BACTERIAL
-
Upload
asa-dullah -
Category
Documents
-
view
26 -
download
3
description
Transcript of BACTERIAL
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan Etiologi
Infeksi pada sistem saraf pusat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu infeksi pada
meningen (meningitis) dan infeksi pada parenkim otak (ensefalitis). Meningitis adalah
peradangan pada selaput otak dan medulla spinalis (arakhnoid, subarakhnoid dan piamater)
yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Secara anatomis, meningitis dibagi menjadi
inflamasi duramater (pachymeningitis) yang jarang terjadi, dan yang paling sering inflamasi
pada arachnoid tissue dan subarachnoid space (leptomeningitis) (Hasbun, 2013).
(Ritarwan, 2006).
Gambar 2.1Anatomi lapisan selaput otak
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
4
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis
purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi (Hasbun, 2013).
Meningitis dapat juga dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
- Bakteri (piogenik)
- Granulomatosa
- Aseptik (Hasbun, 2013).
Penyebab tersering peradangan pada meningen adalah iritasi yang disebabkan oleh
infeksi bakteri dan virus (Hasbun, 2013). Bakteri yang paling sering menjadi penyebab
meningitis yaitu Haemophilus influenzae, Neissera meningitidis, dan Streptococcus
pneumonia (Roos, 1996).
Risk or Predisposing Factor Bacterial Pathogen
Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (GBS)Escherichia coli K1Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiaeE coliHaemophilus influenzaeStreptococcus pneumoniaeNeisseria meningitidis
Age 3 months to 18 years N meningitidisS pneumoniaeH influenzae
Age 18-50 years S pneumoniaeN meningitidisH influenzae
Age >50 years S pneumoniaeN meningitidisL monocytogenes
5
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniaeN meningitidisL monocytogenesAerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation, including neurosurgery
Staphylococcus aureusCoagulase-negative staphylococciAerobic gram-negative bacilli, including Pseudomonas aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniaeH influenzaeGroup A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococciS aureusAerobic gram-negative bacilliPropionibacterium acnes
(Hasbun, 2013).
Gambar 2.2Bakteri patogen tersering berdasar usia dan faktor predisposisi
2.2 Patogenesis dan Patofisiologi
Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh agen penginfeksi yang berkolonisasi
dan membentuk infeksi lokal di daerah manapun di tubuh host. Daerah kolonisasi yang
berpotensi yaitu kulit, nasofaring, traktus respiratorius, pencernaan (GI tract), saluran kemih
(Urinary tract). Organisme penginfeksi kemudian menginvasi submukosa. Agen
penginfeksi (bakteri, virus, jamur, atau parasit) dapat memasuki SSP dan menimbulkan
inflamasi meningen melalui 3 jalur utama, yaitu sebagai berikut:
1. Invasi ke aliran darah (bakteremia, viremia, fungemia, atau parasitemia)
2. Neural (olfaktorius dan saraf perifer), misalnya Naegleria fowleri atau Gnathostoma
spinigerum
3. Penyebaran secara langsung (sinusitis, otitis media, malforasi congenital, trauma kapitis
atau medulla spinalis). Otitis media, mastoiditis atau sinusitis dapat menyebabkan infeksi
6
meningen yaitu jalur yang memungkinkan migrasi patogen dari telinga ke meningen
diantaranya:
-Aliran darah
-Fraktur tulang temporalis
-Membran pada labirin (Hasbun, 2013).
1. Meningitis Bakterial
Bakteri penyebab meningitis tersering yaitu H. influenzae, N. meningitidis, dan S.
pneumonia menempel di sel epitel nasofaring dan berkolonisasi. Bakteri mensekresikan
enzim protease IgA yang dapat merusak barier mukosa epitel nasofaring, sehingga
memungkinkan interaksi antara struktur permukaan bakteri dengan pili dan reseptor sel host.
Kemudian bakteri menembus sel dalam bentuk vakuola ke intravaskuler, bakteri beredar di
dalam darah maka muncullah bakteremia (Roos, 1996).
(Scheld, Koedel, Nathan, et al., 2012).
Gambar 2.3Patofisiologi meningitis bakteri melalui traktus respiratorius
Selama bakteremia, bakteri berhasil menghindari fagositosis oleh neutrofil karena tubuh
bakteri dilapisi kapsul polisakarida. Kapsul inilah yang dikenali oleh sistem komplemen,
7
kemudian terjadi proses opsonisasi bakteri yang kemudian di fagositosis oleh leukosit.
Bakteri yang berhasil bertahan di sirkulasi memasuki cairan serebrospinal di plexus
choroideus pada ventricle lateralis serta area blood brain barrier. Bakteri berikatan dengan
reseptor sel-sel di plexus choroideus dan kapiler-kapiler dan bakteri dapat menembus ke
area meningen. Bakteri patogen pun berada pada cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal
kekurangan komponen komplemen, konsentrasi immunoglobulin dan neutrofil di
subarachnoid juga mengalami penurunan kemampuan akibat multiplikasi bakteri yang
cepat, sehingga terjadi penurunan kemampuan komplemen dan immunoglobulin untuk
opsonisasi bakteri dan fagositosis bakteri oleh leukosit menjadi tidak efektif. Multiplikasi
bakteri di subarachnoid semakin cepat dan mengganggu cairan serebrospinal (Roos, 1996).
Terjadinya radang meningen bukan karena keberadaan bakteri di ruang subarachnoid
yang menginduksi respon inflamasi, tetapi karena komponen dinding sel bakteri akibat
bakteri yang lisis merupakan langkah awal radang meningen. Komponen dinding sel terurai
di dinding subarachnoid, sehingga eksudat purulen mengendap di dasar otak menyebabkan
meningen lebih tebal tertutup eksudat (Roos, 1996).
Komponen dinding sel bakteri, yaitu LOS (lipo oligosaccharide) pada Haemophillus
influenzae, lipoteichoic acid pada Pneumococcus, LPS (lipo polysaccharide) pada bakteri
gram negatif menstimulasi monosit, makrofag, astrosit, sel mikroglia (makrofag SSP), yang
akan merangsang sintesis dan pengeluaran tumor necroting factor (TNF). TNF ini akan
membuat neutrofil menepi dan menempel di sel endotelial vaskular dan mengaktivasi
astrosit dan sel mikroglia. Selanjutnya, astrosit dan sel mikroglia akan merangsang intesis
dan pengeluaran Interleukin-1(IL-1). Aktivitas IL-1 yaitu menginduksi peningkatan set
point di hipotalamus, kemotaksis neutrofil, menginduksi proliferasi beberapa jaringan
seperti proliferasi sel glia, stimulasi degranulasi neutrofil dan mengeluarkan metabolit
oksigen, ini menyebabkan permeabilitas blood brain barrier sehingga terjadi edema serebral
vasogenik dan peningkatan tekanan intrakranial serta menimbulkan perembesan plasma
protein ke cairan serebrospinal (Roos, 1996).
8
(Roos, 1996).
Gambar 2.4 Patofisiologi meningitis bakteri
Etiologi yang paling sering menimbulkan abnormalitas nervus cranialis selama
terjadinya meningitis bakterial akut adalah adanya eksudat pada lapisan arachnoid yang
meliputi nervus cranialis. Akibat meningitis bakterial akut pada abnormalitas nervus
cranialis biasanya pada N. III, N. VI, N. VII, dan N. VIII, mulai membaik setelah masa
penyembuhan meningitis, kecuali N. VIII (Roos, 1996).
Salah satu patogenesis terjadinya penurunan pendengaran sensorineural pada meningitis
bakteri adalah adanya eksudat pada lapisan arachnoid pada N. VIII. Penurunan pendengaran
9
sensorineural adalah komplikasi tersering yang serius akibat meningitis pada infan dan
anak-anak yang lebih sering diakibatkan oleh Pneumococcal meningitis daripada N.
meningitidis atau H. influenza (Roos, 1996).
Satu atau suatu gabungan mekanisme penurunan pendengaran sensorineural selama
terjadinya meningitis bakterial, yaitu:
1. Disfungsi cochlear yang mengarah pada invasi langsung bakteri ke cochlear melalui
aquductus cochlear
2. Inflamasi sekunder N. cochlear akibat adanya eksudat pada lapisan arachnoid pada saraf
3. Penyumbatan A. auditori interna
4. Toksisitas pada saraf atau cochlear berhubungan dengan antimikroba seperti golongan
aminoglikosida atau vankomisin (Roos, 1996).
Patofisiologi ataxia pada infeksi ini paling sering akibat disfungsi labirin. Hubungan
ataxia dan penurunan pendengaran sensorineural diakibatkan oleh gangguan vestibular dan
cochlear pada N. VIII. Sedangkan dasar untuk abnormalitas nervus cranialis akibat
meningitis bakterial yaitu adanya eksudat pada lapisan arachnoid saraf yang menyebabkan
penyempitan dan atau neuropati inflamasi pada saraf yang terletak di kanal tulang atau
neuropati kompresi yang berhubungan dengan peningkatan intrakranial. Peningkatan
tekanan intrakranial menyebabkan gangguan aliran darah otak, kehilangan autoregulasi
(Roos, 1996).
Sedangkan terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di otak,
selaput otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa
inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang. Bila
penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan
penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis
tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer).
Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah trauma kepala (Rahajoe, 2012).
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan
protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas
yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di
10
basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang (Rahajoe, 2012).
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
a. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut di
leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan nekrosis
perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan mungkin
mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV,
sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka
kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila
terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen (Rahajoe, 2012).
b. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan
timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang
meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah
sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan
apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri
yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan
nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang
ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena
adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan
menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
11
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear
dan perubahan fibrin
c. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis (Rahajoe, 2012).
2. Meningitis Viral
Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen dan neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari viral patogen yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran di sepanjang saraf dan biasanya terbatas pada herpes virus (HSV-
1, HSV-2, dan varicella zoster virus (VZV) B virus), dan kemungkinan beberapa
enterovirus (Isyar, 2008).
Pertahanan tubuh multipel mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi signifikan
secara klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan
blood-brain barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal (misal mukosa
respiratory tract atau gastrointestinal tract) dan mencapai akses ke pembuluh darah.
Viremia primer memperkenalkan virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan nodus
lymph) jika replikasinya timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat
timbul, dimana dipikirkan untuk bertanggung jawab dalam SSP. Replikasi viral yang cepat
tampaknya memainkan peranan dalam melawan pertahanan host (Isyar, 2008).
Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral ke dalam SSP tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek
natural (area post trauma dan tempat lain yang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat
dalam bentuk pleocytosis; polymorphonuclear leukocytes (PMNs) menyebabkan perbedaan
jumlah sel pada 24-48 jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit
dan limfosit. Limfosit CSF telah dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga
merupakan pertahanan dalam melawan beberapa virus (Isyar, 2008).
Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan transpor
retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui akar
12
saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior (Isyar, 2008).
(Scheld, Koedel, Nathan, et al., 2012).
Gambar 2.5Patofisiologi meningitis
2.3 Manifestasi klinik
Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal (Hasbun, 2013).
Trias gejala meningitis bakterial yaitu:
- Panas
- Nyeri kepala
- Kaku kuduk (Hasbun, 2013).
Gejala lain dapat berupa nausea, vomiting, fotofobia, fonofobia, sleepiness, iritabilitas,
delirium, dan koma. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala
hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung (Hasbun, 2013).
13
(Hasbun, 2013).
Gambar 2.6Gejala klinis meningitis
Pasien dengan meningitis virus memiliki gejala sistemik seperti mialgia, fatigue, atau
anoreksia. Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan
gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjar parotid sebelum
invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus
ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada,
badan, dan ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak
lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan
berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung (Hasbun, 2013).
Meningitis tuberkulosa terdiri dari empat stadium, yaitu:
- Stadium I atau stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan tampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering
tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun,
mudah tersinggung, cengeng, obstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran
berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
14
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah.
o Meningeal sign (–)
o Kesadaran baik
o Saraf otak tidak terganggu
- Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala penyakit
lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang disertai
kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai
nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat.
o Meningeal sign (+)
o Kesadaran baik
o Gangguan saraf (N.VI, VII), kadang-kadang didapatkan hemiparesis (oleh karena
arteritis, eksudat yang menekan pedunkulus serebri, dan hidrosefalus)
- Stadium III ditandai dengan meningeal sign (+), kesadaran menurun, terdapat gangguan
saraf otak (gejala fokal positif), dan kejang.
- Stadium IV atau stadium terminal ditandai dengan meningeal sign (+), , terdapat
gangguan saraf otak (gejala fokal positif), kejang, kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma (Bahrudin, 2008).
Pada infant, gejala meningitis dapat berupa:
- High pitched cry
- Fontanella bulging
- Paradoksal iritabel (menangis saat dipegang tapi diam saat dibiarkan)
- Hipotonus (Hasbun, 2013).
Riwayat penderita meningitis dapat berupa:
- Faktor epidemiologi
- Terpapar oleh manusia atau hewan yang menderita penyakit serupa
- Penanganan medis sebelumnya (operasi bagian kepala)
- Lokasi geografi tempat tinggal dan riwayat perjalanan
15
- Musim dan temperatur (Hasbun, 2013).
Diagnosis meningitis yaitu dengan mengidentifikasi gejala dan tanda infeksi SSP
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum dan status neurologis yang didapatkan
gejala iritasi meningen, gangguan nervus cranialis, atau penurunan kesadaran, dan ditambah
pemeriksaan penujang. Tanda meningeal sign didapatkan pada pemeriksaan kaku kuduk,
Brudzinski I, Brudzinski II, Brudzinski III, Brudzinski IV, dan Kernig.
2.4 Pemeriksaan Radiologis
- CT Scan
oPada permulaan penyakit, CT scan normal
oAdanya eksudat purulen di basal, ventrikel yang mengecil disertai edema otak,
atau ventrikel yang membesar akibat obstruksi cairan serebrospinal
oBila penyakit berlanjut, dapat terlihat adanya daerah infark akibat vaskulitis
o Indikasi CT scan sebelum LP: defisit neurologis fokal, kejang pertama kali,
edema papil, penurunan kesadaran, dan penekanan status imun (Dewanto,
Suwono, Riyanto, et al., 2009).
- MRI
oLebih baik dibandingkan dengan CT scan dalam menunjukkan daerah edema dan
iskemi di otak
oPenambahan kontras gadolinium menunjukkan “diffuse meningeal enhancement”
(Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).
2.5 Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan penunjang sebagai gold standart untuk menentukan agen penginfeksi
dengan lumbal pungsi. Teknik lumbal pungsi yaitu pasien diposisikan lateral dengan fleksi
sendi leher dan lutut. Dengan needle 22 atau 20 gauge diinsersikan dibawah spinal cord
terakhir pada ruang L3-4, L4-5, L5-S1 (Hasbun, 2013).
16
(Hasbun, 2013).
Gambar 2.7Evaluasi hasil lumbal pungsi
Dari hasil pemeriksaan CSF pada meningitis TB didapatkan:
-Tekanan meningkat
-Jumlah sel meningkat terutama MN
-Protein meningkat
-Glukosa menurun
-Pellicle (bentukan seperti sarang laba-laba) (Bahrudin, 2008).
Kontraindikasi lumbal pungsi yaitu:
• TIK meningkat
• Radang pada tempat pungsi
• Kondisi umum dengan Hemodynamic or Pulmonary Instability
• Coagulopathy atau thrombocytopenia berat (Bahrudin, 2008).
Gejala peningkatan TIK antara lain:
-Perubahan tingkat kesadaran
-Reflek Cushing: bradikardi, hipertensi dan respirasi ireguler
17
-Dilatasi, nonreaktif pupil
-Parese N. VI unilateral atau bilateral
-Papil edema
-Neck stiffness
-Hiccup
-Muntah proyektil
-Postur deserebrasi (Roos, 1996).
- Tes Lain
o Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam 24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis.
o Dalam kasus ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan
visualisasi yang adekuat dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan.
o EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien
yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharges (PLEDs) seringkali
terlihat pada ensefalitis herpetik.
- Pemeriksaan CSF ulang
Pemeriksaan CSF ulang harus dilakukan pada setiap pasien yang tiadak berespon
secara klinis setelah pemberian terapi antimikroba selam 48 jam (Dewanto, Suwono,
Riyanto, et al., 2009).
2.6 Penatalaksanaan meningitis
1. Terapi non medikamentosa
- Tirah baring total dan cegah timbulnya dekubitus
- Pemberian cairan yang adekuat
- Terapi 5 B: blood (tekanan darah harus dipertahankan), brain (jika tekanan
intrakranial meningkat maka posisi kepala di elevasikan 30° dan diberikan manitol
1 gram/kgBB bolus injeksi kemudian diteruskan 0,25-0,5 gram/kgBB setiap 3-5
jam untuk mencapai osmolaritas serum 295-320 mOsm/L dan dexamethasone 0,15
mg/kgBB tiap 6 jam), breathing: pernapasan harus bebas, bowel: kalori harus
dipertahankan sesuai keadaan penderita, bladder: hindari infeksi kandung kemih.
18
2. Terapi medikamentosa
Bacteria Susceptibility Antibiotic(s) Duration (days)
Streptococcus pneumoniae
Penicillin MIC ≤0.06 μg/mL
Recommended: Penicillin G or amoxicillin/ampicillin
Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, chloramphenicol
10-14
Penicillin MIC ≥0.12 μg/mL
Cefotaxime or ceftriaxone MIC ≥0.12 μg/mL
Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone
Al
Cefotaxime or ceftriaxone MIC ≥1.0 μg/mL
Recommended: Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Alternatives: Vancomycin plus moxifloxacin
Haemophilus influenzae
Beta-lactamase−negative Recommended: Amoxicillin/ampicillin
Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone
7
Beta-lactamase−positive Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone
Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone
Beta-lactamase−negative, ampicillin-resistant
Recommended: Meropenem
Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, aztreonam, a fluoroquinolone
Neisseria meningitidis
Penicillin MIC < 0.1 μg/mL
Recommended: Penicillin G or amoxicillin/ampicillin
Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, chloramphenicol
7
Penicillin MIC ≥0.1 μg/mL
Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone
19
Alternatives: Cefepime, chloramphenicol, a fluoroquinolone, meropenem
Listeria monocytogenes
... Recommended: Amoxicillin/ampicillin or penicillin G
Alternative: TMP-SMX
14-21
Streptococcus agalactiae
... Recommended: Amoxicillin/ampicillin or penicillin G
Alternatives: Cefotaxime, ceftriaxone, vancomycin
14-21
Enterobacteriaceae ... Recommended: Cefotaxime or ceftriaxone
Alternatives: Aztreonam, a fluoroquinolone, TMP-SMX, meropenem, ampicillin
21
Pseudomonas aeruginosa
... Recommended: Ceftazidime or cefepime
Alternatives: Aztreonam, meropenem, ciprofloxacin
21
Staphylococcus epidermidis
Recommended: Vancomycin
Alternative: Linezolid
Consider addition of rifampin
MIC= minimal inhibitory concentration; TMP-SMX = trimethoprim-sulfamethoxazole.(Hasbun, 2013).
Gambar 2.8Antibiotik spesifik dan durasi terapi untuk meningitis bakterial akut
- Agen Antiviral seperti Acyclovir (Zovirax): Untuk diberikan secepatnya ketika
diagnosis herpetic meningoencephalitis dicurigai. Menghambat aktivitas untuk
kedua HSV-1 and HSV-2. Dewasa: 30 mg/kg/hari tiap 8 jam selama 10-14 hari.
Pediatrik: 30 mg/kg/hari tiap 8 jam selama 10 hari.
20
- Terapi untuk meningitis tuberculosis, yaitu:
o INH 10-20 mg/kgBB/hari maksimal 400 mg/hari (dewasa), dapat
menimbulkan komplikasi neuritis perifer. Komplikasi ini dapat dicegah
dengan Piridoksin 25-50 mg/hari
o Streptomisin: 1 gram/hari
o Rifampisin: 10-20 mg/kg/BB/hari, maksimal 600 mg/hari
o Pirazinamid: 20-40 mg/kgBB/hari (± 1 gram/hari) atau 50-70 mg/kgBB
2x/minggu dibagi dalam 2-3 dosis
o Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari atau 50 mg/kgBB 2 minggu sekali.
Etambutol sudah tidak digunakan untuk meningitis TB, oleh karena pada
anak-anak sering menyebabkan atrofi nervus optikus, yang pada anak
dengan kesadaran menurun sulit dideteksi (Bahrudin, 2008).
Obat-obat diatas (INH, Streptomisin, Rifampisin, dan Pirazinamid) harus
diberikan sampai sel menjadi normal, kemudian INH diteruskan selama 1,5 tahun
(Bahrudin, 2008). - Terapi adjuvant: Dexamethasone sebaiknya diberikan 10-20 menit sebelum, atau
bersamaan dengan dosis pertama antimikroba, dengan dosis 0,15 mg/kgBB setiap 6
jam selama 2-4 hari. Terapi ini direkomendasikan terutama pada pasien meningitis
dewasa akibat Pneumococcus, atau pada pasien dengan tingkat keparahan sedang-
berat (GCS≤11). Pemberian dilanjutkan lebih dari 4 hari hanya jika pewarnaan gram
CSF menunjukkan hasil diplococcus gram negative, atau jika kultur darah atau CSF
positif untuk S. pneumoniae (Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).
- Terapi rawat jalan
Kriteria terapi rawat jalan untuk meningitis bakterialis antara lain:
a. Telah mendapat terapi antimikroba di RS ≥6 hari
b. Tidak ada demam minimal 24-48 jam
c. Tidak ada disfungsi neurologik, kelainan fokal, atau aktivitas bangkitan yang
bermakna
21
d. Kondisi klinis stabil atau membaik
e. Mampu makan per oral
f. Kondisi kesehatan rumah yang layak (Dewanto, Suwono, Riyanto, et al., 2009).
2.7 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung pada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan
kematian. Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5–10% penderita
mengalami kematian (Bahrudin, 2008). Kematian akibat meningitis terjadi 20% penderita,
meningkat jika terdapat penurunan kesadaran, awitan kejang dalam 24 jam pertama,
tanda0tanda peningkatan TIK, usia muda (< 1 tahun), atau usia >50 tahun, serta adanya
kondisi yang, memperberat, misalnya syok, keterlambatan diagnosis dan terapi (Dewanto,
Suwono, Riyanto, et al., 2009).
Sedangkan pada meningitis TB tergantung dari usia kurang dari 3 bulan atau lebih dari
60 tahun, prognosisnya lebih jelek. Prognosis akan baik tergantung kecepatan diagnosis dan
penanganan yang tepat (Bahrudin, 2008).