BABINIA

download BABINIA

of 52

Transcript of BABINIA

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia pertama kali di didirikan Bank Syariah pada tahun 1990, yaitu pada lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang diselenggarakan oleh MUI pada tanggal 18 20 Agustus 1990 di Cisarua Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta pada tanggal 22 -25 Agustus 1990 yang menghasilkan pembentukan kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.1 Perbedaan mendasar antara Bank Syariah dengan Bank Konvensional adalah dalam konsep pembagian keuntungan. Pada bank konvensional dipergunakan sistem bunga, sedangkan dalam bank syariah menggunakan sistem bagi hasil. Islam sangat melarang dan mengharamkan konsep bunga yang merupakan unsur dari Riba. Prinsip utama Bank Islam terdiri atas dasar kesetaraan (equality), keadilan (fairness) dan keterbukaan (transparency), pembentukan kemitraan yang saling menguntungkan serta tentu saja keuntungan yang didapat harus dari usaha dengan cara yang halal. Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan menyalurkan dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu, (1) Dalam bentuk1

[email protected], Jakarta, Febuari, 2009.

1

lembaga Baitul Mall yang menerima dana Zakat, Infak, Shodaqah, Hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan (2) Dalam bentuk Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang yang menerima wakaf uang dan menyalurkan ke pengelola (nazhir) yang ditunjuk. Sebagai sebuah tradisi, wakaf telah dikenal serta di praktekkan masyarakat dunia semenjak zaman Romawi kuno, sebelum datangnya Islam.2 Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW berhijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah. Semua orang berduyun-duyu untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi juga dapat menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan hingga membayar gaji para staf, gaji pada guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat dalam berwakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai energi demi membangun solidaritas social dan menggairahkan. Hingga berkelanjutan praktik wakaf pada masa Umayah, Abbasiyah, Ayyubiyah, Sholahuddin al-Ayyuby hingga dinasti Mamluk, perkembangan wakaf pada masa Mamluk berkembang sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwariskan. Perkembangan berikutnya dimana manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti

2

Murat Cizakca, Awqaf in history and its implication for modern Islamic economies, Islamic economic studies Vol 6, No 1, November 1998, 48,, Jedah : IRTI IDB, 1999

2

Mamluk, kemudian mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260 1277 W 658 678 H) di mana dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memiliki hakim dari masing-masing empat mazhab Sunni. Raja Dzahir membagi kategori perwakafan menjadi tiga bagian: Pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf untuk membantu Haramain (fasilitas Makkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Pada tahun 1287 hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan TurkiUstmani dan tanah-tanah kekuasaan produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih terdapat banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktekkan hingga hari ini. Sejak masa Rasulullah, masa kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri Muslim, termasuk di Indonesia3 Melihat wakaf secara historis, sesungguhnya umat Islam dapat mengambil pelajaran berapa pentingnya potensi dan peranan wakaf sebagai sumber ekonomi yang terus menerus guna menjamin berlangsungnya kesejahteraan di masyarakat. Wakaf

3

Departemen Agama , Bungan Rampai Perwakafan, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat pemberdayaan Wakaf. Jakarta tahun 2006 h 10 - 19

3

adalah instrumen ekonomi yang memberikan kehidupan bagi pengelolanya dan masyarakat. Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.4 Dasar hukum perwakafan di Indonesia telah diatur melalui beberapa perundang-undangan dan peraturan pemerintah yaitu: a. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), No. 5 Tahun 1960. Masalah wakaf dapat kita ketahui pada pasal 5, pasal 14 ayat 91 dan pasal 49. b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. PP No. 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab, delapan belas pasal meliputi pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. c. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 19784

Ibid hal 19

4

Menindak lanjuti PP No. 28 Tahun 1977 dikeluarkan Peraturan Mendagri No. 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tata pendaftaran perwakafan tanah milik memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran dan ketentuan peralaihan lalu dilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 yang merinci lebih lanjut tata cara perwakafa tanah milik. d. Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 berisi perintah kepada Menteri Agama RI dalam rangka penyebarluasan kompilasi Hukum Islam (KHI). e. Undang-Undang Tentang Yayasan Pengaturan tentang yayasan termuat dalam UU No. 16 Tahun 2001 Tanggal 16 Agustus 2001 LN Tahun 2001 Nomor 112. f. SK Dir. BI No. 32134/KEP/DIR Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah g. SK Dir. BI No. 32136/KEPIDIR Tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah

h. UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf terdiri atas sebelas bab, tujuh puluh satu pasal, meliputi pengertian tentang tentang wakaf, syarat-syarat sahnya 5

wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelasaian perselisihan, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.

Melihat alur terbangunnya Undang-undang wakaf di atas terasa sudah jelas bahwa wakaf merupakan bagian yang tidak terlepaskan bagi pembangunan ekonomi nasional. Karena dengan wakaf banyak lapisan masyarakat yang akan menikmati wakaf tersebut baik dari pengelola serta masyarakat. Agar wakaf di Indonesia dapat di berdayakan sehingga mampu memberdayakan ekonomi umat, maka di Indonesia perlu dilakukan paradigma baru dalam pengelolaan wakaf. Wakaf yang selama ini dipahami hanya sebatas bangunan masjid, sekolah madrasah serta tanah kosong yang tidak produktif, dan tidak berkembang dengan baik, dan sudah saatnya kini wakaf dikelola secara produktif. Bersyukurlah, hingga saat ini pengelolaan wakaf secara produktif sudah di atur dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan Fatwa MUI tanggal 11 Mei 2002 yang berbunyi : 1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. 3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)

6

4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syariy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.5

Dengan diundangkannya UU No. 41 Tahun 2004, maka kedudukan wakaf menjadi sangat jelas dalam tatanan hukum nasional, dan juga dari sisi hukum Islam (fiqh). Di era modern ini, wakaf tunai telah dipopulerkan oleh M.A. Mannan dengan mendirikan suatu badan yang bernama SIBL (Social Investment Bank Limited) di Bangladesh. SIBL memperkenalkan produk Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) yang pertama kali dalam sejarah perbankan. SIBL menggalang dana dari orang kaya untuk dikelola dan keuntungan pengelolaan disalurkan kepada rakyat miskin.6 Melihat potensi dana wakaf yang sangat besar, maka perlu ada profesionalisasi dalam pengelolaannya (dalam hal ini dewan nadzir). Oleh karenanya dalam kaitan ini, keberadaan bank-bank syariah dipandang sebagai lembaga alternatif yang cukup representatif dalam mengelola dana amanah tersebut. Sebagaimana diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf pasal 28, penerimaan wakaf uang dapat dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh menteri. Pengertian LKS sebagaimana5

http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/413-wakaf-tunai-.html

6

http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/01/05/optimalisasi-fungsi-perbankan-syariahsebagai-nadzir-investasi-wakaf/

7

pasal 1 angka 9 pada PP No. 42 tahun 2006 adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan syariah. LKS dimaksud haruslah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada PP No. 42 tahun 2006 pasal 24 ayat (3) yaitu : LKS yang telah mendapatkan penunjukan oleh Menteri sebagai LKS - PWU, menyampaikan permohonan dan memperoleh rekomendasi dari otoritas pengawasnya, merupakan badan hukum dan memiliki anggaran dasar, memiliki kantor operasional di wilayah RI, bergerak di bidang keuangan syariah, serta memiliki fungsi menerima titipan (wadiah). Dalam hal ini, perbankan syariah yaitu BUS, UUS dan BPRS, secara umum dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan.7 Saat in terdapat 5 Bank syariah yang telah menjadi LKS-PWU yaitu: Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Syariah Mega Indonesia dan Bank DKI Unit Usaha Syariah. Lembaga Keuangan Syariah - Penerima Wakaf Uang yakni dalam hal ini Bank DKI Syariah adalah Bank Syariah yang merupakan sebuah Unit Usaha Syariah dari Bank DKI yang belum menjadi Bank Umum Syariah (BUS), terlepas dari sebuah Unit usaha Syariah (UUS) serta modal yang tidak begitu besar untuk membuka layanan syariah, Bank DKI Syariah berhasil meraih sebuah pernghargaan dari Karim Business Consulting sebagai "The Most Expansive Financing" serta "The Best Office Equipment" untuk kategori UUS dengan modal dibawah Rp 1 Trilyun. Pengharagaan ini membuktikan bahwa sebuah UUS mampu bersaing dengan para BUS di tanah air.

7

http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=741%3Aperanan-perbankansyariah-dalam-implementasi-wakaf-uang&catid=27%3Aopini&lang=in

8

Berangkat dari permasalahan di atas, ingin sekali penulis melakukan penelitian di sebuah Lembaga Keuangan Syariah - Penerima Wakaf Uang yang secara khusus membahas wakaf uang lebih praktis dan real lapangan. Maka dari itu penulis mencoba memberikan sebuah judul WAKAF UANG PADA BANK DKI SYARIAH CABANG WAHID HASYIM

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi di atas maka masalah yang akan dibahas dapat dibatasi pada kegiatan wakaf uang di Bank DKI Syariah mulai dari penghimpunan hingga peta distribusi wakaf uang. 1. Bagaimana Penghimpunan wakaf uang di Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim? 2. Bagaimana Pemanfaatan wakaf uang di Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim? Sedangkan Rumusan masalah yang akan penulis utarakan adalah Bagaimana Mekanisme dan Prosedur Wakaf Uang di Bank DKI Syariah.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka adapun tujuan dan manfaat dari telaah kritis ilmiah ini adalah : 9

1. a.

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui apakah peran perbankan syariah dalam

meningkatkan penghimpunan wakaf uang pada Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim. b. Untuk mengetahui bagaimana implementasi wakaf uang

pada Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim.

2 a.

Manfaat Penelitian Manfaat Bagi Bank DKI Syariah sebagai

bahan evaluasi kritis atau perbandingan atas langkah-langkah yang telah ada dan sedang diambil oleh perusahaan dalam mencapai tujuan dan sekaligus sebagai dasar pengetahuan tentang wakaf uang khususnya dalam meningkatkan

penghimpunan wakaf uang yang digunakan dimasa yang akan datang. b. Bagi nasabah, di harapkan hasil penulisan

ini terbaca secara luas oleh warga negara Indonesia agar mereka yang mayoritas beragama Islam bergerak untuk berpartisipasi dalam pengembangan bisnis wakaf uang dalam pengembangan bisnis produk bank syariah. Sehingga, produk syariah yang dikembangkan mendapat respon yang positif.

10

c.

Bagi

penulis,

sebagai

wahana

untuk

memperkaya khasanah karya tulis tentang wakaf uang dalam meningkatkan penghimpunan wakaf uang.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu digunakan untuk membantu mendapatkan gambaran dalam menyusun kerangka pikir menganai penelitian ini adalah:

a.

Penelitian dilakukan oleh Rusdi Ratoni

203044101792 1428 H/ 2008 M dengan judul Wakaf uang menurut hukum Islam dan UU No. 41 tahun 2004. kajian skripsi ini membahas tentang perbandingan wakaf uang menurut hukum Islam dengan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004. Persamaan skripsi ini sama-sama membahas tentang wakaf uang menurut UU No. 41 tahun 2004 serta letak perbedaannya ialah penulis tidak membandingkan antara wakaf uang menurut UU No. 41 tahun 2004 dengan wakaf uang menurut hukum Islam. b. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Aminah

102044125067 1428 H/2008. Dengan judul Pengaruh Penerapan UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf terhadap Profesionalitas Pengelolaan Wakaf pada Lembaga Tabung Wakaf Indonesia. Skripsi ini membahas 11

tentang pengaruh adanya payung hukum tentang wakaf uang terhadap pengelolaan wakaf secara profesional. Persamaan dalam penulisan ini terletak pada payung hukum wakaf yaitu UU No. 41 Tahun 2004 serta perbedaannya ialah penulis tidak membahas mengenai pengaruh penerapan UU No. 41 tahun 2004.

Dengan demikian pembahasan skripsi yang di angkat dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah ada, yang berkaitan dengan produkproduk perbankan syariah. Karena penulis lebih fokus pada analisa peran dunia Perbankan Syariah khususnya pada Bank DKI Syariah cabang Wahid Hasyim dalam meningkatkan penghimpunan wakaf. Sedangkan penelitian terdahulu lebih kepada perbandingan antara wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 dengan hukum Islam.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif, karena dapat digolongkan ke dalam deskriptif dengan pendekatan studi kasus yaitu untuk melakukan pengukuran yang cermat dan sistematik terhadap peristiwa tertentu dengan cara menafsirkan data yang telah ada dengan tanpa 12

hipotesis dan tetap mempertahankan keutuhan dari objek penelitian yang terintegrasi. 2. Ruang Lingkup Penelitian Objek penelitian ini ditetapkan secara khusus pada Bank DKI Syariah cabang wahid Hayim dan diarahkan untuk mengumpulkan data yang mendukung untuk menjawab permasalahan yang telah

diungkapkan di atas. Penelitian ini khususnya diarahkan pada peran Bank DKI Syariah sebagai Lembaga Keuangan Syariah dalam meningkatkan penghimpunan wakaf uang. 3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Penulis menggunakan jenis data primer dan sekunder Data primer diperoleh melalui pengamatan kegiatan operasional dalam wawancara, Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim. Data sekunder diambil dari dokumentasi perusahaan. Khususnya pada Bank DKI Syariah Cabang Wahid Haysim.

a.

Observasi (data primer) yang dilakuka penulis yaitu dengan cara

mengadakan pengamatan secara langsung pada objek yang diteliti yaitu pada Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim. Data yang diperoleh mencakup beberapa aspek dari segi ekonomi, religius, pendidikan dan teknis yang meliputi situasi lokasi dan keamanan tempat penelitian. 13

b.

Wawancara (data primer) yaitu penulis mengadakan wawancara

secara langsung tentang data internal perusahaan dengan pimpinan bank (direktur) dan staf lainnya yang mewakili objek yang diteliti. Data yang diperoleh berupa peran Bank DKI Syariah dalam meningkatkan wakaf uang. c. Dokumentasi (data sekunder) yaitu proses untuk memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian yang berasal dari data yang berbentuk arsip (dokumen) yang dimiliki oleh bank, buku, majalah, koran dan catatan-catatan yang sudah disedikan oleh BPS (badan pusat statistik) baik melalui internet maupun media lainnya. Data yang diperoleh berupa struktur organisasi, personalia, pemasaran dan operasional.

4. Teknik Analisa Data Analisa dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terkumpul. Proses analisa dimulai dari membaca, mempelajari, dan menelaah data yang didapat mengenai peran Lembaga Keuangan Syariah dalam meningkatkan penghimpunan wakaf uang pada Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim. Selanjutnya dari proses analisa tersebut, penulis mengambil kesimpulan dalam masalah yang bersifat umum kepada masalah yang bersifat khusus (deduktif). 14

5. Teknik Penulisan Skripsi Untuk teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008.

F. Sistematika Penulis

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, sebagai berikut :

BAB I :

PENDAHULUAN Pada bab ini akan di bahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan. 15

BAB II :

LANDASAN TEORI Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian Wakaf, Macam macam Wakaf, Pengertian Wakaf Uang, Tujuan wakaf Uang, Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU), Peraturan UU No. 41 tahun 2004.

BAB III :

GAMBARAN UMUM BANK DKI SYARIAH Wahid Hasyim

Cabang

Dalam bab ini akan diuraiakan mengenai sejarah singkat dan perkembangan Bank DKI Syariah Cabang Wahid Hasyim, Visi dan Misi BANK DKI SYARIAH Cabang Wahid Hasyim, Prinsip Operasional BANK DKI SYARIAH Cabang Wahid Hasyim, Struktur Organisasi BANK DKI SYARIAH Cabang Wahid Hasyim dan Produk serta Jasa BANK DKI SYARIAH Cabang Wahid Hasyim.

BAB IV :

HASIL PENELITIAN Penulis akan membahas mengenai Perkembangan Wakaf Uang pada BANK DKI SYARIAH Cabang Wahid Hasyim, Analisis

16

Data dan Peran Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dalam Penghimpunan Wakaf Uang

BAB V :

PENUTUP

Pada bab ini berisikan mengenai kesimpulan penelitian dan merupakan jawaban dari perumusan masalah dalam penelitian. Selain itu pada bab ini juga berisikan saran-saran dari penulis selama melakukan penelitian.

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. WAKAF 1. Pengertian Wakaf Menurut Bahasa

Kata wakaf merupakan bentuk masdar yang berakar kata (- .)wakaf berarti tertahan untuk didayagunakan, dan dimaksud adalah menahan harta yang kemudian mengalokasikannya ke jalan Allah. Kata al-

17

Habs (penahanan) bermakna larangan yang menunjukan kelanggengan seperti perbuatan Umar bin Khattab yang mewakafkan tanahnya dengan

melanggengkan penahanan atas tanah tersebut dan tidak menjual atau merwariskannya.8 Benda yang dijadikan objek wakaf disebut al-mauquf, baik atas kepemilikan Wakif (pemilik benda wakaf), atau kepemilikan Allah SWT. Dan yang dikehendaki dengan wakaf di sini ialah menahan benda milik wakif di jalan Allah SWT untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang banyak. 2. Wakaf Menurut Istilah Para ahli fiqh, terutama para pengikut imam empat mazhab memiliki perbedaan pandangan dalam menterjemahkan wakaf menurut istilah. Perbedaan sudut pandang pengikut empat mazhab itu, terletak pada penekanan kelaziman yang berimplikasi kepada keharusan. Dan perbedaan itu juga dapat terjadi akibat persepsi tentang ketentuan waktu yang membatasi dan tidak ada ketentuan wakatunya, dalam pengertian berwakaf berarti melepas hak untuk selamanya.9 Berkenaan dengan perngertian wakaf, para pengikut imam empat mazhab mendefinisikan sebagai berikut:8

Muhammad bin Makrum bin Manzur al-Afriki al-Misriy, Lisan al-Arab Beirut: Dar Shadr, t. th. Cet. Ke. I, Juz IX, hal. 359 9 Ahmad Sudirman Abbas , (belum lengkap Footnotenya)

18

a.

Hanafiyah (pengikut mazhab Hanafi), mendefinisikan dengan

ungkapan :

wakaf menurut syara adalah menahan benda yang menjadi hak milik pewakaf (wakif) dan menyedekahkan dari hasil-hasil dari benda tersebut. Atau dengan ungkapan lain menyalurkan

kemanfaatan hasil-hasilnya kepada siapa saja yang dikehendaki wakif, dan keduanya (wakif dan nazhir) berkewajiban menjaga barang tersebut untuk tujuan kebaikan. Definisi diatas memberikan pengertian bahwa kepemilikan benda wakaf tidak harus berpindah kepada orang lain kecuali berdasar keputusan hakim. Kelompok ini (Hanafiyah) memandang wakaf (benda wakaf) sebagai perbuatan mubah. b. Golongan Malikiyah (pengikut Mazhab malik) mendefinisikan

wakaf sebagai berikut:

.

19

Wakaf adalah suatu tindakan yang menjadikan benda hak milik menghasilkan nilai yang bermanfaat dan dapat dinikmati walau dengan cara menyewakannya. Yang dimaksud suatu tindakan disini adalah tindakan yang dilakukan oleh pemilik benda, dimana si empunya bermaksud menahan diri untuk tidak mengapasajakan benda tersebut dari sisi manfaat. Sedangkan manfaat yang timbul dari benda tesebut diperuntukkan untuk kebajikan, dengan tetap melengketkan

kepemilikan kepada wakif pada tenggang waktu tertentu. Tetapnya hak kepemilikan perwakaf (wakif) terletak pada benda yang diwakafkan (al-mauquf), sedangkan tindakan atau perbuatan berwakaf berarti melepas penikmatan atas hasil atau hak mengapasajakan benda terbut. Golongan Malikiyah memahami kalimat () kepemilikan yang disewakan, dengan ilustrasi menyewakan rumah hak milik atau sebidang tanah dengan tenggang waktu tertentu dengan mewakafkan nilai yang dihasilkan dirinya kepada orang lain selama kurun wakatu tertentu.

20

c.

Golongan Syafiiyah (pengikut Mazhab Syafii), mendefiniskan

wakaf sebagai berikut:

: . Menahan benda yang dimungkinkan dapat menghasilkan manfaat atau nilai, dengan tetap menjaga eksistensinya dengan tidak mengurangi substansi barang itu. Dan pengawasan berada di tangan Wakif serta dialokasikan kepada kegiatan yang dibenarkan. Definisi di atas menunjukan bahwa pewakaf (wakif) terhalang untuk memperoleh sesuatu manfaat dari benda yang telah ia wakafkan. Selain itu, wakaf tidak dibenarkan menarik kembali benda wakaf karena kata al-habs berarti terlarang untuk dimiliki kembali hak kepemnilikan berpindah menjadi hak Allah SWT. Untuk itu, wakaf menurut term Syafiiyyah tidak bisa dimiliki siapapu, tetapi kemanfaatan yang dihasilkan diperuntukkan bagi siapa saja. d. Golongan Hanabilah (pengikut mazhab Hambali)

mendefinisikan wakaf dengan kalimat :

. 21

Menahan fisik benda wakaf dan mendaya-gunakannya menjadi sesuatu yang menghasilkan (produktif) Wakaf menurut pandangan pengikut mazhab Hambali

memisahkan hak kepemilikan pewakaf (wakif) atas benda yang diwakafkan (al-mauquf). Jadi, ketika wakif telah berwakaf atas suatu benda miliknya, maka hak memiliki benda terbut terlepas darinya dan kemudian kepemilikan benda diserahkan kepada mereka yang ditunjuk oleh wakif. Kepemilikan yang diterima oleh pengelola benda wakaf tidak dapat merubah status benda itu menjadi hak milik, sehingga pengelola (al-mauquf alaihim) tidak berhak menjual atau mengubahkannya. e. Jumhur Ulama, termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin

Hasan al-Syaibaniy (dari pengikut mazhab hanafi), mendefinisikan wakaf dengan : Menahan dan atau menghalangi tindakan hukum wakif terhadap benda wakaf miliknya untuk selanjutnya memanfaatkan hasilnya bagi kepentingan umum dan kebajikan dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedang materinya (benda) tetap utuh.

22

Definisi menurut term jumhur selama ini menegaskan bahwa harta yang sudah diwakafkan tidak lagi menjadi milik wakif, sedang akad yang terjadi bersifat mengikat. Sifat mengikat ini berarti ikrar wakif melepaskan harta miliknya benar-benar merubah status kepemilikan menjadi bukan miliknya. Status benda tersebut telah merubah menjadi milik Allah SWT yang dipergunakan untuk kebaikan bersama, sehingga wakif tidak lagi memiliki kewenangan untuk bertindak hukum terhadap benda itu. Dari batasan pengertian di atas dapat diketahui bahwa wakaf pada dasarnya adalah penahanan pokok untuk selama-lamanya atas harta untuk kepentingan agama.

B. Dasar Hukum Wakaf

Secara khusus tidak ditemukan nash al-Quran dan hadits yang secara tegas menyebutkan dasar hukum ibadah wakaf. Tetapi secara umum banyak ditemukan ayat-ayat al-Quran dan hadits yang menganjurkan agar orang yang beriman mau menyisihkan sebagian dari kelebihan hartanya untuk digunakan

23

bagi proyek-proyek yang produktif bagi masyarakat. Di antara nash al-Quran dan hadits yang dapat dijadikan sumber legitimasi wakaf ialah :

1.

Dasar Hukum dari al-Quran:

24

Bukanlah dengan menghadapkan wajah kalian ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan; akan tetapi sesungguhnya itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zaka; dan orang-orang yang menepati janjinya bila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang

bertaqwa. (al-Baqarah :2:177)

Tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan, sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian daripada barang yang kamu sayangi( QS. Al Imron ayat 92) Kata infaq bersifat umum yang diperuntukkan sarana menanam buah kebajikan berupa materi yang dapat dirasakan langsung oleh para pihak yang membutuhkan dan menghajatkan. Ayat di atas dipahami oleh 25

para ulama sebaga dasar disyariatkannya wakaf walau secara literal tidak menyebut kata wakaf. Wakaf merupakan salah satu bentuk infaq yang bertujuan memberikan manfaat fisik berupa materi bagi mereka yang memerlukan atas asas lillah. Sitiran al-Quran melalui untaian ayat-ayat yang diasumsikan sebagai dasar hukum wakaf, mengindikasikan pentingnya berwakaf untuk memelihara stabilitas ekonomi Islam. Allah SWT Maha Mengetahui hakikat manusia yang ego, sombong dan ingin beruntung sendiri. Dan melalui jalan wakaf, Allah menjamin bahwa keutuhan benda tetap terpelihara sedang nilai kebajikan sebagai persiapan bekal di akhirat otomatis didapatkan. 2. A-Sunnah

: . Dari Abu Hurairah R.A. berkata bahwa Nabi SAW bersabda : Apabila anak Adam meniggal dunia, maka terputuslah semua urusan dunianya kecuali tifa hal : Pertama : Sedekah jariyah (sedekah yang mengalir) Kedua Ketiga : Ilmu yang bermanfaat, dan : Anak shaleh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya

26

Hadits di atas, menyebut sedekah jariyah yang ditafsir oleh ulama dengan makna wakaf. Maka sdekah jariyah berarti sedekah yang mengalir pahalanya sebagai pertanda bahwa benda yang diamalkannya tetap utuh tidak berkurang secara fisik, dan hal demikian dapat dijumpai pada benda wakaf.

3.

Al-Ijma

Kesepakatan para sahabat terhadap pengalaman hadits-hadits yang bersumber dari Nabi SAW tentang dibenarkannya berwakaf. Kesepakatan itu terlihat dari bukti sejarah yang tidak mendapati perbedaan pendapat tentang disyariatkannya wakaf, bahkan Khulafa Rasyidin berikut para sahabat menyepakatinya. Komitmen mereka diiringi dengan melakukan tindakan nyata mensedekahkan harta melalui cara berwakaf. Menurut Jabir seperti dimuat Ibnu Qudamah dalam al-Mughninya

bahwa para sahabat Nabi SAW pada umumnya melakukan wakaf. Berwakaf bagi mereka merupakan trend masa itu, sehingga kegiatan bersedekah dengan jalan wakaf menjadi ijma (kesepakatan) di kalangan mereka.10

C.10

Macam - Macam Wakaf

Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi Abu Muhammad (w. 620 H), al-Mughniy fi Fiqh alImam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H, cet, ke-I, juz V, hal 376

27

Wakaf dapat dibagi menjadi dua (2) macam : 1. Wakaf Ahli Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut sebagai wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalh mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan keluarga (family) lingkungan kerabat sendiri.11 Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam dibenarkan berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya. Diujung Hadist tersebut dinyataklan sebagai berikut :

11

Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Lebanon : Dar al-Arabi), 1971, hal. 378

28

, , . Artinya : Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memeberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya. 2. Wakaf Khairi Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).12 Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan,, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainaya. Jenis wakaf ini seperti dijelaskan dalam Hadist Nabi Muhammad Saw yang menceritakan tentang wakaf Sahabat Umar bin Khattab. Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah, para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya. Wakaf ini ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan12

Sayyid Aabiq, op. cit hal 378

29

kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, pertanahan, keamanan dan lain-lainnya. D. Rukun dan Syarat Wakaf Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun Wakaf ada empat (4) yaitu :13 a. Wakif (orang yang mewakafkan harta) b. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan) c. Mauquf Alaih (pihak yang diberi wakaf / peruntukan wakaf) d. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)

Syarat-Syarat Wakaf (al-wakif) 1) Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif), Syarat-syarat al-

waqif ada empat :

13

Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah) IV, hal. 377 dan Asy-Syarbini, Mughni al Muhtaj, (Kairo : Mushthafa halabi), II, hal. 376

30

b.

Orang yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh

harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. c. Dia mestilah orang yang berakal, tak sah wakaf orang

bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. d. e. Dia mestilah baligh. Dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum

(rasyid). Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah mewakafkan hartanya. 2) Syarat-Syarat Harta yang Diwakafkan (al-mauquf) Harta yang diwakafkan itu tidak sah dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan antara lain: a. Barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga b. Harta yang diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya, Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah c. Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif)

31

d. Harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut dengan istilah ghaira shai 3) Syarat-Syarat Orang yang Menerima Manfaat Wakaf (al-

mauquf alaih): Dari segi klasifikasinya orang yang menerima wakaf ini ada dua macam : a. b. Orang yang menerima tertentu (mu'ayyan) dan, Orang yang menerima Tidak tertentu (ghaira mu'ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu (mu'ayyan) ialah, jelas orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah. Sedangkan yang tidak tertentu (ghaira mu'ayyan). maksudnya, tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara terperinci, umpamanya seseorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll. Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu (al-mawquf mu'ayyan) bahwa ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim, merdeka

32

dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dengan ghaira mu'ayyan ialah, yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah. Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja. 4) Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat yaitu: a. Ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang

menunjukkan kekalnya (ta'bid). Tidak sah wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. b. Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa

disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. c. d. Ucapan itu bersifat pasti. Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.

33

Apabila semua persyaratan di atas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu, karena telah berpindah kepada Allah SWT.14

E.

Wakaf Tunai (Cash Waqf) dan Kesejahteraan Umat Pada umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah dan

bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para ulama bahwa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang atau disebut nadzir dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam dengan tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya. Hukum mewakafkan uang tunai merupakan permasalahan yang

diperdebatkan di kalangan ulama fiqih. Hal ini sisebabkan karena cara yang lazim dipakai oleh masyarakat dalam mengembangkan harta wakaf berkisar pada penyewaan harta wakaf. Oleh karena itu sebagian ulama merasa sulit menerima ketika ada di antara ulama yang berpendapat sah hukumnya mewakafkan uang

14

http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=58&Itemid=54&lang=in

34

dirham dan dinar. Dengan uang sebagai asset wakaf, maka pendayagunaannya dalam pengertian mempersewakannya akan terbentur dengan larangan riba. Adapun alasan ulama yang tidak membolehkan berwakaf dengan uang antara lain: 1. Bahwa uang bisa habis habis zatnya sekali pakai. Uang hanya

bisa dimanfaatkan dengan membelanjakannya sehingga bendanya lenyap. Sedangkann inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lagi kekal, tidak habis sekali pakai. Oleh karena itu ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis pakai. 2. Uang seperti dirham dan dinar, diciptakan sebagai alat tukar

yang memudahkan orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Dalam Al-Isaf fi Ahkam al-Awqaf, Al-Tharablis menyatakan: sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabatAbu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dirham atau dinar, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditakar, seperti makanan gandum. Yang membuat mereka merasa aneh adalah karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera

35

mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang dapat kita lakukan dengan dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori menjelaskan dengan mengatakan: kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usaha mudharabah kemudian hasilnya disedekahkan. Di kalangan Malikiyah populer pendapat yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang kontan seperti dilihat dalam kitab al-Majmu oleh Imam Nawawi (15/325) yang mengetakan: dan para sahabat kita berbeda pendapat tentang berwakaf dengan dana dirham dan dinar. Orang yang membolehkan mempersewakan dirham dan dinar membolehkan berwakaf dengannya dan yang tidak memperbolehkan mempersewakannya tidak membolehkan mewakafkannya. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Fatwa (31/234-325), meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan berwakaf dalam bentuk uang, dan hal yang sama dikatakan pula oleh Ibnu Qudamah dalam bukunya alMughni (8/229-230). Terdapatnya wacana bolehnya wakaf dengan uang tunai seperti di atas, memperlihatkan adanya upaya yang terus menerus untuk memaksimalkan sumber dana wakaf. Karena semakin banyak dana wakaf yang dapat dihimpun, berarti semakin banyak pula kebaikan yang mengalir kepada pihak yang berwakaf. Dengan demikian pendapat ulama yang membolehkan berwakaf dalam bentuk

36

uang, membuka peluang bagi aset wakaf untuk memasuki berbagai macam usaha investasi seperti syirkah, mudharabah dan lainnya.15 Hasil dari diskusi dan perdebatan wakaf dari waktu kewaktu akhirnya mendapatkan apresiasi dari pemerintah dengan hadirnya perundangan-undangan No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-Undang ini selanjutnya disusul oleh kelahiran PP No No 42/2006. Dengan demikian, wakaf uang telah diakui dalam hukum positif di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. Dalam sejarah Islam, masalah wakaf uang (waqf an-nuqud) telah berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Pengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf sudah dilakukan sejak lama di masa klasik Islam. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf uang sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah.

15

Mustafa EdwinNasution, Wakaf Tunai Inovesi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam mewujudkan Kesejahteraan Umat, (PSTTI-UI), Jakarta, hal 97-99

37

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf uang juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafiiy juga membolehkan wakaf uang sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafiiy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham. Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf uang. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai berikut: 1. Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf

yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat

berharga. 3. Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)

38

4.

Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan

untuk hal-hal yang dibolehkan secara syariy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,

dihibahkan dan atau diwariskan. Berdasar kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama (2003), perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Sementara di Indonesia belum berjalan sama sekali. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern, Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya. Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.

39

Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), untuk melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.16

Kesejahteraan Ekonomi Umat Melihat dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang, maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia. 1. Angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, yang perlu mendapat perhatian dan langkah-langkah yang konkrit. 2. Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin. 3. Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.16

http://zonaekis.com/wakaf-uang-dan-peningkatan-kesejahteraan-umat#more-1012

40

4. Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan public goods. Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Pengembangan wakaf uang memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf uang, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut: a. Wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf. b. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.

41

c. Dana wakaf uang juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. d. Pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. e. Dana wakaf uang dapat membantu perkembangan bank-bank syariah. keunggulan dana wakaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah. Dengan demikian dana wakaf yang terkumpul tersebut merupakan dana abadi yang seyogyanya harus ada hingga akhir zaman yang akan terus dan selalu memberikan manfaat bagi masyarakat maupun si pemberi wakaf (alwakif). Dapat dibayangkan betapa besar dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari tahun ke tahun yang dapat dijadikan sebagai Modal Sosial Abadi.17

17

Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workdshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif), di Wisma haji batam, 7-8 Januari 2002), hal. 16.

42

Untuk merealisasikan gagasan yang baik di atas tentunya membutuhkan langkah-langkah yang sistematis dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada baik dari pemerintah maupun masyarakat.

F.

Lembaga Keuangan Syariah - Penerima Wakaf uang (LKS-

PWU) dan Pengeloalaan Wakaf Uang Meningkatkan peluang dan ketertarikan masyarakat untuk berwakaf uang merupakan suatu potensi yang besar untuk dimanfaatkan dengan baik demi kesejahteraan umat. Terwujudnya kesejahteraan umat melalui wakaf uang tentunya tidak tidak terlepas dari pengelolaan dana wakaf oleh nazhir melalui jaringan lembaga keuangan syariah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri Agama. Perbankan syariah adalah salah satu LKS yang dapat melakukan penerimaan wakaf serta menjadi tempat pengelolaan dana wakaf oleh nazhir. Dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya, antara lain luasnya jaringan kantor beserta jaringan ATM-nya, SDM yang handal serta terjaminnya dana wakaf oleh lembaga penjamin simpanan, telah menjadikan perbankan syariah memiliki potensi yang luar biasa untuk ikut serta mengoptimalkan pengumpulan dan pengelolaan wakaf. Tidak lah berlebihan apabila harapan umat saat ini digantungkan kepada pundak perbankan syariah terkait

43

pelaksanaan wakaf uang. Peranan perbankan syariah dalam melaksanakan wakaf uang menjadi dipertaruhkan demi kelangsungan wakaf uang itu sendiri, maupun optimalisasi kesejahteraan umat. Sebagaimana diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 28, penerimaan wakaf uang dapat dilakukan melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) yang ditunjuk oleh menteri. Pengertian LKS sebagaimana pasal 1 angka 9 pada PP No. 42 tahun 2006 adalah badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang keuangan syariah. LKS dimaksud haruslah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada PP No. 42 tahun 2006 pasal 24 ayat (3) yaitu, : LKS yang telah mendapatkan penunjukan oleh menteri sebagai LKS-PWU, menyampaikan permohonan dan memperoleh rekomendasi dari otoritas pengawasnya, merupakan badan hukum dan memiliki anggaran dasar, memiliki kantor operasional di wilayah RI, bergerak di bidang keuangan syariah, serta memiliki fungsi menerima titipan (wadiah). Dalam hal ini, perbankan syariah yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Perkreditan Rakyar Syariah (BPRS), secara umum dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang sebagaimana dimaksud pasal 48 dalam PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU no. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, hanya dapat dilakukan

44

melalui investasi pada produk-produk LKS atau instrument keuangan syariah. Pengertian investasi sendiri dalam UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pasal 1 angka 24 menyebutkan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank Syariah atau UUS berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito, Tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Termasuk dalam pengertian bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu adalah investasi dengan akad mudharabah muqayyadah. Bank Syariah sebagai salah satu LKS PWU memiliki dasar hukum yaitu UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dimana dijelaskan bahwa Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (pasal 1 angka 7). Tujuan dari bank syariah adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan

kesejahteraan rakyat (pasal 3), dengan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat (pasal 4 ayat 1). Disamping melaksanakan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat di atas, bank syariah juga dapat melakukan fungsi sosial berupa penerimaan dana zakat, infak, sedekah dan hibah, serta menyalurkannya kepada

45

organisasi pengelola zakat (pasal 4 ayat 2). Selain itu, bank syariah dapat menghimpun wakaf uang dan meneruskannya kepada nazhir yang ditunjuk (pasal 4 ayat 3). Dalam melaksanakan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, termasuk dalam pelaksanaan wakaf uang, terdapat beberapa produk bank syariah yaitu : 1. 2. Menghimpun dana masyarakat, termasuk menerima wakaf uang. Menyalurkan dana masyarakat, termasuk investasi / pengelolaan

wakaf uang. Pengelolaan Wakaf Uang Pengelolaan wakaf di Indonesia telah mengalami tiga periode besar pengelolaan wakaf18 yaitu: a. Periode tradisional dimana wakaf diperuntukkan bagi pembangunan disik seperti masjid, pesantren dan kuburan sehingga kontribusi sosial belum begitu terasa. b. Periode semi professional dimana wakaf dikelola secara produktif namun belum dilakukan secara maksimal.

18

Dr. Muh. Syafii Antonio, M.Sc , Pengantar Pengelolaan Wakaf Secara Produktif dalam Achmad Djunaidi & Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif : sebuah Upaya Progresif untuk Kesejahteraan Umat Mitra Abadi Press, Desember, 2005

46

c. Periode prodesional yang ditandai dengan pemberdayaan potensi wakaf masyarakat secara produktif meliputi aspek: 1. 2. 3. 4. Manajemen SDM Kenazhiran Pola Kemitraan Usaha Bentuk benda wakaf yang mulai

berkembang lebih likuid seperti uang, saham dan surat berharga lainnya Dana wakaf yang terkumpul dapat dikelola atau diinvestasikan secara tidak langsung atau secara langsung oleh nazhir ke berbagai sector usaha yang halal dan produktif19 melalui produk-produk perbankan syariah sebagai berikut : a. Investasi Wakaf Uang Secara Tidak Langsung melalui tabungan atau deposito Mudharabah. Atas dana wakaf uang yang terkumpul dalam giro / tabungan atas nama nazhir di bank syariah, maka nazhir berkewajiban untuk mengelola dana wakaf uang secara profesional dan transparan. Untuk itu, nazhir dapat menanamkan dana wakaf uang dimaksud ke dalam bentuk tabungan / deposito19

H.M. Cholil Nafis, MA, Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial dalam Al-Awqaf, Volume II, No.2, April 2009

47

mudharabah di bank syariah dimaksud dengan nisbah bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini dana wakaf uang memiliki jangka wakatu tertentu (sementara atau permanen), maka penanaman dana wakaf uang hanya dapat dilakukan di dalam bank syariah terkait. Selanjutnya dana yang ditanamkan oleh nazhir dalam bentuk tabungan / deposito mudharabah, akan disalurkan oleh bank syariah melalui pembiayaan ke berbagai usaha sektor rill yang halal, sehingga nazhir dapat memperoleh bagi hasil dari bank syariah. b. Investasi Wakaf Uang Secara Langsung melalui akad mudharabah muqayyad Dalam hal ini, nazhir memiliki alternative penanaman dana wakaf uang di luar bank syariah, nazhir dapat menggunakan produk bank syariah dengan akad mudharabah muqayyad. Dengan skim produk ini, nazhir dapat menetapkan beberapa persyaratan atau kualifikasi tertentu terkait dengan pengelolaan dana wakaf uang.

48

Berdasarkan persyaratan tersebut, bank syariah akan mencari mudharib atau proyek yang sesuai. Selanjutnya nazhir akan melakukan negosiasi dan kesepakatan dengan calon mudharib, termasuk menetapkan nisbah bagi hasil dan kewajiban pertanggungan dari asuransi syariah. Berdasarkan kesepakatan tersebut, bank syariah, atas perintah nazhir, dapat menyalurkan dana wakaf uang ke dalam proyek yang disepakati sebagai satu bentuk investasi dana wakaf uang yang dipilih langsung oleh nazhir.

Terkait dengan pelaksanaan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat, khususnya menghimpun wakaf uang dan meneruskannya kepada nazhir, terdapat beberapa keunggulan Bank Syariah yaitu: a. Jaringan Kantor Bank Syariah tersebar luas di wilayah Republik Indonesia, sehingga memungkinkan lebih banyak masyarakat untuk dapat menyetorkan wakaf uang pada rekening nazhir di kantor Bank Syariah terdekat. Sampai dengan Maret 2010 terdapat 8 BUS, 25 UUS dan 143 BPRS dengan jumlah jaringan kantor sebanyak 1472 Kantor

49

yang tersebar di 33 propinsi. Dari jumlah bank syariah tersebut, saat in terdapat 5 Bank syariah yang telah menjadi LKS-PWU yaitu : Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Syariah Mega Indonesia. b. Fasilitas beberapa Bank Syariah yang relative lengkap seperti tersedianya jaringan ATM yang banyak tersebar, SMS Banking, Internet Banking, Phone Banking, dan fasilitas auto debet dari rekening nasabah, dapat memudahkan masyarakat untuk melakukan setoran wakaf uang. Saat ini bank syariah memiliki lebih dari 10.000 fasilitas ATM, baik ATM sendiri maupun ATM bersama. c. SDM Bank Syariah yang professional akan menjamin dana wakaf uang yang diterima dan dikelola melalui bank syariah, akan dilakukan secara optimal, amanah, jujur dan transparan, sehingga diharapkan dapat memaksimalkan manfaat dari pengelolaan wakaf uang. d. Dana Wakaf Uang yang berada di Bank Syariah, baik berupa dana titipan (wadiah) nazhir maupun dana kelolaan (mudharabah) nazhir, merupakan bagian dari dana pihak ketiga bank syariah yang dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). Dengan demikian, dana wakaf uang di bank syariah menjadi lebih aman dan terjamin dibandingkan apabila dana wakaf uang dikelola di luar bank syariah.2020

http://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=741%3Aperanan-perbankansyariah-dalam-implementasi-wakaf-uang&catid=27%3Aopini&Itemid=137&lang=in

50

G.

Dampak Pengelolaan Wakaf Tunai Oleh Perbankan Syariah

Terhadap Perkembangan Perkembangan Wakaf Pengembangan produk wakaf tunai tentunya tidak terlepas dari pengembangan format ekonomi syariah secara keseluruhan. Secara makro, keberadaan wakaf tunai sudah barang tentu akan meningkatkan mashlahat dan kesejahteraan masyarakat secara umum. Secara makro, keberadaan wakaf tunai juga diharapkan dapat bersinergi secara optimal untuk turut mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya sebagai salah satu permain di dalam perekonomian. Dalam kaitan itu pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimingkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut: 1. syariah 2. Meningkatkan citra positif bank sebagai implikasi wajar Menambah alternative perolehan pendapatan perbankan

disalurkannya pembiayaan untuk kebaikan (qardhul hasan) melalui kebijakan dan jaringan perbankan syariah.

51

3.

Apabila keberadaan wakaf tunai ditanggapi dan disambut

baik oleh masyarakat, maka diperkirakan akan menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh diharapkan akan mendorong minat serta gairah bank-bank non syariah untuk ikut mencoba melakukan kegiatan perbankan syariah dalam rangka untuk menangkap peluang pasar di dalam penghimpunan dana wakaf ini. Kecendrungan ini tentu saja merupakan hal posited di dalam perkembangan perbankan syariah secara keseluruhan.21

21

Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (PSTTI-UI), Jakarta, hal.115-116

52