BAB VII STRUKTUR FUNGSI GRAMATIKAL DALAM TUTURAN … · 227 kalimat tersebut tidak gramatikal. Hal...
Transcript of BAB VII STRUKTUR FUNGSI GRAMATIKAL DALAM TUTURAN … · 227 kalimat tersebut tidak gramatikal. Hal...
222
BAB VII
STRUKTUR FUNGSI GRAMATIKAL
DALAM TUTURAN ANAK DISLEKSIA
7.1 Pengantar
Dalam Bab VII ini dibahas beberapa unsur yang saling berkaitan dalam
struktur fungsi gramatikal dan dibagi ke dalam empat subbab. Keempat subbab
tersebut, yakni (7.1) Pengantar, (7.2) Pengertian dan Klasifikasi Fungsi
Gramatikal, (7.3) Fungsi Argumen dan Non-argumen dalam Tuturan AD, (7.4)
Representasi Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Struktur
Konstituen Kalimat Bahasa Indonesia dalam Tuturan AD menurut TLF, dan (7.5)
Temuan Penelitian.
7.2 Pengertian dan Klasifikasi Fungsi Gramatikal
Istilah fungsi dalam disertasi ini merujuk pada pengertian ‗fungsi
gramatikal‘ yang ada dalam TLF. Dalam pandangan TLF, istilah fungsi
gramatikal meliputi fungsi SUBJ, OBJ, OBL, KOMP, dan ADJ yang merupakan
fungsi sintaksis dan merupakan bagian dari struktur fungsi gramatikal yang
bersifat universal (Bresnan, 2001:96).
Menurut Dalrymple (2001:11), fungsi gramatikal dapat dibedakan ke
dalam fungsi argumen (argument function) dan fungsi non-argumen (non-
argument function). Fungsi argumen adalah fungsi gramatikal yang
keberadaannya ditentukan oleh predikat. Oleh karena itu, fungsi argumen disebut
pula sebagai fungsi gramatikal yang dapat dikendalikan (governable grammatical
223
functions). Fungsi argumen ini meliputi SUBJ, OBJ, KOMP, Komplemen
Terbuka (X-KOMP), OBJᴓ, dan OBLᴓ. Sebaliknya, fungsi non-argumen adalah
fungsi gramatikal yang keberadaannya tidak ditentukan oleh predikat. Oleh karena
itu, fungsi non-argumen disebut pula sebagai pewatas (modifier). Fungsi non-
argumen ini meliputi ADJ dan X-ADJ.
Lebih lanjut, Dalrymple (2001:13) mengklasifikasikan lagi fungsi
argumen menjadi dua, yakni argumen inti dan argumen non-inti. Argumen inti
meliputi fungsi SUBJ, OBJ, dan OBJᴓ, sedangkan argumen non-inti meliputi
OBLᴓ, KOMP, dan X-KOMP.
7.3 Fungsi Argumen dan Non-argumen dalam Tuturan Anak Desleksia
Sebagaimana telah dijelaskan pada subbab 7.2 bahwa fungsi gramatikal
diklasifikasikan ke dalam fungsi argumen yang meliputi SUBJ, OBJ, OBJɵ,
KOMP, X-KOM, OBL, dan fungsi non-argumen yang meliputi ADJ dan X-ADJ.
Dari masing-masing jenis fungsi gramatikal tersebut, tidak semuanya muncul
dalam tuturan AD. Fungsi gramatikal yang paling sering muncul dalam kalimat
yang dituturkan oleh AD adalah SUBJ dan OBJ, kemudian disusul oleh KOMP
dan ADJ. Adapun OBJɵ tidak pernah muncul dalam struktur kalimat yang
berterima pada tuturan AD. Masing-masing fungsi gramatikal tersebut akan
diuraikan lebih lanjut dalam subbab berikut.
224
7.3.1 Subjek
Fungsi SUBJ merupakan salah satu argumen inti selain OBJ. Fungsi SUBJ
memiliki peran yang cukup penting dalam struktur kalimat. Keberadaan SUBJ
dalam kalimat sering dipakai sebagai penanda kesempurnaan kalimat. Kalimat
dinyatakan sempurna apabila fungsi subjek dan predikat terdapat di dalamnya
(Palmer, 1994:2).
Untuk membuktikan keberadaan sebuah konstituen apakah menduduki
fungsi SUBJ atau fungsi yang lain dalam kalimat dapat ditentukan dengan alat uji
sintaksis. Alat uji tersebut, antara lain, berupa tata urut kanonik konstituen,
perelatifan, dan konstruksi kendali (control construction). Ketiga alat uji tersebut
diuraikan satu per satu di bawah ini.
Berdasarkan tata urut kanonik konstituen, SUBJ adalah FD yang terletak
sebelum predikat verbal. Dalam kalimat yang predikatnya memerlukan satu
argumen, SUBJ merupakan satu-satunya argumen inti yang terdapat dalam
kalimat (lihat Artawa, 1998; Arka, 2003; Subiyanto, 2013). Pada kalimat-kalimat
yang dituturkan oleh AD berikut, fungsi SUBJ adalah FD yang terletak sebelum
verba.
(7-1) Kamarnya ditutup. (E/46)
(7-2) Mataharinya tenggelam. (Y/65)
(7-3) Burungnya terbang. (N/55)
Kalimat (7-1)–(7-3) di atas adalah kalimat berargumen satu yang
predikatnya merupakan verba intransitif. Pada ketiga kalimat di atas, fungsi SUBJ
225
adalah FD yang muncul sebelum verba predikat. Pada kalimat (7-1), FD
kamarnya adalah SUBJ bagi verba ditutup. Pada kalimat (7-2), FD mataharinya
adalah SUBJ bagi verba tenggelam, dan pada kalimat (7-3), FD burungnya adalah
SUBJ bagi verba terbang.
Sebagaimana dalam bahasa Indonesia pada umumnya, dalam bahasa
Indonesia yang dituturkan oleh AD, posisi SUBJ sebelum predikat merupakan
struktur kanonik dalam tata urut konstituen. Di samping pola kanonik ini, SUBJ
dapat juga muncul setelah predikat. Struktur SUBJ yang muncul setelah predikat
merupakan struktur bermarkah pragmatik (pragmatically marked), yaitu struktur yang
memberikan penekanan atau fokus pada PRED. PRED diintonasikan dengan suara
yang lebih tinggi. Biasanya dalam struktur SUBJ yang muncul setelah predikat ini,
predikat dan SUBJ disela oleh jeda. Dengan demikian, kalimat (7-1) – (7-3) di atas
memiliki variasi tata urut seperti (7-1a)--(7-3a) berikut.
(7-1a) Ditutup kamarnya.
(7-2a) Tenggelam mataharinya.
(7-3a) Terbang burungnya.
Pada kalimat (7-1a) sampai (7-3a) di atas, fungsi SUBJ diletakkan setelah
predikat verbal. Dalam kalimat tersebut, di antara SUBJ dan predikat verbal disela
oleh jeda. Penempatan SUBJ setelah predikat verbal ini secara pragmatis
dimaksudkan untuk memberikan penekanan/fokus pada predikat. Penekanan atau
fokus tersebut diwujudkan dalam bentuk intonasi suara yang lebih tinggi.
Seperti pada predikat verba intransitif yang berargumen satu, pada predikat
verba transitif yang berargumen lebih dari satu, fungsi SUBJ juga umumnya terletak
226
sebelum predikat. Berikut adalah contoh predikat verba transitif yang memiliki
argumen lebih dari satu dalam tuturan AD.
(7-4) Aku bawa kuncinya. (N/4)
(7-5) Kakek makan bubur. (E/59)
(7-6) Mamanya lihat TV. (Dh/119)
Dalam kalimat (7-4)—(7-6) di atas masing-masing terdapat dua argumen
inti yang secara semantis berperan sebagai agen (Ag), yakni aku, kakek, dan
mamanya, sebagai tema (Tm), yakni kuncinya dan TV, dan sebagai pasien (Ps),
yakni bubur. Argumen yang berperan semantis sebagai Ag dalam setiap kalimat
(7-4)—(7-6) di atas secara sintaktis berfungsi sebagai SUBJ. Sebaliknya, argumen
yang berperan semantis sebagai Tm, seperti pada (7-4) dan (7-6), dan berperan
semantis sebagai Ps, seperti pada (7-5), secara sintaktis berfungsi sebagai OBJ.
Posisi SUBJ dalam kalimat transitif tidak sama dengan yang terdapat
dalam kalimat intransitif, yakni tidak dapat menempati posisi di sebelah kanan
verba atau PRED, seperti yang terlihat dalam kalimat (7-4a)—(7-6a) berikut.
(7-4a) *Bawa aku kuncinya.
(7-5a) *Makan kakek bubur.
(7-6a) *Lihat mamanya TV.
Pada kalimat (7-4a), (7-5a), dan (7-6a), SUBJ terletak di antara predikat
verbal dan OBJ. Penempatan SUBJ di antara predikat verbal dan OBJ menjadikan
227
kalimat tersebut tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa SUBJ tidak dapat
terletak di antara predikat verbal dan OBJ.
Selain dalam predikat verbal intransitif, dalam kalimat yang berpredikat non-
verbal pun SUBJ dapat muncul di sebelah kiri dan kanan. Beberapa data dalam
kalimat (7-7)—(7-15) berikut sebagai buktinya.
(7-7) Ini airnya. (Y/53)
(7-7a) Airnya ini.
(7-8) Itu wayang kulit. (Y/68)
(7-8a) Wayang kulit itu.
(7-9) Rambutnya panjang. (N/47)
(7-9a) Panjang rambutnya.
(7-10) Kepalaku panas. (Y/63)
(7-10a) Panas kepalaku.
(7-11) Mama di rumah. (A/20)
(7-11a) Di rumah mama.
(7-12) Itu atas korden. (E/49)
(7-12a) Atas korden itu.
(7-13) Ini seribu. (Y/51)
(7-13a) Seribu ini.
(7-14) Uang ayah banyak. (S/44)
(7-14a) Banyak uang ayah.
Semua kalimat (7-7) sampai (7-14) di atas masing-masing terdiri atas
sebuah SUBJ dan sebuah predikat nonverbal. Pada kalimat (7-7) airnya, (7-8)
wayang kulit, (7-9) panjang, (7-10) panas, (7-11) di rumah, (7-12) atas korden,
(7-13) seribu, dan (7-14) banyak merupakan predikat yang terletak di posisi kanan
SUBJ. Semua predikat nonverbal tersebut juga dapat muncul di posisi kiri SUBJ
228
seperti dalam kalimat (7-7a), (7-8a), (7-9a), (7-10a), (7-11a), (7-12a), (7-13a),
dan (7-14a).
Sama halnya dalam kalimat berpredikat verba intransitif di atas,
penempatan SUBJ setelah predikat nonverbal ini secara pragmatis juga dimaksudkan
untuk memberikan penekanan/fokus pada predikat. Penekanan atau fokus tersebut
diwujudkan dalam bentuk jeda antara PRED dan SUBJ serta intonasi suara yang lebih
tinggi jatuh pada PRED.
Berdasarkan contoh-contoh dan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa
SUBJ dalam kalimat yang dituturkan oleh AD secara kanonis dapat muncul di posisi
kiri dan kanan predikat, baik predikat verbal intransitif maupun predikat nonverbal,
kecuali predikat transitif. Apabila SUBJ tersebut muncul di sebelah kanan predikat
verbal intransitif dan predikat nonverbal, antara predikat dan SUBJ harus diberi jeda
dengan intonasi naik. Penempatan SUBJ di sebelah kanan atau setelah predikat
tersebut secara pragmatis memberikan penegasan/fokus pada predikat.
Alat uji SUBJ selanjutnya adalah perelatifan. Sebagaimana dalam bahasa
Indonesia pada umumnya, perelatifan yang muncul dalam tuturan AD dilakukan
dengan menggunakan pronomina perelatif yang, yang ditempatkan di posisi kanan
argumen yang direlatifkan, sehingga terbentuk klausa relatif.
Dalam hierarki perelatifan FN, posisi SUBJ ada pada urutan tertinggi, baru
kemudian diikuti oleh OBJ. Menurut Keenan dan Comrie (1977), jika sebuah bahasa
mengizinkan argumen untuk direlatifkan, maka bahasa tersebut mengizinkan SUBJ
untuk direlatifkan (Dalrymple, 2001:8-9). Dalam tuturan AD, juga terjadi perelatifan
SUBJ sebagaimana yang terjadi dalam bahasa Indonesia pada umumnya, meskipun
229
dalam jumlah yang sangat terbatas. Data kalimat (7-15) dan (7-16) berikut merupakan
bentuk perelatifan SUBJ yang ditemukan dalam data tuturan AD.
(7-15) Ma, topiku yang hilang ketemu. (D/22)
(7-16) Mobil papa yang dijual masuk got. (Y/55)
Dalam kalimat (7-15) dan (7-16) di atas terlihat bahwa argumen inti yang
muncul di awal kalimat atau di posisi kiri predikat mengalami perelatifan. FN topiku
dalam (7-15) mengalami perelatifan yang hilang ada di posisi kiri predikat ketemu;
FN mobil papa dalam (7-16) mengalami perelatifan yang dijual ada di posisi kiri
predikat masuk. Oleh karena itu, topiku dan mobil papa merupakan SUBJ dari
kalimat tersebut.
Perelatifan FN SUBJ juga dapat terjadi meskipun posisi argumen inti tersebut
berada di posisi kanan predikat, dalam arti berada dalam struktur inversi, seperti
yang terlihat dalam kalimat (7-17) di bawah ini.
(7-17) Ada leak yang bisa makan orang. (Dh/31)
Dalam kalimat (7-17) di atas terlihat bahwa argumen inti leak muncul di
posisi kanan predikat dan mengalami perelatifan. FN leak berada di posisi kanan
predikat verbal ada. Kalimat-kalimat di atas juga menunjukkan bahwa perelatifan
ditandai oleh penggunaan pronomina relatif (PRO-REL) yang yang terletak setelah
argumen yang direlatifkan. Perelatifan SUBJ seperti pada kalimat (7-15), (7-16), dan
230
(7-17) di atas sangat umum terjadi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, dalam
tuturan AD perelatifan SUBJ jarang terjadi.
Alat uji SUBJ berikutnya adalah dengan konstruksi kendali (control
construction). Dalam bahasa Indonesia, SUBJ dapat dikontrol seperti yang terlihat
dalam kalimat (7-18.a) dan (7-19.a) berikut.
(7-18) a. Petahana berusaha menjegal lawan-lawannya.
SUBJ SUBJ
b. Petahanai
berusaha [ __ i
menjegal lawan-lawannya].
c. Petahana berusaha [*petahana menjegal lawan-lawannya].
(7-19) a. Dia mencoba memperdayai calon korbannya.
SUBJ SUBJ
b. Diai
mencoba [ __ i
memperdayai calon korbannya].
c. Dia mencoba [*dia
memperdayai calon korbannya].
Kalimat (7-18b) dan (7-19b) di atas menunjukkan bahwa SUBJ klausa
sematan dikendalikan oleh SUBJ dari klausa matriks. Dalam kalimat itu,
pengendalian atau pelesapan SUBJ klausa sematan wajib dilakukan. Bila tidak
mengalami pengendalian atau pelesapan, kalimat tersebut menjadi tidak berterima
(tidak gramatikal), seperti yang terlihat pada kalimat (7-18c) dan (7-19c). Petahana
dalam kalimat (7-18a) di atas dikendalikan atau dilesapkan seperti yang tampak
dalam (7-18b) dan dia dalam kalimat (7-19a) di atas dikendalikan atau dilesapkan
seperti yang tampak dalam (7-19b). Kalimat (7-18b) dan (7-19b) berupa kalimat
gramatikal. Dengan demikian, petahana dalam kalimat (7-18) dan dia dalam kalimat
(7-19) merupakan fungsi SUBJ dalam kalimat tersebut.
231
Berdasarkan pengujian terhadap fungsi SUBJ di atas dapat dinyatakan bahwa
SUBJ yang muncul dalam tuturan AD berupa FN atau FD yang terletak sebelum
verba dalam tata urut kanonik dan terletak setelah verba dalam tata urut nonkanonik,
SUBJ dapat direlatifkan, dan SUBJ dapat mengalami pengendalian. Terkait dengan
alat uji pengendalian, karena SUBJ dengan konstruksi kontrol tidak pernah
muncul dalam tuturan AD, contoh data untuk SUBJ yang mengalami pengendalian
di atas diambilkan dari media cetak nasional.
7.3.2 Objek dan Objek Teta
Objek merupakan argumen inti kedua setelah SUBJ. OBJ hanya muncul
dalam kalimat transitif, yakni kalimat yang memerlukan dua atau tiga argumen inti.
Berdasarkan strukturnya, OBJ merupakan argumen dalam (internal argument) dari
verba sebagai predikat kalimat. Dalam proyeksinya, OBJ berada di bawah simpul FV
yang menjadi bagian integral dari verba sebagai konstituen pokok kalimat. Bila
ditinjau dari sisi semantis, OBJ merupakan Ps atau Pglm (undergoer) dalam konsepsi
peran makro versi Foley dan Van Vallin (1984).
Dalam bahasa Indonesia, properti fungsi OBJ berbeda dengan fungsi SUBJ.
OBJ tidak dapat direlatifkan dan juga tidak dapat dikendalikan, sementara SUBJ
dapat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana pengujian terhadap fungsi OBJ dapat
dilakukan? Fungsi OBJ dapat diuji dengan dua cara, yakni berdasarkan posisinya
dalam struktur konstituen dan berdasarkan kemampuannya dalam beralternasi
menjadi SUBJ dalam kalimat pasif. Cara yang kedua ini juga dapat digunakan untuk
membedakan fungsi OBJ dengan OBJᴓ dalam kalimat dwitransitif, yakni kalimat
yang predikatnya membutuhkan tiga argumen inti.
232
Jika dilihat dari posisinya dalam struktur konstituen, OBJ bahasa Indonesia
selalu muncul di posisi kanan atau sesudah verba transitif (baik ekatransitif maupun
dwitransitif) tanpa didahului oleh preposisi. Hubungan antara verba dan OBJ sangat
erat sehingga di antara keduanya tidak dapat disisipi oleh unsur apa pun, termasuk
SUBJ. Tidak pernah terjadi OBJ muncul di sebelah kiri verba atau di antara SUBJ
dan verba. Jika OBJ muncul di antara SUBJ dan verba, kalimat yang terbentuk
merupakan kalimat yang tidak gramatikal dan tidak berterima. Berikut adalah
beberapa contoh datanya.
(7-20) a. Papaku pernah menakuti orang. (Dh/18)
b. *Papaku orang pernah menakuti.
c. Orang pernah ditakuti oleh papaku.
(7-21) a. Pesawatnya mengeluarkan asap. (B/33)
b. *Pesawatnya asap mengeluarkan.
c. Asap dikeluarkan oleh pesawatnya.
(7-22) a. Tante Kemon merebut papaku. (Dh/85)
b. *Tante Kemon papaku merebut.
c. Papaku direbut oleh tante Kemon.
Dalam kalimat (7-20a), (7-21a), dan (7-22a) di atas terlihat bahwa FD
orang, asap, papaku merupakan OBJ dari verba menakuti, mengeluarkan, dan
merebut. Dalam kasus ini, fungsi OBJ hanya bisa muncul pada posisi kanan verba
supaya menjadi kalimat gramatikal. Sebaliknya, penempatan OBJ di sebelah kiri
verba menjadikan kalimat tersebut tidak gramatikal. Kalau OBJ dipaksakan
ditempatkan di posisi sebelah kiri verba, kalimat yang terbentuk tidak gramatikal
233
(tidak berterima), seperti pada (7-20b), (7-21b), dan (7-22b). Di sisi lain,
seperti yang tampak pada (7-20c), (7-21c), dan (7-22c), OBJ dapat beralternasi
menjadi SUBJ dalam konstruksi kalimat pasif.
Beberapa contoh data yang lain dalam tuturan AD juga menunjukkan
bahwa OBJ pada umumnya muncul dalam posisi sebelah kanan verba transitif.
(7-23) Aku lho pernah lihat Mbak Kiki. (N/14)
(7-24) Aku sudah beli buku. (E/6)
(7-25) Aku juga punya dongeng kancil. (E/7)
Pada kalimat (7-23) Mbak Kiki, (7-24) buku, dan (7-25) dongeng kancil
merupakan OBJ yang muncul pada posisi kanan verba. Memang juga ditemukan
kasus OBJ yang muncul pada posisi kiri predikat verbal sehingga terbentuk
konstruksi kalimat yang tidak gramatikal dalam tuturan AD, seperti yang telah
dijelaskan pada bab VI. Hal ini mengindikasikan bahwa penguasaan kaidah
struktur sintaksis pada AD belum sempurna dan hal ini juga dapat dipandang
sebagai kekhasan bahasa AD. Yang perlu dicatat di sini ialah keberadaan fungsi
OBJ dalam tuturan AD tidak begitu banyak. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
pertama, jumlah kalimat transitif yang ada dalam tuturan AD tidak begitu
banyak; kedua, fungsi OBJ dalam kalimat transitif yang dituturkan oleh AD
sering mengalami pelesapan sehingga terbentuk kalimat tak lengkap.
Fungsi OBJ yang dijelaskan di atas merupakan OBJ yang ada dalam
kalimat ekatransitif, yakni kalimat yang predikatnya memerlukan dua argumen inti.
Di dalam kalimat dwitransitif terdapat tiga argumen inti yang harus hadir
234
mendampingi predikat kalimat. Ketiga argumen inti tersebut mengisi fungsi SUBJ,
OBJ1, dan OBJ2. Pada awal perkembangan TLF, istilah yang digunakan untuk
fungsi OBJ ialah OBJ1 dan OBJ2. OBJ1 sebagai padanan OBJ primer (primary
object), sedangkan OBJ2 sebagai padanan OBJ sekunder (secondary object).
Namun dalam perkembangan TLF berikutnya, penggunaan istilah OBJ1 dan OBJ2
dianggap kurang tepat mengingat ada beberapa bahasa yang hanya memiliki satu OBJ
(OBJ primer saja), yang memiliki peran tematis tidak terbatas (thematically
unrestricted), dan tidak memiliki OBJ sekunder, yang memiliki peran semantis
terbatas. Dalam hal ini, OBJ sekunder hanya memiliki peran semantis Thema
(Dalrymple, 2001:21). Adanya perbedaan peran semantis inilah yang menjadi dasar
penggunaan istilah OBJɵ untuk menggantikan istilah OBJ sekunder atau OBJ2.
Dalam bahasa Indonesia, fungsi OBJ dan OBJɵ dapat dibedakan berdasarkan
letak kemunculannya dalam kalimat. OBJ muncul setelah verba, sedangkan OBJɵ
muncul pada posisi setelah OBJ. Selain itu, OBJ dalam kalimat aktif dapat menjadi
SUBJ dalam kalimat pasif, sedangkan OBJɵ tidak dapat menjadi SUBJ dalam
kalimat pasif. Kalimat (7-26) yang diambil dari buku Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia berikut menunjukkan perbedaan fungsi OBJ dan OBJɵ tersebut.
(6-26) a. Ibu mengambilkan saya air minum. (Alwi dkk., 2010:337)
b. *Air minum diambilkan saya oleh ibu.
c. Saya diambilkan air minum oleh ibu
Dalam kalimat (7-26a), FD saya merupakan OBJ, sedangkan FD air minum
merupakan OBJɵ. OBJ terletak langsung setelah verba, sedangkan OBJɵ terletak
setelah OBJ. Perbedaan OBJ dan OBJɵ juga dapat dilakukan berdasarkan
235
kemampuannya beralternasi dengan SUBJ dalam kalimat pasif. Dalam hal ini, OBJ
dapat menjadi SUBJ dalam kalimat pasif, seperti pada (7-26c), sedangkan OBJɵ tidak
dapat menjadi SUBJ dalam kalimat pasif, seperti pada (7-26b). Kemampuan OBJ
untuk beralternasi dengan SUBJ dalam kalimat pasif menunjukkan bahwa OBJ dan
SUBJ sama-sama memiliki peran semantis tidak terbatas. Sebaliknya, OBJɵ tidak
dapat beralternasi dengan SUBJ karena OBJɵ memiliki peran semantis terbatas, yakni
hanya sebagai Thema.
7.3.3 Oblik
Fungsi Oblik termasuk argumen noninti dan selalu memiliki pemarkah.
Dalam kajian lintas bahasa, pemarkah OBL pada umumnya berupa preposisi,
termasuk dalam bahasa Indonesia. Namun, ada juga bahasa yang memiliki OBL
dengan pemarkah kasus, seperti dalam bahasa Walpiri (Simpson, 1991;
Nordlinger, 1998; dalam Dalrymple, 2001:27).
Meskipun tidak termasuk ke dalam argumen inti, OBL secara semantis
masih menjadi bagian dari makna predikat dan menjadi partisipan dari sebuah
aksi atau keadaan yang dinyatakan oleh predikat. Oleh karena itu, OBL masuk ke
dalam struktur argumen predikat.
Oblik dalam bahasa Indonesia dapat dibedakan atas OBLLOKATIF,
OBLINSTRUMEN, dan OBLGOAL. Pemarkahan OBL dalam bahasa Indonesia selain
ditentukan oleh predikat sebagai konstituen pusat kalimat, juga ditentukan oleh
jenis OBL tersebut sesuai dengan peran semantis argumen. Semua pemarkah OBL
dalam bahasa Indonesia berupa preposisi. Preposisi di digunakan untuk pemarkah
OBLLOKATIF, preposisi dengan digunakan untuk pemarkah OBLINSTRUMEN, preposisi ke
236
digunakan untuk pemarkah OBLGOAL. Berikut adalah contoh OBL dalam bahasa
Indonesia.
(7-27) a. Kami tinggal di Surabaya.
b. *Kami tinggal.
c. *Kami tinggal Surabaya.
(7-28) a. Guru itu memperlakukan siswanya dengan baik .
b. *Guru itu memperlakukan siswanya.
c. *Guru itu memperlakukan siswanya baik.
(7-29) a. Pak Andi memasukkan uang ke bank.
b. *Pak Andi memasukkan uang.
c. *Pak Andi memasukkan uang bank.
Kalimat (7-27) di atas memperlihatkan adanya OBL lokatif dalam bahasa
Indonesia. OBL lokatif pada (7-27) dimarkahi oleh preposisi di. Keberadaan OBL
lokatif dalam kalimat di atas bersifat wajib sehingga tidak bisa dilesapkan. Kalau
dilesapkan, kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal. Oleh karena itu, kalimat
(7-27b) tidak berterima. OBL lokatif juga tidak bisa muncul tanpa pemarkah di.
Oleh karena itu, kalimat (7-27c) tidak berterima karena muncul tanpa pemarkah.
Pada kalimat (7-28) di atas, OBL instrumen dimarkahi oleh P dengan.
Kalimat (7-28b) di atas menunjukkan bahwa keberadaan OBL instrumen dalam
kalimat tersebut bersifat wajib sehingga tidak bisa dilesapkan. Kalau dilesapkan,
kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal. Oleh karena itu, kalimat (7-28b) tidak
berterima. OBL instrumen juga tidak dapat muncul tanpa pemarkah dengan.
Karena muncul tanpa pemarkah, kalimat (7-28c) tidak berterima.
237
Kalimat (7-29) di atas memperlihatkan adanya OBL Sasaran/Goal dalam
bahasa Indonesia. OBL goal pada (7-29) dimarkahi oleh P ke. Sama seperti OBL
lokatif dan OBL instrumen, kemunculan OBL goal juga bersifat wajib, tidak bisa
dilesapkan. Kalau dilesapkan, kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal. Oleh
karena itu, kalimat (7-29b) tidak berterima. OBL goal juga tidak bisa muncul
tanpa pemarkah ke. Karena muncul tanpa pemarkah, kalimat (7-29c) tidak
berterima untuk menyatakan makna sasaran (goal).
Terkait dengan tuturan AD, baik OBL lokatif, OBL instrumen, maupun
OBL goal, tidak pernah muncul pada penelitian ini. Konstituen kalimat yang
muncul dalam bentuk FP seperti itu pada umumnya menduduki fungsi ADJ dan
bukan sebagai OBL, seperti yang tampak dalam beberapa data berikut.
(7-30) a. Ada zombie di GTA. (A/7)
b. Ada zombie.
(7-31) a. Ada kipasnya di kelasku. (Y/39)
b. Ada kipasnya.
(7-32) a. Kelincinya masuk ke hutan. (S/38)
b. Kelincinya masuk.
Frasa preposisional di GTA, di kelasku, dan ke hutan pada (7-30-32a)
secara semantis tidak terkait erat dengan makna predikat dan hanya berupa
keterangan tambahan yang bersifat umum. Oleh karena itu, ketiga FP tersebut
merupakan ADJ. Dari sisi kehadirannya, ketiga FP tersebut bersifat manasuka
238
(opsional). Pembahasan lebih lanjut mengenai ADJ akan disampaikan dalam
sub-subbab 7.3.5.
7.3.4 Komplemen
Dalam pandangan TLF, KOMP merupakan fungsi gramatikal noninti
(noncore function) sama seperti OBL dan ADJ. KOMP merupakan bagian dari
kalimat yang berfungsi menerangkan predikat yang dilengkapinya. KOMP
meliputi semua FD yang wajib hadir mendampingi predikat kalimat. Dengan
demikian, KOMP dapat berwujud OBJ langsung maupun OBJ berpreposisi.
KOMP memiliki hubungan yang erat dengan predikatnya.
Dalam bahasa Indonesia, fungsi KOMP dan OBJ tidak dapat dibedakan
berdasarkan letak kemunculannya dalam kalimat. Kedua-duanya, baik KOMP
maupun OBJ, pada umumnya menempati posisi setelah verba. Yang membedakan
keduanya, KOMP tidak dapat menjadi SUBJ dalam kalimat pasif, sedangkan OBJ
dapat menjadi SUBJ dalam kalimat pasif (Alwi dkk., 2010).
Berdasarkan struktur predikatnya, KOMP yang muncul dalam tuturan AD
mengikuti verba intransitif, seperti dalam (7-33), (7-34), dan (7-37); V kopula,
seperti dalam (7-35); dan V aus, seperti dalam (7-35). Berdasarkan kategorinya,
KOMP dapat berwujud N atau FN, V seperti dalam (7-37), atau klausa, seperti
dalam (7-38) dan (7-39).
(7-33) Toni main bola di lapangan. (Dh/114)
(7-34) Dia itu jualan kue di sekolah. (D/5)
(7-35) Mama menjadi guru. (S/11)
239
(7-36) Aku minum obat. (N/32)
(7-37) Tadi anak-anak latihan nari di alua semua. (Y/1)
Keberadaan KOMP dalam kalimat bahasa Indonesia dapat muncul dengan
KOMP berkonjungsi dan dapat pula muncul tanpa konjungsi. Satu-satunya
konjungsi yang menandai fungsi KOMP dalam bahasa Indonesia adalah bahwa.
Berikut adalah beberapa contoh kalimat yang menunjukkan fungsi KOMP yang
muncul bersama konjungsi bahwa, seperti pada (7-38), dan KOMP yang muncul
tanpa konjungsi, seperti pada (7-39) berikut.
(7-38) Anak itu bercerita bahwa ibunya sudah meninggal.
(7-39) Anggota dewan berpendapat pemerintah terlalu cepat menaikkan
tarif listrik.
Dalam (7-38), ...ibunya sudah meninggal diawali dengan konjungsi bahwa,
sedangkan dalam (7-39), ...pemerintah terlalu cepat menaikkan tarif listrik tanpa
dilengkapi dengan konjungsi.
Terkait dengan tuturan AD, fungsi KOMP tidak pernah muncul disertai
konjungsi. Dengan kata lain, konjungsi bahwa sebagai satu-satunya yang
menandai fungsi KOMP dalam bahasa Indonesia belum ditemukan pada tuturan
AD dalam data penelitian ini.
240
Berikut terdapat penggunaan fungsi KOMP yang muncul dalam konstruksi
kontrol. Penggunaan fungsi KOMP tipe ini seperti ditunjukkan pada (7-40) dan
(7-41) berikut.
(7-40) Ari narik mau ikut ibunya. (N/44)
Ari1 narik [ _ 1 mau ikut ibunya]
‗Ari1 menarik [ Ari1 mau ikut ibunya ]‘
(7-41) Kelincinya minta makan rumput lagi. (Y/50)
Kelincinya1 minta [ _1 makan rumput lagi].
‗Kelincinya1 minta [ kelincinya1 makan rumput lagi ]
Pada (7-40) dan (7-41) di atas terdapat fungsi KOMP [_ mau ikut ibunya]
dan [__makan rumput lagi]. Bagian rumpang dalam tanda kurung siku ini
merupakan subjek KOMP yang dilesapkan karena berkoreferensi dengan subjek
pada klausa matriksnya. Subjek pada frasa komplemen klausa di atas dikontrol
oleh subjek pada klausa matriksnya, yakni Ari pada (7-40), dan kelincinya pada
(7-41). Dalam TLF, subjek pada frasa komplemen yang dikontrol oleh fungsi
gramatikal tertinggi dari klausa matriks disebut X-KOMP. X dalam hal ini
merupakan simbol untuk argumen yang dikontrol (lihat Arka, 2003).
7.3.5 Adjung
Di samping mengandung argumen yang kehadirannya dibutuhkan oleh
PRED, sebuah klausa/kalimat juga mengandung elemen lain yang kehadirannya
tidak dibutuhkan dan tidak terkait langsung dengan predikat. Elemen-elemen itu
241
berupa adverbial dan preposisi modifier yang berfungsi sebagai ADJ dari predikat
(Kaplan dan Bresnan, 1982:214). ADJ merupakan fungsi gramatikal yang paling
beragam dan paling mudah berpindah posisi dalam kalimat. ADJ dapat berada di
akhir, di awal, dan bahkan di tengah kalimat. Inilah yang menjadi ciri pembeda
antara ADJ dan argumen, terutama argumen inti SUBJ dan OBJ.
Bila dibandingkan dengan fungsi gramatikal lainnya yang telah dijelaskan
sebelumnya, yakni SUBJ, OBJ, OBJᴓ, dan OBL, ADJ merupakan fungsi
gramatikal yang non-argumen. Karena bukan argumen, ADJ tidak digolongkan
sebagai unit sintaksis. Kehadirannya tidak dibutuhkan oleh PRED sebagai
konstituen pusat kalimat. Oleh karena itu, ADJ tidak masuk dalam struktur
argumen PRED. Kehadiran ADJ dalam sebuah kalimat bersifat manasuka
(opsional), artinya boleh ada dan boleh juga tidak ada.
Karena ADJ bukan argumen dan kehadirannya tidak wajib, ADJ tidak ada
kaitannya dengan fungsi gramatikal yang lain. Oleh karena itu, ADJ tidak
dikendalai oleh kriteria keunikan (uniqueness), kelengkapan (completeness), dan
koherensi (coherence), seperti yang berlaku pada fungsi gramatikal inti yang lain
(Kaplan dan Bresnan, 1982:215; Levin, 1982:615). ADJ memiliki status khusus
dalam interpretasi teori TLF. ADJ tidak ditetapkan sebagai fungsi gramatikal dan
juga tidak diberi sandi (encode) bentuk-bentuk semantis. ADJ hanya diberi ekuasi
fungsional ↓ є (↑ADJ), yang dapat dibaca sebagai ―elemen yang ada di bawah
merupakan elemen dari kelompok adjung atas‖.
Dalam bahasa Indonesia, fungsi ADJ agak sulit dibedakan dengan OBL.
Selain karena keduanya bukan fungsi gramatikal inti, juga karena keduanya sering
242
dimarkahi oleh pemarkah sintaksis yang sama, yakni berupa P. Meskipun
demikian, antara ADJ dan OBL dapat dibedakan. Untuk bisa membedakannya,
kriteria sintaksis dan semantis bisa digunakan (Kaplan dan Bresnan, 1982:217;
Arka, 2003:66). Sebagai contoh, baik OBL maupun ADJ berwujud FP dalam
kalimat-kalimat berikut.
(7-42) a. Kami tinggal di Jakarta.
b. Pengusaha itu memasukkan uang ke bank.
(7-43) a. Anak itu pergi ke sekolah.
b. Adik menerima surat dari tukang pos.
Frasa preposisional di Jakarta dan ke bank pada (7-42a-b) secara semantis
menyatakan makna lokatif yang terkait dengan makna predikat tinggal dan
memasukkan. Karena terkait dengan makna predikat, kedua FP tersebut
merupakan OBL, dan bukan ADJ. Sebaliknya, FP ke sekolah dan dari tukang pos
pada (7-43a-b) hanyalah berupa tambahan latar (setting) lokatif yang
menggambarkan situasi yang bersifat umum. Oleh karena itu, kedua FP tersebut
merupakan ADJ. Dari sisi kehadirannya, kedua FP yang terdapat pada (7-42a-b)
bersifat wajib hadir, sedangkan yang terdapat pada (7-43a-b) bersifat manasuka
(opsional).
Frasa preposisional yang bercetak tebal dalam kalimat (7-44)—(7-47),
sebagai pengulangan kembali kalimat (6-69) dan (6-71, 71b-c)., Berikut
merupakan contoh ADJ yang muncul dalam tuturan AD.
243
(7-44) Toni main di lapangan. (Dh/135)
(7-45) Ada kipasnya di kelasku. (Y/39)
(7-46) Saya bawa di tas. (D/21)
(7-47) Ibu membuat bubur untuk adik. (D/28)
Dalam kalimat (7-44)—(7-47) di atas, semua ADJ berwujud frasa
preposisional. Dari sisi kehadirannya, semua ADJ tersebut bersifat manasuka
(opsional).
7.4 Struktur Fungsional dan Korespondensinya dengan Struktur Konstituen
dalam Tuturan Anak Disleksia menurut Tata Bahasa Leksikal
Fungsional
Paparan semua fungsi argumen dan non-argumen yang muncul dalam
tuturan AD di atas dimaksudkan sebagai dasar dalam menganalisis struktur fungsi
gramatikal atau Str-f, sebagai salah satu struktur paralel terpenting dalam TLF.
Berikut ditampilkan beberapa contoh model analisis Str-f sekaligus
korespondensinya dengan Str-k untuk mewakili keseluruhan data kalimat yang
telah disajikan pada bab-bab di atas. Dengan demikian, tidak semua kalimat yang
telah dibahas di atas dibuatkan ke dalam model Str-f dan korespondensinya
dengan Str-k. Mengingat kalimat-kalimat yang dituturkan oleh AD memiliki
beberapa macam struktur, baik yang gramatikal maupun yang tidak gramatikal,
pembahasan mengenai Str-f dan korespondensinya dengan Str-k menggunakan
beberapa contoh kalimat. Kalimat gramatikal yang dijadikan model analisis
berikut ini terdiri atas kalimat berpredikat nonverbal (7-45a), sebagai pengulangan
244
kembali kalimat (4-35) dari bab IV; kalimat berpredikat verba berargumen satu
atau kalimat intransitif (7-46a), sebagai pengulangan kembali kalimat (4-10) dari
bab IV; kalimat berpredikat verba berargumen dua atau kalimat ekatransitif (7-
47a), sebagai pengulangan kembali kalimat (4-16) dari bab IV; kalimat
berpredikat verba berargumen tiga atau kalimat dwitransitif (7-48a), sebagai
pengulangan kembali kalimat (6-28) dari bab VI; dan kalimat berpredikat verba
pasif (7-49a), sebagai pengulangan kembali kalimat (6-28) dari bab VI. Adapun
kalimat tidak gramatikal yang dijadikan model analisis terdiri atas kalimat
berpredikat verba berargumen dua atau kalimat transitif yang mengalami
penghilangan fungsi OBJ (7-52), sebagai pengulangan kembali kalimat (4-1) dari
bab IV; kalimat berpredikat verba berargumen satu atau kalimat intransitif yang
mendapatkan keterangan tambahan berupa FP, namun mengalami penghilangan
preposisinya (7-53a,b,c), sebagai pengulangan kembali dari kalimat (6-74), (6-
76), dan (6-77) dari bab VI; kalimat berpredikat verba berargumen dua atau
kalimat transitif yang mengalami penyimpangan pola urut kata (7-54) dan (7-
55), sebagai pengulangan kembali kalimat (4-2) dan (4-3) dari bab IV.
Dalam membuat model analisis Str-f, penggunaan fungsi argumen yang
terdapat dalam kalimat dijabarkan ke dalam entri leksikal dan Str-k terlebih
dahulu. Informasi yang terdapat dalam entri leksikal selanjutnya digunakan dalam
menyusun Str-k dan Str-f. Oleh karena itu, pembuatan model Str-f di sini diawali
dengan pembuatan entri leksikal dan Str-k.
245
Dalam menganalisis Str-f, sebenarnya tidak harus selalu didahului dengan
penjabaran entri leksikal dan diagram Str-k. Akan tetapi, demi kejelasan alur
informasinya, setiap Str-f dari kalimat-kalimat berikut diawali dengan penjabaran
entri leksikal dan diagram Str-k. Model analisisnya dibuat seperti yang terlihat
pada (7-45)—(7-54) berikut.
(7-45) a. Dia senang.
b. Entri Leksikal:
dia N(↑PRED) = ‗PRO‘
(↑NUM) = TG
(↑PERS) = 3
senang A(↑PRED) = ‘SENANG <SUBJ>‘
c. Str-k ‘
FD
FD
I‘
FD
FI
FA
FD
A‘
FD
A
FD
Dia
FD
senang
FD
246
d. Str-k dan korespondensinya dengan Str-f
e. Str-f
PRED ‗SENANG <SUBJ>‘
f PRED PRO
SUBJ g NUM TG
PERS 3
Skema str-f (7-45e) di atas, yang ditandai dengan notasi f, memperlihatkan
adanya dua atribut, yakni PRED dan SUBJ. Atribut PRED menunjukkan makna
dan argumen yang diperlukan. Dalam Str-f di atas, atribut PRED memiliki makna
‗SENANG‘ dan predikat ini hanya memerlukan satu argumen SUBJ. Atribut
A‘
FA
I‘
A
senang
FI
FD
(↑SUBJ) = ↓
Dia
↑ = ↓
↑ = ↓
↑ = ↓
↑ = ↓
g
f
247
SUBJ, yang disebut pula dengan atribut fungsi gramatikal, mempunyai nilai
seperti yang terlihat dalam g. Dalam struktur di atas, SUBJ mempunyai atribut
berupa PRED dengan nilai PRO ‗DIA‘ atribut NUM dengan nilai TG, dan atribut
PERS dengan nilai 3.
Str-f dari kalimat dengan predikat non-verbal yang diisi oleh kategori
adjektiva, seperti yang digambarkan di atas, mempunyai bentuk yang sama
dengan Str-f dari kalimat-kalimat dengan predikat nonverbal yang diisi oleh
kategori nomina, numeralia, dan preposisional. Model Str-f ini juga memiliki
bentuk yang mirip dengan Str-f dari kalimat dengan predikat verba berargumen
satu, seperti yang digambarkan di bawah ini.
(7-46) a. Kodoknya melompat.
b. Entri Leksikal:
kodoknya N(↑PRED) = ‗KODOKNYA‘
DEF = +
melompat V(↑PRED) = ‘MELOMPAT<SUBJ>‘
c. Str-k
V‘
FV
I‘
V
melompat Kodoknya
FI
FD
D
FN
N
N‘
248
d. Str-k dan korespondensi dengan Str-f
e. Str-f
PRED ‗MELOMPAT <(SUBJ)>‘
f SUBJ g PRED ‗KODOKNYA‘
DEF +
Dalam kalimat (7-46a), predikat diisi oleh kategori V berargumen satu.
Kalimat dengan predikat V berargumen satu ini juga tidak memerlukan argumen
V‘
FV
I‘
V
melompat
FI
FD
(↑SUBJ) = ↓
Kodoknya
↑ = ↓
↑ = ↓
↑ = ↓
↑ = ↓
g
f
249
dalam (internal argument) dan hanya memerlukan argumen luar yang bertindak
sebagai SUBJ.
Skema Str-f (7-46e) yang ditandai dengan notasi f juga memperlihatkan
adanya dua atribut, yakni PRED dan SUBJ. Atribut PRED memiliki nilai
―MELOMPAT‘ dan hanya memerlukan satu argumen luar yang bertindak sebagai
SUBJ. Atribut SUBJ memiliki nilai seperti yang terlihat dalam g. Dalam hal ini,
SUBJ mempunyai atribut berupa PRED dengan nilai ―KODOKNYA‖ dan atribut
DEF dengan nilai +. Simbol plus (+) ini menyatakan makna kedefinitan atau
ketakrifan.
Model analisis str-f berikutnya adalah kalimat berpredikat verba
berargumen dua atau kalimat transitif. Penjabaran entri leksikal, Str-k, dan
Str-fnya adalah sebagai berikut.
(7-47) a. Opahku menyembuhkan orang itu. (Dh/71)
b. Entri Leksikal:
opahku N(↑PRED) = ‗OPAHKU‘
DEF = +
menyembuhkan V(↑PRED) = ‘MENYEMBUHKAN<(SUBJ, OBJ)>‘
orang N(↑PRED) = ‘ORANG‘
(↑NUM) = TG
(↑PERS) = 3
itu DET(↑PRED) = +
250
c. Str-k
itu
FI
FD
D
FN
Opahku
N
N‘
N
FN D
N‘
orang
V‘
FV
I‘
V
menyembuhkan
D‘
FD
251
d. Str-k dan korespondensinya dengan Str-f
Opahku menyembuhkan
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
itu
N
↑=↓
FN
↑=↓
D
↑=↓
N‘
↑=↓
orang
D‘
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
g
f
h
252
e. Str-f
PRED ‗MENYEMBUHKAN <(SUBJ, OBJ)>‘
SUBJ g PRED ‗OPAHKU‘
DEF +
f OBJ h PRED ‗ORANG‘
NUM TG
PERS 3
DET +
Berbeda dengan kedua Str-f di atas, Str-f pada (7-47e) di atas
menunjukkan adanya sebuah PRED dan dua buah fungsi argumen inti, yakni
SUBJ dan OBJ. Dalam Str-f tersebut, ketiga-tiganya merupakan atribut: SUBJ dan
OBJ merupakan atribut dari fungsi gramatikal, sedangkan PRED merupakan
atribut semantis. Setiap atribut mempunyai nilai (value): atribut PRED
mempunyai nilai berupa subkategorisasi MENYEMBUHKAN <SUBJ, OBJ>;
atribut SUBJ mempunyai nilai berupa Str-f, seperti yang terlihat dalam g. Dalam
hal ini, SUBJ mempunyai atribut PRED dengan nilai OPAHKU dan atribut DEF
dengan nilai + yang mempunyai arti ketakrifan. Adapun atribut OBJ mempunyai
nilai berupa Str-f, seperti yang terlihat dalam h. Dalam hal ini, OBJ mempunyai
empat atribut dengan nilai masing-masing, yakni PRED dengan nilai ―ORANG‖,
NUM dengan nilai ―TG‖, PERS dengan nilai ―3‖, dan atribut DET dengan
nilai ―+‖. Simbol plus (+) di sini menyatakan makna kedefinitifan atau ketakrifan.
Model analisis Str-f berikutnya adalah kalimat berpredikat verba
berargumen tiga atau verba dwitransitif. Seperti yang telah dijelaskan pada bab VI
253
bahwa AD yang menjadi subjek penelitian ini belum bisa memproduksi kalimat
dwitransitif secara benar. Kalimat dwitransitif ada yang diproduksi dengan pola
urut yang salah dan ada pula yang dinyatakan dalam kalimat ekatransitif dengan
kandungan makna yang mirip. Namun demi contoh penjabaran model analisisnya,
diagram Str-f untuk kalimat dwitransitif ditunjukkan di sini. Pembuatan model
analisis Str-f dimulai dengan penjabaran entri leksikal dan Str-knya sebagai
berikut.
(7-48) a. Dia mengambilkan Lita sapu
b. Entri Leksikal
dia N(PRED) = PRO
(NUM) = TG
(PERS) = 3
mengambilkan V(PRED) = ‘MENGAMBILKAN<(SUBJ)(OBJ1)(OBJ2)>‘
Lita N(PRED) = ‗LITA‖
(NUM) = TG
(PERS) = 3
sapu N(PRED) = ‗SAPU‘
(NUM) = TG
(PERS) = 3
254
c. Str-k
V
Dia mengambilkan
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
V‘
FV
I‘
N
FN
N‘
Lita
D‘
FD
N
FN
N‘
sapu
D‘
FD
255
d. Str-k dan korespondensinya dengan Str-f
Dia mengambilkan
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
Lita
D‘
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
sapu
D‘
↑=↓
FD
(↑OBJT)=
↓
f g
h
i
256
e. Str-f
PRED ‗MENGAMBILKAN<(SUBJ)(OBJ)(OBJT)>‘
SUBJ PRED PRO
g NUM TG
f PERS 3
OBJ PRED ‗LITA‘
h NUM TG
PERS 3
OBJT PRED ‗SAPU‘
i NUM TG
PERS 3
Skema Str-f pada (7-48e) mempunyai beberapa lapis dan di dalam setiap
Str-f tersebut terdapat atribut dan nilai. Atribut PRED mempunyai nilai berupa
subkategorisasi ―MENGAMBILKAN <SUBJ, OBJ, OBJ>‖. Atribut SUBJ
mempunyai nilai berupa Str-f, yaitu ―g”, yang di dalamnya terdapat tiga atribut,
yakni PRED dengan nilai ―PRO‖, NUM dengan nilai ―TG‖, dan PERS dengan
nilai ―3‖. Atribut OBJ mempunyai nilai berupa Str-f, yaitu ―h”, yang di dalamnya
juga terdapat atribut PRED dengan nilai ―LITA‖, atribut NUM dengan nilai ―TG‖,
dan atribut PERS dengan nilai ―3‖. Atribut OBJT juga mengandung nilai berupa
Str-f, yaitu ―i”, yang juga mempunyai atribut, yakni PRED dengan nilai ―SAPU‖,
atribut NUM dengan nilai ―TG‖, dan atribut PERS dengan nilai ―3‖.
Untuk selanjutnya adalah model analisis Str-f untuk kalimat berpredikat
V pasif. Penjabaran entri leksikal, Str-k, dan Str-fnya adalah sebagai berikut.
257
(7-49) a. Aku dimarahi sama mama. (Dh/125)
b. Entri Leksikal
Aku N(PRED) = ‘PRO‘
(NUM) = TG
(PERS) = 1
dimarahi V(PRED) = ‘DIMARAHI<(SUBJ)(OBL)>‘
sama P(PKASUS)=‘OBL‘
mama N(PRED) = ‘MAMA‘
(NUM) = TG
(PERS) = 3
c. Str-k
V
mama
FI
FD
D
FN
Aku
N
N‘
FD P
sama
V‘
FV
I‘
dimarahi
P‘
FP
258
d. Str-k dan korespondensinya dengan Str-f
g
f
Aku dimarahi
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
mama
P
↑=↓
FD
↑=↓
sama
P‘
↑=↓
FP
(↑OBL)=↓
h
259
e. Str-f
PRED ‗DIMARAHI<(SUBJ)(OBL)>‘
PRED PRO
SUBJ g NUM TG
f PERS 1
PCASE SAMA
OBL h
PRED ‗MAMA’
Dalam Str-f (7-49e), yang berasal dari konstruksi kalimat pasif (4-58),
terdapat tiga atribut, yaitu atribut PRED dengan nilai berupa subkategorisasi
―DIMARAHI<SUBJ><OBL>‖; atribut SUBJ dengan nilai berupa Str-f, yang
ditunjukkan oleh anotasi ―g”, yang di dalamnya juga terdapat tiga atribut, yakni
PRED dengan nilai ―PRO‖, NUM dengan nilai ―TG‖, dan PERS dengan nilai ―1‖;
dan atribut OBL dengan nilai berupa Str-f, yang ditunjukkan oleh anotasi ―h”,
yang di dalamnya terdapat dua atribut, yakni kasus pasif atau PCASE dengan nilai
―SAMA” dan atribut PRED dengan nilai ―MAMA”.
Dari uraian di atas terlihat bahwa semua Str-f pada (7-45e) sampai dengan
(7-49e) merupakan Str-f yang berlapis-lapis. Str-f tersebut dapat dinyatakan
berlapis-lapis karena di dalam setiap atribut Str-f tersebut juga terdapat atribut
yang lain. Setiap atribut pada Str-f berlapis tersebut masing-masing mempunyai
sebuah nilai (value). Hal itu menunjukkan bahwa Str-f pada (7-45e)--(7-49e) di
atas merupakan Str-f yang berterima (well-formed) karena telah memenuhi
prinsip/kendala Str-f, yakni konsistensi, ketuntasan, dan koherensi (lihat kembali
bab II).
260
Selain kalimat-kalimat yang telah dijelaskan di atas, ditemukan juga
beberapa idiosinkrasi sintaksis dalam tuturan AD. Terkait dengan paparan
idiosinkrasi sintaksis, hal ini telah dijelaskan sebelumnya pada sub-subbab 4.3.2,
yaitu idiosinkrasi sintaksis dalam tuturan AD berupa pola urut kata/konstituen
yang terbalik-balik, pelesapan atau penghilangan OBJ sebagai wujud defisit
bahasa, penghilangan preposisi, dan kerancuan konstruksi aktif-pasif.
Berikut dipaparkan beberapa data tentang pola urut kata/konstituen yang
terbalik-balik, pelesapan atau penghilangan OBJ sebagai wujud defisit bahasa,
serta pelesapan preposisi beserta analisis struktur sintaksisnya sehingga semakin
menguatkan bukti adanya idiosinkrasi sintaksis dalam tuturan AD.
Pertama, data tentang pelesapan atau penghilangan OBJ sebagai wujud
defisit bahasa, yaitu data (7-50) berikut.
(7-50) a. Subjek B: Ibuku membuat. (B/16)
b. Teman B: Ibumu membuat apa? Nasi goreng? Atau sosis?
c. Subjek B: SUBJEK B TAMPAK MENGINGAT-INGAT SESUATU,
TETAPI TAMPAKNYA TETAP TIDAK INGAT. DIA
DIAM LALU MENGGELENGKAN KEPALANYA.
Data di atas dicatat pada saat anak-anak sedang istirahat makan bersama.
B sedang makan bekal nasi putih dengan ceplok telur, sedangkan teman B di
sebelahnya membawa bekal nasi goreng dengan sosis. Sambil melihat bekal milik
temannya, B menceritakan bahwa ibunya membuat sesuatu dengan kalimat tak
lengkap Ibuku membuat (7-50b). Teman B kemudian bertanya kepada B tentang
apa yang disampaikannya. Apakah B bermaksud menyampaikan bahwa ibunya
261
juga membuat nasi goreng dan sosis seperti yang dibawanya? B tampak ingin
menjawab, tetapi tidak bisa menyampaikan.
Setelah anak-anak pulang, gurunya menyampaikan bahwa ibu B memiliki
home industry yang memproduksi kue lapis. Jadi, tuturan yang ingin disampaikan
oleh B tersebut sebenarnya adalah
c. ―Ibuku membuat kue lapis”.
Kalimat (7-50c) ini memiliki entri leksikal, Str-k, dan Str-f sebagai berikut.
a. Entri Leksikal:
ibuku N(↑PRED) = ‗IBUKU‘
DEF = +
membuat V(↑PRED) = ‘MEMBUAT<(SUBJ, OBJ)>‘
kue N(↑PRED) = ‘KUE LAPIS‘
b. Str-k:
kue lapis membuat Ibuku
V‘
FV
I‘
V
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
262
c. Korespondensi Str-k dan Str-f:
d. Str-f
PRED ‗MEMBUAT <(SUBJ, OBJ)>‘
f SUBJ g PRED ‗IBUKU‘
OBJ h PRED ‗KUE LAPIS‗
g
f
h
Ibuku membuat
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
kue lapis
D
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
263
Berdasarkan diagram di atas tampak bahwa kalimat tersebut terdiri atas
sebuah PRED dan diikuti oleh dua buah fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan
OBJ, sehingga SUBJ dan OBJ seharusnya muncul. Kedua argumen tersebut wajib
hadir dalam kalimat tersebut.
Akan tetapi, B sebagai penyandang disleksia menyampaikannya dalam
kalimat (7-50b) ‘Ibuku membuat’. Tuturan yang diproduksi oleh penutur AD ini
menunjukkan terjadinya ideosinkrasi sintaksis, yakni berupa defisit bahasa karena
terdapat penghilangan argumen OBJ sehingga tuturan yang dihasilkan B dapat
dipandang menyimpang dari bentuk Str-k yang seharusnya. Hal ini tampak pada
diagram Str-k berikut.
Ø (zero) membuat Ibuku
V‘
FV
I‘
V
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
264
Diagram Str-k di atas menunjukkan bahwa FD ibuku berfungsi sebagai
argumen SUBJ, sedangkan fungsi argumen OBJ tidak hadir/zero (Ø). Berdasarkan
konteksnya, kalimat di atas seharusnya dilengkapi oleh FD ―kue lapis‖ sebagai
argumen OBJ. Tanpa kehadiran fungsi argumen OBJ, kalimat tersebut akan
membingungkan lawan bicara karena fungsi argumen OBJ tersebut tidak dapat
dirujuk dari konteks kalimat sebelumnya.
Pertanyaannya kemudian mengapa dalam kalimat semacam itu pelesapan
OBJ tidak berterima? Mengapa OBJ harus hadir? Penjelasannya adalah dalam
Str-k FV, kehadiran KOMP diperlukan oleh inti. KOMP dalam hal ini bisa diisi
oleh OBJ baik OBJ verba ataupun OBJ preposisi. Dalam pandangan teori X-bar,
inti wajib didampingi KOMP. Dalam hal ini, KOMP-nya adalah OBJ itu tadi.
Sebagai pembanding, sebuah konstruksi kalimat ―Saya sudah pulang dari sana‖
akan menjadi kalimat tidak berterima (tidak gramatikal) apabila tidak ada kata
sana yang hadir (= *Saya sudah pulang dari). Mengapa demikian? Karena sana
merupakan KOMP dari konstituen FP dari sana. Demikian pula sebuah
konstruksi kalimat ―Ayah pergi ke kantor‖ dipandang tidak berterima apabila
tidak ada kata kantor yang hadir (= *Ayah pergi ke). Mengapa demikian? Karena
kantor merupakan KOMP dari konstituen FP ke kantor dalam kalimat tersebut.
Dengan kata lain, kata dari dan di dalam kalimat tersebut adalah inti konstituen
yang wajib dilengkapi oleh sana dan kantor sebagai KOMP-nya. KOMP wajib
hadir melengkapi inti (head)-nya.
Begitu juga kalimat transitif Ibuku membuat dipandang sebagai kalimat
tak berterima. Mengapa demikian? Karena fungsi argumen OBJ yang seharusnya
265
diisi oleh FD kue lapis tidak hadir melengkapi V transitif membuat, yang dalam
hal ini berfungsi sebagai inti konstituen. Bukankah membuat kue lapis merupakan
satu kesatuan sebagai sebuah konstituen dalam kalimat tersebut dengan formasi
membuat sebagai inti (head) dan kue sebagai KOMP-nya? Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pada tuturan *Ibuku membuat di atas terjadi gejala
penghilangan kata (defisit bahasa) yang ditandai dengan tidak hadirnya fungsi
OBJ yang diisi oleh FD kue lapis pada kalimat transitif tersebut. Fenomena
penghilangan OBJ semacam ini tentu berbeda dengan kasus pelesapan OBJ yang
dapat ditelusuri dari konteks kalimat sebelumnya, seperti yang dijelaskan pada
bab V anak sub-subbab 5.3.1.1.(2).
Data tuturan lain yang menunjukkan terjadinya idiosinkrasi sintaksis
dalam bentuk pelesapan atau penghilangan OBJ sebagai wujud adanya defisit
bahasa tampak juga pada (7-51) berikut.
(7-51) a. Teman S: Pekerjaan papamu apa?
b. Subjek S: Papaku membetulkan. (S/32)
c. Teman S: Membetulkan apa?
c. Subjek S: SUBJEK S TAMPAK MENGINGAT-NGINGAT
SESUATU, INGIN MENERUSKAN PEMBICARAAN,
NAMUN TAMPAK TIDAK INGAT DAN TETAP DIAM.
Data (7-51) di atas adalah data percakapan antara dua anak, yakni antara S,
anak penyandang disleksia yang menjadi subjek penelitian ini (7-51b) dan
temannya (7-51a). Dalam konteks percakapan di atas, temannya menanyakan
pekerjaan yang dimiliki oleh ayah dari anak S, yang sebenarnya membetulkan
266
kulkas. Oleh karena itu, tuturan yang muncul sebagai jawaban dari pertanyaan
tersebut seharusnya adalah
c. ―Papaku membetulkan kulkas.”
Kalimat (7-51c) ini memiliki entri leksikal, diagram Str-k, dan Str-f sebagai
berikut.
a. Entri Leksikal:
papaku N(↑PRED) = ‗PAPAKU‘
DEF = +
membetulkan V(↑PRED) = ‘MEMBETULKAN<(SUBJ, OBJ)>‘
kulkas N(↑PRED) = ‘KULKAS‘
b. Str-k:
kulkas membetulkan Papaku
V‘
FV
I‘
V
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
267
c. Korespondensi Str-k dan Str-f
g
f
Papaku membetulkan
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
kulkas
D
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
h
268
d. Str-f
PRED ‗MEMBETULKAN <(SUBJ, OBJ)>‘
SUBJ g PRED ‗PAPAKU‘
DEF +
f OBJ h PRED ‗KULKAS‘
Dari diagram di atas tampak bahwa kalimat tersebut terdiri atas sebuah
PRED yang diikuti oleh dua buah fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ,
sehingga SUBJ dan OBJ sebagai argumen tersebut harus muncul. Kedua argumen
tersebut wajib hadir mendampingi PRED dalam kalimat tersebut.
Akan tetapi, S sebagai penyandang disleksia memberikan jawaban berupa
kalimat (7-51b) ‘Papaku membetulkan. Tuturan yang diproduksi oleh penutur AD
ini menunjukkan terjadinya idiosinkrasi sintaksis, yakni berupa defisit bahasa
karena terdapat penghilangan argumen OBJ yang seharusnya hadir. Mengapa OBJ
harus hadir dalam kasus kalimat ini? Karena fungsi KOMP kalimat itu, yang
dapat diisi oleh OBJ baik OBJ verba maupun OBJ preposisi, harus hadir
mendampingi inti. KOMP wajib hadir karena inti tidak dapat berdiri sendiri tanpa
dilengkapi KOMP. Dalam hal ini, KOMP itu adalah OBJ itu tadi. Begitulah dalam
pandangan teori X-bar. Dengan demikian, tuturan yang dihasilkan oleh S dapat
dipandang menyimpang dari bentuk Str-k yang seharusnya. Hal ini tampak pada
diagram Str-k berikut.
269
Diagram str-k di atas menunjukkan bahwa ―PAPAKU‖ yang berada di
bawah simpul FD berfungsi sebagai argumen SUBJ, sedangkan fungsi argumen
OBJ tidak ada/zero (Ø). Berdasarkan konteksnya, kalimat di atas seharusnya
dilengkapi dengan FD ―KULKAS‖ sebagai argumen OBJ. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pada tuturan di atas terjadi penghilangan kata (defisit
bahasa) yang ditandai dengan tidak hadirnya argumen OBJ pada kalimat transitif
tersebut.
Ø (zero)
V‘
FV
I‘
V
membetulkan Papaku
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
270
Data tuturan lain yang menunjukkan terjadinya idiosinkrasi sintaksis
dalam bentuk pelesapan atau penghilangan OBJ sebagai wujud adanya fenomena
defisit bahasa juga tampak pada (7-52) berikut.
(7-52) a. Subjek A: Pak Salim menjual. (A/16)
b. Teman A: Menjual apa?
b. Subjek A: INGIN MENYAMPAIKAN SESUATU, TETAPI
TAMPAK TIDAK INGAT DAN TETAP DIAM
Data (7-52) di atas merupakan data percakapan antara dua anak, yakni
antara A, anak penyandang disleksia, yang menjadi subjek penelitian ini (7-52a)
dengan temannya (7-52b). Dalam konteks percakapan di atas, A ingin
menyampaikan pada temannya bahwa warung Pak Salim menjual mainan. Akan
tetapi, temannya yang diajak bicara balik bertanya karena yang disampaikan oleh
A tidak lengkap. Seharusnya, A menyampaikan informasi tersebut secara lengkap.
Oleh karena itu, tuturan yang seharusnya muncul adalah
c. ―Pak Salim menjual mainan.”
.
Kalimat (7-52c) ini bila dianalisis dalam model Str-f, akan tampak seperti diagram
di bawah. Model analisisnya dimulai dari penjabaran entri leksikal, diagram str-k,
baru kemudian diagram Str-f.
271
a. Entri Leksikal:
Pak Salim N(↑PRED) = ‗PAK SALIM‘
memjual V(↑PRED) = ‘MENJUAL<(SUBJ, OBJ)>‘
mainan N(↑PRED) = ‘MAINAN‘
b. Str-k:
mainan menjual Pak Salim
V‘
FV
I‘
V
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
272
c. Korespondensi Str-k dan Str-f
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
D
↑=↓
FD
(↑OBJ)=↓
N
↑=↓
FN
↑=↓
N‘
↑=↓
D
↑=↓
FD
(↑SUBJ)
=↓
g
f
FI
FD
(↑SUBJ)=↓
D‘
↑=↓
FN
↑=↓
N
↑=↓
N‘
↑=↓
V‘
↑=↓
FV
↑=↓
I‘
↑=↓
V
↑=↓
h
Pak Salim menjual mainan
273
d. Str-f:
PRED ‗MENJUAL <(SUBJ, OBJ)>‘
SUBJ g PRED ‗PAK SALIM‘
f OBJ h PRED ‗MAINAN‘
Dari diagram di atas terlihat bahwa kalimat tersebut terdiri atas sebuah
PRED yang diikuti oleh dua buah fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ,
sehingga SUBJ dan OBJ sebagai argumen tersebut harus muncul. Kedua argumen
tersebut wajib hadir mendampingi PRED dalam kalimat tersebut.
Akan tetapi, A sebagai penyandang disleksia memberikan informasi
tentang warung Pak Salim yang menjual mainan secara tidak lengkap dengan
mengatakan kalimat (7-52b) Pak Salim menjual. Tuturan yang diproduksi oleh
penutur AD ini menunjukkan terjadinya ideosinkrasi sintaksis, yakni berupa
defisit bahasa karena terdapat penghilangan argumen OBJ yang seharusnya hadir.
Mengapa OBJ harus hadir dalam kalimat ini? Karena fungsi KOMP yang diisi
oleh OBJ, baik OBJ verba maupun OBJ preposisi, harus hadir mendampingi inti.
KOMP wajib hadir karena inti tidak dapat berdiri sendiri tanpa dilengkapi KOMP.
Dengan demikian, tuturan yang dihasilkan oleh A dapat dipandang menyimpang
dari bentuk Str-k yang seharusnya. Hal ini tampak pada diagram Str-k berikut.
274
Diagram Str-k di atas menunjukkan bahwa ―PAK SALIM‖ yang berada di
bawah simpul FD berfungsi sebagai argumen SUBJ, sedangkan fungsi argumen
OBJ tidak muncul/zero (Ø). Berdasarkan konteksnya, kalimat di atas seharusnya
dilengkapi dengan kata ―MAINAN‖ sebagai KOMP atau dalam hal ini berupa
argumen OBJ. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada tuturan di atas
terjadi penghilangan kata (defisit bahasa) yang ditandai dengan tidak hadirnya
argumen OBJ.
Ø (zero) menjual Pak Salim
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
V‘
FV
I‘
V FD
D‘
FN
N
N‘
275
Selain dalam bentuk defisit OBJ, pada tuturan AD juga ditemukan adanya
idiosinkrasi sintaksis dalam bentuk pelesapan atau defisit P, seperti yang tampak
dalam data (7-53a, b, c).
(7-53) a. Bu guru menulis [buku halus]. (B/20)
b. Bapak pergi [kantor]? (N/35)
c. Mama belanja [pasar]? (Y/40)
Berdasarkan konteksnya, FN [buku halus], [kantor], dan [pasar] dalam
kalimat (7-53a,b,c) di atas sebenarnya merupakan FP yang memiliki bentuk
lengkap [di buku halus], [ke kantor], dan [di pasar]. Akan tetapi, FP tersebut
mengalami penghilangan unsur P. Penghilangan unsur P yang berfungsi sebagai
inti (head) frasa dalam kalimat (7-53a,b,c) tersebut dalam taraf makna masih
dapat dipahami. Akan tetapi, dari segi kegramatikalan kalimat, sesungguhnya
kalimat tersebut tidak berterima. Mengapa demikian? Dalam struktur konstituen
FP, kehadiran P sebagai inti frasa diperlukan oleh FN sebagai KOMP-nya.
Kehadiran P bersifat wajib karena tanpa kehadirannya konstituen FP yang
terbentuk tidak bermakna dan tidak bisa independen. Untuk memperjelas
terjadinya defisit P, berikut dibuatkan diagram Str-k, yang diawali dengan
276
diagram yang menunjukkan adanya P, baru kemudian dibuatkan diagram str-k
yang memperlihatkan fenomena defisit unsur P tersebut.
di menulis Bu guru buku halus
Bapak pergi ke kantor
pasar Mama belanja di
FI
V‘
FV
I‘
V FP
P‘
FN P
FD
D‘
FN
N
N‘
277
Berikut ditampilkan diagram str-k yang memperlihatkan tidak hadirnya unsure P
dalam struktur FP.
Diagram di atas menunjukkan bahwa FP di buku halus dibentuk oleh P di sebagai
inti dan FN buku halus sebagai KOMP-nya. Demikian pula FP di kantor dan ke
pasar, dibentuk oleh P di dan ke sebagai inti dan FN kantor dan pasar sebagai
KOMP-nya. Penghilangan P di, ke, dan di sebagai inti dalam struktur FP tersebut
menjadikan kalimat tersebut tidak berterima.
menulis Bu guru buku halus
Bapak pergi kantor
pasar Mama belanja
FI
V‘
FV
I‘
V FP
P‘
FN P
FD
D‘
FN
N
N‘
Ø (zero)
Ø (zero)
Ø (zero)
278
Selain dalam bentuk defisit OBJ dan P, pada tuturan AD juga ditemukan
adanya penyimpangan pola urutan kata. Idiosinkrasi sintaksis dalam bentuk
penyimpangan pola urut kata/konstituen dikatakan terjadi apabila tuturan yang
dihasilkan tidak sesuai dengan pola urut kata/konstituen yang berterima dalam
kalimat bahasa Indonesia.
Salah satu contoh data kalimat yang dihasilkan oleh AD dalam penelitian
ini yang mengalami penyimpangan pola urut kata adalah seperti berikut.
(7-54) a. Nggak tahu aku puranya.
Bila diilustrasikan dalam bentuk diagram Str-k, analisisnya seperti berikut.
puranya Nggak tahu
V‘
FV
I‘
V FD
D‘
FN
N
N‘
FI
FD
D‘
FN
N
N‘
aku
279
Kalimat (7-54a) di atas tidak berterima karena menyimpang dari pola urut
kata dalam kalimat bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, atribut PRED dan
argumen OBJ tidak dapat dipisahkan oleh unsur lain. Dengan kata lain, argumen
OBJ dengan nilai FD ―PURANYA‖ harus mengikuti langsung unsur PRED
dengan nilai FV ―NGGAK TAHU‖. Akan tetapi, pada kalimat (7-53) yang
dituturkan oleh AD di atas, unsur PRED dengan nilai FV ―NGGAK TAHU‖ dan
argumen OBJ dengan nilai FD ―PURANYA‖ terpisah oleh argumen SUBJ dengan
nilai FD ―AKU‖ yang menjadikan pola urut kata pada kalimat (7-54a) tidak
berterima (tidak gramatikal). Seharusnya, pola urut kata dalam kalimat tersebut
menjadi seperti berikut.
(7-54) b. Aku nggak tahu puranya.
Bila diilustrasikan dalam bentuk diagram Str-k, analisisnya seperti berikut.
puranya nggak tahu Aku
FD
D‘
FN
N
N‘
FI
V‘
FV
I‘
V FD
D‘
FN
N
N‘
280
Diagram struktur fungsionalnya sebagai berikut.
PRED ‗NGGAK TAHU <(SUBJ)(OBJ)>‘
PRED ‗AKU‘
SUBJ g NUMBER ‗TG‘
f PERSON ‗1‘
OBJ PRED ‗PURANYA‘
h DEF +
Str-f dari kalimat (7-54b) di atas menunjukkan adanya sebuah PRED dan
dua buah fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ. Dalam Str-f tersebut, ketiga-
tiganya merupakan atribut: SUBJ dan OBJ merupakan atribut dari fungsi
gramatikal, sedangkan PRED merupakan atribut semantis. Setiap atribut
mempunyai nilai (value): atribut PRED mempunyai nilai berupa subkategorisasi
―NGGAK TAHU‖ <SUBJ, OBJ>; atribut SUBJ mempunyai nilai berupa Str-f,
seperti yang terlihat dalam ―g”. Dalam hal ini, SUBJ mempunyai tiga atribut
dengan nilai masing-masing, yakni atribut PRED dengan nilai ―AKU‖, atribut
NUMBER dengan nilai ―TG‖, dan atribut PERSON dengan nilai ―1‖. Adapun
atribut OBJ mempunyai nilai berupa Str-f, seperti yang terlihat dalam ―h”. Dalam
hal ini, OBJ mempunyai dua atribut dengan nilai masing-masing, yakni PRED
dengan nilai ―PURANYA‖ dan DEF dengan nilai ―+‖. Simbol + di sini
mempunyai makna takrif.
Berdasarkan analisis Str-k di atas, tuturan yang seharusnya diproduksi oleh
AD memiliki pola urut kata/konstituen dengan struktur SUBJ-PRED-OBJ. Akan
281
tetapi, AD memproduksinya dengan pola urut PRED-SUBJ-OBJ, seperti yang
tampak pada data (7-54a) di atas.
Adanya gejala penyimpangan pola urut kata juga terjadi dalam tuturan
lain yang dihasilkan oleh AD. Kalimat ―Ima, jangan banyak-banyak ambil
kuenya” merupakan kalimat yang berterima (gramatikal) dalam bahasa Indonesia.
Kalimat imperatif ini memiliki pola urut sebagai berikut.
(7-55) a. Ima, jangan ambil kuenya banyak-banyak.
Diagram Str-f dari kalimat tersebut sebagai berikut.
PRED ‗JANGAN AMBIL‘ <(SUBJ, OBJ)>‘
SUBJ g PRED ‗IMA‘
f OBJ h PRED ‗KUENYA BANYAK-BANYAK‘
Namun, tuturan AD yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan
pola urut yang berbeda. Kalimat yang dihasilkan AD, yakni
(7-55) b. Banyak-banyak, jangan Ima kuenya ambil.
Kalimat (7-55b) ini memiliki pola urut kata/konstituen seperti berikut.
282
Banyak-banyak jangan Ima kuenya ambil
quantifier penanda imperatif larangan FD(SUBJ) FD(OBJ) FV
Tuturan (7-55b) yang dihasilkan oleh AD tersebut merupakan tuturan
dengan pola urut kata yang menyimpang. Pada penjabaran di atas tampak bahwa
susunan fungsi ADJ quantifier ‘banyak-banyak’ terpisah dari frasa intinya, yaitu
FD OBJ dengan nilai ―KUE‖. Selain itu, penanda imperatif larangan ―jangan”
juga tidak lekat dengan inti frasanya, yakni PRED dengan nilai ―AMBIL‖.
Kalimat yang dihasilkan oleh AD pada (7-55b) memiliki pola urut kata tidak
sesuai dengan pola urut kata yang seharusnya dalam bahasa Indonesia. Dengan
demikian, dapat dinyatakan bahwa tuturan AD tersebut mengalami idiosinkrasi
sintaksis berupa pola urut kata yang terbalik-balik.
Selanjutnya, salah satu kalimat lain yang dihasilkan oleh AD dengan
idiosinkrasi sintaksis berupa pola urut kata yang terbalik-balik adalah yang
berikut.
(7-56) a. Ih, ke sana cepat Tata sampahnya buang.
Kalimat (7-56a) ini memiliki pola urut kata seperti berikut.
Ih, ke sana cepat Tata sampahnya buang
interjeksi FP FADV FD(Agent) FDPatient) FV
283
Kalimat (7-56a) di atas merupakan kalimat imperatif. Pola urut
(Interjeksi - FP - FADV - FD(agent) - FD(pasien) – FV) ini merupakan pola urut yang
menyimpang dan tidak berterima.
Pada hakikatnya kalimat imperatif merupakan kalimat transformasi dari
kalimat deklaratif. Kalimat imperatif dapat dibentuk dari kalimat deklaratif
melalui penempatan FV di awal kalimat. Adapun FD SUBJ bisa dilesapkan atau
ditaruh di akhir kalimat. Dengan demikian, pola urut yang wajar (kanonik) untuk
kalimat imperatif adalah sebagai berikut.
(7-56) b. Ih, buang sampahnya ke sana cepat, Tata.
Ih, buang sampahnya ke sana cepat Tata
interjensi FV FDPatient FP FADV FD(Agent)
Kalimat (7-56b) di atas memiliki pola urut kata seperti berikut: Interjeksi - FV -
FD(pasien) – FP – FADV - FD(agent)
7.5 Temuan Baru Penelitian
Dari deskripsi dan penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa kalimat-
kalimat yang muncul dalam tuturan AD, berdasarkan struktur fungsi
284
gramatikalnya, ada yang gramatikat (berterima) dan ada yang tidak gramatikal
(tak berterima). Struktur kalimat gramatikal yang muncul dalam tuturan AD
terdiri atas kalimat berpredikat nonverbal, kalimat berpredikat verba berargumen
satu atau kalimat intransitif, kalimat berpredikat verba berargumen dua atau
kalimat ekatransitif, dan kalimat berpredikat verba berargumen tiga atau kalimat
dwitransitif.
Analisis Str-f untuk menggambarkan penggunaan fungsi argumen dalam
kalimat AD dijabarkan terlebih dahulu ke dalam entri leksikal, Str-k, dan baru
kemudian ke Str-f. Str-f kalimat berpredikat nonverbal yang diisi oleh kategori
adjektiva mempunyai bentuk yang sama dengan Str-f kalimat berpredikat
nonverbal yang diisi oleh kategori N, Num, dan P. Model Str-f kalimat-kalimat
tersebut memiliki bentuk yang mirip dengan str-f pada kalimat dengan predikat
V berargumen satu. Kalimat berpredikat nonverbal dan kalimat dengan predikat V
berargumen satu tidak memerlukan argumen dalam (internal argument) dan
hanya memerlukan argumen luar yang bertindak sebagai SUBJ. Pada kalimat
dengan predikat V berargumen dua, Str-f menunjukkan adanya sebuah PRED dan
dua buah fungsi argumen inti, yakni SUBJ dan OBJ. Pada kalimat berpredikat V
berargumen tiga, Str-f menunjukkan adanya sebuah PRED dengan tiga fungsi
argumen, yakni SUBJ, OBJ, OBJ. PRED mempunyai nilai berupa subkategorisasi
<SUBJ, OBJ, OBJ>‘. Atribut SUBJ memiliki tiga atribut lagi, yakni PRED
dengan nilai ―PRO‖, NUM dengan nilai ―TG‖, dan PERS dengan nilai ―3‖; atribut
OBJ juga memiliki tiga atribut lagi yakni atribut PRED, atribut NUM, dan atribut
PERS; atribut OBJT juga mempunyai tiga atribut lagi, yakni atribut PRED, atribut
285
NUM, dan atribut PERS. Pada model analisis Str-f untuk kalimat berpredikat V
pasif, terdapat tiga atribut, yaitu atribut PRED dengan nilai berupa subkategorisasi
‗<SUBJ><OBL>‘; atribut SUBJ yang di dalamnya juga terdapat tiga atribut lagi,
yakni PRED, NUM, dan PERS 1; dan atribut OBL yang di dalamnya juga
memiliki dua atribut lagi, yakni kasus pasif atau PCASE dan atribut PRED.
Analisis Str-f memperlihatkan Str-f yang berlapis-lapis karena di dalam
Str-f terdapat Str-f yang lain. Setiap atribut pada Str-f berlapis masing-masing
memiliki sebuah nilai (value). Hal itu menunjukkan bahwa Str-f untuk kalimat
tersebut berterima (well-formed).
Analisis Str-f untuk kalimat-kalimat tak berterima (ungramatical)
memperlihatkan adanya idiosinkresi sintaksis pada tuturan AD. Kalimat yang
mengalami defisit kata dapat berupa penghilangan fungsi OBJ dan P dalam FP
serta kalimat dengan pola urut kata/konstituen yang terbalik-balik. Model analisis
Str-k dan Str-f untuk kalimat-kalimat tersebut juga menggambarkan bahwa
struktur kalimat tersebut tak berterima. Ditemukannya idiosinkrasi sintaksis dalam
bentuk defisit kata dan pola urut kata/konstituen merefleksikan bahwa AD yang
menjadi subjek penelitian ini termasuk L-type dyslexia (lingusitik) yang ditandai
dengan adanya pelesapan kata pada kalimat sehingga menjadi kalimat tak
lengkap, defisit bahasa berupa penghilangan kata-kata tertentu pada kalimat yang
disusun, serta pemroduksian kalimat dengan pola urut kata yang menyimpang dari
pola urut kata yang seharusnya. Hal ini terjadi karena adanya gangguan fungsi
neurofisiologis (Kirk dan Gallagher, 1989) yang membuat daya ingat AD terbatas
(Pratamawati dkk., 2015).