BAB V KUANTIFIKASI METILASI SITOSIN DNA GENOM PADA ... · abnormal yaitu metilasi sitosin pada...
Transcript of BAB V KUANTIFIKASI METILASI SITOSIN DNA GENOM PADA ... · abnormal yaitu metilasi sitosin pada...
96
BAB V
KUANTIFIKASI METILASI SITOSIN DNA GENOM PADA
JARINGAN DAUN, BUNGA, DAN BUAH KELAPA SAWIT ABNORMAL
ABSTRAK
Abnormalitas pada bunga kelapa sawit hasil kultur jaringan dibuktikan oleh beberapa peneliti berhubungan dengan hipometilasi, suatu fenomena epigenetik. Hipometilasi ini dideteksi pada jaringan kalus dan daun tanaman kelapa sawit sedangkan abnormalitas terjadi pada jaringan bunga. Metilasi sitosin berperan dalam meregulasi ekspresi gen spesifik jaringan. Penelitian bertujuan membuktikan status metilasi sitosin pada jaringan bunga, buah dan daun tanaman normal, menetapkan status metilasi pada tanaman abnormal dari ketiga jaringan, serta mempelajari kecenderungan metilasi DNA dengan tingkat abnormalitas buah. Bahan tanaman berasal dari klon MK 152 dengan tanaman berbuah normal, abnormal ringan (AbR) dan abnormal berat (AbB), serta abnormal sangat berat 1 (AbSB1) tidak berasal dari klon MK 152. Kuantifikasi DNA dengan teknik RP-HPLC (Reverse Phase High Performance Liquid Chromathography). Hasil penelitian pada tanaman normal menunjukkan status metilasi sitosin jaringan bunga lebih rendah dibandingkan jaringan daun dan buah (49.20 vs 53.90 vs 52.27%). Status metilasi sitosin tersebut berubah pada tanaman abnormal yaitu metilasi sitosin pada jaringan bunga cenderung sama dengan jaringan daun dan buah. Umumnya jaringan daun tanaman abnormal mengalami hipometilasi 1.31-4.7%, dan jaringan bunga mengalami hipermetilasi 0.69-2.66% dibandingkan dengan jaringan daun dan bunga tanaman normal. Namun tidak ada perubahan metilasi pada jaringan buah. Tingkat abnormalitas pada buah tidak berhubungan dengan bertambah atau berkurangnya metilasi sitosin. Perubahan status metilasi DNA genom pada jaringan daun dan bunga tidak berhubungan dengan abnormalitas bunga. Kata kunci : kelapa sawit, kultur jaringan, bunga abnormal, tingkat abnormalitas,
metilasi sitosin
PENDAHULUAN
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan merupakan alternatif
perbanyakan yang lebih menjanjikan karena diperoleh tanaman yang seragam,
membutuhkan waktu relatif singkat, bebas patogen dan kelebihan lainnya.
Perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan untuk tujuan perbanyakan
dimulai tahun 1970, diharapkan melalui teknologi ini dapat memenuhi permintaan
bibit. Menurut Lubis (1992) tanaman kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur
97
jaringan menghasilkan jumlah tandan buah lebih banyak, berat tandan lebih
tinggi dan memerlukan waktu relatif cepat. Namun keberhasilan perbanyakan
kelapa sawit melalui kultur jaringan ini tidak seperti yang diharapkan. Corley
et al. (1986) melaporkan proporsi kelapa sawit yang berasal dari embrio somatik
memperlihatkan fenotip varian somaklonal yang mempengaruhi struktur bunga
pada kedua seks, oleh Hartley (1977) disebut sebagai bunga mantel.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kejadian buah mantel pada
kelapa sawit tidak berhubungan dengan variasi pada jumlah DNA nukleus (Rival
et al. 1997), bukan karena pengaturan transposon tetapi berhubungan dengan
perubahan dalam pola metilasi dari komponen genomik (Kubis et al. 2003), tidak
ada perubahan dalam sekuens DNA pada jaringan abnormal yang dideteksi
dengan teknik RAPD (Rival et al. 1998). Hasil-hasil tersebut menguatkan
hipotesis adanya epigenetik penyebab variasi somaklonal pada kelapa sawit.
Perubahan epigenetik adalah perubahan pada metilasi DNA genom, suatu
fenomena yang berhubungan dengan variasi somaklonal (Kaeppler & Phillips
1993a), tidak melibatkan perubahan dalam sekuens DNA (Bellucci et al. 2002).
Perubahan status metilasi DNA merupakan suatu respon terhadap stimuli
lingkungan. Contoh perlakuan dingin pada kecambah jagung berakibat pada
demetilasi global dari DNA genom akar (Steward et al. 2002), tembakau yang
diserang patogen menginduksi demetilasi dari gen tertentu (Wada et al. 2004),
konsentrasi auksin (NAA) dan sitokinin dalam media kultur mempunyai
pengaruh dramatis terhadap timbulnya bunga mantel pada tanaman kelapa sawit
(Eeuwens et al. 2002), berhubungan dengan hipometilasi (Jaligot et al. 2000).
Hasil-hasil tersebut mengidikasikan bahwa tidak stabil status metilasi DNA pada
tanaman, yang secara rutin akan berubah pada keadaan tertentu seperti stress
lingkungan (Wada 2005). Perubahan metilasi sitosin pada sekuens CG maupun
CNG pada tanaman kemungkinan berhubungan dengan perubahan transkripsi gen
yang berperan terhadap perubahan morfologi. Kemungkinan keadaan cekaman
selama kultur jaringan dengan konsentrasi auksin yang tinggi diduga
mempengaruhi kestabilan status metilasi sitosin di dalam genom kelapa sawit.
Perubahan metilasi sitosin berdampak terhadap tidak terekspresi gen-gen tertentu
karena hipermetilasi, atau terskpresinya gen-gen yang tidak diinginkan pada
98
jaringan tertentu karena hipometilasi. Hipometilasi dan hipermetilasi juga
mempengaruhi kestabilan genom melalui perubahan struktur kromatin. Beberapa
peneliti mendapatkan bahwa bunga mantel pada kelapa sawit berhubungan dengan
hipometilasi (Jaligot et al. 2000 ; Mathes et al. 2001; Kubis et al. 2003), peneliti
yang lain mengatakan karena hipermetilasi (Shah & Ahmed-Parveez 1995).
Pada tanaman tingkat tinggi, metilasi DNA umumnya pada sekuens
dinukleotida CG maupun trinukleotida CNG (Gruenbaum et al. 1981), berada
sepanjang kromosom (Kass et al. 1997). Metilasi DNA dapat mengontrol aktivitas
gen dalam jangkauan kecil dengan mempengaruhi promotor dan enhancer, atau
jangkauan luas melalui mekanisme global dengan mempengaruhi beberapa gen
dalam seluruh kromosom atau genom (Antequera & Bird 1988). Finnegan et al.
(2001) melaporkan bahwa demetilasi genom (penghilangan kelompok metil DNA
genom) secara luas berhubungan dengan proses regulasi perkembangan yang
ditempatkan pada jaringan spesifik. Perbedaan nyata tingkat metilasi sitosin
diperlihatkan antara tipe jaringan yang berbeda pada tanaman tomat
(Messeguer et al. 1991), padi (Xiong et al. 1999) dan mawar (Xu et al. 2004).
Menurut Boyes dan Bird (1991) dan Renckens et al. (1992) metilasi dan
demetilasi sitosin pada daerah promotor merupakan mekanisme penting
mengregulasi ekspresi gen pada sel dan jaringan spesifik. Umumnya penelitian-
penelitian tentang metilasi sitosin pada tanaman kelapa sawit berbuah mantel
menggunakan DNA yang berasal dari jaringan kalus (Jaligot et al. 2000 ; Jaligot
et al. 2002 ; Kubis et al. 2003) dan jaringan daun tanaman dewasa (Jaligot et al.
2000 ; Matthes et al. 2001; Jaligot et al. 2002 ; Jaligot et al. 2004).
Jaringan-jaringan tanaman yang digunakan dalam penelitian-penelitian
tersebut tidak berhubungan dengan perubahan morfologi atau jaringan abnormal
dari tanaman kelapa sawit. Abnormalitas pada tanaman kelapa sawit terjadi pada
organ bunga. Namun seberapa berat keabnormalan pada bunga dan bagaimana
status metilasi pada jaringan tersebut menjadi hal yang penting untuk diteliti.
Dengan demikian penelitian diarahkan untuk mengetahui status metilasi pada
jaringan bunga maupun buah yang berhubungan dengan abnormalitas sebagai
suatu fenomena epigenetik.
99
Menurut Bellucci et al. (2002) metode untuk mengetahui persentase
nukleotida yang termetilasi pada sekuens DNA adalah HPLC. Jaligot et al.
(2000) dan Kubis et al. (2003) menggunakan teknik ini membuktikan bahwa
metilasi global pada tanaman abnormal lebih rendah dari tanaman normalnya.
Shah dan Ahmed-Parveez (1995) menggunakan teknik High Pressure Liquid
Chromatography mendapatkan bahwa tingkat 5-metilsitosin lebih tinggi pada
klon tanaman yang abnormal dibandingkan dengan tanaman normal. Perbedaan
hasil ini menjadi menarik untuk diteliti pada tanaman kelapa sawit dalam
penelitian ini.
Penelitian bertujuan (1) menetapkan status metilasi DNA pada jaringan
daun, bunga dan buah, (2) menganalisis status metilasi pada ketiga jaringan dari
tanaman berbunga abnormal, serta hubungannya dengan tingkat abnormalitas
pada buah. Diharapkan hasil penelitian ini memberikan informasi tentang status
metilasi DNA pada jaringan tanaman abnormal dan pengaruhnya pada tingkat
abnormalitas.
BAHAN DAN METODE
Bahan Tanaman
Penelitian dilaksanakan di SEAMEO BIOTROP Bogor, Tajur dan di
Laboratorium Analisis Balai Besar Pasca Panen-Cimanggu Bogor dari bulan
Maret 2005 sampai Juni 2007. Bahan tanaman kelapa sawit merupakan koleksi
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berumur 11 tahun di
Ciampea-Bogor. Dari tujuh klon tanaman koleksi (Klon MK152, MK 176, MK
203, MK163, MK104, MK 212 dan Klon 209) hanya satu klon yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu klon MK 152 karena mempunyai beberapa tanaman
dengan tipe buah berbeda yaitu tanaman berbuah normal (Nml), abnormal berat
(AbB) dan abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Satu tanaman pinggiran dari klon
MK 152 berbuah abnormal sangat berat 1 (AbSB1) digunakan karena mempunyai
tipe abnormal yang spesifik, tidak ditemukan pada tujuh klon koleksi. Bahan
tanaman yang digunakan adalah bunga, buah dan daun. Bunga diambil dari tandan
buah yang masih terbungkus dalam dua lapis seludang (fase 2 penelitian
100
sebelumnya). Buah muda dengan ciri pangkal buah ke arah bagian tengah
berwarna putih kehijauan sedangkan bagian ujung berwarna ungu gelap.
Sedangkan daun diambil dari ubud yang masih muda, berwarna putih dengan
tulang daun lunak.
Metode Penelitian
Persiapan Bahan Tanaman
Bahan tanaman diambil dari lapangan meliputi bunga dan buah yang masih
tersusun pada spikelet sedangkan daun dalam bentuk ubud, kemudian bahan-
bahan tersebut dibungkus dengan koran diberi label dan dimasukan dalam plastik
secara terpisah. Bahan tanaman langsung dibawa ke laboratorium dan dimasukan
ke dalam lemari pendingin. Besok harinya persiapan bunga, buah dan daun untuk
kemudian digunakan sebagai bahan untuk isolasi DNA. Bunga dilepaskan dari
sipkelet dan daun pelindung terluar kemudian dimasukan ke dalam tabung volume
30 ml yang berisi bufer ekstrasi DNA dengan 1% merkaptoetanol dan disimpan di
suhu 4oC. Buah dilepaskan dari daun pelindung terluar, daun pelindung dan
perhiasan bunga, kemudian buah dibersihkan dengan tissue. Buah muda tersebut
dipotong tipis-tipis dari bagian mesokarp yang berwarna putih kehijauan tanpa
bagian tengah buah atau embrio, kemudian dimasukan ke dalam bufer ekstrasi
DNA seperti halnya sampel bunga. Sedangkan daun dibersihkan dengan tissue
dan digunting memanjang 3 cm dengan diameter 0.5 cm tanpa tulang daun
kemudian dimasukan juga dalam bufer. Semua tabung yang berisi sampel diberi
label sesuai bahan tanaman dan tingkat abnormal. Bahan tanaman disimpan
dalam bufer ekstrasi DNA supaya awet dan siap digunakan.
Isolasi DNA
Khusus untuk bunga dan buah, sebelum digerus disayat tipis memanjang
sesuai bentuk bunga atau buah untuk memudahkan penggerusan. Isolasi DNA
berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle 1990) yang dimodifikasi. Sampel
bunga atau buah atau daun ditimbang 0.4 g kemudian dimasukan dalam lumpung
porselin dengan menambahkan nitrogen cair secukupnya sampai sampel
terendam. Pengerusan dilakukan beberapa detik setelah pemberiaan nitrogen cair.
101
Sebelum penambahan kedua kali nitrogen cair diberikan dahulu PVP (Polyvinyl-
Pyrrolidone, SIGMA) sebanyak 20 mg. Selama penggerusan sampel tidak boleh
kena udara tanpa ada nitrogen cair karena dapat menyebabkan pencokelatan yang
akan merusak DNA. Penggerusan dilakukan sampai sampel menjadi tepung
berwarna putih dan segera dimasukan ke dalam Eppendorf volume 2 ml yang
berisi 1 ml bufer ekstrasi (20 mM EDTA pH 8.0, 100mM HCl pH 8.0, 1.26 %
NaCl dan 2% CTAB) dengan 1 % merkaptoetanol. Kemudian divorteks sampai
terbentuk suspensi dan dipanaskan di dalam pengangas air (waterbath) suhu 65oC
selama 30 menit dengan catatan setiap 10 menit sampel dikeluarkan dan dikocok
manual. Setelah proses ekstrasi, sampel dibiarkan dingin pada suhu ruang dan
dilanjutkan dengan proses pemurniaan dengan kloroform : isoamilalkohol yang
dilakukan sebanyak dua kali. Satu kali volume kloroform : isoamil alkohol (24:1)
ditambahkan ke sampel dan divorteks sampai terbentuk suspensi, kemudian
disentrifus pada mikrosentrifus dengan kecepatan 11.000 rpm selama 10 menit,
supernatan (fase bagian atas) di ambil dengan pipet dan dipindahkan ke Eppendorf
baru yang steril. Supernatan dimurnikan lagi dengan kloroform : isoamil alkohol
dengan cara yang sama. Supernatan dari hasil pemurniaan kedua ini dipresipitasi
dengan menambahkan 1 x volume iospropanol dingin dan dikocok dengan hati-
hati sampai terbentuk benang-benang DNA, kemudian disimpan pada suhu -20oC
satu jam. DNA yang diperoleh dari hasil pemurniaan masih terbungkus dengan
lendir atau kontaminan sehingga dilanjutkan dengan pemurniaan tahap kedua
menggunakan fenol.
Sampel DNA disentrifus pada mikrosentrifus dengan kecepatan 11.000 rpm
selama 10 menit kemudian supernatan dibuang sedangkan pelet dilarutkan dengan
bufer TE (Tris-EDTA). Larutan DNA dimurnikan lagi dengan 1 x volume fenol
: kloroform : isoamil alkohol (25:24:1) divorteks sampai terbentuk suspensi dan
disentrifus11.000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dengan pipet dan
dipindahkan ke Eppendorf baru volume 2 ml, selanjutnya dimurnikan lagi dengan
kloroform : isoamil alkohol (24 :1) dengan cara divorteks kemudian disentrifus
11.000 rpm selama 30 menit. Supernatan dipanen dengan memindahkannya ke
Eppendorf baru volume 2 ml dan ditambahkan 1/10 5 M Natrium asetat dan 2.5
volume alkohol absolut (etanol) digoyang dengan hati-hati sampai terbentuk
102
gumpalan transparan putih (DNA), kemudian disimpan pada suhu -20oC selama 1
jam. Sampel DNA tersebut disentrifus 11.000 rpm selama 10 menit, kemudian
supernatan dibuang sedangkan pelet (DNA) dibilas dengan 500 µl 70% alkohol.
Tahap selanjutnya DNA dikering-anginkan atau divakum selama ±1 jam. DNA
yang telah kering dilarutkan dengan 100 µl bufer TE (Tris-EDTA) dan disimpan
pada -20oC (Lampiran 6).
Tahap pemurniaan ketiga yaitu menghilangkan kontaminan RNA dari
DNA. Enzim Ribonuklease A (AppliChem) dipersiapkan dengan konsentrasi 10
mg/ml dan untuk menghilangkan RNA ditambahkan 1µg/µl ke sampel DNA (atau
100 ul DNA dengan 10 ul RNase A) dibiarkan pada suhu 37oC selama 2 jam.
DNA yang telah murni disimpan pada suhu -20oC untuk digunakan selanjutnya.
Pengujian Kuantitas dan Kualitas DNA
DNA hasil purifikasi RNAse A diuji kualitas dan kuantitasnya dengan dua
cara yaitu melalui elektroforesis dan pencacahan dengan enzim EcoRI. Pada
teknik elektroforesis, 1µl DNA ditambah 4 µl ddH20 dan 1 µl loading dye
kemudian dirunning pada 1% gel agarose (AppliChem) pada tegangan 65 volt,
arus 100 ampere selama 50 menit, dan sebagai marker digunakan 100 ng/ µl DNA
unmethylated lambda (PROMEGA). Selanjutnya gel direndam dalam 1%
etiumbromida ± 1 jam dan divisualkan pada Gel logic 2000 Imaging System UV
dengan software kodak ID 2.6.
Kualitas sampel DNA dapat diketahui dengan mencacahnya
menggunakan ensim EcoRI. Sampel DNA 500 ng (100 ng/ul) ditambahkan
dengan 1 U EcoRI (FERMENTAS) dalam satu kali kuat bufer restriksi (Tabel 5).
Tabel 5. Bahan-bahan untuk satu kali reaksi restriksi ensim EcoRI
103
Umumnya untuk mempermudah pekerjaan dengan jumlah sampel DNA yang
banyak maka dibuat master miks sesuai dengan jumlah sampel. Contoh jika 10
sampel maka dibuat master miks untuk 11 reaksi (master miks sebelum
ditambahkan ke sampel DNA dispin lebih dahulu), kemudian diambil 20 µl dari
master miks dimasukan ke tabung volume 500 µl yang telah berisi 5 ul DNA,
kemudian diinkubasi 37oC selama 2 jam. Sepuluh mikroliter sampel DNA yang
telah dicacah dengan ensim EcoRI ditambahkan dengan 2 µl loading dye dan
dirunning pada 1.4% gel agarosa (AppliChem) pada tegangan listrik 70 volt, arus
100 ampere selama 1 jam 30 menit, kemudian gel agarosa direndam dalam 1%
etiumbromida selama 1 jam dan divisualisasi pada gel logic 2000 imaging system
UV dengan software kodak ID 2.6.
Kuantifikasi Metil-Sitosin DNA Genom dengan Teknik RP-HPLC
DNA yang telah murni dipreparasi untuk mendapatkan nukleosida
menggunakan metode Kubis et al. (2003). Sampel DNA dilarutkan dengan
ddH2O steril (50 ng/µl) volume 100 µl dipanaskan dalam air mendidih selama 2
menit kemudian didinginkan segera pada es. Sampel DNA yang telah didenaturasi
ditambahkan dengan 5 µl 10 mM ZnSO4 dan 2 µl Nuklease S1 (1U/ul) (SIGMA),
dicampur secara manual dan dispin 30 detik kecepatan 5000 rpm, selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC dalam pengangas air selama 16 jam. Sampel
nukloetida ditambahkan dengan 10 µl 0.5M Tris-HCl pH 8.3 dan 1.5 µl ensim
alkaline fosfatase (1U/ µl ), dicampur secara manual kemudian diinkubasi 37oC
dalam pengangas air selama 2 jam (Lampiran 7). Sampel nukleosida disentrifus
11.000 rpm pada suhu ruang selama 10 menit kemudian supernatan diambil
dengan hati-hati untuk menghindari terikutnya kontaminan yang mengendap.
Tahap selanjutnya sampel nukleosida diukur dengan teknik RP-HPLC.
Dua puluh mikroliter sampel nukleosida disuntik ke kolum superkosil C-18
pada Waters automatic HPLC yang dilengkapi dengan detektor UV panjang
gelombang 254 nm. Elusi dilakukan dalam fase gerak 0.05 M NH4H2PO4, 8%
metanol pH 4.2 dengan kecepatan aliran 1 ml/ menit pada suhu ruang. Nukleosida
tunggal standar yang digunakan adalah 5’metil-sitidin (SIGMA) dan sitidin
(SIGMA) dengan konsentrasi masing-masing 100 ppm. Puncak nukleosida
104
tunggal standar dipakai selanjutnya untuk kuantifikasi kandungan sitidin dan
metilsitidin dengan rumus :
Luas Area Sampel X Konsentrasi Standar Luas Area Standar
Persentase kandungan 5’metil-sitidin dari DNA genom kelapa sawit (5mC)
dihitung dengan rumus : ( 5’mC/ [5’mC + 5’C] ) x 100 % ( Bochardt et al. 1992 ;
Kubis et al. (2003).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kuantitas dan Kualitas DNA
Kualitas dan kuantitas DNA sangat penting dalam melakukan suatu
penelitian molekuler sehingga diperlukan metode isolasi dan pemurniaan DNA
yang tepat. DNA yang murni menunjukkan bahwa semua kontaminan dari sel
telah bersih melalui serangkaian perlakuan dengan metode CTAB. Bahan-bahan
yang digunakan dalam metode tersebut meliputi CTAB, NaCl, EDTA dan Tris-
HCl, kemudian pemurniaan dengan kloroform-isoamilalkohol dan fenol-
kloroform-isoamilalkohol serta melalui tahap perlakuan fisik diharapkan
diperoleh asam nukleat yang murni karena telah bersih dari debris sel dan
kontaminan sel yang lain. Selain itu, digunakan PVP dan merkaptoetanol sebagai
antioksidan supaya asam nukleat tidak teroksidasi selama proses ekstrasi.
Gambar 25. Penampilan DNA hasil elektroforesis dari jaringan
daun, bunga dan buah. M (marker DNA), N (normal), AB (abnormal berat), SB1 (abnormal sangat berat 1), SB2 (abnormal sangat berat 2)
105
Gambar 26. Penampilan sampel DNA yang tidak dicacah dan dicacah
dengan ensim EcoRI dari jaringan daun, bunga dan buah. Kolom pertama menunjukkan DNA yang belum dicacah sedangkan kolom kedua menunjuk DNA telah dicacah pada tiap tingkat abnormalitas berbeda. N (normal), AB (abnormal berat), SB1 (abnormal sangat berat 1), SB2 (abnormal sangat berat 2)
Penelitian untuk mengkuantifikasi nukleosida memerlukan DNA yang
murni sehingga dapat dicacah oleh ensim eksonuklease (Nuklease S1) menjadi
nukleotida tunggal. Pemurniaan dengan RNAse untuk mendegradasi RNA supaya
diperoleh molekul DNA yang tidak terkontaminasi oleh RNA. Pendeteksian
kuantitas dan kemurniaan DNA yang telah diisolasi dilakukan melalui
elektroforesis yang divisualisasi dengan sinar UV. Sedangkan Kuantitas DNA
diperkirakan berdasarkan konsentrasi marker DNA. Nampak konsentrasi DNA
sampel daun, bunga dan buah berada pada konsentrasi 100 ng/ul seperti halnya
marker DNA (Gambar 25). Ciri DNA yang murni atau tidak terdapat kontaminan
adalah DNA dapat bermigrasi melalui pori-pori agarosa dalam bufer dengan arus
listrik tertentu, tidak tertinggal pada sumur dan berada pada posisi sama dengan
marker DNA (M), serta dapat dicacah oleh ensim nuklease. Pengujian kemurniaan
(kualitas) DNA juga dapat dideteksi dengan mencacah DNA dengan ensim
restriksi EcoRI. Nampak bahwa sampel DNA dari jaringan daun, bunga dan buah
dapat dicacah oleh ensim EcoRI (Gambar 26) melalui penampilan smer DNA atau
fragmen DNA menyebar kontinyu dari ukuran besar sampai kecil,
mengindikasikan bahwa tidak ada kontaminan yang menghalangi aktivitas ensim
EcoRI.
106
Status Metilasi Sitosin Pada Beberapa Jaringan Tanaman Berbunga Normal
Kelapa sawit hasil perbanyakan kultur jaringan pada tingkat plantlet sampai
umur reproduktif tidak memperlihatkan abnormalitas pada semua jaringan
tanaman. Abnormalitas dapat diamati pada fase reproduktif yaitu saat tanaman
menghasilkan bunga. Hasil penelitian sebelumnya didapatkan bahwa terdapat lima
karakteristik buah dari tanaman hasil kultur jaringan yaitu normal, abnormal
ringan (AbR), abnormal berat (AbB), abnormal sangat berat 1 (AbSB1) dan
abnormal sangat berat 2 (AbSB2). Selain itu diperoleh bahwa abnormalitas
pada tingkat buah adalah perkembangan lanjut dari abnormal pada tingkat bunga.
Bunga mantel merupakan istilah untuk bunga yang mengalami penambahan
karpel tambahan. Dalam penelitian ini bunga mantel disebut sebagai bunga
abnormal. Banyak penelitian membuktikan bahwa bunga abnormal tersebut
sebagai akibat penurunan metilasi DNA genom pada basa sitosin (C). Hasil
penelitian dengan teknik HPLC memperlihatkan pola kurva yang tidak signifikan
antara kandungan 5-metilsitidin (5-mC) dengan sitidin (C) pada DNA genom tiap
tanaman (Lampiran 8), demikian juga antara jaringan daun, bunga dan buah.
Berbagai penelitian mengungkapkan ekspresi gen pada jaringan spesifik
diregulasi oleh kejadian metilasi DNA. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada
perbedaan pola metilasi antara jaringan daun, bunga dan buah pada tanaman
berbuah normal. DNA dari jaringan daun mempunyai tingkat metilasi sitosin
(53.90 %) lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan bunga dan buah (Gambar
Gambar 27. Pola kandungan metil sitosin (5-mC) pada tanaman berbunga
normal pada jaringan daun, bunga dan buah
53.9049.20 52.27
0
10
20
30
40
50
60
5-m
C (%
)
Daun Bunga BuahTipe Jaringan Tanaman Normal
107
27 & Lampiran 9). Hasil penelitian Jaligot et al. (2000) memperlihatkan tingkat
metilasi pada daun tanaman normal kelapa sawit 22%. Tingkat metilasi sitosin
yang tinggi dalam penelitian ini kemungkinan karena perbedaan ensim
eksonuklease dan kolum HPLC yang digunakan. Kemungkinan lain adalah
penggunaan zat pengatur tumbuh pada saat kultur jaringan. Hasil penelitian Lo
Shiavo et al. (1989) pada wortel menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara
auksin yang ditambahkan dengan meningkatnya metilasi sitosin lebih dari 70%.
Pada tanaman normal, status metilasi sitosin jaringan bunga (49.20%) lebih
rendah dibandingkan jaringan daun (53.90%) yaitu terjadi penurunan persentase
metilasi sekitar 4.7% (Gambar 27) atau adanya hipometilasi pada jaringan
bunga betina. Hal ini mengindikasikan pelepasan kelompok metil dari sitosin
berhubungan dengan ekpresi gen-gen yang meregulasi perkembangan bunga
tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Finnegan et al. (2001) bahwa demetilasi
genom secara luas mempunyai efek pleiotropik terhadap regulasi proses
perkembangan yang ditempatkan pada jaringan spesifik atau tahap perkembangan
pada tanaman. Sebagian besar hipotesis mengatakan bahwa pola metilasi yang
terbentuk selama perkembangan akan mengalami demetilasi pada jaringan
spesifik dimana kelompok metil dilepaskan dari tempat kritis dari suatu gen yang
telah dijadwalkan terekspresi pada tipe sel tersebut. Seperti yang dikemukakan
oleh Gardner et al. (1991) bahwa pada perkembangan awal sel embrio, sebagian
besar gen termetilasi kemudian diferensiasi sel membentuk jaringan spesifik
terjadi penghilangan kelompok metil pada basa sitosin (demetilasi) menyebabkan
gen-gen terkespresi pada jaringan tersebut. Metilasi sitosin pada nukleotida CG
dan CNG ditemukan dalam frekuensi sepanjang kromosom dan bertindak untuk
meregulasi ekspresi gen yang terjadi pada level gen atau secara regional yang
mempengaruhi daerah kromosom (Bird 1986).
Tingkat metilasi pada jaringan buah (52.27%) signifikan meningkat 3.07%
dibandingkan dengan jaringan bunga atau terjadi penurunan 1.63 % dibandingkan
dengan jaringan daun (Gambar 27 & Lampiran 9). Kemungkinan yang terjadi
adalah ekspresi gen yang berhubungan dengan perkembangan bunga telah
mengalami switch off sedangkan regulasi perkembangan ovari tidak melibatkan
banyak gen. Hal ini karena DNA diambil dari mesokarp buah fase muda yang
108
merupakan ovari tanpa terikut embrio atau sitoplasma. Jaringan mesokarp buah
adalah perkembangan lanjut dari karpel bunga sebagai akibat penyerbukan dan
pembuahan seksual. Seperti yang dikemukakan oleh Bouman (1984) bahwa pada
sebagian besar bunga, ovari matang selama perkembangan bunga dan ovul
terbentuk sempurna terutama dengan penyerbukan dan siap untuk difertilisasi.
Sebaliknya kematangan ovari pada beberapa bunga dan diferensiasi ovul distimuli
oleh penyerbukan.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perubahan metilasi berhubungan
dengan tipe jaringan tertentu. Xiong et al. (1999) pada tanaman padi hibrida
dengan teknik MSAP (Methylation Sensitive Amplified Polymorphic)
memperlihatkan sitosin termetilasi lebih tinggi pada DNA jaringan kecambah
dibandingkan dengan daun. Dibuktikan oleh Xu et al. (2004) pada tanaman
mawar hibrida bahwa sitosin dari DNA jaringan pucuk (shoot) lebih banyak
termetilasi melalui sedikitnya pita MSAP yang dihasilkan dibandingkan dengan
jaringan daun. Hasil dalam penelitian ini membuktikan juga bahwa status metilasi
pada jaringan daun berbeda dengan jaringan bunga. Hasil-hasil ini
mengindikasikan bahwa perkembangan atau pembentukan jaringan tertentu
diregulasi oleh metilasi DNA. Seperti yang dikemukakan oleh Finnegan et al.
(1998) bahwa terjadi perubahan pola metilasi terutama selama differensiasi organ
dan sepanjang proses penuaan suatu jaringan.
Pola Metilasi Sitosin pada Beberapa Jaringan Tanaman Abnormal
dengan Beberapa Tingkat Abnormalitas Buah
Status Metilasi Pada Jaringan Daun
Kelapa sawit hasil perbanyakan dari kultur jaringan memperlihatkan
keragaman dalam tingkat keabnormalan buah. Banyak penelitian mengungkapkan
bahwa buah abnormal pada kelapa sawit merupakan akibat proses kultur jaringan
(Corley 1986; Fatmawati et al. 1997; Tregear et al. 2002). Kaeppler dan Phillips
(1993b) mengatakan bahwa perubahan metilasi terjadi dalam frekuensi yang
cukup tinggi merupakan sumber penting variasi yang diinduksi kultur jaringan.
Dikatakan juga bahwa variasi metilasi muncul lebih sering dibandingkan dengan
variasi pada sekuens DNA.
109
Gambar 28.Pola kandungan metil sitosin (5-mC) beberapa tingkat abnormalitas pada beberapa tipe jaringan tanaman. (a) jaringan daun, (b) jaringan bunga, (c) jaringan buah.. AbB (Abnormal berat), AbSB2 (Abnormal sangat berat 2) dan AbSB1 (Abnormal sangat berat 1)
53.949.89 51.34 52.59
010203040506070
5-m
C (%
)
Normal AbB AbSB2 AbSB1Tingkat Abnormalitas
52.27 51.78 52.86 52.70
010
20304050
6070
5-m
C (%
)
Normal AbB AbSB2 AbSB1Tingkat Abnormalitas
49.2051.86 51.41 49.89
0
10
20
30
40
50
60
70
5-m
C (%
)
Normal AbB AbSB2 AbSB1Tingkat Abnormalitas
b
c
a
110
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat sedikit keragaman tingkat
metilasi sitosin DNA genom dengan tingkat abnormalitas dan tipe jaringan
tanaman. Metilasi sitosin pada jaringan daun dari semua tanaman abnormal lebih
rendah 1.31-4.01% dibandingkan dengan tanaman normal (Gambar 28a &
Lampiran 9). Ini menunjukkan bahwa terjadi hipometilasi ( penurunan metilasi
sitosin) pada tanaman abnormal meskipun dengan persentase yang relatif kecil.
Jaligot et al. (2000) juga mendapatkan bahwa metilasi sitosin menurun
4.5 % pada kalus pertumbuhan cepat (FGC) yang menghasilkan 100% tanaman
berbunga mantel dibandingkan dengan kalus nodular kompak (NCC) yang
menghasilkan 5% mantel, sedangkan metilasi sitosin dari jaringan daun tanaman
dewasa yang abnormal mengalami penurunan 0.5-2.5% dibandingkan dengan
tanaman normalnya. Didapatkan adanya hipometilasi 1.6% (20.6% vs 22.2%)
pada DNA daun dari tanaman berbunga mantel berat
(http://www.actahort.org/books/530l/530_52.html), demikian juga jaringan kalus
memperlihatkan hipometilasi 4.6% pada kalus FGC dibandingkan dengan NCC.
Kubis et al. (2003) dengan menggunakan DNA dari jaringan daun mendapatkan
bahwa kandungan metilasi sitosin pada tanaman abnormal sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan tetua. Matthes et al. (2001) menggunakan DNA dari
jaringan daun dengan teknik methylation-sensitive AFLP membuktikan bahwa
sedikit penurunan kejadian metilasi pada situs CCGG yang terjadi selama kultur
jaringan kelapa sawit. Hasil-hasil penelitian yang diuraikan tersebut membuktikan
bahwa adanya hipometilasi pada tanaman abnormal yang diidentifikasi pada
jaringan kalus dan daun. Namun Shah dan Ahmed-Parveez (1995) mendapatkan
hasil yang berbeda yaitu adanya fenomena hipermetilasi pada tanaman kelapa
sawit berbunga mantel dibandingkan dengan tanaman berbunga normal.
Penelitian-penelitian untuk mengungkapkan adanya perubahan status
metilasi DNA pada tanaman berbunga mantel memberikan hasil yang berbeda,
dengan pembuktiaan adanya fenomena hipermetilasi dan hipometilasi meskipun
menggunakan DNA dari jaringan kalus dan daun dari tanaman berbunga mantel
(abnormal). Hasil-hasil ini mengindikasikan bahwa fenomena metilasi sebagai
penyebab tanaman mantel tidak stabil, diduga bergantung pada zat pengatur
tumbuh yang digunakan khususnya konsentrasi auksin dan sitokinin (Eeuwens et
111
al. 2002), lamanya waktu kultur (Corley et al. 1986; Paranjothy et al. 1993), serta
tahap spesifik dari perkembangan awal plantlet (Zluvova et al. 2001). Kinetin
telah menunjukkan penyebab ekstensif hipometilasi DNA pada proliferasi kultur
eksplan akar wortel (Arnholdt-Schmitt et al. 1991), dan auksin (NAA)
mempunyai pengaruh berlawanan yaitu sebagai penyebab hipermetilasi
(LoSchiavo et al. 1989). Seperti yang dikemukakan oleh Phillips et al. (1994)
bahwa pada kultur jaringan tanaman dapat terjadi hipermetilasi atau hipometilasi
bergantung pada lingkungan tumbuhnya.
Status Metilasi Pada Jaringan Bunga
Status metilasi sitosin jaringan bunga mengalami perubahan pada tanaman
yang abnormal dibandingkan dengan normalnya, terutama pada AbB dan AbSB2
meskipun ketiga tanaman ini berasal dari klon yang sama. Terjadi peningkatan
metilasi sitosin 0.69-2.66% atau adanya fenomena hipermetilasi pada jaringan
tanaman berbunga abnormal (Gambar 28b & Lampiran 9) dibandingkan dengan
normal. Sitosin termetilasi berhubungan dengan penekanan ekspresi gen pada
jaringan spesifik. Metilasi (hipermetilasi) dan demetilasi (hipometilasi) sitosin
pada daerah promotor merupakan mekanisme penting meregulasi ekspresi gen
pada sel dan jaringan spesifik (Boyes & Bird 1991 ; Renckens et al. 1992).
Perubahan metilasi di dalam DNA genom secara tidak alami menyebabkan
ketidakstabilan genom. Hipometilasi memberi pengertiaan terlepasnya metil dari
basa sitosin dan apabila terjadi pada daerah promotor maka gen-gen akan
terekspresi, yang secara alami tidak seharusnya terekspresi. Hipermetilasi
memberi pengertian terikatnya metil pada basa sitosin dan apabila terjadi pada
daerah promotor maka gen tersebut tidak terekspresi. Perubahan metilasi pada
DNA genom juga berdampak global pada perubahan struktur kromosom yang
melibatkan banyak gen.
Penelitian ini mendapat suatu fenomena yang menarik bahwa hipometilasi
pada jaringan daun tidak menunjukkan keabnormalan pada jaringan tersebut.
Demikian juga hipermetilasi pada jaringan bunga tidak berdampak pada
perubahan organ lain dari bunga atau perubahan morfologi tanaman lainnya.
Kenyataan hanya staminodes/stamen pada bunga betina dan bunga jantan dari
tanaman yang sama terinduksi menjadi karpel. Bahkan hipermetilasi yang hanya
112
0.69% pada AbSB2 menunjuk pada morfologi bunga abnormal yang sama dengan
hipermetilasi 2.66% pada AbB. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan status
metilasi sitosin tidak berhubungan dengan abnormalitas pada bunga atau pada
gen-gen yang meregulasi pembentukan organ bunga.
Razin dan Cedar (1994) mengatakan bahwa metilasi sitosin berperan
krusial dalam mengontrol perkembangan pada tanaman, dan kekacuan pola
metilasi sering berperan terhadap perkembangan abnormal. Ditemukan kelapa
sawit berbunga abnormal mempunyai penampilan batang lebih besar, tanaman
lebih tinggi, pelepah daun lebih lebar serta lambat berbunga dibandingkan dengan
tanaman normal. Diduga perubahan metilasi pada tanaman kelapa sawit berbuah
mantel mempengaruhi proses fisiologi tanaman tersebut. Kakutani et al. (1995)
mendapatkan reduksi metilasi sitosin 30 % pada mutan ddm1 Arabidopsis
thaliana memperlihatkan perubahan pada bentuk daun, meningkatnya jumlah
daun dan terlambatnya waktu pembungaan. Tanaman Arabidopsis yang
ditransformasi dengan antisense cDNA metiltransferase mengalami reduksi
metilasi sitosin diatas 90% memperlihatkan sejumlah fenotip dan perkembangan
abnormal meliputi menurunnya dominansi apikal, ukuran tanaman lebih kecil,
ukuran dan bentuk daun berubah, fertilitas menurun dan berubah waktu
pembungaan (Finnegan et al. 1996).
Perubahan metilasi sitosin pada tanaman kelapa sawit sangat rendah
dibandingkan dengan kedua kasus Arabidopsis di atas namun perkembangan
abnormal yang sama antara kedua tanaman ini adalah lambat berbunga. Nampak
bahwa kelapa sawit yang mengalami hipometilasi pada daun (1-4%) dan
hipermetilasi pada bunga (0.69-2.66%) dari tanaman berbunga abnormal
memperlihatkan perkembangan abnormal, diduga terjadi perubahan fisiologi yang
berhubungan dengan metabolik-metabolik tertentu pada lintasan biokimia yang
diregulasi oleh S-adenosilmetionine (SAM). SAM berperan sebagai donor metil
pada DNA, sebagai donor aminopropil untuk biosintesis poliamin dan sebagai
prekursor untuk biosintesis etilen.
Status metilasi jaringan bunga lebih rendah 4.7% dibandingkan dengan
jaringan daun pada tanaman normal, dihubungkan dengan gen-gen yang
terekspresi spesifik untuk jaringan tersebut melalui terlepasnya kelompok metil
113
dari sitosin. Namun terjadi peningkatan metilasi 0.07-1.97% pada jaringan bunga
tanaman abnormal terutama AbB dan AbSB2 (berasal dari klon MK 152)
dibandingkan dengan jaringan daun (Lampiran 9). Sedangkan pada AbSB1
(bukan dari klon MK 152) menunjukkan penurunan 2.7%. Hasil ini juga
memperlihatkan adanya perbedaan pola metilasi dari klon berbeda namun
menunjukkan karakteristik abnormal bunga yang sama.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran bahwa setiap perubahan metilasi
sitosin pada suatu jaringan yang distimulasi oleh lingkungan tidak selalu
berhubungan dengan aktif atau inaktif ekspresi gen-gen pada jaringan tersebut.
Metilasi pada sitosin dapat terjadi pada daerah yang berhubungan dengan daerah
promotor suatu gen tetapi juga pada daerah heterokromatin yang tidak
ditranskripsi. Seperti yang dikemukakan oleh Bird (1986) bahwa metilasi sitosin
pada nukelotida CG dan CNG meregulasi ekspresi gen pada tingkat gen atau
secara regional mempengaruhi daerah kromosom. Fungsi metilasi regional
tersebut berfungsi menginaktif heterokromatin dan elemen pada atau dekat
heterokromatin, sehingga frekuensi metilasi pada daerah heterokromatin lebih
besar dibandingkan dengan daerah eukromatin. Kemungkinan perubahan metilasi
terjadi pada daerah heterokromatin atau pada daerah suatu gen yang tidak
berhubungan dengan organ bunga kelapa sawit.
Jaligot et al. (2004) membuktikan bahwa situs CG kurang dipengaruhi
dengan menurunnya metilasi DNA global yang sebelumnya dihubungkan dengan
fenomena bunga mantel. Hal yang sama dibuktikan juga oleh Jaligot et al. (2002)
dengan teknik methylation-sensitive RFLP menggunakan DNA jaringan daun
dan rangkaian bunga dari tanaman abnormal yang sama, dan Matthes et al.
(2001) menggunakan jaringan daun dengan teknik MSAP (Methylation-Sensitive
Amplyfied Polymorphic). Menurut Jaligot et al. (2004) penentuan metilasi DNA
genom tidak cukup untuk membedakan antara jaringan normal dan abnormal
sehingga perlu sekuens target spesifik yang pola metilasinya berhubungan dengan
abnormalitas bunga (bunga mantel). Namun Phillips et al. (1994) mengatakan
bahwa perubahan pola metilasi pada tanaman kultur jaringan tidak terbatas pada
macam sekuens DNA spesifik. Seperti dikemukakan oleh Matthes et al. (2001)
bahwa status metilasi dapat dideteksi pada sekuens spesifik namun tidak diperoleh
114
polimorfis tunggal yang konsisten berbeda antara klon normal dan abnormal pada
tanaman kelapa sawit.
Menurut Ng dan Bird (1999) metilasi sendiri sering tidak cukup untuk
menghalangi transkripsi, tetapi perubahan bentuk kromatin pada sekuens
termetilasi sebagai penyebab inaktif transkripsi. Hipometilasi DNA menginduksi
aktivasi transposon dalam genom yang dapat menyebabkan perubahan struktur
kromosom dan perubahan ekspresi gen. Selain itu dalam pembelahan sel, daerah
heterokromatin yang sangat kompak pengepakannya terlambat memisah pada
anafase dalam siklus sel yang dipercepat selama kultur jaringan sebagai penyebab
patahnya kromosom, diikuti dengan pengaturan kembali.
Status Metilasi Pada Jaringan Buah
Ada suatu kecenderungan kemiripan kandungan metilasi sitosin DNA dari
jaringan buah (mesokarp) pada buah normal maupun abnormal (51.78-52.86 %)
(Gambar 28c & Lampiran 9). Hasil ini menunjukkan bahwa keabnormalan pada
tingkat buah adalah perkembangan lanjut dari keabnormalan pada tingkat bunga.
Penyerbukan menstimuli pembesaran ovari dan ovari berkembang sejalan dengan
perkembangan embrio.
Hasil penelitian pada morfologi buah, didapatkan morfologi buah AbSB1
dan AbSB2 sangat berbeda dengan buah normal dan AbB. Karakteristik buah
AbB yaitu karpel tambahan terpisah satu dengan yang lain dan juga terpisah dari
karpel utama sampai seperdua dari bagian buah kemudian bersatu dengan karpel
utama. Ciri buah AbSB1 yaitu karpel tambahan saling terpisah dan juga terpisah
dari karpel utama sampai pangkal buah, sedangkan AbSB2 karpel tambahan
sangat jelas terpisah tetapi menyatu dengan karpel utama dengan mesokarp
berkayu. Hasil penelitian kandungan metilasi sitosin pada buah nampak tidak
berhubungan dengan tingkat keabnormalan tersebut atau semakin abnormalnya
buah tidak sejalan dengan semakin menurun atau meningkatnya metilasi DNA.
Demikian juga karakteristik keadaan mesokarp pada buah AbSB tidak
berhubungan dengan perubahan metilasi DNA pada jaringan tanaman tersebut.
115
SIMPULAN
(1) Pada tanaman normal, status metilasi sitosin DNA genom spesifik dengan
jaringan. Sitosin termetilasi pada jaringan bunga lebih rendah (49.20%)
dibandingkan dengan jaringan daun dan buah (53.90% dan 52.27%).
(2) Pada tanaman berbunga abnormal, terjadi hipometilasi pada jaringan daun
(1.31-4.01%) dan hipermetilasi pada jaringan bunga (0.69-2.66% ) jika
dibandingkan dengan jaringan pada tanaman normal. Namun tidak ada
perubahan metilasi pada jaringan buah.
(3) Perubahan status metilasi yang terjadi pada jaringan daun dan bunga tidak
berhubungan dengan abnormalitas pada jaringan bunga.
(4) Tingkat abnormal pada bunga dan buah tidak berhubungan dengan
bertambah atau berkurangnya metilasi DNA genom.