Bahan Ajar

206
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Gambaran Profil Lulusan Program Studi Era Globalisasi yang berlangsung saat ini telah membuka peluang yang cukup luas bagi negara-bangsa untuk melakukan hubungan internasional. Hubungan internasional yang terjadi dewasa ini tidak lagi menjadi dominasi antar negara dan/atau pemerintah, akan tetapi juga berlangsung antar warga negara, antar perusahaan, dan antar organisasi/institusi suatu negara dengan pihak negara lainnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang menyadari arti pentingnya hubungan internasional, khususnya dalam melakukan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, baik di bidang ekonomi, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya. Agar suatu hubungan internasional yang berlangsung tidak menimbulkan ancaman bagi keamanan dan ketertiban internasional, maka hubungan yang berlangsung diletakkan dalam tatanan hukum internasional, suatu tatanan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa beradab sebagai perwujudan kehendak bersama masyarakat internasional untuk menciptakan tatanan dunia baru yang memiliki keberadaban dan keteraturan, saling menghargai, dan saling menguntungkan satu dengan yang lain. Untuk itu, keberadaan hukum internasional menjadi sangat urgen dalam tatanan dunia yang sedang bergerak cepat dan transparan sebagai sebuah tuntutan globalisasi. Di bidang ekonomi, perkembangan kegiatan investasi dan perdagangan internasional berlangsung sangat cepat. Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh perusahaan transnasional telah menjadi kecenderungan global. Hal ini juga berlangsung di Indonesia, dan seringkali menimbulkan problem lingkungan internasional, investasi internasiol, bahkan kejahatan internasional, sehingga membutuhkan penyelesaian hukum internasional yang akurat. Untuk itu, sekali lagi sumberdaya manusia yang menguasai hukum internasional akan memainkan peranan strategis dalam penyelesaian sengketa internasional yang berlangsung.

description

pip

Transcript of Bahan Ajar

Page 1: Bahan Ajar

1

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Gambaran Profil Lulusan Program Studi

Era Globalisasi yang berlangsung saat ini telah membuka peluang yang

cukup luas bagi negara-bangsa untuk melakukan hubungan internasional.

Hubungan internasional yang terjadi dewasa ini tidak lagi menjadi dominasi

antar negara dan/atau pemerintah, akan tetapi juga berlangsung antar warga

negara, antar perusahaan, dan antar organisasi/institusi suatu negara

dengan pihak negara lainnya. Indonesia menjadi salah satu negara yang

menyadari arti pentingnya hubungan internasional, khususnya dalam

melakukan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan, baik di bidang

ekonomi, politik, keamanan, hukum, dan sebagainya.

Agar suatu hubungan internasional yang berlangsung tidak

menimbulkan ancaman bagi keamanan dan ketertiban internasional, maka

hubungan yang berlangsung diletakkan dalam tatanan hukum internasional,

suatu tatanan yang disepakati dan diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa

beradab sebagai perwujudan kehendak bersama masyarakat internasional

untuk menciptakan tatanan dunia baru yang memiliki keberadaban dan

keteraturan, saling menghargai, dan saling menguntungkan satu dengan

yang lain. Untuk itu, keberadaan hukum internasional menjadi sangat urgen

dalam tatanan dunia yang sedang bergerak cepat dan transparan sebagai

sebuah tuntutan globalisasi.

Di bidang ekonomi, perkembangan kegiatan investasi dan perdagangan

internasional berlangsung sangat cepat. Pemanfaatan sumberdaya alam

yang dilakukan oleh perusahaan transnasional telah menjadi kecenderungan

global. Hal ini juga berlangsung di Indonesia, dan seringkali menimbulkan

problem lingkungan internasional, investasi internasiol, bahkan kejahatan

internasional, sehingga membutuhkan penyelesaian hukum internasional

yang akurat. Untuk itu, sekali lagi sumberdaya manusia yang menguasai

hukum internasional akan memainkan peranan strategis dalam penyelesaian

sengketa internasional yang berlangsung.

Page 2: Bahan Ajar

2

Sebagai konsekuensi dari semakin intensnya hubungan hukum

internasional, maka permasalahan hukum internasional juga berkembang

semakin kompleks. Keberadaan sumberdaya manusia yang memiliki

kemampuan dalam penguasaan hukum internasional secara komprehensif

menjadi harapan bersama, khusunya perannya dalam memecahkan dan

menemukan solusi atas permasalahan hukum internasional yang semakin

kompleks. Kebutuhan sumberdaya manusia yang memiliki kapasitas

penguasaan hukum internasional yang komprehensif tersebut perlu didukung

oleh wawasan yang holistik. Hal ini menjadikan pentingnya penyelenggaraan

program pendidikan tinggi yang berkualitas pada konsentrasi Hukum

Internasional untuk memenuhi tuntutan kebutuhan tersebut.

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin merupakan Fakultas Hukum

yang termapan di Kawasan Timur Indonesia yang dipandang sebagai

”maskot” perguruan tinggi terbaik di kawasan timur. Dalam menjalankan

peran strategi penyelenggaraan pendidikan tinggi maka program studi ilmu

hukum Fakultas Hukum Unhas diarahkan dengan tetap mengkiblati visi dan

misi universitas. Penjabaran visi dan misi dimaksud kemudian tertuang

sebagai berikut:

I. VISI

”Menjadikan Program studi Ilmu Hukum (S1) Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin sebagai Program studi Ilmu Hukum unggulan

di Indonesia pada tahun 2020 dalam pengembangan ilmu hukum

internasional yang berbasis pada budaya bahari”. II. MISI

Untuk mewujudkan visi program studi Ilmu Hukum maka ditetapkan

misi sebagai berikut:

a. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki

keunggulan kompetitif dalam penelitian dan pendalaman ilmu hukum

yang berwawasan holistik, serta memiliki kompetensi spesifik untuk

melakukan penelitian di bidang ilmu hukum secara mandiri.

b. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) yang memiliki

kemampuan dan keunggulan dalam pelaksanaan Tri Dharma

Page 3: Bahan Ajar

3

Perguruan Tinggi, sehingga menghasilkan profesionalisme dan

intelektualitas keilmuan yang diakui secara nasional dan internasional.

c. Mengembangkan Program studi Ilmu Hukum (S1) menjadi

kebanggaan Universitas Hasanuddin dengan keluaran yang memiliki

kemampuan penelitian dan pemikiran keilmuan berwawasan holistik

untuk dapat memberikan solusi terbaik pada setiap persoalan

pembangunan Hukum Nasional dan Internasional.

B. Kompetensi Lulusan, dan Analisis Kebutuhan Pembelajaran.

Uraian visi dan misi Fakultas Hukum Unhas di atas, kemudian dijabarkan

dalam bentuk pilihan kompetensi lulusan. Hal ini diartikan bahwa pilihan

kompetensi lulusan ditetapkan dalam rangka menggambarkan wujud lulusan

program studi ilmu hukum (S1) Fakultas Hukum Unhas. Kompetensi lulusan

yang ditetapkan adalah “praktisi”. Pilihan kompetensi lulusan pada “praktisi”

dimaksudkan agar lulusan yang dihasilkan memiliki basis skill (keahlian) yang

merupakan pasangan (tandem) dari knowledge (pengetahuan) yang tentunya

telah dimiliki oleh setiap lulusan. Sehingga, setiap lulusan dipandang telah siap

baik skill maupun knowledge untuk berkompetisi pada universitas yang

sesungguhnya (real life). Dalam konteks pembelajaran mata kuliah Hukum

Laut (PIP) maka akan terbangun suatu konstruksi bahwa lulusan dengan

kompetensi praktisi akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan strategis

di bidang hukum laut khususnya terkait dengan penegak hukum di laut yang

merupakan muara dari pemebelajaran hukum laut.

Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan harmonisasi antara apa yang

hendak dicapai dengan apa yang ditetapkan terhadap lulusan maka

penyediaan metode pembelajaran yang tepat merupakan pilihan bijak dalam

rangka menjembatani harmonisasi yang dimaksud. Kebutuhan pembelajaran

yang baik dan benar yang kemudian dikelola dengan pola menejerial yang

tepat akan mempermudah tercapainya harmonisasi dimaksud. Tentunya,

perubahan merode pembelajaran yang diterapkan di Unhas saat ini akan

semakin mempermudah pencapaian dimaksud, khususnya ketersediaanya

garis-garis Besar Pembelajaran (selanjutnya disingkat GBRP), Jadwal kegiatan

mengajar (selanjutnya disingkat JKM), dan Satuan Acara Pengajaran

Page 4: Bahan Ajar

4

(selanjutnya disingkat SAP) baik uang dikemas dalam bentuk modul maupun

powerpoint.

C. Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)

MATA KULIAH : HUKUM LAUT (PIP) SEMESTER/SKS/KODE : AKHIR 20….-2011…; 2 SKS; 419 HI 2 Kompetensi Utama 1. Memiliki kemampuan dan keterampilan

menggunakan dan menerapkan berbagai teori, ketentuan, dan prinsip hukum laut;

2. Memiliki kemampuan dan keterampilan melakukan penelitian di bidang hukum laut (internasional) secara mandiri.

Kompetensi Pendukung

1. Memiliki pemahaman, kesadaran dan kearifan tentang berbagai aspek sosial, ekonomi, budaya dan Iptek yang mempengaruhi bidang hukum laut;

2. Memiliki kemampuan dalam hal penguasaan software dan hardware komputer untuk mengakses informasi dari berbagai sumber informasi dalam bidang hukum internasional secara umum dan hukum laut secara khusus.

Kompetensi Lainnya 1. Memiliki kesadaran, kepedulian, dan komitmen terhadap penegakan hukum di bidang hukum laut;

2. Memiliki kemampuan dalam menemukan korelasi antara berbagai sektor/element yang terkait dengan hukum laut, khususnya hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

GBRP Hukum Laut (PIP):

Minggu Ke

Sasaran Pembelajaran Materi Pembelajaran

Strategi Pembelajaran Kriteria penilaian Bobot Nilai (%)

1 Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok), penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP Unhas.

- Pengertian PIP; - Penetapan ilmu-ilmu

kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP Unhas.

1. Kuliah; interaktif; 2. Diskusi.

1. Partisipasi dalam diskusi:

2. Kejelasan dalam mengemukakan pendapat;

3. Ketepatan dalam menguraikan teori terkait Ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP.

5

2 Mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai

- Berbagai istilah seperti konsepsi nusantara,

1. Kuliah Interaktif; 2. Diskusi.

1. Partisipasi dalam diskusi:

5

Page 5: Bahan Ajar

5

istilah seperti konsepsi nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.

wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia;

- Sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.

2. Kejelasan dalam mengemukakan pendapat;

3. Kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.

3 Mahasiswa dapat

menjelaskan implementasi asas negara nusantara dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional.

Implementasinya dapat dilihat pada: 1. PP No. 8 Tahun 1962

tentangg Lintas Damai;

2. Pengumuman Pemerintahan Tahun 1969 tentang Landas Kontinen;

3. UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen;

4. Perjanjian garis batas maritim dengan negara tetangga;

5. Pengumuman Pemerintahan Tahun 1980 tentang ZEEI;

6. UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI;

7. UU No. 17 tahun 1985 tentang pengesahan Republik Indonesia atas Konvensi Hukum Laut (UNCLOS III) 1982;

8. Dan lain sebagainya.

1. Discovery learning melalui small group work;

2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait implementasi prinsip negara kepulauan;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama tim;

4. Penguasaan individu.

5

4 Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalur-jalur laut pada wilayah peraiaran Indonesia sebagai negara nusantara.

Jalur Laut Indonesia meliputi:

a. Peraiaran kepulauan;

b. Perairan pedalaman;

c. Laut territorial; d. Jalur tambahan; e. ZEEI; f. Landas Kontinen

Indonesia.

1. Discovery learning melalui small group work;

2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama tim;

4. Penguasaan individu.

5

5 Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.

1. Garis Pangkal normal; 2. Garis pangkal lurus; 3. Garis pangkal lurus

kepulauan; 4. Garis penutup.

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;

2. Partisipasi

5

Page 6: Bahan Ajar

6

dalam diskusi;

6 Mahasiswa dapat pengaturan hukum tentang lintas pelayaran internasional di wilayah perairan Indonesia.

1. Berbagai macam lintas pelayaran di wilayah perairan RI serta penegertiannya;

2. Analisis perbandingan antara ketiga lintas pelayaran itu;

3. Berbagai persyaratan yang harus diperhatikan ketika melakukan lintas alur kepulauan (PP No. 37 Tahun 2002 tentang ALKI).

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai lintas pelayaran;

2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta;

3. Partisipasi dalam diskusi;

5

7 Mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum tentang keselamatan pelayaran (safety of navigation).

1. Kelayakan kapal untuk berlayar di laut;

2. Penempatan awak kapal;

3. Sarana bantu pelayaran;

4. Pencegahan tubrukan dan trayek kapal.

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai prinsip keselamatan pelayaran;

2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta;

3. Partisipasi dalam diskusi;

5

8 Ujian Tengah Semester Makalah Individu mengenai salah satu materi perkuliahan yang telah dipelajari

1. Isi Makalah; 2. Organisasi

makalah; 3. Kesesuaian

antara teori dan kasus serta analisis;

�. Ketepatan waktu.

10

9 Mahasiswa dapat menjelaskan standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan (International Ship and Port facilities Security Code).

ISPS Code: a. Sejarah lahirnya

ISPS Code; b. Ruang Lingkup

dan Tujuannya; c. Persyaratan-

persyaratan keamanan terkait kapal dan pelabuhan;

d. Implementasi ISPS dalam hukum nasional.

1. Kuliah Interaktif; 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan;

2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta;

3. Partisipasi dalam diskusi;

5

10 Mahasiswa dapat Perlindungan dan 1. Kuliah Interaktif; 1. Kemampuan 5

Page 7: Bahan Ajar

7

menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Pelestarian Laut: a. Ketentuan dalam

KHL III 1982; b. Tindak lanjut

2. Studi kasus; 3. Diskusi.

menyajikan fakta-fakta mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama Tim;

4. Penguasaan Individual.

11 Mahasiswa dapat

menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran laut.

1. Pengertian; 2. Sumber-sumber

pencemaran laut; 3. Kasus pencemaran

laut Newmont dan kasus tumpahnya minyak di kepulauan Natuna.

1. Discovery learning melalui small group work;

2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai pencemaran laut;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama Tim;

4. Penguasaan Individual.

5

12 Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karun serta berbagai istilah, pengaturan hukumnya.

1. Pengertian; 2. KHL 1982; 3. Status harta karun;

1. Kuliah Interaktif 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Partisipasi dalam diskusi;

2. Kejelasan dalam mengungkap pendapat;

3. Ketepatan dalam menguraikan teori.

5

13 Mahasiswa dapat menejelaskan pengaturan harta karun dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional.

1. UU no. 32 tahun 2004;

2. PP No. 25 Tahun 2000;

3. Keppres No. 107 Tahun 2000, dlsb.

1. Kuliah Interaktif 2. Studi kasus; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai standardisasi keselamatan atau keamanan kapal dan pelabuhan;

2. Ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta;

3. Partisipasi dalam diskusi;

5

14 Mahasiswa dapat menjelaskan ketentuan dan prinsip-prinsip dasar

- Pengantar Desentralisasi kelautan

1. Discovery learning melalui small group

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta

5

Page 8: Bahan Ajar

8

mengenai perikanan Indonesia (1).

- Hukum Perikanan Indonesia (UU no. 31 tahun 2004) dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya..

work; 2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

mengenai pencemaran laut;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama Tim;

4. Penguasaan Individual.

15 Mahasiswa dapat

menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perikanan Indonesia ( 2)

- penggunaan wilayah untuk perikanan (2).

1. Discovery learning melalui small group work;

2. Kuliah Interaktif; 3. Diskusi.

1. Kemampuan menyajikan fakta-fakta mengenai pencemaran laut;

2. Partisipasi dalam diskusi;

3. Kerjasama Tim;

4. Penguasaan Individual.

5

16 Ujian Akhir Semester Ujian akhir diberikan dapat berupa makalah atau ujian tertulis.

1. Penguasaaan teori materi pembelajaran;

2. Ketepatan dalam menganilisi;

3. Ketepatan waktu dalam menyelesaikan makalah atau menyelsaikan soal-soal.

10

Page 9: Bahan Ajar

9

BAB 2 BAHAN PEMBELAJARAN 1

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa

“mahasiswa dapat menjelaskan pengertian PIP (Pola Ilmiah Pokok),

penetapan ilmu-ilmu kelautan sebagai PIP, relevansi, visi dan misi PIP

Unhas”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan

strategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan

pendapat, dan ketepatan dalam menguraikan teori terkait ilmu-ilmu kelautan

sebagai PIP. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan

media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian

Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar dibawah kepemimpinan

Rektor Prof. DR. Achmad Amiruddin 1973 - 1983 melalui beberapa kali

lokakarya telah menetapkan Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) sebagai

Pola Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin berdasarkan argumentasi bahwa

negara Indonesia secara geografis adalah Negara-Kepulauan(Archipelagic

State) yang terdiri 74,3% laut dan 25,7 % daratan meliputi 18.108 pulau besar

dan kecil1. Perairan laut 74,3% seluas 5,8 juta km2, mencakup 0,3 % laut

teritorial, 2,8 juta km2 perairan Nusantara, dan 2,7 juta km2 zona ekonomi

eksklusif sangat kaya potensi sumber daya alam laut hayati dan nabati,

perlu dikaji, dianalisis, diteliti, di eksplorasi dan di eksploitasi untuk

kesejahteraan umat manusia umumnya dan kemakmuran bangsa Indonesia

khususnya. Inilah tantangan Unhas untuk memberikan jawaban konkrit melalui

teori ilmu dan teknologi kelautan dalam semua aspek disiplin ilmu yang

diajarkan di Unhas dan praktek melalui alumninya yang berbobot dan handal

1 Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia, IUCN

Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN Environmental Law Center, Germany, p. 32. See also Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October 2009. P. 1.

Page 10: Bahan Ajar

10

mengeksplorasi dan mengeksploitasi laut beserta sumber daya alamnya for

benefit of mankind.

Unhas telah beberapa kali melaksanakan Lokakarya dalam rangka

untuk menangkap ide, aspirasi dan arah Pola Ilmu Pokok. Marine Sciences

adalah Ilmu dan Teknologi Kelautan untuk menjawab tantangan zaman guna

melahirkan Sarjana Teknologi Kelautan yang mampu melakukan eksplorasi

dan eksploitasi sumber daya laut baik yang terdapat di dasar laut (sea bed)

maupun yang terdapat pada tanah di bawahnya (sub soil). Sarjana Teknologi

Kelautan ini masih langka di dunia apa lagi di Indonesia. Rektor Universitas

Hasanuddin Prof. Achmad Amiruddin pada saat itu mengatakan bahwa Unhas

harus tampil di depan menjadi pelopornya, dan bukan menjadi universitas

pengekor di belakang universitas lain. Unhas harus menjadi universitas

terkemuka di Indonesia dan di dunia. Jadi, ide, aspirasi dan arah Marine

Sciences pada intinya adalah Fakultas Teknologi Kelautan, bukan Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan. Perlu reevaluasi atas arah yang tidak sesuai

design awalnya atau grand masternya.

Bagi Fakultas Hukum Unhas, implementasi Pola Ilmiah Pokok itu adalah

mata-kuliah Hukum Laut PIP (Pola Ilmiah Pokok) menjadi mata-kuliah Wajib

Universitas bagi seluruh mahasiswa dengan bobot 2 kredit. Dalam

perkembangan selanjutnya, di masa kepemimpinan Rektor Prof. Rady A Gani,

implementasi Pola Ilmiah Pokok itu ditambah lagi satu mata-kuliah wajib

universitas yakni Budaya Maritim dengan bobot 2 kredit. Penambahan mata

kuliah Budaya Maritim tentunya dimaksudkan untuk lebih memasyarakatkan

PIP diseluruh fakultas di Unhas yang selama ini hanya merupakan domain ilmu

mahasiswa Ilmu Kelautan dan Perikanan dan Fakultas Hukum. Oleh karena

itu, hal yang strategis harus dilakukan adalah mengharmonisasikan dan

mengsinkronnisasikan materí mata kuliah PIP yang diajarkan di Fakultas

Hukum dengan materi budaya maritim yang diajarkan di Mata Kuliah Umum di

Unhas (disajikan seluruh fakultas karena meruapakan mata kuliah wajib

universitas). Meskipun disisi lain, kebijakan Pimpinan Unhas setelah lebih dua

dekade untuk menambah lagi mata-kuliah Budaya Maritim bersamaan mata-

kuliah Hukum Laut PIP, dipandang hanya menambah beban saja yang

berlebihan (over load) dan tidak relevan bagi mahasiswa Fakultas Hukum. Dua

Page 11: Bahan Ajar

11

mata-kuliah yang hampir serupa tersebut ditetapkan menjadi mata-kuliah wajib

universitas, karena struktur organisasi Unhas masih menerapkan sistem

sentralistik yang bersifat top-down (sistem komando) dan lagi pula sudah

terlihat ketinggalan zaman (out of date), karena tidak mampu mengikuti

perkembangan zaman yang cepat berubah (up to date, sesuai filosofi: pantai

rei), sehingga otonomi Fakultas Hukum untuk mengatur mata-kuliah yang

relevan saja bagi profesi hukum, telah diabaikan.

Kepemimpinan Rektor Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi (2006 – sekarang)

kemudian hendak mengejewantahkan visi universitas yakni budaya maritim

atau baharí dalam bentuk yang lebih konkrit. Apa lagi salah satu visi yang juga

hendak diraih oleh Unhas yakni membawa Unhas sebagai ”The World Class

University”. Oleh karena itu, strategis sifatnya jika dilakukan evaluasi dan

peninjauan kembali mata-kuliah Budaya Maritim agar tidak tumpang tindih

secara substansi dengan mata-kuliah PIP yang diberikan bagi mahasiswa

Fakultas Hukum. Sehingga kedua mata kuliah tetap dapat diajarkan tanpa

menimbulkan kontroversi tentang penyelenggaraan kedua mata kuliah ini.

Tentunya, pembelajaran PIP (hukum laut) tidak hanya mengkaji

perkembangan hukum laut dari waktu ke waktu, tetapi juga sebagai

”penghargaan generasi” atas apa yang telah ditorehkan nenek moyang bangsa

Indonesia dulu yang merintis budaya kemaritiman dalam memperkaya

khazanah cakrawala pengetahuan kemaritiman hingga sekarang, serta

mendorong karya-karya intelektual baru bagi yang bisa bermanfaat bagi

pembangunan nasional.2

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran pertama dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir

perkuliahan yang dikemas dalam beberpa pertanyaaan, seperti:

1. Mengapa Marine Sciences (Ilmu-Ilmu Kelautan) ditetapkan sebagai Pola

Ilmiah Pokok Universitas Hasanuddin? Jelaskan ?

2 Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat, (Fakultas Hukum

Unhas Makassar, 2007), hlm. 1. Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), (Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007).

Page 12: Bahan Ajar

12

2. Siapakah Rektor Unhas yang berkontribusi dalam menggagas PIP? Dan

bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan dan dianjurkan oleh

rector berikutnya?

3. Mengapa mata kuliah PIP dan Budaya Maritim yang diajarkan bagi

mahasiswa Fakultas Hukum Unhas menjadi perdebatan?

Daftar Bacaan

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),

Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.

Idris Buyung. Buku Ajar Hukum Laut Internasional Indonesia, Diktat,

Fakultas Hukum Unhas Makassar, 2007.

Laode M. Syarif, Promotion and Management of Marine Fisheries in Indonesia,

IUCN Environmental Policy and Law Paper No. 74, IUCN

Environmental Law Center, Germany.

Vivian Louis Forbes, Optimalizing the Indonesian Diplomacy: Challenges

and Future Direction, Experts Group Meeting, Makassar, 30 October

2009.

Page 13: Bahan Ajar

13

BAB 3 BAHAN PEMBELAJARAN 2

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu I bahwa

“mahasiswa dapat menjelaskan arti berbagai istilah seperti konsepsi

nusantara, wawasan nusantara, negara nusantara, benua maritim Indonesia

dan sejarah perkembangan hukum laut Indonesia.”. Sasaran pembelajaran

dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa

kuliah interaktif dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengemukakan

pendapat, dan kemampuan menjelaskan fakta mengenai beberapa istilah dan

sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia. Pembelajaran ini akan

dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang

diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:

Istilah Wawasan Nusantara dan Sejarah Perkembangan Hukum Laut di

Indonesia.

a. Klaim Wawasan Nusantara

Sebelum lahirnya Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (United

Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang menetapkan

lebar laut teritorial adalah 12 mil laut. Pada konvensi hukum laut I dan II yang

dilangsungkan di Jenewa tidak mampu menyelesaikan masalah kesepakatan

tentang luas laut teritorial dan hanya menetapkan lebar laut teritorial seluas 3

mul laut berdasarkan praktek kebiasaan waktu itu. Selain itu, penetapan batas

wilayah menurut “Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang

dimuat dalam Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) yang juga menetapkan

lebar wilayah laut teritorial Indonesia adalah 3 mil, dalam konteks negara

kepulauan (archipelagic state) seperti Indonesia, hal ini jelas sangat

merugikan.

Page 14: Bahan Ajar

14

Mengingat adanya kelemahan atas hukum yang mengatur mengenai

wilayah laut (perairan) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang masih

merupakan warisan kolonial Belanda dahulu, dengan tolak ukur jarak tiga mil

laut dari pantai itu, ternyata ada juga negara-negara lain yang

menyimpanginya. .Negara-negara itu yaitu negara-negara Skandinavia sejauh

empat mil, dan Spanyol dengan jarak enam mil dari pantai. Karena itu,

wajarlah apabila pemerintah RI mempunyai gagasan baru untuk merombak

total (masalah lebar laut) dan kemudian mengembangkan ke aspek-aspek

selanjutnya.

Perombakan yang dimaksudkan di atas untuk pertama kali

dilaksanakan oleh pemerintah RI dengan mengeluarkan pengumuman pada

tanggal 13 Desember 1957 yang disebut Deklarasi 13 Desember 1957, atau

dikemudian hari dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda karena pada saat itu

Indonesia masih memakai konstitusi RIS 1949 dengan Perdana Menteri-nya Ir,

Djuanda.

Adapun pertimbangan-pertimbangan yang mendorong pemerintah RI

sebagai suatu negara kepulauan sehingga mengeluarkan pernyataan

mengenai wilayah perairan Indonesia, adalah:

a. Bahwa bentuk geografis Indonesia yang berwujud negara kepulauan, yang

terdiri atas tiga belas ribu lebih pulau-pulau, besar dan kecil yang tersebar

dilautan.

b. Demi untuk kesatuan wilayah negara RI, agar semua kepulauan dan

perairan (selat) yang ada diantaranya merupakan satu kesatuan yang utuh,

dan tidak dapat dipisahkan antara pulau yang satu dengan lainnya, atau

antara pulau dengan perairannya.

c. Bahwa penetapan batas perairan wilayah sebagaimana menurut

“Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939” yang dimuat dalam

Staatsblad 1939 No. 442 Pasal 1 (1) sudah tidak sesuai lagi dengan

kepentingan Indonesia setelah merdeka.

d. Bahwa Indonesia setelah berdaulat sebgai suatu negara yang merdeka,

mempunyai hak sepenuhnya dan berkewajiban untuk mengatur segala

sesuatunya, demi untuk keamanan dan keselamatan negara serta

bangsanya.

Page 15: Bahan Ajar

15

Deklarasi Djuanda 1957 merupakan titik pangkal lahirnya klaim

Wawasan Nusantara, yang merupakan konsepsi kewilayahan. Dalam masalah

pengumuman pemerintah RI tentang konsep Wilayah Perairan, pemerintah RI

bukan satu-satunya negara yang melakukan klaim atas wilayah pantainya.

Sebab sebelumnya, Presiden AS, S. Truman, pada tanggal 25 Desember 1945

mengumumkan dua pernyataan, yaitu:

1. Proklamasi tentang landas kontinen

2. Proklamasi tentang perikanan.

Istilah Wawasan Nusantara sebenarnya baru dikenal pada seminar

pertahanan keamanan tahun 1966. Pada waktu itu Wawasan Nusantara

dipergunakan untuk mengembangkan kekuatan pertahanan dan keamanan

yang terpadu, untuk menggantikan tiga wawasan yang pernah ada, dan

sifatnya sektoral, yatiu:

a. Wawasan Benua, yang diprakarsai oleh AD.

b. Wawasan Bahari yang diprakarsai oleh AL.

c. Wawasan Dirgantara yang diprakarsai oleh AU.

Ketiga wawasan tersebut di atas masing-masing sebagai perwujudan

konsep kekuatan (power concept) sehingga menimbulkan adu kekuatan, yang

dapat mengakibatkan gejolak atau ketegangan dalam kehidupan politik bagsa

dan negara, atau kemungkinan dapat menimbulkan terjadinya instabilitas

nasional dalam kehidupan masyarakat negara. Lain halnya dengan Wawasan

Nusantara yang dikembangkan menjadi kebudayaan politik (political culture)

dan merupakan milik bangsa dan negara RI. Dua tahun setelah keluarnya

Deklarasi Djuanda 1957, pada tanggal 18 Februari 1960 dikuatkan dalam

bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 4 tahun

1960 tentang Perairan Indonesia (LN. 1960. No. 22) dengan maksud agar

klaim tersebut memiliki kekuatan hukum dan mengikat.

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, Peraturan

Pemerintah pengganti Undang-Undang tersebut diatas, dikukuhkan

(dituangkan) menjadi undang-undang No. 4 Prp. Tahun 1960. Adapun isi

pokok UU No. 4. Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia adalah:

1. Perairan Indonesia ialah Laut Wilayah beserta perairan Pedalaman

Indonesia (Perairan Nusantara).

Page 16: Bahan Ajar

16

2. Laut Wilayah Indonesia ialah jalur laut selebar dua belas mil laut dari pulau-

pulau yang terluar atau bagian pulau-pulau yang terluar dengan

dihubungkan garis lurus antara satu dengan lainnya.

3. Apabila ada selat yang lebarnya tidak melebihi dua puluh empat mil laut,

dan negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi (artinya

ada negara tetangga), maka garis batas Laut Wilayah Indonesia ditarik

pada tengah selat.

4. Perairan Pedalaman Indonesia (Perairan Nusantara) adalah semau

perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis besar.

5. Hak Lintas Damai kendaraan air (kapal) asing, diakui dan dijaman

sepanjang tidak mengganggu atau bertentangang dengan keamanan serta

keselamatan negara dan bangsa.

6. Tidak berlakunya lagi pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4

‘Territoriale Zee Maritieme Kringen Ordonantie” 1939.

Implikasi posistif klaim wawasan nusantara yang tercantum dalam UU

No. 4/ Prp 1960 adalah :

1. Wilayah Indonesia berdasarkan TZMKO 1939 luasnya hanya: 2.027.087

km2; setelah berlakunya UU No. 4/Prp. 1960 tersebut, luas wilayah

Indonesia menjadi: 5.193.250. km2 (daratan dan lautan); berarti luas

wilayah bertambah 3.166.163 km2 (Perairan) atau lebih kurang: 145%.

Meskipun pertambahan wilayah tersebut berwujud perairan, tetapi banyak

mengandung sumber daya alam.

2. Realisasi makna ketentuan yang tercantum didalam alinea IV pembukaan

UUD 1945, Juga Pasal 1 (1) UUD 1945 dapat dilaksana.

Dalam usaha mewujudkan konsep wawasan nusantara ini, pemerintah

RI telah dua kali meng-gol-kan klaim wawasan nusantara itu di forum

internasional, yaitu dalam konferensi hukum laut Internasional pada tahun

1958 dan tahun 1960; tetapi belum mendapatkan hasil sebagaimana

diharapkan. Dengan telah dijadikannya Deklarasi Djuanda 1957 kedalam

bentuk undang-undang, yang berarti mempunyai kekuatan hukum dan

mengikat. Dalam hal ini, ada dua macam jalur jalur yang ditempuh pemerintah

RI dalam memperjuangkan konsep wawasan nusantara. Kedua macam jalur

tersebut adalah:

Page 17: Bahan Ajar

17

a) Jalur internasional; yaitu seperti yang sudah dilakukan, dengan jalan

memperjuangkan dalam pembicaraan-pembicaraan di forum internasional,

konferensi hukum laut,dan forum-forum internasional lainnya.

b) Jalur nasional; yaitu dengan langsung mengadakan perundingan baik

secara bilateral maupun multilateral dengan negara-negara tetangga yang

berkepentingan.

Diantara dua macam jalur cara memperjuangkan klaim wawasan

nusantara tersebut, ternyata dalam jangka waktu pendek lebih terlihat hasilnya

meskipun terbatas hanya negara-negara yang berkepentingan saja adalah

yang melalui jalur nasional. Hal ini terbukti dengan adanya perundingan-

perundingan antar negara yang menghasilkan perjanjian (treaty) atau

persetujuan (agreement), mengenai perbatasan laut wilayahnya dengan

wilayah RI. Perjanjian dan persetujuan yang dimaksudkan antara lain, termuat

dalam:

1. UU No. 22 tahun 1971 (LN. 1971 No. 16) tentang Perjanjian antara RI dan

Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut kedua negara di selat

Malaka.

2. Keputusan Presiden No. 66 Tahun 1972 (LN. 1972 No. 45) tentang

Penetapan Batas Laut Antara RI - Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru.

3. UU No. 6 Tahun 1973 (LN. 1973 No. 58), tentang Perjanjian Antara

Indonesia dengan Australia Mengenai Garis-garis Batas Tertentu Antara

Indonesia dengan PNG.

4. UU No. 7 tahun 1973 (LN. 1973 No. 59) tentang Perjanjian Antara

Indonesia dengan Singapura Mengenai Penetapan Garis Batas Laut

Wilayah kedua negara di Selat Singapura.

5. Keppres No 24 Tahun 1978 (LN. 1978 No 37) Mengesahkan Persetujuan

Antara Pemerintah RI, Pemerintah Republik India dan Pemerintah Kerajaan

Thailand, Tentang Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan

Penetapan Garis Batas Ketiga Negara di Laut Andaman.

6. Keppres No. 6 Tahun 1980 (LN. 1980 No. 3) tentang Pengesahan

Persetujuan Dasar Antara RI dan PNG tentang Pengaturan-Pengaturan

Perbatasan Kedua Negara.

Page 18: Bahan Ajar

18

b. Konsepsi Landas Kontinen

Landas kontinen menurut pengertian Hukum Laut Internasional

mencakup seluruh pengertian Tepian Kontinen (continental margin), yang

secara geografik meliputi: Landas atau Dataran Kontinen, Lereng Kontinen ada

pada dasar laut dan tanah dibawahnya, sampai kedalaman 200 meter atau

lebih, selama masih dapat dilakukan eksplorasi dan eksploitasi.

Adapun isi pokok Deklarasi (Djuanda; kursip penulis) yang juga

mengandung ketentuan tentang landas kontinen sebagaimana dimaksudkan

diatas adalah sebagai berikut:

a) Segala sumber kekayaan-kekayaan alam yang terdapat dalam Landas

Kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia.

b) Pemerintah Indonesia bersedia menyelesaikan soal garis batas Landas

Kontinen dengan negara-negara tetangga melalui perundingan

c) Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka batas Landas Kontinen

Indonesia adalah suatu garis yang ditarik ditengah-tengah antara pulau

terluar Indonesia dengan titik luar wilayah negara tetangga.

d) Klaim di atas tidak mempengaruhi sifat serta status dari perairan di atas

Landas Kontinen Indonesia dan ruang udara diatasnya.3

Wilayah ini mencakup dasar laut dan tanah dibawah dasar laut diluar

laut teritorial dan merupakan kelanjutan dari wilayah daratan sampai tepi luar

dari batas kontinen. Berdasarkan batasan ini negara pantai dapat menetapkan

dua kriteria landas kontinen. Pertama wilayah yang lebarnya dari zona landas

kontinen dibatasi sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar batas teritorial

diukur. Kedua, tepi luar dari landas kontinen melebihi 200 mil dari garis dasar

laut teritorial diukur, sehingga negara pantai dapat menetapkan batas melebihi

200 mil laut tetapi tidak boleh melebihi 350 mil laut.4

Pengundangan konsepsi negara kepulauan (archipelagic state) telah

mengakibatkan perubahan pada panjang garis pantai yang tadinya melebihi

jarak jumlah total sepanjang 33. 972 mil menjadi 8. 069, 8 mil. Perlu diingat

3 S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta

Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm 27-39. 4 Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan,

Ligitan, dan Sebatik, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hlm.25-26

Page 19: Bahan Ajar

19

bahwa bukan hanya negara RI saja yang mengeluarkan Deklarasi tentang

Landas Kontinennya, tetapi Presiden Truman dari Amerika Serikat pada

tanggal 28 September 1945 juga telah mengumandangkan Proklamasi tentang

Landas Kontinen (Continental Shelf) negara Amerika Serikat.5

c. Konsepsi Negara Kepulauan

Konsepsi negara kepulauan diterima oleh masyarakat internasional dan

dimasukan kedalam UNCLOS III 1982, utamanya pada pasal 46. Dalam pasal

tersebut, disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan” berarti suatu Negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-

pulau lain”. Sedangkan pengertian kepulauan disebutkan sebagai, “ kepulauan”

berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan

lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya

sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan

suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara

historis diangap sebagai demikian.”6 Dan dalam sejarah hukum laut Indonesia

sudah dijelaskan dalam deklarasi Juanda 1957 , yaitu pernyataan Wilayah

Perairan Indonesia: “Segala perairan di sekitar, diantara dan yang

menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan

negara RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian

yang wajar daripada wilayah daratan RI dan dengan demikian merupakan

bagian daripada perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak

daripada negara RI”.

Sedangkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan

Indonesia disebutkan bahwa, “Negara Kepulauan adalah negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-

pulau lain.” Sementara itu, dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam

Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang berisi 9 pasal, yang berisi antara lain:

Ketentuan-ketentuan tentang negara-negara kepulauan, garis-garis pangkal

lurus kepulauan, status hukum dari perairan kepulauan, penetapan perairan

pedalaman, dalam perairan kepulauan, hak lintas damai melalui perairan

5 S. Toto Pandoyo, Op. Cit. hlm. 39 6 Pasal 46 UNCLOS 1982. Tim Penerjemah UNCLOS 1982, (Jakarta:tp, 1983), hlm. 41.

Page 20: Bahan Ajar

20

kepulauan, hak lintas alur-alur laut kepulauan, hak dan kewajiban kapal dan

pesawat udara asing dalam pelaksanan hak lintas alur-alur laut kepulauan.

Pengaturan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 dimulai dengan

penggunaan istilah negara kepulauan (archipelagic state). Pada pasal 46 butir

(a) disebutkan bahwa, “negara kepulauan adalah suatu negara yang

seluruhnya terdiri satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau

lain (pasal 46 butir (a). Maksud dari pasal 46 butir (a) tersebut adalah, secara

yuridis, pengertian negara kepulauan akan berbeda artinya dengan definisi

negara yang secara geografis wilayahnya berbentuk kepulauan. Hal ini

dikarenakan, dalam pasal 46 butir (b) disebutkan bahwa kepulauan adalah

suatu gugusan pulau-pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantaranya dan

lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat

sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu merupakan

suatui kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang hakiki atau yang secara

historis dianggap sebagai demikian. Dengan kata lain, pasal 46 ini

membedakan pengertian yuridis antara negara kepulauan (archipelagic state)

dengan kepulauan (archipelago) itu sendiri.

Perbedaan ini menimbulkan konsekuensi bahwa penarikan garis

pangkal kepulauan (archipelagic baseline) tidak bisa dilakukan oleh semua

negara yang mengatasnamakan dirinya sebagai negara kepulauan. Hal ini

dikarenakan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila ingin melakukan

penarikan garis pangkal lurus kepulauan. Yaitu, satu kesatuan geografis,

ekonomi, politik, dan historis.

Adapun persyaratan obyektif yang harus dipenuhi oleh negara

kepulauan dalam melakukan penarikan garis pangkal lurus kepulauan (pasal

47), yaitu:

1. Rasio (perbandingan) antara luas wilayah perairan dengan daratan, yaitu

suatu negara kepulauan minimal harus memiliki luas perairan yang sama

besar atau makasimal hanya sembilan kali dengan luas daratannya.

2. Panjang maksimum setiap segmen garis pangkal, yaitu panjang setiap

garis lurus yang menghubungkan dua titik pangkal ditetapkan diteteapkan

tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bila tiga persen dari jumlah

seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulaaun dapat melebihi

Page 21: Bahan Ajar

21

kepanjangan tersebut, maka dapat digunakan batas maksimum 125 mil

laut.

3. Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari

konfigurasi umum kepulauan tersebut.

4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali

apabila diatasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang

secara permanen berada diatas permukaan laut atau apabila elevasi surut

tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak

melebihi lebar laut teritorial dari pulau terdekat

5. Sistem garis pangkal demikian, tidak boleh diterapkan oleh suatu negara

kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut

teritorial negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu negara kepulauan, terletak

diantara dua bagian suatu negara tetangga yang langsung berdampingan,

hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentingan sah lainnya yang

dilaksanakan secara tradisional oleh negara tersebut terakhir diperairan

mereka, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara negara-

negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dicermati.

7. Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan, daerah

daratan dapat mencakup didalamnya perairan yang terletak didalam

tebaran karang pulau-pulau dan Atol, termasuk bagian plateau oceanic

yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian

pulau batu gamping dan karang kering diatas permukaan laut yang terletak

disekeliling plateau tersebut.

8. Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus

dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai

untuk menegaskan posisinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-

titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.

9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau

daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan

setiap peta atau daftar demikian ke Sekjen PBB.

Selanjutnya, diatur bahwa ketentuan yang tertuang dalam pasal 47

merupakan garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona

Page 22: Bahan Ajar

22

tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan (pasal 48).

Dengan kata lain, pasal 48 mengukuhkan bahwa untuk suatu negara

kepulauan, garis-garis pangkal lurus kepulauan mempunyai fungsi yang sama

dengan garis-garis pangkal lain yang diakui oleh Konvensi Hukum Laut 1982,

seperti garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus.

Dari beberapa aturan yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa

Indonesia yang berstatus sebagai negara kepulauan akan diuntungkan, karena

dapat menggunakan kelebihan-kelebihan yang dimiliki cara penarikan garis-

garis pangkal kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia menuangkan Konsepsi

Negara Kepulauan dalam amandemen ke 2 UUD 1945 Bab IXA tentang

wilayah negara. Pada pasal 25 E berbunyi ” Negara Kesatuan RI adalah

negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah-wilayah yang batas-

batasnya dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”. Selain itu,

dalam pasal 2 Undang-Undang No 6 tahun 1996 tentang Perairan indonesia,

pemerintah Indonesia secara tegas menyatakan bahwa negara RI adalah

negara kepulauan.

Sebagaimana yang disyaratkan oleh pasal 46 Konvensi Hukum Laut

PBB 1982, tidak semua negara yang wilayahya terdiri dari kumpulan pulau-

pulau dapat di anggap sebagai negara kepulauan. Dari peraturan peundang-

undangan nasional yang dikumpulkan oleh UN-DOALOS ada 19 negara yang

menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara

kepulauan, yaitu; Antigua dan Barbuda, Bahama, Komoro, Cape Verde, Fiji,

Filipina, Indonesia, Jamaika, Kiribati, Maldives, Kepulauan Marshall, PNG,

Kepulauan Solomon, Saint Vincent dan Grenadines, Sao Tome dan Principe,

Seychelles, Trinidad dan Tobago, Tuvalu, dan Vanuatu.

Selanjutnya dalam peraturan pelaksanannya, pemerintah RI

mengeluarkan PP No 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-

titik garis pangkal kepulauan Indonesia yang telah diubah dengan PP No. 37

tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Geografis titik-titik garis pangkal

kepulauan Indonesia. Pada pasal 2 ayat (1) disebutkan bahwa pemerintah

menarik garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial.

Sedangkan penarikan garis pangkal kepulauan dilakukan dengan

menggunakan; garis pangkal lurus kepulauan, garis pangkal biasa, garis

Page 23: Bahan Ajar

23

pangkal lurus, garis penutup teluk, garis penutup muara sungai, terusan dan

kuala, serta garis penutup pada pelabuhan.

Namun kepemilikan Indonesia terhadap pulau-pulau kecil, khususnya

pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, masih

menyisakan permasalahan. Kalahnya pulau Sipadan dan Ligitan oleh Malaysia

telah mamberikan pelajaran kepada Indonesia dimuka Internasional. Hal ini

mencerminkan bahwa pemerintah RI hanya sekedar memilki tanpa mempunyai

kemampuan untuk menguasai dan memberdayakannya. Berkaca dari

maraknya potensi konflik dipulau-pulau kecil terluar, pemerintah Indonesia

mengeluarkan Perpres No 78 Tahun 2005 tentang pengelolaan pulau-pulau

kecil terluar. Perpres tersebut bertujuan untuk:

1. Menjaga keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional, pertahanan negara

dan bangsa serta menciptakan stabilitas kawasan

2. Memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang

berkelanjutan

3. Memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar juga diharapkan dapat mengatasi

ancaman keamanan yang meliputi kejahatan transnasional penangkapan ikan

ilegal, penebangan kayu ilegal, perdagangan anak-anak dan perempuan

(trafficking), imigran gelap, penyelundupan manusia, penyelendupan senjata

dan bahan peledak, peredaran narkotika, pintu masuk terrorisme, serta potensi

konflik sosial dan politik. Hal ini penting agar kesaradaran untuk menjaga

pulau-pulau kecil diperbatasan tetap ada, dan pualu-pulau kecil diperbatasan

tidak dianggap sekedar halaman belakang.7

d. Kontribusi Amannagappa dalam Studi Hukum Laut

Uraian konsepsi Wanus sebagaimana dijelaskan di atas termasuk

konstribusi sejarah didalamnya, perlu dilengkapi dengan mencantumkan

kontribusi Sulawesi selatan sebagai basis kemaritiman. Konsepsi tersebut

dapat dilihat pada “Pura tagkisi” gulikku, pura babbara sompeku’ ku

ulebbirengngi telling natowalie’ (Telah kupasang kemudiku, telah

7 Mustafa Abubakar , Op.cit. hlm. 26-32

Page 24: Bahan Ajar

24

kukembangkan layarku kupilih tenggelam daripada surut langkah).8

Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, Makassar dan Mandar

sejak dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dan telah mampu melayari seluruh

pesisir Asia Tenggara, Australia, Madagaskar, Afrika Selatan bahkan sampai

ke Jeddah-Arab Saudi. Seiring dengan kentalnya warisan sejarah kebaharian

masyarakat Sulawesi Selatan, maka pemahaman akan hukum dan lingkungan

laut bagi mahasiswa Universitas Hasanuddin (selanjutnya disingkat Unhas)

menjadi sangat penting.9

Dalam konteks Indonesia dan khususnya Sulawesi Selatan konsep-

konsep kepemilikan laut dan pengaturan pelayaran juga telah berkembang

sejak abad ke 17 yang dapat dilihat pada hukum Pelayaran Amanna Gappa.

Dalam hukum Amanna Gappa lebih cenderung menganut konsep kebebasan

berlayar di laut. Lebih daripada itu hukum Amanna Gappa juga telah mengatur

hak dan kewajiban pemilik kapal dan anak buah kapal. Konsep-konsep

kepemilikan laut kemudian diadopsi oleh Hukum Laut Modern, yang dapat

dilihat pada sejumlah konvensi internasional yang akan dikemukakan

kemudian.

Terlepas dari tuanya sejarah kebahaarian masyarakat Sulawesi Selatan,

dalam dunia internasional kita mengenal beberapa konsep pengaturan laut,

yang berkembang sejak zaman romawi sampai berkembangnya hukum laut

modern, seperti dewasa ini. Pada zaman Romawi, laut dianggap sebagai “rest

communis omnium” (hak bersama seluruh umat manusia). Menurut konsep ini

penggunaan laut bebas atau terbuka bagi semua orang.

Pada Abad Pertengahan setelah keruntuhan Imperium Roma, negara-

negara yang muncul di sekitar laut Tengah mulai mengklaim hak kewilayahan

8 Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, (Bandung: P.T. Alumni, 1982). Naskah dalam bahasa

bugis tentang hukum laut perdata telah dibahas dalam berbagai pertemuan dan penulis antara lain Carron dalam disertasinya yang berjudul “Het Handels en Zeerecht in Adatrechtsregelen van de Rechts kring Zuid Celebes”, disertasi, (Belanda: Penerbit Van Dishoeck ,1973). Isi buku undang-undang Amanna gappa ini mengandung peraturan-peraturan yang berlaku menurut hukum (adat) Bugis dibidang pengangkutan laut. Tulisan lain tentang buku undang-undang amana gappa adalah Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961). Lihat juga Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, (Jakarta: BPHN, 1977). Tentunya, penelitian mendalam perlu dilakukan untuk mengetahui apakah di Indonesia dahulu kala, terutama dalam hukum (adat) Bugis yang dikenal sebagai pelaut utama antara suku-suku bangsa di Indonesia, telah dikenal konsepsi-konsepsi hukum laut publik yang dapat disamakan dengan Konsepsi atau lembaga-lembaga (atau pranata) hukum laut internasional publik yang telah diterima secara umum.

9 Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1 Juni 2010, hlm. 37-39.

Page 25: Bahan Ajar

25

atas laut di sekitar pantai. Venetia misalnya mulai mengklaim sebagian besar

dari laut Adriatik, Genoa melakukan hal yang sama atas laut Liguria, sedang

Pisa yang juga negara kecil pecahan Imperium Romawi mengklaim dan

melakukan tindakan-tindakan penguasaan atas laut Thyrenia. Pada masa itu,

para ahli terkemuka seperti Bartolus dan Baldus telah telah meletakkan dasar-

dasar pembagian wilayah laut, yakni bagian laut yang berada di bawah

kekuasaan kedaulatan negara pantai, dan wilayah laut yang berada di luar

kedaulatan pantai atau lebih dikenal dengan konsep laut teritorial dan laut

lepas. Selanjutnya Baldus membedakan tiga konsepsi yang bertalian dengan

wilayah laut yakni : (1) Pemilik laut, (2) Pemakaian laut dan (3) Yurisdiksi atas

laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan terhadap kepentingan di

laut.10

Perkembangan pengaturan laut selanjutnya banyak ditentukan oleh

pertentangan pemikiran yang beranggapan bahwa laut sebagai sesuatu yang

tertutup (mare clausum) didukung oleh John Selden, dan pemikiran laut

sebagai sesuatu yang terbuka (mare liberum) yang didukung oleh sarjana

Belanda Hugo Gratius.11 Menurut pemikiran yang menganut mare clausum,

negara memiliki kedaulatan penuh di laut, sehingga tertutup bagi negara lain.

Sedangkan para pemikir mare liberum beranggapan bahwa harus ada

kebebasan berlayar di laut.12

Sekilas gambaran kontribusi sebagaimana dijelaskan di atas

menggambarkan betapa Sulawesi selatan telah berpartisipasi aktif dalam

sejarah perkembangan hukum laut di Indonesia.

C. Penutup

10 Baldus dalam Muchtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, (Bandung: Binacipta, 1987). 11 Buku-buku Grotius ini dalam terjemahan bahasa Inggris diterbitkan oleh International Laws dibawah

pimpinan redaksi James Brown Scott, Di Indonesia, buku-buku ini tersedia di Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang disebut sebagai Kementerian Pendidikan Nasional) yang bertempat di Gedung Museum Jakarta. Dalam seri ini diterbitkannya karya-karya penulis klasik hukum internasional lain sepertinya seperti Vittoria, Gentilis, Bynkershoek, Vattel, dll. Perpustakaan ini juga berfungsi sebagai perpustakaan Rechtshogeschool (Perguruan Tinggi Hukum Zaman Hindia Belanda).

12 Hal inilah yang menyebabkan mengapa orang-orang Portugis seperti Vasco da Gama sampai di Timur Jauh (Indonesia) melalui Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan India (kea arah Timur), sedangkan orang Spanyol bernama Magelhaens sampai di Filipina melalui Tanjung Magelhaens di Amerika Selatan (ke arah Barat). Pembagian dunia kedalam dua lingkungan kekuasaan ini juga menerangkan mengapa sebagian dari Amerika Selatan jatuh dibawah kekuasaan Spanyol dan sebagian dibawah kekuasaan Portugal yaitu yang kemudian menjadi Brazil yang hingga sekarang berbahasa Portugis.

Page 26: Bahan Ajar

26

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran kedua dilakukan dalam bentuk makalah dengan

merumuskan beberapa judul/topik, seperti:

1. Kontribusi Indonesia Dalam Konvensi Hukum Laut III Tahun 1982.

2. Konsepsi Negara Kepulauan: Suatu Tantangan Hukum Laut.

3. Sulawesi Selatan: Kontribusi Kelautan yang Tak terbantahkan.

Daftar Bacaan

Abdul Rasal Rauf, Mengurai Hukum Laut Amannagappa hingga Hukum

Laut Modern, Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. VI No. 1

Juni 2010, hlm. 37-39.

Andi Zainal Abidin, Beberapa Catatan Tentang Kitab Hukum Pelayaran dan Perniagaan Amana Gappa, Jakarta: BPHN, 1977.

Baharuddin Lopa, Hukum Laut dan Perniagaan, Bandung: P.T.

Alumni, 1982.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut International, Bandung:

Binacipta, 1987.

Mustafa Abubakar, Menata Pulau-Pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2005.

Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,

Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.

S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam

UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.

Page 27: Bahan Ajar

27

BAB 4 BAHAN PEMBELAJARAN 3

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 3 adalah

“Mahasiswa dapat menjelaskan implementasi asas Negara kepulauan dalam

berbagai peraturan perundangan Republik Indonesia”. Sasaran pembelajaran

dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa

discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif dan diskusi kelas.

Adapun criteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik

dalam menyajikan fakta-fakta terkait soal implementasi atau penerapan prinsip

Negara kepulauan melalui partisipasi dalam diskusi, kerjasama tim dan

penguasaan individual pembelajaran ini dilaksanakan selama 100 menit dengan

media modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian

Meskipun secara teknis perundang-undangan hanya terjadi perubahan

terhadap pasal ayat 1 butir 1 hingga 4 dari teritoriale zee en maritieme (TZMKO)

1939 saja, perubahan system pengukuran serta kewilayahan yang termuat dalam

UU No. 4 / PRP / 1960 cukup bermasalah dilihat dari hukum dan kebiasaan

Internasional. Bukan saja hal itu telah meninggalkan peraturan hukum

internasional, yang berlaku dan telah berjalan berabad-abad lamanya tetapi juga

mengakibatkan perubahan kewilayahan yang substansial.

Disamping itu juga yang merupakan hal penting adalah permasalahan lalu

lintas kendaraan air asing, untuk itu dengan peraturan Pemerintah No. 8 tahun

1962, diatur tentang hak lalu lintas damai kendaraan air asing. Peraturan

Pemerintahan merupakan peraturan pelaksanaan dari UU no 4 tahun 1960.

Ketentuan nasional tentang lau lintas damai kapal-kapal asing penting artinya

sebagai bukti adanya kesungguhan dan itikad baik dari Negara pantai untuk

menjamin agar dapat terus berlangsungnya hak lalu lintas damai dalam wilyah

perairan Nusantara Undang-undang No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.

Page 28: Bahan Ajar

28

Isi Pokok. a. l

a. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan

pedalaman Indonesia (Pasal 1 ayat 1)

b. Laut wilayah Indonesia untuk wilayah laut selebar 12 mil yang garis

luarnya diukur tegak lurus atas garis-garis dasar atau titik pada garis

dasar yang terdiri dari garis-garis lurus untuk menghubungkan titik-titik

terluas pada garis rendah dari pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang

terluar dalam wilayah Indonesia dengan ketentuan jika ada selat yang

lebarnya tidak melebihi 24 mil mil laut + Negara Indonesia tidak

merupakan satu-satunya Negara tepi, maka garis batas laut wilayah

Indonesia ditarik pada tengah selat (Pasal 1 ayat 1).

c. Perairan pedalaman, Indonesia untuk semua perairan yang terletak pada

sisi dalam dari garis dasar laut wilayah (pasal 1 ayat 3)

d. lalu lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi

kendaraan air asing (pasal 3 ayat 1).

e. dengan peraturan pemerintah dapat diatur lalulintas laut damani (pasal 3

ayat 2).

f. Mulai asal berlakunya undang-undang ini (18 Februari 1960) pertama

angka 1 angka 1 sampai 4 teritoriale zee am maritiesme ordonatiec 1939

dicabut (pasal 4 ayat 2).

Dari undang-undang No. 4 tahun 1960 ini jelas bahwa yang dimaksudkan

dengan peranan Indonesia di laut wilayah beserta perairan pedalaman di bagian

laut yang terletak pada di sebelah dalam garis-garis pangkal luas laut wilayah.

Peraturan Pelaksanaan PP No. 8 tahun 1962

Memberikan pengertian tentang lalu lintas damai, di pelayaran untuk

maksud damai yang melintasi laut wilayah +perairan pedalaman Indonesia dari

laut lepas ke teratas pelabuhan Indonesia dari laut lepas kelaut lepas (ayat 10.

Ditentukan pula bahwa semua pelayanan ini harus dilakukan tanpa berhenti +

membuang serta mondar mondir tanpa alasan yang sah (hovering unnua

Cessarily) di perairan atau di laut lepas yang berdekatan dengan perairan tersebut

tersebut tidak termasuk pengertian lalu lintas damai (ayat 3).

Page 29: Bahan Ajar

29

Daerah-daerah “berdekatan” yaitu daerah laut lepas sejauh 100 mil dari

perairan Indonesia. Jadi di daerah 100 mil dari laut wilayah, kapal-kapal pengawas

pantai Indonesia masih dapat melakukan pengawasan terhadap lalu lintas kapal-

kapal. Pasal-pasal ayat 2 : menentukan bahwa lalu lintas damai dianjurkan untuk

mengikuti alur-alur yang dicantumkan dalam buku-buku kepanduan bahari dalam

dunia pelayaran.

Menurut Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1962, lalu lintas laut termaksud dianggap

damai selama tidak berlawanan dengan keamanan, keterbatasan umum, +

kepentingan dan/atau tidak mengganggu perdamaian negara Republik Indonesia.

Kalau lalu lintas kapal tersebut akan membahayakan Indonesia, lalu lintas tersebut

tidak dapat lagi dianggap damai. Dalam hal ini, pemerintah tidak dapat lagi

menjamin lautan tersebut/meminta kapal-kapal asing itu meninggalkan laut

wilayahnya dengan Negara yang sekarang diakui oleh Pasal 30 KHL 1982. Suatu

ketentuan yang juga sudah diterima oleh pihak Indonesia. Pantai dapat menutup

untuk sementara bagian-bagian perairannya bagi kapal-kapal asing bila dianggap

pula untuk menjaga keamanan dan pertahanan Nnegara.

Demikian pula halnya dengan Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa

pasal PP No. 8 tahun 1962, yaitu:

Pasal 4 PP No. 8 tahun 1962 menyebutkan bahwa Presiden Indonesia memiliki

kewewenangan untuk menutup bagian-bagian tentang perairan Indonesia

bila dianggap perlu.

Pasal 5 ayat (1) Kapal-kapal ikan asing yang lalu di perairan Indonesia harus

menyimpan alat-alat penangkap ikannya dalam keadaan terbungkus. (oleh

sumber daya ikan dan hak eksklusif rakyat Indonesia).

Ayat (2) : kapal-kapal ikan asing tersebut harus melalui jalanan yang telah

ditetapkan.

Pasal 6 : Presiden dapat member izin pada kapal-kapal penelitian ilmiah di

perairan Indonesia. Sepanjang tidak merugikan Indonesia.

Pasal 7: Kapal perang dan kapal publik asing harus memberitahukan menteri

terkait atau KSAL kecuali bila diatur 7 tahun ditetapkan. (SK Presiden No.

16 tahun 1971).

Bagi kapal-kapal niaga atau swasta asing yang melakukan lintas damai,

tidak ada persoalan. Kapal-kapal bebas tidak perlu diberi tahu dahulu. Tapi kapal-

Page 30: Bahan Ajar

30

kapal asing mengadakan kegiatan yang tidak bersifat lintas damai diperlukan izin

pelayaran sesuai SK Presiden No. 16 tahun 1971 tentang wewenang pemberian

izin berlayar bagi segala kegiatan kendaraan air asing dalam wilayah perairan

Indonesia.

Kesatuan wilayah Republik Indonesia itu selanjutnya makin di tegakkan lagi

kebulatannya dan keutuhannya secara menyeluruh dengan dikeluarkannya

pengumumam pemerintah Republik Indonesia tentang landas kontinen pada

tanggal 17 Februari 1969, yang kemudian diundangkan dalam bentuk UU No. 1

tahun 1973 sehingga pengaturannya telah mencakup dasar laut beserta tanah

dibawahnya (seabed dan subsoil).

Perkembangan Konsep Landas Kontinen

Konsep Landas Kontinen untuk pertama kalinya dikemukakan oleh seorang

Spanyol yaitu Odon de buen pada Konferensi Perikanan di Madrid tahun 1926.

Pada saat itu peringatan landasan kontinen tidak dikaitkan dengan kepentingan

perikanan. Menurut dugaan, perairan diatas Landasan Kontinen merupakan

perairan yang baik sekali bagi kehidupan ikan. Secara oceanografi dapat

dijelaskan bahwa perairan diatas continental shelf termasuk jenis perairan

“euphotic zone” yakni suatu lapisan air yang karena dangkalnya dapat mendapat

cahaya matahari sehingga memudahkan terjadinya “photo sytesis” yang

diperlukan bagi kesuburankehidupan biologi laut. Jenis bologi laut berupa phyto

plankton dan zoo-plankton yang sangat digemari oleh ikan-ikan sebagai makanan

pokoknya.

Kemudian konsep Landasan Kontinen yang dikaitkan dengan kekayaan

alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya, untuk pertama kali dapat

dilihat dalam proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S Truman pada tanggal

28 September 1945 sebagai berikut:

“Now, therefore, I Harry S Thurman, President of the United Stated of America, do hereby proclaim the following policy of United States of subsoul and and seabed of the continental shelf. Having concern for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources, the government of the United States regard the natural resources of the sudsoil and seabed of tehe continental shelf beneath the high seas but contiguous to the coast of the United States are appertaining to the United States, subject to jurisdiction and control. In cases where the continental shelf extend to the shores of another state or is share with an adjacent state the boundary shall

Page 31: Bahan Ajar

31

be determined by the United States and the States concerned in accordance with equitable principle. The characteristic as high seas of the water above the continental shelf and the right to their free and unimpeded navigation are no way thus affected.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan dengan

proklamasi tersebut yakni :

1. Bahwa objek proklamasi itu berkaitan dengan kekayaan alam yang terdapat di

dlaam tanah (subsoil) dan sasar laut (seabed) dari landas Kontinen Amerika

Serikat.

2. Bahwa proklamasi itu bertujuan untuk melindungi kekayaan alam dan

memanfaatkannya secara bijaksana.

3. Bahwa Landas Kontinen itu tunduk dibawah jurisdiksi dan pengawasan

Amerika Serikat.

4. Bahwa dalam hal Landasan Kontinen bertemu dengan pantai Negara lain,

batasnya akan diatur secara bilateral berdasarkan prinsip keadilan.

5. Bahwa penentuan landasan Kontinen itu tidak mempengaruhi status perairan

diatasnya sebagai laut bebas.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, proklamasi Presiden Truman itu tidaklah

dapat dianggap menyimpang dari ajaran Grotius tentang laut bebas, karena

motivasi ajaran Grotius itu adalah semata-mata mengenai kebebasan berlayar

dan kebebasan perikanan, sama sekali bukan menyangkut existensi kekayaan

alam yang terkandung pada dasar laut dan tanah di bawahnya. Pandangan

tersebut dikemukakan dalam suatu kesempatan simposium internasional, sebagai

berikut: “It must be added at once the view presented by Grotius on resources of

the sea were limited to the living resources as there as there was no notion at the

time of the existence of mineral and energy resources”.

Disisi lain, Hasjim Djalal menilai bahwa proklamasi Prsiden Truman itu

mengakibatkan perubahan yang radikal dibidang houkum laut. Beliau menyatakan:

“I think it is no exaggeration to state that the Truman Proclamation of 1945 ate the

most important causes the radical changes that have occurred in the legal rezim of

the oceans”.

Perubahan yang radikal memang jelas dapat dilihat dari negara-negara di

Amerika Latin dan di Asia secara pasti mengikuti jejak Presiden Truman. Misalnya,

Page 32: Bahan Ajar

32

Mexico mengeluarkan proklamasi serupa tanggal 29 Oktober 1946; Chili, 1 Juni

1947; Peru, 1 Agustus 1947; Costa Rica, 27 Juli 1948; Saudi Arabia, tahun 1949;

Bahrain, 5 Juni 1949; Qatar, 8 Juni 1949; Abu Dhabi, 10 Juni 1949 ;dan Pakistan,

9 Maret 1950. Sedangkan Indonesia baru mengeluarkan deklarasi yang berupa

Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969.

Dalam perkembangan selanjutnya terlihat adanya variasi dan modifikasi,

Chili dan Peru misalnya mendasarkan deklarasi mereka atas “teori bioma” dan

“teori kompensasi” dan mengesampingkan teori “perpanjangan secara geologi”

(geological prolongation). Akibatnya, batas landasan Kontinen mereka bukan

kedalaman 200 meter tetapi sejauh 200 mil dari pantai. Bahkan ternyata Argentina

telah melangkah sangat jauh dengan mengklaim bahwa selain landas kontinen,

perairan yang ada diatasnya tunduk di bawah kedaulatan Negara Argentina. Klaim

Argentina ini betul-betul merupakan klaim perluasan wilayah, tidak lagi merupakan

klaim jurisdiksi eksklusif.

Dengan adanya variasi-variasi itu sudah barang tentu dapat menimbulkan

hambatan dan kesulitan dalam praktek internasionla. Hambatan dan kesulitan itu

dicoba diatasi dalam Konferensi Jenewa 1958. Selain tentang landas Kontinen

Konferensi Jenewa 1958 juga membahas tentang Perikanan, Laut Territorial dan

Laut Lepas. Pasal 1 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen

menyebutkan bahwa pengertian landas kontinen tidak saja berupa landas

kontinen dari suatu benua tetapi juga termasuk Landas Kontinen dari suatu pulau.

Batas landas kontinen adalah sampai dengan kedalaman 200 meter atau di luar

itu sepanjang memungkinkan dilakuakn exploitasi. Secara lengkap rumusan Pasal

1 adalah:

“For the purposes of these articles, the term of continental shelf is used as refreshing: (a) to the seabed and subsoil of the submarine areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a depth of 200 meters or, beyond that limit, to where the superjacent waters admits of the exploitation of the natural resources of the said areas: (b) to the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast of island”. Mengenai hubungan hukum antar negara dengan landasan kontinennya

dinyatakan dalam Pasal 2 para. (1) sebagai berikut :

1) The coastal state exercises over the continental shelf Sovereign Right for the purpose of exploring it and its natural resources.

Page 33: Bahan Ajar

33

2) The rights referred into paragraph 1 of this article are exclusive in the sense that if the coastal state does not explore the continental shelf or exploits natural resources, no one may undertake these activities, or make a claim to the continental shelf without the express consent of the coastal state.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa menurut Konvensi

Jenewa 1958 negara hanya mempunyai hak berdaulat dan jurisdiksi eksklusif atas

Landasan Kontinen. Dengan demikian berarti klaim Argentina yang menuntut

kedaulatan penuh atas Landas Kontinen dan perairan diatasnya tidak sesuai

dengan perasaan hukum masyarakat internasional yang tertuang dalam Konvensi

Jenewa 1958 itu.

Dalam perkembangan selanjutnya ternyata rumusan Pasal 1 tentang batas

landas Kontinen seperti disinyalir oleh sarjana-sarjana Hukum Internasional

misalnya, Ian Brownlie, Mochtar Kusumaatjaya, Satya Nandan dapat

menimbulkan bermacam-macam interpretasi, tidak menjamin kepastian hukum

sehingga perlu diadakan penyempurnaan. Ketentuan yang ditunjuk sebagai

penyebab ketidak pastian itu adalah kalimat yang berbunyi …”beyond that limit to

when the superjacent water admits the exploitation of the natural resources”.

(Diluar batas itu ketika kedalaman air memungkinkan eksploitasi sumber daya

alam). Akhirnya penyempurnaan itu terlihat dalam ketentuan pasal 76 UNCLOS

1982.

Tindakan Pemerintah Indonesia

Mengikuti perkembangan konsep Negara Kepulauan dan Landas Kontinen,

Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Pada tanggal 13 Desember 1957,

Pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman tentang Negara Kepulauan

dan pada tanggal 17 Februari1969 mengeluarkan pengumuman itu masing-

masing dikukuhkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1973.

Ditinjau dari segi kepentingan Internasional dan nasional kedua

Pengumuman pemerintah itu mempunyai corak yang sedikit berbeda. Perbedaan

itu paling tidak dapat dilihat dalam dua hal yaitu :

1) Secara asas (prinsip), pengumuman pemerintah tentang Negara Kepulauan

tidak sesuai dengan asas kebebasan laut lepas karena akibat hukum dari

pengumuman itu berupa dimasukkannya beberapa bagian wilayah integral

Page 34: Bahan Ajar

34

Indonesia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pengumuman Pemerintah

tersebut merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari Proklamasi

Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Sementara Pengumuman

Pemerintah tentang landas Kontinen adalah sesuai dengan aspirasi

masyarakaat internasional yang telah tumbuh menjadi hukum kebiasaan

internasional. Singkatnya konsep Negara Kepulauan adalah konsep yang

sama sekali baru dan waktu itu belum terjelma dalam hukum kebiasaan

internasional, sedangkan Konsep Landas Kontinen adalah konsep yang sudah

menjelma dalam hukum kebiasaan internasional walaupun untuk

kepastiannya, lebih jaudgh diperlukan penuangan dalam bentuk tertulis

berupa Konvensi Internasional.

2) Secara politis, Pengumuman Pemerintah tentang Negara Kepulauan bersifat

memperluas wilayah negara yang berarti juga memperluas wilayah negara

yang berarti juga memperluas ruang lingkup berlakunya kedaulatan negara,

sedangkan Pengumuman Pemerintah tentang landas kontinen tidak

memperluas wilayah Negara melainkan hanya memperluas hak berdaulat

serta jurisdikasi ekslusif negara.

Meskipun Pengumuman Pemerintah tentang Negara kepaulauan bersifat

melawan prinsip Hukum Internasional, namun berkat pejuangan yang gigih dari

Indonesia bersama-sama dengan Negara-Negara kepulauan lainya, akhirnya

melalui Konvensi Jamaica (UNCLOS) 1982, prinsip Negara Kepulaaun dapat

diterima oleh masyarakat internasional. Disisi lain, pengumuman tentang landas

Kontinen tidak memerlukan dukungan internasional kerana Pengumuman itu

dikeluarkan setelah berlangsungnya konferensi Jenewa 1958. Dalam konferensi

tersebut terlihat aspirasi dunia untuk menjadikan ketentuan tentang Landas

Kontinen sebagai aturan hukum tertulis. Apa yang dilakukan Indonesia melalui

Pengumuman Pemerintah tanggal 17 Februari 1969 itu telah sinkron dengan apa

yang terlihat dalam konferensi Jenewa mengenai landas Kontinen.

Persoalannya kini adalah bagaimanakah sikap Indonesia menghadapi

adanya dua Konvensi yakni konvensi Jenewa 1958 dan UNCLOS 1982 yang

sama – sama mengatur tentang Landas Kontinen tetapi satu sama lain isinya

berbeda. Terhadap persoalan ini kiranya dapat dijelaskan sebagai berikut.

Page 35: Bahan Ajar

35

Adalah memang benar Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1958

yaitu Konvensi tentang Laut Lepas (High Seas), tentang Perikanan dan

Perlindungan Sumber Hayati di Laut Lepas (Fishing And Conservation of The

Living Resources of the High Seas), tentang Landas Kontinen (Continental

Shelf). Namun ratifikasi yang dilakukan dengan Undang – Undang No.19 Tahun

1961 sepanjang mengenai perikanan dan Landas Kontinen telah ditolak ole Sek

Jen PBB berhubung dimuatnya persyaratan (reservation) oleh Indonesia bertalian

dengan garis pangkal sesuai dengan UU. No. 4/Prp./1960. Dengan demikian,

yang diterima hanyalah ratifikasi tentang Laut Lepas saja. Berhubung dengan hal

itu, maka secara juridis sepanjang tentang landas Kontinen, Indonesia tidak

terikat pada konvensi Jenewa 1958. Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi

UNCLOS 1982 dengan undang-undang No. 17 Tahun 1985. Ini berarti Indonesia

hanya tunduk pada UNCLOS 1982 saja.

Berlainan dengan sifat dari jurisdiksi atau Landas Kontinen yang hanya

memberikan pengaturan tentang dasar laut beserta tanah dibawahnya, maka

pada tanggal 21 Maret 1980 Pemerintah Republik Indonesia telah mengumumkan

wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil (yang diukur dari garis

pangkal laut territorial Indonesia sesuai dengan ketentuan UUD No. 4/Prp/1960

tentang wilayah Perairan Indonesia.

Pengertian ZEE Indonesia

Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud dengan ZEE

adalah: “The exlusive Economic Zone is a are a beyond and adjacent to the

territorial sea, subject to the specific legal rezim established in this part under

which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of

other States are governed by the relevant provisions of this Convention”.

Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang

tunduk kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian

ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta

kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai

dengan konvensi ini. Kemudian batansan yang hampir dengan ketentuan pasal

tersebut di atas adalah batasan yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983,

yang menetapkan bahwa. “ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan

Page 36: Bahan Ajar

36

dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-

undang yang berlaku tentang perairan iNdonesia yang meliputi dasar laut, tanah

dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur

dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”

Dari ketentuan pasal tersebut, ternyata bahwa pasal ini hanya menegaskan

dan mengukuhkan definisi geografis ZEE Indonesia sebagaimaan yang tercantum

dalam pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE Indonesia

tertanggal 21 Maret 1980.

Sejarah perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S.

Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United

States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the

Continental Shelf”.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu

perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi “continental shelf”

atau daratan kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan

mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang

berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa

Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal

tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah :

Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara pantai karena

“continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah

daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam

yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai.

Dnagn demikian maka demi keamanan penguasaaan sember daya alam yang

terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya

ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.

Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan

perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan

rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika

Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa

argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam

Page 37: Bahan Ajar

37

yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di

abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador,

Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negara-

negara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica

(1950), El Salvador (1950).

Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada

tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang

ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi

utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan

jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun

non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber

mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di negara-negara

peserta deklarasi tersebut.

Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200

mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan

tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara

mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum

Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama

bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut

ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara

dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya.

Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar

tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas

hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai

pada negara-negara asia Afrika.

Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia,

Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim

jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara seperti: Argentina,

Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland,

Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang

sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara

peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan

dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi

Page 38: Bahan Ajar

38

telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam

persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan

dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.

Ternyata diantara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil

tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah

dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit

diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih

mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.

Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim

hukum spesifik.

Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat,

Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya

bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan bahwa :

a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.

b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan

militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung

dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya

bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang memiliki rezim

khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan

demikian negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 tersebut tetap

menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui

beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut

harus diperinci secara jelas dan tegas.

Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang

Hukum Laut”. Meyatakan bahwa, negara-negara tak berpantai (landlocked

States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically

disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara

pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber

kekayaan laut lainnya di dasar laut.

Namun negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus

perikanan yang tidak dapat diambil oleh negara-negara pantai, dalam hal ini

negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang

Page 39: Bahan Ajar

39

mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind”

yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil

kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak

berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan

Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori “distant”.

Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum pada akhirnya perbedaan dan

pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan

dan mufaakt kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim

hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat

dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil dengan demikian tidak

dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut wilayah, namun

sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum

sendiri.

Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam Informal

Single Negotiating Text (INST) dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT),

ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V

Informal Composite Negotiating Text. (ICNT).

Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai

Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980,

tealh menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab

V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut

Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE

200 mil, maka rezim itu melalui proses pembentukan hukum kebiasaan

internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru,

Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal

10 Desember 1982.

Penentuan batas ZEE

Salahsatu masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan adalah penentuan

batas ZEE dengan negara-negara tetangga. Meskipun negara-negara tetangga

menganut prinsip penarikan batas yang sama tentang rezim ZEE, namun dalam

masalah penetapan batas ini masih beluma da kesepakatan, sampai akhirnya

sidang ke 11 di New York yang lalu, Komperensi Hukum Laut PBB telah berhasil

Page 40: Bahan Ajar

40

mencapai kesepakatan dalam merumuskan penetapan batas ZEE ini, khususnya

mengenai penentuan batas ZEE yang menyangkut kepentingan dua negara atau

lebih baik yang letaknya berdampingan maupun yang berhadapan (opposite or

adjacent coastals) harus dilakukan secara damai menurut Hukum Internasional

yang berlaku umum dan khususnya tidak bertantangan dengan ketentuan-

ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Akan tetapi bagi Indonesia,

batas ZEE 200 mil laut dengan negara-negara tetangga dimaksud tetap harus

ditentukan berdasarkan pada “asas sama jauh” (equidistant principle) dengan

memperhitungkan keadaan-keadaan khusus (special circumstances).

Selain itu Indonesia berpendirian bahwa batas ZEE tersebut tidak perlu

identik dengan batas landas kontinen, karena patokan-patokan yang dipakai,

factor-faktor yang mempengaruhinya pun adalah berbeda. Apabila ZEE Indonesia

tumpang tindih dengan ZEE Negara-negara yang pantainya saling berhadapan

ataupun ataupun berdampingan (opposite or adjacent coastal) dengan pantai

Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut

ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang

bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana dimaksud di atas belum ada dan

tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas

ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama

jarak (middle line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia

atau titik-titik terluar negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang peraturan

sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud.

Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pasal ini

memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak (equidistant) digunaakn untuk

menetapkan batas ZEE antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika

terdapat keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang perlu

dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional. Keadaan

khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang

terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal untuk

menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Persetujuan Bilateral tentang Akses Negara ketiga

Page 41: Bahan Ajar

41

Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut yang baru,

Indonesia sebagai salah satu Negara pantai berkewajiban untuk memberikan

akses kepada Negara ketiga atas sebagian dari surplus perikanan yang ada di

ZEE Indonesia. Surplus yang demikian aka nada jika tiba musim panen

(harvesting capacity). Indonesia berada dibawah “Total Allowable Catch” (TAC)

atau suatu jumlah yang diperkenankan untuk ditangkap.

Tidak dapat kita ingkari bahwa lazimnya kesulitan untuk menentukan TAC

dan harvesting capacity akan timbul. Hal ini adalah logis, karena Indonesia

sebagai negara pantai yang tergolong dalam negara yang sedang berkembang,

dengan masih mempergunakan alat-alat yang tradisional dalam rangka mengelola

penangkapan dalam hasil perikanan laut yang hamper mencapai 75% terdiri dari

laut Indonesia dapat diperkirakan akan mempunyai surplus yang harus diberikan

kepada negara ketiga tertentu. Sesuai dengan ketentuan Kovensi Hukum laut

yang baru, bahwa berdasarkan prioritas, negara ketiga yang dapat menerima

akses yang dimaksud. Hal ini sudah digariskan dalam konvensi yakni negara-

negara yang tak berpantai (landlocked States), negara-negara yanag secara

geografis kurang beruntung (geographically disvantages States). Dalam hal ini

negara Singapura dan Zambia. Kemudian Negara-negara ketiga lainnya termasuk

kedalam distant fishing countries yaitu Korea dan Jepang.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum laut yang baru akses dimaksud

harus diberikan berdasarkan persetujuan, baik bilateral maupun regional, yang

memuat syarat-syarat tentang akses-akses tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah

Republk Indonesia juga perlu segera merumuskan model persetujuan induk yang

mengatur secara umum masalah akses tersebut. Sebagaimana yang dianjurkan

(sarankan) oleh Dimyati Hartono bahwa :

“persetujuan yang dimaksud dapat menyangkut masalah tindakan maslah perlindungan yang berupa pembatasan terhadap jenis, jumlah ikan yang boleh ditangkap oleh masing-masing Negara, atau mengenai waktu dan cara-cara penangkapan ikan yang semuanya didasarkan pada rujukan untuk menjamin kelestarian sumber daya hayati di wialyah perairan tersebut”.

Selanjutnya ditegaskan bahwa sebagaimana yang dilakukan oleh negara-

negara yang secara geografis kurang beruntung dan yang letaknya berhadapan

ataupun berdekatan (adjenct) mengadakan tindakan demikian dapat berarti bahwa

Page 42: Bahan Ajar

42

suatu peraturan secara regional. Adanya usaha serupa ini sudah tentu dapat

mengisi gagasan-gagasan ekonomi ASEAN yang saat ini sedang digalakkan,

khususnya tentang masalh menjamin kelestarian sumber-sumber daya alam laut.

Tindkan serupa perlu diadakan untuk wilayah perairan Indonesia di sekitar laut

Sulawesi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina.

Sifat khusus sebagai Negara Kepulauan yang berimpit batas dengan

negara tetangga tidak boleh diabaikan. Adanya penangkapan-penangkapan ikan

secara tradisional oleh rakyat kedua negara sehingga perlu pula pendekatan

serupa terhadap Negara tetangga kita Papua Nugini mengenai kegiatan perikanan

di Pantai utara dan selatan Irian Jaya. Berdasarkan persetujuan-persetujuan

demikian dapatlah dibuat persetujuan-persetujuan pelaksanaan yang akan

mengatur secara terperinci syarat-syarat akses, seperti: mengenai quota, license,

fee serta masalah berlakunya perizinan bagi daerah yang ditentukan, mengenai

hukuman, pengawasan dan sebagainya. Tentunya, persetujuan bilateral tersebut

harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang

perairan di ZEE Indonesia khususnya, tidak bertentangan dengan ketentuan-

ketentuan yang termuat dengan konvensi Hukum Laut yang baru, serta aturan

kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh

bangsa-bangsa yang beradab.

Selanjutnya dibawah ini akan dikemukakan kebijakan Pemerintah Republik

Indonesia dalam penetapan batas-batas laut wilayah serta batas ZEE 200 mil laut

dengan beberapa negara tetangga baik yang sudah dilakukan, antara lain adalah

dengan Papua Nugini, Australia, Vietnam, Filipina dan Malaysia dengan

memanfaatkan beberapa pendapat yang ada hubungannya dengan persoalan

penetapan batas-batas dimaksud.

1. Indonesia - Malaysia

Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa sudah terdapat beberapa perjanjian

antara Indonesia dan Malaysia, baik mengenai laut wilayah maupun landas

kontinen telah diadakan, yang antara lain adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian mengenai Lands Kontinen di Selat Malaka dan laut Cina Selatan,

27 Oktober 1969;

b. Perjanjian tentang Common Point di Selat Mlaka, 21 Desember 1971;

Page 43: Bahan Ajar

43

c. Perjanjian tentang Garis Batas laut Wilayah di Selat Malaka, 17 Maret

1970;

d. Perjanjian tentang Rezim Hukum Negara Kepulauan, Kamis 25 Februari

1982 di Jakarta.

Perjanjian yang disebutkan terakhir merupakan tindak lanjut daripada

“Memorandum of Understanding” antara kedua negara mengenai pengakuan

hak-hak dan kepentingan Malaysia berdasarkan sejarah di perairan laut Cina

Selatan yang memisahkan Malaysia Barat dan Timur. Perundingan-

perundingannya sudah dilakukan sejak bulan Februari 1981 di Kuala Lumpur

dan di Jakarta awal bulan Juli 1981, dimana masing-masing pihak telah

melakukan pembebasan terhadap draft article persetujuan dan counter draft-

nya. Pihak Malaysia diberitakan telah menyatakan dukungannya terhadap

rezim hukum negara kepulauan (Wawasan Nusantara) Indonesia. Adanya

pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE pihak Indonesia

telah menegaskan bahwa materi pengumuman tersebut tidak akan

mempengaruhi hak-hak Malaysia dengan kepentingan nasionalnya,

sedangkan pihak Malaysia telah pula menyatakan dukungannya terhadap

Wawasan Nusantara kita.

Dengan demikian baik mengenai batas laut wilayah maupun batas

landas kontinen serta ZEE 200 mil laut Indonesia Malaysia sudah diwujudkan

dalam bentuk persetujuan / perjanjian. Akan tetapi pihak Indonesia dikejutkan

dengan adanya tindakan sepihak (unilateral act) Malaysia yang

mengumumkan peta baru landas kontinen Malaysia dalam mana Pulau

Sipadan dan Ligitan yang termasuk wilayah Indonesia telah dicantumkan

dalam peta tersebut, Indonesia telah mengajukan protes, yang selanjutnya

dalam pertemuan Presiden Soeharto dengan Perdana Menteri Datok Husain

Onn di Kuantan 26 Maret 1980 untuk menyelesaikan masalah tersebut telah

dibicarakan cara-cara menyelesaikannya secara hubungan baik.

Sehubungan dengan dihukumnya ZEE 200 mil Malaysia pada 28 April

1980, pemerintah Malaysia telah memberikan gambaran-gambaran yang

positif dalam hubungannya dengan pihak Indonesia, gambaran (penjelasan)

tersebut diberitakan antara lain:

Page 44: Bahan Ajar

44

a. Menteri Hukum Abdul Kadir Yusuf menjelaskan bahwa sebagai dampak

dari pengumuman tersebut akan terjadi wilayah-wilayah yang dpat

dipersengketaan dengan negara-negara tetangga-tetangga (termasuk

Indonesia), Malaysia bersedia untuk menyelesaikannya secara damai

melalui perundingan dan menetapkan batas-batas ZEE sesuai dengan

batas-batas ZEE sesuai dengan Hukum Internasional

b. Dibagian utara Selat Malaka dsan bagian-bagian tertentu Laut Cina

Selatan, Malaysia akan memperhatikan hak-hak negara tetangga yang

bersangkutan

Dari penegasan yang disebut dalam point b diatas, maka di perairan

tersebut Indonesia masih harus mengadakan penetapan batas ZEE 200 mil,

dimana diperkirakan yang lebarnya kurang dari 400 mil, namun lebih dari 24 mil

laut, termasuk dibagian utara Selat Malaka. Tentu saja penetapan batas ZEE

diperairanyang diseut terakhir diatas, tidak hanya menyangkut kepentingan

Malaysia dan Indonesia saja melainkan juga dengan Thailand, sebagaimana

halnya sewaktu mengadakan perjanjian mengenai penentuan “Common Point”

diSelat Malaka pada tanggal 21 Desember 1971 tempo hari.

Diperairan tersebut antara Indonesia Thailand sudah dicapai persetujuan

mengenai batas landas kontinen, tidak saja di Selat Malaka ytahun 1971, tetapi

juga dibagian utara dan barat laut Selat Malaka tahun 1975. Kemudian dicapai

kesepakatan yang dituangkan dalam persetujuan tiga Negara (trilateral) antara

Indonesia India dan Thailand mengenai batas landas kontinen dilaut Andaman

tahun 1978. Dari ketentuan dan penegasan diatas, dapat disimpulkan bahwa

perjuangan Indonesia dalam menegakkan rezim hkum ZEE 200 mil ini sudah

merupakan perjuanagn yang keberhasilannya tidak dapat diragukan dan dan

disangsikan lagi.

2. Indonesia - Filipina

Filipina pada bulan Mei 1979, tealh mengumkan ZEE 200 milnya. Sistem

yang dianut Filipina dalam penetapan batas landas kontinennya adalah sistem

yang sama dengan yang dianut oleh Indonesia yakni “middle line atau

equidistant”, baik di Indonesia maupun Filipina keduanya adalah negara

kepulauan. Dengan terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh masing-

Page 45: Bahan Ajar

45

masing yang mengelilingi masing-masing kepulaunnya, maka dibagian selatan

Filipina (selatan Mindanao) dan bagian utara Indonesia (laut Sulawesi dan Sangir

Talaud) perlu diadakan penetapan batas-batasnya. Tumpang tindihnya wilayah

tersebut di atas diperkirakan akan terjadi dibagian selatan Mindanao, sedangkan

di perairan laut Sulawesi hanya akan terjadi perhimpitan garis batas.

3. Indonesia - Vietnam

Penetapan garis batas landas kontinen dengan pihak vietnam ternyata

mengalami kesulitan pula, dikarenakan adanya perbedaan pendapat mengenai

system penarikan garis batas tersebut, perbedaan yang dimaksud adalah

terdapatnya perbedaan prinsip sebagai berikut :

a. Pihak Indonesia: bagi penetapan batas landas kontinen ini, Indonesia

sangat berkeberatan dan menolak prinsip penarikan garis batas yang

dipergunakan oleh pihak Vietnam yakni prinsip “trench” Indonesia

menginginkan sistem penarikan sistem penarikan garis tengah (middle

line) sebagai batas landas kontinennya.

b. Pihak Vietnam: bagi penetapan batas landas kontinennya menghendaki

agar prinsip “thalweg” dipergunakan sebagaimana mestinya, prinsip lazim

dipergunakan untuk menentukan garis batas negara yang berbatasan

dengan sungai di mana alur-alur terdalamnya sangat diperhatikan. Sejalan

dengan prinsip tersebut, pihak Hanoi menuntut agar suatu trench (palung

laut) yang membentang sejak Pulau Anambas sampai Pulau Natuna

merupakan batas landas kontinennya.

Dengan belum adanya kesepakatan mengenai masalah ini, jelas telah

menggambarkan adanya batas wilayah yang masih tumapng tindih dan demi

keamanan serta ketertiban masing-masing negara, keadaan demikian perlu

segera diselesaikan. Dari keenam kali perundingan yang telah dilaksanakan oleh

kedua belah pihak, masing-masing pihak telah menyatakan itikad baik sehingga

diperoleh kemajuan-kemajuan yang positif, terutama dengan adanya pergeseran-

pergeseran dari posisi masing-masing yang semula, bahkan dalam perundingan

yang keenam di Jakarta pada pertengahan Mei 1981 pihak Vietnam telah

meninggalkan sistem thalweg-nya dan pihak Indonesia telah memberikan

konsensi-konsensi tertentu pula.

Page 46: Bahan Ajar

46

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa Vietnam telah mengeluarkan

pernyataannya mengenai wilayah perairannnya pada tanggal 12 Mei 1977 dan

menetapkan Undang-undang Maritimnya pada bulan Januari 1980. Undang-

undang tersebut antara lain ditetapkan bahwa wilayah maritim Vietnam adalah

sejauh 200 mil laut, dengan perincian 12 mil laut territorial, 2 mil wilayah

menjangga dan selebihnya adalah ZEE.

Sehubungan dengan penetapan batas ZEE 200 mil laut Indonesia dan

adanya perntyataan seperti tersebut di atas dari pihak Vietnam dalam hal

penetapan batas ZEE sesungguhnya tidak akan terjadi tumpang tindih batas, jika

pihak vietnam tetap mempergunakan formulanya yang pertama yakni “normal

baseline”, dan tidak mengubah formula tersebut dengan sistem sgalwe, dan tidak

mengubah formula tersebut dengan sistem thalweg-nya garis pangkal yang

ditetapkannya akan berada lebih jauh dari apntai dan lebih jauh dari pada normal

baselines tersebut, sehingga tumpang tindih wilayah akan terjadi. Namun menurut

Guy Sacerdotti dalam tulisannya yang berjudul “Flexing an Economic Muscle

(FEER), 1980 menyebutkan bahwa pihak Indonesia tetap berpendirian bahwa

tidak ada wilayah yang tumpang tindih dengan pihak Vietnam.

4. Indonesia - Papua Nugini

Masalah penetapan batas ZEE 200 mil laut antara Indonesia dengan Papua

Nugini sesungguhnya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan

bahwa perjanjian-perjanjian antara Indonesia Australia sebelum wialyah itu

merdeka masih tetap diakui dan berlaku. Sesuai dengan kebiasaan dan

ketentuan Hukum Internasional yang berlaku, perlu diadakan pembaharuan

perjanjian batas antara kedua negara. Kedua negara sudah membicarakan lagi

(dalam hal ini sebelumnya yakni pada bulan Mei 1978 telah dikeluarkan

pernyataan bersama (joint declaration) kedua negara. Pernyataan tersebut

menegaskan bahwa perjanjian-perjanjian terdahulu tetap mempunyai daya laku

dan akan diadakan persetujuan final mengenai penetapan batas kedua negara.

Juga dalam pernyataan bersama tersebut disebutkan bahwa tindakan-tindakan

yang diambil oleh pihak Papua Nugini untuk menetapkan zona perikanan 200 mil

serta kebijaksanaannya dalam pengelolaan sumber-sumber daya hayati zona

tersebut diakui.

Page 47: Bahan Ajar

47

Menurut R.S Roosman dalam tulisannya yang berjudul “Persetujuan

Perbatasan Indonesia Papua Nugini”, menyebutkan bahwa pernyataan bersama

kedua Negara yang dikeluarkan pada tanggal 18 Oktober 1979 di Port Moresby

disebabkan bahwa telah dilangsungkan perundingan mengenai rancangan

persetujuan perbatasan laut dan dasar laut dibagian utara Papua Nugini.

Selanjutnya menurut Press Release Departement Luar Negeri Republik Indonesia

tentang perundingan Indonesia Papua Nugini. Di Port Mosbey mengenai batas-

batas kedua Negara, dinyatakan bahwa dengan diumumkannya ZEE 200 mil laut

Indonesia tanggal 21 Mei 1980, perlu diadakan penetapan batas ZEE kedua

Negara, terutama sebhubungan denagan tindakan sepihak Papua Nigini dalam

menetapkan zona perikanan pada bulan Maret 1978. Dalam rangka mencari

penyelesaian mengenai hal-hal tersebut di atas, maka pada tanggal 29 Mei

sampai dengan 6 Juni 1980 telah diadakan perundingan antara kedua negara di

Port Moresby. Menurut Feter Rodgers persetujuan-persetujuan tersebut di atas

adalah melengkapi perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh kedua negara

sebelumnya.

5. Indonesia - Australia

Perairan di sebelah selatan Timor-timor terdapat masalah yang pada

waktunya harus diselesaikan antara kedua negara bertetangga yang

bersangkutan. Masalah ini adalah menyangkut batas landas kontinen bagian

sebelah timor-timur dan barat Timor Timur telah diselesaikan sewaktu wilayah itu

masih merupakan bagian Portugal. Dengan timbulnya integrasi Timor Timur ke

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah merupakan keharusan bagi

Indonesia dan Australia untuk menyelesaikan penentuan batas landas kontinen di

sebelah selatan pulau tersebut.

Pada awal bulan Januari 1985, diberbagai harian umum telah diberitakan

bahwa usaha-usaha melalui perundingan untuk menetapkan batas landas

kontinen di sebelah selatan Timor Timur itu kurang lancar dan mengalami ‘gap”

antara garis batas bagian barat dan timur debagai hasil perjanjian 1971 dan 1972.

Penetapan batas antara Indonesia-Australia di bagian barat dan timur yang

berdasarkan suatu formula yang telah dirimuskan semula, telah mengakibatkan ¾

landas kontinen diperairan tersebut. Berada dibawah pengawasan pihak Australia.

Page 48: Bahan Ajar

48

Sesungguhnya pada waktu Portugal masih menguasai Tim-Tim tersebut, antara

Portugal dan Australia tealh tibul perbedaan pendapat mmengenai garis batas

landas kontine dirairan itu. Pihak Australia mengemukakan bahwa ada dua landas

kontinen yang berbeda yang dipisahkan oleh lembah Timor (Timor Trough) yang

terletak 60 mil Selatan Pulau Timor dan 300 mil di sebelah utara Darwin.

Sedangkan pihak Portugal menganggap hanay ada satu landas kontinen yang

berlanjut (one continous continental shelf) dan middle line seharusnya ditarik

antara Australia dan Timor Timur.

Pada tahun 1974 Portugal memberi izin konsesi perusahaan minyak

Amerika “Oceanic Exploration Company” (OEC) sampai garis batas yang

diklaimnya, yang ternyata tindakan ini diprotes oleh Australia karena perizinan itu

memotong dan melampaui wilayah konsesi berbagai perusahaan minyak asing

yang telah diberi izin konsesi oleh Australia sampai pada garis batas yang telah

diklaimnya.

Menurut Michael Richardson dalam tulisannya yang berjudul “Drawing The

Seabed Line” 1978,sehubungan dengan usaha-usaha penetapan landas kontinen

antara Indonesia dan Australia, pihak perusahaan minyak OEC mengharapkan

agar Indonesia dapat memberi izin konsesi seperti yang diberikan oleh Portugal.

Bagi Australia, jika Pihak Indonesia memenuhi permintaan tersebut memenuhi

permintaan tersebut dan mengubah formula perjanjian 1971 dan 1972 maka izin

konsesi itu akan memotong enam wilayah konsesi Australia. Pihak Australia

mengharapkan agar Indonesia melanjutkan penarikan garis batas straight

archipelagic baselines joining the outermost points of the outermost islands and

drying reefs of the archipelago provided that…, yang telah dicapainya.

Sepanjang pengetahuan penulis, perundingan antara Indonesia Australia

mengenai masalah ini telah berulang kali diadakan. tercatat bahwa pertama di

Canberra pada bulan Februari 1979; kedua, di Jakarta pada bulan Mei 1979;

ketiga di Canberra. Namun hasilnya sampai saat ini belum dapat diselesaikan

secara tuntas, karena dikabarkan bahwa pihak Australia pada tanggal 1 November

1979 telah mengumumkan zona perikanan 200 mil laut, dalam hal ini dirasakan

telah mendesak untuk menetapkan garis batas ZEE 200 mil di wilayah tersebut

melalui perjanjian bilateral.

Page 49: Bahan Ajar

49

Hingga kini baik Indonesia maupun pihak Australia masih menyatakan

hasratnya untuk bertanding kembali dan menyelesaikan persoalan batas landas

kontinen ZEE 200 mil masing-masing. Tercapainya kesepakatan mengenai

penetapan batas landas kontinen dibagian selatan Timor Timur nanti sudah tentu

akan memudahkan tercapainya kesepakatan mengenai penetapan batas ZEE,

antara kedua negara, bahkan akan menjadi dampak positif terhadap ubungan

bilateral kedua negara di berbagai kepentingan.

Hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban Indonesia di ZEE 200 mil

Hak berdaulat (sovereign rights) dan yurisdiksi (jurisdiction) dan kewajiban-

kewajiban (duties) Indonesia atas laut selebar 200 mil dari garis dasar di sekeliling

kepulauan Indonesia berlaku berdasarkan Pengumuman Pemerintah tanggal 21

Maret 1980, yang kemudian dituangkan ke dalam Undang-undang Nomor 5 tahun

1983 tentang ZEE Indonesia. Telah diketahui bahwa ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam undang-undang tersebut adalah sebagian besar merupakan

ketentuan yang telah disesuaikan (accommodation) dengan Konvensi Hukum Laut

yang baru (1982) khususnya mengenai ZEE 200 mil tersebut. Di zona Ekonomi

Eksklusif tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara pantai mempunyai dan

melaksanakan:

a. hak berdaulat untuk melakukan ekplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan

konservasi sumber daya alam hayati dan nonhayati dari dasar laut dan tanah

di bawahnya serta air diatasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk

ekplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkit tenaga

air, arus dan angin

b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :

1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan

bangunan-bangunan lainnya (the estabilishment and use of artificial

island, installations and structures).

2. Penelitian ilmiah mengenai kelautan (marine scientifific research).

3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (the protection and

preservation of the marine environment).

Page 50: Bahan Ajar

50

c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan konvensi Hukum

laut yang berlaku (other rights and duties provided for ini this convention).

Hak berdaulat Indonesia sebagai negara pantai yang dimaksudkan di atas

tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimilki dan

dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wialyah, perairan Nusantara dan perairan

pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas maka sanksi-sanksi yang

diancam di ZEE Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam

diperairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. hak-hak

lain berdasarkan Hukum Internasional adlah hak Republik Indonesia untuk

melaksanakan penegakan hukum (law enforcement) dan hot pursuit terhadap

kapal-kapal asing yang melakukan perlanggaran atas ketentuan-keetntuan

peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai ZEE. Kewajiban lainnya

berdasarkan Hukum Internasional adalah kewajiban Republik Indonesia untuk

menghormati hak-hak negara lain, misalnya kewajiban pelayaran dan

penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan

kebal-kabel dan pipa-pipa dibawah laut (freedom of the laying of submarine cables

and pipelines).

Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah dibawahnya, hak

berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia

sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan menurut perundang-undangan

landas kontinen (this rights set out in this article with respect to the seabed and

subsoil shall be exerciased in accordance with part VI) Indonesia, serta

persetujuan-persetujuan antara republik Indonesia dengan negara-negara

tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum Internasional yang berlaku (pasal 4 ayat

2).

Jelaslah bahwa ketentuan tersebut di atas menginginkan bahwa sepanjang

menyangkut sumber daya alam dhayati dan non hayati didasar laut dan tanah

dibawahnya yang terletak didalam batas-batas ZEE Indonesia hak berdaulat

Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan perundang-undangan Indonesia

yaitu yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan-persetujuan

internasional tentang landas kontinen yang menetapkan batas-batas landas

kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling

berhadapan atau saling berdampingan dengan Indonesia.

Page 51: Bahan Ajar

51

Di ZEE Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional

serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan

prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional yang berlaku dimaksud, seperti yang

tumbuh dari praktek negara dan dituangkan dalam konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa tentang Hukum Laut yang dihasilkan oleh UNCLOS III di ZEE setiap

negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai (landlocked States) dan

negara secara geografis kurang beruntung (geographically disanvantaged States),

menikmati kebebasan pelayaran penerbangan Internasional serta kebebasan

pemasangan kabel dan pipa bawah laut, serta pengunaan laut yang bertalian

dengan kebebasan-kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal

pesawat udara dan pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut.

Untuk lebih mudah pemahamannya maka hak-hak dan kewajiban Indonesia

sebagai negara pantai menurut hukum yang mengatur tentang ZEE ini, akan

diperinci sebagai berikut:

1. Semua nNegara bebas dalam pelayaran, penerbangan, peletakan kabel dan

pipa dibawah laut dan kebebasan-kebebasan internasional lain yang

berhubungan dengan pengoperasian kapal-kapal, pesawat terbang dan kabel

serta pipa dibawah laut. Juga semua Negara dalam melaksanakan hak dan

kewajiban di ZEE Indonesia harus menghormati hak dan Negara Indonesia

dalam bidang-bidang yang diatur oleh konvensi Huku Laut yang baru atau

Hukum Internasional lainnya (Pasal 58 ayat 1,2)

2. jika terjadi perselisihan antara negra Indonesia dengan Negra-negara lain di

ZEE Indonesia harus diselesaikan atas dasar keadilan (equitable solution)

dengan memperhatikan semau keadaan yang berkaitan (Pasal 59).

Dalam rangka pelestarian sumber daya alam hayati di Zona Ekonomi

Eksklusif, Konvensi Hukum laut III (1982) mewajibkan Indonesia untuk:

a. Menentukan jumlah ikan yang boleh ditangkap (the coastal State Shall

determine the allowable catch of the living resources in its exclusive economic

zone);

b. Dengan menggunakan data-data ilmiah (the best scientific evidence available

to it) terbaik yang dapat disediakan harus mencegah ekploitasi yang

berlebihan (over exploitation) dengan tindakan pelestarian dan pengelolaan

yang benar atas sumber daya alam hayati. jika perlu disarankan (dianjurkan)

Page 52: Bahan Ajar

52

bekeja sama dengan negara atau organisasi internasional lain baik

subregional, regional maupun global (as appropriate, the coastal State and

competent international organization, whetever subregional, regional or global,

shall co-operate to this end);

c. Melaksanakan tindakan untuk memelihara dan mengembalikan populasi

(restoring populations) jenis-jenis ikan tertentu sampai “maximum sustainable

yield” dan memelihara serta meningkatkan jenis-jenis yang akan punah.

Selanjutnya Konvensi Hukum Laut yang baru mewajibkan Indonesia

sebagai Negara pantai untuk mengusahakan pemanfaatan secara optimum

sumber daya alam hayati di ZEE (the coastal State shall promote the objective of

optimum utilization of the living resources in the ZEE without prejudice), dengan

cara-cara sebagai berikut:

1. Menetukan kapasitas (kemampuan) penangkapan pihak Indonesia sebagai

Negara pantai di ZEE (the coastal State shall determine its capacity to

harvest the living resources of the ZEE). dalam hal pihak Indonesia tidak

mempunyai kemampuan memanen seluruh ‘allowable catch” harus

mengizinkan negara atau nelayan negara lain yang mengambil suplusnya

(where the coastal state does not have the capacity to harvest the entire

allowable catch, it shall, througt agreements or other arrangements and

pursuant to the terms);

2. Pihak asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesai harus tunduk kepada

aturan-aturan untuk pelestarian sumber alam hayati yang (akan) dibuat oleh

pemerintah Indonesia, antara lain menyangkut :

a. Lisensi nelayan, jenis kapal dan perlengkapannya, termasuk

pembayaran uang perizinan yang dapat berupa perlengkapan (alat) atau

teknologi yang berhubungan dengan industri pengelolaan ikan (licensing

of fisherman, fishing vessels and equipment, including payment of fish

and other forms of remuneration, which, in the case of developing

coastal State, may consist of adequate compensation in the field of

fishing industry);

b. Penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, quota penagkapan dan

waktu penangkapan (determining the species which may be caught, and

fixng quotas of catch pervesser over a period of time);

Page 53: Bahan Ajar

53

c. pengaturan musim dan daerah penagkpan, serta jumlah ukuran dan tipe

kapal ikan (regulating seasons and ares of fishing, the types, sizes and

amount of gear, and the types, sizes and number of fishing vessels that

may be used);

d. Penentuan umur dan ukuran ikan serta jenis lain yang boleh ditangkap

(fixing the age and size of fish and other species that may be caught);

e. Keharusan memberikan informasi mengenai hasil dan kegiatan

penangkapan serta laporan posisi kapal (specifying information required

of fishing vessels, including catch and effort statistics and vessel

posisition reports);

f. Pelaksaan program penelitian perikanan tertentu dan pelaporan hasilnya

(the conduct of specified fisheries research programmes and regulating

the conduct of the such research and reporting associated);

g. Penempatan pengawasan atau pelajar praktek dikapal (the pacing of

observesof traines on board);

h. Pendaratan sebagian atau seluruh hasil tangkapan di pelabuhan

Indonesia sebagai negara pantai (the landing of all of any part of the

catch by such vessels in the ports of the coastal State);

i. Syarat-syarat “joint venture” atau bentuk kerja sama yang lain, (terms

and conditions relations relating to joint ventures or other cooperative

arrangements);

j. Keharusan melatih personal dan alih teknologi, termasuk meningkatkan

kemampuan Indonesia (negara pantai) untuk melakukan penilitian

perikanan (requirements for the training of personnel and the transfer of

fisheries technology, including enchancement of the coastal state’s

capability of undertaking fisheries research);

k. Peraturan-peraturan penegakan hukum di laut (enforcement

procedures).

Terhadap semua ketentuan dan/atau peraturan tersebut di atas harus

diumumkan terlebih dahulu. Dengan perkataan lain Negara-negara pantai harus

memperhatikan tentang pelestarian dan peraturan-peraturan tersebut di atas

hendaknya diummukan secara layak terlebih dahulu (coastal States shall give due

notice of conservation and management laws and regulations).

Page 54: Bahan Ajar

54

Selanjutnya Konvensi Hukum laut yang baru mewajibkan Indonesia sebagai

negara pantai untuk mengadakan kerjasama dengan negara-negara lain

mengenai pengelolaan jenis-jenis ikan tertentu yakni sebagai berikut :

a. Jenis ikan yang ada di ZEE dua atau tiga negra atau lebih (stradling stock);

b. Benis ikan beruaya (highly migratory species) ;

c. Binatang laut yang yang menyusi (marime mammals) ;

d. Jenis ikan yang bertelur di sungai (anadromous species/stock);

e. Jenis ikan yang bertelur di laut (catadromous species);

f. jenis ikan yang menetap di laut (sedentary species).

Pelaksanaan (kegiatan) ZEE Indonesia

Dasar pertimbangan peraturan tentang Zona Ekonomi Ekskusif mempunyai

sifat serba daya guna (multifunctional) maka tinjauan tentang pelaksanaan

ekonomi eksklusif ini akan diuraikan melalui kegunaannya, pengaturan

perundang-undangannya di Indonesia. Namun pada hakikatnya tentang

pelaksanaan ekonomi eksklusif ini sebagian telah dibahas pada uraian-uraian

sebagaimana yang telah dikemuakakan di atas. Oleh sebab itu uraian berikut ini

hanya tinggal melihat bagaimana dan sejauh mana pengaturan hukumnya yang

telah ditetapkan.

Di Indonesia, sebagaimana yang telah ditetapkan didalam undang-undang

Nomor 5 tahun 1983 tentang ZEE Indonesia), bahwa baik orang perseorangan

maupun perusahaan, apakah perusahaan negara maupun berupa perusahaan

swasta, yang melakukan kegiatan eksplorasi dan / atau eksploitasi ekonomis

seperti pembangkitan tanaga dari air, arus dan angin di ZEE Indonesia, harus

berdasarkan izin dari pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut

syarat-syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut.

Maksudnya adalah kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan / atau

eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di ZEE

Indonesia yang dilakukan oleh warga Negara Indonesia atau badan hukum

Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia.

Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing,

orang atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional

antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asng yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-

Page 55: Bahan Ajar

55

hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zone tersebut, antara lain kewajiban untuk

membayar pungutan kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan

diatas, eksplorasi dan / atau eksploitasi sumber daya alam hayati harus menaati

ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintah

Republik Indonesia (pasal 5 ayat 2) dalam arti yang diatas diamksudkan adalah

sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali (to maintain

resources) namun tidak berarti tak berbatas. Dengan adanya sifat-sifat yang

demikian, dalam melaksanakan pengelolaan dan konvensi sumber daya alam

hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik

disebagian atau keseluruhan daerah di ZEE Indonesia.

Asal tidak bertentangan maupun mengurangi ketentuan sebagaimana yang

diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU. No. 5/1983 ekplorasi dan eksploitasi suatu

sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh orang atau

badan hukum atau pemerintah, negara asing dapat diizinkan jika jumlah

tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis

tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Dari uraian di

atas dapatlah ditegaskan bahwa dalam rangka konservasi sumber daya alam

hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari tersebut,

Indonesia berkewajiban pula untuk menjamin batas panen lestari tersebut,

Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam

hayati yang diizinkan (allowable catch).

Dalam hal usaha perikanan, Indonesia belum dapat sepenuhnya

memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Selisih antara

jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity

to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin

Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional. Misalnya

jumlah tangkapan yang diperbolehkan antara 1000 (seribu) ton sedangkan jumlah

kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton, maka

negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut

dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan

Internasional. Penunjukan pada pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan

Page 56: Bahan Ajar

56

bahwa jenis-jenis sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut ZEE

tunduk pada ketentuan ayat ini.

Selanjutnya ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang membuat dan/

atau instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan lainnya di ZEE Indonesia harus

berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut

syarat-syarat perizinan tersebut (pasal 6). Dari ketentuan tersebut di atas,

dapatlah dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia

mempunyai hak eksklusif untuk membangun, mengizinkan dan mengatur

pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-

instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan

dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal,

kesehatan, keselamatan dan imigrasi.

Meskipun Indonesia mempuntai yurisdiksi eksklusif namun pulau-pulau

buatan, instalasi dan bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki laut territorial

sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritoria, ZEE

Indonesia atau landas kontinen Indonesia. Selanjutnya ditetapkan pula bagi siapa

saja yang melakukan kegiatan penelitian ilmiah (marine scientific research)

kelautan ZEE Indonesia harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan

dilaksanakan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oelh Pemeritah Republik

Indonesia.

Dari ketentuan pasal tersebut dapatlah ditegaskan bahwa setiap penelitian

ilmiah kelautan di ZEE Indonesia hanya dapat dilaksanakan setelah permohonan

untuk penilitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jika

dalam janga waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan tersebut

pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan :

a. Menolak permohonan tersebut;

b. Bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh Pemohon tidak sesuai

dengan kenyataan atau kurang lengkap;

c. Bahwa permohonan belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya

yang terdahulu.

Suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilakukan 6 (enam) bulan

sejak diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia

(penjelasan pasal 7). Kemudian ditetapkan pula bahwa bagi siapa saja yang

Page 57: Bahan Ajar

57

melakukan kegiatan-kegiatan di ZEE Indonesia, wajib melakukan langkah-langkah

untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menaggulangi peraturan

pencemaran lingkungan laut. Pembuangan ZEE Indonesia hanya dapat dilakukan

setelah memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia. Dari ketentuan

ketentuan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa wewenang perlindungan

dan pelestarian sumber daya alam di ZEE Indonesia secara Internasional

didasarkan pada praktek negara, yang sekarang yang diterima pula dalam

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hukum laut, sedangkan secara

nasional landasan terdapat di dalam Undang-undang Nomor 4 1982 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup.

Pembuangan (dumping) di laut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan

laut, terhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan

serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang dibuangkan melalui perizinan.

Pembuangan meliputi limbah pembuangan bahan-bahan lainnya yang

menyebabkan pencemaran lingkungan laut, pembuangan limbah yang lazimnya

dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin.

Penegakan Hukm (law enforcement)

Masalah yang tidak kalah pentingnya dari ZEE ini adalah aspek “law

enforcement” atau penegakan hukumnya. akan tidak ada artinya sama sekali jika

kita mempunyai hak-hak berdaulat dari yurisdiksi di ZEE, tetapi kita sendiri tidak

dapat menegakkan hukum disana. Di lain pihak, kita semua menyadari bahwa

bagaimana sulitnya penegakan hukum di daerah laut yang sangat luas tersebut

yang merupakan bahan tambahan, disamping itu penegakan hukum di perairan

Indonesia yang sudah amat luas.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa masalah penegakan hukum

ataupun pengawasan ini menjadi lebih berat lagi jika diperhitungkan bahwa

daerah-daerah yang diliputi pengawasan tersebut tidak hanya terbatas pada

perairan Nusantara dan laut wilayah 12 mil itu, tetapi juga landas kontinen dan

zona Ekonomi eksklusif Indoensia selebar 200 mil laut. Bertambah luasnya

wilayah laut dan daerah-daerah kewenangan Indonesia tentu saja memerlukan

perjuangan perluasan kemampuan untuk mengamankannya.

Page 58: Bahan Ajar

58

Penegakan hukum (law enforcement) disini diartikan sebagai bagian dari

jurisdiksi negara. Jurisdiksi dimaksud meliputi dan mempunyai pengertian yang

antara lain adalah :

a. Jurisdiksi of legislation atau jurisdiction to prescribe (wewenang membuat

aturan-aturan hukum untuk mengatur berbagai kepentingan, dan

b. Jurisdiction to enforce the law (wewenang menegakkan aturan hukum yang

berlaku.

Dasar hukum berlakunya (adanya) wewenang penegakan hukum ini dapat

bersumber pada:

a. Kedaulatan.

Sovereignty of State yang mendasari / melandasi segala aktivitas segala

aktivitas negara baik terhadap orang, benda, wilayah, negara dan lain-

lainnnya demi eksistensi dan kelangsungan hidup dan kegidupan bangsa dan

negara. Di samping kedaulatan ini merupakan kekuasaan tertinggi dari negara

maka kedaulatan juga merupakan hak dasar (fundamental rights) daripada

negara yang perwujudannya berupa hak-hak dan kewenangan-kewenangan

tertentu yang dituangkan dalam UUD, Tap. MPR, undang-undang dan

peraturan perundang-undangan lainnya. pada umumnya setiap hak dan

kewenangan ini dibarengi pula dengan kewajiban serta tanggung jawab

tertentu pula.

b. Ketentuan hukum Internasional.

Selain hak-hak dan wewenangan yang bersumber pada kedaulatan negara,

maka berdasarkan ketentuan Hukum Internasional baik ketentuan hukum

internasional yang berupa “conventional law/treaty” maupun kebiasaan-

kebiasaan internasiona dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh

bangsa-bangsa / negara yang beradab, maka negara sebagai subjek hukum

internasional adalah pendukung hak dan kewajiban hukum yang tertentu

dapat juga dimilki negara sepeti halnya hak berdaulat dan yurisdiksi tertentu

yang dimiliki negara pantai pada zona-zona tertentu dilaut atau objek-objek

tertentu di laut

Dari pengertian sebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan penegakan hukum adalah merupakan usaha atau

kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-

Page 59: Bahan Ajar

59

ketentuan Hukum Internasional agar segala segala aturan yang berlaku, baik

aturan hukum nasional negara itu sendiri maupun aturan Hukum internasional,

dapat diindahkan oleh setiap orang dan/atau badan-badan hukum, bahkan

negara-negara lain, dalam rangka memenuhi kepentingannya namun tidak sampai

mengganggu kepentinagn pihak lain.

Kalau kita hubungkan masalah penegakan hukum ini ketentuan-ketentuan

penegakan hukum ZEE berdasarkan pada Konvensi Hukum Laut yang baru, maka

secara garis besarnya dapat diperincikan sebagai berikut :

a. The coastal State may, in the exerciase if its sovereign rights to explore,

exploit, conserve and manage the living resources in the ZEE, take such

resources, including boarding, inspection, arrest and judicial proceedings,

as may necessary to ensure compliance with the laws and regulations

adopted by it in conformity with this convention. Maksudnya, dalam

melaksanakan hak kedaulatannya untuk mengekplorasi, melestarikan dan

mengelola sumber daya alam hayati di ZEE, negara pantai dapat

mengambil tindakan-tindakan seperti menaiki kapal, menginspeksi,

menahan dan melakukan, penuntutan hukum sesuai kebutuhan untuk

menegakkan hukum negaranya dengan mempertimbangkan ketentuan-

ketentuan daripada konvensi (ayat 1) .

b. Arrested vessels and their crews shall be promotly released upon the

posting of reasonable bond or ather security. Artinya kapal dan anak-

anak-anak buah kapal yang ditahan harus dilepaskan setelah tanggungan

dibayarkan atau jamian keamanan lainnya (ayat 2).

c. Coastal state pinalties for violations of fisheries laws and regulations in

the ZEE may not include imprisonment, inte absence of agreements to the

contarary by the states concerned, or any other form of cuporal

punishment. Artinya adalah kurang lebih adalah tindakan / hukuman yang

boleh dijatuhkan terhadap nelayan asing di ZEE oleh Negara pantai tidak

termasuk hukum penjara (ayat 3).

d. In cases of arrest or detention of foreign vessel the coastal State shall

promptly notify the flag state, throght appropriate channels, of the any

penalties subsequently imposed. Maksudnya bilamana sampai melakukan

Page 60: Bahan Ajar

60

penahanan, negara pantai harus segera memberitahukan hal tersebut

kapada perwakilan Negara bendera kapal (ayat 4).

Demikianlah mengenai penegakan hukum yang berkaitan dengan rezim

hukum ZEE menurut Konvensi Hukum laut yang baru, selanjutnya akan kita lihat

bagaimana pengaturan penegakan hukum menurut perundang-undangan nasional

kita. Menurut ketentuan pasal 13 UU No.5 tahun 1983, ditetapkan bahwa dalam

rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1), aparatur penegak

hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan

penegakan hukum sesuai dengan UU No. 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dengan pengecualian sebagai berikut :

a. Pengkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan

pelanggaran di ZEE Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai

dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan

dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;

b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat

mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila

terdapat keadaan force majeure;

c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam pasal 16 dan

pasl 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagimana diamksudka

pasal 21 ayat (4) huruf b. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terhadap kapal-kapal dan/atau

orang-orang yang diduga melakukan itndak pidana berdasarkan bukti permulaan

yang cukup dilaut khususnya bagi kaapl dan/atau orang-orang tersebut. terhadap

kapal-kapal dan atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat

diperintahkan (perintah ad-hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk

oleh penyidik dilaut untuk diproses lebih lanjut. Penangkapan tersebut tidak selalu

dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu penangkapan yang ditetapkan

dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu satu hari. Oleh karena itu

untuk tidak tindakan penangkapan di laut perlu diberi waktu yang memungkinkan

para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan dan atau orang-orang

tersebut kepelabuhan atau penangkalan. Jangka waktu maksimal untuk menarik /

Page 61: Bahan Ajar

61

menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh dari ZEE Indonesia sampai ke suatu

pelabuhan atau pangkalan. Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak

pidana menurut UU ini belum belum diatur dalam UU No. 8 tahun 1981,

sedangkan terhadap tindak pidana tersebut penahanan adalah merupakan satu

upaya untuk dapat memproses perkara lebih lanjut.

Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat

dijatuhkan adalah pidana denda tersebut perlu dimasukkan dalam golongan

tindak pidana sebagaiman dimaksud pasal 21 ayat (4) huruf b, UU No. 8 tahun

1981 tentang KUHAP. Selanjutnya ditetapkan pula bahwa aparatur penegak

hukum dibidang penyidikan di ZEE Indonesia adalah perwira Tentara Nasional

Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Bersenjata Republik

Indonesia (pasal 14 ayat (1)). Dalam ayat (2) ditetapkan bahwa penuntut umum

adalah jaksa pada pengadilan Negeri sebagaimanadimaksud dalam ayat (3).

Pengadilan yang berwenang mengadili perlanggaran terhadap ketentuan UU ini

adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana

dilakukan penahanan terhadap kapal dan atau orang-orang sebagimana yang

dimaksud dalam pasal 13 huruf a. Dari ketentuan tersebut maka dapat dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan laut

yang dapat ditunjuk sebagai penyelidik adalah misalnya komandan kapal,

Panglima daerah Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun

Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di ZEE Indonesia adalah sesuai dengan

ketentuan pasal 30 ayat (2) UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok

Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia dan pasal 17 Peraturan

Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8

tahun 1981 tentang KUHAP.

Kemudian ditetapkan pula bahwa permohonan untuk membebaskan kapal

dan atau orang-orang yang ditangkap akarena didakwa melakukan perlanggaran

terhadap UU ini, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari

Pengadialn Negeri yang berwenang. dari ketentuan di atas, dapat dijelaskan

bahwa permohonan membebaskan kapal/orang yang ditangkap karena

melakukan perlanggaran sesuai dengan praktek yang berlaku diajukan oleh

perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan. Kemudian penetapan

besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat

Page 62: Bahan Ajar

62

perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda

maksimum.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Apabila diinventarisasi kembali uraian-uraian mengenai ZEE di atas, dapat

disimpulkan bahwa ditengah-tengah meningkatnya kegiatan pengimplementasian

Wawasan Nusantara secara lebih mantap dan terpadu, Pemerintah Republik

Indonesia dengan cara seksama memperhatikan perkembangan Hukum laut

secara keseluruhannya, khususnya dengan makin mantapnya formulasi

ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam part V. Pasal 55 sampai dengan Pasal

75 Konvensi Hukum Laut III (1982). Hingga tahun 1982 kurang lebih tercatat ada

90 negara yang telah mengumumkan ZEE-nya. Hal tersebut dilakukan guna

meneguhkan hak kedaulatan mereka atas sumber-sumber daya alam yang

terdapat di ZEE. Oleh karena itu pula dirasakan bahwa situasi dan kondisinya

telah mendesak Indonesia untuk juga mengumumkan ZEE-nya.

Tentunya, masih segar dalam ingatan kita, bahwa ketika Konperensi

Hukum Laut PBB III melangsungkan sidangnya yang ke 9 di New York, pada

tanggal 21 Maret 1980 “Pemerintah Republik Indonesia mengumumkan ZEE

Indonesia” dengan mengunakan landasan “Rumusan baku tentang ZEE”

sebagimana yang tercantum dalam UNCLOS III. Perlu digarisbawahi bahwa salah

satu ciri khas dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang ZEE

tersebut adalah bahwa ZEE Indonesia ditetapkan ukuran lebarnya dan cara

pemanfaatannya berdasarkan pada UU No. 4/Prp/1960 dan UU No. 1 tahun

1973.

Pengumuman yang dilakukan oleh Indonesia memberikan implikasi

bertambah luasnya wilayah nasional Indonesia dengan segala isi dan

kekayaannya yang menjadi milik dan modal dasar pembangunan bangsa.

Menurut hasil penelitian “Ocean Education Project” dari Universitas Villanova-

Pensylvania Amerika Serikat, Indonesia memperoleh kekayaan alam dalam ZEE-

nya yang meliputi luas 764.000 mil persegi. Menurut perhitungan tersebut, luas

wilayah ZEE di seluruh dunia yang diperebutkan oleh semua negara adalah

hampir sama dengan luas daratan muka bumi. Terdapat 10 negara yang

Page 63: Bahan Ajar

63

mendapat bagian yang tergolong besar, antara lain adalah Amerika Serikat,

Australia, dan Indoensia.

Perlu ditegaskan dalam kesimpulan ini bahwa yang dimaksud dengan ZEE

Indonesia adalah jalur diluar laut wilayah Indonesia, sebagiman ditetapkan

berdasarkan UU No. 4/Prp/1960 tentang perairan Indonesia yang lebarnya 200

mil laut diukur dari garis pangkal laut wialyah Indonesia (pasal 2 UU No.5/1983).

Perlu pula diperhatikan bahwa pelaksanaan ZEE Indonesia ini selalu

mengandung dua aspek penanganan yaitu aspek dalam negeri dan aspek luar

negeri. Aspek dalam negeri tentunya yang menyangkut kebijakan-kebijakan

nasional tentang perikanan, perlindungan dan pelestarian laut serta penelitian

ilmiah tentang kelautan, yang ditentukan oleh instansi-instansi yang yang

bersangkutan. Sedangkan aspek luar negeri antara lain adalah yang menyangkut

pelaksanaan dalam kaitannya dengan hukum Internasional, yang selalu terdapat

dalam perumusan peraturan perundangan-undangan tentang aspek perikanan,

lingkungan laut dan penelitian ilmiah, juga perumusan persetujuan-persetujuan

bilateral tentang kerjasama di keempat bidang tersebut.

Meskipun klaim-klaim tersebut dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan

tertentu, misalnya pengambilan kekayaan alam, pencegahan polusi laut,

penelitian ilmiah kelautan dan lain sebagainya. Namun hal itu, dimaksudkan untuk

menguatkan kedudukan negara pantai di wilayah dan perairan Nusantaranya

ditambah 12 mil laut untuk zona pengawasan terhadap imigrasi, pabean,

kesehatan (zona tambahan) dan mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam

di ZEE selebar 200 mil laut yang diukur garis pangkal laut wilayahnya.

Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi hukum laut PBB III 1982,

disamping mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di ZEE, Indonesia juga

harus mengakui hak-hak negara lain yang ada di ZEE tersebut, antara lain

kebebasan berlayar dan terbang diatasnya, hak-hak tertentu negra-negara yang

tidak berpantai (landlocked-States) dan negara-negara secara geografis kurang

beruntung (geographically disadvantaged States). Kebebasan menangkap ikan

sebagai salah satu kebebasan yang ada di laut lepas, memang pada prinsipnya

tetap berlaku, namun kebebasan ini sesuai dengan perkembangan yang ada

dewasa ini, telah mempunyai beberapa pembatasan, baik dilihat dari segi

perkembangan teknologi modern tentang peggunaan laut maupun tuntutan

Page 64: Bahan Ajar

64

negara-negara pantai terhadap suatu jalur laut yang cukup luas yang berbatasan

dengan pantainya untuk kepentingan ekonomis.

Untuk melindungi sumber-sumber daya alam hayati yang berada di luar laut

territorial, agar pemenuhan kebutuhan protein hewani untuk bahan makanan

rakyat Indonesia akan lebih terjamin. Karena melihat kemungkinan akan

terjadinya kian yang ditangkap itu berlebihan, sehingga pada suatu saat akan

mengakibatkan kurangnya persediaan sumber protein hewani bagi kehidupan

manusia di masa mendatang. Sehingga perlu diadakan pembatasan dalam

bentuk perjanjian, baik perjanjian bilateral maupun multilateral.

Alasan kedua adalah sebagai konsekuensi logis dari alasan pertama,

sehingga negara pantai mendapat jaminan bahwa sumber protein yang

cadangkan bagi bangsa dan generasi berikutnya akan tetap terpelihara, dan

kepastian yang kini diperoleh dengan batas-batas yang jelas didalam mana

negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi

sumber-sumber day alam hayati yang beraneka ragam didalamnya. Kini semua

hal yang disebut di atas sebagian besar sudah mampu dilakukan, dan tidaklah

berlebihan jika dikatakan bahwa ZEE Indonesia adalah benar-benar merupakan

“jaminan masa depan bangsa’. Dalam kaitan inilah maka apa yang telah

dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam pengumuman pada tanggal

21 Maret 1980 tentang ZEE Indonesia seluas 200 mil laut yang diukur dari garis

pangkal laut wilayah kemudian dituangkan dalam Undang-undang No. 5 tahun

1983 adalah merupakan suatu tindakan yang sangat tepat.

Kemudian dalam hal penegakan hukum laut, perlu diperhatikan beberapa

hal yang dirasakan mendesak, antara lain mengenai :

a. Peningkatan kemampuan fisik, yang mampu menjamin mobilitas yang akan

mencakup khususnya peralatan-peralatan untuk pengawasan (surveillance)

dan armada-armada kapal yang akan dipergunakan untuk melakukan

tindakan-tindakan operasional pergerakan hukum itu sendiri.

b. Sistem penegakan hukum yang efektif dan terpadu.

c. Diingatkan pula bahwa penanganan di bidang penciptaan alat-alat ataupun

prasarana dan sarana perundang-undangan bidang laut dihubungkan dengan

perkembangan teknologi serta perkembangan asas-asas hukum laut

Internasional sangat penting

Page 65: Bahan Ajar

65

d. Konvensi-konvensi internasional yang berhubungan dengan hukum laut yang

ada relevansinya dengan kepentingan Indonesia, segera diratifikasi dan

disebarluaskan kepada masyarakat.

4. Laut Bebas (Laut Lepas)

Laut di luar yurisdiksi nasional negara-negara disebut laut bebas atau “high

seas”. Pemanfaatan laut bebas dilaksanakan berdasarkan prinsip “warisan

bersama umat manusia” (common heritage of mankind), yang berarti bahwa

manfaat laut bebas, baik aspek navigasi maupun aspek sumber daya alam yang

diakndungnya, harus dapat dinikmati oleh seluruh ummat manusia dan tidak boleh

dimonopoli oleh satu atau beberapa negara kuat saja. Prinsip tersebut melahirkan

hak dan kewajiban umum tiap negara terhadap laut bebas serta hak dan

kewajiban khusus dilaut bebas tertentu tersebut, seperti menyedikan sarana

pencarian dan penyelamatan (search and rescue), yang sering disingkat “SAR”,

yang memadai, pengejaran tidak terputus (hot pursuit) dan pelestarian lingkungan

laut.

Ketentuan-ketentuan mengenai rezim hukum laut Bebas yang tercantum

dalam konvensi Hukum Laut yang baru adalah terdapat pada part VII, Pasal 86

sampai dengan Pasal 120, berlaku semua bagian laut di luar laut pedalaman, laut

wilayah dan ZEE. Pada hakekatnya ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan

yang tercantum dalam “Convention on the High Seas” dari Konvensi Jenewa

tahun 1958.

Ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah : 1. The high seas are open to all States, whether coastal or landlocked. freedom

of the high seas is exercised under the conditions laid down by this convention

and by other rules or international law. It comprises, “inter alia”, both for

coastal and landlocked States. (Laut bebas terbuka untuk semua negara, baik

negara pantai maupun negara yang tidak berpantai). Namun pelaksanaan

negara-negara itu harus diperhatikan kepentingan negara lain menurut

ketentuan konvensi atau aturan Hukum Internasional lain, kebebasan-

kebebasan baik bagi negara pantai maupun bagi negara-negara tak berpantai

terdri dari :

Page 66: Bahan Ajar

66

a. Kebebasan berlayar (freedom of navigation) ;

b. Kebebasan terbang (freedom of over flight);

c. Kebebasan meletakkan kabel dan pipa dibawah laut (freedom to lay

submarine cables and pipelines) ;

d. Kebebasan membangun pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lain

yang diizinkan oleh hukum Internsional (freedom to construct artificial

islands and other installations promoted under international law);

e. Kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing);

f. Kebebasan melakuakn penelitian ilmiah kelautan (freedom of scientific

researches).

Kemudian Konvensi Hukum laut baru ini telah mengingatkan bahwa

laut bebas hanya boleh digunakan unutk keperluan damai (the high seas shall

be reseved for peaceful purposes). Tidak satu negara pun boleh mengklaim

setiap bagian laut bebas menjadi miliknya atau berada dibawah

kedaulatannya (no State may validly purport to subject any part of the high

seas to its sovereignty, pasal 89).

2. Hak atau kebebasan berlayar (rights of navigation) dilaksanakan dengan

ketentuan sebagai berikut :

a. Sebagai negara (coastal atau landlocked) mempunyai hak berlayar dengan

mengibarkan benderanya (every State, whether coastal or landlocked, has

the rights to sail ships flying its flag on the high seas: pasal 90)

b. Setiap kapal mendapatkan kebangsaan dari benderanya (every State shall

fix the conditions for the grant of its nationally to ships : pasal 91 ayat 1)

c. Setiap kapal dengan bendera suatu Negara berada dalam yurisdiksi

Negara bendera. Selama dalam pelayaran atau disuatu pelabuhan

dilarang ganti bendera kecuali karena pindah.

Tanggal 31 Desember 1985,Presiden Republik Indonesia di Jakarta

mengesahkan sertifikasi Indonesia terhadap konvensi perserikaatn PBB tentang

Hukum Laut dengan undang-undang No. 17 tahun 1985, secara umum konvensi

Hukum Laut PBB 1982, merupakan usaha masyarakat Internasional untuk

mengatur masalah kelautan tersebut. Usaha masyarakat internasional untuk

mengatur masalah kelautan melalui Konperensi PBB tentang hukum Laut yang

Page 67: Bahan Ajar

67

ketiga telah berhasil mewujudkan United Nations Convention on the Law of the

sea (Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa tentang hukum Laut), telah

ditandatangani oleh 117 (seratus tujuh belas) negara peserta termasuk Indonesia

dan 2 satuan bukan Negara di Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 Desember

1982. Dibandingkan dengan konvensi – konvensi Jenewa 1958 tentang hukum

laut, Konvensi PBB tentang hukum Laut tersebut mengatur rejim–rejim hukum laut

secara lengkap dan menyeluruh, yang rejim–rejimnya satu sama lainnya tidak

dapat dipisahkan.

Ditinjau dari isinya, Konvensi PBB tentang hukum laut tersebut :

a. Sebagian merupakan kodifikasi ketentuan – ketentuan hukum laut yang sudah

ada, misalnya kebebasan–kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut

teritorial;

b. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya

ketentuan mengenai lebar laut Teritorial menjadi Maksimun 12 mil laut dan

criteria landas kontinen.

Menurut konvensi Jenewa 1958 tentang hukum Laut kriteria bagi penentuan

lebar landas kontinen adalah kedalaman air dua ratus meter atau kriteria

kemampuan eksploitas. Kini dasarnya adalah kriteria kelanjutan alamiah

wilayah daratan sesuatu Negara hingga pinggiran luar tepian kontinennya

(Natural prolongation of its land territory to the outer edge of the continental

margin) atau kriteria jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk

mengukur lebar laut Teritorial jika pinggiran luar tepian kontinen tidak

mencapai jarak 200 mil tersebut;.

c. Sebagaian melahirkan rejim– ejim hukum baru, seperti asas Negara

Kepulauan, Zona Ekonomi Ekslusif dan penambangan di dasar laut

Internasional.

Bagi bangsa dan Negara Republik Indonesia, konvensi ini mempunyai arti

yang penting karena untuk pertama kalinya asas Negara Kepulauan yang

selam dua puluh lima tahun secara terus menerus diperjuangkan oleh

Indonesia, telah berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat

internasional. Pengakuan resmi asas Negara kepulauan ini merupakan hal

ynag penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah sesuai dengan

deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan Wawasan Nusantara sebagaimana

Page 68: Bahan Ajar

68

termaktubdalam ketetapan majelis Permusyarawatan Rakyat tentang Garis –

garis Besar haluan Negara, yang menjadi dasar perwujudan bagi kepulauan

indonesai sebagai satu kesatuan politik, ekonomi sosial budaya dan

pertahanan keamanan.

“Negara Kepulauan” menurut konvensi ini adalah suatu negara yang

seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan adapat

mencakup pulau–pulau lain. Konvensi menentukan pula bahwa gugusan

kepulauan berarti suatu gugusan pulau–pulau termasuk bagian pulau, perairan

diantara gugusan pulau–pulau tersebut dan lain–lain wujud alamiah yang

hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga gugusan pulau–

pulau, perairan dan wujud alamiah lannya tersebut meruapkan kesatuan

geografi dan politik yang hakiki, atau secara historis telah diangggap sebagai

satu kesatuan demikian.

Negara kepulauan dapat menarik garis dasar / pangkal lurus kepulauan

yang manghubungkan titik – titik terluar pulau – pulau dankarang kering terluar

kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa :

a. Di dalam garis dasar/pangkal demikian termasuk pulau–pulau utama dan suatu

dearah dimana perbandingan antara derah perairan dan daerah daratan,

termasuk atol, adalah antara satuberbanding satu ( 1 : 1 ) dan Sembilan

berbanding satu ( 9:1).

b. Panjang garis dasar/pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali

bahwa hingga 3 % dari jumlah seleuruh garis dasar/pangkal yang mengelilingi

setiap kepualaun dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu

kepanjangan maksimun 125 mil laut;

c. Penarikan garis dasar/ pangkal demikian tidak boleh penyimpang dari

konfirugasi umum Negara Kepulauan. Negara Kepulauan berkewajiban

menetapkan garis–garis dasar/pangkal kepulauan pada peta dengan skala

yang cukup untuk menetapkan posisinya. Peta atau daftar koordinat geografi

demikian harus diumumkan sebagaimana mestinya dan satu salinan dari

setiap peta atau daftar demikian didepositnya pada Sekretaris Jenderal PBB.

Dengan diakuinya asas Negara kepulauan maka perairan yang dahulu

merupakan bagian dari laut lepas kini menjadi “ perairan kepulauan” yang

berarti menjadi wilayah perairan Republik Indonesia.

Page 69: Bahan Ajar

69

Disamping ketentuan–ketentuan sebagaimana telah disebutkan, syarat–

syarat yang penting bagi pengakuan internasional atas asas Negara Kepulauan

adalah ketentuan–ketentuan sebagaimana diuraikan dibawah ini.

Dalam “perairan kepulauan” berlaku hak lintas damai (right of innocent

passage) bagi kapal–kapal negara lain. Namun demikian Negara Kepulauan dapat

menangguhkan untuk semenatara waktu hak lintas damai tersebut pada bagian–

bagian tertentu dari “perairan kepulaunnya” apabila dianggap perlu untuk

melindungi kepentingan keamanannya. Negara kepulauan dapat menetapkan alur

laut kepulauan dan rute penerbaangan di atas alur laut tersebut.

Kapal asaing dan pesawat udara asing menikmati hak lintas laur laut

kepulauan melalui alur laut dan rute penerbangan tersebut untuk transit dari suatu

bagian laut lepas atau Zona Ekonomi Ekslusif ke bagian lain dari laut Lepas atau

Zona Ekonomi Eksklusif. Alur laut kepulauan dan rute penerbagangan tersebut

tidak boleh berlayar atau terbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan

garis poros tersebut. Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmati hak

lintas jalur laut kepulauan melalui laur laut dan rite penerbangan tersebut, namun

hal ini di bidang lain dari pada pelayaran dan penerbangan tidak boleh

mengurangi kedaulatan Negara Kepulauan atas air serta ruang udara di atasnya,

dasr laut dan tanah di bawahnya dan sumber kekayaan di dalamnya.

Dengan demikian hak lintas alur kepulauan melalui rute penerbangan yang

diatur dalam konvensi ini hanyalah mencakup hak lintas penerbangan melewati

udara di atas alur laut tanpa mempengaruhi kedaulatan negara untuk mengatur

penerbangan di atas wilayahnya sesuai dengan konvensi Chicago 1944 tentang

penerbangan sipil ataupun kedaulatan Negara kepulauan atas wilayah udara

lainnya diatas perairan Nusantara.

Sesuai dengan ketentuan konvensi, disamping harus menghormati

perjanjian–perjanjian internasional yang sudah ada, Negara kepulauan

berkewajiban pula menghormati hak–hak tradisioanal penangkapan ikan dan

kegiatanlain yang sah dari negara–negara tetangga yang langsung berdampingan,

serta kabel laut yang telah ada dibagian tertentu perairan kepulauan yang

dahulunya merupakan laut lepas. Hak–hak tradisional dan kegiatan lain yang sah

tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi dengan Negara ketiga atau

warganegaranya.

Page 70: Bahan Ajar

70

Konvensi perserikatan Bangsa – bangsa tentang hukum Laut ini mengatur

pula rejim sebagai berikut :

1. Laut Teritorial dan Zona Tambahan

a. Laut tertorial

Konferensi PBB tentang hukum laut yang pertama (1958) dan kedua

(1960) di Jenewa tidak dapat memecahkan masalah lebar laut teritorial

Karena pada waktu itu praktek negara menunjukkan keanekaragaman

dalam masalah lebar laut teritorial, yaitu dari 3 mil laut hingga 200 mil laut.

Konferensi PBB tentang hukum laut ketiga pada akhirnya berhasil

menentukan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari

keseluruhan paket rejim – rejim hukum laut, khususnya :

1) Zona ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil laut

dihitung dari garis dasar/pangkal darimana lebar laut territorial

diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran;

2) Kebebasan transit kapal – kapal asing melalui selat yang digunakan

untuk pelayran internasioanal;

3) Hak akses Negara tanpa pantai ked an dari laut dan kebebasan

transit;

4) Tetap dihormati hak lintas laut damai melalui laut territorial.

Rejim laut teritorial memuat ketentuan sebagai berikut:

1) Negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas Laut territorial, ruang

udara diatasnya, dasar laut dan tanah dibawahnya serta kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya.

2) Dalam laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan–

kendaraan air asing. Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lintas

laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau

penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau

kemrdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan

pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan

langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut

harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya,

sedangkan berhenti membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi

keperluan navigasi yang normal atau karena keadaan memaksa (force

Page 71: Bahan Ajar

71

majeure) atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan

bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam

kedaan bahaya.

3) Negara pantai berhak membuat peraturan tentang lintas laut damai

yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan penngaturan lintas

laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan

kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati,

pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan,

pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan

pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survey

hidrografi dan pecegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal

imigrasi dan kesehatan.

b. Zona Tambahan

Jika dalam Konvensi jenewa 1958, lebar Zona Tambahan pada lebar tritorial

diukur, maka Konvensi PBB III 1982 kini menentukan bahwa, dengan

ditentukannya lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut, lebar Zona

Tambahan adalah maksimal 24 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial.

Di zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan dan

pengendalian yang perlu, untuk :

1) Mencegah pelanggaran terhadap peraturan perundang – undangannya di

bidang bea cukai, fiskal keimigrasian dan kesehatan yang berlaku di

wilayah darat dan laut teritorial negara pantai;

2) Menindak pelanggaran–pelanggaran atas peraturan perundang–

undangan tersebut yang dilakukan di wilayah darat dan laut teritorial

negara pantai;

3) Selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut membawa akibat

bahwa perairan dalam selat yang semula merupakan bagian dari laut

lepas berubah menjadi bagian dari laut teritorial maksimal 12 mil laut.

Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi pelaksanaan kedaulatan dan

yuridiksi negara– egara pantai dibidang lain dari pada lintaslaut dan lintas

udara, kendaraan air asing pesawat udara asing mempunyai hal intas

laut/udara melalui sutu selat yang digunakan untuk pelayaran

Page 72: Bahan Ajar

72

internasional. Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan–

ketentuan Konvensi, dapat membuat perundang–undangan mengenai

lintas laut transit melalui selat tersebut bertalian dengan :

a. Keselamatan pelyaran dan pengaturan lintas laut;

b. Penecegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran;

c. Pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat

penangkapan ikan dalam palka;

d. Memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang – orang,

bertentangan dengan peraturan perundang – undangan bea cukai,

fiscal, imigrasi dan kesehatan.

3. Zona Ekonomi Eksklusif

Dizona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai :

a. Hak berdaulat untuk tujuan eksploirasi, eksploitasi, pengelolaan dan

konservasi sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati

diruang air dan kegiatan–kegiatan lainnya untuk eksploirasi dan

eksploitasi ekonomi Zona tersebut seperti pembangkitan tenaga dari air,

arus dan angin.

b. Jurisdiksi yang berkaitan dengan pembuatan dan penggunaan pulau–

pulau buatan, instalasi- instalasi dan bangunan–banguanan lainnya,

penelitian ilmiah dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut.

c. kewajiban untuk menghormati kebebasan pelayaran dan penerbanngan

internasional, pemasangan kabel atau pipa bawah laut menurut prinsip

hukum internasional yang berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif.

d. kewajiban untuk memberikan kesemapatan terutama kepada Negara

tidak berpantai atau Negara yang secara geografis taidak beruntung

untuk turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan ikan yang

diperbolehkan.

Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut

tersebut erat kaitannya dengan masalah penetapan lebar laut Teritorial 12 mil

laut, karena :

a. Beberapa negara pantai, yang menganut lebar laut teritorial 200 mil laut,

baru dapat menerima penetapan lebar laut teritorial maksimal 12 mil laut

Page 73: Bahan Ajar

73

dengan adanya rejim Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi

200 mil laut

b. pada sisi lain :

1) Negara–negara tanpai pantai dan negara–negara secara geografis tidak

beruntung baru dapat menerima penetapan lebar Laut teritorial maksimal

12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200

mil laut dengan ketentuan bahwa mereka memperoleh kesempatan untuk

turut serta memanfaatkan surplus dari jumlah tangkapan yang

diperbolehkan.

2) Mereka mempunyai hak transit ke dan dari laut melalui wilayah negara

pantai/negara transit.

3) Negara-negara maritim baru dapat menerima rejim Zona Ekonomi

Eksklusif jika negara pantai tetap menghormati kebebasan pelayaran/

penerbangan melalui Zona Ekonomi Eksklusif.

4) Landas Kontinen.

Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang

menetapkan lebar landas kontinen berdasrkan pada kriteria kedalaman

atau kriteria kemampuan eksploitasi, maka Konvensi 1982 ini

mendasarkan pada berbagai kritria :

a. Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar tidak mencapai jarak 200 mil

laut tersebut;

b. Kelanjutan alamiah wilayah daratan dibawah laut hingga tepian luar

kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur

dari garis dasar laut teritorial jika diluar 200 mil masih terdapat daerah

dasar laut yang merupakan kelnjutan lamiah dari wilayah daratan dan

jika memenuhi criteria kedalaman sdimentasi yang ditetapkan dalam

konvensi; atau

c. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobaths) 2500

meter. Kriteria kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga

tepian luar kontinen yang ditentukan dalam konvensi ini pada akhirnya

dapat diterima negara–negara bukan negara pantai, khususnya

negara–negara tanpa pantai atau negara–negara yang geografis tidak

beruntung setelah konvensi juga menentukan bahwa negara pantai

Page 74: Bahan Ajar

74

mempunyai kewajiban untuk memebrikan pembayaran atau kontribusi

dalam natura yang berkenaan dengan eksploitasi sumber kekayaan

non–hayati Landas Kontinen di luar 200 mil laut. Pembayaran atau

kontribusi tersebut harus dilakukan melalui Otorita Dasar Laut

Internasional yang akan membagikannya kepada Negara peserta

Konvensi di dasarkan pada criteria pembagian yang adil dengan

memperhatikan kepentingan serta kebutuhan negara–negara

berkembang, khususnya negara–negara yang pekembangannya masih

paling rendah dan negara–negara tanpai pantai.

Sekalipun Landas Kontinen pada mulanya termasuk dalam rejim Zona

Ekonomi Eksklusif, namun dalam Konvensi ini Landas Kontinen diatur

dalam Bab tersendiri . hal ini berkaitan dengan diterimanya criteria

kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga parkiran luar tepian

kontinen, yang memungkinkan lebar landas kontinen melebihi lebar

Zona Ekonomi Eksklusif.

5. Laut Lepas

Berbeda dengan konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas yang

menetapkan laut lepas dimulai dari batas terluar laut territorial. Konvensi ini

menetapkan bahwa laut Lepas tidak mencakup Zona Ekonomi Eksklusif,

Laut territorial perairan pedalaman dan perairan kepualauan. Kecuali

perbedaan–perbedaan tersebut di atas, pada dasarnya tidak terdapat

perbedaan antara Konvensi Jenewa 1958 tentang laut Lepas dan Konevensi

PBB tentang hukum Laut mengenai hak–hak dan Kebebasan–kebebasan

dilaut lepas. Kebebasan–kebebasan tersebut harus dilaksanakan oleh setiap

negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam melaksanakan

kebebasan di lautLepas. Disamping mengatur hak–hak kebebasan–

kebebasan di Laut Lepas. Konvensi ini juga mengatur masalah konservasi

dan pengelolaansumber kekayaan hayati di laut lepas yang dahulu diatur

dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Perikanan dan konservasi sumber

kekayaan hayati dilaut lepas.

6. Rejim Pulau

Rejim pulau diatur dalam Bab tersendiri dalam konvensi ini yang

dihubungkan dengan masalah Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan

Page 75: Bahan Ajar

75

Landas Kontinen. Konvensi menentukan bahwa pulau / karang mempunyai

Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen dengan

ketentuan bahwa pulau/ karang yang tidak dapat mendukung habitat

manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak mempunyai Zona

Ekonomi Eksklusif atau Landas KOntinen sendiri dan hanya berhak

mempunyai Laut Teritorial saja.

7. Rejim Laut tertutup / setengah tertutup.

Penetapan lebar laut Teritorial maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi

Eksklusif yang lebarnya tidak melebih 200 mil diukur dari garis laut territorial,

mengakibatkan bahwa perairan Laut Tertutup/ setengah yang dahulunya

merupakan laut Lepas menjadi lautTeritorial atau Zona Ekonomi Eksklusif

negara–negara disekitar atau berbatasan dengan laut tertutup/ setengah

tertutup tersebut. Rejim laut tertutup/ setengah tertutup diatur dalam satu

bab tersendiri dalam konvensi ini. Menganjurkan antara lain agar negara

negara yang berbatasan dengan Laut Tertutup/setengah tertutup

mengadakan kerjasama mengenai pengelolaan, konservasi sumber

kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut

tersebut.

8. Rejim akses Negara tidak berpantai ked an dari laut serta kebebasan transit

Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas masalah hak akses

negara tanpai pantai diatur dalam salah satu pasal, Konvensi ini menngatur

masalah rejim akses negara tanpa pantai ked an dari laut serta kebebasan

transit melalui negara transit secara lebih terperinci dalam satu bab

tersendiri. Rejim ini berkaitan dengan hak negara–negara tersebut untuk

ikut memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona

Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut internasional. Sesuai ketentuan–

ketentuan dalam konvensi, pelaksnaan hak akses Negara tidak berpantai

serta kebebasan transit melalui wilayah Negara transit dan di Zona Ekonomi

Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional.

9. Kawasan Dasar laut Internasional

Kawasan Laut Internasional adalah dasar laut/samudra yang terletak di luar

landas Kontinen dan berada di bawah Laut Lepas. Konvensi menetapkan

bahwa kawasan Dasar Laut Internasional dan kekayaan alam yang

Page 76: Bahan Ajar

76

terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya merupakan warisan

bersama umat manusia. Tidak ada satu negarapun boleh menuntut atau

melaksanakan kedaulatan atau hak berdaulat atas bagian dar kawasan

Dasar laut Internasional atau kekayaan alam yang terdapat didalamnya.

Demikian pula tidak satu negarapun atau badan hukum atau orang boleh

melaksanakan pemilikan atas salah bagian dari kawasan tersebut semua

kegiatan di kawasan Dasar Laut Internasional dilaksanakan untuk

kepentingan umat manusia secara keseluruhan, maka pengelolaannya

dilaksanakan oleh suatu badan internasional, yaitu Otorita Dasar Laut

Internasional (International Seabed Authority). Adapun pengelolaannya di

dasarkan pada suatu sistem, yaitu sistem parallel, yakni selama Perusahaan

(Enterprises) sebagai wahana otorita belum dapat beroperasi secara penuh,

negara–negara peserta Konvensi termasuk perusahaan negara dan

swastanya dapat melakukan penambangan dikawasan Dasar Laut

Internasional tersebut berdasarkan suatu hubungan keraj atau asosiasi

dengan otorita. Konvensi PBB tentang hukum Laut ketiga dengan suatu

revolusi I, menetapkan pula pembentukan Komisi Persiapan (Preparatory

Commission) yang tugasnya adalah untuk mempersiapkan antara lain

pembentukan otorita Dasar Laut Internasional dan Pengadilan Internasional

untuk hukum laut.

10. Perlindungan dan pemeliharaan lingkunga laut.

Walaupun perlahan–lahan akan tetapi pada akhirnya tumbuh kesadaran

bahwa, sekalipun laut itu sangat luas tetapi sumber–sumber kekayaan yang

terkandung didalamnya tidak tanpa batas kelestarian. Penangkapan hidup

jenis ikan selalu mengandung suatu resiko bahwa kelangsungan hidup jenis

ikan tersebut dapat terancam dengan kepunahan.

Pengembangan teknologi dibidang perikanan, yang memungkinkan

penangkapan ikan dalam skala besar, dapat mengakibatkan tidak hanya

kepunahan jenis–jenis ikan akan tetapi juga kemunduran besar bagi

perusahaa-perusahaan yang tergantung dari penangkapan jenis – jenis ikan

tersebut.

Disamping itu tumbuh kesadaran mengenai kelestarian lingkungan hidup,

yang pada akhirnya menggerakkan PBB untuk meyelenggarakan konferensi

Page 77: Bahan Ajar

77

mengenai lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun1972; Pembuangan

limbah secara tidak terkendali ke dalam lautan membawa akbat kerusakan

yang parah pada lingkungan laut.

Demikian pula, pencemaran yang diakibatkan oleh kecelakaan tangker –

tangker raksasa, seperti Torrey Canyon dalam tahun 1967 dan Amoco

Cadits dalam tahun 1978, membawa kerusakan yang sangat parah pada

lingkungan hidup. Berdasarkan kenyataan–kenyataan sebagaimana tersebut

di atas, konvensi menentukan bahwa setiap negara mempunyai hak

berdaulat untuk memanfaatkan sumber–sumber kekayaan alamnya sesuai

dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

11. Penelitian ilmiah kelautan

Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai mencakup pula

pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut territorial atau perairan

kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang

dilaksanak dalam laut teritorial/perairan kepulauan hanya dapat

dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula

bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah oleh

kelautan ZEE dan Landas Kontinen.

Penelitian ilmiah oleh negara asing atau organisasi internasinal sepanjang

tidak bertentangan dengan ketentuan–ketentuan sebagaiman diatur dalam

konvensi supaya diizinkan oleh negara pantai. Untuk penelitian ilmiah

kelautan yang dilakukan di Laut Lapas berlaku kebebasan penelitian dengan

ketentuan bahwa penelitian ilmiah yang dilakuakan di Landas Kontinen

tunduk pada rejim penelitian Landas Kontinen. Demikian juga bagi penelitin

ilmiah di Kawasan Dasr laut International berlaku prinsip kebebasan

penelitian ilmiah yang tunduk pada rejim Kawasan Dasr Laut Internasional.

12. Pengembangan dan Alih Teknologi

a. Negara-negara secara langsung atau melalui organisasi internasional

yang berwenang, harus mengadakan kerjasama sesuai dengan

kemampuan masing–masing untuk secara aktif memajukan

pengembangan dan pengalihan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan;

b. semua negara wajib memajukan pengembangan kemampuan ilmiah dann

teknologi kelautan negara–negara yang memerlukan bantuan teknik

Page 78: Bahan Ajar

78

dalam bidang tersebut, khususnya negara–negara berkembang,,

termasuk negara–negara tanpai pantai dan yang secara geogarfis tidak

beruntung, yang memerlukan bantuan di bidang eksplorasi dan

eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumbe –sumber kekayaan laut,

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, penelitian ilmiah kelautan,

dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan sosial dan ekonomi

negara–negara berkembang.

13. Penyelesaian Sengketa

Konvensi menentukan bahwa setiap negara peserta Konvensi harus

menyelesaikan suatu sengketa mengenai penafsiran dan penerapan

Konvensi melalui jalan damai sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 3

Piagam PBB. Konvensi ini mengatur sistem penyelesaian sengketa,

dimana Negara – Negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada salah

satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut: Mahkamah

Internasional (I.C.J), Pengadilan Internasional untuk hukum Laut, Arbitrasi

Umum atau Rbutrasi khusus.

Konvensi 1982 ini membentuk pengadilan internasional untuk hukum laut

sebagai mahkamah tetap (standing tribunal) dan Arbitrasi umum serta

arbitrasi khusus sebagai mahkamah ad hoc (ad hoc Tribunal). Setiap

sengketa mengenai penafsiran dan penerapan Konvensi dapat diajukan

untuk diselesaikan oleh salah satu dari ke empat macam lembaga

penyelesaian sengekta tersebut diatas, kecuali sengketa mengenai

penafsiran dan penerapan BabXI konvensi mengenai Kawasan Dasar laut

internasional beserta lampiran- lampiran Konvensi yang bertalian dengan

masalah Kawasan dasar laut Internasional, yang merupakan yurisdiksi

mutlak kamar sengketa dasar laut. Sejalan dengan masalah persaiapan

pembentukan organ–organ otorita dasar laut international, maka

pembentukan pengadilan–internasional untuk hukum laut beserta kamar

kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula oleh Komisi persiapan sesuai

dengan ketentuan Resolusi I yang diambil oleh konperensi PBB tentang

hukum laut ketiga, agar dapat segera berfungsi setelah Konvensi mulai

berlaku.

14. Ketentuan Penutup

Page 79: Bahan Ajar

79

Sebagaimana lazimnya, konvensi memuat ketentuan–ketentuan penutup

yang mengatur masalah–masalah prosedural seperti penandatanganan,

pengesahan dan konfirmasi formal, aksesia dan berlakunya konvensi,

amandemen depositori dan lain–lainnya. Beberapa ketentuan penutup

yang penting yang terdapat konvensi ini antara lain adalah :

a. Konvensi dimulai berlaku 12 bulan setelah tercapai pengesahan oleh

60 negara.

b. Konvensi ini menggantikan (prevail) konvensi – konvensi Jenewa 1958

mengenai hukum laut bagi para pihaknya.

c. Konvensi ini tidak membenarkan negara–negara mengadakan

pensyaratan (reservation) terhadap ketentuan–ketentuan dalam

konvensi pada eaktu mengesahkan karena seluruh ketentuan konvensi

ini merupakan satu piket yang ketentuan– etentuannya sangat serta

hubungannnya satu dengan yang lain, dan oleh keran itu hanya dapat

dipisahkan sebagai satu kebulatan yang utuh.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran ke 3 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir

perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaang seperti :

1. Mengapa asas Negara kepulauan harus diimplementasikan dalam

berbagai peraturan perundang Republik Indonesia ?

2. Mengapa pengumuman pemerintah mengenai suatu obyek hukum

selalu diikuti dengan undang–undang ?

3. Apa implikasi dari ratifikasi Indonesia terhadapa konverensi hukum laut

PBB 1982 ?

Page 80: Bahan Ajar

80

Daftar Bacaan :

I. Wayan Parthiana, Landas Kontinen Dalam Hukum Laut Indonesia,

Bandung: Mandar Maju, 2005.

Made Pasek Diantha, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Bandung:

Mandar Maju, 2005

------------------, Analisis Negara Kepulauan dan Landas Kontinen Dalam Perspektif Kepentingan Indonesia, Denpasar, CV. Karya

MasAgung, 1993.

Syahmin, AK, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut International, Bandung: Bina Cipta, 1988.

UU No. 6 / 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia.

UU No. 17 / 1985 tentang Pengelolaan Konvensi Hukum Laut 1982.

UU No. 5/ 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

UU No. 1 /1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

PP No. 8 / 1992 tentang Lalu lintas Damai Kendaraan air asing.

Page 81: Bahan Ajar

81

BAB 5 BAHAN PEMBELAJARAN 4

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa

“Mahasiswa dapat menjelaskan berbaga jalur-jalur laut pada wilayah perairan

Indonesia sebagai negara nusantara”. Sasaran pembelajaran dimaksud

hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery

learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait jalur-jalur laut.;Partisipasi

dalam diskusi; Kerjasama tim; Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan

dilaksanakan selama 100 menit dengan media modul sebagai pengantar yang

diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:

Jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara nusantara atau negara

kepulauan:

1. Perairan Kepulauan

Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan

bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang

terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa

memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi

Hukum Laut Internasional (UNCLOS III) sudah mengakui konsep negara

kepulauan (archpelagic state), maka perairan kepulauan Indonesia juga

masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional sebagaimana

halnya negara-negara kepulauan lainnya.

2. Perairan Pedalaman

Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law of

the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan

Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial.

Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis

Page 82: Bahan Ajar

82

pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara

tersebut”.13 Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang

Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia

adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah

dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari

perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia

terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.

Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini

adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada

sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala

perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada

mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi

darat dari garis penutup mulut sungai.

Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan

dari UU No. 4/Prp tahun 1960 (sekarang UU No. 6 Tahun 1996),14 hukum

laut secara tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut

wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan

berlayar bagi semua kapal, dilaut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi

kapal-kapal asing dan diperairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada.

Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau

laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar

lurus dari ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit

berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 /Perp Tahun

1960 tersebut, perairan Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan

Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan

perairan daratan.

Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan

karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin

oleh hukum internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua

negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai

13 Pasal 8 (1) UNCLOS 1982 14 Sekarang tidak berlaku lagi karena sudah diganti dengan UU No1/1974 tentang Landas Kontinen

Indonesia, UU No 5/1983 tentang ZEEI dan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia

Page 83: Bahan Ajar

83

melalui laut teritorial (pasal 17 konvensi). Selanjutnya, Indonesia

membedakan perairan pedalaman (perairan kepulauan atas dua golongan),

yaitu:

1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No.

4/Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan

pedalaman ini disebut laut pedalaman atau internal seas.

2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4/Prp Tahun 1960

ini merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan

perairan daratan atau coastal waters.

Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas

damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini

dulunya adalah bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah

sewajarnya kita berikan hak lintas damai kepada kapal-kapal asing.

Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang

ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di perairan daratan tidak ada

hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya

dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-teluk

yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain-lainnya.15

Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah

meratifikasi UNCLOS III/1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun

1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the

Sea yang ketiga.

Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan

wacana hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan

jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini kita akan mengkaji

perbedaan antara Konvensi Jenewa 1957 dengan United Nations

Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS III 1982) yang khusus

membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan ;

Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan

Jalur Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang

telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh

15 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika

Global, (Bandung: PT Alumni, 2005), hlm. 383-384.

Page 84: Bahan Ajar

84

perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun

1930.

Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan

yang merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional

publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam

pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal.

Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang

terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah

kedaulatan negara.

Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya

meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah

dibawah dasar laut.

Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark)

sebagai garis pangkal biasa (“normal” base-line)

Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-

lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan

dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1)

menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem

penarikan garis pangkal lurus, yakni:

1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut

masuk jauh kedalam.

2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari

pantai.

Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus

diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut

sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.

Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh

menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa

bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian

harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim

perairan pedalaman, (ayat 2).

Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara

dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air

Page 85: Bahan Ajar

85

diwaktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah

didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap

waktu ada diatas permukaan air (ayat 3).

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh

dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah

negara lain dengan laut lepas. (ayat 5).

Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1

mengenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini

menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat

diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis

daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan

dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.

Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”......., ditempat-tempat

dimana, dan seterusnya....,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus

adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan

oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak

dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang

menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal base-

line). Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian

pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat (1).

Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai

garis pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional

tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara

Inggeris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).

Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal

lurus ini dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”,

maka isi keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan

pada pasal 59”............, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang

bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah

diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-

syarat tertentu – berlaku umum.16

16 Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978), hlm 129-

133. Konferensi Internasional Hukum Laut III, Tanggal 10 Desember 1982 (UNCLOS 1982) belum

Page 86: Bahan Ajar

86

Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam

UNCLOS IIII/1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain

diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya,

juga meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta

lapisan tanah dibawahnya.

Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis

pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-

karang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi

karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan,

mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial

antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan

serta lintas damai.

Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam

zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna

mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal,

imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil

laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut

diukur dari batas laut teritorial.

Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai

kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat

menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk

menjamin antara lain:

a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari

luar;

b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);

c. Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);

d. Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);

e. Kepentingan perikanan

f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.

Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam

“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam dilaksanakan. Tetapi kurang lebih sebagai perbandingan dalam menganalisa dinamika perkembangan antara Konvensi Jenewa tahun 1958 dengan UNCLOS 1982 yang juga saling berkaitan. Baca juga hasil-hasil Konvensi Hukum Laut Jenewa 1957.

Page 87: Bahan Ajar

87

pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya

3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan

bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied)

dari Indonesia...........” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan

sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan

sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya

diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena

itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996

Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan

UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.

Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah

suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya

tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut

wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut

yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta

dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak

memiliki ”Jalur Tambahan”.

Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-

kewenangan tertentu untuk:

1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-

Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di

wilayah atau laut wilayah RI.

2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut

diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.17

3. Laut teritorial

Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan

bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang

diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”.

Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis

pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No.

17 S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta

Pembangunan Nasional, (Jakarta: PT Bina Aksara, 1985), hlm. 84-85.

Page 88: Bahan Ajar

88

6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang

tercantum dalam UNCLOS 1982.

Dalam ketentuan ini (UNCLOS III), batas laut teritorial tidak melebihi batas

12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan

yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis

pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang

perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis

batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau

berdampingan serta lintas damai.

4. Laut Tambahan

Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa

suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara

pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:

1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang

berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal),

keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.

2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-

undangannya tersebut di atas.

Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan

tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti

bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang

mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi

Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya

ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2

Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut,

dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa

hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:

Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur,

tempat atau garis itu adalah garis pangkal.

Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari

garis pangkal.

Page 89: Bahan Ajar

89

Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal

adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona

tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau

batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu

terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.

Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang

terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi

Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana

negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan

hanya dibatasi oleh hak lintas damai.

5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI)

Indonesia berhak dan telah menetapkan ZEE-nya selebar 200 mil dari

garis-garis pangkal nusantara (Pasal 48 dan 57). Dalam ZEE, Indonesia

mempunyai:

1. Sovereign rights atas seluruh kekayaan alam yang terdapat di dalamnya;

2. Yurisdiksi untuk: (a) Mendirikan, mengatur dan menggunakan pulau-

pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya (Pasal

56 dan 60); (b) Mengatur penyelidikan ilmiah kelautan; (c) Perlindungan

dan pelestarian lingkungan laut;

3. Hak dan kewajiban-kewajiban lain yang ditetapkan dalam konvensi.

Di ZEE, negara-negara lain mempunyai: (1) Kebebasan berlayar dan

terbang; (2) Hak meletakkan kabel dan pipa-pipa, instalasi-instalasi dan

bangunan-bangunan sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum laut tentang

Landas Kontinen dan ZEE; (3) Kebebasan-kebebasan laut lepas yang disebut

dalam pasal 88 sampai 115, yang mencakup berbagai bidang yang ada

hubungannya dengan kapal dan pelayaran; (4) Akses terhadap. surplus

perikanan yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai.

Tindakan-tindakan yang diperlukan adalah:

1. Menetapkan batas terluar ZEE Indonesia dalam suatu peta yang disertai

koordinat dan titik-titiknya;

2. Menetapkan dalam persetujuan-persetujuan dengan negara tetangga

tentang batas-batas dan ZEE Indonesia yang mungkin tumpang tindih

Page 90: Bahan Ajar

90

dengan ZEE negara tetangga. Batas-batas landas kontinen yang telah

ditetapkan dengan negara-negara tetangga dalam berbagai persetujuan

belum tentu dapat dianggap sama dengan batas ZEE, karena kedua

konsepsi mi (ZEE dan landas kontinen) adalah 2 konsepsi yang berbeda

dan masing-masing merupakan konsep yang sui generis.

3. Mengumumkan dan mendepositkan copy dan peta-peta atau daftar

koordinat-koordinat tersebut pada Sekjen PBB (Pasal 75);

4. Mengumumkan secara wajar pembangunan dan letak pulau-pulau buatan,

instalasi dan bangunan-bangunan lainnya, serta safety zonenya dan

membongkarnya kalau tidak dipakai lagi (Pasal 60 mengatur soal ini secara

terperinci);

5. Indonesia harus menetapkan allowable catch dan sumber-sumber

perikanan ZEE-nya (Pasal 61). Indonesia sebagai negara pantai juga

berkewajiban memelihara, berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada, agar

sumber-sumber perikanannya tidak over-exploited demi untuk menjaga

maximum sustainable yield. Untuk maksud-maksud ini, Indonesia dirasa

perlu bekerja sama dengan negara-negara lain yang berkepentingan dan

dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten;

6. Untuk mencapai optimum utilization dan kekayaan alam tersebut, Indonesia

harus menetapkan its capacity to harvest dan memberikan kesernpatan

kepada negara lain di kawasannya, terutama negara-negara tidak berpantai

dan negara-negara yang secara geografis kurang beruntung, untuk

memanfaatkan the surplus of the allowable catch yang tidak dimanfaatkan

oleh Indonesia (Pasal 62, 69, 70, 71, dan 72 mengatur soal pemanfaatan

surplus);

7. Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu

mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh

konvensi (Pasal 62 ayat 4), misalnya tentang izin penangkapan ikan,

penentuan jenis ikan yang boleh ditangkap, pembagian musim dan daerah

penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap

dan lain-lain;

8. Mengatur dengan negara-negara yang bersangkutan atau dengan

organisasi-organisasi regional/internasional yang wajar tentang

Page 91: Bahan Ajar

91

pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat

di ZEE 2 negara atau Iebih (shared stocks), highly migratory species dan

memperhatikan ketentuan-ketentuan tentang marine mammals,

anadromous dan catadromous species dan sedentary species.

6. Landas Kontinen

Negara pantai termasuk Indonesia berhak mempunyai landas kontinen

di luar laut wilayahnya throughout the natural prolongation of its land territory to

the outer edge of the continental margin atau sampai 200 mil dan garis-garis

pantai (Pasal 76 ayat 1). Negara pantai harus menctapkan batas terluar dan

continental marginnya jika continental margin tersebut berada di luar batas 200

mil.

Batas terluar dan landas kontinen di continental margin yang terletak di

luar 200 mil ditetapkan maksimum 350 mil dan garis pangkal atau 100 mill dan

kedalaman air 2500 meter. Batas itu harus ditetapkan dengan garis-garis lurus

yang masing-masing panjangnya tidak boleh lebih dari 60 mil. Batas itu dapat

diperiksa oleh suatu Commission on the Limit of the Continental Shelf yang

akan didirikan dan harus diumumkan dan didepositkan pada Sekjen PBB

(Pasal 76 ayat 9).

Berlainan dengan hak negara pantai atas ZEE (yang memungkinkan

surplus perikanan diambil oleh negara lain) hak-hak berdaulat negara pantai

atas kekayaan alam, landas kontinennya adalah exclusive dan tidak perlu

dibagi-bagi dengan negara lain, kecuali seperti tersebut di bawah, walaupun

negara-negara yang bersangkutan belum memanfaatkannya.

Selanjunya dijelaskan, negara pantai harus menyumbangkan sebagian

dan hasil kekayaan alam landas kontinen yang diambilnya di luar batas 20 mil

kepada Badan Otorita Internasional yang akan didirikan. Besarnya sumbangan

itu adalah 1 persen dan produksi mulai tahun ke-6 produksi dan kemudian

setiap tahun naik dengan 1 persen sehingga kontribusi tersebut maksimum

menjadi 7 persen mulai tahun produksi ke-12.

Tindakan-tindakan lanjutan yang perlu dilakukan oleh pemerintah RI

adalah:

Page 92: Bahan Ajar

92

1. Indonesia harus menyelidiki apakah secara geologis Indonesia mempunyai

continental margin di luar batas 200 mil. Jika ada, maka kita harus

menetapkan batas tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi

dan mendepositkan peta disertai koordinat batas-batasnya pada Sekjen

PBB dan International Authority (Pasal 84) yang pembentukannya pada

waktu ini sedang dirundingkan;

2. Indonesia masih harus menyelesaikan batas landas kontinennya dengan

negara-negara tetangga, terutama dengan Vietnam, Australia, Philipina dan

Malaysia di Kalimantan Timur;

3. Juga UU Landas Kontinen Indonesia No. 7/1973 kiranya harus diperbaharui

untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan baru landas kontinen mi;

4. Perlu ditata kembali UU/ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan

penyelidikan ilniah, pemeliharaan lingkungan, pengamanan instalasi-

instalasi, eksploitasi dan explorasi di landas kontinen serta penentuan

jurisdiksi imigrasi, bea cukai, masalah-rnasalah perdata dan pidana di

landas kontinen Indonesia.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran keempat dilakukan dalam bentuk kuis diakhir perkuliahan

yang dikemas dalam beberapa pertanyaaan, seperti:

1. Jelaskan jalur-jalur laut Indonesia sebagai negara Kepulauan?

2. Dalam hal apakah ZEEI dapat dieksplorasi dan eksploitasi semaksimal

mungkin oleh Indonesia?

Daftar bacaan

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT Alumni, 2005.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung:

Binacipta, 1978.

S. Toto Pandoyo, Wawasan Nusantara dan Implementasinya Dalam UUD 1945 Serta Pembangunan Nasional, Jakarta: PT Bina Aksara, 1985.

Page 93: Bahan Ajar

93

BAB 6 BAHAN PEMBELAJARAN 5

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu IV bahwa

“Mahasiswa dapat menjelaskan berbagai macam garis pangkal yang dapat

diterapkan oleh Indonesia sebagai negara kepulauan.”. Sasaran pembelajaran

dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa

discovery learning melalui small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait berbagai macam garis

pangkal pada umumnya.;Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;

Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit

dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:

Ada bermacam-macam garis pangkal, yaitu18:

1. Garis pangkal biasa, yaitu garis air rendah di sepanjang pantai. Dalam hal ini

garis air rendah dan fringing reefs (batu-batu karang) yang terluar juga dapat

dipergunakan. Garis air rendah dan fringing reefs tersebut harus di perlihatkan

dalam peta-peta yang diakui secara resmi oleh negara bersangkutan. (Pasal 5

dan 6); 2. Garis pangkal lurus, yaitu garis lurus yang ditarik untuk menutup pantai-

pantai yang terlalu melekuk, delta, low-tide elevations, mulut sungai, teluk,

bangunan-bangunan pelabuhan. Dalam hal:-hal mi, garis dasar dapat ditarik,

secara lurus tanpa mengikuti garis air rendah di pantai. Roadsteds (tempat

kapal-kapal buang jangkar di laut di depan pelabuhan) dianggap termasuk

dalam laut wilayah.

Dalam hal-hal negara berdampingan atau berhadapan, laut wilayah

masing-masing perlu ditetapkan dengan perjanjian antara negara-negara

tersebut (Pasal 15). Di luar laut wilayah, negara pantai diperkenankan

18 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, (Bandung: Binacipta, 1978). Lihat Juga Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007, hlm. 46-54.

Page 94: Bahan Ajar

94

mempunyai Lajur Tambahan (Contiguous Zone) sebesar 24 mil (12 mil di luar

laut wilayah), yang diukur dan garis pangkal yang dipergunakan untuk

mengukur laut wilayah.

Oleh karena itu, guna mendukung ketentuan tersebut, maka tindakan-

tindakan yang perlu dilakukan adalah:

- Meninjau kembali garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia dan

menyesuaikannya dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi, baik

dengan ketentuan-ketentuan dalam laut wilayah maupun ketentuan

ketentuan dalam negara-negara Nusantara;

- Merundingkan penyelesaian batas laut wilayah Indonesia dengan negara-

negara tetangga khususnya: (a) Garis batas segitiga RI-Malaysia-

Singapura di selat Singapura; (b) Garis batas laut wilayah RI-Malaysia di

pantai timur Kalimantan; (c) Garis batas laut wilayah RI-Philipina;

- Mendepositkan peta-peta dan koordinat-koordinat dan garis batas tersebut

pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 16 ayat 2;

- Mendirikan/mengumumkan zone tambahan Indonesia untuk keperluan-

keperluan pengawasan pabean, keuangan, imigrasi dan kesehatan sesuai

dengan Pasal 33.

- Innocent Passage melalui Laut Wilayah.

Kapal semua negara menikmati hak untuk lewat secara damai (innocent

passage) melalui laut wilayah (Pasal 17) selama tidak membahayakan

perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Pasal 19 memperinci

tindakan-tindakan kapal yang lewat yang dapat dianggap membahayakan

perdamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai tersebut.

Pasal 21 memperkenankan negara pantai untuk membuat undang-

undang/ketentuan-ketentuan tentang lintasan laut damai tersebut, tetapi

terbatas kepada hal-hal yang terperinci dalam pasal 21 tersebut yaitu:

- Keselamatan pelayaran dan lalu lintas laut;

- Perlindungan sarana bantu pelayaran dan fasilitas atau instalasi lainnya;

- Perlindungan kabel-kabel dan pipa-pipa di dasar laut;

- Pelestarian kekayaan hayati laut;

- Pencegahan pelanggaran ketentuan-ketentuan perikanan;

- Pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi;

Page 95: Bahan Ajar

95

- Penyelidikan ilmiah dan survey hydrografis; dan

- Pencegahan pelanggaran aturan-aturan pabean, keuangan, imigrasi dan

kesehatan.

- Untuk keselamatan pelayaran, negara pantai juga boleh menetapkan

sealanes dan traffic separation scheme (TSS) melalui laut wilayah dan

mewajibkan kapal-kapal tertentu seperti tanker dan kapal yang digerakkan

dengan tenaga nuklir atau membawa muatan nuklir untuk hanya lewat

melalui sealanes tersebut. Pasal 22 dan 23 mengatur cara-cara penetapan

sealanes dan TSS melalui wilayah laut tersebut.

Tindakan-tindakan yang diperlukan diantaranya adalah:

- Menata kembali dan mengembangkan perundang-undangan Indonesia

tentang innocent passage terutama tentang 8 hal tersebut di atas;

- Mengumumkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan tentang halhal

tersebut;

- Di mana perlu menetapkan sealanes dan TSS dan mengumumkan

sealanes dan TSS yang telah ditetapkan melalui laut wilayah tersebut.

Khusus bagi Indonesia sealanes dan TSS dalarn laut wilayah haruslah

sinkron dengan sealanes dan TSS melalui perairan Nusantara;

- Mengumumkan dangers to navigation yang diketahui yang ada di laut

wilayah;

Jika perlu RI boleh menangguhkan hak lalu lintas laut damai melalui laut

wilayah tersebut pada waktu-waktu dan di bagian-bagian tertentu untuk

keperluan keamanan, misalnya jika ada weapons exercises. Penangguhan mi

baru berlaku setelah diumumkan (Pasal 25 ayat 3). Perlu dicatat bahwa

innocent passage melalui selat yang dipakai bagi pelayaran internasional tidak

boleh ditangguhkan (Pasal 45 ayat 2).

3. Garis Pangkal Lurus Kepulauan

Negara nusantara boleh menarik garis pangkal lurus nusantara yang

menghubungkan titik-titik terluar dan pulau-pulau dan batu-batu karang yang

terluar dan kepulauan tersebut dengan ketentuan-ketentuan seperti tersebut

dalam Pasal 46 dan 4719. Laut wilayah, zone tambahan, landas kontinen dan

19 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian

Experience, (Bandung: Alumni, 2002), P. 196-197.

Page 96: Bahan Ajar

96

ZEE Indonesia diukur ke laut dan garis pangkal lurus nusantara (GPLN)

tersebut (Pasal 48). Perairan di sebelah dalarn dan GPLN yang mengelilingi

kepulauan nusantara tersebut dinamakan perairan nusantara di mana pada

umumnya berlaku ketentuan pelayaran innocent passage seperti dalam laut

wilayah (Pasal 52 ayat 1), dengan ketentuan bahwa hak innocent passage

tersebut dapat ditangguhkan untuk sementara waktu di bagian-bagian tertentu

karena alasan-alasan keamanan (suspendable innocent passage).

Dalam perairan nusantara itu, negara nusantara seperti Indonesia

rnasih diperkenankan menetapkan perairan pedalaman (internal waters) di

mana hak innocent passage tidak diakui misalnya pada perairan-perairan

mulut sungai, teluk dan pelabuhan (Pasal 50).

Seperti telah dipaparkan di muka, bahwa di perairan nusantara

negara-negara lain juga mempunyai hak-hak seperti:

1. Indonesia harus menghormati existing agreements dengan negara-negara

lain;

2. Indonesia harus mengakui traditional fishing rights dan “kegiatan-kegiatan

lainnya yang sah” dari negara tetangga yang langsung berdekatan di

bagian-bagian tertentu dan perairan nusantara;

3. Indonesia harus menghormati kabel-kabel laut yang sudah ada yang

diletakkan oleh negara lain dan harus mengizinkan

pemeliharaan/penggantian kabel-kabel tersebut;

4. Kapal-kapal semua negara mempunyai hak innocent passage untu1

melewati perairan nusantara;

5. Semua kapal dan kapal terbang menikmati hak archipelagic sealane

passage melalui archipelagic sea lanes dan air rutes di atas seaIane

tersebut. Hak archipelagic sealanes passage adalah lebih longgar dari hak

innocent passage dan kira-kira sama bebasnya dengan hak trantti passage

melalui selat yang dipakai untuk pelayaran internasional. Jadi negara-

negara nusantara dapat menetapkan sealanes dan TSS melalui perairan

nusantara tersebut. Pasal 53 mengatur tentang cara-cara penentuan

sealanes dan TSS di perairan nusantara. Axis dan sea/tines dan TSS

tersebut harus diumumkan secara terbuka. Selama sealanes dan air routes

belum ditetapkan maka hak lintas nusantara (archipelagic sealanes

Page 97: Bahan Ajar

97

passage) dapat dilaksanakan through the routes normally used for

international navigation (Pasal 53 ayat 12).

Tindakan-tindakanyang diperlukan untuk mendukung hal ini adalah:

1. Memeriksa kembali titik-titik terluar dan pulau-pulau atau batu-batu

karang kering Indonesia yang terluar apakah sudah cocok dengan

ketentuan-ketentuan Konvensi sebagai titik-titik tenluar dan garis-ganis

pangkal Indonesia dan menggambarkan titik-titik ganis pangkal tensebut

dalam peta yang wajar atau membuat daftar koordinatnya,

mengumumkan peta-peta/koordinat tersebut dan mendepositkan

copynya pada Sekjen PBB sesuai dengan Pasal 47;

2. Untuk kewenangan Indonesia yang lebih kuat di perairan nusantara,

kiranya Indonesia perlu merumuskan dan menetapkan perairan-perairan

pedalaman (internal waters) dalam perairan nusantara tersebut sesuai

dengan Pasal 50;

3. Untuk lebih meluaskan pengawasan dan pengamanan laut Indonesia

maka sea/tines dan TSS dalam perairan nusantara dan laut wilayah

perlu disiapkan, ditetapkan, dan diumumkan sesuai dengan ketentuan

Pasal 53 Konvensi;

4. Semua hal-hal di atas memerlukan review dan re-adjustment dan UU

No. 4 Prp 1960 dan PP No. 8/1962 tentang innocent passage melalui

perairan Indonesia;

5. Walaupun Indonesia mempunyai kedaulatan atas perairan nusantara

dan semua kekayaan alam yang terdapat di dalamnya, namun negara-

negara tetangga mempunyai hak-hak tertentu di perairan Indonesia

seperti traditional fishing rights dan other legitimate activities (Pasal 51

ayat 1). Sampai sekarang hal-hal ini baru diselesaikan dengan Malaysia.

Dengan negara-negara tetangga yang lain, khususnya Singapura, hal ini

masih harus dirundingkan dan diatur;

6. Karena Indonesia berwenang penuh atas perairan nusantara, maka

untuk pembangunan Indonesia perlu diatur dan diambil tindakan-

tindakan yang terkoordinir dan efektif dalam:

a) Usaha-usaha untuk memanfaatkan kekayaan alam di laut, baik

perikanan maupun pertambangan;

Page 98: Bahan Ajar

98

b) Usaha-usaha peningkatan penegakan hukum dan kedaulatan di laut;

c) Usaha-usaha dan izin untuk melaksanakan penyelidikan ilmiah,

penyelidikan oceanologis dan hydrografis;

d) Usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan

keselamatan pelayaran;

e) Usaha-usaha pemeliharaan lingkungan laut Indonesia;

f) Usaha-usaha untuk mengatur dan membagi yuridiksi pengadilan

atas wilayah laut Indonesia;

g) Usaha-usaha untuk menata kembali dan melengkapkan perundang-

undangan Indonesia di bidang kelautan.

4. Garis Penutup

Dalam konteks garis pangkal kepulauan dilakukan dengan

menggunakan garis penutup, yang dibedakan kedalam garis penutup teluk;

garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan garis penutup pada

pelabuhan.

a. Garis Penutup Teluk

Pada lekukan pantai yang berbentuk teluk, garis pangkal untuk

mengukur lebar laut territorial adalah garis penutup teluk.20 Garis penutup

teluk yang dimaksud adalah garis lurus yang ditarik antara titik titk teluar

pada garis air rendah yang paling menonjol dan berseberangan pada

muara teluk. Dalam hal ini, garis penutup teluk tersebut adalah seluas atau

lebih luas dari pada luas ½ lingkaran tengahnya adalah garis penutup yang

ditarik pad muara teluk. Apabila pada teluk terdapat pulau-pulau yang

membentuk lebih dari satu muara teluk, maka jumlah panjang garis penutup

teluk dari berbagai mulut teluk maksimum 24 mil laut.

b. Garis Penutup Muara Sungai, Terusan, dan Kuala

Pada muara sungai atau terusan, garis pangkal untuk mengukur

lebar laut territorial adalah garis penutup muara sungai atau terusan. garis

penutup muara sungai atau terusan dimaksud ditarik antara titik terluar

pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan. Dalam hal garis

20 Lihat Pasal 6 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).

Page 99: Bahan Ajar

99

lurus tidak dapat diterapkan karena adanya kuala pada muara sungai,

sebagai garis penutup kuala dipergunakan garis-garis lurus yang

menghubungkan antara titik-titik kuala dengan titik-titik terluar pada air garis

rendah tepian muara sungai.21

c. Garis Penutup Pelabuhan

Pada daerah pelabuhan, garis pangkal untuk mengukur lebar laut territorial

adalah garis-garis lurus sebagai penutup daerah pelabuhan, yang meliputi

bangunan permanen terluar yang merupakan bagian integral sistem

pelabuhan sebagai bagian dari pantai. Garis lurus dimaksud ditarik antara

titik-titik terluar pada garis air rendah pantai dan titik-titik terluar bangunan

permanen terluar yang merupakan bagian integral system pelabuhan.22

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran kelima dilakukan dalam bentuk makalah dengan

merumuskan beberapa judul/topik, seperti:

1. Praktek Indonesia dalam penerapan Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

2. Kontroversi penerapan Garis pangkal normal dan garis pangkal lurus

kepulauan dalam praktek negara-negara.

Daftar Bacaan

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),

Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bandung: Binacipta,

1978.

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Rights Over Natural Resources: The Indonesian Experience, Bandung: Alumni, 2002.

21 Lihat Pasal 7 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis

Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).

22 Lihat Pasal 8 PP Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia telah diubah dengan PP No. 37 tahun 2008 tentang Daftar Koordinat Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia (Maore masuk dalam titik 35 dan 36 sedangkan Miangas dalam titik 38 dan 39).

Page 100: Bahan Ajar

100

BAB 7 BAHAN PEMBELAJARAN 6

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 6 bahwa

mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum tentang lintas pelayaran

internasional di wilayah perairan Indonesia. Sasaran pembelajaran hendak dicapai

dengan strategi pembelaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.

Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik yaitu

kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai lintas pelayaran,

ketepatan menggunakan teori dalam menganalisis fakta terkait lintas pelayaran

serta partisipasi individual dalam diskusi kelas.

Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit dengan media

modul sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik:

1. Hak lintas damai;

2. Hak lintas transit; dan

3. Hak lintas alur laut kepulauan.

B. Uraian

Untuk itu uraian selanjutnya akan memberi gambaran tentang bagaimana

ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketiga jenis hak lintas

bagi kapal-kapal asing tersebut secara umum. Selanjutnya, mengidentifikasi ketiga

jenis pengaturan tersebut dengan selat-selat yang berada dalam perairan

Indonesia.

1. HAK LINTAS DAMAI

Perluasan jurisdiksi nasional atas laut dan tantangan yang timbul terhadap

hal tersebut dari negara–negara maritim yang ingin mempertahankan prinsip

keebebasan dilautan, merupakan pokok sengketa yang fundamental dalam

masalah penggunaan laut, zaman dahulu dapat dikatakan hanya ada satu pola

pandangan terhadapa kegunaan laut sebagai alat transportasi dan komunikasi,

kehadiran kapal-kapal asing pada jalur-jalur perairan sepanjang pantai

menimbulkan suatu akibat yang menganggu kedudukan negara pantai sebagai

Page 101: Bahan Ajar

101

suatu negara yang berdaulat. Kebijakan umum yang berkembang kemudian

adalah untuk sedapat mungkin untuk mengadakan pembatasan terhadap

kehadiran atau kapal-kapal asing pada wilayah laut yang terletak berdampingan

dengan pantai suatu negara.

Kompromi yang dihasilkan dari adanya pertentangan diantara dua

kepentingan yang sama kuatnya ini akhirnya melahirkan suatu doktrin baru yang

lahir dalam bentuk konsepsi lintas damai, yaitu pemberian suatu hak kepada

kapal-kapal asing untuk melintasi wilayah laut yang berada dalam juridiksi (dan

dengan demikian kedaulatan) suatu negara dengan pembatasan–pembatasan

tertentu.

Pada KHL I di Jenewa tahun 1958, dua kepentingan yang berada tersebut

akhirnya dicoba untuk diselesaikan melalui rumusan pasal–pasal 14 s/d 23 dari

KHL I tentang Laut Teritorial dan jalur tambahan (untuk selanjutnya disebut

sebagai Konvensi Laut Teritorial 1958), dalam bentuk aturan umum tentang hak-

hak kapal asing. Ketentuan tersebut juga merumuskan wewenang yang diberikan

kepada negara pantai untuk mengatur pelaksanaannya.

Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 telah

memperkuat kedaulatan negara pantai atas laut territorialnya, termasuk ruang

udara diatasnya, serta dasar laut dan tanah dibawahnya. Namun, kedaulatan

Negara pantai ini masih dibatasi oleh ketentuan–ketentuan Konvensi itu sendiri

maupun ketentuan-ketentuan hukum Internasional lainnya.

Salah satu kelemahan atau kegagalan KHL I ini adalah bahwa rejim hak

lintas damai yang dihasilkannya dianggap tidak memadai untuk dipakai mengatur

pelayaran didunia dewasa ini, terutama karena konfrensi tidak berhasil

merumuskan ketentuan-ketentuan tentang lintas oleh kapal perang.

Sebetulnya masalah lintas bagi kapal perang melalui laut terrtorial suatu

negara telah menjadi bahan pembicaraan pada konferensi Kodifikasi Deg Haag

tahun 1930. Rancangan Pasal-pasal yang dihasilkan oleh Konperensi ini

kemudian dipakai oleh panitia Hukum Internasional sebagia rancangan pasal-

pasal untuk disampaikan pada Konprensi laut hukum Jenewa 1958 . Sayangnya,

Rancangan Pasal 24 tentang lintas bagi kapal perang ini ditolak, karena gagal

mencapai dukungan mayoritas suara yang diperlukan. Oleh karenanya hak lintas

damai bagi kapal perang tidak akan dapat ditemui dalam naskah konvensi.

Page 102: Bahan Ajar

102

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, naskah Pasal 24 ini sebenarnya berisi

ketentuan yang menetapkan bahwa kapal perang asing yang hendak lewat di laut

territorial, terlebih dahulu memerlukan izin Negara pantai, atau sedikit-dikitnya

harus terlebih dahulu memberitahukan maksudnya tersebut kepada negara pantai.

Akibatnya Konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958 ini

tidak memuat satu ketentuan apapun tentang lintas damai bagi kapal perang.

Satu-satunya ketentuan mengenai

Hak lintas damai bagi kapal–kapal asing melalui selat yang digunakan

untuk pelayaran Internasional secara umum diatur dalam pasal 45, yang

menetapkan bahwa kertentuan-ketentuan tentang hak lintas damai di laut

territorial (seksi 3, Bagian II) juga berlaku pada selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional. Menurut kententuan Pasal 45 selanjutnya, hak lintas

damai ini hanya dapat diterapkan pada:

(1).Selat yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 37, yaitu selat yang terletak

antara suatu pulau dan daratan utama Nnegara yang berbatasan dengan selat,

yang apabila pada sisi kearah laut pulau itu terdapat suatu rute melalui laut

lepas atau melalui suatu zona ekonomi ekslusif yang sama fungsinya bertalian

denga sifat-sifat navigasi dan hidrografis (untuk selanjutnya akan disebut

sebagai “selat dengan kategori Pasal 38 ayat 1)”;

2. Selat –selat yang terletak antara bagian laut lepas atau zona ekonomi ekslusif

dan laut territorial suatu Negara asing (untuk selanjutnya akan disebut sebagai

“selat dengan kategori Pasal 45 ayat 1(b)”).

Ketentuan diatas menetapkan juga bahwa hak lintas damai dapat

diterapkan pada selat-selat dimana lintas transit tidak berlaku. Ketentuan–

ketentuan tentang hak lintas damai dalam Konvensi Hukum Laut 1982 tetap

mempertahankan bentuk yang sama seperti dalam Konvensi Jenewa tentang Laut

Teritorial dan Jalur Tambahan 1958, dengan membedakan pengaturan bagi kapal-

kapal asing ke dalam tiga kategori :

(1) Semua jenis kapal (pasal 17 – 26);

(2) Kapal-kapal dagang dan kapal-kapal pemerintah yang dioperasikan untuk

tujuan komersil (pasal 27 – 28); dan

(3) kapal–kapal perang dan kapal–kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan

untuk tujuan non-komersial (pasal 29-32).

Page 103: Bahan Ajar

103

a. Arti dan Maksudnya

Dalam konvensi Jenewa tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan 1958,

kriteria damai bagi suatu lintasan ditetapkan sebagai so long as it not prejudicial to

the peace, good order or security of the coastal state. Konsepsi yang sama masih

dapat ditemukan dalam pasal 19 dari Konvensi Hukum Laut 1982. Perbedaanya

baru dapat ditemukan dalam bagian berikutnya yang merinci tentang kegiatan

kegiatan yang dianggap tidak damai.

Menurut pasal 19 ayat 2, lintasan dianggap membahayakan perdamaian,

ketertiban dan keamanan Negara pantai, adalah sebagai berikut:

(1). Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan,

keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau

dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum

internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB;

(2). Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun;

(3). Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi

pertahanan dan keamanan negara pantai;

(4). Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi

pertahanan dan keamanan Negara pantai;

(5). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara

diatas kapal;

(6). Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan

perlengkapan militer;

(7). Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bea cukai,

fiskal, imigrasi atau saniter Negara pantai;

(8). Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang

bertentangan dengan ketentuan Konvensi ini;

(9). Setiap kegiatan perikanan;

(10). Kegiatan riset atau survey;

(11). Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap system

komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara pantai;

Page 104: Bahan Ajar

104

(12). Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan

lintasan.

Kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut diatas ditujukan untuk mencegah

kegiatan–kegiatan yang berbau militer. Meskipun usaha untuk lebih memantapkan

ketentuan-ketentuan tentang lintas damai ini ditujukan untuk mendapatkan

pengaturan yang lebih objektif, ketentuan yang paling akhir (Pasal 19 ayat 2(1)),

dapat menimbulkan tafsiran yang subjektif.

Pasal 14 konvensi jenewa tentang Laut territorial dan Jalur Tambahan

1958, memberikan suatu formula tentang sifat damai dari suatu lintasan sebagai

tidak Prejudical to the peace, good order or security of the coastal state. Formula

ini mengehendaki suatu pembuktian oleh Negara pantai bahwa lintasan yang akan

dilakukan dapat merugikan Negara pantai. Formula ini menurut Burke memerlukan

perubahan yang more precise and less susceptible to the discretionary power of

the coastal state.

Dibandingkan dengan ketentuan pasal 14 tersebut diatas, Pasal 19 ayat 2

ini lebih menegaskan hubungan antara kegiatan-kegiatan tersebut dengan Negara

pantai, melalui suatu pedoman dalam bentuk daftar kegiatan yang dapat dipakai

oleh Negara pantai untuk menentukan tentang sifat damai dari suatu lintasan oleh

kapal asing. Disamping itu, Konvensi Hukum laut 1982 juga menjamin hak lintas

damai bagi semua jenis kapal.

Pasal 24 membebani Negara pantai dengan suatu kewajiban untuk tidak

menolak dan menghalangi lintas damai, kecuali sesuai dengan ketentuan tentang

kekecualian ini, Negara pantai tidak dibenarkan untuk :

(1). Menetapkan persyaratan-persyaratan bagi kapal asing yang secara praktis

akan mengakibatkan penolakan atau paengurangan atas hak lintas damai;

atau

(2). Mengadakan diskriminasi formal atau diskriminasi nyata terhadap kapal

yang mengankut muatan ke, dari atau atas nama negara mana pun. Hal

yang terakhir ini dapat dilakukan pada selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional.

Dengan demikian satu-satunya wewenang yang tinggal pada negara pantai

dalam hal ini adalah untuk mengambil langkah langkah yang diperlukan untuk

Page 105: Bahan Ajar

105

mencegah lintasan yang tidak damai. Konvensi sendiri tidak memberikan suatu

batasan atau pedoman pelaksanaan bagi ketentuan tersebut. Seperti telah

diuraikan di atas adalah kurang tepat untuk menganggap penangguhan sebagai

salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh negara pantai. Pada selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional jelas hal itu tidak diperkenankan. Lalu,

apa saja yang dapat dilakukan oleh negara pantai?

b. Hak dan kewajiban Negara Pantai

Pasal 21 memberi wewenang kepada negara pantai untuk menyusun

peraturan perundang-undangannya, mengenai:

(1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas maritim;

(2). Perlindungan atas sarana bantu navigasi dan fasilitas navigasi serta

fasilitas – fasilitas dan instalasi lainnya;

(3). Perlindungan kabel dan pipa laut;

(4). Konservasi kekayaan hayati laut;

(5). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan

negara pantai;

(6). Pelestarian lingkungan negara pantai, dan pencegahan pengurangan dan

pengendalian pencemaran;

(7). Penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi;

(8). Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan Negara pantai

dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan saniter.

Wewenang yang diberikan kepada Negara pantai tersebut dibatasi dalam

beberapa hal yaitu :

(1). Peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh mengatur

tentang desain, kontruksi, pengawakan atau peralatan kapal-kapal

asing, kecuali kalau hal tersebut dilakukan sebagai pelaksanaan dari

suatu peraturan atau standar internasional yang diterima secara

umum. Ketentuan ini ditujukan utnuk mencegah agar Negara pantai

tidak menetapkan suatu standar bagi bentuk atau jenis kapal dan

tidak memaksakan suatu persyaratan bagi pengawakannya;

(2). Kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam padal 24.

Menurut Pasal 22 negara pantai juga diberi wewenang untuk menetapkan

alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas. Juga bagi tanker-tanker dan kapal-

Page 106: Bahan Ajar

106

kapal yang mengangkut bahan-bahan nuklir, atau bahan-bahan yang berbahaya

lainnya, dapat mewajibkan untuk menggunakan alur-alur laut yang ditetapkan

khusus untuk itu.

Dalam hal penetapan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk

pelaksanaan hak lintas damai ini, ada satu hal yang cukup menarik, yaitu bahwa

Negara pantai diminta untuk memperhatikan;

(1). Rekomendasi yang diberikan oleh organisasi internasional yang

berwenang;

(2). Setiap alur yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional;

(3) sifat-sifat khusus dari kapal-kapal dan alur-alur terterntu;dan

(4) Kepadatan lalu lintas.

Disamping hal-hal tersebut diatas, Negara pantai juga dibebani dengan

kewajiban untuk menjaga agar pelaksanaan hak lintas damai oleh kapal-kapal

asing tersebut tidak dikurangi atau dihalangi oleh peraturan perundang–undangan

atau persyaratan–persyaratan yang ditetapkan oleh negara pantai. Negara pantai

juga tidak dibenar–benarkan untuk membeda-bedakan kapal-kapal asing satu

sama lainnya negara pantai diwajibkan untuk mengumumkan secara tepat segala

hal yang diketahuinya akan membahayakan pelayaran.

c. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan

Pada garis besarnya kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan

sudah tercakup dalam pengertian lintasan damai yang diberikan oleh pasal 19

ayat 1, yang kemudian secara rinci digambarkan dalam bentuk kegiatan–kegiatan

yang terlarang, seperti tercantum pada ayat–ayatnya. Di samping itu setiap kapal

yang sedang melakukan lintasan wajib untuk mematuhi peraturan perundang-

undangan Negara pantai yang ditetapkan untuk melaksanakan hak lintas damai

tersebut. Peraturan perundang-undangan tersebut meliputi antara lain pengaturan

tentang keselamatan pelayaran, pencemaran, alur-alur laut dan skema pemisah

lalu-lintas.

Apabila suatu kapal melakukan perbuatan yang apabila dihubungkan

dengan pengertian lintas damai tersebut diatas merupakan suatu pelaggaran

terhadap ketentuan tersebut, Negara pantai dapat mencegah pelaksanaan lintas

tadi. Akan tetapi apabila perbuatan yang dianggap suatu pelanggaran tersebut

tidak ada kaitannya dengan ketentuan tentang pengertian lintas damai, jadi bukan

Page 107: Bahan Ajar

107

merupakan hal yang dilarang oleh ketentuan pasal 19 ayat 2, Negara pantai tidak

mempunyai hak untuk mencegahnya.

Meskipun kapal–kapal perang mempunyai imunitas yang dijamin oleh

konvensi ini, namun tidak lepas dari kewajiban untuk mematuhi peraturan

perundang-undangan Negara pantai tentang pelaksanaan hak lintas damai.

Meskipun telah diberi peringatan terlebih dahulu, apabila terbukti suatu kapal

perang melakukan pelanggaran terhadap peraturan tersebut, Negara mantai

mempunyai wewenang untuk memerintahkan kapal tersebut untu meninggalkan

laut teritorialnya (yang dalam hal ini selat). Selain dari itu, Negara bendera dari

kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan yang non

komersial, bertanggung jawab atas segala kerugian atau kerusakan yang diderita

oleh negara pantai. Yang diakibatkan oleh tidak dipatuhinya peraturan perundang–

undangan tersebut, ketentuan–ketentuan konvensi itu sendiri, maupun ketentuan–

ketentuan hukum internasional lainnya.

Berbeda dengan konvensi Jenewa tentang laut territorial dan jalur

tambahan 1958, Konvensi Hukum laut 1982 memberikan perhatian yang cukup

untuk membicarakan masalah hak lintas bagi kapal perang. Disamping itu, apabila

pada tahun 1958 Konperensi Hukum Laut I masih ragu–ragu untuk membicarakan

masalah itu, maka keragu-raguan tersebut berhasil dihapuskan dalam konperensi

Hukum Laut III. Konvensi Hukum Laut 1982 menjamin hak lintas damai bagi

semua jenis kapal asalakan kapal yang melakukan lintasan tersebut tidak

melakukan salah satu perbuatan yang dilarang oleh pasal 19 ayat 2 (b),

khususnya mengenai latihan atau praktek dengan menggunakan senjata macam

apapun. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut khususnya, maupun terhadap

peraturan perundang-undangan negara pantai pada umumnya, dapat

mengakibatkan penggusiran kapal tersebut dari laut territorial atau selatnya.

Kapal selam serta alat-alat angkut dibawah air lainnya diharuskan untuk

berlayar dipermukaan air, dan mengibarkan benderanya. Kapal – kapal bertenga

nuklir dan kapal-kapal yang mengangkut bahan–bahan nuklir maupun bahan–

bahan lainnya dapat diminta untuk berlayar melalui alur laut yang ditetapkan

khusus untuk itu. Ketentuan tersebut tampaknya disediakan untuk

mengakomodasikan kekhawatiran Negara pantai akan bahaya yang dapat

ditimbulkan oleh kapal–kapal jenis demikian.

Page 108: Bahan Ajar

108

Konvensi hukum laut 1982 ini dengan demikian telah berhasil menetapkan

sesuatu pengaturan yang lebih jelas tentang pelaksanaan hak lintas damai, dan

negara pantai tidak dibenarkan untuk mengurangi atau menghalangi pelaksanaan

hak tersebut. Satu hal yang masih belum jelas dalam hal ini adalah cara

pelaksanaan hak tersebut dengan memperhatikan hak serta peraturan

perundang–undangan negara pantai. Sebagai contoh misalnya, menurut pasal 22

apabila dianggap perlu Negara pantai dapat menetapkan alur laut khusus bagi

lintasan oleh kapal nuklir dengan alasan untuk menjamin keselamatan pelayaran.

Namun dalam hal ini, negara pantai tidak dapat mencegah kapal tersebut untuk

melaukan lintasan.

d. Kesimpulan

Dari uraian tersebut dinatas dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri utama dari

hak lintas damai bagi kapal asing pada selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional adalah:

(1). Lintasan oleh kapal asing dianggap sebagai lintas damai selama tidak

melakukan kegiatan–kegiatan yang dicantumkan dalam pasal 19 ayat 2;

(2). Negara pantai mempunyai wewenang terbatas untuk mengatur lintas

damai;

(3). Negara pantai mempunyai hak untuk mencegah lintasan yang tidak damai

(4). Tidak ada penangguhan terhadap pelakasanaan hak lintas damai pada

selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;

(5). Kapal selam harus berlayar dipermukaan air;

(6). Negara pantai dapat meminta kapal perang untuk meniggalkan selat

apabila terbukti melakukan pelanggaran, meskipun telah diberi peringatan.

2. HAK LINTAS TRANSIT

Hak lintas transit bagi kapal-kapal melalui selat yang digunakan untuk

pelayaran internasional diatur dalam seksi 2 dari bagian III (pasal 37-44).

Berlainan dengan hak lintas damai yang diatur oleh Bagian lain tentang lintas

melalui laut territorial, hak lintas transit hanya diatur oleh Seksi 2 ini saja.

Page 109: Bahan Ajar

109

a. Ruang Lingkupnya

Perbedaan antara hak lintas transit dan hak lintas damai akan segera

terlihat dengan jelas dalam ketentuan–ketentuan Seksi 2, khususnya Pasal 37

yang menetapkan bahwa: “This Section applies to straits which are used for

international navigation between one part of the high seas or an exlusive economic

zone and another part of the high seas or an exlusive economic zone.”

Pemisahan pengaturan tentang lintas transit ini juga tampak dalam

ketentuan pasal 34 yang menggambarkan dengan jelas perbedaan antara lintas

damai dan lintas transit, disamping juga pasal 39 yang menetapkan bahwa kapal

dan pesawat udara harus mematuihi ketentuan–ketentuan dari bagian ini. Pasal

34 mengakui bahwa selatr yang digunakan untuk pelayaran internasional berada

dibawah kedaulatan penuh dari Negara pantai, meskipun demikian lintasan

melalui wilayah perairan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan bagian

ini, ruang lingkup berlakunya ketentuan-ketentuan ini dikecualikan bagi :

(1). Selat–selat yang termasuk dalam kategori Pasal 38 ayat 1; dan

(2). Selat-selat yang termasuk dalam kategori Pasal 45 ayat 1(b).

Adalah kurang tepat untuk memberlakukan lintas transit bagi selat yang

termasuk ke dalam kategori pasal 38 ayat 1, yaitu bahwa pada selat yang :

“….Formed by an island of a State bordering the strait and its mainland, transit passage shall not apply if there exist seaward of the island a route through an exclusive economic zone of similar convenience with respect to navigantional and hydrographical characteristics”.

Terlebih-lebih karena pada arah laut tersedia rute yang sama fungsinya dilihat dari

segi navigasi dan hidrografis. Perlu diperhatikan bahwa yang dimaksudkan

dengan convenience disini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

sifat-sifat navigasi dan hidrografis. Jadi apabila tidak tepat apabila ada Negara

pemakai selat yang mengkehendaki diberlakukannya lintas transit karena alasan-

alasan militer, strategis maupun ekonomis. Bagi selat demikian, maupun bagi selat

dengan kategori kedua, yaitu yang terletak diatara laut lepas atau zona ekonomi

ekslusif denga laut territorial suatu negara, berlaku hak lintas damai.

b. Arti dan maksudnya

Pasal 38 ayat 2 memberi pengertian tentang lintas transit sebagai

pelaksanaan dari kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bagian ini,

Page 110: Bahan Ajar

110

semata-mata untuk tujuan transit yang terus-menerus, langsung dan secepat

mungkin, pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional yang

menghubungkan dua wilayah laut sebagaimana yang digambarkan dalam pasal

37. Persyaratan tersebut tidak menutup kemungkinan bagi kapal–kapal atau

pesawat udara asing yang mempunyai maksud untuk memasuki, meninggalkan

atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat tersebut, dan harus

mematuhi ketentuan-ketentuan untuk memasuki negara tersebut.

Dengan demikian lintas transit hanya berlaku untuk :

(1). Lintasan melalui selat tanpa berhenti dari kedua arah;

(2). Lintasan melalui sebagaian dari selat untuk memasuki atau meninggakkan

Negara pantai; dan

(3). Lintasan dari Negara pantai melalui sebagian dari selat menuju ke laut

lepas atau zona ekonomi ekslusif.

Perlu diperhatikan bahwa untuk dapat disebut sebagai suatu lintas transit,

faktor utama yang menentukan adalah kedudukan selat sebagai perairan yang

menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan

bagian dari lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Oleh karena itu untuk

dapat dianggap sebagai lintas transit, suaut lintasan harus dimulai dan/atau

berakhir pada satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif. Akan tetapi

hal ini tidak berarti bahwa pada selat demikian hanya berlaku rejim lintas transit

saja, karena masih dimungkinkan juga berlakunya rejim lintas damai selama

lintasan tersebut bukan merupakan salah satu dari ketiga bentuk lintasan tersebut

diatas.

Berbeda dengan lintas damai, untuk lintas transit tidak ada perbedaan

pengaturan berdasarkan jenis kapal. Demikian juga, tidak terdapat persyaratan–

persyaratan untuk pelaksanaan lintas itu sendiri, maupun kewajiban untuk

meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu. Disamping itu, pasal 38

ayat 1 menjamin lintas perbedaan berdasarkan jenis ataupun kategori. Dengan

demikian lintas transit berlaku juga bagi kapal-kapal perang maupun pesawat

udara militer. Meskipun demikian, dalam lintas transit tidak ada keharusan untuk

meminta izin maupun memberitahukan terlebih dahulu.

Page 111: Bahan Ajar

111

c. Hak dan kewajiban Negara Pantai

Sesuai dengan ketentuan padal 44, konvensi membebani negara pantai

yang berbatasan dengan selat (Negara tepi selat) suautu kewajiban untuk tidak

menghambat lintas transit. Disamping itu negara pantai juga harus mengumumkan

dengan tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran maupun penerbangan yang

diketahuinya. Karena hak lintas transit ini merupakan pelaksanaan dari kebebasan

pelayaran, negara pantai tidak diperkenankan untuk menangguhkan

pelaksanaannya.

Ketentuan–ketentuan pokok tentang hak negara pantai untuk menetapkan

peraturan perundang-undangan tentang lintas transit tercantum dalam pasal 42,

yang terbatas hanya pada hal–hal sebagai berikut :

(1). Keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu-lintas dilaut

sebagaimana ditentukan oleh pasal 41;

(2). Pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan

melaksanakan peraturan internasional yang berlaku tentang

pembuangan minyak, limbah berminyak dan bahan beracun lainnya

di selat;

(3). Bagi kepala penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan

termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan;

(4). Meneaikkan keatas kapal atau menurunkan dari kapal setiap

komoditi, mata uang atau orang, yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan dari Negara tepi selat tentang bea

cukai, fiskal imigrasi atau seniter.

Di samping pembatasan-pembatasan tersebut diatas, Negara pantai juga

dikenakan persyaratan untuk tidak melakukan diskriminasi secara formal maupun

nyata diatara kapal–kapal asing, yang dalam pelaksanaannya akan member akbit

praktis sebagai penolakan, penghambatan atau pengurangan pelaksanaan hak

lintas transit.

Wewenang lain yang diberikan kepada Negara pantai adalah untuk

menetapkan alur-alur laut dan skema pemisah lalu-lintas pada selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional, dengan persyaratan–persyaratan

sebagai berikut :

Page 112: Bahan Ajar

112

(1). Harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima secara

umum;

(2). Setiap penentuan atau pergantian alur laut dan skema pemisah lalu-

lintas harus berdasarkan penerimaan oleh organisasi internasional

yang berwenang dan disepakati bersama dengannya;

(3). Harus mencantumkannya secara jelas pada peta yang diumumkan

sebagai mestinya.

Khususnya mengenai tindakan-tindakan pencegahan pada selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional, yang meskipun tidak termasuk ke dalam

seksi 2 dari bagian III ini, adalah ketentuan Pasal 233. Pasal ini merupakan hasil

usaha dari Malaysia yang didukung oleh Indonesia da Singapura, yang

disampaikan pada sidang keenam Konperensi sebelum dikeluarkannya naskah

ICNT pada tahun 1977.

Pasala 233 ini pada pokoknya memberikan wewenang pada negara pantai

yang berbatasan dengan selat yang digunakana utntuk pelayaran internasional,

untuk memaksakana penataan oleh kapal-kapal asing terhadap peraturan

perundang-undangan negara pantai mengenai keselamatan pelayaran dan

pencegahan serta pengawasan pencemaran yang dibuat sesuai dengan

ketentuan Pasal 42 ayat 1 (a) dan (b).

Usul ini diaujukan oleh Malaysia mengingat pentingnya pengaturan seperti

itu bagi Selat Malaka – Singapura, terutama setelah ketiga negara tepi selat

tersebut berhasil mencapai persetujuan bersama untuk mengatur lalu-lintas

pelayaran pada wilyah tersebut, antara lain dengan menetapkan UKC (Under Keel

Clearance) setinggi 3,5 meter bagi kapal–kapal yang akan melintasi selat tersebut.

Pada sidang Konperensi Hukum Laut III yang ke 11 tahun 1982, ketiga

negara menegaskan lagi pentingnya hal tersebut yang kemudian juga

mendapatkan dukungan dari beberapa Negara maritim. Sesuai dengan ketentuan

pasal 236, ketentuan pasal 233 tersebut tidak berlaku bagi kapal perang. Pasal

236 memberikan jaminan hak kekebalan (imunitas) bagi kapal-kapal perang dan

kapal-kapal lainnya serta pesawat udara pemenrintah yang dioperasikan untuk

tujuan yang non komersial, dan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Page 113: Bahan Ajar

113

Pasal 236 ini disusun dengan beberapa alasan. Adalah tidak tepat untuk

menerapkan peraturan-peraturan internasional, kepada kapal-kapal perayng yang

mempunyai konfigurasi dan misi tertentu. Selain dari itu dikhawatirkan bahwa

apabila ketentuan tersebut diterapkan kepada kapal-kapal perang, akan

mengakibatkan dampak timbulnya wewenang Negara pantai untuk melakukan

pemeriksaan. Hal ini sudah barang tentu merupakan suatu hal yang tidak

dikehendaki untuk terjadi pada kapal-kapal perang. Disamping itu kapal-kapal

perang juga dianggap bukan merupakan jenis kapal yang dapat membahayakan

lingkungan laut.

d. Kewajiban kapal pada waktu melakukan lintasan

Kewajiban kapal-kapal dan pesawat udara pada waktu melaksanakan lintas

transit diatur oleh Pasal 39 dan 40 Pasal 39 ,menguraikan secara rinci rangkaian

kewajiban yang harus dipenuhi tersebut, sebagai berikut :

(a). proceed without delay through or over the sraits;

(b). refrain from any thereat or use of force against the sovereignty,

territorial integrity or political independence of states bordering the

strait, or in any other manner in violation of the principles of

international of law embodied in the charter of the united Nations;

(c). refrain from any activities other than those incident to their normal

modes of continous and expeditious transit unless rendered

necessary by force majeure or by distress;

(d). comply with other relevant provisions of this part.

Ketentuan–ketentuan tersebut di atas adalah ketentuan-ketentuan yang

berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara. Pokok utama dari

kewajiban tersebut adalah bahwa dalam melakukan lintasan harus berjalan tampa

terhambat (delay), misalnya saja berlayar mondar mandir tidak diperkenankan.

Pokok kedua menetapkan kewajiban bagi kapal-kapal dan pesawat udara

untuk mengihindarkan diri dari penggunaan ancaman kekerasan atau kekerasan

dalam bentuk apapun dalam bentuk kedaulatan, keutuhan wilayah, atau

kemerdekaan politik dari negara pada tepi selat. Disamping itu juga tidak

Page 114: Bahan Ajar

114

diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan asas-asas

hukum internasional sebagaiman yang tercantum dalam piagam PBB.

Pokok yang ketiga dari pengaturan ini menunjuk kepada kewajiban kepal-

kapal dan pesawat udara selama transit, untuk memusatkan kegiatan, hanya

kepada cara yang normal untuk melakukan lintasan yang langsung, terus-

menerus, dan secepat mungkin, dan secepat mungkin. Keadaan force mejure atau

apabila sedang dalam kesulitan. Sedangkan pokok yang terakhir menunjuk

kepada kewajiban untuk mematuhi ketentuan-ketentuan lain dari bagian ini.

Pasal 39 juga menetapkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi

kapal, yaitu untuk :

(a). Comply with generally accepted international regulations, procedures

and practices for safety at sea, including the intenational regulation

for preventing collisions at sea;

(b). comply with generally accepted international regulations, procedures

and practices for the prevention, reduction and control of pollution

form ships,”

Sedangkan bagi pesawat udara, kewajiban-kewajiban khusus itu berupa:

(a) observes the rules of air established by the international civil aviation

organization as they apply to civil aircraft; state aircraft will normally

comply with such safety measures and will at all time operate with

due regard for the safety of navigation;

(b) at all times monitor the radio frequency assigned by the competent

intenationally designet air traffic control authority or the apporiete

international distress radio frequency.

Kewajiban-kewajiban khusus baik bagi kapal-kapal maupun pesawat udara

tersebut diatas menunjuk kepada ketentuan-ketentuan atau standard yang telah

diterima secara international bagi keselamatan pelayaran maupun

penerbagangan.

Pasal 40 mengatur tentang kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian

ilmiah atau survey hidrografis, yang tidak diperkenankan untuk melakukan

kegiatan-kegiatan penelitian tanpa mendapat izin terlebih dahuludari Negara

pantai. Berbeda dengan ketentuan Pasal 19 tentang kegiatan-kegiatan yang dapat

menyebabkan suatu lintasan menjadi tidak damai, padal 39 dan 40 ini tidak

Page 115: Bahan Ajar

115

menetapkan jenis atau bentuk kegiatan yang akan menyebabkan suatu lintasan

tidak merupakan lintasan transit.

Masalahanya kemudian adalah apakah suatu pelanggaran terhadap

ketentuan-ketentuan pasal 39 dan 40 tersebut diatas dapat menyebabkan suatu

lintasan menjadi bukan lintas transit, atau apakah Negara pantai dapat melakukan

tindakan-tindakan pencegahan? Kalau lintas damai memakai sebagi ukuruan

adalah kegiatan kapal sewaktu melakukan lintasan , pengertian lintas transit

menurut konvensi adalah pelaksanaan dari kebebasan pelayaran yang langsung,

terus menerus dan secepat mungkin. Pasal 39 tidak memberikan penjabaran

seperti pasal 19, karena ke dalam pengertiannya tercakup kebebasan pelayaran

dan penerbangan, meskipun dikaitkan dengan suatu tujuan khusus untuk “transit

secara terus menerus dan langsung” tersebut, apabila kapal yang sedang

melakukan lintasan bermaksud untuk memasuki, atau meninggalkan, atau kembali

kewilayah Negara tepi selat.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 39 dan 40 tersebut diatas, dengan

demikian tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang tidak sesuai dengan

ketentuan pasal 38 ayat 2, dan lintasan nya tetap akan dianggap sebagai lintas

transit. Apabila hal yang serupa terjadi dalam pelaksanaan hak lintas damai. Akan

tetapi apakah keadaan demikian tidak menutup kemungkinan bagi Negara pantai

untuk bertindak?

Tolak ukur yang dapat dipakai oleh negara pantai untuk menentukan

apakah suatu lintasan tersebut dapat dianggap seabagai suatu lintas transit

adalah : apakah lintasan tersebut dapat dianggap sebagai suatu lintasan “terus

menerus dan langsung”, yang digambarkan pada pasal 39 ayat 1 sebagai “lewat

dengan cepat” (proceed without delay). Lintasan oleh sebuah kapal yang tidak

cepat dan terputus-putus dapat dianggap sebagai tidak continous, jadi bukan

merupakan lintas transit. Dalam keadaan demikian, apakah Negara pantai dapat

melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalanginya?

Kalau dihubungkan dengan ketentuan pasal 44, Negara pantai tidak

mempunyai hak untuk menghalangi lintas transit yang dilakukan oleh kapal asing.

Sebaliknya, pasal 25 ayat 1 justru secara pasti memberikan wewenang kepada

Negara pantai untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk

mencegah lintas yang tidak damai. Karena ketentuan serupa tidak ada dalam

Page 116: Bahan Ajar

116

pelaksanaan hak lintas transit, negara pantai tampaknya tidak mempunyai

wewenang apapun untuk mencegah lintasan yang tidak memenuhi persyaratan

Pasal 38 tersebut di atas.

e. Masalah Kapal Selam

Suatu hal yang menarik dalam pengaturan tentang lintas transit ini adalah

tidak adanya keharusan bagi kapal selam layar untuk berlayar dipermukaan air.hal

ini jelas berbeda dengan ketentuan pasal 20 tentang lintas damai uang

pelaksanaannya juga berlaku bagi lintas damai melalui selat. Kewajiban seperti itu

tidak ada dalam bagian 2 ini. Masalah ini menimbulkan suautu perdebatan

akademis yang cukup menarik diatanra pada ahli hukum laut, masing-masing

dengan interpretasinya sendiri.

Ada dua cara penafsiran yang dilakukan para ahli tersebut. Di satu pihak

ada yang berpendapat bahawa dalam pelaksanaan lintas transit sifat lintasan

tersebut adalah lintasan bebas, maka bagi kapal selam tidak ada keharusan untuk

berlayar dipermukaan air.

Disamping itu diberikan alasana lain bahwa salah satu kewajiban kapal

selam adalah untuk “…..refrain from any activities other than those incident to their

normal modes of continous and expeditious transit….”

Mengenai hal ini menarik untuk kita ikuti perbedaan penafsiran yang

dilakukan oleh Jhon Norton MOORE dan Michael REISMAN, kedua-duanya dari

Amerika Serikat Resiman mengajukan suatu masalah seperti berikut :

“Do the word ‘normal modes of continous and expedettious transit’ in article 39 (1) (c) amount to a non suspandable license to traverse straits submerged? In order to reach this result ‘normal mode must be construed as non contextual’ non normative, and permanently vessel specific. But in the text and in general, this interpretation is forced and unreal. Modeles of transit of different vessels is, in part, a factual question, but it also has normative and contextual, including the legal environtment. ” Keragu-raguan REISMAN tersebut dijawab oleh MOORE dengan

mengemukakan cara lain untuk melakukan penafsiran, yang dalam perjalanan

Konperensi Hukum Laut III mengambil bentuk baru yang sangat berlainan dengan

Konperensi Hukum Laut Jenewa 1985. Dikemukakan oleh MOORE bahwa :

“Taken alone as a textual issue without benefit of a textual setting or the negotiating context, this provision, ‘in the normal mode’ would seem an

Page 117: Bahan Ajar

117

unsatisfactory basis on which to rely for a right of submerged transit, the most important textual bases for such a right, however, are not rooted in this provision, which only an incidental indication of its exsistence.”

Oleh karena itu dalam penafsiran demikian, MOORE mengajukan agar “recourse

may be had to the negotiating context, which I believe makes abundantly clear that

this pharase includes submerged transit”.

Di lain pihak seorang sarjana lain KL KOH menganalisa masalah ini secara

berbeda. Menurut pendapatnya yang menjadi pokok masalah dalam hal lintas oleh

kapal sealam adalah kenayataan dalam pengaturan lintas damai ada keharusan

bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air kedalam ketentuan-ketentuan

bagi lintas damai; dan kemudian mengeluarkannya, atau tapatnya tidak

mencantumkannya dalam ketentuan-ketentuan tentang lintas transit. Lebih lanjut

menurut KOH “The argument of inclusion and exelsio cannot ipso facto suffice to

lend the interpretation that submerged passage was clearly contemplated by the

drafters.”

Oleh karena itu perlu diperhatikan konteks dari ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam pasal-pasal lain. Seperti juga halnya MOORE dan REISMAN, KOH

pun memakai ketentuan Pasal 39 ayat 1 (c) dan pasal 87 untuk memperkuat

kesimpulannya bahwa konfensi hukum laut 1982 tidak mengenal adanya

kewajiban bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air pada waktu

melaksanakan hak lintas transit, akan tetapi Koh juga tidak menyangkal suatu

kemungkinan bahwa pada wilayah perairan tertentu, walaupun tidak ada

keharusan untuk itu, demi keselamatan pelayaran kapal selam akan “terpaksa”

berlayar dipermukaan air.

Argumentasi tentang ada atau tidaknya keharusan untuk berlayar

dipermukaan air ini dapat juga dilihat dari sudut lain. Pasal 39 ayat 1(b)

mewajibkan kapal untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang menimbulkan

ancaman atau menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun dalam Negara

pantai. Alasan demikian dapat dipakai oleh Negara pantai untuk berargumentasi

bahwa dalam memantau apakah pada waktu melaksanakan lintasannya suatu

kapal selam tidak menimbulkan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap

Negara pantai, tidak mungkin dilakukan apabila kapal selam tersebut berlayar

dibawah permukaan air. Dengan menggunakan alasan ini, mungkin dapat ditarik

Page 118: Bahan Ajar

118

kesimpulan bahwa ada keahrusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan

air. Akan tetapi, seperti kemukakan oleh MORE, pasa 39 ayat 1 ini merupakan

ketentuan yang berisi kewajiban bagi kapal-kapal selama melakukan lintas transit.

Selanjutnya menurut MORE, ketentuan tersebut tidak dengan begitu saja

menimbulkan hak bagi Negara pantai untuk meminta agar kapal selam berlayar

diatas permukaan air, agar memudahkannya untuk memantau lintasan oleh kapal

selam tersebut.

f. Kesimpulan

Pada akhirnya dapat disimpulkan disini bahwa pokok-pokok utama

pengaturan tentang hak lintas transit bagi kapal asing melalui selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional adalah sebagai berikut :

(1) tidak terdapat persyatatan – persyaratan dalam bentuk kegiatan-kegiatan

tertentu bagi kapal-kapal yang melakukan lintasan;

(2). Tidak ada keharusan bagi kapal selam untuk berlayar dipermukaan air;

(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat-pesawat udara diakui;

(4). Berdasarkan imunits kapal perang, ketentuan-ketentuan tentang

pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut tidak berlaku bagi

kapal-kapal perang;

(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memeberitahukan terlebih

dahulu;

(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas transit;

(7). Negara pantai tidak berhak untuk menghalangi atau mencegah lintasan

yang dilakukan oleh kapal-kapal asing;

(8). Negara bendera kapal atau tempat terdaftarnya suatu pesawat udara,

bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

pelaksanaan lintas transit pada Negara pantai;

(9). Kapal perang diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan

Negara pantai mengenai hak lintas transit.

3. HAK LINTAS ALUR LAUT KEPULAUAN

Konsepsi perairan kepualuan (archipelagic waters) merupakan konsepsi

baru yang dimuat dalam konvensi hukum laut 1982. Sebelumnya wilayah-wilayah

Page 119: Bahan Ajar

119

perairan dimana Negara pantai harus memberikan akomodasi dalam bentuk hak

untuk melakukan lintasan bagi kapal-kapal asing, hanya terbatas pada laut

territorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

Konvensi hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa kedaulatan dari suatu

Negara kepulauan (archipelagic baselines) yang ditarik pada ketentuan pasal 47,

dan disebut perairan kepualaun ini kapal-kapal asing selain mempunyai hak untuk

melakukan lintas damai juga berhak untuk melaksanakan hak lintas alur laut

kepulauan (archipelagic sealanes passages).

a. arti dan maksudnya

Jika dibandingkan dengan ketentuan tentang hak lintas damai yang

memeberikan batasan dalam bentuk larangan untuk melakukan kegiatan–kegiatan

tertentu, dan ketentuan tentang hak lintas transit yang memberikan wewenang

terbatas kepada Negara pantai untuk menaturnya; maka Pasal 53 ayat 3 Konvensi

Hukum Laut 1982 memberikan pengertian bagi hak lintas alur laut kepualauan,

seabgai berikut :

“Archipelagic sealens pessage means the exescise in accordance with this Convention of the rights of navigations and overflight in the normal mode solely for the purpose of continous, expeditious and unobstructed transit between one part of the high seas or an exlusive economic zone and another part of the high seas or an exlusive economic zone. ”

Jadi pokok utama dari pengaturan tentang hak lintas alur laut kepualauan

adalah bahwa lintasan ini selain dalam bentuk lintas pelayaran juga mencakup

lintas penerbagan, yang dilakukan dalam cara normal. Kedua, pasal ini

menyebutkan adanya keharusan bahwa lintas pelayaran atau penerbangan

tersebut hanya dimaksudkan untuk suatu lintasan yang terus menerus, langsung,

secepat mungkin dan tidak terhalang. Pokok ketiganya menetapkan bahwa

lintasan tersebut harus dilakaukan antara satu bagian dari laut lepas atau zona

ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif

dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif.

Kalau diperhatikan pengertian ini lebih mendekati pengertian yang diberikan

oleh Konvensi terhadap hak lintas Transit. Perbedaannya tampak pada

pembebanan persyaratan-persyaratan bagi pelaksanaan kedua macam lintasan

bagi kapal asing tersebut.

Page 120: Bahan Ajar

120

Dalam pelaksanaan hak lintas transit, kapal-kapal asing dibebani

persyaratan “transit yang terus menerus dan langsung”. Dilain pihak ketentuan

tentang hak lintas alur laut kepulauan ini meletakkan beban persyaratan baik

kepada kapal-kapal yang melakukan lintasan maupun kepada Negara kepaulauan

itu sendiri. Kapal-kapal diwajibkan melakukan lintasan-lintasan yang mempunyai

tujuan yang serupa dengan hak lintas transit, yaitu terus menerus dan langsung

untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan haknya tersebut, Negara kepulauan

dibebani kewajiban untuk menjamin bahwa lintasan tersebut “tidak terhalang”.

Disini terlihat bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan tentang hak lintas bagi

kapal-kapal yang dirumuskan kedalam Konvensi Hukum laut 1982 ini merupakan

suatu usaha kompromi.

Ironisnya, disatu pihak Negara pantai, dalam hal ini Negara kepulauan,

diwajibkan untuk tidak menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan

kerena ini merupakan bagian dari pelayaran internasional, dan merupakan

kepentiangan bersama masyarakat internasional. Dilain pihak pasal pasal 49 ayat

4 memeberikan jaminan bahwa hak lintas alur laut kepualauan ini tidak akan

mempengaruhi pelaksanaan kedaulatan Negara kepualauan untuk mencegah

pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan merupakan hal yang membawa akibat

bagi kedaulatan Negara kepualauan itu sediri?

Perbedaan lain yang tampak adalah pada pengertian tentang lintasan.

Disatu pihak, hak lintas transit diartikan sebagai pelaksananaan dari kebebasan

pelayaran, sedangkan dilain pihak, lintas alur laut kepualauan diartikan sebagai

hak pelayaran (berlayar)

Kalau kita tinjau sejarah penyusunan Konvensi Hukum Laut 1982 sama

dengan proses perumusan hak lintas transit, hak lintas alur laut kepualauan lahir

sebagai suatu kompromi (trade off) antara Negara sedang berkembang dengan

Negara-negara maritim. Masalah lintas melalui selat uang digunakan untuk

pelayaran internasional dan lintas melalui perairan kepulauan mempunyai latar

belakang yang sama. Konsepsi Negara kepulauan (archipelagic state) menurut

Hasjim Djalal, serung dituduh bertentangan dengan kepentingan umat manusia.

Konsensepsi tersebut dianggap “mengambil” sebagai besar dar wilayah laut yang

tadinya merupakan bagian dari laut lepas. Oleh karena itu perluasan yurisdiksi

Page 121: Bahan Ajar

121

nasional yang dilakukan oleh Negara sedang berkembang ini dianggap telah

“menggerogoti”prinsip kebebasan dilautan (freedom of the seas).

Argumentasi yang muncul kemudian dari negara-negara maritim adalah

bahwa konsepsi Negara kepulauan ini akan menganggu (kelancaran) pelayaran

internasional. Kekhawatiran ini terletak pada masasalah status hukum dari

perairan yang sekarang tertutup oleh garis pangkal, yang dinamakan perairan

kepulauan tersebut.

Pada Konvensi Hukum Laut III perundingan tentang Negara kepulauan

dimulai dengan munculnya usul dari negara-negara kepulauan agar pada perairan

kepualauan tersebut berlaku rejim hak lintas damai bagi kapal-kapal asing seperti

pada laut territorial. Usul ini kemudian berkembang menjadi suatu gabungan

antara pengaturan dilaut territorial dan perairan pedalaman, dengan pengertian

bahwa hak lintas damai akan dijamin pada alur-alur laut yang akan ditetapkan oleh

NegarK.

Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara–negara

maritim. Pada akhirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar

pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan yang bersifat

dualistis. Seperti pengaturan pada selat yang digunakan untuk pelayaran

internasional, hak lintas damai dijamin pada perairan kepualauan, kecuali pada

alur-alur khusus dimana berlaku hak lintas laut kepualauan.

Usul tersebut dengan segera menimbulkan reaksi dari negara-negara

maritim. Pada lahirnya kelompok negara-negara kepulauan mengusulkan agar

pengaturan yang diterapkan adalah dalam bentuk pengaturan pada selat yang

digunakan untuk pelayaran inernasional, hak lintas damai dijamin pada perairan

kepulauan, kecuali pada alur-alur khusus di mana akan berlaku hak lintas alur laut

kepualauan.

Sudah dapat diduga bahwa negara-negara maritim tetap berusaha untuk

mempertahankan hak lintas bebas bagi kapal-kapalnya dalam perkembangannya

kemudian, sikap Negara-negara maritim pu berkembang dan bergerak sehingga

mencapai pandangan yang hampir mendekati pandangan Negara-negara

kepulaauan, yaitu berupa pembentukan suatu rejim yang dualistis juga.

Perbedaannya adalah bahwa negara-negara maritim mengusulkan agar rejim

lintas yang berlaku pada alur-alur laut khusus tersebut bukannya hak lintas alur

Page 122: Bahan Ajar

122

laut kepualauan melainkan hak lintas bebas. Pada akhirnya hasil yang dicapai

tidak jauh bebeda dengan perundingan tentang rejim pelayaran melaui selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional, yaitu melainkan ketentuan-ketentuan

tentang hak lintas damai Pasal 52 dan hak lintas alur laut kepulauan pasal 53

b. Hak dan kewajiban Negara kepulauan

Seperti halnya dalam pengaturan tentang hal lintas transit melalui selat

yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan Pasal 44 tentang

kewajiban negara pantai berlaku juga bagi Negara kepualauan menurut ketentuan

ini Negara Kepualauan mempunyai tiga kewajiban pokok, yaitu :

(1). Tidak menghambat pelaksanaan lintas alur laut kepulaan ;

(2). Harus mengumumkan secara tepat setiap adanya bahaya bagi pelayaran

maupun penerbangan yang diketahuinya; dan

(3). Tidak diperkenankan untuk melakukan penangguhan pelaksanaan hak

lintas alur laut kepulauan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 itu pula Negara kepulaan dapat

menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatur pelaksanaan hak

lintas alur laut kepulauan oleh kapal-kapal maupun pesawat udara asing.

Wewenang Negara pantai ini terbatas hanya pada :

(a). the safety of navigation and regulation of maritim traffic, as provided

in article 41;

(b). the prevention, reduction and control of pollution, by giving the effect

to applicable international regulations regarding the discharge of oil,

oily wates and other noxious substance in the strait;

(c) with respect to fishing vessels, the prevention of fishing, including the

stowage of fishing gear;

(d) the loading and unloading of any commodity, currency or person in

contravention of the customs, fiscal, immigration or sanitary laws and

regulations of States bordering straits.

Ketentuan di atas membatasi wewenang Negara kepulauan hanya pada

pengaturan empat masalah utama, yaitu pelayaran, pencegahan dan

pengendalian pencemaran, pencegahan penangkapan ikan, serta beacukai,

imigrasi dan saniter. Dalam menetapkan peraturan perundang-undangan ini,

Page 123: Bahan Ajar

123

Negara kepulauan tidak diperkenankan untuk bersikap diskriminatif dengan

membeda-bedakan pengaturan dari kapal-kapal dan pesawat udara asing antara

satu dengan yang lainnya, apabila dengan prakteknya hal tersebut akan

mengakibatkan dengan yang lainnya, apabila dalam prakteknya hal tersebut akan

mengakibatkan penolakan, penghambatan, atau pengurangan terhadap

pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan.

Seperti juga dalam pelaksanaan hak lintas transit melalui selat yang

digunakan untuk pelayaran internasional, Negara kepualauan diberi wewenang

untuk menetapkan alur-alur laut dan rute penerbangan demukian harus memenuhi

persyaratan-persyaratan sebagai berikut :

(1). Harus melalui perairan kepualauab dan laut territorial yang

berbatasan dengannya;

(2). Merupakan rute-rute lintasan yang biasa digunakan untuk pelayaran

dan penerbangan internasional;

(3). Mencakup semua alur navigasi yang biasa digunakan oleh kapal-

kapal, sepanjang tidak mengakibatkan duplikasi bagi alur keluar dan

masuk untuk satu arah yang sama;

(4). Ditetapkan melalui suatu rangkaian garis poros (garis sumbu) yang

bersambungan dan membentang mulai dari titik-titik keluar rute

lintasan tersebut.

Disamping itu Negara Kepulauan juga diberi wewenang untuk menetapkan

skema pemisah lalu-lintas bagi keselamatan lintasan oleh kapal-kapal asing pada

bagian-bagian yang sempit dari alur-alur tersebut. Apabila diperlukan Negara

Keperluan dapat mengubah atau mengganti alur-alur laut maupun skema pemisah

lalulintas yang telah ditetapkannya. Perubahan atau pergantian tersebut harus

terlebih dahulu diumumkan sebagaimana mestinya.

Dalam penetapan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas tersebut,

Negara kepulauan harus memenuhi persyaratan-persyaratan seperti dibawah ini:

(1). Harus sesuai dengan aturan internasional yang diterima secara

umum;

(2). Setiap penetapan atau penggantian tersebut harus berdasarkan

kepada penerimaan oleh organisasi internasional yang berwenang

dan disepakati bersama dengan Negara Kepulauan;

Page 124: Bahan Ajar

124

(3). Harus mencantumkan secara jelas sumbu dari alur-alur laut dan

skema pemisah lalu-lintas yang telah ditetapkannya tersebut pada

peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya.

Ketentuan–ketentuan tersebut di atas dibatasi lagi dengan satu ketentuan

khusus dimana apabila Negara kepulauan tidak penetapkan alur-alur laut atau rute

penerbangan bagi pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan ini, maka

pelaksanaan hak tersebut dapat dilakukan melalui rute-rute yang biasa digunakan

untuk pelayaran maupun penerbangan internasional.

c. Hak dan kewajiban kapal yang melakukan lintasan

Sesuai dengan ketentuan pasal 54, hak dan kewajiban bagi kapal-kapal

yang melakukan lintasan juga tunduk pada pengaturan yang sama seperti dalam

pelaksanaan hak lintas transit. Pokok utama dari pengaturan ini adalah bahwa

semua kapal dan pesawat udara dapat melakukan hak lintas alur laut kepualauan

melaului alur-alur laut dan rute penerbangan yang telah ditetapkan. Dengan

demikian hak ini juga dapat dinikmati oleh kapal-kapal perang maupun pesawat-

pesawat militer. Mengenai hal ini, ketentuan yang dapat dipakai adalah ketentuan-

ketetuan dari padal 39 dan 40. Dengan sendirinya setiap referensi terhadap “selat”

harus diubah menjadi perairan tersebut.

Pasal 39 memberikan perincian tentang rangkaian kewajiban-kewajiban

yang harus dipenuhi oleh kapal-kapal dan pesawat udara, yang dibedakan antara :

(1). Kewajiban-kewajiban yang berlaku umum baik bagi kapal-kapal maupun

pesawat udara;

(2). Kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi kapal-kapal dan

(3). Kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh pesawat udara.

Pada waktu melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, setiap kapal

maupun pesawat udara diwajibkan untuk:

(1). Lewat dengan cepat melalui atau diatas selat :

(2). Menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun

terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara

keterbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apa pun yang melanggar

Page 125: Bahan Ajar

125

asas-asas hukum internasional seperti tercantum dalam Piagam

Perserikatan Bangsa-bangsa;

(3). Menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain dari transit secara terus-

menerus, langsung dan secepat mungkin dalam cara normal, kecuali

karena force majeure atau karena kesulitan;

(4). Memenuhi ketentuan lain dari Bagian ini yang relevan.

Khusus bagi kapal-kapal, pada waktu melakukan hak lintas alur laut

kepulauan, ketentuan-ketentuan dibawah ini harus dipatuhi, yaitu :

(1). Memenuhi aturan hukum internasional yang diterima secara umum,

prosedur praktek tentang keselamatan dilaut termasuk Peraturan

Internasional tentang pencegahan Tubrukan dilaut;

(2). Memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur

dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian

pencemaran yang berasal dari kapal.

Bagi pesawat udara dikenakan ketentuan yang berbeda yaitu pada waktu

melakukan hak lintas penerbangan di atas perairan kepulauan, diharuskan untuk :

(1). Menaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan

Internasional (internasional Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku

bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemerintah biasanya memenuhi

tindakan keselematan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan

mengindahkan keselamatan penerbangan sebagaimana mestinya;

(2). Setiap waktu memantau frekuensi radio yang ditunjuk oleh Otorita

Pengawas Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller) yang berwenang yang

ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat

internasional yang tepat.

Pokok-pokok utama dari pengaturan yang dapat dirinci oleh ketentuan-

ketentuan tersebut diatas dapat digambarkan dalam bentuk kewajiban-kewajiban

yang harus dipatuhi baik oleh kapal-kapal maupun pesawat udara, yaitu untuk:

(1). Melakukan lintasan yang cepat;

(2). Mencegah timbulnya ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap

Negara kepulaun;

Page 126: Bahan Ajar

126

(3). Tidak melakukan tindakan – tindakan yang bertentangan dengan asas-asas

umum hukum internasional seperti yang tercantum dalam Piagam

Perserikatan bangsa-bangsa;

(4). Memusatkan kegiatan selama melakukan lintasan hanya kepada maksud

untuk melakukan lintasan yang langsung, terus menerus dan secepat

mungkin; dan

(5). Mematuhi peraturan maupun standar internasional yang telah diterima

secara umum tentang keselamatan pelayaran atau penerbangan serta

tentang pencegahan pencemaran.

Bagi kapal-kapal yang digunakan untuk penelitian ilmiah dan survey

hidrografis, untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan penelitian dan

surveinya, Pasal 40 mensyaratkan adanya izin terlebih dahulu dari Negara

kepulauan.

Kewajiban–kewajiban lain yang harus dipatuhi oleh kapal-kapal maupun

pesawat udara adalah bahwa dalam melaksanakan haknya ini kapal-kapal dan

pesawat udara tersebut hanya dapat berlayar pada alur laut dan rute penerbangan

yang telah ditetapkan oleh Negara Kepulauan. Selama melakukan lintasan tidak

diperkenankan untuk menyimpang lebih dari 25 mil laut ke arah dua sisi dari garis

sumbu alur-alur tadi. Disamping itu kapal-kapal tidak diperkenankan untuk

berlayar mendekati pantai pada jarak kurang dari 10% dari jarak antara titik-titik

terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur-alur laut tersebut.

d. Masalah Kapal Selam

Seperti telah diuraikan pada bagian tentang hak lintas transit, kewajiban-

kewajiban yang dibebankan kepada kapal dan pesawat udara asing ini tidak

secara otomatis melahirkan hak-hak bagi Negara kepulauan. Dengan demikian

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 39 dan 40 ini tidak dapat

dianggap sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan pasal 53 ayat

3. Seperti juga halnya dengan hak lintas transit, hak Negara Kepulauan untuk

mengatur pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan melalui perairan

kepulauannya terbatas hanya kepada hal-hal yang tercantum dalam pasal 42 ayat

1.

Page 127: Bahan Ajar

127

Dibandingkan dengan ketentuan pasal 21 yang memberikan wewenang

yang luas kepada negara pantai dalam mengatur pelaksanaan hak lintas damai,

wewenang Negara pantai untuk mengatur hak lintas transit dengan wewenang

Negara kepualauan untuk mengatur hak lintas damai, Negara pantai dapat

mencegah suatu lintasan dengan berpedoman kepada serangkaian kegiatan–

kegiatan yang tidak dianggap “damai” seperti yang tercantum pada pasal 19 ayat

2. Dengan demikian setiap pelanggaran terhadap ketentuan pasal 53 ayat 3, tidak

dapat dipakai sebagai alasan oleh Negara-negara kepualauan untuk mencegah

suatu lintasan melalui alur-alur laut pada perairan kepulauannya.

Disamping itu Negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk tidak

menghalangi pelaksanaan hak lintas alur laut kepulauan karena lintas tersebut

harus unobstructed. Jadi pada hakekatnya hak lintas alur laut kepulauan,

meskipun mempunyai pengertian berbeda, tidak ada bedanya dengan hak lintas

transit melalui selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

Dilain pihak, jika dibandingkan dengan hak lintas transit, dalam

penerapannya hak lintas alur laut kepulauan dapat menimbulkan interpretasi yang

berbeda. Tampaknya para ahli hukum lautpun mempunyai pendapat yang

beraneka ragam, meskipun tidak dapat tidak dapat dikatakana bertentangan sama

sekali. Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang

diberikan oleh konvensi meskipun tidak dapat dikatan bertentangan sama sekali.

Pokok utama dari perbedaan ini terletak pada batasan pengertian yang diberikan

oleh Konvensi seperti tercantum dalam pasal 53 ayat 3 tersebut diatas. Dalam

pelaksanaannya hak lintas alur laut kepulauan tunduk pada pengaturan yang

sama dengan hak lintas transit, terutama mengenai hak dan kewajiban bagi kapal,

pesawat udara maupun bagi Negara kepulauan itu sendiri. Meskipun demikian,

kalau dihubungkan dengan pengertian tersebut diatas, dapat melahrikan tafsiran

yang berbeda-beda, terutama apabila hal tersebut dikaitkan dengan hak kapal

selam untuk berlayar dibawah permukaan air.

Perbedaan yang dapat segera dilihat adalah bahwa Konvensi memberikan

pengertian untuk hak lintas transit sebagai pelaksanaan dari “kebebasan

pelayaran dan penerbangan.” Sedangkan hak lintas alur laut kepualauan diartikan

sebagai pelaksanaan dari “hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal.”

Page 128: Bahan Ajar

128

Memang ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa perbedaan ini tidak

akan menimbulkan pelaksanaan yang berbeda dalam praktek, karena pada

dasarnya rejim yang dimaksudkan adalah unimpeded passage. Akan tetapi

apabila dilihat perbedaan wilayah perairan yang sempit sedangkan yang satunya

lagi cukup luas, pelaksanaannya dalam praktek tentu akan menimbulkan

perbedaan.

Jhon Norton MOORE misalnya, mengemukakan argumentasi yang berbeda

dengan menyatakan bahwa pada garis besarnya kedua konsepsi tentang hak

lintas itu adalah sama, termasuk juga hak untuk melakukan lintas penerbagan,

dan hak bagi kapal selam untuk berlayar dibawah permukaan air. MOORE

menyimpulkan bahwa naskah ICNT yang telah disetujui pada waktu itu merupakan

suatu pencerminan dari apa yang telah terjadi dalam perundingan tentang Negara

kepualauan tersebut. Ketentuan – ketentuan tentang Negara kepulauan sepertu

yang tercantum dalam ICNT menunjukkan bahwa Konperensi Hukum Laut III tidak

akan begitu saja menerima konsepsi mid-ocean archipelago yang kemudian

melahirkan konsepsi Negara kepulauan, tanpa adanya jaminan hak istimewa bagi

kapal selam.

Seorang penulis lain, morris F.MADURO, memberikan penafsiran yang

berbeda dan menganggap bahwa kalau disatu pihak hak lintas transit

mengandung pengertian yang mencakup pelayaran (lintasan) dibawah permukaan

air, hak lintas alur laut kepulauan yang menggunakan istilah in the normal mode,

dapat diinterpretasikan sebagai hanya memperkenankan lintasan diatas

permukaan air. Terlebih – lebih dengan adanya hak Negara kepulauan untuk

menetapkan pengaturan tentang keselamtan pelayaran.

Akan tetapi tampaknya akan lebih banyak penulis yang berpendapat bahwa

hak lintas alur laut kepulauan mempunyai derajat yang sama dengan hak lintas

transit, oleh karena hak lintas transit mengadung unsur kebebasan pelayaran, dan

dengan demikian meluangkan hak kapal selam untuk berlayar dibawah

permukaan air, maka hal yang samapun dapat dibenarkan pada pelaksanaan hak

lintas alur laut kepulauan. Hal tersebut lebih ditegaskan lagi oleh penulis-penulis

yang menggaris bawahi istilah in the normal mode dan menyimpulkannya bahwa

kapal selam secara normal berlayar dibawah permukaan air.

Page 129: Bahan Ajar

129

e. Kesimpulan

Oleh karena adanya persamaan pengaturan dalam pelaksanaan kedua hak

lintas tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa keduanya mengandung pokok

pengaturan yang berbeda, sehingga hak lintas alur lau kepulauan tidak selalu

identik dengan hak lintas transit, seperti tampak dalam pokok-pokok pengaturan

tentang hak lintas alur laut kepulauan dibawah ini:

(1). Tidak ada persyaratan untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu;

(2). Tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengharuskan kapal selam

untuk berlayar dipermukaan air;

(3). Hak lintas penerbangan bagi pesawat udara diakui;

(4). Kapal-kapal perang mempunyai imunitas terhadap ketentuan-ketentuan

konvensi tentang pencegahan pencemaran dan pelestarian lingkungan laut;

(5). Tidak ada keharusan untuk meminta izin atau memberitahukan terlebih

dahulu;

(6). Tidak ada penangguhan terhadap hak lintas alur laut kepualaun;

(7). Negara pantai tidak mempunyai hak untuk mencegah atau menghalangi

lintasan oleh kapal-kapal asing;

(8). Negara bendera kapal atau Negara tempat pesawat undara terdaftar

bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

pelaksanaan hak lintas alur laut kepualauan;

(9). Kapal-kapal diwajibkan untuk mematuhi peraturan perundang-undangan

Negara kepulauan tentang hak lintas alur laut kepualauan.

(10). Hak lintas alur laut kepulauan hanya dapat dilaksanakan pada laur-alur laut

yang ditetapkan oleh Negara kepulauan untuk itu. Setiap penyimpangan

(deviasi) dari garis sumbu pada alur-alur laut tersebut dikenakan

persyaratan-persyaratan teknis.

c. Penutup

evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

pembelajaran ke 6 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir perkuliahan

yang dikemas dalam beberapa pertanyaan seperti :

1. Apa perbedaan antara ke tiga lintas pelayaran yang berlaku di Indonesia

2. Apa saja persyaratan untuk melakukan lintas akan laut kepulauan?

Page 130: Bahan Ajar

130

3. Selat mana saja di Indonesia yang dapat dilayari dengan lintas transit

4. Apa latar belakang munculnya lintas transit?

Daftar Bacaan

Etty. R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982, Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin 1991.

Mochtar Kusumaatmadj, Hukum Laut Internasional, Bandung: Bina cipta, 1986.

Page 131: Bahan Ajar

131

BAB 8 BAHAN PEMBELAJARAN 7

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9 bahwa

“mahasiswa dapat menjelaskan pengaturan hukum keselamatan pelayaran

(safety of navigation).” Sasaran pembelajaran demi aktual hendak dicapai

dengan menggunakan afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan

diskusi kelas serta studi kasus (case study).

Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik

adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai

keselamatan pelayaran, ketetapan menggunakan teori dalam menganalisis

fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi individual

dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit

dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian Pelayaran merupakan salah satu penggunaan laut yang paling tua dan

tetap menjadi salah satu unsure yang penting. Kebutuhan akan pengaturan

dibidang pelayaran meliputi aspek kelayakan kapal untuk berlayar; standard

penempakan awak; sarana bantuan pelayaran; dan pencegahan tubrukan

dan trayek kapal.

Kelayakan Kapal

Standar kelayakan merupakan aspek, yang pasti karena fakta bahwa

laut dan angin (bahaya laut) dapat mengerahkan pasukan tak terpikirkan.

Tapi, secara umum dipahami sebagai suatu keterampilan kekuatan, daya

tahan dan teknik merupakan bagian dari konstruksi kapal dan pemeliharaan

melanjutkan, bersama dengan awak kapal yang kompeten, yang memiliki

kemampuan untuk berdiri bahaya unsur-unsur yang dapat cukup ditemui atau

diharapkan selama pelayaran tanpa kehilangan atau kerusakan pada kargo

Page 132: Bahan Ajar

132

tertentu dari sebuah kapal. Sebuah kapal yang laik laut tidak berarti bahwa

kapal tersebut tidak memiliki kemungkinan untuk tidak tenggelam.23

Oleh karena itu, hal terpenting yang harus dikedepankan mengenai

suatu kapal yaitu kelayakan kapal tersebut untuk berlayar. Beberapa hal yang

harus diperhatikan sehubungan dengan kelayakan dimaksud, seperti:

a. keselamatan kapal;

b. pencegahan pencemaran dari kapal;

c. pengawakan kapal;

d. garis muat kapal dan pemuatan;

e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;

f. status hukum kapal;

g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan

h. manajemen keamanan kapal.

Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud di

atas harus dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.24

Telah dibentuk International safety management (ISM Code) dalam

kaitannya dengan pengoperasian kapal yang telah menyebabkan keraguan

dan kecemasan di antara pemilik kapal, operator dan manajer. Dalam konteks

ini, efek hukum ISM Code dan tindakan yang diperlukan pemilik kapal lokal

untuk mematuhi Kode Etik. ISM Code dimaksudkan untuk memastikan

keselamatan di laut, mencegah cedera manusia atau hilangnya nyawa, dan

menghindari kerusakan lingkungan, khususnya lingkungan laut, dan properti.

Kode ini telah ditambahkan sebagai Bab IX dari Konvensi Internasional untuk

Keselamatan Jiwa di Laut (SOLAS) 1974, dan memiliki akibat hukum di tanah,

sebagai Negara Pihak pada Konvensi. Kode ini ditujukan untuk mewujudkan

23 R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, (Manchester: Manchester University Press,

1999), p. 255-256. 24 Sertifikat kapal tidak berlaku apabila: a. masa berlaku sudah berakhir; b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement); c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; d. kapal berubah nama; e. kapal berganti bendera; f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal; g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal; h. kapal tenggelam atau hilang; atau i. kapal ditutuh (scrapping).

Page 133: Bahan Ajar

133

suatu standar internasional untuk pengelolaan yang aman dan pengoperasian

kapal dan untuk pencegahan polusi. Setiap pemilik kapal atau organisasi yang

telah mengambil tanggung jawab atas pengoperasian kapal dari pemilik kapal

diperlukan untuk menetapkan aturan untuk pencegahan keselamatan dan

polusi dan menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan (SMS) oleh:

Mendirikan praktek yang aman dalam operasi kapal dan menyediakan

lingkungan kerja yang aman;

Membangun perlindungan terhadap semua risiko yang teridentifikasi, dan

Terus meningkatkan keterampilan manajemen keselamatan personil darat

dan kapal kapal, termasuk kesiapan untuk keadaan darurat baik tentang

perlindungan keselamatan dan lingkungan.

Secara garis besarnya, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kelayakan

kapal untuk berlayar, International Maritime Organization (IMO), Desember

2002, telah menerapkan International Ships and Port Facility Security (ISPS)

Code atau Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan

fasilitas pelabuhan. ISPS inilah yang menjadi rambu dalam mengatur tentang

keselamatan kapal.

Disamping beberapa prasyarat yang harus terpenuhi sebagaimana

disebutkan di atas, hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam praktek adalah

nasionalitas kapal. Nasionalitas kapal memainkan peranan yang vital dalam

pelayaran karena menyoal tentang jurisdiksi negara mana yang berlaku atas

kapal tersebut, termasuk didalamnya negara mana yang bertanggung jawab

atas kapal apabila terjadi kasus dimana tindakan yang dilakukan di atau oleh

kapal tersebut merupakan atribusi negara, dan perlindungan diplomatic atas

nama kapal dimaksud.25

Negara biasanya menjamin nasionalitas kapal dengan cara

mendaftarkannya dan mengotorisasi kapal tersebut dengan cara

mengibarkan bendera di atas kapal (bendera kapal). Dalam hal ini, negara

pendaftar atau bendera kapal memiliki kesamaan bagi negara dimana

nasionalitas kapal berlaku, termasuk apakah hukum internasional atau aturan

lainnya berlaku untuk keadaan di mana suatu negara menjamin nasionalitas

kapal dimaksud. Pasal 5 Konvensi mengenai Laut Lepas 1958 menyebutkan

25 R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).

Page 134: Bahan Ajar

134

bahwa “harus terdapat hubungan yang murni antara negara dankapal;

khususnya suatu negara harus secara efektif memberlakukan jurisdiksinya

dan mengkontrol administrasi, teknik, dan persoalan-persoalan lain atas

kapal dimana bendera dikibarkan”.

Crew Kapal

Salah satu komponen pelayaran yang sangat berarti penting yaitu awak

kapal. Para kru harus menjadi awak yang efisien dan kompeten. Kondisi ini

menjadi salah satu faktor prinsip dalam menentukan kelayakan kapal. Hal itu

terlihat dalam kasus Hong Kong Shipping Co Ltd Fir v. Kawasaki Kisen

Kaisha Ltd. Dalam kasus ini terlihat bahwa mesin diesel kapal bersama

dengan mesin lain dalam rangka cukup baik. Namun karena alasan usia

mereka, mesin harus dipertahankan oleh staf, berpengalaman kompeten,

mesin-mati dan memadai kamar. Bahkan staf ruang mesin tidak kompeten,

dengan mesin kepala kecanduan minuman keras, sehingga kapal dinyatakan

layak

Menurut Konvensi ILO No. 147 tahun 1976 tentang Standar Minimum

Awak Kapal disebutkan bahwa “setiap negara naggota Konvensi harus

menjamin bahwa awak kapal yang dipekerjakan atas kapal yang terdaftar

dalam wilayahnya memiliki kualifikasi atau keahlian atas pekerjaan yang

menjadi tanggung jawabnya.26 Hal yang sama juga disebutkan pada Pasal 94

ayat 4 Konvensi Hukum Laut yang menyebutkan bahwa negara bendera

harus menjamin bahwa setiap kapalnya memiliki nahkoda dan awak kapal

yang berkualitas (appropriate qualifications). Dalam ranah yang dimaksud,

telah dibuat suatu Konvensi yang membidangi standar pelatihan yang disebut

dengan Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping

for Seafarers (the STCW Convention). STCW Convention meletakkan syarat-

syarat wajib minimum yang mesti dipunyai oleh nahkoda dan awak kapal

dalam melaksanakan dan mengawasi pelayaran.

Sarana Bantu Pelayaran

26 R. R. Churchill & A.V. Lowe, op.cit, p. 269.

Page 135: Bahan Ajar

135

Keselamatan pelayaran juga menyoal persoalan bantuan navigasi

seperti:

a. material;

b. konstruksi;

c. bangunan;

d. permesinan dan perlistrikan;

e. stabilitas;

f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan

radio; dan

g. elektronika kapal.

Sarana bantuan navigasi sebagaimana disebutkan diatur dalam

Konvensi SOLAS yang mengatur negara-negara anggota untuk mengatur

pemeliharaan dan pengadaan bantuan-bantuan navigasi, termasuk

didalamnya menyediakan informasi yang berhubungan dengan bantuan

navigasi yang dibutuhkan. Hal tersebut juga disebutkan dalam Konvensi

Hukum Laut dan Laut Teritorial dimana negara pantai memiliki kewajiban

untuk memberikan informasi yang cukup atas bahaya yang dihadapi dalam

pelayaran. Secara detail dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 24

ayat (2) dari Konvensi Hukum Laut dan Laut Teritorial.

Pencegahan Tubrukan dan Trayek Kapal

Dibutuhkan suatu pengaturan yang jelas untuk mencegah terjadinya

tabrakan di laut. Aturan hukum internasional yang membidangi masalah

dimaksud yaitu the Convention on the International Regulations for

Preventing Collisions at Sea of 1972. Konvensi ini pada prinsipnya mengatur

bahwa suatu kapal berkewajiban untuk menghindari tabrakan dengan kapal

lainnya, khususnya ketika jarak pandang di laut sangat buruk sehingga

diperlukan standar yang berlaku umum dalam konteks pengadaan suara dan

tanda lampu.

C. Penutup

Page 136: Bahan Ajar

136

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran ketujuh dilakukan dalam bentuk makalah dengan

merumuskan beberapa judul/topik, seperti:

1. Sebutkan beberapa contoh kasus terkait dengan keselamatan pelayaran?

2. Jelaskan arti penting nasionalitas kapal?

Daftar Bacaan

R. R. Churchill & A.V. Lowe, The Law of the Sea, Manchester: Manchester University Press, 1999.

R. Pinto, Flag of Convenience, 87 Journal du Droit International, 344-69 (1960).

Page 137: Bahan Ajar

137

BAB 9

BAHAN PEMBELAJARAN 8 A. Sasaran Pembelajaran

Ujian tengah Semester

B. Uraian:

Pelaksanaan ujian tengah semester dilaksanakan dengan memberikan

tugas berupa makalah individu yang dipilih dari materi hukum laut yang telah

dipelajari. Adapaun criteria penilaian berupa Isi Makalah; Organisasi makalah;

Kesesuaian antara teori dan kasus serta analisis; dan Ketepatan waktu.

C. Penutup

Kriteria evaluasi adalah makalah individu.

Page 138: Bahan Ajar

138

BAB 10 BAHAN PEMBELAJARAN 9

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembeljaran yang hendak di capai pada minggu ke 9

bahwa “mahasiswa dapat menjelaskan keselamatan atau keamanan kapal

maupun pelabuhan (international ship and port facilities security code).”

Sasaran pembelajaran demi actual hendak dicapai dengan menggunakan

afrategi pembelajaran berupa kuliah interaktif dan diskusi kelas serta studi

kasus (case study).

Kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik

adalah kemampuan mengemukakan dan menjelaskan fakta mengenai standar

keamanan kapal dan pelabuhan, ketetapan menggunakan teori dalam

menganalisis fakta terkait dengan ISPS dan penerapannya, serta partisipasi

individual dalam diskusi kelas. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama

100 menit dengan media modul sebagai pengamatan yang diberikan bagi

peserta didik.

B. Uraian

Pasca serangan bom di WTC New York pada tanggal 11 september

2001, Negara maju terutama Amerika Serikat gencar melaksanakan

kampanye untuk memerangi tindakan teroris dan segala aspeknya. Hal ini pun

dilakukan dibidang maritime. Kejahatan lintas Negara yang memiliki delapan

kategori, lima diantaranya terjadi dan dilaksanakan melalui laut seperti

peredaran obat terlarang, penyelundupan/ perdagangan manusia,

perompakan, penyeludupan senjata dan terorisme. Obat terlarang,

penyelundupan/perdagangan manusia, perompakan, penyelundupan senjata

dan terorisme.

International Maritime Organization (IMO), Desember 2002, telah

menerapkan International Ships and Port Facility Security ( ISPS ) Code atau

Kode Internasional yang mengatur tentang keamanan kapal dan fasilitas

pelabuhan. Peraturan baru ini bertujuan mendeteksi ancaman keamanan,

sekaligus mencegah insiden kemanan dilaut dan pelabuhan.

Page 139: Bahan Ajar

139

Ketentuan Internasional tersebut telah disepakati oleh 62 negara

anggota IMO, termasuk Indonesia. Indonesia sendiri telah meratifikasinya dan

Kementerian Perhubungan selaku administrator harus mengumumkan

pelaksanaan ISPS Code secara Nasional. Juklaknya sendiri telah dikeluarkan

sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 33 tahun 2003 tanggal

14 Agustus 2003 tentang pemberlakukan Amandemen SOLAS 1974 tentang

Pengamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port

Facility Security/ ISPS Code) di wilayah Indonesia.

Mengenai ISPS Code Menurut IMO (International Maritime Organization), perusahaan

pelayaran mempunyai kewajiban untuk menyiapkan sertifikat keamanan dari

badan khusus yang ditunjuk pemerintah. Perusahaan pelayaran juga harus

segera menetapkan p[ejabat yang bertanggung jwabsoal keamanan di

perusahaan (Company Security Officer/CSO) lalu membuat rencana

pengamanan kapal (Ship Security Assement/SSA), dan selanjutnya menunjuk

seorang perwira yang bertanggung jawab atas kemanan di atas kapal ( Ship

Security Officer/SSo ).

Kapal, harus mendapat sertifikat kemanan internasional ( Internasional

Ship Security Certificate/ISSC) dari IMO.selain itu, kapal juga harus dilengkapi

dengan sistem identifikasi otomatis (Automatic Identification System/AIS), dan

sistem sinyal pengamanan (Ship Security Alert System/SSAS). AIS

merupakan peralatan modern di kapal yang harganya sangat mahal. Alat ini

dalam keadaan bahaya tertentuakan terhubung dengan sentral stasiun

pemancar yang ada di pelabuhan internasional, sehingga aparat kemanan

segera datang member bentuan.

Sedangkan bagi pelabuhan, harus mempunyai sistem pengaman yang

bagus, disertai dengan perencanaan dan petugas keamanan yang handal.

Pelabuhan–pelabuhan yang dipersiapkan adalah Tanjung Priok, Jambi, Teluk

Bayur, Palembang, Pontianak, Cirebon Banten, JICT, Tanjung Perak, dan PT.

Terminal Peti Kemas Surabaya.

Secara ringkas, persiapan untuk ISPS Code adalah sebagai berikut :

Bagi perusahaan pelyaran, harus melakukan :

Page 140: Bahan Ajar

140

1. Company Security Officer ( CSO )

2. Ship Security Assement ( SSA )

3. Ship Security Plan ( SSP )

4. Training.

Kelengkapan kapal :

1. International Ship Security ( ISSC ).

2. Automatic Identification System ( AIS ).

3. Ship Security Alert System ( SSAS ) .

4. Declaration of Security ( DOS ).

Persiapan Pelabuhan :

1. Port Facility Security Assessement ( PPSA ).

2. Port Facility Security Officer( PFCO ).

3. Port Facility Security Plan ( PFSP ).

4. Operational and Physical Security Measures.

5. Training.

6. Declaration of Security.

Konsekuensi Pelaksanaan ISPS Code bagi Pemerintah

Koneskuensi dar pelaksanaan peraturan ini cukup besar bagi pemerintah

harus menambah anggaran biaya negara dalam mempersiapkan

pelabuhan/terminal dan kapal memberikan pelayanan dalam perdagangan

internasional dan mempersiapkan peralatan minimum sebagaimana

dipersyaratkan dalam ISPS Code 2002, untuk pemeriksaan orang, barang dan

muatan/ Kontainer.

Mengenai lingkup dan tanggung jawab dari penerapan ISPS Code,

pemerintah harus menetapkan Designated Authority dan menunjuk Recognized

Security Organization (RSo), menetapkan Security Level, Port State Control

Additional Control Measures, Port Facility Security Assesment, Apporoval Ship

Security Plant, Communication of Information, Verfication and Certification for

Ship, InternationalShip Security Certificate dan Statement of Compliance of port

Facility.

Page 141: Bahan Ajar

141

Adalah tugas berat bagi Pemerintah dengan berbagai kewenangan sektoral

yang ada untuk melakukan pembenahan berkenaan dengan pemberlakukan

peraturan ini. Denganterus dilakukannya upaya – upaya pembenahan, diharapkan

di masa mendatang, pengelolaan keamanan di pelabuhan dapat menumbuhkan

kondisi pelabuhan yang lebuh kondusif dan tidak menimbulkan ekonomi biaya

tinggi.

Tujuan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code

Menyusun kerangka kerja sama internasional menyangkut kerja sama antara

Contracting government, government agencies, local administration, dan

shipping serta port industries untuk mendeteksi adanya ancaman keamanan

dan mengambil tindakan – tindakan preventif terhadap insiden yang

melibatkan kapal atau fasilitas pelbuhan yang digunakan dalam international

trade.

Membentuk peran dan tanggung jawab antara Contracting government,

government agencies, local administration dan shipping serta port industries

pada tingkat nasional dan internasional untuk menjamin keamanan maritim.

Menciptakan sistem pengumpulan data dan informasi yang cepat danefisien

serta pertukaran informasi berkaitan dengan kemanan.

Menyiapkan metode untuk melakukan penyelidikan awal tentang kemanan

agar dapat disusun rencana dan prosedur yang tepat unutk menanggulangi

setiap perubahan situasi kemanan.

Untuk memastikan bahwa tindakan – tindakan maritime security yang diambil

sudah tepat dan proporsional.

Sanksi

Bila pelabuhan–pelabuhan Indonesia ( dan kapal–kapal berbendera Indonesia )

tidak menerapkan ISPS Code, maka sanksi internasional yang akan dijatuhkan

sangat berat, yakni pelabuhan tersebut tidak akan disinggahi kapal dari luar negeri

dan kapal–kapal ( berbendera Indonesia ) tidak akan diperkenankan masuk

pelabuhan diluar negeri.

Page 142: Bahan Ajar

142

Penerapan ISPS Code di Pelabuhan Tanjun Priok

Berkenaan dengan implementasi ISPS Code dimaksud, Manajemen PT

(Persero) pelabuhan Indonesia II, telah menunjuk PT. Berau Veritas Indonesia

sebagai Recognized Security Organization (RSO) untuk melakukan Assement

terhadap Pengamanan fasilitas Pelbuhan (PSFA) dan membuat Rancangan

Pengamanan Fasilitas Pelabuhan PFSP) untuk diserahkan dan disetujui oleh

Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai

Designated Authoruty (DA ). Dari aspek kesisteman manajemen, CabangTanjung

Priok sedang melakukan Inventarisasi pendataan dan penataan ulang terhadap

seluruh kapal – kapal domestic ( dalam negeri ) dan ocean going ( International ).

Berdasarkan hasil Assement Pengamanan Fasilitas Pelbuhan, Pelabuhan

Tanjung Priok di bagi menjadi 7 wilayah pengamanan yang terdiri atas terminal

Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, PT. JICT, PT TPK Koja, PT. Pertamina

Unit Pemsaran III, PT. Indofod Sukses Makmur Bogasari Flour Mills, PT. DOK dan

Perkapalan Kodja dan PT. Dharma Karya Perdana.

Hasil Assessment Pengamanan Fasilitas Pelbuhan ( PFSA ) di Terminal

Konvensional Pelabuhan Tanjung Priok, pada tahap awal dititikberatkan di area

Pelbuhan Nusantara, Pelabuhan I, Pelabuhan II dan gedung PT ( persero )

Pelbuhan Indonesia II yang kemudian akan diperluas ke area Lini II dengan sistem

dan prosedur pengamanan yang sama dengan area Lini I.

Ketentuan yang diatur di dalam Rancangan Pengamanan Fasilitas

Pelabuhan (PFSP) antara lain memuat sistem dan prosedur pengamanan yang

meliputi prosedur pengamanan masuk Lini II, prosedur masuk Lini I, Prosedur

pengiriman kebutuhan barang kapal, prosedur pengawasan keamanan fasilitas

pelabuhan dan prosedur masuk gedung PT. ( Persero ) Pelabuhan Indonesia II.

Untuk penerapan Rancangan Pengaman Fasilitas Pelabuhan ( PFSP )

dimaksud, manajemen Tanjung Priok telah melakukan pembenahan pos–pos dan

pagar area ( dilakukan pemagaran area dengan ketinggian minimal 2,5 meter,

sesuai persyaratan dalam ISPS Code ) yang panjangnya 3 km lebih ( catatan

sementara pagar yang ada saat ini ketinggiannya baru sekitar 2 meter ) Lini I

maupun Lini II, pemberian rambu warna merah ( sebagai tanda restricted area )

dipagar area Lini I, pemasangan tanda peringatan”area terbatas” diseluruh pintu

masuk area Lini I, pengadaan pass orang (berupa pass tamu sebanyak 500 buah),

Page 143: Bahan Ajar

143

perlengkapan pengamanan (berupa metal detector, handheld search mirror, ropmi

petugas pengamanan), serta alat komunikasi (handly talky, mega phone dan

transmitter radio VHF).

Sesuai persyaratan ISPS Code, kondisi pengaman di Pelabuhan Tanjung

Priok terbagi dalam 3 (tiga) tingkatan keamanan yakni Level I keadaan normal,

Level II ada ancaman keamanan dan Level III kondisi keamanan menjadi

kewenangan DA (pemerintah).

Prosedur Akses Masuk

Prosedur akses masuk ke fasilitas pelbuhan di derah Lini I mengatur

tentang lalu lintas barang, kendaraan dan orang. Petugas pengamanan akan

memriksa berang, kendaraan, dan orang yang memasuki wilayah kerja pelabuhan

sesuai dengan tingkatan keamanan, sehingga lalu lintas barang, kendaraan, dan

orang akan dapt teridentifikasi dengan jelas terkendali.

Bagi orang yang memasuki area LiniI ( restricted area ) harus memilki pass

pelabuhan yang masih berlaku, sedangkan tidak memiliki pass pelabuhan, yang

bersangkutan akan di catat jati dirinya (nama, alamat, nomor identitas

(KTP/SIM/Passport)), nama perusahaan, tujuan kunjungan, waktu masuk dan

keluarnya serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan pass tamu

( pass visitor ).

Untuk kendaraan truk yang masuk, harus dilengkapi dengan dokumen

pendukung barang, anatara lain : surat jalan, delivery order dan SP2/PEB/PE

identitas pengemudi dan pembantu pengemudi. Bagi para pengemudi dan

pembantu pengemudi yang tidak dilengkapi dengan pss pelabuhan akan di catat

jati dirinya (nama, nomor identitas(KTP/SIM)), nomor kendaraan, tujuan serta

waktu tiba dan keluar serta meninggalkan kartu identitas dan kepadanya diberikan

pass tamu (pass visitor).

Disamping pengawasan dan pengamanan, di area Lini I juga dilakukan

patrol rutin kemananan baik daerah area daratan (sisi darat) dan perairan (sisi

laut), serta fasilitas penting (vital) yang berada di area pelabuhan tanjung Priok

dan unsure keamanan terkait di pelabuhan. Guna menunjang kelancaran

penerapan ISPS Code , manajemen Pelbuhan Tanjung Priok telah menyiapkan

Page 144: Bahan Ajar

144

saluran hotline service sementara di nomor 4301080 ext 2020 atau fax 439222

untuk melayani apabila terjadi kendala/hambatan atas pelaksanaan ISPS Code ini.

Alat Bantu Pengamanan

Disamping pengawasan keamanan yang dilaksanakan secara rutin oleh

petugas keamanan pelabuhan, manajemen juga menyiapkan peralatan bantu

pengawasan berupa CCTV (Circuit Close Television) dan VTIS (Vessel Traffic

Informatio ). CCTV digunakan untuk memonitor kegiatan bongkar muat dermaga,

gudang dan lapangan penumpukan sedangkan VTIS di gunakan untuk memonitor

lalu lintas kapal diperairan pelabuhan.

Penempatan 26 unit CCTV (bantuan dari Jepang) tersebut rencananya

akan dipasang di pos – pos pintu masuk ( pos 1,3,8 dan 9 ) 5 pos pintu masuk pos

LIni I sepanjang dermaga kolam Pelbuhan I, II, dan III serta Dermaga 009 dan

lapangan penumpukan. Kamera–kamera ini dilengkapi dengan infra merah yang

mempunyai kemampuan memonitor diwaktu malam.

CCTV tersebut memiliki keunggulan dari pada monitor biasa yang telah

ada antara lain, pergerakan atau manuvernya bisa berputar hingga 340 derajat.

Selain itu, juga dilengkapi dengan sinar’ Infra red”. Sehingga tetap dapat

memonitor dalam suasana gelap sekalipun. (catatan: saat ini, fasilitas monitor

yang dimiliki Pelabuhan Tanjung Priok baru 9 unit, dengan kemampuan putar

hanya 180 derajat ).

ISPS Code diberlakukan secara penuh pada 1 juli 2004 terhadap kapal

penumpang termasuk kapal berkecepatan tinggi (high–speed craft) yang

melakukan pelayaran internasional. Begitu juga terhadap kapal barang diatas GT

500 yang melakukan pelayaran internasional, mobile offshore drilling unit, fasilitas

pelabuhan –pelabuhan yang melayani kapal – kapal yang melakukan pelyaran

internasional.

Peranan Pelabuhan Secara Ekonomis

Peranan pelabuhan tidak saja sebagai terminal point kegiatan perdagangan

tetapi telah meningkat dan berfungsi sebagai sentra–sentra produksi, area

pelayanan transportasi dan sentra kegiatan ekonomi. Pelabuhan ( menurut

Undang – undang No. 21 tahun 1992 joPeraturan PemrintahNo. 69 tahun 2001

Page 145: Bahan Ajar

145

tentang kepelabuhanan) adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan

sekitarnya, dengan batas–batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan

kegaiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh,

naiuk turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan

fasilitas keselamatn pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai

tempat perpindahan intra danantar moda transportasi.

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulakan (meskipun sementara) bahwa

merupakan suatu pekerjaan yang besar untuk dapat mewujudkan diterapkannya

ISPS Code (dipelabuhan), terutama di bidang dana (yang sangat tidak sedikit)

untuk membeli sarana–sarana dan peralatan yang canggih, belum lagi harus

menyiapkan petugas–petugas pengamanan yang terlatih. Sebagai informasi

honorarium FSO/ Konsultan di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya adalah Rp. 1

M. meskipun Tanjung Priok yang menjadi pelabuhan terdepan di Negara ini,

namun masih mempunyai banyak sekali kelemahan – kelemahan yang harus

ditiadakan bila mematuhi ketentuan internasional mengenai ISPS Code.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

meteri pembelajaran ke 9 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhiri

perkuliahan yang dikumas dalam beberapa pertanyaan seperti :

1. Mengapa ISPS Code dibutuhkan padahal menyangkut

keselamatan,bagi kapal dagang dan penumpang di seluruh dunia telah

diatas dalam Internasional Safety af Live at Sea ( SOLAS ) 1974?

2. Apa sanksi bila pelabuhan Indonesia dan kapal – kapal berbendara

Indonesia tidak menerapkan ISPS Code ?

3. Apa konsekuensi pelaksanaan ISPS code bagi pemerintah ?

Daftar Bacaan

Chandra Motik yusuf Djemaah, ISPS Code Diterapkan Di Pelabuhan

Perikanan Samudra Jakarta, Mungkinkah? Jurnal Hukum

Internasional, vol 2 No. 3 April 2005.

SOLAS Convention 1974

Kompas 22 Juni 2004, Halaman 15.

Page 146: Bahan Ajar

146

BAB 11 BAHAN PEMBELAJARAN 10

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa

“Mahasiswa dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar mengenai perlindungan

dan pelestarian lingkungan laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak

dicapai dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning

dengan small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;

Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit

dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:

Perlindungan dan pelestarian lingkungan diatur dalam pasal 145

UNCLOS 1982.27 Ketentuan ini memuat peraturan-peraturan pelestarian

lingkungan laut dan pencegahan pencemaran lingkungan laut. Konvensi ini

menyebutkan bahwa negara-negara berkewajiban untuk melindungi dan

memelihara lingkungan laut (pasal 192), disamping hak negara-negara

tersebut untuk mengeksplosit kekayaan alam mereka (pasal 193).

Negara-negara berkewajiban untuk mengambil segala tindakan guna

mencegah, mengurangi dan mengawasi pencemaran lingkungan laut {Pasal

194 (ayat 1)} dan harus mengambil segala tindakan yang perlu agar

perbuatan-perbuatan yang dilakukan di bawah yurisdiksinya tidak

menimbulkan polusi terhadap negara lain atau terhadap daerah di luar

yurisdiksinya {Pasal 194 (ayat 2)}.

Negara-negara harus berkewajiban secara global atau regional untuk

merumuskan aturan-aturan, standar dan praktek yang direkomendasikan

untuk melindungi lingkungan laut (Pasal 197). Negara-negara harus

27 D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, (London: Sweet & Maxwell, 1998), p.

419-455.

Page 147: Bahan Ajar

147

mengembangkan contingency plans untuk mengatasi bahaya polusi (Pasal

199) dan harus berkerjasama untuk mengembangkan penyelidikan laut untuk

dapat menilai hakikat yang sebenarnya dan polusi (Pasal 200).28

Setiap negara berkewajiban untuk membuat UU/aturan-aturan untuk

mencegah, mengurangi dan mengawasi polusi lingkungan laut dan sumber-

sumber yang berasal dan darat (Pasal 207 {ayat 1}), dan usaha-usaha

kegiatan-kegiatan di dasar laut di bawah yurisdiksinya (Pasal 208 {ayat 1}),

dan kapal-kapal atau instalasi-instalasinya yang beroperasi di dasar laut

internasional (Pasal 209), serta kejahatan dumping (Pasal 210), atau polusi

yang berasal dan kapal yang berlayar di bawah benderanya (Pasal 211).

Negara-negara juga dapat membuat aturan-aturan anti-polusi terhadap

kapal-kapal yang berlayar di laut wilayah atau ZEE-nya sesuai dengan

ketentuan-ketentuan Pasal 211. Aturan-aturan juga perlu dibuat untuk

menanggulangi polusi yang berasal dan atmosphere (Pasal 212). Negara-

negara juga berkewajiban agar kapal-kapal mematuhi ketentuan-ketentuan

antipolusi internasional dan aturan-aturan yang telah dibuatnya sesuai dengan

Konvensi Hukum Laut ini.

Beberapa gambaran apabila lingkungan yang tidak dijaga dan atau

dilestarikan, misalnya:

Banjir Floods

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

28 Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, (Bandung:

Alumni, 1982), hlm. 13-27.

Page 148: Bahan Ajar

148

•Slow down of the Gulf Stream• Melambatnya “Aliran Teluk”

Sumber: Patricia Parkinson, Perubahan Iklim dan Hukum Lingkungan Internasional, 2007.

Ketentuan-ketentuan pelestarian lingkungan laut yang telah dirumuskan

dalam KHL 1982 kemudian harus ditindaklanjuti dalam konteks pemeliharaan

dan atau konservasi laut dengan cara merumuskan kawasan konservasi laut.

Konservasi sumberdaya hayati laut merupakan salah satu implementasi

pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dan kerusakan akibat aktivitas

manusia. Kawasan konservasi ini biasanya dilindungi oleh hukum, sehingga

sering disebut pula sebagai kawasan lindung. Kawasan konservasi laut

mempunyai peranan penting dalam program konservasi sumberdaya alam di

wilayah laut. Walaupun kawasan ini cenderung lebih baru ditetapkan

dibandingkan dengan kawasan konservasi di daerah daratan, namun

dibutuhkan keahlian tertentu untuk mengidentifikasi, mendirikan, dan

mengelolanya. Hal ini karena banyaknya cabang ilmu atau departemen yang

terkait dalam pengelolaanya, dan itu harus dilakukan secara terpadu.

Mengenai keterkaitan disiplin ilmu dan konsep keterpaduan pengelolaan

tersebut dapat dilihat dan definisi kawasan konservasi laut. Definisi kawasan

konservasi laut pernah dikembangkan pada acara the 4th World Wilderness

Page 149: Bahan Ajar

149

Congress dan diadopsi oleh IUCN pada 1 7th general Assembly pada tahun

1988, yaitu sebagai berikut:

Suatu kawasan laut atau paparan subtidal, termasuk perairan yang menutupinya,flora,fauna, sisi sejarah dan budaya, yang terkait di dalamnya,dan telah dilindungi oleh hukum atau peraturan lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut.

Pemanfaatan sumberdaya alam di lingkungan konservasi laut biasanya

diatur melalui zona-zona, yang telah ditetapkan kegiatan-kegiatan yang boleh

dan tidak boleh dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti

penambangan minyak dan gas bumi, penangkapan ikan dan biota laut lain

dengan alat yang merusak lingkungan, serta perusakan lingkungannya untuk

menjamin perlindungan yang lebih baik. Kegiatan penangkap ikan dan biota

laut tersebut termasuk pula penangkapan yang berlebih, yaitu upaya

penangkapan ikan yang melebihi stok alami ikan. Berdasarkan Keppres No.

32 tahun 1990, kawasan konservasi terdiri atas: (i) kawasan yang

memberikan perlindungan kawasan bawah (hutan lindung, bergambut,

resapan air); (ii) kawasan per-lindungan setempat (sempadan pantai, sungai,

sekitar danau atau waduk, mata air); dan (iii) kawasan suaka alam dan cagar

budaya (suaka alam, hutan bakau, taman nasional, cagar budaya dan ilmu

pengetahuan).

Berkaitan dengan kawasan konservasi, ada beberapa istilah yang

selama digunakan untuk menamakan kawasan konservasi laut, di antaranya

adalah reserve, sanctuaries, park, dan lainnya. Namun yang jelas kesemua

nama atau istilah tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu penyelamatan

ekosistem sumberdaya laut. Menurut IUCN ada beberapa tujuan kawasan

konservasi atau konservasi laut, yaitu:29

1. Melindungi dan mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat

dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan

mempertahankan keanekaragaman genetik;

2. Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan species langka,

terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka;

29 Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas

Hukum Unhas, 2007, hlm. 203-205.. Lihat juga Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment, (Oxford: Clarendon, 1995), p. 490.

Page 150: Bahan Ajar

150

3. Melindungi dan mengelola kawasan yang secara nyata merupakan siklus

hidup spesis ekonomis penting;

4. Mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan

konservasi laut;

5. Memberikan kesejahteraan yang terus menerus kepada masyarakat

dengan menciptakan kawasan konservasi laut; menyelamatkan,

melindungi, dan mengelola daerah-daerah mulut sungai dan estuaria yang

mempunyai nilai sejarah dan budaya, serta nilai-nilai estetika alam, untuk

generasi sekarang dan masa yang akan datang;

6. Mempermudah dalam menginterpretasikan sistem laut dan estuaria untuk

tujuan konservasi, pendidikan, dan pariwisata;

7. Menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas

bagi aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan

estuaria;

8. Menyediakan sarana untuk penelitian dan pelatihan, dan untuk pemantauan

pengaruh aktivitas manusia terhadap lingkungan, termasuk pengaruh

langsung dan tidak langsung daripada pembangunan dan pemanfaatan

lahan di daratan.

Apabila disimak dengan cermat, maka terlihat bahwa tujuan konservasi

laut itu sangat beranekaragam. Untuk mengklarifikasi tujuan konservasi yang

beraneka ragam tersebut, maka IUCN melalui Commission on National Parks

and Protected Areas, kemudian menyusun suatu daftar pengelolaan kawasan

konservasi sesuai dengan peruntukannya, yang pada akhirnya mencerminkan

ciri atau tipe dan kawasan konservasi tersebut, yaitu:

I. Kawasan Cagar Alam, untuk tujuan perlindungan yang ketat (strict

protection).

II. Taman Nasional, untuk tujuan konservasi ekosistem dan rekreasi.

III. Monumen Alam, untuk tujuan konservasi keistimewaan alam.

IV. Kawasan Pengelolaan Habitat/Species, untuk tujuan konservasi melalui

pengelolaan yang aktif.

V. Perlindungan Bentang Alam atau Bentang Laut, untuk tujuan konsetvasi

beritang lahan/bentang laut dan rekreasi.

Page 151: Bahan Ajar

151

VI. Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam yang Terkelola, untuk tujuan

pengelolaan ekosistem alam dengan pemanfaatan yang cocok.

Keberhasilan program konservasi pada kawasan konservasi laut

terhadap penyelamatan keanekaragaman hayati laut sangat menentukan

kelangsungan pengembangan kawasan konservasi laut pada masa-masa

mendatang, sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan atau ekosistem.30

Bank Dunia melalui the Global Environmental Facility menyediakan dana

penelitian untuk mengetahui sejauh mana peran MPA (Kawasan Konservasi

Laut) dalam konservasi keanekaragaman hayati laut secara global. Apabila

program MPA cukup efektif dalam penyelamatan keanekaragaman hayati laut,

maka jumlah MPA tersebut akan dikembangkan pada masa mendatang,

namun sebaliknya mungkin program mi akan ditutup bila MPA gagal dalam

menyelamatkan keanekaragaman hayati laut di sekitarnya. Karenanya untuk

pendirian suatu MPA diperlukan rencana matang, mulai dan pemilihan lokasi,

peraturan perundangan yang berlaku, peran serta masyarakat, rencana

pengelolaan lebih lanjut, dan manfaat dan MPA tersebut, terutama ditinjau

dan aspek ekonomisnya.

Di Indonesia, sampai saat ini ada sekitar 37 kawasan konservasi laut

yang telah beroperasi. Menurut statusnya kawasan konservasi laut tersebut

dibedakan atas dua macam, yaitu (a) Suaka Alam Laut dan (b) Pelestarian

Alam Laut. Suaka alam laut terdiri atas Cagar Alam (10 lokasi) dan Suaka

Margasatwa (4 lokasi). Sedangkan Pelestarian Alam Laut terdiri atas Taman

Nasional Laut (7 lokasi), Taman Hutan Raya/Taman Wisata Alam Pantai (9

lokasi) dan Taman Wisata Alam Laut (7 lokasi). Kawasan konservasi tersebut

tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia, dengan total area

5.805.753,85 ha. Jumlah ini direncanakan akan dikembangkan sampai 30 juta

ha. Saat ini ada 14 kawasan konservasi laut lainnya yang sedang dikaji

kelayakannya. Untuk penyelamatan kawasan konservasi, khususnya

ekosistem terumbu karang, telah dilakukan pengelolaan melalui program

CORMAP (Coral Reef Management Program) dengan bantuan dana dan luar,

antara lain World Bank, Asian Development Bank. Program tersebut

30 Ibid, hlm. 208-210.

Page 152: Bahan Ajar

152

rencananya dikerjakan selama 15 tahun, yang dilakukan di 10 propinsi, yaitu

Jakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua, Nusa

Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,

Riau, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Untuk tiga tahun

pertama, ujicoba pengelolaan dikembangkan di kawasan konservasi,

Kepulauan Taka Bone Rate (Propinsi Sulawesi Selatan) dan Kepulauan

Padaido (Propinsi Irian Jaya). Aktivitas CORMAP di kedua lokasi tersebut,

baru dalam taraf mencari alternatif kemungkinan upaya penanggulangan

perusakan terumbu karang. Hasil dan studi mi diharapkan dapat

dikembangkan di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, khususnya di

kedelapan lokasi atau kawasan wilayah studi CORMAP.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran kesepuluh dilakukan dalam bentuk makalah dengan

menganalisis beberapa kasus seperti:

1. Kasus Showa Maru, 1975.

2. Kasus tumpahan minyak di perairan Natuna, 2000.

Daftar Bacaan

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),

Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.

D.J. Harris, Cases nd Materials on International Law, London: Sweet &

Maxwell, 1998.

Komar Kantaatmadja, Bunga Rampai Hukum Lingkungan Laut Internasional, Bandung: Alumni, 1982.

Patricia W. Birnie & Alan E. Boyle, International Law and the Environment,

Oxford: Clarendon, 1995.

Page 153: Bahan Ajar

153

BAB 12 BAHAN PEMBELAJARAN 11

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu X bahwa

“Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan sumber-sumber pencemaran

laut”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan

strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan small group work,

kuliah interaktif, dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;

Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 100 menit

dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan pada peserta didik.

B. Uraian:

1. Pengertian dan Sumber Pencemaran Laut

Sebelum menjelaskan tentang pengertian pencemaran secara detail,

hal menarik yang penting untuk diuraikan terlebih dahulu yaitu istilah

pencemaran pertama kali digunakan dalam studi literatur Indonesia yakni

pada seminar Biologi II di Ciawi Bogor pada tahun 1970,31 yang merupakan

terjemahan atas istilah asing “pollution”. Secara resmi, istilah pencemaran

ini digunakan dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada

tanggal 16 Agustus 1972 di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia.32

Pencemaran memiliki banyak dimensi yang melingkupinya.

Pencemaran tidak hanya diartikan dalam arti yang sempit, akan tetapi ia

memiliki makna yang luas. Secara garis besar pencemaran dalam konteks

hukum lingkungan dapat dibedakan atas pencemaran lingkungan;

pencemaran daratan, pencemaran air; pencemaran laut; pencemaran

31 Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran, (Bandung: Bina

Cipta, 1986), hlm. 30 32 Ibid.

Page 154: Bahan Ajar

154

udara; dan pencemaran angkasa. Dalam konteks ini yang menjadi fokus

pembelajaran disini yaitu pencemaran laut.

Menurut Komar Kantaatmadja33, pencemaran laut adalah masuknya ke

laut zat zat pencemaran dari lautan sendiri dan yang dibawa dan berasal

dari darat. Dalam hal ini, pencemaran laut yang bersumber dari

pencemaran laut sendiri dapat berasal dari dari:34

a. Kapal berupa pembuangan minyak yang merupakan pembuangan rutin;

berasal dari pembersihan tangki kapal; kebocoran kapal; kecelakaan

kapal yang berakibat kapal menjadi pecah, kapal menjadi kandas, dan

atau tabarakan kapal.

b. Instalasi minyak di lautan yang mungkin mengalami kebocoran atau

rusak.

Adapun pencemaran laut yang berasal dari darat dapat berupa:

a. Pencemaran melalui udara;

b. Pembuangan sampah ke laut (dumping);

c. Pembuangan air buangan sungai; dan

d. Pembuangan air buangan industri.

Pemahaman mengenai efek yang ditimbulkan dari pencemaran laut

sangatlah penting untuk diketahui oleh seluruh stakeholders. Stakeholders

pada dasarnya merupakan subyek pencemaran laut yang dalam hal ini

sebagai pelaku pencemaran laut yang secara hukum dapat dikenai dan

dimintai pertanggungjawaban dari akibat-akibat pencemaran laut.

Pemahaman tentang pengertian pencemaran laut juga penting untuk

diselaraskan. Bukan hanya memahami gambaran sumber-sumber

pencemaran laut sebagaimana telah dijelaskan di atas, tetapi lebih dari itu

pelaku pencemaran laut memahami dampak hukum yang timbul akibat

aktifitas pencemaran yang dilakukannya.35

Pencemaran laut yang dimaksudkan disini yaitu terjadinya peruban

pada lingkungan laut yang terjadi sebagai akibat dimasukkannya oleh

33 Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung:

Alumni, 1981), hlm. 14. 34 Ibid. lihat juga Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,

Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009, hlm. 24. 35 Ibid, hlm. 16.

Page 155: Bahan Ajar

155

manusia secara langsung atau tidak langsung bahan-bahan atau energi ke

dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat

yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian bagi kekayaan

hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan

di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar,

pemburukan daripada kualitas air laut dan menurunnya kualitas tempat

pemukiman dan rekreasi.36

Pengertian di atas tentunya menimbulkan perdebatan panjang

khususnya menyoal tentang pelaku pencemaran laut yang hanya

difokuskan pada aktifitas manusia. Padahal faktanya, pencemaran laut

dapat saja disebabkan oleh aktifitas alam itu sendiri, misalnya kebocoran

alami yang sering terjadi dari lapisan bumi sendiri baik dalam bentuk

minyak bumi maupun dalam bentuk mineral-mineral lain yang secara terus

menerus mengalir ke lautan (baik bersumber dari daratan maupun dari

lautan itu sendiri.37

3. Beberapa kasus yang relevan.

Kasus Newmont dan kasus Tumpahan minyak di Kepulauan Natuna

diberikan dalam bentuk powerpoint yang diekstraksi dari data yang

bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan power point dari Prof.

Daud Silalahi yang menggambarkan bagaimana kedua kasus ini terjadi

dan akibat yang timbulkannya.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran kesebelas dilakukan dalam bentuk makalah dengan

menganalisis beberapa kasus Newmont dan Kasus tumpahan minyak di

perairan Natuna,. Dalam hal ini analisisnya diletakkan pada upaya eksaminasi

atas putusan kedua kasus yang telah mendapat memperoleh kekuatan hukum

yang tetap (incraht).

36 Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya, (Bandung: Universitas Padjajaran, 1977), hlm. 5.

37 Komar Kantaatmadja, op.cit., hlm. 18.

Page 156: Bahan Ajar

156

Daftar Bacaan

Alma Manuputty, State Cooperation In Combating Transboundary Air Pollution,

Jurnal Hukum Internasional “Jurisdictionary”, Vol. V No. 1 Juni 2009

: 24.

Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, Bandung: Alumni, 1981.

Mochtar Kusumaatmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya,

Bandung: Universitas Padjajaran, 1977.

Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Pencemaran,

Bandung: Bina Cipta, 1986.

Page 157: Bahan Ajar

157

BAB 13 BAHAN PEMBELAJARAN 12 dan 13

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu ke 12 dan 13

adalah mahasiswa dapat menjelaskan pengertian harta karena serta berbagai

istilah terkait serta pengaturannya baik pengaturan internasional maupun nasional.

Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai dengan menerapkan strategi

pembelajaran berupa kuliah interaktif, studi kasus dan diskusi kelas.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta didik

yaitu partisipasi dalam diskusi, kejelasan dalam mengungkapkan pendapat dan

ketepatan dalam menguraikan teori pembelajaran akan dilaksanakan selama 100

menit untuk masing – masing pembelajaran dengan media modul bagi masing–

masing pembelajaran sebagai pengantar yang diberikan bagi peserta didik.

B. Uraian

Peraturan perundang–undangan yang ada kaitannya dengan pengangkatan

dan pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia.

Peraturan perundan –undangan yang ada kaitannya dengan penangkatan dan

pemanfaatan benda–benda berharga di dasar laut perairan Indonesia yaitu

Monument Ordonnantie STb.238 tahun 1931 dengan berbagai implementasinya

berupa instruksi–instruksi pimpinan–pimpinan kita ketahui bahwa dalam

KEPPRES Nomor 43 tahun 1981 pasal 1 yang dimaksudkan dengan benda

berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya, ekonomi dan

lainnya. Dari pengertian tersebut jelas dapat kita kaitkan dengan apa yang menjadi

kriteria dalam pasal 1 ayat (1a ) Monument Ordonnantie Stb. 238 tahun 1931

sebagaiman kami kutip di bawah ini.

“ Onder monument worden in deze ordonnantie verstaan : a. Door menschenhand tot stand gekomen ontroerende of roerrende

zaken, deelen of groepen van zaken, dan wel overblif selen daarvan, die in hoofdzaakkourder zijn dan 50 jaar of tot een ten minste 50 jaar oude stijil – periode behooren en voor de praehistorie, gescheidenis of kunst van groot belang worden geacht”;

(terjemahan bebas)

Page 158: Bahan Ajar

158

“ Yang dimaksud sebagai monumen dalam ordonnantie ini : a. Benda–benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat oleh

tangan manusia, bagian atau kelompok benda–benda dan juga sisa sisanya yang sedikit–sedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi presejarah, sejarah atau kesenian.

Apa yang dimaksud dengan monumen dalam pengertian MO tersebut di

atas biasanya ada persamaan dengan pengertian cultural heritage atau cultural

property dalam berbagai International Convention dan Recommendation misalnya

dalam “Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural

Heritage” tahun 1972, Convention on the means of Probibiting nada Preventing

the Illicit Import, Export dan Transfer of Cultural Property, Unesco, 14 Nov.1970

dan lain- lainnya. Sebagai contoh kami kutip pengertian cultural property dari

Covention yang disebut belakangan yaitu sebagai berikut :

“The term cultural property menas property which, on religious or secular ground, is specially designated by each State as being of importance for archaeology, prehistory, history, literature,art or science and wich belongs to the following categories: …….”

Pengertian – pengertian seperti monument, cultural property, cultural

heritage, peniggalan sejarah dan purbakala, kami mecoba menyebutnya juga

Cagar Budaya atau lebih tepatnya Benda Cagar Budaya. Sebutan Benda Cagar

Buadaya disesuaikan dengan apa yang dicantumkan pada pasal 14 undang–

undang Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang “ ketentuan–pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup” yang antara lain menyatakan bahwa : “ Ketentuan

tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan Undang–undang”.

Jika kita simak apa yang dimaksud benda berharga seperti kemukakan

dalam KEPPRES Nomor 43 tahun 1989 tersebut di atas dengan pengetian dari

sudut Monumenten Ordonantie Stb. 238 tahun 1931 tau konvensi–konvensi

internasioanl UNESCO, maka jelaslah bagi kita bahwa hubungan atau kaitannya

amat erat, sekali, sekali pun dalam KEPPRES tersebut ada makna yang

dikandung mempunyai nilai ekonomi. Karena sesungguhnya jika benda–benda

yang mempunyai nilai penting bagi prasejarah dan kesenian seperti dinyatakan

dalam MO, juga dinilai dengan uang jelas akan mempunyai nilai ekonomis yang

relative tinggi. Namun jika yang dimaksud berupa benda–benda logam yang tidak

mengandung nilai seni sama sekali misalnya emas balokan mungkin benda–

benda tersebut dapat dianggap hanya mempunyai nilai ekeonomi.

Page 159: Bahan Ajar

159

Jika benda–benda seperti keramik jumlahnya ribuan dan jenisnya sama

apalagi kualitasnya kurang baik mungkin contoh yang disimpan dimuseum

beberapa saja, maka sisa yang jumlahnya ribuan tersebut dapat dianggap

mempunyai nilai ekonomis bila dijual. Oleh karena itu yang penting dalam masalah

ini penilaian seksama apa yang dimaksud dengan nilai penting bagi prasejarah,

sejarah atau kesenian. Masalah ini baiklah kita bicarakan kemudian.

Permasalahan Hingga Terbit Kepres Nomor 43 Tahun 1989

Dari sejumlah pasal–pasal dan ayat–ayat dalam Monument Ordonantie

memang tidak ada satupun yang secara eksplisit dihubungkan dengan benda–

benda atau monumen yang dikaitkan dengan masalah underwater Archaeology.

Hal itu dimungkinkan bahwa apad tahun–tahun tiga puluhan belumlah ada suatu

undang–undang keterbukaan di hampir seluruh dunia mengkaitkan atau

mencantumkan masalah underwater archaeloyi atau arkeologi bawah air.

Berkembangnya underwater archaelogi baru–baru saja kira–kira tahun 1960 an.

Suatu contoh di London baru sejak tahun 1964 dibentuk suatu Committee for

Nautical Archaeology yang bertujuan mengkoordinasikan penyelam–penyelam

dengan ahli ahli purbakala daratan (land Archaeologist).

Sejak itu maka ternyata penyelam–penyelam mempunyai sumbangan yang

penting bagi dunia Arkeologi. Pada waktu itu tidak ada bandingnya badan atau

komite tersebut di Inggris, komite tersebut seringkali didengar dengan singkatan

CAN. Dibawah spronsor CAN dilaksanakan juga penyelenggaraan pendidikan

berupa kursus–kursus tentang under water archaeology di School for Nautical

Archaeology di Plymouth (SNAP) di bawah pimpinan Lt – Cmdr Alam Bax dan Mr.

Jim Gill.

Kemudian tumbuh berkembang perhatian terhadap underwater archaeology

di beberapa Negara yang sudah maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang

dan Prancis dan lain–lainnya. Kelompok yang disebut GRASP yaitu Groupe de

Recherche Archaeologique Sous Marine Post Medievale, telah melakukan

penelitian–penelitian dan penggalian–penggalian kapal–kapal dari abad 16 dan

awal abad 19 dengan maksud mendapatkan dokumen sejarah ekspansi bangsa

Eropa dilautan, termasuk eksploitasi perdagangan melalui sisa–sisa kapal–kapal

yang hilang : penelitian mengenai lambung–lambung kapal, alat–alat perang,

Page 160: Bahan Ajar

160

perabotannya, navigasi dan peralatan lainnya, barang–barang yang d ipakai

sehari hari dan muatannya. Kegiatan GRASP tersebut sejak tahun 1967 dan dapat

bantuan dari perusahaan COMEX di Marseille, dibawah Presiden Direktur

Jenderal yaitu Mr. Henry G. Delauze. GRASP telah berhasil mengangkut kapal–

kapal dagang dan kapal perang seperti Wedela, Danish Asiatic Company

tenggelam di Feltar (Shetland) 1937. Lastdrager, VOC, hilang di Yeil ( Sheland )

1653, Slotter Hooge. VOC hilang di Porto Santo ( Madeira Archipelogi )1724, Witte

Leeuw, VOC, hilang di Pulau St. Helena (South Atlantic Ocean) 1613 dan masih

banyak kapal lagi yang tidak perlu disebutkan disini.

Sementara tetap kita sebagai bangsa perlu mengembangkan ilmu

purbakala bawah air, karena tanah air kita jelas memerlukan untuk diteliti benda–

benda bersejarah apa dan kapal – kapal apa yang tenggelam dilautan kita itu, Ilmu

purbakala bahwa air amat perlu bagi mengungkapkan peristiwa–peristiwa sejarah:

pelayaran, perdagangan dan lain sebagainya yang perlu untuk melengkapi

kegelapan–kegelapan sejarah tersebut. Bahkan sejarah teknologi pembuatan

kapal–kapal pada masa kerajaan–kerajaan kita di masa lampau seperti Sriwijaya,

Majapahit, Mataram, Benten, Aceh, Goa dan lainnya akan memberikan bukti

tentang kebaharian bangsa kita.

Di samping itu pula berbicara tentang peraturan perundang–undangan yang

ada seperti Monumenten Ordonantie atau undang–undang lainnya belum secara

khusus mengatur perlindungan benda–benda berharga bawah air. Dari segi MO

yang dapat diakibatkan secara tidak langsung ada beberapa pasal misalnya pasal

6 ayat (1) dan (2) tentang pembawaan, pemindahan, pengambilan benda cagar

budaya atau monument menurut pengertian MO sedang pasal 9 hanya

menyatakan masalah penggalian yang mungkin dikaitkan apabila terjadi

penggalian didasar laut. Pasal–pasal tersebut biasanya diterapkan benda–benda

dar daratan. Demikian pula tentang penemuan benda–benda di dasar lautan

biasanya dikaitkan dengan pasal–pasal tersebut di atas.

Dengan kejadian–kejadian pencurian seperti pernah dilakukan oleh orang–

orang yang tidak bertanggung jawab, maka pemerintah merasa perlu membentuk

Panitia Nasional untuk mengurusi masalah–masalah pengangkatan benda–benda

berharga di dasar laut perairan Indonesia. Pada tanggal 14 agustus 1989 Presiden

Republik Indonesia melalui KEPRES Nomor 43 tahun 1989 menetapkan

Page 161: Bahan Ajar

161

pembentukan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfataan benda Berharga

Asal Muatan Kapal Yang Tenggelam.

Beberapa Kepmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan butir 1.2 “

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mengenai benda–benda bersejarah

yang mempunyai nilai budaya; dan pada butir (1.4) Departemen Perdagangan,

mengenai ijin ekspor dan penjualan / pelelangan benda berharga dengan

rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Butir–butir tersebut

diatas sesuai dengan peraturan perundang–undangan yaitu dengan Monumenten

Ordonantie St. 238 tahun 1931 pasal–pasal 1 ayat (1) a, masalah criteria nilai

sejarah dan pasal 6 ayat (1) tentang keharusan ada ijin atau rekomnedasi dari

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk membawa benda – benda cagar

buadaya atau “monument” keluar Indonesia sebagaimana dapat kami kutip di

bawah ini :

“ He is verboden zonder vergunning van het hootd van den oud heidkundige dienst uit Nederlandsch- Indie uit to voeren : voor werpe, welke voorlooping of difinitief in het openbaar central monumentenregister zijn geschreven of ingevolve artikel 8 lid (2), geacht worden daarin voorlooping te zijn ingeschreven, zoo mede voorwerpen, dateernde uit den voor Mohammadens chen tijd, ook al zijnzij niet in genoemd register ingeschreven”.

(Terjemahan bebas)

“ Dilarang mengeksport dari Hindia Belanda (Kini Republik Indonesia) tanpa ijin Kepala Dinas Purbakala (kini direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan sejarah Purbakala) benda–benda yang dicacat sementara atau tetap di dalam daftar monument umum pusat atau yang sesuai dengan pasal 8 ayat (2) dianggap di catat sementara maupun benda – benda yang berasal dar jaman sebelum Islam, meskipun tidak tercatat pada daftar tersebut. Mengenai perijinan pembawaan keluar negeri tersbut juga diingatkan oleh

SKB Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Central Nomor

: 27 a/ Kpb/II/1970; Nomor Kep. 62/MK/III/2/1970:Nomor : KEP.3/GBI/1970

tentang pembawaan/ pengiriaman b arang – barang keluar daerah pabean secara

bebas dari ketentuan – ketentuan Devias, terutama penegasan pasal 7. Dalam

hubungan ini sudah jelas ada kaitan erat antara Deparatemen Pendidikan dan

Kebudayaan dengan Departemen Perdagangan dan Departemen Keuangan.

Dalam hubungan dengan KEPRES No. 34 serta JUKLAK – nya maka setiap

Departemen dan Instansi masing – masing yang mempunyai peraturan

Page 162: Bahan Ajar

162

perundang–undangan yang sudah ada tetap berlaku. Karen itu terkoordinasi maka

untuk pelaksanaan JUKLAK Ketua Panitia Nasional, masing–masing Departemen

atau Instansi di haruskan membuat keputusan tentang cara pelaksanaan di

bidangnya masing–masing tetapi yang jelas harusbersifat koordinatif dan

interagtif.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam hubungan ini telah

menerbitkan surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.

9834/O/1989 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkatan Benda–benda

Berharga khususnya yang berhubungan dengan Benda Cagar Budaya di Wilayah

Perairan Indonesia. Dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

tersebut tentang penelitian Arkeologi bawah air ditegaskan bahwa ijin penelitian

arkeologi bawah air ditujukan kepada Panitia nasional tetapi dengan rekomendasi

dar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecuali untuk penelitian terhadap benda

hasil pengangkatan benda berharga dilakukan oleh suatu Tim Penilaian Benda

Cagar Budaya. Hal ini dicantumkan pada surat Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Bab IV, Pasal 4. Dengan demikian di harapakan kepentingan dunia

pengetahuan dan sejarah, arkeologi bawah air akan lebih diperhatikan.

Dengan adanya KEPRES No. 43 tahun 1989 agaknya lebih

terkoordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga

koordinasikan hal–hal atau masalah–masalah benda–benda berharga termasuk

benda–benda historis atau arkeologis itu. Namun demikian tentu masih ada

beberapa hal yang masih merupakan masalah karena dalam KEPRES No. 43

tersebut terutama bagi dunia arkeologi bawah air dan kaitannya juga dengan

peraturan perundang –undangan lainnya belum mantap betu. Suatu contoh dalam

KEPRES Pasal 1 butir b disebutkan kapal yang tenggelam adalah kapal VOC,

Portugis, Spanyol, yang tenggelam, dan kapal lain waktu perang Dunia II

tenggelam di dasar laut di Wilayah Perairan Indonesia.

Dari alinea itu masih dapat menimbulkan pertanyaan: bagaiman dengan

kapal–kapal diluar yang disebut, misalnya kapal–kapal zaman sriwijaya,

Majapahit, Mataram dan lain sebagainya ? bahkan bagaiman dengan kapal Cina

dari masa dinasti T’ang, Yuang, Ming, Ching dan sebagainya. Bagaimanakah jika

kerangka kapal–kapal yang ditetapkan tersebut tidak boleh diangkat? Padahal

untuk penelitian arkeologi bawah air bentuk–bentuk kapal diperlukan untuk

Page 163: Bahan Ajar

163

meneliti sejauh mana teknologi pembuatan perkapalan itu. Jika ditemukan sebuah

kapal dan muatannya dari zaman Sailendra atau Sriwijaya maka penting diketahui

bagaimana sebenarnya bentuk dan teknik pembuatnnya? Apakah sama dengan

apa yang terdapat pada gambaran atau relief kapal di Candi Borobudur ? hal–hal

itu semuanya kita perlukan untuk mengadakan terus menerus penelitian, dan

kesempatan adalah pada underwater archeology.

Kita sadar bahwa Wawasan Nusantara yang tidak terlepas dari masalah

kemaritiman, kelautan memerlukan penerapannya dalam bentuk atau cara antar

lain mengadakan penelitian kandungan dasar lautan kita terutama dari segi marine

archeology. Kemanfaatan yang besar bukan hanya metrinya tetapi juga dari segi

keilmuwan yang dapat menjadi dan membntuk Wawasan Kebaharian yang kuat

pada bangsa sesuai apa yang pernah dihimbau oleh Mochtar Kusumaatmadja

dalam ceramahnya “Bahan ceramah Menteri Luar negeri: Dalam

Pengimplemantasian Wawasan Nusantara” pada rapat Rektor Universitas / Instuti

Negri seluruh Indonesia tanggal 28 Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta, Beliau

berkata dalam kesimpulannya:

“ Bahwa segala unsure bagi diwujudkannya Wawasan Kesatuan Bangsa dan

Negara itu kini telah tersedia yakni : (1) Unsur kesatuan wilayah,(2) Unsur

Komunikasi,dan (3) Unsur Perencanaan. Yang harus dilakukan kini adalah

penjbaran dan pemanfataannya dari pad aide pembinaan bangsa – bangsa

berdasarkan konsepsi kesatuan di setiap bidang kehidupan Nasional.”

Apa yang dinyatakan Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja 11 tahun yang lalu

sampai dimana sudah dimplementasikan oleh kita semuanya? persoalan lain dari

segi hokum kelautan khususnya mengenai benda berharga dalam hal ini benda–

benda bersejarah belum diimplementasikan dalam bentuk perundang–undangan.

Masalah lainnya ialah bagaiman mengatur benda – benda arkeologis yang

terdapat diperairan diluar territorial kita, Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun

1982, sudah sejauh mana pelaksanannya khususnya mengenai pasal 149 benda

– benda purbakala dan bersejarah yang berbunyi :

“ semua benda – benda purbakala dan yang mempunyai nilai sejarah yang ditemukan di kawasan harus dipelihara atau digunakan untuk memanfaatkan umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dengan memperhatikan secara khusus hak – hak yang didahulukan dari negar asal kepurbakalan”.

Page 164: Bahan Ajar

164

Pasal 303, benda–benda purbakal dan benda–benda bersejarah yang

ditemukan di laut :

1. Negara –negara berkewajiban untuk melindungi benda–benda purbakala

dan bersejarah yang ditemukan dilaut dan harus bekerjasama untuk tujuan

ini.

2. Untuk mengendalikan peredaran benda–benda demikian negara pantai

dapat, dalam menerapkan pasal 33, menaggap bahwa diambilnya benda -

benda tersebut dari dasar laut dalam daerah yang dimaksudkan dalam

pasal yaitu, tanpa persetujuan Negara pantai bersangkutan merupakan

suatu pelanggran dalam wilayah atau laut teritorialnya, terhadap hokum dan

peraturan-peraturan perundang- undangan yang dimaksudkan dalam pasal

tersebut.

3. Tiada satupun dalam pasal ini mempengaruhi hak- hak para pemilik yang

dapat dikenal, hokum pengangkatan kerangka kendaraan air atau lain -lain

peraturan tentang pelayaran atau hukum dan praktek yang berkenaan

dengan pertukaran kebudayaan.

4. Pasal ini tidak mengurangi arti daripada perjanjian - perjanjian internasional

dan peraturan hukum internasional lainnya perihal perundang - undangan

benda - benda purbakala dan benda - benda bersejarah.”

Kecuali sampai sejauh mana pelaksanaannya maka sampai sejauh man pula akan

dikaitkan dengan hukum – hukum laut nasional kita. Dari uraian di atas maka

semuanya kita dapat mengambil kesimpulan pokok bahwa masalah benda– benda

berharga, baik pengambilan, penelitian, pemanfataannya terutama hubungannya

dengan perkembangan dunia arkeologi bawah air, belumlah mantap secara

tercantumkan pada perundang–undangan. Misalnya apabila masalah tersebut

dicantumkan pada stu perundang–undangan maka jelas diperlukan cantumkan

kaitannya dengan hukum–hukum yang berlaku bagi kelautan, termasuk masalah

kewenangan security. Saran kami tentunya yang utama bagaimana mengatur

tersebut dalam suatu undang – undang dan kaitannya dengan Undang – undang

lain.

Perdagangan rempah–rempah terjadi antara Nusantara dengan Eropah

yang tadinya melalui perantara pedagang Timur Tengah tidak dapat berlangsung

seperti sediakala, kerna berkecamuknya perang Salib di kawasan itu. Semenjak

Page 165: Bahan Ajar

165

itu 5 abad yang lalu para pedagang Eropah dengan Armada lautnya mengirim mis

misi dagang langsung ke sumber asalnya rempah-rempah di Nusantara. Armada

dagang yang berlayar kemabli menuju Eropah bermuatan tidak hanya rempah-

rempah, tetapi juga benda budaya dan seni dari Timur seperti hiasan emas

permata, piring dan mangkok serta jembatan terbuat dari tembikar dan porselin,

sutera dan sebagainya. Diantara armada dagang yang melaksanakan misinya itu

tidak sedikit yang terdampar dan tenggelam dan tenggelam karena ganasnya laut.

Lokasi dan penemuan kembali kapal – kapal yang tenggelam di Nusantara

ini kini hampir dapat ditentukan. Hal ini tidak lain karena hasil riset di arsip-arsip

pelbagai Negara yang juga menggunakan peralatan canggih seperti komputer.

Demikian pula halnya falan survey dan eksplorasi di laut peralatan mutakhir dan

canggih dipergunakan. Terungkaplah posisi Flor de la Mar yang tenggelam diselat

Malaka dengan barang-barang berharga di antaranya emas permata dan harta

benda lainnya dari kerajaan Malaka, salah satu hasil jarahan Portugis di kawasan

ini semasa jayanya di masa silam. Demikian pula halnya dengan peristiwa

penemuan kapal De Geldermalsen yang pemberitannya dimuat dalam waktu yang

cukup lama. Michael Hatcher sebelum mengangkat, mengambil dan menjual

benda – benda berharga dari kapal Geldermalsen telah bekerja belasan tahun

dimulai tahun 1972 di antaranya menyelenggarakan riset dimuseum dan

perpustakaan negeri Belanda.

Permasalahannya timbul setelah diketahui dan disadari potensi kekayaan

benda–benda yang terpendam di dasar laut dan di perairan Indonesia yang

tenggelam bersama kapal dagang VOC,Portugis dan Spanyol di masa silam,

jumlahnya tidak kecil. Ratusan kapal bermuatan benda–benda berharga yang

tenggelam tergelatak di dasar laut di Nusantara kita ini dan sekitarnya. Persoalan

pertama yang harus dipecahkan ialah benda – benda berharga yang dilihat dari

nilai historis, budaya, arkeologinya dan nilai ekonominya itu milik siapa.

Selanjutnya untuk dapat melakukan pengangkatannya dari dasar laut siapa yang

berwenang mengeluarkan ijin. Dan setelah diangkat, dan dijual manfaatnya untuk

siapa. Dengan demikian maka persoalan pokoknya adalah bagaimana status

hukum benda–benda berharga di dasar laut dan perairan Indonesia, dan juga

bagaiman tata cara penangkatannya.

Page 166: Bahan Ajar

166

Persoalan–persoalan tersebut tidaklah mudah di samping saling terkait juga

karena menyangkut pelbagai kepentingan baik politik, ekonomi, sosial budaya

maupun Hankam yang kaitannya tidak hanya nasional tetapi juga regional dan

internasional. Karena itu pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan

Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara, yang di dalamnya mengandung

asas persatuan kesatuan nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional

dan asas integritas wilayah nasional.

Beberapa pengertian :

a. Pengangkatan adalah kegiatan yang meliputi penelitian, survey pengangkatan

benda berharga asal muatan kapal tenggelam selama dan sebelu perang

dunia kedua serta kegeiatan lainnya sebelum pemenfaatan.

b. Pemanfaatan adalah kegiatan yang meliputi penjualan dan pemanfaatan lain

seperti penyimpanan di Museum.

c. Benda berharga adalah benda yang mempunyai nilai sejarah, budaya,

arkeologi, ekonomi, dan lainnya.

d. Laut adalah perairan yang berada dalam yurisdiksi nasional Indonesia yaitu

perairan Indonesia Indonesia, Zona Tambahan Indonesia, Zona ekonomi

Eksklusif Indonesia dan Landas Kontinen Indonesia.

Status hukum benda–benda berharga yang terdampar di dasar laut dalam

perairan Indonesia menyangkut masalah pemilikan yang terkait pula dengan lokasi

dimana benda–benda berharga tersebut dapat dilihat dar ketentuan–ketentuan

dan asas–asas hukum internasional Indonesia, dan hokum perdata Indonesia.

Demikian pula hanya dengan pemilikan kapal yang mengangkut dan kemudian

tenggelam bersama muatannya, seyogyanya ditinjau dari ketentuan–ketentuan

dan asas hukum tersebut.

Konvensi Hukum Laut Tahun 1982

Konvensi Hukum laut Tahun 1982 yang telah diratifikasi Indonesia dengan

undang – undang Nomor 17 Tahun 1985 (selanjutnya disingkat KHL 1982

menentukan bahwa kedaulatan suatu Negara kepulauan, seperti halnya dengan

Indonesia, meliputi perairan kepulauan dan laut wilayah serta dasar laut dan tanah

di bawahnya, juga udara di atasnya ( video pasal 2 dan pasal 49 KHL 1982 ). Hal

ini berarti Indonesia mempunyai wewenang yang mutlak atas benda–benda

Page 167: Bahan Ajar

167

berharga yang terpendam di dasar lautnya. Pengangkatan dan pemanfaatan

benda–benda tersebut haruslah seijin dan kerja sama dengan Indonesia.

Pernyataan mengenai status hukum benda–benda berharga yang berada di

perairan Indonesia sebagai milik Indonesia merupakan tindakan sebagai Negara

yang berdaulat terhadap sumber alam dan kekayaan lainnya yang ada di situ.

Pernyataan yang demikian, bukan hanya merupakan perwujudan pelaksanaan

kedaulatannya, tetapi juga didukung oleh ketentuan–ketentuan dan asas hukum

lainnya diuraikan di bawah nanti. Walaupun saat ini Indonesia belum secara resmi

mengumumkan adanya Zona Tambahan berupa lajur laut selebar 12 mil di luar

dan berdekatan dengan laut wilayahnya, namun dengan diratifikasinya KHL 1982

maka Zona tambahan Indonesia dianggap telah ada. Sedangkatan pengangkatan

dan pemanfataan benda–benda berharga di Zona Tambahan, seiring dengan

ketentuan Pasal 303 ayat 2 jo Pasal 33 KHL 1982, harus dengan ijin dan kerja

sama dengan Pemerintah Indonesia.

Pengangkatan benda–benda berharga tersebut dari dasar laut tanpa

persetujuan Indonesia akan merupakan pelanggaran peraturan perundang –

undangan beacukai, fiskal, imigrasi ataupun saniter di dalam wilayah ataupun laut

wilayahnya. Di Zona Tambahan Indonesia, kita mempunyai yurisdiksi eksklusif

guna melindungi kepentingan nasional dalam kebecukaian, fiskal, keimigrasian,

dan saniter. Eksplorasi dan aksploitasi dalam rangka pengangkatan dan

pemanfataan benda – benda berharga di Zona Tambahan tersebut karenanya

haruslah seijin Pemerintah RI. Kemudian dari pada itu bagaimana perlaukan

ataupun status hokum benda benda berharga di dasar laut di ZEE Indonesia

ataupun di Landas Kontinen. Bahwa benda berharga letaknya berada di dasar

laut, maka dalam kaitan ini sebaiknya rejim Landas Kontinen yang di utamakan,

bukan rejim ZEE- nya.

Di ZEE hak berdaulat Negara di pantai ditujukan guna kepentingan

eksplorasi, eksploaitasi, konservasi dan manajemen terhadap sumber daya

alamsaja, tetapi juga untuk mengeksplorasi landas kontinennya itu sendiri yang

dikaitkan dengan “ sumber daya alam” ataupun untuk kepreluan lain. Lagi pula jika

Negara pantai tidak mengeksplorasi dan tidak mengeksplotasinya, maka tidak

pihak atau seorang pun juga boleh melakukan kegiatan dimaksud di Landas

Kontinen. Sumber daya alam yang terkait dengan rejim Landas Kontinen tidak

Page 168: Bahan Ajar

168

hanya terbatas pada mineral saja tetapi meliputi sumber daya non hayati lainnya

pada dasar laut (Other non living resources of the sea bed and subsoil ) dan tanah

di bawahnya ( vide Pasal 77 KHL 1982 ).

Dalam hubungan dengan “resource” ini termasuk dalamnya pengertian

archaeological and historical objects, kata sementara penulis. Dengan demikian

termasuk benda–benda berharga di dasar laut yang diatasnya Negara pantai

mempunyai hak berdaulat. Dengan demikian pengangkatan benda–benda

berharga di Landas Kontinen Indonesia haruslah dengan persetujuan dan setidak–

tidaknya kerjasama dengan Pemerintah Indonesia. Semua Negara berkewajiban

untuk melindungi benda–benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di

manapun di temukan dan semua Negara berkewajiban untuk melindungi benda-

benda arkeologi dan sejarah yang ditemukan di laut di manapun ditemukan dan

semua Negara harus bekerja sama untuk maksud tersebut (vide pasal 303 ayat 1

KHL).

Indonesia sebagai negara yang sangat berkepentingan dalam hal ini

berkewajiban untuk mengaturnya, paling tidak dengan maksud untuk melindungi

benda – benda berharga di Landas Kontinennya. Sehubungan dengan hal ini patut

dikemukakan selama Konperensi Hukum Laut PBB – III, (Kemudian menghasilkan

KHL 1982) ialah “residual power” Negara pantai atas ZEE. Siapa yang

berwewenang mengatur hal–hal yang tidak jelas diatur dalam konvensi. Pasal 59

KHL 1982 sebagai hasil ‘Castaneda Formula”menyatakan bahwa dalam hal–hal

Konvensi Hukum Laut tidak jelas menentukan hak–hak atau yurisdiksi kepada

Warga Negara pantai atau kepada Negara lain di ZEE, maka jika kelak timbul

sengketa itu harus diselesaikan berdasrkan keadilan dan dengan pertimbangan

segala keadaan yang relevan, dengan memeprhatikan masing masing keutamaan

kepentingan pihak–pihak yang terlibat maupun masyarakat internasional

keseluruhannya. Karena ZEE dan Landas Kontinen bukan lagi merupakan bagian

dari laut yang mempunyai ketentuan – ketentuan tersendiri, maka Negara pantai

dapat menentukan ketentuan–ketentuan mengenai benda- benda berharga di ZEE

dan Landas Kontinen. Dan jika nanti ada yang mempermasalakn sah atau

tidaknya ketentuan yang ditetapkan itu, maka penyelesainnya akan dilakukan

yang ditetapkan sesuai ketentuan pasal 59.

Page 169: Bahan Ajar

169

Dengan demikian tidak ada kelirunya kita memikirkan pengaturan benda–

benda berharga di ZEE dan di Landas Kontinen sesuai dengan arah KHL 1982

(vide pasal 303 KHL 1982), minimal untuk melindunginya.

Hukum Perdata International

Hukum perdata International dalam menentukan hukum apa yang berlaku

terhadap suatu benda telah mengalami perubahan. Di masa yang lalu factor

menentukan hukum kebendaan manakah yang berlaku adalah hukum dari

letaknya benda tersebut berada (lex, situs, lexrel sitae) hanya berlaku untuk

benda bergerak (movaebles) yang berlaku adalah adagium ”mbilia personam

sequenter” (benda bergerak mengikuti status dar orang).

Namun kini sudah umum diterima baik oleh para penulis maupun praktek

hokum, bahwa kaidah “lex rei sitae” juga berlaku baik terhadap benda bergerak

maupun tak bergerak, terhadap kedua jenis benda dimaksud (movables and

Immobales) berlaku hukum kebendaan dimana benda tersebut terletak.

Hukum perdata Internasional Indonesia kini juga mengikuti asas ini,

meskipun ketentuan Pasal 17 A.B hanya memperlakukan untuk benda tak

bergerak saja. Dalam lalu lintas hukum internasional kini dan di masa datang

ketentuan seperti yang termuat dalam pasal 17 A.B telah lama ditinggalkan. Pakar

hokum Indonesia dalam hal ini menegaskan’. Diwaktu sekarang asas inipun

dipergunakan untuk benda – benda yang tak bergerak. Juga hak – hak kebendaan

(zakelyke rechten) atas benda – benda bergerak tunduk kepada hukum dimana

benda–benda itu berada’. Pemikiran kepentingan nasional dengan memperhatikan

perkembangan internasional kiranya mau tidak mau membawa kita kea rah

pemikiran dan tindakan yang demikian.

Oleh karena itu terhadap benda – benda berharga yang berada di dasar

laut dalam perairan Indonesia berlakukalah hukum kebendaan dimana benda

berharga tersebut terletak yaitu hukum Indonesia yang disesuaikan dengan rejim

hukum.

Hukum Agraria Nasional

Bahwa kewenagan mutlak Indonesia terhadap benda harga yang berada di

laut dalam perairannya diperkuat pula filsofi Hukum Agraria Nasional kita yang

Page 170: Bahan Ajar

170

dalam Penjelasan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok–pokok

Agraria antara lain menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan

kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia.dan seluruh bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung didalamnya, merupakan kekayaan nasional.

Karena itu pemilikan terhadap benda–benda, apabila dilihat dari ketentuan–

ketentuan perundang –undangan perairan nasional kita yang ada saat ini belum

secara resmi dinyatakan sebagai milik Indonesia; maka undang–undang perairan

Indonesia yang akan datang kiranya penuangnya perlu mendapat perhatian yang

sungguh – sungguh.

Hukum Perdata

Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga dasar laut dan

perairan Indonesia oleh Pemerintah Indonesia cukup pula kuatnya dasarnya.

Ketentuan–ketentuan tentang Daluwarsa dalam Bab ke Tujuh KUH Perdata

memuat ketentuan yang dapat digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan

Negara RI. Penguasaannya dari dahulu kala, terus–menerus dan dengan itikad

baik, setidak–tidaknya Indonesia telah menguasai benda–benda berharga di dasar

laut dan perairannya lebih dari 30 tahun. Penguasaannya dapat ditunjuk dengan

penguasaan perairan Indonesia. Dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jik

perairan Indonesia cukup pula kuat dasarnta. Ketentuan–ketentuan tentang

Daluwarsa dalam Bab ketujuh KUH Perdata memuat ketentuan yang dapat

digunakan untuk menguatkan dasar kepemilikan Negara RI. Penguasaannya dar

dahulu kala, terus menerus dan dengan itikad baik, setidak–tidaknya Indonesia

telah mengusai benda–benda berharga di dasar laut dan perairannya lebih dari 30

tahun. Penguasannya dapat ditunjuk dengan penguasaan perairan di Indonesia

dengan menggunakan TZMKO 1939. Dan jika perairan Indonesia dimaksud kini

sudah jauh berbeda dengan perairan pada saat lahirnya TZMKO, dihitung sejak

lahirnya Deklarasi Djuanda 1957 juga cukup alasan untuk itu.

Pemilikan Dan Penguasaan Kapal Yang Tenggelam

Demikian pula pemilikan dan penguasaan kapal yang tenggelamdi masa

silam itu atasnya berlaku pula ketentuan – ketentuan dan asas – asas yang

Page 171: Bahan Ajar

171

diuraikan dalm butir – butir 7,8,9 dan 10 diatas. Juga apabila dilihat dari segi

pewarisan penguasa di negeri ini ataupun ada pihak yang merasa mengaku

berhak atasnya, maka alasannya untuk itu adalah alasan yang mengada – ada.

Mekanisme Pengangkutan dan Pemanfaatan Benda – Benda Berharga.

Mekanisme bagaiman tata cara yang harus ditempuh guna mengangkat

dan memanfaatkan benda–benda berharga di dasar laut dalam perairan Indonesia

sudah terutang di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 43 tahun 1989 tentang

Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal MUtan

Kapal Tenggelam, kemudian diikuti Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan

dan Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam Nomor :

Kep–4 / PN/BMKT/12/1989 tentang Cara Pemberian Izin/ Security Clearance

Dalam Rangka Kegiatan Pengambilan Dan Pemanfaatan Benda – Benda

Berharga Yang Merupakan Muatan Kapal–Kapal Yang Tenggelam Dalam

Perairan Indonesia.

Bila kita simak ketentuan–ketentuan yang ada tentang tata cara

pengangkatan dan pemenfaatan benda–benda berharga dimaksud diatas berulah

benda–benda berharga di maksud di atas barula meliputi benda–benda tenggelam

di masa silam dan yang merupakan muatan kapal–kapal VOC, Spanyol, Portugal

dan dari kapal–kapal ex Perang Dunia ke II, yang telah tenggelam dalam perairan

Indonesia. Namun suatu hal yang perlu menjadi catatan bahwa keputusan–

keputusan dimaksud di atas jika kita pelajari dengan seksama bagaiman caranya

menangani masalah pengangkatan dan pemanfataan benda–benda berharga

tersebut telah melakukan pendekatan dengan menganut asas perbuatan kesatuan

nasional, asas keterpaduan, asas kepentingan nasional dan asas integritas

wilayah nasional.

Bagaimana sikap kita terhadap benda–benda berharga di Zona tambahan

Indonesia, di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/Landas Kontinen Indonesia

belumlah ada. Dari uraian di atas tadi cukup alasan bagi pemerintah RI untuk

menetapkan pengaturan pengangkatan dan pemanfaatannya, setidak – tidaknya

dalam upaya melindungi benda – benda berharga tersebut baik untuk kepentingan

Indonesia sendiri maupun kepentingan umat manusia seleuruhnya. Di Zona

tambahan jelas sudah, bahwa pengangkatan dan pengangkutan benda–benda

Page 172: Bahan Ajar

172

tersebut minimal harus seijin dan kerja sama dengan Pemerintah RI karena

pengankatan dan tentunya nanti juga pengangkutannya berada dalam yurisdiksi

RI berkaitan dengan imigrasi, fiscal, bea cukai dan sanietr sedangkan bagi benda–

benda berharga di Zona Ekonomi Eksklusif setidak–tidaknya akan menyangkut

masalah izin mengadakan riset dan survey dikawasan itu dalam upaya

eksplorasinya atau mengeksploitasnya maka tidak seorang pun dapat melakukan

kegiatan dimaksud tanpa persetujuan yang jelas tegas dari pemerintah RI ( vide

pasal 77 ayat 2 KHL 1982 ).

Pemilikan ataupun penguasaan benda–benda berharga yang terdapat di

dasar laut dalam perairan Indonesia adalah sepenuhnya di tangan Pemerintah RI

sebagai wakil Negara dan bangsa Indonesia tidak dapat dipungkiri. Tata cara

pengangkatan dan pemanfaatannya telah cukup diatur dalam Keppres RI No. 13

Tahun 1989. Keputusan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda

Berharga Asal Muatan Kapal yang tenggelam Nomor : Kep – 4 / PN/BMKT/12

1989 dan Keputusan Menhankam RI Nomor : Kep/12/VI/1989 tentang tata cara

Pemberian ijin/Security Clearance Dalam Rangka Kegiatan Pengambilam dan

Pemanfaatan benda – benda berharga di Zona Tambahan dan di Landas Kontinen

belumlah ada dan pemikirankita tidak ada kelirunya diarahkan bagi terwujudnya

pengaturan yang demikian. Pengangkatandan pemanfaatan benda – benda

berharga di Zona Tambahan harus seijin dan kerjasama dengan pemerintah RI,

yurisdiksi nasional Indonesia di Zona tambahan terkait dengan ketentuan imigrasi,

fiskal, bea cukai dan saniter. Di ZEE Indonesia/ landas Kontinen Indonesia

pengangkatan dan pemanfaatannya harus dengan ijin dan kerja sama pemerintah

RI minimal untuk perlindungannya bagi kepentingan Indonesia dan umat manusia

seluruhnya memerlukan pengaturan.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

meteri pembelajaran 12 dan 13 dilakukan dalam bentuk penulisan kuis diakhir

perkuliahan yang dikemas dalam beberapa pertanyaan, seperti :

1. Sampai sejauh mana hak Negara Republik Indonesia atas benda –

benda tersebut ?

2. Benda – benda itu milik siapa ?

Page 173: Bahan Ajar

173

3. Siapa yang berwenang mengeluarkan izin untuk melakukan

pengangkatan dari dasar laut ?

4. Manfaatnya untuk siapa ?

Daftar Bacaan

Bill ST John Wilkes, Nautical Archaelogy A Handbook. New Ton Abbot:

David & Charles, 1971.

C.L van der pijl–Ketel (editor), The Ceramic Load of the Witte Leeuw (1613),

Amsterdam: Rijkmuseum Amsterdam., Tanpa tahun.

George F. Bass, Archaelogy Beneat The Sea. Harper Colophon Books.

New York, London, 1975.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sejarah Perkembangan Hukum Laut dan Kaitannya dengan Hukum Internasional.

Mochtar Kusumaatmadja, Bahan ceramah Menteri Luar Negeri Dalam

Pengimplementasian Wawasan Nusantara”. Pada rapat kerja

Rektor Universitas /Institut Negeri Seluruh Indonesia, tanggal 28

Februari s.d 2 Maret 1979 di Jakarta.

Safri Burhanuddin, Kewenangan Derah dan Eksploitasi Sumber Daya Non Hayati ( Paper )

Uka Tjandrasasmita, Peangkatan dan Pemanfaatan Benda – Benda Purbakala di Dasar Laut Perairan Indonesia (Paper).

Uka Tjandrasasmita, Perlindungan Benda Cagar Budaya Nasional (Protection

Of National Vultural Heritage), Makalah untuk peserta Kursus

Perundang–undangan Lingkungan Hidup di Puncak,1985.

Konvensi Hukum laut PBB 1982

Keppres RI N0. 43 tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan

Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam

Beserta Implementasinya.

KEPPRES No. 43 Tahun 1989 tentang Panitia Nasional Pengangkatan dan

Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam.

Page 174: Bahan Ajar

174

BAB 14 BAHAN PEMBELAJARAN 14 dan 15

A. Sasaran Pembelajaran

Sasaran pembelajaran yang hendak dicapai pada minggu XIV dan XV

bahwa “Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian, prinsip-prinsip pengelolaan

perikanan Indonesia”. Sasaran pembelajaran dimaksud hendak dicapai

dengan menerapkan strategi pembelajaran berupa discovery learning dengan

small group work, kuliah interaktif, dan diskusi.

Adapun kriteria yang digunakan untuk mengukur kemampuan peserta

didik yaitu Kemampuan menyajikan fakta-fakta terkait perlindungan dan

pelestarian lingkungan laut; Partisipasi dalam diskusi; Kerjasama tim;

Penguasaan individu.. Pembelajaran ini akan dilaksanakan selama 200 menit

(2 kali tatap muka) dengan media modul sebagai pengantar yang diberikan

pada peserta didik.

B. Uraian

1. Desentralisasi Kelautan: Evaluasi dan Proteksi

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22/1999 (sebelum

diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda), ada dua koor yang

sangat kontras. Pertama, yang menolak pasal 3 dan pasal 10 yang mengatur

kewenangan daerah dalam pengelolaan laut. Kelompok ini dimotori HNSI,

beberapa ahli hukum laut, dan pemerintah propinsi. Argumentasi yang

mengemuka tidak jauh dari beberapa isu, khususnya seputar property right,

rezim pengelolaan sumberdaya, dan konflik nelayan. Cukup kuat anggapan

bahwa laut adalah milik negara (state property), sehingga siapapun boleh

menangkap ikan dimana saja. Tidak ada istilah laut daerah. Menurut

kelompok ini, Otonomi Daerah (Otoda) hanya akan merusak ciri laut yang

bersifat open access tersebut, serta mengganggu konsep keutuhan bangsa.

Laut adalah pemersatu dan bukan pemisah. Argumentasi lainnya, bahwa

Otda hanya membuka ruang bagi nelayan untuk mengkavling wilayahnya, dan

lalu nelayan pun punya hak untuk “mengusir” nelayan lain (exclusion rights).

Padahal, lanjut kelompok ini, ikan tidak punya “KTP”. Sehingga, anggapan

Page 175: Bahan Ajar

175

bahwa otoda hanya menyebabkan konflik nelayan pun berkembang.

Kelompok ini lalu diperkuat oleh Departemen Dalam Negeri, yang telah

menyiapkan konsep revisi UU tersebut. Isi revisinya mengakomodasi suara-

suara yang anti desentralisasi kelautan. Sementara itu, kalangan pengusaha

sebagian anti desentralisasi karena berkaitan dengan iklim investasi yang

tidak kondusif.38

Kedua, pada saat desentralisasi dihujat habis-habisan di Indonesia, di

jurnal-jurnal dan forum internasional konsep demokrasi kelautan justeru

disanjung-sanjung.Umumnya mereka berangkat dari fakta rusaknya

sumberdaya akibat sentralisasi manajemen sumberdaya kelautan.

Sentralisasi telah mengurangi sense of stewardship para nelayan dan

pemerimntah daerah terhadap lautnya. Di sisi lain, enforcement cost

pengelolaan oleh negara sangatlah tinggi, dan ternyata negara pun tak

mampu menanggung beban itu. Sementara itu, desentralisasi dianggap

memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan

sumberdaya. Sehingga, mendorong masyarakat untuk turut bertanggung

jawab terhadap keberlanjutan sumberdaya kelautan. Konsep community

based management (CBM) dan co-management merupakan turunan dari

konsep desentralisasi tersebut. Beberapa kalangan akademisi berada

dibelakang konsep ini. Sementara kalangan bupati yang juga mendukung

desentralisasi lebih disebabkan adanya “hadiah” kewenangan baru yang

cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya laut, dan belum sampai pada

sebuah kesadaran bahwa desentralisasi adalah jembatan bagi terwujudnya

keberlanjutan sumberdaya (resources sustainability). Hal ini terlihat dari

adanya kecenderungan sebagian bupati hanya mengejar pendapatan asli

daerah (PAD) dari sumberdaya laut, yang seringkali berseberangan dengan

perjuangan nelayan kecil.

Bagaimana sesungguhnya sejarah lahirnya keinginan terwujudnya

desentralisasi kelautan ini? Secara historis, sentralisasi itu memang

merupakan kecenderungan negara-negara di dunia pasca perang dunia II.

Jadi, pasca-kolonialisme banyak negara di dunai memiliki semangat baru

38 Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), Makassar: Fakultas

Hukum Unhas, 2007, hlm. 239-250.

Page 176: Bahan Ajar

176

sebagai bangsa yang merdeka yang menganggap perlu segera

menasionalisasi banyak hal, termasuk sumberdaya lautnya. Kemudian proyek

nasionalisasi ini kemudian dimanfaatkan dunia barat untuk menyukseskan

proyek modernisme,yang tidak memberikan kesempatan bagi hal-hal yang

berbau tradisional untuk berkembang. Kombinasi nasionalisasi dan

modernisasi semakin mengukuhkan peran pemerintah pusat dalam mengelola

laut, sementara masyarakat lokal dianggap tidak bisa mengelola sumberdaya

karena orang lokal dianggap tidak punya ilmu untuk itu. Ternyata ilmu

manajemen sumberdaya pun dimonopoli pusat. Jadi, kalangan yang pro

sentralisasi kelautan secara ideologis masih terperangkap ideologi

modernisme yang memang tumbuh subur selama Orde Baru.

2. Pengaturan Pengelolaan Sumber Daya Alam Perikanan39

1. Ruang Lingkup Hukum Nasional

a. Aspek pemanfaatan.

Norma hukum tentang pemanfaatan sumber daya alam perikanan,

pertama-tama harus dicari dalam UUD 1945 sebagai sumber hukum yang

berkedudukan di puncak piramida hirearki perundang-undangan,

sebagaimana diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang

Memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-

undangan. Dalam Ketetapan MPRS ini, ditentukan bentuk-bentuk dan tata

urutan perundang-undangan, sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR).

3. Undang-Undang /Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(UU/Perpu).

4. Peraturan Pemerintah (PP).

5. Keputusan Presiden (Keppres).

39 Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia. (Jakarta: Dian Pratama Printing, 2003).

Hlm. 67-83.

Page 177: Bahan Ajar

177

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Menteri dan

Instruksi Menteri.

Di dalam UUD 1945 Pasal 33, ditentukan kerangka normatif tentang

bagaimana seharusnya sumber daya alam (termasuk di dalamnya sumber

daya alam perikanan) dimanfaatkan. Terdapat tiga norma hukum yang

ditetapkan. Pertama, perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasarkan atas asas kekeluargaan. Kedua, cabang-cabang produksi yang

penting bagi negara dan yang menguasiai hajat hidup orang banyak dikuasai

oleh negara. Ketiga, negara memiliki hak menguasai atats segenap sumber

daya alam, dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketiga norma hukum tersebut, dalam penjelasan resminya diterngkan

bahwa pasal 33 mengandung dasar demokrasi ekonomi, yaitu produksi

dikerjakan oleh semua dan untuk semua di bawah pimpinan anggota-anggota

perseorangan. Karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama

berdasar atas asas kekeluargaan. Bentuk perusahaan yang sesuai dengan

karakteristik demokrasi ekonomi ini ialah koperasi.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang

Perkoperasian, koperasi dibentuk oleh sekurang-kurangnya 20 orang dengan

akta pendirian yang memuat anggaran dasar. Agar koperasi tersebut

memperoleh status badan hukum, maka akta pendiriannya harus

mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Pengesahan akta pendirian ini

diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Koperasi sebagai badan hukum dapat melakukan berbagai usaha yang

berkaitan langsung dengan kepentingan anggota. Selain itu, koperasi juga

dapat melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam, sebagaimana halnya

lembaga keuangan. Namun, kegiatan simpan pinjam ini hanya terbatas dalam

lingkungan anggota.

Dalam menjalankan kegiatan, prinsip koperasi dijalankan sebagai berikut :

1. Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;

2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis;

3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan

besarnya jasa usaha masing-masing anggota;

4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;

Page 178: Bahan Ajar

178

5. Kemandirian.

Diterangkan lebih jauh dalam penjelasan resmi pasal 33 UUD 1945

bahwa demi mengamankan demokrasi ekonomi yang bertujuan mewujudkan

kemakmuran bagi semua orang, maka cabang-cabang produksi yang penting

bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai

oleh negara. Dengan cara demikian, diharapkan tampuk produksi tidak jatuh

ke tangan orang seorang yang berkuasa, dan rakyat yang banyak ditindasnya.

Hanya, sektor-sektor yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh

ada di tangan orang-seorang

Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah

sumber-sumber kemakmuran rakyat. Karena itu, segenap sumber daya alam

tersebut harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

Berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam, UUD 1945 juga

mengatur mengenai sistem pemerintahan daerah (pasal 18). Dalam

penjelasannya disebutkan bahwa didalam wilayah Negara Indonesia terdapat

lebih kurang 250 zelfbestuterende landschappen dan volksgemeenschappen,

seperti desa di Jawa dan Bali, Negeri di Minangkabau, dusun serta marga di

Palembang. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daereah-

daerah istimewa tersbut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-

daerah istimewa tersebut, dan segala peraturan negara mengenai daerah-

daerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah yang bersangkutan.

Ketentuan sistam pemerintahan tersebut di atas, memiliki arti penting

manakala dihubungkan dengan UUPA, terutama mengenai hak ulayat. Pasal

tiga UUPA menyebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa

itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,

harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan

negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh

bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih

tinggi.

Penjelasan umum UUPA (II-3), menerangkan bahwa pengakuan hak

ulayat didasarkan pada dua pangkal pikiran. Pertama, keberadaan hak ulayat

diakui dalam hukum agraria nasional. Pengakuan ini dilatarbelakangi oleh

Page 179: Bahan Ajar

179

pengalaman masa penjajahan, yang ketika itu, meski hak ulayat nyata-nyata

ada, berlaku, dan diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim,

tetapi tidak satupun peraturan perundang-undangan mengakuinya secara

resmi. Konsekuensinya, dalam pelaksanaan hukum, hak ulayat lebih sering

diabaikan.

Pengakuan secara resmi hak ulayat dalam UUPA, mengandung makna

bahwa kepentingan masyarakat hukum yang menjadi pendukung hak ulayat

itu, akan diperhatikan. Misalnya ketika akan diberikan HGU kepada suatu

badan usaha, maka masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan

didengarkan pendapatnya dan akan diberikan recognitie sebagai tanda

pengakuan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pendukung hak ulayat.

Pangkal pikiran kedua yang melatarbelakangi pengakuan hak ulayat

dalam UUPA adalah kenyataan yang berkenaan dengan pembangunan

daerah. Selama ini (sebelum tahun 1960), pembangunan di daerah-daerah

sering terhambat karena mendapat kesukaran dari masyarakat hak ulayat.

Oleh karena itu, dengan pengaturan hak ulayat dalam UUPA, maka

masyarakat hukum adat yang menjadi pendukung hak ulayat tidak dibenarkan

menghalang-halangi pelaksanaan pembangunan sektoral, seperti pemberian

HGU. Kepentingan masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan

nasional dan negara. Namun tidak berarti kepentingan masyarakat adat

terabaikan sama sekali. Selain ketentuan hak ulayat, dalam UUPA juga masih

dijumpai beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber

daya perikanan. Pertama-tama mengenai pengertian istilah air, yang

mencakup baik perairan pedalaman maupun wilayah laut (pasal 1 ayat 5).

Kemudian diatur lebih lanjut bhwa bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai

oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Wewenang yang

bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut digunakan untuk

mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum

Indonesia. Hak menguasai dari negara ini, pelaksanaannya dapat dikuasakan

kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sesuai keperluan

(pasal 2 UUPA).

Page 180: Bahan Ajar

180

Hukum agraria berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan

negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia, serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-

undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu

dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama

(pasal 5 UUPA). Ketentuan ini mencerminkan politik hukum agraria nasional

yang meskipun bertujuan untuk menciptakan suatu kesatuan dan

kesederhanaan hukum, tetapi tetap memberi ruang hidup bagi hukum adat

yang pada kenyataannya sanga majemuk.

Karakteristik politik hukum agraria tersebut, tercermin pula dalam

berbagai pasal lainnya, seperti pasal 16 dan penjelasan umum UUPA. Di

dalam penjelasan umum (III-1), dinyatakan bahwa hukum agraria harus

sesuai dengan kesadaran hukum rakyat, dan karena rakyat sebagian besar

tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria tersebut harus didasarkan

pada hukum adat sebagai hukum asli. Namun demikian, hukum adat harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan masyarakat dalam

negara modern dan dalam hubungan negara Internasional. Hal yang terakhir

ini, penting karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari

pengaruh politik karena hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas

dari pengaruh politik dan masyarakat kolonial yang kapitalistis dan

masyarakat swapraja yang feodal.

Penjelasannya pasal 16, antara lain, menegaskan bahwa sesuai asas

yang diletakkan dalam pasal 5, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air

didasarkan pula atas sistematika hukum adat. Permasalahannya kemudian

adalah hukum adat manakah yang sesuai dengan politik hukum agraria

nasional tersebut. Untuk pernyataan ini, Seminar Hukum Adat dan

Pembangunan Hukum Nasional tahun 1975 di Yogyakarta menyimpulkan : Maka tidak ada alasan meragukan bahwa yang dimaksudkan UUPA dengan hukum adat itu adalah : hukum aslinya golongan rakyat pribumi, yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan.

Ikhwal defenisi hukum adat tersebut, perlu diberikan catatan bahwa di

berbagai daerah dijumpai hukum adat yang tertulis dalam aksara-aksara

Page 181: Bahan Ajar

181

daerah. Sebagai contoh dapat disebutkan hukum pelayaran dan perniagaan

Ammanagappa yang berlaku dikalangan saudagar dan pelaut Bugis di

Sulawesi Selatan.40

Segala usaha bersama di sektor agraria didasarkan pada kepentingan

bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau

bentuk-bentuk gotong royong lainnya. Negara dapat bersama-sama dengan

pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha di sektor agraria (pasal 12 UUPA).

Secara khusus, bahwa UUPA menyebutkan suatu bentuk hak yang

berkaitan langsung dengan masalah perikanan, yaitu HPPI (pasal 16 ayat 2b

dan pasal 47 ayat 2). Sementara itu, di dalam UU Perikanan, aspek

pemanfaatan sumber daya alam perikanan sudah lebih teknis. Beberapa

istilah akan dikemukakan sebagai berikut (pasal 1):

1. Perkanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya ikan.

2. Pengelolaan sumber daya ikan adalah semua upaya yang bertujuan agar

sumber daya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung

terus menerus.

3. Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan /

atau pembudidayaan ikan.

4. Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum

untuk menangkap atau membudidayakan ikan, termasuk kegiatan

menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.

5. Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan

di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara

apapun, termasuk kegiatanyang menggunakan kapal untuk memuat,

mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, atau

mengawetkannya.

6. Alat penangkap ikan adalah sarana dan perlengkapan atau benda-benda

lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan.

40 Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Makassar: Yayasan

Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1961.

Page 182: Bahan Ajar

182

7. Kapal perikanan adalah kapal atau perahu atau alat apung lainnya yang

dipergunakan untuk mrlakukan penangkapan ikan, termasuk untuk

melakukan survai atau eksplorasi perikanan.

8. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan

ikan.

Wilayah perikanan Indonesia meliputi (1) perarian Indonesia, (2)

sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya di dalam wilayah

Republik Indonesia, dan (3) zona ekonomi ekslusif (pasal 2 UU perikanan).

Sementara wilayah perairan Indonesia, menurut Undang-Undang Nomor. 6

Tahun 1996 tentang perairan Indonesia meliputi laut teritorial, perairan

kepulauan, dan perairan pedalaman. Laut teritorial (territorial sea) Indonesia

adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan

Indonesia. Perairan kepulauan (archipelagic waters) Indonesia adalah semua

perairan yang terletak pada sisi garis pangkal lurus kepulauan tanpa

memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Perairan pedalaman

(internal waters) Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi

darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya

semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis

penutup (pasal 3). Ketentuan-ketentuan tersebut, bersesuaian dengan

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa dalam Hukum Laut.

Selanjutnya, pengertian sungai, danau, dan waduk diatur dalam PP

Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai. Dalam PP ini, sungai didefenisikan

sebagai tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan air mulai dari mata

air sampai muara dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh

garis sempadan (pasal 1 ayat 1). Adapun danau didefenisikan sebagai bagian

dari sungai yang dalam dan kedalamannya secara alamiah jauh melebihi

ruas-ruas lain sungai yang bersangkutan (pasal 1 ayat 2). Waduk

didefenisikan sebagai wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya

bangunan sungai, dalam hal ini bangunan bendungan, dan berbentuk

pelebaran alur/badan/palung/sungai (pasal 1 ayat 3).

Rawa, sebagaimana diatur dalam PP No. 27 Tahun 1991 tentang rawa,

adalah lahan genangan air secara alamiah secara terus menerus atau

Page 183: Bahan Ajar

183

musiman akibat drainase alamiah yang trerhambat serta mempunyai ciri-ciri

khusus secara fisik, kimiawi, dan biologis (pasal ayat 1).

Zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) diatur secara khusus dalam

undang-undang No.5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Dalam undang-undang ini,

disebutkan bahwa ZEEI adalah jalur diluar dan berbatasan dengan laut

wilayah Indonesia, yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air

diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut

wilayah Indonesia (pasal 2).

Setiap usaha perikanan di wilayah perikanan Indonesia, hanya boleh

dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum

Indonesia. Pengecualian terhadap ketentuan ini hanya dapat diberikan dalam

bidang penangkapan ikan, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban

negara Republik Indonesia berdasarkan ketentuan persetujuan internasional

atau hukum internasional yang berlaku (pasal 9 UU Perikanan).

Masih berkaitan dengan aspek pemanfaatan sumber daya alam

perikanan, dalam undang-undang Penataan Ruang, terdapat beberapa

ketentuan yang relevan. Diantaranya, mengenai pembagian kawasan, yang

segi fungsi utamanya dibagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budi

daya.

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi

utama melindungi kelestarian lingkungan hidup, yang mencakup sumber daya

alam dan sumber daya buatan (pasal 1 ayat 7), sedangkan kawasan budidaya

adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan

atas dasar kondisi atau potensi sumber daya alam, sumber daya manusia,

sumber daya buatan (pasal 1 ayat 8).

Pemanfaatan ruang harus selalu mengikuti rencana tata ruangyang

telah ditetapkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah

(Pasal 15; Pasal 19-23). Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan

rencana tata ruang, dinyatakan batal oleh instansi yang memberikan izin

tersebut. Apabila izin itu diperoleh dengan itikad baik, maka terhadap kerugian

yang timbul akibat pembatalan izin tersebut, dapat dimintakan penggantian

yang layak (Pasal 26).

Page 184: Bahan Ajar

184

Khusus wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, maka kewenangan

eksplorasi dan eksploitasi berada di tangan pemerintah daerah. Pada tingkat

daerah, kewenangan itu dibagi lagi, yakni sepertiga dari luas wilayah menjadi

kewenangan daerah kabupaten atau daerah kota dan duapertiga sisanya

merupakan kewenangan daerah provinsi (Pasal 10 UU Pemerintahan

Daerah). Bahkan, di dalam PP Nomor 25 Tahun 2000 telah diatur secara lebih

spesifik bahwa kewenangan pemerintah pusat terbatas pada aspek-aspek

kelautan diluar 12 mil (Pasal 2 ayat (3) butir 2).

Untuk tidak mengulangi kesalahan pelaksanaan otonomi daerah masa

lalu, yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam UU

Pemerintahan Daerah ini, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan

daerah kota didasarkan pada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi

yang luas, nyata, dan bertanggung jawab (Penjelasan Umum 1 butir h).

Dijelaskan pula bahwa dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, maka

kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintah

pusat menjadi kewenangan daerah (Penjelasan Umum 8 butir 2). Penjelasan

ini memiliki implikasi bagi pelaksanaan perimbangan keuangan antara

pemerintah pusat dan daerah.

Di dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah, disebutkan bahwa sumber-sumber

penerimaan daerah dalam pepelaksanaan desentralisasi adalah :

1. Pendapatan asli daerah;

2. Dana perimbangan;

3. Pinjaman daerah;

4. Lain-lain penerimaan yang sah (Pasal 3).

Berkaitan dengan pengelolaan laut sejauh 12 mil, maka dapat

ditafsirkan bahwa seluruh penerimaan keuangan dari sumber daya alam

tersebut merupakan pendapatan asli daerah. Sementara itu, penerimaan

negara yang bersumber dari pengelolaan laut di luar 12 mil, sejauh

menyangkut sektor perikanan, dibagi dengan imbangan 20 % untuk

pemerintah pusat dan 80 % untuk daerah (Pasal 6 ayat 5). Dijelaskan lebih

lanjut bahwa 80 % dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil

Page 185: Bahan Ajar

185

perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota di

Indonesia (Penjelasan Pasal 6 ayat (5) butir c).

b. Aspek konservasi.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai konservasi sumber daya

alam, termasuk sumber daya alam perikanan, dapat ditemukan dalam

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan perlindungan

Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Di dalam UUPLH ini,

diatur kerangka dan arah kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, yang

penjabarannya masih memerlukan peraturan perundang-undangan lebih

rendah. Sesuai dengan keperluan, maka beberapa aspek yang diatur dalam

UUPPLH tersebut, seperti konsep-konsep yang digunakan, kelembagaan dan

kewenangannya serta mekanisme penyelesaian sengketa yang muncul, akan

diberi perhatian khusus. Pertama-tama diawali dengan penjelasan beberapa

konsep yang relevan, sebagai berikut :

1. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk

melestarikan fungsi lingkungan hidup, yang meliputi kebijaksanaan

penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,

pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2).

2. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup

adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan

hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk

menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi

masa kini dan generasi masa depan (Pasal 1 angka 3).

3. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan

kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam

membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan

hidup (Pasal 1 angka 4).

4. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas

sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun

nonhayati, dan sumber daya buatan (Pasal 1 angka 10).

5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau

dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain

Page 186: Bahan Ajar

186

ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu, yang menyebabkan

lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan

peruntukannya (Pasal 1 angka 12).

6. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan

perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau

hayatinya, yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi

dalam menunjang pembangunan berkelanjutan (Pasal 1 angka 14).

7. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya

alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara

bijaksana, serta sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin

kesinambungan ketersediaannya, dengan tetap memelihara dan

meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya (Pasal1

angka 15).

8. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka

16).

9. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk

atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, yang

tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup (Pasal 1 angka

22).

Ikhwal kelembagaan dan kewenangannya dalam pengelolaan

lingkungan hidup, dalam UUPPLH ditentukan bahwa segenap sumber daya

yang merupakan unsur lingkungan hidup dikelola oleh pemerintah sebagai

institusi yang mewakili negara. Untuk melaksanakan ketentuan ini, pemerintah

menetapkan kebijaksanaan yang berhubungan dengan pengelolaan

lingkungan hidup. Di dalam pasal 8 ayat (2) dirinci kebijaksanaan yang dapat

diambil pemerintah, sebagai berikut.

1. Mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka

pengelolaan lingkungan hidup.

2. Mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan

lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,

termasuk sumber daya genetika.

Page 187: Bahan Ajar

187

3. Mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang

dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap

sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya

genetika.

4. Mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial.

5. Mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi

lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Segenap kebijaksanaan yang akan ditetapkan pemerintah, harus

memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat. Pelaksanaan kebijaksanaan yang sudah ditetapkan, pada

tingkat nasional di-koordinasikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan

melibatkan instansi pemerintah terkait, masyarakat, serta pelaku

pembangunan lainnya (Pasal 9 ayat 1 dan 2).

Kewenangan pemerintah pusat tersebut, dapat dilimpahakan-sesuai

dengan keperluannya-kepada perangkat pemerintahan di bawahnya. Dapat

juga mengikutsertakan peran pemerintah daerah untuk membantu pemerintah

pusat dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 12). Selain

itu, pemerintah pusat dimungkinkan pula menyerahkan sebagian urusan

pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup kepada pemerintah daerah (Pasal

13).

Untuk menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka setiap

usaha atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup (Pasal 14). Bahkan, bagi usaha dan kegiatan

yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan

hidup (Pasal 15). Demikian juga, setiap penanggung jawab usaha atau

kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah, bahan berbahaya, atau

beracun hasil dari usaha atau kegiatannya (Pasal 16 dan 17).

Efektifitas kewajiban dan tanggung jawab tersebut di atas, diupayakan

melalui lekanisme perizinan, pengawasan, penjatuhan sanksi dan audit

lingkungan hidup (Pasal 18-29). Apabila terjadi sengketa lingkungan hidup,

penyelesaiannya dapat dilakukan di luar pengadilan dan melalui pengadilan

(Pasal 30).

Page 188: Bahan Ajar

188

UUPLH kemudian dijabarkan lebih lanjut, antara lain melalui Keputusan

Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

Meskipun Keppres ini semula dimaksudkan sebagai pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup-yang dibatalkan berdasarkan Pasal 51

UUPLH-tetapi melalui ketentuan penutup (Pasal 50) UUPLH, Keppres ini

secara yuridis tetap berlaku.

Di dalam Keppres tersebut di atas, diatur kriteria tertantu sehingga

suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan lindung, yaitu kawasan yang

ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup.

Berkaitan dengan sumber daya alam perikanan, terdapat beberapa jenis

kawasan lindung yang ditentukan dalam Keppres ini, diantaranya, sempadan

pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, kawasan suaka

alam laut dan perairan lainnya, serta kawasan pantai berhutan bakau (Pasal 5

dan 6).

Perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi

wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai.

Adapun kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang

lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai minimal 100 meter

dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 13 dan 14).

Dengan fungsi yang sama, ditetapkan pula dua kriteria sempadan

sungai, yakni (Pasal 16):

1. sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50

meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar permukiman;

2. untuk sungai yang berada di kawasan permukiman, sempadan

sungai diperkirakan antara 10-15 meter.

Untuk kawasan sekitar danau/waduk, kawasan lindungnya ditentukan

antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 18).

Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya didasarkan pada kriteria

keunikan kawasan tersebut berupa keragaman dan/atau keunikan

ekosistemnya (Pasal 25).

Mengenai penyelesaian sengketa lingkungan, di dalam UUPPLH

diambil pendekatan lain, yaitu dibuka kesempatan menyelesaikan sengketa

Page 189: Bahan Ajar

189

lingkungan di luar pengadilan. Pendekatan baru ini dilatarbelakangi oleh

kenyataan, betapa sulitnya penyelesaian sengketa lingkungan melalui

prosedur yang dimungkinkan khususnya sebagaimana dicantumkan di dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982, yaitu upaya mencapai kata sepakat

antara pihak penderita, pencemar, dan pihak pemerintah (tripihak).

Penjelasan Pasal 32 UUPPLH, menyatakan bahwa untuk

memperlancar jalannya perundingan di luar pengadilan, para pihak yang

berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral dengan dua bentuk

pilihan, yakni pihak ketiga netral yang berwenang mengambil keputusan dan

pihak ketiga netral yang tidak berwenang mengambil keputusan. Upaya

penyelesaian sengketa lingkungan hidup, yang disebut mediasi ini, mulai

dikembangkan di Amerika Serikat pada permulaan tahun 1970-an.

Selanjutnya, mengenai konservasi sumber daya alam hayati, telah

diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Konservasi sumber daya alam

hayati diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam hayati yang

pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan

persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas

keanekaragaman dan nilainya. Sementara itu, ekosistem sumber daya alam

hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik

hayati maupun nonhayati, yang saling tergantung dan tergantung dan

pengaruh mempengaruhinya (Pasal 1).

Untuk kepentingan konservasi sumber daya alam perikanan,

khususnya perikanan laut, pada tahun 1985, pemerintah mengeluarkan

kebijaksanaan tentang total allowance catch (TAC) yaitu total sumber daya

ikan yang diperbolehkan untuk dieksploitasi. Melalui Surat Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 473a/1985, pemerintah menetapkan TAC di ZEE Indonesia.

Selain itu, pada tahun 1997 Menteri Negara Lingkungan Hidup menerbitkan

dokumen Agenda 21 Indonesia, yang di dalamnya termuat MSY sebagai

acuan bagi kegiatan masyarakat. Tabel 6 memberikan gambaran

perbandingan antara MSY dan TAC yang berlaku di ZEE Indonesia. Tabel 1. Perbandingan antara MSY dan TAC di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia

Jenis MSY TAC

Page 190: Bahan Ajar

190

Sumber: Data MSY bersumber dari Agenda 21 Indonesia; data TAC dari SK Mentari No. 473a/1985.

Untuk kepentingan pemanfaatan sumber daya laut yang

berkesinambungan, maka di dalam agenda 21 Indonesia diusulkan rencana

kegiatan periode 1998-2003 dan periode 2003-2020. Pada periode 1998-

2003, antara lain, diagendakan untuk mengkaji ulang MSY ikan tuna,

cakalang, ikan demersal, dan udang di wilayah pesisir dan lautan dalam

wilayah ZEE di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia, Laut Banda, Laut

Sulawesi, Laut Timor, dan Laut Arafura. Pada periode 2003-2020, penelitian

diperluas untuk menetapkan MSY di wilayah pesisir dan lautan di seluruh

Indonesia bagian Barat dan Timur, terutama bagi ikan tuna, cakalang, ikan

demersal, udang, dan spesies-spesies lain yang secara lokal penting.

4. Konsep Hukum Perikanan

Pada saat ini pengelolaan sumber daya ikan tunduk pada domain

Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan (selanjutnya

disingkat UUP), yag merupakan acuan bagian peraturan teknis perikanan.

Salahsatu pertimbangan disusunnya UUP bahwa pengelolaan sumber daya

ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan

dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja

dan peningkatan hidup nelayan, pembudidayaan ikan, dan/atau pihak-pihak

yang terkait dengan kegiatan perikanan dan bahwa kelestarian sumber daya

ikan dan lingkungan perlu dibina.41 Pertimbangan yang melatarbelakangi UUP

dibuat sebagaimana disebutkan di atas, tentunya tetap mendasarkan

argumentasi pada fakta sosiologis bahwa wilayah hukum perikanan Indonesia

41 Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional, (Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2010), hlm. 23-24.

Ikan (ton/tahun) (ton/tahun) Tuna 87.123 75.915 Cakalang 100.225 88.884

Pelagis kecil 1.462.000 1.115.73

1 Demersal 653.432 582.731 Udang 21000

Total 2.323.780 1.863.26

1

Page 191: Bahan Ajar

191

meliputi perairan nasional, mulai dari laut tertorial, laut, pedalaman, laut

kepulauan, sampai wilayah laut ZEEI.42

Dalam konteks UUP, pemanfaatan sumber daya ikan merupakan hak-

hak tiap warga negara, sebagaimana diamantkan dalam Pasal 27 UUD 1945

yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Oleh karena itu, pemanfaatan

sumber daya ikan dapat dilakukan oleh siapa saja sepanjang ia tunduk dan

mematuhi norma dan atau kaidah sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi

Republik Indonesia dan UUP.43

Seorang nelayan dapat menggunakan haknya untuk menangkap ikan

sebagai mata pencahariannya, akan tetapi dalam melaksanakan haknya,

nelayan tersebut wajib memperhatikan aspek-aspek kelestarian dari sumber

daya ikan yaitu melakukan penangkapan ikan yang tidak merusak lingkungan

abiotik dan biotik lainnya. Apabila kewajibannya dilanggar maka nelayan akan

mendapatkan sanksi hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang

mengatur.44

Dalam konteks yang lebih umum kemudian, Pasal UUP menyatakan

bahwa “pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan

pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan

lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat”. Pasal ini dimaksudkan

untuk memberian guideline kepada pemerintah sebagai penyelenggara

pemerintahan agar dalam pengelolaan, manajemen, dan regulasi, keberadaan

masyarakat lokal dengan kearifannya tentap mendapat pengakuan.45

5. Hak Penggunaan Wilayah untuk Perikanan 1. Peluang dan Tantangan

Situasi terkuncinya sumber daya alam perikanan, khususnya di

daerah perikanan tropis, telah dibahas oleh Smith (1979), Troadec (1981),

dan Panayotou (1982). Semuanya mengusulkan jalan keluar berupa

kontrol atas akses dan penggunaan sumber daya. Hak penggunaan

42 Sudirman Saad, loc.cit. 43 Marhaeni Ria Siombo, op.cit, hlm. 28. 44 Ibid, hlm. 29. 45 Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar), (Makassar: Fakultas

Hukum Unhas, 2007), hlm. 242.

Page 192: Bahan Ajar

192

wilayah untuk perikanan (HPWP)- yang merupakan terjemahan dari

territorial use rights in fisheries (TURFs)-adalah solusi konkret yang

disarankan oleh kalangan ahli perikanan, sesudah pengelolaan sumber

daya alam perikanan di bawah rezim ”milik bersama” atau ”keterbukaan

akses” terbukti, mengalami berbagai kegagalan. Setidaknya, saran yang

demikian itu tercermin dalam tulisan-tulisan Christy (1982), Smith dan

Panayotou (1984), serta Delmendo (1993).

Paling sedikit, terdapat empat akibat nyata yang timbul dari situasi

”milik bersama”.46 Pertama, keadaan ”milik bersama” telah merangsang

bangkitnya naluri serakah para nelayan sehingga tidak seorang pun di

antara mereka bersedia membatasi hasil tangkapannya demi tujuan-tujuan

yang lebih besar, seperti untuk kelestarian sumber daya alam. Dalam

benak mereka, berapa pun yang disisakannya hari ini dalam rangka

tujuan-tujuan jangka panjang tersebut, akan ditangkap oleh nelayan lain

pada hari itu juga. Persediaan sumer daya alam perikanan, dengan

demikian, cenderung untuk digunakan hingga melampaui titik hasil lestari

maksimum (MSY). Bahkan, kerapkali melampaui titik keseimbangan akses

terbuka (open-access equilibrium).

Kedua, akibat tidak ada pembatasan keikutsertaan (modal dan

tenaga kerja) dalam sistem pengelolaan di bawah rezim ”milik bersama”,

maka pemborosan dalam artiekonomis tak terhindarkan. Di berbagai

tempat terjadi kecenderungan investasi yang lebih besar daripada yang

sesungguhnya dibutuhkan. Jumlah ikan yang sama atau bahkan lebih

banyak sebenarnya dapat ditangkap dengan investasi yang lebih kecil

daripada yang telah ditanam secara nyata. Dalam bahasa manajemen

dikatakan, upaya yang dilakukan telah melampaui titik hasil ekonomi

maksimal (MEY).

Ketiga, dampak dari pemborosan investasi telah menyebabkan

pendapatan rata-rata nelayan kecil berada pada atau di sekitar titik

terendah. Kemiskinan nelayan ini, memang tidak semata-mata sebagai

akibat dari manajemen sumber daya alam perikanan berbasis ”milik

46 Christy dalam Abdul Rasal Rauf, hlm. 265. 43. ibid.

Page 193: Bahan Ajar

193

bersama”. Ada faktor lain yang juga memberi kontribusi terhadap keadaan

tersebut, seperti faktor sosial dan kultural. Namun, sekiranya ke-

ikutsertaan dalam perikanan itu dibatasi dengan menghilangkan keadaan

”milik bersama”, maka akan diperoleh suatu bunga ekonomi (economic

rent) atau bunga sumber daya (resource rent). Bunga ekonomi ini-yang

merupakan selisih antara penerimaan total (total revenues) dan biaya total

(total costs)-akan dibagi di antara nelayan sehingga pendapatan mereka

meningkat.

Keempat, rezim ”milik bersama” juga telah menyebabkan pertikaian

di antara nelayan. Pertikaian itu berwujud dalam berbagai bentuk, yaitu (1)

antara nelayan yang menangkap jenis ikan yang sama dan menggunakan

alat tangkap yang sama pula, (2) antara nelayan yang menangkap jenis

ikan yang tidak sama, tetapi menggunakan alat tangkap yang sama,

seperti antara nelayan kecil dengan nelayan besar, dan (3) anatara

nelayan yang menangkap jenis ikan dan menggunakan alat tangkap yang

tidak sama, tetapi melakukan kegiatan penangkapan di daerah yang sama,

seperti antara nelayan pukat harimau yang bergerak (mobile trawlers)

dengan nelayan jaring menetap (fixed nets) atau perangkap (pots).47

Satu-satunya akibat positif dari manajemen perikanan yang berbasis

”milik bersama”, adalah dapat menyediakan kesempatan kerja ketika

alternatif pekerjaan di sektor lain sudah tertutup sama sekali. Namun,

keuntungan ini hanya bersifat jangka pendek sebab begitu kesempatan

kerja di sektor lain terbuka kembali, mereka akan meninggalkan sektor

perikanan.

Keadaan buruk yang ditimbulkan manajemen perikanan berbasis

”milik bersama” inilah yang merupakan latar belakang ditawarkannya

HPWP sebagai solusi yang patut dipertimbangkan dengan sunguh-

sungguh. Perdebatan yang kemudian mengemuka di kalangan ahli

perikanan, ialah bagaimana HPWP itu dilembagakan dalam perundang-

undangan yang akan mengikat semua orang. Dalam konteks ini, sedikitnya

dua persoalan hukum sangat relevan, yakni siapa subjek dan bagaimana

bentuk-bentuk haknya.

47 Ibid. hlm. 266.

Page 194: Bahan Ajar

194

Sepanjang penelusuran kepustakaan yang telah dilakukan, belum

satupun ahli hukum yang menaruh perhatian serius berkaitan dengan

persoalan tersebut di atas. Gagasan-gagasan yang berkembang saat ini,

umumnya, datang dari para ahli sosial ekonomi perikanan sehingga

penggunaan terminologi hukum yang ditawarkan, sering kurang cermat

dan tidak konsisten. Hal ini secara terus terang diakui oleh mereka, seperti

tercermin dalam kutipan berikut :

This discussion of the rights distinguishes TURFs from common property proceeds from an economic point of view. That is, the rights that are mentioned are those that are considered necessary to achieve economic efficiency. The author is fully aware that the discussion maybe legally faulty and has deficiencies but hopes that the faults and deficiencies will provoke legal scholars to address the problem of providing property rights to the users of marine fisheries.48

Penjelasan-penjelasan selanjutnya, akan menunjukkan bahwa

intervensi ahli hukum dalam upaya merumuskan aspek hukum dan

kelembagaan dari sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya

alam perikanan, kini tidak dapat ditunda lagi. Keterlibatan ahli hukum

diharapkan bermakna jamak. Di satu pihak, formulasi hukum yang akan

dirumuskan tentu lebih komprehensif sehingga besar kemungkinan akan

memberikan kepastian hukum bagi pelaku dan pengguna sumber daya

alam perikanan. Di pihak lain, dengan aturan yang pasti, ekonomi

perikanan akan semakin bergairah, terutama karena arus investasi dan

modal akan meningkat serta menyebar secara adil kepada segenap

pelaku dan pengguna sumber daya alam perikanan.

Namun demikian, penegakan HPWP bukannya tanpa kesukaran,

baik dari segi ekonomi maupun dari segi karakteristik biologis sumber daya

alam perikanan. Secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi hambatan

dalam upaya penegakan sistem HPWP.

Pertama, dari segi ekonomi umumnya dikatakan bahwa kesukaran

untuk memberlakukan HPWP karena biaya (costs) untuk memperoleh dan

mempertahankannya lebih besar daripada kegunaan (benefits) yang

diperoleh. Keadaan ini berlaku, jika biaya dan kegunaan semata-mata

48 Ibid. hlm. 268

Page 195: Bahan Ajar

195

didekati secara ekonomi. Keadaannya mungkin akan lain sama sekali

apabila aspek sosial, politik, dan kultural dapat diperhitungkan. Sistem

konsesi penangkapan bibit ikan (milkfish) yang diterapkan di beberapa

profinsi di Filipina, telah terbukti menaikkan tingkat efisiensi ekonomi

penggunaan sumber daya sekaligus memberikan kontribusi berarti

terhadap peningkatan pendapatan daerah setempat.

Kedua, dari sisi karakter sumber daya alam perikanan yang

berpindah-pindah (fugitive resources). Tidak ada suatu negara, kelompok

masyarakat, dan perorangan yang mampu mencegah orang untuk

menggunakan persediaan suatu kelompok ikan yang berenang sejauh

beribu-ribu mil, seperti beberapa jenis ikan tuna. Tentu saja, faktor ini

hanya berlaku terhadap sumber daya alam perikanan yang bergerak

sehingga peluang penerapan HPWP masih tetap terbuka bagi sumber

daya alam perikanan yang relatif menetap, seperti beberapa jenis ikan

karang atau rumput laut.

Ketiga, faktor kepentingan negara Atlantik Utara untuk

mempertahankan konsep ”milik bersama”. Secara historis, konsep ”milik

bersama” merupakan tradisi yang tumbuh dari kebudayaan Atlantik Utara.

Dalam doktrin masyarakat Atlantik Utara, siapa pun mempunyai hak-

kerapkali bahkan diklaim sebagai hak asasi-untuk menangkap ikan di

mana saja yang disukainya, dan karena itu tidak boleh dibatalkan dengan

cara pengaturan, seperti pembatasan keikutsertaan atau kuota nelayan.

Tradisi ini, niscaya mempengaruhi para penasihat perikanan dari negara-

negara Atlantik Utara untuk memberi dorongan supaya mengabaikan

sistem hak-hak khusus yang mereka ketahui ada di negara-negara

berkembang.

Sementara itu, dari sisi hukum, hambatan penegakan HPWP

diperkirakan bersumber dari persepsi masyarakat, khususnya pihak-pihak

yang memiliki otoritas dalam proses produksi hukum, yang masih dominan

melihat sumber daya laut sebagai aset ”milik bersama”. Hambatan yang

lain, bersumber dari prosedur produksi dan subtansi hukum. Prosedur

perancangan dan pembahasan produk hukum, khususnya UU dan PP,

belum membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Demikian

Page 196: Bahan Ajar

196

pula, hingga kini belum ada satu produk hukum pun yang mengatur

mengenai HPWP, baik secara implisit maupun eksplisit.

2. Ruang lingkup HPWP

HPWP hingga tahap tertentu menghilangkan keadaan ”milik

bersama”. Namun, HPWP tidaklah menyangkut pemilikan sumber daya

alam (ownership of the resource), melainkan pemilikan suatu haka

penggunaan (ownership of a right of use).

Merumuskan ruang lingkup HPWP, bukan pekerjaan mudah karena

sifat laut yang bermatra tiga dan cairnya perantara dan sumber dayanya.

Juga terdapat kesukaran membuat generalisasi, mengingat tanggapan

budaya yang berbeda-beda mengenai pemilika pada masyarakat yang

berlainan. Akan tetapi, pada tarap permulaan, beberapa jenis hak tertentu

perlu diberlakukan agar HPWP berhasil guna.

Hak-hak tertentu tersebut adalah hak untuk menghalangi atau

mengawasi keikutsertaan orang lain dalam wilayah HPWP. Hak lainnya

ialah kewenangan menetapkan banyaknya dan jenis penggunaan sumber

daya alam dalam wilayah HPWP. Hak yang lainnya lagi ialah hak untuk

mengambil kegunaan (benefits) dari pemanfaatan sumber daya alam

dalam wilayah HPWP. Kegunaan tersebut, dapat diambil melalui penarikan

pungutan dari pengguna sumber daya alam, atau melalui persewaan atau

penjualan hak-hak itu.

Wilayah yang tercakup dalam suatu HPWP, dapat mengenai

permukaan, dasar, atau seluruh lajur air pada suatu daerah tertentu. Luas

wilayah berbeda menurut jenis sumber daya alam yang dimanfaatkan dan

sifat-sifat geografisnya. Sumber daya alam itu harus cukup besar sehingga

penggunaan di luar wilayah itu tidak mengurangi secara nyata nilai

penggunaan di dalam wilayah HPWP. Wilayah itu hendaknya dengan

mudah dapat dipertahankan dan dilindungi oleh hukum serta kelembagaan

negara. Oleh karena itu, batas-batas wilayah HPWP harus diberi tanda

yang jelas dan mudah dikenali.

Elemen HPWP tersebut, tidak perlu berarti bahwa wilayah itu harus

mencakup seluruh persediaan ikan sepanjang gerakan migrasinya. Suatu

Page 197: Bahan Ajar

197

HPWP bersifat khusus untuk tempatnya. Misalnya, suatu wilayah yang

ditempati memasang alat pengumpul ikan, dapat menjadi dasar HPWP

yang berhasil guna, walaupun wilayah itu hanya meliputi beberapa mil

persegi saja untuk persediaan ikan yangberenang dalam daerah ribuan

mil. Demikian pula, hak menggunakan jaring pantai dapat merupakan

dasar bagi HPWP yang berhasil guna, walaupun jaring tersebut dipakai

untuk menangkap persediaan ikan pelagis yang bermigrasi sepanjang

pesisir. Unsur penting disini bukanlah tingkat wilayah cakupan dari

persediaan sumber daya alam perikanan (the degree of conslure of the

stock), tetapi tingkat terdapatnya nilai yang berkaitan di wilayah itu (the

degree to which there is a value associated with the territory).

Terdapat sejumlah keadaan penting yang berkaitan erat dengan

upaya pembentukan dan pemeliharaan HPWP, yaitu sifat sumber daya

alam, penentuan batas-batas, teknologi yang digunakan, faktor

kebudayaan, distribusi kekayaan, serta sistem pemerintahan dan institusi

hukum.

Pertama, sifat sumber daya alam perikanan. Ada beberapa sifat

sumber daya alam yang mempunyai pengaruh terhadap efektifitas

potensial dan nyata dari HPWP. Jenis ikan yang menetap dapat dengan

mudah dijadikan pokok pembentukan HPWP. Demikian pula, terhadap

jenis ikan yang dapat dipelihara pada tempat tertutup, seperti kurungan

ikan dan keramba. Jenis ikan lainnya yang memudahkan pembentukan

dan pemeliharaan HPWP ialah jenis ikan yang tertarik pada sarana buatan

dan berkumpul di sekitarnya, serta jenis ikan yang memijah ke hulu sungai

(anadromous) dan ke hilir (catadromous), seperti ikan salem dan sidat

yang bermigrasi ke air tawar.

Pembentukan dan pemeliharaan HPWP memang akan mengalami

kesulitan terhadap jenis-jenis ikan lainnya, tetapi kemungkinannya belum

tertutup sama sekali. Dengan sistem pengawasan melalui suatu kerjasama

di antara pemilik-pemilik HPWP yang bertetangga, peluang itu menjadi

mungkin. Umpamanya, jenis ikan yang bermigrasi sepanjang suatu garis

pantai dapat menjadi dasar pembentukan dan pemeliharaan HPWP,

melalui cara kerja sama di antara mereka untuk membatasi dan mengatur

Page 198: Bahan Ajar

198

dengan pengawasan bersama mengenai jumlah alat tangkap atau hasil

tangkap masing-masing.

Kedua, penentuan batas-batas HPWP. Keadaan wilayah perairan

memang akan menyulitkan penentuan batas-batas HPWP. Namun,

tersedia berbagai cara untuk menandai batas-batas tersebut. Batas-batas

dapat dihubungkan dengan sebuah pulau kecil atau terumbu karang,

muara sungai, atau keistimewaan geografis yang rrelatif kecil dan jelas.

Dapat juga batas-batas itu ditentukan sepanjang garis pantai, kemudian

diproyeksikan ke arah laut sejauh jarak tertentu. Atau ditentukan dengan

menggunakan tanda yang berhubungan dengan alat tangkap buatan yang

ditempatkan secara menetap di laut, Seperti alat penghimpun ikan.

Ketiga, teknologi penangkapan ikan. Cara-cara penangkapan dan

peralatan yang berbeda juga mempunyai akibat penting terhadap

pembentukan dan pemeliharaan HPWP. Berbagai jenis alat tangkap yang

terpancang di dasar laut, seperti bubu (pots), perangkap (traps), jaring

tetap (set nets), dan pancing ulur (trot lines), dapat menjadi avuan

pembentukan HPWP. Lokasi untuk menempatkan jenis-jenis alat atngkap

ini dapat menjadi dasar untuk menentukan wilayah HPWP. Tentu saja,

teknik penangkapan yang memerlukan operasi di laut yang luas, seperti

pukat harimau (trawls) atau pukat pancing (purse seines), tidak dapat

diberikan HPWP.

Keempat, faktor kebudayaan. Tanggapan kebudayaan berbagai

masyarakat terhadap pembentukan HPWP sangat bervariasi. Akan tetapi,

hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar kebudayaan masyarakat

menerima pemberian hak (secara pribadi atau kelompok) atas sumber

daya berupa tanah. Besar kemungkinan sebagian besar kebudayaan

mengizinkanperluasan hak-hak itu ke laut, seperti ditandai oleh meluasnya

sistem penguasaan laut tradisional. Satu hal yang jelas dari keadaan ini

adalah perlunya perhatian dicurahkan pada keadaan kebudayaan sebelum

dimulai usaha menetapkan suatu sistem HPWP.

Kelima, distribusi kekayaan. Pembagian HPWP jelas mempunyai

akibat terhadap distribusi kekayaan. HPWP itu memberikan nilai kepada

pemiliknya tetapi mengurangi nilai penangkapan mereka yang bukan

Page 199: Bahan Ajar

199

pemilik. Ketimpangan ini mungkin dapat diatasi dengan intervensi

pemerintah melalui mekanisme pembagian kembali hasil yang dipungut

pemerintah dari pemberian dan pengelolaan HPWP. Karena itu, proses

pembentukan dan pemeliharaan HPWP pada dasarnya bersifat politis.

Keenam, sistem pemerintahan dan institusi hukum. Merujuk pada

kondisi di atas, maka pemerintah harus mempunyai wewenang penuh

untuk dapat membuat keputusan tentang distribusi dan melaksanakannya.

Selain itu, harus pula ada peraturan dan lembaga yang mengizinkan

pemerintah untuk melaksanakan wewenang yang diperlukan dan yang

mendukung perlindungan dan pemeliharaan HPWP.

3. Bentuk dan Subjek HPWP

Bentuk yang dimaksudkan sebagai penjelmaan kongkret berupa

jenis-jenis hak, sedangkan subyek adalah kepada siapa hak-hak itu

diberikan. Beberapa versi dapat dijumpai, tetapi seperti sudah

dikemukakan sebelumnya, tidak satu pun versi itu berasal dari ahli hukum

sehingga penggunaan terminologi hak, selain kurang komprehensif dari

perspektif hukum, juga sering tidak konsisten.

Merujuk pada pengalaman budaya dan sejarah Filipina, Anonuevo

(1993) berpendapat bahwa secara teoritis dan hukum, subyek yang dapat

mempunyai hak milik (property rights)atas sumber daya adalah negara,

individu (swasta), atau suatu masyarakat.

Sumber daya pantai sebagai kekayaan nasional merupakan hak

milik negara. Namun, status kepemilikan tersebut saat ini tidak efektif

karena negara tidak mampu mengelola dan menegakkan hukum yang

mengatur masalah perikanan. Konsekuensinya kemudian adalah sumber

daya alam perikanan pantai kembali menjadi terbuka bagi setiap orang

(open-accsees). Pemberian hak milik pada negara (property rights to the

state) tetap menimbulkan perdebatan. Di bawah rezim kepemilikan negara

(state property rezimes), negara beerhak atas seluruh bunga sumber daya

(resources rent). Akan tetapi, yang terjadi sesungguhnya bunga sumber

daya itu hanya dinikmati oleh beberapa orang yang berkuasa dari

golongan atau kelompok tertentu sehingga apa yang disebut bunga

Page 200: Bahan Ajar

200

sumber daya itu tidak lebih dari sekadar bunga oligarkis (oligarchic rent).

Bahkan, sering penguasa oligarkis mengatasnamakan negara untuk

menyingkirkan kepentingan sosial atau ekologi.

Dalam konteks hak milik negara atas sumber daya perikanan pantai,

kekuasaan negara berbeda sekali dengan kekuasaan rakyat. Padahal,

secara teoretis-normatif, seharusnya kekuasaan negara merupakan

penjelmaan dari kekuasaan rakyat. Dengan demikian, mengukuhkan hak

milik negara atas sumber daya perikanan pantai bertentangan dengan nilai

demokrasi yang dianut masyarakat modern secara universal.

Kelemahan rezim kepemilikan negara hanya dapat direduksi dengan

memperkuat masyarakat madani (civil society). Masyarakat madani yang

kokoh dan kuat akan berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang

(counterbalance) terhadap kekuasaan negara. Pemberian hak milik atas

sumber daya perikanan pantai kepada pribadi atau swasta dapat menjadi

bagian dari upaya memperkuat masyarakat madani.

Idealnya, pemberian hak milik kepada swasta atau pribadi atas

sumber daya perikanan pantai, selain akan memperkuat masyarakat

madani juga sebagai pengejawantahan kebebasan berusaha (free

enterprise) dan doktrin ”tangan tersembunyi” (invisible hand) memainkan

peran penting. Banyak pendapat menilai bahwa ini merupakan pilihan

paling rasional karena akan mendorong optimalisasi sumber daya melalui

mekanisme hukum ekonomi.

Namun, pengalaman sejarah panjang swastanisasi dan privatisasi di

negara berkembang, khususnya Filipina, membalikkan optimisme terhadap

efektifitas hukum ekonomi dalam mengontrol perilaku usaha swasta dan

perorangan. Kenyataannya, jurang kesenjangan antara orang kaya dan

orang miskin semakin lebar karena berhimitnya kepentingan ekonomi dan

politik. Bahkan di daerah daratan tinggi telah terjadi pemusatan pemilikan

sumber daya di tangan beberapa orang, dan telah mengakibatkan

kerusakan sumber daya yang sangat parah serta semakin

menyengsarakan rakyat.

Pilihan berikutnya adalah pemberian hak milik atas sumber daya

kepada masyarakat yang langsung tergantung kehidupannya pada sumber

Page 201: Bahan Ajar

201

daya alam perikanan tersebut. Jika tujuan pembangunan untuk

pemberdayaan rakyat dan keadilan bagi generasi sekarang dan yang akan

datang, maka satu-satunya pilihan ialah pemberian hak milik kapada

masyarakat (community property rights). Di bawah rezim pemilikan

masyarakat, sistem pengelolaan sumber daya berbasis kerakyatan

(CBCRM) akan berkembang dengan baik.

Pendapat kedua tentang bentuk dan subyek HPWP datang dari

Bromley dan Cernea.49 Mereka sesungguhnya tidak berbicara khusus

tentang sumber daya alam perikanan, tetapi jalan pikiran yang

dikemukakannya, pada derajat tertentu, dapat diproyeksikan pula ke dalam

sistem pengelolaan sumber daya alam perikanan.

Kedua ahli ekonomi tersebut termasuk pembela-pembela konsep

”milik bersama”. Merujuk pada hasil penelitian Jodha di India, mereka

berpendapat bahwa privatisasi terhadap sumber daya ”milik bersama”,

justru merupakan awal malapetaka bagi penduduk pribumi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa di 21 daerah tropis India, antara 84 sampai 100

persen penduduk miskin pribumi menggantungkan hidupnya secara

subsistensi pada lahan ”milik bersama”. Pada saat yang sama, 10 sampai

24 persen dari keluarga kaya menggunakan lahan tersebut untuk kolam

pengendapan dari perkayuan. Akibatnya, selama 30 tahun terakhir 26

sampai 63 persen lahan ”milik bersama” beralih menjadi lahan perorangan,

yang berarti kehilangan besar bagi penduduk pribumi. Skenario yang sama

juga terjadi ketika lahan ”milik bersama” dikonversi menjadi milik negara,

seperti nasionalisasi hutan di Nepal.

Meski demikian, Bromley dan Cernea mengajukan empat rezim

(rezimz) yang dapat dijadikan dasar pengelolaan sumber daya alam.

Keempat rezim itu adalah sebagai berikut :

1. Rezim milik negara (state own property rezims).

2. Rezim milik swasta (private own property rezims).

3. Rezim milik bersama (common own property rezims).

4. Rezim tanpa milik (non-property rezims atau open accsess).

49 Ibid. hlm. 271.

Page 202: Bahan Ajar

202

Di bawah rezim milik negara, pemilikan dan kontrol atas sumber

daya berada di tangan negara. Individu dan kelompok boleh menggunakan

sumber daya alam, tetapi hak kepemilikannya tetap pada negara.

Perubahan dari rezim milik negara ke rezim lain atau sebaliknya, dapat

saja terjadi. Nasionalisasi hutan desa di Nepal pada tahun 1957 oleh

pemerintah, merupakan contoh perubahan dari rezim milik bersama ke

rezim milik negara. Negara bisa langsung mengelolan sumber daya alam

melalui lembaga pemerintah. Bisa juga disewakan kepada kelomok

masyarakat atau perorangan untuk jangka waktu tertentu.

Ada pula contoh menarik mengenai mekanisme pengelolaan sumber

daya alam yang diserahkan oleh negara kepada kelompok masyarakat

tertantu, seperti yang terjadi di Bengala Barat (India) dalam bentuk tree

growing associations. Melalui sistem ini, sekelompok petani tak bertanah

atau marginal diberikan petak-petak tanah untuk perkebunan. Meskipun

tanah berada di bawah kekuasaan petani, tidak berarti hak milik atas tanah

juga beralih kepadanya. Hak milik atas tanah tetap pada negara. Petani

hanya mempunyai hak garap atau hak milik atas hasil dari tanah tersebut.

Selanjutnya mengenai rezim milik swasta. Secara umum, sudah

diakui bahwa hak milik swasta (private property) merupakan rezim yang

paling jelas di antara rrezim-rezim lainnya. Termasuk dalam rezim milik

swasta adalah hak milik individu (individual property) dan hak milik

perusahaan (corporate property).

Secara yuridis dan sosiologis, hak milik swasta memungkinkan

pemiliknya untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan tidak

melibatkan orang lain. Bahkan, dalam upaya pemanfaatan tersebut, subjek

hak milik swasta dapat mengusir orang lain.

Terdapat pandangan bahwa hak milik swasta sangat memadai untuk

saat ini. Namun, menurut Bromley dan Cernea, terdapat dua fenomena

yang harus dijawab oleh penganut pandangan tersebut. Pertama, banyak

perampasan tanah terjadi di berbagai bagian dunia bukan sebagai akibat

kelangkaan persediaan tanah secara fisik, tetapi karena terjadinya

konsentrasi pemilikan tanah di tangan keluarga-keluarga kuat. Bahkan,

Page 203: Bahan Ajar

203

fenomena seperti ini terjadi di sebagian beasr negara-negara Amerika

Latin.

Kedua, hak milik swasta seringkali mengarah pada apa yang disebut

highest and best use of land. Fenomena Amerika Latin-sebagian besar

tanah subur menjadi padang penggembalaan, sementara tanaman pangan

berada di tanah kurus-merupakan contoh mengenai hal ini. Dengan latar

belakang ini pula, tanah terbaik telah diswastakan, sedangkan tanah yang

terburuk dibiarkan menjadi public domain. Dalam pandangan Bromley dan

Cernea, yang termasuk kategori public domain adalah state property,

common property (res communis), dan open-accsess (res nullius).

Berlainan dengan para ahli lainnya, sebagaimana telah diuraikan

pada bagian terdahulu, Bromley dan Cernea membedakan antara common

property dan open-accsess. Common property, menurut mereka esensinya

adalah hak milik swasta dalam kelompok dan kelompoklah yang

menentukan siapa yang tidak diperkenankan mengambil manfaat dari

sumber daya alam ”milik bersama”. Sementara itu, open-accsess diartikan

sebagai suatu situasi tanpa hak milik. Situasi ini muncul umumnya karena

tidak adanya atau gagalnya sistem pengolahan dan wewenang yang

bertujuan menerapkan norma tingkah laku yang berhubungan dengan

sumber daya alam. Dengan kata lain, rezim tanpa milik muncul akibat

gagaglnya ketiga rezim sebelumnya.

Pendapat ketiga tentang bentuk dan subyek HPWP, dikemukakan

oleh Christy.50 Bahkan, dapat dikatakan bahwa Christy lah yang pertama

kali memperkenalkan terminologi territorial use rights in fisheries (TURFs)

disertai penjelasan yang relatif komprehensif. Menurutnya, sebagai

langkah awal diperlukan sedikitnya tiga macam hak yang bersifat spesifik,

yakni sebagai berikut:

1. Hak untuk menghalangi orang lain (the rights of exclusion), yaitu hak

untuk membatasi atau menghalangi keikutsertaan dalam wilayah

tertentu yang telah dijadikan objek hak.

2. Hak untuk menetapkan jenis dan jumlah penggunaan sumber daya

alam dalam wilayah tersebut.

50 Ibid. hlm. 275

Page 204: Bahan Ajar

204

3. Hak untuk mengambil derma (the rights of extract benefits). Derma

dapat diperoleh antara lain, melalui penarikan pungutan dari pemakai

sumber daya alam. Bisa juga melalui penarikan pajak atau sewa

maupun penjual-an dari hak-hak itu.

Mengenai subyek HPWP, Christy berpendapat bahwa HPWP dapat

diberikan kepada perorangan, perusahaan swasta, koperasi, atau

masyarakat. Selain itu, HPWP dapat pula diberikan kepada cabang-

cabang politik, seperti suatu kota atau propinsi, pemerintah suatu negara,

atau kepada perusahaan multinasional. Adapun tentang jangka waktu

HPWP, relatif sukar untuk ditetapkan secara pasti. Namun, setidaknya

harus cukup lama agar memungkinkan pemilik hak memperoleh

pendapatan yang memuaskan atas setiap modal yang ditanamkan.

Khusus HPWP yang subjeknya masyarakat, jangka waktunya mungkin

tidak dibatasi.

C. Penutup

Evaluasi yang dilakukan untuk mengukur pemahaman peserta didik atas

materi pembelajaran keempatbelas dan kelimabelas dilakukan dalam

bentuk kuis, yakni mengangakt beberapa pertanyaan yang dilengkapi

dengan penjelasan dan dilakukan pada tatap muka kelimabelas. Beberapa

pertanyaan yang dikemukakan, seperti:

1. Sebutkan UU yang terkait dengan pengelolaan perikanan disertai

dengan penjelasannya?

2. Sebutkan ruang lingkup Hak Penggunaan Wilayah Untuk Perikanan

(HPWP)?

3. Sebutkan bentuk dan subjek HPWP?

Daftar Bacaan

Abdul Rasal Rauf, Bahan Ajar Hukum Laut Internasional (Pengantar),

Makassar: Fakultas Hukum Unhas, 2007.

Marhaeni Ria Siombo, Hukum Perikanan Nasional dan Internasional,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Page 205: Bahan Ajar

205

Ph.D.L. Tobing, Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa,

Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara,

1961.

Sudirman Saad, Politik Hukum Perikanan Indonesia, Jakarta: Dian

Pratama Printing, 2003.

Page 206: Bahan Ajar

206

BAB 16 BAHAN PEMBELAJARAN 16

A. Sasaran Pembelajaran

Ujian Akhir Semester

B. Uraian:

Pelaksanaan ujian akhir semester dilaksanakan dengan memberikan

pilihan pada mahasiswa untuk mengikuti ujian akhir yang diberikan dapat

bentuk makalah atau ujian tertulis. Pilihan makalah atau ujian tertulis oleh

peserta didik akan bersifat individu yang dipilih dan atau diberikan dari materi

hukum laut yang telah dipelajari. Adapun kriteria penilaian makalah berupa Isi

Makalah; Organisasi makalah; Kesesuaian antara teori dan kasus serta

analisis; dan Ketepatan waktu. Sedangkan ujian tertulis didasarkan pada

kemampuan peserta didik menjelaskan materi yang dipertanyakan dilengkapi

dengan analisis dan contoh.

C. Penutup

Kriteria evaluasi adalah makalah individu dan ujian tertulis.