BAHAN AJAR - repositori.unud.ac.id · Gus Dur akhirnya diberhentikan sebagai Presiden melalui TAP...
Transcript of BAHAN AJAR - repositori.unud.ac.id · Gus Dur akhirnya diberhentikan sebagai Presiden melalui TAP...
BAHAN AJAR
PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DALAM MASA JABATANNYA BERDASARKAN
PASAL 7A UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH MH
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
2014
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... 1
DAFTAR ISI ...................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 11
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 20
3
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu dinamika ketatanegaraan yang secara nyata menunjukkan adanya
keterkaitan erat antara proses hukum dan proses politik adalah proses pemberhentian
presiden sebagai kepala negara. Proses pemberhentian presiden dikenal dalam praktik
ketatanegaraan diberbagai negara, secara istilah proses ketatanegaraan ini disebut sebagai
pemakzulan, namun banyak nomenklatur dan pemberitaan yang menyebutnya sebagai
impeachment, adalah kata yang biasa ditujukan kepada seorang kepala negara, dalam hal
ini presiden.1 Di Indonesia, mekanisme impeachment dikenal sebagai suatu sistem atau
lembaga permakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dengan kata lain bahwa objek
mekanisme impeachment di Indonesia hanyalah ditujukan untuk mengatur mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden saja.2 Banyak pihak yang memahami
bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau
pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan
tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan
tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara
lain dari jabatannya.3
Menengok sejarah, dua Presiden Republik Indonesia tidak mampu menyelesaikan
masa jabatannya. Dua diantaranya adalah Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman
Wahid, diberhentikan oleh parlemen (MPRS/MPR). Walaupun pemberhentiannya taat
pada konstitusi, namun pemetaan politik dan kepentingan cukup mewarnai proses
pemberhentian kedua presiden tersebut. Pemberhentian Presiden oleh parlemen
1 Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
Jurnal Rechts Vinding, ISSN 2089-9009, Volume 2, Nomer 3, Desember 2013, http:// www. rechtsvinding. bphn.go.id/ artikel/ART %203% 20JURNAL% 20VOLUME% 202% 20NO% 203_PROTEKSI.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.
2 Rusdianto S, Proses Impeachment Presiden Dalam Konstitusi Negara-Negara Modern (Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan), http:// www. 202.154.59.182/.../08% 20RUSDIANTO %20SH %20M..., diakses Minggu 27 April 2014.
3 Jimly Asshiddiqie, 2005, Pengantar pada LAPORAN PENELITIAN “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.
4
(MPRS/MPR) tersebut menunjukkan tingginya kontrol parlemen atas institusi
kepresidenan. Hal ini setidaknya dapat menjadi modal awal untuk membangun proses
demokratisasi di Indonesia di mana salah satu pilarnya adalah kontrol terhadap kekuasaan
agar tidak mengarah kepada terciptanya penguasa tungal.4
Sejarah menunjukkan sejak awal berlakunya demokrasi terpimpin, Presiden
Soekarno sudah menunjukkan tanda-tanda otoritariannya. Di antaranya yang paling
menonjol diawali dengan pembubaran DPR hasil pemilu 1955, yang kemudian atas dasar
Penetapan Presiden No. 4/1960, dibentuk DPRGR. Kemudian pada tanggal 13 November
1963, Presiden Soekarno merombak Kabinet Kerja III menjadi Kabinet Kerja IV yang juga
menempatkan Ketua dan Wakil Ketua DPRGR, Ketua dan Wakil Ketua MPRS, Ketua dan
Wakil Ketua DPA, dan Ketua Dewan Perancang Nasional sebagai Menteri. Dengan demikian
kedudukan keempat badan negara tersebut berada di bawah posisinya. Di tengah krisis
ekonomi saat itu, muncul pula pemberontakan G 30S/PKI yang semakin mengharu-birukan
konstelasi politik saat itu. Mahasiswa pun ramai menggelar aksi demostrasi, mengusung
Tritura, disusul dengan reshuffle kabinet Soekarno yang terjadi berkali-kali. Terakhir, upaya
reshuffle Soekarno dengan merombak kabinet Dwikora yang disempurnakan yang terdiri dari
100 menteri dengan kabinet Dwikora yang disempurnakan lagi. Setelah itu, akhirnya
Soekarno melakukan upaya terakhir pada tanggal 22 Juni 1966 bersamaan dengan pelantikan
pimpinan MPRS, dengan melakukan yang disebutnya sebagai pidato pertanggungjawaban
sukarela. DPRGR tidak puas dengan pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang
berjudul Nawaksara pada Sidang Umum MPRS 1966 itu, khususnya hal-hal yang berkaitan
dengan sebab-sebab terjadinya G 30S/PKI. Karenanya DPRGR saat itu mengajukan
pernyataan pendapat kepada Presiden dan memorandum kepada MPRS yang menghendaki
dilengkapinya pidato Nawaksara oleh Presiden. Atas dasar memorandum ini, maka
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Soekarno.
Karena pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno tidak dapat diterima,
maka melalui Tap No. XXXIII/MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan pemerintahan dari
Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden.5
4 Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/
membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014. 5 Mekanisme Dan Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa
Jabatannya, http://syamsul89.com/2012/10/mekanisme-dan-prosedur-pemberhentian.html, diakses Minggu 27 April 2014.
5
Demikian pula pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden pada masa jabatannya adalah
sangat kental dengan nuansa politik. Alasan yang menyebabkan jatuhnya Gus Dur dari kursi
Kepresidenan karena Gus Dur mengeluarkan beberapa keputusan yang kontroversial yang
mengganggu kepentingan beberapa pihak status quo. Gus Dur menyebarkan pluralisme dan
membela hak-hak kelompok terpinggirkan yang tentu ada pihak-pihak dominan yang
terganggu kepentingannya, contohnya :6
1. Gus Dur mendukung penuntasan pelanggaran HAM di Timor-Timur, mencopot
Jendral Wiranto sebagai menkopolkam dan akibatnya kalangan militer tidak senang.
2. Mengatakan DPR seperti taman kanak-kanak yang menyebabkan perseteruan dan
terjadilah penggembosan politik oleh DPR.
3. Mengganti Kapolri Bimantoro dengan Chaeruddin tanpa prsetujuan DPR dan
Bimantoro tidak mau menyerahkan tongkat komando.
Gus Dur akhirnya diberhentikan sebagai Presiden melalui TAP MPR No II/MPR/2001
karena yang bersangkutan tidak hadir dalam Sidang Istimewa MPR untuk menyampaikan
pertanggungjawaban serta karena kebijakannya mengeluarkan Maklumat (Dekrit)
Presiden 23 Juli 2001, yang antara lain berisi pembekuan MPR dan DPR.7 Gus Dur
mengeluarkan Dekrit karena itulah senjata terakhirnya menghadapi gempuran politik saat
itu. Isi Dekrit Gus Dur saat itu, adalah :8
1.Membubarkan DPR/MPR
2.Pemilu dpercepat dalam 1 tahun.
3.Bubarkan Golkar.
Pemberhentian Gus Dur itu murni merupakan akibat pertarungan politik. Bahwa
Gus Dur kalah dalam pertarungan itu tentu harus diterima sebagai fakta politik yang tak
terelakkan. Sebab, produk pertarungan politik itu adalah menang, kalah, atau kompromi;
beda dengan hukum yang mendasarkan pada benar dan salah.9
Impeachment telah menjadi tema yang seksi dalam proses politik di Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir. Sejak terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu II pada
6 Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/ fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.
7 Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa, https://www.mpr.go.id/blog/drs-h-lukman-hakim-saifuddin/news/ 9147/ gus-dur-dan-rekonsiliasi-bangsa-2, diakses Selasa 29 April 2014.
8 Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/ fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.
9 Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?, http://politik.kompasiana.com/2013/07/07/pemakzulan-gus-dur-konstitusional--575102.html, diakses Selasa 29 April 2014.
6
2009, isu impeachment muncul hanya dalam waktu beberapa bulan saja, sampai
menjelang akhir jabatan Presiden SBY 2014 isu ini terus bergema. Isu impeachment pada
saat itu dimulai dari penggunaan hak angket yang dilakukan oleh Partai Golkar, Partai
Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan yang bergabung bersama partai-
partai lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai
Hanura. Hak angket diajukan partai-partai tersebut untuk menanggapi pemberian dana
talangan (bail out) terhadap Bank Century. Isu Bank Century tersebut bertahan sejak
sebelum Pemilu 2009 hingga saat ini. Meskipun pengajuan hak angket sah secara
prosedural bahkan sampai mengarah kepada impeachment pun sah secara prosedural
hukum ketatanegaraan yang berlaku, namun fenomena ini menjadi fenomena yang
janggal dalam politik. Kejanggalan ini dilatarbelakangi oleh konsepsi koalisi partai yang
baru saja terbentuk antara partai pemenang yaitu Partai Demokrat yang mengusung
Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai-partai lainnya seperti Partai
Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan. Kejanggalan ini
bukanlah fenomena biasa dalam politik, pengajuan hak angket interpelasi bahkan
impeachment dari partai koalisi memperiihatkan bahwa pemerintahan Presidensial yang
baru saja dibentuk sebenarnya memiliki fondasi yang rapuh.10 Dalam sistem
pemerintahan presidensil yang dianut oleh Indonesia, sejatinya preisden harus memiliki
posisi yang kuat. Dalam sistem pemerintahan presidensiil hubungan antara presiden dan
parlemen dapat saling melakukan kontrol dan berkesinambungan (checks and balances).
Presiden tidak tunduk pada parlemen, sekaligus tidak dapat membubarkan parlemen.11
Masa peralihan Indonesia menuju suatu cita demokrasi merupakan salah satu
proses yang menjadi tahapan penting perkembangan Indonesia. Salah satu aspek yang
menjadi bagian dari proses peralihan Indonesia menuju cita demokrasi adalah terjadinya
perubahan di bidang ketatanegaraan yang diantaranya mencakup proses perubahan
konstitusi Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun
1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan Undang-Undang Dasar
10 http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=11482&type=2#.U1xy8Xbj6ho,
diakses Minggu 27 April 2014. 11 Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Cet. I, Setara Press, Malang,
hlm. 1-2.
7
1945 banyak merubah sistem hukum Indonesia, yang juga mempengaruhi sistem
ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya ketentuan penting yang lahir dari perubahan
tersebut yakni mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari adanya kesepakatan untuk
mempertahankan sistem presidesial dengan menyempurnakan ciri-ciri sistem
presidensial. Selain itu, adanya pengaturan tersebut juga dilatarbelakangi adanya
pemikiran bahwa negara yang identik dengan kekuasaan perlu adanya pembatasan
kekuasaan dan adanya fungsi pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) yang
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan kekuasaan.
Setelah terjadinya empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
mengakibatkan beberapa perubahan antara lain adanya ketentuan yang secara eksplisit
mengatur pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif
dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan
Ketiga UUD 1945.
Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif
dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan
Ketiga UUD 1945. Istilah impeachment sendiri berasal dari Inggris di abad ke-14. Pada
saat itu, parlemen Inggris menggunakan lembaga impeachment untuk memroses pejabat-
pejabat tinggi dan individu-individu yang memiliki kekuasaan besar di dalam negara dan
terkait kasus korupsi atau hal lain yang berada diluar kewenangan pengadilan. Lembaga
impeachment tersebut mengeluarkan artikel impeachment yaitu surat resmi yang berisi
tuduhan yang menyebabkan terjadinya proses impeachment. Impeachment menurut
Jimmly Asshidiqie, impeachment berasal dari bahasa Inggris, yaitu "to impeach" yang
artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggung jawaban. Dalam
hubungannya dengan kepala pemerintahan, impeachment bukan berarti pemberhentian
8
kepala negara akan tetapi pemanggilan atau pendakwaan untu diminta
pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa
jabatan. Dengan kata lain, proses impeachment diproyeksikan pada ketentuan
pelanggaran hukum bukan hanya faktor politik semata.12
Sebelum terjadinya perubahan terhadap UUD 1945, Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan dengan alasan-alasan yang bersifat politik13, bukan yuridis.
Hal ini tidak lazim diterapkan di negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Impeachment tersebut dilakukan dengan cara yang relatif mudah. Bila DPR berpendapat
bahwa presiden telah melanggar Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau
mengambil sikap politik yang berlawanan dengan sikap politik DPR, DPR dapat
mengundang MPR untuk melakukan Sidang Istimewa (SI) untuk membicarakan
impeachment presiden. Bila MPR setuju mengadakan Siding Istimewa, dan MPR tidak
menerima pidato pertanggung jawaban presiden, maka presiden harus berhenti dari
jabatannya. Kuatnya posisi DPR sebelum perubahan UUD 1945 terlihat dalam penjelasan
UUD 1945 sebelum perubahan pada bagian Sistem Pemerintahan Negara pada angka VII
yang menyatakan Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat adalah kuat, yang selanjutnya
dinyatakan:
...Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap14 bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis
12 http://www.theglobal- review.com/content_detail.php?lang=id&id=11482&type=2#.U1xy8Xbj6ho,
diakses Minggu 27 April 2014. 13 Dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebelum terjadinya perubahan terhadap
UUD 1945 terlihat faktor politik dominan terhadap hukum. Hubungan hukum dengan politik ada tiga model yaitu: Pertama, hukum determinan atas politik, pandangan ini dianut secara kuat di negara-negara yang menganut supremasi hukum karena politiklah yang diposisikan sebagai variabel terpengaruh (dependent variable); Kedua, politik determinan atas hukum, hukum dikonsepkan sebagai undang-undang bahkan mencakup konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang berkompetisi, baik melalui kompromi atau dominasi oleh kekuatan politik yang kuat, sehingga pernyataan “hukum adalah produk politik” menemukan kebenarannya.; Ketiga, Hubungan politik dan hukum adalah simetris atau saling mempengaruhi, seperti pernyataan “politik dan hukum itu interdeterminant”, sebab “politik tanpa hukum itu zalim, sedangkan hukum tanpa politik itu lumpuh”, lihat uraian Mohammad Mahfud MD, Tolak-tarik Antara Hukum Dan Politik Sebagai Fakta, dalam Daniel S Lev, 2013, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Cet. 3, LP3ES, Jakarta, hlm. vii-viii.
14 Kata menganggap cetak miring oleh penulis, menurut penulis kata menganggap sangat bersifat multi intepretasi, artinya ketika DPR berlawanan haluan politiknya dengan Presiden maka bisa saja DPR beranggapan bahwa Presiden telah sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
9
Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Mudahnya impeachment presiden di bawah UUD 1945 sebelum amandemen
mengakibatkan timbulnya pendapat bahwa sistem presidensial tersebut tidak murni
karena telah bercampur dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, perdana
menteri yang merupakan kepala pemerintahan dapat diberhentikan setiap saat (yang juga
berarti bubarnya kabinet) bila tidak lagi mendapat dukungan DPR. Hilangnya dukungan
DPR berarti DPR memberikan “mosi tidak percaya” kepada perdana menteri dan
kabinetnya yang menyebabkan bubarnya pemerintah. Oleh karena itu sistem parlementer
cenderung menghasilkan ketidakstabilan politik karena kabinet bisa jatuh setiap waktu
yang menyebabkan sulitnya pemerintah melaksanakan program-program pembangunan.
Sistem presidensial yang digunakan di bawah UUD 1945 setelah amandemen telah
semakin mendekati sistem presidensial murni karena presiden dipilih langsung oleh
rakyat dan presiden tetap dapat diberhentikan bila terjadi pelanggaran hukum sebagai
mekanisme kontrol terhadap presiden. Seperti disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945
setelah amandemen yang menyatakan:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Selanjutnya mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada
masa jabatannya diatur dalam Pasal 7B UUD 1945 setelah amandemen yang intinya
menyatakan adanya pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pendapat
ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah kemudian memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat DPR tersebut. Apabila putusan Mahkamah membenarkan
pendapat DPR, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR kemudian
menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul tersebut, dengan terlebih dahulu
10
memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan
penjelasan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membenarkan pendapat DPR tidak
bersifat mengikat.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen yang menyatakan:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pertanyaan yang mendasar terhadap rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen
adalah:
1). Apakah yang dimaksud dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden ?
Apakah
2). Apakah pengertian atau definisi perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam rumusan Pasal 7A UUD 1945 setelah
amandemen dapat menimbulkan multi tafsir atau multi interpretasi ?
11
BAB II PEMBAHASAN
Indonesia adalah negara demokrasi15 yang berdasarkan atas hukum. Dalam konteks
Indonesia sebagai negara hukum16, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian, negara wajib
menjunjung supremasi hukum (supremacy of the law) sebagai salah satu sendi politik
bernegara, disamping sendi-sendi lainnya sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
Dalam konsep negara hukum bahwasannya semua tindakan para penyelenggara negara
harus berdasarkan konstitusi. Konstitusi adalah dokumen nasional dan juga alat untuk
membentuk sistem politik dan sistem hukum suatu negara.17
Konsep negara hukum moderen di Eropa Kontinental dikembangkan dengan
menggunakan istilah Jerman, yaitu rechtsstaat antara lain oleh Immanuel Kant, Paul
Laband, Julius Stahl, Fichte. Adapun dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum
dikembangkan dengan sebutan The Rule of Law yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain
itu konsep negara hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti
penentu dalam penyelenggaraan negara adalah hukum. Menurut Stahl, konsep negara
hukum yang disebut dengan istilah rechtsstaat mencakup empat elemen penting, yaitu:18
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
15 Demokrasi terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yakni demos yang artinya rakyat
atau orang banyak dan kratos yang artinya kekuasaan. Jadi demokrasi dalam pemahaman bahasa Yunani kuno berarti kekuasaan yang berada di tangan rakyat, Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 53.
16 Negara hukum (bahasa Belanda: rechtstaat): negara bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum yang terdapat pada rakyat. Negara hukum menjaga ketertiban hukum supaya jangan terganggu dan agar semuanya berjalan menurut hukum, Negara Hukum, Ensiklopedia Indonesia (N-Z), N.V, W Van Hoeve, hal. 983 dalam Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 3.
17 Pemikiran dari Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam bukunnya Written Constitution yang dikutip oleh Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan Kekuasaan, 1998, Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta, hlm. 95.
18Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitutionalisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm.122 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 130.
12
3. Pemerintah berdasarkan undang-undang
4. Peradilan tata usaha negara
Adapun A.V. Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law, yaitu:19
1. Supremacy of Law
2. Equality before the Law
3. Due Process of Law
International Commission of Jurist menentukan pula syarat-syarat representative
government under the rule of law, sebagai berikut:20
1. Adanya proteksi konstitusi.
2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak.
3. Adanya pemilihan umum yang bebas.
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat.
5. Adanya tugas oposisi.
6. Adanya pendidikan civic.
Prof. Bagir Manan dalam bukunya “Teori dan Politik Konstitusi” mengemukakan
bahwa jika ditinjau dari aspek penegakan hukum (law enforcement), negara hukum
menghendaki suatu kekuasaan peradilan yang merdeka, yang tidak dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan lain yang akan menyimpangkan hakim dari kewajiban menegakkan
hukum, keadilan, dan kebenaran.21
Namun prinsip negara hukum belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Kenyataan atau fakta menunjukkan bahwa hukum
terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-kekuatan lain, misalnya kekuatan politik.
Padahal seharusnya anasir meta yuridis tersebut tunduk terhadap hukum. Kenyataan ini
salah satunya tercermin dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
19 Prinsip-prinsip The Rule of Law di Inggris lihat A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Tenth Edition, (London: Macmillan Education LTD, 1959) dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 130.
20 Sri Sumantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan VI, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm.12-13 dalam Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131.
21 Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia, http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/2012/05/06/ pemberhentian-presiden- danatau- wakil- presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia/, diakses Sabtu 19 April 2014.
13
masa jabatannya atau dikenal dengan istilah impeachment sebagaimana diatur dalam
Pasal 7A sampai 7B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemberhentian presiden pada masa jabatannya karena suatu tuduhan atau dakwaan
diartikan sebagai pemakzulan (impeachment ). Istilah impeachment berasal dari kata “to
impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka
hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata
lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat
penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Black's Law Dictionary
mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a public officer,
before a quasi political court, instituted by a written accusation called “articles of
impeachment”; for example, a written accusation by The House of Representatives of the
United State to the Senate of the United State against the President, Vice President, or an
officer of the United State22. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana
terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan
quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya articles of
impeachment, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana.
Mekanisme impeachment dalam pemerintahan presidensil ini dipersiapkan untuk
mengingatkan Presiden, di mana jabatannya sewaktu-waktu dapat terancam
diberhentikan di tengah jalan jabatannya apabila benar-benar telah melanggar ketentuan-
ketentuan yang digariskan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945. Disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945 perubahan ketiga, “bahwa Presiden dan
/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik
apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
22 Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul Minn, West
Publishing Co., page. 678.
14
Berdasarkan ketentuan ini, maka jenis pelanggaran hukum yang dapat dijadikan
alasan (dasar) untuk memberhentikan Presiden dan/wakil Presiden dalam masa
jabatannya, bukan karena alasan-alasan politik. Dengan demikian hal yang menjadi
alasan hukum yang dimaksud dalam UUD 1945 sesuai dengan ketentuan pasal 7A yaitu:
1. Pengkhianatan terhadap negara.
2. Korupsi.
3. Penyuapan.
4. Tindak pidana berat lainnya.
5. Perbuatan tercela.
6. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Memperhatikan ketentuan dalam Pasal 7A UUD 1945 maka ada 6 jenis pelanggaran
hukum untuk dapat memberhentikan seorang Persiden dan/atau Wakil Presiden dari
jabatannya sebelum berakhir masa jabatan. Dengan kata lain, seorang Presiden dan/wakil
Presiden diberhentikan ditengah jalan dari jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden sesui
ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD 1945. Dengan begitu terminologi yang
digunakan dalam ketentuan pasal 7A UUD 1945 pada perubahan ketiga ialah terminologi
hukum (pidana) dan juga sebagian dipengaruhi oleh faktor politik.23 Sehingga untuk
dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila sudah dapat benar-
benar teruji keabsahan menyangkut pelanggaran hukum pidana ataupun subjektivitas
faktor politik.
Hal yang perlu diperhatikan dalam proses impeachment Presiden dan/atau Wakil
Presiden sebagaimana ketentuan tersebut di atas, minimal tuduhan tersebut harus dapat
teruji di dalam peradilan Mahkamah Konstitusi baik karena tuduhan hukum pidana atau
karena sebab faktor politik, sesuai dengan ketentuan Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
23 Hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, politik kerapkali melakukan intervensi
atas pembuatan dan pelaksanaan hukum, Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta, hlm. 1.
15
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: “Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dimana untuk kasus tuduhan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang disebabkan
oleh faktor subjektivitas politik DPR prihal tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden harus benar-benar teruji objektivitasnya. Karena itu terdapat dua
alasan pemberhentian Presiden (faktor-faktor pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden) menurut UUD 1945 yaitu karena terbukti melakukan perbuatan melanggar
hukum (pidana) dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden secara objektivitas (politik).
Untuk mengetahui lebih lanjut, meskipun UUD 1945 tidak merincikan apa yang
dimaksud dengan jenis-jenis pelanggaran hukum yang tercantum pada Pasal 7A UUD
1945 tersebut. Dalam hal ini secara lebih rinci telah diatur dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang memberikan penjelasan
tentang jenis-jenis tidak pidana yang tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945 “khususnya”
sebagai mana yang dalam hal ini tercantum yakni:
1. Pengkhianatan terhadap negara.
Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara
sebagaiman diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi, yang diatur pada Pasal 10 ayat (3) huruf a, yang menyatakan: “pengkhianatan
terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan negara sebagaimana diatur
dalam undang-undang”. Mengenai kejahatan terhadap keamanan negara, hal ini diatur
dalm Undang-Undang Hukun Pidana (KUHP) tentang Kejahatan, pada Bab I Kejahatan
Terhadap Keamanan Negara disebut dalam Pasal 104 sampai dengan 129. Selain itu, ada
juga Undang-Undang yang secara khusus mengatur tentang tindak pidana terhadap
16
keamanan negara selain yang terdapat dalam KUHP, yaitu tindak pidana terorisme
sebagaimana tang diatur Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
2. Korupsi dan penyuapan
Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
khusunya pasal 10 ayat (3) huruf b, yang menyatakan: “korupsi dan penyuapan adalah
tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang”.
Definisi dan pembrantasan mengenai tindak pidana korupsi ataupun penyuapan diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Demikian pula korupsi dan penyuapan yang terkait dengan penyelenggara
negara diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
3. Tidak pidana berat lainnya.
Tidak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf c
yang menyatakan: “tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”. Artinya bahwa tindakan atau perbuatan
pidana yang diancam pidana penjara lebih dari 5 (lima) tahun dikategorikan sebagai
tindak pidana berat.
4. Perbuatan tercela
Perbuatan tercela yang dimaksud adalah sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi khusunya Pasal 10 ayat (3) huruf d yang
menyatakan: “perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Definisi yang di jelaskan dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (3) huruf d memang masih mengandung multitafsir.
Sebab bentuk-bentuk perbuatan yang dimaksud perbuatan tercela ini juga sangat beragam
dan mengundang perdebatan. Pemaknaan terhadap perbuatan tindakan tercela yang
dilakukan oleh presiden memiliki batasan yang cukup luas. Asumsi tindakan tercela akan
17
terkendala pada bentuk aturan mana yang dapat dijadikan dasar untuk membingkai
tindakan tercela yang dilakukan presiden. Ketiadaan aturan yang menjelaskan perilaku
menjadi salah satu kendalanya.24
5.Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah penilaian
pada seorang Presiden dan/atau wakil Presiden, diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf e
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang
menyatakan: “tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen menyatakan:
(1) Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya
sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(2) Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.
Pendekatan hukum pidana menjadi mungkin digunakan untuk membingkai jenis
pelanggaran yang dilakukan Presiden berdasarkan sumpah jabatan yang diucapkan
Presiden pada saat pengangkatannya. Berdasar Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden berkewajiban dengan sebaik-baiknya dan seadil-
adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-
undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan
Bangsa”. Presiden yang bersumpah untuk memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan
segala undang-undang dan peraturan, termasuk di dalamnya KUHPidana. Pertimbangan
aspek pidana dalam proses pengawasan dan pemberhentian presiden bukan untuk semata-
mata melindungi lembaga kepresidenan dari intrik politik, tetapi juga mempertegas
kembali nilai-nilai keadilan bagi Presiden dan juga Legislatif. Pendekatan hukum pidana
24 Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/
membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.
18
juga akan mendorong terjadinya pertanggung-jawaban presiden yang tak hanya secara
politis tetapi juga dalam konteks hukum pidana atas tindakan yang dilakukannya.
Pertanggungjawaban yang menyeluruh tersebut sering hilang dalam sejarah
pemberhentian presiden yang dimiliki indonesia. Sebagian besar pertanggungjawaban
Presiden berhenti setelah turunnya Presiden dari jabatan. Walaupun secara hukum
ketatanegaraan sudah selesai tetapi dalam kacamata hukum pidana belum selesai.25
25 Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http://hamdanzoelva.wordpress.com/2007/12/21/
membangun-mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.
19
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 setelah amandemen Presiden dan Wakil Presiden
dapat diberhentikan pada masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat baik apabila terbukti telah melakukan perlanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat
sebagai presiden dan atau wakil presiden. Setidaknya terdapat lima jenis pelanggaran
hukum yang dapat “menurunkan” presiden berdasar pasal tersebut. Pemaknaan terhadap
jenis pelanggaran atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh Presiden dan Wakil
Presiden pada rumusan Pasal 7A UUD 1945 tersebut masih perlu diperjelas dan
dirumuskan pada aturan yang lebih konkret agar tidak menimbulkan berbagai macam
penafsiran, terutama perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Selama proses impeachment yang terjadi di Indonesia
pemaknaan terhadap jenis pelanggaran tersebut dapat saja tergantung tergantung pada
konstelasi politik yang sedang berlangsung. Disertai rumusan Pasal 7B UUD 1945
setelah amandemen yang menyatakan adanya proses di DPR dan MPR dalam hal
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang bisa saja
nuansa politiknya sangat besar, hal inilah yang disebut sebagai quasi political court.
.
20
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Daniel S Lev, 2013, Hukum dan Politik di Indonesia; Kesinambungan dan Perubahan, Cet. 3, LP3ES, Jakarta.
Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dalam Hukum dan Kekuasaan, 1998,
Editor: Dahlan Thaib dan Mila Karmila Adi, Cet. I, FH-UII, Yogyakarta.
Hafied Cangara, 2011, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Cet. III, Rajawali Pers, Jakarta.
Henry Campbell Black, M. A., Black’s Law Dictionary, 1979, Fifth Edition, ST. Paul
Minn, West Publishing Co.
Jimly Asshiddiqie, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia, Cet. I, LP3ES, Yogyakarta. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, cet. kedua, Bayumedia Publishing, Malang.
Sulardi, 2012, Menuju Sistem Pemerintahan Presidensiil Murni, Cet. I, Setara Press,
Malang.
B. Artikel
Eko Noer Kristiyanto, Pemakzulan Presiden Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jurnal Rechts Vinding, ISSN 2089-9009, Volume 2, Nomer 3, Desember 2013, http:// www. rechtsvinding. bphn.go.id/ artikel/ART %203% 20JURNAL% 20VOLUME% 202% 20NO% 203_PROTEKSI.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.
Fakta Tentang Turunnya Gusdur Dari Jabatan, http://puterasembilan.com/2012/11/
fakta-tentang-turunnya-gusdur-dari.html, diakses Selasa 29 April 2014.
Gus Dur dan Rekonsiliasi Bangsa, https://www.mpr.go.id/blog/drs-h-lukman-hakim-saifuddin/news/ 9147/ gus-dur-dan-rekonsiliasi-bangsa-2, diakses Selasa 29 April 2014.
http://www.theglobal- review.com/ content_detail.php? lang= id&id=11482 & type =2#.
U1xy8Xbj6ho, diakses Minggu 27 April 2014.
Jimly Asshiddiqie, 2005, Pengantar pada LAPORAN PENELITIAN “Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” Kerjasama Mahkamah
21
Konstitusi Republik Indonesia dengan Konrad Adenauer Stiftung, Jakarta, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/ pdf/KI_Impeachment.pdf, diakses Minggu 27 April 2014.
http://www. mahkamahkonstitusi. go.id/ public/ content/ infoumum/ penelitian/
pdf/KI_Impeachment. pdf, diakses Minggu 27 April 2014.
Membangun Mekanisme Kontrol atas Presiden, http:// hamdanzoelva. wordpress.com/ 2007/ 12/21/ membangun -mekanisme-kontrol-atas-presiden/, diakses Minggu 27 April 2014.
Mekanisme Dan Prosedur Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam
Masa Jabatannya, http://syamsul89. com/2012/10/ mekanisme- dan- prosedur-pemberhentian.html, diakses Minggu 27 April 2014.
Pemakzulan Gus Dur, Konstitusional ?, http://politik.kompasiana. com/ 2013/ 07/07/
pemakzulan- gus- dur -konstitusional--575102.html, diakses Selasa 29 April 2014.
Pemberhentian Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya Menurut Sistem Ketatanegaraan Indonesia, http://fristianhumalanggionline.wordpress.com/ 2012/05/06/ pemberhentian-presiden- danatau- wakil- presiden- dalam- masa- jabatannya- menurut- sistem- ketatanegaraan- indonesia/, diakses Sabtu 19 April 2014.
Rusdianto S, Proses Impeachment Presiden Dalam Konstitusi Negara-Negara
Modern (Studi Perbandingan dengan Mekanisme Impeachment di Amerika Serikat dan Korea Selatan), http://www 202.154.59.182/.../08% 20RUSDIANTO %20SH %20M..., diakses Minggu 27 April 2014.