BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

41
61 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Sekolah Menengah Atas Islam PB. Soedirman SMA Islam PB. Soedirman berdiri pada tahun 1971 dengan program yang tersedia adalah Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sejak tahun 1985 sampai dengan sekarang, telah menyandang sekolah unggulan tingkat Kotamadya dan terakreditasi ”A”. Status SMA Islam PB. Soedirman adalah sekolah swasta yang dikelola oleh Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman dengan lokasi di Jalan Raya Bogor Km.24 Cijantung – Jakarta Timur. Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman membawahi beberapa jenjang sekolah, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan SMK PB. Soedirman. Luas tanah wilayah Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman adalah 3 ha dan luas bangunan SMA Islam PB. Soedirman adalah 4398 m 2 . Visi SMA Islam PB.Soedirman adalah menjadikan SMA Islam PB. Soedirman yang memiliki keunggulan kompetitif dalam IMTAQ dan IPTEK pada era global. Sedangkan misi SMA Islam PB Soedirman ada 5 butir, diantaranya meningkatkan prestasi siswa di bidang intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diperlukan untuk berkopetisi pada jenjang pendidikan tinggi. Jumlah siswa/i secara keseluruhan yang ada di SMA Islam PB. Soedirman tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 739 orang. Jumlah siswa/i yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak 61 orang (kelas I) dan 52 orang (kelas II). Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Transcript of BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

Page 1: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

61

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1. Sekolah Menengah Atas Islam PB. Soedirman

SMA Islam PB. Soedirman berdiri pada tahun 1971 dengan program yang

tersedia adalah Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sejak tahun 1985 sampai dengan

sekarang, telah menyandang sekolah unggulan tingkat Kotamadya dan terakreditasi

”A”. Status SMA Islam PB. Soedirman adalah sekolah swasta yang dikelola oleh

Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman dengan lokasi di Jalan Raya Bogor

Km.24 Cijantung – Jakarta Timur. Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman

membawahi beberapa jenjang sekolah, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan SMK PB.

Soedirman.

Luas tanah wilayah Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman adalah

3 ha dan luas bangunan SMA Islam PB. Soedirman adalah 4398 m2. Visi SMA Islam

PB.Soedirman adalah menjadikan SMA Islam PB. Soedirman yang memiliki

keunggulan kompetitif dalam IMTAQ dan IPTEK pada era global. Sedangkan misi

SMA Islam PB Soedirman ada 5 butir, diantaranya meningkatkan prestasi siswa di

bidang intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diperlukan untuk berkopetisi pada

jenjang pendidikan tinggi.

Jumlah siswa/i secara keseluruhan yang ada di SMA Islam PB. Soedirman

tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 739 orang. Jumlah siswa/i yang dijadikan

responden dalam penelitian ini sebanyak 61 orang (kelas I) dan 52 orang (kelas II).

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 2: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

62

Untuk kelas III tidak dikutkan sebagai responden karena sedang menghadapi ujian

akhir. Jumlah pengajar dan staf di SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 68 orang.

Biaya pendidikan untuk jenjang SMA sebesar Rp 4.800.000,- per tahun.

5.2. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel

dependen, yaitu status gizi lebih siswa dan variabel independen antara lain kebiasaan

konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktivitas fisik (waktu tidur,

waktu menonton televisi, main komputer dan main video games dan kebiasaan olah

raga), pola konsumsi (energi, karbohidrat, lemak dan protein), karakteristik siswa

(jenis kelamin, pengetahuan gizi dan uang saku) dan karakteristik orang tua

(pendidikan ibu dan pendapatan orang tua).

5.2.1. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran status

gizi responden dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengan Indeks

Massa Tubuh berdasarkan umur menurut baku standar CDC-NCHS (2000) dalam

bentuk persentil, dengan pengkategorian sebagai berikut : status gizi kurang < 5th

persentil; status gizi normal: 5 – 85th persentil; status gizi lebih: > 85th persentil; dan

status gizi obesitas: > 95th persentil. Ternyata diperoleh hasil bahwa sebagian besar

responden mempunyai status gizi normal sebanyak 57,5%, sedangkan secara

berturut-turut untuk status gizi lebih, status obesitas dan status gizi kurang sebesar

18,6%, 15% dan 8,8%. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 3: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

63

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Status Gizi n % Kurang 10 8,8 Normal 65 57,5 Lebih 21 18,6 Obesitas 17 15,0 Jumlah 113 100

Untuk keperluan analisis bivariat maka status gizi responden dibagi menjadi

dua kategori, yaitu status gizi lebih (status gizi lebih dan obesitas disatukan) dan

status gizi tidak lebih (status gizi normal dan kurang disatukan). Gambaran status

gizi responden dapat dilihat pada tabel 5.2

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Status Gizi n % Lebih 38 33,6 Tidak Lebih 75 66,4 Jumlah 113 100

Berdasarkan klasifikasi status gizi menggunakan standar CDC-NCHS

didapatkan bahwa proporsi responden dengan kategori status gizi tidak lebih

jumlahnya lebih banyak (66,4%) daripada proporsi responden dengan gizi lebih

(33,6%).

5.2.2. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Makan

Makanan Cepat Saji Modern (fast food)

Distribusi responden berdasarkan frekuensi makan makanan cepat saji

modern (fast food) dikategorikan menjadi 2, yaitu sering apabila responden

mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food) sebanyak ≥ 2x/ minggu dan

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 4: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

64

tidak sering apabila responden mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food)

sebanyak < 2x/minggu. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Cepat Saji

Modern (Fast Food) Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Frekuensi Makan Fast Food

n %

Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2 Tidak sering(<2x/minggu) 45 39,8

Jumlah 113 100

Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kebiasaan makan

makanan siap saji modern (fast food) dengan frekuensi sering (60,2%) lebih banyak

dibandingkan responden yang memiliki kebiasaan makan makanan siap saji modern

tidak sering (39,8%).

5.2.3. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur, Waktu

Menonton TV, Main Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan

Olah Raga.

Distribusi responden berdasarkan waktu tidur adalah jumlah jam tidur dalam

sehari yang terbagi 2 kategori, yaitu waktu tidur lama (> 7 jam/hari) dan waktu tidur

sebentar (≤ 7 jam/hari). Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa responden

.lama waktu tidur lebih dari 7 jam sehari lebih banyak (81,4%) dibandingkan dengan

responden yang memiliki waktu tidur kurang atau sama dengan 7 jam sehari.

Distribusi responden berdasarkan waktu tidur dapat dilihat pada tabel 5.4.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 5: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

65

Responden yang menonton TV, main komputer/main video games lebih dari

2 jam sehari lebih banyak (69,9%) bila dibandingkan dengan respoden lama

menonton TV, main komputer/main video games kurang atau sama dengan 2 jam

sehari. Distribusi responden berdasarkan waktu menonton TV, main komputer/main

video games dapat dilihat pada tabel 5.4.

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur , Waktu Menonton TV, Main

Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan Olahraga Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Waktu Tidur n % Lama (> 7 jam) 92 81,4 Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6 Jumlah 113 100 Waktu Menonton TV,main komputer/main video games

Lama (>2 jam) 79 69,9 Sebentar (≤ 2 jam) 34 30,1 Jumlah 113 100 Kebisaan Olah Raga Ringan (< 90 menit) 43 67,2 Berat (≥ 90 menit) 21 32,8 Jumlah 64 100

Olah raga dilakukan secara teratur setiap hari atau 3 kali seminggu minimal

30 menit setiap berolahraga (Depkes, 2002). Olah raga teratur adalah gerakan seluruh

organ tubuh dengan cara dan periode tertentu, serta dilakukan secara teratur, agar

tubuh terlihat bugar dan sehat. Sesuai yang dianjurkan olah Depkes (2002), olahraga

minimal 3 kali seminggu @ 30 menit, maka 3 x 30 menit adalah waktu minimal

berolahraga yang paling sedikit dalam seminggu. Jadi berdasarkan hal tersebut maka

dibagi 2 kategori uantuk tingkat aktifitas olah raga, yaitu ringan (< 90 menit) dan

berat (≥ 90 menit). Tingkat aktifitas olah raga didapat dengan mengalikan lamanya

latihan olah raga dengan frekuensi olah raga. Hasil analisis data penelitian

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 6: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

66

mendapatkan bahwa sebagian besar responden (67,2%) mempunyai kebiasaan olah

raga yang ringan. Hanya sebanyak 32,8% responden yang mempunyai kebiasaan

olahraga tinggi. Jenis olah raga yang dilakukan responden adalah basket, volley,

sepakbola, renang, senam dan jogging. Distribusi responden berdasarkan kebisaan

olah raga dapat dilihat pada tabel 5.4.

5.2.4. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi dan Zat

Gizi Makro

Konsumsi energi responden dikelompokkan sesuai kebutuhan berdasarkan

umur responden yang dapat dilihat pada angka kecukupan gizi. Distribusi responden

berdasarkan konsumsi energi dapat dilihat pada tabel 5.5. Dari tabel tersebut terlihat

bahwa sebagian besar 57,5% konsumsi energi responden lebih kurang atau sama

dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2005 sedangkan

42,5% responden konsumsi energinya diatas rata-rata Angka Kecukupan Energi

tahun 2005. Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi energi total

terendah adalah 1045 kkal/hari dan tertinggi 5014 kkal/hari. Rerata konsumsi energi

total adalah 2280,39±675,80 kkal/hari dengan median 2309,20 kkal/hari.

Berdasarkan rekomendasi Depkes (2002), kategori konsumsi karbohidrat

dibagi menjadi lebih (> 60% energi total) dan cukup (≤ 60% energi total). Proporsi

konsumsi karbohidrat cukup (89,4%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan

konsumsi karbohidrat lebih (10,6%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui

bahwa konsumsi karbohidrat terendah adalah 19,25% dan tertinggi 63,80%. Rata-

rata konsumsi karbohidrat adalah 48,52 ±9,23% dengan median 48,55%. Distribusi

responden berdasarkan konsumsi karbohidrat dapat dilihat pada tabel 5.5.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 7: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

67

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi, Konsumsi Karbohidrat,

Konsumsi Lemak dan Konsumsi Protein Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Energi n % Lebih (> AKG) 48 42,5 Cukup (≤ AKG) 65 57,5 Jumlah 113 100 Konsumsi Karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 48 42,5 Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5 Jumlah 113 100 Konsumsi Lemak Lebih (> 30% energi total) 86 76,1 Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9 Jumlah 113 100 Konsumsi Protein Lebih (> AKG) 91 80,5 Cukup (≤ AKG) 22 19,5 Jumlah 113 100

Berdasarkan rekomendasi Soetjiningsih (2004), kategori konsumsi lemak

dibagi menjadi lebih (> 30% energi total) dan cukup (≤ 30% energi total). Proporsi

konsumsi lemak tinggi (76,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan

konsumsi lemak cukup (23,9%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa

konsumsi lemak terendah adalah 18,22% dan tertinggi 68,19%. Rerata konsumsi

lemak adalah 36,97±9,46% dengan median 35,53%. Distribusi responden

berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada tabel 5.5.

Berdasarkan rekomendasi Angka Kecukupan Gizi tahun 2005, konsumsi

protein pada penelitian ini disesuaikan dengan kebutuhan menurut umur responden.

Kategori konsumsi protein dibagi menjadi lebih (> AKG) dan cukup (≤ AKG).

Proporsi konsumsi protein tinggi (80,5%) lebih tinggi dibandingkan responden

dengan konsumsi protein cukup (19,5%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui

bahwa konsumsi protein terendah adalah 152,70 gram dan tertinggi 39,20 gram.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 8: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

68

Rerata konsumsi protein adalah 78,90 gram dengan nilai tengah 73,55 gram

Distribusi responden berdasarkan konsumsi protein dapat dilihat pada tabel 5.5.

5.2.5. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dibagi dalam 2 kategori, yaitu

laki-laki dan perempuan. Dari data yang dikumpulkan, terlihat bahwa jumlah

responden laki-laki lebih banyak (53,1%) dibandingkan responden perempuan

(46,9%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Jenis Kelamin n % Laki-laki 60 53,1 Perempuan 53 46,9 Jumlah 113 100 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2 Baik (≥ 80%) 89 78,8 Jumlah 113 100 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2 Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 Jumlah 113 100

Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi

responden adalah baik. Dari 17 pertanyaan yang diajukan sebagian besar siswa di

SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 89 (78,8%) mempunyai tingkat pengetahuan

lebih baik dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 9: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

69

cukup sebanyak 24 (21,2%) siswa. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan

gizi, dapat dilihat pada tabel 5.6

Uang saku merupakan bagian pendapatan keluarga yang diberikan kepada

anak untuk jangka waktu tertentu, yaitu harian mingguan maupun bulanan.Uang saku

responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tingkat uang saku besar

(≥ median/ Rp 20.000,- per hari) dan tingkat uang saku kecil (< median/ Rp 20.000,-

per hari). Sedangkan kisaran uang saku responden untuk 1 minggu sebesar Rp

120.000,- dan untuk 1 bulan sebesar Rp 480.000,-. Hasil analisis menunjukkan

bahwa sebanyak 59 (52,2%) siswa temasuk dalam kategori uang saku besar,

sedangkan responden yang termasuk dalam kategori kecil sebanyak 54 (47,8%)

siswa. Distribusi responden berdasarkan uang saku dapat dilihat pada tabel 5.6.

5.2.6. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan

Pendapatan Orang Tua

Tingkat pendidikan ibu responden diukur berdasarkan pendidikan formal dari

ibu. Pendidikan ibu responden sangat beragam mulai tidak tamat SD samapai tamat

perguruan tinggi. Pendidikan ibu responden dikelompokkan menjadi 2 kategori,

tingkat pendidikan ibu tinggi (> SMA) dan tingkat pendidikan ibu rendah (≤ SMA).

Dari hasil tabel dibawah ini terlihat bahwa responden dengan tingkat pendidikan ibu

rendah sebanyak (61,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan tingkat

pendidikan ibu tinggi (38,9%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

ibu dapat dilihat pada tabel 5.7.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 10: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

70

Tabel 5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan Pendapatan OrangTua

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Pendidikan Ibu n % Rendah (≤ SMA) 69 61,1 Tinggi (> SMA) 44 38,9 Jumlah 113 100 Pendapatan Orang Tua Tinggi (≥ Rp. 4.000.000) 71 62,8 Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2 Jumlah 113 100

Pendapatan keluarga responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu

tinggi (≥ median) dan rendah (< median). Hasil analisis menunjukkan bahwa

sebanyak 62,8% responden dengan pendapatan keluarga tinggi (≥ Rp. 4.000.000),

sedangkan responden yang termasuk dalam kategori pendapatan rendah

(< Rp. 4.000.000) sebanyak 37,2% siswa. Distribusi responden berdasarkan

pendapatan keluarga dapat dilihat pada tabel 5.7.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 11: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

71

5.3. Rangkuman Hasil Analisis Univariat

Tabel 5.8. Hasil Analisis Univariat No

Variabel Kategori Jumlah

n % 1 Status Gizi Lebih (≥ 85 percentil) 38 33,6

Tidak Lebih (< 85 percentil) 75 66,4 2 Kebiasaan Konsumsi

Fast Food Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2 Tidak Sering (< 2x/minggu) 45 39,8

3 Waktu Tidur Lama (> 7 jam) 92 81,4 Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6

4 Waktu nonton TV, main Komputer /main video games

Lama (> 2 jam) 79 69,9 Sebentar (≤ 2jam) 34 30,1

5 Kebiasaan Olah Raga Ringan (< 90 menit) 43 67,2 Berat (≥ 90 menit) 21 32,8

6 Konsumsi Energi Lebih (>AKG) 48 42,5 Cukup (≤ AKG) 65 57,5

7 Konsumsi Karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 48 42,5

Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5 8 Konsumsi Lemak Lebih (> 30% energi total) 86 76,1

Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9 9 Konsumsi Protein Lebih (> AKG) 48 42,5

Cukup (≤ AKG) 65 57,5 10 Jenis Kelamin Laki-laki 60 53,1

Perempuan 53 46,9 11 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2

Baik (≥ 80%) 89 78,8 12 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2

Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 13 Pendidikan Ibu Rendah (≤ SMA) 69 61,1

Tinggi (> SMA) 44 38,9 14 Pendapatan Orang Tua Tinggi (≥ Rp.4.000.000) 71 62,8

Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 12: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

72

5.4. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen

kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktifitas fisik (lama

tidur, lama menonton televisi/main komputer dan main video games dan kebiasaan

olah raga), pola konsumsi (konsumsi energi, karbohidrat, lemak dan protein),

karakteristik siswa (jenis kelamin, pengetahuan gizi dan jumlah uang saku),

karakteristik orang tua (pendidikan ibu dan pendapatan orang tua) dengan status gizi

lebih sebagai dependen. Untuk menguji variabel independen dan dependen yang

berbentuk kategorik 2x2 digunakan chi-square, dengan ketentuan dikatakan ada

hubungan yang bermakna antara variabel independen dan dependen bila hasil uji

statistik menunjukkan nilai p < 0,05.

5.4.1. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji Modern (fast food)

dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food) dengan

kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Fast Food

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Fast food

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Sering

(≥ 2x/minggu) 25 36,8 43 63,2 68 100

0,507 Tidak Sering (< 2x/minggu)

13 28,9 32 71,1 45 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,431 (0,636 – 3,222)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 13: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

73

Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden dengan

makan makanan cepat saji modern ≥ 2x/minggu adalah 36,8%, lebih tinggi daripada

responden dengan makan makanan cepat saji modern (fast food) < 2x/minggu

(28,9%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 maka dapat

disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara makan makanan cepat

saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih pada siswa

5.4.2. Aktifitas Fisik

5.4.2.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada

tabel 5.10. Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden

dengan lama tidur > 7 jam sehari adalah 33,7%, lebih tinggi daripada responden

dengan lama tidur ≤ 7 jam jam sehari (33,3%). Berdasarkan hasil uji statistik

didapatkan nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih pada siswa.

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Waktu Tidur Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %

Lama (> 7 jam) 31 33,7 61 66,3 92 100 1,000 Sebentar (≤ 7 jam) 7 33,3 14 66,7 21 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,016 (0,372 – 2,777)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 14: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

74

5.4.2.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau

Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu menonton televisi, main

komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa. Jika dilihat

dari tabel 5.11 ternyata proporsi gizi lebih pada responden yang waktu menonton

televisi, main komputer atau main video games > 2 jam sehari adalah 29,1%, lebih

rendah dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan ≤ 2 jam

sehari (44,1%).

Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Menonton Televisi, Main Komputer

atau Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Waktu Menonton TV,

Main Komputer/Video

Games

Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n %

Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 79 100 0,134 Sebentar (≤2jam) 15 44,1 19 55,9 34 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,520 (0,226 – 1,197)

5.4.2.3. Hubungan Antara Kebiasaan Olahraga dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih dapat

dilihata pada tabel 5.12. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada

responden dengan kebiasaan olah raga berat (> 90 menit seminggu), lebih tinggi

(38,1%) dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan kebiasaan

olah raga ringan (≤ 90 menit seminggu) (34,9%). Hasil uji statistik didapatkan nilai

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 15: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

75

p > 0,05 mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara menonton televisi,

main komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa.

Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Olah Raga

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Kebiasaan Olah raga

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Ringan (<90menit) 15 34,9 28 65,1 43 100

1,000 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 21 100 Jumlah 23 33,6 75 66,4 113 100

OR (95% CI) = 0,871 (0,295 – 2,567)

5.4.3. Pola Konsumsi Makan

5.4.3.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih 5.13. Dari tabel

tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi energi ≤

AKG lebih tinggi (35,4%) dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan

konsumsi > AKG (31,3%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 berarti

penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara

konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi

Energi Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %

Lebih (> AKG) 15 31,3 33 68,8 48 100 0,796 Cukup(≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 65 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,830 (0,375 – 1,837)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 16: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

76

5.4.3.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi karbohidrat dapat dilihat pada tabel 5.14. Dari

tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi

karbohidrat ≤ 60 % energi total lebih tinggi (34,7%) daripada dengan proporsi gizi

lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat > 60% energi total. Hasil uji

statistik didapatkan nilai p > 0,05 disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian lebih.

Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Karbohidrat

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Karbohidrat

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih

(>60% energi total) 3 25,0 9 75,0 12 100

0,748 Cukup (≤60% energi total )

35 34,7 66 65,3 101 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,629 (0,160 – 2,472)

5.4.3.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat

pada tabel 5.15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden

dengan konsumsi lemak > 30% lebih tinggi (36,0%) dibandingkan proporsi gizi

lebih pada responden dengan konsumsi lemak ≤ 30% (25,9%). Dari hasil uji statistik

didapatkan p> 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna

antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 17: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

77

Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Lemak

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Lemak

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih

(>30% energi total) 31 36,0 55 64,0 86 100

0,461 Cukup (≤30% energi total)

7 25,9 20 74,1 27 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,610 (0,612 – 4,234)

5.4.3.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara konsumsi Protein dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat

pada tabel 5.16. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden

dengan konsumsi protein ≤ AKG (36,4%)lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi

lebih pada responden dengan konsumsi protein > AKG (33,0%). Dari hasil uji

statistik didapatkan p > 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang

bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Protein

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Konsumsi Protein

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 91 100

0,959 Cukup (≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 22 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100

OR (95% CI) = 0,861 (0,325-2,276)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 18: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

78

5.4.4. Karakteristik Siswa

5.4.4.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Lebih

Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian lebih dapat dilihat pada tabel

5.17. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden laki-laki

(41,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden

perempuan (24,5%). Hasil uji statistik didapatka nilai p > 0,05 berarti penelitian ini

tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan nkejadian gizi lebih.

Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Jenis Kelamin

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Laki-Laki 25 41,7 35 58,3 60 100

0,085 Perempuan 13 24,5 40 75,5 53 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100

OR (95% CI) = 2,198 (0,978 – 4,937)

5.4.4.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi Responden dengan Kejadian

Gizi Lebih

Hubungan antara pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat

pada tabel 5.18. Dari tabel tersebut bahwa proporsi gizi lebih pada respnden dengan

pengetahuan baik (39,3%) lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi lebih pada

responden dengan pengetahuan kurang (12,5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai

p<0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan

kejadian gizi lebih..

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 19: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

79

Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Gizi

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Pengetahuan Gizi

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 24 100

0,026 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 89 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100

OR (95% CI) = 0,22 (0,061– 0,795)

Dari OR diketahui bahwa responden dengan pengetahuan gizi kurang tidak

mempunyai kecenderungan yang lebih (hanya 0,22, tidak lebih dari satu) untuk

mengalami gizi lebih.

5.4.4.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada

tabel 5.19. hasil analisis penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada

responden dengan uang saku kecil (35,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan

proporsi gizi lebih pada responden dengan uang saku besar (32,2%). Hasil uji

statistik didapatkan nilai p> 0,05 berati tidak ada hubungan antara jumlah uang saku

dengan kejadian gizi lebih.

Tabel 5.19

Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Uang Saku Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %

Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67,8 59 100 0,892 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 54 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,875 (0,401 – 1,911)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 20: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

80

5.4.5. Karakteristik Orang Tua

5.4.5.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi Lebih

Dari hasil analisis data penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada

responden dengan pendidikan ibu tinggi (38,6%) lebih tinggi dibandingkan proporsi

gizi lebih pada responden dengan pendidikan ibu rendah (30,4%) namun hasil uji

stsistik mendapatkan nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan yang bermakna

antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih. Hubungan antara pendidikan ibu

dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.20.

Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Pendidikan Ibu

Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih

n % n % n % Rendah(≤SMA) 21 30,4 48 69,6 69 100

0,487 Tinggi (>SMA) 17 38,6 27 61,4 44 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100

OR (95% CI) = 0,695 (0,314 – 1,538)

5.4.5.2. Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih

Hubungan antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian lebih

dapat dilihat pada tabel 5.21. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih

pada responden yang pendapatan orang tua rendah (38,1%) lebih tinggi dibandingkan

dengan proporsi gizi lebih pada responden yang pendapatan orang tuanya tinggi

(31,0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p > 0,05 berarti penelitian ini tidak ada

hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian

gizi lebih.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 21: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

81

Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Orang Tua

dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008

Pendapatan Status gizi Total

p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %

Tinggi (≥ Rp.4.000.000)

22 31,0 49 69,0 71 100

0,571 Rendah (< Rp. 4.000.000)

16 38,1 26 61,9 42 100

Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,730 (0,328 – 1,625)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 22: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

82

5.4.6. Ringkasan Hasil Analisis Bivariat

Tabel 5.22 Hasil Analisis Bivariat

Variabel Independen

Status gizi P value OR

95% CI Lebih Tidak

lebih Lower Upper

n % n % Konumsi fast food Sering (≥2x/minggu) 25 36,8 43 63,2 0,507 1,431 0,636 3,222 Tidak Sering (< 2x/minggu) 13 28,9 32 71,1 Waktu tidur Lama (> 7jam) 31 33,7 61 66,3

1,000

1,016 0,372 2,777 Sebentar (≤ 7 jam) 7

33,3 14 66,7

Waktu nonton TV dll Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 0,134 0,520 0,226 1,197 Sebentar (≤ 2 jam) 15 44,1 19 55,9 Kebiasaan olah raga Ringan (<90 menit) 15 34,9 28 65,1 1,000 0,871 0,295 2,567 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 Konsumsi energi Lebih (>AKG) 15 31,3 33 68,8 0,796 0,830 0,375 1,837 Cukup (≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 Konsumsi karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 3 25,0 9 75,0 0,748 0,629 0,160 2,472 Cukup (≤ 60 energi total) 35 34,7 66 65,3 Konsumsi lemak Lebih (> 30% energi total) 31 36,0 55 64,0 0,461 1,610 0,612 4,234 Cukup (≤ 30% energi total) 7 25,9 20 74,1 Konsumsi protein Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 0,959 0,861 0,325 2,276 Cukup(≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 Jenis kelamin Laki-laki 25 41,7 35 58,3 0,085 2,198 0,978 4,937 Perempuan 13 24,5 40 75,5 Pengetahuan gizi Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 0,026

* 0,220 0,061 0,795 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 Uang saku Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67.8 0,892 0,875 0,401 1,911 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 Pendidikan IbuRendah (≤ SMA) 21 30,4 48 69,9 0,487 0,695 0,314 1,538 Tinggi (> SMA) 17 38,6 27 61,4 Pendapatan orang tua Tinggi (≥ Rp.4000.000) 22 31,0 49 69,0 0,571 0,730 0,328 1,625 Rendah (<Rp. 4.000.000) 16 38,1 26 61,9 Keterangan : * (ada hubungan yang bermakna)

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 23: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

83

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1. Keterbatasan Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan, banyak faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian gizi lebih, dengan keterbatasan maka variabel yang berhubungan

tidak semua diteliti oleh peneliti, sehingga hasil penelitian belum dapat menjelaskan

secara menyeluruh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada

remaja SMA Islam PB. Soedirman.

6.2. Kualitas Data

Pada metode yang digunakan pada penelitian ini adalah food frequency dan

1x24 hours recall. Dalam pelaksanaan 1x24 hours recall dapat dilaksanakan

sekaligus pada semua responden dan selesai dalam 3 hari, dengan jumlah enumerator

3 orang, dimana pelaksanaan recall pada hari pertama di mulai pada kelas 1 dan hari

berikutnya dilanjutkan untuk kelas 2. Metode recall memiliki kelemahan karena

mengandalkan ingatan responden sehingga dapat terjadi lupa yaitu responden

cenderung tidak melaporkan dengan benar apa yang dimakan sehingga sering terjadi

pengurangan atau penambahan informasi sehingga estimasi asupan energi menjadi

rendah (Gibson 2005).

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 24: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

84

Sedangkan untuk mendapatkan kebiasaan makan makanan siap saji modern

(fast food) dalam sebulan menggunakan kuesioner food frequency questionnaire

(FFQ). Untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran pada metode food frequency

questionaire maka peneliti memberikan penjelasan kepada responden dan

memberikan kesempatan bertanya bagi siswa yang belum mengerti demi kelancaran

pada saat pengisian kuesioner.

6.3. Status Gizi

Penilaian status gizi responden dilakukan dengan menggunakan hasil

perhitngan indeks massa tubuh (IMT) menurut umur. Dari nilai IMT ini, kemudian

dinilai baku CDC-2000 dalam bentuk persentil. Penelitian ini menunjukkan bahwa

secara umun responden memiliki status gizi tidak lebih sebesar 66,4% (normal

(57,5%) dan kurang (8,8%)), sedangkan dari hasil penelitian ini besarnya angka

kejadian gizi lebih (overweight dan obesitas) sebesar 33,6%. Dari hasil penelitian

terlihat tersebut bahwa terjadi double burden masalah gizi, disatu pihak status gizi

kurang masih ada dan di pihak lain masalah gizi lebih sudah mulai terjadi.

Bila dibandingkan pada penelitian Fatiha (2003) yang dilakukan di SDK Tirta

Marta BPK Penabur Pondok Indah Jakarta selatan menemukan gizi lebih sebesar

43,3% dan gizi tidak lebih 56,4%, angka temuan pada penelitian ini lebih rendah

untuk kategori gizi lebih, tetapi lebih tinggi untuk kategori gizi tidak lebih.

Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan

karena perbedaan karekteristik responden, jumlah sampel dan metode pengambilan

sampel. Pada penelitian terdahulu responden yang diambil adalah kelompok siswa

SD dari kelompok sosial ekonomi relatif beragam.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 25: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

85

6.4. Hubungan antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat saji Modern

(fast food) Dengan Kejadian Gizi Lebih

Makanan modern adalah makanan jenis fast food seperti fried chiken,

hamburger, pizza dll, disukai banyak kalangan anak-anak dan remaja. Golongan

remaja di perkotaan merupakan sasaran startegis bagi pengusaha makanan tersebut.

Makanan modern (fast food) memiliki daya pikat karena lebih praktis dan cepat

dalam penyajiannya dan mengandung gengsi bagi kalangan tertentu. Yang menjadi

persoalan adalah kandungan gizi yang ada pada fast food tersebut seperti yang

diungkapkan para ahli bahwa makanan modern (fast food) mengandung lemak,

karbohidrat, kolesterol dan garam yang relatif tinggi. Jika makanan ini sering

dikonsumsi secara berkesinambungan dan berlebihan berakibat pada munculnya

masalah gizi lebih (over nutrition) dengan kemungkinan akan obesitas (Mudjianto,

1994).

Konsumsi makanan modern (fast food) dalam penelitian ini ingin

diketahuinya hubungannya terhadap kejadian gizi lebih yang merupakan gabungan

dari 9 jenis fast food (fried chicken, Hamburger, Hotdog, Pizza, Sandwich, Spaghetti,

Kentang Goreng, Chicken, Nugget, Dunkin donuts). Pendekatan yang dilakukan

untuk menggambarkan pengaruh pola konsumsi makanan modern terhadap kejadian

gizi lebih secara penggabungan dengan melakukan pembobotan tiap jenis makanan

tersebut dan tiap kategori sesuai dengan frekuensi konsumsi. Akibat penggabungan

ini informasi pola konsumsi dengan frekuensi menjadi hilang, yang muncul adalah

pola konsumsi sering (≥ 2x/minggu) dan tidak sering (< 2x/minggu).

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 26: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

86

Hasil dalam penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat adanya

hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern

(fast food) dengan kejadian gizi lebih pada remaja SMA Islam PB. Soedirman. Hasil

penelitian ini serupa ditemukan dengan penelititian yang dilakukan Mariani (2003)

dan Welis (2003) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan

makan fast food dengan gizi lebih.

Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan Harini (2005) dan Karnaeni (2005) yang membuktikan adanya hubungan

yang bermakna antara kebiasaan makan fast food dengan gizi lebih (p < 0,05).

Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan karena adanya perbedaan

pengkategorian kebiasaan makan fast food.

Tidak bermaknanya kebiasaan makanan cepat saji modern (fast food) dengan

kejadian gizi lebih pada penelitian ini meskipun proporsi gizi lebih pada responden

yang mengkonsumsi fast food sebanyak ≥ 2x/minggu (36,8%) lebih tinggi

dibandingkan dengan responden gizi lebih yang kebiasaan mengkonsumsi fast food

(< 2x/minggu) (28,9%) diduga karena responden gizi lebih yang sering (≥

2x/minggu) mengkonsumsi fast food tidak pada makanan yang mengandung kalori

tinggi oleh sebab itu adanya perbedaan jumlah kalori pada tiap jenis makanan

sehingga kontribusinya dalam menimbulkan gizi lebih juga berbeda. Hal ini sama

dengan WHO (2003) bahwa yang menyebabkan konsumsi fast food tidak

berhubungan dengan gizi lebih adalah kemungkinan ukuran dan jumlah porsi yang

dimakan tidak berlebihan. Ukuran porsi yang besar menyebabkan peningkatan berat

badan. Menurut Fieldhouse (1995) dalam Nugroho (1999) bahwa ada beberapa

faktor yang terkait dengan fast food yaitu seberapa sering fast food tersebut

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 27: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

87

dikonsumsi, kandungan zat gizi dalam fast food dan bagaimana memilih jenis fast

food tersebut erat kaitannya dengan dampak gizinya. Colaguiri (1995) dalam Wellis

(2003), dalam penelitiannya menemukan mengkonsumsi fast food 2 kali/minggu

dapat meningkatkan kandungan energi diet sebesar 1195 kal (23% energi diet).

Kebiasaan mengkonsumsi fast food 2 kali/ minggu juga menimbulkan peningkatan

rata-rata energi harian sebesar 750 K joule, yang rata-rata setahun dapat menambah

berat badan sebesar 8,8 kg.

6.5. Pola Aktivitas Fisik

6.5.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa nilai p>0,05

menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu tidur dengan

kejadian gizi lebih. Hasil penelitian yang sama ditemukan Welis (2003) dan

Karnaeni (2005) yang juga tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna

antara lama waktu tidur dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda dengan

penelitian Meilinasari (2002) yang membuktikan adanya hubungan ynag bermakna

antara lama waktu tidur dengan status gizi lebih.

Proporsi responden dengan status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur

> 7 jam sehari (33,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada

responden status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur ≤ 7 jam sehari (33,3%).

Kemungkinan tidak ada hubungan yang bermakna pada penelitian ini

disebabkan meskipun responden tidur lebih dari 7 jam sehari, tetapi aktivitas fisik

lain seperti olah raga juga relatif tinggi, sehingga lama tidur tidak berpengaruh

terhadap kejadian gizi lebih. Hal ini didukung oleh data tabulasi silang antara lama

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 28: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

88

tidur dengan kebiasaan olah raga. Proporsi responden dengan lama tidur lebih dari 7

jam sehari lebih banyak (86,0%) pada responden dengan kebiasaan olah raga berat

(≥ 90 menit dengan ≥ 3x seminggu) daripada responden dengan kebiasaan olah raga

ringan (< 90 menit dengan < 3x seminggu) (85,7%).

6.5.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau Main

Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih.

Hasil penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna

antara lama waktu menonton TV, main komputer atau video games dengan kejadian

gizi lebih. Walaupun demikian, ada kecenderungan bahwa responden dengan status

gizi lebih terdapat lebih banyak pada responden dengan waktu menonton TV ≥ 2

jam/hari dibandingkan pada responden yang menonton TV < 2 jam.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Welis

(2003), Karnaeni (2005) dan Dasmita (2007) yang tidak menemukan adanya

hubungan yang bermakna antara waktu menonton TV, main komputer/ main video

games dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda pada penelitian Marbun (2002)

yang menemukan hubungan bermakna antara waktu menonton TV dengan status

gizi.

Menurut Pipes dan Christine (1993) dikatakan bahwa status gizi lebih

diantaranya dapat disebabkan karena gaya hidup sendetaris, yaitu gaya hidup santai

dan meminimasikan aktivitas fisik, seperti menonton TV/video games. Menonton TV

terlalu berlebihan dapat berkontribusi terhadap kejadian obesitas, tetapi sebaliknya,

obesitas juga berkontribusi untuk menonton TV lebih lama.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 29: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

89

Perbedaan diduga responden pada penelitian ini menonton televisi tidak

sambil makan snack. Hal ini karena kemungkinan cara menonton televisi dengan

cara tidak terfokus, yang berarti menonton televisi sambil mengerjakan pekerjaan

lainnya seperti mengerjakan tugas sekolah sehingga kemungkinan mempengaruhi

basal metobolisme.

Menurut Khomsan (2006) meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi penganan

padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton TV membuat

anak rawan terhadap obesitas. Menonton TV tergolong ke dalam aktivitas fisik

ringan. Ini berarti tidak banyak energi yang terpakai, sementara itu jika konsumsi

energi dari penganan meningkat terus maka terjadilah keseimbangan energi yang

positif.

6.5.3. Hubungan antara Kebiasaan Olah Raga dengan Kejadian Gizi Lebih

Kebiasaan olah raga merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang dapat

menurunkan berat badan. Olah raga secara teratur adalah gerakan seluruh organ

tubuh dengan cara dan periode tertentu serta dilakukan secara teratur. Seseorang

yang senang melakukan olah raga pada masa remaja akan membawa kebiasaan ini

pada tingkat tertentu di usia dewasa (Kuntaraf, 1992).

Hasil penelitian ini menunjukkan anak gizi lebih yang memiliki kebiasaan

olah raga berat memiliki proporsi terbesar (38,1%) dibandingkan dengan anak gizi

lebih dengan kebiasaan ringan (34,9%) dan dari hasil analisis p > 0,05 yang berarti

tidak adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan olah raga dengan kejadian

gizi lebih. Hasil yang sama pada penelitian Dharmawan (2001), Suryana (2002) dan

Karnaeni (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebiasaan olah raga

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 30: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

90

dengan status gizi lebih. Berbeda dengan hasil penelitian Mariani (2003) dan Welis

membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan

kejadian gizi lebih.

Penelitian Hanley (2000) menyatakan ada beberapa faktor yang berkontribusi

terhadap tingkat kesegaran jasmani dan perubahan IMT, meliputi keteraturan atau

intensitas aktivitas fisik. Olah raga yang intensitasnya rendah menghasilkan

kehilangan masa lemak lebih besar dibandingkan intensitas yang tinggi, sebagai

akibat tingginya persentase substrate yang berasal dari lemak dan penggunaan lemak

perunit waktu berbeda. Selain itu tubuh juga mengkompensasi kekurangan energi

selama olah raga dengan meningkatnya asupan energi, menurunkan energi

ekspenditur setelah olah raga dan diluar olah raga atau keduanya. Artinya setelah

olah raga nafsu makan akan meningkat, karena mengimbangi kekurangan energi

selama olah raga. Kemudian kalori yang terbakar selama olah raga hanya berdampak

kecil pada pengurangan lemak tubuh dibandingkan pengurangan lemak tubuh pada

saat terjadi kelaparan dan puasa.

Jika dilihat dari konsumsi energi ternyata orang yang beraktivitas olah raga

ringan mempunyai proporsi konsumsi energi lebih sedikit dibanding orang yang

aktivitasnya berat. Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan responden yang

beraktifitas ringan cenderung konsumsi energinya kurang dari kecukupan oleh sebab

itu antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih tidak ada hubungan yang

bermakna.

Selain itu tingginya proporsi anak gizi lebih yang memiliki tingkat olahraga

berat, memberi kesan kemungkinan adanya usaha pada anak gizi lebih untuk

menurunkan berat badannya dengan melakukan olah raga dengan frekuensi tinggi

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 31: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

91

dan tergolong tingkat olahraga berat sehingga tidak dapat menunjang hubungan

olah raga dengan status gizi lebih.

6.6. Pola Konsumsi Makanan

6.6.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih

Separuh (57,5%) konsumsi energi responden lebih kurang atau sama dengan

Angka Kecukupan Gizi (AKG). Rata-rata konsumsi energi sehari pada responden

gizi lebih adalah 2217±599 kal/hari, sedangkan pada responden gizi tidak lebih

adalah 2313±713 kal/hari. Terdapat kecenderungan proporsi gizi lebih pada

responden dengan konsumsi energi kurang atau sama dengan AKG lebih tinggi

(35,4%) dibandingkan responden dengan konsumsi energi lebih dari AKG (31,3%).

Namun dari hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna

antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Marbun (2002) dan Wellis (2003)

yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan

kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Meilinasari (2002),

Rijanti (2002) dan Daryono (2003) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna

antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih. Perbedaan hasil ini diduga karena

karakteristik responden yang mengambil populasi siswa SD.

Ketidakbermaknaan hasil penelitian ini kemungkinan bagi responden yang

merasa mengalami kelebihan berat badan ada yang melakukan pembatasan konsumsi

dan kenyataan pada saat wawancara ada responden yang sedang melakukan puasa

pada jenis makanan tertentu (seperti lauk hewani). Alasan lain terjadi kemungkinan

sebagian responden yang gemuk tidak mau jumlah makanan yang dikonsumsinya

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 32: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

92

dilaporkan sehingga tidak bisa diketahui jumlah makanan yang sesungguhnya. Hal

ini terkait dengan pendapat Klesgel et al (1992) bahwa pada penelitian crossectional

seseorang yang gizi lebih biasanya melaporkan konsumsi makanan mereka sama atau

lebih kecil daripada kelompok teman yang tidak gizi lebih (normal).

6.6.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih

Rata-rata konsumsi karbohidrat responden per hari adalah 52,2 ± 40,2 %.

Rata–rata konsumsi karbohidrat sehari pada responden gizi lebih adalah 60,0±67,9%,

sedangkan pada responden tidak lebih adalah 48,27±9,7%. Dilihat dari hasil

penelitian bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat ≤

60% energi total jumlahnya lebih besar (34,7%) dibandingkan proporsi gizi lebih

pada responden yang konsumsi karbohidratnya > 60% energi total. Hasil uji statistik

mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat

dengan kejadian gizi lebih pada responden.

Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Hanley et al (2000), Wellis

(2003) dan Santy (2006) yang menemukan tidak ada hubungan antara konsumsi

karbohidrat dengan gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang

dilakukan Rinjani (2002) membuktikan ada hubungan yang bermakna antara

konsumsi karbohidrat dengan kejadian gizi lebih.

Adanya perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan

disebabkan pada penelitian ini rata-rata konsumsi energi masih di bawah AKG,

sehingga seluruh energi dari zat gizi termasuk karbohidrat digunakan oleh tubuh

tanpa adanya penyimpanan. Pernyataan Marsetyo dan Kartasapoetra (1991) bahwa

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 33: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

93

pada kondisi tubuh kekurangan energi maka digunakan cadangan karbohidrat dalam

tubuh. Karbohidrat merupakan penghasil energi siap pakai.

6.6.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih

Konsumsi Lemak responden sebagian besar (76,1%) > 30%, sedangkan

23,9% responden yang konsumsi lemak ≤ 30%. Rata-rata konsumsi lemak sehari

pada responden gizi lebih adalah 36,78±8,64%, sedangkan pada responden tidak gizi

lebih adalah 46,67±60,23%. Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang

bermakna antara konsumsi lemak dengan gizi lebih.

Hasil penelitian serupa didapat oleh Wellis (2003) dan Hanley (2000) bahwa

secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan

kejadian gizi lebih. Tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan Daryono (2003)

dan Karnaeni (2005) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna antara

konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.

Anjuran konsumsi lemak menurut Soetjiningsih (2004) adalah tidak lebih dari

30% kebutuhan energi. Konsumsi lemak pada responden gizi lebih dan responden

gizi tidak lebih dalam penelitian ini lebih tinggi dari leteratur diatas.

Tingginya persentase responden dengan konsumsi lemak lebih

menandadakan bahwa menu makanan yang dimakan oleh responden merupakan

makanan yang kaya akan lemak khususnya lemak hewani. Menurut Depkes (2002),

bahwa kebiasaan mengkonsumsi lemak hewani yang berlebihan akan menimbulkan

penyakit jantung koroner dan penyempitan pembuluh darah. Konsumsi lemak pada

remaja harus diwaspadai karena konsumsinya dapat berlebih.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 34: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

94

Penelitian yang dilakukan oleh Willet (1998) menunjukkan bahwa diet tinggi

lemak tidak menjadi penyebab utama tingginya peningkatan lemak tubuh di

masyarakat dan pengurangan asupan lemak tidak menjadi solusi yang baik tetapi

peningkatan aktivitas fisik lebih efektif dalam menurunkan kejadian gizi lebih.

Kemungkinan yang terjadi dari hasil tabulasi silang antara konsumsi lemak

dan kebiasaan olah raga disebabkan walaupun konsumsi lemak responden tinggi dan

kebiasaan olah raga responden ringan tetapi hasil yang didapat belum bermakna

kemungkinan ini bisa terjadi karena responden mengikuti kegiatan sekolah yang

begitu padat dari pagi hingga sore.

6.6.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih

Sebanyak 80,5% responden konsumsi proteinnya > AKG. Rata-rata konsumsi

protein sehari pada responden gizi lebih adalah 78,90±27,90 gram , sedangkan rata-

rata konsumsi protein pada responden gizi tidak lebih adalah 84,58±33,85 gram.

Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakana antara konsumsi

protein dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis

(2003) dan Hanley et al (2000) yang menyatakan tidak ada hubungan antara

konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.

Tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi

lebih pada penelitian ini kemungkinan karena protein tidak berkontribusi besar dalam

mempengaruhi konsumsi energi dibandingkan karbohidrat dan lemak. Dugaan lain

seperti diketahui peran utama protein adalah dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan, bukan sebagai sumber ataupun cadangan energi. Dengan demikian

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 35: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

95

konsumsi protein lebih dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan apalagi

bagi responden yang remaja masih dalam masa pertumbuhan.

6.7. Karakteristik Siswa

6.7.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Gizi Lebih

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak

(53,1%) daripada responden perempuan (46,9%). Hasil uji statistik menunjukkan

tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

gizi lebih. Namun terlihat adanya kecenderungan lebih besar pada responden pada

laki-laki untuk mengalami gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Meilinasari (2002), Marbun (2002) dan Karnaeni (2005) yang menemukan

tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

gizi lebih.

Berbeda dengan hasil penelitian Nugroho (1999) dan Wellis (2003) yang

keduanya menemukan terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin

dengan gizi lebih. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada penelitian ini

proporsi terbesar responden gizi lebih terdapat pada responden yang berjenis kelamin

laki-laki. Pada umumnya penduduk kota memiliki stándar hidup yang lebih baik dan

kurang aktivitas fisiknya dibandingkan di pedesaan. Perbedaan jenis kelamin

terhadap trens gizi lebih dapat juga dihubungkan dengan munculnya body image

pada anak wanita yang lebih menyukai tubuh langsing pada saat memasuki usia

pubertas, sementara anak laki-laki tidak begitu cemas dengan berat badannya, dan

bangga bila memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga kurang berhati-hati terhadap

konsumsi makanan dalam diet hariannya.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 36: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

96

Selain itu kecenderungan responden gizi lebih terdapat lebih banyak pada

responden laki-laki dibandingkan responden perempuan dalam penelitian ini, dapat

disebabkan karena adanya perbedaan asupan makanan. Responden laki-laki

kemungkinan mempunyai nafsu besar sehingga mengkonsumsi lebih banyak

makanan berkalori tinggi dibandingkan anak perempuan. Menurut Worthington et al

(2000) dikatakan bahwa anak laki-laki usia sekolah mengkonsumsi sejumlah energi

dan nutrisi lebih besar dibandingkan anak perempuan. Di samping itu, nafsu makan

anak laki-laki sangat bertambah hingga tidak akan menemukan kesukaran untuk

memenuhi kebutuhan makannya (Pudjiadi, 1990).

6.7.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi dengan Kejadian Gizi Lebih

Pengetahuan merupakan hal penting untuk terbentuknya perilaku seseorang.

Pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari penca indera.

Penngetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman sendiri maupun dari orang lain

(Notoatmodjo, 1993). Dengan pengalaman yang memadai terhadap gizi, diharapkan

siswa lebih selektif dalam makanan yang akan dikonsumsinya, baik dalam hal

kualitas maupun kuantitas sehingga dapat mempertahankan kondisi kesehatan secara

maksimal.

Pengetahuan gizi anak yang baik dapat meningkatkan kemampuan anak

memilih makanan dan mencoba makanan baru yang sehat dan berhubungan pula

dengan sikap anak terhadap makanan. Walaupun pengaruh sikap dan perilaku pada

tingkatannya tidak sekuat dan sekonsisten dibandingkan dengan pengetahuan

(Pipes dan Chistine, 1993).

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 37: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

97

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan gizi responden dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama

dengan hasil penelitian Gordon-Larsen (2002) yang menemukan ada hubungan yang

bermakna antara pengetahuan gizi dan kesehatan dengan gizi lebih pada remaja

wanita perkotaan Philadelphia. Berbeda dengan hasil penelitian Marbun (2002) dan

Welis (2003) dan Kanaeni (2005) yang menemukan tidak ada hubungan antara

pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih.

Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tingginya pengetahuan gizi dan

kesehatan pada siswa SMA Islam PB. Soedirman karena lengkapnya sumber

pengetahuan dan materi pengetahuan gizi yang diajarkan tidak dalam mata ajaran

khusus. Namun demikian hasil analisis didapatkan bahwa proporsi responden gizi

lebih (39,3%) memiliki tingkat pengetahuan baik lebih tinggi dibandingkan dengan

responden gizi lebih dengan tingkat pengetahuan kurang, untuk itu diperlukan

penyuluhan bagaimana cara hidup sehat guna menghindari masalah kesehatan yang

akan dihadapi di masa mendatang seperti gizi lebih.

Pengetahuan gizi sebaiknya diberikan sejak dini sehingga dapat memberi

kesan yang mendalam dan dapat menuntun anak dalam memilih makanan yang sehat

dalam kehidupan sehari-hari (Irawati, 1998).

6.7.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih

Menurut hasil analisis proporsi kejadian gizi lebih pada responden dengan

uang saku kategori besar lebih rendah (32,2%) bila dibandingkan responden dengan

uang saku kategori uang saku kecil (35,2%). Namun hasil uji statistik menunjukkan

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 38: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

98

tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah uang saku dengan kejadian gizi

lebih.

Tidak terlihatnya hubungan antara jumlah uang saku dengan gizi lebih

kemungkinan karena belum tentu semua uang saku yang diterima oleh responden

dibelanjakan untuk makan dan bisa juga responden membawa bekal makanan untuk

disekolah dan setiap berangkat dan pulang dijemput sehingga uang saku yang didapat

masih dalam keadaan utuh atau tidak dikeluarkan untuk membeli makanan atau

keperluan lainnya.

Jika dilihat dari hasil tabulasi silang konsumsi lemaknya ternyata antara siswa

yang memiliki uang saku > Rp.20.000 dan ≤ Rp. 20.000 mempunyai proporsi yang

sama yaitu lebih dari 76,1% mengkonsumsi lemak > 30%. Oleh karena itu tidak

ditemukan hubungan yang bermakna antra uang saku besar dan kecil terhadap

kejadian gizi lebih.

Pada remaja yang memiliki uang saku, Insel et al (2006) dalam Wulandari

(2007) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola

uang sakunya sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk memilih sesuka hatinya.

Kebebasan memilih makanan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi status

gizi remaja. Dengan memiliki kebebasan untuk memilih sendiri makanannya, remaja

cenderung untuk membeli apapun yang disukainya atau yang menarik menurut

mereka, tanpa memperhatikan apakah makanan tersebut bergizi seimbang atau tidak.

Pemilihan makanan yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh pada status gizi

mereka.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 39: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

99

6.8. Karakteritik Orang Tua

6.8.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu Responden dengan Kejadian Gizi

Lebih

Menurut Mariani (2003) tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi

pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi

cenderung memilih makanan yang baik dalam hal kualitas dan kuantitas

dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Makin tinggi pendidikan

ibu makin baik status gizi anaknya.

Dalam penelitian ini didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada responden

dengan tingkat pendidikan ibu tinggi (38,6%) sedikit lebih besar atau bahkan

dikatakan hampir sama dengan responden yang mempunyai ibu dengan tingkat

pendidikan rendah (30,4%). Dari hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya

hubungan yang tidak bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih

(p > 0,05). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis (2003), Mariani (2003)

yang membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu

dengan kejadian gizi lebih.

Ketidakbermaknaan hasil temuan penelitian ini diduga karena pendidikan

bukanlah faktor langsung yang mempengaruhi status gizi, namun pendidikan sangat

berpengaruh pada tingkat pengetahuan. Pengetahuan kesehatan dan gizi merupakan

faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi makan. Meskipun daya

beli terhadap makanan tinggi, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi,

masalah gizi akan dapat terjadi. Pendidikan yang tinggi dengan pengetahuan yang

memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 40: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

100

sehingga dapat mendorong terbentuknya perilaku yang lebih baik (Sedioetama, 1987

dalam Sudiarti, 1997).

Selain itu disebabkan karena tingkat pendidikan tidak selalu sejajar dengan

pengetahuan gizi yang dimiliki. Belum tentu pendidikan yang tinggi akan memiliki

pengetahuan gizi yang tinggi, hal ini juga dapat dipengaruhi faktor lain seperti :

perilaku dalam memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya. Walaupun

tingkat pendidikan tinggi dan pengetahuan gizi tinggi namun bila tidak didukung

dengan perilaki makan yang tepat (sesuai dengan gizi seimbang) maka akan

memberikan dampak pada masalah gizi selanjutnya.

6.8.2. Hubungan antara Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih

Faktor pendapatan merupakan peranan sangat penting dalam persoalan gizi

dan kebiasaan pangan masyarakat. Jumlah dan jenis pangan anggota keluarag

dipengaruhi oleh status ekonomi. Salah satu ukuran ekonomi adalah pendapatan total

keluarga. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan memberikan akan memberikan

peluang lebih besar dalam pemilihan pangan baik dalam jumlah dan jenisnya.

Peningkatan pendapatan juga menentukan pola makan, dalam artian makanan apa

yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut.

Dalam hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan

yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian gizi lebih, dengan nilai

p > 0,05. Proporsi gizi lebih pada responden yang mempunyai pendapatan keluarga

kategori rendah lebih tinggi (38,1%) dibandingkan dengan responden gizi lebih pada

tingkat pendapatan keluarga kategori tinggi (33,7%). Hal ini diperkuat pada

penelitian McMurray et al (2000) juga menemukan kecenderungan yang sama, pada

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008

Page 41: BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id

101

kelompok ekonomi rendah prevalensi gizi lebih pada remaja lebih tinggi

dibandingkan kelompok ekonomi tinggi. Lebih besarnya peluang responden dengan

pendapatan rendah untuk mengalami gizi lebih pada penelitian ini diduga karena

kualitas makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gizi seimbang.

Tetapi pendapatan orang tua responden pada penelitian ini didapatkan bahwa

pendapatan orang tua responden sebanyak 62,8% tergolong berpendapatan tinggi

(≥ Rp. 4.000.000,-). Menurut Suhardjo (1989) pada keluarga yang berpendapatan

tinggi akan terjadi perubahan pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan maka

semakin rendah bagian penghasilan yang dikeluarkan untuk makanan yang dimakan

lebih mahal.

Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008