BACTERIAL

28
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Etiologi Infeksi pada sistem saraf pusat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu infeksi pada meningen (meningitis) dan infeksi pada parenkim otak (ensefalitis). Meningitis adalah peradangan pada selaput otak dan medulla spinalis (arakhnoid, subarakhnoid dan piamater) yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Secara anatomis, meningitis dibagi menjadi inflamasi duramater (pachymeningitis) yang jarang terjadi, dan yang paling sering inflamasi pada arachnoid tissue dan subarachnoid space (leptomeningitis) (Hasbun, 2013).

description

MENINGITIS BAKTERIDEFINISIETIOLOGITERAPI

Transcript of BACTERIAL

Page 1: BACTERIAL

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi

Infeksi pada sistem saraf pusat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu infeksi pada

meningen (meningitis) dan infeksi pada parenkim otak (ensefalitis). Meningitis adalah

peradangan pada selaput otak dan medulla spinalis (arakhnoid, subarakhnoid dan piamater)

yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Secara anatomis, meningitis dibagi menjadi

inflamasi duramater (pachymeningitis) yang jarang terjadi, dan yang paling sering inflamasi

pada arachnoid tissue dan subarachnoid space (leptomeningitis) (Hasbun, 2013).

(Ritarwan, 2006).

Gambar 2.1Anatomi lapisan selaput otak

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada

cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai

Page 2: BACTERIAL

4

dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.

Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis

purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan

eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis

Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi (Hasbun, 2013).

Meningitis dapat juga dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

- Bakteri (piogenik)

- Granulomatosa

- Aseptik (Hasbun, 2013).

Penyebab tersering peradangan pada meningen adalah iritasi yang disebabkan oleh

infeksi bakteri dan virus (Hasbun, 2013). Bakteri yang paling sering menjadi penyebab

meningitis yaitu Haemophilus influenzae, Neissera meningitidis, dan Streptococcus

pneumonia (Roos, 1996).

Risk or Predisposing Factor Bacterial Pathogen

Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (GBS)Escherichia coli K1Listeria monocytogenes

Age 4-12 weeks S agalactiaeE coliHaemophilus influenzaeStreptococcus pneumoniaeNeisseria meningitidis

Age 3 months to 18 years N meningitidisS pneumoniaeH influenzae

Age 18-50 years S pneumoniaeN meningitidisH influenzae

Age >50 years S pneumoniaeN meningitidisL monocytogenes

Page 3: BACTERIAL

5

Aerobic gram-negative bacilli

Immunocompromised state S pneumoniaeN meningitidisL monocytogenesAerobic gram-negative bacilli

Intracranial manipulation, including neurosurgery

Staphylococcus aureusCoagulase-negative staphylococciAerobic gram-negative bacilli, including Pseudomonas aeruginosa

Basilar skull fracture S pneumoniaeH influenzaeGroup A streptococci

CSF shunts Coagulase-negative staphylococciS aureusAerobic gram-negative bacilliPropionibacterium acnes

(Hasbun, 2013).

Gambar 2.2Bakteri patogen tersering berdasar usia dan faktor predisposisi

2.2 Patogenesis dan Patofisiologi

Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh agen penginfeksi yang berkolonisasi

dan membentuk infeksi lokal di daerah manapun di tubuh host. Daerah kolonisasi yang

berpotensi yaitu kulit, nasofaring, traktus respiratorius, pencernaan (GI tract), saluran kemih

(Urinary tract). Organisme penginfeksi kemudian menginvasi submukosa. Agen

penginfeksi (bakteri, virus, jamur, atau parasit) dapat memasuki SSP dan menimbulkan

inflamasi meningen melalui 3 jalur utama, yaitu sebagai berikut:

1. Invasi ke aliran darah (bakteremia, viremia, fungemia, atau parasitemia)

2. Neural (olfaktorius dan saraf perifer), misalnya Naegleria fowleri atau Gnathostoma

spinigerum

3. Penyebaran secara langsung (sinusitis, otitis media, malforasi congenital, trauma kapitis

atau medulla spinalis). Otitis media, mastoiditis atau sinusitis dapat menyebabkan infeksi

Page 4: BACTERIAL

6

meningen yaitu jalur yang memungkinkan migrasi patogen dari telinga ke meningen

diantaranya:

-Aliran darah

-Fraktur tulang temporalis

-Membran pada labirin (Hasbun, 2013).

1. Meningitis Bakterial

Bakteri penyebab meningitis tersering yaitu H. influenzae, N. meningitidis, dan S.

pneumonia menempel di sel epitel nasofaring dan berkolonisasi. Bakteri mensekresikan

enzim protease IgA yang dapat merusak barier mukosa epitel nasofaring, sehingga

memungkinkan interaksi antara struktur permukaan bakteri dengan pili dan reseptor sel host.

Kemudian bakteri menembus sel dalam bentuk vakuola ke intravaskuler, bakteri beredar di

dalam darah maka muncullah bakteremia (Roos, 1996).

(Scheld, Koedel, Nathan, et al., 2012).

Gambar 2.3Patofisiologi meningitis bakteri melalui traktus respiratorius

Selama bakteremia, bakteri berhasil menghindari fagositosis oleh neutrofil karena tubuh

bakteri dilapisi kapsul polisakarida. Kapsul inilah yang dikenali oleh sistem komplemen,

Page 5: BACTERIAL

7

kemudian terjadi proses opsonisasi bakteri yang kemudian di fagositosis oleh leukosit.

Bakteri yang berhasil bertahan di sirkulasi memasuki cairan serebrospinal di plexus

choroideus pada ventricle lateralis serta area blood brain barrier. Bakteri berikatan dengan

reseptor sel-sel di plexus choroideus dan kapiler-kapiler dan bakteri dapat menembus ke

area meningen. Bakteri patogen pun berada pada cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal

kekurangan komponen komplemen, konsentrasi immunoglobulin dan neutrofil di

subarachnoid juga mengalami penurunan kemampuan akibat multiplikasi bakteri yang

cepat, sehingga terjadi penurunan kemampuan komplemen dan immunoglobulin untuk

opsonisasi bakteri dan fagositosis bakteri oleh leukosit menjadi tidak efektif. Multiplikasi

bakteri di subarachnoid semakin cepat dan mengganggu cairan serebrospinal (Roos, 1996).

Terjadinya radang meningen bukan karena keberadaan bakteri di ruang subarachnoid

yang menginduksi respon inflamasi, tetapi karena komponen dinding sel bakteri akibat

bakteri yang lisis merupakan langkah awal radang meningen. Komponen dinding sel terurai

di dinding subarachnoid, sehingga eksudat purulen mengendap di dasar otak menyebabkan

meningen lebih tebal tertutup eksudat (Roos, 1996).

Komponen dinding sel bakteri, yaitu LOS (lipo oligosaccharide) pada Haemophillus

influenzae, lipoteichoic acid pada Pneumococcus, LPS (lipo polysaccharide) pada bakteri

gram negatif menstimulasi monosit, makrofag, astrosit, sel mikroglia (makrofag SSP), yang

akan merangsang sintesis dan pengeluaran tumor necroting factor (TNF). TNF ini akan

membuat neutrofil menepi dan menempel di sel endotelial vaskular dan mengaktivasi

astrosit dan sel mikroglia. Selanjutnya, astrosit dan sel mikroglia akan merangsang intesis

dan pengeluaran Interleukin-1(IL-1). Aktivitas IL-1 yaitu menginduksi peningkatan set

point di hipotalamus, kemotaksis neutrofil, menginduksi proliferasi beberapa jaringan

seperti proliferasi sel glia, stimulasi degranulasi neutrofil dan mengeluarkan metabolit

oksigen, ini menyebabkan permeabilitas blood brain barrier sehingga terjadi edema serebral

vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial serta menimbulkan perembesan plasma

protein ke cairan serebrospinal (Roos, 1996).

Page 6: BACTERIAL

8

(Roos, 1996).

Gambar 2.4 Patofisiologi meningitis bakteri

Etiologi yang paling sering menimbulkan abnormalitas nervus cranialis selama

terjadinya meningitis bakterial akut adalah adanya eksudat pada lapisan arachnoid yang

meliputi nervus cranialis. Akibat meningitis bakterial akut pada abnormalitas nervus

cranialis biasanya pada N. III, N. VI, N. VII, dan N. VIII, mulai membaik setelah masa

penyembuhan meningitis, kecuali N. VIII (Roos, 1996).

Salah satu patogenesis terjadinya penurunan pendengaran sensorineural pada meningitis

bakteri adalah adanya eksudat pada lapisan arachnoid pada N. VIII. Penurunan pendengaran

Page 7: BACTERIAL

9

sensorineural adalah komplikasi tersering yang serius akibat meningitis pada infan dan

anak-anak yang lebih sering diakibatkan oleh Pneumococcal meningitis daripada N.

meningitidis atau H. influenza (Roos, 1996).

Satu atau suatu gabungan mekanisme penurunan pendengaran sensorineural selama

terjadinya meningitis bakterial, yaitu:

1. Disfungsi cochlear yang mengarah pada invasi langsung bakteri ke cochlear melalui

aquductus cochlear

2. Inflamasi sekunder N. cochlear akibat adanya eksudat pada lapisan arachnoid pada saraf

3. Penyumbatan A. auditori interna

4. Toksisitas pada saraf atau cochlear berhubungan dengan antimikroba seperti golongan

aminoglikosida atau vankomisin (Roos, 1996).

Patofisiologi ataxia pada infeksi ini paling sering akibat disfungsi labirin. Hubungan

ataxia dan penurunan pendengaran sensorineural diakibatkan oleh gangguan vestibular dan

cochlear pada N. VIII. Sedangkan dasar untuk abnormalitas nervus cranialis akibat

meningitis bakterial yaitu adanya eksudat pada lapisan arachnoid saraf yang menyebabkan

penyempitan dan atau neuropati inflamasi pada saraf yang terletak di kanal tulang atau

neuropati kompresi yang berhubungan dengan peningkatan intrakranial. Peningkatan

tekanan intrakranial menyebabkan gangguan aliran darah otak, kehilangan autoregulasi

(Roos, 1996).

Sedangkan terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di otak,

selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa

inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila

penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan

penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis

tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer).

Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Rahajoe, 2012).

Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan

protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas

yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di

Page 8: BACTERIAL

10

basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang (Rahajoe, 2012).

Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:

a. Araknoiditis proliferatif

Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang

melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di

leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis

otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis

perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin

mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami

paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV,

sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka

kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila

terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan

gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Rahajoe, 2012).

b. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang

melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan

timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang

meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah

sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan

apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri

yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika

adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan

nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang

ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi

subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena

adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis

interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan

menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis

Page 9: BACTERIAL

11

tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear

dan perubahan fibrin

c. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan

mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Rahajoe, 2012).

2. Meningitis Viral

Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen dan neural.

Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural

menunjukkan penyebaran di sepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes virus (HSV-

1, HSV-2, dan varicella zoster virus (VZV) B virus), dan kemungkinan beberapa

enterovirus (Isyar, 2008).

Pertahanan tubuh multipel mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan

secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan

blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal (misal mukosa

respiratory tract atau gastrointestinal tract) dan mencapai akses ke pembuluh darah.

Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus

lymph) jika replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat

timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam SSP. Replikasi viral yang cepat

tampaknya memainkan peranan dalam melawan pertahanan host (Isyar, 2008).

Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral ke dalam SSP tidak sepenuhnya dimengerti.

Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek

natural (area post trauma dan tempat lain yang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat

dalam bentuk pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan

jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit

dan limfosit. Limfosit CSF telah dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga

merupakan pertahanan dalam melawan beberapa virus (Isyar, 2008).

Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan transpor

retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui akar

Page 10: BACTERIAL

12

saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan

lobus temporal anterior (Isyar, 2008).

(Scheld, Koedel, Nathan, et al., 2012).

Gambar 2.5Patofisiologi meningitis

2.3 Manifestasi klinik

Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,

muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal

(CSS) melalui pungsi lumbal (Hasbun, 2013).

Trias gejala meningitis bakterial yaitu:

- Panas

- Nyeri kepala

- Kaku kuduk (Hasbun, 2013).

Gejala lain dapat berupa nausea, vomiting, fotofobia, fonofobia, sleepiness, iritabilitas,

delirium, dan koma. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran

pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala

hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung (Hasbun, 2013).

Page 11: BACTERIAL

13

(Hasbun, 2013).

Gambar 2.6Gejala klinis meningitis

Pasien dengan meningitis virus memiliki gejala sistemik seperti mialgia, fatigue, atau

anoreksia. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan

gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjar parotid sebelum

invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus

ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan

disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada,

badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak

lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan

berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung (Hasbun, 2013).

Meningitis tuberkulosa terdiri dari empat stadium, yaitu:

- Stadium I atau stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan tampak

seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering

tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun,

mudah tersinggung, cengeng, obstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran

berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,

Page 12: BACTERIAL

14

konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat

gelisah.

o Meningeal sign (–)

o Kesadaran baik

o Saraf otak tidak terganggu

- Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit

lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai

kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai

nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,

ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.

o Meningeal sign (+)

o Kesadaran baik

o Gangguan saraf (N.VI, VII), kadang-kadang didapatkan hemiparesis (oleh karena

arteritis, eksudat yang menekan pedunkulus serebri, dan hidrosefalus)

- Stadium III ditandai dengan meningeal sign (+), kesadaran menurun, terdapat gangguan

saraf otak (gejala fokal positif), dan kejang.

- Stadium IV atau stadium terminal ditandai dengan meningeal sign (+), , terdapat

gangguan saraf otak (gejala fokal positif), kejang, kelumpuhan dan gangguan kesadaran

sampai koma (Bahrudin, 2008).

Pada infant, gejala meningitis dapat berupa:

- High pitched cry

- Fontanella bulging

- Paradoksal iritabel (menangis saat dipegang tapi diam saat dibiarkan)

- Hipotonus (Hasbun, 2013).

Riwayat penderita meningitis dapat berupa:

- Faktor epidemiologi

- Terpapar oleh manusia atau hewan yang menderita penyakit serupa

- Penanganan medis sebelumnya (operasi bagian kepala)

- Lokasi geografi tempat tinggal dan riwayat perjalanan

Page 13: BACTERIAL

15

- Musim dan temperatur (Hasbun, 2013).

Diagnosis meningitis yaitu dengan mengidentifikasi gejala dan tanda infeksi SSP

melalui anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum dan status neurologis yang didapatkan

gejala iritasi meningen, gangguan nervus cranialis, atau penurunan kesadaran, dan ditambah

pemeriksaan penujang. Tanda meningeal sign didapatkan pada pemeriksaan kaku kuduk,

Brudzinski I, Brudzinski II, Brudzinski III, Brudzinski IV, dan Kernig.

2.4 Pemeriksaan Radiologis

- CT Scan

oPada permulaan penyakit, CT scan normal

oAdanya eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil disertai edema otak,

atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi cairan serebrospinal

oBila penyakit berlanjut, dapat terlihat adanya daerah infark akibat vaskulitis

o Indikasi CT scan sebelum LP: defisit neurologis fokal, kejang pertama kali,

edema papil, penurunan kesadaran, dan penekanan status imun (Dewanto,

Suwono, Riyanto, et al., 2009).

- MRI

oLebih baik dibandingkan dengan CT scan dalam menunjukkan daerah edema dan

iskemi di otak

oPenambahan kontras gadolinium menunjukkan “diffuse meningeal enhancement”

(Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).

2.5 Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan penunjang sebagai gold standart untuk menentukan agen penginfeksi

dengan lumbal pungsi. Teknik lumbal pungsi yaitu pasien diposisikan lateral dengan fleksi

sendi leher dan lutut. Dengan needle 22 atau 20 gauge diinsersikan dibawah spinal cord

terakhir pada ruang L3-4, L4-5, L5-S1 (Hasbun, 2013).

Page 14: BACTERIAL

16

(Hasbun, 2013).

Gambar 2.7Evaluasi hasil lumbal pungsi

Dari hasil pemeriksaan CSF pada meningitis TB didapatkan:

-Tekanan meningkat

-Jumlah sel meningkat terutama MN

-Protein meningkat

-Glukosa menurun

-Pellicle (bentukan seperti sarang laba-laba) (Bahrudin, 2008).

Kontraindikasi lumbal pungsi yaitu:

• TIK meningkat

• Radang pada tempat pungsi

• Kondisi umum dengan Hemodynamic or Pulmonary Instability

• Coagulopathy atau thrombocytopenia berat (Bahrudin, 2008).

Gejala peningkatan TIK antara lain:

-Perubahan tingkat kesadaran

-Reflek Cushing: bradikardi, hipertensi dan respirasi ireguler

Page 15: BACTERIAL

17

-Dilatasi, nonreaktif pupil

-Parese N. VI unilateral atau bilateral

-Papil edema

-Neck stiffness

-Hiccup

-Muntah proyektil

-Postur deserebrasi (Roos, 1996).

- Tes Lain

o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus

dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis.

o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan

visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.

o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien

yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali

terlihat pada ensefalitis herpetik.

- Pemeriksaan CSF ulang

Pemeriksaan CSF ulang harus dilakukan pada setiap pasien yang tiadak berespon

secara klinis setelah pemberian terapi antimikroba selam 48 jam (Dewanto, Suwono,

Riyanto, et al., 2009).

2.6 Penatalaksanaan meningitis

1. Terapi non medikamentosa

- Tirah baring total dan cegah timbulnya dekubitus

- Pemberian cairan yang adekuat

- Terapi 5 B: blood (tekanan darah harus dipertahankan), brain (jika tekanan

intrakranial meningkat maka posisi kepala di elevasikan 30° dan diberikan manitol

1 gram/kgBB bolus injeksi kemudian diteruskan 0,25-0,5 gram/kgBB setiap 3-5

jam untuk mencapai osmolaritas serum 295-320 mOsm/L dan dexamethasone 0,15

mg/kgBB tiap 6 jam), breathing: pernapasan harus bebas, bowel: kalori harus

dipertahankan sesuai keadaan penderita, bladder: hindari infeksi kandung kemih.

Page 16: BACTERIAL

18

2. Terapi medikamentosa

Bacteria Susceptibility Antibiotic(s) Duration (days)

Streptococcus pneumoniae

Penicillin MIC ≤0.06 μg/mL

Recommended: Penicillin G or amoxicillin/ampicillin

Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, chloramphenicol

10-14

Penicillin MIC ≥0.12 μg/mL

Cefotaxime or ceftriaxone MIC ≥0.12 μg/mL

Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone

Al

Cefotaxime or ceftriaxone MIC ≥1.0 μg/mL

Recommended: Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone

Alternatives: Vancomycin plus moxifloxacin

Haemophilus influenzae

Beta-lactamase−negative Recommended: Amoxicillin/ampicillin

Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone

7

Beta-lactamase−positive Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone

Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone

Beta-lactamase−negative, ampicillin-resistant

Recommended: Meropenem

Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone

Neisseria meningitidis

Penicillin MIC < 0.1 μg/mL

Recommended: Penicillin G or amoxicillin/ampicillin

Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, chloramphenicol

7

Penicillin MIC ≥0.1 μg/mL

Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone

Page 17: BACTERIAL

19

Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, a fluoroquinolone, meropenem

Listeria monocytogenes

... Recommended: Amoxicillin/ampicillin or penicillin G

Alternative: TMP-SMX

14-21

Streptococcus agalactiae

... Recommended: Amoxicillin/ampicillin or penicillin G

Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, vancomycin

14-21

Enterobacteriaceae ... Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone

Alternatives: Aztreonam, a fluoroquinolone, TMP-SMX, meropenem, ampicillin

21

Pseudomonas aeruginosa

... Recommended: Ceftazidime or cefepime

Alternatives: Aztreonam, meropenem, ciprofloxacin

21

Staphylococcus epidermidis

Recommended: Vancomycin

Alternative: Linezolid

Consider addition of rifampin

MIC= minimal inhibitory concentration; TMP-SMX = trimethoprim-sulfamethoxazole.(Hasbun, 2013).

Gambar 2.8Antibiotik spesifik dan durasi terapi untuk meningitis bakterial akut

- Agen Antiviral seperti Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika

diagnosis herpetic meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk

kedua HSV-1 and HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/hari tiap 8 jam selama 10-14 hari.

Pediatrik: 30 mg/kg/hari tiap 8 jam selama 10 hari.

Page 18: BACTERIAL

20

- Terapi untuk meningitis tuberculosis, yaitu:

o INH 10-20 mg/kgBB/hari maksimal 400 mg/hari (dewasa), dapat

menimbulkan komplikasi neuritis perifer. Komplikasi ini dapat dicegah

dengan Piridoksin 25-50 mg/hari

o Streptomisin: 1 gram/hari

o Rifampisin: 10-20 mg/kg/BB/hari, maksimal 600 mg/hari

o Pirazinamid: 20-40 mg/kgBB/hari (± 1 gram/hari) atau 50-70 mg/kgBB

2x/minggu dibagi dalam 2-3 dosis

o Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari atau 50 mg/kgBB 2 minggu sekali.

Etambutol sudah tidak digunakan untuk meningitis TB, oleh karena pada

anak-anak sering menyebabkan atrofi nervus optikus, yang pada anak

dengan kesadaran menurun sulit dideteksi (Bahrudin, 2008).

Obat-obat diatas (INH, Streptomisin, Rifampisin, dan Pirazinamid) harus

diberikan sampai sel menjadi normal, kemudian INH diteruskan selama 1,5 tahun

(Bahrudin, 2008). - Terapi adjuvant: Dexamethasone sebaiknya diberikan 10-20 menit sebelum, atau

bersamaan dengan dosis pertama antimikroba, dengan dosis 0,15 mg/kgBB setiap 6

jam selama 2-4 hari. Terapi ini direkomendasikan terutama pada pasien meningitis

dewasa akibat Pneumococcus, atau pada pasien dengan tingkat keparahan sedang-

berat (GCS≤11). Pemberian dilanjutkan lebih dari 4 hari hanya jika pewarnaan gram

CSF menunjukkan hasil diplococcus gram negative, atau jika kultur darah atau CSF

positif untuk S. pneumoniae (Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).

- Terapi rawat jalan

Kriteria terapi rawat jalan untuk meningitis bakterialis antara lain:

a. Telah mendapat terapi antimikroba di RS ≥6 hari

b. Tidak ada demam minimal 24-48 jam

c. Tidak ada disfungsi neurologik, kelainan fokal, atau aktivitas bangkitan yang

bermakna

Page 19: BACTERIAL

21

d. Kondisi klinis stabil atau membaik

e. Mampu makan per oral

f. Kondisi kesehatan rumah yang layak (Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).

2.7 Prognosis

Prognosis meningitis tergantung pada umur, mikroorganisme spesifik yang

menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama

penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua

mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan

kematian. Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis

purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).

Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,

keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5–10% penderita

mengalami kematian (Bahrudin, 2008). Kematian akibat meningitis terjadi 20% penderita,

meningkat jika terdapat penurunan kesadaran, awitan kejang dalam 24 jam pertama,

tanda0tanda peningkatan TIK, usia muda (< 1 tahun), atau usia >50 tahun, serta adanya

kondisi yang, memperberat, misalnya syok, keterlambatan diagnosis dan terapi (Dewanto,

Suwono, Riyanto, et al., 2009).

Sedangkan pada meningitis TB tergantung dari usia kurang dari 3 bulan atau lebih dari

60 tahun, prognosisnya lebih jelek. Prognosis akan baik tergantung kecepatan diagnosis dan

penanganan yang tepat (Bahrudin, 2008).