BAB V STUDI KASUS DAN ANALISIS DATA - … o rd in a s i lin ta s s e kto r ... Daerah Tingkat I Jawa...

39
82 BAB V STUDI KASUS DAN ANALISIS DATA 5.1 Data Lokasi Studi Untuk mengetahui pelaksanaan KPS di Indonesia, maka penelitian dilakukan terhadap tiga PDAM di Indonesia yaitu PDAM Jakarta, PDAM Kabupaten Tangerang dan PDAM Kabupaten Bandung. Pada PDAM Jakarta dan Kabupaten Tangerang pelaksanaan KPS telah berjalan, sedangkan pada PDAM Kabupaten Bandung pelaksanaan KPS masih dalam proses negosiasi dan perencanaan. 5.1.1 PDAM DKI Jakarta Pada awalnya Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau yang lebih dikenal dengan PAM Jaya adalah perusahaan air minum milik pemerintah DKI Jakarta, dan merupakan institusi yang paling bertanggungjawab dalam hal penyediaan air minum di Jakarta. PAM Jaya mengoperasikan pelayanan penyediaan air mulai tahun 1922 hingga 1998. Sejak Februari tahun 1998 wilayah yang harus dilayani di Jakarta dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian barat dan timur dalam sebuah skema KPS. KPS yang dilakukan antar pihak PAM Jaya dengan operator swasta dimotivasi oleh keterbatasan dana dan inefisiensi yang dialami oleh PAM Jaya. Proses pemilihan mitra swasta didasarkan pada proses penunjukkan secara langsung karena saat itu belum ada pengalaman dan peraturan mengenai peran serta swasta, serta pertimbangan bahwa peran serta swasta ini merupakan proyek perintisan sektor air minum. Mitra swasta ( PALYJA dan TPJ) mengikat perjanjian kerjawsama dengan PAM Jaya selama 25 tahun pada tahun 1997. Mitra swasta akan melaksanakan pengelolaan, operasi, pemeliharaan dan pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk Provinsi DKI Jakarta. Konsesi kerjasama dibagi dalam dua wilayah kerja, yaitu PALYJA untuk wilayah barat Jakarta dan TPJ (kini berubah menjadi PT. Aetra Air Jakarta (Aetra)) untuk wilayah timur dengan batas sungai Ciliwung. Proses KPS sektor air bersih di DKI Jakarta dapat diamati pada diagram di bawah ini.

Transcript of BAB V STUDI KASUS DAN ANALISIS DATA - … o rd in a s i lin ta s s e kto r ... Daerah Tingkat I Jawa...

82

BAB V STUDI KASUS DAN ANALISIS DATA

5.1 Data Lokasi Studi

Untuk mengetahui pelaksanaan KPS di Indonesia, maka penelitian dilakukan terhadap

tiga PDAM di Indonesia yaitu PDAM Jakarta, PDAM Kabupaten Tangerang dan PDAM

Kabupaten Bandung. Pada PDAM Jakarta dan Kabupaten Tangerang pelaksanaan KPS

telah berjalan, sedangkan pada PDAM Kabupaten Bandung pelaksanaan KPS masih

dalam proses negosiasi dan perencanaan.

5.1.1 PDAM DKI Jakarta

Pada awalnya Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau yang lebih dikenal

dengan PAM Jaya adalah perusahaan air minum milik pemerintah DKI Jakarta, dan

merupakan institusi yang paling bertanggungjawab dalam hal penyediaan air minum di

Jakarta. PAM Jaya mengoperasikan pelayanan penyediaan air mulai tahun 1922 hingga

1998. Sejak Februari tahun 1998 wilayah yang harus dilayani di Jakarta dibagi menjadi

dua bagian, yaitu bagian barat dan timur dalam sebuah skema KPS.

KPS yang dilakukan antar pihak PAM Jaya dengan operator swasta dimotivasi oleh

keterbatasan dana dan inefisiensi yang dialami oleh PAM Jaya. Proses pemilihan mitra

swasta didasarkan pada proses penunjukkan secara langsung karena saat itu belum ada

pengalaman dan peraturan mengenai peran serta swasta, serta pertimbangan bahwa peran

serta swasta ini merupakan proyek perintisan sektor air minum. Mitra swasta ( PALYJA

dan TPJ) mengikat perjanjian kerjawsama dengan PAM Jaya selama 25 tahun pada tahun

1997. Mitra swasta akan melaksanakan pengelolaan, operasi, pemeliharaan dan

pembangunan sistem penyediaan air bersih untuk Provinsi DKI Jakarta. Konsesi

kerjasama dibagi dalam dua wilayah kerja, yaitu PALYJA untuk wilayah barat Jakarta

dan TPJ (kini berubah menjadi PT. Aetra Air Jakarta (Aetra)) untuk wilayah timur

dengan batas sungai Ciliwung. Proses KPS sektor air bersih di DKI Jakarta dapat diamati

pada diagram di bawah ini.

83

Petuhjuk

Presiden RI

Menteri PU

Pemda DKI

Undangan kepada dua

operator internasional

REPONS

operator

MENTERI PU

1. Para operator

menyampaikan FS dalam 6

bulan

2. Penandatanganan MoU

6 Oktober 1995

KPTS Menteri PU No

249/KPTS/1995

Tgl 6 Juli 95

KPTS Gub DKI No

1327/1995

Tgl 31 Okt 95

LDE-GDS TW-KPA

Pembentukan tim

koordinasi lintas sektor

Pembentukan tim

negosiasi

Perpanjangan waktu

6 bulan

Perpanjangan waktu

6 bulan

FS INTERIM

19 Maret 96

FS INTERIM

31 Mei 1996

EVALUASI

Laporan Evaluasi Kedua FS diterima

Negosiasi antara

pihak operator

dengan tim

negosiasi

Penandatanga

nan KPS

Surat-surat

Mendagri

No 890/2418/PUOD

No 890/2417/PUOD

menyetujui KPS tgl

25 aguatus 1997

4 Juni 1996

15 Juni 1996

sd 6 Juni 1997

MENPU

6 April 96

Gambar 5. 1 Proses KPS Air Bersih di DKI Jakarta

5.1.2 PDAM Kabupaten Tangerang

PDAM Kabupaten Tangerang dibangun tahun 1923 oleh Pemerintah Hindia Belanda

dengan nama Water Leideng Bedryf dan dikelola oleh PU Pengairan Propinsi Cabang

Tangerang. Pada saat itu, kapasitas alirannya hanya 6 liter per detik. Pada tahun 1943,

pengelolaan dilakukan oleh Dinas PU Kabupaten Tangerang, dan tahun 1945 berubah

nama menjadi Perusahaan Air Minum (PAM) Kabupaten Tangerang. Berdasarkan Perda

no.10/HUK/1976, mengenai PDAM Kab. DT II Tangerang, maka sejak tahun 1976

pengelolaan dilakukan sendiri oleh PDAM Kabupaten Tangerang. Kemudian pada tahun

1999 PDAM Kabupaten Tangerang berubah nama menjadi PDAM Tirta Kerta Raharja.

Sumber air baku PDAM Tirta Kerta Raharja berasal dari dua sungai, yaitu Sungai

Cisadane dan Sungai Cidurian. Air baku ini kemudian diolah di empat IPA (Instalasi

Pengolahan Air Minum), kemudian didistribusikan pada konsumen yang terdapat di

84

Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kota tangerang, daln lainnya. Jalur distribusi dijelaskan

pada gambar berikut ini.

Sungai

Cisadane

Sungai

Cidurian

IPA Serpong

IPA Cikokol

IPA PERUMNAS

IPA PDAM TKR

PDAM Tirta Kerta

Raharja

Kabupaten

Tangerang

Total produksi

5.030 l/d

DKI Jakarta (2.600 l/d)

250.000SL

BSD City (120 l/d)

26.000 SL

Lippo Karawaci (137 l/d)

7.000 SL

Bandara Soekarno Hatta

(15 l/d)

Kabupaten Tangerang

38.097 SL

Kota Tangerang

SL= 57.000 SL

Lain-lain

57.000 SL

Sumber Air BakuInstalasi Pengolahan Air

MinumPendistribusian Konsumen

Gambar 5. 2 Jalur Distribusi PDAM Kabupaten Tangerang

Untuk meningkatkan pelayanan terhadap konsumen dan menambah jumlah produksi,

maka sejak tahun 1996 PDAM Tirta Kerta Raharja melaksanakan kerjasama produksi

dengan mitra swasta. Perusahaan yang menjadi mitra adalah PT. Tirta Cisadane (PT.TC),

PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri (PT.TKCM), dan PT. Tangerang Tirta Manunggal

(PT.TTM). Kerjasama awal dilakukan dengan PT.TC, dimulai pada bulan April 1996

hingga tahun 2011, kemudian dengan PT.TTM pada bulan April 1997 hingga tahun 2012,

dan yang terakhir dengan PT. TKCM pada bulan Juni 2004 hingga tahun 2024.

Kerjasama dengan pihak swasta ini dilakukan atas dasar Perda 17/2001 dan Perda

13/2003. Data mitra swasta PDAM Tirta Kerta Raharja disajikan pada tabel berikut ini.

85

Tabel 5. 1 Mitra Swasta PDAM Tirta Kerta Raharja

No Mitra

Diameter

Pipa

(mm)

Kapasitas Tarif/

Royalti

(Rp)

Bentuk

KPS

Jangka

Waktu

(tahun)

Produksi/

Pemakaian

(l/d)

Rata-rata

pemakaian

(l/d)

Kontrak

(l/d)

Terserap

(l/d)

1 PT.TC 1600 3000 2850 998.48 MC 15 3000 2890,26

2 PT.TC 500 998.48

3 PT.TTM 150 120 100 1,727.00 BOT 15 120 121,23

4 PT.TTM 150 1,727.00

5 PT.TTM 200 1,727.00

6 PT.TTM 200 1,727.00

7 PT. TKCM 600 1100 1050 1,269.84 ROT 20 1275 1151,16

8 PT. TKCM 900 1,269.84

5.1.3 PDAM Kabupaten Bandung

Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Raharja Kabupaten Bandung adalah satu-satunya

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang mempunyai tugas memberikan pelayanan air

bersih untuk masyarakat Kabupaten Bandung, yang didirikan berdasarkan Peraturan

Daerah (PERDA) Nomor: XVII tahun 1977 disahkan dengan keputusan Gubernur Kepala

Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 510/HK/011/SK/77.

Kabupaten Bandung untuk saat ini merupakan kabupaten dengan luas wilayah terbesar

dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten lain di sekitarnya, sehingga jumlah

penduduk Kabupaten Bandung sangat padat. Secara administratif, wilayah pelayanan

PDAM Tirta Raharja meliputi tiga daerah otonom, yaitu Kabupaten Bandung yang

memiliki jumlah penduduk sekitar 2,9 juta jiwa, Kota Cimaho yang memiliki jumlah

penduduk sekitar 548 ribu jiwa, dan Kabupaten Bandung Barat yang berpenduduk sekitar

1,4 juta jiwa. Dengan begitu jumlah penduduk seluruh Kabupaten Bandung mencapai 4,9

juta jiwa. Namun jumlah penduduk yang dapat terlayani hingga bulan Desember 2008

baru mencapai 409 ribu jiwa dengan jumlah sambungan 51.332 sambungan rumah.

Sehingga masih banyak permintaan penduduk yang belom dapat dipenuhi oleh PDAM

Tirta Raharja Kabupaten Bandung dalam memberikan supply air bersih.

Sebagai Badan Usaha Milik Pemerintah Daerah yang dibentuk berdasarkan Peraturan

Daerah No. XVII Tahun 1977, PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung diharapkan

dapat turut serta mensejahterakan masyarakat melalui air bersih dan mampu memberikan

86

konstribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk dapat meningkatkan cakupan

pelayanan saat ini 13,12% menjadi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan target yang

ditetapkan pemerintah yaitu 80% untuk perkotaan dan 60% untuk pedesaan (target

MDG’S tahun 2015), maka diperlukan rencana peningkatan kinerja perusahaan dan

pengembangan usaha yang dituangkan didalam strategi perusahaan dan program-program

kerja secara terpadu. Strategi PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung tahun 2006-2010

adalah :

Peningkatan sambungan langganan dan penjualan air

Membuka kesempatan investasi dengan pihak ketiga untuk mempercepat

peningkatan pelayanan

Efisiensi operasional

Kerjasama dengan pihak ketiga

Optimalisasi pelayanan

Peningkatan Efektivitas penagihan dan kualitas SDM

Penurunan tingkat kehilangan air

Pengamanan dan penguasaan sumber air baku

Untuk melaksanakan strategi tersebut, maka PDAM Tirta Raharja Kabupaten Bandung

berencana melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta dalam penyediaan air bersih.

Skema peluang KPS dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5. 2 Skema Peluang Kerjasama Sektor Swasta dalam Penyediaan Air Bersih

Wilayah

Pengembangan

Rencana Investasi Sumber Air Rencana Penyerapan

Bentuk

Kerjasama Total

Biaya

( Rp)

Progress Nama

Kap

asita

s

(l/d)

Lokasi Jumlah

Sambungan

Jumlah

Penduduk

(jiwa)

Daerah

Pelayanan

Bandung Selatan

171 M FS + DED Tahun 2006

Sungai Cisangkuy

500 Pangalengan 40.000 SR 240.000

1. Soreang 2. Banjaran

3. Katapang

4. Cangkuang 5. Margaasih

6. Margahayu

7. Arjasari 8. Pameungpeuk

Konsesi/BOT

Peningkatan IPA Cikoneng

dengan

kapasitas 200 l/d menjadi 400

l/d

125

MM

Indikasi

proyek

Dalam

pelaksanaan studi oleh

PT.Tirta

bangun Nusantara

Sungai

Citarum

Kapa

sitas tamb

ahan

200

Pacet 10.000 SR 60.000

1. Ciparay 2. Bojongsoang

3. Dayeuhkolot

4. Baleendah

KSO/ ROT

87

SPAM Industri

Majalaya 21 MM Indikasi proyek

Mata Air

Cibulakan 150 Pacet

50 industri

3.500 SR 2.100 Majalaya

KSO/

Bulk water

Bandung Barat 127 M FS di

BAPPENAS

Waduk

Saguling 200

Ngamprah

Cililin 14.000 SR 84.000

1. Padalarang 2. Batujajar

3. Ngmprah

4. Industri

Konsesi/BOT

Cimahi Utara 16,5 M Rencana

Anggaran Biaya

Curug

Bugbrug 100 Cisarua 8000 SR 48.000

1. Kp.Sukamarga

2. Bongkok

3. Ciuyah 4. Permana

KSO/Bulk

Water

Total 460,5

M 1150

75.500 SR

50 industri 434.100

Untuk program pengembangan tahun 2009-2015, PDAM Tirta Raharja Kabupaten

Bandung berencana melaksanakan KPS pada dua wilayah pengembangan yaitu Bandung

Selatan dan Bandung Barat. Untuk wilayah Bandung Selatan, pada tahun 2006 hingga

sekarang, sedang dilaksanakan proses Feasibility Study (FS) oleh BPPSPAM untuk

mengetahui kontrak kerjasama yang sesuai. Saat ini pilihan kontrak kerjasama yang akan

digunakanmasih belum diputuskan antara konsesi atau BOT. Lingkup pekerjaan yang

akan dijadikan kerjasama dengan pihak swasta adalah:

Pembangunan unit produksi (bak prasedimentasi kapasitas 2×300 l/d, intake

kapasitas 600 l/d, jaringan pipa transmisi, IPA kapasitas 500 l/d, dan reservoir

1×9000 m3)

Pembangunan unit distribusi yaitu pemasangan pipa dan sambungan rumah

Pembebasan tanah seluas 20.000 m2

Sedangkan untuk pengembangan wilayah Bandung barat, saat ini baru direncanakan

lokasi pelayanan yang akan dijadikan kerjasama dengan swasta, yaitu Padalarang,

Ngamprah, Batujajar, dan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan industri.

5.2 Pelaksanaan Survey

Proses penyebaran kuesioner dimulai dari tanggal 9 Januari 2009 hingga 10 Februari

2009. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mendatangi responden secara langsung

dengan harapan tingkat pengembalian kuesioner dari responden lebih cepat dan tinggi.

Kebanyakan responden dapat langsung ditemui dan dapat mengisi kuisioner. Sebagian

responden yang tidak dapat ditemui secara langsung dilakukan penitipan kuisioner dan

pengiriman melalui alamat email. Jumlah pertanyaan dalam kuisioner cukup banyak, oleh

88

sebab itu responden diberikan waktu untuk mengisi, dengan janji beberapa hari kemudian

kuisioner tersebut dapat diambil.

Dalam rentang waktu tersebut data kuesioner yang telah diisi dan dikembalikan mencapai

jumlah tujuh responden dari wilayah Kabupaten Bandung, enam responden dari wilayah

Kabupaten Tangerang, dan dua responden dari wilayah Jakarta. Untuk lebih jelasnya

jumlah responden dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5. 3 Hasil Perolehan Kuisioner

No Wilayah Responden Kuisoner

Jumlah Langsung Titip / Kirim Kembali

1 Kabupaten

Bandung

PDAM 4 0 3 7

BAPEDA 6 0 4

2 Kabupaten

Tangerang

PDAM 4 0 3 6

Konsultan 3 0 3

3 Jakarta PDAM 0 3 1

2 Konsultan 0 3 1

Dari data di atas, pelaksanaan survei untuk responden di wilayah Kabupaten Bandung

dan Kabupaten Tangerang dilakukan dengan menemui responden secara langsung. Hal

ini dilakukan karena responden bersedia untuk ditemui. Sedangkan untuk responden di

wilayah Jakarta dilakukan pengiriman dan penitipan kuisioner. Hal ini dikarenakan

responden memiliki banyak kesibukan sehingga susah untuk mengatur jadwal pertemuan.

Untuk wilayah Kabupaten Bandung, dari 10 responden, kuisioner yang berhasil kembali

sebanyak 7 responden. Pada Kabupaten Tengerang, dari 7 responden, kuisioner yang

kembali sebanyak 6 responden. Sedangkan untuk wilayah Jakarta, dari 6 kuisioner yang

disebarkan, hanya 2 responden yang kembali.

5.3 Analisis Hasil Survey MPS-KPS

Data yang telah diolah menggunakan MPS-KPS dikelompokkan berdasarkan wilayah

dibahas pada bagian berikut.

89

5.3.1 Wilayah Kabupaten Bandung

Hasil survey dari responden yang berada di wilayah Kabupaten Bandung disajikan pada

Tabel 5.4 berikut ini.

Tabel 5. 4 Hasil MPS-KPS Kabupaten Bandung

Hasil yang diperoleh dari responden di Kabupaten Bandung adalah tiga orang memilih

konsesi, dua orang memilih BOT, satu orang memilih manajemen kontrak, dan satu

orang memilih service kontrak. Untuk memperoleh prioritas secara keseluruhan, maka

dicari nilai rata-rata dari ketujuh responden. Nilai rata-rata ini kemudian diberi bobot

ideal kembali. Berdasarkan hasil bobot ideal, kemudian dibuat ranking untuk menentukan

skema KPS yang paling sesuai untuk wilayah Kabupaten Bandung. Hasil pemilihan

skema KPS disajikan pada grafik berikut ini.

BDG 1 BDG 2 BDG 3 BDG 4 BDG 5 BDG 6 BDG 7 TOTAL NORMAL IDEAL

BOT 0.126 0.019 0.119 0.023 0.043 0.052 0.121 0.503 0.072 0.696

Concession 0.087 0.185 0.109 0.150 0.062 0.037 0.094 0.724 0.103 1.000

Lease 0.069 0.105 0.039 0.087 0.070 0.045 0.064 0.480 0.069 0.663

Management contract 0.070 0.058 0.059 0.076 0.108 0.114 0.060 0.546 0.078 0.754

Service Contract 0.050 0.037 0.078 0.066 0.118 0.150 0.061 0.560 0.080 0.774

Komitmen pemberantasan korupsi 0.026 0.047 0.014 0.009 0.015 0.029 0.025 0.166 0.024 0.229

Kemampuan keuangan pemerintah 0.036 0.036 0.047 0.037 0.016 0.012 0.035 0.220 0.031 0.303

Kerangka hukum 0.012 0.007 0.035 0.027 0.086 0.010 0.012 0.189 0.027 0.261

Kondisi makroekonomi 0.028 0.037 0.031 0.026 0.016 0.010 0.028 0.175 0.025 0.242

Pendapatan perkapita 0.049 0.031 0.015 0.046 0.015 0.075 0.049 0.280 0.040 0.387

Stabilitas politik 0.010 0.005 0.019 0.015 0.014 0.024 0.010 0.097 0.014 0.134

Efisiensi investasi 0.020 0.025 0.046 0.010 0.040 0.054 0.012 0.207 0.030 0.285

Efisiensi operasi dan pemeliharaan 0.055 0.067 0.068 0.086 0.040 0.054 0.059 0.430 0.061 0.595

Kesehatan keuangan perusahaan 0.065 0.041 0.038 0.035 0.040 0.032 0.055 0.306 0.044 0.423

Tanggungjawab terhadap pengguna 0.020 0.027 0.009 0.028 0.040 0.019 0.032 0.175 0.025 0.241

Memperluas jaringan distribusi 0.009 0.034 0.011 0.010 0.066 0.013 0.013 0.155 0.022 0.214

Meningkatkan efisiensi operasi 0.043 0.019 0.057 0.045 0.008 0.030 0.038 0.239 0.034 0.330

Meningkatkan kapasitas produksi 0.016 0.026 0.003 0.022 0.013 0.011 0.010 0.101 0.014 0.140

Meningkatkan kualitas pelayanan 0.025 0.012 0.024 0.022 0.006 0.039 0.023 0.151 0.022 0.209

Rehabilitasi fasilitas eksisting 0.018 0.013 0.016 0.010 0.007 0.023 0.025 0.112 0.016 0.155

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS 0.081 0.025 0.063 0.040 0.142 0.037 0.112 0.500 0.071 0.691

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS 0.079 0.135 0.098 0.120 0.018 0.121 0.047 0.617 0.088 0.853

Kebijakan lingkungan yang berlaku 0.004 0.001 0.000 0.001 0.004 0.000 0.007 0.016 0.002 0.023

Kesetaraan akses pelayanan 0.002 0.003 0.001 0.007 0.005 0.002 0.003 0.022 0.003 0.030

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta 0.001 0.001 0.000 0.001 0.003 0.001 0.001 0.009 0.001 0.013

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat 0.001 0.006 0.002 0.003 0.004 0.005 0.001 0.022 0.003 0.030

Jumlah 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 7.000 13.000

0.103

ELEMENRESPONDEN BOBOT

Nilai terbesar

90

Gambar 5. 3 Ranking Pemilihan Skema KPS Kabupaten Bandung

Responden di wilayah Kabupaten Bandung berpendapat bahwa skema kerjasama yang

paling sesuai adalah konsesi karena dengan menggunakan skema konsesi maka pelayanan

secara penuh diberikan kepada pihak swasta sehingga pihak swasta diharapkan memiliki

tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan PDAM. Dengan menggunakan kontrak

konsesi, maka dapat dilakukan kegiatan-kegiatan yang membutuhkan modal besar seperti

peningkatan kapasitas produksi, perluasan jaringan distribusi, perbaikan fasilitas

eksisting, dan lainnya sehingga pencapaian yang diharapkan dapat tercapai. Selain itu,

kontrak konsesi juga sudah banyak digunakan di tingkat kota maupun nasional, sehingga

masyarakat tidak asing lagi dengan jenis skema kerjasama ini.

Struktur pembiayaan pada kontrak konsesi adalah pihak swasta bertanggung jawab atas

semua modal dan biaya operasi, termasuk pembangunan infrastruktur, energi, material,

dan perbaikan-perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak swasta memiliki wewenang

untuk mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku telah ditetapkan

sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana tarif tersebut memiliki

kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Meskipun begitu, pemerintah

tetap bertanggung jawab dalam penyesuaian tarif dan penilaian aset yang diserahkan

kepada swasta untuk dioperasikan. Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk

memantau, memeriksa dan mengawasi pelaksanaan kinerja swasta, dan memberikan

sanksi kepada pihak swasta apabila pihak swasta tidak memenuhi kewajiban sesuai dalam

persyaratan perjanjian kerjasama. Pemilihan skema konsesi juga didukung oleh prioritas-

prioritas lain sebagaimana dihadirkan pada grafik berikut ini.

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200

BOT

Concession

Lease

Management contract

Service Contract

Hasil Skema KPS Kabupaten Bandung

91

Gambar 5. 4 Prioritas Lain yang Mendukung Pemilihan Skema KPS di Kabupaten Bandung

Pemilihan skema konsesi didukung oleh adanya ketersediaan unit pelaksana KPS.

Berdasarkan jaringan MPS-KPS pemilihan skema KPS dapat dilihat bahwa kemampuan

institusional dan alternatif skema KPS saling mempengaruhi, oleh sebab itu ketersediaan

undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada saat ini menunjang untuk

dilaksanakannya skema konsesi. Namun pemilihan skema KPS juga harus didukung oleh

ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS. Perangkat hukum ini biasa disebut

dengan badan pengawas. Agar pelaksanaan kontrak konsesi dapat berjalan dengan baik,

maka kinerja badan pengawas harus dapat menjamin bahwa hukum dan regulasi KPS

benar-benar dilaksanakan dengan baik.

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta

Kebijakan lingkungan yang berlaku

Kesetaraan akses pelayanan

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat

Stabilitas politik

Meningkatkan kapasitas produksi

Rehabilitasi fasilitas eksisting

Meningkatkan kualitas pelayanan

Memperluas jaringan distribusi

Komitmen pemberantasan korupsi

Tanggungjawab terhadap pengguna

Kondisi makroekonomi

Kerangka hukum

Efisiensi investasi

Kemampuan keuangan pemerintah

Meningkatkan efisiensi operasi

Pendapatan perkapita

Kesehatan keuangan perusahaan

Efisiensi operasi dan pemeliharaan

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS

PRIORITAS LAIN YANG MENDUKUNG PEMILIHAN SKEMA

KPS KABUPATEN BANDUNG

92

Pemilihan skema KPS juga berhubungan dengan peningkatan efisiensi operasi dan

pemeliharaan. Karena pihak swasta tidak terlibat dalam pengoperasian dan pemeliharaan

infrastruktur atau unit yang tidak mereka bangun, maka PDAM dan swasta akan memiliki

tanggung jawab masing-masing. Selain itu, dengan berkurangnya jumlah infrastruktur

yang harus dikelola oleh PDAM, maka diharapkan kinerja PDAM akan semakin

meningkat.

Kesehatan keuangan perusahaan yang baik serta pendapatan perkapita menarik perhatian

investor untuk menanamkan modal dan berinvestasi. Dengan keuangan perusahaan yang

baik dan jumlah pendapatan perkapita yang mulai meningkat, maka investor akan

percaya bahwa modal yang diberikan akan digunakan dengan baik. Hal ini juga didukung

dan berhubungan dengan kemampuan keuangan pemerintah dan komitmen dalam

pemberantasan korupsi.

Meskipun begitu, pemilihan skema konsesi kurang didukung oleh isu-isu lingkungan dan

sosial. Penerimaan masyarakat di Kabupaten Bandung terhadap swasta masih rendah.

Begitu pula dengan keinginan dan kemampuan membayar dari masyarakat. Masyarakat

masih menganggap bahwa air masih menjadi aset bebas, sehingga semua orang dapat

memperolehnya tanpa harus membayar. Selain itu, jumlah masyarakat yang belum

memperoleh sambungan atau tidak mampu untuk membayar PAM masih banyak. Selain

itu masyarakat menganggap bahwa pelayanan terhadap masyarakat miskin masih kurang

dibandingkan dengan masyarakat yang mampu, sehingga kesetaraan akses terhadap

pelayanan dianggap masih kurang.

5.3.2 Wilayah Kabupaten Tangerang

Hasil survey di wilayah Kabupaten Tangerang adalah tiga responden memilih konsesi,

dua orang memilih service contract, dan satu orang memilih BOT. Dari hasil ini,

kemudian dicari nilai rata-rata keseluruhan untuk memperoleh prioritas dari enam

responden. Kemudian hasil prioritas keenam responden tersebut dicari bobot idealnya

untuk mencari ranking dari setiap prioritas. Hasil prioritas responden Kabupaten

Tangerang disajikan pada Tabel 5.5 berikut ini.

93

Tabel 5. 5 Hasil MPS-KPS Kabupaten Tangerang

Ranking skema KPS yang diperoleh berdasarkan bobot ideal disajikan pada Gambar 5.5

berikut ini.

Gambar 5. 5 Ranking Pemilihan Skema KPS Kabupaten Tangerang

Dari hasil survey responden di wilayah Kabupaten Tangerang diperoleh bahwa kontrak

konsesi sebagai skema yang paling sesuai, karena dengan adanya kontrak konsesi, maka

pihak swasta dapat mengelola dan bertanggung jawab atas keseluruhan operasi dalam

program investasi pembangunan dan pengelolaan prasarana dan sarana dari pemerintah

namun tetap memperoleh pengawasan dari pemerintah.

TGR 1 TGR 2 TGR 3 TGR 4 TGR 5 TGR 6 TOTAL NORMAL IDEAL

BOT 0.055 0.087 0.121 0.096 0.019 0.114 0.491 0.082 0.604

Concession 0.051 0.090 0.094 0.196 0.185 0.197 0.812 0.135 1.000

Lease 0.041 0.050 0.064 0.049 0.105 0.052 0.362 0.060 0.445

Management contract 0.118 0.077 0.060 0.039 0.058 0.026 0.379 0.063 0.466

Service Contract 0.132 0.095 0.061 0.024 0.037 0.014 0.362 0.060 0.446

Komitmen pemberantasan korupsi 0.027 0.017 0.025 0.061 0.047 0.061 0.238 0.040 0.293

Kemampuan keuangan pemerintah 0.014 0.029 0.035 0.022 0.036 0.022 0.158 0.026 0.195

Kerangka hukum 0.010 0.034 0.012 0.040 0.007 0.041 0.144 0.024 0.177

Kondisi makroekonomi 0.012 0.017 0.028 0.008 0.037 0.008 0.109 0.018 0.134

Pendapatan perkapita 0.072 0.038 0.049 0.017 0.031 0.017 0.224 0.037 0.276

Stabilitas politik 0.024 0.025 0.010 0.013 0.005 0.013 0.090 0.015 0.111

Efisiensi investasi 0.044 0.037 0.012 0.066 0.025 0.068 0.253 0.042 0.312

Efisiensi operasi dan pemeliharaan 0.046 0.030 0.059 0.054 0.067 0.053 0.310 0.052 0.381

Kesehatan keuangan perusahaan 0.038 0.044 0.055 0.025 0.041 0.025 0.228 0.038 0.281

Tanggungjawab terhadap pengguna 0.029 0.048 0.032 0.015 0.027 0.014 0.164 0.027 0.202

Memperluas jaringan distribusi 0.015 0.033 0.013 0.014 0.034 0.014 0.122 0.020 0.150

Meningkatkan efisiensi operasi 0.029 0.032 0.038 0.041 0.019 0.041 0.198 0.033 0.244

Meningkatkan kapasitas produksi 0.012 0.010 0.010 0.009 0.026 0.009 0.076 0.013 0.094

Meningkatkan kualitas pelayanan 0.038 0.017 0.023 0.025 0.012 0.025 0.141 0.023 0.173

Rehabilitasi fasilitas eksisting 0.023 0.014 0.025 0.022 0.013 0.022 0.118 0.020 0.145

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS 0.120 0.048 0.112 0.126 0.025 0.127 0.558 0.093 0.687

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS 0.038 0.110 0.047 0.034 0.135 0.033 0.397 0.066 0.489

Kebijakan lingkungan yang berlaku 0.001 0.012 0.007 0.000 0.001 0.000 0.021 0.003 0.025

Kesetaraan akses pelayanan 0.003 0.003 0.003 0.001 0.003 0.001 0.015 0.002 0.018

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta 0.001 0.001 0.001 0.003 0.001 0.003 0.010 0.002 0.013

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat 0.007 0.002 0.001 0.002 0.006 0.002 0.020 0.003 0.025

Jumlah 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 6.000 1.000

0.135

ELEMENRESPONDEN BOBOT

Nilai Terbesar

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200

BOT

Concession

Lease

Management contract

Service Contract

Hasil Skema KPS Kabupaten Tangerang

94

Saat ini pelaksanaan KPS di Kabupaten Tangerang menggunakan skema BOT, ROT, dan

management contract. Namun, pelaksanaan KPS di Kabupaten Tangerang dianggap

masih belum optimal karena tingkat kebocoran dan kehilangan air masih tinggi dan masih

banyak jumlah penduduk yang belum terlayani. Menurut para responden, kurang

berhasilnya pelaksanaan KPS saat ini dikarenakan oleh masih belum jelasnya regulasi-

regulasi yang terkait dengan KPS, sehingga menyebabkan kurangnya pemahaman

pemerintah dan swasta mengenai tugas dan kewajiban yang diperoleh melalui KPS.

Oleh sebab itu, menurut para responden, perlu dilakukan identifikasi dan pendeskripsikan

kriteria-kriteria kinerja berkelanjutan untuk investasi KPS air minum berikut indikator-

indikator kinerjanya, sehingga terdapat peraturan yang jelas mengenai unit kerja

pemerintah dan swasta dalam KPS. Selain itu, perangkat hukum dan regulasi-regulasi

yang terkait dengan KPS juga diperlukan untuk mengetahui peraturan yang jelas

mengenai tipe KPS dan mengetahui kesesuian proyek dengan dana dan rencana yang

dimiliki oleh pemerintah saat itu. Kriteria-kriteria lain yang mendukung dilaksanakannya

kontrak konsesi disajikan pada Gambar 5.6.

95

Gambar 5. 6 Prioritas Lain yang Mendukung Pemilihan Skema KPS di Kabupaten

Pemilihan skema konsesi dianggap sesuai untuk wilayah Kabupaten Tengerang. Dengan

pemilihan skema konsesi, akan menunjang dibentuknya badan pengawas, sehingga

pelaksanaan KPS dapat dilakukan dengan baik dan terawasi. Pemilihan skema konsesi

juga didukung oleh efisiensi operasi dan pemeliharaan. Operasi dan pemeliharaan yang

ada di PDAM saat ini sudah cukup baik, namun masih perlu dilakukan penghematan.

Dengan pemilihan skema konsesi, diharapkan biaya-biaya yang digunakan untuk operasi

dan pemeliharaan dapat ditekan tanpa mempengaruhi hasil layanan. Kesehatan keuangan

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta

Kesetaraan akses pelayanan

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat

Kebijakan lingkungan yang berlaku

Meningkatkan kapasitas produksi

Stabilitas politik

Kondisi makroekonomi

Rehabilitasi fasilitas eksisting

Memperluas jaringan distribusi

Meningkatkan kualitas pelayanan

Kerangka hukum

Kemampuan keuangan pemerintah

Tanggungjawab terhadap pengguna

Meningkatkan efisiensi operasi

Pendapatan perkapita

Kesehatan keuangan perusahaan

Komitmen pemberantasan korupsi

Efisiensi investasi

Efisiensi operasi dan pemeliharaan

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS

PRIORITAS LAIN YANG MENDUKUNG PEMILIHAN SKEMA

KPS KABUPATEN TANGGERANG

96

pada perusahaan PDAM saat ini juga menunjang untuk dilaksanakannya kontrak konsesi,

karena kesehatan keuangan perusahaan akan menarik investor untuk menanamkan modal.

Hal lain yang masih menjadi masalah adalah kurangnya penegakan hukum dalam

memberantas korupsi dan pendapatan perkapita. Pemilihan skema konsesi akan

mempengaruhi komitmen dalam pemberantasan korupsi, karena kontrak konsesi

membutuhkan investasi yang besar. Investasi ini tidak akan terjadi apabila tidak ada

kepercayaan dari investor bahwa uang mereka akan aman. Selain itu, hasil investasi dari

kontrak konsesi juga diharapkan dapat menambah pendapatan perkapita dan keuangan

negara.

Selain beberapa hal diatas, tingkat kehilangan air yang masih tinggi dan sulit diprediksi

dimana terjadinya kebocoran tersebut. Oleh sebab itu, maka responden menyarankan

kontrak konsesi karena dengan kontrak konsesi maka dapat meningkatkan kualitas dan

kinerja konstruksi, tenaga kerja, dan pengelolaan. Selain itu, walaupun modal investasi

seluruhnya diperoleh dari pihak swasta, namun kepemilikan aset tetap di tangan

pemerintah, sehingga apabila terjadi penyusutan nilai aset maka pihak swasta

berkewajiban membayar peyusutan nilai aset tersebut.

5.3.3 Wilayah Jakarta

Pada wilayah Jakarta, responden yang dapat mengisi kuisioner hanya dua orang. Kedua

responden memilih konsesi sebagai skema yang paling sesuai. Jumlah responden yang

hanya dua orang ini mungkin dapat dianggap kurang. Namun meskipun responden di

DKI Jakarta hanya dua orang, konsitensinya telah diuji. Nilai rasio konsistensi kedua

responden lebih kecil dari 0,1 sehingga hasil penilaian dapat diterima. Dari hasil kedua

survey tersebut, dicari prioritas dari masing-masing responden, kemudian diberi bobot

untuk mngetahui raking dari setiap prioritas. Hasil survey responden wilayah Jakarta

disajikan pada Tabel 5.6 berikut ini.

97

Tabel 5. 6 Hasil MPS-KPS DKI Jakarta

Ranking yang diperoleh dari alternatif skema KPS yang ada disajikan pada Gambar 5.7

berikut ini.

Gambar 5. 7 Ranking Pemilihan Skema KPS DKI Jakarta

JKT 1 JKT 2 TOTAL NORMAL IDEAL

BOT 0.118 0.1241 0.242 0.121 0.7839263

Concession 0.156 0.1531 0.309 0.154 1

Lease 0.043 0.0329 0.076 0.038 0.2455078

Management contract 0.059 0.0525 0.111 0.056 0.3604962

Service Contract 0.025 0.0378 0.063 0.032 0.2045273

Komitmen pemberantasan korupsi 0.019 0.0531 0.072 0.036 0.2324821

Kemampuan keuangan pemerintah 0.020 0.0168 0.037 0.018 0.1193097

Kerangka hukum 0.045 0.0228 0.067 0.034 0.2183299

Kondisi makroekonomi 0.019 0.0129 0.032 0.016 0.1041832

Pendapatan perkapita 0.033 0.0142 0.047 0.024 0.1527966

Stabilitas politik 0.025 0.0420 0.067 0.034 0.2171872

Efisiensi investasi 0.036 0.0299 0.066 0.033 0.2131863

Efisiensi operasi dan pemeliharaan 0.072 0.0331 0.105 0.052 0.3387014

Kesehatan keuangan perusahaan 0.025 0.0582 0.083 0.041 0.268209

Tanggungjawab terhadap pengguna 0.027 0.0381 0.065 0.033 0.2110304

Memperluas jaringan distribusi 0.008 0.0158 0.024 0.012 0.0773937

Meningkatkan efisiensi operasi 0.023 0.0159 0.039 0.020 0.1269361

Meningkatkan kapasitas produksi 0.027 0.0151 0.042 0.021 0.1358638

Meningkatkan kualitas pelayanan 0.022 0.0154 0.038 0.019 0.1224302

Rehabilitasi fasilitas eksisting 0.028 0.0421 0.070 0.035 0.2265746

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS 0.114 0.0000 0.114 0.057 0.3677535

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS 0.046 0.1297 0.175 0.088 0.5677879

Kebijakan lingkungan yang berlaku 0.001 0.0295 0.031 0.015 0.0989263

Kesetaraan akses pelayanan 0.002 0.0016 0.003 0.002 0.0110965

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta 0.004 0.0055 0.009 0.005 0.0304829

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat 0.004 0.0018 0.006 0.003 0.0187326

Jumlah 1.000 0.0063 1.006 0.503

0.154Nilai Terbasar

ELEMENBOBOTRESPONDEN

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

BOT

Concession

Lease

Management contract

Service Contract

Hasil Skema KPS Jakarta

98

Responden yang menyarankan konsesi dalam pelaksanaan kerjasama ini dikarenakan

dengan konsesi maka dapat meningkatkan kualitas pengelolaan, tenaga kerja, dan

pengelolaaan. Hal ini sesuai dengan keadaan PDAM Jakarta saat ini yang menerapkan

skema konsesi dalam KPS. Dengan kontrak konsesi, maka semua kegiatan PDAM akan

dilaksanakan oleh pihak swasta, dan pemerintah serta PDAM bertugas sebagai pengawas.

Selain itu, dengan adanya kontrak konsesi, maka pihak swasta harus dapat memenuhi

target-target teknis yang harus dilakukan sesuai dengan perjanjian kerjasama.

Gambar 5. 8 Prioritas Lain yang Mendukung Pemilihan Skema KPS di DKI Jakarta

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

Kesetaraan akses pelayanan

Keinginan dan kemampuan membayar masyarakat

Penerimaan masyarakat terhadap peran swasta

Memperluas jaringan distribusi

Kebijakan lingkungan yang berlaku

Kondisi makroekonomi

Kemampuan keuangan pemerintah

Meningkatkan kualitas pelayanan

Meningkatkan efisiensi operasi

Meningkatkan kapasitas produksi

Pendapatan perkapita

Tanggungjawab terhadap pengguna

Efisiensi investasi

Stabilitas politik

Kerangka hukum

Rehabilitasi fasilitas eksisting

Komitmen pemberantasan korupsi

Kesehatan keuangan perusahaan

Efisiensi operasi dan pemeliharaan

Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS

Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS

PRIORITAS LAIN YANG MENDUKUNG PEMILIHAN SKEMA KPS

JAKARTA

99

Selain itu, pemilihan kontrak konsesi juga didukung oleh beberapa prioritas lain. Kotrak

konsesi saling mempengaruhi dengan kapasitas institusional. Pemilihan kontrak konsesi

harus didukung oleh kapasitas institusional yang baik, dan kapasitas institusional yang

baik akan menunjang dilaksanakannya konsesi pada KPS. Ketersediaan unit pelaksana

kebijakan KPS atau yang biasa disebut dengan badan pengawas di Jakarta saat ini sudah

memadai untuk dilakukannya kontrak konsesi. Ketersediaan perangkat hukum dan

regulasi teramat penting untuk membuat iklim berbasis kinerja. Diperlukan regulasi yang

bisa membuat suasana kerja seoleh-oleh terjadi kompetensi sehingga dapat mencegah

keuntungan berlebih dari para pihak. Dengan adanya regulasi juga diharapkan dapat

memperkuat upaya dalam kesetaraan akses pada msyarakat. Regulasi yang ada

diharapkan dapat memperkuatupaya penambahan akses air bersih kepada kelompok

ekonomi lemah dan rumah tangga berpenghasilan rendah.

Kesehatan keuangan pada PDAM Jakarta dan komitmen dalam pemberantasan korupsi

juga menunjang dilakukannya kontrak konsesi, karena kesehatan keuangan dan

komitmen dalam pemberantasan korupsi akan menambah tingkat kepercayaan investor

sehingga investor akan mau mananamkan modalnya.

Prioritas PDAM saat ini, yaitu efisiensi investasi, efisiensi operasi dan pemeliharaan,

penambahan jaringan distribusi, peningkatan kapasitas produksi, tanggung jawab

terhadap konsumen, dan peningkatan / rehabilitasi fasilitas. Selain itu, masih banyak

terjadi kebocoran atau kehilangan air (non-revenue water, NRW) masih menjadi

persoalan besar bagi pelaksanaan KPS. KPS seharusnya dapat mengurangi kehilangan

air, memperbaiki dan meningkatkan kinerja infrastruktur melalui peningkatan efisiensi

operasi.

Pemilihan skema konsesi juga berhubungan dengan kondisi lingkungan negara saat ini.

Kondisi negara saat ini dianggap dapat menjanjikan investor untuk melakukan

penanaman modal yang besar. Hal ini disebabkan karena stabilitas politik dan pendapatan

perkapita sudah cukup menunjang.

100

5.4 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap lima kriteria teratas yang paling berpengaruh

dalam pemilihan skema KPS. Masing-masing wilayah memiliki kriteria-kriteria yang

berbeda. Oleh sebab itu, analisis sensitivitas dilakukan pada setiap wilayah kajian.

5.4.1 Kabupaten Bandung

Pada wilayah Kabupaten Bandung, lima kriteria yang paling berpengaruh dalam

penentuan skema KPS yang sesuai disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. 7 Lima Kriteria yang Paling Berpengaruh di Kabupaten Bandung

No Lima Kriteria yang Paling Berpengaruh Singkatan

1 Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS UP

2 Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS PH

3 Efisiensi operasi dan pemeliharaan OP

4 Kesehatan keuangan perusahaan KP

5 Pendapatan perkapita PP

Untuk mengetahui kecenderungan pemilihan masing-masing kriteria berdasarkan

perubahan setiap faktornya maka dibuatlah rumus analisis sensitivitas. Rumus ini

diperoleh berdasarkan nilai supermatriks setiap responden yang telah diberi bobot.

Kemudian hasil matriks tersebut dirata-ratakan dan hasilnya dibuat menjadi koefisien

pada rumus analisis sensitivitas. Rumus ini digunakan untuk mengetahui persentase

perubahan dari setiap alternatif skema KPS. Rumus ini disajikan sebagai berikut :

YBOT = 0,256UP + 0,196PH + 0,330OP + 0,099KP + 0,051PP

YKONSESI = 0,357UP + 0,155PH + 0,301OP + 0,109KP + 0,085PP

YLC = 0,342UP + 0,158PH + 0,294OP + 0,123KP + 0,080PP

YMC = 0,369UP + 0,143PH + 0,315OP + 0,100KP + 0,080PP

YSC = 0,358UP + 0,149PH + 0,322OP + 0,124KP + 0,080PP

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh setiap kriteria terhadap skema yang ada, maka

dilakukan percobaan trial eror untuk setiap kriteria. Untuk setiap kriteria dilakukan

101

pengurangan bobot sebanyak tiga kali sebesar 10 %. Hasil dari analisis sensitivitas

tersebut disajikan pada table-tabel berikut ini.

Tabel 5. 8 Perubahan faktor UP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan UP Perubahan

UP 0.853 0.768 0.614 0.430 - 10 %

Faktor

PH 0.691 0.691 0.691 0.691

OP 0.595 0.595 0.595 0.595

KP 0.423 0.423 0.423 0.423

PP 0.387 0.387 0.387 0.387

Skema

BOT 0.612 0.590 0.551 0.503 2% 4% 5%

Konsesi 0.670 0.639 0.584 0.519 3% 5% 7%

LC 0.659 0.630 0.577 0.514 3% 5% 6%

MC 0.674 0.643 0.586 0.518 3% 6% 7%

SC 0.683 0.653 0.598 0.532 3% 5% 7%

Tabel 5. 9 Perubahan faktor PH terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan PH Perubahan

PH 0.691 0.622 0.498 0.348 - 10 %

Faktor

UP 0.853 0.853 0.853 0.853

OP 0.595 0.595 0.595 0.595

KP 0.423 0.423 0.423 0.423

PP 0.387 0.387 0.387 0.387

Skema

BOT 0.602 0.584 0.552 0.514 2% 3% 4%

Konsesi 0.637 0.612 0.568 0.514 2% 4% 5%

LC 0.629 0.605 0.563 0.512 2% 4% 5%

MC 0.637 0.612 0.566 0.511 3% 5% 6%

SC 0.649 0.625 0.580 0.527 2% 4% 5%

Tabel 5. 10 Perubahan faktor OP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan OP Perubahan

OP 0.595 0.536 0.428 0.300 - 10 %

Faktor

UP 0.853 0.853 0.853 0.853

PH 0.691 0.691 0.691 0.691

KP 0.423 0.423 0.423 0.423

PP 0.387 0.387 0.387 0.387

102

Skema

BOT 0.609 0.594 0.567 0.534 2% 3% 3%

Konsesi 0.632 0.610 0.572 0.526 2% 4% 5%

LC 0.625 0.604 0.568 0.524 2% 4% 4%

MC 0.632 0.610 0.571 0.523 2% 4% 5%

SC 0.646 0.625 0.586 0.540 2% 4% 5%

Tabel 5. 11 Perubahan faktor KP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan KP Perubahan

KP 0.423 0.381 0.305 0.213 - 10 %

Faktor

UP 0.853 0.853 0.853 0.853

PH 0.691 0.691 0.691 0.691

OP 0.595 0.595 0.595 0.595

PP 0.387 0.387 0.387 0.387

Skema

BOT 0.582 0.571 0.552 0.528 1% 2% 2%

Konsesi 0.589 0.574 0.547 0.514 2% 3% 3%

LC 0.587 0.573 0.547 0.515 1% 3% 3%

MC 0.586 0.570 0.542 0.509 2% 3% 3%

SC 0.606 0.591 0.563 0.531 2% 3% 3%

Tabel 5. 12 Perubahan faktor PP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan PP Perubahan

PP 0.387 0.348 0.279 0.195 - 10 %

Faktor

UP 0.853 0.853 0.853 0.853

PH 0.691 0.691 0.691 0.691

KP 0.423 0.423 0.423 0.423

KP 0.423 0.423 0.423 0.423

Skema

BOT 0.558 0.548 0.530 0.509 1% 2% 2%

Konsesi 0.560 0.547 0.522 0.492 1% 2% 3%

LC 0.556 0.543 0.519 0.491 1% 2% 3%

MC 0.558 0.544 0.518 0.488 1% 3% 3%

SC 0.574 0.560 0.536 0.506 1% 2% 3%

Pada Tabel 5.8 dapat diketahui hasil analisis sensitivitas terhadap faktor UP jika

dilakukan pengurangan bobot nilai faktor UP. Pada pengurangan pertama, terdapat

peningkatan sebanyak 2% pada BOT dan 3% pada skema lainnya. Sedangkan untuk

103

percobaan kedua dan ketiga peningkatan yang terlihat jelas adalah pada skema konsesi,

management contract dan service contract. Ketiga skema ini terus mengalami

peningkatan hingga 7%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa responden akan lebih

memilih ketiga skema tersebut apabila faktor Ketersediaan Unit Pelaksana Kebijakan

KPS diturunkan. Responden menganggap bahwa unit pelaksana kebijakan untuk

mengatur pelaksanaan KPS masih sangat penting. Pengaturan bagi pelayanan air minum

mutlak diperlukan mengingat sifat pelayanan air minum yang bersifat monopoli karena

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun secara ekonomis, tidak

dimungkinkan ada lebih dari satu pipa penyedia pelayanan dalam suatu daerah yang

sama. Melihat kenyataan ini unit pelaksana kebijakan KPS harus semakin benar-benar

dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan ditingkatkan kinerjanya.

Hasil analisis sensitivitas terhadap faktor PH dinyatakan pada Tabel 5.9. Pada tabel ini

dapat diketahui bahwa pada skema Management Contract terjadi peningkatan hingga 6%.

Hal ini menunjukkan bahwa jika Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS

dianggap tidak memadai oleh responden, maka responden akan cenderung memilih

skema Management Contract .

Untuk perubahan efisiensi operasi dan pemeliharaan, skema yang paling terpengaruh

adalah konsesi, management contract dan service contract. Dari hasil ini, dapat diketahui

bahwa pendapat responden mengenai ketiga skema KPS ini cukup memadai apabila

efisiensi operasi dan pemeliharaan dikurangi bobotnya. Sedangkan untuk kesehatan

keuangan perusahaan dan pendapatan perkapita, perubahan yang terjadi tidak terlalu

besar. Perubahan ini dapat dilihat pada Tabel 5.11 dan 5.12. Perubahan yang terjadi

hanya berkisar antara 1% hingga 3 %. Hal ini menujukkan bahwa faktor keuangan

perusahaan dan pendapatan perkapita dianggap cukup baik dan aman oleh responden

sehingga tidak memerlukan terlalu banyak perbaikan.

104

5.4.2 Kabupaten Tangerang

Pada wilayah Kabupaten Tanggerang, lima kriteria yang paling berpengaruh dalam

penentuan skema KPS yang sesuai disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. 13 Kriteria yang Paling Berpengaruh di Kabupaten Tangerang

No Lima Kriteria yang Paling Berpengaruh Singkatan

1 Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS PH

2 Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS UP

3 Efisiensi operasi dan pemeliharaan OP

4 Efisiensi investasi EI

5 Komitmen pemberantasan korupsi PK

Rumus analisis sensitivitas untuk wilayah Kabupaten Tangerang adalah sebagai berikut:

YBOT = 0,16U7P + 0,108PH + 0,088OP + 0,066KP + 0,081PP

YKONSESI = 0,195UP + 0,081PH + 0,092OP + 0,083KP + 0,051PP

YLC = 0,184UP + 0,092PH + 0,101OP + 0,073KP + 0,056PP

YMC = 0,188 UP + 0,087PH + 0,092OP + 0,068KP + 0,049PP

YSC = 0,190UP + 0,085PH + 0,114OP + 0,042KP + 0,063PP

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh setiap kriteria terhadap skema yang ada, maka

dilakukan percobaan trial eror untuk setiap kriteria. Untuk setiap kriteria dilakukan

pengurangan bobot sebanyak tiga kali sebesar 10 %. Hasil dari analisis sensitivitas

tersebut disajikan pada tabel-tabel berikut ini.

Tabel 5. 14 Perubahan faktor PH terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan PH Perubahan

PH 0.687 0.618 0.495 0.346 -10 %

Faktor

UP 0.489 0.489 0.489 0.489

OP 0.381 0.381 0.381 0.381

EI 0.312 0.312 0.312 0.312

PK 0.293 0.293 0.293 0.293

Skema

105

BOT 0.246 0.234 0.213 0.189 1% 2% 2%

Konsesi 0.088 0.088 0.088 0.088 0% 0% 0%

LC 0.161 0.160 0.159 0.157 0% 0% 0%

MC 0.119 0.118 0.117 0.115 0% 0% 0%

SC 0.093 0.091 0.089 0.087 0% 0% 0%

Tabel 5. 15 Perubahan faktor UP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan UP Perubahan

UP 0.489 0.440 0.352 0.246 - 10 %

Faktor

PH 0.687 0.687 0.687 0.687

OP 0.381 0.381 0.381 0.381

EI 0.312 0.312 0.312 0.312

PK 0.293 0.293 0.293 0.293

Skema

BOT 0.234 0.226 0.211 0.193 1% 1% 2%

Konsesi 0.088 0.088 0.088 0.088 0% 0% 0%

LC 0.193 0.193 0.191 0.190 0% 0% 0%

MC 0.118 0.118 0.117 0.115 0% 0% 0%

SC 0.094 0.093 0.092 0.090 0% 0% 0%

Tabel 5. 16 Perubahan faktor OP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan OP Perubahan

OP 0.381 0.343 0.274 0.192 - 10 %

Faktor

PH 0.687 0.687 0.687 0.687

UP 0.489 0.489 0.489 0.489

EI 0.312 0.312 0.312 0.312

PK 0.293 0.293 0.293 0.293

Skema

BOT 0.225 0.219 0.208 0.194 1% 1% 1%

Konsesi 0.100 0.100 0.100 0.100 0% 0% 0%

LC 0.193 0.192 0.191 0.190 0% 0% 0%

MC 0.136 0.136 0.135 0.134 0% 0% 0%

SC 0.094 0.094 0.092 0.091 0% 0% 0%

Tabel 5. 17 Perubahan faktor EI terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan EI Perubahan

EI 0.312 0.281 0.225 0.157 -10 %

Faktor

PH 0.687 0.489 0.489 0.489

106

UP 0.489 0.381 0.381 0.381

OP 0.381 0.312 0.312 0.312

PK 0.293 0.293 0.293 0.293

Skema

BOT 0.218 0.178 0.168 0.157 4% 1% 1%

Konsesi 0.106 0.088 0.088 0.088 2% 0% 0%

LC 0.200 0.156 0.155 0.154 4% 0% 0%

MC 0.136 0.114 0.114 0.113 2% 0% 0%

SC 0.106 0.086 0.085 0.084 2% 0% 0%

Tabel 5. 18 Perubahan faktor PK terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan PK Perubahan

PK 0.293 0.264 0.211 0.148 -10 %

Faktor

PH 0.687 0.687 0.687 0.687

UP 0.489 0.489 0.489 0.489

OP 0.381 0.381 0.381 0.381

EI 0.312 0.312 0.312 0.312

Skema

BOT 0.217 0.212 0.203 0.192 0% 1% 1%

Konsesi 0.107 0.107 0.107 0.107 0% 0% 0%

LC 0.201 0.201 0.200 0.199 0% 0% 0%

MC 0.138 0.138 0.138 0.137 0% 0% 0%

SC 0.106 0.106 0.105 0.104 0% 0% 0%

Hasil analisis sensitivitas untuk wilayah Kabupaten Tangerang yang terdapat pada Tabel

5. 14 hingga 5.16, dan Tabel 5. 18. menunjukkan bahwa perubahan terhadap faktor PH,

UP, OP, dan PK tidak terlalu mempengaruhi perubahan skema. Hal ini menunjukkan

bahwa keempat faktor tersebut dianggap telah memadai dan kinerjanya cukup baik.

Pada Tabel 5.17, dapat dilihat bahwa pada penurunan 10 % faktor efisiensi investasi

yang pertama, terjadi peningkatan pada semua skema. Skema yang paling tinggi

peningkatannya adalah BOT dan Lease Contract sebesar 4%. Maka, dapat diketahui

bahwa jika bobot pada faktor efisiensi investasi diturunkan, maka pilihan skema

kemungkinan akan berubah menjadi BOT atau Lease Contract. BOT atau Lease Contract

dianggapa sebagai skema yang paling stabil jika ada perubahan atau masalah dalam

investasi. Setelah penurunan 10% kedua dan ketiga, perubahan yang terjadi tidak terlalu

107

signifikan atau tidak berubah sama sekali. Skema yang tetap berubah adalah BOT,

dengan perubahan sebesar 1%. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi perubahan

pada faktor efisiensi investasi, responden akan cenderung lebih memilih BOT meskipun

skema lainnya juga dapat dianggap sudah aman.

5.4.3 DKI Jakarta

Pada wilayah DKI Jakarta, lima kriteria yang paling berpengaruh dalam penentuan skema

KPS yang sesuai disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 5. 19 Kriteria yang Paling Berpengaruh di DKI Jakarta

No Lima Kriteria yang Paling Berpengaruh Singkatan

1 Ketersediaan unit pelaksana kebijakan KPS UP

2 Ketersediaan perangkat hukum dan regulasi KPS PH

3 Efisiensi operasi dan pemeliharaan OP

4 Kesehatan keuangan perusahaan KP

5 Komitmen pemberantasan korupsi PK

Untuk mengetahui kecenderungan pemilihan masing-masing kriteria berdasarkan

perubahan setiap faktornya maka dibuatlah rumus analisis sensitivitas. Rumus ini

diperoleh berdasarkan nilai supermatriks setiap responden yang telah diberi bobot.

Kemudian hasil matriks tersebut dirata-ratakan dan hasilnya dibuat menjadi koefisien

pada rumus analisis sensitivitas. Rumus ini digunakan untuk mengetahui persentase

perubahan dari setiap alternatif skema KPS. Rumus ini disajikan sebagai berikut :

YBOT = 0,251UP + 0,195PH + 0,070OP + 0,057KP + 0,069PP

YKONSESI = 0,051UP + 0,195PH + 0,070OP + 0,059KP + 0,057PP

YLC = 0,051UP + 0,195PH + 0,070OP + 0,068KP + 0,047PP

YMC = 0,065UP + 0,181PH + 0,059OP + 0,057KP + 0,055PP

YSC = 0,065UP + 0,181PH + 0,071OP + 0,069KP + 0,053PP

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh setiap kriteria terhadap skema yang ada, maka

dilakukan percobaan trial eror untuk setiap kriteria. Untuk setiap kriteria dilakukan

108

pengurangan bobot sebanyak tiga kali sebesar 10 %. Hasil dari analisis sensitivitas

tersebut disajikan pada table-tabel berikut ini.

Tabel 5. 20 Perubahan faktor UP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan UP Perubahan

UP 0.568 0.511 0.454 0.397 - 10 %

Faktor

PH 0.368 0.368 0.368 0.368

OP 0.339 0.339 0.339 0.339

KP 0.268 0.268 0.268 0.268

PK 0.232 0.232 0.232 0.232

Skema

BOT 0.156 0.153 0.150 0.324 0% 0% -17%

Konsesi 0.155 0.152 0.149 0.146 0% 0% 0%

LC 0.153 0.151 0.148 0.145 1% 0% 0%

MC 0.152 0.148 0.144 0.140 1% 0% 0%

SC 0.159 0.155 0.151 0.148 0% 0% 0%

Tabel 5. 21 Perubahan faktor UP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan UP Perubahan

PH 0.368 0.331 0.265 0.185 - 10 %

Faktor

UP 0.568 0.568 0.568 0.568

OP 0.339 0.339 0.339 0.339

KP 0.268 0.268 0.268 0.268

PK 0.232 0.232 0.232 0.232

Skema

BOT 0.184 0.183 0.179 0.403 0% 0% -22%

Konsesi 0.183 0.181 0.178 0.174 0% 0% 0%

LC 0.182 0.180 0.177 0.173 0% 0% 0%

MC 0.175 0.172 0.168 0.163 0% 0% 1%

SC 0.182 0.179 0.175 0.170 0% 0% 1%

Tabel 5. 22 Perubahan faktor OP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan OP Perubahan

OP 0.339 0.305 0.244 0.171 - 10 %

Faktor

PH 0.368 0.368 0.368 0.368

UP 0.568 0.568 0.568 0.568

KP 0.268 0.268 0.268 0.268

109

PK 0.232 0.232 0.232 0.232

Skema

BOT 0.160 0.158 0.155 0.323 0% 0% -17%

Konsesi 0.156 0.155 0.151 0.148 0% 0% 0%

LC 0.158 0.156 0.153 0.149 0% 0% 0%

MC 0.150 0.148 0.144 0.139 0% 0% 0%

SC 0.160 0.158 0.154 0.149 0% 0% 0%

Tabel 5. 23 Perubahan faktor KP terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan KP Perubahan

KP 0.268 0.241 0.193 0.174 - 10 %

Faktor

PH 0.368 0.368 0.368 0.368

UP 0.568 0.568 0.568 0.568

OP 0.339 0.339 0.339 0.339

PK 0.232 0.232 0.232 0.232

Skema

BOT 0.160 0.159 0.157 0.350 0% 0% -19%

Konsesi 0.157 0.155 0.153 0.152 0% 0% 0%

LC 0.159 0.158 0.155 0.154 0% 0% 0%

MC 0.150 0.148 0.145 0.143 0% 0% 0%

SC 0.160 0.159 0.156 0.154 0% 0% 0%

Tabel 5. 24 Perubahan faktor PK terhadap pemilihan skema KPS

Saat ini Penurunan PK Perubahan

PK 0.232 0.209 0.167 0.117 - 10 %

Faktor

PH 0.368 0.368 0.368 0.368

UP 0.568 0.568 0.568 0.568

OP 0.339 0.339 0.339 0.339

KP 0.268 0.268 0.268 0.268

Skema

BOT 0.161 0.160 0.158 0.362 0% 0% -20%

Konsesi 0.158 0.157 0.154 0.152 0% 0% 0%

LC 0.159 0.158 0.155 0.153 0% 0% 0%

MC 0.149 0.148 0.145 0.142 0% 0% 0%

SC 0.160 0.158 0.156 0.152 0% 0% 0%

Untuk daerah DKI Jakarta perubahan yang paling signifikan terjadi setelah pengurangan

10% yang ketiga. Pada pengurangan 10% yang pertama dan yang kedua, semua skema

110

relative stabil terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan pada penurunan yang ketiga,

skema yang paling terpengaruh adalah BOT. Pengurangan terhadap semua faktor

sebanyak 30% mengakibatkan penurunan terhadap skema BOT. Dari hasil ini dapat

diketahui bahwa untuk wilayah DKI Jakarta, jika terjadi pengurangan terhadap semua

faktor maka respon terhadap pemilihan skema BOT juga akan berkurang. BOT dianggap

kurang memadai dan relatif tidak stabil terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada

kelima faktor. Kebijakan yang dapat diambil sehubungan dengan analisa diatas adalah

agar tetap menjaga kinerja unit pelaksana kebijakan KPS dan perangkat hukumnya, lebih

meningkatkan efisiensi operasi dan pemeliharaan, menjaga kesehatan keuangan

perusahaan, dan menjaga komitmen dalam memberantas korupsi.

5.5 Diskusi Hasil Penggunaan MPS-KPS

MPS-KPS ini telah diujicobakan pada tiga wilayah. Dari hasil pengujian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa penerapan MPS-KPS di tiga wilayah yang dipilih tersebut memiliki

kelebihan dan kekurangan. Berikut ini akan disajikan diskusi hasil penggunaan metoda

Pemilihan Skema KPS.

5.5.1 Perbandingan Hasil Analisis dengan Kondisi Lapangan

Dari hasil pembahasan sebelumnya, terlihat bahwa pada ketiga wilayah penelitian,

responden memiliki persepsi yang sama bahwa skema yang paling sesuai adalah konsesi.

Hasil penelitian ini sesuai dengan skema KPS yang digunakan pada wilayah DKI Jakarta

saat ini. Pelaksanaan skema konsesi yang digunakan pada wilayah DKI Jakarta

menunjukkan hasil yang positif. Jumlah pelanggan Jakarta meningkat dari 713.606 pada

awal Januari 2006 menjadi 755.555 pada akhir tahun 2007. Pencapaian kapasitas

produksi air di Jakarta pada tahun 2007 sebesar 425.613.975 m3/tahun. Pencapaian ini

melebihi target yang hanya sebesar 395.358.281 m3/tahun. Untuk cakupan pelayanan

juga mengalami peningkatan pada tahun 2006 dari 60,39 % menjadi 60,68 %.

Peningkatan-peningkatan tersebut menunjukkan bahwa pemilihan skema konsesi dalam

investasi air minum di wilayah DKI Jakarta merupakan pilihan yang sesuai. Hal ini

111

menyebabkan persepsi responden dalam meninjau aspek-aspek pemilihan skema KPS

tetap memilih konsesi sebagai skema yang sesuai.

Namun untuk wilayah Kabupaten Tangerang skema ini masih belum sesuai karena saat

ini pelaksanaan KPS di Kabupaten Tangerang menggunakan skema BOT, ROT, dan

management contract. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan persepsi

dan pendapat responden dalam meninjau aspek-aspek penunjang pemilihan skema KPS.

Bagi responden di Kabupaten Tangerang yang telah mengalami kerjasama dengan

menggunakan skema BOT, ROT, dan management contract beranggapan bahwa skema-

skema tersebut masih belum dapat memenuhi target pencapaian. Dilihat dari tingkat

kehilangan air, persentase kehilangan dari tahun 2003 hingga 2005 terus meningkat. Pada

tahun 2003 tingkat kehilangan air sebesar 8,33 %, kemudian pada tahun 2004 meningkat

menjadi sebesar 11,15 % dan meningkat lagi pada tahun 2005 menjadi 14,18 %. Begitu

pula dengan cakupan pelayanan. Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang yang dapat

terlayani hanya sebanyak 267,380 jiwa dari 3.470.811 jiwa, atau hanya sebesar 7,7 %

saja. Sedangkan untuk wilayah Kota Tangerang jumlah penduduk yang terlayani hanya

sebesar 288.575 jiwa dari 1.547.577 jiwa, atau hanya sebesar 18,6 %. Begitu pula dengan

jumlah sambungan pelanggan. Pada tahun 2004, jumlah sambungan menurun dari 88.384

menjadi 87.768. Namun kondisi ini dapat diperbaiki pada tahun 2005 dengan

penambahan jumlah pelanggan hingga 90.103. Belum dapat tercapainya target

pelaksanaan KPS di Kabupaten Tangerang ini menyebabkan perubahan persepsi

responden pada saat pengisian kuisioner, sehingga skema yang dihasilkan dari MPS-

KPSPemilihan Skema KPS berbeda dengan kondisi skema yang digunakan saat ini.

Wilayah Kabupaten Bandung saat ini masih dalam tahap perencanaan pemilihan skema

KPS yang sesuai. Hasil dari MPS-KPS dalam penelitian ini menujukkan bahwa skema

yang sesuai untuk digunakan adalah konsesi. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan

dalam memilih skema KPS untuk investasi air minum di wilayah Kabupaten Bandung.

Meskipun begitu, pemilihan skema konsesi memiliki beberapa kekurangan. Untuk

wilayah Kabupaten Tengerang dan DKI Jakarta yang saat ini telah melaksanakan KPS,

112

berpendapat bahwa permasalahan yang kurang mendukung pelaksanaan konsesi saat ini,

yaitu terpusat pada aspek isu-isu lingkungan dan sosial.

Pada wilayah Kabupaten Bandung yang masih dalam tahap perancangan KPS, kurangnya

pemahaman mengenai regulasi KPS menjadi masalah utama. Kurangnya pemahaman

terutama disebabkan karena pihak PDAM belum pernah melaksanakan kerjasama dengan

pihak swasta. Selain itu, pada umumnya mereka tidak diberi penjelasan yang memadai

sebagai bekal mereka untuk dapat bekerja dengan baik dengan pihak swasta.

Hal ini selaras dengan pendapat sebagian responden PDAM bahwa pangkal masalah yang

timbul di internal PDAM adalah masalah kurangnya pemahaman mengenai KPS. Mereka

berpendapat apabila masalah ini dapat terselesaikan, maka masalah-masalah lain akan

terpecahkan atau menjadi bukan masalah lagi. Pengalaman dari beberapa PDAM yang

telah melaksanakan KPS menunjukkan bahwa keberhasilan dari KPS sangat ditentukan

oleh pihak pemerintah atau PDAM yang benar-benar memahami bisnis yang akan

dibiayai.

Dari aspek regulasi ketiga wilayah juga memiliki persepsi yang sama, yaitu kebijakan

yang ada sebenarnya sangat mendukung terhadap hak dan tanggung jawab masing-

masing pihak. Hal ini seharusnya dapat menjadi landasan penegakan hukum dalam

pelaksanaan KPS, dan berhubungan dengan pelaksanaan komitmen dalam

pemberantasan korupsi. Apabila pelaksanaan regulasi-regulai yang ada tidak

dilaksanakan dengan baik, maka akan terjadi kurangnya respon terhadap kebutuhan nyata

masyarakat yang berada dalam area pelayanan. Padahal salah satu tujuan utama

dilaksanakannya KPS adalah untuk meningkatkan kulitas pelayanan air terhadap

pelanggan.

Aspek lain yang menjadi masalah utama adalah efisiensi operasi dan pemeliharaan. Hal

ini perlu diperhatikan karena masih banyak terjadi kebocoran atau kehilangan air (non-

revenue water ,NRW) dan belum optimalnya kinerja infrastruktur PDAM. Dari hasil

pengamatan, diketahui bahwa masih terdapat kesalahan dalam pembacaan meteran,

113

kesalahan penagihan, kurangnya kualitas air, dan lainnya. Efisiensi operasi perlu

ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan konsumen secara memuaskan. Peningkatan

pelayanan efisiensi operasi dapat dilakukan dengan cara pengadaan sumberdaya yang

sehat, pelatihan sumberdaya, penggunaan prosedur kerja yang efektif, dan mematuhi

persyaratan perundang-undangan.

Dilihat dari sumber permasalahan, responden pada tiga wilayah penelitian memiliki

persepsi yang sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa masalah utama kurang

optimalnya pelasanaan KPS saat ini adalah aspek regulasi-regulasi yang terkait dengan

KPS, efisiensi operasi, dan komitmen dalam pemberantasan korupsi. Alternatif

pemecahannya adalah dengan memilih kontrak konsesi sebagai kontrak kerjasama antara

pemerintah dengan pihak swasta.

5.5.2 Aspek-Aspek Pertimbangan Pemilihan Skema Konsesi

Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat kota maupun tingkat nasional.

Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perjanjian konsesi adalah :

a) Pemberian subsidi oleh pihak pemerintah

Pemberian subsidi oleh pemerintah terhadap proyek kerjasama pelayanan air

minum yang dibiayai oleh swasta hampir lebih sering dianggap bertentangan

dengan kepentingan publik, karena pada awalnya tujuan kerjasama dengan pihak

swasta adalah untuk mencari investasi. Oleh sebab itu jika ada, keputusan

pemerintah daerah untuk memberikan subsidi kepada pihak swasta perlu

disosialisasikan terlebih dahulu dengan masyarakat atau diajukan pada DPRD.

Hal ini perlu dilakukan agar pelaksanaan konsesi memperoleh dukungan dari

masyarakat dan DPRD.

Subsidi hendaknya dilaksanakan secara terbuka dan adil. Subsidi terhadap suatu

proyek kerjasama pelayanan publik hendaknya ditetapkan dan diumumkan secara

terbuka terhadap peserta tender sehingga setiap penawar memiliki kesempatan

yang sama. Pemberian subsidi setelah pemenang tender ditentukan harus dihindari

114

karena dapat menjadi sarana kolusi antara oknum pemerintah daerah dengan

pemenang tender. Besarnya subsidi yang dapat diberikan oleh setiap daerah dapat

berbeda satu sama lain tergantung pada banyak faktor, diantaranya kemampuan

keuangan Pemerintah Daerah, kemampuan dan keinginan membayar dari

masyarakat serta permintaan terhadap pelayanan yang terkait. Sebagai contoh,

pelayanan air minum yang disatukan dengan pelayanan pengolahan air limbah

mungkin memerlukan subsidi yang lebih besar dibandingkan dengan pelayanan

air minum saja.

b) Jaminan Mengenai Kualitas Dan Kuantitas Air Baku

Perjanjian konsesi dibuat dengan harapan agar pihak swasta dapat memberikan

pelayanan yang lebih baik dari yang telah diberikan oleh PDAM, baik dari segi

kualitas maupun kuantitas. Hal ini berhubungan dengan tanggung jawab terhadap

konsumen dan kesetaraan akses pelayanan. Termasuk dalam perbaikan pelayanan

adalah dipenuhinya standar minimum kualitas dan kuantitas air minum yang

diproduksi oleh pihak swasta.

Namun pada kenyataannya pemenuhan kualitas dan kuantitas air yang diproduksi

oleh swasta akan sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas air baku. Oleh

sebab itu, persiapan dari pemerintah daerah berupa tindakan-tindakan sebagai

berikut:

Mengadakan perkiraan atau penilaian terhadap mutu dan kuantitas air

baku yang berada di wilayahnya.

Berdasarkan hasil perkiraan atau penilaian, pemerintah daerah

menetapkan kebijakan perencanaan dan strategi untuk

mempertahankan dan memelihara kualitas serta kuantitas air baku.

Pemerintah daerah melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan

olehnya, dan apabila perlu menyediakan unit pelaksana dan kebijakan

tersebut.

115

c) Kesetaraan Akses dan Standar Pelayanan Air Minum

Dengan partisipasi swasta dalam pelayanan air minum, peningkatan kualitas

pelayanan dan kesetaraan akses terhadap konsumen harus menjadi prioritas

utama. Untuk menjamin agar pelayanan kepada masyarakat memenuhi kualitas

yang diharapkan, maka dalam perjanjian konsesi perlu diatur hal-hal sebagai

berikut:

Standar kualitas minimum yang harus dipenuhi oleh mitra swasta dalam

mengoperasikan pelayanan air minum, yang dapat mencakup ketentuan

minimum standar bahan baku kimia, tekanan air, gangguan pelayanan,

penanganan keluhan pelanggan dan persentasi tingkat kehilangan air yang

diijinkan (Non Revenued Water atau NRW).

Mekanisme pengawasan terhadap pemenuhan standar kualitas minimum.

Agar memudahkan dalam pengawasan, standar kualitas sebaiknya dapat

diukur dan dilengkapi dengan manual yang diperlukan oleh unit

pelaksanaan dan kebijakan KPS untuk melaksanakan tugasnya

dikemudian hari.

Mekanisme penegakan hukum apabila tidak dipenuhinya standar kualitas

minimum. Dalam perjanjian dapat diatur mengenai sanksi yang dapat

diberikan apabila standar kualitas minimum yang ditetapkan tidak

dipenuhi

d) Tarif

Melalui proses tender yang adil dan terbuka, diharapkan pihak swasta yang

terpilih adalah yang pihak yang dapat memberikan tarif paling efisien, sehingga

menawarkan tarif terendah. Namun demikian, pada kenyataannya dapat

dipastikan tarif yang ditawarkan jauh melebihi tarif yang diberlakukan oleh

PDAM. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:

Tarif yang diberlakukan PDAM sering merupakan keputusan politik,

sehingga tidak menutupi biaya operasional.

116

Pada beberapa daerah PDAM masih disubsidi atau masih beroperasi

walaupun mengalami kerugian karena tidak terpenuhinya biaya

operasional oleh kurangnya tarif.

Karena dianggap sebagai pelayanan publik atau karena alasan lainnya,

sering PDAM tidak menetapkan prosentasi keuntungan dalam

penghitungan tarif.

Besarnya tarif dan mekanisme penyesuaian tarif sebaiknya diatur secara terperinci

dalam perjanjian konsesi, sehingga akan mengikat para pihak. Namun demikian

sebagian besar daerah mengharuskan kenaikan tarif ditetapkan oleh kepala

daerah, atas persetujuan dari DPRD. Hal tersebut telah membuat iklim investasi

menjadi kurang menarik bagi pihak swasta karena dikhawatirkan keputusan

DPRD akan dipengaruhi faktor politik dan non ekonomi lainnya. Tidak

terpenuhinya penyesuaian tarif sesuai perjanjian konsesi dapat menimbulkan

kerugian dipihak swasta. Dalam hal demikian, maka dukungan pemerintah

daerah/PDAM terhadap penyesuaian tarif sesuai perjanjian konsesi sangat

diperlukan. Umumnya dukungan yang diminta oleh penerima konsesi adalah

jaminan atau kerugian yang diderita oleh penerima konsesi apabila tarif tidak

boleh dinaikkan, sebagaimana diperjanjikan dalam kontrak. Pembayaran ganti

kerugian oleh pemerintah daerah/PDAM terhadap kerugian yang diderita oleh

pihak swasta yang diakibatkan oleh tidak naiknya tarif sebetulnya merupakan hal

yang dapat diterima, namun sebelumnya pemerintah daerah perlu

mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Ganti rugi yang merupakan kewajiban pemerintah daerah harus dapat

dikompensasikan dengan dipenuhinya standar kinerja minimum

sebagaimana ditetapkan dalam kontrak.

Kerugian bukan merupakan akibat dari tidak efisiennya pelayanan yang

dilakukan oleh swasta (contohnya melambungnya biaya operasional dan

pemeliharaan, kebocoran melebihi yang diperbolehkan).

117

e) Perangkat Hukum dan Unit Pelaksana Kebijakan KPS

Pendirian unit pelaksana dan perangkat hukum berupa Badan Pengatur kerap

didiskusikan di daerah yang berniat mengundang partisipasi swasta, oleh

karenanya timbul anggapan umum bahwa Badan Pengatur hanya diperlukan jika

suatu daerah akan mengundang partisipasi swasta. Pendapat tersebut diperkuat

dengan kenyataan bahwa hampir semua pihak swasta yang akan berpartisipasi di

daerah mensyaratkan adanya pendirian Badan Pengatur.

Anggapan tersebut di atas kurang tepat, karena partisipasi swasta hanya

merupakan salah satu tugas dari Badan Pengatur. Berdasarkan hasil kajian yang

dilakukan oleh Departemen Kimpraswil baru-baru ini, Badan Pengatur bukanlah

merupakan lembaga yang hanya semata-mata mengatur partisipasi swasta, akan

tetapi juga diperlukan untuk mengatur pelayanan air minum yang diberikan oleh

sektor publik, seperti dinas dan PDAM. Pengaturan bagi pelayanan air minum

mutlak diperlukan mengingat sifat pelayanan air minum yang bersifat monopoli

karena berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun secara

ekonomis, tidak dimungkinkan ada lebih dari satu pipa penyedia pelayanan dalam

suatu daerah yang sama. Dalam pasar yang bersifat monopoli, konsumen tidak

dapat memilih pelayanan yang terbaik dan harga yang paling kompetitif

sebagaimana layaknya mekanisme pasar biasa. Oleh karenanya, pengaturan

sangat diperlukan untuk melindungi kepentingan konsumen dan penyedia jasa

secara seimbang. Disamping itu, Badan Pengatur juga didirikan untuk melindungi

kepentingan penyedia jasa secara seimbang dengan kepentingan konsumen.

Kewenangan Badan Pengatur sebagaimana diusulkan akan mencakup berbagai

aspek diantaranya kualitas pelayanan, tarif, pengumpulan dan penyebaran

informasi serta partisipasi sektor swasta dalam pelayanan air minum.

5.5.3 Kelebihan dan Kekurangan MPS-KPS

Kelebihan dari MPS-KPS adalah bahwa kriteria dan elemen yang digunakan dalam MPS-

KPS dapat disesuaikan dengan kondisi yang umumnya ada di Indonesia. MPS-KPS dapat

mengikuti kebijakan dan peraturan kerjasama antara pihak swasta dan pemerintah yang

118

secara umum berlaku di Indonesia, khususnya untuk bidang pengelolaan air minum.

Selain itu, MPS-KPS akan selalu dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja serta

keadaan lingkungan dan sosial dimana PDAM tersebut berada. Sebagai contoh, misalnya

jika terdapat perubahan peraturan-peraturan yang berlaku serta kebutuhan untuk

memperbaiki kinerja PDAM, maka berdasarkan hasil penelitian, pendapat responden

menunjukkan fleksibilitas menyesuaikan dengan peraturan dan kebutuhan baru yang akan

diberlakukan, dan skema KPS yang ada akan berubah pula mengikuti perubahan tersebut.

Dengan adanya aspek-aspek ini, akan segera diketahui kekurangan dan kelebihan kinerja

PDAM, kesesuaian dengan peraturan-peraturan, serta keadaan lingkungan sosialnya,

sehingga hasil skema yang diperoleh akan sesuai dengan kondisi yang diinginkan pada

daerah yang ditinjau pada tiga wilayah dalam penelitian ini.

Kelebihan lain penerapan MPS-KPS adalah pada aspek-aspek yang digunakan sebagai

simpul-simpul jaringan. Berdasarkan aspek-aspek tersebut, maka dalam menjawab

kuisioner, responden akan menilai kinerja PDAM saat ini dan memberikan pendapat

mengenai hal-hal yang masih perlu ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan

pelanggan. Gambaran mengenai alternatif skema KPS yang paling sesuai dapat segera

dihasilkan setelah jawaban responden diolah melalui MPS-KPS tersebut.

Selain kedua kelebihan di atas, penggunaan MPS-KPS juga sangat mudah. MPS-KPS

dapat digunakan oleh pengguna atau responden yang tidak memiliki keahlian khusus di

bidang pemrograman komputer. Pengguna atau responden hanya perlu mengisi tabel

perbandingan berpasangan seperti halnya mengisi kuisioner. Berdasarkan hasil pengisian

kuisioner tersebut akan dapat disimpulkan skema KPS yang paling sesuai.

Meskipun begitu, pengembangan MPS-KPS masih memiliki beberapa kekurangan.

Kekurangan tersebut antara lain adalah kesulitan dan keterbatasan dalam pengembangan

MPS-KPS dalam hal pemilihan elemen dan kriteria yang benar-benar dapat mewakili

keadaan sebenarnya kondisi PDAM yang ingin menerapkannya. Kriteria-kriteria yang

terdapat dalam setiap aspek, diharapkan dapat mencakup semua hal yang perlu

diperhatikan dalam memilih suatu skema KPS yang sesuai. Namun kriteria-kriteria yang

119

dibuat juga diusahakan agar tidak terlalu banyak, sehingga memudahkan responden

dalam pengisian. Oleh sebab itu, kriteria-kriteria yang diambil adalah kondisi-kondisi

yang umum, sehingga terkadang kurang dapat mewakili keadaan wilayah yang ditinjau.

Selain itu, dengan berjalannya waktu ada kemungkinan terjadinya perubahan kondisi dan

aspek-aspek lain. Apabila ini terjadi, penerapan MPS-KPS memerlukan penyesuaian

kembali dalam pemilihan skema KPS menyesuaikan perubahan-perubahan baik kondisi,

regulasi, serta aspek-aspek lain tersebut. Penyesuaian perubahan aspek-aspek tersebut,

apabila ada, perlu dilakukan karena sangat berpengaruh terhadap hubungan aspek-aspek

yang terdapat didalam jaringan. Jika terjadi penambahan atau pengurangan hubungan

antar aspek maka kemungkinan terjadi perubahan hasil dalam pemilihan skema. Oleh

sebab itu apabila terjadi perubahan hubungan yang terdapat dalam jaringan, diperlukan

pertimbangan dan diskusi yang lebih mendalam untuk mengetahui hubungan antar aspek

oleh beberapa ahli KPS dan PDAM objek agar sasaran yang ingin dicapai dapat dipenuhi.

Kekurangan lainnya adalah MPS-KPS tidak dapat digunakan oleh sembarang pengguna

yang merangkap sebagai responden. Pengguna MPS-KPS sebaiknya adalah yang benar-

benar mengerti masalah skema KPS di PDAM, agar hasil yang diperoleh dapat

memenuhi sasaran yang diinginkan. Persyaratan pengetahuan pengguna seperti ini adalah

erat hubungannnya dengan interpretasi mereka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang tersedia dalam kuisioner. Tentu saja, dapat terjadi setiap responden memiliki

pandangan dan penilaian yang berbeda mengenai aspek pemilihan skema KPS, sehingga

keakuratan hasil penerapan MPS-KPS sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman

dan kemampuan responden mengenai pelaksanaan KPS dalam pengelolaan manajemen

PDAM. Agar hasil yang diperoleh tidak subjektif, dalam metode ANP dibolehkan

penggunaan rata-rata untuk mendapatkan satu hasil urutan prioritas. Pada penelitian

masing-masing responden diminta untuk mengisi kuisioner, kemudian dari semua

responden dalam satu kelompok dihitung rata-ratanya sehingga dapat diperoleh prioritas

tiap-tiap kelompok wilayah kajian.

120

Agar MPS-KPS menjadi lebih sempurna, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai aspek-aspek yang terkait dengan permasalahan dalam pemilihan skema KPS di

pengelolaan manajemen PDAM. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah jumlah

daerah kajian dan diskusi dengan para stakeholder, sehingga aspek-aspek yang terdapat

dalam MPS-KPSdapat dikembangkan menyesuaikan kondisi di setiap daerah kajian serta

akan semakin akurat. Dengan demikian MPS-KPS yang lebih sempurna tersebut akan

lebih fleksibel digunakan sebagai alat bantu untuk pemilihan skema KPS dalam investasi

dan pengelolaan sumberdaya air minum di Indonesia.