BAB V - Yuswan62's Blog | " HANYA PERSEPSIKU " · Web viewLuka akan sembuh dan hanya meninggalkan...
Transcript of BAB V - Yuswan62's Blog | " HANYA PERSEPSIKU " · Web viewLuka akan sembuh dan hanya meninggalkan...
BAB V
BEBERAPA PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH
MELALUI VAKSINASI
A. Pendahuluan
Pada umumnya bayi dilahirkan dengan pertahanan tubuh alami lewat antibodi
yang terbentuk dari tubuh ibunya. Oleh karena itu mereka relatif kebal terhadap
berbagai penyakit. Pemberian air susu ibu (ASI) juga memberi perlindungan
tambahan. Tetapi hal itu tidak berlangsung selamanya. Kekebalan bawaan tersebut
akan menghilang dan pada usia 6 bulan anak akan menjadi rentan terhadap berbagai
penyakit infeksi.
Di Indonesia, penyakit infeksi masih merupakan problema kesehatan yang
penting oleh karena morbiditas dan mortalitasnya pada anak-anak tinggi. Agar
kekebalan tubuh dapat dipertahankan maka bayi dan anak perlu diberikan imunisasi.
Vaksin untuk imunisasi di buat dari kuman dan virus yang sudah dilemahkan atau
dimatikan. Karena sudah dilemahkan, organisme tersebut tidak cukup kuat untuk
menimbulkan penyakit, tetapi malah mampu mendorong tubuh untuk membentuk
antibodi atau sel-sel pelawan infeksi yang kemudian beredar ke seluruh tubuh. Jika
kemudian masuk bibit penyakit, tubuh sudah memiliki penjaga yang akan melawan
serangannya. Untuk beberapa macam penyakit infeksi seperti: cacar, tuberculosa,
diphteria, tetanus, pertusis, poliomyelitis dan campak, telah dapat di lakukan
pencegahan dengan cara imunisasi aktif.
Di Amerika Serikat dan Inggris, dengan dijalankannya program imunisasi
238
massal secara baik dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara drastis. Oleh
karena itu, agar program imunisasi yang dijalankan di Indonesia dapat berhasil dengan
baik, diperlukan pengetahuan mengenai imunisasi yang memadai.
Maksud daripada uraian ini adalah untuk mengingatkan kembali pengetahuan
kita mengenai imunisasi, sebagai upaya mencegah terjadinya kambuh sakit kembali
dan atau mencegah kecacatan. Hal ini dirasa penting oleh karena apabila seseorang
sudah terlanjur berkelainan, sudah tidak dapat dinormalkan kembali.
B. Aspek Imunologi Dari Imunisasi
Seperti diketahui, mekanisme daya tahan tubuh (hostdefence mecanism) dibagi
atas dua golongan (Arjatmo Tjokronegoro. 1983), yaitu:
1. Imunisasi Non-Spesifik, dan
2. Imunisasi Spesifik
Sistem imunisasi non-spesifik merupakan sistem yang sudah berfungsi
sebelum janin dilahirkan dan sebelum berkontak dengan mikro organisme apapun,
misalnya:
a. Barier fisik kimiawi berupa kulit, mukosa dan cairan sekresi
b. Substansi bakterisidal seperti enzim lisosom (bagian sel yang tampak pada
pemeriksaan elektron mikroskopik)
c. Sel fagosit (sel pemakan) seperti makrofag dan lekosit (Harsono Salimo, 1994).
Sistem imunitas spesifik adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang
mempunyai sifat-sifat: spesifisitas, pengenalan dan induksi serta “daya ingat”
(memori). Artinya respons imun itu harus dibangkitkan terlebih dahulu dan daya
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
239
pertahanannya bersifat spesifik, serta mempunyai “daya ingatan” terhadap antigen-
antigen yang pernah menginduksi respons imun.
Respons imun spesifik didapat dengan dua cara:
a. Secara aktif dengan cara infeksi alami atau melalui imunisasi
b. Secara pasif dengan cara pemberian antibodi secara pasif
Untuk selanjutnya akan dibicarakan mengenai imunisasi aktif. Tujuan
imunisasi aktif (vaksinasi) adalah untuk memberikan kekebalan yang efektif dengan
membangun antibodi yang cukup banyak dan menambah populasi sel-sel yang dapat
berkembang biak dengan cepat bila ada kontak baru dengan antigen.
Pada kontak pertama dengan antigen, sel-sel imunokompeten mengadakan
reaksi yang disebut respons primer berupa proliferasi (multiplikasi) dan diferensiasi
sehingga terbentuk sintesa antibodi atau cell-mediated reactivity, atau keduanya.
Untuk ini diperlukan waktu yang agak lama disebut: latent period. Limfosit-B
mengadakan multiplikasi dan memproduksi Ig, limfosit-T juga dirangsang menolong
limfosit-B agar mengadakan respons terhadap antigen. Setelah mendapat exposure
dengan antigen yang pertama, kedua limfosit B dan T mempunyai kemampuan
memori. Bila terjadi kontak dengan antigen yang kedua, maka timbul respons
sekunder yang ditandai dengan respons yang cepat dan timbulnya antibodi dalam
jumlah yang lebih besar. Biasanya kadar antibodi ini tetap tinggi untuk waktu yang
lebih lama. Antibodi yang dominan adalah IgG (Jack Insley, 2005, Harsono Salimo,
1994).
Pada umumnya imun respons tergantung pada:
1) Sifat alami dan dosis antigen yang diberikan. Misalnya vaksin polio tipe-2 lebih
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
240
baik daripada tipe-1 dan toxoid tetanus lebih baik daripada toxoid diphteri.
2) Cara pemberian. Pada imunisasi polio dengan vaksin Sabin secara per-oral maka
imunisasi ini akan menyerupai infeksi alami, sehingga menimbulkan kekebalan
lokal pada dinding usus dan vaksin juga merangsang pembentukan antibodi yang
dapat mencegah kelumpuhan syaraf.
3) Jumlah suntikan dan “spacing” (jarak waktu) antara dua suntikan. Untuk
mendapatkan respons yang baik, rangsangan permulaan (initial) harus diperkuat
dengan paling sedikit suntikan kedua dan kemudian suntikan “booster”. Tentang
jarak antara dua suntikan, beberapa sarjana mengatakan perlu waktu 40 hari,
sedang yang lain mengatakan jarak antara 6 minggu sampai 3 bulan. Ada pula
yang berpendapat bahwa hal ini tergantung pada keinginan kita untuk
menyelesaikan imunisasi dasar secara cepat atau untuk mendapat respons antibodi
yang optimal. Minimum jarak pemberian adalah 1 bulan (Geral B. Merenstein,
2002).
4) Penggunaan adjuvans (bahan obat penunjang), oleh karena adjuvans dapat
menyebabkan pelepasan antigen secara perlahan-lahan dan kontinyu sehingga
antigen dapat tetap bertahan dalam kadar yang lebih tinggi dan dalam waktu yang
lebih lama sehingga dapat lebih meningkatkan pembentukan antibodi.
5) Host (penerima imunisasi). Lebih besar anak, kematangan imunologik lebih
sempurna sehingga respons terhadap antigen dan pembentukan antibodi menjadi
lebih baik, selain itu faktor hilangnya interferensi (penggabungan dua atau lebih)
dengan imunitas pasif yang didapat dari ibu juga memegang peranan. Dikatakan
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
241
bahwa pembentukan antibodi sudah cukup baik pada umur 2-3 bulan untuk
diphteria; umur 6 bulan untuk polio dan 9-12 bulan untuk morbili.
6) BCG dapat diberikan pada waktu neonatus karena tidak adanya transfer dari ibu.
C. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dan Diberantas Dengan Imunisasi
Bayi memiliki resiko tinggi untuk terkena berbagai penyakit. Ada banyak cara
untuk mencegahnya, salah satunya dengan imunisasi. Imunisasi adalah pemberian
vaksin (kuman penyakit yang sudah dilemahkan) ke dalam tubuh seseorang, sehingga
terbentuk sistem kekebalan terhadap jenis penyakit tertentu.
Berbagai penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dapat
dikelompokkan dalam kelompok vaksin, yaitu vaksin yang tergabung dalam
kelompok vaksin virus dan kelompok vaksin bakteri. Kelompok vaksin virus misalnya
penyakit campak, polio, hepatitis B, hepatitis A, influinza, rabies, Japanese
Encephalitis, deman kuning, rubella, varicella, parotitis epidemica dan rotavirus.
Sedangkan kelompok vaksin bakteri misalnya tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus,
meningitis meningokokus, tipus, kolera dan hemophilus influenza tipe B. Banyak
vaksin yang sedang dikembangkan seperti malaria, demam berdarah, HIV/AIDs,
Avian influenza (flu burung) (Umar Fahmi Ahmad, 2006).
Di negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia penyakit-penyakit
infeksi masih merupakan problema kesehatan yang penting. Beberapa diantaranya
telah dapat diberantas (patek, cacar), sedang beberapa lainnya telah dapat dilakukan
pencegahannya berupa imunisasi.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
242
Imunisasi yang dianjurkan di Indonesia adalah untuk menangkal penyakit
infeksi yang umum menyerang anak-anak, yaitu tuberculosis (tbc), difteri, batuk rejan,
tetanus, polio dan campak. Pemberian imunisasi paling ideal diberikan sejak bayi
berusia 2 bulan. Dibawah ini akan dibicarakan beberapa macam imunisasi yang telah
dilakukan di Indonesia.
1. Cacar
Dengan dilakukannya program imunisasi cacar secara intensif, maka kasus
cacar yang terakhir dilaporkan di Indonesia adalah pada tahun 1972. Indonesia bebas
cacar 25 April 1974, dan pada bulan Mei 1980 seluruh dunia telah dinyatakan bebas
cacar. Berdasarkan kedua hal tersebut di atas maka dengan surat edaran Direktorat
Jenderal P3M 747 I-EK. 0201. 04 tanggal 4 Agustus 1980, pemerintah telah
menghentikan vaksinasi cacar rutin dan distribusi vaksin cacar. Dengan demikian,
tidaklah perlu lagi membicarakan lebih lanjut tentang imunisasi cacar ini.
2. Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh basil tashan asam mycobacterium tuberculosis,
merupakan penyebab signifikan dari morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian)
di seluruh dunia. Kelompok resiko tinggi merupakan orang-orang yang tinggal di
daerah yang sedang membangun, dan orang-orang yang tidak mempunyai tempat
tinggal.
Penularan penyakit ini melalui droplet dari saluran napas pasien yang memiliki
tuberkulosis paru aktif. Masa inkubasi sampai reaktivitas tes kulit adalah 2-10
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
243
minggu, meskipun penyakit mungkin tidak muncul bertahun-tahun atau mungkin tidak
pernah muncul. Resiko penyakit yang terbesar adalah pada 2 tahun sesudah terinfeksi.
Penyakit TBC sangat menular dan dapat menyerang semua umur. Penyakit ini
berupa radang paru dengan gejala batuk lebih dari dua minggu dan dahaknya
bercampur darah. TBC kronis dapat menimbulkan cacat pada tulang belakang,
radang selaput otak yang bisa berlanjut kepada kematian. Penangkalnya adalah
vaksin BCG (Bacillus Calmete Guerin). Incidence penyakit tuberkulosa di Indonesia
masih cukup tinggi dan resiko untuk mendapatkan infeksi tuberkulosis adalah 30 per
1000 per tahun. Imunisasi BCG merupakan usaha pencegahan yang cukup murah dan
mudah dikerjakan serta mempunyai efek protektif yang tinggi terutama pada bayi dan
anak. Kuman BCG (Bacillus Calmete Guerin) diduga akan mengalami pertumbuhan
terbatas dalam jaringan dan berperan sebagai antigen untuk merangsang pembentukan
kekebalan terhadap TBC. Imunisasi sedapat mungkin dilaksanakan pada waktu
neonatus karena tidak usah melakukan test Mantoux lebih dahulu (Iskandar Z.
Soehadi, Mustarsid dan Indrawarman. 1985, Nelson, 1988).
Kadang-kadang terjadi efek samping pada waktu imunisasi membangun
kekebalan tubuh. Dalam hal ini 2 minggu sesudah penyuntikan akan terjadi
pembekakan kecil dan merah di tempat suntikan. Kemudian pembengkakan
berkembang menjadi abses kecil dan luka. Sebaiknya luka tersebut tidak diberi obat
apapun dan dijaga kebersihannya. Luka akan sembuh dan hanya meninggalkan parut
(jaringan ikat yang timbul pada penyembuhan lesi/sakit) kecil.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
244
3. Diphteria, Pertusis dan Tetanus
Difteri menyebabkan leher bengkak dan terbentuk selaput di tenggorokan
serta hidung, sehingga mengganggu pernafasan. Akibatnya leher harus dilubangi.
Racun dari kuman akan menyerang jantung, sehingga tidak berfungsi. Racun juga
menyerang otak sehingga terjadi kelumpuhan otot pernapasan dan menyebabkan
kematian.
Pertusis atau batuk rejan adalah batuk dengan demam yang sangat tinggi dan
setelah seminggu akan berlanjut dengan kekejangan, batuknya beruntun sampai 10-30
kali, kesulitan bernapas dan akhirnya muntah. Batuk beruntun akan menyebabkan
mata merah, pendarahan di bawah kulit dan hernia. Kerusakan otak akibat penyakit ini
menyebabkan kejang, pinsan dan berakhir dengan kematian.
Kuman tentang tetanus yang banyak terdapat di tanah masuk ke tubuh lewat
luka. Serangannya membuat anak kejang. Mulut pasien menjadi kaku. Demikian juga
punggung, sehingga melengkung dari bahu sampai pinggul. Kejang makin hebat
dengan rangsangan cahaya dan suara.
Ketiga penyakit tersebut dapat ditanggulangi dengan imunisasi vaksin DPT.
Kebanyakan bayi menderita panas beberapa saat setelah mendapat imunisasi ini, tetapi
akan sembuh dalam 1-2 hari. Sebagian bayi merasa nyeri, sakit dan bengkak di tempat
suntikan. Keadaan ini tidak berbahaya dan akan sembuh dengan sendirinya.
Imunisasi terhadap ketiga penyakit Diphteria, Tetanus dan Partusis biasanya
dilakukan dengan menggunakan vaksin kombinasi yang disebut Triple Vaccine.
Komponen diphterie dan tetanus dalam vaksin ini adalah toxoid, sedang komponen
pertusis mengandung kuman pertusis yang dimatikan.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
245
a. Diphteria
Diphteria adalah suatu infeksi demam akut, biasanya di tenggorok, dan paling
sering pada bulan-bulan musim dingin. Diphteria disebabkan oleh corynebacterium
diphtheriae. Penyakit ini ditularkan melalui droplet dari saluran napas dari seorang
carier atau penderita. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari) (Titi Indiyati, Mulyati
Priyanto, Bambang Cantayuda dan Liliek Oendarwati 1985).
Di Indonesia, penyakit ini merupakan penyakit endemik dan jumlah pasien
terbanyak dalam kelompok umur 1-5 tahun dan anak sekolah. Masalah terbesar dalam
pemberantasannya adalah banyaknya anak yang tidak atau belum mendapat imunisasi.
Difteri menyebabkan leher bengkak dan terbentuk selaput di tenggorokan serta
hidung, sehingga mengganggu pernafasan. Akibatnya kadang-kadang leher harus
dilubangi. Racun dari kuman diphteri dapat menyerang jantung, sehingga jantung
tidak berfungsi, akibatnya menjadi fatal. Racun juga menyerang otak sehingga terjadi
kelumpuhan otot pernapasan dan menyebabkan kematian.
Sebagai gambaran tentang rendahnya kesadaran orangtua untuk
mengimunisasikan anak-anaknya. Ada suatu data di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UNS-RSUD Surakarta Selama setahun dirawat pasien diphteria
di Sub Bagian Penyakit Infeksi sebanyak 103 pasien anak, 67 pasien (65%) terdiri dari
golongan umur 4-6 tahun, dan 24 pasien (23%) terdiri dari golongan umur 6-10 tahun.
Dari semua pasien, dilihat dari status imunisasinya, hanya 3 anak (2,9%) yang telah
mendapatkan imunisasi secara lengkap, 29 anak (23,1%) mendapatkan imunisasi
tetapi tidak lengkap dan 71 anak (69%) belum pernah mendapatkan imunisasi sama
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
246
sekali (Harsono Salimo, 1994) (Tabel 10). Kondisi inilah yang kemudian membuat
bayi dan anak-anak menjadi rentan terhadap serangkan diphteria, karena belum/tidak
mendapatkan imunisasi sebelumnya.
Tabel 10. Status imunisasi dari penderita.
Umur Imunisasi
Lengkap
Imunisasi Tidak
Lengkap
Belum imunisasi
sama sekali
1 - 6 th
6 - 10 th
10 th
3
-
-
18
6
5
46
18
7
jumlah 3 29 71
Sumber: Harsono Salimo, 1994
Seluruh pasien, 15 pasien (14,5%) meninggal dunia, kesemuanya dari
golongan yang belum pernah mendapat imunisasi sama sekali. Dari mereka yang
sudah mendapatkan imunisasi, baik secara lengkap maupun tidak lengkap tidak ada
yang meninggal dunia (Tabel 11).
Tabel 11. Jumlah pasien yang meninggal dihubungkan dengan status
imunisasinya.
Variabel Jumlah
penderita
Meninggal %
Imunisasi lengkap 3 - -
Imunisasi tidak lengkap 29 - -
Belum imunisasi sama sekali 71 15 14,5
Jumlah 103 15 14,5
Sumber: Harsono Salimo, 1994
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
247
Anak-anak yang telah mendapatkan imunisasi, tidak ada yang meninggal
dunia. Bahkan salah seorang pasien yang telah mendapat imunisasi lengkap dan
mendapat diphteria berat, dapat sembuh dengan baik. Dengan demikian mereka yang
telah mendapatkan imunisasi secara lengkap, walaupun masih bisa terserang diphteria
tapi masih bisa terhindar dari kematian.
Pemberian imunisasi dasar pada umur 3 bulan dengan 3 kali suntikan dengan
interval masing-masing 2 bulan. Bila ingin menyelesaikan imunisasi secara cepat,
jarak tersebut dapat dipersingkat tetapi tidak boleh kurang dari 1 bulan. Kemudian
disusul dengan pemberian booster (zat yang diberikan sekali-sekali sesudah
pemberian pertamakali untuk mempertahankan hasil pemberian pertama) untuk
meningkatkan kembali kekebalan yang mulai mengurang. Suntikan booster 1 adalah
satu tahun dari suntikan dasar yang ketiga, sedang suntikan booster 2 adalah tiga
tahun dari booster.
b. Tetanus
Kuman tetanus banyak terdapat di tanah masuk ke tubuh lewat luka.
Serangannya membuat anak kejang. Mulut pasien menjadi kaku. Demikian juga
punggung, sehingga melengkung dari bahu sampai pinggul. Kejang makin hebat
dengan rangsangan cahaya dan suara.
Tetanus masih merupakan masalah kesehatan yang besar di Indonesia,
terutama Tetanus neonatorum yang masih menunjukkan angka mortalitas yang tinggi.
Survey di Jawa Tengah mendapatkan angka insidens tetanus neonatorum sebesar 15
per 1000 kelahiran hidup. Data dari bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Surakarta
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
248
sendiri menunjukkan bahwa dari 96 pasien (30%) diantaranya adalah tetanus
neonatorum dengan mortalitas sebanyak 14 pasien (48%). Tidak didapatkan kekebalan
pada pasien setelah terjangkit dengan tetanus, sehingga imunisasi aktif setelah
terjangkit tetanus sangat penting artinya (Harsono Salimo, 1994).
c. Pertusis
Pertusis atau batuk rejan adalah suatu basil gram negatif. Penularannya melalui
droplet. Masa inkubasi 7-10 hari. Gejala awal tidak jelas berupa infeksisaluran napas
atas yang ringan, demam dan batuk. Gejala batuk dengan demam dapat sangat tinggi
dan setelah seminggu akan berlanjut dengan kekejangan, batuknya beruntun sampai
10-30 kali, kesulitan bernapas dan akhirnya muntah. Batuk beruntun akan
menyebabkan mata merah, pendarahan di bawah kulit dan hernia. Kerusakan otak
akibat penyakit ini menyebabkan kejang, pinsan dan berakhir dengan kematian.
Di Jakarta didapatkan data bahwa 35,3-41,3% dari jumlah bayi yang dilahirkan
mempunyai titer positif terhadap pertusis. Ini merupakan suatu bukti bahwa zat anti
terhadap pertusis dapat dipindahkan dari ibu ke bayi yang dikandungnya melalui
placenta. Hal ini bertentangan dengan pendapat beberapa ahli yang menganggap
bahwa zat anti terhadap pertusis tidak dapat dipindahkan dari ibu ke bayi yang
dikandungnya melalui placenta. Walaupun pada bayi-bayi yang dilahirkan tersebut
titer positif, tetapi titer ini dianggap tidak dapat memberi perlindungan terhadap
penyakit pertusis, sehingga apabila menyerang bayi-bayi muda mengakibatkan angka
kematian yang tinggi.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
249
Pada umumnya para sarjana menganjurkan pemberian imunisasi dimulai pada
bayi umur 3 bulan dengan maksud untuk memperoleh produksi zat anti yang cukup.
Dianjurkan sekali agar melakukan imunisasi dasar dengan 3 kali suntikan dengan
jarak waktu minimal 1 bulan. Booster pertama diberikan 1 tahun sesudahnya, dan
booster kedua dilakukan sebelum anak masuk sekolah (sebelum umur 6 tahun). Hal
ini disebabkan oleh karena terjadinya reaksi yang hebat pasca suntikan setelah umur 6
tahun.
Perawatan dalam lingkungan keluarga, terutama dalam hal pemberian
makanan dengan gizi yang seimbang dapat meningkatkan daya tahan anak. Apabila
diberikan makan anaak sering muntah, maka sebaiknya pemberian makan dalam porsi
kecil tapi sering karena agaknya cara ini tidak/kurang menimbulkan muntah
dibandingkan jadwal makan biasa yang 3 kali sehari. Makanan padat sering ditahan
dengan lebih baik dibandingkan makanan yang lebih cair. Apabila muntah terjadi
selama atau segera setelah pemberian makan, anak harus diberi makan lagi.
4. Poliomyelitis
Polio dapat menular lewat tinja atau percikan air ludah. Anak yang terinfeksi
biasanya menjadi rewel, batuk dan demam. Dua hari kemudian lehernya kaku, sakit
kepala, otot badan dan kaki terasa sakit. Kelumpuhan bisa menyerang kaki, tangan,
otot pernapasan dan otot-otot untuk menelan. Bagian tubuh yang terserang biasanya
anggota gerak menjadi tidak dapat berkembang secara sempurna.
Untuk mencegah polio diperlukan suntikan polio dan vaksin ini tidak
menimbulkan efek samping. Imunisasi terhadap polio dilaksanakan dengan
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
250
memberikan virus yang dilemahkan, dengan 3 kali pemberian dan jarak waktu 4-6
minggu. Vaksin berwarna merah muda dan bening dan diberikan dengan 2 tetes tiap
dosis. Vaksin ini sangat peka terhadap suhu, dan karenanya harus disimpan di dalam
lemari es (freezer).
Pemberian imunisasi polio dapat diberikan secara tersendiri mulai umur 4
bulan. Atau seringkali diberikan bersamaan dengan vaksin DPT, dengan kekebalan
yang ditimbulkan terhadap masing-masing penyakit sama baiknya.
5. Campak
Campak merupakan penyakit yang sangat menular dan menyerang hampir
semua anak kecil. Gejala awalnya adalah panas, batuk, pilek dan mata merah.
Beberapa hari kemudian muncul bercak-bercak merah di sekujur tubuhnya. Akibat
lanjut dari penyakit campak ini adalah radang telinga yang mungkin sampai tuli,
radang mata yang mungkin sampai buta, radang paru dan otak.
Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksin campak. Biasanya anak akan panas
disertai kemrahan 4-10 hari setelah disuntik. Ini merupakan gejala campak ringan dan
menunjukkan tumbuhnya kekebalan. Yang pasti semua efek samping dari imunisasi
jauh lebih ringan dari pada efek penyakit sebenarnya yang mungkin diderita bayi yang
tidak diimunisasi.
Imunisasi terhadap campak dilakukan dengan memberikan suntikan virus
campak yang masih hidup tetapi sudah sangat dilemahkan. Untuk melindungi anak
sedini-dininya terhadap campak, vaksin ini dapat diberikan terhadap anak mulai umur
9 bulan, dengan dosis 0,5 ml subkutan. Walaupun kadar antibodi yang ditimbulkan
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
251
dari vaksinasi hanya sekitar 20% dari antibodi yang ditimbulkan setelah menderita
sakit campak, tetapi mempunyai efek protektif dan berlangsung lama (longlasting).
6. Hepatitis
Hepatitis adalah suatu proses peradangan atau infeksi pada hati. Peradangan
ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti bakteri, amuba, alkohol, obat-obatan
dan virus hepatitis itu sendiri. Namun virus ini merupakan penyebab yang paling
sering.
Menurut beberapa literatur (Setiawan Dalimartha, 1997, Harsono Salimo,
1994, Nelson, 1988). Virus hepatitis (VH) terdiri dari virus hepatitia A (VHA), B
(VHB), C (VHC), D (VHD), E (VHE), F (VHF) dan virus hepatitis G (VHG).
Hepatitis A lebih dikenal dengan nama penyakit kuning dan sering dialami
oleh anak-anak dan remaja. Penyakit ini dapat dicegah dengan menjaga kebersihan.
Sedangkan hepatiti B sebenarnya, lebih hebat dari pada penyakit kuning biasa.
Banyak orang yang menderita hepatitis B setelah mereka mendapat transfusi darah
yang tentu saja telah mengandung virus hepatitis B.
Virus hepatitis C (VHC) merupakan virus enveloped RNA/DNA berantai
tunggal yang sebelumnya dikenal sebagai penyebab hepatitis non A non B (NANB)
pasca transfusi. Virus ini sangat bervariasi, terdiri dari berbagai macam subtipe. VHC
bukan saja menjadi penyebab NANB pasca trasfusi tetapi juga penyebab kasus
NANB sporadis.
Virus hepatitis D (VHD) disebut juga antigen delta yang merupakan RNA atau
DNA yang tidak sempurna, yang dapat dijumpai pada penderita hepatitis B akut atau
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
252
pada penderita hepatitis B kronis. Sedang virus hepatitis E (VHE) merupakan virus
RNA yang merupakan virus hepatitis non A non-B yang menular lewat makanan dan
minuman yang terkontaminasi dengan tinja.
Virus hepatitis F merupakan alternatif jika ada penderita hepatitis kronis non-B
non C. Penularannya sama dengan hepatitis C yaitu melalui transfusi darah. Hepatitis
G mempunyai gejala klinis yang mirip dengan hepatitis C. Virus ini merupakan virus
yang baru ditemukan sehingga belum banyak diketahui perjalanan penyakit, ciri virus
dan reaksi tubuh terhadap penyakit ini.
Kembali ke VHB. Penularan virus hepatitis B dapat terjadi secara vertikal,
yaitu dari ibu ke anak atau secara horizontal, yaitu dari anak ke anak. Seorang ibu
hamil yang tubuhnya mengandung virus hepatitis B kemungkinan besar anak
melahirkan anak yang mengidap hipatitis atau penyakit radang hati ini. Sembilan dari
10 bayi yang lahir mungkin terkena radang hati. Selain itu, VHB juga dapat ditularkan
pada saat bayi dilahirkan. Bahkan bisa juga virus ini ditularkan melalui ASI, air liur,
dan air mata. Itu berarti kontak intim antara si ibu dengan anak, bahkan antara suami
dan istripun dapat menularkan virus ini.
Penularan penyakit ini memang banyak yang melalui hubungan seksual.
Golongan homoseksual mempunyai resiko tinggi terkena penyakit ini, terutama
mereka yang sering bergonta-ganti pasangan. Karena itulah ada beberapa ahli
kesehatan yang menempatkan hepatitis B ke dalam penyakit kelamin. VHB (Virus
Hepatitis B) juga dapat ditularkan melalui transfusi darah, jarum suntik, kontak dari
mulut ke mulut dan kontak antara cairan yang tercemar virus tersebut dengan cairan
tubuh yang terluka atau tergores.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
253
VHB terdiri atas bagian luar (kulit) yang mengandung anti gen permukaan
yang disebut dengan hepatitis B Surface Antigen (HbsAg) dan bagian dalam (inti)
yang mengandung antigen ini yang disebut hepatitis B core antigen (HbcAg). Di
dalam inti virus terdapat rangkaian asam inti yang disebut deoxyribonucleic acid
(DNA). DNA mengatur pembentukaan antigen virus, termasuk HbsAg.
Jika seseorang terserang virus hepatitis B (VHB) ada tiga keadaan yang
mungkin terjadi, yaitu: hepatitis virus akut atau peradangan hati mendadak (25%)
dengan keluhan dan gejala yang jelas (sakit kuning), hepatitis subklinik atau tidak
nyata (65%) dengan gejala kurang jelas, sehingga yang bersangkutan tidak sadar kalau
ia mengidap penyakit hepatitis B. Hepatitis kronik (infeksi yang menahun) dengan
perjalanan penyakit yang tidak jelas dan samar-samar.
Hepatitis virus akut ditandai dengan gejala-gejala flu, lemas, mual, muntah-
muntah, dan tidak ada nafsu makan. Setelah gejala flu hilang air kencing akan
berwarna gelap dan mata berwarna kuning. Pasien akan mengalami sakit yang ringan,
sedang atau berat tergantung pada jumlah (dosis) VHB yang masuk ke dalam tubuh
dan daya kekebalan tubuhnya. Hepatitis dapat menyebabkan kematian, namum
umumnya (90%) pasien akan mengalami penyembuhan.
Para pasien yang tubuhnya mengandung HbsAg, anti HBs atau anti HBc tidak
memerlukan vaksinasi. Di Indonesia jumlah golongan ini berkisar antara 9,14%-35%
dengan rata-rata 22%. Itu berarti ada 78% yang memerlukan vaksinasi.
Vaksinasi ini dilakukan tiga kali. Sebelum vaksinasi harus dilakukan
pemeriksaan darah. Vaksin hepatitis B sampai saat ini masih terbaik untuk mencegah
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
254
infeksi virus hepatitis B. Vaksin hepatitis B dibuat dari serum darah manusia yang
mengandung HbsAg (Gunawan, 2003).
D. Jadwal Imunisasi
Masih belum ada keseragaman mengenai jadwal imunisasi ini. Di Amerika
Serikat sendiri tidak kurang dari 4 organisasi kesehatan yang memberikan formulasi
rekomendasi imunisasi, masing-masing dengan mempertimbangkan faktor resiko dan
keuntungannya. Tapi dalam tahun-tahun terakhir ini, rekomendasi tentang jadwal
imunisasi menjadi mirip satu dengan yang lainnya. Jadwal yang kaku tidaklah mutlak,
karena biasanya merupakan kompromi antara segi manfaat dan pelaksanaannya.
Di bawah ini dikemukakan jadwal imunisasi yang lebih menekankan “segi
ilmiah” dari imunologinya.
1. BCG (Bacillus Calmete Guerin)
Sedapat mungkin diberikan pada waktu neonatus. Diberikan secara intrakutan (di
dalam kulit) di lengan atas. Dosis 0,05 cc vaksin BCG khusus bayi. Suntikan
booster diberikan pada waktu masuk SD dan kelas VI dengan dosis 0,10 cc vaksin
BCG khusus anak.
2. DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus)
Dimulai pada usia 3 bulan dan jarak antara dosis 2 bulan diberikan sampai 3 kali
suntikan imunisasi dasar. Suntikan booster I diberikan satu tahun setelah suntikan
imunisasi dasar, dan suntikan booster II pada waktu akan masuk sekolah atau 3
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
255
tahun setelah booster I. Setelah lewat usia 6 tahun diberikan dengan vaksin DT
tanpa pertusis. Setiap suntikan diberikan secara intramuskuler dengan dosis 0,5 cc.
3. Polio
Imunisasi anti polio dimulai umur 4 bulan dengan 3 kali pemberian untuk
imunisasi dasar dan jarak antara dosis adalah 2 bulan. Booster diberikan 1 tahun
setelah imunisasi dasar dan booster II diberikan 3 tahun setelah booster I.
Pemberian nya dengan dosis 2 tetes untuk masing-masing pemberian.
4. Campak
Imunisasi campak diberikan pada anak mulai umur 9 bulan dengan dosis 0,5 ml
subkutan. Pada umur kurang dari 9 bulan, kemungkinan sangat besar pembentukan
antibodi dalam tubuh anak akan dihambat karena masih adanya antibodi yang
berasal dari darah ibu.
Departemen Kesehatan RI. memberikan jadwal imunisasi di lapangan yang
lebih disesuaikan dengan dana yang tersedia dan jumlah tenaga pelaksana, sehingga
penjadwalannya tidak sesuai dengan jadwal imunisasi yang sudah diketengahkan di
muka. Hal ini oleh karena jumlah dana yang dapat disediakan oleh pemerintah
Indonesia terbatas. Di samping itu juga jumlah tenaga medis di Indonesia sampai saat
ini juga masih terbatas apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang harus
diberikan layanan kesehatan. Jadwal imunisasi di Indonesia pada umumnya adalah
sebagai berikut:
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
256
Tabel 12. Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi
Vaksinasi Pemberi
an
Selang Waktu
Pemberian
Minimal
Umur Keterangan
BCG 1 X - 0-14 bl 1. Vaksinasi campak di
berikan 1 kali pada saat
umur 9 bulan atau lebih
2. Bila padaumur 9 bulan
sudah mendapat DPT 3X,
Polio 3X, dipesan kembali
agar kembali pada umur 9
bulan untuk vaksinasi
campak
DPT 3 X
(DPT I,
II, III)
4 minggu 2-14 bl
POLIO 3 X
(Polio I,
II, III)
4 minggu 2-14 bl
CAMPAK 1 X - 9-14 bl
Penjelasan: Sekali anak mulai dapat vaksinasi diteruskan walaupun umur sudah lebih 14 bulan.
Sekarang vaksin yang diberikan secara gratis oleh pemerintah hanya 7 macam
antigen imunisasi dasar, yaitu Hepatitis B, Dipteria, Pertusis, Tetanus, polio, BCG dan
vaksin Campak.
Berikut jadwal pemberian imunisasi pada bayi di seluruh Indonesia, menurut
tempat lahir (Umar Fahmi Ahmadi, 2006):
Apabila bayi lahir di rumah, maka jadwal imunisasinya adalah sebagai berikut:
1. Vaksin Hepatitis B-1, langsung diberikan oleh bidan yang menolong
persalinan, atau apabila perslainan ditolong oleh dukun beranak, maka akan
mendapat kunjungan oleh bidan dan akan mendapat vaksin Hepatitis B-1.
2. Bayi berumur 1 bulan diberikan vaksin BCG dan polio-1 (yang pertama) di
posyandu atau unit pelayanan imunisasi lain yang terdekat.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
257
3. Bayi berumur 2 bulan diberikan vaksin DPT-1 (yang pertama), vaksin
Hepatitis B-2 (yang kedua) dan vaksin Polio-2 (yang kedua) diberikan pada unit
pelayanan yang terdekat atau posyandu.
4. Bayi berumur 3 bulan diberikan vaksin DPT-2, Hepatitis B-3 dan vaksin Polio-
3 pada unit pelayanan yang terdekat atau posyandu.
5. Bayi berumur 4 bulan diberikan vaksin DPT-3, Polio-4 pada unit pelayanan
yang terdekat atau posyandu.
6. Bayi berumur 9 bulan diberikan vaksin campak di posyandu atau unit
pelayanan yang terdekat.
Apabila bayi lahir di rumah sakit, pondok bersalin, bidan praktik atau tempat
pelayanan lain, maka pemberian imunisasi dapat diatur sebagai berikut:
1. Begitu lahir dapat diberikan vaksin Hepatitis B-1, polio-1 dan BCG pada unit
pelayanan di mana bayi tersebut lahir.
2. Bayi berumur 2 bulan diberikan vaksin DPT-1, Hepatitis B-2 dan Polio-2
pada unit pelayanan yang terdekat.
3. Bayi berumur 3 bulan diberikan vaksin DPT-2, Hepatitis B-3 dan vaksin Polio-
3 pada unit pelayanan yang terdekat.
4. Bayi berumur 4 bulan diberikan vaksin DPT-3, Polio-4 pada unit pelayanan
yang terdekat.
5. Bayi berumur 9 bulan diberikan vaksin campak di posyandu atau unit
pelayanan yang terdekat.
Jadwal imunisasi pada anak usia sekolah adalah sebagai berikut:
1. Kelas 1 diberikan Difteri, Tetanus dan Campak masing-masing 0,5 cc
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
258
2. Kelas 2 diberikan Tetanus Toksoid 0,5 cc
3. Kelas 3 diberikan Tetanus Toksoid 0,5 cc
Sedangkan jadwal imunisasi Tetanus Toksoid pada wanita usia subur atau
seringkali disingkat TT WUS adalah sebagai berikut:
1. T-1 diberikan dengan dosis 0,5 cc
2. T-2 diberikan selang 4 minggu setelah pemberian T-1, hal ini akan
memberikan perlindungan selama 3 tahun dosisnya 0,5 cc.
3. T-3 diberikan selang 6 minggu setelah T-2, hal ini akan memberikan
perlindungan hingga 5 tahun dengan dosis 0,5 cc.
4. T-4 diberikan selang satu tahun setelah T-3 dengan dosis 0,5 cc akan
memberikan perlindungan selama 10 tahun.
5. T-5 diberikan selang satu tahun setelah T-4 dengan dosis 0,5 cc akan
memberikan perlindungan selama 25 tahun (Umar Fahmi Ahmadi, 2006).
E. Reaksi Samping Imunisasi
1. BCG (Bacillus Calmete Guerin)
Reaksi samping BCG umumnya cukup menggelisahkan orang tua, oleh karena
penjelasan dari petugas kesehatan yang sering kurang memadai.
Reaksi normal yang terjadi pada setiap suntikan BCG adalah:
a. Tumbuhnya indurasi (pengerasan) kulit yang 1-2 jam kemudian menghilang.
b. Akan terlihat postula (bernanah) kecil setelah 2 minggu suntikan.
c. 3-4 minggu setelah suntikan vaksinasi, postula pecah dan keluar cairan bening
yang selanjutnya menjadi luka kecil yang tidak sakit atau gatal dan akan sembuh
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
259
setelah 8-12 minggu kemudian.
Reaksi samping BCG biasanya oleh karena suntikan yang terlalu dalam atau
dosis yang berlebihan, dan biasanya berupa:
a. Abses pada tempat suntikan: terjadi 5-10 minggu setelah vaksinasi, pecah dan
sembuh sendiri dalam waktu 3-10 minggu.
b. Lymphadenitis: (pembesaran kelenjar limfe) dapat disertai proses pernanahan
yang memecah sendiri, meninggalkan luka yang menyembuh setelah 3-8 minggu.
2. DPT (Dipteri, Pertusis, Tetanus):
Reaksi samping dari vaksinasi DPT secara umum adalah sebagai berikut:
a. Umum : berupa iritabilitas atau rewel dan peningkatan suhu badan.
Reaksi ini umumnya berlangsung 24-48 jam
b. Lokal : - nyeri setempat
- kemerahan dan indurasi (pembengkakan) yang dapat berlangsung
sampai beberapa hari.
3. Polio
Reaksi samping dari pemberian imunisasi polio per oral (sangat minimal)
berupa mencret-mencret yang akan membaik sendiri dalam waktu 1-2 hari.
F. Peran Guru PLB dalam Imunisasi dan Pencegahan Kecacatan.
Tugas guru Pendidikan Luar Biasa tidaklah hanya mengajar di depan kelas
dalam lingkungan sekolah, melainkan juga di keluarga dan di masyarakat. Tugas guru
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
260
yang utama memang merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian,
membantu pengembangan dan pengelolaan program sekolah serta mengembangkan
profesionalitas.
Tugas guru pada umumnya dan guru PLB pada khususnya tidaklah hanya
mendidik dan mengajar anak-anak berkelainan di sekolah. Kata Earl V.Pullias dan
James D. Young bahwa “guru adalah mahluk serba bisa”. Di samping tugas-tugas
mengajar, ia juga seorang pembimbing, modernisator, pemberi teladan, peneliti,
penasehat, pencipta, pemberi inspirasi, pelaku pekerjaan rutin, dan sebagai
pembaharu. Dalam kaitannya dengan imunisasi dan pencegahan kecacatan, seorang
guru PLB dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai mahluk yang serba bisa tersebut.
1. Sebagai pembimbing dan penasehat atau penerang masyarakat tentang
arti pentingnya imunisasi bagi kesehatan dan pencegahan kelainan.
2. Sebagai pelaku pekerjaan rutin sebagai kader-kader tempat pelayanan
imunisasi seperti di Pos PIN dan Posyandu.
3. Sebagai peneliti dan pengembang layanan imunisasi dan pencegahan
kelainan.
4. Sebagai konsultan dalam kaitannya dengan pencegahan kelainan dan
cacat.
Peran-peran guru tersebut dapat dilaksanakan pada lingkungan keluarga, di
lingkungan sekolah dan masyarakat.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
261
G. Rangkuman
Ada beberapa penyakit infeksi yang telah dapat dilakukan pencegahan melalui
vaksinasi. Arah dari imunisasi yang diberikan adalah untuk membentuk kondisi tubuh
memiliki ketahanan terhadap penyakit tertentu.
Sistem imunitas ada yang spesifik dan ada yang non spesifik. Sistem imunisasi
non-spesifik merupakan sistem yang sudah berfungsi sebelum janin dilahirkan dan
sebelum berkontak dengan mikro organisme apapun, misalnya: (a) Barier fisik
kimiawi berupa kulit, mukosa dan cairan sekresi, (b) Substansi bakterisidal seperti
enzim lisosom, (c) Sel fagosit (sel pemakan) seperti makrofag dan lekosit. Sistem
imunitas spesifik adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang mempunyai sifat-sifat:
spesifisitas, pengenalan dan induksi serta “daya ingat” terhadap antigen-antigen yang
pernah menginduksi respons imun. Respons imun spesifik didapat dengan dua cara:
(a) Secara aktif dengan cara infeksi alami atau melalui imunisasi dan (b) Secara pasif
dengan cara pemberian antibodi secara pasif.
Melalui kegiatan vaksinasi telah terbukti dapat menurunkan mortalitas,
morbiditas dan kecacatan. Peran guru PLB dalam hal ini dapat sebagai (a)
pembimbing dan penasehat atau penerang masyarakat tentang arti pentingnya
imunisasi bagi kesehatan dan pencegahan kelainan, (b) Sebagai pelaku pekerjaan rutin
sebagai kader-kader tempat pelayanan imunisasi seperti di Pos PIN dan Posyandu, (c)
Sebagai peneliti dan pengembang layanan imunisasi dan pencegahan kelainan, (d)
Sebagai konsultan dalam kaitannya dengan pencegahan kelainan dan cacat.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
262
Peran-peran guru tersebut dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga, di
lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Buku Acuan
Arjatmo Tjokronegoro. 1983. Mekanisme Kerjasama Antara Imunitas Humoral Dan
Imunitas Seluler Dalam Sistem Pertahanan Tubuh. Simposium Imunologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang 12 November 1983.
Gerald B. Merenstein. David W. Kaplan. Adam A. Rosenberg, Alih Bahasa Hunardja.
Cet. 2002. Buku Pegangan Pediatri. Jakarta: Widya Medika.
Gunawan. 2003. Prosedur Vaksinasi Hepatitis B. Surakarta.
Harsono Salimo. 1994. Pediatri Sosial Bagi Anak & Remaja. Surakarta : UNS Press.
Iskandar Z. Soehadi. Mustarsid Dan Indrawarman. 1985. Imunisasi BCG Pertemuan
Ilmiah Ke-7 Kursus Penyegar TBC Paru. FK-UNS RSU Surakarta.
Jack Insley. Alih Bahasa Achmad Surjono. 2005. Vade-Mecum Pediatri. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
Muh. Faried Kaspan. Dwi Atmaji S. Moersintowarti B.N. Parwati S.B. Ismoediyanto,
Dan Soegeng Soegiantoro: Imunisasi Pada Anak: Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak FK-UNAIR Ke-2. Desember 1980.
Nelson. Alih Bahasa Moelia Raja Siregar. 1988. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran.
Setiawan Dalimartha. 1997. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta:
PT.Penebar Swadaya.
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
263
Titi Indiyati. Mulyati Priyanto, Bambang Cantayuda Dan Liliek Oendarwati 1985.
Kekebalan Terhadap DPT Pada Bayi-Bayi Yang Dilahirkan Di Rumah
Bersalin Matraman Dan YPK Di Jakarta.
Umar Fahmi Ahmad. 2006. Imunisasi Mengapa Perlu?.Jakarta: Penerbit Buku Kompa
Abdul Salim, Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa, 2006
264