BAB VI · Web viewPenetapan harga dasar selalu disesuaikan dengan perkembangan biaya produksi dan...

78
PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

Transcript of BAB VI · Web viewPenetapan harga dasar selalu disesuaikan dengan perkembangan biaya produksi dan...

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

BAB VI

PANGAN DAN PERBAIKAN GIZI

A. PENDAHULUAN

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan pentingnya pembangunan pangan dan gizi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang paling utama, dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembangunan pangan dan per- baikan gizi dalam Repelita VI diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional dalam mencukupi kebutuhan pangan masyarakat secara adil dan merata baik dalam jumlah maupun mutu gizinya serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Sasaran pembangunan pangan dalam Repelita VI adalah makin mantapnya ketahanan pangan yang dicirikan oleh terpeliharanya kemantapan swasembada pangan secara dinamis. Swasembada pangan tersebut tidak hanya terbatas pada swasembada beras yang sedapat mungkin dipenuhi dengan

VI/3

produksi dalam negeri, tetapi juga mencakup penyediaan bahan pangan lainnya yang merupakan sumber karbohidrat, protein, lemak dan zat gizi mikro.

Sasaran tersebut terkait erat dengan sasaran diversifikasi pangan serta peningkatan kualitas konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan pola pangan yang bermutu gizi seimbang. Pada akhir Repelita VI penyediaan pangan dalam bentuk energi sesuai dengan Pola Pangan Harapan (PPH) diharapkan mencapai skor mutu pangan sekitar 72,0 dengan kecukupan ketersediaan energi mencapai rata-rata 2.500 kilokalori per kapita per hari. Sasaran berikutnya adalah terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan dan tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat; dan makin mantapnya kelembagaan pangan bagi pelaksanaan pembangunan pangan.

Kebijaksanaan yang ditempuh untuk mencapai sasaran tersebut adalah mengupayakan peningkatan ketahanan pangan yang meliputi peningkatan produksi, distribusi dan kemampuan penyediaan pangan serta stabilisasi harga; mendorong diversifikasi konsumsi pangan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pola pangan yang beranekaragam untuk meningkatkan gizinya; meningkatkan keamanan pangan untuk me- lindungi masyarakat dari pangan yang berbahaya untuk kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan; dan mengembangkan kelem- bagaan pangan yang efektif dan efisien dengan meningkatkan keterpaduan dan koordinasi pembangunan pangan antara pemerintah dan masyarakat serta antarkelompok masyarakat.

Pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan tersebut ditempuh melalui program pokok dan penunjang. Program pokok meliputi program pemantapan swasembada pangan dan program diver- sifikasi pangan. Sedangkan program penunjang meliputi pendidik-

V/4

an, pelatihan dan penyuluhan pangan; program penelitian dan pengembangan pangan; program pengembangan kelembagaan pangan; dan program perbaikan gizi.

Sasaran perbaikan gizi pada Repelita VI adalah tercapainya konsumsi karbohidrat dan protein sebesar 2.150 kilokalori dan 46,2 gram protein per kapita per hari. Oleh karena itu di masyarakat harus tersedia pangan yang cukup dengan mutu gizi rata-rata per kapita per hari sebesar 2.500 kilokalori dan 55 gram protein. Guna memenuhi pedoman umum gizi seimbang, dari 55 gram protein tersebut, 15 gram berasal dari protein hewani yang terdiri atas 9 gram protein ikan dan 6 gram protein yang berasal dari ternak. Sasaran perbaikan gizi Repelita VI juga meliputi meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang gizi sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup manusia, serta meningkatnya peran serta aktif masyarakat terutama di perdesaan sehingga kegiatan usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) menjadi gerakan masyarakat yang mantap.

Sasaran lain adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi-kurang yakni gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), anemia gizi besi (AGB), kurang vitamin A (KVA), dan kurang energi protein (KEP) dari keadaan pada akhir PJP I. Pada akhir Repelita VI GAKY menjadi 18,0 persen dari 27,7 persen; AGB pada ibu hamil menjadi 40 persen dari 63,5 persen, pada anak balita menjadi 40 persen dari 55,5 persen, dan pada tenaga kerja wanita menjadi 20,0 persen dari 30,0 persen; KVA pada anak balita menjadi 0,1 persen dari 0,3 persen; sedangkan KEP total pada anak balita menjadi 30,0 persen dari 40,0 persen.

Sehubungan dengan itu, kebijaksanaan pokok upaya perbaikan gizi dalam Repelita Vl adalah meningkatkan penyuluhan

VI/5

gizi pada masyarakat; meningkatkan kegiatan upaya penanggulangan masalah gizi-kurang (GAKY, AGB, KVA, dan KEP); meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan upaya perbaikan gizi melalui peningkatan jumlah dan mutu tenaga gizi yang profesional untuk berbagai jenjang; meningkatkan kegiatan penelitian unggulan; mengembangkan penerapan teknologi pasca panen untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan yang beraneka ragam dan bergizi; dan meningkatkan kemitraan antara dunia usaha, masyarakat, lembaga kemasyarakatan dan pemerintah.

Atas dasar sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas, upaya perbaikan gizi dalam Repelita VI dilaksanakan melalui satu program pokok, yaitu program perbaikan gizi yang ditunjang oleh program pendidikan dan pelatihan gizi, program pengawasan makanan dan minuman, program penelitian dan pengembangan gizi, dan program diversifikasi pangan.

B. PELAKSANAAN DAN HASIL PEMBANGUNAN TAHUN KEEMPAT REPELITA VI

1. Pangan

Kemajuan yang dicapai dalam pembangunan pangan selama tiga tahun Repelita VI, khususnya peningkatan ketahanan pangan telah mengalami hambatan pada tahun keempat (1997). Beberapa komoditas pangan menurun ketersediaannya karena dampak krisis moneter dan turunnya produksi akibat dari musim kering yang berat dan panjang dalam tahun 1997. Keadaan ini menyebabkan kenaikan beberapa harga bahan pangan disertai menurunnya stabilitas harga pangan pokok sehingga menimbulkan masalah

VI/6

rawan pangan bagi masyarakat, baik yang berada di daerah defisit bahan pangan maupun yang miskin dan daya belinya menurun.

Perkembangan pelaksanaan program-program pembangunan pangan selama tahun keempat Repelita VI pada garis besarnya adalah sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pemantapan Swasembada Pangan

Program ini bertujuan untuk memelihara kemantapan swasembada pangan melalui peningkatan ketahanan pangan dan efisiensi sistem distribusi pangan disertai usaha intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian pangan serta peningkatan nilai tambah. Untuk mencapainya ditempuh kebijaksanaan harga dasar gabah, penerapan harga batas tertinggi beras, dan pemantapan sarana penyangga pangan yang efisien.

a) Harga Dasar Gabah

Kebijaksanaan harga dasar gabah bertujuan untuk mendukung peningkatan pendapatan nyata dari para petani dan sekaligus untuk mendorong peningkatan produksi pangan. Penetapan harga dasar selalu disesuaikan dengan perkembangan biaya produksi dan harga kebutuhan barang pokok dan jasa.

Harga dasar gabah kering panen (GKP), gabah kering simpan (GKS) dan gabah kering giling (GKG) untuk tahun 1997 ditetapkan melalui Inpres Nomor 2 tahun 1997 pada tanggal 24 Januari 1997. Harga tahun 1997 tersebut meningkat sebesar 16,7 persen, 16,9 persen dan 16,7 persen dibanding harga dasar gabah pada tahun

VI/7

1996 (Tabel VI-1). Selanjutnya mulai tanggal 1 April 1998 diberlakukan harga dasar GKP, GKS dan GKG masing-masing sebesar Rp 515,-; Rp 600,- dan Rp 700,-. Pada tanggal 1 Juni 1998 harga dasar gabah disesuaikan lagi masing-masing menjadi Rp 730,- untuk GKP, Rp 855,- untuk GKS, dan Rp 1.000,- untuk GKG.

Pembelian gabah dan beras di dalam negeri dilakukan untuk menjaga efektivitas harga dasar terutama jika harga gabah cenderung menurun. Namun apabila harga gabah di pasar berada di atas harga dasar, petani bebas menjual gabahnya di pasar.

Pembelian beras oleh Pemerintah di dalam negeri juga ditujukan untuk menunjang cadangan penyangga Pemerintah untuk menjaga stabilitas pasar terutama pada saat musim paceklik. Realisasi pengadaan gabah dan beras pada tahun 1997/98 menurun sebesar 24,2 persen dibandingkan pembelian tahun 1996/97 (Tabel VI-2). Hal ini berkaitan erat dengan perkembangan produksi yang menurun dan melonjaknya harga gabah di pasar bebas pada tahun 1997/98. Pulau Jawa masih menjadi sumber utama dalam pengadaan gabah dan beras secara nasional pada tahun 1997/98, yaitu 69,2 persen, sebesar 36,8 persen berasal dari propinsi Jawa Timur sebagai penyumbang terbesar. Sementara itu, Sulawesi Selatan memberikan kontribusi sekitar 15,5 persen.

Pada bulan Maret 1998 harga rata-rata gabah di perdesaan meningkat sebesar 21,7 persen dari harga rata-rata bulan Maret 1997 (Tabel VI-3). Perbedaan harga rata-rata gabah pada saat musim paceklik terhadap harga rata-rata saat musim panen di perdesaan pada tahun 1997/98 melonjak tajam dibandingkan dengan perbedaan tahun sebelumnya (Tabel VI-4). Perkembangan kestabilan harga gabah di perdesaan ini menunjukkan hubungan

VI/8

yang erat dengan terjadinya musim kemarau panjang yang menyebabkan turunnya produksi padi.

Pada tahun 1997/98 harga beras di perkotaan di musim panen dan di musim paceklik masing-masing meningkat sebesar 21,3 persen dan 38,1 persen dibandingkan keadaan harga beras tahun 1996/97 (Tabel VI-5). Perkembangan demikian menyebabkan perbedaan antara harga rata-rata beras di musim panen dan musim paceklik di perkotaan pada tahun 1997/98 sebesar 26,4 persen, melonjak sebesar 139,5 persen dari keadaan tahun sebelumnya.

b) Harga Batas Tertinggi

Harga batas tertinggi beras secara berkala ditetapkan untuk menjaga agar harga beras tetap terjangkau oleh daya beli masyarakat dengan memperhitungkan perkembangan harga dasar gabah, harga kebutuhan pokok lainnya, kepentingan konsumen, dan marjin pemasaran yang diperlukan untuk mendukung efisiensi kinerja pasar. Perkembangan harga rata-rata beras bulanan di beberapa kota penting selama empat tahun Repelita VI adalah sebagaimana tampak dalam Tabel VI-6. Sementara itu rata-rata perbedaan harga beras tertinggi dan terendah dengan harga rata-rata di kota-kota penting selama empat tahun Repelita VI menampakkan kecenderungan yang meningkat (Tabel VI-7).

Harga batas tertinggi beras di daerah surplus, swasembada dan defisit pada tahun 1997/98 masing-masing mengalami kenaikan sebesar 2,6 persen dibandingkan harga tertinggi tahun sebelumnya (Tabel VI-8). Meskipun secara relatif kenaikannya sama, namun secara absolut penetapan harga batas tertinggi beras di daerah defisit masih lebih tinggi dari daerah surplus dan

VI/9

swasembada, sehingga tetap dapat mendorong perdagangan antarpulau dan antardaerah.

Penyaluran beras ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan memelihara stabilitas harga beras. Penyaluran beras dalam tahun 1997/98 secara keseluruhan mengalami kenaikan 103,0 persen dari tahun sebelumnya (Tabel VI-9). Kenaikan itu disebabkan meningkatnya penyaluran beras ke pasaran umum menjadi lebih dari tujuh kali lipat dari tahun sebelumnya, yaitu dalam rangka menanggulangi dampak kekeringan dan dampak krisis moneter. Penyaluran tersebut merupakan yang tertinggi selama Repelita VI.

c) Sarana Penyangga

Pengadaan stok beras sebagai sarana penyangga dilakukan dalam rangka menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan dalam negeri dan menunjang stabilisasi harga baik di tingkat produsen maupun di tingkat konsumen. Pada tahun 1997/98 pengadaan beras dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi sarana penyangga sehingga kekurangannya dipenuhi melalui impor. Turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing sebagai akibat krisis moneter menyebabkan harga beras impor menjadi sangat tinggi sehingga untuk memelihara stabilitas nasional dalam jangka pendek penyediaan beras impor tersebut masih harus memperoleh subsidi dari pemerintah.

Dalam upaya mendukung mekanisme stok penyangga, telah dibangun sejumlah sarana pergudangan, terutama di daerah pusat konsumsi, produksi, transito di pelabuhan, dan daerah terpencil. Di samping itu, juga disewa beberapa gudang swasta. Sampai dengan

VI/10

tahun 1997/98 jumlah gudang pangan dalam pengelolaan pemerintah adalah sebanyak 1.550 buah dengan kapasitas 3.633 ribu ton (Tabel VI-10). Jumlah tersebut termasuk gudang di daerah terpencil sebanyak 35 unit dengan kapasitas 27,5 ribu ton untuk meningkatkan pelayanan distribusi pangan bagi masyarakat di daerah terpencil.

d) Pengadaan dan Penyaluran Gandum

Pengadaan gandum melalui impor dilakukan untuk memenuhi permintaan gandum baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri. Pada tahun 1997/98 impor gandum turun sebesar 19,6 persen dibanding tahun 1996/97. Demikian pula penyaluran gandum menurun sebesar 5,1 persen (Tabel VI-11). Besarnya kebutuhan konsumsi tidak dapat dipenuhi karena kemampuan pengadaan dan penyaluran gandum impor terbatas akibat krisis moneter. Dengan makin mahalnya gandum, maka ini membuka kesempatan bagi upaya pendayagunaan potensi dan sumberdaya di dalam negeri dengan mengembangkan tepung bukan terigu.

e) Pengadaan dan Penyaluran Gula Pasir

Kebutuhan gula pasir masih belum dapat dipenuhi dari gula pasir hasil produksi gula dalam negeri. Hal ini disebabkan menurunya produksi tebu dan produktivitas pabrik-pabrik gula yang ada. Pengadaan gula pasir dalam negeri pada tahun 1997/98 adalah sebesar 1.899,5 ribu ton, menurun dari pengadaan tahun 1996/97 yang mencapai 1.928,1 ton. Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir di dalam negeri, maka pada tahun 1997/98 diimpor 1.713,8 ribu ton gula pasir, naik 40,6 persen apabila dibandingkan dengan impor tahun 1996/97 yang berjumlah 1.219 ribu ton.

VI/11

Penyaluran gula pasir pada tahun 1997/98 berjumlah 3.135,2 ribu ton atau meningkat 2,3 persen dibandingkan dengan penyaluran pada tahun 1996/97 yaitu 3.066,1 ribu ton. Adanya perubahan kurs yang tajam akibat gejolak moneter menyebabkan harga gula pasir impor dalam rupiah menjadi sangat mahal.

2) Program Diversifikasi Pangan

Perkembangan diversifikasi pangan tampak pada penyediaan beberapa komoditas pangan penting yang diukur dari ketersediaan pangan per kapita per tahun (Tabel VI-12). Ketersediaan beras per kapita per tahun, yang dalam tiga tahun Repelita VI menunjukkan kenaikan, pada tahun 1997 menurun sebesar 7,0 persen dari 1996. Ketersediaan daging, telur, dan susu per kapita per tahun pada tahun yang sama juga menurun.

Jumlah energi dan protein yang tersedia untuk dikonsumsi per kapita per hari pada tahun 1997 masing-masing menurun sebesar 10,2 persen dan 7,8 persen (Tabel VI-13). Walaupun mengalami penurunan, ketersediaan energi dan protein tahun 1997 tersebut telah melebihi angka kecukupan yang menjadi sasaran dalam Repelita VI yaitu 2.500 kilokalori dan 55 gram per kapita per hari.

Ditinjau dari komposisi pembentukan ketersediaan energi dan protein tahun 1997, pangsa padi-padian dalam keseluruhan ketersediaan energi mencapai 66,0 persen, berarti meningkat dibanding tahun 1996 yang mencapai 64,8 persen. Perkembangan komposisi energi yang berasal dari padi-padian tersebut semakin menjauhi komposisi yang dianjurkan dalam penilaian skor mutu PPH yaitu sebesar 50 persen. Dengan demikian sasaran konsumsi yang sesuai dengan mutu gizi seimbang masih memerlukan upaya yang besar baik dari aspek budaya maupun

VI/12

peningkatan ketersediaan sumber energi yang berasal dari bahan pangan lainnya.

Penilaian ketersediaan pangan baik dalam jumlah, mutu maupun keragaman dan keseimbangan antarkelompok pangan diukur melalui skor PPH sebagaimana tampak pada Tabel VI-14. Dengan menurunnya ketersediaan pangan dalam bentuk energi yang siap dikonsumsi pada tahun 1997, maka skor PPH-nya juga menurun sekitar 2,3 persen dari skor tahun 1996. Skor tersebut bahkan lebih rendah dari skor mutu pangan pada tahun terakhir Repelita V. Pengaruh gejolak moneter dan musim kemarau panjang memberikan dampak terhadap menurunnya ketersediaan pangan baik sebagai sumber energi maupun protein.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan Pangan

Dalam rangka meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap makanan Indonesia terus dilaksanakan penyuluhan dan pengembangan makanan tradisional melalui Gerakan Memasyarakatkan Aku Cinta Makanan Indonesia (GEMA ACMI). Gerakan ini mendapat dukungan luas dari masyarakat dan dunia usaha dengan makin maraknya waralaba dan industri makanan tradisional, penyelenggaraan festival/demo/pameran makanan Indonesia, serta pembukaan pusat jajanan/makanan Indonesia di kawasan pertokoan dan perkantoran. Di samping itu, makanan jajanan juga dibina melalui pengembangan konsep warung pangan sehat yang telah dilaksanakan di 6 propinsi. Upaya ini sekaligus merupakan wahana pemberdayaan ekonomi rakyat.

VI/13

Peningkatan kualitas pengusaha kecil di bidang industri makanan olahan dilakukan melalui pembinaan warung makan secara berkelanjutan dan pelatihan yang diikuti oleh pengrajin tempe dan makanan olahan berbahan baku karbohidrat serta pedagang makanan jajanan di daerah perkotaan.

2) Program Penelitian dan Pengembangan Pangan

Penelitian dan Pengembangan tempe dan hasil olahan kedele terus dilanjutkan dalam rangka meningkatkan status tempe sebagai makanan yang bergizi tinggi dan bergengsi. Di samping itu dikembangkan pula produk olahan pangan yang berasal dari biji-bijian terutama dalam rangka meningkatkan kemampuan pengusaha kecil dalam pengolahan produk-produk makanan biji-bijian yang sehat, aman dan semakin berkualitas kandungan gizinya.

3) Program Pengembangan Kelembagaan Pangan

Salah satu sasaran pembangunan di bidang pangan adalah mantapnya kelembagaan pangan. Pada tahun 1997/98 terus dilanjutkan pemasyarakatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan kepada produsen pangan. Di samping itu, telah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Mutu dan Gizi Pangan, RPP tentang Label dan Iklan Pangan, serta RPP tentang Keamanan Pangan sebagai perangkat hukum yang melengkapi Undang-Undang Pangan.

VI/14

Sebagai wujud dari partisipasi masyarakat untuk memantap- kan sistem ketahanan pangan nasional, program pengembangan dan pembinaan Lumbung Desa dan Hutan Cadangan Pangan (HCP) terus dilanjutkan. Sampai dengan tahun 1997/98 telah dikembangkan 25 unit Lumbung Desa sebagai unit percontohan di 16 propinsi. Pemilihan lokasi didasarkan atas tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, rawan pangan, dan termasuk desa tertinggal. Percontohan program HCP sampai dengan tahun 1997/98 telah dilaksanakan di 10 propinsi. Untuk tahap pengembangan selanjutnya, koordinasi pengembangan HCP telah menetapkan perluasan lokasi menjadi 27 propinsi.

4) Program Perbaikan Gizi

Program ini mengupayakan peningkatan peran serta masyarakat dalam perbaikan gizi yang meliputi peningkatan mutu dari produk-produk makanan yang dihasilkan baik oleh sektor industri maupun oleh masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari bahan makanan yang membahayakan kesehatan dan bertentangan dengan keyakinan.

Secara lebih terinci, pelaksanaan program perbaikan gizi ini akan diuraikan pada sub-bab perbaikan gizi.

2. Perbaikan Gizi

Hasil yang dicapai dalam upaya perbaikan gizi yaitu penurunan prevalensi kurang energi protein (KEP), kurang vitamin A (KVA), anemia gizi besi (AGB), dan gangguan akibat kurang yodium (GAKI) selama empat tahun Repelita VI akan terhambat.

VI/15

Hal ini disebabkan karena adanya krisis moneter dan kemarau panjang sehingga berdampak buruk terutama terhadap status gizi masyarakat karena daya beli terhadap bahan pangan menjadi rendah dan konsumsi pangan menjadi berkurang.

Perkembangan pelaksanaan program perbaikan gizi pada garis besarnya adalah sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Perbaikan Gizi

Program perbaikan gizi dilaksanakan melalui kegiatan- kegiatan (a) penyuluhan gizi masyarakat; (b) usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK); (c) usaha perbaikan gizi institusi (UPGI); (d) fortifikasi bahan pangan, dan (e) penerapan dan pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).

a) Penyuluhan Gizi Masyarakat

Kegiatan penyuluhan gizi masyarakat memuat materi antara lain berupa: a) penganekaragaman konsumsi pangan, b) peningkatan pelestarian beranekaragam makanan tradisional, dan c) penyusunan dan pemasyarakatan pedoman umum gizi seimbang.

Dalam rangka penyebarluasan pengetahuan gizi tentang penganekaragaman konsumsi pangan dan pelestarian beraneka- ragam makanan tradisional, pada tahun 1997/98 dilakukan 72 kali tayangan melalui televisi pemerintah maupun swasta dan 120 kali siaran melalui RRI dan radio swasta

VI/16

Pada tahun 1997/98 untuk pemasyarakatan pedoman umum gizi seimbang (PUGS) telah disusun PUGS khusus untuk usia lanjut, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita. Selain itu dilakukan pula pelatihan terhadap 2.230 petugas gizi puskesmas mengenai operasionalisasi PUGS, serta penerapan Hot Line Service yang memberikan informasi secara langsung kepada masyarakat melalui telepon tentang PUGS dan dietetik.

b) Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK)

Kegiatan UPGK meliputi: (1) penyuluhan gizi masyarakat perdesaan, (2) pelayanan gizi posyandu, dan (3) peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan.

Dalam rangka menggiatkan kegiatan penyuluhan gizi masyarakat perdesaan, pada tahun 1997/98 telah dilaksanakan penyuluhan melalui kader-kader. Kader tersebut berasal dari kelompok masyarakat yang sangat potensial dalam menyebar- luaskan penyuluhan gizi di perdesaan seperti pengurus dan anggota kelompok pengajian, organisasi wanita keagamaan, kelompok petani dan nelayan, dan berbagai lembaga masyarakat.

Kegiatan pelayanan gizi posyandu dilaksanakan sedikitnya se-bulan sekali oleh kader PKK khususnya kader gizi dengan bantuan tenaga gizi/kesehatan puskesmas dan bidan di desa. Kegiatannya meliputi: a) pemantauan tumbuh kembang anak, b) penyuluhan gizi ibu dan anak, c) pemberian kapsul yodium kepada penduduk yang tinggal di daerah endemik, d) pemberian tablet besi kepada ibu hamil, anak balita, dan pekerja wanita, e) pemberian kapsul vitamin A kepada anak balita, dan f) penurunan jumlah penderita kekurangan en-ergi dan protein (KEP). Pada tahun 1997/98 jumlah posyandu yang memberikan pelayanan gizi adalah

VI/17

sekitar 257 ribu meningkat jika dibandingkan tahun 1996/97 sekitar 250 ribu buah (Tabel VI-15).

Kegiatan pemantauan tumbuh kembang anak dilaksanakan melalui penimbangan berat badan anak secara teratur setiap bulan dan hasilnya dicatat dalam kartu menuju sehat (KMS). Pada tahun 1997/98 telah dicetak sekitar 5 juta KMS bagi bayi yang baru lahir, meningkat jika dibandingkan tahun 1996/97 sekitar 1 juta buah.

Kegiatan penyuluhan gizi ibu dan anak dilaksanakan melalui penyebarluasan Pengetahuan kepada masyarakat tentang pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) secara penuh kepada bayi selama 4 bulan. Pada tahun 1997/98 telah dilaksanakan kegiatan pelatihan pemasaran sosial ASI bagi 524 pelatih penyuluh gizi dan ditunjang dengan kegiatan konsultasi gizi di puskesmas melalui pelayanan pojok gizi.

Untuk menanggulangi gangguan akibat kurang yodium (GAKY), pada tahun 1997/98 telah dibagikan kapsul yodium kepada sekitar 10,9 juta penduduk di daerah endemik meningkat jika dibandingkan tahun 1996/97 sebanyak 10,7 juta penduduk. Pada tahun 1997/98 menunjukkan bahwa jumlah keluarga yang mengonsumsi garam beryodium dengan kandungan yodium cukup sekitar 62 persen meningkat dibandingkan tahun 1996/97 sekitar 58 persen. Angka ini masih jauh bila dibandingkan dengan target universal garam beryodium sebesar 80 persen.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi masalah anemia gizi besi (AGB), pada tahun 1997/98 jumlah pemberian tablet besi mencapai 3,6 juta ibu hamil, sedikit meningkat jika dibandingkan dengan tahun 1996/97 sekitar 3,5 juta ibu hamil (Tabel VI-16). Penanggulangan AGB pada anak balita diberikan dalam bentuk

VI/18

sirop besi mencakup sekitar 17,5 ribu orang, meningkat diband-ingkan tahun 1996/97 sekitar 16,6 ribu orang. Upaya penanggulangan anemia gizi pada kelompok pekerja wanita terus dilanjutkan dan pen-gadaan tablet besi dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat dan industri.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi masalah kurang vitamin A (KVA) terutama pada anak balita, pemberikan kapsul vitamin A dosis tinggi dua kali setahun (bulan Pebruari dan Agustus) tetap dilaksanakan. Pada tahun 1997/98 pemberian kapsul vitamin A mencakup sekitar 14,5 juta anak balita meningkat dibandingkan tahun 1996/97 yang mencakup sekitar 13,8 juta anak balita.

Dalam rangka mencegah dan menanggulangi kurang energi dan protein (KEP) terutama pada anak balita dan ibu hamil, pada tahun 1997/98 di daerah perdesaan terus digalakkan melalui pemberian makanan pendamping ASI untuk bayi dan makanan tambahan untuk anak balita, ibu hamil, dan anak sekolah.

Kegiatan pemanfaatan pekarangan di perdesaan terus

ditingkatkan melalui pendekatan partisipasi masyarakat secara berkelompok yang dipimpin oleh seorang kontak tani nelayan andalan (KTNA). Pada tahun 1997/98 penyuluhan secara langsung oleh KTNA dilaksanakan dengan pemberian sarana produksi pertanian sekitar 25,4 ribu paket, meningkat dibandingkan tahun 1996/97 yang berjumlah sekitar 25,1 ribu paket.

c) Usaha Perbaikan Gizi Institusi (UPGI)

Kegiatan UPGI dalam Repelita VI meliputi pembinaan teknis, pelatihan, penyuluhan, dan intervensi langsung kepada pemilik

VI/19

institusi, pengelola maupun pelaksana pelayanan gizi di sekolah- sekolah, pusat latihan olah raga, asrama haji, panti sosial, perusahaan/pabrik dan pesantren.

Pada tahun 1997/98 kegiatan UPGI di Sekolah Dasar makin menonjol dengan diperluasnya program makanan tambahan anak sekolah (PMT-AS) ke seluruh propinsi dan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1997 tentang PMT-AS. Oleh sebab itu mulai tahun 1997/98 dukungan dana untuk kegiatan PMT-AS dialokasikan melalui Inpres tersendiri yaitu Inpres PMT-AS. Dana Inpres tersebut sebagian besar digunakan untuk pengadaan bahan makanan yang bersumber dari daerah setempat. Tahun 1997/98 PMT-AS mencakup 27 propinsi, 297 kabupaten, 26.421 desa IDT, 49.539 SD/MI, dan sekitar 7,2 juta murid. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan tahun 1996/97 yang mencakup 21 propinsi diluar Jawa dan Bali, 175 kabupaten, 14.445 desa IDT, 18.518 SD/MI, dan sekitar 2,3 juta murid. Berdasarkan laporan dari daerah pelaksanaan PMT-AS terbukti berhasil meningkatkan kehadiran 14 siswa di sekolah (menurunkan jumlah absensi) dan menurunkan jumlah anak yang putus sekolah.

Kegiatan UPGI di pusat pelatihan olahraga yaitu antara lain penyusunan buku pedoman pelayanan gizi olahraga, dan pelatihan 200 orang pengelola makanan di panti sosial, perusahaan, lembaga pemasyarakatan, jasa boga, dan pondok pesantren tentang penyelenggaraan makanan masal yang sehat, serta pelatihan bagi pengelola gizi asrama haji di 7 embarkasi

d) Upaya Fortifikasi Bahan Pangan

Kegiatan fortifikasi bahan pangan yang penting pada tahun 1997/98 terus dilanjutkan, antara lain fortifikasi zat besi pada

VI/20

tepung terigu dan yodium pada garam. Mengenai fortifikasi zat besi pada tepung terigu terus dilaksanakan pendekatan kepada produsen tepung terigu untuk meyakinkan mereka tentang kenaikan harga yang relatif kecil apabila produknya difortifikasi.

e) Penerapan dan Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Salah satu kegiatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) adalah sistem kewaspadaan konsumsi dan status gizi (SKKG) yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Kegiatan SKKG meliputi : (1) survei konsumsi gizi setahun sekali; (2) pemantauan status gizi tiga tahun sekali; (3) survei indeks masa tubuh; dan (4) jaringan informasi pangan dan gizi.

Kegiatan survei konsumsi gizi pada tahun 1997 menunjukkan bahwa besarnya konsumsi energi dan protein masing-masing telah mencapai 1.956 kilokalori dan 57,1 gram per kapita per hari. Jum-lah konsumsi energi tersebut menurun jika dibandingkan tahun 1996 sebesar 1.982 kilokalori per kapita per hari, sedangkan konsumsi pro-tein meningkat jika dibandingkan tahun 1996 sebesar 55,6 gram per kapita per hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan pola kon-sumsi pangan masyarakat yang bergeser ke bahan pangan sumber protein.

Kegiatan pemantauan status gizi terutama KEP pada anak balita menunjukkan adanya kecenderungan penurunan prevalensi KEP total. Pada tahun 1992, prevalensi KEP total adalah sekitar 41,7 persen menurun menjadi 35 persen pada tahun 1995. Angka ini telah mendekati sasaran penurunan prevalensi KEP pada Repelita VI yaitu sebesar 30 persen.

VI/21

Kegiatan survei indeks massa tubuh (IMT), pada tahun 1997 dilakukan di 12 ibukota propinsi dan menunjukkan hasil bahwa prevalensi gizi-lebih atau kegemukan pada kelompok dewasa terutama di perkotaan adalah sebesar 22,5 persen. Pada kelompok perempuan prevalensinya hampir dua kali lipat dibandingkan kelompok laki-laki. Keadaan ini erat kaitannya dengan berubahnya pola makan diperkotaan yang cenderung berlebih dalam kandungan lemak tetapi rendah serat kasar.

Kegiatan jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG) antara lain adalah penerbitan buku Info Pangan dan Gizi, lembar berita JIPG, dan buku pedoman JIPG yang disebarluaskan ke 27 propinsi dengan sasaran lembaga pemerintahan daerah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

b. Program Penunjang

1) Program Pendidikan dan Pelatihan Gizi

Program ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga gizi yang bermutu melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga profesional gizi pada jenjang D-1 dan D-3 Gizi; serta pendidikan sarjana dan pascasarjana pada universitas di dalam dan luar negeri.

Sampai tahun 1997/98 terdapat penambahan 9 institusi D-3 Gizi yang berasal dari peningkatan pendidikan D-1 Gizi ( Sekolah Pendidikan Ahli Gizi ) sehingga tercatat sebanyak 27 institusi D-3 Gizi, dengan jumlah peserta didik sekitar 4.050 orang.

VI/22

2) Program Pengawasan Makanan dan Minuman

Program pengawasan makanan dan minuman bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap produksi dan peredaran makanan minuman yang tidak memenuhi syarat keamanan akibat pencemaran bahan berbahaya dan mikroba yang mengganggu kesehatan.

Pada tahun 1997/98 telah disusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Label dan Iklan Pangan, serta RPP tentang Keamanan Pangan yang mendukung Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 dan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996 agar menjadi pedoman bagi produsen untuk menghasilkan produk-produk yang aman bagi masyarakat.

Dalam rangka pengawasan mutu makanan dan minuman, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sekitar 3,08% sarana distribusi menjual produk yang rusak, 15,08% menjual produk daluarsa, dan 12,21% menjual produk tidak memenuhi syarat label. Jika dibandingkan tahun 1996/97 jumlah sarana distribusi yang menjual produk rusak dan daluarsa menurun yaitu masing-masing 4,97% dan 19,25%. Jumlah sarana distribusi yang menjual produk tidak memenuhi syarat label meningkat sekitar 10,70%. Peningkatan jumlah sarana distribusi yang tidak memenuhi syarat label disebabkan oleh banyaknya muncul produk-produk makanan baru.

Hasil pengujian sampel makanan dan minuman yang dilaksanakan pada tahun 1997/1998 oleh 28 laboratorium Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), menunjukkan bahwa 75,99% sampel yang diperiksa memenuhi persyaratan, dan meningkat 16,2% dibandingkan dengan tahun 1996/97.

VI/23

Dalam rangka pengawasan mutu makanan yang harus berpedoman pada standar internasional Codex Alimentarius Commission (CAC) dan standar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), pada tahun 1997/98 telah dilatih 150 orang tenaga pengawas mengenai HACCP baik di pusat maupun di daerah. Hal tersebut guna memenuhi standar ekspor dan ketentuan badan dunia WHO dan FAO tentang perlindungan konsumen.

3) Program Penelitian dan Pengembangan Gizi

Program ini diarahkan untuk meningkatkan mutu dan jenis penelitian menjadi penelitian unggulan di bidang gizi.

Sampai tahun 1997/98 telah dilakukan 48 penelitian gizi, dan 14 diantaranya merupakan bagian dari Riset Unggulan Terpadu (RUT) yang telah mendapat rekomendasi dari Dewan Riset Nasional (DRN).

Pada tahun 1997/98 dilaksanakan pula kegiatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi ke-6 (WNPG-VI) yang bertujuan untuk memberikan asupan terhadap kebijaksanaan, strategi, program dan kegiatan untuk pembangunan pangan dan perbaikan gizi dalam rangka menghadapi era globalisasi yang akan dimulai pada tahun 2000.

4) Program Diversifikasi Pangan

Dalam Repelita VI, program diversifikasi pangan telah ditingkatkan antara lain dengan mengembangkan program penyuluhan yang akan dilaksanakan oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL) bekerjasama dengan KTNA. Untuk mendukung PMT-AS ditingkatkan kegiatan pemanfaatan kebun

VI/24

sekolah yang merupakan sarana pendidikan bagi anak sekolah untuk mengenal bahan pangan lokal dan menyukai makanan yang beraneka ragam.

VI/25

TABEL VI – 1HARGA DASAR GABAH DI TINGKAT KUD

1993, 1994 – 1997(Rp/Kg)

VI/26

TABEL VI – 2HASIL PEMBELIAN GABAH DAN BERAS DALAM NEGERI

MENURUT DAERAH TINGKAT I1993/94, 1994/95 – 1997/98

(ton setara beras)

1) Angka sementaraKeterangan :- = Kegiatan sudah selesai/tidak ada kegiatan

VI/27

TABEL VI – 3PERKEMBANGAN HARGA RATA-RATA GABAH

DI PERDESAAN INDONESIA 1)

1993/94, 1994/95 – 1997/98(Rp/Kg)

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen lalu dikonversikanMenjadi gabah Kering Giling denganmenggunakan koefisien berupa persentaseHarga dasar Gabah Kering Giling terhadap realisasi harga rata-rata dari GabahKering Panen selama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun yangBersangkutan

2) Angka sementara

VI/28

TABEL VI – 4PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA-RAT GABAH DI MUSIM PANEN

DAN MUSIM PACEKLIK DI DAERAH PERDESAAN 1)

1993/94, 1994/95 – 1997/98(Rp/Kg)

1) Pencatatan dilakukan dalam bentuk Gabah Kering Panen lalu dikonversikan Menjadi gabah Kering Giling denganmenggunakan koefisien berupa persentase harga dasar Gabah Kering Giling terhadap realisasi harga rata-rata dari Gabah Kering Panen selama musim panen (April, Mei, Juni) dalam tahun yangBersangkutan

2) Angka sementara

VI/29

TABEL VI – 5PERBEDAAN ANTARA HARGA RATA-RAT GABAH DI MUSIM PANEN

DAN MUSIM PACEKLIK DI BEBERAPA KOTA PENTING 1)

1993/94, 1994/95 – 1997/98(Rp/Kg)

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara

VI/30

TABEL VI – 6HARGA RATA-RATA TERTIMBANG BERAS BULANAN DI BEBERAPA KOTA PENTING

1993/94, 1994/95 – 1997/98(Rp/Kg)

VI/31

(Lanjutan Tabel VI – 6)

1) Angka sementara

VI/32

TABEL VI – 7PERBANDINGAN ANTARA HARGA BERAS TERTINGGI DAN TERENDAH

DENGAN HARGA RATA-RATA DI BEBERAPA KOTA PENTING1993/94, 1994/95 – 1997/98

(Rp/Kg)

VI/33

TABEL VI – 8HARGA BATAS TERTINGGI BERAS

1993/94, 1994/95 – 1997/98(Rp/Kg)

1) Angka sementara

VI/34

TABEL VI – 9JUMLAH PENYALURAN BERAS

1993/94, 1994/95 – 1997/98(ribu ton)

1) Angka sementaraKeterangan :- = Kegiatan sudah selesai/yidak ada kegiatan

VI/35

TABEL VI – 10JUMLAH GUDANG GABAH/BERAS DI JAKARTA DAN DI DAERAH-DAERAH 1)

1993/94, 1994/95 – 1997/98(ribu ton)

1) Angka kumulatif sejak tahun 1974/752) Angka sementara

VI/36

TABEL VI – 11IMPOR DAN PENYALURAN GANDUM

1993/94, 1994/95 – 1997/98(ribu ton)

1) Angka sementara

VI/37

TABEL VI – 12PENYEDIAAN BEBERAPA

KOMODITAS PANGAN PENTING1993, 1994 – 1997(kg/kapita/tahun)

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara

VI/38

TABEL VI – 13JUMLAH ENERGI DAN PROTEIN YANG TERSEDIA

UNTUK DIKONSUMSI BERDASARKAN KELOMPOK JENIS BAHAN MAKANAN1993, 1994 – 1997

1) Angka diperbaiki2) Angka sementaraKeterangan:Energi dalam kkal/kapita/hariProtein dalam gram/kapita/hari

VI/39

TABEL VI – 14PERKEMBANGAN PENYEDIAAN PANGAN

DIUKUR DENGAN SKOR POLA PANGAN HARAPAN (PPH)1993, 1994 – 1997

1) Angka diperbaiki2) Angka sementara

VI/40

TABEL VI – 15KEGIATAN USAHA PERBAIKAN GIZI KELUARGA

1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka kumulatif sejak Repelita I2) Angka diperbaiki

VI/41

TABEL VI – 16PELAKSANAAN PENCEGAHAN GONDOK ENDEMIK, ANEMIA GIZI, DAN 1)

KEKURANGAN VITAMIN A1993/94, 1994/95 – 1997/98

1) Angka tahunan2) Angka diperbaiki

VI/42