BAB V KESIMPULAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512024_bab5.pdf ·...
Transcript of BAB V KESIMPULAN - abstrak.ta.uns.ac.idabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0512024_bab5.pdf ·...
96
BAB V
KESIMPULAN
Industri perkebunan tebu di Madiun pada masa akhir kolonial terus
mengalami peningkatan hingga tahun 1929. Peningkatan tersebut tampak jelas
dari semakin meluasnya areal tanam pabrik gula di Madiun. Madiun dengan
kondisi geografis maupun demografis yang mendukung menjadi daerah yang
unggul dalam industri perkebunan tebu. Sebagai contoh peningkatan akan luasan
areal tanam dapat dilihat pada pabrik gula Pagottan dengan dengan perolehan
hasil produksi terkecil pada tahun 1916 dibanding Industri gula lainnya di
Madiun, adapun perluasan areal tanamnya hingga daerah Ponorogo dengan
menyewa tanah sawah di daerah Babadan dan Jenangan pada tahun, bahkan
hampir setiap tahunnya luasan tanah yang disewakan kepada pabrik gula Pagottan
terus mengalami peningkatan. Biaya sewa yang ditawarkan untuk tanah sawah
sekitar ƒ. 20 hingga ƒ. 25 setiap baunya.
Selain perluasan areal tanam tebu yang terus bertambah modernisasi dari
berbagai alat-alat industri, meningkatnya sarana transportasi pengangkutan yang
memadai, dan saluran irigasi menjadi salah satu hal yang terus mengalami
pembangunan mengingat pentingnya fungsi air untuk lahan perkebunan tebu.
Bendungan dan saluran irigasi di Ngebel Ponorogo merupakan salah satu saluran
irigasi dengan pendanaan yang besar mencapai ƒ. 167.000. Berkembang pesatnya
industri perkebunan tebu di Madiun tidak terlepas dari peran penting tenaga kerja,
tidak hanya tenaga kerja laki-laki tetapi juga tenaga kerja perempuan ikut terlibat
97
dalam proses produksi. Magetan menjadi daerah dengan jumlah tenaga kerja
perkebunan tebu terbesar di Madiun hingga mencapai 15.470 jiwa.
Munculnya krisis ekonomi 1929 memberikan dampak besar terhadap
perkembangan industri perkebunan tebu khususnya di Madiun, jumlah produksi
gula yang terus meningkat mengakibatkan adanya penumpukan hasil di dalam
gudang sehingga untuk mengurangi resiko terjadinya kebangkrutan maka
perusahaan-perusahaan swasta menerapkan pembatasan penjualan ekspor dengan
dibentuknya NIVAS (sebagai pembeli dan penjual tunggal). Pembatasan terhadap
produksi gula memungkinkan adanya penutupan administrasi karena
kebangkrutan. Selain kerugian besar yang mengancam industri gula keberadaan
tenaga kerja perkebunan tebu juga mengalami kesulitan yang sama, pengurangan
tenaga kerja dan pemotongan gaji menjadi alasan utama masyarakat untuk beralih
kesektor ekonomi lain.
Industri gula terbesar di Madiun adalah pabrik gula Redjo Agung yang
dikelola oleh seorang pengusaha Tionghoa yang bernama Oei Tiong Ham,
sedangkan satu-satu nya industri gula di Madiun yang mengalami penutupan
administrasi adalah pabrik gula Redjosari dan dipindah tangankan kepada pabrik
gula Jombang. Perkembangan industri gula di Madiun dengan berbagai proses
modernisasi menjadikannya sebagai salah satu wilayah dengan industri gula yang
terbaik. Sumbangan besar lain adalah proses monetisasi dalam bentuk gaji
terhadap masyarakat sebagai salah satu nilai tukar yang paling penting. Kejayaan
industri gula di Madiun tidak hanya pada masa kolonial tetapi hingga saat ini
perkebunan tebu masih menunjukkan eksistensinya.