BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id
Transcript of BAB V HASIL PENELITIAN - lib.ui.ac.id
61
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Sekolah Menengah Atas Islam PB. Soedirman
SMA Islam PB. Soedirman berdiri pada tahun 1971 dengan program yang
tersedia adalah Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Sejak tahun 1985 sampai dengan
sekarang, telah menyandang sekolah unggulan tingkat Kotamadya dan terakreditasi
”A”. Status SMA Islam PB. Soedirman adalah sekolah swasta yang dikelola oleh
Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman dengan lokasi di Jalan Raya Bogor
Km.24 Cijantung – Jakarta Timur. Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman
membawahi beberapa jenjang sekolah, yaitu TK, SD, SMP, SMA, dan SMK PB.
Soedirman.
Luas tanah wilayah Yayasan Masjid Panglima Besar Soedirman adalah
3 ha dan luas bangunan SMA Islam PB. Soedirman adalah 4398 m2. Visi SMA Islam
PB.Soedirman adalah menjadikan SMA Islam PB. Soedirman yang memiliki
keunggulan kompetitif dalam IMTAQ dan IPTEK pada era global. Sedangkan misi
SMA Islam PB Soedirman ada 5 butir, diantaranya meningkatkan prestasi siswa di
bidang intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang diperlukan untuk berkopetisi pada
jenjang pendidikan tinggi.
Jumlah siswa/i secara keseluruhan yang ada di SMA Islam PB. Soedirman
tahun ajaran 2007/2008 sebanyak 739 orang. Jumlah siswa/i yang dijadikan
responden dalam penelitian ini sebanyak 61 orang (kelas I) dan 52 orang (kelas II).
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
62
Untuk kelas III tidak dikutkan sebagai responden karena sedang menghadapi ujian
akhir. Jumlah pengajar dan staf di SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 68 orang.
Biaya pendidikan untuk jenjang SMA sebesar Rp 4.800.000,- per tahun.
5.2. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat gambaran distribusi variabel
dependen, yaitu status gizi lebih siswa dan variabel independen antara lain kebiasaan
konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktivitas fisik (waktu tidur,
waktu menonton televisi, main komputer dan main video games dan kebiasaan olah
raga), pola konsumsi (energi, karbohidrat, lemak dan protein), karakteristik siswa
(jenis kelamin, pengetahuan gizi dan uang saku) dan karakteristik orang tua
(pendidikan ibu dan pendapatan orang tua).
5.2.1. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi
Berdasarkan pengumpulan data dan analisis data diperoleh gambaran status
gizi responden dengan menggunakan indeks BB/TB2 yang dikenal dengan Indeks
Massa Tubuh berdasarkan umur menurut baku standar CDC-NCHS (2000) dalam
bentuk persentil, dengan pengkategorian sebagai berikut : status gizi kurang < 5th
persentil; status gizi normal: 5 – 85th persentil; status gizi lebih: > 85th persentil; dan
status gizi obesitas: > 95th persentil. Ternyata diperoleh hasil bahwa sebagian besar
responden mempunyai status gizi normal sebanyak 57,5%, sedangkan secara
berturut-turut untuk status gizi lebih, status obesitas dan status gizi kurang sebesar
18,6%, 15% dan 8,8%. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.1
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
63
Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Status Gizi n % Kurang 10 8,8 Normal 65 57,5 Lebih 21 18,6 Obesitas 17 15,0 Jumlah 113 100
Untuk keperluan analisis bivariat maka status gizi responden dibagi menjadi
dua kategori, yaitu status gizi lebih (status gizi lebih dan obesitas disatukan) dan
status gizi tidak lebih (status gizi normal dan kurang disatukan). Gambaran status
gizi responden dapat dilihat pada tabel 5.2
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Status Gizi
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Status Gizi n % Lebih 38 33,6 Tidak Lebih 75 66,4 Jumlah 113 100
Berdasarkan klasifikasi status gizi menggunakan standar CDC-NCHS
didapatkan bahwa proporsi responden dengan kategori status gizi tidak lebih
jumlahnya lebih banyak (66,4%) daripada proporsi responden dengan gizi lebih
(33,6%).
5.2.2. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Makan
Makanan Cepat Saji Modern (fast food)
Distribusi responden berdasarkan frekuensi makan makanan cepat saji
modern (fast food) dikategorikan menjadi 2, yaitu sering apabila responden
mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food) sebanyak ≥ 2x/ minggu dan
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
64
tidak sering apabila responden mengkonsumsi makanan siap saji modern (fast food)
sebanyak < 2x/minggu. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Cepat Saji
Modern (Fast Food) Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Frekuensi Makan Fast Food
n %
Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2 Tidak sering(<2x/minggu) 45 39,8
Jumlah 113 100
Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa responden yang memiliki kebiasaan makan
makanan siap saji modern (fast food) dengan frekuensi sering (60,2%) lebih banyak
dibandingkan responden yang memiliki kebiasaan makan makanan siap saji modern
tidak sering (39,8%).
5.2.3. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur, Waktu
Menonton TV, Main Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan
Olah Raga.
Distribusi responden berdasarkan waktu tidur adalah jumlah jam tidur dalam
sehari yang terbagi 2 kategori, yaitu waktu tidur lama (> 7 jam/hari) dan waktu tidur
sebentar (≤ 7 jam/hari). Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa responden
.lama waktu tidur lebih dari 7 jam sehari lebih banyak (81,4%) dibandingkan dengan
responden yang memiliki waktu tidur kurang atau sama dengan 7 jam sehari.
Distribusi responden berdasarkan waktu tidur dapat dilihat pada tabel 5.4.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
65
Responden yang menonton TV, main komputer/main video games lebih dari
2 jam sehari lebih banyak (69,9%) bila dibandingkan dengan respoden lama
menonton TV, main komputer/main video games kurang atau sama dengan 2 jam
sehari. Distribusi responden berdasarkan waktu menonton TV, main komputer/main
video games dapat dilihat pada tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur , Waktu Menonton TV, Main
Komputer/Main Video Games dan Kebiasaan Olahraga Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Waktu Tidur n % Lama (> 7 jam) 92 81,4 Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6 Jumlah 113 100 Waktu Menonton TV,main komputer/main video games
Lama (>2 jam) 79 69,9 Sebentar (≤ 2 jam) 34 30,1 Jumlah 113 100 Kebisaan Olah Raga Ringan (< 90 menit) 43 67,2 Berat (≥ 90 menit) 21 32,8 Jumlah 64 100
Olah raga dilakukan secara teratur setiap hari atau 3 kali seminggu minimal
30 menit setiap berolahraga (Depkes, 2002). Olah raga teratur adalah gerakan seluruh
organ tubuh dengan cara dan periode tertentu, serta dilakukan secara teratur, agar
tubuh terlihat bugar dan sehat. Sesuai yang dianjurkan olah Depkes (2002), olahraga
minimal 3 kali seminggu @ 30 menit, maka 3 x 30 menit adalah waktu minimal
berolahraga yang paling sedikit dalam seminggu. Jadi berdasarkan hal tersebut maka
dibagi 2 kategori uantuk tingkat aktifitas olah raga, yaitu ringan (< 90 menit) dan
berat (≥ 90 menit). Tingkat aktifitas olah raga didapat dengan mengalikan lamanya
latihan olah raga dengan frekuensi olah raga. Hasil analisis data penelitian
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
66
mendapatkan bahwa sebagian besar responden (67,2%) mempunyai kebiasaan olah
raga yang ringan. Hanya sebanyak 32,8% responden yang mempunyai kebiasaan
olahraga tinggi. Jenis olah raga yang dilakukan responden adalah basket, volley,
sepakbola, renang, senam dan jogging. Distribusi responden berdasarkan kebisaan
olah raga dapat dilihat pada tabel 5.4.
5.2.4. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi dan Zat
Gizi Makro
Konsumsi energi responden dikelompokkan sesuai kebutuhan berdasarkan
umur responden yang dapat dilihat pada angka kecukupan gizi. Distribusi responden
berdasarkan konsumsi energi dapat dilihat pada tabel 5.5. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa sebagian besar 57,5% konsumsi energi responden lebih kurang atau sama
dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan tahun 2005 sedangkan
42,5% responden konsumsi energinya diatas rata-rata Angka Kecukupan Energi
tahun 2005. Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa konsumsi energi total
terendah adalah 1045 kkal/hari dan tertinggi 5014 kkal/hari. Rerata konsumsi energi
total adalah 2280,39±675,80 kkal/hari dengan median 2309,20 kkal/hari.
Berdasarkan rekomendasi Depkes (2002), kategori konsumsi karbohidrat
dibagi menjadi lebih (> 60% energi total) dan cukup (≤ 60% energi total). Proporsi
konsumsi karbohidrat cukup (89,4%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan
konsumsi karbohidrat lebih (10,6%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui
bahwa konsumsi karbohidrat terendah adalah 19,25% dan tertinggi 63,80%. Rata-
rata konsumsi karbohidrat adalah 48,52 ±9,23% dengan median 48,55%. Distribusi
responden berdasarkan konsumsi karbohidrat dapat dilihat pada tabel 5.5.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
67
Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi, Konsumsi Karbohidrat,
Konsumsi Lemak dan Konsumsi Protein Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Konsumsi Energi n % Lebih (> AKG) 48 42,5 Cukup (≤ AKG) 65 57,5 Jumlah 113 100 Konsumsi Karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 48 42,5 Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5 Jumlah 113 100 Konsumsi Lemak Lebih (> 30% energi total) 86 76,1 Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9 Jumlah 113 100 Konsumsi Protein Lebih (> AKG) 91 80,5 Cukup (≤ AKG) 22 19,5 Jumlah 113 100
Berdasarkan rekomendasi Soetjiningsih (2004), kategori konsumsi lemak
dibagi menjadi lebih (> 30% energi total) dan cukup (≤ 30% energi total). Proporsi
konsumsi lemak tinggi (76,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan
konsumsi lemak cukup (23,9%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui bahwa
konsumsi lemak terendah adalah 18,22% dan tertinggi 68,19%. Rerata konsumsi
lemak adalah 36,97±9,46% dengan median 35,53%. Distribusi responden
berdasarkan konsumsi lemak dapat dilihat pada tabel 5.5.
Berdasarkan rekomendasi Angka Kecukupan Gizi tahun 2005, konsumsi
protein pada penelitian ini disesuaikan dengan kebutuhan menurut umur responden.
Kategori konsumsi protein dibagi menjadi lebih (> AKG) dan cukup (≤ AKG).
Proporsi konsumsi protein tinggi (80,5%) lebih tinggi dibandingkan responden
dengan konsumsi protein cukup (19,5%). Hasil analisis dari 113 responden diketahui
bahwa konsumsi protein terendah adalah 152,70 gram dan tertinggi 39,20 gram.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
68
Rerata konsumsi protein adalah 78,90 gram dengan nilai tengah 73,55 gram
Distribusi responden berdasarkan konsumsi protein dapat dilihat pada tabel 5.5.
5.2.5. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dibagi dalam 2 kategori, yaitu
laki-laki dan perempuan. Dari data yang dikumpulkan, terlihat bahwa jumlah
responden laki-laki lebih banyak (53,1%) dibandingkan responden perempuan
(46,9%). Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pengetahuan Gizi dan Jumlah Uang Saku
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Jenis Kelamin n % Laki-laki 60 53,1 Perempuan 53 46,9 Jumlah 113 100 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2 Baik (≥ 80%) 89 78,8 Jumlah 113 100 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2 Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 Jumlah 113 100
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan gizi
responden adalah baik. Dari 17 pertanyaan yang diajukan sebagian besar siswa di
SMA Islam PB. Soedirman sebanyak 89 (78,8%) mempunyai tingkat pengetahuan
lebih baik dibandingkan dengan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
69
cukup sebanyak 24 (21,2%) siswa. Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
gizi, dapat dilihat pada tabel 5.6
Uang saku merupakan bagian pendapatan keluarga yang diberikan kepada
anak untuk jangka waktu tertentu, yaitu harian mingguan maupun bulanan.Uang saku
responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu tingkat uang saku besar
(≥ median/ Rp 20.000,- per hari) dan tingkat uang saku kecil (< median/ Rp 20.000,-
per hari). Sedangkan kisaran uang saku responden untuk 1 minggu sebesar Rp
120.000,- dan untuk 1 bulan sebesar Rp 480.000,-. Hasil analisis menunjukkan
bahwa sebanyak 59 (52,2%) siswa temasuk dalam kategori uang saku besar,
sedangkan responden yang termasuk dalam kategori kecil sebanyak 54 (47,8%)
siswa. Distribusi responden berdasarkan uang saku dapat dilihat pada tabel 5.6.
5.2.6. Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan
Pendapatan Orang Tua
Tingkat pendidikan ibu responden diukur berdasarkan pendidikan formal dari
ibu. Pendidikan ibu responden sangat beragam mulai tidak tamat SD samapai tamat
perguruan tinggi. Pendidikan ibu responden dikelompokkan menjadi 2 kategori,
tingkat pendidikan ibu tinggi (> SMA) dan tingkat pendidikan ibu rendah (≤ SMA).
Dari hasil tabel dibawah ini terlihat bahwa responden dengan tingkat pendidikan ibu
rendah sebanyak (61,1%) lebih tinggi dibandingkan responden dengan tingkat
pendidikan ibu tinggi (38,9%). Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan
ibu dapat dilihat pada tabel 5.7.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
70
Tabel 5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu dan Pendapatan OrangTua
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Pendidikan Ibu n % Rendah (≤ SMA) 69 61,1 Tinggi (> SMA) 44 38,9 Jumlah 113 100 Pendapatan Orang Tua Tinggi (≥ Rp. 4.000.000) 71 62,8 Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2 Jumlah 113 100
Pendapatan keluarga responden dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu
tinggi (≥ median) dan rendah (< median). Hasil analisis menunjukkan bahwa
sebanyak 62,8% responden dengan pendapatan keluarga tinggi (≥ Rp. 4.000.000),
sedangkan responden yang termasuk dalam kategori pendapatan rendah
(< Rp. 4.000.000) sebanyak 37,2% siswa. Distribusi responden berdasarkan
pendapatan keluarga dapat dilihat pada tabel 5.7.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
71
5.3. Rangkuman Hasil Analisis Univariat
Tabel 5.8. Hasil Analisis Univariat No
Variabel Kategori Jumlah
n % 1 Status Gizi Lebih (≥ 85 percentil) 38 33,6
Tidak Lebih (< 85 percentil) 75 66,4 2 Kebiasaan Konsumsi
Fast Food Sering (≥ 2x/minggu) 68 60,2 Tidak Sering (< 2x/minggu) 45 39,8
3 Waktu Tidur Lama (> 7 jam) 92 81,4 Sebentar (≤ 7 jam) 21 18,6
4 Waktu nonton TV, main Komputer /main video games
Lama (> 2 jam) 79 69,9 Sebentar (≤ 2jam) 34 30,1
5 Kebiasaan Olah Raga Ringan (< 90 menit) 43 67,2 Berat (≥ 90 menit) 21 32,8
6 Konsumsi Energi Lebih (>AKG) 48 42,5 Cukup (≤ AKG) 65 57,5
7 Konsumsi Karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 48 42,5
Cukup (≤ 60% energi total) 65 57,5 8 Konsumsi Lemak Lebih (> 30% energi total) 86 76,1
Cukup (≤ 30% energi total) 27 23,9 9 Konsumsi Protein Lebih (> AKG) 48 42,5
Cukup (≤ AKG) 65 57,5 10 Jenis Kelamin Laki-laki 60 53,1
Perempuan 53 46,9 11 Pengetahuan Gizi Kurang (< 80%) 24 21,2
Baik (≥ 80%) 89 78,8 12 Uang Saku Besar (≥ Rp. 20.000) 59 52,2
Kecil (< Rp. 20.000) 54 47,8 13 Pendidikan Ibu Rendah (≤ SMA) 69 61,1
Tinggi (> SMA) 44 38,9 14 Pendapatan Orang Tua Tinggi (≥ Rp.4.000.000) 71 62,8
Rendah (< Rp. 4.000.000) 42 37,2
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
72
5.4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen
kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food), pola aktifitas fisik (lama
tidur, lama menonton televisi/main komputer dan main video games dan kebiasaan
olah raga), pola konsumsi (konsumsi energi, karbohidrat, lemak dan protein),
karakteristik siswa (jenis kelamin, pengetahuan gizi dan jumlah uang saku),
karakteristik orang tua (pendidikan ibu dan pendapatan orang tua) dengan status gizi
lebih sebagai dependen. Untuk menguji variabel independen dan dependen yang
berbentuk kategorik 2x2 digunakan chi-square, dengan ketentuan dikatakan ada
hubungan yang bermakna antara variabel independen dan dependen bila hasil uji
statistik menunjukkan nilai p < 0,05.
5.4.1. Hubungan Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat Saji Modern (fast food)
dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan kebiasaan konsumsi makanan cepat saji modern (fast food) dengan
kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.9.
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Konsumsi Fast Food
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Konsumsi Fast food
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Sering
(≥ 2x/minggu) 25 36,8 43 63,2 68 100
0,507 Tidak Sering (< 2x/minggu)
13 28,9 32 71,1 45 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,431 (0,636 – 3,222)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
73
Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden dengan
makan makanan cepat saji modern ≥ 2x/minggu adalah 36,8%, lebih tinggi daripada
responden dengan makan makanan cepat saji modern (fast food) < 2x/minggu
(28,9%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara makan makanan cepat
saji modern (fast food) dengan kejadian gizi lebih pada siswa
5.4.2. Aktifitas Fisik
5.4.2.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada
tabel 5.10. Dari tabel tersebut bahwa terlihat proporsi gizi lebih pada responden
dengan lama tidur > 7 jam sehari adalah 33,7%, lebih tinggi daripada responden
dengan lama tidur ≤ 7 jam jam sehari (33,3%). Berdasarkan hasil uji statistik
didapatkan nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara waktu tidur dengan kejadian gizi lebih pada siswa.
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Waktu Tidur Status gizi Total
p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %
Lama (> 7 jam) 31 33,7 61 66,3 92 100 1,000 Sebentar (≤ 7 jam) 7 33,3 14 66,7 21 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,016 (0,372 – 2,777)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
74
5.4.2.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau
Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara waktu menonton televisi, main
komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa. Jika dilihat
dari tabel 5.11 ternyata proporsi gizi lebih pada responden yang waktu menonton
televisi, main komputer atau main video games > 2 jam sehari adalah 29,1%, lebih
rendah dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan ≤ 2 jam
sehari (44,1%).
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Waktu Menonton Televisi, Main Komputer
atau Main Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Waktu Menonton TV,
Main Komputer/Video
Games
Status gizi Total
p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n %
Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 79 100 0,134 Sebentar (≤2jam) 15 44,1 19 55,9 34 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,520 (0,226 – 1,197)
5.4.2.3. Hubungan Antara Kebiasaan Olahraga dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih dapat
dilihata pada tabel 5.12. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada
responden dengan kebiasaan olah raga berat (> 90 menit seminggu), lebih tinggi
(38,1%) dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden dengan kebiasaan
olah raga ringan (≤ 90 menit seminggu) (34,9%). Hasil uji statistik didapatkan nilai
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
75
p > 0,05 mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara menonton televisi,
main komputer atau main video games dengan kejadian gizi lebih pada siswa.
Tabel 5.12 Distribusi Responden Berdasarkan Kebiasaan Olah Raga
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Kebiasaan Olah raga
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Ringan (<90menit) 15 34,9 28 65,1 43 100
1,000 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 21 100 Jumlah 23 33,6 75 66,4 113 100
OR (95% CI) = 0,871 (0,295 – 2,567)
5.4.3. Pola Konsumsi Makan
5.4.3.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih 5.13. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi energi ≤
AKG lebih tinggi (35,4%) dibandingkan proporsi gizi lebih pada responden dengan
konsumsi > AKG (31,3%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p>0,05 berarti
penelitian ini tidak dapat membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara
konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.
Tabel 5.13 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Energi
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008 Konsumsi
Energi Status gizi Total
p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %
Lebih (> AKG) 15 31,3 33 68,8 48 100 0,796 Cukup(≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 65 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,830 (0,375 – 1,837)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
76
5.4.3.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara konsumsi karbohidrat dapat dilihat pada tabel 5.14. Dari
tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi
karbohidrat ≤ 60 % energi total lebih tinggi (34,7%) daripada dengan proporsi gizi
lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat > 60% energi total. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p > 0,05 disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan kejadian lebih.
Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Karbohidrat
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Konsumsi Karbohidrat
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Lebih
(>60% energi total) 3 25,0 9 75,0 12 100
0,748 Cukup (≤60% energi total )
35 34,7 66 65,3 101 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,629 (0,160 – 2,472)
5.4.3.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat
pada tabel 5.15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden
dengan konsumsi lemak > 30% lebih tinggi (36,0%) dibandingkan proporsi gizi
lebih pada responden dengan konsumsi lemak ≤ 30% (25,9%). Dari hasil uji statistik
didapatkan p> 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna
antara konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
77
Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Lemak
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Konsumsi Lemak
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Lebih
(>30% energi total) 31 36,0 55 64,0 86 100
0,461 Cukup (≤30% energi total)
7 25,9 20 74,1 27 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 1,610 (0,612 – 4,234)
5.4.3.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara konsumsi Protein dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat
pada tabel 5.16. Dari tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden
dengan konsumsi protein ≤ AKG (36,4%)lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi
lebih pada responden dengan konsumsi protein > AKG (33,0%). Dari hasil uji
statistik didapatkan p > 0,05 berarti dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang
bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.
Tabel 5.16 Distribusi Responden Berdasarkan Konsumsi Protein
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Konsumsi Protein
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 91 100
0,959 Cukup (≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 22 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100
OR (95% CI) = 0,861 (0,325-2,276)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
78
5.4.4. Karakteristik Siswa
5.4.4.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Lebih
Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian lebih dapat dilihat pada tabel
5.17. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih pada responden laki-laki
(41,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada responden
perempuan (24,5%). Hasil uji statistik didapatka nilai p > 0,05 berarti penelitian ini
tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan nkejadian gizi lebih.
Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Jenis Kelamin
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Laki-Laki 25 41,7 35 58,3 60 100
0,085 Perempuan 13 24,5 40 75,5 53 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100
OR (95% CI) = 2,198 (0,978 – 4,937)
5.4.4.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi Responden dengan Kejadian
Gizi Lebih
Hubungan antara pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat
pada tabel 5.18. Dari tabel tersebut bahwa proporsi gizi lebih pada respnden dengan
pengetahuan baik (39,3%) lebih tinggi dibandingkan proporsi gizi lebih pada
responden dengan pengetahuan kurang (12,5%). Hasil uji statistik didapatkan nilai
p<0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi dengan
kejadian gizi lebih..
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
79
Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Gizi
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Pengetahuan Gizi
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 24 100
0,026 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 89 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100
OR (95% CI) = 0,22 (0,061– 0,795)
Dari OR diketahui bahwa responden dengan pengetahuan gizi kurang tidak
mempunyai kecenderungan yang lebih (hanya 0,22, tidak lebih dari satu) untuk
mengalami gizi lebih.
5.4.4.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara uang saku dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada
tabel 5.19. hasil analisis penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada
responden dengan uang saku kecil (35,2%) lebih tinggi dibandingkan dengan
proporsi gizi lebih pada responden dengan uang saku besar (32,2%). Hasil uji
statistik didapatkan nilai p> 0,05 berati tidak ada hubungan antara jumlah uang saku
dengan kejadian gizi lebih.
Tabel 5.19
Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih
Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Uang Saku Status gizi Total
p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %
Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67,8 59 100 0,892 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 54 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,875 (0,401 – 1,911)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
80
5.4.5. Karakteristik Orang Tua
5.4.5.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi Lebih
Dari hasil analisis data penelitian didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada
responden dengan pendidikan ibu tinggi (38,6%) lebih tinggi dibandingkan proporsi
gizi lebih pada responden dengan pendidikan ibu rendah (30,4%) namun hasil uji
stsistik mendapatkan nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih. Hubungan antara pendidikan ibu
dengan kejadian gizi lebih dapat dilihat pada tabel 5.20.
Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Ibu
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Pendidikan Ibu
Status gizi Total p-value Lebih Tidak lebih
n % n % n % Rendah(≤SMA) 21 30,4 48 69,6 69 100
0,487 Tinggi (>SMA) 17 38,6 27 61,4 44 100 Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100
OR (95% CI) = 0,695 (0,314 – 1,538)
5.4.5.2. Hubungan Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih
Hubungan antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian lebih
dapat dilihat pada tabel 5.21. Data tabel tersebut terlihat bahwa proporsi gizi lebih
pada responden yang pendapatan orang tua rendah (38,1%) lebih tinggi dibandingkan
dengan proporsi gizi lebih pada responden yang pendapatan orang tuanya tinggi
(31,0%). Hasil uji statistik didapatkan nilai p > 0,05 berarti penelitian ini tidak ada
hubungan yang bermakna antara pendapatan orang tua responden dengan kejadian
gizi lebih.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
81
Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan Orang Tua
dengan Kejadian Gizi Lebih Pada Remaja SMA Islam PB. Soedirman di Jakarta Timur Tahun 2008
Pendapatan Status gizi Total
p-value Lebih Tidak lebih n % n % n %
Tinggi (≥ Rp.4.000.000)
22 31,0 49 69,0 71 100
0,571 Rendah (< Rp. 4.000.000)
16 38,1 26 61,9 42 100
Jumlah 38 33,6 75 66,4 113 100 OR (95% CI) = 0,730 (0,328 – 1,625)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
82
5.4.6. Ringkasan Hasil Analisis Bivariat
Tabel 5.22 Hasil Analisis Bivariat
Variabel Independen
Status gizi P value OR
95% CI Lebih Tidak
lebih Lower Upper
n % n % Konumsi fast food Sering (≥2x/minggu) 25 36,8 43 63,2 0,507 1,431 0,636 3,222 Tidak Sering (< 2x/minggu) 13 28,9 32 71,1 Waktu tidur Lama (> 7jam) 31 33,7 61 66,3
1,000
1,016 0,372 2,777 Sebentar (≤ 7 jam) 7
33,3 14 66,7
Waktu nonton TV dll Lama (> 2 jam) 23 29,1 56 70,9 0,134 0,520 0,226 1,197 Sebentar (≤ 2 jam) 15 44,1 19 55,9 Kebiasaan olah raga Ringan (<90 menit) 15 34,9 28 65,1 1,000 0,871 0,295 2,567 Berat (≥ 90 menit) 8 38,1 13 61,9 Konsumsi energi Lebih (>AKG) 15 31,3 33 68,8 0,796 0,830 0,375 1,837 Cukup (≤ AKG) 23 35,4 42 64,6 Konsumsi karbohidrat Lebih (> 60% energi total) 3 25,0 9 75,0 0,748 0,629 0,160 2,472 Cukup (≤ 60 energi total) 35 34,7 66 65,3 Konsumsi lemak Lebih (> 30% energi total) 31 36,0 55 64,0 0,461 1,610 0,612 4,234 Cukup (≤ 30% energi total) 7 25,9 20 74,1 Konsumsi protein Lebih (> AKG) 30 33,0 61 67,0 0,959 0,861 0,325 2,276 Cukup(≤ AKG) 8 36,4 13 63,6 Jenis kelamin Laki-laki 25 41,7 35 58,3 0,085 2,198 0,978 4,937 Perempuan 13 24,5 40 75,5 Pengetahuan gizi Kurang (< 80%) 3 12,5 21 87,5 0,026
* 0,220 0,061 0,795 Baik (≥ 80%) 35 39,3 54 60,7 Uang saku Besar (≥Rp.20.000) 19 32,2 40 67.8 0,892 0,875 0,401 1,911 Kecil (<Rp.20.000) 19 35,2 35 64,8 Pendidikan IbuRendah (≤ SMA) 21 30,4 48 69,9 0,487 0,695 0,314 1,538 Tinggi (> SMA) 17 38,6 27 61,4 Pendapatan orang tua Tinggi (≥ Rp.4000.000) 22 31,0 49 69,0 0,571 0,730 0,328 1,625 Rendah (<Rp. 4.000.000) 16 38,1 26 61,9 Keterangan : * (ada hubungan yang bermakna)
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
83
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan, banyak faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian gizi lebih, dengan keterbatasan maka variabel yang berhubungan
tidak semua diteliti oleh peneliti, sehingga hasil penelitian belum dapat menjelaskan
secara menyeluruh tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan gizi lebih pada
remaja SMA Islam PB. Soedirman.
6.2. Kualitas Data
Pada metode yang digunakan pada penelitian ini adalah food frequency dan
1x24 hours recall. Dalam pelaksanaan 1x24 hours recall dapat dilaksanakan
sekaligus pada semua responden dan selesai dalam 3 hari, dengan jumlah enumerator
3 orang, dimana pelaksanaan recall pada hari pertama di mulai pada kelas 1 dan hari
berikutnya dilanjutkan untuk kelas 2. Metode recall memiliki kelemahan karena
mengandalkan ingatan responden sehingga dapat terjadi lupa yaitu responden
cenderung tidak melaporkan dengan benar apa yang dimakan sehingga sering terjadi
pengurangan atau penambahan informasi sehingga estimasi asupan energi menjadi
rendah (Gibson 2005).
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
84
Sedangkan untuk mendapatkan kebiasaan makan makanan siap saji modern
(fast food) dalam sebulan menggunakan kuesioner food frequency questionnaire
(FFQ). Untuk mengurangi kesalahan dalam pengukuran pada metode food frequency
questionaire maka peneliti memberikan penjelasan kepada responden dan
memberikan kesempatan bertanya bagi siswa yang belum mengerti demi kelancaran
pada saat pengisian kuesioner.
6.3. Status Gizi
Penilaian status gizi responden dilakukan dengan menggunakan hasil
perhitngan indeks massa tubuh (IMT) menurut umur. Dari nilai IMT ini, kemudian
dinilai baku CDC-2000 dalam bentuk persentil. Penelitian ini menunjukkan bahwa
secara umun responden memiliki status gizi tidak lebih sebesar 66,4% (normal
(57,5%) dan kurang (8,8%)), sedangkan dari hasil penelitian ini besarnya angka
kejadian gizi lebih (overweight dan obesitas) sebesar 33,6%. Dari hasil penelitian
terlihat tersebut bahwa terjadi double burden masalah gizi, disatu pihak status gizi
kurang masih ada dan di pihak lain masalah gizi lebih sudah mulai terjadi.
Bila dibandingkan pada penelitian Fatiha (2003) yang dilakukan di SDK Tirta
Marta BPK Penabur Pondok Indah Jakarta selatan menemukan gizi lebih sebesar
43,3% dan gizi tidak lebih 56,4%, angka temuan pada penelitian ini lebih rendah
untuk kategori gizi lebih, tetapi lebih tinggi untuk kategori gizi tidak lebih.
Terjadinya perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan
karena perbedaan karekteristik responden, jumlah sampel dan metode pengambilan
sampel. Pada penelitian terdahulu responden yang diambil adalah kelompok siswa
SD dari kelompok sosial ekonomi relatif beragam.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
85
6.4. Hubungan antara Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat saji Modern
(fast food) Dengan Kejadian Gizi Lebih
Makanan modern adalah makanan jenis fast food seperti fried chiken,
hamburger, pizza dll, disukai banyak kalangan anak-anak dan remaja. Golongan
remaja di perkotaan merupakan sasaran startegis bagi pengusaha makanan tersebut.
Makanan modern (fast food) memiliki daya pikat karena lebih praktis dan cepat
dalam penyajiannya dan mengandung gengsi bagi kalangan tertentu. Yang menjadi
persoalan adalah kandungan gizi yang ada pada fast food tersebut seperti yang
diungkapkan para ahli bahwa makanan modern (fast food) mengandung lemak,
karbohidrat, kolesterol dan garam yang relatif tinggi. Jika makanan ini sering
dikonsumsi secara berkesinambungan dan berlebihan berakibat pada munculnya
masalah gizi lebih (over nutrition) dengan kemungkinan akan obesitas (Mudjianto,
1994).
Konsumsi makanan modern (fast food) dalam penelitian ini ingin
diketahuinya hubungannya terhadap kejadian gizi lebih yang merupakan gabungan
dari 9 jenis fast food (fried chicken, Hamburger, Hotdog, Pizza, Sandwich, Spaghetti,
Kentang Goreng, Chicken, Nugget, Dunkin donuts). Pendekatan yang dilakukan
untuk menggambarkan pengaruh pola konsumsi makanan modern terhadap kejadian
gizi lebih secara penggabungan dengan melakukan pembobotan tiap jenis makanan
tersebut dan tiap kategori sesuai dengan frekuensi konsumsi. Akibat penggabungan
ini informasi pola konsumsi dengan frekuensi menjadi hilang, yang muncul adalah
pola konsumsi sering (≥ 2x/minggu) dan tidak sering (< 2x/minggu).
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
86
Hasil dalam penelitian ini membuktikan bahwa tidak terdapat adanya
hubungan yang bermakna antara kebiasaan konsumsi makanan siap saji modern
(fast food) dengan kejadian gizi lebih pada remaja SMA Islam PB. Soedirman. Hasil
penelitian ini serupa ditemukan dengan penelititian yang dilakukan Mariani (2003)
dan Welis (2003) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan
makan fast food dengan gizi lebih.
Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan Harini (2005) dan Karnaeni (2005) yang membuktikan adanya hubungan
yang bermakna antara kebiasaan makan fast food dengan gizi lebih (p < 0,05).
Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan karena adanya perbedaan
pengkategorian kebiasaan makan fast food.
Tidak bermaknanya kebiasaan makanan cepat saji modern (fast food) dengan
kejadian gizi lebih pada penelitian ini meskipun proporsi gizi lebih pada responden
yang mengkonsumsi fast food sebanyak ≥ 2x/minggu (36,8%) lebih tinggi
dibandingkan dengan responden gizi lebih yang kebiasaan mengkonsumsi fast food
(< 2x/minggu) (28,9%) diduga karena responden gizi lebih yang sering (≥
2x/minggu) mengkonsumsi fast food tidak pada makanan yang mengandung kalori
tinggi oleh sebab itu adanya perbedaan jumlah kalori pada tiap jenis makanan
sehingga kontribusinya dalam menimbulkan gizi lebih juga berbeda. Hal ini sama
dengan WHO (2003) bahwa yang menyebabkan konsumsi fast food tidak
berhubungan dengan gizi lebih adalah kemungkinan ukuran dan jumlah porsi yang
dimakan tidak berlebihan. Ukuran porsi yang besar menyebabkan peningkatan berat
badan. Menurut Fieldhouse (1995) dalam Nugroho (1999) bahwa ada beberapa
faktor yang terkait dengan fast food yaitu seberapa sering fast food tersebut
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
87
dikonsumsi, kandungan zat gizi dalam fast food dan bagaimana memilih jenis fast
food tersebut erat kaitannya dengan dampak gizinya. Colaguiri (1995) dalam Wellis
(2003), dalam penelitiannya menemukan mengkonsumsi fast food 2 kali/minggu
dapat meningkatkan kandungan energi diet sebesar 1195 kal (23% energi diet).
Kebiasaan mengkonsumsi fast food 2 kali/ minggu juga menimbulkan peningkatan
rata-rata energi harian sebesar 750 K joule, yang rata-rata setahun dapat menambah
berat badan sebesar 8,8 kg.
6.5. Pola Aktivitas Fisik
6.5.1. Hubungan antara Waktu Tidur dengan Kejadian Gizi Lebih
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan bahwa nilai p>0,05
menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama waktu tidur dengan
kejadian gizi lebih. Hasil penelitian yang sama ditemukan Welis (2003) dan
Karnaeni (2005) yang juga tidak menemukan adanya hubungan yang bermakna
antara lama waktu tidur dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda dengan
penelitian Meilinasari (2002) yang membuktikan adanya hubungan ynag bermakna
antara lama waktu tidur dengan status gizi lebih.
Proporsi responden dengan status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur
> 7 jam sehari (33,7%) lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi gizi lebih pada
responden status gizi lebih yang mempunyai waktu tidur ≤ 7 jam sehari (33,3%).
Kemungkinan tidak ada hubungan yang bermakna pada penelitian ini
disebabkan meskipun responden tidur lebih dari 7 jam sehari, tetapi aktivitas fisik
lain seperti olah raga juga relatif tinggi, sehingga lama tidur tidak berpengaruh
terhadap kejadian gizi lebih. Hal ini didukung oleh data tabulasi silang antara lama
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
88
tidur dengan kebiasaan olah raga. Proporsi responden dengan lama tidur lebih dari 7
jam sehari lebih banyak (86,0%) pada responden dengan kebiasaan olah raga berat
(≥ 90 menit dengan ≥ 3x seminggu) daripada responden dengan kebiasaan olah raga
ringan (< 90 menit dengan < 3x seminggu) (85,7%).
6.5.2. Hubungan antara Waktu Menonton Televisi, Main Komputer atau Main
Video Games dengan Kejadian Gizi Lebih.
Hasil penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna
antara lama waktu menonton TV, main komputer atau video games dengan kejadian
gizi lebih. Walaupun demikian, ada kecenderungan bahwa responden dengan status
gizi lebih terdapat lebih banyak pada responden dengan waktu menonton TV ≥ 2
jam/hari dibandingkan pada responden yang menonton TV < 2 jam.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Welis
(2003), Karnaeni (2005) dan Dasmita (2007) yang tidak menemukan adanya
hubungan yang bermakna antara waktu menonton TV, main komputer/ main video
games dengan kejadian gizi lebih. Namun berbeda pada penelitian Marbun (2002)
yang menemukan hubungan bermakna antara waktu menonton TV dengan status
gizi.
Menurut Pipes dan Christine (1993) dikatakan bahwa status gizi lebih
diantaranya dapat disebabkan karena gaya hidup sendetaris, yaitu gaya hidup santai
dan meminimasikan aktivitas fisik, seperti menonton TV/video games. Menonton TV
terlalu berlebihan dapat berkontribusi terhadap kejadian obesitas, tetapi sebaliknya,
obesitas juga berkontribusi untuk menonton TV lebih lama.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
89
Perbedaan diduga responden pada penelitian ini menonton televisi tidak
sambil makan snack. Hal ini karena kemungkinan cara menonton televisi dengan
cara tidak terfokus, yang berarti menonton televisi sambil mengerjakan pekerjaan
lainnya seperti mengerjakan tugas sekolah sehingga kemungkinan mempengaruhi
basal metobolisme.
Menurut Khomsan (2006) meningkatnya kebiasaan mengkonsumsi penganan
padat kalori dan banyaknya waktu yang digunakan untuk menonton TV membuat
anak rawan terhadap obesitas. Menonton TV tergolong ke dalam aktivitas fisik
ringan. Ini berarti tidak banyak energi yang terpakai, sementara itu jika konsumsi
energi dari penganan meningkat terus maka terjadilah keseimbangan energi yang
positif.
6.5.3. Hubungan antara Kebiasaan Olah Raga dengan Kejadian Gizi Lebih
Kebiasaan olah raga merupakan salah satu bentuk aktivitas fisik yang dapat
menurunkan berat badan. Olah raga secara teratur adalah gerakan seluruh organ
tubuh dengan cara dan periode tertentu serta dilakukan secara teratur. Seseorang
yang senang melakukan olah raga pada masa remaja akan membawa kebiasaan ini
pada tingkat tertentu di usia dewasa (Kuntaraf, 1992).
Hasil penelitian ini menunjukkan anak gizi lebih yang memiliki kebiasaan
olah raga berat memiliki proporsi terbesar (38,1%) dibandingkan dengan anak gizi
lebih dengan kebiasaan ringan (34,9%) dan dari hasil analisis p > 0,05 yang berarti
tidak adanya hubungan yang bermakna antara kebiasaan olah raga dengan kejadian
gizi lebih. Hasil yang sama pada penelitian Dharmawan (2001), Suryana (2002) dan
Karnaeni (2005) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan kebiasaan olah raga
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
90
dengan status gizi lebih. Berbeda dengan hasil penelitian Mariani (2003) dan Welis
membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga dengan
kejadian gizi lebih.
Penelitian Hanley (2000) menyatakan ada beberapa faktor yang berkontribusi
terhadap tingkat kesegaran jasmani dan perubahan IMT, meliputi keteraturan atau
intensitas aktivitas fisik. Olah raga yang intensitasnya rendah menghasilkan
kehilangan masa lemak lebih besar dibandingkan intensitas yang tinggi, sebagai
akibat tingginya persentase substrate yang berasal dari lemak dan penggunaan lemak
perunit waktu berbeda. Selain itu tubuh juga mengkompensasi kekurangan energi
selama olah raga dengan meningkatnya asupan energi, menurunkan energi
ekspenditur setelah olah raga dan diluar olah raga atau keduanya. Artinya setelah
olah raga nafsu makan akan meningkat, karena mengimbangi kekurangan energi
selama olah raga. Kemudian kalori yang terbakar selama olah raga hanya berdampak
kecil pada pengurangan lemak tubuh dibandingkan pengurangan lemak tubuh pada
saat terjadi kelaparan dan puasa.
Jika dilihat dari konsumsi energi ternyata orang yang beraktivitas olah raga
ringan mempunyai proporsi konsumsi energi lebih sedikit dibanding orang yang
aktivitasnya berat. Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan responden yang
beraktifitas ringan cenderung konsumsi energinya kurang dari kecukupan oleh sebab
itu antara kebiasaan olah raga dengan kejadian gizi lebih tidak ada hubungan yang
bermakna.
Selain itu tingginya proporsi anak gizi lebih yang memiliki tingkat olahraga
berat, memberi kesan kemungkinan adanya usaha pada anak gizi lebih untuk
menurunkan berat badannya dengan melakukan olah raga dengan frekuensi tinggi
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
91
dan tergolong tingkat olahraga berat sehingga tidak dapat menunjang hubungan
olah raga dengan status gizi lebih.
6.6. Pola Konsumsi Makanan
6.6.1. Hubungan antara Konsumsi Energi dengan Kejadian Gizi Lebih
Separuh (57,5%) konsumsi energi responden lebih kurang atau sama dengan
Angka Kecukupan Gizi (AKG). Rata-rata konsumsi energi sehari pada responden
gizi lebih adalah 2217±599 kal/hari, sedangkan pada responden gizi tidak lebih
adalah 2313±713 kal/hari. Terdapat kecenderungan proporsi gizi lebih pada
responden dengan konsumsi energi kurang atau sama dengan AKG lebih tinggi
(35,4%) dibandingkan responden dengan konsumsi energi lebih dari AKG (31,3%).
Namun dari hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih.
Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Marbun (2002) dan Wellis (2003)
yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dengan
kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Meilinasari (2002),
Rijanti (2002) dan Daryono (2003) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna
antara konsumsi energi dengan kejadian gizi lebih. Perbedaan hasil ini diduga karena
karakteristik responden yang mengambil populasi siswa SD.
Ketidakbermaknaan hasil penelitian ini kemungkinan bagi responden yang
merasa mengalami kelebihan berat badan ada yang melakukan pembatasan konsumsi
dan kenyataan pada saat wawancara ada responden yang sedang melakukan puasa
pada jenis makanan tertentu (seperti lauk hewani). Alasan lain terjadi kemungkinan
sebagian responden yang gemuk tidak mau jumlah makanan yang dikonsumsinya
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
92
dilaporkan sehingga tidak bisa diketahui jumlah makanan yang sesungguhnya. Hal
ini terkait dengan pendapat Klesgel et al (1992) bahwa pada penelitian crossectional
seseorang yang gizi lebih biasanya melaporkan konsumsi makanan mereka sama atau
lebih kecil daripada kelompok teman yang tidak gizi lebih (normal).
6.6.2. Hubungan antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kejadian Gizi Lebih
Rata-rata konsumsi karbohidrat responden per hari adalah 52,2 ± 40,2 %.
Rata–rata konsumsi karbohidrat sehari pada responden gizi lebih adalah 60,0±67,9%,
sedangkan pada responden tidak lebih adalah 48,27±9,7%. Dilihat dari hasil
penelitian bahwa proporsi gizi lebih pada responden dengan konsumsi karbohidrat ≤
60% energi total jumlahnya lebih besar (34,7%) dibandingkan proporsi gizi lebih
pada responden yang konsumsi karbohidratnya > 60% energi total. Hasil uji statistik
mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat
dengan kejadian gizi lebih pada responden.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Hanley et al (2000), Wellis
(2003) dan Santy (2006) yang menemukan tidak ada hubungan antara konsumsi
karbohidrat dengan gizi lebih. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan Rinjani (2002) membuktikan ada hubungan yang bermakna antara
konsumsi karbohidrat dengan kejadian gizi lebih.
Adanya perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan
disebabkan pada penelitian ini rata-rata konsumsi energi masih di bawah AKG,
sehingga seluruh energi dari zat gizi termasuk karbohidrat digunakan oleh tubuh
tanpa adanya penyimpanan. Pernyataan Marsetyo dan Kartasapoetra (1991) bahwa
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
93
pada kondisi tubuh kekurangan energi maka digunakan cadangan karbohidrat dalam
tubuh. Karbohidrat merupakan penghasil energi siap pakai.
6.6.3. Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Kejadian Gizi Lebih
Konsumsi Lemak responden sebagian besar (76,1%) > 30%, sedangkan
23,9% responden yang konsumsi lemak ≤ 30%. Rata-rata konsumsi lemak sehari
pada responden gizi lebih adalah 36,78±8,64%, sedangkan pada responden tidak gizi
lebih adalah 46,67±60,23%. Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang
bermakna antara konsumsi lemak dengan gizi lebih.
Hasil penelitian serupa didapat oleh Wellis (2003) dan Hanley (2000) bahwa
secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan
kejadian gizi lebih. Tetapi berbeda dengan penelitian yang dilakukan Daryono (2003)
dan Karnaeni (2005) yang mendapatkan ada hubungan yang bermakna antara
konsumsi lemak dengan kejadian gizi lebih.
Anjuran konsumsi lemak menurut Soetjiningsih (2004) adalah tidak lebih dari
30% kebutuhan energi. Konsumsi lemak pada responden gizi lebih dan responden
gizi tidak lebih dalam penelitian ini lebih tinggi dari leteratur diatas.
Tingginya persentase responden dengan konsumsi lemak lebih
menandadakan bahwa menu makanan yang dimakan oleh responden merupakan
makanan yang kaya akan lemak khususnya lemak hewani. Menurut Depkes (2002),
bahwa kebiasaan mengkonsumsi lemak hewani yang berlebihan akan menimbulkan
penyakit jantung koroner dan penyempitan pembuluh darah. Konsumsi lemak pada
remaja harus diwaspadai karena konsumsinya dapat berlebih.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
94
Penelitian yang dilakukan oleh Willet (1998) menunjukkan bahwa diet tinggi
lemak tidak menjadi penyebab utama tingginya peningkatan lemak tubuh di
masyarakat dan pengurangan asupan lemak tidak menjadi solusi yang baik tetapi
peningkatan aktivitas fisik lebih efektif dalam menurunkan kejadian gizi lebih.
Kemungkinan yang terjadi dari hasil tabulasi silang antara konsumsi lemak
dan kebiasaan olah raga disebabkan walaupun konsumsi lemak responden tinggi dan
kebiasaan olah raga responden ringan tetapi hasil yang didapat belum bermakna
kemungkinan ini bisa terjadi karena responden mengikuti kegiatan sekolah yang
begitu padat dari pagi hingga sore.
6.6.4. Hubungan antara Konsumsi Protein dengan Kejadian Gizi Lebih
Sebanyak 80,5% responden konsumsi proteinnya > AKG. Rata-rata konsumsi
protein sehari pada responden gizi lebih adalah 78,90±27,90 gram , sedangkan rata-
rata konsumsi protein pada responden gizi tidak lebih adalah 84,58±33,85 gram.
Hasil uji statistik mendapatkan tidak ada hubungan yang bermakana antara konsumsi
protein dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis
(2003) dan Hanley et al (2000) yang menyatakan tidak ada hubungan antara
konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih.
Tidak ada hubungan bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian gizi
lebih pada penelitian ini kemungkinan karena protein tidak berkontribusi besar dalam
mempengaruhi konsumsi energi dibandingkan karbohidrat dan lemak. Dugaan lain
seperti diketahui peran utama protein adalah dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan, bukan sebagai sumber ataupun cadangan energi. Dengan demikian
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
95
konsumsi protein lebih dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan apalagi
bagi responden yang remaja masih dalam masa pertumbuhan.
6.7. Karakteristik Siswa
6.7.1. Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Gizi Lebih
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa responden laki-laki lebih banyak
(53,1%) daripada responden perempuan (46,9%). Hasil uji statistik menunjukkan
tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
gizi lebih. Namun terlihat adanya kecenderungan lebih besar pada responden pada
laki-laki untuk mengalami gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Meilinasari (2002), Marbun (2002) dan Karnaeni (2005) yang menemukan
tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian
gizi lebih.
Berbeda dengan hasil penelitian Nugroho (1999) dan Wellis (2003) yang
keduanya menemukan terdapatnya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan gizi lebih. Perbedaan ini kemungkinan dikarenakan pada penelitian ini
proporsi terbesar responden gizi lebih terdapat pada responden yang berjenis kelamin
laki-laki. Pada umumnya penduduk kota memiliki stándar hidup yang lebih baik dan
kurang aktivitas fisiknya dibandingkan di pedesaan. Perbedaan jenis kelamin
terhadap trens gizi lebih dapat juga dihubungkan dengan munculnya body image
pada anak wanita yang lebih menyukai tubuh langsing pada saat memasuki usia
pubertas, sementara anak laki-laki tidak begitu cemas dengan berat badannya, dan
bangga bila memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga kurang berhati-hati terhadap
konsumsi makanan dalam diet hariannya.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
96
Selain itu kecenderungan responden gizi lebih terdapat lebih banyak pada
responden laki-laki dibandingkan responden perempuan dalam penelitian ini, dapat
disebabkan karena adanya perbedaan asupan makanan. Responden laki-laki
kemungkinan mempunyai nafsu besar sehingga mengkonsumsi lebih banyak
makanan berkalori tinggi dibandingkan anak perempuan. Menurut Worthington et al
(2000) dikatakan bahwa anak laki-laki usia sekolah mengkonsumsi sejumlah energi
dan nutrisi lebih besar dibandingkan anak perempuan. Di samping itu, nafsu makan
anak laki-laki sangat bertambah hingga tidak akan menemukan kesukaran untuk
memenuhi kebutuhan makannya (Pudjiadi, 1990).
6.7.2. Hubungan antara Pengetahuan Gizi dengan Kejadian Gizi Lebih
Pengetahuan merupakan hal penting untuk terbentuknya perilaku seseorang.
Pengetahuan adalah kesan dalam pikiran manusia sebagai hasil dari penca indera.
Penngetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman sendiri maupun dari orang lain
(Notoatmodjo, 1993). Dengan pengalaman yang memadai terhadap gizi, diharapkan
siswa lebih selektif dalam makanan yang akan dikonsumsinya, baik dalam hal
kualitas maupun kuantitas sehingga dapat mempertahankan kondisi kesehatan secara
maksimal.
Pengetahuan gizi anak yang baik dapat meningkatkan kemampuan anak
memilih makanan dan mencoba makanan baru yang sehat dan berhubungan pula
dengan sikap anak terhadap makanan. Walaupun pengaruh sikap dan perilaku pada
tingkatannya tidak sekuat dan sekonsisten dibandingkan dengan pengetahuan
(Pipes dan Chistine, 1993).
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
97
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan gizi responden dengan kejadian gizi lebih. Hasil penelitian ini sama
dengan hasil penelitian Gordon-Larsen (2002) yang menemukan ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan gizi dan kesehatan dengan gizi lebih pada remaja
wanita perkotaan Philadelphia. Berbeda dengan hasil penelitian Marbun (2002) dan
Welis (2003) dan Kanaeni (2005) yang menemukan tidak ada hubungan antara
pengetahuan gizi dengan kejadian gizi lebih.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa tingginya pengetahuan gizi dan
kesehatan pada siswa SMA Islam PB. Soedirman karena lengkapnya sumber
pengetahuan dan materi pengetahuan gizi yang diajarkan tidak dalam mata ajaran
khusus. Namun demikian hasil analisis didapatkan bahwa proporsi responden gizi
lebih (39,3%) memiliki tingkat pengetahuan baik lebih tinggi dibandingkan dengan
responden gizi lebih dengan tingkat pengetahuan kurang, untuk itu diperlukan
penyuluhan bagaimana cara hidup sehat guna menghindari masalah kesehatan yang
akan dihadapi di masa mendatang seperti gizi lebih.
Pengetahuan gizi sebaiknya diberikan sejak dini sehingga dapat memberi
kesan yang mendalam dan dapat menuntun anak dalam memilih makanan yang sehat
dalam kehidupan sehari-hari (Irawati, 1998).
6.7.3. Hubungan antara Uang Saku dengan Kejadian Gizi Lebih
Menurut hasil analisis proporsi kejadian gizi lebih pada responden dengan
uang saku kategori besar lebih rendah (32,2%) bila dibandingkan responden dengan
uang saku kategori uang saku kecil (35,2%). Namun hasil uji statistik menunjukkan
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
98
tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah uang saku dengan kejadian gizi
lebih.
Tidak terlihatnya hubungan antara jumlah uang saku dengan gizi lebih
kemungkinan karena belum tentu semua uang saku yang diterima oleh responden
dibelanjakan untuk makan dan bisa juga responden membawa bekal makanan untuk
disekolah dan setiap berangkat dan pulang dijemput sehingga uang saku yang didapat
masih dalam keadaan utuh atau tidak dikeluarkan untuk membeli makanan atau
keperluan lainnya.
Jika dilihat dari hasil tabulasi silang konsumsi lemaknya ternyata antara siswa
yang memiliki uang saku > Rp.20.000 dan ≤ Rp. 20.000 mempunyai proporsi yang
sama yaitu lebih dari 76,1% mengkonsumsi lemak > 30%. Oleh karena itu tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antra uang saku besar dan kecil terhadap
kejadian gizi lebih.
Pada remaja yang memiliki uang saku, Insel et al (2006) dalam Wulandari
(2007) menyatakan bahwa remaja yang telah diberi kepercayaan untuk mengelola
uang sakunya sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk memilih sesuka hatinya.
Kebebasan memilih makanan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi status
gizi remaja. Dengan memiliki kebebasan untuk memilih sendiri makanannya, remaja
cenderung untuk membeli apapun yang disukainya atau yang menarik menurut
mereka, tanpa memperhatikan apakah makanan tersebut bergizi seimbang atau tidak.
Pemilihan makanan yang salah pada akhirnya dapat berpengaruh pada status gizi
mereka.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
99
6.8. Karakteritik Orang Tua
6.8.1. Hubungan antara Pendidikan Ibu Responden dengan Kejadian Gizi
Lebih
Menurut Mariani (2003) tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi
pangan melalui cara pemilihan bahan makanan. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi
cenderung memilih makanan yang baik dalam hal kualitas dan kuantitas
dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan rendah. Makin tinggi pendidikan
ibu makin baik status gizi anaknya.
Dalam penelitian ini didapatkan bahwa proporsi gizi lebih pada responden
dengan tingkat pendidikan ibu tinggi (38,6%) sedikit lebih besar atau bahkan
dikatakan hampir sama dengan responden yang mempunyai ibu dengan tingkat
pendidikan rendah (30,4%). Dari hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya
hubungan yang tidak bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian gizi lebih
(p > 0,05). Hasil penelitian ini sama dengan penelitian Welis (2003), Mariani (2003)
yang membuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu
dengan kejadian gizi lebih.
Ketidakbermaknaan hasil temuan penelitian ini diduga karena pendidikan
bukanlah faktor langsung yang mempengaruhi status gizi, namun pendidikan sangat
berpengaruh pada tingkat pengetahuan. Pengetahuan kesehatan dan gizi merupakan
faktor yang menonjol dalam mempengaruhi pola konsumsi makan. Meskipun daya
beli terhadap makanan tinggi, tetapi bila tidak disertai dengan pengetahuan gizi,
masalah gizi akan dapat terjadi. Pendidikan yang tinggi dengan pengetahuan yang
memungkinkan dimilikinya informasi tentang gizi dan kesehatan yang lebih baik
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
100
sehingga dapat mendorong terbentuknya perilaku yang lebih baik (Sedioetama, 1987
dalam Sudiarti, 1997).
Selain itu disebabkan karena tingkat pendidikan tidak selalu sejajar dengan
pengetahuan gizi yang dimiliki. Belum tentu pendidikan yang tinggi akan memiliki
pengetahuan gizi yang tinggi, hal ini juga dapat dipengaruhi faktor lain seperti :
perilaku dalam memilih makanan yang sesuai dengan kebutuhan gizinya. Walaupun
tingkat pendidikan tinggi dan pengetahuan gizi tinggi namun bila tidak didukung
dengan perilaki makan yang tepat (sesuai dengan gizi seimbang) maka akan
memberikan dampak pada masalah gizi selanjutnya.
6.8.2. Hubungan antara Pendapatan Orang Tua dengan Kejadian Gizi Lebih
Faktor pendapatan merupakan peranan sangat penting dalam persoalan gizi
dan kebiasaan pangan masyarakat. Jumlah dan jenis pangan anggota keluarag
dipengaruhi oleh status ekonomi. Salah satu ukuran ekonomi adalah pendapatan total
keluarga. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi akan memberikan akan memberikan
peluang lebih besar dalam pemilihan pangan baik dalam jumlah dan jenisnya.
Peningkatan pendapatan juga menentukan pola makan, dalam artian makanan apa
yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut.
Dalam hasil uji statistik penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan
yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian gizi lebih, dengan nilai
p > 0,05. Proporsi gizi lebih pada responden yang mempunyai pendapatan keluarga
kategori rendah lebih tinggi (38,1%) dibandingkan dengan responden gizi lebih pada
tingkat pendapatan keluarga kategori tinggi (33,7%). Hal ini diperkuat pada
penelitian McMurray et al (2000) juga menemukan kecenderungan yang sama, pada
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008
101
kelompok ekonomi rendah prevalensi gizi lebih pada remaja lebih tinggi
dibandingkan kelompok ekonomi tinggi. Lebih besarnya peluang responden dengan
pendapatan rendah untuk mengalami gizi lebih pada penelitian ini diduga karena
kualitas makanan yang dikonsumsi tidak mengandung gizi seimbang.
Tetapi pendapatan orang tua responden pada penelitian ini didapatkan bahwa
pendapatan orang tua responden sebanyak 62,8% tergolong berpendapatan tinggi
(≥ Rp. 4.000.000,-). Menurut Suhardjo (1989) pada keluarga yang berpendapatan
tinggi akan terjadi perubahan pola pengeluaran. Semakin tinggi pendapatan maka
semakin rendah bagian penghasilan yang dikeluarkan untuk makanan yang dimakan
lebih mahal.
Hubungan kebiasaan...,FKM UI, 2008