta.

Page 65: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Gambar 1.Proses Dinamika Wilayah

AGEN PERUBAHAN

Alam (iklim,bencana,

PENGAMBILAN KEPUTUSAN(politik,sosial,ekonomi:publik,perusahaan,kelompok, perorangan)

Page 66: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

TAHAPAN PERKEMBANGAN WILAYAH

Pada dasarnya perkembangan wilayah tidak akan berlangsung secara serentak

dan bersamaan dengan intensitas yang sama, namun melalui tahapan-tahapan atau

gradasi. Teori tahapan ini pada dasarnya adalah kelanjutan dari pertumbuhan wilayah.

Disamping dikaji faktor-faktor penentu perkembangan wilayah, kemajuan suatu

wilayah juga dapat diidentifikasi dari tahapan perkembangan. Teori tahapan ini sering

juga disebut teori transformasi sektor, hal ini disebabkan perkembangan wilayah

biasanya memiliki keterkaitan yang erat dengan perubahan atau pergeseran sektor.

Berikut penjelasannya.

1. Teori Pentahapan Perspektif Klasik

Pertumbuhan ekonomi wilayah selalu diikuti relokasi sumberdaya dan

transformasi ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari variabel struktur ekonomi, tenaga

kerja, dan pergeseran sektoral. James Stuart dan Adam Smith menjelaskan 3

tahapan, yaitu :

1) Tahap dominasi pertanian, yang menentukan perkembangan dan

distribusi penduduk, memunculkan sektor pendukung

2) Kegiatan ekonomi beragam, khususnya jasa dan perdagangan, yang

mendukung pertanian

3) Industrialisasi, untuk peningkatan produktivitas dan memenuhi

kebutuhan. Khusus sektor perdagangan Smith, menekankan adanya

inter dan intra region. Dalam bahasa sekarang, hal di atas sering

disebut Transformasi Sektoral.

Friedrich List (1844), mengungkap tentang lima tahap perkembangan wilayah

(masyarakat) yaitu :

1) Kehidupan masyarakat primitif

2) Perkebunan

3) Pertanian

4) Pertanian dan manufaktur

5) Pertanian dan perdagangan

Page 67: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Hildebrand (1864) berdasarkan hubungan pertukaran ada (1) barter, (2)

ekonomi uang, (3) ekonomi kredit. Bucker (1893) berdasarkan transaksi

ekonomi: ekonomi rumah tangga (konsumsi dan produksi terbatas), ekonomi

kota (produksi umum), dan ekonomi nasional (produksi dan distribusi). Gras

(1922) mendasarkan pada ekonomi spasial, mengelompokkan dalam lima

tahapan, yaitu (1) ekonomi nomaden, (2) ekonomi perdesaan, (3) ekonomi

perkotaan, (4) ekonomi nasional, (5) ekonomi global. Sebelumnya tokoh sosialis

terkemuka Karl Marx, membagi tiga lembaga ekonomi, yaitu feodalisme,

kapitalisme, dan sosialisme.

Secara sederhana berdasarkan beberapa tahapan tersebut di atas, suatu

wilayah dapat dinilai tingkat perkembangannya, tentunya dengan mendasarkan

variabel penilainya. Intinya apakah masih pada tahap awal perkembangan,

proses, atau tahapan lanjutan.

Page 68: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

2. Teori Tahap Tinggal Landas

Perlu dijelaskan tersendiri karena Indonesia beberapa periode yang lalu kental

dengan pentahapan ini (mafia Barkeley, wijojo Nitisastro Cs arsitek

pembangunan Indonesia). Pencetusnya adalah WW Rostow (1960), yang

mengelompokkan tahapan pembangunan dalam lima tahap:

1) Masyarakat Tradisional, berciri statis dan didominasi kegiatan pertanian

(subsistem).

2) Masa Persiapan, dicirikan adanya perubahan kekakuan tradisional dimana

telah terjadi mobilitas sosial, geografi, pekerjaan. Selain itu fungsi

produksi pertanian dan industri telah berkembang meskipun lambat.

3) Masa Tinggal Landas, dicirikan adanya investasi mencapai 10 % dari

pendapatan wilayah, muncul kegiatan manufaktur “leading and propulsive

industry”, butuh modal skala besar, ada kerangka kerja yang jelas (sosial,

politik, kelembagaan).

4) Masa Pendewasaan, dicirikan investasi meningkat hingga 20 % dari

pendapatan wilayah, efisiensi sektor unggulan (spesialisasi), penduduk

dan pendapatan perkapita meningkat.

5) Konsumsi Masyarakat Tinggi, dicirikan sektor unggulan bergerak ke

barang konsumsi dan jasa, pola konsumsi dan produk non basic

membesar, pendapatan tinggi.

Perkembangan tidak mesti sulit, tetapi bis ameloncat.

Page 69: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

3. Teori Transformasi Sektoral

Dikemukakan pertama kali oleh Alan Fisher dengan mengenalkan sektor

primer, sekunder, dan tersier. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara

pertumbuhan ekonomi wilayah dengan perubahan sektoral dan transformasi

penduduk (secara spasial). Perkembangan wilayah akan selalu diiringi (ditandai)

dengan pergeseran peran atau dominasi dari (1) sektor primer, pertanian dan

pertambangan, (2) sektor sekunder, manufaktur dan konstruksi, (3) sektor tersier,

seperti perdagangan dan jasa. Perubahan ini tidak hanya dari struktur pendapatan

regional, tetapi juga perubahan struktur tenaga kerja.

Sebagai contoh pada tahapan industrialisasi (modifikasi dari Rostow), (1) non

industrialisasi, jika sumbangan PDB sektor industri terhadap pendapatan nasional

atau wilayah < 10%; (2) menuju industrialisasi, antara 10-20%; (3) semi

industrialisasi, antara 20-30%, dan (4) industrialisasi penuh, jika PDB sektor

industri mencapai lebih dari 30%.

Kuznet, berdasarkan perubahan sektoral menemukan perkembangan wilayah

melalui tahap :

1) Ekonomi subsistem yang swasembada

2) Spesialisasi pada kegiatan primer dan perdagangan antar wilayah

3) Introduksi kegiatan industri

4) Diversifikasi industrialisasi

5) Spesialisasi industri jasa

Selain itu dikemukakan, wilayah disebut maju jika tingkat pengeluaran dan

pendapatan tinggi, produktivitas tinggi, transformasi struktur ekonomi cepat,

kecenderungan ekspor.

Page 70: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

4. Teori Transformasi Spasial (Tinjauan Geografi)

Aspek spasial atau keruangan, yang menjadi penciri geografi adalah wujud

spasial dari ekonomi wilayah. Dengan kata lain transformasi sektoral akan

berakibat kepada transformasi spasial. Transformasi spasial dapat dilihat dari

perubahan landuse (konversi lahan), ciri-ciri kekotaan (kepadatan, kawasan

terbangun, fasilitas, proporsi pekerja non pertanian), serta sistem kota-kota,

dimana ada perubahan dari kota kecil-menengah-besar-metropolitan-mega urban.

Kota besar (metropolitan), kota menengah (secondary city) dan kota kecil

(small city). Atau core-semi perypheri-perypheri.

Dari berbagai uraian di atas, belum terjelaskan tentang ttransformasi spasial

(geografi) yang terjadi. Apakah perlu muncul tersendiri ataukah cukup implisit

dalam uraian di atas. Sebagai misal teori pentahapan geografis. Berikan

penjelasan, tentang Tahapan Perkembangan Wilayah dalam Perspektif

Geografis!

Page 71: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

PERTUMBUHAN WILAYAHBAGIAN – V

Page 72: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

TEORI PERTUMBUHAN WILAYAH

Perencanaan pengembangan wilayah berkaitan erat dengan upaya

peningkatan kinerja (intra regional) wilayah dan keseimbangan perkembangan antar

wilayah (interregional). Untuk memahami secara lebih baik terhadap dua topik

tersebut perlu diperbincangkan teori tentang pertumbuhan wilayah. Hakekat

pembangunan nasional termasuk pengembangan wilayah adalah bagaimana memacu

pertumbuhan wilayah, dan menyebarkannya (growth with equity) secara lebih merata

sehingga dapat mensejahterakan masyarakat yang ada di dalamnya. Berikut akan

dijelaskan beberapa teori pertumbuhan wilayah.

1. Teori Resources Endowment atau Resource Base

Teori ini dikemukakan oleh Harver Perloff dan Lowdon Wingo, Jr. (1961)

dalam tulisannya Natural resources Endowment and regional economic growth.

Menerangkan perkembangan wilayah di Amerika yang berlangsung 3 tahap,

yaitu : (1) tahap perkembangan pertanian (- 1840), daerah berkembang adalah

wilayah pertanian dan pelabuhan (pusat); (2) tahap perkembangan pertambangan

(1840-1950), besi dan batubara, memiliki forward linkages yang lebih luas dari

sektor pertanian; (3) tahap perkembangan amenity resource atau service.

Pertumbuhan wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumberdaya dan

kemampuannya untuk memproduksinya, untuk keperluan ekonomi nasional dan

ekspor. Dengan kata lain wilayah memiliki Comparative Advantages terhadap

wilayah lain (spesialisasi). Kegiatan ekspor akan memperluas permintaan dan

efek multiplier yang berpengaruh pada dinamika wilayah. Sumberdaya yang baik

adalah : (1) mensupport produksi nasional, (2) memiliki efek backward and

forward linkages yang luas, (3) efek multiplier, yaitu kemampuan meningkatkan

permintaan produksi barang dan jasa wilayah. Permintaan merupakan fungsi dari

jumlah penduduk, pendapatan, struktur produksi, pola perdagangan, dll.

Page 73: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

2. Teori Export Base atau Economic Base

Teori ini dikemukakan Douglass C. North tahun 1964, merupakan perluasan

dari teori resources endowment. Teori ini mengatakan bahwa sektor ekspor

berperan penting dalam pertumbuhan wilayah, karena sektor impor dapat

memberikan kontribusi yang penting, tidak hanya kepada ekonomi wilayah tapi

juga ekonomi nasional. Kalau teori pertama lebih berorientasi pada inward

looking (strategi ke dalam), maka teori ekspor base mengandalkan pada kekuatan

permintaan eksternal (outward looking). Wilayah dengan tingkat permintaan

yang tinggi akan menarik investasi (modal) dan tenaga kerja.

Kegiatan ekspor akan mempengaruhi keterkaitan ekonomi ke belakang

(kegiatan produksi) dan ke depan pada sektor pelayanan (service). Dengan kata

lain, kegiatan ekspor secara langsung meningkatkan pendapatan faktor-faktor

produksi dan pendapatan wilayah. Syarat utama bagi pengembangan teori ini

adalah sistem wilayah terbuka, ada aliran barang, modal, teknologi antar wilayah,

dan antara wilayah dengan negara lain.

Page 74: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

3. Teori Pertumbuhan Neoklasik

Teori ini dikembangkan dan banyak dianut oleh ekonom regional dengan

mengembangkan asumsi Neoklasik. Tokohnya adalah Harry W. Richradson

(1973) dalam bukunya Regional Economic Growth. Teori ini mengatakan bahwa

pertumbuhan wilayah tergantung tiga faktor yaitu tenaga kerja, ketersediaan

modal (investasi), dan kemajuan teknologi (eksogen, terlepas dari faktor investasi

dan tenaga kerja). Semakin besar kemampuan wilayah dalam penyediaan 3 faktor

tersebut, semakin cepat pertumbuhan wilayah.

Selain tiga faktor di atas, teori ini menekankan pentingnya perpindahan

(mobilitas) faktor produksi, terutama tenaga kerja dan modal (investasi) antar

wilayah, dan antar negara. Pola pergerakan ini memungkinkan terciptanya

keseimbangan pertumbuhan antarwilayah (ingat paradigma keseimbangan

regional-red).

Sebagai entitesis dari teori Neoklasik-yang percaya adanya keseimbangan

wilayah muncul teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah, yang intinya

“tidak percaya pada mekanisme pasar, karena akan semakin memperburuk

ketimpangan wilayah” (ingat paradigma ketidakseimbangan regional-red).

Mryrdall adalah tokohnya, melalui Teori Penyebab Kumulatif atau Cummulative

Caution Theory yang mengungkapkan 2 kekuatan yang bekerja pada proses

pertumbuhan wilayah, yaitu efek sebar (spread effect) yang bersifat positif, dan

efek balik yang negatif (backwash effect). Efek kedua lebih besar disbanding

yang pertama.

Pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh peningkatan produktifitas

(merupakan output dari 3 faktor Neoklasik). Kuncinya adalah produktifitas,

selanjutnya berpengaruh terhadap ekspor wilayah. Semakin tinggi produktivitas

semakin berkembang, sehingga wilayah lain akan sulit bersaing. Pentingnya

produktifitas ini juga digunakan untuk menjelaskan siklus kemiskinan, yang

berawal dari (1) produktifitas rendah, (2) kemiskinan, (3) pendapatan rendah, (4)

tabungan, (5) kekurangan modal (investasi), kembali ke no (1), dan seterusnya.

Page 75: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

4. Teori Baru Pertumbuhan Wilayah

Teori ini percaya pada kekuatan teknologi (sebagai faktor endogen) dan

inovasi sebagai faktor dominan pertumbuhan wilayah (untuk meningkatkan

produktifitas). Kuncinya adalah investasi dalam pengembangan sumberdaya

manusia dan research and development. Teknologi tinggi dan inovasi yang

didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas dan riset dan pengembangan

adalah syarat meningkatkan pertumbuhan wilayah. Pengalaman di negara lain

(maju) menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor di atas, maka perkembangan

wilayah semakin cepat.

Termasuk dalam lingkup teori ini adalah dimasukkannya variabel-variabel

non ekonomi dalam Model Ekonomi Makro (baca : Sadono Sukirno, 1989),

dimana dijelaskan bahwa :

Output Regional = f (K, L, Q, Tr, T, So), dimana K adalah

Kapital/Modal/Investasi, L=Tenaga Kerja, Q=Tanah (sumberdaya),

Tr=Transportasi, T=Teknologi, So=Sosial Politik.

Dari berbagai faktor di atas, dimanakah posisi variabel geografis, seperti

lokasi, lokasi, jarak, ruang, aksesibilitas, site, situation, dan interaksi. Kenapa

variabel ini tidak muncul secara eksplisit. Berikan penjelasan, tentang Variabel

Geografis dan Perkembangan Wilayah ! (tugas).

Page 76: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

5. Teori Pertumbuhan Wilayah Perspektif Geografi

Pertumbuhan wilayah dipengaruhi oleh faktor internal wilayah (sumberdaya)

dan faktor eksternal, khususnya hubungan wilayah tersebut dengan wilayah-

wilayah lain.

a. Unsur Internal (Intarregional) in situ, terdiri dari unsur sumberdaya

(alam, manusia, buatan), Historis, Lokasi (letak) site and situation, agen

perubahan, pengambilan keputusan.

b. Unsur Exsternal (Interregional) ex situ, terdiri dari interrelasi dengan

wilayah lain (interaksi, interdependensi), posisi wilayah tersebut terhadap

wilayah lain.

Page 77: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

BAHAN AJAR ILMU WILAYAH

MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH

BAGIAN – VI

Page 78: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

THREE MODELS OF REGIONAL DEVELOPMENT

1. Growth Poles

Exchange Economy

Development Through Concentrated investment

Export From Growth Poles

Aglomeration In Urban Center

2. Functional Integration

Exchange Economy

Development Through Dispersed Investment

Linkages To Other Region

Hirarki Dan Fungsi Pusat-pusat Sekunder

3. Decentalized Territoral

Use Economy

Development From Locally Dispersed Investment

Selective Closure

Gambar

Page 79: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

tabel

Page 80: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH

Dalam perspektif doktrin pengembangan wilayah muncul beberapa alternatif

strategi. Dalam tulisan ini dibahas empat strategi, yaitu : (1) strategi kutub

pertumbuhan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan dari atas “development

from above”); (2) strategi agropolitan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan

dari bawah “development from below”); (3) strategi pengembangan ruang terintegrasi,

yang memadukan sektor perkotaan dan perdesaan; dan (4) strategi pengembangan

kota-kota kecil (dalam perspektif dekonsentrasi planologis). Empat alternatif strategi

tersebut mewakili beberapa aspek perdebatan pembangunan wilayah yang secara

umum mengalir dalam lima pokok perdebatan dikotomis, antara lain : (1) perkotaan-

perdesaan; (2) industri pertanian; (3) sentralisasi-desentralisasi sampai otonomi; (4)

pembangunan atas bawah; sampai (5) strategi pertumbuhan dan pemerataan. Secara

lebih detil keempat strategi tersebut diuraikan pada bagian berikutnya.

1. MODEL KUTUB PERTUMBUHAN

Growth poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh

Francois Perroux (1950). Dengan tesisnya : “…..Pertumbuhan tidak terjadi di

sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan

terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang

berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu menyebar sepanjang saluran yang beraneka

ragam dan dengan pengaruh yang dinamis terhadap perekonomian wilayah”.

Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini

merupakan suatu konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang.

Untuk menjelaskan pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang

abstrak” atau ruang dalam pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan

kekuatan ekonomi.

Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan

kekuatan ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (Focii)

Page 81: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

memiliki gaya sentrifugal yang memiliki kekuatan untuk ‘mendorong’ dan gaya

sentripetal yang memiliki kekuatan untuk ‘menarik’. Setiap pusat mempunyai

daya tarik dan daya tolak dalam suatu medan daya tarik dan daya dorong

bersama dengan pusat-pusat lainnya. Dengan pengertian ini berarti suatu Growth

poles akan berperan memacu (menarik dan mendorong) perkembangan ekonomi

di wilayah pengaruhnya.

Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi

medan magnet adalah kegiatan industri. Menurutnya, untuk mencapai

pertumbuhan yang mantap dan berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada

sektor-sektor tertentu yang unggul (leading sectors). Dalam perkembangan

selanjutnya akan terjadi suatu proses seleksi alam sehingga suatu sektor akan

makin penting, sementara sektor lainnya justru menghilang. Proses seleksi ini

terkait dengan mekanisme pasar dan inovasi wirausahawan yang sangat penting

dalam proses pembangunan (Hansen, 1981 : 19). Industri- industri dan kegiatan-

kegiatan yang akan berkembang dan membentuk kutub pertumbuhan tersebut

memiliki beberapa ciri sebagai Leading Industries dan Propulsive Industries,

antara lain :

Karakteristik Leading Industries :

1. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang

menginjeksikan iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah.

2. Permintaan terhadap produknya memiliki elastisitas pendapatan yang

tinggi, produk tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

3. Mempunyai berbagai kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor

lainnya (input dan output). Kaitan-kaitan ini dapat bersifat forward

maupun backward.

Karasteristik Propulsive Industries :

1. Relatif besar.

2. Tingkat dominasinya tinggi, yaitu kebalikan dari tingkat ketergantungan

industri lain terhadap industri tersebut.

3. Menimbulkan dorongan-dorongan yang nyata kepada lingkungannya.

Page 82: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

4. Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi. Termasuk dalam suatu

industri yang sedang bertumbuh dengan cepat.

Implikasi spasial dari konsep kutub pertumbuhan diperkenalkan oleh

Boudeville (1966) yang mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai

aglomerasi geografis ‘sekelompok’ industri propulsive yang mengalami

ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong

perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh wilayah pengaruhnya.

Melalui efek kumulatif. Kemampuan suatu industri untuk menyebarkan

pertumbuhan tersebut tergantung pada ‘multiplier effect’ yang berhubungan

dengan faktor-faktor input-output antar industri, misalnya efek ganda dari tenaga

kerja dan output pendapatan.

Dalam kutub pertumbuhan terdapat kecenderungan terkonsentrasinya kegiatan

ekonomi pada titik tertentu karena adanya faktor saling keterkaitan dan

ketergantungan aglomerasi (Munir, 1984 : 38). Konsentrasi dan

kesalingketerkaitan merupakan faktor penting dalam setiap pusat pertumbuhan

karena melalui faktor ini ongkos produksi, termasuk transportasi pada kegiatan-

kegiatan industri dapat diturunkan (aspek kesamaan bahan dan pasar). Ada tiga

keuntungan aglomerasi, yaitu : Skala ekonomi (scale economies), Localization

economies dan Urbanization economies. Hal ini berarti bahwa jika kegiatan

ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat

tertentu, maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan akan dapat

ditingkatkan dibandingkan kalau industri tersebar dan terpencar ke seluruh

pelosok wilayah.

Pengembangan wilayah melalui konsep ini secara nyata akan terlihat dari

perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan suatu

wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan

berbeda dan saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk

suatu pola kota yang hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi

proses penyebaran kemajuan antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya

berlangsung dalam beberapa cara, yaitu (Munir, 1984 : 39) :

Page 83: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

1. Perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat

terbesar kepada yang kecil;

2. Perpindahan kegiatan berupa rendah dari pusat yang besar ke pusat yang

lebih kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;

3. Memberikan alternatif lokasi yang lebih baik untuk kegiatan industri yang

mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga

operasinya lebih efisien;

4. Dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melalui hirarki.

Friedman memperkaya konsep Growth Poles ini dengan mengemukakan

konsep Center -Periphery (pusat-pinggiran). Pengembangan wilayah menurut

konsep Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang

menjadi inti (Core) dari sistem kota-kota nasional dan pinggiran (periphery)

yang berada di luar serta bergantung pada inti. Perkembangan disebarkan dari

inti ke pinggiran melalui pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagai

inti berpengaruh atas wilayah pinggirannya.

Hubungan antara core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan

dengan dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ‘Spread Effect’

dan efek serap balik ‘Backwash Effect’.

Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core

membutuhkan input bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-

output). Sebaliknya ‘Backwash Effect’ terjadi jika industri propulsive tertentu,

cenderung hanya akan menarik modal dari daerah sekitarnya sehingga output

akan lebih tinggi. Menurutnya, Backwash Effect akan menjadi lebih kuat dari

Spread Effect yang ditandai dengan adannya penyerapan ekonomi wilayah

sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut, yang berakibat

kesenjangan wilayah.

Hirscman (1958) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada pusat

pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi

atau ‘polarization Effect’ dan efek penetasan ke bawah (Trickling Down Effect).

Page 84: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Polarization effect tersebut diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada

pusat pertumbuhan, sedangkan Trickling Down Effect dapat tumbuh dengan cara

meningkatnya daya tarik wilayah sekitarnya. Hirschman lebih optimis, sehingga

Trickling Down Effect lebih besar disbanding Polarization Effect. Kuncinya

adalah komplementaritas.

POSITIP : GROWTH POLE

1. Konsep kutub pertumbuhan memmberikan peluang untuk mendekatkan dua

cabang penting dalam analisis regional yaitu analisis mengenai pertumbuhan

ekonomi regional dan analisis struktur ruang regional.

2. Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan

pengembangan teknik-teknik analisis seperti analisis input-output, analisis

aglomerasi, dan sebagainya.

3. Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi

intervensi oleh pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan

investasi bagi pembangunan daerah.

NEGATIP : GROWTH POLE

1. Kerangka permasalahan dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan

cenderung tidak melihat problem spesifik wilayah, khususnya wilayah

perdesaan yang didominasi sektor pertanian.

2. Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik (backwash effect) sering bekerja

lebih cepat daripada efek pemancaran (spread effect), sehingga kesenjangan

wilayah semakin melebar. Kondisi ini terjadi karena (a) kurang jelasnya

hirarki kota-kota; (b) wilayah pinggiran tidak memiliki kekuasaan untuk

mengendalikan sumberdayanya (Firman, 1989 : 14-18).

3. Rendahnya kapasitas penyerapan tenaga kerja karena industri yang

dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan merupakan industri padat modal,

sehingga kenaikan dalam kapasitas produksi tidak menciptakan kesempatan

kerja yang seimbang.

Page 85: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

4. Konsep ini tidak mempertimbangkan hubungan dualisme sektoral, antara

sektor informal-formal atau perkotaan-perdesaan dalam pengembangan

wilayah.

2. MODEL DECENTRALIZED TERRITORIAL (Strategi Agropolitan) :

Muncul sebagai respon kegagalan development from above, seperti kutub

pertumbuhan. Menurut strategi ini pengertian pembangunan tidak hanya kemajuan

ekonomi yang sentralistik, tetapi memberikan kesempatan bagi individu-individu,

kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk ‘memobilisasi’

kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini

menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan

dinamis di wilayah-wilayah (pedesaan) yang relative terbelakang. Dengan

demikian strategi ini lebih berpihak kepada daerah perdesaan. Pembangunan di

suatu wilayah harus berdasarkan pada mobilisasi sumberdaya alam,

sumberdaya manusia, dan institusi lokal yang berkembang di wilayah

tersebut.

Alas an munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari

bawah antara lain :

Kegagalan startegi development from above, yang berakibat pada

ketimpangan wilayah, karena terkonsentrasi pada program pembangunan

skala besar (large scale);

Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses

penerapan strategi pembangunan.

Konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri

dengan mempertimbangkan sumberdaya lokal dan partisipasi.

Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam memnbentuk pola interaksi

ekonomi antar wilayah. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah (value

added).

Page 86: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Agropolitan merupakan pendekatan pengembangan wilayah yang

menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan

dinamis di wilayah-wilayah pedesaan dan wilayah ynag relatif terbelakang. Dalam

pendekatan agropolitan upaya untuk memercepat pembangunan di perdesaan

dlakukan dengan memasukkan kegiatan non primer seperti industri, perdagangan,

jasa dan lain-lain, yang menunjang perkembangan sektor pertanian. Hal ini berarti

bahwa agropolitan adalah suatu wilayah pertanian yang struktur perekonomiannya

tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian. Sektor non pertanian yang

dikembangkan ialah sektor industri yang memliki linkages secara langsung, yaitu

menghasilkan alat pertanian dan mengolah hasil pertanian (agroindustri). Untuk

menunjang pemasaran, dikembangkan pula pemasaran, dikembangkan pula sektor

perdagangan dan jasa. Dalam konteks ruang (Friedmann, 1976 : 37), perlu

ditentukan satuan-satuan ruang yang lebih besar dari unit desa sebagai dasar bagi

pembangunan desa yang progresif. Dan menata perencanaan dan pembangunan

atas dasar wilayah (territorial).

TUJUAN AGROPOLITAN

1. Mengubah wilayah perdesaan dengan memperkenalkan kegiatan-kegiatan non

primer dan gaya hidup kota (urbanism life) yang telah disesuaikan dengan

lingkungan pedesaan. Mobilitas penduduk ke kota menjadi berkurang dan terjadi

akumulasi modal di pedesaan.

2. Membentuk ruang sosial-ekonomi dan politik antar desa sehingga membentuk

kesatuan ruang yang lebih luas yang dinamakan distrik agropolitan (agropolitan

district);

3. Menyeimbangkan pendapatan desa dan kota dengan memperbanyak kesempatan

kerja produktif dan memadukan kegiatan-kegiatan pertanian dengan kegiatan non

pertanian;

4. Menggunakan tenaga kerja secara efektif dengan memanfaatkan sumberdaya

alam termasuk peningkatan hasil pertanian, peningkatan industri yang berkaitan

Page 87: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

dengan pertanian (agroindustri), memperluas pemberian jasa-jasa untuk perdesaan

dan pembangunan sarana dan prasarana;

5. Merangkai distrik agropolitan menjadi jaringan regional, dengan cara membangun

dan memperbaiki sarana untuk menciptakan hubungan antar wilayah agropolitan

dan antara wilayah agropolitan dengan kota-kota yang lebih besar;

6. Memberikan otonomi pada aparat pemerintah di wilayah agropolitan sehingga

mereka dapat merencanakan pembangunan berdasarkan sumberdaya wilayahnya

sendiri.

7. Memperbaiki sistem keuangan termasuk memperbaiki nilai tukar barang-barang

antara desa dan kota sehingga tercipta kesesuaian harga yang saling

menguntungkan.

KUNCI STRATEGI AGROPOLITAN

1. Wilayah agropolitan tersebut harus merupakan wilayah tertutup. Hal ini terkait

dengan kebijaksanaan untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dan melawan

sistem perdagangan bebas dan mekanisme pasar yang eksploitatif. Melalui

perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspresi kemampuan masyarakat untuk

mengembangkan wilayah dengan kemampuannya sendiri (self reliance);

2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan wilayah tersebut

sehingga terjadi akumulasi perkembangan di dalam wilayah itu sendiri;

3. Aksesibilitas penduduk yang sama terhadap kekuatan sosial dan faktor produksi.

Basis untuk akumulasi kekuatan sosial ini diantaranya ialah aset produktif dari

faktor produksi seperti tanah, air, dan alat produksi lainnya, sumberdaya finansial,

informasi, pengetahuan dan keterampilan, organisasi sosial-politik.

Pemerintah memainkan beberapa peranan yang penting. Pertama, bertindak

sebagai pelindung terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar wilayah yang

Page 88: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

bersifat ‘menghisap’ kekayaan ekonomi wilayah yang bersangkutan (local economic).

Kedua, berperan di dalam mengkoordinasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional

untuk pertumbuhan struktural dan pertumbuhan, dan mengembangkan proyek-

proyek yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi wilayah

agropolitan. Ketiga, mendukung wilayah agropolitan untuk merealisasikan proyek-

proyek pembangunan berdasarkan sumberdayanya. Keempat, menjaga supaya

perubahan-perubahan kemajuan tidak merusak sistem sosial yang ada di masyarakat

wilayah agropolitan. Kelima, menyebarkan kemajuan dengan mengalirkan kelebihan

sumberdaya di suatu bagian wilayah ke bagian wilayah lainnya yang relatif

kekurangan (Friedmann, 1979 : 203).

KRITIK STRATEGI AGROPOLITAN

Pemutusan hubungan antara sektor perkotaan dengan perdesaan, karena khawatir

akan terjadinya eksploitasi (tidak melihat segi positif perkotaan).

Sistem wilayah tertutup hampir mustahil dilakukan.

Dikaitkan dengan kewenangan daerah, pendekatan ini menyarankan otonomi

daerah yang seluas-luasnya oleh masyarakat setempat sulit diterapkan.

3. MODEL INTEGRASI SPASIAL (FUNCTIONAL SPATIAL

INTEGRATION)

Strategi integrasi spasial merupakan jalan tengah antara pendekatan

sentralisasi yang menekankan pertumbuhan pada wilayah perkotaan

(metropolitan) dan desentralisasi yang menekankan penyebaran investasi dan

sumberdaya pembangunan pada kota-kota kecil dan pedesaan. Dengan argument

ini Rondinelli menganjurkan pembentukan sistem spasial yang mengintegrasikan

pembangunan perkotaan dan pedesaan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan

suatu jaringan produksi, distribusi dan pertukaran yang mantap mulai dari desa-

kota kecil-kota menengah-kota besar (metropolitan).

Page 89: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi

sistem pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik

fungsionalnya, maka pusat-pusat tersebut akan dapat memacu penyebaran

pembangunan wilayah (Rondinelli, 1983 : 4). Pendekatannya adalah memacu

perkembangan sektor pertanian yang diintegrasikan dengan sektor industri

pendukungnya. Berdasarkan asumsi tersebut, sasaran dari strategi ini adalah

meningkatkan produksi pertanian, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan

pendapatan bagi sebagian besar penduduk, terutama penduduk yang berada di

bawah garis kemiskinan.

Dengan perhatian utama pada sektor pertanian, maka pendekatan ini juga

menjelaskan pentingnya transformasi pola pertanian subsistem menjadi pertanian

komersialisasi dalam pengembangan wilayah. Peningkatan produktivitas harus

diikuti oleh pengembangan sektor industri yang seimbang sehingga kelebihan

tenaga kerja sektor pertanian dapat tertampung. Aktivitas pengolahan dan

distribusi produk pertanian harus mantap dan industri harus dikembangkan untuk

menghasilkan input-output produksi yang berharga murah bagi petani. Pada tahap

selanjutnya dikembangkan berbagai prasarana dan sarana untuk memenuhi

kebutuhan dasar (basic needs) penduduk pedesaan seperti sarana kesehatan dan

pendidikan.

Untuk mendukung perkembangan pertanian sehingga nilai komersial produk

pertanian meningkat di pedesaan, maka permukiman-permukiman harus

membentuk suatu sistem yang terintegrasi sehingga pelayanan sarana dan

prasarana dapat berlokasi secara efisien dan penduduk perdesaan memiliki akses

yang baik terhadap sarana tersebut, sehingga mampu diakses oleh semua lapisan

masyarakat perdesaan. Tanpa akses terhadap pusat-pusat pasar, yang terintegrasi

maka penduduk pedesaan (petani) akan mengalami kesulitan di dalam pemasaran

hasil pertanian, sulit mendapatkan input-output produksi, modernisasi pola-pola

pertanian, penyesuaian produk terhadap selera pasar (konsumen) dan

Page 90: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

mendapatkan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas

hidup di pedesaan (Rondinelli, 1983 : 5).

SISTEM PERMUKIMAN YANG TERINTEGRASI DAN HIRARKIS

Menurut Brian Berry dalam Rondinelli (1983) seiring dengan pertumbuhan

ekonomi suatu wilayah maka pusat-pusat (central places yaitu permukiman-

permukiman yang juga melayani penduduk di sekitarnya) akan menyebar dan

membentuk suatu sistem yang terintegrasi. Pusat-pusat yang diarahkan berdasarkan

pendekatan ini haruslah merupakan pusat-pusat yang terintegrasi secara hirarki.

Dengan demikian perlu diciptakan suatu sistem yang dapat mengintegrasikan pusat-

pusat pelayanan, perdagangan dan produksi yang berhirarki. Adanya integrasi ini

akan memberikan berbagai manfaat baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di

sekitar pusat tersebut. Fisher dan Rusthon (dalam Rondinelli, 1983 : 5-6)

mengemukakan barbagai manfaat tersebut yaitu :

1. Efisien bagi konsumen karena berbagai kebutuhan dapat dipenuhi dalam satu kali

pepergian (trip) keluar dari desanya.

2. Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan

antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai alternatif jalur hubungan

(link) sehingga dapat diketahui jalur hubungan yang paling penting dan

kemampuan pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat

dimanfaatkan secara optimal;

3. Mengurangi panjang jalan yang memerlukan peningkatan karena jalur yang

paling penting bagi setiap desa diketahui sehingga dapat ditentukan prioritas

pengembangan jaringan jalan;

4. Dengan keuntungan aglomerasi, biaya penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan

bagi fasilitas-fasilitas akan dapat dikurangi karena biaya tersebut akan ditanggung

secara bersama;

5. Karena berbagai fasilitas tersebut berada di lokasi yang sama maka upaya untuk

memonitoring berbagai aktifitas di pusat tersebut menjadi lebih mudah;

Page 91: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

6. Memudahkan interaksi antar individu termasuk pertukaran informasi yang akan

berguna dalam proses modernisasi;

7. Lokasi-lokasi yang memiliki keunggulan akan dapat berkembang secara spontan

sebagai respon terhadap kebutuhan wilayah belakangnya (hinterland).

Dalam aktualisasinya pengembangan pusat-pusat tersebut merupakan

pengembangan sistem permukiman, sehingga pendekatan ini memberikan perhatian

utama pada penataan sistem permukiman sehingga terintegrasi dalam ruang.

Suatu sistem permukiman yang terintegrasi akan memberikan akses yang potensial

bagi penduduk di seluruh wilayah terhadap pasar yang beragam, berbagai fasilitas

perkotaan dan input yang berguna bagi pengembangan pertanian. Penyebaran

konsentrasi investasi di permukiman yang mempunyai ukuran dan karakteristik yang

berbeda merupakan salah satu elemen penting dalam pendekatan ini. Penyebaran

investasi di permukiman-permukiman yang berjenjang ini menurut Rondinelli dan

Ruddle akan memberikan manfaat yakni (Rondinelli, 1983 : 7-8) :

1. Dengan adanya efek pemancaran (speed effect) dan skala ekonomi (economic of

scale), pusat-pusat diharapkan dapat berperan dalam menyebarkan kemajuan bagi

penduduk di sekitarnya (daerah hinterland);

2. Menata ekonomi pedesaan melalui mekanisme ekonomi (penawaran dan

permintaan), sistem administrasi, dan sistem pelayanan sehingga kesempatan

kerja dapat tercipta dan semakin beragam;

3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya individu-individu yang kreatif

dan inovatif;

4. Investasi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk tujuan wilayah dan

menciptakan keunggulan komparatif lokasi dari pusat-pusat;

5. Meningkatkan permintaan berbagai fasilitas pelayanan dan infrastruktur baru

sehingga pertumbuhan wilayah dapat terus dipacu.

6. Menciptakan interaksi (fisik-ekonomi) antar berbagai permukiman dan antara

permukiman dengan wilayah belakangnya yang akan meningkatkan aksesibilitas

tempat pusat;

Page 92: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

7. Menarik aktivitas sosial-ekonomi yang berhubungan sehingga dapat membentuk

pasar baru bagi berbagai komoditi wilayah.

Dengan adanya hirarki dan spesialisasi fungsi masing-masing sistem

permukiman di atas maka diharapkan terjadi keterkaitan yang dapat mendorong

pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dan pembukaan lapangan kerja terutama di

sektor non pertanian. Dengan demikian arahan pengembangan pusat-pusat

permukiman harus berada dalam kerangka pengembangan kegiatan sosial-ekonomi

yang akan dikembangkan (berkembang) di suatu wilayah. Karena sektor ekonomi

utama di daerah pedesaan adalah sektor pertanian, maka arahan pengembangan pusat-

pusat permukiman harus terkait dengan upaya pengembangan sektor pertanian dan

sektor-sektor pendukung lainnya, seperti sektor industri.

MEMBANGUN POLA KETERKAITAN SPASIAL

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya keterkaitan spasial

merupakan elemen kunci dari pendekatan integrasi spasial. Selain itu perkembangan

pada suatu wilayah dipengaruhi oleh perkembangan dan perbedaan fungsi

permukiman serta keterkaitan antar permukiman maupun antara wilayah pengaruhnya

(pelayanannya). Kenyataan memperlihatkan bahwa suatu wilayah bukan hanya

dibentuk oleh sistem permukiman yang terpisah dengan fungsi masing-masing,

namun juga oleh jaringan dan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi

tersebut dimungkinkan oleh adanya keterkaitan antar permukiman.

Dengan adanya keterkaitan spasial ini penduduk yang tinggal di wilayah

pedesaan memiliki aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan, fasilitas, infrastruktur,

dan kegiatan perekonomian yang berlokasi di pusat-pusat desa, kota pasar

(kecamatan), maupun pusat wilayah (regional). Melalui hubungan keterkaitan ini

pula, diharapkan penduduk pedesaan dapat memperoleh input yang dibutuhkannya

untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan mendukung kegiatan pemasaran dari

berbagai produk yang dihasilkan, terutama produk pertanian dan industri skala kecil

(rumah tangga).

Page 93: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Rondinelli, membedakan menjadi 7 keterkaitan (spatial linkages), yaitu :

1) Keterkaitan fisik (jaringan transportasi).

2) Keterkaitan ekonomi, keterkaitan produksi ke depan (forward linkages) dan

ke belakang (backward linkages).

3) Keterkaitan penduduk (migrasi) dan tenaga kerja.

4) Keterkaitan teknologi.

5) Keterkaitan sosial.

6) Keterkaitan pelayanan sosial.

7) Keterkaitan administrasi, politik, dan kelembagaan.

KUNCI DALAM STRATEGI INTEGRASI SPASIAL

1. Adanya hirarki dan keterkaitan (linkages) antar kelompok masyarakat atau

organisasi yang berlokasi pada komunitas yang tersebar.

2. Terciptanya transformasi struktur tata ruang, organisasi, tingkah laku,

kelembagaan sosial- ekonomi dan kultur sehingga elemen-elemen tersebut

menjadi suatu instrument yang produktif dalam proses pertumbuhan dan

perubahan.

3. Perbaikan sistem administrasi dan kepemihakan dari pemerintah terutama bagi

wilayah-wilayah yang belum berkembang, serta koordinasi antar lembaga.

KRITIK DAN KEGAGALAN STARTEGI INTEGRASI SPASIAL

Pendekatan ini terlalu ideal sehingga jauh dari kenyataan. Pengembangan

sektor secara serentak pada kenyataannya sulit dilakukan karena keterbatasan

sumberdaya.

Disamping kritik tersebut, sistem permukiman sebagai pembentuk integrasi

spasial sering tidak dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. Kegagalan

permukiman untuk mendukung terbentuknya integrasi spasial ini diantaranya

disebabkan :

Page 94: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

1. Jumlah pusat-pusat dan permukiman yang skalanya lebih kecil tidak

memadai sehingga tidak terbentuk hirarki permukiman. Keadaan ini

disebabkan oleh dua kondisi, yakni :

a) Jumlah penduduk terlalu sedikit sehingga penyediaan prasarana

menjadi tidak efisien;

b) Secara spasial letak (lokasi) permukiman-permukiman tersebut

berjauhan sehingga tidak dapat membentuk suatu sistem

pelayanan.

2. Distribusi fasilitas dan pelayanan diantara permukiman-permukiman

tidak memadai, bahkan untuk fasilitas pelayanan dan infrastruktur

‘dasar’ seperti kesehatan dan pendidikan.

3. Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antar pusat pemukiman maupun

antar permukiman dengan wilayah pelayanannya.

Untuk menciptakan suatu sistem permukiman (sistem keruangan) yang

terintegrasi, terdapat berbagai instrument intervensi yang dapat dilakukan, antara lain:

Pertama, pengembangan kapasitas pelayanan (fasilitas) dari pusat-pusat permukiman

yang ada; kedua, pembentukan dan penguatan keterkaitan spasial antar pusat

permukiman dan antara pusat permukiman tersebut dengan wilayah pelayanannya

(belakang); ketiga, pengembangan wilayah belakang.

4. MODEL PENGEMBANGAN KOTA-KOTA KECIL (DEKONSENTRASI

PLANOLOGIS)

Strategi ini didasarkan anggapan bahwa di negara berkembang pengembangan

dari atas, yang menitikberatkan pembangunan industri di kota besar (metropolitan),

tidak akan dapat dijalarkan ke seluruh wilayah. Kota-kota ukuran sedang atau

menengah tidak mampu menciptakan eksternal ekonomi yang dibutuhkan untuk

menjalarkan pertumbuhan dari kota-kota besar (Hansen, 1981:318). Hal ini didukung

fakta bahwa pertumbuhan kota-kota kecil dan sedang (20.000-100.000 jiwa) rendah,

Page 95: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

sebaliknya kota-kota besar makin tumbuh sehingga cenderung membentuk pola

primate.

Disamping itu pemusatan dan pembauran berbagai fungsi dan kegiatan

perkotaan, baik fungsi primer maupun sekunder di pusat kota (kota induk) telah

menyebabkan timbulnya berbagai macam permasalahan, diantaranya terjadi

pemusatan (tekanan) penduduk terutama akibat derasnya arus migrasi penduduk yang

datang ke pusat kota. Dalam konteks ini pusat kota cenderung berkembang meluas

menjadi metropolitan atau mega urban yang meraksasa dan seolah-olah meraup

sumberdaya daerah di sekitarnya.

Pengembangan kota-kota kecil dan kota sekunder adalah salah satu upaya

dekonsentrasi planologis, yaitu mengembangkan pusat-pusat baru di dalam suatu

wilayah kota besar atau metropolitan, dengan tujuan untuk meratakan perkembangan

di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya strategi ini tidak hanya berorientasi kepada

pembangunan perdesaan saja tetapi juga menjalarkan inovasi dan pelayanan bagi

aliran produksi pertanian dan industri ringan dari pedesaan ke kota kecil dan kota

yang lebih besar, sehingga perluasan sistem kota-kota dikaitkan langsung dengan

peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan sejak awal proses pembangunan.

Secara teoritis bentuk pengembangan tersebut adalah upaya mengembangkan pusat-

pusat pertumbuhan baru dalam ruang. Konsep ini pada dasarnya merupakan

pengembangan lebih lanjut daripada konsep ‘Growth Poles’.

Dalam pengembangan kota-kota kecil dan pusat-pusat pertumbuhan yang baru

terjadi proses integrasi antara sektor pertanian dan industri. Strategi ini diharapkan

mampu mengembangkan kesempatan kerja yang luas (60-80%) untuk menahan

penduduknya sendiri maupun penduduk di daerah belakangnya (hinterland) sehingga

mereka tidak bermigrasi ke kota utama (urbanisasi dari bawah). Oleh karena itu

pusat-pusat pertumbuhan baru paling tidak harus mempunyai unsur-unsur (entitas)

yang mampu mempengaruhi perkembangan kawasan ekonomi pengaruhnya.

Umumnya unsur ini adalah kegiatan industri pendorong (Propulsive Industry) yang

dapat membangkitkan tumbuhnya berbagai kegiatan lain, seperti industri pelayanan,

perdagangan, jasa dan sebagainya.

Page 96: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Pengembangan dekonsentrasi planologis ada dua macam, yaitu

pengembangan kota-kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru. Pada prinsipnya,

kedua macam pengembangan dekonsentrasi tersebut mempunyai tugas dan peranan

yang sama, yaitu mengurangi beban kota utama. Pengembangan kota baru dibangun

selengkapnya pada lahan yang masih kosong, sedangkan pengembangan pusat-pusat

pertumbuhan baru adalah pengembangan pusat-pusat yang sudah ada di sekitar kota

utama (Hansen, 1972). Dalam konteks pembangunan wilayah kota sebagai suatu

sistem wilayah, pengembangan kota-kota kecil di sekitar kota utama merupakan

bentuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam rangka memenuhi

tingkat kebutuhan penduduknya dan mengurangi beban kota utama.

Secara pragmatis, dekonsentrasi planologis dapat dikatakan sebagai upaya

penyebaran satu atau beberapa fungsi dari kota inti ke kota-kota kecil di sekitarnya.

Beberapa fungsi penting kota utama sengaja dipindah atau dikeluarkan serta

ditempatkan di beberapa kota kecil di sekitarnya, misalnya relokasi industri ke daerah

pinggiran kota. Selain itu ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari strategi

dekonsentrasi planologis, antara lain :

1. Memberikan kesempatan pertumbuhan bagi kota kecil

2. Mendorong lingkungan kehidupan kekotaan (urbanized) secara lebih merata

3. Mengurangi beban masalah kota besar

4. Menahan laju pertumbuhan-pertumbuhan kota-kota besar yang tidak terkendali

5. Menciptakan hubungan fungsional kota-kota yang lebih baik dalam sistem

perkotaan.

Untuk melaksanakan strategi ini, selain dilakukan pengembangan fasilitas

pada kota kecil tersebut lebih penting lagi adalah pengembangan berbagai prasarana

yang akan mendukung pengembangan pertanian, serta kebijaksanaan lain yang

menguntungkan petani, seperti kebijaksanaan harga, pajak, bantuan kredit, dan

sebagainya. Kebijaksanaan lain yang diperlukan adalah desentralisasi kewenangan

yang memadai untuk pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

lokal.

Page 97: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

Lebih lanjut strategi dekonsentrasi planologis ini bisa dijabarkan dan diperluas

dalam bentuk counter magnet strategy, kota kecil, kota baru, kota satelit, dormitory

town, dan sebagainya. Pada dasarnya konsep counter magnet asal mulanya diilhami

oleh rencana pengembangan garden city.

Counter magnet strategy adalah pengembangan kota-kota kecil dan menengah

untuk dapat menandingi perkembangan dari kota utama (primate city) agar lebih

dapat mendifusikan aspek-aspek kota secara keruangan (Townroe, 1982). Strategi ini

dalam operasionalnya di dukung oleh teori pengembangan wilayah seperti Konsep

Kutub Pertumbuhan (The Conceps of Growth Poles). Teori Ajang Pusat (The Theory

of Central Places) dan lain sebagainya. Selain aspek spasial, strategi ini juga

memiliki fokus pada pemecahan masalah-masalah pokok non spasial seperti

kemiskinan, pengangguran, dan ketidakmerataan (inequality).

Page 98: Bahan Ajar Ilmu Wilayah

KESIMPULAN DAN KOMPARASI

ANALISIS KESESUAIAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH TERHADAP

KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

NO

KEBIJAKSANAAN

PEMBANGUNAN NASIONAL

PENGEMBANGAN KUTUB

PERTUMBUHAN

PENGEMBANGAN

AGROPOLITAN

PENGEMBANGAN RUANG

TERINTEGRASI

PENGEMBANGAN KOTA-

KOTA KECIL

1. Menitikberatkan pembangunan ekonomi dan terpenuhinya kebutuhan pokok

Pembangunan ekonomi

Pembangunan sosial

Pembangunan ekonomi

Pembangunan ekonomi, terpenuhinya kebutuhan pokok

2. Pemerataan dengan pertumbuhan

Pertumbuhan dahulu

Pemerataan, dan tujuan sosial lain

Pertumbuhan dengan pemerataan

Pemerataan dahulu, baru pertumbuhan

3. Keseimbangan dan kesesuaian hubungan kota-desa

Menitikberatkan pembangunan di kota

Pembangunan perdesaan

Integrasi pembangunan kota dan desa

Keseimbangan kota-desa

4. Integrasi sistem ekonomi nasional

Integrasi Ketertutupan, keberdikarian distrik

Integrasi Mengarah kepada integrasi

5. Keseimbangan sektor Industri dan Pertanian

Titik berat pada industri

Titik berat pada pertanian

Keseimbangan industri dan pertanian

Pertanian dan Industri kecil

6. Keterkaitan sektor modern dan tradisional sejak mula

Titik berat pada sektor modern

Titik berat pada pertanian

Kaitan sektor modern dan tradisional

Titik berat sektor tradisional, lokal

7. Pembangunan ‘dari atas’ dan ‘dari bawah’

Dari atas Dari bawah Dari atas dan dari bawah

Dari bawah

8. Terbuka terhadap sistem pasar dunia, dan mengurangi ketergantungan secara bertahap

Secara tidak langsung mensyaratkan keterbukaan, ketergantungan yang besar

Pemutusan ketergantungan, dengan ketertutupan atau berdikari

Tidak mensyaratkan

Tidak mensyaratkan

Page 99: Bahan Ajar Ilmu Wilayah