bab6
-
Upload
indah-maulana-sari -
Category
Documents
-
view
215 -
download
3
description
Transcript of bab6
BAB 6PEMBAHASAN
6.1 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Pada hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa dari 123 orang ibu yang didiagnosis
preeklampsia, sebanyak 93 orang (75,6%) di antaranya berusia 20-35 tahun, 26 orang
(21,1%) berusia >35 tahun, sedangkan untuk usia <20 tahun hanya 4 orang (3,3%). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa ibu yang didiagnosis preeklampsia sebagian besar berasal
dari kelompok usia reproduktif yaitu 20-35 tahun. Usia 20-35 tahun merupakan usia yang
ideal bagi wanita untuk hamil. Kondisi anatomis dan fisiologis organ reproduksi wanita yang
masih baik pada usia ini, mendukung proses kehamilan dan melahirkan yang sehat.
Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda seperti pada
penelitian Djannah dan Arianti (2010) di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
didapatkan hasil dari 118 ibu yang didiagnosis preeklampsia, terdapat 76 orang (64,4%) dari
kelompok usia 20-35 tahun, 37 orang (31,4%) berusia >35 tahun, dan hanya terdapat 5 orang
(4,2%) dengan usia <20 tahun. Indriani (2012) dalam penelitiannya mendapatkan hasil
proporsi usia ibu yang mengalami preeklampsia paling banyak pada kelompok usia 20-35
tahun (62,5%), sedangkan pada kelompok usia >35 tahun sebanyak 15%.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang menyebutkan bahwa preeklampsia
sering terjadi pada ibu yang melahirkan pada usia ekstrim yaitu <20 tahun atau >35 tahun.
Angka kejadian preeklampsia yang meningkat pada usia muda, secara teori dihubungkan
dengan belum sempurnanya organ-organ pada wanita untuk bereproduksi dan belum siap
untuk menerima kehamilan. Selain itu juga disebabkan oleh faktor psikologis pada wanita
muda yang cenderung kurang stabil. Masalah psikis seperti perubahan mood dan stress yang
sering terjadi pada kehamilan dapat memicu terjadinya penyulit kehamilan seperti
preeklampsia.
Wanita berusia >35 tahun berisiko mengalami preeklampsia disebabkan karena
terjadinya perubahan pada organ-organ reproduksinya. Rozikhan (2007) dalam penelitiannya
juga menyebutkan bahwa ibu hamil dengan usia <20 tahun dan >35 tahun berisiko 3 kali
lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia berat dibandingkan ibu yang berusia 20-35 tahun.
Semakin bertambah usia seseorang semakin rentan terhadap terjadinya berbagai penyakit.
Pada wanita, hal ini berkaitan dengan perubahan pada sistem kardiovaskulernya dan secara
teoritis preeklampsia dihubungkan dengan adanya patologi pada endotel yang merupakan
bagian dari pembuluh darah. Perbedaan pada hasil penelitian ini disebabkan karena dari
seluruh data subjek penelitian, sebagian besar merupakan ibu hamil primigravida yang
biasanya masih berusia reproduktif. Preeklampsia sering terjadi pada primigravida muda dan
dipengaruhi oleh banyak faktor, tidak hanya dilihat dari usia ibu saja.
6.2 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Paritas
Hasil dari penelitian ini didapatkan preeklampsia paling banyak terjadi pada ibu
primigravida sebanyak 68 orang (55,3%), diikuti ibu multigravida sebanyak 47 orang
(38,2%), dan yang terendah yaitu ibu grandemultigravida yang hanya berjumlah 8 orang
(6,5%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Indriani (2012) yang mendapatkan jumlah
tertinggi yaitu pada ibu hamil primigravida sebanyak 51,3%, kemudian diikuti gravida 2-4
sebanyak 38,8% dan gravida ≥5 yang hanya berjumlah 10%. Terdapat hubungan yang
signifikan antara primigravida dengan preeklampsia. Ibu hamil primigravida memiliki risiko
2,263 kali mengalami preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil multigravida (Zulkarnain
dkk., 2012). Menurut The New England Journal of Medicine, kehamilan pertama berisiko
terjadi preeklampsia sebesar 3,9%, kehamilan kedua 1,7%, dan pada kehamilan ketiga 1,8%.
Pada primigravida, pembentukan antibodi penghambat (blocking antibodies) belum
sempurna. Pada ibu hamil normal antibodi ini berfungsi sebagai pelindung janin dari reaksi
antigen-antibodi. Reaksi ini dapat timbul akibat sistem kekebalan tubuh ibu yang mengenali
sel sperma ataupun janin sebagai antigen, sehingga apabila kadar antibodi tersebut rendah,
dapat terjadi gangguan (Candra dkk., 2013). Berdasarkan teori intoleransi imunologik antara
ibu dan janin, pada kehamilan pertama terjadi penurunan ekspresi HLA-G sehingga ibu dapat
menolak hasil konsepsi (plasenta) dan terjadinya intoleransi ibu terhadap plasenta atau
immune maladaptation yang menyebabkan preeklampsia (Prawirohardjo, 2010).
Primigravida atau kehamilan pertama juga sering mengalami stres dalam kehamilan
dan persalinan. Stres psikologis dapat menyebabkan peningkatan pelepasan
Adenocorticotropic releasing hormone (ACTH) oleh hipothalamus, yang menstimulasi
sekresi kortisol. Kadar kortisol yang meningkat di dalam tubuh akan menstimulasi efek
simpatis, termasuk peningkatan curah jantung dan tekanan darah. Pada ibu hamil dengan
preeklampsia tidak terjadi penurunan sensitivitas terhadap vasopeptida, sehingga peningkatan
besar volume darah langsung meningkatkan tekanan darah dan curah jantung (Candra dkk.,
2013).
6.3 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Kehamilan Ganda
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat 113 ibu (91,9%) yang bukan kehamilan
ganda dan hanya 10 ibu (8,1%) dengan kehamilan ganda. Pada penelitian Rozikhan (2007)
diperoleh hasil yang tidak jauh berbeda yaitu dari total 200 responden terdapat 195 orang
dengan kehamilan tunggal, sisanya hanya terdapat 5 orang saja dengan kehamilan ganda.
Pada 5 orang dengan kehamilan ganda tersebut, terdapat 3 orang yang mengalami
preeklampsia berat dan 2 orang yang tidak mengalami preeklampsia berat, sedangkan pada
responden dengan kehamilan tunggal, yang mengalami preeklampsia berat sebanyak 97
orang dan yang tidak mengalami preeklampsia berat sebanyak 98 orang. Hasil yang diperoleh
dari penelitian tersebut bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kehamilan ganda
dengan terjadinya preeklampsia berat.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rahmadani dkk., (2013) di RSUD Raden
Mattaher Jambi yang menyebutkan bahwa dari 76 ibu hamil dengan preeklampsia pada
kelompok kasus, sebanyak 73 orang (96,1%) dengan kehamilan tunggal dan 3 orang (3,9%)
dengan kehamilan ganda, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 75 orang (98,7%)
dengan kehamilan tunggal dan hanya 1 orang (1,3%) dengan kehamilan ganda. Hasil ini
menunjukkan bahwa ibu yang mengalami preeklampsia-eklampsia hampir sama jumlahnya
baik pada kelompok kasus maupun kontrol yang berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara kehamilan ganda dengan terjadinya preeklampsia.
Hasil penelitian ini berbeda dengan teori yang menyebutkan bahwa kehamilan ganda
berpengaruh terhadap terjadinya preeklampsia. Bobak dan Jensen (2005) menyatakan bahwa
kondisi obstetri yang berkaitan dengan peningkatan massa plasenta, seperti kehamilan
multipel, janin besar, hidrops janin, kehamilan mola hidatidosa, dan polihidroamnion
membuat risiko preeklampsia menjadi lebih tinggi. Kehamilan lebih dari satu janin akan
meningkatkan risiko selama kehamilan, baik bagi janin maupun bagi ibunya. Komplikasi
kehamilan yang bisa terjadi pada ibu dengan kehamilan ganda, seperti preeklampsia dan
eklampsia, partus prematurus, dan anemia.
Pada kehamilan ganda terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menyebabkan
iskemia pembuluh darah rahim yang mengakibatkan terjadinya preeclampsia (Rahmadani
dkk., 2013). Perbedaan hasil pada penelitian ini bisa terjadi karena faktor risiko yang ada
pada ibu hamil tidak selalu sama. Tidak semua ibu hamil datang dengan kondisi obstetri yang
mengalami komplikasi, mungkin ada faktor predisposisi lainnya yang menyebabkan ibu
mengalami preeklampsia.
6.4 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Riwayat Hipertensi
Pada hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa dari 123 ibu yang didiagnosis
preeklampsia terdapat 111 orang (90,2%) tidak mempunyai riwayat hipertensi dan 12 orang
(9,8%) dengan riwayat hipertensi. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang
didiagnosis preeklampsia tidak mempunyai riwayat hipertensi. Amirah (2010) dalam
penelitiannya, dengan total 24 responden yang didiagnosis preeklampsia berat, 20 orang
(83,3%) di antaranya tidak mempunyai riwayat hipertensi dan hanya 4 orang (16,7%) dengan
riwayat hipertensi. Penelitian Rahmadani dkk., (2013) mendapatkan responden dengan
riwayat hipertensi tidak jauh berbeda jumlahnya dengan responden yang tidak mempunyai
riwayat hipertensi yaitu masing-masing 32 dan 44 orang.
Teori menyebutkan bahwa angka kejadian preeklampsia dan eklampsia akan
meningkat pada hipertensi kronis, karena pembuluh darah plasenta sudah mengalami
gangguan. Bila ibu sebelumnya sudah menderita hipertensi, maka keadaan ini akan
memperberat kondisi ibu (Prawirohardjo, 2010).
Hipertensi yang tidak diobati dapat merusak sistem vaskularisasi darah, sehingga
mengganggu pertukaran oksigen dan nutrisi melalui plasenta dari ibu ke janin. Pada
preeklampsia/eklampsia terjadi perburukan patologis sejumlah organ dan sistem,
kemungkinan akibat vasospasme dan iskemia. Konstriksi vaskular menyebabkan resistensi
terhadap aliran darah dan vasospasme kemungkinan besar juga menimbulkan kerusakan pada
pembuluh. Selain itu, angiotensin II menyebabkan sel-sel endotel berkontraksi. Perubahan ini
menyebabkan kerusakan sel endotel serta menyebabkan bocornya konstituen darah, termasuk
trombosit dan fibrinogen yang kemudian mengendap di subendotel. Perubahan vaskular ini,
bersama hipoksia lokal jaringan sekitarnya menyebabkan berbagai gangguan yang dapat
dijumpai pada preeklampsia berat (Cunningham, 2006).
Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena ada beberapa faktor lain dari subjek
penelitian yang belum diteliti seperti riwayat preeklampsia sebelumnya dan riwayat
preeklampsia pada keluarga yang dapat menyebabkan preeklampsia. Diagnosis hipertensi
kronik juga sulit ditegakkan apabila wanita yang bersangkutan belum pernah diperiksa
sampai paruh terakhir kehamilannya. Hal ini disebabkan oleh penurunan tekanan darah
selama trimester kedua dan ketiga awal, baik pada wanita normotensif maupun hipertensi
kronik. Karena itu, seorang wanita dengan penyakit vaskular kronik, yang pertama kali
diperiksa pada usia kehamilan 20 minggu, sering memperlihatkan tekanan darah yang
normal.
6.5 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Status Gizi Ibu
Hasil penelitian didapatkan dari 123 ibu yang didiagnosis preeklampsia, terdapat 22
orang (17,9%) dengan status gizi obesitas, 20 orang (16,3%) dengan status gizi normal, 15
orang (12,2%) dengan status gizi overweight, dan tidak terdapat responden dengan status gizi
underweight. Data ini menunjukkan bahwa ibu yang preeklampsia paling banyak berstatus
gizi obesitas. Setiawati (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa dari 10 orang subjek
penelitian, didapatkan 5 orang (50%) dengan status gizi overweight dan 2 orang (20%)
dengan status gizi obesitas pada kelompok kasus, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat
3 orang (30%) dengan status gizi overweight dan 1 orang (10%) dengan status gizi obesitas.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa responden dengan status gizi overweight dan obesitas
lebih banyak yang mengalami preeklampsia (2:1) dibandingkan dengan yang tidak
mengalami preeklampsia.
Pada data penelitian ini terdapat lebih dari separuh sampel (53,7%) yang datanya
tidak tertulis secara lengkap sehingga tidak bisa dilakukan penghitungan IMT. Apabila data
tersebut lengkap dan semua data dilakukan penghitungan IMT mungkin akan terdapat
perbedaan pada hasil penelitian. Ada kemungkinan akan terdapat ibu dengan status gizi
underweight atau terdapat ibu dengan status gizi overweight dan obesitas dengan persentase
yang tinggi.
Wanita hamil dengan status gizi lebih (overweight/obesitas) memiliki risiko yang
lebih tinggi menyebabkan terjadinya preeklampsia. Pada dasarnya obesitas disebabkan oleh
jumlah energi yang masuk (input) lebih besar dari energi yang dikeluarkan (output) dan
keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Kelebihan energi ini akan ditimbun
sebagai trigliserida di dalam sel lemak (adiposit). Jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh
seseorang melalui makan dipengaruhi oleh pola makan, fisik, kultur, ekonomi dan
sebagainya. Pengeluaran energi oleh tubuh seseorang ditentukan oleh metabolisme basal,
aktifitas fisik dan hal lainnya (Setiawati, 2011).
Obesitas memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan risikonya akan menjadi 2 kali
lipat jika obesitas terjadi pada wanita hamil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
American College of Obstetricians and Gynecologists, obesitas selama kehamilan dapat
membahayakan ibu dan bayi. Ibu hamil yang obesitas akan mudah terkena komplikasi
termasuk preeklampsia (Langelo dkk., 2012). Pada ibu hamil dengan obesitas, diperlukan
pompa jantung yang lebih keras agar sirkulasi darah ibu ke janin terpenuhi. Akibat tebalnya
lemak, dapat terjadi vasokonstriksi sehingga aliran darah ibu ke janin menjadi terhambat,
dimana terjadi peningkatan tekanan pada pembuluh darah disertai peningkatan curah jantung.
Selain itu, adanya kemungkinan ibu untuk mengidap diabetes pun menjadi tinggi, karena
hormon beta human chorionic gonadotropin (β HCG) akan mengubah sebagian besar lemak
dalam tubuh menjadi glukosa.
6.6 Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu
Pada hasil penelitian dapat dilihat bahwa dari 123 orang ibu yang didiagnosis
preeklampsia 83 orang (67,5%) di antaranya memiliki tingkat pendidikan dasar, 32 orang
(26,0%) memiliki tingkat pendidikan menengah, dan sisanya 8 orang (6,5%) memiliki tingkat
pendidikan tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang didiagnosis
preeklampsia bersekolah hingga pendidikan dasar saja. Penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan Langelo dkk., (2012) di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah,
Makassar yang mendapatkan hasil paling banyak ibu dengan tingkat pendidikan SD yaitu
39,7% dan paling sedikit pada ibu dengan tingkat pendidikan diploma yaitu 1,5%. Hasil yang
tidak jauh berbeda juga didapatkan pada penelitian Setiawati (2011) yaitu pada 10 orang
kelompok kasus, 4 orang (40%) di antaranya memiliki tingkat pendidikan SD, dan hanya 2
orang (20%) yang memiliki tingkat pendidikan hingga perguruan tinggi.
Tingginya angka kejadian preeklampsia di negara-negara berkembang dihubungkan
dengan masih rendahnya status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang dimiliki
masyarakatnya. Kedua hal tersebut saling terkait dan sangat berperan dalam menentukan
tingkat pemahaman terhadap berbagai informasi dan masalah kesehatan yang timbul baik
pada dirinya ataupun pada lingkungan sekitarnya (Setiawati, 2011). Sikap dan tingkah laku
dapat berubah seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Pendidikan bagi kaum
wanita sangat penting terutama bagi ibu hamil. Pendidikan yang baik sangat membantu ibu
hamil dalam mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya dan janinnya sehingga kehamilan
akan lebih aman.
6.7 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien di RSU Cut Meutia Aceh Utara sehingga diperlukan pencatatan data yang lengkap agar didapatkan hasil penelitian yang sesuai. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak lengkapnya pencatatan data dan pelampiran pemeriksaan hasil laboratorium pada status pasien.